DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA
DISERTASI
PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
I MADE PATERA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
i
1 DIAJUKAN UNTUK UJIAN TERBUKA
DISERTASI
PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
I MADE PATERA NIM:1090771004
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
2
PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Pariwisata, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I MADE PATERA NIM:1090771004
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 ii
3
iii
4
Disertasi Ini Telah diuji pada Ujian Terbuka Tanggal : 6 Januari 2016
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 4306/UN14.4/HK/2015 Tanggal : 22 Desember 2015
Ketua
: Prof. Dr. I Made Sukarsa, S.E., M.S.
Anggota
:
1.
Dr. Ir. A.A.P. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc
2.
Prof. Dr. I Komang Gde Bendesa, M.A.D.E.
3.
Prof. Dr. Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS.
4.
Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU
5.
Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS
6.
Dr. Putu Saroyeni Piartrini, SE., Ak. MM.
7.
Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc
iv
5
v
6
UCAPAN TERIMA KASIH Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa penulis mengucapkan puji syukur atas kemurahan dan kasih karunia-Nya, sehingga penulisan disertasi dengan judul Pariwisata dan Kemiskinan di Kabupaten Badung-Bali, dapat penulis selesaikan dengan optimal. Penulisan ini memungkinkan terjadi dari dukungan, arahan serta tambahan ilmu pengetahuan dari promotor, dan kopromotor serta bimbingan anggota penguji sejak ujian kualifikasi sampai selesainya penulisan diseratasi ini. Penulis menyampaikan penghargaan setulus hati kepada yang terhormat. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD. KEMD beserta pembantu-pembantu rektor atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan penyelesaikan pendidikan Program Doktor Pariwisata di Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K), dan Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, MA, Prof Made Sudiana Mahendra, Ph.D selaku asisten II beserta seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, yang telah memberikan penulis kesempatan dan fasilitas, untuk mengikuti perkulihan ini sampai selesai. Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., M.S., Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Studi Manajemen Universitas Udayana Denpasar, atas berkenan sebagai promotor dan membimbing penulis dengan kesabaran yang tinggi. Kepakaran beliau dalam bidang dunia akademik telah memberikan penulis pengetahuan yang sangat bernilai dalam menyelesaikan disertasi ini. Dr. Ir. A.A.P Agung Suryawan Wiranatha, MSc., selaku kopromotor yang telah membimbing penulis tanpa lelah dan dengan sangat teliti. Pengalaman beliau memberikan saran dalam bidang akademis dan empiris sangat bermanfaat dalam menyelesaikan penulisan ini.
vi
7
Ketua Program Doktor Pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. I Komang Gde Bendesa, M.A.D.E dan sekretaris program Dr. Ir. A.A.P. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc yang senantiasa memberikan semangat, dan motovasi dalam mengikuti studi sehingga penulis selalu bersemangat untuk mengikuti perkuliahan. Kepada para penguji disertasi : Prof. Dr. I Made Sukarsa, S.E., M.S., Dr. Ir. A.A.P. Agung Suryawan Wiranatha, MSc., Prof. Dr. I Komang Gde Bendesa, M.A.D.E., Prof. Dr. Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS., Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SU, Prof. Dr. Ir. Made Antara, MS dan Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc. yang telah memberikan masukan berharga dan dukungan kepada penulis untuk mewujudkan disertasi ini menjadi lebih baik. Para dosen pengampu mata kuliah sejak dimulainya perkuliahan perdana pada 31 Agustus 2010 dan dosen pengampu mata kuliah konsentrasi yang telah berperan besar memberikan dorongan dan berbagi pengetahuan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih penulis disampaikan kepada Kepala Statistik Kabupaten Badung, Kepala Statistik Provinsi Bali, Kepala Bappeda Kabupaten Badung, Kepala Desa Belok Sidan dan Petang, Kepala Desa Jimbaran dan Desa Pecatu, dan Manager Obyek Wisata Pecatu beserta jajarannya atas fasilitas dan waktu yang diluangkan untuk melaksanakan fokus grup diskusi, membahas tentang pariwisata dan kemiskinan di Badung Utara dan Badung Selatan. Hormat dan terima kasih tidak terhingga penulis panjatkan kepada kedua orang tua Ayah I Wayan Sengolan dan Bunda Ni Made Rempen (almarhum) yang telah membesarkan dan memberikan falsafah kehidupan tentang cinta kasih, hutang kepada orang tua tidak akan terbayarkan, dan hidup adalah pembelajaran sampai akhir kehidupan itu sendiri. Istri setia yang penulis kasihi dan kagumi
vii
8
Irma Ellen Riupassa, dengan pengorbanan dan kesabaran yang tidak ternilai telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi ini. Anak-anak tercinta dan budiman Gede Reindra Patera, Rathendra Dinaçakti Patera, Astri Swarani Patera dan Menantu terkasih Ida Ayu Arie Mayuni yang memberikan dukungan dan kasih sayang dengan caranya masing-masing. Simon Reinier Riupassa dan Ariantje Bondradine Sahanaya, mertua (almarhum) yang menjadi inspirator untuk berbagi dalam kehidupan. Nio Tjoei Lian yang memberi pendidikan karakter menjadi pribadi tangguh
“Perseverance”, jujur, disipin, dan kerja keras.
Almarhum I Ketut Dharmasusila yang memberikan suri tauladan pentingnya pendidikan. Sahabat tercinta, motivator dan teman diskusi akademik Dr. I Nyoman Sudiarta, SE. M.Par dan Dr. I Wayan Suardana, SST.Par.M.Par. Terima kasih kepada Lippo Group tempat penulis selama ini bekerja sebagai tulang punggung perkuliahan yang memungkinkan penulis menyelesaikan disertasi ini. Seluruh staf di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana dan Program Doktor Pariwisata atas berbagai fasilitas, dan bantuan yang telah diberikan semasa kuliah sampai disertasi ini terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang dengan ihlas telah memberikan dukungan moral maupun material Semoga semua amal baik Bapak, Ibu, Saudara mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Semoga karya ilmiah ini yang jauh dari sempurna dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pariwisata di Bali dan Indonesia pada umumnya.
Denpasar, 6 Januari 2016 Penulis,
I Made Patera
viii
9
ABSTRAK Pariwisata Dan Kemiskinan Di Kabupaten Badung, Bali Fenomena pariwisata dan kemiskinan telah ada sejak lahirnya peradaban manusia dan sejak tahun 1980-an telah menjadi perhatian serius para praktisi dan cendikiawan diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Kemiskinan tidak hanya dipahami sebagai sebuah pemahaman konsep abstrak, tetapi sebagai realitas terhadap ketidakadilan ekonomi dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia di berbagai negara kaya maupun negara miskin di dunia. Tujuan penelitian adalah: 1) menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian; 2) menganalisis pengaruh kinerja perekonomian terhadap pengentasan kemiskinan; 3) menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap pengentasan kemiskinan; dan 4) merumuskan strategi untuk meningkatkan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif didukung data sekunder dan pendekatan kualitatif dengan data primer didapat melalui observasi, wawancara mendalam (depth-interview) dan diskusi kelompok terfokus (focuss group discussion). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung Selatan sebagai daerah terkaya di Bali dari hasil pariwisata. Penelitian ini mengacu kepada Teori Neoliberalisme sebagai Grand Theory, didukung oleh teori Sosial Demokrat dan Teori Pemberdayaan. Kemiskinan menurut Neoliberalisme adalah persoalan individu dan kesejahteraan hanya bisa dicapai dengan pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme pasar bebas. Menurut Sosial Demokrat kemiskinan muncul akibat dari ketidak adilan terhadap tatanan kehidupan masyarakat sebagai faktor dan Teori Pemberdayaan menekankan pada pendekatan untuk meningkatkan kemampuan pribadi atau kelompok masyarakat untuk melepaskan diri menuju kepada kemandirian secara ekonomi, sosial budaya dan politik. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data hasil penelitian untuk mudah dibaca dan analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian yaitu dengan Partial Least Square (PLS). Hasil penelitian membuktikan bahwa: 1) perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian; 2) kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan; dan 3) perkembangan pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dan 4) untuk meningkatkan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan dilakukan dengan menganalisis kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan dibuat dalam satu strategi berbasiskan SWOT. Novelty penelitian yaitu: perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung berdampak signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan melalui 2 indikator yaitu Jumlah Kunjungan Wisatawan dan Kontribusi PHR sebagai indikator terkait langsung dengan pemerintah. Indikator Lama Tinggal dan Pengeluaran Wisatawan tidak berdampak terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Badung. Kata kunci : Perkembangan pariwisata, kinerja ekonomi, kemiskinan
ix
10
ABSTRACT Tourism And Poverty In Badung Regency, Bali Tourism and poverty’s phenomenon had already been known since the birth of human civilization. In the 1980s poverty became a serious concern of practitioners and scholars in various part of the world, including Indonesia. Poverty is not only understood in understanding as an abstract concept, but also as a reality of economic injustice and inability to meet basic human needs in some rich countries but also in many developing countries in the world. The problem of poverty is a fundamental and tourism is one of the many ways to solve this. The objective of this paper is to study the role of tourism to poverty alleviation including: 1) to analyze the influence of tourism development toward economic performance; 2) to analyze the effect of economic performance on poverty eradication; 3) to analyze the influence of tourism on poverty alleviation; 4) to formulate a strategy to increase tourism's role in poverty alleviation in Badung Regency. This study uses quantitative approach supported by secondary data and qualitative approach using primary data obtained through observation, indepth interviews and focus group discussions. Research was conducted in South Badung Regency in the most developed tourism growth and considered the richest district among all regencies in Bali Regencies. Various attempts have been made to alleviate poverty, however have not been able to resolve poverty problems. The grand theory of this study refers to Neoliberalism Theory, supported by Social Democratic Theory and Empowerment Theory. Neoliberalism emphasizes that poverty as an individual problem and prosperity can only be achieved by achievement of economic growth through free market mechanism. According to Social Democratic Theory the emergence of poverty came from outside of the community itself. While the emphasis on the Empowerment Theory is in improving the ability of individual or communities to become indepedence on economic, social welfare and political right. Data analysis using Partial Least Square (PLS) with statistical analysis descriptive and inferential statistics. In order to have a better understanding on the statiscal result, Descriptive Analysis is also used to describe the researched data, using inferential statistical analysis to test the research hypothesis. The results of the research indicated that: 1) the development of tourism showed positive and significant impact on economic performance; 2) economic performance showed negative and significant impact on poverty alleviation; 3) tourism development showed negative and significant effect on poverty alleviation and (4) in order to be able to increase tourism's role in poverty alleviation in Badung Regency the strategy is formulated by analyzing the strengths, weakness, opportunities and challenges based on Strength, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT) strategy. Key words: Tourism development, economic performance, poverty
x
11
RINGKASAN PARIWISATA DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI
Perkembangan pariwisata internasional merupakan sektor kegiatan ekonomi global yang dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Bryden (1973) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan mutualistis untuk mengentaskan kemiskinan. Alasan memilih perkembangan pariwisata terhadap dampak kemiskinan di Kabupaten Badung yaitu secara teoritis didasarkan atas hasil kesimpulan peneliti yang berbeda yaitu dari Kelompok Ashley et al (2001), Spenceley dan Seif (2003),
Tores
dan
Momsen
(2004:
249-5)
yang
menyatakan
bahwa
pengembangan pariwisata berdampak positif pengentasan kemiskinan. Dari hasil penelitian dilakukan Jamieson et al (2004: 2) dan Roy (2010: 4) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata belum mampu mengentaskan kemiskinan. Tujuan
penelitian
ini
yaitu
untuk:
(1)
Menganalisis
pengaruh
perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian di Kabupaten Badung, (2)
Menganalisis pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan di
Kabupaten Badung (3) Menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan di Kabupaten Badung dan (4) Merumuskan strategi untuk meningkatkan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Landasan teori penelitian ini adalah Teori Pemberdayaan didukung oleh Konsep Pariwisata, Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan. Menurut Rappaport (1987: 139-142), pemberdayaan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam menentukan pilihan terhadap kepentingan yang berdampak positif bagi diri sendiri sebagai pendekatan untuk memecahkan masalah sosial dari ketidakberdayaan masyarakat. Perkins dan Zimmerman (1995: 570-571), menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah proses partisipasi berkesinabungan untuk menghilangkan berbagai keterbatasan, membangun kepercayaan diri kerjasama, kematangan emosi, kemampuan beradaptasi dan bertoleransi dengan orang lain. xi
12
Penelitian ini menggunakan metode gabungan antara kuantitatif dan kualitatif atau Mixed Method. Hal ini didasarkan pada pandangan Creswell, (2010: 22) dan Jonker et al (2011: 88) yang menyatakan bahwa semakin kompleks masalah
penelitian, memakai metode kualitatif dan kuantitatif dalam satu
penelitian akan saling memperkuat satu sama dari pada hanya menggunakan satu metode penelitian secara terpisah. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui pengambilan data sekunder dari sumber data yang ada di Kabupaten Badung. Didukung oleh Kerangka Berfikir dan Konsep sebaga landasan untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan Hipotesis Penelitian yaitu: Hipotesis Penelitian I: Perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan, Hipotesis 2: Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan dan Hipotesis 3:
Perkembangan Pariwisata
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Data diolah dengan analisis statistik inferensial menggunakan Partial Least Partial (PLS). Hasil pengujian hipotesis dipakai mengkonfirmasi hasil penelitian dan teori-teori Jennings, (2001: 35), Denzin dan Lincoln, (2009: 1-4) Pendekatan kualitatif juga dilakukan karena sebagian permasalahan yang diteliti dilakukan secara deskriptif, melalui observasi, wawancara mendalam (in-depth interview) Untuk karakteristik kemiskinan dipakai statistik deskriptif
untuk
mengkorfirmasi hasil analisis kuantitatif dan kegiatan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion). Teknik analisis yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas: Analisis Kuantitatif dipergunakan untuk menjawab permasalahan pertama, kedua dan ketiga, dengan menggunakan analisis Partial Least Square sebagai alternatif pemodelan persamaan yang dasar teorinya lemah, bisa digunakan untuk model replektif dan formatif (Ghozali 2011: 7-17), dan Analisis Kualitatif dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah ke empat yaitu bagaimana mengembangkan strategi peningkatan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Informasi atau data yang tersedia dianalisis melalui pendekatan Strength, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT) melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan strategi pengentasan
xii
13
kemiskinan disusun berdasarkan matriks SWOT yaitu : (1) Strategi SO, (2) Strategi ST, (3) Strategi WO dan (4) WT. Hasil Pengujian menggunakan Partial Least Square (PLS) menghasilkan: (1) Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian, hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar 0,871 dengan nilai t-statistik sebesar 71,567. Nilai t- statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201. Ini menunjukkan bahwa variabel perkembangan pariwisata berpengaruh signifikan terhadap kinerja perekonomian. Artinya
bahwa
semakin
baik
perkembangan
pariwisata
maka
kinerja
perekonomian juga akan meningkat, (2) Pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan, hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh signifikan variabel kinerja perekonomian (KP) terhadap kemiskinan (KM) dengan nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara variabel kinerja perekonomian terhadap kemiskinan. Koefisien jalur yang bertanda negatif menunjukkan bahwa kinerja perekonomian memberikan pengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kinerja perekonomin (KP) maka kemiskinan (KM) semakin menurun dan (3) Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan, koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099. Nilai t- statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel perkembangan pariwisata dengan kemiskinan.
Koefisen
jalurnya
menunjukkan
perkembangan
pariwisata
memberikan pengaruh negatif terhadap kemiskinan, artinya semakin baiknya perkembangan pariwisata, berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan. Kebaruan atau Novelty penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut: perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung berdampak signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan melalui dua (2) indikator yaitu jumlah kunjungan wisatawan dan kontribusi pajak hotel dan restoran (PHR), dimana kedua indikator
xiii
14
ini terkait langsung dengan penerimaan pemerintah dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan.Sedangkan dua indikator lainnya yaitu Lama Tinggal dan Pengeluaran Wisatawan merupakan bagian dari pendapatan non-pemerintah berupa keuntungan yang masuk ke pundi-pundi swasta untuk kepentingan sendiri dan tidak dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan di Badung. Keterbatasan penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut : (1) Penelitian ini terbatas hanya memakai tiga variabel yaitu variabel pariwisata, kinerja perekonomian dan variabel kemiskinan dan hanya melihat dampaknya dari aspek ekonomi, (2) Tidak meneliti tentang pengaruh aspek non-ekonomi terhadap kemiskinan, (3) Penelitian ini menggunakan data sekunder dari sumber terbatas yaitu dari BPS Pemerintah Kabupaten Badung dan Provinsi Bali. Untuk memperkaya hasil penelitian data sekunder dapat dicari dari sumber-sumber lainnya, dan (4) Terbatasnya data time series yang tersedia hanya selama 14 tahun sejak berdirinya pada tahun 1992 Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah berpisah dari Kota Madya Denpasar. Kesimpulan penelitian sebagai berikut: (1) Perkembangan pariwisata berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian. Artinya
bahwa semakin baik perkembangan pariwisata, kinerja perekonomian semakin meningkat. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar
0,871 dan nilai
t-statistik sebesar 71,567 lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, (2) Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan `terhadap kemiskinan. Artinya semakin tinggi kinerja perekonomian, semakin menurun tingkat kemiskinan. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik 15,462, lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, (3) Perkembangan pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Artinya bahwa semakin
meningkatnya
perkembangan
pariwisata,
berdampak
terhadap
menurunnya kemiskinan. Hal ini terlihat dari Koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai tstatistik 4,099, lebih besar dari nilai t-tabel 2,201, (4) Untuk peningkatkan peran pariwista di Kabupaten Badung dalam pengentasan kemiskinan berdasarkan hasil analisis SWOT sebagai berikut: (1). Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi
xiv
15
pariwisata alami dan meningkatkan pariwisata ekowisata, meningkatkan potensi wisata jembatan “Tukad Bangkung” untuk wisatawan nusantara di Badung Utara, memberdayakan masyarakat untuk pelestarian lingkungan, (2) Strategi (W+O): meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku kepentingan pariwisata, (3) Strategi (S+T) dan (W+T): meningkatkan promosi melalui berbagai media dan bentuk promosi lainnya. Saran: (1) Perlu dikembangkan pilot project penelitian di Kecamatan Badung Selatan untuk mengembangan rumput laut dan mengembalikan kejayaan jeruk Pecatu dan untuk Desa Jimbaran untuk pengembangan kegiatan bersifat ekonomis selain wisata kuliner pantai dengan mengoptimalkan pemanfaatan CSR dari perusahaan swasta, (2 ) Penelitian dimasa mendatang perlu disempurnakan dengan menambahkan variabel non ekonomi seperti variabel kesejahteraan sebagai variabel mediasi diantara Perkembangan Pariwisata dan Kemiskinan, (3) Untuk mengetahui pengaruh peran pariwisata dan kinerja perekonomian terhadap kemiskinan perlu didukung dengan lebih banyak data primer dari sumber yang lebih luas, (4) Pengembangan penelitian berkelanjutan di Badung Utara, di Kecamatan Petang, Desa Plaga dan Desa Belok Sidan untuk mengembangkan pertanian modern secara terintegrasi, berbasiskan masyarakat dengan melibatkan badan-badan internasional, pemerintah, dan swasta yang berpengalaman di bidang pertanian modern.
xv
16
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL DEPAN ---------------------------------------------------
i
HALAMAN SAMPUL DALAM --------------------------------------------------
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR / KOPROMOTOR-----------------
iii
PENETAPAN PANITIA UJIAN ---------------------------------------------------
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ------------------------------------
v
UCAPAN TERIMA KASIH --------------------------------------------------------
vi
ABSTRAK ----------------------------------------------------------------------------
ix
ABSTRACT --------------------------------------------------------------------------
x
RINGKASAN ------------------------------------------------------------------------
xi
DAFTAR ISI -------------------------------------------------------------------------
xvi
DAFTAR TABEL --------------------------------------------------------------------
xx
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------- xxii DAFTAR LAMPIRAN -------------------------------------------------------------- xxiii DAFTAR SINGKATAN ------------------------------------------------------------ xxiv BAB I
BAB II
PENDAHULUAN -------------------------------------------------------
1
1.1
Latar Belakang ----------------------------------------------------
1
1.2
Rumusan Masalah -----------------------------------------------
14
1.3
Tujuan Penelitian -------------------------------------------------
14
1.4
Manfaat Penelitian ------------------------------------------------
15
1.4.1 Manfaat teoritis -------------------------------------------
15
1.4.2 Manfaat praktis ------------------------------------------
15
KAJIAN PUSTAKA -----------------------------------------------------
16
2.1
Penelitian Terdahulu ----------------------------------------------
16
2.2
Landasan Teori, Konsep Pariwisata dan Kemiskinan ---------
24
2.2.1 Teori Pemberdayaan -------------------------------------
24
Konsep Pariwisata -------------------------------------------------
31
2.3.1 Pengertian wisatawan ------------------------------------
33
2.3.2 Pro Poor Tourism ----------------------------------------
37
2.3
xvi
17
2.3.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based
2.4
Tourism) ---------------------------------------------------
39
2.3.4 Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism)------
47
2.3.5 Industri Pariwisata ----------------------------------------
49
2.3.6 Pengembangan Pariwisata -------------------------------
51
2.3.7 Pariwisata dan Kinerja Perekonomian -----------------
59
Konsep Kemiskinan -----------------------------------------------
60
2.4.1 Jenis Kemiskinan -----------------------------------------
61
2.4.2 Penyebab Kemiskinan ------------------------------------
61
2.4.3 Pengentasan Kemiskinan --------------------------------
64
2.4.4 Indikator Kemiskinan ------------------------------------
66
BAB III KERANGKA
BERPIKIR,
KERANGKA
KONSEP
DAN
HIPOTESIS 3.1
Kerangka Berpikir -------------------------------------------------
71
3.2
Kerangka Konsep Penelitian -------------------------------------
76
3.3
Hipotesis------------------------------------------------------------
78
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Rancangan Penelitian ---------------------------------------------
82
4.2
Lokasi, Waktu dan Obyek Penelitian ---------------------------
83
4.3
Variabel Penelitian ------------------------------------------------
86
4.3.1 Identifikasi Variabel --------------------------------------
86
4.3.2 Definisi Operasional Variabel ---------------------------
86
Jenis dan Sumber Data--------------------------------------------
90
4.4.1 Jenis Data --------------------------------------------------
90
4.4.2 Sumber Data-----------------------------------------------
90
Teknik Pengumpulan Data ---------------------------------------
92
4.5.1 Observasi --------------------------------------------------
92
4.5.2 Wawancara Mendalam (In-depth Interview) ----------
92
4.5.3 Studi Dokumen -------------------------------------------
93
4.4
4.5
4.5.4 Diskusi
Kelompok
terfokus
(Focus
Group
Discussion) ------------------------------------------------
xvii
93
18
4.6
4.5.5 Pemilihan Informan --------------------------------------
94
Metode Analisis Data ---------------------------------------------
95
4.6.1 Analisis Kuantitatif ---------------------------------------
95
4.6.2 Analisis Kualitatif ----------------------------------------
98
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Gambaran Umum Kabupaten Badung --------------------------
99
5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Badung ----------------- 101 5.1.2 Potensi Sarana dan Prasarana Kepariwisataan -------- 105 5.1.3 Lokasidan Jenis Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung ----------------------------------------------------- 106 5.1.4 Gini Ratio Kabupaten Badung -------------------------- 110 5.1.5 Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Badung ------ 115 5.2
Gambaran Umum Desa Penelitian ---------------------------- 117 5.2.1
Desa Pelaga ----------------------------------------------- 117
5.2.2
Desa Bilok Sidan ----------------------------------------- 118
5.2.3 Desa Jimbaran -------------------------------------------- 118 5.2.4 Desa Pecatu ----------------------------------------------- 119 5.3
Deskripsi Pariwisata dan Ekonomi Kabupaten Badung------- 119 5.3.1 Perkembangan Pariwisata Kabupaten Badung -------- 119 5.3.2 Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung ------------ 127 5.3.3 Variabel Kemiskinan di Kabupaten Badung ---------- 133
5.4
Hasil Pengujian Partial Least Square (PLS) ------------------- 144 5.4.1 Hasil pengujian outer model atau measurement model ----------------------------------------------------- 144 5.4.2 Hasil pengujian Discriminant validity ----------------- 147 5.4.3 Hasil pengujian Reliability ------------------------------ 148 5.4.4 Pengujian model struktural (inner model) ------------- 149
5.5
Pengaruh Perkembangan Pariwisata, Kinerja Perekonomian, dan Kemiskinan --------------------------------------------------- 150 5.5.1 Pengaruh
Perkembangan
Pariwisata
terhadap
Kinerja Perekonomian ----------------------------------- 152
xviii
19
5.5.2 Pengaruh
kinerja
perekonomian
terhadap
kemiskinan ------------------------------------------------ 154 5.5.3 Pengaruh
perkembangan
pariwisata
terhadap
kemiskinan ------------------------------------------------ 156 5.6
Investasi di Kabupaten Badung ---------------------------------- 158 5.6.1 Investasi di Kecamatan Petang dan Kecamatan Kuta Selatan ----------------------------------------------------- 158 5.6.2 Indikator Sosial Kecamatan Petang dan Kecamatan Kuta Selatan ----------------------------------------------- 160
5.7
Analisis SWOT ---------------------------------------------------- 161 5.7.1 Strategi Peningkatan
Peran
Pariwisata
Dalam
Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Badung ------ 162 5.8
Kebaruan Penelitian ----------------------------------------------- 163
5.9
Implikasi Temuan Penelitian ------------------------------------- 164
5.10 Keterbatasan Penelitian ------------------------------------------- 165 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1
Simpulan ----------------------------------------------------------- 166
6.2
Saran -------------------------------------------------------------- 167
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 169 LAMPIRAN-LAMPIRAN ---------------------------------------------------------- 185
xix
20
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara, ke Indonesia Tahun 2008-2013 Rata-rata Pengeluaran, Lama Tinggal dan Penerimaan Devisa -----------------------------------------------------
4
Tabel 1.2 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali Tahun 2009-2013 ---------------------------------------------------------------
7
Tabel 1.3 Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali Tahun 20092013 ----------------------------------------------------------------------
8
Tabel 1.4 Rata-rata Lama Tinggal, Pengeluaran, Jumlah Wisatawan Mancanegaradan Nusantara di Bali 2009-2013 ---------------------
9
Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Bali Tahun 2009-2013 ----------------------------------------------
10
Tabel 1.6 Investasi; PDRB dan Kemiskinan KabupatenBadung --------------
11
Tabel 2.1 Karakteristik Pro Poor Tourism (PPT) ------------------------------
39
Tabel 2.2 Prinsip Perkembangan Pariwisata Berdasarkan Komunitas (CBT) --------------------------------------------------------------------
46
Tabel 2.3 Perusahaan Kelompok Industri Pariwisata dan Produknya Masing-masing ----------------------------------------------------------
50
Tabel 2.4 Manfaat dan Kerugian dari Perubahan Sosial, Lingkungan dan Ekonomis Akibat Pengembangan Pariwisata------------------------
58
Tabel 2.5 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan ---------------------------------
69
Tabel 2.6 Kedudukan Penelitian Diantara Peneliti-peneliti yang Lain -------
70
Tabel 4.1 Lokasi Penelitian -------------------------------------------------------
85
Tabel 4.2 Deskripsi Konstruk/Variabel, Indikator, Skala Pengukuran dan Sumber Referensi -------------------------------------------------------
89
Tabel 4.3 Sampel Kabupaten Badung --------------------------------------------
91
Tabel 5.1 Luas Wilayah Kabupaten Badung Per Kecamatan Tahun 2013 --- 100 Tabel 5.2 Jumlah dan Jenis Daya Tarik Wisata (DTW) di Kabupaten Badung Tahun 2013 ---------------------------------------------------- 108 xx
21
Tabel 5.3 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara Ke Kabupaten Badung Tahun 2009 -2013 -------------------------------------------- 110 Tabel 5.4 Jumlah RTS Menurut Status Kesejahteraan Hasil PPLS 2011 ---- 112 Tabel 5.5 Perkembangan Beberapa Indikator Pariwisata Di Kabupaten Badung (X1) ------------------------------------------------------------ 125 Tabel 5.6 Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung (X2) -------------------- 133 Tabel 5.7 Kemiskinan Di Kabupaten Badung, 2000 – 2013 ------------------ 141 Tabel 5.8 Outer Loadings --------------------------------------------------------- 145 Tabel 5.9 Outer Loadings (Model Revisi) --------------------------------------- 147 Tabel 5.10 Cross Loadings --------------------------------------------------------- 148 Tabel 5.11 Composite Reliability -------------------------------------------------- 148 Tabel 5.12 Nilai R-Squares --------------------------------------------------------- 149 Tabel 5.13 Pengaruh Perkembangan Pariwisata dan Kinerja Perekonomian terhadap Kemiskinan --------------------------------------------------- 151 Tabel 5.14 Rencana dan Realisasi PMA dan PMDN di Kabupaten Badung -- 159
xxi
22
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Kunjungan Wisatawan Internasional 2013 ---------------------
2
Gambar 3.1
Kerangka Berpikir -------------------------------------------------
74
Gambar 3.2
Kerangka Konsep -------------------------------------------------
76
Gambar 4.1
Lokasi Penelitian --------------------------------------------------
85
Gambar 4.2
Jalur Analisis PLS -------------------------------------------------
96
Gambar 5.1
Data Gini Ratio Provinsi Bali Tahun 2000 – 2013 ------------ 111
Gambar 5.2
Hasil analisis outer model penelitian---------------------------- 145
Gambar 5.3
Hasil revisi analisis outer model--------------------------------- 146
Gambar 5.4
Diagram Struktural Hasil Uji Inner Model --------------------- 150
Gambar 5.5
Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis ------------------------------- 151
xxii
23
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Rasio Gini Provinsi Bali Tahun 2004-2013 -------------------- 185
Lampiran 2
Frequencies -------------------------------------------------------- 186
Lampiran 3
PLS Output 1 ------------------------------------------------------ 192
Lampiran 4
PLS Output (Model Revisi) -------------------------------------- 199
Lampiran 5
Tabel Analisis SWOT--------------------------------------------- 206
Lampiran 6
Strategi Pengentasan Kemiskinan Berbasis Analisis SWOT - 209
Lampiran 7
Data Hasil Dokumentasi Penelitian----------------------------- 211
Lampiran 8
Data Hasil Dokumentasi Penelitian ----------------------------- 214
xxiii
24
DAFTAR SINGKATAN
AVE
: Average Variance Extracted
BPS
: Badan Pusat Statistik
CBT
: Community Based Tourism
CSR
: Corporate Social Responsibility
GATS
: General Agreement on Trade and Services
JED
: Jaringan Ekowisata Desa
KM
: Kemiskinan
KP
: Kinerja Perekonomian
KUB
: Kelompok-kelompok Usaha Bersama
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MICE
: Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition
MP3EI
: Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
PAD
: Pendapatan Asli Daerah
PDRB
: Pendapatan Domestik Regional Bruto
PLS
: Partial Least Partial
PP
: Perkembangan pariwisata
PPT
: Pro Poor Tourism
RTS
: Rumah Tangga Sasaran
SWOT
: Strength, Weakness, Opportunity dan Threat
UEP
: Usaha Ekonomi Produktif
UNESCO
: United Nations Educational Sience and Cultural Organization
UNWTO
: United Nation World Tourism Organization
WTO
: World Tourism Organization
xxiv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan pariwisata internasional merupakan sektor kegiatan ekonomi global yang dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Bryden (1973) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan mutualistis untuk mengentaskan kemiskinan. Pariwisata Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan pariwisata global sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi yang melahirkan persetujuan umum tentang Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade and Services) disingkat GATS. Persetujuan ini membuka hambatan tarif pada perdagangan jasa di dunia dan diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2011. GATS membuka ruang bagi pariwisata untuk bertumbuh menjadi salah satu industri jasa terbesar di dunia, berperan sebagai penggerak (driving force) ekonomi global dengan regulasi perdagangan dan jasa yang menguntungkan industri pariwisata negara maju. Sejalan dengan Bryden (1973), Gibson (2009: 527-528) dan Leon (2006: 341) menyatakan bahwa pariwisata bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian spektakuler kunjungan wisatawan internasional sebanyak 1,087 miliar pada tahun 2013, meningkat lima persen atau sebanyak 52 juta wisatawan dari tahun 2012 (1,075 miliar). Dari angka tersebut, 258 juta wisatawan berkunjung ke Asia Pasifik, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya. Eropa sebagai penerima
1
2
kunjungan tertinggi sebanyak 563 juta wisatawan, meningkat sebesar lima persen (534 juta) dari tahun sebelumnya. Amerika menerima 167 juta wisatawan dengan kenaikan sebesar 3.6 persen seperti disajikan pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 Kunjungan Wisatawan Internasional 2013 Sumber (UNWTO, 2014). Penerimaan pariwisata internasional tahun 2013 sebesar USD 1.159 miliar meningkat lima persen dan Gross Domestic Product bertumbuh sembilan persen menjadi USD 7.227,1 juta dari tahun 2012. Meningkatnya jumlah kunjungan dan pendapatan pariwisata internasional menunjukkan semakin besarnya kontribusi pariwisata terhadap pemasukan devisa dan semakin terbukanya kesempatan kerja dan peluang untuk meningkatkan ekspor komoditas lokal. Ashley, et al (2001: 2) sejalan dengan Hall (2008:19-21) menyatakan bahwa untuk setiap pengembangan pariwisata diperlukan peran negara sebagai perumus pembangunan dan pengendali kebijakan publik. Hal ini dimaksudkan agar peran kebijakan publik
3
sebagai kontrol untuk mencegah dampak negatif perkembangan pariwisata dan mampu berkontribusi positif terhadap peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan tujuan pengembangan pariwisata Indonesia pemerintah mencanangkan program-program inovatif untuk memperbesar pendapatan devisa dan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara. Pemerintah merancang Master Plan Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development 2011-2025 yaitu Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk mempercepat peningkatkan ekonomi berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing daerah di Indonesia. Tahun 2013 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Pangestu, 2013:14-25), menargetkan kedatangan 8,6 juta wisatawan dengan pemasukan devisa USD 10 miliar dan 258 juta wisatawan nusantara dengan pendapatan Rp. 180,6 trilliun untuk tahun 2013. Untuk tujuan tersebut pemerintah merancang program-program unggulan, yaitu: (1) menambah penerbangan langsung dari pangsa pasar sedang bertumbuh (emerging markets) seperti China, Korea, Taiwan dan Rusia serta meningkatkan kualitas fisik dan layanan Bandara Internasional Ngurah Rai, (2) perluasan pelabuhan kapal pesiar (cruise ship terminal) Benoa untuk meningkatkan daya tampung wisatawan dari 118.000 orang menjadi 500.000 orang pada tahun 2016, (3) peningkatan kunjungan wisatawan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) atau pertemuan, insentif, konvensi dan pameran di daerah tujuan pariwisata potensial seperti Medan, Makasar, Manado, Batam, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, (4) wisatawan dengan minat khusus seperti wisata kesehatan dan kebugaran (medical
4
and wellness tourism), peninggalan bersejarah (historical and heritage tourism) eco wisata serta konservasi alam (ecotourism and concervation), dan sampai kepada (5) pengembangan Raja Ampat, Wakatobi, Bunaken dan Kota Tua Jakarta. Selain rencana mempercepat pengembangan untuk peningkatan nilai lebih di sektor pariwisata, serta terpeliharanya lingkungan dan beragam sumber daya alam, pemerintah menjaga kekayaan biodiversity bernilai tinggi, untuk memperkuat posisi Indonesia menuju pariwisata hijau (green tourism). Didukung oleh keindahan alam dengan iklim tropis yang hangat, sejarah panjang keunikan Indonesia yang menjadi kekuatan bangsa seperti warisan budaya bangsa adiluhung, masyarakat yang hangat dan ramah, keamanan dan politik dalam negeri yang stabil ikut memperkuat citra Indonesia sebagai daerah tujuan wisata yang nyaman dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Pengembangan daerah tujuan wisata di berbagai wilayah dengan beragam etnik dan sosial budaya masyarakat, menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada tahun 2009-2013 seperti disajikan pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara, ke Indonesia tahun 2008-2013 Rata-rata Pengeluaran per hari, Lama Tinggal dan Penerimaan Devisa TAHUN
JUMLAH WISATAWAN
2009 2010 2011 2012 2013 Total Rata-Rata
6.323.730 7.002.944 7.649.731 8.044.462 8.802.129 37.822.996 7.564.599
Sumber:
RATA-RATA PENGELUARAN (USD) 995,93 1.085,75 1.118,26 1.133,35 1.142,24 5.476,00 1.095,00
RATA-RATA LAMA TINGGAL (HARI) 7,69 8,04 7,84 7,70 7,65 31,00 6,30
PENERIMAAN DEVISA (JUTA USD) 6.302,50 7.063,45 8.060,00 9.010,00 10.050,00 40.486,00 8.097,00
Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan (P2DSJ) Kemenparekraf, Biro Pusat Statistik, 2014
5
Selama lima tahun berturut-turut, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia meningkat dari 6.323.730 orang tahun 2009, menjadi 8.802.129 orang pada tahun 2013
dengan pengeluaran per hari sebesar USD 1.142,24/orang.
Penerimaan devisa meningkat secara signifikan yaitu sebesar USD 6.302,50 juta pada tahun 2009 meningkat menjadi USD 10.050,00 juta pada tahun 2013. Menarik untuk diketahui bahwa selama terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 2009 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tidak mengalami penurunan tetapi sebaliknya terjadi peningkatan kunjungan dari tahun ketahun. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan pariwisata nasional pemerintah menerbitkan Undang-Undang Kepariwisataan No.10 Tahun 2009, menempatkan pariwisata Indonesia sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Selain sebagai lokomotif pemasukan devisa, pariwisata juga bertanggung jawab terhadap perlindungan nilai-nilai agama, sosial budaya, lingkungan hidup serta memberi manfaat keadilan dan terhadap keseimbangan pemerataan pendapatan masyarakat.Terkait tujuan ini dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 64 Tahun 2014 tentang peningkatan penyelenggaraan sektor kepariwisataan. Penelitian Tosun (2000: 32) dan Eyben et al (2008) menyatakan bahwa pariwisata diwajibkan mengikutsertakan peran masyarakat dalam penyediaan produk pertanian hasil dari masyarakat sendiri. Penelitian tentang penanganan pemerataan pendapatan masyarakat lokal di banyak negara sedang berkembang dilakukan dengan memberikan pelatihan secara berkelanjutan tentang peningkatan kualitas produk pertanian, mempercepat proses, memperpendek jaringan distribusi produk-produk yang dihasilkan masyarakat setempat untuk kebutuhan pariwisata.
6
Selanjutnya pariwisata Bali sebagai salah satu tujuan wisata populer di dunia muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat tradisional yang penuh toleransi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan pariwisata itu sendiri. Ubud pada tahun 1930-an telah dikenal oleh wisatawan mancanegara dan berkembang menjadi tempat berkumpulnya pelukis Rudolf Bonnet, Walter Spies, Antonio Blanco, Han Snel, Arie Smith, dan penulis Rose Covarubias (Tara et al 2004: 22). Dewasa itu Ubud telah menjadi magnet dan berdampak sangat positif terhadap pertumbuhan pariwisata Bali sehingga pada tahun 1960-an Ubud menjadi terkenal sebagai tujuan wisata yang exotic bagi wisatawan mancanegara. Dibalik keterbatasan terhadap sumber daya alam, Bali terkenal akan kehidupan sosial budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Kepariwisataan yang dikembangkan di Bali sesuai Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 adalah pariwisata budaya dengan Konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Tri Hita Karana merupakan filosofi keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam di sekitar kita, dikembangkan sebagai kekuatan spiritual dari kehidupan masyarakat Bali. Harmonisasi yang bersifat vertikal dan horizontal, tidak hanya bermanfaat terhadap keberlangsungan tatanan kehidupan religiusitas masyarakat tetapi juga menjadi akar budaya yang kokoh bagi masyarakat Bali. Konsep Tri Hita Karana sangat terkait dengan pelestarian alam, dan keunikan dari tradisi masyarakat yang unik sebagai kekuatan bagi keberhasilan pariwisata Bali yang dilandasi oleh falsafah Agama Hindu.
7
Sebagai nafas kehidupan masyarakat Bali, Tri Hita Karana sangat relevan untuk dijadikan dasar pertumbuhan pariwisata Bali (Geriya, 2010: 26). Semakin meningkatnya perkembangan pariwisata mencerminkan bahwa Bali sebagai tujuan wisata terbaik dunia, akibat dari dukungan masyarakat yang hangat dan terbuka
dengan keunikan sosial budaya. Peningkatan kunjungan wisatawan
mancanegara ke Bali dapat disajikan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali Tahun 2009-2013 BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Pertumbuhan
TAHUN 2009 174.541 147.704 168.205 188.776 190.803 200.566 235.198 232.255 218.443 221.282 184.803 222.546 2.385.122
2010 179.273 191.926 192.579 192.579 203.388 228.045 254.907 243.154 240.947 229.904 199.861 227.251 2.576.142 +8 %
2011 209.093 207.195 207.907 224.704 209.058 245.652 283.524 258.377 258.440 247.565 221.603 253.591 2.826.709 +9,7 %
2012 231.675 230.103 231.257 249.006 231.721 272.400 314.244 286.281 287.625 257.288 246.626 281.159 3.137.385 +11 %
2013 232.935 241.868 252.210 242.369 247.972 275.667 297.878 309.219 305.629 266.562 307.276 299.013 3.278.598 +4,5 %
Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014 Persentase peningkatan kunjungan tertinggi sebesar 11 persen terjadi pada tahun 2012 sebesar 3.137.385 wisatawan. Walaupun jumlah kunjungan wisatawan tahun 2013 meningkat menjadi 3.278.598 dengan peningkatan sebesar 4,5 persen. Hal ini disebabkan karena tidak seimbangnya jumlah kedatangan wisatawan dibandingkan dengan peningkatan penambahan jumlah hotel dari 159 hotel pada tahun 2009 meningkat menjadi 227 hotel pada tahun 2013 (BPS Bali, 2014).
8
Semakin banyak dan beragamnya penambahan fasilitas dan layanan wisata seperti bertumbuhnya budget hotel di daerah tujuan wisata Kota Denpasar dan Badung Selatan serta tersedianya layanan wisatawan yang bervariasi mendorong lebih banyaknya wisatawan berkunjung ke Bali. Faktor-faktor lainnya yang mendukung pertumbuhan pariwisata, yaitu : (1) jarak tempuh yang relatif pendek dari kota-kota besar di Indonesia, (2) tersedianya paket wisata yang menarik dan tersedianya low cost airfare oleh Lion Air, AirAsia dan Citylink, (3) semakin terjangkaunya biaya perjalanan wisata dan
terjadinya perubahan pola hidup
dimana berwisata sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat. Dengan kondisi yang menguntungkan tersebut, memungkinkan Bali bertahan sebagai tujuan wisata sangat populer bagi wisatawan nusantara. Hal ini berdampak terhadap semakin meningkatnya kunjungan wisatawan nusantara ke Bali dengan peningkatan sebesar lima belas persen pada tahun 2013 sejumlah 6.976.536 wisatawan dibandingkan dengan tahun 2012 sebanyak 6.063.558 wisatawan. Jumlah kunjungan wisatawan nusantara ke Bali seperti disajikan pada Tabel 1.3 Tabel 1.3 Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali Tahun 2009-2013 BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Pertumbuhan
2009 264.915 204.419 255.203 247.100 289.635 304.213 340.610 280.972 352.257 330.337 285.526 365.948 3.521.135
2010 346.575 238.789 202.995 396.898 421.369 455.456 489.307 377.570 594.662 391.722 361.395 366.605 4.646.343 +32 %
TAHUN 2011 280.588 340.508 358.313 385.228 463.452 568.264 573.103 440.751 609.633 526.302 574.016 554.963 5.675.121 +22 %
Sumber: Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Bali, 2014
2012 333.199 305.934 307.616 331.378 525.076 569.635 524.334 661.334 572.359 667.703 545.348 719.642 6.063.558 +6,8 %
2013 426.360 369.525 431.393 403.211 456.491 785.053 474.769 878.278 473.697 758.351 678.748 840.660 6.976.536 +15 %
9
Meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali berdampak terhadap semakin besarnya Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dan bertumbuhnya kegiatan ekonomi mikro yang tersebar di seluruh Bali. Dampak lainnya dapat dilihat dari semakin tersedianya berbagai lapangan pekerjaan disektor pariwisata. Terbukanya kesempatan kerja dengan ketrampilam terbatas seperti pelayanan porter di airport, pekerjaan kasar di hotel, pemandu wisata, dan beragam pekerjaan di berbagai usaha layanan wisata lainnya. Dinas Pariwisata Bali (2014: 58) mencatat pengeluaran rata-rata seorang wisatawan nusantara tahun 2009-2013 sebesar 548.000 rupiah per hari dengan rata-rata lama tinggal selama empat hari. Pengeluaran wisatawan mancanegara sebesar USD 158,60 seorang per hari dengan rata-rata lama tinggal
selama 9,24 hari. Pengeluaran wisatawan
tersebut sudah termasuk biaya akomodasi, makan minum dan biaya perjalanan lainnya, tidak termasuk biaya penerbangan. Rata-rata lama tinggal, pengeluaran dan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke Bali pada tahun 2009-2013 seperti disajikan pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Rata-rata Lama Tinggal, Pengeluaran, Jumlah Wisatawan Mancanegara dan Nusantara ke Bali 2009-2013
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata
Wisatawan Mancanegara Wisatawan Nusantara Lama Lama Jumlah Pengeluaran/ Jumlah Pengeluaran/ Tinggal/ Tinggal/ Wisatawan Hari USD Wisatawan Hari Rp Hari Hari 9,65 137,90 4,2 516.000 2.385.122 3.521.135 8,75 147,40 4,4 503.000 2.576.142 4.646.343 9,49 154,87 3,9 592.000 2.826.709 5.675.121 9,27 155,27 3,6 635.000 3.137.385 6.063.558 9,10 147,33 3,7 494.000 3.278.598 6.976.536 2.840.791
9,24
158,60
Sumber: Dinas Pariwisata Bali, 2014.
5.376.539
4.0
548.000
10
Gambaran peran pariwisata menurut Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2014) ditunjukkan oleh tingginya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali tahun 20092013. Sementara itu persentase penduduk miskin di Bali masih berada pada kisaran empat persen atau rata-rata 170.298 orang/tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pariwisata merupakan sektor unggulan sebagai penggerak kinerja perekonomian dan pembangunan di Bali, namun belum sepenuhnya mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat Bali. Jumlah dan persentase penduduk miskin dan garis kemiskinan di Bali seperti disajikan pada Tabel 1.5. Tabel 1.5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Bali Tahun 2009-2013 Jumlah Penduduk Miskin (Orang) 2009 181.700 2010 174.900 2011 166.200 2012 168.800 2013 159.890 Rata-rata 170.298 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014 Tahun
Persentase Penduduk Miskin (%) 5,13 4,88 4,20 4,18 3,95 4,00
Garis Kemiskinan, per kapita/bulan (Rp) 196.466 208.152 233.172 249.997 295.210 236.599
Pariwisata Kabupaten Badung memiliki posisi strategis dengan adanya Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sebagai pintu gerbang utama masuknya wisatawan mancanegara dan nusantara. Posisi strategis ini semakin memperkuat Kabupaten Badung sebagai pusat pertumbuhan investasi di bidang pariwisata. Didukung oleh Kecamatan Kuta Selatan yaitu Desa Jimbaran dan Desa Pecatu sebagai daerah pariwisata intensif. Tingginya perkembangan pariwisata di Kecamatan Kuta Selatan, semakin memperkuat posisinya sebagai penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar untuk Kabupaten Badung.
11
Sedangkan desa Plaga dan Belok Sidan sebagai daerah pariwisata non-intensif di Badung Utara sebagai daerah pertanian dengan udara sejuk dan ekowisatanya yang dikelola masyarakat, menjadi daya tarik wisatawan untuk ke Badung Utara. Pengembangkan pariwisata model ini sejalan dengan Giampiccoli dan Kalis, (2012: 2) tentang community based tourism dan manfaatnya bagi masyarakat. Pesatnya pertumbuhan pariwisata dan dampak positifnya terhadap perkembangan perekonomian di Kabupaten Badung terlihat dari peningkatan investasi dan penerimaan PDRB Kabupaten Badung. Popularitas dan pesatnya pertumbuhan sebagai tujuan pariwisata di Badung didukung oleh keberadaan hotel-hotel mewah berstandar nasional maupun internasional seperti The Ayana, Banyan Tree Uluwatu, Le Grande Bali, Four Seasons dan tersedianya sarana pendukung pariwisata bertaraf internasional lainnya menjadikan Kabupaten Badung daerah terkaya di Bali. Dibalik kebesaran nama Badung dengan predikat kabupaten terkaya di Bali, Badan Pusat Statistik Badung mencatat masih adanya kemiskinan di Kabupaten Badung seperti disajikan pada Tabel 1.6 berikut ini. Tabel 1.6 Investasi, PDRB dan Kemiskinan di Kabupaten Badung Tahun
Investasi ( Ribuan Rupiah )
PDRB ( Jutaan Rupiah )
Jumlah Penduduk Miskin
Persentase Penduduk Miskin (%)
Garis Kemiskinan (Rupiah)
2009 2010 2011 2012 2013
2,362,541,294 1,890,474,000 8,536,644,646 5,334,590.363 6,046,968,601
12,875,498.13 14,926,782.41 16,403,381.18 18,996,102.98 20,988,078.20
13.950 17.700 14.630 12.510 14.550
3,28 3,23 2,62 2,16 2,46
282,559 312,602 346,460 376,092 406,408
Rata-rata
4,834,243,780.80
16,837,968.58
14.670
2,75
344,824
Sumber : BPS Badung, 2014, Bappeda Provinsi Bali 2014
12
Masih adanya kemiskinan di Kabupaten Badung dan ketidakseimbangan Badung Utara dan Badung Selatan perlu disinergikan dengan menjadikan pertanian di Badung Utara sebagai basis dari penggembangan agrowisata berkelanjutan (sustainable tourism) sebagai pilar pertumbuhan perekonomian (UNWTO, 2013: 21). Untuk memperkecil ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi Badung Utara dengan Badung Selatan dilakukan dengan dukungan infrastruktur, sarana dan prasarana yang memadai untuk mempercepat pertumbuhan pariwisata di Badung Utara. Sejalan dengan Ashley et al (2001) melalui perencanaan pengembangan yang baik, pertumbuhan pariwisata akan berdampak positif terhadap mengentaskan kemiskinan. Sebaliknya menurut Jamieson et al (2004: 2) dan Roy (2010: 4) tanpa perencanaan pengembangan yang baik, pariwisata tidak mampu mengentaskan kemiskinan: ”Within tourism planning there has been a growing realization that tourism development may not be alleviating poverty and that pro poor policies and practices must develope”. Ancaman yang dihadapi Kabupaten Badung dalam pengembangan pariwisata yaitu tidak terkendalinya pertumbuhan hotel berbintang dengan jumlah 281 hotel pada tahun 2014. Semakin banyaknya pertumbuhan hotel terutama dibangunnya city hotels dan munculnya private villas yang tidak terkendali, akan semakin tidak terhindarkan terjadinya
persaingan tidak sehat dan terjadinya
perang harga di dalam pengembangan pariwisata. Walaupun di sisi lain penerimaan Pemerintah Kabupaten Badung terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2014 mencapai Rp. 23,556 (triliun), tetapi persaingan harga yang tidak sehat akan berdampak terhadap semakin murahnya penawaran
13
harga kamar hotel yang berdampak langsung terhadap penerimaan PHR dan terhadap program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Alasan memilih perkembangan pariwisata terhadap dampak kemiskinan di Kabupaten Badung didasarkan atas hasil kesimpulan teoritis dua peneliti berbeda dan masih terdapatnya orang-orang miskin di Kabupaten Badung sebagai berikut: 1) Kelompok Ashley et al (2001), Spenceley dan Seif (2003), Tores dan Momsen (2004: 249-5) dan Anwar (2012) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata melalui partisipasi masyarakat secara langsung berdampak positif dan signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Penerapan pro poor tourism dengan memberikan perhatian dan kesempatan kepada masyarakat dalam kegiatan pariwisata memberi dampak positif terhadap meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan berkurangnya jumlah penduduk miskin. 2) Kelompok Jamieson et al (2004: 2) dan Roy (2010: 4) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata belum mampu mengentaskan kemiskinan. 3) BPS Badung (2014) menyatakan masih adanya penduduk miskin di Kabupaten Badung dengan rata-rata sebanyak 14.670 orang/tahun dari tahun 2009-2013, dan rata-rata garis kemiskinan sebesar Rp. 344.824 4) Pernyataan informan yang menyatakan bahwa masih terdapat masyarakat miskin di Desa Pelaga dan Desa Belok Sidan tanpa pemilikan tanah dan di Desa Pecatu dan Jimbaran.
14
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang,masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah
pengaruh
perkembangan
pariwisata
terhadap
kinerja
perekonomian masyarakat di Kabupaten Badung? 2) Bagaimanakah pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan di Kabupaten Badung? 3) Bagaimanakah pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan di Kabupaten Badung? 4) Bagaimanakah strategi untuk peningkatan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui peran pariwisata dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Badung, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) Menganalisis
pengaruh
perkembangan
pariwisata
terhadap
kinerja
perekonomian di Kabupaten Badung. 2) Menganalisis pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan di Kabupaten Badung. 3) Menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan di Kabupaten Badung. 4) Merumuskan strategi untuk meningkatan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung.
15
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis 1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, khususnya di bidang manajamen pariwisata yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan (propoor tourism). 2) Hasil penelitian dijadikan dasar untuk membuat konsep dan strategi secara komprehensif
mengenai peran pariwisata, dalam pengentasan kemiskinan
(poverty alleviation) melalui penyediaan kesempatan kerja, peningkatan dan pemerataan pendapatan, didukung oleh pendidikan dan pelatihan-pelatihan tentang kepariwisataan bagi masyarakat di Kabupaten Badung.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini dapat dijadikan masukan sebagai berikut: 1) Masukan bagi Pemerintah Kabupaten Badung, untuk merekonstruksi program pengelolaan pariwisata dalam menentukan langkah-langkah mengentaskan kemiskinan sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat. 2) Bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) pariwisata khususnya pemerintah yang diwakili oleh Bappeda dan Dinas Pariwisata Kabupaten Badung serta pengusaha swasta di bidang pariwisata untuk menerapkan kebijakan pro poor tourism. 3) Masukan bagi para pemerhati lingkungan, lembaga swadaya masyarakat dan penggiat
pariwisata
sebagai
acuan
dalam
pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung
pendampingan
jalannya
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu Penelusuran pustaka terkait dengan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan dilakukan melalui buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah dan publikasi cetak lainnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Kajian pustaka ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang banyak dilakukan di Afrika Selatan, Bangladesh, Pakistan, Peru dan di sejumlah negara berkembang lainnya. Penelitian pariwisata dan kemiskinan di Indonesia dilakukan Ashar, Nurhidayati, Ramadani, dan Sudipa di Ubud Bali melengkapi penulisan kajian pustaka ini. Penelitian Anwar (2012) dengan judul “Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism: A Critical Analysis of Pro Poor Tourism And Implications For Sustainability In Bangladesh” dilakukan di daerah pariwisata berpenduduk miskin di Bangladesh menyatakan bahwa pariwisata telah terbukti yaitu: (1) berpengaruh signifikan terhadap peningkatan perekonomian masyarakat miskin di Bangladesh, (2) mampu mempertahankan nilai sosial budaya masyarakat lokal dari pengaruh asing, dan (3) mampu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat. Analisis kritis peran pariwisata terhadap pengentasan kemiskinan di Bangladesh menunjukkan bahwa: (1) dinamika pariwisata dengan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya secara berlebihan dan tidak terkontrol, berdampak terhadap sangat mahalnya harga tanah dan harga komoditas lainnya, (2) pemanfaatan atas tanah-tanah strategis yang dimiliki masyarakat secara turun
16
17
temurun yang dibeli oleh investor dengan harga murah, menjadikan masyarakat miskin kehilangan tanah mereka dan terpinggirkan dari tempat kelahirannya. Karim et al (2012) dalam penelitian tentang integrasi pro poor tourism dalam pariwisata berbasis masyarakat (Integrating pro-poor tourism activities in a community-based idea of development: the case of the district of Hunza-Neger, Pakistan) mengemukakan bahwa secara ekonomi makro, industri pariwisata telah menjadi salah satu industri global yang dimonopoli oleh negara maju dan merambah hampir keseluruh negara sedang berkembang. Sebagai sebuah negara berkembang, pariwisata Pakistan mampu menjadi motor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kontribusinya terhadap Gross Domestic Product (GDP), terjadinya peningkatan ekspor produk pariwisata dan pendapatan pajak. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat sebagai sebuah alternatif bagi pengembangan pariwisata diawali dari tradisi sosial dan budaya masyarakat yang diintegrasikan dengan masyarakat secara lebih luas didaerah yang berbasis pariwisata dan non pariwisata. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kegiatan propoor tourism dapat dijadikan strategi pengembangan komunitas yang lebih luas, yang dapat memperbaiki kehidupan masyarakat yang termarginalkan. Penelitian Wood (2005) tentang pariwisata yang berkelanjutan di Peru utara dengan judul “Pro-poor tourism as a means of Sustainable Development in the Uctubamba Valley, Northern Peru”, menekankan bahwa pendekatan pro poor dimaksudkan untuk mengembangkan komponen masyarakat untuk ikut terlibat dalam perencanaan masterplan di Peru Utara. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui manfaat dari penerapan pariwisata berbasis komunitas dengan
18
melakukan penelitian langsung ke sektor-sektor kegiatan ekonomi, termasuk penelitian ke pasar tradisional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah penerapan
pariwisata
berbasis
masyarakat
memiliki
implikasi
terhadap
pengembalian investasi dan pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Penelitian Wood (2005) menyimpulkan sebagai berikut: (1) pelayanan produk yang dihasilkan masyarakat apabila dikemas dengan baik bisa dijadikan strategi diversifikasi komersial dalam rangka memenuhi permintaan pasar, (2) kemampuan masyarakat untuk terlibat didalam kegiatan pariwisata sangat menentukan keberhasilan dari penerapan pariwisata berbasis masyarakat. Spenceley dan Seif (2003) menganalisis strategi dari lima perusahaan swasta yang bergerak dibidang pariwisata di Afrika Selatan dengan tujuan untuk: 1) mengatasi masalah kemiskinan dalam mengembangkan pembangunan bagi masyarakat yang tinggal di daerah tujuan wisata dan, 2) menganalisis dampak biaya terhadap pendekatan pro poor tourism di Afrika Selatan. Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan pariwisata yang bergerak di bidang layanan wisata safari, wisata diving, dan fasilitas kasino dengan fasilitas golf. Temuan penelitian ini menyatakan terjadinya hubungan langsung antara keuntungan ekonomi dan non-ekonomi bagi masyarakat miskin dalam penerapan pro-poor tourism dan dampak posisif pariwisata terhadap masyarakat miskin di pedesaan. Ashley et al (2001) secara mendalam mengkaji pengalaman empiris terhadap strategi pro poor tourism dari enam studi kasus yang dilakukan di Afrika Selatan, Namibia, Uganda, St Lucia, Ekuador dan Nepal. Penelitian dengan judul Making Tourism Work For The Poor, menyatakan bahwa penelitian di
19
negara yang diteliti, dan menyatakan bahwa peran pro poor tourism (PPT) sangat signifikan dan positif terhadap ha-hal sebagai berikut yaitu: (1) terhadap terbukanya kesempatan kerja baru, (2) terjadinya peningkatan dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, (3) bertumbuhnya pelaku kegiatan ekonomi mikro dan, (4) semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Scheyvens dan Momsen (2008) meneliti tentang pengurangan kemiskinan di negara kepulauan kecil (Tourism and Poverty Reduction: Issues for Small Island States), menyatakan bahwa hampir semua negara di kepulauan kecil menggantungkan harapan dari pariwisata sebagai sumber pendapatan devisa untuk pembangunan negaranya. Hasil penelitian ini didukung Torres and Momsen (2004: 294-5) menyatakan bahwa industri pariwisata merupakan mesin pertumbuhan ekonomi bagi negara kepulauan kecil sebagai sumber devisa, meningkatkan penerimaan pajak dan terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat. Penelitian Nurhidayati (2012) dengan judul “Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Masyarakat, Kota Batu, Jawa Timur” menyatakan bahwa Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan sebagai sebuah alternatif strategi pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan. Prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan agrowisata dikaji dan diterapkan sesuai dengan faktor-faktor yang ada korelasi dan berpengaruhnya terhadap keberhasilan agrowisata. Peneliti mencatat bahwa penerapan prinsip ekonomi dari pariwisata agrowisata berbasis masyarakat kota Batu Jawa Timur berdampak positif terhadap: (1) penyerapan tenaga kerja lokal,
20
(2) bertumbuhnya usaha makro untuk menunjang kebutuhan pariwisata melalui kegiatan yang dilakukan masyarakat, (3) berdampak terhadap meningkatnya pendapatan masyarakat yang diterima dari wisatawan (4) berdampak pada perubahan nilai sosial masyarakat akibat pertukaran nilai budaya yang muncul dari interaksi wisatawan dengan tuan rumah dan, (5) terjalinnya silang budaya sebagai simbul modernitas antara wisatawan dan masyarakat sebagai tuan rumah. Penelitian Ramadani (2012) berjudul ”Perencanaan Pariwisata ProMasyarakat Miskin” (pro poor tourism) di Kampung Baru, Jakarta Barat sebagai daerah tujuan wisata berkelanjutan dengan fokus penelitian tentang penyediaan layanan tentang kenyamanan kepada wisatawan dan strategi pengelolaan pariwisata untuk mempertahankan Kampung Wisata Budaya di Kampung Baru di wilayah Jakarta Barat. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melibatkan masyarakat miskin dalam pengembangan pro poor tourism membuktikan bahwa pariwisata mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kampung Baru di Jakarta Barat. Ramadani menyimpulkan bahwa pro poor tourism bermanfaat dalam pengentasan kemiskinan melalui: (1) semakin terciptanya kesempatan kerja baru, (2) pertumbuhan perekonomian bagi masyarakat miskin, dan (3) semakin meningkat pemerataan pendapatan masyarakat dan berkurangnya kemiskinan. Ashar (2008) meneliti tentang ”Studi Model Kelembagaan Pengentasan Kemiskinan Melalui Industri Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal Di Jawa Timur”. Alasan memilih lokasi penelitian dikatakan bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Timur melebihi dari angka rata-rata kemiskinan nasional. Tujuan penelitian tersebut untuk memformulasikan konsep kelembagaan yang mampu membuka
21
peluang kerja bagi masyarakat atau rumah tangga miskin di daerah tujuan wisata di Jawa Timur agar kegiatan pariwisata mampu memberikan kontribusinya yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Menurut Ashar (2008), untuk mengentaskan kemiskinan diperlukan tiga unit kajian dalam industri pariwisata yaitu: (1) unit usaha pariwisata, (2) wisatawan, dan (3) rumah tangga kurang mampu. Melalui pemahaman struktur perekonomian di daerah pariwisata, peneliti mendapatkan gambaran yang jelas tentang intensitas hubungan industri pariwisata dengan perekonomian setempat, kapasitas sumberdaya ekonomi kaum miskin, tingkat pendidikan, keterampilan dan kesiapan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan. Penelitian Ashar (2008) sejalan dengan Ashley et al (2001) dan Cattarinich (2001) menyatakan bahwa peran sektor pariwisata sangat positif bagi pertumbuhan perekonomian mikro bagi masyarakat miskin. Masyarakat terlibat menciptakan beragam produk-produk cendera mata yang dibutuhkan wisatawan. Wahyudi (2007) meneliti tentang Pariwisata, Pengentasan Kemiskinan dan Millenium Development Goals (MDGs) menyatakan bahwa manfaat pariwisata tidak terbatas hanya sebagai sumber pemasukan devisa tetapi juga berperan untuk peningkatan penerimaan pajak, masuknya investasi dan
terbukanya peluang
kesempatan kerja untuk pemerataan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Wahyudi menyatakan bahwa semakin tingginya kebutuhan manusia untuk berekreasi mendorong semakin pesatnya perkembangan pariwisata dan bisa menjadi salah satu jawaban terhadap pengentasan kemiskinan. Penelitian Wahyudi (2007) sejalan dengan penelitian Gibson (2009) menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan dimaksudkan bukan sebagai upaya belas kasihan tetapi
22
sebagai program pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat dengan konsep ekonomis yang saling menguntungkan untuk kesejahteraan masyarakat. Melalui pengembangan pariwisata akan terbuka berbagai peluang bagi masyarakat, seperti : (1) terbukanya kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau pekerjaan paruh waktu dibidang pariwisata, (2) bagi masyarakat yang karena terbatasnya pendidikan dan tidak mempunyai keterampilan tertentu, bisa dipekerjakan sebagai pemandu wisatawan untuk snorkeling, trecking, atau jasa pemandu wisata lainnya, (3) masyarakat setempat diuntungkan karena mendapat tambahan pendapatan dari pelayanan yang mereka berikan kepada wisatawan, (4) keuntungan lainnya yang dapat dilakukan oleh masyarakat berupa kesempatan untuk memulai kegiatan usaha kecil seperti membuka warung makanan dan minuman. Untuk usaha ini harus diberikan pendidikan dan pelatihan kepada para pekerja tentang pentingnya kebersihan dan sanitasi dari makanan yang disajikan dan etika melayani wisatawan, dan (5) untuk menyediakan sarana transportasi seperti sepeda dayung, sepeda motor atau mobil untuk angkutan wisatawan. Sudipa (2014) meneliti ”Kemiskinan Dalam Perkembangan Industri Pariwisata
di
Kelurahan
Ubud”
menyimpulkan
bahwa:
(1)
pesatnya
perkembangan pariwisata telah mengangkat Ubud menjadi salah satu tujuan wisata terkenal di dunia. Pendapatan dari sektor pariwisata dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan melalui kebijakan finansial dan non finansial, di dukung oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) untuk melakukan
pendampingan dalam melaksanakan program pemerintah, (2) masih adanya
23
kemiskinan struktural di Ubud akibat dari faktor eksternal berupa kebijakan pemerintah yang kurang tepat dalam menangani kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari penanganan yang kurang terpadu, tidak jelasnya acuan yang dipakai dan terjadinya penanganan yang tumpang tindih dalam pengentasan kemiskinan, (3) faktor internal berdampak terhadap munculnya kemiskinan alamiah akibat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak terhadap rendahnya kinerja, (4) ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses sumber daya alam yang terbatas dari dari pemiliki modal yang berkorabolasi dengan penguasa, (5) kemiskinan dan kesenjangan masyarakat memunculnya apatisme di masyarakat, dan (6) ketidak berhasilan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan mewariskan masyarakat miskin secara turun temurun. Penelitian Ashley et al (2001), Eyben et al (2008), dan Tosun (2000: 32) yang dilakukan di Afrika dan Bangladesh menyatakan bahwa pariwisata berdampak positif terhadap hal-hal sebagai berikut: 1. Penerimaan pariwisata dari devisa dan dari sumber lainnya bermanfaat untuk pembangunan bangsa dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Pembangunan pariwisata membuka masuknya investasi padat modal dan padat karya, bertambahnya lapangan kerja dan untuk meningkatkan daya beli rakyat. 3. Pengelolaan pro-poor tourism sebagai sebuah model pariwisata melalui pemberdayaan dan dengan melibatkan masyarakat secara langsung berdampak positif dalam pengentasan kemiskinan 4. Untuk tercapainya tujuan pro-poor tourism diperlukan konsep pengembangan daerah pariwisata yang terintegrasi dengan kepentingan masyarakat miskin.
24
5. Pendekatan pro-poor memberikan keuntungan secara langsung (direct profit) kepada masyarakat miskin secara ekonomis maupun non-ekonomis.
2.2 Landasan Teori, Konsep Pariwisata dan Kemiskinan 2.2.1 Teori Pemberdayaan Teori pemberdayaan berasal dari ilmu psikologi kemasyarakatan, pada umumnya digunakan untuk meneliti tentang konsep kejiwaan terkait dengan pengembangan pribadi atau sekelompok orang atau masyarakat secara umum. Menurut
Rappaport
(1987:
139-142),
pemberdayaan
bermanfaat
untuk
meningkatkan kemampuan seseorang dalam menentukan pilihan terhadap kepentingan yang berdampak positif bagi diri sendiri, dan didefinisikan sebagai sebuah pengembangan konsep teoritis, secara luas sebagai pendekatan untuk memecahkan masalah sosial dari ketidakberdayaan masyarakat (developed the concept theoretically and presented it as a worldview that includes a social policy and anapproach to the solution of social problems stemming from powerlessness). Perkins
dan
Zimmerman
(1995:
570-571),
menyatakan
bahwa
pemberdayaan merupakan sebuah proses partisipasi berkesinabungan dan dilakukan secara terstruktur untuk menghilangkan berbagai keterbatasan menuju hasil akhir seperti untuk membangun kerjasama, kepercayaan diri, kematangan emosi, kemampuan beradaptasi,
toleransi dan mengasah diri, sesuai dengan
tujuan pemberdayaan (theories of empowerment include both processes and outcomes, suggesting and actions, activities, or structures may be empowering, and that the outcome of such process result in a level of being empowered).
25
2.2.1.1 Definisi Pemberdayaan Definisi umum tentang pemberdayaan dimaknai sebagai sebuah proses sosial yang bersifat multidimensional dan bertujuan untuk membantu mengatasi kehidupan individu-individu maupun kelompok-kelompoak masyarakat tertentu dalam lingkungannya masing-masing dengan melibatkan diri secara mendalam terhadap masalah-masalah penting yang terjadi di masyarakat (Page et al, 1995). Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagai usaha untuk mengembangkan dan melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan, menuju kepada kemandirian ekonomi, sosial, budaya dan politik. Dalam arti luas termasuk tentang penguasaan teknologi, pemilikan modal, dan akses terhadap sumber informasi dan manajemen. Konsep pemberdayaan masyarakat (community empowerment) menjadi dasar community based development) dimana masyarakat sebagai tulang panggung pembangunan berperan aktif dalam proses pemberdayaan untuk mendorong masyarakat menjadi mandiri, melepaskan dari kemiskinan dan keterbelakangan (Kartasasmita, 1997). Pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk membantu masyarakat atau individu yang lemah berkompetisi secara efektif dengan kelompok lain, dengan membantu mereka melalui pengajaran melakukan pendekatan, melalui media, turut melibatkan diri dalam kegiatan politik dan menyadarkan mereka tentang bagaimana bekerja di dalam sebuah sistem (Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn anduse in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to work the system). Definisi ini
26
dimaksudkan agar masyarakat maupun individu yang lemah diberikan bantuan pelatihan dan kesempatan menumbuhkan rasa percaya diri untuk menjadi kreatif dan meningkatkan kemampuan mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Pemberdayaan juga diartikan sebagai pembagian kekuasaan untuk meningkatkan kesadaran politik dan mendorong masyarakat lemah untuk memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dari hasil pembangunan yang mereka bisa nikmati (Bonfigliali, 2003: 125). Konsep pemberdayaan menurut Friedman (2002: 43) adalah pembangunan sebagai sebuah alternatif yang mengutamakan kegiatan politik melalui pengambilan keputusan yang mandiri melalui partisipasi demokrasi dan pembelajaran sosial untuk melindungi kepentingan rakyat baik untuk kepentingan individu atau kelompok masyarakat. Proses pemberdayaan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama memiliki dua kecenderungan, yaitu: 1. Kecenderungan primer, yaitu melaui sebuah proses dengan membangun dari sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada kelompok-kelompok masyarakat atau individu agar menjadi lebih berdaya guna. Pemberdayaan berarti meningkatkan kesadaran dari potensi miliknya dan melengkapinya dalam upaya membangun kemandirian melalui organisasi. 2. Kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, memotivasi dan mengembangkan orang-orang agar mempunyai kemampuan dan kemandirian ekonomis, politik dan sosial budaya sebagai pilihan hidup melalui sebuah proses dialog (Sumodiningrat, 2002: 37).
27
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau sebagai sebuah mekanisme untuk mencegah terjadinya proses pemiskinan lebih lanjut (safety net) yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan sebagai upaya untuk mencari sebuah alternatif terhadap konsepkonsep pertumbuhan yang terjadi di masa lalu (Friedman, 2002). Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan ekonomi, terkait dengan nilai-nilai kehidupan, sosial budaya, berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat berdasarkan partisipasi (participatory) dan berkelanjutan (Chambers, 2005: 66). Kartasasmita (2006: 102) menyatakan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat menurut sebagian besar praktisi dan akademisi merupakan sebuah proses yang komplek dengan berbagai pengembangan alternatif (alternative development). Dalam sebuah konsep demokrasi inklusif, yaitu perkembangan demokrasi melalui pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial budaya mandiri tanpa adanya perbedan jender dan bukan sebagai sebuah warisan secara turun-temurun. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan terhadap individu anggota masyarakat, tetapi juga terkait erat dengan pranata-pranata modern di dalam menanamkan nilai-nilai budaya seperti konsep kerja keras, hidup hemat, terbuka, dan bertanggung jawab merupakan bagian dari upaya pemberdayaan. Demikian pula halnya dengan pembaharuan institusi-institusi sosial yang diintegrasikan ke dalam kegiatan pembangunan serta peranannya dalam pengembangan masyarakat. Sumodiningrat (2002: 71), menyatakan bahwa dalam melakukan proses pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi sebagai berikut: (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
28
berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia di dalam masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Dalam arti bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah sebuah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya,
(2) memperkuat
(empowering) potensi yang dimiliki masyarakat. Perkuatan ini meliputi langkah nyata, menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities). Penekanannya terletak pada bagaimana peningkatan partisipasi masyarakat mampu memberi jalan keluar untuk mendapatkan kesempatan yang tersedia bagi kepentingan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat sangat erat kaitannya dengan pemantapan,
pembudayaan,
pengamalan
demokrasi,
(3)
pemberdayaan
mengandung arti melindungi dan memperkuat orang-orang lemah melalui potensi dan langkah nyata agar tidak semakin lemah. 2.2.1.2 Indikator pemberdayaan Apabila seseorang atau sekelompok orang telah diberdayakan, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan atas kemauan dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai (Alsop et al 2005). Dalam memberdayakan masyarakat, peran pemerintah sangat diperlukan untuk menghilangkan berbagai keterbatasn melalui penerapan prinsipprinsip dasar dari penatakelolaan pemerintahan yang baik (the basic principles of good governance) seperti dalam upaya untuk meningkatkan partisipasi hak asasi
29
manusia kebebasan berserikat, penegakan hukum yang berkeadilan serta menyediakan layanan sosial kepada masyarakat (Bonfiglioli, 2003). Untuk memberdayakan masyarakat akar rumput, dibanyak negara berkembang telah umum diterapkan undang-undang yang mengatur tentang pemberdayaan masyarakat melalui keterlibatan langsung di dalam pengelolaan manajemen lingkungan (environmental management). Reformasi dalam hal penegakan hukum akan berdampak sangat positif terhadap pelestarian lingkungan dan secara ekonomis akan dapat dinikmati oleh masyarakat luas (Bonfiglioli, 2004). Keynes (2004) secara kuantitatif menyatakan bahwa ada lima indikator pemberdayaan dalam membangun penguasaan dan kepercayaan diri, kemampuan berkomunikasi dan menganalisis masalah secara efektif. Dengan kematangan emosi seseorang akan mampu bersikap lebih toleran untuk berbagi pandangan dengan orang lain. Bagi masyarakat tertentu, pemberdayaan menyangkut membangun kepercayaan, bekerjasama, dan berbagi pandangan di dalam mencapai tujuan tertentu yaitu: 1. Confidence & Understanding (Pengertian dan Keyakinan): Pengertian serta keyakinan diri untuk melakukan insiatif merupakan modal dasar membangun kepercayaan dan pemberdayaan diri dalam melakukan kegiatan organisasi. 2. Skills in Analysis & Communication (Kemampuan komunikasi dan analisis): Kemampuan berkomunikasi dan menganalisis suatu permasalahan, didukung rencana kerja, kesiapan strategi yang matang dan pemahaman pemberdayaan akan memudahkan tercapainya tujuan pemberdayaan yang diinginkan.
30
3. Trust, Caring & Tolerance (Kepercayaan, Mengasihi dan Toleransi): Memilih kelompok masyarakat yang dapat dipercaya, mampu saling mengasihi dan mampu bertoleransi terhadap yang lainnya, akan membuka ruang komunikasi lebih luas untuk meningkatkan pemberdayaan. Toleransi dimaknai untuk membantu kelompok memperjuangkan hakminoritas. 4. Communication & Cooperation (Kerjasama dan Komunikasi): Kesediaan untuk bekerjasama dan berkomunikasi untuk mengingatkan kehadiran anggota untuk merencanakan sesuatu diperlukan dalam proses pemberdayaan. 5. Access to Information (Akses Terhadap Informasi): Keterbukaan untuk mengakses informasi tentang pemahaman tentang pemberdayaan secara lebih luas, mempercepat proses pemberdayaan individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan pemberdayaan bagi penduduk lokal menurut Helling, et al (2005), merupakan upaya untuk memotivasi masyarakat tidak berdaya dan termarjinalkan, dengan memberikan kesempatan lebih banyak untuk berpartisipasi secara aktif melalui kegiatan sosial budaya, aspirasi politik dan keterlibatan mereka dalam kegiatan ekonomi. Dengan terbukanya kesempatan kerja dan peluang-peluang lainnya akan memberikan keuntungan sebagai berikut: 1. Opportunities for People to Participate. Terbukanya berbagai kesempatan bagi orang-orang untuk ikut berpartisipasi untuk menghilangkan keterbatasan dan mempercepat proses pemberdayaan. Dengan memberikan dorongan kepada setiap orang untuk melibatkan diri mulai dari proses perencanaan dan terlibat dalam pengembangan serta mengetahui tujuan yang ingin dicapai.
31
2. People’s Capabilities to Partisipate Effectively. Kemampuan orang-orang untuk berpartisipasi secara efektif, membuka kesempatan untuk berinteraksi dengan memahami makna pemberdayaan, terbuka kesempatan lebih percaya diri didalam berinteraksi, lebih toleran untuk berbagi pandangan dengan orang lain. Partisipasi masyarakat yang efektif akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam berbagai pandangan untuk mendatangkan hasil lebih optimal.
2.3 Konsep Pariwisata World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan pariwisata sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk tinggal diluar tempat tinggalnya sendiri untuk sementara waktu, tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk tujuan wisata atau tujuan lainnya yang tidak bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan atau gaji ditempat yang dikunjungi. Pariwisata terbangun dari hubungan antara wisatawan dengan perusahaan yang menyediakan layanan wisata, didukung oleh pemerintah dan badan usaha yang bergerak dibidang pariwisata untuk menyiapkan sarana yang dibutuhkan oleh wisatawan (Theobald, 2005: 17). Menurut Jamieson et al (2004: 2) dan Reisinger (2009: 8), kepariwisataan merupakan keseluruhan kegiatan yang melibatkan pemerintah, perusahaan yang digerakkan oleh swasta, badan-badan lainnya yang terkait dengan pariwisata dan masyarakat dengan tujuan untuk menyediakan dan mengatur kebutuhan wisatawan seperti menyiapkan penginapan, kegiatan perjalanan pelayanan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan wisatawan. Sedangkan meneurut Cooper et al (1993: 4) menyatakan bahwa pariwisata merupakan kegiatan multidimensi dengan unsur utama yang terdiri dari:
32
1. Kegiatan perjalanan dari tempat seseorang, keberbagai daerah tujuan wisata di luar tempat kelahiran atau asal mereka. (Tourism arises out of a movement of peole to, and their stay in, various destinations). 2. Dua unsur dalam pariwisata yaitu berkunjung ke daerah tujuan wisata dan tinggal sambil melakukan kegiatan yang ingin dilakukan di tempat mereka melakukan kegiatan wisata. (There are two elements in tourism, the journey to the destination and the stay, including activities at the destination). 3. Pariwisata merupakan perjalanan untuk sementara waktu yang dilakukan seseorang diluar tempat asal atau dimana mereka tinggal dan bekerja. Selama mereka tinggal dan melakukan kegiatan wisata yang berbeda dengan apa yang mereka dilakukan di tempat asal mereka. (The journey and stay take place outside the normal place of residence and work, so that tourism gives rise to activities which are distinct from the resident and working polulations of the places through and in which they travel and stay). 4. Perjalanan ke daerah tujuan wisata merupakan kegiatan sementara dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan bahwa mereka akan kembali ketempat asal mereka setelah selesai melakukan kegiatan wisata, beberapa hari, minggu atau bulan. (The movement to destinations is temporary and short term in character the intention is return home within a few days, weeks or months). 5. Tujuan berwisata yang dikunjungi untuk menetap untuk sementara waktu untuk tidak menetap atau mencari pekerjaan tetap. (Destinations are visited for purposes other than taking up permanent residence or employment).
33
Pike (2008: 23) menyatakan munculnya kegiatan pariwisata dengan minat khusus yang sekarang semakin populer, seperti: (1) kegiatan wisata yang dibarengi dengan melakukan kegiatan bisnis, (2) wisata pendidikan dan penelitian lapangan dilakukan oleh siswa, mahasiswa dan akademisi untuk tujuan penelitian,(3) kelompok wisatawan melakukan perjalanan wisata sambil berjudi ketempat kasino, (4) mereka yang melakukan berwisata sambil melakukan kegiatan wisata alam, (5) berwisata sambil melakukan ziarah dan kegiatan spiritual, (6) berwisata sambil mengunjungi sahabat dan keluarga. 2.3.1 Pengertian wisatawan Untuk memahami secara utuh tentang pemahaman pariwisata, kajian ini memperdalam istilah-istilah yang terkait dengan pariwisata untuk melengkapi penulisan ini. United Nations (2003) memberikan pengertian wisatawan (tourist) yaitu kunjungan yang dilakukan oleh seseorang yang datang di suatu negara untuk berwisata selama masa waktu tertentu, bukan untuk menetap, atau bekerja dinegara yang dikunjungi untuk mendapatkan upah. Sedangkan Theobald (2005: 17) menyatakan bahwa wisatawan adalah pengunjung sementara yang tinggal minimal selama 24 jam di negara yang dikunjungi dengan tujuan untuk berlibur dan rekreasi, bisnis, kesehatan, keagamaan atau urusan keluarga,dan tujuan lainnya. Menurut Undang-undang Kepariwisataan No 10/2009 wisatawan didefinisikan sebagai seseorang yang melakukan kegiatan wisata. Sedangkan menurut Reisinger (2009: 10-11) tujuan wisatawan datang ke suatu tujuan wisata berdasarkan berbagai motivasi seperti sebagai berikut:
34
1
Mengisi waktu senggang, untuk berekreasi, bersenang-senang, berlibur, untuk alasan kesehatan, studi, keluarga dan kebutuhan pribadi lainnya.
2
Melakukan perjalanan bersamaan dengan kegiatan bisnis.
3
Melakukan perjalanan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan atau sebagai utusan melakukan kegiatan ilmiah, diplomatik, untuk keperluan keagamaan, olahraga dan sebagainya). Sesuai bentuk kegiatannya Cohen (2005: 26) wisatawan dapat dibedakan
menjadi empat yaitu: 1. Drifter, yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi daerah dan mempergunakan alat-alat tradisional buatan sendiri tanpa sentuhan teknologi modern. 2. Explorer, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan dengan mengatur perjalanannya dengan menentukan arah dan tujuan sendiri tanpa mengikuti kegiatan seperti diatur di dalam sebuah paket perjalanan. Wisatawan explorer yang juga sering disebut dengan off the beaten track, yaitu mereka yang bepergian menuju tempat-tempat yang tidak dilakukan wisatawan pada umumnya. Tujuan dari wisatawan seperti ini ialah untuk mencari dan menemukan tujuan wisata alternatif yang unik, dengan memanfaatkan fasilitas dengan standar lokal. Wisatawan seperti ini biasanya berinteraksi aktif dengan masyarakat lokal dalam tentang kehidupan sosial budaya mereka sehari-hari. 3. Individual mass tourist, yaitu wisatawan yang menyerahkan pengaturan perjalanannya sepenuhnya kepada biro perjalanan wisata untuk mengunjungi daerah tujuan wisata yang pada umumnya sudah dikenal secara luas oleh para
35
wisatawan. Perjalanan ini dilakukan secara individu atau kelompok kecil melalui paket wisata yang diatur oleh biro perjalanan wisata didalam paket yang sudah termasuk layanan pesawat udara, hotel dengan paket makanan dan tour yang sudah diatur sebelumnya untuk mengunjungi daerah tujuan wisata. 4. Organized mass tourist, yaitu perjalanan wisatawan yang telah diatur dari perencanaan awal oleh biro perjalanan wisata di negara asal wisatawan untuk mengunjungi daerah tujuan wisata tertentu di negara lain, mengunjungi daya tarik wisata tertentu sampai pengaturan kembali ketempat asal wisatawan. Pengaturan organized mass tourist dilakukan biro perjalanan setempat dipandu oleh seorang pemandu wisata yang sudah berpengalaman dengan bahasa yang dipahami wisatawan dan pemandu wisata mengenal daerah tujuan yang akan dikunjungi. Organized mass tourist melakukan perjalanan berkelompok didalam group-group besar melalui kerjasama dengan biro perjalanan setempat selaku partner di dalam pengaturan perjalanan sesuai program yang telah disetujui. Penyediaan sarana transportasi sejak kedatangan wisatawan di bandara sampai berakhirnya melakukan kunjungan, semuanya diatur oleh biro perjalanan lokal. Berdasarkan sifat dan lokasi dimana wisatawan itu berkunjung, (Tosun, (2000: 58) menyatakan bahwa perjalanan wisata diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Foreign Tourist (Wisatawan asing) Orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang dilakukan di suatu negara lain yang bukan merupakan negara dimana ia biasanya tinggal. Wisatawan asing di Indonesia disebut wisatawan mancanegara disingkat wisman.
36
2. Domestic Foreign Tourist Orang asing atau sekelompok orang yang bertempat tinggal di suatu negara tertentu, melakukan perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia tinggal disebut dengan domestic foreign tourist. Misalnya petugas kedutaan negara asing melakukan perjalanan wisata di negara dimana mereka bertugas, tidak melakukan perjalanan wisata kenegara lain atau di negaranya sendiri. 3.
Domestic Tourist Yaitu wisatawan suatu negara tertentu yang melakukan perjalanan antar kota,di antara pulau atau di dalam batas wilayah negaranya sendiritanpa melewati perbatasan dengan negara lain.
4.
Indigenous Foreign Tourist Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugas atau jabatannya berada di luar negeri, pulang ke negara asalnya untuk melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri. Jenis wisatawan ini merupakan kebalikan dari domestic foreign tourist.
5. Transit Tourist Wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu yang dengan sengaja atau karena hal-hal tertentu didalam perjalanannya mengharuskan mereka singgah di suatu negara yang bukan menjadi tujuannya. Sebelum melanjutkan perjalanan ke negara yang dituju, transit bisa dilakukan untuk sementara waktu, biasanya kurang dari 24 jam. Transit
dilakukan
dengan tinggal sementara di dalam bandara suatu negara atau bermalam di hotel yang berada di bandara (airport’s hotel) atau di tempat transit terdekat.
37
6. Business Tourist Business tourist, sering dimaknai dengan sebutan business and pleasure yaitu seseorang melakukan kombinasi perjalanan dimana melakukan bisnis sebagai tujuan utama dan melakukan kegiatan wisata dalam waktu luang sebagai kegiatan tambahan untuk kenikmatan sendiri. 2.3.2 Pro Poor Tourism Pro-poor tourism (PPT) bukanlah sebuah bagian atau produk khusus dari pariwisata, tetapi sebuah upaya pendekatan untuk membuka berbagai kesempatan yang sebelumnya tertutup dan tidak mampu diakses oleh masyarakat setempat. Pengenalan pro poor tourism sebagai sebuah wacana internasional telah dimulai sejak tahun 1999, diprakarsai oleh berbagai institusi multilateral dan oleh lembaga-lembaga non pemerintah (non-governmental organizations) di banyak negara di dunia. Mereka berpandangan bahwa pariwisata mampu memberi kontribusi positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berperan di dalam mengentaskan kemiskinan (Scheynes dan Momsen, 2008). Menurut Ashley, et al (2000: 4-5), pro poor tourism memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat seperti: tersedianya pekerjaan formal bagi masyarakat dibidang pariwisata, pendapatan dari pengadaan barang dan jasa atau pekerjaan sampingan, keuntungan yang didapat dari kegiatan ekonomi dan pendapatan kolektif dari kegiatan yang dilakukan masyarakat miskin. Selanjutnya Roe et al (2001) menyatakan bahwa pro poor tourism, membuka kesempatan kerja yang dulunya sulit didapatkan oleh masyarakat dan tersedianya pelatihan-pelatihan peningkatan ketrampilan untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik dan pendapatan lebih tinggi. Lebih jauh pro
38
poor tourism dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat setempatsebagai partner pengembangan pariwisata setempat, khususnya di dalam proses pengambilan keputusan tentang keberlangsungan pengembangan pariwisata di masa depan. Kehadiran pemerintah dalam pengembangan pariwisata melalui regulasi penanam modal akan meningkatkan masuknya investasi pembangunan dibidang pariwisata dan memberi manfaat kepada masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Perlunya peraturan pemerintah tentang pelestarian lingkungan untuk menjaga lingkungan dan sumber daya alam yang terbatas, melalui pendidikan dan pelatihan. Program pro poortourism menekankan pengembangan pariwisata berkelanjutan untuk memberikan keuntungan kepada masyarakat miskin (Ashley et al 2001: 2; Hall, 2007: 37). Orientasi
pro
poor
tourism melalui para penggiat pariwisata di daerah tujuan wisata tertentu mempunyai sasaran yang jelas yaitu untuk memberi manfaat langsung kepada masyarakat miskin melalui pendidikan, program pelatihan berkelanjutan, menyediakan sarana kesehatan dan pendidikan memadai untuk masyarakat miskin.
Dengan
meningkatnya
kesejahteraan,
masyarakat
terbebas
dari
kemiskinan dan menikmati kehidupan lebih baik (Anwar, 2012: 15). Selanjutnya Harrison (2008), menyatakan bahwa pro poor tourism sebagai sebuah metode dengan strategi khusus, berperan untuk meningkatkan kegiatan pariwisata dan mampu memberikan keuntungan ekonomis kepada orang miskin. Dengan kerjasama dan komitmen dari para pemangku kepentingan pariwisata, orang miskin akan menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh pariwisata. Roe et al (2004: 20) sejalan dengan Harrison, (2008) yang menyatakan bahwa
39
keterlibatan masyarakat dalam pro poor tourism dimaksudkan agar masyarakat diberikan kesempatan untuk menikmati hasil pariwisata. Karakteristik kegiatan pariwisata pro poor tourism dan non-propoor seperti disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik Pro Poor Tourism (PPT) Bukan PPT Antikapitalis
PPT Fokus untuk mengikutsertakan orang miskin kedalam pasar kapitalis untuk meningkatkan lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat Berbeda dari sistem Sangat tergantung dari pasar dan struktur pariwisata pariwisata yang besar Sebuah teori atau model Orientasi berdasarkan penelitian dari keuntungan pariwisata untuk manfaat bagi orang miskin Ceruk pariwisata Berlaku terhadap setiap model pariwisata, termasuk yang bersekala besar atau kecil, dari sekala regional, nasional yang dikelola oleh sektor swasta. Sebuah metode khusus Menggunakan beragam metode, tidak satupun khusus untuk PPT Hanya untuk orang miskin Keuntungan juga dinikmati oleh orang bukan miskin Hanya tentang kelaparan Memiliki pengertian yang luas tentang kemiskinan, atau pendapatan rendah ketidakbebasan, kesempatan, kekuasaan, keterampilan dan pendidikan. Hanya untuk keuntungan Fokus untuk keuntungan komunitas, seperti air, sanitasi, pribadi kesehatan, pendidikan, infrastruktur Hanya untuk tingkat atas Memerlukan kerjasama dan komitmen dari para perencana, atau kelompok tertentu pemerintah, sektor swasta untuk memastikan bahwa orang miskin mendapat keuntungan dari pariwisata.
Sumber; Harrison (2002). 2.3.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) Sebagai sebuah model pariwisata yang dikembangkan beberapa tahun belakangan ini, Pariwisata Berbasiskan Masyarakat (Community Based Tourism) memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan atau mereka yang hidup di kota-kota kecil dengan standar hidup rendah, dengan melibatkan mereka dalam kegiatan secara langsung dalam pariwisata, seperti dalam pelestarian budaya dan lingkungan (Goodwin dan Santili, 2009: 4).
40
Pernyataan Tasci et al (2003: 10-11) sejalan dengan Goodwin dan Santili (2009) yang menyatakan bahwa konsep pariwisata berbasis masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan masyarakat miskin yaitu mereka yang secara tradisional hidup sebagai petani atau nelayan, tinggal secara turun temurun di daerah yang potensial untuk pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dimaksudkan untuk memberi peluang kepada masyarakat setempat yang pada umumya terdiri dari masyarakat asli setempat yang tidak memiliki kekuatan untuk mendapatkan berbagai akses yang tersedia di dunia pariwisata. Hasil CBT diharapkan mampu untuk meningkatkan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Menurut Joppe (1996: 475) tujuan pengelolaan CBT melalui pendekatan masyarakat (community approach) sejalan dengan bentuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yaitu dengan melibatkan masyarakat dan tokoh-tokoh informal setempat sebagai tulang punggung dari pengembangan pariwisata lokal. Pendekatan ini bertujuan memberikan manfaat langsung (direct benefits) kepada masyarakat untuk meningkatkan tingkat kehidupan mereka dalam rangka pengentaskan kemiskinan (poverty alleviation). Konsep Community Based Tourism (CBT) menekankan pada partisipasi dan kesadaran masyarakat setempat melaui
pemberdayaan dan kemandirian
masyarakat untuk mengembangan pariwisata secara berkelanjutan (sustainable tourism). Strategi pengembangan CBT dilakukan secara terpadu seperti dalam penanganan konservasi alam dan lingkungan di daerah yang potensial sebagai daerah tujuan wisata, dengan melibatkan masyarakat setempat. Dengan
41
memberikan pendidikan dan pelatihan-pelatihan secara berkelanjutan, masyarakat dipersiapkan untuk memasuki dunia pariwisata dan nerperan aktif di dalam kegiatan pariwisata. Secara konseptual pariwisata berbasis masyarakat didasarkan atas beberapa hal sebagai berikut : (1) pendekatan partisipatif kepada masyarakat dan mengikut sertakan kepemilikan masyarakat sebagai patner pengembangan pariwisata, (2) melibatkan mereka sebagai pengelola aktif dan, (3) hasil pariwisata dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan untuk mengentaskan kemiskinan (Armstrong, 2012: 2; Giampiccoli dan Kalis, 2012: 174; Sebele, 2010: 137). Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dilakukan dengan strategi konstruktif,
berdasarkan
prinsip-prinsip
dasar
sebagai
berikut:
(1)
memberdayakan masyarakat melalui kepemilikan pribadi atau berkelompok dalam pengembangan pariwisata, (2) mengikutsertakan masyarakat dalam setiap kegiatan
CBT,
(3)
menumbuhkembangkan
kebanggaan
komunitas,
(4)
meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat, (5) menjamin pelestarian lingkungan, (6) mempertahankan keunikan dan karakter sosial budaya lokal, (7) memfasilitasi berkembangnya pembelajaran sosial budaya, (8) saling menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia, (9) mendistribusikan keuntungan secara adil kepada anggota masyarakat (10) pendapatan pariwisata didistribusikan secara berkeadilan (Godwin dan Santilli; 2009: 5-6) dan (Ashley et al 2001). Pariwisata berbasis masyarakat yang diterapkan di sebagian besar negaranegara sedang berkembang didasarkan atas partisipasi yang melibatkan masyarakat kurang berdaya secara ekonomis dan dalam keterbatasan untuk mengakses kesempatan yang tersedia dibidang pariwisata. Hasil pariwisata berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan perekonomian, disesuaikan dengan
42
kondisi setempat, mengacu kepada tujuan pengembangan pariwisata yaitu: (1) tersedianya perencanaan awal yang matang untuk mengembangan pariwisata di suatu tempat tertentu, (2) terpeliharanya pelestarikan alam dan lingkungan di daerah tujuan wisata yang dikembangkan, (3) menjaga kehidupan sosial budaya masyarakat setempat, (4) menjaga agar pariwisata tetap bisa dikembangkan di masa mendatang, (5) pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengentasan kemiskinan (Giampiccoli dan Kalis, 2012: 2). Penerapan community based tourism didaerah tujuan wisata dengan latar belakang kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang berbeda-beda, harus disesuaikan dengan kondisi setempat dengan tetap mengacu kepada tujuan pengembangan pariwisata didalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, menjaga lingkungan dan melestarikan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Perlunya perencanaan detail yang dipersiapkan dengan bebagai pertimbangan yang matang, sebagai dasar untuk mengembangkan suatu daerah tujuan wisata. Sejalan dengan penelitian Giampiccoli dan Kalis (2012: 2); dan oleh Tasci et al (2013: 71) tentang manfaat yang didapat dari pengembangan pariwisata berbasiskan masyarakat, penelitian Communty Based Tourism yang dilakukan oleh Yayasan Wisnu yaitu sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bali bekerja sama dengan Jaringan Ekowisata Desa (JED), dengan tujuan untuk membantu masyarakat pedesaan dengan melakukan kegiatan ekowisata dengan melibatkan masyarakat setempat. Konsep JED merupakan perlawanan terhadap kegiatan pariwisata massal dengan tujuan sebagai berikut: (1) mengikut sertakan masyarakat setempat dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan yang demokratis dan manajemen pengelolaan pariwisata, (2) dana yang tersedia dari pariwisata dimanfaatkan untuk membantu pengembangan dan kegiatan pelestarian
43
lingkungan, (3) meminimalisasi dampak pariwisata terhadap rusaknya sumber daya alam, dan (4) melakukan kegiatan pertukaran budaya antara masyarakat dan wisatawan untuk memperkaya dan memperkuat ketahanan budaya lokal. Dipilihnya Desa Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsingan dan Nusa Ceningan sebagai desa homogen berlatar belakang daerah pertanian. Menurut penelitian Amstrong (2012: 2), Sebele (2010: 137), Giampiccoli dan Kalis (2012: 174), pengembangan daerah tujuan wisata harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: (1) Getting organized, yaitu melakukan pengorganisasian merupakan masalah pertama yang perlu dilakukan bersama masyarakat terfokus terhadap rencana aksi (action plan) yang terorganisasi dengan baik seperti dalam menyusun tim kerja yang akan dilibatkan didalam perencanaan pembangun, menyusun berbagai prosedur dan langkah-langkah persiapan di dalam membangun daerah tujuan wisata yang dimaksudkan, (2) Identify community values, yaitu mengindentifikasi nilai-nilai yang terdapat di masyarakat, untuk menentukan apa yang diharapkan wisatawan yang berkunjung kedaerah tujuan wisata yang akan dibangun. Secara spesifik perlu diperhatikan kontribusi apa saja yang akan diterima dari wisatawan dan sebaliknya layanan apa saja yang akan disajikan oleh masyarakat sebagai tuan rumah (host) untuk memberikan kepuasan kepada mereka, (3) Visioning process, yaitu proses melakukan pertemuan secara teratur dengan anggota
masyarakat hendaknya
dilakukan secara partisipatif, komunikatif, terutama didalam merumuskan tujuan pembangunan yang diinginkan. Intensitas dan komitmen masyarakat akan menentukan mencapai baik buruknya pencapaian dari dari visi dan misi yang hendak dicapai, (4) Inventory of attractions, yaitu menentukan apa yang akan ditawarkan komunitas tersebut kepada wisatawan. Identifikasi atraksi tersebut
44
berdasarkan kategori dan tipologi wisatawan apa yang sesuai dengan atraksi tersebut, (5) Assessment of attractions, yaitu melakukan analisa mendalam setiap detail dari atraksi tersebut, termasuk didalamnya kualitas atraksi dan target wisatawan yang dituju, (6) Establish Objectives, yaitu menentukan sasaran yang ingin dicapai oleh setiap unit bisnis, dilengkapi dengan analisa biaya dan keuntungan yang ingin dicapai, (7) Impact Analysis, yaitu menentukan segala potensi dan besarnya biaya yang akan
dikeluarkan untuk membuat dampak
analisis dan perencanaan untuk memperkecil biaya yang ditanggung, (8) Business Plan, yaitu membuatkan perencanaan bisnis tentang pencapaian target yang ingin dicapai setiap tahun dan menentukan sumber-sumber keuangan yang akan dipakai dalam kegiatan usaha, (9) Marketing Plan, yaitu membuat strategi pemasaran sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai untuk setiap unit usaha atau produksi, dan (10) memonitor pencapaian target penjualan produk yang telah ditetapkan. Prinsip pendekatan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dilakukan dengan pola partisipatif dimulai dari perencanaan, pelaksanaan pengembangan di lapangan dan terhadap kontrol yang telah direncanakan diawal perencanaan. Masyarakat dilibatkan dalam aktifitas pariwisata sampai kepada penentuan menentukan dari hasil yang didapatkan dari pariwisata dan memberikan bagian yang menjadi hak mereka. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat bisa dijadikan strategi dalam rangka memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi sebagai partner aktif dalam pengelolaan CBT. Untuk meningkatkan kualitas managerial dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat diperlukan pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan sehingga hasil pengembangan pariwisata dapat dinikmati masyarakat secara optimal (Tasci et al 2013: 15).
45
Prinsip pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat dikategorikan yang memberikan manfaat kepada masyarakat yaitu: (1) dalam bentuk ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi itu sendiri dan dampak yang dinikmati berupa meningkatnya pendapatan masyarakat dan dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan, kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam pengembangan pariwisara dengan mengikut sertakan modal yang dimiliki oleh masyarakat, (2) pelestarian budaya sebagai dampak dari pengelolaan pariwisata yang melibatkan masyarakat, keterlibatan masyarakat di dalam pelestarian budaya, (3) ikut sertanya masyarakat terlibat dalam kegiatan sosial yang timbul dari kegiatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat, serta munculnya tingkat kesadaran masyarakat (4) munculnya kesadaran dan hak-hak politik masyarakat sebagai akibat dari adanya kegiatan interaktif yang dilakukan oleh pemerintah, (5) pembelajaran kepada masyarakat tentang pentingnya memahami manajemen didalam pengembangan pariwisata dimana masyarakat sebagai tulang pungung dari kegiatan pariwisata. Prinsip-prinsip pengembangan CBT seperti disajikan pada Tabel 2.2.
46
Tabel 2.2 Prinsip Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat (CBT) No 1
Prinsip Ekonomi
2
Budaya
3
Sosial
4
Politik
5
Manajemen
Indikator Meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat miskin Meningkatkan pertumbuhan ekonomi mendapat keuntungan dari hasil pariwisata Terbukanya kesempatan kerja Pengentasan kemiskinan Pengikutsertaan kepemilikan masyarakat Pendapatan dari pengelolaan pariwisata Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pengentasan kemiskinan Kontribusi pariwisata kepada masyarakat Meningkatkan kualitas hidup komunitas Mendistribusikan keuntungan secara adil Mendukung pengembangan kepemilikan komunitas untuk tujuan CBT Pelestarian budaya Menumbuhkembangkan kebanggaan komunitas Mempertahankan keunikan karakter dan budaya lokal Memfasilitasi berkembangnya pembelajaran antar budaya Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia Pemberdayaan menuju kemandirian (ketidak tergantungan) Pengikutsertakan komunitas dalam kegiatan CBT
Sumber Taski et al (2013) Yoppe (1996) Giampicolli dan Kalis (2013) Amstrong et al (2012) Godwin dan Santili (2009)
Joppe (1996) Godwin dan Santili (2009)
Giampicolli dan Kalis (2012) Godman dan Santili (2009) Pendekatan dengan pola partisipatif Yoppe Meningkatkan kesadaran sosial masyarakat (1996) Kesadaran dan partisipan masyarakat Amstrong et al Melibatkan tokoh masyarakat didalam pengembangan Yoppe CBT (1996) Peran pemerintah Perencanaan (business plan), pengorganisasian, Okazaki komunikasi dengan masyarakat, program kerja, (2013) analisis perencanaan, analisis dampak
47
2.3.4 Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism) Pariwisata berkelanjutan dimaksudkan sebagai sebuah pengelolaan wisata dari semua model pariwisata mulai dari segmen pasar ceruk (niche tourism segments) sampai pariwisata berskala massal (mass tourism), dilakukan melalui penerapan yang seimbang terhadap tiga aspek mendasar sebagai berikut: (1) Pelestarian lingkungan secara konstruktif, terpeliharanya keanekaragaman hayati, ekosistem dan sumber daya alam secara terus menerus. (2) Menghormati sosial budaya dan tatanan kehidupan masyarakat setempat, melestarikan peninggalan sejarah dan tradisi lokal yang bernilai tinggi. (3) Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat, terpeliharanya
kehidupan
sosial
budaya,
pariwisata
berkelanjutandan
berkurangnya kemiskinan (United Nations Environment Programme, 2005) Secara lebih lebih luas Mowforth dan Munt (200: 98-99) menulis
tujuh
prinsip dasar terkait dengan pengembangan pariwisata berkelanjutan yaitu: (1) keberlangsungan sosial (social sustainability) berupa kemampuan masyarakat untuk menjaga kehidupan sosial yang harmonis sebagai akibat dari pengembangan pariwisata didaerah tujuan wisata tertentu, (2) keberlangsungan budaya (cultural sustainability) sebagai penjaga dan penerus tradisi yang telah hidup dimasyarakat secara turun temurun dari pengaruh negatif budaya luar, (3) keberlangsungan ekonomi (economic sustainability) yaitu memastikan sejauh mana pariwisata membawa dampak positif dan negatifnya terhadap perekonomian rakyat, (4) terpeliharanya lingkungan (environmental sustainability) sebagai isu kunci dari pariwisata berkelanjutan untuk pelestarian dan penggunaan sumber daya alam
48
untuk kepentingan pariwisata itu sendiri, (5) elemen pendidikan (education element) yaitu terjadinya proses pendidikan saling pengertian antara wisatawan dan tuan rumah, tentang pemahaman lingkungan dan pembelajaran sosial budaya masyarakat, (6) membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk partisipasi aktif di dalam pengelolaan pariwisata yang sedang dikembangkan, (7) membuka kemungkinan untuk memberi bantuan konservasidan restorasi bangunan terhadap peninggalan kuno seperti Candi Borobudur seperti yang telah dilakukan United Nations Educational Sience and Cultural Organization (UNESCO). Menurut Wood (2005: 20-21), tujuan pariwisata berkelanjutan adalah untuk menghindari dampak negatif lingkungan, menjaga nilai luhur kehidupan masyarakat dari pengaruh budaya asing, menjaga dampak negatif terhadap perubahan sosial budaya dan tradisi luhur sehingga wisatawan tetap menikmati daerah tujuan wisata yang dikunjungi. Sedangkan keberhasilan pengembangan pariwisata berkelanjutan menurut Roe et al (2004: 63) terlihat dari lima konsep dasar sebagai sebagai berikut: (1) pertumbuhan ekonomi yang sehat, (2) terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, (3) terjaganya kelestarian struktur alam dan terlindungnya
sumber daya alam, (4) berkembangnya kebudayaan
masyarakat, dan (5) kepuasan wisatawan termenuhi dengan pelayanan yang baik. Selanjutnya UNWTO (2013: 21) mengatakan bahwa pariwisata memiliki bermacam karakteristik yang bernilai tinggi seperti lingkungan dan sumber daya alam yang alami, musim dengan udara yang hangat, sumber daya manusia berlimpah dan peninggalan bersejarah bernilai tinggi. Didukung oleh potensi lainnya pariwisata dapat dikembangkan secara berkelanjutan pariwisata di negara
49
berkembang dapat bertumbuh secara berkelanjutan. Keberhasilan pengembangan pariwisata sangat tergantung dari dukungan lima pilar utama sebagai berikut: (1) peraturan pemerintah yang mendukung perkembangan pariwisata (tourism policy and governance), (2) keberhasilan kinerja perekonomian, pertumbuhan investasi berdaya saing sehat untuk pengembangkan pariwisata. (economic performance, investment and competitiveness), (3) peningkatan ketenagakerjaan, dari sumber daya manusia tersedia (employment, decent work and human capital), (4) berkurangnya kemiskinan dan peningkatan kehidupan sosial (poverty reduction and social inclusion), dan (5) terjaganya sumber dayaalam dan lingkungan budaya (sustainability of the natural and cultural environment). 2.3.5 Industri Pariwisata Pariwisata tidak bisa dilepaskan sebagai sebuah kegiatan industri (tourism industry) sebab telah menjadi kekuatan bisnis yang terintegrasi dengan sektorsektor industri lainnya dan tidak memungkinkan untuk berdiri sendiri tanpa didukung oleh elemen-elemen dari kelompok usaha lainnya. Tanpa dukungan dari elemen usaha-usaha terkait lainnya, pariwisata akan sulit dilakukan oleh para wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Theobald (2005: 31) menyatakan bahwa secara fenomenologis pariwisata secara sosial dan ekonomi kurang tepat disebut sebuah industri tetapi dampaknya yang sangat luas terhadap industri lainnya menyebabkan pariwisata telah menjadi sebagai sebuah industri sendiri. World Tourism Organization (WTO, 2012: 12) menyatakan bahwa industri pariwisata merupakan industri dengan karakteristik khusus yang didukung oleh beragam produk dan sarana layanan sebagai bagian yang tidak terpisahkan yang dibutuhkan oleh wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Di dalam
50
melakukan kegiatan wisata diperlukan sektor-sektor pendukung pariwisata sebagai berikut : (1) tersedianya akomodasi dari berbagai kategori sesuai dengan pilihan para wisatawan (accomodation for visitors), (2) tersedianya tempat layanan makanan dan minuman seperti restoran yang layak untuk wisatawan (food and beverage serving activities), (3) pelayanan kereta api (railway passenger transport), (4) transportasi darat untuk wisatawan ( road passenger transport), (5) layanan angkutan laut untuk kegiatan wisatawan ( water passenger transport), (6) angkutan udara (air passenger transport), (7) penyewaan sarana transportasi (transport equipment rental), (8) biro perjalanan umum yang melayani reservasi, pengaturan wisata dan jasa-jasa lainnya (travel agencies and other reservation services activities), (9) pertunjukan kesenian, seni dan budaya (cultural activities), (10) tersedia sarana rekreasidan kegiatan olah raga (sports and recreational ativities). Berbagai jenis perusahaan dimaksudkan dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Perusahaan Kelompok Industri Pariwisata dan Masing-Masing Produknya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Perusahaan ( Industri Pariwisata) Travel agent / Tour Operator Perusahaan penerbangan Angkutan pariwisata (Taxi, bus, dan lain-lain) Akomodasi (Hotel, Motel, dan lain-lain) Restaurant dan sejenisnya Impresariat, amusement, dan lain-lain. Local Tour Operator Shopping Centre Bank / Money Changer
No 1 2 3
Produk yang di hasilkan (Produk Industri Pariwisata) Informasi tentang paket wisata Seats dan pelayanan lainnya Pelayanan transfer ke hotel dan bandara, pelayanan sewa mobil
4
Kamar dan pelayanan lainnya
5
Makanan dan minuman
6
Hiburan dan atraksi wisata
7 8 9
City shightseeing/ city tour Cendramata dan oleh-oleh Penukaran valuta asing Bermacam-macam keperluan 10 Retail Stores 10 wisatawan dalam perjalanan Sumber : Yoeti (2008: 4). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, (2008: 4).
51
2.3.6 Pengembangan Pariwisata Pengembangan pariwisata merupakan sebuah proses dinamis yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia, sebagai salah satu sumber pendapatan negara melalui pemasukan devisa bagi pembangunan negara. Negara-negara sedang berkembang (developing countries) menjadikan pariwisata sebagai sebuah potensi besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan berbagai infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Theobald (2005:163-165) pengembangan pariwisata berdampak terhadap kehidupan sosial budaya, sebagai sarana untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan pembangunan daerah. Keberhasilan dari pengembangan pariwisata sangat ditentukan dari kematangan perencanaan, evaluasi serta pengawasan dan umpan balik yang dilakukan terhadap perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Schilcher (2007: 58) untuk mengetahui besarnya potensi dan kemungkinan dari munculnya permasalahan dari suatu daerah tujuan wisata, pengembangan pariwisata hendaknya dimulai dengan kegiatan penelitian dan observasi terhadap daya tarik wisata yang akan dikembangkan. Kegiatan promosi melalui media cetak, elektronik, maupun melalui multimedia dilakukan untuk lebih mempercepat pengenalan dari destinasi wisata yang dikembangkan didalam dan diluar negeri. Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, pengembangan daerah tujuan wisata hendaknya melibatkan masyarakat setempat. Pengembangan suatu daerah tujuan pariwisata merupakan proses panjang yang dimulai dari perencanaan, pembangunan fisik, sampai dengan penyediaan beragam pelayanan yang diperlukan oleh wistawan. Masyarakat perlu dilibatkan
52
dalam menentukan arah dari tujuan pembangunan pariwisata dan tentang pemahaman dari dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkan dari kegiatan pariwisata itu sendiri. Fridgen (1996: 219-221) menyatakan bahwa dampak positif dari pertumbuhan pariwisata adalah sebagai berikut: 1). Increase in employment. Semakin terbukanya peluang kerja bagi masyarakat, semakin bertambahnya peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih baik. Secara ekonomis berdampak terhadap pemerataan pendapatan masyarakat dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat serta berkurangnya pengangguran. 2). Stimulation of business activity. Munculnya kegiatan bisnis baru akan diikuti oleh pertumbuhan kegiatan ekonomi mikro dengan masyarakat lokal sebagai pelaku utama, bertumbuhnya kegiatan berskala nasional dan internasional. Meningkatnya perekonomian merupakan indikator keberhasilan pembangunan 3). Increase inbusiness diversity. Meningkatkan pertumbuhan beragam kegiatan bisnis pengadaan kebutuhan pariwisata seperti pembangunan hotel, restoran, dan jasa wisata lainnya sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pariwisata. 4). Increase in tax collection. Meningkatnya penerimaan pajak oleh pemerintah bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan sarana prasarana pariwisata. 5). Increase in sales of good and services. Meningkatnya penjualan dari barang dan jasa akibat meningkatnya kebutuhan yang diperlukan oleh wisatawan. 6). Increase in community pride and concern for community history, culture, attraction, and artifacts. Meningkatnya perkembangan masyarakat akibat dari pertumbuhan pariwisata di daerahnya sendiri. Menjadi bangga karena bisa memperkenalkan seni budaya, adat istiadat, keunikan kerajinan tangan yang
53
diproduksi sendiri. Menjadi sebuah momentum bersejarah dibangunnya sarana prasarana pariwisata di daerah sendiri. Berdampak positif bagi munculnya untuk kegiatan berkesenian kolektif sebagai sumber pendapatan masyarakat dan terbukanya kesempatan kerja untuk pendapatan dan kehidupan lebih baik. 7). Enhancement of community appearances. Sebagai daerah yang terbuka untuk tujuan wisata, dengan keunikan obyek wisata didukung oleh keramah tamahan dan kehangatan masyarakat menjadi pendukung dikembangkan sebuah tujuan wisata berkualitas dan sebagai pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). 8). Conservation or restoration of historic sites or attractions. Memelihara atau membangun kembali peninggalan bersejarah atau mempertahankan atraksi budaya masyarakat setempat wajib dilakukan sebagai bagian dari kebutuhan atraksibagi wisatawan untuk ketika mengunjungi tempat-tempat bersejarah. 9). Concervation of natural resources and tourist attraction. Melestarikan sumber daya alam dan memelihara atraksi untuk wisatawan dimaksudkan agar pariwisata tetap terjaga kelestariannya, sebagai usaha menarik wisatawan untuk berkunjungan kembali. Selanjutnya Fridgen (1996) menyatakan dampak negatif pariwisata yang harus diantisipasi adalah sebagai berikut: 1). Increase in the use of sewer and water systems, requiring further development of the community infrastructure. Peningkatan terhadap pemakaian pipa sistem pengelolaan air bersih dibawah tanah untuk keperluan pariwisata tidak bisa dihindarkan. Pengembangan infrastruktur diperlukan untuk pengelolaan air bersih dan limbah yang dibutuhkan masyarakat setempat dan juga wisatawan.
54
2). Increase in the cost of maintenance and repairs of the community infrastructure. Peningkatan biaya pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur menjadi tinggi dan pemeliharaan dalam jangka perlu dilakukan secara teratur. 3). Increase in number of people and vehicles, resulting in congestion. Terjadinya peningkatan jumlah pendudukdan semakin banyaknya jumlah kendaraan menjadi masalah bagi perkembangan pariwisata. Penggunaan kendaraan baru semakin banyak jumlahnya, sama seperti meningkatnya pencari kerja baru di daerah-daerah urban. Semakin banyaknya pemakaian kendaraan pribadi menjadi penyebab dari semakin meningkatnya kemacetan polusi udara. 4). Shifts in the pace of community’s cultural and social life, as well as the community’s structure. Terjadinya perubahan sosial budaya dan pola hidup masyarakat akibat dari interaksi antara wisatawan dengan tuan rumah. Kejadian ini dapat mempengaruhi terjadinya perubahan struktur masyarakat. 5). Damage to the environment. Pariwisata menjadi salah satu penyebab dari rusaknya sumber daya alam dan lingkungan. Apabila penggunaan tanah persawahan, pembangunan dipantai, tebing-tebing kali dan lingkungan serta alam yang terbatas tidak diatur undang-undang dan pelestarian alam tidak dijaga dengan baik dalam jangka panjang akan merugikan masyarakat sendiri. 6). New or increased expenses relates promotions, advertising, and marketing. Biaya-biaya baru atau peningkatanbiaya promosi, reklame dan biaya marketing lainnya diperlukan untuk meningkatkan kedatangan wisatawan.
55
7). Investment cost incurred New or icreased by the community. Munculnya biaya investasi baru, peningkatan biaya investasi dapat dilakukan oleh masyarakat setempat atau melalui penanaman modal yang datangnya dari luar negeri. Menurut Schyvens dan Momsen (2008: 36), pariwisata secara umum pada hakekatnya sangat terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Pariwisata membuka ruang bagi masyarakat sebagai tuan rumah (host) untuk berinteraksi dengan wisatawan sampai kepada pengenalan kegiatan ekonomi mereka seharihari. Unsur-unsur yang terlibat didalam kegiatan pariwisata seperti pemerintah, penanam modal (swasta) beserta masyarakat berperan didalam fungsinya masingmasing untuk kepentingan bersama menuju tercapainya tujuan pengembangan pariwisata yaitu terwujudnya masyarakat sejahtera. Dari sudut pandang sosial ekonomis, kegiatan pariwisata membuka peluang bagi terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Hal ini dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan melibatkan
masyarakat
sebagai
tenaga
kerja
proyek
sejak
dimulainya
pembangunan sarana fisik seperti pembangunan hotel, restoran dan sarana lainnya. Tenaga kerja dengan keterampilan kasar (non-skill) dipekerjakan sesuai dengan kemampuan mereka dan bagi yang berketerampilan lebih tinggi dipekerjakan sesuai dengan tingkatannya sesuai dengan yang kebutuhan hotel. Burns dan Holden (1995: 140-141) mengatakan bahwa dampak dari pengembangan pariwisata dapat dilihat dari beberapa aspek seperti berikut: 1). Dari sudut pandang ekonomi, pengembangan pariwisata dapat memberikan sumbangan terhadap penerimaan yang masuk ke kas pemerintah daerah melalui meningkatnya pendapatan pajak, retribusi pembangunan, parkir, dan
56
pendapatan lainnya. Masuknya penanaman modal secara besar-besaran akan berdampak terhadap semakin berumbuhnya kehidupan ekonomi rakyat. 2). Pendapatan dari sektor sektoral seperti pemasukan ijin pembangunan hotel, pendapatan pajak perdagangan, hotel dan restoran dan dari pendapatan lainnya, membuka kesempatan bagi pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur untuk meningkatkan kualitas pelayanan pariwisata. 3). Sektor perikanan dan pertanian akan berdampak positif, sebab dari hasil pertanian dan penangkapan ikan diperlukan oleh hotel maupun restoran untuk kebutuhan pariwisata. Meningkatnya pendapatan petani dan nelayan dari hasil penjualan produk mereka akan mampu memperbaiki kesejahteraan mereka. 4). Terbukanya kesempatan kerja di sektor yang terkait dengan industri pariwisata berdampak terhadap berkurangnya pengangguran. Masyarakat memiliki kesempatan untuk meningkatkan ketrampilan dan pengembangan diri. 5). Pariwisata menjadi sumber devisa bagi pembangunan bangsa, untuk mengembangkan sarana dan prasarana pariwisata. Wisatawan yang berlibur kesuatu negara akan membelanjakan langsung uang mereka kepada masyarakat setempat di toko-toko cenderamata, atau memakai jasa pelayanan langsung yang disediakan oleh masyarakat seperti menjadi pemandu wisata. Peran pengembangan pariwisata dari sudut sosial budaya menurut Selinger (2009: 3-4) adalah untuk meningkatkan pengenalan terhadap budaya bangsa, peninggalan bersejarah tanah air dan memotivasi sikap toleransi dan persahabatan dalam pergaulan antar bangsa. Sedangkan Tasci et al (2013: 3-4) berpendapat bahwa perkembangan pariwisata global menguntungkan dunia yaitu sebagai
57
alternatif sumber pendapatan bagi pengembangan dan pertumbuhan ekonomi dunia khususnya
bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang
berkembang. Melalui pendapatan devisa dan keuntungan ekonomis dan finansial lainnya seperti pemasukan pajak dan pendapatan yang diterima langsung oleh masyarakat dari kunjungan wisatawan mancanegara (direct expenditure on international traveller). Pengembangan infrastruktur yang dilakukan pemerintah dan swasta bermanfaat untuk kepentingan umum dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Pariwisata berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan kemungkinan dijadikan industri bersih (green industry) dan perannya membawa misi bagi perdamaian dunia. Selain besarnya manfaat yang didapat dari pariwisata, tidak bisa dihindari bahwa disisi lain pariwisata juga bisa berdampak negatif terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sosial budaya, berubahnya prilaku masyarakat dan tatanan kehidupan berkeluarga. Rusaknya lingkungan akibat dieksploitasinya
alam secara berlebihan untuk kepentingan pariwisata
berdampak terhadap rusaknya sumber air bersih dan keindahan alam. Tanah pertanian produktif yang dipakai secara berlebihan untuk kepentingan pariwisata berdampak mahalnya harga tanah dan semakin tidak terjangkaunya daya beli masyarakat membeli tanah untuk kepentingan sendiri. Perkembangan pariwisata yang mengikuti pola life cycle merugikan daerah tujuan wisata yang tidak lagi diminati wisatawan. Pariwisata sangat dipengaruhi oleh faktor luar yang sering tidak diprediksi sehingga berisiko besar apabila terjadi ganggugan keamanan dan politik di dalam dan di luar negeri yang berpotensi terhadap menurunnya jumlah kunjungan wisatawan, munculnya pengangguran dan terjadinya kerugian usaha.
58
Manfaat dan kerugian pariwisata seperti terlihat pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Manfaat dan Kerugian dari Perubahan Sosial,Lingkungan dan Ekonomis Akibat Pengembangan Pariwisata Keuntungan Sosial Pemasukan devisa untuk mendukung pembangunan fasilitas dan jasa pariwisata didaerah yang belum berkembang Mendorong partisipasi dan kebanggaan masyarakat terlibat didalam pengembangan pariwisata Terjadinya pertukaran budaya dan interaksi antara tuan rumah dengan wisatawan Menjaga keberlangsungan budaya, festival rumah dengan wisatawan Pengembangan infrastruktur pariwisata, bermanfaat untuk kepentingan umum Mendorong meningkat kebanggaan kolektif masyarakat Meningkat kualitas kehidupan masyarakat Mengundang orang luar untuk mengisi pekerjaan tertentu Memanfaatkan pariwisata untuk belajar bahasa asing dan keahlian tertentu Pendapatan langsung masyarakat bermanfaat untuk pembangunan komunitas Pendapatan dana untuk sosial dan kemanusian Keuntungan Lingkungan Adanya dukungan untuk perlindungan terhadap tradisi dan budaya masyarakat lokal dan juga terhadap pelestarian sumber daya alam Dorongan untuk merevitalisasi, melindungi dan meningkatkan sarana yang diperlukan oleh masyarakat Kemungkinan dikembangkan pariwisata menjadi industri bersih (green tourism) yang berkelanjutan.
Keuntungan Ekonomi Pariwisata membantu dan menumbuhkan diversifikasi dari pertumbuhan dan kesetabilan ekonomi lokal Pemerintah mendapatkan pendapatan tambahan dari pajak terkait dengan pariwisata yang bukan dari pariwisata Terjadinya beragam dampak (muliplier effect) yang menguntungkan masyarakat akibat dari pertumbuhan ekonomi Masuknya dana segar yang berputar dimasyarakat untuk meningkatkan perumbuhan ekonomi, mengundang masuknya bisnis dan jasa layanan baru yang diperlukan untuk mendukung kebutuhan pariwisata Pemanfaatan banyaknya kebutuhan tenaga kerja (labor intensive) yang diperlukan didalam pembangunan sarana pariwisata, baik untuk tenaga terampil untuk pekerjaan tertentu dan juga untuk tenaga tidak terampil Terjadinya transaksi dan pemasukan nilai tukar yang sangat besar yang dilakukan secara langsung oleh wisatawan Meningkatnya pembangunan komersial yang muncul didaerah pariwisata seperti pengembangan perumahan dan sarana komersial untuk menunjang kebutuhan wistawan
Kerugian Sosial Munculnya pengaruh pola hidup baru yang bertentangan dengan tradisi lokal seperti penggunaan obat terlarang dan minuman keras. Pariwisata berdampak negatif sebagai pengaruh terhadap prilaku masyarakat dan pola kehidupan keluarga Peningkatkan terjadinya penyebaran terjadinya penyakit lokal. Menjadikan semakin meningkatnya jumlah pertambahan penduduk Pariwisata mempengaruhi harga pelayanan masysrakat lokal akibat dari tingginya daya beli wisatawan dibandingkan dengan tuan rumah seperti kenaikan harga ditempat rekreasi. Meningkatnya kriminalitas dan perlakuan yang tidak sopan terhadap wisatawan. Menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia akibat dari terpinggirkannya masyarakat dan ditutupinya tempat – tempat umum yang dulunya menjadi milik masyarakat. Kerugian Lingkungan Terjadinya pengerusakan terhadap kelestarian alam seperti sumber air, karang laut dan tempat bersejarah Timbulnya masalah sampah, kebisingan dan polusi Terjadinya tingkat persaingan yang tinggi terhadap pemanfaatan laha yang terbatas, pemakian air yang berlebihan yang berakibat terhadap terdegradasinya sumber alam, fauna dan rusaknya keindahan alam. Meningkatnya penggunaan transportasi, semakin meningkatnya polusi dan emisi kendaraan. Kerugian Ekonomi Pembangunan infrastruktur seperti bandara, jalan dll, merupakan dana besar bisa menjadi beban pemerintah lokal. Meningkatnya harga tanah untuk untuk kebutuhan parisata dan mahalnya harga barang dan jasa yang memberatkan kehidupan masyarakat. Kebocoran : keuntungan perusahaan kembali keluar negeri dan tidak dinikmati oleh masyarakat lokal. Nilai tukar (foreign exchange) kembali kenegara asal akibat dari transaksi import Wisatawan tidak datang sepanjang masa, sehingga terjadi pengurangan karyawan ketika musim sepi dan berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja. Masih banyak pekerjaan didunia pariwisata yang dibayar murah terutama bagi karyawan dengan keterampilan rendah dan kecilnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan di hotel. Pengaruh terosis, resesi ekonomi dunia dan tidak terjaminnya keamanan wisatawan, berdampak terhadap pendapatan pariwisata dan para pengerjanya Pariwisata mengukuti pola product life cycle, dimana destinasi pariwisata yang tidak menarik tidak lagi dikunjungi oleh wisatawan akan hilang dari persaingan mendatangkan kerugian bagi masyarakat setempat.
Sumber: Diadopsi dari://geographyfieldwork.com/TourismProsCons.htm, (Tasci, et al 2013).
59
2.3.7 Pariwisata dan Kinerja Perekonomian Pariwisata dalam perannya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dunia, berkepentingan terhadap pelestarian sosial budaya, dukungan terhadap tradisi lokal dan meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia termasuk di negara-negara miskin (least developed countries), termasuk meningkatkan kesediaan pangan (Wall dan Mathieson, 2006: 77-78). Meningkatnya peran pariwisata semakin memberi banyak manfaat yang dinikmati oleh negara-negara berkembang (developing countries), seperti penerimaan devisa, terjadinya multiplier effect yaitu berkembangnya mata rantai pendapatan dari satu sektor unit usaha ke unit usaha lainnya dan dampaknya terhadap pendapatan pajak bagi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (Richardson, 2010: 1). Athanasopoulou (2013:7-16) menyatakan bahwa mata rantai pariwisata berupa kegiatan perdagangan antara negara, peningkatan kinerja perekonomian, export import, perdagangan, penyediaan tenaga kerja dan pertumbuhan investasi serta timbulnya beragam kontribusi terkait pelayanan pariwisata sebagai berikut: 1). Kedatangan wisatawan internasional (International tourist arrival) 2). Pendapatan negara-negara secara internasional (International tourism receipt). 3). Pengeluaran wisatawan internasional (Expenditure on international travel) 4). Penyediaan layanan wisata (Trade in travel services) 5). Kontribusi pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (Travel and tourism industry’s contribution to GDP) 6). Kontribusi Pariwisata terhadap ketenagakerjaan (Travel and tourism industry’s contribution to employment)
60
7). Kontribusi Pariwisata terhadap investasi modal (Travel and tourism industry’s contribution to capital invesment)
2.4 Konsep Kemiskinan Kemiskinan sudah ada sejak timbulnya peradaban manusia dimuka bumi dan merupakan indikator utama dari ketertinggalan/keterbelakangan suatu negara. Bappenas (2010: 8-10) membagi konsep kemiskinan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan relatif (relative poverty) yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar akibat dari pengaruh kebijakan pembangunan yang berdampak terhadap ketimpangan pendapatan masyarakat, dan kemiskinan absolut (absolut poverty) yaitu kemiskinan akibat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti kebutuhan sandang pangan, kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan air bersih. Sedangkan konsep kemiskinan kultural menurut Elesh (1970: 4), terjadi akibat dari jebakan perilaku internal perorangan atau sekelompok masyarakat yang mengakibatkan mereka tidak mampu melakukan mobilitas secara sosial dan kemiskinan struktural terjadi akibat dari pengaruh faktor-faktor external berupa aturan yang tidak berpihak kepada orang miskin seperti terbatasnya kesempatan kerja dan ketidakmampuan mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak. Konsep kemiskinan dapat dilihat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs approach) dan dari aspek kemampuan ekonomis dan kesejahteraan yang rendah, serta keterbatasan partisipasi politik dan sosial budaya mereka sehari-hari (Laderchi et al 2006). Menurut Bank Dunia standar kemiskinan yang dimasukkan dalam rancangan Millenium Development Goals
61
(MDG) yaitu mereka yangpada tahun 1999 hanya mampu menghasilkan US$ 1.00/hari dan setelah direvisi tahun 2005 menjadi US$ 1.25/hari (Edward, 2006; World Bank, 2008; Nehen 2012: 193). BPS Bali(2012: 493) menggambarkan kemiskinan sebagai kondisi dari ketidakmampuan seseorang atau sekelompok masyarakat memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya akses ke sektor ekonomi dan faktor-faktor lainnya. 2.4.1 Jenis Kemiskinan Menurut jenisnya kemiskinan dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) kemiskinan alamiah, yang disebabkan oleh manusianya sendiri seperti tidak adanya niat untuk berubah dari kebiasaan hidup miskin, rendahnya pendidikan dan sumber daya yang dimiliki, (2) kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang terkait erat dengan sikap seseorang atau kelompok dalam masyarakat yang tidak mau memperbaiki tingkat hidupnya sendiri walaupun ada pihak lain yang mau memberikan bantuan, (3) kemiskinan struktural, yang diakibatkan oleh kelembagaan, organisasi pemerintah atau tatanan struktur sosial dalam masyarakat yang menyebabkan tidak terjadinya mobilitas secara vertikal dimana orang kaya senantiasa menikmati hasil kekayaannya sedangkan orang-orang miskin tetap hidup di dalam kemiskinannya (Harniati, 2010: 26; Soedjatmoko, 2008: 46-61). 2.4.2 Penyebab Kemiskinan Hampir tiga miliar penduduk dunia saat ini hidup dari pendapatan kurang dari dua dollar Amerika per hari. Lebih dari satu miliar hidup dalam kemiskinan absolut, menggelandang dan terlantar di daerah kumuh, terinfeksi penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang mematikan. Penyebab
62
kemiskinan merupakan lingkaran setan (vicious circle), muncul dari berbagai faktor yang saling mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini terjadi akibat dari sistem perekonomian dan politik dunia yang tidak memihak kepada masyarakat miskin dan terjadinya hambatan kehidupan politik dan sosial sial budaya yang terjadi di masyarakat global (Corbett dan Fikkert, 2012:11). Nehen (2012: 201-203) menulis beberapa indikator penyebab kemiskinan, yaitu: (1) rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan berkolerasi langsung dengan kinerja dan rendahnya produktivitas kerja dan berakibat terhadap rendahnya pendapatan yang diterima, (2) terbatasnya kesempatan kerja, berkorelasi terhadap tidak meratanya pendapatan masyarakat, (3) terbatasnya fasilitas umum seperti sarana pendidikan dan tidak tersedianya fasilitas kesehatan bagi masyarakat berdampak kepada semakin buruknya kondisi masyarakat, (4) masih ditemukan budaya masyarakat yang menolak perubahan motivasi dan etos kerja untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut Papilaya (2013: 43-46) penyebab kemiskinan yang terjadi dimasyarakat adalah: (1) faktor perilaku seseorang, yaitu rendahnya upaya mengubah sikap untuk meninggalkan kebiasaan lama, (2) faktor personal berupa rendahnya keterampilan, pengetahuan kepribadian dan sistem nilai serta kemampuan sikap untuk bertindak, (3) faktor situasional, dipengaruhi oleh lingkungan, sosial budaya dan ekonomi, (4) ketidakmampuan pemerintah memenuhi pemerataan pendapatan masyarakat berdampak terhadap ketimpangan distribusi pendapatan yang berpotensi untuk memunculkan kemiskinan relatif.
63
Munculnya masyarakat miskin akibat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti sandang pangan, biaya kesehatan dan kemampuan untuk memiliki tempat tinggal sebagai pemenuhan standar hidup disebut dengan masyarakat dengan kemiskinan absolut. Hal ini terjadi akibat dari hilangnya hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan masyarakat miskin semakin termarjinalkan. Menurut (BPS, 2008), kemiskinan diakibatkan oleh liberalisasi ekonomi dan menciptakan negara pemenang dengan penguasai ekonomi dan teknologi modern. Politik ekonomi neoliberalisme yang dikuasai oleh negara maju untuk mengkondisikan negara sedang berkembang dan negara miskin sebagai negara kalah tanpa kekuatan untuk menyaingi negara maju, memunculkan kemiskinan baru di negara berkembang yaitu: 1.
Kemiskinan berkaitan dengan pembangunan tidak berkeadilan, penerapan pembangunan yang tidak seimbang dan cenderung melahirkan kemiskinan baru. Masyarakat kehilangan hak atas tanah yang dijual kepada pemilik modal. Mereka tercabut dari akar budayanya dan menjadi masyarakat terasing didaerahnya sendiri. Hasil dari penjualan tanah akan dinikmati dalam waktu pendek dan tanpa kemampuan mengelola kuangan, akan menjadikan mereka masyarakat urban di daerahnya sendiri tanpa keahlian memadai.
2.
Kemiskinan sosial terlihat pada kondisi sosial ekonomis masyarakat yang kurang mampu seperti anak-anak, kaum perempuan dan bias gender, yang mendapat perlakukan diskriminasi atau dieksploitasi secara ekonomi.
3.
Kemiskinan konsekuensial akibat dari faktor eksternal seperti konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, bencana alam, kerusakan alam dan lingkungan.
64
Tidak terkontrolnya jumlah penduduk yang berdampak terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi penyebab kemiskinan di masyarakat. 2.4.3 Pengentasan Kemiskinan Kemiskinan tidak akan hilang dengan sendirinya. Apabila pemerintah tidak sanggup untuk mensejahterakan masyarakatnya dan pengelolaan kemiskinan tidak dilakukan dengan tepat sasaran, maka orang miskin akan menjadi lebih miskin dan akan mewariskan kemiskinan secara turun temurun. Pertemuan Dunia tentang Pengembangan Sosial (World Summit on Social Development) pada tahun 1977, memperkirakan terdapat sebanyak 1,2 miliar penduduk miskin di dunia yang berpenghasilan dibawah USD 1.00/hari dan lebih dari dua miliar penduduk berpenghasilan dibawah USD 2.00/hari.Pada persidangan umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) tahun 2000, dicanangkan Tujuan Pembangunan Milinium (Millenium Development Goals) menempatkan prioritas utama pengentasan kemiskinan dan kelaparan ektrim bagi masyarakat miskin yang hidup dengan USD 1.00/hari (United Nations, 2007). Keberhasilan pengentasan penduduk miskin di dunia yang berjumlah 1,8 miliar jiwa dengan penghasilan kurang dari USD 1.25 menunjukkan bahwa pada tahun 1990 jumlahnya berkurang menjadi 1,4 miliar jiwa. Kemiskinan absolut yang berjumlah 2 miliar jiwa di negara-negara berkembang pada tahun 1990, menurun menjadi 1,4 miliar jiwa pada tahun 2008 (United Nations, 2012). World Bank (2013:6-8) mencatat program pengentasan kemiskinan di negara berkembang seperti diagendakan oleh Millenium Development Goals agar mampu melewati target yang direncanakan pada tahun 2015 sebesar 50 persen penduduk
65
miskin di dunia. Jumlah penduduk yang berpenghasilan kurang dari USD 1.25/hari menurun dari 47 persen pada tahun 1990 menjadi 22 persen tahun 2010. Zastrow (2008: 237) menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan melalui peningkatkan kesejahteraan dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Pendekatan Absolut. Pendekatan ini didasarkan pada batas minimum yang harus dimiliki untuk mencapai kebutuhan dasar bagi keperluan suatu keluarga. Keluarga dikatakan miskin apabila tidak mempunyai penghasilan atau pendapatannya tidak mencapai batas minimum yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan minimal hidupnya. Kelemahan pendekatan ini terletak pada kenyataan bahwa kebutuhan setiap keluarga menjadi berbeda, disebabkan oleh kondisi sosial, lingkungan dan tempat tinggal mereka. 2) Pendekatan Relatif. Pendekatan ini membandingkan antara pendapatan seseorang atau rumah tangga dengan rata-rata pendapatan populasi yang didasari pada ketidak-seimbangan pendapatan. Selama ketidakseimbangan pendapatan masih ada, selama itu kemiskinan akan tetap ada. Pendekatan ini mengatakan bahwa kemiskinan dan distribusi pendapatan masyarakat dalam kehidupan nyata, tidak sama untuk semua tempat. 3) Pendekatan Kebutuhan Dasar. Pendekatan yang menekankan pada dua unsur penting. Pertama, bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi pendapatan yang tidak dapat mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar akan pangan, papan, pakaian, dan barang-barang rumah tangga tertentu. Kedua, pendapatan tersebut juga tidak dapat memenuhi hal penting lainnya seperti kebutuhan air bersih, sanitasi, transportasi umum, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.
66
2.4.4 Indikator Kemiskinan Salah satu alat untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah indikator kemiskinan. Sebelas indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) yaitu: 1) Keterbatasan pangan, merupakan ukuran dari jumlah kecukupan dan mutu pangan yang dikonsumsi seperti rendahnya asupan kalori, buruknya gizi yang dinikmati oleh bayi, anak balita dan ibu. 2) Terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan berkualitas yang tersedia bagi masyarakat miskin, berupa tempat fasilitas layanan kesehatan yang jauh dari tempat mereka tinggal. Mahalnya biaya pengobatan dan perawatan kesehatan berakibat tidak mampunya masyarakat miskin mendapatkan standar layanan kesehatan yang dibutuhkan. Sebaliknya, layanan kesehatan berkualitas hanya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi. 3) Sarana pendidikan yang sulit didapat. Indikator diukur dari terbatasnya sarana pendidikan yang tersedia. Mahalnya biaya pendidikan berakibat terhadap kecilnya kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mengakses sarana pendidikan yang tersedia. 4) Tidak tersedianya kesempatan kerja dan usaha, seperti kecilnya kesempatan kerja berdampak terhadap perbedaan pengupahan kaum pria terhadap kaum wanita. Langkanya kesempatan berusaha berdampak terhadap lemahnya perlindungan bagi pekerja anak dan pekerja perempuan. 5) Keterbatasan akses terhadap layanan perumahan dan sanitasi. Indikator yang digunakan adalah kesulitan memiliki perumahan akibat tingginya harga tanah.
67
Hal ini berdampak terhadap tidak cukup tersedianya permukiman yang sehat dan layak huni. Keterbatasan sanitasi berdampak terhadap kesehatan rakyat. 6) Keterbatasan akses terhadap air bersih. Indikator yang digunakan adalah sulitnya mendapatkan air bersih. Penguasaan sumber air secara berlebihan berdampak terhadap rendahnya kualitas air. Akses terhadap sumber air sebagai sumber daya alam seharusnya dikelola pemerintah untuk kepentingan umum tetapi sebaliknya dikelola oleh swasta untuk kepentingan komersial. 7) Keterbatasan akses terhadap tanah. Indikator yang digunakan adalah struktur atas kepemilikan dan penguasaan tanah. Hilangnya kepemilikan tanah untuk kepentingan komersial dan sulitnya mengakses kembali tanah dengan harga yang mahal merupakan persoalan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. 8) Keterbatasan akses terhadap sumber daya alam. Indikator yang digunakan adalah buruknya kondisi lingkungan hidup dan rendahnya sumber daya alam. Indikator ini sangat terkait dengan penghasilan yang bersumber dari sumber daya alam, seperti daerah perdesaan, daerah pesisir, dan daerah pertambangan. 9) Tidak adanya jaminan rasa aman. Indikator ini berkaitan dengan tidak adanya jaminan keamanan yang didapat masyarakat. Penegak keamanan harus berlaku adil bagi masyarakat didalam menjalani kehidupan sosial maupun ekonomi. 10) Keterbatasan akses untuk partisipasi. Indikator ini diukur melalui rendahnya keterlibatan masyarakat mendapatkan akses dalam pengambilan kebijakan. 11) Besarnya beban kependudukan, indikator ini berkaitan dengan besarnya tanggungan keluarga dan beratnya tekanan hidup yang dialami masyarakat.
68
Untuk mengukur kemiskinan, Harniati (2007: 21) dalam penelitiannya memakai indikator-indikator sebagai berikut: 1) The incidence of poverty (the poverty headcount index), yaitu gambaran besarnya persentase dari jumlah penduduk yang hidup dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan (the proportion of the population with a standard of living below the poverty). Tujuan the poverty head count index adalah untuk memungkinkan melakukan perbandingan kemiskinan atau mengevaluasi kemiskinan atas kebijakan proyek tertentu. 2) The depth of poverty (the poverty gap index), yaitu gambaran tentang dalamnya kemiskinan, berupa jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin terhadap garis kemiskinan. Indikator ini menggambarkan ukuran pendapatan masyarakat per kapita yang diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan. Semakin besar indeks kemiskinan, semakin jelek kemiskinan. 3) The severity of poverty, atau yang disebut dengan keparahan kemiskinan; memperlihatkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti sandang, pangan, air bersih dan perumahan. Penyebab kemiskinan menurut neoliberalisme dengan memakai indikator kemiskinan seperti lemahnya pengaturan pendapatan individu, sedangkan ukuran kemiskinan yang dipakai oleh teori sosial demokrat memakai pendekatan relatif dalam kaitannya dengan kebutuhan seseorang di masyarakat. Berdasarkan tolok ukur ini orang yang tergolong miskin berdasarkan kedudukan mereka dengan memperhatikan tingkat perbedan kehidupannya dibandingkan dengan rata-rata mutu kehidupan yang berlaku umum. Hal ini seperti disajikan pada Tabel 2.5.
69
Tabel 2.5 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan No 1
Sumber Nehen (2012)
Variabel Kemiskinan
Fasilitas umum Budaya 2
Papilaya (2013)
Budaya
Situasional
3
BPS (2008)
Kebijakan pembangunan Globalisasi
Indikator 1) Rendahnya pendidikan 2) Terbatasnya kesempatan kerja 3) Pendapatan rendah 4) Tidak tersedia layanan kesehatan 5) Air bersih 6) Listrik 7) Susah merubah kebiasaan lama 8) Rendahnya motivasi kerja 1) Rendahnya upaya meninggalkan kebiasaan lama 2) Rendahnya keterampilan 3) Pengaruh lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi 4) Terjadinya ketimpangan distribusi 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 1) 2) 3) 4) 1) 2) 3)
Melahirkan negara pemenang Hegemoni ekonomi Kemiskinan di negara sedang berkembang Negara miskin sebagai negara kalah Pola Pembangunan tidak seimbang Pembangunan Masyarakat tidak siap berpartisipasi Masyarakat terpinggirkan Tercabut akar budaya Kehilangan hak kepemilikan Tanah terjual Masyarakat menjadi miskin Sosial Kemiskinan kelompok dalam masyarakat Kemiskinan anak-anak, kelompok minoritas Bias gender, diskriminasi, exploitasi ekonomi Konsekuensial Terjadi konflik Bencana alam Kerusakan lingkungan Tingginya jumlah penduduk 4 Bapenas (Harniati, Ekonomi Keterbatasan pangan 2010) Keterbatasan akses terhadap tanah Fasilitas Terbatasnya akses dan mutu layanan umum kesehatan 4) Sarana pendidikan yang susah didapat 5) Layanan perumahan yang terbatas 6) Terbatasnya layanan air bersih Sumber daya 7) Kondisi lingkungan yang buruk alam 8) Sumber daya alam yang terbatas Kemiskinan 9) Sarana pendidikan sulit didapat 10) Kesempatan kerja terbatas Sosial 11) Tidak ada jaminan rasa aman 12) Terbatasnya akses partisipasi 13) Besarnya beban kependudukan Sumber : Nehen (2012), Papilaya (2013), BPS (2008), Bapenas (Harniati, 2010)
70
Tabel 2.6 Kedudukan Penelitian Diantara Peneliti-peneliti yang Lain Variabel No
Peneliti
Tahun
Sosial Budaya
Pendapatan Masyarakat
Pertumbuhan Ekonomi
Pelayanan Produk
Kesejahteraan masyarakat
Kesempatan Kerja
Devisa
Investasi
1
Anwar
2012
2
Karim et. al
2012
3
Word
2005
4
Spencely dan Self
2013
5
Ashley et.al
2001
6
Nurhidayati
2012
7
Ramadani
2012
8
Ashal
2008
9
Gibson
2009
10
Eyben et. al
2008
11
Tosun
2003
12
Scheyvens dan Momsen
2008
13
Torres dan Momsen
2004
14
Cattarich
2001
15
Wahyudi
2007
16
Made Patera
2015
Indeks Kedalam Kemiskinan
Indeks Keparahan Kemiskinan
Rasio Gini
71
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir disusun dari abstraksi teoritis dan kajian penelitian terdahulu didukung oleh kajian empiris induktif terkait dengan perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung. Terus meningkatnya kunjungan wisatawan, lama tinggal dan besarnya pengeluaran wisatawan memberi peluang kegiatan ekonomi yang berdampak positif terhadap kinerja perekonomian dan terhadap pengentasan kemiskinan sebagai indikator keberhasilan di Kabupaten Badung. Kontribusi Perdagangan, Hotel dan Restauran (PHR), penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya investasi dibidang pariwisata yang disumbangkan kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Badung, menempatkan Kabupaten Badung sebagai kabupaten dengan pertumbuhan tertinggi di sektor perekonomian di Bali (BPS Badung, 2014). Sebagai kabupaten terkaya sekabupaten/kota di Bali, pemerintah Kabupaten Badung memanfaatkan pendapatan dari sektor pariwisata untuk pembangunan infrastruktur dan peningkataan prasarana. Sedangkan pendapatan yang diterima langsung oleh masyarakat
berdampak terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut World Bank (2013: 7-9), pengembangan pariwisata membuka berbagai peluang melalui masuknya investasi sebagai
pendorong
pertumbuhan
ekonomi,
terbukanya
lapangan
kerja,
meningkatnya pendapatan pemerintah melalui sektor pariwisata, khususnya terhadap meningkatnya pendapatan devisa bagi pembangunan bangsa.
71
72
Berbagai penelitian yang dilakukan di negara-negara berkembang membuktikan bahwa apabila strategi pengelolaan pariwisata diarahkan kepada keberpihakan kepada orang miskin (pro poor tourism) maka pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Hall, 2007: 1-2; Muhanna, 2007: 37-38; Mitchel dan Faal, 2007: 463; Guo, 2008: 3; Scheyvens dan Momsen, 2008: 24; Goodwin, 2008: 869). Strategi lainnya adalah lebih terfokusnya kepada orientasi pembangunan pariwisata dengan cara memperpendek mata rantai distribusi hasil pariwisata. Cara ini akan dapat mengoptimalkan peranan dari pertumbuhan pariwisata dalam pengentasan kemiskinan. Misalnya memfasilitasi masyarakat lokal dengan wisatawan dalam penyediaan kebutuhan wisatawan atau dalam pengembangan daerah tujuan wisata yang lebih menarik dan menguntungkan masyarakat lokal (Hill et al 2006: 164; Mograbi dan Rogerson, 2007: 86; Harrison, 2008: 854-856). Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat lokal didalam proses pengambilan keputusan tentang kegiatan pariwisata yang sesuai dengan ketersediaan dan kapasitas sumber daya setempat (Selinger, 2009; Ashley dan Hayson, 2006; dan Ashley dan Roe, 2002: 4-6). Sedangkan pertumbuhan pariwisata secara berkelanjutan dapat diketahui dari apakah masyarakat secara langsung dapat menikmati hasil pariwisata dan merasakan peningkatan kesejahteraan mereka secara terus menerus. Pemerintah dan para pemangku pariwisata harus mampu mengimplementasikan kebijakan pariwisata berbasis masyarakat (commnity based tourism) secara konsisten. Penerapan pariwisata model ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat melalui pemberian pelatihan praktis di bidang pariwisata, tentang peningkatan kinerja, dan
73
secara finansial memberikan dukungan bagi kredit usaha, rencana pengembangan usaha, produk wisata dan tentang pemasaran pariwisata. Dalam keterbatasan masyarakat seperti tentang rendahnya kompetensi dan teknis pengelolaan bisnis pariwisata, masyarakat perlu diberi pembinaan sehingga pengembangan pariwisata dapat berjalan lebih cepat (Muhanna, 2007: 39; Karim et al 2012: 3-4). Untuk
mewujudkan
gagasan
peningkatan
sumberdaya
manusia
untuk
pengembangan pariwisata diperlukan pemberdayaan masyarakat untuk merubah pola pikir dari seorang penonton menjadi pelaku aktif dalam dunia pariwisata. Masyarakat diberikan pelatihan dan pendampingan secara berkesinabungan. Pengembangan pariwisata berbasiskan masyarakat wajib dilakukan melalui pemberian pelatihan praktis tentang peningkatan kinerja dan memberikan dukungan finansial berupa kredit untuk pengembangan usaha. Optimalisasi sumber daya manusia di daerah pengembangan wisata lokal yang masih tertinggal perlu dilakukan untuk mendapatkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mampu bersaing untuk meningkatkan kesempatan kerja, sehingga jumlah masyarakat miskin menjadi berkurang. Berbeda dengan bentuk pengelolaan pariwisata dalam skala besar yang mengandalkan kekuatan kapital, alternatif dari konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan pola padat karya lebih sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat lokal dan secara ekonomis akan mengutungkan masyarakat itu sendiri. Model pariwisata berbasis masyarakat lebih tahan uji dalam menghadapi terjadinya krisis ekonomi (Mitchel dan Faal, 2007; Mograbi dan Rogerson, 2007: 88). Strategi yang dipandang efektif untuk merealisasikan suatu kebijakan jika
74
dikelola dengan tepat akan mampu mengurangi kemiskinan, diantaranya dengan melibatkan pemerintah dan memberdayakan
masyarakat
melalui proses
perencanaan dan pemecahan masalah seperti disajikan pada Gambar 3.1
Pariwisata Mendatangkan pendapatan bagi pemerintah daerah dan masyarakat
Masyarakat Jumlah penduduk miskin yang turun naik, terutama sejak krisis ekonomi tahun 1998 Kebijakan Swasta
Kebijakan Pemerintah
Peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Badung
Teori 1. NeoLiberalisme 2. Kemiskinan 3. Pemberdayaan Konsep 4. Pariwisata 5. Pro Poor Tourism 6. Community Based Tourism
Masalah 1 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian Teori/Konsep : 1/ 4 Masalah 2 Pengaruh kinerja perekonomian terhadap tingkat kemiskinan Teori : 1 & 2 Masalah 3 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap tingkat kemiskinan Teori /Konsep: 1& 2/5
Masalah 4 Strategi peningkatan peran pariwisata dalam pengetasan kemiskinan Teori/Konsep : 3/4, 5&6
Strategi Rekomendasi
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
P
L
S
SWOT
75
Kerangka berpikir penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pemerintah Kabupaten Badung mendatangkan pendapataan terbesar dari hasil pariwisata jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Bali. Hasil pariwisata juga dinikmati secara langsung oleh masyarakat Badung. 2) Dari besarnya pendapatan Kabupaten Badung ternyata masih terdapat jumlah penduduk miskin yang belum dapat dituntaskan oleh pemerintah. 3) Melalui pendekatan teori dan konsep pariwisata dikaji secara lebih mendalam keberadaan kemiskinan dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan di Kabupaten Badung. 4) Dikaji apa saja peran pemerintah dan swasta di dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung 5) Untuk mengungkap lebih dalam dampak penelitian terhadap kemiskinan di Kabupaten Badung dipakai pendekatan kuantitatif dengan analisis PLS (Partial Least Square) dan pendekatan kualitatif dengan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat). 6) Temuan penelitian diharapkan akan menghasilkan strategi baru tentang peran pariwisata yang orientasinya berpihak kepada orang miskin (pro poor tourism) di Kabupaten Badung 7) Pembahasan hasil penelitian dibuatkan simpulan dan dibuatkan saran untuk dijadikan rekomendasi sebagai pedoman pemerintah dan swasta sebagai
panduan
didalam
menerapkan
kebijakan
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung.
baru
terhadap
76
3.2 Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian dibentuk berdasarkan uraian yang terdapat pada kerangka berpikir. Kemudian berdasarkan kerangka berpikir tersebut dapat dibentuk sebuah model penelitian seperti disajikan pada Gambar 3.2 dan selanjutnya diikuti dengan rumusan hipotesis.
X2.1 Pertumbuhan PDRB
X1.1 Kunjungan Wisatawan
X2.2 Penyerapan tenaga kerja
X2.3
Investasi
Kinerja Perekonomian (X2)
X1.2 Kontribusi PHR Perkembangan Pariwisata (X1)
Kemiskinan (Y)
X1.3 Lama tinggal Wisatawan X1.4
Pengeluaran Keterangan: Wisatawan
Y1.1 Jumlah Penduduk Miskin
Y1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan
Y1.3 Indeks Keparahan Kemiskinan
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dapat dijelaskan sebagai sebuah keterkaitan antara perkembangan pariwisata, kinerja perekonomian dan kemiskinan. Dengan perencanaan strategis dan terintegrasi pro poor tourism dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian dan kesejahteraan masyarakat (Spenceley dan Seif, 2003). Jumlah kunjungan, lama tinggal dan pengeluaran wisatawan merupakan indikator perkembangan pariwisata berdampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian.
77
Sedangkan indikator peningkatan kerja perekonomian lainnya berupa: (1) naik tutunnya peningkatan investasi (2) pendapatan yang diterima sektor pariwisata (3) bertumbuhnya penyediaan layanan wisata, (4) besarnya kontribusi pariwisata terhadap pertumbuhan produk domesik bruto dan (5) sejuh mana meningkatnya penanaman modal terhadap perkembangan pariwisarta (Brida et al 2008). Menurut Athanasopoulou (2013:7-16), indikator pariwisata lainnya yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan perdagangan, peningkatan kegiatan export import antar negara dan penyediaan tenaga ahli (skilled labour). Karim, et al (2012) melakukan penelitian tentang perkembangan pariwisata
mengatakan
bahwa
pariwisata
Pakistan
berdampak
terhadap
pengentasan kemiskinan melalui peningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diterima dari peningkatan Gross Domestic Product (GDP), peningkatan ekspor dari produk-produk pariwisata seperti kerajinan tangan dan dari produk industri lainnya serta melalui pendapatan pajak dari kegiatan ekonomi pariwisata. Ashley et al (2001) dalam penelitian yang dilakukan negara sedang berkembang seperti Afrika Selatan, Namibia, Uganda, St Lucia, Ekuador dan Nepal menyatakan bahwa dari sintesa terhadap temuan studi yang diteliti menunjukkan bahwa pariwisata berperan terhadap terbukannya kesempatan kerja baru, bertumbuhnya perekonomian mikro. Pertumbuhan ekonomi mikro berdampak
langsung
terhadap
peningkatan
dan
pemerataan
pendapatan
masyarakat dan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Dampak pariwisata terhadap peningkatan kinerja perekonomian didukung oleh konsep community based tourism (Tasci, et al, 2013: 10-11); Joppe (1996: 475) dan
78
Armstrong (2012: 2). Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa dampak pengembangan pariwisata di dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan pelestarian lingkungan dan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat.
3.3 Hipotesis Hipotesis adalah rumusan jawaban sementara terhadap suatu masalah penelitian yang atau masih belum diketahui atau berupa praduga dan harus dibuktikan kebenarannya dengan data penelitian. Berdasarkan kerangka konsep yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat di buat hipotesis sebagai berikut: 3.3.1 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian Pariwisata sebagai sebuah industri dengan pertumbuhan dinamis bergerak diberbagai bidang layanan seperti layanan transportasi, agen perjalanan dan biro perjalanan wisata, akomodasi, perdagangan dan sektor terkait lainnya pariwisata merupakan sumber utama pendapatan devisa. Semakin meningkatnya jumlah kunjungan
dan
pengeluaran
wisatawan
berdampak
terhadap
kinerja
perekonomian. Dalam Evaluating the Contribution of Tourism to Ecomonic Growth, Brida, et al (2007), menyatakan bahwa tidak mudah menghitung pengaruh pariwisata terhadap perkembangan perekonomian. Catatan ini bertolak belakang dengan beberapa penelitian yang menyatakan sebaliknya seperti yang dikatakan oleh Wall dan Matheison (2006: 7-78) bahwa peran pariwisata mendorong pertumbuhan ekonomi di negara maju dan juga di negara sedang berkembang dan hasil penelitian Del Corpo et al (2008: 4-5) di Eropa tentang pariwisata abad ke 21 menyatakan bahwa pariwisata akan bertumbuh semakin besar dan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di benua Eropa. Hal ini
79
dimungkinkan terjadi akibat dari semakin bertumbuhnya sektor wisata urban di Eropa didukung oleh meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk diatas umur enam puluh tahunan dan yang memungkinkan mereka mengambil waktu liburan semakin semakin panjangnya dan tersedianya harga tiket pesawat terbang murah. Rumusan hipotesis sebagai berikut: H 1:
Perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian.
3.3.2 Pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan Pertumbuhan ekonomi menurut Rodrick (2007) secara historis merupakan salah satu solusi yang ditempuh untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Sedangkan pernyataan Fields (2007) dalam Economic, Labor Markets, and Poverty Reduction selanjutnya mengkonfirmasi bahwa pertumbuhan okonomi sangat terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk mereka yang berada dalam keadaan yang paling miskin. Menurut Dahlquist (2013), penelitiannya “Does Economic Growth Reduce Poverty” (Apakah pertumbuhan Ekonomi Mengurangi Kemiskinan) menyatakan terhadap
korelasi
pertumbuhan
ekonomi
dan
pengurangan
kemiskinan,
pertanyaannya adalah instrumen apa yang harus dilakukan untuk mendistribusikan agar hasil dari pertumbuhan ekonomi memberi keuntungan kepada semua orang. Pemberian beasiswa melalui CSR yang dilakukan pemerintah dan swasta seperti oleh Bank Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, PT Pertamina, sedangkan secara spesifik dalam ahubungan kinerja ekonomi perusahan yang bergerak dibidang pariwisata seperti BTDC Nusa Dua memberikan beasiswa kepada
80
SMAKN dan Ramayanan hotel memberikan beasiswa kepada SMP Sunariloka (Bappeda Badung, 2014). Sedangkan menurut Krongkaew et al (2006), yang meneliti tentang hubungan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan (economic growth, employment, and poverty reduction) di Thailand menyatakan bahwa dampak pertumbuhan perekonomian terhadap kemiskinan terlihat seperti berikut: “it is almost universally accepted that economic growth is a necessary condition that brings about an increase in income, which, in turn, pushes people out of poverty” (secara universal bisa diterima bahwa pertumbuhan ekonomi bisa dipastikan memberi dampak meningkatnya pendapatan, yang menyebabkan berkurangnya kemiskinan). Hipotesisnya dirumuskan sebagai berikut: H 2:
Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan
3.3.3 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan Penelitian Hall (2007:1-2), Mitchel dan Faal, (2007:563) dan Guo (2008:3) tentang pro poor tourism yaitu sebuah model pengelolaan pariwisata yang berpihak kepada orang miskin menyatakan bahwa pengalaman yang dilakukan di negara-negara berkembang membuktikan bahwa hasil pengelolaan pariwisata berdampak terhadap meningkatkatnya kesejahteraan masyarakat Hasil penelitian Mograbi dan Rogerson (2007: 86), Hill et al (2006: 164) dan Harrison (2008: 854-856) menyatakan bahwadengan memberdayakan masyarakat secara partisipatif dalam pengadaan produk hasil pertanian untuk kebutuhan pariwisata, memungkinkan mereka untuk mendapatkan hasil dari pekerjaannya untuk meningkatan kesejahteraan. Ashar (2008) sejalan dengan Hill et al (2006: 164),
81
Mitchael dan Faal (2007: 563) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam pro poor tourism memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata. Kesempatan mendapatkan pekerjaan dan pendapatan lebih baik merupakan keuntungan langsung (direct benefits) yang diterima orang miskin. Hipotesisnya dirumuskan sebagai berikut: H 3:
Perkembangan Pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan
82
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode gabungan antara metode kuantitatif dengan metode kualitatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan (Creswell, 2010: 22) dan Jonker et al (2011: 88) menyatakan bahwa dengan semakin kompleksnya masalah penelitian, memakai metode gabungan kualitatif dan kuantitatif dalam satu penelitian akan saling memperkuat satu sama lainnya, dari pada menggunakan hanya satu metode penelitian secara terpisah. Dalam penelitian ini hasil penelitian kualitatif dipakai untuk mendukung hasil penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui pengambilan data sekunder dari sumber data yang tersedia di Kantor Statistik, Kantor Satuan Kerja Peringkat Daerah Badung dan beberapa tulisan terkait dengan penelitian yang tersedia di instansi lainnya. Data yang tersedia diolah dengan analisis statistik inferensial menggunakan Partial Least Partial (PLS). Hasil pengujian hipotesis dipakai mengkonfirmasi hasil penelitian dan teori-teori yang dirujuk (Jennings, 2001: 35; Denzin dan Lincoln, 2009; 1-4; Tewksbury, 2009; Babbie, 2005: 389-390). Pendekatan kualitatif juga dilakukan dalam penelitian ini karena sebagian dari permasalahan yang diteliti dilakukan melalui penelusuran (ekplorasi) secara deskriptif, melalui observasi, wawancara mendalam (in-depth interview), peneliti sebagai instrumen kunci (key instrument) melakukan penelitian ke lapangan. Untuk mengetahui karakteristik kemiskinan dipakai statistik deskriptif bertujuan untuk mengkorfirmasi hasil analisis kuantitatif. Langkah berikutnya dengan
82
83
melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion)
untuk
mengeksplorasi masalah yang spesifik, berkaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan. Pendekatan kualitatif menurut (Moleong, 2002: 9-11; dan Jennings, 2001: 210-211) sebagai sebuah paradigma fenomenologis dengan menggunakan metode induktif untuk mengungkap keterkaitan dari berbagai faktor untuk mendapatkan temuan dijadikan konsep dasar untuk menciptakan grounded theory.
4.2 Lokasi, Waktu dan Obyek Penelitian Penelitian dilakukan di daerah tujuan wisata berbeda yaitu di Kabupaten Badung Selatan, di Kecamatan Kuta Selatan yaitu di daerah Pecatu dan Jimbaran dan di daerah Badung Utara, di Kecamatan Petang desa Plaga dan Belok Sidan. Penelitian dampak pariwisata terhadap kemiskinan dilakukan selama bulan Oktober 2014-Juni 2015 dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Kecamatan Kuta Selatan Desa Pecatu merupakan daerah kegiatan pariwisata intensif yaitu pertumbuhan beragam kegiatan pariwisata dalam skala lokal, nasional sampai skala internasional dengan karakteristik pantai dan tebing yang indah dan udara hangat. Daerah ini berkembang dengan cepat, menjadi incaran investor untuk pembangunan diberbagai aspek pariwisata. Sebelum berkembangnya pariwisata Pecatu, sebagian besar masyarakat pecatu hidup dengan bertanam padi tadah hujan dan palawija. Jumlah masyarakat miskin di Pecatu pada tahun 2011 sebanyak 144 RTM (BPS Badung, 2014) termasuk kemiskinan absolut 31 RTM, ditambah miskin dan hampir miskin sebanyak 113 RTM. Kondisi ini menyebabkan banyak masyarakat Pecatu mengikuti program transmigrasi ke daerah Sulawesi. Setelah masuknya UNUD ke Bukit
84
dan dikembangkannya The Nusa Dua Area Development Plan pada tahun 1973, barulah daerah Pecatu menjadi alternatif pengembangan pariwisata. Sedangkan Desa Jimbaran yang terkenal dengan potensi pantai Jimbaran sebagai pusat sea food kuliner di Badung, memiliki hotel bertaraf internasional dan dekat dengan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, memiliki 550 pengusaha pelaku bisnis pariwisata mulai dari sektor ekonomi mikro sampai pengusaha hotel bertaraf internasional. Desa Jimbaran menurut Lurah Bapak I Ketut Rimbawan sejak tahun 2015 masih memiliki 13 RTM. 2) Berbeda dengan Kuta Selatan, Kecamatan Petang dengan Desa Plaga dan Desa Bilok Sidan sebagai daerah pariwisata non intensif dengan pertumbuhan pariwisata terbatas pada agro wisata. Dengan karakteristik pegunungan dengan udara sejuk dan kehidupan masyarakatnya tergantung dari pertanian, peternakan, perikanan dan pengelolaan sumber daya alam lainnya. Desa Plaga memiliki 619 RTM terdiri dari 136 RTM absolut, 236 RTM miskin dan 248 RTM hampir miskin dan Desa Bilok Sidan memiliki 400 RTM terdiri dari 189 RTM absolut, 144 RTM miskin dan 67 RTM hampir miskin.Kecamatan Petang di Badung utara khususnya Desa Plaga mempunyai potensi besar hasil pertanian sebagai pusat penghasil sayur asparagus dikelola oleh Koperasi Tani Mertanadi dengan jumlah anggota 105 orang. 3) Lokasi penelitian empat desa dimaksud di Badung Utara maupun Badung Selatan belum pernah dilakukan penelitian tentang peran pariwisata atau penelitian sejenis lainnya terhadap pengentasan kemiskinan. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.1
85
Tabel 4.1 Lokasi Penelitian Kabupaten
Badung
Kecamatan Kuta Selatan Petang
Desa
Kecamatan / Desa
Pecatu Jimbaran Pelaga
Pariwisata Intensif Pariwisata Intensif
Belok/Sidan
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian
Non
86
4.3 Variabel Penelitian 4.3.1 Identifikasi Variabel Variabel atau faktor adalah sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan dan berperan sangat penting dalam suatu penelitian. Berdasarkan masalah dan hipotesis penelitian dapat diidenfikasi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Variabel independen (variabel bebas) yaitu Perkembangan Pariwisata (X1). Variabel ini mempengaruhi atau menjadi penyebab terjadinya perubahan atau yang mempengaruhi variabel lain. Variabel ini juga sering disebut dengan variabel eksogen. Dalam analisis multivariat variabel sering disebut dengan konstruk. 2) Variabel independen kedua (varibel bebas) yaitu Kinerja Perekonomian (X2), Variabel ini mempengaruhi variabel lain yaitu variabel Kemiskinan. 3) Variabel dependen (variabel terikat) yaitu variabel Kemiskinan (Y), variabel yang
dipengaruhi oleh variabel lain yaitu Perkembangan Pariwisata dan
Kinerja Perekonomian. Variabel ini sering juga disebut dengan variabel endogen. 4.3.2 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian adalah: 1) Perkembangan Pariwisata, dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian yang telah dilakukan oleh Theobald (2005: 163-165), Shilcher (2007: 58), Burn dan Holden (1995: 40-141), Selinger (2009: 3-4) dan Tasci et al (2013: 3-4), adapun indikator yang diukur adalah:
87
a) Jumlah Kunjungan Wisatawan yaitu jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara. b) Kontribusi PHR yaitu kontribusi pajak dari hotel dan restoran. c) Lama Tinggal Wisatawan
yaitu rata-rata lama tinggal wisatawan
mancanegara dan nusantara di Kabupaten Badung. d) Pengeluaran Wisatawan yaitu rata-rata pengeluaran wisatawan mancanegara dan nusantara selama menginap dan berwisata di Badung, kecuali biaya pesawat udara. Penelitian Irawan (2013) tentang “Analisis Faktor Penentu Pengeluaran Wisatawan Melalui Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan Di Provinsi Kalimantan Tengah” menyatakan bahwa: frekuensi kunjungan wisatawan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran wisatawan, lama tinggal wisatawan berpengaruh langsung dan signifikan terhadap pengeluaran wisatawan. 2) Kinerja Perekonomian Konsep kinerja perekonomian yang digunakan adalah penelitian Wall dan Mathieson (2006:77-78), Richardson (2010:1) dan Athanasopoulou (2013: 7-16). Adapun indikator-indikator yang diukur adalah: a) Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto, berupa besarnya peningkatan PDRB yang dihitung dari kinerja perekonomian sebagai dampak dari kegiatan pariwisata dan perdagangan. b) Penyerapan Tenaga Kerja yaitu jumlah keseluruhan tenaga kerja yang diserap oleh lapangan usaha.
88
c) Investasi yaitu jumlah besarnya investasi yang dicatat setiap tahunnya sebagai dampak dari kinerja pariwisata. 3) Kemiskinan Konsep kemiskinan didasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Laderchi et al (2006), BPS Bali (2012: 493), Nehen (2012: 201-203), Papilaya (2013: 43-46), Zastrow (2008:237). Indikator yang diukur adalah: a) Jumlah penduduk miskin yaitu jumlah penduduk miskin yang didapat dari data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. Sedangkan orang miskin adalah mereka yang tingkat pendapatannya lebih rendah dari garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) di Kabupaten Badung tahun 2013 setara dengan 2100 kilo kalori untuk makanan ditambah 54 non makanan atau Rp. 406.408/kapita/bulan. b) Indeks Kedalaman Kemiskinan berupa ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran
masing-masing
penduduk
miskin
terhadap
garis
kemiskinan. Semakin besar nilai indeks kedalaman kemiskinan, semakin jauh jarak kemiskinan atau semakin jelek kemiskinan itu. Semakin kecil nilai indeks kedalaman kemiskinan, ia akan semakin mendekati ke garis kemiskinan atau kemiskinan itu semakin membaik. Indeks Kedalaman Kemiskinan 1,01% atau selisih dalam persen terhadap kemiskinan yaitu: selisih jarak antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan sebesar 1,01% dibawah GK. c) Indeks Keparahan Kemiskinan yang disebut varian antara pendapatan masing-masing penduduk miskin yaitu: gambaran tentang penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin yang semakin heterogen dari
89
yang sangat miskin sampai miskin. Apabila varian kemiskinan makin besar berarti kemiskinan heterogen sekali, ada yang sangat miskin sampai ke fakir miskin. Kondisi ini semakin menyusahkan pemerintah mengentaskan kemiskinan. Adapun konstruk atau variabel, indikator dan sumber penelitian disajikan pada Tabel 4.2 Tabel 4.2 Deskripsi Konstruk/Variabel, Indikator , Skala Pengukuran dan Sumber Referensi Jenis Konstruk
Eksogen
Eksogen
Nama Konstruk/ Variabel /Simbol Perkembangan Pariwisata (PP) atau X1
Kinerja Perekonomian (KP) atau X2
Jumlah Indikator
4
3
Indikator/ Parameter/Simbol
Jumlah Kunjungan Wisatawan(X1.1)
Kontribusi PHR (X1.2)
Lama Tinggal Wisatawan (X1.3)
Pengeluaran Wisatawan (X1.4)
Pertumbuhan PDRB (X2.1)
Skala
Sumber
Rasio
Theobald (2005: 163165), Shilcher (2007:58), Burn dan Holden (1995:140141), Selinger (2009:3-4) dan Tasci et al (2013:3-4)
Rasio
Wall dan Mathieson (2006:77-78), Richardson (2010:1) dan Athanasopoulou (2013:7-16).
Rasio
Laderchi et al (2006), BPS Bali (2012: 493), Nehen (2012: 201203),Papilaya (2013: 4346),Zastrow (2008:237). BPS Badung (2014)
Penyerapan Tenaga Kerja (X2.2)
Investasi (X2.3)
Endogen
Kemiskinan (KM) atau Y
3
Jumlah penduduk miskin (Y1)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Y2) Indeks Keparahan Kemiskinan (Y3)
BPS Badung (2014)
90
4.4 Jenis dan Sumber Data 4.4.1 Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif dengan uraian sebagai berikut: 1) Data kuantitatif Yaitu data berupa informasi yang berbentuk bilangan, memiliki satuan hitung dan nilainya dapat berubah-rubah atau bersifat variatif seperti: jumlah kedatangan wisatawan, lama tinggal ataubesarnya jumlah pengeluaran mereka. Data kuantitatif diperoleh dari dokumen yang tersedia di kantor BPS Kabupaten Badung yang terkait dengan tujuan penelitian yaitu : Bappeda Kabupaten Badung, BPS Provinsi Bali, dan BPMPD Provinsi Bali. 2) Data kualitatif Yaitu jenis data yang tidak dalam bentuk angka dan tidak mempunyai satuan hitung, tetapi berupa ciri-ciri, sifat, keadaan atau gambaran dari obyek yang diteliti. Data kualitatif dicatat dari informasi yang diperoleh langsung dari informan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan terbuka saat melakukan interview dan diskusi kelompok dengan informan. 4.4.2 Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder dengan pertian sebagai berikut: 1) Data Primer Data primer didapat melalui : (1) observasi lapangan terhadap daerah yang diteliti untuk mendapatkan gambaran umum tentang
91
pariwisata dan kemiskinan sebelum turun kelapangan untuk melakukan penelitian di Desa Plaga dan Desa Bilok Sidan di Kecamatan Petang, dan Desa Jimbaran dana Desa Pecatu di Kecamatan Kuta Selatan, (2) melalui wawancara didapatkan informasi tentang kondisi kemiskinan di desa masing-masing dan, (3) melalui FGD didapatkan informasi terkini tentang potensi desa dan kelemahannya untuk merancang strategi pengembang pariwisata dan pengentasan kemiskinan dimasing-masing desa. 2) Data Sekunder Yaitu data yang sudah tersedia sebagai referensi penunjang penelitian diperoleh dari sumber tidak langsung yaitu: (1) Indikator Pengembangan Pariwisata terdiri dari: Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Kabupaten Badung, Kontribusi PHR, Lama Tinggal Wisatawan, (2) Indikator Kinerja Perekonomian: terdiri dari
Pertumbuhan PDRB,
Penyerapan Tenaga Kerja dan Investasi, dan (3) Indikator Kemiskinan di Kabupaten Badung terdiri dari : Jumlah Penduduk Miskin, Presentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan. Data dari masing-masing selama 14 tahun (tahun 20002013) didapat dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Satuan Kerja Peringkat Daerah (SKPD) dan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
92
4.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui: 4.5.1 Observasi Tindakan yang dilakukan dalam observasi yaitu: (1) melakukan pengamatan awal dengan mencermati situasi di lingkungan lokasi penelitian secara langsung dan sistematis terhadap obyek-obyek yang diteliti, (2) mencatat fenomena atas setiap gejala penting untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang kejadian selama observasi, (3) menggunakan alat pembantu seperti kamera dan merekam kejadian yang terkait dengan tujuan penelitian. 4.5.2 Wawancara Mendalam (In-depth Interview) Wawancara mendalam dilakukan langsung untuk menggali pemaknaan dan persepsi narasumber tentang pariwisata dan kemiskinan di Desa Plaga dan Desa Bilok Sidan dari nara sumber Ibu Dewa Aji dan I Ketut Sueta di Desa Pecatu dan nara sumber I Made Rame (48 tahun) dan I Made Neka (75 tahun) di Desa Pecatu. Pokok-pokok pertanyaan yang dirancang berupa pertanyaan terbuka, mudah dimengerti, netral, dan tidak bersifat mengarahkan. Wawancara dilakukan terstruktur secara terus menerus hingga mencapai titik jenuh (saturated). Kriteria narasumber adalah mereka yang mampu memberi informasi seperti: (1) para pelaku usaha pariwisata, (2) pemerintah setempat yang memahami pariwisata, (3) tokoh masyarakat di lokasi pariwisata yang diteliti dan (4) akademisi, pemerhati dan penggiat masalah sosial dan aktivis lembaga swadaya masyarakat.
93
4.5.3 Studi Dokumen Dilakukan melalui pengamatan dan pengumpulan berbagai data yang diperlukan dan dapat dipercaya dari institusi yang terkait dengan penelitian. 4.5.4 Diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion) Diskusi kelompok terfokus merupakan salah satu panduan metode riset kualitatif untuk mendapatkan informasi dari permasalahan tertentu. Menurut Krueger dalam Babbie, (2005: 317) Focus Group Discussion dilakukan
melalui diskusi kelompok beranggotakan 6-8 orang. Dengan
pimpinan seorang atau dua orang moderator sebagai pemandu diskusi. Dalam FGD di Desa Plaga dan Bilok Sidan dihadiri oleh tokoh masyarakat setempat, pelaku pariwisata dan dipimpin oleh DR I Nyoman Sudiarta sebagai moderator. Sebelum FGD dimulai terlebih dahulu disiapkan dokumen panduan diskusi, alat pencatat dan perekam. Teknik ini menghasilkan data hasil cek silang yang lebih akurat terhadap data yang tersedia sebelumnya. FGD merupakan pola yang paling efektif untuk mendapatkan data kualitatif yang bermutu megenai permasalahan lokal yang bersifat spesifik. Selain teknik wawancara, Focus Group Discussion (FGD) merupakan salah satu metode riset kualitatif yang dilakukan melalui diskusi secara sistematis dan terfokus untuk membahas persoalan yang tidak pasti atau suatu
masalah yang tidak bisa digeneralisir dilakukan
secara exploratif. Lima keuntungan FGD yaitu: (1) merupakan metode penelitian sosial menyangkut realitas kehidupan dalam lingkungan sosial,
94
(2) bersifat lentur, (3) dengan kepastian tinggi, (4) memberi hasil lebih cepat dan (5) tidak memerlukan biaya tinggi. Hasil FGD dijadikan sebagai alat verifikasi bagi data yang tersedia untuk dibuatkan transkripnya sebelum dianalisis. Cooper dan Schlinder (2008: 171) menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil penelitian terbaik, narasumber yang dipilih haruslah orang-orang berkualitas dan memahami bidang yang diteliti. Fokus grup diskusi di Desa Pelaga dan Belok Sidan dilaksanakan di desa Bilok Sidan dengan informan kunci adalah I Ketut Sueta yang mengundang kepala desa Pelaga dan Bilok Sidan serta tokoh masyarakat dan Kelompok diskusi terfokus di desa Jimbaran dan Pecatu dilaksanakan di dua tempat yaitu di desa Jimbaran dan Pecatu. Informan kunci di desa Jimbaran adalah Kepala Desa Jimbaran dan Kepala desa Pecatu. Kegiatan kelompok diskusi diikuti oleh pemuka masyarakat dan tokoh pariwisata yang mengelola daya tarik wisata Uluwatu. 4.5.5 Pemilihan Informan Pemilihan informan di ke dua wilayah penelitian dilakukan dengan metode purposif sampling yaitu mereka yang dengan alasan tertentu dipilih dipilh menjadi informan dengan pertimbangan bahwa mereka mengetahui tentang permasalahan pariwisata dan kemiskinan di daerh penelitian. Jumlah informan yaitu masingmasing (3) tiga informan untuk wawancara mendalam (depth-interview) untuk mendapatkan hasil hasil wawancara sampai pada titik akhir dari penelususan secara mendalam (saturated) dan (5) lima informan untuk wawancara yang sifatnya lebih umum terkait dengan pemahaman informan tentang pariwisata,
95
kemiskinan dan pengetahuan lainnya. Untuk kegiatan diskusi kelompok, dipilih 9 (sembilan) tokoh masyarakat setempat, akademisi, dan pelaku pariwisata untuk FGD di Desa Pelaga dan Belok Sidan dan di Desa Jumbaran dan Desa Pecatu.
4.6 Metode Analisis Data Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas: 4.6.1 Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif dipergunakan untuk menjawab permasalahan pertama, kedua dan ketiga, dengan menggunakan analisis Partial Least Square (PLS). PLS sebagai alternatif Pemodelan Persamaan Struktural yang dasar teorinya lemah, bisa digunakan sebagai konfirmasi teori (Wold, 1966). Indikator Variabel Laten tidak hanya memenuhi untuk model reflektif, tetapi juga model formatif. Model reflektif adalah model yang variabel latennya bisa berupa hasil pencerminan indikatornya (faktor), dan Model Formatif yaitu model dimana variabel laten bisa dibentuk oleh indikatornya (Ghozali 2011: 7-17). Langkah-langkah analisis PLS adalah sebagai berikut: 1) Merancang model struktural (inner model) 2) Merancang model pengukuran (outer model). 3) Mengkonstruksi diagram jalur. 4) Konversi diagram jalur ke sistem persamaan. 5) Estimasi koefisien jalur, Loading dan Weight 6) Evaluasi Goodness of Fit 7) Pengujian hipotesis (Resampling Bootstraping).
96
Diagram jalur analisis PLS, digambarkan sebagai berikut: X2.1
X2.2
X2.3
Kinerja Perekonomian (X2)
X1.1
X1.2
X1.3
Kemiskinan (Y)
Perkembangan Pariwisata (X1)
X1.4
.
Y1 1
.
Y1 2
.
Y1 3
Gambar 4.2 Jalur Analisis PLS Keterangan: X1 : Perkembangan Pariwisata X1.1 : Jumlah kunjungan wisatawan X1.2 : Kontribusi PHR X1.3 : Lama tinggal wisatawan X1.4 : Pengeluaran wisatawan X2 : Kinerja Perekonomian X2.1 : Pertumbuhan PDRB X2.2 : Penyerapan tenaga kerja X2.3 : Investasi Y1 : Kemiskinan Y1.1 : Jumlah penduduk miskin Y1.2 : Indeks Kedalaman Kemiskinan Y1.3 : Indeks Keparahan Kemiskinan 4.6.2 Analisis Kualitatif Teknik analisis kualitatif dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah keempat yaitu bagaimana mengembangkan strategi peningkatan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Informasi atau data yang tersedia dianalisis melalui pendekatan Strength, Weakness, Opportunity dan
97
Threat (SWOT) dirancang dengan seksama melalui Focus Group Discussion (FGD) untuk mendapatkan persepsi tentang daerah yang diteliti untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai (Kreuger, 1944: p.6 dalam Wahyuni, (2015: 77). Selanjutnya menurut Merton dan Kendal (1946) dalam Wahyuni (2015: 78), FGD dapat dipergunakan untuk mencari data sebagai berikut: (1) Focus groups can help to generate hypotheses if researcher are exploring new territory (dapat membantu menghasilkan hipotesis bagi peneliti yang mengexplorasi tempat penelitian baru), (2) Focuss Group findings can help to interpret survey responses if the focus group are conducted mid-way through a mixed-mehod research project (dapat membantu memberikan gambaran tentang pendapat apabila focus group dilakukan dipertengahan jalan dengan menggunakan metode campuran), (3) Focuss group can offer insight into statistical findings-especially if undexpected outcomes occur (Vaughn et al 1996), (dapat membantu hasil penemuan statistik apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan) dan (4) Focus groups are often conducted to assist program development of evaluation (focus groups sering dilakukan untuk membantu mengevaluasi program pengembangan). Untuk
membantu
pencapaian
sasaran
yang
diinginkan
dengan
mengindentifikasi masalah-masalah internal yaitu tentang kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki, sedangkan tentang peluang (opportunity) dan ancaman (threat) didapat dari informasi external. Dari keseluruhan informasi yang sudah ditentukan untuk masing-masing kelompok, disusun strategi tentang implementasi program untuk pengentasan kemiskinan (Sutikno et al 2011). Strategi pengentasan kemiskinan disusun berdasarkan matriks SWOT yaitu : (1) Strategi SO, (2) Strategi ST, (3) Strategi WO dan (4) Strategi WT.
98
Keseluruhan analisis kualititatif dilakukan melalui FGD dilakukan sebanyak tiga kali yaitu di Desa Plaga Belok Sidan, di Desa Jimbaran dan di Desa Pecatu Peserta FGD ditentukan sesuai dengan kapabilitas mereka tentang pemahaman pariwisata. Di Desa Plaga dan Desa Bilok Sidan FGD dihadiri oleh tokoh masyarakat formal dan non formal yang memahami persoalan pariwisata dan kemiskinan, juga dihadiri oleh pimpinan kelompok sadar wisata didampingi dan oleh pelaku pariwisata yang terlibat langsung di masing-masing desa penelitian. FGD di Desa Jimbaran dan Desa Pecatu dihadiri oleh lurah, tokoh masyarakat akademisi, pelaku pariwisata dan direktur pengelola dari obyek wisata Uluwatu.
99
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Kabupaten Badung Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten diwilayah Provinsi Bali, berkembang dari sistem pemeritahan kerajaan sebelum era kolonial dengan nama Nambangan. Nama ini diciptakan I Gusti Ngurah Made Pemecutan akhir abad 18. Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Badung (2014) mencatat perselisihan masyarakat Sanur dengan pedagang cina Kwee Tek Tjiang yang menuntut kompensasi 3000 ringgit atas penjarahan barang dagangan dari kapalnya yang terdampar di pantai Sanur pada tanggal 27 Mei 1904. Ditolaknya tuntutan Gubernur Jenderal Van Hentz oleh Raja Badung I Gusti Ngurah Denpasar, menimbulkan ketegangan hubungan politik khususnya dengan Residen J. Escbach, kemudian G. Bruyn memunculkan Puputan Badung 20 September 1906. Pada awal kemerdekaan dibentuk pemerintahan Swatantra Tingkat II Badung dan pada masa Orde Baru berubah bentuk menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 1Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Madya (Kodya), Denpasar dengan status Kota Administratif sebagai pusat pemerintahan Badung ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Denpasar. Kabupaten Badung terpisah menjadi kabupaten yang berdiri sendiri, mencakup wilayah Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi dan Kuta. Kecamatan Kuta kemudian dimekarkan menjadi tiga wilayah yaitu Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta dan Kecamatan Kuta Selatan. Luas
99
100
wilayah Kabupaten Badung yang semula 520,73 Km2 berkurang menjadi 418,52 Km2seperti terlihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Luas Wilayah Kabupaten Badung Per Kecamatan Tahun 2013 No
Kecamatan
Luas Wilayah Jumlah Rata-rata Jiwa Kepala Per Kepala (km2) Persentase Keluarga Keluarga (%) 1 Kuta Selatan 101,13 24,16% 33.927 3,8 2 Kuta 17,52 4,19% 31.653 2,9 3 Kuta Utara 33,86 8,09% 29.821 3,8 4 Mengwi 82,00 15,59% 29.865 4,3 5 Abiansemal 69,01 16,49% 19.924 4,5 6 Petang 115,00 27,48% 6.697 4,0 Jumlah 418,52 100% 151.887 3,8 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Tahun 2014 Kabupaten Badung berkembang menjadi daerah dengan beragam layanan yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta seperti tersedianya pendidikan tinggi negeri dan swasta, layanan kesehatan melalui rumah sakit umum dan swastaberkualitas. Badung bertumbuh sebagai pusat kegiatan ekonomi di Bali bagian selatan didukung oleh pesatnya perkembangan pariwisata sebagai tulang punggung dari pertumbuhan ekonomi. Kabupaten Badung dengan penduduk yang multi etnis dari berbagai daerah di Indonesia hadir dengan tujuan untuk memanfaatkan tersedianya sarana pendidikan berkualitas dan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik akibat dari terbukanya pekerjaan di dunia pariwisata. Pembauran kehidupan sosial budaya masyarakat berbasis agama Hindu dengan masyarakat pendatang berasal dari suku dan agama berbeda dengan beragam pekerjaan berbeda dan sebagian besar pada usaha mikro mampu menjalin keharmonisan untuk menunjang Badung sebagai daerah tujuan wisata dunia.
101
5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Badung Secara geografis Kabupaten Badung merupakan salah satu dari sembilan Kabupaten dan Kota Provinsi Bali, dengan luas 418.52 Km2 atau 7,43% dari luas Pulau Bali dengan luas kewenangan pengelolaan wilayah laut seluas 466,20 Km2 disepanjang 81,3 km garis pantai dari Pantai Mengening Kecamatan Mengwi sampai dengan Pantai Tanjuang Benoa di Kecamatan Kuta Selatan. Memiliki iklim tropis dengan musim kemarau dan musim hujan diselingi oleh musim pancaroba. Laporan Akuntabilitas Kinerja Kabupaten Badung (BPS Badung, 2013) mencatat curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 373,6 mm dan curah hujan terendah 17,8 mm pada bulan Juli dengan suhu rata-rata 26,8c. Wilayah Kabupaten terletak antara 8°14"20"-8°50"48" Lintang Selatan dan 115o05"00" - 115°26"16" Bujur Timur. Badung berada pada posisi paling selatan dengan batas wilayah sebagai berikut: 1. Batas Utara
:
Kabupaten Buleleng
2. Batas Timur
:
Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar
3. Batas Selatan :
Samudera Indonesia
4. Batas Barat
Kabupaten Tabanan
:
Kabupaten Badung Utara terdiri dari daerah pegunungan dengan udara sejuk berbatasan dengan Kabupaten Buleleng. Badung bagian tengah merupakan daerah relatif datar, sebagian besar dimanfaatkan untuk persawahan, berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan Kotamadya Denpasar di sebelah Timur dan Kabupatan Tabanan bagian sebelah barat. Badung selatan merupakan dataran rendah dengan pantai berpasir putih berbatasan dengan Samudra Indonesia.
102
Kecamatan Petang memiliki wilayah seluas 115 Km2 (27,48%) merupakan wilayah yang paling luas di Kabupaten Badung Utara. Geografis Badung Utara sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan, dengan tebing-tebing curam, menjadi hulu dari beberapa sungai yang mengalir di Kabupaten Badung. Penggunaan lahannya hampir 85,4 % (9.827 ha) dari luas keseluruhan 11.500 ha berupa lahan pertanian dan 15 % (1.093 ha) diantaranya adalah lahan persawahan dengan teras-teras disepanjang lereng bukit, sisanya berupa hutan seluas 1.525 ha, dan permukiman 148 ha. Keseluruhan penduduk sebanyak 27.576 orang dengan mata pencaharian sebagian besar penduduk sejumlah 19.303 orang (70 %) sebagai petani. Mereka hidup terorganisir secara turun temurun, melakukan kegiatan dalam lembaga Subak yaitu sistem pertanian tradisional masyarakat Bali. Potensi wilayah Badung Utara sebagai masa depan agrowisata Bali telah dijadikan prioritas utama untuk melindungi dan menjaga kelesatarian wilayah pertanian di Desa Pelaga, Desa Bilok sebagai wilayah konsevasi di Kecamatan Petang dan sekitarnya. Pengembangan hutan rakyat yang telah ditetapkan sebagai kawasan penyangga perlu diperkuat sebagai strategi pengembangan Badung utara untuk mempertahankan kelestarian alam dan keberlangungan hidup masyarakat melalui: (1) pengendalian pemanfaatan ruang pada kawawan tangkap hujan dan kawasan resap air, (2) agro bisnis perlu dikembangkan melalui tata kelola pertanian yang terintegrasi melalui penyediaan sarana-prasarana produksi, pengolahan hasil pertanian, (3) membantu pemasaran dan dukungan dari lembaga keuangan (4) bekerjasama dengan perguruan tinggi berupa bantuan penyuluhan
103
dan penelitian, (4) pembinaan sumberdaya masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam mengelola sumberdaya alam yang tersedia. Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Badung untuk mencapai tujuan yang direncanakan, melalui pendekatan model sebagai berikut: (1) model Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Partisipatif Kondisi
Pedesaan
merupakan
metode
pendekatan
yang
memungkinkan
masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata. Hal ini sejalan dengan peran yang dilakukan oleh Universitas Udayana dalam program pelayanan masyarakat Petang membentuk kelompok Sadar Wisata untuk meningkatkan pemahaman tentang manfaat pariwisata bagi kehidupan masyarakat. Model PRA semakin meluas dilakukan sebagai landasan pembangunan di negara-negara berkembang
dan
diakui
kegunaannya
dalam
menganalisis
paradigma
pembangunan berkelanjutan dengan menempatkan manusia sebagai inti dalam proses dari pembangunan dimaksud. Peran manusia tidak hanya ditempatkan sebagai penonton tetapi sebaliknya, harus berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan dapat menikmati hasil pembangunan, (2) model entrepreneurship capacity building (ECB), yaitu kerjasama dengan menciptakan partner untuk membangun usaha-usaha mikro, bekerja sama dengan para ahli dengan memberikan pelatihan, akses pasar dan lembaga keuangan dan (3) model teknologi transfer (IT) yaitu model alih teknologi kemasyarakatan yang semakin
104
berkembang untuk membantu masyarakat didalam mengatasi masalah-masalah kehidupan. Secara garis besar kegiatan yang dilakukan dapat menjadi: (1) Usaha objek agrowisata stroberi organik dikembangkan secara kemitraan dengan masyarakat pemilik tanah, (2) Pemberdayaan pengolahan kuliner khas masyarakat setempatdikembangkan menjadi industri rumah tangga, (4) Pengembangan Unit Pengolahan Kopi fermentasi bagi Subak Abian, (5) Obyek wisata air terjun Nungnung, jalur tracking obyek agrowisata di perkebunan jeruk dan kopi dan Pura Pucak Mangu dikembangkan secara kemitraan dengan masyarakat setempat. Badung Selatan didukung wilayah: (1) Pecatu dengan pemandangan laut selatan yang eksotis dan Pura Uluwatu yang berkedudukan diatas tebing, (2) Pantai kuta dan Jimbaran dengan udara hangat dengan pesisir pantai landai dengan pemandangan sunset disenja hari menjadi daya tarik wisatawan, (3) didukung obyek-obyek wisata Garuda Wisnu Kencana Cultural Park sebuah taman wisata di Tanjung Benoa, pantai Dream Land pantai favorite bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Kecamatan Kuta Selatan dengan wilayah 101,13 Km2 (24,16%), telah berkembang menjadi tempat investasi dari sejumlah investor dengan penanam modal besar-besaran dengan dibangunnya hotel-hotel berstandar internasional seperti Bulgari Resort, Ayana, Alila Villas Uluwatu, The Edge Bali, Semara Luxury Villa Resorts dan lebih dari 30 (tiga puluh) hotel-hotel mewah lainnya sebagai sumber pendapatan pajak. Pesatnya perkembangan pariwisata di Kuta Selatan sekaligus menjadi penyumbang terbesar dari PDRB Badung dan dengan tersedianya hampir semua fasilitas pariwisata memperkokoh Badung Selatan sebagai pusat investasi bagi investor pariwisata internasional.
105
Untuk menghindari terdegradasinya lingkungan dan keindahan alam di Kabupaten Badung, pemerintah menyiapkan strategi optimalisasi pemanfaatan tata ruang kawasan seperti pengendalian pembangunan di kawasan rawan bencana. Sedangkan terkait dengan pelestarian pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development), pemerintah telah menyiapkan : (1) sistem jaringan transportasi terpadu untuk memudahkan pengguna transportasi menuju pusat-pusat kegiatan pariwisata, (2) pengembangan sarana-prasarana pariwisata untuk kemudahan wisatawan mencapai pusat-pusat pembelanjaan, (3) meningkatkan infrastruktur, serta obyek-obyek wisata berstandar internasional, (4) ruang-ruang tidak harmonis menuju kawasan pariwisata diperindah, dijadikan bernilai tambah sehingga bisa dinikmati oleh wisatawan.
5.1.2 Potensi Sarana dan Prasarana Kepariwisataan Beragam potensi kepariwisataan di Kabupaten Badung sesuai dengan ketentukan Undang-undang tentang Kepariwisataan Republik Indonesia seperti diatur dalam pasal 22 Nomor 10 tahun 2009 telah memenuhi persyaratan Kabupaten Badung sebagai sebuah destinasi wisata. Yang dipersyaratkan oleh undang-undang seperti pembangunan fisik, penyediaan dan pengelolaan fasilitas yang diperlukan untuk pariwisata tersedia di Kabupaten Badung. Pemerintah mencatat penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang dibangun menjadi pendukung terhadap peningkatan wisatawan mancanegara dan nusantara berkunjung ke Kabupaten Badung dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Kabupaten Badung,
106
telah diimbangi dengan penambahan jumlah akomodasi wisata dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Hotel melati dari 505 dengan 11.463 menjadi 778 buah dengan 28.330 kamar, Pondok Wisata meningkat dari 395 dengan 1.986 menjadi 837 buah dengan 3.372 kamar. Perkecualian terjadi pada hotel berbintang yang jumlahnya tidak berubah sebanyak 98 buah dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 dengan jumlah kamar sebanyak 16.360 kamar. Selain penambahan jumlah kamar hotel, peningkatan jumlah sarana pariwisata lainnya yang berkualitas meliputi rumah makan, bar dan restoran serta sarana angkutan wisata tirta, pengadaan jasa transportasi. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas layanan bagi tamu-tamu mancanegara. Selain itu pemerintah Kabupaten Badung memandang juga meningkatkan potensi agro wisata sebagai wisata alam dan pengembangan komoditi hasil budidaya pertanian di Badung utara. Untuk wisatawan nusantara obyek wisata Jembatan Tukad Bangkung di Petang, Pantai Pandawa di Kecamatan Kuta Selatan yang dikenal dengan sebutan pantai rahasia dengan latar belakang perbukitan dan ukiran batu kapur Panca Pandawa yang dinikmati oleh wisatawan dalam dan luar negeri.
5.1.3 Lokasi dan Jenis Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung Kabupaten Badung sangat kaya akan lokasi dan jenis daya tarik wisata yang tersebar di enam kecamatan, yaitu: (1) Kuta Selatan, (2) Kuta, (3) Kuta Utara, (4) Mengwi, (5) Abiansemal, (6) Petang, dan tersebar di lebih dari 15 kelurahan atau desa yang ada di kabupaten Badung. Adapun daya tarik tersebut terdapat di desa: (1) Pecatu, sebanyak lima daya tarik wisata, (2) Benoa memiliki
107
tiga daya tarik wisata, (3) Tanjung Benoa sebanyak tiga data tarik wisata, (4) Jimbaran memiliki dua daya tarik wisata, (5) Desa Plaga memiliki dua daya tarik wisata selebihnya (6) ungasan, (7) Jimbaran, (8) Tuban, (9) Legian, (10) Kerobokan, (11) Canggu, (11) Munggu, (2) Kapal, (13) Mengwi, (14) Baha, (15) Sangeh, (16) ) Petang , (17) Tibubeneng, dan (18) Sading serta (19) Legian.(20) Blahkiuh, masing masing memiliki satu jenis daya tarik wisata. Dari keseluruhan daya tarik wisatadi Kabupaten Badung yang berjumlah 33 lokasi sebanyak 21 lokasi atau 64 persen berada di wilayah Badung Selatan. Sebagian besar berupa obyek wisata alam terutama wisata pantai yang berada pada posisi strategis untuk berdirinya bermacam kelas dan kualitas hotel dan restoran. Keindahan beberapa pantai di Kabupaten Badung seperti pantai Kuta, Jimbaran, Siluban dan pantai Pandawa yang dikenal luas oleh wisatawan muda untuk berselancar antara bulan Juni sampai dengan September setiap tahunnya. Wisatawan berusia lebih lanjut yang sebagian besar merupakan wisatawan mancanegara dari Eropa Barat seperti para cendikiawan atau pemerhati budaya lebih tertarik dengan wisata budaya dan memilih tinggal di daerah yang lebih tenang seperti di Nusa Dua atau di daerah tujuan wisata di Sanur di Denpasar. Sedangkan wisatawan mancanegara yang tertarik dengan keindahan alam dan lingkungan seperti wisata alam seperti pengelolaan pertanian sebagian besar berkunjung ke wilayah Badung bagian utara di Kecamatan Petang dan sekitarnya, selain menikmati keindahan alam dan wisata agro,juga menikmati jenis wisata trekking, climbing dan bicycling. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 5.2
108
Tabel 5.2 Jumlah dan Jenis Daya Tarik Wisata (DTW) di Kabupaten Badung Tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama DTW Kawasan Luar Pura Uluwatu Pantai Suluban Pantai Nyanyang Pantai Padang-Padang Pantai Labuan Sait Pantai Batu Pageh Pantai Samuh Pantai Gerger Sawangan Pantai Nusa Dua Pantai Tanjung Benoa Pelestarian Penyu di Deluang Sari Tanjung Benoa Taman rekreasi Hutan bakau Pantai Jimbaran Garuda Wisnu Kencana (GWK) Pantai Kedonganan Pantai Kuta Water Bom Pantai Legian Pantai Petitenget Pantai Canggu Pantai Seseh Pura Sada Kapal Kawasan Luar Pura T. Ayun Desa Wisata Baha Bumi Perkemahan Blahkiuh Alas Pala Sangeh Tanah Wuk Air Terjun Nungnung Wisata Agro Pelaga Kawasan Luar Pura Pucak Tedung Pantai Brawa Kawasan Pura Keraban Langit Monumen Tragedi Kemanusiaan (MTK)
Jenis DTW Wisata Budaya Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam
Kecamatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan
Wisata Alam Wisata Alam Wisata Budaya Wisata Budaya Wisata Alam Wisata Buatan Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Alam Wisata Budaya Wisata Budaya Wisata Budaya Wisata Remaja Wisata Alam Wisata Remaja Wisata Alam Wisata Alam Wisata Budaya Wisata Alam Wisata Budaya Wisata Budaya
Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Kuta Kuta Kuta Kuta Utara Kuta Utara Kuta Utara Mengwi Mengwi Mengwi Abiansemal Abiansemal Abiansemal Petang Petang Petang Kuta Utara Mengwi Kuta
Lokasi Desa/Kelurahan Pecatu Pecatu Pecatu Pecatu Pecatu Ungasan Benoa Benoa Benoa T. Benoa T. Benoa T. Benoa Jimbaran Jimbaran Tuban Kuta Kuta Legian Kerobokan Canggu Munggu Kapal Mengwi Baha Blahkiuh Sangeh Sangeh Plaga Plaga Petang Tibubeneng Sading Legian
Sumber: Dinas Pariwisata Badung, 2014.
Lokasi wisata di Badung Selatan seperti Kuta, Legian, Nusa Dua dan Jimbaran terkenal dengan pesona alam pantainya, memiliki hampir semua fasilitas yang dibutuhkan pariwisata yang serba menjanjikan kepuasan wisatawan tersedia mulai dari yang datang untuk berselancar sampai kepada wisatawan tinggal di hotel bertaraf internasional. Tersedianya penginapan mulai dari budget hotel seperti hotel melati yang menjadi pilihan wisatawan low cost budget seperti penggemar surfing atau wisatawan setara lainnya, juga hotel kelas menengah
109
sampai kepada hotel dan villa bertaraf internasional melengkapi Badung Selatan sebagai tujuan wisata favorit bagi wisatawan mancanegara maupun nusantara. Daya tarik wisata budaya yang berlokasi di kecamatan lainnya di Badung seperti Kawasan Luar Pura Taman Ayun Mengwi (Royal Water Temple) yang dibangun pada tahun 1634 oleh I Gusti Agung Putu raja pertama kerajaan Mengwi. Pura dengan taman yang indah ini pada tahun 2002 diusulkan oleh Pemda Bali kepada UNESCO sebagai satu World Heritage List, sebagai salah satu arsitektur kuno. Sebagai tempat persembahyangan milik keluarga Raja Mengwi,Pura Taman Ayun mencerminkan kebersamaan, kedamaian rohani antara manusia dan keindahan alam disekitarnya. Konsep Pura Taman Ayun sebagai tempat suci tempat pemujaan umat Hindu yang merefleksikan filosofi Tri Hita Karana dan berfungsi sebagai Subak yaitu sebuah konsep sistem pengairan tradisional yang telah
berlaku
secara
turun
temurun
yang
juga
dimanfaatkan
untuk
keberlangsungan hidup masyarakat disekitar pura. Pura Taman Ayun tidak hanya menjadi sebuah daya tarik wisata, tetapi juga dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat seperti untuk mengairi tanah pertanian disekitar pura. Hal ini dilakukan melalui sistem aliran air yang saling berhubungan dari danau-danau kecil yang terdapat di dalam dan di luar pura, dialirkan ke daerah pertanian ke arah selatan Pura Taman Ayun. Kabupaten Badung yang secara geografis terletak di pusat kegiatan pariwisata didukung oleh beragam daya tarik wisata alam dan kehidupan sosial budaya yang hangat dan keunikan masyarakat, menjadi salah satu indikator bagi wisatawan untuk tinggal lebih lama di Kabupaten Badung. Data kunjungan wisatawan mancanegara ke Kabupaten Badung selama tahun 2009-2013 disajiakan pada Tabel 5.3.
110
Tabel 5.3 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara Ke Kabupaten Badung Tahun 2009 -2013 No
Bulan
Tahun/Jumlah (orang)
Pertumbuhan
1
Januari
2009 164,643
2010 168,923
2011 202,660
2012 248,289
2013 207,677
16,35%
2
Pebruari
139,370
187,781
201,320
219,475
219,379
8.70%
3
Maret
161,169
194,482
201,833
227,846
224,597
6,32%
4
April
179,879
178,549
221,014
219,984
229,639
3,75%
5
Mei
181,983
196,719
204,489
215,868
242,205
0,70%
6
Juni
190,617
219,574
240,154
238,296
272,548
1,92%
7
Juli
224,636
247,778
278,041
258,781
294,651
3,82%
8
Agustus
222,441
236,080
250,835
254,020
305,620
6,04%
9
September
208,185
229,573
251,737
243,722
305,667
8,26%
10
Oktober
210,935
223,643
241,370
255,709
262,440
7,66%
11
Nopember
163,531
194,152
216,402
241,985
293,826
8,93%
12
Desember Jumlah
182,556 215,804 2,229,945 2,493,058
246,880 2,756,579
268,044 290,194 2,892,019 3,148,443
8,86% 81,36%
Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, 2014
5.1.4 Gini Ratio Kabupaten Badung Teori ketimpangan distribusi pendapatan diperkenalkan oleh (Kuznets, 1955) dikenal dengan Inverted U Hypothesis atau Hipotesis U Terbalik. Kuznets berpendapat bahwa pada awal pembangunan akan terjadi distribusi pendapatan yang tidak merata dimana orang kaya akan mengumpulkan harta lebih banyak dari orang miskin (the rich accumulate more wealth than the poor) dan pada tingkat pembangunan tertentu distribusi pendapatan menjadi semakin merata. Sedangkan realitas menunjukkan sebaliknya dimana ketika perkembangan pembangunan di bidang pariwisata semakin tinggi di Kabupaten Badung ketimpangan pendapatan di masyarakat menjadi semakin lebar. Untuk mengetahui kondisi sosial dan kemiskinan masyarakat di Kabupaten Badung dapat dilihat dari indikator
111
ketimpangan
distribusi
pendapatan
dari
40
persen
jumlah
penduduk
berpendapatan terendah yang berada di Kabupaten Badung. Rasio Gini Kabupaten Badung Tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Sumber : BPS Kabupaten Badung, 2015 Gambar 5.1 Data Gini Ratio Provinsi Bali Tahun 2000 – 2013 Dengan memakai ukuran ketimpangan rasio gini berkisar antara 0-1, terlihat pergerakan peningkatan rasio gini Kabupatern Badung dengan nilai 0,2273 pada tahun 2009 yang tergolong ketimpangan rendah (0-0,35), menjadi ketimpangan sedang yaitu 0,3468 mendekati 0,35 pada tahun 2013 (BPS Badung, 2015). Terkait dengan semakin tajamnya ketimpangan pendapatan masyarakat, pemerintah Kabupaten Badung memperkenalkan program bagi kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah dengan membuka akses terhadap sumber daya ekonomi dan sumber daya lainnya dibidang pariwisata.
112
Untuk memahami gambaran lebih mendalam tentang tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat Desa Pelaga, Bilok Sidan, Desa Pecatu dan Jimbaran dapat dilihat dari data RTS tentang seperti tersedia pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Jumlah RTS Menurut Status Kesejahteraan Hasil PPLS 2011 Status Kesejahteraan Kode Kecamatan/Desa Jumlah 1 2 3 KUTA SELATAN 182 300 262 744 PECATU 31 68 45 144 UNGASAN 11 31 31 73 KUTUH 17 39 33 89 BENOA 49 38 40 127 TANJUNG BENOA 10 14 17 41 JIMBARAN 64 110 96 270 PETANG 540 788 700 2.028 CARANGSARI 64 129 156 349 GETASAN 42 50 36 128 PANGSAN 7 35 55 97 PETANG 51 107 78 236 SULANGAI 51 88 60 199 PELAGA 136 235 248 619 BELOK/SIDAN 189 144 67 400 JUMLAH 722 1.088 962 2.772
Sumber : BPS Kabupaten Badung, 2015 Keterangan : 1. Sangat miskin; 2. Miskin; 3. Hampir miskin Data BPS Badung terakhir pada tahum 2011 tentang kemiskinan menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan sangat signifikan antara Rumah Tangga Sasaran (RTS) dengan status sangat miskin Plaga dan Bilok Sidan sejumlah 325 RTS dengan 379 RTS miskin dan 315 RTS hampir miskin. Sedangkan di Badung Selatan daerah penelitian Pecatu dan Jimbaran mencatar sejumlah 95 RTS sangat miskin, 178 RTS miskin dan 141 RTS hampir miskin. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengentasan kemiskinan sebesar 40,3 persen di Pecatu, jauh lebih tinggi dari pengentasan masyarakat sangat
113
miskin sebesar 20,5 persen dan masyarakat hampir miskin sebesar 35,2 persen dari masyarakat sangat miskin. Berbeda dengan di Plaga dan Belok Sidan, Desa Plaga dengan jumlah 619 RTS, terdiri dari 136 RTS sangat miskin, 235 RTS miskin dan 248 RTS hampir miskin. Sedangkan Desa Belok Sidan memiliki 400 RTS dengan 189 RTS sangat miskin, 144 RTS miskin dan 67 RTS hampir miskin. Data terakhir yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Badung tentang kemiskinan di Badung Utara dan Badung Selatan disimpulkan sebagai berikut: 1.
Tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Plaga berhasil ditingkatkan. Hal ini dimungkinkan sebab perekonomian Plaga sudah lebih diberdayakan melalui pengembangan agrobisnis khususnya asparagus dengan kualitas tinggi.
2.
Terdapat ketimpangan yang signifikan antara Desa Belok Sidan dengan Desa Plaga walaupun merupakan desa yang bertetangga.
3.
Terdapat ketimpangan antar-desa yang sangat tinggi, yaitu Kecamatan Kuta Selatan memilik 744 RTS sedangkan Kecamatan Petang dengan 2.028 RTS. Untuk meningkatkan nilai lebih dari hasil pertanian dan kehutanan dalam
upaya meningkatkan perekonomian dan daya beli masyarakat di Badung Utara, diperlukan dukungan pemerintah yang lebih intensif terhadap pengembangan diversifikasi produk-produk pertanian dan mengembalikan penanganan asparagus dan strawberry yang pernah menjadi produk unggulan pertanian Badung Utara. Sedangkan untuk menghasilkan produk kehutanan yang sementara ini lebih banyak dipakai untuk kebutuhan lokal, diperlukan dukungan pemerintah untuk memaksimalkan pengelolaan hasil kehutanan menjadi produk berkualitas untuk kebutuhan
industri.
Perlunya
bantuan
alat-alat
produksi
modern
pemberdayaan melalui kewirausahaan untuk kesejahteraan masyararakat.
dan
114
Pola penanganan kemiskinan di Jimbaran terutama kemiskinan absolut dilakukan oleh Pemerintah Desa sebagai berikut: (1) bantuan bedah rumah dengan nilai Rp. 30.000.000 untuk setiap RTS ditingkatkan menjadi bantuan pembangunan rumah siap pakai senilai Rp. 125.000.000 untuk setiap RTS, (2) Pemerintah Desa merencanakan pembangunan rumah minimal untuk 2 (dua) RTS setiap tahunnya, (3) untuk meringankan beban masyarakat terhadap kemiskinan relatif, pemerintah memberikan beasiswa untuk tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas kepada anak-anak keluarga miskin. Pengeluaran yang dulunya memberatkan masyarakat miskin terkait dengan biaya sosial seperti iuran untuk upacara di Desa, kebersihan dan keamanan dan santunan untuk kematian yang dulunya menjadi biaya pribadi, sekarang diambil alih menjadi tanggung jawab desa. Sumber untuk pengentasan kemiskinan yang diperoleh desa berasal dari: (1)
partisipasi para pemangku
kepentingan pariwisata dari tingkat yang paling bawah seperti para pedagang kecil (usaha mikro), (2) toko-toko permanen dan semi permanen, (3) restauran besar dan kecil, (4) hotel melati, villa, hotel berstandar nasional sampai internasional, dan (5) setiap usaha lainnya yang berdomisili di Desa Jimbaran. Kemiskinan di Desa Pecatu yang tersisa dalam hitungan puluhan sejak tahun 2014, pola penanganan kemiskinannya masih dilakukan dengan pola bedah rumah. Sedangkan khusus untuk pengentasan kemiskinan relatif sejalan dengan apa yang dilakukan di Desa Jimbaran. Sumber dana untuk pembangunan desa termasuk didalamnya pengentasan kemiskinan, terutama didapat dari hasil pengelolaan obyek wisata Desa Pecatu. Pendapatan Desa Pecatu sebesar Rp.21.000.000.000 setiap tahunnya sebagian disetor kepada Pemerintah
115
Kabupaten Badung sesuai dengan yang diatur oleh peraturan daerah dan sisanya dibagikan ke tiga banjar di Desa Pecatu yaitu Desa Tengah, Desa Kangin dan Desa Kauh masing-masing mendapat Rp.6.000.000.000. Bermacam kewajiban masyarakat yang dulunya menjadi tanggungan masyarakat sekarang menjadi tanggungan Desa Pecatu. Dilihat dari kemiskinan absolut, jumlah RTS di Kuta Selatan lebih rendah dan homogin jika dibandingkan dengan kemiskinan absolut di Kecamatan Petang. Hasil penelitian ini masih relevan dengan hasil diskusi group terfokus yaitu: (1) kemiskinan absolut di Kecamatan Kuta Selatan jauh lebih rendah dari Kabupaten Petang. Ini mendukung fakta bahwa Kuta Selatan sebagai pusat kegiatan pariwisata lebih berdaya secara ekonomi, (2) sementara jumlah RTS di Desa Petang jauh lebih banyak karena rendahnya pergerakan sektor perekonomianrakyat setempat untuk menghasilkan barang-barang dan jasa yang bernilai tambah, dan (3) masih terjadinya ketimpangan yang cukup besar antar desa-desa di Kecamatan Petang. 5.1.5 Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Badung Diberbagai penelitian yang dilakukan di negara sedang berkembang menyatakan bahwa sektor pariwisata atau secara lebih spesifik pengembangan sektor pariwisata mempunyai potensi sangat besar untuk mengurangi kemiskinan. Pengembangan pariwisata sebagai bagian dari pembangunan nasionalyang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, menurut paham neoliberalime merupakan bagian dari konsep perdagangan bebas yang menekankan kepada kebebasan pengelolaan ekonomi dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini secara konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
116
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahwa kekayaan alam sebagai milik bersama dan bukan milik perusahaan asing atau kelompok tertentu. Program pengentasan kemiskinan sesuai dengan visi dan misi Kabupaten Badung yaitu pengentasan kemiskinan bekerjasama dengan sektor swasta mewujudkan pencapaian ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep pengentasan kemiskinan ini sejalan dengan teori Sosial Demokrat tentang perlunya keterlibatan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Sedangkan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat sejalan dengan pemerintah terkait dengan pembangunan berkelanjutan Sebagai bagian dari isu global, pengentasan kemiskinan dilakukan dalam bentuk kerja sama dengan sektor pariwisata dan sektor swasta lainnya dengan memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yaitu kontribusi menyeluruh dari dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari kegiatannya (Ardianto dan Machfudz, 2011: 35). CSR dewasa ini masih belum teregulasi dengan baik dan masih bersifat insidentil pada umumnya dikaitkan dengan eveneven tertentu misalnya untuk merayakan hari jadi perusahaan, atau peringatan hari kemerdekaan, atau dalam bentuk kegiatan sosial lainnya seperti membersihkan pantai, membuat tong sampah di kawasan pariwisata, menanam pohon mangrove, pemberian beasiswa kepada anak-anak karyawan dan sumbangan barang-barang ex hotel dan villa. Komitmen sektor swasta sebagai bagian dari tanggung jawab sosial untuk mengentaskan kemiskinan melalui CSR masih sangat kecil jika dibandingkan dengan total pebisnis swasta di Kabupaten Badung sebagai berikut. Selama tahun 2009-2013 program bedah rumah menempati urutan teratas
117
didukung oleh 6 (enam) perusahan swasta dengan total CSR sebesar Rp. 2.513.250.500 diikuti program program beasiswa sebagai program populer didukung oleh dua puluh perusahaan dengan jumlah CSR sebesar Rp. 124.926.500 dan sisanya berupa pemberian sembako. Dilihat dari jumlah kontribusi yang disalurkan perusahaan swasta kepada pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat masih sangat kecil. CSR menghadapi persepsi bahwa perusahaan sudah membayar pajak daerah dan karenanya CSR merupakan biaya tambahan yang membebani perusahaan. Pengikut CSR di Kabupaten Badung masih terbatas pada kontribusi dari perusahan daerah dan dari sektor perhotelan.
5.2 Gambaran Umum Desa Penelitian Alasan menentukan lokasi penelitian di Badung Utara dan Badung Selatan didasarkan kepada strategi pengembangan wilayah dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Badung masing-masing sebagai daerah konservasi dan pengembangan integral untuk daerah Plaga dan Bilok Sidan, dan pengembangan pariwisata untuk daerah Jimbaran dan Pecatu di Badung Selatan dengan gambaran sebagai berikut: 5.2.1 Desa Pelaga Desa Plaga merupakan dataran terdiri dari daerah pertanian, perkebunan, kehutanan peternakan dengan fungsi utama sebagai daerah konservasi dan wilayah pengembangan pertanian terintegrasi dengan penekanan pada pertanian bertumpu pada agro wisata dan wisata alam. Untuk tujuan pengembangan ini Pemerintah Kabupaten Badung telah melakukan program-program meningkatkan kuantitas dan kualitas produk-produk hasil pertanian, perikanan, peternakan yang dikelola kelola masyarakat setempat melalui pengembangan teknologi pertanian
118
sayur mayur dan asparagus berkualitas. Program peningkatan sumber daya manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung, seperti melalui pameran produk-produk pertanian bekerjasama dengan swasta dan meningkatkan pemasaran dari hasil pertanian telah berhasil meningkatkan citra produk pertanian untuk kepentingan pariwisata. 5.2.2 Desa Belok Sidan Desa Bilok Sidan memiliki geografis yang sama dengan Desa Plaga merupakan daerah pertumbuhan agribisnis masa depan untuk menciptakan variasi komoditas unggulan yang mampu menciptakan produk-produk pertanian berkualitas ekspor. Dari hasil diskusi grup terfokus di Bilok Sidan, dewasa ini hasil produk pertanian baik di Desa Plaga dan Desa Belok Sidan masih berkualitas rendah dan perlu terus ditingkatkan untuk bisa diterima untuk kebutuhan pasar pariwisata. Dukungan pemerintah melalui program pro growth diikuti dengan dukungan mengembangkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan melalui kemudahan akses permodalan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. 5.2.3 Desa Jimbaran Sebagai pusat pengembangan pariwisata, daerah Kuta Selatan khususnya Desa Jimbaran merupakan pionir dari daerah tujuan wisata, diawali
dengan
berdirinya Hotel Bali Intercontinental dan Four Seasons Jimbaran. Sebagai daerah strategis dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai, Kuta Selatan menjadi magnet berdirinya hotel-hotel berbintang, restoran berkualitas internasional. Desa Jimbaran bersama-sama dengan Desa Pecatu di Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu penyumbang PHR terbesar bagi Kabupaten Badung.
119
5.2.4 Desa Pecatu Desa Pecatu di Kecamatan Kuta Selatan dengan Pura Uluwatu, sebagai salah satu tempat pemujaan masyarakat Bali memiliki posisi sangat penting dalam kegiatan Agama Hindu, dewasa ini menjadi pusat kegiatan pariwisata dalam skala nasional dan internasional. Dengan karakteristik pantai dan tebing yang indah dan udara hangat, wilayah Kuta Selatan berkembang cepat, menjadi incaran investor untuk pembangunan berbagai aspek sarana pariwisata. Sebelum berkembangnya pariwisata, sebagian besar masyarakat di Desa Pecatu hidup dengan bertanam padi tadah hujan dan palawija sebagai sumber mata pencaharian utama. Sulitnya kondisi perekonomian menyebabkan banyak masyarakat Pecatu mengikuti program transmigrasi. Dengan dibangunnya kampus Universitas Udayana di Bukit dan dikembangkannya Kawasan Nusa Dua dan Pecatu menjadi alternatif pengembangan pariwisata di Badung Selatan maka Desa Pecatu berkembang menjadi kawasan pariwisata. Dari hasil diskusi group terfokus dengan tokoh masyarakat Pecatu, dewasa ini pendapatan dari hasil kunjungan wisatawan ke Uluwatu mencapai Rp.21.000.000.000 setiap tahunnya dan setelah membayarkan kewajiban desa ke pemerintah daerah, sisanya dibagikan ke tiga banjar di Desa Pecatu masing-masing Rp. 6.000.000.000 untuk kesejahteraan masyarakat.
5.3 Deskripsi Pariwisata dan Ekonomi Kabupaten Badung 5.3.1 Perkembangan Pariwisata Kabupaten Badung Sejalan dengan tantangan dan dinamika Otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten Badung melakukan kajian dan tindakan inovatif dalam menggerakkan
120
perekonomian untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan aset potensial secara profesional berdampak positif bagi perekonomian daerah. Dinas Pariwisata Badung (2014: 5) menyatakan bahwa dari keseluruhan pendapatan asli daerah Badung, sejumlah sembilan puluh persen merupakan kontribusi dari hasil pariwisata dan tujuh puluh persen dari padanya berasal dari PHR. Pesatnya pertumbuhan pariwista di daerah Kuta dan Jimbaran dengan berdirinya hotel-hotel berbintang, restoran berkualitas internasional dan didukung oleh sarana penunjang lainnya seperti tersedianya sarana-sarana yang menyiapkan keperluan wisatawan berkontribusi terhadap peningkatnya PDRB Badung. Untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata pemerintah menaruh perhatian khusus dan visi dan misi pengembangan pariwisata yang selektif dan bervariatif. Pengembangan pariwisata menurut pandangan Fridgen (1996: 219-221) mendatangkan dampak positif dan dampak negatif, harus diantisipasi oleh Pemerintah Kabupaten Badung untuk menjaga keseimbangan antara besarnya dampak positif (benefits) yang didapat, dibandingkan dengan kerugian (cost/lost) yang diterima oleh pemerintah dan yang dinikmati oleh masyarakat Kabupaten Badung. Langkah-langkah untuk menghindari rusaknya lingkungan, menurunnya kualitas air akibat exploitasi berlebihan untuk pariwisata, hilangnya tanah pertanian tulang punggung budaya masyarakat merupakan priorias utama yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Sejalan dengan Fridgen, secara umum dampak positif dari pertumbuhan pariwisata di Kabupaten Badung dapat dilihat dari: (1) Semakin terbukanya peluang kerja bagi masyarakat (increase in employment), (2) munculnya kegiatan usaha baru dan beragam (Stimulation and increase in business diversity) yaitu mulai dari berkembanganya
121
perekonomian mikro sampai dengan pertumbuhan investasi dalam sekala besar, (3) meningkatnya perdagangan barang dan jasa di Kabupaten Badung. Dampak positif pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang diterapkan di Kabupaten Badung Selatan khususnya oleh manajemen pengelola obyek wisata khususnya Obyek Wisata Uluwatu terlihat dari partisipasi masyarakat terlihat dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang dilibatkan sebagai karyawan, terciptanya kegiatan usaha kecil di sekitar daya tarik wisata dengan menyiapkan tempat usaha bagi masyarakat untuk berjualan menyiapkan kebutuhan wisatawan dan pengunjung lainnya yang berkunjung ke Uluwatu. Konsep pengembangan ekonomi makro yang diterapkan kepada masyarakat lokal khususnya masyarakat Uluwatu telah menghasilkan dampak positif berupa peningkatan kehidupan ekonomi kemasyarakatan yang dinikmati oleh masyarakat Uluwatu. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat antara lain: (1) tumbuhnya kebanggaan masyarakat dengan dikembangkannya daya tarik wisata di daerahnya (increase in community pride and concern for community history, culture, attraction, and artifacts), (2) menggali potensi seni pertunjukan di masyarakat untuk dipersembahkan kepada wisatawan yang berkunjung ke Uluwatu berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan menurunnya kemiskinan di desa Pecatu. Sedangkan dampak negatif dari pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung dapat dilihat dari: (1) hilangnya tanah persawahan akibat pemanfaatan yang berlebihan untuk kebutuhan pariwisata dan dampak negatif lainnya yang berujung pada rusaknya lingkungan (damage to the environment), (2) meningkatnya penduduk urban dan tersedianya sarana transportasi pribadi berdampak terhadap kemacematan lalu lintas (increse in number of people and
122
vehicle, resuslting in congestion), dan (3) bertumbuhnya investasi dalam sekala besar berdampak terhadap semakin meningkatnya biaya hidup bagi orang miskin. Visi Pemerintah Kabupaten Badung yaitu mengembangkan pariwisata berkelanjutan berkualitas, ramah lingkungan dan berwawasan budaya dengan melibatkan masyarakat sejalan dengan pandangan (Mowforth dan Munt, 2009: 98-99) tentang pengembangan pariwisata berkelanjutan yaitu: (1) menjaga kehidupan sosial yang harmonis (social sustainability) dari dampak negatif pengembangan pariwisata didaerah tujuan wisata tertentu, (2) memberikan pendidikan kepada masyarakatsebagai penerus tradisi agar mampu menjaga keberlangsungan warisan budaya secara berkelanjutan (cultural sustainability) dari pengaruh negatif budaya luar, (3) menjaga agar perkembangan pariwisata menjadi kekuatan bagi sumber pertumbuhan perekonomian berkelanjutan (economic sustainability), bagi bagi masyarakat luas dan sanggup memberi dampak positif terhadap mengentasan kemiskinan (poverty reduction), (4) menjaga pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang terbatas (environmental sustainability) untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan, (5) mendidik masyarakat sebagai sebuah proses (education element) untuk saling mengerti dan saling menghormati antara wisatawan dan masyarakat sebagai tuan rumah (host) dan secara bersama-sama menjaga pertumbuhan pariwisata tanpa merusak
lingkungan
melalui
peningkatkan
pembelajaran
sosial
budaya
masyarakat, (6) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan pariwisata dan (7) melakukan pelestarian terhadap peninggalan bersejarah (cultural heritage) melalui bantuan kerjasama dengan United Nations Educational Sience and Cultural Organization (UNESCO) untuk merestorasi bangunan kuno.
123
Pengembangan pariwisata di Badung Selatan khususnya pengelolaan daya tarik wisata Uluwatu, dilakukan melalui proses panjang dengan tahapan yang memakan waktu lama dengan melibatkan masyarakat didampingi oleh pimpinan non-formal setempat (Yoppe, 1996). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fridgen (1996: 219-221) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata memerlukan waktu panjang dengan melibatkan masyarakat dari perencanaan menuju kepada perkembangan pembangunan fisik sampai pemberian layanan yang diberikan kepada wisatawan. Selama proses pengembangan obyek wisata, masyarakat diberikan pemahaman agar tujuan wisata Uluwatu mampu berperan positif di dalam pengentasan kemiskinan bagi masyarakat lokal. Dinamisnya perkembangan obyek wisata Uluwatu, menuntut pengelolaan obyek wisata yang profesional dan mandiri. Obyek wisata Uluwatu yang awalnya dikelola oleh Desa Adat, sejak bulan Juni 2014 dikelola oleh manajeman yang berdiri sendiri. Dampak positif pengelolaan berbasis masyarakat yang diterapkan oleh manajemen pengelola obyek wisata Uluwatu sejalan dengan yang dinyatakan Fridgen (1996) terlihat dari partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pariwisata dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang dilibatkan sebagai karyawan (increase in employement), terciptanya kegiatan usaha kecil di sekitar daya tarik wisata (stimulation of business activity) dengan menyiapkan tempat usaha bagi masyarakat untuk berjualan menyiapkan kebutuhan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara serta para pengunjung lainnya yang berkunjung ke Uluwatu. Konsep pengembangan ekonomi makro yang diterapkan kepada masyarakat lokal khususnya masyarakat Uluwatu telah menghasilkan dampak positif berupa peningkatan kehidupan ekonomi kemasyarakatan yang
124
dinikmati oleh masyarakat Uluwatu. Dampak positif lainnyayang dirasakan oleh masyarakat: (1) tumbuhnya kebanggaan masyarakat dengan dikembangkannya daya tarik wisata di daerahnya (increase in community pride and concern for community history, culture, attraction, and artifacts), (2) dengan menggali potensi seni pertunjukan yang tersedia di masyarakat untuk dipersembahkan secara teratur kepada
wisatawan
yang
berkunjung
ke
Uluwatu
berdampak
terhadap
kesejahteraan masyarakat dan menurunnya kemiskinan di desa Pecatu. Untuk mencapai tingkat perkembangan yang direncanakan untuk tahun 2000-2013 dari indikator-indikator perkembangan pariwisata yang tersedia, Pemerintah Kabupaten Badung menggunakan empat indikator yang diukur untuk memperkuat landasan misi pemerintah untuk mengetahui dampak perkembangan pariwisata terhadap peningkatan kinerja perekonomian. Indikator ini merupakan indikator utama untuk melihat sejauh mana dampak perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomi bagi masyarakat miskin di daerah Kabupaten Badung dan sejauh mana pendapatan yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Badung melalui kontribusi dari pemasukan pajak kegiatan perdagangan hotel dan restoran dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Indikator-indukator yang dimaksud adalah: (1) jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara yang datang ke Kabupaten Badung, (2) jumlah penerimaan pajak hotel dan restoran khususnya yang bersumber dari Badung Selatan sebagai kontributor PHR terbesar untuk Kabupaten Badung, (3) peningkatan lama tinggal wisatawan, dan (4) pengeluaran wisatawan selama mereka tinggal di Kabupaten Badung. Variabel perkembangan pariwisata selanjutnya terlihat pada Tabel 5.5.
125
Tabel 5.5 Perkembangan Beberapa Indikator Pariwisata Di Kabupaten Badung (X1)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total RataRata
Jumlah Kunjungan Wisatawan (orang) (X1.1) 466,111 1,128,940 382,443 249,845 223,548 383,613 497,899 473,774 734,861 812,489 774,753 682,382 1,092,413 1,192,129 5.215,607 401,201
Kontribusi PHR (Dalam Jutaan) (X1.2)
Lama Tinggal Wisatawan / Hari (X1.3)
Pengeluaran Wisatawan / Hari (X1.3)
1,551,722.82 1,760,542.27 1,982,526.74 2,183,219.66 2,420,490.15 2,815,368.11 3,024,626.55 3,427,697.13 3,973,530.83 4,898,698.14 5,467,109.15 5,998,644.44 6,508,632.44 7,260,307.93 47.540.361,120
5,90 4,44 5,28 4,00 4,20 4,08 3,97 3,74 3,85 3,93 3,75 3,60 3,60 3,55 47,550
819,213 822,990 826,768 830,545 834,323 838,100 841,878 845,655 792,500 913,060 839,460 891,483 926,890 801,195 10.181,857
3.656.950,855
3,66
783,220
Sumber : BPS Kabupaten Badung, BAPPEDA Bali Data Diolah 2014 Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dapat dilihat rata-rata kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara tahun 2000-2013 ke Kabupaten Badung sebanyak 401.201 wisatawan. Menurut (BPS Badung, 2014) hal ini berdampak langsung langsung terhadap kontribusi rata-rata penerimaan PHR sebesar Rp.3.656.950,855 juta/tahun dengan rata-rata lama tinggal wisatawan mancanegara dan nusantara selama 3,66 hari, dan rata-rata pengeluran wisatawan sebesar Rp. 783.220/hari. Dengan semakin meningkatnya pendapatan PHR Kabupaten Badung akan memudahkan pemerintah untuk melaksanakan program-program pengentasan kemiskinan di kantong-kantong pariwisata di Kabupaten Badung. Data BPS Kabupaten Badung menyatakan bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara pada masa krisis ekonomi tahun
126
1978tidak menunjukkan penurunan kunjungan wisatawan, tetapi malah terjadi sebaliknya dimana jumlah kunjungan wisatawan meningkat sangat signifikan dengan dengan pencapaian jumlah kunjungan tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebanyak 1,092,413 wisatawan dan pada tahun 2013 sebanyak 1,192,129 wisatawan. Sedangkan rata-rata kontribusi pajak Hotel dan restoran Kabupaten Badung tahun 2000-2013 sebesar Rp. 3.656.950,855 juta/tahun. Kedua komponen ini merupakan indikator pendukung terhadap terjadinya peningkatan kinerja perekonomian sebagai pendukung dari program mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Badung. Hal ini dimungkinkan terjadi akibatkan dari pertumbuhan pariwisata internasional dan dampaknya terhadap pariwisata Kabupaten Badung yang mencapai 1,087 miliarwisatawan, dengan jumlah pendapatan pariwisata dunia mencapai USD 1.159 miliar, dan pendapatan Produk Domestik Bruto Dunia menjadi USD 7.227,1 juta pada tahun 2013 (UNWTO, 2014). Hasil diskusi group terfokus tentang perkembangan pariwisata Kabupaten Badung dapat digambarkan sebagai berikut: (1) pesatnya pertumbuhan pariwisata Kabupaten Badung utamanya didukung oleh peningkatan terus menerus jumlah kunjungan wisatawan dan terjadinya peningkatan pendapatan PDRB dari tahun ke tahun. Peningkatan kedua indikator dimaksud berdampak positif dan signifikan terhadap kenerja perkonomian tetapi masih belum sepenuhnya mampu menuntaskan kemiskinan di Kabupaten Badung, (2) laju pertumbuhan pariwisata di Kabupaten Badung dikhawatirkan berdampak negatif akibat dari berbagai aspek kebijakan seperti pemanfaatan tanah pertanian produktif yang tidak terkendali. Tanah rakyat dibeli dengan harga murah untuk kepentingan pariwisata dan berdampak langsung terhadap sulitnya masyarakat Badung membeli tanah untuk kepentingan sendiri, (3) terhadap inkonsistensi dari penerapan peraturan
127
pemerintah terhadap pengembangan pariwisata berdampak semakin menambah semerawutnya pembangunan pariwisata dan mempercepat terdegradasinya sumber-sumber air bersih dan rusaknya lingkungan, sumber daya alam dan hilangnya jalur hijau semakin tidak jelasnya rencana pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung, (4) pemilikan dan pengelolaan pariwisata berbasis kapitalis dengan modal besar, tidak mungkin dilakukan orang lokal. Masyarakat lokal akan menjadi penonton di daerahnya sendiri tanpa berdaya untuk menikmati hasil pariwisata, (5) lemahnya daya tahan masyarakat Badung memperlemah ketahanan budaya dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, (6) laju pertumbuhan pariwisata berbanding lurus dengan kehancuran yang ditimbulkan oleh pariwisata itu sendiri seperti bergesernya pola hidup masyarakat menjadi rasionalis, (7) semakin besarnya jumlah penduduk urban dari tahun ketahun berdampak terhadap terjadinya perubahan demografi, dengan semakin bergesernya norma-norma kehidupan masyarakat dan semakin terdesaknya penduduk lokal, (8) semakin bergesernya pola hidup masyarakat mengikuti pola hidup konsumtif, (9) pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja didominasi oleh masyarakat pendatang. Dengan hidup hemat, disiplin dengan etos kerja lebih tinggi dari masyarakat lokal berdampak dengan semakin terdesaknya masyarakat lokal, memunculkan masyarakat miskin dan semakin terpinggirkan di daerahnya sendiri. 5.3.2 Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung Hasil kinerja perekonomian Kabupaten Badung terlihat dari meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara signifikan selama tahun 20102013 yaitu: Rp. 14.926.782.410.000 Pada tahun 2010, Rp. 16.403.381.180.000 pada
tahun
2011,
Rp.
18.996.102.980.000
pada
tahun
2012
dan
128
Rp.20.988.078.2000.000 pada tahun 2013 (BPS Badung, 2014). Sedangkan BPS Badung (2015) mencatat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung yaitu: Rp. 979.194.610.828 pada tahun 2010, Rp. 1.406.298.099.449 pada tahun 2011, Rp. 1.872.346.181.795 pada tahun 2012, sebesar Rp. 2.279.113.502.085 pada tahun 2013 dan Rp. 2.722.625.562.620 untuk tahun 2014. Meningkatnya kinerja perekonomian dapat dilihat dari tingginya tingkat pertumbuhan
diberbagai
bentuk
kegiatan
ekonomi
mikro
mulai
dari
bertumbuhnya pedagang keliling, pedagang makanan di tenda-tendadan kegiatan di warung-warung permanen yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari. Tempat melakukan kegiatan usaha tidak hanya memanfaatkan lokasi strategis perkotaan, tetapi juga di ruang-ruang sempit pinggiran jalan, sampai merambah ke pasarpasar tradisional di desa-desa yang adalah milik Desa Adat Kabupaten Badung. Potensi pertumbuhan ekonomi ini dimanfaatkan dan didominasi oleh masyarakat pendatang dengan mengalahkan masyarakat lokal yang seharusnya memiliki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dengan membangun sendiri kekuatan ekonomi di daerah mereka masing-masing. BPS Badung (2014) menunjukkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Badung sebesar 6,72 persen per tahun selama tahun 2000-2013. Selain ditunjang oleh pertumbuhan usaha mikro, dan dukungan usaha menengah dan besar melalui pembangunan sarana akomodasi seperti hotel dan villa bertaraf internasional, Kuta Selatan diuntungkan sebagai penyelenggara kegiatan berskala internasional seperti ASEAN Summit Meeting, APEC Meeting, Miss World yang berperan mendorong pertumbuhan ekonomi di Badung Selatan.
129
Peningkatan perekonomian yang didukung oleh perkembangan pariwisata, sejalan dengan rumusan hipotesis I (satu) yaitu perkembangan pariwisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian di Kabupaten Badung. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wall dan Mathieson (2006: 77-78) yaitu perkembangan pariwisata mendorong pertumbuhan perekonomian negaranegara sedang berkembang (developing countries) dan negara miskin (least developed countries) melalui pertumbuhan ekonomi mikro. Selanjutnya Athanasopoulou (2013: 7-16) menyatakan bahwa pariwisata berkontribusi terhadap kinerja perekonomian melalui investasi modal untuk pembangunan fasilitas pariwisata berskala besar didaerah tujuan pariwisata. Pembangunan hotel-hotel berskala internasional dengan sarana penunjang lainnya seperti terlihat di Badung Selatan termasuk di Desa Jimbaran dan Desa Pecatu, melalui mata rantai bisnisnya berperan besar dalam mendorong kegiatan ekonomi mikro dan menengah mulai dari pengadaan kebutuhan barang-barang untuk pariwisata, sampai kepada kegiatan export produksi masyarakat dalam skala besar. Kegiatan ekonomi yang muncul dari perkembangan pariwisata berdampak terhadap semakin terbukanya kesempatan kerja di Kabupaten Badung. Indikator lainnya seperti banyaknya kedatangan wisatawan mancanegara dan nusantara ke Kabupaten Badung memberi dampak positif terhadap pendapatan pemerintah daerah, termasuk kontribusinya terhadap pendapat produk domestik bruto. Selain itu, pendapatan dari pariwisata internasional (International tourism receipt) juga berupa devisa Indonesia. Secara lebih rinci Athanasopoulou (2013:7-16) menyatakan bahwa pendapatan dari kegiatan pariwisata meliputi : (1) pendapatan yang menjadi bagian dari wisatawan internasional (international tourism receipt),
130
(2) penyediaan layanan wisata (trade and travel services), (3) kontribusi pariwisata terhadap produk domestik bruto (travel and tourism industry’s contribution to GDP), dan (4) kontribusi pariwisata terhadap investasi modal dan ketenagakerjaan (contribution to capital invesment and employment) yang dinikmati oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Untuk menjaga keberlanjutan sektor kepariwisataan, Kabupaten Badung perlu melakukan inovasi dan diversifikasi daerah tujuan wisata baru dan terobosan promosi ke daerah pemasaran baru. Sedangkan pembangunan di sektor industri diarahkan kepada pengembangan industri kecil dan menengah sebagai industri kreatif, memanfaatkan bahan baku lokal untuk menciptakan produk-produk berkualitas, mendukung pembangunan di sektor pariwisata dan pertanian. Menurut Pemerintah Daerah Kabupaten Badung (2015), pertumbuhan ekonomi bersumber dari potensi sosial ekonomi, geografis dan daya alam yang tersedia di Badung Utara dan Badung Selatan dapat dilihat sebagai berikut: 1.
Badung Utara yang meliputi Kecamatan Petang yaitu Desa Plaga dan Desa Bilok Sidan merupakan dataran tinggi dengan fungsi utama sebagai daerah konservasi dan wilayah pengembangan pertanian terintegrasi dengan penekanan pada pertanian, perkebunan dan peternakan. Sedangkan pariwisata Kecamatan Petang dikembangkan sebagai daerah wisata alam dan agro wisata. Didukung oleh potensi wisata alam dan daerah pertanian sebagai tulang punggung kehidupan masyarakat Plaga dan Bilok Sidan, pariwisata Badung Utara sangat dimungkinkan untuk dikembangkan lebih optimal dijadikan obyek pengembangan wisata agro. Untuk tujuan ini diperlukan dukungan penuh Pemerintah Kabupaten Badung untuk meningkatkan
131
kuantitas dan kualitas produk-produk hasil pertanian, perikanan, peternakan dan kerajinan tangan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Sampai dewasa ini hasil produk pertanian masih berkualitas rendah dan belum sepenuhnya bisa diterima untuk kebutuhan pasar pariwisata. Untuk meningkatkan kinerja perekonomian di Badung Utara pemerintah telah melakukan pengembangan teknologi pertanian sayur mayur dan asparagus berkualitas tinggi sehingga mampu
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Ketahanan
pangan
dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas pertanian melalui teknologi ramah
lingkungan.
Dukungan pemerintah terhadap akses
permodalan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mikro dengan harapan bahwa pertanian rakyat akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Dalam rangka peningkatan pertumbuhan agribisnis, diperlukan variasi
komoditas
unggulan
yang
mampu
menciptakan
produk-
produkpertanian berkualitas. Untuk meningkatkan perekonomian di Badung Utara, diperlukan dukungan pemerintah dan swasta terhadap peningkatan sumber daya manusia, khususnya terhadap kemampuan petani untuk meningkatkan pemasaran dari hasil pertanian melalui pameraan produkproduk pertanian secara teratur bekerja sama dengan swasta. 2.
Badung Selatan yaitu Desa Jimbaran dan Desa Pecatu yang memiliki udara tropis dengan keindahan pantai Jimbaran dan tebing-tebing laut di Desa Pecatu merupakan potensi besar sebagai daerah pengembangan pariwisata untuk membangun hotel dan vila bertaraf internasional. Investasi besar lainnya yang dilakukan para investor untuk pengembangan Kuta Selatan pada
132
umumnya
dilakukan
untuk
membangun
fasilitas
pariwisata
seperti
pembangunan condominium yaitu fasilitas akomodasi hunian non-hotel. Condominium pada umumnya dijual kepada perorangan dengan status strata title sebagai hak milik pribadi dengan pengelolaan secara ekonomi dan professional, pada umumnya oleh manajemen tersendiri. Keuntungan hasil pengelolaan dibagi antara manajemen dengan masing-masing pemilik condominiun. Dibangunnya fasilitas pariwisata di Kuta Selatan sebagai sarana penunjang kebutuhan wisatawan seperti pembangunan perkantoran swasta, fasilitas perbelanjaan one stop shopping (mall), fasilitas rekreasi (recreational facilities),
dibangunnya rumah sakit
berstandar
internasional untuk
menyedialan fasilitas medis untuk kenyamanan wisatawan. Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung didukung oleh cepatnya laju pertumbuhan pariwisata di Bali Selatan, secara umum menunjukkan pendapatan PDRB yang terus meningkat sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2013. Pencapaian PDRB terlihat yang sangat siginifikan terjadi pada tahun 2008 dengan pencapaian mendekati Rp. 10,5 triliun, terus meningkat hampir mencapai Rp. 21 triliun pada tahun 2013. Hal yang sama terjadi pada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan besarnya investasi. Meningkat nya rata-rata perimaan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan besarnya investasi, menunjukkan dampak positif dari kinerja perekonomian di Kabupaten. Hal ini
diakibat oleh semakin
berkembanganya laju pertumbuhan pariwisata di Kabupten Badung. Kinerja Perekonomian Kabupten Badung seperti disajikan pada Tabel 5.6
133
Tabel 5.6 Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung (X2)
Tahun
PDRB (Jutaan Rupiah ) (X2.1)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total Rata-Rata
3.433.683,38 4.086.884,27 4.818.028,87 5.247.929,98 5.891.231,65 7.004.648,18 7.701.192,62 8.799.215,12 10.478.390,93 12.875.498,13 14.926.782,41 16.403.318,18 18.996.102,98 20.998.078,20 104.705.716,20 8.054.285,86
Penyerapan Tenaga Kerja (orang) (X2.2) 101.626 118.433 135.239 152.046 168.853 185.659 202.466 219.273 227.091 231.628 310.147 305.897 313.338 330.897 2.671.696 205.515
Investasi (Ribuan Rupiah) (X3.3) 148.750.200 152.801.324 154.931,201 1.101.407.059 2.360.745.445 4.140.660.000 1.652.957.796 5.305.717.700 6.043.268,777 2.362.541.294 1.890.474.000 8.536.644.646 5.334.590.363 6.048.968.601 492.849.190,79 37.911.476,21
Sumber : BPS Kabupaten Badung, Bappeda Provinsi Bali 2014 5.3.3 Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Badung Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan di Kabupaten Badung. Fenomena kemiskinan yang kompleks dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan seperti tingkat pendapatan yang rendah, penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan kondisi lingkungan yang buruk. Menurut Rudrick (2007) salah satu instrumen untuk mengurangi kemiskinan (poverty reduction) dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat bisa dilakukan melalui pertumbuhan ekonomi. Dilema yang dihadapi adalah dengan pendapatan PDRB terbesar diantara kabupaten/kota se Bali, Kabupaten Badung masih menghadapi kemiskinan yang terdapat di kantong-kantong pariwisata. Dari hasil diskusi group terfokus di Badung Utara dan di Badung Selatan, kemiskinan
134
yang ada di wilayah Badung sebagian besar dikategorikan sebagai kemiskinan kultural yang erat kaitannya dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau memperbaiki tingkat hidupnya sendiri. Peran pihak lain menjadi tidak berarti akibat pengaruh lingkungan dan tradisi yang membelenggu pola hidup mereka. Hal ini sejalan dengan pemikiran Nehen (2012: 201-203) yang menyatakan bahwa penyebab kemiskinan di Kabupaten Badung yaitu: (1) rendahnya tingkat pendidikan produktivitas kerja, (2) buruknya fasilitas kesehatan masyarakat, dan (3) budaya masyarakat yang menolak perubahan untuk meningkatkan kehidupan lebih baik. Sedangkan pesatnya perkembangan pariwisata berdampak berhadap membanjirnya tenaga kerja ke Kabupaten Badung dengan ketrampilan rendah dan pendidikan tidak memadai, memunculkan masalah sosial baru yang memunculkan daerah-daerah kumuh, di daerah urban dan di kantong pariwisata Badung Selatan yang menimbulkan kemiskinan baru. Pembahasan dalam diskusi group terfokus tentang pertumbuhan pariwisata Desa Plaga, Desa Jimbaran dan Desa Pecatu menemukan kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat lokal masih dipengaruhi oleh tradisi dan lingkungan dengan etos kerja rendah. Berhadapan dengan etos kerja tinggi dari masyarakat pendatang dengan hidup hemat, ulet, memungkinkan mereka menghasilkan pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat setempat. Didorong oleh pola hidup konsumtif, masyarakat lokal tersisih dari tempat kelahirannya dan tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Hambatan sosial budaya membelenggu penduduk lokal mempersulit pelaksanaan program kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan (Corbett dan Fikkert, 2012: 11). Diskusi group terfokus ditindak lanjuti dengn melakukan depth-interview sebagai berikut:
135
1) I Made Rame, umur 48 tahun, lahir dan dibesarkan di Banjar Tengah Desa Pecatu, bekerja sebagai petugas keamanan villa di pantai Suluban, menyatakan bahwa kemiskinan masih ada di Desa Pecatu. Lebih lanjut I Made Rame menyatakan sebagai berikut: “Dumunan sedurung pariwisata berkembang sekadi mangkin, akeh masyarakat ring Pecatu kari miskin. Tanah warisan keadol ring calo miwah investor. Jinah sane kepolihang anggene ngewangun, numbas tanah pengentos, sisane anggena malegan-legan. Wenten naler tanah pangentos sane sampun katumbas malih adol ipun, raris pamuputne wargane kembali miskin. Sesampune pariwisata berkembang sekadi mangkin wenten perubahan hidup. Masyarakat preside ngontrakin tanah ring tamu asing anggen ipun rumah pribadi wiadin villa. Hasil ngontrakkan tanah anggen ipun berbisnis sekadi membangun rumah kontrakan wiadin rumah kost. Indik masyarakat miskin tiang nenten uning, rarisang takenan ring Kelian Dinas” (Pantai Suluban Pecatu, 10 Februari 2015). (Dahulu sebelum pariwisata berkembang seperti sekarang ini masih banyak terdapat masyarakat miskin di Pecatu. Tanah warisan dijual kepada perantara jual beli tanah atau langsung kepada penanam modal. Sebagian dari uang hasil penjualan tanah mereka dipergunakan untuk membangun atau memperbaiki rumah, sebagian lainnya untuk membeli tanah pengganti dan sisanya dipakai untuk berfoya-foya. Dalam perjalanan waktu, tanah pengganti yang sudah dibeli dijual lagi, yang menjadikan mereka kembali menjadi miskin. Sesudah pariwisata berkembang seperti sekarang ini, terjadi perubahan hidup. Masyarakat biasa mengontrakkan tanah mereka ke wisatawan asing,dipakai untuk rumah tinggal atau villa pribadi. Hasil menyewakan tanah dipakai untuk membangun rumah-rumah penginapan. Informasi tentang jumlah masyarakat miskin diketahui oleh Kelian Dinas). Dari hasil wawancara penulis menyimpulkan bahwa sejak berkembangnya
136
pariwisata di Badung Selatan, kemiskinan di Desa Pecatu semakin berkurang. Yang menonjol adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat yang tidak lagi menjual tanah milik mereka, sebaliknya hanya mengontrakkan dan hasilnya dipakai untuk meningkatkn kesejahteraan mereka. 2) I Made Neka umur 75 tahun, berasal dari Banjar Kangin Pecatu hasil dari deph-interview mendapatkan Informasi sebagai berikut: “Mangkin masyarakate sampun sadar, nenten wenten sane ngadol tanah. Warisan ipune dikontrakkan, jinah sane kapolihan anggen ipun biaya hidup keluarga” (10 Februari 2015) (Sekarang masyarakat sudah mulai sadar bahwa mereka tidak lagi menjual tanah. Tanah warisan mereka dikontrakkan dan hasilnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga). 3) Wawancara dengan keluarga Wayan Sabur umur 54 tahun tinggal di Br. Menega Jimbaran mendapatkan informasi bahwa keluarga miskin yang mendapatkan bantuan rumah dari LPM Jimbaran bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha yang bergerak dibidang pariwisata memberikan bantuan rumah siap pakai. Selain keluarganya, LPM juga memberikan banruan rumah siap pakai kepada keluarga I Wayan Wasa, umur 55 tahun yang juga tinggal di Br. Menega. 4) Sedangkan wawancara mendalam di Badung Utara dengan Ibu Dewa Aji Kasna, kelahiran tahun 1976 pemilik Warung Kopi di Desa Plaga, bersuamikan Bapak Dewa Kasna penggarap sebidang tanah kopi milik keluarga. Keluarga ini dikaruniai dua anak yang masih belajar di Sekolah
137
Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Desa Plaga. Lebih lanjut Ibu Dewa Aji menyatakan: “Ring Desa Plaga akehan wargane nenten madrebe tanah sane karyanine pedidi. Kantun akeh warga sane miskin lan arang keluarga sane sugih. Keluara sane miskin polih bantuan saking Pemerintah Badung anggen ipun mecikang umah (bedah rumah). Pemerintah ngewehin `bantuan 15 juta rupiah, kekirangane ketanggung olih warga sane nguwenang umahe”(Plaga, 24 Februari 2015) (Di Desa Plaga sebagian besar masyarakat tidak memiliki tanah hak milik yang digarap sendiri. Masih banyak orang miskin dan sebagian besar tanah sawah dimiliki oleh orang tertentu. Di Plaga jarang ada orang kaya. Pemerintah Kabupaten Badung membantu keluarga miskin memalui program bedah rumah berupa bantuan sebesar 15 juta rupiah dan kekurangannya ditanggung sendiri oleh pemilik rumah). 5) Pernyataan Ibu Dewa Aji Kasna dibenarkan oleh I Ketut Sueta, seorang pendidik, tokoh masyarakat, pegiat pariwisata dan Ketua Kelompok Sadar Wisata di Desa Bilok Sidan. Selanjutnya I Ketut Sueta menyatakan: “Diantara 170 Kepala Keluarga (KK) warga Desa Bilok Sidan, yang memiliki tanah hak milik hanya sebanayak 22 KK. Mereka adalah penduduk yang pertama kali datang sebagai pendatang sebagai transmigrasi lokal di Bilok Sidan dan mengatur pembagaian tanah mereka masing-masing. Masyarakat yang tidak memiliki tanah sendiri, hidup sebagai petani penggarap dan pekerjaan sambilan lainnya seperti berdagang atau sebagai pekerja bangunan (Bilok Sidan, 06 Juni 2015). Gambaran kemiskinan dari hasil wawancara yang dilakukan di Badung Selatan dan di Badung Utara sejalan dengan penelitian dilakukan oleh Corbert dan Fikkert (2012:11) yang menyatakan bahwa selain munculnya kemiskinan absolut akibat dari ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal seperti sandang pangan dan tidak memiliki tempat tinggal. Perkembangan globalisasi
138
yang melahirkan yang memberikan kepada industri pariwisata dunia kemudahankemudahan untuk mengembangkan pariwisata di negara berkembang, melahirkan kemiskinan dibanyak negara berkembang termasuk di Kabupaten Badung. Berdasarkan dari wawancara dengan lima informan menunjukkan indikasi bahwa adanya kecendrungan terjadinya menurunya kemiskinan di Badung selatan lebih cepat jika dibandingkan dengan di Badung Utara. Melihat dampak pertumbuhan pariwisata terhadap peningkatan kinerja perekonomian, dan masih terdapatnya kemiskinan di Badung Utara dan di Badung Selatan, pemerintah daerah sudah melakukan program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan bekerjasama dengan para pengusaha di bidang pariwisata melalui peraturan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dewasa ini masih berbentuk philanthropy-capitalism yaitu sebuah bentuk kamuflase sebuah praktik kedermawanan kapitalisme bagi orang miskin (Ardianto dan Machfudz, 2011). Sedangkan konsep pengembangan pariwisata yang diperlukan di pedesaan di Badunbg Utara ialah kerjasama melalui pemberdayaan setiap desa dengan program-program
pengembangan
menjadikan
desa
sebagai
pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi (Bali Post, 3 Agustus 2015). Konsep ini sejalan dengan Bonfiglioli (2004) yang menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat perlu dibebaskan dari halangan di dalam menjalankan melaksanakan prinsip-prinsip dasar dengan penata kelolaan pemerintahan yang baik (the basic principles of good governance) untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi terkait dengan hak asasi manusia, kebebasan berserikat, penegakan hukum yang berkeadilan dan terhadap hak layanan sosial kemasyarakatan. Dengan meningkatkan pembangunan sektor riil di Badung Utara seperti
139
pengembangan produk asparagus dilakukan oleh Koperasi Tani Mertanadi, pengembangan perkebunan dan pengolahan kopi arabika oleh Koperasi Sumber Mertha Buana. Dengan pola kerjasama antar UKM, program untuk mengakses pasar bagi produk kehutanan dan pertanian di Badung Utara dibiayai pemerintah. Selain program pengentasan kemiskinan yang dilakukan melalui CSR yang didapatkan dari partisipasi para pengusaha swasta, Pemerintah Kabupaten Badung telah menempatkan pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama yang relevan, terukur dan termonitor seperti: (1) melalui perluasan pelayanan masyarakat miskin terhadap akses pelayanan kesehatan dan pendidikan serta kesempatan untuk melakukan kegiatan usaha, (2) memberikan rangsangan melalui pendidikan non formal seperti pelatihan berkaitan dengan kewirausahaan, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, (3) penyediaan sarana dan prasarana untuk lingkungan pemukiman, (4) menyediakan sumber daya keuangan melalui dana bergulir sebagai sumber modal usaha untuk masyarakat miskin. Untuk mendukung percepatan program kesejahteraan masyarakat terkait dengan program pengentasan kemiskinan Pemerintah Kabupaten Badung telah menetapkan Lima Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan berupa programprogram unggulan seperti: (1) pro growth, yaitu sebuah konsep pertumbuhan yang berkeadilan diikuti dengan pemerataan distribusi kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, (2) Pro Jobs, yaitu sebuah konsep yang diciptakan untuk memperluas lapangan pekerjaan dan mencipatakan iklim usaha yang kondusif, (3) pro poor, berupa program-program sosial untuk pemberdayaan dan kesejahteraan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan, (4) pro culture, dimaksudkan untuk melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal budaya masyarakat dan
140
pencegahan dari dampak negatif yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata, dan (5) pro environment, berupa pelestarian alam dan lingkungan secara berkelanjutan mengacu pada terbatasnya daya dukung di Kabupaten Badung. Upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dilakukan melalui berbagai program yang dilakukan pemerintah daerah seperti pemberian Dana Pendamping (BOS) bagi siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang diberlakukan bagi sekolah negeri dan swasta. Pemerintah Kabupaten Badung menerapkan juga pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun dan memberikan bantuan beasiswa yang ditujukan kepada masyarakat miskin atau kepada masyarakat yang secara ekonomis kurang mampu untuk membiayai mahalnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Pemberian Beasiswa sudah diberlakukan sejak diterapkan anggaran pemerintah daerah pada tahun 2010. Terkait dengan program kesehatan sebagai sebuah kebutuhan layanan masyarakat kurang mampu di Kabupaten Badung, Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yaitu program pemerintah untuk meringankan masyarakat miskin dari biaya rumah sakit yangdilakukan pemerintah terhadap layanan selama 24 jam di Puskesmas. Selain itu program-program sosial kemasyarakatan yang telah diberlakukan pemerintah seperti Peningkatan Kualitas Rumah Sehat untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat, program fasilitas perbaikan jalan sarana transportasi utuk lingkungan masyarakat dan program peningkatan perekonomian berupa kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) masyarakat yang kurang mampu. Untuk memperkuat desa-desa di Kabupaten Badung pemerintah daerah membentuk Kelompok-kelompok Usaha Bersama (KUB) bagi masyarakat umum dan bagi masyarakat kreatif yang kurang mampu.
141
Selanjutnya terhadap upaya penanggulangan kemiskinan (Bappeda Badung, 2014), Pemerintah Kabupaten Badung telah melaksanakan Peraturan Presiden nomor 15/2010 yaitu Tiplogi Perlindungan Sosial bagi pasyarakat miskin tentang pencepatan penanggulangan kemiskinan dengan seperti dalam Klaster I yaitu Program berbasis perlindungan sosiala dan Keluarga, Klaster II yaitu Program berbasis pemberdayaan masyararakat, Klaster III yaitu Program berbasis usaha mikro kecil dan menengah dan Klaster IV Program lain pro rakyat. Kondisi kemiskinan di Kabupaten Badung (2000- 2013) seperti disajikan pada Tabel. 5.7. Tabel 5.7 Kemiskinan Di Kabupaten Badung, 2000 – 2013
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total RataRata
Jumlah Penduduk Miskin (000 jiwa) 21,66 21,08 16,90 21,40 20,50 22,00 18,20 17,40 13,70 14,00 17,70 14,60 12,51 14,55 246,20
Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bln) 47.621 74.607 101.593 128.579 155.564 208.271 217.507 221.695 234.959 282.559 312.602 346.460 383.985 406.408 3.122.410
Persentase Indeks Indeks Penduduk Kedalaman Keparahan Miskin Kemiskinan Kemiskinan 5,96 5,70 4,68 5,31 5,00 5,25 4,57 4,28 3,28 3,28 3,23 2,62 2,16 2,46 57,78
18,94 240.185 4,44 Sumber : BPS Kabupaten Badung, Data diolah 2014
1,05 0,99 0,93 0,86 0,80 0,81 0,52 0,46 1,01 0,35 0,39 0,27 0,33 0,27 8,71
0,25 0,23 0,22 0,20 0,19 0,19 0,10 0,07 0,34 0,06 0,06 0,05 0,08 0,06 2,1
0,67
0,16
142
1.
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Badung antara tahun 2000-2013 menunjukkan penurunan sangat signifikan dari tahun ke tahun. Jumlah ratarata penduduk miskin antara tahun 2000-2005 menunjukkan angka tertinggi yaitu sebesar 20.590 jiwa/tahun. Antara tahun 2006-2009 jumlah penduduk miskin menurun sangat signifikan menjadi 15.825 jiwa/tahun dengan penurunan sebesar 23,14 persen dari rata-rata tahun sebelumnya. Rata-rata jumlah penduduk antara tahun 2010-2013 menjadi 14.840/tahun atau menunjukkan penurunan sebesar 6,25 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Terus berkurangnya jumlah penduduk miskin dari tahun 2000 sampai tahun 2013 menunjukkan keberhasilan pemerintah pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wahyudi (2007) dan Gibson (2007) yang menyatakan bahwa pesatnya pengembangan pariwisata bisa menjadi salah satu jawaban terhadap terciptanya peluang kerja di sektor pariwisata yang berkorelasi langsung terhadap tingkatan pemerataan pendapatan masyarakat dan menurunnya jumlah penduduk miskin.
2.
Garis kemiskinan (GK) juga disebut sebagai batas kemiskinan yaitu pendapatan minimum yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup di suatu daerah atau negara tertentu. Untuk Kabupaten Badung garis kemiskinan dihitung sama dengan 2100 kilo kalori untuk makanan ditambah 54 komoditi non
makanan,
atau
disetarakan
dalam
bentuk
rupiah
sebesar
Rp.406.408/kapita/hari (BPS Badung, 2014). Rendahnya GK sebesar Rp. 47.621 pada tahun 2000, meningkat menjadi Rp.74.607 pada tahun 2001 menunjukkan bahwa walaupun terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dari tahun ke tahun, tetapi pendapatan
143
masyarakat masih tergolong rendah dan belum terjadi peningkatan yang signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Peningkatan rata-rata GK pada tahun 2002-2004 menjadi sebesar Rp.128.580/tahun dan meningkatnya GK sebesar
44,65
persen
pada
tahun
2005-2009
menjadi
rata-rata
Rp.232.300/tahun menunjukkan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan pencapaian GK rata-rata Rp. 362.360/tahun untuk tahun 2010-2012 dengan garis kemiskinan rata-rata 2,62 persen/tahun. Dengan terus meningkatnya angka rata-rata garis kemiskinan dari tahun ketahun, menunjukkan semakin meningkatnya sejahteranya masyarakat dan semakin berkurangnya tingkat kemiskinan di Kabupaten Badung. 3.
Indeks kedalaman kemiskinan yaitu seberapa jauh rata-rata pengeluaran orang miskin terhadap garis kemiskinan. Pada tahun 2000 indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten Badung sebesar 1,05 persen atau selisih dalam persen terhadap kemiskinan, artinya bahwa selisih jarak antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan sebesar 1,05 persen atau 1,05 persen dibawah Rp. 406.408. Rata-rata kedalaman kemiskinan dari tahun ke tahun sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2013 di Kabupaten Badung masih berada dalam kisaran dibawah 0,65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran orang miskin masih berada 0,65 persen dari angka garis kemiskinan di Kabupaten Badung. Data indeks kedalaman kemiskinan terendah terjadi pada tahun 2012 dan tahun 2013 masing-masing sebesar 0,33 (Rp.383.985). Hal ini menunjukkan pencapaian terbaik dari kemampuan ekonomis masyarakat Badung mendekati garis kemiskinan di Kabupaten Badung yaitu sebesar Rp. 406.408.
144
4.
Indeks keparahan kemiskinan, juga disebut sebagai tingkat variasi atau varian diantara orang miskin yaitu: dengan semakin besarnya indeks keparahan kemiskinan berarti jumlah orang miskin menjadi semakin heterogen. Sebaliknya dengan
semakin kecil indeks keparahan kemiskinan, jumlah
orang miskin menjadi semakin homogin. Gambaran dari kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Badung dapat dilihat dari hubungan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan sebagai berikut: 1) Prosentase jumlah penduduk miskin bisa saja menurun, tetapi indeks keparahan kemiskinan bisa menjadi bertambah tinggi atau menjadi semakin meningkat. Artinya bahwa pada kondisi seperti ini, jumlah orang miskin secara absolut akan menurun, tetapi jumlah penduduk
miskin menjadi
semakin bertambah miskin. 2) Prosentase penduduk
miskinnya
meningkat, dan
indeks kedalaman
kemiskinannya menurun. Artinya bahwa prosentase kemiskinan bisa saja meningkat tetapi kedalaman kemiskinan akan menjadi semakin rendah. 5.4 Hasil Pengujian Partial Least Square (PLS) Sesuai dengan persyaratan yang digunakan dalam pemodelan SEM dengan menggunakan Partial Lesat Square (PLS) dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut (Hidayat dan Widjanarko, 2012) 5.4.1 Hasil pengujian outer model atau measurement model Hasil analisis model tentang pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan disajikan pada Gambar 5.3.
145
X2.1
0.970
X1.1
0.739
X1.2
0.948
X1.3
X1.4
-0.817
X2.2
0.979
X2.3
0.849
Kinerja Perekonomian (X2)
Kemiskinan (Y)
Perkembangan Pariwisata (X1)
0.428
0.992
0.929
0.956
.
Y1 1
.
Y1 2
.
Y1 3
Gambar 5.2 Hasil analisis outer model penelitian Terdapat tiga kriteria didalam penggunaan teknik analisis data dengan Smart PLS untuk menilai outer model yaitu convergent validity, discriminant validity, serta average variance extracted (AVE) dan composite reliability (Ghozali, 2008). Outer model dinilai dengan cara melihat convergent validity seperti terlihat pada Tabel 5.8. Penelitian ini menggunakan batas minimal loading factor sebesar 0,5. Hasil analisis selengkapnya seperti terlihat pada lampiran 3. Tabel 5.8 Outer Loadings Kemiskinan x1.1 (Jumlah kunjungan wisatawan) x1.2 (Kontribusi PHR) x1.3 (Lama tinggal wisatawan) x1.4 (Pengeluaran wisatawan) x2.1 (Pertumbuhan PDRB) x2.2 (Penyerapan tenaga kerja) x2.3 (Investasi) y1.1 (Jumlah penduduk miskin) y1.2 (Indeks Kedalaman Kemiskinan) y1.3 (Indeks Keparahan Kemiskinan)
0,992 0,956 0,929
Kinerja Perkembangan Perekonomian Pariwisata 0,739 0,948 -0,817 0,428 0,970 0,979 0,849
146
Hasil pengolahan seperti terlihat pada Tabel 5.8 menunjukkan bahwa nilai outer model telah memenuhi kriteria convergent validity, dimana semua indikator memiliki loading factor di atas 0,50 kecuali indikator lama tinggal wisatawan (X1.3) dan indikator pengeluaran wisatawan (X1.4), memiliki loading factor di bawah 0,5. Hal ini menyebabkan kedua indikator tersebut dikeluarkan dari model. Alasan lain yang menyebabkan kedua indikator dimaksud negatif adalah terjadinya kondisi pariwisata tidak normal, yaitu ketika jumlah kunjungan wisatawan meningkat justru hotel-hotel dihuni oleh rombongan-rombongan besar dengan nilai beli rendah. Mereka hanya menginap tanpa makan dan minum di hotel dan membelanjakan uang mereka yang terbatas ditempat umum. Revisi hasil analisis outer model diperlihatkan pada Tabel 5.9, selengkapnya disajikan pada lampiran 4. Hasil revisi analisis outer model seperti terlihat pada Gambar 5.3. X2.1
0.971
X2.2
0.979
X2.3
0.846
Kinerja Perekonomian (X2)
X1.1
0.856
Kemiskinan (Y)
Perkembangan Pariwisata (X1) 0.954
X1.2 0.992
.
Y1 1
Gambar 5.3 Hasil revisi analisis outer model
0.928
0.957
.
Y1 2
.
Y1 3
147
Tabel 5.9 Outer Loadings (Model Revisi) Kemiskinan
Kinerja Perekonomian
x1.1 (Jumlah kunjungan
wisatawan) x1.2 (Kontribusi PHR) x2.1 (Pertumbuhan PDRB) x2.2 (Penyerapan tenaga kerja) x2.3 (Investasi) y1.1 (Jumlah penduduk miskin) y1.2 (Indeks Kedalaman Kemiskinan) y1.3 (Indeks Keparahan Kemiskinan)
Perkembangan Pariwisata 0,856 0,954
0,971 0,979 0,846 0,992 0,957 0,928
Hasil pengolahan data sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.9 memperlihatkan bahwa nilai outer model memenuhi kriteria convergent validity dimana semua indikator memiliki loading factor di atas 0,50. Dapat disimpulkan bahwa konstruk mempunyai convergent validity yang baik. 5.4.2 Hasil pengujian Discriminant validity Discriminant validity dari model pengukuran dengan reflektif indikator (faktor) dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainya, maka hal ini menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya.
148
Tabel 5.10 Cross Loadings Kemiskinan x1.1 -0,542 x1.2 -0,949 x2.1 -0,951 x2.2 -0,953 x2.3 -0,702 y1.1 0,992 y1.2 0,957 y1.3 0,928 Sumber: Lampiran 4
Kinerja Perekonomian 0,560 0,939 0,971 0,979 0,846 -0,932 -0,946 -0,829
Perkembangan Pariwisata 0,856 0,954 0,942 0,869 0,569 -0,854 -0,886 -0,759
Data pada Tabel 5.10 menjelaskan bahwa nilai cross loadings menunjukkan adanya discriminant validity yang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai korelasi indikator terhadap konstruknya (loading factor) lebih tinggi dibandingkan nilai korelasi indikator tersebut dengan konstruk lainnya. 5.4.3 Hasil pengujian Reliability Menurut Ghozali (2008: 40) bahwa reliabilitas suatu konstruk dapat dinilai dari composite reliability yang berfungsi untuk mengukur internal consistency yang nilainya harus diatas 0,60. Tabel 5.11 Composite Reliability No
Konstruk
1 Kemiskinan 2 Kinerja Perekonomian 3 Perkembangan Pariwisata Sumber: Lampiran 4.
Composite Reliability 0,972 0,953 0,902
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa nilai composite reliability dari semua konstruk adalah diatas 0,60 maka konstruk sudah memenuhi kriteria reliabel.
149
5.4.4 Pengujian model struktural (inner model) Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada substantive theory. Dalam menilai model dengan PLS, dimulai dengan melihat R-squares untuk setiap variabel laten dependen. Hasil pengujian inner model dapat melihat hubungan antar konstruk dengan cara membandingkan nilai signifikansi dan R-square dari model penelitian (Ghozali, 2008: 42). Diagram struktural hasil uji inner model diperlihatkan pada Gambar 5.5. Nilai R-Square diperoleh pada Tabel 5.12 Tabel 5.12 Nilai R-Squares No 1 2 3
Konstruk Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
R Square 0,899 0,758 0,000
Sumber: Lampiran 4 Nilai R-square variabel Kemiskinan sebesar 0,899 dapat diintepretasikan bahwa 89,9% variabilitas konstruk Kemiskinan dijelaskan oleh variabel Perkembangan Pariwisata dan Kinerja Perekonomian, sedangkan 10,1% konstruk Kemiskinan dijelaskan oleh variabel di luar model.
Demikian juga dengan
variabel Kinerja perekonomian, memiliki R square 0, 758 yang artinya 75,8% variabilitas kinerja pereknomian disebabkan oleh perkembangan pariwisata dan 24,2% disebabkan oleh variabel di luar model.
150
X2.1
X2.2
0.979
0.971
X2.3
0.846
Kinerja Perekonomian 0,758 X1.1
0.856
0.954
Kemiskinan 0,899
Perkembangan Pariwisata 0,000
X1.2 0.992
Y1.1
0.957
Y1.2
0.928
Y1.3
Gambar 5.4 Diagram Struktural Hasil Uji Inner Model Sumber: Lampiran 4 Model struktural tersebut dinamai model reflektif dimana covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi dari konstruk unidimensional yang digambarkan dengan bentuk elips dengan beberapa anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator. Dalam model tersebut terdapat satu variabel eksogen yaitu variabel perkembangan pariwisata dan dua variabel endogen yaitu kinerja perekonomian dan kemiskinan. Ketiga variabel tersebut memiliki indikator masing-masing. 5.5 Pengaruh Perkembangan Pariwisata, Kinerja Perekonomian, dan Kemiskinan Pengujian hipotesis tentang koefisien jalur atau pengaruh variabel perkembangan pariwisata (PP) terhadap kinerja perekonomian (KP), pengaruh kinerja perekonomian (KP) terhadap
Kemiskinan (KM) dan pengaruh
151
perkembangan parisiwata (PP) terhadap kemiskinan (KM) seperti disajikan pada Gambar 5.5 dan Tabel 5.13. X2.1
0.971
X2.2
0.979
X2.3
0.846
0.758 Kinerja Perekonomian -0.762
0.871
X1.1 0.856
0.000 Perkembangan Pariwisata X1.2
0.899 Kemiskinan
-0.207
0.954 0.992
0.928
0.957
.
.
Y1 1
Y1 2
.
Y1 3
Gambar 5.5 Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis Sumber: Lampiran 4 Tabel 5.13 Pengaruh Perkembangan Pariwisata dan Kinerja Perekonomian terhadap Kemiskinan Original Sample (O) Kinerja Perekonomian -> -0.762 Kemiskinan Perkembangan Pariwisata -> -0.207 Kemiskinan Perkembangan Pariwisata -> 0.871 Kinerja Perekonomian Sumber: Lampiran 4
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
-0.754
0.049
0.049
15.462
-0.217
0.051
0.051
4.099
0.875
0.012
0.012
71.567
152
Pengujian terhadap hipotesis dalam metode PLS dilakukan dengan menggunakan simulasi terhadap setiap hubungan yang dihipotesiskan. Dalam hal ini dilakukan metode bootstraping terhadap sampel. Metode bootstraping juga berfungsi untuk meminimalkan masalah ketidaknormalan data penelitian yang digunakan. Pada penelitian ini telah ditentukan sebelumnya nilai T-tabel dengan signifikansi 5%, dk=11, adalah sebesar 2,201. Semua koefisien jalur pada Tabel 5.12 memiliki nilai t statistik di atas 2,201 sehingga dinyatakan memiliki pengaruh yang signifikan. Pengujian masing-masing hipotesis dibahas pada sub berikut ini. 5.5.1 Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar
0,871 dengan nilai t-statistik sebesar 71,567. Nilai
t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201. Ini menunjukkan bahwa variabel perkembangan pariwisata berpengaruh signifikan terhadap kinerja perekonomian. Artinya bahwa semakin baik perkembangan pariwisata maka kinerja perekonomian juga akan meningkat. Hal ini berarti hipotesis 1 diterima. Hasil hipotesis ini sejalan dengan pandangan Theobald (2005: 79) yang menyatakan bahwa pariwisata berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian terutama sebagai sumber penerimaan devisa, meningkatkan investasi, perpajakan serta kesempatan kerja. Meningkatnya penerimaan devisa yang masuk ke kantong pemerintah dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur seperti pembukan jalan baru untuk memperlancar distribusi barang-barang perekonomian. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Gibson (2009: 527-528); Leon (2006:34); World
153
Tourism Organization (2014); Asley et al (2001), dalam Hall (2008) dan Pangestu (2013: 14-25), yang menyatakan bahwa pariwisata berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian makro maupun mikro. Lebih lanjut dinyatakan bahwa meningkatkan kinerja perekonomian diakibatkan oleh meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan, penyerapan tenaga kerja dan masuknya investasi baru merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan pariwisata (WTO, 2014; Pangestu, 2013; Disparda Bali, 2014; Ashley et al, 2001). Melalui pelatihan berkelanjutan, masyarakat diberdayakan untuk menciptakan produkproduk pertanian yang dibutuhkan pariwisata seperti untuk membuat cendera mata untuk wisatawan. Nurhayati (2012) yang melakukan penelitian pada agrowisata di Jawa Timur menyatakan bahwa PPT dapat digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui penyerapan tenaga kerja lokal dimana agrowisata dikembangkan. Lebih lanjut dinyatakan melalui industri pariwisata PPT dapat meningkatkan perekonomian secara makro yang mendukung peningkatan pendapatan masyarakat serta juga memberi manfaat non ekonomi seperti adanya pertukaran nilai budaya akibat dari adanya interaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal sebagai tuan rumah (Nurhayati, 2012) dan (Ashley et al 2001). Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Wahyudi (2007) yang meneliti pengaruh pariwisata dalam pengentasan kemiskinan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yaitu tentang pengentasan kelaparan
dan
kemiskinan ektrim (eradicate extreme poverty and hunger) bagi penduduk dunia dengan pendapatan dibawah USD 1,25 per hari. Temuan penelitian ini juga
154
memperkuat hasil penelitian Gibson (2009), yang menyatakan bahwa pariwisata berkontribusi positif di dalam meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. 5.5.2 Pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh signifikan variabel kinerja perekonomian (KP) terhadap kemiskinan (KM) dengan nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201, menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel kinerja perekonomian terhadap kemiskinan. Koefisien jalur yang bertanda negatif menunjukkan bahwa kinerja perekonomian memberikan pengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kinerja perekonomin (KP) maka kemiskinan (KM) semakin menurun. Hal ini berarti hipotesis 2 diterima. Hasil hipotesis ini dukung oleh penelitian Wahyudi (2007) yang menyatakan pariwisata sebagai sumber pemasukan devisa, juga berperan untuk peningkatan penerimaan pajak, masuknya investasi dan
terbukanya peluang
kesempatan kerja untuk pemerataan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Jonaidi (2012); Siregar (2010); Dewantoro dkk (2014) yang menemukan pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan. Secara umum digambarkan meningkatnya perekonomian (PDRB), Investasi berdampak pada pengurangan kemiskinan. Jonaidi (2012) melakukan penelitian di tiga puluh tiga provinsi di Indonesia meneliti pengaruh investasi, harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan pertumbuhan
ekonomi
terhadap
kemiskinan.
Penelitiannya
menyatakan
pertumbuhan ekonomi berpengaruh dan peningkatan investasi PMA dan PMDN
155
berkorelasi negatif terhadap kemiskinan. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat penanaman modal asing dan penanaman dalam negeri berdampak terhadap menurunnya tingkat kemiskinan di Indonesia. Sejalan dengan Jonaidi (2012) kemiskinan akan menjadi lebih parah saat terjadi krisis ekonomi akibat dari banyaknya industri yang menutup lapangan kerja dan karyawan kehilangan lapangan kerja. Selain itu tingkat inflasi yang tinggi berdampak terhadap semakin banyaknya pengangguran dan meningkatnya kemiskinan seperti terjadi ketika munculnya krisis ekonomi Asia pada tahun 1978. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewantoro dkk (2014) di Sumatera Utara yang mengatakan bahwa perekonomian agregat berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Artinya bahwa semakin meningkat perekonomian akan semakin berpengaruh terhadap menurunnya tingkat kemiskinan. Lebih jauh dikatakan bahwa sektor pertanian yang berkelanjutan, selain terbukanya kesempatan kerja di sektor industri-industri pengolahan makanan, sektor perdagangan, sektor pariwisata, angkutan umum dan sektor komunikasi. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Kakwani dan Pernia (2000) yang dilakukan di dua negara sedang berkembang yaitu Laos dan Thailand dan di Korea sebagai sebuah negara industri modern. Penelitian mereka menemukan bahwa menurunnya tingkat kemiskinan di negara yang diteliti dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang terjadi terutama disektor perdagangan, pertanian, disektor jasa pelayanan dan perdagangan, sektor industri dan pelayaan jasa lainnya. Selanjutnya penelitian ini menemukan konsep pro growth dan trickle-down development melalui pembagian pendapatan yang merata perlu
156
dikembangkan sebagai konsep pengentasan kemiskinan di negara-negara sedang berkembang maupun di negara-negara maju (Kakwani dan Pernia, 2000). 5.5.3 Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan Koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099. Nilai t- statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel perkembangan pariwisata dengan kemiskinan. Koefisen jalurnya menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata memberikan pengaruh negatif terhadap kemiskinan, artinya bahwa semakin bertambah baiknya perkembangan pariwisata, berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan. Hal ini berarti hipotesis 3 diterima. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Anwar (2012); Karim et al (2012); dan Wood (2005) yang meneliti pro poor tourism berbasis kemasyarakatan dapat mengurangi kemiskinan. Pro-poor tourism dapat dijadikan strategi untuk pengembangan peran masyarakat untuk berpartisipasi dalam sektor pariwisata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang termarginalkan dan untuk mengurangi kemiskinan. Penelitian Ashar (2008) di Jawa Timur sejalan dengan Ashley et al (2001) dan Cattarinich (2001) yang menyatakan bahwa peran sektor pariwisata sangat positif bagi pertumbuhan prekonomian mikro bagi masyarakat miskin. Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Nurhayati (2012); Ramadani (2012) dan Ashar (2008) yang meneliti tentang peran pariwisata dalam mengurangi kemiskinan yang dikenal dengan istilah Pro Poor Tourism (PPT).
157
Spenceley dan Seif (2003) menganalisis strategi lima perusahaan swasta yang bergerak dibidang pariwisata di Afrika Selatan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan mengembangkan pembangunan bagi masyarakat yang tinggal di daerah tujuan wisata dan melakuknan analisis dampak serta besarnya biaya terhadap pendekatan pro poor tourism di Afrika Selatan. Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan pariwisata yang bergerak di bidang layanan operasi safari, wisata diving, fasilitas kasino dan fasilitas golf. Temuan penelitian ini menyatakan terjadi hubungan langsung antara keuntungan ekonomi dan nonekonomi bagi masyarakat miskin dalam penerapan pro-poor tourism dan semakin terbukanya mata pencaharian masyarakat miskin di pedesaan di Afrika Selatan. Hasil temuan ini juga sesuai dengan hasil penelitian Ashley et al (2001), yang melakukan penelitian tentang peran pariwisata sebagai strategi untuk mengurang kemiskinan dengan istilah pro poor tourism. Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan, Namibia, Uganda, St Lucia, Ekuador dan Nepal menemukan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin yang terdapat di enam negara tersebut. Lebih lanjut Scheyvens dan Momsen (2008) juga menyatakan bahwa pariwisata berperan penting dalam mengentaskan kemiskinan. Penelitian ini mendukung hasil penelitian Ramadani (2012) yang melakukan penelitian di Kampung Baru, Jakarta Barat sebagai daerah tujuan wisata berkelanjutan dengan fokus penelitian tentang penyediaan layanan tentang kenyamanan kepada wisatawan dan strategi pengelolaan pariwisata untuk mempertahankan Kampung Wisata Budaya di Kampung Baru. Manajemen pariwisata yang peduli pada msyarakat miskin mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kampung Baru di Jakarta Barat. Ramadani (2012) menyatakan
158
bahwa pro poor tourism bermanfaat dalam pengentasan kemiskinan melalui (1) penciptaan kesempatan kerja baru, (2) tingkat kehidupan ekonomi masyarakat miskin menjadi lebih baik, dan (3) peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat miskin menjadi semakin baik. Sejalan dengan Ramdani, Gibson (2009: 527-528 dan Leon (2006: 341) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata bermanfaat mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebaliknya hasil penelitian yang berbeda diperoleh oleh Jamieson et al (2004: 2) dan Roy (2010) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata tidak sepenuhnya mampu mengentaskan kemiskinan.
5.6 Investasi di Kabupaten Badung 5.6.1 Investasi di Kecamatan Petang dan Kecamatan Kuta Selatan Perkembangan investasi Kabupaten Badung terpusat Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta dan Kuta Utara, berdampak positif terhadap kontribusi PHR bersumber dari perdagangan, biro jasa, restoran, hotel dan podok wisata, mencapai 70 persen dari keseluruhan pendapatan PHR yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Hal ini menunjukkan tertinggalnya pertumbuhan investasi di tiga kecamatan lainnya yaitu di Kecamatan Petang, Kecamatan Mengwi, dan Kecamatan Abiansemal. Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mendominasi investasi di Kabupaten Badung dibandingkan dengan investasi Penanaman Modal Asing (PMA).
Terkait dengan investasi PMDN
Kecamatan Petang dan di Kecamatan Kuta Selatan menarik untuk diperhatikan bahwa
besarnya
investasi di
Kecamatan
Kuta Selatan mencapai Rp.
282.652.444.000 (32,14 persen) sangat tidak sebanding dengan investasi di
159
Kecamatan Petang sebesar Rp. 401.000.000 (0,05 persen). BPS Badung (2015) mencatat jumlah Rumah Tangga Sejahtera (RTS) tahun 2011sebesar 744 RTS di Kuta Selatan, berbanding dengan 2.772 RTS di Kecamatan Petang. Artinya bahwa pesatnya perkembangan pariwisata di Kuta Selatan mampu menekan jumlah orang miskin, melalui terbukanya kesempatan bekerja yang berdampak terhadap peningkatnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kondisi ini merupakan anomali dari kondisi peran pariwisata terhadap pengentasan kemiskinan bahwa besarnya investasi ternyata belum mampu mengantaskan kemiskinan seperti dinyatakan hasil wawancara bahwa masih banyak terdapat orang miskin di Kuta Selatan. Ketimpangan bertumbuhnya pembangunan seperti terlihat dari perbedaan yang menyolok antara antara besarnya investasi di Badung Utara dengan Badung selatan selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5.14 Tabel 5.14 Rencana dan Realisasi PMA dan PMDN di Kabupaten Badung Per Kecamatan No
Lokasi
1
Kecamatan Kuta Selatan Kecamatan Kuta
2
Kabupaten Badung
Rencana (RP) 229.325.045.000
PMA Realisasi (RP) 24.000.000.000
734.017.521.000
NO
Bidang Usaha
10,47%
1
Perdagangan
36.000.000.000
4,90%
2
BIRO Jasa
%
Rencana (RP) 541.366.864.699
PMDN Realisasi (RP) 541.366.864.699
61,56%
55.000.000
55.000.000
0,01%
%
3
Kecamatan Kuta Utara
535.680.000.000
19.000.000.000
3,55%
3
Restoran
70.221.693.401
70.221.693.401
7,99%
4
Kecamatan Mengwi
12.000.000.000
-
0,00%
4
Pondok Wisata
11.534.500.000
11.534.500.000
1,31%
5
Kecamatan Abiansemal
-
-
0,00%
5
Hotel
256.238.511.920
256.238.511.920
29,14%
6
Kecamatan Petang Total
-
-
0,00%
1.511.022.566.000
79.000.000.000
Total
879.416.570.020
879.416.570.020
10%
5,23
Sumber : Bapeda Badung, Perekonomian Badung, BPS Badung, 2015 Dari data pada Tabel 5.14 Pemerintah Kabupaten Badung harus mengambil langkah nyata untuk memacu pembangunan pariwisata Badung Utara. Pengalihan mega investasi model Badung Selatan dengan kepemilikan segelintir
160
orang tidak sepatutnya dilakukan di Badung Utara. Sebaliknya pembangunan pariwisata bebasiskan masyarakat (community based tourism) dengan kepemilikan lebih banyak, untuk pemerataan dan untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan oleh investasi itu secara otomatis dinikmati oleh lebih banyak orang. PHR yang dihasilkan oleh Pemda Badung dijadikan sarana pengembangan Badung Utara. 5.6.2 Indikator Sosial Kecamatan Petang dan Kecamatan Kuta Selatan Dari besarnya perbedaan pertumbuhan investasi di Kecamatan Kuta Selatan dibandingkan dengan Kecamatan Petang dan luas wilayah Kecamatan Kuta selatan (101,13 km2) lebih kecil dari luas wilayah Kecamatan Petang (115,00 km2), data BPS Badung mencatat bahwa daya beli masyarakat di Kecamatan Petang sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan daya beli masyarakat di Kuta Selatan. Hal ini dapat dilihat dari pengguna listrik di Kuta Selatan tercatat 39.977 keluarga dengan jumlah penduduk 115.918 jiwa dibandingkan dengan pengguna listrik di Kecamatan Petang sebanyak 7.480 keluarga dengan jumlah penduduk 26.243. Tidak bisa dipungkiri bahwa pengguna listrik di Kecamatan Peetang adalah murni penduduk lokal, sedangkan pengguna listrik di Kecamatan Kuta Selatan adalah masyarakat lokal ditambang dengan masyarakat pendatang yang datang sebagai masyarakat urban karena kepentingan ekonomis atau bekerja disektor pariwisata.
Kondisi seperti dimaksud diatas
memperlihatkan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi ketimpangan pendapatan dan daya beli yang sangat tajam antara masyarakat di Badung Utara dengan masyarakat di Badung Selatan, seperti digambarkan oleh keadaan sosial di masyarakat di Kecamatan Petang.
161
5.7 Analisis SWOT Adapun pendekatan yang digunakan untuk membuat strategi pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung pada dua lokasi penelitian yang berbeda yaitu di Badung Utara dan Badung Selatan. Di Badung Utara dipilih Desa Pelaga dan Desa Belok Sidan dan di Badung Selatan dipilih Desa Jimbaran dan Desa Uluwatu. Dengan analisis SWOT yaitu faktor internal dan faktor eksternal kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman di desa Pelaga dan Belok Sidan dijabarkan sebagai berikut: 1) Analisis Internal (kekuatan), terdiri dari elemen: (1) potensi alam pegunungan, (2) udara yang sejuk dan dingin, (3) jalan raya yang baik, (4) pemberdayaan perekonomian agro, (5) produk kehutanan di wilayah Plaga untuk keperluan Industri, (6) tingkat perlindungan sosial masyarakat lebih tinggi. 2) Analisis Internal (kelemahan), terdiri dari elemen: (1) jauh dari pusat kota/dan bandara, merupakan salah hambatan bagi niat wisatawan untuk mengunjungi obyek wisata (2) transportasi umum ke desa Pelaga dan Belok, (3) rendahnya tingkat pendidikan masyarakatsebagai kelemahan untuk memberikan layanan wista, (4) kepemilikan lahan, (5) Kebersihan daya tarik wisata sangat kurang. 3) Analisis Eksternal (peluang), terdiri dari elemen: (1) kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat, (2) adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata, (3) tingginya partisipasi masyarakat, (4) tumbuhnya industri pariwisata dan perekonomian mikro dan, (5) adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan
162
4) Analisis Eksternal (ancaman), terdiri dari elemen: (1) globalisasi, (2) krisis ekonomi, (3) peperangan dan ketidak stabilan keamanan, wabah penyakit, (4) lemahnya promosi dan kurangnya dukungan biro perjalanan wisata Selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 5. 5.7.1 Strategi
Peningkatan
Peran
Pariwisata
Dalam
Pengentasan
Kemiskinan di Kabupaten Badung Menurut pengembangan
Ashley, pariwisata
(2000:
4-5),
berdampak
Scheynes positif
dan
terhadap
Momsen,
(2008)
meningkatkannya
pertumbuhan perekonomian, dan terhadap pengentasan kemiskinan. Pandangan ini sejalan dengan Ashley et al (2001; Siregar dan Wahyuniarti, (2010), dan Jonaidi, (2012). Strateginya adalah sebagai berikut: 1.
Desa Pelaga dan Desa Belok Sidan Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi pariwisata alami, meningkatkan pariwisata ekowisata, meningkatkan potensi wisata jembatan “Tukad Bangkung” untuk wisatawan nusantara di Badung Utara, memberdayakan masyarakat untuk pelestarian lingkungan, (2) Strategi (W+O): meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku kepentingan pariwisata dan meningkatkan kebersihan, (3) Strategi (S+T): melestarikan potensi wisata alam, peningkatan sumberdaya manusia dalam menghadapi globalisasi dan pengaruh krisis dari luar dan meningkatkan kebersihan, (4) (W+T) yaitu meningkatkan promosi untuk pariwisata Badung Utara melalui berbagai media dan bentuk promosi lainnya.
163
2.
Desa Jimbaran dan Desa Pecatu Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi pariwisata alami dan fasilitas pariwisata memberdayakan masyarakat untuk pelestarian lingkungan, (2) Strategi (W+O): meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku kepentingan pariwisata, (3) Strategi (S+T): meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku kepentingan pariwisata, dan (4) (W+T) yaitu meningkatkan promosi untuk pariwisata Badung Selatan dan melalui berbagai media dan bentuk promosi lainnya.
Tabel analisis SWOT Desa Pelaga, Belok Sidan, Jimbaran dan Pecatu selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
5.8 Kebaruan Penelitian 1.
Kebaruan atau Novelty penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut: perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung menurunkan kemiskinan melalui dua (2) indikator yaitu jumlah kunjungan wisatawan dan kontribusi pajak hotel dan restoran (PHR), dimana kedua indikator ini terkait langsung dengan penerimaan pemerintah dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan. Sedangkan dua indikator lainnya yaitu Lama Tinggal dan Pengeluaran Wisatawan merupakan bagian dari pendapatan non-pemerintah berupa keuntungan yang masuk ke pundi-pundi swasta untuk kepentingan sendiri dan tidak dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan di Badung.
164
2.
Konsep pembangunan berbasis neoliberalisme yang dikembangkan di Badung Selatan yang berdampak terhadap kesenjangan ekonomi dan sosial budaya, selayaknya tidak dikembangkan ke lokasi lainnya di Kabupaten Badung. Untuk pemerataan pembangunan, dikembangkan Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) khususnya Badung Utara dan daerah lainnya di Kabupaten Badung.
5.9 Implikasi Temuan Penelitian Temuan hasil penelitian ini, dapat dijabarkan menjadi dua bagian yaitu: 5.9.1. Implikasi teoritis Implikasi teoritis hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoritis bagi pengembangan penelitian menggunakan pendekatan qualitatif dan didukung pendekatan kualitatif. (2) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan teoritis menggunakan variabel perkembangan pariwisata sebagai variabel anteseden terhadap KP dan KM. 5.9.2 Implikasi manajerial Implikasi manajerial penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Hasil
penelitian
ini
dapat
bermanfaat
bagi
pemerintah
dalam
mengembangkan strategi pengentasan kemiskinan berbasis kinerja perekonomian pada daerah tujuan wisata. (2) Hasil
penelitian
mengembangkan
ini
dapat
strategi
bermanfaat
mengurangi
bagi
pemerintah
kemiskinan
dalam
menggunakan
165
pendekatan manajemen pariwisata yang diintegrasikan dengan kinerja perekonomian (KP).
5.10 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut: 1). Penelitian ini terbatas hanya memakai tiga variabel yaitu variabel pariwisata, kinerja perekonomian dan variabel kemiskinan dan hanya melihat dampaknya dari aspek ekonomi. 2). Tidak meneliti tentang pengaruh aspek non-ekonomi terhadap kemiskinan. Sedangkan jika merujuk pada penelitian Karim et al (2012), (Spenceley dan Seif, 2003) dan Ashley et al (2001), selain melihat pengaruh pariwisata terhadap kemiskinan dari sisi ekonomi, pariwisata juga berdampak terhadap kehidupan sosial budaya dan lingkungan. 3). Terbatasnya variabel penelitian bisa dilengkapi dengan menambah variabel dan indikator penelitian serta dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan tidak hanya dari sisi ekonomis tetapi juga dari persepektif non-ekonomis. 4). Penelitian ini menggunakan data sekunder dari sumber terbatas yaitu dari BPS Pemerintah Kabupaten Badung dan Provinsi Bali. Untuk memperkaya hasil penelitian data sekunder dapat dicari dari sumber-sumber lainnya. 5). Terbatasnya data time series yang tersedia hanya selama 14 tahun sejak berdirinya pada tahun 1992 Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah berpisah dari Kota Madya Denpasar.
166
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan pemaparan penelitian, hipotesis dan hasil pembahasan kesimpulannya adalah sebagai berikut: 6.1.1 Perkembangan pariwisata memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja
perekonomian.
Artinya
bahwa
semakin
baik
perkembangan pariwisata, kinerja perekonomian semakin meningkat. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar 0,871 dan nilai t-statistik sebesar 71,567 lebih besar dari nilai t-tabel yaitu sebesar 2,201. 6.1.2 Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan signifikan `terhadap kemiskinan. Artinya semakin tinggi kinerja perekonomian, semakin menurun tingkat kemiskinan. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462, lebih besar dari nilai t-tabel yaitu sebesar 2,201. 6.1.3 Perkembangan pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Artinya bahwa semakin meningkatnya perkembangan pariwisata, maka berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan. Hal ini terlihat dari Koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099, lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201.
166
167
6.1.4 Untuk peningkatkan peran pariwista di Kabupaten Badung dalam pengentasan kemiskinan berdasarkan hasil analisis SWOT sebagai berikut: Strategi: (1) (S+O): mempertahankan potensi pariwisata alami dan meningkatkan pariwisata ekowisata,
meningkatkan potensi wisata
jembatan “Tukad Bangkung” untuk wisatawan nusantara di Badung Utara, memberdayakan masyarakat untuk pelestarian lingkungan, (2) Strategi (W+O): meningkatkan berbagai sarana transportasi, pendidikan dasar kepariwisata bekerja sama dengan stake holder pemangku kepentingan pariwisata, (3) Strategi (S+T) dan (4) (W+T): meningkatkan promosi untuk pariwisata Badung Utara dan Badung Selatan melalui berbagai media dan bentuk promosi lainnya.
6.2 Saran Dengan adanya keterbatasan penelitian ini maka untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya disarankan rekomendasi sebagai berikut: 1) Perlu dikembangkan penelitian berkelanjutan di Kecamatan Badung Selatan berupa pilot project yang terintegrasi dengan melibatkan masyarakat setempat untuk mengembangan rumput laut dan mengembalikan kejayaan jeruk Pecatu. Sedangkan untuk Desa Jimbaran untuk pengembangan kegiatan bersifat ekonomis selain wisata kuliner pantai Jimbaran dengan dukungan dana dari pemerintah dan mengoptimalkan pemanfaatan CSR dari perusahaan swasta. 2) Penelitian dimasa mendatang perlu disempurnakan dengan menambahkan variabel non ekonomi seperti variabel kesejahteraan sebagai variabel mediasi diantara Perkembangan Pariwisata dan Kemiskinan.
168
3) Untuk mengetahui pengaruh peran pariwisata dan kinerja perekonomian terhadap kemiskinan perlu didukung dengan lebih banyak data primer dari sumber yang lebih luas. 4) Pengembangan penelitian berkelanjutan di Badung Utara, di Kecamatan Petang, Desa Plaga dan Desa Belok Sidan untuk mengembangkan pertanian modern secara terintegrasi, berbasiskan masyarakat dengan melibatkan badanbadan internasional, pemerintah, dan swasta yang berpengalaman di bidang pertanian modern.
169
DAFTAR PUSTAKA
Alsop, Ruth., Heinson, Nina. 2005. Measuring Empowerment in Practise Structuring Analysis and Framing Indicators, World Bank olicy Research Working paper 3510, February 2005. Anwar, Jahid Md. 2012. “Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism: A Critical Analysis Of 'Pro-Poor Tourism' And Implications For Sustainability In Bangladesh”, Research Report Presented to Professor COOPER Malcolm J. M. In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Of Master of Science in International Cooperation Policy, hlm. 1-94. Armstrong, Rebecca. 2012. “An analysis of the conditions for succes of community based tourism enterprises”. International Centre for Responsible Tourism. Pp.1-52 Ardianto, Elvinaro dan Machfudz, Dinsin.M. 2011. Efek Kedemawanan Pebisnis dan CSR. Penerbit PT Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia. Ashar, Khusnul. 2008, Analisis Makro dan Mikro Jembatan ekonomi Indonesia. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang. Ashley, Caroline., Dilys Roe and Harold Goodwin. 2001. “Pro-Poor Tourism Strategies: Making Tourism Work For The Poor”, ODI (Overseas Development Institute). Ashley, Caroline., Roe, Dilys., Goodwin, Harold. 2001. Pro Poor Report No. 1. Pro Poor Tourism Strategies: Making Tourism Wo rk For The Poor, The Russell Press, Nottingham, NG6 OBT Ashley, Caroline and Dilys Roe. 2002. “Making Tourism Work for the Poor: Strategies and Challenges in Southern Africa”. Development Southern Africa. Vol: 19. No. 1. Ashley, Caroline and Gareth Hayson. 2006. “From Philanthropy to a Different Way of Doing Business: Strategies and Challenges in Integrating Pro-Poor Approaches into Tourism Business”. Development Southern Africa. Vol: 23. No. 2. Ashley, Caroline and Goodwin, Harold. 2007. Pro Poor Tourism’: What’s gone right and what’s gone wrong? Overseas Development Institute Unite kingdom.
170
Athanasopoulou, Anna. 2013. Tourism as a driver of economic growth and development in the EU-27 and ASEAN regions. EU Center, Singapore. Babbie, Earl 2005. The Basic of Social Research, Third Edition, Chapman University, Thompson Wadsworth, USA Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka 2012, UD. Sarana Ilmu Denpasar, Bali. Badan Pusat Statistik. 2008. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan 2008, Jakarta Bali Post. 3 Agustus 2015. Menanggulangi Kemiskinan Desa Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi. BAPPEDA/Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali. 2014. Buku Data Bali Membangun. BAPPEDA/Litbang Kabupaten Badung. 2014. Upaya Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Melalui CSR di Kabupaten Badung BAPPENAS/Badan Perencanaan Pembanguan Nasional. 2006. Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 20042012.files/6613/7890/Buku_Datin_Kinerja_Pembangunan_2004-2012 .pdf. 30 April 2013. Diunduh tangal 01 April 2014. BAPPENAS, Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan nak Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan. Evaluasi Pelayanan Kerluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin. 2010 Bonfiglioli, Angelo. 2003. Empowering the Poor, United Natioans Capital Development Fund _______. 2004. United nations Capital Development Fund, Anwar, Jahid Md. 2012. “Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism: A Critical Analysis Of 'Pro-Poor Tourism' And Implications For Sustainability In Bangladesh”, Research Report Presented to Professor COOPER Malcolm J. M. In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Of Master of Science in International Cooperation Policy. BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/Departemen Sosial. 2002. Penduduk. Fakir Miskin Indonesia 2002. BPS. Jakarta. BPS/Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2014. Badung Dalam Angka. BPS/Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2014. Bali Dalam Angka 2014
171
Brannen, Julia. 1992. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Brookfield, USA: Avebury, Aldershot Publisher. Brian Garrod. 2001.Local Partisipation in the Planning and Management of Ecotourism: A Revised Model Approach, University of the West of Eng-land, Bristol. Brida. Juan Gabriel, Pereyra, Juan Sebastian, Devesa, Maria, Jesus Such. Evaluating the Contribution of Tourism to Economikc Growth. http://ssm.com/abstract=10184466. Diunduh 06 January 2015. Brown, Donald. 2005. “Poverty-Growth Dichotomy”. Dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York University Press, New York. Bryden, J. 1973. Tourism and Development: A Case Stydy of the Commenwealth Carribean. Cambridge: Cambridge University Press. Burns, Peter M., Holden, Andrew. 1995. Tourism A New Perspective. Prentice Hall, 1955 Englewood Cliffs, NJ 07632 Butler, Eamonn. 2011. The Condensed Wealth of Nation and The Incridibly Condensed Theory of Moral Sentiments. Adam Smith Research of Trust, England Cattarinich, X. 2001. Pro-Poor Tourism Initiatives in Develiping Countries: Analysis of Secondary Case Studies. PPT Working Paper No. 8. ODI, Edmonton. Chambers, Robert. 2005. Memahami Desa Secara Partisipatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Chan, Kit Ying Sharon dan Kulkarni, Kishore G. 2006. A test of the Kuznet U Hypothesis: Income Inequality Behind the Rapid Economic Growth in China. University of Denver, Denver, CO 80208, USA Cohen. 2005. Sosiologi Pariwisata. CV Andi Offset. Yogyakarta. Cooper, Chris; Fletcher, John, Gilbert, David; Wanhill, Stephen. 1993. Tourism Principle & Practice.Pitman Publishing, London. Cooper, Donald R. dan Pamela S. Schlinder. 2008. Business Research Methods. Mc Graw-Hill. New York. Corbett, Steve and Fikkert, Brian. 2012. When Helping Hurt. Moody Publishers 820N.Lasalle Boulevard Chicago, II 60610 USA
172
Cornwall, Andrea, and Karen Brock, 2005, “Beyond Buzzwords Poverty Reduction, Participation and Empowerment in Development Policy”, United Nations Research Institute for Social Development, hlm. 1-34. Cox, C. 2004. Teaching Language Arts: A Student- and Response-Centered Classroom. Allyn and Bacon. Boston. Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: SAGE Publications. Dahlquist, Matilda. 2013. Does Economic Growth reduce Poverty?An Empirical Analysis of the Relationship between Poverty and Economic Growth Across Low-and Middle-income Countries, Illustrated by the Case of Brazil. Södertörn University, Sweden Damanik, J dan Weber H. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta, Penerbit Andi. Damanik, J. 2005. “Kebijakan Publik dan Praksisi Demokratic Governance di Sektor Pariwisata”, Jurnal ISIP, 8(2), Juli. _______. 2008, Internasionalisasi Program Pendidikan sebagai Strategi Peningkatan Daya Saing SDM Pariwisata, Jurnal Kepariwisataan Nasional, Vol. 3 No. 1.Damanik, J., 2009. “Managing the Uncertainty of the Indonesia Tourism Sustainbility”, Proceeding Internasional Seminar on Sustainable Tourism Management, Maejo University, Chiang Mai. Davidson, Thomas Lea and William, F. Theobald. 2005. What Are Travel and Tourism: Are They Really an Industri?,Printed in the United States of Amerika. Del Corpo, Barbara., Gasparino, Ugo., Bellino, elena and Malizia, William. (2008: 4-5). Effect of Tourism Upon the Economy of small and Medium Sized European Cities.Cultural Tourists and “The Others: Social Science Research Network Electric paper Collection http://ssrn.com/abstract1140611. Nota Di Lavoro 22.2008 Denzin, Norman K andLincoln, Yvonna S. 2005. Qualitative Research. Third Edition. Sage Publication. Inc. California. Dewantoro, Pendi., Rujiman, dan Sariadi, Agus. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kawasan Mebidangro, Jurnal Ekonomi, Vol. 17, No. 3, hal. 140-164. Dilys., Harris Catherine., Andrade, de Julio. 2003. Addressing Poverty Issues in Tourism Standard, PPT Working Paper No.14, hal.1-14.
173
Dinas Pariwisata Kabupaten Badung. 2014. Profil Dinas Pariwisata Kabupaten Badung Tahun 2014. Bali Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2014. Bali Tourism Statistic. Bali Djaelani, Aunu Rofiq. 2013. Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif, Majalah Ilmiah Pawiyatan, FPTK IKIP Veteran Semarang. Djaya, Ashad Kusuma. 2012. Teori-teori Modernitas dan Globalisasi Kreasi Wacana, Bantul. Edgar L. Jackson and Thomas L. Burton. 1999. Leisure Studies Prospects for the Twenty First Century. Venture Publishing, Inc. State College, Pennsylvania, USA Edward, Peter. 2006. UNDP, Poverty in Focus, International Poverty Center, Brazil Elesh, David. 1970. Poverty Theories and Income Maintenance: Valadity and Policy Relevance. The Institute for Research on Poverty University of Wisconsin, USA. Emanurl, de Kadt. 1979. Tourism Pasport to Development. A join World BnkUnesco Study Eyben, Rosalind., Naila Kabeer and Andrea Cornwall. 2008. “Conceptualising empowerment and the implications for pro poor growth”, Report to DAC POVNET on empowerment, 1-37. Fields, Gary S. 2007. ILRI Impact Brief-Economic Development, Labor Markets and Poverty Reduction. Cornel University, ILR School Fridgen, Joseph D. 1996. Dimensions of Tourism, Educational Institut of the American Hotel & Lodging Association Michigan 48906 Friedman, John. 2002. Empowerment The Politics of A lternative Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA. Geriya, I Wayan. 2010, “Antara Aneka Paradoks dan Budaya Hibrida”, Jendela Pariwisata Indonesia, Inisiator, Panudiana Kuhn. Ghozali, H. Imam, (2006). Strictural Equation Modeling. Metode Alternatif Dengan Partial Least Square (PLS). Badan Penerbit UNDIP Semarang. Giampiccoli, Andrea and Janet Hayward Kalis. 2012. “ Community-based tourism and local culture: the case of the amaMpondo” PASOS. Revista de Tourismo y Patrimonio Cultular. Vol: 10. No. 1. pp. 173-188.
174
Gibson, Chris. 2009. “Geograpies of tourism: critical research on capitalism and local livelihoods”. Progress in Human Geography. Vol: 33. No. 4. Goodwin, Harold and Rosa Santilli. 2009. ”Community-Based Tourism: a success?. Responsible Tourism. pp. 1-37. Goodwin, Harold. 2008. “Pro-poor Tourism: a response”. Third World Quarterly. Vol: 29. No. 5. pp. 869-871. Gordon, David. 2005. Indicators of Poverty and Hunger. University of Bristol, New York. Gunn, Clare A with Var Turgut. 2002. Tourism Planning Fourth Edition. Basic, concepts, Cases Routledge Taylor&Francis Group. New York Guo, Lan. 2008. “Pro-Poor Tourism in China: Preliminary Investigation”. PhD of School of Contemporary Chinese Studies. University of Nottingham. pp. 1-18. Hadinoto, Kusudianto. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Destinasi Pariwisata, UI Press, Jakarta. Hall, C Michael. 2008. Tourism Planning. Policies, Processes and Relationships. Pearson Education Limited, England ______. 2007. Pro-Poor Tourism: Who Benefits?, Perspectives on Tourism and Poverty Reduction. Channel View Publications. New Zealand Harniati. 2007. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistemdan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hidayat, Noermayanti dan Otok, Bambang Widjanarko. 2012. Pemoderal Structural Equation Modeling (SEM) Berbasis Varian Pada Derajat Kesehatan di Provinsi Jawa Timur 2010, Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012. Harrison, David. 2008. “Pro-Poor Tourism: a Critique”. Third World Quartertly. Vol: 29. No. 5. pp. 851-869. Harvery, David. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta, Resisst Book, 2009. Hatton, M.J. 2010, Community Based Tourism in the Asia-Pacific, School of Media Studies a at Humber College. Canada.
175
Helling, L., Serrano, R., & Warren, D. 2005. Linking community empowerment, decentralized governance, and public service provision through a local development framework: Social Protection, The World Bank. Hendriwan, 2003. ”Penanggulangan Kemiskinan Dalam Kerangka Kebijakan Desentraslisasi”, Makalah Falsafah Sains (PPS 772). Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor. Hill, Trevor., Etienne Nel and Dayle Trotter. 2006. “Small-Scale, Nature-Based Tourism as a Pro-Poor Development Intervention: Two Examples in Kwazulu-Natal, South Africa”. Journal Compilations. Ife, J.W. 2005. Community Development: Creating Community Alternativesvision, Analysis and Practice. Longman, Melbourne. Jamieson, Walter., Harold Goodwin and Christopher Edmundo. 2004. “Contribution of Tourism To Poverty Alleviantion: Pro-Poor Tourism and Challenge of Measuring Impacts” For Transport Policy and Tourism Section Transpor and Tourism Devision UN ESCAP. Jennings, Gayle. 2001. Tourism Research. John Wiley and Sons Australia. Sidney and Melborne. Johannes, Muller., 1997. Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, Gramedia Pustaka, Jakarta. Jonaidi, Arius. 2012. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Kajian Ekonomi, Vol. 1, No. 1, hal. 140-164. Jonker, Jan., Pening, J.W., Bartjan., Wahyuni, Sari. 2011. Metode Penelitian Pantuan untuk Master dan Ph.D. di Bidang Manajemen, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Joppe, Marion. 1996. Sustainable Community Tourism Development Revisited, Tourism Management, Vol. 17 No.7, pp 475-479, 1996. Elsevier Science Ltd, Great Britain Kadt, Emanuel de. 1976. Tourism Passport to Development. A joint World Bank Unesco Study, Oxford University Press, New York. Kakwani, Nanak and Pernia, Ernesto M. 2000. What is Pro Poor Growth? Asian Development Bank Review, Vol.18, No.1,pp. 1-16. Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga berencana Nasional. 1996.
176
Karim, Rehmat., Faqeer Mohammad., Loris Serafino. 2012. “Integrating pro-poor tourism activities in a community-based idea of development: the case of the district of Hunza-Neger, Pakistan”, Proceedings of the International Colloquium on Tourism and Leisure (ICTL) 2012 Bangkok, www.ictlconference.com. Kartasasmita, Ginandjar. 2006.Pembangunan Untuk Rakyat-Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Penerbit PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. ______. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat, Disampaikan pada Saresehan DPD GOLKAR Tk I. Jawa Timur Surabaya, 14 Maret 1997. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia 2015. Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Jakarta. Keynes, Milton. Powerful Information, Grassroots International Development, MK 139AP, UK. www.poweful information.org. Diunduh 20 Januari,2014. Kirdar, Uner dan Leonard Silk. 2005, People: From Impoverishment to Empowerment. New York University Press, New York. Krongkaew, Medhi., Chamnivickorn, Suchittra., Nitithanprapas, Isriya. 2006. Economic Growth, Employment, and Poverty Reduction. The case of Thailand www.ilo.org/.../wcms_120671.pdf. Diunduh 15 September, 2015 Kuncoro, Mudrajad.2000. Ekonomi Pembangunan. Teori Masalah dan Kebijakan, Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Kuznet, Simon, 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review VolumeXLV. March, 1955, Volume One. Laderchi, Caterina Ruggeri., Saith Ruhi., Stewart. 2006. U N D P,Poverty in Focus, International Poverty Center, Brazil Leon, Yolanda M. 2006. “The Impact of Tourism on Rural Livelihoods in the Dominican Republic’s Coastal Areas”. Journal of Development Studies. Vol: 43. No. 2. Lewis and Brown. 2008. “Title: Pro-Poor Tourism: A Vehicle for Development in Trinidad and Tobago”. Sir Arthur Lewis Institute of Social and Economic Studies (SALISES). pp. 1-22. Lieter, Bernard., De Meulenaere. 2003. Sustaining Cultural Vitalaity in a Global World: The Balinese example
177
Lincoln and Guba (1987)., Creswell (1944) dan Agusta (2005). Asumsi-Asumsi Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif, ivanagusta.files.wordpress.com/.../ivan-metode kualiatif. Diunduh Januari 2014-09-24. Local Environmental Governance and the Decentralized Management of Natural Resources. 2004. New York 10017. Louis Helling,Louis.,Serano, Rodrigo., Warren, David. 2015.Community Driven Development. Lingking Community Empowerment, Decentralized Governance, and Public Service Provision Through a Local Development Framework, Social Protection Advisory Service, The World Bank, Washington, D. C. Meaton, Julia dan Robinson., Alex J. 2003. Bali Beyond The Bomb: Disparate Discourses and Implication For Sustainability. Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2009. Buku Undang - Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Miles, Matthew B dan Huberman, A Michael. 1994. Qualitatif Data Analysis. Second Edition. Sage Publications. London ______. 2002. Analisis dan Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press, Jakarta. Mitchell, Jonathan and Jojoh Faal. 2007. “Holiday Pacpage Tourism and the Poor in the Gambia”. Development Southern Africa. Vol: 24. No. 3. Mograbi, Jonathan and Cristian M. Rogerson. 2007. “Maximising the Local ProPoor Impact of Dive Tourism: Sodwana Bay, South Africa”. Urban Forum. Vol: 18. No. 85. pp. 104. Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 40252 Mowforth, Martin and Munt, Ian. 2009. Tourism and Sustainability, Development, globalization and new tourism in the Third World, Routledge. London Mubyarto. 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta. BPFE-UGM. Muhanna, Emaad. 2007. “Problem and Perspectives in Management”. Tourism Development Strategies and Poverty Elimination. Vol: 5. No. 1. pp. 37. 14pgs. Nehen, Ketut. 2012. Perekonomian Indonesia, penerbit Udayana University Press, Bali.
178
Neil Leiper. 2004. Tourism Management, Pearson Hospitality Pearson Education Australia Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian, Jakarta: Prenada Media Grup. Nurhidayati, Sri Endah. 2012, “Pengembangan Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Komunitas di Kota Batu, Jawa Timur”, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nurkse. 2000. Problems Of Capital Formation In Underdeveloped Countrieswww.bps.go.id. Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI). Okazaki, Efsuko. 2008. “A Community-Based Tourism Model: Its Conception and Use” Jurnal of Sustainable Tourism. Vol:16. No. 5. pp. 551-529. Page, Net.,Czuba, Chery E. 1999. Journal Of Extension, www.joe.org, October 1999//Volume 37//Number 5 // Commentary // 5COM1. Diunduh 21 Jamuary, 2014 Pangestu, Mari Elka. 2013. Tourism Sector in 2013: Continues Resilience?Jakarta Post Outlook 2003, Jakarta Papilaya, Eddy Chiljon. 2013. 7 Kiat Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pemiskinan Bangsa.PT. Penerbit IPB Press, Bogor. Paul Aondona, Angahar. 2012. “Fast Tracking Economic Empowerment and Poverty Reduction through Support of Local Councils for Micro and Small Businesses in Nigeria”, International Journal of Business and Management Tomorrow, Vol. 2 No. 4, hlm. Hlm. 1-9. Pemerintah Kabupaten Badung. 2013. Tinjauan Perekonomian Kecamatan 20102012. _______. 2014a. Monografi Desa dan Kelurahan Pelaga. _______. 2014b. Monografi Desa dan Kelurahan Belok Sidan. _______. 2014c. Monografi Desa dan Kelurahan Jimbaran. _______. 2014d. Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa Pecatu Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. _______. 2015. BADUNGKAB.CO.ID. Membedah LKPJ AMJ Bupati Badung Periode 2010-2015. _______. 2015. Kondisi Umum Pembangunan di Kabupaten Badung.
179
Pemerintah Propinsi Bali. 2009. Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (DSPKD) Propinsi Bali Tahun 2010-2014. Perkins, Douglas D., Zimmerman, Mark A. 1995. Empowerment Theory, Research, and Application. American Journal of Community Physchology, Vol 23, No 5, 1995. Pike,
Steven. 2008. Drstination Marketing An Communication Approach. Elsevier Inc USA.
Integrated
Markeeting
Prajoga,M. J.1973. The Nusa Dua Area Development Plan, Directorate General of Tourism Ministry Communications Republic of Indonesia, Jakarta Rahardjo, Dawam. 2013. Temu Nasional Penanggulangan Kemiskinan 2013 “Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Mendukung Sinergi Multipihak untuk Pengembangan Usaha Mikro. Sinergi Indoneisa, Jakarta. Ramadani, Mutiara. 2012.Perencanaan Pariwisata Pro-Masyarakat Miskin di Kampung Baru, Jakarta Barat. Rappaport, Julian. 1987. Term of Empowerment/Exemplars of Prevention, Toward a Theory for Community Physchology. American Journal of Community Physchology, Vo.15, No.2. 1987 Reisinger, Yvette. 2009. International Tourism Cultures and Behavior, Elsevier Inc, New York. Richardson, Robert B. 2010. Michigan State University. The Contribution of Tourism to Economic Growth and Food Security. USAID Mali Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, University of Maryland. Robinson, J Alex and Meaton, Julia. 2005. Bali beyond the Bomb; Disparate Discourses and implications for Sustainability, University of Hudderfield, UK. Robinson, William I. 2004. A Theory of global Capitlism: Production, Class, and State in a Transnational World. http://www.goodreads.com/book/show/ 189463.A_Theory_of_Global_Capitalism. Diunduh 16 Februari 2015. Rodick, Dani. (2007). One Economics, Manyaa Revipes: Globalization, Institutions and Economic Growth. Harvard University Roe, Dilys and Penny Urquhart. 2001. “Pro-Poor Tourism: Harnessing the World’s Largest Industry for the World’s Poor”, IIED (International Institute for Enviorenment and Development). London
180
Roe, Dilys., Caroline Ashley., Sheila Page and Dorothea Meyer. 2004. “Tourism and the Poor: Analysing and Interpreting Tourism Statistics from a Poverty Perspective”, PPT (Pro-Poor Tourism), hlm. 1-29. Roe. Rogerson, Christian M. 2006. “Pro-Poor Local Economic Development in South Africa: The Role of Pro-Poor Tourism”. Local Environment. Vol. 11. No. 1. Roy, Hiranmoy. 2010. Social ScienceReasearchNetwork. The Role of Tourism to Poverty Alleviation. http://papers.ssrn.com/s013.cfm?abstract_id=1999971 Diunduh 03 September, 2014. Scheyvens, Regina and Janet H. Momsen. 2008. “Tourism and Proverty Reduction: Issues for Small Island States”. Tourism Geographies. Vol: 10. No. 1. pp. 22-41. Schiffman, Leon., Kanuk., Leslie Lazar. 2008. Prilaku Konsumen. Edisi Ketujuh, Jakarta. Schilcher. 2007. Pengantar Ilmu Pariwisata. Angkasa. Bandung. Sebele, Lesego S. 2010. “Community-based tourism ventures, benefits and challenges: Khama Rhino Sanctuary Trus, Central District, Botswana” Tourism Management. Vol:31. pp. 136-146. Selinger, Evan. 2009. “Ethics and Poverty Tours”. Philosophy ad Public Policy Quarterly. Vol: 29. No. 1/2. pp. 112-122. Setyawan, Anton Agus. 2001. “Kemiskinan Dunia Ketiga dalam Perspektif Ekonomi Politik Internasional”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian Masalah Ekonomi Pembangunan, Penerbit Balai Penelitian dan Pembangunan Ekonomi FE UMS, Vol. 2, No. 2, Surakarta. Sheldon, Pauline J and Teresa Abenoja. 2001. “Resident attitudes in a mature destination: the case of Waikiki”. Tourism Management. Vol. 22, 435-443. Siregar, Hermanto dan Wahyuniarti, Dwi, Pustaka.blog.mb.ipb.ac.id/files /2010/.../dampak-ptbmbhn-ek_hermanto. Diunduh tanggal 27 Mei 2015, hal. 23-40. Smith, Adam. 1778. The Wealth of Nation: The Inquiry into The Wealth of Nation. New York 2007 Soedjatmoko.2008. Pembangunan dan Kebebasan. LP3ES, Jakarta. Spenceley, Anna and Jennifer Seif. 2003, “Strategies, Impacts and Costs of ProPoor Tourism Approaches in South Africa”, International Centre for Responsible Tourism, PPT Working Paper No. 11, page. 1-44. Stamboel, Kemal A. 2012. Panggilan Keberpihakan: Strategi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
181
Stiglitz, Joseph E. 2003.Globalization And Its Discontents. W.W Norton & Company, Inc., 500 Fith Avenue, New York, NY 10110 Sudipa, I Nyoman. 2014. Disertasi: Kemiskinan Dalam Industri Pariwisata Di Kelurahan Ubud. Program Doktor Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar. Suharto, Edi. 2007. Konsep dan Strategi Pengentasan Kemiskinan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung (http://.policy.hu/suhatro/modula/makindo 13.htm). Diunduh tanggal 2 Juni 2014. 09:48 Sukijo. 2009. Cakrawala Pendidikan, Juni 2009, Th XXXVIII, No.2. FISE Unversitas Negeri Yogyakarta. Sumodiningrat, G. 2002.Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial, Gramedia, Jakarta. Sutikno., Soedjono, Eddy Setiadi., Rumiati., Agnes Tuti dan Latip, Triwuwarno. 2011. Pemilihan Program Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Model Pemberdayaan Masyarakat Dengan Pendekatan sistem Jurnal ekonomi Pembangunan Volume 11, Nomor 1, Juni 2010 hal 135-147. Suyana Utama, I Made. 2006. Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian dan Perubahan Struktur Ekonomi serta Kesejahteraan Masyarakat di Propinsi Bali. Disertasi. Universitas Udayana. Tara., Ariawan, Odeck., Ballinger, Rucina., James, Jamie., Mohamad, Gunawan., Murdoch, James., Reisner, Stefan., Toth, Andy., Cody., Shwaiko, Lynn. 2004. Ubud Is A Mood, A ali Purnati Book, Gianyar Tasci., Asli D.A., Semrad, Kelly J., Yilmaz Semih S. 2013, Community Based Tourism Finding The Equilibrium in COMCEC Contact, Setting the Pathway for the Future. COMCEC Coordination Office, Ankara, Turkey. Tewksbury, Richard. 2009. Qualitative versus Quantitative Methods: Understanding Why Qualitative Methods are Superior for Criminology and Criminal Justice. Journal of Theoretical and Philosophical Criminology, Vo 1 (1) 2009. University of Louisville, USA Theobald, William F. 2005. Global Tourism Third Edition, Elsevier Inc, New York. Thomas, Vinod., Wang, Yan and Fan, Xibo. 2005. Journal: MeasuringEducational Inequity: Ginni Coefficients of Education. http://www.worldbank.org/devforum/forumqog3.html.
182
Tjokrowinoto, Moeljarto. 2005. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata. Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Tourism and Hospitallity Studies, Introduction to Tourism. 2013. The Government of Hong Kong, Special Administrative Region. Education Bureau, Hong Kong Torres, Rebecca and Janet Henshall Momsen. 2004. “Challenges and Potential for Linking Tourrism and Agriculture to Achieve Pro-Poor Tourism Objectives”. Progress in Development Studies. Vol: 4. No. 4. Tosun, Ceva. 2000. “Limits to community participation in the tourism development process in developing countries”, Tourism Management, Vol. 21, hlm. 613-633. Towner, John. 1995. What is Tourism’s History. Tourism Management. Vol.16.5. pp.339-343. Elsevier Science Ltd, Great Britain United Nations Environment Program. 2005. Division of Technology, Industry and Economics, France. United
Nations World Tourism Organization. Understanding Basic Glosarryhttp://media.unwto.org/en/content/understanding-tourism-basicglossary. Diunduh tanggal 19 Maret 2015
______.World Tourism Barometer, Volume 11, January 2013. ______. 2003. Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism Development, Economic And Social Commission For Asia And The Pacific, hlm. 1-172. ______. 2007. Report On The Achievement Of Millenium Goals of Indonesia ______. 2012. The Millenium Development Goals Report. New York. ______. 2012. We can End Poverty 2012, Millineum Development Goals, New York. ______. 2013. The Millineum Development Reports. New York ______. 2013. Sustainable Tourism Development, Madrid, Spain. ______. 2013. International on the rise boosted by strong performance in Europe, Press Release, PR no.: PR 13066, Madrid 2013 ______. 2014. Tourism Highlite 2014 Editions, Madrid, Spain Wahyudi, Heri. 2007. “Pariwisata, Pengentasan Kemiskinan dan MDGs”, UPBJJUT, Denpasar.
183
Wahyuni, Sari. 2015. Qualitative Research Method Theory and Practice, 2nd Edition, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Wall, Geoffrey dan Mathieson, Alister. 2006. Tourism, Change, Impact and Opportunities.Pearson Educational Limited, England. Widiateja, IGN Parikesit. 2011. Kebijakan Liberalisasi Pariwisata, Udayana University Press 2. Wold, Herman. 1966. Theory and Application of Partial Least Squares, Department of Statistics University of Uppsla, Sweden. Wood, Kenneth. 2005. Pro-poor tourism as a means of Sustainable Development in the Uctubamba Valley, Northern Peru,Junal University of Greenwich, School of Science Departtment of Earth and Environmental Sciences page 1-116. Woodsong, Mack N., and Macqueen K. 2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. North Carolina: Research Triangle Park. World Bank. 2002.Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook, Tools and Practices 20, hlm. 1-280. ______. 2002.Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook, Tools and Practices 20, hlm. 1-280. ______. 2003. Bali Beyond The Tragedy. Impact and Challenges for Tourism-led Development in Indonesia ______. 2008. World Development Indicator. Poverty Data, A Supplement to World Development Indicators. Washington. D.C. 20433 USA. ______. 2013. Annual Report 2013 World Tourism Organization. 2004. Tourism 2020 Vission, Madrid: WTO. ______. 2011. United Nations World Travel Organization Annual Report, Spain. ______. 2012. Metodological Notes to the Tourism Data Base, Spain World
Tourism Organizationwww.world-tourism.org. Malta Tourism Digestwww.mtadigest.com.mt. Diunduh tanggal 17 Agustus 2013, jam 10.00 wita
World Travel Tourism Council. 2013.
[email protected]. Tourism Economic Impact 2013
Travel and
WTTC, World Travel Tourism Council. 2012. Travel and Tourism Economic World Impact, 2012, London
184
Yoeti, Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Yudhoyono, H Susilo, Bambang. 2014. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 64 Tahun 2014, Koordinasi Strategis Lintas Sektoral Penyelenggaraan Kepariwisataan, Jakarta. Zastrow, Charles H. 2008. Understanding Human Behavior and The Social Environment, 6th ed, Thomson, USA.
185
Lampiran 1 Rasio Gini Provinsi Bali Tahun 2004-2013
Kabupaten/ Kota Jembrana
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
0.2159
0.2611
0.2325
0.2376
0.2583
0.2370
0.2575 0.4020 0.3706 0.3710
Tabanan
0.2104
0.2329
0.2606
0.2481
0.2437
0.2525
0.2596 0.3648 0.3473 0.3862
Badung
0.2693
0.2966
0.2794
0.1740
0.2673
0.2273
0.2864 0.3385 0.3258 0.3468
Gianyar
0.1866
0.2561
0.2844
0.2408
0.2788
0.2487
0.2717 0.3279 0.3362 0.3254
Klungkung
0.1909
0.2761
0.2448
0.2259
0.2876
0.2871
0.2857 0.3777 0.3473 0.3599
Bangli
0.1735
0.2330
0.2179
0.1809
0.2365
0.2263
0.2217 0.2678 0.3053 0.3073
Karangasem
0.2232
0.2499
0.2317
0.2288
0.2082
0.2147
0.2325 0.2916 0.2877 0.3293
Buleleng
0.2327
0.2754
0.2385
0.2111
0.2485
0.2612
0.2557 0.3434 0.3330 0.3755
Denpasar
0.2543
0.2620
0.2865
0.2685
0.2661
0.2652
0.2950 0.3399 0.4248 0.3638
BALI
0.2669
0.3284
0.3046
0.2788
0.3104
0.31
0.37
Sumber : Bali Dalam Angka, 2015
2011
0.41
2012
0.43
2013
0.403
186
Lampiran 2
Frequencies Statistics
N
Valid Missing
Mean Std. Error of Mean Median Mode Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum Sum
Kunjungan wis. 14 0 649657.1429 85862.48136 590140.5000 223548.00a 321267.988 1.032E+011 968581.00 223548.00 1192129.00 9095200.00
Kontribusi PHR 14 0 3833794.0 512522.72 3226162.0 1551723.00a 1917684.4 3.68E+012 5708585.00 1551723.00 7260308.00 53673116
Lama tinggal 14 0 4.1350 .18026 3.9500 3.60 .67449 .455 2.35 3.55 5.90 57.89
Pengeluaran wis. 14 0 838432.8571 10094.31024 831322.5000 792500.00a 37769.45047 1426531389 134390.00 792500.00 926890.00 11738060.00
Pertumb. ODRB 14 0 10118642 1546993.7 8250204.0 3433683.0a 5788320.4 3E+013 17564395 3433683.0 20998078 1E+008
Penyerapan TK 14 0 214470.9286 20502.76436 210869.5000 101626.00a 76714.31973 5885086852 229271.00 101626.00 330897.00 3002593.00
Investasi 14 0 3E+009 7E+008 2E+009 1E+008a 3E+009 7E+018 8E+009 1E+008 9E+009 5E+010
Jml pend. miskin 14 0 4.1271 .33920 4.4250 3.28 1.26919 1.611 3.80 2.16 5.96 57.78
Indeks kedalaman 14 0 4.1271 .33920 4.4250 3.28 1.26919 1.611 3.80 2.16 5.96 57.78
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Frequency Table Kunjungan wis.
Valid
223548.00 249845.00 382443.00 383613.00 466111.00 473774.00 497899.00 682382.00 734861.00 774753.00 812489.00 1092413.00 1128940.00 1192129.00 Total
Frequency 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
Indeks keparahan 14 0 .6457 .08043 .6600 .27 .30094 .091 .78 .27 1.05 9.04
187
Kontribusi PHR
Valid
1551723.00 1760542.00 1982527.00 2183220.00 2420490.00 2815368.00 3024627.00 3427697.00 3973531.00 5398644.00 5467109.00 5898698.00 6508632.00 7260308.00 Total
Frequency 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
Lama tinggal
Valid
3.55 3.60 3.74 3.75 3.85 3.93 3.97 4.00 4.08 4.20 4.44 5.28 5.90 Total
Frequency 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
188
Pengeluaran wis.
Valid
792500.00 801195.00 811483.00 819213.00 822990.00 826768.00 830545.00 832100.00 834323.00 839460.00 841878.00 845655.00 913060.00 926890.00 Total
Frequency 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
Pertumb. ODRB
Valid
3433683.00 4086884.00 4818029.00 5247930.00 5891232.00 7004648.00 7701193.00 8799215.00 10478391.00 12875498.00 14926782.00 16403318.00 18996103.00 20998078.00 Total
Frequency 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
189
Penyerapan TK
Valid
101626.00 118433.00 135239.00 152046.00 168853.00 185659.00 202466.00 219273.00 227091.00 231628.00 305897.00 310147.00 313338.00 330897.00 Total
Frequency 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
Investasi
Valid
148750200.00 152801324.00 154931201.00 1101407059.00 1652957796.00 1890474000.00 2360745445.00 2362541294.00 4140660000.00 5305717700.00 5334590363.00 6043268777.00 6048968601.00 8536644646.00 Total
Frequency 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
190
Jml pend. miskin
Valid
2.16 2.46 2.62 3.23 3.28 4.28 4.57 4.68 5.00 5.25 5.31 5.70 5.96 Total
Frequency 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
Indeks kedalaman
Valid
2.16 2.46 2.62 3.23 3.28 4.28 4.57 4.68 5.00 5.25 5.31 5.70 5.96 Total
Frequency 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 7.1 7.1 7.1 7.1 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 7.1 14.3 21.4 28.6 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
191
Indeks keparahan
Valid
.27 .33 .35 .39 .46 .52 .80 .81 .86 .93 .99 1.01 1.05 Total
Frequency 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Percent 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Valid Percent 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
Cumulative Percent 14.3 21.4 28.6 35.7 42.9 50.0 57.1 64.3 71.4 78.6 85.7 92.9 100.0
192
Lampiran 3 PLS Output 1 Structural Model Specification Y1.1
0.970
X1.1
X1.3
X1.4
0.979
Y1.3
0.849
0.797 Kinerja Perekonomian
0.739 0.893
X1.2
Y1.2
-0.652
0.948 -0.817
0.000 Perkembangan Pariwisata
0.908 Kemiskinan
-0.324
0.428
0.992
.
Y2 1
0.929
0.956
.
Y2 2
.
Y2 3
PLS Quality Criteria Overview AVE
Composite Reliability
R Square
Cronbachs Alpha
Communality
Redundancy
Kemiskinan
0.920
0.972
0.908
0.956
0.92033
0.7369
Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
0.873
0.954
0.797
0.927
0.87286
0.6838
0.574
0.497
-0.038
0.5738
Redundancy Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
redundancy 0.737 0.684
Cronbachs Alpha Cronbachs Alpha Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
0.956 0.927 -0.038
193
Latent Variable Correlations Kemiskinan Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kinerja Perekonomian
1 -0.941
1
-0.906
0.893
Perkembangan Pariwisata
1
R Square Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
R Square 0.908 0.797
Cross Loadings
x1.1 x1.2 x1.3 x1.4 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
Kemiskinan
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
-0.542 -0.949 0.724 -0.379 -0.950 -0.953 -0.702 0.992 0.956 0.929
0.557 0.937 -0.769 0.169 0.970 0.979 0.849 -0.931 -0.945 -0.828
0.739 0.948 -0.817 0.428 0.928 0.905 0.627 -0.884 -0.891 -0.831
AVE Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
AVE 0.920 0.873 0.574
Akar AVE 0.959 0.934 0.757
194
Communality Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
communality 0.920 0.873 0.574
Total Effects Kemiskinan
Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
-0.652 -0.906
0.893
Composite Reliability Composite Reliability Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
0.972 0.954 0.497
Outer Loadings Kemiskinan
x1.1 x1.2 x1.3 x1.4 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata 0.739 0.948 -0.817 0.428
0.970 0.979 0.849 0.992 0.956 0.929
195
Outer Model (Weights or Loadings) Kemiskinan Kinerja Perekonomian x1.1 x1.2 x1.3 x1.4 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
Perkembangan Pariwisata 0.739 0.948 -0.817 0.428
0.970 0.979 0.849 0.991 0.956 0.929
Path Coefficients Kemiskinan
Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
-0.652 -0.324
0.893
Kemiskinan
Kinerja Perekonomian
Outer Weights
x1.1 x1.2 x1.3 x1.4 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
Perkembangan Pariwisata 0.271 0.465 -0.368 0.135
0.394 0.390 0.279 0.357 0.361 0.323
196
Inner Model T-Statistic Kemiskinan Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
9.102 4.309
Kinerja Perkembangan Perekonomian Pariwisata
62.609
Total Effects (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Mean Standard Sample (O) (M) Deviation (STDEV) Kinerja Perekonomian Kemiskinan Perkembangan Pariwisata Kemiskinan Perkembangan Pariwisata Kinerja Perekonomian
Standard Error (STERR)
-0.652
-0.657
0.072
0.072
-0.906
-0.908
0.011
0.011
0.893
0.896
0.014
0.014
->
->
->
Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Sample Mean (O) (M) Kinerja Perekonomian -0.652 -0.657 -> Kemiskinan Perkembangan -0.324 -0.319 Pariwisata -> Kemiskinan Perkembangan 0.893 0.896 Pariwisata -> Kinerja Perekonomian
Standard Deviation (STDEV) 0.072
Standard T Statistics Error (|O/STERR|) (STERR) 0.072 9.102
0.075
0.075
4.309
0.014
0.014
62.609
197
Outer Weights (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Sample Mean (M) (O) x1.1 <- 0.271046 0.268504 Perkembangan Pariwisata x1.2 <- 0.465193 0.46333 Perkembangan Pariwisata x1.3 <- -0.368192 -0.367382 Perkembangan Pariwisata x1.4 <- 0.135404 0.129854 Perkembangan Pariwisata y1.1 <- Kinerja 0.3938 0.393081 Perekonomian y1.2 <- Kinerja 0.38966 0.388929 Perekonomian y1.3 <- Kinerja Perekonomian y2.1
Standard Deviation (STDEV) 0.032656
Standard Error (STERR) 0.032656
T Statistics (|O/STERR|)
0.026716
0.026716
17.412625
0.021229
0.021229
17.344163
0.046406
0.046406
2.917797
0.009262
0.009262
42.519091
0.007312
0.007312
53.29282
8.299924
0.278958
0.279625
0.009697
0.009697
28.766873
0.357006
0.356331
0.006644
0.006644
53.735846
0.361456
0.360756
0.007255
0.007255
49.821986
0.323259
0.323894
0.005439
0.005439
59.435895
Outer Loadings (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Sample Mean (M) (O) x1.1 <- 0.7388 0.7353 Perkembangan Pariwisata x1.2 <- 0.9477 0.9495 Perkembangan Pariwisata x1.3 <- -0.8174 -0.8175 Perkembangan Pariwisata x1.4 <- 0.4280 0.4142 Perkembangan
Standard Deviation (STDEV) 0.0666
Standard Error (STERR) 0.0666
T Statistics (|O/STERR|)
0.0063
0.0063
151.2964
0.0243
0.0243
33.6509
0.1356
0.1356
3.1554
11.0906
198
Pariwisata y1.1 <- Kinerja Perekonomian y1.2 <- Kinerja Perekonomian y1.3 <- Kinerja Perekonomian y2.1
0.9698
0.9700
0.0022
0.0022
433.7969
0.9787
0.9791
0.0038
0.0038
254.9294
0.8487
0.8500
0.0263
0.0263
32.2229
0.9918
0.9918
0.0015
0.0015
656.2347
0.9562
0.9571
0.0099
0.0099
96.2066
0.9290
0.9303
0.0171
0.0171
54.2116
199
Lampiran 4. PLS Output (Model Revisi) Y1.1
Y1.2
0.979
0.971
Y1.3
0.846
0.758 Kinerja Perekonomian -0.762
0.871
X1.1
0.000 Perkembangan Pariwisata
0.899 Kemiskinan
-0.207
X1.2 0.992
.
Y2 1
0.928
0.957
.
Y2 2
.
Y2 3
Structural Model Specification PLS Quality Criteria Overview Composite R Cronbachs Communality Redundancy Reliability Square Alpha 0.920 0.972 0.899 0.956 0.920 0.786 AVE
Kemiskinan Kinerja 0.873 0.953 Perekonomian Perkembangan 0.821 0.902 Pariwisata Redundancy Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
redundancy 0.7857 0.6433
0.758
0.927
0.873
0.796
0.821
0.643
200
Cronbachs Alpha
Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Cronbachs Alpha 0.95642 0.92656 0.79590
Latent Variable Correlations Kemiskinan Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata
1 -0.943
1
-0.871
0.871
1
Kinerja Perekonomian 0.560 0.939 0.971 0.979 0.846 -0.932 -0.946 -0.829
Perkembangan Pariwisata 0.856 0.954 0.942 0.869 0.569 -0.854 -0.886 -0.759
R Square Kemiskinan Kinerja Perekonomian
R Square 0.899 0.758
Perkembangan Pariwisata Cross Loadings Kemiskinan x1.1 x1.2 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
-0.542 -0.949 -0.951 -0.953 -0.702 0.992 0.957 0.928
201
AVE Konstruk Kemiskinan
AVE 0.920273
Akar AVE 0.9593
Kinerja Perekonomian
0.872525
0.9341
Perkembangan Pariwisata
0.891301
0.9441
Communality Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
communality 0.920 0.873 0.821
Total Effects Kemiskinan Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
-0.762 -0.871
Composite Reliability
Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kinerja Perekonomian
Composite Reliability 0.972 0.953 0.902
0.871
Perkembangan Pariwisata
202
Outer Loadings Kemiskinan x1.1 x1.2 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata 0.856 0.954
0.971 0.979 0.846 0.992 0.957 0.928
Outer Model (Weights or Loadings) Kemiskinan x1.1 x1.2 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata 0.856 0.954
0.971 0.979 0.846 0.992 0.957 0.928
Path Coefficients Kemiskinan Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
Kinerja Perekonomian
-0.762 -0.207
0.871
Perkembangan Pariwisata
203
Outer Weights Kemiskinan x1.1 x1.2 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata 0.402 0.688
0.4023 0.3879 0.2712 0.358021 0.364982 0.318542
Inner Model T-Statistic Kemiskinan Kinerja Perekonomian Kemiskinan Kinerja Perekonomian Perkembangan Pariwisata
15.462 4.099
71.567
Perkembangan Pariwisata
204
Outer Model T-Statistic Kemiskinan Kinerja Perekonomian x1.1 x1.2 y1.1 y1.2 y1.3 y2.1 y2.2 y2.3
454.20 247.97 28.67 628.91 83.78 45.83
Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Standard Sample Mean (M) Deviation (O) (STDEV) Kinerja -0.762 Perekonomian -> Kemiskinan Perkembangan -0.207 Pariwisata -> Kemiskinan Perkembangan 0.871 Pariwisata -> Kinerja Perekonomian
Perkembangan Pariwisata 14.42 251.24
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
-0.754
0.049
0.049
15.462
-0.217
0.051
0.051
4.099
0.875
0.012
0.012
71.567
Outer Weights (Mean, STDEV, T-Values) Original Sample Sample Mean (M) (O)
Standard Deviation (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
x1.1 <- 0.402 Perkembangan Pariwisata x1.2 <- 0.688 Perkembangan Pariwisata y1.1 <- Kinerja 0.402 Perekonomian
0.399
0.036
0.036
11.043
0.688
0.055
0.055
12.437
0.402
0.010
0.010
40.377
y1.2 <- Kinerja 0.388 Perekonomian
0.388
0.008
0.008
49.637
205
y1.3 <- Kinerja 0.271 Perekonomian
0.271
0.010
0.010
26.247
y2.1 Kemiskinan
<- 0.358
0.358
0.008
0.008
47.494
y2.2 Kemiskinan
<- 0.365
0.365
0.009
0.009
41.029
y2.3 Kemiskinan
<- 0.319
0.318
0.006
0.006
49.595
206
Lampiran 5 Tabel Analisis SWOT N o 1
2
Nama Desa Desa Pelaga
Desa Belok Sidan
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Peluang (O)
1. Potensi Alam pegunungan 2. Udara yang sejuk dan dingin. 3. Jalan raya yang baik 4. Pemberdayaanperekonomi an agro 5. Produk kehutan Plaga untuk keperluanIndustri 6. Tingkat coverage perlindungan sosial masyaarakat lebih tinggi
1. Transportasi umum ke desa Pelaga dan Belok 2. Tingkat pendidikan masyarakat 3. Kepemilikan lahan 4. Kebersihan daya tarik wisata sangat kurang
1. Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat. 2. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata. 3. Tingginya partisipasi masyarakat 4. Tumbuahnya industri pariwisata di Bali 5. Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan
1.
1. Potensi Alam pegunungan 2. Udara yang sejuk dan dingin. 3. Jalan raya yang baik 4. Obyek wisata air panas Pinikit, trecking, peninggalan scarpagus 5. Budaya Wayang Wong Sida.
1.
1. Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat. 2. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata. 3. Partisipasi masyarakat yang tinggi. 4. Tumbuahnya industri pariwisata di Bali 5. Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan.
1. Globalisasi 2. Krisis ekonomi 3. Wabah penyakit 4. Kurangnya dukungan biro perjalanan wisata
Jauh dari pusat kota/dan bandara.
2.
3. 4. 5.
Transportas i umum ke desa Pelaga dan Belok Tingakt pendidikan masyarakat Kepemilika n lahan Kebersihan daya tarik wisata sangat kurang
Ancaman (T)
2. 3. 4.
Globalisas i Krisis ekonomi Wabah penyakit Kurangny a dukungan biro perjalanan wisata
207
3
Desa Jimbara n
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Potensi alam pantai Jalan raya yang baik Dekat dengan pusat pariwiwisata dan bandar udara Transportasi yang lancar Pusat kuliner Jimbaran Potensi pengembangan taman rekreasi pantai.
1. 2. 3.
Tingakat pendidikan masyarakat Kepemilika n lahan Kebersihan daya tarik wisata masih kurang
1.
2.
3.
4.
5.
4
Desa pecatu
1. 2. 3.
Potensi alam pantai Jalan raya yang baik Dekat dengan pusat pariwiwisata dan bandar udara
1.
2. 3.
Tingakt pendidikan masyarakat Kepemilika n lahan Kebersihan daya tarik wisata masih kurang
1.
2.
3. 4.
5.
Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata. Partisipasi masyarakat yang tinggi. Tumbuahny a industri pariwisata di Bali Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan. Kunjungan wisatawan dunia yang semakin meningkat. Adanya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten serta industri perjalanan wisata. Partisipasi masyarakat yang tinggi. Tumbuahny a industri pariwisata di Bali Adanya dokumen pendukung dalam bidang pariwisata dan kemiskinan.
1. 2. 3. 4.
Globalisas i Krisis ekonomi Wabah penyakit Jumlah kamar hotel melebihi daya dukung Bali
1. Globalisas i 2. Krisis ekonomi 3. Wabah penyakit 4. Jumlah kamar hotel melebihi daya dukung Bali
Sumber: Hasil FGD, Wawancara dan observasi lapangan di Desa Pelaga, Belok Sidan, Jimbaran dan Pecatu.
208
Selanjutnya, dengan menggunakan analisis kekutan dan kelemahan serta peluang dan ancaman atau yang dikenal dengan SWOT analisis, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) strategi S+O, dengan strategi S+O maka kegiatan yang dapat dilakukan adalah: (a) mempertahankan potensi alam yang dimiliki masing-masing desa, (2) mempertahankan partisipasi masyarakat dengan bekerja pada industri pariwiata dan kegiatan wirausaha yang terkait pariwiwata. Strategi W+O menggambarkan adanya kelemahan namun memiliki pelung untuk meningkatkan pariwisata, perekonomian dan kemiskinan. Adapun strategi mengentaskan kemiskinan sebagai berikut: (a) meningkatkan pendidikan masyarakat terutama pendidikan pariwisata, (b), peningkatan transportasi massal. Strategi S+T dan W+T merupakan faktor ekternal yang berpengaruh terhadap perkembangan pariwisata dan kemiskinan. Strategi S+T dapat dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut (a) meningkatkan moda transportasi massal, dan peran pemerintah dan swasta untuk mengentaskan kemiskinan. Sedangkan strategi WT dapat dilakukan kegiatan sebagain berikut, meningkatkan kemampuan bidang informasi teknologi. Selengkapnya disajikan pada lampiran 6. Adapun analisis kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan peran pariwiata dan perekonomian dalam mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Badung disajikan pada Lampiran 6.
209
Lampiran 6 Strategi Pengentasan Kemiskinan Berbasis Analisis SWOT
Eksternal
Internal
Faktor Internal Ekternal Faktor Internal
Kekuatan (S)
Kelemahan (W) 1.
Faktor Eksternal
1. Potensi alam yang alami 2. Memiliki kelompok sadar wisata 3. Memiliki potensi wisata buatan “Tukad bangkung” 4. Jalan raya yang mulus 5. Memiliki tanah pertanian dan perkebunan yang dapat ditanami aneka ragam tanaman holtikultura dan tahunan
Peluang (O)
Strategi S+O
Strategi W+O
a) Peran pemerintah b) Minat wisatawan terhadap wisata alam c) Daya beli wisatawan d) Minat berwisata Nusantara dan Mancanegara masyarakat yang tinggi e) Partisipasi masyarakat tinggi f) Adanya Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah g) Berkembangnya industri pariwiata di Bali.
1.
1.
2.
Adanya tren wisatawan (d) dan segmen pasar yang menyukai (b) serta didukung (c), (e) dan (a, f) wisata alam, daya beli yang semakin perlu mempertahankan potensi dan peran masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan potensi pariwisata menjadi potensi ekonomi yang berkelanjutan. Mempertahankan peran serta masyarakat dalam mendukung pelestarian lingkungan alam dengan memanfaatkan potensi pertanian dan hasil pertanian untuk mendukung kebutuhan pariwisata khususnya kebutuhan hotel dan sebagai tempat wisata.
2. 3. 4.
2.
3.
4.
5.
Tantangan (T) a) Teknologi dan informasi b) Persaingan c) Peran BPW d) Krisis Ekonomi e) Globalisasi f) Adanya pembinaan bidang pariwisata
Strategi S+T 1. Berbagai potensi wisata yang dimiliki masing masing desa (1,2) perlu dilakukan promosi yang lebih gencar menggunakan (a) yang berbasis internet dan memanfaatkan peran berbagai pihak seperti (d, 2) meningkatkan kunjungan wisatawan selanjutnya
Trasportasi umum dan pariwisata Tingkat Pendidikan masyarakat yang msih rendah Kebersihan kurang Kepemilikan Lahan
Musuh utama pariwisata adalah masalah (3,4) maka diperlukan strategi untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bidang pariwisata. Adanya masalah (5) perlu ditanggulangi dengan menyediakan transportasi umum yang gratis atau berbayar. Adanya masalah (6) perlu diantisipasi dengan pemberdayaan lahan milik pemerintah untuk digarap oleh masyarakat, sehingga akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Pentingnya menanam tanaman yang dibutuhkan oleh indutri pariwisata di kabupaten Badung dan Bali secara umum. Perlu adanya kerjasama dengan pihak hotel untuk mempekerjakan sumber daya manusia yang ada didesa, dengan cara membuat MOU antara pihak hotel atau stake holder lainnya dengan pihak desa.
Strategi W+T 1. Berbagai kekurangan (1,2,3,4,5,6) dan tantangan (a,b.c,d,e,f) perlu memberdayakan kelompok sadar wisata dan organisasi yang ada di desa dengan memanfaatkan teknologi internet untuk memasarkan potensi desa dan peningkatan kemampuan sumber daya
210
2.
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Serta berdampak pada tingginya kebutuhan tenaga kerja yang berasal dari desa setempat. Globalisasi dan persaingan serta krisis ekonomi perlu diantisipasi dengan peningkatan sumber daya manusia dengan cara sosialisasi pentingnya pendidikan termasuk pendidikan pariwisata bagi masyarakat.
2.
manusia serta bekerjasama dengan pemangku kepentingan bidang ekonomi dan pariwisata Menambah lahan pertanian dan membentuk lembaga yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dengan bekerjasama dengan lembaga ekonomi dan pariwisata.
211
LAMPIRAN 7 DATA HASIL DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1. Observasi di Desa Belok Sidan
Gambar 3. Meninjau Agri Bisnis
Gambar 2. Kegiatan Pertanian Masyarakat
Gambar 4. Mengunjungi SMPN 3 Petang
212
Gambar 5. Setelah Wawancara dengan tokoh masyarakat Belok Sidan
Gambar 7. Pra Group Discussion
Gambar 6. Lokasi Focus Group Discussion
Gambar 8. Diskusi Group Discussion
213
Gambar 9. Setelah Wawancara dengan wisatawan Mancanegara
Gambar 11. Wawancara dengan responden di Pelaga
Gambar 10. Bagus Agri Pelaga
Gambar 12. Contoh Rumah Masyarakat Miskin di Pelaga
214
LAMPIRAN 8 DATA HASIL DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1.Kantor Desa Adat Jimbaran
Gambar 2.Bersama Lurah Jimbaran
Gambar 3. Penerima Bantuan Rumah Dari Desa Jimbaran
Gambar 4.Wisatawan Mancanegara
215
Gambar 5.FGD Di Pecatu
Gambar 6.FGD Di Jimbaran
Gambar 7.FGD Pecatu
Gambar 8.Menuju Objek Wisata Uluwatu
216
Variabel Perkembangan Pariwisata Di Kabupaten Badung (X1)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total RataRata
Jumlah Kunjungan Wisatawan (orang) (X1.1) 466,111 1,128,940 382,443 249,845 223,548 383,613 497,899 473,774 734,861 812,489 774,753 682,382 1,092,413 1,192,129 5.215,607 401,201
Kontribusi PHR (Dalam Jutaan) (X1.2)
Lama Tinggal Wisatawan / Hari (X1.3)
Pengeluaran Wisatawan / Hari (X1.3)
1,551,722.82 1,760,542.27 1,982,526.74 2,183,219.66 2,420,490.15 2,815,368.11 3,024,626.55 3,427,697.13 3,973,530.83 4,898,698.14 5,467,109.15 5,998,644.44 6,508,632.44 7,260,307.93 47.540.361,120
5,90 4,44 5,28 4,00 4,20 4,08 3,97 3,74 3,85 3,93 3,75 3,60 3,60 3,55 47,550
819,213 822,990 826,768 830,545 834,323 838,100 841,878 845,655 792,500 913,060 839,460 891,483 926,890 801,195 10.181,857
3.656.950,855
3,66
783,220
217
Variabel Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung (X2)
Tahun
Pertumbuhan PDRB (Jutaan Rupiah ) (X2.1)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Total Rata-Rata
3.433.683,38 4.086.884,27 4.818.028,87 5.247.929,98 5.891.231,65 7.004.648,18 7.701.192,62 8.799.215,12 10.478.390,93 12.875.498,13 14.926.782,41 16.403.318,18 18.996.102,98 20.998.078,20 104.705.716,20 8.054.285,86
Penyerapan Tenaga Kerja (orang) (X2.2) 101.626 118.433 135.239 152.046 168.853 185.659 202.466 219.273 227.091 231.628 310.147 305.897 313.338 330.897 2.671.696 205.515
Investasi (Ribuan Rupiah) (X3.3) 148.750.200 152.801.324 154.931,201 1.101.407.059 2.360.745.445 4.140.660.000 1.652.957.796 5.305.717.700 6.043.268,777 2.362.541.294 1.890.474.000 8.536.644.646 5.334.590.363 6.048.968.601 492.849.190,79 37.911.476,21
218
Kemiskinan Di Kabupaten Badung, 2000 – 2013
Total
Jumlah Penduduk Miskin (000 jiwa) 21,66 21,08 16,90 21,40 20,50 22,00 18,20 17,40 13,70 14,00 17,70 14,60 12,51 14,55 246,20
RataRata
18,94
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bln)
Persentase Indeks Indeks Penduduk Kedalaman Keparahan Miskin Kemiskinan Kemiskinan
47.621 74.607 101.593 128.579 155.564 208.271 217.507 221.695 234.959 282.559 312.602 346.460 383.985 406.408 3.122.410
5,96 5,70 4,68 5,31 5,00 5,25 4,57 4,28 3,28 3,28 3,23 2,62 2,16 2,46 57,78
1,05 0,99 0,93 0,86 0,80 0,81 0,52 0,46 1,01 0,35 0,39 0,27 0,33 0,27 8,71
0,25 0,23 0,22 0,20 0,19 0,19 0,10 0,07 0,34 0,06 0,06 0,05 0,08 0,06 2,1
240.185
4,44
0,67
0,16