ANALISIS TOKOH UTAMA AMBA DALAM NOVEL AMBA KARYA LAKSMI PAMUNTJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh: Reny Rachmawati 109013000086
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK Reny Rachmawati. NIM: 109013000086. “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum
Penelitian ini bertujuan menganalisis tokoh Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, dan implikasi novel Amba pada pembelajaran Sastra Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka. Metode analisis ini digunakan untuk menelaah tokoh utama Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan penyimakan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut, penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan tokoh Amba, dan mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan tentang karakter tokoh. Berdasarkan hasil analisis tampak penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung untuk menganalisis tokoh Amba. Dalam teknik ini diuraikan menjadi delapan teknik, di antaranya teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Melalui teknik ini ditemukan sifat Amba keras kepala, berkemauan keras, netral dalam berpolitik, acuh, dan tidak putus asa. Beberapa sifat Amba ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Sastra di SMA. Dalam pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan karakter tokoh yang positif ataupun negatif yang terkandung dalam novel. Selain itu, peristiwa yang terjadi di Indonesia tahun 1965 dijadikan klimaks latar novel Amba. Akibat pemberontakan yang terjadi tahun 1965 juga berimbas kepada tokoh utama dalam novel. Cerita di Pulau Buru dan Jawa juga menjadi latar dalam novel ini.
Kata Kunci: tokoh dan penokohan, novel Amba, Laksmi Pamuntjak
i
ABSTRACK Reny Rachmawati . NIM : 109013000086 . “Analysis of Amba as a Main Figures in Amba Novel by Laksmi Pamuntjak works and Implications for Learning in High School”. Education majors Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum This study aims to analyze the characters Amba in the novel Amba by Laksmi Pamuntjak works, and the implications of the novel Amba in learning Indonesian language and literature. This study used a qualitative descriptive method, the analysis shaped the description, not the form of numbers. This analysis method is used to examine the main character in Amba novel Pamuntjak Laksmi works. Data collection techniques in this study using libraries, data recording, and analysis. Based on the analysis looks writers used the technique of painting figures indirectly to analyze figures Amba. In this technique elaborated into eight techniques, including techniques conversations, behaviors, thoughts and feelings, stream of consciousness, character reactions, reactions of other characters, background painting, painting techniques and physical. Through this technique found the nature of Amba stubborn strong-willed, neutral in politics, indifferent, and do not despair. Some of these properties can be implied Amba towards learning Indonesian language and literature at school. In this study, competency to be achieved is to learners analyze a novel text both orally and in writing, to explain the intrinsic elements in the novel and find a positive character or a negative figure contained in the novel. Additionally, events that occurred in Indonesia in 1965 used a novel background Amba climax. As a result of the uprising in 1965 also affected the main character in the novel. Story on Buru Island and Java also be in the background of this novel.
Keywords : character and characterization, Amba novel, Laksmi Pamuntjak
ii
KATA PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat, karunia, syafaat, dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Selawat serta salam tidak lupa penulis ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah mengeluarkan kita dari zaman jahiliyah. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, awalnya penulis dihinggapi kebimbangan, kurang percaya diri, dan pesimis dalam menganalisis novel ini. Namun, berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifa’i, M.A, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga Penasihat Akademik yang selalu mengerti akan keadaan mahasiswanya, serta memberikan motivasi dan doa. 3. Novi Diah Haryanti, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing skripsi dengan tulus ikhlas, sabar, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih penulis ucapkan, karena telah membekali penulis dengan berbagai ilmu yang bermanfaat.
iii
5. Keluarga penulis, Ayahanda tercinta Abdul Mungid dan Ibunda tersayang Misronah yang selalu memberikan dukungan dan doa terbaiknya. Adik-adik yang terbaik, Dita Nurul Khusna dan Muhammad Rifqi Afandi. 7. Boby Aji Pamungkas yang selalu memberi semangat serta membantu penulis mencari bahan dan juga referensi dalam penulisan skripsi. 8. Jena Riawati, Iis Apriyanti, dan Siti Mutmainah sahabat yang tidak lelah memberikan motivasinya. 9. Noerwas Pritianto, Prihatina Setiawan yang memberikan doa dan semangat kepada penulis. 10. Siti Humaeroh Milladiyah teman dalam mengerjakan skripsi yang selalu berusaha bersama penulis. 11. Teman-teman Lenjee; Agnis, Dinda, Suci, dan Sasya yang selalu memberikan semangat dan membantu penulis dalam skripsi, serta temanteman PBSI angkatan 2009 khususnya kelas C yang memberikan semangat suka duka, canda tawa, dan kenangan indah selama ini. 12. Teman-teman PPKT SMPN 2 Ciputat. 13. Keluarga di Kediri dan Pekalongan, Paklik, Bulik dan saudara lainnya. Uda Is dan Bang Tyo yang setia melayani dalam fotokopi dan juga memberikan motivasi kepada penulis.
Urutan nama di atas bukanlah merupakan peringkat prioritas. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk penulis dan untuk yang memerlukannya.
Jakarta, 5 Mei 2014
Penulis iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK .................................................................................................i ABSTRACT.............................................................................................. ii KATA PENGANTAR ............................................................................ iii DAFTAR ISI .............................................................................................v BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................1 A. Latar Belakang Masalah.................................................1 B. Identifikasi Masalah .......................................................6 C. Batasan Masalah………………………………............ 6 D. Rumusan Masalah ..........................................................7 E. Tujuan Penelitian ...........................................................7 F. Manfaat Penelitian .........................................................7 G. Metodologi Penelitian ....................................................7
BAB II
KAJIAN TEORI .................................................................10 A. Hakikat Novel ................................................................10 1. Pengertian Novel .....................................................10 2. Jenis-jenis Novel ......................................................12 3. Unsur-unsur novel ....................................................15 Tema.................... ....................................................15 Latar. .......................................................................16 Tokoh dan Penokohan .............................................17 Alur...........................................................................19 Sudut Pandang ........................................................ 21 Amanat .................................................................... 22 Gaya Bahasa ............................................................ 23 V
B. Teknik Pelukisan Tokoh................................................ 24 C. Pembelajaran Sastra di Sekolah .....................................28
BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ...............32 A. Unsur Intrinsik Novel Amba..........................................32 1. Tema.........................................................................32 2. Tokoh.......................................................................36 3. Alur..........................................................................54 4. Latar.........................................................................58 5. Sudut Pandang.........................................................66 6. Gaya Bahasa ............................................................67 B. Analisis Tokoh Amba dalam Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak.....................................71 C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ...................................... ........................86
BAB IV
PENUTUP ..........................................................................88 A. Simpulan .......................................................................88 B. Saran .............................................................................89
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………................90 LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI RIWAYAT PENULIS
V
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah tulisan yang dihargai yang bernilai seni. Sastra dapat memberikan hiburan serta memberikan manfaat bagi pembacanya. Suatu karya sastra dapat disampaikan dengan bahasa yang unik, indah, dan artistik. Adapun bentuk karya sastra ini bermacam-macam, seperti: prosa, puisi maupun drama. Prosa fiksi atau sering disebut cerita rekaan memiliki beragam bentuk, di antaranya novel dan cerpen. Baik novel atau cerpen dibangun dalam dua unsur, instrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik membangun sebuah cerita dari dalam yang meliputi plot (alur), tokoh dan penokohan, tema, latar, sudut pandang, bahasa, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik membangun karya sastra dari segi biografi pengarang, politik, budaya, agama, sosial, dan ekonomi. Seperti dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis novel. Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas, ukuran yang luas di sini berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Unsur yang terdapat dalam novel salah satunya adalah tokoh dan penokohan. Melalui pemahaman tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, pembaca dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel. Seperti nilai agama, sosial, budaya dan juga nilai pendidikan. Pendidikan merupakan media penting bagi manusia untuk mengantarkan pada peradaban yang lebih maju dan berperan dalam pembentukan karakter dan mental anak bangsa. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI Tahun 2003 tentang pengertian pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peseta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
1
2
dan negara.1 Dengan demikian, pendidikan tidak hanya bertumpu mengajarkan siswa pada teori pembelajaran saja, namun juga bagaimana sikap dan perilaku yang baik. Untuk dapat memahami suatu karya sastra, perlu dilakukan analisis struktur teks. Salah satu contoh yang dapat dilakukan di kelas ialah analisis tokoh dan penokohan. Dengan menganalisis tokoh, akan terlihat sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu yang mengandung aspek kejiwaan. Problem-problem kejiwaan ini dapat berupa konflik, kelainan perilaku, maupun kondisi psikologis akibat mengalami tragedi atau kejadian. Pada penelitian kali ini, penulis akan meneliti tokoh Amba dalam novel Amba. Amba, seorang perempuan yang lahir di Kadipura, daerah pinggiran Yogyakarta, Jawa Tengah. Dia memiliki idealisme sendiri, tidak seperti wanita-wanita di desanya yang merasa cukup dengan pendidikan sekedarnya, menikah di usia muda, memiliki anak, dan berakhir dengan mengurus rumah tangga di dapur. Dia berbeda, meskipun mendapat tentangan dari ibunya, Amba tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan studi Sastra Inggris di Universitas Gajah Mada (UGM). Dalam menganalisis tokoh, tentunya dapat diambil sisi positif yang berguna untuk diajarkan kepada siswa dan dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-harinya, begitu pun sebaliknya. Sikap negatif dalam tokoh cerita dapat diajarkan sebagai sesuatu yang tidak patut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengajaran sastra, seorang guru seharusnya mempelajari bahan dalam kurikulum, sebab bahan itulah yang sudah ditentukan oleh pemerintah untuk diajarkan di sekolah. Selain berpedoman pada kurikulum, dalam menyusun bahan itu guru harus pula mempertimbangkan hal-hal lain, yaitu pengetahuan di bidang ilmu sastra dan kehidupan kesusastraan.2 Berkaitan dengan pengajaran sastra, novel pun terbagi beberapa jenis, salah satunya novel sejarah. Novel sejarah tidak hanya menceritakan kronologis suatu cerita saja, namun juga memberikan pengetahuan kepada 1
Anonim,UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2006), h.5. 2 Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: IKIP, 1982), h.15.
3
pembaca mengenai peristiwa yang terjadi pada zaman tersebut. Hubungan intertekstual antara sastra dan sejarah saling berkaitan satu sama lain. Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.3 Dalam kesusastraan Indonesia dapat dijumpai hubungan intertekstual antara karya sastra dalam bentuk prosa. Fenomena reka ulang sejarah dalam sastra telah menjadi suatu alternatif dalam memaknai sejarah itu sendiri di tengah banyaknya pembohongan sejarah oleh pihak yang berkuasa. Lewat karyanya pengarang mengungkapkan suatu kejadian atau peristiwa secara tertulis. Selain itu suatu karya juga untuk mengungkapkan aspirasi pengarang dalam
kehidupan,
seperti
emansipasi
wanita,
kekejaman,
maupun
ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Contohnya dalam novel Layar Terkembang (1936) karya Sultan Takdir Alisjahbana, tokoh Tini sebagai wanita yang aktif dalam berbagai kegiatan, emansipasi wanita digambarkan dalam novel ini. Demikian pula novel Burung-burung Manyar (1981) karya Romo Mangun, bercerita tentang kekejaman di zaman Belanda, Jepang, dan akhir orde lama. Ronggeng Dukuh Paruk (1981) karya Ahmad Tohari, bercerita tentang tokoh Srintil seorang ronggeng yang harus di penjara karena dituduh sebagai PKI, sehingga dirinya mendapat ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Jelaslah sejak dahulu pengarang menyuarakan aspirasinya melalui karya sastra. Begitu pun sekarang ini, tidak sedikit dijumpai novel yang berlatar sejarah dibuat untuk menceritakan kebenaran yang terjadi pada suatu zaman. Akan tetapi, minat baca terhadap novel yang berlatar sejarah masih kurang, khususnya para siswa lebih menyukai novel-novel populer yang bercerita kisah percintaan, seperti teenlit dan ceklit : karya Hara Hope yang berjudul Summer Triangle (2005), karya Luna Torashyngu yang berjudul Dua 3
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 167.
4
Rembulan (2006), Lovasket (2007) atau karya-karya Raditya Dika dengan judul Kambing Jantan (2005), Marmut Merah Jambu (2010), dan Manusia Setengah Salmon (2011). Namun sebaliknya, Karya para sastrawan kurang diminati dan dikenal oleh siswa. Novel Amba banyak mengisahkan mengenai sejarah kekerasan di Indonesia, khususnya yang terjadi pada 1965. Novel ini berlatar belakang sejarah, dengan klimaks peristiwa yang terjadi saat tahun 1965 saat G30S ingin mengambil alih pemerintahan. Selain berlatar sejarah, penamaan tokoh yang ada dalam novel ini menarik. Tiga tokoh utama yaitu Amba, Bhisma, dan Salwa. Nama ini tidak asing jika kita pernah membaca atau mendengar kisah Mahabarata. Dalam cerita itu Amba yang menghendaki Bhisma (sang pemenang sayembara) dapat mempersunting dirinya. Namun karena janji Bhisma terhadap Ayahnya dan sang Dewata, maka ia mencampakkan Amba. Hingga akhirnya Amba memutuskan untuk kembali pada Salwa mantan tunangannya yang sudah kepalang malu, dan hilang harga diri justru juga menolak Amba. Ada kesamaan dalam cerita tersebut dengan novel ini, tiga tokoh utama yang ditampilkan saling berkaitan dari awal hingga akhir cerita. Amba jatuh cinta pada sosok Bhisma yang baru dikenalnya beberapa minggu dari pada dengan tunangannya Salwa yang sudah lama dekat dengannya dan juga keluarganya. Bahkan Amba menghianati cintanya pada Salwa hingga rela meninggalkan keluarganya di Kadipura untuk Bhisma. Novel ini banyak menggunakan setting di pulau Jawa dan Pulau Buru sebagai latar novelnya. Pulau Buru dikenal sebagai pulau pembuangan tapol (tahanan politik). Banyak dari mereka yang dianggap sebagai penghianat negara atau simpatisan PKI dibuang di pulau tersebut. Pulau Buru yang merupakan hutan yang lebat dibuat pemukiman dan jalanan. Banyak dari mereka yang tidak bisa pulang ke kampung halamannya, bahkan keluarganya pun tidak tahu kabar mereka sama sekali dan merelakan jika anggota keluarganya tidak akan pernah kembali. Laksmi Pamuntjak, pengarang novel Amba terbilang baru dalam dunia
5
novelis. Sebelumnya dia dikenal sebagai esais, atau penerjemah dalam kumpulan puisi Goenawan Mohammad. Jika dibandingkan karyanya yang berlatar Pulau Buru dengan salah satu karya Pramoedya Ananta Toer tentu berbeda. Salah satu karya Pram yang berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer bercerita mengenai perempuan yang menjadi budak seks balatentara Nippon dan dibuang ke Pulau Buru. Dalam tulisannya Pram begitu detail menceritakan lokasi yang menjadi tempat pembuangan manusia hingga dia menuliskan disampul bukunya catatan Pulau Buru. Dia melihat peristiwa tersebut dan dapat menuangkannya dalam sebuah tulisan. Sedangkan pada novel Amba, Laksmi banyak mencari sumber informasi dari orang yang mengalami peristiwa tersebut dengan melakukan wawancara, maupun tinjauan lokasinya secara langsung untuk riset novelnya dan juga dibutuhkan waktu dalam mengumpulkan datanya tersebut. Pemilihan novel Amba sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama, novel ini berlatar belakang sejarah, pembaca akan tahu mengenai keadaan Indonesia prakemerdekaan dan pascakemerdekaan terutama saat meletusnya G30S. Kedua, keunikan penamaan tokoh dalam novel, Laksmi menggunakan nama-nama dari tokoh pewayangan, selain itu kisah cintanya juga dibuat sedikit mirip namun berlatar sejarah. Ketiga, meski Laksmi Pamuntjak terhitung baru dalam sastra Indonesia, namun dengan keaktifannya menulis esai dan menulis artikel, membuat dirinya juga untuk menulis novel Amba. Keempat, Novel Amba diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan cetakan pertama pada September tahun 2012, selama Februari 2013 novel ini sudah dicetak sebanyak tiga kali. Selain itu, novel Amba karya Laksmi Pamuntjak membuat pembaca ingin mencari tahu dan menggali pengetahuan yang tidak pernah diketahui sebelumnya, seperti kisah Mahabarata maupun karya sastra Jawa, Serat Centini. Berbagai alasan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis novel Amba, khususnya tokoh Amba. Perempuan yang kehilangan cintanya saat terjadi gempuran politik tahun
1965,
sehingga
membuatnya
harus
berjuang
sendirian
dan
meninggalkan orang terdekatnya untuk mempertahankan hidupnya. Penelitian
6
ini berjudul, “Analisis Tokoh Utama Amba dalam Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak: Suatu Tinjauan Sejarah dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah yang ada yaitu: 1. Kurangnya minat membaca seseorang terhadap karya sastra berupa novel, terlebih kurangnya minat membaca siswa terhadap novel-novel yang berlatar sejarah. Mereka lebih menyukai novel-novel populer yang beredar di masyarakat. 2. Sulitnya menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan siswa. 3. Siswa sulit memahami unsur intrinsik, khususnya penokohan dalam teks berlatar sejarah. 4. Pembaca harus menggali bacaan yang terdapat dalam novel Amba, seperti Serat Centhini, Mahabarata,serta peristiwa yang terjadi di Indonesia tahun 1965. 5. Siswa dituntut untuk memahami novel secara keseluruhan.
C. Batasan Masalah Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan pada hal-hal berikut: Objek kajian yang akan diteliti adalah analisis tokoh Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana analisis tokoh utama Amba dalam novel Amba?
7
2. Bagaimana implikasi tokoh utama Amba terhadap pembelajaran sastra di SMA? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. 2. Menganalisis tokoh Amba dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. F. Manfaat Penelitian Hasil
penelitian ini
diharapkan
dapat
memiliki
manfaat
yang
mencangkup aspek teoretis maupun praktis. 1. Manfaat teoretis diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah mengenai penokohan dalam novel. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi peserta didik mengenai
penokohan tokoh utama dalam novel dengan menggunakan
teknik pelukisan fisik. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pendidik untuk bahan pengembangan studi sastra yang berkaitan dengan unsur intrinsik dalam suatu karya sastra. G. Metodologi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.4 Dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak menggunakan metode kualitatif deskriptif artinya bahwa yang akan dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefisian yang tentang variabel. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi suatu dokumen. 4
Ibid, h.47.
8
Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. 2. Sumber Data Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak terbitan Grasindo, Jakarta, tahun 2012. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta buku-buku yang berhubungan dengan novel, seperti buku tentang PKI, sejarah Indonesia, Pulau Buru, dan penokohan. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan pembacaan dan penyimakan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut, penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan tokoh Amba, dan mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan tentang karakter tokoh. Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang didapat lebih maksimal. 4. Teknik Analisis Data Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data antara lain: a. Menganalisis
novel
Amba
karya
Laksmi
Pamuntjak
dengan
menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan
9
membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak yang mengandung unsur intrinsik novel berupa tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat; b. Analisis dengan menggunakan teknik pelukisan latar dilakukan dengan membaca serta memahami kembali data yang diperoleh. Selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang tokoh utama Amba yang terdapat dalam novel. c. Mengimplikasikan novel Amba karya Laksmi Pamuntjak pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA dilakukan dengan cara menghubungkan materi pelajaran sastra di sekolah.
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Kata Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama.1 Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan hakikat novel dapat dicontohkan sebagai berikut. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novellete), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak juga terlalu pendek.2 Menurut R.J. Ress, novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks. Menurut Badudu dan Zain, novel adalah Karangan dalam bentuk prosa tentang peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia seperti yang dialami orang dalam kehidupan sehari-hari, tentang suka duka, kasih dan benci, tentang watak dan jiwanya, dan sebagainya.3 Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang panjang dengan
1
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 124. 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h. 9-10. 3 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 1-2.
10
11
tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dalam satu plot. Dalam istilah novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris.4 Jakob Sumardjo juga berpendapat sama bahwa pengertian roman dan novel itu sama saja. Istilah roman dikenal oleh bangsa Indonesia dari masa sebelum perang dunia kedua, karena istilah itu memang dipakai di negeri Belanda dan Prancis, atau daratan Eropa umumnya. Tetapi setelah perang dunia kedua banyak sastra berbahasa Inggris masuk Indonesia dan dipelajari oleh banyak sastrawan Indonesia. Istilah roman dalam bahasa Inggris dan Amerika adalah novel. Maka istilah itu menjadi populer di Indonesia setelah kemerdekaan, dan istilah roman makin terdesak.5 Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.6 Novel juga merupakan sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis.7 Sejak tahun 1950-an, novel banyak ditulis pengarang dan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak juga ditulis novel-novel trilogi yang dipelopori oleh Motinggo Busye dengan karya-karyanya: Tante Maryati, Sri Ayati, dan Dik Narti. Ashadi Siregar yang menulis novelnovel kampus juga menulis novel trilogi, yakni: Cintaku di Kampus Biru,
4
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung:Angkasa Raya, 2011), h. 32. Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), h. 65-66. 6 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra,(Bandung:Yrama Widya, 2012), h.60. 7 Nurgiyantoro, op.cit., h. 9. 5
12
Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir. Ahmad Tohari, pengarang yang produktif pada dekade 70-an juga menulis novel trilogi, yakni: Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala.8 2. Jenis-jenis Novel Novel dilihat dari segi mutu dibedakan atas beberapa jenis di antaranya: a. Novel Populer Novel populer merupakan jenis sastra populer yang menyuguhkan problema kehidupan yang berkisah pada cinta asmara yang bertujuan menghibur. Novel jenis ini populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan berubah menjadi novel serius dan oleh jadi akan ditinggalkan pembacanya. Biasanya novel populer bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang lain untuk membacanya lagi, biasanya cepat dilupakan orang, apalagi muncul novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya. Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Masalah yang diceritakan pun ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik. Kisah percintaan antara pria tampan dan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka. Novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersil, ia tidak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius hal itu akan berkurang jumlah penggemarnya. Oleh karena itu, agar cerita mudah dipahami, plot sengaja 8
Herman J Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994), h. 40.
13
dibuat lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang. Sebagaimana dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono, tokoh-tokoh adalah tokoh yang tidak berkembang kejiwaannya dari awal hingga akhir cerita. Berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar, dan lain-lain biasanya bersifat stereotip, tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan. Hal demikian, memang mempermudah pembaca sematamata mencari hiburan belaka.
9
Contoh novel jenis ini adalah Laskar
Pelangi (Andrea Hirata), Perahu Kertas (Dewi Lestari). b. Novel Serius/Literer Novel literer adalah novel bermutu sastra, novel literer menyajikan persoalan-persoalan kehidupan manusia secara serius. Di samping memberikan hiburan, novel serius juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajak meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Masalah percintaan banyak juga diangkat ke dalam novel serius. Namun, ia bukan satu-satunya masalah yang penting dan menarik untuk diungkap. Masalah kehidupan amat kompleks, bukan sekedar cinta asmara, melainkan juga hubungan sosial, ketuhanan, maut, takut, cemas, dan bahkan masalah cinta itu pun dapat ditujukan terhadap berbagai hal, misalnya cinta kepada orang tua, saudara, tanah air, dan lain-lain. masalah percintaan (asmara) dalam karya fiksi memang tampak penting, terutama untuk mempelancar cerita. Namun, barangkali, masalah pokok yang ingin diungkap pengarang justru di luar pecintaan itu sendiri. Jika dalam sastra serius cenderung merangsang pembaca untuk menafsirkan atau menginterpetasikan karya sastra itu. Selain itu merangsang untuk menafsirkan tidak lain karena sastra serius itu mendorong pembaca yang baik untuk termenung.10 Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru 9
Nurgiyantoro,op. cit., h.18-20. Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2004), h. 4.
10
14
dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya: unsur kebaruan diutamakan. Dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat streotip, atau paling tidak pengarang menghindarinya. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh situasi yang khusus. Contoh novel serius adalah Belenggu (Armijn Pane), Pada Sebuah Kapal (N.H Dini). c. Novel Picisan Novel picisan isinya cenderung mengekploitasi selera dengan suguhan cerita yang mengisahkan cerita asmara yang menjurus ke pornografi. Novel ini mempunyai ciri-ciri bertemakan cinta asmara yang berselera rendah, ceritanya cenderung cabul, alurnya datar (arogresif), jalan ceritanya ringan, dan mudah diikuti pembaca, menggunakan bahasa yang aktual, bertujuan komersil. Novel karya Motinggo Busye digolongkan ke dalam novel picisan. d. Novel Absurb Novel absurb merupakan sejenis fiksi yang ceritanya menyimpang dari logika biasa, irrasional, realitas bercampur angan-angan dan mimpi, dan surrealism. Tokoh-tokoh ceritanya “anti tokoh” seperti orang mati bisa hidup kembali, mayat dapat berbicara dan lain-lain. contoh novel Ziarah (Iwan Simatupang) yang mengisahkan seorang dokter di daerah pedalaman Papua yang menurut warga sekitar bahwa dokter itu bisa menyembuhkan dan menghidupkan orang yang sudah mati. e. Novel Horor Novel horor (Gothic Fiction) merupakan cerita yang melukiskan kejadian-kejadian yang bersifat horor, seperti drakula penghisap darah, hantu-hantu gentayangan, kuburan keramat, dan berbagai keajaiban supranatural yang berbaur dengan kekerasan, kekejaman, kekacauan, dan kematian.11 Berdasarkan jenis-jenis novel tersebut, novel Amba termasuk ke dalam jenis serius. Novel ini selain memberikan hiburan kepada pembaca 11
Widjojo dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h.41.
15
namun memiliki tujuan memberikan pengalaman berharga untuk merenungkan permasalahan yang dikemukakan. Mengenai peristiwa yang terjadi di tahun 1965, dan perjuangan seorang perempuan dalam menghadapi kerasnya kehidupan yang terjadi. 3. Unsur-unsur Novel Prosa rekaan dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa lama sering berwujud cerita rakyat, seperti: cerita binatang, dongeng, legenda, mitos, dan sage. Bentuk prosa rekaan modern dibedakan atas roman, novel, novelet, dan cerpen. Tidak adanya penelitian yang mendukung, pembedaan atas beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjangpendeknya dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun tidak selalu benar ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan bahasa dan lukisannya.12 Berdasarkan bentuk-bentuk novel di atas, terdapat unsur-unsur penting yang membangun karya sastra, unsur tersebut terbagi atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pembagian tersebut bertujuan dalam mengkaji novel dalam suatu karya sastra pada umumnya. a. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara
langsung)
turut
serta
membangun
cerita.
Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.13 Unsur-unsur ini misalnya, tema, latar, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat. 1) Tema Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah 12 13
Wahyudi Siswanto,Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 140. Nurgiyantoro, op.cit., h. 23.
16
kemanusiaan, kekuasaan, kasih
sayang, kecemburuan, dan
sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita, diperlukan apresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan itu. Bisa saja temanya itu dititipkan pada unsur penokohan, alur, ataupun pada latar.14 Menurut Aminuddin, seorang pengarang memahami tema suatu cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.15 Jadi tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar suatu cerita. Dalam sebuah tema yang menjadi unsur gagasan sentral yaitu topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang adalah topik tersebut. 16 2) Latar Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin memberi batasan setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.17 Biasanya latar muncul pada semua bagian atau penggalan cerita dan kebanyakan pembaca tidak terlalu menghiraukan latar ini; karena lebih terpusat pada jalannya cerita; namun bila pembaca 14
E. Kosasih, op.cit., h. 60-61. Siswanto, op.cit., h. 161. 16 Atar Semi, op.cit., h. 42. 17 Siswanto, loc.cit., h. 149. 15
17
membaca untuk kedua kalinya barulah latar ini ikut menjadi bahan simakkan, dan mulai dipertanyakan mengapa latar ini menjadi perhatian pengarang.18 3) Tokoh dan Penokohan Menurut Aminuddin, “tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.”19 Cara pengarang menggambarkan tokoh-tokoh itu mungkin dari pengalamannya sendiri, berdasarkan observasi di lingkungan masyarakatnya, mungkin pula dengan membaca karya-karya besar. Banyak karya sastra yang merupakan hipogram dari karya-karya yang mendahuluinya. Tetapi banyak juga yang merupakan rekaan pengalaman pribadi pengarangnya. Juga banyak yang merupakan reaksi terhadap keadaan masyarakat sekitarnya.20 a. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak
dipentingkan,
dan
kehadirannya
hanya
jika
ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.21 b. Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau tokoh bulat.
18
Atar Semi, loc. cit., h. 46. Siswanto, loc.cit., h. 142. 20 Herman J Waluyoop.cit., h. 51. 21 Nurgiyantoro, op.cit., h 177. 19
18
Tokoh sederhana dalam bentuknya asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh bulat, kompleks berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.22 c. Berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan tokohtokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dibedakan ke dalam tokoh statis, dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan pekembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam maupun yang lain, yang kesemuanya itu memengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Dalam penokohan yang bersifat statis dikenal adanya tokoh hitam (dikonotasikan sebagai tokoh jahat) dan putih (dikonotasikan sebagai tokoh baik). Artinya, tokoh-tokoh tersebut sejak awal kemunculannya hingga akhir cerita terusmenerus bersifat hitam atau putih. Tokoh hitam adalah tokoh yang benar-benar hitam, tak pernah diungkapkan unsur-unsur 22
Nurgiyantoro, ibid., h. 182-183.
19
kebaikan
dalam
dirinya
walau
sebenarnya
pasti
ada.
Sebaliknya, tokoh putih selalu baik dan tak pernah berbuat sesuatu yang tergolong tak baik walau pernah sekali-dua berbuat hal demikian.23 4) Alur Alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur merupakan tulang punggung dalam sebuah cerita.24 Jalinan-jalinan peristiwa pada novel tersusun dalam tahapantahapan. Menurut Aminuddin, tahapan-tahapan peristiwa terdiri atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.25 Untuk menjelaskan tahapan-tahapan alur ini, penulis memakai pendapat Nurgiyantoro yang dikemukakan oleh Tasrif, tahapan-tahapan dalam alur dijelaskan menjadi lima bagian, tahapan tersebut sebagai berikut. a) Tahap Penyituasian Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lainlain, yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikasihkan pada tahap berikutnya. b) Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. c) Tahap Peningkatan Konflik 23
Nurgiyantoro, ibid, h.188-189. Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 28. 25 Siswanto, op. cit., h. 159. 24
20
Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa yang dramatik menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentanganpertentangan, benturan-benturan antarkepentingan masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. d) Tahap Klimaks Tahap klimaks yaitu tahap di mana konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Pada tahap ini klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian. e) Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflikkonflik
yang lain, sub-subkonflik,
atau konflik-konflik
tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini disebut sebagai tahap akhir sebuah cerita.26 Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu. Dengan begitu, baik-tidaknya sebuah alur ditentukan oleh hal-hal berikut (1) apakah tiap peristiwa susul-menyusul secara logis dan 26
Nurgiyantoro, op.cit.., h. 149-150.
21
alamiah (2) apakah tiap peristiwa sudah cukup tergambar atau dimatangkan dalam peristiwa sebelumnya, dan (3) apakah peristiwa itu terjadi secara kebetulan atau dengan alasan yang masuk akal atau dapat dipahami kehadirannya.27 Pada prinsipnya, novel atau cerita bergerak dari permulaan, melalui pertengahan, dan menuju akhir, alur ini disebut dengan alur maju. Sedangkan jika cerita bergerak dari akhir, melalui pertengahan, dan menuju permulaan disebut alur mundur. Tahapan-tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bermacammacam. Barangkali tidak ada novel yang ini tahapan-tahapan peristiwa tidak selalu dimulai permulaan (pengenalan) dan diakhiri dengan tahap penyelesaian. Ada alur cerita dengan tahapan lain, misalnya dimulai dengan konflik pada awal ceritanya alur ini biasanya disebut alur campuran. Berkat adanya alur yang tergali oleh intuisi pengarang menyebabkan “isi-cerita” lantas mengalir secara teratur, segala peristiwa merentet secara runtut tidak kacau-balau.28 5) Sudut Pandang Sudut pandang/titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. 29 Dari sudut pandang ini, pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh. Selain itu, dalam sudut pandang posisi pengarang juga ditentukan. Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Jenis sudut pandang yang peneliti lakukan yaitu berdasarkan pemaparan 27
Atar Semi,op. cit.,h. 44. Putu Arya Tirtawirya, Apresiasi Puisi dan Prosa, (Ende:Nusa Indah, 1983), h. 80. 29 Wahyudi Siswanto,op. cit., h. 151. 28
22
Nurgiyantoro. Berikut ini adalah macam-macam sudut pandang: a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh). b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan). c) Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya. Berdasarkan jenis-jenis sudut pandang tersebut, sudut pandang yang terdapat dalam novel Amba menggunakan sudut pandang persona ketiga, dia. Hal ini diperkuat dengan menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, serta kata ganti “dia”. 6) Amanat Nilai-nilai yang ada didalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan ini disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
23
pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.30 7) Gaya Bahasa Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesama tokoh. Kemampuan sang penulis mempergunakan bahasa secara cermat dapat menjelmakan suatu suasana yang berterus terang atau satiris, simpatik atau menjengkelkan, objektif atau emosional. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna bagi adegan yang seram, adegan cinta, ataupun peperangan, keputusan, maupun harapan. 31 Menurut Gorys Keraf, gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Gaya bahasa ini terbagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.32 Macam-macam gaya bahasa retoris yang terdapat dalam novel Amba yaitu hiperbola dan paradoks. Sedangkan gaya bahasa kiasan terdapat simile, personifikasi, ironi, dan metafora.
b. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra. Unsur ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya satra. 30
Wahyudi Siswanto, ibid., h. 162. E. Kosasih, op. cit., h. 71-72. 32 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 129. 31
24
Selain itu, juga membantu dalam penafsiran suatu karya sehingga mendapatkan hasil yang akurat. Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya. Unsur yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran pengarang, serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra. Pemahaman unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.
B. Teknik Pelukisan Tokoh Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal yang berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung. Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan, dan penggunaannya dalam karya fiksi tergantung pada selera pengarang dan kebutuhan penceritaan. Teknik langsung lebih banyak dipergunakan pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan novel Indonesia modern, sedangkan teknik tak langsung terlihat lebih diminati oleh pengarang dewasa ini. Namun perlu juga dicatat bahwa sebenarnya tidak ada seorang pengarang pun yang secara mutlak hanya mempergunakan salah satu teknik itu tanpa memanfaatkan teknik yang lain. Berikut akan dibicarakan kedua teknik tersebut satu per satu. 1. Teknik Ekspositori Dalam teknik ekspositori, yang sering jug disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.33
33
Nurgiyantoro, ibid, h.194 -195.
25
2. Teknik Dramatik Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan (baca: menyiasati) para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.34 Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi, walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik tersebut akan dikemukakan di bawah ini. a) Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh (baca: diterapkan pada) tokohtokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifatsifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang (agak) panjang. Tidak semua percakapan, memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk menafsirkannya sebagai demikian.35 b) Teknik Tingkah Laku Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
34 35
Ibid, h. 198. Ibid, h. 201.
26
c) Teknik Pikiran dan Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifatsifat kediriannya jua. Bahkan pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal itu. Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku pikiran dan perasaan. Dengan demikian, teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.36 d) Teknik Arus Kesadaran Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang samasama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi modern teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologue, monolog batin. Monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”, berusaha menangkap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenangan, nafsu, dan sebagainya. e) Teknik Reaksi Tokoh Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat 36
Ibid., h. 203-204.
27
dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifatsifat kediriannya.37
f) Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh (-tokoh) lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaian kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. g) Teknik Pelukisan Latar Suasana latar (baca: tempat) sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu, memang, dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca. h) Teknik Pelukisan Fisik Keadaan fisik seseorang seing berkaitan dengan keadaan kejiwaan, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tidak mau mnegalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal tersebut berkaitan dengan pandangan budaya masyarakat yang bersangkutan. Pelukisan
keadaan
fisik
tokoh,
dalam
kaitannya
dengan
penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik 37
Ibid., h. 206-207.
28
tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.38
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah Proses belajar mengajar di dalam lingkungan formal, atau biasanya dikenal dengan istilah “pengajaran”, bertujuan mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan dan batas kemampuannya, dan karsa mengenali dan mempertahankan kehormatan dirinya. Dengan kata lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina watak siswa. Artinya, pengajaran sastra menghasilkan manusia-manusia yang dapat bertahan hidup tanpa menyusahkan ataupun merepotkan orang lain.39 Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra
dapat
meningkatkan
keterampilan
dalam
berbahasa.
Dengan
mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, memperluas wawasan hidup, pengetahuan-pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian. Pengajaran bahasa dan sastra dapat membangun kemanusiaan dan kebudayaan sehingga dapat melahirkan masyarakat yang mampu berpikir kritis mandiri, dan sanggup berekspresi dan berapresiasi dengan baik. Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Sastra dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, menunjang pembentukan watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.40 Dalam pengajaran sastra khususnya mengenai prosa cerita yang berbetuk 38
Ibid., h. 209-210. Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h.30. 40 Kinaryati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), h. 84-85. 39
29
novel akan dipaparkan di sini. Sebagai seorang guru bahasa dan sastra sebaiknya dapat menentukan novel yang cocok dibaca dikalangan pelajar saat ini,
sesuai
dengan
tingkat
kebahasaan
yang
dikuasainya.
Novel
memungkinkan seorang siswa dengan kemampuan membacanya, hanyut dalam keasyikan. Saat ini banyak dijumpai novel-novel bermutu sastra. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pengajaran sastra adalah cukup mudahnya
karya
tersebut
dinikmati
siswa
kemampuannya masing-masing perorangan.
41
sesuai
dengan
tingkat
Namun, seperti yang diketahui
bahwa tingkat kemampuan tiap-tiap individu tidaklah sama. Hal ini bisa menimbulkan masalah di kelas. Oleh karena itu, dalam melakukan pengajaran novel, guru dituntut untuk luwes dan menggunakan strategi kerja kelompok dengan baik. Tujuan utama yang dicapai dalam pengajaran novel meliputi peningkatan kemampuan membaca baik secara intensif dan ekstensif. Dalam melakukan pengajaran, tentunya ada masalah yang mencangkup pengembangan minat secara umum. Berikut adalah solusi dalam menggiatkan minat baca siswa. 1. Memberi contoh Langkah penting untuk menanamkan kebiasaan pada seseorang yaitu dengan memberi contoh atau tindakan nyata. Dalam hal ini membaca adalah contoh terbaik yang diberikan oleh guru sendiri. Karena gurulah yang dapat memberi gambaran jelas tentang pengalaman yang didapatnya dari apa yang dibacanya. Guru sastra hendaknya dapat memancing kesiapan para siswanya untuk mengikuti contoh-contoh dengan memberikan bacaan berupa cerita baru, esai, dan puisi yang sesuai dengan situasi khusus yang dihadapi siswa-siswanya.42 Guru juga hendaknya memberikan kesempatan pertama pada siswa yang telah siap mengemukakan pendapatnya, dan sambutan atau pujian tentunya akan lebih baik membuat siswa lebih bersemangat.
41 42
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius,1988), h.66. Ibid.,h. 67.
30
2. Memberi sugesti Guru tidak hanya cukup memberi contoh, tapi dia juga harus memberikan saran-saran agar contoh-contoh yang dia berikan dapat dengan lebih mudah diikuti siswa-siswanya. Saat membaca buku tentunya buku bacaan yang dipilih adalah yang mengandung saran baik ataupun memberikan amanat yang dapat dipelajari oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Guru hendaknya memberikan daftar bacaan agar siswa lebih mudah membaca buku yang dianjurkan. Dalam membuat daftar bacaan ini, guru perlu juga mengadakan penelitian kecil-kecilan untuk mendapat tanggapan siswa mengenai buku-buku terbitan baru yang perlu diikutsertakan dalam daftar. 3. Memberi kemudahan Saran-saran hendaknya diberikan dengan mempertimbangkan kemudahan yang ada. Daftar buku yang dianjurkan harus dibuat berdasarkan buku-buku yang mudah didapat siswa, misalnya di perpustakaan.43 Menyuruh siswa membaca buku di perpustakaan tentunya sangat menguntungkan. Siswa tak perlu mengeluarkan uang jika ingin membaca buku karena perpustakaan siap menyewakan buku yang diinginkan. Namun tentunya, guru seharusnya ikut serta menjadi anggota perpustakaan atau terlibat dalam pengelolaannya sehingga dapat menyampaikan saran serta usul yang berkenaan dengan kepentingan siswa-siswanya. Selain itu pihak sekolah juga hendaknya terus berusaha meningkatkan fasilitas perpustakaannya. Membuat perpustakaan menjadi tempat belajar yang nyaman dan tidak menjenuhkan, tentunya akan membuat siswa lebih senang untuk di sana dan membaca buku. Bukubuku yang disediakan tentunya buku-buku yang mudah dipahami oleh siswa. Beberapa buku yang sulit dipahami, dapat disediakan asalkan dapat menumbuhkan minat baca siswa tersebut untuk membacanya sampai tamat.
43
Ibid., h. 68.
31
4. Pengukuhan Untuk menumbuhkan motivasi membaca dari dalam diri siswa, sebaiknya guru
menyarankan agar siswa-siswanya membuat catatan
singkat tentang apa yang telah mereka baca. Buku catatan ini hendaknya berisi informasi penting tentang buku-buku (novel) yang telah dibacanya, yang meliputi: judul buku, masalah yang menarik perhatian, tokoh dalam novel tersebut, komentar dan kritik, kutipan-kutipan yang diingat, dan pendapat orang lain mengenai buku tersebut.44 Dengan melakukan kegiatan tersebut, guru dapat mengetahui bagaimana minat baca siswa terhadap suatu buku, selain itu guru juga dapat memasukkan sebagai nilai tambahan agar siswa lebih termotivasi dan lebih bersemangat dalam membaca.
44
Ibid., h. 69.
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL AMBA A. Unsur Intrinsik Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak 1. Tema Dalam suatu karya sastra tema merupakan pokok penting, karena menjadi dasar suatu cerita Selain itu tema sering menjadi acuan untuk menentukan konflik dalam rangkaian peristiwa. Tema yang diangkat dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak secara keseluruhan adalah perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup. Pertama, dia ingin kuliah namun ibunya menolak. “Bapak dari tadi ndak denger omonganku? Anak itu ingin melanjutkan ke universitas, Pak.” “Pak, bapak ndak tahu pendapatku. Bagiku keinginannya ndak masuk akal, karena toh sekarang sudah ada Nak Salwa. Lha wong cari suami lebih susah daripada sekolah, dia malah maunya ndak butuh keluarga, ndak butuh pendamping.”1 Dari kutipan tersebut terlihat kecemasan ibunya yang menginginkan Amba untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Dia hanya ingin anaknya menikah dan mengurus rumah tangga, seperti anak-anak perempuan di desanya. Nuniek (ibunya Amba) berpandangan demikian karena saat dahulu keluarganya sendiri tidak memperbolehkan dia untuk sekolah tinggi-tinggi, anak perempuan akan menikah dan ikut suaminya kelak, jadi terdapat perbedaan dalam urusan studi untuk laki-laki dan perempuan. Pandangan itu ingin dia terapkan kepada anaknya, Amba. Namun Amba adalah anak yang keras, dia berhasil mengubah pandangan ibunya, dengan cara belajar giat untuk mendapat nilai terbaik serta berkat kunjungan Salwa untuk pertama kalinya di rumah mereka. Berikut kutipan ini adalah penjelasan tersebut. “Pilihan yang menarik, Dik. Fakultas Sastra di Gadjah Mada saya dengar bagus sekali. Semoga saya masih di sana andaikan Dik Amba diterima.” 1
Laksmi Pamuntjak, Amba, (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 130.
32
33
Tiba-tiba itu tidak terlihat galau; ada sinar baru pada matanya, membayangkan masa depan yang tiba-tiba membentang anak dan menantu, sama-sama orang perguruan tinggi.2 Dalam kutipan di atas sebagai penjelas, Nuniek (ibu Amba) tidak mencemaskan lagi jika Amba harus kuliah, namun dia berpikiran lain jika nanti anak dan menantunya adalah lulusan perguruan tinggi, tentunya dia akan sangat senang. Perjuangan yang kedua Amba merupakan perempuan yang tidak pernah berhenti mencari cintanya yang hilang bertahun-tahun. Amba mencari kekasihnya, Bhisma Rashad hingga ke Pulau Buru. “Saya menerima sebuah pesan e-mail anonim.” “Apa kata pesan itu?” “Bhisma meninggal. Ia yang bermula dan berakhir di Buru.”3 Kutipan tersebut merupakan percakapan antara Samuel dan Amba. Tahun sudah berganti, Amba sudah berusia enam puluh dua tahun. Dalam percakapan diketahui bahwa Amba mendapat sebuah e-mail kaleng, tanpa identitas dan palsu. Email itu mengabarkan jika Bhisma selama ini diasingkan dan meninggal di Pulau Buru. Amba lantas pergi mencari informasi tersebut dan menemukan jejak-jejak Bhisma di sana. Dia tidak henti mencari keberadaan Bhisma, selama di sana Amba ditemani oleh Zulfikar, seorang tapol yang juga teman Bhisma di pengasingan. Amba begitu terpukul, di hari-hari setelah Bhisma menghilang dia selalu sedih. Namun dia tersadar jika hidup memang harus dijalani, dan dia tidak bisa terus mengeluh dan bersedih saja. Seorang perempuan akan memilih, juga ketika ia tidak memilih, di hadapan dua lelaki yang tak didapatnya dan yang tak mendapatnya. Inilah adegan untuk lelaki ketiga.4 Aku tak bisa kembali ke orangtuaku, aku tak bisa kembali ke Salwa, aku harus punya kehidupan baru.5 2
Ibid., h. 134-135. Ibid., h. 365. 4 Ibid., h. 273. 5 Ibid., h. 286. 3
34
Kutipan di atas menjelaskan Amba bukanlah orang yang putus asa, justru dia ingin melanjutkan hidupnya. Dia tak bisa menemukan Bhisma yang hilang. Amba juga tidak bisa kembali kepada Salwa, karena dia telah mengkhianati cintanya. Dia juga meninggalkan tempat kelahirannya di Kadipura, meninggalkan keluarganya. Menurutnya, tidak mungkin kembali ke kampungnya membawa aib, dan keluarganya pasti malu memiliki anak seperti dia, yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menikah dengan Adalhard dan membina rumah tangga bersama anak yang dikandungnya bersama Bhisma. Semua itu dilakukan untuk melanjutkan hidupnya. Di mana Bhisma. Tiap hari aku menantikan berita pembebasannya, membayangkan sebuah rumah ke mana ia akan pulang, berharap bahwa aku, entah bagaimana caranya, akan jadi bagian dalam kepulangan itu. Tetapi ia tidak ada dalam daftar tahanan yang kembali. Bertahun-tahun kemudian aku pasrah. Ia tak akan pernah kembali.6 Kutipan di atas menggambarkan kegalauan hatinya sejak Bhisma menghilang darinya. Namun, meski dia telah menikah dengan orang lain dan membina hidup dengan lebih baik, lantas tidak membuatnya bisa melupakan Bhisma. Dia masih tetap mencari keberadaannya, dan berharap suatu hari nanti Bhisma akan datang padanya dan bisa hidup bersamanya. Tetapi yang terjadi, dia tidak mendapat kabar apapun tentang Bhisma. Aku menerima kabar kematiannya kurang dari dua minggu yang lalu, lewat e-mail, dari seseorang yang tak menyebut namanya. Aku menjawab dengan kacau. Mungkin bahkan dengan sedikit sinting. Ia lebih merupakan semburan perasaanku ketimbang pertanyaan-pertanyaan yang penting. Aku merasa butuh menumpahkan pada orang yang telah berani menghubungiku itu, dan yang sudah jelas mengenalnya, bahwa Bhisma, seperti kekasih dalam Serat Centini, mengembara terus di dalam diriku, mengalir dalam darahku. Meskipun aku telah lama mengiranya pergi.7 Kutipan tersebut merupakan kelanjutan dari kutipan sebelumnya 6
Ibid., h. 391. Ibid., h. 391.
7
35
yang menjelaskan betapa terkejutnya dia mendapatkan kabar mengenai Bhisma setelah puluhan tahun lamanya tidak ada kabar. Kabar tersebut didapat tidak lama setelah suaminya Adalhard meninggal, Amba mendapatkan sebuah email yang tidak diketahui pengirimnya. Email itu berisi bahwa Bhisma telah meninggal di Pulau Buru. Itulah sebabnya dia mencari kebenaran berita itu ke Pulau Buru. Kutipan di atas juga menggambarkan bagaimana perasaannya selama ini, meskipun dia sudah menikah dan hidup dengan orang lain tapi bayangan Bhisma tetap ada. Dia tidak bisa melupakan Bhisma meskipun nantinya dia tahu bahwa kekasihnya telah meninggal. Kesimpulan dari tema dalam novel ini adalah perjuangan dalam menjalani hidup dan kegigihan seorang perempuan dalam mencari kekasihnya yang telah hilang bertahun-tahun. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan. Dalam novel Amba, cara Laksmi menggambarkan tokoh-tokoh ini dengan teknik dramatik, penggambaran tokoh tidak secara langsung. Untuk kepentingan penulisan novelnya ini, dia melakukan observasi langsung, dengan datang ke Pulau Buru, melakukan wawancara dengan para eks tapol (tahanan politik), dan juga para korban yang mengalami langsung saat peristiwa 1965 serta pengalamannya di Pulau Buru. Seperti dalam wawancaranya dengan Deutsche Welle (sebuah broadcaster internasional Jerman) Laksmi menjelaskan, “Sumber utama saya adalah Amarzan Loebis (wartawan senior Tempo dan eks tapol-red) yang dikirim ke Pulau Buru pada November 71. Juga kepada Hersri Setiawan dan Kresno Saroso, sebagai orang-orang yang pada siapa selain Pram, saya berhutang budi.”8 Jika ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat 8
Laksmi Pamuntjak, Lembaga Pembela Korban Pulau Buru & Normalisasi Kejahatan 65, artikel diakses pada 23 Februari 2013 dari http://www.dw.de/laksmi-pamuntjak-pulau-burunormalisasi-kejahatan-65/a-16601193
36
dibedakan atas tokoh utama dan tambahan, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan bekembang. a. Amba Amba Kinanti adalah anak sulung seorang guru di Kadipura. Ayahnya bernama Sudarminto dan ibunya Nuniek. Dia mempunyai dua adik kembar perempuan yang bernama Ambika dan Ambalika. Dalam novel Amba, Amba merupakan tokoh utama, dan dari segi perwatakannya sebagai tokoh berkembang. Dia menjadi tokoh penting karena semua cerita terfokus dan tertuju kepadanya (sentral). Dalam novel diceritakan bahwa Amba menjadi tokoh paling dominan karena tahapan kehidupannya diceritakan secara tuntas, dari sejak kecil hingga setelah tragedi 1965 terjadi yang membuat hidupnya berubah. Selain karena kehidupan yang diceritakan secara tuntas, dia juga menjadi utama dilihat dari penyampaian tema cerita yang tergambar dalam setiap tahapan yang dilaluinya, selain itu tokoh ini mengalami perkembangan perwatakan, sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini. Semenjak lahir, Amba selalu tahu ia bukan yang tercantik di keluarganya. Ibunya bekas kembang desa. Tapi, ketika si kembar lahir, hidupnya seketika berubah. Ia bukan lagi bukan yang tercantik, melainkan yang paling tidak cantik.9 Pada kutipan pertama, sebagai penjelas bagaimana Amba kecil saat berusia dua belas tahun digambarkan sebagai perempuan biasa, tidak lebih cantik dari ibu dan kedua adiknya. Meskipun dianggap tidak cantik,
dia tidak ambil pusing, justru Amba cuek, menjadi
perempuan yang mandiri, dan di antara adik-adiknya dia menjadi wanita yang pintar dan cekatan. Begitu pun saat beranjak dewasa, dia tumbuh sebagai perempuan 9
Laksmi pamuntjak,Amba, (Jakarta:Gramedia, 2013), h.79.
37
yang pintar, hingga berhasil masuk sebagai mahasiswi Sastra Inggris di UGM. Setengah tahun berlalu dan Amba diterima di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Sembilan belas tahun usianya. Untuk pertama kalinya, ia merasa hidup. Segalanya nampak baru, penuh kemungkinan, bukan Kadipura. Ia jatuh cinta pada Yogya, pada kehidupan kampus, pada sastra. Ia makin tahu untuk menikmati tafsir, terpesona pada ambiguitas, pada teori yang berbeda-beda.10 Kutipan di atas adalah penggambaran dirinya saat sudah berada di kampus. Dia begitu menyukai sastra, harinya hanya untuk membaca karya sastra dan dirinya sudah mulai menyukai Yogya. Dia merasa menemukan kehidupan yang lebih baru di kota tersebut. Dalam kisah asmara, Amba bukanlah perempuan yang mudah untuk jatuh cinta, dan dirayu laki-laki. Akan tetapi, saat Salwa hadir dalam keluarganya, laki-laki tersebut membuat orang tuanya langsung jatuh cinta pada kepribadian lelaki tersebut, dan memutuskan untuk menjadikannya calon menantu dalam tali pertunangan. Sebagai anak yang berbakti, Amba menerima pertunangan yang dirancang orang tuanya, dengan pertimbangan Salwa bukanlah lelaki gombal, baik, dan sikapnya yang sopan. Namun demikian dia tidak pernah memberikan seluruh hatinya pada lelaki itu, sikapnya tetap dingin. Saat Salwa ditugaskan selama satu tahun karena pekerjaannya, mengharuskan mereka terpisah. Amba bukanlah perempuan yang diam dan menunggu Salwa, dia pun memiliki mimpi untuk masa depannya. Maka, saat Amba melihat pengumuman di kampusnya ada sebuah rumah sakit di Kediri membutuhkan tenaga penerjemah dokumendokumen medis, Amba langsung mengisi lowongan tersebut. Dicari: seorang penerjemah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Bersedia tinggal di sebuah lokasi paling lama dua minggu. Akomodasi dan semua pengeluaran termasuk honorarium ditanggung. Mohon hubungi Dr. Suhadi Projo, 10
Ibid., h.178.
38
Jl. Kemenyan 15, Kediri.11 Kutipan tersebut merupakan info lowongan kerja yang terpasang di papan pengumuman kampus. Amba yang melihat pengumuman tersebut, langsung tertarik bekerja sebagai penerjemah di sana. Kediri tahun 1965, sudah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa ormas dan PKI. Kota tersebut tidak aman dan jam-jam malam mulai diberlakukan. Namun Amba justru datang ke kota tersebut untuk bekerja. Saat di Kediri Amba juga menemukan cinta sejatinya, Dokter Bhisma Rashad. Kutipan di bawah ini sebagai penanda Amba mulai jatuh cinta pada Bhisma, dan mulai merasakan kerinduan jika dia tidak ada. Ketika Dr. Rashad meninggalkan kantor untuk memulai tugas piketnya memeriksa setiap pasien rawat inap, Amba merasa ada tekanan yang hilang dari ruangan itu.12 Kutipan di atas menggambarkan kerinduan mulai dirasakannya terhadap Dr. Bhisma pada saat dia pergi darinya. Amba terpesona pada parasnya yang rupawan dan juga cerita tentang kehidupannya di Eropa membuatnya kagum. Kedekatannya itu memuat mereka menjalin kasih, padahal baru seminggu Amba bekerja di Kediri. Bhisma Rashad adalah seorang dokter yang berhasil memikat hatinya. Ada yang tidak ditemukan pada diri Salwa, dia hanya menganggap Amba sebagai seorang adik dan Amba tidak merasakan cinta sebagai kekasih padanya, hal itu membuatnya mengkhianati tunangannya dan memadu kasih dengan Bhisma. Pada tahap ini terlihat perkembangan tokoh Amba, yang semula begitu dingin terhadap laki-laki dan acuh, tetapi menjadi luluh saat mengenal Bhisma, bahkan dia memberikan apapun untuk kekasihnya tersebut, hingga Bhisma menanamkan benih di rahimnya.
11 12
Ibid., h.156. Ibid., h.178.
39
Dan mengapa ia dan lelaki lain ini, seorang yang bukan tunangannya, seorang bersama Bhisma, bertemu di tempat yang jauh dari ketenteraman ini, tatkala api menyebar merah di hati orang banyak? Dan mengapa satu-satunya merah yang mereka rasakan adalah yang mengalir di nadi mereka, menggetarkan hasrat mereka,dan mengapa hal itulah yang akhirnya akan diketahui oleh Salwa,.. 13 Kutipan di atas sebagai bentuk pertanyaan Amba pada dirinya sendiri, dia juga mengkhawatirkan bagaimana reaksi Salwa nanti saat tahu tentang hubungannya dengan Bhisma. Tetapi kisahnya dengan Bhisma tidaklah berakhir bahagia, Bhisma menghilang saat terjadi kerusuhan dalam peringatan kematian temannya di Universitas Res Publica, kemungkinan dia ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru karena kedekatannya dengan PKI, dan
saat itu pula hidup Amba
terkatung-katung. Ia harus meninggalkan Yogya. Ia harus tidak kembali ke Kadipura. Ia juga harus tidak ke Surabaya. Pada Salwa masa lalu itu bisa ditebus dengan masa depan, tetapi ia telah mengkhianati orang baik itu, dan ia tidak mau mengkhianatinya lagi. Selalu ada kemungkinan seseorang yang melihat dia di Ureca malam itu akan bercerita kepada pihak-pihak yang menangkap dan menghukum. Betapapun tidak bulatnya masa lalu itu---Bhisma yang hilang, Bumi Tarung yang hanya semalam, CGMI yang hanya ia datangi--ia bisa mencelakakan Salwa bila ia hidup di dekatnya.14 Kutipan di atas menjelaskan peristiwa saat hilangnya Bhisma dia memutuskan untuk tidak kembali ke keluarganya, maupun pada Salwa. Dia terlanjur malu karena telah mengkianati Salwa. Selain itu, Bhisma begitu dekat dengan ormas-ormas PKI. Jika Salwa dan keluarganya tahu mengenai hubungan Amba dengan Bhisma, tentunya hidup mereka akan terancam. Amba memilih pergi, meninggalkan semua orang terdekatnya. Kutipan di bawah ini adalah surat Amba sebagai permintaan maafnya pada Salwa dan Bapaknya. Aku pamit, Mas Salwa; aku pamit dengan sayang. Tak mudah untuk memutuskan apa yang lebih 13 14
Ibid., h. 201. Ibid., h. 278.
40
menghukum: pulang dan menghadapi kekecewaan Bapak dan Ibu, melihat wajah Ibu yang tak tahan didera malu, menyaksikan bagaimana adik-adikku yang gara-gara aibku akan lebih sulit mendapat jodoh; mata Bapak yang luka; 15 Dalam novel ini Amba merupakan tokoh utama yang utama. Amba
selalu
hadir
sebagai
pelaku
dan
bertindak
sebagai
pengembangan plot dari awal hingga akhir cerita. Di sini pengarang menggambarkan tokoh Amba sebagai perempuan yang cerdas, suka membaca, menyukai sastra, sedikit angkuh, dan memiliki sisi yang menarik bagi orang lain, meskipun dirinya tidak cantik jika dibandingkan dengan kedua adik kembarnya. Dia pemalu namun dalam diamnya ia sebenarnya kritis, banyak pikiran yang bergejolak tentang dunia luar yang ada di sekitarnya. Perkembangan wataknya juga terlihat di awal cerita, Amba diceritakan sebagai anak yang rajin, cekatan, penurut, selalu patuh pada orang tuanya. Namun dia bertentangan dengan ibunya dalam hal pendidikan, ibunya menginginkan dia menikah tetapi Amba ingin melanjutkan sekolahnya. Kegigihannya berhasil meyakinkan ibunya untuk mengizinkan dia kuliah. Kedua, sikapnya yang dingin pada lakilaki justru berbeda saat bersama Bhisma. Dia begitu mencintainya dan bergantung padanya, hingga saat Bhisma hilang dia merasa hidupnya hancur. Kemudian dia menggantungkan hidupnya pada Adalhard, seorang ekonom yang menjadi dosennya di UGM. Lelaki itu mau menerimanya dan anak yang sedang di kandung bersama Bhisma. Kekerasan politik di tahun 1965 yang dialaminya, juga memaksanya untuk bisa bertahan hidup dan menutup masa lalunya. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan tokoh Amba mengalami perkembangan dari segi perwatakan dan merupakan tokoh utama yang utama.
15
Ibid., h. 293.
41
b. Bhisma Sama seperti tokoh Amba, tokoh Bhisma dalam novel Amba memiliki peranan yang penting. Laksmi menampilkan Bhisma sebagai tokoh yang mengungkapkan sejarah. Apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya dia ceritakan pengalaman itu kepada Amba. Bhisma lahir pada 6 Desember 1932, dia dibesarkan di Menteng. Ibunya bernama Miriam Rashad, seorang wanita Jawa Tengah. Ayahnya, Asrul rashad datang dari sebuah keluarga di Bukittinggi, dia lebih senang menyendiri, dan lebih suka diam. Bhisma mengagumi ayahnya, tetapi tidak merasa cocok dengannya. Bhisma bungsu lelaki satu-satunya dari empat gadis saudaranya. Dengan latar belakang keluarganya, dia dapat masuk sekolah Belanda lalu melanjutkan studinya ke Eropa. Bhisma dokter muda lulusan Universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman Timur. Tahun 1963 dia kembali ke Jakarta, kemudian pada 1965 dia bekerja di sebuah rumah sakit Kediri. Di sinilah dia bertemu dengan Amba dan menjalin kasih dengannya. Bhisma lama hidup Eropa, dan ini membuatnya simpati pada gerakan kiri, gerakan kaum tertindas. Dia banyak menyaksikan temantemannya saat berada di Leipzig. Monica, yang aku pernah sebut dalam suratku dua bulan lalu, minggu lalu menghilang. Aku kemarin baru tahu ia lari ke Barat karena kakaknya yang tinggal di Dresden ditangkap. Stasi menuduhnya jadi “agen Amerika”, tetapi tuduhan seperti ini sudah terasa bohongnya.16 Kutipan tersebut adalah penjelasan surat yang dikirim Bhisma untuk kakaknya Mitha. Cerita yang dia ungkapkan mengenai kejadian di Leipzig, bagaimana temannya sendiri harus melarikan diri karena takut dituduh oleh stasi.17 Bhisma banyak melihat kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan 16
Ibid., h. 407. Stasi adalah Polisi Rahasia Jerman Timur yang dianggap sebagai mitra yang sangat setia dan efektif oleh Uni Soviet. 17
42
saat di Jerman. Hal ini berpengaruh kepada dirinya hingga bersimpati kepada kaum kiri. Dia benar-benar melihat bahwa perbedaan itu ada. Di sebelah timur tembok Berlin kehidupan sangat suram dan kejam. Namun di sana manusia masih bersemangat untuk memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Hal yang lain ditemui di sebelah barat tembok Berlin, kehidupan masyarakatnya memang makmur, namun terdapat kekosongan dalam hingar bingar tersebut, di mana hidup sepenuhnya ditentukan oleh kekuasaan dan uang. Selain itu, Bhisma mencari tahu perbedaan-perbedaan tersebut dengan membaca buku. Malam-malam berikutnya Bhisma membaca dua buku yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah tentang perempuan Yahudi Jerman itu, pemimpin gerakan sosialis kiri yang ditembak mati kaum kanan begitu saja, tanpa peradilan, dan mayatnya dibuang seperti mayat anjing di sebuah kanal. “Coba kau baca, Bhisma, coba kau baca ini, yang dikatakannya: “Aku merasa dekat dengan korban yang sengsara di perkebunan-perkebunan Putamayo dan dengan orang-orang negro Afrika yang tubuhnya dijadikan bola mainan orang-orang Eropa….Aku tak punya tempat yang istimewa bagi kaumku, kaum Yahudi. Aku merasa rumahku di seluruh bumi, di mana ada awan, dan burung-burung dan air mata manusia”. 18 Kutipan di atas adalah surat yang ditulis oleh Rosa Luxemburg, seorang
revolusioner
Marxis
yang
memimpin
pemberontakan
Spartakus di Berlin. Dalam suratnya Rosa menuliskan bahwa dia dekat dengan para korban, dan dia mengabdi untuk kesejahteraan mereka yang tertindas. Dengan demikian Bhisma telah menemukan jalannya. Dia memilih kiri bukan karena pengagum Stalin19 atau pengagum Rosa Luxemburg. Menurutnya, manusia hidup bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan berguna bagi siapapun. Bhisma menjadi dokter dan 18
Ibid., h. 221. Josef Stalin adalah pemimpin Uni Soviet yang kejam, dan menjadikan Eropa Timur sebagai negara komunis. 19
43
memilih perannya ini di tempat-tempat terpencil, rumah sakit kecil, bukan mengabdikan dirinya menjadi dokter di rumah sakit besar di perkotaan. Dia seorang dokter yang berkewajiban menolong siapa pun yang
membutuhkan
pertolongannya.
Dengan
banyak
melihat
penindasan dan kekerasan yang terjadi dia mengabdikan dirinya untuk mengabdikan pada kaum yang lemah. Sifatnya yang penolong ini sebagai pengalamannya saat dia tinggal di Jerman.
Seperti dalam
kutipan berikut ini, Bhisma tidak ingin menjadi dokter yang hanya menginginkan uang dan jabatan. “Hidup yang kubayangkan bukan jadi spesialis jantung dan penyakit dalam, dengan praktik yang laku dan rumah besar dan mobil hebat dan istri cantik dan diundang ke resepsi orang-orang terhormat. Aku takut jadi borjuis, manja, gemuk, lembek. Seorang ahli anestesi berdiri sendiri, ia sebuah republik sendiri. Tidak jadi budak rumah sakit mana pun, sistem mana pun. Itu saja cukup, di samping rasa puas dapat membuat seseorang lelap tertidur, tak merasakan apa-apa, tetapi hidup.”20 Kutipan tersebut menggambarkan tujuan Bhisma menjadi dokter bukan untuk memperkaya diri, bahkan dia takut nantinya menjadi borjuis. Dia menjadi dokter untuk mengobati orang lain yang membutuhkan jasanya, membuat orang lain jadi sembuh. Ini dibuktikan olehnya setibanya di tanah air, dia justru bekerja di rumah sakit di Kediri. Rumah sakit itu tidak besar, banyak perawat yang heran dengan keberadaan dokter Bhisma, lulusan Leipzig namun bekerja di tempat yang terpencil itu. Siapa yang menyangka, justru di rumah sakit ini Bhisma menemukan cinta sejatinya. Meski Amba baru dikenalnya seminggu, namun dengan gadis ini dirinya menjalin asmara. Amba terpesona pada sosoknya dan juga ceritanya di Jerman yang membuatnya menarik. Kamar rumah sakit menjadi tempat rahasia percintaan mereka. Cinta mereka bersemi di tengah tragedi, saat itu meletusnya 20
Ibid., h. 193.
44
G30S, suasana sedang genting. Kedekatannya dengan gerakan kiri tentunya
sangat
membahayakan
dirinya.
Sahabatnya,
Untarto
ditangkap dan ditemukan tewas. Bhisma dan kawan-kawannya juga dengan Amba menggelar peringatan kematian Untarto di Universitas Res Publica. Namun acara ini dibubarkan secara paksa dan akhirnya Bhisma ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru. Bhisma hilang, dan Amba tidak tahu keberadaannya. Sejak saat itu mereka terpisah. Amba melanjutkan hidup di Jakarta, dan Bhisma hidup dalam pengasingan di Pulau Buru. “Menikah dengan seorang perempuan yang tak lagi muda, yang kabarnya mengungsi ke sana bertahun-tahun lampau dari lereng-lereng gunung sekitar Lembah Waepo; perempuan itu lalu diangkat anak oleh Kepala Adat setempat. Perempuan itu dibuang oleh soa-nya karena dianggap telah belaku maksiat dengan seorang bekas tapol.” Ketika ia dinikahkan dengan Bhisma, untuk pertama kalinya ia merasa bahwa hidup itu bisa adil. Perempuan itu kemudian bercerita kepada para ketua soa di daerah itu bahwa Bhisma memperlakukannya sebagai adik, tak lebih dari itu. Manalisa memberi penjelasan: dokter itu masih merasa telah menikah dengan seorang perempuan yang jauh di Jawa, yang sejak sebuah hari yang menakutkan tidak ia temukan lagi.21 Dari kutipan tersebut terlihat, Bhisma menikah dengan seorang perempuan di Buru, alasannya menikah bukan karena cinta atau ingin memiliki keturunan. Dia menikah untuk menolong seorang perempuan yang dibuang oleh kepala sukunya karena melakukan kesalahan. Perlakuan terhadapnya sangatlah sopan, dia hanya menganggap perempuan
tersebut
sebagai
adiknya.
Dia
menjaganya,
dan
membuatnya aman sebagai saudara, sebab bagi Bhisma hanya ada Amba seorang Bhisma hidup dalam perbedaan dan konflik. Dia sudah terbiasa akan keadaan seperti itu. Saat berada di Jerman, Kediri, maupun Pulau Buru. Keadaan ini berpengaruh pada dirinya, dan menjadikan dia 21
Ibid., h. 465.
45
sebagai lelaki yang sudah terbiasa jika melihat penindasan maupun ketidakadilan. “Kemudian para penyerang datang kembali dan memaksa keluar orang-orang yang masih bersembunyi di lantai dua. Hanya sedikit yang bisa selamat. Salah satu dari mereka bercerita ia melihat seorang penyerang menanyai seorang wanita yang sedang menggendong bayinya apakah ia Obed atau Acang. Ibu itu menjawab, “Obed,” dan segera penyerang itu menebas bahunya dengan pisau panjang. Seperti ibunya, bayi itu juga terbunuh.”22 Kutipan tersebut merupakan surat-surat Bhisma yang terkubur di pohon, yang kemudian diberikan Manalisa kepada Amba. Dalam suratnya Bhisma menceritakan tentang Buru dan orang-orang dalamnya, tentang kegelisahan Bhisma di sana. Seperti kutipan surat di atas yang Bhisma ceritakan di bulan Desember 1999, adanya konflik agama terjadi di Ambon dan juga Buru. Dia bercerita seakan tahu jika Amba nantinya akan membaca suratnya itu. Bhisma menyaksikan sendiri, terdapat dua kubu yang saling membunuh antara “obed” (sebutan untuk “Kristen”) dan “acang” (untuk “Islam”). Kedua kata tersebut terdengar sakral, bahkan bisa saling membunuh. Bertahuntahun Bhisma hidup dalam konflik. Dia menyaksikan orang yang dibunuh di Leipzig karena mendapat cap “kontra-revolusioner”, menyaksikan dan mengalami arti huruf A, B, bagi hidup mati seseorang. Begitu penting arti bahasa, karena bahasa-bahasa tersebut dapat menjadi bom, yang bisa membunuh setiap saat. Sampai akhir hayatnya Bhisma tetap memilih menetap di Buru setelah kamp-kamp tahanan dibubarkan. Dia merasa tidak ada tempat lagi yang bisa tinggali, untuk kembali pulang ke rumahnya, teman, maupun kepada kekasihnya. Bhisma kemudian pindah di daerah transmigrasi di hulu Sungai Waepo. Di tempat itu, dengan cepat dia diterima sebagai anggota keluarga. Orang di daerah itu menyebutnya “Guru dari Waepo”, 22
Ibid., h. 470.
46
setelah dengan dibantu dua orang guru Sekolah Dasar yang mengungsi ia memberikan penerangan tentang kesehatan dari tempat ke tempat.23 Bhisma tetap menjadi dokter, dia memberikan pengetahuan yang dimilikinya pada masyarakat sekitarnya. Memberikan vaksin,dan mengobati yang sakit. Tidak kenal lelah mengobati, terkadang dia kedapatan tertidur di atas pohon karena kelelahan. Penduduk di sana memanggilnya “Guru dari Waepo”. Bhisma meninggal ditembak oleh Sabas, pemuda Kristen berumur 26 tahun. Saat itu, dia menolong “acang” yang ditembak Sabas. Bhisma mendengar pertengaran mereka, dan melihat ada orang yang tertembak, dengan segera dia mengobatinya. Namun yang terjadi justru dia juga ditembak oleh pemuda itu. Tokoh Bhisma sebagai tokoh utama yang tambahan. Artinya meski pemunculan tokohnya dalam cerita tidak banyak, namun Bhisma banyak berhubungan dengan penceritaan. Kisah percintaannya dengan Amba juga berpengaruh pada pandangan Amba terhadap kehidupan, karena Bhisma adalah tokoh yang kehilangan segala kehidupan, impian, pribadi, serta cintanya, namun tetap berjuang untuk hidupnya. c. Salwa Salwani Munir. Lewat perjumpaannya yang tidak disengaja di Universitas Gadjah Mada dengan Sudarminto dan Nunik (orang tua Amba), Salwa langsung bisa memikat hati orang tua tersebut. Sedikit pucat, wajah cekung, berkacamata, hidungnya yang lumayan mancung, ada sekilas kumis di bawahnya. Penampilannya rapi dan parasnya saleh. Hal ini membuat orang tua Amba menyukai Salwa. Oleh karena itu, Nuniek dan Sudarminto menginginkan dia menjadi menantunya dan mengikatnya dalam tali pertunangan. Salwa berumur dua puluh tahun, di usianya yang terbilang muda dia sudah menjadi dosen. Dia sangat mengerti arti perbedaan. Sebagaimana tampak dalam kutipan berikut! 23
Ibid., h. 466.
47
Orangtua Salwa adalah dua kutub. Bapak pemilik perusahaan mebel kecil-kecilan dan kepala cabang Muhammadiyah setempat, ibu anak kiai dan pengurus teras NU di sana. Mereka tak henti-hentinya berselisih tentang politik dan agama, meskipun tidak selamanya dengan katakata.24 Kutipan di atas sebagai penjelas tentang orang tua Salwa. Bapak menganut Islam Muhammadiyah dan ibunya NU. Hal ini tentunya bukanlah perbedaan yang sangat mencolok. Terkadang ada keributankeributan yang terjadi mengenai tata cara sembahyang. Di rumah, Ibu menggerutu: Bagaimana sembahyang yang benar kalau imamnya tidak mengucapkan ushalli. Bapak tiba-tiba berhenti bicara. Ia tidak nampak marah.25 Mengenai cara sembahyang terkadang ada perbedaan, bagi penganut NU wajib mengucapkan ushalli sebelum sembahyang, itu merupakan niat seseorang jika ingin shalat. Namun, bagi penganut Muhammadiyah tanpa mengucapkan ushalli shalat dianggap sah di hadapan Tuhan. Selain dalam hal agama, urusan politik juga sering berbeda pendapat dan pandangan. “Keluarga kami tak seperti keluarga lain, cepat menilai dan menghakimi. Dan meski ibu bersimpati pada PKI, Bapak dikenal luas sebagai orang PNI. Bapak selalu mencoba menasihati para Pemuda Marhaen, ndak baik menghantami orang-orang yang berbeda pandangan dari kita. Yang penting persatuan, begitu selalu katanya.”26 Dalam hal politik, ibunya bersimpati terhadap PKI, dan ayahnya dikenal
sebagai
PNI27. Namun
ayahnya
adalah orang
yang
mementingkan persatuan. Boleh berbeda, tapi persatuan jangan sampai pecah. Itulah yang terjadi pada keluarganya. Keributan-keributan mengenai pandangan dengan istrinya memang sering terjadi, namun hal itu tidak membuat keributan yang besar. Salwa sendiri tumbuh 24
Ibid., h. 115. Ibid., h. 114. 26 Ibid., h. 136. 27 PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berpaham nasionalis, dengan menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan. 25
48
tidak mengikatkan diri secara khusus pada agama dan politik. Dia lebih memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang terpelajar yang mengabdi pada dunia pendidikan. Dia pergi dari rumah, dan memutuskan untuk melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada di bidang ilmu pendidikan. Dia memilih jalannya sendiri dan mengabdi di dunia pendidikan, sebab dia hidup dari keluarga yang berbeda paham. Seperti dalam kutipan di bawah ini, sikapnya melepaskan diri dari kebisingan dan pilihan. Dia memilih untuk menentukan jalannya sendiri. Ia tidak pintar, tapi tekun. Ia melepaskan diri dari kebisingan: kebisingan daruat perang, kebisingan radio yang penuh berita pemberontakan, pembredelan koran, partai yang jadi terlarang, Revolusi, Kontrarevolusi, Manipol, Usdek.28 Salwa tekun dan ambisius jika mengerjakan sesuatu, termasuk cita-citanya. Dia melepaskan diri dari kebisingan, baik itu kebisingan politik atau kebisingan di rumahnya mengenai agama. Semua kesuksesannya tidak diraih dengan mudah, pernah dia hampir gagal. Saat dia kecelakaan, dia dicoret dari daftar tenaga asisten dosen yang akan dikirim ke Amerika Serikat. Berbulan-bulan dia menjalani hidup dengan kekesalan. Namun saat pulih, dia justru semakin giat dan tidak menyerah hingga akhirnya dia diangkat menjadi dosen tetap. Hal ini menggabarkan dirinya sebagai orang yang tidak pantang menyerah, dia berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kisah cintanya bersama Amba berjalan semestinya, Salwa melakoni perannya sebagai kekasih yang lurus, dan baik bagi Amba. Tapi pacarku memang kucing dan begitulah kucing. Dan karena makhluk yang sempurna itu begitu mungil untuknya, setidaknya dua kepala lebih pendek, ia melihatnya lebih sebagai adik.29 Saat Amba beranjak dewasa, dia tumbuh sebagai gadis yang 28 29
Ibid., h. 115. Ibid., h. 146.
49
memesona, berbeda seperti saat dia kecil. Kutipan di atas penggambaran dirinya menurut penilaian Salwa. Salwa melihatnya seperti kucing, kucing sebagai hewan peliharaan yang lucu, yang banyak disayang oleh manusia. Begitu pun dia memandang Amba, dia menganggapnya sebagai adik yang harus dilindungi dan dijaga kehormatannya. Dia hanya ingin Amba masih tetap suci sampai dia menikah nantinya. Suatu ketika Salwa mendapat tugas ke Surabaya selama satu tahun, dengan demikian mereka terpisah. Salwa di Surabaya, dan Amba memutuskan bekerja di Kediri. Akibat dari perpisahan ini, Amba memutuskan untuk bekerja di Kediri hingga akhirnya dia dikhianati olehnya yang menjalin kasih dengan Dr. Bhisma. Kutipan di bawah ini adalah penjelas bahwa Salwa bukanlah lelaki pendendam meski dia sudah sakit hati pada Amba. “Karena pada akhirnya tak ada orang lain yang mencintaiku seperti dia. Cinta yang dalam, tapi terkekang oleh nilai-nilai yang mementingkan wibawa. Cinta yang ingin membebaskan---bahkan mungkin memaafkan---tapi dilarang oleh harga diri. Di salah satu surat Bhisma yang terakhir, ketika ia bercerita tentang kunjungan Salwa, ia menyinggung bahwa Salwa memberitahu Kepala Sipir Penjara bahwa ia punya kenalan di Kejaksaan Agung.”30 Cintanya pada Amba memang masih ada, meski dia telah melanjutkan hidupnya, namun tentang perempuan itu belum bisa dilupakannya begitu saja. Salwa yang sebenarnya membawa Amba ke Buru, karena Salwa yang mengirimkan e-mail kepada Amba. Cinta yang begitu dalam, namun dia mementingkan wibawanya karena tidak mungkin lagi untuk kembali pada wanita itu. Kedatangannya menjenguk Bhisma di sebuah penjara dijelaskan pada surat Bhisma di bawah ini. “Kepala rumah sakit itu---” kata Salwa kemudian, dengan senyum yang sulit ditafsirkan, “dia tahu kalian 30
Ibid., h. 480.
50
pacaran. Dia orang baik, dan meskipun dia kelihatan tak peduli, dia peduli. Dia bisa menangkap semua getar, terutama yang disembunyikan darinya. Seperti saya, dia orang Jawa. Dan ketika aku bertanya kepada kepala rumah sakit itu, di mana Amba, di mana tunanganku, tiba-tiba saja dokter itu tak bisa dibendung. Dia seperti butuh cerita, tentang kalian bedua.” Kutipan tersebut penjelas, bahwa Salwa mencari Amba setelah Amba memutuskan pergi dari hidupnya, dan dia mencari tahu kebenaran tersebut dengan bertanya orang di sekitar rumah sakit, termasuk kepada kepala rumah sakit di Kediri. Ketiga tokoh ini juga dibuat sebagai tokoh-tokoh yang mengalami cinta yang hilang, lantas mereka tidak putus asa, dan menyerah pada keadaan. Sama seperti Amba yang menikah dengan Adalhard, Bhisma dengan Mukaburung, Salwa juga akhirnya menikah dan memutuskan untuk berpindah tempat. “Menurut Ambika, Salwa menikah tahun ’73, lalu pindah ke Makassar. Mungkin pekerjaan membawanya ke sana.”31 Tokoh Salwa sebagai tokoh tambahan yang utama, karena dominasi dalam cerita di bawah Salwa, walau relatif tidak banyak dia juga memengaruhi plot. d. Ambika dan Ambalika Ambika Ambika adalah adik kembar Amba. Dia kembar tertua setelah Ambalika. Seperti yang sudah dijelaskan pada kutipan sebelumnya yang terdapat dalam tokoh Amba, adik kembarnya ini digambarrkan sebagai perempuan yang cantik. Lebih cantik dibandingkan Amba. Ambika memiliki sifat pemarah dan menggerutu. Kutipan di bawah ini adalah menggambarkan sifatnya yang pemarah. Jika Ambika sedang marah, hidung bangirnya menguncup ke atas, seolah dicubit sepasang tangan tak 31
Ibid., h. 482.
51
kasatmata, dan menjadi semakin menonjol di bawah sepasang mata yang besar yang nyaris berimpitan, yang selalu memandang lawan bicaranya dari sebuah sudut.32 Kutipan tersebut sebagai gambaran fisik Ambika saat sedang marah. Kutipan lainnya yang menggambarkan dirinya penggerutu seperti dibawah ini. “Lha kok hidup jadi ga adil begini,” gerutu Ambika. “Semenjak Ibu dan Bapak pulang dari Yogya, ibu kelihatan banget makin sayang sama Mbak Amba. Mentang-mentang baru ketemu orang yang namanya Salwa! 33 Di antara anak-anak Sudarminto, Amba adalah yang paling rajin dan cekatan dalam urusan rumah tangga. Oleh karena itu, saat si kembar diminta menggantikan tugas Amba di rumah, Ambika adalah anak yang paling menggerutu. Namun mereka tetaplah saudara, ikatan darah mengalir pada tubuh mereka. Adikmu Ambika tiba-tiba menarikku ke sebuah sudut rumah. Aku ingin bicara, katanya. Dan tak ada yang tak pada tempatnya, sebab kita sebentar lagi keluarga. Lalu ia mencoba meyakinkanku, walau aku tak mengatakan apaapa, bahwa padamu cintanya murni dan berlimpah-limpah, dan bahwa kamu adalah orang ketiga yang ia sebut dalam doanya, setelah mendiang eyang-eyang, dan setelah orangtua kalian. Di atas segalanya ia berdoa untuk kesehatan dan kesejahteraanmu, dan juga agar segala kebahagiaan berkenaan dengan pernikahan dan kehamilan akan segera menjadi milikmu juga.34 Kutipan di atas adalah surat Salwa yang diberikan kepada Amba. Salwa mengatakan saat dia berkunjung ke Kadipura Ambika menceritakan jika dia sangat menyayangi Amba, meskipun terkadang iri dengan kakaknya tersebut dan kerap kali berbeda pendapat, tetapi dia sangat mencintai kakaknya itu. Kutipan lain yang menggambarkan Ambika menyayangi Amba yaitu. Haha. Ambika, Ambika. Aku sering berbeda pendapat 32
Ibid., h. 87. Ibid., h. 127. 34 Ibid., h. 183. 33
52
dengan dia, tapi pada akhirnya ialah satu-satunya anggota keluargaku yang tetap bersurat padaku dan menengokku dan Sri di Jakarta. Aku yakin, dia pernah jatuh cinta pada Salwa. Suatu kali aku bahkan yakin, dia ingin merebut Salwa dariku. Ternyata ia seorang adik yang setia.35 Meski mereka sering beradu agumen bahkan terkadang ribut saat kecil, tetapi Ambika adalah satu-satunya anggota keluarga yang masih berhubungan dengan Amba. Kejadian ini juga tidak diketahui oleh orang tua mereka. Ambalika Ambalika juga merupakan adik kembaran Amba. Secara fisik, parasnya mirip dengan Ambika, mereka selalu berdua layaknya anak kembar. Namun sifat mereka sedikit berbeda, jika Ambika lebih kuat dan pemarah, Ambalika justru lebih diam dan ringkih. Seperti dalam kutipan ini. Ambika melempar tasnya ke lantai. Ia sendiri kaget ketika menyadari ia pun mampu agresif; ia tahu mata ibunya menatapnya, demikian pula mata adik kembarannya yang sedang rebah di ruang duduk di sebuah amben kayu yang diselimuti tikar, di bawah bola lampu yang menggantung dibubungan, dengan gerakan-gerakan lesu seorang yang sedang didera flu.36 Kutipan tersebut membedakan antara Ambika dan Ambalika, Ambika yang agresif, sedangkan Ambalika sebaliknya lesu karena sedang sakit. Kutipan lainnya juga menandakan Ambalika yang lemah, sakit-sakitan sejak kecil, karena kondisinya itu dia sering ditinggal oleh Amba dan Ambika saat bermain. Ketika mereka masih kecil, mereka kerap meninggalkan Ambalika yang sakit-sakitan di rumah, dan bertualang bersama.37 Namun, jika dibandingkan dengan kembarannya Ambika, Ambalika lebih bijaksana dalam berpendapat dan bersikap. Hal ini 35
Ibid., h. 482. Ibid., h. 90 37 Ibid., h. 91. 36
53
terdapat dalam kutipan berikut. “Ya sudahlah,” sahut Ambalika dengan nada sama getirnya, “Mbok kita mencoba gembira beneran buat Mbak Amba. Suatu hari nanti kan bakal dapet jodoh kita juga.38 Tokoh si kembar Ambika dan Ambalika sebagai tokoh tambahan yang tambahan dalam cerita, karena mereka tidak berpengaruh besar dalam plot, selain itu tokoh-tokoh ini sebagai tokoh sederhana yang bersifat datar, monoton, dan mencerminkan satu watak saja. Watak Ambika digambarkan sebagai anak yang penggerutu dan marah, sedangkan Ambalika digambarkan sebagai anak yang baik dan lemah lembut. 3. Alur Alur yang digunakan dalam novel Amba adalah alur campuran. Dalam novel Amba, skema alur campuran meliputi: D1
A
B
C
D2
E
Dari tahapan alur tempat cerita dimulai, novel ini dimulai pada klimaks, berlanjut tahap penyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, klimaks, dan penyelesaian. D1 Tahap Klimaks Pada awal cerita pengarang membuat awal novel sebagai tahap klimaks, yang oleh penulis ditandai dengan D1. Tahap di mana para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Dalam buku I, pembaca akan dibawa langsung pada konflik cerita. Tiga hari yang lalu, dua perempuan dilarikan ke Rumah Sakit Waepo. Perempuan Pertama baru saja dilukai Perempuan Kedua; ia tak sadarkan diri. Tak satu pun orang di desa itu mengenali Perempuan Pertama; ia bukan “orang kita”. Yang aneh, Perempuan Kedua tidak digelandang ke kantor polisi atau ke rumah sakit jiwa--ia malah diberi kamar sendiri tak jauh dari kamar Perempuan Kedua.39
38 39
Ibid., h. 128. Ibid., h. 15.
54
Kutipan cerita tersebut menjelaskan klimaks yang terjadi yaitu, Perempuan Pertama telah dilukai oleh Perempuan Kedua, sebab terjadinya belum dijelaskan. Perempuan Pertama baru datang ke Buru, namun ada Perempuan Kedua yang menyerangnya dan langsung melukai Perempuan Pertama.
Asal muasal kedatangan Perempuan Pertama masih belum
diketahui. Kejadian ini tentunya membuat rumah sakit geger. Banyak pertanyaan yang dilontarkan, namun banyak pula yang tidak mendapat jawaban. Perempuan Pertama tersebut diperkirakan berumur enam puluhan. D2 Tahap Penyituasian Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap penyituasian dalam novel Amba terdapat pada buku 2. Dalam buku 2 dipaparkan pengenalan para tokoh, seperti: Amba, Salwa, Bhisma serta kehidupannya. Dan di tahun enam puluhan, Amba---selamanya bukan yang tercantik di keluarga itu---berubah. Perhatikan dari dekat: bentuk matanya yang kucing, alisnya yang lengkung, bibirnya yang penuh, senyumnya yang biru, hidungnya yang tak tajam. Entah kenapa semua membuat parasnya lebih lembut. Airmukanya teka teki.40 Kutipan tersebut sebagai perkenalan tokoh Amba secara fisik pada tahap penyituasian yang pertama. Secara fisik, mungkin dia terlihat biasa, namun justru Amba yang memiliki sifat dewasa di antara adik-adiknya. Selain itu dikenalkan pula kehidupan Amba dengan keluarganya. Selanjutnya, pada tahap penyituasian yang kedua, digambarkan bagaimana pertemuan orang tua Amba dengan seorang laki-laki yang bernama Salwa. Pertemuan mereka terjadi saat keduanya bertemu tidak sengaja saat menghadiri seminar di Universitas Gadjah Mada. Seketika itu juga, mereka langsung menyukai Salwa. Sebulan yang lalu bapak dan ibunya secara tak sengaja 40
Ibid., h. 113.
55
berkenalan dengan Salwani Munir. Seketika itu juga mereka jatuh cinta. Laki-laki itu baru dua puluh tahun. Sedikit pucat, wajah cekung, berkacamata. Di bawah hidungnya yang lumayan mancung, ada sekilas kumis. Penampilannya rapi. Parasnya saleh. Tapi ada sesuatu tentang dirinya yang yatim-piatu.41 Tahap penyituasian yang ketiga, munculnya tokoh Bhisma. Pembaca akan dikenalkan dengan tokoh ini secara fisik dan asal keluarganya. Bhisma Rashad. Ia anak lelaki Miriam Rashad satusatunya. Sepanjang hidup, Miriam selalu bersama anak-anak perempuannya---ia sulung dari empat gadis---dan seperti sering dikatakannya kepada adik-adiknya, hanya Bhisma, si bungsu yang berwajah bagus ini, bayi yang lebih dari 30 jam menyebabkan kontraksi diperutnya sebelum dilahirkan, yang membuatnya jadi seorang perempuan dan seorang ibu. Bhisma jangkung dan ramping, nyaris kurus dan semakin tampak begitu sepulang dari Eropa. 42 Kutipan di atas pengenalan Bhisma secara fisik, bagaimana kehidupannya sebagai seorang laki-laki yang sempurna di keluarganya. Pada saat dia kembali ke Indonesia dan bekerja di Kediri, dia bertemu dengan Amba dan mereka memadu kasih. Dalam tahap penyituasian ini juga digambarkan kisah cinta segitiga antara Amba, Bhisma, dan Salwa. Perkenalan mereka dan kiah hidup mereka. D3 Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Konflik awal mulai muncul dalam cerita, dan konflik itu sendiri akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pemunculan konflik yang terjadi dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak adalah kisah percintaan segitiga. Kisah cinta Amba, Bhisma, dan Salwa. Malam itu Amba membiarkan Bhisma tinggal di kamarnya, dan ketika kemudian mereka berbaring di ranjang 41 42
Ibid., h. 113. Ibid., h. 194.
56
itu, tubuh Bhisma menaungi tubuh Amba seperti tangkupan yang kuat dan indah. Mereka berpelukan sampai fajar. 43 Kutipan di atas menjelaskan Bhisma dan Amba saling mencintai, bahkan Amba tidak memperdulikan tunangannya. Dia menemukan cinta yang sebenarnya dari Bhisma, padahal Salwa selalu mengirimkannya surat. Namun karena pekerjaan mereka berjauhan, Amba menjalin hubungan dengan dokter Bhisma. D4 Tahap Peningkatan Konflik Pada tahap ini, konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang kadar intensitasnya. Tahap peningkatan konflik pada novel Amba adalah kisah cinta Amba dan Bhisma yang terputus karena terjadinya peristiwa G30S. Keadaan mencekam, dokter Bhisma sebagai simpatisan PKI ditangkap dan diasingkan. Seorang perempuan akan memilih, juga ketika ia tidak memilih, di hadapan dua lelaki yang tak didapatnya dan yang tak mendapatnya. Inilah adegan untuk lelaki ketiga.44 Kutipan
tersebut
menjelaskan
bagaimana
perasaan
Amba.
Perempuan yang mencintai Bhisma, namun sudah bertunangan dengan Salwa. Saat Bhisma ditangkap Amba tinggal sendirian.hidupnya kacau karena dia juga mengandung. Dia ingin kembali kepada Salwa namun enggan, akhirnya dia memilih melanjutkan hidupnya dengan laki-laki lain. D5 Tahap Klimaks Tahap klimaks kedua ini merupakan lanjutan dari klimaks yang pertama, dalam tahap ini menegaskan pertalian dengan klimaks pertama. Tahap ini menceritakan kisah perempuan tua yang datang ke Pulau Buru. Seorang perempuan dan seorang laki-laki duduk berhadapan, di kaki dipan. Usia mereka tak lagi muda. Mereka tak saling bertukar kata. Koper perempuan itu, terenyak oleh beban dan 43 44
Ibid., h. 193. Ibid., h. 273.
57
guncangan, diapit ketat oleh sepasang kaki yang kurus gemetar. Samuel tak berani menatap wajahnya. Ia tak ingin terlibat.45 Penjelasan kutipan tersebut merupakan awal kedatangan Amba ke Pulau Buru. Dia datang karena mendapat kabar bahwa Bhisma telah meninggal di Pulau tersebut. Dia ditemani oleh teman laki-lakinya, Zulfikar dan dibantu oleh Samuel. Orang yang tahu mengenai Buru dan lokasi yang akan dituju Amba. D6 Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konflik yang lain, subsubkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, sehingga tahap ini disebut sebagai akhir konflik sebuah cerita. Tahap penyelesaian pada novel Amba terletak pada surat-surat yang terkubur di tanah oleh Bhisma. Dalam surat tersebut Amba mengetahui apa yang terjadi pada Bhisma selama ini. Amba, Kekasih, Suatu hari nanti mungkin aku akan sadar bahwa kamu tidak akan pernah membaca surat ini. Tetapi aku telah menemukan dua kata penting: siapa tahu. Di tempat ini, mengharapkan sesuatu yang tidak bisa diharapkan adalah semacam penyembuhan. Sebab segala sesuatu telah begitu lama; aku bahkan tak tahu harus memanggilmu apa.46 Kutipan tersebut sebagai penjelas Bhisma masih mencintainya dan Bhisma selalu berharap agar Amba bahagia. Setelah melewati beberapa tahun, Amba menjalani kehidupannya kembali bersama anaknya. Kini dia merasa lega karena semua yang terjadi pada Bhisma sudah diketahuinya. Ia tidak banyak berubah. Usianya seakan-akan berhenti sejak ia menemukan jejak Bhisma kembali. Ia meneruskan kerja sebagai penerjemah---novel, brosur, subtitles fil, buku tahunan perusahaan, dan, di antara itu, tentu saja puisi, setidaknya buat penerbitan khusus---dan mengajar di sebuah 45
Ibid., h. 301. Ibid., h. 410.
46
58
kursus bahasa Inggris. Samuel, yang baru mendapatkan apa yang dicarinya, sebuah model USB tercanggih, untuk komputer kantornya, dengan wajah yang cerah menatap Amba. Ia bekerja di sebuah perusahaan pertambangan batu bara dan pulang-balik antara Ambon, Waimena, dan Jakarta.47 Kutipan tersebut merupakan penjelas tahun sudah berganti, Samuel bertemu tanpa disengaja dengan Amba di Jakarta. Amba kini sudah hidup bahagia dia bekerja sebagai penerjemah seperti yang sudah dilakukannya saat di Yogyakarta. 4. Latar a. Latar Tempat Latar tempat merupakan lokasi kejadian yang ada dalam novel. Melalui latar tempat pembaca dapat membayangkan kondisi tempat dalam cerita. Latar tempat dalam novel Amba berada di Pulau Jawa dan Pulau Buru. 1) Kadipura, Jawa Tengah Kadipura merupakan tempat kelahiran Amba. Dia tumbuh di kota tersebut bersama keluarganya hingga beranjak dewasa. Di kota itu pula dia menimba ilmu sebelum akhirnya masuk kuliah. Dan dirinya adalah bagian dari Kadipura. Kota kecil itu terletak di lereng Merapi, tak jauh dari Klaten. Hanya perlu dua puluh menit dengan sepeda untuk mencapai jalan utama. Sawah-sawahnya, yang menghasilkan beras untuk kota-kota sekitarnya, punya saluran irigasi yang kokoh, dan di tengah kota, ada sebentang jalan pertokoan. Rumah-rumah mapan di atas panggung batu. Beberapa gedung peninggalan Belanda menyela.48 Amba bagian dari Kadipura. Tempat itu begitu nyaman dan makmur. Lahan pertanian yang subur yang menghasilkan beras bagi warganya, beberapa peninggalan sejarah masih terdapat di sana. Kadipura tempat kelahiran di mana dia tumbuh besar di sana. 47
Ibid., h. 475. Ibid., h. 105.
48
59
2) Yogyakarta Setelah lulus sekolah, Amba memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Dia harus pergi, meninggalkan keluarganya di Kadipura untuk kuliah di Yogyakarta. Setengah tahun berlalu dan Amba diterima di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Sembilan belas tahun usianya. Untuk pertama kalinya, ia merasa hidup. Ia jatuh cinta pada Yogya, pada kehidupan kampus, pada sastra. Universitas Gadjah Mada di Yogya adalah tempatnya menimba ilmu sastra. Selain itu, universitas ini juga tempat Salwa (tunangannya) menimba ilmu. Mereka sering bertemu dan bersama di universitas ini. Orang tua Amba menitipkannya pada Salwa untuk menjaga Amba di Yogya. 3) Rumah Sakit Sono Waluyo Kediri Rumah sakit Sono Waluyo merupakan tempat terpenting dalam hidup Amba. Meski dia bekerja di sini sebagai penerjemah, namun hidupnya berubah dimulai di tempat ini. Rumah sakit sebuah tempat yang sibuk di mana orang datang dan mengharapkan pergi. Ia ingat laki-laki itu mengatakan, kehadiran kita di sini, di rumah sakit ini, tak akan lama. Ia heran karena bukankah, kata pegawai rumah sakit, dokter ini bukan tipe orang yang tinggal di sini untuk sementara? 49 Rumah sakit ini tidaklah besar. Seperti dalam kutipan, Bhisma memaparkan rumah sakit adalah tempat di mana orang singgah sementara. Kehadiran dokter dan warga rumah sakit tidak akan lama. Mereka hanya bertugas mengobati pasien yang sakit. Di rumah sakit ini, Amba dan Bhisma menjalin kasih. Kisah mereka berawal di sini, karena sering bertemu dan akhirnya saling cinta. Malam itu Amba membiarkan Bhisma tinggal di kamarnya, dan ketika kemudian mereka terbaring di 49
Ibid., h. 173.
60
ranjang itu.50 Kutipan kedua yang menunjukkan rumah sakit ini mulai geger dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI hingga menjatuhkan banyak korban. Lalu tengah malam lewat, dan hari masuk tanggal 3 Oktober. Sampai sore hari rumah sakit dipenuhi desas-desus, bertabrakan, dan pasien datang di jam-jam yang tak masuk akal. Rasa takut dan kebingungan mengepung.51 Kutipan di atas menjelaskan keadaan tiba-tiba menjadi bingung dan panik, karena terjadi peristiwa pemberontakan yang belum
mereka
ketahui.
Pasien
berdatangan
dan
kabar
pemberontakan yang belum jelas membuat mereka menjadi takut. Keadaan tersebut terus berlanjut pemberontakan yang terjadi makin membuat masyarakat resah, termasuk di rumah sakit. Semenjak pagi, rumah sakit seperti diguncangguncang. Baret hijau dan orang-orang yang tampak marah atau juga cemas, datang membawa senjata. Dr. Suhadi tak masuk kantor karena ada urusan keluarga. Bingung dan ketakutan menyebar. Separuh dari pegawai menghilang tanpa izin, satu-satu. Semua mendengar kabar bahwa di alun-alun kota, Banser berkumpul lalu bergerak ke Banjaran, menyerang kantor PKI.52 Keadaan semakin mencekam, lantaran banyak orang yang ingin menyelamatkan dirinya sendiri. Rumah sakit semakin sepi, banyak pegawai dan dokter yang meninggalkan tempat tersebut satu persatu karena merasa tidak aman di sana. Amba juga pergi dari rumah sakit dan memutuskan kembai ke Yogya, sedangkan Bhisma masih di Kediri unruk menyelesaikan pekerjaannya. Dari beberapa kutipan di atas dapat terlihat rumah sakit sebagai latar tempat, di mana tempat ini sebagai permulaan konflik
50
Ibid., h. 193. Ibid., h. 201. 52 Ibid., h. 205. 51
61
cerita terjadi. 4) Sanggar Bumi Tarung Sanggar Bumi Tarung berada di Jawa, tepatnya di Yogyakarta. Tempat ini adalah tempat para pelukis. Tempat ini didirikan oleh seorang pelukis dan pematung bernama Amrus, patungnya dibeli oleh bung Karno, sehingga tempat ini menjadi terkenal. Bumi Tarung itu tempat para pelukis, kebanyakan mahasiswa ASRI. Pendirinya seorang asal Medan, Amrus Natalsya, pelukis dan pematung. Ketika ia masih di tingkat pertama ASRI, patungnya dibeli Bung Karno. Namanya jadi melambung, dan ia menarik para pelukis muda lain ke dekatnya, dan dengan mereka Bumi Tarung didirikan.53 Bumi Tarung adalah tempat pertemuan Amba dan Bhisma setelah mereka terpisah di Kediri. Tempat ini begitu nyaman dan banyak para seniman yang berkumpul di sana. Mereka merasa nyaman di Bumi Tarung seolah lupa dengan keributan yang sedang terjadi saat ini. Mereka tidak hanya bertemu dan melepas rindu saja,
Bhisma
banyak
bercerita
kepada
Amba
tentang
kekagumannya terhadap Amrus. Pelukis kiri yang menjadikan seninya untuk melawan politik. 5) Pulau Buru Peristiwa yang terjadi tahun 1965 merupakan sejarah bagi bangsa Indonesia.
Pulau Buru adalah tempat buangan dan
menakutkan. Di pulau ini ribuan orang dibuang dan disiksa karena dituduh sebagai antek komunis yang paling dimusuhi oleh kekuasaan rezim Orde Baru. Seperti orang yang dibuang lainnya, Bhisma juga penghuni tempat ini. Amba yang mendapat kabar kekasihnya berada di sini langsung datang mencari tahu, dan dibantu oleh Samuel. Ia masih belum percaya bahwa hanya sepekan 53
Ibid., h. 230.
62
lalu ia berjumpa dengan Amba di KM Lambelu menuju Buru, dan betapa cepatnya perempuan itu menyusup masuk ke dalam hidupnya.54 Kutipan tersebut menjelaskan Amba sudah berada sepekan di Pulau Buru untuk mencari jejak Bhisma. Meski tubuhnya sudah renta namun dia masih bersemangat mencari tahu apa yang terjadi dengan kekasihnya itu. Kutipan tersebut merupakan pernyataan Samuel yang begitu kagum terhadap Amba, dia membantu Amba untuk mencari Bhisma. 6) Jakarta Jakarta adalah tempat Amba untuk melanjutkan hidup dan membangun kembali dirinya. Peristiwa pahit yang dia alami menjadikannya wanita tegar yang membuatnya hijrah ke kota besar. Di Jakarta tidak banyak siang yang menuruti rancangan, dan itulah yang terjadi ketika Samuel secara kebetulan melihat Amba keluar dari sebuah kios DVD di Ratu Plaza. 55 Setelah menemukan jawaban atas Bhisma di Pulau Buru, Amba memilih untuk menetap di Jakarta, kembali bekerja dan menjadi ibu yang baik untuk anaknya. Kutipan di atas adalah pertemuan tidak disengaja dengan Samuel saat dia berada di Jakarta. Dengan demikian dapat kita temukan bahwa klimaks yang terjadi berlatar di Jawa, dan tempat yang dipilih Amba untuk melanjutkan masa depannya berlatar di Jakarta. b. Latar Waktu Latar waktu menggambarkan kapan peristiwa itu terjadi. Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak adalah sebuah novel sejarah. Oleh karena itu, waktu dalam sebuah cerita begitu penting sebab waktu yang 54 55
Ibid., h. 368. Ibid., h. 475.
63
tidak konsisten akan menyebabkan rancunya sejarah itu sendiri. 1) Februari, Maret, April 2006 Ambon dan Pulau Buru, sekitar akhir Februari 2006.56 Hari itu 1 Maret, dan Samuel merasa telah mencapai sesuatu. Ia masih belum percaya bahwa hanya sepekan lalu ia berjumpa dengan Amba di KM Lambelu menuju Buru, dan betapa cepatnya perempuan itu menyusup masuk ke dalam hidupnya.57 Tahun 2006, Amba ke Pulau Buru untuk mencari Bhisma. Saat di Buru dia dibantu oleh Samuel dalam menemukan kebeadaan Bhisma di sana. Waepo, Buru,April 2006. Tiga hari yang lalu, dua perempuan dilarikan ke Rumah Sakit Waepo.58 Terjadi insiden saat Amba berada di Buru. Dia ditikam oleh seorang wanita penduduk asli itu. Dia tidak tahu mengapa perempuan itu menyerangnya, dan segera dilarikan ke rumah sakit. 2) 1956-1965 Kadipura, Jawa Tengah, 1956.59 Tahun 1956 merupakan tahun kehidupan Amba bersama keluarganya. Tahun ini diceritakan kehidupan serta perjalanan kisahnya saat dia kecil hingga beranjak dewasa. Gejolak politik 1965 membuat Amba menjadi wanita dewasa. Dia harus terpisah dari orang-orang yang disayanginya karena peristiwa G30S. Mereka berpisah pada hari yang barangkali telah ditentukan langit, 7 Oktober 1965, kurang dari delapan jam setelah Bhisma menanam benihnya di rahim 56
Ibid., h. 301. Ibid., h. 368. 58 Ibid., h. 15. 59 Ibid., h. 79. 57
64
Amba.60 Saat
G30S
terjadi
keadaan
negara
kacau,
banyak
pemberontakan dan keadaan menjadi tidak aman. Banyak dari mereka yang ditangkap dan dibunuh karena simpatisan PKI. PKI dianggap sebagai 3) 2011 Pada sub bab novel Amba terakhir tertulis tahun 2011 merupakan tahun kelanjutan hidup yang berjalan ke depan. Sebelumnya di tahun 2006 Amba mencari jejak Bhisma ke Pulau Buru, namun setelah menemukan kejelasannya dia melanjutkan kembali hidupnya bersama anaknya Srikandi. c. Latar Sosial Latar sosial mencangkup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita. Dalam latar sosial mencangkup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak latar sosial ditemukan pada adat istiadat Jawa, status sosial, dan peristiwa yang terjadi di tahun 1965, pemberontakan PKI. Sudarminto memang mencintai Serat Centhini, dan itu salah satu alasan mengapa ia cocok dengan Nunik, ibu dari anak-anaknya, yang hafal banyak bagian dari tembang itu sejak remaja. Ia, seorang kepala sekolah, hanya akan membacakan beberapa bagiannya di depan muridmuridnya, atau menggantinya dengan tembang-tembang dari Wedhatama.61 Adat Jawa jelas tergambar pada kutipan tersebut, Sudarminto (ayah Amba) begitu menyukai Serat Centhini dan Wedhatama, dia sering membacakan prosa yang ada dalam salah satu baitnya di depan murid-muridnya. Isi prosa dalam karya tersebut berupa nasehat. Serat
60 61
Ibid., h. 225. Ibid., h. 104.
65
Centhini merupakan karya sastra yang berasal dari Jawa. Sudarminto bukan guru yang tiba-tiba jadi. Ia termasuk yang menyebut diri “guru asli”. Dan ia paling asli. Bagaimana tidak? Bapaknya kepala sekolah, kakeknya kepala sekolah.62 Amba merupakan anak yang berasal dari keluarga yang berpendidikan. Ayahnya, Sudarminto adalah seorang guru, begitu pun dengan kakek dan juga buyutnya adalah kepala sekolah. Oleh sebab itu, setelah lulus sekolah dia melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada sesuai dengan keinginanya. Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan besar-besaran oleh PKI yang ingin mengkudetakan pemerintah. Disiarkan di RRI pukul 07.00 pagi. Ada gerakan yang tak jelas yang menamakan diri Gerakan 30 September. Gerakan ini menuduh ada sejumlah perwira tinggi yang tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.63 Seseorang menyebutkan laporan pandangan mata pemakaman para jenderal yang dibunuh, sebuah suasana berkabung besar, tentang Jenderal Nasution yang menangis, dan tentang anaknya yang masih kecil, Ade Irma Suryani, yang tertembak ketika rumahnya diserbu Gerakan itu, yang kadang-kadang disebut “Gestapu”, kadang “Gestok”. Orang-orang ikut marah mengikuti berita tentang anak itu, dan di sana sini ada suara geram tiap kali kata “PKI” disebut.64 Rakyat begitu marah, mendengar pemberontakan yang dilakukan PKI hingga menewaskan anak dari Jenderal Nasution saat mereka mendatangi
kediamannya.
Orang-orang
yang
dituduh
sebagai
simpatisan PKI dan organisasi yang beranggotakan PKI ditangkap dan dibunuh.
62
Ibid., h. 105. Ibid., h. 189. 64 Ibid., h. 205. 63
66
5. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak yaitu sudut pandang persona ketiga, “Dia” mahatahu. Narator mengetahui segala peristiwa maupun kejadian apa saja yang dialami oleh setiap tokoh dalam cerita. Hal demikian dapat dilihat dari kutipan berikut ini. Menjelang malam, perasaan baru dan dewasa dan kemegahan hari siang itu telah mengisinya begitu penuh dan Amba merasa Yogya terlalu kecil baginya. Sudah saatnya ia menguji kemampuannya. Ada tiga alasan yang membuat keputusan ini terasa ringan. Satu, tak ada bahasa asing yang berguna tanpa semacam imensi; dua, ia ingin membayar kembali utangnya kepada orangtuanya, yang telah bermurah hati membiarkan perpisahan selama ini, yang telah menutup dunia mereka agar terbuka dunia baginya, si anak yang sulung. Tiga, dan alasan yang terpenting, adalah Salwa: ia Amba, tak sudi menjadi pihak yang menunggu. 65 Kutipan tersebut jelas menunjukkan bahwa sudut pandang yang digunakan dalam novel Amba adalah sudut pandang persona ketiga. Sudut pandang ini Laksmi gunakan untuk membangun psikologi cerita agar pembaca memahami keseluruhan konteks dari tema yang diangkat dalam novel Amba. Selain itu, penggunaan sudut pandang persona ketiga juga memposisikan narator lebih objektif dibanding tokoh di dalam cerita.
6. Gaya Bahasa Banyak ditemukan gaya bahasa dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, dalam novel ini Laksmi banyak memainkan diksi secara memukau, seolah pembaca dimanja oleh keidahan diksi yang digunakan. Gaya bahasa yang digunakan antara lain menggunakan majas paradoks, hiperbola, simile, personifikasi, ironi, dan metafora. a. Majas Paradoks Gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan 65
Ibid., h. 156.
67
fakta-fakta yang ada. Majas ini terdapat dalam novel Amba. “Wajahmu,” ujar Bhisma, “mengandung kesedihan sebuah kota.” Kutipan di atas adalah ucapan Bhisma terhadap Amba, dia begitu mencintai Amba meski ragu apakah nantinya akan dapat bersama atau tidak. Bahkan dia mengutarakan wajah Amba mengandung kesedihan sebuah kota. Kota selalu identik dengan keramaian, peluang, dan hiburan. Tentunya banyak kaum urban yang ke kota dengan tujuan memperoleh materi. Namun Bhisma menggunakan istilah demikian, karena menurutnya Amba adalah seorang wanita yang berbeda, penuh dengan kesedihan, pendiam, namun sulit ditinggalkan, karena cintanya terhadap Amba. b. Majas Hiperbola Majas hiperbola juga ditemukan dalam beberapa kutipan di novel ini. Hiperbola diartikan sebagai gaya bahasa yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Ia akan membuat Bapak berpikir, betapa beruntungnya aku, tak ada pria di dunia ini yang layak menggantikan tempatku dalam hidup anakku ini. Ia merasa berjalan di atas air.66 Kutipan di atas diartikan bahwa Amba ingin membuat ayahnya senang pada dirinya karena tidak ada laki-laki yang menggantikan posisi ayahnya termasuk Salwa. Dia ingin membuat ayahnya bangga hingga seakan-akan seperti berjalan di atas air. Padahal kegiatan tersebut tidaklah mungkin bisa dilakukan oleh makhluk hidup. Ia merasakan dalam dirinya sesuatu yang vital, terlepas dari kumparan, meskipun di sekitarnya semua tampak lusuh dan kering kerontang. Sesaat seluruh tubuhnya, bahkan rambutnya, seperti terasa terkena arus energi dan bersinarsinar. Ia siap untuk lebih dari apapun.67 Kutipan tersebut juga termasuk ke dalam majas hiperbola. 66 67
Ibid., h. 132. Ibid., h. 160.
68
Terdapat kalimat berlebihan yang digunakan Laksmi Pamuntjak dalam menggambarkan semangat yang ada pada diri Amba, saat dia baru menginjakkan kakinya di Rumah Sakit Sono Walujo di Kediri. Amba hanya mendengar, bersama hujan dan guntur, bunyi-bunyi yang seakan-akan muncul dari sebuah teater kemarahan: pohon, bangunan, kendaraan beroda, seperti dibanting dan digasak. Seolah seisi planet datang bergabung untuk menegaskan kegalauannya.68 Pada kutipan di atas juga merupakan majas hiperbola. Kutipan tersebut merupakan penggambaran perasaan Amba yang galau karena Bhisma
tidak
ada.
Kalimat
penggambaran perasaan
yang
digunakan
Laksmi
untuk
Amba dengan mengaitkan keadaan cuaca
serta benda lainnya. c. Majas Simile Majas simile atau persamaan adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Majas simile yang terdapat dalam novel Amba yaitu pada kutipan di buku I. Laksmi membandingkan Pulau Buru dengan seorang manusia. Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. 69 Kutipan ini menjelaskan mengenai keingintahuan Amba datang ke Pulau Buru. Pulau Buru diangkap menakutkan bagi masyarakat Indonesia, fakta sejarah tahun 1965 Pulau ini dijadikan tempat pembuangan bagi orang PKI. Amba harus sabar mencari jejak Bhisma di Buru, dia hanya perlu menunggu semua kebenaran yang terjadi pada kekasihnya itu. Bhisma tampak awut-awutan dan ada sesuatu yang liar pada matanya, seperti kucing hutan.70 Kutipan kedua, menyamakan mata Bhsma yang liar disamakan 68
Ibid., h. 206. Ibid., h. 15. 70 Ibid., h. 208. 69
69
dengan seekor kucing. Airmuka itu seperti tersiram es; ia tampak berusaha melawan sesuatu yang berat, seakan seluruh bobot pengakuan Amba tentang Salwa baru saja menghantamnya tandas,71 Kutipan tersebut adalah gambaran perasaan Bhisma saat Amba menceritakan tentang Salwa padanya, Amba mengibaratkan wajah Bhisma seperti tersiram es, kaget saat Amba merasa bersalah pada Salwa, dan dia tidak mungkin bisa kembali padanya. d. Majas Personifikasi Personifikasi adalah semacam
gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Dalam novel Amba juga ditemukan beberapa majas personifikasi. Hujan dan malam berkejaran. Di dalam mobil itu, yang terdengar hanya derak tabung bambu yang bertabrakan di dalam tas Amba, dan suara parau dari dalam lambung Samuel.72 Laksmi
Pamuntjak
mengumpamakan
hujan
dan
malam
berkejaran, padahal hujan dan malam adalah benda mati, sedangkan berkejaran
adalah
kegiatan
makhluk
hidup
seperti
manusia.
Pengertian di sini adalah kondisi di malam hari dengan hujan yang lebat. Terdapat juga bambu yang yang bertabrakan di dalam tas Amba dan suara parau dari dalam lambung Samuel. Amba dan Samuel berada di perahu menuju tempat Bhisma tinggal dahulu, kondisi cuaca yang hujan dan goyangnya perahu membuat tabung bambu di dalam tas Amba ikut goyang dan juga suara parau diartikan sebagai kondisi Samuel yang sudah lapar. Majas
personifikasi
mendeskripsikan buah kelapa. 71 72
Ibid., h. 224. Ibid., h. 69.
juga
digunakan
Laksmi
dalam
70
Beberapa jam setelahnya, pasti beberapa jam, setidaknya dua atau tiga, ia mungkin ketiduran lagi, dan bangun-bangun ada setengah batok kelapa menyeringai di sisinya, entah dari mana, dagingnya gading, airnya bening, belahannya tak rata, seakan dikoyak dengan setengah paksa oleh parang, dan istrinya setengah membungkuk di atasnya sembari menadahkan gelas.73 Kutipan selanjutnya adalah pengumpamaan-pengumpamaan yang digunakan Laksmi Pamuntjak untuk memperkuat kondisi batin Amba saat meletusnya G30S. Ia merasa sebagian matanya memerah. Tak lama kemudian airmata menyembul. Ia tak lagi mendengar suarasuara di luar kantor; ia hanya bisa merasakannya.74 Kutipan ini diartikan ketakutan Amba, dia mencoba untuk tidak panik namun akhirnya menangis. Ia sempat tertahan di sana ketika sebuah kendaraan yang baru masuk ke lapangan parkir memuntahkan sejumlah orang yang berseragam pamong praja, tak jelas apa keperluan mereka.75 Kutipan di atas menguatkan kondisi yang dialami Amba, bagaimana kegelisahannya dengan peristiwa yang belum dia ketahui, kalimat di atas diartikan kondisi di Kediri yang sudah mulai ketat penjagaannya oleh sejumlah orang berseragam pamong praja. e. Majas Metafora Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat seperti dalam kutipan berikut ini. Amba tahu sedari kecil ibunya adalah kembang desa.76 Kutipan di atas menjelaskan mengenai ibu Amba yang cantik. Dia dianggap kembang desa, perempuan yang cantik di desanya. 73
Ibid., h. 129. Ibid., h. 175. 75 Ibid., h. 226. 76 Ibid., h. 93. 74
71
B. Analisis Tokoh Amba dalam Novel Amba Penelitian tentang tokoh utama Amba dalam novel Laksmi Pamuntjak menggunakan teknik pelukisan tokoh. Seperti yang sudah ada dalam kajian teori, penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh menurut Burhan Nurgiyantoro. Hal ini dimaksudkan untuk menjabarkan secara jelas mengenai analisis tokoh Amba dalam novel Amba. Teknik pelukisan tokoh yang terdapat dalam tokoh Amba yaitu teknik dramatik. Artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Dalam teknik dramatik terbagi menjadi delapan bagian, hal tersebut akan dijelaskan satu-persatu berikut ini. 1. Teknik Cakapan Teknik cakapan atau dialog dilakukan antara tokoh utama dengan tokoh lain dalam cerita. Pada novel Amba, teknik cakapan terdapat antara tokoh Amba dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan sifatnya dalam sebuah novel. Amba memiliki sifat keras kepala, berkemauan sendiri, dan pantang menyerah. Seperti pada percakapan berikut ini menggambarkan sifat Amba yang keras kepala tentang laki-laki. Hal ini terlihat percakapannya dengan Ambika saat membicarakan Sati, yang dipanggil Bapaknya tiba-tiba, ketika mereka sedang berjalan. “Asu.” “Apa?” Amba mengulang katanya. “Asu.” “Yah,” kata Ambika. “Bapaknya kan ndak seperti bapak kita.” “Bukan itu masalahnya,” tukas Amba. “Sekali-kali temanmu itu mesti mengalami rasanya kasmaran. Dibuat jatuhbangun oleh laki-laki. Baru dia bakal tahu apa artinya hasrat untuk bebas.”77 Dari kutipan tersebut tampak Amba berpikiran jika laki-laki itu selalu mengekang perempuan, laki-laki membuat hidup perempuan tidak bebas.
77
Laksmi, op. cit., h. 82.
72
Seperti pada kutipan tersebut, saat mereka bertiga berjalan tiba-tiba Sati dipanggil bapaknya, Amba merasa jengkel akan hal itu. Menurutnya, mengapa seorang perempuan harus menurut pada laki-laki. Kutipan lain yang menandakan sifatnya yang keras dengan pendiriannya tentang laki-laki adalah ketika dia beradu argumen dengan adiknya Ambika. “Ah, rumangsamu! Kamu percaya pepatah ngawur itu? Kalau kamu menikmati begituan, kamu tak harus berpikir kamu cuma jamur. Kamu cari lagi orang yang bisa jadi jamurmu. Perempuan jangan selalu merasa dirinya harus mengobankan dirinya kepada laki-laki dengan gampang.” Tiba-tiba Ambika ingin menangis. “Ibu bukan korban Bapak.” “Mosok? Kalau begitu, kenapa Ibu sering nangis diamdiam? Salat tahajud ketika Bapak sedang ngorok di kamar? Kenapa ia menyimpan uang penghasilannya dari jualan kue di dalam balutan sarung di balik almari seolah itu ular berbisa atau pusaka rahasia, atau orok laki-laki lain, dan tak pernah menunjukkannya ke Bapak? Kenapa ia diam-diam tidak menyukai buku-buku yang dibaca Bapak?” “Ibu bukan korban Bapak…” Sekarang Ambika benarbenar menangis.78 Usianya dua belas tahun, Amba memandang ibunya sebagai perempuan yang tersiksa karena sering menangis diam-diam dan menyembunyikan sesuatu dari bapaknya. Dia memandang perempuan hanya menjadi budak laki-laki saja. Oleh karena itu dia ingin berbeda dengan perempuan di desanya, saat mereka berencana menikah setelah tamat sekolah, Amba justru memilih melanjutkan studinya. Selain dibesarkan
oleh
keluarga
yang
berpendidikan,
keinginan
untuk
melanjutkan studi adalah keinginannya sendiri. Seperti dalam kutipan berikut ini. “Aku tak akan pernah bersedia dimakcomblangi,” kata Amba dengan raut miring. “Lagi pula, aku ingin studi.”79 Sifat lainnya yang terdapat dalam diri Amba adalah memiliki 78 79
Ibid., h. 89. Ibid., h. 93.
73
kemauan dan bertindak sendiri sesuai apa yang dia inginkan. Di tahun 1965, keadaan mulai menakutkan, di beberapa tempat sudah terjadi pembantaian dan pembunuhan. Hal itu juga terjadi di Kediri, kota tersebut juga tidak aman, entah apa yang terjadi tetapi pemberontakan di beberapa tempat membuat beberapa tentara banyak berjaga-jaga. Amba tidak merasa takut, maka dia memutuskan untuk bekerja di Kediri, karena dia tak mau menjadi kekasih yang menunggu Salwa yang sedang bekerja di Surabaya selama setahun. “Mbak bukan dari sini,” kata laki-laki itu. Wajah dan dadanya kisut. Amba menggeleng, sedikit jengkel kenapa orang selalu ingin tahu. “Saya sedang menunggu Dokter Suhadi Projo,” ujarnya datar. “Beliau sudah tahu saya di sini.” “Bukan main,” kata laki-laki itu masih tidak percaya. “Mbak datang kemari, padahal Kediri ndak aman…” “Ya, Pak, saya tahu, saya tahu Kediri tidak aman.” Laki-laki itu hendak pergi. Ia berdiri di sana menatapi Amba dalam-dalam.80 Kutipan
tersebut
jelas
menggambarkan
kediriannya
sebagai
perempuan yang berkemauan keras. Amba tidak peduli dengan keadaan yang menakutkan sekalipun. Dia hanya tidak ingin berdiam diri di kampus sambil menunggu Salwa pulang. Dia ingin mencari kesibukan dengan kemampuan ilmu yang sudah dimilikinya. Dari
beberapa
kutipan
percakapan
yang
dipaparkan,
dapat
disimpulkan bahwa tokoh Amba sejak remaja memiliki sifat yang keras kepala, bahkan saat beranjak dewasa pun dia berkemauan keras dan bertindak sesuai apa yang diinginkannya sendiri. 2. Teknik Tingkah Laku Selain melalui percakapan, sifat Amba juga diperlihatkan melalui tingkah lakunya. Berikut ini adalah beberapa kutipan yang menguatkan sifat Amba melalui tingkah lakunya. Pertama mengenai sifatnya yang tidak mau bepuas diri terdapat pada kutipan di bawah ini.
80
Ibid., h. 161.
74
Seperti biasa, Amba tak hanya ingin lulus, tapi ia ingin lulus dengan luar biasa. Di kelas tiga nanti, semua siswa tak lagi diharapkan hanya lulus tiga mata pelajaran---matematika, bahasa Indonesia, dan ilmu pasti---tapi diwajibkan masuk sebuah jurusan. Amba masuk “Bagian A”---bahasa. Ini adalah bidangnya dan Bapak. Baginya ini hal penting untuk dijalani dalam kehidupannya. Sebab kelak akhirnya akan ada sesuatu yang bisa ia tunjukkan pada dunia: adalah Bapak yang sesungguhnya menurunkan nilai-nilainya padaku; dan aku akan menyempurnakannya hingga aku tak akan pernah butuh lakilaki dalam hidupku.81 Kutipan tersebut menggambarkan sifatnya yang tidak mau berpuas diri. Dia tidak hanya ingin lulus dengan nilai yang pas saja, tetapi dia juga ingin lulus dengan nilai yang luar biasa, karena dia ingin melanjutkan studinya setelah lulus nanti.
Ada kesombongan yang terdapat dalam
kutipan di atas, bahwa tujuannya melanjutkan studi adalah dia ingin menjadi perempuan yang cerdas sehingga dia tidak harus bergantung pada laki-laki nantinya. Namun demikian, keinginanya tersebut dapat terlaksana, karena berkat kecerdasan dan kegigihannya pula dia diterima hingga akhirnya melanjutkan kuliah di UGM jurusan Sastra Inggris. Setengah tahun berlalu dan Amba diterima di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Sembilan belas tahun usianya. Untuk pertama kalinya, ia merasa hidup. Segalanya Nampak baru, penuh kemungkinan, bukan Kadipura. Ia jatuh cinta pada Yogya, pada kehidupan kampus, pada sastra.82 Amba adalah pribadi yang berusaha keras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti saat dia berhasil melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi dan meninggalkan keluarganya, terutama ibunya di Kadipura yang sebelumnya tidak mengizinkan untuk ke Yogya. Memasuki dunia perkuliahan, dia hanya memilih untuk fokus belajar, memilih sastra sebagai hidupnya. Ketika teman-teman yang lain memilih untuk berpolitik dan berorasi, Amba tetap memilih di tengah, memilih 81 82
Ibid., h. 127. Ibid., h. 138.
75
diam dan tidak bersikap kemana pun. Dia tidak peduli dengan pilihan temannya, dia tetap pada pendiriannya. Hal tersebut dijelaskan pada kutipan di bawah ini. Tetapi juga yang tidak ia inginkan. Hari-harinya di kampus adalah pidato-pidato politik yang menggugah yang secara aneh bercampur dengan kegembiraan sederhana, dengan persahabatan dan gurau yang bebeda dengan ia kenal di Kadipura, dengan acara baca puisi dan naik gunung. Di tengahtengah itu cerita bentrokan di tanah-tanah pertanian, dan mata yang menancap cemas, tak berani berkata, dan deretan kosakata yang dilontarkan dengan penuh semangat---ganyang, kremus, hancurkan---yang menempatkan orang sebagai kawan atau lawan, tidak bisa di tengah-tengah. Tetapi Amba memilih di tengah. Ia memilih diam. Ketika ia tak sedang bersendiri dengan bacaannya, ia melewatkan hariharinya di Gadjah Mada bersama mereka yang juga memilih diam.83 Melalui kutipan-kutipan tersebut, dapat terlihat sikap Amba yang berkemauan keras sebagai penguat kediriannya dalam tokoh yang bersifat keras, dan juga sikapnya berada di tengah dan diam saat bentrokan mulai terjadi. Dia tidak memilih kiri atau kanan sebagai pijakannya tetapi dia memilih di tengah. 3. Teknik Pikiran dan Perasaan Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku, artinya penuturan itu sekaligus menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh. Teknik pikiran dan perasaan dapat juga berupa sesuatu yang tidak pernah dilakukan secara konkret dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Berikut adalah kutipan-kutipan yang melukiskan pikiran dan perasaan tokoh yang mencerminkan sifat-sifat kedirian Amba di dalam novel. Amba lain. Ia acuh tak acuh. Ia tak tahan terhadap perempuan yang terlalu mudah dirayu, atau terlalu cepat merasa tersanjung oleh omongan laki-laki. Ia tak punya kesabaran terhadap perempuan yang terlalu cepat merasa dirinya terinjakinjak, atau membiarkan arti hidupnya ditentukan oleh 83
Ibid., h. 148.
76
hubungannya dengan suami, calon suami, atau yang berharap jadi suami. Lakon-lakon wayang tentang istri para ksatria kadang kadang membuatnya berang. Ia tak paham, bahkan tak berhasil mengerti indahnya seorang Dewi Madrim, yang selalu nomor dua, atau Banowati, yang centil dan binal dan selalu mengingatkannya kepada Sati. Ia menikmati cerita-cerita wayang tapi diam-diam menertawakannya. Ia tak akan pernah menjadi Amba yang dikasihani orang.84 Pada kutipan pertama, tokoh Amba digambarkan sebagai seorang perempuan yang acuh. Dia tidak suka dengan rayuan laki-laki. Dalam kutipan tersebut terlihat pula sifatnya yang keras, yaitu dia tidak mau dikasihani orang lain, apapun itu dia harus berusaha sendiri. Namun yang terjadi saat dia beranjak dewasa berbeda, dia pun juga merasakan cinta pada seorang lelaki. Salwa membuatnya nyaman dan dia bukanlah lelaki perayu seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Meski Amba tetap tak merasakan gairah terhadap Salwa (dan tak bisa membayangkan harus menyerahkan keperawanannya padanya suatu hari), ia merasa ia tidak bisa melepaskan laki-laki itu dari pikirannya. Adakalanya, ia bahkan rindu.85 Dalam hal menentukan sikap mengenai politik, Amba lebih memilih di tengah. Sifat ini juga sudah dijelaskan dalam teknik tingkah laku sebelumnya. Berikut ini adalah kutipan lainnya yang menggambarkan sikapnya tersebut. Tidak, Wardi. Amba menjawab dalam hatinya. Bagiku hidup mengambang di antara puisi, di dalam sajak Chairil, sajak Rendra---sebuah dunia tersendiri, dunia yang menyentuhku dengan gaib yang bisa datang dari mana saja, dunia yang tak menggurui tapi tak jarang bersahaja---dan dunia aksi massa, yang menentukkan bahwa harus ada panji-panji dan kata-kata militan, palu dan arit di timur, banteng di selatan, hijau agama dan senjata di barat daya. Aku menolak, Wardi. Inilah rumahku sesungguhnya. Aku tak suka berpihak.86 Pada penjelasan sebelumnya telah dibahas mengenai pendirian Amba 84
Ibid., h. 86. Ibid., h. 140. 86 Ibid., h. 148. 85
77
yang memilih diam dan berada di tengah. Penjelasan tersebut terdapat pada teknik tingkah laku, sikapnya tersebut juga diperjelas dalam pemikiran dan perasaannya. Dia berpikir untuk tetap pada pendiriannya, mencintai sastra dan kuliahnya serta tidak memilih yang lain. Ternyata
tidak
selamanya
sifat
acuhnya
terhadap
laki-laki
dilakukannya. Saat dia berada di Kediri, memutuskan untuk bekerja di sana, Amba merasakan terpesona pada laki-laki. Bhisma membuatnya jatuh cinta.
Kekosongan hatinya yang ditinggal Salwa di Surabaya
membuat dia terpesona pada dokter tersebut. Berikut ini adalah kutipan mengenai perasaan Amba kepada Bhisma. Ia juga tidak diterima bekerja di sini untuk terpesona pada seseorang. Ia tidak diterima bekerja di sini untuk mengisi sebuah kekosongan. Tapi ia kini merasa ada kekosongan itu. Dan di luar kemauannya sendiri, ia, kakak, yang keras dari Ambika dan Ambalika, terpesona. Ia malu karena itu,..87 Kutipan lainnya adalah perasaan Amba yang begitu terpukul saat Bhisma menghilang dan tidak tahu di mana keberadaannya. Dia berpikir untuk pergi dari kehidupan keluarga terdekatnya dan memutuskan untuk terus maju melangkah membina kehidupannya agar lebih baik bersama orang lain. Kemudian aku tahu, ada sesuatu yang ditinggalkan Bhisma, sesuatu yang hidup dalam tubuhku, sesuatu yang dengan segala kegelapan yang melintang, aku ingin merawatnya. Hanya ada satu cara untuk mengatasi itu; aku harus pergi jauh. Dan waktu itu aku yakin Bhisma menghilang karena itulah jalan yang paling gampang baginya. Karena ia belum tahu apa yang bisa didapatkannya dari diriku, karena mungkin saja ada perempuan-perempuan lain yang lebih baik ketimbang aku, dan bila ia pernah dekat denganku, itu hanya karena ia laki-laki. Karena laki-laki tak bisa dipercaya. Sejak itu aku mulai menjaga keselamatan diriku dan aku pindah ke Jakarta. Aku menikah dengan orang yang bersedia membuat hidupku, dan hidup yang sedang tumbuh dalam rahimku, menjadi hidupnya. Orang itu bukan Bhisma. Ia Adalhard
87
Ibid., h. 172.
78
Eilers, seorang peneliti Amerika kelahiran Jerman.88 Dapat disimpulkan bahwa pemikiran dan perasaan yang dialami Amba mengukuhkan kediriannya sebagai tokoh. Sifatnya yang semula acuh dan tidak peduli terhadap lelaki, pada akhirnya membuat dia menyukai lelaki sebagaimana hal yang dialami oleh perempuan yang menyukai laki-laki. Selain itu ketegarannya saat Bhisma menghilang membuatnya untuk tidak putus asa dan memilih untuk melanjutkan hidupnya bersama anak yang dikandungnya. 4. Teknik Arus Kesadaran Arus kesadaran sering disamakan dengan monolog batin, percakapan yang hanya terjadi pada diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”. Dalam hal ini, tokoh Amba juga melakukan kegiatan monolog batin. Berikut ini adalah kutipan monolog yang dilakukan Amba. Tetapi apakah Bhisma mengenalnya? Bhisma di Kadipura. Ia tidak bisa membayangkan laki-laki itu (tiba-tiba ia tak menyebut namanya) masuk ke dalam hidup Sudarminto yang kecil itu, yang terpesona bahkan oleh seorang yang lebih biasa dan sederhana, Salwa. Aku harus kembali ke Paklik dan Bulik. Aku harus menulis surat ke Bapak. Aku tidak akan meninggalkan Salwa. Ia menangis.89 Dalam kutipan tersebut, kesadaran yang terjadi pada Amba saat hidupnya mulai terpuruk, dia sadar untuk kembali kepada ibu dan bapaknya. Dia merasa hanya Salwa yang mengerti tentang keluarganya, dan Bhisma tidak tahu apa-apa tentang keluarganya. Kebimbangan tersebut juga terdapat pada kutipan selanjutnya, yaitu saat Bhisma menghilang dan Amba mengandung anaknya. Di hari-hari yang menyusul setelah Bhisma hilang, tiap senti tiap detik yang ditempuh Amba adalah ribuan lorong yang vakum. Ia kembali ke rumah Paklik dan Bulik, masuk ke kamarnya, merebahkan diri, tidak bisa menangis. Seharusnya aku tidak punya mimpi, ia ingin menuliskan 88 89
Ibid., h. 390. Ibid., h. 246.
79
kalimat itu dengan huruf-huruf besar selembar halaman kosong. Tetapi dalam tidurnya yang kacau, ia berkali-kali bermimpi.90 Kutipan di atas menggambarkan keadaannya yang terpuruk, Amba tersadar jika seharusnya dia tidak mempunyai mimpi yang tinggi, mimpi di sini diartikan dia dapat menikah dengan Bhisma dan membina kehidupan dengannya. Selain kutipan tersebut, terdapat kutipan lainnya yang menguatkan kedirian tokoh Amba sebagai sifatnya yang tidak putus asa. Seperti dalam kutipan di bawah ini. Yang ia ingat, Rien, sahabatnya atau bekas sahabatnya itu tiba-tiba berbisik, sebelum keluar ruangan., “Beberapa hari yang lalu Bumi Tarung diserbu dan dirusak; teman-temanmu pasti ditangkap.” Aku tak bisa kembali ke orangtuaku, aku tak bisa kembali ke Salwa. Aku harus punya kehidupan baru.91 Saat terjadi pemberontakan di Bumi Tarung, banyak teman-temannya yang ditangkap dan menghilang karena diduga simpatisan komunis, termasuk Bhisma. Di sini Amba memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan meninggalkan orang-orang yang dicintainya selama ini. Dapat disimpulkan dalam kutipan monolog-monolog yang dilakukan Amba menguatkan kedirian sifatnya yang mengalami kebimbangan dan tidak putus asa dalam menjalani hidup. 5. Teknik Reaksi Tokoh Dalam reaksi tokoh digambarkan reaksi Amba terhadap tokoh lainnya. Hal ini dimaksudkan sebagai reaksi Amba terhadap suatu kejadian, masalah, serta sikap maupun tingkah laku dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan kecemasan Amba terhadap masa depannya dengan Salwa, namun Salwa meyakinkan Amba untuk bersabar sambil melanjutkan studi mereka. Aku tahu kau diam-diam cemas tentang masa depan kita. Tetapi nanti setelah kita berpisah setahun, karierku akan jauh lebih mapan. Ijazah perguruan tinggi yang selalu 90 91
Ibid., h. 273. Ibid., h. 286.
80
kaudambakan itu pun akan semakin dekat dalam genggaman.92 Kutipan lain mengenai kejadian yang terjadi karena Amba dan Salwa berpisah terdapat dalam kutipan di bawah ini. Amba pergi ke kampus lebih pagi, dan dua hal terjadi: Yang pertama adalah sebuah pengumuman di koridor utama. Kursus privat. Guru bahasa Inggris. Warga asing. Bekas guru pembimbing program FF. Yang kedua adalah sebuah iklan Koran, di dinding yang sama. Seuah iklan yang beberapa kali muncul di surat kabar, tapi baru kali ini menyita perhatiannya. Mungkin karena kliping iklan itu dipasang di papan pengumuman di kamous, seakan sebuah pengukuhan. Bunyinya: Dicari: seorang penerjemah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Bersedia tinggal di sebuah lokasi paling lama dua minggu. Akomodasi dan semua pengeluaran termasuk honorarium ditanggung. Mohon hubungi Dr. Suhadi Projo, Jl. Kemenyan 15, Kediri.93 Respons Amba saat membaca pengumuman tesebut adalah segera melamar sebagai penerjemah bahasa Inggris di sebuah rumah sakit. Dia tertarik pada pengumuman kedua yang dipasang di koridor utama. Sebagai perempuan yang ditinggal kekasihnya, dia tidak ingin hanya menunggu Salwa kembali dari tugasnya. Dia mengisi waktu dengan bekerja sebagai penerjemah. Respon tersebut juga menguatkan kediriannya sebagai perempuan yang berkemauan keras dan melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Dalam kutipan tersebut juga tergambar dengan jelas reaksi Amba akibat kepergian Salwa, dia memutuskan untuk mencari kerja meskipun tempat tersebut jauh. Hal ini dilakukannya sebagai mengisi waktu dibandingkan hanya diam menunggu Salwa. Pada kutipan berikutnya yang menandakan dia sebagai perempuan yang berkemauan keras selain bekerja di Kediri yaitu, Amba terhenti sejenak, lalu menyambung, “Seseorang yang tak saya kenal, ia tak menyebut namanya, mengirim e92 93
Ibid., h. 273. Ibid., h. 155-156.
81
mail ke saya---surat elektronik---dan memberitahu saya bahwa Bhisma sudah meninggal. Dan saya, saya tergerak ke pulau ini, untuk memastikan kebenaran berita itu.”94 Usianya sudah paruh baya, namun sifatnya tetap memiliki kemauan yang keras. Saat dia mendapat e-mail kaleng mengenai Bhisma, dia langsung mencari kebenaran tersebut ke Pulau Buru. Puluhan tahun tidak mendapatkan informasi apapun mengenai kekasihnya tersebut, Amba mencari tahunya. Dari kutipan-kutipan tersebut dapat disimpulkan respons Amba terhadap kejadian, masalah, maupun tingkah laku dari luar diri tokoh lain menjelaskan kediriannya sebagai perempuan yang berkemauan keras. 6. Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh lain pada hakikatnya adalah tokoh-tokoh lain melakukan penilaian atas tokoh utama. Artinya tokoh-tokoh lain memberikan penilaian atas tokoh Amba. Selain itu juga menginfomasikan kedirian tokoh Amba dalam novel Amba. Berikut ini adalah kutipan Amba sebagai kakak yang keras kepala dan dinilai aneh oleh Ambika. Ambika mulai gerah. Ia tak suka arah pembicaraan ini. Ia telah terbiasa dengan pikiran-pikiran kakaknya yang aneh, tapi kali ini ada sesuatu dalam energinya yang membuatnya takut. Apa yang membuat kakaknya begitu marah pada dunia, padahal umurnya hanya dua tahun lebih tua? Apabila Amba tidak menyukai laki-laki, kenapa ia berbicara tentang “begituan” terus-terusan? Lagi pula, bagaimana caranya seorang perempuan bisa tak menyukai laki-laki? Dalam kejengkelannya, ia mencoba-coba mengingat kisah Amba dalam wayang, dalam Bharatayudha, apa yang terjadi pada sosok itu---atau apa yang terjadi pada sosok itu yang selalu membuatnya ingin lupa.95 Selain kutipan di atas, kutipan berikut juga menjelaskan sifat Amba menurut bapaknya, Sudarminto. Sebenarnya Sudarminto sedikit takut terhadap anakanaknya sendiri. Terlebih terhadap anak sulungnya. Ada pada 94 95
Ibid., h. 360. Ibid., h. 88.
82
Amba sesuatu yang yang seperti putri raja: keras kepala, berkemauan sendiri, memesona.96 Amba juga memiliki sifat pemalu, ibunya berpendapat demikian dalam kutipan berikut ini. Dan Ibu menyahut, dengan sedikit terisak, “Aku tahu, Nak Salwa. Amba itu hanya bicaranya saja yang banyak. Sesungguhnya dia itu pemalu.”97 Saat dewasa, apakah Amba terlibat dalam PKI? Berikut ini adalah kutipan sebagai reaksi tokoh Rien sahabat dekat Amba. Dengan becak Amba ke Jalan Mangkuyu dan, ke kamar Rien. Rien mendengarkan apa yang terjadi. Wajahnya pucat. “Aku tidak menduga begitu jauh keterlibatanmu dengan CGMI,” ujarnya dengan nada rendah.98 CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), dianggap sebagai organisasi dalam lingkungan Partai Komunis Indonesia. Amba sebenarnya tidak masuk dalam kegiatan tersebut, hanya saja karena dia kekasih Bhisma dan Bhisma sering mengajaknya di beberapa kegiatan politik untuk menemaninya. Sehingga dia dianggap terlibat dalam gerakan kiri. Dalam beberapa kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan tokoh Amba pada reaksi tokoh di sekitarnya tetap sebagai perempuan yang keras kepala, dan keterlibatannya pada organisasi di bawah komunis membuat dia harus menata ulang kehidupan barunya. 7. Teknik Pelukisan Latar Teknik pelukisan latar dapat mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti dalam teknik-teknik sebelumnya. Seperti dalam kutipan berikut ini yang menggambarkan suasana Kadipura, tempat tinggal sekaligus tempat kelahiran Amba. Dan dirinya adalah bagian dari Kadipura. Kota kecil itu terletak di lereng Merapi, tak jauh dari Klaten. Hanya perlu dua 96
Ibid., h. 108. Ibid., h. 145. 98 Ibid., h. 275-276. 97
83
puluh menit dengan sepeda untuk mencapai jalan utama. Sawah-sawahnya, yang menghasilkan beras untuk kota-kota sekitarnya, punya saluran irigasi yang kokoh, dan di tengah kota, ada sebentang jalan pertokoan. Rumah-rumah mapan di atas panggung batu. Beberapa gedung peninggalan Belanda menyela. Sebuah sekolah misionaris yang tidak terpakai lagi kini digantikan sekolah-sekolah baru, dengan guru-guru baru--juga yang jadi karena murid dengan cepat bertambah.99 Keasrian dan ketenteraman digambarkan Kadipura pada kutipan tersebut. Amba kecil hingga remaja tumbuh sebagai perempuan cerdas. Kutipan lain adalah saat dia mulai bekerja di rumah sakit Kediri Sono Walujo. Rumah sakit tersebut digambarkan di bawah ini. Rumah sakit ini tak seperti yang ia bayangkan: lumayan luas untuk ukuran kota kecil, tak terlalu kacau balau, meskipun tak bersih-besih amat.100 Rumah sakit ini sebagai tempat kerja Amba dan juga tempat dia dipertemukan dengan Bhisma, selain itu dia juga mendapatkan tempat tinggal di rumah sakit ini. Kamar itu mungil, tapi ia suka segala apa yang mungil, juga ranjang yang pas itu, yang sama panjangnya dengan tubuhnya, dan lemari pakaian dengan satu gantungan baju, cermin bundar dengan wastafel sederhana di bawahnya, dan sebuah meja pendek yang dirapatkan pada sisi luar ranjang. Warna dindingnya biru kesumba yang manis, yang tak terduga, sementara segalanya yang lain sangat mudah diterka, termasuk bekas bocor di loteng dan listrik 25 watt, cahaya persembunyian.101 Kamar yang menjadi tempat istirahat Amba digambarkan dalam kutipan di atas. Di bulan Oktober 1965, terjadi pemberontakan oleh PKI. Termasuk di Yogya saat Amba mengungsi di rumah Paklik dan Buliknya di sana. Kutipan di bawah ini adalah situasi pelukisan latar di sepanjang Malioboro. 99
Ibid., h. 105. Ibid., h. 163. 101 Ibid., h. 165. 100
84
Amba datang bersama Yahya yang menjemputnya pagipagi dengan becak. Sepanjang jalan dari Menukan ke Dagen mereka melihat tentara berseragam tempur berjajar dan di beberapa sudut Jalan Malioboro gerombolan pemuda dengan poster dan spanduk yang belum dibuka, karena aksi belum dimulai. “HMI, Banser, GMNI, PMKRI,” bisik Yahya.102 Kutipan di atas menggambarkan kondisi di jalan Malioboro yang sudah dijaga oleh beberapa tentara, karena dikhawatirkan akan terjadi pemberontakan susulan. Amba dijemput oleh Yahya untuk bertemu dengan Bhisma. Sedangkan pada kutipan selanjutnya Amba menghadiri acara mengenang Untarto (salah satu rekan Bhisma yang tewas) di Universitas Res Publica. Mereka dipersilakan duduk, meskipun hanya ada selusin kursi. Sekitar 400 orang hadir berdesak-desak, (Amba memperhatikan bukan cuma dia yang memakai merah), dan ia memilih kursi di sebelah kanan Bhisma. Ruang itu 20 x 15 meter, dan dari lantainya yang kotor tampak bekas garis-garis sebuah lapangan badminton. Di tembok, agak di atas, sederet huruf Cina, di bawahnya sebaris huruf Latin: Tunas Nusa Harapan d/h Tjien Nien Hui. Di bawah huruf-huruf itu tampak beberapa tumpukan kaleng, drum, palang-palang besi. Cahaya listrik minimum. Di pintu utara tergantung sebilah papan: UNIVERSITAS RES PUBICA.103 Dari kutipan-kutipan tersebut dapat disimpulkan saat Amba kecil hidup di Kadipura di lingkungan keluarga terpelajar dan membuatnya bisa melanjutkan studinya. Setelah beranjak dewasa dia bekerja di Kediri dan menjalin hubungan dengan Bhisma yang membuatnya terlibat dalam gerakan komunis. 8. Teknik Pelukisan Fisik Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas, sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini. Amba tahu ia bukan tidak menarik---matanya kucing dan kenari, bahunya kokoh, lehernya panjang, tulang-tulang pipinya 102 103
Ibid., h. 255. Ibid., h. 265.
85
tirus dan tajam, dan membuatnya tampak kuat, sementara mulutnya---guratan yang tegas, tapi lentur, cerdas---begitu feminin. Tapi justru karena ia tahu apa yang ia ketahui tentang dirinya sendiri, ia tak peduli pada pendapat orang. Ia juga tak hendak menyalahkan dirinya karena kurang cantik.104 Kutipan di atas adalah penggambaran fisik Amba saat dia berusia dua belas tahun. Dia memang tidak cantik, tapi dengan fisik yang demikian mengukuhkan dirinya sebagai gadis yang ulet, rajin namun cuek terhadap hal yang tidak penting. Kutipan beikutnya juga menggambarkan fisiknya. Setiap kali orang memberanikan diri mengomentari--pacarmu itu lho, Mas, apa Mas ndak tergila-gila pada plerok matanya, jidadnya yang lebar, dan bokongnya yang…---ia hanya tersenyum: tapi pacarku memang kucing, dan begitulah kucing. Dan karena makhluk yang sempurna itu begitu mungil untuknya, setidaknya dua kali lebih pendek, ia melihatnya lebih sebagai adik.105 Kutipan tersebut menggambarkan fisik Amba saat dewasa, dia tumbuh menjadi perempuan yang memesona, bahkan orang lain pun memuji kemolekannya, meskipun tubuhnya tersebut mungil. Dari penampilannya, Perempuan Pertama nampak lima belas tahun lebih muda (sekitar enam puluh): tubuhnya yang kurus itu masih liat. Ia sudah pasti bukan dari Buru, tapi ada sesuatu padanya yang juga bukan sepenuhnya Jawa.106 Kutipan di atas adalah penggambaran fisik Amba saat usianya sudah lanjut. Meski sudah paruh baya, amba tetap liat atau gesit. Kutipan tersebut adalah kejadian Amba yang ditikam oleh Perempuan Kedua saat di Buru. Dapat disimpulkan, ada delapan aspek yang menjadi bagian dalam teknik dramatik, yaitu teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar dan terakhir teknik pelukisan fisik tokoh. Dengan menggunakan ke delapan teknik tersebut, kedirian sifat Amba tergambar jelas dalam novel, dan dari beberapa 104
Ibid., h. 79. Ibid., h. 145-146. 106 Ibid., h. 16. 105
86
kutipan tersebut, tergambar secara fisik Amba sebagai perempuan yang kuat dan tangguh. Bahkan saat usianya lanjut pun dia masih kuat dan juga gesit dalam hidupnya.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA Seperti yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, mengenai kaitan sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian sastra dapat meningkatkan
pengetahuan
budaya,
memperluas
wawasan
hidup,
pengetahuan-pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian. Dalam hal pengajaran sastra khususnya mengenai novel dapat meningkatkan kemampuan membaca peserta didik. Khususnya dalam novel sastra, peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya melalui kegiatan membaca, karena bacaan sastra membahas permasalahan kemanusiaan serta kehidupan. Pembelajaran sastra mengenai analisis novel dapat diterapkan oleh guru untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra adalah cukup mudahnya
karya
kemampuannya
tersebut
dipahami
masing-masing
siswa
perorangan.
sesuai
dengan
tingkat
Namun
karena
tingkat
kemampuan setiap individu berbeda, guru dituntut luwes dan menggunakan strategi kerja kelompok dengan baik. Seperti yang tertuang dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Pasal 1, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Analisis
tokoh
utama
Amba
yang
menjadi
kajian
ini
dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Dengan berintikan aspek sosial, pengetahuan, serta sejarah yang berfungsi untuk memahami struktur dan kaidah dalam novel, baik lisan maupun tulisan. Kaitannya dengan
87
novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, pendidik dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk membaca dan memahami tokoh Amba di dalam novel. Alasannya karena kepribadian tokoh Amba dapat direfleksikan dalam kehidupan peserta didik. Dalam analisis tersebut digambarkan Amba sebagai perempuan yang tidak putus asa, berkemauan keras, dan berani dalam mengambil keputusan dapat dijadikan contoh yang baik bagi peserta didik. Sedangkan sifat lainnya yang menggambarkan keras kepala, sombong, dan bimbang dapat dijadikan sebagai pembelajaran sikap yang harus dihindari. Selain itu dalam menganalisis novel diharapkan juga mampu untuk menganalisis dan menjelaskan bagaimana tokoh Amba pada novel yang telah dibaca, yaitu dengan cara berpartisipasi langsung dalam menganalisis tokoh Amba dalam cerita. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pembedaan tokoh maupun teknik pelukisan tokoh dalam cerita. Jadi tidak hanya mengerti tentang kognitif saja berupa pengertian ataupun definisinya. Terdapat keterkaitan interdisipliner hubungan sastra dengan sejarah. Seperti dalam novel Amba juga erat kaitannya dengan sejarah bangsa Indonesia khususnya yang terjadi di tahun 1965. Hal ini tentunya terkait erat pula dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam kaitan ini, guru bahasa Indonesia harus melakukan sharing atau sering bertukar pendapat dengan guru sejarah, agar tidak terjadi kerancuan atau perbedaan mengenai pengetahuan sejarah yang diajarkan oleh peserta didik, sehingga peserta didik tidak kebingungan. Selain itu banyaknya buku bacaan serta versi mengenai G30S, dikhawatirkan dapat membuat peserta didik kebingungan. Namun dalam pengajaran, guru bahasa Indonesia harus tahu mengenai batasan yang dijelaskan. Materi tersebut tentunya akan lebih dipaparkan dengan jelas oleh guru sejarah. Dalam menganalisis novel, guru juga dapat mengarahkan siswa untuk menggunakan teknik membaca intensif. Dengan membaca secara intensif dapat diketahui secara detail analisis unsur intrinsik yang dianalisis oleh peserta didik. Selain itu peserta didik juga berpikir kritis mengenai novel yang dibacanya, dan tentunya mereka dapat beragumen.
88
Seperti dalam novel Amba, novel ini adalah novel sejarah. Tentunya diperlukan membaca secara intensif agar lebih memahami novel ini, karena banyak dipaparkan mengenai konflik yang terjadi pada tokohnya serta peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan sejarah Indonesia. Dengan demikian pengetahuan peserta didik dan pengajar akan semakin bertambah.
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Novel Amba Karya Laksmi Pamuntjak penulis analisis dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh dramatik dalam buku Burhan Nurgiyantoro. Ada delapan aspek yang menjadi bagian dalam teknik dramatik, yaitu teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar dan terakhir teknik pelukisan fisik tokoh. Analisis menggunakan ke delapan teknik tersebut dapat ditemukan kedirian sifat Amba yang tergambar dalam novel. Seperti, Amba memiliki sifat keras kepala, berkemauan keras, ulet, acuh, dan tidak putus asa. Ketiga tokohnya, Amba, Bhisma, dan Salwa memang merasakan kehilangan cintanya masing-masing, namun mereka lantas tidak putus asa. Mereka tetap menjalani kehidupannya meski bayang masa lalu selalu ada dalam benak mereka. 2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsurunsur intrinsik dalam novel serta menemukan nilai positif ataupun negatif yang terkandung dalam novel melalui tokoh Amba.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra, maka penulis menyarankan: 1. Guru diharapkan lebih jelas dalam menjelaskan unsur-unsur pembangun karya sastra dan jika perlu disertai contoh dalam menerangakan, karena unsur-unsur pembangun karya sastra tidak lepas dari unsur intrinsik dan 88
89
ekstrinsik. 2. Melalui tokoh Amba, peserta didik dapat belajar jika memiliki kemauan harus dicapai dengan kerja keras dan usaha. Selain itu, semangatnya yang tidak putus asa dalam menjalani hidup dapat dijadikan contoh yang baik. Tentunya dalam membaca karya sastra harus mengetahui pula sifat yang baik dan tidak baiknya. Sehingga hal yang baik dapat ditiru dan yang tidak baik ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2006. Aziez, Furqonul dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. 2004. Djojosuroto, Kinayati. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka. 2006. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. 2010. Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi, cet-8. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010. Pamuntjak, Laksmi. Amba. Jakarta: Gramedia. 2012. Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Cet-IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara. 2010. Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2008. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, cet-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Rusyana, Yus. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Laras. 1982. Semi, Antar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. 2011. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Sumardjo, Jakob. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni. 1984. Tirtawirya, Putu Arya. Apresiasi Puisi dan Prosa, Ende:Nusa Indah. 1983. Waluyo, Herman J. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press. 1994.
90
91
Widjojo dan Hidayat, Endang. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI Press. 2006. Anonim. Laksmi Pamuntjak: Kehidupan Eksil Laksmi Pamuntjak. Kompas. Minggu, 8 Januari 2006. Anonim. Lembaga Pembela Korban, Laksmi Pamuntjak: Pulau Buru & Normalisasi Kejahatan 65. Artikel diakses pada 23 Februari 2013 dari http://www.dw.de/laksmi-pamuntjak-pulau-buru-normalisasi-kejahatan65/a-16601193 Anonim. Seniman Sastra. Artikel diakses pada 11 Desember 2013 dari www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/pamuntjak.html.
LAKSMI PAMUNTJAK Dalam kesusastraan Indonesia, nama Laksmi Pamuntjak tentunya sudah tidak asing dalam esai maupun puisi. Namun sebagai novelis masih jarang orang yang mengetahuinya. Oleh karena itu, penulis hanya menemukan beberapa biografi dari biografi di novel maupun surat kabar dan halaman web yang ada. Seperti Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan blog Laksmi Pamuntjak.
A. Biografi Pengarang Laksmi adalah sosok yang dekat dengan buku dalam arti sebenarbenarnya. Lahir di Jakarta, 22 Desember 1971, keluarganya adalah pemilik usaha penerbitan yang terkenal di zaman dulu, yakni Djambatan. Dia belajar di studi Asia Jurusan Ilmu Politik di Universitas Murdoch, Perth. Lulus tahun 1993, ketika kembali ke Jakarta ia sempat bekerja di berbagai tempat sembari menulis untuk sejumlah surat kabar dan majalah. Tahun 2000 dia memutuskan kembali ke dunia buku. Ia mendirikan Pena Klasik-yang belakangan mendirikan Elipsis yang masuk dalam daftar The books of the year tadi. Nama Laksmi mencuat di dunia perbukuan ketika dia membuat Jakarta Good Food Guide (2001) yang dikerjakannya seiring proyeknya yang lain, yaitu mendirikan Toko Buku Aksara di kawasan elite Jakarta, Kemang, bersama teman-temannya. Sedangkan tentang Jakarta Good Food Guide, tak salah, dia memang doyan makan. Selain itu ada pertimbangan-pertimbangan lain. Ia frustasi melihat tak adanya buku panduan restoran di Jakarta, seperti di kotakota lain di dunia.1 Pada tahun 2004, ia menjadi editor, penerjemah sekaligus pemberi pengantar bagi buku Goenawan Mohamad: Selected Poems. Di tahun 2005, ia menerbitkan buku puisi karyanya yang berjudul Ellipsis: Poems and ProsePoems, yang memuat 35 puisi dan masuk dalam daftar The books of the year versi The Herald, Inggris. Buku ini membuatnya menjadi orang pertama dari Indonesia 1
Laksmi Pamuntjak, Kehidupan Eksil Laksmi Pamuntjak, PDS H.B Jassin, Minggu, 8 Januari 2006, h. 25.
yang mendapat penghargaan internasional tersebut. Tahun 2006, terbit dua buku karyanya, The Diary of R.S.: Musings on Art yang diterjemahkan ke dalam dua bahasa Perancis dan Indonesia dan Perang, Langit dan Dua Perempuan. Tahun 2007 kembali menerbitkan buku The Anagram yang berisi koleksi kumpulan puisi karyanya, Elegy for the Unsaid, The Break-up, October, I See the Clouds From Both Sides Now, 35, The Embrace, The Final Hour, An Entry on Love, A Strangerin loa, Not For This Lifetime, Scrapbook Sunset, The Anatomy of Talk, For My Daughter, Once More, Trevi, From a Buru Notebook: where..., Daystar Murders. Buku hasil karyanya yang lain yang telah terbit antara lain; Artemis in King Frederick ll’s Winter, To My Parents, Who Visited My College Town, Silent Prayer for My Daughter on Her 9th Birthday, Dolpins, La Guardia One Blue Saturday Afternoon, Afternoon of The Petunias, After Bisma Defeated Salwa, Night Train Late January, Night Train Mid-March, Glass Conservatory. Dia juga sering diundang menghadiri diskusi, konferensi serta acara-acara lain yang berkaitan dengan dunia sastra, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di antaranya: Amsterdam, Floence, Paris, New York, Los Angles, Manila, Internasional Literary Festivals di Australia (Byron Bay Literary Festival, National Poetry Festival di Victoria), Kanada (Wordfest Literary Festival di Calgary and Banff), Hague, Hong Kong, Singapura, Ubud, Jakarta, dan Kuala Lumpur. 2 Pada 2009, Laksmi menjadi salah satu juri internasional The Prince Claus Fund Award yang berbasis di Amsterdam. Pada bulan Juli 2012, ia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam Poetry Parnassus/Cultural Olympiad di London, festival puisi terbesar dalam sejarah Britania Raya yang digelar khusus untuk mengiringi Olimpiade 2012.3
2
Laksmi Pamuntjak, Seniman Sastra, Artikel diakses pada 11 Desember 2013 dari www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/pamuntjak.html. 3 Pamuntjak, op.,cit, tentang penulis.
B. Sinopsis Novel Amba Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang wanita bernama Amba Kinanti. Amba adalah anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah. Dalam novel ini ia adalah perempuan terdidik, kritis, dan mandiri. Amba berbeda dengan perempuan-perempuan desa disekitarnya dan juga dengan kedua adik kembarnya, Ambika dan Ambalika. Saat perempuan seusianya memilih untuk berumah tangga, ia justru memilih meninggalkan kota kecilnya untuk belajar sastra Inggris di Universitas Gajah Mada (UGM), dan bertunangan dengan Salwa Munir. Salwa adalah seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya. Suatu hari, ia memutuskan untuk mengasah kemampuan belajarnya selama kuliah dengan bekerja sebagai penerjemah di Kediri. Saat di Kediri ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di rumah sakit. Amba merasa menemukan cinta sejatinya bersama Bhisma dan memutuskan secara sepihak pertunangannya dengan Salwa. Percintaan mereka terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah peristiwa G30S di Kediri dan Yogyakarta. Bhisma tiba-tiba hilang ketika Amba hamil. Beberapa tahun kemudian, Amba memutuskan menikah dengan Adalhard Eilers ketika ia telah mengandung benih dari Bhisma. Bersama Adalhard, Amba memulai kehidupan baru tanpa Bhisma atau Salwa. Namun ketika suaminya meninggal, ia mendapat kabar melalui emailnya bahwa Bhisma telah meninggal di Pulau Buru. Amba yang tak pernah berhenti mencintai Bhisma datang untuk mencari jejak Bhisma hingga ke Pulau buru dibantu dengan Samuel. Meski sudah tua ia tetap bersemangat mencari kekasihnya yang hilang. Akhirnya Amba berhasil menemukan jejak-jejak yang dituliskan Bhisma dalam gulungan-gulungan kertas yang disembunyikannya dalam tanah di bawah pohon atas bantuan Manalisa. Dari surat-surat tersebut terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga pelbagai peristiwa yang kejam dan mengharukan dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru. Melalui surat itu Amba juga tahu, rupanya selama ini Bhisma dijebloskan dalam tahanan
di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke Pulau Buru bersama 7000 orang yang dituduh ‘komunis’ oleh pemerintahan Soeharto.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERKARAKTER MATA PELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MATA PELAJARAN KELAS/SEMESTER PROGRAM ALOKASI WAKTU
Bahasa dan Sastra Indonesia XII SMA Umum 4 X 45 Menit
KOMPETENSI DASAR
Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel Menemukan sifat Amba dalam sebuah novel melalui teknik dramatik Membaca Mampu mengidentifikasi unsurunsur intrinsik yang terkandung dalam novel Mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik novel, meliputi tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa. Mampu menemukan sifat Amba melalui teknik dramatik yang mencangkup delapan teknik dalam novel Amba Menuliskan laporan kerja kelompok tentang analisis kepribadian tokoh dalam novel Membacakan hasil kerja kelompok di depan kelas, dan siswa lain memberikan tanggapan Analisis teks novel Unsur intrinsik dan sifat tokoh
ASPEK PEMBELAJARAN INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI
MATERI POKOK PEMBELAJARAN
Amba Hasil menyunting penggalan teks novel berupa unsur intrinsik dan analisis sifat tokoh Amba.
STRATEGI PEMBELAJARAN TATAP MUKA Menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan
TERSTRUKTUR Mencermati teks novel yang berkaitan dengan analisis tokoh Amba dengan menggunakan teknik dramatik (penggambaran tokoh secara tidak langsung) melalui novel Amba
MANDIRI Peserta didik diminta berdiskusi untuk memahami unsur intrinsik novel, serta menemukan sifat tokoh Amba dalam novel
KEGIATAN PEMBELAJARAN TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN PEMBUKA Apersepsi Guru mengucapakan salam dilanjutkan dengan doa pembuka Guru mengondisikan kelas Guru memulai pelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah novel Motivasi Guru menanyakan pada peserta didik mengenai hobi dalam membaca karya sastra khususnya novel dan pengertian novel Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan disampaikan Guru menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran
NILAI BUDAYA Dapat dipercaya Rasa hormat dan perhatian Tekun Tanggung jawab Berani
INTI
Mengamati Peserta didik membaca teks di dalam novel Peserta didik mencermati teks novel yang berkaitan dengan unsur intrinsik novel Peserta didik menemukan kepribadian tokoh yang terkandung dalam novel Mempertanyakan Guru dan peserta didik bertanya jawab tentang hal-hal yang berhubungan dengan isi bacaan Mengeksplorasi Guru membantu peserta didik dalam mencari berbagai sumber informasi tentang unsur intrinsik, dan kedirian tokoh, dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh yang terkandung dalam novel Mengasosiasikan Peserta didik saling mendiskusikan tentang unsur-unsur yang mengemukakan wujud kedirian tokoh dalam teks novel Peserta didik dapat menyimpulkan hal-hal terpenting dalam kedirian tokoh Mengomunikasikan Peserta didik menuliskan laporan kerja kelompok tentang analisis tokoh dalam novel Peserta didik membacakan hasil kerja kelompok di depan kelas, siswa lain memberikan tanggapan.
PENUTUP
Internalisasi Peserta didik diminta menjelaskan manfaat dari pembelajaran analisis tokoh Amba melalui teknik dramatik tokoh dalam sebuah novel
Persepsi Siswa diminta mengungkapkan pengalaman kehidupan sebagai pembelajaran yang terkandung dalam sebuah novel
METODE DAN SUMBER BELAJAR Sumber Belajar V
Pustaka Rujukan
V
Material: VCD, kaset, dan poster Media cetak dan elektronik
V
Website dan internet
Buku Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA kelas XII, penerbit esis, pengarang Alex Suryanto dan Agus Haryanta, tahun 2007, halaman 72. Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak Buku referensi lain yang menunjang materi menganalisis dan menyunting teks novel Buku referensi mengenai analisis tokoh melalui teknik dramatik Rekaman pengajaran analisis novel Siaran mengenai bedah buku pembahasan analisis tokoh dalam sebuah novel Artikel pembahasan analisis kedirian tokoh dalam sebuah novel
V V
Presentasi Diskusi Kelompok
V
Tugas Peserta didik diminta berdiskusi untuk memahami unsur intrinsik serta menemukan sifat tokoh Amba di dalam novel Secara individual peserta didik diminta menganalisis teks sesuai dengan unsur intrinsik novel Secara kelompok peserta didik diminta menemukan sifat tokoh Amba yang terkandung di dalam novel
PENILAIAN TEKNIK DAN BENTUK
V
V
V
Observasi Mengamati kegiatan peserta didik dalam proses mengumpulkan data, analisis data, dan pembuatan laporan Portofolio Menilai laporan peserta didik tentang analisis tokoh Amba dalam novel Tes Tertulis Menilai kemampuan peserta didik dalam memahami, menerapkan, dan menyunting teks novel sesuai dengan unsur intrinsik serta penggambaran sifat tokoh yang terkandung di dalam novel
Mengetahui, Kepala Sekolah
Jakarta, Mei 2014 Guru Mata Pelajaran
( ) NIP.08061134
(Reny Rachmawati) NIM. 109013000086
MATERI PEMBELAJARAN
A. Sinopsis Novel Amba karya Laksmi Pamuntjak Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang wanita bernama Amba Kinanti. Amba adalah anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah. Dalam novel ini ia adalah perempuan terdidik, kritis, dan mandiri. Amba berbeda dengan perempuan-perempuan desa disekitarnya dan juga dengan kedua adik kembarnya, Ambika dan Ambalika. Saat perempuan seusianya memilih untuk berumah tangga, ia justru memilih meninggalkan kota kecilnya untuk belajar sastra Inggris di Universitas Gajah Mada (UGM), dan bertunangan dengan Salwa Munir. Salwa adalah seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya. Suatu hari, ia memutuskan untuk mengasah kemampuan belajarnya selama kuliah dengan bekerja sebagai penerjemah di Kediri. Saat di Kediri ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di rumah sakit. Amba merasa menemukan cinta sejatinya bersama Bhisma dan memutuskan secara sepihak pertunangannya dengan Salwa. Percintaan mereka terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah peristiwa G30S di Kediri dan Yogyakarta. Bhisma tiba-tiba hilang ketika Amba hamil. Beberapa tahun kemudian, Amba memutuskan menikah dengan Adalhard Eilers ketika ia telah mengandung benih dari Bhisma. Bersama Adalhard, Amba memulai kehidupan baru tanpa Bhisma atau Salwa. Namun ketika suaminya meninggal, ia mendapat kabar melalui emailnya bahwa Bhisma telah meninggal di Pulau Buru. Amba yang tak pernah berhenti mencintai Bhisma datang untuk mencari jejak Bhisma hingga ke Pulau buru dibantu dengan Samuel. Meski sudah tua ia tetap bersemangat mencari kekasihnya yang hilang.
Akhirnya Amba berhasil menemukan jejak-jejak yang dituliskan Bhisma dalam gulungan-gulungan kertas yang disembunyikannya dalam tanah di bawah pohon atas bantuan Manalisa. Dari surat-surat tersebut terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga pelbagai peristiwa yang kejam dan mengharukan dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru. Melalui surat itu Amba juga tahu, rupanya selama ini Bhisma dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke Pulau Buru bersama 7000 orang yang dituduh ‘komunis’ oleh pemerintahan Soeharto. B. Pengertian Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri dan dapat dikatakan unsur yang ada di dalam karya tersebut. Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. 1. Tema Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Aminuddin mengungkapkan dalam bukunya ”tema adalah ide yang mendasari suatu cerita”. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema ada kaitannya dengan hubungan makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. 2. Tokoh Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita, sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan 3. Latar Latar adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang yang dapat diamati, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra 4. Alur Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa
mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam satu waktu 5. Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita dan dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita yang dikisahkan 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa disebut juga stile (style), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapakan sesuatu yang akan dikemukakan. 7. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat. C. Teknik Pelukisan Tokoh Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal yang berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung. Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan, dan penggunaannya dalam karya fiksi tergantung pada selera pengarang dan kebutuhan penceritaan. Teknik langsung lebih banyak dipergunakan pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan novel Indonesia modern, sedangkan teknik tak langsung terlihat lebih diminati oleh pengarang dewasa ini. Dalam novel Amba digunakan teknik secara dramatik. Teknik ini terbagi atas delapan teknik, di antaranya: teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan terakhir teknik pelukisan fisik.
RIWAYAT PENULIS
RENY RACHMAWATI, lahir di Batang, 16 Juli 1990. Menuntaskan pendidikan dasar di SDN Kartika Putra II Mabad. Kemudian, menuntut ilmu di SMP Dua Mei Ciputat. Setelah itu, dia melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di SMAN 2 Ciputat. Di tahun 2009, dia meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Anak dari Abdul Mungid dan Misronah ini sejak kecil tinggal bersama orang tuanya di Kampung-Setu Rempoa, Ciputat Timur. Dia anak pertama dari tiga bersaudara, adik pertamanya bernama Dita Nurul Khusna, dan yang kedua Muhammad Rifqi Afandi.
Sejak kuliah, dia
menambah pengalamannya dengan mengajar di beberapa tempat bimbel dan privat di rumah. Pernah mengajar bidang studi Bahasa Indonesia di sekolah SMPN 2 Ciputat selama 4 bulan di tahun 2013 dan juga di SMP Islamiyah Ciputat selama 2 bulan tahun 2013. Selain itu menambah pengalamannya sebagai editor tenaga perisalah di Mahkamah Konstitusi selama 2 bulan tahun 2014.