KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL THE DA PECI CODE KARYA BEN SOHIB DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh Septian Cahyo Putro 109013000024
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Septian Cahyo Putro
Tempat, tanggal lahir
: Jakarta, 9 September 1991
NIM
: 109013000024
Jurusan
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi
: Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen Pembimbing
: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum.
Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Juli 2013
Septian Cahyo Putro NIM 109013000024
ii
ABSTRAK Septian Cahyo Putro (NIM: 109013000024). Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kata Kunci: kritik, sosial, novel. Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib adalah novel yang menyajikan kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab yang tinggal di daerah Condet. Novel semacam ini seakan menjadi oase di tengah keringnya novel-novel bernuansa Betawi. Penelitian terhadap novel ini perlu dilakukan untuk menggali sejauh mana realitas kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab ditampilkan dalam novel ini. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap kritik sosial yang disampaikan pengarang melalui karyanya ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu mengkaji hubungan antara karya sastra dan masyarakat, bagaimana hubungan itu terjadi, dan apa akibat yang ditimbulkan atas hubungan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi unsur intrinsik novel, menganalisis kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut, barulah kemudian mengungkapkan kritik sosial yang terdapat dalam novel. Terakhir yang tidak kalah penting adalah menemukan implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Akhirnya diperoleh bahwa kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut merupakan hasil dari proses akulturasi, sehingga kebudayaan masyarakat Arab masih dapat dirasakan di tengah dominasi kebudayaan Betawi. Kritik sosial dalam novel ini merupakan kritik yang umum dalam kehidupan sehari-hari, seperti kebiasaan menggunakan peci putih yang oleh sebagian orang dianggap wajib diluruskan dengan gagasan bahwa peci hanyalah simbol belaka, anggapan bahwa maulid adalah perbuatan yang sia-sia dijelaskan dengan dalil pada surat Al-A’raf ayat 157, maupun pernyataan untuk tidak mempercayai dukun (paranormal). Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia novel ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran apresiasi sastra. Melalui novel ini dapat digali berbagai nilai-nilai positif seperti, sikap kritis, menghargai perbedaan pendapat, dan menghormati kedua orang tua. Nilai-nilai tersebut merupakan fondasi dasar pembentukan karakter siswa. Novel ini menggunakan gaya bahasa yang ringan, lucu, dan tidak mengandung unsur pornografi maupun kekerasan. Sehingga sangat tepat dijadikan media pembelajaran apresiasi sastra bagi siswa sekolah menengah.
iii
ABSTRACT Septian Cahyo Putro (NIM: 109013000024). Social Critics in the Novel The Da Peci Code by Ben Sohib and its Implication on the Learning of Indonesian Language and Literature. Keywords: Critics, Social, Novel Novel The Da Peci Code by Ben Sohib is a novel describe the culture of Betawi for generations of Arabian people live in Condet. This novel though be a oasis in the midst of crip the novels Betawi nuance. The research for this novel need for excavating so far how the reality of Betawi for generations of Arabian people culture shown in this novel. Beside, the purpose of this research is to reveal the social critics that want to telling by authors with his work. The research use sociology of literature approach investigate how the context between literature and society, how the context occur, and what the result of that related. The research do with identification of intrinsic novel, analysis social condition of Betawi for generations of Arabian people in the novel, then revealing social critics in the novel. The important last is finding this research implication for language and literature of Indonesian learning. The conclusion is social condition of Betawi for generations of Arabian people in the novel is the outcome of acculturation process, so that the culture of Arabian people still be find in the midst of domination the culture of Betawi people. The social critics in this novel is the common critics in daily live, like habbit wear the “peci putih” that belief by part of people is obligatory justify that “peci putih” just symbol. In the language and literature of Indonesian learning this novel can be use as learning media. Through the novel can be investigate the positive values, such as critical attitude, appreciate the different opinion, and respect parent. The values is basic fondation to built the student character. The language style of this novel is simpel, funny, and not contain porn and violence.
iv
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt karena atas rahmat dan ridhaNya, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, beserta para sahabatnya. Perjuangan selama empat tahun diakhiri oleh sebuah titik pada bagian terakhir skripsi ini. Titik ini bukan hanya menandakan akhir, tapi juga merupakan titik awal dimulainya petualangan baru dalam dunia yang berbeda yaitu dunia kerja. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu baik dalam bentuk moral maupun materi dan kepada orang-orang yang telah berjasa memberikan secercah ilmu pengetahuan kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan segala kasih penulisngnya kepada penulis. Kasih penulisng yang tidak akan mampu penulis ganti dan tergantikan oleh apapun. Tak akan kusia-siakan semua peluh dan air matamu wahai ayah dan ibu. Juga kepada adik penulis Arif Saputra atas pengertiannya dan teman berbincang di rumah. 2. Ibu Mahmudah Fitriyah selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mengajarkan penulis berbagai ilmu kehidupan. 3. Bapak Jamal D. Rahman selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah dengan sabar dan cermat membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Serta selalu memberikan nasihat-nasihat juga pengetahuan untuk memperluas wawasan penulis. Terima kasih atas semua waktu yang Bapak berikan kepada penulis, maaf jika selama ini penulis sering “meneror” Bapak, maaf pula untuk semua perkataan dan sikap yang mengecewakan Bapak selama bimbingan ini. 4. Dosen-dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sangat luar biasa. Memberikan berbagai ilmu yang sangat berarti bagi masa depan penulis.
v
5. Ben Sohib, seorang sastrawan yang luar biasa, sangat rendah hati dengan gaya misteriusnya. Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada beliau atas ketulusannya meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis dalam melengkapi data-data di skripsi ini. 6. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya Adi, Hamid, dan Sa’i yang telah merelakan kosannya sebagai tempat tinggal kedua penulis. Juga untuk Raras yang telah ikut memberikan warna bagi kehidupan penulis selama di kampus. Semoga kita bisa berkumpul lagi suatu saat nanti dalam keadaan sehat dan sukses. Aamiin.
Semoga skripsi ini dapat memperluas wawasan pembaca terkait teori sosiologi sastra dan memperkaya khazanah pengetahuan sastra Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu jika ada tulisan atau kata-kata yang kurang berkenan penulis mohon maaf. Kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangatlah penulis harapkan.
Jakarta, 17 Juli 2013
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar ................................................................................
i
DaftarIsi ............................................................................................
iii
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Identifikasi Masalah...............................................................
5
C. Pembatasan Masalah ..............................................................
6
D. Rumusan Masalah..................................................................
6
E. Tujuan Penelitian ...................................................................
6
F. Metodologi Penelitian ............................................................
7
G. Manfaat Penelitian .................................................................
7
H. Kajian Pustaka .......................................................................
8
I.
9
Sistematika Penulisan .............................................................
BAB II Landasan Teori A. Pengertian Novel ...................................................................
10
B. Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel ................................
11
C. Mimetik .................................................................................
17
D. Sosiologi Sastra .....................................................................
18
E. Kritik Sosial...........................................................................
22
F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ............................
23
BAB III Profil Ben Sohib A. Biografi dan Pemikiran Ben Sohib .........................................
26
B. Karya-Karya Ben Sohib .........................................................
28
BAB IV Hasil Penelitian A. Unsur- Unsur Intrinsik novel The Da Peci Code karya Ben Sohib .....................................................................................
vii
30
B. Kondisi Sosial Masyarakat Betawi Keturunan Arab dalam The Da Peci Code karya Ben Sohib .......................................
45
C. Perwujudan Kritik Sosial dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib ....................................................................
55
D. Implikasi Penelitian Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ........
68
BAB V Penutup A. Simpulan ...............................................................................
72
B. Saran .....................................................................................
73
Daftar Pustaka .................................................................................
74
Lampiran-Lampiran ........................................................................
77
Biodata Penulis .................................................................................
97
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budaya masyarakat yang
dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis yang mengandung keindahan. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra. Ditinjau dari segi penciptanya, karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya.1 Dikatakan oleh Abrams2 bahwa karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, karya yang memiliki kapasitas untuk mengevokasi energi-energi yang stagnasi.3 Salah satu bentuk karya sastra yang kita kenal adalah novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella berarti sebuah barang baru yang 1
Zulfahnur, dkk., Teori Sastra, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 254. Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), h. 254. 3 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 6. 2
1
2
kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.4 Novel terbagi lagi dalam dua jenis yaitu novel serius dan novel populer. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel serius di pihak lain, justru “harus” sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.5 Salah satu bentuk novel populer adalah novel The Da Peci Code6 karya Ben Sohib. Novel tersebut merupakan novel yang mengisahkan tentang kehidupan seorang pemuda bernama Rosid keturunan Arab-Betawi yang hidup di tengah keluarga saleh yang sangat taat memegang adat istiadat leluhurnya. Novel yang berhasil meraih predikat best-seller ini mencoba menampilkan kehidupan sosial masyarakat Betawi keturunan Arab yang hidup di zaman teknologi informasi. Melalui novelnya ini Ben Sohib berusaha mengkritisi kehidupan sosial masyarakat Arab-Betawi yang cenderung ortodoks. Gaya penceritaannya yang sederhana membuat novel ini enak dibaca ditambah lagi dengan alur ceritanya yang begitu mengalir dan selalu membuat penasaran. Meski dalam sampulnya tertulis, “Tidak Mengguncang Iman”, namun ternyata novel ini cukup mengguncang keimanan. 4
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 9. 5 Ibid., h. 18. 6 Novel The Da Peci Code adalah “plesetan” dari novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Kedua novel tersebut tidak memliki keterkaitan yang kuat. Novel The Da Vinci Code menceritakan mengenai usaha para sejarawan dan ahli kriptologi untuk mengungkap rahasia di balik lukisan-lukisan Leonardo Da Vinci sedangkan novel The Da Peci Code berusaha mengungkap tradisi peci putih sebagai budaya masyarakat Betawi keturunan Arab. Namun, kedua novel tersebut sama-sama membahas tentang simbol, novel The Da Peci Code membahas tentang peci sebagai simbol umat Islam, sedangkan novel The Da Vinci Code membahas makna simbol-simbol yang berhubungan dengan ‘cawan suci’ dalam kepercayaan umat Kristiani.
3
Ben Sohib dalam novel The Da Peci Code, menceritakan sebuah tradisi masyarakat Betawi keturunan Arab yang begitu menganggap peci sebagai syarat utama bagi komunitasnya. Komunitas tersebut bernama alGibran. Sebuah komunitas yang beranggotakan masyarakat Betawi keturunan Arab. Peci putih sebagai penutup kepala merupakan ciri khas dari komunitas tersebut, jadi jika ada anggota dari komunitas tersebut yang tidak mengenakan peci putih ketika diadakan acara-acara keagamaan al-Gibran maka ia pasti akan disisihkan atau dengan sadar diri ia akan menjauhkan diri pada acara tersebut. Di tengah tradisi berpeci yang begitu kuat pada komunitas tersebut, tampillah sosok Rosid, anak dari Mansur al-Gibran. Rosid adalah seorang pemuda berambut kribo yang berusaha melawan tradisi berpeci komunitas alGibran. Menurut Rosid, peci hanyalah simbol belaka seperti halnya peci yang dipakai oleh kaum Nasrani ataupun Yahudi dan bukan merupakan ajaran agama. Peci tidak dapat menjamin apakah seorang itu baik atau tidak. Ia pun ditentang habis-habisan oleh ayahnya bahkan diusir dari rumah. Segala daya dan upaya telah dilakukan sang ayah untuk membuat Rosid mau mencukur rambut kribonya namun gagal. Alhasil Mansur, sang ayah akhirnya menyerah kepada pendirian Rosid. Tapi bersamaan dengan itu Rosid pun menyadari kekeliruannya karena telah berselisih paham dengan ayahnya. Rosid mendapat pencerahan dari Ustaz Abu Hanif (ayah Mahdi—teman Rosid) tentang peci putih yang dikenakan oleh komunitas al-Gibran merupakan penanda saja bahwa mereka kaum muslim, seperti halnya belangkon yang dipakai sebagai penanda orang Jawa atau Sunda, maupun ulos yang menandakan orang Batak. Sebenarnya persoalan sederhana ini tidak perlu bertele-tele jika saja sang ayah mampu mematahkan pendapat sang anak dengan cara yang tepat. Namun apa daya, sang ayah malah terus memaksakan kehendaknya pada sang anak dengan alasan bahwa peci putih adalah ajaran leluhur al-Gibran (keluarga Mansur
keturunan al-Gibran)
yang sifatnya wajib.
Dari
4
permasalahan yang sederhana ini cerita dibangun secara utuh. Konflik-konflik ditampilkan secara runtut dari tahap pemunculan sampai penyelesaian. Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka, yang dengan kekuatan imajinasinya boleh dikatakan sebagai orang yang memiliki indera keenam.7 Inilah yang dilakukan oleh Ben Sohib, ia menemukan kejanggalan pada kehidupan sosial masyarakat Betawi keturunan Arab dan mencari jawabannya lalu dituangkan ke dalam bentuk fiksi yang imajinatif namun tidak terlepas dari kebenaran yang ada. Ben Sohib yang memang dibesarkan di lingkungan Betawi ini dengan cemerlang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Betawi (terutama keturunan Arab) lengkap dengan tabiat dan kebiasaan masyarakatnya. Latar sosial yang dilukiskan dalam novel ini telah berhasil membawa pembaca menyelami kehidupan masyarakat Betawi beserta intrik-intriknya. Sebuah novel yang sangat jarang ditemukan di era saat ini. Novel ini juga masih sangat jarang diteliti dalam suatu penelitian ilmiah. Jadi, kesan orisinalitas pada penelitian ini terasa sangat kuat. Oleh karena alasan itulah, peneliti bermaksud menganalisis kritik sosial yang ada pada novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Sebelum menganalisis kritik sosial pada novel tersebut, peneliti akan menganalisis unsur-unsur intrinsik dari novel The Da Peci Code karya Ben Sohib kemudian mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut. Implikasi penelitian ini dalam dunia pendidikan yaitu membantu membentuk karakter siswa. Saat ini pembentukan karakter siswa menjadi 7
Nurgiyantoro, op. cit., h. 331
5
prioritas utama kurikulum di Indonesia. Sehingga lahirlah silabus berkarakter dan rencana pelaksanaan pembelajaran berkarakter (RPP berkarakter). Salah satu karakter yang dapat digali dari novel ini adalah sikap kritis. Sikap kritis ini sangat dibutuhkan ketika siswa mendengarkan penjelasan-penjelasan dari gurunya sehingga dengan ditanamkannya sikap kritis diharapkan siswa mampu menjadi seorang pelajar yang aktif dalam kegiatan pembelajaran (active learning). Melalui karya sastra siswa dapat belajar tentang kehidupan, belajar menghargai karya orang lain, dan bahkan memotivasi mereka secara positif dalam bertindak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Sebuah pendekatan multidisipliner yang mengkaji hubungan antara kondisi kehidupan sosial masyarakat dengan karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra pada penelitian ini akan peneliti fokuskan pada sosiologi karya yang memiliki keterkaitan dengan sifat dan kondisi sosial masyarakat. Kemudian peneliti juga menggunakan pendekatan teoritis yaitu pendekatan mimetik. Dengan pendekatan ini peneliti ingin mengkaji hubungan antara kondisi sosial yang terkandung dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib ini dengan kenyataan yang terjadi pada masyarakat Betawi keturunan Arab pada umumnya. Karena, pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan kehidupan. Akhirnya, peneliti menarik sebuah judul dalam penelitiannya ini yaitu, “Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code Karya Ben Sohib dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.”
B.
Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan
membahas mengenai kritik sosial dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan berbagai masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut: 1.
Novel ini belum pernah diteliti dalam penelitian ilmiah sehingga kesan orisinalitas penilitian ini terasa sangat kuat.
6
2.
Novel ini adalah novel populer yang dapat dijadikan media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
3.
Penyebab terjadinya berbagai kritik sosial dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib.
4.
Penjabaran mengenai tercermin atau tidaknya kondisi sosial masyarakat dalam novel ini dengan kondisi sosial masyarakat aslinya.
5.
Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib.
C.
Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu akan membahas
mengenai permasalahan sosial dalam kehidupan masyarakat Betawi keturunan Arab yang terdapat dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib.
D.
Rumusan Masalah 1.
Bagaimana perwujudan kritik sosial yang terkandung dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib?
2.
Apa implikasi penelitian novel The Da Peci Code karya Ben Sohib terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E.
Tujuan Penelitian 1.
Mendeskripsikan kritik sosial pada novel The Da Peci Code karya Ben Sohib.
2.
Mendeskripsikan implikasi penelitian novel The Da Peci Code karya Ben Sohib terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
7
F.
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran, deskripsi, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Kemudian pengertian dari metode kualitatif adalah metode yang menghasilkan temuan-temuan data tanpa menggunakan prosedur statistik atau dengan cara lain dari pengukuran (kuantifikasi). Metode ini lebih berkenaan dengan interpretasi data yang ditemukan. Jadi, metode deskriptif kualitatif adalah sebuah metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis sebuah fenomena yang diselidiki dengan cara menginterpretasi data yang ditemukan tanpa perhitungan statistik.
G.
Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah pengetahuan sastra bagi pembaca secara umum dan siswa sekolah secara khusus dalam kaitannya dengan pembelajaran Bahasa
dan
Sastra
Indonesia.
Penelitian
ini
juga
berusaha
menyumbangkan sedikit pemahaman tentang Sosiologi Sastra dalam mengungkap novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. 2) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan sikap kritis pembaca mengenai
hal-hal
yang
umum
dalam
kehidupan
sehari-hari,
memberikan sedikit gambaran tentang kondisi sosial masyarakat Betawi, serta memberikan pandangan yang benar mengenai kebiasaan mengenakan peci putih. Penelitian ini juga diharapkan mampu membantu mengungkap misteri di balik novel The Da Peci Code karya Ben Sohib dengan cara menguraikan wujud kritik yang ingin disampaikan pengarang.
8
H.
Kajian Pustaka Sepengetahuan peneliti novel The Da Peci Code karya Ben Sohib ini
belum pernah diteliti oleh orang lain. Hal ini didapat setelah melakukan penelusuran di internet dan pencarian di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Terbuka, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Indonesia. Namun, banyak penelitian yang terkait dengan kritik sosial salah satunya skripsi dari Rita Martini dari Universitas Muhammdiyah Surabaya yang berjudul Kritik Sosial dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra). Penelitian lainnya yang terkait dengan nilai sosial adalah skripsi Mega Fiyani dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa novel Bukan Pasar Malam memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di dalam keluarga dan masyarakat seperti nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, dan nilai keikhlasan.
Nilai-nilai tersebut
dapat
diimplikasikan pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI, dalam aspek mendengarkan.
I.
Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, peneliti membagi
pembahasan ke dalam lima bab yang terbagi lagi menjadi sub-sub bab sebagai berikut: Bab I
berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
berisi Kajian Teoritis, yang membahas Pengertian Novel, Pengertian
Unsur-Unsur
Mimetik, dan Kritik Sosial.
Intrinsik
Novel,
Sosiologi Sastra,
9
Bab III
berisi Profil Ben Sohib, Karya-Karya Ben Sohib, dan Penghargaan bagi Ben Sohib.
Bab IV
berisi Analisis Unsur-Unsur Intrinsik Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib, Deskripsi Kondisi Sosial Masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel tersebut, Perwujudan Kritik Sosial dalam Novel tersebut, dan Implikasi Penelitian ini terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bab V
berisi Penutup, yang terbagi dalam Simpulan dan Saran.
BAB II LANDASAN TEORI A.
Pengertian Novel Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk
ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif.1 Novel terbagi dua yaitu novel populer dan novel serius. Novel populer yang mengandung kritik sosial akan memberikan jawaban atau solusi atas kritik yang disampaikan pengarang. Jawaban atau solusi tersebut biasanya terdapat pada bagian akhir cerita. Sedangkan pada novel serius kritik tersebut bertujuan untuk mempertanyakan keyakinan pembaca terhadap suatu hal. Novel serius tidak memberikan jawaban secara langsung atas kritik yang disampaikannya melainkan membebaskan pembaca menentukan jawabannya. Istilah novel sama dengan istilah roman. Kata novel seperti yang disebutkan di atas berasal dari Italia yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sedangkan istilah roman berasal dari genre romance dari Abad Pertengahan yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan yang lain. Berdasarkan asal usul istilah tadi memang ada sedikit perbedaan antara roman dan novel, yakni bahwa bentuk novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir sama. 2 1 2
Ibid., h. 4. Jakob Sumardjo & Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, (Jakarta: Gramedia. 1986), h.
29.
10
11
B.
Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel Menurut Fananie3 unsur intrinsik adalah struktur formal karya sastra
yang dapat disebut sebagai elemen-elemen atau unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Unsur-unsur tersebut secara utuh membangun karya sastra fiksi dari dalam, unsur-unsur intrinsik yang paling pokok terdiri dari: (1) tokoh dan penokohan, (2) latar, (3) alur, dan (4) tema. Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro,4 terdapat delapan unsur fiksi yang terdiri atas: (1) Tema, (2) Cerita, (3) Pemplotan, (4) Penokohan, (5) Pelataran, (6) Penyudutpandangan, (7) Bahasa, dan (8) Moral. Lain halnya dengan Wahyudi Siswanto,5 ia membagi unsur fiksi menjadi tujuh jenis, yaitu: (1) Tokoh, watak, dan penokohan, (2) Latar cerita, (3) Titik pandang/sudut pandang, (4) Gaya bahasa, (5) Alur, (6) Tema dan amanat, dan (7) Gaya penceritaan. a. Tema Tema berasal dari kata “thema” (Inggris) ide menjadi pokok suatu pembicaraan, atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan omensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita akan dibangun dan berakhir. Dengan adanya tema pengarang mempunyai pedoman dalam ceritanya pada sasaran. Jadi tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita.6 Aminuddin7 berpendapat seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. 3
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), h. 58. 4 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 23. 5 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142. 6 Zulfahnur, Op. Cit., h. 24. 7 Siswanto, Op. Cit., h. 161.
12
Sementara itu terdapat lima tingkatan tema menurut Shipley. 8 Dalam Dictionary of World Literature ia mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema karya sastra berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yaitu sebagai berikut: Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socius. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksiinteraksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasanbawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang beum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. 8
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 80.
13
Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. b. Latar Abrams9 yang menyebut latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Menurut Sayuti,10 deskripsi latar fiksi secara garis besar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni: 1. Latar tempat Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu cerita terjadi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 2. Latar waktu Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa secara historis dalam plot. Dengan jelasnya saat kejadian akan tergambar pula tujuan fiksi tersebut. Secara jelas pula rangakian peristiwa yang tidak mungkin terjadi terlepas dari perjalanan waktu dapat ditinjau dari jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakanginya. 3. Latar sosial Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya.
9
Ibid., h. 216 Suminto A. Sayuti, Dasar-Dasar Analisis Fiksi, (Yogyakarta: UD3S, 1986), h. 80
10
14
c. Alur Menurut Abrams alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita.11 Menurut Zulfahnur,12 berdasarkan fungsinya alur dibagi atas: 1. Alur utama Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa pokok atau utama. 2. Alur bawahan (subplot) Alur bawahan adalah alur yang berisi kejadian-kejadian kecil menunjang peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan tersebut berfungsi sebagai ilustrasi alur utama.
d. Tokoh dan penokohan Tokoh cerita (character) menurut Abrams13 adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakannya. Menurut
Sayuti14
ditinjau
dari
segi
keterlibatannya
dalam
keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni: 1. Tokoh sentral atau tokoh utama Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa atau tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh sentral atau tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) tokoh itu paling memerlukan waktu penceritaan. 11
Siswanto, Op. Cit., h. 159. Zulfahnur, Op. Cit., h. 27. 13 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 165. 14 Sayuti, Op. Cit., h. 47. 12
15
2. Tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan) Tokoh bawahan merupakan tokoh yang mengambil bagian kecil dalam peristiwa suatu cerita atau tokoh yang sedikit diceritakan.
Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.15 Dalam penokohan, dikenal ada dua cara atau metode yang digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh cerita yaitu:16 1. Metode diskursif atau metode analitik Metode ini digunakan pengarang dengan menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokoh-tokohnya. 2. Metode dramatis atau metode tidak langsung Metode ini digunakan pengarang dengan memberikan tokohtokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri. Metode ini dapat dilakukan dari beberapa teknik antara lain: (1) teknik pemberian nama, (2) teknik cakapan, (3) teknik pikiran tokoh, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik lukisan persoalan tokoh, (6) teknik perbuatan tokoh, (7) teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh lain, (8) teknik lukisan fisik, dan (9) teknik pelukisan latar.
e. Sudut pandang Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat,
15 16
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 166. Ibid., h. 20.
16
waktu dengan gayanya sendiri. 17 Sudut pandang terbagi menjadi tiga macam yaitu: 1. Sudut pandang persona ketiga: “dia” Narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. 2. Sudut pandang persona pertama: “aku” Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona pertama, “aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. 3. Sudut padang campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.18
f. Gaya bahasa Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.19 g. Gaya penceritaan Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik penceritaan. Teknik penulisan adalah cara yang digunakan oleh pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyajikan karya sastranya, seperti teknik pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik kolase, teknik asosiasi.20 17
Siswanto, Op. Cit., h. 151. Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 256. 19 Siswanto, Op. Cit., h. 158. 20 Ibid., h. 162.
18
17
h. Moral Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.21
C.
Mimetik Abrams berpendapat mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang
menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar sastra. Pendekatan yang memandang sastra sebagai imitasi dari realitas. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang
sungguh-sungguh,
hanya
dapat
mendekatinya
lewat
mimetik,
peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Sedangkan bagi muridnya, Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia, dan peristiwa sebagai mana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam penciptaan seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu.22 Dalam kebudayaan Barat, khususnya Abad Pertengahan, pikiran-pikiran Aristoteles mengenai peniruan diterima sebagai dasar estetik dan filsafat seni. Karya seni meniru alam sebagai ciptaan Tuhan (The Great Model), karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia hanya menciptakan kembali, manusia sebagai homo artifex. Di Indonesia, tampak dalam puisi-puisi Jawa Kuno, melalui konsep persatuan antara manusia dengan Tuhan lewat keindahan, sebagai penjelmaan Tuhan.23
21
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 320. Siswanto, Op. Cit., h. 189. 23 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 5. 22
18
Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah atau sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra.
D.
Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari
akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Selanjutnya terjadi perubahan makna, socius berarti masyarakat, logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat. Sastra dari akar kata sas (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar atau buku pengajaran yang baik. Sesungguhnya kedua ilmu memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Perbedaan sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.24 Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 SM), filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul Ion dan Republik dilukiskan mekanisme antarhubungan sastra dengan masyarakatnya. Menurut Plato, karya seni merupakan tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide. Jadi karya seni merupakan tiruan dari tiruan, secara hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Filsafat ide Plato yang semata-mata bersifat praktis di atas ditolak oleh Aristoteles. Menurutnya, seni justru mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (khatarsis), sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah.25
24
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 2. 25 Ibid., h. 4.
19
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra.26 Menurut Sapardi Djoko Damono, ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra. Masalah pokok sosiologi sastra adalah hubungan antara sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan tersebut terjadi, dan bagaimana akibatakibat yang ditimbulkannya baik terhadap karya sastra maupun masyarakat itu sendiri.27 Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.28 Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta
26
Ibid., h. 2. Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 268. 28 Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), h. 73. 27
20
hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya.29 Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya. Selain itu, Laurenson30 mengemukakan ada tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain: 1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; 2. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; 3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah. Wellek dan Warren mengemukakan tiga klasifikasi yang berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu: 1. Sosiologi pengarang 2. Sosiologi karya sastra 3. Sosiologi pembaca Menurutnya, hubungan sastra dengan masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan situasi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di luar karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra dikembangkan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk
29 30
Fananie, Op. Cit., h. 117. Ibid., h. 133.
21
dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.31 Kemudian Jabrohim mengungkapkan sasaran dari sosiologi sastra, yaitu sebagai berikut. a. Konteks sosial sastrawan Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi sastrawan sebagai individu di samping dapat mempengaruhi karya sastranya. Dalam hal ini kaitan antara sastrawan dan masyarakat sangat penting, sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka. b. Sastra sebagai cerminan masyarakat Sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Dalam hubungan ini terutama harus mendapat perhatian
yaitu:
(1)
sastra
mungkin
tidak
dapat
dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) sifat “lain dari yang lain” seseorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) genre sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diterima atau dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat. 31
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta), (Jakarta: PT Gramedia, 1995), h. 111.
22
c. Fungsi sosial sastra Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) sudut pandangan yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (2) sudut pandangan lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” misalnya, tak berbeda dengan usaha untuk melambungkan dagangan agar menjadi best seller. (3) sudut pandangan kompromistis seperti tergambar dalam slogan “sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur”.32
E.
Kritik Sosial Pengertian ‘kritik’ (sastra) berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang
berarti ‘hakim’. Krites sendiri semula berasal dari kata krinein ‘menghakimi’. Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.”33 Adinegoro mengungkapkan bahwa kritik adalah salah satu ciri dan sifat penting dari peristiwa otak manusia, sehingga kritik dapat dijadikan dasar untuk berpikir danmengembangkan pikiran. Kritik tidak dimaksudkan untuk meruntuhkan sesuatu melainkan untuk memperbaiki hal yang dianggap tidak sesuai dan akhirnya untuk mendapatkan kemajuan.34 Kata sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.”35 Dari definisi kritik dan sosial tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud kritik sosial adalah pandangan atau tangggapan penulis melalui 32
Jabrohim dan Ari Wulandari (ed.), Metodologi Penelitian Sastra, (Jogjakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), h. 158. 33 Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), Cet. IV, h. 742. 34 Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik, (Djakarta: Nusantara, 1958), h. 10. 35 Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), Cet. IV, h. 1331.
23
karyanya yang berisi kecaman terhadap fenomena sosial yang menyimpang. Astrid Susanto berpendapat bahwa kritik sosial adalah suatu aktifitas yang berhubungan dengan penilaian (juggling), perbandingan (comparing), dan pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman.36 Kritik sosial memiliki fungsi sebagai kontrol terhadap jalannya suatu proses bermasyarakat. Adanya pengaruh lingkungan masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang akan memunculkan kritik sosial terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Sastra yang mengandung kritik sosial akan lahir di masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial masyarakat. Kritik sosial yang membangun tidak hanya berisi kecaman, celaan, atau tanggapan terhadap situasi tertentu, tetapi juga berisi inovasi sosial sehingga tercapai sebuah harmonisasi sosial. Kritik dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Media yang tersedia untuk menyampaikan kritik juga cukup beragam. Karya sastra merupakan salah satu media untuk menyampaikan kritik sosial secara tidak langsung. Kritik sosial banyak dijumpai dalam karya sastra sebagai bentuk gambaran realita sosial di masyarakat.37
F.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Secara luas dan tradisional pengajaran sastra memang mencakup
sejumlah aspek, mulai sari teori sastra, sejarah sastra, sastra perbandingan, apresiasi sastra, sampai pada akhirnya kritik sastra. Tujuan pengajaran sastra, baik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi adalah untuk membentuk anak didik dan pemuda-pemuda kita menjadi pembaca-pembaca yang dapat menemukan kenikmatan dan nilai-nilai dalam cipta sastra, dan tetap menjadi
36
Anonim, “Kritik Sosial,” artikel diakses pada 8 Maret 2013 dari http://sebuahcatatansastra.blogspot.com/2009/02/kritik-sosial.html 37 Zainul Fuadi, “Kritik Sosial dalam Novel Wasripin & Satinah Karya Kuntowijoyo,” (Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Malang, 2009), h. 10.
24
pembaca-pembaca yang setia, bangga, serta bertanggung jawab terhadap cipta sastra kita (Indonesia) sepanjang hayatnya.38 Tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam kurikulum 2004 yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mmendengarkan meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi karya sastra. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. Selain tujuan di atas dapat juga dikembangkan pendidikan melalui sastra. Melalui sastra kita bisa mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, estetika, logika, dan kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan menyeluruh dan kemitraan.39 Maman S. Mahayana juga menyoroti proses pengajaran sastra di sekolah yang cenderung hanya sebatas memberi penjelasan tentang pengertian alur, latar, tokoh, tema, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya bahasa. Padahal seperti kita ketahui bahwa tujuan pembelajaran sastra di
38
Mukhsin Ahmadi, Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra, (Malang: YA3, 1990), h. 85. 39 Siswanto, Op. Cit., h. 171.
25
sekolah sesuai dengan kurikulum tahun 2004 adalah agar siswa mampu mengapresiasi dan membanggakan khazanah sastra Indonesia. Menurutnya, itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia (khasnya pelajaran sastra Indonesia), ketika siswa terus-menerus dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah dilihat dan disentuh. Suatu hal yang utama dalam pembelajaran sastra di semua tingkatan pendidikan dasar dan menengah adalah menyuruh siswa membaca karya sebanyak-banyaknya. Dari karya sastra yang dibaca itulah guru dapat menerangkan soal-soal konsep. Tetapi itu pun sebatas pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?40 Pembelajaran sastra tidak hanya memahami unsur-unsur intrinsik atau ekstrinsik saja tapi juga dapat digali berbagai pelajaran hidup dari karya sastra yang disampaikan pengarang melalui caranya yang khas. Cara penyampaian inilah yang membuat pengarang berbeda dengan penceramah. Konsekuensi model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-karya yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, setiap guru atau calon guru bahasa dan sastra Indonesia wajib menyukai sastra dan membaca banyak karya sastra. Tugas utama guru adalah mampu membuat siswa menghayati karya sastra.
40
Maman S. Mahayana,”Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah,” Susastra 5, vol. 3 (Januari, 2007): h. 90.
BAB III PROFIL BEN SOHIB A.
Biografi dan Pemikiran Ben Sohib Ben Sohib lahir pada tanggal 22 Maret di Jakarta. Dua novel best seller-
nya, The Da Peci Code dan Rosid dan Delia, diangkat ke layar lebar dengan judul Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta (sutradara Benni Setiawan) dan mendapatkan banyak penghargaan, termasuk film terbaik Festival Film Indonesia 2011. Ia mulai menulis sejak di bangku SMP. Beberapa tulisannya berupa puisi, cerpen, dan features dimuat di Sinar Harapan, Pelita, dan Hai. Saat ini bergiat di Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di Cililitan Kecil, Jakarta Timur. Ben Sohib adalah sastrawan yang tertutup. Ia sendiri mengakui bahwa dirinya tidak pernah memberitahukan tentang biogarfi hidupnya kepada orang lain. “Saya hanya berusaha sok misterius,” begitu selorohnya ketika saya bertanya mengenai tempat tanggal lahirnya. Ben Sohib mengakui ketika ada media yang ingin menulis data dirinya, ia minta sesingkat mungkin. Ia juga tidak menjawab ketika saya tanya mengenai nama aslinya. Ia hanya bilang, “Ya, Saya lebih suka dikenal dengan nama itu (Ben Sohib).” Meski begitu, ia adalah sosok yang sangat ramah dan rendah hati. Bahkan penyuka rokok Marlboro putih ini sempat beberapa kali menelpon saya untuk menanyakan kepastian waktu wawancara.1 Riwayat pendidikan beliau adalah SD, SMP, dan SMA umum. Saya ragu
ketika
hendak
menanyakan
lebih
lanjut
mengenai
riwayat
pendidikannya, karena teringat sikapnya yang sangat menjaga rahasia data pribadinya. Meski karya-karyanya begitu kuat bernafaskan Islam ternyata ia sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren seperti yang saya duga. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri dan ia dibesarkan di keluarga yang juga tidak terlalu fanatik dengan Islam. Ben Sohib mengakui bahwa 1
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013.
26
27
latar Islam yang ditampilkannya dalam novel The Da Peci Code merupakan hasil pengamatan dan pembacaannya terhadap lingkungannya. Sastrawan yang saat ini tinggal di Bukit Duri, Kampung Melayu ini, memiliki darah keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut (Yaman). Garis keturunan tersebut diwariskan oleh kakeknya. Sedangkan neneknya adalah keluarga keraton Yogyakarta. Jadi sebenarnya, ia memiliki gelar Raden Mas pada namanya. Namun, gelar ini enggan ia gunakan. Ia lebih suka dipanggil Ben Sohib saja. Kesibukan Ben Sohib sehari-hari ialah menulis. Saat ini ia sedang menggarap novel terbarunya yang belum diberi judul dan mengisahkan tentang kehidupan seorang haji. Ia juga melatari novel ini dengan nuansa keIslam-an yang kental dengan latar yang sama (dengan novel sebelumnya) yaitu masyarakat Betawi. Ayah satu anak ini mengakui kalau ia bukanlah orang Condet asli. Ia hidup berpindah-pindah sejak kecil. Ia pernah tinggal di Bandung, Bali, Jawa Timur, kemudian terakhir di Jakarta. Hampir separuh usianya ia habiskan di Jakarta, itulah yang membuatnya merasa sebagai bagian dari masyarakat Betawi. Meski begitu, ia tidak pernah mengakui dirinya sebagai sastrawan Betawi. Berbeda dengan S. M. Ardhan, Muntaco, atau Chairil Gibran Ramadhan yang memang sastrawan Betawi. Ia hanya menggunakan latar Betawi agar novelnya tidak kaku dan mudah diterima masyarakat.2 Inspirasi penulisan novel ini adalah melalui pengamatan yang ia lihat di lingkungan Condet. Meskipun ia bukan warga Condet ia sering datang ke daerah itu untuk berdiskusi dengan rekan-rekannya mengenai sastra, politik, filsafat, maupun agama. Akhirnya ia dan rekan-rekannya membentuk sebuah komunitas bernama Majelis Sastra Masjid Al-Makmur. Komunitas inilah yang menginspirasi terciptanya Sanggar Banjir Kiriman pada novel The Da Peci Code. Kebiasaan umat Islam menggunakan peci putih dan baju koko pada komunitas di daerah Condet juga menjadi inspirasi utamanya menulis novel ini. 2
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013.
28
Ben Sohib yang memang tidak dibesarkan dalam lingkungan kehidupan Islam yang kuat menganggap bahwa agama adalah kehidupan itu sendiri yang di dalamnya terdapat arahan-arahan dan nilai-nilai. Masalah celana di atas lutut adalah persoalan remeh temeh dalam Islam yang tak perlu menjadi perdebatan. Ia juga tidak menyukai tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan Islam apalagi sampai menganggap kelompok atau komunitas tertentu paling benar dan semua dianggap salah. Sebuah pertanyaan klasik yang masih belum terjawab dalam benaknya adalah mengenai hal-hal yang telah ditetapkan di Lauh Mahfudz. Ketika saya tanya pandangannya mengenai hal-hal yang maktub di dunia ini ia hanya memberikan jawaban, “Itu adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak akan memuaskan siapapun.”3 Ben Sohib pernah menjadi peserta Literary Biennale. Literary Bienale adalah sebuah festival sastra yang diadakan oleh Komunitas Salihara dan Komunitas Utan Kayu. Acara yang digelar pada awal Oktober 2011 ini telah memasuki tahun keenam dan pada waktu itu mengambil tema Klasik Nan Asyik. Acara ini diisi tidak hanya oleh para sastrawan muda saja namun juga sastrawan-sastrawan senior yang namanya telah banyak dikenal orang seperti D. Zawawi Imron, Danarto, Joko Pinurbo, dan masih banyak lagi. Pada acara tersebut Ben Sohib bersama A. Fuadi (penulis trilogi Negeri Lima Menara), Hasan Al Banna, Okky Madasari, dan Syaiful Alim berkesempatan menjadi narasumber yang membahas tema “Sastra dan Tradisi Islam”.4
B.
Karya-Karya Ben Sohib Ben Sohib telah menelurkan tiga karya. Buku pertama dan keduanya
merupakan novel dwilogi yang telah difilmkan pada tahun 2010 dengan judul Tiga Hati Dua Dunia, Satu Cinta, sedangkan buku ketiganya adalah kisah-
3
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013. Anonim, “Biografi Ben Sohib,” artikel diakses pada 29 Januari 2013 dari http://www.literarybiennale.salihara.org 4
29
kisah nyata dari tayangan Kick Andy. Berikut ini adalah deskripsi singkat dari karya-karya Ben Sohib. 1.
The Da Peci Code: Misteri Tak Berbahaya di Balik Tradisi
Berpeci yang diterbitkan oleh Ufuk Press pada tahun 2008. Novel best seller ini kemudian diterbitkan lagi oleh Bentang Pustaka pada tahun 2010 dengan judul Hikayat The Da Peci Code: Misteri Tak Berbahaya di Balik Tradisi Berpeci. 2.
Rosid dan Delia juga diterbitkan oleh Ufuk Press pada tahun yang
sama dengan buku pertamanya. Kemudian diterbitkan ulang oleh Bentang Pustaka tahun 2010 dengan judul Balada Rosid dan Delia. Berbeda dengan buku sebelumnya, buku ini mempersoalkan masalah yang lebih pelik dari sekedar ‘peci putih’, yaitu pernikahan beda agama antara Rosid dan Delia. 3.
Seven Heroes yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun
2009. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengulas tentang tujuh orang pahlawan terbaik pilihan Kick Andy. Pahlawan yang berjuang dalam kesunyian. Dalam kesederhanaan atau bahkan hidup kekurangan, mereka merelakan sebagian besar waktu, tenaga, dan hartanya demi menolong orang lain.5
5
Anonim, “Detail http://www.bukukita.com
Buku,”
artikel
diakses
pada
29
Januari
2013
dari
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Unsur-Unsur Intrinsik Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib 1. Tema Novel ini bertemakan kritik sosial. Sesuai dengan lima tingkatan tema menurut Shipley, tema tersebut terdapat pada tingkatan ketiga yaitu manusia sebagai makhluk sosial (man as socius). Shipley menjelaskan, kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. Ben
Sohib
melalui
novelnya
berusaha
mengkritik
kebiasaan
masyarakat yang cenderung ortodoks, hanya mengikuti tradisi leluhur tanpa dilandasi pemikiran yang kritis. Hal utama yang dikritik oleh Ben Sohib adalah tradisi berpeci putih yang dianggap ajaran agama bagi sebuah komunitas padahal hal tersebut tidak lebih hanya sebuah tradisi warisan leluhur. Selain mengkritik peci putih Ben Sohib juga mengkritik kesederhanaan pemikiran-pemikiran umat Islam mengenai busana muslim dan penyelenggaraan maulid Nabi Muhammad Saw. Umat Islam sering berpendapat bahwa baju koko dan sarung adalah busana yang tepat untuk mengerjakan ibadah, sampai-sampai berpikir bahwa itu adalah busana wajib hingga mereka menganggap busana yang lain itu tidak layak, padahal kita semua tahu baju koko dan sarung masingmasing berasal dari Cina dan India. Kemudian mengenai maulid Nabi yang dianggap bidah oleh sebagian orang, Ben Sohib menjawab masalah ini dengan cukup baik sehingga tidak menimbulkan pertanyaan bagi pembaca. Ia menjawabnya dengan sebuah dalil yaitu surat al-A’raf ayat
30
31
157. “...ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi diantaranya surat al-A’raf ayat 157.”1 2. Alur Ben Sohib menggunakan alur campuran dalam menuliskan ceritanya. Hal ini didapat setelah melakukan pembacaan novel tersebut dengan cermat. Kisah ini menggunakan alur campuran, yaitu dengan menceritakan keadaan tokoh utama, setelah itu barulah menceritakan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya keadaan tersebut. Tidak berhenti sampai di situ, ternyata masih ada peristiwa-peristiwa baru yang dialami tokoh untuk mencapai klimaks cerita dan berakhir dengan bahagia. Kisah ini dimulai dengan menceritakan kondisi Rosid setelah terusir dari rumah dan penyebab pengusirannya oleh Mansur, sang ayah. Ia terlibat konflik hebat dengan Mansur (ayahnya) akibat usaha Rosid yang hendak menggugat tradisi peci putih yang telah diwariskan selama berabad-abad. Ketika itu Rosid mengalami kebingungan, ia berjalan tanpa arah tujuan. Perhatikan kutipan berikut. “Rosid termasuk salah satu diantara mereka. Ia mengayunkan kakinya. Rambutnya yang kribo terangguk-angguk mengikuti setiap gerak langkahnya. Tapi ia tidak sedang dalam rangka ikut menyemarakkan suasana jalan raya, melainkan baru saja terusir dari rumahnya.”2 Selanjutnya dikisahkan pula keadaan Mansur dan istrinya Muzna setelah peristiwa pengusiran itu. Betapapun marahnya orangtua kepada anak, tetap saja kasih sayangnya tak pernah luntur. Setelah peristiwa pengusiran itu Mansur merasakan kesusahan dalam hatinya, hal itu terbaca oleh Muzna sang istri. “...Muzna menatap wajah lelap sang suami. Ia tahu suaminya sedang masygul. Kemarin ia terlibat pertengkaran hebat dengan Rosid... Pertempuran itu berakhir dengan diusirnya Rosid dari rumah.”3
1
Ben Sohib, The Da Peci Code, (Jakarta: Ufuk, 2008), h. 282 Ibid., h. 4 3 Ibid., h. 12.
2
32
Pada tahap pengenalan ini juga diceritakan mengenai Mahdi sahabat baik Rosid yang rumahnya sering dijadikan tempat menginap Rosid. Setelah pengusiran malam itu Rosid memutuskan untuk menginap di rumah Mahdi. Diceritakan pula tentang pekerjaan Mansur sang ayah, sebagai pedagang pakaian yang cukup sukses. Ia masih menerka-nerka di manakah gerangan ia berada. Tapi ketika tangannya meraba-raba sesuatu di bawah kepalanya, ia sadar; ini pasti rumah Mahdi.4 Mansur al-Gibran bangkit dari kursi untuk melayani seorang calon pembeli... Sebenarnya ia cukup puas dengan perkembangan usaha toko yang dimulainya sejak dua tahun lalu... Semakin hari toko Mansur semakin ramai. Ia mensyukuri kehidupannya.5 Pada bagian selanjutnya digambarkan mengenai kehidupan Rosid yang ingin kuliah di IKJ namun dilarang oleh ayahnya, kegemaran Rosid ‘nongkrong’ di Taman Ismail Marzuki (TIM), sampai pertemuan dengan pujaan hatinya Delia. Dari titik inilah mulai dimunculkan konflik-konflik antara Rosid dengan dirinya, ayahnya, dan Delia. Perhatikan kutipankutipan berikut ini. Pada titik ini pula pengarang menceritakan latar belakang pengusiran Rosid dari rumah yang merupakan bentuk alur mundur. Ia berjanji bertemu Delia di warung tenda langganan mereka di Taman Ismail Marzuki. Jalan Cikini Raya merupakan area yang paling ia sukai. Ini ada sejarahnya sendiri. Dua tahun yang lalu, sewaktu baru lulus SMU, Rosid berkeinginan kuat untuk belajar sinematografi di Institut Kesenian Jakarta yang berlokasi di TIM. Tapi Mansur sama sekali tak setuju. Ini membuat Rosid sangat kecewa.6 Bagi Rosid, Delia bukan sekedar nama. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Ini semua bermula dari sebuah perkenalan yang mengguncang sukma.7 Selain memunculkan konflik antara Rosid dengan ayahnya terkait peci putih, pengarang juga menampilkan permasalahan Rosid dan Delia yang 4
Ibid., h. 32. Ibid., h. 37. 6 Ibid., h. 47. 7 Ibid., h. 51.
5
33
terkait dengan kepercayaan agama. Masalah inilah yang nantinya akan mendasari lanjutan novel dwilogi ini.
“Jawaban atas pertanyaan ini
dengan mudah dapat ditemukan Rosid pada kalung salib dari bahan perunggu yang menggantung di leher Delia.”8 Kemudian pada bagian ketiga sampai kedua belas diceritakan bagaimana perjuangan Rosid mengungkap sejarah peci dan kaitannya dengan agama Yahudi dan Nasrani. Pada bagian tersebut juga diceritakan bagaimana Mansur (ayah Rosid) melakukan berbagai upaya untuk membuat Rosid mau mencukur rambut dan memakai peci putih lagi. Setidaknya atas nasihat Said, Mansur telah melakukan tiga cara untuk mengubah pendirian Rosid. Antara lain dengan mendatangi “orang pintar” atau dukun untuk mengubah pendirian Rosid. Rosid menemukan jawaban mengenai sejarah peci dan kaitannya dengan agama Yahudi dan Nasrani dari seorang sejarawan yang senang mabuk bernama Anto. “Rosid terpukau mendengar uraian Anto tentang sejarah agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam, berikut busana dan simbol-simbolnya.”9 Cerita mulai beranjak ke titik klimaks. Di tengah usaha Rosid mengungkap sejarah peci, Mansur sang ayah telah menyusun berbagai strategi untuk mengubah pendirian Rosid. Ia benar-benar kesal dengan sikap anaknya yang semakin berani melawannya. Namun semuanya siasia, hingga ia kehilangan kesabaran dan mengusir Rosid dari rumah. Di tengah keputusasaannya Said kembali mengajukan ide baru pada Mansur yang hanya ditanggapi dengan nada kepasrahan. Said telah menceritakan tentang “orang pintar” yang hidup di kaki gunung di wilayah selatan. Orang pintar yang berasal dari Marga alGibran itu konon bisa mengubah hati orang.10 “Tenang Sur. Ente musti tenang,” kata Said. “Ane kenal ame seorang ustadz, die masih mude tapi udeh hebat... Cocok buat ngadepin anak-
8
Ibid., h. 57. Ibid., h. 167. 10 Ibid., h. 110.
9
34
anak mude yang udeh terpengaruh aliran baru. Ane yakin kalau anak ente berdebat ame die, kagak bakalan bisa ape-ape.”11 Semakin lama pertengkaran menjadi semakin tak terkendali. Dalam hitungan menit, Mansur sudah melontarkan kata-kata pamungkasnya, “pergi lu dari rumeh!”12 “Terserah elu deh, Id. Lakuin aje apa yang menurut lu bisa ngerobah tu anak,” Mansur berkata dengan nada keputusasaan...13 Selanjutnya pengarang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah Rosid diusir dari rumah. Pada bagian inilah, novel ini mencapai titik klimaks. Kepasrahan Mansur menyerahkan perkara anaknya kepada Said ternyata berbuah malapetaka. Suatu malam ketika para pemuda termasuk Delia dan Mas Anto sebagai narasumber sedang diskusi di Sanggar Banjir Kiriman datang segerombolan masa yang menyerbu ke tempat itu, mereka memaksa membubarkan Sanggar Banjir Kiriman karena dinilai menyebarkan aliran sesat. Satu per satu mereka menyalami Anto dan Delia. Anto duduk bersila menyandarkan punggungnya pada tembok. Delia ikut duduk bersila disebelahnya.14 Namun tiba-tiba terdengar sebuah teriakan keras dari luar rumah. “Bubarkan!” “Bubarkan sekarang juga!” “Tak ada tempat untuk aliran sesat!”15 Pada saat itulah situasi berlangsung begitu ramai dan ricuh, pertarungan
antarkubu
tak
terhindarkan
hingga
Rosid
terpaksa
mengevakuasi Delia dan Mas Anto ke tempat aman. Ketika Rosid kembali ke rumah Mahdi, keadaan telah kondusif karena para hansip melerai massa dan membawa ketua tiap kubu ke rumah Pak RW. “Sekembali ke rumah Mahdi, keadaan sudah aman dan terkendali.”16 “Ternyata Rosid dibawanya ke “kediaman resmi” Pak Haji Jazuli; ketua RW 08...”17 11
Ibid., h. 142. Ibid., h. 200. 13 Ibid., h. 217. 14 Ibid., h. 236. 15 Ibid., h. 238. 16 Ibid., h. 259. 17 Ibid., h. 261. 12
35
Di rumah Pak RW semua dipersilakan bicara. Pak RW yang bijaksana dengan tenang menasehati setiap pemimpin dari kelompok-kelompok yang menyerang rumah Mahdi. Tidak lama dalang dari kejadian ini tertangkap, Ia adalah Said, orang kepercayaan Mansur. Ia kemudian dibawa ke kantor polisi. Mansur yang mendapat kabar dari tetangganya segera menuju rumah Pak RW. Ia langsung memeluk putranya Rosid dan sempat memaki Said yang hendak dibawa hansip. “Coba ceritakan bagaimana permulaannya?” tanya Pak RW kepada Mahdi.18 “Kalau menurut kamu bagaimana permulaannya?” tanya Pak RW kepada Lukman.19 Tiba-tiba dari luar ada seseorang yang berteriak, “Ini, provokatornya tertangkap!” Said langsung didudukkan di hadapan Pak RW.20 “Selamet lu, Sid. Selamet,” kata Mansur terbata-bata. Rosid balas memeluk dan mendudukkan sang ayah di sampingnya.21 Akibat
peristiwa
ini
Rosid
menjadi
sadar
betapa
ayahnya
menyayanginya, begitu pula Mansur yang menyadari kesalahannya dalam mendidik anak. Penyelesaian dari kisah ini adalah dengan penyadaran Rosid oleh ustaz Abu Hanif tentang pandangannya terkait peci putih dan juga tentang hubungannya dengan Delia. Di bagian akhir cerita Rosid yang tak mampu kehilangan Delia memilih untuk membiarkan hubungan keduanya mengalir saja seperti air. Pengarang juga menutup kisah ini dengan akhir yang lucu. Ustadz Abu Hanif memulai nasihat panjangnya, “Sid, gue bukan mau ngadilin mane yang bener mane yang sale... Masalahnye bukan di situ tapi cara lu ngemukain pendapat... Gue pake sarung dan peci putih, ini cuman penanda... Same aje kalau ade orang pake belangkon pasti orang Jawa atau Sunda. Kalau ada orang pakai ulos itu berarti orang Batak.22
18
Ibid., h. 263. Ibid., h. 264. 20 Ibid., h. 267. 21 Ibid., h. 271. 22 Ibid., h. 292. 19
36
“Nah sekarang gue mau ngomongin soal demenan lu, si Delia”, kata Ustadz Abu Hanif setelah menarik nafas panjang.23 Ia ingin hubungannya dengan Delia tetap seperti dulu, mengalir seperti sungai di dekat rumah Mahdi.24 Belum sempat ia mengecup kening Rosid, spontan ia menarik kepalanya sedikit ke belakang... Akhirnya sambil masih menutup mulutnya, Mansur bertanya, “Sid....” Bersin. “Lu besok....” Bersin lagi. “Jadi cukur rambut?”25 Alur campuran yang digunakan pengarang dalam menceritakan kisahnya memberikan warna tersendiri pada novel ini. Pengarang tahu betul bagaimana mempermainkan pemikiran pembaca. Namun entah disengaja atau tidak, penanda alur campuran dalam novel ini sangat minim. Tanpa kecermatan dari pembaca tentu mereka akan menganggap novel ini menggunakan alur maju karena hubungan kausalitas antar bagian cerita seperti mengalir begitu saja, padahal ada sebuah bagian cerita yang dipisahkan dan diselipkan bagian cerita lain di tengahnya.
3. Latar a) Latar Tempat NO. 1.
Betawi Jln. Condet Raya
Sunda
Kota
Rumah “orang
Di atas Jembatan
pintar” di kaki
Ciliwung
gunung wilayah
Stasiun Kalibata
Sukabumi
23
2.
Rumah Rosid
Kios Rokok
3.
Kawasan Condet
Jln Otista
4.
Rumah Mahdi
Dalam metromini
5.
Gg. Haji Saabun
Jln Cikini Raya
6.
Jln H. Noin
Taman Ismail
Ibid., h. 294. Ibid., h. 315. 25 Ibid., h. 324. 24
37
Marzuki 7.
Toko di Mansur
Tenda Soto di TIM
Pusat Grosir Cililitan 8.
Sanggar Banjir
Stasiun Cikini
Kiriman (rumah Mahdi) 9.
Depan rumah
Tol Jagorawi
Mahdi 10.
Depan Sanggar
Bakoel Koffie
Banjir Kiriman 11.
Masjid As-Salam
Rumah Mas Anto di Jln Purworejo
12.
Tempat
Jln Blora, Jln
penampungan
Thamrin, Bundaran
TKW
HI, Jln Kebon Sirih, Jln Sabang, Jln Jaksa
13.
Rumah
RW
08
Sebuah cafe di Jln
(Pak Haji Jazuli)
Jaksa
14.
Masjid Al-Ikhlas
15.
Warung Tenda di Taman Ismail Marzuki
16. Total
Jln Dewi Sartika 131
8
79
Penggolongan latar tempat di atas berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat yang dominan dalam novel ini. Sehingga diperoleh tiga penggolongan yaitu Betawi, Sunda, dan Kota (budaya
38
metropolitan). Latar tempat dalam novel ini digambarkan begitu jelas. Ben Sohib sengaja membawa pembaca menikmati suasana daerah Condet, Cikini, atau stasiun Senen dengan tujuan membentuk imaji yang kuat pada benak pembaca mengenai masyarakat Betawi. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa latar tempat yang berbudaya Betawi paling banyak digunakan oleh Ben Sohib. Ia menginginkan
pembaca
benar-benar
menyelami
kehidupan
masyarakat Betawi melalui latar tempat yang digunakannya karena latar tidak menunjukkan tempat saja namun menggambarkan juga kondisi sosial masyarakat pada daerah tersebut. Penggunaan latar tempat ini juga sedikit banyak membantu pemahaman pembaca terhadap isi cerita.
b) Latar Waktu Siang No. Pagi
Siang
Malam Sore
Petang/
Tengah
Malam
Malam
Suara
Jelang
Jam 5 sore Senin, 07.46 Larut malam
Adzan
tengah
malam
Subuh
hari
Waktu Maghrib
Dingin
Siang hari
udara pagi
Sore
Langit senja Pukul 23.08
menjelang
semakin tua
senja Pagi hari
Setelah
Sore hari
makan
Makan malam
siang Jam 10
Suara
Sebelum
pagi
adzan
Maghrib
Zuhur
Malam
39
Pagi
Waktu
Malam
menjelang
Ashar
berikutnya
Selasa,
Malam
04.52 sore
ketiga
siang
Malam selepas Isya Pukul 20.11 Waktu Isya Selepas Isya Sabtu, 07.48 malam Langit
Total
malam 11
9
10
30
22
5 27
Latar waktu yang paling banyak digunakan dalam novel ini adalah siang hari dengan perbedaan yang sangat sedikit dengan latar waktu malam hari. Sehingga dapat dikatakan latar waktu siang dan malam hari memiliki porsi yang hampir sama. Melalui data ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan waktu siang hari menunjukkan cerita ini adalah cerita kehidupan sehari-hari karena di siang hari orang-orang paling banyak beraktifitas seperti, berdagang, memasak, kuliah dan lain-lain. Data ini juga dapat dijadikan petunjuk bahwa kritik yang disampaikan Ben Sohib adalah kritik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan pemilihan waktu malam hari menunjukkan bahwa kejadian-kejadian dalam cerita ini tidak berhenti setelah matahari terbenam. Bahkan klimaks dari cerita ini terjadi di malam hari. Kegiatan-kegiatan yang
40
berlangsung di malam hari dalam cerita ini misalnya, diskusi, “nongkrong” di kafe, latihan kasidah, atau sekedar makan malam. Petunjuk tahun terjadinya peristiwa-peristiwa pada novel ini adalah tahun 2004 ke atas. Petunjuk ini diperoleh dari kutipan berikut. “Di sisi kanan halaman, di bawah rerimbunan pohon sawo, mobil Daihatsu Zebra silver keluaran tahun 2004 milik Mansur terparkir di garasi.”26 Latar waktu berperan besar dalam mengungkapkan alur yang digunakan pengarang dalam novel ini. Petunjuk alur yang diperoleh melalui waktu yaitu pada penyebutan hari dan jam pada setiap awal sebuah peristiwa yang diceritakan dengan alur maju, sedangkan saat tidak disebutkan hari dan jamnya berarti cerita tersebut merupakan rangkaian arus balik atas cerita yang telah terjadi. Melalui latar waktu ini dapat disimpulkan pula bahwa pengarang ingin benar-benar menunjukkan kuatnya pengaruh Islam pada masyarakat dalam novel tersebut karena begitu seringnya menggunakan petunjuk waktu salat. Bukti pernyataan tersebut misalnya terdapat pada kutipan berikut. “Hingga masuklah waktu Isya. Ketika Mansur telah selesai mendirikan salat berjamaah dengan istrinya...”27 “Gemuruh suara azan Subuh dari ratusan masjid besar maupun kecil membelah langit Condet.”28
4. Tokoh dan Penokohan a.
Rosid Rosid adalah tokoh protagonis dan sekaligus menjadi tokoh utama
dalam novel ini. Karakter yang ditampilkan Rosid dalam novel ini yaitu kritis, keras kepala, cerdas, rajin membaca, taat beragama Islam, dan bertanggung jawab. Perubahan karakter Rosid menunjukkan Rosid termasuk tokoh bulat.
26
Ibid., h. 15. Ibid., h. 200. 28 Ibid., h. 11. 27
41
b.
Delia Ia adalah gadis manis beragama Katolik yang menjadi pacar
Rosid. Delia menjadi tokoh tritagonis karena perannya dalam menolong Rosid mencari jawaban atas misteri di balik peci putih. Gadis perokok yang gemar pergi ke kafe ini memiliki sifat sportif, menyukai tantangan, cerdas, lincah, dan sopan. c.
Abah (Mansur) Pria ini adalah ayah Rosid, yang bisa dibilang memiliki peran
antagonis karena kehendaknya berlawanan dengan tokoh utama. Karakternya keras kepala, kasar namun penyayang, mau menang sendiri, pantang disalahkan, tegas, dan royal. Sama dengan tokoh Rosid, tokoh ini termasuk ke dalam tokoh bulat karena di akhir cerita ia menyadari segala kekeliruannya. d.
Umi Umi adalah sosok wanita Betawi lama pada umumnya. Ia
penyabar, penyayang, pandai memasak dan mengaji, serta patuh pada suami. Benar-benar sosok yang sempurna bagi seorang istri dan ibu. Ia tak pernah berkata kasar ataupun membantah suaminya, sangat bertolak belakang dengan suaminya. e.
Mahdi Ia adalah sahabat baik Rosid. Mahdi adalah seorang mahasiswa
yang ceroboh, royal, terbuka, cerdas, dan sedikit pemarah. Ia juga berperan sebagai tokoh tritagonis yang mendampingi tokoh utama. f.
Said Orang ini adalah tangan kanan Mansur (ayah Rosid). Ia memiliki
akal yang cukup cerdas namun kecerdasannya itu hanya dimanfaatkan untuk memperdaya orang lain demi memperoleh uang. Ia menjadi orang yang bertanggung jawab atas kerusuhan di Sanggar Banjir Kiriman namun ia juga yang secara tidak langsung mendamaikan hubungan antara Rosid dengan ayahnya.
42
g.
Mas Anto Pria ini adalah seorang sejarawan yang berbadan gemuk dan
gemar meminum minuman keras serta ‘nongkrong’ di kafe. Ia adalah teman kakak Delia semasa kuliah. Karakternya supel, humoris, cerdas, dan kritis. h.
Ustaz Abu Hanif Ustaz Abu Hanif adalah ayah dari Mahdi. Ia juga termasuk dalam
anggota marga al-Gibran. Penggambaran karakter ustaz Abu Hanif yaitu seorang yang berusia 50 tahun lebih dengan jenggot dan rambut yang putih dan sangat bijaksana. Ia adalah sang pencerah dalam novel ini karena konflik batin dan segala pertanyaan Rosid berhasil diselesaikannya. i.
Pak RW (Jazuli) Pak RW digambarkan pengarang sebagai sosok yang cerdas,
tegas, adil, dan tidak memihak. Ia dengan sabar mendengarkan alasan setiap orang yang kala itu telah menyerang rumah Mahdi. Ia adalah contoh pemimpin yang patut dijadikan sebagai panutan bagi rakyatnya. j.
Bang Nuh Sosok Bang Nuh sangat ditakuti dan disegani di kawasan Condet.
Ia adalah mantan preman yang berperangai keras dengan tubuh yang kekar ditambah aksesori akar bahar yang melingkar di lengannya. Dalam novel ini dikisahkan Bang Nuh bertaubat berkat nasihat ustaz Abu Hanif. Ia kemudian berubah menjadi sosok pelindung bagi Mahdi dan keluarganya.
5. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah orang ketiga serba tahu. Pengarang berada di luar cerita, ia hanya berperan sebagai pencerita (narator). Narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya seperti ia, dia, atau mereka.
43
Perhatikan kutipan berikut ini. “Rosid termasuk satu di antara mereka. Ia mengayunkan kakinya.”29 “Sekarang dia sama sekali tidak tampak seperti seekor kucing lapar...”30
6. Gaya Bahasa Ben Sohib menggunakan gaya bahasa yang unik dalam novel ini. Gaya bahasa Betawi yang bercampur dengan Arab dalam novel ini menjadi penanda terjadinya peristiwa campur kode. Perhatikan kutipan berikut. “Ajib, bagus! Tahu alamat atau nomor teleponnya?” tanya Rosid gembira.31 “Kalau emang ade kebenaran, Rosid mau belajar ame syaiton.”32 Dua kutipan di atas adalah bentuk terjadinya campur kode yang ada pada novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Peristiwa tersebut menjadi ciri khas gaya bahasa masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel tersebut. Di samping itu ia juga menggunakan gaya bahasa metaforis seperti terdapat pada kutipan-kutipan berikut. Tapi jika melihat perilaku Rosid, rasanya mustahil mewujudkan impian itu, semustahil mewujudkan impian seorang anak kecil untuk tinggal di dalam rumah yang terbuat dari coklat.33 Delia terkesiap, ia seperti baru saja melihat jerawat sebesar biji kedelai yang bertempat di ujung hidungnya; jerawat besar yang sudah berada di sana sejak kali pertama ia bisa melihat.34 Kini ia mencoba ber-bungy jumping dari tebing-tebing tinggi di atas sungai yang mengalir di mata lelaki berambut keriting itu...35 Hawa perang mulai bergelayutan di langit-langit ruangan, seperti seekor monyet yang siap menyambar seikat kacang yang akan dilemparkan orang.36 Jika diperhatikan Ben Sohib memiliki gaya bahasa yang menjadi identitasnya sendiri. Ia tidak menggunakan bentuk-bentuk metaforis umum 29
Ibid., h. 4. Ibid., h. 272. 31 Ibid., h. 125. 32 Ibid., h. 199. 33 Ibid., h. 39. 34 Ibid., h. 59. 35 Ibid., h. 64. 36 Ibid., h. 197. 30
44
yang sudah ada, namun menciptakan bentuk metaforis tersebut. Bentukbentuk metaforis yang didasari peristiwa dan pengalaman sehari-hari. Bentuk majas lain seperti personifikasi juga menghiasi novel ini, seperti pada kutipan berikut. “Cahaya lampu dengan warna-warna anggun mengintip dari sela-sela air mancur, mengelilingi kolam berwarna kehijauhijauan.”37 Ternyata tidak hanya bersifat metaforis dan personifikasi semata, Ben Sohib beberapa kali menggunakan bentuk-bentuk ironi bahkan cenderung ke sarkasme. Misalnya terdapat pada kutipan-kutipan berikut. “Jangan ngajarin bebek berenang, anak mude kagak tau ape-ape!”38 “Ane liat-liat, ente kayak burung salah kebon.”39 “Meski begitu, sisa-sisa kecantikan Umi tetap menggurat di wajahnya. ...menjadi bukti-bukti tak terbantahkan akan kecantikan umi, sebelum abah datang menghancurkannya.”40 Kutipan pertama dan kedua pada contoh di atas adalah bentuk ironi yang ditampilkan Ben Sohib sedangkan kutipan ketiga merupakan bentuk sarkasme. Sarkasme adalah pernyataan atau sindiran yang bersifat kasar dan lebih terang-terangan dibanding ironi. Contoh bentuk sarkasme yang lain misalnya dalam kutipan berikut. “Bukan. Die bilang mau ngikutin Nabi, kalau berpakaian selalu di atas mata kaki. Die bilang sunnah hukumnye.” “Masak sih? Kayaknya tu orang sempit amat pikirannye.”41
37
Ibid., h. 156. Ibid., h. 85. 39 Ibid., h. 91. 40 Sohib, Loc. Cit. 41 Ibid., h. 209.
38
45
B. Kondisi Sosial Masyarakat Betawi Keturunan Arab dalam Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib Novel The Da Peci Code berlatarkan wilayah Condet, tepatnya di kelurahan Balekambang. Salah satu alasan Ben Sohib memilih daerah Condet sebagai latar dalam novel The Da Peci Code, karena di wilayah tersebut banyak terdapat masyarakat Betawi keturunan Arab. Selain alasan tersebut, menurutnya di wilayah tersebut terdapat tradisi dan budaya Islam yang sangat kuat. Kesimpulan ini merupakan hasil pengamatannya pada daerah tersebut, ketika hari besar Islam seperti maulid diadakan masyarakatnya berbondongbondong merayakannya dengan antusias.42 Latar sosial masyarakat Condet yang begitu taat berpegang teguh pada Islam menjadi informasi pertama yang ada pada novel ini. Pada permulaan cerita pengarang menceritakan wilayah Condet yang penuh dengan ratusan masjid. Hal ini menimbulkan pencitraan bagi pembaca bahwa di wilayah Condet mayoritas penduduknya adalah muslim. “Gemuruh suara azan Subuh dari ratusan masjid besar maupun kecil membelah langit Condet...”43 Kondisi sosial lainnya yang menjadi informasi penting dalam novel ini adalah profesi mereka sebagai pedagang. Hal ini dikarenakan dalam novel tersebut tidak disebutkan profesi selain berdagang. Dalam novel ini, ayah Rosid yang berperan sebagai tokoh utama tambahan berprofesi sebagai pedagang yang cukup sukses. Kemudian ada Karjo yang berpofesi sebagai pedagang bakso langganan Rosid. Dalam kenyataannya pun setali tiga uang, wilayah Condet ternyata didominasi oleh pemeluk agama Islam. Sesuai dengan data yang dilaporkan dari kelurahan setempat bahwa sekitar 97,87% penduduk Condet adalah muslim.44 Pengaruh agama Islam sangat kuat di wilayah Condet, hal ini terlihat dari banyaknya madrasah, majelis taklim, dan tradisi kesenian kasidah
42
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013. Sohib, Op. Cit., h. 11. 44 Laporan Tahunan Kelurahan Condet Balekambang, Tentang Penduduk dan Keadaan Wilayah, h. 5. 43
46
serta marawis. Sedangkan mengenai profesi berdagang akan dijabarkan lebih lanjut pada subbab berikutnya. Condet adalah kawasan yang ditetapkan sebagai cagar budaya Betawi serta cagar buah-buahan khas Betawi. Dipilihnya Condet sebagai cagar budaya Betawi karena dianggap masih memiliki keaslian-keaslian, baik yang menyangkut seni budaya, struktur sosial, dan aspek-aspek lainnya yang tidak ditemui di wilayah lain di Jakarta. Sebagai cagar budaya Betawi, Condet menampilkan sebuah realitas sosial masyarakat Betawi yang dituangkan kedalam novel The Da Peci Code oleh Ben Sohib. Di wilayah Condet banyak terdapat masyarakat keturunan Arab yang sudah sejak lama tinggal di Jakarta. Banyak orang berpikiran bahwa masyarakat keturunan Arab di Indonesia berasal dari Arab Saudi. Padahal mereka berasal dari Hadramaut (Yaman) dan datang ke Indonesia dengan tujuan utama untuk berdagang. Lama kelamaan selain berdagang mereka juga mengemban misi dakwah Islam. Akhirnya banyak di antara mereka yang menetap di Jakarta—dahulu bernama Batavia—dan menikah dengan wanita pribumi. Mereka menganut sistem patrialkal untuk mempertahankan garis keturunannya, sehingga sangat jarang ditemukan pernikahan antara wanita berdarah Arab dengan pria pribumi. Meskipun penduduk asli Condet Balekambang adalah pemeluk agama Islam, tetapi mereka bukan termasuk pemeluk agama yang fanatik. Sikap penduduk asli tetap terbuka dan toleransinya cukup tinggi dengan pemeluk agama lainnya. Orang Betawi Condet tidak mempermasalahkan asal usul pendatang. Selama kaum pendatang tidak melanggar larangan Mim Lima yaitu semua perbuatan yang didahului huruf mim atau huruf latin m, yakni minum (mabuk-mabukan), madat (menghisap ganja dan sebagainya), maling, madon (berzina atau main perempuan) dan maen (berjudi) maka mereka akan diterima dengan baik.45 Hal inilah yang menyebabkan proses akulturasi antara
45
Wati Nilamsari, Pola Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi Condet, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009), h. 49.
47
masyarakat Betawi dengan masyarakat keturunan Arab berjalan dengan lancar. Wati Nilamsari mengutip pendapat Bachtiar dalam bukunya, bahwa suatu masyarakat yang mewujudkan lebih dari satu sistem budaya, apalagi jika masing-masing sistem budaya merupakan kebudayaan yang kaya dapat mengakibatkan pembuahan silang yang menghasilkan terciptanya bentukbentuk budaya baru.46 Terbentuknya budaya baru tersebut adalah produk dari asimilasi. Namun dalam kasus masyarakat Condet lebih tepat dikatakan bahwa terjadi percampuran budaya antara masyarakat Betawi dengan masyarakat keturunan Arab. Sehingga kebudayaan Arab masih dapat dilihat jejaknya dalam dominasi kebudayaan Betawi. Proses ini disebut akulturasi yang terjadi karena adanya dua kebudayaan pada suatu masyarakat ataupun bangsa tertentu yang saling berhubungan. Beberapa bentuk budaya ini ditampilkan Ben Sohib dalam novelnya, The Da Peci Code misalnya dalam wujud penggunaan bahasa sehari-hari, kesenian daerah, maupun makanan khas masyarakatnya. Kebudayaan-kebudayaan
tersebut
adalah
cerminan
kondisi
sosial
masyarakat Betawi keturunan Arab pada kehidupan aslinya karena menurut teori mimetik karya sastra adalah imitasi dari realitas. Selain kebudayaan tersebut peneliti juga mencantumkan gambaran kebudayaan masyarakat Betawi Condet yang merupakan latar dari novel The Da Peci Code. Berbagai kebudayaan ini akan peneliti golongkan ke dalam tiga bagian yaitu keagamaan, ekonomi, dan budaya. Berikut ini adalah uraiannya secara terperinci.
1. Keagamaan Beberapa bentuk kondisi sosial-keagamaan yang terdapat dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib yaitu: a. Penduduknya yang berpegang teguh pada Islam dan sering menggalang majlis taklim serta mendirikan kelompok kasidah. 46
Ibid., h. 47.
48
Kawasan Condet adalah daerah yang sangat kental bernuansa Islam. Hal ini dijelaskan oleh Alwi Shahab dalam bukunya Betawi: Queen of the East. Menurutnya, salah satu tradisi yang kelihatannya paling alot menghadapi serbuan modernisasi adalah kehidupan keagaaman mereka yang terkenal kental. Di sini tak ada tempat ibadah lain selain untuk agama Islam. Menurut Zakaria, kelurahannya yang berpenduduk 29.975 jiwa memiliki 26 mushola, empat masjid jami’, dan 34 majelis taklim.47 “Bu Haji Jazuli adalah seorang yang aktif di lingkungan Cililitan Kecil. Ia menggalang majlis taklim dan mendirikan kelompok kasidah yang beranggotakan ibu-ibu warga Cililitan Kecil dan sekitarnya. Setiap sabtu malam mereka berlatih di rumah ketua RW 08.”48 Penduduk Betawi Condet Balekambang adalah pemeluk agama Islam yang taat, hal ini mempengaruhi sikap mereka dalam berkesenian. Orang Betawi Condet menyukai jenis-jenis kesenian yang bernafaskan Islam seperti Rebana Qasidah, Rebana Ketimpring, Samrah, dan sebagainya. Namun saat ini jenis-jenis kesenian tersebut sudah hampir hilang, karena generasi mudanya enggan untuk belajar yang masih mempertahankan budaya kesenian tersebut adalah orangorang yang sudah lanjut usia.49
b. Terdapat mubaligh yang biasa dipanggil ustaz. Dalam novel ini terdapat beberapa orang ustaz yang digambarkan oleh Ben Sohib sebagai ulama yang sangat disegani oleh masyarakat dan para pengikutnya. Mereka memiliki kewibawaan dan ilmu yang tinggi bahkan kemampuan persuasif untuk mengubah karakter buruk seseorang. Ustaz tersebut diantaranya adalah ustaz Holid dan ustaz Abu Hanif.
47
Alwi Shahab, Betawi Queen of the East, (Jakarta: Republika, 2002), h. 68. Sohib, Op. Cit., h. 263. 49 Nilamsari, Op. Cit., h. 47.
48
49
Ustadz Holid merupakan orang yang tepat untuk menjinakkan Rosid. Ia masih muda, ilmunya tinggi, dan wibawanya besar... Orang-orang berebut untuk bisa mencium tangannya.50 Orang yang biasa dipanggil Ustadz Abu Hanif itu dikenal sebagai orang yang berperangai lembut dan santun. Ia juga dikenal sangat bijaksana... Ustadz Abu Hanif memiliki kemampuan persuasif untuk mencerahkan jiwa seseorang.51 Ustaz tersebut sangat disegani oleh masyarakat sekitar dan biasanya
memimpin
sebuah
majelis
taklim.
Alwi
Shahab
menerangkan, di Condet ini tinggal sejumlah mubaligh yang bukan saja disegani penduduk setempat, tapi juga masyarakat ibukota. Termasuk Habib Umar Alatas, ulama besar yang wafat tahun 2000 dalam usia lebih satu abad.52 Strata sosial masyarakat etnik Betawi Condet menempatkan kaum ulama (guru mengaji, para haji, dan orang yang dianggap keturunan Nabi yang disebut Sayid atau Habib) pada kelompok elite yang paling dihormati masyarakat. Demikian juga dengan para haji. Mereka menerima penghormatan yang besar, baik dalam perlakuan berkaitan dengan upacara keagamaan maupun dalam setiap acara formal. Gelar haji dapat mempengaruhi prestise dan status sosial seseorang dan keluarganya dalam masyarakat.53
2. Ekonomi Satu-satunya perwujudan kondisi ekonomi masyarakat Condet dalam novel ini adalah mata pencaharian mereka yang umumnya berdagang. Ayah Rosid yaitu Mansur dalam novel ini adalah seorang pedagang. Diceritakan, ia berdagang pakaian muslim di Pusat Grosir Cililitan dan cukup sukses dengan usahanya. Entah disengaja atau tidak pemilihan profesi pedagang ini oleh Ben Sohib seolah menunjukkan bahwa itulah mata pencaharian utama masyarakat Condet. “Sekitar 2 km dari situ, 50
Sohib, Op. Cit., h. 175. Sohib, Op. Cit., h. 246. 52 Shahab, Op. Cit., h. 68. 53 Nilamsari, Op. Cit., h. 78.
51
50
Mansur al-Gibran bangkit dari kursi untuk melayani seorang calon pembeli. Hari ini toko pakaian yang ia kelola tak terlalu ramai. Biasanya, menjelang tengah hari seperti ini, sudah ada paling tidak sepuluh orang berbelanja di toko yang diberinya nama Toko Pakaian Busana Insan itu.”54 Sebenarnya pada awalnya profesi masyarakat Condet adalah bertani. Mereka adalah petani yang mengandalkan hidup dari hasil kebun tetapi karena hasil kebun yang dimiliki tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka petani rata-rata memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang. Pekerjaan berdagang justru dianggap lebih baik karena dapat mendatangkan uang setiap harinya, berbeda dengan hanya yang memfokuskan pada pekerjaan pertanian yang baru mendapatkan uang pada saat panen berlangsung. Hal lain yang menyebabkan banyak petani di Condet menekuni pekerjaan sebagai pedagang karena rata-rata mereka adalah petani kecil yang memiliki lahan yang sempit, sehingga hasil kebun yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari.55 Pedagang adalah profesi yang paling banyak ditekuni masyarakat di Jazirah Arab, mereka datang ke Nusantara pun dengan tujuan utama untuk berdagang meski ada juga yang hendak menyebarkan dakwah Islam. Tidak heran jika profesi tersebut masih mendominasi di kalangan masyrakat Betawi keturunan Arab, terutama di daerah Condet. Hal ini sesuai dengan laporan pihak kelurahan setempat bahwa sebanyak 2.347 penduduk berprofesi sebagai pedagang dan menempati urutan pertama. Setelahnya barulah profesi buruh dan jasa lainnya.
3. Budaya Kondisi kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel ini meliputi beragam hal mulai dari makanan, hiasan rumah, penggunaan sapaan, dan lain-lain yang akan dijabarkan seperti di bawah ini. 54 55
Sohib, Op. Cit., h. 37. Ibid., h. 74.
51
a. Makanan khas masyarakat Betawi keturunan Arab: nasi tomat dengan daging kambing goreng atau nasi uduk dan ayam goreng lengkap dengan sambal kacangnya. Inilah bentuk akulturasi budaya antara masyarakat Betawi dengan masyarakat keturunan Arab. Nasi tomat dan daging kambing goreng adalah makanan khas masyarakat Arab, sedangkan seperti kita ketahui nasi uduk adalah makanan khas masyarakat Betawi. Kedua bentuk budaya itu berbaur dan menjadi ciri khas masyarakat Betawi keturunan Arab. Ben Sohib menyatakan inilah budaya-budaya yang nampak dalam kehidupan masyarakat Betawi keturunan Arab di daerah Condet.56 “Hari ini sang ibu membuat nasi tomat dengan daging kambing goreng; menu favorit Rosid.”57 “Menu hari ini nasi uduk dan ayam goreng lengkap dengan sambal kacangnya. Makanan itu termasuk ke dalam menu favorit Rosid.”58
b. Hiasan rumah yang berupa permadani bermotif suasana pedesaan di Timur Tengah. Hiasan rumah semacam ini terdapat di rumah Rosid yang notabene merupakan keturunan Arab. Selain hiasan rumah, perabot rumah tangga yang digunakan juga masih berhubungan dengan kebudayaan masyarakat Arab, misalnya teko yang bergambar pohon kurma dan diapit dua bilah pedang. “Rosid duduk di ruang tengah, di atas permadani bermotif suasana pedesaan di Timur Tengah; bangunan masjid dan rumah-rumah dari tanah berwarna coklat kekuningan... Di atas permadani itulah, setiap orang di rumah ini biasa menunaikan salat.”59
56
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013. Sohib, Op. Cit., h. 83. 58 Ibid., h. 131. 59 Ibid., h. 82.
57
52
c. Penggunaan bahasa Betawi-Arab sebagai bahasa sehari-hari. Masyarakat dalam novel ini menggunakan bahasa Betawi-Arab sebagai bahasa sehari-hari. Peristiwa ini dalam sosiolinguistik disebut campur kode. Campur kode terjadi terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal.60 Berikut ini contoh kutipan yang menandakan terjadinya campur kode. Kalimat yang bergaris bawah berasal dari kosakata bahasa Arab. “Kalau anaknye syaiton, abahnya siape?”61 “Ajib, bagus! Tahu alamat atau nomor teleponnya?” tanya Rosid gembira.62 Pada kenyataannya bahasa yang digunakan masyarakat Betawi asli adalah dialek Melayu Jakarta. Dialek itu tumbuh dari bahasa Melayu yang digunakan sebagai lingua franca antar penduduk yang mempunyai latar belakang etnis dan bahasa yang beraneka ragam. Oleh karena itu, struktur dan perbendaharaan kata dialek Melayu Jakarta banyak mengandung unsur-unsur bahasa kelompok etnis pemakainya.63 Dalam kasus campur kode pada masyarakat Betawi keturunan Arab dapat disimpulkan bahwa dialek Melayu Jakarta telah berasimilasi dengan unsur-unsur bahasa Arab karena etnis kelompok pemakainya adalah masyarakat keturunan Arab.
d. Penggunaan bahasa sindiran Dalam novel The Da Peci Code terdapat bentuk bahasa sindiran yang digunakan masyrakat pada novel tersebut. Sindiran tersebut telah disinggung dalam pembahasan mengenai gaya bahasa pada novel ini. 60
Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 87. 61 Sohib, Op. Cit., h. 5. 62 Sohib, Op. Cit., h. 125. 63 Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, (Jakarta: APPM, 2006), h. 120.
53
“Jangan ngajarin bebek berenang, anak mude kagak tau ape-ape!” 64 “Ane liat-liat, ente kayak burung salah kebon.”65 Bahasa sindiran adalah salah satu bentuk bahasa rakyat Betawi. Bahasa sindiran merupakan bentuk pelahiran kolektif yang stereotip dan telah dikenal makna dan maksudnya oleh masyarakat Betawi pada umumnya. Sindiran tersebut berfungsi sebagai mekanisme untuk mengoreksi perbuatan dan tingkah laku seseorang yang dianggap menyimpang
dari
norma-norma
yang
berlaku
di
dalam
masyarakatnya. Justru karena bentuknya stereotip dan berulangkali digunakan dalam percakapan sehari-hari, maka sindiran itu mudah ditangkap dan disadari oleh orang yang disinggung.66
e. Penggunaan sapaan. Masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel ini menggunakan kata sapaan yang khas misalnya, Abah, Umi, dan Abang. Seperti dijelaskan Anwarudin Harapan, masyarakat Jakarta sejak zaman sebelumnya ketika masih bernama Sunda Kelapa, telah membangun karakteristik etnis tersendiri. Di bidang kekerabatan istilah-istilah yang dipergunakan dalam tata pergaulan sehari-hari adalah sebagai berikut: Gue, Lu, Nyak, Babe, Abah, Engkong, Mpok, Abang, dan lain-lain.67 “Bang Nuh adalah seorang bekas perampok yang sangat ditakuti.”68
f. Sifat seorang istri yang begitu penurut pada suami. Dalam novel ini digambarkan bentuk kepatuhan seorang istri dari golongan masyarakat Betawi melalui sosok Umi (ibu Rosid). Ia adalah seorang istri yang menerima apa adanya karakter dan kondisi
64
Sohib, Op. Cit., h. 85 Sohib, Op. Cit., h. 91. 66 Harapan, Op. Cit., h. 122. 67 Harapan, Op. Cit., h. 52. 68 Sohib, Op. Cit., h. 265.
65
54
suaminya. Ketika suaminya memberi perintah misalnya membuatkan kopi ia melaksanakannya meski permintaan tersebut di pagi buta sebelum Subuh. Sosok suami yang kasar dan keras kepala seperti Mansur tidak pernah ditentangnya, karena ia paham betul suaminya pantang untuk disalahkan. “Mata umi yang sayu seakan-akan menceritakan kisah tentang kepasrahan yang panjang. Mungkin hidup sekian lama bersama abah telah mengajari umi untuk selalu bersikap menerima apa adanya.”69 g. Berpantun. Masyarakat Betawi sangat senang berpantun dalam setiap bentuk komunikasi mereka. Pantun adalah ciri khas masyarakat betawi dan tidak dimiliki daerah lain di Indonesia. Pantun menjadi warisan budaya Betawi yang hingga kini masih terjaga kelestariannya karena sering digunakan ketika ada pesta-pesta pernikahan dan berbagai acara-acara komedi di televisi. Ben Sohib menggunakan gaya bahasa pantun untuk memperkuat latar sosial Betawi dalam novelnya. “Pohon kenari daunnye teduh, rambut kribo kagak dicukur. Gue sendiri elu sepuluh, gue kagak mundur sampai lu kabur!” Bang Nuh berpantun asal-asalan...”70
69 70
Sohib, Op. Cit., h. 84. Ibid., h. 247.
55
C. Perwujudan Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib Menurut Wellek dan Warren, sastra mempunyai fungsi sosial sebagai suatu reaksi, tanggapan, kritik, atau gambaran mengenai situasi tertentu.71 Kritik sosial tersebut akan terwujud jika terdapat hal-hal yang tidak wajar atau menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang terekam dalam benak seorang Ben Sohib ketika melihat bahwa peci putih adalah simbol wajib bagi umat tertentu. Ia pun mencari tahu mengenai peci putih tersebut sehingga lahirlah novel The Da Peci Code. Kritik yang ia sampaikan pun beragam tidak hanya seputar peci putih. Ciri khas dari kritik Ben Sohib yaitu ia lebih sering mengkritik masalah-masalah sepele dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebenarnya kritikan ini lebih bertujuan untuk mengingatkan, karena semua kritik yang disampaikan oleh Ben Sohib adalah sesuatu yang umum. Berbagai kritik sosial yang disampaikan Ben Sohib dalam novel The Da Peci Code yaitu paradigma umat Islam tentang sarung dan baju koko, hubungan antara ayah dan anak, pandangan umat Islam yang sempit, kepercayaan terhadap “orang pintar” (paranormal), kritikan terhadap golongan atau kelompok tertentu yang merasa paling benar, mengkritisi panggilan habib, menyadarkan umat Islam akan pentingnya memahami kitab yang dibacanya, pernikahan beda agama, serta menyuarakan kembali kesenian kasidah yang hampir punah. Berikut ini adalah penjabaran yang lebih rinci mengenai kritik-kritik tersebut.
1. Mengkritik tradisi berpeci, sarung dan baju koko bagi umat Islam Kritik terhadap tradisi berpeci adalah kritik utama yang ingin disampaikan Ben Sohib dalam novel ini. Hal ini terlihat dari penggunaan judul novelnya yaitu The Da Peci Code. Ben Sohib sendiri mengakui kalau novelnya ini menceritakan tentang peci. Ia melihat di lingkungannya bahwa peci putih seolah menjadi hal yang wajib bagi golongan tertentu.
71
Wellek dan Warren, Op. Cit., h. 111.
56
Padahal seperti kita ketahui bahwa peci hanya berfungsi sebagai penutup kepala agar terlihat lebih sopan. Kewajiban mengenakan peci ini terlihat dalam kutipan berikut. “Ape yang ente tau?” “Leluhur kite itu orang-orang alim.” “Bagus. Terusnye, leluhur kite pake peci putih ape kagak?” “Pake, terus kenape?” “Itu tandanye peci putih itu ajaran agame. Kalau bukan ajaran agame, kagak mungkin leluhur kite yang alim itu pada pake! Paham ente?”72 Kritik Ben Sohib terhadap tradisi berpeci putih ini ia sampaikan melalui tokoh Rosid. Rosid yang “dipaksa” memakai peci putih oleh sang ayah demi melanjutkan tradisi marga al-Gibran, memilih untuk menolaknya. Ia menyangkal pendapat sang ayah yang menyatakan peci putih adalah ajaran agama. Berikut ini adalah kutipan penyangkalan Rosid yang mewakili pandangan Ben Sohib tentang peci. “Malahan di Islam sendiri, sebagian ade yang bilang itu sunnah”... Lalu ia melanjutkan, “Tapi perkare model, warna, motif, dan bentuknya,itu kaitannye ame budaya masing-masing. Jadi, model peci putih yang kayak dipake ame leluhur kite itu bukan ajaran agame, bukan sunnah, apalagi wajib...”73 Dalam novelnya, Ben Sohib menggambarkan bahwa peci putih adalah ajaran wajib bagi komunitas fiktif (al-Gibran) yang berasal dari para leluhurnya. Inilah sebuah kondisi yang memang terjadi di masyarakat dalam komunitas tertentu. Ketika seseorang sedang menghadiri acaraacara keagamaan dari komunitas tersebut dan lupa mengenakan peci putih, ia akan menjauh dan merasa tersisihkan. Bahkan tidak jarang disindir oleh anggota lainnya. Paradigma yang keliru atas peci putih ini telah diluruskan oleh Ben Sohib dalam kutipannya yang disampaikan oleh seorang tokoh bernama ustaz Abu Hanif. Melalui kutipan ini ia mengungkapkan alasan yang tepat
72 73
Sohib, Op. Cit., h. 184. Ibid., h. 186.
57
menggunakan peci putih bukan sebagai hal yang wajib. Namun hanya sebagai simbol atau penanda akan komunitas tertentu. “Gue pake sarung dan peci putih, ini cuman penanda. Penanda yang udah disepakatin masyarakat sini, kalau yang pake gituan berarti orang Islam, apa lagi leluhur kite semuanye pade pake. Same aje kalau ada orang pake belangkon itu pasti orang Jawa atau Sunda. Kalau ade orang pake ulos itu orang Batak... Dan penanda-penanda itu nggak ngejamin orang itu bae apa ngga... Tapi lu kudu inget, di balik penanda-penanda itu, pasti punye maknanye masing-masing,” jelas ustadz Abu Hanif.74 Kritik tersebut kemudian berkembang pada kritik busana umat Islam. Sebagian umat Islam menganggap bahwa baju koko dan sarung adalah pakaian yang wajib dikenakan ketika beribadah. Tentu ini adalah sebuah pemikiran yang keliru karena itu bukanlah ajaran dari Nabi Muhammad Saw. Masalah ini juga diuraikan oleh Ben Sohib dalam novel The Da Peci Code melalui kutipan berikut. ...Rosid kembali mencecar, “Tadi ane lihat, semua orang di masjid ini pake baju koko. Baju koko dianggep baju Islam. Emang sejak kapan baju koko masuk Islam? Dulu kagak ade orang yang bilang itu baju Islam. Semua orang juga tau kalau itu baju asalnye dari negeri Cina, kalau sarung itu dari India. Terus kenape jadi dikaitin ame Islam, seolah-olah kalau yang pake sarung dan baju koko itu berarti orang Islam yang Islami? Dimane letak kaitannye?75 2. Hubungan antara ayah dan anak Hubungan antara Rosid dan Mansur, sang Ayah dalam novel ini adalah bentuk hubungan yang unik. Keduanya sama-sama keras kepala sehingga ketika berselisih paham sering terjadi pertengkaran bahkan sampai tindakan pengusiran yang dilakukan oleh Mansur terhadap anaknya, Rosid. Meskipun begitu perselisihan antara ayah dan anak ini tidak semuanya tampak menegangkan, tapi justru tergambar dengan kelucuan-kelucuan. Perhatikan kutipan berikut ini. Konteks dari kutipan berikut adalah ketika
74 75
Ibid., h. 293. Ibid., h. 185.
58
Rosid telah meminum ramuan dari “orang pintar” yang diberikan oleh ayahnya selama tiga hari berturut-turut. “Abah, Rosid besok mau cukur rambut. Rosid pengen pakai peci putih lagi,” kata Rosid sambil bangkit berdiri. Tapi tiba-tiba, bahu kanan Rosid sudah sejajar dengan pintu samping rumah yang memang sudah terbuka. Mansur mencium adanya gelagat buruk yang meruap memenuhi udara. Tangan Mansur meraba meja makan dan mencari-cari sesuatu... Benar saja! Rosid sekarang memutar badan dan menghadap ke pintu keluar, merunduk dalam posisi seperti seorang pelari yang akan memulai start. Tiba-tiba...Rosid berteriak. “Ketipu nih yeee!” Mansur mendengus... Tapi kali ini ia kalah cepat. Siraman kuah sayur nangka sisa makan malam itu hanya mengenai bagian pinggir daun pintu.76 Puncak kemarahan Mansur adalah pengusiran yang dilakukannya pada Rosid. Pengusiran itu berdampak pada Rosid yang harus menginap di rumah Mahdi selama beberapa hari. Setelah peristiwa pengusiran itu Mansur merasakan kegundahan yang luar biasa. Perhatikan kutipankutipan berikut. Mansur merasakan gigil yang berbeda. Tapi ia tak ingin istrinya tahu bahwa ia sedang dalam kegentaran menghadapi Rosid, anak lelaki satu-satunya.77 Meski Mansur berupaya keras untuk meyakinkan dirinya bahwa tindakan itu sudah benar, tapi rasa sedih dan penyesalan tetap berkalikali datang mengepung. Rasa sedih jika teringat pengusiran itu sangat mengganggu...78 Semarah-marahnya orang tua pada anaknya tentu kasih sayangnya jauh lebih besar daripada marahnya. Kasih sayang inilah yang ditunjukkan Mansur
kepada
anak
lelakinya
sebatang kara setelah peristiwa
penyerangan rumah Mahdi oleh kelompok tak dikenal. Ia begitu panik setelah mendapat telepon dari warga bahwa rumah Mahdi diserang kelompok tak dikenal dan langsung bergegas ke rumah Pak RW untuk 76
Ibid., h. 134. Ibid., h. 17. 78 Ibid., h. 216.
77
59
mencari
tahu
kondisi
Rosid.
“...ia
tak
bisa
menyembunyikan
kekhawatirannya. Ia tampak gugup. Sesampai di luar pintu, ia bergegas ke dalam; ia lupa memakai peci putihnya... Mansur tergopoh-gopoh memasuki rumah Pak RW... Melihat Rosid ada di situ, Mansur menubruk dan memeluk anak itu. “Selamet lu, Sid. Selamet,”kata Mansur terbatabata.”79 Kasih sayang inilah yang begitu dirasakan Rosid malam itu, ketika ayahnya datang dan langsung memeluknya. Apa yang dilakukan Mansur akhirnya menyadarkan Rosid bahwa ayahnya begitu menyayanginya. Ditambah lagi nasihat Ustaz Abu Hanif kepadanya. Hingga pada akhirnya ia bisa berdamai dengan sang ayah. “Tadi malam, ia merasakan betapa besar rasa sayang sang ayah terhadap dirinya. Rosid merasa terharu dan timbul rasa kasihan ketika ayahnya memeluknya erat-erat.”80 Sepanjang cerita Ben Sohib mengisahkan perseteruan antara Rosid dengan ayahnya dengan berbagai suasana. Sampai pada akhir cerita ia menutup kisah tersebut dengan suasana bahagia dan cukup membuat terharu. Hubungan yang unik, menegangkan, dan mengharukan antara ayah dan anak ini ditutup dengan humor untuk mencairkan suasana. Keputusan yang tepat telah diambil Ben Sohib dengan tidak memenangkan salah seorang yang berseteru ini. Keduanya telah melakukan kekeliruan, Rosid telah keliru mengenai cara menyampaikan pendapatnya yang terlalu keras dan ayahnya telah keliru untuk mengungkapkan rasa sayangnya yang beranggapan bahwa anak adalah sesuatu hal yang harus dibentuk oleh orang tua. Padahal anak memiliki dan berhak menentukan dunianya sendiri.
3. Pandangan umat Islam yang sempit Ben Sohib memang tidak dilahirkan dalam keluarga yang fanatik terhadap Islam. Ia juga tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam 79 80
Ibid., h. 270. Ibid., h. 294.
60
yang begitu kuat. Namun ia memiliki pendapat sendiri tentang Islam. Bahwa Islam harus ada dalam setiap sendi kehidupan dan tidak menyukai pandangan sempit mengenai seorang muslim yang taat. Menurutnya seorang muslim yang taat tidak harus selalu ditandai dengan memakai celana di atas lutut dan berbaju koko. Perhatikan saja sosok yang digambarkan Ben Sohib pada tokoh Rosid. Ia adalah seorang laki-laki yang gemar bernampilan junkies namun sangat taat terhadap Islam. Ia selalu menjaga salatnya, tidak meminum minuman keras, bahkan jarang sekali memegang tangan kekasihnya. Perhatikan kutipan-kutipan berikut ini. Berapa jamkah aku tertidur? Tanya Rosid dalam hati. Ada penyesalan; ia tak salat Subuh hari ini.81 “Wah udah jam lima lewat,” kata Rosid sambil melihat jam tangannya, “aku mau salat sebentar ya.”82 Hal paling jauh yang pernah dilakukan hanyalah menggandeng tangannya, itu pun kalau sedang menyeberangi jalan.83 “Kamu nggak minum bir, Sid?” tanya Anto. “Nggak, Mas,” jawab Rosid tersenyum.84 Meskipun sosok laki-laki seperti Rosid ini mungkin hanya ada dalam novel namun yang terpenting adalah pelajaran yang dapat kita ambil dari tokoh tersebut, bahwa penampilan seseorang tidak pernah menjamin seberapa besar iman dan takwanya kepada sang pencipta. Mari kita bandingkan dengan tokoh Said. Kemanapun ia pergi, Said selalu mengenakan sarung, baju koko, dan peci putih. Namun perangainya digambarkan Ben Sohib sebagai orang yang licik, serakah, dan mampu menghalalkan segala cara demi uang. Sangat berbanding terbalik dengan penampilannya. “...Said menepuk-nepuk bahu Mansur... Kemudian, lelaki dengan tatapan seperti seekor kucing lapar itu melompat dan melintasi
81
Ibid., h. 33. Ibid., h. 68. 83 Ibid., h. 69. 84 Ibid., h. 169.
82
61
pekarangan. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam kantong bajunya memastikan amplop berisi uang itu tetap berada pada tempatnya.”85 Pandangan umat Islam lainnya yang dikritik oleh Ben Sohib yaitu mengenai perayaan maulid. Sebagian umat Islam beranggapan bahwa perayaan maulid adalah bidah yang harus ditinggalkan. Ben Sohib tidak setuju dengan hal ini. Perhatikan kutipan berikut ini. Perkataan di bawah ini disampaikan oleh Lukman, pemimpin kelompok Radikal (Remaja Didikan Allah). “Pak RW, kita tidak semestinya membuang-buang waktu dan tenaga untuk sekadar memperingati hari kelahiran Muhammad. Muhammad itu hanyalah manusia biasa. Dia makan dan minum, sama seperti kita. Semua itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu terlalu diagung-agungkan di atasnya, kita hanya diajurkan mengikuti sunnahnya.86 Namun perkataan di atas ditanggapi dengan bijak oleh seorang tokoh bernama Husein Wirakusuma. Tanggapan tokoh ini juga sekaligus menjadi jawaban atas kritik Ben Sohib terhadap perayaan maulid. Perhatikan kutipan berikut ini. “Nak Lukman, coba Anda buka-buka lagi Al-Qur’an. Pasti Nak Lukman akan temui ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi, di antaranya surat Al-A’raf ayat 157. Saya tidak ingin menggurui, tapi coba nanti di rumah Nak Lukman cari ayat itu dan renungkanlah artinya. Dan perlu Nak Lukman ketahui, peringatan maulud adalah salah satu bentuk pengagungan kita terhadap Nabi. Nah, mudah-mudahan siapa yang mendengar dapat memahaminya.”87 Melalui kutipan di atas Ben Sohib memandang manfaat yang diperoleh dari perayaan Maulid lebih besar ketimbang mudaratnya. Berdasarkan dalil yang ia kemukakan, mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah perintah Allah Swt meskipun Nabi sendiri tidak pernah memintanya. Walaupun ada sebagian kalangan yang memandang ini sebagai bidah, keyakinan memberikan penghormatan kepada Nabi adalah sebuah 85
Ibid., h. 218. Ibid., h. 278. 87 Ibid., h. 282. 86
62
keharusan sehingga tradisi Maulid ini terus bertahan dan berkembang di masyarakat.
4. Kepercayaan terhadap “orang pintar” (paranormal) Banyak orang yang percaya dengan kemampuan “orang pintar” (paranormal) untuk mengubah nasib seseorang. Padahal nasib seseorang ditentukan oleh tangannya sendiri. Kepercayaan terhadap “orang pintar” ini juga menjadi salah satu bahan kritikan Ben Sohib terhadap masyarakat umum. Kritik ini disampaikannya melalui sosok Mansur. Atas saran Said, demi mengubah perilaku Rosid agar mau menuruti keinginannya Mansur pergi ke “orang pintar” dan diberikan air yang telah diberi doa. Menurut “orang pintar” tersebut dalam tiga hari pasti sifat Rosid akan berubah. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan berikut. Tapi air itu sudah terlanjur ia minum, sudah tiga gelas dalam tiga hari ini! Tiba-tiba Rosid tertunduk... Mansur terkesiap, ia yakin “air isi” itu sedang bekerja... Ia ingat, ketika ketika orang itu menyerahkan kepadanya sebotol air...ia berkata, “Insya Allah, tiga kali minum itu anak sudah berubah.” “Abah, Rosid besok mau cukur rambut. Rosid pengen pakai peci putih lagi,” kata Rosid sambil bangkit berdiri.88 Namun yang terjadi selanjutnya sungguh mengejutkan. Ketika Mansur mulai gembira melihat perubahan drastis putranya tiba-tiba Rosid berdiri dan membalikkan badannya seraya berkata, “Ketipu nih yeee!”. Ternyata ramuan “orang pintar” itu tidak bekerja sesuai dengan yang dijanjikan. Menemui “orang pintar”, paranormal, atau sejenisnya dianggap sebagai jalan pintas untuk mengatasi sebuah masalah. Tidak terkecuali pada era modernitas seperti saat ini. Kecanggihan teknologi bahkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dikalahkan oleh jampi-jampi paranormal dan dukun. Fenomena semacam ini ternyata masih ditemukan di tengah kota metropolitan seperti Jakarta. Terlebih lagi di daerah Condet yang 88
Ibid., h. 133.
63
masyarakatnya dikenal kuat memegang tradisi keislaman sejak zaman dahulu.
5. Mengkritik golongan atau kelompok tertentu yang merasa paling benar Kritikan ini disampaikan pengarang dalam bentuk kelucuan dengan adanya sebuah kelompok yang bernama Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain). Kelompok ini menganggap aliran mereka yang paling benar sedangkan semua aliran lain adalah salah. Perhatikan kutipan yang berisi lelucon berikut ini. “Kami dari Forum Masyarakat Anti Aliran Lain. Aliran kamilah satu-satunya yang benar. Jika ada yang berbeda, maka itu pastilah aliran sesat. Dan kami akan memeranginya di manapun mereka berada!”89 Pada akhirnya kelompok ini hanya menjadi bahan tertawaan masyarakat dalam novel The Da Peci Code tersebut. Karena pemikiran merasa paling benar dan menganggap yang lainnya sesat/salah adalah bentuk kekerdilan pemikiran seseorang dan tidak akan pernah mendapat legitimasi dari masyarakat manapun. “Jadi, aliran kalian yang menafsirkannya secara benar?” “Iya, Pak.” “Siapa yang bilang?” ... “Ya kami yang bilang, Pak,” jawab anak muda itu agak ragu. “Oh, jadi kalian sendiri yang bilang, bukan Tuhan?”tanya Pak RW disambut tawa semua orang, kecuali si ketua FORMALIN dan Lukman Pitak.90 Saat ini banyak terdapat kelompok-kelompok yang menganggap alirannya paling benar kemudian menganggap sesat kelompok lain. Padahal terdapat sebuah hadis yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang menganggap saudaranya sesama muslim itu kafir berarti ia sendiri telah ada dalam kekafiran. Ben Sohib nampaknya lebih menghargai pluralisme sebagai suatu hal yang menjadi kodrat manusia. Aliran sesat 89 90
Ibid., h. 249. Ibid., h. 274.
64
tentu harus diperangi, namun tidak asal tuduh. Harus ada bukti-bukti yang mendasarinya. Bahkan aliran seperti Ahmadiyah yang terbukti sesat tidak bisa diberantas begitu saja. Salah satu alasannya adalah adanya konsep Hak Azasi Manusia (HAM) dan pluralisme tadi. Negara kita pun menjamin kebebasan dalam menganut kepercayaan dalam UndangUndang RI Pasal 28 E ayat 1 dan 2 yang diantaranya berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” Oleh karena itu diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama dan sesama pemeluk agama yang berbeda aliran. Membenarkan aliran sendiri dengan menghujat aliran lain adalah perbuatan yang salah dan melanggar undang-undang.
6. Menyadarkan umat Islam mengenai pentingnya memahami makna kitab-kitab sejarahnya. Bentuk pemikiran kritis Ben Sohib juga menyentuh aspek mengenai pembacaan kitab-kitab sejarah Nabi. Menurutnya sangat disayangkan jika sebuah kitab seperti itu hanya dibaca tanpa dipahami maknanya. Padahal jika digali maknanya dapat diperoleh berbagai pelajaran hidup. Sama halnya dengan kitab suci Al-Qur’an, perlu dikaji maknanya bukan sekedar dibaca dan tidak mengacuhkan hikmah yang terkadung di dalamnya. Perhatikan kutipan berikut ini. “Bayangkan, kitab yang mengungkapkan keagungan Nabi yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang indah dan mempesona itu, hanya dibaca layaknya sebuah mantra. Padahal, banyak hikmah yang diperoleh jika saja kitab-kitab itu tidak sekedar dihapal dan dibaca, melainkan dikupas dan digali maksud-maksud yang terkandung di dalamnya.”91 Pembacaan kitab-kitab sejarah Nabi ini disebut juga pembacaan Maulid. Pembacaan Maulid adalah bentuk kesenian dan tradisi lisan masyarakat Betawi. Pembacaan Maulid dalam kehidupan masyarakat 91
Ibid., h. 180.
65
Betawi meliputi berbagai aspek dan daur kehidupan. Dalam berbagai siklus kehidupan orang Betawi pembacaan Maulid selalu hadir seperti pada upacara kelahiran, upacara akikah, khitanan, perkawinan, dan acaraacara lainnya. Pada awalnya, pembacaan Maulid adalah pelaksanaan dari seruan pemimpin Islam Sultan Salahuddin al-Ayyubi dari Mesir, tentang perlunya membangkitkan Yerussalem
semangat
yang
jihad
diduduki
dalam
musuh
rangka
dalam
merebut
Perang
kembali
Salib.
Untuk
membangkitkan semangat juang kaum muslimin di medan perang, Salahuddin menyelenggarakan sayembara penulisan sejarah Rasulullah saw yang dimenangkan oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim al-Barjanzi. Kitab berjudul Iqd Al-Jawahir (‘kalung permata’) yang kemudian terkenal dengan nama Kitab al-Barjanzi berbentuk rangkaian puisi yang indah dan mampu membangkitkan emosi dan semangat kaum muslim kala itu untuk meraih kemenangan.92 Tradisi pembacaan Maulid masuk ke Indonesia seiring dengan perkembangan dan persebaran Islam di Indonesia. Eksistensi seni pembacaan Maulid dalam kesenian Betawi menunjukkan kuatnya pengaruh
kebudayaan
Arab-Islam
sebagai
salah
satu
penopang
kebudayaan Betawi. Pada perkembangannya tradisi pembacaan Maulid berkembang di majelis-majelis taklim yang tersebar di berbagai penjuru wilayah Jakarta dan sekitarnya.93 Saat ini tradisi pembacaan Maulid masih terus bertahan di tengah serbuan modernitas. Namun, Ben Sohib melihat tradisi ini dari sudut pandang yang berbeda. Ia beranggapan bahwa pembacaan Maulid saat ini hanyalah sekedar membaca tanpa pemahaman atas makna di dalamnya. Banyak dari mereka yang hanya menjadi pendengar sejati saat kitab-kitab tersebut dibacakan karena tidak mengerti bahasa Arab.
92
R. Cecep Eka Permana & Untung Yuwono, Langgam Budaya Betawi, (Depok: FIB UI, 2011), h. 156. 93 Ibid., h. 159—160.
66
Sang ustadz mulai membaca kitab yang ditulis dalam bahasa Arab itu. Meski tak tahu artinya para hadirin menyimaknya dengan khusyuk... Seperti sebelum-sebelumnya, Rosid selalu merasa kecewa ketika menghadiri acara-acara semacam ini. Bayangkan, kitab yang mengungkapkan keagungan Nabi yang ditulis dengan kalimat yang indah dan mempesona itu, hanya dibaca layaknya sebuah mantra.94 Menurutnya, kitab-kitab tersebut akan jauh lebih bermanfaat jika setelah membaca juga dilakukan kegiatan pengkajian, terlebih lagi kitab-kitab tersebut ditulis dengan bahasa yang puitis sehingga penerjemahan saja tidak cukup apalagi hanya sekedar dibacakan.
7. Pernikahan beda agama Sebenarnya permasalahan ini adalah tema utama dari novel Rosid dan Delia yang merupakan kelanjutan dari novel ini. Meskipun begitu, Ben Sohib telah membahas masalah ini pada novel pertamanya agar tercipta jalinan antara dwilogi tersebut. Dalam novel The Da Peci Code, kisah percintaan antara Rosid dan Delia menjadi bingkai dari kritik Ben Sohib terhadap tradisi berpeci dan kebiasaan-kebiasaan mendasar yang keliru dalam masyarakat. Kisah percintaan yang awalnya baik-baik saja ini menjadi rumit ketika tiba pada masalah perbedaan keyakinan. Rosid adalah pemuda Betawi keturunan Arab yang sangat taat terhadap ajaran Islam sedangkan Delia adalah gadis kota yang menganut agama Kristen. Mereka berdua saling menyayangi namun perbedaan keyakinan menghalangi mereka untuk menjalin sebuah rumah tangga. Harus ada yang mengalah terhadap keyakinannya jika ingin terbentuk sebuah keluarga. “...ketika kita memutuskan untuk bersatu, kita harus meleburkan perbedaan itu, dan mengorbankan salah satunya.”95 Melalui masalah ini Ben Sohib mencoba memberikan sebuah pandangan bahwa pernikahan beda agama hanya akan menimbulkan
94 95
Sohib, Op. Cit., h. 179. Ibid., h. 309.
67
berbagai persoalan. Meskipun ia meyakini semua agama itu baik namun dalam kenyataannya masalah perbedaan keyakinan tidak mungkin dapat dipersatukan dalam sebuah ikatan pernikahan, harus ada yang mengalah untuk berpindah keyakinan. Pandangan ini disampaikannya melalui tokoh ustaz Abu Hanif dalam kutipan berikut. “Apa elu pikir kawin beda agame itu gampang, Sid?... Sid, gue bukannya mau ngomong kalau agame selain agame kite itu jelek. Gue yakin, semua agame itu bagus. Gue cuma pengen bilang, kalau lu kawin ame orang yang beda agame, lu bakalan pusing... begitu lu kawin, hidup serumah saban hari, lu bakal ketemu ame yang namenye masalah.96 Pada akhirnya Rosid dan Delia bertemu untuk membicarakan masalah ini. Pertempuran kata-kata antara keduanya pun tak bisa dihindari. Rosid menyampaikan semua nasihat ustaz Abu Hanif kepada Delia. Namun besarnya cinta Rosid pada Delia membuatnya tidak bisa memutuskan untuk meninggalkan Delia. Akhirnya mereka memilih untuk tetap menjalani hubungan ini, membiarkannnya tetap mengalir seperti sebelumnya. “...dalam hitungan detik, Rosid berlari mengejar Delia. Ia mencekal lengannya. Ia ingin hubungannya dengan Delia tetap seperti dulu, mengalir seperti sungai di dekat rumah Mahdi.”97
8. Menyuarakan kembali kesenian Islam yang hampir punah Kasidah adalah salah satu jenis kesenian Islam yang hampir punah. Pada pembahasan sebelumnya saya telah mengutip pendapat dari Nilamsari Wati berdasarkan penelitiannya terhadap pola ekonomi masyarakat Condet. Ia menyatakan bahwa generasi muda sudah enggan untuk mempelajari kesenian tersebut yang masih mempertahankan adalah generasi tua. Melalui novel ini, Ben Sohib ingin mempopulerkan kembali kasidah sebagai bentuk kesenian Islam dengan menampilkannya dalam bentuk kutipan berikut. 96 97
Ibid., h. 296. Ibid., h. h. 315.
68
Bu Haji Jazuli adalah seorang yang aktif di lingkungan Cililitan Kecil. Ia menggalang Majlis taklim dan mendirikan kelompok kasidah yang beranggotakan ibu-ibu warga Cililitan Kecil dan sekitarnya.98 Bu RW menjentikkan jemari tangannya... Maka membahanalah rampak rebana dan gemerincing tamborin memenuhi seluruh ruangan...mengalunlah suara merdu dari salah seorang dari mereka. Lagu Perdamaian dari kelompok Nasida Ria yang sangat popoular di awal tahun 1980an...99 Orang Betawi Condet menyukai jenis-jenis kesenian yang bernafaskan Islam seperti Rebana Qasidah, Rebana Ketimpring, Samrah, dan sebagainya. Namun saat ini (saat penelitian berlangsung) jenis-jenis kesenian tersebut sudah hampir hilang. Data Laporan Kelurahan Agustus 2003 mencatat terdapat empat kelompok Qasidah yang berada di bawah bimbingan Laboratorium Tari dan Karawitan Betawi. Akan tetapi upaya pelestarian seni budaya Betawi di Condet tidak mampu menggugah kesadaran penduduk untuk menjaga dan memelihara seni budaya tradisional. Di samping itu struktur masyarakat Condet yang semakin heterogen dengan banyaknya para pendatang yang membawa adat istiadat serta seni budaya dari daerah asalnya dapat mempengaruhi kelestarian budaya Condet.100
D. Implikasi Penelitian Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pendidikan sastra bertujuan untuk apresiasi dan pengembangan diri. Melalui karya sastra siswa dapat belajar banyak hal seperti nilai moral, nilai sosial, maupun nilai religius. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai motivator serta memberikan pencerahan kepada siswa. Bahkan karya sastra juga dapat dijadikan sarana pembentukan karakter siswa. Saat ini wacana pembentukan karakter siswa sangat gencar digaungkan. Penerapannya pada perubahan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan 98
Ibid., h. 263. Ibid., h. 285. 100 Nilamsari, Op. Cit., h. 47. 99
69
Silabus dengan penambahan kolom karakter siswa yang diharapkan misalnya kejujuran, berani, disiplin, atau bertanggung jawab. Pembentukan karakter siswa salah satunya dapat dilakukan melalui apresiasi karya sastra. Karena, menurut Riris K. Toha-Sarumpaet, karya sastra bila dikenal dan diketahui caranya dapat memperkenalkan dunia mahaluas yang memberi kenikmatan, pengalaman, pengetahuan, dan wawasan yang dapat digunakan sebagai alat pertumbuhan pribadi: perlu kebermaknaan.101 Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib adalah novel yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran apresiasi sastra. Siswa dapat menggali berbagai nilai kehidupan dari novel The Da Peci Code antara lain: 1. Mengembangkan sikap kritis seperti yang dimiliki oleh Rosid Rosid adalah seorang pemuda yang kritis, ia tidak menerima begitu saja apa yang diwajibkan oleh ayahnya yaitu memakai peci putih lantaran ia meyakini bahwa peci putih bukanlah ajaran agama. Ia juga tidak menyukai pandangan umat Islam yang menganggap baju koko dan sarung adalah pakaian wajib umat Islam, padahal Nabi tidak pernah mengajarkan hal tersebut. Jadi, kebaikan seseorang tidak dinilai dari busana yang ia kenakan. 2. Menghargai perbedaan pendapat Dalam novel ini minoritas umat Islam (kelompok Formalin) berpendapat bahwa maulid adalah bidah dan tidak perlu dilakukan. Namun sebagian yang lain berpendapat sebaliknya. Sosok Pak Haji Jazuli sebagai ketua RW menunjukkan sikap menghargai perbedaan pendapat dengan mempersilahkan setiap orang untuk berpendapat. Ia tidak mengucilkan pendapat minoritas dan tidak mendukung berlebihan pendapat mayoritas. 3. Menghormati serta menyayangi kedua orang tua Perseteruan antara Rosid dan ayahnya merupakan sebuah hal yang tidak patut dicontoh, namun dibalik itu terdapat hikmah bahwa orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ketika cara mereka 101
Riris K. Toha-Sarumpaet, “Dengan Sastra Menjadi Manusia,” Susastra 5, vol. 3 (Januari, 2007): h. 30.
70
kurang tepat, seorang anak haruslah mengingatkan dengan cara yang halus dan hati-hati. Rosid sangat merasakan kasih sayang ayahnya ketika sang ayah begitu mengkhawatirkan keselamatan dirinya
setelah peristiwa
penyerangan oleh sekelompok orang yang terjadi di rumah Mahdi. Seorang anak harus menyadari bahwa kasih sayang orang tua takkan tergantikan oleh siapapun. 4. Menghormati paham atau ideologi lain yang tidak sejalan dengan paham diri sendiri Dalam cerita ini terdapat kelompok Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain). Mereka menganggap alirannya yang benar dan aliran lain adalah salah (sesat). Pada akhirnya aliran ini hanya menjadi bahan tertawaan masyarakat.
Kritik sosial dalam novel tersebut akan membuka wawasan siswa terhadap kondisi sosial masyarakat Betawi dan memungkinkan siswa memberikan tanggapan atas kritik sosial yang disampaikan pengarang. Kritik yang disampaikan Ben Sohib adalah kritikan terhadap masalah-masalah kehidupan sehari-hari sehingga novel ini tepat untuk dijadikan media pembelajaran apresiasi sastra bagi siswa tingkat menengah pertama (SMP) kelas VIII, dalam aspek berbicara. Dengan Standar Kompetensi mengapresiasi kutipan novel remaja melalui kegiatan diskusi. Nilai moral seperti menghormati kedua orang tua, paradigma untuk tidak melihat penampilan seseorang dari luar, tidak mempercayai dukun atau paranormal, serta belajar mencintai kesenian daerah adalah kritik sosial yang tepat untuk dijadikan fondasi pembentukan karakter bagi siswa SMP. Ditambah lagi penyajian novel ini menggunakan bahasa yang ringan, lucu dan tidak mengandung unsur kekerasan serta pornografi. Novel The Da Peci Code ini juga dapat digunakan sebagai sarana untuk memperkenalkan kebudayaan masyarakat Betawi yang tinggal di daerah Condet. Siswa dapat memperoleh berbagai informasi mengenai kehidupan masyarakat Betawi asli dan masyarakat Betawi keturunan Arab yang ada di
71
daerah Condet karena wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai cagar budaya Betawi oleh pemda DKI Jakarta. Meskipun begitu harus diakui bahwa novel ini memiliki judul yang kurang baik jika ditinjau dari segi bahasa. Judul yang digunakan—meski hanya sebagai “plesetan”—mencampuradukkan beragam bahasa, yaitu bahasa Inggris (The dan Code), bahasa Italia (Da), dan bahasa Indonesia (Peci). Frase seperti ini dapat dijadikan contoh yang salah bagi siswa dalam penggunaan bahasa karena menurut Umberto Eco fungsi penting sastra adalah menjaga bahasa.102 Dalam kegiatan apresiasi ini guru sebaiknya berfungsi sebagai “rekan” yang lebih tua, bersama-sama dengan muridnya berusaha menghayati karya sastra. Guru sastra adalah “sekadar” pendamping murid-muridnya dalam usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian pengarang terhadap kehidupan. Sumbangan kegiatan semacam itu sangat penting; jika berhasil, ia bisa menciptakan kesadaran kritis terhadap kehidupan itu sendiri, suatu hal yang diperlukan bagi masa depan murid-muridnya.103
102 103
Sides Sudyarto DS, Manusia dan Bahasa, (Bogor: Raya Kultura, 2009), h. 39. Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah,” Susastra 5, vol. 3 (Januari, 2007): h. 11.
BAB V PENUTUP A.
Simpulan Setelah melakukan penelitian terhadap novel The Da Peci Code karya
Ben Sohib, peneliti menarik beberapa kesimpulan sebagai hasil dari penelitian tersebut. Hasil penelitian ini sekaligus menjadi jawaban atas rumusan masalah yang telah diungkapkan peneliti pada bagian pendahuluan. Berikut ini adalah kesimpulannya. 1.
Kritik sosial yang ingin disampaikan Ben Sohib melalui novel ini yaitu mengenai peci putih yang dianggap wajib bagi masyarakat kelompok tertentu ditentang oleh Ben Sohib karena peci hanyalah penanda saja, kemudian tentang baju koko dan sarung bukanlah satu-satunya busana yang Islami terlebih wajib, karena Nabi juga tidak pernah mengenakannya; bahwa seorang ayah tidak boleh memaksakan kehendaknya pada sang anak dan seorang anak jika berbeda pendapat dengan orang tua harus menyampaikannya secara halus; pandangan umat Islam yang sempit menyangkut dua hal yaitu anggapan bahwa orang yang berbusana Islami pasti orang baik dan perayaan maulid Nabi yang dianggap perbuatan sia-sia oleh sebagian umat Islam, namun Ben Sohib menjawab hal ini dengan sebuah dalil dari surat Al-Araf ayat 157 mengenai kewajiban memuliakan Rasul; melalui novelnya ini Ben Sohib menganjurkan untuk tidak mempercayai paranormal; mengkritik golongan atau kelompok tertentu yang merasa paling benar, pada novel ini terdapat kelompok Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain) yang menganggap hanya alirannya yang benar dan akhirnya kelompok tersebut hanya menjadi tertawaan masyarakat; menurut Ben Sohib kitab-kita sejarah kebesaran Nabi tidak hanya untuk dibaca tapi harus dikaji isinya; Ben Sohib beranggapan
72
73
bahwa nikah beda agama hanya akan menimbulkan banyak masalah jika ingin menikah maka salah satu harus mengalah dan mengikuti kepercayaan pasangannya; dan menyuarakan kembali kesenian Islam yang hampir punah seperti kasidah yang saat ini semakin sedikit generasi muda yang mau mempelajarinya. 2.
Implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu pada pembelajaran mengenai apresiasi sastra novel ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran bagi siswa kelas VIII
dalam
aspek
berbicara
dengan
Standar
Kompetensi
mengapresiasi kutipan novel remaja melalui kegiatan diskusi. Melalui kegiatan apresiasi dapat digali berbagai nilai-nilai kehidupan seperti sikap kritis, menghargai perbedaan pendapat, menghormati kedua orang tua, dan menghormati paham atau ideologi lain yang tidak sejalan dengan diri sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan fondasi karakter bagi siswa sekolah menengah pertama.
B.
Saran Sebaiknya novel ini digunakan sebagai media pembelajaran apresiasi
sastra oleh guru. Karena, novel ini dapat membantu memperkenalkan kebudayaan dan kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab. Selain itu, melalui novel ini dapat digali beragam nilai-nilai kehidupan. Para guru dan calon guru sastra Indonesia juga harus menyadari bahwa pengajaran sastra bukan semata menjelaskan unsur intrinsik namun bagaimana membuat siswa menghayati dan mencintai karya sastra. Novel ini berusaha menyuarakan kembali kesenian kasidah yang hampir punah. Seharusnya pemerintah DKI Jakarta memperhatikan kesenian seperti kasidah, marawis, dan kesenian-kesenian lainnya sebagai salah satu warisan budaya masyarakat Betawi. Jangan sampai kesenian-kesenian tersebut punah digerus derasnya era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adinegoro, Djamaludin. Tata Kritik. Djakarta: Nusantara, 1958. Ahmadi, Mukhsin. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Bahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: YA3, 1989. Aslinda & Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama, 2007. Aziz, Abdul. Islam dan Masyarakat Betawi. Ciputat: Logos, 2002. Tim Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud, 1978. Dani Wardani, Veri. “Male Feminis dan Kontra Male Feminis dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.” Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2005. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003. Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Esten, Mursal. Kritik Sastra Indonesia. Padang: Angkasa Raya, 1987. Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994 Fiyani, Mega. “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Harapan, Anwarudin. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. Jakarta: APPM, 2006. Jabrohim & Ari Wulandari (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Jogjakarta: Hanindita Graha Widya, 2002.
74
75
Nilamsari, Wati. Pola Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi Condet. Jakarta: UIN Press, 2009. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000. Permana, R. Cecep Eka dan Untung Yuwono. Langgam Budaya Betawi. Depok: FIB UI, 2011. Pradopo, Rachmat Djoko. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994. Pradotokusumo, Partini Sardjono. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia, 2008. Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies (Representasi Fiksi dan Fakta). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Rosyidi, M. Ikhwan dkk. Analisis Teks Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Sarumpaet, Riris K. Toha. Susastra 5 (Jurnal Imu Sastra dan Budaya). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Sayuti, Suminto. Dasar-Dasar Analisis Fiksi. Yogyakarta: UD3S, 1986. Semi, Atar. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa, 1989. Shahab, Alwi. Betawi Queen of the East. Jakarta: Republika, 2002. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Sohib, Ben. The Da Peci Code. Jakarta: Ufuk Press, 2008. Sudyarto, Sides. Manusia dan Bahasa. Bogor: Raya Kultura, 2009. Sumardjo, Jakob & Saini K.M. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia, 1986. Van den Berg, L.W.C. Orang Arab di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu, 2010. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia, 1995. Yudiono K.S. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009.
76
Yuniati, Lina Puspita. “Pandangan Dunia Pengarang Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami.” Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2005. Zulfahnur, dkk. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud, 1996. “Biografi Ben Sohib.” Artikel diakses pada 29 Januari 2013 dari http://www.literarybiennale.salihara.org. “Detail
Buku.”
Artikel
diakses
http://www.bukukita.com.
pada
29
Januari
2013
dari
78
Lampiran 2: Dialog Wawancara dengan Ben Sohib
Wawancara penulis dengan Ben Sohib. Waktu
: Pukul 17.00—17.55 WIB
Hari, tanggal
: Jumat, 19 April 2013
Tempat
: Tenda Soto Kudus, Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Wawancara dimulai dengan memperkenalkan diri penulis kepada narasumber. Penulis
: Dimana tempat tanggal lahir Anda bang?
Ben Sohib : Sebenarnya saya tidak pernah mau menjawab pertanyaan seperti, karena saya ini orangnya sok misterius. Sebisa mungkin untuk masalah biografi saya rahasiakan kepada siapapun. Kalau sebuah media ingin menulis biografi saya, maka saya usahakan sesingkat mungkin. Biarkan orang menilai karya saya tanpa tahu biografi saya, karena bagi saya tidak ada relevansi antara karya saya dengan biografi saya. Penulis
: Kalau begitu boleh saya mengetahui riwayat pendidikan Anda?
Ben Sohib : Saya sekolah di SD, SMP, SMA. Penulis
: Kuliah bang?
Ben Sohib : Oh ngga, cuma sampe SMA aja. Penulis
: Sekarang tinggal dimana Bang?
Ben Sohib : Saya tinggal di Bukit Duri, Kampung Melayu Penulis
: Sudah berkeluarga bang?
Ben Sohib : Ya, sudah dan memiliki seorang anak Penulis
: Pekerjaan saat ini apa Bang?
Ben Sohib : Saya penulis, saat ini saya sedang mengerjakan sebuah novel. Penulis
: Boleh tau judulnya bang atau isi ceritanya tentang apa?
Ben Sohib : Tentang kehidupan seorang Haji Penulis
: Apakah latar yang digunakan juga Betawi?
Ben Sohib : Iya betul Penulis
: Apakah Bang Ben pernah tinggal di Condet atau memang berasal
dari Condet?
79
Ben Sohib : Oh, ngga.. Saya dulu kebetulan punya teman-teman di Condet. Kami sama-sama menyukai diskusi, seperti sastra, filsafat, agama, politik, dan lain-lain. Akhirnya kami membentuk sebuah forum diskusi yang sifatnya tidak formal atau tak terikat, begitu.. Penulis
: Apakah Sanggar Banjir Kiriman terinspirasi dari komunitas ini?
Ben Sohib : Oh, iya.. Benar sekali. Komunitas tersebutlah yang membuat saya terinspirasi untuk menampilkan Sanggar Banjir Kiriman pada novel itu. Penulis
: Jadi Bang Ben bukan berasal dari Condet asli?
Ben Sohib : Oh bukan, saya selalu hidup berpindah-pindah sejak kecil. Saya pernah tinggal di Jawa Timur, Bali, Bandung, dan paling lama yang di Jakarta ini. Penulis
: Lalu apakah Abang sendiri merasa sebagai bagian dari
masyarakat Betawi? Ben Sohib : Oh, ya tentu, karena separuh usia saya, saya habiskan di Jakarta ini. Penulis
: Suasana Islam pada novel ini sangatlah kental, apakah Abang
pernah sekolah di pesantren atau dibesarkan di keluarga yang begitu taat akan Islam? Ben Sohib : Oh ngga, saya tidak pernah masuk pesantren, saya bersekolah di sekolah umum sejak SD, SMP, dan SMA. Ayah saya seorang PNS, keluarga saya juga bukan keluarga yang terlalu ketat dengan agama Islam. Saya juga tidak memiliki saudara yang menjadi ulama atau sebagainya. Penulis
: Lalu mengapa Abang menampilkan Islam sebagai latar yang
sangat kuat dalam novel ini? Ben Sohib : Ya itu hanya sebagai latar saja. Latar Islam yang begitu kuat sebenarnya adalah hasil pengamatan dan pembacaan lingkungan. Karena Condet itu identik dengan budaya Islamnya yang kental. Penulis
: Abang sendiri memperoleh inspirasi dalam menulis novel ini
darimana? Ben Sohib : Proses kreatif setiap penulis itu kan berbeda-beda ya, kalau saya sendiri memperoleh inspirasi melalui pengamatan saya terhadap lingkungan,
80
fenomena lingkungan. Saya melihat kok kenapa peci putih, baju koko itu seolah menjadi busana wajib bagi umat Islam. Akhirnya saya mencoba menuliskannya dalam bentuk yang renyah, yang tidak terlalu serius. Penulis
: Lalu mengapa novel ini diberi judul The Da Peci Code?
Ben Sohib : Sebenarnya itu hanya kreativitas saya saja, awalnya saya bingung novel ini kan bercerita tentang peci, lalu waktu itu juga sedang booming novel The Da Vinci Code itu. Sebenarnya tidak ada maksud saya untuk membuat plesetan dari novel The Da Vinci Code itu, judul itu hanya sebgai gagasan belaka. Penulis
: Apakah Abang sendiri punya garis keturunan Arab?
Ben Sohib : Iya saya punya garis keturunan Arab dari kakek saya, tapi bukan dari Arab Saudi. Banyak orang salah kaprah mengenai masyarakat keturunan Arab, pasti mereka mengira dari Arab Saudi padahal bukan. Penulis
: Dari Hadramaut bang? Yaman?
Ben Sohib : Iya dari Hadramaut. Saya juga sebenarnya memiliki gelar Raden Mas pada nama saya. Karena nenek saya itu adalah putri keraton Jogja. Jadi ada silsilahnya itu mulai dari kakeknya kakek saya sampai akhirnya saya. Penulis
: Dari sumber yang saya baca masyarakat keturunan Arab
cenderung tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan masyrakat Betawi karena ingin mempertahankan sistem patrialkal, apakah benar demikian? Ben Sohib : Iya benar, karena ya itu, ingin mempertahankan garis keturunannya. Penulis
: Salahkah jika saya menyebut masyrakat dalam novel ini (seperti
Rosid dan keluarganya) adalah masyarakat Betawi turunan Arab? Ben Sohib : Oh, tentu tidak, karena seperti yang saya amati, antara masyarakat Betawi dengan masyarakat Arab sudah sangat lekat. Terjadi asimilasi budaya dalam segala bidang antara masyarakat Arab dengan masyarakat Betawi. Penulis
: Lalu apakah kebiasaan seperti makan nasi tomat, hiasan rumah,
dan sebagainya itu merupakan kebiasaan asli masyarakat Betawi keturunan Arab di Condet?
81
Ben Sohib : Ya, seperti sudah saya katakan kedua masyarakat itu sudah melebur menjadi satu, jadi kebiasaan-kebiasaan itulah yang tersisa pada masyarakatnya. Penulis
: Mengapa Abang memilih Condet sebagai latar tempat dalam
novel ini? Ben Sohib : Ya, karena di situ paling banyak terdapat masyarakat Betawi Arab. Penulis
: Lalu apakah memang ada komunitas Al-Gibran itu memang benar
adanya? Ben Sohib : Oh, ngga.. Itu hanya fiktif belaka. Marga al-Gibran itu hanya penyederhaan dari semua komunitas keturunan Arab yang ada di Condet. Kan banyak marga-marga keluarga Arab di Condet, seperti misalnya Assegaf dan lain-lain. Dan tidak semua etnis ini seperti al-Gibran. Ada golongan yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang bertolak belakang dengan golongan ini. Golongan yang bertolak belakang ini misalnya mengharamkan diadakannya maulid. Penulis
: Lalu kebiasaan memakai peci putih itu memang ada?
Ben Sohib : Ya, memang ada. Itu kan sering sekali kita lihat di kehidupan sehari-hari ini. Penulis
: Novel ini juga mengkritik tentang Islam, misalnya orang-orang
yang menggunakan celana di atas lutut dianggap berpikiran sempit, menurut pandangan Anda bagaimana seharusnya Islam itu? Ben Sohib : Islam itu bisa dikaitkan dengan apapun, tapi jangan hanya mengurusi hal-hal yang simpel saja seperti celana di atas lutut. Agama itu adalah kehidupan itu sendiri yang di dalamnya terdapat arahan-arahan dan nilai-nilai. Penulis
: Lalu apakah ketaatan memegang budaya peci putih dalam novel
ini merupakan wujud ketaatan terhadap Islam atau bentuk primitif mereka? Ben Sohib : Itu adalah wujud agama sebagai organisasi, seharusnya kita mempertanyakan keberagamaan.
lebih
dalam
mengenai
simbol-simbol
agama
dan
82
Penulis
: Saya menarik sebuah kesimpulan mengenai hal-hal yang maktub
di dunia ini. Saya setuju dengan pertanyaan Mansur (ayah Rosid): “Kalau semua udeh maktub, kenape kite musti berusaha?” Namun, Anda menjawab pertanyaan itu pada halaman terakhir yang saya simpulkan bahwa hidup itu seperti multiple choice. Ketika kita berusaha kita sukses dan ketika kita malas kita akan susah. Jadi semua yang maktub itu memiliki dua atau lebih pilihan. Bagaimana pendapat Anda? Ben Sohib : Masalah maktub ini sebenarnya adalah pertanyaan klasik ya dan tidak pernah ada jawaban yang memuaskan samapai saat ini. Ada banyak faktor yang mempengaruhi maktub itu. Penulis
: Selain kritik masalah peci, kritik apalagi yang ingin Anda
sampaikan dalam novel ini? Ben Sohib : Ya paling hubungan antara ayah dan anak, kritik terhadap pandangan umat Islam yang sempit, atau tentang forum-forum yang mennganggap mereka paling benar, yang lain salah. Di sini saya tampilkan dalam bentuk komikal yaitu FORMALIN. Penulis
: Novel ini pernah difilmkan apakah Anda terlibat dalam
pembuatan film tersebut? Ben Sohib : Ya, saya dilibatkan dalam pembuatan naskah film itu agar tidak melenceng terlalu jauh dengan aslinya, beberapa saran saya ada yang diterima dan ada yang ditolak. Sebenarnya yang ingin diangkat adalah novel kedua saya berjudul Rosid dan Delia karena mungkin jika masalah yang diangkat tentang peci filmnya jadi kurang menarik. Berbeda dengan novel kan, mungkin dalam novel tema peci adalah tema yang menarik tapi ketika difilmkan tema percintaan lebih menarik. Penulis
: Bagaimana kesan Anda setelah film itu ditayangkan?
Ben Sohib : Film itu cukup bagus bagi saya, terbukti dengan meraih beberapa penghargaan kan? Saya tidak kecewa dengan film tersebut, jalan ceritanya pun tidak jauh berbeda dengan novelnya hanya pada bagian endingnya saja yang sangat berbeda. Penulis
: Apakah Anda merasa sebagai sastrawan Betawi?
83
Ben Sohib : Saya tidak pernah merasa menulis sastra Betawi, saya juga bukan sastrawan Betawi seperti Madjoindo, Muntaco, S. M. Ardan, atau Chairil Gibran Ramadhan. Penggunaan bahasa Betawi sebagai latar saja, agar novel ini tidak terlalu kaku. Penulis
: Oke saya rasa sudah cukup Bang untuk pertanyaannya, saya
sangat senang sekali bisa mewawancarai Anda. Ben Sohib : Oke, semoga sukses skripsinya.
84
Lampiran 3: Sinopsis Novel The Da Peci Code
SINOPSIS NOVEL THE DA PECI CODE KARYA BEN SOHIB Kisah ini dimulai dengan penggambaran daerah Condet dan sekitarnya tempat tinggal keluarga Rosid. Rosid adalah anak dari Mansur al-Gibran yang sudah beberapa hari tidak pulang ke rumah lantaran diusir oleh sang Ayah. Al-Gibran adalah nama sebuah marga bagi keluarga Betawi keturunan Arab. Nama tersebut telah bertahan berpuluh-puluh tahun dan diwariskan turun-temurun. Komunitas al-Gibran sering mengadakan acara-acara keagamaan untuk menghormati leluhur mereka. Hal paling wajib bagi komunitas tersebut adalah mengenakan peci putih di setiap acara al-Gibran. Peci putih inilah yang menjadi sumber masalah novel ini, lantaran Rosid yang memutuskan memelihara rambut kribonya ia tidak bisa lagi mengenakan peci putih di kepalanya. Segala daya upaya telah dilakukan sang ayah untuk membuat Rosid mau mencukur rambutnya namun apa daya Rosid tetap bersikeras memelihara rambutnya. Bahkan dia menentang perintah ayahnya untuk mengenakan peci putih yang merupakan budaya komunitas al-Gibran. Ayahnya berpendapat bahwa peci putih merupakan ajaran agama sedangkan Rosid menyangkalnya. Inilah pertentangan antara ayah dan anak yang dikemas dengan menarik dan menghibur. Rosid mempunyai pacar bernama Delia. Ia adalah wanita yang cantik, aktif, dan selalu nyaman diajak bicara. Namun sayang Delia beragama Kristen, inilah yang membuat Rosid selalu melarang Delia untuk kerumahnya. Karena tentunya akan membuat ayah Rosid semakin murka padanya. Rosid memiliki seorang ibu yang sangat penyayang dan penyabar. Meski Rosid dan ayahnya sering bertengkar namun sang ibu tetap bersikap netral dan tidak memihak salah satunya. Sang ibu sangat sayang kepada Rosid, ia selalu merasa tidak tega melihat Rosid pergi dari rumah selama berhari-hari meskipun Rosid hanya menginap di rumah Mahdi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Mahdi adalah sahabat baik Rosid semenjak kecil. Mahdi dengan sukarela mempersilakan Rosid menginap di rumahnya bahkan menjadikan rumahnya
85
sebuah “tempat tongkrongan” yang diberi nama Sanggar Banjir Kiriman. Diberi nama demikian karena rumah tersebut sering terendam banjir kiriman dari Bogor. Ayah mahdi yaitu Ustadz Abu Hanif adalah orang yang sangat bijaksana. Ia juga terhitung masih sebagai saudara jauh Rosid. Ustadz Abu Hanif juga salah satu anggota komunitas al-Gibran yang sangat di segani. Belakangan ini Rosid sering diusir dari rumah oleh ayahnya, Mansur lantaran ia tidak mau mencukur rambutnya dan memakai peci putih. Mansur telah melakukan berbagai cara seperti pergi ke orang pintar (dukun) bahkan pernah sekali waktu Rosid diajak untuk bertemu dengan Ustadz Holid. Ia adalah seorang cendekiawan muda dari komunitas al-Gibran. Mansur meminta tolong kepada ustadz itu untuk menasihati Rosid agar mau kembali pada ajaran-ajaran al-Gibran. Namun di luar dugaan Rosid ternyata menangkis semua pernyataan dari Ustadz Holid. Ia lalu marah dan mengusir Rosid keluar dari tempatnya. Semua cara itu tidak lain adalah saran Said, orang kepercayaan Mansur sekaligus kaki tangannya. Rupanya masih ada ide lain di kepala Said. Mansur yang saat itu telah putus asa hanya diam ketika Said hendak mencetuskan ide barunya. Dan tidak beberapa lama terjadilah peristiwa dahsyat yang tidak terduga-duga di Sanggar Banjir Kiriman. Saat itu Rosid, Mahdi, dan kawan-kawannya sedang berdiskusi seperti biasa. Diskusi ini memang rutin mereka lakukan setiap malam minggu. Namun berbeda dari diskusi-diskusi sebelumnya, Rosid mengajak Delia hadir di tempat itu dan sudah pasti Delia menjadi pusat perhatian oleh sekian mata lelaki. Di tengah acara diskusi tiba-tiba sekelompok orang yang menamakan organisasinya RADIKAL (Remaja Didikan Allah) datang ke tempat tersebut. Mereka meneriakkan kata “Bubarkan!” berkali-kali. Serempak semua orang yang berada di dalam Sanggar Banjir Kiriman keluar dengan heran dan bertanya-tanya. Kelompok RADIKAL menuduh mereka sebagai penganut dan penyebar aliran sesat. Kericuhan mulai terjadi dan dari sisi lain muncul sekelompok orang yang menamakan dirinya FORMALIN (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain). Kelompok FORMALIN juga menuntut pembubaran Sanggar Banjir Kiriman. Di tengah tekanan yang begitu mendera anggota Sanggar Banjir Kiriman, datanglah sekelompok orang lagi yang membawa panji bertuliskan MODERAT
86
(Majelis Doa Demi Perdamaian Umat). Seragam mereka seperti pakaian penari Darwis dari Turki lengkap dengan topinya tinggi. Ternyata kelompok tersebut hendak memberi dukungan kepada Rosid dan kawan-kawan. Mereka berusaha mendamaikan suasana agar tidak terjadi perkelahian. Namun apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, seseorang dari arah depan Sanggar Banjir Kiriman melemparkan sebuah batu dan memecahkan kaca rumah tersebut. Di tengah suasana yang begitu panas sebuah lemparan batu saja dapat menyulut terjadinya perkelahian. Akhirnya pecahlah perkelahian itu, perkelahian yang cukup seru dan meriah. Di tengah kekacauan itu Rosid kembali ke dalam rumah menemui Delia dan Mas Anto (narasumber dalam diskusi tersebut). Ia mengajak mereka lari dari tempat itu. Setelah Rosid berhasil mengamankan dan menenangkan Delia ia kembali ke Sanggar Banjir Kiriman. Sekembalinya ke tempat itu keadaan sudah aman dan terkendali. Pasukan Hansip telah berhasil menguasai keadaan. Semua orang termasuk Rosid telah dibawa ke rumah Pak RW. Di sana mereka dimintai keterangan seputar kasus yang terjadi itu. Pak RW yang bijaksana berhasil mendamaikan semua pihak dan menghimbau agar pertengkaran serupa tidak terjadi di kemudian hari. Pak RW juga menghimbau kepada semua warga yang ada di situ untuk saling menghargai kepercayaan masing-masing dan tidak memaksakan kehendak pribadi kepada orang atau kelompok tertentu. Ayah Rosid yang mengetahui kabar tersebut langsung bergegas ke rumah Pak RW. Begitu sampai ia langsung memeluk Rosid dan menanyakan keadaannya. Tidak lama setelah itu datang beberapa Hansip membawa seseorang yang sudah tidak asing lagi di mata Rosid dan ayahnya. Ia adalah Said, orang kepercayaan Mansur (ayah Rosid). Ternyata ialah biang keladi kerusuhan ini. Ia yang menyebarkan fitnah mengenai Sanggar Banjir Kiriman yang menyebarkan aliran sesat kepada kelompok RADIKAL dan FORMALIN. Mansur yang tidak terima akan kelakuan Said, meminta kepada Hansip agar ia dibawa ke kantor polisi. Akhirnya kasus itu pun selesai. Berkat kasus tersebut Rosid kembali berdamai dengan ayahnya. Rosid pun menyadari betapa sayang ayahnya pada Rosid. Di akhir cerita Rosid bertemu
87
dengan Ustadz Abu Hanif (ayah Mahdi). Ustadz Abu Hanif menasihati Rosid bahwa peci putih hanyalah dipakai sebagai penanda saja bagi komunitas alGibran, sama halnya dengan blangkon yang dipakaiorang Jawa atau udeng yang dipakai orang Bali. Jadi peci putih bukanlah sebuah ajaran agama. Ustadz Abu Hanif juga meminta Rosid agar mengerti sikap ayahnya yang begitu memaksakan kehendaknya. Dengan nasihat itu Rosid pun menyadari kesalahannya telah membantah ayahnya. Ia berjanji dalam hati akan mencukur rambutnya dan memakai peci putih. Di sisi lain ayah Rosid pun telah menyadari kesalahannya, ia tidak akan lagi memaksakan kehendaknya kepada Rosid. Ia telah mengerti bahwa anak memiliki keinginan dan dunianya sendiri yang tidak bisa dipaksakan sesuai keinginan orang tuanya. Akhirnya Rosid kembali ke rumah dan disambut dengan hangat oleh ayah dan ibunya. Mereka saling berpelukan dan saling memaafkan. Mereka menyadari kesalahan masing-masing. Rosid menyadari kerasnya sikapnya terhadap ayahnya dan Mansur mengakui kesalahannya telah memaksakan kehendak kepada Rosid.
88
Lampiran 4: Hasil Penghitungan Latar Tempat Novel The Da Peci Code
Latar Tempat Hlm
Betawi
Jml
3
Jln Condet Raya
1
5
Rumah Rosid
1
Sunda
Jml
Kota
Di
atas
Jml
Jembatan 1
Ciliwung 11
Kawasan Condet
2
Rumah Rosid 26
Kios Rokok
1
37
Pusat Grosir Cililitan
1
43
Jln Otista
1
44
Dalam metromini
1
47
Jln Cikini Raya
1
50
Taman Ismail
1
30
Rumah Mahdi
1
32
Rumah Mahdi
1
34
Gg. Haji Saabun
1
Marzuki 54
Tenda Soto di TIM
1
71
Stasiun Cikini
1
Stasiun Kalibata
1
76
Jln Condet Raya
2
Jln H. Noin 81
Rumah Rosid
9
89
Toko di Mansur
9
s/d
Pusat Grosir
97
Cililitan
101
Rumah Rosid
s/d 89
s/d
5
89
105 109 111
Rumah “orang
s/d
pintar” di kaki
118
gunung wilayah
Tol Jagorawi
1
Bakoel Koffie
6
8
Sukabumi 121 s/d 127 131
Rumah Rosid
6
139
Toko Mansur di
4
s/d
Pusat Grosir
143
Cililitan
s/d 136
147
Rumah Mas Anto di 8
s/d
Jln Purworejo
154 155
Jln Blora, Jln
s/d
Thamrin, Bundaran
157
HI, Jln Kebon Sirih,
7
Jln Sabang, Jln Jaksa 158
Sebuah cafe di Jln 12
s/d
Jaksa
169 173
Rumah Rosid
3
s/d 175 176
Jln Slamet Riadi, Jln 2
s/d
Matraman Raya, Jln
177
Pramuka
177
Masjid Al-Ikhlas
13
90
s/d 189 193
Rumah Rosid
9
205
Sanggar Banjir
11
s/d
Kiriman (rumah
215
Mahdi)
215
Rumah Rosid
s/d 201
4
s/d 218 221
Warung Tenda di
s/d
Taman Ismail
225
Marzuki
225
Depan rumah
1
Mahdi 226
Masjid As-Salam
3
Sanggar Banjir
2
s/d 228 228
Kiriman 229
Rumah Rosid
1
230
Masjid As-Salam
3
235
Sanggar Banjir
4
s/d
Kiriman
s/d 232
238 238
Depan Sanggar
s/d
Banjir Kiriman
16
253 254
Tempat
3
5
91
s/d
penampungan
256
TKW
257
Jln Dewi Sartika
2
303
Warung Tenda di
13
s/d
Taman Ismail
315
Marzuki
259
Rumah Mahdi
3
s/d 261 261
Rumah
RW
s/d
(Pak Haji Jazuli)
08 8
269 269
Rumah Rosid
2
s/d 270 270
Rumah
RW
s/d
(Pak Haji Jazuli)
08
286 289
Rumah Mahdi
10
s/d 298
319
Rumah Rosid
6
s/d 324 Total
131
8
79
92
Lampiran 5: Hasil Penghitungan Latar Waktu Novel The Da Peci Code
Latar Waktu Siang Hlm
Pagi
Jml
Siang
Malam Jml
Sore
Jml
Petang/
Jml
Malam 3
Senin,
Tengah
Jml
Malam 1
07.46 malam 11
Suara
1
Adzan Subuh 17
Dingin
1
udara pagi 25
Malam
1
begitu sepi 30
Pagi
1
hari 32
Jam 10 1 pagi
35
Larut malam
36 37
Pagi itu
1 Jelang
1
tengah hari 43
Siang
1
hari 54 68
Siang
1 Jam 5
1
1
93
sore 71
Sore
1
menjelan g senja 75
Langit
1
senja semakin tua 76
Makan
1
malam 81 82
Siang Pagi
1
1
83
Setelah
Malam
1
Waktu
1
1
makan siang 89
Siang
1
hari 101
Sore hari
1
102
Sebelum
1
Maghrib 103
Waktu
1
Ashar
Maghrib
104
Makan
1
Malam 109
Jam 10 1 pagi
111
Pagi
1
menjela ng siang 122 131
Sore itu..
1 Makan
1
94
malam 132
Malam
1
berikutn ya 133
Malam
1
ketiga 139
Siang
1
147
Malam
1
selepas Isya 155
Pukul
1
20.11 168
Pukul 23.08
173
Udara
1
pagi 175
Malam
1
hari tiba 193 194
Pagi ini
1 Makan
1
siang 196
Suara
1
adzan Zuhur 200
Waktu
1
Isya 205
Selasa,
1
04.52 sore 212
Adzan
1
Maghrib 213
Malam
1
1
95
ini 214
Selepas
1
Isya 215
Larut
1
malam 221
Sore itu
1
226
Sore hari
1
228
Malam
1
itu 235
Sabtu,
1
07.48 malam 237
Langit
1
malam 263
Malam
2
itu, Sabtu malam 284
Larut
1
malam 289
Pagi itu
1
303
Sore itu
1
319
Malam
1
itu Total
11
9
Total Latar Waktu Siang Hari
10
22
5
30
Total Latar Waktu
27
Malam Hari
96
Lampiran 6: Foto Peneliti dengan Pengarang Novel The Da Peci Code
Ben Sohib
Septian Cahyo Putro dan Ben Sohib
97
BIODATA PENULIS Septian Cahyo Putro lahir di Jakarta, tanggal 9 bulan 9 tahun 91 (keren kan?). Pendidikan formal pertama adalah di TK Ketangi Purworejo, Jawa Tengah. Kemudian melanjutkan di SDN Mekar Pelita Hati Bekasi, Jawa Barat, lalu pada saat kelas 5 pindah ke SDN 011 Pondok Labu Jakarta Selatan. Selanjutnya di SMPN 96 Jakarta dan SMAN 66 Jakarta sampai tamat. Akhirnya diterima di UIN Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2009, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini berusaha mendapat beasiswa untuk melanjutkan program Magister dan Doktor.
Cita-cita terbesarnya adalah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Saat ini ia memiliki lembaga bimbingan belajar privat Student Consultant (meski muridnya baru satu orang). Mudah-mudahan beberapa tahun lagi lembaga ini akan memiliki ratusan cabang di seluruh Indonesia. Aamiin.
Prinsip hidupnya adalah hidup itu jangan mengalir mengikuti arus, apa beda hidup dengan kotoran atau sampah kalau hanya mengalir mengikuti arus? Hidup harus memiliki tujuan dan berjuang untuk meraihnya. Semakin agung tujuannya, semakin keraslah perjuangannya. Satu lagi deh, paling penting adalah bermanfaat bagi orang lain. (e-mail:
[email protected], kunjungi juga blog saya: halamantian.blogspot.com)