KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI KARYA A. MUSTOFA BISRI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan
Oleh Muhammad Zainal Abidin NIM 1110013000024
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
ABSTRAK
MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Skripsi: Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016. Penelitian ini bertujuan menganalisis kehidupan masyarakat pesantren lewat tiga cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri lewat tinjauan kritik sosial. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam karya sastra khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren. Pada akhirnya, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kritik sosial yang terdapat dalam tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri anggapan masyarakat tentang adanya elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi kalangan masyarakat, keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi institusi pendidikan yang bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan tersebut, secara garis besar memang benar adanya. namun di sisi lain pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal mistis, hal ini juga terjadi di kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren). Maka, dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan yaitu mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus mempertimbangkan segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Baik dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara umum. Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat diterapkan sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang membahas tentang memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen. hingga mampu menggugah minat baca siswa terutama yang berkaitan dengan pesantren serta mengembangkan daya kritis siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah cerpen. Kata kunci: Kritik sosial, kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri, Pembelajaran Bahasa dan Satra Indonesia.
i
ABSTRACT
MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Thesis: Social Critism In The Collection of Lukisan Kaligrafi Short Story by A. Mustafa Bisri Implications for Indonesian Language and Literature Learning in Senior High School. Education of Indonesian Language and Literature. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah Jakarta. This research aimed to analyze the life of people in pesantren by using three short stories “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, and “Lukisan Kaligrafi” that included in short story of LukisanKaligrafis’ collection by A. MustofaBisri in considering of social critic. Finally, this research can be concluded that social critic including in three short stories by A. Mustofa Bisri is people perspective about some shaper elements in pesantren environment, such as heir daily activities covering in education institution that move just in the religious side. The last, that perspective composesthe opinion that pesantren as monotonous education institution. In literary teaching or learning, the things who need to be developed is that the thing who concerned sense; reasoning; affective, social, and religious. This Lukisan Kaligrafi short story collection by A. Mustofa Bisri can be learned as literary education in the shool. At the time that discuss about understanding literary discourse through reading short story activity, until the student can understand about how to reading literature, especially literature that relating to the pesantren. Keyword: Social critic, short story of Lukisan Kaligrafi collection, A. Mustofa Bisri, Indonesian language learning and literature.
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam semoga selalu tercurak kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan pengikutnya. Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Kritik Sosial dalam Kumpulan cerpe Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Penulis banyak memerlukan bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pendidikan (S. Pd) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya, penulis menyampaikan terima kasih pada: 1. Bapak dan Ibu tercinta, Sulaiman dan Siti Fatimah yang senantiasa mengalirkan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Makyun Subuki, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan 6. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas A Ahmad Fahrudin, Ahmad Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti Nurasani, Ayu Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas Albiyan, Dina Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan, Herlina Wahyu, Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang
iii
Akhlakulkharomah, Liza Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur, Fahrudin Muallim, Nur Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat Fathiyah, Puguh Apria Rantau, Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza Hernita, Septiara Lianasari, Sri Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana, dan Yanti Nuryana), teman-teman Majelis Kantiniyah (Bang Ipang, Levi arnaldo, Irsyad Zulfahmi Bohari Muslim, Fajar, Muhammad Ikbal, Bang Zek serta Teman-teman Uye (Daniel Adepi, Miftah Falakhi, Sigit Purnomo,
Zakky
Ramdhani
Muslim,
Dede
Sunarya,
Lintang
Akhlakulkharomah, Muhammad Alfinur, Fahrudin Mualim, anak-anak kosan Gang Jati, yang selalu sabar dan rela membantu juga memberikan semangat kepada penulis. 7. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, doa, semangat yang tidak pernah putus diberikan kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam pembuatan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Jakarta, 14 September 2016
Penulis Muhammad Zainal Abidin
iv
DAFTAR ISI Halaman Judul Lembar Persetujuan Pembimbing Surat Pernyataan Keaslian Skripsi ABSTRAK ......................................................................................................
i
ABSTRACT ....................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iii
DAFTAR ISI...................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang .............................................................................. Identifikasi Masalah ...................................................................... Batasan Masalah............................................................................ Rumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................ Metode Penelitian.......................................................................... 1. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................. 2. Jenis Penelitian......................................................................... 3. Prosedur Penelitian .................................................................. 4. Teknik Penulisan ...................................................................... 5. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 6. Sumber Data .............................................................................
1 3 3 4 4 5 5 5 6 6 7 7 7
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Kritik Sosial ................................................................ B. Pesantren ....................................................................................... 1. Pengertian Pesantren 2. Ciri-Ciri Pesantren C. Pengertian Kiai .............................................................................. D. Cerita Pendek ................................................................................
v
9 10
12 13
1. Pengertian Cerita Pendek 2. Ciri-Ciri Cerita Pendek 3. Unsur Cerita Pendek E. Pendekatan Mimetik...................................................................... F. Pembelajaran Sastra ...................................................................... G. Penelitian yang Relevan ................................................................
24 25 26
BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG A. MUSTOFA BISRI A. Biografi A. Mustofa Bisri ............................................................. B. Karya-Karya A. Mustofa Bisri ...................................................... C. Pandangan A. Mustofa Bisri Sebagai Sastrawan ..........................
28 30 31
BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Unsur Intrinsik ............................................................... B. Analisis Kritik Sosial .................................................................... C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ......................
35 53 62
BAB V PENUTUP A. Simpulan ....................................................................................... B. Saran .............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
64 65
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang digunakan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Setiap karya sastra selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya. Oleh karena itu cerpen sebagai karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat dijadikan sumber pengetahuan dan belajar. Oleh karena itu pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hadir dan bertujuan agar siswa dan masyarakat pada umumnya mampu menghargai dan menikmati karya sastra tersebut sebagai bagian dari pendidikan. Sebab pada umumnya masyarakat saat ini cenderung menilai bahwa cerpen sebatas bacaan yang menghibur semata. Padahal cerpen merupakan bahasa komunikasi antara penyair dan pembacanya dan komunikasi tersebut akan berjalan dengan sehat apabila pembaca dapat menemukan nilai-nilai dalam cerpen tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berupa bahan pembelajaran moral, agama, kebangsaan dan sebagainya. Sastra sendiri merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat sebab sastra menyajikan sebuah kehidupan. Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra lebih cenderung meniru alam dan dunia subjektif manusia. Salah satu sastrawan yang mengunakan cerpen sebagai alat untuk mengungkapkan kritik suatu persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya adalah A. Mustofa Bisri. Ia adalah seorang kiai yang berjiwa seniman atau seniman yang merangkap kiai. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengambil cerpen-
1
2
cerpen beliau sebagai bahan penelitian. Karakteristik „tema pesantren Jawa‟ cerpencerpen A. Mustofa Bisri menarik untuk ditelaah. Terlebih lagi di implikasikan dalam sistem pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Beberapa masalah soal umat Islam yang dihadirkan A. Mustofa Bisri melalui cerpen-cerpennya ternyata menjadi kritik kehidupan di pesantren terhadap masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku kumpulan cerpennya, terdapat lima belas cerpen yang A. Mustofa Bisri tulis, beberapa cerpennya memiliki tema yang sama antara cerpen yang satu dengan cerpen yang lain, oleh karena itu penulis hanya akan meneliti tiga dari lima belas cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpennya. Melalui pendekatan mimetik penulis akan membandingkan peristiwa atau fenomena yang ditemui di dalam cerita serta menghubungkannya dengan kenyataan di luar karya. Cerpen “Gus jakfar”, “Gus Muslih” dan “Lukisan Kaligrafi” dirasa mampu untuk mewakili keseluruhan tema yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut, karena menceritakan tentang kehidupan di dalam pesantren dan persoalan-persoalan yang kerap hadir dalam kehidupan pesantren. Seperti kritik yang ditujukan untuk masyarakat pada umumnya, yaitu mengenai kebiasaan masyarakat yang tidak mau menerima hal-hal baru dalam ritual keagamaan. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia nilai ekstrinsik mencakup beberapa nilai dalam kehidupan, seperti nilai sosial, agama, budaya dan politik. Minimnya pembelajaran agama di sekolah karena porsi jam pelajaran agama yang hanya mendapat waktu belajar 2x45 menit dalam satu minggu sehingga dirasa masih sedikit dibandingkan dengan pelajaran ilmu umum lainnya terutama bahasa Indonesia yang mendapat waktu lebih banyak 4x45 menit dalam seminggu maka salah satu siasat guru bahasa dan sastra indonesia untuk memberikan pengetahuan agama kepada siswa dengan cara mengajarkan untuk mencari nilai-nilai agama atau ekstrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
3
Dengan penelitian ini penulis berharap siswa dapat memahami dan mengerti unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah prosa khususnya cerpen. Selain itu diharapkan juga penelitian ini dapat memperluas pengetahuan agama siswa melalui pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul skripsi Kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di SMA.
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kurangnya pembahasan mengenai kritik sosial yang membahas tentang kehidupan masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia. 2. Kurangnya implikasi mengenai kritik sosial yang membahas tentang kehidupan di dalam pesantren dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran di SMA. 3. Kurangnya pemahaman siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah karya sastra. 4. Kurangnya pembelajaran agama di sekolah. C. Batasan Masalah Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam, karena terlalu banyak cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi maka penulis membatasi penelitian pada tiga cerpen yang dirujuk, yaitu: “Cerpen Gus Jakfar”, “Gus Muslih” dan “Lukisan Kaligrafi”. Penulis menganggap ketiga cerpen tersebut mampu menjadi
4
bahan penelitian yang hendak di teliti oleh penulis yaitu kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada: 1. Kritik sosial dalam cerpen kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di Indonesia 2. Implikasi kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kritik sosial kehidupan pesantren dalam tiga cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri? 2. Bagaimana implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kritik sosial di pesantren dalam dalam tiga cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. 2. Mendeskripsikan Implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XI.
5
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran siswa di lingkungan sosial menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilainilai keduniawian. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kritik kehidupan di pesantren dalam sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan pandangan yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon pendidik c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang cerpen secara terstruktur dan mendalam G. Metode Penelitian 1. Bentuk dan Strategi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam karya sastra khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui
6
tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren. “Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan faktafakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.1 Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan realita yang ada.
2. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
3. Prosedur Penelitian Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkahlangkah sebagai berikut: a. Membaca buku kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri yaitu Lukisan Kaligrafi. b. Menetapkan tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri yang terdapat pada kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi 1
sebagai objek penelitian dengan
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.. 53.
7
fokus menemukan kritik sosial dalam dunia Pesantren yang tergambar dalam tiga cerpen tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan. c. Membaca ulang dengan cermat tiga cerpen A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi untuk menentukan hal yang dipahami sebagai kritik sosial dalam dunia Pesantren yang terdapat dalam Tiga cerpen tersebut dan implikasinya dalam dunia pendidikan. d. Menandai setiap kata, kalimat dan paragraf yang mengandung kritik sosial dalam kehidupan Pesantren. e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan analisis kritik sosial dalam kehidupan Pesantren. f. Menganalisis
data
yang
sudah
diklasifikasikan
dan
melakukan
pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data. g. Menyimpulkan hasil penelitian
4. Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. 5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar, dan majalah. 6. Sumber Data a. Data Primer Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2009, Lukisan Kaligrafi.
8
b. Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Kritik Sosial Kata kritik berasal dari kata krites yang dalam bahasa Yunani berarti “hakim”. Krinein adalah kata kerja dari krites yang berarti “menghakimi”. Kata tersebut adalah pangkal dari kata benda criterion yang artinya “dasar penghakiman”. Istilah itu lalu berkembang hingga memunculkan istilah kritikos atau “hakim karya sastra”.1 Sedangkan kata kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah, “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.”2 Sedangkan kata sosial bermakna, “berkenaan dengan masyarakat, suka memerhatikan kepentingan umum."3 Kritik
sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang
bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun berbagai bentuk keadaan yang tidak sesuai Akhnad Zaini Akbar, kritik
dengan
tujuan
dan
harapan.
Menurut
sosial adalah satu bentuk komunikasi dalam
masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Zaini juga mengatakan bahwa pelbagai tindakan sosial ataupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain kritik sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.4 Sementara itu Moh. Mahfud MD mengartikan kritik sosial sebagai sesuatu yang mendasar di dalam kehidupan masyarakat, sebab masyarakat terus berubah atau berkembang sehingga diperlukan semacam situasi dan perilaku ideal (ideal conduct) yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat itu. 1
Suminto A. Sayuti, Wiyatmi, Kritik Sastra, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.3
— 1.4. 2
http://bahasa.kemdiknas.go.id//kbbi/index.php, diakses tanggal 20 Agustus 2015. Ibid. 4 Moh Mahfud MD dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII Press,1997), h. 47. 3
9
10
Dalam kalimat Mahfud yang lain, “kritik sosial adalah sesuatu yang positif sebab ia mendorong sesuatu terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria (di sini kata kritik terkait kriteria) yang dianggap wajar dan telah disepakati bersama.”5 Jadi, dapat disimpulkan sebagai seuah upaya pngembalian terhadap persoalan yang dikembalikan terhadap
B. Pesantren 1. Pengertian Pesantren Pesantren berasal dari kata “santri”, dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang mempunya arti asrama tempat santri atau tempat murid belajar mengaji. Santri adalah orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh.6 Johns yang dikutip Dhofier berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil artinya guru mengaji. C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri tersebut berasal dari kata shastra yang berarti buku suci, buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.7 Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kata santri berasa dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana pergi.8 Kata pondok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan untuk tempat sementara, rumah, bangunan tempat tinggal yang berpetak yang berdinding bilik dan beratap rumbia, madrasah dan asrama (tempat mengaji, belajar agama Islam).9
5 6
Ibid., h. 71. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
h. 878. 7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. IX, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 41. 8 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 19-20. 9 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 781.
11
Pesantren atau pondok adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous) Indonesia; sebab lembaga yang serupa, sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.10 Pesantren
secara
terminologi
didefinisikan
sebagai
lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.11 2. Ciri Pesantren Dhofier menjelaskan bahwa ada lima elemen sehingga dapat disebut sebagai pesantren yaitu adanya pondok, masjid, kiyai, santri, dan pengkajian kitab Islam klasik (kitab kuning).12 Sedangkan
Kafwari
sebagaimana
dikutip
oleh
Tafsir
telah
mengidentifikasikan pesantren dan membagi pesantren menjadi empat pola yaitu: a. Pola satu, yaitu pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen yang berupa masjid dan rumah kiyai.pesantren ini masih sederhana. Kiyai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk tempat mengaji. Biasanya santri berasal dari daerah sekitarnya namun pengajaran telah diselenggarakan secara kontiniu dan sistematik. b. Pola dua, yaitu sama dengan pola satu ditambah dengan pondok bagi santri. c. Pola tiga, yaitu sama dengan pola dua ditambah dengan adanya madrasah dan ditambah dengan pengajaran kitab kuning klasik. d. Pola empat, yaitu pesantren pola tiga ditambah dengan adanya keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, lading, dan sebagainya.13
10
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, ( Jakarta: P3M, 1987), h. 5. 11 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55. 12 Dhofier, Op.Cit., h. 44. 13 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:Rosda Karya, 1992), h. 193.
12
C. Pengertian Kiai Kiai atau pengasuh pondok pesantren adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Pada umumnya, sosok kiai sangat berpengaruh, kharismatik, dan berwibawa sehingga sangat disegani oleh masyarakat di lingkungan pondok pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya satu pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai. Menurut asal-usulnya, perkataan kiai digunakan untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan pada barang yang dianggap keramat, misalnya “Kiai Garuda Kencana” yang digunakan untuk sebutan Kereta Emas yang berada di Keraton Yogyakarta. 2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).14 Para Kiai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam, seringkali terlihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam sehinggga mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.15 Sedangkan anak seorang kiai laki-laki disebut dengan panggilan “Gus” yang berasal dari kata bagus yang bertujuan untuk mendoakan seorang anak agar menjadi orang yang baik, istilah Gus juga menjadi panggilan kehormatan untuk seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gus diartikan sebagai nama julukan atau nama panggilan kepada anak laki-laki.16 Semua warga pesantren tunduk pada kiai. Mereka berusaha keras melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta menjaga agar jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya tidak direstui kiai, 14
Dhofier, Op. Cit., h. 93. Dhofier, Op. Cit., h. 94. 16 KBBI edisi kedua, h. 377. 15
13
sebaiknya mereka sesalu berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya direstui kiai.17 Kiai sebagai pengasuh pondok pesantren diposisikan sebagai top leader yang menjadi panutan bagi santrinya. Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan pesantren berada di tangan kiai, terkhusus yang berkaitan dengan pembentukan suasana kepesantrenan.
D. Cerita Pendek 1. Pengertian Cerita Pendek (Cerpen) Pengertian cerpen telah dibuat dan dikemukakan oleh pakar sastra, sastrawan. Di bawah ini ada beberapa pengertian cerita pendek yang dikemukakan oleh pakar sastra. H.B. Jassin mengemukakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang pendek. Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerpen ini orang boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu tidak bisa disebut cerpen dan memang tidak ada cerpen yang sedemikian panjangnya. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih bisa disebut cerpen tetapi ada juga cerpen yang panjangnya hanya satu halaman.18 Pengertian cerpen selanjutnya dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini di dalam buku mereka Apresiasi Kesustraan. Mereka berpendapat bahwa cerpen adalah cerita pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuah cerpen.19 Sumardjo juga mengemukakan pengertian cerpen di dalam bukunya Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Ia berpengertian bahwa cerpen adalah 17
436.
Ahmad Musthofa Haroen dkk, Khazanah Intelektual Pesantren, (Jakarta: 2009), h.
18
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer (Yogyakarta: Graha Imu, 2012), Cet. 2,
19
Ibid.
h. 50.
14
diksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerpen hanya memiliki satu arti satu krisis dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik. Pengertian cerpen yang dikemukakan oleh H.B. Jassin, Sumardjo, dan Saini di atas tidak berbeda jauh dengan pengertian cerita pendek Edgar Allan Poe (penyair, pengarang cerpen, novelet, dan esai Amerika abad ke-19). Dia terkenal bukan hanya karena karya-karya kreatifnya, melainkan karena konsep-konsep sastranya. Salah satu konsepnya yang penting tidak lain mengenai cerpen. Ia mengatakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang tidak panjang cukup dibaca sekali duduk, bertitik berat pada satu masalah dan memberi kesan tunggal. Sumardjo dalam Antilan Purba berpengertian bahwa cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerpen bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerpen harus tajam dan dalam sehingga sekali membacanya kita tak akan mudah lupa.20 Cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman. Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang digunakan dalam cerpen sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap. Cerpen, selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, peristiwa dan isinya sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang pendek dan isi ceritanyapun singkat, tetapi mengandung kesan yang mendalam. Oleh karena peristiwa dan isinya singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif sedikit jika dibandingkan roman atau novel.21 Satu yang terpenting, cerita
20
Ibid., h. 51. Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 126. 21
15
pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.22 Berdasarkan pendapat H.B. Jassin, Sumardjo, Saini, dan Edgar Allan Poe sastrawan asal Amerika ini, penulis lebih mengikuti pendapat dari Sumardjo. Maka dari itu, disimpulkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang tidak panjang dan cukup dibaca sekali duduk dengan aspek masalah yang sangat dibatasi sehingga tergambar lebih jelas dan lebih mengesankan dan pembaca pun tidak mudah lupa isi ceritanya
2. Ciri Cerita Pendek (Cerpen) Cerpen memiliki ciri utama yaitu singkat, padu, intensif. Di samping ciri tersebut, ciri lainnya adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun cerpen adalah rekaan, namun ia ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan di dalam cerpen memang tidak pernah terjadi, tetapi dapat terjadi semacam itu. Pembaca cerita rekaan bukan sekadar membacar kisah lamunan. Membaca karena cerpen menunjukkan suatu sisi kenyataan. Pembacanya menghayati pengalaman seseorang, mengidentifikasi diri dengan tokoh cerita rekaan sehingga ikut mengalami peristiwa yang dihadapinya. Perbuatan-perbuatannya, pikiran dan perasaannya, keputusannya, dilemalemanya, dan sebagainya. 23 Ciri selanjutnya adalah sifat naratif atau penceritaan. Cerpen bukanlah pancandraan (deskripsi) argumentasi dan analisis tentang suatu hal, tetapi cerita. Tidak setiap cerita disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa (penggambaran tentang sesuatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan juga berbentuk cerita, namun semua itu berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada dan telah terjadi.24 22
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76 Purba, Op. Cit., h. 52. 24 Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 37. 23
16
3. Unsur Cerita Pendek Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel, novelet, dan cerpen karena tidak ada penelitian yang mendukung pembedaan beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan bahasa dan lukisannya.25 Dilihat dari perkembangannya cerita pendek dibagi menjadi dua yaitu: (1) cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerita yang mengandung nilai sastra (moral, etika, dan estetika); (2) cerita pendek hiburan (cerpen pop) yaitu cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, etika.26 Karakter utama dalam fiksi (cerpen) adalah peristiwa, yaitu suatu kejadian yang di dalamnya ada hubungan antara tokoh, alur, dan setting. Peristiwa dalam cerpen menunjukkan dua pola, yaitu peristiwa monologis yang merupakan penggambaran keadaan dan kedirian yang bersifat tunggal, dimana tokoh sedang bermonolog atau penulis sedang menggambarkan keadaan; dan peristiwa dialogis yang merupakan penggambaran keadaan hubungan tokoh dengan tokoh dalam suatu keadaan tempat dan waktu tertentu. Baik peristiwa dialogis dan monologis selalu ada dalam sebuah cerpen.27 Sekalipun ada peristiwa monologis dan dialogis sebagai peristiwa pembangun cerita, tetapi hakikatnya peristiwa itu menunjukkan karakter yang sama, yaitu peristiwa sebagai pembangun cerpen selalu terbentuk atas: tokoh, setting, dan alur. Dengan demikian, ketiganya adalah pembangun cerita yang konkret (fact) yaitu suatu fakta-fakta konkret yang eksplisit membangun
25
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008)., h. 140. Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sastra Indonesia (Bandung: UPI PRESS, 2006), cet. 2, h. 37. 27 Heru Kurniawan dan Sutardi, Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 61. 26
17
cerpen ataupun fiksi sehingga ketiga unsur ini (tokoh, latar, dan alur) disebut dengan fakta cerita. Melalui fakta cerita inilah maka tema, pesan, amanat, suasana, dan sudut pandang diaktualisasikan.28
a. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.29 Unsur-unsurnya antara lain: biografi pengarang yang turut menentukan ciri karya yang dihasilkan, psikologi pengarang atau pun pembaca, keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial yang dapat mempengaruhi karyanya.
b. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur yang berada di dalam sebuah karya sastra, yaitu unsur yang membangun karya itu sendiri. Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah
tema, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, alur, gaya bahasa, dan pesan atau amanat. Unsur ini dapat dijumpai dalam cerpen ketika membacanya. 1). Tema Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.30 Stanton dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita.31 Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan.32 Dengan demikian, untuk menentukan 28
Ibid. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), cet. 5, h. 23 30 Siswanto, Op. Cit., h. 161. 31 Burhan, Op. Cit., h. 67. 32 Siswanto, Op. Cit., h. 161. 29
18
tema harus memahami isi keseluruhan sebuah cerita, sehingga dapat memperoleh inti dari sebuah cerita dan menentukan tema dengan tepat.
2). Tokoh dan Penokohan Yang dimaksud dengan tokoh adalah para pelaku atau subjek lirik dalam karya sastra.33 Aminuddin dalam Siswanto, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.34 Burhan berpendapat bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerpen. Sedangkan penokohan artinya karakter dan perwatakan— menunjuk pada penempatan tokohtokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.35 Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh) yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).36 Hampir sependapat dengan Burhan menurut Sudjiman dalam Priyatni, berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh bawahan atau pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan utama, frekuensi kemunculannya sangat tinggi, menjadi pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang mendukung tokoh utama, yang membuat 33
Priyatni, Op. Cit., h. 110. Siswanto, Op. Cit., h. 142. 35 Burhan, Op. Cit., h. 165. 36 Ibid., h.176. 34
19
cerita lebih hidup.37 Dalam sebuah cerita tidak hanya memunculkan satu tokoh saja, pastinya ada tokoh tambahan di samping tokoh utama agar cerita lebih hidup dengan kehadiran tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu, setiap tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau watak-watak yang berbeda, sehingga cerita akan lebih menarik dengan perbedaan watak yang digambarkan di dalam cerita. Hubungan tokoh dengan dengan unsur cerita yang lain, seperti hubungan tokoh dan latar merupakan dua unsur rekaan yang erat berhubungan dan tunjang-menunjang.38
3). Alur (plot) Menurut
Abrams
dalam
Siswanto,
alur
adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Menurut Aminuddin dalam Siswanto,
membedakan
tahapan-tahapan
peristiwa
atas
pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.39 Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini, misalnya, nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya. Konflik atau tikaian, ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau
37
Priyatni, Op. Cit., 110 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya, 1988), h. 27. 39 Siswanto, Op. Cit., h. 159. 38
20
lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. Ada konflik lahir dan batin. Komplikasi atau rumitan bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan. Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian. Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.40 Tahap-tahap alur dijelaskan sebagai urutan waktu kejadian di dalam cerita. Namun, tidak semua cerita dimulai dari tahap yang paling awal yaitu pengenalan. Ada pula cerita yang dimulai dari tahap penyelesaian, hal itu disebut alur mundur. Sedangkan tahap alur yang runtut dari pengenalan hingga selesaian disebut alur maju. Bagi pembaca, alur atau plot berguna untuk memahami keseluruhan isi cerita secara runtut dan jelas.
4. Latar (Setting) Setting adalah latar atau tempat kejadian, watu sebuah cerita. Setting bisa menunjukkan tempat, waktu, suasana batin, saat cerita itu terjadi.41 Latar, tidak hanya merujuk pada lokasi peristiwa, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun karakter tokoh, menentukan tema, serta membangun suasana 40 41
Ibid., h. 160. Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 72.
21
tertentu. Latar, tidak hanya mampu memberikan pengetahuan tentang masyarakat tertentu, tapi juga mampu melukiskan secara lengkap berbagai masalah, watak, sikap hidup, ambisi masyarakat tertentu.42 Menurut Abrams dalam Siswanto, latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.43 Jacob Sumardjo menyatakan bahwa setting tidak hanya berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup suatu daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Stephen Minot yang menyatakan bahwa latar memuat: latar waktu, latar alam/geografi, dan latar sosial.44 Faktor dominan dalam latar antara lain: a) faktor tempat yaitu gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita dalam fiksi itu terjadi. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau desa, pantai, hutan, dan lainnya; b) faktor waktu, merupakan gambaran kapan, masa, dan saat tertentu terjadinya peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungan dengan tempat, yaitu gambaran suatu tempat pada masa, zaman, tahun, atau musim tertentu. Waktu berkaitan pula dengan sejarah; c) faktor sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat.45 Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar
42
Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57. Siswanto, Op. Cit., h. 149. 44 Priyatni, Op. Cit., h. 112. 45 Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 53-55. 43
22
sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh, misalnya rendah, menengah, atau atas.46 Namun, tidak semua latar bisa ditampilkan di dalam cerpen baik itu latar waktu, tempat, atau latar sosial. Bisa jadi dalam sebuah cerita hanya menonjolkan latar tempatnya saja, atau latar waktu, dan bahkan latar sosial saja yang ditampilkan pada sebuah cerita.
5). Sudut Pandang Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar, pengarang dapat memilih pencerita akuan atau diaan.47 a. Sudut Pandang Orang Pertama “Aku” Seseorang
pencerita
dapat
dikatakan
sebagai
pencerita akuan apabila pencerita tersebut dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya. Sudut pandang orang pertama “aku” (tokoh utama) serba tahu yaitu seorang narator yang bisa mengetahui semua gerak fisik maupun psikisnya. Biasanya bertindak sebagai tokoh utama yang serba tahu. Tidak semua cerita menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” serba tahu. Ada kemungkinan pencerita atau narator hanya mengetahui gerak-gerik fisik dari para tokoh, hal tersebut sebagai “aku” (tokoh tambahan).
46 47
Burhan, Op. Cit., h. 233-234. Priyatni, Op. Cit., h. 115.
23
b. Sudut Persona Orang Ketiga “Dia” Sudut diklasifikasikan
pandang menjadi
orang
ketiga
ini
dapat
dua,
“Dia”
serba
tahu
(menceritakan segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh berbagai tokoh dalam cerita) dan “Dia” terbatas atau objektif (hanya terbatas mengamati pada satu tokoh).
c. Sudut Pandang Campuran Pengarang menggunakan lebih dari satu teknik dalam bercerita. Pengarang dapat mengubah teknik atau berganti-ganti teknik penceritaan dalam sebuah karyanya. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk menemukan gagasan ceritanya.48 Pemahaman pembaca terhadap sebuah karya sastra dipengaruhi oleh kejelasan sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam karyanya, sehingga sudut pandang dapat menentukan sejauh mana pemahaman pembaca terhadap sebuah karya dan mampu memberikan penilaian terhadap karya tersebut.
8). Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.49 Pengarang pastinya mempunyai tujuan ketika menciptakan karya. Tujuan tersebut tentunya diperuntukkan bagi pembacanya, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh pembaca. Di dalam karya sastra modern amanat biasanya disampaikan secara tersirat dalam cerita.
48 49
Burhan, Op. Cit., h. 248. Ibid., h. 162.
24
E. Pendekatan Mimetik Berbicara tentang teori mimetik, tidak dapat terlepas dari pengaruh filsuf besar Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep tersebut dikemukakan filsuf Plato, dan kemudian diungkapkan oleh Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan dan
ide.
Sedangkan
Aristoteles
menyatakan
bahwa
tiruan
itu
justru
membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni merupakan aktivitas manusia.50 Mimetik berasal dari bahasa Yunani yaitu mimesis yang berarti tiruan. Pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori seni dan sastra di Eropa. Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, mengatakan pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Teori estetis ini tidak hanya ada di Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra Indonesia, yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial. Apabila kelompok Marxis memandang karya seni sebagai refleksi, maka sosiologi sastra memandang kenyataan sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis. Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya seni.51 Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Karya sastra merupakan bentuk persepsi (cara khusus dalam memandang dunia) dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial 50
Yudiono K.S, Telaah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 31. Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. III, h. 69-70. 51
25
suatu zaman. Memahami karya sastra adalah memahami hubungan tak langsung antara karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada yang muncul pada unsur-unsur karya sastra.52
F. Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra di sekolah sangat penting keberadaannya. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Dalam pembelajaran sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Hal tersebut akan mengembangkan kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta didiknya.53 Pembelajaran
sastra
di
sekolah
akan
membantu
meningkatkan
pengetahuan tentang sastra kepada peserta didik. Dari pembelajaran sastra, peserta didik bisa menafsirkan karya-karya terbaik dari banyak sastrawan dan memahami karya tersebut, bahkan tidak hanya karyanya tetapi mengetahui kehidupan sastrawannya. Kemudian, dapat memperoleh pesan-pesan sehingga memberikan pelajaran yang positif di kehidupan peserta didik. Dalam hal pengajaran sastra atau pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial; serta ditambah lagi yang bersifat religius.54 Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat diterapkan sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang membahas tentang memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen (silabus dan RPP terlampir).
52
Siswanto., Op. Cit., h. 189. Ibid., h. 168-169. 54 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 19 . 53
26
G. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan berarti mencari persamaan atau perbedaan antara penelitian yang sedang dibuat dengan penelitian-penelitian sebelumnya atau terdahulu. Hal tersebut dilakukan untuk membandingkan penelitian satu dengan yang lainnya dan menghindari duplikasi dalam penelitian. Maka dari itu, perlu adanya beberapa penelitian yang relevan untuk mengetahui tinjauan hasil penelitian sebelumnya. di bawah ini ada tiga skripsi yang membahas karya-karya Gus Mus. Pertama berjudul Tema-tema Profetik Islam dalam Tadarus: Antologi Puisi Karya A. Mustofa Bisri oleh Erika Prettyza (NPM. 0790010119), jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1996). Skripsi tersebut hanya dibatasi pada 22 dari 50 sajak yang ada dalam Tadarus. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengungkapkan tema-tema profetik Islam dalam antologi puisi Tadarus. Dalam skripsinya penulis menjelaskan berbagai hal yang berkenaan dengan unsur profetik, baik berupa bentuk atau tipografi atau melalui bahasa yang digunakan dalam karya tersebut. Kedua, skripsi yang berjudul Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat” dan “ Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014), program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut hanya dibatasi pada dua puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial dalam puisi “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat dan Saling”, serta implikasi kedua puisi tersebut dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah. Ketiga skripsi yang membahas kumpulan cerpen-cerpen Gus Mus. Skripsi ini ditulis
oleh
Nanik
Widayati,
mahasiswi
Fakultas
Tarbiyah,
IAIN
Walisongo, Semarang tahun 2006. Dalam skripsi yang berjudul "Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya KH. A. Mustofa Bisri," Nanik Widayati meneliti hubungan karya sastra dengan nilai-nilai pendidikan akhlak. Dalam penelitiannya penulis memaparkan berapa contoh sikap
27
yang mampu dijadikan teladan dalam proses pendidikan antara lain sikap rendah hati yang harus dimiliki oleh setiap orang, seperti yang ada dalam cerpen Gus Mus yang berjudul Gus Jakfar. Berdasarkan pengamatan penulis, maka penelitian mengenai kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri, ini patut untuk dilakukan. Mengingat, dalam beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan objek yang sama yaitu Lukisan Kaligrafi hanya mengambil nilai-nilai pendidikan, sedangkan penulis lebih berfokus pada kritik yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui karyanya.
BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG
A. Biorafi Singkat A. Mustofa Bisri K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, lahir di Rembang Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Kakeknya, Kiai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Begitu pula dengan ayahnya, K.H Bisri Mustofa merupakan seorang ulama kharismatik tersohor yang juga sebagai pendiri Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.1 Gus Mus sejak kecil dididik orangtuanya dengan keras, terutama menyangkut prinsip-prinsip agama. Pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke sekolah tsanawiyah (setingkat dengan jenjang SMP). Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, kemudian masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Setelah dua tahun di Pesantren Lirboyo, ia pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, ia diasuh oleh K. H. Ali Maksum selama hampir tiga tahun, kemudian kembali ke Rembang untuk mengaji langsung di bawah asuhan ayahnya.2 K. H. Ali Maksum dan K.H. Bisri Mustofa merupakan guru yang paling banyak memengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai tersebut memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Pada tahun 1964, Gus Mus dikirim ke Kairo, Mesir, untuk belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Almarhum). Gus Mus merupakan kiai pembelajar bagi para para ulama dan umat. Kiai yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin (menggantikan ayahnya) ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama 1
A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009) Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-bisri/biografi/indeks.html di akses pada 24 November 2015. 2
28
29
dalam Muktamar NU ke 31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Ia mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu
terlebih
dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur
mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu. Gus Mus menikah dengan Siti Fatimah. Ia dikarunia tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu, Mochamad Bisri Mustofa. Anak laki-lakinya lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana.3 Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya, Gus Mus pernah bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan untuk menggambar. Pada akhir tahun 1998, Gus Mus pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di gelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa Jim Supangkat, menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang dindah-indahkan, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan. Tahun 2003, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul Berdzikir Bersama Inul.4 A. Mustofa Bisri pernah terjun di gelanggang politik praktis, ia menjadi anggota DPRD Jawa Tengah periode 1987-1992 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah itu, ia menolak dicalonkan lagi sebagai anggota DPRD dengan argumennya “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering kali terjadi pertikaian 3 4
Ibid. Ibid.
30
dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah.”5 A. Mustofa Bisri yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Perancis kemudian lebih banyak berkiprah sebagai „kutu buku‟ dan penulis. Tulisan A. Mustofa Bisri yang berupa esai, cerpen dan puisi banyak dimuat di berbagai media massa, seperti: Intisari, Ummat, Amanah, Panji Masyarakat, DR Horison, Jawa Post, Tempo, Gatra, Forum,Kompas, Suara Merdeka, Detak, Wawasan, Dumas dan Bernas. Adakalanya tulisan-tulisan A. Mustofa Bisri di surat kabar tersebut mengandung kritik. Namun demikian, A. Mustofa Bisri berharap tidak menyakitkan hati, melainkan kritiknya diharap mampu menembus relung-relung jiwa yang berbuah penyadaran. A. Mustofa Bisri mengakui, perjalanan hidupnya banyak dipengaruhi pandangan gurunya, KH Ali Maksum dan KH Bisri Mustofa, ayahnya. Keduanya memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk mengembangkan bakat seni. Ketika mondok di pesantren Krapyak, di masa itulah A. Mustofa Bisri mengaku sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Di antaranya bertandang ke rumah Affandi, untuk melihat bagaimana sang maestro lukis. Maka tak mengherankan jika setiap kali ada waktu luang, sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tak pernah serius,” kata A. Mustofa Bisri, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.”6
B. Karya-karya A. Mustofa Bisri A Mustofa Bisri telah menghasilkan sejumlah karya tulis, seperti Ensiklopedi Ijma (terjemahan bersma K.H. M. Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta); Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya); Awas Manusia dan Nyamuk yang 5
Priyo B. Sumbogo, Heddy Lugito dan Hidayat Tantan, Kiai Klelet dari Rembang, dalam Gatra, IV Januari, 1998, h.104. 6 Ibid.
31
perkasa (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta); Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga studi Filsafat, Yogya); Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, AlHuda, Temanggung); Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung); Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Umat (Risalah Gusti, Surabaya); Al-Muna, Terjemahan Syair Asmahul Husna (Al-Miftah Surabaya); Fikih Keseharian, Bungga Rampai Masalah-masalah keberagamaan (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya); Canda Nabi & Tawa Sufi, (Hikmah, Jakarta); dan Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogya). Selain karya-karya di atas, A. Mustofa Bisri juga telah menulis delapan kumpulan sajak dan sebuah kumpulan cerpen, yaitu Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta); Tadarus (Prima Pustaka, Yogyakarta); Pahlawan dan Tikus, (Pustaka Firdaus, Jakarta); Rubaiyat Angin dan Rumput (diterbitkan atas kerja sama majalah Humor dan PT Matra Multi Media, Jakarta); Wekwekwek (risalah Gusti, Surabaya); Gelap berlapis-lapis (Fatma Press, Jakarta); Gandrung, Sajak-sajak Cinta (Al-Ibriz, rembang); Negeri Daging (Bentang, Yogya); dan Lukisan Kaligrafi (kumpulan cerita pendek, penerbit buku Kompas, Jakarta)
C. Pandangan Mustofa Bisri sebagai Sastrawan A. Mustofa Bisri sebagai seorang penyair santri memiliki kekhasan dalam karyanya, antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapkan yang lugas. Bahasa yang digunakan cukup wajar dan sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan itu sebenarnya terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity (kesederhanaan yang menipu). Hal ini juga diungkapkan oleh Umar Kayam pada pengantar kumpulan puisi Tadarus bahwa Mustofa Bisri bukan hanya “penjaga dan pendamba kearifan” dan “penjaga taman kata-kata”, melainkan ia sudah menggengam kearifan dan indahan kata-kata. Ciri khas yang lain dari sajak-sajak Bisri adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah
32
sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi, padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes.7 A. Mustofa Bisri muncul pertama kalinya untuk membacakan puisi pada tahun 1987 pada acara “Mubalig Baca Puisi” di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ketika itu ia membacakan sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa Saja” yang kemudian dihimpun dalam buku puisi pertamanya, Ohoi.8 Berikut kutipan dari dua bait pertama sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa Saja”
Merdeka! Ohoi, Ucapkanlah lagi pelan-pelan Merdeka Kau „kan tahu nikmatnya nyanyian kebebasan… Nyanyian kebebasan Ohoi, Lelaki boleh genit bermanja-manja Wanita boleh sengit bermain bola… Anak muda boleh berkhutbah di mana-mana Orang tua boleh berpacaran di mana saja A. Mustofa Bisri lebih dikenal dengan “puisi balsemnya”. Menurut sastrawan yang gemar memakai kopiah ini, puisi balsemnya lahir sebagai bentuk ketidakpuasan karena ia merasa masih adanya jarak antara seniman dan masyarakat. Sajak-sajak A. Mustofa Bisri memang cukup ampuh “menyembuhkan” sebagaimana balsam yang yang terasa panas sepintas, namun selebihnya mengobati „si sakit hati,‟ bahkan „si sakit jiwa‟.9 Sajak-sajak A. Mustofa Bisri yang terkumpul dalam buku Ohoi pernah masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award. Namun, A. Mustofa Bisri malah
7
Ida Nur Chasnah, M. Hum, Ekspresi Sosial Sajak-sajak KH. A. Mustofa Bisri, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), h. 4-5. 8 Abdul Wachid B.S, K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi, dalam Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2005. 9 Ibid.
33
bersyukur kalau akhirnya puisinya tidak mendapatkan penghargaan tersebut. A. Mustofa Bisri merasa masih banyak penyair yang lebih baik dibandingkan dirinya. Selain menjadi penyair, A. Mustofa Bisri adalah seorang penulis cerpen yang handal, banyak cerita ditujukan untuk mengkritik lingkungan sekitar. Meski terbilang baru sebagai seorang penulis cerpen, A. Mustofa Bisri boleh dikatakan baru menerbitkan cerpennya di tahun 2002. Cerpen pertama A. Mustofa Bisri berjudul “Gus Jakfar.” Menurut A. Mustofa Bisri cerpen tersebut lahir karena diprovokasi oleh Danarto.10 Pada tahun 2003, cerpen “Gus Jakfar” A. Mustofa Bisri terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Kemudian, pada tahun 2005, kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi A. Mustofa Bisri menerima Hadiah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari pemerintahan Malaysia. Buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi memuat 15 cerpen karyanya. Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri memang berhubungan dengan kehidupan masyarakat pesantren Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut dapat dilihat melalui tokoh-tokoh dan latar yang mewakili dunia pesantren. Hal ini pun diakui A. Mustofa Bisri bahwa hampir semua cerpennya bertema pesantren. Dalam artikelnya, Achmad Muchlis Ar menyatakan kumpulan cerpen A. Mustofa Bisri mengangkat budaya kehidupan masyarakat pesantren di jawa. Berdasarkan pengamatan Muchlis AR, Analogi cerpen A. Mustofa Bisri telah menghadirkan antologi cerpen yang cukup bernilai bagi sastra Indonesia, yakni Lukisan Kaligrafi. Cerpen-cerpen dalam buku ini umumnya mengambil latar pesantren dengan segala tradisi dan budayanya. Kecerdasan A. Mustofa Bisri mengolah cerpennya terletak pada penyusunan narasi untuk membangun plot dengan konflik yang halus namun memikat, sehingga pembaca takkan merasa tiba-tiba cerpen yang dibacanya selesai karena mereka larut dan masuk ke dalam teks tersebut.11.
10 11
Sohirin, Puisi Itu Tradisi Pesantren, dalam Tempo, 18 Desember 2005. Ibid.
34
Idiom-idiom estetika A. Mustofa Bisri menjadi khas karena muncul dari intuisi dan obsesinya terhadap objek yang sangat dia kenal. Ia tak berpaling dari objek dunia pesantren, dunia kesufian dan pergulatan manusia yang mencari cahaya keilahian. Kancah perhatian cerpen-cerpennya yang berpusat pada dunia pesantren dan keulamaan telah mewarnai diksi-siksi yang terbingkai estetika lokal, yang membedakannya dengan cerpen-cerpen Ahmad Tohari, misalnya, dalam Senyum Karyamin yang berlatar sosial pedesaan meski keduanya sama-sama ulama pesantren. Rahmat H. Cahyono, cerpenis ini pun mengomentari cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri. Menurut Cahyono (2004), A. Mustofa Bisri memang belum banyak menulis cerpen. Namun, membaca kumpulan cerpen pertamanya, terasa ada kesegaran. Lebih lanjut, Cahyono memaparkan istilah „pembocoran fakta‟ yang digunakan Seno Gumira Ajidarma untuk menyebut sastra yang „membocorkan fakta‟ yang tidak muncul di media massa. Cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, Menurut Cahyono telah „membocorkan fakta‟ keseharian dalam komunitas pesantren atau komunitas kiai ke dalam cerita rekaan. Cahyono juga menyebut cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri serumpun dengan fiksi-fiksi karya Danarto, Kuntowijoya, atau Ahmad Tohari yang dapat disebut sebagai sastra atau fiksi profetik. Mengenai gaya penulisan A. Mustofa Bisri dalam cerpen-cerpennya, Cahyono berpendapat, “A. Mustofa Bisri berada dalam tataran realisme yang lebih sederhana, cair dan liniear. Dalam cerpen-cerpennya, ia setia menjaga hubungan liniear antara fiksi dan fakta yang sangat dikenalnya, yakni komunalisme kaum santri. Model penulisan semacam ini memudahkan pembaca yang senang mencari pesan di balik sebuah karya sastra.”12
12
2004.
Rachmat H Cahyono, Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus, Suara Pembaruan, 23 Mei
BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Unsur Intrinsik Kumpulan Cerpen “Lukisan Kaligrafi” 1. Tema Cerpen “GusJakfar” bertemakan ilmu mistik, hal ini dapat diketahui melalui keistimewaan berupa kemampuan yang dimiliki oleh beberapa tokoh diantaranya Gus Jakfar dan Kiai Tawakkal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut. “Tapi Gus Jakfar memang luar biasa,” kata mas Bambang, pegawai pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi.”1 Melalui kutipan diatas dengan adanya dialog antara “mas bambang dengan pencerita” menunjukan bahwa cerpen tersebut erat kaitanya dengan kiai, dimana kemampuan kiai tersebut dianggap mistis oleh warga sekitar. Ditunjukkan denga adanya ungkapan bahwa gus Jakfar mampu melihat tanda yang terdapat pada kening orang yang dijumpainya. sehingga beliau mampu melihat peristiwa yang akan menimpa orang tersebut, antara lain, kematian, jodoh dan rezeki. Sedangkan tema yang terdapat di dalam cerpen “Gus Muslih” menceritakan tentang kritik terhadap kebiasaan lama yang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat. “Gus Muslih dianggap pembaharu, banyak hal yang sudah berjalan lama di daerah kami dihujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu yang bertakziah dan memberikan uang salawat kepada kiai atau modin ditentangnya habis-habisan.”2
1
A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2009), h. 2. Ibid., h. 13.
2
35
36
Kutipan di atas menjelaskan pemikiran baru masih sulit untuk diterima oleh orang-orang yang masih menganut dan meyakini bahwa semua kebiasaan lama bernilai positif. Kemudian, cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah cerpen yang bertemakan tentang kaidah kesenian. Kaligrafi merupakan seni melukis yang mengkombinasikan antara tulisan arab dengan makna atau arti dari tulisan tersebut. Ini terlihat dari kutipan berikut: “…, Hardi sama sekali tak mengenal khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts , Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayatayat yang bersangkutan.”3 Melalui ajakan seorang teman lamanya, Hardi. Ust Bachri bersedia mengikuti pameran kaligrafi. yang akhirnya membuat Ust Bachri terkenal karena lukisanya dianggap memiliki nilai seni yang tinggi, terlihat dari kutipan berikut. “begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik. …”…“apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!”4 Terbukti dengan adanya kutipan diatas, maka kemauan Ust Bachri mengikuti pameran dikarenakan ajakan seorang temanya. Dapat dilihat dari tema yang terdapat dalam tiga cerpen tersebut menggambarkan masyarakat secara umum, pesantren dan kiai. semuanya berhubungan erat, bahwa kiai juga merupakan bagian dari masyarakat, begitu juga dengan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang berada dalam sebuah masyarakat. sehingga satu dengan yang lain erat kaitanya. Dari ketiga cerpen di atas erat kaitanya dalam dunia pesantren, dengan adanya ajaran-ajaran yang dibawa oleh tokoh yang dibuat Gus Mus dalam ketiga cerpen 3
Ibid., h. 63. ibid., h, 68.
4
37
tersebut dapat menggambarkan pola-pola kehidupan dalam pesantren. Seperti pada cerpen Lukisan Kaligrafi yang membahas seni melukis bahasa arab yang biasa di ajarkan dalam pesantren. Sosok kiai muncul dalam ketiga cerpen tersebut dimana kiai adalah orang tidak terlepas dari dunia pesantren karena dia adalah sosok sentral di lingkungan pondok pesantren.
2. Penokohan Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam ketiga cerpen ini rata-rata merupakan tokoh yang biasa hadir dalam kehidupan sehari-hari dan identik dengan dunia pesantren. Sosok sentral yang menjadi sumber perbincangan adalah seorang kiai atau alim ulama. Pada cerpen “Gus Jakfar” mempunyai tokoh utama seorang ulama yaitu Gus Jakfar. Terlihat dalam kutipan berikut. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren “Sabilul
Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfarlah yang
paling menarik perhatian masyarakat.” 5 Hal ini dikarenakan Gus Jakfar dianggap memiliki kelebihan dibanding saudaranya yang lain yaitu memiliki kemampuan melihat pertanda yang terdapat pada seseorang yang ia temui. Bahkan, Kiai Saleh menyatakan Gus Jakfar lebih tua dari beliau sendiri hal ini juga diketahui oleh tokoh Kang Solikin yang ketika itu bercerita kepada kawan kawannya terkait tentang Gus Jakfar. Gus Jakfar mempunyai kemampuan yang suka membaca pertanda yang terdapat pada orang dan langsung mengatakannya kepada orang tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sebrang kan ketemu Gus 5
Ibid., h. 1.
38
Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, Sum kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang melamar ya?. Tak lama kemudian orang sebrang itu datang melamar.”6 Tetapi pada akhir cerita sifat Gus Jakfar mengalami perubahan, karena beliau bertemu dengan kiai Tawakkal. Pada awalnya Gus Jakfar melihat pertanda bahwa Kiai Tawakkal adalah ahli neraka, tetapi apa yang dilihatnya berbeda dengan kenyataanya dan ia pun sadar bahwa apa yang ia lihat tidak selalu benar. Sehingga beliau tidak lagi suka membaca pertanda dan memberikan isyarah-isyarat apa yang dia lihat dari seseorang. Hal ini terlihat dari kutipan berikut: “Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger, terutama santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tau-tau sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tidak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berupa ramalan.”7 Sementara itu pada cerpen “Gus Muslih”, tokoh utama yang menjadi sumber perbincangan adalah seorang Ustaz bernama Gus Muslih, yang dianggap memiliki kecerdasan yang luar biasa, sosok yang kritis dan lugas.Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. “Gus Muslih adalah seorang kiai muda yang cerdas dan krtis, tetapi juga tegas dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggap tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan menyalahkannya.”8 Selanjutnya Tokoh dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi” tokohnya bernama Ustadz Bachri, yang memiliki kemampuan menulis kaligrafi Arab.”Menurut Hardi, disamping silaturrahmi, kedatangannya juga dimaksudkan untuk berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal kaligfrafi. Ustadz Bachri sendiri, yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi arab, segera menyambutnya antusias.”9 6
Ibid., h. 2. Ibid., h. 3. 8 Ibid., h. 13. 9 Ibid., h. 62. 7
39
Ustadz Bachri adalah seseorang yang mempunyai tekad yang kuat dalam mengerjakan sesuatu. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Meski mula-mula istri dan anak-anaknya menertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati.”10 Dan diperkuat juga dengan kutipan berikut: “Istri dan anak-anaknyapun biasanya sudah lelap tidur saat dia mulai masuk ke gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh dia baru keluar.”11 Semua tokoh utama yang ada di atas, merupakan tokoh yang memegang keseluruhan cerita dalam ketiga cerpen ini. Tokoh-tokoh tersebut ialah merupakan kiai yang banyak menjadi panutan dalam hal beragama dan berpengaruh dalam masyarakat, khususnya dalam masyarakat pesantren dan sekitarnya. 3. Alur Dalam meneliti ketiga cerpen ini, pengarang membagi alur menjadi tiga bagian.
Alur
pembuka
adalah
bagian
pengenalan
tokoh
utama
beserta
pembawaannya. Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai bergerak kearah kondisi puncak, dan alur tutup adalah penyelesaian dari masalah yang terjadi. a) Alur Pembuka Alur pembuka yang tersaji dalam ketiga cerpen ini digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan prolog atau asal-muasal terjadinya konflik di dalam cerpen. Misalnya pada cerpen Gus Jakfar. “Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?” Tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asik mendengarkan. “Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”12
10
Ibid., h. 65. Ibid., h. 65. 12 Ibid., h. 2. 11
40
Dari kutipan tersebut alur yang menjadi pembuka perbincangan antara para tokoh yang ada dalam cerpen “Gus Jakfar” merupakan alur pembuka yang dicantumkan oleh pengarang ditengah cerita sekaligus yang menjadi penyebab terjadinya konflik utama pada cerpen. Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” yang menjadi alur pembukanya masih ada pada saat cerita menjelang alur tengah.“Gus Muslih adalah seorang kiai muda yang tidak hanya cerdas dan kritis, tapi juga cerdas dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan menyalahkannya”.13 Kemudian pada cerpen “Lukisan Kaligrafi”, pengarang langsung meringkas cerita menjadi sebuah adegan pertemuan antara tokoh utama dengan rekannya yaitu ketika Ustadz Bachri yang menerima tawaran teman pelukisnya untuk melukis. “Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya, Hardi, pelukis yang capek mengikuti idealismenya sendiri, lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis, meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya.”14 Dalam ketiga cerpen di atas, hasil analisis penulis terhadap alur pembuka yang digunakan oleh pengarang terdapat ketika cerita menjelang masuk ke dalam alur tengah yang menjadi penyebab lahirnya sebuah konflik. Selain itu menjelang masuk cara pengarang untuk menandakan bahwa cerita mulai masuk ke alur selanjutnya adalah dengan tanda “***” maupun dengan kata seperti“berawal”, atau juga dibuka dengan menceritakan karakteristik tokoh utama yang berperan terhadap lahirnya konflik yang kebanyakan dijelaskan oleh tokoh pelengkap dalam cerita.
13
Ibid., h. 13. Ibid., h. 62.
14
41
b) Alur Tengah. Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai bergerak kearah kondisi puncak. Dalam bahasan mengenai alur pembuka di atas penulis sudah menganalisis bahwa pengarang kebanyak memberikan tanda-tanda atau kata yang cukup jelas untuk menandakan bahwa cerita-cerita dalam cerpenya sudah masuk ke dalam tahapan alur tengah. Cerpen Gus Jakfar dalam kutipan di bawah ini merupakan salah satu contohnya. *** “Maka ketika kemudian sikap gus jakfar berubah masyarakat pun geger, terutama para santri kalong, orang orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.”15 Terlihat ada penggunaan simbol penjeda cerita “***”yang muncul pada gaya kepenulisan pengarang untuk menandakan bahwa cerita telah masuk dalam tahapan baru. Kutipan di atas menceritakan sosok Gus Jakfar yang hilang berminggu-minggu, namun ketika ia pulang sikapnya menjadi berubah yang awalnya suka membaca tanda yang terdapat pada diri seseorang dan sekarang sudah tidak. Perubahan sikap itulah yang membuat masyarakat sekitar heran. Itu menjadi penanda bahwa alur sudah berubah ke alur tengah. Puncaknya pada suatu hari Gus Jakfar pergi ke suatu tempat untuk berguru kepada seseorang yang bernama Kiai Tawakkal, setelah beberapa minggu tinggal di sana tepat pada malam bulan purnama dia melihat Kiai Tawakkal keluar lalu mengikutinya sampai pada suatu warung dimana suasana sangat ramai sekali, dengan rasa tidak percaya tiba-tiba dia dikagetkan oleh panggilan dari Kia Tawakkal. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut. “Mas Jakfar!‟ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah saya
15
Ibid., h. 3.
42
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung.”16 Saat pertama kali bertemu dengan Kiai Tawakkal saya melihat tanda yang terdapat pada keningnya dan itu membuat saya penasaran untuk mencari tahu apakah benar tanda tersebut, pada akhirnya Kiai Tawakkal tau akan hal tersebut dan bertanya kepada saya atas hal yang membuat saya mengikutinya.“Apakah kau sudah menemukan pembenaran dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?”17 Kiai Tawakkal banyak menasehati saya atas anugrah yang telah Allah berikantidak membuat saya menjadi takabbur dan itu membuat saya sadar. “Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.”18 Dalam cerpen “Gus Muslih” gaya penulisan pengarang masih cenderung sama dengan cerpen “Gus Jakfar”, meskipun tidak menggunakan tanda penjeda cerita. Letak kesamaan antara keduanya terlihat dari pola sebab-akibatnya.“yang lebih membikin jengkel kelompok orang tua yang tidak menyetujuinya itu, justeru karena kiai ini selalu bisa menjawab keberatan mereka dengan argumentasi yang mematikan; baik mnggunakan dalil naqli atau ‘aqli.”19 Terlihat bahwa titik klimaks yang digunakan oleh pengarang membenturkan antara kejadian yang menjadi penyebab di alur pembuka menjadi akibat yang lahir pada konflik. “Akhirnya kelompok orang-orang tua yang marah itu tidak lagi ma berdialog dengan Gus Muslih dan orang-orang yang mereka anggap pendukungnya, 16
Ibid., h. 8. Ibid., h. 10. 18 Ibid., h. 11. 19 Ibid., h. 14. 17
43
baik langsung atau tidak. Mereka beralih pada gerakan membentengi diri. Mereka sering mengadakan pertemuan antarmereka yang anti atau tidak sejalan dengan sikap Gus Muslih…”20 Kutipan diatasmemperlihatkan bahwa masyarakat yang marah karena sikap Gus Muslih dan para pengikutnya tidak mau lagi berdialog karena mereka dianggap menyimpang dari ajaran para pendahulu. Suasana memuncak ketika masyarakat mendengar kabar bahwa Gus Muslih memelihara seekor anjing sehingga menyebabkan masyarakat dan pengikut Gus Muslih heboh. Tidak percaya akan berita yang tersebar pengikut Gus Muslih memutuskan untuk menayakan langsung perihal kebenaran kabar tersebut. ini dapat dibuktikan dari kutipan berikut. “suatu ketika, tersebar berita bahwa gus muslih memelihara anjing. tentu saja hal ini membuat geger masyarakat.”21 Gus Muslih tidak membantah berita yang mengatakan dia memelihara seekor anjing, bahkan dia menjelaskan kepada para pengikutnya dari mana mendapatkan anjing itu. Sekarang anjing itu sudah dia berikan kepada tetangganya yang bernama Babah Ong. “ mengapa harus dibantah ” Tanya gus muslih kalem, membuat semua yang merubungnya jengah. ”aku sekarang ini memang sedang memelihara anjing.”22 Selanjutnya pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” pengarang memberikan pola yang masih sama. Lewat kutipan di bawah ini kita dapat mengetahuinya.“Ustadz Bachri tidak bisa berkata-berkata tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tau khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk.”23
20
Ibid., h. 15. Ibid., h. 16. 22 Ibid., h. 17. 23 Ibid., h. 64. 21
44
Dari kutipan di atas telihat bahwa Ustaz Bachri yang sebenarnya tidak pandai dalam melukis merasa tertantang danmengiyakan ajakan teman lamanya untuk melukis, lukisan itu akan diikut sertakan dalam pameran yang akan diadakan tiga bulan lagi di sebuah hotel.Melukis tidak semudah yang dibayangkan, sampai-sampai Ustaz Bachri merasakan kesulitan dalam melukis dan hampir saja putus asa, karena merasa tersindir akan komentar-komentar yang terlontar dari istri dan anak-anaknya dia bertekad harus menyelesaikan lukisanya untuk diikut sertakan dalam pameran.“Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang terdengar di telinganya seperti menyindir nyalinya.”24 Di luar dugaan Ustaz Bachri, lukisan alif yang awalnya dia ragukan untuk diikut sertakan dalam pameran yang diadakan oleh teman lamanya itu laku dan dibeli oleh seorang kolektor asal Jakarta dengan harga $ 10.000 dolar sehingga membuat namanya melambung dan seketika dirinya menjadi terkenal. Ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini: “Besoknya semua media massa memuat tentang berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tetang dirinya dan lukisannya. hampir semua Koran, baik koran ibukota, maupun daerah, melengkapi pemberitahuan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu tidak tampak lukisan Alif-nya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas kosong.”25 Pola sebab akibat dalam cerpen ini masih dimainkan. Bedanya, dalam cerpen ini pengarang mengantarkan kejadian yang belum dapat diprediksikan pada alur pembuka yang membedakan cerpen ini dengan kedua cerpen yang sudah penulis bahas sebelumnya.
24
Ibid., h. 66. Ibid., h. 68.
25
45
c) Alur Penutup Dalam alur penutup ini penulis memberikan penyelesaian tentang segala macam konflik yang terjadi pada alur tengah. Kebanyakan penulis menempatkan alur penutup pada akhir atau menjelang akhir tulisan. Seperti pada cerpen “Gus Jakfar”.“Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu masih merupakan misteri. “26 Dari kutipan di atas penulis menutup cerita denganmenjelaskan bahwa sosok Mbah Jogolah yang telah menyadarkan Kiai Tawakkal dan merubah sifat awalnya yang suka membaca tanda-tanda yang terdapat dari kening masyarakat. Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” pengarang juga memberikan penyelesaian menjelang akhir cerita. terlihat dari kutipan berikut ini: “Gus Muslih berhenti lagi sejenak, menarik nafas panjang, kemudian teringat sesuatu, meneruskan bicaranya, “Alhamdulillah, setelah aku rawat beberapa hari, anak anjing itu sembuh dan sehat. Beberapa hari kemudian Babah Ong, tetanggaku, memintanya dan aku berikan dengan pesan agar dia merawatnya dengan baik.”27 Kemudian pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” diberikan penyelesaian logis atau jawaban dari konflik yang terjadi di alur tengah dan hal itu terjadi sama dengan cerpen-cerpen sebelumnya, yaitu menjelang akhir cerita.“Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik ya? ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk alifnya. mungkin yang karen silver di atas putih itu yang membuatnya tak tampak ketika di foto.”28 Ketiga cerpen yang penulis bahas ini mempunyai latar belakang untuk menutup alur yang sama, yaitu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan pada alur tengah. Barulah di akhir cerita dituliskan penyelesaian tersebut. Hal sama dan cenderung unik yang terjadi 26
Ibid., h. 12. Ibid., h. 20. 28 Ibid., h. 71. 27
46
pada ketiga cerpen ini, bahwa opini untuk mengakhiri alur berada sebelum paragraph akhir, atau pada satu paragraf sebelum akhir, penulis memberikan penyelesaian terhadap konflik tersebut. 4.
Latar Latar yang akan dijelaskan oleh penulis dibagi menjadi dua bagian, yang
pertama adalah latar tempat yang akan menyebutkan berbagai tempat kejadian yang terdapat dalam setiap cerpen. Kedua, adalah latar waktu yang menunjukan kapan kejadian terjadi. 1. Latar Tempat Contoh kutipan yang menyebutkan latar tempat dalam cerpen “Gus Jakfar”. a. Pesantren Sabilul Muttaqin Latar tempat yang ada pada cerpen ini sebagian besar terjadi di Pesantren Sabilul Muttaqin. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren „Sabilul Muttaqin‟, dan sesepuh di daerah kami,”29 Terlihat dalam kutipan tadi pesantren Sabilul Muttaqin adalah sebuah pesantren yang terdapat dalam cerpen yang menjadi latar utama dari kejadian ini, karena pembuka cerpen ini, secara langsung menuliskan pesantren tersebut tetapi pengarang tidak menjelaskan secara pasti letak pesantren tersebut namun dapat disimpulkan bahwa pesantren tersebut terletak di daerah jawa timur. Dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu.” 30 “…‟Gus Jakfar bilang kepada saya, „Wah saku sampeyan kok mondolmondo;, dapat proyek besar ya‟ Padahal saat itu saku saya justru sedang kempes.”31
29
Ibid., h. 1. Ibid., h. 1.
30
47
Dari kutipan di atas, dapat dilihat penggunaan kata Gus dan sampeyan menjadi ciri khas sebuah pesantren yang terdapat di daerah Jawa Timur. Gus adalah panggilan kepada seorang anak kiai yang terdapat di Jawa timur berbeda dengan Madura yang menggunakan Ra, sedangkan di Tanah Sunda menggunakan panggilan Ceng. Penggunakan kata sampeyan menguatkan bahwa kejadian dalam cerpen tersebut terjadi di Jawa Timur. Penulis cerpen sendiri berasal dari Jawa Timur, itu memperkuat bahwa penulis mengangkat lingkungan sosialnya. b. Gubuk Bambu (Tempat Kiai Tawakkal) Di tengah komplek rata-rata bangunannya berupa bambu, Gus Jakfar menemukan sosok Kiai Tawakkal. Gubuk bambu yang berada persis di tengah kompleks bambu tersebut adalah tempat Kiai Tawakkal mengajarkan para santrinya, termasuk Gus Jakfar. “Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.”32 c. Warung Remang-remang Warung remang-remang ini adalah tempat dimana pengintaian Gus Jakfar terhadap Kiai Tawakkal berakhir. Di warung ini Gus Jakfar seperti tidak percaya bahwa Kiai Tawakkal mampir ke warung yang menurutnya berbau suasana mesum. “Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.”33 Sedangkan yang menjadi latar tempat dalam cerpen “Gus Muslih” adalah. a. Serambi Masjid Latar tempat yang terdapat di dalam cerpen ini adalah di masjid, hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini: 31
Ibid., h. 2. Ibid., h. 6. 33 Ibid., h. 8. 32
48
“Namun sebelum mereka bertemu dengan orang yang mereka cari, mereka melihat Gus Muslih sedang bersembahyang di mesjid. Mereka menunggu hingga Gus Muslih selesai bersembahyang dan berdzikir seperti biasanya, Setelah Gus Muslih beranjak menuju serambi mesjid, baru mereka menghambur menghampiri idola mereka itu.”34 b. Di Mobil Latar tempat di Mobil adalah ketika Gus Muslih diantar pulang oleh seorang supir dari kota P tempat dia berceramah.“Ketika kami sedang melintasi jalan raya yang menuju ke kota kita ini, aku melihat sosok makhluk kecil bergerak-gerak di tengah jalan. Langsung aku berteriak, „berenti, Mas! Mobil pun berhenti.”.35 Dari kutipan tersebut terlihat latar yang terdapat dalam cerpen tersebut berada di dalam mobil. Hal ini di perkuat juga oleh kutipan berikut.“Dia tidak segera menjalankan mobilnya kembali. Tiba-tiba aku menjadi sebal. „sudah, begini saja,‟ kataku kemudian, „biar aku turun di sini saja.”36
c. Di Jalan Raya Jalan raya dalah lokasi ketika Gus Muslih meminta untuk di turunkan kepada supir yang mengantarnya lantaran sebal karena supir itu merasa jijik melihatnya memeluk seekor anjing yang dia temukan di jalan raya. “Bukan karena aku ditinggal sendirian di tengah jalan di malam gerimis, tapi karena aku teringat ceramah Halal-bihalal-ku di kota P tadi.”. 37 d. Di Kota P Di kota P inilah Gus Muslih mengisi sebuah ceramah yang berisi hikmah bulan Syawal setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan. “Malam
34
Ibid., h. 16-17. Ibid., h. 17-18 . 36 Ibid., h. 18. 37 Ibid., h. 18-19. 35
49
itu aku pulang dari mendatangi undangan panitia untuk berceramah Halal-bihalal di kota P.”38 Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Lukisan kaligrafi” adalah. a. Rumah Banyaknya pemberitaan dari media massa tentang lukisan Alif Ustadz Bachri yang tidak tampak ketika di foto maka beberapa wartawan datang ke rumahnya untuk menanyakan terkait lukisan tersebut. “Beberapa hari kemudian beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan Alif-nya yang menggepmarka. tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti ketika pameran, dia asal menjawab saja.”39 b. Hotel Karena berkali-kali Hardi menelepon Ustadz Bachri agar datang dalam pameran yang dilakukannya, iapun memutuskan untuk datang. Hotel menjadi lokasi yang dipilih oleh Hardi untuk menyelenggarakan pameran lukisan. “Ternyata Pameran di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan–itu diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak”.40 2. Latar Waktu Latar waktu menunjukkan waktu yang digunakan oleh pengarang untuk menunjukan saat terjadinya sebuah peristiwa, apakah pagi hari, siang hari, atau malam hari. Dengan penjelasan sebagai berikut:
38
Ibid., h. 17. Ibid., h. 69. 40 Ibid., h. 66. 39
50
Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Jakfar” adalah pada malam hari ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum‟at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya.”41 Dalam kutipan di atas jelas mengungkapkan dalam setiap peristiwa terjadi dimalam hari. Pada malam Jumat saat Gus Jakfar libur mengajar santri kalong yang penasaran langsung mendatanginya dan menanyakan langsung terkait kenapa sikapnya berubah, tidak seperti dulu yang suka membaca tanda-tanda yang terdapat pada masyarakat lingkungan pesantren. Terdapat sebuah kutipan yang menunjukan waktu pagi hari (menjelang subuh) sebagai berikut: “ayo, kita pulang!‟ tiba-tiba Kiai bangkit.‟ sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.‟ Saya tidak merasa di usir., nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari Kiai luar biasa ini.”42 Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Muslih” adalah malam hari, di malam sehabis pulang ceramah Gus Muslih meminta untuk di turunkan di tengah jalan oleh seseorang yang mengantarnya dari kota P tempat di mana dia habis mengisi ceramah, terlihat dari kutipan berikut ini. “Sejenak aku dilanda kemurungan yang sangat. Bukan karena aku ditinggalkan sendirian di tengah jalan di malam gerimis, tapi karena aku teringat ceramah Halal-bihalalku di kota P.”43 Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah malam dan siang hari. Ini terlihat dari kutipan berikut
ini. “Mungkin tidak ingin
diganggu atau malu dilihat orang,Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis.”44
41
Ibid., h. 4. Ibid.,h.12. 43 Ibid., h. 18-19. 44 Ibid., h. 65. 42
51
Ketika istri dan anak-anaknya sudah terlelap tidur maka Ustaz bachri memilih untuk melukis. Kemudian latar waktu di siang hari adalah“Ketika makan siang, istri dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan Alif-nya itu pula.”45 Saat keluarga Ustaz Bachri berkumpul untuk makan siang, istri dan anakanaknya penasaran akan lukisan Alif yang dia buat langsung bergantian menanyakan kenapa hanya melukis huruf alif dan kenapa bisa lukisan itu laku mahal. 5. Sudut Pandang Dalam ketiga cerpen penulis menggunakan sudut pandang yang sama yaitu orang ketiga serba tahu atau diaan, dalam sudut pandang ini penulis menceritakan segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh berbagai tokoh dalam sebuah cerita .Hal ini senada dengan pendapat Endah Tri Priyatni dalam bukunya Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Ia mengungkapkan bahwa“Pencerita diaan dalam bercerita
biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang digunakan biasanya: dia, ia, atau mereka.”46 Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut yang terdapat dalam cerpen “Gus Jakfar”.“Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, … .”47 Sedangkan dalam cerpen “Gus Muslih”. “Apabila dia melihat sesuatu yang dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan akan menyalahkannya.”48
45
Ibid., h. 69. Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), h. 115. 47 Op.Cit. A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi., h. 13. 48 Ibid., h. 13. 46
52
Selanjutnya dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi”. “Dia melukis mulai dari perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi.”49 6. Amanat Amanat yang tersampaikan dalam cerpen “Gus Jakfar” ditujukan untuk semua orang, karena dalam menjalani hidup kita hanya perlu bertawakkal kepada Tuhan, dengan bertawakkal kepada Tuhan, kita tidak perlu mengkhawatirkan segala yang akan terjadi di dalam hidup ini, sebab semua sudah digariskan oleh-Nya. Khususnya bagi orang yang mempunyai kelebihan, maka mereka tidak seharusnya takabbur, karena semua itu bukan hanya berarti kelebihan, melainkan juga menjadi beban. “Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan”50. Dalam cerpen “Gus Muslih” amanat yang tersirat ditujukan untuk setiap permasalahan yang melibatkan agama dan adat istiadat. Khususnya di Indonesia, permasalahan ini harusnya tidak menjadi suatu permasalahan yang serius, karena nilai yang terkandung di dalam agama dan adat istiadat adalah berbeda. Selain itu, lahirnya pemikiran baru yang dianut oleh sebagian kaula muda bukan justru harus dipertentangkan, semua itu harus dijalankan sesuai keyakinan masing-masing, karena perbedaan nilai antara agama dan adat istiadat terdapat pada keyakinan masingmasing inndividu dan kelompok untuk menjalaninya dan meyakininya sesuai tafsiran mereka sendiri. Selanjutnya pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” tertuju untuk khalayak umum yang masih menilai bahwa agama dan seni memiliki gaya yang berbeda. Seni yang mengandung unsur kebebasan di dalamnya dan agama yang bagi kebanyakan orang banyak mengandung ketetapan yang hakiki atau mutlak. Gagasan pengarang yang tertuju pada kedua hal tersebut memberikan pemikiran bagi para pembaca, bahwa seni dan agama dapat digabungkan dengan menyatukan kedua unsur yang terbentuk
49
Ibid., h. 62. Ibid., h. 11.
50
53
di dalamnya, yaitu kaligrafi yang di Indonesia bersinggungan dengan seni yang ada didalam Islam.
B. Analisis Kritik Sosial 1. Kritik Terhadap Pesantren Kritik terhadap pesantren yang penulis temukan dalam ketiga cerpen yang penulis teliti adalah mengenai anggapan masyarakat untuk menanggapi adanya sebuah pesantren dan elemen-elemen pembentuknya dalam lingkungannya. Bagi sebagian kalangan pesantren hanya melingkupi institusi pendidikan yang bergerak pada sisi keislamannya. Pandangan tersebut secara garis besar memang benar adanya, namun tidaklah mengherankan bagi kita apabila dalam dunia pendidikan tersebut terdapat anggapan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan ikut memproses perkembangan interaksi sosial dalam masyarakat dan ikut membentuk kader-kader politik guna menjadi agen perubahan sosial. Dapat kita lihat dari kutipan berikut ini. “Pesantren juga dipandang sebagai lembaga pendidikan islam yang menjadi wahana resistensi moral dan budaya atau pewaris tradisi intelektual islam tradisional. Dala perjalanan historisnya, pesantren muncul sejak awal abah Hijriah, hingga masa-masa paling akhir dari imperium Utmaniyah di Turki pada awal abad ke-20. Dan sampai kini, keberadaan pesantren masih sedemikian penting dalam pemberdayaan masyarakat.”51 “Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren.”52 Dari Kutipan di atas ada baiknya lagi apabila kita merujuk pada pandangan Dhofier mengenai hakikat sebuah pesantren dalam Abd. Muin, dkk. “Dhofir 51
Said Aqil Siradj, Pesantren, NU, dan Politik, Kompas, 3 Desember 2004. Abd. A‟la, dkk,Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007), h. 11. 52
54
menawarkan cara pandang baru yang ia sebut dengan continuiy and change (kesinambungan dan perubahan).”53 Dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” pola-pola kesinambungan dan perubahan yang ditawarkan oleh Dhofier tadi memang benar adanya. Seperti pada cerpen “Gus Jakfar” yang berisikan tentang perubahan pola hidup seorang kiai muda yang seketika itu juga menjadi isu publik yang paling santer dibicarakan. “Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji, tapi tidak tinggal di pesantren, seperti kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.”54 Kemudian yang terjadi pada Gus Muslih, “Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di daerah kami di hujat dan dipertanakan oleh Gus Muslih misalnya, kebiasaan keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu yang bertakziah dan member uang salawat atau modin ditentangnya habishabisan.55” Dari kutipan di atas mengungkapkan kepada pembaca, bahwa adanya gejalagejala perubahan sosial yang terjadi dalam pola kehidupan masyarakat itu dilatarbelakangi oleh seorang ulama terkemuka yang merupakan elemen dari sebuah pesantren. Melihat beberapa contoh kasus seperti yag terjadi di dalam cerpen di atas, ada baiknya apabila kita sinkronisasikan dengan hal-hal yang memang terjadi pada kehidupan nyata untuk mendapatkan sebuah kritik yang mengandung sebuah fakta. “H. Achmad Sutarjo sekeluarga memperhatikan hal ini dengan seksama. Agar para mubaligh gerakan tajdid tidak makin langka dari kitab kuning yang terus berkembang di kawasan timur tengah, maka tidak ada jalan lain kecuali harus ada yang merintis berdirinya pondok pesantren yang para santrinya nanti
53
Abd. Muin, dkk, Pendidikan Pesantren dan Tradisi Radikalisme, (Yogyakarta; CV Prasasti, 2001), h. 4. 54 Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 3. 55 Ibid., h. 13.
55
diharapkan dapat menguasai bahasa Arab dan mampu membaca kitab kuning dengan sebaik-baiknya.”56 Kemudian pada fakta di bawah ini yang membuktikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang banyak mencetak agen perubahan sosial berupa santri yang menjadi pemimpin daerah atau dapat dikatakan bahwa santri menjadi kaum elit politik. salah satu contohnya dalam buku yang ditulis oleh Abd. Mu‟in yang berjudul Praksis Pembelajaran Pesantren. Ia menyebutkan bahwa: “Tasikmalaya terkenal sebagai “kota santri” karena di kota ini berdiri banyak sekali pesantren yang kira-kira setara dengan kota Jombang di Jawa Timur. Kasarnya, kalau kita berjalan-jalan di Tasikmalaya maka setiap berjalan satu kilometer kita akan menemukan pesantren. Pondok pesantren di Tasikmalaya, sebagaimana di tempat lain, pada umumnya berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama (NU). Selain NU, organisasi keagamaan lain yang cukup penting adalah Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah. Dari segi politik, sebagian besar adalah simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)., tentu ada juga partai-partai lain seperti PKS, PAN, Golkar, dan PDI-P. Peta politik di Tasikmalaya barangkali terepresentasikan dalam diri Bupati Tasikmalaya yang merupakan kader PPP. Di Tasikmalaya juga hidup jemaat Ahmadiah. Walaupun dikenal sebagai kota santri di Tasikmalaya ada juga kalangan nonIslam, seperti Katolik dan Protestan.”57 Bebarapa fakta yang telah disebutkan di atas setidaknya dapat memberikan bukti bahwa segala pesantren merupakan lembaga yang mencetak agen perubahan sosial bagi masyarakat. Meskipun memang tidak ditampik oleh pengarang bahwa dalam proses perubahan tersebut banyak terjadi konflik, namun hal ini tetap menjadi acuan terbentuknya bagi terbentuknya paham-paham baru yang lahir akibat pemikiran para kaum terpelajarnya. Seperti yang terjadi dalam cerpen “Gus Muslih”. “Terhadap sikapnya itu ada yang setuju, seperti umumnya anak-anak muda; ada juga yag tidak. Mereka yang tidak setuju umumnya dari golongan tua, mereka ini menganggapnya terlalu kemajon, sok maju. “Wong itu sudah merupakan tradisi sejak lama kok di utik-utik!” Begitu kilah mereka. “Itu
56 57
Abd. Muin, Op.Cit., h. 41. Abd. Muin, Op,Cit., h. 145.
56
namanya tidak menghormati mentradisikannya.”58
orang-orang
tua
yang
mula-mula
Dalam konflik yang di sebutkan di atas, memberikan pelajaran bagi kita, bahwa lahirnya pemikiran-pemikiran tersebut banyak melahirkan golongan-golongan yang menganut paham-paham tertentu, seperti yang telah disebutkan di atas, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PKS, dll, yang notabenya adalah partai politik yang mengatas namakan paham-paham Islam tertentu dan pesantrenlah yang melahirkan kader-kader untuk partai-partai politik tersebut. Hal yang memang unik ini kerap kali terjadi di Indonesia. Bukan hanya sebagai cendikiawan di dunia Islam yang banyak turun dalam dunia politik, seperti Gus Dur, Said Agil Sirad, dan lain-lain. Seorang pemuka agama di Indonesia banyak juga yang terjun ke dunia seni. Seperti yang terjadi pada kiai yang tidak disebutkan namanya oleh Mukhtar Salma dalam tulisannya yang dimuat oleh Kompas. “Namun demikian, jikalau dikaitkan dengan kelaziman dari status peran tradisional seorang kiai, maka peran sebagai komentator piala dunia sepakbola itu memang agak terasa unik untuk seorang kiai. Unik karena peran fungsional seorang kiai biasanya tidak jauh dari persoalan fakta tentang masalah hidup dan kehidupan yang berkaitan dengan masalah “sangu” untuk di bawa ke alam akhirat kelak.”59 Jika zaman memang menuntut manusia untuk bertindak sekreatif mungkin untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa itu adalah kiai yang mencoba untuk menjadi seorang yang berbeda ketika ia menjalani peran sebagai manusia. Oleh karena itu, yang terjadi adalah hal unik yang sangat jarang ditemui seperti yang diungkapan oleh Mukhtar Sarman. Asalkan hal itu tidak berlebihan dan membuat peran utamanya sebagai seorang kiai luntur, hal itu menurut Sarman masih wajar. “Asalkan sang kiai tidak nyeleneh main sepak bola pakai sarung misalnya. Kalau tidak sang kiai akan mengumbang ghibah alias pergunjingan. Dan
58 59
Mustafa Bisri, Op. Cit., h. 14. Mukhtar Sarman, Jagat Kiai, Kompas 9 Agustus 1994.
57
kalau hal itu yang terjadi, maka permainan sepak bola pun boleh jadi akan dikenakan hukum makruh atau bahkan haram untuk kiai.”60 Pendapat Mukhtar Sarman tadi menandakan bahwa sosok kiai menurutnya dapat melakukan apa saja apabila ia menginginkannya. Hanya saja menurutnya, kiai harus mempunyai pakem untuk berekspresi, karena hal tersebut akan mengakibatkan hilangnya peran sosial seorang kiai apabila ia melakukan hal yang berlebihan. Maka, dalam Cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini letak kritik yang dibicarakan adalah mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat untuk menyikapi segala kejadian hanya dari satu sisi saja, melainkan mereka harus mempertimbangkan segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Bahwa seorang pemuka agama berhak melakukan apa saja yang ia sukai, dan masyarakat harus melepaskan segala latar belakang dari manusia tersebut, terlepas dari peran yang telah kita ketahui sebelumnya. Seperti Ustadz Bachri yang merupakan seorang pelukis terlepas dari perannya sebagai pemuka agama. 2. Kritik Terhadap Kiai Kiai dapat dikatakan sebagai pemimpin nonformal yang berada pada sebuah daerah. Oleh karena itu, sangat berpengaruhnya sosok kiai tersebut, mereka memiliki massa, atau yang biasa kita sebut dengan jemaah, yang juga mengadopsi berbagai pemikirannya. Namun demikian, bukan berarti semua pemikiran tersebut terlahir tanpa kontroversi sebelumnya, apalagi di dunia Islam yang ketat memegang sanad, ketika pemikiran tersebut dianggap sebagai sebuah pembaharuan yang tidak layak, maka para pengikut atau masyarakat sekitar pasti menjadikan hal tersebut sebagai bahan pergunjingan. Dalam cerpen “Gus Muslih” ini, pembaharuan yang dibawa oleh pemikiran kiai yang kritis terhadap sikap dan prilaku masyarakat Islam tersampaikan. Sosok kiai muda yang memberikan pemikiran baru. Seperti pada cerpen,
60
Ibid., h. 1.
58
“Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di daerah kami di hujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu yang bertakziah dan memberikan uang shalawat pada kiai atau modin ditentangnya habis-habisan.”61 Di Indonesia, kontroversi yang terjadi di dunia Islam sangat sering terjadi. Khususnya dari ulama-ulama yang memiliki pemikiran baru. Seperti yang pernah terjadi pada awal terbentuknya Muhamadiyah di Indonesia. “Melihat fenomena Muhamadiyah sebagai suatu “isme‟ atau gerakan tidaklah berlebihan jika menyejajarkan KH ahmad Dahlan dengan tokoh-tokoh muslim terkemuka lainnya, seperti Muhammad Bin Abdul Wahab, Sayid Ahmad Khan, Tjokroaminoto, dan Muhammad abduh. Parameternya bukan itu saja. Pemikiran KH Ahmad Dahlan yang orisinal, brilian, dan cerdas juga menjadi parameter yang shahih.62 Lahirnya Muhamadiyah sebagai salah satu golongan yang sangat terkemuka di Indonesia menandakan bahwa masyarakat Indonesia dapat dengan mudah menerima berbagai pemikiran baru yang lahir dari para kiai atau ulama-ulama atau orang-orang yang membawa ajaran tersebut. Namun, bukan berarti bahwa tidak ada kontroversi yang terjadi akibat lahirnya pemikiran baru tersebut. Sudah pasti ada sebagian kalangan yang idak dapat menerima berbagai pembaharuan tersebut karena berbagai alasan baik karena tradisi lama yang masih ingin dipertahankan dan juga karena pemikiran baru tersebut memang tidak dapat dibenarkan adanya.“Mereka yang tidak setuju itu umumnya dari golongan tua; mereka ini menganggapnya terlalu kemajon, sok maju. “wong itu sudah merupakan tradisi sejak lama kok diutik-utik!” begitu kilah mereka. “Itu namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mulamula mentradisikannya.”63 Hal yang terjadi di dalam cerpen seperti pada kutipan barusan merupakan contoh kontroversi yang lahir akibat adanya masyarakat yang tidak bisa membiarkan tradisi yang sudah mereka pegang teguh sejak lama terancam keberadaannya. Hal 61
A. Mustafa Bisri, Op.Cit.,h.13. Ari Junaedi, KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu, Kompas7 juli 1995. 63 A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 14. 62
59
serupa juga terjadi pada dunia nyata. Seperti pada masalah yang pernah di alami oleh KH Ahmad Dahlan.“Sebagai seorang tokoh yang lahir belakangan masuk kategori ulama khalaf (baru), bukan mustahil pemikiran KH Ahmad Dahlan berimpit dan bersinggungan dengan tokoh pemikir lain. Hal ini terjadi karena kemungkinan KH Dahlan banyak mempelajari pemikiran tokoh lain.”64 Kutipan KH. A. Dahlan di atas menunjukan bahwa Ajaran Islam di Indonesia banyak mengalami perkembangan berupa lahirnya pemikiran yang melahirkan golongan-golongan baru oleh ulama-ulama terkemuka yang masih dikenal hingga sekarang. Hal ini juga di perkuat oleh pendapat Ari Junaidi dalam tulisannya yang dimuat di Kompas dengan judul “KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu”
“KIPRAH cendikiawan Muslim tidaklah mengemuka akhir-akhir ini saja. Namun sudah lama dipelopori oleh Agus Salim – jauh sebelum Kongres Pemuda 1928 diadakan, dengan Jong Islamenten Bondnya sebagai protes salim terhadap Jong Jawa. Jong Jawa dalam pandangan Salim tidak mampu mengakomodir suara-suara Muslim. Sementara itu di Solo, Samanhudi dengan Sarekat Dagang Islamnya mampu mengemas Islam dalam selimut organisasi perniagaan batik. Akhirnya, pemunculan Sarekat Islam dengan tokohnya Ciptomangunkusumo dianggap sebagai kebangkitan peran politik umat Islam di Indonesia.”65 Memang menarik apabila perbedaan tersebut justru melahirkan hal-hal positif dengan munculnya sekte-sekte atau golongan-golongan seperti yang ada di Indonesia hingga saat ini. Meskipun masih terdapat selisih paham, namun hal tersebut justru membuat masyarakat Indonesia akan kaya pengetahuan dan informasi, sebab berbagai pemikiran tersebut bukan berarti tanpa dasar dan muncul secara tiba-tiba. Namun, apabila perbedaan tersebut melahirkan adanya perpecahan yang berbuntut pada perkelahian dan perang dingin antara masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi akan menarik lagi, dan justru akan memberikan kesan mengerikan terhadap dunia Islam sendiri. Mudahnya berbagai macam pemikiran yang masuk tersebut juga akan
64
Ari Junaedi, Op.Cit., h. 2. Ibid, h. 3.
65
60
mengakibatkan munculnya golongan-golongan yang menganut pemikiran berbedabeda. Seperti yang kita ketahui ada banyak golongan-golongan yang muncul di Indonesia yang dianggap sebagai aliran menyimpang dan radikal yang ditentang oleh negara dan masyarakat Indonesia, sebut saja NII, pimpinan Karto Suwiryo, ISIS, Ahmadiyah, dan Kerajaan Tuhan yang dipimpin oleh Lia Eden dan Aliran Suci yang baru-baru ini dinyatakan sebagai aliran menyimpang di Indonesia yang akhirnya di putuskan sebagai aliran terlarang oleh Majelis Ulama Indonesia. Hal ini disampaikan dalam Sindo news.com sebagai berikut.“Majelis Ulama Indonesia (MUI) Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) MUI menyatakan Aliran Suci yang melakukan shalat wajib dengan bahasa jawa menyimpang dari syariat islam.”66 Seperti halnya dalam cerpen “Gus Muslih” persoalan demikian memang tidaklah terjadi, yang terjadi hanya perang dingin akibat kesalahpahaman antara para pemegang tradisi lama dengan pengikut Gus Muslih, dimana golongan tua (orangorang terdahulu) menolak adanya paham baru. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini. “Akhirnya kelompok orang-orang tua yang marah itu tidak lagi mau berdialog dengan Gus Muslih dan orang-orang yang mereka anggap pendukungnya, baik langsung atau tidak. Mereka beralih kepada gerakan membentengi diri. mereka sering mengadakan pertemuan antarmereka yang anti atau tidak sejalan dengan sikap Gus Muslih dan menganjurkan jamaah mereka sendiri untuk tidak usah mendegarkan ceramah atau omongan kiai muda yang mereka anggap mursal itu.”67 Hal
ini
dikarenakan
Gus
Muslih
dianggap
menyimpang
sehingga
mengakibatkan terjadinya perang dingin akibat kesalah-pahaman antara golongangolongan seperti pada kutipan dari cerpen di atas dapat kita jadikan sebagai acuan. Bahwa sudah seharusnya mereka bersikap dewasa untuk menyikapi segala perbedaan tersebut bukan justru membuat keadaan menjadi buruk dengan menganggap perbedaan tersebut adalah sesuatu yang selamanya tidak sopan. 66
http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliran-inidinyatakan-menyimpang-1457599747 di akses pada tanggal 16 Maret 2016. 67 A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 15-16.
61
Selain itu, dalam sosok Ustadz Bachri yang memiliki bakat melukis juga menjadi kritik untuk pada ulama agar mereka tidak ragu untuk menjadikan bakatnya sebagai sumber penghasilan mereka. Meskipun sumber penghasilan tersebut masih berkenaan dengan dunia Islam. Bakat Ustadz Bahcri memang cenderung berlainan dengan sapaannya, sebagai seorang ustadz, awalnya ragu untuk terjun ke dunia seni. “Wah, “kata tamunya masih belum lepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.” “Saya? Saya melukis kaligrafi?” Katanya sambil ketawa spontan. “Tidak. Saya serius ini,” Tukas tamunya. “Sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan berkarakter. („ini apa pula maksudnya?‟ Ustadz Bachri membatin tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan? Betul ya! Tiga bulan lagi kawan-kawan pelukis kaligrafi, kebetulan akan pameran. Nanti sampeyan ikut. Ya, ya?!”68 Peran Kiai sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap perkembangan dunia islam haruslah transparan dan harus mempunyai alasan yang jelas dan logis. Seperti sikap Gus Muslih, yang menentang tradisi-tradisi Islam lama. “Ya, kalau keluarga yang tertimpa musibah itu keluarga yang berada, tak masalah,” katanya dalam sebuah ceramah.” Kalau keluarga itu miskin, apakah hal itu tidak menambah musibah?”69 Alasan yang memang dapat diterima seperti pada sikap Gus Muslih di atas membuat kita dapat mengetahui bahwa penolakan terhadap tradisi tersebut harus bersikap objektif dan fleksibel. Maka dari itu, seorang pemuka agama, seperti kiai dan ulama-ulama haruslah mengesampingkan sikap egois dan fanatik terhadap pemikiran yang diyakiniya untuk menyikapi berbagai pemikiran baru yang lahir di Indonesia. Sejauh ini pun setidaknya MUI dan organisasi-organisasi islam terkemuka di Indonesia mempunyai koordinasi yang baik untuk melindungi masyarakat dari pemikiran-pemikiran yang bersifat radikal dan cenderung menyimpang. Seperti pemikiran Ari Junaedi di bawah ini.
68
Ibid., h. 64. Ibid., h. 14.
69
62
“Dengan berpijak pada kesadaran, tanggung jawab, dan keterlibatan aktif dalam aksi sosial maka peran kaun cendikiawan Muslim harus ditingkatkan. Jalan yang lebih baik dan terbuka adalah mementaskan tanggung jawab dan peranannya dengan bersikap pragmatis dan mengambil pendekatan praktis. Dalam pendekatan ini yang penting adalah mewujudkan komitmen dengan amal konkret. Ilmu hanyalah hasil proses refleksi dan konsolidasi konseptual terhadap pengalaman lapangan dalam perubahan sosial ekonomi.”70 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang penting untuk disampaikan di sekolah.
Keterampilan
bersastra
dapat
memberikan
dampak
positif
bagi
perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, jadi pembelajaran sastra tidak hanya menghafal tentang teori-teori sastra, namun dengan praktik seperti membaca dan menikmati karya sastra secara langsung. Dari aktivitas membaca, siswa mampu menafsirkan dan memperoleh pengetahuan baru (kognitif). Kemudian, respon dari siswa dapat diketahui apakah ada ketertarikan atau tidak setelah membaca karya sastra (afektif). Bahkan adanya penyerapan pesan setelah membaca karya sastra sehingga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa (psikomotor). Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri, implikasinya dalam pembelajaran sastra adalah memahami serta menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam kumpulan cerpen tersebut. Pembelajaran mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen dapat membuat siswa lebih kritis dalam mengidentifikasi kedua unsur karya sastra tersebut. pembelajaran mengenai identifikasi unsur karya sastra dapat diajarkan pada kelas XI semester ganjil. Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa saja yang ada di dalamnya. Dikaitkan dengan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi yaitu siswa mampu menemukan unsur intrinsik cerpen berupa tema, latar, tokoh dan perwatakannya. 70
Ari Junaedi, Op.Cit., h. 3.
63
Maka dari itu, ketika siswa membaca kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan cermat dapat menemukan unsur intrinsik yang sudah disebutkan. Siswa dapat mengaitkan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan kejadian di luar karya sastra atau unsur ekstrinsiknya. Disesuaikan dengan indikator maka siswa mampu menemukan dan memahami sejarah yang dikaitkan ketika cerpen tersebut dibuat. Hal tersebut mampu mengembangkan daya ingin tahu siswa mengenai sejarah apa saja yang akan ditemui sesuai dengan cerpen yang dimaksud. Selain itu, siswa juga bisa mengetahui hubungan antara karya sastra dankenyataan.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap tiga cerpen karya Gus Mus, yaitu “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi”, maka dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1. Kritik sosial yang terdapat dalam tiga cerpen ini adalah anggapan masyarakat
tentang adanya elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi kalangan masyarakat, keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi institusi pendidikan yang bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan tersebut, secara garis besar memang benar adanya. namun di sisi lain pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal mistis, hal ini juga terjadi di kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren). Maka, dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan yaitu mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus mempertimbangkan segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Baik dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara umum. 2. Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri, implikasinya terhadap pembelajaran sastra agar para siswa SMA kelas XI mampu menganalisis dan memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam kumpulan cerpen tersebut.
64
65
B. Saran Saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini berdasarkan analisis dan implikasi adalah sebagai berikut: 1. Guru dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan memahami kritik sosial yang terdapat dalam karya sastra yang dibacanya. 2. Selain nilai moral guru dalam pelajaran sastra dituntut untuk dapat menuntun peserta didiknya agar menangkap kritik sosial seperti apa saja yang ada dalam karya sastra, dan diharapkan cerpen-cerpen Gus Mus bisa dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sasrtra Indonesia di sekolah-sekolah. 3. Selain guru, orang tua juga sudah selayaknya meningkatkan minat baca anaknya terhadap karya sastra yang bermutu dan memberikan pengarahan yang baik untuk pembentukan karakter si anak. 4. Dan yang terakhir, sebagai intelek yang bergerak di bidang sastra dan juga calon pendidik (dalam hal ini adalah adik-adik kelas mahasiswa PBSI), agar dapat memahami dan mampu meneliti dengan baik karya sastra melalui tinjauan sosiologi sastra dan juga ketika mengajarkan peserta didiknya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliranini-dinyatakan-menyimpang-1457599747 (diakses pada tanggal 16 Maret 2016). Anonim,
Biografi
Achmad
Mustofa
Bisri
diakses
dari
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofabisri/biografi/indeks.html A’la, Abd. dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta; LKiS PelangiAksara, 2007 B.S, Abdul Wachid. K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi. Pikiran Rakyat: 29 Oktober 2005. Bisri. Ahmad Mustofa, Lukisan Kaligrafi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2009. Cahyono, Rachmat H. Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus. Suara Pembaruan: 23 Mei 2004. Chasnah, Ida Nur. Ekspresi Sosial Sajak-Sajak KH. A. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Logung Pustaka. 2005. Dhofier. Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi Kehidupan Kiyai. Jakarta: LP3S. 1982. Haroen, Ahmad Musthofa dkk. Khazanah Intelektual Pesantren. Jakarta:2009. Hudiono, Anwar. Lebih Jauh dengan Hasan Ali dalam Kompas: 1 November 1998. Ismawati, Esti. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.
Junaedi, Ari. KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu dalam Kompas: 7 juli 1995. K.S, Yudiono. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. 1986. Kurniawan, Heru dan Sutardi. Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina. 1997. Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. 1994. MD., Moh Mahfud, dkk. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press. 1997. Muin, Abd. dkk. Pendidikan Pesantren dan Tradisi Radikalisme. Yogyakarta: CV Prasasti. 2001. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005. Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010. Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Graha Imu. 2012. Rahardjo, M. Dawam. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M. 1987. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Riatmoko, Ferganata Indra. Mistifikasi Politik Gus Dur dalam Kompas: 14 Juni 2010. Sarman, Mukhtar. Jagat Kiai dalam Kompas: 9 Agustus 1994. Sayuti, Suminto A., Wiyatmi. Kritik Sastra. Jakarta: Universitas
Terbuka. 2007.
Siradj, Said Aqil. Pesantren, NU, dan Politik. Kompas. 3 Desember 2004. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008. Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya. 1988. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. 1986. Sumbogo, Priyo B., Heddy Lugito dan Hidayat Tantan. Kiai Klelet dari Rembang. Jakarta: Gatra, IV Januari. 1998. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya. 2010. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008. Tri Priyatni. Endah, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010. Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Jannah. 2000.
Wibowo, Wahyu. Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paronpers. 1995. Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sastra Indonesia. Cetakan Kedua. Bandung: UPI PRESS. 2006.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) SEKOLAH
: SMAN 50 Jakarta
MATA PELAJARAN
: Bahasa Indonesia
KELAS
: XI
SEMESTER
:I
Alokasi Waktu
: 4 x 40 menit
A. STANDAR KOMPETENSI Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerita pendek B. KOMPETENSI DASAR Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik cerita pendek C. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI No 1
2
Indikator Pencapaian Kompetensi Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh dan perwatakan.
Nilai Budaya dan Karakter Bangsa Bersahabat/ Komunikatif
Mampu mengaitkan cerpen dengan Kreatif kejadian di luar karya (sejarah, sosial, budaya)
D. TUJUAN PEMBELAJARAN Siswa dapat: 1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh dan perwatakan. 2. Mampu mengaitkan cerpen dengan kejadian di luar karya (sejarah, sosial, budaya)
E. METODE PEMBELAJARAN Pemodelan Inkuiri Tanya jawab Penugasan F. STRATEGI PEMBELAJARAN Tatap Muka Terstruktur Mandiri Membaca cerpen Menjelaskan Siswa dapat Menemukan unsur pengertian unsur mendeskripsikan intrinsik yang intrinsik dan dan menemukan berupa tema, latar, ekstrinsik unsur intrinsik tokoh dan (tema, latar, tokoh perwatakan dan perwatakan) Mengaitkan dan mengaitkannya cerpen dengan kejadian di luar dengan kejadian di karya (sejarah, luar cerpen sosial, budaya) G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBALAJARAN Pertemuan Pertama No 1
2
Nilai Budaya dan Karakter Bangsa Religius, Kegiatan Awal: bersahabat/ Guru memberi salam Guru menyapa dan menanyakan kabar komunikatif siswa Guru mengabsen siswa Guru menjelaskan tujuan dan manfaat pembelajaran hari ini Guru memotivasi siswa sebelum memulai pembelajaran Guru membuka schemata siswa mengenai materi yang akan dipelajari Mandiri, kreatif, Kegiatan Inti: gemar membaca, Eksplorasi percaya diri Dalam kegiatan eksplorasi: Guru bertanya jawab dengan Kegiatan Belajar
3
siswa tentang unsur intrinsik Siswa menyebutkan unsur intrinsik cerpen (tema, latar, tokoh dan perwatakan) Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi: Siswa mengamati kutipan cerpen yang disediakan oleh guru Siswa menemukan unsur intrinsik cerita berupa tema, latar, tokoh dan perwatakan. Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, siswa: Menjelaskan tema, latar, tokoh dan perwatakan Menyimpulkan tentang materi yang telah disampaikan Bersahabat/ Kegiatan Akhir: Komunikatif Refleksi Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini Penugasan
Pertemuan Kedua No 1
2
Nilai Budaya dan Karakter Bangsa Religius, Kegiatan Awal: bersahabat/ Guru memberi salam Guru menyapa dan menanyakan kabar komunikatif siswa Guru mengabsen siswa Guru menjelaskan tujuan dan manfaat pembelajaran hari ini Guru memotivasi siswa sebelum memulai pembelajaran Guru membuka schemata siswa mengenai materi yang akan dipelajari Mandiri, kreatif, Kegiatan Inti: gemar membaca, Eksplorasi percaya diri Dalam kegiatan eksplorasi: Guru bertanya jawab dengan siswa Kegiatan Belajar
3
tentang materi unsur ekstrinsik cerpen Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi: Siswa mengamati kutipan cerpen yang disediakan oleh guru Siswa mendiskusikan dan menganalisis unsur ekstrinsik (sejarah, sosial, budaya) cerpen disertai bukti yang mendukung Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, siswa: Menjelaskan unsur ekstrinsik (sejarah) Menyimpulkan tentang materi yang telah disampaikan Bersahabat/ Kegiatan Akhir: Komunikatif Refleksi Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini Penugasan
H. SUMBER BELAJAR/ ALAT/ BAHAN: Buku paket Bahasa Indonesia untuk kelas XI semester 1 Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri Biografi A. Mustofa Bisri Cara menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen I. PENILAIAN 1. Teknik Tes (PG, isian, dan uraian) Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik 2. Bentuk Instrumen Soal a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik? b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi? c. Sebut dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi?
J. FORMAT PENILAIAN UNSUR PENILAIAN SKOR No
Unsur Intrinsik
1 2 3 4 5
1
Menganalisis dengan cermat dan tepat 2 Menemukan unsurunsur dengan bukti yang tepat 3 Mendeskripsikan hasil analisis dengan tepat 4 Amanat yang bisa diambil dari unsur intrinsik Perolehan Nilai = Total skor x 5
SKOR Unsur Ekstrinsik
1 2 3 4 5
Menganalisis dengan cermat dan tepat Menemukan unsurunsur dengan bukti yang tepat Mendeskripsikan hasil analisis dengan tepat Amanat yang bisa diambil dari unsur ekstrinsik Perolehan Nilai = Total skor x 5
Mengetahui : Kepala Sekolah
Jakarta, ............. Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Drs. Lukmanul Hakim, MM
Muhammad Zainal Abidin
LAMPIRAN 1 SILABUS Sekolah
: SMA/MA....
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas
: XI
Semester
:1
Standar Kompetensi
: Membaca Memahamiwacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen
Kompetensi
Materi Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran
Dasar
Indikator
Penilaian
Pencapaian
Alokasi
Sumber
Waktu
/Bahan/
Kompetensi
Alat
Menganalisis
Cerita pendek
Membaca cerpen
Menganalisis
Jenis Tagihan:
unsur-unsur
unsur-unsur intrinsik
Mengidentifikasi unsur
unsur-unsur
Tugas individu
cerpen Internet
intrinsik dan
(tema, tokoh, perwatakan,
intrinsik cerpen yang
ekstrinsik dan
Tugas kelompok
ekstrinsik cerita
latar, sudut pandang, alur,
telah dibaca
intrinsik
Ulangan
pendek
amanat, dan gaya bahasa) unsur ekstrinsik (agama, sejarah, sosial, budaya)
Mengaitkan cerpen
Bentuk Instrumen:
dengan kejadian di luar
Uraian bebas
karya (unsur ekstrinsik)
Pilihan ganda Jawaban singkat
4
Buku kumpulan