Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh: Anisah Utari NIM 1110013000036
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
Abstrak Anisah Utari, NIM 1110013000036, “Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Karya sastra merupakan bentuk ekspresi pengarang tentang keadaan di sekitarnya. Lewat karya sastra, pengarang ingin menyampaikan protes atas kondisi masyarakat yang menurutnya tidak normal. Novel Memang Jodoh membicarakan tentang tradisi masyarakat Minangkabau seputar pernikahan. Lewat bentuk fiksi, pengarang ingin menyampaikan realitas yang ada di masyarakat Minangkabau. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bentuk kritik yang ingin disampaikan pengarang lewat novel Memang Jodoh. Lewat karya fiksi, pengarang ingin menyampaikan jika tradisi hendaknya dipertahankan dengan mempertimbangkan manfaat yang akan didapat bagi masyarakat yang menjalankannya. Tanpa alasan logis, tradisi yang dipertahankan justru akan menghancurkan suku pemegang adat itu sendiri. Skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif deskripsi. Penulis juga menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan dokumen-dokumen yang terikat dengan penelitian. Dokumen-dokumen itu untuk memperkuat informasi dalam menganalisis data, sebelum akhirnya ditarik kesimpulan. Novel Memang Jodoh mengandung kritikan seputar tradisi adat Minangkabau. Bagi seorang laki-laki bangsawan, maka wajib menjalankan tradisi menikah sesama suku, dilamar oleh banyak perempuan, dan tidak memberi nafkah bagi keluarganya. Marah Rusli sebagai pengarang memenangkan kritik yang disampaikannya dengan membuat tokoh utama tidak tunduk dalam adat tersebut. Jika seorang laki-laki hanya berpangku tangan dengan istrinya, maka poligami lebih baik tidak dilakukan. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, siswa diharapkan dapat mengetahui unsur ekstrinsik karya sastra dan hubungannya dengan unsur intrinsik.
Kata kunci: kritik sosial, novel Memang Jodoh, tradisi Minangkabau
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, karena atas rahmat dan ridhaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Skripsi ini merupakan gerbang akhir dari perjuangan penulis selama empat tahun menyelesaikan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ke depan, gerbang itu juga merupakan langkah awal untuk memulai kehidupan baru di dunia yang lebih luas. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat bekerja seorang diri. Banyak orang telah membantu penullis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik secara moral, materil, maupun ilmu pengetahuan. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada: 1.
Orang tua penulis yang selalu sabar menunggu penulis menyelesaikan kuliah ini. Tidak lupa kepada adik-adik penulis atas diskusi dan obrolan santai di rumah.
2.
Keluarga besar Bapak Abdul Karim, terima kasih atas dukungannya
3.
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
4.
Dra. Hindun, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
5.
Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang dengan kesabarannya membimbing penulis merampungkan penelitian ini.
6.
Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku dosen penasihat yang bersedia memberikan saran kepada penulis.
7.
Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan.
8.
Sahabat Boncabe, Ara, Papat, Lintang, Reni, Bibeh, Arul, dan Dimas. Kepada mereka terima kasih atas dukungan dan pengalaman luar biasa selama perkuliahan. ii
iii
9.
Teman-teman PBSI A angkatan 2010, pengalaman luar biasa bersama kalian selama empat tahun.
10. Teman-teman PBSI angkatan 2010, momen berharga bersama kalian selama perkuliahan.
Jakarta, 05 Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 4 C. Pembatasan Masalah ................................................................................ 4 D. Rumusan Masalah .................................................................................... 4 E. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4 F. Manfaat Penelitian ................................................................................... 5 G. Metodelogi Penelitian .............................................................................. 5
BAB II HAKIKAT NOVEL DAN SOSIOLOGI SASTRA ............................ 7 A. Pengertian Novel ....................................................................................... 7 B. Unsur-unsur Intrinsik Novel ..................................................................... 7 1. Tema ................................................................................................... 8 2. Alur .................................................................................................... 9 3. Latar ................................................................................................... 11 4. Penokohan .......................................................................................... 12 5. Sudut Pandang .................................................................................... 13 6. Amanat ............................................................................................... 15 7. Gaya Bahasa ....................................................................................... 15 C. Pengertian Sosiologi Sastra ...................................................................... 15 D. Pengertian Mimetik .................................................................................. 21 E. Pengertian Kritik Sosial ........................................................................... 23 F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ............................................. 24 G. Penelitian Relevan .................................................................................... 25
iv
v
BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN SINOPSIS ................................... 27 A. Riwayat Hidup Marah Rusli...................................................................... 27 B. Karya-karya Marah Rusli .......................................................................... 29 C. Sinopsis Novel Memang Jodoh ................................................................ 31
BAB IV UNSUR INTRINSIK DAN KRITIK SOSIAL NOVEL MEMANG JODOH KARYA MARAH RUSLI .................................................................. 36 A. Unsur Intrinsik dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli .......... 36 B. Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli .............. 61 1. Laki-laki Jemputan ............................................................................ 62 2. Nikah Sesama Suku .......................................................................... 65 3. Menikahi Banyak Perempuan ........................................................... 68 4. Hubungan Mamak dan Kemenakan .................................................. 70 C. Relevansi Novel Memang Jodoh dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ....................................................................................... 72
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 74 A. Simpulan .................................................................................................. 74 B. Saran ......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 76 LAMPIRAN ....................................................................................................... 78 PROFIL PENULIS ........................................................................................... 81
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah seni pengungkapan pikiran, pengalaman hidup, dan imajinasi manusia yang tertuang melalui media bahasa. Sastra dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena pengarangnya tumbuh dari masyarakat. Pengembangan karakter dalam lingkungan masyarakat dapat membuat seorang pengarang menciptakan "cerita" tentang masyarakat. Sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.1 Dalam karya sastra, ada pengungkapan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Di dalamnya, kenyataan sosial dapat ditunjukkan lewat konflik yang dialami tokoh-tokohnya. Penciptaan karakter tokoh dalam cerita dapat melukiskan kehidupan masyarakat. Karakter tokoh dipadu dengan peristiwa yang berbentuk konflik akan menghasilkan keselarasan cerita. Kehidupan manusia sebagai objek utama karya sastra tidak pernah terlepas dari kondisi masyarakat tempat manusia itu berpijak. Manusia yang menjadi bagian masyarakat seringkali terpaku pada kondisi lingkungan yang membuatnya hanyut dalam kondisi sosial di sekitarnya. Mengatasnamakan tradisi dan kebiasaan, manusia selalu mengikuti aturan main lingkungan masyarakat tanpa mau mencari tahu akibatnya. Di dalamnya konfrontasinya dengan realitas, kesadaran manusia dapat mengambil dua pilihan, yaitu menolak atau menerima. Menerima berarti bergembira dan menyetujui, sedangkan menolak berarti menyanggah dan dapat lewat tindakan protes.2 Dalam hal menolak, berbagai jenis karya sastra dibuat sastrawan sebagai bentuk "pemberontakan" dari tradisi yang menurutnya "tidak normal”. Salah satunya adalah novel. Penggunaan novel 1
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 109. 2 Saini K.M., Protes Sosial dalam Sastra, (Bandung: Angkasa, 1987), h. 2.
1
2
sendiri dapat dikarenakan bentuknya yang lebih panjang sehingga dapat membuat permasalahan menjadi lebih kompleks. Novel dengan karakter dan konflik dijadikan pengarang sebagai "senjata" untuk melawan arus Memang Jodoh adalah karya terakhir dari penulis Sitti Nurbaya, Marah Rusli. Novel yang juga semi autobiografi ini diterbitkan pertama kali pada 2013 atau hampir lima puluh tahun setelah kematian penulisnya. Dalam pengantar bukunya, Rully Roesli, yang merupakan cucu dari Marah Rusli mengatakan kalau buku ini pertama kali diperlihatkan penulisnya saat ulang tahun pernikahan Marah Rusli kelima puluh. Hanya saja, pesan Marah Rusli agar novel ini diterbitkan ketika tokoh-tokoh di dalamnya sudah meninggal dunia agar tidak menyakiti keluarganya di Padang. Novel ini menceritakan kehidupan percintaan antara Marah Hamli dan Nyai Radin Asmawati. Berbeda dengan Sitti Nurbaya, Memang Jodoh justru mengisahkan kisah cinta berbeda suku, yakni pemuda dari Padang dengan gadis dari Bogor. Dalam bukunya, novel ini menampilkan kehidupan sosial masyarakat di Padang yang masih begitu menjunjung tinggi pernikahan dengan sesama suku. Bahkan, masyarakat di sana menganggap pernikahan dengan seseorang di luar suku Minangkabau adalah sebuah aib besar. Marah Rusli melalu novel Memang Jodoh, mencoba mengkritisi kehidupan sosial masyarakat di Padang yang masih terbelenggu oleh adat istiadat hingga menampik perubahan zaman.
Melalui
tokoh
Hamli,
Marah
Rusli
mengungkapkan
ketidaksetujuannya terhadap kehidupan sosial di Padang sehingga membuat pemuda-pemuda berpendidikan di tanah tersebut pergi meninggalkan Padang karena merasa tidak nyaman. Tampak dalam cerita tersebut bahwa setiap novel pasti mengandung pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya. Pesan itu muncul dari konflik yang dihadirkan dalam tulisannya. Konflik-konflik ini bisa merupakan kritikan pengarang terhadap sesuatu yang berkembang di masyarakat yang dirasa tidak lazim. Di dalam kehidupan bermasyarakat, kritik itu biasa muncul dari kebiasaan masyarakat terhadap suatu hal.
3
Pengarang yang melihat keanehan ini akan muncul dengan kritikannya lewat media bahasa. Marah Rusli muncul dengan kritikannya ketika menemui kebiasaan yang tidak lazim di lingkungan masyarakat tempatnya tinggal mengenai perkara pernikahan. Dengan sedikit menaburkan realita lewat imajinasi, pengarang menuangkan kritikannya lewat bentuk cerita fiksi. Marah Rusli dilahirkan dan besar di Padang sebelum akhirnya meneruskan pendidikannya di Kota Bogor. Ia begitu apik menggambarkan keadaan sosial masyarakat Padang pada zaman itu lewat novel Memang Jodoh. Realitas sosial yang dimunculkan Marah Rusli membuat pembaca menyadari kalau saat zaman itu, perjodohan dan hidup bersuku-suku masih begitu kental terasa di Padang. Novel di era modern yang membuat pembaca memutar kembali waktu ke puluhan tahun silam. Alasan penulis meneliti kritik sosial dalam novel Memang Jodoh adalah untuk mengetahui tradisi adat Minangkabau yang disampaikan oleh penulis Minangkabau. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis unsur-unsur intrinsik
dalam
novel
Memang
Jodoh
karya
Marah
Rusli
dan
mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat Minangkabau di novel ini. Penelitian ini memiliki relevansi terhadap pendidikan yaitu membuat siswa menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel ini. Selain menemukan tema, alur, latar, penokohan, gaya bahasa, dan amanat, siswa dapat menemukan unsur ekstrinsik, berupa latar belakang budaya. Oleh karena itu, melalui penelitian novel ini, siswa dapat menemukan unsur latar belakang budaya di Padang yang begitu kental dalam membentuk karakter seseorang. Ada dua pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini, yaitu sosiologi sastra dan mimetik. Sosiologi sastra adalah pendekatan yang mengkaji hubungan karya sastra dengan kondisi kehidupan sosial di masyarakat. Sedangkan pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaji hubungan karya sastra dengan kondisi sebenarnya. Penulis ingin meneliti kondisi kehidupan sosial di masyarakat Padang dengan kehidupan yang sebenarnya. Akhirnya, penulis menarik penelitian ini dengan judul,
4
"Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia."
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini membahas mengenai kritik sosial dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang diidentifikasikan adalah sebagai berikut: 1. Masih
terbelenggunya
tokoh-tokoh
adat
dengan
adat
istiadat
Minangkabau. 2. Kurangnya perhatian siswa pada objek latar belakang karya sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
C. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini fokus, maka penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti agar nantinya lebih terarah, spesifik, dan sistematis. Ruang lingkup yang penulis batasi ada pada kritik sosial masyarakat Padang yang ada dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli dan relevansinya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana wujud kritik sosial yang terkandung dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli? 2. Bagaimana relevansi kritik sosial novel Memang Jodoh karya Marah Rusli terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?
E. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan kritik sosial yang terkandung dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli.
5
2. Mendeskripsikan relevansi kritik sosial novel Memang Jodoh karya Marah Rusli terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Mengingat sepengetahuan penulis belum ada satu penelitian yang membahas novel Memang Jodoh karya Marah Rusli, penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pembaca mengenai kondisi sosial masyarakat di Padang yang bersifat matrilineal. Penelitian ini juga diharapkan membantu mengungkap kondisi kekeluargaan di Padang yang mengagung-agungkan
pernikahan
sesama
suku
lewat
kritik
yang
disampaikan pengarang. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahun sastra bagi siswa dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan mampu membuat siswa memahami nilai sosial dalam wujud kritik dalam kaitannya dengan unsur ektrinsik novel.
G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Metode kualitatif yaitu temuan data terhadap kondisi sosial dari sudut pandang satu individu. Dalam peneltian kualitatif, bukan berdasarkan hipotesis sehingga tidak ada pengujian hipotesis. Metode ini hanya menjelaskan dan menggambarkan suatu kondisi yang terjadi di masyarakat. Penelitian kualitatif dilakukan secara deskriptif, yaitu penggambaran secara detail situasi dan proses yang diteliti. Penulisan secara deskriptif diperlukan agar dapat memaparkan obejek yang diteliti berdasarkan temuan data-data. Penelitian kualitatif deskriptif dapat melukiskan peristiwa yang terjadi yang melibatkan unsur kenyataan di dalamnya, sehingga melibatkan
6
data non-angka. 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah novel Memang Jodoh karya Marah Rusli terbitan 1961 dan pertama kali diterbitkan pada 2013 oleh Qanita. Sementara objek dalam penelitian ini adalah kritik sosial yang terkandung dalam novel Memang Jodoh. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah teknik dokumentasi. Dalam teknik ini, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen untuk memperkuat informasi terkait dengan objek penelitian. Penulis dalam penelitian ini mencari kutipan yang berhubungan dengan analisis, mengkatagorikan, dan mengidentifikasi. Setelah identifikasi, maka penulis mulai menjabarkan sesuai bagian dengan disertai analisis. 4. Langkah-langkah Pengumpulan Data Langkah pertama, penulis membaca novel Memang Jodoh secara berulang. Setelah dibaca, maka penulis menemukan kutipan-kutipan terkait unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Memang Jodoh dan pengumpulkannya berdasarkan pola penelitian. Setelah dikelompokkan, maka penulis akan mengkaji
kutipan-kutipan
kesimpulan.
tersebut
secara
deskriptif
dan
membuat
BAB II HAKIKAT NOVEL DAN SOSIOLOGI SASTRA
A. Pengetian Novel Kata novel berasal dari bahasa Italia, novella, yang artinya sebuah barang baru yang kecil. Novel sendiri diartikan sebagai karya sastra berbentuk prosa. Novel berupa karya yang bersifat imajinatif yang isinya menceritakan sisi utuh problematika kehidupan satu atau beberapa orang tokoh. Cerita dalam novel muncul karena adanya masalah yang dialami tokoh hingga tahap penyelesaian. Di dalam novel, cara eksplorasi cerita cenderung kepada eksplorasi ekstensif (horizontal) sehingga latar tempat dan waktunya lebih lama.3 Istilah novel sebenarnya sama dengan istilah roman. Bahwa novel berasal dari bahasa Italia, roman berasal dari genre romance. Di abad pertengahan, roman merupakan cerita panjang mengenai kepahlawanan dan percintaan. Kemudian, istilah roman berkembang di daratan Eropa. Jelas bahwa bentuk novel lebih sedikit dibandingkan roman, namun keluasan unsur cerita keduanya sama.4 Novel tidak dapat membentuk kesatuan cerita yang padat seperti cerpen. Namun, novel dapat menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan dengan banyak karakter, dan peristiwa rumit yang lebih mendetail. Ciri khas novel adalah mampu menciptakan satu semesta rumit yang lengkap.5 Secara keseluruhan novel dapat berarti karya imajinatif yang menceritakan sisi kehidupan dengan situasi sosial dalam peristiwa yang kompleks dan saling keterkaitan antarunsurnya.
B. Unsur-unsur Intrinsik Novel
3
E. Kosasih, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Penerbit Nobel Edumedia. 2008), h. 54. Jacob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta:Gramedia, 1986), h. 2. 5 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Jakarta: Pustaka Pelajar. 2007), h. 90. 4
7
8
Intrinsik merupakan unsur-unsur rohani dari karya sastra mengenai tema dan arti tersirat di dalamnya yang harus diangkat. Unsur intrinsik ada yang masuk ke dalam intrinsik inti, intrinsik ulasan, dan intrinsik impresif. 6 Burhan Nurgiantoro menjelaskan bahwa unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra. Unsur-unsur ini secara faktual akan ditemukan seorang pembaca karya sastra. Intrinsik merupakan unsur langsung dari sebuah karya sastra. Keterpaduan antarunsur intrinsik yang akan membuat novel berwujud sehingga karya sastra hadir sebagai karya sastra. 7 Novel dibangun atas unsur-unsur hingga terbentuk satu kesatuan yang saling terpadu. Unsur intrinsik novel adalah sebagai berikut. a. Tema Tema merupakan gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Segala persoalan yang ada dalam cerita diangkat dalam tema. Penggambaran tema cerita dapat terletak di unsur cerita seperti penokohan, alur, atau latar. 8 Robert Stanton mengungkapkan tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna pengalaman manusia, artinya sesuatu pengalaman yang mudah diingat. Beberapa cerita yang dialami manusia dimaksudkan untuk memberi label baik atau buruk kepada tindakan karakter-karakter di dalam. 9 P.Suparman Natawidjaja mengungkapkan tema merupakan bagian dari unsur intrinsik inti bersama dengan maksud dan tujuan.10 Identitas tema haruslah sejalan dengan maksud dan tujuan dari cerita yang ditulis pengarang. Seperti yang diungkapkan Robert Stanton bahwa tema seperti makna pengalaman manusia yang membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Dengan tema, bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas.11
6
P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: Intermasa. 1982), h.102. Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 23. 8 E. Kosasih, op. cit., h. 55. 9 Robert Stanson, op. cit., h. 36. 10 P. Suparman, op. cit.,h. 102. 11 Robert Stanton, op. cit., h. 37. 7
9
E. Kosasih menjabarkan cara-cara penemuan tema. Setidaknya ada empat unsur intrinsik yang digunakan pengarang untuk menjabarkan tema ceritanya. 1. Melalui Alur Cerita Alur cerita kerap kali dipakai oleh pengarang untuk membimbing pembaca dalam mengenali tema dalam cerita yang ditulisnya. 2. Melalui Tokoh Cerita Tokoh cerita dengan bermacam-macam sifat dan wataknya sengaja diciptakan oleh pengarang untuk dimuati tema. Tokoh jahat (antagonis) biasanya dipertentangkan dengan tokoh baik (protagonis). Jika pengarang hendak menunjukkan kepada pembaca bahwa kebaikan tidak selamanya benar, pengarang dapat saja mengalahkan pemain dengan watak baik. Akan tetapi, bahwa pengarang bertujuan menyatakan bahwa kejahatan pasti punah, pengarang tentu akan memenangkan tokoh protagonis. 3. Melalui Bahasa yang Digunakan oleh Pengarang Melalui dialog yang diucapkan oleh tokoh-tokoh cerita dan komentar pengarang terhadap peristiwa-peristiwa, pengarang dapat menyampaikan pernyataan-pernyataan yang dapat dijadikan rumusan tema.12 Hampir sama dengan E. Kosasih, Robert Stanton juga mengungkapkan cara mengenali tema sebuah cerita. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Tema dan konflik memiliki hubungan yang sangat erat. Konflik utama biasanya mengandung sesuatu yang sangat berguna dan benar-benar dirunut.13 Hal ini menjelaskan bahwa tema dan konflik merupakan satu kesatuan yang sejalan. Tema tidak mungkin terlepas dari konflik yang dialami tokoh-tokoh dalam cerita. Sementara konflik juga tidak mungkin berada jauh dari tema cerita. b. Alur Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa kausal, artinya 12
E. Kosasih, op. cit., h. 56-57. Robert Stanton, op. cit., h. 42.
13
10
tidak terbatas pada ujaran dan tindakan tetapi juga perubahan sikap, pandangan, dan keputusan karakter tokoh. Setiap adegan yang dilakukan tokoh, akan mempengaruhi hubungannya dengan karakter-karakter lain. Akhirnya,
reaksi
yang
ditimbulkan
karakter
lain
itu
akan
balik
mempengaruhinya.14 E. Kosasih memaparkan alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Dalam novel, jalan ceritanya terkadang berbelit-belit dan penuh kejutan, sehingga novel memiliki jalan cerita yang lebih panjang.15 Alur merupakan tulang punggung cerita. Ia dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang dalam analisis. Tanpa adanya pemahaman-pemahaman yang mempertautkan alur, sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti. 16 Keberadaan alur dapat dikatakan elemen penting dalam sebuah cerita karena alur dapat menjelaskan isi keseluruhan cerita tersebut. Secara umum jalan cerita terbentuk atas bagian-bagian berikut ini. 1. Pengenalan Situasi Cerita (exposition) Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh serta menata adegan dan hubungan antartokoh. 2. Pengungkapan Peristiwa (complication) Dalam bagian ini disebutkan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya. 3. Menuju pada Adanya Konflik (rising action) Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, atau pun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. 4. Puncak Konflik (turning point)
14
Ibid., h. 26. E. Kosasih, op. cit., h. 58. 16 Robert Stanton, op. cit., h. 28. 15
11
Bagian ini disebut pula klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya, misalnya berhasil-tidaknya menyelesaikan masalah. 5. Penyelesaian (ending) Sebagai akhir cerita, bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokoh setelah mengalami peristiwa puncak. Namun, ada pula novel yang menyelesaikan akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir cerita dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian.17 Setidaknya berdasarkan bagian-bagian alur di atas, Robert Stanton menjelaskan dua elemen dasar yang membangun alur, yaitu konflik dan klimaks. Konflik internal (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya setidaknya dimiliki dalam karya fiksi.18 Konflik utama selalu terikat teramat intim dengan tema cerita. Seperti yang diungkapkan dalam bagian tema, bahwa konflik dan tema merupakan satu kesatuan yang sejalan. Sementara klimaks adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga akhir cerita tidak dapat dihindarkan lagi. Klimaks muncul dari perkumpulan konflik dalam cerita. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler.19 c.
Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa dalam cerita, semesta
yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Biasanya latar dilukiskan dengan menggunakan kalimat-kalimat deskriptif. Latar dapat merangkum oang-orang yang menjadi karakter dalam cerita.20 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini dapat
17
E. Kosasih, op. cit., h. 58. Robert Stanton, op. cit., h. 31. 19 Ibid., h. 32. 20 Ibid., h. 35. 18
12
memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana yang sungguh-sungguh ada.21 1. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berhubungan dengan kondisi ruang dan bentuk. Pengunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. 2. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan biasanya dihubungkan dengan waktu faktual dan kaitannya dengan peristiwa sejarah. 3. Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.22 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan ketiga latar di atas dalam penelitian. Ketiga latar tersebut erat kaitannya dengan objek penelitian, yakni kritik sosial. d. Penokohan Penokohan adalah salah satu cara pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh dalam cerita. 23 Aminudin menjelaskan penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku.24 Dalam penokohan, pembaca dapat menemukan karakter-karakter dari tokoh yang ditampilkan pengarang di ceritanya. Untuk menggambarkan karakter tokoh, pengarang dapat menggunakan teknik berikut. 1. Penggambaran Cakapan 21
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 217. Ibid., h. 227-233. 23 E. Kosasih, op. cit., h. 61. 24 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987), h. 79. 22
13
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. 2. Penggambaran Fisik atau Perilaku Tokoh Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat dipandang menunjukkan reaksi, sifat, dan sikap yang mencerminkan dirinya. Sedangkan perlukisan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan
kejiwaannya
atau
pengarang
sengaja
mencari
dan
menghubungkan adanya keterkaitan itu. 3. Penggambaran Lingkungan Kehidupan Tokoh Pelukisan suasana latar dapat mengidentifikasikan sifat kedirian tokoh. Lingkungan kehidupan tokoh dapat menjelaskan secara tersirat seperti apa tokoh tersebut. Seseorang yang sering berada dalam lingkungan masjid, biasanya digambarkan sebagai tokoh yang baik. 4. Pengungkapan Jalan Pikiran Tokoh Merupakan teknik pikiran dan perasaan yang tak pernah dilakukan secara konkret dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Jalan pikiran tokoh dapat juga hal yang terlintas dalam benak si tokoh tersebut. 5. Penggambaran oleh Tokoh Lain Merupakan teknik reaksi yang diberikan tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.25 e.
Sudut Pandang Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya.26
Abrams dalam Nurgiyantoro menjelaskan sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana mejadikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang berbentuk cerita dalam karya fiksi.27 Sudut pandang menjadi bagian yang tidak dapat terlepas dari cerita. Hal ini dapat menjelaskan kedudukan pengarang dalam cerita yang dibuatnya. Macam-macam sudut pandang dijelaskan oleh Burhan Nurgiantoro. 25
Burhan Nurgiantoro, op. cit., 201-209. E. Kosasih, op. cit., h. 62. 27 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248. 26
14
1. Orang pertama sebagai tokoh utama Dalam sudut pandang orang pertama, pengarang menggunakan istilah aku atau saya dalam menarasikan ceritanya. Tokoh aku atau saya menjadi pusat cerita. Hanya ada orang-orang di luar tokoh si “aku” yang berhubungan dengan si “aku” yang diceritakan. Tokoh si “aku” menjadi tokoh utama dalam ceritanya sehingga pembaca hanya akan mengetahui tokoh utama dari dalam sedangkan tokoh lain dari luar. Si "aku" mengisahkan peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah maupun fisik. Ia menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita. 2. Orang pertama sebagai tokoh tambahan Tokoh aku tidak selalu menjadi tokoh utama dalam cerita. Pengarang dapat juga menggunakan tokoh aku tetapi hanya sebagai tokoh pembantu dalam cerita. Tokoh "aku" hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh aku hanya tampil sebagai saksi terhadap berlangsungnya cerita yang dialami tokoh lain. Tokoh aku hanya muncul sebagai bingkai cerita. 3. Orang ketiga mahatahu Dalam sudut pandang orang ketiga, pengarang menggunakan kata ia, dia, atau nama orang dalam ceritanya. Dalam hal ini, pengarang berada di luar cerita. Posisi pengarang hanya menyampaikan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Abrams dalam Nurgiyantoro memaparkan bahwa narator mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi tokoh. Narator bebas menceritakan apa saja, berpindah-pindah dari tokoh "dia" yang satu ke "dia" yang lain. Pengarang dalam hal ini mengetahui tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi tokoh. Oleh karena itu, narator bebas menceritakan tindakan dan kata hati tokoh-tokohnya.
Pembaca
masing-masing tokoh.
juga
akan
dibuat
tahu
“luar-dalam”
15
4. Orang ketiga sebagai pengamat Di sini, pengarang tidak mengganggu dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, atau tokoh-tokoh yang diceritakan. Pengarang hanya dapat menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dijangkau oleh indera. Pengarang juga hanya melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh tokoh sebagai pusat kesadaran.28 f.
Amanat Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya.29 Pengarang bisa menaruh pesan yang ingin disampaikan di salah satu bagian pembangun novel. Pembaca bisa mengetahui pesan dari pengarang lewat karakter tokoh atau konflik yang dimunculkan dalam cerita. Terkadang, amanat juga bisa dimunculkan secara implisit sehingga pembaca harus lebih jeli menemukan amanatnya. g. Gaya Bahasa Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan nada atau suasana persuasif dan merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antartokoh30. Bahasa menjadi media yang digunakan pengarang dalam menyampaikan pesan lewat ceritanya. Bahasa dalam dialog atau narasi dapat menjelaskan karakter tokoh yang ada dalam cerita.
C. Pengertian Sosiologi Sastra Istilah sosiologi muncul pertama kali dalam buku karangan August Comte yang berjudul Cours De Philosophie Positive. Kata socius berasal dari bahasa Latin yang artinya teman dan logos dari bahasa Yunani yang berarti cerita atau berbicara. Dapat diartikan bahwa sosiologi berarti teman bercerita atau berbicara.31 28
Ibid., h.256-265. E. Kosasih, op. cit., h. 64. 30 Ibid., h. 64. 31 Syahrial Syarbaini dan Rusdiyanta, Dasar-dasar Sosiologi, (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009), 29
16
Berbeda dengan sosiologi, sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Kata sas berarti mengarahkan atau memberi petunjuk, sedangkan akhiran tra berarti alat atau sarana. Sastra berarti alat, sarana, atau buku petunjuk untuk mengajar atau pengajaran yang baik. Ketika terbentuk kata jadian, kesusastraan, maka makna sastra menjadi lebih spesifik, yakni karya yang baik.32 Objek dalam ilmu sosiologi dan sastra memiliki kesamaan, yaitu manusia dalam masyarakat. Arti masyarakat sendiri adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, sosiologi meneliti kehidupan manusia dalam masyarakat dengan analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastra menelitinya dengan subjektif melalui gambaran emosi dan perasaan.
33
Jadi, sosiologi meneliti masyarakat dengan objektivitas
sedangkan sastra dengan subjektivitas. Hal senada diungkapkan Sapardi Djoko Damono, jika diadakan penelitian suatu masyarakat yang sama oleh dua orang sosiolog, maka hasil penelitiannya besar kemungkinan menunjukkan persamaan. Sedangkan bahwa dua orang novelis yang melakukan penelitian di suatu masyarakat yang sama, hasilnya akan cenderung berbeda. Cara manusia meneliti masyarakat dengan perasaannya tergantung dari sudut pandang seseorang yang menyebabkan perbedaan itu.34 Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba. Sebagai produk budaya, sastra tidak dapat lepas dengan genesisnya, yaitu manusia sebagai pengarang. Eksistensi sastra dikarenakan ada manusia sebagai pengarang yang hidup dalam sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.
35
Hal serupa
h. 2. 32
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.
1. 33
Ibid., h. 3-4. Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Depdikbud, 1978), h. 8. 35 Heru Kuriniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 6. 34
17
diungkapkan M. Atar Semi bahwa karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.36 Pengarang karya sastra yang merupakan anggota masyarakat membuat karya sastra yang menampilkan kultur zamannya dengan sifat-sifat yang ditentukan oleh masyarakatnya. Interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat di mana pengarang hidup muncul karena adanya kegelisahan keduanya. Ini yang menyebabkan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra. Jacob Sumardjo juga mengungkapkan hal serupa bahwa karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya.37 Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Bahkan masyarakat seringkali menentukan nilai karya sastra di zamannya. 38 Kehidupan masyarakat yang berada di zamannya dapat mempengaruhi penulis dalam proses pembuatan karya sehingga esensi nilai tergantung dari sistem nilai masyarakat itu sendiri. Seperti yang Faruk katakan bahwa karya sastra dimaksudkan pengarang sebagai cerminan masyarakat dan alat perjuangan sosial untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi.39 Seperti yang diungkapkan Nyoman Kutha Ratna bahwa hubungan sastra dan masyarakat terjadi sepanjang masa. Maka, sebagai kreativitas estetis maupun renspons kehidupan sosial, sastra yang baik akan mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap berarti bagi aspirasi kehidupan seniman dan manusia. Pengarang melukiskan sikap dan kejadian yang mengacu pada kualitas struktur sosial. Jadi, sastra yang ditulis pengarang bukan sekadar melukiskan tokoh secara fisik saja. 40 Sebagai sebuah dunia miniatur, Nyoman Kutha Ratna mengungkapkan fungsi
karya
sastra
sebagai
dokumentasi
kejadian–kejadian
yang
36
M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung, Angkasa, 1993), h.73. Jacob Sumardjo, Masyarakat dan Sastra Indonesia, (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982), h.
37
15. 38
M. Atar Semi, op. cit., h. 73. Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra Edisi Revisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 45. 40 Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 34 39
18
dikerangkakan dalam kreativitas dan imajinasi. Sastra memiliki kemungkinan untuk mengalihkan kejadian alam semesta yang beragam dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. Sastra secara keseluruhan mengambil bahan dari masyarakat. Seperti karya-karya dari ilmu kemanusiaan lain yang mengambil bahan dari masyarakat, karya sastra memberikan cara pandang yang berbeda. Dengan medium bahasa, karya sastra dapat menunjukkan maksud yang sama meskipun menggunakan cara yang bertentangan.41 Hal senada diungkapkan Laurenson dan Swingewood dalam Endaswara yang melihat persepektif sosiologi sastra dengan memandang karya sastra sebagai dokumen sosial di mana refleksi situasi sastra tersebut diciptakan, sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan sastra sebagai manifes peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.42 Rene Wellek dan Austin Waren memberikan gambaran mengenai hubungan deskriptif antara sastra dan masyarakat. Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status dan ideologi pengarang menjadi masalah yang berkaitan di sini. Sebagai warga masyarakat, pengarang dapat dikatakan makhluk sosial. Latar sosial tertentu juga dapat menentukan keterikatan pengarang terhadap ideologi tertentu pula. Oleh karena itu, mengumpulkan informasi pengarang merupakan sumber utama dalam mengkaji sosiologi sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, dan hal lain dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial. Terakhir adalah masalah pembaca dan dampak sosial.43 Sementara Ian Watt dalam Heru Kurniawan menyebutkan tiga klasifikasi dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini meliputi analisa mata pencaharian, profesionalisme pengarang dengan profesi kepengarangannya, dan hubungan pengarang dengan masyarakat yang ingin dituju dalam bentuk isi karya sastra. Lebih lanjut, analisis ini memaparkan 41
Ibid., h. 35 Suwardi Edraswara, Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi, (Yogyakarta: Medpress, 2008), h. 79 43 Rene Wellek dan Austin Waren, op. cit., h. 111-112. 42
19
hubungan pengarang dengan suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini berkaitan sedekat apa hubungan sastra dalam mencerminkan keadaan masyarakat. Konsep cerminan ini tentu saja berbeda karena keadaan masyarakat sebenarnya tidak akan sama dengan penggambaran dalam karya sastra karena pandangan dunia pengarang. Cerminan di sini hanya sebatas keadaan masyarakat yang digambarkan pengarang atau mempresentasikan semangat zamannya. Ketiga adalah fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Sastra berfungsi sebagai perombak dan mengajarkan nilai dengan cara menghibur. Akhirnya, sastra memiliki nilai sosial, yaitu berperan dalam terjadinya proses perubahan sosial.44 Hal senada diungkapkan Sapardi Djoko Damono dalam Heru Kurniawan mengenai relasi sosiologi dan sastra. Relasi pertama dimediasi oleh pengarang. Pikiran dan perasaan pengarang selalu merepresentasikan pandangannya terhadap kondisi sosial masyarakat di tempat pengarang tinggal. Pandangan dunia dalam karya sastra muncul sebagai nilai-nilai yang terbentuk dalam diri pengarang sebagai konsekuensi di kehidupan bermasyarakat. Pengarang memotret anggota dan kehidupan masyarakat sesuai dengan pandangan dan ideologinya. Hal ini yang menegaskan bahwa pengarang merupakan faktor utama dalam dunia yang digambarkan dalam sastra karena pengarang merupakan bagian dari anggota masyarakat. 45 Relasi kedua dimediasi oleh fakta sastra. Sastra merepresentasikan kehidupan yang dibangun lewat kata-kata. Kehidupan yang berupa peristiwa-peristiwa terbentuk dengan bantuan aspek tokoh, tempat, dan latar yang menjadi padu. Meskipun sastra merupakan hasil rekaan, peristiwa yang ada
dalam
karya
masyarakatnya.
44
sastra
Dunia
Heru Kurniawan, op. cit., h. 11. Ibid., h. 6
45
merupakan
rekaan
relasi
hanyalah
dengan
desain
kondisi
sosial
pengarang
untuk
20
merepresentasikan dengan dunia sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat dinilai dan dianalisis dengan seperangkap teori dan konsep sosiologi.46 Ketiga adalah relasi yang dimediasi oleh pembaca. Pada dasarnya, karya sastra adalah produk budaya berupa benda mati yang akan bermakna bila terjalin komunikasi melalui interpretasi dengan pembaca. Pembaca karya sastra adalah individu yang hidup di suatu kondisi masyarakat tertentu. Maka, kondisi budaya dan sosial tempat tinggal pembaca dapat mempengaruhi interpretasi mereka terhadap karya sastra. Nantinya, nila-nilai sosial karya sastra yang mempengaruhi pembaca yang dapat menyebabkan perubahan sosial pembaca.47 Relasi keempat dimediasi oleh kenyataan. Seperti salah satu pendekatan analisis karya sastra yang diungkapkan Abrams, mimetik, yang memandang karya sastra sebagai cermin kenyataan. Kenyataan sosial dalam rekaan karya sastra merupakan kenyataan yang sebenarnya.48 Relasi terakhir dimediasi oleh bahasa. Penggunaan bahasa menjadi media paling umum dalam sastra karena secara konsep estetika sastra masih dimediakan dalam bahasa. Dalam sastra, bahasa merupakan media sirkulasi dan komunikasi sosial yaang universal. Dalam hubungannya antara sosiologi dan sastra bahasa dijadikan media komunikasi utama dalam relasi antarindividu di masyarakat. Penggunaan bahasa dalam sastra mencerminkan kondisi masyarakat karena eksistensi bahasa menunjukkan keberadaan suatu kelompok masyarakat.49 Dalam hubungan sosiologi dengan sastra yang dimediasi oleh kenyataan ada unsur realitas yang dibangun pengarang di atas karya fiksinya. Ini sejalan dengan penuturan Umar Junus yang mengatakan bahwa imajinasi selalu terikat kepada realitas sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi.50
46
Ibid., h. 7 Ibid., h. 8 48 Ibid., h. 9 49 Ibid., h. 9-10. 50 Umar Junus, Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 3. 47
21
Tidak ada karya sastra yang sama sekali terlepas dari kehidupan sosial, termasuk karya sastra yang paling absurd.51 Karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya.52 Kekuatan imajinasi membebaskan suatu karya dari keterikatannya kepada suatu peristiwa. Makin rendah kadar imajinasinya, makin dekat hubungannya kepada peristiwa kongkret. 53 Karya sastra yang sedikit imajinasi akan menjelaskan secara kongkret dengan peristiwa yang terjadi dalam masyarakatnya. Analisis karya sastra dengan sosiologi tidak hanya meneliti sastra dan masyarakat. Lebih dari itu, ini merupakan sebuah media pandangan pengarang terhadap kondisi realitas sosial di masyarakatnya.
D. Pengertian Mimetik Abrams membagi pendekatan kajian karya sastra ke dalam empat bagian, mimetik, objektif, ekspresif, dan pragmatik. Pendekatan mimetik merupakan pengkajian karya sastra yang menitikberatkan hubungan karya sastra dengan kenyataan. Istilah mimetik sendiri bermula dari perdebatan filsuf Plato dengan muridnya, Aristoteles. Plato berpendapat bahwa karya sastra hanya peneladanan, bayangan, atau tiruan dari dunia kenyataan. Sebab, dunia emprik tidak mewakili kenyataan, dan hanya mampu menirunya lewat mimesis. Dijelaskan Plato bahwa mimesis hanya terikat pada ide pendekatan bukan menghasilkan kopian yang sesungguhnya. Karya sastra yang merupakan bagian seni hanya dapat meniru dan membayangkan kenyataan. Seni berbeda dengan dunia kenyataan. Tataran seni lebih rendah dari kenyataan. Seorang tukang menjadi lebih tinggi dari seniman karena dapat menciptakan sebuah benda secara mutlak.54 Hal senada juga diungkapkan Yudiono K.S. yang mengatakan seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di
51
Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 43. Jacob Sumardjo, op. cit., h. 15. 53 Umar Junus, op. cit., h. 6. 54 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 220. 52
22
bawah realitas sosial dan ide.55 Seni hanyalah meniru dan membayangkan hal yang tampak, sehingga berdiri di bawah kenyataan.56 Menurut Plato, pendekatan seni terbaik adalah dengan mimesis karena dalam seni tidak ada pertentangan realisme dan idealisme. Maka seni harus benar. Seniman juga harus tahu bahwa lewat seni, ia mencoba mendekati yang idel dari jauh.57 Aristoteles menyanggah Plato. Ia mengatakan justru seni menyucikan jiwa manusia lewat katharsis. Dampak karya seni lewat pemuasan estetik, membuat keadaan jiwa dan budi manusia justru ditingkatkan. Selanjutnya, Aristoteles juga menyanggah pendapat Plato dengan mengatakan bahwa seniman tidak meniru kenyataan. Seniman justru membuat dunianya sendiri. Apa yang diciptakan di keseluruhan dunianya itu masuk akal karena berdasarkan unsur-unsur dunia nyata. Jelas bahwa seniman menilai karyanya lebih tinggi dari pada tukang. Karena, karya seni merupakan sarana pengetahuan untuk membayangkan pemahaman terhadap aspek yang tidak dapat diungkapkan dengan cara lain.58 Karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan kenyataan. Teori mimetik muncul dengan menganggap karya seni sebagai pencerminan, peniruan, ataupun bayangan realitas. A. Teeuw menyebutnya dunia kenyataan saling berjalinan dengan dunia rekaan. 59 Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptakan dengan daya khayal.60 Umar Junus mengatakan bahwa kekuatan imajinasi membebaskan suatu karya dari keterikatannya kepada suatu peristiwa. Makin rendah kadar imajinasinya, makin dekat hubungannya kepada peristiwa kongkret.61 Karya sastra yang sedikit imajinasi akan menjelaskan secara kongkret dengan peristiwa yang terjadi dalam masyarakatnya.
55
Yudiono K.S., Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2009), h. 42. Partini, Pengantar Pengkajian Sastra, (Bandung: Yayasan Pustaka Wina, 1992), h. 66. 57 A. Teeuw. op. cit., h. 220-221. 58 Ibid., h. 222. 59 Ibid., h. 231. 60 Jacob Sumardjo dan Saini K.M., op. cit., h. 13. 61 Umar Junus, op. cit., h. 6. 56
23
Kenyataan bukanlah sesuatu yang diberikan secara objektif, dapat ditinjau dan tafsirkan secara individual tanpa pra anggapan. 62 Penafsiran tidak dapat ditentukan dengan melihat kenyataan. Oleh karena itu, pembaca harus berhati-hati dalam mengambil data faktual dalam sebuah karya sastra meskipun karya tersebut terlihat sangat realis. Problematika kehidupan yang dipaparkan pengarang dalam cerita itu bukan merupakan problem yang asing dalam kehidupannya, namun problem yang akrab dan sangat dikuasainya. Ada keterikatan relitas yang alami pengarang dengan imajinasi dalam cerita fiksinya. Problem cerita yang menjadi dasar penulisan cerita rekaan tidak dapat direka-reka pengarang dan merupakan kenyataan yang menjadi sumber penciptaan cerita rekaan.63
E. Pengertian Kritik Sosial Kritik berasal dari bahasa Yunani, krinein yang artinya mengamati, membanding, dan menimbang.64 Kata kritikos dalam bahasa Yunani kuno pada mulanya dipergunakan oleh kaum Pergamon pimpinan Crates untuk membedakan dengan kaum ahli tata bahasa (bahawasan). Kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian nilai-nilai sastra. 65 Bahwa memandang kritik sebagai ilmu, maka sifat dari kritik adalah objektif dan idealis.66 Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. 67 Stendal dalam Endaswara mengatakan karya sastra merupakan cermin perjalanan "jalan raya"
dan
"biru
langit"
hidup
manusia
mekipun
kadang-kadang
mencerminkan "lumpur dalam kubangan". Maksudnya karya sastra kadang-kadang mengekspresikan kebaikan dan keburukan hidup manusia.68 62
A. Teeuw, op. cit., h. 227. Herman J. Waluyo, Pengkajian Sastra Rekaan, (Salatiga: Widia Sari Press, 2002), h. 53. 64 Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik, (Jakarta: N.V. Nusantara, 1958), h. 10. 65 Yudiono K.S., op. cit., h. 29-30. 66 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 238. 67 Suwardi Edraswara, op. cit., h. 78. 68 Ibid., h. 88. 63
24
Jadi karya sastra merupakan ekspresi baik dan buruk manusia dalam kehidupan sosial di periode tertentu. Ideologi sastrawan diperuntukan untuk mengkritisi kondisi sosial di masyarakat yang tidak sejalan dengan pemikiran sastrawan. Pengarang harus mendokumentasikan keadaan sosial budaya masyarakat karena karyanya adalah dokumentasi sosial budaya69. Sastrawan diharapkan tampil sebagai pengontrol masyarakat.
atau
pengecek
pelbagai
kecenderungan
negatif
dalam
70
Kritik sosial dalam novel merupakan bagian dari sejarah yang disampaikan pengarang. Lewat tulisannya, sastrawan ingin memprotes kultur sosial di masyarakat yang menurut sastrawan "berbelok" dari semestinya. Selain menjadi karya seni, novel bisa dijadikan alat protes dari sistem yang salah.
F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak pernah dilepaskan dari pembelajaran sebuah karya sastra. Tulisan berbentuk karya sastra yang menjadi sumber belajar siswa adalah bentuk apresiasi terhadap karya sastra itu sendiri. Jika siswa memandang karya sastra tidak bermanfaat, maka ia akan menafsirkan bahwa karya sastra bukanlah sebuah tulisan yang patut dipelajari. Oleh karena itu, siswa harus ditunjukkan bahwa karya sastra memiliki relevansi terhadap masalah di dunia nyata sehingga pengajaran sastra akan dipandang sebagai sesuatu yang penting.71 B. Rahmanto memaparkan empat manfaat dari pengajaran sastra di sekolah, yaitu: a. Membantu keterampilan berbahasa Dengan mempelajari sastra, siswa dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Siswa 69
Herman J. Waluyo, op. cit., h. 53. Sapardi Djoko Damono, Politik Ideologi, dan Sastra Hibrida, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 72. 71 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), h. 15. 70
25
dapat menyimak dan berbicara sebuah karya sastra yang dibicarakan guru atau
temannya.
Dalam
keterampilan
membaca,
siswa
dapat
meningkatkannya dengan membaca sebuah karya sastra. Setelahnya, ia dapat mendiskusikan unsur-unsur karya sastra lewat keterampilan menulis. b. Meningkatkan pengetahuan budaya Sastra bukanlah sesuatu yang menghadirkan pengetahuan secara langsung. Pengetahuan yang berbentuk budaya disajikan secara implisit dalam karya sastra. Lewat pengajaran sastra, siswa dapat dirangsang untuk mencari tahu apa yang ada secara tersirat dalam karya sastra yang erat kaitannya dengan pengetahuan budaya. c. Mengembangkan cipta dan rasa Dalam hal ini, sastra bermanfaat agar siswa dapat mengembangkan penalarannya yang bersifat indera, sosial, dan agama. Siswa dapat menggunakan inderanya untuk mengungkap apa yang ada dalam karya sastra. Penalaran sosial dan agama dapat merangsang kepekaan rasa siswa terhadap yang yang telah diterima oleh indera. d. Menunjang pembentukkan watak Karya sastra dapat membuat siswa membentuk kepribadian yang lebih baik. Siswa dapat mengambil contoh dari tokoh-tokoh dalam karya sastra untuk mengembangkan kepribadiannya. Jika tokoh tersebut dapat memberi tauladan, maka dapat ditiru perbuatan, dan juga sebaliknya.72
G. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian ini pernah dilakukan oleh Silvy Riana, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dengan judul Hubungan Mamak terhadap Kemenakan dalam Dijemput Mamaknya Karya Hamka. Penelitian ini memaparkan kekuatan mamak atas kemenakannya lewat pandangan Hamka sebagai penulisnya. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Yanutisa Ananta, mahasiswa Universitas Padjadjaran dengan judul Penerjemahan Pantun 72
Ibid., h. 16-24.
26
dalam Roman Sitti Nurbaya Karya Marah Rusli. Yanutisa meneliti mengenai perubahan tone atau nada pada pantun terkait dengan intensitas emosi penutur pantun. Perubahan pantun akan dikaitkan dengan aspek-aspek cerita, seperti kompleksitas, kerumitan, dan kedekatan kedua tokoh utama. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Prima Yulia Nugraha, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Kritik Sosial dengan Pendekatan Mimetik pada Kumpulan Puisi Potret Pembangungan dalam Puisi Karya W.S. Rendra. Prima meneliti puisi Sajak Seorang Tua dan Sajak Sebotol Bir di dalam kumpulan puisi Potret Pembangunan. Penelitian ini mengkritisi kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang terdapat dalam puisi tersebut dengan latar belakang zaman orde baru. Berdasarkan ketiga penelitian yang relevan di atas, penulis belum menemukan satu penelitian terkait novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. Oleh karena itu, penulis akan meneliti kritik sosial dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli.
27
BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN SINOPSIS NOVEL MEMANG JODOH KARYA MARAH RUSLI
A. Riwayat Hidup Marah Rusli lahir di Padang pada 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar adalah seorang bangsawan dari keturunan raja Pagarruyung Minangkabau. Ibunya berasal dari Jawa Tengah yang telah masuk keluarga Minangkabau. Menurut adat Kota Padang, bahwa bangsawan (sutan) yang menikah dengan orang daerah lain yang bukan bergelar Sutan, maka anaknya harus memakai gelar yang lebih rendah, yaitu Marah. Oleh sebab itu Sutan Abu Bakar menamai anaknya dengan Marah Rusli.73 Menurut cerita Rully Roesli, cucu Marah Rusli, awalnya, ejaan nama Marah Rusli adalah Marah Roesli, namun Balai Pustaka, penerbit yang menerbitkan Sitti Nurbaya menuliskan namanya Marah Rusli. Ini disesuaikan dengan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan. Namun, hingga saat ini keluarganya tetap menggunakan kata “Roesli” sebagai nama keluarga mereka. Pendidikan Marah Rusli dimulai di Sekolah Dasar pada 1897 sampai 1903, kemudian dilanjutkan di Hoofden School pada 1904 sampai 1909. Selulusnya dari sana, Marah Rusli melanjutkan ke Sekolah Guru pada 1904 sampai 1910. Marah Rusli sebenarnya ditawari untuk melanjutkan sekolah ke negeri Belanda, namun diurungkan karena tidak mendapat izin dari ibunya karena ia anak semata wayang. Sebagai gantinya, yang dikirim pemerintah ke Belanda adalah Tan Malaka. Marah Rusli kemudian meneruskan sekolah dokter hewan di Nederlands Indisch Veearsen School pada 1910 sampai 1915.74 73
Izarwisma Mardanas, Marah Rusli; Hasil Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982), h. 13. 74 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, Daftar Pengarang Indonesia, (Jakarta: Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, 1965).
27
28
Berbeda dengan Taufiq Ismail yang meninggalkan profesi dokter hewannya dan sepenuhnya beralih menjadi sastrawan, Marah Rusli tetap menjalankan profesinya hingga ia pensiun. Jabatan terakhirnya adalah Dokter Hewan Kepala pada 1952. 75 Sumbangsihnya terhadap dunia kedokteran hewan bukan hanya di Bogor atau Pulau Jawa saja tetapi juga mencapai luar Pulau Jawa. Pada 1915 selepas lulus dari sekolah dokter hewan di Bogor, Marah Rusli mendapat tugas sebagai dokter hewan di Sumbawa Besar sebelum akhirnya dipindahkan di Bima sebagai Kepala Daerah Perhewanan pada 1916. Selanjutnya, Marah Rusli kembali dipindahkan sebagai Kepala Peternakan Hewan Kecil di Bandung pada 1919. Setelah itu, ia hilir mudik kota-kota di Pulau Jawa sebagi dokter hewan. Setelah ke Cirebon, Blitar, Jakarta, Semarang, dan Tegal, Marah Rusli akhirnya kembali bertugas di Bogor. Selain pengalaman dalam bidang kedokteran hewan, Marah Rusli juga memiliki pengalaman dalam bidang musik dan sandiwara. Ia mengajarkan musik serta mengadakan perkumpulan musik dan sandiwara. Kehidupan Marah Rusli di zaman penjajahan membuatnya masuk menjadi tentara Angkatan Laut di Tegal. Di sana, Marah Rusli mengurus keperluan pertanian, perhewanan, dan perikanan bagi Angkatan Laut Republik Indonesia. Pangkat terakhirnya adalah Mayor. Sebelumnya, ia melatih pegawai-pegawai dan pekerja kehewanan Balai Kota Semarang.76 Mengenai kehidupan pribadi, Marah Rusli menikahi seorang gadis Sunda yang bernama Raden Ratna Kancana. Pernikahan kedua orang bangsawan ini tidak mendapat restu dari ayah Marah Rusli karena perbedaan suku. Pada 2 November 1911, Marah Rusli nekat menikahi Raden Ratna Kancana di Bogor tanpa sepengetahuan keluarganya. Akibatnya, ia dibuang secara adat oleh keluarganya di Padang. Ketika 75
sakit,
Marah
Rusli
sempat
mengungkap
keinginannya
Anonim, Tokoh Sastra Indonesia http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/lamanbahasa/node/429 diakses pada 27 Desember 2014 pukul 9.19 WIB 76 Lembaga Bahasa dan Kesusatraan, op. cit.
29
mengunjungi Padang meskipun telah dibuang. Kecintaan pada tanah kelahirannya memang belum hilang. Namun, keinginanya tidak pernah terwujud karena Marah Rusli meninggal dalam sakitnya pada 17 Januari 1968. Ia dimakamkan di makam keluarga di Bogor dan di samping makam istri satu-satunya, Raden Ratna Kancana.77
B. Karya-karya Marah Rusli H.B. Jassin menjuluki Marah Rusli sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Hal ini dikarenakan Marah Rusli dianggap sebagai sastrawan pertama yang memperkenalkan bentuk roman dalam kesusastraan Indonesia. Sebelumnya, Indonesia hanya mengenal sastra lewat cerita-cerita legenda tentang dewa-dewa yang jauh dari unsur realita. Berikut adalah deskripsi singkat megenai karya-karya Marah Rusli. 1. Sitti Nurbaya Sitti Nurbaya pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1922. Roman ini menceritakan tentang percintaan tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Ayah Sitti Nurbaya, Baginda Sulaiman meminjam uang pada Datuk Maringgih. Ketika ayah Sitti Nurbaya terjerat hutang dengan Datuk Maringgih, Sitti Nurbaya terpaksa menebusnya dengan menerima pinangan Datuk Maringgih. 2. Tesna Zahara Setelah Sitti Nurbaya, Marah Rusli menulis roman Tesna Zahara. Naskah tersebut dikembalikan oleh Balai Pustaka dan tidak pernah diterbitkan hingga sekarang. Ketika Marah Rusli berada di Sumbawa, naskah tersebut hilang.78 3. Anak dan Kemenakan Seperti Sitti Nurbaya, cerita ini seputar adat yang terjadi di Padang. Muhammad Yatim, Aziz, Puti Bidasari, dan Siti Nurmala adalah empat orang yang sudah menjalin persahabatan sejak kecil. Persahabatan itu memunculkan
77
Pengantar yang disampaikan Rully Roesli, cucu Marah Rusli dalam novel Memang Jodoh,
h. 13 78
Lembaga Bahasa dan Kesusatraan, op. cit.
30
percintaan antara Yatim dan Puti Bidasari serta Aziz dan Siti Nurmala. Dua pasang kekasih yang menghadapi rintangan ketika ingin menikah karena di Padang, kaum bangsawan harus menikah dengan kaum bangsawan pula. Namun, di akhir cerita keempat orang tersebut dapat menikah dan hidup bahagia. 4. La hami Berbeda dengan Sitti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan, La Hami merupakan romah sejarah tentang bangsawan di Sumbawa. La Hami adalah anak raja Bima yang dibuang oleh Mangkubumi yang berkeinginan merebut gelar raja darinya. Setelah besar, La Hami memperjuangkan agar dapat bertemu kembali dengan orang tua dan menikahi kekasihnya yang seorang raja. Di akhir cerita, La Hami dapat bertemu dengan keluarganya dan menikah dengan kekasihnya.79 5. Memang Jodoh Novel ini menceritakan Marah Hamli yang menikah dengan Din Wati, gadis keturunan Sunda. Ia mendapat penolakan dari keluarganya karena menurut adat Minangkabau, ia hanya boleh menikahi gadis Padang. perlawanan Hamli terhadap adat istiadat Padang membuatnya dibuang secara adat oleh keluarganya. Pembeda antara novel Memang Jodoh dan karya-karya Marah Rusli sebelumnya adalah karena ini merupakan novel terakhir Marah Rusli yang baru diterbitkan pada 2013. Berbeda dengan novel lainnya, novel Memang Jodoh diterbitkan hampir lima puluh tahun setelah kematian Marah Rusli. Novel ini sebenarnya sudah diperkenalkan Marah Rusli pada keluarga dan kerabatnya di hari ulang tahun pernikahannya ke lima puluh tahun. Namun, pengarangnya sendiri melarang penerbitan novel ini sebelum tokoh-tokoh di dalamnya meninggal. Ini dikarenakan Marah Rusli tidak ingin melukai hati keluarganya di Padang. Hal ini yang membuat banyak orang berspekulasi bahwa novel ini semacam semi autobiografi Marah Rusli.
79
Izarwisman Mardanas, op. cit., h. 29-30.
31
C. Sinopsis Memang Jodoh Karya Marah Rusli Memang Jodoh bercerita tentang Marah Hamli, seorang pemuda bangsawan dari Padang. Ketika baru saja lulus dari Sekolah Raja di Bukittinggi, Hamli ditawari gurunya untuk meneruskan sekolah ke Belanda. Ia tidak mendapat restu dari ibunya karena ia merupakan anak satu-satunya dari ibunya. Sebagai gantinya, Hamli akhirnya meneruskan sekolahnya ke sekolah pertanian di Bogor. Di Bogor, Hamli bertemu dengan Din Wati, gadis bangsawan sunda. Ketika itu Hamli sedang menjemput bibinya sementara Din Wati menjemput kerabat yang dulunya tinggal bersebelahan dengannya di Bogor. Ternyata, orang yang mereka jemput sama, yaitu Bibi Kalsum. Sejak pertemuan itulah keduanya menjadi semakin akrab. Apalagi ketika Din Wati mendengar penyakit pilu Hamli yang diceritakan neneknya, Khatijah. Rasa belas kasihan yang awalnya timbul dalam diri Din Wati berubah menjadi perasaan cinta. Hamli pun merasakan penyakit pilunya hilang ketika ia bersama Din Wati. Maka, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Hanya saja, meskipun keduanya berasal dari keluarga bangsawan, bukan perkara mudah menyatukan mereka dalam pernikahan. Baik dari keluarga Hamli maupun Din Wati menentang pernikahan mereka. Keluarga Din Wati memiliki riwayat buruk dengan orang Sumatera. Sementara keluarga Hamli enggan meninggalkan tradisi di Padang yang mengharamkan menikahi orang di luar suku Minangkabau. Dengan berbekal restu dari ayah Hamli dan Din Wati, keduanya akhirnya melangsungkan pernikahan secara sederhana dan hanya dihadiri kerabat terdekat. Berita pernikahan mereka akhirnya terdengar sampai ke Padang. Keluarga Hamli seperti mendapat tamparan keras akibat pernikahan itu. Mereka melakukan segala cara untuk melepaskan tali pernikahan Din Wati dan Hamli. Ketika Hamli kembali ke Padang untuk menengok ibunya, ia disidang oleh keluarga besarnya terkait pernikahannya dengan gadis Sunda. Para tetua
32
adat terus berupaya agar Hamli mau menceraikan istrinya. Saat Hamli tidak menolak, mereka memaksa agar Hamli mau berpoligami dengan menikahi gadis Minangkabau untuk melepaskan tuntutan adat. Hamli tetap menolak poligami di kalangan bangsawan Padang. Akhirnya ia dibuang dari tanah kelahirannya. Memasuki ulang tahun pernikahan ke lima puluh tahun, Hamli memberikan kado kepada istrinya berupa buku berjudul Memang Jodoh. Buku ini menjadi bukti cinta sejati Hamli dan Din Wati selama mengarungi pernikahan yang penuh liku.
36
BAB IV UNSUR INTRINSIK DAN KRITIK SOSIAL NOVEL MEMANG JODOH
A. Unsur-unsur Intrinsik Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli 1. Tema Tema dalam novel ini adalah masalah adat pernikahan dalam kebudayaan Minangkabau. Seperti yang diungkapkan E. Kosasih bahwa salah satu cara menemukan tema adalah dengan memperhatikan dialog para tokoh dan komentar
pengarang
terhadap
peristiwa.
Pengungkap
tema
cerita
dikemukakan lewat dialog yang diucapkan tokoh Marah Hamli. “Sebab, saya tak bisa dan tak suka beristri banyak,” sahut Hamli dengan suara gagah.80 “..., dalam suatu keluarga, laki-laki itulah yang harus jadi pemimpin, yang bertanggung jawab atas anak dan istrinya, karena menurut bangun tubuhnya, dialah pihak yang melindungi, sedangkan anak dan istrinya, menurut keadaannya, memanglah pihak yang harus dilindungi. Jadi, bukan istrinya yang harus memelihara suaminya, dan bukan pula orang lain yang harus memelihara anaknya.”81 Ucapan tokoh Marah Hamli menjadi semacam jembatan pemikiran Marah Rusli yang ingin disampaikan kepada pembaca untuk menentang adat pernikahan di sana. Sesuai dengan adat istiadat di sana, maka dalam ikhwal pernikahan, posisi laki-laki dilamar sedangkan perempuan melamar. Apalagi bahwa laki-laki itu dari kalangan bangsawan, ia bukan hanya dilamar tapi juga tidak wajib menafkahi anak dan istrinya. Perannya sebagai pemberi nafkah digantikan bibi istri atau mertua, sedangkan ia sendiri juga dinafkahi mereka. Di Padang, laki-laki keturunan bangsawan begitu dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu, banyak orang berlomba untuk menikahkan anak 80
Marah Rusli, Memang Jodoh, (Bandung, Qanita, 2013), h. 353. Ibid., h.355.
81
36
37
perempuan mereka dengan laki-laki bangsawan. Mereka melamar dengan uang dan harta yang melimpah agar laki-laki bangsawan mau menikahkan anak mereka. Tujuannya hanya satu, yaitu memberi keturunan kepada istrinya. Hamli yang merupakan laki-laki bangsawan Padang menentang keras adat seperti itu. Baginya, adat seperti itu akan membuat suami hanya sebagai tamu dan tidak memilki hak apa-apa terhadap anak istrinya. Suami yang dipandang sebagai kepala keluarga harus dinafkahi oleh keluarga istrinya. Padahal, sifat perempuan adalah mengandung dan melahirkan anak sedang suami melindungi anak dan istrinya. Masalah adat pernikahan di Padang bukan sekadar peran laki-laki dalam keluarga tetapi juga tentang kewajiban menikah dengan sesama suku Padang. Hamli diwajibkan menikah dengan perempuan Padang. Hal ini semacam tugas penjunjungan adat istiadat Padang bagi keluarga. Bahwa ada laki-laki yang menikah dengan perempuan di luar suku Padang, maka akan dianggap pembawa aib bagi keluarga. Laki-laki tersebut juga harus menerima hukuman sosial, yaitu dibuang dari tanah airnya. Masyarakat Padang begitu menjunjung tinggi pernikahan sesuku karena dianggap memperkuat jalinan kekeluargaan suku Padang. Sebaliknya, pernikahan dengan di luar suku justru akan merenggangkan kekeluargaan suku Padang. “Kami (keluarga Hamli di Padang) minta kau kawin di Padang ini karena kami ingin melepaskan utang kami kepada bangsa kami; sebab kalau kau tak kawin dengan perempuan Padang, niscaya kamilah yang akan mendapat malu, karena seakan-akan kami tak dapat mengawinkan kau. Asal kau sudah kawin di Padang ini, tak dapatlah orang berkata, bahwa kami telah menyia-nyiakan kau dalam kewajiban kami, karena tak dapat dan tak kuasa membujuk kau. Itu suatu aib yang amat besaar bagi kami.”82 Banyak masyarakat Padang yang tetap mempertahankan pusaka nenek moyang tidak memikirkan baik buruk adat yang mereka junjung tinggi tersebut. Akibatnya, orang-orang, khususnya pemuda yang sudah terbuka 82
Ibid., h. 357-358.
38
pemikirannya lewat pendidikan, akan memilih meninggalkan negerinya karena tidak mau terikat dengan adat yang menyusahkan itu. Hingga akhirnya, yang tersisa di Padang adalah orang-orang tua dan masyarakat yang justru tidak berpendidikan sehingga tidak akan ada yang mengolah tanah Padang lagi.
2. Alur Marah Rusli menggunakan alur campuran dalam menceritakan Memang Jodoh. Alur campuran dimulai dengan menjabarkan keadaan yang dialami tokoh utama dan dilanjutkan dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Peristiwa-peristiwa lain yang dialami tokoh juga muncul hingga diakhiri dengan selesainya konflik yang dialami tokoh utama. Cerita Memang Jodoh dibuka dengan pidato Marah Hamli di hadapan keluarga dan para sahabatnya. Ia berbicara dalam rangka peringatan ulang tahun pernikahannya ke lima puluh. Isi pidato Marah Hamli berupa lika-likunya menjalani pernikahan hingga tahun emas. “.... Dalam masa setengah abad itu, perkawinan kami banyak mengalami kesukaran, penderitaan, dan kesengsaraan, bahkan maut yang mengancam. Tapi, Tuhan telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami berdua, dengan usia panjang dan jodoh yang kekal, sehingga masa perkawinan kami yang panjang itu dapat kami lalui dengan rukun dan damai, penuh kasih sayang.”83 Pidato Marah Hamli itu menjelaskan penyelesaian cerita yang dialami tokoh aku, yaitu hidup bahagia bersama istrinya selama lima puluh tahun. Munculnya penyelesaian cerita di awal novel dibuat pengarang agar pembaca dapat menerka-nerka konflik apa yang dialami si tokoh utama hingga cerita berakhir demikian. Kata-kata berkonotasi negatif yang diucapkan Hamli dalam pidatonya: kesukaran, penderitaan, kesengsaraan, dan maut yang mengancam,
menjadi
kunci
untuk
membuka
gambaran
mengenai
konflik-konflik tokoh Hamli. Sementara kata-kata berkonotasi positif yang diucapkan Hamli: rukun, damai, dan penuh kasih sayang, diletakkan setelah kata-kata negatif. Hal demikian digunakan pengarang untuk memaparkan 83
Ibid., h. 17-18
39
bahwa kebahagiaan muncul setelah melewati cobaan. Setelahnya, cerita tidak langsung memasuki babak konflik, tetapi awal cerita di mana pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Dengan memundurkan waktu ke lima puluh tahun lalu, pengarang pertama kali mendeskripsikan tokoh utama, Marah Hamli. Pendeskripsian tokoh Hamli dilakukan dengan teknik dramatik lewat dialog tokoh. Di sini, pengarang seperti ingin menjawab pertanyaan tentang sosok Hamli di awal cerita. Penyelesaian yang dilakukan tokoh Hamli dengan menulis autobiografi pernikahannya bersama sang istri akan membuat pembaca bertanya, seperti apa sosok Hamli hingga mampu menulis sebuah autobiografi. “Ayahku setuju dengan rencana ini dan sanggup membiayaiku di negeri Belanda Rp90,- sebulan, yang dipandang cukup oleh Tuan Smith untuk hidup di sana apabila aku hidup sederhana,” jawab Hamli. “Sedangkan mamakku Baginda Raja telah pula menggadaikan sawahnya Rp1.000,untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin dan keperluan yang lain-lain....”84 Selain memperkenalkan tokoh Hamli, Marah Rusli juga mendeskripsikan tokoh Din Wati. Perempuan ini yang menjadi tokoh protagonis bersama Hamli. Tokoh perempuan yang kelak menjadi istri Hamli inilah yang di awal cerita membuat Hamli menulis autobiografi Memang Jodoh. Tatkala Radin Asmaya melihat kemenakannya keluar dengan dandanan seperti itu, tak disengajanya keluar pujian dari mulutnya. “Din Wati, jika berdandan seperti ini, memang susah mencari bandingannya. Cantik jelita, molek manis. Sedap dipandang mata, senang dipandang hati,” katanya.85 Selain memperkenalkan tokoh Hamli dan Din Wati, di babak perkenalan, Marah Rusli juga memperkenalkan tokoh-tokoh lain. Uniknya, tokoh-tokoh yang dideskripsikan Marah Rusli di awal cerita adalah tokoh-tokoh yang mendukung tokoh utama. Tokoh bibi Kalsum, nenek Hamli, dan orangtua Din Wati yang merupakan tokoh-tokoh yang menentang konflik yang dialami Hamli dan Din Wati.
84
Ibid., h. 28 Ibid., h. 97
85
40
Setelah memperkenalkan tokoh-tokoh dalam Memang Jodoh, Marah Rusli mulai membawa pembaca ke alur menuju konflik. Peristiwa awal menuju konflik ini dimunculkan setelah kedua tokoh utama dipertemukan di stasiun Bogor. Sebetulnya konflik awal novel ini hanya terpusat pada penyakit pilu Hamli. Artinya, seharusnya Din Wati tidak termasuk dalam pusaran konflik yang kelak dialami Hamli. Atau bahkan, konflik besar seharusnya tidak terjadi. “Jika datang penyakit sedihnya itu, tiba-tiba hilang sekalian keriangannya; ya, acap kali seperti dia (Hamli) tak ingatkan dirinya lagi, walaupun dia sedang bersuka-suka, sedang beramai-ramai dengan sahabat-sahabatnya atau sedang tekun belajar. Terkadang sedang makan enak-enak, tiba-tiba dia menjadi diam lalu termenung, acapkali sampai berjam-jam lamanya dia melihat ke satu tempat atau merenung sesuatu benda, yang tiada dilihatnya. Pendengarannya hilang, karena bahwa dipanggil, dia tak menjawab. Perasaannya pun tak ada, karena ketika buku yang dibacanya jatuh ke pangkuannya, dia tidak merasakannya, makanan lezat kesukaannya, ditinggalkannya. Bahwa dilihat air mukanya, tampak seperti dia sungguh-sungguh menderita sakit yang tak dapat ditahannya, karena air matanya bercucuran mengalir ke pipinya.86 Kehadiran Din Wati ketika nenek Hamli, Khatijah, menceritakan penyakit pilu Hamli pada Kalsum membuat Din Wati tergerak untuk menolong Hamli. Namun, pertolongan yang Din Wati lakukan justru membawanya dan Hamli ke konflik yang lebih besar meskipun penyakit pilu laki-laki itu hilang. Melihat penyakit pilu Hamli, pengarang seperti ingin mengecoh pembaca untuk menafsirkan konflik yang sebenarnya. Jika dikaitkan dengan tahap pengenalan tokoh di awal cerita, akan terasa jika konflik dalam novel ini adalah psikologis tokoh Hamli dengan penyakit pilunya. Namun, ketika cerita beranjak ke konflik, akan terungkap jika masalah yang dialami tokoh Hamli bukanlah permasalahan psikologis. Kehadiran Din Wati yang menarik perhatian Hamli hingga penyakit pilunya semakin lama hilang membuat laki-laki itu ingin menikahi Din Wati. Namun, di bagian inilah konflik sesungguhnya dimunculkan pengarang. 86
Ibid., h. 131-132.
41
Penyakit pilu Hamli yang hilang saat ia berada di dekat Din Wati membuatnya terjerat ke konflik yang sesuai dengan tema, yaitu adat pernikahan dalam masyarakat Minangkabau yang melarang pernikahan dengan seseorang di luar suku Minangkabau. Keputusan Hamli untuk menutupi pernikahan dengan Din Wati dari keluarganya di Padang sebetulnya bertujuan untuk menghindari permasalahan yang lebih besar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Konflik semakin meninggi dengan munculnya tokoh lain yang memperumit keadaan. Surat kabar Andalas Tengah, yang menentang bangsawan Padang dengan adat istiadat Minangkabaunya, telah memuat suatu tajuk rencana yang panjang lebar dalam korannya, tentang hal ini dengan bertajukkan seloka87: Bangsawan Padang, teruna muda, Ditangkap randa, nyai Belanda.88 Di bagian konflik inilah, Marah Rusli mulai memperkenalkan tokoh-tokoh antagonis yang menentang Hamli. Kemunculan tokoh setelah adanya konflik akan membuat cerita semakin rumit. Karena sebetulnya konflik cerita berhubungan dengan adat istiadat. Namun, kehadiran tokoh antagonis akan menguatkan adat istiadat sehingga konflik yang dialami tokoh Hamli semakin berat. Surat kabar Andalas Tengah menjadi pemicu konflik semakin besar dengan munculnya tokoh antagonis. Kehadiran Baginda Raja yang merupakan adik ibu kandung Hamli menentang pernikahan Hamli dan Din Wati. Sebetulnya Baginda Raja tidak mengetahui pernikahan Hamli jika surat kabar tersebut tidak memuat berita pernikahan Hamli. Tokoh Baginda Raja menjadi tokoh utama antagonis yang menentang habis-habisan tokoh Hamli dalam mendapatkan tujuannya, yaitu menikmati pernikahan dengan bahagia bersama Din Wati. “Saya telah malu dihinakan kemenakan yang tak mau menuruti kemauan mamaknya dan telah melanggar adat lembaga negerinya. Bukan itu gunanya saya pelihara dan saya besarkan dia, dari kecil 87
Puisi yang mengandung ajaran (sindiran dan sebagainya), terdiri atas 4 larik yang berima a-a-a-a, yang mengandung sampiran dan isi. 88 Marah Rusli, op. cit., h. 240.
42
sampai besar dan dari bodoh sampai pandai, dengan kasih sayang dan penyelenggaraan yang lebih dari anak kandung saya sendiri. Ini balasannya. Sungguh, air susu dibalas dengan air racun.”89 Di puncak konflik atau klimaks, pengarang menampilkan tokoh-tokoh lain yang menentang Hamli. Selain itu, kejadian klimaks ini juga menjadi tempat berkumpulnya semua tokoh kecuali Din Wati. Hamli, sang tokoh utama
didampingi
dengan
tokoh-tokoh
yang
mendukungnya
untuk
berhadapan dengan para tokoh antagonis. Uniknya, selain Baginda Raja, pengarang tidak menyebutkan nama di tokoh-tokoh antagonis. Puncak konflik muncul ketika tokoh Hamli dihadapkan dengan dua pilihan oleh tokoh-tokoh antagonis. Pertama, ia harus menceraikan istrinya dan menikahi perempuan Minangkabau. Kedua, ia tetap mempertahankan pernikahan namun harus menikahi perempuan Minangkabau agar keluarga besarnya tidak mendapat malu. Di sini, keputusan Hamli akan menentukan arah dari akhir cerita “... dan setelah saya jawab nikahnya dari kadi, pada saat itu juga, di muka kadi dan di muka perhelatan itu juga, saya ceraikan dia dengan talak tiga sekali; supaya dia dengan segera dapat kawin pula dengan laki-laki lain yang dapat menjadikannya sebagai istri yang sebenarnya. “Saya rasa hal ini patut diketahuinya lebih dahulu, supaya jangan menyesal dia kemudian hari dan menuduh saya dengan tak semena-mena hendak memberi malu di dalam perhelatan besar dan di muka orang banyak. Dia harus tahu lebih dahulu dan suka akan mengorbankan ini, untuk adat istiadat, bangsa dan negerinya,” kata Hamli dengan tenangnya.90 Ucapan Hamli membuat keluarganya sadar kalau mereka telah diperdaya oleh Hamli. Mereka juga menyadari bahwa Hamli tetap tidak mau tunduk dengan adat istiadat mereka. Keputusan Hamli ini membuatnya dibuang secara adat oleh para tetua di Padang. Ini yang membuat cerita selanjutnya tidak lagi menggunakan latar kota Padang karena Hamli menetap di pulau Jawa. Keputusan tokoh Hamli juga memberi dampak bagi tokoh-tokoh lain 89
Ibid., h. 251-252. Ibid., h. 363-364.
90
43
yang mendukungnya, yaitu ibu dan neneknya. Keduanya juga memiliki nasib seperti Hamli, yaitu dibuang dari tanah kelahirannya. Ini yang membuat penyelesaian cerita selaras dengan awal cerita. Sejak saat itu Hamli tinggal di Salabintana Sukabumi. Tatkala usia perkawinannya dengan Din Wati genap lima puluh tahun, dikumpulkannya seluruh anak-cucu, kemenakan dan menantu, kaum keluarga, sahabat, dan kenalannya, untuk memperingati dan merayakan hari yang amat penting baginya itu, dengan mengesahkan perjodohannya yang terbukti perjodohan sejati yang telah ditakdirkan Tuhan, dari awal sampai ke akhirnya, di dalam lima puluh tahun itu.91 Penggunaan alur campuran yang dilakukan pengarang tidak sekadar memperindah alur cerita novel Memang Jodoh. Alur ini bentuk pesan yang ingin disampaikan pengarang. Kebahagiaan di awal cerita akan mempertegas jika bentuk kebahagiaan itu pasti muncul jika berhasil melewati rintangan. 3. Latar a. Latar Tempat 1) Sekolah Raja Bukittinggi “Jalan raya di depan Sekolah Raja Bukittinggi yang lurus memanjang dari selatan ke utara, yang teduh karena dinaungi sebaris pohon asam rindang di kedua sisi jalan, mulai sunyi.”92 Latar Sekolah Raja Bukittinggi menjadi latar pembuka cerita dalam menjelaskan peristiwa yang melatarbelakangi Hamli membuat cerita Memang Jodoh lima puluh tahun ke depan. Penggunaan Sekolah Raja Bukittinggi sebagai latar untuk menjelaskan bahwa Hamli adalah pemuda berpendidikan. Sekolah ini merupakan sekolah guru rendah namun menjadi sekolah tertinggi di Padang. Pendidikan selama enam tahun di Sekolah Raja akan membuat Hamli berpikiran lebih maju dibanding tokoh lain yang tidak berpendidikan. Hal ini yang akan menyebabkan konflik dengan keluarganya yang lain terkait adat pernikahan. 2) Padang 91
Ibid., h.534. Ibid., h. 22.
92
44
Setiap kota identik dengan adat istiadatnya masing-masing. Masyarakat di kota-kota juga memiliki pandangan berbeda terhadap suatu peristiwa, tergantung dari adat istiadat yang mereka junjung. Marah Rusli menggunakan Kota Padang sebagai salah satu latar ceritanya untuk menjelaskan kondisi masyarakat di sana dalam menyikapi peristiwa pernikahan. Adat pernikahan suku Minangkabau di Padang yang berbeda dengan daerah-daerah lain menjadi alasan munculnya konflik dalam cerita ini. “Tanpa disadarinya sampailah dia (Hamli) di stasiun Padang, lalu langsung berbendi ke rumah ibunya di Kampung Pelinggam.”93 Rumah keluarga Hamli di Padang menjelaskan bahwa Hamli harus terikat dengan adat istiadat di sana. Penduduk Kota Padang yang tua-tua tetap memegah teguh adat istiadat mereka tanpa memperhatikan baik buruknya adat tersebut. Di Padang, pernikahan sesama suku begitu dijunjung tinggi, sementara Hamli yang baru saja mendapat pendidikaan di Sekolah Raja Bukittinggi menentang adat tersebut. Pemikiran Hamli dianggap tidak lazim di Kota Padang, sehingga akhirnya menimbulkan konflik. 3) Bogor Penggunaan latar Kota Bogor dalam cerita ini disesuaikan pada tokoh Hamli yang sedang mengenyam pendidikan. Hamli yang awalnya disarankan meneruskan pendidikan di Belanda namun gagal karena tidak mendapat restu ibunya menggantinya dengan sekolah di Bogor. “Kota Bogor itu diramaikan pula oleh sekolah kedoteran hewan, sekolah pertanian, dan sekolah perkebunan, yang dikunjungi oleh murid-murid dari seluruh wilayah Indonesia.”94 Jika di Kota Bogor tidak ada sekolah-sekolah tinggi tersebut, tentu Marah Rusli tidak akan menggunakan Kota Bogor sebagai latar tempat ceritanya. Ini dimaksudkan untuk kesesuaian dengan tokoh Hamli yang 93
Ibid., h. 50. Ibid., h. 72.
94
45
berpendidikan. Cermin Kota Bogor yang banyak sekolah tinggi tentu menjelaskan seperti apa kondisi masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Orang-orang dari seluruh wilayah Indonesia yang datang untuk belajar di sana tentu orang-orang berpendidikan. 4) Medan “Hamli dan Din Wati memuji juga keindahan Kota Medan dan walaupun kota ini tidak sebesar dan seramai Jakarta. Tetapi, aturan rumah-rumahnya apik dan jalan-jalannya bersih, tertutup pasir putih, sehingga lembut dan sedap dijalani kendaraan yang beroda karet.”95 Penggunaan Kota Medan dalam novel ini untuk menjabarkan tempat tinggal Sutan Bendahara, ayah Hamli. Karena tinggal di Medan, ini yang menyebabkan Sutan Bendahara dengan mudahnya menyetujui pernikahan Hamli dan Din Wati. Meskipun Sutan Bendahara merupakan orang asli Minangkabau, namun karena berdomisili di Medan, ia menjadi tidak lagi terikat dengan adat istiadat di sana. Berbeda dengan ibu Hamli yang ada keturunan Jawa, karena tinggal di Padang, ia merasa harus tetap mempertahankan pusaka nenek moyang. Kota Medan dan Sutan Bendahara menjadi simbol bahwa dasarnya adat istiadat hanya akan mengikat mereka yang tinggal, bukan suku aslinya. Marah Rusli ingin memaparkan bahwa lingkungan memiliki efek yang begitu besar dalam mengubah sudut pandang seseorang terhadap sesuatu. Para tetua di Padang yang tetap mempertahankan adat istiadat bukan hanya karena mereka penduduk asli Padang, tapi juga karena mereka menetap di sana. 5) Sumbawa Bagian cerita dengan latar Sumbawa terjadi ketika Hamli sudah dibuang oleh keluarganya di Padang. Hamli menganggap pembuangan itu akan otomatis melepaskannya dari adat istiadat Padang. Ketika mendapat
tugas
di
Sumbawa,
harapan
terlepasnya
gangguan
pernikahannya semakin besar. Ini dikarenakan jauhnya jarak antara 95
Ibid., h. 267.
46
Padang dengan Sumbawa. Kekuasaan adat ini, jelas pula pada Dian, orang Padang yang dibawanya ke Sumbawa. Dian ini sekali-kali tak setuju dengan pendapat dan pikiran Hamli. Menurut pikirannya, dia harus mempertahankan adat istiadat negerinya, walaupun jauh di rantau orang.96 Jarak Sumbawa dan padang yang begitu jauh, tidak membuat Hamli begitu saja terlepas dari kewajibannya menjunjung adat istiadat Minangkabau. Sumbawa menjadi simbol betapa adat Minangkabau berkuasa dalam diri Hamli. Bahkan pribahasa di mana bumi di pijak, di situ langit dijinjing menjadi kebal karena adat itu. 6) Bima “Di Bima, Hamli tak terganggu lagi oleh pinangan-pinangan yang tak disukainya itu, sehingga lapanglah dadanya tinggal di sana, menjalankan kewajibannya yang sama sulitnya dan sukarnya dengan Sumbawa Besar.”97 Berbeda dengan di Sumbawa, di kota ini Hamli tidak pernah diganggu terkait adat istiadat Minangkabau. Ini dikarenakan di Bima tidak ada keluarganya begitu memaksanya mengikuti adat negerinya. Keberadaan sekelompok orang Padang yang telah menetap lama di Bima tidak mengganggu Hamli seperti halnya Dian di Sumbawa. Seperti yang penulis paparkan sebelumnya, bahwa lingkungan memiliki efek yang begitu besar terhadap sudut pandang seseorang dalam memaknai sesuatu. Sekolompok orang tersebut meskipun nenek moyangnya berasal dari Minangkabau, namun akhirnya akan melepas adat istiadat mereka karena dianggap tidak lazim. 7) Blitar Ada tiga peristiwa cukup besar dalam cerita ini dengan latar tempat Kota Blitar. Pertama, peristiwa meletusnya Gunung Kelud. Ketika gunung ini meletus, Hamli dan keluarganya sedang berada di Blitar. Peristiwa ini terdengar ke keluarga Hamli dan Din Wati hingga 96
Ibid., h. 393. Ibid., h. 399.
97
47
berakibat kekhawatiran keluarga mereka akan nasib Hamli dan keluarganya. Kedua, adalah kedatangan Baginda Raja ke rumah Hamli di Blitar. Kedatangan mamak Hamli ini karena Baginda Raja ingin meminta maaf atas kesalahannya pada Hamli, Din Wati, dan nenek Hamli. Permintaan maaf ini menjadi antiklimaks dalam cerita Memang Jodoh. Baginda Raja yang dulu begitu teguh memegang adat istiadat Padang menjadi lunak ketika mendapat musibah. Setelah sebulan lamanya Hamli kembali dengan keluarganya ke Blitar, tiba-tiba dengan tak disangka-sangkanya, datangnya mamandanya, Baginda Raja, ke rumahnya, di Kampung Kepanjen Kidul. Kedatangan ini disambut dengan riang dan tulus ikhlas oleh Hamli dengan istrinya dan neneknya, Khatijah.98 Selesainya masalah Hamli dengan keluarganya tidak membuatnya terlepas dari tuntutan adat itu. Laki-laki bangsawan dipandang mulia keturunannya di mata orang Padang sehingga Hamli terus dipaksa untuk menikahi perempuan dari sukunya. Di Semarang, Hamli menerima telegram dari Baginda Alim, Jaksa pensuiunan Medan yang sudah dua kali meminang Hamli. Telegram Baginda Alim berisi informasi seolah-olah Hamli sudah menikah dengan anak Baginda Alim. Memang di Padang dapat dilakukan tanpa pengantin laki-laki yang sedang berhalangan. Jarak yang jauh antara Semarang dan Jati Negara-tempat Baginda Alim tinggal-membuat laki-laki itu berpikir bisa segera mewujudkan keinginannya untuk bermantukan Hamli. Terlebih rumah orang tua istri Hamli berada jauh dari Semarang sehingga Baginda Alim dapat membuat karangan yang menyatakan bahwa Hamli setuju untuk menikah lagi. 8) Jakarta Kota Jakarta memberikan ketentraman bagi Hamli dan keluarganya. Di kota ini, seluruh keluarganya berkumpul-tinggal bersama dengannya dan Din Wati. Ayah dan ibunya yang telah bercerai juga berkumpul. 98
Ibid., h. 437.
48
Orang tua Din Wati yang berada di Bogor juga tidak begitu jauh dari Jakarta. Hanya saja masalah adat pernikahan masih terus menghantui Hamli dan Din Wati. Di Jakarta, Baginda Alim mendatangi Din Wati langsung untuk membujuk agar mau dimadu. Din Wati meskipun tidak suka dimadu menyuruh Baginda Alim meminta langsung pada Hamli. Memegang teguh pendapatnya, Hamli tetap menolak beristri lebih dari satu. Sikap tidak tahu malu Baginda Alim yang terus meminta Hamli menjadi menantunya meskipun sudah tiga kali ditolak karena ia tinggal satu kota dengan Hamli. Ditambah keluarga Hamli tinggal di Jakarta sehingga perkawinan Hamli dan anaknya akan lebih mudah. Ayah, ibu, nenek, dan mamak Hamli justru menyerahkan perkara pernikahan ini pada Hamli, yang sebenarnya tidak lazim bagi orang Padang. 9) Semarang Ketika Hamli tinggal di Semarang, ia mengalami beragam peristiwa menyedihkan. Dimulai dengan meninggalnya ibunya, Siti Anjani. Berselang enam tahun kemudian, giliran neneknya, Khatijah meninggal. Neneknya dimakamkan di samping makam anaknya di Semarang yang juga tanah nenek moyangnya. Ayah dan mamaknya, Baginda Raja juga meninggal ketika Hamli tinggal di Semarang. Keduanya meninggal di Padang sehingga Hamli tidak dapat melihat jenazahnya. Rencana Sutan Bendahara yang hendak tinggal bersama Hamli tidak pernah terwujud karena saat kembali ke Padang, ia meninggal. 10) Sukabumi Sukabumi menjadi latar tempat Hamli dan Din Wati menghabiskan masa pensiunnya. Di Kota ini pula menjadi latar awal cerita ketika Hamli memberikan kado di ulang tahun emas pernikahannya bersama Din Wati yang berupa buku berjudul Memang Jodoh. b. Latar Waktu
49
1) 2 November 1961 Di waktu ini menjadi pembuka cerita dalam novel Memang Jodoh. Pada 2 November 1961 menjadi hari ulang tahun emas pernikahan Hamli dan Din Wati. Latar waktu ini juga menjadi pembuka Hamli dalam menjelaskan cerita di buku yang ditulis sebagai kado bagi istrinya, yakni cerita perjalanan pernikahan mereka selama lima puluh tahun. Hari ini, Kamis tanggal 2 November 1961, saat umurku 72 tahun, usia perkawinanku dengan istriku, Nyai Radin Asmawati, yang kini berumur 69 tahun, genap 50 tahun. Dalam masa setengah abad itu, perkawinan kami banyak mengalami kesukaran, penderitaan, dan kesengsaraan, bahkan maut yang mengancam.99 2) 2 November 1911 Tidak ada penjelaskan secara langsung mengenai penggunaan latar waktu ini. Namun, melihat di bagian awal cerita ketika Hamli merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke 50 tahun, maka pernikahannya sudah pasti 50 tahun sebelumnya. Pada 2 November 1911, Marah Hamli membuat keputusan yang kelak akan mendatangkan konflik besar, yakni dengan menikahi perempuan Sunda, Nyai Radin Asmawati. Di waktu ini menjadi awal adanya konflik tokoh Hamli terkait masalah adat pernikahan suku Minangkabau. 3) Meletusnya Gunung Kelud Pada 1919, Gunung Kelud di Blitar meletus. Letusan gunung ini memakan korban hingga ribuan jiwa. Ketika peristiwa ini terjadi, Hamli sedang tinggal di Blitar. Ia dan keluarganya mengungsi untuk menyelamatkan diri. Selepas meletusnya Gunung Kelud, Baginda Raja, mamak Hamli yang tadinya begitu membenci Hamli menjadi insyaf. Berita meletusnya Gunung Kelud membuat Baginda Raja khawatir pada kemenakannya hingga akhirnya dia menjenguk Hamli. Pertemuan itu diakhir dengan berubahan sikap Baginda Raja menjadi mendukung 99
Ibid., h. 17.
50
Hamli. c. Latar Sosial Sebagaian besar latar sosial dalam Memang Jodoh mengenai kondisi masyarakat di Padang dengan adat matrilinealnya. Meskipun latar tempatnya tidak terlalu banyak menggunakan Kota Padang, kondisi yang di alami tokoh-tokohnya seputar adat istiadat Minangkabau. Dalam Memang Jodoh, kondisi sosial masyarakat Minangkabau inilah yang menyebabkan tokoh utama mendapatkan konflik. Bahkan selain menjadi menyebab konflik, latar sosial masyarakat Minangkabau inilah yang membuat Marah Rusli menyampaikan kritikannya. Latar sosial kehidupan masyarakat begitu mendominasi dalam Memang Jodoh. Sistem matrilineal yang menyebabkan berbedanya kehidupan masyarakat Minangkabau dengan masyarakat di daerah lain, khususnya mengenai adat pernikahan. Latar sosial sosial Memang Jodoh meliputi adat laki-laki jemputan, pernikahan sesama suku Minangkabau, hingga hubungan anak dan kemenakan. 4. Tokoh dan Penokohan Sesuai dengan penelitian mengenai kritik sosial dalam novel Memang Jodoh, maka penulis membagi tokoh ke dalam tiga bagian, tokoh yang menentang adat, tokoh konservatif, dan tokoh yang mengalami perubahan sikap. a. Tokoh Menentang Adat 1) Marah Hamli Hamli merupakan pemuda bangsawan Padang bergelar Marah. Gelarnya diperoleh dari ayahnya yang merupakan bangsawan Padang bergelar Sutan. Dikarenakan menikahi seorang yang bukan bangsawan Minangkabau, maka gelar yang diturunkan ke anaknya menurun menjadi Marah. Tokoh Hamli meskipun bersuku asli Minangkabau, ia justru menjadi tokoh utama penentang adat Minangkabau. Setidaknya ada beberapa konsep adat istiadat yang bagi Hamli seharusnya ditinggalkan karena merugikan orang-orang Minangkabau sendiri.
51
Di awal cerita, ketika Hamli baru saja lulus dari Sekolah Raja, ia berdebat dengan ibunya tentang peran laki-laki dalam sebuah rumah tangga. Dalam pernikahan, lazimnya yang memberikan mahar adalah pihak laki-laki, namun di Padang justru sebaliknya. Laki-laki di Padang khususnya kaum bangsawan begitu dimuliakan. Bagi perempuan yang ingin menikahinya harus memberi uang jemputan atau mahar dengan jumlah yang besar dan memberinya nafkah. Tugas laki-laki dalam rumah tangga hanya sebatas memberi keturunan pada istrinya. “.... Di mana-mana, suami itu dipandang sebagai kepala keluarga, sehingga dia bertanggung jawab penuh atas anak dan istrinya, yang harus dipelihara dan dibelanya. Menurut sifat-sifatnya sebagai manusia, memang dialah pemelihara dan pembela. Tetapi mengapa di Padang ini, dia dijadikan orang yang harus dipelihara dan dibela, sehingga tidak dapat dia menjalankan kewajibannya sebagai suami dan bapak?”100 Selain mengenai uang jemputan, Hamli juga menentang keras adat Minangkabau yang mengharuskan orang-orangnya menikah dengan sesama suku dan menikahi banyak perempuan bagi pemuda bangsawan. Bahkan Hamli bukan hanya menentang lewat suara tetapi juga perbuatan. Ia menikahi gadis yang bukan berasal dari Padang dan menolak memadukan istrinya. Dengan penolakan itu, Hamli harus rela dibuang dari negeri Padang. Bagi keluarga dan orang-orang tua di sana, Hamli bukan lagi orang Padang karena telah melanggar adat istiadat nenek moyang mereka. Setelah berkata demikian (menolak menikah lagi dengan perempuan Padang), berdirilah Hamli. Setelah memberi salam, keluarlah dia dari rumah permusyawaratan itu, diikuti oleh ibu dan neneknya, yang berdukacita atas akhir rapat itu; kerena sekarang pembuangan Hamli dari kaum keluarganya tak dapat diindahkan lagi dan bersama-sama dengan dia akan terbuang pula nenek dan ibunya yang memihak kepadanya.101 Pembuangan Hamli ini berlaku seumur hidup. Sampai akhirnya ia
100
Ibid., h. 59. Ibid., h. 367.
101
52
menulis cerita Memang Jodoh 50 tahun kemudian, Hamli tidak pernah menampakkan kakinya di tanah Padang. 2) Radin Asmawati Radin Asmawati atau Din Wati adalah istri Hamli yang juga menentang adat istiadat Minangkabau. Din Wati adalah gadis Sunda yang tinggal di Bogor. Ia sama sekali tidak memiliki darah Minangkabau sehingga seharusnya tidak terlibat dalam urusan adat istiadat Minangkabau. Namun, keputusannya untuk menikah dengan Hamli yang merupakan bangsawan Padang membuatnya ikut berkonflik dengan adat ini. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Hamli, Din Wati sebenarnya sudah tahu bagaimana adat Minangkabau. Ia sendiri sempat ragu dengan keputusannya itu. Namun, akhirnya ia sendiri percaya bahwa Hamli adalah jodoh yang sudah ditentukan Tuhan untuknya. Sesungguhnya, sejak waktu itu hati Din Wati tidak ragu-ragu lagi dan dia yakin bahwa Hamli inilah jodoh sejatinya, yang telah ditakdirkan Tuhan sebelum mereka lahir dan telah ditampakkan pada ibu Hamli di dalam mimpi dan telah diramalkan pula oleh Ajengan Kiai Naidan, takala Din Wati baru berumur sepeuluh tahun.102 Meskipun telah menikah, rumah tangganya terus mendapat tantangan dari keluarga Hamli. Hal ini karena keluarga Hamli di Padang masih berambisi untuk menikahkan Hamli dengan gadis sesama suku. Din Wati yang berposisi sebagai istri Hamli tetap mempertahankan prinsipnya dengan tidak mau dimadu apa pun alasannya. Penolakan Din Wati untuk diduakan bertentangan dengan adat Minangkabau. Ia tidak merasa malu dan hina karena suaminya hanya memiliki satu istri meskipun lazimnya di Padang sebaliknya. 3) Sutan Bendahara Sejak awal, ayah Hamli ini tidak suka dengan adat istiadat 102
Ibid., h.178
53
Minangkabau. Sama seperti Hamli yang merupakan suku asli Minangkabau, Sutan Bendahara menentang keras adat tersebut. Kehidupan
pernikahannya
yang
berakhir
dengan
perpisahan
dikarenakan kerasnya adat Minangkabau. Sutan Bendahara menikah dengan Siti Anjani, ibu Hamli, berdasarkan cinta. Namun karena begitu besarnya kuasa adik perempuannya yang mengharuskannya menikah lagi, ia terpaksa menurutinya. Siti Anjani yang tidak suka dimadu akhirnya meminta bercerai dari suaminya. Meskipun masih menyayangi istrinya, Sutan Bendahara terpaksa harus menceraikan istri pertamanya. “Paksaan atas perkawinan itulah yang tak saya setujui; karena telah saya rasakan sendiri, bagaimana tak enaknya perkawinan yang dipaksakan orang,” jawab Sutan Bendahara, karena ia teringat kepada bunda Hamli, yang harus diceraikannya atas perintah kakak perempuannya, sementara sampai saat itu dia masih sayang kepada istrinya ini.103 Pengalaman pahit masa lalu membuatnya mendukung upaya Hamli menikahi gadis Sunda yang bertentangan dengan adat Minangkabau. Ditambah dengan ia tinggal di Medan sehingga secara tidak langsung terhindar dari orang-orang tua yang selama ini sangat konservatif pada adat Padang. 4) Khatijah Bila melihat asal-usul nenek moyang, nenek Hamli ini bukanlah suku Minangkabau asli. Keluarganya berasal dari tanah Jawa yang pergi ke Padang dan akhirnya menetap di sana hingga beberapa keturunan berikutnya. Karena menetap di Padang, ia menjadi masuk ke dalam suku Melayu dan harus mengikuti adat istiadat di sana. Khatijah termasuk tokoh yang menentang adat Minangkabau. Ia mendukung pernikahan Hamli dan Din Wati. Alasan menolak mengikuti adat Minangkabau lebih dikarenakan rasa sayang terhadap cucunya. Penyakit pilu Hamli akan hilang jika cucunya menikah dengan gadis 103
Ibid., h. 287.
54
Sunda membuatnya mengabaikan aturan tanah kelahirannya. “.... Tetapi di dalam masalah Hamli seperti sekarang ini, saya tak peduli dia kawin dengan perempuan mana pun, daripada dia menderita seperti ini, apalagi karena kita keturunan Jawa, bukan orang Padang asli,” kata Khatijah panjang lebar.104 Khatijah merupakan orang tua yang menjadi simbol kritik bahwa adat istiadat seharusnya ada untuk mempermudah kehidupan manusia, bukan sebaliknya. Jika saja tetap mempertahankan adat, penyakit pilu Hamli belum tentu akan sembuh dan justru membuat cucunya semakin menderita. Ketika Hamli mendapat tentangan dari keluarga, Khatijah ikut membela cucunya. Bahkan ia ikut terbuang dari Padang hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di tanah Jawa. 5) Kalsum Kalsum adalah keponakan Khatijah yang telah lama tinggal di tanah Jawa. Ia menjadi tokoh yang juga menentang adat Minangkabau dengan mendukung pernikahan Hamli dan Din Wati. Sebelumnya ia juga sudah menikahkan Sutan Melano, pemuda Padang yang masih berkerabat dengan suaminya dan Julaiha, gadis Sunda. Hubungan yang kian lama kian karib antara keduanya (Hamli dan Din Wati), diperhatikan, diikuti, dibiarkan, dan disetujui oleh Kalsum dan Khatijah, dengan kegirangan dan kesyukuran yang amat sangat .... Oleh sebab itu, Kalsum dan Khatijah tidaklah menghalang-halangi hubungan mereka, bahkan menolong agar bertambah rapat.105 Penyetujuan Kalsum atas Hamli dan Din Wati mengisyaratkan penentangan adat pernikahan oleh Kalsum. Dorongan atas hubungan Hamli dan Din Wati dilakukan karena alasan logis, faktor penyakit pilu Hamli. Ini menjadikannya melakukan hal yang bertentangan dengan adat dengan pertimbangan masuk akal yang berbanding terbalik dengan orang-orang tua di Padang. 104
Ibid., h. 141.
105
Ibid., h. 146-147.
55
6) Ratu Maimunah Ratu Maimunah adalah ibu kandung Din Wati. Ia bukan orang Minangkabau namun menjadi salah satu tokoh yang menentang adat Minangkabau karena merestui pernikahan Din Wati dengan Hamli. Persetujuan yang diberikan Ratu Maimunah karena kepercayaannya terhadap jodoh yang memang telah digariskan Tuhan kepada anaknya. Sebelumnya ia sendiri sudah mengetahui mengenai adat pernikahan Minangkabau dari keluarga Hamli yang datang melamar anaknya. “Tetapi Bunda, karena yakin akan keaslian perjodohan Ananda dengan Hamli, setelah mendengar sekalian peristiwa yang telah terjadi atas Ananda dan Hamli dengan tawakal telah menyetujui dan memberi izin kepada Ananda untuk kawin dengan Hamli.”106 Sikap Ratu Maimunah ini mendapat tentangan keluarga suaminya. Mereka menolak menikahkan Din Wati dengan laki-laki Sumatra karena sejarah kelam keluarga mereka dengan laki-laki Sumatra. 7) Radin Atmakesuma Radin Atmakesuma adalah ayah kandung Din Wati. Dalam Memang Jodoh tidak dijelaskan bahwa Radin Atmakesuma tahu atau tidak mengenai adat pernikahan Minangkabau. Ketika keluarga Hamli datang untuk melamar Din Wati, Radin Atmakesuma sedang bertugas di Jambi. Namun, persetujuannya atas pernikahan anaknya dan Hamli memberi sinyal jika sebenarnya ia juga menentang adat yang mengharuskan pernikahan terjadi sesama suku. Lima hari kemudian, datanglah surat kawat dari Radin Jaya Kesuma, yang membawa izin perkawinan itu serta surat kuasa kepada penghulu yang akan mewakili pernikahan Din Wati dan Hamli. Surat itu diterima mereka berdua, Ratu Maimunah, Khatijah, dan Kalsum dengan amat suka cita.107 8) Nurdin Teman sekolah Hamli di Sekolah Raja Bukittinggi ini juga tokoh yang menentang adat Minangkabau. Berbeda dengan Hamli, Nurdin 106
Ibid., h.200-201. Ibid., h. 202.
107
56
menentang hanya secara lisan saja. Penentangan Nurdin dengan adat Padang hanya dengan merasa bahagia mendengar kabar pernikahan Hamli dan Din Wati. b. Tokoh Konservatif 1) Ketua rapat Ketika mendengar kabar Hamli menikah dengan Gadis Sunda, keluarganya di Padang berang. Makanya saat Hamli datang ke Padang untuk menjenguk ibunya, keluarganya di Padang mengadakan rapat membahas masalah Hamli yang sudah membuat aib bagi keluarga. Ketua rapat digambarkan pengarang sebagai orang yang sabar namun tetap teguh mempertahankan adat Minangkabau. Ia memaafkan Hamli yang menikah dengan gadis Sunda tapi tetap harus menikahi gadis Padang sebagai bentuk kewajiban terhadap adat leluhurnya. Ketika akhirnya Hamli menolak, ketua rapat membuat keputusan dengan membuang Hamli dari tanah Padang “Memang tak dapat dibentuk lagi pemuda sekarang,” kata ketua rapat seraya termenung. “Akan jadi apa kelak adat istiadat kita, pusaka nenek moyang kita yang kita pegang teguh sejak semula? Niscaya akan lenyaplah ia dari tanah air kita ini karena disanggah oleh orang yang muda-muda. Dan dengan lenyapnya itu, akan hilanglah pula bangsa kita; lebur dalam bangsa campuran.”108 2) Orang-orang tua Ketika rapat, selain ketua adat, juga ada orang-orang Padang yang berkumpul. Marah Rusli tidak sekali pun menyebutkan nama di antara mereka. Mengingat penerbitan buku ini 50 tahun setelah tahun dibuatnya, Marah Rusli tidak ingin melukai hati keluarganya. Tidak adanya nama tokoh-tokoh yang konsisten konservatif bisa jadi untuk menjaga nama baik mereka. Sebagai gantinya, panggilan bagi mereka hanya “Orang tua itu”, “Orang yang sudah tidak muda”, dan “Laki-laki yang membenci Hamli”. Penulis menggabungkannya menjadi satu, yaitu orang-orang tua karena persamaan sikapnya yang konservatif. 108
Ibid., h. 367.
57
Orang-orang tua merupakan tokoh
yang menentang keras
pernikahan Hamli. Bagi mereka, menikahkan keluarganya dengan orang sesama suku seperti melepaskan hutang kepada bangsanya sendiri. Sedangkan bahwa tidak mampu menikahkan dengan sesama suku, akan mendapat aib di masyarakat. Mereka selalu menjunjung tinggi adat nenek moyang hingga tidak lagi memikirkan baik buruk adat tersebut. Bagi mereka, pusaka nenek moyang harus tetap dipertahankan, tidak peduli dengan zaman yang sudah berubah. “Tetapi, jika sungguh kau tak dapat menurutkan permintaan kami ini, tinggal satu jalan lagi yang dapat ditempuh, yaitu kita berpisah. Karena barang siapa di antara anak cucu kami yang tak mengikuti adat istiadat yang harus kami pegang teguh karena inilah kewajiban kami, terpaksa kami ceraikan pula....”109 3) Patih Anggawinata Patih Anggawinata merupakan adik ayah Din Wati yang menentang pernikahan Din Wati dan Hamli. Alasan pertama ia menolah karena Hamli berasal dari Sumatra. Ia tahu betul tradisi pernikahan di sana berbeda dengan di Bogor. Selain itu, beberapa keluarganya yang menikah dengan orang Sumatra bernasib buruk. Mereka mengikuti suaminya ke Sumatra tapi hingga saat ini belum diketahui nasib mereka. Alasan lain menolak pernikahan Din Wati dan Hamli adalah kerena ia begitu ingin menjodohkan Din Wati dengan anak iparnya, seorang Wedana Cianjur. Karena penolakan Din Wati, Wedana ini menolak menikah dengan siapa pun. Sebenarnya keduanya amat segan pergi menemui patih ini, karena telah mereka rasaka dari sana tak akan mereka peroleh izin itu. Kerena Din Wati telah menolak pinangan anak ipar patih ini, yaitu Wedana Cianjur, sehingga Wedana ini putus asa dan bersumpah taka akan kawin dengan perempuan lain, seumur hidupnya.110
109
Ibid., h. 358. Ibid., h. 182
110
58
4) Dian Dian merupakan teman Hamli, namun pengarang tidak menjelaskan teman dari mana, seperti halnya Nurdin. Dian mengikuti Hamli ke Sumbawa untuk membantu Hamli. Tokoh ini termasuk tokoh konservatif. Meskipun berada jauh dari Padang, Dian merasa Hamli harus tetap mengikuti tradisi Padang. Berbagai usaha dilakukan Dian untuk memisahkan Hamli dari Din Wati. Bahkan Dian juga memfitnah Hamli yang menyebabkan Din Wati berniat pulang ke Bogor. Saat Hamli mengetahui fitnah Dian, maka dipulangkannya laki-laki ini ke Padang agar tidak lagi mengganggu urusan rumah tangganya dengan masalah adat. Ketika segala usaha Dian untuk merenggangkan Din Wati dengan Hamli sia-sia belaka, dihasutnyalah Hamli dengan beberapa fitnah yang bukan-bukan. Tetapi, hasutan ini pun tak dapat menyampaikan niatnya yang durjana itu.111 c. Tokoh perubahan sikap 1) Siti Anjani Awal mulanya, ibu Hamli ini menentang sikap anaknya yang bertentangan dengan adat istiadat Minangkabau. Meskipun nenek moyang Siti Anjani dari tanah Jawa tetapi ia telah menjadi orang Padang dan harus mengikuti adat istiadat di sana. Karena Hamli merupakan anaknya, maka sudah seharusnya Hamli juga mengikuti aturan yang ada di Padang. Apalagi adik laki-lakinya, Baginda Raja, sudah membiayai pendidikan Hamli dan kelak akan menikahkan anaknya dengan anak Baginda Raja sebagaimana lazimnya adat di Padang. Keterikatannya dengan adat Padang dikarenakan tuntutan, bukan karena prinsip hidup seperti para orang tua di sana. Perubahan sikap Siti Anjani dimulai ketika kepulangan Hamli dan neneknya ke Padang. Setelah mendengar penjelasan Hamli tentang pernikahan anaknya, Siti Anjani akhirnya menyetujuinya. Sama seperti
111
Ibid., h. 394.
59
Khatijah, penolakan Siti Anjani pada adat di Padang dikarenakan demi kesehatan Hamli. “.... Oleh sebab itu, di dalam batin Ananda segera pula dapat menerima perkawinan ini; karena untuk keselamatan Hamli, tak Ananda hiraukan dengan siapa dia kawin. Sekarang, nyata bahwa perbuatannya ini tak salah karena dia dapat mencapai maksudnya. Bahwa tidak, hanya Allah yang tahu, bagaimana nasibnya dibawa oleh penyakit pilunya yang berbahaya itu.”112 2) Baginda Raja Baginda Raja merupakan adik laki-laki Siti Anjani yang membiayai Hamli sekolah. Sebagaimana lazimnya adat di Padang, bahwa pamanlah yang harus menanggung hidup keponakannya, bukan ayah ibunya. Dalam Memang Jodoh, Baginda Raja memiliki hak penuh atas kehidupan Hamli, termasuk perkara perkawinan. Maka sejak kecil, ia sudah menjodohkan Hamli dengan puteri kandungnya sendiri. Ketika Hamli menikah dengan Din Wati, Baginda Raja menjadi orang pertama yang murka dengan peristiwa itu. Ia bahkan memutuskan tali persaudaraan dengan kakak dan ibunya yang mendukung Hamli. Bahkan, ia juga meminta dikembalikan semua biaya yang telah ia keluarkan untuk pendidikan Hamli. “.... Saya sebagai mamaknya berkuasa atas dirinya dan tak mengizinkan bahkan melarang dia kawin dengan perempuan asing, apalagi yang telah hina. Bahwa tak diturutinya perkataan saya ini, maka putuslah saya berkemenakan dia dan putus pula saya bersaudaraan ibunya dan beribukan neneknya. Rumah saya ini hendaklah dikosongkan, supaya saya berikan kepada orang yang lebih mempunyai perasaan terima kasih. Hamli harus mengembalikan sekalian biaya yang telah saya keluarkan untuk dirinya, suapaya saya dapat pergunakan untuk menjemput sutan-sutan atau marah-marah yang lebih bangsawan dan rupawan dari padanya....”113 Baginda Raja mengalami perubahan sikap menjadi mendukung pernikahan Hamli ketika mendapat musibah. Ia yang bekerja sebagai
112
Ibid., h. 341-342. Ibid., h.251.
113
60
penjaga kereta api disalahkan saat terjadi kecelakaan kereta api yang memakan banyak korban jiwa. Akibatnya, ia dipenjara beberapa bulan. Kehidupan di penjara membuatnya menyadari kesalahannya pada ibu, kakak, dan keponakannya. Apalagi ia bukan hanya menentang pernikahan Hamli tetapi juga berbuat jahat untuk menghancurkan pernikahan keponakannya tersebut.
5. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan novel Memang Jodoh adalah orang ketiga mahatahu. Dalam cerita ini, pengarang hanya sebagai narator yang menyampaikan peristiwa. Narator penggunakan nama, dia, dan ia untuk menyebutkan nama tokoh. Selain itu, narator juga mengetahui segala hal tentang tokoh serta motivasinya dalam melakukan suatu tindakan. Hamli terdiam beberapa lamanya, seperti menimbang apa yang baik diperbuatnya pada waktu itu. Tetapi, hatinya murung bercampur sebal mendengar putusan kaum keluarganya ini. Sampai sekian teguh mereka terikat oleh adat negerinya sehingga mau membuang anak-anaknya, yang tak bisa mengikuti aturannya.114 Penggunaan orang ketiga mahatahu ini menjelaskan betapa tidak sukanya pengarang terhadap kondisi sosial yang ada di dalam masyarakat Minangkabau.
Orang
ketiga
mahatahu
membuat
pengarang
bebas
menceritakan dengan menyelipkan sikap subjektifnya dengan mengetahui motif para tokohnya.
6. Gaya Bahasa Marah Rusli sering menyelipkan pantun di tengah-tengah dialog antartokoh. Memang, meskipun novel ini baru diterbitkan pada 2013, namun sebenarnya novel ini telah dibuat sekitar tahun 60an serta ceritanya berlatar tahun 1920an. Masyarakat Minangkabau sering penggunakan pantun sebagai bentuk penyampaikan pesan. “Ke pulau kita ke pulau 114
Ibid., h. 152.
61
Ke pulau menjaring udang; Bergurau kita bergurau Bergurau bergirang-girang.”115 Selain menggunakan pantun, diksi yang digunakan dalam novel ini memiliki makna yang berlainan jika dikaitkan dengan zaman sekarang. Perubahan makna yang ada dalam novel ini ke arah lebih negatif atau peyorasi. Sebagai contoh penggunaan kata “kawin”. Dalam novel ini, kata “kawin” sering diucapkan oleh Hamli yang merupakan tokoh berpendidikan. Jika dihubungkan dengan zaman sekarang, orang-orang lebih menggunakan kata “nikah” daripada kawin. Hal yang sama terjadi pada kata “beranak”. Kata tersebut jika dikatakan di zaman sekarang, akan terdengar kasar karena kata lain yang lebih positif adalah “melahirkan”. “Karena pikiran yang sederhana pun dapat memikirkan, bahwa penyakit ini memang penyakit rindu kawin, niscaya ia takkan ada mulai dari Padang ini akan takkan bertambah keras di Bogor karena sebelumnya saya berangkat ke tanah Jawa, saya telah dapat kawin di Padang ini bahkan sepuluh kali pun, menurut kebiasaan kita di sini.”116 B. Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli Memang Jodoh adalah karya terakhir dari penulis Sitti Nurbaya, Marah Rusli. Novel ini diterbitkan pada 2013 atau 45 tahun setelah kematian penulisnya. Marah Rusli sendiri yang berpesan bahwa buku ini boleh diterbitkan ketika tokoh-tokoh di dalamnya sudah meninggal agar tidak menyakiti mereka. Memang, novel ini semacam semiautobiografi Marah Rusli yang menggunakan nama-nama lain dalam tokohnya. Seperti yang diungkapkan Atar Semi bahwa karya sastra digunakan pengarang untuk mengungkapkan masalah kehidupan yang dialaminya. 117 Marah Rusli menggunakan Memang Jodoh sebagai pengungkapan konflik kehidupan pribadinya dengan menggunakan nama yang berbeda. Masalah yang diangkat Marah Rusli pun seputar adat pernikahan dalam masyarakat Minangkabau yang pernah dialaminya puluhan tahun silam. Lewat tokoh 115
Ibid., h.35. Ibid., h. 349. 117 M. Atar Semi, op. cit., h. 73. 116
62
Hamli, Marah Rusli mengungkapkan kegusarannya tentang adat pernikahan Minagkabau yang sebenarnya justru merugikan masyarakatnya sendiri. Masyarakat di sana hanya memikirkaan warisan adat nenek moyang tanpa memikirkan baik buruk dari adat tersebut. Mulai dari uang mahar yang justru diberikan pihak perempuan ke pihak laki-laki hingga kewajiban beristri banyak dan menikah harus sesama orang Minangkabau yang menyimpang dari normalnya kehidupan. Berikut adalah hasil penjabaran mengenai kritik dalam novel Memang Jodoh. 1. Laki-laki jemputan Menurut Amir M.S., adat Minangkabau menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau yang biasa dikatakan “uxori local”. Sistem ini menetapkan jika dalam pernikahan, suamilah yang harus pindah dan tinggal di kediaman istrinya meski tanpa mengubah status persukuannya. Suami dipandang sebagai pendatang atau tamu terhormat.118 Sistem seperti itu membuat suami menjadi pihak yang pasif. Artinya ketika terjadi pernikahan, maka yang harus dijemput dengan uang adalah pihak laki-laki. Sistem ini menjadikan kedudukan istri lebih berkuasa atas suaminya. “Kebangsawananku, rupaku yang tampan, kepandaian, dan pangkatku yang lumayan serta umurku yang masih muda, bukanlah semuanya itu penarik hati yang amat kuat bagi perempuan Padang, bahwa tak boleh kukatakan, idaman ibu-ibu Padang yang punya anak gadis? Asal aku menurutkan kebiasaan yang dilazimkan dan dimuliakan di sana, yang sebenarnya wajib pula bagi laki-laki Padang, yaitu dilamar, dikawinan sana-sini, sebuah kebiasaan yang akan mendatangkan pujian dan penghargaan tinggi, ....”119 Kritik Marah Rusli ini disampaikan melalui sindirian yang diucapkan oleh tokoh Hamli. Ketika Hamli harus memilih apakah akan melanjutkan pendidikannya di Belanda dengan biaya yang sangat mahal demi mendapatkan penghasilan lebih tinggi. Hamli bisa saja mendapatkan
118
Amir M.S., Adat Minangkabau: Pola Hidup dan Tujuan Orang Minang, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1999), h. 25. 119 Marah Rusli, op.cit., h.31.
63
penghasilan tinggi tanpa harus mengeluarkan banyak uang untuk sekolah di Belanda jika menuruti tradisi di Padang, yakni dilamar dan dinafkahi oleh keluarga istrinya. Tradisi dilamar adalah kewajiban bagi laki-laki Padang meskipun besaran uangnya berbeda-beda. Ini tergantung dari gelar laki-laki tersebut. Lukman Ali memaparkan bahwa orang-orang bangsawan di Padang akan dijemput oleh keluarga perempuan dengan uang besar bahwa ingin dijadikan menantu.120 Kondisi seperti itu terjadi karena meskipun menganut sistem matrilineal, anak yang lahir akan mengikuti gelar ayahnya. Istilahnya adalah membeli darah. Hamli yang merupakan seorang bangsawan bergelar marah, tentu akan mendapatkan uang jemputan jika ia mau mengikuti adat tersebut. Sudah banyak orang Padang yang meminang Hamli dengan uang jemputan besar kepada ibunya. Hanya saja, Hamli tetap pada pendiriannya untuk menolak tradisi laki-laki dilamar. Dalam Memang Jodoh, Marah Rusli memaparkan alasan mengapa tradisi laki-laki dilamar tidak pantas untuk tetap dijalankan di Padang. Paradigma yang salah ini diluruskan lewat tokoh Hamli dalam kutipan berikut. “Kedua,” tambah Hamli “karena suami dipandang bagi orang semenda, orang datang, yang tidak punya hak apa-apa atas istri dan anaknya, sehingga dia tidak punya tanggung jawab atas anak dan istrinya itu. Di mana-mana suami itu dipandang sebagai kepala keluarga, sehingga dia bertanggung jawab penuh atas anak dan istrinya, yang harus dipelihara dan dibelanya. Menurut sifat-sifatnya sebagai manusia, memang dialah pemelihara dan pembela. Tetapi mengapa di Padang ini, dia dijadikan orang yang harus dipelihara dan dibela, sehingga tiada dapat ia menjalankan kewajibannya sebagai suami dan bapak?”121 Kritik tersebut berkembang pada peran laki-laki dalam keluarga barunya. Karena setelah tradisi dilamar, peran laki-laki dalam keluarga tidak akan kembali sebagaimana mestinya, yaitu sebagai kepala keluarga dan pemberi nafkah. Peran laki-laki dalam tradisi di Padang seperti halnya peran perempuan di wilayah lain dengan diberi nafkah oleh pasangannya. Kondisi 120
Lukman Ali,Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 118. 121 Marah Rusli, op. cit., h.59.
64
tersebut karena kemuliaan keturunan laki-laki yang kelak akan diberikan pada istrinya sehingga istri begitu memanja suami. Hamli justru beranggapan bahwa kemuliaan keturunan akan didapat bahwa suami dapat menjalankan kewajiban yang sebenar-benarnya. Kondisi yang salah tersebut membuat kedudukan suami lebih lemah dibanding istrinya. Suami menjadi tidak berhak untuk mengatur dan memimpin rumah tangganya. Jika diibaratkan, suami di Padang bukan nahkoda yang memimpin ke mana kapal berlayar tapi seperti supir yang menjalankan mobil sesuai keinginan penumpang. Seperti dalam kutipan yang diucapkan Hamli berikut. “Menurut pendapat saya, dalam suatu keluarga, laki-laki itulah yang harus jadi pemimpin, yang bertanggung jawab atas anak dan istrinya, karena menurut bagian tubuhnya, dialah pihak yang melindungi, sedangkan anak dan istrinya, menurut keadaannya, memanglah pihak yang harus dilindungi. Jadi, bukan istri yang harus memelihara suaminya dan bukan pula orang lain yang harus memelihara anaknya.”122 Di novel ini, kekuatan pengarang untuk mengkritik sistem laki-laki jemputan begitu terasa dengan tidak membuat tokoh di dalamnya menurut dengan tradisi tersebut. Bahkan, jauh sebelum Hamli menentang adat tersebut, tokoh Sutan Bendahara yang merupakan ayah Hamli tidak mengikuti tradisi laki-laki jemputan ketika menikahi ibu kandung Hamli. Dan, walaupun dia dijemput oleh orang tua perempuan itu, seluruh uang dan barang-barang jemputan itu, berasal dari dirinya sendiri, yang diberikannya kepada orang tua istrinya ini, dengan maksud, supaya perkawinannya jangan sampai melanggar adat istiadat Padang, sehingga menjadi buah tutur orang yang berbisa mulutnya, yang hendak menghinakannya; dia sebagai seorang sutan telah merendahkan derajatnya, karena suka mengawini perempuan, yang tiada menjemputnya, perbuatan yang dipandang tiada patut dan merusak adat nenek moyang.123 Sikap Sutan Bendahara menjadi cermin bahwa tradisi laki-laki jemputan benar-benar menjadi bentuk kritikan keras yang ingin disampaikan Marah Rusli. Sutan Bendahara, bangsawan asli Padang yang menikahi gadis Padang 122
Ibid., h.355. Ibid., h.222.
123
65
keturunan Jawa serta hidup di lingkungan yang menganut tradisi tersebut justru tidak mengikuti adat negerinya. Meskipun orang-orang akan memandangnya sebagai laki-laki jemputan namun itu dilakukan agar tidak mendapat hukum sosial di masyarakatnya. 2. Nikah sesama suku Minangkabau Koentjaraningrat dalam Yahya Samin dan kawan-kawan memaparkan bahwa pernikahan di Minangkabau bersifat eksogami yaitu melarang pernikahan sesama suku karena masih bersaudara. Selain itu, pernikahan di sana juga menganut sistem endogam yaitu mengutamakan pernikahan sekampung. Seseorang akan lebih dihormati lagi jika menikah dengan anak mamaknya (saudara laki-laki ibu) sehingga mempermudah pembagian harta pusaka.124 Sistem endogam ini merupakan salah satu kritik yang disampaikan Marah Rusli di novelnya lewat tokoh Hamli. Sejak masih kecil, Hamli sudah dijodohkan dengan anak mamaknya. Sesuai dengan garis keturunan ibu, maka hubungan seseorang dengan anak pamannya menjadi tidak sedarah. Perjodohan anak dengan kemenakan dilakukan untuk mempermudah pembagian harta pusaka nanti. Hanya saja Hamli menolak dijodohkan dengan anak mamaknya meskipun biaya sekolahnya selama ini dibiayai oleh mamaknya. “Pertama, karena perkawinan dipandang sebagai perkara ibu, bapak, dan mamak, bukan perkara anak yang akan dikawinkan; sehingga anak yang akan menjalani dan akan merasakan buruk-baik perkawinan itu seumur hidupnya, dan tanpa tahu apa-apa, harus menurut saja kehendak orang tua atau mamaknya.”125 Meskipun dalam sebuah pernikahan melibatkan kedua keluarga, namun pada dasarnya yang menjalani adalah dua orang, suami dan istri. Anak yang kelak akan menjadi suami atau istri sudah seharusnya tahu bagaimana calon pasangannya karena akan hidup bersama seumur hidupnya. Ketidakaktifan anak dalam menentukan pasangannya nanti dapat diibaratkan membeli kucing dalam karung. Anak tidak dapat menentukan apakah orang tersebut layak atau 124
Yahya Samin,dkk, Sistem Pengendalian Sosial Tradisional Daerah Sumatera Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1993) h. 25 125 Marah Rusli, op. cit., h. 58.
66
tidak menjadi pasangannya karena semua hal itu menjadi urusan orang tua dan mamaknya. Akhirnya, ia akan tahu pasangannya justru setelah pernikahan itu dilaksanakan. Pengaitan pernikahan dengan sesama orang Minangkabau karena orang-orang tua biasanya masih berpegang teguh dengan adat istiadat dan pernikahan selalu dikaitkan dengan urusan orang tua, bukan anak. Dalam kasus Hamli, ia juga diharuskan mengikuti tradisi nenek moyangnya. Ketika Din Wati dan Hamli ingin melanjutkan cinta mereka ke jenjang pernikahan, Burhan memberitahu Din Wati masalah pernikahan dalam adat di Padang. “Laki-laki di Padang tak diizinkan kawin dengan perempuan yang bukan masuk suku Padang. Dipandang sangat hina apabila seorang laki-laki, lebih-lebih perempuan, kawin dengan orang yang berasal dari daerah lain. Oleh sebab itulah, perkawinan campuran biasanya tidak tahan lama dan tak dapat dipertahankan, segera putus kembali; karena ia membawa beberapa halangan, dan dihalang-halangi. Jika lama juga jodoh mereka, perkawinan itu akan menjadi neraka dunia, bagi suami, lebih-lebih istrinya.”126 Ketika Hamli memutuskan untuk tetap menikahi Din Wati, gadis yang bukan berasal dari Padang, maka keluarga Hamli bukan hanya murka tapi juga berbuat segala cara untuk memisahkan mereka. Cara-cara yang digunakan juga beragam, mulai dari memfitnah Din Wati, sampai mencelakai istri Hamli tersebut. Keluarga Hamli begitu berambisi untuk mengembalikan Hamli ke jalan yang sesuai dengan adat nenek moyang mereka, seperti dalam kutipan berikut. “Tetapi mengapa Din Wati yang harus dicelakakan karena dia tidak bersalah dalam hal ini?” dakwa Mpok Nur. “Supaya Hamli menderita kesedihan sebab ditinggalkan istrinya, yang tentulah dicintainya. Mungkin juga, seperti telah saya katakan tadi, supaya Hamli bebas pula dan suka dipinangnya kembali.”127 Datuk Sati adalah seorang penenun 128 yang diperintah keluarga Hamli untuk membinasakan Din Wati. Penggunaan penenun seperti ini digunakan 126
Ibid., h. 155. Ibid., h. 326. 128 Dalam Memang Jodoh, penenun berarti orang yang bisa melihat masa depan lewat ramalannya. Jika dikaitkan dengan zaman sekarang, penenun dapat dikatakan paranormal. 127
67
ketika keluarga Hamli patah arang untuk memisahkan Hamli dan Din Wati. Pasangan ini tetap berpegang teguh untuk mempertahankan pernikahan di tengah tuntutan adat yang dialamatkan pada Hamli. Oleh karena itu, jalan menggunakan penenun digunakan. Hanya saja, cara ini pun tidak berhasil. Pengarang mengungkapkan bahwa Din Wati dilindungi oleh arwah kakaknya yang dulu hilang di kandungan ibunya. Ditambah keluarga Din Wati juga memiliki seekor harimau jadi-jadian. Tradisi menikahkan anak dengan sesama orang Minangkabau juga membelenggu sedemikian kuat di pikiran orang-orang Minangkabau sehingga melakukan segala cara agar dapat menjalankannya. Tradisi yang dibuat nenek moyang dengan maksud baik justru diperoleh dengan cara tidak baik, yaitu mencelakai orang lain dengan diguna-guna tukang tenun. Ini bentuk kritikan yang disampai oleh Marah Rusli, bahwa adat yang sedemian rupa justru akan membuat orang Minangkabau celaka dengan perbuatan jahatnya. Tradisi nenek moyang tidak seharusnya dipegang teguh tanpa memperhatikan baik buruknya bagi masyarakat Minangkabau. Untuk melawan tradisi ini, maka Marah Rusli menggunakan cara yang juga tidak masuk akal bagi orang-orang berpendidikan. Jika pernikahan sesuku dipertahankan dengan alasan yang kurang realistis, maka Marah Rusli juga menggunakan alasan serupa untuk melawannya. Orang-orang di Minangkabau yang masih memegang tradisi adalah orang-orang tua yang percaya dengan hal-hal di luar nalar manusia, yaitu hal-hal berbau mistis. “Takala dia tiga bulan dalam kandungan ibunya, Anjani telah mendapat ilham, yaitu suatu mimpi. Dalam mimpi itu, suaminya, Sutan Bendahara, datang dari tanah Jawa membawakannya seekor burung Bayan (burung Nuri) yang amat elok rupanya, dalam sebuah sangkar yang permai, lalu diberikannya kepada Anjani, sebagai buah tangan dari Jawa. Burung ini diterima oleh Ajani dengan amat suka hati, lalu diletakkannya di atas pangkuannya, dipandang dan dipermainkannya beberapa lamanya dengan riang gembira. Ketika kami tanyakan kepada ahli nujum yang pandai, apa tabir mimpi itu, dia berkata: anak yang dikandung Anjani, Hamli ini, jodohnya ada di tanah Jawa.”129 129
Ibid., h. 140-141.
68
Marah Rusli menggunakan mimpi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan adat Minangkabau. Jika dilihat dari logika, alasan seperti ini tidak masuk akal sebagai cara untuk menikahi Din Wati. Sebuah mimpi burung Nuri tidak ada hubungannya dengan jodoh anak yang dikandung Anjani kelak. Namun, tentu cara ini lebih terdengar masuk akal bagi para tetua adat yang masih menjunjung tradisi nenek moyang. Jika alasan yang digunakan kalau Din Wati adalah perempuan baik, pintar, dan cantik yang digunakan Hamli untuk menikahi perempuan itu, niscaya akan sulit diterima bagi tetua adat. Karena bagi tetua adat, alasan terkuat untuk menikah gadis adalah uang jemputan yang besar dan gadis itu berasal dari Minangkabau. 3. Menikahi banyak perempuan Dalam adat Minangkabau, seorang laki-laki khususnya kaum bangsawan diharuskan menikahi lebih dari satu perempuan Minangkabau. Karena meskipun seorang anak akan mengikuti suku ibunya, namun gelar bangsawan ayah akan jatuh ke tangan anaknya. Seorang mertua akan bangga jika anak perempuannya menikah dengan bangsawan. Oleh karena itu, mereka akan menjemput laki-laki bangsawan dengan uang yang banyak agar mau dijadikan menantu. Dalam Memang Jodoh, persoalan menikahi banyak perempuan menjadi salah satu kritikan Marah Rusli. Bahkan jauh sebelum menceritakan konflik Hamli dengan tradisi ini, Marah Rusli mengungkapkan bangsawan di Padang yang menikahi lebih dari satu perempuan, yaitu Sutan Bendahara, ayah Hamli. Sungguh pun dia masih sayang pada istrinya ini dan telah beroleh dua anak laki-laki darinya-sayang yang bungsu tak panjang umurnya, karena dia meninggal muda-tetapi karena paksaan kakaknya yang perempuan, untuk menunaikan perantauan negerinya, yang memuliakan bangsawan beristri banyak, tanda dihargai asalnya yang tinggi itu, terpaksalah dia mengawini perempuan lain.130 Dalam agama Islam yang menjadi agama mayoritas di Padang, menikahi
130
Ibid., h. 222.
69
lebih dari satu perempuan dibolehkan jika dapat berlaku adil. Dalam hukum adat Minangkabau, hal seperti ini malah diharuskan karena tidak bertentangan dengan agama. Bahkan jika seorang laki-laki hanya memiliki satu istri, itu akan membuat dirinya dan keluarganya malu dan terhina. Hal berbeda justru diungkapkan Hamka dalam Lukman Ali bahwa poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh adat di Padang bukanlah poligami menurut Islam tetapi poligami adat.131 Poligami di kalangan bangsawan Minangkabau terasa mudah karena suami tidak perlu membiayai kehidupan istri dan anaknya. Suami justru diberi nafkah oleh keluarga istrinya. Tugas suami hanyalah memberi keturunan bagi istrinya. Orang-orang berebut untuk mendapatkan keturunan dari bangsawan agar cucunya kelak mendapatkan gelar kebangsawanan. Karena itulah banyak orang yang berlomba menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki bangsawan, tidak peduli bahwa anaknya dijadikan madu. Pemikiran Marah Rusli tentang beristri banyak bertentangan dengan pemikiran keluarga tokoh Hamli, khususnya para tetua adat. Bagi pengarang, beristri banyak justru akan menimbulkan permasalahan bukan kebaikan. Lewat contoh yang dialami Adam, teman Hamli, pengarang memberi alasan mengapa ia mengkritik adat beristri banyak seperti dalam kutipan berikut. “Semua mertuanya sibuk ke sana kemari, mencari obat lahir dan batin, untuk suami dan madu anaknya, supaya Adam sayang kepada anaknya dan benci kepada madunya. Dan oleh sebab obat-obatan itu untuk kasih sayang, bukan untuk penyakit, mereka tak menghiraukan kesehatan badan suaminya, sehingga Adam kian lama kian merana. Badan kurus muka pucat dan tenaga hilang. Akhirnya tewas.”132 Kematian Adam ternyata masih menimbulkan pertikaian keempat istrinya yang memperebutkan harta warisan Adam. Mereka bertengkar ketika jenazah Adam masih berada di rumah hingga menimbulkan aib. Hingga akhirnya kemenakan Adam datang mengusir keempatnya yang tidak mendapatkan apa-apa.
131
Lukman Ali, op. cit., h. 117. Marah Rusli, op.cit., h. 280.
132
70
Kisah Adam yang berakhir dengan kematian karena beristri empat dijadikan pelajaran oleh Hamli. Bahkan Mahmud yang menceritakan kisah ini menasihati Hamli agar tidak mengikuti perbuatan Adam meskipun dipaksa oleh adat. Tradisi yang melekat dalam tubuh masyarakat Minangkabau justru mencelakai orang-orangnya. Hamli menjadikan cerita Adam sebagai alasan untuk menentang beristri banyak yang dipaksakan keluarganya selain dia yang memang tidak suka beristri banyak. Meskipun demikian, keluarganya bersisih kukuh agar Hamli mau berpoligami dengan menikahi perempuan di Padang sebagai bentuk pelepasan hutang ke nenek moyang. Ketika Hamli menolak, ia justru dibuang secara adat dari keluarganya. Ia tidak dianggap lagi sebagai orang Padang. 4. Hubungan Mamak dan Kemenakan Adat istiadat mengenai pernikahan dalam masyarakat Minangkabau tidak terlepas dari sistem yang dianut masyarakatnya. Minangkabau menganut sistem matrilineal, sebuah sistem di mana garis keturunan ada di pihak ibu. Selain itu, yang membedakan masyarakat Minangkabau dengan masyarakat lain adalah kekuasaan terhadap seorang anak ada di mamak atau saudara laki-laki ibu bukan orang tua. Umar Junus memaparkan bahwa sebagai suatu ideologi, mamak memiliki dua arti, yaitu: a) Seseorang yang menjaga kesejahteraan (material) dari keluarga matrilinealnya. b) Seseorang yang berusaha untuk menjaga tak terjadinya pelanggaran adat.133 Hubungan antara mamak dan kemenakan inilah yang merupakan kelanjutan dari sistem matrilineal. Seperti pembahasan sebelumnya bahwa dalam pernikahan, seorang anak akan masuk ke dalam suku ibunya dan dikepalai oleh seorang mamak. Kebutuhan anak secara otomatis menjadi tanggung jawab mamak. 133
Umar Junus, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 52.
71
Sebenarnya, kemenakan tidak harus anak dari saudara kandung mamak. Chairil Anwar memaparkan jenis-jenis kemenakan dalam masyarakat Minangkabau, yaitu: a) Kemenakan bertali darah yaitu kemenakan kandung yaitu anak dari saudara-saudara perempuan mamak. b) Kemenakan bertali sutera yaitu kemenakan jurai yang lain tapi masih berhubungan darah dengan jurai mamak. c) Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan di bawah lutut, orang yang bekerja
pada
mamak
dengan
diberi
emas
(uang)
dan
dengan
persetujuannya dijadikan kemenakan. d) Kemenakan bertali budi yaitu dari orang-orang yang hidupnya berpindah tempat dan di tempat baru mencari mamak baru.134 Dalam Memang Jodoh, Hamli termasuk kemenakan bertali darah karena mamaknya merupakan adik kandung ibu Hamli. Hubungan Hamli dan mamaknya, Baginda Raja seperti layaknya hubungan mamak dan kemenakan di Padang. Baginda Raja menjadi orang yang bertanggung jawab atas kesejahteraan material Hamli. Bahkan ketika Hamli bersekolah di sekolah pertanian di Bogor, mamaknya juga memenuhi kebutuhan hidupnya. “Ayahku setuju dengan cara ini dan sanggung membiayaiku di negeri Belanda Rp90,- sebulan, yang dipandang cukup oleh Tuan Smith untuk di sana apabila aku hidup sederhana,” jawab Hamli. “Sedang mamakku Baginda Raja telah pula mengadaikan sawahnya Rp1.000,- untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin dan keperluan yang lain-lain.”135 Sebenarnya kewajiban mamak terhadap kemenanakannya tidak hanya sekadar pemenuhan kebutuhan secara materi tapi juga moril. Ketika kemenakannya dalam kesulitan, mamaklah yang nantinya memberi peetunjuk dan nasihatnya. Jika kemenakannya seorang perempuan, mamak yang akan menjaga kesucian dan martabat kemenakannya. Penjagaan moril yang dilakukan Baginda Raja terhadap Hamli agar 134
Chairil Anwar, Hukum Adat Indonesia: Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1997), h. 87. 135 Marah Rusli, op. cit., h. 28.
72
kemenakannya tidak melanggar adat Minangkabau. Hal ini yang menjadi alasan Baginda Raja menjadi sosok yang vokal memaksa Hamli untuk menikahi gadis Minangkabau. Secara ekstrim, mamak akan memaksa kemenakannya untuk mengikuti aturannya.
C. Relevansi Penelitian Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pembelajaran sastra di sekolah bertujuan agar siswa dapat mengapresiasi sebuah karya sastra. Penggunaan karya sastra dapat membuat siswa mempelajari banyak hal tentang kehidupan seperti nilai sosial, agama, moral, dan budaya. Pembelajaran nilai-nilai dalam karya sastra diharapkan dapat menjadikan motivator untuk membentuk karakter yang baik dalam diri siswa. Novel Memang Jodoh dapat dijadikan sumber belajar siswa di materi apresiasi sastra di Sekolah. Dalam Memang Jodoh, siswa dapat menggali unsur-unsur luar yang berpengaruh terhadap isi novel tersebut. 1. Latar Belakang Siswa dapat mencari biografi pengarang yang menyangkut asal daerah, pendidikan, dan ideologinya. Unsur-unsur tersebut sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap karya yang ditulis oleh pengarang. Dalam novel Memang Jodoh, siswa akan menemukan bahwa pengarangnya, Marah Rusli, adalah seorang bangsawan Padang yang juga bekerja sebagai dokter hewan. Setelah mengetahui biografi pengarang, siswa akan menemukan pengaruh latar belakang sastrawan di beberapa bagian novel yang ditulisnya. Siswa akan mengetahui jika latar belakang pengarang dapat mempengaruhi novel yang akan dibuatnya. 2. Kondisi Sosial dan Budaya Dalam Memang Jodoh, siswa diharapkan mampu menemukan kondisi sosial budaya yang ada di dalamnya. Novel Memang Jodoh erat kaitannya dengan budaya Minangkabau. Penggunaan latar tempat di Padang menjelaskan cerita yang mengambil kebudayaan dan adat istiadat Minangkabau. Dalam novel ini, siswa akan mengetahui mengenai budaya
73
yang ada dalam suku Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, khususnya adat pernikahan terjadi perbedaan dengan daerah lain di Indonesia, yakni mengenai proses lamaran. Di Padang, proses lamaran dilakukan oleh perempuan dengan mendatangi rumah keluarga laki-laki dengan membawa uang lamaran. Kondisi sosial masyarakat di Padang adalah kerasnya masyarakat Minangkabau dalam memegang teguh adat istiadat di sana. Masyarakat di sana begitu kuat memperbaiki sikap bahwa ada salah satu anggota masyarakat yang melanggar adat. Dalam kasus Hamli, masyarakat yang diwakili tetua adat bahkan rela membuang Hamli dari keluarga ketika Hamli menolak mengikuti tradisi di Padang. 3. Tempat Novel Memang Jodoh ditulis oleh pengarang berdarah Minangkabau. Novel ini tidak bisa dilepaskan dengan kondisi Kota Padang yang merupakan tempat orang Minangkabau tinggal. Penggunaan Kota Padang juga sejalan dengan kondisi sosial dan budaya yang ada dalam novel Memang Jodoh. Dengan mengetahui unsur-unsur ekstrinsik dalam novel Memang Jodoh, siswa akhirnya dapat mengetahui bahwa sebuah karya sastra muncul tidak secara tiba-tiba. Ada proses yang dialami oleh pengarang di kehidupan nyatanya, sehingga karya sastra tidak hanya sekadar cerita fiktif. Menggali unsur intrinsik, membuat siswa tidak hanya tahu unsur di dalam cerita tetapi juga unsur di luar cerita. Selain itu, diharapkan siswa dapat memahami unsur-unsur lain di luar cerita yang mempengaruhi unsur dalam cerita tersebut.
74
74
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Setelah melakukan penelitian mengenai kritik sosial dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli, maka penulis menarik kesimpulan dari hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini adalah jawaban dari rumusan masalah yang terdapat dalam bagian pendahuluan. Berikut adalah kesimpulan hasil penelitiannya: 1. Kritik sosial yang ingin disampaikan Marah Rusli lewat novel Memang Jodoh adalah adat istiadat masyarakat Minangkabau yang justru merugikan masyarakatnya sendiri. Tradisi laki-laki jemputan akan membuat posisi suami dalam rumah tangga berada di bawah kekuasaan istri. Suami menjadi orang yang tidak dapat memimpin bahtera rumah tangga sebagaimana mestinya karena kedudukannya telah digantikan oleh istri. Sebagai ganti, suami hanya dipandang sebagai orang luar sehingga tidak memiliki hak apa-apa terhadap istri dan anaknya. Kondisi yang demikian akan berakibat renggangnya hubungan suami dengan keluarganya. Bahkan kedudukan dan posisi suami dalam keluarga tidak ubahnya seperti orang lain atau tamu. Selanjutnya adat yang mengharuskan pernikahan sesama orang Minangkabau menjadi bagian yang dikritik oleh Marah Rusli. Pernikahan sesama suku diharuskan agar harta pusaka nantinya tidak akan jatuh ke orang lain. Dalam adat ini, Marah Rusli mengkritik karena jodoh adalah kehendak Tuhan. Manusia sebagai manusia biasa tidak dapat melawan kehendak yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Dalam adat Minangkabau juga diharuskannya seorang bangsawan untuk menikahi banyak perempuan. Ini dikarenakan untuk membagi gelar kebangsawanannya. Kondisi ini juga yang menjadi sasaran kritik Marah Rusli. Meskipun agama tidak melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu, namun jika tidak
74
75
dibarengi dengan penghasilan dan hanya berpangku tangan dengan istri, maka lebih baik tidak dilakukan. 2. Relevansi penelitian ini dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra dapat digunakan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran apresiasi kesusastraan. Kritik sosial yang ada dalam novel ini dapat menambah wawasan siswa mengenai unsur ekstrinsik yang berhubungan dengan latar budaya.
B. Saran Novel ini dapat dijadikan sebagai sumber belajar di sekolah karena dalam novel Memang Jodoh, terdapat kebudayaan Minangkabau di tahun 1920an yang saat ini hampir sudah dilupakan masyarakat. Selain itu, para guru dan siswa selayaknya menyadari bahwa pembelajaran sastra bukan sekadar membaca karya sastra, namun juga mengetahui alasan munculnya karya sastra. Penggunaan novel Memang Jodoh membuat siswa akan memahami salah satu khasanah kebudayaan yang ada di Indonesia. Siswa tidak hanya membaca sebuah karya sastra tetapi juga mengetahui seluk beluk budaya di Padang puluhan tahun silam. Dengan demikian, siswa dapat memahami kondisi masyarakat Minangkabau di tahun 1920an.
76
DAFTAR PUSTAKA Adinegoro, Djamaludin. Tata Kritik. Jakarta: N.V. Nusantara. 1958. Ali, Lukman.Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956. Jakarta: Balai Pustaka. 1994 Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Penerbit Sinar Baru. 1987. Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola Hidup dan Tujuan Orang Minang. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. 1999. Anonim.
Daftar
Pengarang
Indonesia.
Jakarta:
Lembaga
Bahasa
dan
Kesusastraan. 1965. Anwar, Chairil. Hukum Adat Indonesia: Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 1997 A. Teeuw. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984. B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1993 Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud. -------------------------------. Politik Ideologi. dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999. Edraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi. Yogyakarta: Medpress. 2008. E. Kosasih. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Nobel Edumedia. 2008. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra Edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Junus, Umar. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia. 1983 --------------- Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 1984 Kurniawan, Heru. Teori. Metode. dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. K.M., Saini. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa. 1987 Mardanas, Izarwisma. Marah Rusli: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: 76
77
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Natawidjaja, P. Suparman. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: Intermasa. 1982. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.1995. Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Rusli, Marah. Memang Jodoh. Bandung: Qanita. 2013. Saini K.M. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.1986 Samin, Yahya, dkk. Sistem Pengendalian Sosial Tradisional Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Depdikbud. 1993. Semi, M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 1993. Sumardjo, Jacob. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV. Nur Cahaya. 1982. Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. 1986 Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Syarbaini, Syahrial dan Rusdiyanta. Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1991. Waluyo, Herman J. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widia Sari Press. 2002. Wellek, Rene dan Austin Waren. Teori Kesusatraan. Jakarta: Gramedia. 1995. Yudiono K.S. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2009.
Anonim. Marah Rusli http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/lamanbahasa/node/429 diakses pada 27 Desember 2014 pukul 9.19 WIB
78
Lampiran: RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Sekolah : Mata Pelajaran : Kelas : IX (sebelas) Semester : I (satu) A. Standar Kompetensi Membaca : memahami berbaagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan B. Kompetensi Dasar Menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel indonesia dan terjemahan C. Materi Pembelajaran Naskah novel : Memang Jodoh karya Marah Rusli D. Indikator Pencapaian Kompetensi Menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia E. Tujuan Pembelajaran Siswa dapat menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia F. Metode Pembelajaran 1. Diskusi 2. Tanya jawab 3. Penugasan G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran Kegiatan Belajar
Nilai Karakter
Kegiatan awal:
Komunikatif
Guru menjelaskan tujuan dari pembelajaran
78
79
ini Kegiatan inti:
Tanggung jawab
1. Eksplorasi
Kreatif
a. Siswa membaca biografi Marah Rusli b. Siswa
mengidentifikasi
unsur
ekstrinsik novel 2. Elaborasi a. Mengaitkan antara unsur ekstrinsik dengan latar belakang pengarang b. Melaporkan hasil diskusi 3. Konfirmasi a. Menyimpulkan hasil analisis b. Menanyakan
hal-hal
yang
belum
diketahui Kegiatan akhir: 1. Guru
bersama
Komunikatif murid
menyimpulkan
pembelajaran hari ini 2. Guru merefleksikan pembelajaran hari ini 3. Penugasan
H. Alokasi Waktu 4 x 45 menit I. Sumber Belajar 1. Novel Memang Jodoh 2. Buku paket bahasa Indonesia 3. Biografi Marah Rusli yang didapat dari berbagai sumber
80
J. Penilaian 1. Jenis penilaian Tugas kelompok 2. Bentuk instrumen Uraian bebas
Mengetahui,
Jakarta, ............ 2015
Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran
NIP.
NIP.
81
Biodata Penulis
Anisah Utari lahir di Jakarta, 05 Februari 1992. Pendidikan formal pertamanya didapat di TK Mubasyirin Setiabudi, kemudian dilanjutkan di TK Al Ikhlas Setiabudi. Selepas dari taman kanak-kanak, melanjutkan pendidikannya di SDN Karet 04, SMPN 58 Setiabudi, SMKN 19 Benhil. Pada 2010 diterima di Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Semasa kuliah, beberapa kali menulis artikel di rubrik poros mahasiswa koran Sindo. Selain itu, cerpennya pernah dimuat di majalah Horison online. Terakhir, ia pernah memperoleh tujuh naskah terpuji dalam suatu lomba cerpen dengan judul Lukisan Perempuan di Victoria Park. Penulis sedang mengajar di sebuah bimbingan belajar. Ke depannya, ia tetap berencana untuk berkecimpung di dunia pendidikan. Karena baginya, mengajar adalah
pekerjaan
yang
membuatnya
[email protected].
81
nyaman.
Ia
bisa
dihubungi
di
81
81