CITRA PEREMPUAN DALAM TIGA CERPEN MARTIN ALEIDA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Nisa Kurniasih NIM 1110013000105
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK NISA KURNIASIH. NIM: 1110013000105. Skripsi “Citra Perempuan dalam Tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA,” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum., November 2014. Cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu menggambarkan perempuan dengan peliknya kehidupan. Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah memperlihatkan citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida yang diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan dalam sastra. Skripsi ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat citra perempuan pada ketiga cerpen Aleida. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tampak citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida yang terbagi menjadi: 1) Citra perempuan dalam aspek fisis, terlihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut diwujudkan ke dalam fisik perempuan dewasa. 2) Citra perempuan dalam aspek psikis, telihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan merupakan makhluk yang mampu beraspirasi dan mempunyai perasaan. Citra psikis yang terlihat dalam cerpen tersudut akibat ideologi gender. 3) Citra perempuan dalam aspek keluarga dan masyarakat, telihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan digambarkan sebagai makhluk sosial yang mempunyai hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan yang kecil, yaitu hubungan antara perempuan dan laki-laki, perempuan masih hidup dalam superioritas laki-laki. Perempuan juga berada dalam budaya patriarki, di mana kekuasaan lebih didominasi oleh laki-laki.
Kata Kunci: Citra perempuan, Gender, Cerpen Suara, Cerpen Aku Sepercik Air, Cerpen Malam Kelabu, Martin Aleida
i
ABSTRACT NISA KURNIASIH. NIM: 1110013000105. “Women Image in three short story by Martin Aleida and its implication on Teaching Literature in Senior High School,” Departement of Language and Indonesian Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Sciences Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M.Hum., November 2014 Short story Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu are descriptive women and her complicated live. This study has the purpose to show the women image in short story Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu by Martin Aleida that expectable can extend of knowledge especially in literature area. Thus, this study also expectable become a resourch of teaching learning literature in school. The method used in this study was descriptive qualitative that use to seem the women image in three stories by Aleida. The result of this study showed that the women image in the short story Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu by Martin Aleida are: 1) Physical aspect, capture the women image as a matured woman. 2) Psychological aspect, capture the women image as an aspired and sense women, this reflect due the gender of ideology on the story. 3) Women image in family and community aspects, which can be described as a social human that relates to other. Start from close relation; men and women relation, women who lives beneath men superiority. Women in patriarchy culture where men dominated the women.
Keywords: Women Image, Gender, Short Story Suara, Short Story Aku Sepercik Air, Short Story Malam Kelabu, Martin Aleida
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Dra. Nurlena Rifai, M.A., P.h.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini; 2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, serta kasih sayang yang Ibu berikan selama ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan; 5. Bapak Ayi Fatah dan Ibu Tarwati kedua orang tua penulis, kakak-kakak serta keponakan-keponakan yang senantiasa mendoakan, memberikan dorongan moral dan material, serta memotivasi penulis sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik; 6. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010, terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini; 7. Teman-teman penulis, Deby Rachma Rizka, Mia Nurdaniah, Rizka Amalia Sapitri, dan Widya C Pratami. Serta rekan PPKT penulis, yaitu Anggraini
iii
Prastikasari. Terima kasih telah mendukung, mengingatkan, membantu, dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi; 8. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin.
Jakarta, November 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ABSTRAK………………………………………………… ……………. i KATA PENGANTAR…………………………………………………... iii DAFTAR ISI ……………………………………………………............. v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………….. 1 B. Identifikasi Masalah……………………………………………… 4 C. Pembatasan Masalah……………………………………………... 5 D. Perumusan Masalah…………………………………………….... 5 E. Tujuan Penelitian………………………………………………..... 5 F. Manfaat Penelitian……………………………………………..…. 6 G. Metode Penelitian………………………………………………… 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Cerpen…………………………………………….….…. 10 B. Citra Perempuan………………………………….…………….… 17 C. Penelitian yang Relevan…………………………….……….…… 26 D. Pembelajaran Sastra………………………………….……….….. 28 BAB III PROFIL MARTIN ALEIDA A. Biografi Martin Aleida…………………………………………… 31 B. Karya Martin Aleida …………………………………….….…..
35
C. Pemikiran Martin Aleida……………………………………..…... 35 D. Sinopsis Tiga Cerpen Martin Aleida……………………………… 36
v
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA A. Unsur Intrinsik Cerpen…………………………………………… 38 1. Tokoh dan Penokohan………………………………………... 38 2. Tema………………………………………………………….. 43 3. Alur…………………………………………………………… 44 4. Latar…………………………………………………………... 50 5. Gaya Bahasa………………………………………………….. 56 6. Sudut Pandang………………………………………………... 58 7. Amanat………………………………………………………... 59 B. Analisis Citra Perempuan………………………………………..... 60 1. Citra Wanita dalam Aspek Fisis …………………………….. 60 2. Citra Wanita dalam Aspek Psikis ……………………………. 66 3. Citra Wanita dalam Aspek Keluarga dan Masyarakat……....... 76 C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA…………………
82
BAB V PENUTUP A. Simpulan………………………………………………………….. 84 B. Saran……………………………………………………………… 86 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cerpen merupakan karya fiksi yang dapat dibaca dengan waktu yang singkat. Walaupun cerpen lebih pendek dari novel, akan tetapi untuk memahami cerpen tidak dapat dianggap mudah. Cerpen tidak dapat ruang lingkup yang besar untuk menggambarkan suatu peristiwa serta aspek di dalamnya. Pengarang harus pandai dalam pemilihan kata-kata yang akan dimasukkan, sehingga gagasan pengarang dapat diterima oleh pembaca. Sebagai suatu karya sastra, cerpen merupakan bentuk komunikasi dari pengarang yang ingin menyampaikan ide atau gagasan kepada pembacanya. Gejolak yang timbul dari dalam diri pengarang akan dengan bebas dituangkan ke dalam suatu karya. Cerpen dijadikan sebagai sarana fiksi yang digunakan pengarang dalam menghayati permasalahan kehidupan yang telah dialaminya. Seringkali cerpen menawarkan berbagai masalah kehidupan. Permasalahan kehidupan dalam sebuah karya sangat erat kaitannya dengan kehidupan pengarang, Dalam proses kehidupan, setiap kejadian yang terjadi pada diri pengarang sangat mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra. Tidak akan pernah ada karya yang terlepas dari kehidupan sosial, baik itu kehidupan sosial pengarang ataupun kehidupan sosial masyarakat pada saat karya diciptakan. Karya sastra seringkali menjadi visualisasi atas kritik pengarang terhadap kehidupan pengarang. Maka, pengarang tidak hanya ingin memberikan hiburan dan keindahan semata kepada pembacanya. Pengarang juga ingin mengajak pembacanya ke dalam dunia imajinasinya. Walaupun cerpen merupakan karya fiksi, namun cerita yang dibangun oleh seorang pengarang dianggap suatu pesan tentang kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembacanya.
1
2
Martin Aleida merupakan salah satu pengarang sekaligus jurnalis. Pekerjaannya sebagai seorang jurnalis, serta kedekatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) membuatnya ikut ditahan saat terjadi peristiwa di tahun 1965. Hal ini terjadi karena LEKRA sangat erat kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini pula yang membuat sebagian besar karya Martin adalah kesaksiannya akan peristiwa di tahun 1965 tersebut. Martin Aleida banyak menyampaikan memoarnya ke dalam cerpen. Peristiwa 1965 ini juga membawa masalah dalam kehidupan sosial, yaitu kehidupan perempuan dalam keluarga PKI. Tidak hanya itu, beberapa tokoh perempuan dalam cerpen Martin Aleida juga menarik perhatian. Perempuan digambarkan menarik dengan berbagai kekuatannya dalam menjalani peliknya masalah
yang
dihadapi.
Sebagai
suatu
karya
fiksi,
cerpen
juga
menggambarkan kehidupan masyarakat. Penggambaran kehidupan dapat berupa struktur masyarakat, fungsi dan peran yang diemban oleh masingmasing, dan interaksi yang terjalin dalam masyarakat. Adapun unsur yang lebih sederhana yaitu kehidupan masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi antara keduanya merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut menarik sebab terkait hubungan antara dua jenis kelamin yang pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan dalam sosial dan budaya. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pengaruh besar dalam setiap aspek dalam kehidupan.
Perbedaan biologis atau jenis
kelamin berkaitan dengan gender. Gender yang merupakan konstruksi sosial tersebut, menghasikan permasalahan yang cukup luas. Permasalahan timbul karena adanya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Masalah gender dapat memasuki ranah politik, ekonomi, hukum, dan sastra. Selain itu, banyak sekali karya sastra yang diproduksi oleh laki-laki, salah satunya Martin Aleida. Terkait karya sastra yang sebagian besar diproduksi oleh laki-laki, maka dapat dikatakan bahwa penggambaran tokoh perempuan sepenuhnya ada di tangan laki-laki. Perempuan membuat dirinya sendiri
3
membaca seperti laki-laki, serta mengasingkan diri terhadap pikiran dan emosi perempuan mereka. Maka, gambaran tokoh perempuan dalam sastra Indonesia, dapat menciptakan citra umum perempuan dalam masyarakat Indonesia. Citra perempuan dalam sebuah karya sastra acapkali menciptakan citra perempuan dalam kehidupan nyata, bahkan dapat berlaku sebaliknya. Dalam tiga cerpen karya Martin Aleida, yaitu Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu terdapat banyak gambaran perempuan dengan posisinya dalam masyarakat serta bagaimana perempuan diperlakukan. Martin Aleida merupakan salah satu pengarang yang menjadi saksi peristiwa 1965, di mana peristiwa tersebut menjadi masalah dalam bidang sosial. Salah satunya adalah kehidupan perempuan yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Selain itu, beberapa cerpen Martin Aleida juga menonjolkan penderitaan yang dialami oleh perempuan dalam menjadi hidupnya. Melalui kata-kata yang apik, Martin Aleida mampu menyampaikan kepedihan yang dialami oleh perempuan. Cerpen Suara menggambarkan bagaimana kisah seorang perempuan yang mempunyai suara indah dan menjadi keunggulan dalam dirinya, harus berhenti bangga dengan keunggulannya tersebut karena mempunyai seorang suami yang melarangnya menyanyi. Lalu, dalam cerpen Aku Sepercik Air menggambarkan kisah perempuan yang harus menjalani pedihnya hidup ditinggalkan suami demi perempuan lain, namun pada akhirnya ia mempunyai keberanian melawan luka hatinya. Kemudian dalam novel Malam Kelabu menggambarkan kisah perempuan yang tidak mengetahui peristiwa yang menimpa desanya, kemudian dibunuh. Maka, tiga cerpen inilah yang menjadi kajian dalam penelitian. Dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, cerpen merupakan salah satu sumber yang utama. Berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
4
tertera salah satunya bahwa terdapat standar kompetensi yang mencakup mengenai pemahaman mengenai cerpen. Dengan adanya penelitian yang mengkaji citra perempuan dalam cerpen yang terdapat dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, maka diharapkan peserta didik dapat menjadikannya sebagai pelajaran sastra Indonesia untuk lebih memahami unsur intrinsik suatu cerpen, khususnya mengenai tokoh perempuan. Selain itu, peserta didik dapat menjadikannya sebagai pelajaran agar lebih menghargai perempuan, tidak membeda-bedakan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan, serta mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang gender. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis akan meninjau citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dan implikasinya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dengan menggunakan pendekatan objektif. Maka, penulis akan mengambil judul “Citra Perempuan dalam Tiga Cerpen Martin
Aleida
dan
Implikasinya
terhadap
Pembelajaran
Sastra
Indonesia di SMA”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka timbul beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1. Rendahnya minat siswa dalam mengapresiasi karya sastra, khususnya cerpen. 2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik dalam cerpen. 3. Kurangnya pembahasan mengenai citra perempuan dalam cerpen Suara dalam kumpulan cerpen Dendam Perempuan, cerpen Aku Sepercik Air pada kumpulan cerpen Leontin Dewangga, dan Malam Kelabu dalam kumpulan cerpen Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida.
5
C. Pembatasan Masalah Dari permasalahan yang ada, maka pembatasan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membatasi minat siswa hanya pada cerpen. 2. Membatasi pemahaman siswa pada unsur intrinsik dalam cerpen. 3. Membatasi pemahaman terhadap citra perempuan dalam cerpen Suara dalam kumpulan cerpen Dendam Perempuan, cerpen Aku Sepercik Air pada kumpulan cerpen Leontin Dewangga, dan Malam Kelabu dalam kumpulan cerpen Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah yang telah dipaparkan, maka masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida?
2. Bagaimana implikasi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dalam pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
6
2. Mengetahui implikasi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dalam pembelajaran sastra di SMA
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoretis, penelitian yang dilakukan penulis diharapkan dapat mengembangkan ilmu sastra di tanah air, khususnya dalam aspek unsur intrinsik dalam cerpen, serta citra perempuan pada karya sastra dalam bentuk cerpen. penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan pada pembelajaran sastra di sekolah. Adapun secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk melihat gambaran kehidupan perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. Selain itu, dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerpen karya Martin Aleida.
G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Penelitian ini berupaya memaparkan secara rinci, sistematis, cermat, dan faktual mengenai citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. Metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman. Sesuai dengan namanya metode penelitian kualitatif memperlihatkan hakikat
7
nilai-nilai, dan sumber datanya merupakan karya, naskah, dan penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.1 Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. 1. Objek Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, yang menjadi objek penelitian ini adalah “Citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”
2. Data dan Sumber Data Penelitian a. Data Data penelitian ini meliputi semua keterangan yang dicari dan dikumpulkan oleh pengkaji untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang dikaji. Data penelitian ini berupa kutipan-kutipan kata, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. b. Sumber Data Sumber data adalah subjek penelitian tempat data menempel. Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 47
8
1) Sumber Data Primer Sumber data primer merupakan data yang diambil secara langsung, tanpa adanya perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah cerpen Suara dalam kumpulan cerpen Dendam Perempuan, Aku Sepercik Air dalam kumpulan cerpen Leontin Dewangga, dan Malam Kelabu dalam kumpulan cerpen Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida. 2) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan data yang diambil secara tidak langsung atau melalui perantara. Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu buku maupun artikel yang berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Martin Aleida.
3. Teknik Pengumpulan Data Langkah-langkah pengumpulan data dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, yaitu: a. Membaca secara cermat cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida untuk mencari kata, kalimat, dan wacana yang mengandung unsur citra perempuan. b. Mencatat hal-hal yang berkaitan dengan citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida c. Mengklasifikasikan data citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. d. Menganalisis data dan melakukan pembahasan dengan interpretasi data dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida.
9
e. Hasil dari analisis digunakan untuk mengimplikasi refleksi citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida pada pembelajaran sastra.
4. Teknik Analisis Data Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data yaitu: a. Menganalisis cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida dengan menggunakan analisis struktural. Analisis dilakukan dengan membaca serta memahami data kembali. b. Mengklasifikasikan teks-teks yang berkaitan dengan citra perempuan yang terdapat dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. c. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida. d. Mengimplikasi cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida pada pembelajaran sastra di SMA dilakukan dengan cara menghubungkan materi pelajaran di sekolah. e. Menyimpulkan hasil penelitian
BAB II LANDASAN TEORI Dalam penelitian ini, akan dikemukakan beberapa teori dan pendapat para ahli yang sesuai dengan penelitian. Teori-teori tersebut yaitu mengenai hakikat cerpen, citra perempuan dan pembelajaran sastra. A. Hakikat Cerpen Cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yaitu prosa. Sebuah cerpen merupakan media seorang pengarang yang ingin menyampaikan gagasannya. Walaupun cerpen merupakan karya fiksi, akan tetapi tidak jarang pengarang menyampaikan sebuah fakta. Cerpen ialah cerita pendek.1 Pendapat lain mengatakan bahwa cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antar tokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur.2 Akan tetapi, ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allen Poe (sastrawan kenamaan Amerika) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan dalam sebuah novel.3 Pendapat lain menurut B. Mathews mengatakan: “Bukan cerita pendek jika tidak ada sesuatu yang akan diceritakan…. Suatu cerita pendek yang terjadi adalah suatu ketidakmungkinan sama sekali.” Henry Scidel Camby, antara lain mengatakan bahwa “kesan yang satu dan hidup, itulah seharusnya hasil dari cerita pendek.” Ellery Sedgwick mengatakan bahwa “cerita pendek adalah penyajian
1
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keeempet), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 264 2 Heru Kurniawan, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h 59 3 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), h. 12
10
11
suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan halhal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with irrelevance.” Nugroho Notosusanto mengatakan bahwa “cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.” L.A.G. Strong, antara lain berkata bahwa “singkat dan lengkap” atau brevitywith completeness adalah sifat-sifat pokok cerita pendek. Akhirnya, Ajip Rosidi memberi batasan dan keterangan bahwa “cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide…. Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen adalah lengkap, bulat, dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen harus terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tidak ada bagian-bagian yang boleh dikatakan “lebih” dan bisa dibuang.” 4 Menurut Satyagraha Hoerip, cerita pendek adalah karakter yang “dijabarkan” lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu. Apa yang “terjadi” di dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah yang pada hakikatnya disebut cerpen.5 Sastra adalah kegiatan kreatif, sebuah karya seni.6 Sebuah cerpen merupakan hasil dari proses kreatif seorang pengarang. Pengarang menuangkan segala imajinasinya ke dalam sebuah cerpen dengan gaya bahasanya tersendiri. Namun, dalam sebuah cerpen pengarang perlu memadatkan semua imajinasinya dalam bentuk yang lebih singkat tanpa mengurangi kualitas karyanya. Cerpen akan membuat pembaca terkesan hanya dalam sekali duduk saja. Kelebihan cerpen
yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara
lebih banyak—jadi, secara implisit—dari sekedar apa yang diceritakan. Karena bentuknya yang pendek, cerpen memiliki karakteristik pemadatan dan pemusatan terhadap sesuatu yang dikisahkan. Cerita tidak dikisahkan secara panjang lebar 4
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 179-
180
5
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 34 Rene Wellek dan Austin Werren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1995), h.9
6
12
sampai mendetil, tetapi dipadatkan dan difokuskan pada satu permasalahan saja. Sebagai analog sebuah cerita wayang lazimnya dipentaskan semalam suntuk, namun ia juga dapat dipadatkan dalam 2-3 jam dengan fokus pada cerita inti dan sekaligus mengurangi hal-hal yang “kurang penting”.7 Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek, ketimbang menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan pada diri tokoh. Ia lebih tertarik pada penonjolan atau eksploitasi saat-saat kritis revelasi, baik internal maupun eksternal. Cerpen jarang menggunakan plot kompleks karena sekali lagi, ia lebih terfokus pada rangkaian peristiwa. 8 Seorang penulis cerpen akan berupaya membuat sebuah peristiwa dalam cerpen lebih meyakinkan. Suasana dan situasi yang ditampilkan pun akan lebih terpusat. Tidak jarang penulis cerpen menggunakan sesuatu seperti taktik kejutan untuk membuat pembaca berpikir dan merespon, misalnya akhir cerita yang tak terduga, pembukaan tabir secara dramatis, atau jalinan plot yang mengejutkan.9 Hal inilah yang akan memberikat kesan mendalam serta efek kepada pembacanya hanya dengan membaca dengan waktu yang sebentar. Cerita pendek pun mempunyai klasifikasi tersendiri. Klasifikasi terhadap cerita pendek dapat dilakukan dari berbagai sudut pandangan; yang umum yaitu berdasarkan jumlah kata dan nilai. Diantara berbagai cerita pendek, di antaranya ada yang benar-benar bernilai sastra, yaitu memenuhi norma-norma yang dituntut oleh seni sastra. Disamping itu, ada pula beberapa yang tidak bernilai sastra, tetapi lebih ditujukan untuk menghibur saja. Klasifikasi tersebut masing-masing disebut dengan istilah cerpen sastra dan cerpen hiburan.10
7
Nurgiyantoro, op.cit., h. 13 Furqonal Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),h.
8
33
9
Ibid., h. 34 Tarigan, op.cit., h. 181
10
13
Panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Cerpen yang panjang yang terdiri dari puluhan ribu kata tersebut, barangkali, dapat disebut juga sebagai novelette. Sebagai contoh misalnya, Sri Sumarah dan juga Bawuk, serta Kimono Biru buat Istri karya Umar Kayam, walau untuk yang kedua terakhir itu lebih banyak disebut sebagai cerpen panjang. 11 Berdasarkan pengertian cerita pendek, ciri khusus dapat dibedakan sebagai berikut:12 a. b. c. d.
e.
f. g.
h. i. j. k. l. m. n. o.
11
Cerita utama cerita pendek adalah singkat, padu, intensif. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian. Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembacanya bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalampikiran pembaca. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja danyang bisa menimbulkan pertanyaanpertanyaan dalam pikiran pembaca. Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita. Cerita pendek harus mempunyai jalan cerita. Cerita pendek harus mepunyai efek dan kesan yang menarik. Cerita pendek bergantung pada situasi. Cerita pendek memberikan impresi tunggal. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek. Cerita pendek menyajikan satu emosi. Jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap.
Ibid., h. 12 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 52
12
14
Dapat dikatakan cerpen haruslah singkat dan jelas. Cerpen juga harus menyajikan suatu emosi cerita sehingga memberikan efek pada pembacanya. Efek yang ditimbulkan pun berupa efek perasaan serta pikiran. Cerpen-cerpen karya Martin Aleida merupakan karya fiksi yang mengandung unsur fakta. Pengarang memasukkan pengalaman dirinya dan orang lain ke dalam cerpen. pengalaman inilah yang akhirnya menarik perhatian pembaca untuk membaca karyanya. Dalam waktu singkat saja, pembaca dapat merasakan pengalaman yang ada dalam karya pengarang. Di dalam sebuah cerpen terdapat unsur-unsur yang menopang sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur pembangun dari dalam sebuah karya sastra. Sedangkan, unsur ekstrinsik ialah unsur pembangun dari luar sebuah karya sastra. Pendekatan intrinsik membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana peran tokoh, khususnya tokoh perempuan dalam hubungannya dengan situasi sosial dan lingkungannya. Unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra, termasuk di sini cerpen antara lain: 1. Tokoh atau Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama (protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Penokohan dapat berupa karikatur atau idealisasi yang abstrak.13 Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. 14 Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah cerita. Dalam sebuah cerpen, ruang untuk tokoh tidak terlalu banyak. Dikarenakan ruang yang sempit dalam cerpen, penokohan tidak akan terlihat terlalu detail. 13 14
Wellek dan Warren, op.cit., h. 288 Nurgiyantoro, op.cit., h. 247
15
2. Tema Tema dapat didefinisikan sebagai “the central thought in literary work”. Ia adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra. 15 Tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantik dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.16 Tema merupakan garis besar permasalahan yang ada dalam suatu karya. Tema yang diangkat dalam suatu cerpen biasanya berhubungan dengan pesan atau amanat yang ingin disampaikan. Tidak jarang tema yang disampaikan sesuai dengan waktu penulisan karya sastra diciptakan. Akan tetapi, adapula karya sastra yang diciptakan sesuai dengan keinginan pengarang dan pengalaman hidupnya. 3. Alur atau Plot Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam sebuah cerita.17 Alur atau plot merupakan rangkaian perjalanan peristiwa. Rangkaian perjalan peristiwa berkaitan dengan urutan waktu. Urutan waktu yang dibuat oleh pengarang dapat tersirat maupun tersurat. 4. Latar Latar, yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya.
h. 75
15
Furqonal Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
16
Nurgiyantoro, op.cit., h. 115 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 159
17
16
Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu.18 5. Gaya bahasa Gaya bahasa setiap pengarang mempunyai kekhasan tersendiri. Gaya bahasa merupakan cara pengarang dalam berbahasa untuk menyampaikan gagasan dalam sebuah karya sastra. Bahasa adalah bahan mentah sastrawan. Dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu, sepert halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit bagian-bagiannya.19 Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair, juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan pembawaan pribadi. Dengan gayanya ia hendak memberi bentuk terhadap apa yang ingin dipaparkannya. Dengan gaya tertentu pula seorang pengarang dapatmenekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta
dengan
itu
pula
ia
menyentuh
dan
menggelitik
hati
pembacanya.20 6. Sudut pandang Sudut pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. 21 Sudut pandang dapat dikatakan dengan “si pencerita”. Sudut pandang 18
Wellek dan Warren, op.cit., h. 291 Ibid, h. 217 20 Semi, op. cit., h. 49 21 Nurgiyantoro, op.cit., h. 338 19
17
merupakan tempat yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh dalam karyanya. 7. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 22 Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan pandangan hidupnya kepada pembaca. Pembaca dapat mendapatkan pesan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
B. Citra Perempuan Citra perempuan dalam karya sastra acapkali menciptakan citra perempuan di kehidupan nyata. Akan tetapi, dapat terjadi citra perempuan dalam karya sastra merupakan bayangan dari citra perempuan di kehidupan nyata. Dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, terdapat gambaran perempuan yang menarik, karena perempuan digambarkan dengan kehidupan yang begitu pelik sekaligus dianugerahi kekuatan. Menurut Altenbernd, citraan adalah gambar-gambar angan atau pikiran, sedangkan setiap gambar pikiraan disebut citra atau imaji. Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang menyerupai, atau gambaran yang dihasilkan oleh pengungkapan objek.23 Citraan adalah gambaran-gambaran angan atau pikiran. Setiap gambar pikiran disebut citra. Citra artinya rupa, gambaran; dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Citra wanita ialah diambil dari gambarangambaran citraan, yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan, atau pengecapan tentang wanita, karena diantara macam-macam citraan 22
Siswanto, op.cit., h. 162 Sugihastuti, Wanita Di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2000), h. 43 23
18
itu citra pemikiran tentang wanita yang dominan, citra wanita dapat disebut juga sebagai pemikiran tentang wanita. Citra wanita ini erat dengan pengertian citra diri; citra diri merupakan pengertian yang dapat dihubungkan dengan dua konsep lain yaitu, self concept dan self image.24 Dapat dikatakan bahwa citra merupakan sebuah gambaran. Citra dapat berupa kesan mental yang timbul mengenai suatu objek. Berkaitan dengan citra perempuan dalam sebuah karya sastra, citra perempuan dalam sebuah karya sepenuhnya menjadi hak pengarang dalam pembentukannya. Citra perempuan merupakan bentuk gambaran tentang pemikiran perempuan. Banyak sekali karya sastra tercipta oleh pengarang laki-laki, jadi dapat dikatakan bahwa citra perempuan juga dibentuk oleh laki-laki dan perempuan menjadikan dirinya hanya sebagai pembaca tanpa menuntut emosi-emosi perempuan itu sendiri. Citra perempuan dalam karya sastra dapat menjadi citra umum perempuan sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan sebagai makhluk sosial, yang beraspek keluarga dan masyarakat. 25 Citra perempuan dalam sebuah karya sastra dapat terlihat sebagai makhluk individu yang mempunyai gambaran fisis tertentu. Dalam aspek psikis, perempuan juga merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, pemikiran, serta aspirasinya sendiri. Sedangkan sebagai makhluk sosial, perempuan mempunyai citra dalam aspek keluarga dan masyarakat. Dalam keluarga, seorang perempuan menjadi istri dan ibu yang nantinya akan mengemban peran dan pekerjaan tertentu. Citra perempuan yang terbagi ke dalam fisis, psikis, dan sosial akan sangat berkaitan satu dengan yang lainnya. Aspek fisis perempuan akan mempunyai pengaruh terhadap perilaku serta psikologinya. Sedangkan pemikiran perempuan tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, baik dalam aspek keluarga maupun masyarakat.
24
Ibid, h. 45 Ibid., h. 46
25
19
Citra wanita dalam aspek fisis dan psikis dikonkretkan dalam kerangka sistem komunikasi sastra, yaitu menempatkannya dalam tegangan antara penyair, teks, pembaca, dan semestaan.26 Citra fisis wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari penyair sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Keduaduanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tanda-tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas. 27 Dapat dikatakan bahwa meskipun citra fisis perempuan dalam suatu karya sastra sepenuhnya adalah hasil kreatif dari pengarang, namun pembaca mempunyai kesamaan interpretasi dalam melihat fisik perempuan. Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita.28 Di samping citra wanita dalam keluarga yang tercakup pada citra wanita dalam aspek sosial, citra wanita dalam masyarakat juga muncul. Sikap sosial adalah konsistensi individu dalam memberikan respons terhadap objek-objek sosial, termasuk terhadap pria sebagai pasangan jenis kelaminnya. 29 Dapat dikatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran, pikiran, dan kesan yang ditampakkan oleh perempuan. Gambaran itu meliputi aspek fisis, psikis, dan sosial. Bagaimana gambaran perempuan dalam suatu masyarakat dan baik tidaknya gambaran perempuan ketika berperilaku dalam masyarakat juga terbentuk dari budaya dan masyarakat. Hal inilah yang nantinya akan menghasilkan stereotip dalam citra perempuan di kehidupan bermasyarakat. Citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dapat terbentuk dari konsep stereotip 26
Ibid, h. 83 Ibid, h. 90-91 28 Ibid, 121 29 Ibid, h.131 27
20
yang ada. Konsep yang akhirnya menempatkan perempuan dalam suatu posisi yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan muncul sebagai gambaran dari efek pikiran tentang perempuan. Konsep stereotip menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Suatu stereotip terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang dilebih-lebihkan,
dan biasanya negatif. „Pen-stereotip-an mereduksi,
mengesensialkan, mengalamiahkan, dan mematri “perbedaan”. 30 Stereotip merupakan pelabelan negatif terhdap perempuan, kendati lebih bernuansa mitos daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia.
31
Pada hakikatnya, stereotip yang ada akan
menimbulkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pun akan terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan, akan terjadi pemberian posisi yang lebih kuat. Pada akhirnya, perempuan akan menempati posisi yang berbeda dari laki-laki. Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki (pemerintahan ayah), yaitu sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial. Dengan demikian,
perempuan
bukan
inferior
karena
nature,
melainkan
karena
diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturisasi ke dalam inferioritas. Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. 32 Menurut Beauvoir, budaya patriarkat cenderung menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua dalam tatanan masyarakatnya. Dengan kata lain, perempuan cenderung untuk dinomorduakan dalam masyarakat patriarkat. Dalam masyarakat tersebut tubuh dan identitas perempuan tidak dianggap sebagai suatu yang bebas. Budaya
30
Chris Barker (penerjemah Nurhadi), Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), h. 263 31 Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008), h. 14 32 Adib Sofia, Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009), h.12
21
patriarkat telah menjadikan tubuh perempuan sebagai penghalang untuk mengaktualisasi, mencipta, dan mentransedensi diri. Dengan begitu rupa, secara konkret budaya patriarkat membuat perempuan menghidupi tubuhnya bukan sebagai suatu kekuatan persepsi yang integratif, melainkan sebagai kekuatan asing yang melawan dirinya, bertentangan dengan dirinya sendiri.33 Konsepsi mengenai gambaran perempuan dibangun oleh budaya yang lahir sejak dulu. Perempuan cenderung menempati posisi kedua dalam masyarakat. Posisi di mana dianggap bahwa perempuan inferior sedangkan laki-laki superior. Hal tersebut tidak hanya didukung oleh sikap superioritas laki-laki. Akan tetapi, perempuan menjadikan dan menghidupi dirinya sendiri sehingga sesuai dengan konsep stereotip yang dibangun oleh budaya. Perspektif terhadap perempuan tersebut akhirnya mengakar dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi konsep stereotip yang berlebihan, yaitu menganggap perempuan lemah. Citra perempuan dalam kehidupan sosial erat kaitannya dengan gender. Citra perempuan berkaitan dengan gambaran mengenai perempuan dalam kehidupan. Bagaimana ditampakkan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat berhubungan dengan peran gender yang diemban oleh perempuan. Gender merupakan atribut, sehingga citra perempuan dapat terlihat oleh atribut tersebut. Gender masih identik dengan perempuan. Oleh karena itu, persoalan gender juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik kehidupan ranah domestik maupun publik.34 Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk menunjukkan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang
33
Arriyanti, Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra Feminis, (Padang: Balai Bahasa Padang, 2007), h.13 34 Sumbulah, op. cit., h.4
22
berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin secara biologis. 35 Gender ialah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada lakilaki atau perempuan.36 Gender mengacu kepada asumsi dan praktik kultural yang mengatur kontruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Gender adalah konstruk kultural, maka ia tidak digambarkan sebagaimana gambaran biologi.37 Menurut Karl Marx, yang juga mendapat dukungan Friedrich Engels, relasi jender yang terjadi di dalam masyarakat sepenuhnya merupakan rekayasa masyarakat (social construction).38 Konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laiki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan cirri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.39 Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali tidak ada alasan biologis yang dapat menjelaskan mengapa para laki-laki harus membusung atau, mengapa perempuan harus memakai kutek di kakinya, sedangkan laki-laki tidak.40 Kate Millet dan Shulamit Firestone menyodorkan pemikiran gender kontemporer yang lebih radikal. Dalam Dialectic of Sex Firestone menyatakan 35
Stevi Jacson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.225 36 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007), h.177 37 Barker (penerjemah Nurhadi), op.cit., h. 249 38 Nasarudin Umar, dkk, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 7-8 39 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 8-9 40 Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 5
23
bahwa gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan kita dengan kerangka yang tak terbantah.
Pembedaan tersebut
adalah bagaimana masyarakat
memandang laki-laki dan perempuan. Dia menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi laki-laki.41 Gayle Rubin menyatakan bahwa gender adalah produk relasi sosial berkaitan dengan
seksualitas
karena
sistem
hubungan
persaudaraan
berdasarkan
perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu ideologi atau sistem kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan kategori gender sebagai hal yang sudah mapan.42 Dapat dikatakan bahwa gender merupakan hasil dari konstruksi sosial. Gender terbentuk karena adanya pengaruh budaya dan masyarakat dan bukan sesuatu yang kodrati. Gender merupakan atribut yang dibangun oleh masyarakat untuk laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terjadi ketimpangan antara peran lakilaki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk kedua. Pada akhirnya gender menghadirkan konsep yang hidup dalam masyarakat. Konsep yang menganggap laki-laki kuat, sedangkan perempuan lemah. Hal yang sudah terbangun sejak dahulu itulah, yang menyebabkan peran wanita lebih lemah dalam masyarakat menjadi hal yang normal. Walaupun pada kenyataannya, sewaktuwaktu konsep tersebut dapat berubah dan dipertukarkan. Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan, sesuatu yang kita tampilkan. 43 Jadi, dapat dikatakan bahwa gender terbangun karena diajarkan, dilakukan, dan kemudian dihidupkan selalu. The hormone puzzle (tokoh-tokoh hormonal) adalah salah satu istilah yang sering disebutkan oleh para pakar jender di dalam menjelaskan hubungan antara anatomi biologi dan perilaku manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa perbedaan laki-laki dengan perempuan masih menyimpan beberapa masalah mendasar, baik 41
Humm, op.cit., h.178 Humm, op.cit., h. 179 43 Sugihastuti, op. cit., h. 4 42
24
dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang timbul sebagai akibat dari perbedaan itu memunculkan perdebatan karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.44 Perbedaan biologis yang terjadi antara laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai efek. Efek inilah yang akhirnya menjadi berbagai konsep yang dianggap lazim. Konsep budaya terhadap laki-laki dan perempuan menjadi konsep yang sudah sangat hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang alamiah yang diberikan oleh Tuhan. Gender merupakan sesuatu yang ditampilkan dalam masyarakat. Namun, kemudian gender dianggap menjadi sesuatu yang alamiah. Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena menjadi bagian dari anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat (genderless). Akan tetapi, secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, pada saat itu juga konstruksi budaya mulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi, peran, dan status dalam masyarakat.45 Walaupun secara biologis alat kelamin menjadi bagian yang alamiah yang dimiliki manusia sejak lahir. Namun, perbedaan jenis kelamin akan memciptakan perbedaan atribut antara laki-aki dan perempuan. Perbedaan tersebut akan menentukan peran, status, dan kewajiban dalam masyarakat. Perempuan yang menyandang peran istri dan ibu secara tidak langsung akan mempunyai kewajiban wilayah domestik, seperti mengurusi anak, membersihkan rumah, serta kewajiban 44 45
Umar, op. cit.,, h. 3 Ibid., h. 5
25
domestik lainnya. Sebaliknya, laki-laki akan mempunyai kewajiban di luar rumah, sepperti mencari nafkah. Tentang seberapa besar peranan perbedaan jenis kelamin (seks) menentukan perbedaan jender, tidak cukup lagi diterangkan dalam teori nature dan nurture, tetapi sudah menuntut adanya teori-teori yang lebih canggih sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, seperti teori psikoanalisi, teori fungsioalis struktural, teori konflik, berbagai teori feminis, dan teori sosiobiologis. Teori nature merupakan sebuah teori umum yang beranggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan alamiah, seperti yang tercermin dalam perbedaan anatomi biologi kedua jenis kelamin tersebut. Menurut teori nurture, perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor budaya dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini banyak digunakan ketika isu jender belum dirasakan sebagai suatu fenomena universal (cross culture).46 Berbagai macam teori tentang gender pun dikemukakan. Pembagian peran perempuan yang terjadi saat ini bukan dikarenakan faktor biologis semata. pembagian ini terbentuk turun-temurun dari dahulu karena konstruksi budaya. Gender telah melahirkan perbedaan peran, status, dan tanggung jawab antara lakilaki dan perempuan. Hal ini sudah dianggap alamiah dalam masyarakat sebagaimana perbedaan biologis yang tercipta antara laki-laki dan perempuan. Gender juga jarang dibicarakan sebab merupakan isu yang secara sosial dan politik sensitif. Corak gender yang berlaku sekarang seolah tak mungkin diubah (dianggap merupakan kodrat/alamiah). Menurut Zeindenstein dan Moore, pengaruh nilai kemasyarakatan yang amat mendalam mengenai seksualitas individual berasal dari peran gender. Peran gender ditentukan oleh norma dan
46
Ibid., h. 6
26
nilai yang mendasari tanggung jawab dan kekuasaan serta perilaku laki-laki dan perempuan.47 Pengaruh mendalam yang ada pada budaya dan masyarakat menjadikan peran laki-laki dan perempuan sudah melekat seakan-akan menjadi suatu yang alamiah. Peran itupun akhirnya terkotak-kotak. Banyak faktor yang menyebabkan peran perempuan terkonsep sampai saat ini. Tidak hanya budaya dan masyarakat, agama pun secara tidak langsung bersinggungan dengan peran gender. Ketika pemikiran agama terlanjur memberikan legitimasi terhadap sistem kekerabatan patriarki dan pola pembagian kerja secara seksual, dengan sendirinya wacana jender akan bersentuhan dengan masalah keagamaan. Selama ini agama dijadikan sebagai dalil untuk menolak konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahkan, agama dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan langgengnya status quo perempuan sebagai the second sex. 48 Berdasarkan paparan teori tersebut, maka peneliti menggunakan citra perempuan yang diklasifikasikan oleh Sugihastuti. Citra perempuan terbagi menjadi citra fisis, citra psikis, dan citra sosial. Selain itu, peneliti juga menggunakan konsep gender yang terdapat dalam teks. C. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukakan tidak akan terlepas dari unsur-unsur lainnya. Sebuah penelitian membutuhkan referensi sebagai acuan untuk menopang berjalannya penelitian. Berikut adalah hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian yang akan dilakukan. Edy Sambodo, Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia, “Citra Perempuan dalam Novel Jendela-Jendela Karya Fira Basuki”, tahun 2007. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah 47
Irwan Martua Hidayana, dkk, Seksualitas: Teori dan Realita,. (Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerja sama dengan The Ford Foundation, 2004), h. 55-56 48 Umar, op. cit., h. 3
27
berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah tokoh utama perempuan adalah perempuan yang berani untuk bebas dalam menentukan pilihannya. Tokoh itu berani untuk mencari tujuan hidupnya yang sebenarnya merombak stereotip perempuan yang ada. Tokoh ini tidak menampilkan orientasi untuk menyetarakan gender. namun dari keberaniannya dalam lepas dari stereotip yang dibentuk oleh kekuasaan patriarkis telah menunjukkan ia adalah sosok perempuan yang dapat dijadikan contoh bagi perempuan modern. Silvia arma Indah, Universitas Negeri Medan, Jurusan Bahasa dan sastra Indonesia dengan judul skripsi Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tanah Tabu Karya Anindita Thayf: Kajian Sastra Feminis, tahun 2013. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah citra perempuan Papuan dalam Novel tanah Tabu diwakili oleh delapan tokoh perempuan Papua. Dari kedelapan tokoh perempuan Papuan inilah analisis citra fisik, citra psikis, dan citra sosial perempuan Papua terpaparkan. Tinjauan dari segi feminism terhadap citra perempuan direpresentasikan dalam novel Tanah Tabu ini jelas bahwa di setiap segi kehidupan, perempuan masih menduduki kelas bawah dan bersifat inferior, serta pencitraan terhadap diri perempuan masih disampaikan secara negatif. Dewi hermawati, Universitas Gajah Mada, Jurusan Sastra Indonesia dengan judul skripsi “Citra Perempuan Suku Dani dalam Novel Etnografi Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani Karya Linggasari, tahun 2014. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah novel etnografi SKSWD mengangkat problematika hidup perempuan di tengah system patriarki. Tokoh perempuan dalam novel telah bergerak melakukan tindakan yang memprotes ketidakadilan gender yang diterimanya, tidak hanya sebatas idea tau wacana feminism. Perempuan Dani memiliki citra di sektor domestik dan di sektor publik.
28
Peneliti sendiri melakukan penelitian yang berjudul “Citra Perempuan dalam tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran sastra”. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perempuan dalam karya sastra. Peneliti akan melakukan penelitian terhadap citra perempuan dalam aspek fisik, psikis, dan sosial. D. Pembelajaran Sastra Pembelajaran sastra di sekolah sudah diajarkan dari tingkat yang paling dasar, namun masih terdapat kurangnya pemahaman akan pembelajaran sastra. Pengajaran sastra dengan tepat, sangat membantu dalam bidang pendidikan di Negara ini. Dalam pembelajaran sastra di sekolah, cerpen dapat diterapkan pada tingkat SMA kelas XI semester dua pada pertemuan yang akan membahas pemahaman pembacaan cerpen. Namun, masalah yang dihadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Maka, agar tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai, diharapkan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu:49 1. Membantu Keterampilan Berbahasa Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berari akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, menyimak, bicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya. 2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Sastra,
tidak
seperti
ilmu
kimia
atau
sejarah,
tidaklah
menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan
„sesuatu‟ dan kerap
menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. 49
B. rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius. 1992), Cet 2, h. 16-24
29
Pengajaran sastra, jika dilakukan dengan bijaksana, dapat mengantar para siswa berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikirpemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman. 3. Mengembangkan Cipta dan Rasa Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta yang bersifat religius. Karya sastra sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karenanya, dapatlah ditegaskan, pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar akan
dapat
menyediakan
kesempatan
untuk
mengembangkan
kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti sesungguhnya. 4. Menunjang Pembentukan Watak Dalam pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Disbanding pelajaranpelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Dalam penelitian ini, pembelajaran sastra berfokus pada analisis unsur intrinsik sastra. dalam menganalisis dan mengapresiasi suatu karya sastra, diperlukan aspek-aspek dalam keterampilan berbahasa. Adapun empat aspek keterampilan berbahasa ialah membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Siswa
30
dapat menafsirkan suatu teks sastra dengan membaca, agar mendapat pemahaman yang utuh akan suatu karya. Setelah itu siswa dapat mengungkapkan pemahaman yang didapatkannya lalu menganalisis dengan menulis. Pengajaran sastra di sekolah sangat bermanfaat. Adapun tujuan pengajaran sastra adalah agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan mereka mempunyai pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai, dan mendapatkan ide-ide baru.50 Dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah, siswa dapat mempunyai kepekaan serta mendapakan pengalaman baru. Pengalaman batin saat membaca dapat membuat siswa mengerti pada nilai-nilai yang tertanam dilingkungaannya. Selain itu, siswa juga mendapatkan ide-ide baru dan memperbanyak kosa kata untuk dirinya.
50
Semi, op.cit. h, 194
BAB III PROFIL MARTIN ALEIDA Dalam pengajaran sastra di Indonesia, nama sastrawan Martin Aleida jarang sekali ditemukan. Oleh karena itu, penulis hanya menemukan profil Martin Aleida dalam profil penulis di tiap karyanya dan beberapa artikel dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. A. Biografi Martin Aleida Martin Aleida lahir pada 31 Desember 1943 di Tanjung Balai, kota kecil di pantai timur Sumatera. Ia sudah gelisah dengan politik dan keyakinan sejak masih kecil. Kesenjangan sosial yang ia lihat, para buruh dan nelayan di kotanya yang berjuang setiap hari, membentuk ide dan tema untuk setiap cerita pendek yang ia tulis. Martin berasal dari keluarga Muslim yang kolot, dengan ayah yang merupakan pemimpin Masyumi (partai politik Muslim), tapi dikembangkan oleh golongan kiri. Sejak muda, Martin sudah menulis cerita pendek.1 Martin Aleida merupakan satu dari banyak korban tragedi 1965. Para korban biasanyan akan mengganti nama untuk mempertahankan hidupnya. Nama Martin Aleida merupakan pemberian nama oleh dirinya sendiri pada saat ia menjadi penulis di Horisan tahun 1968. Ayah Martin merupakan pengagum Martin Luther. Aleida adalah semacam kata seru sebagai tanda kagum, yang hidup di kalangan penduduk Melayu di pesisir Sumatera Timur yang sudah berasimilasi dengan para pendatang yang berbahasa Mandailing. Lalu, kedua kata tersebut dirangkai sendiri olehnya.2 Ia mulai menulis cerita pendek ketika masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Cerita-ceritanya antara lain diterbitkan di dua harian yang
1
Bodrek Arsana, “Writin As A Testimony”, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Ibid
2
31
32
setiap hari memuat cerita pendek: Indonesia Baru yang terbit di Medan dan Harian Rakyat di Jakarta.3 Martin Aleida menjadi jurnalis di Harian Rakyat, salah satu surat kabar paling berpengaruh pada saat itu. Harian Rakyat mengangkat berita yang mencakup “Istana Presiden”. Saat itu, dikenal sebagai “Masa Afiliasi”: surat kabar, kelompok pemuda, dan lembaga sosial lainnya, masing-masing memihak dengan salah satu partai politik. Harian Rakyat dengan PKI, Bintang Timur dengan Partindo, Kompas dengan Partai Katolik, Duta Masyarakat dengan NU, Suluh Indonesia dengan PNI, dst. Alasan inilah yang membuat konflik di antara kelompok besar politik saat itu terjepit, tidak hanya oleh media, tapi juga oleh banyak perkumpulan di Indonesia. Contohnya, setelah peristiwa 1965, anggota, orang yang dicurigai sebagai anggota, sekalipun simpatisan PKI ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Organisasi dibubarkan dan orang-orang yang sekalipun tidak terlibat dalam pergerakan politik
juga ditangkap. Martin, satu dari ribuan yang tertangkap dan
dijebloskan ke dalam penjara karena kecondongan politiknya. 4 Saat itu, setelah meliput Presiden, Martin mengikuti pelatihan jurnalistik di Semarang, kemudian terjadi peristiwa itu. Pendidikan tidak selesai, kacau, dan bubar. Ia masuk lagi ke Jakarta setelah 2 Oktober 1965. Koran sudah ditutup. Semua orang menyelamatkan diri, termasuk Martin. Tapi, ia ditangkap awal 1966. Setengah tahun ia ditahan. Martin termasuk beruntung, ia tidak sampai dipukul, tidak dikirim ke Salemba, atau ke Pulau Buru. Ia ditangkap bersama lima orang lainnya. Temannya, Putu Oka Sukanta babak belur dihajar karena di dalam kantongnya terdapat surat korespondensi dengan teman di LEKRA, lalu dicurigai ada hubungan dengan PKI. Di kantong Martin terdapat surat dari kekasih dan surat wasiat dari orang tua yang mau naik haji. Ia menerima wasiat sebagai anak bahwa akan menerima bagian tanah di sini. Interogatornya menjadi bingung, sebab pada waktu itu 3
Martin Aleida, Leontin Dewangga, (Jakarta:Kompas, 2003), h.230 Arsena. loc. cit.
4
33
simpatisan PKI selalu dituduh ateis. Lalu Martin menejelaskan bahwa tidak ada hubungan antara agama dengan kepercayaan politik.5 Setelah keluar dari tahanan, apa saja dikerjakan oleh Martin Aleida. Ia menjual bensin di pinggir jalan, berdagang di Pasar Baru dan dikejar-kejar polisi, serta menjadi pelayan di restoran Padang. Setelah kerja serabutan, Martin diberi pekerjaan oleh JS Hadis, Sekretaris Jenderal PWI Pusat dan wartawan Berita Yudha. Ia menjalankan took yang baru buka di Pasar Jembatan Lima dengan gaji waktu itu 250 rupiah per hari. Lalu, Martin meminta izin kepada JS Hadis untuk melamar di majalah yang baru dibuka oleh Goenawan Mohammad (GM). JS menyetujui. Martin masuk ke TEMPO tanggal 15 Januari 1971 sebelum majalah ini terbit 6 Maret 1971.6 Separuh dari usianya dia habiskan di Jakarta, di mana dia memperoleh pengalaman yang luas, terutama di bidang jurnalistik. Dia mengerjakan assignment dalam berbagai bidang, namun di kalangan rekan-rekannya dia lebih dikenal sebagai wartawan olahraga dan masalah-masalah kesehatan untuk majalah berita mingguan TEMPO. Dia bekerja di majalah ini selama 13 tahun sebelum mengundurkan diri tahun 1984. Beberapa waktu lamanya dia menjadi kontributor jurnal olahraga BOLA.7 Dia percaya olahraga memberikan kesempatan yang luas bagi seseorang penulis untuk mengasah dan mempertajam kepekaan pada detail dan gerak yang membuat kehidupan ini begitu dinamis. Untuk menemukan “roh” seorang pelari jarak jauh, dan untuk membuat laporannya lebih hidup, dia turut serta dalam lima lomba marathon yang masing-masing berjarak lebih kurang 40 km.8 Martin Aleida berhenti dari TEMPO karena mula-mula semua sepaham. GM bilang, cita-cita kita dalam jurnalistik sama. Tapi begitu majalah maju, 5
Doddi Ahmad Fauji, “Sastra, Kata Martin Aleida”, Jakarta: Jurnal Nasional, 2007. ibid 7 Aleida. op. cit. 8 Ibid 6
34
mulailah timbul friksi, dan like or dislike. Waktu diberikan mobil misalnya, itu ditentukan sesuai jabata, bukan fungsi. Syubah Asa misalnya, karena dia dibelikan Hartop, akhirnya harus kekurangan tiap bulan. Martin mulai stress, kemudian mobil hanya dipakai dua hari dalam seminggu karena biaya bensin yang mahal.9 Setelah selesai dari TEMPO, Martin Aleida bekerja setahun di TV NHK milik Jepang. Selesai dari NHK, ia dipanggil oleh kantor penerangan PBB untuk bekerja di sana. Karena atasan Martin adalah orang Jepang, dan ia pernah kerja di NHK, maka ia dianggap mengerti mentalitas orang Jepang. Ternyata, atasan Martin di kantor berita PBB sangat gila kerja. Tapi, atasannya itu memberikan pelajaran yang luar biasa. Kantor masuk jam 7 pagi, atasannya sudah bekerja. Martin pulang jam setengah delapan malam, atasannya pun masih bekerja. Apa yang dikerjakan harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan ia tidak bisa bahasa Indonesia. Hal tersebutlah yag menjadi bagian Martin.10 Martin pensiun dari kantor PBB tahun 2001. Ia pikir sudah terlalu lama bekerja untuk di luar dirinya. Sudah waktunya bekerja bekerja untuk diri sendiri. Ia kembali menulis. Tahun 1969, tiga cerpen Martin dimuat di Horison. Tapi setelah bekerja di TEMPO, ia tidak bisa menulis lagi. Untuk melatih menulis, saat itu bekerja di TEMPO sangat tepat, karena saat itu banyak penulis. Sebenarnya sejak tahun 1998 ia kembali lagi menulis karena waktunya memungkinkan untuk menulis tema-tema yang ia sukai.11 Berakhirnya kekuasaan yang otoriter selama 32 tahun telah memanggil dirinya untuk menulis cerita-cerita pendek sebagai kesaksian terhadap ketidakadilan maupun kekejaman yang diderita para korban kebengisan kekuasaan, mereka yang malang, yang oleh kekuasaan diharamkan untuk
9
Fauji,. op. cit. Ibid 11 Ibid 10
35
dilukiskan, karena itu berarti mencoreng hasil perburuan pembangunan yang diilhami oleh kerakusan akan kekayaan yang nista: pemberhalaan materi.12 B. Karya Martin Aleida Martin Aleida mulai menulis cerita sejak sekolah menengah atas di Tanjung Balai, Sumatera Utara dan diterbitkan di Indonesia Baru (Medan) dan Harian Rakyat (Jakarta), dua harian pada awal 1960-an setiap hari memuat cerita pendek. Dalam menulis karyanya, Martin Aleida banyak menuliskan kisah tentang pengalamannya akan tragedi 1965. Karya-karyanya antara lain Malam Kelabu, Ilyana,dan Aku (kumpulan cerpen, 1998), Layang-Layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-Tinggi (novelet, 1999), Perempuan Depan Kaca (kumpulan cerpen, 2000), Leontin Dewangga (kumpulan cerpen, 2003) , Jamalingak Tak Pernah Menangis (novel, 2004), Dendam Perempuan (kumpulan cerpen, 2006), Mati Baik-Baik, Kawan (kumpulan cerpen, 2009), dan Langit Pertama Langit Kedua (menghimpun sejumlah cerita pendek, catatan perjalanan, esai, kritik, dan perdebatan, 2013). Kumpulan cerita pendeknya “Leontin Dewangga” yang diterbitkan oleh Penerbit Buku KOMPAS, mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2004. Terjemahan cerita pendeknya “Leontin Dewangga” dalam bahasa Inggris disertakan dalam antalogi cerita pendek Asia-Pasifik, terbit di Boston, berjudul “Another Kind of Paradise.” Desember 2005, para sastrawan dan budayawan Aceh menganugerahkan “Dokarim Award” berkat karyanya yang mencerminkan empati pada penderitaan dan perjuangan rakyat Aceh. C. Pemikiran Martin Aleida Warna tema keseluruhan cerpen-cerpen yang dilabelkan kepada Martin ialah latar belakang malapetaka tahun 1965, di mana anggota Partai Komunis Indonesia, atau yang dikaitkan dengan itu, diratakan dengan tanah, dibasmi 12
Aleida,. op. cit.
36
sampai cindhil abang. Cindhil adalah sebutan untuk anak tikus, sedangkan abang artinya merah. Idiom cindhil abang, bukan hanya menunjuk ke PKI, melainkan ke bayi-bayi yang masih merah, yang belum tumbuh bulu, belum bisa melihat. Tokoh-tokoh yang ditampilkan Martin sebagian berdasar cerita yang mengalami, atau dialami, adalah tokoh yang “beruntung,” karena tidak ikut dibunuh. 13 Martin sering mengisahkan tentang dendam dan kematian. Tidak hanya itu, hampir sebagian karya Martin merupakan kesaksiannya akan tragedi 1965. Teman-teman sastrawan di Taman Ismail Marzuki menyebutkan ceritacerita Martin terlalu realis, sesak dengan jurnalisme. Martin tidak menyesal, ia tidak punya sesuatu yang hanya berupa angan-angan kosong pada orang lain. Ia hanya ingin menjadi saksi. Dan, kesaksiannya tidak tunggal, kaku. Karena ia juga bercerita tentang jalan hidup yang enteng dari seorang tokoh.14 D. Sinopsis Tiga Cerpen Martin Aleida 1. Sinopsis Cerpen Suara Cerpen Suara menceritakan tentang seorang biduan bernama Marwah Juwita. Juwita melakuan segala cara untuk mendapatkan keindahan suara. Perjuangannya, kecantikan, serta gayanya membawanya ke tingkat kesuksesan tertinggi seorang penyanyi. Namun sayang, pernikahannya dengan seorang dokter harus menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya. Juwita akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Lalu, ia pun menjadi pengunjung tetap di kafe seberang Gedung Kesenian Jakarta, tempat para seniman berkumpul. Di sanalah Juwita tersadar bahwa perjuangan dan ketenaran yang telah ia dapat dulu, tidak lagi mempunyai arti apapun. Juwita harus rela dirinya terlupakan.
13 14
Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, (Bandung: Ultimus, 2014), h. 175-176 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. xvii
37
2. Sinopsis Cerpen Aku Sepercik Air Cerpen Aku Sepercik Air menceritakan tentang seorang perempuan bernama Munah. Munah merupakan seorang istri yang patuh terhadap suaminya, Nizam. Ia rela membuang pikirannya untuk hidup di kampung halaman, demi mengikuti suaminya yang berniat merantau. Namun,
kepatuhan
serta
kesetiaan
Munah
harus
terbayar
oleh
pengkhianatan suaminya. Suaminya berselingkuh dan menelantarkan Munah beserta kedua anaknya. Kesewenang-wenangan Nizam akhirnya dibalas oleh Munah. 3. Sinopsis Cerpen Malam Kelabu Cerpen Malam Kelabu menceritakan tentang hubungan antara Armada dengan Partini. Mereka berdua dipertemukan di Jakarta. Partini merasa cemas dengan keadaan keluarga setelah peristiwa G30S serta kiriman dari orangtua tidak datang lagi, Partini memutuskan untuk kembali ke desanya di Soroyudan. Sesekali Partini berkirim surat ke Armada. Sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius. Armada pergi ke desa Soroyudan untuk menikahi Partini. Partini digambarkan sebagai gadis yang jujur dan suka berterus terang. Ia juga tidak suka berdandan. Hal inilah yang membuat Armada jatuh cinta pada Partini, karena menurutnya berdandan ialah bentuk dari kepura-puraan. Namun, keadaan telah berubah. Partini ikut terbunuh karena ayah dan pamannya merupakan anggota PKI.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3 CERPEN MARTIN ALEIDA A. Unsur Intrinsik Cerpen
1. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang saling terikat dan tidak dapat dilepaskan. Tokoh merupakan individu rekaan yang kemudian mengemban suatu watak. Tokoh dan penokohan amat penting dalam sebuah karya sastra, karena tidak mungkin suatu karya dapat tercipta tanpa adanya tokoh dan penokohan. a. Suara Marwah Juwita Marwah Juwita adalah seorang perempuan cantik yang mempunyai suara sangat bagus dan kemauan keras. Juwita menjadi biduan tenar pada masanya. Namun akhirnya, Juwita harus menyerah pada takdirnya sebagai istri. Juwita harus patuh kepada suami, dan menghentikan karirnya. Walaupun pada akhirnya ia kembali kepada pendirian dan suara hatinya dan memutuskan berpisah dengan suaminya. “Bayangkanlah, bagaimana keras kemauannya mengikuti suara-suara yang muncul dari jiwanya, sehingga dia juga pernah mengutarakan niatnya untuk bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja satu-satunya yang terdapat di kota kami.”1 “Sampai datanglah pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang namun sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya.”2
1
Martin Aleida, Dendam Perempuan, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, 2006), h. 29 2 Ibid, h. 32
38
39
“Dari dia sendiri jugalah kuketahui bahwa perkawinannya dengan dokter itu akhirnya kalah juga menghadapi suarasuara yang terus berdesakan dari dalam relung jiwanya.”3 Pinora Pinora merupakan seorang penulis beruntung. Ia beruntung karena dapat menulis hingga usinya yang sudah senja. Pinora merupakan teman Juwita. Ia merupakan orang yang menghargai dan mendukung Juwita diwaktu Juwita membutuhkan pengakuan dari orang lain dan para seniman. “Dan matanya berseri-seri menahan kebahagiaan ketika kukatakan bahwa aku akan mencarikan teman yang bersedia mencarikan sponsor untuk memamerkan sketsasketsanya itu di satu galeri kecil.”4 Bang Ote Bang Ote merupakan pemilik perahu di kali Ciliwung, tepatnya kurang lebih seratus meter di sebelah timur dari kafe seberang Gedung Kesenian.. Ia yang membantu orang-orang untuk menyeberang di kali itu. “Apakah bang Ote menyeberangkan Mama tadi?” tanyaku kepada pemilik perahu. “Ya. Dua kali dia menyeberang. Seperti orang kebingungan. Membawa segulung kertas. Waktu disapa, dia tak menjawab.”5 b. Aku Sepercik Air Munah Munah merupakan seorang istri sekaligus ibu. Ia juga merupakan perempuan yang peduli terhadap lingkungan.selain itu, ia merupakan istri yang patuh terhadap suaminya. Ia pun ikut suaminya untuk merantau ke Jakarta. Di tengah kesetiaan dan kepatuhan yang ia berikan kepada suaminya, ia juga diberikan penghianatan oleh suaminya. Munah sangat sayang pada dua 3
Ibid, h. 35 Ibid, h. 38 5 Ibid, h. 40 4
40
anaknya. Ia ingin diceraikan secara baik dan diberikan uang untuk pulang ke kampung bersama anak-anaknya. Untuk membalas dendamnya, ia pun memberanikan diri menemui suaminya dan membalas penghianatan yang diterimanya. “Andainya penduduk kota yang berbilang ribuan itu saban pagi menjemput segenggam pasir gosong dan menimbunkannya ke tepian, kupikir mata pencaharian mereka yang sama sekali tergantung pada sungai itu tentulah akan tertolong. Asahan tertolong.”6 “Aku hanya seorang perempuan, seorang istri, dan sudah menjadi adat kebiasaan di daerah kami bahwa seorang istri haruslah mengalahkan pikiran-pikirannya dan tunduk pada suami.”7 “Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Melawan untuk menghancurkan si pendosa.”8 “Mengapa ayah begitu sampai hati. Memperlakukan ibu sehina ini, madu kesetiaan dari ibu kau balas dengan tuba kesewenang-wenangan.”9 Nizam Nizam adalah suami dari Munah. Saat usahanya jatuh, ia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Ia merupakan seseorang lelaki yang tidak bertanggung jawab pada istri dan anakanaknya. Ia tinggal bersama perempuan barunya dan mempunyai usaha menyewakan rumah di satu daerah gelap. “Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih berastu dengan aku dan anak-anak kami. Penyakit lamnya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain.”10 Fadilla Fadilla adalah anak pertama dari Munah dan Nizam. Fadilla sudah menikah dan mempunyai satu anak. Namun sayang, istrinya 6
Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 98 Ibid, h. 99 8 Ibid, h. 102 9 Ibid, h. 106 10 Ibid, h. 100 7
41
meninggalkannya karena menganggap Fadilla tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia adalah anak laki-laki yang bertanggung jawab, ia mencari nafkah untuk ibu dan adiknya. “Aku bangga juga punya anak laki-laki yang sudah sanggup mengambil alih kewajiban orangtuanya yang tak bertanggung jawab.” 11 “Kau temukan kesetiaan pada ibu, tapi kau lemparkan. Sedangkan aku, seorang suami yang menunjukkan kesetiaan yang diturunkan ibu padaku, ditinggalkan istriku.”12 Lailan Hanum Lailan Hanum adalah anak kedua dari Munah dan Nizam. Lailan merupakan gadis yang lugu dan cantik. Hatinya mudah sekali tersentuh. “Lailan.” “Lama aku menunggu sampai dia menatapku. Matanya yang bundar dan jernih dengan bulu yang lentik dilindungi alis yang tebal memayung. Hidungnya menjulur landai dari dahinya yang lebar. Mancung, ditayang bibir yang tipis. Dadanya penuh”13
c. Malam Kelabu Kamalludin Armada Armada adalah seorang pelaut yang berasal yang berasal dari kota kecil di Asahan. Ia merupakan laki-laki yang suka berterus terang, jujur, penuh semangat, dan keras hati. Ia meninggalkan keluarganya untuk tujuan kebebasan. Lingkungan keluarga yang feudal dan fanatik mendorong dia untuk memilih jalan itu. Armada juga merupakan laki-laki yang tanggung jawab, ia berniat melamar kekasihnya, Partini. Namun kenyataan hidup membuatnya putus asa. “Yah. Orang-orang Sumatera suka terus terang. Saya senang dengan sikap itu.”14 ”Saya juga berterimakasih atas 11
Ibid, h. 103 Ibid, h. 107 13 Ibid, h. 109 14 Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 28 12
42
penghargaan dan tanggung jawab kepemudaan yang saudara tunjukkan kepada gadis yang berasal dari sini.”15 ”Selang beberapa saat, Kamalludin Armada menyelipkan tangan ke balik bajunya. Tiba-tiba dia mencabut sembilah pisau dari pinggang. Menikam lengan kiri, membuat luka panjang memotong urat nadi di pergelangan tangannya.”16 Partini Mulyoharjo Partini adalah anak dari Mulyoraharjo, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Solo, karena rasa sayangnya dan cemas
dengan
keadaan
keluarga,
ia
memutuskan
untuk
memutuskan sekolahnya di Jakarta dan kembali ke kampung halaman. Ia merupakan gadis yang manis, jujur, dan suka berterus terang. “Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, dia merasa khawatir akan keadaan keluarganya.” 17 “Dia gadis dari daerah ini. Tapi, dia juga berterus terang. Dia ceritakan seluruh keadaan keluarganya. Terutama dia ceritakan tentang ayahnya. Ayahnya yang adalah seorang komunis.”18 ”Aku yang bagaikan debu terplanting ke jalan mendapat tempat di hatinya. Dia yang mulia, manis, dan suka berterus terang.”19 Carik dari Kelurahan Laban Carik merupakan seorang yang pedendam. Ia merupakan salah satu orang yang di serobot tanahnya oleh BTI. Carik menganggap Mulyoraharjo adalah musuhnya. Namun, carik masih mempunyai rasa peduli yang baik. “Dia dicintai oleh orang-orang yang dia pimpin. Tapi, dia juga musuh bebuyutan dari rakyat banyak. Dia juga musuhku. Musuhku…. Di pengadilan dia membela BTI yang menyerobot tanahku.”20 15
Ibid, h. 34-35 Ibid, h. 41 17 Ibid, h. 30 18 Ibid, h. 29 19 Ibid, h. 31 20 Ibid, h. 28 16
43
2. Tema Tema merupakan gagasan dasar. Tema juga menjadi salah satu unsur intrinsik yang menopang sebuah karya sastra. tema biasanya berhubungan dengan pesan yang ingin disampaikan. Hampir sebagian cerpen yang ditulis oleh Martin aleida bertema kepedihan dan dendam saat peristiwa G30S/PKI, selain itu kisah tentang perempuan juga sering ditemukan dalam cerpennya.
a. Suara Tema dari cerpen Suara ialah tentang biduan yang terlupakan. Marwah Juwita adalah biduan tenar pada akhir tahun 1950-an. Namun malang, ia tidak lagi dikenal oleh seniman muda dan orang banyak. “Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…”21
b. Aku Sepercik Air Tema dari cerpen Aku Sepercik Air ialah tentang pembalasan seorang istri. Kesetiaan dan kepatuhan seorang istri yang dibalas penghianatan, membuat seorang istri akhirnya merasakan neraka dunia. Munah memberikan pembalasan atas penghianatan yang diberikan oleh suaminya. “Luka hatiku tak terobati oleh darahmu Nizam!” kulemparkan kapakku ke sampingnya.22
21 22
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 40 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 111
44
c. Malam Kelabu Tema dari cerpen Malam Kelabu ialah kisah cinta seorang lakilaki dengan gadis yang menjadi korban G30S/PKI. Partini dan Armada berencana untuk menikah. Armada pun datang ke desa Partini untuk segera melamarnya. Namun sayang, Partini yang merupakan anak dan keponakan dari dua orang lelaki yang bergabung dalam PKI ikut terbunuh oleh dendam orang banyak. “Partini, ibu, dan adik-adiknya jadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi paman mereka, seorang komunis. Seperti juga di daerah-daerah lain, keluarga komunis itu ikut hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu dengan partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi Bengawan.”23
3. Alur atau Plot a. Suara
1. Tahap Pengenalan Tahap ini adalah tahap peristiwa untuk memperkenalkan tokoh dan latar. Dalam cerpen Suara, alur yang digunakan adalah alur maju. Tahap awal dari segala pengisahan dalam cerpen ini menampilkan tokoh Marwah Juwita dengan suaranya yang indah. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Agaknya tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah dia lakukan untuk membuat suaranya berpetunang, suara yang bagaikan ditumpangi roh yang bisa menambat dan mempesona hati pendengarnya.”24 2. Konflik atau tikaian Tahapan ini merupakan tahap ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau
23
Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 39 Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 27
24
45
drama.25 Tahap konflik dalam novel ini terjadi ketika pernikahan harus menjadi anak tangga terakhir bagi karir Juwita. Juwita yang rela melakukan segala cara untuk menambah kemerduan suaranya akhirnya harus meninggalkan karirnya karena suaminya tidak lagi memperbolehkannya menyanyi. Seperti dalam kutipan berikut. “Sampai datanglah seorang pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temannya.”26 3. Komplikasi atau rumitan Tahapan adalah bagian tengah yang mengembangkan konflik. Pada tahap ini terjadi peningkatan konflik sehingga alur cerita meninggi. Komplikasi terjadi ketika Juwita bertemu Pinora, lalu menjadi pengunjung tetap kafe di seberang Gedung Kesenian Jakarta. Seperti dalam kutipan berikut. “Setelah pertemuan itu, boleh dikatakan Marwah menjadi pengunjung tetap kafe yang terletak di seberang gedung pertunjukan di tepi Kali Ciliwung itu, tempat dimana para seniman dari berbagai bidang sering bertemu.”27 4. Klimaks adalah puncak ketegangan Klimaks dalam cerpen ini terjadi ketika para seniman muda tidak menghiraukan keberadaan Juwita sebagai penyanyi tenar akhir tahun 1950-an. Seperti dalam kutipan berikut. “Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, Cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ.”28 25
Aminuddin dalam Dr, Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 159 26 Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 32 27 Ibid, h. 34 28 Ibid, h. 35-36
46
5. Penyelesaian Tahap penyelesaian merupakan tahap akhir dalam sebuah karya. Tahap penyelesaian terjadi ketika Juwita mengakhiri hidupnya. Juwita yang tidak mampu menerima bahwa dirinya telah terlupakan menjadi putus asa dan mengakhiri hidupnya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Hari ketiga setelah klipping yang dihanyutkan itu kuterima, pelayan kafe menyerahkan sebuah amplop berprangko kepadaku. Di dalam nya terselip dua lembar kertas yang sama seperti kupungut dari permukaan Ciliwung. Bedanya pada kata-kata “Hanya seorang biduan…,” stabilo merah tua digariskan dengan tegas oleh tarikan tangan dari seseorang yang menyesali diri.”29
b. Aku Sepercik Air 1. Tahap Pengenalan Alur yang digunakan dalam cerpen Aku Sepercik Air adalah alur maju. Tahap awal dari segala pengisahan menampilkan tokoh Munah dan kecemasan yang dialaminya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh hidupku kujalani dengan aman dan tenang, tentulah senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakan pikiranku.”30 2. Konflik atau tikaian Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Konflik dalam cerpen ini terjadi ketika usaha Nizam gulung tikar, lalu ia meninggalkan Munah untuk perempuan lain. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Jatuhnya usaha suamiku ini tiada memberikan pengaruh apa-apa terhadap diriku. Aku tak mengejek dia karena dia 29 30
Ibid, h. 41 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 97
47
gagal. Tak mempertahankan sikapku bahwa biar bagaimanapun janganlah kita meninggalkan kota kelahiran sebagaimana yang pernah kukatakan dulu. Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih bersatu dengan aku dan anak-anak kami. Penyakit lamanya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Agama, menurut pengertiannya, mengizinkan dia mempermadu aku. Tapi, tuhan tentu tidak membiarkan dia menyakiti hatiku.”31
3. Komplikasi Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah yang mengembangkan konflik. Komplikasi terjadi ketika Munah meminta ijin kepada anak-anaknya untuk menemui Nizam agar membiayai biaya ke Asahan. Fadilla tidak menyetujui ide ibunya untuk menemui sang ayah. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Jangan Ibu! Jangan kesana, ayah hanya akan menghina Ibu. Sepeser pun takkan dia beri. Biarlah aku yang menabung serupiah ke serupiah, sampai kita bertiga bisa pulang. Kan aku sudah bekerja.”32 4. Klimaks Klimaks adalah puncak ketegangan. Klimaks dalam cerpen ini terjadi
ketika akhirnya Munah mendatangi rumah Nizam. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Sesudah lebih kurang satu jam berjalan kaki, aku, Fadilla, dan Lailan hanum sampai di Rajawali, di dekat rumah suamiku. Di depan rumah terdapat empang. Kedua anakku menunggu di atas pematang di seberang rumah. Pelan tanganku mengetuk pintu. Kuketuk lagi. Kedengaran sepasang kaki mendekat. “Assalamu’alaikum,” seruku. Terdengar jawaban. Pintu dikuakan tangan. Di bawah
31 32
Ibid, h. 100 Ibid, h. 106
48
cahaya lampu yang tergantung di halaman, tampak wajah suamiku yang gagah, tapi menjijikan. Menjijikan!”33
5. Penyelesaian Tahap penyelesaian dalam cerpen ini terjadi ketika Munah mengambil sebilah kapak di balik kebayanya dan mengayunkannya ke kepala Nizam. Nizam akhirnya terbunuh oleh Munah yang menderita kesewenang-wenangan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Betapa gagahnya dia melangkah menghindari silaunya lampu. Dia membalik sedikit, mencari anbak-anakku itu. Inilah saatnya, hatiku memekik. Kuhunus kapak dari pinggang. Aku rasa seakan-akan ada kekuatan gaib yang membantu tenagaku yang sudah tua ini. Begitu ringan kapak itu dalam genggaman. Kuayun secepat kilat dan bersarang di kepalanya. Dia tersungkur. Dan tak sempat meraung kesakitan.”34
c. Malam Kelabu 1. Tahap Pengenalan Tahap pengenalan merupakan tahap awal dari segala pengisahan. Tahap pengenalan dalam cerpen Malam Kelabu menampilkan tokoh Kamalludin Armada dalam perjalanan menuju Soroyudan. Alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah alur maju. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Untuk pertama kali Kamal menginjakkan kaki di situ. Tujuannya Soroyudan. Desa yang dia tak tahu entah berapa jauh dari sini. Kalau berdiri di tebing ini dan menghadap ke timur, di manakah letak desa itu? Dia pun tak tahu. Tapi, Partini Mulyoharjo anatara lain menulis di suratnya beberapa hari yang lalu.”35
33
Ibid, h. 110-111 Ibid, h. 112 35 Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 21 34
49
2. Konflik atau tikaian Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Konflik dalam cerpen ini terjadi ketika Armada bertemu dengan seorang carik dari Kelurahan Laban. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Orang itu memandang Armada dengan mata menghormat. Mata yang juga minta dimaafkan jika keingintahuannya ini menyinggung perasaan. Tapi, apa yang harus dimaafkan, karena rasa ingin tahu bukanlah kesalahan. Air muka dan mata orang itu juga berkata, bahwa dia tak minta jawaban dengan segera. Dia masih ingin meneruskan. Dan, katanya, “Laban adalah satu kelurahan, Soroyudan termasuk dalam lingkungannya. Aku carik dari kelurahan Laban.”36 3. Komplikasi Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah yang mengembangkan
konflik.
Komplikasi
terjadi
ketika
Carik
mengetahui bahwa Armada ingin bertemu anak dari Mulyoraharja (Pimpinan PKI di Solo). Hal tersebut terlihat dalamkutipan berikut. “Mulyoraharjo…..,” ulang carik itu dengan tenang. Setenang permukaan air mukanya sekarang. “Mengapa?” desak Armada.“Pernah berjumpa dengan dia?” “Belum.” “Dia orang terkenal. Bukan saja di desanya. Bukan saja di Laban ini. Dia dikenal di seluruh Kabupaten Sukoharjo, malah dikenal sampai ke Kota Solo. Dia pimpinan Partai Komunis Indonesia. Di Solo dia dikenal sebagai pengacara, pembela Barisan Tani Indonesia dalam penyerobotanpenyerobotan tanah. Dia dicintai oleh orang-orang yang dia pimpin. Tapi, dia juga musuh bebuyutan dari rakyat banyak. Dia juga musuhku. Musuhku…. Di pengadiulan dia membela BTI yang menyerobot tanahku. Dia kalah sebelum hakim menjatuhkan vonis. Gerakan Tiga Puluh
36
Ibid, h. 26
50
September meletus. Dia ikut hilang. Dia dihabisi di bacem, dilemparkan ke bengawan seperti bangkai ayam.”37
4. Klimaks Klimaks adalah puncak ketegangan. Klimaks dalam cerpen ini terjadi ketika Armada mengetahui bahwa kekasihnya, Partini telah dibunuh warga. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam. Hal itu bisa kita maklumi. Pikiran berada di bawah, amarah dan denda, menjadi raja ketika itu. Partini, ibu dan adik-adiknya jadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi paman mereka, seorang komunis. Seperti juga di daerah-daerah lain, keluarga komunis itu ikut hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.”38
5. Penyelesaian Tahap penyelesaian dalam cerpen ini terjadi ketika Armada memutuskan untuk bunuh diri di jembatan Bacem. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Selang beberapa saat, Kammaludin Armada menyelipkan tangan ke balik bajunya. Tiba-tiba dia mencabut sebilah pisau dari pinggang. Menikam lengan kiri, membuat luka panjang memotong urat nadi di pergelangan tangannya. Darah cepat menyembur. Dia rejamkan pisau berdarah itu ke tengkuk, menarik pisau itu ke bawah, memotong urat nadi lehernya, dan melukai tulang iganya. Leher itu koyak. Darah menyembur dari lehernya, menyembur dari lengannya. Dua urat nadi di mana darah mengalirkan hidup sudah putus. Diputus. Tikaman ketiga jatuh di perut. Isi perutnya terjurai keluar. Darah menyembur sejadi-jadinya dari ketiga luka yang menganga itu.”39 37
Ibid, h. 27-28 Ibid, h. 36 39 Ibid, h. 41 38
51
4. Latar Latar Waktu a. Suara Latar waktu merupakan waktu terjadinya peristiwa yang terdapat dalam cerpen. latar waktu memberikan gambaran pada masa itu. Latar waktu dalam cerpen Suara ialah sekitar tahun 1950an dan sekitar kurang lebih 50 tahun-an setelah itu. “Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin bisa menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada satudua seniman tua yang kadang-kadang mampir ke situ.”40 b. Aku Sepercik Air Latar waktu dalam cerpen Aku Sepercik Air ialah masa senja seorang perempuan. “Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh hidupku kujalani dengan aman dan tenang, tentulah senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakkan pikiranku. Lebih dari empat puluh aku sekarang. Anakku Cuma dua. Yang tertua laki-laki, jadi duda sekarang. Yang satu lagi gadis sedang ranum remaja.41 c. Malam Kelabu Latar waktu dalam cerpen Malam Kelabu ialah setelah peristiwa G30S/PKI. “Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, 40
Martin Aleida, Dendam Perempuan, , h. 36 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 97
41
52
dia merasa khawatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi.”42 Latar Tempat Latar tempat merupakan lokasi terjadinya sebuah peristiwa dalam sebuah cerpen. Dengan adanya latar tempat, pembaca dapat membayangkan suasana tempat di mana peristiwa berlangsung. a. Suara Selat Malaka Latar tempat dalam cerpen suara antara lain saat Juwita hendak meresapi bagaimana nelayan-nelayan menarik suara, bersinandong, ketika pulang menjelang matahari menyuruk di balik kota. “Suatu ketika, kota nelayan kami gempar ketika dia bergabung dengan serombongan nelayan dan pergi melaut mendekati pinggang Selat Malaka.”43 Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Gedung Kesenian Jakarta menjadi saksi akan ketenaran Juwita. Setelah berpuluh-puluh tahun akhirnya Juwita bertemu Pinora di kafe seberang GKJ, kemudian Juwita menjadipengunjung tetap kafe itu. “Ketika tampil di Gedung Kesenian, presiden republik dan seluruh keluarganya datang menyaksikan.”44 Kali Ciliwung Kali Ciliwung merupakan kali yang terletak di dekat kafe yang sering dikunjungi Pinora dan Juwita. Di kali ini juga Pinora menemukan kertas peninggalan Juwita. “Hari ketiga setelah kliping yang dihanyutkan itu kuterima, pelayan kafe menyerahkan sebuah amplop berperangko 42
Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 30 Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 28 44 Ibid, h. 31 43
53
kepadaku. Di dalamnya terselip dua lembar kertas yang sama seperti yang kupungut dari permukaan Ciliwung. Bedanya pada kata-kata “Hanya seorang biduan…,” stabile merah tua digariskan dengan tegas oleh tarikan tangan dari seorang yang menyesali diri.”45 b. Aku Sepercik Air Latar dalam cerpen Aku Sepercik Air antara lain, yaitu: Jalan Raya Gunung Sahari dan Kali Ciliwung Di atas tebing Sungai Ciliwung, Munah dan Nizam membangun kios untuk berjualan bensin. Namun sayang, usaha itu tidak berjalan lama. Nizam harus kalah dengan persaingan yang ada, lalu gulung tikar. “Di tepi jalan raya Gunung sahari, di atas tebing Ciliwung, suamiku mendirikan tempat berjualan bensin.” 46 “Langit tiba-tiba kuning menembaga, menyepuh jalan raya, menyepuh puncak-puncak bangunan yang menjulang langit, melamur riak Kali Ciliwung di depan mataku.”47 Jakarta Jakarta merupakan tempat Nizam mengajak istrinya hidup. Di Jakarta pula lah nasib Munah menjadi lebih menderita. “Jakarta tersungkup senja, terapit antara keremangremangan penghujung siang dan pangkal malam.”48 Tanjung Balai Tanjung Balai ialah tempat asal Munah dan Nizam, namun pada akhirnya Nizam memutuskan merantau ke Jakarta dan Munah sebagai istri harus mengikuti suaminya. “Dari hulu air Sungai Asahan mengasah kedua tebingnya, menyeret lumpur, pasir dan bangkai dedaunan dan menimbunkannya di depan kota kecil kami, Tanjung Balai.”49
45
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 41 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 100 47 Ibid, h. 96 48 Ibid, h. 96 49 Ibid, h. 97 46
54
c. Malam Kelabu Latar tempat dalam cerpen Malam Kelabu antara lain, saat Armada baru saja tiba di Solo. Stasiun Kereta Api Balapan dan Mojo, Bengawan Solo “Satu jam setelah turun di Stasiun Kereta Api Balapan, sekarang Kamaluddin Armada sudah berada di atas tebing Bengawan Solo, di satu daerah bernama Mojo, menunggu perahu tambang yang akan menyeberangkannya ke tebing sebelah sana.”50 Soroyudan Soroyudan
merupakan
tempat
tinggal
Parttini
Mulyoraharjo. Tempat yang menjadi tujuan Armada pula, namun menjadi tempat Armada berputus asa. “Jika jalan ini terus diikuti, tentu akan sampailah aku ke satu gerbang tua, sebagaimana ynag ditulis Partini, dia berbisik di dalam hati. Pintu gerbang itu pastilah pintu Soroyudan, kata hatinya pula.”51 Bacem Jembatan Bacem merupakan tempat Armada mengakhiri hidupnya. Armada sudah sangat putus asa karena ditinggal oleh Partini. Partini yang menjadi korban karena ayahnya adalah seorang PKI. “Matahari menghilang ke dalam bumi tiga jam yang lalu. Jembatan Bacem, kira-kira lima kilometer di selatan Soroyudan, mulai sepi.”52 Latar Suasana
50
Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 21 Ibid, h. 29 52 Ibid, h. 39 51
55
Latar suasana atau latar sosial merupakan kehidupan sosial yang terjadi dalam sebuah karya. a. Suara Dalam cerpen Suara, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan bangsa Indonesia yang memasuki tahun 2000-an, dimana dapat dikatakan sebagai era moderen. Hal tersebut terlihat jelas dengan usia Juwita yang sudah cukup tua pada tahun itu. Pada masa itu, orang lebih mementingkan dirinya sendiri bahkan melupakan sejarah yang pernah ada. Seperti dalam kutipan berikut. ““Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…”53 b. Aku Sepercik Air Dalam cerpen Aku Sepercik Air, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan perantau di kota besar. Sebagai perantau, tentulah harus berusaha lebih keras agar dapat bertahan hidup di kota rantauan. Sperti terlihat dalam kutipan berikut. “Di tepi jalan raya Gunung Sahari, di atas tebing Ciliwung, suamiku mendirikan tempat berjualan bensin. Sebelum kami datang kemari, sudah berpuluh-puluh kios yang didirikan orang di sepanjang jalan ini. Mereka semua seperti kami, sama-sama pendatang. Sebagaimana orang-orang lain yang memberikan nama untuk usahanya, suamiku pun memberikan sebuah nama yang cocok untuk kios ini, Torsere, yang kira-kira berarti segerelah menjadi emas, atau makmurlah dengan segera.”54
c. Malam Kelabu 53 54
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 40 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 100
56
Dalam cerpen Malam Kelabu, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan bangsa Indonesia peristiwa setelah G30S. Setelah peristiwa G30S, banyak sekali perubahan hidup yang terjadi dalam masyarakat. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, dia merasa khawatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi. Aku membantunya sedikit-sedikit. Tapi, sampai kemanalah kemampuan seorang pedagang kaki lima seperti aku ini. Dia kembali kemari. Berkumpul dengan keluarganya. Di tengah-tengah Ibu dan adik-adiknya yang sudah tak berayah. Alangkah paitnya kepulangan Dik Partini waktu itu. Disambut ibu yang sudah jadi janda, diterima adik-adiknya yang sudah jadi piatu. “55
5. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang digunakan oleh Martin Aleida dalam cerpen-cerpennya sangat jelas dan menggunakan beberapa majas. a. Suara Dalam cerpen Suara terdapat penggunaan majas ironi yang terdapat pada kutipan berikut. “Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…”56 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa peristiwa yang besar dan menyedihkan di Negeri ini pun mampu terlupakan. Lalu, bagaimana dengan Juwita yang hanya seorang biduan. Tentu ia pun sudah terlupakan oleh banyak orang. b. Aku Sepercik Air 55 56
Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 30 Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 40
57
Dalam cerpen Aku Sepercik Air terdapat penggunaaan majas personifikasi yang terdapat pada kutipan berikut. “Bumi terus saja beredar dari detik ke detik. Matahari turun bagai bergegas hendak mencium kakilangit di barat.”57 Kutipan tersebut menggambarkan bahwa matahari seolaholah dapat mencium, faktanya matahari tidak dapat mencium. Penggunaan majas personifikasi tersebut mengartikan bahwa matahari akan tenggelam. Selain itu, terdapat pula majas metafora dalam cerpen Aku Sepercik Air, yang terdapat dalam kutipan berikut. “Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh hidupku kujalani dengan aman dan tenang, tentulah senja yang celaka ini takkan pernah menyesakkan pikiranku.”58 Pada kutipan tersebut, Munah sedang mengumpamakan hidupnya
dengan
siang
dan
senja.
Dalam
pengertian
sebenarnya, siang yang dimaksudkan Munah ialah masa muda. Sedangkan senja ialah masa tuanya.
c. Malam Kelabu Dalam cerpen Malam Kelabu terdapat penggunaan majas personifikasi yang terdapat dalam kutipan berikut. “Bengawan mengalir dengan deras di bawah kakinya yang mengigil disapu angin pagi, dingin membekukan.”59 Pada kutipan tersebut terlihat bahwa seolah-olah kaki dapat disapu oleh angin. Pada kenyataannya angin tidak dapat menyapu.
Penggunaan
majas
personifikasi
mengartikan bahwa kaki dari Armada terkena angin. 57
Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 96 Ibid, h. 97 59 Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h, 21 58
tersebut
58
Di dalam cerpen Malam Kelabu terdapat juga penggunaan majas ironi, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. “Kemana cinta dan penghormatanmu akan kubalaskan. Engkau dan seluruh keluargamu sudah tiada. Tiada kubur tempat berziarah, seakan-akan engkau tak boleh diterima bumi, karena ayahmu komunis. Karena pamanmu… Oi adik….,”60 Pada kutipan tersebut menjelaskan bahwa kesedihan Armada tidak dapat berziarah kubur. Karena pada umumnya, orang yang sudah meninggal dikuburkan di dalam tanah dan dapat diziarahi oleh keluarga dan kerabat. Namun pada saat itu, banyak korban peristiwa G30S/PKI yang tidak dapat ditemukan jeasadnya. 6. Sudut Pandang a. Suara Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang yang digunakan ialah “Dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat, yang dimanifestasikan pada Pinora. Seperti dalam kutipan berikut. “Kaget. Aku tegak. Di depanku berdiri seorang perempuan dengan senyum yang hampir meledak menjadi tawa. Mulutnya mengulum gigi palsu. Gincu merah yang memolos bibirnya tak bisa menyelamatkan ketuaan yang tergurat dengan nyata pada keriput yang bertumpuk di pojok matanya. Walau tua, namun, matanya tetap berbinar. “Pinora…!” katanya setengah berteriak menyebutkan namaku.”61 b. Aku Sepercik Air Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang pertama, dimana pengisahan terletak pada
60
Ibid, h, 40 Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 33-34
61
59
seorang narator yang dimanifestasikan pada tokoh Munah. Sepeti terlihat dalam kutipan berikut. “Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh hidupku kujalani dengan aman dan tenang, tentulan senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakkan pikiranku. Lebih dari empat puluh aku sekarang. Anakku cuma dua. Yang tertua laki-laki, jadi duda sekarang. Yang satu lagi gadis yang sedang ranum remaja.”62 c. Malam Kelabu Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut
pandang orang
ketiga
(pusat
pengisahan),
yang
dimanifestasikan pada tokoh pencerita yaitu Armada dan Carik. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Dia adalah carik, kata Armada dalam hati. Tanpa ditanya dia sudah menjelaskan. Bagus sekali kalau aku bisa berkenalan dengan carik, katanya lagi di dalam hati. Di sini dia tentu jadi orang terpandang, pikirnya. Dengan perasaan gembira, tanpa dihalang-halangi perasaan malumalu, Armada menjawab,”Partini.” “Orangtuanya?” “Partini Mulyoraharjo. Jadi nama orangtuanya bernama Mulyoraharjo.” “Mulyoraharjo!” ulang orang itu setengah berteriak, sambil menjauh tiga langkah dari sisi Armada. Keningnya berkerut. Kedua ujung alis matanya hampir saling menyentuh. Di dalam bola matanya terpancar berbagai macam perasaan. Takut, benci, kagum dan dendam bercampur aduk, timbul tenggelam di situ.”63 7. Amanat a. Suara Amanat yang terkandung dalam cerpen ini ialah janganlah melupakan sejarah. 62 63
Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 97 Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 26-27
60
“Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan…”64 b. Aku Sepercik Air Amanat yang terkandung dalam cerpen ini ialah hilangkanlah rasa dendam yang ada pada diri. Dendam hanya membawa kesengsaraan bagi diri sendiri dan orang lain. “Mengapa harus begini Ibu…” “Mereka meratap di bawah lututku. Kemudian merubungi Nizam. Mereka memegangi kepala sang ayah yang sudah hancur. Diiringi tangis mereka mendekatkan mulut ke telinga Nizam yang berlumur darah.”65 c. Malam Kelabu Amanat yang terkandung dalam cerpen ini ialah janganlah mudah putus asa. “Saudara masih muda. Masih banyak waktu. Kuatkan hatimu.”66
B. Analisis Citra Perempuan 1. Citra Wanita dalam Aspek Fisis Citra fisis wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari pengarang sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Keduaduanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tandatanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas.67 Citra fisis wanita tidak digambarkan berbeda dengan realitas yang ada.
64
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 40 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 112 66 Martin Aleida, Mati, Baik-Baik Kawan, h. 38 67 Sugihastuti, Wanita Di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, h. 90-91 65
61
a. Cerpen Suara Dalam cerpen Suara, terdapat tokoh-tokoh yang berperan dalam tokoh perempuan utama yaitu Marwah Juwita. Selain itu, tokoh Juwita sendiri menggambarkan peran dan pandangannya sebagai perempuan. Dalam aspek fisis, citra yang tergambar dalam tokoh Juwita ialah perempuan yang mempunyai suara indah. Juwita juga merupakan sosok ideal sebagai perempuan. Juwita merupakan biduan yang mempunyai suara dan gaya yang dapat membuat orang lain terlena. Keindahan suara Juwita terlihat dalam kutipan berikut. “Suara dan gayanya menyanyi yang membuat orang terlena, ditambah nasib yang baik, tentu, dengan cepat melambungkan nya ke puncak kesohoran. Kurang dari setahun dia sudah menjadi bintang radio tingkat nasional. Dia menjadi orang yang paling diburu wartawan.”68 Tidak hanya suara dan gaya yang membuat orang terpesona. Juwita juga mempunyai pesona kecantikan yang mempesona. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Matanya, yang bagaikan bintang yang tak kenal redup, dan bibirnya yang sensual bak delima rekah kematangan, menghiasi berbagai majalah. Sungguhpun warna kulit majalah waktu itu cuma hitam-putih, namun tidak mengurangi kejelitaannya.” 69 Kutipan tersebut memperlihatkan kecantikan seorang Juwita. walaupun warna kulit majalah pada saat itu masih hitam-putih, namun tidak mengurangi kejelitaan Juwita sedikit pun. Mata Juwita diumpamakan bagai bintang yang tak kenal redup. Bintang memiliki cahaya yang indah, jika mata Juwita digambarkan bagai bintang yang tak kenal redup maka, mata Juwita memiliki cahaya yang terus bersinar. Bibir Juwita diumpamakan
delima
rekah
kematangan.
Delima
yang
merekah
kematangan akan berwarna merah. Bibir Juwita yang sensual dengan warna kemerahan menambah pesona kecantikan Juwita.
68
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 30-31 Ibid, h. 46
69
62
Selain itu, nama Juwita pun sudah menopang kejelitaannya. Nama biasanya adalah lambang pengharapan orang tua terhadap anaknya. Pengharapan dalam nama Juwita membawa kenyataan pada fisik Juwita. Kata Juwita sebenarnya berasal dari juita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, juita mempunyai arti cantik; elok. Sedangkan jelita mempunyai arti cantik sekali; elok. Maka, dapat dikatakan bahwa nama Juwita serupa dengan fisiknya yang jelita. Nama Juwita yang berarti cantik ditopang keindahan fisiknya yang cantik pula. Secara fisis, pernikahan juga menunjukkan bahwa wanita telah memasuki tahap dewasa. Begitu pun yang dialami oleh Juwita. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Sampai datanglah seorang pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya.”70 Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa dalam aspek fisis, Juwita tercitra sebagai wanita dewasa. Juwita memasuki jenjang pernikahan dengan seorang dokter. Pernikahan nantinya akan berkaitan dengan aspek psikis dan sosial. Dalam cerpen ini digambarkan pula sosok Juwita ketika sudah usia renta. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Kaget. Aku tegak. Di depanku berdiri seorang perempuan dengan senyum yang hampir meledak menjadi tawa. Mulutnya mengulum gigi palsu. Gincu merah yang memoles bibirnya tak bisa menyelamatkan ketuaan yang tergurat dengan nyata pada keriput yang bertumpuk di pojok matanya. Walau tua, namun, matanya tetap berbinar.”71 Dalam cerpen Suara, pada tahap awal hanya dicitrakan Juwita sebagai perempuan yang cantik. Nama sekaligus fisik Juwita menggambarkan kecantikan seorang biduan. Namun, ketika ia sudah renta dicitrakan bahwa Juwita menggunakan gigi palsu dan gincu merah untuk menyelamatkan 70 71
Ibid, h. 32 Ibid, h. 33
63
ketuaannya. Secara fisis, wanita merupakan individu yang suka berdandan. Dalam cerpen ini hanya terlihat Juwita berdandan di masa tua. Maka, dapat dikatakan bahwa terdapat citra perempuan sebagai individu yang suka berdandan. Pada cerita awal, saat Juwita baru datang ke Jakarta dari kota kecil di Sumatera, digambarkan sosok Juwita yang begitu jelita. Lalu, pada saat Juwita sudah renta dan mendatangi Pinora di kafe seberang Gedung Kesenian Jakarta, Juwita digambarkan dengan gigi palsu dan gincu merahnya. Hal ini berkaitan dengan Juwita yang telah terlupakan sebagai
biduan.
Juwita
ingin
mengingatkan
para
seniman
akan
kejayaannya di masa lalu. Dengan cara ia berdandan, dapat diungkapkan bahwa wanita melakukan aktivitas luar untuk menarik perhatian di luar dirinya. Juwita melakukan cara agar ia tetap terihat menarik. Ia menggunakan gigi palsu untuk menutupi giginya yang telah tanggal. Lalu, ia juga menggunakan gincu merah pada bibirnya untuk menarik perhatian. b. Cerpen Aku Sepercik Air Tokoh-tokoh dalam cerpen Aku Sepercik Air memiliki peran dalam pembentukan citra pada tokoh Munah. Selain tokoh-tokoh lain, dalam cerpen ini Munah menampilkan pandangan dan perannya di dalam kehidupan. Munah merasakan kekuatan suaminya tidak sebanding dengan dirinya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Aku tahu dia memiliki tenaga yang tak bisa kuduga kekuatannya. Karena itu aku harus menyambung tenaga dengan sebilah kapak.”72 Sadar akan kekuatan dirinya dan kekuatan yang tidak dapat diduga yang dimiliki suaminya. Munah menggunakan sebilah kapak untuk membantu dirinya sendiri. Kesadaran akan kekuatan yang tidak sebanding dengan laki-laki juga terlihat dalam kutipan berikut.
72
Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 102
64
“Malam ini adalah malam penghabisan dari usiaku. Sebab dini hari nanti aku akan pergi menggedor rumah si pendosa itu. Begitu pintu dibukakannya, akan kuayunkan kapakku ke mukanya. Tapi, dia tentu jauh lebih kuat dari aku. Senjataku dielakannya, dirampasnya. Dan tibalah maut itu. Kapakku membelah kepalaku sendiri.”73 Secara fisis, tokoh Munah dicitrakan sebagai perempuan yang sadar akan kekuatan yang tidak bisa menandingi laki-laki. Maka itu, Munah menggunakan sebilah kapak untuk membantunya membalas kesewenangwenangan suaminya. Walaupun masih ada kecemasan dalam diri Munah akan suaminya yang mempunyai tenaga yang lebih kuat. Peletakkan sebilah kapak pada diri Munah juga menggambarkan citra fisis Munah. Seperti terlihat pada kutipan berikut. “Sementara itu aku keluar sebentar, mengambil bungkusan kecil berisi sebilah kapak yang kusembunyikan di bawah kios. Senjata itu kuselipkan di stagen, di balik kebayaku., dibawah susuku yang sudah kisut. Kisut karena umurku, kisut karena penderitaan batinku. Aku masuk lagi.”74 Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa Munah meletakkan sebilah kapak di dalam selipan stagen, dibalik kebaya, dan dibawah susunya yang sudah kisut. Hal ini menggambarkan bahwa secara fisis, Munah tidak lagi muda. Selain itu, dalam kutipan tersebut dapat dikatakan pula bahwa munah tidak lagi menarik perhatian suaminya karena kondisi fisiknya yang sudah tua. c. Cerpen Malam Kelabu Dalam cerpen Malam Kelabu, citra perempuan terletak sepenuhnya pada narasi laki-laki. Tokoh Partini Mulyoharjo dikisahkan oleh Kamalludin Armada dan Carik dari Kelurahan Laban. Dalam aspek fisis, Partini digambarkan sebagai wanita yang belum memasuki jenjang pernikahan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
73 74
Ibid, h. 103 Ibid, h. 110
65
“Dari Partini. Dari tunanganku. Dari anaknya sendiri,” jawab Armada tenang-tenang. “Dia gadis dari daerah ini. Tapi, dia juga berterusterang. Dia ceritakan seluruh keadaan keluarganya. Terutama dia ceritakan tentang ayahnya.”75 Partini digambarkan akan memasuki jenjang pernikahan setelah Armada datang ke desanya. Partini merupakan tunangan Armada. Sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, Partini sudah menceritakan seluruh keadaan keluarganya, termasuk ayahnya yang merupakan pimpinan PKI. Selain itu Partini juga dicitrakan sebagai gadis yang manis. Hal ini terlihat dalam percakapan Armada dan Carik. “Aku yang bagaikan debu terpelanting di jalan mendapat tempat di hatinya. Dia yang mulia, manis, dan suka berterus terang. Tiada pernah aku bertemu dengan wanita tanpa kepalsuan, tanpa kepura-puraan, kecuali dia. Maaf, aku bukan menggurui Bapak. Kepalsuan dan kepura-puraan wanita terbaca dari cara mereka berdandan. Apalagi kalau mereka berbicara, sifat itu kedengaran jelas.”76 Armada yang menganggap dirinya hanya debu yang terpelanting sangat bersyukur mendapatkan seorang Partini. Secara fisis, Partini digambarkan sebagai gadis yang manis. Citra fisis perempuan yang ditampilkan melalui tokoh Armada,
menggambarkan bahwa kepalsuan
dan kepura-puraan perempuan terbaca saat perempuan tersebut berdandan. Dapat dikatakan bahwa secara fisis, Partini bukanlah seorang gadis yang sberlebihan dalam berdandan untuk menarik perhatian luar. Partini dicitrakan sebagai gadis tanpa kepura-puraan. Dalam uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa citra fisis wanita yang digambarkan oleh Martin Aleida diwujudkan ke dalam fisik wanita dewasa. Aspek fisis wanita dewasa tersebut dikongkretkan dari cirri-ciri fisik wanita dewasa seperti menikah. Seperti yang dicitrkan pada tokoh
75 76
Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, h. 29 Ibid, h. 31
66
Juwita dan Munah, sedangkan Partini diceritakan akan memasuki jenjang pernikahan. Secara fisis, tokoh Munah dalam cerpen Martin Aleida juga dicitrakan sebagai perempuan yang mempunyai tenaga yang berbeda dengan lakilaki. Seperti dalam kutipan terlihat citra fisis Munah yang menganggap laki-laki lebih kuat darinya. Tokoh Munah menganggap dirinya tidak sekuat laki-laki, sehingga Munah memerlukan sebilah kapak untuk menyambung tenaganya. Sebagai individu, secara fisis tokoh wanita dalam cerpen Martin Aleida juga digambarkan sebagai perempuan yang suka melakukan aktivitas luar. Pada tokoh Juwita, aktivitas luar seperti berdandan dilakukan olehnya untuk menarik perhatian orang lain. Sedangkan pada tokoh Partini yang ditampilkan melalui tokoh Armada, Partini merupakan perempuan yang tidak berlebihan dalam berdandan, karena kepura-puraan perempuan terbaca dari cara ia berdandan.
2. Citra Wanita dalam Aspek Psikis Wanita sebagai makhluk individu, selain terbentuk dari aspek fisis, juga terbangun oleh aspek psikis. Ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga makhluk psikologis, makhluk yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi. Dengan mengingat aspek fisis dan psikis itu, keduanya ikut mempengaruhi dan menemukan citra perilakunya. 77 Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai feminitas. Prinsip feminitas ini dijelaskan oleh Yung sebagai sesuatu yang merupakan kecenderungan yang ada dalam diri wanita; prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut cirri relatedness, receptivity,
77
Sugihastuti, op. cit., h. 95
67
cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasinya komunal, dan memelihara hubungan interpersonal.78 a. Cerpen Suara Dalam cerpen Suara, tokoh Juwita sebagai perempuan yang dapat beraspirasi. Seperti dalam kutipan berikut. “Agaknya tak ada lagi yang tersisa. Semua sudah dia lakukan untuk membuat suaranya berpetunang, suara yang bagaikan ditumpangi roh yang bisa menambat dan mempesona hati pendengarnya”79 Dengan keindahan suara yang dimiliki oleh Juwita, ia dapat memesona siapapun yang mendengarnya. Dalam kutipan tersebut terlihat aspek psikis Marwah, yaitu pemikiran Marwah untuk berjuang dengan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keindahan suara yang diinginkannya. “Tak dipedulikannya apa kata orang. Dia kelihatannya hanya mendengar dan mengikuti suara-suara yang selalu bergalau di dalam dirinya. Suara-suara yang tak bisa dijelaskan datang dari mana, namun selalu menggema dan memburunya untuk berbuat sesuatu bagi kemerduan suaranya.”80 Juwita tidak memperdulikan apa kata orang. Suara yang selalu menggema dalam diri menuntutnya untuk melakukan segala cara untuk kemerduan suaranya. Mulai dari mengikuti nelayan yang umumnya lakilaki ber-sinandong, berniat bergabung dalam kelompok paduan suara di gereja walaupun ia anak haji, sampai berniat memakan rio-rio, semacam jangkerik yang bersuara nyaring. Dalam memburu bagi kemerduan suaranya, terlihat bahwa Juwita juga merupakan seorang pemberani. Citra psikis ini terlihat dalam kutipan berikut.
78
Sugihastuti, op. cit., h. 95-96 Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 27 80 Ibid, h. 28 79
68
“Dia hanyut dibawa oleh suara yang berdesakan dari dalam dirinya sendiri dan nekad mengambil keputusan untuk pindah ke Jakarta, mengadu nasib sebagai biduan.”81 Juwita sebagai perempuan berani untuk mengambil sebuah keputusan. Karena pada waktu itu, belum ada gadis yang berniat meninggalkan kota asal untuk keperluan mendesak sekalipun. Akan tetapi, Juwita mampu mendobrak kebiasaan yang sudah ada. Keberanian Juwita juga terlihat jelas saat Juwita bernyanyi seperti para nelayan yang menarik suara, bersinandong ketika pulang. Juwita adalah perempuan pertama yang melagukannya, karena biasanya dilagukan oleh para laki-laki. Keberanian Juwita berhubungan dengan aspek psikisnya dalam melakukan berbagai cara bagi kemerduan suaranya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Dia bukannya benar-benar berniat mau menangkap ikan, tetapi hanya sekedar hendak meresapi bagaimana nelayan-nelayan itu menarik suara, ber-sinandong, ketika pulang menjelang matahari menyuruk di balik kota. Dia terpikat dengan irama sinandong yang dibawakan dengan nada tinggi untuk menitipkan kabar kepada anak-istri lewat angin tentang hasil tangkapan mereka seharian. Lagu itu mulai dilantunkan ketika perahu dikelokkan di tanjung yang kelihatan menjorok dari arus sungai, sekitar dua kilometer dari kota.”82 “Alasan mengapa dia ikut melaut, katanya, karena kelompok kasidah yang berlatih seminggu sekali sudah tak memadai untuk kebutuhan latihannya. Bayangkanlah, bagaimana keras kemauannya mengikuti suara-suara yang muncul dari jiwanya, sehingga dia juga pernah mengutarakan niatnya untuk bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja satu-satu nya yang terdapat di kota kami.”83 Suara-suara dalam pikiran Juwita membuat dirinya tidak terkendali. Sehingga Juwita sempat mempunyai keinginan untuk mengikuti kelompok paduan suara di gereja. Juwita merupakan seorang Melayu dan anak seorang haji. Tidak hanya itu, Juwita juga sempat mempunyai keinginan untuk memakan rio-rio, semacam jangkerik karena mendengar kabar bahwa guru mengaji yang mempunyai suara merdu memakan binatang 81
Ibid, h. 30 Ibid, h. 28 83 Ibid, h. 28-29 82
69
tersebut. Walaupun keinginan-keinginannya tersebut dibenamnya, ambisi Marwah tidak pernah padam. Pada akhirnya, ambisi Juwita harus terhenti dalam tali pernikahan. Walaupun Juwita berada dalam superioritas laki-laki. Dalam aspek psikis, citra perempuan dalam tokoh Juwita merupakan sosok individu yang mampu menyampaikan aspirasinya sebagai perempuan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Dari dia sendiri jugalah kuketahui bahwa perkawinannya dengan dokter itu akhirnya kalah juga menghadapi suara-suara yang terus berdesakan dari dalam relung jiwanya. Suara-suara itu tidak mengenal usia. Ketergantungan pada obat penenang ternyata tak kuasa mempertahankan tali perkawinannya. Dia memilih menyerah pada desakan suara daripada terus menjadi seorang istri pingitan.”84 Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa Juwita merupakan perempuan yang berperasaan dan berpikir. Juwita lebih memilih untuk mewujudkan perasaan yang selama ini dipendamnya daripada harus menjadi istri pingitan. Terlihat pula bahwa pada perempuan, aspek untuk memilih tidak hanya terletak pada pikiran akan tetapi menggunakan perasaan juga. Perempuan menggunakan akal sekaligus perasaan dalam memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Terliat pula citra psikis Juwita yang terpukul akan dirinya yang terlupakan oleh para seniman muda. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Ketika itu Teluk Jakarta sedang pasang. Air kali di bawah kakiku mengalir dengan berat. Tiba-tiba aku melihat dua lembar kertas yang putih bersih mengapung diseret air mendekati undakan batu di bawah kafe. Aku bangkit, menuruni undakan batu di bawah kafe. Lembar pertama merupakan foto kopi dari satu halaman penuh majalah Star Weekly tahun 1952, dengan tanggal dan bulan yang sudah terbaca. Walaupun halamannya sudah kabus, namun laporan lengkap majalah itu dari kejuaraan nasional seriosa masih bisa dibaca. Di tengah halaman terpampang foto Marwah Juwita, sang kampiun, dan dua penyanyi yang kurang mujur di kiri-kanannya. Sedangkan pada lembar yang satu lagi, dijepitkan pada klipping tersebut., terbaca tulisan 84
Ibid, h.
35
70
tangan “Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apakah aku. Hanya seorang biduan…”85 Juwita yang merasa sedih akan perjuangannya yang terlupakan, menyesalkan seniman-seniman muda yang tak kenal dirinya. Pinora, teman Juwita sering mengatakan bahwa bangsa ini sering melupakan sejarah. Namun, Juwita tidak mampu lagi hidup sebagai biduan yang terlupakan. Dalam hal ini terlihat bahwa citra psikis Juwita sebagai perempuan yang mempunyai pikiran dan perasaan. Perempuan cenderung menggunakan perasaannya dalam bertindak. Juwita akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena perasaan sedih menjadi biduan yang terlupakan.
b. Cerpen Aku Sepercik Air Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat aspek psikis yang tercitrakan pada tokoh Munah. Ketidakpastian wajah alam mini pun melamur-warnai perasaan orang dengan kecemasan, karena satu hari dari usia mereka akan tenggelam ditelan remang senja ini. Remang senja yang kurasakan bagai tangan ajaib, meraba dan meremas-remas hatiku.”86 Dalam kutipan tersebut, terlihat citra psikis Munah. Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa Munah menyamakan pemandangan yang dilihat dengan apa yang dirasakannya. Perasaan yang membuat hatinya merasa di belenggu. Munah merasakan senja itu terjadi pula pada dirinya. Dirinya yang memasuki usia tidak muda lagi. Munah juga merasakan kecemasan yang melanda tidak dapat dikalahkan oleh dirinya sendiri. Kecemasan yang hanya membelenggu dan
85
Ibid, h. 39-40 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 96
86
71
tidak dapat terlepas darinya. Gambaran tentang kecemasaannya itu pun terlihat dalam kutipan berikut. “Jika engaku seorang yang berbahagia di atas bumi ini, seorang yang memiliki kekayaan yang menimbulkan iri hati orang-orang yang sengsara, kau juga tak trkecuali diburu kecemasan di senja begini. Hanya saja kau bisa memerangi kecemasan dengan pergi ke tempat pesiar, ke tempat-tempat yang bagus, bioskop-bioskop yang mewah, pantai-pantai hiburan yang merangsang. Di sana tentu dengan gampang kecemasan itu bisa kau kalahkan. Tapi, orang-orang seperti aku ini hanya bisa termenung dan jadi bodoh dalam lamunan mengenangkan kegagalan-kegagalan yang telah kami lakukan siang tadi. Gaduh dengan ratusan pikiran dan rencana yang bakal kami laksanakan esok. Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakkan pikiranku. Lebih dari empat puluh aku sekarang. Anakku cuma dua. Yang tertua laki-laki, jadi duda sekarang. Yang satu lagi gadis yang sedang ranum remaja.”87 Dalam kutipan tersebut terlihat bagaimana kecemasan yang membuat sengsara diri Munah. Kesengsaraan yang mungkin akan dapat dikalahkan oleh orang lain, namun tidak pada Munah. Nasib Munah yang tidak memiliki kekayaan, membuatnya merasa tidak sanggup mengalahkan kecemasan itu. Munah merasa menyesal akan kehidupan di masa muda, yang akhirnya menyebabkan kehidupaannya sekarang tidak tenang. Kecemasan juga tidak hanya tentang dirinya sendiri. Dalam kutipan tersebut
tersirat
bahwa
Munah
mencemaskan
kedua
anakknya.
Mencemaskan anak laki-lakinya yang menjadi duda dan mencemaskan anak gadis yang sedang ranum remaja. Dapat diketahui bahwa ada kecemasan orang tua ketika mempunyai anak remaja, apalagi anak perempuan. Orang tua harus selalu memberikan pengawasan dan pengertian kepada anak remajanya. Karena pada saat remaja, anak-anak mulai ingin mencoba segala hal dengan kondisi yang belum matang dalam pemikiran. Terlihat citra Munah sebagai seorang ibu yang mencemaskan anak-anaknya. 87
Ibid, h. 97
72
Citra sebagai perempuan yang peka pada Munah pula, akan membentuk citra psikis. Seperti dalam kutipan berikut. “Kemudian menjalar cerita ke tengah-tengah penduduk. Sebenarnya lebih tepat kalau kunamakan rayuan yang muluk-muluk tentang Medan, Singapura dan Jakarta. Tentang Jakarta, demikianlah cerita itu mendongeng; seorang pendatang yang hanya membawa sepasang pakaianyang melekat di tubuhnya bisa menjadi kaya-raya. Pemungut puntung rokok bisa membangunn pabrik rokok kretek. Pendeknya, Jakarta kota sejuta kemungkinan. Orang-orang jadi tergoda oleh rayuan kota-kota harapan ini. Suamiku pun turut gila karena godaan itu. Orang, jangankan diajak berbuat baik buat sesamanya, berbuat untuk kepentingan dirinya sendiri pun tak mau. Cobalah bayangkan barang sejenak. Andainya penduduk kota yang berbilang ribuan itu saban pagi menjemput segenggam pasir gosong dan menimbunkannya ke tepian, kupikir mata pencahariaan mereka yang sama sekali tergantung pada sungai itu tentulah akan tertolong. Asahan tertolong.”88 Dalam kutipan terlihat bahwa kepekaan Munah akan lingkungaannya membentuk pandangan Munah akan kota-kota besar yang menjadi tempat hijrah warga kotanya. Kota besar yang dianggapnya sebagai kota sejuta kemungkinan. Apapun dapat terjadi di kota seperti Jakarta. Munah pun menganggap suaminya sudah gila karena tergoda dengan rayuan-rayuan yang ditawarkan kota besar. Kepekaan yang menimbulkan kepedulian Munah pun terlihat dalam kutipan tersebut. Munah menganggap bahwa sekarang rasa peduli orangorang pun sudah hilang. Tidak hanya peduli untuk kepentingan bersama, peduli untuk kepentingan diri sendiri pun banyak yang sudah hilang dari orang-orang zaman sekarang. Hal tersebut menggambarkan citra Munah dalam aspek psikis, yaitu pemikiran dan perasaan yang dirasakaannya akan lingkungan di hidupnya. Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat pula citra psikis yang terlihat pada tokoh Munah. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. 88
Ibid, h. 98
73
“Jatuhnya usaha suamiku ini tiada memberikan pengaruh apa-apa terhadap diriku. Aku tak mengejek dia karena dia gagal. Tak mempertahankan sikapku bahwa biar bagaimanapun janganlah kita meninggalkan kota kelahiran sebagaimana yang pernah kukatakan dulu. Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih bersatu dengan anak-anak kami. Pengakit lamanya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Agama, menurut pengertiannya mengizinkan dia mempermadu aku. Tapi, Tuhan tentu tidak membiarkan dia menyakiti hatiku. Saudaraku, (jika engkau seorang istri) adakah siksa dunia yang lebih pedih daripada dimadu? Kalaupun engkau tak percaya akan neraka di akhirat nanti, baiklah. Tapi, di dunia ini? Akan kau rasakan panasnya bara neraka bila satu ketika kau dimadu. Aku bukan tak mengizinkan dia untuk kawin lagi. Aku mengerti. Aku memahami kebutuhannya. Namun, aku minta diceraikan dan supaya dia mengongkosi aku pulang. Ceraikan dan aku mau pulang. Cuma itu. Tidakkah permintaanku itu masuk akal.”89 Dalam kutipan tersebut terlihat citra psikis yang dialami tokoh Munah. Ia menggambarkan kepatuhannya terhadap suami, walaupun ia tidak ingin pergi ke Jakarta dulu kala. Namun di tengah kesetiaannya, lelaki yang dianggapnya mempunyai suatu penyakit yang melekat, penyakit yang diperbudak birahi telah menyerang suaminya. Munah merasakan penderitaan yang dianggapnya sebagai neraka di dunia. Munah hanya ingin hubungannya berakhir dengan baik. Walaupun Munah menganggap dirinya sendiri lemah, ia masih mampu berpikir bahwa pengkhianatan suaminya harus dilawan oleh dirinya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Melawan, untuk menghancurkan si pendosa. Aku tahu dia memiliki tenaga yang tak bisa kuduga kekuatannya. Karena itu aku harus menyambung dengan sebilah kapak. Adil bukan? Tetapi, aku tak yakin bahwa aku akan menang dan dia akan menggeletak di ujung kaki istrinya. Barusan saja aku seakan-akan mendapat firasat untuk membatalkan niatku itu. Pergulatan itu hanya akan membawa maut 89
Ibid, h. 11
74
bagiku. Tapi, sekalipun aku akan mati, kesewenang-wenangan suami itu harus kulawan. Aku tak mau berputih mata.”90 Munah merasakan kesewenang-wenangan telah menimpa dirinya. Walaupun ia merasa kekuatannya tidak dapat disandingi dari laki-laki, ia tetap berpikir untuk melakukan perlawanan apapun akibatnya kelak. c. Cerpen Malam Kelabu Sebagai tokoh perempuan, secara psikis Partini digambarkan sebagai tokoh yang suka berterus terang. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Dari Partini. Dari tunanganku. Dari anaknya sendiri,” jawab Armada tenang-tenang. “Dia gadis dari daerah ini. Tapi, dia juga berterusterang. Dia ceritakan seluruh keadaan keluarganya. Terutama dia ceritakan tentang ayahnya. Ayahnya yanga adalah seorang komunis. Dia ceritakan bukan sebagai tanda kagum, tapi sebagai kenyataan buat kupertimbangkan. Dia berterus-terang. Inilah satu sifatnya yang kusenangi. Itu pulalah yang menambah besar cintaku padanya.”91 Partini menjelaskan kepada Armada bagaimana keadaan keluarganya, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Partini pun sudah mengetahui bahwa ayahnya ialah seorang komunis. Pada saat itu, orang-orang tidak ingin terlibat dengan hal yang berbau komunis. Maka, Partini sudah menjelaskan dari awal kepada tunangannya
agar menjadi suatu
pertimbangan untuk menjalani hubungan ke jenjang selanjutnya. Pada aspek psikis, Partini juga digambarkan sebagai perempuan yang sangat menyayangi keluarganya. Karena Partini sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang komunis, maka ia yang hidup jauh dari desanya pun khawatir akan keadaan keluarganya saat itu. Kecemasannya itu membuat dirinya harus kembali kepada keluarganya di desa. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, dia merasa 90
Ibid, h. 102 Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, h. 29
91
75
kuatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi. Aku membantunya sedikit-sedikit. Tapi, sampai kemanalah kemampuan seorang pedagang kaki lima seperti aku ini. Dia kembali kemari. Berkumpul dengan keluarganya. Di tengah-tengah Ibu dan adik-adiknya yang sudah tak berayah. Alangkah paitnya kepulangan Dik Partini waktu itu. Disambut ibu yang sudah jadi janda, diterima adik-adiknya yang sudah jadi piatu.“92 Kekuatiran Partini yang membuatnya harus kembali ke desa harus disambut dengan kepedihan. Ayah Partini yang seorang PKI akhirnya harus tewas dan membuat Partini dan adik-adiknya menjadi piatu. Selain itu, aspek psikis yang tergambar dari Partini ialah seorang perempuan yang jujur. Partini tidak pernah berbicara dengan kepurapuraan apalagi mengada-ada. Ia juga digambarkan sangat manis dan mulia. Hal tersebutlah yang membuat Armada jatuh cinta pada Partini. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Aku yang bagaikan debu terpelanting di jalan mendapat tempat di hatinya. Dia yang mulia, manis, dan suka berterus terang. Tiada pernah aku bertemu dengan wanita tanpa kepalsuan, tanpa kepura-puraan, kecuali dia. “Maaf, aku bukan menggurui Bapak. Kepalsuan dan kepura-puraan wanita terbaca dari cara mereka berdandan. Apalagi kalau mereka berbicara, sifat itu kedengaran jelas.”93 Dari uraian tersebut, dapat diketahui aspek psikis yang digambarkan dalam tiga cerpen Martin Aleida. Dalam aspek psikis, wanita digambarkan sebagai perempuan yang mampu beraspirasi dan mempunyai perasaan, seperti Juwita yang melakukan segala cara agar mempunyai suara indah. Ia berani mengemukakan apa yang dirasakannya. Juwita juga digambarkan sebagai individu dengan aktivitasnya ke luar untuk menarik pihak lain seperti berhias. Aspek psikis yang tercitrakan pada tokoh Munah, yaitu wanita yang mempunyai sisi feminim. Terlihat bahwa Munah lebih peka dan peduli 92
Ibid, h. 30 ibid, h. 31
93
76
terhadap
lingkungan.
Munah juga digambarkan dengan perasaan
kecemasannya. Citra fisis yang menganggap dirinya sebagai wanita lebih lemah, mampu dilawan oleh pikirannya sendiri. Sedangkan pada Partini tercitrakan
wanita
yang
mampu
beraspirasi
dengan
segala
keterusterangannya. Namun, walaupun wanita mampu beraspirasi, wanita secara psikis menggunakan perasaan pula untuk membuat keputusan. Dalam aspek psikis, ketiga tokoh juga menggambarkan kejiwaan wanita dewasa yang bertanggung jawab, Juwita dan Munah sebagai ibu dan Partini sebagai anak yang mempunyai orang tua. Ketiga tokoh ini mempunyai tanggung jawab masing-masing. Hal lain yang dirasakan oleh kejiwaan wanita ialah sistem patriarki dalam kehidupan mereka. Citra psikis yang tergambar sebagai wanita yang tersudut akibat ideologi gender terlihat pada Juwita dan Munah yang harus menutupi perasaan dan pikirannya, dengan patuh terhadap ketentuan-ketentuan suami. 3. Citra Wanita dalam Aspek Keluarga dan Masyarakat a. Cerpen Suara Dalam cerpen Suara terlihat biduan yang mempunyai ambisi yang sangat kuat. Namun, pada akhirnya ambisi Juwita terhenti karena menjadi seorang istri. Hal ini menggambarkan citra sosial Juwita dalam berkeluarga. Juwita harus menahan egonya dan tunduk pada suami. Seperti terlihat pada kutipan berikut. “Sampai datanglah seorang pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temannya. Sang suami bertekad untuk menyembuhan sang istri dari penyakit berkepanjangan. Buat dia, istri adalah segalagalanya. Yang lain harus menyingkir, termasuk ketenaran. Untuk meredam suara-suara yang berdentam-dentam dan memburu-buru dirinya, sang suami memutuskan untuk membawanya ke seorang psikiater. Sejak itu hidupnya menjadi bergantung pada obat. Dan,
77
perlahan-lahan namanya lenyap bersama menuanya generasi yang menjadi pemujanya.”94 Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Juwita harus menyerah pada takdirnya sebagai perempuan yang diperistri oleh laki-laki. Ambisi Juwita yang dulu sangat tinggi harus berakhir dalam tali pernikahan. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan masih berada dalam budaya patriarki yang memiliki ideologi gender. Masih terdapat superioritas laki-laki. Superioritas tersebut terlihat dari kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam hubungan sosial suami istri. Selain citra sosial dalam keluarga, terdapat juga citra sosial dalam bermasyarakat yang berhubungan dengan citra psikis Juwita.
Seperti
terlihat dalam kutipan berikut. “Tak sampai sebulan dia menjadi pengunjung tetap kafe seniman itu, Marwah menumpahkan perasaannya kepadaku. Katanya, betapa mujurnya nasibku memilih menulis puisi dan bisa berkarya terus sampai kini, ketika usiaku sudah 70 tahun. Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin bisa menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, Cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ. Mereka menyebutkan namanya dengan rasa kagum. Tetapi, para seniman muda tak ada yang menghiraukannya. Di depan anak-anak muda itu, dia merasa lebih rendah dari seorang pelayan.”95 Dalam kehidupannya di masa tua, Juwita yang sudah memutuskan untuk berpisah dengan suaminya karena ia ingin bebas, sudah berbeda dengan masa mudanya. Juwita tak lagi banyak dikenal orang banyak. Ia seringkali menunjukkan bahwa ia pernah menjadi penyanyi tenar akhir tahun 1950-an dengan berbagai arsip yang masih dimilikinya. Namun, usahanya sia-sia, Juwita tak lagi dikenal seniman muda.
94
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 32 Ibid, h. 35-36
95
78
b. Cerpen Aku Sepercik Air Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat citra sosial Munah, yaitu citra perempuan yang mempunyai peran dalam masyarakat. Munah merasa mempunyai peran dan tanggung jawab untuk memperbaiki lingkungannya. Walaupun Munah mempunyai padangan sendiri akan kota besar seperti Jakarta. Munah tetap mempertahankan stereotip yang sudah tertanam dalam masyarakat. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut. “Aku hanya seorang perempuan, seorang istri, dan sudah menjadi adat kebiasaan di daerah kami bahwa istri haruslah mengalahkan pikiranpikirannya dan tunduk pada suami. Semua kita ingin menjadi manusia yang baik, semua perempuan ingin jadi istri yang setia. Demikianlah akhirnya, aku ikuti suamiku, meninggalkan kota kami dan berlayar kemari, ke Jakarta, ke kota sejuta harapan dalam cerita-cerita yang merayu tadi”96 Kutipan tersebut memperlihatkan citra sosial Munah dalam perannya sebagai istri. Munah masih mempertahankan stereotip yang ada, bahwa seorang istri harus mengalahkan pikiran-pikirannya sendiri dan harus tunduk kepada aturan suami. Munah sebagi istri hanya ingin menjadi istri yang setia menemani suaminya kemanapun pergi. Munah mengalahkan pandangannya akan kota Jakarta yang hanya menyuguhkan sejuta rayuan, karena harus mengikuti suaminya yang tergoda akan rayuan tersebut. Selain itu, dalam cerpen Aku Sepercik Air ditampilkan citra sosial perempuan sebagai individu yang perlu dinafkahi oleh laki-laki. Laki-laki harus bertanggung jawab atas perempuan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Sekarang anak laki-laki inilah yang menghidupi kami. Aku bangga juga punya anak laki-laki yang sudah sanggup mengambil alih kewajiban orang tuanya yang tak bertanggung jawab. Pada mulanyan
96
Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 99
79
tidak tega aku melihat dia mengorbankan badanya untuk memberi makan mulutku dan adiknya. Tapi apalah yang bisa kulakukan.”97 Dalam kutipan tersebut dicitrakan bahwa seorang istri memerlukan tanggung jawab dari seorang suami. Ketika suami tidak mampu lagi bertanggung jawab, digambarkan bahwa anak laki-laki Munah yang menafkahi dirinya dan anak perempuannya. Secara sosial, dapat dikatakan bahwa perempuan berada di bawah tanggung jawab laki-laki sepenuhnya. Walaupun suami tidak lagi menafkahi istrinya. Dalam kutipan, tetap saja digambarkan anak laki-laki yang bertanggung jawab atas ibunya. Dapat ditarik kemungkinan bahwa sepenuhnya perempuan adalah tanggung jawab laki-laki. Terdapat gambaran pula bahwa, walaupun Munah mengalahkan seluruh pikiran-pikirannya akan kota besar, mengikuti serta tunduk pada suaminya. Munah tetap memiliki angan-angan terhadap kota kelahirannya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Ibu. Semua kita mencintai ibu. Dan kota kelahiran bagiku adalah ibu yang kedua. Dalam angan-anganku, biarlah aku mati tenggelam bersama kotaku itu, kalau suatu ketika nanti Sungai asahan sudah menghendakinya. Atau kalau aku ingin hidup terus bukankah aku bisa menyingkir ke pinggir dan bercocok tanam di sana untuk mendukung hidupku? Aku mengerti gosong yang menggila itu takkan bisa kutaklukan dengan tenagaku yang lemah ini.”98 Munah tetap memiliki angan-angan akan kota kelahirannya. Kecintaan akan kota kelahirannya membuat Munah ingin menghabiskan sisa hidupnya di kota itu. Walaupun Munah harus mengikuti suaminya ke Jakarta, tetapi angan-angan Munah untuk kembali selalu ada. c. Cerpen Malam Kelabu Dalam cerpen Malam Kelabu digambarkan juga bagaimana posisi perempuan ketika memasuki kehidupan rumah tangga. Hal ini terkait citra 97 98
Ibid, h. 103 Ibid, h. 99
80
sosial Partini dalam aspek keluarga. Jika nanti Partini menjadi seorang istri, maka Armada sudah membayangkan bahwa tanggung jawab berada penuh di tangannya. Beban yang dipikul oleh seorang istri akan ditanggung oleh sang suami. Hal ini menggambarkan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam kehidupan sosial di ranah rumah tangga. Tanggung jawab yang spenuhnya akan diemban oleh Armada terlihat dalam kutipan berikut. “Aku kawin. Menjadi kepala rumah tangga. Akulah nanti yang bakal memikul tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan itu, Pak. Beban rumah tangga yang dulu dipikul oleh ayah dan istriku akan kupikul sendiri. Kupikir, di sinilah terletak kebahagiaanku. Memikul tanggung jawab itulah kebahagiaan…”99 Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa kebahagiaan seorang suami ialah bertanggung jawab atas istrinya. Dengan kata lain, ketika laki-laki merasa dirinya lebih superior dari perempuan, maka laki-laki akan merasa bahagia. Laki-laki menganggap dirinya mempunyai kekuatan lebih dibanding perempuan. Sebagai makhluk sosial, Partini yang menyandang sebagai anak dan keponakan komunis harus merasakankan perbedaan di lingkungan masyarakat. Keluarga
Partini
dikucilkan dan
dimusuhi.
Bahkan,
masyarakat tanpa akal sehat membenci keluaga Partini. Tidak hanya ayah dan pamannya yang menyandang status komunis. Ibu, Partini, dan adikadiknya yang tidak tahu menahu pun harus menelan kebencian yang diluapkan oleh masyarakat. Sperti terlihat dalam kutipan berikut. “Karena akulah orang pertama membawa kabar yang bakal merobekrobek hati saudara. Seminggu yang lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari Yogya, kakak dari Mulyoraharjo. Orang itu di cincang rakyat sampai mati. Rumah dibakar jadi abu.”100 “Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama 99
Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, h. 33 Ibid, h. 35
100
81
terpendam. Hal itu bisa kita maklumi. Pikiran berada di bawah, amarah dan dendam, menjadi raja ketika itu. Partini, ibu dan adik-adiknya jadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi paman mereka, seorang komunis. Seperti juga di daerah-daerah lain, keluarga komunis itu ikut hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.”101 Status sosial Partini yang menjadi anak seorang komunis harus mengalami kemalangan. Perempuan seperti ibu dan Partini yang buta politik harus terbunuh karena mengemban status keluarga komunis. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada kekuatan perempuan saat peristiwa G30S. Sudah menjadi budaya bahwa perempuan itu lemah,. Bukan hanya laki-laki yang melegitimasi sattus seperti itu, namun perempuan itu sendiri menjadikan dirinya terbentu oleh budaya yang ada. Dalam cerpen ini, ibu dan Partini sama sekali tidak melakukan perlawanan dan pilihan lain selain rela nyawanya dihabiskan warga. Partini menganggap sudah tidak ada lagi laki-laki dalam keluarganya yang dapat member kekuatan kepadanya. Jelas terlihat bahwa perempuan akan selalu membutuhkan perlindungan dari laki-laki. Dari uraian tersebut tercitrakan apek sosial dalam 3 tokoh dalam cerpen Martin Aleida. Ketiga tokoh digambarkan sebagai makhluk sosial yang mempunyai hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan yang kecil, yaitu hubungan antara wanita dan laki-laki. Wanita masih hidup dalam superioritas laki-laki. Citra wanita dalam aspek sosial juga terbentuk dari pengalaman-pengalaman pribadi. Wanita juga berada dalam budaya patriarki, di mana kekuasaan lebih didominasi oleh laki-laki. Dalam tokoh Juwita dan Munah terlihat bahwa ambisi harus dipendam karena ia hidup dalam budaya patriarki. Suami merupakan sumber kepatuhan yang dimiliki oleh kedua tokoh wanita ini. Sedangkan pada tokoh Partini, politik dapat mempengaruhi kedudukan seseorang dalam
101
Ibid, h. 36
82
masyarakat. Partini dan ibunya tidak mampu melakukan perlawanan karena ayahnya adalah seorang komunis. Selain itu, pada tokoh Munah dan Partini ditampilkan citra sosial bahwa perempuan adalah tanggung jawab seorang suami. Suami mempunyai kewenangan serta tanggung jawab penuh terhadap istrinya. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan perlu laki-laki
yang
bertanggung jawab atas dirinya. C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Pendidikan semakin berkembang sesuai dengan zaman yang semkin maju. Berbagai perubahan pun terjadi dalam dunia pendidikan, salah satu perubahan dalam kurikulum. Perubahan ini pastinya bertujuan untuk pendidikan yang lebih maju. Pendidik mempunyai kewajiban untuk mendidik peserta didik menjadi individu yang lebih baik. Selain mempunyai kompetensi bahasa, pendidik juga harus mempunyai kompetensi sastra yang baik. Pendidik dapat memberikan pembelajaran yang menunjang pembentukan watak peserta didik dengan memberikan contoh nyata. Untuk itu, pendidik perlu memilih secara bijak bahan bacaan yang akan diberikan kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam suatu karya sastra terdapat nilai-nilai baik yang akan menjadi teladan untuk peserta didik. Salah satu nilai baik yang dapat dijadikan sebagai referensi sumber belajar sastra Indonesia ialah cerpen-cerpen karya Martin Aleida. Karya-karya Martin Aleida seperti Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu juga mengandung nilai-nilai agama, sosial, moral, maupun budaya. Berkaitan dengan cerpen-cerpen tersebut, pendidik dapat menjadikaannya sebagi rujukan membaca peserta didik. Bacaan tersebut dapat memberikan contoh baik untuk peserta didik. Nilai positif yang dapat diambil dalam cerpen Suara ialah bekerja keras, pantang menyerah, serta tidak melupakan sejarah. Dengan selalu belajar
83
dari sejarah, maka peserta didik dapat menjadi individu yang lebih baik. Dalam cerpen Aku Sepercik Air dapat diambil nilai positif peduli lingkungan dan tidak dendam terhadap apapun. Lalu, dalam cerpen Malam Kelabu dapat diambil nilai positif tidak boleh berputus asa. Dengan begitu, peserta didik dapat menilai dan memilih perilaku yang baik dan buruk. Selain itu, peserta didik dapat mengembangkan karakter yang ada dalam dirinya melalui pembelajaran sastra ini. Selain itu, pada ketiga cerpen karya Martin Aleida terdapat nilai positif untuk tidak membeda-bedakan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan Dengan kata lain, pembentukan karakter peserta didik dapat menjadi pembentukan karakter bangsa. Cerpen-cerpen karya Martin Aleida bukan hanya membantu peserta didik dalam keterampilan berbahasa dan menunjang pembentukan watak, namun memberikan pengetahuan sejarah untuk peserta didik. Martin Aleida merupakan pengarang yang identik dengan cerpen berisi sejarah bangsa Indonesia. Lalu, pembelajaran sastra juga mampu mengembangkan kepekaan rasa peserta didik. Dalam pembelajaran sastra ini, standar kompetensi yang harus dikuasai siswa ialah memahami pembacaan cerpen dengan kompetensi dasar yaitu: mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dan mampu menemukan gambaran tokoh perempuan yang ada dalam cerpen. Citra perempuan dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI semester dua.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalm cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Citra perempuan dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu terbagi menjadi: a) Citra perempuan dalam aspek fisis, terlihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut diwujudkan ke dalam fisik wanita dewasa. Aspek fisis wanita dewasa dikongkretkan dari ciri-ciri fisik wanita dewasa seperti menikah. Pada cerpen Suara dan Aku Sepercik Air digambarkan tokoh perempuan yang telah menikah, sedangkan pada cerpen Malam Kelabu digambarkan tokoh perempuan yang akan memasuki jenjang pernikahan. Selain itu, citra fisis yang terlihat dari ketiga cerpen tersebut ialah perempuan menganggap dirinya lemah, perempuan melakukan aktifitas luar dengan berdandan untuk menarik perhatian luar, serta kepura-puraan dapat terbaca dengan cara perempuan berdandan. b) Citra perempuan dalam aspek psikis, telihat bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan merupakan makhluk yang mampu beraspirasi dan mempunyai perasaan, seperti dalam cerpen Suara, tokoh Juwita digambarkan sebagai perempuan yang berani mengemukakan apa yang dirasakannya. Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat bahwa perempuan mempunyai sisi feminim dan menggunakan perasaan untuk membuat suatu keputusan. Dalam ketiga cerepen juga digambarkan kejiwaan perempuan dewasa yang bertanggung jawab terhadap orang lain. Hal lain yang dirasakan oleh kejiwaan wanita dalam ketiga cerpen Martin Aleida ialah sistem patriarki yang dirasakan oleh tokoh-tokoh perempuan. Citra psikis yang terlihat pada tokoh dalam cerpen Suara dan Aku Sepercik Air tersudut akibat ideologi gender. c) Citra perempuan dalam aspek sosial, telihat
84
85
bahwa dalam ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut, perempuan digambarkan sebagai makhluk sosial yang mempunyai hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan yang kecil, yaitu hubungan antara perempuan dan laki-laki, perempuan masih hidup dalam superioritas laki-laki. Perempuan juga berada dalam budaya patriarki, dimana kekuasaan lebih didominasi oleh laki-laki. Suami merupakan sumber kepatuhan yang dimiliki oleh tokoh perempuan dalam cerpen Suara dan Aku Sepercik Air. Sedangkan pada tokoh perempuan dalam cerpen Malam Kelabu, politik dapat mempengaruhi kedudukan perempuan dalam masyarakat. Selain itu, dalam aspek sosial yang didapat dalam ketiga cerpen, laki-laki (suami) mempunyai kewenangan atas istrinya, maka dapat dikatakan bahwa perempuan perlu laki-laki yang bertanggung jawab atas diri perempuan itu sendiri 2. Citra perempuan dalam 3 cerpen karya Martin Aleida dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester dua, dalam aspek mendengarkan. Dalam pembelajaran ini, standar kompetensi yang harus dikuasai ialah memahami pembacaan cerpen dengan kompetensi dasar mengidentifikasi alur, penokohan, latar, serta menempukan gambaran perempuan dalam cerpen yang dibacakan. Pembelajaran sastra dalam cerpen ini diharapkan mampu membantu siswa dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan
sejarah,
mengembangkan
kepekaan
rasa,
serta
mengembangkan pembentukan karakter pesera didik dengan nilai-nilai positif yang ada dalam cerpen. nilai-nilai positif yang terkandung pada ketiga cerpen karya Martin Aleida tersebut ialah bekerja keras, pantang menyerah, tidak melupakan sejarah, peduli lingkungan, tidak mempunyai sifat dendam, dan tidak mudah putus asa. Selain itu, terdapat juga nilai positif mengenai persamaan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, setelah pembelajaran sastra, diharapkan peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai positif ke dalam kehidupan nyata dan tercipta perubahan watak yang lebih baik pada peserta didik.
86
B. Saran Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, ada beberapa saran yang diajukan penulis, yaitu: 1. Pendidik harus meningkatkan kompetensi dan kreativitas dalam pembelajaran sastra untuk menumbuhkan minat belajar sastra peserta didik. Pendidik harus mengajarkan pengkajian unsur intrinsik dan ekstrinsik lebih dalam. Selain itu, pendidik harus memberikan keragaman referensi karya sastra, tidak monoton pada karya dan pengarang itu-itu saja. 2. Pendidik sebaiknya memberikan karya sastra yang mengandung nilai-nilai positif yang dapat diaplikasikan peserta didik ke dalam kehidupan nyata. 3. Peserta didik dapat memperhatikan nilai-nilai positif tentang persamaan hak serta peran antara laki-laki dan perempuan. 4. Pembaca sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif yang ada dalam cerpen untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Fauji, Doddi. “Sastra, Kata Martin Aleida”. Jurnal Nasional, 2007. Aleida, Martin. Dendam Perempuan. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, 2006. -----. Leontin Dewangga. Jakarta: Kompas, 2003. -----. Mati, Baik-Baik Kawan. Bandung: Ultimus, 2014. Arriyanti, Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra Feminis. Padang: Balai Bahasa Padang, 2007. Arsana, Bodrek. “Writin As A Testimony”. Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Atar Semi, M. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988. Aziez, Furqonal dan Hasim Abdul. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Barker, Chris diterjemahkan oleh Nurhadi. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013. DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keeempet). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Guntur Tarigan, Henry. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011. Hidayana, Irwan Martua, dkk. Seksualitas: Teori dan Realita. Jakarta: Program Gender dan
Seksualitas FISIP UI bekerja sama dengan The Ford
Foundation, 2004. Humm, Maggie. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007. Jacson, Stevi dan Jones, Jackie. Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta:
Jalasutra, 2009.
Kurniawan, Heru. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) MATA PELAJARAN
: Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS/ SEMESTER
: XI (sebelas)/ 2 (dua)
ALOKASI WAKTU
: 4 x 45 menit
ASPEK
: Mendengarkan
STANDAR KOMPETENSI : Memahami pembacaan cerpen KOMPETENSI DASAR
: Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
INDIKATOR
:
1. Mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dalam cerpen 2. Mampu menemukan pokok-pokok dalam cerpen 3. Mampu merangkum hasil identifikasi
A. TUJUAN PEMBELAJARAN Siswa mampu: 1. Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dari cerpen yang dibacakan 2. Menemukan pokok-pokok dalam cerpen 3. Membuat rangkuman hasil identifikasi dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari cerpen yang dibacakan
B. MATERI POKOK
Cerpen
Unsu-unsur intrinsik cerpen
C. NILAI BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
Bersahabat/ komunikatif
Mandiri
Kreatif
D. KEWIRAUSAHAAN EKONOMI KREATIF
Kepemimpinan
Kedisiplinan
E. METODE DAN SKENARIO PEMBELAJARAN
Persentasi
Diskusi
Tanya jawab
Penugasan
F. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR 1. Kegiatan Awal
Guru mengucapkan salam dan mengajak siswa berdoa
Guru mengabsen siswa
Guru menyiapkan siswa
Guru menyampaikan standar kompetensi dan kompetensi dasar
Guru memberikan apersepsi dengan membuka pengetahuan siswa serta memberikan pertanyaantentang materi yang akan diajarkan
2. Kegiatan Inti a. Eksplorasi
Guru meminta siswa untuk mencari cerpen karya pengarang Indonesia
Guru meminta siswa untuk menentukan bersama cerpen yang akan menjadi materi
Guru membacakan cerpen dan siswa mendengarkan cerpen yang telah dipilih
Guru meminta siswa untuk membaca serta memahami cerpen yang telah dipilih
b. Elaborasi
Guru menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam cerpen
Siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dalam cerpen
Siswa menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam cerpen
Siswa merangkum hasil analisis
Siswa mempresentasikan hasil analisis
Siswa lain menanggapi hasil analisis siswa yang presentasi
c. Konfirmasi
guru memberikan kesempatan siswa untuk bertanya
3. Kegiatan Akhir
Guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan mengenai materi yang telah dibahas
Guru memberikan tugas unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerpen lain
Guru menutup kegiatan dan mengucapkan salam
G. SUMBER BELAJAR
Cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida
Cara menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen
Buku Bahasa Indonesia
H. PENILAIAN Tes lisan Tes tertulis Demonstrasi Tagihan tugas Pengukuran sikap
Mengetahui,
Jakarta, ……………
Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran Bahasa
dan
Sastra
Indonesia
(
)
(
)
BAHAN AJAR Cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antar tokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur. Di dalam sebuah cerpen terdapat unsurunsur yang menopang sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur pembangun dari dalam sebuah karya sastra. Sedangkan, unsur ekstrinsik ialah unsur pembangun dari luar sebuah karya sastra. Pendekatan intrinsik membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana peran tokoh, khususnya tokoh perempuan dalam hubungannya dengan situasi sosial dan lingkungannya. Unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra, termasuk di sini cerpen antara lain:
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
Tema merupakan garis besar permasalahan yang ada dalam suatu karya. Tema yang diangkat dalam suatu cerpen biasanya berhubungan dengan pesan atau amanat yang ingin disampaikan.
Alur atau plot merupakan rangkaian perjalanan peristiwa. Rangkaian perjalan peristiwa berkaitan dengan urutan waktu. Urutan waktu yang dibuat oleh pengarang dapat tersirat maupun tersurat.
Latar, yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.
Gaya bahasa merupakan cara pengarang dalam berbahasa untuk menyampaikan gagasan dalam sebuah karya sastra.
Sudut pandang merupakan tempat yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh dalam karyanya.
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.
Citra perempuan merupakan bentuk gambaran tentang pemikiran perempuan. Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan sebagai makhluk sosial, yang beraspek keluarga dan masyarakat. Citra perempuan dalam sebuah karya sastra dapat terlihat sebagai makhluk individu yang mempunyai gambaran fisis tertentu. Dalam aspek psikis, perempuan juga merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, pemikiran, serta aspirasinya sendiri. Sedangkan sebagai makhluk sosial, perempuan mempunyai citra dalam aspek keluarga dan masyarakat. Dalam keluarga, seorang perempuan menjadi istri dan ibu yang nantinya akan mengemban peran dan pekerjaan tertentu.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NISA KURNIASIH, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 1991. Anak keenam dari enam bersaudara dari Bapak Ayi Fatah dan Ibu Tarwati. Ia menuntaskan Sekolah Dasar di SDN 07 Petamburan, Jakarta Pusat. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke SMPN 40 Jakarta. Lalu, menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 35 Jakarta pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ia melanjutkan pendidikannya ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.