KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh: Rizka Amalia Sapitri 1110013000108
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK RIZKA AMALIA SAPITRI, 1110013000108, “Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari dan Impilkasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum. Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Entrok karya Okky Madasari, 2) untuk mengetahui ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari, dan 3) implikasi novel Entrok karya Okky Madasari terhadap pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kulitatif untuk mendeskripsikan data berupa ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Teknik analisis data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bentuk-bentuk ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari yaitu: 1) kekerasan terhadap perempuan dalam betuk pemerkosaan, pelacuran (prostitution), dan pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga berencana, 2) subordinasi terhadap perempuan dalam bentuk perempuan tidak dapat menyuarakan hak, pendapat dan keputusannya, 3) stereotip terhadap perempuan dalam bentuk anggapan perempuan yang bersolek untuk mencari perhatian lawan jenis dianggap sebagai penggoda, dan anggapan bahwa istri yang tidak becus melayani suaminya, dan tidak dapat memuaskan suaminya, suami berhak mencari istri baru atau perempuan lain, 4) marginalisasi terhadap perempuan dalam bentuk pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki, dan 5) beban kerja terhadap perempuan dalam bentuk beban kerja yang menumpuk dan membebani dalam pekerjaan domestik.
Kata Kunci: Entrok, Okky Madasari, Ketidakadilan, Gender, Perempuan
i
ABSTRACT RIZKA AMALIA SAPITRI, 1110013000108, “Gender Inequalities toward Women in Entrok novel by Okky Madasari and its Implication for Literature Learning in Senior High School”, Department of Indonesian and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum. The aims of this research were: 1) to find out intrinsic values in the novel entitled Entok written by Okky Madasari, 2) to find out gender injustice against women in the novel entitled Entok written by Okky Madasari, 3) to find out the implication of the novel towards the teaching and learning of literature in Senior High Level. The method used in this research was qualitative descriptive method which was used to describe the data related to gender injustice against women in the novel entitled Entok written by Okky Madasari. Data were analysed by heuristic and hermeneutic reading method. The result of this research showed that there were numerous gender injustice against women in the novel entitled Entok written by Okky Madasari, such as: 1) violence such as, rape, prostitution, and coercive sterilization in Keluarga Berencana program, 2) subordination such as, prohibition for women to express their rights, opinions, and decisions, 3) stereotype towards women such as, the woman beautifying her face to attract men was assumed as a teaser; a husband might have rights to have other wives or women if his wife could not serve or satisfy him well, 4) marginalisation such as inequality of remuneration between male and female workers, 5) force load toward women such as numerous burdening domestic work.
Keywords: Entrok, Okky Madasari, Inequalities, Gender, Women
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, Segala puji hanya bagi Allah, yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia Nya karena atas izin dan kasih Nya penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Sholawat dan salam penghormatan semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjauhkan kita dari jalan kebodohan. Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Dra. Nurlena Rifai, M.A., P.h.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini; 2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, kasih sayang yang Ibu berikan selama ini; 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan; 5. Ayah Sayutih dan mama Aslamiyah kedua orang tua penulis, yang telah merawat, mendidik, dan mendukung penulis dengan kasih sayang tulus sepanjang masa;
iii
6. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010, terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini; 7. Teman-teman penulis, Deby Rachma Rizka, Mia Nurdaniah, Nisa Kurniasih, dan Widya C Pratami. Terima kasih telah mendukung, mengingatkan, membantu, dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi; 8. Teman-teman PPKT SMK Grafika Lebak Bulus angkatan Februari— Juni 2014; 9.
Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin. Jakarta, November 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang Masalah .................................................................. Identifikasi Masalah ......................................................................... Batasan Masalah ............................................................................... Rumusan Masalah ............................................................................ Tujuan Masalah ................................................................................ Manfaat Penelitian ............................................................................ Metode Penelitian .............................................................................
BAB II KAJIAN TEORITIS .......................................................................
1 1 7 7 7 7 8 9 12
A. Pengertian Novel ............................................................................... B. Unsur-unsur Intrinsik ...................................................................... 1. Tema .......................................................................................... 2. Tokoh dan Penokohan ............................................................... 3. Latar ........................................................................................... 4. Alur ............................................................................................. 5. Sudut Pandang ........................................................................... 6. Gaya Bahasa ............................................................................... 7. Amanat ........................................................................................ C. Gender ............................................................................................... D. Pembelajaran Sastra ........................................................................ E. Penelitian yang Relevan ...................................................................
12 13 14 14 15 16 17 19 19 20 27 30
BAB III OKKY MADASARI .......................................................................
32
A. Biografi ................................................................................................ B. Pemikiran-pemikiran Okky Madasari ............................................. C. Sinopsis Novel Entrok ........................................................................
32 33 37
BAB IV PEMBAHASAN ..............................................................................
40
A. Unsur Intrinsik ...................................................................................
40
v
1. Tema ............................................................................................. 2. Tokoh dan Penokohan ................................................................ 3. Alur ............................................................................................... 4. Latar ............................................................................................. 5. Sudut Pandang ............................................................................ 6. Gaya Bahasa ................................................................................ 7. Amanat ......................................................................................... B. Analisis Ketidakadilan Gender .......................................................... 1. Kekerasan ..................................................................................... 2. Subordinasi .................................................................................. 3. Stereotip ....................................................................................... 4. Marginalisasi ............................................................................... 5. Beban Kerja ................................................................................ C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra ..................................... ....
40 41 53 59 69 69 71 72 73 79 83 86 89 94
BAB V PENUTUP ..................................................................................
99
A. Simpulan ............................................................................................ B. Saran ..................................................................................................
99 100
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Karya sastra merupakan cerminan dari realitas yang terjadi di masyarakat. Setiap kejadian atau peristiwa akan tertuang dalam karya sastra melalui ide dan gagasan dari pengarang. Seorang pengarang pasti akan menyampaikan ide atau gagasan inti melalui bahasa yang digunakannya. Setelah itu pembaca yang akan menafsirkan secara individual melalui pemahaman yang telah diperoleh dari kegiatan membaca karya tersebut. Karya sastra merupakan gambaran dari kehidupan lingkungan, keadaan sosial masyarakat, kebudayaannya, dan sejarah oleh karena itu untuk melihat keadaan sebuah negara dapat lihat dari karya-karya sastranya yang terdapat di negara tersebut. Karya sastra menjadi refleksi sosial sehingga menjadikannya realitas sosial tetapi karya sastra tetap bersifat fiksi oleh karena itu karya sastra memiliki keterikatan yang erat dengan keadaan dan kondisi masyarakat. Menurut Wellek dan Warren, sastra sebagai karya imajinatif.1 Pengarang membuat karya sastra merupakan hasil perenungan dan imajinasinya. Kemudian, menghasilkan karya mengenai permasalahan manusia dan kehidupan sehari-hari seperti adat istiadat, sejarah, politik, situasi sosial, budaya, ekonomi dan kondisi alam. Karya sastra diciptakannya tidak hanya mengandung hiburan tetapi juga mengandung nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dan bermanfaat bagi kehidupan. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Horatius bahwa karya sastra memiliki fungsi dulce et utile yang memiliki arti yang indah dan berguna. Seorang yang melakukan kegiatan membaca karya sastra akan merasakan dan 1
Wellek dan Warren, Teori Kesustraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993),
h.14
1
2
mendapatkan kesenangan dan hiburan. Sebuah karya sastra selain dapat memberikan keindahan karena nilai estetis dapat juga memberikan manfaat yang dapat berguna bagi kehidupan. Pada masa sekarang banyak pengarang-pengarang baru dengan karyakaryanya yang semakin berani mengungkapkan fenomena dan realitas sosial secara gamblang. Para perempuan pengarang juga tidak mau ketinggalan membuktikan bahwa perempuan tidak dapat dianggap remeh. Sekarang sudah banyak perempuan pengarang yang eksis dengan karya-karya yang berkualitas seperti Helvy Tinana Rosa, Djenar Maesa Ayu, NH. Dini, Ayu Utami, Leila S Chudori, dan Okky Madasari. Kehadiran banyak pengarang perempuan dengan mudah dapat menyuarakan pemikiran-pemikiran pada karyanya mengenai realitas yang terjadi akibat perbedaan gender yang menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu tema-tema sering yang diangkat pengarang perempuan dalam karyanya seperti kekerasan, inferioritas, diskriminasi dan lain-lain. Tema ketidakadilan dan kekuasaan yang dibahas oleh pengarang perempuan merupakan gambaran realitas sosial yang sudah lama terjadi di masyarakat. Ketidakadilan yang disebabkan oleh kekuasaan terlihat seperti kebenaran, bahwa seseorang yang berkuasa berhak atas hak orang lain untuk menentukan nasib, dan peran, serta melakukan tindakan kekerasan, dan diskriminasi atas orang yang dikuasainya. Pengarang perempuan melalui karyanya dapat menggugat ketidakadilan dengan sangat tegas melalui jalan cerita dan tokoh-tokoh yang diciptakannya untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai ketidakadilan yang sudah lama terjadi di masyarakat yang disebabkan oleh kekuasaan, sistem sosial, agam dan budaya
patriarki.
Ketidakadilan gender
pada
perempuan yang
disampaikan pengarang mengenai peran perempuan atas diskriminasi dibidang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan rumah tangga mulai menyadarkan perempuan akan berharganya perempuan.
3
Gender merupakan konstruksi dan tatanan sosial mengenai perbedaan antara jenis kelamin yang disebabkan oleh relasi-relasi sosial antara laki-laki dan perempuan atau berdasarkan sifat yang telah ditetapkan oleh sosial, budaya dan politik di suatu negara. Sedangkan perspektif gender yaitu pandangan tentang peran perempuan yang dibedakan berdasarkan kodrat dan peran gender yang sudah ditetapkan secara sosial, budaya dan politik. Kodrat perempuan yaitu menstruasi, hamil, melahirkan. Sedangkan peran perempuan ditetapkan oleh sistem sosial dan budaya berbeda-beda sesuai dengan waktu, dan tempat. Perbedaan gender menjadi masalah jika persoalan perbedaan tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan penghargaan dalam masyarakat serta ketidakadilan dalam hak dan kesempatan bagi laki-laki atau perempuan. Perempuan
khususnya
di
Indonesia
masih
mengalami
subordinasi,
perendahan, pengabaian, eksploitasi, dan pelecehan seksual bahkan tindakan kekerasan. Ketidakadilan gender yang biasanya menimpa pada perempuan bermula dari adanya kesenjangan gender dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan dan sumber ekonomi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya pelabelan negatif bahwa perempuan adalah lemah, yang juga bermula dari adanya mitos-mitos yang terbangun dalam suatu masyarakat. Misalnya mitos tentang sperma sebagai inti kehidupan. Perempuan tidak mempunyai inti kehidupan, mampu hanya menerima, maka perempuan adalah manusia nomor dua dan lemah.2 Anggapan tersebut telah menjadikan perempuan menjadi korban dari perbedaan gender yang menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan gender termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk yakni, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, sterotipe dan beban kerja. Bentukbentuk ketidakadilan gender tersebut telah banyak terjadi di masyarakat dan
2
Susilaningsih, dkk, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan McGiLL IISEP, 2004), h.13
4
merupakan bagian dari sistem sosial dan budaya yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama sehingga seakan-akan dianggap sebagai kodrat dari Tuhan. Akibat dari diskriminasi, kekerasan, inferioritas dan kekuasaan yang sewenang-wenang sudah menyulut hadirnya gerakan-gerakan perempuan memperjuangkan ketidakadilan gender atau disebut dengan feminisme. Tujuan dari gerakan feminisme mencoba mengangkat status perempuan dari ketidakberdayaan dan bukan lagi sebagai
second sex. Pengecilan peran
perempuan karena berkuasanya laki-laki mengakibatkan perempuan menjadi makhluk tidak berdaya dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri dan selalu diatur oleh kekuasaan laki-laki. Ada yang mengatakan di masyarakat walaupun bersekolah hingga ke jenjang tertinggi pada akhirnya perempuan hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Anggapan tersebut membuat peran perempuan semakin mengecil. Padahal antara perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menentukan nasibnya. Kemudian, menjadikan perempuan sebagai kaum yang terpinggirkan dan kaum nomer dua yang tidak memiliki hak atas hidupnya. Pada bidang perkerjaan perempuan dibatasi hanya untuk mengerjakan pekerjaan domestik saja seperti bersih-bersih rumah, mencuci, dan masak. Pada
bidang
pendidikan,
laki-laki
lebih
diutamakan
bersekolah
dibandingkan perempuan, perempuan dianggap tidak perlu bersekolah karena setelah menikah tugasnya melayani suami. Perempuan yang bekerja tetap mengalami ketidakadilan karena pembagian gaji yang tidak merata antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki dianggap kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah utama akan diberi gaji yang lebih tinggi, sedangkan perempuan yang bekerja hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan sehingga gaji yang diperolehnya tidak sama dengan laki-laki. Salah satu pengarang perempuan yang menghasilkan karya-karya dengan tema ketidakadilan dan kemanusiaan yaitu Okky Puspa Madasari memiliki
5
nama pena Okky Madasari. Lahir di Magetan, 30 Oktober 1984. Mendapatkan gelar sarjana Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Selesai tamat kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan mencoba mendalami dunia penulisan. Karya-karyanya yaitu novel Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012) dan Pasung Jiwa (2013). Okky Madasari berpendapat bahwa dengan menulis novel, suara-suara orang yang tertindas lebih efektif didengar dan dibaca dibandingkan di dalam sebuah tulisan berita, berita sering kali didengar dan dibaca lalu sekenanya saja. Karya pertamanya novel Entrok merupakan langkah awal Okky Madasari terjun menjadi seorang penulis. Entrok lahir dari kegelisahan-kegelisahan Okky
atas
menipisnya
toleransi
dan
kesewenang-wenangan
yang
menimbulkan ketidakadilan banyak terjadi di masyarakat. Terdapat tema-tema besar di dalam novel Entrok yang dibahas sangat beragam mengenai ketidakadilan, perempuan, kepercayaan, politik, ideologi, dan profesi. Tema yang kental dalam novel tersebut mengenai ketidakadilan atas kekuasaan pemerintah, dan gender. Pada novel Entrok terdapat tokoh utama perempuan bernama Sumarni atau Marni perempuan Jawa yang miskin dan buta huruf tetapi ia berkeinginan besar untuk memiliki entrok yang mahal. Marni berusaha mencari uang dengan membantu simbok mengupas singkong di pasar. Pekerjaan mengupas singkong hanya diupahi dengan singkong, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi kuli yang mengangkat barang-barang di pasar. Sedangkan, pekerjaan kuli yang menjual jasa tenaga dan otot mengangkat barang-barang berat hanya dilakukan para laki-laki. Agar mencapai keinginannya Marni melawan batasan yang ditetapkan sosial dan budaya. Marni merasa sebenarnya kekuatan perempuan tidak lemah seperti anggapan laki-laki dan perempuan juga mampu mengangkat beban berat contohnya tugas perempuan mengambil air dari sungai ke dapur dengan beban yang berat dan jarak yang jauh. Sedangkan, laki-laki bila di rumah
6
hanya tiduran, minta makan dan dilayani. Pada masa itu pembagian upah untuk perempuan masih dibedakan, laki-laki dianggap berhak mendapatkan upah uang dan perempuan hanya diberi upah singkong. Sistem sosial dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat sering kali memiskinkan perempuan. Okky Madasari ingin menyampaikan pemikirannya untuk menghadapi ketidakadilan dan diskriminasi pada perempuan. Ia mencoba berinteraksi melalui karyanya agar pembaca dapat memahami dan berpikir secara kritis mengenai ketidakadilan dan kesewenangan yang berkuasa. Melalui tokoh perempuan dan setiap peristiwa dalam novel Entrok, peneliti mencoba menganalisis mengenai ketidakadilan pada perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kajian dalam hal ini menggunakan perspektif gender karena ketidakadilan yang disebabkan gender dan melibatkan tokoh perempuan. Novel adalah fiksi yang dibukukan. Pada pembelajaran sastra di SMA terdapat materi mengenai pemahaman dan analisis terhadap novel. Pada pembelajaran sastra setiap anak diminta membaca karya sastra dan menganalisis sehingga dapat memperoleh pembelajaran positif dalam segala hal pada kehidupan termasuk
pembahasan mengenai gender. Pada
pembelajaran sastra di SMA masih kurang sekali pembahasan mengenai gender dan perempuan dalam karya-karya sastra yang dikaji. Dengan pernyataan ini, penulis ingin memaparkan tentang ketidakadilan gender pada perempuan yang disisipkan Okky Madasari melalui tokoh-tokoh perempuan dalam novel Entrok dengan menggunakan pendekatan objektif dan analisis perspektif gender. Maka penulis mengambil judul penelitian Ketidakadilan Gender pada Perempuan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA.
7
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka timbul beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1. Banyaknya masyarakat yang masih menganggap kaum perempuan sebagai kaum nomer dua 2. Perbedaan gender menimbulkan ketidakadilan gender dalam banyak bidang. 3. Kurangnya pemahaman penulis tentang ketidakadilan gender 4. Kurangnya pembahasan mengenai gender pada pembelajaran sastra di SMA 5. Ingin mengetahui kelayakan novel Entrok dan impilikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA
C. Batasan Masalah Pembatasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting agar per masalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada ketidakadilan gender pada perem puan dalam novel Entrok karya Okky Madasari yang diimplikasikan terhadap p embelajaran Sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari? 2. Bagaimana implikasi ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari terhadap pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
8
1. Mendeskripsikan
bentuk-bentuk
ketidakadilan
gender
pada
perempuan dalam novel Entrok Karya Okky Madasari. 2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA
F. Manfaat Penelitian Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu sastra, khususnya pada karya sastra berbentuk novel dan dalam teori sastra. Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entok karya Okky Madasari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. a. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan. b. Bagi Pembaca Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi novel Entrok dan mengambil manfaat darinya. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan (khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung pesan yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi. c. Bagi Peneliti yang Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun bahan pijakan penelitian untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.
9
G. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam mengumpulkan data). 3 Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode deskriptif kualitatif. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi ketidakadilan gender pada perempuan, unsur-unsur intrisik dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA yang terdapat dalam novel yang diteliti. Metode deskriptif disebut juga sebagai metode yang bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomenafenomena yang diteliti. 4 Pada penelitian ini mendeskripsikan implikasi pembahasan novel Entrok terhadap pembelajaran sastra di SMA
1. Sumber Data Menurut Ratna, dalam ilmu sastra sumberdatanya adalah karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana. 5 Terdapat dua sumber data pada penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data-data yang didapatkan dari sumber data yang utama. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah: Judul Buku
: Entrok
Penulis
: Okky Madasari
Jumlah Halaman
: 282 Halaman
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama, Tahun 2010.
Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian. Sumber data
3
Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.4 4 Ibid, h.9 5 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.47
10
sekunder adalah sumber data yang digunakan peneliti untuk menganalisis sumber data primer. Semua jenis bahan bacaan kepustakaan (buku, artikel atau esai) dikelompokkan sebagai data sekunder.6 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dengan teknik simak dan catat. Teknik studi pustaka menggunakan sumbersumber tertulis mengenai teori yang berkaitan dengan masalah penelitian guna untuk memperoleh data penelitian. Selanjutnya dengan teknik simak dan catat digunakan sebagai alat utama dalam melakukan kegiatan menyimak secara cermat dan terfokus pada sumber data. Peneliti melalui kegiatan menyimak dan mencatat secara cermat terhadap sumber primer agar dapat mendeskripsikan dan memaparkan masalah dalam penelitian.
3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pembacaan heuristik dan hermeneutik yang tergolong dalam model pembacaan semiotik. Kegiatan pembacaan ini diawali dengan pembacaan heuristik lalu dilanjutkan dengan tahapan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan pembacaan karya sastra dalam semiotik tingkat pertama, yaitu berupa pemahaman makna sebagaimana dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan). Pembacaan heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning.7 Hermeneutik adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dengan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut 6
Mestka Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
h.31 7
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h.33
11
maksudnya. Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra, dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsurunsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. 8 Model pembacaan heuristik berdasarkan teksnya sedangkan hermeneutik dilihat dari konteksnya di masyarakat atau dikehidupan nyata. Langkah-langkah
untuk
menganalisis
novel
Entrok
dalam
penelitian ini adalah melalui pembacaan secara heuristik untuk mengetahui secara keseluruhan dan makna yang tersurat di dalam novel Entrok. Selanjutnya, melalui pembacaan hermeneutik untuk mengetahui unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel dan mengetahui ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok. Kemudian, pembahasan mengenai analisis unsur intrinsik novel dan diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA. Langkah terakhir, menarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.
8
Ibid., h. 33-34
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Novel Kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain maka jenis novel ini muncul kemudian.1 Sebelum novel telah muncul roman yang keberadaannya sudah sejak lama. Novel bersifat realistis dan roman bersifat puitik dan epik. Novel lebih banyak mengacu dengan realitas yang sangat tinggi dan psikologi yang mendalam. Novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang cukup panjang. Panjangnya tidak kurang dari 50.000 kata. Mengenai jumlah kata dalam novel adalah relatif.2 Dewasa ini novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun tidak juga terlalu pendek.3 Halaman novel yang terkadang agak tebal maka saat membacanya tidak bisa sekali duduk seperti cerpen. Novel adalah Karangan prosa yang panjang mengandung rangkain cerita kehidupan seseorang dengan orang yang disekelilingnya dengan menonjolkan sikap dan watak setiap pelaku.4 Cerita novel beragam dari segi tempat, alur dan tokoh-tokoh. Terkadang novel banyak menceritakan tentang
permasalahan
manusia
yang
lebih
mendalam.
Biasanya
permasalahan dalam roman dan novel mempersoalkan manusia dengan 1
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), h. 164. 2 Endah Tri Priyatni, Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis, (Jakarta: Bumi Aksara 2010), h. 125 3 Nurgiyantoro, op. cit., h. 9-10. 4 Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 788.
12
13
berbagai aspek kehidupannya. Di dalamnya tercermin masalah-masalah kehidupan yang dihadapi manusia pada suatu waktu, dan usaha pemecahannya sesuai dengan pandangan dan cita-cita pengarangnya.5 H. B. Jassin berpengertian bahwa novel adalah cerita mengenai salah satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib manusia.6 R.J. Rees pada tahun 1973 berpendapat bahwa novel, “A fictious prose narrative of considerable length in whith characters and actions representative of real life are portrayed in a plot of more or less complexity.” Dapat diartikan, menurut R.J. Rees novel merupakan sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.7 Dari beberapa pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah prosa yang mencerminkan permasalahan hidup manusia dari berbagai aspek melalui watak pelaku cerita dengan tahapan alur cerita yang kompleks. Alur cerita yang kompleks membuat novel memiliki cerita yang cukup panjang sehingga berpengaruh pada ketebalan halaman, hal tersebut yang dapat membedakan cerpen dengan novel. Dalam novel cerita yang ditulis pengarang merupakan keinginannya untuk menyampaikan pesan yang terkandung bagi pembaca agar dapat bermanfaat untuk kehidupan yang membaca. B. Unsur-unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur yang melekat pada prosa fiksi itu atau yang dapat diamati atau dianalisis dari karya fiksi itu sendiri. Jakob
5
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori Sejarah dan Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 41. 6 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 63 7 Furqonul Aziez & Abdul Hasim Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 1
14
Sumardjo dan Saini K.M mengungkapkan bahwa unsur intrinsik prosa fiksi meliputi: alur, tema, tokoh dan penokohan, suaana, latar, sudut pandang, dan gaya. 8 1. Tema Brooks, Puser, dan Warren mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.9 Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.10 Tema adalah gagasan sentra dalam suatu karya sastra. Dalam novel, tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot.11 Dari pengertian di atas mengenai tema dapat disimpulkan, bahwa tema merupakan gagasan atau ide utama yang terdapat didalam karya sastra kemudian dikembangkan melalui alur/plot cerita. Tema biasanya diambil dari gagasan utama dalam aspek kehidupan seperti kesetiaan, ambisi,
tradisi,
frustasi,
ketakutan,
penyesalan,
kemunafikan,
ketabahan, dan sebagainya.
2. Tokoh dan penokohan Menurut
definisinya,
tokoh
adalah individu
rekaan
yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.12 Aminuddin mengatakan bahwa pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang
8
Tri Priyatni, op. cit., h. 109 Tarigan, op. cit., h. 125 10 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: C.V Sinar Baru, 1987), h.91 11 Aziez dan Hasim, op. cit., h. 71 12 Melani budianta. dkk, Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (malang: Indonesia Tera, 2002), h. 86 9
15
menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.13 Di dalam novel, tokoh dan penokohan merupakan kesatuan yang saling berkaitan. Kedua hal ini tidak dapat dihilangkan dan dipisahkan dalam pembahasan. Nurgiyantoro berpendapat dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita tersebut, ada tokoh utama cerita (central character) yang tergolong penting dan ditampilkan terusmenerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh tambahan (peripheral character) yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
3. Latar Abrams berpendapat latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.14 Leo Hamalian dan Frederick R. Karell menjelaskan bahwa latar cerita dalam karta fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema.15 Farqunol Aziz dan Abdul Hasyim berpendapat bahwa istilah latar berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, dimana para tokoh menjalankan perannya. 16 Latar yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.17 Jacob 13
Aminuddin, loc. cit., h. 79 Nurgyiantoro, op.cit., h.216 15 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 149 16 Aziez dan Hasyim, op. cit., h. 74 17 Melani Budianta dkk, op. cit., h. 86 14
16
Sumardjo menyatakan bahwa setting tidak hanya berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup suatu daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Stephen Minot yang menyatakanbahwa latar memuat: 1) latar waktu, 2) latar alam/geografi, 3) latar sosial18 Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa latar dalam novel terdiri dari tiga yaitu latar waktu, tempat, dan suasana. Latar tempat menunjukkan tempat peristiwa para tokoh menjalankan perannya seperti Yogyakarta dan kamar tidur atau dapur. Latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya sebuah peristiwa. Latar sosial berhubungan dengan keadaan masyarakat, gaya hidup, adat istiadat dan sikapnya.
4. Alur Alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama.19 Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur merupakan pondasi dari sebuah cerita.20 Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.21 Sebuah cerita tidak akan utuh apabila tidak ada pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa dalam alur, hubungan kausalitas dan keberpengaruhan. Pengarang dengan sangat terampil menggarap peristiwa-peristiwa untuk dijadikan jalan cerita hal tersebut juga menjadi penentu kualitas dari seorang pengarang. Setiap peristiwa tersusun menjadi tahapan-tahapan alur dalam cerita. Pada dasarnya
18
Endah Tri Priyatni, op. cit., h.112 Tarigan, op. cit., h. 126. 20 Robert Stanton, Teori Pengkajian Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.26 21 Aminuddin, op. cit., h.8 19
17
alur bergerak dari permulaan, pertengahan, dan akhir. Ada berbagai pendapat mengenai tahapan-tahapan peristiwa dalam cerita. Aminuddin membedakan tahapan-tahapan peristiwa
sebagai
berikut:22 1) Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. 2) Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. 3) Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. 4) Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. 5) Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. 6) Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapainya klimaks. 7) Selesaian adalah tahapan akhir suatu cerita rekaan atau drama.
5. Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang atau titik
22
Siswanto, op. cit., h. 159-160
18
pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.23 Ada banyak jenis sudut pandang dalam karya sastra salah satunya berdasarkan pemaparan dari Albertine Minderop sebagai berikut:24 1) Sudut pandang persona ketiga “Diaan” Sudut pandang persona ketiga “Dia” digunakan dalam pengisahan cerita dengan gaya “Dia”. Narator atau pencerita adalah seorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya. Pada sudut pandang persona ketiga “Diaan” terbagi menjadi dua macam, pertama sudut pandang orang ketiga “Dia” mahatahu yaitu pencerita berada diluar diluar cerita dan melaporkan peristiwa-peristiwa menyangkut para semua tokoh. Kedua “Dia” terbatas sebagai pengamat yait pencerita yang berada diluar cerita yang mengetahui segala sesuatu tentang diri seorang tokoh saja baik tindakan maupun batin tokoh tersebut. 2) Sudut pandang pesona pertama “Akuan” Sudut pandang “aku” hanya menceritakan pengalamannya sendiri. Sudut pandang persona pertama “Aku” terbagi menjadi dua, pertama “Aku” tokoh utama yaitu pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh utama melaporkan cerita dari sudut pandang “Aku” atau “I” dan menjadi foks atau pusat cerita. Kedua, “Aku” tokoh tambahan yaitu pencerita yang tidak ikut serta berperan dalam cerita, hadir sebagai tokoh tambahan yang aktif sebagai pendengar atau penonton dan hanya utnuk melaporkan cerita kepada pembaca dari sudut pandang “Aku” atau “I”. 3) Sudut pandang campuran
23
Aminuddin, op. cit., h. 90 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), h. 96-113 24
19
Sudut pandang ini menggunakan lebih dari satu teknik pencerita. Pengarang berganti-ganti dari satu teknik ke teknik yang lainnya.
6. Gaya Bahasa Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. 25 Gaya merupakan
pemilihan
serta
penyusunan
bahasa.
Aminuddin
menyatakan bahwa dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.26 Dari pengertian di atas, gaya bahasa merupakan sarana pengarang untuk mengekspresikan gagasannya sehinggga dapat menyentuh daya intelektual, dan emosi pembaca. Gaya bahasa juga bisa menjadi ciri khas dari seorang pengarang.
7. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 27 Melaui amanat pengarang mencoba menyampaikan pesan yang ingin disampaikannya. Amanat bersifat tersirat dan tersurat dalam karya sastra. Pesan yang disampaikan oleh pengarang dalam karya diharapkan pembaca bisa diaplikasikan di kehidupan
25
Stanton, op. cit., h. 61 Aminuddin, op. cit., h. 72 27 Siswanto, op. cit., h.162 26
20
C. Gender Perspektif merupakan gambaran pandangan dapat dianggap juga bahwa perspektif sudut pandang terhadap fenomena. Perspektif gender adalah sudut pandang yang dipakai ketika melakukan penelitian yang berfungsi untuk memahami gejala sosial budaya, dengan asumsi bahwa dalam masyarakat ada pembedaan menurut jenis kelamin.28 Umumnya gender diartikan sebagai hal-hal yang bersifat kultural dan sosial. Gender tidak merujuk pada hal-hal yang bersifat biologis dan alamiah, hal-hal yang belakangan ini kerap dikaitkan dengan istilah “seks”.29 Gender sendiri didefinisikan sebagai “pemisahan jenis kelamin yang dipaksakan secara sosial” dan sebagai “suatu hasil relasi seksualitas yang bersifat sosial”.30 Banyak yang menggap bahwa sex memiliki makna yang sama dengan gender, pada dasarnya sex adalah jenis kelamin yang merujuk pada sifat biologis mengenai reproduksi, anatomi fisik dan karakteristik biologis. Sedangkan gender bersifat sosial dan kultural. Gender terjadi karena adanya sistem sosial dan kultur yang berlaku di sebuah tempat berdasarkan jenis kelaminnya. Sadli berpendapat bahwa pengertian seks atau jenis kelamin dalam ilmuilmu sosial dan dalam biologi adalah suatu kategori biologis, perempuan atau lelaki. Ini menyangkut hitungan kromosom, pola genetik, dan struktur genital. Gender sebaliknya merupakan konsep sosial.31 Seks atau jenis kelamin berbeda dengan gender. Seks atau jenis kelamin ditentukan berdasarkan katergori biologis seperti penghitungan kromosom, pola genetik dan struktural genetik. Gender berkaitan dengan prilaku yang didasarkan oleh pengalaman
28
Umi sumbulah, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi,(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 11 29 Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), h.257 30 Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009), h. 229 31 Saparinah Sadli, Berbebeda tetapi Setara Pemikiran tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), h. 22-23
21
sosialnya seperti perempuan memiliki sifat positif yakni sifat lembut, sabar, berpenampilan rapi dan senang melayani kebutuhan orang lain. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita feminim atau maskulin. Perangkat perilaku khusus ini – yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam atau di luar rumah, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya - secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.32 Gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, ataupun keibuan. Sementara lakilaki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa.33 Sifat dan ciri tersebut dapat dipertukarkan. Konsep gender yaitu perubahan terhadap ciri dan sifat perempuan dan laki-laki dari tempat ke tempat, waktu ke waktu dan kelas ke kelas masyarakat lainnya. Gender adalah suatu kontruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara ideologi, politik, hukum dan ekonomi. Oleh karenanya gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif.34 Menurut Laurel Richardson, dkk Gender is so pervasive that in our society we assume it is bred into our genes. Most people find it hard to believe that gender is constantly created and recreated out of human interaction, out of social life, and is the texture and order of that social life .35 Artinya gender sangat meluas dalam masyarakat, kita menganggap itu sebagai asal dari gen 32
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan. (Yogyakarta: Rifka Annisa Women‟s Centre dengan Pustaka Pelajar, 2007), h. 3 33 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013), h.8 34 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 8 35 Laurel Richardson, Feminist Frontiers, (Americas, New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2004), h. 33
22
kita. Kebanyakan orang merasa sulit untuk percaya bahwa gender terusmenerus dibuat dan diciptakan dari interaksi manusia, kehidupan sosial, dan tekstur tatanan kehidupan sosial. The pervasiveness of gender as a way of structuring social life demands that gender statuses be clearly differentiated. Varied talents, sexual preferences, identities, personalities, interests, and ways of interacting fragment the individuals bodily and social experiences.36 Artinya gender sangat mudah menyebar sebagai cara penataan kehidupan sosial meminta bahwa status gender dibedakan dengan jelas. Bakat-bakat yang bervariasi, pilihan jenis kelamin, identitas, kepribadian, minat, dan interaksi individu dan interaksi sosial. Pengertian gender menurut Hilary M. Lips Gender is the term used to encompass the social expectations associated with femininity and masculinity (Unger, 1979b). finding that cultures also differ from one another in their rules and expectations for femininity (and for masculinity) is a good clue that gender is "socially constructed. The rules for femininity and masculinity are grounded in the biological/anatomical distinctions between women and men (what we call sex differences), but go well beyond such distinctions. For example, one important sex difference is that women can become pregnant and men cannot. this biological distinction has been used in many cultures to create a set of "femininity" expectations for women that include being maternally inclined, nurturing, and close to the earth.37 Artinya gender adalah sistem/konsep yang digunakan untuk menjelaskan sistem hubungan social antara pria dan wanita (Unger, 1919b). Mengungkap bahwa adat/tradisi berbeda satu dengan yang lain di dalam aturan dan perbedaan sikap untuk wanita (dan pria) adalah ciri penting bahwa gender terbentuk dalam masyarakat. Menentukan wanita dan pria didasari oleh perbedaan biologi/fisik antara wanita dan pria (perbedaan sex), terbentuk dengan baik. Sebagai
36
37
Ibid., h. 42
Hilary M. Lips, A New Psychology of Women: Gender, Culture, and Ethnicity, (Americas, New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2003), h. 6
23
contoh, salah satu perbedaan penting dalam perbedaan sex/ jenis kelamin adalah bahwa wanita bisa mengandung/hamil sedangkan pria tidak. Perbedaan biologi ini telah digunakan dibanyak suku budaya untuk menentukan ciri dari ―kewanitaan perbedaan wanita juga termasuk memiliki sifat keibuan, merawat, dan dekat dengan anak. Berbeda dengan sex atau jenis kelamin yang sudah ditetapkan dan diatur oleh Tuhan, manusia tidak dapat merubah kodrat tersebut. Kodrat perempuan yang telah ditetapkan Tuhan misalnya perempuan hamil, melahirkan, menyusui dan menstruasi. Gender membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku, mental, ideologi dan emosional yang berkembang di masyarakat. Akibat dari perbedaan gender menimbulkan anggapan di masyarakat mengenai pekerjaan yang pantas untuk laki-laki seperti profesi dokter, direktur, presiden, dan pekerjaan yang memimpin tidak pantas untuk perempuan. Sedangkan pekerjaan yang pantas untuk perempuan seperti sekertaris, perawat, dan ibu rumah tangga. Gender tidak akan menjadi masalah jika tidak menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi, tetapi karena terjadi pembedaan terhadap gender
telah
melahirkan
peran
gender.
Selanjutnya,
peran
gender
menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi gender. Fakih berpendapat bahwa perbedaan gender ternyata telah mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotipe yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotipe yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial terkukuhkan menjadi kodrat cultural, dalam proses yang panjang telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan, antara lain: a) Perbedaan
dan
pembagian
gender
yang
mengakibatkan,
termanifestasi dalam, posisi subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki; b) Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan;
24
c) Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotipe
terhadap
kaum
perempuan
yang berakibat
pada
penindasan terbadap mereka; d) Perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekarja lebih keras dan memeras keringat lebih panjang; e) Perbedaan gender juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara fisik maupun secara mental; f) Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya di atas mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat, dan penerimaan nasib perempuan yang ada. Dari penjelasan di atas bahwa perbedaan menimbulkan ketidakadilan gender yang menjadikan perempuan sebagai korbannya. Mansour Fakih menjelaskan ketidakadilan yang akibatkan oleh gender sebagai berikut: 38 a) Marginalisasi Gender telah menimbulkan marginalisasi kemiskinan ekonomi yang dialami perempuan. Marginalisasi terkait dengan pemiskinan perempuan
akibat
penggusuran,
tafsir
agama,
kebijakan
pemerintah. Misalnya program pertanian atau revolusi hijau (green revolution) secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Program revolusi hijau memperkenalkan jenis padi biasa menjadi padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak lagi melakukan panen dengan ani-ani. Padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. b) Subordinasi Subordinasi pada perempuan menimbulkan anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa 38
Fakih, op.cit., h.12-22
tampil
memimpin,
berakibat
munculnya
sikap
yang
25
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Misalnya di Jawa dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi , toh akhirnya akan di dapur juga. c) Stereotip Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotip bersumber dari pandangan gender. Misalnya masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami. Stereotip ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomerduakan. d) Beban kerja Adanya
anggapan
bahwa
kaum
perempuan
memiliki
sifat
memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. e) Kekerasan Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas
mental
psikologis
seseorang.
Kekerasan
gender
disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya: 1) Pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. 2) Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak. 3) Penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation). 4) Kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasa terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan.
26
5) Kekerasan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini masuk kekerasan nonfisik yakni pelecehan yang menjadikan kaum perempuan sebagai objek demi keuntungan seseorang. 6) Pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana. Pemaksaan sterilisasi dapat membahayakan kaum perempuan baik fisik maupun jiwa mereka. 7) Kekerasan terselubung yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. 8) Pelecehan seksual (sexual harassment). Analisis gender sering kali berkaitan dengan kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Sesuai dengan pendapat Mansour Fakih sebelumnya bahwa kekerasan dikasifikasikan menjadi 8. Selain ketidakadilan ternyata gender telah menciptakan kekerasan-kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan. Perempuan sering sekali menjadi korban dari kesombongan dan keangkuhan laki-laki yang dibuat oleh budaya patriarki. Dampak yang ditimbulkan dari perbedaan gender menjadikan perempuan dalam masyarakat kelas dua yang tidak dapat menentukan dan memperrjuangkan kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sugihastuti bahwa berkuasanya laki-laki sebagai pihak dominan telah mengecilkan peranan perempuan dalam keluarga yang berimbas pada citra diri perempuan sebagai pihak yang tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan nasib sendiri.39 Dalam ruang lingkup rumah tangga, perempuan hanya diperbolehkan berada di rumah, dan hanya melakukan pekerjaan yang bersifat domestik. Kondisi perempuan dengan perekonomian yang rendah akan memiliki beban ganda selain melakukan pekerjaan domestik yakni harus membantu keuangan keluarga. Selain itu, di bidang pekerjaan terkadang pemberian upah bagi
39
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan Praktik Kritik Sastra Feminis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.92
27
kaum perempuan tidak sebanding dengan yang didapatkan oleh kaum lakilaki. Ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat menimbulkan pengecilan dan beban peran perempuan, ketidakadilan, diskriminasi, kesewenangan, dan kekerasan. Dari pemaparan mengenai gender, dapat disimpulkan bahwa gender dan sex tidak memiliki kesamaan arti atau makna, tetapi banyak yang menganggap bahwa gender istilah lain untuk sex. Sebenarnya, sex berarti pembagian jenis kelamin dan bersifat biologis. Sedangkan gender merupakan pembagian terhadap perbedaan prilaku laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Gender dapat berbeda-beda berdasarkan tempat, waktu, dan kelas. Perbedaan gender yang menimbulkan ketidakadilan gender seperti marginalisasi, subdornisasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja.
D. Pembelajaran Sastra Pendapat Wallek dan Warren bahwa sastra berarti segala sesuatu yang tertulis dan bersifat rekaan dan memiliki nilai estetik. Sesuai dengan pendapat tersebut bahwa pengajaran sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat memberikan manfaat karena sastra sebagai karya seni yang memiliki nilai estetis banyak memberikan pengetahuan baru. Pengajaran sastra juga dapat mengakrabkan antara hubungan guru dan siswa. Pengajaran bahasa dan sastra tidak dapat disamakan tetapi kedua pengajaran tersebut tidak bisa dipisahkan. Pengajaran sastra bersifat afektif yaitu menambah pengalaman siswa untuk lebih cepat tanggap terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitarnya. Tujuan akhir dari pengajaran sastra agar siswa mampu menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap permasalahan hidup, serta dapat menghormati
nilai-nilai
kehidupan.
Sedangkan,
mengenal
pengajaran
dan
bahasa
pembelajarannya mengenai aspek keterampilan berbahasa yaitu menyimak,
28
membaca, menulis, dan berbicara yang terintegrasi dengan pengajaran sastra, oleh karena itu pengajaran sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dibidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas
wawasan
kehidupan
serta
meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (2) peserta didik menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya intelektual manusia
Indonesia40.
Tujuan
itu
dijabarkan
kedalam
kompetensi
mendengarkan, berbicara, dan menulis sastra. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.41 a. Membantu dalam Keterampilan Berbahasa Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti membantu siswa terlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterempilan menyimak, berbicara, dan menulis. b. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam secara keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. c. Mengembangkan Cipta dan Rasa Dalam pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat
40 41
Siswanto., op.cit, h.171 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 16-24
29
religius. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa pembelajaran sastra yang dilakukan
dengan
benar,
akan
menyediakan
kesempatan
untuk
mengembangkan kecapakan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pembelajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pembelajaran dalam arti yang sesungguhnya. d.
Menunjang Pembentukan Watak Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak ini. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantarkan siswa mengenal rangkaian kemungkinan kehidupan manusia, seperti kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggan diri, sampai pada kelemahan, keputusasaan, kekalahan, kebencian, perceraian, dan kematian. Tuntutan kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa, meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.
Di dalam interaksi sering terjadi proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan terhadap karya sastra, sehingga dapat mengaplikasikan secara langsung temuannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada pengajaran sastra disekolah tingkatan SMA, SMK, dan MA sudah pada tahapan yang tinggi siswa sudah mampumengkaji unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik suatu karya. Pada proses ini guru harus mampu memotivasi siswa agar mampu mencapai standar dari pembelajaran sastra yang telah dicatumkan di RPP. Dari pembelajaran sastra pada novel Entrok karya Okky Madasari siswa diharapkan mampu mengapresiasikan karya sastra dengan baik serta mampu memahami
30
dan mengaplikasikan segi nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra, sehingga dapat membantu dalam pembentukan karakter siswa. Pada penelitian ini memfokuskan pada ketidakadilan gender yang dialami tokoh peremepuan dalam novel Entrok kaya Okky Madasari. Penelitian ini juga diharapkan agar memahami dan mengapresiasikan hal-hal positif baik dalam karya sasstra maupun di luar karya sastra dan dapat membantu pembenukan karakter siswa yang berpendidikan. E. Penelitian yang Relevan Skripsi yang berjudul Uang dan Kekuasaan Pada Masa Orde Baru dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari: Kajian Hegemoni Gramsci milik Defi Prihatiningsih, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang penelitian ini mendeskripsikan mengenai praktik hegemoni yang dilakukan oleh penguasa orde baru kepada masyarakat berkaitan dengan masalah pensuksesan progam pemerintah serta diskriminasi rasial yang diterima warga Tionghoa. Penelitian ini juga membahas mengenai peran uang dan kekuasaan pada masa orde baru yang mempunyai timbal balik diantara keduanya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra dengan menekankan pada teori hegemoni Antonio Gramsci. Skripsi berjudul Kritik Politik dalam novel Entrok karya Okky Madasari dan Alternatif Pembelajaran Sastra di SMA miliki Tsalasaniarsa Riefky Septiyanto, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Semarang penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi dan metode analisisnya menggunakan metode deskriptif analitik. Hasil dari penelitian ini mampu mendeskripsikan mengenai kritik politik yang menggambarkan potret penguasa di negara ini dengan politik praktisnya serta menghalalkan segala cara agar dapat menguasai wilayah yang dikehendaki. Penelitian ini juga menganalisis sumber utama untuk mencapai kekuasaan yang dilakukan pada masa orde baru berdasarkan legimative power (pengangkatan), coersive power (kekuasaan), expert power (keahlian), reward power (pemberian),
31
reverent power (daya tarik), information power (informasi), dan connection power (hubungan). Skripsi yang berjudul Konflik Sosial dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari milik Susi Lailatul Musarrofah, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori teritorialisme sebagai pemertahanan wilayah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sebuah perbedaan keyakinan beragama dalam masyarakat dapat menyebabkan pemicu terjadinya sebuah konflik. Penyebab konflik, perbedaan pemeluknya dalam memahami ajaran agama yang memicu perselisihan pada novel Maryam karya Okky Madasari terjadi. Dari penelitian yang telah dipaparkan, terdapat persamaan dari ketiga skripsi tersebut yakni menggunakan novel Entrok karya Okky Madasari. Sedangkan memfokuskan
perbedaan dengan penelitian yang untuk
mencari
bentuk-bentuk
dilakukan ialah, ketidakadilan
peneliti
gender
pada
perempuan di dalam novel Entrok Karya Okky Madasari seperti marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja. Penelitian terhadap ketidakadilan gender ini menggunakan pespektif gender dan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Peneliti juga menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel tersebut.
BAB III OKKY MADASARI A. Biografi
Okky Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 30 Oktober 1984. Mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Setamat kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan mendalami dunia penulisan. Entrok adalah novel pertamanya yang lahir sebagai kegelisahan atas menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan. Tinggal di Jakarta dan dapat dihubungi di
[email protected] dan www.madasari.blogspot.com.1 Okky Madasari juga telah menamatkan kuliah pascasarjana di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia. Ia mendirikan Yayasan Muara Bangsa (YMB) yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya. Sebelum memutuskan menjadi penulis, ia bekerja menjadi wartawan di Harian Jurnal Nasional. Selain meluncurkan novel, ia juga meluncurkan mini album yang liriknya diciptakannya berjudul “Terbangkan Mimpi” yang berisikan tiga lagu yakni “Terbangkan Mimpi”, Sesaat Bersama”, dan “ Hiasan Waktu”. Okky Madasari, merupakan novelis yang dikenal dengan karyakarya yang menyuarakan kritik sosial. Okky meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk novelnya Maryam (2012) yang bercerita tentang orangorang yang terusir karena keyakinannya. Maryam telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Outcast. Novel pertama Okky, Entrok (2010), berkisah tentang dominasi militer dan ketidakadilan pada
masa Orde Baru. Entrok telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Years of The Voiceless. Novel ketiganya, 86 (2011), bercerita tentang korupsi di Indonesia pada masa sekarang ini. Dan novel 1
Okky Madasari, Entrok, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010)
32
33
terbarunya, Pasung Jiwa (2013), bercerita tentang perjuangan manusia mendapatkan kebebasan dalam periode sebelum dan sesudah reformasi. Edisi Inggrisnya baru terbit dengan judul Bound.2
B. Pemikiran-Pemikiran Okky Madasari Karya-karya Okky Madasari banyak mengangkat permasalahanpermasalahan sosial mengenai ketidakadilan dan ketertindasan yang terjadi di masyarakat. Okky merasa melalui menulis novel ia memperjuangkan suara-suara yang tertindas bisa lebih efektif
didengar dan dibaca
dibandingkan hanya menyuarakannya di dalam sebuah tulisan berita. Berita sering kali didengar dan baca sambil lalu, seenaknya saja. Ia merasa lebih mau mendengar dan dituntut lebih untuk memperjuangkan keadilan lewat tulisan dan melakukan kebaikan kemanusiaan. Okky sudah meneguhkan hatinya untuk menulis sebuah cerita tentang perlawanan atas ketidakadilan.
Karya-karyanya
terhubung
dalam
memperjuangkan
kebebasan dan kemanusiaan. Ia membela apa yang ia yakini benar, dan buatnya harusnya setiap orang punya hak untuk meyakini apa saja tanpa gangguan. Dua sastrawan yang menurutnya setipe denganya, tak lain dan tak bukan adalah Pramodeya Ananta Toer dan Umar Khayam bagi Okky mereka berdua mengusung aliran realisme sosialis. “Mereka menulis sebuah cerita realita sekitar dan itu yang saya lakukan sekarang.” Menurutnya permasalahan-permasalahan yang ia munculkan dalam cerita justru menggambarkan Indonesia masih punya harapan untuk bangkit, seburuk apapun kondisinya. Ia ingin pembaca menilai sendiri akhir cerita itu seperrti apa dengan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, membuka berbagai kemungkinan yang akan terjadi dan bukan tidak mungkin itu justru akan menumbuhkan sikap kritis dan skeptis terhadap permasalahan dalam novel yang dibuatnya.3
2
Okky Madasari, http://okkymadasari.net/about/ diakses pada tanggal 21 Oktober 2014 Wawancara dengan Okky Madasari “Memperjuangkan Kebebasan dan Keadilan”, Majalah Institut edisi 41, h.66-67 3
34
Untuk menghasilkan sebuah karya ia selalu melakukan riset. Menurut Okky, riset lapangan ataupun kepustakaan akan memberikannya ide-ide
menulis.
Perempuan
asal
Magetan,
Jawa
Timur
ini
mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa mencari ide cerita hanya dengan melamun atau berimajinasi. Menurutnya ide itu didapat setelah melakukan riset dari lapangan, atau bacaan, atau wawancara, melihat, atau mendengar. Ia tak menampik, pengalamannya menjadi wartawan di sebuah media nasional selama tiga tahun sangat membantunya. Ia jadi merasa ringan ketika harus ke lapangan dan mewawancarai narasumber, jadi layaklah kalau kisah novel-novelnya cukup hidup. Menjadi seorang penulis novel sebenarnya bukan cita-citanya, ia ingin sekali menjadi wartawan, sehingga ia mengaku cukup berat saat harus mengambil keputusan meninggalkan profesi yang ia cita-citakan sejak kecil ini pada tahun 2009. Piano kini tidak hanya menjadi pelariannya kala bosan. Ia bahkan telah mengeluarkan karya dengan pianonya. Album yang liriknya masih berkaitan dengan kisah dalam novel Maryam dirilis bersamaan dengan rilis novelnya pada awal 2012.4 Okky percaya, sastra merupakan salah satu medium yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Apalagi ditengah bombardir berita yang sifatnya hanya jangka pendek. Baginya menjadi jurnalis terlalu banyak batasan. Okky merasakan kreativitasnya seperti terbelenggu oleh kode etik jurnalistik. Dia tidak bisa memasukkan opini dalam hasil liputannya. Selain itu penyampaian informasi dibatasi hanya di kertas koran. Padahal dia ingin tulisan-tulisan yang dibuatnya berisi banyak kritik sosial. Akhirnya ia membulatkan tekad untuk mundur dari wartawan dan fokus menjadi penulis. Menurut lulusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) angkatan 2002 itu, menjadi penulis novel lebih bebas. Dia bisa memasukan opini bahkan
4
“Piano di Jeda Novel”, Koran.Tempo.co, http://koran.tempo.co/konten/2012/12/16/295032/OKKY-PUSPA-MADASARI-Piano-di-JedaNovel diakses pada tanggal 6 Februari 2014.
35
keberpihakannya pada tokoh atau kelempok tertentu dalam setiap tulisannya. Dia juga bisa mengekspresikan kreativitasnya dengan leluasa. Namun Okky sadar bahwa daya dorong sebuah novel tidak bisa sekuat berita di koran atau media elektronik. Meskipun begitu, novel dan cerita fiksi memiliki potensi sendiri. Tulisan fiksi bisa memengaruhi perasaan masyarakat.5 Okky mendirikan lembaga yang bernama Yayasan Muara Bangsa (YMB). Yayasan tersebut bergerak di bidang pendidikan usia dini, anakanak pinggiran, kurang mampu, dan korban bencana. Pada awalnya ia menemukan fakta bahwa beberapa tetangganya kesulitan menyekolahkan anaknya.
Selanjutnya
ia
meminta
izin
kepada
suaminya
untuk
memanfaatkan sebidang lahan untuk dijadikan tempat pendidikan awal bagi para tetangganya yang ekonominya sulit. Penulis novel “Maryam” Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012, Okky Madasari merespon rasa kagumnya kepada Kartini dalam pemikiran-pemikirannya sebagai inspirasi dan karya-karya. Namun Okky tetap ingin jadi dirinya sendiri. Setiap April, banyak acara yang digelar dimana-mana dari anak-anak sekolah hingga masyarakat luas dengan menghadirkan kebaya sebagai simbolnya. Menurut Okky peringatan kelahiran Kartini akhirnya identik dengan peragaan busana dan rangkaian seremonial tanpa makna. Bahkan, sejak di bangku sekolah, kita diajari bahwa
Kartini
adalah
perempuan
Indonesia
yang
menyuarakan
emansipasi. Tapi tak pernah ada penjelasan lebih jauh apa yang dipikirkan Kartini soal emansipasi. “Habis Gelap Terbitlah Terang„ senantiasa disebut sebagai buah pikir Kartini. Tapi hanya segelintir orang yang tahu apa sebenarnya yang ditulis Kartini. Oleh sebab itu, melalui Yayasan Muara yang diasuhnya dan bekerjasama dengan Institut Ungu, diselenggarakan
5
gelaran
pembacaan
surat-surat
Kartini
bertajuk
Agung Putu Iskandar, Okky Madasari Meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 berkat Maryam, http://www.jpnn.com/read/2012/12/12/150133/Okky-Madasari-Meraih-Khatulistiwa-LiteraryAward-2012-berkat-Maryam- diakses pada tanggal 21 Oktober 2014
36
“Membaca Suratnya, Terbitlah Terang,” di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 18 April 2013. Melalui sastra, novelis Okky Madasari memilih caranya untuk memperingati momentum 15 tahun reformasi yang sarat sejarah. Novelis yang lebih dulu dikenal melalui novel Entrok (2010), 86 (2011), dan Maryam (2012) itu menjadikan momentum 15 tahun reformasi untuk merefleksikan kondisi terkini bangsa Indonesia melalui peluncuran sebuah buku terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa. Bertempat di teater kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, peluncuran novel Pasung Jiwa
juga
menghadirkan teater yang mengangkat cerita dalam novel Pasung Jiwa yang juga melibatkan Yayasan Muara yang didirikannya. Pada tahun 2010 pertama kalinya Okky berhasil menghasilkan novel yang berjudul Entrok. Novel tersebut terlahir karena kedekatan dengan neneknya yang banyak mengisahkan pengalaman hidupnya. Novel Entrok memiliki latar belakang cerita pada masa rezim orde baru dan mengisahkan tekanan kesewenang-wenangan kekuasan pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai korban. Selanjutnya pada tahun 2011, Okky merilis novel yang berjudul 86, novel tersebut merupakan pengalamannya selama menjadi wartawan yang sering kali meliput berita mengenai hukum. Novel ini terlahir dari keprihatinannya atas praktik-praktik korupsi di negeri ini. Pada pembuatan novel ini sebelumnya ia melakukan riset dan mengumpulkan bahan selama dua tahun pada saat ia meliput berita di bidang hukum. Novel ini juga masuk dalam nominasi Khatulistiwa Award 2011. Pada tahun 2012, Okky meliris novelnya yang berjudul Maryam. Novel ini terlahir dari diskriminasi yang dialami oleh warga Ahmadiyah di tanah airnya sendiri, sehingga Okky menjadikan kasus tersebut sebagai tema novelnya. Tapi, ia tidak membahasnya hingga hal-hal yang berkaitan dengan keyakinannya, ia hanya berfokus pada kondisi sosial dan penderitaan warga Ahmadiyah setelah terusir dari rumah dan tanahnya. Sebelum menulis novel ia melakukan riset selama 6 bulan terhadap
37
komunitas Ahmadiyah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada novel ini Okky tetap
memperjuangkan
ketidakadilan dan
kebebasan
serta
kemanusiaan. Novel Maryam memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk kategori prosa. Pada saat rilis novel Maryam, Okky juga meliris karya lainnya yaitu mini album Terbangkan Mimpi yang berisi tiga lagu yakni Terbangkan Mimpi, Sesaat Bersama, dan Hiasan Waktu. Lirik dari lagu-lagu yang diciptakannya masih berkaitan dengan novel Maryam. Namun, di album tersebut Okky tidak menyanyi, hanya menciptakan lahu. Ia menggandeng Sei Latifah sebagai vokalis. Tahun 2013, Okky meluncurkan novel terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa. Novel tersebut masih tetap mengusung isu kemanusiaan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Novel ini mengangkat tema mengenai kebebasan individu, menyinggung soal Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) pada masa sebelum dan sesudah reformasi. Pada pembuatan novel Pasung Jiwa, Okky juga melakukan riset dengan temanteman LGBT. Dalam novel tersebut Okky mengkritik agar kita mestinya berani menguak rasa takut dan mengingatkan bahwa sekarang manusia banyak yang sudah kehilangan kebebasannya karena pandangan agama, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena mereka berbeda maka mereka layak untuk di pinggirkan.
C. Sinopsis Novel Entrok
Marni digambarkan perempuan yang ulet mengejar impiannya. Impian pertamanya memiliki entrok (kutang atau BH) agar ia nyaman saat berlari tanpa buah dada yang terguncang ke sana kemari. Marni yang cuma buruh pengupas singkong di pasar Ngranget, sebuah dusun di Magetan, Jawa Timur. Dia bekerja bersama simboknya di pasar, lantas menjadi kuli angkut perempuan pertama di pasar itu agar mendapat uang.
38
Di sana, uang hanya diupahkan kepada lelaki pengangkut barang. Pengupas kulit singkong seperti simbok Marni hanya diupahi satu singkong per 1 kilogram yang dikupasnya. Upah dari menjadi kuli, Marni berhasil memiliki entrok. Setelah itu, sisa dari uang upah menjadi kuli Mami menjadi bakulan penjajah sayuran keliling kampung. Marni makin ulet bakulan (berdagang) dan lama-lama menyediakan juga pinjaman uang dengan bunga 10%. Kemudian dia menikah dengan Teja, lelaki yang digambarkan nyaris tidak bisa apa-apa. Teja cuma bisa mengantar Mami ke sana kemari untuk menjual barang sampai menarik cicilan. Teja tidak bisa membela istrinya ketika aparat pemerintah mulai dari tentara, polisi, sampai lurah memoroti harta mereka. Setelah kehidupan ekonomi Marni dan Teja meningkat, Teja kerjanya hanya meniduri perempuan-perempuan yang bukan istrinya. Tapi Marni memilih tutup mata. Baginya itu lebih baik daripada bercerai. Jika bercerrai denga Teja, harta yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit menjadi gono gini yang harus dibagi. Marni tak rela membagi hasil kerja kerasnya dengan gendakan (selingkuhan) Teja. Rahayu adalah anak Marni dan Teja. Rahayu merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Rahayu seorang anak terpelajar yang rasional dan menolak berbagai takhayul dan kepercayaan terhadap leluhur. Bagi dia, itu semua adalah perbuatan syirik dan harus dihilangkan. Dia akan terus melawan walaupun pelakunya adalah ibunya sendiri. Mami benar-benar sendirian menghadapi dunia. Dia yang masih menyembah Mbah Ibu Bumi harus menghadapi mereka yang berpeci karena dianggap kafir dan layak diintimidasi. Marni yang memberi utang dengan laba 10% juga dibenci orang-orang yang berutang kepadanya. Termasuk guru agama Rahayu yang menghujat Marni di sekolah namun juga meminjam dana paling banyak. Lantaran itu hubungan Marni dan anaknya, Rahayu, memburuk.
39
Hubungan Marni dan Rahayu semakin memburuk saat Rahayu memutuskan melanjutkan sekolah di Jogja. Rahayu tidak pulang ke kampung halamannya dan tidak memberi kabar. Rahayu anak kebanggaan Marni yang berpendidikan ternyata menjadi mau istri kedua dari Amri Hasan, seorang dosen di Universitas tempat Rahayu kuliah. Beberapa hari setelah pernikahan berlangsung mereka pun berangkat ke Yogyakarta. Setibanya di sana Rahayu pun bergabung ke dalam kelompok jamaah sang suami. Mereka tinggal di pesantren milik Kyai Hasbi, guru spiritual Amri. Rahayu dan Amri sangat mengagumi ajaran-ajaran Kyai Hasbi. Suatu ketika Rahayu, Amri, Kyai Hasbi, dan beberapa anggota pesantren pergi ke sebuah kampung yang hendak digusur oleh pemerintah untuk dijadikan waduk. Mereka akan memperjuangkan nasib para warga yang tinggal di kampung tersebut. Akan tetapi perjuangan mereka berakhir tragis, yang menyebabkan Rahayu masuk penjara dan Amri meninggal dunia. Marni menerima dengan legowo keadaan putrinya sebagai mantan napi. Akan tetapi, Rahayu tetap saja cacat KTP. Setiap penduduk yang pernah menjadi narapidana, akan mendapat perlakuan berbeda di lingkungan sosial dan mendapat tanda di KTP sehingga akan sulit diterima dalam masyarakat. Dampak dari peristiwa di atas menjadi suatu beban moral bagi Marni. Kondisi fisiknya pun semakin lemah sejalan dengan pertambahan usianya. Baginya tiada berarti lagi harta yang banyak bila dibandingkan dengan keberadaan putri semata wayangnya yang meresahkan masyarakat Singget.
BAB IV PEMBAHASAN A. Unsur-unsur Intrinsik 1. Tema Tema merupakan gagasan utama atau pokok pikiran pengarang dalam karyanya. Novel Entrok memiliki tema yakni ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat pemerintah. Aku tak bicara tentang entrok kepada Simbok. Aku hanya berkata ingin membantunya mengupas singkong, siapa tahu bisa dapat uang. Simbok berkata, aku tak akan mendapat uang. Kebiasaan di pasar, buruh-buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Beda dengan kuli laki-laki yang diupahi dengan uang.1 Kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam novel ini terjadi pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki, sehingga menjadikan perempuan kaum yang termiskinkan. Kaum perempuan hanya akan diupahi dengan singkong sedangkan lakilaki diupahi dengan uang. Marni dengan berani melawan sistem sosial yang berlaku sehingga ia dapat mendapatkan uang dari hasil menjadi kuli di pasar. Orang-orang bersepatu tinggi itu datang lagi. Memakai seragam loreng dengan pistol di pinggang. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima orang. Aku menghitung dalam hati. Ibu menyambut di depan pintu, memasang senyum yang... ah, aku tahu itu palsu. Ibu tidak tersenyum, dia ketakutan.2 Kutipan di atas menceritakan bahwa Marni setiap empat belas hari harus membayar uang keamanan kepada tentara agar usahanya dilancarkan oleh mereka. Apabila keinginan tentara tersebut tidak dipenuhi akan terjadi banyak kejadian yang mengancam usaha Marni 1
2
Madasari, Entrok, h. 50 Ibid., h. 22
40
41
sebagai lintah darat. Marni berusaha menuruti segala permintaan Komandan Sumadi agar hidupnya bisa tenang dan tidak disebut PKI, walau harus membagi hartanya untuk Komandan. Aku akan tetap di desa ini. Demi nyawa Amri dan kehormatan Ndari. Biarlah aku menjadi bagian dari mereka. Menantang kematian yang dalam satu putaran matahari akan datang. Besok aku akan berdiri bersama mereka memegang kata-kata yang ingin kami sampaikan. Aku melihat matamu melotot saat aku menyebut penjara. Lalu kau menutup muka saat aku bercerita tentang tentara. kau menjerit waktu aku bilang aku diperkosa dan disiksa.3 Kutipan melakukan
tersebut
menceritakan
perlawanan
terhadap
pengalaman
Rahayu
kesewenang-wenangan
yang untuk
memperjuangkan tanah warga desa. Rahayu akhirnya dipenjara oleh tentara karena mengganggu saat proses pengerukan tanah di desa itu, saat di dalam penjara ia disiksa dan diperkosa. Setelah keluar dari penjara, ia juga harus menerima tanda di KTPnya dari negara karena melawan aparat negara. Dari kedua tokoh utama perempuan tersebut dan peristiwa yang terjadi di dalam novel dapat disimpulkan tema kehidupan yakni, perjuangan hidup perempuan terhadap ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang digambarkan melalui tokoh Marni dan Rahayu yang selalu berjuang untuk mendapatkan keadilan dan kebebasan dari ketidakadilan gender dan kesewenangwenangan aparat pemerintah dan laki-laki dengan caranya masingmasing.
2. Tokoh dan Penokohan a. Tokoh utama Dalam novel Entrok, Marni dan Rahayu merupakan tokoh utama dalam sebuah cerita. 3
ibid,h. 12
42
1) Sumarni Sumarni
atau
Marni
digambarkan
sebagai
seorang
perempuan yang mau bekerja keras untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Ia rela menjadi menjadi kuli di pasar untuk mendapatkan uang. Marni rela melanggar kebiasaan sosial yang terjadi, ia menjadi kuli perempuan pertama di pasar.
Ia
melawan
sistem
sosial
yang
menimbulkan
ketidakadilan gender karena perempuan saat itu hanya diupahi dengan singkong seddangkan laki-laki diupahi dengan uang. Selain itu, ia juga rela menjadi bakul duwit atau rentenir agar dapat memberikan hidup yang enak dan kecukupan untuk keluarganya, serta dapat menyekolahkan anaknya yakni Rahayu hingga menjadi sarjana. Nyai Wedana menjadi pelanggan tetapku. Setiap butuh kuli, dia akan memanggilku. mungkin karena kasihan melihat ada perempuan nguli. Rasa kasihan juga sering ku terima dari pengunjung pasar lainnya. Ada pak guru Dikun yang selalu bersama istrinya, juga Lurah Singget. Tidak terlalu berat mengangkat belanjaan mereka kebanyakan hanya sayur dan singkong.4 Ibu selalu mengulangi cerita itu disertai keinginan agar anaknya sekolah biar jadi pegawai. Dia akan mengeluarkan uang berapa saja agar aku sekolah. Tak peduli dia mencarinya dengan susah payah.5 Dari kutipan di atas dapat tergambar bahwa sosok Marni adalah seorang pekerja keras yang ingin mengubah nasib ekonomi keluarganya menjadi meningkat. Marni juga rela menjadi rentenir untuk mencukupi kehidupannya bersama keluarganya.
Selain
itu,
Marni
berharap
dengan
menyekolahkan Rahayu menjadi sarjana lalu dapat berkeja
4 5
Ibid., h.39 Ibid., h.54
43
sebagai pegawai, akan menaikan derajat dan martabat keluarganya. Marni juga masih memuja leluhur seperti yang diajarkan oleh Simbok. Ia selalu nyuwun kepada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa pada pertengahan malam dan selalu membuat tumpeng setiap harinya. Walau KTP Marni bertuliskan beragama Islam, ia tetap memuja leluhur dan tidak mengenal Tuhan yang jauh di sana. Marni merasa belum mengenal Gusti Allah karena ia baru mengenalnya baru-baru ini saja. Hal tersebut yang membuat hubungan Marni dan Rahayu menjauh, karena Rahayu pemeluk agama Islam yang taat. Bagi Rahayu, ibunya adalah pendosa. Dia bilang aku ini dosa, dia bilang aku ini sirik. Dia bilang aku penyambah leluhur. Loh ... lha wong sejak kecil diajari orangtuaku nyembah leluhur kok tidak boleh. Lah buktinya kan setiap aku minta ke leluhur, lewat tumpeng dan panggang yang harganya tak seberapa itu, semua yang ku minta ku dapatkan. Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lah iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lah gimana mau nyuwun kalau kenal saja belum.6 Dari kutipan di atas dapat terlihat bahwa Marni masih nyuwun pada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa karena sejak kecil ia tidak diperkenalkan dan diajari oleh simbok mengenai ajaran agama Islam. Bagi Marni sulit untuk mengubah kebiasaannya dari menyembah Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa beralih menyembah Gusti Allah, karena ia hanya mengenal cara nyuwun kepada leluhur. Marni hanya mengenal cara nyuwun pada malam hari di bawah pohon, membuat tumpeng dan panggangan seiap harinya, sedangkan ia sama sekali tidak mengenal doa-doa arab dalam ajaran agama Islam. Oleh karena itu, Marni disebut sirik dan pekerjaan Marni sebagai rentenir
6
Ibid., h.100-101
44
membuatnya sebagai pendosa besar oleh warga kampung dan anaknya sendiri. Marni menganggap bahwa pekerjaan sebagai rentenir atau bakul duwit tidak pernah merugikan orang lain, justru ia membantu orang lain yang membutuhkan uang. Sebelumnya Marni adalah seorang kuli di pasar lalu upah hasil nguli ia belikan entrok dan sisanya dijadikan modal untuk bakulan keliling kampung dengan menjajahkan sayuran. Setelah ia menjadi rentenir pundi-pundi uangnya semakin banyak, ia memiliki tanah di mana-mana. Pekerjaan Marni menjadi rentenir sering menjadi sasaran aparat pemerintah seperti tentara, polisi, Pak Lurah dan Pak Camat untuk meminta jatah uang. Sebenarnya Marni merasa keberatan jika harus membagi hasil kerja kerasnya dengan para aparat pemerintah. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan: “Itu sudah normal, Yu. Sudah aturan negara, semua orang harus menjaga keamanan. Kalau harus bayar, ya bayar!”. “Ya saya agak keberatan to, Pak RT. Wong saya kerja meras keringat siang-malam buat cari makan. Ini bisa bangun rumah kayak gini dari mengumpulkan sedikit demi sedikit.”7 Hanya Ibu yang masih menyimpan rasa kecewa. Uang keamanan setiap empat belas hari sekali? Beberapa bagian keringatnya harus diberikan secara cuma-cuma untuk orang lain?8 Pada
kutipan
di
atas
dapat
digambarkan
juga
kesewenangan-wenangan aparat pemerintah karena kekuasaan yang dimilikinya. Melalui dalih keamanan para aparat pemerintah memeras Marni untuk membagi jatah tiap empat belas hari. Marni yang pada awalnya merasa keberatan untuk
7 8
Ibid., h.72 Ibid., 77
45
membagi uangnya kepada tentara akhirnya mau memberikan karena takut di teror warga dan dicap sebagai musuh negara pada masa itu yakni PKI. Berdasarkan data-data kutipan novel di atas mengenai sosok Sumarni atau Marni, pengarang menampilkan Marni sebagai perempuan yang pekerja keras dan pemuja Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Berdasarkan tema, tokoh Marni digunakan untuk menunjukkan dan menguatkan bentuk-bentuk
ketidakadilan
gender
dan
kesewenang-
wenangan aparat negara terhadap rakyat jelata. 2) Rahayu Rahayu merupakan anak Marni dan Teja. Kehadiran tokoh Rahayu memperkuat tema mengenai ketidakadilan gender pada perempuan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat negara. Rahayu mengalami pemerkosaan saat berada di penjara, ia juga harus mendapatkan sebutan sebagai PKI karena melawan keinginan aparat pemerinah. Rahayu digambarkan sangat membenci aparat negara yang sering kali menyiksa rakyat. Rahayu juga aktif dalam organisasi dan pengajianpengajian semasa kuliahnya. Melalui kegiatan pengajian tersebut merupakan awal ia bertemu dengan Amri Hasan, suaminya. Rahayu merupakan istri kedua Amir Hasan. Peretemuan ia dan Amri Hasan karena memiliki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi. Ia rela membela warga kampung yang tanahnya ingin dijadikan waduk sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya oleh aparat negara Rahayu dimasukkan penjara selama 5 tahun. Aku menyukai semuanya. Semua yang ada padanya. Meskipun hanya dalam diam, tersimpan rapat dalam
46
satu ruang hati. Cukup itu saja. Karena dia tak lagi sendiri.9 Menuruti apa maunya Rahayu, pernikahan itu dilakukan kecil-kecilan . tanpa gembargembor, tanpa urusan surat-surat kelurahan. Kyai Noto ku minta datang ke rumah untuk menikahkan mereka secara Islam.10 Dari kutipan di atas digambarkan Rahayu telah dibutakan oleh rasa kagum dan sukanya sehingga ia rela dijadikan istri kedua oleh Amri Hasan. Sedangkan, Marni sangat membeci gendakan (Simpanan, selingkuhan), dan Rahayu menjadi gendakan. Rahayu beranggapan bahwa dalam agama laki-laki diperbolehkan menikah lagi, sehingga ia bersikeras untuk menikah dengan Amri Hasan. Rahayu yang digambarkan sebagai seorang perempuan yang berpikir kritis dan rasional tetapi pada situasi tersebut ia mau menjadi istri simpanan. Menjadi istri simpanan akan merugikan diri sendiri dan akan menyakiti perasaan istri dan anak Amri Hasan. Rahayu yang selalu menjungjung tinggi akal sehat seperti kehilangan akal, hal tersebut sesuai dengan kutipan: “Lah apa namanya kalau perempuan kawin diamdiam sama suami orang? Ingat, Nduk... setiap perbuatan ada karmanya! Kamu ini sekolah tinggitinggi kok malah jadi bodoh...” Pada kutipan di atas terlihat bahwa Rahayu yang berpendidikan tidak mampu berpikir secara rasional bahwa menjadi istri simpanan itu merugikan dirinya sendiri karena tidak memiliki hak seutuhnya atas diri Amri Hasan. Berbeda dengan Rahayu, Marni yang tidak pernanh sekolah dapat berpikir seperti orang yang bersekolah dan mengetaui hal yang akan terjadi kelak jika menjadi istri simpanan.
9
Ibid., h. 137 Ibid., h.166
10
47
Rahayu dan Marni digambarkan sering berdebat dengan keyakinan masing-masing yang berbeda. Ia sering menentang apa diyakini oleh Marni untuk nyuwun pada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Rahayu ialah pemeluk agama Islam yang Taat. Sejak kecil ia sudah belajar agama di sekolah berbeda dengan Marni yang tidak sekolah dan tidak kenal agama. Aku bilang, “Aku berdoa lima kali sehari. Itu cara yang benar, bukan dengan cara yang dosa.”. Ibu marah, “Aku nyuwun pada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa sejak lahir. Aku tidak mengganggu orang lain. Dosa apa yang ku lakukan?”. “Yang kuasa itu Gusti Allah, Bu. Bukan Mbah Ibu Bumi,” kataku dengan suara keras, membalas teriakan Ibu.11 Pada kutipan di atas digambarkan bahwa Rahayu tidak menyembah seperti apa yang Marni lakukan. Rahayu berdoa dengan melaksanakan sholat lima waktu sesuai dengan ajaran Islam. Rahayu sebagai pemeluk agama Islam yang taat tetapi dari prilakunya ia terlihat seperti anak yang durhaka yang selalu
membenci
Ibunya
yang
telah
melahirkannya.
Tokoh Marni dan Rahayu memiliki perbedaan dalam keyakinan mereka masing-masing yang sering memunculkan pertengkaran, tetapi kedua tokoh ini dipersatukan oleh keetidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat. b. Tokoh Tambahan 1) Teja Teja
merupakan
suami
dari
Marni.
Sesuai
tema
memunculkan ketidakadilan gender, Teja hanya bersenangsenang dengan perempuan selingkuhannya sedangkan yang mencari uang yakni Marni. Akhirnya Marni mengalami beban kerja yang ganda. Teja juga sering kali tidak berdaya saat harus 11
Ibid., h.59
48
memberikan uang keamanan untuk para tentara. Pada awalnya Teja adalah seorang kuli di pasar, setelah Marni menjadi bakulan sayur ia melamar Marni untuk menikah. Teja tinggal di pasar bersama bapaknya. Teja awalnya digambarkan lakilaki yang selalu menerima akan nasibnya dan memiliki sifat putus asa. Tapi aku tak sepenuhnya menyukai Teja. Aku juga membencinya. Benci atas kesabaran dan penerimaannya pada nasib. Benci atas ketidakberdayaannya mengubah hidupnya. 12 Pada kutipan di atas digambarkan bahwa Teja selalu menerima keadaannya sebagai kuli di pasar. Selain itu, ia tidak memiliki motivasi untuk mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik lagi. Teja terlihat putus asa dengan nasibnya sehingga menjadi nerima akan nasibnya sendiri. Padahal ia masih muda dan bisa mengubah hidupnya seperti Marni. Teja kini tidak lagi nguli. Dia membantuku bakulan. Aku menggendong tenggok, dia menggendong goni di punggungnya. Kami membawa lebih banyak dagangan dibanding saat aku berjualan sendirian. Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang kami dapat, dia juga tidak pernah meminta. Dia juga tidak tahu apa saja dagangan yang harus dikulak, berapa harganya, dijual berapa. Yang dia tahu hanya mengangkat goni di punggung. Bedanya, dulu di Pasar Ngranget, sekarang keliling desa. Yang penting bagi Teja, bisa membeli tembakau linting tiap hari.13 Dari kutipan di atas digambarkan Teja seorang yang putus asa dan pemalas tidak ada keinginan untuk merubah nasibnya dan pekerjaannya. Setelah usaha bakulan duwit Marni berkembang pesat sehingga ekonomi keluarganya meningkat. Seiring itu Teja jadi sering bersenang-senang, keluar malam dan mabuk-mabukan. 12 13
Ibid., h.45 Ibid., h. 49
49
Bapak pulang setelah hari gelap. Bau menyengat tercium sejak dia memasuki rumah. Aku sering mencium bau itu saat ada pentas gambyong. Ya, itu bau arak.14 “Dasar Teja lanangan nggak tahu diuntung. Susah payah aku cari duit, dia malah enak-enakan kelonan sama kledek.”15 Dari kutipan di atas menggambarkan sosok Teja yang senang bersenang-senang, mabuk-mabukkan dan suka kelonan dengan kledek. Teja sering bermain perempuan hingga tidak memperdulikan istri yang mencari uang susah payah di rumah. Teja selalu bersenang-senang saat ada pesta rakyat di kampungnya dan akan pulang saat pagi. Setelah Teja meninggal ternyata ia telah memiliki istri simpanan dan anak. 2) Komandan Sumadi Komandan
Sumadi
digambarkan
sebagai
seorang
komandan yang bertugas di Singget. Komandan Sumadi memiliki sifat yang tegas, pemarah dan sewenang-wenang terhadap masyarakat. Marni, menjadi korban dari kekuasaan dan kesewenang-wenangannya. Sumadi menggebrak meja. "kalian akan tahu akibatnya. Aku tunggu kalian datang kepadaku, memohon-mohon minta keamanan", kata Sumadi16 Komandan Sumadi masih tertawa. Entah apa yang lucu dari kata-kata Ibu. Lalu ia berkata, “Beres. Silahkan Sampeyan terus cari rezeki. Tapi mulai sekarang, setiap empat belas hari, sediakan jatah duit keamanan. Nanti aku atau anak buahku yang ambil ke sana, mengerti?”17 Pada kutipan di atas jelas tergambar bahwa Komandan Sumadi memiliki sifat pemarah dan segala keinginannya harus 14
Ibid., h. 73 Ibid., h.53 16 Ibid., h.71 17 Ibid., h.77 15
50
terpenuhi. Selain itu, ia juga menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk melakukan kesewenang-wenangan. Jika ada yang tidak memenuhi keinginannya, maka keselamatan hidupnya terancam, dan akan ditangkap, lalu hilang seperti Pak Tikno yang tidak memberikan sebidang tanah kepadanya lalu di tangkap karena disebut PKI. 3) Amri Hasan Amri Hasan merupakan dosen Fakultas Hukum di tempat Rahayu berkuliah. Amri merupakan suami dari Rahayu. Amri Hasan digambarkan masih muda, tampan, dengan muka kearab-araban. Namanya Amri Hasan. dosen Fakultas Hukum. masih muda, tampan, dengan muka kearab-araban. Belum pernah kulihat orang setampan ini. Putih, mata lebar, alis tebal, dan hidung mancung agak besar. Tapi saat bercerita tentang apa yang terjadi di luar sana, dia akan menjadi sangat garang. Dia seperti serigala kelaparan saat berbicara tentang pembunuhan, tentang orang-orang miskin, tentang segala ketidakadilan.18 Pada kutipan tersebut menggambarkan sosok Amri Hasan secara fisik, dan sifatnya. Ia memiliki rasa kemanusiaan karena merasa
terusik
dengan
pembunuhan,
kemiskinan
dan
ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Ia seketika akan menjadi
beringas jika
membahas soal
pembunuhan,
kemiskinan dan ketidakadilan seperti serigala yang kelapar. Amri selalu memperjuangkan orang-orang yang tertindas akibat kesewenang-wenangan dari aparat pemerintah. Amri meninggal saat memperjuangkan hak warga desa yang kampungnya ingin digusur dan dijadikan waduk oleh pemerintah. 18
Ibid., h.137
51
4) Simbok Simbok merupakan panggilan Marni untuk Ibunya. Simbok hanya tinggal bersama dengan Marni. Suaminya pergi meninggalkan Simbok dan Marni saat Simbok sedang sakit. Simbok juga sering mendapatkan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Simbok menjadi pencari nafkah utama.
Simbok
juga
yang
mengajarkan
Marni
untuk
menyembah Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Simbok meninggal saat Marni sedang mengandung Rahayu. Sesuai kutipan di bawah ini: Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak punya makanan.19 Sejak itu aku hidup berdua dengan Simbok. Di gubuk reyot yang hanya berisi pawon dan tikar pandan ini kami menghabiskan hari.20 5) Andari Andari atau Ndari merupakan anak didik Rahayu. Ndari digambarkan seperti bocah yang beranjak menjadi perawan, badannya merekah, semok, dan montok. Tinggi badannya melebihi anak laki-laki seusianya. Rambutnya sebahu dan berwarna kemerah-merahan, dan kulitnya cokelat gosong. Andari mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh pakliknya sendiri serta ia disuruh bapaknya untuk menyerahkan tubuhnya kepada tentara agar kampungnya tidak dijadikan waduk. Hal tersebut sesuai kutipan di bawah ini: Di sekolah dulu, Ndari sudah kelas enam. Seperti bocah perempuan yang baru beranjak menjadi perawan, badannya merekah, semok, dan montok. Dadanya yang membesar menggangung-gantung. Dia tak memakai BH. Tingginya melebihi anak laki-laki seusiannya. Rambutnya yang sebahu bercabang dan kemerah-merahan. Kulitnya cokelat 19 20
Ibid., h. 18 Ibid., h.18
52
gosong. Meski begitu, siapa pun akan setuju dia berwajah manis.21 Kehadiran tokoh Ndari memperkuat ketidakadilan gender dalam bentuk kekerasan. Ndari diperkosa oleh pakliknya sendiri dan untuk terbebas dari penggusuran kampung halamannya ia menyerahkan tubuhnya untuk dinikmati oleh para tentara. tokoh Ndari juga memperkuat rasa kemanusiaan Rahayu untuk terus memperjuangkan hak rakyat. 6) Tonah Tonah merupakan asisten rumah tangga Marni. Marni meminta bantuan Tonah untuk mengurus beberapa pekerjaan domestik di rumahnya. Tonah digambarkan sebagai orang yang sabar meski terkadang Marni sering membentaknya. Tonah berhenti berkerja di rumah Marni karena ia takut dijadikan tumbal untuk kemakmuran Marni. hal tersebut sesuai kutipan berikut: Tonah, yang sudah lama berkerja di rumah ini, sudah bisa dengan hal seperti itu. Ia sudah tahu, setiap orang berseragam loreng datang, itu berarti waktu baginya untuk menerima semua makian. Tak pernah membantah, tak pernah sakit hati.22 Tonah seperti sedang memukulkan alu ke kepalaku. Berat, sakit.. tapi justru menguncu rapat mulutku. Aku seperti mati kehilangan rasa. Kehilangan perasaan. Dia mau pergi dari rumah ini karena taku menjadi tumbal pesugihan.23 7) Bu Jujuk Bu Jujuk merupakan pelanggan Marni saat menjadi penjual sayur keliling kampung. Bu Jujuk sering menceritakan kepada Marni bahwa suaminya selingkuh dengan sinden atau kledek. Bu Jujuk mengalami tekanan secara batin akbat perbuatan suaminya yang berselingkuh. Bu Jujuk digambarkan sebagai 21
Ibid., h. 237 Ibid., h. 52 23 Ibid., h. 187 22
53
perempuan yang patuh dan takut pada suaminya. Hal tersebut sesuai pada kutipan berikut: “Suamiku itu lho Ni. Dia gendakan sama kledek. Sudah lama, Ni. Tapi aku diam saja. Aku nggak mau ribut, nggak mau cari masalah. Tapi aku nggak kuat, Ni. Hatiku diiris-iris.” Tangis Bu Jujuk meledak.24 Dari luar ku dengar umpatan-umpatan suami Bu Jujuk. “Istri nggak tahu diri! Kerjaannya rasanrasan terus!” Tak ada jawaban dari mulut Bu Jujuk. Lenyap semua umpatan yang sebelumnya dikatakan padaku. Bu Jujuk kembali ke dunianya, dunia yang penuh kepatuhanm dan ketakutan.25 3. Alur Abrams berpendapat bahwa alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalis sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam peristiwa. Alur yang digunakan dalam novel Entrok ialah alur mundur. Aminuddin membagi alur menjadi 7 tahapan peristiwa yang saling berkaitan, adapun tahapan alur tersebut yakni: a) Tahapan pengenalan Pada tahapan ini merupakan tahap peristiwa dalam novel yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Tahap ini tema ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat pemerintah mulai disajikan melalui kemunculan tokoh Rahayu dan Marni. Pada tahap ini Rahayu menceritakan saat di penjara. Rahayu saat di penjara mengalami pemerkosaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh tentara sebagai aparat negara. Akibat kesewenang-wenangan aparat negara menyebabkan hidup Rahayu dan Marni seakan hidup tidak memiliki jiwa. Novel ini menggunakan alur mundur sehingga pada tahap pengenalan di buka dengan penantian Rahayu untuk mengubah cap PKI pada dirinya selama lima tahun. 24 25
Ibid., h. 46 Ibid., h. 46-47
54
Pada bab ini mengenalkan tokoh Rahayu dan Marni serta kebiasaan hidup mereka selama lima tahun sampai akhirnya Rahayu mendapat KTP yang tidak ada tanda PKI. Rahayu bercerita mengenai masa-masa sulitnya mengembalikan jiwa Marni. Hal ini terdapat pada kutipan sebagai berikut: Aku melihat matamu melotot saat aku menyebut penjara. Lalu kau menutup muka saat aku bercerita tentang tentara. kau menjerit waktu aku bilang aku diperkosa dan disiksa.26 Januari 1999, Lima tahun aku menunggu hari ini datang. Pagi-pagi aku sudah mandi lalu berdandan. Hari ini aku akan terlahir kembali. Aku akan kembali menjadi manusia yang punya jiwa. Tidak hanya raga kosong yang menunggu kematian.27 b) Tahapan Konflik Tahap ini merupakan ketegangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita. Pada tahap ini tema ketidakadilan gender diperkuat dengan konflik Marni yang ingin menjadi kuli di pasar untuk mendapatkan uang untuk membeli entrok. Saat itu digambarkan bahwa perempuan bekerja hanya sebagai tukang kupas singkong digajinya dengan singkong, sedangkan laki-laki bisa mendapatkan uang saat menjadi kuli. Keinginan Marni dilarang oleh Simbok karena melanggar aturan kebiasaan yang sudah berlaku tetapi ia tetap menjadi kuli perempuan pertama di pasar. Marni akhirnya menjadi kuli perempuan di pasar walalupun melanggar pakem yang sudah berlaku. Waktu kuceritakan rencanaku pada Simbok, dia langsung menolaknya “Nduk semua itu sudah ada jatahnya. Orang kaya kita bagiannya ngocek telo. Nguli itu berat. Sudah jatah orang lain.”28
26
Ibid., h. 12 Ibid., h.11 28 Ibid., h. 34 27
55
“Bukan masalah kuat-nggak-kuat, Nduk. Ini masalahnya ilok ra ilok- pantas nggak pantas. Nggak ada perempuan nguli.”29 c) Tahapan Komplikasi Tahap
komplikasi
merupakan
tahapan
yang
mengambangkan konflik sehingga terjadi peningkatan konflik. Alur ceritanya menjadi menegangkan dan mencengkam. Sesuai tema ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat negara pada bagian ini Marni menjadi bakul duit/rentenir/lintah darat. Sebelumnya Marni seorang kuli perempuan di pasar lalu menjual sayur keliling kampung lalu menjadi renternir. Pada tahap ini mengembangkan konflik sehingga muncul permasalahan dengan Komandan Sumadi yang setiap empat belas hari harus membayar uang keamanan. Komandan Sumadi memiliki jabatan sebagai komandan sehingga menjadi sewenang-wenang kepada rakyat. Pada tahap ini ketidakadilan gender terlihat karena Marni harus semakin banting tulang mencari nafkah untuk keluarganya, selalin itu ia juga harus mengurus keluarganya sehingga menimbulkan beban kerja ganda. Teja sebagai suami hanya tidur dengan selingkuhannya saja. Hal tersebut terdapat pada kutipan di bawah: “Beres silakan sampeyan terus cari rezeki. Tapi mulai sekarang, setiap empat belas hari, sediakan jatah duit keamanan. Nanti aku atau anak buahku yang ambil ke sana, Mengerti?”30 “Dasar Teja lanang nggak tahu diuntung. Susah payah aku cari duit, dia malah enak-enakan kelonan dengan kledek.”31
29
Ibid., h. 35 Ibid., h.77 31 Ibid., h. 53 30
56
d) Tahapan Klimaks Pada tahapan ini merupakan puncak ketegangan terutama dipandang dari tanggapan emosional pembaca. Klimaks ini dialami oleh tokoh utama. Tema ketidakadilan gender dan kesewenangweangan disajikan dengan Amri meninggal karena membela warga desa yang kampung tinggalnya ingin dijadikan waduk oleh pemerintah. Amri dibunuh dengan pistol saat melawan tentara yang memaksa warga kampung meninggalkan desanya. Selain itu, Rahayu harus rela tidak dapat berziarah ke makam Amri, karena jasad Amri dibawa ke Padang bersama orang tua dan istri pertama Amri dan rahayu sebagai istri kedua tidak mendapat hak sepenuhnya terhadap Amri. Selain itu, pada tahapan ini Ndari juga mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk pemerkosaan yang dilakukan oleh pakliknya. Ndari menceritakan kepada Rahayu tentang perbuatan pakliknya. Hal tersebut terdapat pada kutipan: Pakliknya-nya yang tinggal dibelakang rumahnya menyuruhnya datang. Ndari diminta mengeroki punggung paklik-nya. Paklik-nya sedang masuk angin. Saat itulah, pelan-pelan tangan laki-laki itu menggerayangi selangkangan Ndari, menembus selaput tipis itu. Ndari kesakitan. Dia menangis. Laki-laki itu menyuruh keponakannya diam.32 Orang tua Amri membawa mayat anaknya kembali ke Padang. Perempuan itu bersama mereka. Sedikitpun tak ada pertanyaan kepadaku, apakah aku setuju atau apakah menginginkan hal lain.33 e) Tahapan Krisis Pada tahapan ini merupakan tahapan yang mengawali penyelesaian dalam alur cerita. sesuai dengan tema ketidakadilan gender dan kesewenangan aparat negara tahapan krisis dalam novel ini, saat Ndari meberikan tubuhnya untuk dinikmati oleh tentara 32 33
Ibid., h. 238 Ibid., h.235
57
agar desanya tidak digusur dan dikeruk untuk dijadikan waduk. Ndari harus rela mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk kekerasan pelacuran yang diperintahkan ayahnya. Selain itu Rahayu berani membela warga kampung agar tidak diusir dari kampungnya hingga akhirnya ia di penjara karena tetap membela kebebasan warga desa untuk mempertahankan tanahnya. Rahayu yang sudah diberi pilihan oleh Kyai hasbi untuk menghentikan perlawanan terhadap penggusuran desa tetap memilih melawan demi nyawa Amri dan kehormatan Ndari. Hingga akhirnya Rahayu dijebloskan ke penjara oleh tentaratentara. Hal tersebut terdapat pada kutipan: Loh ada apa kamu kesana?” Ndari ketakutan. Mukanya merah matanya berkaca-kaca. “Disuruh bapak.” “Disuruh apa?” “Ayo ri bilang. Disuruh apa kamu malam-malam ke sana?. Itu.. Pak Tentara... biar besok kami tidak dikeruk.” “Hah! Apa maksudnya? Kamu ngapain sama tentara, hah?” “Ttidur... terus minta agar besok tidak dikeruk.”34 Seorang perempuan yang memakai seragam penjara masuk ke ruangan. Disebelahnya ada petugas berbaju cokelat. Mereka mendekati kami. Dadaku berdebar. Inikah Rahayu? Inikah anakku itu?35 f) Tahapan Leraian Tahapan leraian merupakan bagian struktur alur sesudah tercapainya klimaks. Pada tahapan ini peristiwa yang terjadi menunjukkan ke arah selesaian. Tema kesewenang-weangan aparat negara digambarkan pada tahap leraian pada novel ini saat Rahayu keluar dari penjara dan di KTPnya tertanda PKI. Marni harus rela memberikan uang seharga sepuluh juta rupiah kepada petugas penjara agar Rahayu cepat keluar dari penjara. Setelah keluar dari penjara Rahayu masih harus wajib lapor ke Kodim setelah itu 34 35
Ibid., h. 251 Ibid., h.265
58
mendapatkan KTP baru yang terdapat tanda PKI. Hal tersebut terdapat pada kutipan : Tak lagi berpikir panjang aku menyanggupi jaminan itu. Sepuluh juta memang bukan jumlah sedikit. Tapi masih bisa kudapatkan untuk menebus kebebasan anakku.36 “Seperti PKI?” aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat ciri di KTP-nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan bisa hidup enak. Selamanya bakal jadi kere.37 g) Tahapan Selesaian Tahapan ini merupakan akhir dari cerita. Pada tahap ini merupakan akhir dari sebuah konflik dalam novel dan menemukan jalan keluar dari setiap konfliknya. Tema ketidakadilan gender pada tahap penyelesaian terdapat saat Marni ingin menikahkan Rahayu dengan Sutomo anak Pak Kirun tetapi ternyata rencana tersebut gagal karena Tomo mengetahui bahwa Rahayu seorang PKI. Rahayu sebagai perempuan yang dianggap sebagai kaum kelasdua hanya bisa menerima keputusan Tomo yang membatalkan pernikahan secara mendesak. Rahayu harus menanggung malu dan kecewa
karena
Tomo
meninggalkannya
dan
membatalkan
pernikahan yang akan dilaksakan besok. Peristiwa tersebut membuat Marni seperti sudah mati karena dipermalukan di depan orang-orang bahwa anaknya seorang PKI. Hal tersebut terdapat pada kutipan di bawah ini: “sudah Nyai. Kami sudah diapusi. Jangan ditambahi lagi. Sutomo sudah memilih tidak mau kawin. Ya sudah.” Ruangan ini sudah penuh orang. Semuanya rewang di pawon berkumpul di sini. Orang-orang akan datang selamatan sudah mulai datang. Dan dua tukang andong kere ini telah membunuhku di depan
36 37
Ibid., h. 268 Ibid., h. 275
59
semua orang. Aku sudah mati. Ya, Marni sudah mati. Tapi anakku kan mau kawin.38 4. Latar a. Latar tempat yakni lokasi kejadian dalam novel. Melalui mendeskripsikan latar tempat, pembaca dapat membayangkan kondisi suasana tempat dalam cerita. Adapun latar tempat di dalam novel Entrok yakni: 1) Singget Singget merupakan latar tempat utama dalam novel ini. Desa ini digambarkan berada di daerah kabupaten Magetan, Jawa Timur. “Madiun itu kota besar yang ada di sebelah timur Singget,”. Pada kutipan tersebut terlihat bahwa Madiun berada di sebelah Timur Singget. Sedangkan di sebelah barat Madiun adalah Magetan, berarti desa Singget di dalam cerita berada di kabupaten Magetan. Marni dan Rahayu tinggal di desa Singget. Di desa ini Marni menjadi renternir, juragan sawah dan kebon. 1983 Singget semakin banyak membangun siskamling. Pak Lurah yang dulu hanya datang ke rumah saat mau pemilu, sekarang bisa datang kapan saja. Minta sumbangan buat pembangunan gardu di dukuh sana di dukuh sini.39 1977 Desa Singget penuh dengan umbul-umbul warna kuning bergambar pohon beringin. Untuk kedua kalinya, aku akan menyaksikan orang-orang mencoblos gambar partai di balai desa. Tapi kali ini kertas yang dicoblos tak selebar pemilu sebelumnya. Sekarang hanya ada tiga partai. 40 Berdasarkan kutipan di atas digambarkan bahwa desa semakin berkembang dari segi keamanannya karena sudah banyak dibangun pos untuk siskamling dan gardu-gardu. Selain itu, Desa ini juga menjadi saksi pemilihan umum pada 38
Ibid., h. 281-282 Ibid., h.128 40 Ibid., h.78 39
60
masa pemerintahan orde baru dengan melambangkan partai bergambar pohon beringin.
2) Pasar Ngranget Pasar Ngranget merupakan tempat Simbok berkerja sebagai kuli pengupas singkong. Di pasar ini juga menjadi tempat Marni membeli dagangan untuk di jual lagi. Mbah Noto dan anaknya yakni Teja, mereka tinggal di pasar ini. Pasar Ngranget ada di desa lain. Untuk ke sana aku harus berjalan kaki melewati tiga desa, lewat jalanan naik-turun yang penuh batu dan debu. Aku tiba di pasar saat matahari sudah bergeser ke barat. Sebagian besar pedagang sudah membereskan dagangannya.41 Hari sudah terang saat kami sampai di pasar. Tempat yang semalam begitu lengang kini penuh orang. Suara orang menawarkan dagangan, teriakan kuli yang minta diberi jalan, dan berbagai suara cekikikan berbaur menjadi satu, terdengar saling tumpang tindih.42 Berdasarkan kutipan di atas digambarkan bahwa pasar Ngranget tidak berada di desa Singget, melainkan di desa lain. Dari Singget untuk ke pasar Ngranget harus melewati tiga desa, serta jalanannya naik-turun penuh dengan batu dan debu. Di pasar ini Marni untuk mendapatkan upah uang, ia menjadi satu-satunya kuli perempuan. 3) Pasar Gede Madiun Pasar Gede Madiun merupakan pasar terbesar dari lima kabupaten, Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Semua kebutuhan ada di sini. Barang perkakas rumah tangga biasanya dijual pedagang dari Surabaya. Sandang dan kain dari pedagang-pedagang Solo, Jogja, dan Pekalongan. Kalau alat elektronik, seperti TV atau radio, di jual 41 42
Ibid., h.20 Ibid., h.23
61
oleh pedang-pedang cina. Mereka menempati kioskios di jalan paling depan Pasar Gede. Bapak, dan ibu menuju salah satu tokoh di jajaran depan tersebut, tokoh Cahaya, namanya. 43 Pada novel ini Marni pergi ke pasar ini untuk membeli TV dan berkenalan dengan Koh Cahyadi. Di pasar Gede Madiun ini Marni mulai mengenal Koh Cahyadi sebagai teman seperjuangannya. Pasar Gede Madiun merupakan pasar terbesar dari lima kabupaten yakni, Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Pasar ini menjual semua kebutuhan. 4)
Lereng Gunung Kawi Sepanjang jalan koh cahyadi telah memberitahu apa yang akan mereka lakukan di lereng gunung Kawi. Mereka akan tirakat di sekitar makam eyang Sugo dan eyang Jugo,sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok.44 Menurut cerita tempat tersebut merupakan tempat orangorang meminta kelancaranan rezeki. Diceritakan bahwa di gunung Kawi terdapat makam yang bisa memberikan berkat bagi yang menziarahinya. Oleh sebab itu Marni dengan rombongan Koh Cahyadi pergi ke lereng gunung Kawi agar diberikan kelancaran rezeki tetapi kepergian Marni ke lereng Gunung Kawi membuatnya dianggap pesugihan.
5) Magelang Magelang, Januari 1985 Malam telah larut. Semua orang telah berkelana dalam mimpi masing-masing. BUUM!. Bunyi itu mengagetkan kami. Besar dan mengguncang.
43 44
Ibid., h.90 Ibid., h.95
62
Bergetar seperti gempa bumi. Baru pertama kali aku mendengar bunyi seperti itu.... Di sinilah asalnya. Candi Borobudur, bangunan megah yang menjadi simbol keagungan dan kemegahan itu hanya ilusi. Mahakarya yang tercipta ratusan tahun lalu itu takluk dalam hitungan menit pada karya cipta manusia modern yang memang dibuat untuk merusak: bom. Magelang merupakan tempat Rahayu sedang kuliah nyata bersama pengajian kampus di Magelang untuk mengajarkan mengaji dan berbagi ilmu, ditempat itu ia juga sering berbincang dengan Amri Hasan dan saat Rahayu ke Magelang terjadi peristiwa pengeboman candi Borobudur. 6) Jogja Aku mengantarnya sampai ke Jogja, menemaninya mencari kamar pondokan. Dari Rahayu, aku tahu dia masih akan ikut tes agar diterima di sekolah negeri, tempat orang-orang pintar kuliah dengan biaya murah.45 Di sini, di kota ini, aku menemukan yang ku cari. Semunya serba benar dan masuk akal. Modern dan tidak bodoh. Ber-Tuhan, bukan pemuja setan.46 Malam itu juga kami kembali ke Jogja, mencari wartawan koran Jogja, yang juga anggota kelompok pengajian kami., Taufik namanya. Tak terlalu susah meminta bantuannya. Taufik langsung tertarik dengan kasus ini. Besok siang kami akan ke Magelang, menemui keenam tukang becak itu.47 Diceritakan bahwa Rahayu kuliah di kota Jogja. Di kota itu, Rahayu merasa lebih nyaman karena semuanya serba masuk akal, modern, dan ber-Tuhan. Di kota ini juga ia mengikuti pengajian dan bertemu dengan Amir Hasan.
45
Ibid., h.125 Ibid., h.135 47 Ibid., h.151 46
63
b. Latar waktu Burhan Nurgiyantoro berbendapat,
bahwa latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam novel ini digambarkan berlangsung pada tahun 1950 sampai tahun 1999.48 Latar waktu akan dijelaskan berdasarkan alur ceritanya. Klimaks Tahun 1987
Komplikasi Tahun 1982
Konflik
Tahun 1950
Krisis Tahun 1990
Leraian Tahun 1992
Pengenalan Tahun 1999
Selesai Tahun 1994
1) Pada tahun 1999, merupakan tahap pengenalan cerita. Tahun ini diceritakan Rahayu akhirnya memiliki KTP baru yang tidak memiliki tanda ET (Eks Tahanan) atau disebut juga sebagai cap PKI. Rahayu sangat menanti tahun ini karena ia, akan menjadi manusia seutuhnya. Rahayu
tidak lagi menjadi manusia yang
hanya menunggu kematian. Tahun ini Rahayu bisa membuat Marni kembali seperti dahulu. Hal tersebut sesuai pada kutipan berikut : Januari 1999, Lima tahun aku menunggu hari ini datang. Pagi-pagi aku sudah mandi lalu berdandan. Hari ini aku akan terlahir kembali. Aku akan kembali menjadi manusia yang punya jiwa. Tidak hanya raga kosong yang menunggu kematian.49 48
Tahun-tahun yang disebutkan dalam novel Entrok yakni tahun 1950, 1975, 1977, 1980, 1982, 1983, 1984, 1985, 1986, 1987, 1989, 1990, 1992, 1994, dan 1999 49 Ibid., h.11
64
2) Pada tahun 1950, merupakan tahap konflik cerita. Tahun ini diceritakan bahwa Marni yang ingin menjadi kuli di pasar untuk mendapatkan uang untuk membeli entrok. Saat itu digambarkan bahwa perempuan bekerja hanya sebagai tukang kupas singkong digajinya dengan singkong, sedangkan laki-laki bisa mendapatkan uang saat menjadi kuli. Keinginan Marni dilarang oleh Simbok karena melanggar aturan kebiasaan yang sudah berlaku tetapi ia tetap menjadi kuli perempuan pertama di pasar. Marni akhirnya menjadi kuli perempuan di pasar walalupun melanggar pakem yang sudah berlaku.
3)
Pada tahun 1982, merupakan tahap komplikasi cerita. Tahun ini diceritakan bahwa Marni menjadi bakul duit/rentenir/lintah darat. sehingga muncul permasalahan dengan Komandan Sumadi yang setiap empat belas hari harus membayar uang keamanan. Komandan Sumadi memiliki jabatan sebagai komandan sehingga menjadi sewenang-wenang kepada rakyat. Marni harus semakin banting tulang mencari nafkah untuk keluarganya.
4)
Tahun 1987, merupakan tahap klimaks cerita. Tahun ini diceritakan bahwa Amri meninggal. Amri meninggal di tembak oleh tentara saat
membela
warga
desa
yang sedang memperjuangkan
kampungnya. Rahayu, ia tidak dapat lebih lama menemani jasadnya Amri karena Amri akan dikuburkan di Padang di tanah kelahirannya dan Rahayu tidak memiliki hak atas Amri karena hanya sebagai istri kedua atau simpanan tidak sah secara negara. Ndari juga mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk pemerkosaan yang dilakukan oleh pakliknya. Ndari menceritakan kepada Rahayu tentang perbuatan pakliknya. Magelang, januari 1987, di sinlah aku sekarang. Tenggelam diantara orang-orang yang sedang
65
memasrahkan diri pada jalan kebenaran. Semuanya sama, tak ada yang ingkar, tak ada yang berdosa. Kami semua berlomba-lomba untuk mendapatkan surga. 50 Orang tua Amri membawa mayat anaknya kembali ke Padang. Perempuan itu bersama mereka. Sedikitpun tak ada pertanyaan kepadaku, apakah aku setuju atau apakah menginginkan hal lain.51 Duh, Gusti, apalagi ini? Teja kecelakaan, kata mereka. Aku ikut polisi itu ke rumah sakit di Madiun.52 5)
Tahun 1990, merupakan tahap krisis cerita. Pada tahun ini diceritakan bahwa Rahayu akhirnya masuk penjara karena tetap membela warga kampung yang tanahnya ingin dijadikan waduk. Setelah tiga tahun di penjara ia baru mengetahui bahwa Rahayu sedang di tahan. Marni akhirnya bertemu dengan Rahayu di penjara di Semarang. Ndari meberikan tubuhnya untuk dinikmati oleh tentara agar desanya tidak digusur dan dikeruk untuk dijadikan waduk. Ndari harus rela mengalami ketidakadilan gender dalam bentuk kekerasan pelacuran yang diperintahkan ayahnya. Maret 1990, orang-orang bilang sekarang zaman maju.semuanya sudah modern.gambar di TV tidak lagi hitam-putih, tapi sudah berwarna. Jalanan di Pasar Ngarnget sekarang sudah diaspal.53 Seorang perempuan yang emakai seragam penjara masuk ke ruangan. Disebelahnya ada petugas berbaju cokelat. Mereka mendekati kami. Dadaku berdebar. Inikah rahayu? Inikah anakku itu?54 6) Tahun 1992, merupakan tahap leraian dalam cerita. Akhirnya tahun ini Rahayu dapat keluar dari penjara. Untuk kebebasan Rahayu Marni harus menebus dengan jaminan sepuluh juta rupiah. Marni menyanggupi jaminan untuk kebebasan rahayu.
50
Ibid., h.211 Ibid., h.235 52 Ibid., h. 173 53 Ibid., h. 255 54 Ibid., h.265 51
66
Agustus 1992 Petugas penjara itu memanggilku. Rahayu baru saja kembali ke dalam selnya. Aku sudah bersiap pulang. “Anak Ibu bulan ini sudah bisa bebas. Tapi harus ada jaminannya,” kata lakilaki itu. Gusti! Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa inikah jawaban atas doaku? Inikah balasanMu atas sesajen yang ku buat setiap hari kelahiran ankku.? Aku merasa begitu bersemangat.”Jaminan apa, Pak?” “Uang. Sepuluh juta.” 55 7)
Tahun 1994, merupakan tahap selesai dalam cerita. Pada tahun ini Marni berniat untuk menikahkan Rahayu dengan Tomo anaknya Pak Kirun. Malamnya sebelum besok menikah, Tomo dan Pak Kirun membatalkan pernikahan karena rahayu memiliki tanda ET di KTP-nya. rahayu harus menerima keputusan Tomo membatalkan pernikahannya dan harus menanggu malu seumur hidupnya. Mendengar perkataan Pak Kirun di depan orang banyak, Marni seperti sudah mati. Marni menjadi kehilangan kewarasannya. Mereka akan menikah pada hari kelahiran Rahayu. Menurut tanggalan, itu tanggal 15 Januari 1994. Aku akan membuat selamatan besar-besaran. Ada gambyong sampai pagi. Aku benar-benar mau mantu. c. Latar sosial Latar sosial berkaitan dengan keadaan masyarakatnya, kelompok sosial, sikap, adat istiadat, cara hidup, bahasa dan lainlainnya. Latar sosial dalam novel ini menggambarkan kehidupan masa orde baru dan masa reformasi. Selanjutnya, karena latar tempatnya di daerah Jawa Timur maka banyak menggunakan bahasa jawa. Cara hidup masyarakat dalam novel ini masih melanggengkan budaya patriarki. 1) Sebelum-sesudah masa orde baru 1977 Desa Singget penuh dengan umbul-umbul warna kuning bergambar pohon beringin. Untuk kedua kalinya, aku akan menyaksikan orang-orang mencoblos gambar partai di balai desa. Tapi kali ini kertas yang
55
Ibid., h.268
67
dicoblos tak selebar pemilu sebelumnya. Sekarang hanya ada tiga partai. Tak ada agi partai-partai penuh tulisan arab, katanya sekarang menjadi satu dalam gambar bintang. Lalu katanya, partai-partai orang abangan semua menjadi warna merah bergambar kepala banteng. Tapi itu bukan partai kami. Bukan partai yang wajib dicoblos orang-orang di Singget. Karena kami orang-orang negara. Orang yang mendukung pemerintah. Kami semua orang-orang partai kuning. Mencoblos gambar beringin.56 Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa pada masa itu masih dalam pemerintahan presiden Soeharto masa jabatan tahun 1968-1998. Partai berwana kuning bergambar beringin merupakan partai golkar (golongan karya) yang dipimpin oleh presiden Soeharto.
Selama
tahuan
1968-1998
partai
golkar
selalu
memenangkan pemilu. “waktu ngurus surat di balai desa. E... e... e.. saya lihat KTP Mbak Rahayu ada tulisannya ET. Seperti orang-orang PKI.”57 “Ini Ka Te Pe, Bu. Lihat, ini fotoku. Ini ada foto Ibu. Coba ini sibalik. Sama persis to, ndak ada bedanya to sekarang?” “Zaman sudah berubah,Bu. Semuanya sudah berbeda” “Lihat, Bu. Sekarang aku bisa cari kerja lagi. Aku bisa jadi guru, bisa kerja di pabrik gula”58 Januari 1999, Lima tahun aku menunggu hari ini datang. Pagi-pagi aku sudah mandi lalu berdandan. Hari ini aku akan terlahir kembali. Aku akan kembali menjadi manusia yang punya jiwa. Tidak hanya raga kosong yang menunggu kematian.59 Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa Januari 1999 merupakan masa reformasi. Pada setelah orde baru KTP warga semuanya disamakan tidak ada perbedaan dengan tanda ET. Pada masa Soeharto ET merupakan tanda Eks tahan politik yang berati 56
Ibid., h.78 Ibid., h.281 58 Ibid., h.13 59 Ibid., h. 11 57
68
itu musuh negara yakni PKI. Bagi Eks tahanan politik pada masa itu tidak akan diterima sebagai pegawai, guru, dan keluarganya. 2) Menggunakan istilah-istilah Jawa “Istri nggak tahu diri! Kerjaannya rasan-rasan terus!” tak ada jawaban dari mulut Bu Jujuk.60 (rasan-rasan: bergunjing) Aku juga tahuorang-orang itu bilang aku ngopeni tuyul. Oalah... Gusti!61 (ngopeni: memelihara) Lho... lho... Siapa itu? Aku melihat perempuan sedang menangis di pinggir blumbang.62 (blumbang: empang) “Hei sundal, kalau kamu ndak bisa mengurus anak, antarkan dia ke rumahku! Biar aku rumat, aku sekolahkan seperti anakku sendiri.” “Ora sudi.”63 (rumat: rawat) (ora sudi: tidak mau) 3) Budaya patriarki “Tapi tetap nggak umum, Ni. Di pasar ini, nggak ada perempuan nguli.” “Tapi aku mau, Kang. Aku butuh duit, Kang. Nggak mau diupahi singkong.” “Aku kuat, Mbok. Lah wong kita tiap pulang dari pasar juga nggendong goni. Malah jaraknya jauh, naik-turun.” “Bukan masalah kuat-nggak kuat, Nduk. Ini masalah ilok-ra-ilok—pantas-nggak pantas. Nggak ada perempuan nguli.”64 Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa dalam novel ini masih melanggengkan budaya patriarki dengan membedakan pembagian upah. Perempuan diupahi dengan singkong sedangkan laki-laki diberi upah dengan uang. Hal tersebut sangat menonjolkan bahwa perempuan dianggap sebagai kaum lemah dan tidak setara dengan laki-laki. Budaya patriarki melanggengkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan. 60
Ibid., h.46 Ibid., h.100 62 Ibid., h.209 63 Ibid., h.199 64 Ibid., h.35 61
69
5. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan dalam novel Entrok karya Okky Madasari ialah sudut pandang persona pertama Aku sebagai pelaku utama dan tokoh utama. Nurgiyantoro berpendapat bahwa sudut pandang “aku”, narator hanya bersifat mahatahu bagi diri sendiri dan tidak terhadap orang-orang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita. Ia hanya berlaku sebagai pengamat saja terhadap tokoh-tokoh “dia” yang bukan dirinya. Kau mengaerti semuanya. Tapi kenapa kau tak mau berkata apa-apa? Kau hanya berbicara tentang sesuatu yang tak pernah kumengerti. Aku juga sering mendengarmu berbicara dengan orang lain yang tidak ku ketahui. Kenapa tidak denganku.65 Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa novel Entrok menggunakan sudut pandang persona pertama sebagai pelaku dan tokoh utama. Pada penggunaan sudut pandang persona pertama sebagai pelaku dan tokoh utama ditandai dengan kata ganti untuk dirinya “aku”. Penggunaan sudut pandang ini memberikan kesan bahwa pembaca ikut terlibat dalam cerita dan menghayati setiap emosional batin dan pemikiran-pemikiran tokoh “aku” ini.
6. Gaya Bahasa Bahasa yang digunakan oleh Okky Madasari dalam novel ini sangat mudah dipahami walau banyak menggunakan istilah-istilah jawa, tetapi pengarang menggunakan footnote untuk menjelaskan arti dari istilah tersebut. Gaya bahasa pengarang dalam novel ini menggunakan majas personifikasi, simile, metafora, litotes dan ironi. a. Majas metafora Ibunya Rahayu itu contohnya lintah darat. Dia ngutangi orang, menarik bunga sepuluh persen. Wong susah malah ditekek.66 65 66
Ibid., h.12 Ibid., h.89
70
Berdasarkan kutipan diatas, bahwa pengarang menyisipkan majas metafora yakni lintah darat. Lintah darat ialah rentenir yaitu orang yang meminjamkan uang dengan menambahkan nominal uang yang akan diganti oleh peminjam. Pengarang menggunakan kata lintah darat seolah-olah beranggapan bahwa lintah itu menghisap, jadi orang yang meminjamkan uang dengan menentukan bunganya seperti sedang menghisap uang secara paksa. Dalam novel ini, Pak Wiji menyebut Marni lintah darat karena meminjamkan uang dengan menarik bunga sepuluh persen.
b. Majas simile Teja pemalas. Teja yang tidurnya seperti kerbau. Teja yang hanya mau enaknya sendiri. Teja yang sekarang sedang gandrung dengan kledek....67 Berdasarkan
kutipan
di
atas,
telihat
pengarang
menggunakan majas simile yakni seperti kerbau. Penggunakan majas
seperti
kerbau
untuk
mengibaratkan
bahwa
Teja
kelakuannya suka tidur dan susah dibangunkan seperti kerbau. Pengarang seolah-olah mengumpamakan Teja seperti kerbau yang malas dan sukanya tidur. Kerbau sering dianggap pemalas karena badan kerbau besar membuatnya sulit berjalan sehingga ia sering tiduran. Majas simile menggunakan kata-kata, mirip, seperti, laksana, bagai, dan bagaikan.
c. Majas personifikasi Di depan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan menggendong tenggok menuju pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.68 67 68
Ibid., h.53 Ibid., h.22
71
Berdasarkan kutipan di atas bahwa pengarang juga menggunakan majas personifikasi dalam novelnya yakni terdapat kata pagi buta. Kata pagi buta memberi anggapan bahwa pagi yang masih gelap tanpa cahaya, karena buta tidak bisa melihat cahaya atau gelap. Maksud dari Marni dengan mengatakan pagi buta yakni pagi saat matahari belum muncul memancarkan cahayanya. Berdasarkan analisi gaya bahasa majas yang sering digunakan oleh pengarang yakni majas metafora dan litotes. Contoh majas metafora yang sering digunakan yakni rentenir atau disebut lintah darat. Selain majas metafora, pengarang juga sering menggunakan majas smile. Contoh majas simile yang sering digunakan yakni seperti kerbau, seperti anjing gila. 7. Amanat Pada novel pengarang menyelipkan pesan atau amanat yang dari setiap peristiwa yang tejadi dalam novel. Melalui membaca novel pembaca akan mendapatkan hiburan dan pesan positif yang terdapat dalam novel. Pesan yang diselipkan dalam novel dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh harapan pesan dari pengarang. Selain itu, melalui pesan atau amanat pengarang bisa mengutarakan misi dan keinginannya agar kepada pembaca. Pesan yang hendak disampaikan oleh Okky Madasari dalam novel ini adalah kritik terhadap ketidakadilan gender dan kesewenang-wenangan aparat negara. Pesan dalam novel ini tentu tidak sedikit, tetapi secara jelas bahwa amanat sangat berkaitan dengan tema mengenai ketidakadilan yang gender dan kesewenang-wenangan aparat negara pada masa Orde Baru. Sebagai aparat negara seharusnya tidak bertindak semena-mena dengan mengatasnamakan kepentingan negara tanpa memikirkan rakyat yang menderita. Agar menghindari cap musuh negara (PKI) banyak rakyat yang rela ditindas karena takut hidupnya sengsara disiksa. Seharusnya, aparat negara membantu rakyat dan mendamaikan
72
situasi bukan malah memicu ketidakadilan kesewenang-wenangan yang membuat rakyat tertindas. Jabatan seharusnya bukan dijadikan sebuah tameng dalam melakukan kejahatan. Selain itu, amanat yang dapat diambil dalam novel Entrok yakni tentang perempuan yang sering sekali mendapatkan prilaku tidak sama dengan kaum laki dari pengambilan keputusan, dan pembagian upah. Amanat novel ini juga mengenai semangat berkerja keras untuk mencapai cita-citanya. Marni digambarkan perempuan yang memiliki semangat
berkerja
keras
untuk
merubah
nasibnya
sehingga
keluarganya dapat hidup berkecukupan. Selanjutnya, novel ini dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan. Amri dan Kyai Hasbi rela membantu warga yang tertindas karena harus kehilangan tempat tinggalnya. Amri juga meninggal saat membela hak warga kampung yang tanahnya akan dijadikan waduk oleh pemerintah. B. Analisis Ketidakadilan Gender pada Perempuan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari Novel Entrok adalah novel pertama Okky Madasari saat memasuki dunia penulisan sebelumnya Okky Madasari merupakan seorang wartawan. Novel Entrok menceritakan tentang perjuangan hidup perempuan melawan kekuasaan dan kesewenang-wenangan aparat negara. Peneliti menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menganalisis isi. Analisis isi ini merupakan teknik penelitian untuk memperoleh isi pesandalam bentuk lambang atau tulisan. penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk mengetahui ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Ketidakadilan gender yang dialami perempuan dapat terlihat dari dialog-dialog dan setiap peristiwa yang dialami tokoh. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak memicu ketidakadilan tetapi perbedaan telah menimbulkan ketidakadilan
73
gender.
Fakih
berpendapat
bahwa
ketidakadilan
gender
termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting, pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan, dan beban kerja lebih panjang dan lebih banyak. Pada novel Entrok ketidakadilan gender lebih banyak dialami oleh perempuan yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. 1. Kekerasan Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender related violence.69 Bentuk kekerasan yang masuk dalam kategori kekerasan gender yakni pemerkosaan terhadap perempuan, serangan fisik, penyiksaan kepada organ alat kelamin, prostitution (pelacuran), pornografi, pemaksaan sterilisasi program keluarga berencana, kekerasan terselubung, dan pelecehan seksual. Salah satu jenis ketidakadilan dalam novel Entrok yang dialami oleh tokoh perempuan yakni kekerasan baik terhadap psikis atau fisik. Kekerasan terjadi akibat dari faktor dominasi dan superior laki-laki yang menyebabkan inferioritas terhadap perempuan di banyak sektor kehidupan. Ketidakadilan gender telah menimbulkan macam-macam jenis kekerasan yakni pemerkosaan, penyiksaan, pemaksaan sterilisasi, pornografi, pelacuran, dan pelecehan seksual. Pada novel Entrok kekerasan yang dialami secara psikis yakni saat tokoh Marni saat menceritakan penyesalannya saat dipaksa mengikuti program Keluarga Berencana (KB) di desanya. Program KB merupakan program pemerintah untuk meminimalkan angka kelahiran. Pemaksaan menggunakan KB digambarkan pada kutipan berikut: 69
Fakih., op.cit, h.17
74
Mereka menyuruh orang-orang ikut KB. Katanya biar desa ini tidak tambah sumpek. Supaya semua anak bisa disekolahkan, dapat gizi yang cukup, orang tua tidak kerepotan, katanya kalau anak sudah dua, sudah cukup. Jangan sampai menambah anak lagi, anak baru satu juga bagus, bisa lebih makmur. Ya, kami semua nurut-nurut saja. Siapa to yang tidak mau makmur? Lalu kami yang sudah punya anak ini satu per satu masuk ke bilik yang ditutupi gorden putih. Semuanya di suntik satu per satu. Aku juga. Lalu sejak itu, setiap bulan kami dapat suntikan lagi, gratis. Kalau tidak datang, pak RT akan mencari ke rumah. Wong tidak ada ruginya, tidak bayar apa-apa, ya semua orang nurut saja. Baru sekarang saat lagi sepi begini aku jadi membayangkan seandainya waktu itu aku tidak disuntik, pasti rumah ini akan selalu ramai.70 Dari kutipan di atas bahwa sasaran program pemerintah yakni Keluarga
Berencana
(KB)
diutamakan
di
pedesaan
karena
keterbatasan pendidikan membuat warga di desa kurang memikirkan masa depan anak-anaknya dan kelayakan hidup anaknya kelak. Melalui pendekatan dengan mengatakan bahwa supaya desa tidak sumpek, semua anak bisa disekolahkan, dapat gizi yang cukup, dan anak dua sudah cukup apalagi anak satu bisa lebih makmur membuat warga desa yang mengalami kesulitan ekonomi merasa teringankan. Mereka sukarela mau mengikuti program KB karena gratis dan mereka pikir tidak ada ruginya malah menambah untung karena mengurangi beban kehidupan. Setelah bertahun-tahun melakukan program KB, Marni tersadar bahwa ia mengalami beban penyesalan psikis karena hanya memiliki satu orang anak saja. Saat Rahayu pergi merantau kuliah di Jogja, Marni merasa kesepian dan merindukan memiliki anak yang banyak. Mungkin penyesalan yang dialami Marni merupakan gambaran realitas sebenarnya bahwa kelak perempuan yang melaksanakan program KB baik yang dipaksa atau yang sukarela akan 70
Ibid., h.126-127
75
mengalaminya baban psikis atau fisik. Di masyarakat program KB banyak menimbulkan gangguan fisik pada penggunaannya seperti infeksi pada rahim karena penggunaan spiral, dan kerusakan hormon karena penggunaan alat kontasepsi hormonal (pil atau suntik). Pemaksaan program KB menjadikan perempuan sebagai korban. Program perempuan
KB
karena
pertumbuhan
merupakan perempuan
penduduk.
sumber dianggap
Perempuan
kekerasan dapat
dijadikan
terhadap
mengontrol
korban
untuk
memenuhi target dari program pemerintah. Sebenarnya semua orang mengetahui bahwa sumber dari pertumbuhan penduduk bukan hanya dari perempuan tetapi juga pada laki-laki. Perempuan dipaksa untuk melakukan sterilisasi yang sering kali dapat membahayakan psikis dan fisik mereka. Dalam program pemerintah melanggengkan bahwa perempuan selalu dijadikan korban kekerasan baik psikis maupun fisik. Di masyarakat masih memandang bahwa ber-KB merupakan tanggung
jawab
perempuan.
Padahal
fungsi
manusia
untuk
melanjutkan keturunannya merupakan tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan bukan semata-mata dibebankan kepada perempuan. Selanjutnya, Rahayu juga mengalami kekerasan dalam bentuk pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara saat ia di penjara. Tentara yang memiliki jabatan dan kekuasaan atas narapidana seakan-akan berhak menentukan nasibnya. Rahayu harus menerima tindakan bejat tentara saat memperkosa dan menyiksanya. Perempuan di penjara dijadikan objek seksual bagi para tentara. Hal tersebut sesuai kutipan berikut: Aku melihat matamu melotot saat aku menyebut penjara. Lalu kau menutup muka saat aku bercerita
76
tentang tentara. kau menjerit waktu aku bilang aku diperkosa dan disiksa.71 Kutipan tersebut menceritakan pengalaman Rahayu yang diperkosa oleh tentara. Perempuan di penjara mendapatkan tindakan yang tidak pantas yang dilakukan oleh tentara atau aparat negara. Rahayu sebagai perempuan semakin tidak berdaya oleh kekuasaan tentara, karena ia hanya sebaga narapidana. Selanjutnya pada novel ini terdapat kekerasan dalam bentuk pemerkosaan yang menimpa Ndari. Ndari digambarkan sebagai bocah perempuan yang baru beranjak menjadi perawan, badannya merekah, semok, dan montok. Tingginya melebihi anak seusianya. Ndari diperkosa oleh Pakliknya sendiri yakni Kartono. Kartono melakukan perbuatan bejatnya
tidak sekali tetapi berkali-kali. Hal tersebut
terdapat pada kutipan berikut: Pakliknya-nya yang tinggal dibelakang rumahnya menyuruhnya datang. Ndari diminta mengeroki punggung paklik-nya. Paklik-nya sedang masuk angin. Saat itulah, pelan-pelan tangan laki-laki itu menggerayangi selangkangan Ndari, menembus selaput tipis itu. Ndari kesakitan. Dia menangis. Laki-laki itu menyuruh keponakannya diam.72 Kutipan di atas menegaskan bahwa memiliki hubungan darah tidak
menutup
kemungkinan
tidak
terjadi
kekerasan
atau
pemerkosaan. Keluarga dan rumah merupakan tempat paling aman dan nyaman bisa berubah menjadi tempat yang tidak aman. Status keluarga dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kejahatan yang telah dilakukan oleh Kartono,
Paklik Ndari. Ia
melakukan
perbuatannya berkali-kali hingga Ndari mengalami kesakitan pada fisik dan psikisnya. Ndari tidak menceritakan perbuatan Paklik-nya kepada Bapaknya karena ia takut pada Bapaknya dan ia tidak yakin 71 72
ibid,h. 12 Ibid., h. 238
77
Bapaknya
akan
berpihak
padanya.
Oleh
karena
itu,
Ndari
menceritakan semuanya kepada gurunya yakni Rahayu, dan karena Rahayu perempuan pasti akan lebih mengerti perasaan dan penderitaan yang dialami oleh Ndari. Ndari juga mengalami kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran yang dilakukan oleh Ndari merupakan perintah dari Bapaknya untuk merayu tentara-tentara agar tidak mengeruk desa mereka. Terdapat pada kutipan berikut: Loh ada apa kamu kesana?” Ndari ketakutan. Mukanya merah matanya berkaca-kaca. “Disuruh bapak.” “Disuruh apa?” “Ayo ri bilang. Disuruh apa kamu malam-malam ke sana?. Itu.. Pak Tentara... biar besok kami tidak dikeruk.” “Hah! Apa maksudnya? Kamu ngapain sama tentara, hah?” “Ttidur... terus minta agar besok tidak dikeruk.”73 Kutipan di atas terdapat unsur kekerasan dalam bentuk pelacuran yang dialami oleh perempuan, Ndari. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dengan motif ekonomi yang merugikan kaum perempuan.74 Melalui tokoh Ndari sebagai bocah yang beranjak remaja, Okky Madasari mencoba menyelipkan kritikan terhadap ketidakadilan gender yang selalu mengalami kekerasan dalam hal seksual. Perempuan merupakan obyek eksploitasi yang menarik, tidak hanya dalam stereotip yang menjadikan perempuan makhluk dan kaum yang lemah, tetapi juga dari sisi seksual. Sebagai lawan jenis dari laki-laki, perempuan selalu dijadikan obyek untuk memenuhi hasrat laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang lazim terjadi. Perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat menempatkan perempuan pada status yang lebih rendah dari 73 74
pada
laki-laki.
Ibid., h. 251 Nugroho., op. cit, h. 14
Laki-laki
memiliki
hak istimewa
yang
78
membuatnya seolah-olah menjadikan perempuan sebagai barang kepunyaan yang berhak diperlakukan dengan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan fisik dan psikis. Pada novel ini juga terdapat kekerasan dalam bentuk tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga yakni saat Simbok yang sakit dipukul oleh suaminya karena tidak ada makan. Hal tersebut sesuai pada kutipan: Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya, dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. Saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesegukkan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali.75 Pada kutipan di atas, menunjukan bahwa Simbok mendapatkan kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh suaminya hanya karena Simbok sakit, tidak dapat ke pasar mencari makan. Kekerasan seperti ini tidak selayaknya dilakukan oleh suami terhadap istrinya yang sedang sakit. Seorang Bapak seharusnya mencerminkan sikap yang baik kepada keluarganya, bukannya melakukan kekerasan. Kejadian tersebut menimbulkan trauma bagi Marni dan Simbok serta menjadikan mereka merasa aman dari kekerasan walau tanpa kehadiran seorang suami dan sosok Bapak. Espiritu
dalam
Sugihastuti
mengatakan
bahwa
secara
struktural, kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi pendudukan yang berbasis kelas yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih inferior dibandingkan laki-laki.76 Perbedaan gender
75 76
telah
menimbulkan
Ibid., h. 18 Sugihatuti., op. cit., h. 176
ketidakadilan
yang
menempatkan
79
perempuan di posisi yang lebih rendah dan berhak diperlakukan seenaknya oleh laki-laki. 2. Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang dimaksud. 77 Subordinasi menjadikan perempuan tidak memiliki haknya untuk menyeruakan pendapat atau keputusannya. Pada novel Entrok juga terjadi subordinasi hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Malam itu, di belakang rumah, saat ku ulangi permintaanku kepada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa, simbok berbisik pelan. “Nduk, anak permepuan itu harus punya suami, punya anak. Kalau sudah ada yanng melamar tidak boleh ditolak, bisa kualat, jadi perawan tua.” Aku tak membantah omongan Simbok. Tak mengiyakannya. Tapi hanya tiga hari setelah itu, kami berada di rumah Kamituwo.78 Pada kutipan di atas terlihat bahwa Marni tidak dapat mengemukakan pendapatnya untuk menolak lamaran Teja untuk menikahinya. Perempuan dianggap harus selalu menerima lamaran laki-laki walau perempuan ingin menolaknya. Permasalahan ini memberi anggapan bahwa perempuan tidak dapat mengatakan pendapatnya. Ketakutan untuk menikah dengan Teja tidak dapat diutarakannya karena dibatasi oleh budaya yang berlaku bahwa perempuan harus menerima lamaran laki-laki apabila dilanggar akan berdampak kepada perempuan menjadi perawan tua. Hal ini menandakan bahwa sebelum menjadi suami-istri laki-laki sudah memiliki hak istimewa untuk mendominasi dan menjadikan 77 78
Nugroho, op.cit., h.11 Ibid., h. 48
80
perempuan sebagai penerima segala keputusannya. Diperkuat dengan pendapat Mulia bahwa pemahaman tentang kepimpinan perempuan. Di masyarakat perempuan itu tidak layak menjadi pemimpin karena tubuhnya sangat lembut dan lemah, serta akalnya pendek, lagi pula perasaannya sangat halus dikhawatirkan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas. 79 Subordinasi juga dialami oleh Bu Jujuk, ia mengetahui prilaku Pak Jujuk yang suka selingkuh dengan simpanannya. Hal tersebut sesuai pada kutipan berikut: Suatu hari, suami Pak Jujuk pulang saat Bu Jujuk untuk kesekian kalinya menceritakan lakon Pak Jujuk dan kledek gendakan-nya. Bu Jujuk yang tak menyadari kehadiran suaminya terus menumpahkan perasaan sambil menangis. Semuanya langsung berhenti saat terdengar teriakan suaminya. Bu Jujuk langsung menghapus air matanya, lalu buru-buru masuk rumah. Dari luar ku dengar umpatanumpatan suami Bu Jujuk. “Istri nggak tahu diri! Kerjaannya rasan-rasan terus!” tak ada jawaban dari mulut Bu Jujuk. Lenyap semua umpatan yang sebelumnya dikatakan padaku. Bu Jujuk kembali ke dunianya, dunia yang penuh kepatuhan dan ketakutan80 Bu Jujuk merupakan korban dari subordinasi. Ia merasa sedih dengan prilaku suaminya yang selingkuh dengan simpanannya. Bu Jujuk harus menerima kenyataan bahwa suaminya selingkuh dengan perempuan lain. Sebagai istri, Bu Jujuk merasa mengalami tekanan batin karena suaminya berselingkuh tanpa sepengetahuannya. Untuk mengurangi rasa tekanan batinnya ia menceritakannya kepada Marni. Walau Bu Jujuk merasa sedih dan kecewa dengan prilaku suaminya tetapi ia masih menganggap bahwa dalam keluarga, suaminyalah orang yang harus dipatuhinya dan ditakuti. Dari peristiwa Bu Jujuk, perempuan berada di posisi yang lebih rendah dalam keluarga. Perempuan diharuskan selalu patuh dan 79
Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gemder, (Yogyakarta: Kibar Pers,2006) h. 12-13 80 Ibid., h.46-47
81
taat walau suaminya berselingkuh. Hal tersebut menggambarkan bahwa
perempuan
tidak
dapat
dengan
bebas
menyuarakan
pendapatnya bahwa ia tidak suka dengan perlakuan laki-laki. Suami dan istri berkewajiban saling menjaga nama, kehorrmatan dan hak-hak pribadinya. Tentu saja, hubungan serba “saling” itu hanya dapat diwujudkan dalam wujud relasi yang setara dan seimbang, bukan dalam relasi yang timpang di mana satu pihak mendominasi pihak lainnya. Karena itu, harus ada upaya untuk menghilangkan dominasibaik dominasi suami maupun dominasi istri dalam kehidupan perkawinan karena setiap bentuk dominasi selalu berujung pada pengabaian dan bahkan pengingkaran hak asasi manusia.81 Pada ruang lingkup pernikahan seharusnya tidak ada saling mendominasi sehingga memicu terjadinya ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam bentuk subordinasi. Subordinasi yang dialami Bu
Jujuk
diakibatkan
oleh
prilaku
semena-mena
suaminya
menganggap bahwa istri harus patuh dan takut pada suami dengan keputusan yang dipilihnya. Ungkapan suwargo nunut neroko katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan isteri hanya tergantung pada suami adalah contoh dimana perempuan dianggap tidak berperan dalam kehidupan.82 Ungkapan Jawa tersebut telah menguggulkan laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai the second sex. Budaya
telah melanggengkan adanya
inferioritas pada
perempuan. Perempuan seakan disahkan saja untuk mendapatkan perlakuan diskriminasi dari suaminya. sesuai tuntunan Al Quran pada surat Al Baqarah ayat 128 : hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna (istri merupakan pelindung bagi suami dan sebaliknya, suami
81 82
Mulia, op.cit., h. 21 Nugroho, op.cit., h. 123
82
pelindung bagi istri).83 Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam islam, suami dan istri mempunyai kedudukan yang setara dan saling melengkapi satu sama lain. Subordinasi yang biasanya melalui persoalan pendidikan dalam hal mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki tidak digambarkan dalam novel Entrok. Rahayu, anak perempuan Marni dan Teja dapat bersekolah hingga Perguruan Tinggi. Hal tersebut menunjukkan tidak ada subordinasi dalam hal pendidikan pada novel ini. Okky Madasari menggambarkan dalam beberapa permasalahan perempuan dengan mudah dapat menyuarakan pendapatnya seperti saat Rahayu ingin melanjutkan sekolahnya di Jogja. Rahayu pun mendapatkan izin untuk bersekolah di sana dari kedua orang tuanya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Rahayu memilih kuliah di Jogja. Orang tuanya yang tidak tahu apa-apa hanya menyetujui. Aku dan Teja sudah cukup bahagia hanya dengan melihat anak kami satu-satunya akan berangkat ke kota untuk kuliah.84 Pada kutipan di atas terlihat bahwa Rahayu dengan mudah mengutarakan pendapatannya dan keinginannya. Subordinasi pada perempuan yang sudah dilanggengkan oleh sisitem sosial dan budaya patriaki tidak menghambat keinginannya untuk kuliah di Jogja. Marni dan Teja sudah tidak mempermasalahkan lagi bahwa perempuan hanya harus di dapur, masak dan melayani suami. Mereka telah menghilangkan
subordinasi
terhadap
anak
perempuan
dan
menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang Perguruan Tinggi. Okky menggambarkan dalam novelnya bahwa orang tua harus mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya tanpa membedakan antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan merupakan kewajiban orang tua untuk memberikan bekal untuk masa depan anak-anaknya 83 84
Mulia, loc. cit., h.148 Ibid., h. 125
83
kelak. Orang tua selaknya memberikan pendidikan yang seluasluasnya kepada anak-anaknya, tidak memaksakan kehendak, terutama dalam pernikahan dan perjodohan. 3. Stereotip Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotipe. Akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip ini adalah bersumber dari pandangan gender.85 Stereotip pada perempuan sering kali menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan perempuan. Di masyarakat anggapan bahwa perempuan yang bersolek dilakukan untuk mencari perhatian lawan jenis. Berimbas bahwa kasus kekerasan dan pelecehan seksual tersebut dikaitkan kepada perempuan sebagai korban yang juga disalahkan. Selain itu, anggapan bahwa perempuan harus melayani suami mengakibatkan perempuan harus menomorduakan pendidikannya. Anggapan di masyarakat bahwa perempuan yang bersolek untuk mencari perhatian dari lawan jenis dianggap sebagai penggoda. Pekerjaan perempuan sebagai kledek atau sinden mendapat sigma negatif sebagai penggoda suami orang. Dalam novel ini digambarkan bahwa perempuan yang menjadi istri simpanan sama halnya dengan kledek atau sinden yang sering menjadi gendakan atau simpanan atau selingkuhan laki-laki. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Selama hidup aku selalu berhati-hati. Tidak pernah sekali saja aku kepikiran mau menggoda suami orang, apalagi mau kawin sama suami orang. Di Singget ini sundal-sundal seperti itu akan menjadi omongan sampai mati. Malah sekalian kledek atau sinden, nggak apa-apa wonng itu sudah kerjaannya.86
85 86
Nugroho., op.cit., h.12 Ibid., h. 165
84
Stigma negatif tersebut terdapat pada kutipan di atas menandakan bahwa Rahayu sama saja dengan sinden yang selalu bersolek ingin mencari perhatian lawan jenis. Marni menganggap Rahayu sebagai perempuan penggoda karena ingin menikah dengan suami orang lain. Stereotip mengenai wanita dianggap penggoda dikaitkan dengan ajaran agama Islam mengenai jatuhnya Adam dan Hawa dari surga ke dunia. Pada umumnya ulama mendakwah ajaran bahwa Adam As jatuh dari surga akibat godaan Hawa, isterinya yang telebih dahulu terpengaruh oleh bisikan iblis (Qs. Al A’raf, 7:20-22).87 Pemahaman tersebut menjadikan bahwa perempuam merupakan makhluk penggoda dan dekat dengan iblis dan kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Oleh karena itu, para ulama mengajarkan jangan terlalu dekat dengan perempuan dan jangan didengar pendapatnya agar tidak terseret di neraka. Pemahaman tersebut terlalu memojokkan kaum perempuan. Stereotipe yang terjadi bahwa jika perempuan
mengalami
pemerkosaan
sering
kali
cenderung
menyalahkan korbannya, karena perempuan yang bersolek dianggap mencari perhatian lawan jenis. Selanjutnya, anggapan bahwa istri yang tidak becus melayani suaminya, suaminya pasti akan berselingkuh. Stereotip yang melabelkan istri harus melayani suami, sehingga saat istri tidak becus melayani suami dan tidak dapat memuaskan suami, suami berhak mencari istri baru atau perempuan lain. Di dalam novel ini juga terjadi hal tersebut, dan perempuan menjadi korban sekaligus disalahkan. Istri Kartono mengakui bahwa suaminya memperkosa Ndari karena ia tidak dapat melayani Kartono. Sesuai kutipan berikut: Perempuan itu menangis tersedu-sedu. Dia ketakutan Karterejo juga akan membunuhnya seperti membunuh adik 87
Mulia, op.cit., h. 13
85
kandungnya. “Saya ngaku salah. Saya istri tak tahu diri. Tidak pernah ngurus suami. Saya Judek, Bu. Sejak kami mau digusur, hidup susah. Saya ndak bisa setiap diminta. Saya benar-benar judek. Gara-gara itu dia nyosor keponakan sendiri.88 Terlihat pada kutipan di atas bahwa laki-laki yang melakukan perbuatan bejatnya, perempuan yang dijadikan korban dan disalahkan. Istri yang tidak melayani suami berhak dipoligami. Hal ini membuat posisi perempuan sebagai istri korban yang disalahkan. Stereotipe membuat istri Kartono harus menanggung malu karena suaminya memperkosa keponakannya dan ia juga merasa bersalah karena ia yang menyebabkan kejadian terjadi. Kalau kehidupan keluarga berantakan, kesalahan mesti dialamatkan kepada perempuan karena tidak becus melayani suami dan mengasuh anak, demikian pula jika negara kacau yang banyak disalahkan adalah perempuan. Perempuan dianggap pemicu korupsi, mendorong prilaku konsumeristik, memarakkan prostitusi, aborsi, trafficking, pornografi, menebar fitnah dan sejumlah stigma lainnya. Padahal, yang dominan dalam kehidupan keluarga adalah laki-laki bukan perempuan demikian halnya dalam kehidupan bernegara.89 Laki-laki selalu mendominasi kehidupan maka selayaknya laki-laki yang pertama kali dituduh bukan perempuan saat terjadi masalah dalam keluarga dan negara. Sering kali ajaran agama semakin melanggengkan stereotip pada perempuan yang sudah belangsung turun temurun di masyarakat dan selalu menjadikan perempuan sebagai pemicu ketidakberesan dalam keluarga dan negara. Padahal, pemahaman agama yang bias tersebut justru dianut oleh mayoritas umat Islam, termasuk di
88 89
Ibid., h.240-241 Mulia, op.cit., h. 16-17
86
Indonesia. Realitasnya dampak yang ditimbulkan di masyarakat posisi perempuan lebih rendah. 4.
Marginalisasi Proses
marginalisasi,
mengakibatkan
kemiskinan,
sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam, atau proses eksploitasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender.90 Proses marginalisasi perempuan disebabkan oleh gender inequalities (ketidakadilan gender), dan bentuk marginalisasi disebabkan oleh gender differences(perbedaan gender). Gender differnces ini bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.91 Dalam novel Entrok terdapat bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh keyakinan tradisi dan kebiasaan. Dalam novel ini digambarkan bahwa perempuan yang berkerja sebagai pengupas singkong hanya diupahi oleh singkong, sedangkan laki-laki bisa mendapatkan uang dari hasil menguli. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Aku tak bicara tentang entrok kepada Simbok. Aku hanya berkata ingin membantunya mengupas singkong, siapa tahu bisa dapat uang. Simbok berkata, aku tak akan mendapat uang. Kebiasaan di pasar, buruh-buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Beda dengan kuli laki-laki yang diupahi dengan uang.92 Marginalisasi terhadap perempuan terdapat pada kutipan di atas bahwa kebiasaan disuatu tempat telah memiskinkan perempuan 90
Fakih, op.cit., h.13-14 Nugroho, op.cit., h.10 92 Ibid., h. 22 91
87
dengan hanya memberikan upah singkong dari hasil mengupas singkong di pasar. Sedangkan laki-laki, bisa mendapatkan upah uang dari hasil menguli. Perbedaan gender memunculkan sistem pembagian upah yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki. Proses marginalisasi juga terdapat pada kutipan berikut: Sayangnya tidak ada buruh perempuan di sini, betapapun ingin aku mengupahi mereka dengan uang sebesar buruh laki-laki. Upah yang besarnya sama, tidak lebih kecil hanya karena dia perempuan, lebih-lebih hanya diupahi dengan telo, tapi tak ada buruh perempuan yang ikut menebang tebu. Tebu hanya menjadi jatah buruh-buruh laki-laki. Bagian buruh perempuan hanya nderep dan mbethot kacang. Tapi coba tanya ke perempuan itu berapa upah yang mereka dapat. Paling tidak lebih daripada tiga ratus sehari.93 Pembagian upah yang tidak sama menimbulkan ketimpangan, perempuan yang hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan gajinya hanya sebagian dari gaji laki-laki. Kebiasaan dan tradisi yang melanggengkan proses marginalisasi terhadap perempuan. Perempuan di desa hanya melakukan pekerjaan seperti memanen padi dan mencabut kacang. Program
pemerintah
yakni
revolusi
hijau
telah
memarginalisasikan perempuan secara ekonomi yang menyingkirkan kaum
perempuan
dari
pekerjaannya
sehingga
memiskinkan
perempuan. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan.94 Akibatnya sering kali kebiasaan dan tradisi masyarakat serta kebijakan pemerintah telah membuat kaum perempuan termarginalisasi secara ekonomis. 93 94
Ibid., h. 103 Fakih, op.cit., h.14
88
Pembagian upah yang tidak rata dan pembagian kerja yang telah ditentukan berdasarkan gender membuat perempuan menjadi kaum yang dinomorduakan. Selain marginalisasi dalam ranah pekerjaan, marginalisasi juga terjadi dalam rumah tangga. Hal tersebut juga diselipkan oleh Okky dalam novel Entrok. Marginalisasi dalam rumah tangga dialami oleh istri Mali yang harus hidup dengan keadaan ekonomi miskin karena Mali sebagai suami tidak berusaha mencari nafkah untuk keluarganya. Terdapat pada kutipan berikut: Lah kok yo masih ada saja yang bilang aku dosa. Yang dosa itu ya orrang kayak Mali itu, seharian tidur dilanggar, istri dan empat anaknya tiap hari kelaparan. Aku sering melihat istri dan anak Mali makan aking dicampur garam yang ditaruh di tampah. Mereka duduk mengelilingi tampah dan makan bersama-sama. Dulu sekali, zaman aku kecil, makan aking dicampur garam itu sudah luar biasa enaknya. Tapikan itu dulu. Zaman perang. Dari kutipan di atas dapat terlihat bahwa Mali sebagai suami tidak bertanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Mali setiap hari hanya di langgar tidur tanpa memikirkan kondisi istri dan keempat anaknya. Istri Mali dan keempat anaknya harus menanggung beban dari prilaku Mali yang tidak bertangggung jawab. Mali telah memiskinkan ekonomi keluarganya sehingga anak-anaknya harus memakan aking (nasi kering) yang dicampur garam. Padahal sudah selayaknya anak diberikan yang terbaik untuk pertumbuhannya.
5. Beban Kerja Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga
89
menjadi tanggung jawab kaum perempuan.95 Kutipan tersebut semakin memperjalas bahwa anggapan masyarakat yang telah menentukan pekerjaan
untuk
perempuan
menjadikan
perempuan
harus
menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Perempuan harus mengerjakan pekerjaan domestik seperti menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air dan merawat anak. Melalui anggapan tersebut menjadikan perempuan sulit untuk memasuki ranah publik. Laki-laki dianggap tidak diwajibkan untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Selain itu, anggapan di masyarakat bahwa pekerjaan domestik merupakan pekerjaan yang lebih rendah dibandingkan jenis pekerjaan yang dianggap pekerjaan laki-laki (publik). Beban kerja ganda harus dialami keluarga miskin, perempuan juga harus ikut mencari penghasilan untuk keluarganya dan juga harus melakukan pekerjaan domestik. Beban kerja dalam novel ini, saat Marni ingin berkerja menjadi kuli yang dianggap tidak pantas untuk dikerjakan oleh perempuan. Terdapat pada kutipan beriku: “Nduk, semua itu sudah ada jatahnya. Orang kayak kita bagiannya ngoncek telo. Nguli itu berat. Sudah jatah orang lain.” “Aku kuat, Mbok, lah wong kita tiap pulang dari pasar juga nggendong goni. Malah jaraknya jauh, naik turun.” “Bukan masalah kuat-nggak kuat, Nduk. Ini masalah ilokra ilok---pantas nggak pantas. Nggak ada perempuan nguli.”96 Dari kutipan di atas terihat bahwa pembagian beban kerja dijadikan pakem dan kebiasaan yang tidak bisa dilanggar, perempuan sudah dijatahkan untuk hanya mengupas singkong dan laki-laki nguli. Marni merasa bahwa pembagian itu tidak adil dan perempuan 95 96
Fakih, op.cit., h.21 Ibid., h. 35
90
sebenarnya sanggup melakukan pekerjaan yang berat dan harus menggunakan tenaga. Setiap hari perempuan melakukan kegiatan mengambil air dari sungai yang jaraknya jauh dan harus membawa beban berat. Perempuan diberikan pekerjaan atau profesi yang hanya berkaitan
seperti
tugas
melayani,
merawat,
membantu,
dan
semacamnya. Akibatnya banyak perempuan yang memilih profesi sebagai guru, pelayan, sekertaris, perawat, penjahit, pelayanan jasa dan asisten rumah tangga. Perempuan dianggap tidak layak untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan
laki-laki.
Padahal
perempuan
memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki, sejak kecil Marni sudah bisa mengangkat goni berisikan berkilo-kilo singkong dan jaraknya jauh. Pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki membuat Marni harus melawan batasan dan kebiasaan untuk menjadi kuli agar mendapatkan uang seperti pekerjaan laki-laki. Marni menjadi korban ketidakadilan gender sehingga harus mencari nafkah keluarga dan mengurus rumah tangganya. Marni memiliki beban kerja yang ganda. Pekerjaan domestik sering kali dikaitkan dengan pekerjaan perempuan, sedangkan laki-laki yang dianggap pencari nafkah utama tidak perlu melakukan pekerjaan domestik. Jika laki-laki tidak mencari nafkah dan digantikan oleh perempuan maka perempuan memiliki beban kerja ganda di sektor publik dan domestik. Marni harus bekerja di publik untuk memenuhi nafkah keluarga. Marni merupakan pencari nafkah utama, sedangkan suaminya hanya tidur dan selingkuh dengan perempuan lain. “Dasar Teja lanangan nggak tahu diuntung. Susah payah aku cari duit, dia malah enak-enakan kelonan sama kledek.”97
97
Ibid., h. 35
91
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa perempuan dapat mengalami beban ganda jika suaminya tidak bekerja, ia harus ikut mencari nafkah utama. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang cukup, beban kerja domestik sering kali dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers).98 Kutipan tersebut menjelaskan bagi perempuan yang berada dalam ekonomi yang cukup beban pekerjaan domestik dapat digantikan dengan asisten rumah tangga. Beban kerja juga dialami oleh Tonah, asisten rumah tangga Marni. Keberadaan Tonah dapat meringankan beban kerja Marni, karena Marni harus keliling kampung menagih untang-utang pelanggannya. Tonah datang tergopoh-gopoh. “Kamu bersih-bersih nggak becus. Masih kotor semua kayak gini, niat kerja opo ora?” Tonah yang sudah lama berkerja di rumah ini sudah biasa dengan hal seperti itu.99 Tonah digambarkan sebagai asisten rumah tangga di rumah Marni. Tonah selalu melakukan pekerjaan domestik seperti bersihbersih, masak dan mencuci. Tonah bekerja di rumah Marni untuk membantu suaminya mencari nafkah. Beban kerja Tonah bertambah banyak dan lebih lama. Selain harus mengurus pekerjaan domestik di rumahnya, ia juga mengurus pekerjaan domestik di rumah Marni. Simbok harus mengalami beban kerja yang ganda. Simbok yang sakit harus dipukul suaminya karena tidak bekerja mencari makan dan tidak ada makanan untuk dimakan. Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya, dia memang anjing gila. Hanya anjing gila 98 99
Nugroho, op. cit., h.16 Ibid., h. 52
92
kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. Saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesegunkan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali.100 Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa perempuan mengalami beban kerja ganda. Perempuan yang berada di kalangan keluarga miskin akan mengalami beban kerja yang ganda. Mereka harus melakukan pekerjaan domestik dan harus mencari nafkah bagi keluarganya. Dari beban kerja Marni dan Simbok dalam novel, merupakan sindiran bahwa perempuan harus mencari nafkah utama bagi keluarga, dan suami yang katanya pencari nafkah utama hanya malah santai-santai dan tidur dengan kledek dan tidak mencari nafkah bagi keluarga. Tidak semestinya semua beban kerja ditanggung oleh perempuan. Ditambah lagi jika perempuan harus bekerja mencari nafkah utama bagi keluarganya maka beban kerja akan menambah, menumpuk dan membebaninya. Berdasarkan
paparan
analisis
di
atas
bahwa
terdapat
ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok yang termanifestasikan dalam bentuk kekerasan, subordinasi, sterotipe, marginalisasi dan beban kerja. Ketidakadilan gender pada perempuan terjadi karena kebiasaan, sistem sosial dan budaya patriarki. Ketidakadilan yang sering muncul dalam novel Entrok yakni subordinasi yang menjadikan perempuan pihak yang tidak dapat mengambil keputusan dan mengutarakan pendapatnya. Subordinasi dalam keluarga ditunjukkan saat Bu Jujuk harus patuh dan taat akan semua keputasan suaminya walau suaminya selingkuh dengan perempuan lain. padahal dalam pernikahan suami dan istri memiliki kedudukan setara dan harusnya saling melengkapi. Kekerasan gender dalam novel ini digambarkan dengan pemaksaan sterilisasi program keluarga berencana dan pemerkosaan. 100
Ibid., h. 18
93
Pemaksaan sterilisasi keluarga berencana merupakan kekerasan yang telah menyudutkan posis perempuan dan membuat perempuan harus memenuhi
target
pemerintah
untuk
mengontrol
pertumbuhan
penduduk. Pemerkosaan terjadi karena perempuan selalu dijadikan objek seksual sehingga untuk memenuhi hasratnya, laki-laki melakukan tindakan tidak pantas tersebut. Beauvoir juga menegaskan bahwa bagi laki-laki, perempuan tak lain adalah makhluk seksual atau lebih tepatnya makhluk absolut. Perempuan sepenuhnya adalah objek seksual dalam arti seluas-luasnya.101 Marginalisasi dalam novel ini banyak membahas mengenai pembagian upah kerja yang merata. Perempuan hanya diberi upah singkong dari hasil berkerjanya, sedangkan laki-laki bisa memperoleh upah uang. Pekerjaan perempuan hanya boleh menanam padi dan mencabut kacang dengan upah yang rendah. Oleh karena itu, secara tidak
langsung
sistem
sosial
dan
budaya
patriarki
telah
memarginalisasikan secara ekonomi menjadikan permpuan miskin. Stereotip dalam novel ini mengenai pelabelan perempuan yang bersolek dalam hal ini kledek atau sinden sebagai penggoda, sehingga sampai mati ia akan menjadi omongan. Perempuan yang berdandan sering kali dianggapuntuk mencari perhatian lawan jenis dan disebut sebagai penggoda. Beban kerja dalam novel ini banyak dialami perempuan. Perempuan sering kali dibatasi pekerjaannya, hanya di sektor domestik. Perkerjaan domestik seringkali banyak menyita waktu yang lebih lama. Dalam novel ini, suami yang dianggap sebagai pencari nafkah utama, tidak bekerja dan mengandalkan perempuan untuk mencari nafkah utama. Perempuan menjadi tulang punggung keluarga dan beban kerja yang menumpuk dan membebaninya di sektor publik dan domestik.
101
Rachmat Hidayat, op.cit., h. 267
94
Berdasarkan analisis ketidakadilan gender yang paling banyak dialami oleh perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari yakni kekerasan, stereotip, dan marginalisasi. Kekerasan berupa pemerkosaan, pelacuran, dan pemaksaan terhadap sterilisasi program Keluarga Berencana. Streotip bentuk anggapan perempuan yang bersolek untuk mencari perhatian lawan jenis dianggap sebagai penggoda, dan anggapan bahwa istri yang tidak becus melayani suaminya, dan tidak dapat memuaskan suaminya, suami berhak mencari istri baru atau perempuan lain. Selanjutnya, marginalisasi dalam bentuk pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA Pendidikan merupakan faktor penentu kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengembangkan dan menciptakan
pendidikan
yang
berkualitas.
Pendidikan
yang
berkualitas dapat dilihat dari aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik yang dimiliki oleh setiap orang. Pemerintah telah menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan dengan berbagai usaha dan upaya. Perubahan terhadap kurikulum merupakan bentuk upaya pemerintah untuk mengembangkan pendidikan agar sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai proses memanusiakan manusia pendidikan menjadi esensi untuk memberdayakan manusia sebagai individu yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai tonggak kokohnya peradaban bangsa. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bidang sastra adalah 1) Peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 2) Peserta didik menghargai dan
95
mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah buaya intelektual manusia Indonesia.102 Berdasarkan tujuan pembelajaran sastra di atas, dapat terlihat bahwa peserta didik harus mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian dan memperluas wawasan yang dimilikinya. Tujuan ini berhubungan
dengan
pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik yang sejalan dengan sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik, diperlukan adanya campur tangan dari berbagai pihak, khususnya pendidik. Pendidik diharapkan mampu mendidik, membimbing, memberikan contoh dan mendukung peserta didik agar memiliki kepribadian yang beretika dan beragama. Dalam proses pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada peserta didik. Pendidik harus mampu memberikan materi yang dapat diaplikasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pendidik juga dapat mengenalkan sastra kepada peserta didik dalam proses pembentukan karakternya. Dengan mengajarkan sastra diharapkan peserta didik dapat menyerap dan mengaplikasikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra berupa puisi, cerpen, novel, maupun drama. Perlu diperhatikan oleh pendidik dalam menentukan karya sastra yang akan digunakan untuk pembelajaran sastra karena setiap bacaan yang dibaca dapat mempengaruhi perkembangan setiap individu yang membacanya. Penting bagi pendidik untuk memiliki kepandaian dalam menentukan karya yang tepat untuk akan dijadikan bahan ajar di kelas sehingga peserta didik dapat memperoleh nilainilai positif dari pembelajaran.
102
Siswanto, op.cit., h.171
96
Manfaat pembelajaran sastra bagi peserta didik yaitu 1) untuk menunjang keterampilan berbahasa, 2) meningkatkan pengetahuan sosial budaya, 3) mengembangkancipta dan rasa, dan 4) pembentukan watak dan kepribadian.103 mengenai
novel
dalam
Pada pembelajaran bahasa Indonesia Kompetensi Dasar diharuskan siswa
memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Novel juga diharapkan dapat membantu pembentukan karakter siswa sesuai amanat kurikulum 2013 dimana guru diharuskan menanamkan nilainilai karakter dalam setiap pembelajaran di kelas. Standar kompetensi yang harus dikuasai peserta didik dalam pembelajaran sastra yakni mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik novel sepeti tema, alur, latar, tokoh, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Selain itu juga mengidentifikasi unsur ekstrinsik dalam novel meliputi latar belakang pembuatan karya, dan biografi pengarang. Novel Entrok mengisahkan dua orang perempuan yaitu Sumarni atau Marni dan Rahayu. Kedua tokoh perempuan memiliki pandangan hidup berbeda tetapi mereka disatukan oleh kesewenangwenangan aparat pemerintah. Marni perempuan yang selalu berkerja keras untuk mengubah nasib agar hidupnya dan anaknya tidak melarat. Sedangkan Rahayu perempuan yang rela memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan. Marni memuja Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa dan Rahayu penyembah Allah yang taat. Marni rela menjadi rentenir untuk membiayai kehidupan keluarganya. Marni rela melanggar batasan sosial untuk menjadi kuli di pasar Ngeranget agar mendapatkan uang untuk membeli entrok. Selain itu, Marni selalu menyayangi anaknya, Rahayu. Marni rela melepaskan semua hartanya untuk kebebasan Rahayu dipenjara. Segala hal yang terbaik akan selalu diberikan kepada anaknya walau Rahayu selalu mengaggap ia sebagai pendosa. Selain itu, dalam novel ini banyak terjadi 103
B. Rahmanto., op.cit., h. 16
97
ketidakadilan pada perempuan yang telah dilanggengkan oleh sistem sosial dan budaya patriarki. Misalnya pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki, kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pemerkosaan, pemaksaan sterilisasi program keluarga berencana dan pelacuran. Dari novel tersebut banyak nilai positif yang dapat dilihat dari tokoh utama novel Entrok yakni Marni yang selalu bekerja keras untuk mecapai keinginanya. Marni berjuang sekuat tenaga untuk memperbaiki nasibnya agar hidup tidak menyusahkan orang lain. Selain itu, Rahayu yang dengan sangat tegas memperjuangkan keadilan dan kebebasan suara-suara orang yang tertindas. Begitu juga dengan peserta didik, mereka dapat mencontoh sikap yang ditunjukan oleh tokoh utama ini dengan selalu semangat dalam belajar, semangat meraih prestasi, tidak putus asa dalam menegakkan kebaikan dan keadilan tanpa membeda-bedakan perlakuan berdasarkan gender. Dengan mengetahui sikap-sikap tokoh dalam novel diharapkan peserta didik dapat mengembangkan karakternya, dapat menyerap dan mengaplikasikan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran
sastra
di
sekolah
dapat
meningkatkan
dan
mengembangkan kualitias bangsa. Abdullah
mengemukakan
bahwa
lembaga
pendidikan
merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer nilainilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses pembelajaran.104 Oleh karena itu, lembaga pendidikan merupakan tempat untuk mentrasfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat untuk terciptanya keadilan gender. Pendidik perlu melakukan pemberlakukan keadilan gender 104
Amin Abdullah, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, (Yogyakarta: McGill/ IISEP, 2004), h. 30-31
98
dan menghilangkan pembedaan terhadap peserta didik, mengupayakan keadilan di kalangan staf dan pimpinan, dan meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi yang akan diajarkan serta menentang ide dan pemikiran yang mengandung stereotip negatif. Dalam kegiatan menganalisis unsur intrinsik novel, peserta didik akan mempraktikkan keterampilan bahasa yaitu mencakup menyimak, membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Sebelum menganalisis unsur intrinsik novel, peserta didik harus menyimak penjelasan dari guru terkait tata cara dan langkah-langkah dalam menganalisis unsur intrinsik novel. Selanjutnya, langkah awal untuk menganalisis unsur intrinsik novel, peserta didik harus membaca novel terlebih dahulu. Setelah itu, peserta didik mengidentifikasi unsur-unsur dalam struktur novel, dan akhirnya peserta didik menyampaikan hasil analisisnya tersebut melalui bahasa tulis (menulis) dan bahasa lisan (berbicara). Kegiatan menganalisis novel tersebut merupakan pelatihan bagi peserta didik dalam meningkatkan keterampilan berbahasanya. Selain itu, dalam novel Entrok
ini ditampilkan kisah perjuangan
seorang wanita dalam mengubah nasibnya melawan kehidupan yang sulit sehingga dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di kelas tetapi tetap dalam bimbingan guru. Pembahasan novel ini akan diimplikasikan pada pembelajaran sastra di kelas XII SMA semester 1. Implikasi pembahasan novel Entrok terhadap pembelajaran sastra dalam kurikulum 2013 ini, secara lebih jelas dapat dilihat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terdapat dalam lampiran. Kompetensi dasar yang dipilih dalam pokok bahasan sastra dalam pelajaran Bahasa Indonesia yaitu menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Novel Entrok adalah karya Okky Madasari. Penelitian ini lebih memfokuskan pada ketidakadilan gender pada perempuan. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari dikelompokkan dalam kelima bentuk : 1) kekerasan terhadap perempuan dalam betuk pemerkosaan, pelacuran (prostitution), dan pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga berencana, 2) subordinasi terhadap perempuan dalam bentuk perempuan tidak dapat menyuarakan hak, pendapat dan keputusannya, 3) stereotip terhadap perempuan dalam bentuk anggapan perempuan yang bersolek untuk mencari perhatian lawan jenis dianggap sebagai penggoda, dan anggapan bahwa istri yang tidak becus melayani suaminya, dan tidak dapat memuaskan suaminya, suami berhak mencari istri baru atau perempuan lain, 4) marginalisasi terhadap perempuan dalam bentuk pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki, dan 5) beban kerja terhadap perempuan dalam bentuk beban kerja yang menumpuk dan membebani dalam pekerjaan domestik. 2. Pembahasan mengenai gender dalam novel Entrok karya Okky Madasari dapat diimplikasikan pada pembelajaran sastra di SMA kelas XII semester I dalam aspek pembelajaran mendengarkan. Standar kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik dapat memahami isi novel dengan kriteria dasar mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik novel dari pembacaan pemenggalan novel. Novel Entrok dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di kelas tetapi tetap dalam bimbingan guru.
99
100
B. Saran Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan ada beberapa saran yang diajukan oleh penulis: 1. Pendidik
harus mampu
mengembangkan kreativitasnya dalam
kegiatan belajar mengajar agar peserta didik dapat antusisas mengikuti KBM dan memahami materi sastra. 2. Pendidik seharusnya mengajarkan kepada peserta didik agar selalu mengaplikasikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra sehingga dapat membantu pembentukan karakter peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: C.V Sinar Baru, 1987. Amin Abdullah, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Yogyakarta: McGill/IISEP, 2004.. Alwi, Hasan dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Budianta, Melani dkk, Membaca Sastra Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, Malang: Indonesia Tera, 2002. Cleves Mosse, Julia. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Centre dengan Pustaka Pelajar, 2007. Djajasudarma, Fatimah. Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Trasformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013. Hidayat, Rachmad. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004. Jackson, Stevi dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, Yogyakarta : Jalasutra, 2009. Koran.Tempo.co,
Piano
di
Jeda
Novel,
http://koran.tempo.co/konten/2012/12/16/295032/OKKY-PUSPAMADASARI-Piano-di-Jeda-Novel diakses pada tanggal 6 Februari 2014.
Lips, Hilary M. A New Psychology of Women: Gender, Culture, and Ethnicity, Americas, New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2003. Madasari, Okky. Entrok, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010 -----. http://okkymadasari.net/about/ diakses pada tanggal 21 Oktober 2014 Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gemder, Yogyakarta: Kibar Pers,2006. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. Nugroho, Riant. Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. Iskandar, Agung Putu. Okky Madasari Meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 berkat Maryam, http://www.jpnn.com/read/2012/12/12/150133/Okky-MadasariMeraih-Khatulistiwa-Literary-Award-2012-berkat-Maryam- diakses pada tanggal 21 Oktober 2014. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Richardson, Laurel. Feminist Frontiers, Americas, New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2004. Saldi, Saparinah. Berbeda tetapi Setara. Jakarta: Kompas. 2010 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008.
Sumbulah, Umi. Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi,Malang: UIN Malang Press, 2008. Susilaningsih, dkk, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan McGiLL IISEP, 2004. Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan Praktik Kritik Sastra Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Stanton, Robert. Teori Pengkajian Fiksi Robert Stanton, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Penerbit Angkasa, 1993. Priyatni, Endah Tri. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis, Jakarta: Bumi Aksara 2010. Wawancara
dengan
Okky Madasari
“Memperjuangkan
Kebebasan
dan
Keadilan”, Majalah Institut edisi 41. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori Sejarah dan Sastra Indonesia, Bandung: UPI Press, 2006. Zed, Mestka . Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.
PROFIL PENULIS
Rizka Amalia Sapitri, lahir di Jakarta, 17 November 1992. Anak pertama dari empat bersaudara dari Bapak Sayutih dan Ibu Aslamiyah. Ia
menuntaskan
pendidikan
dasarnya
di
SDN
Percontohan Kebon Jeruk 11 Pagi lulus pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Islam
As-syafiiyah, Pulo Air, Sukabumi. Setelah itu, ia melanjutkan
pendidikannya masih pada almamater yang sama yaitu di SMA Islam Assyafiiyah. Setelah lulus SMA pada tahun 2010, ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai dengan tahun 2014.