KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh: Hayatun Nufus 109013000074
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
Sebuah Persembahan Buat: Mama, Babeh.
i
ABSTRAK HAYATUN NUFUS, 109013000074, “Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum. Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa. Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang diajarkan. Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang ke museum dan membaca buku sejarah. Kebudayaan bisa kita berikan melalui novel. Novel Dimsum Terakhir cocok diberikan untuk mempelajari kebudayaan karena novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa yang bisa dipelajari oleh siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng yang diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran di sekolah nantinya. Penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk menganilisis kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir ini. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir adalah: 1) Imlek atau pesta peryaan datangnya musim semi (tahun baru pada penanggalan lunar), 2) cap go atau tanggal kelima belas penanggalan lunar, 3) feng shui, 4) penanggalan, 5) pengobatan tradisional, 6) makanan khas Tionghoa, 7) agama, 8) kelenteng atau tempat ibadah umat TriDharma, 9) horoskop Cina (shio), 10) upacara pascakematian. Kata kunci: Tionghoa, kebudayaan, Dimsum Terakhir
ii
ABSTRACT HAYATUN NUFUS, 109013000074, “Tionghoa Culture in Dimsum Terakhir by Clara Ng and the Implication to Learning Indonesian Language and Literature in High School.” Department of Education Indonesian Language and Literature, Faculty of Education and Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti , M. Hum., February 2014. Learning about culture is kind of interesting experience for student. Student will get new knowledge about culture that is learned learning culture should not come to the museum only and read historical book. Culture can be given by novel . Dimsum Terakhir novel is suitable to give the learning about culture because this novel full of Tionghoa culture that can be learned by students. This research is alm to know about Tionghoa culture that can be seen from Dimsum Terakhir novel by Clara Ng and hope can be used for study at school. This literature research use descriptive qualitative is kind method that is used to analyze Tionghoa culture in Dimsum Terakhir novel. Based on the research we can conclude that Tionghoa culture in Dimsum Terakhir novel are: 1) imlek or welcoming party of lunar calendar, 2) cap go is the fifteenth days in lunar calendar, 3) fengshui, 4) calendar, 5) traditional medicine, 6) Tionghoa fomous food, 7) religion 8) kelenteng or place for pray TriDharma’s people, 9) Chinese horoscope, 10) after death prosesion. Keywords: Tionghoa, culture, Dimsum Terakhir
iii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” pada akhirnya dapat selesai dengan hasil yang memuaskan. Salawat serta salam sudah sepatutnya teriring kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang berkat perjuangannyalah Islam hadir di muka bumi ini dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Selama lebih dari setahun skripsi ini disusun, penulis begitu banyak menemui aral terjal dan krisis motivasi. Namun, selalu ada yang menyemangati dan memotivasi serta membantu penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama berikut ini. 1. Nurlena Rifa’i, M. A., Ph. D. selaku Dekan Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z. A., M. Pd. selaku Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Dra. Hindun, M. Pd. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Novi Diah Haryanti, M. Hum. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini. (Terima kasih, Bu, telah membimbing saya dengan sabar dan keren). 5. Rosidah Erowati, M. Hum. selaku penguji 1 dalam ujian munaqasah. 6. Ahmad Bachtiar, M. Hum. selaku penguji 2 dalam ujian munaqasah. 7. Segenap dosen dan karyawan PBSI yang telah memberikan ilmu bagi penulis.
Secara khusus saya ingin menyampaikan terima kasih terdalam buat Mama dan Babeh, orang tua yang luar biasa yang telah memberikan cinta kasihnya kepada penulis dengan begitu tulus dan sabar. Terima kasih juga untuk Kak Melda, Kak Dian, Kak Silvia, Kak Chairul, Kak Saipul, dan Kak Nurma.
iv
Kepada kawan-kawan sampailah ucapan terima kasih ini (aku menjadi lengkap, hidup, dan berwarna karena kalian). Buat Kak Ipank selaku tetua di MK (Majelis Kantiniyah) terima kasih, (kata-kata Abang, nasihat Abang, pemikiran Abang seperti cakrawala baru buat penulis). Buat Yunita, Rizki Dwi Yanti, Jelita Cahya Ningtiyas, Lufi Bundo Nurfadilah, Khori Yatun Nisah, Dewi, Abang Oboy, Uni Putri Dintha dan buat segenap Pandawa Lima & Srikandi dan seluruh kawan angkatan 2009, terima kasih telah menjadi keluarga yang hangat buat penulis. Buat penghuni MK, Bang Zaki, Fajar, Irsyad Musang Zulfahmi, Levy Arnaldo, M. Iqbal, Hasna Diana, Bohari Muslim, Akbar Ajoy Fatriyana, Adi Reptil Nugroho, Imron Rosyadi, Mulya Boneng Abdul Aziz, Curut, Mutianissa, Mira Rosiana, Ucin, Adi Alvian, Miftah Ival Falakhi, Sigit Purnomo Boby Hadipratama, Ida, Alya, Yanti, Dede Sunarya, Zainal Mbe Abidin, Maolana Dasef, dan lainnya yang maaf jika tidak disebutkan satu per satu, terima kasih, sungguh kalian cat warna dan soundsystem dalam hidup penulis. Buat Lisneni, Irma, Setiawan, terima kasih sudah mengisi weekend saya. Buat Nia Bolang
Indriyani, Ningsih Oktafani, Rahayu Awaludin, (teman
berpetualang yang sangat keren), terima kasih. Buat segenap penghuni Primagama Karang Tengah, Pak Bos Rizal, Kak Tatang, Mas Wahib, Kak Rendy, Kak Kristin, Kak Lucky, Kak Reny, Kak Santy, Kak Kiki, buat anak-anak kesayangan, Maolana Yusuf, Ryan Maulana, Rizky Arga Kusuma, Retza Pratama, Rilando, Nicholas Ceriso, Nabilah, Eci, Anisa, Abdul Rosyid, Fauzan, Jasson, Nanda, Ken, Alvin, Jessika, Icha, Raisa, Adam, Dafa, Akil, Teguh, Nesya. Terima kasih anak-anak yang tak sempat kulahirkan sendiri. (Kalian jadi pencerah kusamnya hidup kaka). Buat kelompok PPKT SMKN 2 Tangerang Selatan, Herda Harisman, T.B. Mutaqin, Ahmad Kaffi. Terima kasih, untuk kekompakan kita di sekolah. Buat anak-anakku di SMKN 2 Tangsel, terima kasih untuk kenangan, untuk pelajaran berharga ini.
v
Buat Achmad Kaswary Pratama––mata samudraku––dan keluarganya yang begitu hangat. Terima kasih untuk kesabaran, kasih sayang, dan semua hal yang sangat indah dalam hidup penulis. Terima kasih semuanya untuk begitu banyak hal, mohon maaf segenap lahir seluruh batin, skripsi ini sudah selesai. Satu tahun pengerjaan skripsi, ternyata penuh warna, terima kasih Tuhan, untuk warna-warni gemerlapan ini. Jakarta, 19 Maret 2014 Penulis
Hayatun Nufus
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH LEMBAR PERSEMBAHAN…………………………………………… i ABSTRAK..................................................................................... ii KATA PENGANTAR ….……………………………………………… iv DAFTAR ISI…………………………………………………………… vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………1 B. Identifikasi Masalah…………………………………… 5 C. Rumusan Masalah……………………………………… 6 D. Tujuan Penelitian……………………………………… 6 E. Manfaat Penelitian……………………………………… 6 F. Metode Penelitian……………………………………… 7 G. Penelitian yang Relevan………………………………… 9
BAB II
LANDASAN TEORI A. Kajian Struktural……………………………………… 11 B. Hakikat Novel………………………………………… 17 C. Pengertian Kebudayaan………………………………… 21 D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Priode… 22 E. Sosiologi Sastra………………………………………… 41 F. Pembelajaran Sastra di Sekolah………………………… 44
BAB III
HASIL PENELITIAN A. Unsur Intrinsik……………………………….………… 48 B. Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel… 80
BAB IV
PENUTUP A. Simpulan……………………………………………… 124 B. Saran…………………………………………………… 126
vii
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 127 LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1: Sinopsis Novel Dimsum Terakhir dan Biografi Clara Ng Lampiran 2: RPP
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan manifestasi dari ide-ide seseorang ketika melihat dan merasakan peristiwa sosial di sekelilingnya. Melalui sastra, pengarang menyampaikan gagasannya kepada masyarakat. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel berasal dari bahasa Inggris, yaitu novel. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga terlihat seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan karya sastra (novel) hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur intrinsik ini akan menjadikan sebuah novel yang bagus. Setelah itu, untuk menghasilkan novel yang bagus juga diperlukan pengolahan bahasa. Bahasa merupakan sarana atau media untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarang yang akan dituangkan dalam sebuah karya yaitu salah satunya novel tersebut. Wellek dan Warren menyatakan bahwa novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis.1 Setiap peristiwa dalam sebuah novel diikuti dengan beragam konflik sosial dan keseharian para pelaku yang mencerminkan kebudayaan. Nilai budaya adalah bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan cara-cara yang sesuai dengan
1
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989), h. 282.
1
2
sistem di masyarakat, norma yang berlaku dan adat istiadat kelompok masyarakat tertentu. Kita dapat melihat kaitan pengarang dengan karyanya melalui sebuah pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Tidak hanya itu, pendekatan ini juga memungkinkan kita untuk menggali lebih jauh hubungan karya sastra dan masyarakat. Sebagai sebuah cerminan, sastra tidak akan pernah bisa lepas dari konteks sosial di mana karya sastra itu muncul.
Wellek dan Warren berpendapat bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat sastra adalah intuisi sosial yang menggunakan medium bahasa. Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar dari kenyataan sosial, meskipun karya sastra itu sendiri bersifat fiksi dalam artian hanya meniru. Hal tersebut mencerminkan bahwa karya sastra memiliki kaitan yang erat dengan intuisi sosial yang pengungkapannya menggunakan bahasa sebagai medium penyampaian pesan antara pengarang terhadap pembaca mengenai sebuah karya sastra.2 Dalam pembelajaran sastra di sekolah, mengkaji nilai intrinsik dan ekstrinsik suatu karya sastra, salah satunya novel, merupakan sebuah kegiatan yang menyenangkan sekaligus kaya manfaat. Ada banyak hal positif untuk dijadikan pelajaran hidup yang berguna bagi kemajuan personal siswa. Selain itu, manfaat lainnya adalah dapat menanamkan kepedulian terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar. Hal ini hanya bisa didapat apabila guru mampu membimbing dan mengarahkan siswa untuk kreatif dalam menggali informasi yang terdapat dalam novel. Siswa juga diharapkan mampu berperan serta dalam mengatasi permasalahan sosial, setidaknya mereka mampu membedakan hal yang baik dan buruk, mampu mengoptimalkan jiwa sosial mereka, dan meningkatkan sikap simpati kepada sesama. Sudah menjadi rahasia umum perihal prilaku rasis terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, seperti penyebutan kata “amoy” kepada anak-anak perempuan Tionghoa padahal orang-orang hanya meniru-niru tanpa
2
Ibid, h. 109.
3
mengerti makna sebenarnya, berperasangka buruk kepada mereka, mengejek mereka “cokin”3, menganggap mereka bukan orang Indonesia, dan sebagainya. Peneliti mengaharapkan siswa kelak tidak terpengaruh oleh hegemoni masyarakat mayoritas yang berperilaku rasis terhadap etnis minoritas Tionghoa. Siswa pun diharapkan bertambah wawasan budayanya melalui kajian kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam novel ini sehingga siswa dapat memahami etnis Tionghoa secara lebih empatik. Alasan peneliti menggunakan istilah “Tionghoa” bukan “Cina” didasari pada keinginan peneliti untuk mengambil sikap netral dalam penelitian ini. Kata “Cina” merupakan bentukan rezim Soeharto. Penyebutan Cina untuk etnis Tionghoa bertendensi negatif walaupun masyarakat sudah menerima istilah ini dan tidak mempermasalahkannya sebagai sesuatu yang dianggap melecehkan etnis Tionghoa. Akan tetapi, peneliti menilai alangkah bijaksananya apabila sebagai peneliti kita memberikan sebutan yang baik kepada objek yang menjadi penelitian kita. Peneliti tidak ingin terkesan berat sebelah dalam penelitian ini karena hal itu hanya akan membuat penelitian ini tidak objektif lagi. Dengan berbagai alasan tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan istilah “Tionghoa” dalam penelitian ini. Orang-orang Tionghoa asli4 maupun orang-orang Indonesia yang berdarah Tionghoa5 di Indonesia masih menjadi objek rasis oleh sekelompok masyarakat mayoritas. Anggapan bahwa orang-orang Tionghoa belum membaur seutuhnya dengan orang Indonesia dan cenderung menutup diri mereka, membuat pandangan negatif terhadap orang Tionghoa makin menjadi. Sejarah panjang etnis Tionghoa di Indonesia tidak luput dari permasalahan politik. Sejak masa penjajahan Belanda di Nusantara, etnis Tionghoa sudah mengalami perilaku rasis yang cenderung biadab. VOC yang merasa kepentingannya terganggu oleh etnis Tionghoa, kemudian menyebarkan isu anti-
3
Makna cokin dalam bahasa slang adalah orang Cina (http.//malesbanget.com/kamus/definisi.php?kata=Cokin). Sebagian besar kaum muda memandang kata cokin memiliki konotasi negatif (skripsi, Paskarini) 4 Totok 5 peranakan
4
Tionghoa yang menyebabkan etnis Tionghoa dibantai secara membabi buta pada tahun 1740.6 Berbagai kebijakan rasial pun muncul tidak hanya pada masa penjajahan Belanda. Pada Era Soekarno dan Soeharto pun etnis ini harus mengalami kebijakan yang merugikan mereka. Contohnya PP-10 pada Era Soekarno dan kebijakan asimilasi7 pada Era Soeharto yang berimbas pada ditutupnya sekolahsekolah berbahasa Cina dan pelarangan menggunakan bahasa dan aksara Cina dalam media massa. Problem mayoritas minoritas di mana etnis minoritas selalu menjadi bulanbulanan kelompok mayoritas, konsekuensi ini pun sampai sekarang masih menghegemoni dalam hukum mayoritas minoritas etnis Tionghoa di Indonesia. Masyarakat mayoritas seperti tutup mata terhadap sumbangsih etnis minoritas ini dalam membangun bangsa.8 Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara bukan bertujuan untuk menjajah seperti Belanda dan Jepang. Mereka datang ke Nusantara hanya untuk mencari penghidupan, umumnya di sektor perdagangan. Segala persoalan etnis Tionghoa dan kebudayaannya ini, tergambar pada sebuah novel berjudul Dimsum Terakhir. Novel ini pertama kali diterbitkan tahun 2006 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel Dimsum Terakhir mendapat apresiasi yang cukup baik di kalangan masyarakat sehingga sejak 2006 novel ini sudah empat kali dicetak ulang. Seorang pemerhati kebudayaan dan seorang penulis mengatakan dalam testimoninya mengenai novel ini. “Clara Ng mengembangkan kehidupan tokoh-tokoh ceritanya dengan lincah, kreatif, manusiawi, dan yang terpenting tanpa beban. Oleh sebab itu “Dimsum Terakhir” lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan segala macam persoalannya”.9 6
Seperti yang diungkapkan oleh Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa dalam Pusaran Politik. 7 Politik pembauran 8
Etnis Tionghoa berjasa dalam penyebaran agama Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho dan armadanya. Etnis ini juga berhasil membangun irigasi pada masa penjajahan VOC. (berdasarkan buku Etnis Tionghoa dalam Pusaran Politik, karya Benny G. Setiono.) 9 Putu Fajar Arcana (wartawan Kompas)
5
“Clara dengan sangat manis meracik seluruh elemen dalam novel ini menjadi hidangan cerita yang memabukkan. Lihatlah cara dia merangkai kata, menumbuhkan wacana dan pengelanaannya dalam menggambarkan setting dan pristiwa. Ia membumbui sesuatu yang simple dengan cara yang tak biasa. Ia mengawinkan hawa pop dengan semburan yang mutakhir. Clara dengan smooth membuat jembatan yang nyaris tak terlihat, yang membuat pembaca tak perlu lagi menghakimi novelnya sebagai sastra atau bukan sastra, hanya memerlukan komentar bermutu dan layak dinikmati.”10 Novel Dimsum Terakhir berisi tentang kisah empat orang anak kembar dari keturunan Tionghoa yang hidup terpisah-pisah sesuai dengan pekerjaan dan idealismenya masing-masing. Mereka harus berkumpul kembali untuk merawat ayah mereka yang sakit. Inti persoalan yang diangkat adalah bagaimana seseorang yang hidup di era modern masih memegang adat budayanya yaitu budaya Tionghoa di tengah diskriminasi terhadap kaum minor ini dan menjunjungnya sebagai falsafah hidup. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis novel Dimsum Terakhir. Analisis terhadap novel Dimsum Terakhir dibatasi
pada struktur dan kebudayaan. Stuktur penting untuk menganilisis
kebudayaan yang banyak terkandung dalam novel ini. Alasan dipilih dalam segi kebudayaan adalah karena novel ini menampilkan
kebudayaan
Tionghoa
dan
bagaimana
kebudayaan
itu
dipertahankan oleh empat orang gadis modern. Novel ini semakin menarik dianalisis dalam segi kebudayaan ketika pada zaman modern seperti ini masih ada sekelompok orang yang mempertahankan budaya leluhur mereka bahkan di tengah diskriminasi sosial yang mendera warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Novel ini menampilkan keseharian warga Tionghoa modern yang meskipun selalu menjadi objek rasial namun tetap menjujung budaya mereka dan tetap mencintai Indonesia sebagai negeri tumpah darahnya.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, identifikasi masalah 10
Albertine Endah (penulis Indonesia)
6
dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Kebudayaan Tionghoa apa saja yang terkandung dalam Novel Dimsum Terakhir? 2. Adakah hubungan antara kebudayaan dengan pola hidup dan pemikiran tokoh-tokohnya? 3.
Apakah kebudayaan itu masih dijalankan oleh tokoh-tokohnya di tengah stereotip negatif dan diskriminasi terhadap mereka?
4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra khususnya novel. 5. Kurangnya bahan bacaan sastra yang bermutu bagi para siswa.
C. Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diketahui rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah struktur novel Dimsum Terakhir? 2. Bagaimanakah kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir? 3. Bagaimanakah implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA?
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir dan mencari implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang struktur dan pembelajaran sastra tentang nilai-nilai budaya Tionghoa dalam
7
novel. 2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain. a. Bagi Guru Hasil
penelitian
ini
memberikan
gambaran
bagi
guru
tentang
pendekatan struktural untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.
b. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan.
c. Bagi Pembaca Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi novel Dimsum Terakhir dan mengambil manfaat darinya. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan (khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung pesan moral yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi.
d. Bagi Siswa Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi stimulus kepada siswa untuk lebih peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Memperkaya pengetahuan kebudayaan siswa, menambah wawasan serta menumbuhkan jiwa simpati dalam diri siswa.
F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif
8
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati. Dalam hal ini objek yang diamati adalah novel Dimsum Terakhir dan kebudayaan Tionghoa. Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran, analisis dan penjabaran secara objektif agar dapat mengungkapkan hubungan antarunsurunsur cerita di dalam teks dan dapat menggambarkan kebudayaan Tionghoa yang terkadung di dalamnya. Metode ini digunakan untuk menggambarkan hal-hal faktual yang terdapat dalam karya sastra sehingga pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kebudayaan Tionghoa yang terkandung di dalam novel ini. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah pendekatan struktural yang berdasarkan pada tumpuan teks itu sendiri. Penelitian dipusatkan kepada unsur-unsur intrinsik karya sastra yang dibandingkan dengan kebudayaan Tionghoa yang diperoleh melalui tinjauan pustaka. Untuk dapat lebih memahami konteks sosial masyarakat dan kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel ini, peneliti juga menggunakan pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Lalu jenis penelitian yang peneliti pergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan mencoba menghubungkan cerita dalam novel Dimsum Terakhir dengan keadaan sosial, yakni kebudayaan Tionghoa pada saat cerita itu dibuat yaitu pada era demokrasi pascarevolusi 1998.
1. Sumber Data/Objek Penelitian Data penelitian ini bersumber pada novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan merupakan cetakan keempat pada Mei 2012. Selain itu, data penelitian ini juga bersumber pada kajian kepustakaan mengenai kebudayaan Tionghoa.
9
2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan membaca teks sastra dalam hal ini novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng kemudian menyimak secara saksama untuk pada akhirnya peneliti melakukan pencatatan. Langkah berikutnya penelitian kepustakaan berkenaan dengan kajian kebudayaan Tionghoa.
3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data tersebut dapat dipahami bukan saja oleh peneliti, tetapi juga oleh orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian itu. Setelah data terkumpul, lalu dianalisis berdasarkan pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkapkan pokok masalah yang diteliti sehingga dapat diperoleh kesimpulannya. Metode penulisan yang dipakai adalah analisis teks dengan awal penulisan diawali mengenai pembahasan secara intrinsik tentang cerita tersebut untuk melihat secara lebih jelas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam cerita beserta pendukung-pendukung isi penceritaan berupa penokohan, alur, latar, tema dan gaya bahasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai unsur ekstrinsik dari cerita tersebut khususnya mengenai kebudayaan Tionghoa.
G. Penelitian yang Relevan Penelitian terhadap novel-novel Clara Ng sebelumnya juga pernah diteliti oleh beberapa mahasiwa FIB UI maupun mahasiswa jurusan lainnya. penelitian yang pertama adalah skripsi berjudul Trilogi Indiana Chronicle karya Clara Ng. Potret Perempuan dalam Budaya Populer ditulis oleh Nelly mahasiswa Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun
10
2007. Skripsi ini berbicara tentang feminisme pada novel bergenre chicklit ini dan menganalisis muatan feminisme yang terdapat dalam novel tersebut dan apakah tokoh utamanya mewakili paham feminisme. Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul Heteronormativitas dalam Novel Gerhana Kembar Sebagai Sastra Populer Karya Clara Ng: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi ini ditulis oleh Annisa Arianita mahasiswa jurusan studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun 2012. Skripsi ini membahas homoseksualitas di dalam masyarakat Indonesia yang heteronormatif yang direpresentasikan dalam novel Gerhana Kembar karya Clara Ng. skripsi ini meneliti tentang keberpihakan pengarang terhadap homoseksualitas di Indonesia. Penelitian yang ketiga adalah skripsi berjudul Representasi pengurangan ketidakpastian perempuan modern dan mandiri dalam hubungan interpersonal terhadap kekerasan domestik yang dialaminya (Studi analisis Framing pada Novel Tea For Two karya Clara Ng). skripsi ini ditulis oleh Rebecca Maya Kresna, mahasiswa jurusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2010. Melihat penelitian sebelumnya terhadap Clara Ng maupun karyakaryanya, penelitian “Kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” memiliki keunggulan dibandingkan penelitian sebelumnya yang kebanyakan hanya berputar pada satu sudut pandang saja. Penelitian ini meneliti kebudayaan Tionghoa yang bisa menambah khazanah pengetahuan siswa dan bisa menumbuhkan rasa saling menghargai sesama juga menumbuhkan sikap anti diskriminasi dalam diri siswa.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Struktural Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara komprehensif oleh berbagai unsur (pembangunnya). Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.1 Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.2 Teori strukturalisme menekankan hubungan antara karya dengan lingkungan sosialnya. Dalam masyarakat, sesungguhnya manusia berhadapan dengan norma dan nilai. Dalam karya sastra, juga dicerminkan norma dan nilai yang secara sadar difokuskan dan diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu, kemungkinan karya sastra tersebut bisa merupakan ukuran sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial.3 Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2005), h. 36. 2 Ibid. 3 M. Ikhwan Rosyidi dkk., Analisis Teks Sastra,( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 201.
11
12
dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan bagaimana fungsi-fungsi tiap-tiap unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama-sama membentuk suatu totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antarperistiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.4 Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan5 Di dalam kajian struktural, kita akan menemui unsur-unsur intrinsik seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini saling berkaitan dan menjalin sebuah keutuhan dalam cerita. Berikut adalah penjelasan mengenai berbagai unsur intrinsik dalam novel.
1. Tema Pada dasarnya, tema itu merupakan suatu ide pokok. Tema itu merupakan pikiran atau masalah ide pengarang yang perlu dijabarkan dalam sebuah kalimat sehingga jelas maknanya karena di dalam sebuah cerita terdapat suatu bayangan mengenai pandangan hidup atau citra pengarang sebagai cara untuk memperlihatkan sebuah masalah. Masalah itu dapat berwujud tentang apa saja yang sesuai dengan kehendak pengarang. Tema (theme) menurut Stanton dan Kenny, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Di samping itu, dari tema dapat diketahui adanya nilai khusus atau nilai yang bersifat umum. Oemarjati memperjelas batasan tema dalam sebuah cerita sebagai berikut. Tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki tempat yang khas dalam pemikiran pengarang dengan visi, pengetahuan, imajinasi, dan emosinya 4 5
Nurgiyantoro, Op. cit., h. 37. Ibid., h. 37.
13
menjurus pada suatu penyelesaian. Jadi dalam tema, terimplisit tujuan cerita, tetapi bukan tujuan itu sendiri. Oemarjati berpendapat bahwa di dalam tema terdapat tujuan cerita secara implisit. Hal itu berarti bahwa tema itu dinyatakan masih dalam keadaan yang samar-samar itu perlu dicari maknanya dalam suatu penelitian.6 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah dasar ide cerita yang secara implisit maupun eksplisit terkandung dalam sebuah novel. Tema sebuah novel bisa diketahui dengan membaca atau meneliti novel tersebut dengan saksama karena sifat tema itu sendiri yang tidak secara gamblang tertulis dalam novel melainkan kita harus menelitinya terlebih dahulu.
2. Tokoh dan Penokohan Penokohan dalam sebuah karya sastra adalah cara pengarang untuk menampilkan para tokoh dengan wataknya, yakni sifat, sikap, dan tingkah lakunya. Boleh juga dikatakan bahwa penokohan itu merupakan cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak terbentuk. Bentuk penokohan yang paling sederhana ialah pemberian nama kepada para tokoh di dalam sebuah cerita.7 Menurut Jones dalam Nurgiyantoro, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.8 Menurut Abrams, Tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut, dapat juga diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). 6
Ibid, h. 38. Wellek, Warren, Op. cit. h. 187 8 Nurgiyantoro, Op. cit., h. 165. 7
14
Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.9 Pada hakikatnya, tokoh dan alur cerita di dalam sebuah karya sastra tidak dapat dibicarakan secara terpisah karena kedua unsur itu memunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam hal membentuk sebuah cerita memadai. Sebuah cerita tidak mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, antara unsur latar, tokoh, dan alur cerita saling berkaitan dan hubungannya pun sangat erat. Di dalam sebuah karya sastra, terdapat banyak ragam tokoh, seperti tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah cerita yang hanya memunyai satu dimensi sifat. Tokoh bulat ialah tokoh yang juga berperan di dalam sebuah cerita yang yang memiliki sifat lebih dari satu dimensi.10 Selain itu, kita bisa memisahkan antara tokoh utama dan tokoh sampingan. Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peran paling sentral dalam cerita sekaligus memliki porsi yang paling banyak dalam cerita. Tokoh sampingan adalah tokoh yang muncul dalam cerita namun tidak memiliki porsi yang besar dan cenderung hanya sebagai pelengkap cerita atau lawan dari tokoh utama. Dalam penelitian ini, tokoh dan penokohan dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh sampingan.
3. Latar Di dalam sebuah karya sastra, latar merupakan tempat peristiwa sebuah cerita berlangsung. Latar juga dapat diartikan sebagai waktu atau masa berlangsungnya suatu peristiwa karena latar itu sekaligus merupakan lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonomia atau metafora untuk mengekspresikan para tokoh.11 Abrams dalam Nurgiyantoro, mengatakan bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan 9
Ibid. Wellek, Warren., Op. Cit., h., 288. 11 Ibid., h. 290—300. 10
15
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.12 Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar terbagi menjadi 3 dimensi, yaitu. 1) latar waktu, 2) latar tempat, 3) latar suasana. Latar waktu mengacu pada tahun atau masa yang menjadi latar novel tersebut. Latar tempat mengacu pada tempat-tempat yang disebutkan dalam novel. Latar suasana adalah keadaan sosial dan politik dalam novel.
4. Sudut Pandang Sudut pandang adalah pilihan pengarang dalam menggunakan tokoh cerita. Sudut pandang atau point of view digunakan pengarang untuk memilih dari sudut mana ia akan menceritakan ceritanya. Apakah sebagai orang di luar cerita saja atau apakah pengarang juga akan turut serta dalam cerita yang dibuatnya. A. Bakar Hamid dalam Rampan mengatakan bahwa sudut pandang adalah teknik mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan pengarang dapat menggunakan teknik ini untuk menentukan hal-hal yang dianggap sebagai sampingan saja.13 Jacob Sumardjo dalam Rampan, memberikan perincian mengenai sudut pandang ini. a. Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Dengan sudut pandangan ini, pengarang seakan Tuhan atau Dewa, karena pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja pada tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran, sikap hidup, pandangan hidup tokohnya, dan sebagainya. Ia bisa bicara secara langsung kepada pembacanya.
12
Nurgiyantoro, Op. cit., h. 216. Korrie Layun Rampan, Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, (Jakarta. Bukupop, 2009), h. 6. 13
16
b. Objective point of view, yaitu pengarang menyuguhkan cerita tanpa komentar, seperti pada omniscient of view. Penyuguhan itu seperti pementasan tonil. Pengarang tidak masuk dalam pikiran para pelaku. Walaupun kedua sudut pandang ini hampir sama, tetapi pada dasarnya kenyataan yang dihadapi manusia dalam realitas keseharian orang yang satu hanya bisa melihat atau menikmati apa yang diperbuat oang lain. Dengan melihat itu, pengarang menilai tokoh dari sudut kejiwaan, kepribadian, jalan pikiran, perasaan, dan sebagainya. Motif tindakan pelaku dinilai dari perbuatan itu dan pembaca menafsirkan seluruh paparan pengarang. c. Point of view orang pertama, yaitu menggunakan sudut pandang ―aku‖ atau ―saya‖. Teknik ini dapat akrab sekali, karena pembaca diajak ke pusat kejadian, ke asal peristiwa, untuk ikut serta melihat dan merasakan apa yang terjadi. Dengan teknik ini, pengarang harus hati-hati agar tidak terjadi pencampuran antara pandangan pribadi pengarang dengan tokohnya. Pengarang harus mengadakan penelitian dan observasi yang matang agar tidak terjadi kerancuan antara dirinya sebagai pengarang dan ―aku‖ atau ―saya‖ yang merupakan tokoh cerpen.
d. Point of view peninjau. Teknik ini digunakan pengarang dengan memilih salah satu tokoh untuk memaparkan cerita. Seluruh kejadian yang muncul dalam jalinan cerita didapatkan dari tokoh. Tokoh dapat memaparkan semua yang dirasa, dilihat, dipikirkan, dihayati, ataupun pengalaman seseorang. Biasanya segala sesuatu yang menyangkut pengalaman pribadi tokoh dapat diutarakan secara langsung, tetapi tokoh utama hanya melaporkan saja tokoh-tokoh lainnya.14 Novel Dimsum Terakhir menggunakan sudut pandang Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Pengarang bertindak seolah Tuhan yang tahu segalanya bahkan sampai ke dalam perasaan tokohtokohnya. Pengarang berada di luar cerita sehingga ia mampu menceritakan 14
Ibid., h. 6–7.
17
kesuluruhan cerita dengan leluasa.
5. Plot Yahya Ismail dalam Rampan, mengatakan plot ialah suatu yang menghubungkan antara pristiwa dalam sebuah cerita yang rapat pertaliannya dengan gerak laku lahiriah dan batiniah watak-watak dalam cerita itu. Hubungan antara pristiwa dalam cerita hendaklah berdasarkan hukum sebab akibat. Hubungan sebab akibat dapat dilihat dari contoh berikut ini. ―Raja lalim meninggal dan rakyat jelata, karena kegembiraan mereka, lalu berpesta pora.‖ Dalam dua peristiwa dan dua kenyataan ini, terdapat hubungan yang erat. Hubungan ini diadakan faktor sebab akibat dan juga faktor urutan waktu. Pada kenyataan inilah terdapat plot.15 Stanton dalam Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Kenny dalam Nurgiyantoro mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster dalam Nurgiyantoro mengemukakan hal senada, plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang memunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.16
6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.17 Bisa dikatakan bahwa karakter pengarang dapat diketahui melalui gaya atau style-nya dalam bercerita maupun dalam memilih kata. Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, 15
Ibid., h. 4. Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 113. 17 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 16
113.
18
struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
B. Hakikat Novel Novel merupakan salah satu bentuk prosa selain cerpen (cerita pendek). Berasal dari bahasa inggris novel dan berisi rangkaian cerita atau peristiwa imajinatif. Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, amanat, penokohan, latar, plot, dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik berhubungan dengan sastra dan masyarakat, sastra dan psikologi, dan lain sebagainya. Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab yang tiap babnya berisi cerita yang berbeda. Hubungan antarbab, kadang-kadang merupakan hubungan sebab akibat atau hubungan kronologis sehingga kita tidak akan mendapat gambaran secara utuh kalau hanya membaca satu bab saja secara acak. Dalam kesusastraan Indonesia, dikenal juga istilah roman. WellekWarren dalam bukunya yang berjudul Teori Kesusatraan menjelaskan bahwa dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realis, sedang romansa puitis dan epik. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dokumen-dokumen dan secara stilistik menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis. Novel lebih mendalam. Romansa yang merupakan kelanjutan epik, dan romansa abad pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detail. Clara Reeve dalam Wellek-Warren menjabarkan perbedaan kedua ragam tersebut, ―The novel is a picture of real life and manners, and of time in wich is wriiten. The romance, the lofty and elevated language, describes what never happened nor likely is hapen.”18
a. Macam-Macam Novel Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan 18
Wellek,Warren, Op. cit., h. 282—283.
19
keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel serius dan novel populer.
1) Novel Populer Kayam dalam Nurgiyatoro mengatakan bahwa sebutan novel populer, atau pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun ‘70. Sesudah itu, setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai ―novel pop‖. Kata ‗pop‘ erat diasosiasikan dengan kata ‗populer‘, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk ―selera populer‖ yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagai suatu ―barang dagangan populer‖ dan jadilah istilah pop itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita.19 Selanjutnya Kayam dalam Nurgiyantoro menuturkan sastra dan musik ―populer‖—sebagai kelanjutan dari istilah ―populer‖ yang sebelumnya telah dikenal dalam dunia sastra dan musik–adalah semacam sastra dan musik yang dikategorikan sebagai ―hiburan dan komersial‖ ini menyangkut apa yang disebut ―selera orang banyak‖ atau ―selera populer‖. Pop sastra di dunia barat condong pada sastra baru yang inovatif, eksperimental—yang tidak saja dalam hal gaya manipulasi bahasa, dan penjajahan tema yang sebebas mungkin—walau tidak menutup kemungkinan untuk komersial. Sebagai kebalikan sastra populer itu adalah sastra yang ―sastra‖, ―sastra serius‖, literatur. Sastra serius, walau dapat juga bersifat inovatif dan eksperimental, tidak akan dapat menjelajah sesuatu yang sudah mirip dengan ―main-main‖.20 Kayam dalam Nurgiyantoro menambahkan sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan, dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra populer akan setia memantulkan kembali ―emosi-emosi asli‖, dan bukan 19 20
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 17. Ibid., h. 17—18.
20
penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.21 Nurgiyantoro mengatakan bahwa novel populer adalah novel yang pada masanya banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan jadi berat, dan berubah menjadi novel serius dan boleh jadi akan ditinggakan pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya, sekali lagi. Ia biasanya cepat dilupakan orang. Apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer.22 Stanton dalam Nurgiyantoro mengatakan novel populer lebih mudah dibaca
dan
lebih
mudah
dinikmati
karena
ia
memang
semata-mata
menyampaikan cerita. Ia ―tidak berpretensi‖ mengejar efek estetis, melainkan memberi hiburan langsung dari aksi ceritanya. Masalah yang diceritakan pun ringan-ringan saja, tetapi aktual dan menarik, yang terlihat pada masalah yang itu-itu saja. Cinta, asmara (barangkali dengan sedikit berbau porno) dengan model kehidupan yang berbau mewah. Kisah percintaan antara pria tampan dengan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka untuk itu, dan barangkali, dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata.23 Bisa disimpulkan bahwa novel populer dapat dilihat dari berbagai sisi pemahaman. Dikatakan populer karena mengikuti tren atau selera pasar yang sedang diminati dan isinya tidak berat, berat di sini maksudnya tidak membahas secara mendalam hakikat kehidupan hanya pada permukaannya saja. Namun batasan-batasan antara populer dan serius agaknya memang sulit untuk dipisahkan bahkan didefinisikan. 21
Ibid., h. 18. Ibid., h. 18. 23 Ibid., h. 19. 22
21
2) Novel Serius Novel serius merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas dibicarakan dan diapresiasi oleh akademisi sastra. Dalam sejarah sastra, novel yang bermunculan cenderung mengacu pada novel serius. Novel serius harus sanggup memberikan suatu kesan yang mendalam tentang hakikat kehidupan. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga memunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan.24 Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak bersifat menghamba pada pembaca. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema yang lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca. Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini, di samping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.25 Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman.26 Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dapat dikategorikan sebagai novel serius dan patut diteliti oleh akademisi sastra. Novel ini tidak mengikuti selera pasar. Materi dan tema yang diusung oleh novel ini bukan tema percintaan 24
Ibid.,h. 19. Ibid., h. 18—19. 26 Ibid., h. 21. 25
22
remaja yang mengedepankan dongeng si tampan dan si cantik. Novel ini bisa dikatakan memliki tema yang kurang populer, yakni tema keluarga Tionghoa. Isu perempuan juga dibicarakan dalam novel ini dan memiliki porsi yang banyak. Pengarang menyajikan permasalahan di seputaran etnis Tionghoa yang diwakilkan oleh keluarga Nung Atasana. Keluarga Tionghoa ini dalam keterbatasannya masih memegang dan menjalankan kebudayaan mereka. Isu perempuan dalam novel ini semakin menambah keseriusan materi yang dibicarakan, isu transgender dan orangtua tunggal tanpa pernikahan dimunculkan dalam novel ini. Berdasarkan beberapa alasan tersebut maka peneliti mengkategorikan novel Dimsum Terakhir sebagai novel serius.
C. Pengertian Kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta, yakni Buddhayah. Bentuk jamak dari buddhi yang berarti ―budi‖ atau ―akal‖. Kebudayaan itu dapat diartikan ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.27 Kebudayaan
adalah
hasil
buah
budi
manusia
untuk
mencapai
kesempurnaan hidup. Segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkret maupun yang astrak28. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tatakelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.29 Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupan-kehidupan dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas dapat diperinci sebagai berikut. 1. bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia. Karena itu meliputi. a. kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda27
Koenjraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama), h. 5 28 Djoko Tri Prasetya, Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Rineka Cipta, 2000), h. 14. 29 Koentjaraningrat, Op. cit., h. 9.
23
benda ciptaan manusia, misalnya. alat-alat perlengkapan hidup. b. kebudayaan nonmaterial (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya. religi, bahasa, ilmu pengetahuan. 2. bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar. 3. bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya. 4. jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia dan hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu dibiasakan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar naluri,gerak reflek. Sehubungan dengan itu kita perlu mengetahui perbedaan tingkah laku manusia dengan mahluk lainnya, khususnya hewan.30 Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yakni. 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.31 Beragam wujud kebudayaan ini tertuang dalam novel Dimsum Terakhir. Novel ini menyajikan ketiga wujud kebudayaan yang disebutkan oleh Koentjaraningrat di atas. Contoh wujud kebudayaan poin pertama adalah kebudayaan menghormati leluhur yang sudah meninggal. Contoh wujud kebudayaan poin kedua adalah merayakan Imlek atau pesta musim semi, dan contoh wujud kebudayaan poin ketiga adalah bangunan kelenteng tempat ibadah.
D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Periode Etnis Tionghoa diperkirakan datang ke Nusantara pada abad kesembilan, yaitu pada zaman Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Pada 1961 di Guangzhou (Canton) ditemukan sebuah batu bertulis yang telah 30 31
Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Bumi Aksara, 2008), h. 21—22. Koenjraningrat, Op. Cit. , h. 5.
24
berusia 900 tahun, yang menggambarkan persahabatan Nusantara-Tiongkok. Batu bertulis tersebut ditemukan ketika sedang dilakukan penggalian di halaman belakang sebuah kuil Dao (Tao) yang sudah tidak dipergunakan lagi.32 Tokoh yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia adalah Laksamana Cheng Ho, tokoh ini sangat terkenal hingga kini, tidak hanya di kalangan etnis Tionghoa saja, tetapi warga pribumi pun menaruh perhatian besar terhadap tokoh ini. Hal ini dapat terjadi karena menurut beberapa ahli sejarah, penyebaran Islam di Nusantara bermula dari orang Tionghoa, yaitu Laksamana Cheng Ho, dikenal juga dengan nama Sam Pho Kong. Awal mula kedatangan armada Tionghoa di Nusantara untuk membasmi perompak di jalur niaga sekaligus untuk mempromosikan kejayaan Dinasti Ming. Ditunjuklah Laksamana Cheng Ho sebagai pemimpin ekspedisi. Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim, ahli navigasi yang handal dan berbakat. Ia adalah putra kedua Ma Haji, yang berasal dari suku bangsa Hui dan Ibu bernama Wen. Kakek dan ayah Cheng Ho telah menunaikan ibadah hajinya, walaupun pada masa itu perjalanan ke Mekkah bukan perjalanan yang mudah dan harus menghadapi banyak bahaya. Oleh karena itu, sejak kecil Cheng Ho telah sering mendengar cerita perjalanan kakek dan ayahnya tersebut. Hal inilah kelak yang memotivasi dan mendorong Cheng Ho untuk mengunjungi negara-negara lain.33 Peran etnis Tionghoa dalam menyebarkan Islam di Jawa banyak ditulis para haji Tionghoa. Antara lain buku Ying Yai Sheng Lan karangan Haji Ma Huan dan buku Tsing Tsa Sheng Lan karangan Haji Feh Tsing (Fei Hsin). Kedua haji ini adalah pembantu Laksamana Cheng Ho yang pandai berbahasa Arab dan bertindak sebagai penerjemah dan mencatat segala sesuatu tentang negara-negara yang dikunjunginya.34 Bila mengunjungi sejumlah masjid di Pantura Jawa terutama masjid-
32
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta. Trans Media Pustaka, 2008), h. 21. 33 Ibid., h. 28. 34 Ibid., h. 46.
25
masjid Walisongo, akan tampak sekali pengaruh kebudayaan Tionghoa. Hal ini terlihat pada Masjid Agung Demak (Masjid Gelagah Wangi) atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon. Di tembok-tembok masjid banyak ditempelkan piring porselen Tiongkok dari zaman Dinasti Ming. Selain itu, banyak terdapat guciguci antik yang tak ternilai harganya. Di Masjid Gelagah Wangi, Demak, terdapat ornamen kura-kura yang digunakan untuk menunjukkan tahun berdirinya masjid tersebut, yaitu tahun 1401 Caka atau 1479 masehi35 Masjid Agung Demak sangat terkenal karena salah satu soko gurunya terbuat dari potongan kayu yang disusun secara akurat. Bahkan masjid ini menggunakan teknologi pembuatan jung, kapal niaga Tiongkok dari Dinasti Ming yang terbuat dari kayu. Raden Fatah yang dikenal sebagai sultan Demak, merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun. Jin bun adalah anak Kang Ta Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan putri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong). Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus) adalah Yat Sun putra Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal pada 1521 berani menyerang Portugis di Kota Malaka yang telah didudukinya sejak 1511. Adipati Unus hanya memerintah tiga tahun karena meninggal. Ia digantikan oleh saudaranya Tung Ka Lo alias Pangeran Trenggana.36 Kesultanan Cirebon pada 1552 didirikan oleh Haji Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Falatehan). Sunan Gunang Jati pernah menjadi panglima tentara Kesultanan Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Baanten dengan didukung orangorang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi sultan pertama Kesultanan Cirebon dengan mendirikan Keraton Kesepuhan.37
35
Sugeng Haryadi (dalam Setiono), Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak dan Grebeg Besar (Jakarta: CV Mega berlian. 2002) h. 47–48. 36 Setiono, Op. cit., h. 46–47. 37
Setiono, Op. cit., h. 50.
26
Kedudukan etnis Tionghoa pada masa penjajahan Belanda berada di atas warga pribumi. Orang-orang Tionghoa pada masa penjajahan Belanda cenderung bersikap netral. Mereka tidak memihak pada Belanda maupun pada raja-raja atau sultan-sultan di Nusantara. Contohnya ketika Jan Pieterszzon Coen mencoba mempengaruhi Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang piawai namun tidak berhasil. Selain berdagang Souw Beng Kong adalah seorang kapiten atau pemimpin etnis Tionghoa di wilayah Banten dan Sunda Kelapa (Batavia). Bukti lain bahwa etnis Tionghoa tidak memihak Belanda maupun sultan, yaitu ketika pada 1628–1629 terjadi perang antara Belanda dengan tentara Sultan Agung di Front Timur, tentara Banten di front Barat, dan tentara Inggris dari laut di front utara maka orang-orang Tionghoa menunjukkan sikap tidak memihak. Berkali-kali Sultan Banten yang memunyai hubungan baik dengn Souw Beng Kong meminta bantuaannya melawan Belanda dari dalam, tetapi permohonan tersebut selalu ditolaknya. Begitu juga Jan Pieterszoon Coen yang berkali-kali meminta nasihat Souw Beng Kong tetapi ia tetap bersikap netral. Ini membuktikan bahwa kedatangan orang-orang Tionghoa di Nusantara tidak lain hanya untuk berdagang dan tidak memunyai maksud untuk berkuasa dan terlibat dalam konflik.38 Selain Souw Beng Kong yang menjadi kapiten yang diangkat oleh Belanda, pada Maret 1645 rapat anggota kongkoan mengangkat Phoa Beng Gan sebagai kapiten, Phoa Beng Gan terkenal sebagai ahli irigasi. Batavia yang terletak di dataran rendah di tepi laut yang dikelilingi rawarawa membuat daerah ini selalu terendam banjir jika musim penghujan tiba dan menyebabkan penyakit malaria. Phoa Beng Gan merencanakan untuk membuat kanal untuk mengalirkan air banjir ke laut. Akhirnya rencana itu pun diwujudkan dengan biaya hasil patungan rakyat Tionghoa dan bantuan dari pihak Belanda. Dalam waktu kurang dari setahun kanal tersebut telah selesai digali dan banyak memiliki manfaat tidak hanya untuk mengalirkan banjir ke laut tapi juga digunakan untuk jalur transportasi barang-barang hasil perkebunan maupun industri. 38
Setiono, Op. cit, h. 99.
27
Etnis Tionghoa di Indonesia semakin banyak dan mulai menguasai sektor perdagangan di Nusantara. VOC merasa kepentingannya di Nusantara mulai terusik oleh banyaknya etnis Tionghoa yang mendiami wilayah Nusantara. Dengan menggunakan politik adu domba, VOC pada 1740 mulai menyebarkan isu anti-Tionghoa. Etnis Tionghoa diburu dan dibunuh dengan kejam. Sentimen negatif terhadap etnis ini seolah tidak pernah lenyap. Pada masa Orde Baru, etnis ini seperti sengaja dikunci, dibatasi ruang geraknya dan selalu dicurigai. Puncaknya terjadi pada tragedi kemanusiaan 1998, terjadinya sebuah aksi unjuk rasa penuntutan diturunkannya Soeharto yang diwarnai aksi kekerasan terhadap etnis Tionghoa. Untuk lebih jelasnya, peneliti coba membuat periodisasi terhadap keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, yaitu. 1) Pembantaian Etnis Tionghoa oleh VOC 1740, 2) Etnis Tionghoa pada Era Soekarno, 3) Etnis Tionghoa pada Era Soeharto, 4) Etnis Tionghoa Pascatragedi Mei 1998. 1. Pembantaian Etnis Tionghoa 174039 Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul Etnis Tionghoa dalam Pusaran Politik menceritakan dengan terperinci peristiwa ―pemusnahan― etnis Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740. Hal ini menjadi penting untuk kita ketahui sebagai pijakkan awal tindakan diskriminatif terhadap etnis ini yang pada kenyataannya sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Berikut ini akan diuraikan peristiwa memilukan tersebut. Pada awal abad ke 18 hubungan dagang antara Batavia dan Tiongkok semakin berkembang dan bertambah penting. Dari Tiongkok diangkut teh, emas, perak, tekstil, sutera, barang-barang porselin, dan beling sedangkan dari Batavia diangkut rempah-rempah, kayu cendana, cula badak, sarang burung wallet, dan komoditi lainnya. di daerah sekitar Batavia dan di daerah pesisir lainnya yang dikuasai VOC, berkembang industri gula. Hampir seluruh industri gula ini dimiliki orang-orang Tionghoa. Hal ini menyebabkan banyak orang 39
Benny G. setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (jakarta: Transmedia. 2008) h. 109–134.
28
Tionghoa yang masih berada di negeri asalnya merasa tertarik untuk datang ke Nusantara mengingat kemajuan orang-orang Tionghoa di Batavia. Laju kedatangan orang-orang Tionghoa ini menyebabkan jumlah penduduk Tionghoa di Batavia meningkat pesat. Jumlah penduduk Tionghoa dia Batavia meningkat menjadi 10.000 orang. Pada umumnya mereka bekerja di berbagai perkebunan tebu atau pabrik gula dan perusahaan perkayuan. Tempat mereka bekerja ini diusahakan oleh orang-orang Tionghoa di pinggiran kota Batavia, yang tanahnya disewa dari pemerintah. Pada 1740, terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa termasuk yang berada di luar tembok kota diperkirakan berjumlah tidak kurang dari 15.000 orang. Jumlah ini merupakan 17 persen dari keseluruhan jumah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan jumlah orang Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar. Karena berdasarkan sensus yang diadakan pada tahun 1778, adalah sebesar 26% dari jumlah penduduk yang berada di luar tembok kota adalah orang-orang tionghoa. Sedangkan pada massa pemerintahan Inggris (1811–1816), jumlah orang Tionghoa merupakan 24% dari seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di luar tembok kota. Namun, berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di dalam kota yang dapat dikendalikan melalui pemimpinnya, orang Tionghoa yang tinggal di luar kota atau pedesaan ini menjadi sulit dikontrol karena berada di luar sistem institusi. Mereka tidak diatur ke dalam organisasi-organisasi Tionghoa di Kota dan berada di luar jangkauan. Dengan begitu, tidak pernah terjadi perundingan dengan mereka karena tidak diwakili oleh organisasi yang ada. Banyak dari mereka yang sukar mendapatkan pekerjaan dan luntang-lantung sebagaaai pengangguran. Sementara itu, kota Batavia denga rumah-rumah Belanda yang sempit dan kanal-kanal yang kotor, terjangkit wabah penyakit yang berat. Wabah penyakit merajalela dan menyebakan meninggalnya Gubernur Jendral Dirk Van Cloon (1732–1735). Sebagai akibat adanya perpecahan di dalam pimpinan VOC, timbul banyak konflik. Sejumlah laporan VOC mengenai Banten dan daerah pesisir Jawa menunjukkan kerugian yang besar. Ekspornya kecil dan perhitungan-
29
perhitungan pasarnya keliru. Di samping itu, adanya akumulasi dan konsentrasi etnis Tionghoa menimbulkan problem baru. adalah suatu kenyataan bahwa orang Tionghoa telah ada di Nusantara sebagai pedagang sejak berabad-abad lamanya, jauh hari sebelum kedatangan orang Eropa. Sejak 1619, mereka sudah menjadi suatu bagian yang penting dalam kehidupan perekonomian di Batavia. Selain sebagai pedagang mereka juga aktif menjadi tukang yang terampil, penggiling tebu, dan pengusaha toko. Namun dikhawatirkan keberadaan mereka akan mengganggu ketertiban dan ketenangan orang Belanda di Batavia. Penduduk Batavia tidak menyukai dan mencurigai mereka. Perkembangan lain yang ikut meningkatkan rasa tidak aman orang Eropa di Batavia. Pada Desember 1721, VOC mengumumkan adanya komplotan orang-orang Islam
yang bermaksud melakukan pemberontakan dan
pembunuhan missal terhadap orang Belanda yang berada di Batavia. Kelompok ini mendapat dukungan dari Banten, Cirebon, Bali, Balambangan, dan Kartasura. Diduga pemimpinnya adalah seorang mestizo (indoeropa) Batavia yang kaya raya bernama Peter Erberveld. Untuk mengatasi siuasi tersebut VOC mulai mengadakan pembatasan keberadaan orang Tionghoa di Batavia. Atas usul anggota Dewan Hindia, W van Imhoff, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan peraturan permissiebriefje atau surat izin bagi orang Tionghoa dan pada 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi ―bunuh atau lenyapkan‖. Resolusi ini memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan tanpa peduli apakah mereka memunyai surat izin atau tidak, harus ditangkap dan diperiksa. Apabila mereka ternyata tidak memunyai penghasilan atau menganggur, mereka harus dipulangkan ke Tiongkok atau dibuang ke Cylon (Sri Lanka) dan Tanjung Harapan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan sebagai kuli. Ternyata kebijakan ini menimbulkan implikasi yang sangat negative. Ribuan orang Tionghoa bukan hanya pengangguran dan bandit-bandit criminal, tetapi para pedagang dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan paksa dan menggunakan kekerasan. Lalu, mereka dimasukan ke kapal-kapal yang akan
30
membawanya ke Cylon dan Tanjung Harapan. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap rumah orang-orang Tionghoa dengan dalih mencari senjata seringkali disertai dengan penganiyaan dan perampasan barang berharga. Para pejabat kompeni Belanda juga menggunakan kesempatan itu untuk memeras para orang Tionghoa kaya yang dimintai uangdalam rangka mendapatkan surat izin, untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Kabar angin segera berhembus bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap dan dirantai itu dianiaya dan dibunuh. Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari Batavia di tengah jalan dilemparkan ke tengah laut. Akibatnya, situasi menjadi sangat tegang. Para orang Tionghoa yang resah, berkumpul dan membentuk beberapa kelompok yang mempersenjatai diri untuk membela diri dan melawan perbuatan Belanda yang sewenang-wenang tersebut. Pada akhir September 1740, keadaan menjadi semakin gawat. Pada 26 september 1740, gubernur Jenderal Valckeneir memanggil Dewan Hindia untuk mengadakan sidang darurat. Di hadapan sidang, ia memberi perintah dan kuasa kepada anggota dewan, Van Imhoff dan Van Aarden untuk bertindak. Pada 7 Oktober 1740, ketika sekelompok orang Tionghoa yang terdiri dari ratusan orang melawan dan merebut posisi kompeni Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang berhasil membunuh 50 orang serdadu kompeni, Vaan Imhoff melakukan serangan. Dengan kekuatan yang terdiri dari 1800 orang serdadu kompeni yang merupakan seluruh kekuatan Batavia, ditambah dengan schutterij (pejaga sipil/milisi) dan 11 batalyon pennist (merupakan pasukan wajib militer), Van Imhoff mulai melakukan operasi pembersihan. Jam malam diberlakukan secara ketat terhadap semua penduduk Tionghoa dan persiapan untuk suatu perayaan Tionghoa secara besar-besar dibatalkan. Pada 8 Oktober 1740, tentara Belanda memukul mundur suatu serangan balasan orang-orang Tionghoa yang cukup kuat di pinggiran kota. Melihat situasi semakin serius. Pada, minggu pagi, tanggal 9 Oktober Gubernur Jenderal Valcknier mengadakan rapat dengan para anggota Dewan Hindia. Jalan-jalan di
31
dalam kota sangat sepi dari orang-orang Tionghoa, karena sehari sebelumnya telah diumumkan oleh gubernur jendral VOC berlakunya jam malam. Seluruh orang Tionghoa harus tinggal di dalam rumah, menutup pintu dan jendela rapatrapat sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi. Hal tersebut dimaksud agar mereka tidak berkomplot dengan orang-orang Tionghoa yang berada di luar tembok kota yang diisukan akan ―menyerang‖ kota Batavia.di jalan-jalan hanya terdapat kerumunan non Tionghoa yang semakin lama semakin besar, hampir setiap penduduk Batavia, kecuali orangorang Tionghoa berada di jalan-jalan untuk menunggu suatu ―tanda‖. Orang-orang
non-Tionghoa
ini
berkumpul
di
sudut-sudut
jalan
membicarakan rumor terakhir yang menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa merencanakan untuk membunuh mereka semua dan memperkosa perempuanperempuan serta menjadikan mereka dan anak-anaknya menjadi budak. Kerumunan tersebut semakin membesar, rumor tersebut membuat mereka marah dan menyatukan orang sepoy, para kelasi, kuli, tukang, dan bahkan budak sekalipun. Hal ni belum pernah terjadi sebelumnya, mereka berasal dari berbagai ―kebangsaan‖ merasa memunyai kesamaan, yaitu menghadapi musuh bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti dianggap eksklusif. Satu-satunya ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka termasuk para majikan mereka orang Belanda, yang dalam menghadapi musuh bersama bukan saja berada di pihak mereka, tetapi membela dan mengajak mereka untuk bergabung dan mempersenjatai mereka. Setelah itu, terjadi kebakaran beberapa warung Tionghoa di kompleks pemukiman orang-orang Tionghoa di daerah Kali Besar Oost. Hal ini oleh orang-orang Belanda diartikan sebagai tanda dimulainnya pemberontakan orang Tionghoa. Kerusuhan pun terjadi dan penjarahan serta pembakaran rumahrumah orang Tionghoa berlangsung dengan kejam. Tentara Belanda dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya, para klasi kapal, para gelandangan, orang-orang Sepoy, para tukang dan budak menyerbu rumah-rumah orang Tionghoa, setelah merampok harta bendanya. Mereka lalu membunuh setiap orang Tionghoa, tidak pedui laki-laki atau perempuan, tua
32
maupun muda. Bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu dibantai dengan sadis dan di luar batas perikemanusiaan. Setelah itu, dilakukan pembakaran terhadap semua rumah orang Tionghoa. Banjir darah terjadi di mana-mana yang kemudian menimbulkan nama-nama seperti Angke di Batavia yang berarti kali merah, karena banyaak darah yang mengalir ke kali tersebut. Rawa Bangke di Meester Cornelis atau Jati Negara karena banyaknya bangkai orang Tionghoa yang mengambang di rawa-rawa sekitar jatinegara dan Tanah Abang yang berarti tanah merah karena dibanjiri darah orang-orang Tionghoa yang menjadi korban pembantaian. Berikut kutipan laporan seorang penulis Belanda, W.R. von Hoevell dalam bukunya yang berjudul Batavia in 1740 yang oleh orang-orang Belanda sendiri dianggap kredibel. ―Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya terdengar jerit ketakutan di seluruh kota dan terjadilah sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi di seluruh pelosok kota. Semua orang Tionghoa tidak peduli laki-laki, perempuan, anakanak habis dan dibantai. Bahkan perempuan dan menyusui anaknya juga tidak luput menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal prikemanusiaan. Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelihdomba. Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah-rumah orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, tetapi tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa menujunjung moral serta prikemanusiaan, mereka menyerahkan orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititpkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa, baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.‘ Kemudian, pembakaran dan pembunuhan menyebar ke seluruh penjuru kota. Kanalkanal menjadi merah dengan darah orang-orang Tionghoa, jalan-jalan penuh dengan mayatmayat. Di mana-mana terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat menyeramkan, segala sesuatu yang belum habis terbakar, dijarah dan dirampok. Kegelapan malam yang kemudian tiba, tidak mengakhiri kekejaman yang tengah berlangsung, dan sepanjang terdengar rintihan mereka yang sedang sekarat, jeritan ketakutan dari orang-orang yang tengah menghadapi maut dan teriakan-teriakan histeris dari para pembunuh‖.
Demikianlah pembunuhan orang-orang Tionghoa di Kota Batavia terus berlangsung. Sebagian orang-orang Tionghoa yang
karena satu keajaiban
berhasil lolos dari kematian dengan bersembunyi di sudut-sudut yang terlindung
33
dan di celah-celah tembok sisa rumahnya, membuat para bandit sibuk. Selama lebih
dari
seminggu,
―mempertahankan
bandit-bandit
Batavia‖ terus
tersebut
menerus
yang
katanya
melakukan operasi.
bertujuan Mereka
menagkapi orang-orang Tionghoa yang berhasil selamat, yang berada dalam keadaan sekarat karena kelaparan dan kehabisan oksigen disebabkan terlampau banyak menghirup asap. Mereka ini apabila ditemukan lansung dibantai dengan kejam. A.R.T Kemasang (dalam Benny G. Setiono) memberikan sebuah laporan jumlah korban orang Tionghoa yang meninggal dunia mencapai 10.000 orang, termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit. Sebanyak 500 orang luka parah, dan 700 rumah dirusak, dibakar, serta barang-barangnya dijarah. Laporan tersebut juga menyatakan orang-orang Belanda maupun Eropa lainnya baik militer maupun sipil bersama-sama melakukan perampokan dan pembunuhan dengan dibantu oleh pasukan-pasukan prbumi yang lebih rakus.40 Pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740 seperti menjadi sebuah pijakan awal dari pengesahan terhadap perilaku rasisme kepada orang-orang Tionghoa. Sebuah sejarah kekerasan yang terjadi pada satu masa yang kemudian berulang-ulang pada masa-masa berikutnya bahkan sampai pada era modern.
2. Etnis Tionghoa Pada Era Soekarno Pada masa pemerintahan Soekarno, etnis Tionghoa dihadapkan pada suatu pilihan dilematis yaitu asimilasi. Etnis Tionghoa diberi pilihan untuk menjadi warga Negara Indonesia (WNI) dengan mengganti nama Tionghoa mereka dan juga meninggalkan segala ketionghoaan yang melekat pada tubuh mereka dan menyatu dengan suku masyarakat di mana ia tinggal atau kembali ke Tiongkok. Jalan asimilasi ―dipilih‖ oleh Soekarno untuk meredam konflik kelompok minoritas pada masa itu. Apa itu minoritas yang menjadi permasalahan timbulnya suatu tindakan rasialis terhadap etnis Tionghoa akan coba peneliti 40
Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia, 2008), h. 109—121.
34
jelaskan dengan mengutip beberapa pengertian. a. Minoritas Louis Wirth (dalam Leo Suryadinata) memberi definisi sebagai berikut. 1. Minoritas adalah segolongan orang yang 2. Karena cirri-ciri badani atau kulturnya 3. Dipisahkan dari orang-orang lain dalam masyarakat tempat mereka hidup. 4. Diberikan perlakuan yang berbeda 5.Sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai bulan-bulanan dari diskriminasi kolektif 6. Dalam masyarakat di mana terdapat minoritas di sana ada pula dominant group yang berkaitan yang memunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi serta hak-hak istimewa. 7. Tergolongkan dalam minoritas dengan sendirinya berarti tidak diikutsertakan sepenuhnya pada kehidupan masyarakat.41 Ditambah dengan rumusan Sub Commision dari Commision on Human Rigths dari PBB yang menegaskan bahwa istilah minoritas itu biasanya digunakan terhadap warga dari suatu negara. Dapatlah diringkaskan bahwa minoritas adalah segolongan warga dari suatu negara yang dipisahkan, dieksklusifkan dan didiskriminasikan oleh sesama42 warga negaranya yang memunyai hak-hak istimewa dan kedudukan sosial, politik, ekonomis lebih tiinggi, sehingga dalam diri golongan itu dibangkitkan perasaan-perasaan tertentu, mereka diperlakukan demikian karena mereka berbeda dalam fisik atau kebudayaan dengan warganegara yang lain. Berbagai perasaan itu adalah perasaan-perasaan diperlakukan tidak adil, tidak dihargai, tidak dipercayai, diisolasi dan dianiaya, pendek kata, perasaan-perasaan dikandung oleh anak tiri. Wirth berkata. ―one cannot long discriminate against a people without generating in them a sense of isolation or persecution and without giving them a conception of themselves as being more different from others then in fact there are.”43 Pada November 1959 Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang Tionghoa) 41
Suryadinata, Op. Cit., h. 162—163. Ibid., 163. 43 Ibid., 42
35
untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960.44 Dengan keluarnya PP-10 ini, sudah tentu menjadi semacam pukulan berat terhadap etnis Tionghoa. Pada praktiknya, peraturan ini tidak hanya menertibkan orang-orang Tionghoa agar tidak berdagang eceran lagi melainkan mereka juga diusir dari tempat tinggal mereka. Peraturan rasialis ini ditetapkan ditengarai karena Soekarno ditekan oleh militer dan partai Islam. Masyarakat pribumi yang pada saat itu mulai berdagang merasa tersaingi oleh dominasi pedagang Tionghoa yang telah berpengalaman dan memiliki jaringan beberapa generasi. Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa harus meninggalkan tempat usaha dan tempat tinggalnya di pedalaman. Peraturan ini sebenarnya hanya untuk menertibkan para pedagang eceran Tionghoa, namun pada kenyataannya mereka tidak hanya dilarang berdagang melainkan juga diusir dari rumah mereka sendiri. Puncak tragedi etnis Tiobghoa pada Era Soekrno adalah Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini membawa dampak buruk bagi warga Tionghoa secara keseluruhan. Hal ini karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Dugaan bahwa Baperki sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang dituduh melakukan kudeta dengan G-30-S tersebut, akibatnya praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status kewarganegaraan mereka.45
3. Etnis Tionghoa Era Soeharto (Orde Baru) Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto telah memperkenalkan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak
44
Prasetyadji, Semangat Perjuangan Peranakan Idealis, (Jakarta. Forun Komunikasi Kesatuan Bangsa. 2011), h. 29. 45 Ibid., h. 36.
36
pernah dilakukan pada masa sebelumnya.46 Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam intruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Intruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara total.47 Dengan adanya intruksi ini, kebebasan etnis Tionghoa semakin dikebiri. Hak-hak mereka sebagai warga negara dibatasi oleh undang-undang. Sejak intruksi ini dikeluarkan, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Imlek, cap go meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Sama halnya juga tari-tarian barongsai dilarang dipertunjukkan. Pemasungan terhadap etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 4555.2-360 tahun 1968 tentang Penataan Kelenteng dan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1968 tentang Larangan dan Pencetakan Tulisan/Iklan beraksara dan berbahasa Cina, ditambah dengan Peraturan Daerah Daerah Tingkat I DKI Jakarta No. K-I/OS-12 tentang keharusan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di daerah DKI Jakarta melapor dan mengisi formulir K-I. demikian juga setiap warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan anak-anaknya melalui surat keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia SKB 01-UM.09.30-80, No. 42 wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI.48 Tindakan pemerintah yang mendiskriminasi warga Tionghoa ini bisa dilihat dari beberapa peraturan pemerintah yang diskriminatif berikut ini. a. Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/Kep/12/1966 tentang Peraturan ganti nama bagi warga Negara Indonesia yang memakai nama Cina 46
Leo Surydinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. (Jakarta. Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 217. 47 Setiono., Op. cit., h. 1008 48 Ibid., h. 1009.
37
b. Intruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967/ tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina. kebijakan ini mengatur pembatasan pendidikan, kegiatan, usaha, dan tenaga kerja. c. Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 1967 tentang Pembentukan staf khusus urusan Cina. keputusan ini menugaskan staf khusus untuk merumuskan kebijaksanaan, mengikuti dan mengawasi pelaksanaannya, serta mengendalikan kegiatannya. d. Diterbitkan pula pembatasan dalam penyelenggaraan perayaan agama, kepercayaan maupun adat istiadat Cina melalui Intruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967.49 Proses pembauran seperti didefinisikan dan diimplementasikan oleh pemerintah dan aparatnya serta elit kekuasaan tidak menuju ke kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya bertalian dengan golongan etnis Tionghoa dan masyarakat luas yang secara sengaja atau tidak memupuk sentimen anti-Cina yang meledak dengan tindakan kekerasan yang dahsyat yang terjadi pada Mei 1998.50
4. Etnis Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 Peristiwa Mei 1998 menjadi klimaks perlakuan rasial dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekerasan dan tindakan rasial terhadap etnis Tionghoa sudah sangat parah dan cenderung tidak manusiawi. Peristiwa ini bermula pascapenyerbuan kantor DPPPDI yang sebelumnya diduduki oleh PDI-Megawati oleh oknum tidak dikenal pada tahun 1996 ternyata berbuntut panjang. Kepanikan rezim otoriter Soeharto makin menjadi dan bertindak sewenang-wenang. Terjadi beberapa aksi penculikan aktivis oleh kelompok pasukan baret merah di bawah satuan tugas Tim Mawar. Para korban penculikan tersebut antara lain wakil sekjen PDIMegawati Harjanto Taslam, Pius Yustrilanang, andi Arief, Faisol Reza, Aan Rusdiyanto, Herman Hendrawan, Widji Thukul, dan belasan aktivis lainnya yang 49 50
Prasetyadji, Op. cit., h. 39. Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta. Yayasan Obor, 2008), h. 206.
38
sampai saat ini tidak pernah kembali. Krisis moneter yang terjadi di Thailand dan kemudian merembet ke negara tetangga seperti Malaysia dan Korea Selatan juga Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar anjlok, dari Rp2.500 per dollar US menjadi Rp16.500 per dollar US. Terjadi kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Para pemegang dana di bank ramai-ramai melakukan penarikan dananya serentak di seluruh Indonesia. Masyarakat tidak percaya lagi pada rupiah dan ramai-ramai membeli dollar. Untuk mengatasi situasi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) senilai ratusan triliun rupiah. Namun, pada prakteknya bank penerima bantuan BLBI ini menyelewengkan dana bantuan. Indonesia berada di puncak krisisis yang memicu aksi demonstrasi mahasiswa besar-besaran menuntut lengsernya Soeharto. Pada 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Trisakti yang sedang melakukan demonstrasi di halaman kampusnya ditembaki oleh oknum militer yang mengepung kampus tersebut. Empat orang mahasiswa menjadi korban yaitu Elang Mulya Lesmana, Herry hartanto, Hafidain Royan, dan Hendrawan Sie. Tewasnya sejumlah mahasiswa Trisakti tersebut telah menyulut kemarahan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pada 13 Mei terjadi aksi mahasiswa di halaman kampus Trisakti untuk memprotes kelaliman penguasa yang telah menembaki sejumlah mahasiswa yang tidak bersenjata. Ternyata aksi tersebut ditunggangi oleh provokator yang kemudian berubah menjadi isu anti-Tionghoa dan meluas ke seluruh Jakarta, Tangerang, Bekasi. Ribuan toko dan rumah etnis Tionghoa dijarah kemudian dibakar. Kendaraan seperti mobil dan motor pun tidak luput dari amukan masa. Hampir seluruh mal dan department store dijarah oleh massa yang terprovokatori. Rakyat kecil digiring untuk menjarah mal kemudian mal tersebut dibakar oleh provokator. Ribuan orang terpanggang hidup-hidup di dalam mal. Suasana begitu mencekam. Asap mengepul dari rumah-rumah, dan toko-toko etnis Tionghoa di daerah Glodok dan di seluruh Jakarta. Gerakan
anti-Tionghoa
seolah
mengesahkan
para
oknum
tidak
39
bertanggung jawab untuk melakukan aksi semena-mena. Hal yang paling menyedihkan adalah perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan secara brutal. Akibat kerusuhan tersebut terjadi eksodus besar-besaran etnis Tionghoa ke luar negeri. Diperkirakan ribuan orang tewas dalam kerusuhan tersebut. Berbagai aksi penjarahan dan pemerkosaan berlangsung selama tiga hari berturut-turut, pada 13,14,15 Mei 1998. Ironisnya sikap pihak keamanan seolah bungkam, diam dan tidak bertindak apa pun atas peristiwa luar biasa ini. Fakta terjadinya perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa terungkap setelah adanya investigasi yang dilakukan tim relawan kemanusiaan di bawah pimpinan Romo Sandyiawan dan pernyataan serta gugatan yang dilakukan Ester Indahyani Jusuf, S.H.51 Seno Gumira dalam cerpennya yang berjudul Clara Atawa Perempuan yang Diperkosa juga mengisahkan korban perkosaan tragedi 98. Namun, sampai saat ini kasus pelanggaran HAM berat tersebut tidak pernah sampai dalam ranah hukum. Tidak ada hukuman kepada para pemerkosa dan pembunuh etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 98. Peristiwa ini menunjukkan betapa perlakuan rasialis dan diskriminatif masih subur terhadap etnis Tionghoa bahkan di era modern sekalipun. Thung Ju Lan dalam bukunya yang dieditori bersama I. Wibowo coba menjelaskan posisi etnis Tionghoa pascaperistiwa Mei 1998, dari objek menjadi subjek. Masalah etnis Tionghoa bukan lagi sekadar sentimen anti-Tionghoa yang muncul dalam bentuk kekerasan pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa Malari 1974, kerusuhan 1980, dan seterusnya. Ada hal yang lebih mendasar yang harus diselesaikan, atau pilihan lainnya adalah orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan mencari tempat yang aman. Pada waktu itu banyak orang Tionghoa yang kaya memilih untuk meninggalkan
Indonesia.
Kenyataannya
tidak
semua
orang
Tionghoa
meninggalkan Indonesia, pun mereka yang sudah pergi ke luar negeri merasa melarikan diri bukan lah jalan keluar dari persoalan. Dengan kata lain, warga Tionghoa sekarang mencoba menjadi ―subjek‖ yang memilih dan memutuskan 51
Setiono, op. cit. h. 1084.
40
sendiri apa yang akan mereka lakukan untuk mengubah kedudukan atau posisi mereka sebagai kelompok minoritas yang selama ini marjinal atau dimarjinalkan. Upaya yang mereka kemudian lakukan adalah mencoba mengubah kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui pendekatan-pendekatan politik, baik oleh individu-individu tertentu maupun oleh perkumpulan-perkumpulan etnis Tionghoa yang bertumbuh setelah peristiwa Mei 98, seperti Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI). Dicabutnya Intruksi Presiden Nomor 14 Tahin 1967 tentang Pelarangan Ekspresi Kebudayaan China di Ruang Publik oleh Keputusan Presiden nomer 6 tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serta dikeluarkannya UU Kewarganegaraan Indonesia Nomor 12 Tahun 2006, yang menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan warga Tionghoa dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang mereka rasakan, antara lain perayaan Tahun Baru Imlek yang sudah diresmikan pemerintah sebagai hari libur nasional. Hubungan warga Tionghoa dengan warga Indonesia dianggap sudah lebih terbuka sehingga banyak warga Tionghoa yang optimis bahwa situasi yang ada sudah berubah dan bahwa kesempatan warga Tionghoa untuk terlibat secara politis juga sudah terbuka. Akan tetapi, peraturan diskriminatif masih kerap terjadi. Contohnya peristiwa Pontianak pada acara Imlek Tahun 2008. Saat itu walikota Pontianak mengeluarkan surat keputusnan Nomor 127 Tahun 2008 tentang pelaksanaan prosesi naga yang dibatasi hanya di Stadion Syarif Abdurrahman. Pada era reformasi dan demokrasi ini, geliat etnis Tionghoa mulai terasa. Buku-buku Tionghoa yang pada mulanya dilarang terbit atau dibatasi kini sudah dengan bebas ditulis dan diperjualbelikan secara terbuka. Penerbit papan atas seperti Gramedia kerap menerbitkan buku-buku tentang etnis Tionghoa. Contohnya adalah buku berjudul Tepi Air (Shuihu Zhuan) yang berisi kisah 108 pendekar, diterbitkan pada 2009 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku lain yang diterbitkan adalah 1421 Saat Cina Menemukan Dunia diterbitkan oleh
41
Alvabet pada Juli 2006. Novel-novel Tionghoa pun mulai diterbitkan. Pada Januari dan Juni 2008, penerbit Hikmah merilis dua novel yakni, Empress Orchid dan sekuelnya The Last Empress karya Anchee Min. Di bidang politik, para warga keturunan pun sudah mulai menunjukkan eksistensinya. Basuki Tjahaya Purnama (Zhong Wan Xie)52 atau akrab disebut Ahok, memulai debut politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Belitung periode 2004–200953 kemudian menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005–2010. Baru menjabat satu tahun Ahok mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada wakilnya Khairul Efendi. Pada 2007 ia mencalonkan diri sebagai Bupati Bangka Belitung namun belum berhasil. Puncak karir politiknya saat ini adalah sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012–2017 bersama Joko Widodo.54 Selain Ahok, warga keturunan yang mulai menunjukkan eksistensinya di dunia politik adalah Hary Tanoe Sudibjo, bos group MNC ini didaulat menjadi calon wakil presiden dari Partai Hanura mendampingi Wiranto. Sebelumnya Hary Tanoe Soedibjo adalah kader Partai Nasdem. Ia memutuskan pindah ke Partai Hanura pada tahun 201355. Meskipun warga keturunan sudah mulai menunjukkan eksistensinya dalam beberapa bidang, namun perilaku rasis terhadap etnis Tionghoa seperti tidak pernah surut. Kita masih bisa mendengar sebutan rasis bagi etnis Tionghoa yang disebut ―Cina‖ dengan tendensi melecehkan dan diidentikkan dengan sebutan ―Cina pelit,‖ ―Cina kafir‖ dan sebagainya.
E. Sosiologi Sastra Cabang ilmu sosiologi pertama kali ditemukan oleh Auguste Comte pada pertengahan abad XIX. Comte mencoba menerapkan cara kerja dalam ilmu alam
52
http.//forum.kompas.com/nasional/71843-mengenal-lebih-jauh-sosok-kepemimpinanahok-calon-wagub-dki-pendamping-jokowi.html (diunduh pada 6/3/2014 pukul 7.30 WIB) 53 http.//profil.merdeka.com/indonesia/b/basuki-tjahaja-purnama/ (diunduh pada 6/3/2014 pukul 7.30 WIB) 54 Ibid., 55 http.//politik.news.viva.co.id/news/read/391005-enam-alasan-hary-tanoe-gabung-kepartai-hanura (diunduh pada 6/3/2014 pukul 07.50 WIB)
42
untuk memahami masyarakat. Bila ilmu-ilmu alam mempelajari sesuatu yang berada di luar diri manusia, yaitu alam, sosiologi menjadikan manusia itu sendiri. Namun, manusia yang dipelajari bukanlah manusia sebagai mahluk biologis yang dibangun dan diproses oleh kekuatan-kekuatan dan mekanisme-mekanisme fisik kimiawi, bukan manusia yang sepenuhnya mandiri, melainkan manusia sebagai individu yang terkait dengan individu lain, manusia yang hidup dalam lingkungan dan berada di antara manusia-manusia lain, manusia sebagai sebuah kolektivitas, baik yang disebut dengan komunitas maupun sosietas. Sebagai sebuah usaha pemahaman yang objektif-empirik, sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana yang ditemukan dan dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan. Akan tetapi, sebagai sebuah usaha untuk menemukan hukum yang umum, keteraturan-keteraturan dan pola-pola yang berulang dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama, yang membuatnya teruji, sosiologi tidak berhenti hanya pada kenyataan keseharian dalam dunia pengalaman langsung saja. Bagaimanapun objek-objek pengalaman langsung cenderung menampakkan diri sebagai sesuatu yang amat bervariasi, seakan senantiasa berubah, tak berpola, tak beraturan, dan hilang sesaat setelah terjadi atau muncul. Pola-pola, keteraturan-keteraturan baru dapat ditemukan apabila sosiologi mampu bergerak melampaui apa yang secara langsung tampak dalam dunia pengalaman dan bergerak msuk ke hukum-hukum atau pola-pola yang umum, abstrak, melalui prosedur-prosedur yang sesuai dengan kaidahkaidah logika atau rasionalitas.56 Giddens dalam Faruk menyebut sosiologi sebagai. “… the study of human social life, groups, and societies. It is a dazzling and compelling enterprise, having a its subject matter our own behavior as a social beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysis of passing encounters between individuals in the street up to the investigation of global social processes.” 57 Dalam hubungan antara ilmu sosial dalam hal ini sosiologi dan ilmu 56 57
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2012), h. 17. Ibid., h. 18.
43
kesusastraan terdapat suatu hubungan yang tak terpisahkan. Berangkat dari sebuah gagasan ―Sastra adalah cerminan masyarakat‖ melalui corong inilah kemudian sosiologi sastra muncul sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara sastra dan masyarakat. Wellek dan Warren mengemukakan tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, poin pertama adalah sosiologi pengarang, status pengarang dan ideologinya. Ketertarikan masyarakat dalam membaca karya sastra pun dilatarbelakangi oleh ideologi pengarang. Sebab pengarang adalah warga masyarakat ia dapat dipelajari sebagai mahluk sosial, hal ini berkaitan dengan latar tempat pengarang itu tinggal, keluarga, bahkan ekonomi pengarang. Poin kedua adalah isi karya sastra. Dalam isi karya sastra, masyarakat tentunya terpengaruh oleh ideologi pengarang pula sebab ini berkaitan dengan masalah sosial, namun poin ini unsur estetik mengambil bagian besar dimana keindahan yang terkandung dalam sebuah karya dapat berpengaruh kepada pembaca. Poin terakhir adalah pembaca dan dampak sosial karya itu sendiri. Dampak sosial karya, dapat dikatakan bahwa nilai atau norma sepenuhnya dipegang oleh hasil karya dan pembaca.58 Robert Escarpit dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra menjelaskan apa yang dimaksud dengan sosiologi sastra melalui berbagai tinjauan sudut pandang, ia coba menjelaskan keterkaitan antara 1) kesustraan dan masyarakat, 2) Sejarah, 3) Politik perbukuan. Hubungan-hubungan ini akan menjelaskan saling keterkaitan antara sastra dan masyarakat sampai sastra dan pengarangnya yang juga bagian dari masyarakat.59 Karya sastra tidak serta merta lahir begitu saja, sastra tidak berasal dari kekosongan. Adanya sebuah karya menunjukkan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang, ideologinya kah, idealismenya kah, pandangan hidupnya kah atau bahkan pengalaman pribadinya dan hal-hal tendensius lainnya. Pengarang sebagai warga masyarakat juga memiliki kepentingan-kepentingan yang ingin disampaikan. Melalui sastra hal-hal semacam ini bisa terakomodasi, tertuangkan 58
Rene Weleek dan Austin Warren, Teori Kesusteraan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1990). 59 Robert Escarpit, Pengantar Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005)
44
dan bisa dinikmati oleh pembaca. Dalam telaah sosiologi, kita bisa mengamati gejala-gejala yang timbul di masyarakat dan meneliti penyebab timbulnya suatu konflik dan implikasinya terhadap kehidupan masyarakat. Tidak hanya itu, kita juga bisa mengamati polapola dalam masayarakat seperti adat istiadat, kultur atau kebuadayaan dan bagaimana kebudayaan tersebut lekat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingwood dalam Sapardi, mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sekadar bahan sampingan saja. Diingatkannya bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati
mengartikan
slogan
―sastra
adalah
cerminan
masyarakat‖.
Selanjutnya diingatkan bahwa slogan itu melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya.
Swingwood
menyadari
bahwa
sastra
diciptakan
pengarang
menggunakan seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang merupakan cerminan masyarakatnya, apakah pencerminan itu secara murni?60 Swingwood agaknya ingin sedikit merevisi pernyataan ―sastra adalah cerminan masyarakat‖ mengingat banyak kepentingan dalam kemunculan sebuah karya. Masyarakat yang ingin ditampilkan pengarang adalah masyarakat yang sejalan dengan ideologi pengarang. Kenyataan inilah yang coba dipertanyakan kembali oleh Swingwood terlepas dari sastra yang tidak pernah sekali pun berasal dari kekosongan. ―Sastra merupakan cerminan masyarakat‖ dan ―sastra tidak berasal dari kekosongan‖, berlandaskan pernyataan inilah peneliti coba mengkaji sebuah novel karya Clara ng yang berjudul Dimsum Terakhir dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah Pembelajaran sastra di sekolah diharapkan bermanfaat untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata. Sastra memiliki relevansi dengan dunia nyata. Untuk itu, pengajaran sastra di sekolah harus kita pandang sebagai 60
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Satsra, (Ciputat. Editum, 2009), h. 19.
45
sesuatu yang penting dan patut memiliki kedudukan yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat, pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat. B. Rahmanto61 menjelaskan empat manfaat pengajaran sastra di sekolah, yaitu sebagai berikut. 1. Membantu keterampilan berbahasa. Keterampilan
berbahasa
meliputi
empat
aspek,
yaitu
1)
menyimak, 2) berbicara, 3) membaca, dan 4) menulis. Adanya pembelajaran sastra di sekolah berfungsi melatih siswa dalam mengasah keterampilan berbahasa yang meliputi empat aspek tersebut. Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru atau temannya. Untuk keterampilan berbicara, siswa dapat melatihnya dengan bermain drama. Keterampilan membaca dapat diasah dengan membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi atau bahkan naskah drama. Siswa dapat melatih keterampilan menulis dengan menulis sebuah karya sastra yang didasari oleh pengalaman pribadi atau pengamatan sekitar. 2. Meningkatkan pengetahuan budaya Sastra bukanlah sebuah ilmu yang menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi seperti halnya ilmu sains. Sastra berkaitan sangat erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menyajikan hal-hal yang jika dihayati akan menambah ilmu pengetahuan. Hal yang dimaksud sebagai ilmu pengetahuan di sini memiliki makna yang luas. Dengan berbagai cara kita bisa menguraikan dan menyerap pengetahuan yang terdapat dalam karya sastra. Sebagai contoh, banyak fakta yang diungkapkan dalam karya sastra, tetapi ada banyak fakta lain yang harus kita gali dari sumber-sumber lain untuk memahami situasi problematika khusus yang dihadirkan dalam suatu karya sastra. 61
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra.(Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992) h. 16.
46
Jika kita dapat merangsang siswa-siswa untuk memahami faktafakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa akan memahami realitas kehidupan. Siswa akan memahami fakta-fakta tentang kehidupan dan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam diri siswa mengenai hakikat kehidupan. Suatu bentuk pengetahuan khusus yang harus selalu dipupuk dalam masyarakat adalah pengetahuan tentang kebudayaan. Kita menggunakan istilah budaya untuk menunjuk ciri-ciri khusus khusus dalam masyarakat tertentu dengan totalitasnya yang meliputi, organisasi, lembaga, hukum, etos kerja, seni, drama, agama, dan sebagainya. Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap siswa. Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga dan memiliki juga empati terhadap lingkungan sekitar. Pengetahuan tersebut dapat digali lewat menelaah karya sastra. Dalam karya sastra banyak terdapat unsur kebudayaan yang menarik untuk diteliti dan dipahami. 3. Mengembangkan cipta dan rasa Setiap guru hendaknya menyadari bahwa siswa adalah seorang individu dengan kepribadiannya yang khas. Kemampuan dan kadar perkembangannya masing-masing berbeda satu sama lain. Untuk itu, sangat penting memandang pengajaran sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, religius, dan sosial.
Karya
sastra
dapat
memberikan
peluang-peluang
untuk
mengemabngkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Untuk itu, jika sastra diajarkan dengan benar dan sesuai, dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari mata pelajaran lainnya. 4. Menunjang pembentukan watak Tidak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia. Bagaimana pun pendidikan hanya dapat berusaha
47
membina dan membentuk, tetapi tidak dapat menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang didiknya. Meski demikian, dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya, sastra memunyai keungkinn lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kesetiaan, kebanggaan diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian, dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya memunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tidak bernilai. Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi kepandaian, ketekunan, pengimajian, dan penciptaan. Seperti yang kita ketahui, sastra sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang sangat luas. Dalam pengajaran sastra dengan berbagai ciri khasnya, siswa dipertemukan dengan berbagai kesempatan untuk menelusuri semacam arus pengalaman segar yang terus mengalir. Pengalaman itu merupakan persiapan yang baik bagi kehidupan siswa di masa mendatang.
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang terdapat dalam bangunan karya itu sendiri, dalam penelitian ini peneliti coba membahas enam unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir (selanjutnya disingkat DT), yaitu, 1) tema, 2) tokoh dan penokohan, 3) sudut pandang, 4) alur, 5) latar, dan 6) gaya bahasa. 1. Tema Pada dasarnya, tema merupakan ide pokok yang secara implisit dapat diketahui dalam sebuah novel atau cerita. Dalam novel DT ini, tema yang terkandung adalah tema perempuan dan keluarga. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Rosi menutup telepon dengan hati galau. Barusan Indah menelepon, mengabarkan bahwa ayah mereka terserang stroke hari ini. Kesepuluh jari tangan Rosi gemetar hebat sehingga gagang teelepon terjun keras di pesawatnya.1 Kutipan tersebut menunjukkan rasa kaget sekaligus kecemasan seorang anak manakala mendengar kabar ayahnya sakit keras. Dalam adat keluarga Tionghoa posisi laki-laki menempati posisi tertinggi di mana seorang anak perempuan tunduk kepada ayahnya dan setelah menikah tunduk kepada suaminya juga anak laki-lakinya. Selain kutipan di atas, terdapat beberapa kutipan lain yang menunjukkan bahwa tema novel DT ini adalah tema keluarga, salah satunya sebagai berikut.
1
Clara Ng, Dimsum Terakhir, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 21.
48
49
Semburat cahaya kuning menembus tirai jendela, menyorotkan bias keemasan ke dalam rumah. Nung pasti akan pulang bersama keempat anak perempuannya. Empat anak perempuan kembarnya. Betapa menyenangkan. Kenangan-kenangan itu kembali. Bagai hantu yang tidak mau pergi. Bagai putaran waktu yang mengkristal. Aku tersenyum tipis. Rumah ini akan kembali ramai.2 Tema keluarga dalam novel DT ini semakin dikuatkan dengan keempat tokoh utamanya yang merupakan saudara kembar. Mereka sebenarnya telah tercerai-berai menuruti jalan hidupnya masing-masing. Namun, mereka terpaksa harus pulang kembali ke rumah untuk merawat ayahnya yang sakit. Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan tema dari novel DT ini adalah tema keluarga etnis Tionghoa modern. Selain tema keluarga, novel ini juga mengangkat tema perempuan. Keempat tokoh utama dalam novel ini adalah perempuan. Tiap tokoh perempuan dalam novel ini hadir dengan permasalahan seputar ―diri perempuannya‖ masingmasing. Salah satu isu perempuan yang dilontarkan dalam novel ini meliputi isu LGBT (lesbi, gay, biseks, dan transgender) yang dialami oleh salah satu tokohnya yaitu Rosi, terlihat dalam kutipan berikut. … Perasaan suka terhadap lawan jenis tidak tumbuh dalam dirinya. Hanya perempuan yang ditaksirnya. Wanita. Cewek. Girls. Ladies. Begitu banyak perempuan berlalu lalang. Oh ya begitu banyak, beybeh! Dengan hura-hura, clubbing, dan pesta-pesta malam yang tiada habis-habisnya, Rosi berharap menemukan kedamaian dalam dirinya. Peace on earth. Peace in heart. Dan perempuan terakhir adalah Dharma.3 Kutipan di atas menunjukkan Rosi tidak menyukai lawan jenis, ia berhubungan dengan banyak wanita. Namun pada akhirnya Rosi memilih Dharma untuk menjadi kekasih sejatinya. Rosi membawa isu sensitif, LGBT. Masyarakat Timur seperti Indonesia masih menganggap isu seputar LGBT menjadi suatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal tersebut selama ini dipandang sebagai hal 2 3
Ibid., h.26. Ibid., h. 45—46.
50
negatif yang tidak patut untuk diperbincangkan. Para LGBT ini biasanya mempunyai perkumpulan-perkumpulan mereka sendiri.4 Para transgender perempuan pada umumnya lebih sulit diidentifikasi dari pada transgender lakilaki. Hal ini terjadi karena perempuan lebih leluasa dalam berpenampilan. Perempuan masih bisa mengenakan celana panjang dan T-shirt atau aksesoris laki-laki lainnya. Akan tetapi, laki-laki tidak bisa leluasa menggunakan rok apalagi aksesoris perempuan. Isu perempuan yang lain juga dilontarkan oleh Clara Ng lewat tokoh Indah. Indah memutuskan menjadi orang tua tunggal tanpa adanya pernikahan. Dalam masyarakat kita, hal semacam ini masih sulit diterima. Orang yang memiliki anak di luar pernikahan akan mendapat citra negatif di masyarakat. Keputusan menjadi orang tua tunggal tanpa adanya pernikahan merupakan suatu keputusan yang sangat berani. Perempuan berhak atas tubuh dan nasibnya sendiri, suara inilah yang kiranya ingin disampaikan pengarang lewat tokoh Indah. Perhatikan kutipan berikut.
Indah tersenyum lagi. Keputusannya mempertahankan kehamilan memang bukan keputusan mudah. Terus terang, mulanya dia memang tidak sungguh-sungguh menginginkan bayi ini. Pertama, membesarkan anak, apalagi menjadi ibu tunggal di zaman sekarang adalah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bunuh diri. Kedua, kesiapan mental merawat bayi bukanlah semudah membeli obat generic di apotek. Ketiga, sejauh ini tidak ada teori yang dapat meramalkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal akan seratus persen lebih ―baik‖ daripada anak yang dibesarkan oleh orang tua lengkap.5 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Indah menyadari kalau keputusannya menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, ia bertekad untuk mempertahankan bayinya. Sebelumnya, ia sempat berpikir untuk mengaborsi janin yang dikandungnya karena ia tahu Pastor Antonius tidak akan bertanggung jawab. Namun, niatnya untuk aborsi berubah menjadi tekad yang 4
Di salah satu gang daerah Kota, kita bisa dengan mudah melihat komunitas lesbian. Di daerah ini mereka tidak sungkan menampilkan eksistensi mereka. 5 Clara Ng. Op. Cit. h. 315—16.
51
kuat untuk mempertahankan janinnya, karena ia merasa iba terhadap bayinya sendiri. Ia perempuan, dan ia berhak atas tubuh dan nasibnya sendiri. Seberat apa pun, sesakit apa pun.
2. Tokoh dan Penokohan Ada beberapa tokoh utama dan sampingan dalam novel DT ini. Tokoh utama adalah tokoh sentral yang memiliki peran penting dan mendapat porsi paling banyak dalam cerita. Tokoh sampingan adalah tokoh yang menguatkan jalan cerita dan yang bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung dengan tokoh utama.
1. Tokoh Utama Ada empat orang tokoh utama dalam novel DT ini, keempatnya adalah saudara kembar. Tiap-tiap tokoh utama memiliki karakter yang berbeda-beda meskipun mereka kembar. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Indah (Tan Mei Yi) Indah merupakan sosok perempuan yang memiliki emosi yang meledakledak. Sayangnya, emosi itu terkungkung dalam batinnya sehingga menyebabkan jiwanya tertekan. Emosi yang bergejolak ini juga yang menyebabkan Indah menderita gagap. Penyakitnya akan kumat apabila Indah berada dalam situasi yang emosional. Indah juga seorang paranoid akut, ia sering dilanda situasi yang sebenarnya biasa saja namun jadi terkesan berlebihan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. ―Kapan novel berikutnya nih, Mbak Indah?‖ Seketika Indah terpaku mati di tempatnya. Pertanyaan sederhana dari mereka tidak berhenti sampai di situ, malah memantulkan gema di benaknya. Terngiang-ngiang sampai telinganya nyaris tuli. Kerutan di dahi Indah mulai terbayang. ―Lagi ditulis, katanya dengan nada tidak wajar sambil mencoba tersenyum tapi gagal total. Tanpa sadar tangannya naik menekan dada jantungnya sudah siap ngacir, menggelundung keluar dari rongga rusuk.
52
Indah melirik jam tangan, berpikikir-pikir bagaimana caranya agar dapat mengakhiri percakapan ini dengan taktis. Sebagai pengarang novel best seller Indah seringkali merasa tertekan karena tuntutan untuk membuat novel kedua. Ada ketakutan yang sangat kuat dalam diri Indah. Ia takut novel keduanya tidak semeledak novel pertamanya. Ketakutan itulah yang membuat Indah gamang menulis dan kehabisan ide untuk membuat novel kedua. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Ada apa dengan dirinya? Setelah novel pertamanya yang menjadi hit dan bestseller, indah merasakan kebanggaannya melambung setinggi langit. Setiap orang yang mengaku pembaca novel pasti pernah mendengar namanya. Indah Prati. Sang maestro pembuat cerita. Sang pakar pengukir kata. Hatinya melambung. Hidupnya juga. Membumbung tinggi sampai langit ketujuh. Lalu langsung terbanting. Menjadi linglung. Bingung. Limbung. Gonjang-ganjing. Bagaimana dengan novel kedua? Kapan novel kedua terbit? Sedang menulis novel tentang apa? Berapa lama lagi?6 … Jujur saja. Mari menilai dirinya sendiri secara transparan. Apakah dia korban beban-novel-kedua-setelah-yang-pertama-terlalu-terkenal? Ataukah korban takut-novel-kedua-akan-gagal? Tekanan ini sangat kuat. Tekanan sekali lagi menjadi yang terbaik, tersempurna, terkenal. Bagaimana jika ia tidak bisa seperti itu lagi? Bukankah mengerikan? Siapakah Indah tanpa berhasil menulis novel yang menjadi pembicaraan seluruh negeri?7 Dalam teks di atas, terlihat ketakutan Indah akan novel keduanya. Ia takut jika novelnya tidak sebagus novel pertamanya. Indah terbebani dengan keberhasilan novel pertamanya. Ia tidak tahu apa yang ingin ia tulis. Sudah dibahas sebelumnya bahwa Indah menderita gagap, gagapnya akan kumat ketika dalam situasi yang emosional dan tertekan. Indah tidak punya kontrol emosi yang baik sehingga seringkali terlibat dalam suasana yang berlebihan, terlihat dalam teks berikut. 6 7
Clara Ng. Op. cit., h. 207. Clara Ng. Op. cit., h. 209.
53
Indah berlari cepat di sepanjang lorong rumah sakit. Napasnya tinggal satu-dua ketika dia nyaris tergelincir di depan meja informasi. ―Ma... af,‖ katanya terbata-bata. Ditariknya napas panjang-panjang. Oh, sialan. Indah membatin. Sesak napasnya kumat lagi. Sambil menguatkan diri, dia menghitung satu sampai sepuluh, bolak-bolak. Jangan sampai dia disangka pasien bengek oleh lelaki yang sedang duduk manis di balik konter informasi. ―Bisa dibantu, Mbak?‖ Lelaki itu menatapnya prihatin.. ―Ya … Saya … m-mencari pasien bernama N-Nung Atasana…‖ Indah tergagap. Oh, sialan lagi. Dalam kondisi tegang, gagapnya selalu kumat. Tapi dia berusaha agar tetap tidak kehilangan gaya. Air mukanya kosong, tatapannya lurus. Tanpa ekspresi, tenang, dan terkontrol. Kutipan tersebut menunjukkan Indah yang sedang bersusah payah menahan penyakit gagapnya yang kambuh akibat tekanan emosi yang tinggi. Penyakit gagapnya muncul tidak lain karena Indah tidak mampu menguasai emosianya. Indah juga seorang yang keras hati, tidak mudah disentuh dan penuh perasangka. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Ini suasana yang sangat tidak disukai Indah. Dia benci senja. Baginya, senja adalah suasana muram yang tidak perlu dipuja puji. Susana ketika nyamuk mulai berpesta. Suasana kejahatan datang mengendapendap. Saat kebahagiaan berakhir dan kemurungan menjelang. Bagaimna mungkin para sastrawan sangat menyukai senja?8 Kutipan dia atas menunjukkan sifat Indah yang penuh buruk sangka, tidak seperti kebanyakan sastrawan atau orang biasa sekalipun yang mencintai senja, Indah sebaliknya, dengan dingin Indah berpendapat bahwa senja itu sama sekali tidak patut dipuja-puji sebagaimana sesorang sastrawan melukiskan romantisme senja, Indah justru mengutuknya. Sifat buruk sangka ini terkait dengan profesi Indah sebagai wartawan. Sebagai seorang penulis berita, Indah dituntut untuk lebih mengandalkan logika. Ia tidak menyukai hal-hal melankolis seperti senja yang dituturkan oleh penyair. Menurut kacamatanya, senja itu sesuatu yang gelap, masa peralihan cahaya. Tidak ada istimewanya. 8
Clara Ng, Op. cit., h. 60.
54
b. Siska (Tan Mei Xia) Siska merupakan anak Anas dan Nung yang pertama lahir. Sifatnya keras kepala, berpendirian kuat, memiliki kontrol diri yang hebat, namun juga tempramental. Siska seorang yang perfeksionis dan profesional. Siska selalu menjadi pemenang dalam segala hal. Ia seorang perempuan yang cerdas dan mandiri. Sebagai seorang pebisnis, Siska dituntut untuk selalu bersifat profesional. Dalam mengontrol emosi, Siska sangat piawai. Siska tidak akan menunjukkan dirinya yang sedang dalam tekanan emosi. Tidak seperti Indah yang selalu tergagap menahan emosinya, kontrol diri Siska sangat baik. Kontrol diri yang baik ini terlihat dalam kutipan berikut. ―Maaf,‖ katanya sopan. Pita suaranya bergetar dalam gelagak professional yang telah dilakukannya berjuta-juta kali tidak ada titik-titik emosi jengkel yang berseliweran di wajahnya. Siska mempunyai kontrol diri yang amat kuat. Kalau saja para kliennya tau apa yang sedang terjadi di dalam pikirannya…9
Kontrol diri yang kuat tidak serta merta lahir begitu saja dalam diri Siska, butuh latihan, butuh kerja keras untuk mendapatkannya. kontrol diri yang baik merupakan kebutuhan bagi Siska mengingat ia adalah seorang wanita karier. Ia adalah bos dari salah satu perusahaan di Singapura. Siska tentunya harus memiliki kontrol diri yang baik demi menunjang karir bisnisnya. Siska seorang yang perfeksionis, tidak hanya dalam pekerjaan, namun dalam berpenampilan dan gaya hidup pun ia menunjukkan kesempurnaan dirinya. Berpakaian matching layaknya kaum sosialita dan menggunakan jasa maskapai kelas utama. Ini semua menunjukkan bahwa Siska adalah pribadi yang berkarakter kuat. Rincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia, kondisi fisik/kesehatan dan tingkat kesejahteraan si tokoh. Kutipan dibawah ini akan menunjukkan kepada pembaca status sosial Siska. 9
Clara Ng, Op. cit., h. 16.
55
Di Bandara dan gerbang kedatangan yang berbeda, pesawat lain baru saja mendarat. Seperti biasanya, penerbangan dari Siangapura berlalu dengan mulus. Siska duduk full gaya di kursi penumpang firstclass. Kacamata hitamnya tidak lepas membingkai wajahnya. Hari ini dia mengenakan baju serba cokelat. Bahkan tas jinjingnya pun berwarna senada.10 … Sekujur tubuhnya dibekap benda-benda yang tampak glamour. Bermerek tentu saja. Siska sangat pemilih untuk baju, tas, sepatu, dan apa pun yang dikenakannya. Kualitas nomer satu. Merek terkenal.11
Kutipan di atas mempertegas status sosial tinggi yang dimiliki Siska. Hanya orang-orang berada saja yang mampu bergaya hidup seperti Siska. Semuanya serba terbaik, serba first class. Penampilan yang sempurna tidak lain untuk menunjang pekerjaan Siska sebagai seorang bos di salah satu perusahaan di Singapura. Apa yang dikenakan dan dilakukan Siska juga mewakili perusahaan yang dipimpinnya. Untuk itulah Siska harus selalu berpenampilan sempurna.
Indah berhenti berbicara. Dia gelagapan, mencari udara. Siska memanfaatkan kesempatan untuk memotong perkataan Indah. ―pertama, untuk menyegarkan ingatanmu, yang memberitahu papah di rumah sakit adalah aku. Aku! C’est moi. Kedua, kan kamu yang tinggal di Jakarta. Satu kota dengan papa, naik bajaj juga sampai. Apa salahnya sih kalau kamu yang memantau kesehatan Papa? Dan ketiga, for your information, aku bukan jalan-jalan di Hongkong. Malah, aku sudah lama gak jalan-jalan. Aku di Hongkong untuk urusan bisnis, catat itu baikbaik!‖12 Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang cerdas dan tegas. Siska mampu memberikan argumentasi yang logis untuk mematahkan tuduhan Indah. Di sini terlihat Siska yang ―selalu menang‖.
10
Ibid., h. 27. Ibid., h. 85. 12 Ibid., h. 32. 11
56
c. Novera (Tan Mei Mei) Novera bayi yang paling terakhir lahir dan yang paling lemah. Novera identik dengan kelembutan. Ia seorang guru taman kanak-kanak, terlihat dalam teks berikut.
Kelas mereka baru saja berakhir. Mainan anak-anak berserakan di segala sudut. Buku-buku yang tadinya terletak rapi di Sudut Baca, tamak tergeletak di karpet. Biasanya Novera dan Tanti menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk membereskan ruangan sebelum berdiskusi tentang persiapan kelas esok hari. Tapi sepertinya pekerjaan itu bisa ditunda. Novera tidak terlihat gembira, tapi tampaknya dia juga tidak ingin dikasihani dengan cara yang berlebihan13 Sesuai dengan karakternya yang lembut dan tenang, Novera memilih pekerjaan sebagai guru TK. Dalam keluarga, Novera pun selalu mengalah dan memilih untuk tidak terlibat dalam konflik saudara kembarnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Dari mereka berempat, dia yang terlihat paling kecil. Sedikit lebih pendek daripada Indah dan sedikit lebih kurus daripada Siska. Matanya pun yang terlihat paling sipit. Kulitnya paling putih. Aneh, biarpun mereka terlihat mirip, Novera tidak merasa sama dengan ketiga saudarinya yang lain. Khususnya dalam hal pribadi dan kehendak.14 …
Novera bayi terlemah. Sedikit-sedikit sakit. Sedikit-sedikit kedinginan. Dia yang paling akhir berguling, paling akhir tumbuh gigi, paling akhir berdiri, dan tentu saja paling akhir berjalan. Tumbuh menjadi gadis yang paling pendiam dan tidak neko-neko, Novera tidak pernh merasi ingin menyaingi kehebatan ―kakak-kakaknya‖ yang lain. Tidak. Tidak pernah ingin. Dari kutipan tersebut, terlihat Novera yang tenang dan sederhana. Novera cenderung menjauhi hingar-bingar dunia. Ia memilih hidup dalam kesederhanaan jiwa dan pikiran. Novera enggan ikut campur dalam konflik saudara kembarnya dan tidak suka menonjolkan diri.
13
Ibid., h. 24—25. Ibid., h. 48.
14
57
Novera bayi yang paling terakhir dilahirkan. Bayi yang paling lemah. Bayi yang pertumbuhannya paling lambat. Penulis melukiskan fisik Novera sesuai dengan karakternya yang tenang dan lembut. Fisik Novera yang digambarkan lemah sejak awal, seperti suatu pertanda, tali penghubung yang logis. Novera menderita suatu penyakit yang merupakan malapetaka bagi setiap wanita. Kista ganas memaksa rahimnya harus diangkat. Penggambaran awal seolah menjadi prolog atau pengantar Novera yang menghadapi satu masalah besar yang kemudian mengubah keyakinannya menjadi seorang Khatolik dan berniat menjadi biarawati. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. ―Kenapa dibaptis?‖ ―Karena saya ingin menjadi Katolik,‖ jawab Novera tenang. Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama berminggu-minggu. ―Menjadi Katolik harus dibaptis.‖15 … Singkatnya sekali lagi, dia ingin menjadi biarawati. Novera telah meyakini apa yang dia inginkan dalam hidup ini. Seribu persen, tidak ada diskon. Tidak ada uang kembali. Tidak ada potongan. Mantap, tidak tergoyahkan oleh apa pun. Bagai karang keras yang mencuat di bibir pantai yang tetap kokoh meskipun tiap hari dihajar ombak berair asin.16 Masalah dalam hidupnya membuat Novera membutuhkan sebuah tempat pelarian. Agama merupakan tempat pelarian terbaik bagi Novera. Menjadi biarawati seolah menjadi solusi atas permasalahannya. Novera berusaha menghindari kenyataan bahwa sebagai wanita ia tidak sempurna.
d. Rosi (Tan Mei Xi) Rosi adalah gadis tomboi yang berubah menjadi seorang transgender. Ia berbeda dari ketiga saudarinya yang lain. Rosi sejak kecil sudah merasakan kelainan pada tubuhnya. Ia tidak menyukai tubuh wanitanya, tidak menyukai
15 16
Ibid., h. 70. Ibid., h. 78.
58
pakaian wanita. Ia tidak menyukai hal-hal yang berhubungan dengan wanita seperti keharusan memakai bra dan rok. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Rosi tahu dia berbeda semenjak usia dini. Sedini ketika matahari pubertas mulai terbit di kaki langit. Ketika habis masa-masa ceria dunia kanak-kanak; ketika usia mulai menyentuh masa-masa kritis dan sensitive; ketika berjuta-juta pertanyan tentang hidup mengalir keluar; ketika keinginan menggebu untuk mencoba segala sesuatu tidak tertahankan; ketika semangat tanpa batas menetas, meretas segala aturan dan rambu.17 …
Apa istilah asingnya? Transgender. Transeksual. Cewek macho. Cewek kelaki-lakian. Whatever apalah arti label? Tidak penting. Lebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh diantara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari pada itu? Katanya, orang cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini. Dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin ini nerakanya neraka.18 Penulis menggambarkan tokoh Rosi secara panjang lebar. Dalam kasus Rosi yang tidak biasa, transgender, ada sebuah kutipan menarik di atas yang berbunyi. ―Sudah Cina, transgender pula.‖ Semacam nerakanya neraka. Rosi sudah berbeda sejak kecil. Ia mengalami masa remaja yang suram. Ia dilanda krisis jati diri hingga ia menemukan kenyamanan menjadi seorang transgender dan lesbian. Karakter Rosi tomboi, penulis menggambarkannya sebagai Yang, sesuatu yang kuat, yang terang, yang cerah. Akan tetapi, ia terlahir sebagai Yin, yang gelap, yang tenang, yang lembut. Ia pun memiliki kepribadian ganda, sebuah penyakit psikologis yang ia derita ketika menginjak masa pubertas. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Pernahkah kamu merasa dirimu bukanlah dirimu yang sesunguhnya? Pernahkah kamu merasa ada jiwa lain yang hidup di dalam dirimu? Pernahkah kamu merasa kamu seharusnya tidak perlu hadir di dunia ini? Rosi berusia delapan belas tahun ketika akhirnya Roni muncul. Sosok Roni gagah dan tampan, walaupun pribadinya adalah pantulan 17 18
Ibid., h. 41. Ibid.
59
cermin Rosi. Roni adalah Rosi, dalam bentuk yang sebenar-benarnya. Roni memang telah lahir dalam diri Rosi semenjak gadis itu mencapai usia puber, ketika eksistensi diri muncul ke permukaan.19 Sosok Roni muncul sebagai identitas bagi Rosi, Rosi yang lemah yang memiliki semua wujud keperempuanan namun memiliki jiwa laki-laki. Roni adalah Rosi yang sebenarnya. Ia lebih banyak mengambil porsi keberadan dalam diri Rosi.
2. Tokoh Sampingan a. Nung Atasana/Tan Tjin Yun (Papa) Nung Atasana adalah seorang ayah yang bijaksana dan penuh cinta kepada keluarga. Di mata-mata anak-anak dan istrinya, ia adalah seorang pria penuh wibawa yang ucapannya dinanti seluruh anggota keluarga. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Jemari Novera bertautan. Perlahan-lahan dia memajukan tubuhnya dan berlutut khusyuk. Kepalanya tertunduk. Dalam benaknya, ayahnya mungkin satu-satunya orang di dunia yang selalu memahami keinginannya. Jika mereka tidak sama-sama sepakat tentang satu hal, ayahnya memberikan kelonggaran yang luas bagi Novera untuk memutuskan yang terbaik bagi hidupnya. Ini termasuk ketika dia memutuskan menjadi pemeluk Khatolik..20 Dalam teks di atas terlihat sosok ayah yang bijaksana, ayah yang terbuka dan demokratis. Nung memandang persoalan anak-anaknya dari sudut pandangnya yang terbuka. Meskipun usia Nung sudah tua, tapi pola pikirnya tidak kolot, bahkan ia membebaskan Vera untuk memeluk Khatolik. Terlihat dalam teks berikut. Setelah berdetik-detik sepi komentar sepi komentar, suara bariton ayahnya muncul juga. “Menurut Papa, apa yang Vera putuskan itu bukn kejahatan. Jadi soal yang satu ini, semunya terserah Vera.”21
19
Ibid., h. 121. Ibid., h. 69–70. 21 Ibid., h. 73. 20
60
Dalam teks tersebut, terlihat Papa yang bijaksana dan demokratis. Papa membebaskan sepenuhnya kepada Novera untuk memeluk agama Khatolik yang diyakininya. Nung tidak menghalangi dan melarang Novera menjadi Khatolik, karena dalam pandangan Nung, Novera tidak melakukan tindakan kriminal yang harus dicegah dan dilarang. Nung juga seorang pekerja keras. Ia gigih dalam berjuang untuk mendapatkan keturunan. Ia memilih untuk berusaha ketimbang menikah lagi walaupun istrinya sudah mengizinkannya. ―Lu pernah denger Suhu Wong? Dia pinter memohon kepada dewa-dewi kesuburan.‖ Itu kata temannya. ―Di mana?‖ Tanpa pikir panjang, Nung berangkat ke kelenteng di Singapura. Di sana dia didoakan dan diberikan empat patung kecil berupa anak-anak yang harus dirawat dan diletakkan di dekat meja persembahan. Katanya empat patung kesuburan itu dapat mengeluarkan aura kesuburan bagi pasangan infertile. Satu tahun berlalu lagi. Tanpa kehamilan, tanpa bayi. ―Lu mesti rajin merawat patung kecil itu!‖ Nung menggosoknya tiap tiga hari sekali dengan cairan pembersih kayu. Setiap kali tangannya mengangkat hio, dia menyerukan kesuburan pada dewa langit. ―Kamu selalu bisa adopsi.‖ Begitu komentar orang lain. Tidaktidak ada adopsi. Itu tekad Nung. …
Tepat pada tahun ketiga belas, tiba-tiba menstruasi Anas berhenti mendadak. Pada mulanya, tidak terjadi letupan kegembiraan. Malah kesedihan merangkul mereka berdua. Dua setengah bulan kemudian, dokter memberikan konfirnasi bahwa Anas benar-benar mengandung pada usia empat puluh tahun.22 Kutipan tersebut menunjukkan kegigihan Nung dalam memperoleh keturunan. Ia mengabaikan nasihat orang lain untuk mengadopsi anak, ia memilih untuk berjuang untuk kehadiran buah hati di tengah keluarga mereka. Nung mendapatkan balasan yang setimpal atas kerja kerasnya, empat orang anak kembar. 22
Ibid., h. 202—203
61
b. Anas (Mama) Anas adalah ibu dari Indah bersaudara. Sifatnya lembut dan bijaksana. Ia menjadi teladan untuk anak-anaknya. Hal ini terlihat dalam teks berikut. “Di Negara tertentu, hujan dianggap sebagai peristiwa alam yang dipuja. Manusia menganggap para dewa sedang bersuka cita. Apalagi jika sudah lama tidak turun hujan. Para petani tentu mengharapkan hujan.” “Tapi saya tidak mengharapkan hujan. Para petani tentu mengharpkan hujan,” seru Sisak keras kepala. “Mungkin kamu tidak. Tapi banyak orang menyukai hujan. Apalagi mereka yang mempunyai jiwa romantis dan sentimental. Sastrawan. Pengarang hebat. Pelukis. Seniman banyak yang sudah berhasil menulis hujan demikian puitis.23 Kutipan tersebut memperlihatkan sosok mama yang bijaksana, mama menanggapi protes anak-anaknya tentang hujan dengan bahasa yang bijak dan memberikan argumen yang disertai contoh.
c. Dharma Dharma adalah seorang gadis yang bertubuh kecil dan ringkih. Dharma kekasih Roni (Rosi), Roni sangat mencintai gadis yang memiliki latar belakang keluarga yang kelam ini. Dharma lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai wanita penghibur. Dharma tidak mempunyai ayah. Masa lalunya yang kelam, membuatnya menjadi gadis pendiam. Nasib yang membawanya kepada Rosi dan mereka berdua terlibat asmara sesama jenis.Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Masa remaja Dharma berlangsung membingungkan. Kekerasan di sekitarnya, baik ibunya maupun lingkungannya adalah pemandangan yang wajar bagi Dharma. Dia tumbuh di rumah sempit, di antara tumpukan petak papan. Jalan depannya tidak dapat disebut jalan karena terlalu sempit dan becek. Kendaraan apa pun tidak sudi lewat daerah situ. Ibunya pelacur murahan yang harus bekerja tiap malam. Kalau tamu lagi sepi, kebanyakan Ibu bekerja di diskotek. Kalau lagi teler,Ibu sangat ringan tangan. Caci maki dan tempelengnya menghantam hati dan tubuh Dharma. 23
Ibid., h. 59.
62
Ayahnya … ah, tidak jelas. Dharma tidak pernah tahu siapa ayahnya yang sesungguhnya. Terlalu banyak lelaki berlalu lalang. Lelaki yang memanfaatkan tubuh ibunya.24 Dharma dilahirkan sebagai anak yang tidak memiliki ayah. Ibunya seorang pelacur. Kehidupannya yang keras membuatnya tumbuh menjadi gadis yang lembut namun kuat. Ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan tidak bersama ibunya. Ia keluar dari rumah ibunya dan bekerja di perkebunan teh. Pekerjaannya sebagai pemetik teh membuatnya mencintai alam dan setelahnya ia menjadi vegetarian. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. … Gadis itu menemukan pekerjaan sebagai pemetik daun teh. Dari situ , dia berkenalan dengan alam. Dengan mudahnya, Dharma jatuh cinta pada tanaman. Menurutnya, tanaman adalah personifikasi dirinya. Diam, tenang, penuh perasaan, dan dekat dengan Sang Maha Kehidupan. Alam membebaskannya dari kesunpekan hidup. Di bawah kubah langit biru dan bentangan padang teh, dia bersumpah untuk selalu menghormati alam. Dai akan menyamakan diri dengan degup napas dan ritme kehidupan. Semudah itu Dharma memtuskan mejadi vegan sejati. 25 Dharma sesungguhnya bukan seorang lesbian. Ia tidak menyukai sesama jenis, ia menyukai laki-laki. Akan tetapi, garis hidup membawanya bertemu Roni (Rosi). Dharma yang memiliki latar masa lalu yang kelam dan tidak pernah merasakan kasih sayang, mendapatkan segalanya dari Roni (Rosi). Mulai dari perlindungan, perhatian, dan cinta kasih. Akhirnya, mereka saling jatuh cinta. Dharma mencintai Roni karena Roni di matanya adalah laki-laki, begitu pun sebaliknya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Dharma bukanlah lesbian. Semenjak remaja, dia tertarik kepada lelaki yang tidak pernah memberikannya apa pun. Roni memberinya cinta, tanpa pamrih. Dharma mereguknya sepuas hati. Dirinya bagai sumur kering yang dahaga. Bagai musafir yang berjalan kelelahan. Rasa cinta dapat memuaskan rasa hausnya akan kehangatan. Dia yang hidupnya penuh penolakan dan dan kesendirian merasa lega dengan kehadiran Roni. 24 25
Ibid., h. 188. Ibid., h. 190—191
63
Di matanya, Roni adalah surga. Dia tidak peduli masalah gender. Apakah cinta mengenal jenis kelamin? Roni adalah lelaki yang mencintai diri Dharma seratus persen.26 Dari kutipan tersebut menunjukkan Dharma yang bukanlah seorang lesbian. Dia adalah gadis yang kesepian, merasa terasing dari dunia hingga akhirnya ia menemukan cinta dari seseorang. Seseorang itu adalah Roni (Rosi), seorang transgender. Mereka berdua saling mencintai. Perubahan orientasi seksual Dharma terkait dengan masa lalunya yang kelam dan keadaan yang memosisikan Dharma berhubungan intens dengan Rosi. Dharma hanya berkutat dengan Rosi yang terus menerus memberikan cinta kasihnya, hal yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun.
d. Pastor Antonius Pastor Antonius, kekasih Indah. Ia sangat mencintai Indah, namun statusnya sebagai pastor tidak memungkinkan dirinya untuk bisa menikahi Indah. Pastor Antonius seorang yang lembut dan tampan. Ia seorang yang kharismatik, terlihat pada teks berikut. Seperti biasa, Antonius otomatis membuang napas. ―Kamu tahu kita tidak mungkin bersama-sama seperti layaknya orang pacaran. Aku ini pastor. Mengertikah kamu? Aku telah mengucapkan sumpah untuk hidup murni. Hidup selibat. Tidak ada perempuan, istri, bahkan pernikahan bagiku. Aku akan menghabisakan sisa hidupku berjalan bersama tuhan. ―Indah dengar ya…,‖ Antonius berkata putus asa. Putus asa membayangkan betapa kuat tekad Indah terhadap keinginan dan perasaannya. Gadis itu tak akan menyerah terhadap kenyataan, walaupun langit akan runtuh. ―Apa yang telah kita lakukan itu dosa. Aku menyesal atas nama Yesus dan sudah bersumpah tidak akan pernah melakukannya lagi. Apa yang aku perbuat padamu adalah salah. Salah besar. Jadi, selayaknya kita tidak melakukan hal itu lagi, tidak memperpanjang masalah yang telah terjadi. Kamu mengerti?27 Beberapa kutipan tersebut menunjukkan sikap tegas Antonius. Ia seorang pastor yang taat. Walau dalam hati kecilnya ia mencintai Indah, namun ia memilih 26 27
Ibid., h. 191. Ibid., h. 125—127.
64
untuk berbakti pada Tuhannya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Indah dan kembali menjalani hidup sebagai pastor sejati yang mengabdikan seluruh hidupnya pada Tuhan. Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwa kehidupannya sebagai pastor tidaklah mulus. Ia pernah terpeleset dalam cinta. Ia pernah berhubungan intim dengan Indah. Sebagai pastor, hal ini sangat bertentangan dengan agamanya. Seorang pastor bahkan dilarang untuk menikah. Akan tetapi, Pastor Antonius malah berhubungan intim dengan Indah di luar pernikahan. Hal ini menunjukkan bagaimana pun juga pastor Antonius adalah seorang manusia biasa yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan juga memiliki hawa nafsu. Demi agama Pastor Antonius meninggalkan Indah, wanita yang dicintainya. Dalam agama Khatolik sendiri, konsep pastor yang dilarang menikah masih menuai kontroversi. Ada beberapa gereja yang menerapkan peraturan lebih longgar terhadap pastor dengan membolehkannya menikah. Adalah Gereja Timur yang pada abad ke-7 menghapuskan aturan ini. Akan tetapi, sebagian besar gereja membuat aturan ketat tentang pelarangan pernikahan bagi pastor 28. Hubungan seksual merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, apabila kebutuhan dasar tersebut dikekang bukan tidak mungkin ia akan mencari jalan keluarnya sendiri. Pastor Antonius yang seharusnya hidup selibat taat pada Tuhan dan peraturan agamanya ini, mangkir, dan yang lebih ironisnya lagi ia tidak bertanggung jawab atas kehamilan Indah. Di sini ia lebih memilih jalan agama namun ia melupakan hal yang lebih esensial, kemanusiaan.
e. Rafy Rafy, duda beranak satu, ayah murid yang diajar Novera. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak mereka. Rafy menaruh hati kepada Novera. Usia Rafy sekitar 35 tahun. Dewasa dan kebapakan. Ia tulus mencintai Novera. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
28
Berdasarkan artikel yang dimuat dalam web berikut. http.//katolisitas.org/575/kamimengasihimu-pastor
65
… Lelaki berpakaian kaus biru muda dan celana jins biru gelap. Tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi tampak tegap dan sehat. Kulitnya berwaena cokelat muda. Senyum lebarnya mengembang dan matanya berbinar dibingkai kacamata tanpa frame.29 ―kenalkan,‖ akhirnya dia bersuara. Tawanya dipaksakan mengembang. ―Ini saudari kembarku yang lain. Siska. Indah.‖ Rafy mengulurkan tangannya, penuh simpati. ―Ini Rafy,‖ lanjut Novera, setengah gagap. ―Indah.‖ ―Siska, nice to meet you, Rafy.‖ ―Teman dari mana?‖ sapa Indah hangat. ―Teman dari Yogya,‖ jawab Rafy bersahabat. ―Satu sekolah?‖ ―Ya dan tidak. Aku bekerja di perusahaan makanan ringan. Anakku bersekolah di tempat Novera mengajar.‖ ―oooh, sudah punya anak?‖ ―Umur lima tahun. Dan ehm… aku single dad. Isteriku meninggal ketika melahirkan Marga, pendarahan berat.‖30 Kutipan di atas menunjukan deskripsi tentang Rafy secara fisik dan sikapnya yang simpatik. Prilakunya yang simpatik ini menunjukkan bahwa ia mencintai Novera. F. Tanti Tanti adalah sahabat sekaligus kolega guru di tempat Novera mengajar. Tanti seorang yang ceria dan simpatik. Ia turut bersedih atas apa yang menimpa Novera sekaligus gembira dan mendukung Novera spenuhnya dalam menjalin hubungan dengan Rafy. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
Tanti melanjutkan dengan suara selembut burung merpati. ―Bagaiamana penyelesaiannya? Apa ayah kamu bakalan tinggal di rumah sakit. Atau apa…‖ kata-kata Tanti menguap, tidak tahu bagaimana dia menyelesaikannya dengan baik. Gadis itu tahu, Novera tidak punya ibu lagi. Ayahnya tinggal sendirian di rumahnya di Jakarta dengan tiga ekor kucing persiayang gendut dan malas.31 ―Kurang apa lagi sih Oom Senang itu? Sama-sama Katolik. Samasama Cina. Duda mati, bukan cerai. Anak satu, masih balita. Si Marga itu 29
Ibid., h. 242. Ibid., h. 252—253. 31 Ibid., h. 25. 30
66
lucu lagi. Umur segitu anak masih gampang menerima dan memberi cinta. Umur si Oom jua belum tua-tua amat. Tiga puluh lima sih masih muda, Ver. Ayo coba dipikirkan sekali lagi.‖32 Sebagai sahabat, Tanti selalu mendukung yang terbaik untuk Novera. Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa Tanti mendukung Novera untuk menikah dengan Oom Senang yang tak lain adalah Rafy. Dukungan dari Tanti sedikit banyak memengaruhi Novera untuk berpikir kembali tentang Rafy. Adakalanya teman mampu memberikan kita sugesti positif terhadap suatu hal. Banyak dari kita baru merasa yakin ketika mendapat dukungan dari orang-orang terdekat terutama sahabat dan keluarga.
g. Dokter Marcel Tunggawidjaya Dokter Marcel adalah dokter keluarga Nung Atasana. dr. Marcel seorang dokter yang penuh perhatian. Mereka sejak lama saling mengenal, terlihat dalam kutipan berikut.
Dokter Marcel Tunggawijaya adalah dokter keluarga yang telah dikenal Indah sejak batita. Dulu dokter itu membuka praktik kedokterannya persis di depan rumah keluarga Atasana selama bertahuntahun. Tidak lama ketika Indah bersaudara berusia sepuluh tahun, dr. marcel berangkat ke Kanada mengambil spesialisasi, kemudian menjadi dokter spesialis penyakit darah sekembalinya dari sana. Biarpun demikian, mereka sekeluarga selalu mempercayakan kesehatan mereka di tangan dokter Marcel. Hubungan mereka sangat akrab sampai-sampai tak ada lagi jeda kekakuan yang sering terjadi antara dokter dan pasien di Indonesia. 33 … dr. Marcel berdiri dan berjalan mengitari mejanya. Dia menarik kursi pasien di samping Indah. Duduk berhadapan dengannya, lelaki tua itmengambil tangan Indah dan menggenggamnya lembut. Tatapannya sangat hangat.34 Kutipan di atas menunjukkan sifat dokter Marcel yang simpatik dan lembut. Tidak seperti kebanyakan dokter di Indonesia yang cenderung kaku, dokter Marcel dekat dengan pasiennya. Dia menenangkan Indah dengan 32
Ibid., h. 144. Ibid., h. 63. 34 Ibid., h. 67. 33
67
menggenggam jari Indah seolah memberi kekuatan dan keyakinan kepada Indah bahwa penyakit ayahnya bisa disembuhkan.
h. Michael Michael adalah klien Siska di Hongkong, laki-laki ini digambarkan sebagai sosok yang sempurna. Siska sampai harus melanggar sumpahnya sendiri dan berkencan dengan kliennya yang satu ini, terlihat dalam kutipan berikut.
Siska tahu tipe lalaki seperti Michael. Perempun akan memberi title Mr. Too Good To be True alias te-ge-te-be-te. Lelaki gay akan memberikan judul Mr. Too Good to be Gay alias te-ge-te-be-ge. Hhh! Tidak ada yang too good to be… anything dalam kamus Siska. Semuanya pantas didapatkan. Tapi kan… kalo boleh jujur Siska ingat sumpahnya barusan. ―Saya tidak boleh berkencan dengan klien.‖35 Deskripsi di atas menjelaskan sosok Michael yang sempurna. Pria keturunan Amerika, gagah, tampan, impian semua perempuan. Kegantengan Michael inilah yang membuat Siska terperangkap. Michael seorang laki-laki yang licik. Ia memanfaatkan keadaan perusahaan Siska yang tengah digugat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Michael menuduh Siska melakuan tindakan pelecehan seksual terhadap dirinya, terlihat dalam kutipan berikut. ―Seksual Harrasment,” ulang Siska getir. ―Pelecehan Seksual. Aku digugat karena telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu klienku di Hongkong. Lelaki itu melaporkan bahwa aku memaksanya tidur dengan dia. Tidak tanggung, dia menggugat seratus juta dolar Singapura.‖ ―Aku menyesal. Seharusnya aku mematuhi peraturan yang aku buat jika aku ingin berkencan dengan lelaki. Dari dulu aku selalu mematuhi peraturan itu. Kali ini aku terpeleset, aku enggak ngerti deh kenapa. Aku menyesal.‖ … ―Ini jebakan‖ dengus Siska masygul. ―Lelaki itu pasti memanfaatkan momentum perusahaanku kena gugat sehingga nama buruk
35
Ibid., h. 87.
68
perusahaan dan aku sendiri bisa dihubung-hubungkan dengan mudahnya oleh media.36 Beberapa kutipan di atas yang berdasarkan percakapan Siska dengan Indah, menggambarkan sosok Michael yang selain tampan juga ternyata licik. Ia memanfaatkan keaadaan buruk yang tengah menimpa perusahan Siska untuk meraih keuntungan pribadi yang sangat besar. 3. Latar Latar atau setting terbagi menjadi tiga yakni, 1) latar tempat, 2) latar waktu, dan 3) latar sosial. a. Latar Tempat Latar tempat yang dominan terdapat dalam novel DT ini antara lain sebagai berikut. 1) Kota (Jakarta) Kota menjadi lokasi di mana keluarga Nung Atasana tinggal. Sejak dulu kawasan Kota banyak didiami oleh bangsa keturunan Tionghoa di Jakarta, lokasinya pun berdekatan dengan kawasan Pecinan di daerah Glodok. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Rumah itu masih seperti yang ada dalam bayangan Siska. Pagar yang tidak terlalu tinggi. Tanaman bugenvil dengan bunga-bunganya yang berwarna kuning dan merah muda bermekaran penuh. Pintunya bercat hijau pupus bergaya kuno. Di atas pintu terdapat cermin Pa Kua, cermin delapan arah mata angin. Di samping pintu, tempat hio berwarna merah tergantung di dinidng. Di dalamnya ada sisa-sisa batang hio yang sudah terbakar. Jendela-jendela besar itu kelihatan berdebu dengan lubang angin yang jadi tempat laba-laba membuat sarang. Pasti tidak orang yang sempat membersihkannya. Seekor kucing kampung bergelung di depan teras. Tembok rumah berwarna putih kusam, tidak terawatt. Mungkin juga terelalu banyak diterpa debu. Rumah ini berada di daerah Kota yang kumuh, tua, dan kotor.37 2) Petak Sembilan, Glodok (Jakarta) 36
Ibid., 248—249.
37
Ibid., h. 93—94.
69
Petak Sembilan merupakan kawasan pecinan di Jakarta. Etnis Tionghoa banyak ditemui di daerah ini. Mereka berkumpul, tinggal, dan berdagang di kawasan ini. Sebagai etnis keturunan Tionghoa, Indah, Siska, Rosi, dan Novera biasa datang ke tempat ini untuk membeli obat Cina dan lain sebagianya, Terlihat dalam kutipan berikut. Pasar Petak Sembilan seperti biasa. kumuh, becek, panas, kotor, dan berdesak-desakan. Di mana-mana terdengar suara orang berteriak satu sama lain. Pernak-pernik dan perlengkapan Cina seperti perlengkapan sembahyang, lampion, batu giok, gelak kristal, mentimun laut alias tripang, krupuk perut ikan, permen manisan buatan Cina, berjejer dijual. Kedai makanan bakmi pangsit, kuotie, cakue, pioh (daging kura-kura), sekba (semur babi), swike, bubur ayam, bakapau, rujak mi berdesakdesakan menunggu pembeli. Rosi menatap kerumunan orang dengan pandangan ngeri. Sudah lama sekali ia tidak pergi ke pasar ini. c. Hongkong Siska biasa mondar-mandir ke luar negeri selain Singapura yang merupakan Negara di mana kantornya berada. Salah satunya Hongkong. Hongkong menjadi latar yang penting untuk dibicarakan karena di Negara inilah Indah terkecoh oleh kliennya, Marcel, terlihat dalam kutipan berikut.
Siska berjalan cepat melewati lautan manusia yang bergegas-gegas berjalan di trotoar. Dia selalu menyukai suasana Hong Kong di waktu malam. Apalagi saat langit sangat bersih dan cerah seperti sekarang. Bintang-bintang kelihatan jelas. Bulan purnama sangat indah. Angin semilir membawa bau masakan kemana-mana.38 “Sexual harassment,” ulang Siska getir. ―Pelecehan seksual. Aku digugat karena telah melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu klienku di Hongkong. Lelaki itu melaporkan bahwa aku memaksanya tidur dengannya. Tidak tanggung-tanggung dia menggugat sebesar seratus juta dolar singapura.‖39 Beberapa kutipan di atas menunjukan bahwa Hongkong merupakan latar tempat yang mempunyai arti penting dalam cerita. Negara ini sering didatangi Indah untuk urusan bisnis dan di Negara ini pula Siska melanggar janjinya untuk 38 39
Ibid., h. 85. Ibid., h. 248.
70
tidak berkencan dengan kliennya, namun ia akhirnya berkencan dengan Michael. Michael yang licik memanfaatkan moment citra buruk yang tengah dihadapi perusahaan Siska kemudian menggugat Siska dengan tuduhan sexual harassment.
b. Latar Waktu Latar waktu dalam novel DT ini terjadi pada sekitaran tahun 2000-an. Novel ini pertama kali terbit tahun 2006 dan pengarang mengambil setting waktu sekitar tahun novel ini terbit, yakni tahun 2006. Latar waktu tahun 2006 dikuatkan oleh kutipan berikut.
Siska mendengus kepada Indah yang sedang menatap komunikatornya tanpa berkedip. Astaga, Indah punya catatan siapa yang mengantar Papa ke rumah sakit tercatat di komunikatornya.40 Ponsel komunikator booming pada sekitaran tahun 2005—2006. Pelopor ponsel pintar ini adalah Nokia dengan seri N dan seri E. seri ponsel komunikator yang paling terkenal adalah E90 communicator yang muncul pada tahun 2007, pendahulu E90 adalah E9500, kemungkinan ponsel ini lah yang digunakan Indah.. Latar waktu tahun 2005—2006 ini juga terlihat dari yahun kematian Nung Atasana. Nung meninggal ketika Imlek tahun 2006 tepatnya tanggal 29 Januari 2006. Terlihat dalam teks.
In Memoriam: Tan Tjin Yun/ Nung Atasana (15 Februari 1932—29 Januari 2006)41
c. Latar Suasana Latar suasana adalah kondisi sosial dan politik yang melatari novel ini. Latar suasana novel DT ini adalah latar suasana sosial politik pasca tragedi kemanusiaan Mei 1998. Pada era demokrasi di mana peraturan pemerintah yang
40 41
Clara Ng, Op. Cit. h. 220. Clara Ng, Op. cit., h. 318
71
rasialis dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa sudah dihapuskan. Namun, perilaku rasis masih mereka terima, seperti terlihat dalam kutipan berikut. … Mungkin karena aku keliatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua!42 ―Iyalah, pasti! Aku mau saja kasih duit.‖ Rosi terus mencerocos di ponsel. ―Tapi, baru aku mau ambil dompet, ada yang kasih komentar menyesakkan hati. Katanya, dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat, Ndah! Masa aku dibilang Cina sialan! Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah, mau kasih duit. 43 … Ternyata tidak, siapa yang sangka? Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang ngasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit. Langsung aja darahku tancap gas ke ubun-ubun. Sialan benar. Aku tersinggung sekali mendengarnya.44 Kutipan di atas menunjukkan perilaku rasis yang diterima oleh Rosi. Celetukan-celetukan masyarakat yang memanaskan hati masih terdengar di manamana. Stereotip negatif masih menghantui etnis Tionghoa di Indonesia bahkan di alam demokrasi seperti sekarang ini.
4. Plot Plot adalah urutan-urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat. Singkat kata peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Pengarang menyusun cerita berdasarkan hubungan sebab akibat. Plot dalam novel DT adalah plot lurus atau maju, cerita dimulai secara runtut dari tahap awal, (penyituasian, pengenalan, permunculan konflik) tengah, (konflik meningkat, klimaks) akhir (penyelesaian). Rangkaian cerita dalam novel DT ini berawal dari berita Nung Atasana, Ayah dari Indah, Siska, Novera, dan Rosi sakit keras. Sakit yang diderita Nung Atasana tidak main-main dan sangat mengancam hidupnya. Setelah itu berlanjut dengan pengenalan tokoh. Dijelaskan bahwa Siska adalah seorang yang cerdas dan mandiri pemilik perusahaan di 42
Clara Ng., Op. cit., h. 54. Clara Ng., Op. cit., h. 55. 44 Clara Ng, Op. cit., h. 55—56. 43
72
Singapura. Indah seorang penulis sekaligus wartawan yang menderita gagap. Rosi, gadis tomboi petani mawar di puncak. Novera gadis lembut seorang guru TK di Jogja. Konflik muncul ketika Indah mencetuskan gagasan untuk tinggal bersama kembali untuk merawat ayah mereka. Gagasan ini ditolak oleh seluruh anggota keluarganya yang lain. Mereka berdalih tidak mungkin meninggalkan pekerjaan
mereka
masing-masing.
Siska
tidak
mungkin
meninggalkan
perusahannya di Singapura. Rosi tidak ingin meninggalkan perkebunan mawarnya di Puncak. Novera pun tidak bisa berlama-lama meninggalkan muridmuridnya di Jogja. Hanya Indah satu-satunya anak Nung Atasana yang tinggal di Jakarta, namun ia pun tidak mungkin mengurus ayahnya sendirian. Dengan berbagai argumentasi dari Indah dan kesehatan Nung yang makin memburuk, akhirnya mereka sepakat untuk tinggal bersama merawat Nung, namun permasalahan tidak selesai sampai disitu. Konflik semakin meninggi dengan persoalan pribadi masing-masing tokoh utamanya. Siska terjerat kasus pelecehan seksual. Ia dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap kliennya di Hongkong. Indah bernasib sial karena jatuh cinta dan berhubungan dengan seorang pastor, seorang yang tidak mungkin menikahinya. Rosi ternyata memiliki kelainan psikologis. Ia berkepribadian ganda, ada sosok Roni dalam diri Rosi. Rosi memjelma menjadi seorang transgender dan menyembunyikan rapat-rapat tentang hal ini dari keluarganya. Novera yang tidak memiliki rahim karena harus diangkat akibat penyakit kista ganas yang menyerangnya bertekad untuk menjadi biarawati. Konflik mencapai puncaknya ketika satu persatu rahasia mereka terbongkar kepermukaan. Berawal dari Rosi yang keceplosan tentang jati dirinya sehingga saudara kembarnya yang lain merasa curiga terhadap Rosi. Berlanjut tentang tekad Novera untuk menjadi biarawati ditentang keras oleh Rosi, Rosi menganganggap keputusan Novera ini hanya sebagai pelarian atas kekurangan Novera. Siska yang tidak bisa lagi menyembunyikan permasalahannya akhirnya menceritakan apa yang menimpanya. Siska yang selalu terlihat sempurna juga mempunyai permasalahan. Indah hamil, namun ia tidak mungkin meminta
73
pertanggungjawaban Antonius sang pastor, ia dalam dilema besar antara menggugurkan atau mempertahankan janinnya. Tahapan selanjutnya adalah penyelesaian. Satu persatu permasalahan tiap tokoh utama dapat terselesaikan. Siska berhasil memenangkan gugatan atas dirinya dan ia memiliki bukti kuat kalau ia tidak bersalah. Indah memutuskan untuk mempertahankan bayinya, ia menjadi ibu tunggal untuk anaknya tanpa ada pernikahan. Jati diri Rosi akhirnya terungkap, saudara kembarnya mengetahuinya bahkan ayahnya pun sudah mengetahuinya, namun mereka memahami keadaan Rosi dan menerimanya. Novera mengurungkan niatnya menjadi biarawati. Ia ditaksir oleh duda beranak satu yang menerima keaadaan Novera. Kisah keluarga ini ditutup dengan meninggalnya Nung Atasana. Dimsum terakhir yang mereka makan pada pagi Imlek, pagi yang sama dengan hari kematian Nung Atasana. Meski ada sedikit konflik pada acara pemakamannya karena tradisi Tionghoa yang rumit dan panjang, namun akhirnya dapat dilalui mereka dengan baik. Rosi didaulat membawa bendera, menegaskan bahwa posisinya kini adalah anak laki-laki Nung Atasana. Pada Imlek berikutnya, mereka berempat berkumpul untuk merayakannya bersama-sama. Indah sudah melahirkan, anaknya bernama Ariel. Rosi tidak canggung lagi menunjukkan eksistensinya sebagai transgender, ia membawa Dharma kekasihnya turut serta, begitu juga dengan Novera, ia juga membawa Rafy, calon suaminya turut serta. Bisa dikatakan novel ini berkhir dengan bahagia. Semua konflik bisa diatasi tokohnya dengan baik. 5. Sudut Pandang Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.45 Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya. 45
Nurgiantoro, Op. cit., h. 248.
74
Menurut A. Bakar Hamid dalam Rampan, mengatakan bahwa sudut pandangan adalah teknik mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan pengarang dapat menggunakan teknik ini untuk menentukan hal-hal yang dianggap sebagai sampingan saja.46 Dalam novel DT ini, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga yang berkuasa. Pengarang seolah Dewa yang tahu segalanya. Seperti yang dijelaskan Jacob Sumardjo dalam Rampan mengenai sudut pandang yang berkuasa. Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Dengan sudut pandang ini, pengarang seakan Tuhan atau Dewa, karena pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja pada tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran, sikap hidup, pandangan hidup tokohnya, dan sebagainya. Ia bisa bicara secara langsung kepada pembacanya.47 Fungsi sudut pandang orang ketiga berkuasa ini adalah untuk memudahkan pembaca memahami situasi, konflik, dan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel. Pengarang berhubungan langsung dengan pembaca melalui pengetahuannya. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Novera membuka matanya perlahan-lahan. Kepalanya yang sedari tadi sakit seakan dihantam palu kini sudah mendingan. Perasaan damai melingkupi hatinya. Setiap kali dia menatap salib itu, hatinya selalu menjadi lebih tenang.48 Dalam kutipan di atas, terlihat pengarang mengetahui segalanya. Pengarang mengetahui kondisi fisik, bahkan suasana hati Novera diketahuinya dengan baik. Pengarang mengetahui segalanya tentang Novera sampai pada perasaannya yang terdalam. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang lebih leluasa mengeksplorasi para tokoh beserta konfliknya masing-masing. Berkat keleluasaan ini, pengarang mampu menyuguhkan detail tokoh sampai detail konflik.
46
Rampan, Op. cit., h. 6. Ibid. h. 6. 48 Clara Ng, Op. cit., h. 69. 47
75
6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Seorang pengarang biasanya punya gaya atau ciri khasnya sendiri. Gaya bahasa yang digunakan pengarang cenderung merepresentasikan dirinya. Clara Ng yang memang keturunan Tionghoa dengan fasih menggunakan metaformetafor yang bercita rasa Tionghoa. Clara tidak banyak menyuarakan persoalan etnis Tionghoa dalam novel ini, beberapa memang dia menampilkan persoalan tersebut, namun hal tersebut tidak menjadi pokok penceritaan novel. Clara berusaha menyajikan kehidupan masyarakat keturunan Tionghoa dengan manusiawi dalam artian tidak nyinyir dengan nasib mereka sebagai ‖warga kelas dua‖ tapi menyajikan suatu bentuk kebudayaan yang begitu menarik untuk diteliti. Contoh metafor bercita rasa Tionghoa terlihat dalam kutipan berikut.
Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan menata beberapa kue di atas meja tersebut. Sudah pasti ada kue bulan dan bakpao. Kata ―persatuan‖ yaitu yuan diucapkan sama dengan kata untuk ―bulat‖. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina, bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah.49 Kutipan di atas menceritakan tentang sebuah tradisi perayaan masyarakat Tionghoa. Kutipan di atas juga menunjukkan sebuah kesederhanaan. Sederhana dalam arti Clara Ng menyampaikan gagasannya tentang makna sebuah tradisi berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri sebagai seorang warga keturunan Tionghoa. Ia tidak mengada-ada tentang sebuah pemaknaan tradisi. Selain dipenuhi oleh metafor-metafor yang berbau kebudayaan Tionghoa, Clara juga menampilkan gaya bahasa bombastis dalam novel ini, Clara Ng sebagai pengarang dari novel DT kerap menggunakan gaya bahasa hiperbol atau 49
Ibid., h. 171—172.
76
bombastis. Ia juga kerap menggunakan metafor-metafor perbandingan untuk melukiskan suasana novel. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Sekarang Rosi menyesal. Sangat. Menyesal tujuh turunan. Otaknya mau meledak. Pikirannya mampet. Hatinya ruwet. Feeling-nya seret. Dengan perasaan yang telah terkontaminasi lima jenis virus stress, Rosi menyalakan ponselnya. Jemarinya bergerak lincah mengirimkan pesan singkat.50 Kutipan di atas menunjukkan pola Clara Ng dalam menulis novelnya. Ia sering menggunakan gaya hiperbol atau berlebihan dalam mengungkapkan suasana dalam novel. Masih banyak kutipan serupa yang menunjukkan kecenderungan Clara Ng menggunakan gaya bahasa hiperbola. Selain itu gaya bahasa kiasan yang digunakan juga berkesan berlebihan seperti terlihat pada kutipan berikut.
Tiga minggu berlari mengamuk. Kesetanan. Novera seperti dihantam angin puyuh berkecepatan supertinggi. Berputar-putar seperti gasing. Terbanting-banting seperti baju di mesin cuci.51
Kutipan di atas menunjukkan gaya bahasa simile atau persamaan yang berlebihan. Jika manusia dihantam angin puyuh berkekuatan super tinggi sudah pasti manusia itu tidak akan selamat. Pengarang menggunakan gaya bahasanya yang cenderung hiperbol. Gaya semacam ini konsisten digunakan pengarang dari awal sampai berakhirnya novel.
B.
Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir
1.
Etnis Tionghoa Di Indonesia dalam Novel Dimsum Terakhir Nung Atasana adalah generasi pertama yang lahir di Nusantara, 50 51
Clara Ng. op. cit. h. 267. Ibid., h. 296.
77
Kakeknya tinggal di Cina. Penulis tidak menjelaskan secara detail asal-usul Nung Atasana. Pengarang menjelaskan secara singkat bahwa ayah Nung Atasana berasal dari Provinsi Fujian dan tujuan semula adalah Singapura, namun karena suatu hal kapal yang ditumpanginya berlabuh di Tanjung Priok. Etnis Tionghoa yang merantau ke Indonesia kebanyakan berusaha di bidang keuangan dan perdagangan. Profesi ini juga yang dijalankan oleh Nung Atasana, terlihat dalam teks berikut.
Dia hanya tahu berdagang. Berjualan elektronik di Glodok. Tokonya lumayan laris. Banyak pelanggan yang kembali datang kepadanya, sekadar menanyakan harga atau membeli untuk kebutuhan rumah tangga. ―Toko Sinar Berjaya‖ tumbuh menjadi lahan yang dapat menghidupi.52 Sejak semula kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia untuk berdagang seperti sebuah kutipan dalam buku karangan Hari Purwanto berikut ini. Wang Gungwu dalam Purwanto menilai, munculnya perkampungan orang Cina di Jawa pada masa itu cukup beralasan. Aktivitas perdagangan orang Cina pada Dinasti Song dengan armada lautnya telah berkembang pesat. Di kala itu orang-orang Cina telah menjadi bagian aktif dari jaringan perdagangan lokal di Nanyang.53
Pada era Soekarno, aktivitas perdagangan di kalangan etnis Tionghoa semakin terorganisasi dengan rapih dan hampir menguasai perdagangan di Indonesia. Kepiawaian etnis Tionghoa dalam berdagang ini memunculkan kecemburuan orang-orang pribumi sehingga memunculkan konflik di kalangan pribumi dan nonpribumi, ketegangan yang muncul memaksa pemerintah menerbitkan peraturan kontroversial. Pada November 1959, Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang Tionghoa) 52 53
h. 41.
Clara Ng, Op. Cit. h. 201. Hari Purwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang. (Depok. Komunitas Bambu, 2005),
78
untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman , yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960.54 Pada masa pemerintahan Orde Baru, posisi etnis Tionghoa makin terjepit. Ada begitu banyak peraturan pemerintah yang menyudutkan etnis ini. Contohnya adalah ditutupnya sekolah Tionghoa dan yang berbahasa Tionghoa. Anak-anak etnis Tionghoa diharuskan sekolah di sekolah umum. Kebanyakan dari mereka memilih sekolah Kristen untuk menuntut ilmu. Anak-anak Nung Atasana pun sekolah di yayasan Kristen yang dikepalai oleh seorang suster. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Esoknya, Nung dan Anas dipanggil untuk menghadap Suster Meredith, kepala sekolah. Siska dan Rosi diskors dua hari.55 Larangan berdirinya sekolah Tionghoa ini tertuang dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/UN/IN/6/1967
tentang Kebijakan Pokok
Penyelesaian Masalah Cina. Kebijakan ini mengatur pembatasan mengenai masalah pendidikan, kegiatan usaha, dan tenaga kerja.56 Selain larangan berdirinya sekolah Tionghoa, peraturan diskriminatif lainnya yang aplikasinya muncul dalam novel adalah pelarangan untuk merayakan Imlek. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Tapi dalam hati, terus terang, Nung Khawatir. Hari ini Imlek, Tahun Baru Cina. Hari raya besar dalam kebudayaan Cina. tidak ada bedanya dengan muslim yang merayakan lebaran. Pemerintah zaman itu telah mengancam setiap sekolah di seluruh Jakarta agar memberikan peringatan keras kepada para murid keturunan Cina yang mencoba-coba tidak masuk sekolah dengan alasan Imlek.57 Pada masa pemerintahan Soeharto, etnis Tionghoa dilarang melakukan 54
55
Prasetyadji, Op. cit., h. 29
Clara Ng, Op. cit., h. 237. Prasetyadji, Op. cit., h. 39. 57 Clara Ng, Op. cit., h. 218. 56
79
perayaan hari besar keagamaan dan kebudayaan mereka secara terbuka. Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Tindakan diskriminasi sudah menjadi makanan sehari-hari anak-anak Nung Atasana di sekolah. Mereka berempat yang memiliki wajah oriental, bermata sipit, dan berkulit cerah sering diejek oleh teman-temannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Tapi kalau dihitung-hitung, kelompok anak lelaki itu paling sering menghadang jalannya, menunjuk-nunjuk mata Novera sambil berteriakteriak seperti orang kesurupan. “Amoy” katanya. Ditambah dengan cekikikan kurang ajar.58 Kata amoy dalam bahasa Mandarin berarti gadis cantik. Akan tetapi, katakata yang sebenarnya pujian, jika diucapkan dengan nada melecehkan, akan terdengar menyakitkan. Terlebih yang mengatakan sebetulnya tidak paham dan hanya ikut-ikutan saja. Di Singkawang, amoy adalah sebutan bagi gadis-gadis keturunan Tionghoa yang dijual ke luar negeri. Lelaki Taiwan biasa mengambil amoy dari Singkawang. Harganya yang relatif murah, menyebabkan amoy Singkawang menjadi favorit lelaki Taiwan. Di Taiwan, amoy Singkawang dijadikan istri simpanan, pelacur, dan PRT. Meski ada juga yang dijadikan istri sah.59 Kerusuhan Mei 1998 juga muncul dalam novel, meskipun pengarang tidak banyak menyinggung peristiwa ini. Porsi yang tidak banyak dalam novel menegaskan bahwa penulis tidak ingin menumbuhkan kebencian terhadap peristiwa ini namun juga tidak ingin memungkiri bahwa peristiwa ini pernah terjadi dan menimpa etnis Tionghoa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Matanya kembali ke arah pesan di layar ponsel. Peristiwa Mei 1998 membekas dengan jelas di hati setiap orang, termasuk Indah. Pada hari itu, dia berada di daerah Karet, sedang melakukan wawancara kerja dengan perusahaan majalah remaja. Siapa yang menyangka hari itu berakhiri dengan begitu banyak darah tertumpah dan sakit hati yang tidak 58 59
Clara Ng., Op. cit., h. 243. Dokumentasi TVone.
80
dapat disembuhkan begitu saja? Papanya yang kehidupan sehari-harinya ditopang dari toko elektronik ―Sinar Berjaya‖ hilang secara misterius. Toko itu terletak di Glodok. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis seluruh isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa. Bangkrut mendadak. Dulu, penghasilan ―Sinar Berjaya‖ itu benar-benar Berjaya karena mampu menyekolahkan mereka berempat, menjadi sarjana.60 Kutipan di atas menunjukkan bahwa keluarga Nung Atasana tidak luput dari peristiwa kekerasan tersebut. Namun, penulis tidak memberikan porsi yang banyak. Novel ini tidak ingin mengeksploitasi kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa pada Mei 1998. Pengarang menyajikan ceritanya tanpa perasangka.
2. Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir Ada beragam kebudayaan Tionghoa yang ditampilkan penulis dalam novel DT ini. Kebudayaan tersebut berfungsi sebagai latar cerita sekaligus menjadi latar konflik. Beragam kebudayaan dan tradisi dalam novel DT akan dibahas sesuai dengan porsi dan kepentingannya dalam cerita. Oleh karena itu, tidak semua kebudayaan Tionghoa yang muncul dalam novel ini dibahas. Akan tetapi, dipilahpilah terlebih dahulu oleh peneliti sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dari hasil seleksi tersebut, muncullah beberapa kebudayaan yang memiliki posisi penting dalam struktur cerita novel. Kebudayaan-kebudayaan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Imlek Perayaan Imlek atau Chun Jiie adalah pesta para petani menyambut kedatangan musim semi. Hal ini sudah berlangsung ribuan tahun di kalangan masyarakat Tionghoa di daratan China. Ini berlanjut di negeri rantau tempat mereka beranak cucu. Meski tak mengenal musim salju dan musim semi, masyarakat Tionghoa di Indonesia tetap menjalin silaturahmi dengan menjalankan 60
Clara Ng, Op. Cit. h. 264—265.
81
tradisi Imlek. Pada momen Imlek, keluarga berkumpul untuk mengucapkan syukur. Imlek bertalian dengan perayaan tahun baru menurut penanggalan lunar. (lunar year). Hari raya ini biasanya jatuh pada bulan kedua masehi yaitu pada Februari.61
Hari Raya Tahun Baru Imlek Yuan Dan (Yuantan) atau Xin Nian (Hsin Nien). Menurut Dorothy Perkins dalam Danandjaja, Tio Tek H dalam Danandjaja, James Danandja, juga disebut Festival Musim Semi (Chung Jie atau Ch’ung Chieh); adalah pesta rakyat yang paling utama dalam almanak Tionghoa, baik di Tiongkok maupun di Negara-negara lain yang berpenduduk keturunan Tionghoa, seperti di Indonesia.62 Hari Raya Tahun Baru Imlek dirayakan pada akhir bulan Januari, atau permulaan Februari, sesuai dengan kalender lunar Imlek. Hari Raya ini dimulai pada tanggal 1 Imlek dan selesai pada tanggal 15 Imlek. Hari raya ini memulai siklus baru dari tahun baru Imlek. Jadi, orang Tionghoa di daratan Tiongkok menyambut kedatangan musim semi. Orang-orang yang tinggal di tempat yang jauh dari rumah leluhurnya, akan pulang untuk merayakan pesta ini bersama orang tuanya. Beberapa minggu sebelum hari raya, orang akan mengirim kartu ucapan selamat kepada kerabat dan handai taulannya, menghormati orang tuanya, dan kerabat-kerabat yang lebih tua. Tiap keluarga akan membersihkan rumahnya karena mereka meyakini bahwa satu minggu menjelang Hari Raya Imlek, Dewa Dapur (Caozhung atau Ts’ao Chung, yang berarti Pangeran Dapur) akan berangkat ke langit untuk melaporkan semua peristiwa di dunia yang telah terjadi di tahun yang baru lewat.63 Hari Raya Imlek dirayakan oleh masyarakat Tionghoa tanpa membedakan agama dan kepercayaan. Hal ini terjadi karena Imlek mempunyai makna pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan pada tahun yang telah lewat, dan permohonan berkat dan pertolongan Tuhan pada tahun yang akan datang. Untuk
61
Tedy Yusuf, Sekilas Budaya Tionghoa. (Jakarta. Buana Ilmu. 2000). 102
62
James Danandjaja, Folklor Tionghoa, (Jakarta. Grafiti. 2010) h. 365—366. Ibid., h. 366.
63
82
itu, perayaan Imlek dapat disamakan dengan hari raya Thanks Giving Day di Amerika serikat.64 Menariknya, walaupun di Indonesia hanya ada dua musim, musim panas dan musim hujan, tetapi mereka juga merayakan seolah-olah menyambut musim semi, yang sebenarnya di Indonesia sedang musim hujan. Pada sekitaran perayaan Imlek, buah-buahan seperti rambutan dan duku dapat kita nikmati karena sedang musimnya. Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kepercayaan berbagai agama, seperti Kristen, Islam, Hindu dan Buddha. Namun, hal ini tidak menghalangi mereka menghayati makna Imlek sebagai ajang reuni keluarga. Begitu pula bagi keluarga peranakan yang telah beberapa generasi beranak pinak di Indonesia. Di Jakarta, dahulu perayaan Imlek diselenggarakan secara meriah tidak hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa saja, namun warga Betawi, Sunda, Bugis, Makassar, Arab, dan Indo yang ada di Jakarta juga turut merayakannya. Bentuk folklor ini nyaris punah selama puluhan tahun selama pemerintahan Orde Baru yang anti-Cina itu. Akan tetapi, sejak orde reformasi perayaan ini bangkit kembali karena diperbolehkan untuk dirayakan kembali oleh Presiden Megawati. Masyarakat yang merayakan Imlek bukan hanya dari kalangan masyarakat Tionghoa saja, masyarakat Betawi pun merayakan Imlek walaupun tdak mengadopsi keseluruhan tata cara perayaannya.65
Tradisi yang sangat kental
pada saat Imlek adalah baju baru dan pembagian angpau. Para orang tua akan membagikan angpau kepada anak-anaknya yang belum berumah tangga dan kepada sanak family lainnya yang juga masih membujang. Tradisi seperti ini mirip dengan tradisi pada saat Lebaran. Selama lima belas hari sampai Hari Raya cap go me, para keturunan Tionghoa mengenakan baju baru, pada masa lampau umumnya mereka mengenakan baju shanghai berwarna merah. Makanan khas perayaan Imlek adalah kue bulan atau kue keranjang, masyarakat Betawi menyebutnya kue cina. Kue ini disusun bertingkat-tingkat dari 64
Ibid., h. 366—367. Hingga saat ini di keluarga peneliti pun yang beretnis Betawi masih merayakan Imlek dengan tradisi membeli bandeng pasar malam yang berukuran besar dan memberikannya kepada sanak keluarga pada saat Imlek. 65
83
yang paling besar sampai mengerucut ke ukuran terkecil. Kue ini wajib ada saat perayaan Imlek sebagai persembahan ketika sembahyang. Penganan lain yang sering muncul pada saat Imlek adalah manisan buah atep atau kolang kaling66. Makanan lain seperti daging babi, kimlo, asinan, dan bakmi biasanya selalu tersaji di meja makan ketika Imlek. Sesungguhnya, keluarga adalah magnet perayaan Imlek. Pada saat Imlek tiba, seluruh keluraga berkumpul. Keluarga yang tinggal jauh di negeri orang pun akan pulang untuk merayakan Imlek bersama. Filsuf besar Cina, Konfusius (Kong Zi), menegaskan, dari keluarga yang kuat akan lahir masyarakat yang kuat. Dari situ terbentuklah bangsa yang kuat. Itulah inti kehidupan berbangsa, membangun keluarga guyub dan harmonis.67 Imlek sebagai ajang reuni keluarga juga terlihat pada keluarga Nung Atasana, anak-anak Nung yang tinggal di berbagai kota sampai mancanegara akan berkumpul bersama pada saat Imlek tiba. Siska yang tinggal di Singapura dan sering berpergian ke luar negeri untuk urusan bisnis, akan pulang saat Imlek. Rosi meninggalkan bayi-bayi mawarnya di Puncak. Novera mengambil cuti mengajar, dari Jogja ia akan terbang ke Jakarta. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Mereka berkumpul kembali tepat tiga hari sebelum Imlek pada tahun berikutnya. Semua tampak berbeda pada saat itu. Nung tidak bersama-sama mereka lagi. Siska tampak lebih kurus. Novera berkacamata. Kulit Roni semakin gelap.68 Setiap keluarga punya tradisi Imleknya masing-masing, demikian juga dengan keluarga Nung Atasana. Setiap pagi Imlek, sebelum berangkat beraktivitas, mereka sekeluarga memasak dimsum untuk dimakan bersama-sama. Keluarga sederhana ini akan bangun pagi-pagi dan menyiapkan besek, adonan untuk bahan-bahan membuat dimsum. Mereka bergotong-royong bersama.
66
Pada saat lebaran, etnis Betawi di lingkungan keluarga peneliti pun selalu ada kue cina dan manisan kolang-kaling. 67 Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara (Jakarta. PT Kompas Media Nusantara, 2012), h. 141. 68 Clara Ng, Op. cit., h. 355.
84
Suasana hangat dan ceria pada Hari Raya Imlek yang penuh suka cita. Semua bergembira menyambut Imlek. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Indah melirik ke dapur yang berantakan dan kacau-balau. Tumpukan besek dimsum di mana-mana memenuhi ruang dapur yang hanya sepetak kecil. Mereka berlima; Mama, Siska, Rosi, Novera, dan Indah sedang membuat dimsum yang akan disantap bersama-sama sebelum berangkat ke sekolah. Aroma masakan terasa sangat sedap, meyergap hidung. Indah sangat menyukai aroma itu. Jam dinding menunjukan waktu lima lewat sepuluh. Dua puluh menit lagi mereka akan merayakan tahun baru Cina dengan makan pagi bersama-sama. Menyantap dimsum. Tradisi yang sangat aneh, tapi bagi keluarga Nung Atasana, tradisi itu Nampak normal-normal saja. Makan dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam kerena setelahnya mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.69 Keluarga Nung Atasana harus merayakan Imlek pada pagi hari karena pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada libur pada saat Imlek, tidak hanya itu saja segala aktivitas perayaan secara terbuka tidak diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut, ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Imlek menjadi sumber konflik dalam struktur novel, bukan menjadi latar suasana saja. Kebudayaan ini beberapa kali disebutkan dalam novel. Dalam beragam kesempatan, Imlek selalu dirayakan oleh keluarga Nung Atasana. Tradisi unik Imlek yang mereka jalani adalah memakan dimsum pada pagi hari sebelum mereka melakukan aktivitas. Hal ini terjadi karena tidak ada libur Imlek untuk mereka. Wujud kebudayaa Imlek ini adalah sebagai berikut. 1) Tataran ide, Imlek dirayakan tiap awal musim semi sebagai perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
69
Ibid., h. 59—60.
85
2) Tataran aktivitas, Imlek adalah hari raya utama masyarakat Tionghoa di seluruh dunia tanpa memandang agama. Pada hari raya ini, semua anggota keluarga berkumpul dan merayakannya bersama-sama.
b. Cap go Setiap tanggal lima belas dalam penanggalan lunar disebut cap go. Cap go yang paling meriah dilaksanakan tiap tahunnya adalah tiap tanggal lima belas Imlek, disebut cap go me. Perayaan Imlek dan cap go me merupakan suatu kesatuan, yakni untuk merayakan Tahun baru Imlek selama lima belas hari dan ditutup dengan pesta rakyat cap go me, yang kebetulan jatuh pada malam bulan purnama (cap go = lima belas). Tradisi kunjung berkunjung pada saat Imlek berlangsung sampai tanggal lima belas. Pada malam harinya, diadakan pesta cap go me (yuan xiao jie).70 Puncak perayaan Tahun Baru Imlek adalah pesta rakyat cap go me. Cap go me juga sebagai perayaan penutup dari tahun baru Imlek. Tempo dulu perayaan cap go me diadakan secara besar-besaran. Pada pesta rakyat ini, semua jenis pertunjukkan rakyat Betawi ditampilkan. Seni pertunjukkan tersebut antara lain berupa Wayang Cokek yang diiringi gambang kromong. Seperti halnya perayaan Imlek, perayaan cap go me secara terbuka pun dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Setelah ditumbangkannya Orde Baru dan berdirinya Orde Reformasi, Perayaan Hari Raya Imlek dan cap go me diizinkan lagi diadakan, seperti membuka pasar malam dan kirab dari lapangan depan Museum Fatahilah. James Danandjaja dipilih untuk menyampaikan pidato sambutan dengan memukul ceng-ceng (cymbal) sebagai tanda dimulainya kirab cap go me, pada tahun 2000 setelah selama 30 tahun perayaan ini mengalami mati suri. Pada waktu itu, lapangan depan Museum Fatahilah dipenuhi ratusan orang, bukan saja orang betawi dari keturunan Tionghoa, tetapi juga orang Betawi dari keturunan suku bangsa lainnya.71
70
Yusuf, op.cit.h. 6.
71
Ibid., h. 378.
86
Tradisi cap go ini masih dipegang oleh anak-anak Nung Atasana. Pada hari cap go atau tiap tanggal 15 penanggalan lunar Novera masih menjalankan tradisi cap go di keluarga Nung Atasana dengan tidak memasak daging dan memakan daging. Dewasa ini, kebiasaan tersebut sudah mulai luntur, tapi anakanak Nung masih mempertahakannya, terlihat pada teks berikut. ―Sekarang cap go ya?‖ Novera hanya menggumam,membenarkan. Indah berjalan menuju dinding dan merobek satu lembar kertas kalender. Kalender harian Cina. Penanggalan lunar. Di sana tertera tanggal lima belas. ―SAYUR LAGI? OH MY GOD! TIDAAAK!‖ Tanpa menoleh pun Novera tahu siapa yang menjerit histeris persis di belakang telinganya. Indah menoleh kepada pemilik suara. Irama suaranya tenang. ―Sekarang cap go, Ros. Enggak boleh makan daging kalo cap go, udah lupa?72 Dalam teks tersebut, terjadi pertentangan antara Novera, Indah, dan Rosi. Novera masih kukuh memegang tradisi keluarga dengan masih menjalankan tradisi cap go di keluarga mereka yang tidak makan daging sedangkan Rosi merasa keberatan dengan tradisi ini. Rosi merasa tradisi ini sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dipertahankan lagi. Rosi memang memiliki sifat tomboi dan cuek berbeda dengan Novera yang lembut, namun juga keras kepala. Penolakan Rosi dan keteguhan Novera terlihat dalam teks berikut. ―Zaman sekarang mana ada yang nge-cap go-ce-it. Mana ada selera,‖ kata Rosi dengan muka masam.73 … Bukan itu saja, kata Rosi, makan sayur seharian membuatnya rentan dengan mood jelek, napas bau, dan keringat kecut. Tapi Novera dengan keras kepalanya sukses memutuskan untuk melanjutkan tradisi keluarga. Menurutnya tradisi adalah tradisi. 74 Cap go dalam cerita menjadi sumber konflik, seperti terlihat pada kutipan di atas. Kutipan tersebut menunjukkan adanya perdebatan antara Novera dan Rosi. 72
Clara Ng, Op. cit., h. 154–155. Ibid., h. 156. 74 Ibid., h. 157. 73
87
Selain itu, kutipan lain yang menunjukkan cap go sebagai konflik dalam struktur novel dapat dilihat pada teks berikut ini. Kebiasaan Anas setiap bulan penanggalan lunar pada tanggal 1 (yang disebut ce it) dan tanggal 15 (yang disebut cap go) adalah tanggaltanggal istimewa ketika mereka sekeluarga tidak menyantap daging melainkan sayur-sayuran saja. Kebiasaan itu berhasil dipertahankan oleh Novera tapi tidak oleh ketiga kembarannya yang lain. Menurut mereka, tradisi itu tradisi zaman batu.75 Wujud kebudayaan cap go ini adalah sebagai berikut. 1) Tataran ide, puasa makan daging tiap cap go dan ce it mengandung filosofi: setiap mahluk berhak hidup bahagia. Begitu juga dengan hewan, mereka pun berhak hidup dengan bahagia di dunia ini. Memakan daging sama artinya dengan merampas hak hidup bahagia para hewan. Untuk itu, terciptalah larangan makan daging tiap cap go dan ce it. Setiap mahluk di bumi ini harus saling menghormati. 2) Tataran aktivitas. Para penganut Tri Dharma dianjurkan untuk puasa daging tiap cap go dan ce it. Sebagian dari mereka masih memegang teguh tradisi ini. Bahkan tidak hanya penganut Tri Dharma saja yang menjalankan tradisi tidak makan daging ini, etnis Tionghoa yang bukan penganut Tri Dharma pun beberapa ada yang tetap menjalankan tradisi ini.
c. Feng Shui Feng shui adalah seni memanfaatkan air dan angin. Feng shui juga mengemukakan tentang menangkap napas kosmis naga yang vital atau Ch’i, yaitu tenaga yang beredar dan bergerak di dalam lingkungan. Di dalam rumah dan di luar rumah, di tanah, di air, di pegunungan.76 Dorothy Perkins dalam Danandjaja berpendapat, arti harfiah dari feng shui adalah ―angin dan air‖; suatu sistem ramalan mengenai letak tempat di 75
76
Ibid., h. 155–157.
Lilian Too, Penerapan Feng Shui, Pa Kua, dan Lo Shu.(Jakarta. Elexmedia Computindo.2002.
88
lingkungannya (geomancy) berasal dari Tiongkok dari masa sekitar abad ke-10 SM. Feng shui sampai kini masih umum dipraktikkan oleh orang Tionghoa untuk mendatangkan keberuntungan serta mengusir pengaruh buruk, dengan cara menempatkan letak makam, bangunan-bangunan, dan perabot rumah tangga dalam posisi yang sesuai (harmoni) dengan dunia alamiah dan dunia spiritual.77 Para pakar feng shui mengembangkan prinsip-prinsip dengan mengkaji gerak planet-planet dan bintang-bintang, serta hubungannya dengan bumi, magnetik bumi, serta letak topografi dan keseimbangan dari elemen-elemen yin dan yang. Gerak mengalir dari alam semesta dilambangkan dengan delapan trigram (pa kua), dan prinsip yin dan yang membentuk teks dasar klasik dari buku tentang perubahan (Yijing atau I Ching).78 Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Tionghoa selalu menggunakan feng shui. Membuat rumah pakai feng shui. Melaksanakan kegiatan apa pun harus disesuaikan dengan feng shui, dihitung atau ditimbang baik buruknya. Jika ada keluarga yang ditimpa musibah, selalu dikaitkan dengan feng shui. Anak-anak Nung Atasana masih memegang teguh soal feng shui terlihat dalam teks berikut. ―Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak keturunan Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya, aku harus membuat papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku yang diajarkan mamaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan papaku. Feng shui jelek, karma buruk.‖79 Nung
Atasana
sebelum
memiliki
anak
juga
memperaktikkan
kepercayaannya terhadap feng shui. Dengan menuruti feng shui, ia yakin akan ada perubahan dalam hidupnya. Nung sangat menginginkan seorang anak, ia berusaha keras untuk itu. Ia menuruti nasihat feng shui yang mengatakan bahwa dengan menggantung gambar anak-anak ia akan mendapat energi positif yang akan membuatnya memiliki keturunan. Feng shui melekat erat dalam nadi kehidupan orang-orang Tionghoa. Hal ini terlihat pada teks berikut.
77
Danandjaja, Op. Cit h. 472. Ibid. h. 472. 79 Clara Ng, Op. cit., h. 193. 78
89
Menurut feng shui, dia harus menggantung gambar anak-anak di rumahnya, agar energi positif mengalir di sana. Setelah mencari kesana kemari, Nung berhasil menemukan gambar seratus anak-anak Cina yang sedang bermain. Dengan bangga dipajangnya gambar itu di ruang makan.80 Dalam teks tersebut, terlihat Nung yang menggantung gambar anak-anak di dinding rumahnya. Hal tersebut ia lakukan karena ingin memiliki keturunan. Kegiatan menggantung gambar anak-anak di dinding rumah dilakukan berdasarkan feng shui. Agar ia mendapatkan keturunan, ia menuruti anjuran feng shui tersebut. Fungsi feng shui dalam struktur novel adalah sebagai latar. Etnis Tionghoa sangat memercayai budaya feng shui ini. Mereka menerapkan feng shui dalam setiap sendi kehidupan. Novel ini pun turut memasukkan kebudayaan ini, seperti yang sudah dijelaskan pada uraian di atas. Wujud kebudayaan feng shui ini adalah sebagai berikut. 1) Tataran ide, feng shui merupakan ilmu yang menerapkan keseimbangan antara yin dan yang. Hidup haruslah seimbang dan sejlan dengan alam, untuk itulah ilmu feng shui diciptakan. 2) Tataran aktivitas, etnis Tionghoa sangat memercayai feng shui. Ilmu ini utamanya digunakan dalam membuat bangunan, seperti rumah, tempat usaha, dan kantor. Letak bangunan yang tidak sesuai dengan feng shui diyakini dapat menimbulkan ketidakberuntungan dan kesialan bagi pemilik atau penghuninya. 3) Tataran artefak, ilmu feng shui ini telah dipelajari secara ilmiah dan yang menerapkannya tidak hanya orang-orang Tionghoa saja, melainkan orangorang di luar etnis ini pun menggunakan ilmu feng shui ketika membuat sebuah bangunan.
d. Penanggalan Penanggalan atau kalender Tionghoa menurut Dorothy Perkins dalam Danandjaja adalah pembagian tahun ke dalam periode-periode waktu tertentu, 80
Ibid., h. 201.
90
yaitu bagi orang Tionghoa sangat penting karena dapat mengatur siklus pertanian mereka.81 Penanggalan juga penting karena orang Tionghoa meyakini bahwa kaisar yang sedang berkuasa memegang kekuasaannya melalui mandat Langit, dan
melegitimasikan
pemerintahannya.
Apabila
sang kaisar
tak
dapat
mempertahankan keselarasan antara langit dan bumi, maka beliau akan kehilangan mandat tersebut. Oleh karena itu, pakar-pakar perbintangan kaisar melambangkan pemerintahan kaisar sebagai dukungan Langit (Tuhan).82 Penanggalan telah dikembangkan pada masa Dinasti Shang, dinasti pertama yang dibuktikan oleh para arkeolog dengan peninggalan artefak-artefak. Pengembangan penanggalan pada masa itu disusun setiap tahun oleh suatu dewan yang terdiri dari para ahli matematika, di bawah pimpinan seorang menteri khusus dari pemerintahan kekaisaran.83 Dewan tersebut menyusun penanggalan lunar berdasarkan siklus peredaran bulan yang terdiri dari 29 sampai 30 hari, lebih pendek jika dibanding dengan kalender solar Gregorian yang dipergunakan di barat. Penanggalan lunar Tionghoa harus dimulai pada hari terbitnya rembulan muda, pada setiap hari pertama dari tahun baru Imlek. Ahli-ahli perbintangan harus menyesuaikan tahun lunar yang terdiri dari 12 bulan dan mempunyai 354 hari dengan tahun solar yang mempunyai 365¼ hari.84 Almanak pertanian (Tong Shu atau T’ung Shu) yang berusia 4000 tahun, masih tetap diterbitkan setiap tahun sampai hari ini karena masih dipergunakan sebagai panduan oleh orang-orang Tionghoa di seluruh dunia ketika hendak melakukan upacara-upacara yang berhubungan dengan daur hidup atau bisnis serta perjanjian-perjanjian. Karena untuk hal-hal semacam itu, orang Tionghoa masih percaya astrologi. Almanak tersebut mengandung banyak keterangan dan topik mengenai hari baik, ramalan cuaca, horoskop, dan feng shui. Nung Atasana dan anak-anaknya juga menggunakan penanggalan Tionghoa ini. Mereka menggantungnya di dalam rumah. Mengikuti tradisi-tradisi 81
Danandjaja, Op. cit., h. 475. Ibid. 83 Ibid. 84 Ibid., h. 476. 82
91
yang berdasarkan penanggalan Tionghoa tersebut, misalnya keluarga ini setiap tanggal 1 penanggalan lunar (ce it) dan tanggal 15 (cap go) tidak makan daging. Seharian mereka hanya memakan sayuran. Tradisi semacam ini dilakukan berdasarkan penanggalan Cina, seperti terlihat pada teks. ―Sekarang cap go ya?‖ Novera hanya menggumam,membenarkan. Indah berjalan menuju dinding dan merobek satu lembar kertas kalender. Kalender harian Cina. Penanggalan lunar. Di sana tertera tanggal lima belas.85
Dalam teks tersebut, terlihat Indah merobek sebuah kalender. Kalender ini bukan kalender biasa atau kalender masehi yang berdasarkan peredaran matahari. Namun, kalender ini adalah kalender harian Cina, penanggalan lunar, atau berdasarkan peredaran bulan. Dalam kalender harian Cina, terdapat hari-hari istimewa, seperti Imlek dan cap go. Masyarakat Tionghoa mengikuti beragam ritual keagamaan atau tradisi kebudayaan berdasarkan penanggalan lunar ini. Dalam novel, penanggalan lunar ini menjadi latar suasana dan sebagai sumber konflik. Novera dan Rosi meributkan hari cap go, hari yang didasari pada penaggalan lunar. Mereka berdua meributkan tradisi tidak makan daging setiap cap g. Novera masih memegang tradisi ini, sedangkan Rosi tidak bahkan cenderung kesal dengan Novera yang masih saja memegang tradisi tidak makan daging pada hari cap go. Wujud kebudayaannya adalah sebagai berikut. 1) Tataran ide, orang Tionghoa meyakini bahwa kaisar yang sedang berkuasa memegang kekuasaannya melalui mandat Langit, dan melegitimasikan pemerintahannya. Selain itu, penanggalan lunar sangat penting bagi orang Tionghoa untuk menentukan hari raya dan hari baik dalam daur hidup mereka. 2) Tataran artefak adalah bentuk kalender lunar yang sampai sekarang masih dipergunakan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia.
85
Clara Ng, Op. cit., h. 154—155.
92
e. Pengobatan Tradisional Pengobatan tradisional Tiongkok sangat terkenal, bahkan hingga ke seluruh dunia. Para ahli kesehatan barat sejak lama meneliti pengobatan Tiongkok ini. Di Indonesia sendiri pengobatan tradisional Tiongkok tidak hanya monopoli masyarakat Tionghoa, namun warga pribumi pun banyak yang mempercayakan kesembuhannya kepada para shinsey atau para tabib Tionghoa. Selain itu bahan yang digunakan adalah bahan alami, cenderung tidak memiliki efek samping hingga aman digunakan. Masyarakat Tionghoa memercayai pengobatan tradisionalnya seperti sebuah tradisi. Mereka jarang berobat ke dokter umum kalau tidak mendesak. Sekalipun harus diobati secara medis di dokter umum, biasanya mereka tetap menggunakan obat-obat Tiongkok ini sebagai pendamping. Tradisi pengobatan Tiongkok memiliki sejarah lebih dari 2000 tahun. Menurut Doroty Perkins dalam Danandjaja, penggunaan tanaman herbal untuk menghasilkan obat-obatan adalah satu-satunya metode tradisional besar yang dipergunakan oleh tabib Tao untuk menyembuhkan penyakit, bersama-sama dengan teknik-teknik pengobatan seperti tusuk jarum (acupuncture).86 Pandangan tradisional Taoisme tentang kesehatan didasarkan pada ketiadaan keseimbangan antara tubuh manusia dengan alam, dan antara komponen-komponen di dalam tubuh sendiri. Pandangan ini berdasarkan pada ajaran Toisme, yang menganggap bahwa semua dalam dunia ini terdiri dari aspekaspek universal perempuan (yin) dan laki-laki (yang). Apabila aspek-aspek tersebut tidak seimbang, maka akan timbul suatu penyakit. Tradisi pengobatan Tiongkok ini juga dipercayai oleh keluarga Nung Atasana. Kebiasaan ini juga diturunkan kepada anak-anaknya. Meskipun keluarga mereka mempunyai dokter pribadi, mereka tetap menggunakan obat-obatan Tiongkok untuk mengobati berbagai penyakit. Ketika Nung sakit, anak Nung terpikir untuk membeli obat-obatan Tiongkok.
86
Danandjaja, Op. Cit., h. 360.
93
Pada saat ini, yang menjadi pikiran Rosi adalah mendapatkan obat untuk ayahnya. Mengapa tidak ada orang yang berpikiran seperti ini sebelumnya? Obat Cina, betul juga. Mengapa tidak? Bertahun-tahun mereka hidup dengan obat Cina. Sakit tenggorokan. Keseleo. Sakit perut karena keracunan. Diare. Sakit kepala. Pokoknya, Anas jarang mengajak anak-anaknya mengunjungi dokter Marcel kalau tidak kepepet. Jika dapat disembuhkan dengan obat Cina, pasti Anas akan melakukannya.87 Kutipan di atas menjelaskan kebiasaan keluarga Nung Atasana menggunakan obat-obatan Tiongkok yang disebut obat Cina. Keluarga ini lebih mengutamakan menggunakan obat-obatan Tiongkok ketimbang harus ke dokter. Tradisi pengobatan ini juga termasuk dalam keanekaragaman kebudayaan Tionghoa. Obat-obatan Cina dalam novel ini digunakan oleh tokoh-tokohnya untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Fungsinya dalam struktur novel sebagai latar yang menguatkan tema Tionghoa dalam novel ini. Obat-obatan Tiongkok adalah wujud kebudayaan dalam tataran artefak. Sejak dahulu masyarakat Tionghoa memercayai kesembuhan mereka pada obatobatan tradisional. Dalam tataran ide, gagasan untuk mencari pengobatan terhadap penyakit merupakan sebuah landasan pikir adanya kebudayaan ini. Dalam tataran aktivitas,
kebiasaan
masyarakat
Tionghoa
menggunakan
obat-obatan
tradisionalnya. Meskipun mereka sedang menjalani pengobatan secara medis di dokter umum, obat-obatan tradisional tetap digunakan sebagai pendamping. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. ―Aku enggak punya usul apa-apa. Mending kita coba ke Petak Sembilan atau Glodok, cari toko obat. Biasanya mereka punya banyak obat-obatan Cina yang manjur dan cocok dengan obat-obatan Eropa.‖88 Kutipan di atas memperlihatkan bahwa obat-obatan tradisional sangat dipercayai oleh masyarakat Tionghoa, bahkan dipercaya mampu berdampingan dengan obat-obatan modern dari Eropa.
87 88
Clara Ng, Op. cit., h. 163. Clara Ng, Op. cit., h.164.
94
f. Makanan khas Tiongkok Negeri Tiongkok kaya akan keanekaragaman kulinernya. Aneka Kuliner ini pun merambah ke berbagai negeri di seluruh penjuru dunia. Aneka kuliner lezat ini dengan mudah bisa kita temukan di warung-warung pinggir jalan, kioskios pedagang di pasar sampai ke super market terkemuka di Indonesia. Ada beberapa Kuliner khas Tiongkok yang disebutkan dalam novel DT ini, antara lain dimsum, kue bulan atau kue keranjang, bacang, cakue, pioh,89 swike,90 bakpao, dan daging babi. Makanan yang disebut terakhir tidak hanya populer di kalangan masyarakat Tionghoa, namun daging yang haram bagi umat muslim ini sangat kental dengan tradisi kuliner Tionghoa. Daging babi dimasak dalam berbagai jenis olahan, seperti semur babi, babi panggang, atau menjadi isian kue bacang. Makanan-makanan tersebut beberapa hanya sekali disebutkan. Peneliti memilih tiga makanan yang sering muncul dalam novel, yaitu dimsum, daging babi dan kue bulan. 1. Dimsum Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa dimsum adalah jamuan kecil informal yang dalam bahasa mandarinnya disebut dianxin atau tienhsin ―menyenangkan hati‖. Istilah dimsum berasal dari dialek Guangzou (Cantonese/ kongfu) yang berarti pesta makan kecil. terdiri dari berbagai makanan sedap, seperti bakpau, lumpia, babi panggang, bakmi, kue onde yang ditaburi wijen, dan lain-lain.91 Orang Tionghoa gemar makan dimsum, yang dalam dialek Hakka disebut yam cah.92 Kebiasan makan dimsum ini juga dilakukan oleh keluarga Nung Atasana. Uniknya keluarga ini merayakan Imlek dengan memakan dimsum pagi hari sebelum mereka beraktivitas. Kebiasaan makan dimsum pada pagi Imlek bukan tanpa sebab, ide ini muncul ketika mereka ingin merayakan Imlek, namun pemerintah melarang Imlek dirayakan secara terbuka dan tidak ada libur pada Hari Raya Imlek. Bahkan pemerintah menginstruksikan kepada sekolah untuk 89
Pioh (daging kura-kura) Swike (daging katak) 91 Danandjaja, Op. Cit. h. 444—456. 92 Ibid., h. 445. 90
95
menegur dengan keras siswa etnis Tionghoa yang tidak bersekolah pada Imlek. Jadilah tradisi dimsum pada keluarga Nung Atasana menjadi sebuah tradisi yang selalu dijalankan ketika Imlek.
Jam dinding menunjukan waktu lima lewat sepuluh. Dua puluh menit lagi mereka akan merayakan tahun baru Cina dengan makan pagi bersama-sama. Menyantap dimsum. Tradisi yang sangat aneh, tapi bagi keluarga Nung Atasana, tradisi itu Nampak normal-normal saja. Makan dimsum pada pagi Imlek dirayakan selama satu jam kerena setelahnya mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.93 Dimsum ini pun dipilih pengarang sebagai judul novel. Pemilihan dimsum untuk judul merupakan sebuah simbol. Simbol tradisi kehangatan dan kebersamaan sebuah keluarga. Pemaknaan dimsum sebagai jamuan makan kecil menunjukkan keintiman antar kerabat. Tidak hanya itu, tradisi dimsum ini pun sebagai sebuah simbol keteguhan dalam keterbatasan. Maksudnya, keluarga yang berusaha menjalankan tradisi mereka walaupun dibatasi oleh pemerintah. Mereka mencari jalan keluar agar tetap bisa merayakan Imlek dengan keluarga mereka. 2. Daging babi Dorothy Perkins dalam Danandjaja, mengatakan bahwa salah satu binatang ternak yang paling penting dalam diet dan kebudayaan orang Tionghoa adalah babi, yang dalam bahasa Tionghoa disebut zhu atau chu.94 Huruf Tionghoa untuk keluarga adalah huruf babi di bawah atap rumah. Banyak tulang-tulang babi ditemukan di situs-situs penggalian arkeologi dari kebuadayaan neolitik Yangshao (5000-3000 SM) dan Longshan (3000-220 SM), dan di semua situs yang didata dari dinasti-dinasti Shang dan Zhou. Daging babi disajikan dalam kurban keagamaan sejak zaman purbakala.95 Orang Tionghoa menyajikan daging babi dalam berbagai jenis olahan. Potongan-potongan kecil daging babi ditumis dengan saus asam manis. Gilingan daging babi dimasak menjadi beberapa masakan, antara lain sebagai isian bakpao 93
Ibid., h. 59—60. Danandjaja., Op. cit., h. 433. 95 Ibid., h. 434. 94
96
dan somay atau dijadikan seperangkat makanan dimsum yang dinikmati sepanjang tahun. Daging babi akan menjadi hidangan khusus pada pesta tahun baru Imlek. Daging babi akan dipanggang setelah dibumbui esens merah. Olahan babi ini disebut babi panggang merah manis (ca siu). Babi panggang atau babi guling merupakan hidangan khusus yang disajikan pada pesta pernikahan tradisional masyarakat Tionghoa. Olahan daging babi lainnya adalah babi masak hong, babi kecap, sosis babi, bakso babi, dan sebagainya. Di dalam novel DT daging babi menjadi makanan yang lumrah disajikan oleh keluarga Nung Atasana. Sehari-hari mereka memakan daging ini dengan diolah menjadi babi kecap atau lain waktu sebagai isian bacang. Terlihat dalam kutipan berikut. ―Kekurangan gizi apanya?‖ Suara Novera masih rendah, masih super lembut. Tangannya memasukan potongan-potongan wortel wortel ke dalam panci mendidih dengan tekun. ―Kemarin makan daging. Ingat babi kecap? Kamu yang menghabiskan sisanya, setengah panci besar itu.‖96 ―He-eh daging babi. Kalau bacang Nyokap, ada telur asin di dalamnya. Nasinya terbuat dari ketan. Rasanya enak sekali.‖97 Berdasarkan kutipan di atas, terlihat daging babi yang diolah dengan kecap dan menjadi isian bacang. Terlihat juga dalam keluarga mereka yang paling menggemari olahan babi adalah Rosi. Disebutkan Rosi sangat rakus menghabiskan setengah panci besar. Nafsu makan Rosi yang besar dan porsi makannya pun besar layaknya pria karena Rosi memang berbeda dari perempuan biasa. Ia seorang transgender yang secara psikologis memiliki sifat-sifat yang cenderung lebih maskulin. 3. Kue bulan Kue bulan (mooncake) atau biasa disebut juga kue keranjang98, merupakan kue tradisional masyarakat Tionghoa yang wajib disajikan ketika Imlek. Kue ini terbuat dari tepung ketan dan gula pasir. Dicetak dalam wadah bulat. Sepintas 96
Clara Ng., Op. cit., h. 155. Ibid., h. 136. 98 Masyarakat Betawi menyebutnya kue cina. Kue cina ini pun biasa dibuat oleh masyarakat Betawi ketika lebaran tiba. 97
97
mirip dengan dodol Betawi, hanya saja kue bulan tidak menggunakan santan dalam bahan baku pembuatannya. Kue bulan biasanya ditaruh di atas meja persembahan bersama dengan makanan lain ketika Imlek. Biasanya di atas meja persembahan tersedia penganan wajib untuk Imlek seperti kue keranjang, nasi putih, kue mangkok merah, kue ku ketan, kue bugis, kue pepe, arak putih, babi cin99 dan buahbuahan.100Tradisi mempersembahkan kue bulan kepada leluhur mengandung makna keutuhan keluarga. Selain sebagai kue persembahan pada saat Imlek, kue bulan juga disajikan pada festival kue bulan (mooncake festival) yang diselenggarakan setiap malam ke lima belas bulan kedelapan penanggalan lunar. Di dalam novel DT yang bertemakan keluarga, kue bulan sebagai simbol kebulatan keluarga menjadi kue yang penting untuk dibahas, kue ini tidak hanya numpang lewat sebagai pelengkap kebuadayaan Tionghoa namun, kita bisa melihat dari sisi tema dari novel ini. Terlihat dalam teks berikut.
Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan menata beberapa kue di atas meja tersebut. Sudah pasti ada kue bulan dan bakpao. Kata ―persatuan‖ yaitu yuan diucapkan sama dengan kata untuk ―bulat‖. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina, bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah.101
Filosofi kue bulan ini dipegang oleh keluarga Nung Atasan dan keluarga Tionghoa kebanyakan. Bagi masayarakat Tionghoa keutuhan keluarga sangat penting. Sesama keluarga harus saling menghormati, menyayangi, dan kompak. Menghormati orang tua merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh keluarga Nung Atasana. Keinginan orang tua harus diindahkan dan kewajiban seorang anak untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Rosi pun demikian, ia berusaha mewujudkan keinginan ayahnya yang sedang sakit, meskipun dengan jalan
99
Babi masak kecap Santosa, Op. Cit. h. 144—145. 101 Clara Ng, Op. cit.,h. 171–172. 100
98
berbohong. Itu lebih baik menurutnya daripada keinginan ayahnya tidak mampu ia penuhi, terlihat dalam kutipan berikut.
Roni masih mengusap-usap kepalanya bekas kena gebuk tas. Dia menelan ludah susah payah. ―aku akan minta bantuan teman untuk berpura-pura menjadi calon suamiku. Tentu aku tidak akan menikahi dia. Aku akan bilang pada Papa bahwa kami belum siap menikah karena secara ekonomi kami belom mapan.‖ … ―Menghina sekali kamu. Pokoknya pasti ada!‖ Sergah Roni keras kepala. ―Ketiga, aku… eh maksudku, kami… ehm, aku dan calon suamiku… tentu akan berhenti berakting dengan sempurna sampai Papa meninggal dengan tenang. Yang penting, Papa mendapatkan apa yang dia inginkan. Melihat keempat anaknya akan menikah, khususnya aku. Ulangi aku, oke? Bukan orang lain. AKU!‖102 Dalam kutipan tersebut, terlihat Roni (Rosi) yang berniat untuk membohongi ayahnya. Ia melakukan kebohongan demi menyenangkan orang tuanya. Rosi ingin Papanya tenang. Ia tahu ia berbeda, ia tidak mungkin menikahi laki-laki, tapi demi Papanya ia akan berpura-pura. Dalam kutipan lain juga terlihat hal tersebut. ―Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak keturunan Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya, aku harus membuat papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku yang diajarkan mamaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan papaku. Feng shui jelek, karma buruk.‖103 Kutipan tersebut menunjukkan budaya Tionghoa yang menghormati orangtua, budaya menghormati orangtua bukan hanya ada pada budaya Tionghoa namun, kekuatan budaya ini lebih menekankan penghormatan kepada orangtua, melalui sistem karma,104 seperti yang tergambar dalam teks di atas. Rosi bersikeras ingin memenuhi keinginan ayahnya. Dalam tradisi Tionghoa, menyia-
102
Clara Ng., Op. cit., h. 140. Clara Ng, Op. cit., h. 193. 104 Akibat buruk dari melanggar budaya 103
99
nyiakan orangtua bisa berdampak buruk seperti, mendapatkan nasib sial dan fengshui yang tidak bagus. Kembali pada kue bulan, beberapa kutipan di atas menunjukkan makna filosofis kue bulan. Bulat sempurna seperti bulan, begitulah seharusnya sebuah keluarga, utuh tidak terpecah belah. Dalam kebudayaan, kuliner khas Tionghoa dimasukkan dalam tataran artefak. Bentuk fisik dari makanan tersebut merupakan peninggalan turuntemurun yang masih dipegang oleh masyarakat Tionghoa, seperti tradisi makan dimsum. Penganan dimsum bahkan menjadi judul novel. Dimsum dalam novel berfungsi sebagai latar sekaligus konflik dalam struktur novel. Tradisi makan dimsum dalam keluarga Nung Atasana dilakukan setiap pagi imlek sebelum mereka beraktivitas. Mereka melakukan tradisi ini pada pagi hari karena pada masa pemerintahan Soeharto segala aktivitas keagamaan dilarang dirayakan dan anak-anak Tionghoa harus tetap masuk sekolah.
g. Agama Dalam novel DT ini tidak dijelaskan secara spesifik agama yang dianut para tokohnya kecuali Novera yang memutuskan untuk memeluk Khatolik, terlihat dalam teks berikut. “Kenapa dibaptis?” “Karena saya ingin jadi Khatolik,” jawab Novera tenang. Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama bermingguminggu. “Menjadi Khatolik harus dibaptis.”105 Kutipan di atas menunjukkan keinginan Novera untuk memeluk Khatolik. Berbeda dengan keluarganya yang lain yang belum secara spesifik terindetifikasi agama apa yang mereka anut. Akan tetapi, kita bisa menganalisnya melalui ritualritual keagamaan yang mereka jalankan dan tempat ibadah yang mereka datangi.
105
Clara Ng, Op. cit., h. 70.
100
Seperti yang kita ketahui bersama, Tiongkok adalah sebuah negeri yang besar. Masyarakatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di negeri rantau mereka, mereka akan bersinggungan dengan kebudayaan setempat. Terjadilah akulturasi atau percampuran budaya. Akulturasi ini pun menyinggung ranah agama dan kepercayaan. Maka dari itu agama orang Tionghoa menjadi beragam, namun pada umumnya agama orang Tionghoa adalah Sinkretisme.106 Disebut juga sebagai agama Sam Kao atau Tri Dharma. Pada zaman Orde Baru di Indonesia agama tersebut tidak diakui sehingga para pengikut Tri Dharma akan menyebut agama mereka Budha saja. Selain agama Tri Dharma, masih ada kepercayaan lain yang disebut pemujaan leluhur. Kepercayaan ini sebenarnya bukan agama, melainkan dasar-dasar dari agama yang ada di Tiongkok, bahkan juga di seluruh dunia dari zaman dahulu kala hingga kini. Hal senada juga dikatakan oleh Novera ketika ia memberikan sebuah penyangkalan terhadap apa yang disebut agama oleh Siska, terlihat dalam kutipan berikut. … “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “… adalah menghormati leluhur dan patuh pada tradisi Cina. Sejujurnya, ini tidak dapat disebut agama, Siska, ini adalah…”107 Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa agama yang dijalani oleh keluarga Nung Atasana lebih merupakan tradisi. Memuja leluhur dan aktivitas keagamaan lainnya yang bersumber pada tradisi Cina seperti Konfusianisme (Konghuchu) , Taoisme, dan sebagainya. Dalam sebuah kutipan, terlihat Siska dan Rosi mendatangi sebuah kelenteng. kelenteng adalah tempat ibadah pemeluk Khonghuchu. Mereka mendatangi kelenteng bukan wihara, kelenteng lebih identik dengan agama
106
Campuran dari beberapa agama, seperti Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha (Perkins dalam Danandjaja). 107 Clara Ng, Op. cit., h. 71.
101
Tionghoa yaitu Khonghuchu (Konfusius) sedangkan vihara adalah tempat ibadah penganut Buddha dan Tri Dharma108. Terlihat dalam teks berikut.
Siska mengedarkan pandangan, mengamati bangunan kelenteng yang memberikannya seribu kenangan. Dulu mereka sekeluarga; Mama, Papa, dan ketiga adik-adiknya sering berkunjung. Sejak si bungsu Novera memutuskan menjadi penganut Kristen, kepergian mereka ke sana selalu tidak pernah terasa lengkap. Tapi untung juga Novera sungguh-sungguh menepati janjinya. Dia tidak berkeberatan berkunjung ke kelenteng untuk acara-acara istimewa, seperti Imlek.109
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kelenteng-kelenteng yang identik dengan agama Khonghuchu dipaksa berganti nama menjadi wihara. Ini disebabkan agama Khonghuchu tidak diakui lagi sebagai agama oleh pemerintahan Soeharto. Aktivitas keagamaan Khonghuchu dinilai pemerintah menjadi penghambat proses asimilisi yang tengah gencar digalakan pada masa itu. Akan tetapi tidak semua kelenteng mau mengganti nama mereka mengingat tidak hanya penamaan kelenteng saja yang diubah melainkan atribut lain yang sangat penting juga harus disingkirkan, yaitu patung dewa-dewa mereka harus disingkirkan dan diganti dengan dewa agama Buddha. Agama Khonghuchu dianggap menyalahi pancasila sila pertama, di mana disebutkan Tuhan yang Maha Esa, ke-Esaan Tuhan ini dianggap tidak dijalankan oleh ajaran Khonghuchu yang memercayai beberapa dewa. Barulah pada pemerintahan Gus Dur, agama Khonghuchu diakui dan kelenteng-kelenteng dikembalikan fungsinya sebagai tempat peribadatan agama Khonghuchu. Dari kutipan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa agama yang dianut oleh keluarga Nung Atasana kecuali Novera yang memeluk Khatolik adalah agama Khonghuchu. Ada baiknya peneliti menjelaskan sedikit tentang agama Khonghuchu tersebut. 108 109
Tridharma adalah gabungan dari tiga dasar agama Konfusius, Tao, dan Buddha. Ibid., h. 221—222.
102
1) Khonghuchu. Agama Khonghuchu sudah dikenal di Indonesia sebelum abad ke-19, tetapi belum berupa sebuah agama yang terorganisasi. Pada tahun 1900 organisasi orang Tionghoa yang pertama, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan, didirikan di Batavia (Jakarta), memakai agama (ajaran) Khonghuchu sebagai landasan organisasi. Akan tetapi Tiong Hoa Hwee Koan kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan dan bergeser dari tujuan semula untuk menyebarluaskan agama Khonghuchu. Lalu didirikanlah Khong Kow Hwee pada 1918 di Solo. Pada 1923 berbagai organisasi dengan ciri Konfusian110 berkumpul di Yogyakarta untuk mengadakan kongres. Hasilnya adalah berdirinya Organisasi Umum Khong Kauw Hwee (Siam Kau Tjong Hwee), dengan markas besar di Bandung. Peristiwa ini dapat dipandang sebagai asal muasal dari agama Khonghuchu di Indonesia. Pada masa inilah konsep “Tian” (Langit) sebagai allah dari agama Tionghoa dan Khonghuchu (Konfusius) sebagai nabi ditetapkan untuk pertama kali.111 Sebenarnya agama Khonghuchu pada awalnya keberadaannya diakui oleh pemerintahan Soeharto. Pada bulan Agustus 1967 Khong Kau Hwee mengadakan kongres keenam di Solo, yang dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintah, bahkan Presiden Soharto dan Jendral A. H. Nasution mengirimkan pesan tertulisnya mengucapkan selamat dan sukses. Banyak pejabat Negara, termasuk militer, menghadiri kongres-kongres berikutnya, mendukung agama Khonghuchu. Namun setelah 11 tahun Rezim Soharto mendukung agama Khonghuchu kemudian dukungan itu dicabut. Rezim Soeharto Merasa cukup kokoh sehingga tidak memerlukan lagi dukungan kelompok penganut agama Khonghuchu. Lagi pula para jendral merasa bahwa agama Khonghuchu adalah penghambat bagi asimilasi warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Pada akhir 1978, Menteri Dalam Negeri menerbitkan sebuah surat edaran yang hanya mengakui lima agama, tidak termasuk Khonghuchu. Pada awal 1979 Kabinet Soeharto juga menerbitkan
110
Sebutan untuk pemeluk Konghuchu. Dikutip dari tulisan Leo Suryadinata dalam buku berjudul Setelah Air Mata Kering yang dieditori oleh I. Wibowo dan Thung Ju Lan halaman 80. 111
103
sebuah surat keputusan yang mengatakan bahwa agama Khonghuchu bukan agama. Sejak 1979 agama Khonghuchu tidak lagi ditemukan dalam kartu tanda penduduk orang Indonesia. Para penganut Khonghuchu harus didaftarkan sebagai pemeluk Buddha. Selain memaksa pemeluk Konghuchu untuk berganti agama menjadi Buddha, rezim Soeharto juga berusaha mengubah kelenteng menjadi wihara. W. D. Sukisman, seorang sinolog112 yang bekerja bagi BIN, berpendapat wihara adalah tempat ibadat bagi pemeluk agama Buddha, kelenteng untuk penganut agama Khonghuchu dan Tao. Kegiatan di kelenteng meliputi upacara pengambilan sumpah, menyelenggarakan upacara perkawinan, mengadakan upacara pengangkatan anak, dan tempat pertemuan organisasi untuk menjaga kebudayaan Tiongkok. 113 Pada 1990 Menteri Agama menerbitkan sebuah surat edaran, meminta agar para penganut agama Buddha tidak merayakan hari-hari raya orang Tionghoa maupun tahun baru Imlek di Wihara karena tidak ada hubungannya dengan agama Buddha. Hal ini merupakan satu langkah lebih jauh dari munculnya sebuah kebijakan untuk mengikis unsur Tionghoa dari agama Buddha Indonesia. Dua tahun sebelumnya (1988), Menteri Dalam Negeri menerbitkan instruksi kepada pemerintah daerah untuk tidak memberikan izin mengenai tiga hal di bawah ini. memperoleh hak atas tanah untuk membangun kelenteng, memperluas kelenteng lama, atau membangun kelenteng baru.114 Ketika Gus Dur menjadi presiden barulah agama Khonghuchu diakui kembali. Gus Dur menyatakan bahwa agama Khonghuchu adalah agama dan bahwa pemerintahannya mengakui keberadaan mereka. Dia dan anggota kabinetnya menghadiri perayaan tahun baru Imlek bulan februari 2000 di Jakarta. Perayaan yang diorganisasi oleh Matakin115. Gus Dur juga membatalkan Keputusan Presiden Nomor 14 tahun 1967 yang melarang orang Tionghoa
112
Sinolog adalah orang yang ahli di bidang sinology yaitu ilmu pengetahuan tentang kebudayaan dan bahasa Cina. 113 I Wibowo, Ju Lan., Op. cit., h. 85—86. 114 Ibid,. h. 88. 115 Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia.
104
merayakan hari raya mereka di tempat umum. Pada 31 Maret 2000, Menteri agama Surjadi menerbitkan sebuah instruksi (Nomor 477/805/Sj) yang membatalkan surat edaran tahun 1978 yang hanya mengakui lima agama, tidak mengakui agama Khonghuchu. Dengan demikian Negara memberikan pengakuan kembali kepada agama Khonghuchu setelah rezim Orde Baru runtuh. Seperti sudah diterangkan di atas bahwa agama orang Tionghoa beragam karena adanya akulturasi orang-orang Tionghoa perantauan, namun juga sebab Negara Tiongkok terbuka pada dunia luar sehingga terpengaruh oleh agamaagama dari barat seperti Khatolik, Protestan dan Islam. Di atas sudah disinggung mengenai tradisi memuja leluhur yang dijalankan oleh keluarga Nung Atasana, lebih lanjutnya peneliti akan coba jelaskan tentang pemujaan leluhur yang kebanyakan dianut oleh orang-orang Tionghoa. 2) Pemujaan Leluhur Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa pemujaan leluhur adalah suatu praktek di mana sebuah keluarga Tionghoa atau klan memberi sesajian dan memberi hormat kepada leluhurnya, yang arwahnya diyakini berdiam di lembar papn kayu bertuliskan nama almarhum (lingwei) yang hendak dipuja. Lembaran papan kayu ini diletakkan di atas altar kuil keluarga. Pemujaan leluhur merupakan pondasi dari agama rakyat di Tiongkok dan di antara orang Tionghoa Perantauan di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia tidak peduli apa pun agama resmi yang mereka anut.116 Sesajian tersebut terdiri dari makanan, arak, dupa batang (hio), lilin, dan bunga. Salah satu peranti pemujaan leluhur adalah lembaran-lembaran papan bertuliskan nama almarhum yang hendak dipuja yang dalam bahasa Tionghoa disebut lingwei atau papan arwah leluhur. Papan arwah leluhur ini dibuat dari kayu cendana yang harum baunya berukuran panjang 10-20 inci. Di atas papan arwah tersebut diukir nama, hari, bulan, dan tahun lahir dari leluhur yang
116
Danandjaja, Op. cit., h. 259.
105
meninggal. Anggota keluarga memanjang papan ini di atas klenteng klannya dan juga di ruang rumah tinggal mereka sendiri.117 Papan-papan arwah tersebut ditempatkan dalam suatu jajaran, berdasarkan jauh-dekat hubungan dan generasi dengan keluarga yang memeliharanya. Anggota keluarga dari suatu rumah akan memberi sesajian harian, berupa tiga cucin,118 , lilin, teh, dan hio yang dibakar. Asap dari bakaran hio melambangkan komunikasi yang masih hidup dengan yang telah meninggal.119 Tradisi pemujaan terhadap roh leluhur ini juga dijalankan oleh keluarga Nung Atasana, di dalam rumah ini terdapat altar tempat pemujaan roh leluhur. Seperti terdapat dalam kutipan berikut.
Meja sembahyang terlihat jelas di ruang keluarga. Abu jatuh dari hio yang sedikit lagi habis terbakar, membuat sebagian meja Nampak kotor. Patung Dewi Kwan Im berdiri anggun di sana, diapit dua api yang menyala oleh minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang diletakkan di dalam vas tampak sedikit mengering. Di sampingnya, di sana lah abuku berada.120 Kutipan di atas menunjukkan bahwa di dalam rumah keluarga Nung ada tempat pemujaan untuk memuja leluhur yang telah meninggal. Hampir di semua keluarga etnis Tionghoa terdapat altar semacam ini di rumah mereka121, sebagai bentuk penghormatan kepada yang telah meninggal dan sebagai suatu tanda bahwa mereka tidak melupakan orang yang sudah meninggal. Hal senada juga terlihat pada salah satu kutipan perjalanan yang ditulis oleh Iwan Santosa.122
PERSEMBAHAN lengkap daging, buah, dan berbagai penganan serta arak di meja abu menjelang perayaan Imlek merupakan kewajiban 117
Ibid, h. 260. Cangkir kecil 119 Ibid. 120 Clara Ng, Op. cit., h. 15. 121 Seperti yang dilihat sendiri oleh peneliti ketika berkunjung ke rumah salah satu etnis Tionghoa yang tinggal di daerah elit Serpong. 122 Iwan Santosa adalah wartawan Kompas yang menulis buku Peranakan Etnis Tionghoa di Nusantara berdasarkan jurnal perjalanan. 118
106
bagi keluarga Tionghoa sebagai bakti kepada leluhur dan pengucapan syukur. Namun, hanya sepiring nasi, lima tusuk sate pemberian tetangga, dan segelas air yang biasa dipersembahkan Encek Ouw Ceng Lim (74) di meja abu yang terapung di rumah papan sewaan di atas genangan banjir Kali Angke.123 Sebuah kutipan perjalanan di atas menunjukkan pemujaan terhadap leluhur ini masih dipertahankan oleh masryarakat keturunan Tionghoa di Indonesia meskipun dalam keterbatasan ekonomi. Pada dasarnya stereotip masyarakat Tionghoa adalah golongan orang-orang berada. Bahkan, seringkali kelompok etnis Tionghoa diasosiasikan dengan perilaku konglomerat hitam yang bersama pejabat militer sipil menggasak uang Negara.124 Akan tetapi, sesungguhnya tidak semua orang Tionghoa di Indonesia orang kaya. Orang-orang Tionghoa miskin masih bisa kita temukan di daerah Tangerang, mereka biasa disebut Cina Benteng dan berprofesi sebagai petani atau pengayuh becak. Agama dalam struktur novel sebagai sumber konflik. Keputusan Novera pindah agama pada awalnya menjadi semacam perdebatan keluarga. Hingga akhirnya ayahnya memberikan kebebasan pada Novera untuk memeluk agama yang diyakininya. Kegiatan memuja leluhur adalah wujud kebudayaan pada tataran aktivitas diidentifikasikan dengan bersembahyang di depan altar. Kegiatan sembahyang ini biasanya dilakukan dengan membakar hio dan memberikan sesaji. Dalam tataran ide kegiatan ini bertujuan untuk menghormati leluhur. Menurut kepercayaan Tionghoa, orang yang masih hidup tetap bisa menjalin komunikasi dengan orangorang yang telah mati.
h. Kelenteng Kelenteng adalah sebutan kuil orang Tionghoa yang merupakan tempat ibadah bagi umat Konfusianisme, Taoisme, dan Buddha. Kata kelenteng menurut
123 124
Santosa, Op. cit., h. 127. Ibid., h. 126.
107
Udi Marhadi dalam Danadjaja, bukan berasal dari bahasa Tionghoa, melainkan dari Indonesia, karena hanya bisa didapat di Indonesia.125 Orang Indonesia pada umumnya sering memberi nama pada suatu benda atau mahluk hidup berdasarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan. Contohnya jangkrik, serangga
ini
dinamai
jangkrik
karena
suaranya
yang
terdengar
―krikk…kriikk…krikk‖, ini disebut onomatoid. Hukum persamaan bunyi suara ini juga merupakan sebab timbulnya istilah kelenteng. Saat di kelenteng diadakan upacara keagamaan, sering dipergunakan genta yang apabila ditabuh akan berbunyi ―klenting‖, sementara genta besar berbunyi ―klenteeng‖. Maka berdasarkan bunyi-bunyian itu lah tempat ibadah orang Tionghoa tersebut dinamai dengan kelenteng. Dorothy Perkins dalam Danandjaja mengatakan bahwa bangunanbangunan sakral tradisional dari para penganut Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme banyak didirikan di Tiongkok dan luar Tiongkok, di mana Tionghoa berimigrasi di sana, khususnya di Asia Tenggara.126 Kelenteng-kelenteng Tionghoa berbentuk bangunan kecil dari yang sederhana sampai yang kompleks, terdiri dari beberapa anak gedung berkelompok di suatu halaman, dan dikitari tembok yang dihubungkan dengan jalan-jalan. bangunan kelenteng ini mempunyai unsur-unsur yang sama dengan arsitektur sekuler Tionghoa. Sebuah kelenteng terletak dalam suatu halama dikelilingi oleh dinding dan mempunyai pintu gerbang masuk yang menghadap ke selatan. Gerbang masuk utamanya terdiri dari tiga lapis yang didirikan di atas permukaan tanah di atas undakan batu. Pada pintu gerbang itu dilukiskan atau ditempelkan sepasang gambar dewa penjaga pintu untuk mengusir arwah-arwah jahat. Ruangruang utama pada kelenteng akan dibangun di poros utara-selatan dari pusat halaman. Bangunan-bangunan tambahan akan didirikan di sebelah timur dan barat bangunan utama. Kerangka bangunan terbuat dari kayu dengan dinding luar terbuat dari batu bata. Dinding-dinding bagian dalam terbuat dari kayu atau batu bata. 125 126
Danandjaja., Op. cit., h. 449. Ibid., h. 449–450).
108
Dinding bagian dalam dan langit-langit diberi warna-warna cemerlang, terutama merah, hijau, emas dan hitam. Pilar-pilarnya berwarna merah cemerlang. Sebuah patung dewa didudukkan di atas singgasana yang berada di ruang tengah dengan sebuah altar tempat alat-alat keperluan ritual keagamaan. Dewa-dewa pendamping diletakkan di sebelah kiri dan kanan dewa utama. Pintu kelenteng selalu dibuka 24 jam. Setiap orang boleh masuk ke kelenteng kapan saja. Di sana orang bisa berkomunikasi dengan para dewa, terutama untuk memperoleh nasihat atas masalah pribadi maupun memperoleh petunjuk atas masalah yang tengah di hadapi dan untuk mengambil suatu keputusan. Seseorang yang datang ke kelenteng akan melaksanakan ritual keagamaan yaitu dengan cara membakar hio di depan altar dewa tertentu dan merunduk beberapa kali kemudian hio tersebut ditancapkan di tempat hio di altar dewa tersebut, kemudian ia akan membungkuk atau berlutut di muka altar dewa tersebut. Setelah itu ia menyajikan makanan sesajian, lalu mebakar uang kertas upacara. Jawaban dari dewa tersebut berupa ramalan, seperti dengan cara mengocok beberapa batang bambu yang dipasangi kode ramalan. Setelah itu, kode ramalan pada bambu akan terlontar keluar dari tempatnya lalu kode tersebut akan dicocokkan dengan kertas yang berisi ramalan. Biasanya di halaman depan kelenteng ada sebuah bejana besar terbuat dari perunggu yang diisi dengan pasir, di mana para pemuja menancapkan dupa atau hio yang telah dinyalakan. Seperti tempat ibadah pada umumnya, kelenteng pun digunakan para jamaatnya untuk menenangkan diri. Di dalam rumah ibadah itu, umat Buddha, Tao, Konfusius merasakan kedamaian seperti Siska yang memutuskan pergi ke kelenteng ketika suasana hatinya sedang gundah. Sama seperti Siska, Rosi pun mendatangi kelenteng untuk sekadar mengadu kepada dewa-dewa tentang penatnya hidup. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Kelenteng terletak tidak terlalu jauh dari rumah mereka, hanya sekitar beberapa belokan jalan. Siska berjalan menyusuri trotoar sambil menyisir rambutnya dengan jari. Ini penampilan terburuknya selama di Jakarta. Sebenarnya ide pergi ke kelenteng bukanlah ide yang baik untuk
109
melewatkan malam. Siska meringis sendiri. Dia tidak bisa mengingat kenapa dia ingin sekali sembahyang.127 Kutipan tersebut menunjukkan Siska yang ingin bersembahyang ke kelenteng. Penampilannya yang seadanya menandakan suasana hatinya yang sedang buruk. Kesehatan ayahnya yang makin memburuk dan dirinya sendiri sedang menghadapi masalah berat dengan perusahaannya di Singapura membuatnya ingin menenangkan diri di kelenteng. Rosi pun demikian, pada malam yang sama ia juga berada di kelenteng yang sama juga. Dengan penampilannya yang maskulin ia terlihat duduk di halaman sebuah kelenteng yang juga didatangi Siska, terlihat dalam kutipan berikut.
Rosi sedang merokok di bawah pohon. Asapnya berbentuk bulatbulat bergabung dengan asap lainnya. Dia mengerjapkan mata, menyesuaikan matanya memandang kegelapan pekarangan, mungkin juga karena terkejut melihat Siska.128 … Rosi tersadar ketika menatap sekelilingnya penuh rindu. Dia menyayangi kelenteng tua ini, udara daerah kota yang terpinggirkan, kenangan masa kecilnya bersama saudari-saudarinya. Dia merindukan asap hio yang menusuk perih matanya, serta kursi malas plastik yang penuh bulu kucing di ruang tamu rumahnya. Kerinduan itu membuatnya lebih stabil.129 Rosi yang tengah merokok di bawah pohon sekitar bangunan kelenteng menandakan bahwa ada kegelisahan dalam dirinya dan ia berusaha menenangkan kegelisahannya dengan mengunjungi kelenteng malam itu yang ternyata saudarinya pun melakukan hal yang sama. Beberapa kutipan tersebut menunjukkan bahwa kelenteng tidak hanya digunakan untuk memuja dewa ketika hari raya besar tiba seperti Imlek. Seperti yang telah dipaparkan di atas tentang kebiasaan orang Tionghoa untuk bersembahyang meminta petunjuk dan nasihat serta jawaban atas permasalahnnya 127
Clara Ng, Op. cit., h. 221. Ibid., h. 222. 129 Ibid., h. 224—225. 128
110
dari para dewa, dalam novel ini pun para tokohnya mendatangi kelenteng untuk melakukan hal yang sama. Kelenteng dalam struktur novel berfungsi sebagai latar penguat tema Tionghoa dalam novel ini. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, kelenteng dalam cerita ini dijadikan tokoh-tokohnya sebagai tempat menenangkan diri dan beribadah. Kelenteng merupakan perwujudan kebudayaan dalam tataran artefak atau benda, hasil kebudayaan manusia yang digunakan untuk beribadah oleh kaum Tri Dharma.
i. Horoskop Cina (shio) Astrologi Cina menjelaskan sifat-sifat universal dari individu dan Negara dalam hubungannya dengan tanggal lahir; Astrologi Cina juga membuka kecenderungan umum tentang tahun ―baik‖ dan tahun ―buruk.‖130 Astrologi Cina berdasarkan kalender bulan, yang dimulai pada masa Huang Ti (sekitar 2600 SM). Ia membagi waktu menjadi siklus 60 tahun, terdiri atas 12 tahun (yang berhubungan dengan 12 lambang binatang) dan Lima Unsur. Jadi 12 x 5 menjadi 60 tahun.131 Menurut legenda, 12 binatang datang mengucapkan selamat tinggal pada Amitabha Buddha ketika ia naik ke Surga. Binatang ini dalam urutan kedatangannya adalah tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing dan babi. Untuk memperingati kehadiran mereka dalam kenaikannya ke surga. Buddha memberikakan satu tahun untuk setiap binatang.132 Sejak itu, kedua belas binatang ini menjadi lambang ―Dua Belas Cabang Bumi.‖ Dalam sistem Ganzhi, dan dikenal secara universal sebagai bagian dan satuan dari kalender Cina.133 Siklus enam puluh tahun didapat dengan menggabungkan dua belas binatang dengan lima unsur, kayu, api, tanah, logam, dan air. Kedua belas
130
Lilian Too, Penerapan Fengshui, Pa Kua dan Lo shu, (Jakarta. PT Elex Media Komputindo, 2002), h. 125. 131 Ibid., h. 127. 132 Ibid. 133 Ibid.
111
binatang dibagi menjadi sisi yin (negatif) dan yang (positif) dari cabang bumi. Kerbau, ular, kelinci, kambing, ayam, dan babi ada di sisi negatif dan dianggap binatang yin; sedangkan tikus. Macan, naga, kuda, anjing dan monyet ada di sisi positif dan dianggap binatang yang.134 Seseorang dapat mengetahui usia orang lain hanya dengan mengetahui Shionya. Kebanyakan orang Cina tidak menanyakan tahun kelahiran, melainkan shionya. Berdasarkan shio seseorang dapat meramalkan karakteristik dan nasib seseorang. Nung Atasana ber-shio monyet, terlihat dalam kutipan berikut.
NUNG dilahirkan pada tahun Monyet, tahun 1932—berdekatan dengan tahun baru Imlek. Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Tan Tjin Yung. 135 Bersadarkan kutipan di atas kita bisa melihat shio Nung Atasana adalah monyet. Selanjutnya kita juga bisa mengidentifiksi karakteristik Nung Atasana berdasarkan shionya.
Monyet adalah lambang kesembilan dalam Horoskop Cina. Arahnya adalah BARAT-BARAT DAYA dan ia mewakili bulan agustus. Musimnya adalah musim panas. Ia adalah tanda positif. Tahun monyet jatuh pada tanggal berikut. 2 Februari 1908 sampai 21 Januari 1909 20 Februari 1920 sampai 7 Februari 1921 6 Februari 1932 sampai 25 Januari 1933136 25 Januari 1944 sampai 12 Februari 1945 12 Februari 1956 sampai 30 Januari 1957 30 Jauari 1968 sampai 16 Februari1969 16 Februari 1980 sampai 4 Februari 1981 4 Februari 1992 sampai 22 Januari 1993 Orang yang lahir di tahun Monyet menarik dan penuh pesona. Mereka biasanya dianggap si jenius yang berpikir cepat dan cerdas, bisa beradaptasi dan banyak akalnya. Orang ber-shio Monyet sangat positif, sedikit angkuh dan kadang-kadang dipenuhi dengan kepentingan diri sendiri. Ia juga sangat berpengaruh dan enerjik. Kepribadiannya 134
Ibid., h. 128. Clara Ng, Op. cit., h. 200. 136 Tahun kelahiran Nung Atasana 135
112
cemerlang, bersinar dan sangat menyenangkan, tetapi jangan pernah meremehkannya.137
Orang yang ber-shio Monyet digambarkan sebagai pribadi yang menarik dan mempesona juga menyenangkan. Kita bisa melihat karakter Nung Atasana juga demikian. Ia seorang yang menarik juga menyenangkan. Orang-orang dibuat terpesona oleh kepribadiannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Kenangan Rafy. ... Aku berdiri menatap Nung dengan pandangan kagum. Jarang sekali orang sakit bisa membicarakan kematian dengan begitu mudah. Raut lelaki tua itu terlihat lelah, tapi masih ada pancaran semangat hidup yang bersinar. Slang oksigen beserta slang-slang lainnya yang mengerikan tidak membuatnya semakin tidak berdaya.138 … Aku mendapati wajah itu . wajah yang baru kukenal beberapa hari. Wajah yang sedang kutatap baik-baik selama dua jam belakangan ini di rumah sakit. Walaupun aku baru saja berkenalan dengan Nung, ada rasa yang mengiris-iris hatiku. Rasa yang pasti secara kompak dirasakan oleh orang lain apabila mereka sedang membicarakan kematian.139 … ―Kematian mengakhiri hidup tapi dia tidak mengakhiri hubungan. Karena itu sebagai orang Cina, kita harus selalu menghormati leluhur.‖ Air mataku ikutan menetes, tanpa dapat ditahan lagi. ―Selama ada harapan dan cinta, hidup akan berkeriap selamalamanya.‖140 Kutipan di atas menunjukkan Rafy yang mengagumi kepribadian Nung. Ia membicaran tentang kematian dengan ringan. Segala wejangannya diresapi oleh Rafy dan ia makin terpesona oleh Nung. Sikap dan karakter Nung ini sesuai dengan shio Monyet yang mempesona dan menarik. Tidak hanya Rafy yang mengagumi kepribadian Nung, Pastor Antonius juga terpesona oleh Nung. Lelaki
137
Too, Op. cit., h. 152—153. Clara Ng, op. cit. h. 323—324. 139 Ibid., h. 324. 140 Ibid., h. 325. 138
113
tua itu sesuai dengan shio-nya mampu menarik dan memesona orang lain. Terlihat dalam kutipan berikut.
Kenangan Antonius … Lalu kami berbicara banyak. Entah bagaimana percakapan ini dimulai, aku tidak mengerti. Kata-kata mengalir bagai air terjun. Aku mengamti lelaki tua itu lebih saksama dan menyadari betapa menyenangkan bercakap-cakap dengannya. Jiwaku sedang dahaga, terpuaskan oleh sentuhan istimewa pada saat itu.141
Jika Nung ber-shio Monyet maka anak-anaknya ber-shio naga. Mereka lahir bersamaan dan memiliki shio yang sama. Terlihat dalam kutipan berikut.
Empat bayi perempuan dilahirkan prematur tujuh bukan pada tahun naga. Bayi-bayi Naga.142 Naga adalah binatang kelima dalam zodiak Cina. Ia melambangkan arah timur-tenggara dan mewakili bulan April. Musimnya adalah musim semi. Naga adalah lambang positif.143 Orang yang lahir di tahun naga sering mencerminkan sifat temperamental, berenergi tinggi, sifat-sifat yang sering digunakan untuk menggambarkan naga. Mereka juga dianggap berani, kuat dan sombong. Di Cina, naga melambangkan kaisar, dan karena itu berkonotasi sebagai kekuatan dan gengsi; naga juga diangggap mahluk langit, satu-satunya binatang yang bisa terbang tanpa sayap. Naga dilukiskan dalam feng shui sebagai naga hijau, dan napasnya adalah ch’i kosmis yang penting! Orang ber-shio naga diharapakan mendapat posisi yang tinggi dalam kekuasaan dan menikmati kekayaan dan kemakmuran.144
Karakter yang paling sesuai dengan shio naga adalah karakter Siska. Siska mewakili karakter naga yang temperamental, kuat, dan orang-orang yang berada 141
Ibid., h. 333. Ibid., h. 203. 143 Too, Op. cit., h. 141. 144 Too, Op. cit., h. 142. 142
114
pada posisi dan kekuasaan yang tinggi. Ia cerdas juga mandiri. Sebagai seorang wanita karier Siska berkepribadian sesuai dengan shio-nya. Ia pemilik sebuah perusahaan di Singapura. Terlihat dalam teks berikut.
Yang itu fotonya ketika lulus dari Universitas. Siska lah yang lulus lebih dulu diantara mereka berempat. Siska-lah satu-satunya yang lulus dari universitas non-lokal. Di luar negeri. Siska-lah yang mendapat beasiswa dari National University of Singapore dan nekat pergi merantau ke Singapura. Sendirian tanpa ada yang menemani.145 Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang cerdas, mandiri, dan berani sesuai dengan shio naga yang dimilikinya. Kutipan lain juga menjelaskan karakter naga pada diri Siska. “SIAPA BILANG DIA BUKAN ORANG INDONESIA?” DASAR BEGO!!! OTAK UDANG!” Siska berdiri gagah sambil mengayunkan tinju ke arah dua lelaki yang terlihat pendek daripada dirinya. Dua tonjokkan mendarat telak di kepala sehingga salah satu mereka terjungkir, mencium tanah dengan sempurna. Satunya lagi terhuyung-huyung ke belakang, nyaris roboh. “LAGIAN LU PADA NGERTI NGGAK ARTINYA AMOY? TOLOL LU SEMUA! MAKANYA, JANGAN PANGGIL-PANGGIL NAMA ORANG KALAU KAGAK NGERTI ARTINYA!”146 Kutipan di atas menunjukkan karakter Siska yang temperamental, sedari usia sekolah ia sudah menunjukkan karakter ―naga‖nya. Dengan gagah berani, Siska melawan anak-anak yang mengejek Novera dengan sebutan amoy dan mengejek Novera bukan orang Indonesia. Siska yang berkarakter pemberani ini, membela saudarinya yang tengah terdiskriminasi oleh ejekan teman-temannya. Tidak seperti Novera yang hanya mampu menelan bulat-bulat segala ejekan teman-temannya, Siska dengan keberaniannya melawan segala macam perlakuan diskriminatif terhadap dirinya dan saudari-saudarinya yang lain meski harus berkelahi sekalipun.
145 146
Clara Ng., Op. cit., h. 114. Ibid., h. 236.
115
Seperti yang sudah dijelaskan, orang dengan shio naga diharapkan menempati posisi dan kekuasaan yang tinggi, begitu juga dengan Siska terlihat dalam kutipan berikut. ―Ibu masih di Hong Kong?‖ Tanya Donna. ―Urusan saya sebenarnya sudah selesai di Hong Kong. Tapi saya belum bisa kembali ke Singapura. Saya harus berada di Jakarta.‖ ―Berapa lama Ibu tidak akan berada di kantor?‖ sekali lagi Donna bertanya takut-takut. Takut salah bertanya. Nanti bosnya yang super sensitif ini bakalan marah-marah lagi.147 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Siska adalah seorang bos di salah satu perusahaan di Singapura. Sesuai dengan karakter naga yang diharapkan menempati posisi dan kekuasaan yang tinggi. Fungsi shio dalam struktur novel adalah sebagi latar. shio bukanlah suatu penyebab konflik, hanya mempertegas tema Tionghoa dalam novel ini. Ada dua tokoh yang memiliki shio berkarakter kuat, yaitu Nung Atasana dan Siska. Nung ber-shio monyet, sedangkan Siska ber-shio naga. Konsep shio berada pada wujud kebudayaan dalam tataran ide. Untuk mengatur siklus tahun dan unsur-unsur bumi, yaitu logam, kayu, api, air, dan tanah, maka diciptakanlah shio ini.
j. Upacara Pasca-Kematian Setelah seseorang meninggal ada banyak ritual yang harus dijalankan oleh anggota keluarga yang meninggal. Kematian dalam tradisi Tionghoa tidaklah berarti memutus hubungan antara si mati dan keluarganya. Orang Tionghoa masih memercayai leluhur mereka yang mati bisa diajak berkomunikasi. Untuk itulah di setiap rumah orang Tionghoa di pasang altar pemujaan untuk leluhur mereka. Di dalam rumah Nung Atasana, terdapat altar pemujaan di mana abu Anas disimpan di situ. Terlihat dalam kutipan berikut.
147
Ibid., h. 115.
116
Meja sembahyang terlihat jelas. Abu jatuh dari hio yang sedikit lagi habis terbakar, membuat sebagian meja tampak kotor. Patung Dewi Kwam Im berdiri anggun di sana, dia apit dua api yang menyala oleh minyak. Seikat bunga krisan berwarna kuning yang diletakkan dalam vas tamak sedikit mengering. Di sampingnya, di sana lah tempat abuku berada.148 Kutipan tersebut adalah monolog arwah Anas di permulaan novel. Terlihat bahwa di dalam rumah tersebut ada altar tempat pemujaan. Altar sembahyang ini sebagai penghubung antara yang mati dan yang hidup. Anggota keluarga secara rutin mengganti bunga dan sesajian yang diletakkan di meja sembahyang. Anggota keluarga juga akan membakar hio dan melakukan ritual sembahyang di depan altar ini. Setelah orang Tionghoa meninggal dunia ada dua cara yang biasa dilakukan kepada jenazahnya, yaitu dikremasi atau dikuburkan. Pilihan dikremasi atau dikuburkan akan disesuaikan dengan kesepakatan keluarga atau menurut wasiat orang yang meninggal sebelum ia meninggal. Nung Atasana sebelum meninggal berwasiat kepada anak-anaknya bahwa kelak jika meninggal, ia ingin jenazahnya dikremasi. Hal ini dapat kita lihat lewat teks berikut.
Aku tahu, Nung ingin dikremasi jika dia meninggal nanti. Dia telah mengatakannya dengan jelas kepada Novera. Kremasi adalah tindakan terbaik. Banyak orang Cina yang melakukan kremasi.149 Dorothy Perkins dalam Danandjaja menjelaskan bahwa pemakaman dalam bahasa Tionghoa adalah zangli atau tsangli; atau pintsang. Upacara pemakaman jenazah pada orang Tionghoa adalah dengan maksud menjamin agar kerabatnya yang wafat dapat menuju ke dunia arwah dengan lancar serta mendapatkan tempat yang pantas di dunia sana.150
148
Ibid., h. 15. Clara Ng, Op. cit., h. 323. 150 Danadjaja, Op. cit., h. 347. 149
117
Lebih jauh dijelaskan dalam buku tersebut bahwa upacara pemakaman tradisional Tionghoa sangat rumit, berisikan kegiatan-kegiatan simbolik yang bertujuan untuk melindungi anggota kerabat yang masih hidup agar tidak terkontaminasi oleh pengaruh jahat. Pada upacara pasca kematian, anggota keluarga diharuskan memakai pakaian yang terbuat dari kain blacu atau karung goni, dan meratap atau menangis dengan suara keras. Hal ini menunjukkan suasana berduka dan kesedihan yang mendalam para anggota keluarga yang ditinggalkan. Pada upacara pasca kematian Nung Atasana, anak-anaknya diharuskan mempersiapkan upacara yang panjang dan lengkap. Terlihat dalam teks berikut.
Kematian bagi orang Cina merupakan acara yang tidak dapat begitu saja dilewati secara sederhana. Upacara super lengkap harus diadakan untuk menghormati orang yang meninggal. Apalagi orang yang meninggal itu orang yang dituakan dalam posisi keluarga. Dituakan berarti dihormati.151 Kutipan tersebut menunjukkan akan adanya upacara kematian yang lengkap yang akan dilaksanakan oleh anak-anak Nung Atasana. Posisi Nung Atasana sebagai kepala keluarga sekaligus orang yang dituakan pada kematiannya harus diadakan upacara yang semestinya. Upacara ini tidak main-main, dilakukan selama beberapa hari dengan beragam ritual yang melelahkan. Perhatikan kutipan berikut.
Ternyata mempersiapkan upacara kematian itu sama repotnya dengan membangun gedung bertingkat.152 … Tanggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari. Berdasarkan kalender Cina. Masih ada enam hari menuju hari itu. Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan pantangan untuk melakukan hal duniawi.153
151
Clara Ng, Op. cit., h. 340. Ibid.,h. 342. 153 Ibid., h. 343. 152
118
Selama masa berkabung, anggota keluarga benar-benar terkuras tenaganya untuk melaksanankan beragam ritual upacara kematian ini. Ada konflik yang terjadi manakala Rosi diposisikan sebagai anak lelaki keluarga ini. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Rosi adalah seorang transgender. Pada salah satu ritual yang dijalankan ketika upacara kematian disebutkan bahwa yang harus membawa bendera adalah anak laki-laki, namun seperti kita ketahui bahwa Nung Atasana tidak memiliki anak laki-laki maka Rosi yang transgender itu diusulkan oleh Siska untuk membawa bendera, terlihat dalam teks berikut. “Pertanyaannya siapa yang akan membawa bendera?” “Roni,” jawab Siska singkat. Dia sudah mempersiapkan jawaban itu sejak lama. Indah dan Novera terdiam. Mereka tahu mengapa Siska menjawab seperti itu. “Aku tidak keberatan.” Novera memandang kedua saudarinya bergantian. Tatapan menjadi ragu. “Tapi memangnya boleh?” aku khawatir nanti akan membuat heboh keluarga. Belum lagi komentar pedas tentang karma yang buruk atau feng shui (sic!) yang tidak menguntungkan. Gimana kalau benar-benar terjadi?” “Terjadi apa?” “Karma yang buruk.”154
Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat adanya perdebatan antara mereka berempat. Siska mengusulkan agar Roni (Rosi) lah yang membawa bendera karena Siska sudah mengakui eksistensi Roni sebagai anak laki-laki Nung Atasana. akan tetapi Novera dan Indah masih ragu-ragu, mereka takut pandangan buruk kerabat mereka dan karma yang mungkin saja terjadi. Namun, keputusan sudah bulat, Roni (Rosi) lah yang akhirnya membawa bendera. Perhatikan teks berikut.
Demikianlah, Roni yang mengarak bendera di tengah serbuan pertanyaan dari pihak keluarga. Berdiri di samping Siska, dia menggenggam bilah bambu erat-erat. Pada sembahyang pertama, napasnya nyaris tercekat. Punggungnya pasti ditatap heran oleh puluhan
154
Ibid., h. 346.
119
keluarga besarnya. Pertama, dia memegang bendera. Kedua, dia menggunakan pakaian duka laik-laki.155 Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat bahwa akhirnya yang membawa bendera adalah Roni (Rosi). Rosi sadar dirinya tengah berada dalam pandangan aneh keluarganya bahkan mungkin cemoohan. Ia grogi. Ia menyadari perbedaanya akan menjadi pertanyaan besar di kalangan keluarganya. Mereka mungkin saja akan bertanya-tanya kenapa Rosi membawa bendera dan mengapa Rosi memakai pakaian duka laki-laki. Show must go on, Rosi terus saja dengan jalannya. Upacara kematian Nung atasana seolah menjadi puncak pengakuan bagi Rosi. Ia berusaha menunjukkan dirinya yang transgender dihadapan keluarga besarnya. Dukungan dari Siska seolah menguatkannya. Pada saat ini lah Rosi berdiri tegak di atas dirinya sendiri. Rosi telah keluar dari cangkanngya, pada upacara kematian ayahnya ia seolah membaptis dirinya sendiri sebagai Roni. Perhatikan teks berikut.
Rosi hio mengepul di udara. Wangi, masuk menyelinap di hatinya. Suara kerencengan berbunyi bagai lagu di telinga. Nyanyian aneh berbahasa asing mendayu sempurna. Tang-tung. Tang-tung. Tang-tung. Roni rebah, kepalanya serata tanah. Ini peristiwa istimewa. Ini orchestra tentang pengakuan atas sesksualitasnya. Masa bodoh apa kata orangorang. Dia anak lelaki papa. Seutuhnya. Satu-satunya.156 Pada titik ini, Rosi sudah lengkap bermetamorfosis sebagai Roni. Ia telah mengambil posisi dalam hidupnya sendiri. Ia telah memberitahukan pada dunia perbedaannya pada upacara kematian ayahnya. Selain ritual di atas, segenap kerabat yang meninggal juga membakar uang-uangan dari kertas dan beberapa perabotan rumah tangga, kendaraan, dan lain sebagianya yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss (joss paper). Terlihat dalam kutipan berikut. 155 156
Ibid., h. 348. Ibid., h. 348.
120
Beberapa pihak keluarga masih melanjutkan membakar uanguangan dan emas-emasan yang terbuat dari kertas harus dibakar agar almarhuma cukup mendapat ―dana‖ dalam perjalanan menuju nirwana. 157 … Di dalam ruangan, telah tersedia rumah-rumah besar dari kertas. Di dalamnya ada perabotan lengkap. Ada mobil-mobilan. Motor. Ponsel. Televisi. Bahkan DVD player. Semuanya terbuat dari kertas minyak, dengan tongkat-tongkat bambu kecil untuk membentuk benda-benda tersebut agar terlihat sempurna. Semakin kaya seseorang, semakin banyak benda-benda materi yang bisa dibakar.158 Kutipan di atas menunjukkan tradisi orang Tionghoa ketika melakukan upacara kematian salah satunya adalah membakar uang-uangan dan berbagai perabotan yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss. Kertas joss (joss paper, Perkins dalam Dananjaja) adalah kertas-kertas yang dicetak seperti uang, pakaian, makanan, serta barang kebutuhan lain. Barang-barang ini akan dibakar dalam upacara pemakaman Tionghoa dengan maksud agar orang yang meninggal dapat memiliki bekal dalam perjalanannya atau ketika bermukim di dunia sana. Upacara pasca kematian yang dijalani oleh anak-anak Nung Atasana, ketika Nung meninggal menimbulkan konflik ketika mereka harus menentukan siapa yang membawa bendera. Menurut aturan, yang harus membawa bendera adalah anak laki-laki yang meninggal dunia, namun Rosilah yang akhirnya membawa bendera tersebut. Berdasarkan analasis tersebut, fungsi upcara pasca kematian ini pada struktur novel adalah sebagai konflik, bukah hanya sebagai latar yang menguatkan tema novel ini. Kebudayaan terbagi menjadi tiga unsur, yaitu tataran ide, aktivitas dan bentuk fisiknya atau artefak. Untuk upacara pasca kematian ini kita bisa memisahkan tataran idenya yaitu, penghormatan terhadap leluhur dan bentuk bakti kepada orang tua. Selama upacara pasca kematian ada beragam aktivitas yang dilakukan anak-anak Nung Atasana, mulai membakar uang-uangan sampai proses pengkremasian. Hal ini termasuk dalam tataran aktivitas. Setelah
157 158
Ibid., h. 352. Ibid.
121
dikremasi, abu si mati disimpan dalam altar pemujaan atau dalam rumah abu. Hal ini termasuk dalam tataran artefak. Perhatikan kutipan berikut. Tanggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari. Berdasarkan kalender Cina. masih ada enam hari menuju hari itu. Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan pantangan untuk melakukan hal-hal duniawi.159 C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia yang menggabungkan pelajaran bahasa Indonesia dengan sastra membuat pelajaran sastra seolah dianaktirikan. Nasib mata pelajaran yang tidak memiliki porsinya sendiri bisa ditebak, diajarkan dengan kurang serius dan sambil lalu. Porsi yang sedikit ini (kurang lebih 25% dari keseluruhan muatan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia) seharusnya digunakan dengan ekstra maksimal. Namun, tidak semua guru bahasa memiliki skill yang cukup mumpuni dalam mengajarkaan sastra di kelas sehingga kadangkala pelajaran ini dihindari oleh guru yang tidak cakap tersebut. Peran guru sebagai eksekutor sangat besar, mengajarkan sastra kepada anak didiknya selain kewajiban, lebih daripada itu tanggung jawab moral. Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra mampu membantu siswa menemukan dirinya, membantu pembentukkan wataknya. Sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia, sudah sepatutnya memberikan materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa-siswanya. Pelajaran sastra di sekolah mempunyai posisi yang strategis sebagai pembentuk kepribadian dan moral siswa. Guru yang kreatif dan cerdas akan memilihkan karya-karya yang baik secara mutu karya dan sesuai dengan kebutuhan siswa juga sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah. Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa. Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang akan diajarkan.
159
Clara Ng, Op. cit., h. 342.
122
Mempelajari kebudayaan tidak melulu melalui datang ke museum atau membaca buku sejarah. Kita bisa memberikan pelajaran kebudayaan kepada siswa melalui novel. Siswa akan lebih mudah memahami kebudayaan-kebudayaan yang disamapikan dalam novel karena bahasa dan unsur cerita yang menarik. Belajar kebudayaan menjadi pengalaman yang menyenangkan ketika disampaikan dengan santai namun serius dalam suasana kelas yang hangat dan bersahabat. Stimulus yang tepat akan menghasilkan respon yang tepat. Rangsang dan arahkan siswa untuk membaca dan memahami secara mendalam novel yang diberikan kepada mereka. Bimbing siswa ke ―tempat‖ yang kita tuju, yaitu ranah kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir. Novel ini berisikan kebudayaan Tionghoa yang menarik untuk dibahas di kelas. Karakter bangsa yang diharapkan akan tumbuh setelah mempelajari novel ini adalah sikap toleransi, saling menghargai, dan sikap empati yang tinggi. Tumbuhkan semangat menghargai perbedaan di kalangan siswa. Tumbuhkan rasa mencintai sesama anak bangsa tanpa membedakan suku, agama, dan hal-hal yang berbau rasis lainnya. Kembangkan jiwa-jiwa toleran pada anak-anak. Beri karya yang ada relevansinya dengan kehidupan mereka. Jangan beri jarak pada karya, libatkan siswa. Novel Dimsun Terakhir cocok diajarkan di tingkat SMA. Di saat usia mereka sudah cukup untuk memahami persoalan sosial dan mampu berpikir serta bertindak kritis. Novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa dan hal positif dari kebudayaan itu sendiri serta keunikan-keunikan dan nilai-niai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Hal ini sesuai dengan kurikulum sastra berkarakter di tingkat SMA. Siswa diajarkan untuk menganalisis nilai intrinsik dan ekstrinsik suatu karya sastra novel Indonesia maupun novel terjemahan. Dipilihnya novel Dimsum Terakhir sebagai bahan ajar bukanlah tanpa alasan. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa, tentu saja membuat novel ini memiliki keunggulan jika dijadikan bahan ajar. Siswa sekaligus akan mendapat pengetahuan baru tentang kebudayaan Tionghoa. Seperti kita ketahui bersama,
123
keberadaan etnis Tionghoa masih menjadi problema di mana etnis minoritas ini sampai sekarang pun masih mengalami tindakan rasis dari mayoritas ―pribumi‖.160 Dengan membaca dan memahami novel ini, diharapkan siswa mampu ambil bagian dalam menyikapi persoalan etnis Tionghoa di Indonesia sehingga mereka tidak ikut-ikutan bertindak rasis terhadap mereka. Lebih jauh mereka mampu menularkan pengetahuannya kepada masyarakat sehingga masyarakat juga lebih perhatian terhadap persoalan sosial ini.
160
Baca Benny G. Setiono. Tionghoa dalam Pusaran Politik dan Leo Suryadinata. Dilema Minoritas Tionghoa.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Novel Dimsum Terakhir berlatar kehidupan etnis Tionghoa pascapecah reformasi 1998. Pada era tahun 2000-an ini, pemerintah Indonesia sudah menghapuskan beberapa peraturan kontroversial dan berbau rasisme terhadap etnis Tionghoa. Akan tetapi, perilaku rasis masih kerap terjadi kepada etnis Tionghoa. Novel ini mencerminkan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 2000-an dengan beragam kebudayaan yang masih dipertahankan oleh tokoh-tokohnya. Berdasarkan penelitian, unsur intrinsik yang terdapat dalam novel ini antara lain, 1) tema, 2) alur, 3) sudut pandang, 4) latar, 5) tokoh dan penokohan, 6) gaya bahasa. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang berada di dalam karya dan memiliki keterkaitan dengan penelitian tentang kebudayaan Tionghoa yang akan dibahas selanjutnya. Berdasarkan penelitian dalam novel, terdapat beragam kebudayaan Tionghoa yang masih dipertahankan oleh tokoh-tokoh di dalamnya dan kebudayaan tersebut juga memengaruhi pola hidup mereka. Di antara banyaknya kebudayaan yang terkandung dalam novel, peneliti telah memilih kebudayaan-kebudayaan yang paling sering muncul dalam cerita dan memiliki makna yang penting bagi tokoh-tokohnya. Kebudayaan tersebut juga dikelompokkan berdasarkan wujud kebudayaannya.
1. Kebudayaan Tionghoa yang Terkandung dalam Novel a. Imlek Imlek atau perayaan datangnya musim semi merupakan hari raya paling penting dalam kalender lunar etnis Tionghoa. Imlek dirayakan oleh seluruh etnis Tionghoa di dunia apa pun agamanya. Pada hari raya Imlek, seluruh keluarga akan berkumpul. Perayaan Imlek menunjukkan semangat kekeluargaan yang kental dan
124
125
Novel Dimsum Terakhir yang bertemakan keluarga beberapa kali menyinggung soal Imlek ini. Dalam wujud kebudayaan, Imlek termasuk dalam tataran ide dan aktivitas. b. Cap go Cap go adalah tanggal kelima belas penanggalan lunar, puncak dari perayaan Imlek. Dalam wujud kebudayaan, cap go termasuk dalam tataran ide dan aktivitas. c. Feng shui Kehidupan orang Tionghoa dijalani berdasarkan fengshui. Ilmu fengshui ini diterapkan dalam setiap sendi kehidupan mereka. Tempat tinggal, kantor, toko dan bangunan lainnnya dibangun berdasarkan fengshui. Hari-hari besar seperti pernikahan ditentukan juga berdasarkan fengshui. Dalam wujud kebudayaan, feng shui termasuk dalam tataran ide, aktivitas, dan artefak. d. Penanggalan Untuk menentukan hari raya etnis Tionghoa masyarakat menggunakan penanggalan atau kalender Cina. Penanggalan ini berdasarkan peredaran bulan maka biasa di sebut penaggalan lunar. Dalam wujud kebudayaan, penanggalan termasuk dalam tataran ide dan artefak. e. Pengobatan Tradisional Pengobatan tradisional Tionghoa terkenal sampai ke manca Negara. Pengobatan tradisional Cina menggunakan bahan alami dan sudah dipercaya keampuhannya. Dalam wujud kebudayaan, pengobatan tradisional termasuk dalam tataran ide, aktivitas, dan artefak. f. Makanan khas Tionghoa Ada begitu banyak makanan khas Tionghoa namun, makanan yang paling sering disebutkan dalam novel adalah dimsum, daging babi, dan kue bulan. Dalam wujud kebudayaan, makanan khas Tionghoa termasuk dalam tataran artefak. g. Agama Kebanyakan etnis Tionghoa masih memegan tradisi pemujaan leluhur dan agama yang mereka anut kebanyakan adalah Konghuchu (Konfusius), Tao, dan Buddha. Agama lain seperti Khatolik, Protestan, Hindu, dan Islam pun di anut oleh etnis
126
Tionghoa. Dalam wujud kebudayaan, agama termasuk dalam tataran ide dan aktivitas. h. Kelenteng Kelenteng adalah rumah ibadah TriDharma etnis Tionghoa. Dalam wujud kebudayaan, kelenteng termasuk dalam tataran artefak. i. Horoskop Cina (shio) Shio dilambangkan dengan 12 binatang yaitu tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, dan babi dan 5 unsur alam yaitu kayu, api, tanah, logam, dan air. Tahun 2014 diwakili oleh shio kuda elemen kayu. Dalam wujud kebudayaan, shio termasuk dalam tataran ide. j. Upacara pasca kematian Upacara pemakaman orang Tionghoa sangat panjang dan rumit. Dilaksanakan selama 7–49 hari dengan beragam ritual simbolik. Dalam wujud kebudayaan, upacara pasca kematian termasuk dalam tataran ide, aktivitas, dan artefak.
2. Wujud Kebudayaan Jika dirangkum, wujud kebudayan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir akan terlihat seperti di bawah ini. a. Dalam Tataran Ide 1) Imlek 2) Cap go 3) Feng shui 4) Penanggalan 5) Obat tradisional Tiongkok 6) Agama 7) Shio 8) Upacara pasca-kematian b. Dalam Tataran Aktivitas 1) Imlek 2) Cap go
127
3) Feng shui 4) Obat Tradisional Tiongkok 5) Agama 6) Upacara pasca-kematian c. Dalam Tataran Artefak 1) Penanggalan 2) Obat Tradisional Tiongkok 3) Makanan/kuliner Tradisional Tiongkok 4) Kelenteng 5) Upacara pasca kematian
3. Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Adapun implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesai di sekolah adalah siswa dapat mempelajari kebudayaan Tionghoa melalui novel Dimsum Terakhir ini dan diharapkan siswa tumbuh jiwa saling menghargai terhadap sesama dan tumbuh pula sikap anti diskriminasi dalam diri siswa.
B. Saran Ada beberapa saran yang ditujukan kepada pembaca dan peneliti lainnya yang ingin meneliti kebudayaann Tionghoa, saran itu antara lain sebagai berikut. 1. Novel Dimsum Terakhir dapat dipilih sebagai alternatif dalam mengajarkan pelajaran sastra di sekolah karena konten kebudayaan Tionghoa sarat terdapat dalam novel ini. Jika dikaitkan dengan silabus mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA, novel Dimsum Terakhir cocok diberikan untuk siswa kelas XI SMA. Silabus Bahasa Indonesia di SMA kelas XI berisi standar kompetensi berupa memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan. Standar kompetensi tersebut berisi kompetensi dasar yang relevan dengan penelitian ini, yakni menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.
128
2. Bagi peneliti yang ingin meneliti kebudayaan ataupun konflik etnis Tionghoa
diharapkan
mampu
menganalisis
kebudayaan
dengan
perasangka yang baik dan tidak memihak atau mampu bersikap netral. Kenentralan sangat penting dalam meneliti, agar kita sebagai peneliti mengedepankan kejujuran bukan hanya impresi-imperesi pribadi yang tidak mendasar.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra. Ciputat: Editum, 2009. Danandjaja, James. Folklor Tionghoa: Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta. Grafiti, 2007. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta. CAPS, 2013. Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Tangerang: Pustaka Widyatama, 2006. Endraswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UNYpress, 2012. Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Fairservis, Walter A, Jr. Asal-usul Peradaban Orang-orang Jawa dan Tionghoa. Surabaya. Selasar Publishing, 2009. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Hermawan, Sainul. Tionghoa Dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: IRCiSold, 2005. Iskandarwassid, Dadang suhndar. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda. 2011. Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia, 2008. Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta.Gramedia, 2008. Lilian Too. Penerapan Feng Shui Pa kua dan Lo Shu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002. Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor, 2009. Ng, Clara. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2005. Philip Cheong& S. L. Ang. Ajaran Leluhur Tabu-Tabu China: Kumpulan Tabu & Kepercayaan. Jakarta: Yayasan Karaniya, 2010.
129
130
Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan Idealis: Merintis jalan menuju kesetaraan dan penyesuaian kewarganegaraan etnis Tionghoa sejak tahun 1945. Jakarta. Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2011. Prasetyo, Joko Tri. Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992. Rampan, Korrie Layun. Aresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: bukupop, 2009. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2007. Rosyidi, M. Ikhwan dkk. Analisis Teks Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta: Kompas, 2012. Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia, 2008. Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta. LP3ES, 2005. Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 1984. Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008. Jakarta. Kompas, 2010. Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 2008. Thung Jul an & I. wibowo. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta. Kompas, 2010. Tregear, Mary. Chinese Art. Slovenia. Mladinska Knjiga 1995. Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesustraan: Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia, 1989. Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Wiranata, I Gede A. B. Antropologi Budaya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011. Yusuf, Tedy. Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia (ebook). Jakarta: Buana Ilmu. 2000.
131
Lampiran 1
A. Sinopsis Dimsum Terakhir berkisah tentang empat orang gadis kembar keturunan Cina anak dari pasangan Nung Atasana dan Anas. Mereka ialah Siska, Indah, Rosi, dan Novera. Siska anak yang paling pertama lahir, diikuti oleh Indah, Rosi, dan terakhir Novera. Mereka hidup terpisah-pisah ketika dewasa sesuai dengan pekerjaan mereka masing-masing. Siska tinggal di Singapura ia bos dari sebuah perusahaan di sana. Indah tinggal di Jakarta, ia bekerja sebagai wartawan. Rosi tinggal di Puncak, ia seorang petani mawar. Novera tinggal di Jogja, ia bekerja sebagai guru TK. Suatu ketika mereka berempat mendapat kabar bahwa ayah mereka, Nung Atasana, kena stroke, hal ini memaksa mereka untuk berkumpul kembali untuk merawat ayah mereka yang tinggal di kawasan Kota. Ibu mereka sudah meninggal sehingga Nung tinggal sendirian di rumah. Akan tetapi sebagian dari mereka merasa keberatan jika harus tinggal di Jakarta karena pekerjaan mereka yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Indah yang tinggal di Jakarta berinisiatif untuk mengumpulkan mereka berempat untuk tinggal di rumah masa kecil mereka. Ide ini awalnya ditolak oleh Siska, Rosi, juga Novera. Mereka beralasan tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka. Akan tetapi Indah meyakinkan bahwa berkumpulnya mereka kembali demi ayah mereka. Mereka akhirnya berkumpul kembali dalam satu rumah. Siska meninggalkan perusahaannya. Rosi meninggalkan mawar-mawarnya, dan Novera meninggalkan murid-muridnya untuk sementara sampai waktu yang tidak ditentukan. Kehidupan baru mereka dimulai. Satu persatu kehidupan pribadi mereka terbongkar. Siska tersangkut masalah dengan kliennya di Hongkong. Ia dituduh melakukan pelacehan seksual oleh Michael kliennya. Bermula dari Siska yang melanggar sumpahnya sendiri untuk tidak tidur dengan kliennya, Siska tidur dengan Michael yang notabene adalah kliennya. Hal ini memunculkan masalah buat Siska di hari-hari berikutnya. Siska dilaporkan Michael atas tuduhan pelecehan seksual. Michael dengan licik memanfaatkan momentum perusahaan
132
Siska yang tengah ditimpa masalah untuk mengambilkan keuntungan dari kasusnya. Tidak tanggung-tanggung Michael menuntut 200 juta dollar Singapura kepada Siska. Indah terlibat masalah percintaan dengan seorang pastor. Cinta terlarang ini membuahkan janin di tubuh Indah. Indah dalam pilihan sulit untuk memperthankan atau mengugurkan janinnya mengingat ayah dari anak yang dikandung Indah adalah seorang pastor yang tidak mnungkin bertanggung jawab dengan menikahi Indah. Rosi sejak kecil memiliki perbedaan dengan saudari-saudarinya. Ia tidak menyukai segala sesuatu yang identik dengan perempuan. Ia tidak suka pakai bra dan rok. Ia lebih suka pakai celana dan kaos. Sifatnya seperti lelaki. Ketika beranjak remaja orientasi seksnya berubah haluan. Rosi tidak menyukai laki-laki, ia menyukai perempuan. Dirinya makin tertekan dengan kenyataan ini. Rosi merasa berada pada tubuh yang salah. Dia seharusnya bukan seorang perempuan melainkan laki-laki. Pada saa-saat kritis inilah muncul sosok Roni dalam tubuhnya. Roni mengambil alih tubuh dan pikiran Rosi. Novera bayi yang paling terakhir lahir dan bayi yang paling lemah. Ia tumbuh dengan lambat. Ia gadis yang lembut dan penyayang. Musibah menghampirinya ketika beranjak dewasa. Ia harus merelakan rahimnya diangkat karena kista ganas yang bersarang di rahimnya. Kehidupan Novera makin melambat. Ia ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya, Ia kehilangan kepercayaan dirinya. Novera mencoba berlari menghindari kehidupan dengan jalan menjadi biarawati. Namun, keputusan tersebut ditentang keras oleh saudari-saudarinya. Berkumpulnya mereka kembali dalam rumah membuat kehidupan pribadi mereka perlahan-lahan terkuak. Rahasia yang mereka pendam dalam-dalam satu persatu muncul ke pemukaan. Ayah mereka pun mulai menyadari adanya sesuatu yang janggal. Sebelum meninggal ia ingin melihat anak-anaknya berkeluarga. Akan tetapi, hal ini sangat sulit dikabulkan oleh keempat anaknya. Pernikahan bagi mereka berempat rasanya sulit untuk terwujud.
133
B. Biografi Clara Ng1 Clara Ng adalah nama pena dari Clara Regina Juana. Lahir pada tahun 1973 di Jakarta, anak pertama dari pasangan W. Atmadjuana dan Sri Angela Darjanus. Clara lulus dari SMA Bunda Hati Kudus di tahun 1992 dan melanjutkan pendidikannya ke Amerika. Dia memulai kuliahnya di universitas swasta Ohio Dominican College lalu diterima di salah satu universitas negeri terbaik di Amerika, Ohio State University jurusan Interpersonal And Organizational Communication. Lulus dengan gelar utama Bachelor of Arts dan minor di Linguistik. Clara menghabiskan tujuh setengah tahun di Amerika sebelum memutuskan pulang kembali ke Indonesia di tahun 1999. Pekerjaan pertamanya di Indonesia adalah membangun departemen Human Resources di perusahaan shipping Korea, Hanjin Shipping. Pada tahun 2000, penyakit kekentalan darah yang dideritanya membuatnya kehilangan bayinya yang pertama. Peristiwa ini membuatnya terpukul. Ia diharuskan istirahat total dan ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Setelah berhenti bekerja ia jadi memiliki waktu banyak untuk menulis. Novel pertamanya adalah Tujuh Musim Setahun terbit pada 2002. Novel ini mendapat sambutan yang cukup baik sehingga beberapa kali cetak ulang. Pertengahan 2004 ia menerbitkan novel keduanya, Blues yang merupakan buku pertama dari trilogi Indiana Chronicle. Selain menulis novel dewasa, Clara Ng juga menulis buku anak. Kecintaannya kepada anak-anak dan keperihatinanya terhadap minimnya buku anak di Indonesia mendorongnya untuk menulis buku anak yang bermutu. Seri buku anak-anak yang ditulisnya adalah Berbagi Cerita Berbagi Cinta yang terdiri dari tujuh buku. Salah satu buku dalam seri ini mendapat penghargaan Adikarya Ikapi tahun 2006 yaitu Gaya Rambut Pascal. Buku ini berkisah tentang seekor 1
Diambil dari. 1) website pribadi Clara Ng, www.clara-ng.com, 2) wawancara dengan tabloid Nova, http.//nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=15851, 3) Antara news.com, http.//www.antaranews.com/berita/371885/kunci-sukses-menulis-novel-ala-clara-ng
134
singa yang kebingungan ketika hendak mengubah gaya rambutnya dan akhirnya memutuskan untuk kembali kepada gaya rambutnya yang alamiah. Buku ini megajarkan anak-anak untuk berprilaku apa adanya dan sanggup menerima kekurangan diri sendiri. Dalam pengantar yang ia tulis di novel Dimsum Terakhir ia mengatakan bahwa alasan ia menulis adalah agar ia tidak gila. Hidup ini sangat singkat dan ada begitu banyak hal yang harus disampaikan. Pada tahun 2006 ia menulis beberapa novel, yaitu Dimsum Terakhir dan Utukki: Sayap Para Dewa. Novelnya yang terbaru ditulis bersama Icha Rahmanti berjudul Princess Bajak Laut dan Alien. Selain itu ia juga menulis novel bersama Felice Cahyadi, novel ini berjudul Black Jack. Clara yang kini bekerja sepenuhnya sebagai penulis memiliki banyak cerita di kepalanya yang harus ditumpahkan segera. Beberapa cerpen dan esainya dimuat di media-media nasional, seperti Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Femina. Dan pada Agustus 2008, sejumlah cerpennya dikumpulkan dan dimuat dalam kumpulan cerita pendek berjudul Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya. Ia banyak menulis tentang perempuan. ia menulis cerita tentang seorang ibu, wanita lajang, bagaimana menjadi anak perempuan. Juga cerita tentang keluarga. Bagaimana hubungan seseorang dengan orangtua dan sesama. ia senang menelusuri bagaimana problema perempuan. Ia merasakan kegembiraan saat bicara soal keluarga. Misalnya saja dalam novel Tiga Venus ia mengangkat tokoh ibu rumah tangga, lajang , dan janda. Ada lagi cerita tentang anak perempuan yang hamil di luar nikah dan lesbianisme. Ada juga transgender, anak perempuan yang merasa dirinya laki-laki. Pada 2009, sekali lagi naskah novelnya Tea for Two dipublikasikan secara bersambung di harian Kompas, sebelum diterbitkan secara utuh oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Awal tahun 2010, dia menerbitkan novel Jampi-jampi Varaiya, sebuah novel bersambung dari seri yang berjudul sama. Mengawali 2010 dengan akun @clara_ng di Twitter, bersama sastrawan Eka Kurniawan dan Agus Noor, mereka melahirkan komunitas membaca sastra dan menulis fiksi yang
135
terkenal dan besar dengan nama Komunitas Fiksimini atau @fiksimini. Di tahun 2010, Jampi-jampi Varaiya mendapat nominasi long list Penghargaan Sastra Kathulistiwa Literarary Awards. Pada 2011, dua cerita pendeknya bergabung dalam antologi Si Murai dan Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Kompas) dan antologi Dari Datuk ke Sakura Emas. Novelnya berjudul Ramuan Drama Cinta terbit pada tanggal 1 Juli 2011, sebagai buku kedua dari seri Jampi-jampi Varaiya yang telah terbit tahun lalu. Kesibukannya semakin padat dengan menjadi pembimbing dan guru kelas kreatif/klinik menulis di kota-kota dan daerah-daerah Indonesia. Sebagian besar, waktu mengajarnya dicurahkan dengan serius di sekolah menulis Plot Point. Pada November 2011, Clara menerbitkan buku dongeng anak berjudul Dongeng Sekolah Tebing. Sebuah buku anak indah bersampul tebal yang bercerita tentang 53 kisah anak-anak di sekolah yang terletak di ujung tebing. Bersama buku itu, Clara melakukan kampanye “melek sastra” dan “orangtua mendongeng” ke berbagai sekolah-sekolah di Indonsia. Bagi Clara, menjadi penulis bukanlah sebuah pekerjaan gampang. Ia adalah seorang penulis yang memiliki disiplin tinggi dalam menulis. Setiap hari seperti pekerja pada umumnya jam Sembilan pagi ia memasuki ruang kerjanya yang tidak lain adalah perpustakaan pribadi beisikan ribuan buku. Ketika menulis ia tidak bisa diganggu dan akan keluar ketika sore hari. Akan tetapi terkadang ia juga bersikap fleksibel, ia kadang-kadang mengantar jemput sendiri anaknya ke sekolah. Ia selalu membuka diri terhadap kritikan yang dialamatkan kepadanya dan ia sangat menghargai setiap dukungan dari orang-orang terdekatnya, ia berterima kasih untuk itu.
C. Resume Nama Pena. Clara Ng Nama Asli. Clara Regina Juana Kontak. 0815-190-7321 via Ms. Stella Sutisna (manajer)
136
Email.
[email protected] Pendidikan. Ohio State University, Columbus, Ohio, USA. Jurusan Interpersonal Communication & Organization. Minor in Linguistic.
Karya yang telah dipublikasikan.
Novel populer. 1. Tujuh Musim Setahun (Dewata Publishing, 2002) 2. Seri Indiana Chronicle. Blues, (Gramedia Pustaka Utama, 2004) 3. Seri Indiana Chronicle. Lipstick (Gramedia Pustaka Utama 2005) 4. Seri Indiana Chronicle. Bridesmaid (Gramedia Pustaka Utama 2005) 5. The (Un)Reality Show (Gramedia Pustaka Utama 2005) 6. Utukki. Sayap Para Dewa (Gramedia Pustaka Utama 2006) 7. Dimsum Terakhir (Gramedia Pustaka Utama 2006) 8. Tiga Venus (Gramedia Pustaka Utama 2007) 9. Gerhana Kembar (Gramedia Pustaka Utama 2007) 10. Tea for Two (Gramedia Pustaka Utama 2009) 11. Jampi-Jampi Varaiya (Gramedia Pustaka Utama, 2010) 12. Ramuan Drama Cinta (Gramedia Pustaka Utama, 2011) 13. Black Jack bersama Felice Cahyadi (Gramedia Pustaka Utama, 2013) Kumpulan Cerpen Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2008) Antologi Sastra 1. Rahasia Bulan (Gramedia Pustaka Utama 2006) 2. Compassion And Solidarity (HiVO – Ubud Writers And Readers Festival, 2009) 3. Un Soir du Paris (Gramedia Pustaka Utama 2010) 4. Si Murai dan Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta 2010) 5. Dari Datuk ke Sakura Emas (Gramedia Pustaka Utama 2011) 6. Klasik Nan Asyik/Exciting Classics (Utan Kayu Salihara International Literary Biennale, 2011)
137
Cerita anak-anak/dongeng 1. Seri Berbagi Cerita Berbagi Cinta (Gaya Rambut Pascal, Benji Sakit Gigi, Pergi ke Pantai, Suara Apa Itu?, Dari Negeri Seberang, Lupi Si Pelupa, Hujan Hujan Hujan) (Gramedia Pustaka Utama 2007) 2. Seri Sejuta Warna Pelangi (Kapan Hujan Berhenti?, Aku Bisa Terbang, Pesta Kostum Tengah Malam, Melukis Cinta, Milo Sedang Bosan, Mau Lagi Lagi Lagi, Ambilan Bulan Yah!, Sore Super Sibuk, Jangan Bilang Siapa-siapa) (Gramedia Pustaka Utama 2008) 3. Seri Bagai Bumi Berhenti Berputar (Pohon Harapan, Seribu Sahabat Selamanya, Jangan Lupa Aku Mencintaimu, Yang Paling Istimewa, Kerlip Bintang di Langit) (Gramedia Pustaka Utama 2009) 4. Seri Dongeng Tujuh Menit. Bugi Hiu Suka Senyum, Air Mata Buaya, Wayang Sebelum Tidur, Padi Merah Jambu, Kancil Anak Baik, Ketahuan, Upik Main Bola (Gramedia Pustaka Utama, 2010) 5. Dongeng Sekolah Tebing (Buah Hati Books, 2011) 6. Princess, Bajak Laut & Alien bersama Icha Rahmanti (Plotpoint Publishing, 2013)
Cerpen dan esai Di berbagai media nasional. Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Femina, dan lainlain. Penghargaan, festival sastra internasional, dan pengalihan bahasa 1. Penghargaan Adikarya Ikapi 2006 untuk cerita anak “Gaya Rambut Pascal” 2. Penghargan Adikarya Ikapi 2007 untuk cerita anak “Melukis Cinta” 3. Penghargaan Adikarya Ikapi 2008 untuk cerita anak “Jangan Bilang Siapasiapa” 4. Nominasi penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk novel “Jampi-jampi Varaiya”
138
5. Terpilih sebagai 15 most inspired women 2010 versi majalah franchise Amerika. More 6. Pembicara dan undangan di festival sastra internasional Ubud Writer Reader Festival 2009, 2010, 2011 7. Membaca cerpen di Festival Salihara International Literary Biennale 2011 8. Beberapa novel dan buku anak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris didistribusikan di beberapa negara di Asia dan Eropa
139
Lampiran 2
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SEKOLAH MATA PELAJARAN KELAS SEMESTER ALOKASI WAKTU
: SMA N 112 JAKARTA : Bahasa Indonesia : XI :2 : 4 x 45 menit
A. STANDAR KOMPETENSI . Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.
B. KOMPETENSI DASAR . Menaganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan. C. ASPEK PEMBELAJARAN. Membaca.
D. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI No 1
Indikator Pencapaian Kompetensi
. Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa
Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia dan terjemahan Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa) dan ekstrinsik novel Indonesia Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar,
Bersahabat Kreatif Saling menghargai Anti diskriminasi Toleransi
Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif Kepemimpinan Keorisinilan
140
dan amanat) dan ekstrinsik novel terjemahan
2
Mampu menjelaskan kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir
E. TUJUAN PEMBELAJARAN . Siswa dapat. Memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan Menyebutkan kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir F. METODE PEMBELAJARAN . Penugasan Diskusi Tanya Jawab Ceramah Demonstrasi G. STRATEGI PEMBELAJARAN Tatap Muka Menjelaskan unsur-unsur intrinsik prosa Menjelaskan unsur ekstrinsik prosa
Terstruktur Unsur-unsur intrinsik prosa Tema Alur Gaya Bahasa Penokohan Setting Sudut pandang Unsur ekstrinsik prosa Biografi Pengarang Latar sosial politik
Mandiri Siswa menjelaskan unsur intrinsik novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Siswa menjelaskan unsur ekstrinsik novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Siswa menyebutkan kebudayaan Tionghoa yg terdapat dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng.
H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN . No. Kegiatan Belajar
Nilai Budaya Dan
141
Karakter Bangsa 1.
2.
3.
Kegiatan Awal : Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini. Guru bertanya pengetahuan siswa tentang novel Indonesia dan novel terjemahan. Guru memperkenalkan novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng Kegiatan Inti : Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi . Siswa membaca novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, Mengidentifikasi kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Dimsun Terakhir Siswa memperesentasikan hasil diskusi kelompoknya Siswa menanggapi hasil diskusi Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa. Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. Kegiatan Akhir : Refleksi Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.
Bersahabat/ komunikatif
Kreatif Saling menghargai Anti diskriminasi Toleransi
Bersahabat/ komunikatif
I. ALOKASI WAKTU . 4 x 45 menit J. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN . buku yang berkaitan dengan materi unsur intrinsik dan ekstrinsik prosa buku EyD LKS Modul Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng Artikel koran/majalah K. PENILAIAN . Jenis Tagihan. tugas individu tugas kelompok
142
Bentuk Instrumen. siswa diminta menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Dimsum Terakhir siswa diminta mendiskusikan kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir L. LAMPIRAN. rubrik penilaian
Mengetahui 2014 Kepala Sekolah Pelajaran
A. K. Pratama, M. Pd. NIP. 19780413201001 2 008 S.Pd.
Jakarta, 17 Februari
Guru
Hayatun
Mata
Nufus,
UJI REFERENSI
Nama
: Hayatun Nufus
NIM
: 109013000074
Jurusan
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Judul Skripsi
: KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG DAN IMPLIKASINYA PEMBELAJARAN
TERHADAP BAHASA
DAN
SASTRA
INDONESIA DI SMA. Dosen Pembimbing
No.
: Novi Diah Haryanti, M. Hum.
Paraf
Nama Buku
Pembimbing
Cheong, Philip & S. L. Ang. Ajaran Leluhur Tabu1.
Tabu China: Kumpulan Tabu & Kepercayaan. Jakarta: Yayasan Karaniya, 2010.
2.
Damono, Sapardi Djoko.
Sosiologi Sastra:
Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum, 2009. Danandjaja, James. Folklor Tionghoa: Sebagai
3.
Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 2007. Endraswara,
4.
Suwardi.
Metodologi
Penelitian
Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS, 2013. Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik
5.
Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Tangerang: Pustaka Widyatama,
2006. 6.
7.
Endraswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UNYpress,2012. Escarpit,
Robert.
Sosisologi
Sastra.
Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005. Fairservis, Walter A, Jr. Asal-usul Peradaban
8.
Orang-orang
Jawa
dan
Tionghoa.Surabaya:
Selasar Publishing, 2009. 9.
10.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Hermawan,
Sainul.
Tionghoa
Dalam
Sastra
Indonesia. Yogyakarta: IRCiSold, 2005. Ju Lan, Thung & I. wibowo. Setelah Air Mata
11.
Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas, 2010.
12.
Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia, 2008. Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan,
13.
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 2008. Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Perempuan
14.
Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor, 2009.
15.
16.
17.
Ng,
Clara.
Dimsum
Terakhir.
Jakarta:
PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2005. Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan Idealis: Merintis jalan menuju kesetaraan dan
penyelesaian kewarganegaraan atnis Tionghoa sejak tahun1945.
Jakarta: Forum Komunikasi
Kesatuan Bangsa, 2011. 18.
19.
Prasetyo, Joko Tri. Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Rampan, Korrie Layun. Aresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: bukupop, 2009. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan
20.
Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara:
21.
Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta: Kompas, 2012.
22.
Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia, 2008. Suryadinata,
23.
Leo.
Pemikiran
Politik
Etnis
Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: LP3ES, 2005.
24.
Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 1984. Suryadinata,
25.
Leo.
Nasionalisme Rampai
Etnis
Indonesia:
Tionghoa Sebuah
dan Bunga
1965-2008. Jakarta: Kompas,
2010. Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia: 26.
Kumpulan
Tulisan.
Jakarta:
Yayasan
Obor
Indonesia, 2008. 27.
Too, Lilian. Penerapan Feng Shui Pa kua dan Lo
Shu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002. 28.
Tregear, Mary. Chinese Art. Slovenia: Mladinska Knjiga 1995. Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesustraan:
29.
Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia, 1989.
30.
31.
Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Wiranata, I Gede A. B. Antropologi Budaya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011.