TESIS
ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ANTIRETROVIRAL THERAPY BAGI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN BADUNG
I MADE SUGIANA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ANTIRETROVIRAL THERAPY BAGI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN BADUNG
I MADE SUGIANA NIM 1392161021
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ANTIRETROVIRAL THERAPY BAGI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN BADUNG
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
I MADE SUGIANA NIM 1392161021
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL: 5 JUNI 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.dr.Dyah Pradnya Paramita D, MSi NIP 19580704198703001
dr. I Nyoman Sutarsa, MPH NIP 198404122008121002
Mengetahui
Ketua Program Studi IKM Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH NIP 194810101977021001
Prof. Dr. dr. AA. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal: 1 Juni 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 1475/UN 14.4/HK/2015 Tanggal 1 Juni 2015
Ketua
: Dr.dr. Dyah Pradnya Paramita Duarsa, MSi
Anggota
:
1. dr. I Nyoman Sutarsa, MPH 2. Prof.Dr.dr.Mangku Karmaya, M.Kes.Repro 3. Prof.Dr.dr. Tuti Parwati Merati, SpPD 4. Dr. I Putu Ganda Wijaya, S.Sos, MM
iv
Surat Pernyataan Bebas Plagiat
NAMA
: I Made Sugiana
NIM
: 1392161021
Porgram Studi
: Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis
: ANALISIS KESIAPAN, DUKUNGAN DAN HAMBATAN LAYANAN
PUSKESMAS
ANTIRETROVIRAL
THERAPY
SEBAGAI
SATELIT
BAGI ORANG
DENGAN
HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN BADUNG Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI Nomor: 17 Tahun 2010 dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Denpasar, 1 Juni 2015
I Made Sugiana NIM. 1392161021
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nyalah tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan prasyarat untuk mendapatkan gelar magister pada program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Msi sebagai Pembimbing I yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dr. I Nyoman Sutarsa, MPH sebagai Pembimbing II dengan penuh perhatian memberikan bimbingan, masukan dan saran kepada penulis. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Strata 2 Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat dan selaku dosen yang selalu membimbing mahasiswa dalam kuliah metodologi penelitian, serta kepada Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, selaku pembimbing akademis penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis, yaitu Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro, PA(K) selaku penguji I, Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD (K) selaku penguji II, serta kepada Dr. I Putu Ganda Wijaya, S.Sos, MM selaku penguji III yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan secara tulus disertai penghargaan kepada seluruh dosen S2 IKM yang telah membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan, Kepala Puskesmas Kuta Selatan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Penulis juga mengucapkan vi
terima kasih kepada seluruh informan yang telah bersedia di wawancarai dalam pengumpulan data penelitian pada studi ini. Akhirnya penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada istriku tercinta dr. Ni Nyoman Kurniawan Kusumayani dan anakku tersayang I Gde Wahyu Werayana Kusuma, yang telah memberikan semangat, pengorbanan dan dukungan mental selama mengikuti perkuliahan sampai akhir penyusunan tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu berkenan melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, 5 Juni 2015 Penulis
vii
ABSTRAK ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ANTIRETROVIRAL THERAPY BAGI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN BADUNG Indonesia telah mengadopsi metode SUFA (Strategic Use of ARV) sejak tahun 2014 dalam menangani kasus HIV/AIDS. Untuk keberhasilan program tersebut, akses layanan dan kepatuhan pengobatan (adherence) ARV menjadi hal yang penting. Studi literatur model layanan berbasis primary health care pada perawatan HIV/AIDS di beberapa negara berkembang, menunjukkan hasil yang cukup efektif menurunkan kasus infeksi baru HIV, meningkatkan akses layanan, kepatuhan berobat, serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap odha. Akan tetapi, di Indonesia penelitian serupa terkait puskesmas sebagai layanan primer dalam perawatan HIV/AIDS belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kesiapan sumber daya dan situasi ekternal puskesmas yang berperan sebagai penghambat dan pendukung integrasi layanan ART di puskesmas se-Kabupaten Badung. Rancangan penelitian ini menggunakan kualitatif eksploratif dengan pendekatan fenomenologi. Data kualitatif dikumpulkan melalui teknik in-depth interview (39 informan) dan satu kali focus group discussion (8 informan). In-depth interview dilakukan pada petugas CST RSUD Badung, kepala puskesmas se-Kabupaten Badung, petugas VCT puskesmas se-Kabupaten Badung, pemegang kebijakan, LSM dan odha sebagai pengguna layanan. Sedangkan FGD dilakukan satu kali pada tokoh masyarakat wilayah Kuta Selatan. Dukungan ketersediaan sumber daya puskesmas didapatkan melalui wawancara dan observasi langsung ke setiap puskesmas dengan menggunakan daftar tilik. Data dianalisis dengan pendekatan tematik dan disajikan secara naratif. Hasil penelitian didapatkan ada dukungan kebijakan lokal, tokoh masyarakat dan LSM terkait pengembangan layanan satelit ART, namun ada perbedaan perceived utility dari informan tenaga kesehatan puskesmas. Perbedaan kebutuhan dirasakan oleh karena sumber daya belum optimal, peningkatan beban kerja, kompetensi dan pengalaman implementasi program HIV. Berdasarkan perspektif odha, hambatan utama mengakses layanan ARV di puskesmas terkait adanya perceived stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan dan masyarakat. Hambatan-hambatan utama kesiapan puskesmas di Kabupaten Badung sebagai satelit ART mandiri, terkait dengan jumlah dan kompetensi SDM, tidak ada standar prosedur sebagai satelit ART, sarana dan prasarana penunjang laboratorium yang belum optimal seperti pemeriksaan darah lengkap, kimia kinik, dan CD4, sarana manajemen data dan informasi HIV/AIDS, serta pembiayaan program penanggulangan HIV di puskesmas yang masih dominan dari donor. Puskesmas di Kabupaten Badung berpotensi sebagai satelit ART, namun masih terbentur oleh hambatan-hambatan struktural, meliputi odha dan sistem kesehatan. Mekanisme pengembangan dilakukan secara bertahap, dimulai sebagai satelit ARV pada beberapa puskesmas dengan fasilitas sumber daya yang lebih memadai. Diperlukan dukungan pelatihan CST bagi petugas dan pembuatan SOP layanan. Upaya penurunan stigma baik bagi masyarakat maupun petugas kesehatan, dukungan pengadaan sarana laboratorium yang memadai, meliputi perlengkapan pemeriksaan darah lengkap, CD4 dan kimia klinik terkait puskesmas sebagai layanan satelit ART. Kata kunci: kesiapan, layanan puskesmas, antiretroviral therapy, HIV/AIDS.
viii
ABSTRACT AN ANALYSIS OF COMMUNITY HEALTH CENTER READINESS AS AN ANTIRETROVIRAL THERAPY SATELLITE FOR PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS (PLWHA) IN BADUNG REGENCY SUFA strategy has been adopted by the Indonesian Government since 2014 emphasing that all HIV-positive people should offered anti-retroviral therapy regardless their CD4 count level. This implies that a universal access to ARV and adherence towards treatment are essential components for the success of SUFA implementation. Studies in developing countries have revealed that primary health care based ARV treatment found to be more effective in decreasing new HIV infection, improving service access, increasing adherence and reducing HIV and AIDS-related stigma and discrimination. However, to our knowledge, a study assessing community health center (puskesmas) readiness to providing HIV treatment has not been undertaken in Bali Province yet. This study was aimed to determine the readiness of community health centres to provide HIV treatment including the barriers and enablers of providing such services at the puskesmas in Badung Regency – Bali Province. This study adopted a qualitative explorative design using a phenomenology approach. Data were collected by conducting 39 in-depth interviews (CST RSUD Badung, head of community health center, head of VCT program at community health center, policy makers, non-government organization) and PLWHA, one focus group discussion (FGD) for community leaders consisting of eight participants. Secondary data related to facilities and available resources of each puskesmas were obtained by conducting a direct observation. Data were then analised by adopting a thematic approach and were presented using a narrative approach. This study documented positive attitudes and supports regarding ARV treatment at the community health centres particularly from policy makers, community leaders and NGO. However, different perceptions related to perceived utility of HIV treatment at community health centres have also documented from health providers. They indicated that several barriers to providing ARV treatment at community health centres include: limited resources, small number of HIV clients accessing community health centres, increased workload, lack of competencies and experiences to implement HIV program. Furthermore from PLWHA perspectives, the main barriers to access ARV treatment from community health centers were related to perceived stigma and discrimination by health workers and the community. This study have also documented other barriers to implementing ART at the community health centres: lack of staff and competencies, no standard operational procedure, limited laboratory facilities, limited facilities of data management and information system on HIV / AIDS and lack of funding sustainability as the majority of them were coming from donor agency. Findings from this study indicating that several community health centers in Badung Regency can be up-scaled as an ART-satellite followed by a health system strengthening and stigma reduction measures. The implementation should be done gradually starting from community health centres which have adequate existing support facilities. Furthermore, an additional training related to ART and CST should be immediately conducted by the health office of Badung Regency followed by developing a standard operational procedure at the community health centre. Stigma reduction program should target both general population and health providers. The health office of Badung Regency should also need to up-scale basic laboratory facilities at the community health centres including a complete blood count, CD4 and clinical chemistry.
Key words: readiness, community health center, antiretroviral therapy, HIV/AIDS. ix
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM............................................................................................................ i PRASYARAT GELAR .................................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................................ iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................................ iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................................. v UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................... vi ABSTRAK ..................................................................................................................... viii ABSTRACT..................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL.......................................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................. xvi BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 9 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 9 1.3.1 Tujuan umum ............................................................................................... 9 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................. 9 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 10 1.4.1 Manfaat secara teoritis ............................................................................... 10 1.4.2 Manfaat secara praktis ............................................................................... 10 BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN ..................................................................................................... 12 2.1 Kajian Pustaka ....................................................................................................... 12 2.1.1 Odha dan layanan ART .............................................................................. 12 2.1.2 Situasi masalah HIV dan AIDS di Indonesia ............................................. 14 2.1.3 Studi terkait perawatan HIV di layanan primer ......................................... 16 2.1.4 Standar puskesmas sebagai satelit ART..................................................... 20 2.1.5 Stigma, diskriminasi dan pemanfaatan layanan ART ................................ 23 2.2 Konsep Penelitian.................................................................................................. 24 2.2.1 Konsep kesiapan layanan puskesmas ......................................................... 25 2.2.2 Konsep puskesmas sebagai satelit ART..................................................... 26 2.2.3 Konsep SDM kesehatan di puskesmas....................................................... 26 2.2.4 Konsep infrastruktur (sarana dan prasana) layanan ART .......................... 27 2.2.5 Konsep manajemen dan informasi data layanan HIV/AIDS ..................... 28 2.2.6 Konsep pembiayaan kesehatan program HIV/AIDS di layanan primer .... 28 2.2.7 Konsep farmasi dan alat kesehatan layanan ART di puskesmas ............... 29 x
2.2.8 Konsep stigma dan diskriminasi penyakit HIV ......................................... 29 2.3 Landasan Teori ...................................................................................................... 30 2.3.1 Framework sistem kesehatan dunia ........................................................... 30 2.3.2 Teori Kurt Lewin ....................................................................................... 32 2.3.2 Framework stigma dan diskriminasi .......................................................... 32 2.4 Model Penelitian ................................................................................................... 33 BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 36 3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................................ 36 3.2 Ruang Lingkup, Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 37 3.2.1 Ruang lingkup penelitian ........................................................................... 37 3.2.2 Lokasi dan waktu penelitian ...................................................................... 37 3.3 Sumber Data dan Sampel ...................................................................................... 38 3.3.1 Informan ..................................................................................................... 38 3.3.2 Sampel ........................................................................................................ 39 3.4 Jenis Data .............................................................................................................. 39 3.5 Instrumen Penelitian.............................................................................................. 40 3.6 Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 40 3.6.1 Cara pengumpulan data .............................................................................. 41 3.6.2 Prosedur pengumpulan data ....................................................................... 42 3.7 Prosedur Analisis Data .......................................................................................... 45 3.7.1 Pengolahan data ......................................................................................... 45 3.7.2 Analisis data ............................................................................................... 46 3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data................................................................... 47 3.9 Keabsahan Data ..................................................................................................... 47 3.10 Etika Penelitian ................................................................................................... 47 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 49 4.1 Karakteristik Informan .......................................................................................... 49 4.2 Urgensi Kebutuhan Layanan Satelit ARV di Puskesmas ..................................... 53 4.3 Kesiapan Puskemas Sebagai Satelit ART ............................................................. 66 4.3.1 Kesiapan SDM puskesmas ......................................................................... 68 4.3.2 Kesiapan sarana dan prasarana .................................................................. 76 4.3.3 Kesiapan sediaan farmasi dan alat kesehatan puskesmas .......................... 81 4.3.4 Kesiapan pembiayaan ................................................................................ 85 4.3.5 Kesiapan manajemen dan informasi data HIV/AIDS ................................ 88 4.3.6 Leadership dan governance ....................................................................... 91 xi
4.5 Stigma dan Diskriminasi HIV/AIDS .................................................................... 93 4.6 Refleksi ................................................................................................................. 99 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 105 6.1. Simpulan ............................................................................................................ 105 6.2. Saran ................................................................................................................... 107 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 109 LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Perbandingan temuan kasus HIV dan AIDS di Indonesia periode Tahun 1987-2014 ................................................................................................ 15 Jumlah kasus HIV/AIDS kumulatif berdasarkan jenis kelamin dari tahun 1987-2013 di Propinsi Bali ................................................................ 15 Intervensi komprehensif dan layanan terpadu HIV/AIDS .................................. 23 Kerangka six building block sistem kesehatan WHO ......................................... 29 Konsep stigma dan diskriminasi, akses dan pemanfaatan layanan kesehatan .... 32 Model penelitian pengembangan layanan satelit ART di puskesmas................. 33
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Lokasi puskesmas di Kabupaten Badung ....................................................... 37 Tabel 4.1 Karakterisitik informan sebagai pengguna layanan ........................................ 48 Tabel 4.2 Karakterisitik peserta FGD dari tokoh masyarakat ........................................ 49 Tabel 4.3 Karakterisitik informan petugas VCT puskesmas se-Kabupaten Badung ...... 50 Tabel 4.4 Karakterisitik informan kepala puskesmas se-Kabupaten Badung ................ 50 Tabel 4.5 Karakterisitik informan pemegang kebijakan, petugas CST RSUD Badung dan LSM ................................................................................ 51 Tabel 4.6 Kondisi akses layanan ARV di Klinik VCT RSUD Badung .......................... 52 Tabel 4.7 Kondisi SDM Internal Puskesmas se-Kabupaten Badung, Februari 2015 ................................................................................................ .67 Tabel 4.8 Jenis Pelatihan Yang Pernah Diikuti Tenaga Puskesmas ............................... 69 Tabel 4.9 Kondisi Sarana dan prasana penunjang kesehatan ....................................... .77 Tabel 4.10 Sedian Alkes dan Farmasi di seluruh puskesmas se-Kabupaten Badung, Februari 2015 ............................................................ 81
xiv
DAFTAR SINGKATAN AIDS ARV ART BTA CD4 CST Depkes DFAT FGD HIV IMAI IMS IO Kabid. KDS Kemenkes KPAN KTS KTIP LKB LFU LSM ODHA PAD PBB PDP PITC PMTCT PPIA Puskesmas RI RSUD SDM SIHA SKN TB UNAIDS VCT WHO Yankes
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Acquired Immuno Deficiency Syndrome Antiretroviral Antiretroviral Therapy. Basil Tahan Asam Cluster of Differentiation 4 Care Support and Treatment Departemen Kesehatan Department of Foreign Affairs and Trade Focus Group Discussion Human Immunodeficiency Virus Intergrated Management of Adolescent and Adult Illness Infeksi Menular secara Seksual Infeksi Opportunistik Kepala Bidang Kelompok Dukungan Sebaya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Konseling Test Sukarela Konseling Test atas Inisiasi Petugas Layanan Komprehensif Berkesinambungan Lost to Follow Up Lembaga Swadaya Masyarakat Orang Dengan HIV-AIDS Pendapatan Asli Daerah Perserikatan Bangsa-Bangsa Perawatan Dukungan dan Pengobatan HIV Provider Initiated Test and Counseling Prevention of Mother to Child Transmission Pencegahan Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak Pusat kesehatan masyarakat. Republik Indonesia Rumah Sakit Umum Daerah Sumber Daya Manusia Sistem Informasi HIV/AIDS Sistem Kesehatan Nasional Tuberculosis Joint United Nations Programme on HIV AIDS HIV Voluntary Counseling and Testing World Health Organization Pelayanan kesehatan
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9
Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Penelitian Lembaran Informasi Formulir Persetujuan Panduan FGD Untuk Informan Paramedis Pemegang Program VCT Puskesmas Panduan FGD Untuk Informan Kepala Puskesmas Panduan Wawancara Mendalam Untuk Informan Odha Sebagai Pengguna Layanan Panduan Wawancara Mendalam Untuk Informan Pemegang Kebijakan Panduan FGD Untuk Informan Tokuh Masyarakat. Panduan Wawancara Mendalam Untuk Informan LSM dan Petugas Lapangan (Outreach).
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang terjadi adalah adanya peningkatan jumlah populasi odha secara komulatif dan kesenjangan kebutuhan layanan Antiretroviral therapy (ART). Salah satu target dan komitmen politik deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2011 dalam penanggulangan HIV/Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah tercapainya 15 juta orang dengan HIV/AIDS (odha), untuk mendapatkan dukungan, perawatan dan pengobatan antiretroviral (ARV) di tahun 2015. Laporan secara global terhadap peningkatan akses layanan ARV terbukti efektif menurunkan infeksi baru HIV di beberapa negara, seperti Nepal, Kamboja, Thailand, dan negara berkembang lainnya (UNAIDS, 2012). Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit, namun terapi ARV terbukti mampu menurunkan angka kesakitan, kematian, meningkatkan kualitas dan harapan hidup odha. Kenyataan sampai saat ini secara global terdapat sekitar 22 juta atau 60% (tiga dari lima orang) HIV yang masih tidak dapat mengakses ARV, sekitar 75% (tiga dari empat anak) yang hidup dengan HIV tidak menerima pengobatan ARV (UNAIDS, 2013). Hal ini juga ditemukan di Indonesia, dimana masih terdapat gap yang lebar antara jumlah odha yang memenuhi syarat untuk mendapatkan ARV dengan odha yang tidak menerima ARV sebesar 22,63% (23.845 dari 105.363 orang). Situasi di Propinsi Bali ditemukan gap sebesar 4,24% (5.802 dari 6.059 orang) (Kemenkes RI, 2014a). Walaupun gap yang terjadi di Propinsi Bali masih rendah, namun ke depan gap tersebut
1
2
diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah kasus HIV dan layanan ART yang masih terpusat di rumah sakit. Permasalahan lain terkait dengan antiretroviral therapy (ART) di Indonesia adalah perluasan layanan skrining pemeriksaan HIV di layanan kesehatan primer menemukan jumlah odha yang memerlukan terapi ARV setiap tahun cenderung meningkat, adanya kejadian kasus lost to follow up pada pemantauan pemberian ARV odha. Jumlah odha yang lost to follow up pada pemberian ARV di Indonesia sekitar 17,95 % (14.630 dari 81.518), di Propinsi Bali tercatat sekitar 18,32% (1.063 dari 5.802) (Kemenkes RI, 2014a), sedangkan di Kabupaten Badung, berdasarkan laporan klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) Rumah Sakit Daerah Kabupaten Badung pada bulan September 2014 sebanyak 12,07% (86 dari 712). Diperkirakan juga jumlah yang lost to follow up akan meningkat seiring bertambahnya jumlah odha, dan pemantauan terapi yang terpusat di rumah sakit skunder dan tertier (Kemenkes RI, 2014a). Situasi negara-negara di Asia seperti Nepal, Myanmar, Kamboja, Thailand, dan Papua New Guinea telah berhasil menurunkan jumlah infeksi baru HIV dan kematian terkait AIDS, karena memiliki akses yang cukup luas dengan melibatkan layanan primer dalam pemberian ARV(UNAIDS, 2012). Sedangkan situasi yang terjadi di Indonesia berdasarkan laporan dari Kemenkes RI Triwulan II (Agustus 2014), kasus infeksi baru HIV dan kematian karena AIDS justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah kasus infeksi baru HIV dalam setahun yang dilaporkan pada Triwulan II Tahun 2013 sebesar 4.841 orang, meningkat hampir dua kali menjadi 8.901 orang pada Triwulan II Tahun 2014 berikutnya (Kemenkes RI, 2013a, 2014a). Dalam hal jumlah kasus tersebut, Indonesia di Asia Fasifik memiliki jumlah kasus HIV terbanyak nomor dua setelah India (UNAIDS, 2013). Salah satu yang terkait dengan
3
peningkatan kejadian kasus baru HIV tersebut adalah akses terhadap layanan ART di Indonesia belum sebaik seperti negara-negara di Asia tersebut (UNAIDS, 2012). Oleh karena itu, perlu adanya perluasan dukungan layanan ART dan pemantauan yang lebih efektif untuk mencapai keberhasilan dalam penanggulangan HIV, serta untuk mencegah status epidemi HIV di Indonesia ke arah generalize epidemic. Penelitian perluasan akses dukungan layanan ART di wilayah Afrika, Zambia, dan India, cukup efektif memperlihatkan keberhasilan dalam penurunan kasus infeksi baru HIV dan mengurangi beban biaya kesehatan (Eaton, et al., 2014). Hal yang sama terjadi pada penelitian integrasi perawatan HIV ke dalam layanan primer di Propinsi Free State-Afrika Selatan, ternyata dapat meningkatkan kelangsungan hidup odha dengan jumlah CD4 < 350 (Uebel KE, et al., 2013). Sejalan dengan penelitian tersebut, perawatan HIV yang diintegrasikan ke layanan primer juga dapat meningkatkan kepuasan dan mengurangi stigma di daerah pedesaan Kenya (Odeny, et al., 2013). Temuan dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa, layanan primer ternyata berperan cukup baik untuk membantu keberhasilan program penanggulangan HIV/AIDS. Oleh karena itu, integrasi layanan ARV ke layanan primer perlu dipertimbangkan. Di Indonesia dan khususnya di Propinsi Bali, integrasi layanan ART ke layanan puskesmas bagi penderita odha, dapat memberikan beberapa keuntungan, seperti: puskesmas tersedia di semua kecamatan di Provinsi Bali (Dikes Propinsi Bali, 2013); menawarkan cakupan wilayah geografis yang luas untuk peningkatan aksesibilitas; puskesmas sudah menyediakan beberapa layanan pendukung untuk skrining HIV-AIDS, seperti klinik VCT/IMS, PMTCT, laboratorium, dan layanan pengobatan dasar (Kemenkes, 2014b); biaya pelayanan kesehatan di puskesmas terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; dukungan pemerintah saat ini telah
4
menerapkan metode SUFA (Strategic Use of ARV) yang tidak memandang jumlah CD4 pada pemberian ARV; serta pemerintah telah memberlakukan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk untuk mencapai universal coverage pada bidang kesehatan, dimana puskesmas sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan tingkat I (PPK I) (Presiden RI, 2011). Oleh karena itu, potensi puskesmas cukup baik untuk dikembangkan sebagai satelit ART. Berdasarkan analisa situasi laporan perkembangan HIV/AIDS di Indonesia, terkait pengobatan ARV belum kondusif. Pengembangan layanan care support and treatment (CST) pada odha di Indonesia masih terpusat pada sektor rumah sakit sekunder dan tersier yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Jumlah layanan CST atau perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) saat ini sebanyak 324 rumah sakit pengampu dan 130 satelit aktif ARV (Kemenkes RI, 2014a), yang tersebar di sebagian besar rumah sakit rujukan. Sedangkan strategi yang diharapkan oleh WHO adalah adanya peningkatan dan perluasan cakupan layanan CST, dengan lebih banyak melibatkan layanan primer (WHO, 2011). Oleh karena itu, arah kebijakan dari Kemenkes RI (2013c), mengindikasikan pentingnya untuk melakukan kajian permasalahan upaya pengembangan layanan ART, sekaligus melihat potensi sumber daya puskesmas sebagai ujung tombak kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) menekankan bahwa, puskesmas memiliki peran penting dalam sistem kesehatan nasional. Untuk itu, perlu kajian dan penataan strategi lanjutan untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas layanan puskesmas dalam meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Dukungan manajemen layanan puskesmas telah diupayakan oleh pemerintah agar tersedia sarana dan prasarana, sumber daya manusia (tenaga kesehatan), biaya penyelenggaraan program,
5
obat-obatan dan peralatan penunjang diagnostik dasar, sistem manajemen pengawasan terpadu, sitem pencatatan dan pelaporan dalam pengembangan layanan ART bagi pasien odha (Kemenkes, 2014b). Meskipun sarana dan prasarana penunjang layanan HIV di puskesmas telah tersedia, namun obat ARV saat ini masih tersedia di tingkat rumah sakit rujukan odha. Adanya potensi yang memadai di puskesmas, menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan program layanan satelit ART. Pelaksanaan metode SUFA saat ini di 13 Kabupaten/kota di Indonesia memungkinkan bagi petugas kesehatan untuk memberikan ARV bagi setiap odha secara langsung, tanpa memandang jumlah sel CD4, yang dikenal dengan istilah test and treat. Selain itu, himbauan dari Kemenkes RI, rumah sakit dan puskesmas diharapkan menyediakan layanan terkait penanggulangan HIV/AIDS ke dalam salah satu program layanan pokok sebagai bagian dari standar layanan kesehatan, sebagai acuan dalam penilaian akreditasi rumah sakit atau puskesmas (Kemenkes RI, 2013f). Oleh karena itu, penting bagi puskesmas untuk merencanakan pengembangan layanan satelit ART, mengingat jumlah odha setiap tahun cenderung semakin meningkat. Beberapa kekuatan dan peluang apabila layanan ART diintegrasikan ke dalam layanan primer adalah terkait dengan kedekatan geografis yang memudahkan akses bagi odha, Sumber Daya Manusia (SDM kesehatan) tersedia di puskesmas, beban ekonomi keberlangsungan pengobatan lebih efektif (Renaud, et al., 2009), perlahan-lahan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi penyakit ini di masyarakat (Monjok, et al., 2009), tersedia logistik untuk menunjang layanan ART, dan obat ARV sampai saat ini disediakan secara gratis oleh pemerintah (Kemenkes RI, 2007), serta jumlah odha yang semakin meningkat setiap tahun (Kemenkes RI, 2014a). Disatu sisi, tantangan dan hambatan yang perlu dipikirkan adalah perlu biaya tambahan untuk optimalisasi sumber daya seperti, kompetensi tenaga harus terlatih CST, adanya tambahan beban kerja bagi
6
tenaga kesehatan, banyaknya program promotif dan preventif di puskesmas, adanya isu stigma dan diskriminasi baik dari petugas kesehatan maupun masyarakat lokal terhadap odha, yang berakibat layanan yang tersedia tidak dimanfaatkan oleh odha (KPA, 2011). Oleh karena itu, untuk pengembangan layanan satelit ART pada puskesmas di Kabupaten Badung perlu kajian kesiapan lebih lanjut. Beberapa negara yang telah menerapkan layanan satelit ART di layanan primer seperti Afrika dan Uganda telah berhasil meningkatkan kepatuhan berobat dan mengurangi kematian odha (Eaton, et al,. 2014). Penelitian serupa terhadap integrasi perawatan HIV di layanan kesehatan primer di daerah pedesaan Kenya, ternyata juga dapat meningkatkan kepuasan odha dan mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap odha (Odeny, et al., 2013). Hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai pembanding apabila menerapkan layanan satelit ART di puskesmas, namun kondisi di negara-negara tersebut kemungkinan berbeda dengan kondisi di Indonesia khususnya di Kabupaten Badung terkait adanya stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV. Walaupun Kabupaten Badung sebagai kabupaten dengan penghasilan pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi di Provinsi Bali, sarana dan prasarana layanan kesehatan cukup memadai, jumlah SDM tersedia dan telah terbentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Badung, namun stigma dan diskriminasi terhadap odha oleh masyarakat masih menjadi isu utama (KPA Provinsi Bali, 2010). Hal tersebut diketahui ketika ada pemandian jenazah odha, masyarakat banyak yang menghindar dari kegiatan pemandian tersebut (KPA Propinsi Bali, 2012). Mengingat stigma dan diskriminasi baik dari petugas kesehatan maupun masyarakat mempengaruhi prilaku odha dan dapat menjadi faktor penghambat odha dalam mengakses layanan ke puskesmas, maka perlu penelitian lebih lanjut terkait efektifitas pengembangan layanan satelit ART.
7
Layanan ART bagi odha di Propinsi Bali saat ini baru tersedia di tujuh rumah sakit rujukan daerah dan di RSUP Sanglah Denpasar. Sedangkan layanan primer yang telah memberikan ARV saat ini, baru pada Puskesmas Gerogak II (sebagai satelit RSUD Buleleng) dan di Yayasan Kerti Praja Denpasar (sebagai satelit RSUP Sanglah) dan itupun sebatas sebagai satelit ARV. Puskesmas lainnya di Propinsi Bali belum ada sebagai satelit ART, walaupun telah memiliki layanan voluntary counseling and testing (VCT) dan telah ditemukan odha di wilayah kerja puskesmas (Kemenkes RI, 2014a). Di Kabupaten Badung, dari 12 puskesmas yang telah menyediakan layanan VCT dan sembilan puskesmas diantaranya sudah terdapat odha, belum satu puskesmas pun terlibat sebagai layanan satelit ART rumah sakit (Kemenkes RI, 2014a). Ditinjau dari segi geografis wilayah Kabupaten Badung cukup luas, prevalensi infeksi HIV peringkat tiga besar di Propinsi Bali setelah Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng (Dikes Badung, 2013), jumlah kasus odha yang berobat ke Rumah Sakit Daerah Kabupaten Badung setiap tahun mengalami peningkatan yang menambah beban dalam pemantauan kepatuhan berobat petugas CST rumah sakit, serta beberapa daerah di Kabupaten Badung seperti wilayah Kuta dan Kuta Selatan terdapat populasi kunci (penasun, LSL, PSK) yang berisiko terinfeksi HIV, merasa kesulitan dalam mengakses layanan (Januraga, et al., 2010). Dengan demikian perluasan akses jangkauan layanan ART ke puskesmas perlu segera dikembangkan. Penelitian terkait pengembangan layanan kesehatan secara komprehensif berbasis primary health care bagi pekerja sex perempuan di Bali, merekomendasikan puskesmas sebagai layanan primer harus diberdayakan untuk memberikan layanan secara komprehensif kepada pekerja sex perempuan dan masyarakat terkait (Januraga, et al., 2010), namun penelitian tersebut tidak membahas masalah odha dari masyarakat
8
umum di layanan primer. Penelitian tersebut juga tidak membahas kesiapan puskesmas sebagai satelit ART dalam memberikan layanan secara komprehensif bagi odha. Studi kajian pengembangan integrasi puskesmas sebagai satelit ART rumah sakit di Propinsi Bali dan khususnya di Kabupaten Badung, sampai saat ini sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan, sehingga belum ada informasi apakah puskesmas di Kabupaten Badung yang telah melaksanakan program HIV, tersedia layanan klinik VCT/IMS, sarana dan prasarana penunjang laboratorium, tenaga penjangkau dari LSM dan KPA, telah siap dikembangkan sebagai satelit ART RSUD Badung? Untuk itu penelitian ini dilakukan. Hasil wawancara dengan beberapa populasi kunci (pekerja seks) dan mucikari yang berobat ke layanan klinik VCT/IMS Puskesmas Kuta Selatan sebagai studi pendahuluan, diketahui sebagian besar dari populasi kunci berharap puskesmas dapat menyediakan obat-obatan bagi penderita IMS dan HIV (ARV), sehingga mengurangi jarak dan biaya pengobatan ke rumah sakit rujukan. Puskesmas diharapkan mampu memberikan layanan secara komprehensif dan berkesinambungan bagi populasi tersebut yang rawan tertular infeksi menular seksual dan HIV. Studi pendahuluan tersebut, mengindikasikan ada kebutuhan di level bawah terkait penyediaan layanan secara komprehensif di puskesmas. Untuk mencapai keberhasilan universal access pada pemberian ARV, penelitian ini penting dikerjakan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran informasi sumber daya dan tanggapan petugas kesehatan terkait persiapan sebagai satelit ART. Penelitian ini mengeksplorasi kondisi sumber daya internal dan eksternal puskesmas yang berperan dalam pengembangan layanan ART berdasarkan perspektif petugas kesehatan, pemegang kebijakan, LSM, tokoh masyarakat dan odha sendiri sebagai pengguna layanan tersebut. Hasil studi ini diharapkan berguna dalam membuat
9
rencana strategi ke depan untuk persiapan puskesmas sebagai satelit ART di Propinsi Bali, sehingga pelaksanaan program SUFA pemerintah di Propinsi Bali berhasil. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang rencana pengembangan layanan puskesmas sebagai satelit ART, dapat dirumuskan beberapa permasalahan seperti yang tercantum di bawah ini. 1. Bagaimanakah kesiapan sumber daya puskesmas di Kabupaten Badung sebagai layanan satelit ART bagi odha? 2. Sumber daya internal puskesmas apa saja yang berperan sebagai pendukung dan penghambat puskesmas di Kabupaten Badung sebagai satelit ART? 3. Bagaimanakah pandangan pihak eksternal puskesmas meliputi odha sebagai pengguna layanan, petugas CST rumah sakit, pemegang kebijakan dan masyarakat terkait pengembangan layanan satelit ART di puskesmas? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui kesiapan puskesmas, dukungan dan hambatan sumber daya, serta pandangan pihak ekternal puskesmas di Kabupaten Badung terhadap pengembangan puskesmas sebagai satelit ART bagi odha. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesiapan, dukungan dan hambatan beberapa hal di bawah ini. 1. Kesiapan, dukungan dan hambatan sumber daya manusia (SDM) kesehatan di puskesmas se-Kabupaten Badung sebagai satelit ART. 2. Kesiapan, dukungan dan hambatan sarana prasarana penunjang layanan puskesmas se-Kabupaten Badung sebagai satelit ART.
10
3. Kesiapan, dukungan dan hambatan pembiayaan pengembangan program HIV/AIDS di puskesmas se-Kabupaten Badung. 4. Kesiapan, dukungan dan hambatan sistem manajemen informasi program HIV/AIDS di puskesmas sebagai satelit ART. 5. Kesiapan, dukungan dan hambatan sediaan farmasi dan alat kesehatan dasar sebagai penunjang layanan satelit ART di puskesmas se-Kabupaten Badung. 6. Pandangan pihak eksternal puskesmas meliputi odha sebagai pengguna layanan ARV, petugas CST rumah sakit, tokoh masyarakat, pemegang kebijakan lokal dan LSM terkait pengembangan puskesmas di Kabupaten Badung sebagai satelit ART. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat secara teoritis Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber referensi tambahan dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat, khususnya dalam pengembangan program pemberantasan HIV/AIDS di masyarakat. 1.4.2 Manfaat secara praktis 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Badung Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang berguna bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Badung terutama dinas kesehatan, dalam menentukan sasaran puskesmas yang tepat sebagai satelit ART. Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengambil keputusan dan membuat rencana strategi perencanaan sumber daya terkait penanggulangan HIV/AIDS.
11
2. Puskesmas Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada kepala puskesmas sebagai pelaksana program penanggulangan HIV/AIDS secara komprehensif. Informasi tersebut diharapkan berguna dalam
membuat
perencanaan persiapan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, melalui rapat koordinasi pembangunan kesehatan (ratkorbangkes) di tingkat kabupaten. 3. Bagi masyarakat khususnya odha Penelitian ini diharapkan membuka wawasan pemegang kebijakan untuk meyediakan akses layanan ARV di puskesmas, sehingga secara langsung manfaat bagi odha yaitu memudahkan akses odha dalam memperoleh layanan pengobatan ARV.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Odha dan layanan ART Human Immnunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan pada stadium akhir menyebabkan kondisi klinis yang dikenal sebagai Acquared Immunodeficiency Sindrom (AIDS). Orang dengan HIV/AIDS (odha) adalah sebutan untuk orang yang di dalam tubuhnya telah terinfeksi virus HIV/AIDS yang diketahui melalui pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006). Penularan penyakit HIV ini melalui hubungan seksual yang berisiko tanpa menggunakan kondom, melalui pajanan darah terinfeksi, produk darah atau transplantasi organ dan jaringan yang terkontaminasi virus HIV, dan penularan melalui ibu yang positif HIV ke anaknya (Depkes RI, 2006; KPA, 2013). Kejadian penularan melalui hubungan heteroseksual di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun (Kemenkes, 2014a). Oleh karena itu, penyakit HIV masih sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup dan berisiko untuk menularkan virus tersebut kepada orang lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi untuk mencegah penularannya. Sejak ditemukannya obat ARV dan kombinasi ART, telah terjadi perubahan terhadap penurunan morbilitas dan mortalitas HIV/AIDS dari 60% menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan usia harapan hidup odha(WHO, 2003, Depkes RI, 2006). Meskipun terapi ARV tidak mampu meyembuhkan penyakit, namun terapi ARV ternyata mampu menurunkan kasus-kasus infeksi baru HIV, seperti pengalaman pada negara-negara berkembang di Afrika 12
13
Selatan, Nepal, Kamboja, dan lainnya (UNAIDS, 2012). Oleh karena itu, pemerintah telah mengupayakan untuk meningkatkan perawatan, dukungan dan pengobatan pada odha,
melalui
penyelenggaraan
layanan
HIV
secara
komprehensif
dan
berkesinambungan (LKB). Dengan LKB diharapkan layanan odha dalam pengobatan lebih optimal, disertai perbaikan kualitas hidup dan penurunan penularan pada komunitas yang lebih luas. Layanan HIV/AIDS pada LKB adalah suatu layanan dengan melibatkan petugas kesehatan dan para pemangku kepentingan secara luas, yang dilandasi prinsip dasar antara lain: hak azasi manusia; kesetaraan akses layanan; penyelenggaraan layanan HIV dan IMS yang berkualitas; mengutamakan kebutuhan odha dan keluarganya; memperhatikan kebutuhan kelompok populasi kunci dan populasi rentan lainnya; keterlibatan keluarga dan odha; penerapan perawatan kronik; layanan terapi ARV dengan pendekatan kesehatan masyarakat; mengurangi hambatan dalam mengakses layanan; menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, serta mengarus utamakan gender (Kemenkes RI, 2012). Perluasan layanan skrining pemeriksaan HIV di layanan kesehatan primer, cukup baik untuk lebih banyak mengungkapkan kasus-kasus baru HIV di masyarakat, namun apabila tidak disertai perluasan layanan pengobatan ARV, hal tersebut akan menimbulkan masalah baru seperti meningkatkannya jumlah odha yang tidak mendapatkan terapi, lost to follow up, adherence ARV yang berdampak terhadap munculnya resistensi
terhadap ARV. Oleh karena itu, penanggulangan HIV pada
layanan primer perlu dilaksanakan secara komprehensif, meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam semua bentuk layanan.
14
2.1.2 Situasi masalah HIV dan AIDS di Indonesia Analisis laporan perkembangan HIV/AIDS Triwulan III Tahun 2014 dari Kemenkes RI (2014a), diketahui bahwa jumlah kasus infeksi baru HIV yang dilaporkan sejumlah 8.908 orang, kasus tersebut meningkat sebanyak dua kali lipat menjadi 84,01% (4.067 orang) dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 4.841 orang infeksi baru HIV pada periode yang sama. Prosentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (73,6%), diikuti umur 20-24 tahun (14,9 %). Komposisi umur tersebut tidak berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Prosentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (55%), laki seks laki (17%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (6%). Apabila dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya (2013), prosentase risiko pada heteroseksual cenderung meningkat, sedangkan penularan melalui jarum suntik tidak steril cenderung menurun (Kemenkes RI, 2013a, 2014a). Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan baru pada Triwulan III Tahun 2014, ternyata menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2013), yaitu dari 320 orang menjadi 1.492 orang. Prosentase AIDS pada Triwulan III (2014) tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (37,7%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (26,0%). Komposisi umur tersebut dan faktor risiko penularan tidak berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2013a, 2014a). Gambaran situasi penyakit HIV di Propinsi Bali per-Juni 2014 dilaporkan sebesar 9.051 orang, meningkat sebanyak 27,96% dibandingkan dengan tahun 2013 (7.073 orang). Sedangkan jumlah kasus AIDS sebanyak 4.261 orang, meningkat sebesar 27,42 % dibandingkan tahun sebelumnya sejumlah 3.344 orang (Kemenkes RI, 2013a, 2014a).
15
Peningkatan jumlah kasus HIV di Propinsi Bali perlu dipikirkan untuk pengembangan layanan obat ARV. Saat ini layanan ART yang tersedia di Bali baru sebanyak 12 layanan yang tersebar di rumah sakit rujukan daerah. Perluasan layanan tersebut perlu dipikirkan pada periode mendatang. Berikut adalah grafik perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dan Propinsi Bali seperti yang terlihat di bawah ini. 35000 29037
30000 25000
21591
21031
21511
20000
15534
15000 10362 10000 5184 5000
7195
6048 4655 3665
9739
8747
7312
6907
6073
5114
6266 1700
859
0 s.d 2005
2006
2007
2008
2009
Jumlah kasus HIV
2010
2011
2012
2013
2014
Jumlah Kasus AIDS
Gambar 2.1 Perbandingan temuan kasus HIV dan AIDS di Indonesia, periode tahun 1987-2014 (Sumber : Laporan Kemenkes, 2014) Sedangkan situasi perkembangan kasus HIV di Propinsi Bali, dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Gambar 2.2 Jumlah Kasus HIV/AIDS Kumulatif berdasarkan Jenis Kelamin, Dari tahun 1987-2013. (Sumber : Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2013)
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
20…
99
98
97
96
95
94
93
Perempuan
92
91
90
89
88
Laki-laki
87
1100 1050 1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
16
Model matematik epidemi HIV di Indonesia menunjukkan proyeksi jumlah orang dengan HIV/AIDS (odha), meningkat pesat sampai dengan tahun 2016 jika tidak dilakukan percepatan upaya pencegahan dan pengobatan (Kemenkes RI, 2013c). Walaupun sampai saat ini Indonesia masih berada pada situasi epidemi terkonsentrasi, namun dikhawatirkan Indonesia dapat menjadi negara dengan status HIV epidemi meluas, apabila tidak ada penanganan yang memadai. Apalagi dua provinsi di Indonesia (Papua dan Papua Barat) telah berada pada situasi epidemi meluas (KPA Nasional, 2013). Oleh karena itu perlu menerapkan strategi global yang dicanangkan oleh WHO untuk mencapai “universal access”. 2.1.3 Studi terkait perawatan HIV di layanan primer Strategi global sektor kesehatan yang dicanangkan oleh WHO (2011), dalam penanganan HIV/AIDS Tahun 2011-2015, adalah upaya pencapaian akses universal dalam penanganan penyakit HIV di seluruh dunia, dengan tujuan tercapainya “Getting to Zero”. Strateginya meliputi 4 komponen penting, yaitu: mengoptimalkan fungsi pencegahan, tatalaksana diagnosis, dukungan dan perawatan HIV; memperluas pengaruh respon kesehatan dalam penanganan HIV; memperkuat sistem kesehatan dan berkelanjutan; dan mengurangi kerentanan serta menghilangkan hambatan terhadap akses layanan (WHO, 2011). Oleh karena itu, banyak negara telah menerapkan perluasan cakupan akses layanan ART. Penelitian tentang “Antiretroviral therapy in primary health care : Experience of the Kayelitsha Programme in South Africa, Case Study” menunjukkan bahwa pengembangan perawatan, dukungan dan pengobatan ARV ke layanan primer dapat meningkatkan motivasi dan kepatuhan odha dalam berobat, mengurangi efek samping ARV, dan meningkatkan kelangsungan hidup odha. Perluasan akses layanan ARV ke layanan primer juga dapat meningkatkan dukungan psikososial kepada odha,
17
mempromosikan keterbukaan dan mengurangi stigma, serta membantu odha untuk menjaga keluarganya tetap utuh dan kestabilan ekonomi keluarga odha (WHO, 2003). Sejalan
dengan
kebijakan
strategi
WHO
tersebut,
arah
kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ditekankan pada rencana aksi pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan bermutu di kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2013c). Hal tersebut sejalan dengan penelitian evaluasi strategi pencegahan HIV-AIDS di Liberia diketahui bahwa, kebutuhan sumber daya yang memadai dan membangun kapasitas masyarakat dalam pelaksanaan program pencegahan HIV-AIDS sangat penting dalam mengatasi masalah penanganan HIVAIDS di negara berkembang (Kennedy, et al., 2004). Penelitian lain terkait dampak dari intervensi pencegahan HIV di layanan primer ternyata juga dapat meningkatkan keterampilan dan merubah cara pandang tenaga kesehatan terhadap penyakit HIV-AIDS ini (Bluespruce, et al., 2001). Hasil penelitian tentang integrasi perawatan dan dukungan HIV/AIDS pada layanan primer di Propinsi Gaunteng Afrika Selatan, didapatkan bahwa sumber daya manusia, (pengetahuan dan ketrampilan petugas, adanya pelatihan, beban kerja, moral dan motivasi petugas kesehatan), infrastruktur layanan, petunjuk dan pelaksanaan teknis manajemen perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP), jejaring rujukan, koordinasi perencanaan dan komunikasi diantara petugas, berperan dalam keberhasilan integrasi pelaksanaan PDP HIV/AIDS di layanan primer (Modiba, et al., 2002). Oleh karena itu, untuk keberhasilan pengembangan layanan ART di puskesmas, ketersediaan sumber daya manusia dan pelatihan keterampilan tenaga kesehatan dalam penanganan HIVAIDS penting untuk diperhatikan. Penanggulangan penyakit HIV dan pengembangan program ke layanan primer perlu memperhatikan sisi kemampuan keuangan daerah (Kemenkes RI, 2007). Strategi
18
yang diharapkan adalah meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV-AIDS (Kemenkes RI, 2010). Julio Frank (2009), dalam “Reinventing primary health care: the need for systems integration” menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam pengembangan program layanan primer di negara berkembang adalah terkait masalah finansial, pengembangan manajemen, dan kerjasama tim. Hal senada dari pernyataan Ooms G., et al.( 2008), tentang pembiayaan kesehatan dalam penanggulangan HIVAIDS, perlu tambahan dana yang digunakan untuk memberikan pelatihan, keterampilan dan pengalihan tugas, sistem jejaring rujukan, jaminan kualitas layanan serta logistik dan manajemen pasokan dalam pengembangan jejaring layanan. Penelitian analisis biaya kesehatan pengobatan HIV/AIDS di beberapa negara (Ethiopia, Malawi, Rwanda, Afrika Selatan, dan Zambia) diketahui bahwa perluasan jangkauan layanan ARV akan mengurangi beban biaya kesehatan pemerintah dikemudian hari (Tagar, et al., 2014). Pembiayaan kesehatan merupakan pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan layanan kesehatan, guna mencapai derajad kesehatan yang setinggi-tingginya (SKN, 2012). Saat ini, sumber dana program penanggulangan HIV/AIDS berasal dari APBN dan APBD, donor internasional seperti Global Fund, UN Agencies (multilateral), Pemerintah Australia melalui DFAT dan Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID (bilateral) (Musiah D, 2014). Jadi, masalah finansial penting untuk diperhatikan demi keberlangsungan pelaksanaan program HIV di Indonesia terutama di layanan primer. Penelitian Angkasawati, et al. (2009), tentang kesiapan petugas puskesmas dalam penanggulangan Infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS pada layanan antenatal, diketahui bahwa sarana dan prasarana, perlengkapan laboratorium dan reagen, beban kerja tambahan, kejelasan sistem pencatatan dan pelaporan, belum adanya standar
19
operasional prosedur (SOP) tentang integrasi IMS dan HIV menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan program tersebut. Sehingga dalam pengembangan layanan ARV ke puskesmas, perlu memperhatikan kesiapan sarana dan prasarana pendukung. Studi penilaian kesiapan fasilitas layanan kesehatan primer dalam desentralisasi program HIV-AIDS di Nigeria, diketahui bahwa komponen yang dinilai dalam pengembangan program HIV selain sumber daya manusia adalah ketersediaan fasilitas layanan kesehatan untuk program HIV-AIDS, obat-obatan dan sistem farmasi, fasilitas laboratorium dan pengelolaan sampah medis, serta hubungan dan dukungan faktorfaktor eksternal sebagai penentu dalam kesiapan sebuah layanan (USAID, 2014). Dengan demikian, sarana prasarana penunjang, alat-alat kesehatan, sarana laboratorium, dan obat-obatan berperan penting dalam menilai kesiapan puskesmas sebagai satelit ART. Untuk menggerakkan fungsi-fungsi layanan di puskesmas agar berhasil dan berdaya
guna,
diperlukan
peningkatan
manajemen
dan
sistem
informasi
penanggulangan HIV/AIDS yang akuntabel dan transparan, serta informatif (Kemenkes, 2013). Permenkes RI NO.75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, pada pasal 43, dijelaskan bahwa setiap puskesmas wajib melakukan kegiatan sistem informasi yang dapat diselenggarakan secara elektronik maupun non elektronik. Sistem informasi puskesmas paling sedikit mencakup: pencatatan dan pelaporan kegiatan puskesmas dan jaringannya; survey lapangan; laporan lintas sektor terkait, dan laporan jejaring fasilitas layanan kesehatan di wilayah kerjanya (Menkes RI, 2014). Penelitian Shade, et al.(2014), tentang dukungan penggunaan teknologi informasi pada perawatan, dukungan dan pengobatan penderita HIV-AIDS di layanan kesehatan, ternyata meningkatkan keberhasilan secara signifikan dalam penanggulangan HIV. Sejalan dengan penelitian di tempat lain terhadap ketersediaan sistem informasi
20
elektronik juga dapat meningkatkan manajemen mutu dan status kesehatan pasien HIV/AIDS di layanan kesehatan (Virga, et al., 2012). Peraturan Menkes No.21 Tahun 2013, menekankan bahwa keberhasilan dalam strategi penanggulangan HIV/AIDS di kabupaten/kota, salah satunya terselenggaranya sistem pencatatan, pelaporan, dan evaluasi dengan memanfaatkan sistem informasi (Kemenkes, 2013d, 2014b). Rendahnya kualitas informasi dari penyedia layanan kesehatan kepada pasien terbukti sebagai penghambat kepatuhan pengobatan odha (Mills, et al., 2010). Dengan demikian, kesiapan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, tidak terlepas dari kesiapan dukungan sistem manajemen dan informasi HIV/AIDS, yang dikenal sebagai SIHA (Sistem Informasi HIV-AIDS). 2.1.4 Standar puskesmas sebagai satelit ART Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Kepmenkes RI, 2014b). Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia digolongkan dalam strata I. Sebagai provider pemberi layananan kesehatan primer dalam perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS, puskesmas memiliki tugas, fungsi, sumber daya manusia serta kompetensi yang disesuaikan dengan golongan strata satu. Secara umum puskesmas memberikan pelayanan odha untuk stadium 1 dan 2 yang tidak memerlukan rawat inap atau kondisi odha telah stabil (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan standar minimal layanan ARV di puskesmas Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur dijelaskan bahwa untuk menjadi satelit ARV, puskesmas harus mempunyai satu rumah sakit pengampu. Pasien odha yang ditangani oleh puskesmas adalah pasien pria dan wanita dewasa (di atas 14 tahun), dan apabila ada wanita hamil harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke rumah sakit pengampu. Pasien yang ditangani
21
oleh puskesmas adalah pasien yang telah dinilai stabil oleh rumah sakit pengampu. Apabila ada masalah dengan ARV, pasien bisa dirujuk kembali ke rumah sakit dan puskesmas hanya melayani obat ARV lini pertama (Dinas Kesehatan Prop.Jawa Timur, 2013). Laporan global UNAIDS (2014), tentang capaian penanggulangan HIV/AIDS di negara-negara Asia seperti Nepal, Myanmar, Kamboja, Thailand, dan Papua New Guinea, telah berhasil menurunkan jumlah infeksi baru HIV dan kematian terkait AIDS, dan ternyata negara-negara tersebut memiliki akses yang luas terhadap layanan ART. Hal senada juga terjadi pada penelitian perluasan akses jangkauan layanan ART di layanan primer di wilayah Afrika, Zambia, dan India, secara efektif memperlihatkan keberhasilan dalam penurunan kasus infeksi baru HIV dan mengurangi beban biaya kesehatan ke depan (Eaton, et al., 2014). Oleh karena itu, pengalaman di negara-negara lain tersebut menunjukkan semakin banyak jumlah akses layanan ART bagi pasien odha, semakin berhasil dalam penanggulangan penyakit HIV di masyarakat. Pengembangan layanan satelit ART secara komprehensif dan berkesinambungan pada layanan primer (puskesmas), komponen standar yang perlu dipersiapkan adalah seperti di bawah ini (Depkes RI, 2007, Kemenkes RI, 2011 dan Surat edaran Kemenkes RI, 2013e). 1) Mempunyai tim tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, konselor, laboratorium, dan tenaga farmasi) yang telah terlatih tentang HIV/AIDS. 2) Telah berlangsungnya kegiatan konseling dan test HIV sukarela (klinik VCT) dan konseling test HIV atas inisiasi petugas (KTS dan KTIP) serta kegiatan program pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak (PPIA). 3) Memiliki jejaring dengan rumah sakit pengampunya. 4) Fasilitas klinik infeksi menular Seksual (IMS), diagnosis dan tatalaksana IMS dan infeksi opportunistik (IO) ringan.
22
5) Tersedia sarana laboratorium atau memiliki jejaring dengan laboratorium lainnya terlatih HIV dan sumber daya lain, seperti alat pemeriksaan fisik yang sederhana, obat simptomatis dan analgesik yang esensial untuk puskesmas serta obat profilaksis Infeksi Oportunistik (IO). 6) Diusulkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota dan disetujui oleh dinas kesehatan provinsi. 7) Membentuk tim perawatan berbasis rumah / komunitas, yang anggotanya terdiri dari petugas kesehatan puskesmas sebagai koordinator, pembimbing dan pendukung teknis, anggota LSM, relawan/kader dari masyarakat, tenaga penyembuh tradisional (kalau ada) yang dihormati dan telah di SK kan oleh kepala puskesmas. 8) Tersedia layanan penemuan intensif kasus TB secara sistematis dan pemantauan minum obat TB dan ARV. 9) Memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan berobat, menangani efek samping ringan, dan layanan rujukan ke jejaring layanan strata II dan III (inisiasi ARV) apabila diperlukan. 10) Pencatatan dan pelaporan (komputer, rekam medik), bahan komunikasi, informasi dan edukasi tentang penyakit HIV-AIDS dan penyakit infeksi menular sexual lainnya. Keberhasilan dalam penanggulangan HIV-AIDS terletak pada upaya intervensi yang dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan serta terintegrasi pada program layanan kesehatan (UNAIDS, 2014, USAIDS, 2014). Berbagai intervensi program secara komprehensif dalam penanggulangan HIV/AIDS dapat digambarkan seperti diagram di bawah ini.
23
Gambar 2.3. Intervensi komprehensif dan layanan terpadu. (Sumber : Scaling up for most at risk population, “Upaya Mendukung Penanggulangan HIVAIDS, manual organisasi masy. sipil, versi 1, 2013)
2.1.5 Stigma, diskriminasi dan pemanfaatan layanan ART Penyakit HIV berbeda dengan penyakit lainnya, oleh karena pengaruh stigma dan diskriminasi. Stigma merupakan cap atau tanda yang umumnya bersifat negatif yang diberikan kepada seseorang ataupun kelompok, sedangkan diskriminasi perlakuan yang berbeda terhadap seseorang atau kelompok (Kemenkes RI, 2011a, 2011b). Upaya mereduksi stigma dan diskriminasi terkait HIV-AIDS, sangat penting dalam keberhasilan penanggulangan penyakit HIV dan pengembangan program di masyarakat (KPAN, 2010). Parker dan Aggleton (2002), dalam “HIV/AIDS-related Stigma and Discrimination: A Conseptual Framework and an Agenda for Action”, menjelaskan Stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV di masyarakat erat kaitannya dengan masalah seksualitas, gender, ras dan etnis, penyakit homoseksual, kemiskinan, penyakit akibat prostitusi (sex bebas), dan ketakutan terhadap penularan, sehingga penyakit HIV terhambat dalam mendapatkan akses layanan kesehatan, seperti penemuan kasus dan upaya pengobatan.
24
Penelitian Sekoni dan Owoaje (2013), tentang stigma HIV/AIDS di kalangan petugas kesehatan di layanan primer Llorin-Nigeria, ternyata 87,7% responden dari tenaga kesehatan takut terhadap penularan HIV dan 97,7% pasien odha mengalami diskriminasi. Hasil kajian studi analisis tentang stigma dan diskriminasi di Nigeria, didapatkan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap odha dapat terwujud dalam berbagai cara, seperti pengabaian, perbedaan perlakuan, penolakan pada pengobatan, test dan pengungkapan status tanpa persetujuan, penghindaran diri, prosedur pengendalian infeksi yang tidak terjamin, dan menghakimi berdasarkan masalah moralitas (Monjok, et al., 2009). Dengan demikian, perlakuan yang berbeda pada penyakit HIV, akan berdampak buruk pada perilaku odha dalam mencari pelayanan kesehatan dan perlu dipikirkan untuk perluasan jangkauan layanan ART. Penelitian Eka Sari Ridwan, et al.(2010), tentang hambatan odha dalam akses pelayanan kesehatan, salah satunya terkait dengan hambatan kultural dan stigma sosial yang menganggap odha dan pasangannya sebagai pendosa. Sejalan dengan penelitian kepatuhan odha minum obat di Kota Bandung dan Cimahi, diketahui bahwa stigma dan diskriminasi odha berpengaruh terhadap kepatuhan untuk teratur minum obat ARV (Yuniar, et al., 2013). Stigma dan dikriminasi juga menyebabkan beberapa program intervensi Pemerintah Kota Bandung tidak berjalan sesuai yang direncanakan (Nurhayati, 2013). 2.2 Konsep Penelitian Berdasarkan uraian dari kajian pustaka, pengembangan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS di layanan primer diketahui banyak faktor yang berperan terhadap keberhasilan pengembangan layanan tersebut, baik faktor dari internal maupun eksternal puskesmas. Untuk memberikan batasan terkait kesiapan
25
pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, maka penelitian ini akan menggunakan konsep seperti di bawah ini. 2.2.1 Konsep kesiapan layanan puskesmas Kesiapan adalah hal yang penting dan harus tersedia ketika memberikan sesuatu layanan. Kesiapan tersebut akan dipengaruhi oleh dukungan baik internal maupun eksternal puskesmas, sebaliknya dikatakan tidak siap bila ditemukan berbagai hambatan sumber daya pelaksanaan layanan. Kesiapan dalam penelitian ini pengertiannya adalah ketersediaan sumberdaya dan kemampuan personil sesuai dengan standar kompentensi di layanan puskesmas. Kesiapan puskesmas sebagai satelit ART adalah ketersediaan sumber daya dan kemampuan petugas kesehatan puskesmas untuk memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan antiretroviral bagi odha secara komprehensif dan berkesinambungan secara mandiri sesuai tugas dan wewenang tenaga medis di puskesmas. Puskesmas dikatakan siap sebagai satelit ART apabila puskesmas mempunyai kemampuan dalam mengelola perawatan odha secara mandiri dan ada dukungan sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasana penunjang, alat kesehatan dan farmasi, pembiayaan dan manajemen informasi data. Sebaliknya, dikatakan tidak siap bila ada hambatan dan tidak sesuai dengan ketentuan standar layanan. Kesiapan tersebut dinilai dari kemampuan layanan puskesmas mulai dari penemuan kasus, melakukan inisiasi ART, pemantauan terapi, sampai kepada pencatatan dan pelaporan kasus sesuai dengan tugas, wewenang dan fungsi pokok puskesmas, yang diketahaui dari hasil observasi dengan menggunakan daftar tilik standar layanan ART dan wawancara mendalam.
26
2.2.2 Konsep puskesmas sebagai satelit ART Pengertian satelit dalam penelitian ini adalah sarana pelayanan kesehatan yang memberikan layanan bagi odha, dapat berupa puskesmas, rumah sakit maupun klinik lainnya. Puskesmas sebagai satelit ART adalah puskesmas yang mampu memberikan layanan secara komprehensif meliputi perawatan, dukungan dan pengobatan bagi odha, mulai dari penemuan kasus baru, persiapan inisiasi ARV, pemberian obat ARV, pemantauan adherence pengobatan dan penanganan infeksi oportunistik ringan, serta pencatatan dan pelaporan SIHA yang dilakukan secara mandiri sesuai dengan kewenangan layanan primer. Sedangkan puskesmas sebagai satelit ARV adalah layanan yang diberikan bagi odha hanya sebatas melanjutkan obat ARV rumah sakit tanpa memerlukan pemeriksaan penunjang awal, dan dilakukan pada odha yang telah stabil. Terapi yang diberikan sebagai satelit ARV sesuai dengan rekomendasi dari rumah sakit pengampu. Jadi perbedaannya adalah terletak pada kemandirian puskesmas dalam memberikan terapi ARV terhadap odha. Oleh karena itu, sumber daya yang diperlukan sebagai satelit ART lebih kompleks daripada satelit ARV. 2.2.3 Konsep SDM kesehatan di puskesmas Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan dalam penelitian ini yang dimaksud adalah tersedianya tim tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, konselor, administrator, petugas laboratorium, farmasi, dll) yang telah dilatih tentang HIV/AIDS khususnya dalam pelatihan pemberian ART (CST). Menurut PP No.32/1996, sumber daya manusia (SDM) kesehatan adalah semua orang yang bekerja aktif dibidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal dibidang kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Standar SDM kesehatan puskesmas dalam memberikan dukungan perawatan dan pengobatan pada ODHA yaitu tersedia tim di fasilitas layanan kesehatan primer
27
yang menjalin jejaring dengan layanan kesehatan skunder di wilayahnya. Tim tenaga kesehatan tersebut terdiri dari dokter, bidan, perawat, konselor yang terlatih, pengelola data, petugas IMS, petugas laboratorium, petugas KIA/KB, petugas PDP, Petugas PTRM (kalau ada), Kader atau relawan yang dapat melaksanakan tugas sesuai keadaan (Kemenkes RI, 2011b, 2012) 2.2.4 Konsep infrastruktur (sarana dan prasana) layanan ART Infrastruktur (fasilitas dan sarana) dalam penelitian ini yaitu tersedianya fasilitas penunjang seperti ruangan layanan untuk pasien odha dan sarana penunjang laboratorium lainnya, untuk kegiatan layanan satelit ART yang meliputi jenis, jumlah dan kecukupannya. Sarana yang tersedia seperti adanya form pencatatan dan pelaporan (ikhtisar perawatan, kartu pasien, register ART, register stok obat, skrining TB, laporan bulanan), ruang penyimpanan logistik (ARV dan reagen) mengikuti ruang penyimpanan pada umumnya. Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan segala sesuatu baik berupa alat dan / atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik peningkatan, pencegahan, pengobatan, maupun pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah/masyarakat (SKN, 2012). Ketersediaan fasilitas kesehatan dalam penelitian ini terkait dengan tempat yang digunakan untuk memberikan layanan ART, seperti tersedia ruangan konseling yang memadai dan cukup privasi. Sedangkan sarana merupakan penunjang dalam menyelenggarakan layanan kesehatan. Ketersediaan sarana dalam penelitian ini terkait dengan peralatan pemeriksaan fisik sederhana, peralatan untuk mengumpulkan dan transportasi sediaan laboratorium, bahan komunikasi, informasi dan edukasi HIV-AIDS, kondom, alat suntik seteril (kalau ada) (Kemenkes RI, 2007).
28
2.2.5 Konsep manajemen dan informasi data layanan HIV/AIDS Keberhasilan dalam memberikan pelayanan ART tidak terlepas dari peran manajemen dan informasi data secara baik dan benar. Sistem manajemen dan informasi data HIV/AIDS yang dimaksud pada penelitian ini adalah tersedianya sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi dengan kegiatan layanan HIV/AIDS baik secara manual maupun komputer. Manajemen informasi HIV/AIDS dikatakan baik apabila puskesmas mampu membuat laporan bulanan layanan HIV/AIDS dan program SIHA dari Kemenkes RI dan mengirimkan laporan tersebut ke rumah sakit pengampu/dinas kesehatan sesuai kesepakatan. Manajemen dalam penelitian ini adalah kesiapan pimpinan puskesmas dan staf untuk melakukan perencanaan, koordinasi, integrasi, regulasi, monitoring dan evaluasi program kegiatan penanggulangan HIV dan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas. Sedangkan informasi data kesehatan berkaitan dengan pengolahan dan pengelolaan data pada kegiatan layanan HIV-AIDS di puskesmas. Kegiatan yang berkaitan dengan informasi dalam penelitian ini adalah kesiapan dalam pengelolaan, pelaksanaan dan dukungan sumber daya untuk menyelenggarakan pencatatan dan pelaporan kegiatan layanan satelit ART. 2.2.6 Konsep pembiayaan kesehatan program HIV/AIDS di layanan primer Peran pembiayaan menjadi hal yang essensial dalam pelaksanaan suatu program. Pengertian pembiayaan kesehatan dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan layanan kesehatan, guna mencapai derajad kesehatan yang setinggitingginya (SKN, 2012). Sumber pembiayaan /finansial dari penelitian ini yaitu tersedia dukungan dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan program HIV/AIDS yang berasal dari berbagai sumber untuk kegiatan layanan ART, yang diketahui dari hasil diskusi baik dengan kepala puskesmas maupun dengan pemegang kebijakan. Puskesmas
29
dikatakan siap apabila ada alokasi dana yang dianggarakan untuk kegiatan layanan HIV/AIDS, seperti untuk kegiatan layanan penemuan kasus HIV, perawatan, dukungan dan pengobatan odha di puskesmas. 2.2.7 Konsep farmasi dan alat kesehatan layanan ART di puskesmas Ketersediaan farmasi dan alat kesehatan (alkes) sangat penting dalam menunjang layanan medis. Sediaan farmasi dan alkes merupakan sarana penunjang berupa obat-obat esensial dasar dan alat-alat kesehatan untuk menunjang kegiatan layanan puskesmas. Ketersediaan farmasi dan alat kesehatan dalam penelitian ini adalah tersedianya alat-alat pemeriksaan kesehatan dasar (seperti tensi, stetoskope, timbangan, dll.), dukungan obat-obat ARV, dan obat-obatan esensial untuk infeksi oportunistik meliputi jenis, jumlah dan kualitasnya, yang diketahui dari hasil wawancara dengan kepala puskesmas dan observasi di lapangan. Puskesmas dikatakan siap apabila ada dukungan pengadaan obat ARV dan alat kesehatan lainnya dari pemerintah, melalui dinas kesehatan/rumah sakit. 2.2.8 Konsep stigma dan diskriminasi penyakit HIV Stigma dalam penelitian ini adalah cap atau tanda yang bersifat negatif baik dari dalam diri odha maupun dari luar (petugas kesehatan dan masyarakat) akibat penyakit HIV yang diderita oleh seseorang. Sedangkan diskriminasi adalah perlakuan yang berbeda diberikan kepada seseorang atau kelompok akibat status HIV yang diderita oleh seseorang atau kelompok. Stigma dan diskriminasi tersebut dalam penelitian ini dapat diketahui melalui cara pandang seseorang terhadap penyakit HIV/AIDS pada saat dilakukan diskusi/wawancara.
30
2.3 Landasan Teori 2.3.1 Framework sistem kesehatan dunia Pengembangan program jejaring layanan ART bagi penderita HIV ke layanan primer, tidak terlepas dari konsep sistem kesehatan yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Berdasarkan rekomendasi WHO (2011), untuk mewujudkan universal accsess dalam sistem pelayanan kesehatan terutama di negara-negara berkembang, perlu dilakukan dengan cara mereformasi terhadap enam blok sistem bangunan kesehatan. Berikut adalah kerangka sistem kesehatan menurut WHO seperti terlihat pada skema di bawah ini. Service Delivery Health Workforce
Access Coverage Efficiency
Improved Health
Information
Responsiveness
Medical Products, Vaccines and Technologies
Risk Protection
Financing
Quality Safety
Improved Efficinecy
Leadership & Governance
Gambar 2.4 Kerangka six building block sistem kesehatan WHO. (Sumber : www.who.int/health services/health systems framework/en) Sejalan dengan konsep sistem kesehatan WHO tersebut, pengelolaan kesehatan di Indonesia tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yang terdiri dari: subsistem upaya kesehatan; penelitian dan pengembangan kesehatan; pembiayaan kesehatan; sumber daya manusia kesehatan; sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan; manajemen, informasi, dan regulasi; dan pemberdayaan masyarakat (SKN, 2012). Konsep tersebut juga tertuang dalam strategi penanggulangan HIV-AIDS di
31
Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.21 Tahun 2013 tentang penanggulangan
HIV
dan
AIDS,
diantaranya:
meningkatkan
pembiayaan
penanggulangan HIV/AIDS; meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV-AIDS; meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan pengobatan, dan pemeriksaan penunjang HIV/AIDS, serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV/AIDS; dan meningkatkan manajemen penanggulangan HIV/AIDS yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna (Kemenkes RI, 2013c, 2013d). Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pedoman penerapan layanan komprehensif berkesinambungan (Kemenkes RI, 2012) menjelaskan bahwa, integrasi dukungan, perawatan dan pengobatan HIV/AIDS ke dalam layanan primer, dapat meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan program. Strategi program treatment 2.0 yang dicanangkan oleh WHO tujuannya adalah untuk penyederhanan pemberian terapi ARV, penggunaan teknik diagnosis dan pemantauan sederhana di tempat, mengurangi biaya, mengadaptasi sistem layanan sesuai kondisi setempat dan melibatkan masyarakat. Ekman, et al. (2008), menjelaskan tiga cara integrasi dapat dicapai yaitu integrasi pada tingkat layanan kesehatan (termasuk integrasi layanan dan perawatan terpadu), integrasi manajemen (alokasi sumber daya, pelatihan dan pengawasan dan informasi sistem) dan integrasi organisasi (koordinasi antara penyedia, lintas sektoral dan masyarakat). Sejalan dengan strategi penanggulangan HIV di Indonesia, perlunya meningkatkan cakupan dan kualitas layanan pencegahan dan perawatan HIV melalui layanan komprehensif dan berkesinambungan di tingkat kabupaten/kota(Kemenkes RI, 2012, 2013e).
32
2.3.2 Teori Kurt Lewin Anderson dalam Notoamodjo (2012: 233-235), menjelaskan prilaku individu dalam penggunaan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor karakterisitik predisposisi, karakteristik pendukung dan karakteristik kebutuhan. Karakteristik predisposisi digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu cenderung menggunakan layanan kesehatan yang berbeda-beda, tergantung dari ciri-ciri demografi, struktur sosial dan manfaat kesehatan. Karakterisktik pendukung dalam pelayanan kesehatan akan dipengaruhi oleh kemampuan konsumen untuk membayar. Sedangkan Karakteristik kebutuhan, penggunaan pelayanan kesehatan semata-mata terwujud dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Kurt Lewin (1970), berpendapat perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan pendorong (driving force) dengan kekuatan penahan (restining force). Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidak seimbangan antara kedua kekuatan tersebut dalam diri seseorang, sehingga menimbulkan perubahan prilaku. Perubahan prilaku pada diri seseorang bisa terjadi oleh karena kekuatan pendorong meningkat, sedangkan kekuatan penahan bisa tetap atau menurun (Notoatmodjo, 2012). Hal tersebut penting diketahui ketika mempelajari prilaku odha dalam memilih layanan ARV di fasilitas kesehatan, oleh karena penyakit HIV masih terjadi stigma dan diskriminasi di masyarakat. 2.3.2 Framework stigma dan diskriminasi Stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV/AIDS menimbulkan hambatan utama untuk mengakses dukungan dan perawatan bagi odha (Sekoni and Owoaje, 2013). Stigma terhadap odha terjadi oleh karena penyakit HIV dianggap sebagai penyakit menular dan mematikan, kurangnya pengetahuan terhadap penyakit tersebut, takut membahas HIV dan AIDS, penolakan dari budaya perilaku yang terkait dengan HIV (pekerja seks, pengguna narkoba), dan ketidaksetaraan gender, serta kebijakan
33
yang tidak tepat termasuk menghubungkan HIV dengan penyakit sosial (Parker and Aggleton, 2003). Akibat stigma dan penolakan tersebut akan terjadi diskriminasi dalam pemberian layanan. Gambar 2.3 di bawah ini menjelaskan konsep terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV serta dampaknya terhadap akses dan pemanfaatan program layanan kesehatan dalam penanggulangan HIV di masyarakat.
1.
2. 3. 4.
6.
Takut
Stigma dan Penolakan
Rasa bersalah dan Malu
Efek :
Diskriminasi
5.
Penyebab Stigma: HIV adalah penyakit menular dan mematikan. Kurangnya pengetahuan. Takut membahas HIV dan AIDS. Penolakan dari budaya perilaku yang terkait dengan HIV (pekerja seks, pengguna narkoba) Ketidaksetaraan gender. Kebijakan yang tidak tepat termasuk menghubungkan HIV dengan penyakit sosial.
1. Dampak negatif pada pencegahan dan pengendalian HIV, sehingga mengakibatkan penyebaran HIV di masyarakat 2. Mengurangi akses dan pemanfaatan layanan terkait HIV.
Gambar 2.5 Konsep stigma dan diskrimiminasi, akses dan pemanfaatan layanan kesehatan. (Sumber : HIV/AIDS –related stigma and discrimination (modifikasi). Horizon Program. Parker, et al., 2003)
2.4 Model Penelitian Berdasarkan kajian literatur penerapan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS di layanan primer, dapat disusun model penelitian seperti terlihat pada gambar di bawah. Model penelitian ini mengkombinasi teori framework sistem kesehatan WHO, Teori Kurt Lewin dan teori framework stigma dan diskrimansi
34
pada penyakit HIV, yang berperan dalam kesiapan puskesmas untuk dikembangkan sebagai layanan satelit ART. Pada diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa, beberapa faktor yang berperan dalam pengembangan layanan satelit ART adalah faktor internal layanan puskesmas sendiri sebagai provider dan faktor eksternal yang meliputi dukungan kebijakan, masyarakat, prilaku odha sebagai pengguna layanan dan faktor-faktor lain. Faktorfaktor tersebut bisa berfungsi sebagai pendorong maupun penghambat pelaksanaan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, tergantung dari situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan.
EKSTERNAL PUSKESMAS
Kebijakan Pemerintah
INTERNAL PUSKESMAS
1. SDM Kesehatan. 2. Infrastruktur (fasilitas dan sarana) 3. Sistem Manajemen informasi HIV/AIDS 4. Pembiayaan /finansial 5. Ketersediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 6. Sikap dan Motivasi
Masyarakat
Odha
FAKTOR PENDORONG
Kesiapan Pengembangan Layanan Satelit ART di Puskesmas
FAKTOR PENGHAMBAT
Kebijakan Pemerintah
Masyarakat
EKTERNAL 1. Budaya stempat. 2. Politik 3. Peran Swasta. 4. LSM 5. Tenaga penjangkau 6. Dukungan rumah sakit.
Odha
EKSTERNAL PUSKESMAS
Gambar 2.6 Model penelitian pengembangan layanan satelit ART di Puskesmas se-Kabupaten Badung
Faktor-faktor dari internal puskesmas yang berperan meliputi ketersediaan sumber daya tenaga kesehatan yang telah dilatih CST, fasilitas dan sarana sebagai
35
penunjang sebagai satelit ART, pembiayaan/finasial, sistim informasi HIV-AIDS di puskesmas, ketersediaan obat ARV dan infeksi Oportunistik, sikap dan motivasi petugas puskesmas dalam pelaksanaan program pengembangan HIV/AIDS, dieksplorasi melalui wawancara mendalam kepada kepala puskesmas dan pemegang program HIV/AIDS di puskesmas. Faktor-faktor eksternal yang berperan terhadap kesiapan layanan puskesmas adalah dukungan dari kebijakan dan pemegang kebijakan pemerintah daerah setempat, dukungan rumah sakit, peran partisipasi masyarakat terhadap program penanggulangan dan perawatan HIV, peran LSM, swasta dan tenaga penjangkau lapangan, serta persepsi odha sebagai pengguna layanan puskesmas. Faktor eksternal tersebut diexplorasi melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah terhadap pihak-pihak terkait.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif-eksploratif dengan pendekatan fenomenologis. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitiannya seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2014). Alasan menggunakan penelitian kualitatif, oleh karena bersifat konseptual dan praktis. Secara konseptual peneliti ingin mendapatkan jawaban yang lebih mendalam, sehingga mendapatkan pemahaman terhadap permasalahan. Sedangkan secara praktis jawaban yang didapat lebih sesuai dengan permasalahan penelitian. Peneliti dapat mengeksplorasi sumber daya dan pandangan partisipan secara lebih luas terkait perluasan jejaring layanan ART di puskesmas, berdasarkan persepsi partisipan (puskesmas sebagai provider, pemegang kebijakan, masyarakat, serta odha sebagai pengguna layanan). Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan observasi secara langsung pada setiap puskesmas dengan menggunakan daftar tilik terkait kesediaan sumber daya puskesmas untuk pengembangan satelit ART. Dengan pendekatan kualitatif disertai pengamatan lansung, dapat membuat gambaran yang lebih jelas tentang keadaan secara obyektif, guna menjawab permasalahan dalam pengembangan satelit ART bagi penderita odha di puskesmas se-Kabupaten Badung.
36
37
3.2 Ruang Lingkup, Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup manajemen pelayanan kesehatan, sebagai upaya untuk meningkatkan akses dan cakupan layanan kesehatan bagi odha, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV/AIDS di masyarakat. 3.2.2 Lokasi dan waktu penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Badung, meliputi 12 puskesmas, Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Badung dan lingkungan kantor pemerintah daerah (pemda) setempat dengan waktu pelaksanaan penelitian mulai Oktober 2014 sampai dengan April 2015. Pengumpulan data penelitian telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2015. Lokasi wawancara mendalam dengan odha sebagai pengguna layanan, dilakukan di Klinik VCT RSUD Badung ketika odha mengambil obat ARV. Wawancara dengan petugas kesehatan dilakukan di puskesmas masing-masing dan wawancara dengan pemegang kebijakan di lingkungan pemda setempat. Sedangkan FGD dilakukan di Kecamatan Kuta Selatan. Berdasarkan profil kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung Tahun 2013, terdapat 13 puskesmas di wilayah Kabupaten Badung yang tersebar di enam kecamatan, seperti terlihat pada tabel 3.1. Jumlah puskesmas yang telah memberikan layanan konseling dan test HIV pada layanan kesehatannya sebanyak 12 puskesmas, sedangkan satu puskesmas (Puskesmas Abiansemal IV) belum efektif menjalankan program HIV/AIDS karena baru beroperasional mulai Januari 2013. Jadi penelitian ini akan difokuskan pada 12 puskesmas tersebut, namun peneliti juga melakukan kunjungan ke puskesmas Abiansemal IV untuk mengetahui kondisi layanan yang sesungguhnya.
38
Kajian terhadap 12 puskesmas tersebut telah dilakukan dengan cara mewawancarai secara tidak terstruktur kepada kepala puskesmas dan pemegang program HIV. Kajian juga dilakukan dengan observasi secara lansung dengan daftar tilik terkait ketersediaan sumber daya puskesmas sebagai satelit ART. Tabel 3.1 Lokasi puskesmas di Kabupaten Badung No.
Kecamatan
1
Kuta Selatan
2
Kuta
3
Puskesmas
Status Puskesmas
PKM Kuta Selatan
Non keperawatan
PKM Kuta 1 PKM Kuta 2
Rawat inap (BKIA) Non keperawatan
Kuta Utara
PKM Kuta Utara
Non keperawatan
4
Mengwi
PKM Mengwi 1 PKM Mengwi 2 PKM Mengwi 3
Rawat inap Non keperawatan Non keperawatan
5
Abiansemal
PKM Abiansemal 1 PKM Abiansemal 2 PKM Abiansemal 1 PKM Abiansemal 4 *
Rawat inap Non keperawatan Non keperawatan Non keperawatan
6
Petang
PKM Petang 1 PKM Petang 2
Non keperawatan Non keperawatan
(Sumber : Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, 2014) * Puskesmas baru dan resmi operasional Januari 2013)
3.3 Sumber Data dan Sampel 3.3.1 Informan Sumber informan dalam penelitian ini adalah mereka yang terkait program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Badung, yaitu petugas kesehatan sebagai pemberi layanan, pemegang kebijakan lokal (Dinas Kesehatan dan Bappeda Kabupaten Badung) yang mempengaruhi kebijakan pengembangan layanan ART di puskesmas, tokoh masyarakat, LSM dan odha sebagai pengguna layanan di wilayah Kabupaten Badung.
39
3.3.2 Sampel Pada penelitian ini sampel dipilih secara purposive, yaitu dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Informan yang dipilih adalah mereka dianggap memiliki pengetahuan, serta bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan data terkait kesiapan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas seKabupaten Badung. Jumlah informan yang telah digunakan dalam penelitian ini sebanyak 47 orang, dengan latar belakang sebagai berikut : 1. Kepala puskesmas se-Kabupaten Badung yang telah melaksanakan layanan VCT sebanyak 12 orang, 2. Pemegang program VCT/IMS Puskesmas sebanyak 12 orang, 3. Petugas VCT/CST RSUD Badung sebanyak satu orang, 4. Kabid P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, 5. Kasie P2 HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Badung , 6. Kasie Perencanaan Alkes dan Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, 7. Staf Bappeda bagian perencanaan keuangan Kabupaten Badung sebanyak satu orang, 8. Tokoh masyarakat di wilayah Kuta Selatan sebanyak delapan orang, 9. Penjangkau lapangan (LSM) sebagai pendamping odha sebanyak dua orang, 10. Odha yang berobat ke klinik VCT/CST di RSUD Badung sebanyak delapan orang 3.4 Jenis Data Jenis data yang telah dikumpulkan berupa data kualitatif dan kuantitatif yang berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil FGD dan wawancara mendalam, serta catatan langsung atau observasi singkat dengan informan
40
yang telah dipilih dan bersedia memberikan informasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen pelaksanaan program VCT yang tertulis, absensi kepegawaian, laporan puskesmas, serta dokumen-dokumen lain program HIV/AIDS yang relevan dengan penelitian. 3.5 Instrumen Penelitian Sebagai instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, dengan menggunakan pedoman FGD, pedoman wawancara mendalam, dan observasi dengan lembaran cek list ketersediaan sumber daya untuk persiapan satelit ART di puskesmas, sebagai alat bantu dalam pengambilan informasi/data di lapangan. 3.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode diskusi kelompok terarah (FGD), wawancara mendalam (in-depth interview) dan pencatatan dengan lembaran kuesioner. Penggunaan metode FGD dilakukan agar terjadi interaksi responden untuk merangsang tanggapan, menggali gagasan, dan pendapat yang lebih bervariasi, sehingga memungkinkan berkembangnya pemikiran baru yang bermanfaat dalam pengembangan layanan satelit ART di puskesmas. Sedangkan in-depth interview digunakan untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam dari tiap responden dan masalah yang dibicarakan cukup peka terutama responden dari kalangan odha. Lembaran observasi berupa lembaran cek list digunakan untuk memastikan ketersediaan sumber daya di puskesmas sebagai persiapan satelit ART. Teknik pengumpulan data meliputi cara pengumpulan data dan prosedur pengumpulan data.
41
3.6.1 Cara pengumpulan data Cara pengumpulan data pada penelitian ini telah dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan tersebut memberikan gambaran pada peneliti mengenai keseluruhan perencanaan, pelaksanaan analisis dan penafsiran serta penulisan laporan dalam meneliti fenomena yang terjadi di lapangan. Tahapan-tahapan tersebut adalah seperti di bawah ini. a) Tahapan pra lapangan Pada tahap ini, beberapa proses yang telah dilakukan peneliti adalah menyusun rancangan penelitian, pedoman wawancara dan lembaran cek list, memilih informan dan lokasi pengumpulan data, mengurus etical clearence di komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, mengurus surat ijin permohonan penelitian, menyebarkan undangan FGD dan menyiapkan peralatan penelitian. b) Tahapan pekerjaan lapangan Pada tahapan ini, peneliti berusaha memahami situasi dan kondisi lapangan penelitiannya, yaitu memahami latar penelitian, persiapan diri untuk menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak yang terkait dalam proses penelitian. Hubungan baik tersebut juga dilakukan dengan pihak informan, terutama ketika melakukan kunjungan ke masing-masing puskesmas terkait pengumpulan data primer dan skunder, wawancara dengan pemegang kebijakan, tokoh masyarakat, LSM dan odha. Tahapan pekerjaan lapangan yang telah dilakukan adalah wawancara mendalam dengan odha sebagai pengguna layanan, petugas CST RSUD Badung, petugas VCT puskesmas, kepala puskesmas dan LSM. Pengumpulan data secara diskusi kelompok terarah dilakukan pada tokoh masyarakat. Untuk validitas data terkait ketersedian
sumber
daya
dilakukan
observasi
secara
langsung
dengan
42
menggunakan daftar tilik ketersediaan sumber daya pendukung layanan sesuai dengan standar sebagai satelit ART. Hasil wawancara dan observasi tersebut kemudian dibuat dalam bentuk verbatim sebagai persiapan analisa data. 3.6.2 Prosedur pengumpulan data Prosedur
pengumpulan
data
dimulai,
setelah
proposal
penelitian
ini
mendapatkan surat keterangan lulus uji etik dan surat ijin penelitian dari Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Propinsi Bali. Kedua surat tersebut kemudian diserahkan ke Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Badung untuk mendapatkan surat rekomendasi penelitian. Hasil rekomendasi tersebut diteruskan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dengan tembusan RSUD Kabupaten Badung dan seluruh puskesmas se-Kabupaten Badung yang dilibatkan dalam penelitian ini. Peneliti juga memohon surat rekomendasi penelitian dari direktur RSUD Badung (terlampir). Prosedur pengumpulan data penelitian dilaksanakan sebagai berikut : a. Prosedur wawancara mendalam Wawancara mendalam dilakukan pada odha, petugas kesehatan, LSM, kepala puskesmas, pemegang program HIV/AIDS di puskesmas dan pemegang kebijakan terkait. Prosedur wawancara mendalam terhadap informan dilakukan seperti yang tercantum di bawah ini. 1) Wawancara mendalam pada odha dilakukan di Klinik VCT RSUD Badung. Peneliti terlebih dahulu melapor ke bagian Humas RSUD Badung dengan membawa surat ijin penelitian dari Badan Kesbang Pol dan Linmas Kabupaten Badung. Setelah diberikan surat rekomendasi dari Direktur RSUD Badung, peneliti menghadap ke bagian kepala ruangan VCT/CST RSUD Badung dengan menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. Peneliti juga menjelaskan maksud dan tujuan penelitian ini kepada
43
koordinator dan staf VCT/CST RSUD Badung. Peneliti melakukan kerjasama dengan perawat ruangan VCT/CST untuk menjaring pasien odha yang bersedia dilibatkan dalam penelitian. Apabila ada odha yang bersedia bersedia sebagai informan, maka peneliti akan menyampaikan kembali maksud dan tujuan penelitian ini kepada calon informan tersebut di ruangan yang cukup privasi. Bagi odha yang setuju sebagai informan, wawancara mendalam akan dimulai dengan terlebih dahulu menandatangani surat pernyataan persetujuan. Wawancara pada setiap informan berlangsung sekitar 35-50 menit dengan mengacu pada pedoman wawancara. Untuk menghindari data yang hilang, proses wawancara direkam dengan alat perekam merek sony. Akhir wawancara, peneliti menyampaikan rasa terima kasih atas partisipasi informan dengan memberikan imbalan sejumlah uang sebagai pengganti waktu yang hilang dari informan. 2) Wawancara mendalam pada petugas Klinik VCT/CST RSUD Badung dan LSM dilakukan di ruang klinik VCT/CST RSUD Badung, setelah petugas selesai memberikan pelayanan. Wawancara dengan LSM dilakukan di tempat yang sama, yang secara kebetulan mendampingi odha. 3) Prosedur wawancara mendalam pada petugas kesehatan (kepala puskesmas dan pemegang program HIV/AIDS) dilakukan di tempat tugas masingmasing ketika peneliti melakukan kunjungan lapangan ke puskesmas. Peneliti membawa surat rekomendasi dan menyampaikan maksud dari penelitian ini. Apabila informan setuju, maka dilanjutkan dengan wawancara mendalam, disertai penandatanganan pernyataan persetujuan. Rata-rata wawancara berlansung sekitar 30-40 menit pada masing-masing informan. Setelah selesai wawancara, dilanjutkan dengan pengumpulan data skunder
44
melalui kuesioner dan pengamatan secara langsung berdasarkan cek list yang telah disiapkan sebelumnya. 4) Wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan (Kabid P2PL, Kasie P2 HIV/AIDS, Kasie alkes dan Farmasi, Bappeda) prosedurnya hampir sama dengan informan lainnya. Peneliti terlebih dahulu memohon ijin dan memberikan penjelasan kepada informan terkait penelitian. Apabila informan
setuju,
maka
dilanjutkan
dengan
wawancara
mendalam.
Wawancara berlangsung sekitar 30-40 menit dengan pedoman wawancara dan alat perekam. Selesai wawancara peneliti menyampaikan ucapan terima kasih atas partisipasinya sebagai informan. b. Prosedur FGD Pengumpulan data melalui FGD dilakukan di ruang pertemuan Puskesmas Kuta Selatan, atas seijin dari Kepala Puskesmas Kuta Selatan. Sumber informan berasal dari tokoh masyarakat (kepala desa, kepala dusun dan PKK desa). Surat undangan diberikan satu minggu sebelum pelaksanaan FGD. Sehari sebelum acara FGD dilakukan konfirmasi kesediaan informan untuk menghadiri undangan tersebut. Dari 12 undangan yang disebarkan, sebanyak delapan orang yang telah bersedia untuk hadir mengikuti acara FGD tersebut. Pelaksanaan FGD berlangsung sekitar 90 menit. Sebelum diskusi dimulai, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dengan menyampaikan maksud dan tujuan dilakukan acara FGD ini. Apabila peserta FGD setuju, maka diberikan formulir persetujuan sebagai bukti kesediaan sebagai informan. Pengumpulan data dilanjutkan dengan cara peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyan yang bersifat terbuka sesuai dengan tema-tema yang tersusun dalam pedoman FGD. Selama diskusi, setiap peserta diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya
45
sesuai pertanyaan yang diajukan. Peneliti juga melakukan konfirmasi terhadap jawaban-jawaban yang disepakati oleh peserta FGD. Pada akhir sesi FGD, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih atas partisipasi kepada informan. Sebagai ucapan terimakasih peneliti menyediakan sejumlah uang sebagai pengganti transport peserta. Peneliti juga meminta kontak telepon dari masing-masing peserta untuk kebutuhan informasi lebih lanjut. Selama kegiatan pengumpulan data, peneliti dibantu oleh alat penunjang, seperti: alat perekam, kamera digital, buku catatan dan alat tulis. Semua peralatan tersebut digunakan secara maksimal untuk mendapatkan data yang akurat sesuai dengan kebutuhan. 3.7 Prosedur Analisis Data 3.7.1 Pengolahan data Proses analisis data kualitatif, menurut Bogdan dalam buku “Metode Penelitian Manajemen” (Sugiyono, 2013) menyatakan bahwa analisis data merupakan proses mencari dan menyusun data secara sistematis yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan, sehingga dapat diceritakan kepada orang lain. Prosedur pengolahan data pada penelitian ini dimulai dengan pemrosesan dokumentasi. Hasil FGD dan wawancara mendalam yang telah direkam ke dalam alat perekam serta didengarkan berulang-ulang, dipindahkan ke dalam bentuk verbatim yang
46
kemudian digabung dengan catatan lapangan. Hasil verbatim dibuat dalam bentuk transkrip. Hasil transkrip dibaca berulang-ulang dan didengarkan kembali untuk memastikan keakuratannya. Data yang telah terkumpul kemudian dipindahkan ke dalam file khusus di komputer dan dilakukan back up dengan flash disc untuk menghindari kehilangan data. Selanjutnya hasil transkrip percakapan diberikan kode (coding) tertentu. Coding dilakukan untuk memudahkan analisa data terhadap kata kunci dari informan satu dengan informan lainnya. 3.7.2 Analisis data Janice McDrury dalam buku “Penelitian Kualitatif,” (Burhan Bungin, 2007: 149) menyatakan tahapan analisis data kwalitatif adalah sebagai berikut: 1) Membaca/ mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data; 2) Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data; 3) Menuliskan “model” yang ditemukan; 4) Melakukan koding. Pada penelitian ini, tahapan yang dilakukan dimulai dengan tahap pertama yaitu melakukan pengumpulan data dan membuat transkrip data dengan cara mendengarkan berulang-ulang hasil rekaman, kemudian dilanjutkan dengan menyusun hasil wawancara dalam bentuk verbatim. Pada tahap kedua, peneliti membaca berulang-ulang kali transkrip data yang ada, sehingga peneliti dapat menemukan makna data yang signifikan dan memberikan garis bawah pada pernyataan-pernyataan penting partisipan.Tahap ketiga menentukan kategori atau tema. Tema merupakan proses yang rumit. Pada tahap ini, peneliti mengelompokkan data yang tersedia ke dalam suatu tema. Selanjutnya pada tahap keempat tema yang sudah ada, peneliti mengelompokkan menjadi tema-tema yang potensial. Tahap kelima, tema yang potensial tersebut disusun dalam bentuk tulisan. Dalam penulis laporan peneliti menulis setiap frase, kata dan
47
kalimat serta pengertian secara tepat sehingga dapat mendeskripsikan data dan hasil analisa. 3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data disajikan secara naratif berdasarkan analisis tema-tema yang disusun sebelumnya. Penyajian hasil analisis juga mengikuti proses induktif dan deduktif dengan tujuan pemaparannya tidak monoton. 3.9 Keabsahan Data Uji keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik triangulasi data. Triangulasi data merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang menggunakan sesuatu diluar data itu, untuk tujuan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang dihasilkan. Terdapat empat macam teknik triangulasi data yaitu triangulasi sumber, metode, penyidik, dan teori (Moleong, 2014). Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber yaitu dengan melibatkan banyak informan dalam memperoleh suatu jawaban terhadap pertanyaan yang sama. Triangulasi juga dilakukan dengan cara menggali keterangan tambahan dari studi literatur yang berhubungan dengan standar minimal layanan ARV di puskesmas dan hasil penelitian terkait penerapan satelit ART di layanan primer. Dengan demikian data-data yang didapatkan pada penelitian ini diharapkan cukup valid dan dapat dipercaya, sehingga berguna dalam merumuskan strategi ke depan. 3.10 Etika Penelitian Penelitian ini melibatkan seluruh puskesmas se-Kabupaten Badung, oleh karena itu peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian ke Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Badung berdasarkan surat rekomendasi dari Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Proponsi Bali. Hasil rekomendasi dari Badan Kesbangpol dan
48
Linmas Kabupaten Badung tersebut disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan tembusan ke seluruh puskesmas yang ada di Kabupaten Badung. Selain itu, karena penelitian ini melibatkan odha sebagai informan, peneliti juga mengurus Ethical Clearance dari Komisi Etik FK UNUD untuk memperoleh persetujuan etik. Peneliti juga telah melakukan koordinasi dan mengurus surat rekomendasi dari Rumah Sakit Daerah Kabupaten kabupaten Badung untuk melakukan wawancara terhadap odha di klinik VCT RSUD Badung. Sebelum
memulai
FGD
dan
wawancara
mendalam,
informan
telah
menandatangani surat pernyataan persetujuan, dengan terlebih dahulu diberikan informasi yang cukup mengenai penelitian ini. Peneliti juga menyediakan sejumlah uang sebagai pengganti waktu yang hilang dan pengganti transport selama kegiatan penelitian berlangsung.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Informan Karakteristik informan dalam penelitian ini digambarkan meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan/jabatan informan. Penelitian ini telah melibatkan 47 orang informan, yang terdiri dari delapan orang pengguna layanan ARV di RSUD Badung (odha), delapan orang peserta FGD dari tokoh masyarakat di Kecamatan Kuta Selatan, 12 orang petugas klinik VCT puskesmas se-Kabupaten Badung, 12 orang kepala puskesmas se-Kabupaten Badung, empat orang pemegang kebijakan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan Bappeda, satu orang dokter dari layanan CST Rumah Sakit Daerah Kabupaten Badung dan dua orang informan dari LSM Yakeba. Karakteristik informan dari kelompok pengguna layanan (odha), yang memanfaatkan layanan ARV di Rumah Sakit Daerah Kabupaten Badung disajikan pada tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Karakterisitik informan sebagai pengguna layanan No
Kode Informan
Sex
Umur(Thn)
1 2 3 4 5 6 7 8
RO1 RO2 RO3 RO4 RO5 RO6 RO7 RO8
L L L L L L P P
46 43 62 55 31 41 38 21
Pendidikan SMP SD SMP SD SMU STM SMP SMU
Pekerjaan Wiraswasta Wiraswasta Pensiun Swasta Swasta Swasta URT Swasta
Berdasarkan tabel 4.1 tersebut, dapat digambarkan bahwa sebagian besar informan (enam dari delapan) odha yang telah diwawancarai berjenis kelamin laki-laki, rentang umur informan antara 21 tahun sampai dengan 62 tahun, dengan tingkat pendidikan 49
50
tertinggi adalah SMU. Alamat tempat tinggal odha sebagian besar berasal dari wilayah Kabupaten Badung, namun dua dari delapan odha dari luar wilayah Kabupaten Badung. Karakteristik peserta FGD berasal dari tokoh masyarakat di wilayah Kuta Selatan disajikan pada tabel 4.2 di bawah ini. Tabel 4.2 Karakterisitik peserta FGD dari tokoh masyarakat No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kode Informan RT1 RT2 RT3 RT4 RT5 RT6 RT7 RT8
Sex P L L L L L L L
Umur (Thn) 46 41 51 50 42 47 33 41
Pendidikan DII Pariwisata S1. Hukum S1. STIMI SMA SMA SMA S1 Akutansi SMA
Jabatan Pengurus PKK Kasi Kesra Kades Kutuh Kaling Br.Petang Kaling Br.Pande Kaling Br.Menesa Kaling Bualu Indah Kaling Sawangan
Sebagian besar peserta FGD (tujuh dari delapan orang) tersebut berjenis kelamin laki-laki dengan rentang umur antara 33-51 tahun. Rata-rata pendidikan informan peserta FGD cukup tinggi. Setengah diantaranya tingkat pendidikannya pada jenjang pendidikan SMA dan sisanya sarjana. Karakteristik informan berikutnya adalah dari tenaga kesehatan pemegang program HIV (salah satu tim VCT) puskesmas se-Kabupaten Badung yang disajikan pada tabel 4.3 di bawah. Sebagian besar (8 dari 12 orang) kelompok informan tersebut berjenis kelamin perempuan. Rentang umur informan antara 29-50 tahun, dengan latar belakang pendidikan sebagian besar DIII Keperawatan. Semua informan pada kelompok tersebut berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
51
Tabel 4.3 Karakterisitik informan petugas VCT puskesmas se-Kabupaten Badung No
Kode Informan
Sex
Umur (Thn)
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RK1 RK2 RK3 RK4 RK5 RK6 RK7 RK8 RK9 RK10 RK11 RK12
P P P P L L P P L P L P
32 33 33 49 35 50 37 33 36 39 34 29
DIII Perawat DIII Perawat DIII.Perawat S1 SKM Dokter DIII Perawat DIII Perawat DIII Perawat DIII Perawat DIII Perawat Dokter DIV Kebidanan
PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS
Puskesmas Kuta 1 Puskesmas Kuta 2 Puskesmas Kuta Utara Puskesmas Kuta Selatan Puskesmas Mengwi 1 Puskesmas Mengwi 2 Puskesmas Mengwi 3 Puskesmas Abiansemal 1 Puskesmas Abiansemal 2 Puskesmas Abiansemal 3 Puskesmas Petang 1 Puskesmas Petang 2
Penyajian tabel 4.4 berikutnya adalah karakteristik informan dari kelompok kepala puskesmas se-Kabupaten Badung. Informan yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan wanita (7:5). Rentang umur dari yang termuda sampai yang tertua antara 35-56 tahun. Semua informan adalah seorang dokter, lima dari 12 orang diantaranya berpendidikan S2, yang dapat dilihat seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 4.4 Karakterisitik informan kepala puskesmas se-Kabupaten Badung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kode Informan RP1 RP2 RP3 RP4 RP5 RP6 RP7 RP8 RP9 RP10 RP11 RP12
Sex L L P L P P L L L P P L
Umur (Thn) 56 48 35 44 47 49 42 47 43 37 43 37
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Dokter Dokter Dokter Dokter (S2) Dokter (S2) Dokter Dokter (S2) Dokter (S2) Dokter Dokter Dokter Dokter (S2)
PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS
Puskesmas Kuta 1 Puskesmas Kuta 2 Puskesmas Kuta Utara Pusk. Kuta Selatan Puskesmas Mengwi 1 Puskesmas Mengwi 2 Puskesmas Mengwi 3 Pusk. Abiansemal 1 Pusk. Abiansemal 2 Pusk. Abiansemal 3 Puskesmas Petang 1 Puskesmas Petang 2
52
Berikutnya adalah data karakteristik informan dari pemegang kebijakan Pemda Badung, petugas CST RSUD Badung dan Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) disajikan pada tabel 4.5. Pemegang kebijakan rata-rata berumur di atas 50 tahun, dengan tingkat pendidikan sarjana, sedangkan dari informan LSM tingkat pendidikannya yang terendah adalah SMP, seperti yang dapat terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.5 Karakterisitik informan pemegang kebijakan, petugas CST RSUD Badung dan LSM No 1 2 3 4 5 6 7
Kode Peserta RPK1 RPK2 RPK3 RPK4 RPK5 RPK6 RPK7
Sex P P P L L L P
Umur (Thn) 54 55 52 47 44 38 30
Pendidikan Dokter Sarjana Sarjana Sarjana Dokter SMA SMP
Jabatan
Alamat
Kabid P2M Kasie P2 HIV/AIDS Kasie Farmasi Kabid.Kesos Petugas CST LSM Pendamping LSM Pendamping
Dikes Badung Dikes Badung Dikes Badung Bappeda RSUD Badung Tabanan Kuta Selatan
Dilihat dari karakteristik para informan tersebut, penelitian ini telah melibatkan berbagai latar belakang informan yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam penanggulangan HIV di Badung, dengan harapan dapat menggambarkan sudut pandang mereka pada persiapan pengembangan layanan satelit ART di puskesmas seKabupaten Badung. Dengan demikian, penelitian ini telah menerapkan teknik triangulasi sumber untuk menunjang validitas data. Proses kegiatan wawancara mendalam dan FGD pada masing-masing kelompok informan telah dilakukan dalam suasana yang kondusif dan nyaman. Konfirmasi jawaban responden terkait ketersediaan sumber daya di puskesmas sebagai satelit ART, dilakukan dengan pengamatan secara langsung dengan daftar tilik pada masing-masing puskesmas.
53
4.2 Urgensi Kebutuhan Layanan Satelit ARV di Puskesmas Berdasarkan catatan laporan Klinik VCT RSUD Badung dari bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Februari 2015 diketahui jumlah odha secara kumulatif yang menggunakan layanan ARV di klinik VCT RSUD Badung, seperti yang disajikan pada tabel 4.6 di bawah ini. Tabel 4.6 Jumlah odha yang mengakses layanan ARV di Klinik VCT RSUD Badung Juli 2014 s/d Februari 2015 Uraian Jml kumulatif orang yang pernah masuk perawatan HIV Jml orang memenuhi syarat ART Jml orang yang mendapatkan ART Jml Persentase Odha yang di ARV (%) Adherence 95% 80-95% <80% Jml kumulatif odha yang meninggal
Jul 834
Agt 847
2014 Sep Okt 872 889
Nop 906
Des 911
2015 Jan Feb 949 974
704 690 98,0
724 712 98,3
751 743 98,9
772 767 99,4
786 781 99,4
795 794 99,6
834 831 99,6
860 857 99,7
461 8 7 71
472 8 6 73
484 8 6 76
498 13 7 77
524 10 6 77
556 2 0 77
513 23 13 81
554 13 2 84
Sumber : Laporan Klinik VCT Sekar Jepun RSUD Badung Juli 2014-Feb 2015.
Odha yang mengakses layanan ARV di RSUD Badung berasal dari berbagai daerah, baik dari luar maupun dari dalam wilayah Kabupaten Badung. Secara kumulatif jumlah odha yang mengakses layanan ARV cenderung mengalami peningkatan setiap bulan. Meskipun jumlah persentase odha yang mendapatkan terapi ARV dari yang memenuhi syarat, rata-rata setiap bulan sudah sangat baik (di atas 95%), namun adanya kecenderungan peningkatan kebutuhan layanan ARV tersebut, sebagai bukti layanan satelit ART perlu dikembangkan untuk mengantisipasi permasalahan perawatan odha dikemudian hari. Peningkatan kebutuhan layanan ARV terhadap odha, terjadi karena terapi ARV memerlukan perawatan seumur hidup dan adanya kasus infeksi baru. Selain itu, pemerintah saat ini telah menerapkan metode SUFA dalam pemberian ARV tanpa
54
melihat jumlah CD4. Dengan demikian, kebutuhan layanan ARV cenderung mengalami peningkatan, kecuali terjadi penurunan kasus infeksi baru HIV. Melihat peningkatan kasus HIV tersebut, informan VCT RSUD Badung dan pemegang kebijakan program HIV Kabupaten Badung, menyatakan mendukung dan berharap layanan ARV segera dikembangkan di tingkat puskesmas. Walaupun saat ini pihak rumah sakit masih mampu menangani odha, namun untuk menghindari permasalahan terhadap penambahan jumlah kebutuhan odha tersebut, diperlukan jejaring dan kerja sama antara rumah sakit dengan puskesmas dalam memberikan perawatan odha. Untuk itu perlu disusun model kerjasama yang tepat antara peran rumah sakit dengan puskesmas dalam penanganan odha, seperti dengan cara membuat standar prosedur operasional sebagai satelit ARV/ART, pembagian tugas dan tanggung jawab layanan, mekanisme rujukan dan umpan balik, serta perawatan lanjutan. Dukungan pengembangan layanan ARV di puskesmas, dapat membantu rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan terapi ARV bagi odha, membantu pemantauan keteraturan (adherence) minum obat dan mengurangi kejadian lost to follow up odha tersebut. Selain itu, pengembangan layanan ARV juga dapat membantu mengurangi stigma penyakit HIV di masyarakat serta meningkatkan kualitas hidup odha. Hal tersebut diketahui dari pernyataan petugas CST RSUD Badung dan pemegang kebijakan penanggulangan HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. Berikut kutipan pernyataannya tersebut : “….Kita berharap puskesmas bisa membantu dalam memberikan layanan ARV.. dengan adanya layanan di puskesmas, kita harapkan : satu kliennya lebih mudah mengakses ARV, kedua angka pencapaian ARV akan meningkat, ketiga angka lost to follow upnya jadi turun, ...tidak ada klien yang tidak mendapatkan ARV..odha akan teratur minum obat.. kualitas hidup klien kita semakin bagus, stigma yang terjadi di masyarakat akan menurun. (Informan RPK5) “ kitapun berkeinginan mengembangkan ke puskesmas karena…pertama, kita ingin mendekatkan layanan kepada masyarakat yang membutuhkan, kedua, ..mengurangi hambatan -hambatan selama ini contohnya lost follow up pengobatan ARV karena
55
klien minum obat seumur hidup jadi agar nanti tidak ada kendala jauh, kendala transport, dan sebagainya…supaya dia nyaman di Puskesmas.. (Informan RPK1). “Harus ada layanan ini.. mengingat layanan IMS ada, layanan VCT ada, perlu dinaikkan posisinya, apapun yang terjadi harus dikembangkan terus, karena puskesmas ini merupakan puskesmas sebagai daerah pariwisata, akses itu ada, paling tidak kita bisa mendekatkan layanan..” (Informan RP1)
Dukungan rumah sakit dan pemegang kebijakan lokal terhadap pengembangan satelit ART tersebut, sejalan dengan komitmen global dan target nasional penanggulangan HIV/AIDS, yang tujuannya untuk mencapai akses universal ARV dan program Getting to Zero HIV/AIDS. Laporan secara global terhadap perluasan akses layanan ARV ke layanan primer, memperlihatkan keberhasilan menekan laju kasus infeksi baru HIV, seperti yang diperlihatkan pada negara-negara berkembang: Afrika Selatan, Nigeria, Nepal, Myanmar, Kamboja, dan negara berkembang lainnya (WHO, 2011). Keberhasilan perluasan akses pada negara tersebut juga karena ada dukungan kebijakan pemerintah setempat. Meskipun studi perluasan layanan satelit ART ke layanan primer pada negara-negara tersebut oleh karena beban epidemiologi HIV yang meningkat, sementara prevalensi infeksi HIV di Bali masih epidemi terkonsentrasi, namun perlu dipertimbangkan untuk segera mengembangkan layanan satelit ART tersebut ke layanan puskesmas, tanpa menunggu status epidemi meluas di Propinsi Bali. Gambaran peningkatan kasus HIV dari laporan klinik VCT RSUD Badung dan keluhan dari informan rumah sakit, mengindikasikan perlu adanya perluasan layanan ARV ke puskesmas. Ditinjau dari aspek pengguna layanan, penelitian ini menemukan sebagian besar odha (5 dari 8 orang) menyatakan setuju pengalihan layanan ARV ke puskesmas. Penyediaan layanan di puskesmas, menjadi harapan baru bagi odha untuk mempermudah akses layanan dan mengurangi biaya pengobatan ke rumah sakit. Lima dari delapan odha, tidak merasa keberatan atau takut mengakses layanan ARV di
56
puskesmas, walaupun nanti status HIV mereka diketahui oleh petugas kesehatan dan pengunjung puskesmas lainnya. Hal ini berarti ada kebutuhan dan dukungan perluasan layanan ARV bagi odha sebagai pengguna layanan. Sebagian besar odha sudah ada penerimaan dan keterbukaan status terhadap penyakit HIV. Hal ini penting untuk memperluas akses layanan ke tingkat puskesmas dan mempercepat pengurangan stigma HIV di masyarakat. Umumnya odha yang setuju mengakses layanan ARV ke puskesmas adalah odha yang bersikap pasrah, menerima kenyataan bahwa telah terjadi infeksi, dan menganggap penyakit HIV ini sudah seperti biasa dengan penyakit lainnya. Harapan odha yang terpenting adalah mendapatkan layanan obat ARV secara berkesinambungan untuk menjaga tubuh tetap sehat dan mampu beraktifitas. “… kalau ada di puskesmas yang lebih deket, ngapain tidak mau, pokoknya cuwek saja sekarang.. saya kan pingin sembuh.. saya tidak takut.. kalau masalah ketakutan ketahuan itu ya kan banyak orang-orang kampung ke puskesmas, ketahuan ke klinik VCT pasti dah sakit gitu.. orang sudah tahu pasti sakit gitu..sudah lumrah..”(informan RO2). “….kalau di puskesmas ada obatnya.. ya baguslah, kan lebih deket jadinya.. saya kan dari taman griya, lumayan jauh”. (informan RO4). “..klu memang ada di lingkup puskesmas ya.. bagus, penanganan lebih cepat. Ketakutan org akan minum obat, takut dikucilkan kan berkurang.. Saya tidak punya perasaan yang menghawatirkan... sekarang saya hanya berfikir ingin sehat dan sembuh. (Informan RO6) “ ..dimanapun saya setuju, yang penting saya dapat obatnya..biar umur tiyang jak kurenan tiyang panjang..” (Informan RO7).
Berdasarkan hasil wawancara dengan seluruh informan odha, ternyata tidak semua odha bersedia mengakses layanan ARV ke puskesmas. Alasan yang ditemukan karena odha masih belum membuka status HIVnya, ada ketakutan mendapatkan stigma baik dari masyarakat daerah asal maupun petugas kesehatan yang dikenal ketika berkunjung ke puskesmas. Odha juga merasa tidak nyaman memasuki ruangan dengan tulisan VCT dan HIV di puskesmas. Berikut petikan wawancaranya :
57
“….saya tetep ke sini saja (RSUD badung).. takutnya bocor,..mendingan saya kesini...kalau di puskesmas soalnya ada tetangganya yang kerja disitu.., itu puskesmas yang ada di kerobokan,.. kalau di puskesmas itu kan nggak tertutup gitu, kalau di puskesmas kan deket lokasi rumah, deket sama yang kerja, takutnya kan kalau bocor itu saja.. saya kawatir sama anak-anak, anak saya masih kecil, di sekolah takutnya dijauhi..”. (informan RO5) “..karena tiyang udah deket disini, tiyang ngambilnya disini…biar nggak semakin banyak yang tahu.. tiyang kan sembunyi ngambilnya.. kan kecurigaan orang nike.. masuk ke ruang ini semua orang kan pasti tahu.. niki ruangan virus.. kalau tiyang ngambil obat pasti tiyang diam di sana dulu..kalau sudah sepi baru tiyang masuk.. Kalau bisa tempat itu janganlah ada tulisannya. VCT itu, orang kan sudah tahu.. itu ruangan virus.. (informan RO1) “..Kalau kita disini sih nggak terlalu anu sama odha, biasa saja.. staf puskesmas biasa saja tehadap hal seperti itu..tidak ada diskriminasi..” (informan RP1)
Hasil studi penelitian partisipatif “Odha dan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar” juga sama menemukan rasa takut dan malu untuk mengakses layanan kesehatan sehubungan dengan status sebagai pengidap HIV. Stigma yang berasal dari internal dan ekternal, sebagai hambatan utama odha dalam memperoleh layanan kesehatan dan obat ARV (KPA, 2011). Penelitian ini menemukan adanya perbedaan persepsi di kalangan odha terkait kemauan untuk mengakses layanan ART di puskesmas, sebagai suatu tantangan dalam menyediaan akses ARV yang lebih luas. Oleh karena itu, dalam memperluas layanan satelit ART perlu melihat sisi kebutuhan odha sebagai pengguna layanan, agar layanan tersebut digunakan oleh odha. Dalam hal ini, untuk mengakses layanan di puskesmas, odha masih terkendala dalam stigma internal dan stigma institusi layanan berupa adanya tulisan-tulisan VCT/HIV di puskesmas. Untuk itu, perluasan layanan satelit ART, hambatan tersebut sebaiknya memperhatikan kenyamanan bagi odha dan mengurangi stigma institusi layanan kesehatan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengganti tulisan-tulisan yang mengandung unsur stigma dengan tulisan-tulisan yang berlaku universal bagi semua pengunjung puskesmas.
58
Selain itu dalam perluasan layanan, sebaiknya dimulai pada puskesmas dengan wilayah yang sudah banyak ditemukan kasus odha. Tujuannya agar layanan tersebut termanfaatkan. Perluasan akses layanan tersebut diharapkan dapat mengurangi stigma internal odha, seperti temuan hasil penelitian di pedesaan Kenya bahwa integrasi HIV ke layanan primer dapat meningkatkan kepuasan dan mengurangi stigma (Odeny, et al., 2013). Pernyataan dukungan perluasan layanan ART ke puskesmas juga disampaikan oleh tokoh masyarakat ketika dilakukan diskusi FGD pada penelitian ini. Semua peserta FGD menyatakan setuju puskesmas sebagai satelit ART bagi odha. Menurut pandangan tokoh masyarakat, hal tersebut justru akan memudahkan odha dan keluarganya mendapatkan pengobatan, sehingga tidak perlu harus berobat ke rumah sakit yang jaraknya cukup jauh. “..Kalau saya sendiri saya setuju.., untuk bisa memanfaatkan layanan seperti itu kita harus memberikan penyuluhan terlebih dahulu kepada tokoh-tokoh masyarakat, kepada keluarga dan odhanya, jadi tidak ada kesan negatif dari kepala lingkungan, tokoh-tokoh masyarakat..” (FGD : Peserta RT1). “..saya pribadi setuju aja, karena untuk lebih mendekatkan jarak dan waktu. Tapi kita harus ingat lagi, apakah mereka mau datang dan berobat, karena secara pribadi mereka malu termasuk sanksi sosial yang mereka akan terima dari masyarakat..” (FGD: Peserta RT7). “…kalau seandainya puskesmas mampu membuka layanan seperti itu, saya kira akan memudahkan penderita mendapatkan layanan, untuk mempertahankan hidupnya lebih lama lagi, dengan mendapatkan pelayanan yang lebih dekat. Jadi kalau puskesmas mampu seperti itu, ya kami sangat mendukung sekali, sehingga masyarakat lebih dekat untuk mendapatkan pelayanan..” (FGD : peserta RT8)
Adanya dukungan dari tokoh masyarakat di wilayah kerja puskesmas terhadap pengembangan program HIV/AIDS, menjadi peluang dalam membangun jejaring layanan secara komprehensif dan berkesinambungan untuk perawatan odha. Dukungan masyarakat seperti kader kesehatan dan tokoh masyarakat dapat membantu perawatan paliatif odha, memberikan dukungan moril, mempercepat normalisasi penyakit HIV di masyarakat, dengan cara memberikan informasi yang benar terkait infeksi HIV.
59
Berbeda dengan pandangan petugas CST RSUD Badung, pemegang kebijakan, odha dan tokoh masyarakat yang mendukung perluasan layanan ARV, ternyata pandangan dan sikap tenaga kesehatan di puskesmas sebagai penyedia layanan ART, sebagian besar (15 dari 22 informan) petugas kesehatan menolak dan belum merasa membutuhkan program pengembangan puskesmas sebagai satelit ART. Secara psikologis kebanyakan petugas kesehatan belum siap menerima program tersebut, dengan alasan jumlah odha yang masih sedikit di wilayah kerja puskesmas, ketakutan layanan yang tidak dimanfaatkan odha terkait stigma penyakit HIV masih tinggi di masyarakat, tenaga pelaksana sebagai satelit ART masih kurang, belum adanya tim perawatan, dukungan dan pengobatan HIV (Tim CST) di puskesmas, petugas belum memahami satelit ART terkait belum ada standar pedoman, banyaknya program preventif dan promotif yang wajib dilaksanakan di puskesmas dan beberapa puskesmas diwajibkan membuka layanan rawat inap dan UGD 24 jam dengan jumlah tenaga terbatas. Kekhawatiran sebagian besar petugas kesehatan terhadap berbagai risiko penambahan beban kerja pada pengembangan layanan satelit ART menjadi penghambat program. Selain itu, penambahan beban kerja ke petugas puskesmas tanpa didukung oleh penambahan insentif bagi petugas kesehatan, akan menyulitkan keberhasilan pengembangan layanan. Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di puskesmas dengan pendapatan tetap setiap bulan, apabila diberikan tambahan pekerjaan tanpa ditunjang oleh insentif (reward) yang memadai, sepertinya petugas cenderung kurang berminat untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sumber biaya tambahan sebagai insentif petugas puskesmas dalam pemantauan terapi odha, agar program tersebut berhasil. Berikut petikan wawancara ketidaksiapan petugas kesehatan tersebut :
60
“..Saya kira jumlah odha kita tidak terlalu banyak .., seminggu yang diperiksa untuk test HIV paling cuma 2 orang, jadi kebutuhannya sebagai satelit ARV masih belum, agar programnya tidak mubazir…”(informan RP7) . “..Sebenarnya sih belum siap sekali kita disini, kita merasa belum siap kalau misalkan ada pasien HIV, yang kita tangani kan bukan cuma memberi obat seperti pasien TBC.., kalau tiyang lihat Psikologisnya orang kampung disini kemungkinan besar walaupun disini disediakan obat ARV, dia akan malu mengambil obat ARV kesini, karena kan penyakit HIV tidak seperti penyakit TBC.. (informan RP11). “..kesiapan puskesmas sebagai satelit ARV untuk kondisi saat ini belum, karena kunjungan untuk pasien itu kan hampir nol, jadi biar tidak mubazir, kalau datang obat juga tidak terpakai, datang reagen juga tidak terpakai, sayang jadinya, populasi kunci juga tidak ada, kafe juga tidak ada....” (informan RP12) “Kondisi saat ini jika dipaksakan jadi satelit ARV ya resikonya beban kerja petugas makin tinggi..apalagi kita rawat inap dan UGD 24 jam, tenaga kurang..” (informan RP5). “..melihat dari kompetensinya disini tidak siap, kita cuma punya konselor..asisten apoteker saja, ..kompetensi dari segi undang-undang tidak ada, timnya juga tidak ada..kemudian kalau tiyang melihat dari beban kerja itu juga tidak mampu.. beban kerjanya terlalu tinggi.. Kita di Puskesmas hanya sebagai pelaksana… apapun program yang ada di dinas itu jeleknya tidak pernah menganalisa terhadap beban kerja puskesmas.. kalau dinas menyuruh untuk melaksanakan.. ya laksanakan..” (Informan RP8)
Hal yang menarik ditemukan dalam pernyataan informan kesehatan adalah apabila pemberian ARV tersebut sudah menjadi program Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, dan harus dilaksanakan oleh puskesmas, sebagian besar informan kesehatan bersedia melaksanakan satelit ARV tersebut sesuai dengan kondisi dan kemampuan sumber daya yang ada di puskesmas. Hal ini mencerminkan puskesmas sebenarnya mampu sebagai satelit ARV dengan dukungan sumber daya yang tersedia saat ini, namun masih belum melihat adanya kebutuhan mendesak dan inisiatif perencanaan secara mandiri di level bawah terkait pengembangan layanan. “..Kalau program dinas kan kita harus selalu bilang siap, tidak mungkin kita menolak program dinas, kita bilang tidak siap kan tidak mengikuti perintah jadinya..walaupun sebenarnya dari tenaga dan sarana kita masih kurang..” (informan RP11) “..Kalau kita sih kan masih anaknya dinas kesehatan, kalau memang kita diketok untuk jalan, pasti kita jalan, entah nanti masalah dananya cukup atau tidak, kan bisa mengikuti nanti kalau memang ada kegiatan..” (informan RK5).
61
Walaupun ditemukan sebagian besar informan kesehatan menolak sebagai satelit ART, namun pada puskesmas yang telah berkomitmen melaksanakan program HIV dan terbiasa menemukan kasus HIV, seperti Puskesmas Kuta I dan Kuta Selatan, kebutuhan pengembangan satelit ART menjadi hal yang essensial. Kebutuhan tersebut terkait dengan kondisi dan situasi di wilayah kerja puskesmas, antara lain: mobilitas penduduk yang tinggi, ada populasi kunci (pekerja sex dan penasun), ada kendala jarak dalam melakukan akses ke rumah sakit rujukan, dan pemantauan odha. Informan berharap dengan membuka layanan satelit ART, penanggulangan HIV di puskesmas menjadi lebih komprehensif dan berkesinambungan. Berikut hasil kutipan wawancara tersebut : “…Sebagai satelit ARV kami selalu siap, bahkan kami yang mengusulkan ke dinas agar puskesmas dijadikan sebagai satelit ARV, dinas nanti yang melengkapi kekurangan apa yang menjadi kebutuhan kita..apa perlu pelatihan, obat, sarana penunjang.. memang saya yang menginginkan itu..karena melihat puskesmas lain itu bisa, seperti di Makasar, Jakarta… Dalam penanganan kasus-kasus methadone, sebenarnya banyak yang sudah positif, tapi untuk akses ARV kendala mereka adalah dari segi biaya, jarak jauh, dsbnya ..Kalau saya sih maunya cepet-cepet penangannya biar komplit.. dari VCT, IMS, Metadone itu masuk, lalu yang postif dapat ARV, sekali jalan..keluar, jadi lengkap dah.. karena kalau dirujuk ke RS Kapal merasa jauh dia.. (informan RP1). “..waktu setahun lalu, justru tiyang yang melontarkan ide untuk pengembangan ARV di puskesmas, kenapa harus eksklusif sekali..tiyang bilang sebagai satelit, waktu itu heboh, semua bilang susah..rumah sakit juga bilang susah.. tapi apa susahnya, kalau kita mau belajar.. ada resistensi yang menganggap kita tidak bisa..padahal tergantung komitment kita..” (informan RP4) “..sebetulnya bagus bagi klien untuk mendekatkan akses layanan, tiyang udah denger kan rumah sakit sudah overloads.. nanti kalau bisa kita perluas layanan ARVnya… Kalau kita sih kan masih anaknya dinas kesehatan, kalau memang kita diketok untuk jalan, pasti kita jalan,. (informan RK5)
Berdasarkan hasil pengumpulan data, penelitian ini menemukan adanya peningkatan kebutuhan ARV setiap bulan, ada harapan petugas CST rumah sakit terhadap pemantauan terapi, ada kemauan dari sebagian besar odha sebagai pengguna layanan untuk mengakses ARV ke puskesmas, ada dukungan dari tokoh masyarakat, ada komitmen dan kebutuhan puskesmas yang telah terbiasa melaksanakan program
62
penanggulangan HIV dan ada dukungan dari pemegang kebijakan, mengindikasikan bahwa ada dorongan yang cukup baik untuk segera melaksanakan layanan satelit ART di layanan puskesmas, walaupun sebagian besar puskesmas terutama di daerah pedesaan belum membutuhkan pengembangan layanan ARV tersebut. Beberapa studi penelitian tentang perluasan akses layanan ART di beberapa negara berkembang seperti Afrika Selatan, Zambia dan Kenya, memperlihatkan layanan primer sebagai ujung tombak layanan kesehatan terdepan, berperan cukup efektif membantu keberhasilan program penanggulangan HIV/AIDS. Temuan studi di Afrika Selatan tentang perawatan HIV diintergasikan ke dalam layanan primer, dapat mengurangi angka kematian dan stigma pada odha (Uebel KE, et al,. 2013). Walaupun kebutuhan pengembangan layanan ART pada negara-negara tersebut oleh karena beban penyakit HIV yang meningkat, namun secara teori dari hasil penelitian semakin dini layanan ART dikembangkan di tingkat puskesmas, semakin berhasil dalam menurunkan kejadian infeksi baru dan menurunkan stigma terhadap HIV. Dengan demikian, untuk keberhasilan penanggulangan HIV di propinsi Bali khususnya di Kabupaten Badung, perlu segera mengembangkan layanan satelit ART terutama pada puskesmas yang memiliki komitmen dan inisiatif sebagai satelit ARV. Adanya perbedaan kebutuhan sebagai satelit ART di tingkat puskesmas, disiasati dengan mekanisme pengembangan layanan satelit ART dilakukan secara bertahap. Walaupun ada sinyal yang kuat dari berbagai pihak, namun saat ini tidak semua puskesmas bersedia menjadi satelit ART terkait dengan beberapa kendala. Tujuannya adalah agar pengembangan satelit ART di puskesmas pada tahap awal, bisa berjalan secara efektif dan efisien, tidak menghabiskan banyak sumber daya dan finansial. Apabila puskesmas yang menjadi percontohan tersebut telah berhasil sebagai
63
satelit ART, pengembangan selanjutnya puskesmas tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan bagi puskesmas lainnya. Meskipun ditemukan adanya perbedaan persepsi terhadap urgensi kebutuhan sebagai satelit ART pada petugas kesehatan, namun sebagian besar informan menyetujui adanya keuntungan penyediaan layanan ARV di puskesmas. Penyediaan ARV akan memberikan dampak yang positif bagi keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS secara keseluruhan. Hampir seluruh informan kesehatan menyebutkan bahwa keuntungan layanan ARV di puskesmas dapat memudahkan akses layanan odha, mengurangi biaya dan waktu pengambilan ARV, mencegah terjadinya lost to follow up dan mengurangi terjadinya stigma di masyarakat, oleh karena penemuan odha lebih banyak pada stadium dini. “..yang jelas keuntungan adanya satelit ARV itu kan kalau ini bisa berjalan bagus, menguntungkan semua pihak, kita lihat yang pertama dari klien, Klien akan lebih mudah mengakses ARV, biaya yag harus ditanggung jauh lebih kecil, kedua karena ini ada di puskesmas dan puskesmas mempunyai tim promkes itu lebih gesit berjalan, kita akan mendapatkan klien-klien dengan stadium yang lebih rendah yaitu stadium I dan II, sehingga dengan sendirinya stigma yang terjadi bisa kita hindari. Dari segi rumah sakitnya, rumah sakit sangat diuntungkan, tidak semua numpuk ke rumah sakit, jadi yang kita tangani di rumah sakit adalah stadium III dan IV yang memang perlu perawatan khusus, perawatan rawat inap spesialis yang lebih terseleksi….” (Informan RPK5). “..keuntungan puskesmas sebagai satelit ARV ya untuk lebih mendekatkan layanan ke odha saja, untuk puskesmas sendiri pasiennya meningkat, ada layanan ARV..” (informan RK10) “ Puskesmas sebagai satelit ARV kayaknya sih bagus juga, sehingga layanannya betul-betul komprehensif jadinya.. tidak harus pergi ke rumah sakit lagi, . masyarakat lebih gampang aksesnya untuk mendapatkan pelayanan, kalau keuntungan buat puskesmas, otomatis meningkatkan kinerja layanan, target program, kinerja pegawai dan terakhir pasti meningkatkan insentif, outcomenya disana….asalkan untuk pemeriksaan CD4 nya juga gampang, tidak harus ke rumah sakit..” (informan RP3) “Keuntungan puskesmas sebagai satelit ARV bisa memantau odha yang ada di wilayah kita, kalau dari segi klien lebih deket ngambilnya kesini..” (informan RK3)
64
Untuk menjadikan puskesmas sebagai satelit ART, beberapa tantangan dan hambatan yang disampaikan oleh informan adalah sumber daya manusia (kualitas dan kuantitas) yang tersedia di puskesmas, infrastruktur: sarana dan prasarana, alat-alat kesehatan dan keberlansungan obat-obatan IO dan ARV, sistim adiministrasi dan pelaporan kasus (kendala SIHA), serta stigma yang masih tinggi di masyarakat pedesaan. Informan juga menyampaikan pandangan bahwa untuk membuka layanan ART di puskesmas sebaiknya pada puskesmas yang strategis dan representatif bagi odha, agar layanan tersebut tidak mubazir. Berikut adalah petikan pernyataan informan terhadap hambatan rencana pengembangan layanan satelit ART di puskesmas : “..Sebagai satelit ART dengan sarana seperti ini mungkin masih kurang ya.., layanan LKB pun belum maksimal kita bisa kembangkan.., tapi kalau memang dipaksakan ya sekedar jalan, setengah hati kita jalan ya.. yang jelas sarana yang perlu ditambah, fasilitas lab dan tenaga yang perlu dilengkapi, …petugas yang terlatih tentang satelit CST nya belum juga, yang ada baru konselor saja..” (Informan RK2) “..Yang menjadi kendala kita sebagai satelit ARV.. satu petugas, dua alat, ketiga pengetahuan mungkin tentang pelatihannya yang masih kurang.. obat ARV kan belum tersedia disini.. Kalau Obat IO ada , obat IMS ada juga.. lokasi puskesmasnya tidak cukup representative untuk membuka layanan, mestinya kan harus mudah dijangkau, letaknya di tempat yang strategis, kalau ini kan tempatnya kurang strategis, terlalu jauh..” (informan RP2). “..untuk laporannya lancar, cuma kadang ada error dari laporan SIHAnya…jadi sementara terpaksa kita manual dulu..” (Informan RK3) “..Kalau dari segi tenaga saya kira cukup untuk melaksanakan satelit ARV, tapi gedung yang tidak mendukung, ruangan untuk menjaga confidenstialitasnya tidak mendukung..” (Informan RP7) “..Kalau seandainya dia ngambil ARV, kalau tiyang lihat Psikologisnya orang kampung disini kemungkinan besar walaupun disini disediakan obat ARV, dia akan malu mengambil obat ARV kesini, karena kan penyakit HIV tidak seperti penyakit TBC.. stigmanya masih tinggi di masyarakat.” (informan RP11)
Berdasarkan studi pengembangan layanan satelit ARV di layanan primer di Afrika Selatan, dijumpai beberapa kendala yang sama, seperti kekurangan tenaga, beban kerja petugas layanan primer meningkat dan kendala sistem administrasi (Uebel KE, et al.,
65
2013). Walaupun dari studi tersebut tidak menjelaskan langkah awal membuka layanan ART, namun melihat keberhasilan di negara lain pada perluasan layanan ARV, di Kabupaten Badung perlu mengikuti perluasan tersebut secara bertahap, dimulai sebagai satelit ARV pada puskesmas dengan jumlah odha yang ditemukan paling banyak, tenaga dan prasarana tersedia memandai, telah melaksanakan program penanggulangan HIV yang cukup lama dan ada komitmen (inisiatif) dari pimpinan dan staf puskesmas. Tujuannya adalah memanfaatkan sumber daya puskesmas secara efektif dan efisien. Hasil wawancara dengan pemegang kebijakan terkait urgensi layanan ARV dan mekanisme pembentukan satelit ARV di puskesmas, terlihat respon yang sangat mendukung. Dukungan kebijakan pengembangan layanan satelit ARV di puskesmas, juga direncanakan secara bertahap. Berikut petikan wawacara tersebut. “…Kalau sekarang ini kita sudah mensetup Pusk Kuta Selatan & Puskesmas Kuta 1, karena puskesmas yang betul betul meminta dan dari segi komunitas juga banyak disana yang terpapar juga banyak.. Bukan hanya orang local tapi penduduk yang lainnya juga banyak karena kita tahu penduduk Kuta Selatan & Kuta 1 heterogen. Satu lagi yang harus kita persiapkan karena mengingat peta kabupaten Badung seperti keris.. sehingga kita harus mempersiapkan jaringan. Kita maunya menyiapkan Pusk AB 1 untuk tahap 2. Karena dasar kita pertama tenaga sudah ada, kedua lokasi di tengah tengah, ketiga dari daerah utara bisa mengakes kesana. Kalau kita dekatkan ke Petang 1 masih banyak yang perlu kita pikirkan karena SDM nya sangat kurang sekali, ruangan tidak memadai, sekarang saja VCT nya menempel dengan UGD nya (Informan RPK2). “..sebelum membentuk satelit ARV ada kajian dari SDM, obat, alat dan administrasinya. Bila memungkinkan itu.. dibentuklah di sana. Kan tidak semua Puskesmas menjadi satelit ARV. Tapi ada beberapa Puskesmas yang memang setelah kita kaji dia bisa dan sanggup sebagai satelit ARV dan juga ada penilaian dari rumah sakit pengampu bahwa ini bisa jalan..” (informan RPK1)
Untuk memilih puskesmas sebagai satelit ART di Kabupaten Badung, langkah yang telah diputuskan oleh dinas kesehatan sebagai pemegang kebijakan sudah tepat, dengan cara melakukan kajian kesiapan puskesmas tersebut. Hal tersebut merupakan langkah awal dalam pengembangan satelit ART ke puskesmas.
66
4.3 Kesiapan Puskemas Sebagai Satelit ART Berdasarkan standar penerapan layanan satelit ART Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur Tahun 2013 dan Buku Pedoman LKB Kemeskes RI Tahun 2007, untuk melaksanakan layanan satelit CST di puskesmas, hal yang perlu dipersiapkan adalah kualifikasi SDM, meliputi: jenis tenaga yang tersedia seperti dokter umum, perawat/bidan, petugas RR (report and referral), laboratorium, dan farmasi (apoteker/asisten apoteker); ada tim PDP; tenaga pernah dilatih CST (Intergrated Management of Adolescent and Adult Illness/IMAI), pelatihan konselor (VCT dan atau PITC), tersedia rekam medis (ikhtisar perawatan, register pra ART dan ART), pengelolaan obat ARV; sarana dan prasarana (form pencatatan dan pelaporan, registerregister, ruang penyimpanan logistik mengikuti ruang penyimpanan pada umumnya; memiliki rumah sakit pengampu; pemeriksaan penunjang pra ART (darah lengkap, fungsi liver, fungsi ginjal, sputum BTA, thorax foto dan CD4) (Dikes Jawa Timur, 2013, Kemenkes, 2007). Hasil wawancara dengan petugas CST RSUD Badung juga menekankan hal yang sama terhadap standar penunjang sebagai satelit ART. Berikut petikan wawancara sebagai berikut : “..di puskesmasnya apa yang perlu disiapkan adalah orangnya, infrastruktur layanannya, peralatannya.,..harus ada dokter yang bertanggungjawab dalam pemberian terapi, harus ada petugas yang mengurusi masalah obatnya, farmasinya, yang ketiga petugas lab, ..yang keempat yang perlu disiapkan adalah perawat, ... kita juga perlu menajer case, yang nanti akan lebih sering kontak langsung dengan klien-kliennya.. tempat klien kita mengadu, yang kelima kalau kita punya semacam badis pendamping..kalau ada klien-klien yang jauh yang mengaksesnya susah, kita bisa minta bantuan kepada badis penjangkau ini, penjangkau ini digerakkan oleh LSM,..Jadi kuncinya membangun jejaring. Jejaring dengan LSM, jejaring dengan rumah sakit dan jejaring dengan puskesmas sekitar juga (Informan RPK5). “..Kegiatan sebagai tenaga penjangkau adalah menemani odha…kita kerjasama dengan layanan kesehatan, puskesmas, tidak mungkin kita kerja sendiri, yang penting adanya keterikatan kerjasama, komunikasi yang baik, untuk menangani temen-temen yang terinfeksi, begitu juga pelayanannya..” (informan RPK6).
67
Penelitian ini menemukan bagian penting dari informan CST RSUD Badung yang perlu diperhatikan oleh puskesmas sebagai satelit ART, yang tidak disebutkan pada standar pedoman satelit ARV Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tersebut, yaitu adanya peran tenaga penjangkau odha (badis pendamping). Untuk meningkatkan keberhasilan sebagai satelit ART, puskesmas diharapkan mempunyai tenaga penjangkau, membangun jejaring dan bekerjasama dengan LSM dalam memantau kesinambungan pengobatan. Tenaga penjangkau dianggap penting sebagai bagian dari layanan puskesmas. Beberapa temuan studi dan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia juga menjelaskan pentingnya peran petugas penjangkau berbasis masyarakat, seperti dapat memberikan pesan untuk mengurangi prilaku berisiko penularan HIV (penggunaan kondom, jarum suntik steril), lebih mudah diterima, mengurangi stigma dan diskriminasi pada layanan, sehingga tenaga penjangkau berbasis masyarakat dijadikan bagian dalam pecegahan HIV secara komprehensif (WHO, 2004). Kajian data skunder dan observasi langsung di masing-masing puskesmas, ditemukan belum adanya satu puskesmas pun di Kabupaten Badung yang memiliki kemampuan lengkap sesuai dengan standar layanan untuk satelit ART mandiri (inisiasi ARV). Permasalahan secara umum pada sebagian besar puskesmas, seperti: belum ada tenaga terlatih CST terkait kompetensi petugas pelaksana, belum ada tim CST, ketiadaan tenaga analis, sarana penunjang laboratorium (pemeriksaan CD4, fungsi hati, fungsi ginjal,) yang tidak bisa dikerjakan hampir di sebagian besar puskesmas sebagai penunjang terapi pra ART. Melihat kondisi tersebut, untuk saat ini puskesmas se-Kabupaten Badung belum memungkinkan sebagai satelit ART mandiri (satelit CST). Akan tetapi, sebagai layanan satelit ARV (hanya melanjutkan dan membantu pemantauan terapi ARV dari rumah
68
sakit pengampu), sebagian besar puskesmas cukup berpotensi, karena telah memiliki sumber daya, seperti adanya tim VCT dan layanan pendukung program HIV. Tahap awal, puskesmas bisa melakukan kerjasama dengan rumah sakit pengampu dalam perawatan odha. Apabila puskesmas telah mempunyai pengalaman sebagai satelit ARV dan ada dukungan sarana dari pemegang kebijakan, tidak menutup kemungkinan puskesmas akan mampu sebagai satelit ART mandiri. Mengingat seluruh puskesmas belum memungkinkan sebagai satelit ART. Kajian berikut ini lebih ditekankan pada peran puskesmas sebagai satelit ARV. 4.3.1 Kesiapan SDM puskesmas Berdasarkan pengumpulan data kepegawaian di seluruh puskesmas se-Kabupaten Badung, jumlah tenaga (tidak termasuk pustu) yang ada di puskesmas seperti pada tabel 4.7 di bawah. Data tersebut diperoleh dari wawancara dengan petugas kesehatan yang di konfirmasi dengan daftar absensi di masing-masing puskesmas. Tabel 4.7 Kondisi riil SDM internal puskesmas se-Kabupaten Badung, Februari 2015 KONDISI SDM KESEHATAN No
PUSKESMAS
Jml STAF
Dokter
Perawat
Bidan
Konselor
Tenaga KPA
Ptg. TB
Tim VCT
Tim PDP
1
KUTA SELATAN
2
KUTA 1
3 4
KUTA 2 KUTA UTARA
5
MENGWI 1
6
MENGWI 2
7 8
MENGWI 3 ABIANSEMAL 1
9 10
ABIANSEMAL 2 ABIANSEMAL 3
11
ABIANSEMAL 4
12
PETANG 1
43 44 28 41 44 48 37 56 32 35 23 38 23
6 4 1 4 5 2 2 3 2 3 3 4 3
11 9 6 8 10 9 4 20 7 5 3 6 4
10 14 6 12 8 7 15 21 7 8 3 18 5
5 7 4 9 4 3 3 4 8 3 0 5 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1
9 11 5 5 9 10 5 8 8 7 0 9 5
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13
PETANG 2 Sumber : Absensi kepegawaian dan wawancara dengan petugas puskesmas se-Kabupaten Badung 2015.
69
Secara umum, tabel 4.7 menggambarkan rata-rata sebaran petugas di seluruh puskesmas se-Kabupaten Badung telah memiliki kualifikasi SDM sesuai dengan standar pedoman sebagai layanan satelit ARV di puskesmas. Seluruh puskesmas telah memiliki tenaga dokter, perawat/bidan, tenaga laboratorium, asisten apoteker, petugas RR (KPA), petugas TB, tenaga penjangkau lapangan (KPA) dan sudah terdapat tim VCT/IMS di hampir sebagian besar puskesmas. Meskipun dari sebaran jenis tenaga di puskesmas memadai sebagai satelit ARV, namun ada beberapa kendala seperti: di seluruh puskesmas belum terbentuk tim perawatan, dukungan dan pengobatan (Tim CST), kualifikasi tenaga laboratorium sebagian besar bukan seorang analis melainkan paramedis, tenaga farmasi bukan seorang apoteker melainkan juga paramadis yang diperbantukan di apotek. Sebagai satelit ARV kondisi tersebut tidak merupakan suatu hambatan, namun berdasarkan standar kualifikasi tersebut sangat penting ketika puskesmas akan dikembangkan sebagai satelit ART. Berikut adalah kutipan wawancara dengan petugas kesehatan tentang kondisi tenaga : “Jumlah tenaga dokter kita ada 3 orang, yang telah dilatih tentang HIV 2 orang, kalau tim VCTnya sudah, … TIM VCT kalau nggak salah ada 8 orang..Kalau Tim CST kita belum dibentuk.. Kalau sebenarnya SUFA itu kan tidak hanya memberikan obat saja, kompetensi petugas juga harus jelas..,kita tidak punya tenaga farmasi.. harus ada tenaga analis..analis kita nggak punya” (Informan RK8) “Timnya VCT kita 7 orang, konselornya 4 orang yang dengan sertifikat, secara umum semua bidan sudah tahu tentang HIV, tapi yang mendalam dapat pelatihan cuma 4 orang. Untuk tim perawatan, dukungan dan pengobatan belum ada..” (informan RK11) Berdasarkan kompetensi petugas terkait pengetahuan dan pemahaman penyakit HIV, menurut keterangan beberapa informan, pada setiap puskesmas diketahui bahwa tenaga puskesmas telah dilatih terkait dengan penaggulangan HIV, seperti pelatihan konselor, pelatihan pengenalan program HIV secara umum, pelatihan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS), pelatihan PMCT untuk program ibu hamil, pelatihan
70
kolaborasi TB-HIV, pelatihan pemeriksaan laboratorium HIV, pelatihan layanan komprehensif berkesinambungan (LKB) dan ada puskesmas yang pernah dilatih tentang pengelolaan methadone, seperti yang terlihat pada Tabel 4.8, namun pelatihan khusus perawatan, dukungan dan pengobatan odha (CST) belum pernah dilakukan. Berikut informasi jenis pelatihan yang pernah diberikan kepada petugas kesehatan puskesmas berdasarkan keterangan dari informan petugas VCT masing-masing puskesmas terkait dengan program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Badung: “..petugas yang terlatih tentang satelit CST nya belum ada, yang ada baru konselor saja..” (Informan RP2). “..Sekarang di Badung mau mengadakan pelatihan CST kan tidak bisa karena besar sekali biayanya. ..makanya kita masih mau sebagai satelit ARV, kecuali nanti di propinsi mambangun CST dimana puskesmas yang memungkinkan menjadi CST saat ini… kecuali nanti ada puskesmas rawat inap yang benar – benar jalan…” (informan RPK4).
Tabel 4.8 Jumlah dan jenis pelatihan yang pernah diikuti tenaga puskesmas JML dan jenis pelatihan yang pernah dikuti petugas puskesmas No
PUSKESMAS
1
Kuta Selatan
2
Kuta 1
3 4
Kuta 2 Kuta Utara
5
Mengwi 1
6
Mengwi 2
7 8
Mengwi 3 Abiansemal 1
9 10
Abianselal 2 Abiansemal 3
11
Abiansemal 4
12
Petang 1
VCT
HIV
IMS
PMTCT
TBHIV
CST
Lab HIV
LKB
Methadon
5 7 4 9 4 3 3 4 8 3 0 5 1
5 9 4 12 4 3 3 4 8 3 0 5 5
1 3 3 5 2 1 1 1 0 0 0 0 1
4 9 3 3 4 3 4 4 4 2 1 4 5
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1
0 0 0 4 4 4 4 4 4 4 4 0 4
0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 Petang 2 Sumber : Wawancara masing-masing petugas VCT puskesmas se-Kabupaten Badung 2015.
Meskipun hanya menjadi satelit ARV, dari standar layanan ARV dijelaskan bahwa pelatihan tentang penatalaksanaan HIV(IMAI) wajib diberikan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi petugas di puskesmas agar mampu melakukan
71
tatalaksana layanan ARV dan pemantauan terapi sesuai dengan standard dan kompetensi yang diharapkan. Berdasarkan pedoman standar sebagai satelit ARV, kompetensi tenaga (tim) yang diperlukan pada strata I adalah kompetensi dokter umum, konselor, perawat, petugas laboratorium, petugas pencatatan dan pelaporan, petugas farmasi, dan manajer kasus yang telah mengerti tentang penanganan HIV. Penelitian tentang integrasi ART pada layanan primer di Afrika selatan, juga menekankan perlunya peningkatan kompetensi petugas layanan kesehatan terhadap tata cara pemberian ARV(Uebel K.E., et al., 2013). Untuk keberhasilan tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dapat merencanakan pembuatan SK Tim CST di puskesmas dan memberikan pelatihan CST sesuai dengan kompetensi yang diperlukan sebagai persiapan satelit ART di puskesmas. Berdasarkan kondisi sebaran tenaga, seluruh puskesmas kecuali Puskesmas Abiansemal 4, memiliki potensi jenis tenaga yang memadai terkait dengan pengembangan layanan satelit ARV di puskesmas. Selain itu, dukungan potensial yang tersedia adalah sebagian besar puskesmas telah melaksanakan program layanan HIV, seperti: penyuluhan HIV melalui program promosi kesehatan, telah terbentuk tim VCT/IMS, adanya tenaga konselor, layanan konseling test sukarela (VCT), layanan sekrining test HIV pada ibu hamil (PPIA/PMTCT), layanan mobile VCT, adanya kolaborasi program TB-HIV dan sebagian besar layanan puskesmas sudah berstatus sebagai puskesmas layanan komprehensif berkesinambungan (Puskesmas LKB). Berikut hasil beberapa kutipan wawancara dengan informan di puskesmas terhadap kegiatan program penanggulangan HIV: “Kalau untuk program HIV-AIDS dan IMS di puskesmas Abiansemal I, ada program di dalam gedung dan juga ada layanan luar gedung.., juga ada penyuluhan untuk kelompok anak sekolah, remaja dan masyarakat, untuk layanan dalam gedung selama ini yang dijalankan di puskesmas adalah layanan PPIA, .. sudah terintegrasi terpadu di layanan poliklinik KIA, untuk semua ibu hamil K1,
72
sedangkan pasien umum tetap ke VCT, kolaborasi TB-HIV.. Kalau layanan luar gedung yang biasa dilakukan adalah Klinik Mobile, mobile VCT dan IMS,..” (informan RK8). “..kalau program HIV yang sudah dikerjakan adalah VCTnya, Mobile VCT, Sero survey, metadon, program IMS, saya kira itu.. “ (informan RP1) “Di Puskesmas Kuta I layanan HIVnya boleh dibilang paling lengkap di Kabupaten Badung, ada layanan VCT, IMS, methadone, LASS, Kolaborasi TBHIV, PITC dari pasien KIA….” (informan RK1) “tenaga kita kurang lebih tim VCT/IMSnya sekitar 12 san, konselor kita jumlahnya 10, laboratorium 1, yang dilatih HIV sekitar 11 orang, termasuk RRnya, sedangkan kalau yang dilatih CST belum ada, …(informan RP3)
Meskipun potensi jenis sumber daya manusia dan pelaksanaan program HIV/AIDS di masing-masing puskesmas telah memadai, namun pendapat sebagian besar petugas kesehatan (14 dari 22 orang) bahwa, kondisi SDM saat ini belum siap dikembangkan sebagai satelit ARV. Hal ini terkait dengan persepsi mereka terhadap banyaknya program preventif dan promotif yang dikerjakan oleh tenaga puskesmas, beban kerja program dan layanan di puskesmas tidak sebanding dengan jumlah tenaga yang ada, satu petugas mengelola lebih dari satu program kerja puskesmas, tenaga yang ada tidak sesuai dengan kompetensi dibidangnya seperti: tenaga laboratorium bukan seorang analis, tenaga farmasi bukan seorang apoteker dan beberapa layanan puskesmas membuka layanan rawat inap dan UGD 24 jam yang menyulitkan pengaturan petugas puskesmas. Apabila dibebankan program baru sebagai satelit ART disertai pemantauan terapi odha yang tidak diimbangi dengan penambahan jumlah SDM dan kompetensi yang sesuai, kebanyakan dari mereka merasa khawatir program tersebut tidak berjalan secara efektif dan tidak sesuai dengan standar mutu yang diharapkan. “..Kalau secara umum jelas kita kurang tenaga medis, karena kita adalah puskesmas perawatan, kita diwajibkan jaga sore, malam dan ada kegiatan lapangan.. kebetulan juga medisnya banyak yang sekolah…, kalau membuka layanan satelit ARV kan harus ada seorang apoteker agar bisa dipertanggungjawabkan..” (informan RP1).
73
“..Sebagai satelit ARV dari tenaga, ya kira-kira masih kurang, dokter masih kurang, apoteker kita belum punya, tenaga laboran khusus kita belum punya, itukan yang dipakai petugas lab seorang perawat, yang kita perlukan analis kita tidak punya, sopir ambulans juga kita tidak punya… semua itu masih kurang untuk bisa memberikan pelayanan yang optima..” (Informan RK2). “..Jadi yang jelas tenaga kita kurang, tidak siap.. dari segi jumlah dokter jelas kita kurang, oleh karena UGD 24 jam, kedua paramedic juga begitu, ideal jumlah dokter untuk bisa melaksanakan ini di puskesmas 6-7 dokter, minimal ada yang stanby disana kalau ada keluhan dari pasien..” (informan RP8)
Peningkatan beban kerja yang dirasakan oleh petugas puskesmas, ketenagaan yang tidak sesuai dengan kompetensi dan banyaknya program kerja di puskesmas, perlu menjadi kajian lebih lanjut bagi pemegang kebijakan untuk membuat perencanaan kebutuhan ideal tenaga kesehatan pada masing-masing puskesmas. Persepsi peningkatan beban kerja petugas puskesmas, perlu dibuktikan dengan perhitungan beban kerja. Sehingga secara ideal, kebutuhan tenaga masing-masing puskesmas akan sesuai dengan program kesehatan yang wajib dilaksanakan. Berdasarkan kompetensi petugas sebagai satelit ARV, hampir seluruh tim VCT di setiap puskesmas belum pernah diberikan pelatihan khusus tentang tatalaksana odha (pelatihan CST/IMAI). Namun ada upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Badung terkait persiapan sebagai satelit ARV. Ada dua tim VCT puskesmas (masing-masing 5 orang) yang telah dimagangkan di RSUD Badung untuk langkah awal persiapan sebagai satelit ARV, yaitu puskesmas Kuta 1 dan Kuta Selatan. “…kebijakan dari segi SDM kita sudah melatih 26 orang untuk di set up sebagai tenaga LKB tahun ini... Kemudian memperbanyak konselor karena selama ini kita hanya mempunyai 67 konselor. Kita juga memagangkan dua puskesmas di RSUD Badung yang akan diuji coba sebagai satelit ARV Tahun ini kita akan melatih 26 orang konselor...(Informan RPK2).
Jadi, dilihat dari segi sumber daya manusia terkait kesiapan sebagai satelit ARV, penilitian ini menemukan faktor-faktor penghambat dalam pengembangan layanan adalah jumlah tenaga yang dirasakan masih kurang, kompetensi petugas yang belum terlatih dan beban kerja yang dirasakan berlebihan dengan banyaknya program dan
74
kegiatan layanan di puskesmas. Sedangkan faktor-faktor pendukung adalah jenis tenaga sebagai satelit ARV memadai, ada tim VCT yang telah memahami penyakit HIV, ada tenaga tambahan dari KPA sebagai tenaga administrasi dan penjangkau lapangan. Pandangan pemegang kebijakan dinas kesehatan terkait masalah tenaga di puskesmas adalah merupakan permasalahan klasik di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Masalah tenaga adalah wewenang kebijakan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Badung, sesuai dengan ketentuan regulasi dan kebutuhan perencanaan dari bagian kepegawaian. Untuk mengatasi masalah tersebut strategi yang telah dijalankan oleh dinas kesehatan adalah dengan mengangkat tenaga dari KPA sebanyak 26 orang sebagai tenaga kontrak, harapannya bisa membantu program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Badung. Hasil observasi ke puskesmas, didapatkan tenaga KPA yang berjumlah dua orang, bertugas sebagai tenaga penjangkau dan tenaga administrasi pencatatan dan pelaporan (RR), namun penambahan jumlah tenaga KPA sebanyak 2 orang tersebut sepertinya tidak menjawab kebutuhan tenaga puskesmas saat ini. Tenaga yang ideal diperlukan sebagai satelit ART adalah beberapa tenaga medis/paramedis, tenaga analis laboratorium dan tenaga farmasi. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan merencanakan kebutuhan tenaga sesuai kompetensi yang diperlukan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan terkait persiapan sebagai layanan satelit ART mandiri. Upaya untuk meningkatkan kompetensi petugas sebagai satelit ART, dapat dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pada tim puskesmas secara khusus atau memagangkan tim VCT puskesmas ke rumah sakit daerah. Tujuannya agar mampu memberikan layanan ARV dan memantau efek samping terapi ARV sesuai dengan kewenangan di puskesmas. Dukungan pemegang kebijakan dari dinas kesehatan terhadap kompetensi petugas puskesmas, ternyata sudah dilakukan pada dua puskesmas
75
yang akan disiapkan sebagai satelit ARV dengan melakukan magang selama satu minggu di klinik VCT/CST RSUD Badung. dukungan tersebut sangat tepat untuk meningkatkan kompetensi petugas puskesmas. Berikut adalah kutipan beberapa informan terkait permasalahan tenaga di puskesmas dan dukungan kebijakan yang telah dilaksanakan, sebagai berikut : “Kalau tenaga semua ketentuan dari BKD Badung. Saya rasa untuk tenaga adalah masalah semua SKPD..jadi masalah system pengangkatan tenaga, pengangkatan CPNS semua sudah ada regulasinya..itu yang menyulitkan. Kalau kita dari segi dana untuk mengangkat pegawai tidak masalah.. hanya regulasi. Kita membuat kajian tentang penanggulangan HIV AIDS baru bisa kita audencykan ken bagian kepegawaian. Bagian kepegawaian yang akan meneruskan ke BKD...Untuk membuat perencanaan kebutuhan selalu ada. Di bagian kepegawaian ada Bed Setting pegawai. (informan RPK1) “Memang agak sulit kalau kita men set up orang baru. .. sedangkan kita paham bahwa tenaga tenaga yang ada di Puskesmas sudah over load pada program. Ya kekurangan juga karena 1 tenaga itu memegang beberapa program sehingga kita bijaksanai tenaga KPA yang ada sejumlah 56 orang , 26 orang sdh kita ambil untuk dipakai sebagai tenaga pembantu dalam penanganan HIV AIDS diantaranya adalah sebagai penjangkau lapangan, mengentri sistem RR karena kita harus respon cepat ke pusat denga sistem SIHA. Itu yang kita lakukan selama ini. Karena kita tahu situasi puskesmas…Kita masih audency dengan kepegawaian, bisa tidaknya diberdayakan . juga ada bidan bidan yang bisa kita manfaatkan. supaya tenaga di Puskemas bisa di perbanyak. Kita tidak bisa sendiri bekerja (informan RPK2). “Di LKB tim kita ada 5 orang, ada konselor tapi dia sekaligus pegang program TB, jumlah konselor kita 3 orang.. kalau dari segi tenaga sepertinya memungkinkan sebagai satelit ARV, karena sudah ditambah tenaga dari KPA 2 orang...” (informan RK7). “..Kemarin kebetulan ada tim 5 orang yang magang di RSUD Badung berkaitan dengan pemberian obat ARV..” (informan RK1)
Pedoman standar minimal sebagai satelit ARV, menjelaskan peran puskemas sebagai satelit ARV adalah melanjutkan terapi dari rumah sakit pengampu. Inisiasi ARV akan dilakukan di rumah sakit, setelah pasien memenuhi syarat ARV dan dinilai stabil oleh rumah sakit pengampu, pasien akan dirujuk kembali ke puskesmas sesuai wilayah odha untuk melajutkan ARV di puskesmas, sesuai rekomendasi rumah sakit. Apabila ada masalah dengan ARV tersebut, pasien akan dirujuk kembali ke rumah sakit
76
pengampu. Wewenang puskesmas hanya melayani obat ARV lini pertama (zidovudin, stavudin, tenofovir, lamifudin, nevirapin dan efavirenz) (Dikes Propinsi Jawa Timur, 2013). Berdasarkan pedoman standar kegiatan sebagai satelit ARV tersebut, kapasitas tenaga kesehatan di sebagian besar puskesmas saat ini memiliki potensi cukup memadai sebagai satelit ARV dan dapat diintegrasikan dengan layanan VCT yang sudah ada di puskesmas. Akan tetapi, aspek-aspek yang perlu mendapatkan perhatian adalah kompetensi petugas dengan memberikan pelatihan tentang CST dan pembentukan tim CST di puskesmas, walaupun hanya sebagai satelit ARV. Hal tersebut sudah dilakukan pada dua puskesmas. Penambahan sumber daya manusia seperti tenaga analis dan apoteker perlu dipikirkan untuk peningkatan mutu puskesmas dikemudian hari, namun hal tersebut juga dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan kompetensi pelatihan pada tenaga kesehatan lainnya. 4.3.2 Kesiapan sarana dan prasarana Sesuai dengan pedoman standar minimal sebagai satelit ARV, sarana prasana layanan yang perlu dipersiapkan di puskesmas adalah peralatan pemeriksaan fisik sederhana (dasar), peralatan pengumpulan dan transportasi sediaan laboratorium (specimen), fasilitas konseling dan bahan komunikasi, informasi dan edukasi, adanya ruang penyimpanan logistik (ARV, obat IO dan reagen) yang mengikuti ruang penyimpanan pada umumnya, tersedia formulir pencatatan dan pelaporan (komputer, ikhtisar keperawatan, kartu pasien, register pra ART dan ART, rujukan, register stok obat, sarana laboratorium, laporan obat dan laporan kohort), kondom serta alat suntik steril dan pedoman perawatan HIV (Depkes RI, 2007, Dikes Propinsi Jawa Timur, 2013).
77
Hal senada juga disampaikan oleh petugas CST RSUD Badung, bahwa untuk menjadi satelit ART selain persiapan odha dan kompetensi petugas kesehatan, juga diperlukan persiapan infrakstruktur layanan, antara lain tersedia ruang konseling yang nyaman, peralatan medis dasar, alat penunjang laboratorium, obat-obatan untuk menangani infeksi oportunistik dan ARV. Berikut kutipan hasil wawancara tersebut: “..persiapan dari Infrastrukturnya, berarti kita harus punya : satu, ruang konseling yang nyaman,..dan privatisasi terjaga…alat-alat dan tempat penyimpanan obat, alat periksa masih bisa dengan pasien yang lain, karena tidak menular lewat alatalat kan.., Cuman yang perlu dilengkapi Lab…paling tidak harus ada Darah Lengkap, BUN/SC, SGOT/SGPT, karena penentuan pemilihan obatnya disana, kalau pemeriksaan lab darah rutin didapatkan HBnya dibawah 10, kita tidak mungkin memberikan Duviral, kalau kita dapatkan BUN/SC yang tinggi kita tidak mungkin memberikan Tenofovir, kalau kita dapatkan fungsi hatinya meningkat kita tidak mungkin ngasi Nepiravin, jadi itu mutlak sekali pemilihannya, disamping pemeriksaan fisik tentunnya di awal.. kalau memang nanti puskesmas tidak hanya berfungsi melanjutkan ARV tetapi juga sebagai inisiasi ARV..” (informan RPK5).
Berdasarkan kajian wawancara dan observasi di masing-masing puskesmas, sebagian besar puskesmas tidak memiliki dukungan sarana dan prasarana penunjang sesuai dengan standar sebagai layanan ART. Hambatan-hambatan yang ditemukan adalah sarana penunjang pemeriksaan laboratorium (DL, CD4, kimia klinik) belum bisa dikerjakan oleh puskesmas, seperti sarana penunjang tersebut memang tidak ada (belum diberikan oleh dinas), kerusakan alat karena lama tidak dioperasionalkan, serta reagen penunjang pemeriksaan tidak ada atau kedaluwarsa. Pemeriksaan penunjang yang mampu dikerjakan oleh sebagian besar puskesmas di Kabupaten Badung saat ini untuk program HIV hanya pemeriksaan rapid test HIV saja. Sebagai persiapan satelit ART dukungan sarana dan prasarana penunjang sangat penting. Hasil penelitian diketahui bahwa kekurangan sarana prasarana penunjang sebagai faktor penghambat keberhasilan pengembangan program di puskesmas (Angkasawati, dkk,. 2009). Untuk itu diharapkan puskesmas dan dinas kesehatan melakukan kajian perencanaan peralatan sesuai dengan persyaratan sebagai satelit ART mandiri dalam keberhasilan penanggulangan HIV dikemudian hari. Hal tersebut
78
penting, mengingat puskesmas akan lebih efektif kalau mampu memberikan layanan secara komprehensif dan berkelanjutan. Selain itu, pengadaan peralatan medis di puskesmas hendaknya memperhatikan kebutuhan puskesmas. Banyaknya peralatan penunjang medis di puskesmas yang tidak terpakai dan akhirnya rusak akibat kesalahan prioritas perencanaan. Secara tidak langsung, kesalahan prioritas perencanaan akan menambah beban finasial negara dari sektor kesehatan yang merugikan masyarakat. Berikut adalah potensi sarana prasarana yang telah dimiliki oleh masing-masing puskesmas terkait persiapan sebagai layanan satelit ARV, seperti pada Tabel 4.9 di bawah ini. Tabel 4.9 Kondisi Sarana dan prasana penunjang kesehatan di seluruh puskesmas se-Kabupaten Badung, Februari 2015 Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang Diagnostik No
PUSKESMAS
1
Kuta Selatan
2
Kuta 1
3 4
Kuta 2 Kuta Utara
5
Mengwi 1
6
Mengwi 2
7 8
Mengwi 3 Abiansemal 1
9 10
Abianselal 2 Abiansemal 3
11
Abiansemal 4
12
Petang 1
RK. VCT
RK. IMS
RK. Farm
Rapid test
Lab. BTA
Lab DL
Lab CD4
Pem.Kimia Klinik (SGPT/SGOT BUN /SC)
X-Ray
+ + + + + + + + + + -
+ + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + -
Rsk + (R-) + (R-) + Rsk + -
-
+BO +BO +BO -
-
13 Petang 2 Sumber: Hasil wawancara dan observasi masing-masing puskesmas se-Kabupaten Badung 2015. Ket : + = Ada, - = Tidak ada, Rsk = rusak, +(R-) = alat ada, reagen tidak ada (expired), + BO = alat ada tapi belum operasional.
Hasil petikan wawancara terhadap permasalahan ketersediaan sarana-prasarana di puskesmas seperti di bawah ini:
79
“..Kalau sarana prasarana saya kira tidak ada kendala, kecuali pemeriksaan labnya yang khusus-khusus itu, masih kita perlu merujuk ke lab rumah sakit, yang ada hanya pemeriksaan lab sederhana, kita belum bisa melakukan pemeriksaan BUN/SC, SGOT/SGPT..” (Informan RK1) “..Untuk sarana laboratoriumnya..ya cuma tenaganya yang khusus belum ada, tapi sementara untuk pemeriksaan nggak masalah sih, dia sudah terlatih, cuma dari sarana laboratorium untuk LKB nanti rasanya masih kurang. sentrifuge kita nggak punya, pemeriksaan DL belum, SGOT/SGPT belum, BUN/SC belum, yang ada baru rapid test saja, kolesterol, asam urat, Gula, golongan darah, itu saja… (informan RK2).
Peran puskesmas sebagai satelit ARV adalah melanjutkan terapi dari rumah sakit pengampu. Oleh karena itu, saat ini sarana prasarana penunjang tidak menjadi suatu keharusan. Segala persiapan inisiasi ART akan dilakukan di rumah sakit, termasuk pemeriksaan penunjang. Hal tersebut juga ditekankan oleh petugas CST RSUD Badung seperti kutipan berikut ini. “..berarti kemungkinan inisiasinya masih di rumah sakit dulu, tapi ke depannya kalau mau.. apa yang tidak bisa dibeli di Badung. Darah rutin sama BUN/SC itu kan alatnya tidak terlalu mahal, malah sekarang sudah ada yang pakai stick, kalau nggak salah perbagian paling menghabiskan sekitar 60 ribu, kalau Badung mau kan bisa.. berarti di awal kita harus rujuk dulu ke rumah sakit untuk pemeriksaan lab Dl, sama BUN/SC, tapi tidak menapikkan bahwa peranan puskesmas sangat penting. Sangat pentingnya apa, kalau toh puskesmas tidak menginisiasi ARV, tapi yang namanya kita pemberian ARV, dibulan pertama dan kedua itu kan ada risiko efek samping, disini peranan temen-temen puskesmas sangat penting,..Jadi walaupun tidak bisa menginisiasi, peranan puskesmas tidak bisa dihilangkan, agar satelit ARV bisa dijalankan..” (Informan RPK5)
Peran puskesmas sebagai satelit ARV secara umum rata-rata telah mendukung. Puskesmas memiliki ruang konseling, adanya tim VCT dan sarana kesehatan dasar yang memadai, namun sebagai langkah awal uji coba pengembangan layanan satelit ARV, sebaiknya dilakukan pada empat puskesmas dengan sarana prasarana penunjang yang lebih memadai dan pelaksanan program HIV telah berjalan cukup baik dibandingkan puskesmas lainnya (tersedia layanan klinik VCT/IMS, ruang khusus penyediaan obat, sarana penunjang laboratorium lebih lengkap). Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Kuta Selatan, Kuta I, Mengwi I dan Abiansemal I. Dengan pertimbangan beban terhadap penyakit HIV belum meningkat, sehingga keempat puskesmas tersebut
80
diharapkan dapat memebantu memudahkan akses odha terhadap kebutuhan ARV di seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Badung. Dukungan senada juga disampaikan oleh pemegang kebijakan (Kabid P2PM Dikes Badung), mengingat pentingnya pengembangan layanan satelit ARV di puskesmas, untuk rencana tahap awal pengembangan satelit ARV akan difokuskan di tiga puskesmas terlebih dahulu, yaitu Puskesmas Kuta Selatan, Puskesmas Kuta 1 dan Puskesmas Abiansemal 1. Pertimbangan Puskesmas Mengwi I tidak dikembangkan sebagai satelit ARV mengingat jarak puskesmas cukup dekat dengan RSUD Badung. Berikut petikan wawancaranya : “..Untuk pengembangan satelit ARV di puskesmas..saya ingin focus di selatan sudah ada yaitu Puskesmas Kuta Selatan dan Kuta I…di utara nanti ada Puskesmas Abiansemal I untuk menjangkau klien dari utara…namun di Pusk AB I belum siap SDM Nya. Malah yang sudah siap Puskesmas Petang I. Tapi setelah di kaji belum siap karena menyangkut administrasi, takutnya kacau... kan tidak semua puskesmas menjadi satelit ARV.” (informan RPK1). “..Kalau sekarang ini kita sudah mensetup Pusk Kuta Selatan & Pusk Kuta 1 karena itu puskesmas yang betul betul meminta dan dari segi komunitas juga banyak disana yang terpapar juga banyak... Bukan hanya orang local tapi penduduk yang lainnya juga banyak karena kita tahu penduduk KS & K1 heterogen. Sehingga bagaimanapun Puskesmas sudah mengatakan siap utuk di buka. Satu lagi yang harus kita persiapkan karena mengingat peta kabupaten Badung seperti keris sehingga kita harus memepersiapkan jaringan. Kita maunya menyiapkan Pusk AB 1 untuk tahap 2..” (informan RPK2)
Menurut peneliti, walaupun jarak Puskesmas Mengwi I cukup dekat dengan RSUD Badung, upaya mengoptimalkan layanan puskesmas dalam penanggulangan HIV secara komprehensif dan berkesinambungan perlu dipikirkan. Semakin banyak akses layanan ARV, semakin memudahkan odha dalam memilih layanan. Apabila puskesmas mampu memberikan pelayanan yang baik dan tidak diskriminatif, maka odha akan lebih banyak mengakses layanan ke puskesmas, karena kedekatan geografis. Dalam memenuhi kebutuhan sarana-prasarana penunjang di puskesmas sebagai satelit ARV, peran pemegang kebijakan daerah cukup baik. Dinas Kesehatan akan mendukung semua kebutuhan sarana prasarana puskesmas, sesuai permintaan dari
81
puskesmas tersebut, dan telah tersedia anggaran. Mekanisme yang diharapkan adalah adanya perencanaan dari tingkat bawah (secara bottom up) yang disampaikan pada musyawarah perencanaan pembangunan daerah setiap tahun. Selain itu, dukungan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dalam memfasiltasi kebutuhan puskesmas juga cukup baik. Fasilitasi dilakukan dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi kebutuhan layanan di puskesmas minimal setiap 3 bulan sekali, yang diketahui dari hasil wawancara berikut ini: “..Kalau dukungan komitmen tidak perlu diragukan, cukup bagus,.. Puskesmas yang harus mengajukan. Puskesmas harus membuat usulan reagennya sehingga disini kita bisa mengadakan.. Namanya sistem perencanaan bottom up. Puskesmas dulu yang harus mengajukan kepada Dinas apa saja yang dibutuhkan sambil dimasukkan dalam Musrembang Desa Kecamatan. Disini kita mengkaji nanti, kita perjuangkan di kabupaten untuk pengadaan dan penganggarannya. Di Musrembang Kabupaten kita bawa dan sambil kita kaji lagi..” (informan RPK1) “..Untuk sarana dan prasarana di puskesmas sudah memadai sekali. Dari segi jumlah sudah cukup. Karena kita harus mengevaluasi . reagen sudah kita siapkan. Ada juga support dari pusat dikasih sedikit sebagai back up. Dari segi sarana prasarana semua sudah kita persiapkan.. Kita melakukan monev kebutuhan. Apa saja kebutuhan mereka. Kita monev setiap bulan, minimal 3 bulan sekali. Dari satu layanan kita tanyakan apa saja yang diperlukan. Sehingga dari sana kita bisa lakukan perencanaan ke Bappeda” (informan RPK2) “..secara bertahap kita penuhi melalui APBD. yang jelas apa yang menjadi kebutuhan penanggulangan HIV alat / obat secara bertahap diusulkan melalui Dikes ke Bappeda kita bahas , kita anggarkan mekanismenya sebagai penanggung jawab adalah dikes.. dilaksanakan.. proses pencairan administratifnya melalui bagian keuangan..” (informan RPK4).
Mengingat kondisi sarana prasarana kesehatan yang ada di Kabupaten Badung saat ini, dan ada dukungan kebijakan dalam penyediaan sarana prasarana tersebut, maka beberapa puskesmas di Kabupaten Badung telah siap untuk dikembangkan sebagai satelit ARV. 4.3.3 Kesiapan sediaan farmasi dan alat kesehatan puskesmas Penyakit HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, dengan konsekuensi berbagai manifestasi infeksi oportunistik (Kemenkes, 2012). Oleh karena itu, petugas
82
layanan ARV di puskesmas selain bisa memberikan obat ARV, juga diharapkan mampu menangani infeksi opportunistic (IO) ringan, seperti candidiasis oral, diare, TB paru dan sebagainya. Untuk menangani IO diperlukan peralatan diagnostic sederhana dan obatobatan penunjang IO sesuai kompetensi layanan di puskesmas (Kemenkes RI, 2011a). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lapangan, sebagian besar informan menyampaikan puskesmas telah mempunyai alat kesehatan dan obat-obatan penunjang satelit ARV, akan tetapi jenis obat-obatan tersebut bervariasi di setiap puskesmas. Tabel 4.10 berikut adalah ketersediaan farmasi dan alkes di puskesmas seKabupaten Badung. Tabel 4.10 Sedian Alkes dan Farmasi di seluruh puskesmas se-Kab. Badung, Februari 2015 Ketersediaan Alat Kesehatan dan Faramsi di Puskesmas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
PUSKESMAS
Kuta Selatan Kuta 1 Kuta 2 Kuta Utara Mengwi 1 Mengwi 2 Mengwi 3 Abiansemal 1 Abianselal 2 Abiansemal 3 Abiansemal 4 Petang 1 Petang 2
Alkes dasar
Kotrim
Metro
Fluko nazol
Doksi
Aciclovir
OAT
ARV
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + -
+ + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + +
-
13 Ket : + = ada, - = tidak ada Alkes dasar : Timbangan berat badan, Stetoskope, tensimeter, thermometer, lampu senter. Sumber : Hasil Wawancara dan pengamatan masing-masing puskesmas se-Kabupaten Badung, 2015.
“..Saya kira untuk obat-obatan tersedia banyak.. seperti kotrim, nggak masalah.. obat ARVnya saja yang belum..” (Informan RP2); “Untuk alat-alat kesehatan dan obat-obatan saya kira sudah cukup, alat-alat seperti tensi, timbangan, stetoskope, sudah cukup… Obat-obat IMS ada.., obat untuk IO seperti Kotrim, Flukonazol, Nistatin ada semua, tapi memang tidak secara program, di Apotek ada lengkap.. cuma ARV saja belum.. (informan RK2)
83
Dilihat dari ketersediaan alat kesehatan dan farmasi, sebagian besar puskesmas berpotensi dikembangkan sebagai satelit ARV dalam menangani odha sesuai standar layanan primer, namun ada beberapa informan puskesmas yang mengeluh terhadap kondisi obat IO/IMS dan kualitas peralatan medis di puskesmas. Kualitas peralatan medis tidak mampu bertahan lama (cepat rusak), walaupun dari merek yang ternama. Sedangkan keluhan terhadap kondisi farmasi yaitu ada obat-obat tertentu yang diberikan ke puskesmas tidak sesuai dengan permintaan puskesmas, dan masa kedaluwarsa obat tersebut sangat dekat. Hal ini menjadi masalah besar bagi puskesmas, oleh karena perlu mekanisme
pelaporan
dan
biaya
yang
akan
diperlukan
terkait
mekanisme
memusnahkan obat tersebut. Berikut kutipan wawancara tersebut. “Alat-alat kesehatan seperti tensi, stestoskope, timbangan secara umum cukup, cuma kualitasnya kok jelek.. saya nggak tahu ya.. memang dia mereknya Litman, tapi kok kayaknya bukan Litman beneran, kayaknya itu Litmen KW berapa itu .. ” (informan RK1) “..yang jelas waktu kita ISO kita disorotin di UGD, set bedah minornya kurang, kalau alat-alat medis seperti Tensi, Stetoskope, Timbangan, sering dikasik oleh dinas, tapi satu minggu disini sudah rusak, pernah dikasik tensi satu minggu udah rusak, kualitasnya tidak bagus, jumlahnya pun terasa kurang, kalau kita pergi Puskel itu kadang minjem tensi yang ada di KIA diambil, pergi untuk Puskel..” (Informan RP11). Kalau alat-alat pemeriksaan medis secara umum seperti tensi, stetoskope, timbangan jumlahnya masih kurang, di depan saja kita kadang masih pinjampinjaman antara Poli dengan UGD, tarik menarik, jumlahnya kurang, kalau kwalitasnya yang penting masih bisa dipakai saja, sistimnya kanibal saja, yang rusak kita ganti dicarikan pasangannya yang masih bagus, diganti-ganti saja, kalau tidak bisa dimasukkan ke gudang saja..(informan RK8) “Masalah obat-obatan lumayan ada, kombipaks kita punya, azitromizin, cefiksimnya, benzatin penicillinnya ada, clindamycin, asiclovir, tapi kendalanya expired datenya deket semua… belum terpakai sudah ED, kapan saya makainya… kadang-kadang diberikan obat yang tidak pernah kita pakai.. seperti Amoxiclav, ethambuthol, Claritromicin, yang kita pakai cuma Metro, Combipak sama Fluco, kotrimozasol.. katanya itu datangnya dari Propinsi..” (informan RK8)
84
Adanya temuan kuantitas dan kualitas alat kesehatan di puskesmas yang buruk, ketersediaan obat yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan masa kedaluwarsa beberapa jenis obat yang terlalu dekat, mencerminkan ada masalah di rantai manajemen logistik perencanaan, pengadaan dan distribusi alat kesehatan/farmasi tersebut. Dengan demikian diharapkan ada perhatian dari dinas kesehatan terhadap keluhan di level bawah dan memperbaiki rantai logistik pengadaan alat kesehatan dan farmasi. Pandangan informan pemegang kebijakan Kabupaten Badung terkait kualitas alkes dan kondisi farmasi di puskesmas terkesan prosedural dan administratif. Permasalahan tersebut, menurut bagian pengadaan farmasi dan alat kesehatan akan dievaluasi secara terus menerus sesuai dengan masukan. Puskesmas diharapkan melakukan pemeriksaan setiap barang yang diberikan, apabila tidak sesuai dengan spesifikasi dan berita acara, alat kesehatan tersebut diharapkan tidak diterima dan dikembalikan. Mekanisme yang diharapkan pada perencanaan, pengadaan dan pengawasan alkes adalah secara bottom up. Puskesmas diharapkan mengusulkan sesuai jenis dan spesifikasi alat kesehatan, kemudian diusulkan ke bagian yankes, dimana pihak yankes akan mengajukan ke Bappeda. Berikut kutipan wawancara tersebut: “..Itu akan terus menerus dlakukan evaluasi karena sesuai dengan kebutuhan. Kita sebetulnya mengadakan sesuai dengan kebutuhan mereka. Tapi ternyata setelah kita mengupayakan masih ada saja beberapa persen yang belum mem back up… jadi kita tidak bisa 100 % mengupayakan sesuai dengan kebutuhan mereka...” (informan RPK2) “..kalau teori yang benar spek diusulkan dari puskesmas… membuat usulan yang benar. dari segi merek, ukuran, barulah kita di sini menyusun. .sistem bottom up.. makanya harus dicek saat barang datang. kalau memang tidak sesuai dengan spek dan berita acara jangan diterima biar diganti barangnya bila tidak sesuai dengan berita acara. kalau masalah harga puskesmas tidak perlu tahu..” (Informan RPK3)
Dengan adanya dukungan dari pemegang kebijakan dan sistim perencanaan alat kesehatan dan obat-obatan secara bottom up, diharapkan akan meningkatkan
85
keberhasilan pengembangan layanan satelit ARV di Kabupaten Badung, walaupun hal tersebut perlu diperbaiki dimasa mendatang. 4.3.4 Kesiapan pembiayaan Pada pedoman standar minimal layanan satelit ARV di puskesmas dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, puskesmas sebagai satelit ARV tidak menyebutkan kebutuhan dana yang bersifat khusus. Puskesmas hanya melayani pemberian obat ARV lini pertama dan membuat ikhtisar perawatan, mengisi register pra ART dan ART, membuat laporan bulanan melalui SIHA dan laporan obat. Hal senada juga disampaikan oleh dokter CST RSUD Badung, bahwa untuk melaksanakan satelit ARV tidak memerlukan dana yang khusus, oleh karena semua alat, obat dan bahan habis pakai lainnya akan didapatkan dari dinas kesehatan, yang diperlukan adalah komitmen yang kuat untuk melihat kebutuhan para odha, seperti hasil wawancara berikut ini : “Kalau masalah dana bilang perlu ya perlu, karena ada kebutuhan seperti reagen, alat-alat laboratorium, bahan habis pakai itu, yang perlu diadakan kalau puskesmas kepingin menjadi satelit ARV yang bagus, tapi yang paling penting adalah tekad, kemauan kita untuk menjalani terlebih dahulu, kalau kita orientasinya ke dana, ah tidak ada dana jangan dah mengadakan yang berat-berat, toh juga tidak dapat apa-apa, ya tidak akan jalan-jalan, tapi kalau kita bertekad oh ini saya punya warga, dia harus sehat, dengan sehat dia bisa beraktifitas dan menghidupi anak istrinya, bebannya mungkin berkurang, kita akan semangat untuk itu, kita punya akal-akalan untuk bisa melaksanakannya..” (Informan RPK5)
Studi tentang integrasi layanan ART ke layanan primer, tantangan terbesar dalam pengembangan program adalah terkait dengan finansial (Julio Frank, 2009). Sebagai satelit ART diperlukan tambahan dana yang digunakan untuk memberikan pelatihan, keterampilan dan pengadaan logistik dalam pengembangan jejaring layanan (Ooms G., et al., 2008). Walaupun puskesmas hanya berfungsi sebagai satelit ARV, namun apabila tidak ditunjang oleh pendanaan yang memadai, dikhawatirkan pelayanan tersebut tidak akan optimal dan berkelanjutan. Petugas kesehatan akan memberikan pelayanan yang baik sesuai harapan, apabila diberikan reward yang memadai dalam pekerjaanya. Untuk
86
itu pemerintah perlu memikirkan mekanisme sistem pendanaan kesinambungan pelaksanaan program HIV/AIDS. Mekanisme pendanaan secara polling funding yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing layanan puskesmas, akan lebih baik dibandingkan dengan memberikan dana yang sama rata pada setiap puskesmas. Kebutuhan dana yang diperlukan di puskesmas secara umum terkait dengan pelaksanaan program penanggulangan HIV/AIDS, seperti transport penyuluhan, mobile klinik, kunjungan penjaringan kasus ke lapangan dan penguatan jejaring, yang selama ini sudah dianggarkan dari beberapa sumber dana puskesmas, namun yang perlu juga dipikirkan adalah pendanaan untuk pendampingan odha dari LSM. Selama ini LSM lebih banyak mendapatkan dukungan dana dari lembaga donor. Peran LSM cukup baik dalam pendampingan odha untuk mengakses layanan, terutama bagi odha yang baru positif HIV. LSM akan tetap beroperasional bila diberikan dukungan dana yang memadai. Sumber dana untuk program penanggulangan HIV/AIDS di puskesmas sampai saat ini masih dominan dibiayai oleh donor Global Fund. Sumber-sumber dana lainnya berasal dari APBD, BOK, dan dari dana Kapitasi BPJS Kesehatan. Berikut adalah hasil wawancara dengan beberapa petugas kesehatan : “..Pendanaan HIV/AIDS kita ada 2 sumber yaitu dari GF untuk VCT, IMS dan dari HCPI untuk methadone dan MMTnya.. kalau dari APBD paling alat dan bahan habis pakai..” (informan RK1) “..Fasilitas sarana dan prasarana penunjang untuk program HIV di puskesmas selama ini masih mencukupi.. seperti reagen, kalau tabung pengadaan sendiri, dananya dari GF itu, kan setiap pasien kan dibayarkan 10.000 ribu untuk insentifnya kita, 5 ribu untuk ATKnya, dari sana kita beliin.. (informan RK2) “..Pendanaan program HIV saat ini ada dana dari BOK untuk transportnya, dari DIPnya dinas juga ada untuk bahan habis pakainya, mobile VCTnya juga dari Dinas dan dari Global Fund ada, ..dari swasta belum ada..”(informan RP3)
Berkaitan dengan kondisi pendanaan untuk pengembangan layanan satelit ARV di puskesmas, sebagian besar petugas puskesmas berpendapat bahwa dana yang ada saat
87
ini terasa cukup untuk pengembangan layanan satelit ARV. Harapannya ke depan adalah adanya perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung melalui dana APBD untuk meningkatkan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di puskesmas seiring dengan masa berakhirnya pendanaan dari Global Fund. Berikut hasil wawancara tersebut. “..kalau masalah sarana dan prasarana serta pendanaan kayaknya sudah cukup dan sudah dipersiapkan.. dan ada dana dari sana.. tinggal kita mengamprah dan mempersiapkan layanan saja..” (Informan RK5). “..kalau dari dana sementara cukup, karena GF masih ada dan dari JKN juga ada..” (informan RK13). “..harapannya Pendanaan saja yang perlu ditingkatkan , apalagi berkaitan dengan GF yang sudah mau selesai..” (informan RK8). “…Harapannya dananya dipertahankan saja, kalau mau ditambah ya syukur.. kalau bisa dananya dari APBD sebagai pengganti GFnya nanti..” (informan RK10).
Dari wawancara dengan pemegang kebijakan terkait dengan dana program penanggulangan HIV/AIDS, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sangat mendukung dan berkomitmen dalam pendanaan program HIV/AIDS. Berikut adalah petikan wawancara tersebut : “..Kalau dukungan komitmen tidak perlu diragukan, cukup bagus. Komitmennya Pemda Badung mulai yang tertinggi dari Bupati, SKPD, Bappeda. Justru karena komitmen mereka yang kuat kita bisa bergerak karena dananya gampang.. (informan RPK1) “Mengingat Permenkes tahun 2001 dimana Global Found mau selesai tahun ini sehingga melalui Permenkes 2001 kita sudah berupaya ke Bappeda untuk pengusulan pengadaan reagen, sarana. Pemda sudah membuka. Yang menyenangkan menggembirakan hati kita diantara 9 kabupaten kota untuk pengusulan obat dan reagennya semestinya kita kan 55 % dari APBD 45 % dari pusat, namun untuk kabupaten Badung sudah 100 % dari APBD. Itulah respon kabupaten Badung... (informan RPK2). “..sangat mendukung sekali,... pemerintah tetap mendukung bahkan pak Bupati jg mendukung agar program ini menjadi prioritas pembangunan daerah… setiap tahun sudah dianggarkan. nanti ada grafik anggaran.. ..secara bertahap kita penuhi melalui APBD. yang jelas apa yang menjadi kebutuhan penanggulangan HIV, alat –alat, obat secara bertahap diusulkan melalui Dikes ke Bappeda, kita bahas…sebagai penanggung jawab adalah dikes dilaksanakan proses pencairan administratifnya melalui bagian keuangan.. (informan RPK4).
Adanya dukungan kebijakan anggaran pemerintah daerah terhadap program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Badung, diharapkan menjadi peluang bagi
88
pengembangan layanan satelit ARV di puskesmas, namun perlu adanya mekanisme sistim pooling funding dalam distribusi dana ke puskesmas. Pembagian dana ke puskesmas disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan luas wilayah, tidak berdasarkan azas pemerataan. Selain itu, perlu adanya komitmen dari petugas kesehatan untuk menentukan prioritas penggunaan anggaran di puskesmas. Mengingat sumber dana penanggulangan HIV/AIDS dapat berasal dari berbagai sumber seperti Global Fund, APBD, Kapitasi dana JKN dan Dana BOK, jangan sampai terjadi tumpang tindih dalam pembiayaan program HIV/AIDS tersebut. Puskesmas diharapkan mampu merencanakan penggunaan dana secara realistis berdasarkan kebutuhan program. 4.3.5 Kesiapan manajemen dan informasi data HIV/AIDS Pedoman standar satelit ARV dari Dinas Kesehatan Propinasi Jawa Timur, menjelaskan, untuk memantau kegiatan layanan ARV puskesmas diwajibkan membuat laporan bulanan sesuai SIHA, dan laporan obat (register pemberian obat, stok obat dan regimen obat). Puskesmas juga diwajibkan untuk mengirimkan laporan bulanan ke dinas kesehatan dan laporan penggunaan obat ke rumah sakit pengampu, dengan kesepakatan tanggal 25 setiap bulannya (Dikes Propinsi Jawa Timur, 2013). Berdasarkan keterangan dari pemegang program VCT di masing-masing puskesmas, didapatkan potensi sebagai berikut: seluruh puskesmas telah membuat dan mengirim laporan rutin pencapaian program VCT ke Dinas Kesehatan Kabupaten Badung setiap bulan, sudah ada program laporan khusus yang disebut SIHA di masingmasing puskesmas, yang saat ini masih berjalan dan sudah ada petugas yang dilatih khusus menangani laporan SIHA tersebut, serta telah ada pemanfaatan laporan SIHA tersebut untuk perencanaan puskesmas. Dengan demikian, hampir seluruh puskesmas telah memiliki manajemen informasi HIV yang memadai dan berpotensi untuk
89
dikembangkan sebagai layanan ARV. Berikut adalah petikan wawancara manajemen dan informasi data HIV/AIDS di puskesmas : .”.Untuk laporan HIV ada SIHAnya, dan sudah ada petugas yang dilatih khusus, petuga RR ada dan laptopnya sudah langsung diinstal program tersebut.” (Informan RP3) “..untuk pemanfaatan laporan HIV..sering kita pakai, kan kita juga ada pertemuan quartelymeeting setiap 3 bulan, sering kita pakai disitu, kalau sedikit kita mencapai penangkapan kasusnya otomatis kita diketok kan.. tingkatkan dengan mobile VCT…(informan RP3) “..Untuk Pencatatannya sudah ada register, sudah dikasik juga sama lembaran nike, kemudian SIHAnya…, untuk SIHAnya sempet juga macet waktu ini, lagi diperbaiki, tapi sekarang sudah bisa dijalani.. online langsung ke pusat, …petugas RR kita yang melaksanakan nike.. (informan RK10) “..pemanfaatan data..sangat berguna..untuk membuat suatu perencanaan. Contoh kenapa puskesmas ini tidak berkembang…supaya kita termotivasi untuk mengevaluasi dan memonitoring lebih ketat disana… dimana yang bisa kita perbaiki..” (informan RPK2).
Berdasarkan hasil wawancara beberapa informan ada yang menyampaikan kendala dalam manajemen data, yaitu masalah dalam program software SIHA yang sering error, kekurangan sarana komputer dan alat koneksi (hardware) pada beberapa puskesmas untuk melaporkan SIHA dan ada perpindahan petugas yang telah terlatih SIHA ke tempat lain. Berikut petikan-petikan hasil wawancara terhadap kendala program SIHA di puskesmas : “..Untuk laporannya, sementara tidak ada masalah, sudah ada tenaga dari KPA yang membantu 1 orang, cuma kadang ada error dari laporan SIHAnya, sudah difoto untuk dilihat dimana errornya dan udah dikirim ke dinas, jadi sementara terpaksa kita manual dulu, biasanya kita ngentre langsung masuk ke formny..” (Informan RK3) “…SIHA di puskesmas jalan, ada petugas yang sudah pernah dilatih.. tapi sekarang petugas tersebut sudah pergi.. pengerjaannyaya secara manual saja, karena petugasnya pergi.. dia dapat di RSUD, dulu kan dia tenaga honor, KPAnya yang menempatkan.. sekarang ini dia dapat di RSUD..(informan RP2). “..Kendala SIHAnya terbentur wifinya saja tidak ada, tapi sudah terkirim laporannya setiap tanggal 25 ke dinas..”(Informan RK7) “..Untuk laporan kegiatannya SIHAnya jalan, tapi kemarin fatal programnya agak error, mau diinstal ulang.., tidak bisa langsung online ke kemenkes, dibilang
90
ada kesalahan password, dinasnya yang mengirimkan laporannya.. jadi dari sini, bawa laptopnya ke dinas dulu, baru mereka yang ngirim laporannya, disamping hard copynya..”(Informan RK8) “..Kalau berkaitan dengan laporan HIV untuk pengembangan program, ya kadang dipakai sebagai patokan untuk tahun berikutnya apakah ada penambahan atau gimana..”(informan RK10)
Berkaitan dengan kendala terhadap manajemen data SIHA di puskesmas, pemegang kebijakan (dinas kesehatan) menyampaikan solusi sementara yaitu puskesmas mengupayakan untuk melakukan konsultasi ke kabupaten (dinas kesehatan) untuk memperbaiki sistem SIHA yang error. Tenaga dinas kesehatan akan membantu mengirimkan laporan sementara ke pusat, namun per Januari 2015, tenaga di puskesmas diharapkan bertanggung jawab secara mandiri untuk melaporkan ke pusat. Dinas kesehatan tidak diijinkan membantu puskesmas dalam sistem pelaporan SIHA. Konsekuensinya, apabila puskesmas tidak melaporkan SIHA secara mandiri ke pusat, maka data cakupan program layanan HIV/AIDS puskesmas tersebut tidak akan terlaporkan di SIHA pusat. “..komputer adalah barang yang tidak bisa kita andalkan, sehingga upaya yang bisa kita tempuh adalah konsultasi ke kabupaten…kita bantu meng explore ke pusat. Tapi sejak januari ini biar bagaimanapun kita tidak boleh membantu lagi.. Mereka harus mandiri, karena itu adalah aturan dari pusat. Mulai bulan januari kabupaten tidak bisa lagi membantu Puskemas ada tidak ada laporan adalah tanggung jawab puskesmas.. Kalau seandainya telat laporannya tidak ada ke pusat ya sendiri di kali ke pusat tidak terlaporkan . dari sana akhirnya puskesmas berusaha termotivasi sehingga bisa berusaha untuk mengupayakannya...” (Informan RPK2)
Kebijakan pusat yang mengharuskan puskesmas untuk melaporkan kegiatan HIV ke program SIHA tanpa disertai dengan perlengkapan sarana komputer dan koneksi serta kompetensi SDM yang mamadai, sepertinya akan memberikan beban tambahan bagi puskesmas dalam melaksanakan laporan program tersebut. Hasil wawancara dengan informan program VCT puskesmas, beberapa dari mereka sudah ada keluhan
91
terkait kebijakan ini, seperti petugas menggunakan laptop pribadi dan kesulitan pada sistim koneksi di beberapa puskesmas. “..Kalau Laporan HIVnya lancar, tapi kalau kita melihat secara lebih mendalam sarananya tidak ada untuk mengirim laporan, seperti laptop, yang dipakai milik pribadi, modem tidak ada,..SIHAnya sudah jalan karena itu kan tuntutan, mau tidak mau kan harus kirim.., walaupun tidak ada sarana, gimana caranya biar terkirim, laporan tetap terkirim tapi memakai sarana pribadi..(informan RP8) “..dari IT kita sudah difasilitasi.. ada Wifi, tapi masalahnya laptop, dinas belum ngasik,, kita pakai laptop pribadi, hampir semuanya pakai laptop pribadi, apalagi untuk SIHA malahan RR saya sudah ngerusakin satu laptop..” (Informan RK1). “…Memang sementara ini kita berusaha mendekati Kepala Puskesmas.. Ini adalah tanggung jawab puskesmas.. kita tidak mau program HIV/AIDS terlantar.. karena kita tahu HIV AIDS ini program MDGs yang harus betul-betul diprioritaskan…Puskesmas sudah mengupayakan sarana itu, sehingga 1 laptop dipakai 1 program..makanya sementara ada yang pakai laptop pribadi.. Karena program SIHA tidak buleh dicampur dengan program lain seperti SITT yang ada di TB. Kita akan tetap berupaya di bagian umum agar Puskesmas terbantu dan di bagian umum sendiri merencanakan…” (informan RPK2).
Meskipun sistem pelaporan SIHA tersebut telah mampu diatasi oleh petugas puskesmas dengan berbagai upaya secara mandiri, namun ke depan hal tersebut perlu mendapat perhatian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, terkait puskesmas akan dikembangkan sebagai satelit ART. Dinas kesehatan diharapkan mengakomodir kebutuhan manajemen data dan informasi program HIV/AIDS di puskesmas. Oleh karena, dukungan manajemen data dan informasi yang baik akan membantu keberhasilan pengembangan layanan ART di puskesmas, yang secara signifikan meningkatkan keberhasilan dalam penanggulangan HIV (Shade, et al., 2014). 4.3.6 Leadership dan governance Pengembangan layanan satelit ART di puskesmas, tidak terlepas dari peran kebijakan kepala puskesmas untuk melihat kebutuhan layanan puskesmas. Penelitian ini menemukan adanya perbedaan persepsi informan petugas kesehatan terhadap kebutuhan pengembangan layanan satelit ART di tingkat puskesmas. Kepala puskesmas yang cukup lama melaksanakan program HIV dan telah terbiasa melayani odha, cenderung
92
menyatakan sikap setuju, siap mendukung dan sangat membutuhkan pengembangan layanan satelit ART, daripada puskesmas yang baru menyediakan layanan LKB program HIV, walaupun dari potensi sumber daya telah tersedia. Puskesmas yang berlokasi di daerah pedesaan cenderung belum siap sebagai satelit ART, dengan alasan stigma HIV di masyarakat pedesaan masih tinggi. Dikawatirkan layanan tersebut akan mubazir, karena odha malu dan takut berkunjung ke puskesmas. Petikan wawancara dengan puskesmas di perkotaan : “..justru kita yang mengusulkan agar puskesmas bisa melayani ARV, tidak perlu ekslusif lagi, kan petugasnya bisa dilatih.. dulu awalnya rumah sakit juga begitu..” (informan RP4). “..Memang saya yang menginginkan itu, kapan bisa melaksanakan ARV, bukan ditunjuk, saya sebetulnya mengusulkan untuk melaksanakan ARV, karena melihat di puskesmas lain itu bisa, seperti di makasar, Jakarta, banyak puskesmas yang sudah melayani ARV, nah ini kita terbentur terhadap syarat-syarat, satu konsultasi terhadap dokter spesialis penyakit dalamnya ini yang tidak ada kita, harus konsultasi itu, jadi yang menangani masalah komplikasi dan sebagainya dalam pemberian ARV itu kan banyak, itu konsultannya harus ahli penyakit dalam.. (informan RP1).
Petikan wawancara dengan puskesmas di pedesaan: “kita belum siap sebagai satelit ARV.. pasien HIV itu kan memerlukan perlakuan yang istimewa, psikologisnya, komunikasinya, nah, rasanya temen-temen disini belum siap menangani komplikasi dari HIV-AIDSnya itu.. kalau tiyang lihat Psikologisnya orang kampung disini kemungkinan besar walaupun disini disediakan obat ARV, dia akan malu mengambil obat ARV kesini, karena kan penyakit HIV tidak seperti penyakit TBC.. beda dengan orang yang mengambil obat ARV di puskesmas Kuta 1 mungkin, cuek saja, karena mereka sudah merupakan banyak pasien kan, kan mayoritas sudah HIV ndak malu mereka, disini coba kalau dia mengambil obat ARV ke puskesmas, malu dia…” (Informan RP11).
Sebagian besar informan kesehatan menyatakan sikap bersedia melaksanakan program satelit ARV tersebut, apabila telah dicanangkan oleh pemerintah daerah dan atas perintah dari dinas kesehatan. Hal ini mengindikasikan belum adanya inisiatif puskesmas sendiri dalam merencanakan pembentukan satelit ARV, berdasarkan analisa kebutuhan dan perkembangan situasi saat ini. Padahal, perencanaan ideal yang diharapkan dalam penanggulangan masalah kesehatan adalah secara sistim bottom up. Dengan demikian, pengembangan layanan ART sebaiknya diperlukan sisi leadership yang cukup kuat pada level bawah dalam melakukan sebuah inovasi layanan.
93
4.5 Stigma dan Diskriminasi HIV/AIDS Stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV mempengaruhi prilaku odha dalam mencari layanan kesehatan. Menurut keterangan informan petugas CST RSUD Badung, stigma bisa berasal dari odha sendiri dan petugas kesehatan. Informan menyampaikan, kedua stigma tersebut dapat menjadi penghambat pendekatan layanan ARV ke puskesmas. hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Eka Sari Ridwan, dkk (2010) tentang hambatan odha untuk mengakses layanan terkait stigma sosial yang menganggap odha dan pasangannya sebagai pendosa. Untuk mengurangi stigma pada petugas kesehatan, informan CST RSUD Badung berharap seluruh petugas kesehatan di puskesmas, perlu memahami penyakit HIV secara benar. Penularan HIV tidak semudah seperti penyakit TBC paru. Petugas kesehatan perlu memahami dan merubah cara pandang bahwa orang yang terinfeksi HIV tersebut sama halnya seperti penyakit kronis lainnya (DM atau asma). Perluasan terapi ARV diharapkan akan terjadi konversi HIV dari stadium III dan IV menjadi stadium I dan II yang secara fisik tampak sehat. Sehingga berdampak pada pengurangan stigma dan diskriminasi tersebut. Berikut kutipan wawancara tersebut : “…menurut saya stigma itu muncul dari diri pasien dan juga yang paling berat dari petugas kesehatan.. kita harapkan adanya satelit ART ke puskesmas sebenarnya mendekatkan layanan ke klien, ada beberapa klien yang menstigma dirinya sendiri justru tidak mau mengakses layanan terdekat, malu kalau ada keluarganya disana,.. yang kedua saya takutkan temen-temen kita di puskesmas belum terbiasa dengan pola komunal di lingkungan dengan orientasi sex yang berbeda dengan kita.. satu orang saja yang tersinggung dalam waktu lima menit seluruh Badung akan mengetahui, sekali kita di cap jelek seluruh komunitasnya akan tahu.. pahami bahwa orang yang kena HIV itu adalah penyakit kronis, sama dengan orang yang kena DM, Asma bronkiale.. semakin cepet kita menangani odha di stdium I dan II, stigma akan menurun..”” (Informan RPK5)
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan odha, tidak semua odha bersedia mengakses layanan ARV ke puskesmas, meskipun layanan tersebut berjarak cukup dekat dengan tempat tinggal odha. Tiga dari delapan odha merasa khawatir dan takut
94
terhadap stigma dan diskriminasi yang berasal dari petugas kesehatan maupun pengunjung puskesmas lainnya. Berikut petikan wawancara tersebut : “..walaupun sudah ada di puskesmas saya akan tetap ke sini.. yang jelas puskesmas kan orang daerah kita.. mereka tahu jadinya, nanti semakin melebar lagi, mulut orang itu kan bilang nanti, sakit gini sakit gitu… tiyang kan jaga ini juga, takut biar tidak dikucilkan.. jadi omongan masyarakat, itu yang paling riskan sekali..”(Informan RO1. “..tetap kesini saya, kan kalau sudah penanganannya bagus disini, kita sudah biasa kesini, mendingan jauh untuk tetep kesini, kita itu mencari aman pelayanannya… cuman takutnya kalau bocor saja.. kasian sama anak, entar anak-anak sama temen-temenya kan diciri gitu lo.. maksudnya kan dibilang orang ini jangan ditemenin, kena penyakit gitu.. padahal itu kan yang kena orang tuanya,..” (informan RO5).
Karkateristik odha yang tidak berani untuk mengakses layanan ARV ke puskesmas, diantaranya adalah odha yang terinfeksi HIV dengan rentang waktu relatif baru, status HIVnya masih tertutup pada lingkungan keluarga di rumah (hanya orang tertentu saja sebagai pendamping) dan odha masih aktif bekerja. Sikap malu dan takut tersebut ditemukan baik pada odha laki-laki dan perempuan. Hambatan utama odha tidak berani pindah mengakses layanan yang lebih dekat (puskesmas) terkait dengan kenyamanan odha mendapatkan layanan selama ini di RSUD Badung, privasi status odha yang tetap terjaga dan adanya ketakutan terhadap stigma sosial di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja odha. Odha cenderung lebih takut terhadap stigma dari masyarakat (stigma sosial) dan stigma di tempat kerja daripada stigma dari petugas kesehatan. Hal ini diketahui dari alasan odha bersedia mengakses layanan ARV di tempat yang jauh. “..kalau memang di jamin kerahasiaannya saya tidak takut, karena orang kesehatan kan tempatnya kita konsultasi penyakit, jadi kita bisa tahu apa penyebab… yang saya kawatirkan masyarakatnya..karena nggak setiap orang mengerti dan tahu.. saya tetep mengambil obat ke sini.. (Informan RO7).
Selain itu, untuk mengakses layanan ARV ke puskesmas, beberapa odha juga merasa khawatir terhadap kenyamanan layanan di puskesmas. Odha merasa kurang nyaman terhadap beberapa hal seperti perubahan sikap petugas puskesmas ketika
95
menghadapi pasien HIV, privasi yang tidak terjamin, ada tulisan seperti ruang VCT dan HIV di depan ruang tunggu puskesmas, yang mengakibatkan orang lain curiga ketika bertemu dengan odha tersebut. Selain itu, petugas puskesmas dianggap sebagai orang yang mereka kenal di daerahnya, yang berimbas pada ketakutan terhadap status HIV mereka. “..karena kita itu kan ketemu dengan masyarakat satu desa, satu banjar biar bisa tersembunyilah.. kalau ada orang-orang mengwi saja, saya nggak mau ke sana, lebih baik saya cari yang sepi, cari yang lebih aman saja.. Kalau bisa di puskesmas jangan diisi tulisan.. orang sakit itu paling dia nanya dimana tempat ngambil obat.. nanti kan sudah tahu, rutin ngambil obat.. kalau orang yang ngerti dengan itu tahu dia, itu orangnya sakit… kalau bisa ditutupilah.. saya sudah nyaman ngambil obat disini, walaupun nanti ada obat di puskesmas, saya akan tidak datang ke puskesmas, saya cari yang aman saja dan rahasia..gitu.. (informan RO1) “..Kalau di puskesmas soalnya ada tetangganya yang kerja disitu lo, itu puskesmas yang ada di kerobokan, … Nggak ah, mendingan kesini, soalnya pas di depan Villa itu ada Bidan kerjanya disana, takutnya kan kalau bocor ke situ lo..ke boss saya, boss saya nggak mau anak buahnya kena penyakit begitu.. Ya kalau di Puskesmas gitu dah dia nanya-nanya, aku kan pakai BPJS untuk mengambil surat rujukan, dia itu nanya-nanya kamu penyakit apa.. pokoknya terus nanyaain gitu dah..pokoknya bedalah nggak kayak disini (RSUD), kalau disini biasa-biasa saja, baguslah penanganannya.. kalau di Puskesmas nggak sih, gimana ya kalau kita ke puskesmas, dia itu kayak gimana gitu..” (informan RO5). “..siapapun yang sakit seperti saya ini, nggak mau diketahui, apalagi masyarakat di desa nggak ngerti apa, padahal saya tidak pernah berbuat macam-macam, pandangan mereka akan lain terhadap saya.. saya akan tetap ngambil obat kesini..saya takut dikucilkan” (informan RO7).
Penelitian ini menemukan odha akan memilih layanan ARV yang memberikan privasi dan kenyamanan layanan, meskipun jarak layanan tersebut cukup jauh dari tempat tinggal odha. Hal ini penting diperhatikan oleh puskesmas sebagai penyedia layanan ARV untuk menjaga kenyamanan odha sebagai pengguna layanan, dengan menyediakan ruang konseling yang cukup privasi. Untuk menjaga privasi dan meningkatkan kenyamanan, beberapa odha mengharapkan agar layanan ARV di puskesmas sebaiknya digabung dengan layanan lainnya, dengan tujuan menjaga kecurigaan pada pengunjung puskesmas. Akan tetapi, ada juga odha berharap ruang layanan ARV tersebut dipisahkan, dengan alasan agar
96
mekanisme layanan lebih cepat dan privasinya terjamin daripada mereka harus menunggu antrean di layanan umum, hanya untuk mengambil obat saja. Berikut petikan wawancara tersebut : „…biar tidak banyak orang yang tahu, sebaiknya ruangan digabung, kalau dipisah satu-satu banyak jadinya orang tahu, diharapkan kalau di puskesmas itu tidak usah ada plang pengobatan VCT, jadinya kita pelayanan umum saja,..kalau sudah ada tulisan VCT sudah dah orang tahu kena sakit begitu... kalau saya sih sebaiknya digabung, biar pun antreannya lama, kan penularannya tidak segampang itu..padahal yang lebih bahaya itu sebenarnya TBC... (Informan RO2). “..Kalau kita ke Puskesmas boleh, tapi kita harus bisa berbaur, kan dokternya sudah tahu data-data pasien, memang lebih baik dibaurin saja… tolong jangan dipisahkan.. tidak usah pakai tulisan begini..” (Informan RO3). “.. Saya kira lebih baik layanan pisah dan tersendiri, kayak di rumah sakit ini.. karena takut ada yang nanya dari petugas lain yang tahu.. disamping itu kan lebih cepet layanannya” (informan RO8).
Perbedaan persepsi odha pada mekanisme layanan, sepertinya dipengaruhi oleh stigma internal yang masih melekat pada diri odha. Untuk itu, penting bagi petugas VCT untuk menekankan membuka status secara dini dalam mengurangi stigma internal odha. Berdasarkan pernyataan dari sebagian besar petugas kesehatan terhadap stigma dan diskriminasi terhadap odha, sebagian besar petugas kesehatan menyangkal adanya stigma dan diskriminasi di tempat layanan puskesmas. Informan kesehatan menyampaikan, saat ini stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV sudah berkurang dan perlakuan terhadap odha sama dengan perlakuan pasien pada umumnya, terkecuali pasien tersebut berisiko untuk menularkan penyakitnya kepada orang lain, seperti odha dengan TB. Hasil wawancara rata-rata sebagian besar petugas kesehatan menyebutkan tidak ada perbedaan perlakuan dan perubahan sikap dari petugas kesehatan terhadap odha, oleh karena puskesmas telah melaksanakan program HIV cukup lama dan telah menerapkan standar ISO pada layanan.
97
..”Kalau kita disini sih nggak terlalu anu sama odha, biasa saja.. staf puskesmas biasa saja tehadap hal seperti itu..tidak ada diskriminasi.. Justru masyarakat disini tidak mau mendapatkan layanan HIV disini, melainkan di Denpasar dia, nah itu kebalik, jadi yang disini kebanyakan menangani orang-orang yang dari luar saja yang tinggal disini.. mereka yang buat cara seperti itu…contohnya di methadone..”(Informan RP1) “..Dulu ada pasien IMS, methadone, staf puskesmasnya ada yang ketakutan, sampai alat-alatnya dipisahkan, tapi semenjak ada ISO, prosedur layanan harus dilakukan, walaupun ada odha yang datang, biasa saja..(Informan RK1) “..kalau saya selama ini di poli, pasien odha datang, pasien TB datang sama saja pelayanan.. tidak membedakan pelayanan antara pasien satu dengan pasien lainnya, walaupun dia itu odha.. stigma dan diskriminasi saya kira sudah mulai berkurang dibandingkan dengan yang dulu.. waktu pertama kali buka layanan VCT, terutama temen-temen di loket, oh itu pasien HIV, tapi sekarang sih sudah tidak terlalu..” (informan RK5). “Stigma dari petugas kesehatan saya rasa tidak, karena kita sudah mengerti bagaimana caranya menggunakan APD..” (Informan RP7) “Kalau dari petugas kesehatan tidak ada stigma dan diskriminasi, nggak masalah bagi kita, biasa saja, kecuali kalau memang dia baru terdeteksi TB, mau test VCT, pasiennya kita kasik masker, kita juga makai.. untuk proteksi diri..(Informan RK7)
Pernyataan dari petugas kesehatan juga diperkuat oleh pernyataan informan dari LSM Yakeba. Informan menyampaikan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap odha pada layanan kesehatan sudah berkurang, namun stigma di masyarakat masih tinggi yang menyebabkan odha merasa takut membuka status HIV. Berikut petikan wawancara dengan LSM tersebut: “..kalau stigma di layanan kesehatan saya lihat selama satu tahun ini sudah tidak ada, hanya di masyarakat masih ada.. masih tinggi kalau di ukur mungkin sekitar 60 % lah.. alasan odha tidak mau terbuka karena takut dikucilkan..Di jimbaran ada kasus yang setelah diketahui dia menderita HIV bukan dikucilkan, tapi di diejek-ejek, akhirnya mrk jadi malu.. (informan RPK 7). “..Kayaknya sudah seperti hal biasa lah penanganannya, tidak seperti dulu..rasa ketakutan, sekarang kan sudah biasa pelayanannya atau penerimaannya..”(Informan RPK6).
Meskipun stigma dan diskriminasi dari petugas kesehatan sudah berkurang, namun dari hasil pengumpulan data wawancara, ada informan yang menyampaikan isu stigma di layanan kesehatan masih terjadi, terutama pada petugas di luar tim VCT. Stigma ditunjukkan oleh sikap petugas yang menganggap pasien yang berkunjung ke VCT cenderung mempunyai riwayat perilaku seksual yang tidak baik. Selain itu,
98
Perilaku yang tidak disadari adalah melakukan percakapan sesama petugas, sambil memandang ke arah klien yang memasuki ruangan VCT/IMS. Walaupun percakapan tersebut tidak bermaksud membicarakan odha, tetapi prilaku tersebut membuat perasaan yang kurnag nyaman pada klien yang berkunjung. “.. rasanya masih ada stigma, jujur saja, kadang kalau orang masuk ke ruangan VCT mulailah orang-orang kita bertanya.. padahal kan belum tentu pasien yang masuk ke ruang VCT itu sudah pasti mereka odha.. mungkin kan sekedar konsultasi, konseling atau apalah.. sikapnya seperti biasa, cuma kevonya itu.. pingin tahunya itu.. apalagi orang yang dia kenal dari deket rumahnya, warganya.. atau tetangganya.. paling tidak ditanya dah..secara bisik-bisik.. tapi kita tidak pernah membuka hasilnya kepada orang lain..”(Informan RK8). “Kadang saya nggak suka temen yang di situ ya, kalau ada yang datang.. saya disuruh periksa, dia bilang dia nggak mau periksa di rumahnya.. bikin dah dia alasan apa, karena takut dengan orang HIV, makanya berkali-kali saya tekankan.. nggak apa-apa, kalau mau periksa pakai hanscoend, petugas kesehatan sendiri yang kadang memberikan stigma terhadap pasiennya.. macem-macem alasannya..”(Informan RK12).
Untuk meningkatkan rasa kenyamanan pada odha, sikap dan prilaku petugas kesehatan di puskesmas perlu memperhatikan sikap profesionalisme dan rasa tanggung jawab terhadap privasi pasien. Memperbaiki sikap dan cara pandang terhadap odha dengan lebih menekankan pada pemahaman terhadap penyakit HIV, merupakan langkah awal menurunkan stigma HIV terhadap odha. Hal tersebut perlu disampaikan pada setiap rapat minilokakarya puskesmas untuk memperbaiki mutu layanan. Selain stigma dari petugas kesehatan, pengaruh stigma sosial mempengaruhi prilaku odha dalam mencari layanan kesehatan. Pandangan informan tokoh masyarakat pada diskusi FGD diketahui bahwa stigma dan diskriminasi masih terjadi namun sudah menurun, oleh karena pemahaman masyarakat yang keliru terhadap penyakit HIV. Informan berharap petugas kesehatan hendaknya menyampaikan sosialisasi secara benar tentang penyakit HIV dan menjelaskan tatacara pemandian jenazah odha terutama kepada tokoh masyarakat. Berikut petikan wawancara tersebut.
99
“…awal kejadian penyakit ini, masyarakat takut sekali terhadap penyakit ini karena baru pertama kali mendengar.. masyarakat semua menjauh.. mengangkat mayat pun mereka tidak berani, seolah-olah pada radius tertentu akan menularkan…”(R3TM-FGD). “.. kita sebagai masyarakat waktu itu merasa prihatin, bukan takut tidak.. tetapi bagi mereka yang tidak paham, mereka takut.. akhirnya terjadilah hal-hal seperti dikucilkan, orangnya distigma.. jadi harus dicari sumber permasalahannya penyebab rasa takut itu apa.. coba masyarakat diberikan pemahaman ten je menular niki.. munkin tidak akan terjadi kasus pengucilan seperti itu..mulailah dengan para tokoh terlebih dahulu..” (R5TM-FGD) “..Kondisi tiyang lihat sekarang sepertinya sudah tidak seperti dulu lagi, sudah berkurang... waktu kemarin tiyang sempet ada laporan orang yang terindikasi HIV, keluarganya sekarang sudah menerima dan sudah didukung.. tiyang sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak perlu takut lagi terhadap penyakit HIV ini, yang penting diberikan pemahaman yang benar kepada tokoh masyarakat.. “(R5TM-FGD). Ada juga kejadian kemarin ada warga yang meninggal diindikasikan seperti itu, pihak keluarga mengambil keputusan untuk dikremasi, tidak dibawa ke masyarakat, karena itu memang sudah terindikasi kena penyakit itu.. dikremasi di tempat kremasi.. (R3TM-FGD). Tanggapan masyarakat selama ini tidaklah terlalu seperti yang dulu-dulu, takut begitu.. sekarang tidak, stigma sudah berkurang, mungkin penanganannya sedikit berbeda, seperti pakai sarung tangan…(R3TM-FGD)
Jadi, dalam pengembangan layanan satelit ARV di puskesmas, perlu memperhatikan aspek stigma internal odha dan stigma lingkungan sosial. Oleh karena kedua sumber stigma tersebut mempengaruhi perilaku odha sebagai pengguna layanan ARV ke puskesmas. Untuk mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap odha, diperlukan perhatian dari pemegang kebijakan di Kabupaten Badung untuk membuat program yang lebih intensif, baik program untuk tenaga kesehatan, masyarakat umum, maupun odha sendiri. 4.6 Refleksi Kebutuhan perawatan HIV dan pelayanan pengobatan ARV pada odha setiap tahun cenderung mengalami peningkatan di rumah sakit rujukan. Strategi penerapan metode SUFA saat ini dalam penanganan odha di Indonesia, telah sesuai dengan kebijakan penanggulangan HIV secara global dalam menekan kasus infeksi baru, akan
100
tetapi kesinambungan program tersebut akan lebih efektif apabila melibatkan layanan kesehatan primer. Mengingat penyakit HIV memerlukan perawatan kronik dan perlu pengawasan keteraturan minum obat (adherence) serta mencegah terjadinya loss to follow up, perlu segera mempertimbangkan puskesmas sebagai satelit ART, seperti keberhasilan yang terjadi pada negara-negara berkembang lainnya. Puskesmas sebagai satelit ART adalah puskesmas yang mampu secara mandiri memberikan layanan pada odha sesuai dengan kewenangan tugas dan fungsi layanan primer, yaitu mampu merawat odha pada stadium I dan II atau kasus odha yang telah stabil. Puskesmas juga berperan dalam penemuan kasus, pemberian inisasi ART dan pemantauan efek samping terapi. Untuk dapat menjadi satelit ART, puskesmas perlu dipersiapkan sumber daya yang memadai sesuai standar pedoman pengembangan layanan satelit ART secara komprehensif dan berkesinambungan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah kompetensi tenaga kesehatan (adanya tim yang telah dilatih CST), ketersediaan sarana prasarana penunjang sebagai satelit ART (ruang khusus konseling dan pemeriksaan labaratorium), alat kesehatan dasar dan farmasi untuk penanganan infeksi oportunistik, menajemen pelaporan dan informasi HIV/AIDS, serta lembaran pemantauan kepatuhan terapi ARV bagi odha. Selain itu, perlu juga memperhatikan aspek kebutuhan masyarakat di sekitar puskesmas, mengingat stigma dan diskriminasi terhadap penyakit HIV masih menjadi isu utama dalam penanggungan HIV. Masalah stigma dan diskriminasi mempengaruhi prilaku odha dalam mencari layanan ARV. Untuk menghindari
ketakutan odha terutama pada kasus baru HIV positif
terhadap stigma dan diskriminasi, mencegah terjadinya kasus loss to follow up, ketidakteraturan minum obat, hambatan akses mendapatkan ARV, peran organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat penting sebagai pendamping odha. LSM
101
berperan sebagai jembatan penghubung antara layanan puskesmas dengan odha, namun LSM akan berperan optimal apabila ada dukungan dana untuk kegiatan operasionalnya. Sampai saat ini, LSM lebih banyak tergantung dari pendanaan lembaga donor. Hal ini perlu dipikirkan oleh pemegang kebijakan lokal apabila dukungan dana dari lembaga donor berakhir. Peran LSM, kader kesehatan, pengobatan tradisional di lingkungan sekitar odha, dapat membantu dalam pemantauan terapai dan perawatan paliatif odha. Oleh karena itu, penting bagi puskesmas untuk membangun jejaring layanan, bila puskesmas akan dikembangkan sebagai satelit ART. Keberhasilan puskesmas sebagai satelit ART, tidak terlepas dari peran kebijakan dan keputusan pemegang kebijakan lokal dalam menyediakan sumber daya dan pembiayaan di puskesmas. Walaupun ada kebutuhan pada level bawah, tetapi apabila tidak didukung oleh kebijakan pada level atas, program pengembangan puskesmas sebagai satelit ART tidak akan berjalan secara efektif. Oleh karena itu, dukungan kebijakan lokal, peran lintas sektor dan kesiapan sumber daya internal puskesmas sangat penting dalam meningkatkan keberhasilan puskesmas sebagai satelit ART. Penelitian yang dilakukan pada 12 puskesmas di Kabupaten Badung dalam persiapan sebagai satelit ART, ditemukan hambatan-hambatan dari internal dan eksternal puskesmas. Hambatan internal puskesmas meliputi SDM Kesehatan, seperti: distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, ada keluhan peningkatan beban kerja, kompetensi petugas belum dilatih CST, belum terbentuk tim CST, dan ketiadaan tenaga analis dan apoteker di sebagian besar puskesmas. Hambatan sarana prasarana penunjang, sebagian besar puskesmas belum mampu melakukan pemeriksaan terkait inisiasi ART seperti pemeriksaan darah lengkap, CD4, pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal. Pemeriksaan penunjang tersebut penting dikerjakan untuk melakukan pemantauan terapi dan efek samping obat ARV. Hambatan penyediaan alat kesehatan
102
dan farmasi ditemukan ada kendala dalam rantai logistik perencanaan farmasi dan mutu alat kesehatan puskesmas. Untuk memberikan kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap puskesmas, peningkatan mutu layanan dan ketersediaan farmasi sesuai kebutuhan puskesmas menjadi hal yang esensial bagi penyedia layanan kesehatan. Selain itu, hambatan juga ditemukan pada kebutuhan sarana penunjang manajemen informasi HIV/AIDS dan pembiayaan program HIV yang dominan masih berasal dari donor. Mengingat pembiayaan menjadi hal yang utama untuk keberlangsungan program dan tidak hanya tergantung dari bantuan donor, maka pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana secara khusus untuk kegiatan penanggulangan HIV/AIDS. Untuk itu, sebelum membuka layanan satelit ART, hambatan-hambatan struktural terkait ketersediaan sumberdaya dan kondisi ekternal di puskesmas serta pembiayaan, menjadi isu utama yang harus diperhatikan oleh pemegang kebijakan, baik pada level puskesmas maupun pada level kebijakan yang lebih tinggi. Meskipun saat ini ditemukan berbagai hambatan puskesmas sebagai satelit ART, namun banyak potensi tersedia di puskesmas yang cukup berperan sebagai pendukung dalam pengembangan layanan satelit ART, seperti jenis tenaga sebagai tim CST telah tersedia dengan mengoptimalkan tim VCT yang sudah ada, petugas kesehatan sebagian besar telah memahami HIV/AIDS, tersedia tenaga konselor dan pemeriksaan test HIV, sudah terlaksana program dan layanan pendukung HIV/AIDS di sebagian besar puskesmas se-Kabupaten Badung, sehingga lebih memudahkan dalam melakukan integrasi layanan ARV ke puskesmas. Hambatan jenis tenaga farmasi dan analis di puskesmas, bisa dilakukan dengan meningkatkan kompetensi tenaga lain di bidang tersebut dengan memberikan pelatihan secara komprehensif.
103
Berdasarkan kondisi dan situasi saat ini, pada tahap awal pengembangan layanan satelit ART, puskesmas di Kabupaten Badung lebih tepat sebagai satelit ARV, yaitu puskesmas hanya bertindak sebagai perpanjangan terapi sesuai rekomendasi dari rumah sakit pengampu, dengan kondisi odha telah stabil untuk rawat jalan. Tim puskesmas VCT dan CST rumah sakit membentuk hubungan kerjasama (MoU) dalam melakukan perawatan odha. Puskesmas berperan dalam penjaringan kasus, melakukan rujukan ke rumah sakit (tahap inisasi ART dan perawatan komplikasi), melanjutkan terapi odha yang telah stabil sesuai rekomendasi rumah sakit dan pemantauan adherence terapi odha. Sedangkan rumah sakit berperan menerima rujukan untuk inisiasi ART dan menangani kondisi odha stadium III dan IV. Apabila perawatan odha telah stabil di rumah sakit, odha dapat dikembalikan ke puskesmas terdekat sesuai dengan wilayah tempat tinggal odha. Dengan demikian, tercipta pembagian peran yang jelas antara puskesmas dan rumah sakit dalam penanganan odha. Selain itu, perlu dibuatkan sistem mekanisme rujukan, pelaporan kasus dan standar prosedur layanan sebagai satelit ART di puskesmas, untuk menjaga mutu layanan di setiap puskesmas. Sistem rujukan dan pelaporan odha yang baku akan menghindari pelaporan odha secara tumpang tindih di layanan, sedangkan mekanisme rujukan untuk menjaga komunikasi antara pihak rumah sakit dengan puskesmas dalam perawatan odha. Pengembangan satelit ART ke puskesmas tidak terlepas dari pengaruh lingkungan eksternal puskesmas, meliputi kebijakan lokal, sistem sosial budaya di masyarakat, dan perilaku odha sendiri sebagai pengguna layanan terkait masalah stigma dan diskriminasi. Pada penelitian ini menemukan adanya dukungan dari pemegang kebijakan, tokoh masyarakat, petugas CST rumah sakit dan LSM terkait pengembangan puskesmas sebagai satelit ART, namun ternyata dari sisi odha sebagai pengguna
104
layanan, ada hambatan internal odha yang menimbulkan rasa ketakutan odha untuk mengakses layanan ARV di puskesmas (stigma internal). Selain itu, adanya tulisan VCT dan HIV di layanan puskesmas secara tidak langsung telah memberikan stigma secara institusi, yang mengakibatkan odha takut ke puskesmas. Untuk itu, perlu dukungan institusi puskesmas agar merubah tulisan-tulisan yang terdapat di institusi layanan kesehatan yang mengarah stigma pada odha. Pemberian informasi dan membuka status HIV sedini mungkin bagi odha dari petugas kesehatan, dapat membantu mengurangi stigma internal odha itu sendiri.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sumber daya internal puskesmas di Kabupaten Badung yang mendukung sebagai persiapan satelit ART adalah sebaran jenis tenaga puskesmas sesuai dengan kebutuhan standar sebagai satelit ART, tenaga telah dilatih pengenalan HIV/AIDS, ada tenaga konselor, seluruh puskesmas telah memiliki tim VCT, ada tambahan tenaga KPA yang bertugas sebagai administrator SIHA dan petugas lapangan, tersedia ruang layanan konseling dan testing (VCT) di sebagian besar puskesmas, seluruh puskesmas telah mampu melakukan pemeriksaan test antibodi (rapid) HIV, tersedia logistik alat kesehatan dasar dan beberapa jenis obat untuk infeksi oportunistik, ada dukungan sistem manejemen dan informasi HIV/AIDS (SIHA) yang telah terkoneksi online, tersedia sumber dana yang memadai (dari donor, BOK, kapitasi BPJS) dalam pelaksanaan program HIV/AIDS dan beberapa puskesmas
telah
menerapkan
sistem
layanan
secara
komprehensif
dan
berkesinambungan. 2. Hambatan-hambatan sumber daya
internal puskesmas se-Kabupaten Badung
sebagai persiapan satelit ART adalah kompetensi petugas belum pernah dilatih tentang CST (IMAI), ada keluhan peningkatan beban kerja petugas puskesmas, belum terbentuk tim CST di seluruh puskesmas, hambatan kualifikasi tenaga analis laboratorium, kurangnya
sarana penunjang laboratorium pemeriksaan darah
lengkap dan kimia klinik (pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati) terkait inisiasi ART, beberapa puskesmas terkendala dalam rantai ketersediaan farmasi dan kualitas alat kesehatan yang kurang baik, sistem koneksi manejemen informasi program 105
106
SIHA, belum adanya standar prosedur layanan sebagai satelit ART, serta hamatan pembiayaan program penanggulangan HIV/AIDS pada level puskesmas lebih banyak bersumber dari donor. 3. Ditinjau dari sisi pengguna layanan (odha), terdapat perbedaaan persepsi odha terkait kesiapan mengakses layanan ARV di puskesmas. Hambatan-hambatan odha untuk mengakses layanan ARV di puskesmas terkait adanya isu stigma sosial dari pengunjung puskesmas dan stigma institusi layanan kesehatan berupa labeling layanan. 4. Terdapat dukungan dari pihak eksternal puskesmas terkait rencana pengembangan sebagai satelit ART. Dukungan tersebut berasal dari rumah sakit pengampu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh masyarakat dan respon yang baik dari pemegang kebijakan dalam hal pembiayaan program penanggulangan HIV dan penyediaan sarana prasarana puskesmas sebagai satelit ART. Akan tetapi, ada perbedaan persepsi urgensi kebutuhan layanan satelit ART dari tenaga kesehatan puskesmas. Hal ini terkait persepsi terhadap penambahan beban kerja petugas, banyaknya program preventif dan promotif di puskesmas, jumlah dan kompetensi tenaga yang tidak merata di sebagian besar puskesmas, serta isu stigma terhadap HIV pada puskesmas di daerah pedesaan. 5. Peran LSM sebagai tenaga penjangkau dan pendamping odha cukup penting untuk mendukung pengembangan puskesmas sebagai satelit ART, namun dukungan pembiayaan untuk operasional LSM tersebut hanya bersumber dari bantuan lembaga donor. 6. Kondisi saat ini pengembangan puskesmas di Kabupaten Badung lebih siap dan feasible sebagai satelit ARV dibandingkan sebagai satelit ART, dengan mempertimbangkan aspek-aspek sumber daya manusia, ketersediaan sarana dan
107
prasarana, alat kesehatan dan farmasi, pembiayaan dan manajemen informasi di puskesmas. 6.2. Saran a. Bagi pemangku kebijakan 1. Sebaiknya pengembangan layanan ARV di puskesmas se-Kabupaten Badung dilakukan secara bertahap, dimulai sebagai satelit ARV. Saat ini ada empat Puskesmas yang memiliki potensi yang cukup memadai sebagai satelit ARV yaitu Puskesmas Kuta 1, Puskesmas Kuta Selatan, Puskesmas Mengwi 1 dan Puskesmas Abiansemal 1. 2. Perlu persiapan SDM sebagai satelit ARV dengan memberikan pelatihan CST (IMAI) dan pembentukan tim CST bagi puskesmas yang terpilih sebagai satelit ARV untuk meningkatkan kompetensi petugas. 3. Perlu perencanaan dan dukungan sarana dan prasarana laboratorium penunjang terkait persiapan puskesmas sebagai satelit ART yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing puskesmas. 4. Perlu perhatian dari semua pihak terkait dengan kualitas alat-alat kesehatan dan kondisi farmasi yang expired di puskesmas. Upaya pemecahan masalah melalui perbaikan standar prosedur rantai logistik mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi dan penyimpanan perlu mendapat perhatian. 5. Perlu disusun standar pedoman pelaksanaan puskesmas sebagai satelit ART dan mekanisme sistem rujukan secara regionalisasi, serta pelaporan odha antara rumah sakit pengampu dan Puskesmas Se-Kabupaten Badung agar tidak terjadi pelaporan odha secara tumpang tindih. 6. Perlu pembentukan tim CST di puskesmas untuk persiapan sebagai satelit ART, dengan mengoptimalkan tim VCT yang sudah ada, mengoptimalkan tenaga
108
kesehatan yang ada di puskesmas sesuai kebutuhan dengan memberikan pelatihan kompetensi dibidangnya. 7. Perlu dukungan dana dari pemerintah daerah untuk mendanai keberlangsungan kegiatan LSM sebagai tenaga penjangkau dan pendamping odha, apabila dukungan dana dari lembaga donor berakhir. 8. Diperlukan program yang lebih intensif untuk mengurangi stigma terhadap odha di Kabupaten Badung baik terhadap tenaga kesehatan, masyarakat umum, maupun odha sendiri melalui penyuluhan/sosialisasi penyakit HIV dan melibatkan odha dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS. b. Bagi peneliti selanjutnya : 1.
Mengingat ada keluhan beban kerja petugas kesehatan meningkat di puskesmas, perlu adanya penelitian terkait dengan beban kerja di seluruh puskesmas seKabupaten Badung.
2.
Perlu perluasan penelitian ini pada seluruh puskesmas yang ada di masingmasing kabupaten untuk membuat pemetaan puskesmas yang berpotensi di jadikan satelit ART di Propinsi Bali.
3.
Perlu melakukan FGD dengan melibatkan unsur puskesmas, tokoh masyarakat, pemegang kebijakan, LSM dan odha sebagai pengguna layanan dalam mencari solusi
permasalahan
pengenbangan
puskesmas
sebagai
satelit
ART.
DAFTAR PUSTAKA Angkasawati, Tri Juni ; Widjiartini; Arifin, A., 2009. Kesiapan Petugas Puskesmas Dalam Penanggulangan Infeksi Menular Seksual dan HIV / AIDS pada Pelayanan Antenatal. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(17), hpp.403–408. Bluespruce, J., Dodge, W T., Grothaus, L., Wheeler, K.,Rebolledo, V., Carey, J .W., et.al. 2001. HIV prevention in primary care: impact of a clinical intervention. AIDS patient care and STDs, 15(5), pp.243–53. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 11530765 [Accessed November 29, 2014]. Depkes RI. 2006. Modul Pelatihan Konseling dan Test Sukarela HIV, Untuk Konselor Profesional, 2006. Dikes Badung. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, 2013. Dikes Provinsi Bali. 2013. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2013. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2013. Standar Minimal Layanan ARV di Puskesmas. Eaton, J. W., Menzies, N. A., Stover, J., Cambiano, V., Chindelevitch, L., Cori, A. Hallett, T. B. 2014. Health benefits, costs, and cost-effectiveness of earlier eligibility for adult antiretroviral therapy and expanded treatment coverage: a combined analysis of 12 mathematical models. The Lancet. Global Health, 2(1), e23–34. Eka Sari Ridwan, Muhamad Syafar, Sudirman Natzir. 2010. Hambatan Terhadap Perilaku Pencegahan HIV dan AIDS pada Pasangan ODHA Serodiskordan di Kota Makasar. Bagian Promosi Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin. Makasar: 2010. Ghony M.D. dan Almanshur F. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan pertama. Jogjakarta : AR-Ruzz Media. p. 51-93, 2012. Januraga P, Wulandari L, Nopiyani. 2010. Pengembangan Pelayanan Kesehatan Konprehensif berbasis PHC bagi Pekerja Seks Perempuan di Bali; Penjajagan Pendekatan Struktur Sosial Masyarakat dalam Penanggulangan HIV-AIDS. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Pengurus Daerah Bali, 2010. Kemenkes RI. 2007. Pedoman Pengembangan Jejaring Layanan Dukungan, Perawatan dan Pengobatan HIV & AIDS. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2007. Kemenkes RI. 2011a. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Kemenkes RI.2011b. Modul Peserta Pelatihan Konseling Adherence Atnti Retroviral. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan. Kemenkes RI. 2013a. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan II Tahun 2013. Kemenkes RI. 2013b. Surat Pemberitahuan Proses Aktivasi Layanan ARV. Direktorat Jendral Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, Desember 2013. 109
110
Kemeskes RI. 2013c. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIVdari Ibu ke Anak (PPIA), Indonesia 2013-2017. Kemenkes RI. 2013d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Kemenkes RI. 2013e. Surat Edaran Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Kemenkes RI. 2014a. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan II Tahun 2014. Kemenkes RI. 2014b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Kennedy, S.B., Stephen B, Johnson, Knowlton, Harris, Albert O., Lincoln, et al. 2004. Evaluation of HIV/AIDS prevention resources in Liberia: strategy and implications. AIDS patient care and STDs, 18(3), pp.169–80. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15104877 [Accessed November 29, 2014]. KPA Nasional. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014. KPA. 2011. ODHA dan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar. Penelitian Partisipatif, 2011. KPA Propinsi Bali. 2012. Tata cara Pemandian (Nyiramang Layon) Jenazah Orang dengan penyakit HIV-AIDS, 2012. KPA Nasional. 2013. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV. Menkes RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
No.
Mills S, Saidel T, Bennett A, et al. 2010. HIV risk behavioral surveillance: a methodology for monitoring behavioral trends AIDS. Available at: http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed /9792360. Accessed November 29, 2013. Modiba, P., Schneider, H., Weiner, R., Blaauw, D., Gilson, L., Zondi, T., et al. 2002. The Integration of HIV / AIDS Care and Support into Primary Health Care in Gauteng Province, July 2012. Moleong. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.p.2-37. Monjok, E., Smesny, A. & Essien, E.J., 2009. HIV/AIDS-related stigma and discrimination in Nigeria: review of research studies and future directions for prevention strategies. African journal of reproductive health, 13(3), pp.21–35. [Accessed December 5, 2014]. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender. Musiah Djumiati. 2014. Progress report : Pembiayaan Program HIV& AIDS, Menuju Universal Access Layanan HIV&AIDS. Available at : http://kebijakanaidsindonesia.net. Accessed November 29, 2014).
111
Notoatmodjo S. 2012. Promosi Kesehatan dan Prilaku Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta. p. 233-235. Nurhayati E, Deni K Sunjaya, Irvan Afriandi. 2013. Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA di Kota Bandung. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas PadjajaranBandung, 2013. Odeny T., Penner J., Lewis, Kulzer J., Leslie H., Shade, S.B., et al. 2013. Integration of HIV Care with Primary Health Care Services: Effect on Patient Satisfaction and Stigma in Rural Kenya. Journal AIDS Research and Treatment, 2013. Ooms, G., Van Damme, Wim Baker, Brook K., Zeitz, Paul, Schrecker, et al. 2008. The “diagonal” approach to Global Fund financing: a cure for the broader malaise of health systems? Globalization and health, 4(1), p.6. Available at: http://www.globalizationandhealth.com/content/4/1/6 [Accessed September 23, 2014]. Parker R. and Aggleton P. 2002. HIV / AIDS-related Stigma and Discrimination : A Conceptual Framework and an Agenda for Action. Horizons Program, United State, 2002. Presiden RI. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Presiden RI. 2012. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Renaud, A., Basenya, O., De Borman N., Greindl I., Meyer-Rath, G. 2009. The cost effectiveness of integrated care for people living with HIV including antiretroviral treatment in a primary health care centre in Bujumbura, Burundi. AIDS care, 21(11), pp.1388–94. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/ 20024715 [Accessed November 4, 2014]. Sekoni, O.O., Owoaje, E.T. 2013. HIV/AIDS stigma among primary health care workers in Ilorin, Nigeria. African journal of medicine and medical sciences, 42(1), pp.47–57. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23909094 [Accessed December 5, 2014]. Shade, S.B., Steward, Wayne T., Koester, Kimberly A., et al. 2014. Health information technology interventions enhance care completion, engagement in HIV care and treatment, and viral suppression among HIV-infected patients in publicly funded settings. Journal of the American Medical Informatics Association : JAMIA. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25030033 [Accessed December 5, 2014]. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Manajemen, Edisi Pertama. Bandung : Penerbit Alfabeta. P.346-458. Tagar, E., Maaya Sundaram, Kate Condliffe, Matatiyo B., Chimbwandira F., Ben Chilima, et al. 2014. Multi-Country Analysis of Treatment Costs for HIV/AIDS (MATCH): FacilityLevel ART Unit Cost Analysis in Ethiopia, Malawi, Rwanda, South Africa and Zambia. PloS one, 9(11), p.e108304. Available at: http://www.pubmedcentral.nih. gov/articlerender.fcgi/ artid= 4229087 [Accessed November 26, 2014]. Uebel KE., Lombard C., Joubert G., Fairall LR., Bachmann MO., Mollentze WF., et al. 2013. Integration of HIV care into primary care in South Africa: effect on survival of patients
112
needing antiretroviral treatment. Advance online edition J Acquir Immun Defic, doi: 10.1097/ 2013. Uebel, K.E., Lara R Fairal, Dingie HCJ van Rensburg, Willie F Mollentze, Max O Bachmann, Simon Lewin, Merrick Zwarenstein et al., 2011. Task shifting and integration of HIV care into primary care in South Africa: the development and content of the streamlining tasks and roles to expand treatment and care for HIV (STRETCH) intervention. Implementation science : IS, 6(1), p.86. Available at: http://www.implementationscience.com/ content/6/1/86 [Accessed April 5, 2015] . UNAIDS. 2012. Words AIDS Day Report. RES ULTS. (accessed 16 Nopember 2014). Available frome URL http : /www.unaids.org/en/media/unaids. UNAIDS. 2013a. The Gap Report. (accessed 16 Nopember 2014). Available frome URL http:/www.unaids.org/en/media/unaids. UNAIDS. 2013b. Global report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013. [accessed 14 Nopember 2014] Available from http://www.unaids.org/en/media/unaids/ contentassets/documents/epidemiology. UNAIDS. 2014. Global AIDS response progress reporting 2014: construction of core indicators for monitoring the 2011 UN political declaration on HIV/AIDS. USAID. 2014. Assessment of Primary Health Care Facilities for Decentralization of HIV/AIDS Services in Nigeria. Available frome URL http:// www.cpc.unc.edu/measure/ publications/tr-13-93. (Accessed November 29, 2014). Virga, P.H., Jin Bongguk, Thomas Jesse., Virodov Sergey. 2012. Electronic health information technology as a tool for improving quality of care and health outcomes for HIV/AIDS patients. International journal of medical informatics, 81(10).
WHO. 2003. Antiretroviral therapy in primary health care : experience of the khayelitsha programme in south africa (Perspektif and practice in ART). Case Study, 2003. WHO. 2004. Evidence for Action: Effectiveness of Community-Based Outreach in Preventing HIV/AIDS Among Injecting Drug User.2004. WHO. 2011. Global Health Sector startegy on HIV/AIDS 2011-2015, Genewa - Switzerland. Available at: www.who.int. WHO. 2014. The WHO Health System Framework. Available from Http://www. wpro.who.int/health_services /health_systems_framework/en/. (Accessed : 01/12/2014). Yuniar, Yuyun; Handayani, R.S.A., 2013. Faktor-Faktor Pendukung Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Minum Obat Antiretroviral di Kota Bandung dan Cimahi. Buletin Penelitian Kesehatan, 41, pp.72–83
Lampiran 2 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS UDAYANA-DENPASAR
Lembaran Informasi PENJELASAN KEPADA CALON RESPONDEN SEBELUM WAWANCARA MENDALAM /FGD BERLANGSUNG TENTANG ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART BAGI ODHA DI KABUPATEN BADUNG
Pendahuluan Epidemi Human Immonodeficiency Virus (HIV) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, termasuk di Propinsi Bali. Salah satu strategi yang direkomendasikan oleh WHO (2011) dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah meningkatkan universal access dalam pemberian antiretroviral (ARV). Meskipun terapi ARV belum mampu menyembuhkan penyakit, namun terapi ARV mampu menurunkan infeksi baru HIV, menurunkan angka kesakitan dan kematian serta meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (odha), seperti keberhasilan yang terjadi di negara Nepal, Kamboja, Thailand dan negara-negara lainnya. Indonesia belum mampu menurunkan insiden HIV, salah satu yang terkait adalah kurangnya akses terhadap layanan antiretroviral treatment (ART). Tingginya gap antara jumlah ODHA yang tidak menerima ARV dengan yang memenuhi syarat ARV di Indonesia sebesar 25,02% dan di Propinsi Bali sekitar 8,92% (Kemenkes RI, 2013). Selain itu, masih tingginya kejadian loss to follow up dalam pemantauan pemberian ARV. Untuk itu, strategi yang diharapkan adalah adanya perluasan jejaring pemberian ARV dengan membetuk satelit ART di layanan primer (puskesmas). Puskesmas sebagai satelit ART rumah sakit di Provinsi Bali belum banyak yang dilibatkan, padahal telah ada rekomendasi dari Kementerian Kesehatan RI untuk memperluas akses layanan obat ARV. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kesiapan puskesmas dan
b
c
faktor-faktor yang berperan dalam kesiapan tersebut dalam pengembangan layanan satelit ART di puskesmas. Tujuan Wawancara Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pelaksanaan program penanggulangan penyakit HIV/AIDS dan persiapan rencana pengembangan layanan satelit ART di puskesmas . Untuk itu, jawaban yang diberikan pada saat diskusi/wawancara, akan digunakan sebagai bahan kajian
penilaian
kesiapan
puskesmas dalam memberikan layanan ARV kepada pasien ODHA. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi yang tepat pada program penanggulangan HIV/AIDS di Propinsi Bali. Wawancara atau diskusi kelompok terarah (FGD) ini akan memerlukan waktu sekitar 60-90 menit, yang dibantu dengan alat perekam. Pengambilan gambar (foto) melalui kamera akan
diusahakan membelakangi perserta wawancara/FGD sebagai
informan. Selama wawancara, semua informasi yang menyangkut hal-hal pribadi akan dirahasiakan. Kami akan melakukan segala upaya untuk menjaga kerahasiaan dan anonimitas Anda. Semua informasi yang terkumpul akan disimpan hanya dengan mencantumkan kode. Oleh karena itu, nama anda sama sekali tidak akan ada di data penelitian ini. Penelitian ini juga telah mendapatkan persetujuan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan etik dari Komite Etik Universitas Udayana-Denpasar.
Penutup Mengingat informasi yang diberikan penting untuk
mengembangkan
jejaring
layanan satelit ART rumah sakit di puskesmas, kiranya dapat memberikan informasi secara jujur dan terbuka tanpa ada unsur paksaan. Anda juga bisa mengundurkan diri atau menolak sebagai partisipan dalam penelitian ini. Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat menghubungi peneliti utama (dr. Made Sugiana) di 08123673203. Terima kasih atas kesediannya dan kehadirannya sebagai partisipan pada penelitian ini.
Denpasar,……………… Peneliti
d
Lampiran 3 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS UDAYANA-DENPASAR
Formulir Persetujuan
Penyataan kesediaan menjadi informan Persetujuan partisipasi sebagai informan pada penelitian “Analisis Kesiapan Layanan Puskesmas sebagai Satelit ART bagi ODHA di Kabupaten Badung” Bahwa saya telah membaca lembaran informasi yang diberikan kepada saya (atau telah dibacakan untuk saya), dan saya telah memahami tujuan penelitian ini dan bersedia sebagai infoman. Saya menyadari bahwa: 1. Sebagai informan saya akan memberikan informasi sepanjang pengetahuan saya. 2. Saya akan diwawancarai oleh petugas/pemandu diskusi selama kurang lebih 6090 menit. 3. Identitas saya akan dilindungi dengan tidak mencatumkan hal-hal yang bersifat pribadi. 4. Keikutsertaan dalam studi ini bersifat sukarela dan saya bisa mengundurkan diri sebelum maupun saat wawancara sedang berlangsung. 5. Saya boleh tidak menjawab suatu pertanyaan, oleh karena alasan apapun. 6. Saya memahami tujuan penelitian ini adalah untuk pengembangan layanan satelit ART rumah sakit di puskesmas, oleh karena itu informasi yang saya berikan sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dapat dipergunakan seperlunya. Denpasar,…………… 20 Partisipan
(…………………………)
e
Lampiran 4 ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART BAGI ODHA DI KABUPATEN BADUNG
PANDUAN FOCUS GROUP DISSCUSION (FGD) UNTUK PARAMEDIS PEMEGANG PROGRAM VCT PUSKESMAS
1. Nama Fasilitator
:
2. Tanggal FGD
:
3. Nama Informan
:
No.
Nama singkat
Umur (Thn)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pendidikan
Tempat
No.Kontak
Tugas
(HP)
f
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri. Saya adalah I Made Sugiana, mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana-Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan diskusi. Tujuan kita bertemu disini adalah untuk mendapatkan informasi tentang
kesiapan puskesmas dan
faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan layanan satelit ART bagi odha di puskesmas se-Kabupaten Badung. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan informan. Identitas yang diberikan responden pada hari ini, kami akan merahasikannya dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Untuk itu mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan kondisi dan situasi di tempat kerja bapak/ibu. 4. Mempersiapkan alat rekam dan kamera. Minta ijin untuk mempersiapkan alat perekam yang dibantu oleh pendamping peneliti dan mengambil gambar dengan membelakangi informan. 5. Setelah tercipta suasana yang kondusif maka FGD baru bisa dimulai. B. Pertanyaan yang diajukan No.
Tema
1.
Program HIV/AIDS Puskesmas
2.
Sumber Manusia
Pertanyaan
Probing
Bagaimana program Apa saja programnya? di penanggulangan HIV Apakah masih berjalan? /AIDS di puskesmas? Ada hasilnya? Sistem pencatatan dan pelaporan seperti apa? Siapa saja yang terlibat pada program ini? Berapa punya odha sampai saat ini? Daya Bagaimana Jumlah keseluruhan tenaga di ketersediaan SDM Puskesmas? kesehatan untuk Jumlah orang yang terlibat dalam program HIV AIDS? program HIV/AIDS? Berapa orang tenaga konselor? Berapa orang yang telah dilatih HIV/AIDS? Apakah sudah ada tenaga yang
g
3.
Infra struktur (Sarana dan Prasarana) penunjang program HIV AIDS
Bagaimana fasilitas kesehatan (sarana dan prasarana) untuk menunjang pelaksanaan program HIV/AIDS
4
Pembiayaan Program HIV/AIDS
Bagaimana pembiayaan HIV/AIDS Puskesmas?
5
Sistem Manajemen Informasi HIV/AIDS Puskesmas
program di
Bagaimana prosedur dan laporan HIV/AIDS di Puskesmas? di
dilatih khusus tentang CST? Apakah ada rotasi pegawai? Alasannya? Pandangan terhadap jumlah tenaga kesehatan di puskesmas? Apakah jumlah tenaga cukup untuk melaksanakan program pengembangan layanan satelit ART? Pandangan terhadap beban kerja di puskesmas terhadap HIV/AIDS? Apakah tersedia ruangan khusus untuk pelayanan VCT/IMS atau untuk pasien odha? Apakah Jumlahnya cukup? Apakah Kualitasnya baik? Apakah tersedia sarana laboratorium untuk menegakkan diagnose HIV? Apa yang menjadi kendala dari sarana dan prasarana untuk menunjang program HIV/AIDS? Bagaimana pengadaannya? Apakah sarana yang tersedia memungkinkan untuk melaksanakan satelit ART rumah sakit? Alasannya ? Dari mana sumber dananya? Apakah dirasakan cukup? Kegiatan apa saja yang telah di danai untuk penanggulangan HIV/AIDS di Puskesmas? Harapan pendanaan HIV/AIDS ke depan? Dari segi pendaaan sekarang, apakah siap melaksanakan satelit ART? Alasannya? Laporan apa saja yang tersedia untuk program HIV AIDS? Apakah laporan tersebut dimanfaatkan untuk perbaikan program? Apa saja kendala dalam penyusunan laporan HIV/AIDS? Apakah puskesmas siap menjalankan program SIHA sebagai satelit ART rumah sakit? Apakah ada petugas yang telah
h
6.
7.
8.
9.
dilatih tentang SIHA? Sediaan Farmasi Bagaimana Apakah ada kendala terhadap alatdan Alat ketersediaan obatalat kesehatan untuk menunjang Kesehatan obatan dan alat-alat diagnostic penyakit? kesehatan untuk Apakah tersedia obat-obatan untuk program HIV/AIDS IMS? Apakah tersedia obat untuk menangani IO? Apakah tersedia ARV? Pandangannya terhadap penyediaan ARV di Puskesmas? Alasannya? Pandangan Bagaimana pendapat Apakah setuju kalau seandainya terhadap bapak/ibu terhadap Puskesmas dikembangkan sebagai penerapan satelit pengembangan satelit ART rumah sakit untuk ART di program puskesmas perawatan ODHA? Puskesmas sebagai satelit ART Alasannya ? rumah sakit? Keuntungannya apa? Kerugiaannya apa? Apa saja faktor-faktor yang menghambat pengembangan layanan tersebut ke Puskesmas? Apa saja faktor-faktor yang mendorong untuk pengembangan layanan perawatan ODHA di Puskesmas bapak/ibu? Stigma dan Bagaimana sikap Apakah bapak/ibu tahu tentang diskriminasi odha bapak/ibu kalau stigma dan diskriminasi? seandainya ada odha Contohnya? yang berobat ke Bagaimana pelayanan terhadap puskesmas? pasien odha di puskesmas? Apakah pelayanannya dipisahkan dengan pasien lain? Alasannya? Apakah bapak/ibu memakai pelindung seketika, ketika berhadapan dengan pasien odha? Alasannya? Harapan ke depan terhadap pelayanan odha? Harapan ke Bagaimana harapan Usulan-usulan… depan dalam bapak/ibu tentang program penanggulangan HIV/AIDS HIV/AIDS di Puskesmas?
i
Lampiran 5 ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART BAGI ODHA DI KABUPATEN BADUNG
PANDUAN FOCUS GROUP DISSCUSION (FGD) UNTUK KEPALA PUSKESMAS
1. Nama Fasilitator
:
2. Tanggal FGD
:
3. Nama Informan
:
No.
Nama singkat
Umur (Thn)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat Tugas
j
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri. Saya adalah
I Made Sugiana, mahasiswa Program
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana-Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan diskusi. Tujuan kita berdiskusi disini adalah untuk mendapatkan informasi tentangkesiapan puskesmas dan faktorfaktor yang mempengaruhi kesiapan tersebut dalam pengembangan layanan satelit ART pada pasien ODHA di puskesmas se-Kabupaten Badung. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan informan. Identitas yang diberikan responden pada hari ini, kami akan merahasikannya dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Untuk itu mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan kondisi dan situasi di tempat kerja bapak/ibu. 4. Mempersiapkan alat rekam. Minta ijin untuk mempersiapkan alat perekam yang dibantu oleh pendamping peneliti. 5. Setelah tercipta suasana yang kondusif maka FGD baru bisa dimulai. B. Pertanyaan yang diajukan No.
Tema
1.
Program HIV/AIDS Puskesmas
2.
Sumber Manusia
Pertanyaan
Probing
Bagaimana program Apa saja programnya? di penanggulangan HIV Apakah masih berjalan? /AIDS di puskesmas? Ada hasilnya? Sistem pencatatan dan pelaporan seperti apa? Siapa saja yang terlibat pada program ini? Berapa punya odha sampai saat ini? Daya Bagaimana Jumlah keseluruhan tenaga di ketersediaan SDM Puskesmas? kesehatan untuk Jumlah orang yang terlibat dalam program HIV AIDS? program HIV/AIDS? Berapa orang tenaga konselor? Berapa orang yang telah dilatih HIV/AIDS? Apakah sudah ada tenaga yang dilatih khusus tentang CST? Apakah ada rotasi pegawai?
k
3.
Infra struktur (Sarana dan Prasarana) penunjang program HIV AIDS
Bagaimana fasilitas kesehatan (sarana dan prasarana) untuk menunjang pelaksanaan program HIV/AIDS
4
Pembiayaan Program HIV/AIDS
Bagaimana pembiayaan HIV/AIDS Puskesmas?
5
Sistem Manajemen Informasi HIV/AIDS Puskesmas
6.
Sediaan Farmasi Bagaimana
program di
Bagaimana prosedur dan laporan HIV/AIDS di Puskesmas? di
Alasannya? Pandangan terhadap jumlah tenaga kesehatan di puskesmas? Apakah tenaga cukup untuk melaksanakan program pengembangan layanan satelit ART? Pandangan terhadap beban kerja di puskesmas terhadap HIV/AIDS? Apakah tersedia ruangan khusus pelayanan VCT/IMS atau untuk pasien odha? Apakah Jumlahnya cukup? Apakah Kwalitasnya baik? Apakah tersedia sarana laboratorium untuk menegakkan diagnose HIV? Apa yang menjadi kendala dari sarana dan prasarana untuk menunjang program HIV/AIDS? Bagaimana pengadaannya? Apakah sarana yang tersedia memungkinkan untuk melaksanakan satelit ART rumah sakit? Alasannya ? Dari mana sumber dananya? Apakah dirasakan cukup? Kegiatan apa saja yang telah di danai untuk penanggulangan HIV/AIDS di Puskesmas? Harapan pendanaan HIV/AIDS ke depan? Dari segi pendaaan sekarang, apakah siap melaksanakan satelit ART? Alasannya? Laporan apa saja yang tersedia untuk program HIV AIDS? Apakah laporan tersebut dimanfaatkan untuk perbaikan program? Apa saja kendala dalam penyusunan laporan HIV/AIDS? Apakah puskesmas siap menjalankan program SIHA sebagai satelit ART rumah sakit? Apakah ada petugas yang telah dilatih tentang SIHA? Apakah ada kendala terhadap alat-
l
dan Kesehatan
7.
8.
9.
Alat ketersediaan obatalat kesehatan untuk menunjang obatan dan alat-alat diagnostic penyakit? kesehatan untuk Apakah tersedia obat-obatan untuk program HIV/AIDS IMS? Apakah tersedia obat untuk menangani IO? Apakah tersedia ARV? Pandangannya terhadap penyediaan ARV di Puskesmas? Alasannya? Pandangan Bagaimana pendapat Apakah setuju kalau seandainya terhadap bapak/ibu terhadap Puskesmas dikembangkan sebagai penerapan satelit pengembangan satelit ART rumah sakit untuk ART di program puskesmas perawatan ODHA? Puskesmas sebagai satelit ART Alasannya ? rumah sakit? Keuntungannya apa? Kerugiaannya apa? Apa saja faktor-faktor yang menghambat pengembangan layanan tersebut ke Puskesmas? Apa saja faktor-faktor yang mendorong untuk pengembangan layanan perawatan ODHA di Puskesmas bapak/ibu? Stigma dan Bagaimana sikap Apakah bapak/ibu tahu tentang diskriminasi odha bapak/ibu kalau stigma dan diskriminasi? seandainya ada odha Contohnya? yang berobat ke Bagaimana pelayanan terhadap puskesmas? pasien odha di puskesmas? Apakah pelayanannya dipisahkan dengan pasien lain? Alasannya? Apakah bapak/ibu memakai pelindung seketika, ketika berhadapan dengan pasien odha? Alasannya? Harapan ke depan terhadap pelayanan odha? Harapan ke Bagaimana harapan Usulan-usulan… depan dalam bapak/ibu tentang program penanggulangan HIV/AIDS HIV/AIDS di Puskesmas?
m
Lampiran 6 ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART BAGI ODHA DI KABUPATEN BADUNG
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK ODHA SEBAGAI PENGGUNA LAYANAN
1. Nama Fasilitator
:
2. Tanggal Wawancara Mendalam : 3. Nama Partisipan
:
4. Alamat Partisipan
:
5. Pekerjaan Partisipan
:
6. Nomer Telepon Partisipan
:
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri. Saya adalah
I Made Sugiana, mahasiswa Program
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana-Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan diskusi. Tujuan kita bertemu disini adalah untuk mendapatkan informasi tentang kesiapan puskesmas dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan tersebut dalam pengembangan layanan satelit ART untuk pasien ODHA di puskesmas se-Kabupaten Badung. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan informan. Identitas yang diberikan responden pada hari ini, kami akan merahasikannya dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Untuk itu mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan kondisi dan situasi di tempat kerja bapak/ibu. 4. Mempersiapkan alat rekam. Minta ijin untuk mempersiapkan alat perekam yang dibantu oleh pendamping peneliti. 5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam baru bisa dimulai.
n
B. Pertanyaan yang diajukan : No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tema
Pertanyaan
Probing
Bagaimana perasaan bapak / Sudah berapa lama menderita ibu hari ini? penyakit ini? Apakah ada keluhan saat ini terhadap pengobatan? Pengetahuan Apakah bapak/ibu tahu Apa itu? penyakit tentang HIV AIDS? Apa penyebabnya? HIV/AIDS Bagaimana cara penularannya? Bagaimana cara mencegahnya? Apa yang dilakukan agar tetap merasa sehat? Sikap dan Apa yang telah dilakukan Sikapnya setelah terinfeksi HIV? Prilaku setelah tahu terinfeksi HIV? Apa yang telah dilakukan selama ini agar tetap sehat? Kemana saja melakukan pengobatan selama ini? Harapan terhadap pengobatan? Faktor-faktor Hal-hal apa saja sebagai Jarak tempuh? Alasan… penghambat penghambat ketika mencari Biaya? Alasan… pengobatan selama ini? Waktu? Alasan…. Pendamping? Alasan ….. Petugas kesehatan? Alasan… Lainnya? sebutkan.. Faktor-faktor Hal-hal apa saja yang Dukungan dari keluarga? pendorong mendorong/mendukung Lainnya..? untuk tetap melakukan pengobatan? Stigma Apakah selama ini Dalam hal apa saja bapak/ibu bapak/ibu merasa merasa terkucilkan dikucilkan? Contohnya? Apa yang telah dilakukan? Diskriminasi Apakah pernah Pelayanan dalam hal apa saja? mendapatkan pelayanan Contoh bentuk diskriminasi yang tidak adil selama ini? /perbedaan perlakuan tersebut ? Dimana saja mendapat perlakuan yang tidak adil? Apa yang telah dlakukan? Harapan Bagaimana harapan Alasannya? terhadap bapak/ibu terhadap Pendapatnya kalau seandainya pelayanan pelayanan bagi penderita pelayanan ARV dikembangkan hiv ke depan? ke puskesmas? Apakah mau berobat ke puskesmas? alasannya? Perkenalan
o
Lampiran 7 ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART BAGI ODHA DI KABUPATEN BADUNG
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK PEMEGANG KEBIJAKAN
1. Nama Fasilitator
:
2. Tanggal Wawancara Mendalam :
I.
3. Nama Partisipan
:
4. Alamat Partisipan
:
5. Pekerjaan Partisipan
:
6. Nomer Telepon Partisipan
:
Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri. Saya adalah I Made Sugiana, mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana-Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan diskusi. Tujuan kita bertemu disini adalah untuk mendapatkan informasi tentang kesiapan puskesmas dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan tersebut dalam pengembangan layanan satelit ART
untuk pasien ODHA di puskesmas se-Kabupaten
Badung. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan informan. Identitas yang diberikan responden pada hari ini, kami akan merahasikannya dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Untuk itu mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan kondisi dan situasi di tempat kerja bapak/ibu.
p
4. Mempersiapkan alat rekam. Minta ijin untuk mempersiapkan alat perekam yang dibantu oleh pendamping peneliti. 5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam baru bisa dimulai. II. No. 1.
2.
Pertanyaan yang diajukan : Tema
Pertanyaan
Pendahuluan
Bagaimana program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Badung? Kebijakan Apa saja bentuk program HIV dukungan kebijakan /AIDS pemerintah terhadap program HIV AIDS di Kabupaten Badung?
3.
DANA
Dari mana sumber dana dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Badung?
4.
Sumber daya
Apakah ada kebijakan khusus penambahan tenaga kesehatan di puskesmas?
5.
Sarana Prasarana
Pandangan terhadap kondisi sarana dan prasarana puskesmas di Kab.Badung?
Probing Apa saja kegiatannya Apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah? Dana? Sarana prasarana? Tenaga? Obat-obatan dan Alat Kesehatan? Surat Keputusan? Bukti di lapangan seperti apa? Apakah kebijakan tersebut sudah diimplementasikan? Komitment pemerintah daerah? Kebijakan politik? Besarnya alokasi dana setiap tahun? Kegiatan HIV/AIDS apa saja yang didanai? Apakah dirasakan cukup oleh puskesmas? Pandangan terhadap tenaga kesehatan di puskesmas? Dari kondisi tenaga kesehatan di puskesmas saat ini, apakah siap dikembangkan layanan satelit ART? Alasannya? Langkah ke depan permasalahan tenaga kesehatan? Jumlahnya? Kualitasnya? Sarana dan prasarana untuk pengembangan program HIV/AIDS? Perencanaan sarana prasarana untuk penanggulangan HIV di puskesmas? Dari segi sarana prasarana, apakah puskesmas siap
q
6.
7.
8.
9.
dikemabngkan satelit ART Farmasi dan Pendapatnya tentang Kebijakan terhadap pengadaan Alat Kesehatan obat-obatan dan alat obat dan alat kesehatan? kesehatan di puskesmas? Adakah pengadaan khusus obat dan alat kesehatan untuk program HIV/AIDS di puskesmas? Langkah ke depan terhadap permasalahan obat dan alkes di puskesmas? Dari kondisi obat dan alkes saat ini, cocokkah puskesmas dikembangkan sebagai satelit ART? Manajemen dan Bagaimana pengelolaan Apakah puskesmas rutin Informasi informasi HIV/AIDS di mengirimkan laporan? Kabupaten Badung? Bentuk laporannya seperti apa? Apakah informasi tersebut digunakan oleh pemerintah daerah? Contohnya? Harapan ke depan terhadap sistem informasi HIV/AIDS ke depan? Langkah apa yang akan dikerjakan? Pernyataan Menurut Bapak /Ibu, Alasannya? Sikap apakah setuju layanan Persiapan yang telah dilakukan? satelit ART di Puskesmas mana yang kira-kira kembangkan di layak untuk dikemangkan Puskesmas ? sebagai satelit ART rumah sakit? Dukungan yang akan diberikan? Stigma dan Pandangan terhadap Pernah membicarakan tentang Diskriminasi stigma dan diskriminasi stigma dan diskriminasi dengan layanan layanan HIV di petugas kesehatan? puskesmas. Contoh stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan seperti apa? Langkah-langkah untuk mengurangi stigma dan diskriminasi di layanan di puskesmas. Apa dukungan Pemda untuk mengurangi stigma dan diskriminasi di tempat layanan?
r
Lampiran 8
ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART BAGI ODHA DI KABUPATEN BADUNG
PANDUAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (FGD) UNTUK TOKOH MASYARAKAT
1) Nama Fasilitator
:
2) Tanggal FGD
:
3) Nama Informan
:
No.
Nama singkat
Umur (Thn)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat Tugas
s
A. Pendahuluan 1) Memperkenalkan diri. Saya adalah
I Made Sugiana, mahasiswa Program
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana-Denpasar. 2) Memberitahukan maksud dan tujuan diskusi. Tujuan kita berdiskusi disini adalah untuk mendapatkan informasi tentangkesiapan puskesmas dan faktorfaktor yang mempengaruhi kesiapan tersebut dalam pengembangan layanan satelit ART pada pasien ODHA di puskesmas se-Kabupaten Badung. 3) Menjelaskan tentang kerahasiaan informan. Identitas yang diberikan responden pada hari ini, kami akan merahasikannya dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Untuk itu mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan kondisi dan situasi di tempat kerja bapak/ibu. 4) Mempersiapkan alat rekam. Minta ijin untuk mempersiapkan alat perekam yang dibantu oleh pendamping peneliti. 5) Setelah tercipta suasana yang kondusif maka FGD baru bisa dimulai. B. Pertanyaan yang diajukan No.
Tema
1.
Pengetahuan
2.
Sikap
3.
Budaya
Pertanyaan
Probing
Apakah Bapak /Ibu Apa itu HIV? mengenal tentang HIV dan Cara penularannya? AIDS Cara mencegahnya? Apa yang dilakukan ketika seseorang menderita HIV? Pengobatan orang HIV? Bagaiamana pandangan Apakah diterima oleh bapak/ibu kalau seandainya masyarakat? sesorang terinfeksi HIV? Apakah ada perbedaan perlakuan/pelayanan di tempat bapak/ibu Bentuk dukungan yang akan diberikan pada odha? Kalau seandainya orang Apakah ada perbedaan yang HIV+ meninggal, perlakuan thd jenazah tsb? bagaimana proses Apakah masyarakat mau penguburannya? membantu? Bagaimana prosesi
t
4.
4.
5.
penguburan yang dilakukan Layanan HIV Bagaimana pendapatnya Perlu ruangan khusus? di Puskesmas kalau puskesmas melayani Alasannya? dan menyediakan obat Perlu dipisahkan dengan untuk orang HIV? pasien umum? Apa yang diharapkan dari layanan puskesmas terhadap pasien HIV? Apakah masyarakat yang memiliki anggota keluarga +HIVmau menggunakan layanan puskesmas? Kendala yang kemungkinan akan terjadi? Dukungan Apakah ada kegiatan di Apa saja bentuk kegiatannya? masyarakat masyarakat untuk Apakah sudah berjalan secara mendukung pencegahan berkesinambungan? penularan HIV? Apakah ada kerjasama dengan puskesmas? Kendala yang dihadapi? Harapan Apa harapan masyarakat Pendapatnya kalau puskesmas terhadap program menyediakan obat ARV bagi penanggulangan HIV di odha? puskesmas? Usulan untuk program HIV ke depan?
u
Lampiran 9 ANALISIS KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART BAGI ODHA DI KABUPATEN BADUNG
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK PETUGAS PENJANGKAU LAPANGAN
1. Nama Fasilitator
:
2. Tanggal Wawancara Mendalam
:
3. Nama Partisipan
:
4. Alamat Partisipan
:
5. Pekerjaan Partisipan
:
6. Nomer Telepon Partisipan
:
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri. Saya adalah
I Made Sugiana, mahasiswa Program
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana-Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan diskusi. Tujuan kita bertemu disini adalah untuk mendapatkan informasi tentang kesiapan puskesmas dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan tersebut dalam pengembangan layanan satelit ART untuk pasien ODHA di puskesmas se-Kabupaten Badung. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan informan. Identitas yang diberikan responden pada hari ini, kami akan merahasikannya dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Untuk itu mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan kondisi dan situasi di tempat kerja bapak/ibu. 4. Mempersiapkan alat rekam. Minta ijin untuk mempersiapkan alat perekam yang dibantu oleh pendamping peneliti.
v
5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam baru bisa dimulai. B. Pertanyaan yang diajukan : No.
Tema
Pertanyaan
Probing
Apa saja kegiatan penjangkau lanpangan yang dilakukan? Apakah bapak/ibu tahu tentang HIV AIDS?
Sudah berapa lama sebagai penjangkau. Apakah ada masalah selama ini sebagai penjangkau? Apa itu? Apa penyebabnya? Bagaimana cara penularannya? Bagaimana cara mencegahnya? Apa yang telah dikerjakan oleh tenaga penjangkau Bentuk kegiatan penjangkau apa saja? Ada laporannya? Sumber dana? Berapa lama mendampingi odha? Kendala yang dihadapi? Jarak tempuh? Alasan… Biaya? Alasan… Waktu? Alasan…. Petugas kesehatan? Alasan… Jumlah odha? Lainnya? sebutkan.. Sebutkan.. alasannya? Motivasi untuk tetap sebagai tenaga penjangkau?
1.
Perkenalan
2.
Pengetahuan penyakit HIV/AIDS
3.
Kegiatan Tenaga penjangkau
4.
Faktor-faktor Hal-hal apa saja sebagai penghambat penghambat ketika melakukan tugas sebagai penjangkau lapangan
5.
Faktor-faktor Hal-hal apa saja yang pendorong mendorong/mendukung untuk melakukan kegiatan penjangkauan? Stigma Selama sebagai tenaga penjangkau, stigma yang biasanya dihadapi oleh odha apa saja? Diskriminasi Apakah pernah mendapatkan pelayanan yang tidak adil pada odha selama ini?
6.
7.
8.
Harapan terhadap pelayanan
Apa yang telah dilakukan setelah mendapat laporan ada orang terinfeksi HIV?
Di layanan kesehatan? Contohnya? Di masyarakat, contohnya? Lainnya..
Pelayanan dalam hal apa saja? Contoh bentuk diskriminasi /perbedaan perlakuan tersebut ? Dimana saja mendapat perlakuan yang tidak adil? Apa yang telah dlakukan? Bagaimana harapan Alasannya? bapak/ibu terhadap Pendapatnya kalau seandainya pelayanan bagi penderita pelayanan ARV dikembangkan ke hiv ke depan? puskesmas? Apakah mau berobat ke puskesmas? alasannya?
w
DAFTAR TILIK PENKAJIAN KESIAPAN LAYANAN PUSKESMAS SEBAGAI SATELIT ART Nama Puskesmas : Alamat : No. Telp : Informan : Program HIV/AIDS yang sudah terlaksana/ berjalan di puskesmas : 1 Program Penyuluhan HIV ( Ada/ Tdk) 2 Konseling HIV (Ada / Tdk) 3. Rumatan Metadon ( Ada / Tdk)
3 Program PMTCT /PPIA ( Ada / Tidak) 4 Program Kolaborasi TB -HIV ( Ada / Tdk) 5. Program lainnya : KEADAAN SAAT INI
No
KONDISI PUSKESMAS JML
I
KEADAAN SDM Total Seluruh Pegawai Puskesmas a termasuk pustu b Total pegawai puskesmas tidak tmsk Pustu/Polindes c Dokter Umum d Perawat e Bidan f Tim VCT g Tim CST i Konselor j Tenaga Farmasi k Tenaga Laboratorium l Tenaga Administrasi
m Tenaga Pendamping ODHA /Penjangkau Lapangan n Petugas TB-HIV o Tenaga Lainnya terkait HIV II KOMPETENSI a Pelatihan Konselor b Pelatihan HIV/AIDS c Pelatihan IMS d Pelatihan PMTCT e Pelatihan TB-HIV f Pelatihan CST/PDP g Pelatihan LKB h Pelatihan Methadon i Pelatihan Lab. untuk HIV j Pelatihan Lainnya
Sbg TIM VCT
KESIAPAN ART TIDAK SIAP SIAP
PENJELASAN
x
III a b c d e f g h i j k l m n o p q r
SARANA PRASARANA PENUNJANG Ruang khusus Konseling /VCT Ruang khusus IMS Ruangan Farmasi Ruang Laboratorium Alat penyuluhan HIV Bahan Habis Pakai Lab. Reagen Rapid Test Tabung pemeriksaan Darah Cek Darah Lengkap (DL) Cek Urin Lengkap (UL) Test Fungsi Hati (SGPT/SGOT) Fungsi Ginjal (BUN/SC) Foto Rongent Thorax Pemeriksaan Sputum TB Pemeriksaan IMS Pemeriksaan Hemoglobine Pemeriksaan HIV (Rapid Test) Pemeriksaan CD4
s Alat pemeriksaan Fisik (tensi, stetoskope, Timbangan ) t Kondom Laki-laki IV OBAT-OBATAN a Kotrimoksazol b Metronidazol c Flukonazole d Doksisiklin e Nistatin f Aciclovir g Obat TB (OAT) h Obat Profilaksis Pasca Pajanan i Obat ARV V SUMBER DANA a Global Fund b APBD c APBN d Sektor Swasta e BOK f JKN/BPJS g Lainnya…… VI SISTEM INFORMASI a Register Kegiatan HIV b Laporan Bulanan c Laporan SIHA
y
d Pemanfaatan Informasi HIV VII LAYANAN HIV a Protaf layanan pemeriksaan HIV b Protaf Pencegahan Infeksi / Kewaspadaan Universal c Layanan TB-HIV d Alur Rujukan e Jejaring Layanan f Kelompok Dukungan HIV (KDS) di Masyarakat /Swasta g Tim Perkesmas untuk HIV h Kerjasama LSM i Kerjasama dengan Rumah Sakit
Badung, ………………….2015 Peneliti