KRITIK SOSIAL DALAM PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK” KARYA ELZA PELDI TAHER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Naila Mufidah NIM 109013000054
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Naila Mufidah, 109013000054, “Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum. Penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak?” 2. Bagaimana kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”? 3. Bagaimana implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA? Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”, menjelaskan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”, dan menjelaskan implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk mendeskripsikan data berupa unsur-unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan literatur yang mendukung penelitian mengenai kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Hasil penelitian yang diperoleh yakni unsur pembangun puisi esai “Manusia Gerobak” terdiri dari tema, rasa, nada, amanat, diksi, imajeri, gaya bahasa, rima, ritme, dan pusat pengisahan. Kritik sosial yang diperoleh berupa kritik terhadap ketidakpedulian sosial yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan para pihak pengonversi lahan pertanian. Dari ketiga sasaran kritik tersebut, pemerintah dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terciptanya permasalahan sosial sebagaimana yang ditampilkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Kritik sosial yang terdapat dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tingkat SMA kelas X semester 2 dalam aspek berbicara dengan standar kompetensi mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi dan kompetensi dasar menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi. Kata Kunci: Kritik Sosial, Puisi Esai, Manusia Gerobak
i
ABSTRACT
Naila Mufidah, 109013000054, “Social Critic of Essay Poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher and Its Implications to Indonesian Language and Literature Learning at High Schools”. Supervisor: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. The research of this essay poem has research questions: 1. How about the building elements of essay poem “Manusia Gerobak”? 2. How about social critic of essay poem “Manusia Gerobak?” 3. How about its implications to Indonesian language and literature learning at high school? The purposes of this research to explain the building elements of essay poem “Manusia Gerobak”, to explain social critic of essay poem “Manusia Gerobak”, and to explain about its implication to Indonesian language and literature learning at high school. This research using qualitative method to describe things consist of the building elements of essay poem and social critic of essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher. This technical research using analyting document of essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher and library study to collect the supporting literature of this research. The results of this research are essay poem “Manusia Gerobak” was building of theme, feel, tone, message, diction, imagery, style, sound, rhythm, and point of view. Result of social critic can be explainable from critic for goverment, society, and the conversioner of villages areas. From the three targets of social critic, goverment is the most responsibilities of the social problems message in essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher. This social critic is relevant for Indonesian language and literature learning at high school grade X semester 2 based Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) in the sounding aspect with the standard of competence: explain the argument about poem through class discussion, and the base competence: related the message of poems with universal reality, culture, and social through discussion. Keywords: Social Critic, Essay poem, Manusia Gerobak
ii
KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr. wb. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rezeki dan karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Selawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta kerabat, keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun dapat dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam
Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta; 3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 4. Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi penulis; 5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen penguji I skripsi penulis; 6. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku dosen penguji II skripsi penulis; 7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;
iii
8. Keluarga penulis yakni Ayahanda Eman Priyatna, Ibunda Saadaturoja Irian Ningsih, Zulham Huda, Mutia Muthmainnah, Rino Santosa, dan Syifa Maulida yang senantiasa mendukung dan memotivasi penulis dalam proses penulisan skripsi ini; 9. Elza Peldi Taher, penulis puisi esai Manusia Gerobak yang telah memberikan informasi dan dukungan terhadap penulis; 10. Ihda Auliaunnisa, Nurfayerni Hasan, dan Rahma Zul Prihatini Madrais yang telah menjadi keluarga penulis selama menetap di Ciputat dan banyak memberikan bantuan kepada penulis; Anti (Siti Hodijah Haeranti), Aya (Siti Rokayah), Ochi (Rossita Sevtiyani), dan Dio Mohamad Nurdiansah yang menjadi orang-orang terdekat bagi penulis dalam berbagi cerita, pengalaman, dan pengetahuan yang berarti selama ini dan selama penulisan skripsi ini; 11. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan kritik membangun terhadap karya tulis ini. Wassalamualaikum wr.wb. Jakarta, Maret 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................... v
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ........................................................ 4 C. Pembatasan Masalah ....................................................... 4 D. Rumusan Masalah ........................................................... 4 E. Tujuan Penelitian ............................................................ 5 F. Manfaat Penelitian .......................................................... 5 G. Metodologi Penelitian ..................................................... 6
BAB II
LANDASAN TEORI........................................................... 9 A. Puisi ................................................................................. 9 B. Puisi Esai ......................................................................... 10 C. Unsur-unsur Pembangun Puisi ........................................ 13 D. Pendekatan Mimetik........................................................ 20 E. Kritik Sosial .................................................................... 22 F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA....... 26 G. Penelitian Yang Relevan ................................................. 28
BAB III
PEMBAHASAN PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK” KARYA
ELZA PELDI TAHER ......................................................................... 31 A. Biografi Penulis ............................................................... 31 B. Sinopsis Puisi Esai “Manusia Gerobak” ......................... 32
v
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi Esai “Manusia Gerobak” 1. Tema.......................................................................... 35 2. Rasa ........................................................................... 35 3. Nada .......................................................................... 37 4. Amanat ...................................................................... 38 5. Diksi .......................................................................... 40 6. Imajeri ....................................................................... 43 7. Gaya Bahasa .............................................................. 48 8. Rima dan Ritme ........................................................ 58 9. Pusat Pengisahan ....................................................... 62
BAB IV
KRITIK SOSIAL DALAM PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK”
KARYA ELZA PELDI TAHER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA ............ 65 A. Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher ...................................................................... 66 1. Kritik terhadap Pemerintah ....................................... 66 2. Kritik terhadap Masyarakat ....................................... 75 3. Kritik terhadap Pengonversi Lahan Pertanian........... 79 B. Implikasi Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ......................................................................................... 82
BAB V
PENUTUP ............................................................................ 84 A. Simpulan ......................................................................... 84 B. Saran ................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ viii
vi
LAMPIRAN Lampiran 1: RPP Lampiran 2: Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher Lampiran 3: Hasil Wawancara Peneliti dengan Elza Peldi Taher Gambar 1 : Elza Peldi Taher
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sastra sebagai bentuk karya seni tulis yang indah terdiri dari tiga genre yakni puisi, prosa, dan drama. Tiap genre tersebut memiliki kekhasan tersendiri yang membuat ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan. Prosa misalnya, memiliki ciri khas adanya bentuk penarasian peristiwa dengan ragam-ragam instrinsik yang membangunnya seperti penokohan, alur, dan sebagainya. Ada pula genre puisi yang memiliki kekhasan lain, yakni struktur kata yang digunakan cenderung padat namun menghasilkan nilai estetika dengan makna yang mendalam. Terakhir, genre drama yang memiliki ciri khas adanya penaskahan berupa dialog dan penanda gerak serta berkaitan pula dengan seni pertunjukkan apabila dipentaskan. Ketiga genre tersebut tentunya mengalami perkembangan. Perkembangan puisi misalnya, dapat diamati dengan hadirnya perubahan dari puisi lama menuju puisi baru. Hal ini bisa dilihat pada perkembangan syair, gurindam, soneta, maupun puisi baru—yang pada kenyataannya masih belum membebaskan diri dari nuansa puisi lama. Perkembangan yang bisa dilihat dari puisi-puisi karya Chairil Anwar misalnya, mendobrak kebaruan puisi Indonesia yang sebelumnya sarat dengan aturan-aturan mengikat yang ditandai dengan penggunaan rima teratur, sedangkan apa yang diciptakan oleh Chairil pada saat itu, berusaha membebaskan kata dari keterikatan bentuk. Setelah era puisi baru di awal abad 20-an, berkembang berbagai subgenre puisi di Indonesia seperti puisi pamflet maupun balada oleh WS Rendra, puisi mantra oleh Sutardji Colzoum Bachri, serta ragam puisi naratif lainnya. Selain itu, beberapa waktu ke belakang muncul sebuah penamaan baru pada jenis puisi di Indonesia yakni puisi esai. Puisi esai ini disebut oleh pencetusnya, Denny JA, sebagai jenis puisi yang memadukan aspek estetik dan juga kognitif—yang mana
1
2
penyebutannya terhadap aspek kognitif tersebut ditandai dengan adanya catatan kaki. Aspek estetik tentu berhubungan dengan karaketeristik yang ada dalam sebuah puisi, sedangkan dalam puisi esai diwajibkan adanya penambahan catatan kaki. Penempatan catatan kaki sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam perpuisian Indonesia. Beberapa penyair di Indonesia pernah menghadirkan atau memanfaatkan catatan kaki dalam puisi yang mereka ciptakan. Catatan kaki pada puisi esai sengaja ditulis sebagai penjelas realitas kehidupan atau fakta sosial yang terkait dengan kisah dalam puisi esai tersebut. Realitas yang dihadirkan lewat catatan kaki itulah yang dimaksud dengan aspek kognitif oleh Denny JA. Kedua aspek tersebut diakuinya sebagai dua hal penting dalam puisi esai. Tidak ada satu yang mendominasi atau yang memiliki nilai lebih. Tujuan dari puisi esai yakni menyampaikan gagasan ataupun tanggapan terhadap fakta sosial yang terjadi di dalam kehidupan. Salah satu gagasan yang dihadirkan lewat puisi esai yakni kritik sosial. Kritik sosial tersebut misalnya ditujukan terhadap permasalahan sosial yang ada seperti ketidakadilan, penindasan, dan lain sebagainya yang benar-benar terjadi di tengah kehidupan kita. Salah satu puisi esai yang hadir setelah puisi esai karya Denny JA berjudul Atas Nama Cinta adalah puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Puisi esai tersebut merupakan salah satu puisi esai karya Elza Peldi Taher yang dibukukan dengan judul buku yang sama yakni Manusia Gerobak. Kumpulan puisi esai Manusia Gerobak terdiri dari lima buah puisi esai. Kelima puisi esai tersebut masing-masing berjudul “Manusia Gerobak”, “Asih Bakar Diri”, “Catatan Harian Ivon”, “Toga Hakim dan Kotak Amal”, serta “Zaka dan Tato Gajah”. Puisi esai “Manusia Gerobak” menggambarkan fenomena sosial di Indonesia yang didominasi oleh sikap marjinalisasi dan ketidakadilan sebagian pihak terhadap rakyat miskin. Ketidakadilan tersebut terjadi di berbagai wilayah, baik pedesaan maupun perkotaan. Dengan pelataran baik tempat, suasana, maupun waktu yang ada dalam puisi tersebut, menunjukkan bahwa kinerja
3
pemerintah semakin dipertanyakan dan rasa ketidakpedulian sosial pada kenyataannya semakin tinggi. Elza Peldi Taher berusaha mengangkat kisah nyata yang menjadi cerminan dari kondisi masyarakat pinggiran. Sebutan manusia gerobak yang dipakai olehnya ditujukan pada para tunawisma yang tetap berjuang untuk bertahan hidup dengan bermodalkan gerobak. Fenomena manusia gerobak ini dapat ditemukan di kota-kota besar dengan tingkat ketimpangan sosial yang tinggi. Elza Peldi Taher ingin menyampaikan kritisisasinya terhadap beberapa pihak melalui satu tragedi yang menimpa tokoh dalam puisi esainya ini. Puisi esai “Manusia Gerobak” menyampaikan kritik sosial dengan tambahan informasi yang bisa diperoleh pembaca lewat catatan kaki yang ditulisnya. Catatan kaki tersebut memberikan manfaat lain, yakni kesadaran bahwa puisi esai yang diciptakannya tidak hanya sekadar karya semata, tetapi juga gambaran mengenai kenyataan yang benarbenar terjadi di tengah kehidupan kita. Kemunculan puisi esai yang masih terbilang baru membuat jumlah penelitian terhadap karya-karya berjenis puisi esai belum terlampau banyak. Beberapa penelitian terhadap puisi esai muncul dalam artikel-artikel di media massa baik elektronik maupun cetak. Penelitian berupa skripsi dapat menjadi sumbangsih karya tulis ilmiah dalam mengkaji puisi esai. Oleh karena itu, akan sangat menarik apabila diadakan penelitian lebih mendalam terhadap kritik-kritik sosial yang ingin disampaikan lewat puisi esai “Manusia Gerobak”. Tentu saja pengkajian terhadap kritik-kritik sosial ini dilakukan setelah memahami terlebih dahulu unsur-unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”, sehingga bukan hanya pesan kritik sosial yang bisa diperoleh, melainkan juga menambah pemahaman terhadap apa, bagaimana, dan tujuan apa yang dimaksudkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak”. Puisi esai dengan pesan-pesan fakta sosialnya seperti kritik sosial tentunya akan membuka kesadaran bahwa permasalahan sosial yang banyak muncul di negeri ini perlu mendapat perhatian lebih dan juga tindakan nyata dalam menanganinya. Tindakan nyata untuk perubahan yang lebih baik tersebut tentunya diawali oleh kesadaran. Kesadaran inilah yang perlu ditanamkan dan dilatih pada
4
putra-putri bangsa sejak dini, salah satunya lewat jalur pendidikan. Maka dari itu, pengkajian terhadap kritik sosial akan memberi sumbangsih penting terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan menggambarkan realitas kehidupan sebagai pengalaman yang bisa ditemui sehari-hari. Para pendidik bisa memberikan warna baru untuk mengembangkan kreativitas pengajaran dalam memaknai hidup melalui sastra. Pesan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dapat menjadi salah satu pilihan bagi siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis mereka. Pembelajaran yang dapat mengembangkan pemikiran kritis tentu mampu membentuk karakter-karakter unggul pada diri siswa di antaranya sikap toleransi, peduli, komunikatif, kreatif, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan di Indonesia yang selalu berusaha dikembangkan agar lebih baik.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan sebelumnya, maka identifikasi masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya pemahaman terhadap puisi esai. 2. Kurangnya penelitian karya ilmiah terhadap puisi esai. 3. Kurangnya penelitian kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai serta pengimplikasiannya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah peneliti, maka penelitian ini dibatasi pada pengkajian terhadap kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah peneliti, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
5
1. Bagaimana unsur-unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”? 2. Bagaimana kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”? 3. Bagaimana implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah peneliti, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menjelaskan unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”. 2. Menjelaskan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”. 3. Menjelaskan implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. 1.
Manfaat teoretis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengembangan di bidang sastra dalam mengkaji kritik sosial. Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangsih penelitian ilmiah terhadap kehadiran puisi esai.
2.
Manfaat praktis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengembangan ilmu bahasa dan sastra Indonesia di bidang pendidikan baik bagi para pendidik dan mahasiswa kependidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
6
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan cara memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi.1 Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk menyajikan penafsiran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga, dan seterusnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan angka atau kuantitas. Di pihak lain, kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Secara lebih jelas, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.2 Dari kajian tentang definisi penelitian kualitatif tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara utuh dengan cara pendeskripsian dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3
2. Sumber Data Sumber data untuk penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” yang menjadi salah satu puisi dalam buku 1
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. 3, h. 46. 2 Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2011), Cet. 29, h.3. 3 Ibid., h. 4.
7
kumpulan puisi esai dengan judul yang sama. Buku kumpulan puisi esai berjudul Manusia Gerobak ini merupakan karya Elza Peldi Taher yang diterbitkan pada Januari 2013 oleh PT Jurnal Sajak, Depok, Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah: 1. Teknik inventarisasi Dalam teknik ini peneliti mengumpulkan beberapa judul puisi esai. 2. Teknik baca simak Dalam teknik ini peneliti membaca, menelaah, memahami puisi-puisi tersebut, dan mengidentifikasikan pesan dari setiap puisi tersebut. 3. Teknik pencatatan Dalam teknik ini peneliti mencatat hal-hal penting yang mendukung pesan dari setiap puisi tersebut dan menentukan satu pesan yang diteliti dalam puisi esai yang terpilih, yakni kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dilakukan peneliti adalah: 1. Data dibaca Peneliti melakukan pembacaan teks sastra secara terus menerus dan bolak balik dari awal hingga akhir hingga memahami isi puisi esai dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. 2. Data ditandai Setelah melakukan pembacaan, peneliti menandai hal-hal yang berhubungan langsung dengan penelitian yang dipilih, yakni mengenai unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
8
3. Data dikelompokkan Setelah melakukan penandaan, peneliti mengelompokkan data berdasarkan unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. 4. Data dianalisis Setelah melakukan pengelompokkan, peneliti menganalisis data terkait kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Setelah menganalisis kritik sosial tersebut, peneliti menjabarkan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. 5. Penyajian Setelah data dianalisis, peneliti menyajikan uraian mengenai unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA. 6. Data disimpulkan Setelah melakukan penyajian, peneliti menyimpulkan hasil penelitian mengenai unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.
BAB II LANDASAN TEORI
Pemaparan mengenai landasan teori yang menjadi fondasi dalam menganalisis penelitian tentu amat diperlukan. Landasan teori berguna agar penelitian tetap berada pada jalur sistematika ilmiah dan terhindar dari kekeliruan dalam pembuatan karya ilmiah. Maka dari itu, sangat penting untuk memaparkan terlebih dahulu teori-teori yang menjadi landasan sebelum isi penelitian disajikan. Teori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian terhadap kumpulan puisi esai “Manusia Gerobak” ini dapat dipaparkan sebagai berikut.
A. Puisi Sebagai salah satu genre sastra, puisi merupakan suatu karya yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Melalui puisi, ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan sang pencipta disampaikan dengan media bahasa yang estetik secara padat dan utuh.1 Meskipun bermain dengan kata, puisi tetaplah berbeda dengan prosa, sebagaimana penjelasan berikut ini, poetry squeezes meaning into a small number of words and lines, while prose is often longer and looser.2 Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa puisi merupakan bangunan kata-kata yang padat. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan prosa yang memanfaatkan banyak kata dalam penarasiannya. Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima „membuat‟ atau poeisis „pembuatan‟, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan „membuat‟ dan „pembuatan‟ karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi 1
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra, (Bandung: UPI Press, 2006),
h. 51. 2
Cosmo F. Ferrara dkk., Introducing Literature, (New York: Glencoe/ McGraw-Hill Educational Division, 1991), h. 73.
9
10
pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.3 Sedangkan dalam Kamus Istilah Sastra, puisi diartikan sebagai (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima dan tata puitika yang lain; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) sajak.4 Teori lain mengenai puisi yakni teori yang dipaparkan oleh Hudson sebagaimana berikut ini. ...puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan katakata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.5 Selain itu, Slamet Mulyana menyebutkan bahwa puisi adalah, ...sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang tersaring semurnimurninya dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk.6 Waluyo mengemukakan pendapatnya mengenai puisi sebagai berikut. ...bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.7 Dari beberapa penjelasan diatas, disimpulkan bahwa puisi merupakan susunan kata-kata pilihan yang tajam dan murni sehingga tercipta padanan kata yang padat serta indah sebagai gambaran dari perasaan yang kuat dan bersifat imajinatif bahkan mewakili pengalaman kehidupan.
B. Puisi Esai Denny
JA
yang
tampil
dengan
karyanya
Atas
Nama
Cinta,
memperkenalkan puisi esai sebagaimana yang diakuinya sebagai medium yang tak lazim dari ekspresi kisah yang berangkat dari fakta sosial. Ia bukan esai dalam format biasa, seperti kolom, editorial, atau paper ilmiah. Namun, ia bukan juga 3
Drs. Aminuddin, M.Pd., Pengantar Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Sinar Baru, 1987), h.
134. 4
Abd. Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. 3, h. 160. Aminuddin, op. cit., h. 134. 6 Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 93. 7 Dr. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grassindo, 2008), h. 108. 5
11
puisi panjang atau prosa liris.8 Denny JA menjelaskan bahwa puisi esai bukan puisi yang lazim karena terdapat catatan kaki mengenai data dan fakta di sana dan di sini, serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena dituliskan dengan larik, puitik, dan lebih mengeksplor sisi batin.9 Penjelasan lebih lanjut mengenai puisi esai oleh Denny JA adalah sebagai berikut. Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Jika Budi jatuh cinta kepada Ani, itu saja belum cukup untuk menjadi sebuah puisi esai. Topik itu hanya menjadi puisi esai, jika kondisinya diubah menjadi: Budi jatuh kepada Ani, tapi mereka berbeda agama, atau berbeda kasta, atau berbeda kelas sosialnya sehingga menimbulkan satu problema dalam komunitas tertentu. Ayah dan anak yang saling bertengkar saja tak cukup untuk menjadi bahan sebuah puisi esai. Untuk menjadi puisi esai, kasus ayah dan anak itu harus masuk dalam sebuah setting sosial. Misalnya sang ayah pembela Orde Baru, sementara anaknya pembela Orde Reformasi. Mereka saling menyayangi namun harus berhadapan frontal karena memilih jalan politik yang saling bertentangan.10 Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya justru bagus untuk dipilih. Namun, diupayakan anak SMA sekalipun cepat memahami pesan yang hendak disampaikan puisi. Puisi Chairil Anwar atau Rendra dapat dijadikan referensi dalam berbahasa. Puisi juga adalah medium komunikasi. Prinsip puisi esai, semakin sulit puisi itu dipahami publik luas, semakin buruk puisi itu sebagai medium komunikasi penyair dan dunia di luarnya. Jika kisah itu ditulis dalam bahasa yang sulit, walaupun dengan atas nama “pencapaian estetik bahasa”, ia melawan spirit puisi esai. Sejak awal puisi esai justru ingin mengembalikan puisi agar mudah dipahami publik luas. Pencapaian estetik tidak harus dengan bahasa
8
Denny Januar Ali, Atas Nama Cinta, (Jakarta: Renebook, Cet-1, 2012), h. 11. Ibid, h. 12. 10 Ibid, h. 12. 9
12
yang sulit. Jika bahasanya sulit dipahami itu bukan pencapaian estetik tapi ketidakmampuan penyair berkomunikasi dengan baik.11 Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu memotret tokoh riel yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan oleh puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah. Puisi esai memang bukan biografi atau potongan sejarah objektif.12 Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset minimal realitas sosial. Ia merespon isu sosial yang sedang bergetar di sebuah komunitas, apapun itu. Isu sosial yang direkam bisa soal diskriminasi, pembaharuan agama, kemiskinan, huru hara, dan seribu isu lainnya. Walau puisi esai itu fiksi, tapi ia diletakan dalam setting sosial yang benar. Catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai. Catatan kaki itu menunjukkan bahwa fiksi ini berangkat dari fakta sosial. Jika pembaca ingin tahu lebih detail soal fakta sosial itu bisa mengeksplor lebih detail melalui catatan kaki. Fungsi catatan kaki tidak sekedar asesori atau gaya saja, tapi bagian sentral puisi esai. Sejak awal puisi esai ini memang menggabungkan fiksi dan fakta. Unsur fakta dalam puisi esai itu diwakili oleh catatan kaki tersebut.13 Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas sosial.14 Jika dikuantifikasi, puisi esai ini harus diwujudkan minimal dengan tulisan 10.000 karakter.15 Namun tentu saja kelima kriteria itu bukanlah sejenis hukum agama yang berdosa jika seseorang membuat sebuah puisi esai. Ketika
11
Denny Januar Ali. “Puisi Esai: Apa dan Mengapa?” dalam Acep Zamzam Noor (ed), Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h. 40. 12 Ibid, h. 41. 13 Ibid, h. 41. 14 Ibid, h. 42. 15 Ibid, h. 43.
13
sebuah “movement” dan genre ingin dikemas, tak terhindari harus ada garis batas yang memisahkan “what is” dengan “what is not”. Kelima kriteria itu adalah “what is”.16 Puisi esai hanya satu variasi saja dari aneka bentuk puisi yang sudah ada dan yang akan ada. Ia tidak diklaim lebih superior atau inferior. Ia juga tidak dimaksudkan untuk mendominasi apalagi menyeragamkannya.17 Dari penjelasan Denny JA tersebut, disimpulkan bahwa puisi esai adalah bentuk pengekspresian suatu kisah fiksi yang bersumber dari realitas sosial yang disusun secara komunikatif, panjang, berbabak, serta memiliki catatan kaki sebagai penjelas realitas sosial.
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi Bangun struktur puisi menurut Aminuddin adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut meliputi (1) bunyi, (2) kata, (3) larik atau baris, (4) bait, dan (5) tipografi. Bangun struktur disebut sebagai salah satu unsur yang dapat diamati secara visual karena dalam puisi juga terdapat unsur-unsur yang hanya dapat ditangkap lewat kepekaan batin dan daya kritis pikiran pembaca. Unsur tersebut pada dasarnya merupakan unsur yang tersembunyi di balik apa yang diamati secara visual. Unsur yang tersembunyi di balik bangun struktur disebut dengan istilah lapis makna.18 Lapis makna yang disebut oleh Aminuddin tersebut berorientasi pada pembagian lapis makna dari I.A. Richards, dengan pertimbangan bahwa pengidentifiksian pembagian lapis makna menurut I.A. Richards tersebut lebih mudah.19 Paparan lebih lanjut tentang pembagian lapis makna menurut I.A. Richards itu adalah sense, subject matter, feeling, tone, totalitas makna, dan tema.20 Pendapat lain mengenai unsur pembangun puisi yakni sebagaimana yang disampaikan oleh Marjorie Boulton berikut ini. ...tidak mungkin untuk membedakan bentuk fisik dengan bentuk mental secara komplit karena kedua bentuk itu berinterrelasi satu dengan yang lain. Bentuk fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas 16
Ibid, h. 43. Ibid, h. 43. 18 Aminuddin, op. cit., h. 136. 19 Aminuddin, op.cit., h. 150. 20 Aminuddin, op.cit., h. 150. 17
14
dalam bentuk nada dan larik puisi: termasuk ke dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentul mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi.21 Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan. Pertama, lapisan bunyi, yakni lapisan lambanglambang bahasa sastra. Lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai bentuk fisik puisi. Kedua, lapisan arti, yakni sejumlah arti yang dilambangkan. Ketiga, lapisan tema, yakni suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau suatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi.22 Menurut Widjojoko dan Endang Hidayat, puisi sebagai salah satu karya kreatif yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, mempunyai unsur-unsur yang dapat ditelusuri. Unsur yang tergolong unsur intrinsik puisi itu adalah: (1) tema, (2) rasa, (3) nada, (4) amanat, (5) diksi, (6) imajeri, (7) pusat pengisahan, (8) gaya bahasa, (9) ritme, dan (10) rima.23 Menurut Siswanto, unsur pembangun puisi terdiri dari bentuk struktur fisik puisi dan struktur batin puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi sering disebut metode puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (1) perwajahan puisi (tipografi), (2) diksi, (3) pengimajian, (4) kata konkret, (5) majas atau bahasa figuratif, dan versifikasi (rima, ritme, dan metrum).24 Terkait dengan struktur batin puisi, Siswanto seperti halnya Aminuddin memaparkan teori yang dikemukakan oleh I. A. Richards. ...struktur batin puisi terdiri atas empat unsur: (1) tema; makna (sense), (2) rasa (feeling), (3) nada (tone), dan (4) amanat; tujuan; maksud (intention).25 Dari beberapa teori yang dibangun untuk menentukan unsur-unsur pembangun sebuah puisi, terdapat penjelasan dari Widjojoko dan Endang Hidayat mengenai sepuluh unsur pembangun puisi yakni tema, rasa, nada, amanat, diksi, imajeri, pusat pengisahan, gaya bahasa, ritme, dan rima. Adanya pusat pengisahan sebagai salah satu unsur pembangun puisi tersebut dapat mempermudah penelitian
21
Semi, op. cit., h. 107. Semi, op. cit., h. 108. 23 Widjojoko, op. cit., h. 61. 24 Siswanto, op. cit., h. 113. 25 Siswanto, op. cit., h. 124. 22
15
terhadap unsur pembangun puisi esai, sehingga penjelasan Widjojoko dan Endang Hidayat tersebut dapat dijadikan sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Penjelasan lebih mendalam mengenai kesepuluh unsur tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. 1) Tema Tema adalah ide atau gagasan yang menduduki tempat utama di dalam cerita. Penyair mengemukakan pokok persoalan di dalam puisinya. Pokok persoalan itu mungkin disampaikan secara langsung mungkin juga secara tidak langsung. Tema atau pokok persoalan hanya terdapat pada satu puisi. jadi tidak bisa ada satu puisi mengandung dua tema betapa pun panjangnya puisi tersebut.26 2) Rasa Rasa disebut juga arti emosional. Dalam menghadapi suatu persoalan, seorang penyair selain tersentuh secara rasional ia tersentuh dan terlibat secara emosional. Ketika ia melihat suatu obyek, ia bisa saja merasa sedih atau merasa heran. Makna emosional seperti itulah yang disebut dengan rasa.27 3) Nada Nada dalam puisi dapat ditangkap dari sikap penyair lewat intonasi puisi tersebut. Penyair dapat terlihat menggurui, mencaci, merayu, merengek, menyindir,
mengajak,
dan
sebagainya
terhadap
pembaca
atau
pendengarnya.28 4) Amanat Amanat merupakan pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, pendengar, atau penonton. Di dalam satu puisi bisa terdapat beberapa amanat. Amanat ada yang diungkapkan secara langsung ada juga yang terselubung. Melalui amanat inilah, penyair menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Mungkin ia mengharapkan pembaca marah, benci, menyenangi sesuatu atau berontak dan berbuat sesuatu. Barangkali 26
Widjojoko, op.cit., h. 61. Widjojoko, op.cit., h. 61. 28 Widjojoko, op.cit., h. 61. 27
16
juga penyair mengharapkan kita merenung dan menjadi bijak setelah membaca puisi. itulah yang disebut amanat yang kadang-kadang juga disebut pemecahan persoalan yang dikemukakan dalam tema.29 5) Diksi (Pilihan Kata) Diksi atau pilihan kata di dalam puisi merupakan hal yang penting karena keberhasilan puisi dicapai dengan mengintensifkan pilihan kata. Puisipuisi modern mencari kekuatan pada diksi yang tepat karena makna dan keindahan puisi dibangun oleh seni kata. Seni kata merupakan pengalaman batin atau jiwa ke dalam kata-kata yang indah. Setiap kata yang digunakan dalam cipta sastra mengandung napas penciptanya, berisi jiwa dan perasaan pikiran penyairnya. Kata merupakan unsur integral dan esensial dalam puisi. Penggunaan kata-kata yang tepat oleh penyair akan menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam melukiskan sesuatu.30 Contoh diksi dapat dilihat dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher seperti berikut ini. Kakek telah berpindah tinggal Jauh dari rumah majikannya yang pengusaha permata Bahkan, melintas batas kota Menikmati hari tua Bercengkerama bersama anak-cucu31 Diksi „batas‟ menunjukkan wilayah paling luar dari sebuah kota. Diksi „batas‟ yang diawali dengan kata „melintas‟ menunjukkan tokoh „kakek‟ berpindah ke luar kota. 6) Imajeri Imajeri atau daya bayang ialah suatu kata atau kelompok kata yang digunakan utnuk mengungkapkan kembali kesan-kesan pancaindra dalam jiwa kita. Berdasarkan indra yang dikenai rangsang, maka imajeri dapat dikelompokkan menjadi imajeri pandang, imajeri dengar, dan imajeri kecap.32 29
Widjojoko, op.cit., h. 61. Widjojoko, op.cit., h. 61. 31 Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h. 125. 32 Widjojoko, op.cit., h. 62. 30
17
Contoh imajeri yang berasal dari kesan pancaindra tersebut dapat dilihat pada puisi esai “Zaka dan Tato Gajah” karya Elza Peldi Taher dengan penjabaran seperti berikut ini. a. Imajeri pandang: Tiba-tiba mata Zaka membelalak33 b. Imajeri dengar: Hanya ada nyinyir dan cibir34 7) Pusat Pengisahan Pusat pengisahan atau titik pandang (point of view) yaitu cara penyampaian cerita, ide, gagasan, atau kisahan cerita. Puisi yang mencakup siapa yang berbicara dan kepada siapa ditujukan (ia berbicara).35 Contoh penggunaan sudut pandang dapat ditunjukkan dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher berikut ini. Lega hatiku Kembali ke rumah mungil Di kaki bukit Ciragil Dalam kehangatan anak-istri Tiada bara kayu bakar Tiada darah hitam pekat.36 Bait tersebut menunjukkan penggunaan sudut pandang orang pertama (aku) sebagai pelaku utama dalam cerita dan kisahan berpusat pada tokoh „aku‟ tersebut. 8) Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa. Gaya bahasa digunakan oleh penyair untuk mencapai efek tertentu misalnya mengintensifkan makna. Gaya bahasa umpamanya repetisi,
33
Taher, op. cit., h. 140. Taher, op. cit., h. 139. 35 Widjojoko, op.cit., h. 62. 36 Taher, op. cit., h. 134. 34
18
pararelisme, perumpamaan, metafora, personifikasi, dan sebagainya. Gaya-gaya bahasa itu sering digunakan oleh penyair.37 Penjelasan mengenai macam-macam gaya bahasa tersebut sebagai berikut. a. Repetisi merupakan cara yang ditempuh dengan menunggunakan gaya perulangan. Dengan mengulang bagian-bagian tertentu, diharapkan bagian tersebut lebih mendapat perhatian, lebih ditekankan, dan lebih jelas
maknanya.
Bermacam-macam
ragam
pengulangan:
ada
pengulangan penuh, arti, kata, frasa, atau kalimat itu diulang sepenuhnya, tanpa ada bagian yang hilang atau ditambah; ada pula pengulangan sebagian, artinya frasa, ungkapan, atau kalimat yang diulang itu hanya sebagian saja. Ditinjau dari posisi atau letak bagian yang diulang itu pun bermacam-macam: ada pengulangan yang terletak dalam satu baris, ada yang terletak pada baris yang berlainan, ada yang terletak dalam satu bait, dan ada pula perulangan yang beruntun, dan sebagainya. Contoh repetisi sebagai berikut. KUPANGGILI NAMAMU (Rendra) ... Apakah engkau juga menjadi masa silamku? Kupanggili namamu Kupanggili namamu38 b. Paralelisme (penjajaran) merupakan penggunaan kata yang sama artinya, seperti: halus lembut Dapat pula menggunakan penjajaran kata-kata yang bebeda artinya atau berlainan sifatnya, misalnya: “Kujelajahi bumi dan alis kekasih” (Sitor Situmorang) Penjajaran kata-kata semacam ini untuk mendapatkan efek puitis dan intensitas makna.39
37
Widjojoko, op.cit., h. 62. Semi, op.cit., h. 129. 39 Semi, op.cit., h. 124. 38
19
c. Perumpamaan merupakan perbandingan biasa yang menggunakan kombinasi kata-kata yang menunjukkan benda-benda, perbuatan, keadaan, dan sebagainya yang senapas, selingkungan, atau sejenis, serta mempunyai sifat yang sama sebagai perbandingan.40 Perbedaan perumpamaan dengan metafora hanyalah ditentukan oleh ada tidaknya penggunaan kata-kata yang secara langsung berfungsi membandingkan antara satu objek dengan objek yang lain. Perkataan yang berfungsi demikian adalah bagai, seperti, laksana, macam, bak, seumpama. “Wajahnya seperti bulan purnama” adalah perumpamaan. Bila kata „seperti‟ dihilangkan, maka ungkapan itu menjadi: “Wajahnya bulan purnama” ungkapan ini merupakan metafora.41 d. Metafora yakni pengucapan yang berhubungan dengan perbandingan langsung, atau memindahkan sifat benda yang satu menjadi sifat benda yang lain, misalnya: TANAH AIR (Ajip Rosidi) Seorang putri cantik tidur Rambutnya indah sepanjang katulistiwa membujur ...42 e. Personifikasi yaitu suatu cara pengimajian dengan memberikan sifatsifat manusia kepada benda mati, misal: LAHIR SAJAK (Subagio Sastrowardojo) Malam yang hamil oleh benihku Mencampakkan anak sembilan bulan ke lantai bumi. ...43 9) Rima atau sajak 40
Semi, op.cit., h. 127. Semi, op.cit., h. 128. 42 Semi, op.cit., h. 125. 43 Semi, op.cit., h. 126. 41
20
Rima atau sajak adalah persamaan bunyi. Persamaan bunyi bisa terjadi di awal, tengah, atau akhir. Pada puisi lama, rima akhir sangat teratur, misalnya dalam pantun (a-b-a-b), syair (a-a-a-a). Di dalam puisi modern, rima tidak seteratur puisi lama. Walaupun demikian, bukan berarti tidak berirama. Puisi modern pun menggunakan rima, hanya tidak berpola seperti dahulu. Rima digunakan secara bebas sesuai dengan ekspresi yang diinginkan penyair.44 Contoh rima dengan persamaan bunyi akhir a-a-a-a dapat ditunjukkan dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher berikut ini. Rasa keadilan terkoyak Ingin rasanya berontak Pada sistem yang retak Nurani yang nihil watak45 10) Ritme Ritme atau irama adalah totalitas tinggi rendahnya suara, panjang pendek, dan cepat lambatnya suara saat membaca puisi. Ritme di dalam puisi dibentuk oleh pengaturan larik, jumlah suku kata, dan pengaturan bunyi. Di dalam puisi yang baik, ritme itu dapat memberi gambaran yang intensif tentang nada, rasa, dan tema.46
D. Pendekatan Mimetik Penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan mimetik untuk melihat bagaimana kaitan karya dengan kenyataan yang ada. Pendekatan ini akan sangat relevan dengan penelitian terhadap kritik sosial yang dapat dilihat pada puisi esai “Manusia Gerobak”. Pendekatan mimetik itu sendiri dapat dijelaskan berdasarkan pendapat Abrams sebagaimana penjelasan berikut ini. Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan
44
Wijojoko, op.cit., h. 62. Taher, op. cit., h. 129. 46 Widjojoko, op.cit., h. 62. 45
21
kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.47 Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu sendiri. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Ini ada kaitannya dengan pandangan Plato mengenai tataran tentang Ada. Yang nyata secara mutlak hanya yang Baik. Derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang abadi. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimetik, peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Seni yang baik harus truthful, benar. Seniman harus modest, rendah hati. Bagi Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia, dan peristiwa sebagaimana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Pada Abad Pertengahan, pendapat bahwa seni harus seperti alam menjadi pandangan umum. Hal ini ada kaitannya dengan anggapan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Ciptaan manusia hanya meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak dan indah.48 Pandangan bahwa setiap karya sastra itu mencerminkan masyarakat dan zamannya pada umumnya dianut oleh kritikus akademik. Pandangan ini, sematamata sering muncul dalam penelitian berupa skripsi, tesis, disertasi, dan sejumlah penelitian kecil. Penelitian tersebut berusaha mengungkap karya sastra tertentu, terutama novel karya penulis terkenal, untuk melihat refleksi masyarakat di dalamnya. Bahkan, kadang-kadang ada yang mencoba merelevansikan dengan zaman yang sedang berjalan.49 Karya sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat sehingga mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat 47
Siswanto, op. cit., h. 188. Siswanto, op .cit., h. 189. 49 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), h. 87. 48
22
komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.50 Fungsi sastra dapat berbedabeda dari zaman ke zaman di belbagai masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain, sastra mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan. Bahkan mungkin saja bagi mereka—sastra dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya.51
E. Kritik Sosial Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan untuk menilai baik buruknya suatu pendapat, hasil karya, dan sebagainya.52 Berdasarkan Kamus Istilah Sastra, kritik adalah evaluasi dan analisis dari segi bentuk dan isi melalui proses menimbang, menilai, dan memutuskan. Kritik yang ilmiah mempertimbangkan keburukan dan kebaikan, kebenaran dan kesalahan, serta memberikan penilaian yang masak dan tidak mengobral pujian atau cacian.53 Kemudian menurut Adinegoro, kritik adalah salah satu ciri dan sifat penting dari peristiwa otak manusia sehingga kritik dapat dijadikan dasar untuk berpikir dan mengembangkan pikiran. Kritik tidak dimaksudkan untuk meruntuhkan sesuatu, tetapi untuk memperbaiki hal yang dianggap tidak sesuai dan akhirnya untuk mendapatkan kemajuan.54 Pengertian sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.55 Dari beberapa penjabaran mengenai pengertian kritik dan sosial tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kritik sosial merupakan penilaian yang masak dengan mempertimbangkan baik buruknya peristiwa yang terjadi di masyarakat.
50
Endraswara, op.cit., h. 89. Endraswara, op.cit., h. 91. 52 Tim Pusat Bahasa, op. cit., h. 742. 53 Zaidan, op.cit., h. 109. 54 Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik. (Djakarta: Nusantara, 1958), h. 10. 55 Tim Pusat Bahasa, op.cit., h. 1331. 51
23
Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah, kritik sosial merupakan salah satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial. Berbagai tindakan sosial ataupun individual yang menyimpang dari orde sosial maupun orde nilai moral dalam masyarakat dapat dicegah dengan memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.56 Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial. Artinya, kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasangagasan baru—sembari menilai gagasan-gagasan lama—untuk suatu perubahan sosial. Kritik sosial dalam kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar berbagi sikap konservatif, status quo, dan vested interest dalam masyarakat untuk perubahan sosial.57 Perspektif kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat bahwa kritik sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial.58 Kritik sosial dapat disampaikan melalui beberapa wahana, mulai dari cara yang paling tradisional, ungkapan-ungkapan sindiran melalui komunikasi antarpersonal dan komunikasi sosial, melalui berbagai pertunjukkan sosial dan kesenian dalam komunikasi publik, seni sastra, dan melalui media massa.59 Menurut Astrid Susanto, kritik sosial itu sebenarnya merupakan ssuatu yang positif karena ia mendorong sesuatu yang terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria. Kritik sosial adalah penilaian ilmiah atau pengujian terhadap keadaan masyarakat pada suatu saat. Dalam bidang politik, istilah kritik sosial seringkali memperoleh konotasi negatif karena diartikan mencari kelemahan-kelemahan pihak lain dalam pertarungan politik sehingga arti yang substansial dari kritik sosial itu menjadi kabur. Astrid menulis tentang arti kritik sosial ini lebih lanjut sebagai:....penjabaran megenai suatu masyarakat, anggota atau elitenya
56
Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Moh. Mahfud MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 2, h. 47. 57 Ibid., h. 49. 58 Ibid., h. 49. 59 Ibid., h. 49.
24
pada suatu saat, merupakan suatu analisa yang berbobot ilmiah dan disertai pertanggungjawaban ilmiah pula.60 Hampir semua karya sastra Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua unsur intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun karya fiksi saja, yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya yang baik, walau hal itu mungkin sekali sebagai salah satu pendorong ditulisnya sebuah karya. Selain itu, pesan moral pun, khususnya yang berupa kritik sosial, dapat memengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan.61 Wujud kritik sosial karya-karya sastra masa Balai Pustaka misalnya, lebih banyak berkaitan dengan adat-istiadat dan dominasi golongan tua yang tampak “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”, khususnya dalam hal mengatur dan menentukan jodoh bagi anak-anak muda. Masalah tersebut memang aktual pada waktu itu, namun tentunya tidak untuk masa sekarang. Ada berbagai aspek kehidupan sosial yang lebih menarik, aktual, relevan untuk diceritakan dan diamanatkan sesuai dengan derap kehidupan modern. Namun demikian, sebenarnya terdapat berbagai aspek kehidupan sosial yang besifat hakiki, dan itu bersifat langgeng dan universal, tidak hanya berlaku dan tidak terikat oleh batas waktu dan tempat.62 Sastra yang mengandung pesan kritik—dapat juga disebut sebagai sastra kritik—biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka. 60
Moh. Mahfud MD, “Perspektif Politik dan Hukum tentang Kebebasan Akademik dan Kritik Sosial” dalam Moh. Mahfud MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 2, h. 73. 61 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 331. 62 Ibid., h. 331.
25
Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusian yang lain. Ia tidak akan diam dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya. Hal-hal yang memang salah dan bertentangan dengan sifat-sifat kemanusian tidak akan ditutuptutupinya, sebab terhadap nilai seni ia hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, jika pengarang menerima paksaan dari luar (baca: mau menulis tidak sesuai dengan keyakinan dan kata hatinya sendiri), padahal itu diketahuinya tidak benar, misalnya sastra yang dipakai sebagai ajang main politikpolitikan seperti pada masa Lekra, ia akan menghasilkan karya seni yang rendah. Menulis sebentuk karya yang tidak didukung oleh unsur isi yang sesuai dengan keyakinan sendiri, atau yang diketahuinya palsu, adalah kosong. Hal itu juga berarti pengarang telah membohongi dirinya sendiri. Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan yang kini lebih berupa menjadi korban kesewenangan, penipuan, atau yang selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah, dan dikalahkan. Namun, apakah dengan adanya berbagai bentuk pembelaan yang dilakukan oleh pengarang lewat karya-karya kreatifnya itu nasib rakyat menjadi lebih baik, atau pihak yang dikritik menjadi menyadari kekeliruannya, itu adalah masalah lain. Paling tidak mereka, para pengarang itu, telah merasa terlibat dengan nasib rakyat, dan itu pantas menjadi bahan perenungan kita.63 Keterlibatan penulis puisi dalam kegiatan masyarakat secara otomatis akan memberikan pengalaman sosial dan kepekaan terhadap isi-isu sosial yang terjadi. Seperti yang dipaparkan Ajip Rosidi bahwa pada setiap masa, sejak awal kebangkitannya, para penulis puisi (dan sastra umumnya) kita, selalu terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane dan Asmara Hadi, terlibat dalam gerakan kebangsaan yang bersifat politik. Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin dan umumnya para penyair Angkatan 45 ikut serta mengangkat senjata dalam perjuangan mengusir penjajah setelah proklamasi 63
Ibid., h. 334
26
kemerdekaan. Para penyair yang lain seperti Rendra, Taufiq Ismail, Mansur Samin, Wahid Situmeang, Slamet Kirnanto dan lain-lain, terlibat dalam perjuangan menumbangkan Orde Lama atau gerakan-gerakan kemasyarakatan lainnya. Ada pula di antaranya yang pernah menduduki jabatan tinggi negara, baik dalam bidang eksekutif maupun legislatif.64 Puisi semakin menyuarakan kritikan sosial tatkala berakhirnya Orde Lama dan kemunculan Orde Baru. Seperti yang dijelaskan oleh Ajip Rosidi, sejak itu puisi seakan-akan tidak terpisahkan dari perjuangan para mahasiswa yang bersifat sosial-politik. Hampir dalam tiap demonstrasi mahasiswa, baik terhadap pimpinan Orde Lama, maupun terhadap sementara pejabat Orde Baru, lahir sajak-sajak yang ditulis dengan spontan, baik oleh para mahasiswa itu sendiri maupun oleh para penyair yang sudah mempunyai nama.65
F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA Pembelajaran sastra Indonesia di sekolah hingga saat ini masih menjadi kesatuan dalam satu mata pelajaran yaitu pelajaran bahasa Indonesia. Program pembelajaran apresiasi sastra Indonesia yang dipadukan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia ini pada kenyataannya memang masih kurang menarik bagi siswa. Penyebab kurang menariknya apresiasi sastra Indonesia adalah kurang dapat dipahaminya karya sastra oleh mereka. Hal ini bisa disebabkan oleh cara mengajar yang tidak memotivasi siswa dan kurang akrabnya mereka dengan karya sastra. Ini membuktikan kurang terbinanya pengajaran apresiasi sastra dengan baik.66 Ketidakberhasilan pengajaran apresiasi sastra juga disebabkan belum ditetapkannnya alokasi waktu untuk pengajaran apresiasi sastra Indonesia sebagai mata ajar yang mandiri. Sampai kini, sastra diajarkan sebagai sambilan dalam mengajarkan bahasa Indonesia. Berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua guru bahasa Indonesia mampu menyajikan pengajaran apresiasi sastra dengan
64
Ajip Rosidi, Puisi Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2010), Cet. 5, h. 119. Rosidi, op.cit., h. 107. 66 Widjojoko, op.cit., h, 98. 65
27
baik. Guru yang mahir mengajarkan bahasa Indonesia belum tentu mampu memikat saat mengajar sastra. Misalnya saat menyajikan puisi, selain dituntut menguasai materi ajar, guru harus memberikan contoh yang memikat dan sugestif. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa Indonesia yang kurang memiliki minat serius yang cukup tentang sastra67. Dalam pembelajaran sastra pada khususnya, siswa bukan hanya dituntut memahami teori-teori sastra saja, tetapi juga lebih dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra. Keterampilan proses komunikasi diharapkan hadir dari hasil pemahaman membaca karya sastra yang baik yaitu kemampuan merekonstruksi struktur bangun sastra secara faktual yang berwujud pengalaman-pengalaman hidup yang berharga.68 Berlandaskan pada pengalaman hidup inilah siswa akan menyadari pentingnya mempelajari dan mengapresiasi karya sastra. Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran apresiasi sastra ini, kehadiran buku-buku sastra mutlak harus dipenuhi. Pengalaman membaca sastra merupakan penentu dalam mengapresiasi karya sastra. Sehingga, lewat pembelajaran apresiasi sastra Indonesia, siswa diperkenalkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra serta mengajak siswa menghayati pengalaman-pengalaman yang
disajikan.
Pembelajaran
apresiasi
sastra
Indonesia
bertujuan
mengembangkan nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti yang tercermin dalam karya sastra.69 Penyampaian bahan ajar yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari merupakan strategi pengajaran yang paling tepat. Strategi ini memerlukan cara mengajar yang bervariasi. Strategi mengajar tersebut bukanlah strategi bagaimana mengajar dengan mudah, praktis, dan dapat menyelesaikan bahan pembelajaran secara tepat waktu, tetapi perlu dipikirkan pula bahwa strategi mengajar harus
67
Widjojoko, op.cit., h, 98. Widjojoko, op.cit., h, 98. 69 Widjojoko, op.cit., h, 98. 68
28
berorientasi kepada tingkat keterpahaman dan pengalaman siswa terhadap bahan pembelajaran yang dipersiapkan secara terencana.70
G. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan dengan skripsi ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Prima Yulia Nugraha (NIM 106013000311) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 yang berjudul Kritik Sosial dengan Pendekatan Mimetik pada Kumpulan Puisi Potret Pembangunan dalam Puisi karya W.S. Rendra. Penelitian tersebut menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak Sebotol Bir. Metode yang digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data atau dokumen untuk memperkuat informasi, seperti terdapat dalam bacaan maupun internet, lalu dilanjutkan dengan menganalisis data sejarah yakni pada dua puisi tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Pengkajian yang dilakukan yakni pengkajian terhadap struktur batin dan fisik dalam puisi serta pengaitan peristiwa sosial yang berlangsung di sekitar tahun penciptaan puisi dengan peristiwa yang digambarkan oleh Rendra di dalam puisinya. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut yakni pendekatan mimetik yang digunakan dalam menganalisis, pengkajian terhadap unsur pembangun puisi, dan pengaitan fakta sosial yang terkandung dalam puisi. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian tersebut yakni puisi yang digunakan dalam penelitian. Penelitian tersebut menggunakan puisi berjudul Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak Sebotol Bir karya WS Rendra, sedangkan penelitian ini menggunakan puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul (Kajian Resepsi Sastra), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakatya, tahun 2010. Adapun kesamaan penelitian 70
Widjojoko, op.cit., h. 97.
29
ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian terhadap kritik sosial dalam puisi, sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan serta pendekatan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan mimetik
sastra sedangkan penelitian tersebut menggunakan
pendekatan kajian terhadap resepsi sastra. Kritik sosial dalam penelitian tersebut meliputi: 1) kritik terhadap kesewenang-wenangan pemerintah, b) kritik terhadap penderitaan kaum miskin, c) kritik terhadap perlawanan kaum miskin, d) kritik terhadap perlindungan hak buruh, e) kritik terhadap fakta atau kenyataan sosial yang dialami masyarakat.71 Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Refrein di Sudut Dam karya D. Zawawi Imron: Tinjauan Semiotik oleh Alexa Grevey A 310 040 079 Jurusan Bahasa dan Sastra Indoensia Universitas Kristen Maranatha tahun 2011. Adapun kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah kesamaan penelitian terhadap kritik sosial dalam puisi. Sementara itu, perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan. Penelitian Alexa Grevey A tersebut menggunakan pendekatan semiotik sastra, sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan mimetik sastra. Selain itu, perbedaan lainnya yakni penggunaan data yang berbeda. Alexa Grevey A dalam penelitian tersebut menggunakan kumpulan puisi Refrein di Sudut Dam karya D. Zawawi Imron, sedangkan penelitian ini menggunakan puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Penelitian ini mengemukakan pertama, kumpulan puisi Refrein di Sudut Dam merupakan catatan perjalanan hidup yang mengungkapkan sikap kritis terhadap masyarakat di sekelilingnya. Kedua, puisi Refrein di Sudut Dam mengungkapkan perasaan penyair terhadap peristiwa sejarah akibat penjajahan kolonialisme Belanda. Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufiq Ismail oleh Nila Mega Marahayu Fakultas ISIP, UNSOED tahun 2011. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah 71
www.digilib.fkip.uns.ac.id
30
penelitian terhadap kritik sosial dalam puisi. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan. Nila Mega Marahayu menggunakan puisi berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, sedangkan penelitian ini menggunakan puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
BAB III PEMBAHASAN PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK” KARYA ELZA PELDI TAHER
A. Biografi Elza Peldi Taher lahir di Muara Labuh, 18 Desember 1962. Dia menempuh studi di FISIP Universitas Indonesia. Elza sudah mulai menulis artikel sejak tahun pertama duduk di bangku perkuliahan. Artikel pertamanya yang dimuat adalah artikel berjudul ―Modernisme Islam‖ di media cetak Panji Masyarakat. Selain itu, Elza aktif menulis di berbagai media massa antara lain Kompas, Media Indonesia, Matra, Femina, dan Republika. Selain berkecimpung di dunia tulis-menulis, kepeduliannya terhadap kebudayaan dan isu-isu sosial diwujudkan dengan mendirikan Kelompok Studi Proklamasi pada 1983—1988 bersama beberapa rekan-rekannya. Ia juga mendirikan Lembaga Kajian Masyarakat Indonesia pada tahun 1988. Kemudian, pada tahun 1996, Elza Peldi Taher bersama Komaruddin Hidayat dan Nurcholis Madjid mendirikan SMU Madania. Pekerjaan tetap pria yang bertempat tinggal di Pondok Cabe, Tangerang Selatan ini adalah General Manager PT Duo Rajawali Proraga, FutsalCamp, Ciputat, Tangerang Selatan. Elza juga menjadi editor beberapa buku, antara lain Reaktualisasi Hukum Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali (Paramadina, 1993), Mahasiswa dalam Sorotan, Indonesia dan Masalah Pembangunan, Agama dan Kekerasan (Kelompok Studi Proklamasi, 1984), Pintu-pintu Menuju Tuhan (Paramadina,
1994),
Demokrasi
dan
Proses
Demokratisasi
Indonesia
(Paramadina, 1993), dan Soen‘an Hadi Poernomo, Birokrat Unik (LKMI, 2011). Elza juga menyusun kutipan-kutipan Cak Nur yang dibukukan bersama rekannya Budi Munawar-Rachman dengan judul Satu Menit Pencerahan Cak Nur. Elza Peldi Taher menulis lima buah puisi esai yang disusun dalam kumpulan puisi esai Manusia Gerobak. Puisi esainya tersebut sudah
31
32
diperbincangkan salah satunya lewat media televisi. Beberapa stasiun televisi seperti TVRI dan SCTV pernah menjadikan isu sosial yang dihadirkan dalam puisi esai tersebut sebagai topik utama talkshow mereka. TVRI mengangkat perbincangan mengenai puisi esai ―Manusia Gerobak‖ dengan judul ―Manusia Gerobak vs Pasal 34 UUD 1945‖. Pada Ramadhan tahun 2013 silam, SCTV pernah mengangkat kisah dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ menjadi empat buah film seri. Pria beralamat email
[email protected] ini memiliki 5 buah akun twitter, yakni @elzataher, @motivasiilmu, @tweetbijak, @filecaknur, dan @kamu_perlutahu.
B. Sinopsis Puisi Esai “Manusia Gerobak” Puisi esai berjudul ―Manusia Gerobak‖ mengisahkan kehidupan Atmo, seorang petani yang terpaksa melakukan urbanisasi. Atmo hidup bersama istri dan dua orang anaknya. Atmo tinggal di sepetak bangunan milik orang lain dengan penghasilannya yang hanya cukup untuk makan sekadarnya. Namun masa telah berubah, sawah garapan kini menjadi pabrik-pabrik industri dan perumahan. Pembangunan semena-mena, sawah tergerus, buruh tani kehilangan pekerjaan, dan para pemilik tanah ikut bimbang sehingga memutuskan untuk menjual tanah mereka. Saat itulah, Atmo terpengaruh kabar dari orang lain untuk pergi berurbanisasi. Mereka beranggapan bahwa di kota besar uang bisa mengalir dengan derasnya, namun sayang Atmo tak pernah mendengar bahwa aliran uang tersebut bukan untuk orang-orang sepertinya yang pergi berurbanisasi tanpa bekal. Atmo tak punya pilihan, pekerjaan sebagai buruh tani bahkan kini menjadi persaingan, karena itulah Atmo memutuskan untuk pergi ke Jakarta beserta istri dan anak-anaknya. Setibanya di Jakarta, Atmo hanya mampu menyewa kamar di tepi kali Ciliwung. Dia lalu memutuskan untuk menjadi pemulung sampah karena menyadari tidak ada keahlian yang dia miliki untuk bisa bekerja secara layak. Dengan pekerjaan seperti itu, setidaknya Atmo mampu mengisi perut istri dan anak-anaknya meskipun tak pernah ada uang yang tersisa untuk keperluan lain.
.
33
Keadaan ini akhirnya harus berubah menjadi lebih tragis tatkala Atmo tidak mampu membayar sewa kontrak kamar dan akhirnya hidup menggelandang bersama keluarganya. Gerobak sampahnya lalu menjadi tempat bernaung dan mencari rezeki. Tidak ada alamat tepat, mereka berpindah-pindah, menyusuri jalanan Jakarta, mengumpulkan sampah dan rongsokan. Atmo tidak menyerah dalam menjalani kehidupan yang semakin sulit. Dia harus tetap berjuang meskipun hanya makan dua hari sekali. Anak-anaknya masih belum mengerti tentang sulitnya kehidupan, mereka masih bisa tertawa riang asalkan kedua orangtuanya tetap bersama mereka. Namun, kesetiaan istri Atmo ternyata goyah, dia meminta untuk berpisah. Atmo jelas tidak ingin berpisah, hidup sulit dan senang ingin dijalaninya bersama-sama. Istri Atmo kemudian memutuskan untuk kabur, meninggalkan suami dan anak-anak yang masih membutuhkannya. Atmo terpukul, namun dia harus tetap bertahan, entah ke mana harus mencari istrinya, anak-anaknya lebih penting. Kondisi putri kecilnya yang masih membutuhkan ASI pun semakin mengenaskan. Atmo lalu memberikan susu formula tak layak pakai yang dia temukan kepada putrinya. Atmo tak paham susu itu berbakteri. Putrinya langsung jatuh sakit terkena bakteri penyebab diare. Atmo hilir mudik ke Puskesmas dan rumah sakit bermodalkan uang sepuluh ribu rupiah. Dia berharap pihak Puskesmas atau rumah sakit mau menerima dan menolong putrinya. Namun kenyataan yang dihadapi berbeda, besar usahanya ternyata tidak membuahkan hasil, pihak Puskesmas atau pun rumah sakit dengan tegas menolaknya. Pertolongan yang tidak kunjung datang membantu malaikat maut mencabut nyawa putri kecilnya. Atmo sangat terpukul. Ujian demi ujian dijalaninya dengan tabah. Dia tidak ingin mengeluh, maka dari itu dia putuskan untuk mengurus jenazah putrinya dengan layak di kampung halaman. Di tengah keramaian Jakarta, ia memutuskan untuk pergi ke stasiun, menumpang kereta ekonomi menuju kampung halamannya. Perjuangan Atmo tidak berhenti di situ, sesampainya di stasiun, Atmo memutar otak bagaimana caranya menumpang kereta secara gratis. Saat tekadnya
.
34
sudah bulat untuk menumpang duduk di atas gerbong kereta, petugas kereta api menyadari keanehan gelagat Atmo. Petugas itu dengan penuh kecurigaan mulai menginterogasi Atmo. Bentakan demi bentakan ditujukan pada Atmo. Kecurigaan petugas bertambah tatkala mengetahui bahwa yang dibawa Atmo adalah jenazah seorang balita. Petugas tetap tidak percaya meskipun Atmo telah menjelaskan seterang-terangnya bahwa dia hanya ingin pulang kampung untuk menguburkan jenazah putrinya. Akhirnya, Atmo dibawa ke kantor polisi. Kesulitan tidak berakhir di situ saja, di kantor polisi petugas kepolisian memerintahkan agar putri Atmo diautopsi. Atmo berusaha setegar mungkin untuk kembali menjelaskan bahwa dia hanya ingin menguburkan putrinya karena tak ada tanah pekuburan yang mampu disewanya di Jakarta. Kabar tentang seorang pria gelandangan yang membawa jenazah putrinya ke mana-mana kemudian menyebar di kalangan orang papa. Seorang tukang bajaj yang iba dengan nasib Atmo lalu membantunya untuk menumpang bajaj. Dia bersedia mengantarkan Atmo ke mana saja dia butuhkan. Atmo kemudian pergi ke rumah pemilik kontrakannya yang dulu. Setibanya di sana, dia menceritakan nasib yang menimpanya. Ibu Sri, sang pemilik kontrakan tersebut tidak mampu menahan rasa ibanya. Sejurus kemudian, lewat mulut Ibu Sri tersebarlah kabar tentang kemalangan Atmo kepada para tetangganya. Mereka sepakat untuk mengumpulkan dana dan tenaga untuk membantu Atmo. Jenazah putri kecilnya harus segera dikuburkan. Pada akhirnya, warga bantaran sungai Ciliwung daerah Manggarai bahu membahu mengurusi jenazah putri Atmo.
.
35
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi Esai “Manusia Gerobak” 1. Tema Tema dari puisi esai ini adalah ketidakpedulian sosial yang dilakukan oleh beberapa pihak terhadap kaum papa. Beberapa kutipan puisi esai ―Manusia Gerobak‖ yang menggambarkan ketidakpedulian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut ini. Dibawanya anaknya berobat Ke Rumah sakit dan Puskesmas Dengan selembar sepuluh ribu Baik dokter maupun perawat Tak menggubris wajahnya yang memelas Menolak Atmo tanpa ragu1 Dihelanya gerobak menyusur Jakarta Orang sibuk sendiri-sendiri Padatnya jalanan tiada terhingga Tapi tak ada yang peduli2 Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari3 Kondisi ketidakpedulian sosial ditampilkan secara jelas sebagaimana kutipan di atas. Kejelasan tersebut yakni dengan memanfaatkan kata ‗tak menggubris wajahnya yang memelas‘; ‗menolak Atmo tanpa ragu‘; ‗orang sibuk sendiri-sendiri‘; ‗tapi tak ada yang peduli‘; ‗mengusir petani setiap hari‘. Ketidakpedulian sosial yang ditampilkan tersebut merujuk pada pemerintah, sebagian masyarakat perkotaan, serta pengonversi lahan pertanian. 2. Rasa Rasa yang muncul dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ adalah rasa tidak adil atau diskriminasi yang diakibatkan oleh tingginya ketimpangan sosial yang
1
Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia, h. 68. Ibid, h. 48. 3 Ibid, h. 55. 2
.
36
terjadi di kota metropolitan dan di zaman industrialisasi seperti sekarang. Rasa tersebut tercermin dari beberapa kutipan berikut ini. Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang4 Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman Biaya ini dan itu tidak sedikit Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan Di Jakarta orang melarat jangan sakit5 Mencari kerja ternyata susah Buruh bangunan dia tak bisa Tanpa ilmu tanpa ijazah Kerja kantoran, siapa mau terima?6 Terdapat beberapa kata yang mengandung rasa tidak adil atau diskriminasi dalam kutipan-kutipan di atas. Hal tersebut bisa diamati pada larik ‗bukankah kuburan telah penuh sesak‘; ‗yang sisa hanya buat yang beruang‘. Ketimpangan sosial dalam larik-larik tersebut menunjukkan kondisi adanya diskriminasi pelayanan publik. Hanya orang-orang mampu saja yang dapat menikmati fasilitas publik sebagaimana larik tersebut yang menyebut tentang pemakaman umum. Larik lainnya yakni ‗di Jakarta orang melarat jangan sakit‘ menampilkan realitas hidup yang jarang berpihak pada rakyat miskin. Realitas tersebut diperparah dengan adanya ketidakpedulian sosial. Larik selanjutnya yakni ‗tanpa ilmu tanpa ijazah‘, ‗kerja kantoran, siapa mau terima?‘ menampilkan bukan hanya sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan melainkan juga menampilkan akar dari permasalahan tersebut yakni pendidikan masyarakat miskin yang masih kurang tersentuh oleh pemerintah. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap hak memperoleh pendidikan bagi
rakyat
miskin
berujung pada kurangnya
keterampilan, keahlian, maupun bekal akademis lainnya.
4
Ibid, h. 48. Ibid, h. 52. 6 Ibid, h. 58. 5
.
37
3. Nada Puisi esai ―Manusia Gerobak‖ menampilkan nada kesedihan, perjuangan, dan ketabahan seorang tokoh bernama Atmo yang disertai sindiran narator dalam menampilkan dan menyikapi ketidakpedulian masyarakat terhadap kaum papa yang semakin besar. Ingin hatinya menangis Tapi air mata terkuras habis Tak ada satu pun yang peduli Hanya anak lakinya yang menemani7 Larik-larik di atas menunjukkan kesedihan yang dialami oleh tokoh. Kesedihan tersebut berkenaan dengan meninggalnya anak dari tokoh tersebut yang diwarnai dengan ketidakberdayaannya untuk mengurus pemakaman sang putri di kota Jakarta. Hal ini terlihat dengan adanya larik yang menyebutkan bahwa ‗hanya anak lakinya yang menemani‘. Bagai pipit dia mengembara Mematuki remah-remah orang kota Meski yang dipungut sampah tersisa Tetap saja dia ditatap penuh curiga8 Tak tahan didesak tagihan uang Atmo memilih menggelandang Istri dan dua anaknya dibawa kerja Dengan gerobak mengembarai Jakarta9 Nada perjuangan yang muncul dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ merujuk pada daya juang tokoh untuk tetap berusaha menyambung hidup meskipun dengan pekerjaan kasar. Halangan apa pun tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap berusaha menghidupi keluarga. Mereka seolah sepakat dan kuat Melihat anaknya terbaring sekarat Akhirnya dengan lesu ia berangkat Di atas gerobak anaknya coba dirawat10 Nada kecewa dalam bait tersebut akhirnya berubah menjadi ketabahan tokoh yang tetap merawat anaknya
7
Ibid, h. 53. Ibid, h. 60. 9 Ibid, h. 61. 10 Ibid, h. 68. 8
.
yang sakit. Nada ketabahan ini
38
memperlihatkan watak tokoh yang lebih memilih mencari solusi dengan caranya sendiri dibanding bersusah payah menuntut keadilan. Gerobaknya adalah istana Tempat bermukim sampah semesta Di puncak tumpukan barang-barang sisa Kedua anaknya duduk bertahta Berkuasa penuh dan digjaya Lambang kemiskinan umat manusia11 Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia Wajahnya kenyang tiada terkira Dari rumah makan siap saji Restoran bergambar daging di tengah roti Bundar dan besar, nikmat tampaknya Maka mereka semua ceria ...12 Nada sindiran terlihat dalam larik-larik di atas. Larik seperti ‗berkuasa penuh dan digjaya‘/ ‗lambang kemiskinan umat manusia‘ menyindir adanya kondisi kemiskinan yang semakin parah dan tidak teratasi oleh pihak yang berwenang. Larik selanjutnya seperti ‗orang-orang yang baru keluar dengan bahagia‘/ ‗wajahnya kenyang tiada terkira‘ menyindir pula ketidakpedulian masyarakat menengah ke atas dengan kondisi di sekitar mereka. Mereka seolah terlena dengan suka ria sementara banyak kaum papa yang membutuhkan perhatian. 4. Amanat Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis adalah semakin tingginya ketidakpedulian sosial yang menjadi ciri bahwa bangsa kita tengah mengalami krisis sosial. Hal ini dapat diwakili oleh beberapa larik dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ berikut ini. Kendaraan melintas pulang pergi Mobil mulus warna-warni Di dalamnya orang berbaju rapi Tak satu pun dari mereka yang peduli Atmo, anak-anak, dan istri Termangu-mangu sendiri13 11
Ibid, h. 63. Ibid, h. 65. 13 Ibid, h. 64. 12
.
39
Suasana perkotaan yang diwarnai dengan berbagai macam perbedaan taraf hidup masyarakat tergambar jelas dalam larik-larik tersebut. Larik-larik tersebut menjelaskan salah satu kondisi masyarakat kota kelas menengah dan atas yang tidak memedulikan orang-orang yang kesusahan di sekitar mereka. Masyarakat yang tidak peduli tersebut cenderung semakin individualis. Selain ketidakpedulian masyarakat tersebut, larik lainnya menunjukkan pula
ketidakpedulian
bahkan
kesemena-menaan
pihak
pegawai
instansi
pemerintahan terhadap masyarakat miskin. Dibawanya anaknya berobat Ke Rumah sakit dan Puskesmas Dengan selembar sepuluh ribu Baik dokter maupun perawat Tak menggubris wajahnya yang memelas Menolak Atmo tanpa ragu14 Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa kemana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa kemana-mana15 Amanat atau pesan ketidakpedulian sosial lainnya yang muncul dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini adalah ketidakpedulian pemerintah dan pihakpihak yang berkepentingan di bidang industri maupun properti yang menggerus hak-hak hidup di pedesaan. Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari16 Seluruh larik yang disebutkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini mengusung pesan ketidakadilan yang dialami rakyat miskin. Ketidakadilan tersebut beberapa di antaranya dilakukan oleh masyarakat,
14
Ibid, h. 68. Ibid, h. 51. 16 Ibid, h. 55. 15
.
40
pemerintah, dan pemegang kepentingan ekonomi seperti para pengonversi lahan pertanian. 5. Diksi Diksi yang digunakan penulis didominasi oleh pilihan kata yang menunjukkan suasana kemiskinan dan ketidakadilan. Banyak pula pemilihan kata yang menunjukkan nilai keagamaan di antaranya bentuk kerelaan terhadap ketetapan Tuhan. Hal-hal tersebut dapat ditunjukkan lewat beberapa kutipan berikut. Sarung kumal membungkus jenazah Tubuh mungil diam dan pasrah Ditutup rapi, diselempangkan menyilang Di depan dadanya yang datar kerontang17 Diksi ‗datar kerontang‘ memperkuat penokohan salah seorang tokoh dalam kisahan yakni seseorang yang miskin dan kelaparan. Selain itu, terdapat banyak diksi lainnya yang menunjukkan kemiskinan seperti berikut ini. Matahari mulai meninggi Atmo terkenang kampungnya yang rindang Tapi sakunya kosong dan sepi Jenazah tak bisa dibawa pulang18 Penggunaan ‗kata kosong‘ dan ‗sepi‘ menunjukkan tidak sepeser pun uang yang dimiliki tokoh bernama Atmo tersebut. Hal ini menguatkan situasi kemiskinan yang dialaminya. Diksi yang lain menunjukkan pula kurangnya rasa ketidakpedulian masyarakat terhadap kaum papa yang layak membutuhkan bantuan, misalnya ditunjukkan dalam bait berikut ini. Gerobak dan Atmo sekeluarga Bagaikan etalase belaka Sekadar pajangan di pinggir jalan Sesekali ditoleh lalu dilupakan19 Diksi ‗etalase‘ menyindir kecenderungan masyarakat kelas menengah dan atas yang cenderung memilih gaya hidup hedonis. Kecenderungan ini berimbas pada rasa ketidakpedulian. Masyarakat umum sebagaimana yang tersirat dalam
17
Ibid., h. 47. Ibid., h. 49. 19 Ibid, h. 64. 18
.
41
bait tersebut hanya memandang kaum papa sebagai pajangan di pinggiran jalan perkotaan. Rasa ketidakpedulian ditunjukkan pula dengan diksi ‗syakwasangka‘ yang memadukan Bahasa Arab dan Indonesia, yakni dalam bait berikut ini. Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana ...20 Diksi ‗syakwasangka‘ memiliki arti ragu-ragu dan sangka, dengan penjabaran sebagai berikut: dalam Kamus Bahasa Arab—Indonesia, syak21 )
شَّكًا- ُشّك ُ َ – يberarti ‗ragu-ragu‘, wa22 )( َو
ّك َش َ(
berarti ‗dan‘. Kata-kata dari
bahasa Arab itu kemudian digabung dengan kata ‗sangka‘. Diksi ini mewakili sikap sebagian masyarakat yang banyak menaruh kecurigaan pada pemulung sampah maupun barang rongsok hingga berdampak pada kurangnya rasa kepedulian. Terkait dengan gaya hidup masyarakat perkotaan yang semakin mencirikan hedonisme, dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini pun secara jelas menggunakan diksi-diksi sindiran untuk menunjukkan hal tersebut seperti dalam bait berikut ini. Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia Wajahnya kenyang tiada terkira Dari rumah makan siap saji Restoran bergambar daging di tengah roti Bundar dan besar, nikmat tampaknya Maka mereka semua ceria Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga Yang perutnya nyaris tiada isinya23 Pendeskripsian tentang restoran internasional yang menyediakan menu daging di tengah roti, bundar dan besar tersebut menunjukkan kecenderungan
20
Ibid, h. 51. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab—Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 201 22 Ibid., h. 490. 23 Taher, op. cit., h. 65. 21
.
42
gaya hidup masyarakat kelas menengah dan atas sebagai sebuah gengsi. Di tengah-tengah suka ria tersebut mereka lupa bahwa masih banyak kaum papa yang kelaparan. Diksi lain yang banyak digunakan terlebih di akhir-akhir pembabakan adalah diksi yang menunjukkan keagamaan. Di antaranya yakni, banyaknya pengulangan diksi ‗adzan‘ pada beberapa larik, misalnya dalam bait-bait berikut ini. Hari hampir malam Jenazah dikebumikan Di liang makam Dikumandangkan adzan Adzan bergema Di kuburan indah syahdu24 Adzan yang mengiring manusia dilahirkan Adzan berselimut kain kafan Adzan memanggil ingatan Akhir manusia di kuburan Terdengar iqomah Seruan agar manusia pasrah Berbaris mendirikan shalat Dengan tulus dan Hati tulus doa pekat Menghadap Ilahi Bersembahyang Menyerahkan diri25 Selain diksi ‗adzan‘, pengucapan kalimat bercirikan keagamaan juga muncul di beberapa bait, seperti bait berikut ini. ―Inna lilahi wa inna ilaihi rojiun‖ Atmo terpekur dalam-dalam ―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖ Atmo tersedu diam-diam26 Diksi bernilai keagamaan tersebut mencirikan karakteristik tokoh yang religius. Nilai keagamaan ini erat kaitannya dengan kesadaran mengenai takdir Tuhan yang hakiki yang disampaikan oleh narator maupun pengucapan oleh tokoh. 24
Taher, op. cit., h. 73. Taher, op. cit., h. 74 26 Taher, op. cit., h. 74 25
.
43
6. Imajeri Salah satu unsur yang membangun kekhasan puisi adalah adanya penggunaan imajeri atau pencitraan. Puisi sebagai karya sastra yang padat kata dan penuh makna tentu saja menggunakan imajeri untuk memperkaya daya bayang pembaca terhadap puisi. Terdapat beberapa penggunaan imajeri dalam puisi esai ini. Penjabaran dari penggunaan imajeri tersebut sebagai berikut: a. Imajeri pandang Kalbu Atmo luluh lantak Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak Langit biru alangkah indahnya27 Imajeri pandang yang ada dalam larik ‗Awan di langit berarak-arak‘ dan ‗Langit biru alangkah indahnya‘ menimbulkan daya bayang suasana siang hari yang cerah. ‗Awan di langit berarak-arak‘ dan ‗Langit biru alangkah indahnya‘ mengibaratkan keironisan yang muncul karena keindahan alam tersebut berbeda jauh dengan kondisi Atmo yang tengah berduka. Oleh karena itu, daya bayang yang muncul sengaja bukan sekadar ingin menampilkan keindahan alam semata, tetapi tampak lebih ingin menampilkan bentuk keironisan nasib tokoh. Ia mesti waspada, mesti berhati-hati Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat Untuk duduk merdeka di atap gerbong28 Imajeri pandang pada larik pertama yakni ‗Ia mesti waspada, mesti berhati-hati‘ menimbulkan daya bayang seseorang yang tengah mengendapendap. Daya bayang ini berkaitan dengan suasana yang timbul yakni suasana menegangkan yang dialami tokoh. Daya bayang ini menunjukkan maksud lain yakni, bukan hanya mengenai situasi tokoh yang sedang mengendap-endap, melainkan juga dimaksudkan untuk membangkitkan sikap kritis pembaca untuk memahami penyebab dari situasi tersebut. Hal yang tergambar dari bait tersebut menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang berusaha menumpang kereta secara gratis. Hal ini tentu saja berhubungan dengan kemiskinan yang masih melanda di Indonesia.
27
Taher, op. cit., h. 69. Taher, op. cit., h. 50.
28
.
44
Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa kemana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa kemana-mana29 Imajeri pandang yang terdapat pada larik ‗Ada syakwasangka di matanya‘; ‗Tubuh kecil kaku ditengoknya‘; ‗Orang mati dibawa kemana-mana‘; dan ‗Terpejam diam tak bergerak‘ menciptakan daya bayang kecurigaan saat melihat hal yang tidak wajar terjadi. Pegawai di stasiun menaruh rasa curiga karena melihat seseorang menggendong anak kecil yang tubuhnya sudah kaku dan tak bergerak. Pegawai stasiun tersebut harus sigap dan tegas ketika melihat hal yang tidak wajar terjadi di area stasiun. Namun demikian, sikap tegas sebagai seorang pegawai disalahartikan dengan malah membentak orang yang belum tentu bersalah. Atmo kini menetap berempat Di padat Manggarai, milik Ibu Sri Di tepi Ciliwung berair coklat Mandi mencuci di tepi kali30 Imajeri pandang pada larik ‗Di padat Manggarai, milik Ibu Sri‘; ‗Di tepi Ciliwung berair coklat‘; dan ‗Mandi mencuci di tepi kali‘ menciptakan daya bayang pemukiman padat dan kumuh di tepi Sungai Ciliwung sebagaimana realitas yang terjadi di Jakarta saat ini. Penggambaran salah satu keadaan Jakarta ini menegaskan latar kemiskinan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan karena telah menyalahgunakan fungsi sungai dan bantarannya. Saat tiba malam Atmo mencari tempat Kadang di pinggir jalan Pondok Indah Gerobak diparkir di trotoar terdekat Menjadi bagian dari perumahan mewah31 Imajeri pandang pada larik ‗Saat tiba malam Atmo mencari tempat‘ dan ‗Kadang di pinggir jalan Pondok Indah‘
menciptakan daya bayang suasana
malam hari, dan dalam suasana seperti itu ada seseorang yang masih mencari 29
Taher, op. cit., h. 51. Taher, op. cit., h. 58. 31 Taher, op. cit., h. 63. 30
.
45
tempat beristirahat. Tokoh tersebut tampak tidak memiliki tempat tinggal karena memilih untuk beristirahat di pinggir jalan. Larik selanjutnya yakni ‗Gerobak diparkir di trotoar terdekat‘ dan ‗Menjadi bagian dari perumahan mewah‘ menciptakan daya bayang ketimpangan yang jelas antar kemiskinan dan kemewahan. Gerobak yang diparkir di dekat deretan rumah mewah menampilkan keironisan yang terjadi di kota besar seperti Jakarta. Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia Wajahnya kenyang tiada terkira Dari rumah makan siap saji Restoran bergambar daging di tengah roti Bundar dan besar, nikmat tampaknya Maka mereka semua ceria Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga Yang perutnya nyaris tiada isinya32 Imajeri pandang yang terdapat pada larik ‗Wajahnya kenyang tiada terkira‘ menggambarkan ketimpangan yang dialami oleh tokoh. Orang-orang yang dilihatnya tampak puas dan tidak terlihat sengsara karena kelaparan dan hal tersebut berbeda jauh dengan kondisinya. Larik ‗Restoran bergambar daging di tengah roti‘ dan ‗Bundar dan besar, nikmat rasanya‘ menggambarkan kondisi tokoh yang berada di dekat pusat perbelanjaan. Narator mengungkapkan pendapatnya seolah-olah sebagai pemikiran tokoh. Pendapat narator yang paling menonjol adalah kesan nikmat sebagai sebuah penilaian gambar makanan di restoran tersebut. Namun, di luar pendapat itu bait tersebut menekankan ketidakpedulian sosial yang ditunjukkan dengan adanya sikap acuh terhadap orang kelaparan yang ada di sekitar. b. Imajeri dengar Kalbu Atmo luluh lantak Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak Langit biru alangkah indahnya33 Imajeri dengar yang terdapat pada larik ‗Mulut membisu tidak bicara‘ menunjukkan keheningan yang terjadi pada diri tokoh. Larik dengan imaji dengar ini seolah menciptakan ketegasan sendiri bahwa tokoh utama tak mampu 32
Taher, op. cit., h. 65. Taher, op. cit., h. 47.
33
.
46
mengeluarkan lebih banyak daya lagi untuk mengaduh, dia lebih memilih untuk bertindak langsung dalam menyelesaikan permasalahannya. Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa ke mana-mana34 Imajeri dengar pada larik ‗Si pegawai curiga, membentak‘ mengesankan ketegasan pegawai stasiun bercampur dengan sikap memandang sebelah mata terhadap orang yang berpenampilan kumuh, sehingga pegawai stasiun menaruh curiga pada orang tersebut. Dua anaknya bermain di dalam gerobak Atmo duduk istirahat di sebelahnya Kadang mereka turun dan berteriak Bercengkerama memanggili ibunya35 Imajeri dengar pada larik ‗Bercengekrama
memanggili
ibunya‘
mengesankan suasana riang. Pagi hari Atmo mencari-cari Hilang lenyap jejak sang istri Anaknya menangis meraung-raung Membuat Atmo semakin bingung36 Imajeri dengar pada larik ‗Anaknya
menangis
meraung-raung‘
mengesankan suasana kesedihan. Hari hampir malam Jenazah dikebumikan Di liang makam Dikumandangkan adzan Adzan bergema Di kuburan Indah syahdu37 Imajeri dengar pada larik ‗Dikumandangkan adzan‘ dan ‗Adzan bergema‘ yang mengiringi prosesi pemakaman menekankan hadirnya nilai keagamaan. Nilai keagamaan tersebut menjadikan penggambaran terhadap prosesi pemakaman 34
Taher, op. cit., h. 51. Taher, op. cit., h. 63. 36 Taher, op. cit., h. 67. 37 Taher, op. cit., h. 73. 35
.
47
semakin sakral. Penghayatan terhadap iringan suara adzan menambah kesan suasana haru dan penuh takzim atas prosesi pemakaman yang digambarkan dalam bait tersebut. c. Imajeri sentuh Lengan satunya mengapit jemari mungil Anak lelakinya yang berbaju lusuh Tertatih mengejar dengan langkah kecil Mengiringi bapaknya tanpa mengaduh38 Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang39 Atmo meraih jasad putrinya Diselimuti sarung kumal, lalu pelan dibopongnya Diraihnya lengan mungil anak lelakinya Agar selalu ada disampingnya40 Imajeri sentuh pada larik ‗Lengan satunya mengapit jemari mungil‘; ‗Jenazah mungil dimasukkan gerobak‘; ‗Atmo meraih jasad putrinya‘ menimbulkan kesan sentuhan halus namun kuat. Tokoh mengapit jemari anaknya sebagai upaya agar sang anak tidak tertinggal sementara dia juga tengah risau mencari cara mengurus jenazah putrinya. Sampah kotoran kota Jakarta Diangkut keranjang di punggungnya Benarkah hanya sampah belaka Persembahan orang kaya bagi yang papa?41 Imajeri sentuh pada larik ‗Diangkut keranjang di punggungnya‘ mengesankan sentuhan yang kuat dan pasti karena sampah maupun barang rongsok memiliki nilai berharga bagi tokoh tersebut. Rezeki pas-pasan Rela mereka sisihkan Untuk disisipkan Di tangan Atmo Tapi tak cukup 38
Taher, op. cit., h. 47. Taher, op. cit., h. 48. 40 Taher, op. cit., h. 50. 41 Taher, op. cit., h. 59. 39
.
48
Untuk menyewa ambulans42 Imajeri sentuh pada larik ‗Untuk disisipkan‘ dan ‗Di tangan Atmo‘ mengesankan sentuhan lembut, kuat, dan pasti. Kesan sentuhan itu muncul atas pemahaman bahwa para penderma tersebut dengan penuh keikhlasan bersedia membantu Atmo meskipun sama-sama miskin.
7. Gaya Bahasa Penggunaan gaya bahasa banyak dimanfaatkan dalam puisi esai ini. Gaya bahasa tersebut menunjang penggambaran terhadap fakta sosial yang dihadirkan. Beberapa gaya bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut. a. Repetisi Gaya repetisi atau pengulangan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini beberapa terdiri dari pengulangan kata maupun kalimat yang bertujuan untuk lebih menekankan pesan. Gaya repetisi yang digunakan dalam puisi ini antara lain sebagai berikut. Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa ke mana-mana43 Bait
tersebut
memiliki
gaya
repetisi
dengan bermacam
ragam.
Pengulangan kalimat sepenuhnya terjadi pada larik keenam. Kalimat tersebut sebelumnya pernah hadir pada larik keempat yakni ‗Orang mati dibawa ke manamana‘. Pengulangan ini menekankan pesan dalam bait yakni kecurigaan pegawai stasiun terhadap ketidakwajaran seseorang yang membawa jenazah dengan tangan kosong. Bait di atas juga memiliki ragam repetisi dengan pengulangan sebagian yakni kata ganti –nya pada kata ‗mencegatnya‘; ‗matanya‘; ‗ditengoknya‘ untuk menegaskan sosok pegawai stasiun yang sangat menaruh curiga.
42
Taher, op. cit., h. 71. Taher, op. cit., h. 51.
43
.
49
Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman Biaya ini dan itu tidak sedikit Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan Di Jakarta orang melarat jangan sakit44 Gaya repetisi dalam bait di atas ditunjukkan dengan bentuk pengulangan kata ‗tak‘ di larik ketiga yakni ‗Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan‘. Pengulangan tersebut untuk menegaskan bahwa tokoh bernama Atmo benar-benar dilanda kemiskinan. Kemiskinan tersebut berimbas pada ketidakberdayaannya untuk mengurus jenazah putrinya secara layak. Atmo terdesak Atmo terjepit Kebutuhan hidup kian meningkat Anak menangis makan pun sulit Perut yang kosong makin melekat45 Pengulangan kata Atmo dan awalan ter- yang menyertai kata kerja ‗desak‘ dan ‗jepit‘ memiliki makna ‗tertimpa‘. Pengulangan tersebut bertujuan untuk menegaskan nasib Atmo yang sudah dilanda kemiskinan dan kemalangan yang bertubi-tubi. Lalu kota mulai menggoda Kata orang di sana lah surga Semua barang di sana tersedia Uang datang dengan mudahnya Di Jakarta, kata orang Mencari uang lebih gampang Karena di sana semua uang berdiam Bertumpuk-tumpuk siang dan malam46 Pengulangan susunan kata ‗Kata orang...‘ pada dua bait tersebut menegaskan adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih mudah diperdaya oleh suatu hal yang tidak pasti, misalnya meyakini bahwa kehidupan di perkotaan lebih baik dibanding pedesaan. Jalanan demi jalanan Rumah demi rumah 44
Taher, op. cit., h. 52. Taher, op. cit., h. 56. 46 Taher, op. cit., h. 57. 45
.
50
Sampah demi sampah Memulung dengan tabah Sisa nasib dan remah-remah47 Pengulangan kata ‗demi‘ menegaskan daya juang tokoh dalam mencari nafkah begitu kerasnya. Mandi kalau ada air Makan kalau dapat uang Dengan gerobak hidup mengalir Pada langit tiada berhutang48 Pengulangan kata ‗kalau‘ menegaskan keadaan tak menentu yang dialami tokoh. Kala siang terik menyengat Pohonan kota tempat berteduh Kala hujan menetes deras Pohonan kota tempat berteduh Kala malam kedinginan Kepada siapa mesti mengaduh?49 Pengulangan kata ‗Kala‘ menegaskan bahwa di setiap waktu yang dilalui tokoh penuh dengan kesengsaraan. Pengulangan kata ‗Pohonan‘ menegaskan pula bahwa tokoh merupakan seorang tunawisma. Dia tidak memiliki tempat berlindung kecuali apa yang ditemukannya, misalnya bernaung di bawah pohon. Hari ini makan Hari ini cara makan lagi Besok mungkin makan Besok harus mencari lagi50 Pengulangan kata ‗Hari‘ dan ‗Besok‘ sama seperti pengulangan kata ‗Kala‘ sebelumnya. Pengulangan kata-kata tersebut semakin menegaskan bahwa setiap waktu yang dihadapi tokoh digambarkan sebagai kehidupan yang keras dan berat. Dikenangnya senyum putrinya Rengekannya 47
Taher, op. cit., h. 59. Taher, op. cit., h. 62. 49 Taher, op. cit., h. 62. 50 Taher, op. cit., h. 66. 48
.
51
Tangisannya Tawanya Raut wajahnya51 Pengulangan kata ganti –nya yang merujuk pada sang putri menegaskan bahwa tokoh sangat kehilangan putrinya. Kenangan-kenangan bersama putrinya mengiri saat-saat di mana tokoh tersebut harus mengurus jenazah putrinya. ―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖ segenap hatinya tiba-tiba jadi malam ―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖ hati Atmo seolah karam52 ... Orang-orang miskin Orang-orang susah Sama-sama miskin Sama-sama susah ...53 Adzan yang mengiring manusia dilahirkan Adzan berselimut kain kafan Adzan memanggil ingatan ...54 Bentuk pengulangan pada bait-bait di atas menegaskan nilai keagamaan yang terkandung dalam puisi ―Manusia Gerobak‖. b. Paralelisme Penggunaan gaya paralelisme atau kata-kata dengan makna yang sama juga dimanfaatkan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ sebagaimana yang dapat ditunjukkan dalam bait-bait berikut ini. Kalbu Atmo luluh lantak Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak Langit biru alangkah indahnya55 51
Taher, op. cit., h. 69. Taher, op. cit., h. 70. 53 Taher, op. cit., h. 73. 54 Taher, op. cit., h. 74. 52
.
52
Paralelisme terlihat dengan adanya penggunaan kata membisu diikuti dengan tidak bicara. Mulut yang membisu jelas dalam keadan tidak berbicara. Penggunaan gaya ini untuk menekankan keadaan tokoh yang begitu terpukul hingga tidak bisa berbicara apa-apa. Pohon-pohon segar menghijau Bunga mekar kuning dan jingga Kalbu Atmo sangatlah kacau Pedih jiwa tiada terhingga56 Kata ‗menghijau‘ sama maknanya dengan ‗segar‘. Larik ‗Pohon-pohon segar menghijau‘ tetap dapat dibayangkan dalam kondisi segar tanpa harus menggunakan kata ‗menghijau‘, begitu pula sebaliknya tanpa menggunakan kata ‗segar‘ pun larik tersebut tetap dapat dibayangkan dalam kondisi segar karena adanya penggunaan kata ‗menghijau‘. Hal ini dapat dibandingkan, misalnya dengan penggunaan kata ‗menguning‘ untuk menunjukkan keadaan daun yang akan gugur. Sarung kumal membungkus jenazah Tubuh mungil diam dan pasrah Ditutup rapi, diselempangkan menyilang Di depan dadanya yang datar kerontang57 Kata ‗diselempangkan‘ dipertegas dengan kata ‗menyilang‘ dalam larik ‗Ditutup rapi, diselempangkan menyilang‘. Benda yang diselempangkan tentu dalam posisi menyilang. Penggunaan gaya ini untuk menekankan kenyataan bahwa tokoh hanya mampu mengandalkan dirinya sendiri untuk mengurus jenazah sang putri. Matahari mulai meninggi Atmo terkenang kampungnya yang rindang Tapi sakunya kosong dan sepi Jenazah tak bisa dibawa pulang58
55
Taher, op. cit., h. 47. Taher, op. cit., h. 47. 57 Taher, op. cit., h. 47. 58 Taher, op. cit., h. 49. 56
.
53
Kata ‗kosong‘ yang diikuti dengan sertaan ‗sepi‘ memiliki makna yang sama yaitu ‗tak ada apa-apa‘. Dua kata yang sama maknanya sebagaimana bait di atas muncul pula dalam dua bait di bawah ini. Mereka ikut iba Meski mereka semua Miskin dan papa Tiada berlimpah harta59 Kata ‗miskin‘ disejajarkan dengan kata ‗papa‘. Penggunaan kata-kata tersebut bertujuan untuk menekankan keadaan yang menimpa tokoh yakni kemiskinan. c. Perumpamaan Penggunaan gaya perumpamaan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini menggambarkan perbandingan suatu keadaan maupun benda dengan hal lain yang memiliki sifat yang sama. Gaya perumpamaan ini ditampilkan untuk memperkuat penggambaran tentang kondisi yang dialami tokoh utama. Penggambaran tersebut dapat ditujukan seperti berikut. Anak mungil, lincah, dan lucu Diremas lapar setiap hari Tak ada nasi, tempe, dan tahu Wajahnya kering sepucat jerami60 Perumpamaan dalam larik ‗Wajahnya
kering
sepucat
jerami‘
menggambarkan kemiskinan yang dialami tokoh utama yang mewakili kenyataan masyarakat miskin di sekitar kita. Bait lainnya yang menunjukkan perumpamaan yakni sebagaimana berikut ini. Kini sawahnya seluas kota Dengan gancok mencangkul sawah Panennya plastik, bukannya padi61 Bait tersebut menggambarkan kegagalan tokoh utama dalam berurbanisasi. Perumpamaan ‗Kini sawahnya seluas kota‘ menampilkan tidak sepadannya kemampuan tokoh yang hanya bisa mengolah sawah dengan realitas hidup di 59
Taher, op. cit., h. 71. Taher, op. cit., h. 56. 61 Taher, op. cit., h. 60. 60
.
54
perkotaan, sehingga mau tidak mau tokoh tersebut menjadi pekerja kasar sebagai pemulung barang-barang bekas. Bait yang lain juga menunjukkan perumpamaan sebagai berikut. Bagai pipit dia mengembara Mematuki remah-remah orang kota Meski yang dipungut sampah tersisa Tetap saja dia ditatap penuh curiga62 Bait tersebut menggambarkan kedukaan dalam menjalankan kewajiban mencari nafkah sebagai seorang pemulung. Pekerjaan memulung sampah meskipun ditujukan untuk mencari barang rongsok yang masih dapat dimanfaatkan tetap membawa kecurigaan segolongan orang yang menganggap para pemulung dapat melakukan hal menyimpang seperti mencuri barang-barang. Gaya mengumpamakan kerasnya pekerjaan memulung digambarkan dengan penggunaan kata ‗Bagai pipit mengembara‘. Pekerjaan memulung sampah tentu saja harus melewati banyak tempat di antaranya adalah jalanan, sehingga tidak ubahnya seperti sebuah pengembaraan. Sampai tibalah suatu malam Kala Atmo dan dua anaknya terlelap Sang istri pergi diam-diam Lantas menghilang bagai sulap63 Bait tersebut menggambarkan tragedi saat istri Atmo mengkhianati keluarganya dengan cara kabur di tengah kemiskinan yang melanda mereka. Kepergian sang istri tersebut diperbandingkan dengan sulap karena caranya yang begitu tiba-tiba sebagaimana larik ‗Sang istri pergi diam-diam/ Lantas menghilang bagai sulap‘. Gerobak dan Atmo sekeluarga Bagaikan etalase belaka Sekadar pajangan di pinggir jalan Sesekali ditoleh lalu dilupakan64
62
Taher, op. cit., h. 60. Taher, op. cit., h. 67. 64 Taher, op. cit., h. 64. 63
.
55
Gaya perumpamaan yang ditunjukkan larik ‗Gerobak dan Atmo sekeluarga/ Bagaikan etalase belaka‘ memperbandingkan nasib Atmo yang tak ubahnya seperti pajangan. Pengibaratan dengan pajangan tersebut bukan dimaksudkan seperti barang-barang mewah yang dipajang dalam etalase, melainkan dimaksudkan untuk menekankan kecenderungan barang-barang pajangan yang hanya dilihat sesekali dan kadang dilupakan begitu saja. d. Metafora Metafora dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini misalnya dapat ditunjukkan dalam bait-bait seperti berikut. Bertiga mereka memendam duka Sirnanya kasih ibu memang terasa Hilang sudah sang payudara Tempat menyusu putri bungsunya65 Bait tersebut menunjukkan adanya pengibaratan secara langsung makna ‗ibu‘ dengan menggunakan kata ‗sang payudara‘. Semuanya ia nikmati Dua buah hati dan cinta istri Anak-anaknya bermain riang Meski segalanya serbalah kurang66 Penggunaan kata ‗buah hati´ menjadi perbandingan langsung untuk menunjukkan makna ‗anak‘. e. Personifikasi Personifikasi banyak dimaanfaatkan untuk menggambarkan latar baik tempat, waktu, maupun suasana. Personifikasi untuk menggambarkan latar waktu misalnya ada dalam bait berikut ini. Petang datang Malam menjelang Tak mungkin lagi 65
Taher, op. cit., h. 68. Taher, op. cit., h. 54.
66
.
56
Atmo berjalan jauh67 Kata ‗Petang datang‘ mengimajinasikan latar waktu yakni petang. Bait tersebut menggambarkan pula suasana di petang hari yang pada umumnya digunakan oleh sebagian orang untuk beristirahat dari pekerjaannya. Selain gaya personifikasi yang menggambarkan latar waktu seperti di atas, penggunaan yang lain dimanfaatkan pula untuk menciptakan latar tempat di antaranya seperti bait berikut ini. Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari68 Larik-larik tersebut menggunakan personifikasi untuk menggambarkan kondisi pedesaan yang sudah tidak berpihak kepada petani. Larik ‗Perumahan dan pabrik industri/ Mengusir petani setiap hari‘ menunjukkan semakin maraknya pendirian bangunan permanen di bidang industri maupun properti mengubah fungsi lahan pedesaan yang umumnya digunakan untuk pengolahan sawah. Bait selanjutnya menegaskan akibat dari kondisi tersebut yakni kecenderungan untuk berurbanisasi. Lalu kota mulai menggoda Kata orang di sanalah surga Semua barang di sana tersedia Uang datang dengan mudahnya69 Larik ‗Lalu kota mulai menggoda‘ menggambarkan jalan pikiran sebagian masyarakat yang hingga kini masih menganggap bahwa kesempatan kerja di perkotaan terbuka lebar tanpa mereka sadari perlu bekal yang banyak sebagai persiapan bekerja di perkotaan. Di Jakarta, kata orang Mencari uang lebih gampang Karena di sana semua uang berdiam Bertumpuk-tumpuk siang dan malam70
67
Taher, op. cit., h. 71. Taher, op. cit., h. 55. 69 Taher, op. cit., h. 57. 70 Taher, op. cit., h. 57. 68
.
57
Larik ‗Karena di sana semua uang berdiam‘ seolah-olah menunjukkan bahwa perputaran uang maupun kegiatan yang menghasilkan harta yang melimpah banyak terjadi di daerah perkotaan. Lalu mereka berempat bersama-sama Menikmati nasi bungkus berlauk sekadarnya Tak ada kerat daging atau ayam Untuk mengusir lapar semalaman71 Larik ‗Tak ada kerat daging atau ayam/ Untuk mengusir lapar semalaman‘ menggambarkan ‗daging atau ayam‘ mampu ‗mengusir lapar‘. Larik tersebut juga menyampaikan pesan bahwa mereka sulit untuk memperoleh kenikmatan dari hal yang lebih dari sederhana. Hari sudah jauh petang Kendaraan masih berderet panjang Orang-orang yang bergegas pulang Suara klakson berteriak lantang Di pinggir jalan Atmo duduk memandang72 Larik ‗Suara klakson berteriak lantang‘ menggambarkan suasana riuh dengan personifikasi ‗klakson‘ yang mampu ‗berteriak lantang‘. Larik tersebut juga bermakna arogansi orang-orang perkotaan yang semakin bersikap egois, sehingga kurang memiliki rasa ketidakpedulian sosial. Berbagai gaya bahasa yang digunakan tersebut memperkuat kesan suasana ironis dari ketidakpedulian sosial, ketimpangan keadaan hidup antarmasyarakat, serta sikap diskriminatif yang tergambar dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖. Penggunaan repetisi dan paralelisme menjadi penting untuk menekankan peristiwa
kesengsaraan
yang
seolah
hadir
bertubi-tubi.
Penggunaan
perumpamaan, metafora, dan personifikasi sengaja dipakai pula sebagai bentuk perbandingan antara kenyataan yang ada dengan hal lain yang akhirnya memunculkan keironisan bahkan sindiran.
71
Taher, op. cit., h. 64. Taher, op. cit., h. 64.
72
.
58
8. Rima dan Ritme Puisi esai ―Manusia Gerobak‖ menggunakan beragam bentuk rima. Adanya rima beraturan dan tidak beraturan menjadi ciri dari keberagaman tersebut. Penggunaan jumlah larik dalam satu bait pun beragam, dapat berupa empat larik dalam satu bait, tiga larik, delapan larik, dan lain-lain. Penggunaan rima dalam setiap puisi termasuk puisi esai ―Manusia Gerobak‖ erat kaitannya dengan ritme yang muncul dalam puisi. Ritme tersebut menciptakan totalitas bunyi baik cepat lambat, pendek panjang, dan tinggi rendahnya suara saat membaca puisi esai ―Manusia Gerobak‖. Ritme menciptakan pula gambaran tersendiri tentang nada, rasa, dan tema yang terkandung di dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖. Beragam rima dan ritme dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ diantaranya adalah sebagai berikut. Kalbu Atmo luluh lantak Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak Langit biru alangkah indahnya73
a b a b
a. Pengaturan larik Pengaturan larik pada bait tersebut terdiri dari 4 larik dalam satu bait. Tiap larik dalam bait ditulis sejajar dan tampak menggunakan jumlah kata maupun frasa yang hampir sama pada setiap larik, sehingga kecepatan dalam membaca setiap larik cenderung akan sama. b. Jumlah suku kata Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 7 suku kata: Kal/bu// At/mo// lu/luh// lan/tak// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –tak. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: Mu/lut// mem/bi/su// ti/dak// bi/ca/ra// dengan penjedaan suku kata terakhir yakni –ra. Larik ketiga terdiri dari 10 suku kata: A/wan// di// la/ngit// ber/a/rak/a/rak// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –rak. Larik keempat terdiri dari 10 suku kata:
73
Taher, op. cit., h. 47.
.
59
La/ngit// bi/ru// a/lang/kah// in/dah/nya// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni -nya. c. Pengaturan bunyi Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima akhir berpola ab-a-b yakni pada suku kata –tak, -ra, -rak, -nya. Pengulangan bunyi terjadi di larik kedua yakni suku kata Mu-, lut- pada kata Mulut dan –su pada kata membisu. Pengulangan bunyi juga terjadi di larik keempat yakni suku kata -kah pada kata alangkah dan -nya pada kata indahnya. Totalitas suara yang dihasilkan dari pengaturan larik tersebut yakni penggunaan suara yang lambat dan pendek karena jumlah suku kata yang sedikit pada tiap larik serta pengulangan rima akhir yang berulang. Selain itu, rendahnya suara berhubungan pula dengan pilihan kata yang yang menampilkan kesedihan seperti ‗Kalbu luluh Atmo luluh lantak‘. Pilihan kata yang menunjukkan kesedihan tersebut memang dapat menggunakan ritme-ritme dengan suara tinggi, tetapi dengan pilihan kata selanjutnya yakni ‗Mulut membisu tidak bicara‘ menegaskan bahwa adanya penggunaan suara rendah sebagai bentuk penghayatan terhadap pesan dalam puisi. Kemudian, pilihan kata ‗Awan di langit berarakarak‘ dan ‗Langit biru alangkah indahnya‘ menegaskan pula bahwa nada yang hadir adalah kesedihan yang ada di tengah-tengah ketenangan latar waktu dan suasana, sehingga dari nada tersebut tercipta ritme dengan penggunaan suara rendah dan lambat. Pengkajian rima dan ritme lainnya dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ dapat dilihat pada bait berikut ini. Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak
.
60
Orang mati dibawa ke mana-mana74 a. Pengaturan larik Pengaturan larik dari puisi tersebut terdiri dari 8 larik dalam satu bait. Tiap larik dalam bait tersebut ditulis secara sejajar dengan penggunaan gaya repetisi di beberapa larik. Sama seperti pembahasan terhadap bait sebelumnya, jumlah kata maupun frasa yang digunakan dalam setiap larik pada bait di atas hampir sama, sehingga kecepatan dalam membaca setiap larik tersebut pun cenderung akan sama. b.
Jumlah suku kata
Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 10 suku kata: Pe/ga/wai/ sta/si/un// men/ce/gat/nya// dengan penjedaan pada suku kata –nya. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: A/da/ syak/wa/sang/ka// di/ ma/ta/nya// dengan penjedaan pada suku kata –nya. Larik ketiga terdiri dari 10 suku kata: Tu/buh/ ke/cil// ka/ku// di/te/ngok/nya// dengan penjedaan pada suku kata -cil, -ku, dan –nya. Larik keempat terdiri dari 12 suku kata: O/rang/ ma/ti// di/ba/wa/ ke/ ma/na/ma/na// dengan penjedaan pada suku kata -na. Larik kelima terdiri dari 9 suku kata: Ter/pe/jam// di/am// tak/ ber/ge/rak// dengan penjedaan pada suku kata –jam, -am, dan –rak. Larik keenam terdiri dari 9 suku kata: Tak/ ber/na/fas// tak/ ber/su/a/ra// dengan penjedaan pada suku kata –fas dan –ra. Larik ketujuh terdiri dari 10 suku kata: Si/ pe/ga/wai/ cu/ri/ga// mem/ben/tak// dengan penjedaan pada suku kata –ga dan –tak. Larik kedelapan terdiri dari 12 suku kata: O/rang/ ma/ti// di/ba/wa/ ke/ ma/na/ma/na// dengan penjedaan pada suku kata -na. c.
Pengaturan bunyi
Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima akhir a-a-a-a-a-aa-a yakni pada suku kata –nya, -nya, -nya, -na, -rak, -ra, -tak, -na. Bait tersebut juga memiliki beberapa pengulangan bunyi. Pengulangan bunyi yang terjadi 74
Taher, op. cit., h. 51.
.
61
dalam satu larik misalnya pada larik keenam yakni suku kata tak- pada frasa ‗Tak bernafas‘ dan ‗tak bersuara‘. Pengulangan bunyi yang terjadi dalam larik yang berbeda misalnya pada larik keempat dan kedelapan yakni pengulangan penuh susunan kata ‗Orang mati dibawa ke mana-mana‘. Totalitas suara yang dihasilkan dari pengaturan larik tersebut yakni penggunaan suara yang tinggi, cepat, dan pendek. Pada bait tersebut, ritme yang muncul adalah tingginya suara dengan menggunakan pilihan kata yang yang menampilkan kecurigaan dan kemarahan seperti ‗Ada syakwasangka di matanya‘; ‗Orang mati dibawa ke mana-mana‘; ‗Si pegawai curiga, membentak‘. Pilihan kata mati menunjukkan nada kasar sehingga ritme yang muncul yakni dengan suara tinggi. Jumlah suku kata yang sedikit pada tiap larik serta pengulangan bunyi untuk penegasan sehingga menghasilkan suara yang pendek dan cepat. Bait selanjutnya, Atmo di depan menghela gerobak Istri di belakang mengawasi Beriringan di tengah deru kendaraan Pagi Siang Malam75 a. Pengaturan larik Pengaturan larik dari puisi tersebut terdiri dari 6 larik dalam satu bait. Tiap larik dalam bait tersebut ditulis sejajar. Larik keempat, kelima, dan keenam hanya terdiri dari dua satu kata. Perbedaan jumlah kata dalam tiap larik menciptakan totalitas suara yang berbeda dari awal larik menuju akhir. b. Jumlah suku kata Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 11 suku kata: At/mo/ di/ de/pan/ meng/he/la/ ge/ro/bak// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –bak. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: Is/tri/ di be/la/kang/ me/nga/wa/si// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –si. 75
Taher, op. cit., h. 63.
.
62
Larik ketiga terdiri dari 13 suku kata: Ber/i/ri/ngan/ di/ te/ngah/ de/ru/ ken/da/ra/an// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni -an. Larik keempat terdiri dari 2 suku kata: Pa/gi// dengan penjedaan pada suku kata terakhir -gi. Larik kelima terdiri dari 2 suku kata: Si/ang// dengan penjedaan pada suku kata terakhir -ang. Larik keenam terdiri dari 2 suku kata: Ma/lam// dengan penjedaan pada suku kata terakhir -lam. c. Pengaturan bunyi Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima awal a-b-c-a-b-a yakni pada suku kata awal at-, is-, ber-, pa-, si-, ma-, dan rima akhir a-b-a-b-a-a yakni pada suku kata –bak, -si, -an, -gi, -ang, -lam. Totalitas suara yang dihasilkan dari pengaturan larik, jumlah suku kata, dan pengaturan bunyi tersebut yakni penggunaan nada panjang menuju pendek. Nada-nada pendek pada lariklarik akhir ini mengesankan suasana yang dramatis. 9. Pusat Pengisahan Pusat pengisahan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini menggunakan pengamatan orang ketiga di luar cerita. Pengisah ini mampu menjelaskan peristiwa, suasana, dan pikiran para tokoh. Pengisah sekaligus sebagai pengamat ini memiliki sudut pandang serba tahu terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam pengisahan. Penggunaan pusat pengisah tersebut dapat ditunjukkan sebagaimana bait di bawah ini. Jalanan demi jalanan Rumah demi rumah Sampah demi sampah Memulung dengan tabah Sisa nasib dan remah-remah76 Daya juang tokoh untuk bisa bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta dikisahkan melalui pengamatan terhadap aktivitas tokoh. Pembaca dapat mengimajinasikan penggambaran dalam bait tersebut, misalnya upaya tokoh yang begitu keras mengumpulkan barang-barang yang sebagian besar tidak dianggap berharga oleh pihak lain. 76
.
Taher, op.cit., h. 59.
63
Pengisah dalam puisi ini juga menggambarkan perasaan serta pemikiran tokoh sebagai masyarakat yang tertindas. Hal tersebut dapat ditunjukkan lewat larik-larik berikut ini. Kini desa tak seperti dulu Sawah luas hijau membentang Alam yang tenteram sudah berlalu Pabrik datang sawah menghilang77 Larik ‗Kini desa tak seperti dulu/ .../ Alam yang tenteram sudah berlalu‘ menunjukkan kondisi para petani yang sudah tidak mungkin melanjutkan pekerjaan dalam mengolah sawah. Keadaan tersebut menjadikan hilangnya ketenteraman kehidupan di desa. Hal ini lah yang mendorong tokoh utama dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini pergi berurbanisasi. Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari78 Petani sawah kian terjepit Lebih baik menjual sawah Lalu pergi untuk berdagang Buat Atmo semuanya rumit Tanpa sawah hidupnya susah Mau berdagang tak punya uang79 Bait-bait di atas menunjukkan pengisah serba mengetahui karakteristik tokoh berupa sikap dan cara berpikir sebagai seorang petani. Hal seperti ini dapat pula dilihat pada bait berikut ini. Sampah kotoran kota Jakarta Diangkut keranjang di punggungnya Benarkah hanya sampah belaka Persembahan orang kaya bagi yang papa?80 Larik-larik tersebut menggambarkan situasi yang dihadapi tokoh lengkap dengan cara berpikirnya. Dua larik pertama mengilustrasikan kegiatan tokoh dan dua larik terakhir menyampaikan cara berpikir dan perasaan tokoh tersebut.
77
Taher, op. cit., h. 55. Taher, op. cit., h. 55. 79 Taher, op. cit., h. 56. 80 Taher, op. cit., h. 59. 78
.
64
Kisah ironis dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini dengan sangat jelas tergambar dengan memanfaatkan pusat pengisah yang serba tahu. Pembaca dapat mengetahui perasaan tokoh dan bukan sekadar membayangkan hasil pengamatan dari pengisah. Pusat pengisah ini berpengaruh terhadap unsur-unsur lain yang membangun puisi esai ―Manusia Gerobak‖. Setiap unsur pembangun dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ pada dasarnya saling berkaitan dan saling mendukung. Pesan kritik sosial menjadi terlihat jelas tanpa perlu pemaknaan yang rumit. Hal tersebut terlihat dari pemilihan kata, imajeri, dan gaya bahasa yang sederhana. Rima serta ritme yang muncul saat puisi ini dibaca pun menguatkan rasa dan nada dalam menyampaikan kritik-kritik sosial dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini. Penjabaran mengenai unsur pembangun ini memperlihatkan bahwa kritik sosial dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ disampaikan dengan amat nyata yang diwakili oleh penyampaian
ketidakadilan
berupa
sikap
kesejahteraan, dan marjinalisasi kaum yang lemah.
.
diskriminatif,
ketimpangan
BAB IV KRITIK SOSIAL DALAM PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK” KARYA ELZA PELDI TAHER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SMA
Kritik sosial sebagai salah satu bentuk komunikasi mempunyai peran penting untuk menjadi kontrol sosial proses bermasyarakat. Kritik sosial dapat diwujudkan dengan mengamati dan membandingkan secara teliti kondisi-kondisi yang berbeda dalam suatu lingkup masyarakat serta melakukan penilaian terhadap kondisi tersebut. Tindakan mengkritik dapat dilakukan oleh siapapun, hal ini karena setiap orang selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher menunjukkan kritik sosial untuk pemerintah, masyarakat, dan para pihak yang terkait dengan konversi lahan pertanian. Kritik-kritik sosial yang dihadirkan pun beragam sesuai dengan sasaran kritik. Misalnya, kritik terhadap pemerintah dengan kebijakan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, sikap masyarakat yang tak acuh, serta para pengonversi lahan pertanian yang bersikap oportunis. Semuanya dihadirkan untuk menampilkan realitas yang terjadi di tengah masyarakat kita. Fakta-fakta sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” tersebut berupa sikap memarginalisasikan dan mendiskriminasikan sebagian pihak oleh pihak lain. Fakta-fakta sosial yang menjadi sorotan penting adalah kritik yang sebagian besar ditujukan kepada pemerintah karena kinerja mereka yang kurang maksimal dalam menyejahterakan masyarakat. Kinerja dalam menyejahterakan bukan berarti hanya berkutat di bidang ekonomi, melainkan juga dalam mencerdaskan masyarakat. Banyaknya kritik terhadap pemerintah tersebut menjadikan pemerintah sebagai pihak yang dipandang paling bertanggung jawab atas
65
66
terciptanya kehidupan masyarakat yang penuh dengan permasalahan sosial seperti yang ditampilkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini.
A. Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher Puisi esai “Manusia Gerobak” menampilkan kritik-kritik sosial yang ditujukan kepada beberapa pihak. Penjelasan mengenai pihak-pihak yang menjadi sasaran kritik sosial sekaligus kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” tersebut sebagai berikut.
1. Kritik terhadap Pemerintah a. Kritik terhadap Sikap Diskriminatif Pemerintah Kritik terhadap sikap diskriminatif pemerintah salah satunya dapat dilihat pada bait berikut ini. Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang1 Setelah penolakan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas dan rumah sakit, Atmo harus menerima kenyataan bahwa putrinya meninggal dunia. Di tengah kedukaannya tersebut, Atmo harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak mampu untuk menguburkan jenazah putrinya di Jakarta. Biaya pengobatan saja tidak dapat terpenuhi, apalagi harus membayar sejumlah uang untuk mengurus jenazah seperti sewa lahan pemakaman. Peristiwa ini diperkuat dengan realitas mengenai sulitnya menguburkan jenazah di Jakarta seperti yang ditunjukkan pada catatan kaki kedua dalam puisi esai “Manusia Gerobak” berikut ini. Jakarta mengalami krisis lahan pemakaman. Dari 589,65 hektar luas pemakaman, lahan yang siap pakai untuk pemakaman baru di seluruh wilayah Jakarta hanya 31,8 hektar. Di atas kertas, lahan itu diperkirakan cukup hingga 2013. Biaya pemakaman jenazah baru sebenarnya sangat murah dan sudah diatur secara 1
Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h.48.
67
jelas oleh Pemerintah Jakarta. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pemakaman, pemerintah menetapkan retribusi pelayanan pemakaman yang besarnya sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Biaya pemakaian tempat pemakaman bervariasi dari nol sampai paling mahal seratus ribu rupiah untuk jangka waktu tiga tahun. Tetapi kenyataannya, biaya taka resmi pemakaman bisa mencapai Rp2,5 juta. Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan penduduk Jakarta berjumlah 8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya, tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0,44 persen. Lima tahun kemudian, jumlah penduduk meningkat menjadi 8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayanan 110 jenazah per hari atau 40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi 0,46 persen. Angka ini kembali naik menjadi 0,50 persen pada tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah 8.814.000 jiwa dengan rata-rata pelayanan 120 jenazah per hari atau 43.800 per tahun. Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik kesimpulan, persentase tingkat pelayanan kematian di Jakarta mencapai 0,46 persen per tahun. Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40 ribu jiwa dan orang harus mengeluarkan biaya pemakaman sekitar dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar mencapai 80 miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa lahan, biaya ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan, pengadaan rumput, pemeliharaan makam, dan upah para penggali).2 Kebijakan atas biaya sewa lahan yang ditetapkan oleh pemerintah pada kenyataannya masih disalahgunakan oleh oknum-oknum dalam pemerintahan. Ketidaktegasan pemerintah terhadap para pegawainya ini tidak mewujudkan tekad pemerintah untuk bersikap adil. Lahan pemakaman yang memang sudah sangat terbatas dijadikan lahan komersial sehingga merugikan masyarakat yang kurang mampu. Larik tersebut mewakili kenyataan perlakuan diskriminatif yang harus dihadapi oleh masyarakat miskin. Entah disadari atau tidak oleh pemerintah, masyarakat dengan tingkat finansial tinggi cenderung selalu diutamakan dalam segi
pelayanan.
Atmo
sebagai
salah
satu
contoh
masyarakat
miskin
metropolitan—seperti halnya dengan orang-orang yang senasib dengannya— selalu mendapatkan perlakuan setengah hati. 2
Taher, op. cit., h. 51.
68
Perlakuan seperti inilah yang salah satunya terjadi pada kisah nyata yang dialami oleh seorang pria bernama Supriono pada tahun 2005 yang lalu. Pada tanggal 6 Juni 2005 pertama kali muncul di harian Warta Kota dan Kompas, seorang pria bernama Supriono menggendong jenazah anaknya yang berusia tiga tahun bernama Khaerunnisa, pria tersebut diperiksa setelah petugas KRL ekonomi jurusan Jakarta Bogor menuju Citayam, melihat gelagatnya yang membawa jenazah. Awalnya, petugas KRL mengira jenazah tersebut adalah korban pembunuhan. Padahal, Supriono hendak pergi ke tempat kerabatnya di Citayam untuk mengurus jenazah putrinya tersebut.3 Hal tersebut dikarenakan Supriono yang tidak mampu membiayai pemakaman putrinya, Khaerunisa. Dia hanya mampu membawa putrinya tersebut dengan gerobak yang dimilikinya.
b. Kritik terhadap Ketidakseriusan Pemerintah dalam Menangani Pelayanan Fasilitas Publik Ketegasan pemerintah dalam menangani pelayanan fasilitas publik terlihat kurang serius. Bait berikut ini mewakili gambaran terhadap kritik tersebut. Ia mesti waspada, mesti berhati-hati Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat Untuk duduk merdeka di atap gerbong4 Tekad Atmo untuk membawa jenazah putrinya ke kampung halaman dia wujudkan dengan memilih cara menumpang kereta ekonomi secara gratis. Tentu saja hal ini dikarenakan Atmo tidak mampu untuk membeli karcis. Kondisi seperti ini membuatnya berinisiatif untuk duduk di atap gerbong seperti yang sering dilakukan oleh segelintir masyarakat yang tidak tertib maupun yang memang tidak mampu membeli karcis. Ketersediaan fasilitas umum, dalam hal ini transportasi massal yang terjangkau dan layak pakai, rupanya tetap menjadi tantangan bagi pemerintah. Hal ini sejalan dengan keterangan bahwa pertumbuhan penduduk kota jauh lebih pesat dari kemampuan pemerintah di negara sedang berkembang seperti Indonesia untuk menyediakan fasilitas pelayanan yang memadai. Semakin besar suatu kota, masalah yang dihadapinya lebih banyak dan 3
Iskandar Zulkarnaen, Peristiwa Tragis Supriono Itu Sudah Lama Terjadi, www.kompas.com, 22 Juni 2011. 4 Taher, op. cit., h. 50.
69
lebih sulit. Terbukti bahwa pencemaran udara, kebisingan, kemacetan lalu lintas, kejahatan, dan kurangnya perhatian terhadap kesehatan tumbuh lebih pesat daripada perkembangan wilayah kota-kota besar.5 Selain itu, gambaran mengenai ketidakdisiplinan masyarakat yang ditunjukkan oleh bait tersebut perlu menjadi perhatian lebih bagi instansi pemerintahan khususnya Dinas Perhubungan. Ketidakdisiplinan ini merupakan dampak dari ketidaktegasan pemerintah untuk menertibkan masyarakat pengguna transportasi massal. Selain itu, catatan kaki pertama dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini juga menunjukkan beberapa kecenderungan terkait penggunaan kereta ekonomi yang masih kurang maksimal dalam pelayanan dan juga dalam segi penggunaan, seperti yang dapat ditunjukkan berikut. KRL Jabotabek adalah jalur kereta rel listrik yang dioperasikan oleh PJKA sejak 1976, melayani rute komuter di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. KRL yang melayani jalur ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas ekonomi dan kelas ekspress yang menggunakan pendingin udara. Kereta kelas ekonomi selalu padat setiap pagi hari dan sore hari. Bahkan sampai di atap gerbong. Banyak penumpang kelas ekonomi tak memiliki karcis.6 c. Kritik terhadap Sikap Antipati Pemerintah Sikap pemerintah yang cenderung antipati salah satunya dikarenakan prasangka buruk terhadap masyarakat kelas bawah sebagaimana ditampilkan dalam bait beirkut ini. Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa kemana-mana 7 Atmo yang berpenampilan lusuh—dengan gerak-geriknya yang penuh waspada membawa jenazah putrinya agar bisa duduk di atap gerbong—membuat pegawai stasiun curiga. Hal ini tentu wajar terjadi, namun perlakuan kasar yang 5
Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 28. Taher, op. cit., h. 50. 7 Taher, op. cit., h. 51. 6
70
dilakukan oleh pegawai stasiun tidak mencerminkan sikap kewibawaan aparatur pemerintah. Perlakuan seperti ini sangat sering diterima oleh masyarakat kelas bawah. Pandangan kriminalitas seolah menjadi dugaan awal apabila seseorang dengan penampilan kumuh bersikap tidak wajar misalnya mengendap-endap sebagaimana tingkah yang ditampilkan Atmo. Kecurigaan pegawai pemerintahan dalam puisi esai ini ditampilkan dengan sikap kasar yang mereka berikan pada masyarakat kelas bawah. Penertiban yang mereka lakukan pun terkesan pandang bulu. Hal ini diperkuat dalam bait berikut ini. Jakarta hanya untuk orang berpunya Tak ada belas kasihan Pegawai stasiun tak percaya Ia ditangkap jadi tawanan8 d. Kritik terhadap Kebijakan Pemerintah Yang Merugikan Masyarakat Pedesaan Berbagai
macam
kebijakan
yang
ditetapkan
pemerintah
pada
kenyataannya tidak semua berpihak untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Hal ini terlihat bukan hanya dari sistem sentralisasi yang secara implisit masih terjadi di Indonesia, melainkan juga pembangunan wilayah pedesaan yang disalahartikan dengan banyaknya pendirian pabrik industri maupun perumahan. Pembangunan seperti ini tidak cocok dilakukan di wilayah pedesaan sebagai penghasil komoditas pertanian. Kondisi seperti ini digambarkan dalam beberapa bait dalam puisi esai “Manusia Gerobak” seperti berikut ini. Kini desa tak seperti dulu Sawah luas hijau membentang Alam yang tenteram sudah berlalu Pabrik datang sawah menghilang Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari9 Atmo menjadi saksi bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah yang bekerja sama dengan para pengusaha terus menggerus matapencahariannya sebagai 8
Taher, op. cit., h. 53. Taher, op. cit., h. 55.
9
71
petani. Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk meloloskan izin pendirian bangunan malah berimbas pada ketidakstabilan ekonomi di pedesaan. Hal ini bukan saja merugikan para petani, melainkan juga berdampak pada kemandirian bangsa yang semakin melemah untuk memproduksi komoditas pertanian dalam negeri. Kebijakan pemerintah di Indonesia terkesan banyak yang tumpang tindih, misalnya tekad untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negeri terhalang dengan kebijakan lain di sektor industri besar. Bisa ditemukan dengan mudah bahwa banyak pihak-pihak yang melakukan proyek pembangun di wilayah penghasil komoditas pertanian. Proyek tersebut mulai dari pendirian pabrik-pabrik industri hingga usaha properti. Hal ini ternyata tidak disikapi dengan bijak oleh pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Pemerintah bahkan cenderung membiarkan pembangunan proyek-proyek tersebut secara sepihak. Kondisi seperti ini jelas merugikan masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan cenderung hanya memiliki keterampilan bercocok tanam. Umumnya, mereka terbagi menjadi dua pengelompokkan yakni para tuan tanah dan para petani sewaan/ penyewa yang mengolah lahan pertanian. Situasi yang tidak stabil jelas akan muncul apabila pembangunan proyek di bidang industri, properti, dan sebagainya tetap berlangsung. Hal buruk yang terjadi adalah makin banyak masyarakat pedesaan yang kehilangan matapencaharian. Kecenderungan masyarakat Asia terutama di negara-negara berkembang adalah hidup dalam lingkup masyarakat maritim, petani, pedesaan, hutan, dan lingkungan nonindustrial lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa peran pedesaan sangat besar bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Sebagaimana pernyataan dalam buku Urban Sociology yang menyebutkan: Asia is a continent of contradictions. Over 50 percents of the worlds population and one third of its urban population are in Asia. Yet many Asian countries, Pakistan, Thailand, Indonesia, and the Philipppines, are only about 10 percent urbanied. In Asia are located some of the leas affluent countries in the world (Sri Lanka and Bangladesh) and one of the world’s most affluent countries, Japan. Some
72
countries in Asia are low jungles and swamps, some are mountainous, and other, particularly in Asia Minor, are desert.10.
e. Kritik terhadap Ketidakseriusan Mencerdaskan Rakyat
Pemerintah
dalam Program
Kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan rakyatnya juga semakin dipertanyakan dengan melihat pesatnya pertumbuhan migrasi masyarakat pedesaan ke wilayah kota atau biasa disebut dengan urbanisasi. Kondisi ini tergambar dalam puisi esai “Manusia Gerobak” pada bait-bait berikut ini. Lalu kota mulai menggoda Kata orang di sana lah surga Semua barang di sana tersedia Uang datang dengan mudahnya Di Jakarta, kata orang Mencari uang lebih gampang Karena di sana semua uang berdiam Bertumpuk-tumpuk siang dan malam Tekad Atmo seteguh karang Ke Jakarta hendak menjelang Ia tinggalkan desa yang tenteram Hijrah ke kota dan ketidakpastian Membawa uang tak seberapa Istri dan dua anak dibawa serta Tekad membatu jiwa membara Berharap lebih nanti di kota11 Kondisi Atmo yang memilih berurbanisasi pada dasarnya memang dapat dimaklumi. Hal ini karena pemerintah belum mampu menangani masalah di pedesaan. Pemerintah malah cenderung membuat permasalahan baru dengan menggerus wilayah pedesaan dengan industrialisasi yang tidak terkontrol. Apabila kesempatan bekerja di desa sudah tidak memungkinkan, salah satu pilihan masyarakat adalah berurbanisasi. Tantangan baru yang sebagian besar dari mereka belum sadari adalah pentingnya bekal keterampilan yang umumnya diperlukan di
10
John W. Bardo, Urban Sociology, (USA: Peacock Publisher, 1982), h. 300. Taher, op. cit., h. 57.
11
73
perkotaan. Iming-iming kesuksesan dan penghasilan besar yang bisa diperoleh di wilayah kota hanya akan menjadi angan-angan kosong apabila mereka tidak dibekali dengan keterampilan yang mumpuni. Maka dari itu, penduduk yang hendak melakukan urbanisasi dengan segala macam latar belakang keterampilan pedesaannya seharusnya mampu untuk menyiapkan diri sebelum berurbanisasi. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah dalam mendidik masyarakat. Peran pemerintah amat diperlukan dalam mencerdaskan pola pikir masyarakat pedesaan. Kecenderungan untuk berurbanisasi tentu saja terkait dengan kebijakan yang mementingkan industri dan mengabaikan pertanian, ditambah pula dengan kecenderungan mementingkan kota atau sentralisasi. Hal ini akan semakin mendesak dan merangsang kaum miskin di desa untuk pindah ke kota dengan segala konsekuensi ekonomi dan sosial di kota-kota besar.12 Jalan keluar dari kemelut ini, menurut Todaro dan Stilkind yakni: ...pembangunan yang lebih mementingkan fasilitas sosial di daerah pedesaan, mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembangunan pertanian dan khususnya petani kecil, mengadakan pembukaan lahan, dan mengembangkan industri kecil di desa.13 Ketidaksiapan masyarakat yang melakukan urbanisasi pada akhirnya hanya akan menjadi permasalahan baru di daerah perkotan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah tunawisma maupun pekerja yang bersifat parasit seperti pengemis, pelacur, pencuri, dan sebagainya. Kritik terhadap hal tersebut diperkuat dengan catatan kaki keempat dalam puisi esai “Manusia Gerobak” sebagaimana berikut ini: Pada tahun 2009 diperkirakan Manusia Gerobak mencapai 1.000 orang. Mereka biasanya berada di kawasan Senen, Tanah Abang, Kemayoran, dan sejumlah pemukiman padat di Jakarta. Manusia Gerobak mengacu pada kemiskinan yang membawa orang-orang di desa mencari nafkah di kota. Mereka membawa keluarganya dalam suatu gerobak. Gerobak inilah yang menjadi rumah sekaligus alat angkut dan mencari makan dengan memulung sampah serta barang rongsokan sekaligus mengemis. Manusia gerobak menjadi alternatif orang miskin mempertahankan hidup di 12
Hans-Dieter Evers dan Rudgiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor, 2002), h. 1. 13 Ibid., h. 2.
74
kota Jakarta. Dengan cara tersebut mereka memiliki risiko kecil tapi memberikan nilai ekonomis yang lumayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp 25—30 ribu dari hasil memulung.14 Ini menjadi kritik bagi pemerintah untuk mencerdaskan rakyat agar bisa hidup mandiri dengan cara misalnya memberikan pengarahan dan fasilitas baik materi maupun nonmateri untuk mengembangkan keterampilan mereka. Hal ini karena modernisasi memang akan dan selalu tetap menjadi tantangan zaman. Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong orang untuk tetap tinggal di desa dengan perhatian lebih terhadap wilayah-wilayah tersebut. Kebijakan yang masih menguntungkan daerah pusat akan semakin membuat ketimpangan sosial dan permasalahan sosial yang sedikit banyaknya akan berpengaruh pula pada wilayah perkotaan.
f. Ketidakseriusan Pemerintah dalam Memperhatikan Kesehatan Masyarakat Tekad pemerintah untuk menyejahterakan rakyat menjadi hal yang ironis dengan banyaknya kasus ketidakpedulian pemerintah terutama di bidang kesehatan. Kurangnya perhatian pemerintah di bidang kesehatan ini dapat dilihat pada bait dalam puisi esai “Manusia Gerobak” berikut ini. Dibawanya anaknya berobat Ke Rumah sakit dan Puskesmas Dengan selembar sepuluh ribu Baik dokter maupun perawat Tak menggubris wajahnya yang memelas Menolak Atmo tanpa ragu15 Atmo harus menguatkan dirinya setelah menghadapi perlakuan pegawai Puskesmas dan rumah sakit yang menolak memberikan pertolongan kepada anaknya. Penolakan ini tak lain karena Atmo tak mampu membiayai pengobatan. Nurani mereka sebagai pihak yang wajib menolong orang-orang seperti Atmo selalu
saja
tertahan
karena
permasalahan
uang.
Meskipun
pemerintah
menyediakan beragam jenis jaminan kesehatan, pada kenyataannya proses dalam
14
Taher, op. cit., h. 59. Taher, op. cit., h. 68.
15
75
mengurus jaminan kesehatan itu pun tetap menyulitkan masyarakat yang kurang mampu. Ketidakseriusan pemerintah pun ditegaskan kembali pada bait berikut ini. Rezeki pas-pasan Rela mereka sisihkan Untuk disisipkan Di tangan Atmo Tapi tak cukup Untuk menyewa ambulan16 Atmo yang memperoleh pertolongan seadanya dari masyarakat pinggiran tetap harus menghadapi kenyataan bahwa pertolongan tersebut tidak mencukupi untuk menyewa fasilitas kesehatan seperti ambulans. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk layanan kesehatan pun masih dikomersialkan oleh pemerintah.
2. Kritik terhadap Masyarakat a. Kurangnya Kepedulian Masyarakat terhadap Kaum Tertindas Kritik terhadap ketidakpedulian masyarakat beberapa dapat dilihat dalam bait-bait berikut ini. Dihelanya gerobak menyusur Jakarta Orang sibuk sendiri-sendiri Padatnya jalanan tiada terhingga Tapi tak ada yang peduli Mobil dan motor cuma melintas Tak satu pun yang bertanya Hidup di kota memanglah keras Tapi bukankah mereka manusia?17 Larik-larik tersebut menggambarkan Atmo mau tidak mau harus berjalan di tengah kota dengan gerobak yang ditariknya. Dia berusaha mencari peruntungan untuk mengurus jenazah putrinya. Jenazah yang tergeletak di dalam gerobak hanya menjadi pemandangan bagi orang-orang di sekitar Atmo. Masyarakat kota tetap hilir mudik mengutamakan kepentingan pribadi. Kerasnya kehidupan Jakarta menjadikan masyarakat semakin bersikap individualis dan pandangan mereka terbatas hanya pada pemuasan kebutuhan diri sendiri.
16
Taher, op. cit., h. 71. Taher, op. cit., h. 48.
17
76
b. Kritik terhadap Sikap Hedonis Masyarakat Perkotaan Kritik berupa sindiran terhadap gaya hidup masyarakat perkotaan yang semakin hedonis ditunjukkan pada bait berikut. Orang-orang yang keluar dengan bahagia Wajahnya kenyang tiada terkira Dari rumah makan siap saji Restoran bergambar daging di tengah roti Bundar dan besar, nikmat tampaknya Maka mereka semua ceria Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga Yang perutnya nyaris tiada isinya18 Kecenderungan gaya hidup hedonis mencirikan kepentingan individu telah menjadi segalanya dibanding dengan kepentingan kelompok. Kepentingan pribadi dan kelompok ini pada dasarnya harus berjalan beriringan dan saling mendukung, bukan malah mendiskreditkan. Gaya hidup mewah, bersaing hanya untuk gengsi semata, serta pandangan yang terlampau bebas telah mengubah tingkah laku masyarakat yang berdampak pada sikap yang tidak acuh pada sesama. Jelas terlihat kesenjangan sosial yang sangat memprihatinkan dari larik-larik di atas. Terjadinya kesenjangan tersebut memang menjadi hal umum di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di banyak negara berkembang, struktur sosial masing-masing lapisan masyarakat berkembang ke arah yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan semakin lebarnya jurang kaya-miskin. Fenomena ini disebut entwicklung der unterentwicklung (perkembangan negatif). Proses perkembangan negatif ini dapat terjadi meskipun pertumbuhan ekonominya positif.19 Fenomena tersebut memang ironis. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuan pemerintah Indonesia mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat sebagaimana yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat meskipun dalam kondisi krisis
18
Taher, op. cit., h. 65. Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, (Jakarta: Cidesindo, 1999), h. 1.
19
77
ekonomi global.20 Namun pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak tercermin dari kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Bentuk kesenjangan lainnya juga dapat diamati lewat perubahan sosial yang ditunjukkan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat kelas menengah. Kecenderungan masyarakat kelas menengah yang biasanya hanya mampu mengonsumsi produk ekonomis pada akhirnya dihadapkan dengan sikap konsumtif mereka sendiri yang semakin tinggi. Ketidaksiapan mental masyarakat wajar terjadi mengingat adanya perubahan sistem tata kota metropolitan di negara berkembang seperti Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan dan juga pusat ekonomi negara. Tipografi kota Jakarta memang mencerminkan kesan kuat globalisasi. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk gedung-gedung tinggi apartemen dan kantor, hotel, dan pusat perbelanjaan yang dilengkapi dengan gerai-gerai restoran cepat saji kelas dunia, dengan gaya arsitektur postmodern terbaru. Sehingga mau tidak mau, masyarakat perkotaan dengan berbagai latar belakang harus mengubah pula gaya hidup mereka.21 c. Ketidakpedulian Masyarakat terhadap Lingkungan Ketidakpedulian
masyarakat
terhadap
lingkungan
semakin
mengkhawatirkan. Kondisi seperti ini bisa dikaitkan juga dengan ketidakpedulian sosial. Apabila kelestarian lingkungan tidak menjadi perhatian bagi tiap individu, jelas kepedulian sosial pun akan dikesampingkan. Kondisi masyarakat Indonesia yang semakin apatis terhadap lingkungan maupun sosial ini salah satunya dapat ditunjukkan dalam bait berikut ini. Atmo kini menetap berempat Di padat Manggarai, milik Ibu Sri Di tepi Ciliwung berair coklat Mandi mencuci di tepi kali22 20
Berdasarkan pidato kenegaraan di gedung MPR/DPR RI dalam rangka HUT ke-68 Proklamasi Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2013 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat di kisaran 5—6 persen meskipun di tengah krisis ekonomi global. (sumber: Humas/DAR, www.setneg.go.id). 21 Evers, op. cit., h. 3. 22 Taher, op. cit., h. 58.
78
Sikap ketidakpedulian masyarakat kota terhadap lingkungan salah satunya disebabkan adanya pendirian pemukiman di bantaran sungai. Hal ini dijelaskan pada catatan kaki keempat dalam puisi esai “Manusia Gerobak”. Catatan kaki tersebut menyebutkan bahwa banyaknya pemulung sampah yang yang menempati rumah dengan kondisi semipermanen ataupun permanen di daerah pemukiman padat. Pada tahun 2009 diperkirakan Manusia Gerobak mencapai 1.000 orang. Mereka biasanya berada di kawasan Senen, Tanah Abang, Kemayoran, dan sejumlah pemukiman padat di Jakarta...23 Pemukiman padat baik yang terdiri dari rumah permanen maupun semipermanen banyak didirikan di bantaran sungai-sungai. Pendirian pemukiman di daerah seperti itu berimbas pada rusaknya kelestarian sungai. Sungai bahkan beralih fungsi menjadi bak sampah raksasa di kota besar seperti Jakarta. d. Pandangan Stereotip Masyarakat terhadap Pemulung Pandangan stereotip masyarakat terhadap pekerjaan memulung sampah dan barang bekasmenunjukkan pula sikap individualis yang berdampak pada ketidakpedulian sosial. Pandangan tersebut ditunjukkan dalam bait berikut ini. Bagai pipit dia mengembara Mematuki remah-remah orang kota Meski yang dipungut sampah tersisa Tetap saja dia ditatap penuh curiga24 Pandangan sinis seperti ini memang sering dilakukan oleh masyarakat. Anggapan masyarakat terhadap pemulung pada umumnya adalah bentuk kewaspadaan agar para pemulung tersebut tidak mengambil barang-barang yang sebenarnya masih terpakai oleh mereka. Hal yang lebih ekstrem dipandang oleh masyarakat pada umumnya adalah anggapan bahwa pekerjaan sebagai pemulung sedikit banyaknya rentan pada aktivitas kriminal seperti pencurian.
23
Taher, op. cit., h. 59. Taher, op. cit., h. 60.
24
79
3. Kritik terhadap Pengonversi Lahan Pertanian a.
Kritik atas Proyek Industrialisasi Yang Merugikan Masyarakat
Maraknya industrialisasi dan kegiatan pembangungan di bidang properti kini tidak bisa dipungkiri lagi telah merambah ke wilayah pedesaan. Namun demikian, kegiatan konversi lahan seperti ini jelas hanya mementingkan keuntungan pihak yang terkait dengan menyampingkan kesejahteraan masyarakat daerah.
Pembangunan
wilayah
yang
seyogianya
untuk
meningkatkan
kemakmuran masyarakat, misalnya di daerah pedesaan pada kenyataannya malah menggerus kemakmuran itu sendiri. Hal tersebut dapat ditunjukkan kembali seperti pada bait berikut ini. Kini desa tak seperti dulu Sawah luas hijau membentang Alam yang tenteram sudah berlalu Pabrik datang sawah menghilang Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari25 Seperti pada pembahasan sebelumnya, yakni kritik terhadap pemerintah, bait tersebut pun ditunjukkan untuk mengkritik pola kerja pihak para pengonversi lahan pertanian. Lahan-lahan pertanian yang diganti dengan proyek-proyek pembangunan pabrik industri dan perumahan membuat para petani mau tidak mau mencari sumber pendapatan lain. Para petani yang cenderung hanya berkompeten dalam mengolah lahan pertanian pasti mengalami kesulitan untuk beralih profesi. Jumlah pengangguran di pedesaan akan semakin meningkat apabila hal ini tetap dibiarkan. Kebijakan pembangunan yang mengabaikan sektor pertanian menimbulkan kemandekan atau terhambatnya pertumbuhan pendapatan di daerah pedesaan. Gejala ini menyebabkan mereka berusaha menyelamatkan diri dengan pindah ke kota, tetapi apa yang diidam-idamkan, yaitu keadaan hidup yang lebih
25
Taher, op. cit., h. 55.
80
baik, ternyata tidak dapat terwujud.26 Hal inilah yang menjadi realitas seperti yang dihadirkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak”. Beberapa kritik yang dapat ditemukan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” mengindikasikan bahwa rasa kepedulian sosial semakin tergerus. Penelitian terhadap karya ini menunjukkan bahwa penulis lewat puisi esainya banyak menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Beberapa kegagalan pemerintah dalam menjalankan regulasi negara ini ditampilkan dengan beragam bentuk rasa oleh penulis, misalnya sikap ketidakadilan, marginalisasi, ketidaktegasan dalam pelayanan publik, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang malah merugikan masyarakat. Berkaitan dengan pengisahan “Manusia Gerobak”, dapat dilihat salah satu fenomena sosial yang menjadi bentuk kegagalan pemerintah dalam menangani urbanisasi. Fenomena ini jelas memiliki sebab yang mengarah pada kurangnya usaha pemerintah dalam mencerdaskan rakyat. Hal ini berdampak pada semakin tingginya tingkat kemiskinan baik di perkotaan maupun pedesaan. Urbanisasi memang membawa dampak yang beragam. Masyarakat yang melakukan urbanisasi dihadapkan pada situasi perkotaan yang sangat berbeda dengan lingkungan asli mereka. Sebagian dari mereka yang beruntung memang memiliki penghasilan yang lebih besar dibanding penghasilan mereka sebelumnya di desa. Ini terkait dengan adanya kebijakan UMR ataupun UMP yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan dengan para pekerja yang sedikit banyaknya berasal dari pedesaan atau pinggiran kota. Tenaga mereka sebagai buruh memang diperlukan di kota-kota metropolitan seperti Jakarta. Akan tetapi, persaingan dalam mencari pekerjaan pun jelas sangat besar. Sehingga bagi mereka yang tidak beruntung atau yang kurang berusaha, tentu mau tidak mau memilih pekerjaan yang tidak produktif atau malah bersifat parasit, seperti pedagang kaki lima, tukang parkir, pengamen, pelacur, pengemis, dan lain-lain. Untuk mengatasi urbanisasi yang pesat, pemerintah di negara sedang berkembang, salah satunya Indonesia, pertama-tama harus mengubah atau mengurangi kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan penduduk di kota 26
Evers, op. cit., h. 6.
81
maupun
ke
kota.
Kebijakan-kebijakan
industrialisasi
yang
tidak
mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat tidak hanya gagal mendorong masyarakat keluar dari keterbelakangan, tetapi bahkan menyebabkan makin parahnya masalah pengangguran, kemiskinan, migrasi besar-besaran, dan pertumbuhan penduduk kota yang tak terkendali.27 Selanjutnya, perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan yang mendorong terciptanya good governance dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.28 Integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum harus ditingkatkan melalui peningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana, hukum, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai pemegang jalannya pemerintahan, pemerintah juga harus terus berlandas pada undang-undang, terutama terkait dengan penggunaan lahan. Keuntungan finansial yang diterima jangan hanya menjadi tujuan utama dalam bekerjasama dengan para pengusaha maupun investor. Penyejahteraan kehidupan masyarakat harus menjadi tujuan utama. Fakta-fakta sosial yang ditampilkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” menuntut agar diakui dan dihormatinya hak-hak asasi manusia. Pemerintah dalam hal ini hendaknya secara bijak dan transparan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat tanpa kecenderungan sentimen tertentu. Ini semua bertujuan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dalam hal kesamaan hak untuk memperoleh kesempatan dalam meningkatkan taraf hidup. Faktor utama yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ketidakpedulian sosial. Hal tersebut jelas merupakan salah satu masalah sosial terbesar. Rakyat negara berkembang seperti di Indonesia memang semakin sengsara dan dapat ditunjukkan dengan angka pengangguran yang semakin menjulang.29 Oleh sebab itu, pemerintah harus mendorong adanya usaha pemecahan masalah dan perubahan ke arah perbaikan. Namun demikian, dari paparan tersebut tentu saja berhadapan dengan realitas yang bertolak belakang. Pemerintah dan masyarakat cenderung belum memaksimalkan usaha pengentasan 27
Evers, op. cit., h. 32. Nugroho, op. cit., h. 135. 29 Evers, op. cit., h. 3. 28
82
masalah sosial, sehingga permasalahan sosial seperti kemiskinan tetap menjamur di kota-kota besar khususnya Jakarta. Upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan masih perlu ditingkatkan. Kebijakan-kebijakan dalam mengentaskan kemiskinan tersebut merupakan komitmen semua bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Dengan demikian, usaha menghapus kemiskinan dapat dikatakan sebagai upaya mencapai keadilan sosial.
B. Implikasi Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Dari berbagai macam judul puisi esai yang sudah ada, puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher bisa menjadi salah satu pilihan bahan ajar dalam pembelajaran puisi. Fenomena manusia gerobak atau para tunawisma dengan pekerjaannya sebagai pemulung—yang semakin banyak muncul akan melatih siswa untuk mengembangkan pemikiran yang kritis. Fakta sosial tersebut tentu banyak ditemui oleh siswa di sekitar mereka. Sehingga, tujuan pembelajaran yang memusatkan pada pengalaman sehari-hari bisa lebih diterapkan. Selain itu, lewat pesan yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak”, kesadaran siswa untuk memiliki kepedulian sosial
akan semakin
meningkat. Peran guru sangat dibutuhkan untuk menyugesti dan menginspirasi siswa lewat puisi esai Manusia Gerobak tersebut. Setelah proses pembelajaran terhadap kesadaran atas kepedulian sosial, melalui puisi esai ini guru bisa melatih siswa untuk memikirkan penyebab permasalahan sosial yang ada di sekitar mereka maupun yang lebih luas, yakni mengenai permasalahan sosial di negeri ini. Setelah melakukan penelitian terhadap puisi esai “Manusia Gerobak”, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang sastra melalui pengalaman belajar. Tujuan pembelajaran pada kegiatan ini adalah siswa mampu memahami pembelajaran sastra serta memberikan pengalaman belajar kepada siswa dengan mengaitkannya dengan kehidupan
83
sehari-hari. Banyaknya fenomena di kota besar seperti para tunawisma, pemulung, gaya hidup yang cenderung hedonis, ketimpangan antara si kaya dan si miskin, serta kurangnya perhatian pemerintah dapat dengan mudah dilihat oleh mereka. Pendekatan melalui pengalaman akan sangat membantu siswa untuk memahami bahan ajar yang pada akhirnya tentu saja akan meningkatkan apresiasi mereka terhadap karya sastra. Penjabaran mengenai pentingnya mempelajari sastra dan bagaimana strategi pengajarannya yang baik tentu saja perlu didorong oleh minat guru sebagai pengajar terhadap sastra. Seorang guru yang mampu menyampaikan pengajaran sastra dengan komunikatif, sugestif, dan inspiratif tentu akan membuat siswa semakin mengapresiasi kehadiran sastra. Sehingga, siswa mampu mengaitkan dan menerapkan pembelajaran bahasa yang baik ke dalam pembelajaran sastra, begitu pula sebaliknya. Ini semua akan membuat siswa tidak memandang sebelah mata pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia ataupun beranggapan bahwa mempelajari bahasa dan sastra Indonesia sekadar untuk mempersiapkan ujian semata. Sesuai dengan implikasi yang diharapkan dari penelitian skripsi mengenai kritik sosial “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher ini, hasil penelitian relevan dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tingkat SMA kelas X semester 2 dalam aspek berbicara dengan standar kompetensi mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi dan kompetensi dasar menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi. Maka dari itu, dapat dirumuskan sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMA kelas X semester II sebagaimana terlampir.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pembahasan terhadap puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Penelitian terhadap unsur pembangun dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini menggunakan sepuluh unsur pembangun puisi yang terdiri dari tema, rasa, nada, amanat, diksi, imajeri, gaya bahasa, rima, ritme, dan pusat pengisahan. Tema dalam puisi esai ini adalah gambaran tentang semakin tingginya ketidakpedulian sosial. Rasa yang terkandung dalam puisi ini yakni rasa tidak adil atau diskriminasi yang diakibatkan oleh tingginya ketimpangan sosial. Puisi esai ini memiliki nada-nada kesedihan, perjuangan, ketabahan, dan sindiran dalam menyikapi ketidakpedulian. Amanat atau pesan yang ditunjukkan yakni rasa ketidakpedulian yang semakin mengkhawatirkan seolah menjadi ciri bahwa bangsa kita tengah mengalami krisis sosial. Diksi dalam puisi ini didominasi oleh pemilihan kata yang berhubungan dengan kemiskinan, kesengsaraan, ketabahan, serta keagamaan. Imajeri yang menjadi daya bayang dari puisi esai ini adalah imajeri pandang, imajeri dengar, dan imajeri sentuh. Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini yakni repetisi, paralelisme, perumpamaan, metafora, dan personifikasi. Rima dan ritme dalam puisi esai ini beragam, keterkaitan rima dan ritme ini diantarnya menghasilkan totalitas suara yang rendah, tinggi, cepat, lambat, pendek, dan panjang yang berhubungan dengan rasa, nada, serta tema dalam puisi ini. Pusat pengisahan yang digunakan dalam puisi ini adalah pengisah di luar cerita yang serba tahu. 2. Kritik sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi yang mempunyai peran penting dalam mengontrol kondisi sosial. Kritik sosial diwujudkan dengan mengamati, membandingkan, dan menilai kondisi-kondisi sosial yang terjadi. Kritik sosial yang diperoleh yakni kritik yang ditujukan untuk pemerintah, masyarakat, dan para pihak pengonversi lahan pertanian. Dari
84
85
ketiga sasaran kritik sosial tersebut, pemerintah dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terciptanya kehidupan masyarakat yang penuh dengan permasalahan sosial. Kritik terhadap pemerintah antara lain yakni sikap diskriminatif, kurangnya ketegasan, kecenderungan berprasangka negatif, kebijakan yang merugikan masyarakat, kurangnya keseriusan dalam mencerdaskan rakyat dalam menghadapi perubahan sosial, dan kurangnya keseriusan untuk menyejahterakan rakyat. Sedangkan kritik terhadap masyarakat yakni semakin tingginya rasa ketidakpedulian sosial, kecenderungan masyarakat kota yang semakin memilih
gaya
ketidakpedulian
hidup
mewah
masyarakat
dan
terhadap
mementingkan kelestarian
diri
sendiri,
lingkungan,
dan
pandangan stereotip masyarakat umum terhadap kaum miskin. Selain kritik yang ditujukan terhadap dua golongan tersebut, sasaran kritik yang ketiga yakni ditujukan kepada pihak pengonversi lahan pertanian. Pihak ini memanfaatkan industrialisasi dan pembangunan di bidang properti untuk mementingkan
keuntungan
mereka
dengan
mengenyampingkan
kesejahteraan masyarakat pedesaan. Penelitian ini menunjukkan cerminan atau gambaran terhadap kehidupan sosial baik pemerintahan, kehidupan bermasyarakat, maupun pola kerja pihak berkepentingan finansial—yang terjadi di Indonesia—yang secara keseluruhan belum mengoptimalkan peran untuk saling berkoordinasi dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa. 3. Penelitian mengenai kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA kelas X semester 2. Standar Kompetensi yang sesuai yakni aspek berbicara dengan mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi. Kompetensi Dasar yang sesuai yakni menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi. Kegiatan menganalisis puisi esai ini di samping menambah pengetahuan terhadap puisi esai, juga melatih kepekaan siswa terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya.
86
Dengan
pengalaman
sehari-hari,
kesadaran
terhadap
pentingnya
pembelajaran sastra akan semakin diminati oleh siswa.
B. Saran 1. Khazanah sastra di Indonesia semakin bergeliat dan memunculkan pribadipribadi kreatif yang sesungguhnya. 2. Kehadiran puisi esai semoga bisa mendorong sarana-sarana baru dalam memperjuangkan nasib orang-orang terpinggirkan yang selama ini menjadi realitas di negeri ini. 3. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia semakin diminati oleh siswa karena memiliki banyak manfaat untuk menumbuhkan sikap kemanusian, menambah wawasan sosial dan budaya, serta mengasah kepekaan mereka terhadap realitas yang terjadi sehingga sikap kritis siswa dapat semakin berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Adinegoro, Djamaludin. Tata Kritik. Jakarta: Nusantara. 1958. Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Sinar Baru. 1987. Ali, Denny Januar. Atas Nama Cinta. Jakarta: Renebook. 2012. Bardo, John W. Urban Sociology. USA: Peacock Publisher. 1982. D., Mahfud M. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangungan. Yogyakarta: UII Press. Cet. 2, 1999. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. 2003. Evers, Hans-Dieter dan Korff, Rudgiger. Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor. 2002. Ferarra, Cosmo F. Introducing Literary. New York: Glencoe/ McGraw-Hill Educational Division. 1991. Humas/ DAR. http://www.setneg.go.id. “Presiden Sampaikan Pidato Kenegaraan di Depan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI”. 16 Agustus 2013. Diunduh pada 20 November 2013 pukul 11:12. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Cet. 29, 2011. Noor, Acep Zamzam (ed). Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. Depok: PT Jurnal Sajak. 2013. Nugoroho, Iwan dan Dahuri, Rokhmin. Pembangunan Wilayah. Jakarta: LP3ES. 2012.
87
88
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Cet. 5, 2005. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. 3, 2007. Rosidi, Ajip. Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya. Cet. 5, 2010. Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988. Setiadi, Elly M. dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grassindo. 2008. Soekanto, Suryono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali. 1988. Soetomo. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1995. Strahm, Rudolf H. Kemiskinan Dunia Ketiga. Jakarta: Cidesindo. 1999. Syafi’ie, Inu Kencana. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Cet. 2, 2006. Taher, Elza Peldi. Manusia Gerobak. Depok: PT Jurnal Sajak. 2013. Tim Penerjemah: Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, Forum Jakarta—Paris & Universitas Padjadjaran. 2010. Tim Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. 6, 2008. Widjojoko dan Hidayat, Endang. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press. 2006. Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: PT Buku Kita. Cet. 2, 2008. www.digilib.fkip.uns.ac.id
89
Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab—Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung. 1989. Zaidan, Abd. dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
(Lampiran 1) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SEKOLAH MATA PELAJARAN KELAS SEMESTER
: SMA..................... : Bahasa dan Sastra Indonesia :X :2
A.
STANDAR KOMPETENSI: Berbicara : 14. Mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi
B.
KOMPETENSI DASAR: 14.2 Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi
C.
MATERI PEMBELAJARAN: Puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher (hubungan isi puisi dengan kondisi masyarakat)
D.
INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI: Nilai Budaya Dan No Indikator Pencapaian Kompetensi Karakter Bangsa 1 Mengidentifikasi unsur-unsur yang Bersahabat/ membangun puisi esai “Manusia Gerobak” komunikatif Kreatif karya Elza Peldi Taher. 2 Mendiskusikan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. 3 Mengaitkan unsur-unsur pembangun puisi esai “Manusia Gerobak” dengan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai tersebut.
Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif Kepemimpinan Keorisinilan
E.
TUJUAN PEMBELAJARAN: Siswa-siswi dapat: Mengidentifikasi unsur-unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Mendiskusikan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher Mengaitkan unsur-unsur pembangun puisi esai “Manusia Gerobak” dengan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai tersebut.
F.
METODE PEMBELAJARAN: Ceramah Diskusi Unjuk Kerja Tanya Jawab Penugasan
G.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN:
No. 1. 2.
3.
Kegiatan Belajar Kegiatan Awal : Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini. Kegiatan Inti : Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi : Membaca puisi esai Mengidentifikasi unsur pembangun puisi esai “Manusia Gerobak” yang telah dibaca Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, Mendiskusikan isi puisi esai yang berhubungan dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat. Di antaranya kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dengan kehidupan sehari-hari Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa-siswi: Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. Kegiatan Akhir : Refleksi Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini. Penugasan
Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa Bersahabat/ komunikatif Tanggung jawab
Bersahabat/ komunikatif
H.
ALOKASI WAKTU: 4 x 45 menit
I.
SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN: Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Istilah Sastra
J.
EVALUASI DAN PENILAIAN : Jenis Tagihan: tugas individu ulangan Bentuk Instrumen: uraian
Tangerang Selatan, Mengetahui, Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran
…………………………… NIP.
……………………………… NIP.
(Lampiran 2)
MANUSIA GEROBAK Karya Elza Peldi Taher 1 Kalbu Atmo luluh lantak Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak Langit biru alangkah indahnya Pohon-pohon segar menghijau Bunga mekar kuning dan jingga Kalbu Atmo sangatlah kacau Pedih jiwa tiada terhingga Atmo terus ayunkan langkah Susuri Jakarta yang ramai Hatinya remuk kalbunya gundah Tiada tentram tiada damai Sarung kumal membungkus jenazah Tubuh mungil diam dan pasrah Ditutup rapi, diselempangkan menyilang Di depan dadanya yang datar kerontang Lengan satunya mengapit jemari mungil Anak lelakinya yang berbaju lusuh Tertatih mengejar dengan langkah kecil Mengiringi bapaknya tanpa mengaduh 2 Baru sesaat lalu, Mawar, si putri bungsu Terbaring bisu untuk selamanya Jantung Atmo terkapar, termangu Tersedu-sedu tanpa suara Tubuh kecil Mawar ditutupnya diam-diam Terselimut hangat kain rombengan Kakak laki-laki belum terlalu mengerti Adiknya, Mawar, terbaring mati Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang
Dihelanya gerobak menyusur Jakarta Orang sibuk sendiri-sendiri Padatnya jalanan tiada terhingga Tapi tak ada yang peduli Mobil dan motor cuma melintas Tak satu pun yang bertanya Hidup di kota memanglah keras Tapi bukankah mereka manusia? Matahari mulai meninggi Atmo terkenang kampungnya yang rindang Tapi sakunya kosong dan sepi Jenazah tak bisa dibawa pulang Untuk hidup di sini susah Untuk mati pun ternyata tak mudah Mesti ada tempat di kampungnya yang indah Untuk membaringkan satu jenazah Kampung halaman Atmo yang tentram Jauh dari hiruk-pikuk Jakarta Di sana bisa dibuat makam Berhiaskan pohon kemboja Di depan stasiun Atmo berhenti Hatinya resah kepalanya pepat Tak sepeser pun uang di kantong Ia mesti waspada, mesti berhati-hati Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat Untuk duduk merdeka di atap gerbong1 Ia ingin naik kereta diam-diam Menuju ke pinggiran kota Citayam Tanpa karcis tak usah bayar Kepergok kondektur bisa digampar 3 Atmo meraih jasad putrinya Diselimuti sarung kumal, lalu pelan dibopongnya 1
KRL Jabodetabek adalah jalur kereta listrik yang dioperasikan oleh PJKA sejak 1976, melayani rute komuter di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. KRL yang melayani jalur ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas ekonomi dan kelas ekspres yang menggunakan pendingin udara. Kereta kelas ekonomi selalu padat setiap pagi hari dan sore hari. Bahkan sampai di atap gerbong. Banyak penumpang kelas ekonomi tak memiliki karcis.
Diraihnya lengan mungil anak lelakinya Agar selalu ada di sampingnya Gerobak yang setia menemaninya Ditinggalkan begitu saja Tak ada harta tak ada apa-apa Barang yang berguna di dalamnya Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa ke mana-mana Atmo menjawab sembari bingung Hendak memakamkan anaknya di kampung Dia tahu betapa sulitnya di kota Jakarta Untuk menguburkan jasad manusia2 Apalagi tanpa KTP tanpa harta Tempat tinggal pun tiada menentu Menggelandang tak punya apa-apa Sudah untung tak makan batu
2
Jakarta mengalami krisis lahan pemakaman. Dari 589,65 hektar luas pemakaman, lahan yang siap pakai untuk pemakaman baru di seluruh wilayah Jakarta hanya 31,8 hektar. Di atas kertas, lahan itu diperkirakan cukup hingga 2013. Biaya pemakaman jenazah baru sebenarnya sangat murah dan sudah diatur secara jelas oleh Pemerintah Jakarta. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pemakaman, pemerintah menetapkan retribusi pelayanan pemakaman yang besarnya sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Biaya pemakaian tempat pemakaman bervariasi dari nol sampai paling mahal seratus ribu rupiah untuk jangka waktu tiga tahun. Tetapi kenyataannya, biaya taka resmi pemakaman bisa mencapai Rp2,5 juta. Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan penduduk Jakarta berjumlah 8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya, tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0,44 persen. Lima tahun kemudian, jumlah penduduk meningkat menjadi 8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayanan 110 jenazah per hari atau 40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi 0,46 persen. Angka ini kembali naik menjadi 0,50 persen pada tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah 8.814.000 jiwa dengan rata-rata pelayanan 120 jenazah per hari atau 43.800 per tahun. Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik kesimpulan, persentase tingkat pelayanan kematian di Jakarta mencapai 0,46 persen per tahun. Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40 ribu jiwa dan orang harus mengeluarkan biaya pemakaman sekitar dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar mencapai 80 miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa lahan, biaya ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan, pengadaan rumput, pemeliharaan makam dan upah para penggali.
Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman Biaya ini dan itu tidak sedikit Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan Di Jakarta orang melarat jangan sakit Apalagi kalau sampai mati Hidup susah tak henti-henti Semasa hidup begitu pahit Kembali kepada-Nya pun masih dipersulit Jakarta hanya untuk orang berpunya Tak ada belas kasihan Pegawai stasiun tak percaya Ia ditangkap jadi tawanan Atmo digelandang ke pos polisi Dia ditanya itu dan ini Jenazah anaknya harus diotopsi Penyebab matinya mesti diselidiki 4 Atmo tercenung di pintu kamar jenazah Rumah duka bagi orang yang kehilangan Hatinya gundah hatinya resah Tak cukupkah ini kemalangan Niat Atmo hanya sederhana Ingin menguburkan anak tercinta Di tanah gembur kampung sana Ternyata sulit tiada terkira Ingin hatinya menangis Tapi air mata terkuras habis Tak ada satu pun yang peduli Hanya anak lelakinya yang menemani Terkenang ia masa lalunya Ketika masih bersama sang istri Keinginan Atmo sangat sederhana Tak harus bergelimang materi Cita-citanya hidup di desa Bersama sang istri yang tercinta Rukun, damai, bersahaja Dengan sang anak belahan jiwa
Anaknya dua lengkaplah sudah Satu lelaki satu perempuan Kasih sayangnya selalu tercurah Setiap pagi, siang, dan malam Semuanya ia nikmati Dua buah hati dan cinta istri Anak-anaknya bermain riang Meski segalanya serbalah kurang Tak tamat sekolah dasar Atmo hanyalah buruh tani Sawah yang digarap tidaklah besar Tetapi selalu ia tekuni Hidup bergantung pemilik sawah Bekerja keras setengah mati Meski tekun mengolah tanah Hasilnya sedikit tiada berarti Sang istri mengurusi dua anaknya Berumah sempit bukan miliknya Dapur dan tempat tidur menyatu Atmo harus mencukupi keluarga Mencari nafkah ala kadarnya Untuk beras, tempe, dan tahu 5 Kini desa tak seperti dulu Sawah luas hijau membentang Alam yang tentram sudah berlalu Pabrik datang sawah menghilang Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari3 Petani sawah kian terjepit Lebih baik menjual sawah Lalu pergi untuk berdagang Buat Atmo semuanya rumit Tanpa sawah hidupnya susah 3
Menurut Kementerian Pertanian, tingkat konversi lahan menjadi peruntukkan lain sudah mengkhawatirkan. Rata-rata konversi setiap tahun mencapai 140 ribu hektare untuk berbagai kepentingan seperti perumahan, industri, dan lainnya.
Mau berdagang tak punya uang Atmo hanya bisa mencangkul Menggarap sawah menanam padi Tanpa tanah hidupnya terpukul Penghidupannya tak ada lagi Buruh tani kian bertambah Persaingan kian tajam Pemilik tanah semakin pongah Jalannya nasib semakin kejam Atmo terdesak Atmo terjepit Kebutuhan hidup kian meningkat Anak menangis makan pun sulit Perut yang kosong makin melekat Anak mungil, lincah, dan lucu Diremas lapar setiap hari Tak ada nasi, tempe, dan tahu Wajahnya kering sepucat jerami Lalu kota mulai menggoda Kata orang di sanalah surga Semua barang di sana tersedia Uang datang dengan mudahnya Di Jakarta, kata orang Mencari uang lebih gampang Karena di sana semua uang berdiam Bertumpuk-tumpuk siang dan malam Tekad Atmo seteguh karang Ke Jakarta hendak menjelang Ia tinggalkan desa yang tenteram Hijrah ke kota dan ketidakpastian Membawa uang tak seberapa Istri dan dua anak dibawa Tekad membatu jiwa membara Berharap lebih nanti di kota 6 Satu yang pasti di kota harus ada papan Sandang tak jadi persoalan Setelah itu barulah pangan
Atmo tak punya kerabat Untuk menumpang barang sejenak Kamar sepetak untuk berempat Bersewa murah di tempat sesak Atmo kini menetap berempat Di padat Manggarai, milik Ibu Sri Di tepi Ciliwung berair coklat Mandi mencuci di tepi kali Atmo tak punya pilihan Dia butuh papan untuk berlindung Ikhtiar siang istirahat malam Mati-matian mencari untung Mencari kerja ternyata susah Buruh bangunan dia tak bisa Tanpa ilmu tanpa ijazah Kerja kantoran, siapa mau terima? Atmo kumpulkan barang rongsokan Botol dan gelas air mineral Kata orang, di kota apa saja bisa jadi uang Barang bekas bisa dijual Dia berjalan dari rumah ke rumah Dikoreknya kotak dan tong sampah Barang-barang yang dibuang orang Siapa tahu bisa dijadikan uang Jalanan demi jalanan Rumah demi rumah Sampah demi sampah Memulung dengan tabah Sisa nasib dan remah-remah Sampah kotoran kota Jakarta Diangkut keranjang di punggungnya Benarkah hanya sampah belaka Persembahan orang kaya bagi yang papa? Sampah sedikit sampah yang banyak Dijualnya segera ke lapak Orang yang kaya menghitung untung
Sampahnya jatah si pemulung4 Kadang ia didera kenangan lama Mengolah tanah mencangkul sawah Meski bukan sawah sendiri Kini sawahnya seluas kota Dengan gancok mencangkul sampah Panennya plastik, bukannya padi Dikenangnya burung-burung pipit Yang mematuki remah-remah padi Sawah luas terasa sempit Di tengah kecurigaan para petani Bagai pipit dia mengembara Mematuki remah-remah orang kata Meski yang dipungut sampah tersisa Tetap saja dia ditatap penuh curiga 7 Sang istri mulai gelisah, nyalinya kuncup Uang yang dibawa suami tak pernah cukup Tapi ia tak bisa apa-apa, tak bisa bergerak Ingin membantu suami terlantarlah anak Sang istri mulai berkeluh kesah Sudah datang tagihan kontrakan Meski di kota berserakan sampah Sampah tidak bisa jadi simpanan Hasil sehari hanya cukup untuk makan Itu pun bukannya makanan idaman Tagihan datang setiap hari Sangat mengusik ketenteraman hati Tak tahan didesak tagihan uang Atmo memilih menggelandang 4
Pada tahun 2009 diperkirakan Manusia Gerobak mencapai 1.000 orang. Mereka biasanya berada di kawasan Senen, Tanah Abang, Kemayoran, dan sejumlah pemukiman padat di Jakarta. Manusia Gerobak mengacu pada kemiskinan yang membawa orang-orang di desa mencari nafkah di kota. Mereka membawa keluarganya dalam suatu gerobak. Gerobak inilah yang menjadi rumah sekaligus alat angkut dan mencari makan dengan memulung sampah serta barang rongsokan sekaligus mengemis. Manusia gerobak menjadi alternatif orang miskin mempertahankan hidup di kota Jakarta. Dengan cara tersebut mereka memiliki risiko kecil tapi memberikan nilai ekonomis yang lumayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp 25—30 ribu dari hasil memulung.
Istri dan dua anaknya dibawa kerja Dengan gerobak mengembarai Jakarta Kini gerobaknya menjadi rumah Tetangganya berubah-ubah Jangan tanya alamat tepat Setiap hari berpindah tempat Saat kantuk menggayut datang Gerobak menjadi tempat tidur Beratap langit luas dan lapang Atmo bisa lelap mendengkur Mandi kalau ada air Makan kalau dapat uang Dengan gerobak hidup mengalir Pada langit tiada berhutang Kala terik menyengat Pohonan kota tempat berteduh Kala malam kedinginan Kepada siapa mesti mengaduh? Setiap hari Atmo menghela gerobak Jalan beriring anak-beranak Sambil memulung, memilih sampah Plastik dan kardus bertumpuk megah Gerobaknya adalah istana Tempat bermukim sampah semesta Di puncak tumpukan barang-barang sisa Kedua anaknya duduk bertahta Berkuasa penuh dan digjaya Lambang kemiskinan umat manusia 8 Atmo di depan menghela gerobak Istri di belakang sambil mengawasi Beriringan di tengah deru kendaraan Pagi Siang Malam Saat tiba malam Atmo mencari tempat Kadang di pinggir jalan Pondok Indah
Gerobak di parkir di trotoar terdekat Menjadi bagian dari perumahan mewah Dua anaknya bermain di dalam gerobak Atmo duduk istirahat di sebelahnya Kadang mereka turun dan berteriak Bercengkrama memanggil ibunya Lalu mereka berempat bersama-sama Menikmati nasi bungkus berlauk sekadarnya Tak ada kerat daging atau ayam Untuk mengusir lapar semalaman Hari sudah jauh petang Kendaraan masih berderet panjang Orang-orang yang bergegas pulang Suara klakson berteriak lantang Di pinggir jalan Atmo duduk memandang Kendaraan melintas pulang pergi Mobil mulus warna-warni Di dalamnya orang berbaju rapi Tak satu pun dari mereka yang peduli Atmo, anak-anak, dan istri Termangu-mangu sendiri Gerobak dan Atmo sekeluarga Bagaikan etalase belaka Sekedar pajangan di pinggir jalan Sesekali ditoleh lalu dilupakan Atmo sekeluarga dan gerobaknya Sang raja yang bertahta di sampah kota Sama sekali tak dipedulikan rakyatnya Yang bermobil mewah, makmur, dan bahagia Sang raja pucat, lapar, dan termangu Di samping gerobaknya dia membisu Ia berharap rakyatnya membuang sisa-sisa Dari kehidupan mereka barang yang lebih berharga Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia Wajahnya kenyang tiada terkira Dari rumah makan siap saji Restoran bergambar daging di tengah roti Bundar dan besar, nikmat tampaknya
Maka mereka semua ceria Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga Yang perutnya nyaris tiada isinya Manusia gerobak Anak-beranak Nasib berderak Membuat koyak 9 Atmo pasrah jalani hidupnya Tapi tidak bagi istrinya Sang istri mulai lelah mendampingi Kehidupan manusia gerobak yang tak pasti Di tengah terik diterpa hujan Disergap dingin angin malam Hari ini makan Hari ini cari makan lagi Besok mungkin makan Besok harus mencari lagi Kalau tidak dapat apa-apa? Lantas harus makan apa? Kedua anaknya sungguh kasihan Tumbuh serba kekurangan Tidak ada masa depan Sang istri bergelut bimbang Akhirnya ia pun bilang Ingin berpisah Mencari kehidupan lain Ia telah lelah Jalani kehidupan rutin Berjalan seharian Ia sudah tak tahan Tapi Atmo masih bertahan Dengan istri enggan dipisahkan Atmo masih tetap berkeras Dengan sang istri tak mau lepas Sampai tibalah suatu malam Kala Atmo dan dua anaknya terlelap Sang istri pergi diam-diam Lantas menghilang bagaikan sulap
Pagi hari Atmo mencari-cari Hilang lenyap jejak sang istri Anaknya menangis meraung-raung Membuat Atmo semakin bingung Di mana sang istri harus dicari Di tengah belantara kota Jakarta Bagaimana luka sang anak bisa diobati Dia sendiri tiada berdaya 10 Atmo pasrah Hatinya miris Atmo menelan serapah Hatinya menangis Percuma menyesali diri Dua buah cintanya lebih utama Istri yang hilang bagaimana dicari Dua anaknya mau makan apa? Bertiga mereka memendam duka Sirnanya kasih ibu memang terasa Hilang sudah sang payudara Tempat menyusu putri bungsunya Susu ibu tiada gantinya Apalagi di tengah sampah kota Putri bungsu mulai merana Susu sisa pun akhirnya terbiasa Dalam gelimang kotor kehidupan Diare menyerbu sang putri bungsu Mati-matian Atmo mencari bantuan Tak kunjung ada yang datang membantu Dibawanya anaknya berobat Ke Rumah sakit dan Puskesmas Dengan selembar sepuluh ribu Baik dokter maupun perawat Tak menggubris wajahnya yang memelas Menolak Atmo tanpa ragu Mereka seolah bersepakat dan kuat Melihat anaknya terbaring sekarat
Akhirnya dengan lesu ia berangkat Di atas gerobak anaknya coba dirawat Putri bungsunya tercinta Semakin lemah tak berdaya Di tengah-tengah gemerlap kota Akhirnya dia meregang nyawa Putrinya membeku tak lagi bergerak Matanya terkatup rapat-rapat Atmo ingin sekuatnya berteriak Namun seucap pun ia tak dapat Atmo memeluk putrinya erat-erat Agaknya telah datang sang malaikat Mengambil anaknya tersayang Dari atas gerobaknya yang malang “Inna lilah wa inna ilaihi rojiun” Atmo terpekur dalam-dalam “Inna lillah wa inna ilaihi rojiun” Atmo tersedu diam-diam Dikenangnya senyum putrinya Rengekannya Tangisnya Tawanya Raut wajahnya “Inna lilah wa inna ilaihi rojiun” Segenap hatinya tiba-tiba jadi malam “Inna lilah wa inna ilaihi rojiun” Hati Atmo seolah karam 11 Di depan kamar jenazah Atmo menerima kembali jasad putrinya Seolah seribu gundah Dia raih dengan kedua tangannya Dipeluknya jasad itu Dengan hati tersedu-sedu Hari sudah petang Malam segera menjelang
Atmo tertatih menyeret langkah Sambil terhuyung menggendong jenazah Cerita tentang Atmo pun tersebar Di kalangan pedagang asongan Tukang parkir Penjual buah Pengamen Anak jalanan: Ada manusia gerobak Membawa jasad anaknya Keliling kota Mereka ikut iba Meski mereka semua Miskin dan papa Tiada berlimpah harta Rezeki pas-pasan Rela mereka sisihkan Untuk disisipkan Di tangan Atmo Tapi tak cukup Untuk menyewa ambulan Sopir bajaj mau mengantar Ke mana pun Atmo mau Baik lama maupun sebentar Kan diantar ke tempat tuju Petang datang Malam menjelang Tak mungkin lagi Atmo berjalan jauh Mengubur putrinya Di kampung halamannya Nun jauh di sana Jasad anaknya mesti dikubur segera Dalam bajaj Atmo memeluk jasad putrinya Sambil menggandeng lengan anak lakinya Ia kembali ke rumah yang pernah dikontraknya Kepada Ibu Sri, Atmo bercerita Membawa jasad putrinya ke mana-mana
Ibu Sri tak tahan mengurai air mata Cerita segera tersebar ke tetangga Sesama orang miskin dan papa Terguncang hati mereka Mendengar kisah orang tua Membawa jasad putrinya ke mana-mana Tapi mereka peduli Mereka bersatu hati Bukankah mengurus jenazah Menjadi kewajiban orang Islam?5 Jenazah putri Atmo pun lantas dimandikan Dikafankan Dishalatkan Diurus dimakamkan Bunga-bunga disiapkan Semerbak Semarak Jenazah pun diarak Beramai-ramai Orang-orang miskin Orang-orang susah Sama-sama miskin Sama-sama susah Mengiringi Atmo Ke pekuburan 12 Hari hampir malam Jenazah dikebumikan Di liang makam Dikumandangkan adzan Adzan bergema Di kuburan Indah syahdu Adzan yang mengiring manusia dilahirkan Adzan berselimut kain kafan Adzan memanggil ingatan Akhir manusia di kuburan Terdengar iqomah Seruan agar manusia pasrah Berbaris mendirikan shalat 5
Kewajiban muslim dalam mengurus jenazah adalah fardhu kifayah.
Dengan tulus dan Hati tulus doa pekat Menghadap ilahi Bersembahyang Menyerahkan diri Mendengar adzan dan iqomah Mata Atmo berair membasah Mayat kecil berkain kafan ditutup papan Tanah-tanah berhamburan Membentuk sebuah gundukan Bermahkota nisan: “Mawar binti Atmo” Bertaburkan bunga Mewangi di dada Seiring gelapnya hari Satu per satu pengiring pergi Atmo masih terpaku sendiri Menyusun doa dalam hati Penuh harap tak henti-henti Semoga arwah sang putri Diasuh oleh bidadari Dalam sunyi Adzan Magrib menghampiri Bunga-bunga bermekaran di hati Atmo tafakur Atmo bersyukur Saat di kalbunya Ia merasa Bunga surgawi Pelan-pelan mekar Buat sang putri Di alam sana Merona Beribu warna.
(Lampiran 3) Wawancara penulis dengan Elza Peldi Taher. Hari, tanggal
: Selasa, 31 Desember 2013
Waktu
: 17.00 s.d 18.30 WIB
Tempat
: Kantor Futsal Camp, Ciputat
Wawancara dimulai dengan memperkenalkan diri penulis kepada narasumber. Penulis
: Saya sudah membaca riwayat pendidikan Anda di jenjang
perguruan tinggi. Saya rasa pasti di institusi inilah Anda mengasah kepekaan sosial Anda. Bisa Anda ceritakan riwayat Anda terjun di dunia aktivis sosial? Elza Peldi Taher
: S-1 di FISIP UI dan ikut mendirikan lembaga sosial
bersama Cak Nur. Sejak di tahun pertama kuliah, Alhamdulillah saya sudah mulai menulis di Panji Masyarakat tentang “Modernisme Islam” kemudian dari batu loncatan itu saya mulai aktif menulis di KOMPAS, REPUBLIKA. Selain itu saya juga mulai mengeditori buku. Sejak tahun lalu saya beserta teman mengeditori rangkaian buku yang berisi kutipan-kutipan pendek dari buku-buku Cak Nur yang kami beri judul Satu Menit Pencerahan Nurcholis Madjid Penulis
: Total pekerjaan Anda saat ini ada berapa Pak dan apa
sajakah itu? Elza Peldi Taher
: Saya lebih suka berbisnis, itu mungkin karena saya
cenderung memiliki pola kerja yang tidak ingin diatur-atur atasan. Saat ini pekerjaan saya adalah pengusaha futsal (Futsal Camp, Ciputat) Penulis Gerobak?”
: Apa yang mendorong Anda menulis puisi esai “Manusia
Elza Peldi Taher
: Obsesi kami terhadap manusia gerobak besar sekali. Pasal
34 UUD ‟45 menyebutkan bahwa rakyat miskin, gelandangan, dan anak-anak telantar diasuh oleh pemerintah. Akan tetapi, pada kenyataannya kita tidak menemukan realisasi terhadap undang-undang tersebut. Kejadian kisah nyata di tahun 2005 ini bahkan sempat menjadi berita hangat beberapa kali di KOMPAS. Alhamdulillah, puisi “Manusia Gerobak” sudah menjadi pembicaraan di beberapa media televisi, di antaranya di TVRI selama 1 jam penuh, kemudian di SCTV. Bahkan, pada Ramadhan kemarin diangkat filmnya sepanjang 4 seri. Penulis
: Banyak karya sastra yang menampilkan permasalahan
sosial apalagi terkait dengan ketidakadilan. Apakah ada karya sastra yang paling Anda kagumi dengan tema ketidakadilan sosial? Elza Peldi Taher
: Saya suka pada Rendra, Sutardji, ya... sebatas membaca
puisi-puisi mereka dan itu dulu sekali, atau pun sekadar menonton teater dari Rendra. Penulis
: Fakta sosial yang dihadirkan lewat tokoh Atmo ini tentu
saja dibumbui dengan imajinasi Anda, salah satunya mengenai kehidupan pedesaan saat ini dan kecenderungan mereka untuk memilih urbanisasi. Apakah ada pengalaman di daerah pedesaan yang Anda temui terkait masalah-masalah seperti ini? Elza Peldi Taher
: Iya, tentu. Setiap tahun hampir 100 ribu pendatang baru
dari pedesaan datang ke kota besar seperti Jakarta. Orang-orang pedesaan yang pergi berurbanisasi ini sebagian pada akhirnya menjadi pengemis atau pun pemulung. Dua pekerjaan ini memiliki perbedaan yang amat jelas. Para pengemis yang datang dari luar perkotaan ternyata merupakan tenaga kontrak. Sedangkan, para „manusia gerobak‟ mereka memiliki daya juang yang kuat, mereka tidak ingin mengemis. Para manusia gerobak ini tinggal di tempat-tempat yang ilegal, sebagian besar menjadikan gerobak sebagai tempat tinggalnya. Kecenderungan mereka yang hidup tidak menetap seperti ini menjadi sasaran empuk para pekerja dinas sosial. Mereka paling benci pada pekerja dinas sosial, dalam hal ini tantrib.
Mengapa? Karena setiap kali diamankan dan direhabilitasi mereka tidak bisa dengan mudah keluar dari tempat rehabilitasi tersebut. Selalu harus ada uang jaminan. Meskipun keadaan di kota sangat menjepit mereka, bagi mereka itu lebih baik dibandingkan tinggal di desa. Penulis
: Apa sebenarnya pesan yang ingin Anda sampaikan lewat
puisi esai “Manusia Gerobak” ini? Elza Peldi Taher
: Sudah saatnya ada satu strategi pembangunan yang
memihak orang-orang lemah. Karena realitas yang kita hadapi masih banyak masyarakat Indonesia yang hanya tamatan SD. Penulis
: Suatu hari, dosen pembimbing saya menyatakan bahwa
tugas peneliti adalah menguak intisari dari objek penelitiannya yang bahkan tidak disadari oleh sang penyair itu sendiri. Penelitian kritik sosial yang saya peroleh cenderung lebih banyak ditujukan kepada pemerintah. Menurut Anda siapakah pihak yang paling bertanggung jawab dengan wajah-wajah kemiskinan yang diwakili oleh Atmo? Elza Peldi Taher
: Jika dilihat untuk siapa, tentu untuk kita semua. Memang
pemerintah memiliki peran penting untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti ini. Kepada LSM pun, pesan ini mungkin bisa dialamatkan. Ada banyak LSM yang menangani masalah sosial seperti para pengemis, pengamen, pelacur, premanisme, tapi belum ada yang memperjuangkan nasib „orang-orang‟ seperti Atmo. Yang terlunta-lunta namun tetap berjuang menghadapi hidup. Penulis
: Saat menyusun Bab 4, saya mengalami banyak kesulitan
yang terkait dengan keterbatasan pemikiran saya. Dosen pembimbing saya sampai berkali-kali mengulang koreksian di Bab 4 hingga akhirnya saya menemukan bentuk yang menurut saya „pas‟. Ini tak lain salah satunya disebabkan oleh sasaran kritik sosial yang saya hadirkan. Dalam puisi esai ini, saya hanya menemukan sasaran kritik tersebut kepada beberapa pihak yakni pemerintah, masyarakat dengan pembagian wilayah dan kelas sosial, pengusaha industri besar,
dan pengusaha di bidang properti. Sebenarnya adakah pihak lain yang ingin Anda „tembak‟? Elza Peldi Taher
: Muara utama ada 3, 1) Kebijakan pemerintah yang
melakukan strategi pembangunan, 2) Tingkat pendidikan yang rendah 60%--70% hanya tamat SD, dengan demikian survive untuk hidup kurang terakomodir, 3) LSM harus memberikan perhatian. Seharusnya ditumbuhkan LSM yang menangani manusia gerobak. Penulis
: Saya menyukai penggunaan alur dalam puisi esai ini.
Menurut saya pribadi, Anda memainkan emosi dengan alur yang jika saya teliti sejak awal telah dibawa pada klimaks dan hampir menyentuh pada titik penyelesaian.
Apakah
Anda
merumuskan
terlebih
dahulu
penggunaan-
penggunaan alur ini? Elza Peldi Taher
: Saya mengalir sekali dan saya menghindari kronologis
karena tentu jalan cerita akan mudah terbaca. Penulis
: Selain alur, saya juga tertarik dengan perpaduan tipografi
puisi lama dan puisi kontemporer yang Anda gunakan. Menurut saya bentuk puisi kontemporer Anda letakkan di akhir penceritaan ini sangat menarik karena selain dalam bentuk yang „bebas‟, rasa yang dihadirkan pun mewakili bentuk katarsis Atmo. Apakah Anda merencanakan bentuk penulisan ini? Elza Peldi Taher
: Sama seperti yang saya katakan sebelumnya, saat saya
menulis puisi esai tersebut mengalir apa adanya. Bentuk awalnya memang tidak seperti yang ada sekarang. Saya sengaja „mengendapkan‟nya terlebih dahulu. Setelah saya baca ulang, saya ubah, tukar, atau kembangkan beberapa bagian. Penulis
: Riset seperti apa saja yang Bapak lakukan untuk
membingkai puisi esai ini dengan fakta-fakta yang ada? Elza Peldi Taher
: Ya, saya mencari data-data yang terkait lewat internet dan
beberapa sumber lainnya selama 4 bulan.
Penulis
: Keluar dari konteks karya Bapak ya... Menurut Bapak,
bagaimana kehadiran puisi esai dipandang lewat kacamata aktivis sosial? Elza Peldi Taher
: Luar biasa menarik minat kami dalam mengekspresikan
hal-hal tentang fenomena sosial. Bagi sastrawan, puisi dianggap berhasil jika sulit dipahami, sedangkan dalam puisi esai keberhasilan dinilai dari mudahnya pembaca dalam memahami isi puisi esai tersebut. Beberapa waktu lalu, diadakan sayembara lagi yang ternyata ada 600 tulisan masuk dan kami menyeleksi 60 tulisan, salah satunya yang menceritakan tentang tragedi tabrakan maut kereta api yang terjadi beberapa waktu lalu. Penulis
: Oke...terakhir ya Pak wawancara semi formal saya. Apa
yang Anda harapkan dengan hadirnya puisi esai “Manusia Gerobak” ini? Elza Peldi Taher
: Mungkin satu yang bisa saya sebut “Orang yang hanya
punya waktu senggang, dia cenderung ingin membuat peradaban.”
(Gambar 1: Elza Peldi Taher)
BIODATA PENULIS Naila Mufidah lahir di Bogor pada tanggal 5 bulan 5 tahun 1991. Pendidikan formal pertamanya ditempuh di TK Tunas Muda IV Kota Bogor, kemudian melanjutkan pendidikan yang penuh dengan perjuangan di SDN Cilendek 1 Kota Bogor. Masa-masa remaja dilaluinya di SMPN 4 Kota Bogor dan SMAN 5 Kota Bogor. Hingga akhirnya,
menjadi
mahasiswi
S1
di
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di kala tertentu, penulis merupakan seorang introvert tingkat membahayakan, meskipun begitu bagi penulis hidup adalah berorganisasi. Oleh karena itulah, penulis pernah berkecimpung di dunia keorganisasian (beberapa masih digeluti oleh penulis) yakni Bandung Karate Club, Teater Astina, Peers Conselor Kota Bogor, Forum Silaturahim Rohis Bogor, D’Journalist, Tim Tari Saman POSTAR, Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Indonesia (IMABSII), HMI (serta KOHATI), hingga Himpunan Mahasiswa Jurusan PBSI. Cita-citanya adalah menjadi arti namanya sendiri (anugerah yang bermanfaat). Segala bidang pekerjaan yang bermanfaat serta mampu dilakukan tentu menjadi daftar target pengabdiannya di masa kini dan di kemudian hari. Penulis sejak menjadi mahasiswi hingga saat ini pun menimba pengalaman sebagai Instruktur Smart di lembaga pendidikan Primagama, menjadi pelatih Tari Ratouh Jaroe, dan beberapa kali menjadi penulis mimbar bebas di surat kabar Radar Bogor di antaranya berjudul “Memilih untuk Terjajah”. Pengalamanpengalaman hidupnya yang berarti dia dapatkan di bangku-bangku pendidikan. Maka dari itu, salah satu prinsipnya adalah pendidikan bukan hanya kewajiban pikiran,
melainkan
juga
[email protected])
kewajiban
hati,
jiwa,
dan
ruh.
(e-mail: