LAPORAN PENELITIAN PENGATURAN JARINGAN UTILITAS TERPADU DI KABUPATEN BADUNG
PENELITIAN MANDIRI
TIM PENELITI 1. I Nengah Suantra, S.H., M.H. 2. Made Nurmawati, S.H., M.H.
UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS HUKUM DENPASAR 2016
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN
ii
ABSTRAK Pemerintah Kabupaten Badung telah menetapkan Visi dan Misi mewujudkan masyarakat yang aman, tentram, rukun dan makmur berlandaskan Trihita Karana serta mewujudkan sarana prasarana wilayah dan infrastruktur yang merata dan berkualitas; mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang mantap dan mampu bersaing di pasar bebas; dan mewujudkan lingkungan yang asri dan lestari. Namun, pembangunan jaringan utilitas seperti air bersih, listrik, gas, saluran telekomunikasi, saluran limbah di ruas jalan oleh unit-unit kerja masing-masing tidak melalui koordinasi dan tidak terpadu sehingga pemasangan jaringan tidak pernah dalam periode yang sama, tumpang tindih, menyisakan bekas-bekas material galian disepanjang ruas jalan yang mengganggu kenyamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan serta dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan. Hal itu disebabkan tidak adanya norma hukum di dalam Perda Kabupaten Badung No. 12 Tahun 1998 mengenai koordiasi pemasangan jaringan utilitas. Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Badung mengenai Jaringan Utilitas Terpadu merupakan suatu keniscayaan berlandaskan pada pokok-pokok pikiran filosofis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofis: nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, visi dan misi Kabupaten Badung dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah melangkah bersama membangun Badung berdasarkan “Trihita Karana” menuju masyarakat adil sejahtera dan ajeg, sedangkan misi Kabupaten Badung. Landasan sosiologis: kebutuhan hukum masyarakat Kabupaten Badung menghendaki adanya jaminan hukum atas kenyamanan, ketertiban, dan keselamatan dalam berlalu lintas serta keserasian, estetika dalam pemasangan jaringan utilitas. Landasan yuridis: Tidak adanya norma hukum yang mengatur koordiasi pemasangan jaringan utilitas, dan Perda Kabupaten Badung No. 12 Tahun 1998 tidak efektif berlakunya dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Jaringan Utilitas Terpadu yang akan dibentuk mencakup materi muatan: (a). Ketentuan Umum memuat rumusan akademik batasan pengertian istilah, kata, dan frasa; serta singkatan dan akronim; (b). materi pokok yang diatur meliputi: Perencanaan Penempatan Jaringan Utilitas, Pelaksanaan Penempatan Jaringan Utilitas, Pemanfaatan Sarana Jaringan Utilitas, Perizinan; Pengawasan Dan Pengendalian, Sanksi Administrasi, Ketentuan Pidana, Penyidikan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Peraturan daerah tersebut harus segera disusun dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung untuk dilakukan pembahasan bersama.
iii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat Nya laporan penelitian Pengaturan Jaringan Utilitas Terpadu di Kabupaten Badung berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan permasalahan kekosongan norma mengenai penempatan jariangan utilitas secara terpadu di dalam Perda Kabupaten Badung No. 12 Tahun 1998 yang berdampak pada pembangunan jaringan air bersih, listrik, gas, saluran telekomunikasi, saluran limbah di ruas jalan tidak melalui koordinasi dan tidak terpadu yang mengganggu kenyamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan serta dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan. Penelitian didahului dengan melakukan penelusuran kebijakan-kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah berkaitan dengan pemasangan jaringan utilitas. Kemudian disusun instrumen penelitian, pengumpulan bahan, identifikasi, tabulasi dan analisis data. Tahap berikutnya adalah pembahasan dan menyimpulkan hasil penelitian serta melaporkan pelaksanaan kegiatan penelitian. Dengan selesainya laporan ini, sudah sepatutnya diucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H. M.H., Dekan F H UNUD dan para pembantu dekan yang memfasilitisi penelitian ini. 2. Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Badung yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini. 3. Bapak dan Ibu tenaga kependidikan di FH UNUD yang telah berpartisipasi dalam persiapan dan penyelesaian proses administrasi penelitian ini. 4. Para penulis yang karya tulisnya diacu sebagai referensi dalam menyusun laporan penelitian. 5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per-satu yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan dan pelaporan penelitian ini. Terima kasih atas segala konstribusi dan perhatian yang telah diberikan, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat karuniaNya. Akhirnya, mohon maaf atas kekurangan dan kelemahan laporan penelitian ini. Segala masukan yang konstruktif sangat diperlukan untuk perbaikan laporan penelitian ini, terima kasih.
Denpasar, 12 Februari 2016 Tim Peneliti.
iv
DAFTAR ISI LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ............................................................................ ii ABSTRAK ..................................................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................................................... iv DAFTAR ISI................................................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1 1.2 Identifikasi Masalah ............................................................................................................ 6 1.3 Tujuan dan Kegunaan ......................................................................................................... 7 1.4 Metode Penulisan Naskah Akademik ................................................................................. 7 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS .............................................................. 9 2.1 Kajian Teoritis .................................................................................................................... 9 2.1.1 Jaringan Utilitas. ....................................................................................................... 9 2.1.2 Hak Penguasaan Negara Atas Jalan. ...................................................................... 11 2.1.3 Penggunaan Jalan Dalam Penguasaan Pemerintah Kabupaten Badung Untuk Penempatan Jaringan Utilitas. ................................................................................ 12 2.1.4 Asas atau Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma. ................................. 14 2.2 Kajian Empiris .................................................................................................................. 19 2.2.1 Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat. ............................................................................................................ 19 2.2.2 Implikasi Penempatan Jaringan Utilitas Terpadu Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Pemerintah Kabupaten Badung. ................................................................................................ 20 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ............................................................................................................................... 22 3.1. Kondisi dan Status Hukum Peraturan Perundang-undangan yang Ada............................ 22 3.2. Harmonisasi Vertikal dan Horizontal Peraturan Perundang-undangan yang ada dengan Peraturan Daerah yang dibentuk ....................................................................................... 30 3.2.1 UU Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan PP Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. .................................................. 33 3.2.1 UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan PP Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. ............................. 34 3.2.3 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, Permen PU Nomor: 20/Prt/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan, Permen PU No. 02/Prt/M/2014 Tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang di dalam Bumi. ...................................................... 35 3.2.4 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. ........................ 38 3.2.5 UU No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, PP Nomor 23 Tahun 2014. .. 40 3.2.6 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan. .................................................................................................... 42 3.2.7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Permendagri No. 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. ... 45 v
3.2.8 Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029. .......................................................................... 45 3.2.9 Perda Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Badung. ............................................................ 46 BAB IVLANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ......................................... 48 4.1. Landasan Filosofis ......................................................................................................... 48 4.2. Landasan Sosiologis....................................................................................................... 50 4.3. Landasan Yuridis ........................................................................................................... 51 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANGLINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENEMPATAN JARINGAN UTILITAS TERPADU ...................................................................................... 54 5.1. Jangkauan Pengaturan .................................................................................................... 54 5.2. Arah Pengaturan............................................................................................................. 56 5.3. Ruang Lingkup Materi Muatan ...................................................................................... 59 BAB VI PENUTUP ...................................................................................................................... 60 6.1. Simpulan ........................................................................................................................ 60 6.2. Saran .............................................................................................................................. 62 DAFTAR BACAAN ..................................................................................................................... 63 LAMPIRAN .................................................................................................................................. 65
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kabupaten Badung adalah salah satu dari kabupaten/kota di wilayah Provinsi Bali, yang
berkembang dari sistem pemeritahan kerajaan sebelum era kolonial. Pada awal kemerdekaan, dibentuk pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerahdaerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655) dengan ibukota adalah Denpasar. Di era pemerintahan Orde Baru, Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dipisahkan dengan kota Denpasar karena diundangkannya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465). Kemudian, ibukotanya dipindahkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2009 Tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung dari Wilayah Kota Denpasar ke Wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Provinsi Bali (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5081). Ibu Kota Kabupaten Badung diberi nama Mangupura (Pasal 3). Pemerintahan Kabupaten Badung merencanakan pembangunan berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (Perda No. 2 Tahun 2009: RPJPD) (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 2); dengan visi mewujudkan masyarakat Kabupaten Badung yang aman, tentram, rukun dan makmur berlandaskan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Visi tersebut dirumuskan menjadi Misi Pembangunan Daerah Kabupaten Badung Tahun 2005-2025, diantaranya adalah mewujudkan sarana prasarana wilayah dan infrastruktur yang merata dan berkualitas. Misi tersebut dibarengi dengan misi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang mantap dan mampu bersaing di pasar bebas; dan mewujudkan lingkungan yang asri dan lestari.
Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Bali. Profil wilayah Kabupaten Badung terletak pada posisi 08o14'17"- 08o50'57" Lintang Selatan (LS) dan 115o05'02"- 15o15' 09" Bujur Timur (BT). Luas wilayah Kabupaten Badung adalah 418,52 km2 (7,43% dari luas Pulau Bali). Bagian utara Kabupaten Badung relatif sejuk berbatasan dengan Kabupaten Buleleng sedangkan wilayah bagian selatan merupakan wilayah berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Sisi timur wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabanan. Kondisi Kabupaten Badung dapat digambarkan sebagai daerah beriklim tropis yang terdiri dari: musim kemarau (April–Oktober) dengan suhu udaranya berkisar 25oC – 30oC dan musim hujan (Nopember – Maret) dengan curah hujan berkisar rata-rata 893,4 – 2.702,6 mm per tahun. Dengan dua kondisi tersebut, kelembapan udara rata-rata mencapai 79%.1 Jumlah penduduk Kabupaten Badung semakin meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2013. Jumlah penduduk dalam tahun 2010 adalah 546.700 jiwa; tahun 2011 jumlah penduduk bertambah menjadi 560.900 jiwa; dalam tahun 2012 penduduk sebanyak 575.000 jiwa; dan dalam tahun 2013 jumlah penduduk bertambah menjadi 589.000 jiwa.2(BPS-Badung, 2015c) Jumlah penduduk tersebar di 6 (enam) kecamatan; paling banyak terdapat di Kecamatan Kuta Selatan yakni 134.500 jiwa, sebaliknya paling sedikit terdapat di Kecamatan Petang yaitu 26.200 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk sangat tinggi yakni mencapai 1.407 jiwa/Km2; kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Kuta yakni 5.426 jiwa/Km2, sedangkan terendah di Kecamatan Petang yaitu 227 jiwa/Km2. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2010 sampai dengantahun 2013 rata-rata sebanyak 14.100 jiwa3 (BPS-Badung, 2015g). Jumlah penduduk yang semakin meningkat tersebut berimplikasi terhadap pertambahan kebutuhan atas infrastruktur. Pesatnya pembangunan di Wilayah Kabupaten Badung banyak didukung oleh industri pariwisata selain di dukung oleh sektor pertanian, peternakan dan lain sebagainya. Industri pariwisata didominasi oleh pelayanan yang berkaitan dengan penyedian akomodasi seperti pelayanan hotel, penginapan, villa, apartemen, dan jenis akomodasi wisata lainnya. Dari data yang dimiliki oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Kabupaten Badung
1
http://www.badungkab.go.id. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Statistik Penduduk, http://badungkab.bps.go.id/web5103/frontend/linkTabelStatis/view/id/21, diunduh Sabtu, 4 April 2014, hlm. 2. 3 Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Badung dalam Angka 2014, http://badungkab.bps.go.id/web5103/frontend/index.php, diunduh Sabtu, 4 April 2014, hlm. 53. 2
2
merupakan PDRB per kapita tertinggi pada tahun 2009 sebesar Rp. 30,35 juta dibandingkan PDRB per kapita terendah (Kabupaten Karangasem) sebesar Rp. 9,48 juta.4 ). Distribusi PDRB Kabupaten Badung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha dari tahun 2000-2013 didominasi oleh pengangkutan dankomunikasi sebesar 37,75 % serta dari sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 34,59% ditahun 2013(BPS-Badung, 2015a). Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Kabupaten Badung didukung oleh sumber daya manusia (penduduk) yang dinamis terdiri dari pelaku ekonomi baik selaku individu maupun kelompok. Ekonomi Kabupaten Badung di dukung oleh jumlah penduduk adalah 388.514 jiwa ( data Bappeda
Badung 2009) dengan laju pertumbuhan 1,21% dan kepadatan rata-rata 928 jiwa/ km². Tercatat bahwa Mengwi sebagai kecamatan terpadat dengan penduduk sejumlah 108.469 jiwa, sebaliknya jumlah penduduk terendah adalah Petang, yaitu 28.392 jiwa. Kepadatan tertinggi ada di Kecamatan Kuta Utara, memiliki kepadatan tertinggi yaitu1.783 jiwa/ km², sebaliknya kepadatan terendah sebesar 247 jiwa/ km² ada di Kecamatan Petang.5
Pertumbuhan ekonomi Bali secara umum dapat diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada Triwulan II - 2014 mencapai 2,80 persen dibandingkan Triwulan I - 2014 yang kontraksi -0.39 persen (quarter to quarter/q-to-q). Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih sebesar 4,94 persen (BPS-Badung, 2015f). Hal ini menunjukan bahwa sector dominan: pengangkutan dan komunikasi perdagangan, hotel dan restoran (72,34%) adalah
sektor dengan jenis pelayanan terkait akomodasi pariwisata dan
perdagangan yang sangat tergantung dari ketersedian tenaga listrik, telekomunikasi, energy gas dan air minum. Telah dicatat pula bahwa belanja listrik wajib dilakukan sementara ketersedian listrik sangat terbatas dan catatan khusus terdapat sekitar 55% listrik bersubsidi juga dinikmati oleh hotel-hotel mewah berbintang. Dari data pemakaian listrik di provinsi Bali tercatat bahwa Kabupaten Badung memiliki jumlah pelanggan listrik terbesar kedua setelah Kota Denpasar yakni sekitar 119,756 pelanggan dari total pelanggan sekitar 729,153. 6 Selain listrik, pasokan air bersih (PDAM), saluran telekomunikasi, dan jaringan-jaringan khusus lainnya juga sangat fital diperlukan oleh hotel-hotel dan villa-villa. Energi listrik yang dibutuhkan turut meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Dalam tahun 2013 banyaknya energi listrik yang dijual oleh PT PLN (Persero) mencapai 4
(datakesra.kemenkopmk.go.id/, 2011. Pemkab, 2014. 6 Katalog-BPS:1102001.51, 2012. 5
3
65.419.090 MWh. Peningkatan kebutuhan air minum pun menyertai. Produksi air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mangutama sebanyak 36.812.000 M3, sedangkan yang terjual mencapai 35.485.230 M3.7Sambungan telepon untuk konsumen yang dilayani oleh Kantor Daerah Telekomunikasi Denpasar sebanyak 52.184 sambungan. Jumlah pelanggan paling banyak terdapat di Kecamatan Kuta (STO Kuta, Seminyak) yaitu sebanyak 26.181 sambungan. Sedangkan pelanggan paling sedikit terdapat di Kecamatan Petang (STO Tabanan) sebanyak 75 sambungan (BPS-Badung, 2015b). Oleh sebab itu semua bentuk jaringan infrastruktur merupakan bentuk pelayanan pihak pemerintah kepada masyarakat. Seluruh jaringan infrastruktur yang dipasang baik oleh swasta maupun pihak pemerintah pada saatnya nanti akan menjadi ibah yang limpahkan kepada pemerintah dan atau kepada masyarakat secra umum kembali. Infrastruktur atau disebut juga sebagai prasarana merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses yang mengacu pada sistem fisik penyediaan fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara ekonomi dan sosial, bahkan juga politik. Infrastruktur yang diperlukan tersebut berupa fasilitas antara lain:
transportasi, air
bersih, air limbah, perumahan, bangunan publik, pengolahan gas, pengaturan banjir, drainase, dan irigasi; dan fasilitas publik lain. Secara spesifik infrastruktur yang dimaksudkan antara lain: jalan, saluran air minum, saluran air limbah, saluran air hujan, pembuangan sampah, jaringan listrik, jaringan telepon. Di Kabupaten Badung, sebagaimana halnya juga di seluruh Indonesia, infrastruktur merupakan masalah struktural yang berat. Karena fasilitas infrastruktur yang memadai yang dapat membantu baik dalam sisi ekonomi, sosial budaya, politik, dan lain-lain masih sangat kurang ketersediaannya8. Selain itu, kebutuhan sarana utilitas tersebut tidak disertai dengan investasi jaringan jangka panjang sehingga selalu ada penambahan maupun pembangunan jaringan utilitas baru. Misalnya jalan: bahwa jalan yang ada di Kabupaen Badung panjangnya 628,7 Km. Dari segi jenis permukaan terdiri dari Aspal (Hotmix) sepanjang 510,3 Km, Paving Stones sepanjang 10,9 Km, Rigid Pavement sepanjang 1,4 Km, dan batu/limestone/tanah
7
Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Badung dalam Angka 2014, http://badungkab.bps.go.id/web5103/frontend/index.php, diunduh Sabtu, 4 April 2015, hlm. 262. 8
Wikipedia, Infrastruktur, http://id.wikipedia.org/wiki/Infrastruktur, diunduh Sabtu, 3 April 2015, hlm. 1.
4
sepanjang 5,3 Km. Dari segi kondisi jalan, maka jalan dengan kondisi baik sepanjang 498,3 Km, kondisi sedang sepanjang 121,2 Km dan jalan rusak panjangnya 9,3 Km9 (BPS-Badung, 2015e) Jalan secara fisik merupakan salah satu prasarana transportasi yang berperan sangat penting dalam kehidupan masyarakat untuk mewujudkan pemerataan hasil-hasil pembangunan berupa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteran yang adil dan merata bagi seluruh rakyat; serta sarana pendukung kehidupan sosial budaya, kehidupan politik, lingkungan serta pertahanan dan keamanan. Selain itu, jalan sebagai wahana membuka wawasan masyarakat untuk berinteraksi, membangun toleransi serta menjalin hubungan budaya antar-suku bangsa. Jalan juga mampu mendukung kehidupan dan pembangunan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup yang harmonis. Sebaliknya, sarana jalan darat dapat berpeluang merusak tatanan kehidupan masyarakat, khusus diketemukan pada kondisi jalan yang rusak sebagai akibat penggalian ruas jalan yang kurang tertib dalam rangka penempatan jaringan utilitas10. Penggalian yang merusak ruas jalan tersebut dapat menimbulkan tuntutan pidana11 Jaringan utilitas yang dibangun untuk infrastruktur air bersih, listrik, telepon, air limbah dan gas dilakukan dengan penempatan di bawah tanah berupa pipa dan kabel tanam, ada pula di udara berupa kabel udara, dan di dalam laut. Selama ini pelaksanaan pemasangan janringan utilitas tersebut belum terkoordinasi dengan baik, bahkan sering terjadi bongkar pasang di ruang milik jalan yang berdampak pada gangguan lalulintas dan kerusakan konstruksi jalan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) (selanjutnya disebut dengan UU No. 38 Tahun 2004) dengan tegas melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, di dalam ruang milik jalan, di dalam ruang pengawasan jalan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/Prt/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor) (selanjutnya disebut dengan
Permen PU No. 20/Prt/M/2010) mewajibkan adanya izin dari
9
Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Statistik Jalan, http://badungkab.bps.go.id/web5103/frontend/linkTabelStatis/view/id/10 diunduh Sabtu, 4 April 2014, hlm. 2. 10 Bali Post 2012; Bali Post 2013; Bali Post 2013. 11 Purwadi, E. (2009). "Pelaksana Pemasangan Utilitas Dapat Dipidanakan." from http://umum.kompasiana.com/2009/07/31/pelaksana-pemasangan-utilitas-dapat-dipidanakan-9430.html., diunduh Sabtu, 4 April 2015, hlm. 1.
5
penyelenggara jalan sesuai kewenangannya untuk pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya meliputi bangunan dan jaringan utilitas, iklan, media informasi, bangun–bangunan, dan bangunan gedung di dalam ruang milik jalan. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 12 Tahun 1998 tentang Penggalian Jalan, Merubah Trotoar dan Pemancangan Tiang di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dengan jelas menentukan pada Bagian Menimbang bahwa, Penggalian Jalan, Merubah Trotoar dan Pemancangan Tiang di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung yang dilakukan oleh Unit Kerja dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan. Karena itu ditentukan bahwa, penggalian jalan, perubahan trotoar dan pemancangan tiang meliputi: pemasangan baru dan/atau perbaikan pipa-pipa air minum, pipapipa minyak dan gas serta pipa-pipa limbah, kabel tanam listrik, telepon dan sejenisnya; memasang dan atau memperbaiki kabel-kabel dan tiang-tiang listrik maupun kabel tanam listrik, telepon dan sejenisnya; menurunkan dan atau merubah bentuk/konstruksi trotoar harus mendapatkan izin lebih dahulu dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000 (Lima puluh ribu rupiah). Tetapi Peraturan Daerah No. 12 Tahun 1998 tersebut tidak berlaku secara efektif. Sebab di dalam Perda tersebut tidak terdapat ketentuan pendelegasian wewenang penegakan kepada Satuan Polisi Pamong Praja, selain ketentuan tentang wewenang penyidikan oleh penyidik pada umumnya dan penyidik pegawai negeri sipil. Selain itu, ancaman pidana kurungan dan denda yang sangat rendah sehingga pelaku pelanggaran lebih memilih membayar denda, dan dengan bebas dapat melakukan penggalian yang melanggar perda. Di situ tampak bahwa, kesadaran hukum pihak unit-unit kerja untuk mematuhi perda masih rendah dan kesadaran hukum masyarakat untuk turut mengawasi pelanggaran perda juga kurang.
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka, diidentifikasi permasalahan penelitian
sebagai berikut: a. Pemerintahan Kabupaten Badung tidak memiliki peraturan derah tentang penempatan jaringan utiltas terpadu, melainkan hanya Peraturan Daerah No. 12 Tahun 1998, yang tidak menentukan mengenai penempatan jaringan utilitas terpadu sehingga perlu pengaturan yang 6
jelas dan baik, untuk menjamin pengusahaan dan peruntukkannya tetap terjaga kondisinya dengan baik.
Dengan demikian, Peraturan Daerah No. 12 Tahun 1998 perlu dilakukan
perubahan guna menyesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan masyarakat. b. Perencanaan, pelaksanaan, dan penempatan jaringan utilitas dengan pemasangan kabel dan/atau pipa di dalam tanah atau di udara oleh unit-unit kerja dilakukan secara sektoral tanpa berkoordinasi sebelumnya, sehingga terjadi pelaksanaan kegiatan silih berganti dan tumpang tindih, bongkar pasang yang dapat mengganggu; merusak suatu jaringan yang sudah ada sebelumnya yang dimiliki oleh unit kerja lain, terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan; terdapat banyak kabel yang tidak beraturan yang mengganggu pemandangan dan estetika, bahkan mengganggu kenyamanan dan membahayakan keselamatan dan keamanan masyarakat, terutama pengguna jalan.
1.3
Tujuan dan Kegunaan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menghasilkan naskah akademik sebagai
landasan ilmiah dan akademis bagi perlunya pengaturan jaringan utilitas terpadu dengan menggunakan ruas jalan sebagai media penempatan jaringan utilitas terpadu. Sedangkan kegunaan penelitian adalah untuk menemukan perilaku bermasalah berkaitan dengan penempatan jaringan utilitas dan merekomendasikan upaya penyelesaian dalam bentuk materi muatan yang akan dituangkan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Jaringan Utilitas Terpadu.12 Selain itu, hasil penelitian ini sekaligus sebagai dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibahas bersama antara Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung.
1.4
Metode Penulisan Naskah Akademik Dalam Lampiran I UU Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa naskah akademik
dihasilkan dari suatu kegiatan penelitian hukum atau penelitian lain. Penelityian hukum yang digunakan terdiri dari penelitian hukum normative atau penelitian hukum empiris. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis empiris, yang disebut juga sebagai metode 12
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hlm. 177.
7
sosiolegal13 atau disebut juga penelitian hukum yuridis sosiologis14. Penelitian dimulai dengan melakukan penelitian normatif yaitu meneliti bahan hukum primer berupa peraturan perundangundangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pembangunan jaringan utilitas terpadu. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud misalnya UUD 1945, peraturan perundang-undangan mengenai jalan, air, telepon, listrik dan lain-lainnya. Selain itu diteliti pula bahan hukum sekunder berupa literatur dan bahan kepustakaan lainnya yang terkait dengan jaringan utilitas. Selanjutnya dilakukan penelitian lapangan untuk mendapatkan data non-hukum yang terkait, yakni mengenai respon masyarakat terhadap rencana pembentukan Peraturan Daerah tentang penempatan jaringan utilitas terpadu. Penelitian dilakukan dengan menyebarluaskan kuesioner terhadap responden di Kecamatan Mengwi, Kuta Utara, Kuta, dan Kuta Selatan. Data non hukum tersebut adalah data survey terhadap masyarakat disekitar pembangunan jaringan utiltas terpadu tersebut. Dari sepuluh (10) pertanyaan yang diberikan terdapat pengelompokan (variable) pertanyaan yang mengindikasikan: 1). Kondisi nyata tidak adanya koordinasi antar instansi dan adanya kesembrawutan pemasangan sarana utilitas, 2). Adanya kebutuhan dan harapan masyarakat terhadap jaringan utilitas, 3). Perencanaan, Pengawasan dan Pengendalian terhadap jaringan utilitas dan 4). Kebutuhan akan regulasi berupa Perda yang perlu disiapkan. Dari hasil pengolahan data didapatkan hasil bahwa masyarakat menyatakan setuju dan atau sangat setuju yang berjumlah 74,11%, 95.04%, 97,34% dan 96,79% terhadap masing-masing kelompok pertanyaan 1, 2, 3, dan 4. Selain itu digunakan pendekatan interdisiplin dan multidisiplin. Pendekatan interdisiplin dilakukan dengan pengkajian bidang-bidang hukum terkait dengan pembangunan jaringan utilitas terpadu, seperti Hukum Pemerintahan Daerah, Hukum Lingkungan, dan Hukum Administrasi Negara. Pendekatan multidislipiner dilakukan dengan mengkaji permasalahan hukum berdasarkan ilmu-ilmu yang terkait secara langsung dengan penempatan jaringan penyaluran air, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, dan trasportasi (jalan). Selain itu berkaitan pula dengan aspek teknik, lingkungan, dan pemerintahan.
13
Lihat Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undan-Undang, Rancanan Peraturan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 14 Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 46, 47.
8
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS 2.1
Kajian Teoritis
2.1.1 Jaringan Utilitas. Permen PU No. 20/Prt/M/2010 menentukan bahwa, utilitas adalah “fasilitas yang menyangkut kepentingan umum meliputi listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak, gas dan bahan bakar lainnya, sanitasi dan sejenisnya”. Kepentingan umum maksudnya adalah kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak atau bersama, dan/atau kepentingan pembangunan, termasuk diantaranya kegiatan Pemerintah Pusat atau Daerah (Penjelasan PP No. 27 Tahun 2014).
Utilitas merupakan fasilitas umum yang
menyangkut kepentingan masyarakat banyak yang mempunyai sifat pelayanan lokal maupun wilayah di luar bangunan pelengkap dan pelengkap jalan. Berdasarkan pengertian normatif dalam Permen PU tersebut di atas maka, utilitas meliputi: listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak, gas dan bahan bakar lainnya, sanitasi dan sejenisnya. Jaringan maksudnya adalah susunan komponen utilitas yang terhubung secara fungsional sehingga jelas awal dan akhirnya, serta faktor yang berpengaruh terhadap proses berlangsungnya fungsi utilitas tersebut15). Jaringan utilitas yang dimaksudkan di sini meliputi jaringan listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak, gas dan bahan bakar lainnya, sanitasi dan sejenisnya. Jaringan utilitas dapat berbentuk kabel, pipa, kabel dan/atau pipa. Jaringan listrik merupakan utilitas yang paling dominan karena membutuhkan ruang yang paling besar. Penempatan jaringan listrik ada dua macam yaitu jaringan kabel udara dan jaringan kabel tanam dengan kedalaman kurang dari 1 meter dari permukaan jalan. Jaringan listrik dibedakan atas: 1. Jaringan tegangan ekstra tinggi (500kV), merupakan jaringan listrik yang menghubungkan pembangkit listrik ke dan antar Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) sehingga jalur
15Diadaptasi
dari Ebta Setiawan, http://kbbi.web.id/jaring.,© 2012-2015 versi 1.4., diunduh Sabtu, 4 April 2015.
9
digunakan biasanya tidak mengikuti jalur jalan. Jaringan listrik tegangan tinggi lebih banyak menggunakan jaringan diatas tanah yang disebut dengan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Penempatan jaringan SUTET dibawah tanah akan sangat dihindari karena membutuhkan spesifikasi teknis yang sangat tinggi untuk menghindari resiko terhadap aktivitas manusia diatasnya maupun resiko terhadap jaringan lainnya. 2. Jaringan transmisi tegangan tinggi (150kV), jaringan listrik ini menguhubungkan pembangkit ke dan antar Gardu Induk(GI) dan lebih banyak menggunakan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT). Jaringan SUTT ini juga tidak mengikuti jalur jalan namun mengambil jarak terdekat. Dalam kondisi bahwa jaringan harus ditanam/diletakan dibawah tanah, maka spesifikasi teknis yang khusus harus diterapkan. 3. Jaringan distribusi tegangan menengah (20kV), jaringan listrik ini menghubungkan GI dengan pusat beban/konsumen (trafo distribusi). Jaringan ini banyak menggunakan saluran udara maupun saluran bawah tanah dan biasanya mengikuti jalur jalan karena pusat-pusat beban/konsumen berada di pinggir jalan. Jenis penghantar/kawat yang digunakan untuk saluran udara dan saluran bawah tanah berbeda dengan spesifikasi teknis yang berbeda pula. Untuk kawat yang digunakan untuk saluran udara biasanya berupa kawat telanjang/tanpa isolasi sedangkan yang ditanam harus mempunyai isolasi yang cukup untuk menjamin keamanan penyaluran dan keselamatan. 4. Jaringan sambungan rumah (SR) adalah jaringan listrik yang menghubungkan trafo menuju ke rumah-rumah konsumen yang berada didaerah jangkauan trafo.Jaringan listrik ini biasanya menggunkan kabel tertutup isolasi yang bisa ditaruh diatas tanah/udara maupun dibawah tanah. Jaringan Kabel Telekomunikasi (Telkom) ada yang berupa jaringan kabel udara, juga jaringan kabel tanam; ada pula jaringan kabel yang diletakan ke dalam saluran drainase. Jaringan Kabel Optik yang berupa jaringan kabel tanam dengan kedalaman kurang dari 1 meter dari permukaan jalan. Jaringan air bersih menggunakan pipa dengan diameter 1 inchi sampai dengan pipa 24 inchi sebagai pipa transmisi maupun pipa distribusi. Kedalaman penempatan pipa air bersih antara 1,2 meter sampai dengan 1,5 meter dari permukaan jalan.
10
Jaringan pipa sanitasi DSDP (Denpasar Sewerage Development Project) berupa pipa beton dengan diameter 200mm sampai dengan 800mm. Kedalaman pipa sanitasi bervariasi antara 1.5 meter sampai dengan 7 meter dari permukaan jalan Jaringan Distribusi Gas dan Bahan Bakar Lainnya adalah jaringan pipa untuk mengalirkan gas atau bahan bakar lainnya ke pelanggan. Dalam hal ini belum ada jaringan pipa gas di lokasi yang ditinjau. 2.1.2 Hak Penguasaan Negara Atas Jalan. UU No. 38 Tahun 2004 menentukan bahwa, Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Pengertian demkian dianut pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025) (selanjutnya disebut UU No. 22 Tahun 2009), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655) (PP No. 34 Tahun 2006), dan Permen PU No. 20/Prt/M/2010. Dalam pengertian jalan dalam UU No.38 Tahun 2004 tersebut tampak bahwa jalan memiliki bagian-bagian. Bagian-bagian jalan tersebut dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 11 bahwa, bagian-bagian jalan terdiri dari ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Sedangkan ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. Berdasarkan ketentuan Pasal 13, jalan dikuasai oleh Negara. Artinya bahwa jalan berada di bawah kekuasaan Negara. Penguasaan Negara tersebut memberi wewenang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan. Wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional, meliputi: pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan 11
meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. Sedangkan wewenang pemerintah kota sebatas penyelenggaraan jalan kota. Hak penguasaan jalan ada pada Negara bermakna bahwa, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, mempunyai hak menyelenggarakan jalan secara umum. Penyelenggaraan jalan harus menjamin terselenggaranya peranan jalan yang berdasarkan rencana tata ruang wilayah dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan atau keterhubungan dalam kawasan serta dilakukan secara konsepsional dan menyeluruh. Hak penguasaan Negara atas jalan bersumber dari UUD 1945 (Pasal 33 ayat 3). Hak menguasai tersebut dalam konteks hak dan kewajiban Negara sebagai pemilik yang bersifat sebagai badan hukum publik, bukan sebagai badan hukum privat. Negara sebagai pemilik berarti Negara memiliki wewenang sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan jalan.16 Dalam pemikiran barat, kekuasaan Negara tersebut digunakan sebagai alat untuk mencapai perkembangan individu sehingga perkembangan individu yang berkemampuan sepenuhnya sebagai dasar poltik dan hukum dari masyarakat modern. Gagasan demikian sudah ada sejak demokrasi Athena yang kemudian dikembangkan oleh John Locke dan diadopsi ke dalam deklarasi hak asasi manusia di Perancis dan konstitusi Amerika Serikat.17 Dengan demikian, Negara sebagai pemilik jalan berwenang mengelola dan memanfaatkan jalan untuk mengembangkan potensi individu sehingga memiliki kemampuan sepenuhnya untuk berkembang, dan pemanfaatan ruang milik jalan oleh pihak lain memerlukan izin dari Negara. 2.1.3 Penggunaan Jalan Dalam Penguasaan Pemerintah Kabupaten Badung Untuk Penempatan Jaringan Utilitas. Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap sarana utilitas memerlukan adanya keterpaduan perencanaan dalam penempatan jaringan utilitas di bawah tanah, di atas tanah dan di dalam laut yang diarahkan menggunakan sarana jaringan utilitas terpadu dengan memperhatikan kepentingan umum dan keserasian lingkungan. Sarana utilitas yang diperlukan tersebut antara lain: transportasi (jalan raya, jalan rel dan bandar udara); air bersih (penyediaan, termasuk dam, reservoir, transmisi, treatment, dan fasilitas distribusi); air limbah (pengumpulan, treatment, 16
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara atas Tanah, Cetakan 1, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm.
101. 17
W. Friedman, Legal Theory, terjemahan Muhammad Arifin: Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalahmasalah Komtemporer, (Jakarta: Raja Jaya Offset, 1990), hlm. 46.
12
pembuangan, dan sistem pemakaian kembali), listrik (produksi dan distribusi); perumahan, bangunan publik (antara lain: sekolah, rumah sakit, kantor polisi, fasilitas pemadam kebakaran); pengolahan gas alam, pengaturan banjir, drainase, dan irigasi; dan fasilitas publik lain. Kegiatan penempatan jaringan utilitas di bawah tanah, di atas tanah dan di dalam laut dapat menimbulkan akibat tertentu khususnya kemungkinan terjadinya kerusakan sararana dan prasarana kota milik instansi atau Pemerintah Daerah. Dalam konteks ini, penempatan jaringan utilitas dilakukan pada bagian-bagian jalan milik pemerintahan Kabupaten Badung. Pasal 46 PP No. 34 Tahun 2006 menentukan bahwa bagian-bagian jalan dapat dimanfaatkan untuk bangunan utilitas, penanaman pohon, dan prasarana moda transportasi lain. Penempatan bangunan utilitas dapat dilakukan pada tempat tertentu di ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan. Bangunan utilitas pada jaringan jalan di dalam kota dapat ditempatkan di dalam ruang manfaat jalan tetapi dengan ketentuan: a. yang berada di atas tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau trotoar sehingga tidak menimbulkan hambatan samping bagi pemakai jalan; atau b. yang berada di bawah tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau trotoar sehingga tidak mengganggu keamanan konstruksi jalan. Jarak tertentu tersebut di atas ditentukan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan Bangunan utilitas pada jaringan jalan di luar kota, dapat ditempatkan di dalam ruang milik jalan pada sisi terluar. Penempatan, pembuatan, dan pemasangan bangunan utilitas direncanakan dan dikerjakan sesuai dengan persyaratan teknis jalan yang ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan rencana kerja, jadwal kerja, dan cara-cara pengerjaan bangunan utilitas dimintakan persetujuan penyelenggara jalan sesuai kewenangannya. Selanjutnya, Permen PU No. 20/Prt/M/2010 menentukan bahwa, bangunan dan jaringan utilitas di bawah tanah harus diletakkan pada kedalaman paling sedikit 1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan jalan terendah pada daerah galian atau dari tanah dasar pada daerah timbunan. Sedangkan bangunan dan jaringan utilitas di atas tanah harus diletakkan pada ketinggian paling rendah 5 (lima) meter dari permukaan jalan tertinggi. Permukaan tanah pada lintasan bangunan dan jaringan utilitas yang ditempatkan di bawah tanah harus diberi tanda yang bersifat permanen.
13
2.1.4 Asas atau Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma. Asas-asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar atau fundamen hukum. Asas-asas ini dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum.18
J.J.H. Brugink menyatakan asas sebagai sejenis meta kaidah
berkenaan dengan kaidah perilaku. Asas hukum berlaku sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif 19. Dalam konsep negara hukum yang demokratis keberadaan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah dalam pembentukannya harus didasarkan pada beberapa asas untuk dapat menghasilkan peraturan daerah yang baik. Van der Vlies membedakan 2 (dua) kategori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van behoorlijk regelgeving), yaitu asas formal dan asas material.20 Asas-asas formal meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas (het beginsel van duidelijke doelstelling) 2. Asas lembaga yang tepat (het beginsel van het juiste orgaan) 3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheid beginsel) 4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid) 5. Asas Konsensus (het beginsel van de consensus) Asas tujuan yang jelas, terdiri atas tiga tingkat yaitu; kerangka kebijakan umum peraturan yang akan dibuat, tujuan tertentu dari peraturan yang akan dibuat dan tujuan dari berbagai bagian dalam peraturan. Asas organ atau lembaga yang tepat memberi penjelasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ atau lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Menurut Attamimi, mengenai lembaga atau organ yang tepat itu perlu dikaitkan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan karena menyatu dengan kewenangan masing-masing organ atau lembaga yang membentuk jenis peraturan perundangundangan yang bersangkutan, atau dapat juga sebaliknya, kewenangan masing-masing organ atau lembaga tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibentuknya.
18
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Jogyakarta: Kanisius,1995), hlm.81. J.J.H.Brugink, Refleksi Tentang Hukum, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.123,132-133. 20 Van der Vlies, Buku Pegangan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, diterjemahkan oleh Linus Doludjawa dari buku Handboek Wetgeving (Jakarta: Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan hak Asasi Manusia ), hlm. 258-280. 19
14
Asas perlunya pengaturan terkait dengan perlunya pengaturan untuk menyelesaikan suatu persoalan. Sedangkan asas dapat dilaksanakan, memuat jaminan bagi dapat dilaksanakannya sebuah peraturan. Asas Konsensus adalah asas yang memuat adanya konsensus antara para pihak dengan pemerintah mengenai pembuatan suatu peraturan beserta isinya. Asas-asas material meliputi asas: 1. Asas kejelasan Terminologi dan sistematika (het beginsel van de duiddelijke terminologie en duidelijke systematiek). 2. Asas kemudahan untuk dikenali (Het beginsel van den kenbaarheid). 3. Asas Kesamaan hukum (Het rechts gelijkheids beginsel). 4. Asas kepastian hukum (Het rechtszekerheids beginsel). 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (Het beginsel van de individuelerechtsbedeling) 21(Van der Vlies, -). Asas-asas tersebut bukan merupakan suatu norma hukum, tetapi merupakan pertimbangan etik yang dituangkan dalam norma hukum. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan ini penting untuk dipahami dan diterapkan, karena dapat terjadi pembentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan kepentingan sesaat, sesua dengan kepentingan politik tertentu, tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Pada prinsipnya asas pembentukan peraturan perundang-undangan sangat relevan dengan asas umum administrasi publik yang baik (general principles of good administration). Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Dalam penjelsan pasal tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus 21
Ibid, hlm.286-303.
15
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. “Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. “Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan perundang-undangan harus benar benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya yang dimaksud dengan “Asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. “Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya, dan “Asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, juga terdapat asas-asas terkait dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 6 UU No.12 Tahun 2011 yakni: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; 16
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam Penjelasan Pasal 6 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. “Asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. “Asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. “Asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. “Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Sedangkan “Asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. “Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Selain asas tersebut juga memperhatikan asas asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. 17
Dalam penyusunan rancangan peraturan daerah Kabupaten Badung mengenai penempatan jaringan utilitas terpadu maka asas-asas tersebut merupakan sesuatu keniscayaan; prinsip-prinsip yang sangat relevan untuk mengkaji pembentukan peraturan daerah dalam rangka mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan daerah. Peraturan Daerah sebagai salah satu jenis peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat, dalam pembentukannya juga harus memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (good legislation). Selain asas-asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan, terkait dengan penempatan jaringan utilitas pada ruang milik jalan juga berdasarkan asas-asas tertentu. Dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang jalan, ditentukan bahwa penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas: kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan. Asas kemanfaatan berkenaan dengan semua kegiatan penyelenggaraan jalan yang dapat memberikan nilai tambah yang sebesar-besarnya, baik bagi pemangku kepentingan (stakeholders) maupun bagi kepentingan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Asas keamanan berkenaan dengan semua kegiatan penyelenggaraan jalan yang harus memenuhi persyaratan keteknikan jalan, sedangkan asas keselamatan berkenaan dengan kondisi permukaan jalan dan kondisi geometrik jalan. Asas keserasian penyelenggaraan jalan berkenaan dengan keharmonisan lingkungan sekitarnya; asas keselarasan penyelenggaraan jalan berkenaan dengan keterpaduan sektor lain; dan asas keseimbangan penyelenggaraan jalan berkenaan dengan keseimbangan antarwilayah dan pengurangan kesenjangan sosial. Asas keadilan berkenaan dengan penyelenggaraan jalan termasuk jalan tol yang harus memberikan perlakuan yang sama terhadap semua pihak dan tidak mengarah kepada pemberian keuntungan terhadap pihak-pihak tertentu dengan cara atau alasan apapun. Asas transparansi berkenaan dengan penyelenggraan jalan yang prosesnya dapat diketahui masyarakat dan asas akuntabilitas berkenaan dengan hasil penyelenggaraan jalan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Asas keberdayagunaan berkenaan dengan penyelenggaraan jalan yang harus dilaksanakan berlandaskan pemanfaatan sumberdaya dan ruang yang optimal dan asas keberhasilgunaan berkenaan dengan pencapaian hasil sesuai dengan sasaran. Asas kebersamaan
18
dan kemitraan berkenaan dengan penyelenggaraan jalan yang melibatkan peran serta pemangku kepentingan melalui suatu hubungan kerja yang harmonis, setara, timbal balik, dan sinergis.
2.2
Kajian Empiris
2.2.1 Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembangunan jaringan di ruas jalan adalah tidak ada koordinasi dan tidak terpadunya penempatan jaringan-jaringan yang ada. Selama ini penyediaan dan pemasangan sarana jaringan utilitas seperti: air bersih, listrik, gas, saluran telekomunikasi, saluran limbah dilakukan oleh instansi unit kerja masing-masing sehingga pemasangan jaringan tidak pernah dalam periode yang sama dan terjadi tumpang tindih sehingga menyisakan bekas-bekas material dari galian-galian disepanjang ruas jalan. Seperti halnya jaringan listrik menjadi hal yang vital dalam sistem kelistrikan untuk menjamin tersalurkannya energi listrik ke konsumen yang ada. Pertumbuhan jumlah konsumen dan pertumbuhan kebutuhan konsumsi energi konsumen telah mengakibatkan pembangunan jaringan yang terus bertambah. Hal ini disebabkan karena penghantar/kabel yang telah dipasang sebelumnya sudah tidak mampu menyalurkan energi karena sudah melebihi kapasitasnya sehingga dibutuhkan penambahan jaringan. Pembangunan jaringan utilitas yang dilakukan tidak terpadu telah tampak nyata dengan adanya penempatan pipa, kabel serta pemancangan tiang dan adanya bongkar pasang pada ruang milik jalan telah lama menggangu ketertban dan kenyamanan lalu lintas. Karena sebagian wilayah Kabupaten Badung merupakan obyek pariwisata dan penyedia pelayanan pariwisata, jaringan kabel yang tidak tertata rapi telah lama juga mengganggu estetika dan memberikan pemandangan yang tidak baik. Makin banyaknya penghantar yang harus digelar dalam jaringan telah menyebabkan kesemrawutan yang mengganggu estetika sepanjang jalur yang dilalui. Kesemrawutan jaringan juga menyebabkan kesulitan pihak perusahaan listrik (PLN) untuk melakukan pemeliharaan. Sementara, masyarakat sangat membutuhkan pelayanan listrik, PDAM, telekomunikasi dan lainnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan. Pemerintah Kabupaten Badung memiliki inisiatif dan berinvestasi sangat mahal untuk membangun sarana jaringan utilitas untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan disediakannya jaringan utilitas oleh Pemerintah akan sangat membantu pihak unit-unit kerja seperti PLN, 19
PDAM, Telkom dan lainnya, khususnya untuk jaringan listrik PLN sepanjang syarat teknis terpenuhi seperti; jarak, jangkauan, inlet dan outlet, kelembaban, dan suhu. Pemerintah Kabupaten Badung telah merencanakan penempatan jaringan utilitas di bawah tanah, di atas tanah dan di dalam laut yang diarahkan menggunakan sarana jaringan utilitas terpadu dengan memperhatikan aspek kepentingan umum dan keserasian lingkungan. Pemanfaatan jaringan utilitas oleh unit-unit kerja (PLN, PDAM, Telkom, dsb.) akan memberikan keuntungan secara teknis kepada seluruh unit-unit kerja dengan biaya yang wajar. Di sisi lain Pemerintah Kabupaten Badung akan memperoleh pendapatan dari penggunaan jaringan utilitas oleh pihak PLN, PDAM, Teklom atau provider lainnya. 2.2.2 Implikasi Penempatan Jaringan Utilitas Terpadu Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Pemerintah Kabupaten Badung. 1. Implikasi Penempatan Jaringan Utilitas Terpadu Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Pengaturan jaringan utilitas terpadu oleh Pemerintah Kabupaten Badung merupakan kebutuhan mendesak untuk mewujudkan lingkungan jalan yang baik dan rapi. Tata kelola sarana-prasarana dan pemanfaatan jalan yang ada selama ini belum maksimal karena jaringanjaringan seperti listrik, PDAM, Telkom dan lainnya masih menggunakan metode jaringan yang relatif konvensional. Penataan diperlukan untuk memberikan keselamatan, kenyamanan jalan dan lingkungan sekitarnya. Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan penempatan jaringan utilitas terpadu sangat penting dilakukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat termasuk dalam hal pengendalian selama pembangunan. Oleh karena itu, implikasi dari rencana penempatan jaringan utilitas terpadu tersebut, Pemerintah Kabupaten Badung akan memulai perencanaan dengan terlebih dahulu membentuk PERDA yang akan mengatur mengenai jaringan utilitas terpadu. 1. Implikasi Penempatan Jaringan Utilitas Terpadu Terhadap Aspek Beban Keuangan Pemerintah Kabupaten Badung Perencanaan yang matang dan baik sangat mutlak diperlukan untuk mengatur penempatan serta pembangunan utilitas terpadu dimaksud. Dengan gambaran teknis dan non teknis akan dapat dianalisa estimasi biaya dan pembiayaan pembangunan secara menyeluruh 20
termasuk biaya-biaya sosial yang harus dihadapi karena pembangunan utilitas tersebut memerlukan koordinasi seluruh unit-unit kerja yang terlibat dan masyarakat pengguna fasilitas jaringan (pelanggan) serta pengguna jalan raya yang terkena pembangunan. Rencana pembangunan dengan berbagai aspek teknis dan non teknis perlu disosialisaikan kepada semua pihak yang berkepentingan kepada jaringan utilitas terpadu. Keberadaan sarana jaringan utlitas terpadu memerlukan pemeliharaan secara berkelanjutan sehingga dapat berfungsi optimal sesuai yang direncanakan. Ha itu harus direncanakan anggarannya di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Derah (APBD) setiap tahun. Dalam kaitan itu, pemerintah Kabupaten Badung sepatutnya mengadakan pembagian beban tanggung jawab dengan pihak-pihak unit kerja yang memanfaatkan fasilitas pemasangan jaringan utilitas terpadu tersebut. Pemerintah Kabupaten Badung dapat membebani biaya perizinan kepada pihak unit-unit kerja sebagai kompensasi atas pemanfaatan fasilitas pemasangan jaringan utilitas terpadu tersebut. Sebaliknya, pihak unit-unit kerja berhak atas fasilitas untuk pemasangan jaringan utilitas yang telah direncanakan.
21
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
3.1. Kondisi dan Status Hukum Peraturan Perundang-undangan yang Ada 1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD 1945. Di dalam UUD 1945 terdapat beberapa ketentuan yang menjadi legitimasi keberadaan Pemerintahan Daerah Kabupaten; inklusif Pemerintahan Daerah Kabupaten Badung sebagai salah satu wilayah dalam territorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 1 Ayat (1) menentukan bahwa, Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Para pendiri negara Republik Indonesia telah memilih susunan negara kesatuan berdasarkan pada semangat unitarisme yang ditempa oleh pengalaman sejarah melawan penjajahan oleh Portugis, Spanyol, Belanda, dan Jepang.22 Negara Kesatuan merupakan susunan negara yang paling kokoh; setiap daerah di wilayah negara tidak ada yang bersifat negara dan tidak mudah melepaskan diri secara politik dan yuridis kecuali, para pemimpin negara tidak mampu membangun dan memelihara semangat persatuan dan kaidah dasar negara atau terjadi kecelakaan sejarah yang menyebabkan satu atau lebih daerah melepaskan diri dan menjadi negara merdeka.23 Daerah NKRI diorganisasikan sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 18, sebagai berikut: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. (2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah. 22
Astim Riyanto, 2006; Negara Kesatuan Konsep, Asas, dan Aktualisasinya, Cetakan pertama, Lembaga Penerbitan Yayasan Pembangunan Indonesia, Bandung, hlm. 182. 23 Ibid. hlm. 186, 187.
22
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Pasal 18 tersebut menunjukkan bahwa daerah negara diorganisasikan atas daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota serta setiap daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di samping Kepala Daerah sebagai unsur pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah menyelenggarakan otonomi daerah sebagai urusan pemerintahan daerah. Untuk itu dibentuklah peraturan daerah, sesuai dengan hak yang diberikan oleh konstitusi. Pembentukan Perda dilakukan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan bersama DPRD. Dengan demikian, Pasal 18 UUD 1945 selain sebagai legitimasi eksistensi Pemerintahan Daerah Kabupaten Badung, juga sebagai justifikasi bagi Kepala Daerah dan DPRD untuk membentuk Perda. Tetapi, mengenai susunan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. 2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679). UU No. 9 Tahun 2015 merupakan UU organik tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 244 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5587). UU inilah yang dimaksudkan oleh ketentuan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945. Pada bagian Menimbang ditentukan arah penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
23
Pasal 2 menentukan bahwa Daerah Kabupaten merupakan bagian dari Daerah Provinsi, sehingga Kabupaten Badung merupakan salah satu bagian dari Daerah Provinsi Bali. Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau Desa. Kemudian Pasal 3 menentukan bahwa Daerah provinsi dan kabupaten/ kota merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah. Keberadaan Daerah provinsi dan kabupaten/kota dibentuk dengan undang-undang. Daerah Provinsi Bali dibentuk dengan UndangUndang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649). Sedangkan Daerah Kabupaten Badung dibentuk dengan Undang Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 No. 122 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1655). Pasal 236 menentukan bahwa, Daerah provinsi dan kabupaten/kota membentuk Perda untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan. Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah, yang memuat materi penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; dan dapat pula memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan yang dijalankan dalam rangka otonomi daerah oleh Pemerintahan kabupaten Badung ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Badung (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 4) (Perda Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008). Pasal 2 dan 3 menentukan terdapat sebanyak 31 (tiga puluh satu) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah Kabupaten Badung. Di antara semua urusan itu terdapat 26 (dua puluh enam) urusan wajib. Salah satu dari ke-26 (dua puluh enam) urusan tersebut adalah urusan pekerjaan umum. Dalam kaitan itu, Dinas Bina Marga dan Pengairan (BMAir) Kabupaten Badung berinisiatif mengajukan Ranperda Jaringan Utilitas Terpadu. Pasal 237 menentukan bahwa pembentukan Perda berdasarkan pada asas pembentukan dan asas materi muatan Perda yang ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011, dan asas hukum 24
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Perda dilakukan secara efektif dan efisien; melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda. Pasal 238 menentukan bahwa untuk penegakan/pelaksanaan, Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar; ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); ancaman pidana kurungan atau pidana denda lain; bahkan juga sanksi administratif. Sanksi administratif berupa: a. b. c. d. e. f. g. h.
teguran lisan; teguran tertulis; penghentian sementara kegiatan; penghentian tetap kegiatan; pencabutan sementara izin; pencabutan tetap izin; denda administratif; dan/atau sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Undang Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 No. 122 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1655). UU No. 69 Tahun 1958 sesungguhnya merupakan UU Darurat yaitu Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 89, 131, 132 dan 142 Undangundang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950. UU No. 69 Tahun 1958 dibentuk dengan pertimbangan yuridis dan sosiologis. Landasan yuridis pembentukan yaityu berlaku Undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (UU No. 1 Tahun 1957) untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sejak tanggal 18 Januari 1957, sehingga perlu segera dibentuk daerah-daerah berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (4) UU No. 1 Tahun 1957. Sedangkan landasan sosiologisnya yaitu adanya kehendak rakyat di daerah yang bersangkutan
25
bahwa sudah tiba saatnya untuk melaksanakan pembentukan Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Daerah-daerah tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pada diktum UU No. 69 Tahun 1958 dinyatakan membubarkan "Daerah Bali" sebagai salah satu dari 6 (enam) daerah dan Kepulauannya yang termaksud dalam pasal 14 ayat 1 sub 6, 7. 8, 9, 10 dan 11 dari Peraturan Pembentukan Negara Indonesia Timur (Staatsblad 1946 No. 143). Kemudian menetapkan pembentukan Daerah-daerah tingkat II pada daerah-daerah Swapraja dalam wilayah Daerah-daerah tingkat I Bali, dengan nama dan kedudukannya masingmasing yaitu: 1. Daerah tingkat II Buleleng di Singaraja; 2. Daerah tingkat II Jembrana di Negara; 3. Daerah tingkat II Badung di Den Pasar; 4. Daerah tingkat II Tabanan di Tabanan; 5. Daerah tingkat II Gianyar di Gianyar; 6. Daerah tingkat II Klungkung di Klungkung; 7. Daerah tingakt II Bangli di Bangli; 8. Daerah tingkat II Karangasem di Karangasem; Namun tempat kedudukan Pemerintahan Daerah Kabupaten Badung sudah berpindah ke wilayah Kecamatan Mengwi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2009 Tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung dari Wilayah Kota Denpasar ke Wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Provinsi Bali (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5081). Pemindahan tempat kedudukan pemerintahan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 69 Tahun 1958. Ayat (2) menentukan: Jika perkembangan keadaan di daerah menghendakinya, maka atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan setelah mendengar pertimbangan dari Dewan Pemerintah Daerah Tingkat I yang bersangkutan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri, tempat kedudukan Pemerintahan Daerah tersebut dalam ayat 1 pasal ini, dapat dipindahkan kelain tempat dalam wilayahnya masing-masing. Jadi, UU No. 69 Tahun 1958 merupakan landasan yuridis formal pembentukan Pemerintahan Daerah Kabupaten Badung; yang pada saat itu diberikan nama Daerah Tingkat II Badung berkedudukan di Denpasar; sehingga memiliki ligitimasi dalam menjalankan otonomi daerah dan
26
tugas pembantuan, antara lain melalui pembentukkan Ranperda Penempatan Jaringan Utilitas Terpadu. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2009 Tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung dari Wilayah Kota Denpasar ke Wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Provinsi Bali. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2009 (PP No. 67 Tahun 2009)
merupakan dasar hukum pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung dari Wilayah Kota
Denpasar ke Wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Provinsi Bali pada tanggal 16 Nopember 2009. Sejak saat itu Ibu Kota Kabupaten Badung ditetapkan dengan nama Mangupura. PP No. 67 Tahun 2009 menentukan Ibu Kota Kabupaten Badung berkedudukan di sebagian wilayah Kecamatan Mengwi, yang meliputi 9 (sembilan) desa/kelurahan yaitu: Desa Mengwi; Desa Gulingan; Desa Mengwitani; Desa Kekeran; Kelurahan Kapal; Kelurahan Abianbase; Kelurahan Lukluk; Kelurahan Sempidi; dan Kelurahan Sading. Selain itu ditentukan pula batas-batas Wilayah Mangupura sebagai berikut: a. sebelah utara berbatasan dengan Desa Werdhi Bhuana dan Desa Baha Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung; b. sebelah timur berbatasan dengan Desa Penarungan Kecamatan Mengwi dan Desa Darmasaba Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung; c. sebelah selatan berbatasan dengan Desa Buduk Kecamatan Mengwi, Desa Dalung Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung, dan Kota Denpasar; dan d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabanan. Dengan demikian, Pemerintahan Daerah Kabupaten Badung secara resmi memiliki yurisdiksi territorial pusat pemerintahan di Mangupura sehingga dapat menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya melalui pembentukan berbagai kebijakan public, di antaranya adalam membentuk Ranperda Penempatan Jaringan Utilitaas Terpadu. 5. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 12 Tahun 1998 tentang Penggalian Jalan, Merobah Trotoar, dan Pemancangan Tiang di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Tahun 1998 Nomor ….., Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor ….. ).
27
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 12 Tahun 1998 (Perda No. 12 Tahun 1998) dari segi Namanya yaitu “Penggalian Jalan, Merubah Trotoar, dan Pemancangan Tiang di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung” tampaknya memenuhi ketentuan perumusan Judul Perda yang ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011, tetapi tidak mecerminkan apa yang dimaksudkan oleh pembentuk Perda tersebut. Sebab pada Nama itu tidak jelas siapa subyek dan apa obyeknya sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah yang dimaksudkan dengan Penggalian Jalan, Merubah Trotoar, dan Pemancangan Tiang? Frase Penggalian Jalan dan Merubah Trotoar masih dapat dipahami, walaupun masi tmbul pertanyaan apakah penggalian jalanyang meliputi seluruh bagian-bagian jalan? Hal yang paling tidak jelas adalah mengenai pemancangan tiang; apakah yang dimaksudkan dengan tiang tersebut? Perda No. 12 Tahun 1998 dimasudkan untuk mengubah perilaku Unit Kerja dalam melakukan penggalian jalan, merobah trotoar, dan pemancangan tiang di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung agar tidak mengganggu keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan. Hal itu tampak dari pokok pikiran pertimbangan pembuatan Perda yang formulasikan di dalam bagian Menimbang huruf a, yaitu “penggalian jalan, merobah trotoar, dan pemancangan tiang di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung yang dilakukan oleh Unit Kerja dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan”. Namun di situ tidak dinyatakan dengan jelas perilaku bermasalah yang hendak diselesaikan melalui pengaturan dengan Perda tersebut. Konsideran tidak tegas menyatakan penggalian jalan, merobah trotoar, dan pemancangan tiang yang dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan. Selain itu, juga tidak jelas pokok-pokok pikiran filosofis ataukah sosiologis yang terdapat di dalam konsideran tersebut yang mejadi pertimbangan pembentukan Perda. Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 menerangkan ketentuan merumuskan materi muatan konsideran. Konsideran memuat pokok-pokok pikiran filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dirumuskan secara jelas dan tegas masing-masing dalam satu rangkaian kalimat, dan diletakan secara kronologis mulai dari pokok pikiran filosofis, kemudian pokok pikiran sosiologis, dan pokok pikiran yuridis. Konsideran dapat memuat hanya satu pertimbangan, jika Perda tersebut pembentukannya diperintahkan langsung oleh satu atau beberapa pasal peraturan perundang-undangan yang di atasnya, dengan menyebutkan secara tegas pasal atau pasal-pasal tersebut.
28
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 dapat diketahui bahwa penggalian jalan, merobah trotoar, dan pemancangan tiang yang dimaksudkan adalah yang dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan dan yang dilakukan tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung. Penggalian jalan, merobah trotoar, dan pemancangan tiang yang harus mendapatkan ijin tersebut meliputi: a. Pemasangan baru dan/atau perbaikan pipa-pipa air minum, pipa-pipa minyak dan gas serta pipa-pipa limbah, kabel tanam listrik. telpon dan sejenisnya. b. Memasang dan/atau memperbaiki kabel-kabel dan tiang-tiang listrik maupun kabel tanam listrik, telepon dan tiang-tiang listrik, telepon dan sejenisnya. c. Menurunkan dan/atau merubah bentuk/Konstrusi Trotoar. Unit Kerja yang akan penggalian jalan, merobah trotoar, dan pemancangan tiang harus mengajukan permohonan tertulis kepada Bupati Kepala Daerah Cq. Dinas Bina Marga dan Pengairan terlebih dahulu dengan melampirkan: Gambar Lokasi, Rencana Kerja, Rancana Anggaran Biaya, dan Pernyataan. Unit Kerja yang mendapatkan ijin untuk itu diwajibkan untuk: a. Memasang rambu-rambu atau tanda-tanda lain yang jelas akan adanya kegiatan sehingga tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas. b. Melaksanakan tugas secara konsepsional dengan tahap penggalian maksimal 100 meter. c. Menyerahkan jaminan pelaksanaan perbaikan sebelum dimulainya pekerjaannya yang nilainya minimal sama dengan akibat yang ditimbulkan. d. Segera memperbaiki bekas-bekas pekerjaan tersebut dengan mutu minimal seperti kondisi semula. e. Menanggung biaya atas perbaikan bekas-bekas galian. f. Menjaga kelestarian lingkungan. g. Melapor kepada Bupati Kepala Daerah Cq. Dinas Bina Marga dan Pengairan bahwa pelaksanaan perbaikan sudah diselesaikan. Unit Kerja yang mendapatkan ijin selain memikul berbagai kewajiban tersebut di atas juga bertanggung jawab apabila: a. Terjadi kerusakan yang timbul sebagai akibat adanya pelaksanaan pekerjaan. b. Terjadi kecelakaan atau kerusakan terhadap pemakaian jalan, orang, hewan dan kendaraan. c. di kemudian hari ada pekerjaan yang berhubungan dengan jalan, memindahkan instalasi yang terpasang dan menanggung biayanya.
29
Unit Kerja yang melanggar kewajiban dan tanggung jawab yang ditentuakan dalam ijin tersebut diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Dengan demikian, materi muatan Perda sangat limitatif, yakni terbatas pada mengubah perilaku Unit Kerja yang akan menggali jalan, mengubah trotoar dan memasang tiang supaya dilakukan secara tertib dengan memohon izin terlebih dahulu. Tetapi tidak dikehendaki adanya perubahan perilaku menuju koordinasi pelaksanaan kegiatan supaya dilakukan secara terpadu sehingga penggalian jalan, mengubah trotoar dan memasang tiang berlangsung tertib, tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan pengguna jalan. Di dalam Perda tidak ada norma yang menentukan keharusan adanya koordinasi atar-Unit Kerja jika akan menggali jalan, mengubah trotoar dan atau memasang tiang. Demikian pula tidak ada norma yang menentukan supaya pemerintah Kabupaten Badung mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Unit-unit Kerja. Deskripsi di atas menunjukkan bahwa Perda No. 12 Tahun 1998 mengandung permasalahan yang dapat mengakibatkan berlakunya tidak efektif. Permasalahan tampak dari segi bentuk dan teknik perundang-undangan, yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan seperti ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan Permendagri No. 1 Tahun 2014. Karena itu, Perda tersebut sebaiknya dicabut. Materi yang masih relevan diadaptasi ke dalam materi Ranperda yang baru disusun.
3.2. Harmonisasi Vertikal dan Horizontal Peraturan Perundang-undangan yang ada dengan Peraturan Daerah yang dibentuk Pembentukan Ranperda Utilitas Terpadu dilakukan di tengah eksisting peraturan perundang-undangan yang terkait. Karena itu, sesuai dengan ketentuan UU No. 9 Taun 2015, Ranperda yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan yang sedeajat. Jadi Ranperda yang akan dibentuk harus harmonis secara vertikal dan horizontal dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan yuridis materiil pembentukannya. Peraturan perundang-undangan terkait yang lebih tinggi dengan Ranperda yang akan dibentuk yaitu:
30
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154). 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 3230, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377). 3. UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444). 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025). 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052). 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). 8. Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia
Nomor
52
Tahun
2000
Tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980). 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490). 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655). 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan 31
Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). 12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285). 13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 75, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5530). 14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/Prt/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 713). 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 32 ). 16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 02/Prt/M/2014 Tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang Di Dalam Bumi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 268). 17. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 15). Peraturan perundang-undangan terkait yang sederajat dengan Ranperda yang akan dibentuk yaitu: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Badung (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 4) (Perda Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008). 2. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Badung Tahun 2005–2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 2);
32
3. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Badung Tahun 2010 – 2015 (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2014 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 9). 3.2.1 UU Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan PP Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. UU No. 36 Tahun 1999 dibentuk berdasarkan pertimbangan filosofis bahwa, penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antarbangsa. Dari segi sosiologis, pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi. Di dalam Batang Tubuh ditentukan bahwa, telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri (Pasal 2). Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi adalah untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa (Pasal 3) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi: penyelenggaraan jaringan telekomunikasi; jasa telekomunikasi; dan telekomunikasi khusus, dengan melindungi kepentingan dan keamanan negara; mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global; dilakukan secara professional; dapat dipertanggungjawabkan; dan peran serta masyarakat (Pasal 7). Penyelenggara telekomunikasi dalam membangun, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah Negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah; sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi dilaksanakan 33
setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 12). Selain itu, Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak (Pasal 13). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan PP No. 52 Tahun 2000. Pasal 6 menentukan bahwa penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi yang memenuhi ketentuan perundang-undangan. Pembangunan dan atau penyediaan jaringan telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis, yang diatur dengan Keputusan Menteri. Jadi jelaslah bahwa penyelenggarangan telekomunikasi melalui penyediaan jaringan telekomunikasi yang dapat dibangun di antaranya di dalam tanah atau di udara, termasuk tanah milik perseorangan setelah mendaatkan persetujuan antara para pihak. Pembangunan jaringan telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis yan ditentukan di dalam peraturan perundangundangan. 3.2.1 UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan PP Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Dalam Bagian Menimbang UU No. 7 Tahun 2004 dinyatakan latar belakang pembentukan bahwa, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras karena terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat. Karena itu, pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antar generasi. Selain itu, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air sesuai dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 40 UU No. 7 Tahun 2004 menentukan bahwa, pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum, yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum dilakukan oleh badan usaha milik negara (BUMN) dan/atau badan usaha milik daerah (BUMD). Selain BUMN dan BUMD, Koperasi, badan usaha swasta, dan 34
masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. Pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah dapat membentuk badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi sumber daya air. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM) diatur dalam PP No. 16 Tahun 2005. Dalam Pasal 5 ditentukan bahwa, SPAM dapat dilakukan melalui sistem jaringan perpipaan dan/atau bukan jaringan perpipaan. SPAM dengan jaringan perpipaan dapat meliputi unit air baku, unit produksi, unit distribusi, unit pelayanan, dan unit pengelolaan. Sedangkan SPAM bukan jaringan perpipaan dapat meliputi sumur dangkal, sumur pompa tangan, bak penampungan air hujan, terminal air, mobil tangki air, instalasi air kemasan, atau bangunan perlindungan mata air. Ketentuan teknis mengenai SPAM bukan jaringan perpipaan diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri. SPAM harus dikelola secara baik dan berkelanjutan. Unit pelayanan SPAM dengan jaringan perpipaan terdiri dari sambungan rumah, hidran umum, dan hidran kebakaran. Untuk mengukur besaran pelayanan pada sambungan rumah dan hidran umum harus dipasang alat ukur berupa meter air. Meter air wajib ditera secara berkala oleh instansi yang berwenang untuk menjamin keakurasiannya. Dengan demikian pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pengembangan sistem penyediaan air minum melalui BUMN dan/atau BUMD. Namun, Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum. SPAM dapat dilakukan melalui sistem jaringan perpipaan dan/atau bukan jaringan perpipaan dengan mengikuti ketentuan teknis di dalam praturan perundang=undangan. 3.2.3 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, Permen PU Nomor: 20/Prt/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan, Permen PU No. 02/Prt/M/2014 Tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang di dalam Bumi. UU No. 38 Tahun 2004 dibentuk dengan pertimbangan bahwa, jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan 35
bernegara, dalam pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan fungsi masyarakat serta dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD Tahun 1945. Jalan mempunyai peranan penting dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Untuk itu, pemerintah mempunyai hak dan kewajiban menyelenggarakan jalan. Namun agar penyelenggaraan jalan dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna, diperlukan keterlibatan masyarakat. Pasal 1, ayat (4) menentukan pengertian jalan secara otentik bahwa, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Dalam bagian-bagian selanjutnya ditentukan pengelompokan jalan berdasarkan fungsinya. Ada pula pengaturan pengelompokan jalan umum menurut statusnya jalan yaitu: jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa. Pasal 11 mengatur mengenai bagian-bagian jalan. Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan diatur dalam peraturan pemerintah. Penyelenggaraan jalan merupakan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya. Pemerintah berwenang melakukan penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional. Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Pemerintah Provinsi melakukan penyelenggaraan jalan provinsi meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan 36
jalan provinsi. Pemerintah Kabupaten menyelenggarakan jalan kabupaten dan jalan desa. Semenatara itu, Wewenang Pemerintah Kota adalah menyelenggarakan jalan kota. Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan menentukan bahwa, penyelenggara jalan umum wajib mengusahakan agar jalan dapat digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dengan mengusahakan agar biaya umum perjalanan menjadi serendah-rendahnya. Selain itu juga wajib mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah yang sudah berkembang agar pertumbuhannya tidak terhambat oleh kurang memadainya prasarana transportasi jalan, yang disusun dengan mempertimbangkan pelayanan kegiatan perkotaan; dan wajib memperhatikan bahwa jalan merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan. Permen PU No. 20/Prt/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan BagianBagian Jalan menentukan bahwa, pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagian–bagian jalan dimaksudkan untuk menjamin bahwa pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya, penggunaan ruang manfaat jalan yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan jembatan, serta penggunaan ruang pengawasan jalan dapat dilaksanakan secara tertib. Pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagian–bagian jalan bertujuan untuk pengamanan fungsi jalan, menjamin kelancaran dan keselamatan pengguna jalan, dan keamanan konstruksi jalan. Permen PU No. 02/Prt/M/2014 Tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang di dalam Bumi (RDB) menentukan bahwa, untuk mengatasi keterbatasan lahan di permukaan bumi, mewujudkan keterpaduan antar kegiatan, serta menjaga dan meningkatkan kualitas ruang dan kelestarian lingkungan diperlukan optimalisasi pemanfaatan ruang di dalam bumi berdasarkan prinsip efisiensi. Pemanfaatan RDB diklasifikasikan berdasarkan jenis fasilitas dan skala pelayanannya. Klasifikasi pemanfaatan berdasarkan jenis fasilitas terdiri atas: pemanfaatan RDB untuk bangunan gedung; sistem jaringan prasarana; fasilitas pertambangan; dan untuk fasilitas khusus. Jadi jelaslah bahwa penempatan jaringan utilitas dapat dilakukan di dalam ruang milik jalan, bahkan dengan memanfaatkan RDB. Namun tetap mengindahkan fungsi jalan, menjamin
37
kelancaran dan keselamatan pengguna jalan, dan keamanan konstruksi serta menjaga dan meningkatkan kualitas ruang dan kelestarian lingkungan. 3.2.4 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pokok-pokok pikiran dalam bagian Menimbang yang menunjukkan alasan pembentukan UU ini adalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UUD Tahun 1945. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah. Perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan Negara. Di dalam Batang Tubuh terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut. Tujuan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu: a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sedangkan Pemerintah melakukan pembinaan atas lalu linas dan angkutan jalan, meliputi: perencanaan; pengaturan; pengendalian; dan pengawasan. Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota; b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
38
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi. Sedangkan urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota; b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota. Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat secara terkoordinasi forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; yang beranggotakan unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat. Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan dengan berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota. Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
39
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota. Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan; dan daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi kendaraan bermotor. Pengelompokan jalan menurut kelas jalan terdiri atas: Jalan Kelas I, Kelas II, Kelas III; dan ada juga Jalan Kelas Khusus. Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: Rambu Lalu Lintas; Marka Jalan; Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; alat penerangan Jalan; alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; alat pengawasan dan pengamanan Jalan; fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan. Penyediaan perlengkapan Jalan diselenggarakan oleh: Pemerintah untuk jalan nasional; pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau badan usaha jalan tol untuk jalan tol. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan. Selain itu, juga dilarang setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan. Gayut dengan ketentuan tentang jalan, maka pemasangan jaringan utilitas dalam ruang milik jalan dapat dilakukan tetapi jangan sampai menimbulkan gangguan terhadap fungsi jalan dan fungsi perlengkapan jalan serta memperhatikan terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain. 3.2.5 UU No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, PP Nomor 23 Tahun 2014. Dalam Bagain Menimbang terkandung pokok-pokok pikiran yang menyatakan bahwa, tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional maka usaha penyediaan tenaga lishik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu. Penyediaan tenaga listrik 40
bersifat padat modal dan teknologi dan sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan demokratisasi dalam tatanan kehidupan berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik perlu ditingkatkan. Tenaga listrik selain bermanfaat, tetapi juga dapat membahayakan sehingga penyediaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan ketentuan keselamatan ketenagalistrikan. Di dalam Batang Tubuh ada ditentukan bahwa, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik, untuk kepentingan umum, berhak untuk: a. melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan; b. melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan; c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api; d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu; e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah; f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan g. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya. Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan haknya menggunakan tanah dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana diberikan untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah. Kompensasi diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik. Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat bagian-bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat.
41
PP Nomor 23 Tahun 2014 menentukan bahwa, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilaksanakan setelah mendapat izin usaha penyediaan tenaga listrik. Izin usaha penyediaan tenaga listrik diberikan oleh: a. Menteri untuk badan usaha yang: 1. wilayah usahanya lintas provinsi; 2. dilakukan oleh badan usaha milik negara; dan 3. menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang izinnya diberikan oleh Menteri. b. Gubernur untuk badan usaha yang: 1. wilayah usahanya lintas kabupaten/kota; dan 2. menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang izinnya diberikan oleh gubernur. c. Bupati/walikota untuk badan usaha yang: 1. wilayah usahanya dalam kabupaten/kota; dan 2. menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang izinnya diberikan oleh bupati/walikota. Penggunaan tanah oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan setelah memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman. Ganti rugi diberikan untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Dengan demikian, pemasangan jarinan utilitas kelistrikan untuk penyediaan tenaga listrik dapat melintasi sungai atau danau dan laut, melintasi jalan, menggunakan tanah, melintas di atas atau di bawah bangunan, masuk ke tempat umum atau perorangan serta dapat memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalangi. Namun hal itu harus dilakukan dengan seizing pihak yang berwenang dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3.2.6 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.
42
UU ini dibentuk berlandaskanpada pokok pikiran filosofis dan sosiologis, seperti terdapat pada Bagian Menimbang. Landasan filosofisnya adalah bahwa, lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945. Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan NKRI telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Landasan sosisologisnya adalah Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Di dalam batang tubuhnya ditentukan antara lain bahwa, setiap orang berhak: atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia; mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Selain itu, juga berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping memiliki hak, setiap orang juga berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Bahkan, terdapat pula ketentuan larangan. Setiap orang dilarang, antara lain melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau 43
c. penyampaian informasi dan/atau laporan. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan menentukan bahwa, setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan, yang diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi: penyusunan Amdal dan UKL-UPL; penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL; dan permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan. Pemegang Izin Lingkungan berkewajiban: a. menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam Izin Lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan c. menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 44
Peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup mengisyaratkan pemasangan jaringan utilitas jangan sampai mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Tatapi sebaliknya dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 3.2.7
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Permendagri No. 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. UU No. 12 Tahun 2011 dan Permendagri No. 1 Tahun 2014 merupakan instrument
Hukum Perundang-undangan yang mengantur mengenai pembentukan peraturan perundangundangan termasuk pembentukan peraturan daerah. Jenis, materi muatan, bentuk dan teknik penyusunan peraturan daerah ditentukan secara normatif di dalam kedua peraturan perundangundangan tersebut. Pasal 116 Permendagri No. 1 Tahun 2014 menentukan bawa, teknik penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dan penetapan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-
undang yang dimaksudkan adalah UU No. 12 Tahun 2011. Karena itu teknik penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pemasangan Utilitas Terpadu, baik mengenai Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011. 3.2.8 Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029. Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 menentukan bahwa,ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang bersifat terbatas dan tidak terperbaharui yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai satu kesatuan ruang dalam tatanan yang dinamis berlandaskan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana. Sementara itu, perkembangan jumlah penduduk yang membawa konsekuensi pada perkembangan di segala bidang kehidupan, memerlukan pengaturan tata ruang agar pemanfaatan dan penggunaan ruang dapat dilakukan secara maksimal berdasarkan nilai-nilai budaya. Penataan ruang wilayah provinsi bertujuan untuk mewujudkan: a. ruang wilayah provinsi yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjatidiri, berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana; b. keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 45
c. keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; d. keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang; Rencana tata ruang wialayah Provinsi Bali (RTRWP) mencakup ruang darat, ruang laut, dan
ruang
udara
termasuk
ruang
di
dalam
bumi
menurut
ketentuan
peraturan
perundangundangan. RTRWP secara administrasi terdiri dari 9 (sembilan) wilayah kabupaten/kota, mencakup: Kabupaten Jembrana; Kabupaten Tabanan; Kabupaten Badung; Kabupaten Gianyar; Kabupaten Klungkung; Kabupaten Bangli; Kabupaten Karangasem; Kabupaten Buleleng; dan Kota Denpasar. Pemasangan jaringan utilitas di Kabupaten Badung tunduk terhadap ketentuan RTRWP karena secara administratif wilayah Kabupaten Badung merupakan salah satu bagian dari ruang lingkup rencana tata ruang wilayah Provinsi Bali. 3.2.9
Perda Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Badung. Perda Kabupaten Badung No. 4 Tahun 2008 menentukan bahwa, Urusan Pemerintah
yang menjadi kewenangan Kabupaten Badung terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib merupakan urusan yang berhubungan dengan pelayanan dasar, meliputi bidang: pendidikan; kesehatan; lingkungan hidup; pekerjaan umum; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perumahan; kepemudaan dan olah raga; penanaman modal; koperasi dan usaha kecil dan menengah; kependudukan dan catatan sipil; ketenagakerjaan; ketahanan pangan; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; perhubungan; komunikasi dan informatika; pertanahan; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; pemberdayaan masyarakat desa; sosial; kebudayaan; statistik; kearsipan; dan perpustakaan. Jadi terdapat 26 jenis urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Badung. Urusan pilihan merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
46
unggulan daerah yang bersangkutan. Berdasarkan analisis terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mata pencaharian penduduk, pemanfaatan lahan dan pengembangan potensi yang ada di daerah, maka terdapat 6 (enam) urusan pilihan yang dilaksanakan oleh Pemerintah kabupaten Badung, yaitu: pariwisata; pertanian; perdagangan; industri; kehutanan; kelautan dan perikanan; energi dan sumber daya mineral; serta ketransmigrasian. Pemasangan jaringan utlitas di Kabupaten Badung tidak hanya merupakan bidang urusan wajib yang harus diselenggarakan, tetapi juga sangat relevan dan terintegrai dengan urusan pilihan yang mejadi kewenangan pemerintah Kabupaten Badung.
47
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS Peraturan Perundang-undangan harus bersifat dan berlaku umum, karena itu dalam pembentukannya harus memperhatikan landasan-landasan yang menjadi dasar bagi keberadaan dan kekuatannya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka suatu Peraturan Perundangundangan yang baik setidaknya memiliki tiga landasan, yakni landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis.24 Peraturan Daerah yang merupakan salah satu produk Peraturan Perundang-undangan daerah secara langsung juga wajib memiliki landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis dalam pembentukannya. Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis perlunya ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung mengenai Penempatan Jaringan Utilitas.
4.1.
Landasan Filosofis Landasan filosofis adalah pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan
suatu masalah ke dalam Peraturan Perundang-undangan.25 Ketentuan angka 19 Lampiran II UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pemahaman akan hal tersebut, maka bagi pembentukan/pembuatan hukum atau Peraturan Perundang-undangan di Indonesia harus berlandaskan pandangan filosofis Pancasila, yakni : 1.
Nilai-nilai religiuslitas bangsa Indonesia yang terangkum dalam Sila KeTuhanan Yang Maha Esa;
2.
Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
24
Hestu Cipto Handoyo, B., 2012, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik, Cet.V, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h.62. 25 Jazim Hamidi, dkk, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h.114.
48
3.
Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum nasional seperti yang terdapat dalam sila Persatuan Indonesia;
4.
Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan
5.
Nilai-nilai keadilan – baik individu maupun sosial – seperti yang tercantum dalam Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.26
Dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Badung mengenai penempatan jaringan utilitas, landasan filosofis yang sesuai untuk dijadikan dasar penyusunan diawali dengan melihat pada nilai-nilai yang terkandung dalam UUD Tahun 1945 sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat Indonesia. Dalam pembentukan Perda di Kabupaten Badung nilai-nilai tersebut dijabarkan kedalam visi dan misi Kabupaten Badung dalam penyelenggaraan pemerintahan. Visi Kabupaten Badung adalah Melangkah bersama membangun Badung berdasarkan “Trihita Karana” menuju masyarakat adil sejahtera dan ajeg, sedangkan misi Kabupaten Badung terbagi menjadi 3 bidang, yakni : 1.
Bidang Parahyangan Peningkatan srada dan bhakti Masyarakat terhadapa ajaran agama, serta peningkatan eksistensi adat budaya dalam rangka mengajegkan Bali di era kekinian.
2.
Bidang Pawongan -
Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Badung.
-
Menata sistem kependudukan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat
-
Meningkatkan
perekonomian
yang
berbasis
kerakyatan
dan
ditunjang
oleh
iklim kemitraan. -
Mewujudkan kepastian hukum serta menciptakan ketentraman & ketertiban masyarakat.
-
Mewujudkan kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance & Clean Government )
3. Bidang Pelemahan -
Memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah
-
Mewujudkan pembangunan yang selaras & seimbang sesuai fungsi wilayahnya
-
Melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.27
26 27
Hestu Cipto Handoyo, B,Op.Cit.,h.65-66 http://www.badungkab.go.id/index.php/profil/3/Visi-dan-Misi
49
Terkait dengan pengaturan mengenai penempatan jaringan utilitas terpadu, ditinjau dari Pembukaan UUD Tahun 1945 dan penjabaran visi dan misi Kabupaten Badung, dasar filosofif yang dijadikan dasar adalah tujuan memantapkan pelaksanaan otonomi daerah dengan mewujudkan kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance & Clean Government), Mewujudkan pembangunan yang serasi, selaras & seimbang sesuai fungsi wilayahnya, Melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, menjaga keamanan dan keselamatan warga masyarakat serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Badung.
4.2.
Landasan Sosiologis Berdasarkan Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 mengenai sistematika Naskah Akademik,
landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Dijelaskan juga bahwa landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum (termasuk Peraturan Perundang-Undangan) diantaranya adalah teori Pengakuan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Teori pengakuan tersebut menjabarkan bahwa kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.28 Landasan teoritis menyangkut landasan sosiologis bagi suatu Peraturan PerundangUndangan, Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa karakter produk hukum yang responsif/populis adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan yang besar dan partisipasi kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dalam hal ini penyusunan Peraturan Daerah, pertimbangan mengenai keadaan sosiologis masyarakat di tempat keberlakuan produk hukum itu menjadi sangat penting. Kondisi masyarakat Kabupaten Badung merupakan dasar pertimbangan sosiologis dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Badung.
28
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hil, Co, Jakarta, h.16
50
Kabupaten Badung adalah merupakan salah satu daerah pariwisata yang di Propinsi Bali dan merupakan wilayah yang mempunyai jumlah penduduk yang cukup padat dan heterogen dengan mobilitas yang cukup tinggi, karena itu untuk mewujudkan tercapainya pelayananan saranaprasarana terhadap semua hal tersebut, perlu memiliki peraturan daerah yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat.
4.3.
Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan landasan hukum( yuridische gelding) yang menjadi dasar
kewenangan (bevoegheid, competence) pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk Perda. Dalam Lampiran I UU NO. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, yang dimaksud dengan landasan yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi masalah hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Landasan yuridis dibedakan ke dalam landasan yuridis formal dan landasan yuridis material. Landasan yuridis formal melihat apakah pejabat atau badan mempunyai dasar hukum kewenangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Sedangkan landasan yuridis material menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu.29 Dengan demikian Perda agar dapat mengikat secara umum dan memiliki efektifitas serta diterima oleh masyarakat, maka dalam pembentukannya harus memenuhi beberapa persyaratan yuridis. Persyaratan yuridis yang harus dipenuhi adalah : 1.
Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang .
Rasjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung.h 43-45. 29
51
Jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka peraturan perundang-undangan tersebut akan batal demi hukum (van rechtswegenietig) sehingga peraturan perundang-undangan itu akan dianggap tidak ada dan segala akibatnya batal secara hukum. 2.
Adanya kesesuaian bentuk/jenis Peraturan Perundang-undangan dengan materi muatan yang akan diatur.
3.
Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan.
4.
Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.30 Terkait
pembentukan
Perda
penempatan
jaringan
utilitas,
maka
kewenangan
pembentukannya berdasarkan Pasal 236 ayat (2) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang ( Lembaran Negara RI Tahun 2015 Nomor 24, TLN RI No.5657) dan terakhir dengan UU No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara 2015 No.58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679). Dalam UU tersebut ditentukan bahwa Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Sebelum ditetapkan akan melalui prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan dalam
Peraturan Perundang-undangan serta akan didasarkan pada Peraturan
Perundang-undangan di atasnya yang terkait dengan pengaturan penempatan jaringan utilitas. Secara yuridis material, substansi peraturan daerah yang mengatur tentang penempatan jaringan utilitas secara terpadu di Kabupaten Badung selama ini belum ada, yang ada adalah Perda Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 12 Tahun 1998 tentang Penggalian Jalan, Merubah Trotoar dan Pemancangan Tiang di Wilayah Kabupaten daereh Tingkat II Badung, namun perda ini belum mengatur kebutuhan akan pengaturan jaringan utilitas secara terpadu. Berdasarkan pada hal tersebut maka Peraturan Daerah Kabupaten Badung mengenai Jaringan Utilitas Terpadu penting untuk dibentuk karena telah memenuhi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan Pembentukannya antara lain UUD Tahun 1945, UndangUndang Nomor 69 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah
30
Hestu Cipto Handoyo, B,Op.Cit.,h.75-b76
52
Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655), dan UU No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas UndangUndang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara 2015 No.58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679). Sedangkan landasan yuridis materialnya
mengacu
pada
peraturan
perundang-undangan
yang
menghendaki
diimplementasikan dengan peraturan daerah. Peratura perundang-undangan yang dimaksudkan sudah dideskripsikan pada sub bab 2 (dua) dalam Bab III di atas.
53
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANGLINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENEMPATAN JARINGAN UTILITAS TERPADU 5.1. Jangkauan Pengaturan Pengaturan penempatan jaringan utilitas yang akan disusun oleh pemerintah Kabupaten Badung perlu dituangkan kedalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pelaksanaan pembangunan dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat melalui pengelolaan penempatan jaringan utilitas secara terpadu sehingga dapat menghindari terjadinya tumpang tindih dalam perencanaan maupun pelaksanaaan
jaringan utilitas di Kabupaten
Badung. Undang – Undang No. 38 tahun 2004 tentang jalan menerangkan bahwa, jalan sebagai prasarana transportasi darat meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Status jalan dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa. Jalan memiliki bagian-bagian seperti ditentukan dalam Pasal 11 yakni: bagian ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan yang dimaksud adalah badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Pasal 16 dari Undang-Undang No. 38 tahun 2004 telah memberikan ruang dalam pengaturan pemanfaatan dan penggunaan bagian–bagian jalan kecuali bagian-bagian jalan tol meliputi: a. pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan selain peruntukannya meliputi bangunan dan jaringan utilitas, iklan, media informasi, bangun–bangunan, dan bangunan gedung di dalam ruang milik jalan; b. penggunaan ruang manfaat jalan yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan jembatan berupa muatan dan kendaraan dengan dimensi, muatan sumbu terberat dan/atau beban total melebihi standar; dan c. 54
Penggunaan ruang pengawasan jalan yang tidak mengganggu keselamatan pengguna jalan dan keamanan konstruksi jalan. Penempatan jaringan utilitas dapat memanfatkan bagian-bagian jalan. Bilamana perlu Pemerintah Kabupaten Badung dapat menggunakan ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 mengatur pula kewenangan penyelenggaraan jalan, seperti ditentukan dalam Pasal 14, yakni meliputi: pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan. Khusus untuk wewenang kabupaten, termasuk Pemerintah Kabupaten Badung, atas pemanfaatan jalan ditentukan dalam Pasal 16 bahwa wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. Dalam hal ini tampak lingkup kewenangan penyelenggaraan jalan meliputi jalan kabupaten dan jalan desa. Pengalihan penempatan jaringan utilitas pada ruas-ruas jalan diupayakan agar tidak menimbulkan terhadap lalu lintas dan angkutan jalan.
Undang-Undang No.22 tahun 2009
menekankan tujuan pengaturan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan adalah untuk: a). terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa, b). terwujudnya etika. berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c). terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Bilamana dalam pembangunan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung ternyata dalam hal pengaturan ruang lalu lintas terganggu dan tidak memungkinkan untuk menggunakan manajemen dan rekayasa lalu lintas maka alternatif pemilihan jalur jaringan utilitas yang direncanakan perlu direvisi. Pemilihan alternatif penempatan jaringan utilitas yang dimaksud mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 yang telah dideskripsikan di atas tentang Penataan Ruang, dimana arahan peraturan zonasi sistem yang diatur dalam wilayah provinsi dapat dijadikan referensi terkait indikasi arahan peraturan zonasi untuk struktur ruang, pola ruang, dan kawasan strategis yang terdiri atas: a) Sistem perkotaan; b) Sistem jaringan transportasi; c) Sistem jaringan energi; d) Sistem jaringan telekomunikasi; e) Sistem jaringan sumber daya air; Kawasan lindung; f) Kawasan budi daya; g) Kawasan strategis.
55
Dengan demikian jangkauan berlakunya Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Penempatan Jaringan Utilitas Terpadu yang akan dibentuk meliputi: a. pemasangan jaringan utilitas pada bagian-bagian jalan, di atas tanah, di dalam tanah dan di udara sepanjang jalan kabupaten dan jalan desa. b. pemasangan jaringan utilitas terpadu mencakup sistem perkotaan; sistem jaringan transportasi; sistem jaringan energi; sistem jaringan telekomunikasi; sistem jaringan sumber daya air; kawasan lindung; kawasan budi daya; dan kawasan strategis. c. pemasangan jaringan utilitas yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Badung dengan sarana pemasangan jaringan utilias terpadu berlaku di wilayah Kecamatan Kuta.
5.2. Arah Pengaturan Pembentukan rancangan peraturan daerah (Ranperda) ini menjadikan pemasangan jaringan utilitas terpadu sebagai sasaran yang hendak diatur. Ranperda ini diarahkan oleh landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofisnya yaitu tatanan nilai yang dijiwai oleh Pancasila dan Tri Hita Karana yang mencerminkan perikehidupan kebersamaan, keteraturan dan keharmonisan hubungan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga pemasangan jaringan utilitas pun sepatutnya dijiwai oleh tatanan nlai-nilai tersebut. Ladasan sosiologis yaitu kebutuhan hukum masyarakat Kabupaten Badung yang menuntut adanya jaminan ketertiban, kenyamanan dan keselamatan dalam berlalu lintas di jalan pada saat dilaksanakan pemasangan jaringan utilitas. Landasan yuridisnya adalah adanya permasalahan yuridis dalam pengaturan pemasangan jaringan utilitas. Perda No. 12 Tahun 1998 merupakan satu-satunya Perda yang berkaitan dengan pemasangan jaringan utilitas menemukan kendala dalam penerapannya. Kendala dari aspek substansi hukum yaitu materi muatan lemah karena hanya menekankan pada penggalian jalan, merubah trotoar dan pemancangan tiang di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Dalam Perda itu tidak ada ketentuan koordinasi dalam pemasangan jaringan utilitas. Selain itu, tindak pidananya adalah pelanggaran dengan ancaman pidana paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Ketentuan sanksi tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan, seperti yang ditentukan di dalam Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011. Ketentuan pidana dalam Perda berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 56
Sesuai dengan sasaran yang hendak diatur dan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis tersebut di atas, Ranperda ini diarahkan untuk: a. Menegakan hukum dalam pemasangan jaringan utilitas. Penegakan hukum berkaitan dengan koordinasi dalam pemasangan jaringan utilitas dilakukan melalui pemberian sanksi yang sesuai dengan tindak pidana yang dlakukan bagi unit-unit kerja yang dengan sengaja melanggar ketentuan peraturan pemasangan jaringan utilitas terpadu. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud koordinasi antara unit-unit kerja sehingga melakukan pemasangan jaringan utilitas secara terpadu. b. Keterpaduan dalam pemasangan jaringan utilitas. Upaya Pemerintah Kabupaten Badung untuk meningkatkan kesejahteraan dan peran serta masyarakat adalah dengan penataan dan reorganisir jaringan utilitas di atas dan di bawah badan jalan yang lebih tertib, terencana, terintergrasi, terukur penempatannya disebut dengan jaringan Utilitas Terpadu (JUT). Didifinisikan
sarana dan atau integrasi untuk terhadap perencanaan, penempatan dan
pelaksanaan jaringan utilitas terpadu diatas dan dibawah tanah. Prinsip jaringan utilitas terpadu adalah 1) Adanya intergrasi perencanaan, penempatan dan pelaksanaan jaringan utilitas baik diatas dan atau dibawah tanah dari berbagai instansi. 2) Setelah adanya Sistim Jaringan Utilitas terpadu yang dilaksanakan oleh Pemerintah kabupaten badung, semua utilitas diarahkan pada sistim Utilitas Terpadu. Untuk mencapai tujuan tersebut adalah menyamakan persepsi dan integrasi serta koordinasi inter dan antar instansi, maka : 1) Setiap Instansi diwajibkan menyampaikan program tahunan perencanaan dan kebutuhan penempatan utilitas yang meliputi lokasi jaringan dan kebutuhan, dimensi dan metode kerja kepada kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan 2) Penyampaian program tersebut adalah untuk menciptakan keterpaduan perencanaan penempatan jaringan utilitas dibawah atau dan diatas tanah. 3) Penempatan jaringan tersebut dengan menggunakan sarana jaringan utilitas terpada yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Badung 4) Untuk jaringan lama dan yang beru terpasang (investasi) dianggap sebagai jaringan utilitas sementara dan bila adanya pengembangan dan pasangan utilitas baru diarahkan menggunakan jaringan utilitas terpadu. 57
c. Mewujudkan ketertiban dan kenyamanan serta situasi kondusif dalam pemasangan jaringan utilitas di ruang milik jalan. Pemasangan jaringan utilitas yang dilakukan secara terpadu menjamin ketertiban, kenyamanan dan situasi kondusif sehingga lalu lintas dan angkutan jalan tidak terganggu sebagai salah satu potensi memberikan rasa nyaman dan aman bagi wisatawan yang berkunjung ke obyek-obyek wisata di wilayah Kabupaten Badung. d. Menentukan adanya pengawasan dan pembinaan dalam pemasangan jaringan utilitas. Pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh pihak otoritas yang berwenang, tetapi pengawasan dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat untuk mengawasi penegakan hukum Perda ini nanti adalah suatu keniscayaan dalam suatu Negara hukum yang demokratis. e. Memberikan jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum secara normatif dimaknai sebagai kepastian aturan hukum, dalam arti bahwa suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti karena pengaturan dilakukan secara jelas dan logis. Pengaturan secara jelas maksudnya bahwa tidak menimbulkan keragu-raguan, tidak bersifat multi-tafsir. Pengaturan secara logis artinyaperaturan perundang-undangan terebut menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Karena itu, pembentukan Perda Jaringan Utilitas Terpadu harus dilakukan secara jelas dan logis untuk memberikan kepastian hukum bagi unit-unit kerja yang akan melakukan pemasangan jaringan utilitas dan juga kepada masyarakat pada umumnya, khususnya pengguna jalan. Kepastian hukum dapat dimaknai lebih luas lagi, yakni kepastian terhadap yang sesuai dengan aturan hukum, kepastian perilaku terhadap hukum. Dalam hal ini kepastian hukum mengilustrasikan perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam bingkai yang sudah digariskan oleh aturan hukum.Peraturan perundang-undangan dientuk untuk menyelesaikan perilaku bermasalah yang ada dalam masyarakat.Perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat peraturan perundang-undangan.Karena itulah keberadaan NA suau keniscayaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yan dmaksudkan sebagai suatu pedoman untuk menghindari timbulnya dan menyelesaikan permasalahan. Pembentukan Perda Jaringan Utilitas Terpadu dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan yakni tidak adannya koordinasi dalam pemasangan jaringan utilitas oleh unit-unitkerja yang berekses sebagai perilaku bermasalah.Perda yang akan 58
terbentuk nanti sebagai pedoman pemasangan jaringan utlitas agar dilakukan secara terpadu sehingga terlaksana dengan tertib dantidak mengangu kelancaran dan kenyamanan lalu lintas serta tidak membahayakan keselamatan pegguna jalan.
5.3. Ruang Lingkup Materi Muatan Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 9 Tahun 2015 materi muatan Ranperda tentang jaringan utilitas terpadu merupakan salah satu urusan otonomi daerah, khususnya urusan pekerjaan umum untuk menciptakan tata kelola dalam pelaksanaan jaringan utilitas. Materi muatan Ranperda disusun dalam suatu sistematika seperti ditentukan di dalam UU No. 12 tahun 2011, sebagai berikut: 1.
Judul
: Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Jaringan utilitas Terpadu
2.
Pembukaan
: Frasa dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah. Menimbang. Mengingat. Diktum.
3.
Batang Tubuh yang direncanakan meliputi : BAB I
: KETENTUAN UMUM
BAB II
: PERENCANAAN PENEMPATAN JARINGAN UTILITAS
BAB III
: PELAKSANAAN PENEMPATAN JARINGAN UTILITAS
BAB IV
: PEMANFAATAN SARANA JARINGAN UTILITAS
BAB V
: PERIZINAN
BAB VI
: PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
BAB VII : SANKSI ADMINISTRASI BAB VIII :
KETENTUAN PIDANA
BAB IX
: PENYIDIKAN
BAB X
: KETENTUAN PERALIHAN
BAB XI
: KETENTUAN PENUTUP
59
BAB VI PENUTUP 6.1. Simpulan 1. Amanat Pembukaan UUD 1945, memajukan kesejahteraan umum menjiwai Visi dan Misi Pembangunan Daerah Kabupaten Badung Tahun 2005-2025 yang ditentukan dalam Perda No. 2 Tahun 2009 mewujudkan masyarakat Kabupaten Badung yang aman, tentram, rukun dan makmur berlandaskan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan serta mewujudkan sarana prasarana wilayah dan infrastruktur yang merata dan berkualitas; mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang mantap dan mampu bersaing di pasar bebas; dan mewujudkan lingkungan yang asri dan lestari. Namun pembangunan jaringan utilitas seperti air bersih, listrik, gas, saluran telekomunikasi, saluran limbah di ruas jalan oleh unit-unit kerja masing-masing tidak melalui koordinasi dan tidak terpadu sehingga pemasangan jaringan tidak pernah dalam periode yang
sama, tumpang tindih,
menyisakan bekas-bekas material galian disepanjang ruas jalan yang mengganggu kenyamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan serta dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan. 2. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jalan memberikan wewenang kepada Negara dan Daerah sebagai penyelenggaran jalan dapat mengijinkan pemanfaatan bagian-bagian jalan untuk pemasangan jaringan utilitas air bersih, listrik, gas, saluran telekomunikasi, saluran limbah dan lain-lain. Namun pembangunan jaringan utilitas tersebut dlakuka berdasarkan pada asas: kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, kebersamaan dan kemitraan serta keterpaduan. 3. Konstruksi dasar kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Jaringan Utilitas Terpadu meliputi: (a). Kewenangan berdasarka amanat Pasal 18 ayat (6) UUD 1945; (b). Pasal 236 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2015; (c). UU No. 69 Tahun 1958; (d). UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi; (e). UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (f). UU No. 38 Tahun 2004 tentang 60
Jalan; (g). UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; (h). UU No. 30 Tahun 209 Tentang Ketenagalistrikan; (j). UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (k). UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; (l). PP No. 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi; (m). PP No. 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum; (n). PP No. 34 Tahun 2000 Tentang Jalan; (n). PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; (o). PP No. 27 Tahun2012 Tentang Izin Lingkungan; (p). PP No. 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik; (q). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 20/Prt/M/2010 Tentang Pedoman Pemanfaatan Dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan; (r). Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Produk Hukum Daerah; (s). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 02/Prt/M/2014 Tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang Di Dalam Bumi; (t). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029; (u). Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Badung; (v). Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Badung Tahun 2005–2025; (w). Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033; (x). Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Badung Tahun 2010 – 2015. 4. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Jaringan Utilitas Terpadu berlandaskan pada pokok-pokok pikiran filosofis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofis: nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, visi dan misi Kabupaten Badung dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah melangkah bersama membangun Badung berdasarkan “Trihita Karana” menuju masyarakat adil sejahtera dan ajeg, sedangkan misi Kabupaten Badung. Landasan sosiologis: kebutuhan hukum masyarakat Kabupaten Badung menghendaki adanya jaminan hukum atas kenyamanan, ketertiban, dan 61
keselamatan dalam berlalu lintas serta keserasian, estetika dalam pemasangan jaringan utilitas. Landasan yuridis: Tidak adanya norma hukum yang mengatur koordiasi pemasangan jaringan utilitas, dan Perda Kabupaten Badung No. 12 Tahun 1998 tidak efektif berlakunya dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan. 5. Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Jaringan Utilitas Terpadu yang akan dibentuk mencakup materi muatan: (a). Ketentuan Umum memua rumusan akademik batasan pengertian istilah, kata, dan frasa; serta singkatan dan akronim; (b). materi pokok yang diatur meliputi:
Perencanaan Penempatan Jaringan Utilitas, Pelaksanaan
Penempatan Jaringan Utilitas,
Pemanfaatan Sarana Jaringan Utilitas, Perizinan;
Pengawasan Dan Pengendalian, Sanksi Administrasi, Ketentuan Pidana, Penyidikan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
6.2. Saran 1. Amanat Pembukaan UUD 1945, Visi dan Misi Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung serta kondisi riil pemasangan jaringan utilitas yang dilakukan tanpa koordinasi perlu ditindaklanjuti dengan membentuk Peratura Daerah tentang jaringan utilitas terpadu. 2. Rancangan Peratura Daerah Kabupaten Badung tentang Jaringan Utilitas Terpadu perlu segera disusun dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung untuk dilakukan pembahasan bersama.
62
DAFTAR BACAAN Anonim, http://www.badungkab.go.id. _______, http://www.badungkab.go.id/index.php/profil/3/Visi-dan-Misi. Astim Riyanto, Negara Kesatuan Konsep, Asas, dan Aktualisasinya, Cetakan pertama, Lembaga Penerbitan Yayasan Pembangunan Indonesia, Bandung, 2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Statistik Penduduk, http://badungkab.bps.go.id/web5103/frontend/linkTabelStatis/view/id/21, diunduh Sabtu, 4 April 2014. _______, Badung dalam Angka 2014, http://badungkab.bps.go.id/web5103/frontend/index.php, diunduh Sabtu, 4 April 2014. _______, Statistik Jalan, http://badungkab.bps.go.id/web5103/frontend/linkTabelStatis/view/id/10, diunduh Sabtu, 4 April 2014. Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hil, Co, Jakarta, 1992. Bali Post 2012; Bali Post 2013; Bali Post 2013. B.
Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008.
Ebta Setiawan, http://kbbi.web.id/jaring.,© 2012-2015 versi 1.4., diunduh Sabtu, 4 April 2015. Jazim Hamidi, dkk, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008. J.J.H.Brugink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Purwadi, E. (2009). "Pelaksana Pemasangan Utilitas Dapat Dipidanakan." http://umum.kompasiana.com/2009/07/31/pelaksana-pemasangan-utilitas-dapatdipidanakan-9430.html., diunduh Sabtu, 4 April 2015.
from
Rasjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 1998. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jogyakarta: Kanisius,1995.
63
Wikipedia, Infrastruktur, http://id.wikipedia.org/wiki/Infrastruktur, diunduh Sabtu, 3 April 2015. Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara atas Tanah, Cetakan 1, Yogyakarta: Total Media, 2009. W. Friedman, Legal Theory, terjemahan Muhammad Arifin: Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-masalah Komtemporer, Jakarta: Raja Jaya Offset, 1990. Van der Vlies, Buku Pegangan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, diterjemahkan oleh Linus Doludjawa dari buku Handboek Wetgeving, Jakarta: Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan hak Asasi Manusia.
64
LAMPIRAN
65
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS HUKUM Kampus Bukit Bukit Jimbaran 80361 Bali – Indonesia Tlp. (0361) 7012797 Ext. 237.701807 (langsung)
Kampus Denpasar Jln. Bali 1 Denpasar 80114 Bali – Indonesia Tlp. (0361) 222666 Fax. (0361) 234888 Email:
[email protected]
FAKULTAS HUKUM
Web.: fl.unud.ac.id.
CURICULUM VITAE
Identitas Nama Lengkap: I Nengah Suantra, S.H., MH NIP: 19561231 198403 1 011 Tempat / Tgl. Lahir: Klungkung, 31 Desember 1956 Jenis Kelamin : Laki Pekerjaan: PNS – Dosen Fakultas Hukum UNUD Pangkat / Gol: Pembina Utama Muda / IVc, TMT: 1-10-2007 Jabatan Fungsional : Lektor Kepala Alamat Kantor : Jalan Bali No. 1 Denpasar Bali; Tlp. (0361) 222666 Alamat: Jl. Gunung Patuha V / 11 A Denpasar, Bali, Telp. (0361) 482675, Kode Pos 80119. E-mail
[email protected] ,
[email protected]. ,
[email protected]
Riwayat Pendidikan PENDIDIK AN SD SMP SMA S1 S2
TEMPAT SD Negeri No. 2 Pekutatan, di Pekutatan, Membrana, Bali SMP Dewantara Dawan, di Dawan, Klungkung, Bali SMA Negeri Klungkung, di Klungkung, Bali Fakultas Hukum UNUD Denpasar, Bali Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali
TAHUN LULUS 3 – 7 - 1970
JURUSAN/ PROGRAM STUDI -
20 – 11 - 972
-
9 – 12 - 1975
Sastra Sosial
13 – 3 - 1982.
Ilmu Hukum, Hukum Tata Negara Ilmu Hukum, Hukum Pemerintahan
27 – 8 -2005.
Riwayat Pekerjaan NO
JABATAN
WAKTU
1
Ketua Lab Pengkajian Konstitusi FH UNUD
21 Maret 1989 – 21 Maret 1990.
66
2
Sekretaris Jurusan HTN FH UNUD
1 Desember 1990 – 2 Agustus 1993
3
Ketua Bagian HTN FH UNUD
2 Agustus 1993 – 3 September 1997
4
Pembantu Dekan III FH UNUD
13 Agustus 1998 – 13 Agustus 2002
5
Sekretaris Unit Penjaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas Udayana (UPMFH UNUD)
6
Project Management Team NPT Project Nuffic IDN 223
2 Nopember 2006: 2006-2008; 5 Januari 2009: 2009-2011; 6 Maret 2013: 20132015 10 Oktober 2007 – 2012
7
Ketua Bagian Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
22 Nopember 2010 – 22 Nopember 2014.
8
Ketua Unit Penjaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas Udayana (UPMFH UNUD)
24 Maret 2015-24 Maret 2019. Kep Rektor UNUD No. 100/UN14.1.11/KP/2015: Susunan Personalia UPM FH UNUD Periode 2015-2019.
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat ( tiga tahun terakhir ) NO
KEGIATAN
WAKTU
1
Tenaga Ahli DPRD Kabupaten Klungkung Srt. Sekretaris DPRD Kab. Klungkung No : 900/261/Setwan Tgl. 12 Mei 2011 Konsultan Hukum: Implementasi Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Tentang Pajak Hotel. Dibiayai dari Dana DIPA FH Unud Tahun 2012. Konsultan Hukum: Adaptasi Teknik Penyusunan Peraturan Perundangundangan dalam Penulisan Awig-awig Banjar Pakraman Sanga Agung, Desa Pakraman Denpasar. Dibiayai dari Dana DIPA FH Unud Tahun 2012. Narasumber dalam Bimbingan Teknis Penyusunan Produk Hukum Daerah Kota Denpasar Tahun 2013. Pembahas Draft Ranperda Kawasan Tanpa Rokok di Kota Denpasar.
2011/2012
Narasumber dalam Bimbingan Teknis Pemahaman dan Pemajuan HAM di Kota Denpasar Tahun 2013: “Pelanggaran HAM dalam Kasus KDRT” Surat Kepala Badan Kesbangpol Kota Denpasar No. 086/1136/BKP, perihal Narasumber, Tgl. 12 Agustus 2013. Pembahas Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Pendidikan. Surat Tugas Pembantu Dekan II a.n Dekan No. 1719/UN.14.1.11. II/KP/2013. Tgl. 1 Oktober 2013. Tenaga Ahli DPRD Kabupaten Klungkung. Keputusan Bukati Klungkung No : 54/02/2014 Tgl. 9 Januari 2014 Tenaga Ahli Bidang Hukum Kabupaten Badung. Keputusan Bupati Badung No. 86/01/HK/2014. Tgl. 8 Januari 2014
Selasa-Rabu, 20-21 Agustus 2013.
2
3
4 5 6
7
8
9
67
Maret 2012
Oktober 2012
16 April 2013 10 Mei 2013
Kamis, 3 Oktober 2013.
2 Januari 2014-2 Januari 2015. 2 Januari 2014-2 Januari 2015.
10
11
12
13
14 15
16
Pembahas Rancangan Peraturan Walikota Denpasar tentang Dewan Pengawas pada Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya. Surat Tugas Pembantu Dekan II a.n Dekan No. 62/UN.14.1.11.II/KP/2013. Tgl. 16 Januari 2014. Narasumber dalam Bimbingan Teknis Penguatan Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat DPRD Probolinggo dalam Menunjang Kinerja Anggota DPRD Periode 2014-2019: “Proses dan Teknik Penyusunan Produk Hukum Daerah Serta Pentingnya Penyusunan Draft Akademik Peraturan Daerah”. Surat Ketua Local Autonomy Institute Indonesia (LA2I) No. 010B/Sekr-LA2I/I/2014, Perihal: Permohonan Sebagai Narasumber, Tg. 08 Januari 2014. Pengawas UN SMA/MA, SMK dan Program Paket C Kejuruan Provinsi Bali. Keputusan Rektor UNUD No. 1413/UN14/KS/2014 Tgl. 26 Maret 2014 dan Surat Tugas Rektor UNUD No. 1414/UN14/KS/2014. Tgl 26 Maret 2014. SMA Muhamadyah 1 Denpasar, Jln Batanta Denpasar. Konsultasi hukum: Teknik Pembentukkan Ranperda Kabupaten Badung Tahun 2014 Tentang RDTR dan Peraturan Zonasi Kecamatan Kuta Selatan. Konsultasi hukum: Teknik Pembentukkan Ranperda Kabupaten Badung Tahun 2014 Tentang Penamaan Jalan. Tim Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Klungkung. Keputusan Sekretaris DPRD Kabupaten Klungkung Nomor 02/SETWAN/2015; Tanggal 14 Januari 2015. Tenaga Ahli Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah Utilitas Terpadu di Kabupaten Badung Tahun 2015. Keputusan Bupati Badung Nomor 720/02/HK/2015; Tanggal 24 Pebruari 2015.
Senin-Jumat, 20-24 Januari 2014.
Selasa, 21 Januari 2014.
Senin-Rabu, 14-16 April 2014.
Mangupura, 25 September 2014. Mangupura, 15 September 2014. 2 Januari 2015 - 2 Januari 2016 2 Januari 2015
Kegiatan dalam Penelitian ( tiga tahun terakhir ) NO
JUDUL PENELITIAN/KEGIATAN
WAKTU
1
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Dalam Melestraikan Rumah Tradisional Unutuk Menunjang Kepariwisataan Di Bali, Jurnal Kertha Patrika FH Unud, ISSN 0215-899 X, Vol. 37, No. 2 Januari 2012 Penerbit FH Unud. Eksistensi Peraturan Desa (PERDES) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Kajian Terhadap PERDES Kabupaten Badung), Dibiayai oleh Dana DIPA FH Unud Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 Tahun 2005TentangPersyaratan Arsitektur Bangunan Gedung pada Pembangunan Rumah Non-Tradisional oleh Pengembang di Kota Denpasar. Dibiayai oleh Dana DIPA FH Unud 2012. Aspek Hak Asasi Manusia Dalam Status Kewarganegaraan Ganda Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Campuran. Pencabutan Paksa Status Kewarganegraan Indonesia dalam UU N. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Reublik Indnesia.
Januari 2012
2
3
4 5
68
Oktober 2012
Oktober 2013
Oktober 2013 September 2014
6
Problematika Peraturan Daerah Kabupaten Badung di Bidang Perizinan.
Otober 2014
Kegiatan Pelatihan yang pernah diikuti ( tiga tahun terakhir ) NO
JENIS PELATIHAN
WAKTU
1
Simulasi Pengisian Evaluasi Mutu Internal (EMI). Surat Tugas Dekan FH UNUD No. No. 1294/UN.14.1.11/KP/2013. Tgl. 26 Juli 2013. Training of Trainer (TOT) Reviewer Pengabdian Kepada Masyarakat Lembaga Penelitia dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana. Pelatihan Keterampilan Tutor Bagi Dosen Fakultas Hukum UNiversitas Udayana dalam Proses Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kometensi.
Senin, 29 Juli 2013.
2
3
Denpasar, Selasa 18 Februari 2014. Denpasar, 17-21 Juli 2014.
Pertemuan Ilmiah/Seminar yang pernah diikuti (tiga tahun terakhir) NO
TEMA/TOPIK
TEMPAT DAN WAKTU
1
Pemakalah dalam Seminar Nasional “Mewujudkan Sistem Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” Nara sumber Dalam Pemasyarakatan Pancasila di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pemakalah dalam Bintek Kegiatan Peningkatan Pemahaman dan Pemajuan HAM di Kota Denpasar Tahun 2013. Peserta Seminar Nasional Perguruan Tinggi Negeri/Swasta SeIndonesia “Prblematika Implementasi Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM): Tinjauan dari Berbagai Perspektif. Peserta dalam Musyawarah Penyusunan Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Fakultas Hukum Universitas Udayana. Moderator dalam Kuliah Umum ”Leadership Mentoring”
5 Juni 2013
Pemakalah dalam Sosialisasi Revisi Dokumen, Tracer Study dan Monev Proses Pembelajaran Unit Penjamina Mutu Fakultas Hukum Universitas Udayana. Peserta dalam Ceramah oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah onstitusi RI: Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu. Ketua Panitia Kompetisi Debat Konstitusi Mahasiswa Anta Perguruan Tinggi se-Indonesia Tahun 2014 Regional Timur. Ketua Panitia Seminar Nasional “Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasl Pemilihan Umum Legislatif Taun 2014. Moderator Diskusi Publik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana ”Undang-Undang Desa Solusikah?” Juri dalam Loma Pidato Konstitusi Tingkat Perguruan Tinggi seBali Tahun 2014, Kerjasama Fakultas Hkum Universitas Udayana dan Mahkamah onstitusi RI.
Denpasar, Selasa 4 Maret 2014.
2 3 4
5 6 7
8
9 10 11 12
69
18 Juli 2013 20 Agustus 2013 Surabaya, 29 Januari 2014.
Denpasar, 6 Februari 2014. Denpasar, 26 Februari 2014
Denpasar, 6 April 2014.
Denpasar, 5-7 April 2014. Denpasar, 8 April 2014. Denpasar, 10 Mei 2014. Denpasar, 2-3 September 2014.
13
14 15 16
16
Moderator Bedah Buku “Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hukum Hak-hak Konstitusional Warga Negara” dan “Perlindungan Hukum Karya Cipta Dongeng dan Payas Bali dalam Diensi Intangible Asset Bidang Pengetahuan Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)”. Moderator Seminar Nasional “Diaspora dan Dinamika Konsep Kewarganegaraan di Indonesia” Pembicara dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Narasumber dalam Workshop Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana: Pembuatan Silabus dan SAP Klinik Hukum Model Dikti. Surat Undangan dari Dekan FH UNUD No. 692/ UN14.1.11/TU/2015; Tanggal 6April 2015. Moderator Seminar Nasional dan Forum Diskusi Mahasiswa Menyonsong Pemilu Kada Serentak 2015, Problematika dan Peluang Pemilu Kada Serentak Dalam Bingkai Demokrasi Indonesia. Sertifikat No. 11/KP_SEMINAR NASIONAL/BEMFH/UNUD/XI/2015
Denpasar, 20 Oktober 2014 I Nengah Suantra, S.H., M.H. NIP.19561231 198403 1 011
70
Denpasar, 4 September 2014.
Denpasar, Selasa, 14 Oktobe 2014. Denpasar, Kamis 4 Desember 2014. Senin – Rabu, 13, 14, 15 April 2015.
Denpasar, 1 Desember 2015. 08.30-15.00 WITA