ANALISIS TOKOH LINTANG DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Holida Hoirunisa NIM. 1110013000100
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAK Holida Hoirunisa. NIM : 1110013000100. “Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum Penelitian ini meneliti tokoh Lintang yang digambarkan sebagai sosok Indo dalam novel Pulang karya Leila S.Chudori. Lintang lahir dari percampuran dua kebudayaan Indonesia dan Prancis sebabnya dia disebut sebagai sosok Indo, sosok yang memiliki kebudayaan terbelah. Lintang merupakan sosok yang merasakan kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis tokoh Lintang dalam novel Pulang Leilla S. Chudori dan implikasinya pada pembelajaran Sastra Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode analisis isi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan penyimakan novel Pulang karya Leila S. Chudori secara cermat, terarah, dan teliti. Penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung dalam teknik analisis data yang diuraikan menjadi delapan teknik, yaitu: teknik cakapan, tingkahlaku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar dan teknik pelukisan fisik. Melalui teknik ini ditemukan sifat Lintang mengalami krisis identitas, pintar, berani, peduli terhadap politik, idealis dan tidak putus asa, yakni keinginan selalu menjadi yang paling superior, sebagai perempuan Barat pada umumnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa beberapa sifat Lintang ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Sastra di SMA. Dalam pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan karakter tokoh yang positif maupun negatif yang terkandung dalam novel. Kata kunci : tokoh dan penokohan, novel Pulang, Leila S. Chudori.
i
ABSTACK Holida Hoirunisa. NIM : 1110013000100. “ The Analysis of Lintang Character in Pulang Novel written by Leila S. Chudori and Its Implication towards The Studying of Literature in Senior High School. Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers’ Training “Syarif Hidayatullah” State Islamic University Jakarta. Advisor: Novi Diah Haryanti, M.Hum. This research examines of Lintang figures who is described as the figure of indo in a Pulang novels by Leila S. Chudori. She was born of two culture between france and indonesia it causes he called indo figure, the figure who have divided culture. Lintang is the person who felt a deep anxiety about racially and identity. The purpose this research is to analyzed of Lintang figure from Pulang Novels by Leilla S. Chudori and implications in Senior high School literary learning. This study used qualitative description methode with the subtance analyze methode. The taking of engineering data from Pulang Novel by Leila S. Chudori was undertaken by the reading and listening process with Carefully, directedly and conscientiously. The author using an delineation figures technique undirectedly in the Data analysis techniques which is describe to be eight technique, ther are: the conversation technique, behaviour, thoughts and feelings, stream of consciousness, figures reaction, another figures reaction, a delineation the background and delineation physical technique. Through this technique found that lintang figures suffered crisis of identity, smart, brave, and care about politicians, have a big idealism and not surrender with her desirement about to be the superrior person as western woman generally. Based on the results of this research we can get the conclusion that some of lintang characters could we implicated to literary in high school learning program. In this learning, the Competence which must be achieved school tuition is to analyze the novel text either verbally or in writing, By explaining intrinsic elements in a novel and Discovering the character a figure which positive or negative contained in a novel Key Words : The figure and Characterizing, novel Pulang, Leila S. Chudori
ii
KATA PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat, karunia, syafaat, dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Selawat teriring salam tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita ke zaman yang lebih baik. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis dihinggapi kebimbangan, kurang percaya diri dalam menganalisis novel ini. namun, berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Hindun, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 3. Dona Aji Karunia, M.A., Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Makyun Subuki, M.Hum., Penasihat Akademik yang selalu memberikan bimbingan serta kemudahan kepada penulis. 5. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas, sabar, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih penulis ucapkan karena telah membekali penulis dengan berbagai ilmu yang bermanfaat.
iii
7. Bapak tercinta, Muhammad Holis, dan Mamah tersayang, Rosyanti, yang selalu memberikan dukungan dan doa terbaiknya. Adik-adik yang baik: Dwi Kurnia Khoiria dan Rosy Kurniawan. 8. Fahmi Abdul Hakim yang selalu memberi semangat serta membantu penulis mencari bahan dan juga referensi dalam penulisan skripsi. 9. Guru-guru TK Dimurti yang selalu memberikan kemudahan dan semangat selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 10. Desi dan Ratna yang selalu meluangkan waktu membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman uyee; Upin, Ipin, Ival, Sigit, Tebe, Mbe, Bang Jek, Dede, Aki dan teman-teman Majelis Kantiniah yang telah memberikan semangat, serta warna dalam hidup penulis. 12. Teman-teman PBSI angkatan 2010 khususnya kelas C yang memberikan semangat suka duka, canda tawa, dan kenangan indah selama ini. 13. Guru-guru SMP PGRI 336 Pondok Betung.
Urutan nama di atas bukanlah merupakan peringkat prioritas. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk penulis dan untuk yang memerlukannya.
Jakarta, 09 April 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQOSAH ABSTRAK ……………………………………………….......................
i
ABSTRACT ………………………………………………....................
ii
KATA PENGANTAR …………………………………………… …....
iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………...
v
BAB I PENDAHULUAN …...……………………….............................
1
A. Latar Belakang Masalah ......……..………………………….. 1 B. Identifikasi Masalah ………………………………………...
5
C. Batasan Masalah …………………..………………………...
6
D. Rumusan Masalah ………..………………………………....
6
E. Tujuan Penelitian ………..……………………………….....
6
F. Manfaat Penelitian ………..………………………………...
7
G. Metodologi Penelitian ………..………………………….....
7
BAB II KAJIAN TEORI …...………………………............................. A. Hakikat Novel …...……………………….............................
10
1. Pengertian Novel …...………………………...................
10
2. Jenis-jenis Novel …...………………………...................
11
3. Unsur-unsur Novel …...………………………................
14
a. Tema…...……………………...................................... 14 b. Latar …...……………………...................................... 15 c. Tokoh dan Penokohan…...……………………............ 16
v
vi
d. Alur.………………………......................................... 18 e. Sudut Pandang …...……………………...................... 20 f. Gaya Bahasa ….……………………….......................... 22 g. Amanat …..………………………................................. 23 B. Teknik Pelukisan Tokoh …...……………………….............
24
C. Hakikat Pembelajaran Sastra …...……………………….......
27
D. Penelitian Relevan …...……………………….......................
30
BAB III BIOGRAFI PENGARANG, SINOPSIS, DAN PEMIKIRAN A. Biografi Pengarang ………….....………………………..
32
B. Sinopsis Novel …...……………………….......................
34
C. Pemikiran Leila S. Chudori...............................................
36
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ….................. A. Unsur Intrinsik Novel Pulang …...……………………... 1. Tema …...………………………...............................
39
2. Tokoh dan Penokohan ..……………………….........
41
3. Alur ........…...……..............…………………...........
53
4. Latar ..........................…...………………………....
57
5. Sudut Pandang …...………………………...............
64
6. Gaya Bahasa …...………………………...................
64
B. Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori …...................................
67
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ….......…...………………………...........
85
BAB V PENUTUP …...……………………….................................... A. Simpulan ………………………………………...............
88
B. Saran …...…………………….........….............................
88
vii
DAFTAR PUSTAKA …...……………………….................................. LAMPIRAN PROFIL PENULIS
90
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah sebuah tulisan yang dapat diapresiasi dan bernilai seni. Sastra juga dapat memberikan hiburan serta memberikan manfaat bagi pembacanya. Sebuah karya sastra yang dapat disampaikan dengan bahasa yang unik dan indah mempunyai bentuk yang bervariasi, seperti prosa, puisi, dan drama. Prosa rekaan (fiksi) memiliki beragam bentuk, seperti cerpen dan novel. Cerpen dan novel dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik yang merupakan unsur pembangun cerita dari dalam meliputi plot (alur), tokoh dan penokohan, tema, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ekstrinsik membangun karya sastra dari segi biografi pengarang, sosial, budaya, agama, politik, dan ekonomi. Pada penelitian ini, penulis akan menganalisis novel. Novel merupakan cerita yang di dalamnya memiliki alur yang kompleks serta suasana dan latar cerita yang beragam. Unsur yang terdapat dalam novel salah satunya adalah tokoh dan penokohan. Melalui pemahaman tokohtokoh yang ada dalam sebuah novel, pembaca dapat memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti nilai agama, sosial, budaya, dan pendidikan. Nilai-nilai seperti inilah yang terkandung dalam unsur ekstrinsik. Berbicara mengenai pendidikan, nilai-nilai yang terkandung dalam novel, seperti nilai sosial, budaya, agama dan pendidikan merupakan media penting untuk kehidupan manusia yang lebih maju dan berperan dalam pembentukan karakter dan mental anak bangsa. Sebagai guru yang berkualitas, pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak hanya bertumpu pada teori pembelajaran saja, tetapi juga harus mengajarkan bagaimana sikap dan perilaku yang baik. Pengajaran tersebut dapat ditempuh salah satunya dengan cara memahami sebuah teks sastra. Untuk
1
2
dapat memahami sebuah karya sastra, perlu dilakukan analisis struktur teks. Salah satu contoh yang dapat dilakukan di kelas adalah analisis tokoh dan penokohan. Dengan menganalisis tokoh, akan terlihat sikap, sifat, tingkah laku, dan watak-watak tertentu. Melalui cara ini akan terlihat bagaimana sifat dan sikap tokoh yang mengandung aspek kejiwaan, seperti konflik, kelainan perilaku, dan kondisi psikologis akibat kejadian yang dialami tokoh. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.1 Kegiatan pembelajaran sastra dengan cara itu tentunya akan memberikan pengalaman, pengetahuan, serta kesan yang lebih mendalam kepada peserta didik. Lebih dari itu, dalam menganalisis tokoh tentunya dapat diambil sisi positif yang berguna untuk diajarkan kepada siswa dan dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, karya sastra dapat bermanfaat untuk menunjang pembentukan watak peserta didik. Berkaitan dengan pengajaran sastra, novel terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya novel sejarah. Novel sejarah tidak hanya menceritakan kronologis suatu cerita saja, tetapi juga memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai peristiwa yang terjadi pada zaman tersebut. Hubungan intertekstual antara sastra dan sejarah saling berkaitan satu sama lain. Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman atau yang mendahuluinya. Hubungan sejarah ini digambarkan baik berupa persamaan maupun pertentangan. Dengan demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.2 Karya sastra merupakan pengungkapan dari apa yang disaksikan pengarang dalam kehidupan, apa yang dialami, dan dirasakan dari segi1
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 167. 2
3
segi kehidupan yang paling menarik untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra yang dapat bernilai estetis dan memiliki arti. Hal ini dikarenakan setiap pengarang adalah warga masyarakat dan ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial.3 Dalam
kesusastraan
Indonesia,
dapat
dijumpai
hubungan
intertekstualitas antarkarya sastra dalam bentuk prosa. Pengarang mengungkapkan suatu kejadian atau peristiwa lewat karyanya secara tertulis. Selain itu, lewat karyanya pengarang mengungkapkan suatu aspirasi kehidupan, seperti emansipasi wanita, kekejaman, maupun ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Contohnya dalam novel Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Minke bercerita tentang masyarakat kolonial Hindia Belanda di tahun 1898 yang penuh dengan perbedaan rasial yang kuat dan perbedaan status sosial yang mengiringinya. Demikian pula dengan novel Salah Asoehan (1928) karya Abdoel Moeis, juga mengisahkan perbedaan rasial antara Timur dan Barat yang mempunyai garis pemisah yang hampir tak dapat diseberangi. Jelaslah sejak dahulu pengarang menyuarakan aspirasinya melalui karya sastra. Begitu pun sekarang, tidak sedikit novel yang berlatar sejarah dibuat untuk menceritakan kebenaran yang terjadi pada suatu zaman. Akan tetapi, minat baca terhadap novel yang berlatar sejarah masih kurang, khususnya peserta didik yang lebih menyukai novel-novel populer yang bertemakan kisah percintaan, seperti Marmut Merah Jambu (2010) karya Raditya Dika. Sebaliknya, karya para sastrawan kurang diminati dan dikenal oleh peserta didik, terlebih kurangnya minat membaca siswa terhadap novel-novel yang berlatar sejarah. Pembelajaran sastra di sekolah hanya sampai pada proses mengidentifikasi saja. Keterbatasan waktu dalam proses belajar mengajar membuat siswa sulit memahami novel secara keseluruhan, sehingga sulit menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan siswa. 3
Rene Wellek & Autin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1993), h. 109.
4
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Novel Pulang karya Leila S. Chudori yang banyak mengisahkan sejarah kekerasan Indonesia, khususnya yang terjadi pada 1965. Novel ini berkisah tentang nasib dan perjuangan hidup para tapol pada masa Gerakan 30 September 1965 dan berlatarbelakangkan tiga peristiwa bersejarah Indonesia, yakni 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Novel ini banyak menggunakan latar di Prancis dan Indonesia sebagai latar novelnya. Warga Negara Indonesia yang berada di luar negri saat peristiwa politik tahun 1965 diberi julukan sebagai eksil politik. Mereka tidak diperbolehkan menginjak tanah air sampai batas waktu yang tak jelas hanya karena tuduhan sepihak terlibat baik langsung sebagai anggota dan simpatisan maupun sekedar keluarga dari anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebanyakan dari mereka sekarang menetap di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, Prancis, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya Leila memilih Prancis sebagai latarnya. Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tokoh Lintang Utara dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam novel ini, Lintang digambarkan sebagai seorang gadis Indo yang lahir dari hasil perkawinan campur Indonesia dan Prancis. Mangunwijaya dalam Sastra Indonesia Modern Kritik Poskolonial mengatakan, Indo adalah masyarakat yang dalam penghayatan realita hidup dan kebudayaan terbelah, setengah asing terhadap diri sendiri, apalagi situasi dan keadaan sekelilingnya.4 Sebagai Indo, Lintang merupakan sosok yang merasakan kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas. Lintang menjadi berbeda dari lingkungan
sekitarnya
lantaran
status
indonya.
Lebih
dari
itu,
keambiguitasan dan kegelisahan mengenai posisinya terus menghantui kehidupan Lintang. Novel-novel yang menampilkan tokoh Indo dalam 4
Keith Foulcher dan Tony Day, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial Edisi Revisi “Clearing a Space”, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008), h. 136
5
penokohannya tidak begitu banyak. Namun baru dalam Keberangkatan Karya Nh. Dini tahun 1977, Bumi Manusia (1981) karya Pramoedya, dan Burung-burung Manyar (1981) karya Mangunwijaya.5 Pemilihan novel Pulang sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama, novel ini mengambil latar belakang sejarah. Dengan latar belakang ini, pembaca akan mengetahui keadaan Indonesia, terutama pascakemerdekaan, ketika PKI melakukan pemberontakan pada tahun 1965, dan Indonesia pada Mei 1998. Kedua, pengalamanpengalaman yang disajikan pada setiap tokohnya. Ketiga, Novel Pulang yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini dari awal penerbitan pada tahun 2012-2013 sudah mengalami empat kali cetak. Cetakan pertama pada Desember 2012, cetakan kedua pada Januari 2013, cetakan ketiga pada Februari 2013, dan cetakan keempat pada Desember 2013. Novel ini juga dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013. Selain itu, novel Pulang karya Leila S. Chudori ini membuat pembaca ingin mencari tahu dan menggali pengetahuan yang tidak diketahui sebelumnya, seperti kisah Ekalaya yang merupakan salah satu tokoh dalam kisah pewayangan Jawa yang juga tertulis dalam kitab Mahabarata. Dengan berbagai alasan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis novel Pulang karya Leisa S. Chudori dengan judul penelitian “Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.
B. Identifikasi masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah yang ada yaitu: 1. Kurangnya minat membaca seseorang terhadap karya sastra berupa novel, terlebih kurangnya minat membaca siswa terhadap novel-novel yang berlatar sejarah.
5
Keith Foulcher dan Tony Day, op. cit., h. 136.
6
2. Tidak banyak novel-novel yang melibatkan tokoh Indo sebagai tokoh sentral dalam novel Indonesia. 3. Siswa sulit memahami unsur intrinsik, karena proses pembelajaran hanya sebatas mengidentifikasi. 4. Kurangnya waktu dalam pembelajaran yang dapat dipergunakan siswa untuk membaca dan memahami novel. 5. Siswa kurang mengetahui cerita seperti Ekalaya seperti yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.
C. Batasan Masalah Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan pada hal-hal berikut: Objek kajian yang akan diteliti adalah analisis tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana analisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori? 2. Bagaimana implikasi penelitian tokoh Lintang terhadap pembelajaran sastra di SMA Kelas XII?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan. Maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. 2. Mengetahui implikasi penelitian tokoh Lintang terhadap pembelajaran sastra di SMA.
7
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. 1. Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang Sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah mengenai tokoh dalam novel. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi peserta didik mengenai tokoh dalam novel. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pendidik untuk bahan pengembangan studi sastra yang berkaitan dengan unsur intrinsik dalam suatu karya sastra.
G. Metodologi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dengan metode ini, hasil penelitian yang akan dihasilkan akan berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau koefisian tentang variabel. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi suatu dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori.
2. Sumber Data Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber data primer dan sumber data skunder. a. Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta tahun 2012.
8
b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data skunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta buku-buku yang berhubungan dengan novel.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan pembacaan dan penyimakan novel Pulang karya Leila S. Chudori secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut, penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan tokoh Lintang, dan mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan tentang karakter tokoh. Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang didapat lebih maksimal.
4. Teknik Analisis Data Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data antara lain: a. Menganalisis novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan menggunakan analisis sruktural. Analisis struktural dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori yang mengandung unsur intrinsik novel berupa tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. b. Analisis dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh dilakukan dengan membaca serta memahami kembali data yang diperoleh. Selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang tokoh Lintang yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.
9
c. Mengimplikasikan novel Pulang karya Leila S. Chudori pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dilakukan dengan cara menghubungkan materi sastra di sekolah.
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Novel ( Inggris: novel) sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia Novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.1 Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan hakikat novel sebagai berikut Badudu dan Zain berpendapat, novel adalah karangan dalam bentuk prosa tentang peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia seperti yang dialami orang dalam kehidupan sehari-hari, tentang suka duka, kasih dan benci, tentang watak dan jiwanya, dan sebagainya.2 Aminuddin berpendapat, prosa rekaan (novel) adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, dengan peranan, latar serta tahapan dan rangkaiaan cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya( dan kenyataannya) sehingga menjalin suatu cerita.3 Clara Reeve dalam Wellek Warren, novel adalah gambaran dari kehidupan dan prilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis.4
1
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010), h. 9-10. 2 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 9-10. 3 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakart : Grasindo, 2008), h. 127-128. 4 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h.282.
10
11
Berdasarkan tiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang panjang dengan tokoh dan pelakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dalam satu plot, dalam istilah novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, Perancis, dan Rusia, serta sebagian negaranegara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris.5 Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek daripada roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, nilai, tokoh dan penokohan. 6
2. Jenis-jenis Novel Novel dikelompokan menjadi beberapa jenis di antaranya : a) Novel Populer Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan7. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggal oleh pembacanya. oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel semacam itu biasanya cepat dilupakan 5
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa Raya, 2011), h. 32. Siswanto, op. cit., h. 141. 7 Nurgiantoro, op. cit., h. 21. 6
12
orang, apalagi dengan munculnya novel-novel yang lebih populer pada masa sesudahnya. Novel populer lebih mudah dibaca dan dinikmati. Masalah yang diceritakan pun yang ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik. Kisah percintaan antara pria tampan dan wanita cantik secara umum menarik, mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka, dan barang kali, dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata. Oleh karena novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersil, ia tidak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. Oleh karena itu, plot sengaja dibuat lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang, tunduk begitu saja pada kemauan pengarang yang bertujuan memuaskan pembaca. Sebagaimana dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono, tokoh-tokoh yang diciptakan adalah tokoh yang tidak berkembang kejiwaannya dari awal hingga akhir cerita. berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar, dan lai-lain biasanya bersifat stereotip, tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan. Hal yang demikian, memang, mempermudah pembaca yang semata-mata mencari cerita dan hiburan belaka.8 Contoh novel jenis ini adalah Marmut Merah Jambu (Raditya Dika), Laskar Pelangi (Andrea Hirata). b) Novel Serius Novel serius, novel yang selain memberikan hiburan, dalam novel ini juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang diangkat. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru. Singkatnya unsur kebaharuan diutamakan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak pengarang berusaha menghindarinya. Novel serius mengambil realitas kehidupan sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru”, dunia dalam 8
Nurgiantoro, op. cit., h.18-20.
13
kemungkinan, lewat pengembangan cerita dan penampilan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak. Jumlah novel dan pembaca serius, walau tidak banyak, akan mempunyai gaung dan bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, polemik Takdir Alisyahbana, Armin Pane, Sanusi Pane, dan Tatengkeng pada dekade 30-an yang hingga kini masih cukup relevan untuk disimak karena terasa belum juga ketinggalan zaman.9 Contoh novel serius adalah Pada Sebuah Kapal (N.H Dini), Burung-burung Manyar (YB. Mangunwijaya). c) Novel Teenlit Istilah teenlit terbentuk dari kata teenager dan literature. Kata teenager sendiri terbentuk dari kata teens,age, dan akhiran –er, yang secara istilah berarti menunjuk pada anak usia belasan tahun. Kelompok teenager tampaknya dimulai dari usia remaja awal (masa adolesen) sampai akhir belasan, yaitu sekitar usia 13-19 tahun. Kata literature berarti kesastraan, bacaan. Jadi, istilah teenlit tampaknya menunjuk pada pengertian bacaan cerita yang ditulis untuk konsumsi remaja usia belasan tahun. Salah satu karakteristik novel teenlit adalah bahwa mereka selalu berkisah tentang remaja. Tokoh utama cerita yang pada umumnya perempuan adalah tokoh yang dapat diidolakan, tokoh yang berkarakter khas remaja, tokoh yang dapat dijadikan ajang pencarian identitas diri dan kelompok. Maka, tidak mengherankan jika pembaca remaja menjadi gandrung dan hanyut secara emosional seolah-olah dirinya adalah bagian dari cerita itu, seolah-olah sudah kenal dan bagian dari kelompok pertemanan itu, bahkan seolah-olah dirinyalah tokoh-tokoh cerita itu. Teenlit tidak berkisah sesuatu yang berat. Mereka lebih suka berbicara apa yang menjadi persoalan remaja yang menurut ukuran dewasa mungkin sebagai sesuatu yang ringan. Contoh novel teenlit adalah Dealova (Dylan Nuraninda), Me vs High Heels! Aku vs Sepatu Hak Tinggi! (Maria 9
Nurgiantoro, op. cit., h. 23-24.
14
Ardelia).10 Dari beberapa jenis novel yang telah dipaparkan di atas Pulang masuk ke dalam kategori novel serius.
3. Unsur-unsur Novel Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa lama sering berwujud cerita rakyat (folktale) bersifat anonim, seperti cerita binatang, dongeng, legenda, mitos, dan sage. Bentuk prosa rekaan modern dibedakan atas roman, novel, novelet, dan cerpen, karena tidak ada penelitian yang mendukung, pembedaan atas beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan bahasa dan lukisannya.11 Berdasarkan bentuk novel di atas, terdapat unsur-unsur penting yang membangun karya sastra, unsur tersebut terbagi atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik, pembagian tersebut bertujuan dalam mengkaji novel dalam suatu karya sastra pada umumnya. a. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung)
turut
serta membangun cerita, kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsur-unsur ini misalnya, tema, latar, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat.12 1) Tema Tema adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra dalam novel, tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot. Hampir 10
Nurgiantoro, op. cit ., h. 26. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 140. 12 Nurgiantoro, op. cit., h. 30. 11
15
semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan tema, sekalipun dalam praktiknya tema-tema yang sering diambil adalah beberapa aspek atau karakter dalam kehidupan, seperti ambisi, kesetiaan, kecemburuan, frustrasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.13 Scharbach berpendapat, tema berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.14 Aminuddin mengungkapkan, seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemaparan tema tersebut,
menyimpulkan
makna
yang
dikandungnya
menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
serta
mampu
15
Jadi tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar suatu cerita. tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekedar anekdot, cerita rekaannya harus mempunyai maksud. Maksud inilah yang dinamakan tema.16 2) Latar Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin memberi batasan setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tepat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.17
13
Furqonul Aziez & Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 75. 14 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, ( Bandung: Sinar Baru, 1987), h.91. 15 Siswanto, op. cit., h.161. 16 Robert Stanton, Teori Fiksi Robet Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.38. 17 Siswanto, loc. cit., h.149.
16
Brooks berpendapat, secara singkat, latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita.18Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.19 Biasanya latar muncul pada semua bagian atau penggalan cerita dan kebanyakan pembaca tidak terlalu menghiraukan latar ini; karena lebih terpusat pada jalannya cerita; namun bila pembaca membaca untuk kedua kalinya barulah latar ini ikut menjadi bahan simakkan, dan mulai dipertanyakan mengapa latar ini menjadi perhatian pengarang.20 3) Tokoh dan Penokohan Tokoh cerita (character), sebagaimana dikemukakan Abrams, adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tidak berbeda halnya dengan Abrams, Baldic menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadikan pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.21 Aminuddin mengatakan, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.22 Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan penting yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannyahanya melengkapi, 18
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h.
136. 19
Nurgiantoro, op. cit., h.303. Atar Semi, op. cit., h. 46. 21 Nurgiantoro, loc. cit., h.247. 22 Siswanto, op. cit., h. 142. 20
17
melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu,23 dalam menyajikan dan menentukan karakter (watak) para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam karyanya. Pertama, metode langsung (telling) dan kedua, metode tidak langsung (showing).24 Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, seperti: a. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam perkembangan plot dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dipihak lain, pemunculan tokohtokoh tambahan biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang mendapat perhatian. 25 b. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.26 c. Dilihat dari perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Dipihak lain, tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat
23
Aminuddin, op. cit., h.79-80. Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 6. 25 Nurgiantoro, op. cit., h. 258-259. 26 Ibid., h.260-261. 24
18
saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin tampak bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.27
4) Alur Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.28 Stanton mengemukakan bahwa alur (plot) adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.29 Brooks mengungkapkan alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama.30 Sudjiman mengartikan alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Aminudin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraiaan, dan penyelesaian.31 Berdasarkan pemaparan di atas, alur adalah rangkaiaan peristiwa yang direka dan dijalin oleh pengarang yang menggerakan jalannya cerita. Secara teoretis-kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot dijelaskan di bawah ini. a) Tahap Awal Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang
27
Nurgiantoro, op. cit., h. 265-266. Aminuddin, op. cit., h.83. 29 Nurgiantoro, loc. cit., h.167. 30 Tarigan, op. cit., h.126. 31 Siswanto, op. cit., h. 159. 28
19
berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian (misalnya ada kaitannya dengan waktu sejarah), dan lain-lain yang pada garis besarnya berupa deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung (walau secara implisit) perwatakannya.32 b) Tahap Tengah Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada
tahap
sebelumnya,
menjadi
semakin
meningkat,
semakin
menegangkan. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah cerita. konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan. Pada bagian ini pembaca memperoleh cerita, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya.33 c) Tahap Akhir Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini misalnya (antara lain)
berisi
bagaimana kesudahan cerita, atau
menyarankan pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. bagaimana bentuk penyelesaian sebuah cerita, dalam banyak hal ditentukan (atau dipengaruhi) oleh hubungan antartokoh dan konflik (termasuk klimaks) yang dimunculkan. Dalam teori klasik yang berasal dari Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan : kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end). Namun, novel-novel seperti Belenggu, Pada Sebuah Kapal, Supernova, dan lain-lain adalah novel-novel yang memiliki penyelesaiaan yang masih menggantung,
masih
menimbulkan
tanda
tanya,
tidak
jarang
menimbulkan, atau bahkan rasa ketidakpuasan pembaca. Sebenarnya, 32
Nurgiantoro, op. cit., h. 201-202. Ibid., h.204-205.
33
20
adanya novel-novel yang sudah selesai, tetapi tidak diselesaikan ceritanya, boleh jadi disebabkan pengarang memberikan kesempatan pada pembaca untuk ikut memikirkannya. Dengan melihat model-model tahap akhir berbagai cerita fiksi yang ada sampai dewasa ini, penyelesaian cerita dapat dikategorikan ke dalam dua golongan: penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada jeadaan akhir sebuah cerita fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan tuntunan logika cerita yang dikembangkan. Dipihak lain penyelesaian terbuka, menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan logika dan cerita, masih potensial
untuk
dilanjutkan
secara
konflik
belum
sepenuhnya
diselesaikan.34 Loban dkk. Menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari (1) eksposisi, (2) komlikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema, dan (5) denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan; dan solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca
sendiri
yang
dipersilahkan
menyelesaikan
lewat
daya
imajinasinya.35
5) Sudut Pandang Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.36 Abrams mengungkapkan, sudut pandang
(Point Of View),
menunjukan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan
34
yang
dipergunakan
Nurgiantoro, op. cit., h. 205-208. Aminuddin, op. cit., h.84. 36 Ibid., h. 90. 35
pengarang
sebagai
sarana
untuk
21
menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.37 Dalam Wahyudi Siswanto, sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.38 Pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya melalui sudut pandang. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh. Selain itu, dalam sudut pandang posisi pengarang juga ditentukan. Unsur terpenting dalam karya sastra adalah pengarang sebab tanpa pengarang tidak ada karya sastra. keberhasilan suatu karya sastra tidak tergantung pada pentingnya suatu kejadian atau tokoh-tokoh yang diceritakan, tetapi bagaimana sudut pandang, gaya bahasa dan plot dioprasikan. Peristiwa besar, tokoh terkenal, bukan jaminan bahwa sebuah karya sastra akan berhasil. Sebaliknya, kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa, dan koherensi pemplotan, jelas merupakan jaminan keberhasilan suatu karya sastra.39 Ada berbagai macam sudut pandang dalam karya sastra. dalam penelitian ini sudut pandang yang peneliti ambil adalah berdasarkan pemaparan Burhan Nurgiantoro. Berikut ini adalah macam-macamnya: a) Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia” Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “Dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, memunyai keterbatasan 37
Nurgiantoro, loc. cit., h. 338. Siswanto, op. cit., h. 151. 39 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 315. 38
22
“pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya sebatas pengamat saja. b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “aku” (tokoh tambahan). c) Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karya.40
6) Gaya Bahasa Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti lesikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra istilah
gaya
mengandung
pengertian
cara
seorang
pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.41 Keraf dalam Tarigan mengungkapkan secara singkat gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.42 Gaya bahasa, seperti yang diungkapkan Slamet Muljana adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati 40
Nurgiantoro, op. cit., h. 347-359. Aminuddin, op. cit., h. 72. 42 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 41
5.
23
pembaca. Gaya bahasa disebut pula majas.43 Majas (Figure of speech) adalah suatu bentukan pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk mengatakan tentang sesuatu yang lain.44 Serta bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, dapat mengubah nilai rasa dan konotasi tertentu.45 Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech, dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang sematamata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.46
7) Amanat Nilai nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.47
43
Ernawati Waridah, EYD & Seputar Kebahasaan Indonesian, (Jakarta: Kawan Pustaka, 2010), h. 322. 44 Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, (Pekanbaru: Palagan Press, 2011), h. 12. 45 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 112. 46 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 129. 47 Siswanto, op. cit., H. 162.
24
B. Teknik Pelukisan Tokoh Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalm suatu karya atau lengkapnya pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung. Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan, dan penggunaannya dalam teks fiksi tergantung pada selera pengarang dan kebthan penceritaan. Teknik langsung banyak digunakan pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan novel indonesia modern, sedangkan teknik tidak langsung terlihat lebih diminati oleh pengarang dewasa ini. Namun, perlu juga dicatat bahwa sebenarnya tidak ada seorang pengarang pun yang secara mutlak hanya mempergunakan salah satu teknik itu tanpa memanfaatkan teknik yang lain. Pada umumnya pengarang memilih cara campuran, mempergunakan teknik langsung dan tidak langsung dalam sebuah karya sastra. hal ini dirasa lebih menguntungkan karena kelemahan masing-masing teknik dapat ditutup dengan teknik yang lain. Berikut akan dibicarakan kedua teknik tersebut satu per satu. 1. Teknik Ekspositori Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkanoleh pengarang kehadapan pembaca dengan cara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap,sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.48 2. Teknik Dramatik Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku para tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukan 48
Nurgiantoro, op. cit., h. 279-280.
25
kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal. Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan lewat sejumlah teknik. Biasanya pengarang menggunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling bergantian walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik yang dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:49 a. Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang (agak) panjang. Tidak semua percakapan, memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak semua percakapan, memang memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk menafsirkannya sebagai demikian.50 b. Teknik Tingkah Laku Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjukan tingkah laku verbal berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifatsifat kediriannya.51 c. Teknik Pikiran dan Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua. Bahkan pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal itu. 49
Ibid., h. 283-285. Ibid., h. 286. 51 Ibid., h. 288. 50
26
Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku dan perasaan. Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.52 d. Teknik Arus Kesadaran Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi modern teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologeu, monolog batin. Monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam diri sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”, berusaha menagkap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenagan, nafsu, dan sebagainya. e. Teknik Reaksi Tokoh Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata. Dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan sebagai yang berupa “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.53 f. Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaiaan kidirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang
52
Nurgiantoro, op. cit., h. 289. Ibid., h. 293.
53
27
lain dalam sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. g. Teknik Pelukisan Latar Suasana latar (baca: tempat) sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan
kediriannya.
Pelukisan
suasana
latar
dapat
lebih
mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu adakalanya dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula dipihak pembaca. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar kedirian tokoh.54 h. Teknik Pelukisan Fisik Keadaan kejiwaannya,
fisik atau
seseorang paling
tidak,
sering
berkaitan
pengarang
dengan
sengaja
keadaan
mencari
dan
memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tidak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal itu berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan. Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.55
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Sudah barang tentu, tidak 54
Nurgiantoro, op. cit., h. 295. Ibid., h. 296.
55
28
semua khazanah sastra Indonesia yang luas itu akan tercakup dalam pengajaran sastra yang waktunya terbatas. Namun, bagaimanapun akan lebih baik mengajarkan sastra sebagai sebuah kepaduan dibanding mengajarkannya
secara
centang-perenang.56
Jika
pengajaran
sastra
dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: 57 1) Membantu Keterampilan Berbahasa Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa: meyimak, wicara, membaca, menulis. Mengikutsertakan pengajaran satra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya. 2) Meningkatkan Pengetahuan Budaya Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan “sesuatu” dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. Apabila kita dpat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa faktafakta itu sendiri tidak lebih penting dibanding dengan keterkaitannya satusama lain sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu. Suatu bentuk pengetahuan khusus yang harus selalu dipupuk dalam masyarakat adalah pengetahuan tentang budaya yang dimilikinya. 56
Agus R. Sarjono, Sastra Dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), h. 227. 57 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.
29
Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik. Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa ikut memiliki. 3) Mengembangkan Cipta dan Rasa Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah seorang individu dengan keperibadian yang khas, kemampuan, masalah dan kadar perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu penting
sekali
kiranya
memandang
pengajaran
sebagai
proses
pengembangan individu secara keseluruhan. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif dan bersifat sosial, serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat religius. Karya sastra, sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karenanya, dapatlah ditegaska, pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar, akan dapat menyediakan kesempatan
untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya. 4) Menunjang Pembentukan Watak Pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam.
Dibanding
pelajaran-pelajaran
lainnya,
sastra
mempunyai
kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti: kebahagiaan. Kebebasan, kesetiaan,
kebanggaan
diri
sampai
pada
kelemahan,
kekalahan,
keputusasaan, kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai.
30
Sehubungan dengan pembinaan watak, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi, ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Sastra, seperti yang kita ketahui, sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang sangat luas.58
D. Penelitian Relevan Penelitian mengenai novel Pulang pernah dilakukan oleh Uky Mareta Yudistyanto (2013) dalam tesisnya yang berjudul Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra Dan Nilai Pendidikan Dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori. Merupakan tesis di Universitas Sebelas Maret. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, analisis kajian tentang latar sosiologis karya sastra novel Pulang, yaitu: a) ketidak adilan sosial yang meliputi stereotipe sosial dan pelanggaran HAM; b) penyimpangan norma dalam masyarakat yang meliputi seks bebas, perselingkuhan, pengonsumsian minuman keras, tindak anarki dalam demonstrasi, pelecehan sesksual; c) birokrasi yang meliputi pemerintah yang otoriter dan marginalisasi masyarakat; 2) analisis kajian tentang resepsi pembaca yang terdiri dari para pembaca ahli dan pembaca umum (biasa); 3) analisis kajian tentang nilai pendidikan, yaitu: a) nilai pendidikan akademis; b) nilai pendidikan politik; c) nilai pendidikan sosial yang meliputi rasa cinta tanah air dan rasa solidaritas yang tinggi, yaitu rasa empati, rasa saling menjaga, dan rasa senasib sepenanggungan.59 Penelitian novel Pulang juga pernah dilakukan oleh Eko Sulistyo dalam penelitiannya yang berjudul Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Ananlisis Struktur Plot Robert Stanton. Merupakan skripsi di Universitas Gajah Mada. Dari hasil analisis dapat disimpulkan plot pulang bersifat rekat dan plausible. Rekat dan plausible berfungsi untuk membuat pulang seperti 58
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988) h. 24. Uky Mareta Yudistyanto, Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra Dan Nilai Pendidikan Dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori, http://eprints.uns.ac.id/id/eprint/12182 , diakses pada tanggal 12 Januari 2015 pukul 09:30. 59
31
kenyataan, untuk menguatkan temanya, Pulang menggunakan ironi dramatis (ironi plot).60 Penelitian novel Pulang juga pernah dikaji oleh Aditya Doni Pradipta (2014) dalam skripsinya yang berjudul Konflik Politik Dalam Vovel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA. Merupakan skripsi di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan. Berdasarkan tinjauan sosiologi sastra, konflik politik dalam novel Pulang dibagi menjadi dua, yaitu senjata-senjata pertempuran dan strategi politik. Senjata-senjata pertempuran yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ada empat bentuk, yaitu a) kekerasan fisik, b) kekayaan, c) organisasi, d) media informasi. Srategi politik yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ada lima bentuk, yaitu a) perjuangan terbuka, b) perjuangan tersembunyi, c) pergolakan di dalam renzim, d) perjuangan untuk mengontrol renzim, e) kamuflase.61
60
Eko Sulistyo, Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Ananlisis Strukture Plot
Robert Stanton,http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act= view&typ=html&buku_id=72485&obyek_id=4, diakses pada tanggal 12 Januari 2015 pukul 09.00. 61
Aditya Doni Pradipta, Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA, http://eprints.ums.ac.id/29964/, diakses pada tanggal 28 Maret 2015 pukul 14:08.
BAB III BIOGRAFI PENGARANG, SINOPSIS DAN PEMIKIRAN A.
Biografi Pengarang Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Leila bisa dibilang pengarang yang jempolan. Usia merambah, kreativitas bertambah. Masa kanak-kanak, Leila menjadi pengarang cerita anak-anak, di tingkat akhir SMPnya, Leila telah berhasil menulis cerpen sekitar 50-an serta 11 novelette. Tersebar di majalah-majalah Kuncung, Gadis, Hai, Dewi dan yang lain. Tema yang dipilih Leila kecuali cerita anak-anak, juga kisah-kisah remaja. Berdasar imajinasi. Tetapi dalam setiap cerpen pasti terselip pengalaman yang pernah dihayatinya, dan ini menurut Leila, mampu menghidupkan isi cerpennya. Cerpen yang pernah ditulisnya, yang jadi favoritnya adalah Musik Dan Aku yang dimuat dalam Hai. 1 Bakatnya dalam menulis memang sudah ada sejak masih kecil. Kumpulan cerpennya Malam Terakhir yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzie Nacht (Horlemman Verlag). Sejak kecil leila sudah biasa berkumpul dengan pengarang terkenal seperti, Yudistira Marssadi, Arswendo Atmowiloto atau Danarto. Leila memang bukan pengarang yang pantang mundur, terutama untuk bidang tulis menulis yang diyakininya sebagai pilihan hidup dan karir, karena itu dia memilih menjadi wartawan. Kerja sebagai wartawan memang sangat menyita waktu dan meletihkan, sehingga ia tidak sempat lagi menulis cerita fiksi. Leila sempat mewawancarai tokoh-tokoh terkenal yang tidak mungkin ia jumpai saat dia hanya sekerdar menjadi penulis fiksi. Meski diakui karirnya sebagai pengarang cukup cemerlang. Jauh sebelum Leila berkecimpung di bidang jurnalistik, Leila sudah sering mempublikasi karangannya di berbagai media cetak bergengsi di Indonesia seperti Horison, Mantra, dan media berbahasa Inggris Solidarity (Filipina), Managerie (Indonesia), dan Tenggara 1
Anonim, Leila S. Chudori Ingin Menggenggam Dunia, Majalah Dewi, Senin, 15 Mei 1979, h. 38.
32
33
(Malaysia). Cerpennya pernah dibahas oleh kritikus sastra Tinneke Hellwig dalam “Leila S. Chudori and Women in Contemporary Fiction Writing” yang dimuat di Tenggara terbiran Malaysia. Namanya juga tercantum dalam salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra Dictionnaire des Creatrices yang diterbitkan Editions des Femmes, Prancis yang disusun oleh Jacqueline Camus, sebuah kamus sastra yang berisikan data dan profil perempuan yang berkecimpung didunia seni.2 Perempuan kutu buku ini juga sudah menerbitkan sejumlah buku. Semuanya fiksi, Leila memang jarang menulis artikel. Semasa kuliah ia mengaku cukup serius dalam belajar, giat membaca buku-buku teks, sehingga tidak punya waktu untuk menulis, jika sedang pulang ke Indonesia Leila baru bisa mengarang. Leila sangat tidak percaya pada bakat, bagi dia kata bakat mengandung misteri. “Manusia ditentuksn oleh faktor eksternal dan internal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni atau tidak.” Katanya. Bagi Leila seorang pegarang memiliki kepekaan menangkap fenomena dalam dirinya yang kemudian diekspresikan lewat kertas. Kekaguman Leila pada ayahnya Mohammad Chudori yang merupakan seorang wartawan Kantor Berita Antara, tidak mampu disembunyikannya. Nama Leila S. Chudori tercantum dalam daftar keanggotaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Periode 1993-1996, ia menegaskan bahwa sudah sejak lama ia menolak untuk duduk dalam keanggotaan itu. Selain bekerja sehari-hari sebagai wartawan senior Tempo, bersama dengan Bambang Bujono, Leila juga menjadi editor buku Bahasa! Kumpulan tulisan majalah Tempo (Pusat Data Analisa Tempo, 2008). Leila juga aktif menulis skenario drama televisi. Drama TV berjudul Dunia Tanpa Koma (Produksi SinemArt, sutradara Maruli Ara) yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro ditayangkan di 2
Anonim, Seniman Sastra, http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/leila.html, diakses pada 05 September 2014.
34
RCTI tahun 2006. Terakhir Leila menulis skenario film pendek Dripadi (produksi SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza), yang merupakan kisah tafsir Mahabarata.3
B.
Sinopsis Novel Pulang dimulai dengan kisah empat wartawan Indonesia Dimas Suryo, Nugroho, Risjaf dan Tjai, yang dilarang kembali ke tanah air mereka setelah pembersihan komunis Indonesia pada tahun 1965. Sementara teman-teman Dimas dan anggota keluarga dibantai atau disiksa di Indonesia, empat teman-teman berpindah dari satu negara ke negara lain yang mencari suaka politik, akhirnya mendarat di Prancis dan menyambung hidup dengan membuka Restoran Tanah Air. Tokoh penting lainnya adalah Hananto Prawiro, kawan seangkatan Nugroho yang menjadi pimpinan baik semasa mereka masih sama-sama berkuliah maupun setelah bekerja di Kantor Berita Nusantara. Tokoh ini yang paling memiliki ikatan emosional dengan Dimas, ia kerap berperan sebagai sahabat, pimpinan, sekaligus lawan diskusi yang cukup tengil. Hananto adalah redaktur berita luar negri yang aktif membangun komunikasi dengan berbagai elemen gerakan revolusioner kiri di dunia terutama Amerika Latin, selain itu ia juga aktif di ormas LEKRA dan menjadi tangan kanan pemimpin redaksi yang bertendensi mendukung PKI. Sayangnya, dia harus tertangkap di negerinya sendiri pada 1968 setelah melakukan pelarian panjang dan dieksekusi mati oleh militer pata tahun 1970. Dimas hanyalah seorang jurnalis profesional yang menganut ideologi politik tertentu, juga tidak terlibat gerakan organisasi politik tertentu. Ia harus menelan pil pahit yang terkadang disesalkannya sendiri, sebab harus hidup tersiksa tanpa alasan. Meski selalu ditolak, selama menjadi eksil, setiap tahun Dimas selalu mendatangi KBRI mengajukan 3
Anonim, Seniman Sastra, http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/leila.html, diakses pada 05 September 2014.
35
visa masuk ke Indonesia. Ia juga harus bercerai dengan Vivienne dan bertengkar dengan Lintang karena Dimas selalu berkorespondensi dengan Surti dan anak-anaknya padahal itulah akses yang ia miliki untuk mengetahui gambaram situasi di tanah airnya, dia juga selalu menyimpan stoples kunyit dan cengkih segar yang diletakan di ruang tamu apartemennya supaya setiap hari bisa menghirup aroma khas tanah airnya. Yang paling mengagumkan adalah Restoran Tanah Air yang dirintisnya bersama kelompok eksil politiknya dan sempat dilabeli sarang komunis. Satu setengah dari buku ini bercerita tentang Dimas dan puterinya. Lintang Utara, yang memutuskan berkunjung ke Indonesia pada tahun 1998 untuk membuat film dokumenter tentang kehidupan eksil politik di Indonesia sebagai bagian dari proyek terakhirnya sebagai mahasiswa di Universitas Sorbonne. Lintang bertemu Segara Alam, putra Hananto Prawiro, yang membantu dia untuk mewawancarai keluarga aktivis politik Indonesia yang menderita di bawah pimpinan Soeharto. Dalam novel ini, tidak lain Dimas Suryo adalah Sang Ekalaya. Seperti Ekalaya, Dimas adalah manusia yang memandang lurus kehidupan. Dia tidak sadar bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang suka bertarung dan saling memakan sesamanya demi memenuhi kepentingan masing-masing. Meski tidak diakui lagi status warga negaranya dan selalu ditolak pulang oleh pemerintah di negaranya, Dimas tetap bertahan dengan langkah penuh jejak darah luka, sebab ia tahu persis tanah air Indonesia tidak pernah menolak dirinya. Pada akhirnya, setelah Orde Baru Soeharto ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dan rakyat pada 21 Mei 1998, dan sebagai upaya terakhirnya untuk menegaskan bahwa dirinya adalah putra Indonesia yang punya hak mewarisi tanah airnya, Dimas Suryopun berhasil pulang untuk selamanya ke TPU Karet Bivak Jakarta Pusat, tanah yang aromanya ia kenal dan mengenali dirinya.
36
C. Pemikiran Leila S. Chudori Leila merupakan pengarang yang hampir selalu memilih cerita pendek sebagai format ketika berkarya. Baginya, cerita pendek dalam beberapa hal memiliki peraturan yang lebih ketat, lebih keras, dan lebih galak, sebab cerita pendek harus memuat ledakan dalam ruang yang sempit. Leila sangat tidak percaya dengan bakat, baginya kata bakat itu mengandung misteri. “Manusia itu ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni atau tidak.” Katanya. Bagi Leila, seorang pengarang memiliki kepekaan menagkap fenomena dalam dirinya, kemudian diekspresikan lewat kertas. “Kita harus mengadakan pendekatan pada kepekaan itu. Sesudah mengenal kepekaan itu, barulah dilanjutkan dengan proses edukasi, ya membaca, belajar dari pengalaman, menghayati kehidupan,” Baginya, seni itu tidak diperoleh dalam pendidikan dalam pendidikan akademis, kecuali masalah politik dan ekonomi. Seorang pengarang berbakat tidak ditentukan oleh kuantitas karyanya, tapi bobot karya itu sendiri. Pengarang yang terlalu produktif itu diragukan kualitas karya-karyanya. “Kapan sih kesempatannya untuk mengendapkan karyanya dan kemudian merenung. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang benar-benar produktif, tapi terasa ada pengulanganpengulangan tanpa disadarinya,”4 Leila beranggapan menulis haruslah dari hati dan menikmati prosesnya. Tidak hanya sekadar ingin terkenal, apalagi memdapatkan penghargaan. Bila suatu karya diapresiasi baik, maka itu menjadi nilai tambah, tapi bukan sesuatu yang diharapkan dari awal pembuatan. Hasil karya Leila banyak terinspirasi dari kisah-kisah perwayangan. Beberapa karyanya banyak memiliki dasar kisah drama keluarga tidak biasa seperti kisah perwayangan. Baginya, kisah keluarga yang baik-baik saja tidak menarik untuk diceritidakan. Berbeda hal bila cerita menggambarkan drama keluarga yang menjadi korban dari peristiwa 4
Leila Salikah Chudori, ”Saya Tak Percaya Pada Bakat”, Jakarta: Suara Pembaruan, Senin, 31 Oktober 1988, h. 8.
37
30 September 1965 akan sangat menarik jika diceritidakan dalam sebuah karya. Leila pergi kuliah ke Kanada tahun 1982, negri multikultural yang damai dengan standar hidup yang jauh lebih “menjanjikan”. Enam tahun hidup di negeri yang “tertib” tidak membuat Leila kehilangan selera atas tanah airnya. Ia memilih pulang: kembali ke tempat yang chaos, sumpek dan penuh persoalan.Leila ingat pesan ayahnya, “ada alasan mengapa kita dilahirkan sebagai orang Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita.” “Karena tanah air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan... Manusia Indonesia? Manusia yang gemar duit dan malas bekerja, yang gemar bergunjing hanya untuk kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang mempermainkan hukum...,” tulisan Leila dalam peringatan 40 hari kepergian ayahnya. Tetapi, seperti kata Ayah pula, Indonesia juga memiliki matahari yang hangat. Ada banyak orang yang baik, yang perduli, yang bekerja tanpa mengeluh, banyak yang terus berpeluh tanpa pamrih agar sekadar sejengkal-dua-jengkal tanah air ini membaik. Kekaguman Leila pada Ayahnya Mohammad Chudori wartawan kantor Berita Antara dan The Jakarta Post itu, tidak mampu disembunyikannya.5 Pada akhir tahun 2012, Leila akhirnya menerbitkan novel pertamanya, Pulang, yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, dan Diluncurkan di Institute Goethe di Jakarta. Leila menghabiskan enam tahun melakukan riset untuk pekerjaan dan dibayar dua kunjungan ke Paris untuk wawancara antara lain, buangan politik Oemar Said dan Sobron Aidit (yang baik untuk sementara meninggal), dan banyak bekas tahanan politik di Jakarta, termasuk wartawan Amarzan
5
Anonim, Leila Selalu Ingin Pulang, www.dw.de/leila-yang-selalu-pulang/a16821309, diakses pada 09 Februari 2015 pukul 19:18.
38
Loebis dan aktivis Djoko sri Moeljono, yang telah dipenjarakan di Pulau Buruh di bawah renzim militer Soeharto.6 Pulang memenangkan Khatulistiwa Literary Award, mengalahkan novel karya penulis berbakat lainnya, seperti Dewi Kharisma Miceillia, Laksmi Pamuntjak, Okky Madasari, dan AS Laksana. Leila mengatakan ia merasa terhormat dan bersyukur pada penghargaan tersebut namun, ia teringat ungkapan ayahnya, yang terpenting dalam kreativitas adalah proses: penelitian dan penulisan. Ini adalah proses yang akan mengajarkan kita untuk menjadi rendah hati. Proses kreatif Leila selalu menggunakan latar jurnalistik untuk karya fiksinya. Dalam menulis Pulang Leila menghabiskan enam tahun untuk meneliti, membaca dan mewawancarai orang-orang buangan politik yang tinggal di Paris, seperti Oemar Said dan Sobron Aidit, pemilik Restoran Tanah Air.7
6
Leila S. Chudori, Tentang Leila, http://www.leilaschudori.com/about-me/, diakses pada 23 Oktober 2014. 7 Meghan Downes, Leila S. Chudori: Khatulistiwa Award Winner’s Commitment To The Writing Process, http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/20/leila-s-chudori-khatulistiwa-awardwinner-s-commitment-writing-process.html, diakses pada 23 Oktober 2014.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI A. Unsur Intrinsik Novel Pulang Karya Leila S. Chudori 1. Tema Tema dalam suatu karya merupakan pokok penting karena menjadi dasar suatu cerita. Selain itu tema sering menjadi acuan untuk menentukan konflik dalam rangkaian peristiwa. Tema yang diangkat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori secara keseluruhan adalah perjuangan hidup para eksil politik. Sudah sejak awal tahun semua yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia atau keluarga PKI atau rekan-rekan anggota PKI atau bahkan tetangga atau sahabat yang dianggap dekat dengan PKI diburu-buru, dan diintrogasi. Dik Aji menceritakan begitu banyak kisah suram. Banyak yang menghilang. Lebih banyak lagi yang mati.1 Kutipan di atas menggambarkan konflik berdarah peristiwa 30 September 1965 dan setelah peristiwa itu berlangsung. Orang-orang yang terlibat langsung dengan PKI ataupun tidak menjadi korban pada peristiwa berdarah itu. Tokoh-tokoh penting dalam Pulang
seperti Dimas dan
kawan-kawan lainnya terasingkan di luar negeri karena pekerjaan mereka di Kantor Berita Nusantara dekat dengan segala yang berbau kiri. Mereka tidak bisa pulang selama Orde Baru masih memegang tongkat kuasa di Indonesia. Kutipan lain yang memberi gambaran keadaan eksil politik serta keluarga di Indonesia ataupun yang berada di luar negeri. Sembari mencerna koleganya mencerca kekacauan di negeri ini, dari soal keputusan-keputusan Presiden yang di buat tanpa perhitungan saat nilai rupiah terjun bebas hingga pengumuman Presiden memasukkan kerabat dan anak sendiri ke dalam Kabinet,
1
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 10-
11.
39
40
Aji berpikir dengan apatis. Seburuk apa pun, dia merasa negara ini tak akan berubah. 2 Kutipan di atas adalah sikap apatis Aji Suryo (adik Dimas). Sikap apatis Aji bukan tanpa sebab, semua iu terjadi karena pengalaman hidupnya, Aji dan keluarga Dimas selalu menjadi bahan pergunjingan karena Dimas merupakan orang yang paling dianggap sebagai simpatisan komunis. Setelah peristiwa 30 September banyak para eksil politik yang hidup mengelana dari satu negeri ke negeri yang lain tanpa identitas karena ditolak oleh negerinya sendiri Indonesia karena tuduhan sebagai simpatisan komunis, mereka disebut sebagai eksil politik. Kutipan lain yang menunjukan penolakan pemerintahan Indonesia terhadap eksil politik dan keluarganya adalah sebagai berikut Aku masih terdiam. Memikirkan istilah Bersih Lingkungan. Memikirkan wajah dan oandangan Tante Sur, berbagai diplomat dan tamu pada pesta di KBRI.3 Kutipan di atas adalah kutipan yang menggambarkan keadaan yang dialami Lintang sebagai anak dari seorang eksil politik Dimas Suryo pada saat menghadiri perayaan Hari Kartini di KBRI. Pada tahun 1980-an ada kebijakan yang dikenakan kepada seorang yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September, anggota PKI, atau anggota sejenis lainnya. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Bersih Lingkungan adalah istilah yang dikenakan kepada anggota keluarga seorang yang dicap komunis. Istilah Bersih Diri mengakibatkan para mantan tahana politik tragedi 1965 dan anak cucu mereka menjadi anggota TNI/POLRI, guru, pendeta, atau profesi yang dianggapa mampu mempengaruhi masyarakat. Berdasarkan paparan tersebut maka, tema yang diangkat penulis adalah perjuangan hidup para eksil politik.
2 3
Ibid., h. 328. Ibid., h. 164.
41
2. Tokoh dan Penokohan Salah satu unsur intrinsik yang membangun sebuah kisah adalah tokoh dan penokohan. Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan. Novel Pulang karya Leila S. Chudori ini memiliki tokoh yang cukup banyak, terlebih tokoh yang berasal dari sisi korban peristiwa tahun 1965. Satu sisi inilah yang membuat novel ini hampir memiliki keseragaman pemikiran pada setiap tokohnya. Setiap tokoh tentunya memiliki karakter yang kuat dan dibekali proporsi yang seimbang dalam cerita, tetapi tokoh yang akan dianalisis dalam penelitian ini hanya tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh cukup besar dan mendapatkan sorotan lebih dalam cerita. a. Dimas Suryo Dimas Suryo seorang redaktur Kantor Berita Nusantara. Suami dari Vivinne Devereaux ini harus rela terpisah jauh dari keluarga, ibu, dan adiknya, Aji Suryo, karena situasi politik yang sedang memanas di Indonesia. Ayah dari Lintang Utara ini dianaktirikan oleh tanah airnya sendiri karena tuduhan sepihak telah terlibat langsung atau hanya sebagai simpatisan PKI. Dimas yang harus menahan rindu kepada tanah airnya sampai waktu yang tidak ditentukan sama s ekali tidak bisa melupakan Surti beserta anak-anaknya dengan Hananto, yakni Kenanga, Bulan, dan Alam. Dimas adalah tokoh utama dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori yang bila dilihat dari segi perwatakan digambarkan sebagai tokoh berkembang. Dia menjadi tokoh sentral karena semua cerita terfokus dan tertuju kepadanya. Dalam novel ini diceritakan bahwa Dimas menjadi tokoh paling dominan karena tahapan kehidupannya dikisahkan dengan lengkap, dimulai dari sejak dia mengalami pengasingan sebagai eksil politik sejak tragedi politik September 1965 yang membuat hidupnya
42
berubah. Selain karena kehidupannya yang diceritakan secara lengkap, Dimas juga menjadi tokoh utama dilihat dari penyampaian tema cerita yang tergambar dalam setiap tahapan yang dilaluinya. Dimas berbeda dengan ketiga sahabatnya. Walaupun sama-sama dari Indonesia, terasingkan jauh dari negerinya, namun dia tetap setia pada tanah kelahirannya. Meskipun dia berkelana ke benua lain, beradaptasi kemudian membangun keluarga di sana, tetapi ruhnya tetap pada tanah tempat dia lahir dan dibesarkan, Indonesia. Dia selalu ingin kembali ke tanah air, bukan kepada keluarga yang dibentuknya di benua yang dia tempati sekarang. Dimas adalah burung camar yang senantiasa ingin kembali ke tanah kelahirannya; bukan kepada keluarga yang dibentuknya di benua sekarang.4 Dari kutipan di atas terlihat bahwa Dimas begitu mencintai tanah airnya. Dimas seperti burung camar yang terbang berkelana dari satu negeri ke negeri yang lain untuk tetap bertahan hidup jauh dari tempat tinggalnya, namun tempat yang dia kunjungi hanya sebagai tempat persinggahan sementara bukan untuk menetap, baik dimas ataupun burung camar selalu punya keinginan untuk kembali ke tempat mereka berasal. Menurut Dimas, Indonesia adalah rumahnya, tempat di mana dia ingin pulang dan bisa menghabiskan hari tua serta menutup mana walaupun setiap tahunnya dia selalu merasakan kecewa karena permohonan visanya agar bisa masuk ke Indonesia selalu ditolak. Selama sang Jendral masih berkuasa di tanah airnya, orang-orang seperti Dimas dan ketiga sahabatnya harus rela menelan pil pahit karena tetap tidak bisa pulang ke negerinya sendiri. Tapi puluhan tahun berlalu dan Sang Jendral semakin kuat dan semakin ditakuti. Mungkin gaya pemerintahan Indonesia tidak sama dengan gaya para jendral di negara-negara Amerika Latin. Tapi Sang Jendral masih mencengkeram takhtanya dengan kuat.5 4
Ibid., h. 205. Ibid., h. 204.
5
43
Dari kutipan di halaman sebelumnya terlihat bahwa Dimas masih harus bersabar menanti saatnya pulang ke tanah air sampai pemerintahan yang dipimpin sang Jendral berakhir. Walaupun seperti itu, Dimas merupakan salah satu tokoh yang tetap pada pemikirannya, yakni ia akan kembali ke Indonesia, tempat yang sangat ia kenali baunya. Seperti kutipan di bawah ini, “Ayah tahu, dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya dia meletakan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia.”6 Kutipan di atas merupakan pemahaman Lintang Utara tentang sikap Dimas yang akhirnya mengetahui mengapa ayahnya selalu menyimpan hal-hal yang berhubungan dengan Indonesia seperti; stoples kunyit dan cengkih serta wayang kulit Bima dan Ekalaya. Dimas melakukan itu hanya untuk merasakan aroma Indonesia. Selain kutipan tersebut, ada kutipan lain yang menggambarkan keteguhan Dimas yang tetap percaya bahwa suatu saat nanti dia bisa pulang ke Indonesia. “Lintang sayang, Memang ada ironi bahwa setelah Orde Baru jatuh, saat ada kemungkinan besar bagi kami untuk pulang ke Indonesia, Ayah tampaknya akan pulang dalam keranda (atau peti mati? Entahnlah). Tapi tidak mengapa. Bukankah sudah kukatidakan, aku ingin pulang ke rumahku di Karet? Jangan pilih pemakaman mewah Pere Lachaise di Paris, jangan pula memilih pemakaman Tanah Kusir atau Jeruk Purut. Pilihlah tanah Karet. Itu tanah yang Ayah kenal baunya, teksturnya, yang nanti akan mudah menjadi satu dengan tubuhku.”7
6
Ibid., h. 196. Ibid., h. 444.
7
44
Dari kutipan di atas Dimas konsisten pada pemikirannya bahwa dia akan tetap bisa pulang. Bila dia meninggal pun, dia tetap meminta untuk dikuburkan di tanah airnya, tanah yang tidak pernah menolaknya. b. Nugroho Dewantoro Nugraha Dewantoro merupakan seorang pria kelahiran Yogyakarta yang memiliki kumis seperti artis Clark Gable dan bersuara sumbang. Ia pernah mempelajari tentang sinologi8, namun tidak lulus dan memilih bekerja di kantor Berita Nusantara. Di antara kami berlima hanya Mas Nug yang gemar menyanyi dan bersiul, tapi justru suara dia yang paling sember dan tak beraturan.9 Mas Nug sempat belajar sinologi seusai menyelesaikan sekolah menengah tinggi. Tapi pendidikan ini tak diselesaikannya.10 Ia memiliki keahlian memasak seperti Dimas. Berbeda dengan Dimas yang menyembah ritual dalam memasak, ia lebih mementingkan efektivitas dan rasa puas sehingga ia dapat menggantikan bumbu sate atau gado-gado dengan selai kacang, Ada perbedaan antara masakan Om Nug dan Ayah. Om Nug adalah seorang koki modern yang baru mempelajari kehebatan bumbu Indonesia setelah semua memutuskan untuk mendirikan koperasi restoran Indonesia. Dia mementingkan efektivitas dan rasa puas.11 Perihal masalah efektivitas dan rasa puas, Nugroho menerapkannya pula dalam kehidupan percintaan. Setelah tertahan di Peking, ia memutuskan singgah ke Swiss dan memiliki hubungan dengan seorang wanita bersuami hanya karena nama wanita tersebut memiliki kesamaan simbol dengan istrinya di Indonesia. Nugroho Dewanto, lelaki Yogyakarta yang selalu menekankan untuk berbahasa Indonesia daripada bahasa Jawa, sebetulnya sangat sentimentil. Bahkan aku curiga, meski dia sering berlaga seperti
8
Ilmu pengetahuan yang mempelajari seputar bahasa dan kebudayaan Tiongkok. Leila S. Chudori, op. cit., h. 92. 10 Ibid., h. 60. 11 Ibid., h. 139. 9
45
pemain perempuan, Mas Nug sangat menginginkan kehangatan keluarga.12 Nugroho menjadi pemimpin secara tidak langsung di Restoran Tanah Air setelah berpisahnya mereka dengan Hananto Prawiro. Ia menjadi penopang karena memiliki sifat riang dan penuh dengan rasa optimis dalam memandang kehidupan.
c. Risjaf Risjaf merupakan anggota yang dianggap paling muda dan peka. Ia digambarkan begitu tampan dengan rambut berombak, bertubuh tinggi besar, berhati lurus dan tulus, namun tidak menyadari ketampanannya. Lelaki Riau yang begitu tampan, berambut ombak, dan bertubung tinggi besar itu sibuk, mengorek-ngorek rak bukuku untuk mencari buku puisi, padahal dia sendiri sebetulnya adalah perwakilan dari segala kejantanan.13 Tokoh yang pandai memainkan harmonika dan seruling ini menemukan pendamping hidupnya ketika sudah menjadi eksil di Prancis dan membangun keluarga yang bahagia. Ia menikahi seorang adik dari salah satu eksil di Belanda serta dikaruniai seorang putri.
Risjaf
merupakan satu-satunya eksil Prancis yang dapat singgah ke Indonesia di masa Orde Baru berlangsung.
d. Tjai Sin Soe (Thahjadi Sukarna) Tjai adalah seseorang yang rasional. Segala hal dalam hidupnya sudah ia perhitungkan, termasuk tertahannya ia di Prancis bersama ketiga temannya di Restoran tanah Air. Hal ini dikarenakan ia berasal dari etnis Tionghoa, salah satu etnis yang akan pertama kali ditindak oleh pemerintah akibat kejadian 30 September 1965 karena memiliki hubungan dengan Tiongkok atau diidentikan dengan paham komunis.
12
Ibid., h. 105. Ibid., h. 55-56.
13
46
Tjai Sin Soe (yang terkadang dikenal dengan nama Thahjadi Sukarna) yang lekat dengan kalkulator di tangan kirinya jauh melebihi nyawanya sendiri, lebih banyak berbuat, berpikir cepat daripada coa-coa.14 Diskusi langsung mati akibat algojo Tjai yang rasional. Apa boleh buat, memang dialah kalkulator kami.15 Suami dari Theresa yang selalu membawa kalkulator ini menjadi bagian keuangan dalam pengelolaan koperasi restoran. Hidupnya serba lurus, baik, dan di jalan yang benar. Tjai adalah perekat bagi pilar Restoran Tanah Air yang memiliki keanehan dalam bertingkah laku.
e. Hananto Prawiro Tokoh ini merupakan benang merah segala hubungan yang terjadi di masa lalu Dimas dan ketiga eksil lainnya. Hananto yang berprofesi sebagai redaktur Luar Negeri Kantor Berita Nusantara merupakan tokoh yang berpendirian teguh dengan pendapatnya. Ia berusaha agar orang-orang di sekitarnya
sependapat
dengannya
melalui
cara
memaklumi
dan
mengarahkan. “Mas Hananto tahu, cara untuk mendekatiku bukan dengan memerangi dan membantah seleraku.”16 Hanantolah yang menularkan gagasan tentang sosialisme adalah seorang anggota PKI. Identitasnya inilah yang membuat orang-orang terdekatnya menjadi korban pembersihan oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam novel ini, Hananto diceritakan sebagai tokoh yang cerdik mengambil kesempatan dalam suatu kondisi sehingga
pihak militer
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menangkapnya. Hubungan Hananto dengan Surti-lah yang membuat Dimas tidak dapat jauh dari keluarga Prawiro. Oleh karena itu, setelah penangkapan Hananto, Dimas-lah yang menjadi penunjang kehidupan keluarga Prawiro. 14
Ibid., h. 50. Ibid., h. 99. 16 Ibid., h. 31. 15
47
Dimas yang tidak menyukai sikap Hananto karena tidak setia kepada Surti inilah yang membuat gambaran bahwa Dimas sangat tertambat pesona istri Hananto.
f. Vivienne Deveraux Vivienne Deveraux yang lahir dari keluarga Laurence Deveraux merupakan istri Dimas Suryo. Mereka bertemu dan jatuh cinta pada pandangan pertama saat peristiwa gerakan mahasiswa di Prancis Mei 1968. Vivienne memiliki paras yang cantik, rambut berwarna brunette, tebal berombak, dan bermata hijau. Di antara ribuan mahasiswa Sorbonne yang baru saja mengadakan pertemuan, aku melihat dia berdiri di bawah patung Victor Hugo. Rambut berwarna brunette, tebal, berombak, melawan arah tiupan angin. Hanya ada beberapa helai rambut yang dengan bandel melambai-lambai menutupi wajahnya. Tapi, di tengah gangguan rambut yang menebar-nebar ke sana kemari, aku melihat sepasang mata hijaunya yang mampu menembus hatiku yang tengah berkabut.17 Dari kutipan di atas terlihat penjelasan Dimas tentang Vivienne. Vivienne bukan hanya cantik, tetapi juga sosok perempuan yang pintar. Dia dibesarkan dalam keluarga intelektual. Tidak hanya itu, dia juga perempuan yang cukup peka. Kepekaannya ituah yang membuat Dimas terhenti dan tertahan di Eropa. Vivienne jelas seorang perempuan cerdas yang kepandaiannya dipupuk oleh kehidupan keluarga intelektual kelas menengah Prancis yang mementingkan pencapaian akademik. Tetapi kecerdasan di Prancis, atau bahkan di seluruh Eropa, mudah ditemukan di mana-mana. Yang membedakan Vivienne dari kedua sepupunya adalah kepekaannya.18 Vivinne cukup pintar menangkap setiap peristiwa yang diceritakan Dimas kepadanya, termasuk tentang seseorang dari masa lalu Dimas, Surti Anandari. 17
Ibid., h. 9. Ibid., h. 16.
18
48
Kamu marah karena kau pernah mencintai Surti!19 Dari kutipan pada halaman sebelumnya terlihat Vivienne cepat menangkap kesimpulan ketika Dimas bercerita tentang kisah hidupnya mengapa dia bisa sampai di Paris. Setiap cerita tentang Jakarta selalu disimaknya tanpa suara, tetapi ketika cerita sampai pada Dimas memukul Hananto karena dia begitu benci dia mengkhianati Surti dengan bermain dengan perempuan lain. Ia paham betul mengapa Dimas begitu marah saat itu. Itu karena pernah terjadi sesuatu antara Dimas dengan Surti. Dia mencoba mengorek-ngorek apakah masih ada cinta di hati Dimas untuk Surti. Vivienne merupakan sosok perempuan yang mempunyai pengertian yang amat dalam bagi pasangannya. Dalam berbagai hal, dia bisa menolerir semua hal. Dia juga perempuan yang mempunyai aturan yang cukup jelas dalam perkawinan, tetapi untuk masalah perempuan lain dalam perkawinannya, dia cukup tegas menyikapi. Vivienne adalah isteri yang paling pengertian di seluruh jagad raya. Berbeda dengan beberapa perempuan Prancis yang kukenal, yang membebaskan suaminya berkelana dari satu ranjang ke ranjang lain, Vivienne mempunyai aturan main yang jelas dalam soal perkawinan kami. Dia akan mentolerir semua hal, semua, kecuali satu: perempuan. Dan aku setuju.20 Vivienne merupakan tokoh yang tidak banyak mengalami perubahan karakter dari awal hingga akhir penceritaan. Dia juga berperan sebagai pencerita pada beberapa bab. Bukti dia sebagai pencerita pada beberapa bab adalah kutipan di bawah ini, Aku lahir dari keluarga Laurence Deveraux yang memilih untuk mengikuti nalar; yang percaya bahwa hidup akan selesai setelah selang pernafasan penyanggah hidup dicabut.21 Di balik kekuataan dan kemandiriannya terhadap hidup dan pemikiran-pemikirannya, ia sangat lemah dengan rasa cintanya terhadap 19
Ibid., h. 40. Ibid., h. 87. 21 Ibid., h. 199. 20
49
Dimas. Ia tidak dapat mengajukan segala pertanyaan tentang rasa kasih yang Dimas berikan kepadanya dengan rasa kasih yang ia tidak tunjukan secara langsung kepada Surti karena ia mengetahui jawabannya. g. Lintang Utara Lintang Utara adalah anak dari hasil perkawinan campur antara Dimas Suryo dengan Vivienne Deveraux. Dalam novel ini, Lintang digambarkan sebagai tokoh berkembang. Dia juga menjadi tokoh penting karena pada beberapa bab cerita berfokus kepadanya. Dalam novel ini, Lintang merupakan tokoh yang cukup dominan. Sejak kecil hingga dewasa, dia mengalami perubahan perwatakan dari setiap peristiwa yang dialami dan dikisahkan. Lintang Utara itulah nama puteri yang lahir setelah pernikahan kami berusia lima tahun. Semua yang ada pada Lintang adalah perwujudan ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal adalah rambut keluarga Suryo.22 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Lintang Utara merupakan perpaduan antara kecantikan khas Prancis yang dimiliki ibunya dengan warna khas pribumi yang dimiliki oleh ayahnya. Sampai dia beranjak dewasa kecantikannya semakin terlihat. Lintang dewasa bukan hanya cantik tetapi juga pintar. Hal ini terlihat dari kutipan berikut, “Maman,” dia menghela nafas, “aku merasa tidak cukup hanya mendengar cerita dari Ayah, Om Nug, Om Tjai, dan Om Risjaf. Tidak cukup juga mewawancarai orang-orang Kedutaan...ada konteks kesejarahan yang harus kupahami, bagaimana absurditas sejarah di Indonesia ini dimulai.” Inilah celakanya membesarkan anak dengan buku dan pendidikan Sorbonne.23 Lintang mempunyai kehidupan yang berbeda dari anak-anak hasil perkawinan campur lainnya. Perbedaan tersebut tergambar pada kutipan berikut ini, 22
Ibid., h. 85. Ibid., h. 210-211.
23
50
Aku mulai merasa ada sebuah kehidupan lain di bawah kehidupan „normal‟ kami sebagai keluarga sejak aku masih kanakkanak: keluarga kami berbeda dari keluarga Prancis umumnya.24 Perbedaan yang dialaminya adalah karena dia anak dari eksil politik. Sejak kecil dia hanya mengenal sebagian tanah airnya yang lain dari cerita-cerita orangtuanya, cerita bagaimana ayahnya bisa sampai di Paris dan mengapa tidak bisa kembali lagi ke Indonesia. Sampai pada saat dia ingin menyelesaikan tugas akhirnya di Universitas Sorbone dia disarankan untuk mengangkat film dokumenter tentang Indonesia. “Negara kelahiran ayahmu sedang bergejolak. Ekonomi jadi pemicu. Tetapi situasi politik semakin memanas karena Indonesia sudah dipimpin oleh presiden yang sama.”25 Negara lain juga mengalami situasi sosial dan politik yang tidak stabil seperti Indonesia, namun tidak seperti situasi politik yang dialami Indonesia. Sejak pemerintahan Soeharto atau rezim Orde Baru dan selama pemeritahan itu masih berkuasa, orang-orang seperti keluarga Lintang tidak akan bisa menginjakkan kaki di Indonesia. Celakanya, selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh presiden yang sama. Lintang memang tidak pernah datang ke Indonesia, tetapi dia cukup mengenal makanan dan cerita-cerita Indonesia, seperti cerita perwayangan. Tokoh yang paling disukai Lintang pada saat itu adalah Srikandi dan Panji Semirang. “Kenapa Srikandi?” “Aku merasa dia bergerak mencari raga yang tepat.” “Kenapa Panji Semirang?” “Dia memburu identitas.”26 Berdasarkan kutipan di atas terlihat alasan mengapa Lintang memilih tokoh-tokoh yang memburu identitas adalah karena sama dengan dirinya yang juga memburu identitas. Sebenarnya dia juga mempunyai hak 24
Ibid., h. 143. Ibid., h. 134. 26 Ibid., h. 184. 25
51
untuk datang ke Indonesia, sebagian tanah airnya, tetapi tidak pernah sekalipun dia benar-benar bisa mengenal sebagian tanah air yang mengalir dalam darahnya.
h. Segara Alam Sama seperti tokoh Lintang, tokoh Alam dalam novel Pulang memiliki peranan yang penting. Leila menampilkan Alam sebagai tokoh yang mengungkapkan sejarah. Alam adalah anak ketiga dari Hananto dan Surti serta adik dari Kenanga dan Bulan. Dia tidak banyak bicara dan hanya berkawan dengan Bimo. Alam memiliki kemampuan mengingat segala sesuatunya dengan rinci atau disebut Photographic Memor. Kelebihannya inilah yang membuat Alam selama SD, SMP hingga SMA selalu meraih prestasi di sekolah. Selama bersekolah, dia bertemperamen tinggi. Sejarah tentang 30 September 1965 dan eksekusi ayahnya pada saat peristiwa berdarah itu meletus, membentuk Alam menjadi seorang anak muda yang penuh pertanyaan dan kemarahan. Setelah eksekusi ayahnya, Om Aji yang selalu membantu perekonomian keluarganya.
Baru setelah dewasa, dia
mengetahui bahwa Om Aji adalah adik dari Dimas, sahabat Ayahnya. Alam pun melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setelah mendapat gelar sarjana hukum, Alam mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan untuk mengadvokasi kelompok minoritas yang diperlakukan tidak adil. Sejarah telah
membuatnya hidup penuh dengan kemarahan dan
pertanyaan seperti yang dibuktikan oleh kutipan d bawah ini, “Yu, sejarah telah membuat dan membentuk aku menjadi seperti ini. Sejarah juga yang menentukan perbuatan dan tindakanku di masa yang akan datang.”27 Alam bukan lelaki yang betah berlama-lama menjalin hubungan dengan 27
wanita.
Ibid., h. 295.
Hal
itu
dikarenakan
dia
terlalu
sibuk
dengan
52
kemarahaannya tentang masa lalu. Hal ini dibuktikan oleh kutipan kutipan berikut ini, Menurut Yu Kenanga, aku harus bisa membereskan kemarahan di dalam diriku sebelum bisa berhubungan serius dengan seorang wanita. Mungkin dia benar.28 Bukti kuutipan lain yang menjelaskan bahwa Alam bukanlah tipe pria yang betah berlama-lama dengan wanita adalah dialog yang diucapkan oleh Bimo. Bimo berkomentar bahwa Alam cukup berubah ketika bertemu Lintang saat anak dari Dimas itu sedang membuat tugas akhirnya di Jakarta. Alamlah yang membantunya bertemu dengan para narasumber untuk film dokumenter Lintang. Berikut kutipannya, “Jadi bersih licin kaya dolfin!” aku menyindir karena dia biasa malas mencukur jenggot dan kumisnya yang cepat sekali tumbuh. Alam tersenyum gembira. Gawat! Ini gawat! Alam punya kebiasaan hanya betah bersama seorang perempuan sekitar dua minggu. Sebulan saja sudah prestasi.29 Alam dan Lintang mempunyai ketertarikan terhadap satu sama lain. Benih cinta itu muncul selama Lintang berada di Jakarta. Pada saat itu situasi politik dan ekonomi semakin parah di tahun 1998.
i. Surti Anandari Surti Anandari adalah seorang wanita berlatarbelakangkan keluarga dokter terpandang, tetapi memilih belajar di fakultas sastra dan filsafat. Ia memiliki sifat keibuan dengan paras cantik sehingga diidamkan oleh para pria. Surti merupakan kekasih Dimas pad masa awal kuliah, namun karena sikap Dimas yang menunjukkan keraguan, Surti akhirnya memilih Hananto menjadi suaminya. Ia menjadi seorang ibu dan istri dengan karakter orang Indonesia pada umumnya, penurut dan pasrah. Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri merasa tak yakin. Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih terasa 28
Ibid., h. 290. Ibid., 314.
29
53
bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu, tetap membuat jantungku berlompatan. Itu adalah nama-nama pemberianku. Aku tak pernah tahu apakah Mas Hananto menyadarinya.30 Satu-satunya cinta yang selalu disimpan oleh Dimas adalah cintanya kepada Surti. Surti memiliki tempat tersendiri di hati Dimas. Walaupun sudah menikah, Dimas tetap menjadikan Surti seseorang yang memiliki tempat yang spesial di hatinya. Surtilah yang menjadi salah satu alasan bagi Dimas untuk terus kembali pulang ke Indonesia. Bila dilihat pada penggalan dialog sebelumnya, dapat dilihat bahwa Surti masih menyimpan hati pada Dimas walaupun ia telah menikah dengan Hananto. Hal itu dibuktikan oleh pemberian nama pada anak-anak Surti dan Hananto merupakan nama-nama yang diajukan oleh Dimas ketika Surti dan Dimas masih berpacaran. Hingga usia Dimas dan Surti beranjak tua, keduanya tetap memiliki kenangan indah tentang kisah meraka.
3. Alur Alur yang digunakan dalam novel Pulang adalah alur sorot-balik karena cerita diawali dengan penangkapan Hananto Prawiro, kemudian dilanjutkan dengan terdamparnya Dimas Suryo di Paris pada tahun 1968, setelah itu barulah kronologis waktu bercampur dari masa kisah itu diceritakan, kembali ke masa lalu, sampai pada akhir cerita pemakaman Dimas di Karet, Jakarta tahun 1998. Tahap alur yang dikemukakan Tasrif (dalam Nurgiantoro) dapat diterapkan ke dalam novel Pulang dengan klasifikasi sebagai berikut ini: 1) Tahap situation Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Novel Pulang karya Leila S. Chudori ini mengawali cerita dengan ditangkapnya Hananto Prawiro. 30
Ibid., h. 41.
54
Cerita tersebut digambarkan dengan menggunakan sudut pandang Hananto sendiri dalam bagian “Prolog: Jalan Sabang, Jakarta, April 1968”. Aku membayangkan suasana sepanjang jalan Sabang, suara bemo yang cerewet, opelet yang bergerak dengan malas, derit becak dan kelenengan sepeda yang simpang-siur menyebrang, serta penjual roti yang menyerukan dagangannya.31 Kemudian “Paris, Mei 1968” merupakan pengenalan tokoh sentral dari Pulang, Dimas Suryo yang tertahan di Paris dan bertemu dengan seorang mahasiswa Sorbone, Vivienne Deveraux. Kemudian keduanya pun menjalin hubungan. Pengenalan
berikutnya
digambarkan
pada
bagian
“Hananto
Prawiro”. Pada bagian ini dijelaskan asal usul terdamparnya Dimas dan ketiga temannya di Paris. Cerita diliputi oleh kegiatan ruang redaksi Kantor
Berita
Nusantara dan perselisihan
ideologi
yang saling
berseberangan antara kubu “kiri” dan kubu M. Natsir. 2) Tahap generating circumstances Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap awal munculnya konflik dapat dilihat pada bagian “Surti
Anandari”,
“Paris,
April
1998”,
“Narayana
Lafebvre”,
“L‟irreparable”, “Sebuah Diorama”, “Bimo Nugroho”, “Keluarga Aji Suryo”. Pada bagian itu dijelaskan perjalanan hidup Dimas dan Risjaf dalam menjalani rasa cinta yang masing-masing kepada Surti dan Rukmini pada saat menjadi mahasiswa. Namun, kisah cinta mereka tidak berjalan mulus karena terhalang oleh Hananto dan Nugroho. Bagian “Paris, April 1998” merupakan awal perjalanan Lintang untuk menggarap tugas akhirnya di Indonesia sebagai mahasiswa yang membuat film dokumenter tentang kisah para korban yang terlibat langsung atau tidak pasca kejadian 30 September 1965.
31
Ibid., h. 2.
55
“Narayana
Lafebvre”
merupakan
bagian
yang
mengisahkan
kerinduan Lintang akan masa kecil yang memiliki keluarga pernuh kehangatan. Pada bagian ini diceritakan pula awal jalan masuk Lintang mengenal Indonesia selain dari cerita Ayah dan ketiga teman eksilnya. Bagian selanjutnya merupakan “L‟irreparable”. Pada bagian ini dikisahkan Lintang mengenalkan Narayana kepada Dimas. Dimas memandang sebelah mata pada Nara karena dia termasuk kalangan orang berada. Hal itu merupakan pemicu renggangnya hubungan antara Dimas dan Lintang. Pertemuan pertama kali antara Lintang dan Segara Alam, anak dari Hananto Prawiro dan Surti Anandari, adalah langkah awal Lintang menggarap tugas akhirnya yang diceritakan pada bagian “Sebuah Diorama”. Kisah hidup keluarga yang ditinggalkan eksil diceritakan pada bagian “Bimo Nugroho” dan “keluarga Aji Suryo”. Kisah kehidupan keluarga yang selalu ditekan dan dianggap ikut berdosa untuk menanggung dosa turunan karena pilihan ideologi salah satu anggota keluarga mereka. 3) Tahap rising action Pada tahap peningkatan konflik ini, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Tahap peningkatan konflik pada novel ini terdapat pada bagian “Terre D‟ Asile”, “Ekalaya”, “Suratsurat Berdarah” dan “Potret yang Muram”. “Terre D‟ Asile” Di Santiago, di tengah konfrensi itu, kami mendengar dari ketua panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa 30 September.32 Kutipan di atas menceritakan kepanikan Dimas dan kawan-kawan yang sedang ditugaskan ke luar negeri dan tidak bisa kembali ke Indonesia. Suasana Indonesia memanas karena beredar kabar pembunuhan
32
Ibid., h. 69.
56
para jenderal yang dituduh PKI. Dikisahkan pula tentang perjalanan mereka sebelum menetap dan berjuang hidup di Paris, Prancis. “Ekalaya” Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.33 “Ekalaya” adalah bagian yang menceritakan tentang tokoh kisah wayang kegemaran Dimas karena memiliki kesamaan nasib, yaitu penolakan dari yang diharapkan dapat menerima. “Surat-surat Berdarah” mengisahkan ketegangan di Indonesia melalui surat-surat yang dikirim oleh Aji, Surti, Kenanga, dan Amir untuk Dimas. Pada bagian “Potret yang Muram” menjelaskan bahwa Lintang menambatkan hatinya pada Alam, serta kisah Surti bertahan hidup setelah pemburuan Hananto oleh pemerintah yang tak kunjung menuai hasil. 4) Tahap climax Pada tahap klimaks, konflik dan pertentangan yang terjadi mencapai titik intensitas puncak. Tahap klimaks yang terdapat pada Pulang terdapat pada bagian “Vivienne Deveraux” dan “Mei 1998”. Pada saat itulah aku tahu: aku tak pernah dan tak akan bisa memiliki Dimas sepenuhnya. Saat itu pula aku tahu mengapa dia selalu ingin pulang ke tempat yang begitu cintai.34 Pada kutipan di atas menjelaskan penyebab perceraian pernikahan Dimas dan Vivienne yang didasari oleh rasa cinta Dimas terhadap Surti yang tak kunjung hilang. Hal itulah yang mengakibatkan Dimas selalu mengikat diri dengan segala simbol yang tertuju pada Surti dan memaksa Dimas untuk terus mengingat wanita itu dan segala yang ada di Indonesia. “Mei 1998” Kami tiba di Kampus Trisakti sekitar pukul 10 lewat beberapa menit.35
33
Ibid., h. 197. Ibid., h. 216. 35 Ibid., h. 414 34
57
Kutipan di halaman sebelumya menggambarkan Lintang yang terlibat dalam keriuhan demo dan peristiwa Mei 1998. 5) Tahap denouement Pada tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap penyelesaian pada Pulang terdapat pada bagian “Epilog: Jakarta, 10 Juni 1998” Akhirnya Ayah pulang ke Karet Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki aroma yang berbeda” dengan tanah Cimetiere du Pere Lachaise. Tanah Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang.36 Kutipan di atas mengisahkan kembalinya Dimas ke Indonesia, ke Karet. Akhir pengembaraanmya ditutup dengan pemakaman yang dilakukan di Karet, Jakarta. 4. Latar a. Latar Tempat Latar tempat merupakan lokasi kejadian yang ada dalam novel. Melalui latar ini, pembaca dapat membayangkan kondisi tempat dalam cerita. Novel Pulang karya Leila S. Chudori menggunakan Jakarta dan Paris sebagai latar tempat.
1. Paris Paris merupakan tempat persinggahan Dimas dan kawan-kawannya dari penolakan keberadaan mereka di Tanah Air karena dianggap terlibat PKI. Di Paris, dia memulai hidup kembali dengan membangun sebuah restoran bersama teman-temannya, membangun keluarga bersama Vivienne, hingga mempunyai seorang anak perempuan bernama Lintang Utara. Aku mendarat di Paris pada awal tahun, ketika dingin menusuk tulang.37 36
Ibid., h.447. Ibid., h. 77.
37
58
Paris adalah tempat persinggahan para eksil politik. Banyak eksil politik yang tinggal dan hidup di Paris memiliki keluarga di sana. Hal ini dikarenakan Paris merupakan tempat yang paling ramah bagi para eksil politik seperti Dimas dan kawan-kawannya. Sampai di suatu malam bulai Mei 1968 yang riuh oleh tuntutan mahasiswa kepada pemerintah Prancis; aku bertemu dengan Vivienne Deveraux di kampus Universitas Sorbonne. Begitu saja ia masuk ke dalam keseharianku, ke dalam tubuhku, dan akhirnya perlahan-lahan merayap memasuki rongga sejarah hidupku.38 Kutipan, di atas menjelaskan pertemuan Dimas dengan Vivienne. Pertemuan tersebut terjadi saat Paris bergejolak, namun keadaan di sana tetap santun, tidak seperti keriuhan yang terjadi di Jakarta. Pada 18 Mei 1968, sedang terjadi serangkaian gerakan mahasiswa dari berbagai universitas di Paris, di antaranya adalah Universitas Sorbonne.
2. Jakarta, Tjahaja Foto, Jalan Sabang Tjahaja Foto adalah tempat di mana Hananto Prawiro bekerja setelah Kantor Berita Nusantaranya diberedel oleh pemerintah karena dianggap partisipan PKI. Tjahaja Foto juga tempat Hananto ditangkap oleh tentara. Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi, sate Pak Heri, warung bakmi godog, dan terakhir lampu neon Tjahaja Foto yang berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.39 Hananto Prawiro adalah teman seperjuangan Dimas dan termasuk orang yang paling diburu oleh pemerintah karena keaktifannya terhadap hal-hal yang berbau „kiri‟.
38
Ibid., h. 79. Ibid., h. 5.
39
59
3. Rumah Surti Anandari, Jakarta Rumah Surti adalah tempat Lintang bertemu dengan Surti. Dia bertemu Surti untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada para korban kekejaman politik di Jakarta dan apa yang terjadi setelah Hananto Parawiro tertangkap. Kami menikmati kopi di ruang depan menghadap teras. Kali ini tante Surti siap menghadap kamera. Aku mengingatkan, jika dia merasa tidak nyaman, dia harus mengutarakan agar aku menyetop rekaman. Hanya dengan pancingan satu pertanyaan, Tante Surti bercerita kepada kamera, seolah itu adalah seorang yang dikenalnya. Seorang yang ditunggu-tunggunya bertahun-tahun.40 Di rumah Surti, Lintang memperoleh sendiri apa yang dia baca lewat surat-surat Surti yang dia temukan di apartemen Ayahnya. Lintang mendengar langsung cerita bagaimana Surti dan anak-anaknya ditahan di Guntur lalu kemudian di tahan di Budi Kemuliaan dari Mulut Surti, sebuah kisah yang sama dengan isi surat yang dikirim wanita itu untuk ayahnya. Berikut kutipannya: Selanjutnya kisah Tante Surti tentang pengalaman mereka di Guntur persis seperti surat-surat Kenanga dan Tante Surti yang kutemukan di apartemen Ayah. Dia bercerita hingga mereka dipulangkan, lantas ditahan lagi di Budi Kemuliaan.41 4. Kantor Satu Bangsa, Jakarta Kantor Satu Bangsa adalah kantor Alam. Di sana Lintang banyak menyimpan Dokumen hasil rekaman tugas akhirnya selama di Jakarta. Kantor tersebut digeledah karena para intel sudah mengetahui keberadaan Lintang dan apa yang sedang dilakukan Lintang di Jakarta. Tiba di Kantor Satu Bangsa sudah ada beberapa teman di sana barulah aku mengalami apa yang disebut teror mental. Alam dan aku menyapu seluruh ruangan dengan sekali pandang.42
40
Ibid., h. 378. Ibid., h. 383. 42 Ibid., h. 400. 41
60
Seluruh yang ada di kantor tersebut habis porak-poranda. Rekamanrekaman Lintang, videocam, dan laptop pun ikut menjadi korban. Lintang mengalami teror mental yang dilakukan pemerintah pada saat itu. Kantor Satu Bangsa adalah lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan untuk mengadvokasi kelompok minoritas yang diperlakukan tidak adil. Tumpukan rekaman kasetku hilang. Catatanku hilang. Laptopku hilang. Pojok itu kosong. Aku jadi blingsatan dan mengorek-ngorek meja Mita dan membuka laci berulang-ulang.43 Dari kutipan di atas terlihat Lintang mulai panik teringat tugas akhirnya yang menjadi kacau akibat penggeledahan itu.
5. Kampus Trisakti, Jakarta Kampus Trisakti adalah tempat Lintang merekam aksi berkabung yang terjadi di sana setelah kejadian penembakan mahasiswa Trisakti, 12 Mei 1998. Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang menghadiri aksi berkabung ini.44 b. Latar Waktu Latar waktu menggambarkan kapan peristiwa itu terjadi. Novel Pulang karya Leila S. Chudori adalah sebuah novel sejarah. Oleh karena itu, waktu dalam kisahan ini menjadi begitu penting.
1) Jakarta, 1952-1998 Jakarta, Januari-Oktober 195245 Tahun 1952 adalah tahun kehidupan Dimas, Tjai, dan Risjaf, Nugroho, dan Hananto. Saat itu Hananto dan Nugroho sudah bekerja di
43
Ibid., h. 401. Ibid., h. 414. 45 Ibid., h. 51. 44
61
Kantor Berita Nusantara. Pada tahun itu juga mereka bertemu dengan Surti, Ningsih, dan Rukmini. Jakarta, Desember 196446 Pada 1964 keadaan Indonesia mulai memanas oleh organisasiorganisasi yang berbau kiri, seperti Lekra dan PKI, dengan mereka yang anti dengan hal-hal yang berbau kiri. Gejolak politik tahun 1965 membuat Dimas terpisah dengan keluarga karena harus menggantikan Hananto menghadiri konferensi wartawan di Santiago, Cile. Pada saat itu Jakarta sudah mulai memanas oleh pertikaian antarkalangan elite militer. Saat menghadiri konferensi di Santiago, meletuslah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta. Sejak saat itu Dimas tidak bisa kembali ke Indonesia. Bulan September 1965, Mas Nugroho dan aku adalah dua dari banyak wartawan yang dundang menghadiri konfrensi International Organization of Journalists di Santiago, Cile.47 Saat G30S meletus, keadaan negara kacau. Banyak pemberontakan terjadi dan keadaan menjadi tidak aman. Banyak di antara mereka yang ditangkap dan dibunuh karena terlibat atau dianggap sebagai simpatisan PKI. Hari ini tanggal 6 April 196848 6 April 1968 adalah hari di mana Hananto Prawiro tertangkap oleh tentara. Dia tertangkap di Tjahaja Foto di pojok Jalan Sabang. Hananto masuk ke dalam daftar orang yang paling diburu karena keaktifannya di dalam organisasi yang berbau kiri. Penangkapan itu membuat Dimas semakin sulit kembali ke Indonesia karena tentu dia juga masuk ke dalam daftar orang-orang seperti Hanato. 46
Ibid., h. 28. Ibid., h. 67. 48 Ibid., h. 4. 47
62
Jakarta, 18 Juni 197049 Dimas mendapat surat dari Kenanga Prawiro, yang mengabarkan bahwa Ayahnya telah dieksekusi mati. Pada subbab novel Pulang terakhir tertulis Mei 1998. Bagian ini merupakan reformasi besar-besaran mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto turun. Tahun itu bisa disebut sebagai detik-detik runtuhnya Orde Baru. Bila Orde Baru runtuh artinya Dimas dan eksil politik lainnya bisa kembali pulang ke Indonesia.
2) Paris 1968 Revolusi Mei 1968 tiba-tiba seperti tidak lagi tersisa. Prancis kembali menjadi negara yang flamboyan meski tetap santun dan teratur.50 Saat revolusi Mei 1968 di Paris, Dimas bertemu dengan Vivienne, mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Di Prancis pada tahun 1968 sedang terjadi Gerakan Mei 1968, yaitu serangkaian gerakan mahasiswa dari berbagai Universitas di Paris, seperti Universitas Sorbone dan University of Paris di Naterre. Pada saat yang sama, Dimas mendapat kabar dari Jakarta bahwa Hananto Prawiro ditangkap tentara. Jakarta, Agustus 1968 Mas Dimas, Mas Hananto terjaring oleh empat orang intel bulan April lalu.51 Demonstrasi yang dilakukan tidak hanya oleh mahasiswa, tetapi juga oleh sekelompok penyair dan musisi ini mengadakan pertemuan di University of Paris di Naterre. Mereka mendiskusikan diskriminasi kelas di Prancis dan juga mempersoalkan anggaran universitas. Manajemen universitas memanggil polisi dan mengepung kampus. Pada peristiwa yang kemudian disebut dengan gerakan 22 Maret ini, kampus ditutup sementara 49
Ibid., h. 246. Ibid., h. 15. 51 Ibid., h. 19. 50
63
dan para pemimpin mahasiswa dipanggil untuk dikenakan sanksi oleh universitas dan diancam dikeluarkan. Atas nama solidaritas dan keadilan, mahasiswa Universitas Sorbonne memprotes penutupan kampus dan ancaman terhadap para mahasiswa tersebut. Polisi juga mengepung Universitas Sorbonne. Situasi pun memanas. Sekitar 20 ribu mahasiswa dan dosen, serta para pendukung ikut berdemonstrasi berjalan menuju Universitas Sorbonne.
c. Latar Sosial Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori, latar sosial ditemukan pada kehidupan eksil politik dari tahun 1965-1998. Mbak Surti yang sejak peristiwa 65 terus-menerus diinterogasi di Guntur, kini juga dibawa, Mas.52 Kutipan di atas adalah kutipan surat Aji Suryo untuk Dimas. Sejak G30S meletus, kehidupan para eksil politik dan keluarganya tidak habishabisnya
mengalami
teror
mental,
interogasi
berulang-ulang,
penangkapan, penolakan, dan pembantaian yang terjadi saat itu. Ada sesuatu tentang Ayah dan Indonesia yang selalu ingin kupahami. Bukan cuma soal sejarah yang penuh darah dan persoalan nasib para eksil politik yang harus berkelana mencari negara yang bersedia menerima mereka.53 Orang-orang yang dianggap terlibat langsung atau tidak dengan PKI dilarang untuk menginjakkan kaki ke Indonesia karena G30S. Sejak ada istilah Bersih Diri dan Bersih Lingkungan tahun 1980-an, para mantan tapol diberi cap ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk mereka.
52
Ibid., h. 19 Ibid., h.184.
53
64
Peraturan ini tidak hanya berlaku untuk para esil politik tetapi juga untuk keluarganya. 5. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini adalah sudut pandang orang pertama dan orang ketiga mahatahu, walaupun sudut pandang orang pertama digunakan bergantian antar tokoh. Sudut pandang orang pertama didominasi oleh Dimas Suryo dan Lintang Utara. 1. Sudut pandang Dimas Suryo “Ada Perjanjian yang tak terucap di antara Tai, Risjaf, dan aku. Sejak mas Nug ditinggal sang bunga anggrek Rukmini54 Kutipan di atas menjelaskan pandangan Dimas tentang keadaan Nugroho setelah diceraikan Rukmini. Bahwa perceraian yang dialami Nugroho merupakan sebuah pukulan yang keras dan ia membutuhkan sebuah pengakuan bahwa Nugroho merupakan pemimpin yang baik bagi teman-temannya, walau ia tidak diakui sebagai pemimpin di keluarganya. 2. Sudut pandang Lintang Utara “Tetapi saat yang paling penting untukku adalah berkhayal bersama Ayah dan Maman.”55 Lintang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan ayahnya, ia mengetahui masa lalu ayahnya dari surat-surat Dimas yang sempat ia baca.
6. Gaya Bahasa Banyak ditemukan gaya bahasa dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam novel ini penggunaan gaya bahasa didominasi oleh perumpamaan dalam mengungkapkan sebuah keadaan dan kehidupan. Perumpamaan yang digunakan dapat berupa perbandingan manusia dengan sesuatu hal, penggambaran benda yang memiliki sifat seperti 54 55
Ibid., h. 105. Ibid., h. 184.
65
manusia. Gaya bahasa yang digunakan antara lain menggunakan majas hiperbola, simile, dan personifikasi. a) Majas Hiperbola Majas hiperbola ditemukan dalam beberapa kutipan di novel ini. Hiperbola diartikan sebagai gaya bahasa yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.56 Kutipan di atas diartikan bahwa Lintang memahami keteguhan Ayahnya yang akan tetap bertahan meski ditolak oleh pemerintah Indonesia. Ayahnya akan tetap bertahan walaupun semuanya sulit bahkan seakan-akan berjalan penuh dengan jejak darah dan luka. Padahal tidaklah seperti itu. Saya merasa langit Jakarta sudah retak. Lempengan besi hitam itu menghujani kami.57 Kutipan di atas menggambarkan keadaan yang dialami keluarga Hananto Parawiro. Penderitaan yang mereka alami tidak berkesudahan bahkan setelah sang kepala keluarga dieksekusi mati. Seperti dihujani lempengan besi hitam, penggunaan kata dihujani oleh Leila adalah pengungkapan penderitaan yang tidak berkesudahan.
b) Majas Simile Majas simile atau persamaan adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu majas yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Majas simile yang terdapat pada novel pulang yaitu perbandingan manusia seperti payung yang memberi keteduhan dan perlindungan. Om Aji Suryo dan Tante Retno adalah payung besar tempat kami berteduh di saat hujan, badai, dan terik matahari.58 56
Ibid., h. 197. Ibid., h. 246. 58 Ibid., h. 291. 57
66
Kutipan tersebut menjelaskan peran Aji Suryo dan Retno dalam membantu keluarga Hananto pasca Hananto dieksekusi mati. Om Aji segera terbang ke samping kami seperti seekor induk burung elang yang memeluk anak-anaknya dengan sepasang sayap yang luas.59 Pada kutipan kedua, tergambarkan kesigapan dan peran Aji dalam membantu keluarga Hananto disamakan seperti induk burung elang yang melindungi anaknya. “Wajahmu seperti kepiting rebus”60 Kutipan di atas menjelaskan wajah lintang yang memerah karena panas.
c) Majas Personifikasi Personifikasi
adalah
semacam
gaya
bahasa
kiasan
yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Dalam novel Pulang juga ditemukan beberapa majas personifikasi. Tetapi bunyi dan aroma kue putu itu selalu berhasil mengetuk pintu dan jendela.61 Leila mengumpamakan bunyi dan aroma kue putu mendobrak pintu dan jendela, padahal bunyi dan aroma kue putu adalah benda mati. Sedang mendobrak adalah kegiatan makhluk hidup seperti yang sering dilakukan manusia. Makna yang hendak disampaikan lewat majas tersebut adalah kondisi di malam hari dengan segala aktivitas yang ada. Malam sudah turun tanpa gerutu dan tanpa siasat.62
59
Ibid., h. 292. Ibid., h. 368. 61 Ibid., h. 2. 62 Ibid., h. 1. 60
67
Pada kutipan di atas, Leila mengumpamakan malam turun seperti makhluk hidup. Gerutu dan siasat adalah sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti manusia. Maksud dari penggunaan majas ini dalam kalimat tersebut adalah kondisi di malam hari. Berdasarkan paparan gaya bahasa di atas penulis menyimpulkan novel ini menggunaan gaya bahasa didominasi oleh perumpamaan dalam mengungkapkan sebuah keadaan dan kehidupan. Perumpamaan yang digunakan dapat berupa perbandingan manusia dengan sesuatu hal, penggambaran benda yang memiliki sifat seperti manusia. B. Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori Penelitian tokoh Lintang dalam novel Pulang berdasarkan dua alasan. Pertama, Lintang menjadi sosok yang juga amat penting dalam novel Pulang karena penceritaan mengenai kehidupan eksil politik pada beberapa bab63 terutama di Jakarta diteruskan oleh Lintang. Kedua, Lintang adalah Tokoh Indo. Indo adalah satu sosok “Orang Lain” yang di sekitarnya dapat dibentuk identitas-identitas Indonesia, dan sekaligus satu sosok ambiguitas dan kegelisahan-kegelisahan yang terus menghantui. Dalam Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial Thomas M. Hunter dalam penelitiannya mengatakan; sejak semula orang Eurasia atau Indo merupakan
sosok
yang dikaitkan
dengan
kegelisahan-kegelisahan
mendalam. Contohnya dalam Keberangkatan karya Nh. Dini tahun 1977. Dini bercerita tentang Elisabeth Frissart seorang wanita indo yang mencintai seorang pribumi yang berakhir dengan penghianatan. Keputusan Elisa untuk kemudian meninggalkan Indonesia untuk selamanya bisa dibaca di satu pihak mencerminkan keterasingan politik para orang Indo sesudah berdirinya republik. Ketegangan-ketegangan serupa tercermin dalam Annelies dalam Bumi Manusia (1981) karya Pramoedya tentang tragedi yang diakibatkan oleh kondisi historis kebijakan-kebijakan
63
Paris, April 1998, Narayana Lafebvre, L‟irreparable, Ekalaya, Surat-Surat Berdarah, Flaneur, Potret yang Muram, dan Mei 1998.
68
kolonial tentang ras dan perkawinan.64 Tokoh Lintang dalam novel Pulang juga Indo. Sebagai Indo, Lintang merupakan sosok yang merasakan kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas. Lintang menjadi berbeda dari lingkungan sekitarnya lantaran status indonya. Lebih dari itu, ambiguitas dan kegelisahan mengenai posisinya terus menghantui kehidupan Lintang. Analisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini menggunakan teknik pelukisan tokoh. Seperti yang sudah dijelaskan dalam kajian teori, penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh menurut Burhan Nurgiantoro. Hal ini dimaksudkan untuk menjabarkan secara jelas mengenai tokoh Lintang dalam novel Pulang. Leila menggambarkan tokoh Lintang dengan menggunakan teknik dramatik. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat, sikap, serta tingkah laku tokoh. Teknik dramatik terbagi menjadi delapan bagian. Hal tersebut akan dijelaskan satu-persatu seperti berikut ini.
1. Teknik Cakapan Teknik cakapan atau dialog dilakukan antara tokoh utama dengan tokoh lain dalam cerita. Pada novel Pulang, teknik cakapan ini terjadi antara tokoh Lintang dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan sifatnya dalam sebuah novel. Dari teknik ini dapat diketahui bahwa Lintang memiliki sifat keras kepala, berkemauan tinggi, dan pantang menyerah. Sifat-sifat tersebut dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut: “Nara menggundang ayah makan malam untuk saling mengenal. Bukan untuk dihina.” “Menghina? Siapa yang menghina?” “Setiap ucapan dia selalu saja ada salahnya. Pilihan restorannya, pilihan filmnya, pilihan puisinya..”65
64
Keith Foulcher dan Tony Day, Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial Edisi Revisi “Clearing a Space”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008), h. 136 65 Ibid., h. 177.
69
Kutipan di atas menggambarkan sifat Lintang yang didominasi oleh pemikiran budaya Barat yang berani menyuarakan pendapat kepada ayahnya. Hal ini terlihat pada percakapannya dengan Dimas mengenai kelakuan ayahnya terhadap Nara. Dari kutipan tersebut, Lintang berpendapat bahwa ayahnya selalu mengkritisi apa saja yang dilihat matanya dan itulah yang membuat Lintang tidak bebas. Hal ini terlihat pada kutipan tersebut, saat ayahnya tahu bahwa Nara lahir dari keluarga kaya, ayahnya langsung mencap bahwa Nara adalah laki-laki yang mudah memperoleh apa saja dari kekayaan orangtuanya. Lintang jengkel dengan hal itu. Menurutnya, ayahnya mempunyai pandangan yang begitu sempit. Dalam budaya Timur, orangtua adalah yang paling benar. Anggapan yang dianut oleh perempuan Timur kebanyakan, yakni ucapan orangtua, apapun itu, tidak boleh dibantah, tidak bisa begitu saja diterima oleh Lintang karena meskipun ia memiliki sifat indo, tetapi dia dibesarkan dengan tradisi barat yang kental. Lintang besar dalam lingkungan keluarga yang memiliki keragaman pendidikan dan sejarah. Keinginannya untuk terbang langsung ke Indonesia adalah keinginannya sendiri setelah mendapat saran dari Monsieur Dupont untuk membuat tugas akhir mengenai sejarah Indonesia. Hal ini tergambar tergambar dalam kutipan berikut ini: “Maman,” dia menghela nafas, “aku merasa tidak cukup hanya mendengar cerita dari Ayah, Om Nug, Om Tjai, dan Om Risjaf. Tidak cukup juga mewawancarai orang-orang Kedutaan. Ada konteks kesejarahan yang harus kupahami, bagaimana absurditas sejarah di Indonesia ini dimulai.”66 Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana Lintang mempunyai kemauan yang keras dan bertindak sesuai apa yang dia inginkan. Dia bersikeras pergi ke Indonesia untuk membuat tugas akhirnya mengenai sejarah Indonesia padahal situasi pada saat itu sedang bergejolak. Keadaan
66
Ibid., h. 211.
70
tersebut diperparah dengan predikatnya sebagai anak dari seorang eksil politik yang membuat segala sesuatunya tidak mudah. Kutipan lain yang menunjukkan sifat keras dan kemauan yang tinggi adalah saat Lintang berbicara dengan Alam. Saat itu dia menunjukan daftar nama-nama yang akan dia wawancarai untuk tugas akhirnya. “Lintang, Kamu tahu semua orang dalam daftarmu ini adalah nama-nama yang sangat disorot pemerintah?” Lintang mengangguk, “Ya, saya tahu. Topiknya sendiri pasti sudah kontroversial. Tapi...saya sudah memperhitungkan, untuk mewawancarai sekitar delapan atau sembilan eks tahanan politik dengan keluarganya paling tidak memakan waktu tiga pekan atau paling lama sebulan.”67 Dari kutipan di atas terlihat bagaimana sikap Lintang menghadapi berbagai kemungkinan kendala yang akan terjadi. Lintang memang sudah terbiasa dengan demonstrasi politik di Paris. Dia menganggap demonstrasi di Indonesia sama dengan di Paris. Namun, nyatanya demonstrasi politik di Paris dengan di Indonesia tentunya sangat berbeda. Kutipan-kutipan di atas jelas menggambarkan kemandiriannya sebagai perempuan yang berkemauan keras. Lintang tidak perduli dengan keadaan yang menakutkan sekalipun. Dia tidak ingin sumber untuk mengerjakan tugas akhirnya yang mengangkat tema tentang sejarah Indonesia hanya berasal dari para eksil politik yang ada di Eropa. Dia ingin menginjakkan kakinya langsung di Indonesia untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga membawa ayah beserta kawan-kawan ayahnya terdampar di Paris. Berdasarkan beberapa kutipan percakapan yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa tokoh Lintang memiliki sifat berkemauan keras dan bertindak sesuai apa yang diinginkannya. Sebagai Indo sifat yang begitu tampak, yakni keinginan selalu menjadi yang paling superior, sebagaimana (perempuan) Barat pada umumnya.
67
Ibid., h. 303.
71
2. Teknik Tingkah Laku Selain melalui percakapan, sifat Lintang juga diperlihatkan oleh tingkah lakunya. Ada beberapa kutipan yang menggambarkan beberapa sifat Lintang yang tercermin dari tingkah lakunya. Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di dalam diriku itu.68 Di dalam dirinya memang mengalir darah Indonesia, tetapi setiap mengenang atau mencari tahu hal yang berhubungan dengan Indonesia, selalu saja tersisa rasa sakit dan ketegangan antara dia dan ayahnya. Bahkan, upayanya untuk mencari tahu tentang sebagian tanah airnya itu berujung pada pertengkaran hingga perceraian orang tuanya. Lintang memang dibesarkan dengan budaya Indonesia dan Prancis, tetapi budaya Indonesia hanya bisa dia dengar dari cerita ayahnya tanpa bisa merasakan langsung bagian dari dalam dirinya, itu sebabnya mengapa dia melupakan dan merasa asing dengan sebagian budaya dalam dirinya itu. Pertengkaran demi pertengkaranku dengan Ayah; serangkaiaan konflik Maman dengan Ayah yang diakhiri dengan perceraiaan itu tidak memudahkan hubungan kami. Beberapa bulan yang lalu pertengkaran kami mencapai titik tertinggi. Hingga hari ini kami tidak saling bersapa.69 Lintang tetap berpendapat bahwa menabuh gendang permusuhan dengan orangtuanya bukan sesuatu yang baik dan ideal. Di sinilah dapat dilihat bahwa Lintang juga mempunyai sifat ketimuran. Berikut kutipannya yang mendukung hal tersebut: “Permusuhan” dengan orangtua sendiri bukan situasi yang Ideal.70
Lintang memang mencoba mengubur sebagian identitas yang tidak dikenalnya, namun dia begitu paham dan mencintai hal-hal yang berbau Indonesia.
68
Ibid., h.137. Ibid., h. 167. 70 Ibid. 69
72
Aku jatuh cinta pada kebaya karena bentuknya yang luar biasa, yang mampu menyusuri tubuh perempuan dengan elok.71 Segala yang berhubungan dengan Indonesia memang sudah melekat dalam tubuhnya. Ketegangan, keindahan, dan kenangan sudah melebur jadi satu dalam dirinya. Dia memang mencoba menutup dan mengubur sebagian identitas dalam dirinya, namun sedikit banyak sebagian darah yang mengalir di dalam dirinya ikut membentuk pribadinya pula, seperti sikap bahwa bertengkar dengan orangtua bukanlah hal yang baik, sikap yang begitu tampak sebagai (perempuan) Timur pada umumnya.
3. Teknik Pikiran dan Perasaan Teknik pikiran dan perasaan dapat juga ditemukan di dalam kutipan berupa sesuatu yang tidak pernah dilakukan secara konkret dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Berikut adalah kutipan yang melukiskan pikiran dan perasaan tokoh yang mencerminkan sifat-sifat Lintang di dalam novel. Aku terdiam. Kini aku paham arah pembicaraan Monsieur Dupont. Terlalu paham. Suatu pertanyaan yang di masa lalu mengganggu tidurku. Tetapi pertanyaan itu sudah lama kusimpan dan kukubur dalam-dalam di pemakaman hati. Aku tidak mau mengorek-ngorek sesuatu yang sudah aman, di lapisan terbawah hatiku.72 Kutipan tersebut merupakan kegelisahan yang sudah lama ada pada diri Lintang. Ia juga sudah lama berusaha mengubur kegelisahan tentang identitas yang melekat pada dirinya itu dalam-dalam. Arah pembicaraan Monsieur Dupont yang menginginkan aku untuk membuat tugas akhir mengenai Indonesia, sebagian dari tanah airku. Kutipan di bawah ini juga merupakan bukti yang menggambarkan kegelisahan akan identitas Lintang sebagai seorang Indo.
71
Ibid., h. 156. Ibid., h. 134.
72
73
Tentu saja aku tahu bahwa kedatangan Ayah dan kawankawannya bukan dengan sekoper perencanaan; segalanya serba gelap, di bawah tanah, dan menyerempet bahaya. Sejak masih terlalu muda untuk memahami politik, aku sudah tahu bahwa Indonesia, tepatnya pemerintah Orde Baru yang tidak kunjung runtuh itu, tidak akan pernah memudahkan Ayah pulang ke Indonesia. Ini cerita yang selalu diulang-ulang Maman. Dan itu sebuah cerita yang selalu kuhindari karena setiap kali mengenang Indonesia, Ayah akan mengakhirinya dengan kucuran air mata dan rasa pahit.73 Kutipan lain adalah tentang perasaan Lintang yang begitu paham bahwa kedatangan ayahnya ke Paris tentu bukan tanpa alasan. Ada sesuatu yang sedang terjadi di negerinya yang membuatnya harus terdampar di negeri yang sama sekali berbeda dengan negara asalnya. Pembahasan tentang latar belakangnya, Indonesia, selalu ia hindari karena selalu berakhir dengan kucuran air mata ayahnya. Walaupun Lintang tidak pernah terlibat atas apa yang sedang terjadi di Indonesia, dia juga harus bernasib sama dengan ayahnya, tidak pernah mengenal Indonesia secara langsung selain dari cerita-cerita ayahnya. Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah warganya hanya karena perbedaan pemikiran.74 Berikut kutipan lain yang menjelaskan tentang identitas Lintang: Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tidak kukenal, bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan darah lain bernama Prancis.75 Dari kutipan di atas, dia menyadari bahwa dia mempunyai darah dari dua latar belakang yang berbeda, namun dia tidak pernah mengetahui salah satu latar belakangnya tersebut. Ia lebih memilih mengubur salah satu 73
Ibid., h.135. Ibid., h. 137. 75 Ibid. 74
74
identitasnya yang terasa asing, yakni Indonesia. Karena tidak mengenal secara langsung sebagian dari dirinya (budaya Indonesia), Indonesia hanya dia ketahui dari cerita ayahnya, selain itu alasan lain Lintang melupakan bagian asing dalam dirinya adalah karena setiap mengingat Indonesia akan menimbulkan banyak rasa sakit tentang ayahnya yang ditolak oleh pemerintah Indonesia, tentang perceraian ibu dan ayahnya karena sebuah kenangan yang tidak bisa di lupakan ayahnya di Indonesia. Surti. Berikut kutipan lintang melupakan bagian asing dalam dirinya. Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di dalam diriku itu.76 Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut jelaslah bahwa sejak kecil Lintang tidak pernah mengenal secara langsung salah satu latar belakangnya. Dia mencoba mengubur salah satu identitasnya dalamdalam. Menurutnya, Indonesia adalah salah satu bagian asing dalam dirinya yang tidak pernah ia kenal. Berikut kutipan yang juga membahas persoalan identitas Lintang: Ayah mengatakan pilihanku mungkin menunjukkan siapa diriku, aku mendengar Ayah berbicara dengan Maman, saat aku tidur di malam hari, bahwa dia merasa bersalah. Pasti Lintang memilih tokoh-tokoh yang berburu identitas karena dia juga merasa krisis identitas. Pasti dia tengah bertanya-tanya, siapakah dirinya, orang Indonesia yang tak pernah ke Indonesia? Atau orang Parancis setengah Indonesia?77 Dapat disimpulkan bahwa pemikiran dan perasaan yang dialami Lintang mengukuhkan kediriannya sebagai tokoh Indo. Lintang dilanda kegelisahan atas pertanyaan tentang identitas dalam dirinya. Walaupun identitas Indonesianya telah dikubur dalam-dalam, dia tidak pernah bisa menyangkal bahwa itu ada pada dirinya. Pilihan untuk menyimpan dalamdalam keingintahuannya terhadap salah satu identitasnya bukan hanya karena dia tidak pernah diijinkan mengenal Indonesia secara langsung, tetapi juga karena dia adalah anak dari Dimas Suryo, seorang eksil politik. 76
Ibid., h. 137. Ibid., h. 185.
77
75
4. Teknik Arus Kesadaran Arus
kesadaran
sering
disamakan
dengan
monolog
batin.
Percakapan yang hanya terjadi pada diri sendiri pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”. Dalam hal ini, tokoh Lintang juga melakukan kegiatan monolog batin. Berikut ini adalah kutipan monolog yang dilakukan Lintang. Aku mulai merasa ada sebuah kehidupan lain di bawah kehidupan “normal” kami sebagai keluarga sejak aku masih kanakkanak: keluarga kami berbeda dari keluarga Prancis umumnya. Bukan hanya karena aku anak hasil perkawinan campur Indonesia dan Prancis. Di kelasku, ada beberapa kawan keturunan perkawinan campur Prancis dan Maroko, Prancis dan Cina, atau Prancis dan Inggris, misalnya. Tetapi mereka selalu saja menceritakan tentang tanah air orangtuanya di Rabat atau Beijing atau London. 78 Pada kutipan tersebut, arus kesadaran pada Lintang terjadi saat kehidupan keluarganya terasa berbeda dengan kehidupan keluarga perkawinan
campur lainnya. Dia merasa
teman-temannya selalu
menceritakan tanah air keluarganya selain Paris. Dia menyadari bahwa perbedaan keluarganya bukan hanya sekedar perkawinan campur saja. Latar belakang ayahnya yang penuh dengan drama politiklah yang membuatnya berbeda dengan keluarga perkawinan campur lainnya. Perbedaan tersebut terlihat pada kutipan berikutnya, yaitu saat Lintang lebih merasa nyaman di keluarga Nara. Aku lebih suka membantu Tante Jayanti merajang bawang putih, meracik bumbu, atau memanggang daging, dari pada memasak di apartemen Ayah di Le Marais atau apartemen Maman. Bahkan perbincangan tentang tokoh-tokoh wayang yang biasa terjadi antara Ayah, Maman, dan aku di masa kecilku kini berpindah ke ruang tamu atau teras apartemen keluarga Lafebvre. Mungkin karena aku senang melihat betapa mesra dan rukun pasangan itu. Atau mungkin aku mencoba mengisi sesuatu yang hilang. Aku tidak tahu.79 Kutipan di atas menggambarkan keadaan Lintang yang mendapatkan kenyamanan dari keluarga Nara. Bukan karena mereka sama-sama lahir 78
Ibid., h. 143-144. Ibid., h. 148.
79
76
dari keluarga perkawinan campur Indonesia-Prancis, tetapi karena ada sesuatu yang berbeda yang dia dapatkan dari keluarga Nara. Kehangatan, kerukunan, dan kebersamaanlah yang ia rasakan saat berada di tengah kelurga Nara. Kutipan lain di bawah ini menggambarkan kesadaran Lintang tentang perasaannya kepada Nara dan Alam. Aku pernah yakin tidak akan bernasib sama seperti Maman yang langsung tergeletak tidak berdaya saat diserang halilintar itu. Aku sudah memiliki Narayana, yang sama sekali bukan halilintar atau petir dalam hidupku. Nara adalah sebuah payung besar yang melindungi hidupku dari hujan dan badai. Jadi, apa perduliku dengan halilintar atau petir. Ternyata le coup de foundre80 itu menghantamku dalam bentuk seorang Alam. Segara Alam.81 Pada kutipan di atas terlihat bahwa Lintang bimbang atas perasaannya sendiri. Dia selalu menyakini bahwa Nara adalah cintanya, namun setelah bertemu dengan Alam di Jakarta, dia memiliki perasaan lain yang tidak dia miliki saat bersama Nara. Dia telah terserang halilintar seperti yang dirasakan ibunya saat bertemu dengan ayahnya dulu. “Sekarang aku paham mengapa Alam mengatakan tidak cukup untuk mengerjakan ini semua dalam jangka waktu tiga minggu,” Lintang menyenderkan punggungnya ke kursi. “Tidak semua keluarga tapol bersedia begitu saja membuka luka lama. Apalagi pada orang tidak dikenal seperti aku,”82 Kutipan di atas adalah gambaran kegelisahan Lintang dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Tidak mudah mewawancarai narasumber yang dia butuhkan untuk tugas akhirnya. Risiko yang akan ditanggung Lintang cukup besar dan tidak mudah membuka luka lama yang sudah dikubur dalam-dalam oleh para narasumbernya. Tiba-tiba saja, setelah semua tugas wawancara, aku merasa lega. Untuk pertama kali, aku ingin sekali pulang ke Paris untuk menyunting dan menyelesaikan tugas ini, lalu menyerahkannya 80
Cinta pada pandangan pertama Ibid., h.365. 82 Ibid., h. 323. 81
77
kepada Monsieur Dupont. Lebih penting lagi, aku ingin pulang menemui Ayah dan Maman. Sebentar. Barusan aku menyebut Paris sebagai tempat aku „pulang‟. Benarkah Paris rumahku?83 Lintang mulai merindukan rumah di mana dia dilahirkan, Paris. Tanpa dia sadari bahwa hatinya memilih kenyamanan untuk pulang ke Paris. Jakarta hanyalah tempat persinggahan sementara untuknya, namun apakah benar Paris adalah rumahnya? Dalam kutipan di atas, Lintang merasa ingin pulang apakah karena benar rumahnya di sana atau karena ingin cepat menyerahkan tugasnya dan bertemu orangtuanya. Jika orangtuanya di Jakarta tentunya dia tidak akan merasa seperti itu. Berdasarkan kutipan monolog-monolog yang dilakukan Lintang, dapat disimpulkan bahwa Lintang menguatkan sifatnya yang mengalami kegelisahan
dan
kebimbangan
dalam
hidupnya,
yang
paling
menggelisahkan adalah mengenai identitas.
5. Teknik Reaksi Tokoh Teknik reaksi tokoh menggambarkan reaksi Lintang terhadap tokoh lainnya. Hal ini bertujuan untuk menggambarkan reaksi Lintang terhadap sesuatu kejadian, masalah, serta sikap maupun tingkah laku dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan rasa simpatinya terhadap Surti saat merekam apa yang diceritakan oleh istri Hananto itu tentang peristiwa yang dialaminya. Kini aku yang menekan tombol jeda. Aku tidak berani merekam pengalaman buruk ini. Aku teringat surat Tante Surti di apartemen Ayah. Hanya dua baris kalimat, tetapi cukup membuat aku traumatik dan melotot sepanjang malam sambil mengutuk-ngutuk kemanjaanku. Biarlah aku dikatakan sineas dokumenter yang dungu. Tapi aku tidak tahan menghadapi hati yang gerundukan.84
83
Ibid., h. 436. Ibid., h. 384-385.
84
78
Selain itu juga ada reaksi Lintang yang merasa bersalah saat menyerahkan surat Surti untuk Dimas kepada ibunya. Dia merasa bahwa apa yang dia lakukan itu merupakan hal yang membuat ayah dan ibunya bercerai. “Ayah masuk ke dalam kamarku dan memelukku dengan erat begitu lama. Lalu dia meninggalkan kami hanya dengan menyandang ransel di pundaknya. Untuk waktu yang lama, aku sibuk menyalahkan diriku bahwa perceraian Ayah dan Maman adalah karena aku menemukan surat itu.”85 Kutipan lain di bawah ini mencritakan tentang reaksi Lintang saat Nara meneleponnya justru ketika dia sedang bersama Alam. Ah.... ini membingungkan. Bagaimana cara menjawab pertanyaan aneh ini. Berbincang dengan kekasih melalui telepon sementara tangan digenggam lelaki lain? Apakah itu etis? Tapi bukanlah aku sudah melalui batas etika itu sejak....le coup de foundre mendadak jadi terminologi penting dalam benakku?86 Pada kutipan di atas terlihat bahwa Lintang bingung atas apa yang sedang dia rasakan. Nara adalah kekasihnya, namun dia lebih merasakan sesuatu yang lain dengan Alam. Kutipan di atas menjelaskan bahwa Lintang masih memikirkan konsep etika. Konsep pantas dan tidak pantas untuk seorang perempuan ini biasanya dimiliki oleh perempuanperempuan
Timur.
Dia
tidak
meninggalkan
Nara
dan
masih
mempertahankan hubungannya dengan kekasihnya itu. Dia masih terikat dengan konsep perempuan baik-baik seperti perempuanTimur biasanya. Pada kutipan lain juga terlihat reaksi Lintang terhadap keluarga Priasmoro. Saat itu, keluarga priasmono bercerita menggunjungi Restoran Tanah Air. Kemudian Priasmono menyebutnya sebagai sarang para PKI dan komunis yang hanya menjual nasi goreng dan telur ceplok. “Bukan hanya nasi goreng!” tiba-tiba Lintang menyela dengan mata menyala.87
85
Ibid., h. 180. Ibid., h. 391. 87 Ibid., h. 358. 86
79
Lintang begitu marah ketika restoran ayahnya dihina karena ada Indonesia mengalir pada sebagian dirinya. Dia merupakan bagian dari Indonesia juga. Begitu mendengar penghinaan dari mulut orang Indonesia sendiri, dia begitu sakit karena teringat perjuangan ayahnya.
6. Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh-tokoh lain dalam novel ini ditampilkan dengan cara memberikan penilaian pada tokoh Lintang. Selain itu, menginformasikan kedirian tokoh Lintang dalam novel Pulang juga termasuk ke dalam teknik reaksi tokoh lain. Berikut ini adalah kutipan Lintang sebagai wanita yang menjengkelkan di mata Alam. Pantas saja! Tidak mungkin Tuhan menciptakan seseorang begitu sempurna. Ternyata dia cantik sekaligus menjengkelkan.88 Selain menilai Lintang sebagai wanita yang menjengkelkan, Alam juga meniilai Lintang sebaga wanita yang cerdas, tidak seperti perempuan Barat lainnya yang klise, rasional, dan mudah terpesona, artinya menjengkelkan bukan karena sifatnya yang membuat orang jengkel tetapi karena dia pintar, sehingga dia tidak bisa menurut atau mengikuti begitu saja apa yang disarankan Alam kepadanya ini yang membuat Alam begitu jengkel dengan Lintang. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan di bawah ini: “Sangat cerdas. Semula aku kira dia bakalan khas Barat yang klise: rasional, cepat terpesona dengan yang eksotis, dan seterusnya. Ternyata tidak. Pertanyaannya bagus, menukik, dan tajam.”89 Kitipan dialog Alam di halaman sebelumnya sedikit menyinggung tentang kita (Timur) dan mereka (Barat) pembagian-pembagian semacam ini menekankan perbedaan antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia yang lain. Dialog Alam pada halaman sebelumnya adalah anggapan tentang sikap yang biasanya dimiliki perempuan Barat pada umumnya yaitu rasional, cepat terpesona dengan yang eksotis. Sir 88
Ibid., h 301. Ibid., h. 315.
89
80
Alfred Lyall dalam Edward W. Said memaparkan tentang perbedaan watak utama dari pemikiran orang Timur dan Barat. Orang Barat adalah penalar yang cermat, semua pernyataannya mengenai fakta, bebas dari semua bentuk kekaburan. Mereka adalah logikawan alami dan skeptis selalu menuntut bukti sebelum menerima suatu kebenaran proporsi. Sebaliknya Timur sebaliknya, Alfred mengatakan penalaran Timur paling tidak sistematis.90 Pernyataan Alfred ini menguatkan sifat yang dimiliki Lintang, sifat yang dimiliki perempuan Barat pada umumnya yaitu cerdas, selalu mempunyai pertanyaan-pertanyaan bagus dan menukik serta, tidak mudah menerima begitu saja apa yang didengarnya. Berikut kutipan percakapan Monsieur Dupont yang mengganggap bahwa di dalam tubuh dan kehidupan Lintang mempunyai dua tanah air yang cukup menarik untuk dijadikan tugas akhir. “kamu juga mempunyai dua tanah Air: Indonesia dan Prancis. Dan kamu lahir di Paris, tumbuh dan besar di Paris. Tidaklah kamu ingin mengetahui identitasmu, Tanah kelahiranmu?”91 Monsieur Dupont melihat bahwa kehidupan ayahnya sebagai eksil politik cukup menarik untuk dijadikan tugas akhirnya daripada dia harus membuat film dokumenter tentang Imigran Aljazair. Dupont juga bereaksi dengan mengatakan bahwa Lintang merupakan korban dari kekejaman politik saat itu karena ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal sebagian dari dirinya. Hal tersebut dibuktikan oleh kutipan di bawah ini: “Saya paham. Tapi di mata penonton yang menyaksikan, di mata orang luar, kau tetap korban. Karena kamu belum pernah mempunyai kesempatan untuk mengenal sebagian dirimu. Tanah air ayahmu.”92 Selain kutipan di atas, kutipan berikut ini juga menjelaskan sifat Lintang yang digambarkan oleh ayahnya, Dimas Suryo. 90
Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 1985), h.48. Ibid., h. 133. 92 Ibid., h. 256. 91
81
Dimas menatap anaknya dengan heran campur takjub. Lima bulan berpuasa bicara dengan ayahnya nampaknya telah membuat Lintang lebih banyak berpikir. Atau itu memang didikan Universitas Sorbonne.93 Dari kutipan di atas Dimas takjub terhadap puterinya yang mempunyai keinginan pergi ke Indonesia untuk menyelesaikan tugas akhirnya. “Nara, begini,” Tante Sur memajukan kepala seperti akan merancang sebuah perampokan bank,” Om Marto tadi bilang, itu pacarmu anaknya.... anaknya Dimas Suryo.”94 Kutipan di atas adalah reaksi Tante Sur ketika Lintang menghadiri perayaan hari Kartini di KBRI. Terlihat reaksi penolakan karena Lintang adalah Anak dari seorang eksil politik. Dimas Suryo.
7. Teknik Pelukisan Latar Teknik pelukisan latar dapat mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti dalam teknik-teknik sebelumnya. Hal tersebut dapat digambarkan seperti dalam kutipan berikut yang menggambarkan suasana Paris, tempat tinggal sekaligus tempat kelahiran Lintang. Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah warganya hanya karena perbedaan pemikiran.95 Dari kutipan tersebut Lintang menyebutkan Paris sebagai negeri yang cantik. Lintang memang tumbuh dan besar di Paris. Keindahan Paris berubah seketika pada saat musim semi di Bulan april ketika mahasiswa dihadapkan tugas makalah dan ujian.
93
Ibid., h. 230. Ibid., h. 163. 95 Ibid., h. 137. 94
82
Ini bukan salah Paris, karena kota ini bukan sebuah tanah mati yang melahirkan bunga beraroma bacin. Ini juga bukan salah musim semi yang seharusnya menyajikan warna. Bulan April adalah bulan terkutuk bagi mahasiswa Universitas Sorbonne, karena memaksa mereka untuk hidup tanpa tombol jeda.96 Apartemen keluarga Nara pun menjadi tempat yang nyaman dan hangat. Ada kemesraan yang sudah jarang dan tidak pernah dia temui semenjak Dimas memutuskan pergi dari apartemen meninggalkan dia dan Vivienne. Ada sesuatu yang lebih penting, yang lebih magnetis dan menentramkan dari keluarga Lafebvre. Entah apa namanya. Mungkin mereka yang hangat; di sana-sini kulihat taplak batik dan wayang kulit, tetapi secukupnya saja, tidak sampai menyaingi biro turisme. Mungkin karena makan malam yang selalu penuh dengan percakapan ringan, yang membangun kemesraan, sesuatu yang jarang atau tidak pernah lagi kutemui sejak Ayah meninggalkan kami.97 Pesta perayaan hari Kartini di KBRI juga menjadi tempat di mana Lintang mengenal sekelumit Indonesia yang dia kenal dari restoran Ayahnya. Di KBRI, Lintang juga bertemu dengan para diplomat junior yang nanti akan membantunya mendapatkan visa masuk ke Indonesia untuk tugas akhirnya. Aku masih terdiam. Memikirkan istilah Bersih Lingkungan. Memikirkan wajah dan pandangan Tante Sur, berbagai diplomat dan tamu pada pesta di KBRI. Memikirkan kata-kata Dupont tentang ayahku. Tentang sejarah. Malam ini adalah malam perkenalanku pada sekelumit Indonesia yang sangat berbeda dari Indonesia yang kukenal melalui Restoran Tanah Air.98 KBRI adalah salah satu tempat yang tidak bisa dikunjungi eksil politik dan keluarganya. Istilah Bersih Diri dan Bersih Lingkungan adalah kebijakan pada tahun 1980-an yang dikenakan kepada seseorang yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September, anggota PKI, atau 96
Ibid., h. 131. Ibid., h. 147-148. 98 Ibid., h. 164. 97
83
anggota organisasi sejenisnya. Istilah kedua, Bersih Lingkungan. Istilah ini dikenakan kepada anggota keluarga seorang yang telah dicap komunis. Peraturan ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri yang melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atau Bersih Lingkungan menjadi anggota TNI/POLRI, guru, pendeta, atau profesi yang dianggap mampu mempengaruhi masyarakat. Karena peraturan ini, diskriminasi ini tidak hanya tertuju pada mantan tahanan politik tragedi 1965, tetapi juga anak cucu mereka dan Lintang termasuk di dalamnya . Dia dan ayahnya sama-sama menjadi korban dari „Perzinahan Politik‟ tersebut. Lintang tidak hanya merekam orang-orang yang menjadi korban kekerasan politik 30 September. Selama di Jakarta, dia merekam apa orasi besar-besaran yang sedang terjadi di Jakarta. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut: Kami tiba di kampus Trisakti sekitar pukul 10 lewat beberapa menit.99 Kampus Trisakti juga menjadi sejarah reformasi Indonesia. Pada 12 Mei 1998, keadaan Jakarta menegang sejak peristiwa beberapa mahasiswa Trisakti tewas karena penembakan. Bukan hanya para mahasiswa dan alumni saja yang menyuarakan kekecewaaan kepada Orde Baru, tetapi juga para tokoh seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Ali Sadikin dan lain-lain. Reformasi makin giat terdengar dari orasi-orasi saat itu. Mereka menuntut Presiden Soeharto lengser.
8. Teknik Pelukisan Fisik Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas, sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini. LINTANG UTARA Itulah nama puteri yang lahir setelah pernikahan kami berusia lima tahun. Semua yang ada pada Lintang adalah perwujudan
99
Ibid., h. 414.
84
ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal adalah rambut keluarga Suryo.100 Kutipan di atas adalah penggambaran fisik Lintang saat dia kecil. Dia memiliki perpaduan indo yang cukup sempurna dari perkawinan campur Indonesia dan Prancis. Paras cantik keturunan Indo dan rambut ikal dan hitam perwujudan ayahnya yang keturunan Indonesia. Kutipan berikut juga menggambarkan fisiknya. Dimas memperhatikan wajah puterinya. Wajah yang begitu Indonesia sekaligus begitu Prancis. Hidungnya yang mancung lancip tidak terlalu mendominasi wajahnya yang mungil. Kulit yang putih, tapi bukan putih ras kaukasian yang sering mengundang bintik cokelat. Kulit Lintang putih seperti susu. Putih, segar, tapi sekaligus menghangatkan. Mungkin itu hasil percampuran kulit Dimas yang berwarna cokelat berkilat dan Vivienne yang putih, yang lantas menghasilkan warna susu.101 Kutipan tersebut menggambarkan fisik Lintang saat dewasa yang dideskripsikan oleh Dimas. Dia tumbuh menjadi perempuan Indo yang memesona. Paras cantik dan tubuh sempurna dengan warna rambut hitam serta mata coklat. Lintang duduk di hadapanku. Seorang gadis yang hampir setinggi tubuhku, berkulit putih susu, bermata coklat tajam, dan berkuliah di Universitas Sorbonne. Puteri Dimas Suryo, seorang eksil politik yang paling dicari yang sebetulnya tidak jelas afiliansi politiknya, yang menikah dengan...aku lupa nama ibunya. Orang Prancislah pokoknya.102 Kutipan di atas adalah penilaian Alam tentang Lintang. Berdasarkan penjabaran teknik-teknik tersebut dapat disimpulkan, ada delapan aspek yang menjadi bagian dalam teknik dramatik, yaitu teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik tokoh. Dengan menggunakan kedelapan teknik tersebut, sifat Lintang tergambar jelas 100
Ibid., h. 85. Ibid., h. 231-232. 102 Ibid., h. 300-301. 101
85
dalam novel bahwa lintang mengalami krisis identitas, sifat yang dimiliki perempuan indo pada umumnya. Dari beberapa kutipan tersebut, tergambar pula fisik Lintang sebagai perempuan Indo yang cantik memesona sejak kecil. Ia selalu memesona setiap orang yang ditemuinya. Selain itu, Lintang juga memiliki sifat yang berkemauan keras, berani, peduli terhadap situasi politik, dan tidak mudah putus asa. Sifat yang dimiliki perempuan Indo pada umumnya.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, kehadiran materi sastra dalam pelajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Pada saat mempelajari sastra tentunya akan dipelajari pula aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian, sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, memperluas wawasan hidup, pengetahuan-pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian. Dalam hal pengajaran sastra, khususnya mengenai novel, sastra dapat meningkatkan kemampuan membaca peserta didik. Khususnya dalam novel sastra, peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya melalui kegiatan membaca karena bacaan sastra membahas permasalahan kemanusiaan serta kehidupan. Pembelajaran sastra tentang analisis novel dapat diterapkan oleh guru untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra adalah karya tersebut cukup mudah dipahami siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing. Namun karena tingkat kemampuan setiap individu berbeda, guru dituntut luwes dan menggunakan strategi kerja kelompok dengan baik seperti yang tertuang dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Pasal 1, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan
86
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Analisis
tokoh
Lintang
yang
menjadi
kajian
ini
dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Novel ini berintikan aspek sosial, pengetahuan, serta sejarah yang berfungsi untuk memahami struktur dan kaidah dalam novel, baik lisan maupun tulisan. Kaitannya dengan novel Pulang karya Leila S. Chudori ini, pendidik dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk membaca dan memahami tokoh Lintang di dalam novel. Kepribadian tokoh Lintang dapat direfleksikan dalam kehidupan peserta didik. Hal ini dikarenakan dalam analisis tersebut digambarkan bahwa Lintang adalah perempuan indo yang mempunyai dua tanah air, dalam dirinya dia memburu identitas, mempunyai keingintahuan yang cukup besar akan tanah airnya walaupun situasinya sangat sulit karena statusnya sebagai anak eksil politik dan situasi politik saat itu. Namun, guru dituntut kejeliannya untuk menjelaskan kepada peserta didik bahwa ada beberapa sifat yang dimiliki Lintang yang tak pantas ditiru, yaitu bertengkar dengan ayahnya hingga beberapa waktu tidak berbicara dan bertemu dengan ayahnya. Selain itu, dalam menganalisis novel peserta didik diharapkan mampu menganalisis dan menjelaskan bagaimana tokoh Lintang pada novel yang telah dibaca, yaitu dengan cara berpartisipasi langsung dalam menganalisis. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perbedaan antara tokoh maupun teknik pelukisan tokoh dalam cerita. Dari hal ini peserta didik tidak hanya mengerti tentang kognitif saja yang berupa pengertian ataupun definisinya, tetapi juga mengerti bagaimana mempraktekkannya. Terdapat keterkaitan interdisipliner hubungan sastra dengan sejarah. Seperti dalam novel Pulang yang erat kaitannya dengan sejarah bangsa Indonesia khususnya yang terjadi di tahun 1965-1998. Hal ini tentunya berkaitan erat dalam pembelajaran sastra di SMA. Kaitannya
87
dalam hal ini, guru Bahasa Indonesia harus sering bertukar pendapat dengan guru Sejarah agar tidak terjadi kerancuan atau perbedaan mengenai pengetahuan sejarah yang diajarkan kepada peserta didik sehingga
mereka
mendapatkan
informasi
sejarah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu, konfirmasi yang dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia kepada guru Sejarah adalah sebuah langkah antisipasi untuk menanggulangi banyaknya buku bacaan, seperti versi mengenai G30S dan Reformasi Indonesia, dikhawatirkan dapat membuat peserta didik kebingungan. Namun dalam pengajaran, guru Bahasa Indonesia harus tahu mengenai batasan yang dijelaskan. Materi yang berbau sejarah tersebut tentunya akan lebih dipaparkan dengan jelas oleh guru Sejarah. Dalam menganalisis novel, guru juga dapat mengarahkan siswa untuk menggunakan teknik membaca intensif. Dengan membaca secara intensif, dapat diketahui secara detail analisis unsur intrinsik yang dianalisis oleh peserta didik. Selain itu, peserta didik juga berlatih berpikir kritis mengenai novel yang dibacanya dan tentunya mereka dapat berargumen. Seperti dalam novel Pulang, novel ini adalah novel sejarah. Tentunya diperlukan teknik membaca intensif agar lebih memahami novel ini karena banyak dipaparkan mengenai konflik yang terjadi pada tokohnya serta peristiwa yang berkaitan dengan sejarah Indonesia. Dengan demikian pengetahuan peserta didik dan pengajar akan semakin bertambah.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Novel Pulang Karya Leila S. Chudori penulis analisis dengan menggunakan teknik pelukisan tokoh dramatik dalam buku Burhan Nurgiantoro. Ada delapan aspek yang menjadi bagian dalam teknik dramatik, yaitu teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar dan terakhir teknik pelukisan fisik tokoh. Analisis tokoh menggunakan delapan teknik tersebut dapat ditemukan kedirian sifat Lintang yang tergambar dalam novel seperti: Lintang memiliki sifat berkemauan keras, Lintang perempuan yang cerdas sehingga dianggap menjengkelkan kerena sulit menerima begitu saja apa yang didengarnya, berani, perduli dan tidak putus asa, krisis identitas, keadaan yang dialami oleh perempuan indo pada umumnya. 2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah mengenalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan nilai positif ataupun negatif yang terkandung dalam novel melalui tokoh Lintang.
B. Saran Berdasarkan
hasil
penelitian
serta
implikasinya
terhadap
pembelajaran sastra, maka penulis menyarankan: 1. Melalui tokoh Lintang, peserta didik dapat belajar jika memiliki kemauan harus dicapai dengan kerja keras dan usaha. Selain itu,
88
89
semangatnya yang tidak putus asa dalam menjalani hidup dapat dijadikan contoh yang baik. Tentunya dalam membaca karya sastra harus mengetahui pula sifat yang baik dan tidak baiknya. Sehingga hal yang baik dapat ditiru dan yang tidak baik ditinggalkan. 2. Melalui tokoh Lintang (Indo), peserta didik dapat belajar dan mengetahui bagaimana Indonesia dari pandangan seorang Indo khususnya keadaan indonesia di tahun 1965-1998. Tentunya ada sejarah yang dapat dipahami oleh siswa melalui novel Pulang.
90
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Seniman Sastra. Artikel diakses pada 05 September 2014 dari http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/leila.html. Anonim. Leila S. Chudori: Ingin Mengenggam Dunia. Dewi. Senin, 15 Mei 1979. Anonim. Leila Selalu ingin Pulang. Artikel diakses pada 09 Februari 2015 dari www.dw.de/leila-yang-selalu-pulang/a-16821309. Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. 1987. Aziez, Furqonul dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. Chudori, Leila S. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012. ______,Saya Tak Percaya Pada Bakat. Suara Pembaharuan. Senin, 31 oktober 1988. ______,Tentang
Leila.
Artikel
diakses
pada
23
Oktober
2014
dari
http://www.leilaschudori.com/about-me/. Danardana, Agus Sri. Anomali Bahasa. Pekanbaru: Palagan Press. 2011. Downes, Meghan. Leila S. Chudori: Khatulistiwa Award Winner’s Commitment To The Writing Process. Artikel diakses pada 23 Oktober 2014 darihttp://www.thejakartapost.com/news/2014/01/20/leila-s-chudorikhatulistiwa-award-winner-s-commitment-writing-process.html. Foulcher, Keith and Tony Day. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial: edisi revisi “Clearing a Space”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta. 2008. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. 2010. Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. 2011. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkaian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University press. 2010. Pradipta, Doni Aditya. Konflik Politik Dalam Novel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan
90
91
Ajar Sastra Di SMA. http://eprints.ums.ac.id/29964/.Diakses pada tanggal 28 Maret 2015 pukul 14:08. Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Cet-IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, cet-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. R. Sarjono, Agus. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 2001. Said, Edward W. Orientalisme. Bandung: Pustaka. 1985. Semi, Atar. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. 2011. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Sulistyo, Eko. Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Ananlisis Strukture Plot Robert
Stanton.
Diakses
pada
tanggal
12
Januari
2015
dari
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail &act=view&typ=html&buku_id=72485&obyek_id=4. Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009. ______,Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1984. ______,Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. 1993. Waridah, Ernawati. EYD dan Seputar Kebahasaan Indonesiaan. Jakarta: Kawan Pustaka. 2010. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993. Yudistyanto, Uky Mareta. Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra Dan Nilai Pendidikan Dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori. Diakses pada tanggal 12 Januari 2015 dari http://eprints.uns.ac.id/id/eprint/12182.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERKARAKTER MATA PELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MATA PELAJARAN
Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS/SEMESTER
XII SMA
PROGRAM
Umum
ALOKASI WAKTU
4X45 Menit
KOMPETENSI DASAR
Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan
Menjelaskan
unsur-unsur
intrinsik dalam novel
Menemukan sifat Lintang dalam senuah novel melalui teknik dramatik
ASPEK PEMBELAJARAN INDIKATOR
PENCAPAIAN
Membaca
KOMPETENSI
Mampu mengidentifikasi unsurunsur intrinsik yang terkandung dalam novel
Mampu
menganalisis
unsur-
unsur intrinsik novel, meliputi tema, latar, tokoh, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Mampu
menemukan
sifat
Lintang melalui teknik dramatik yang mencakup delapan teknik dalam novel Pulang
Menuliskan kelompok
laporan tentang
kerja analisis
kepribadian tokoh dalam novel
Membacakan
hasil
kerja
kelompok di depan kelas, dan siswa
lain
memberikan
tanggapan MATERI
POKOK
PEMBELAJARAN
Analisis teks novel
Unsur intrinsik dan sifat tokoh Lintang
Hasil
menyunting penggalan
teks
novel
berupa
unsur
intrinsik dan analisis sifat tokoh Lintang.
STRATEGI PEMBELAJARAN TATAP MUKA
TERSTRUKTUR
Menganalisis teks novel Mencermati baik secara lisan maupun yang tulisan
analisis dengan
MANDIRI
teks
berkaitan tokoh
novel Peserta
diminta
dengan berdiskusi
untuk
Lintang memahami
unsur
menggunakan intrinsik
teknik
novel,
serta
dramatik menemukan sifat tokoh
(penggambaran secara
didik
tidak
tokoh Lintang dalam novel langsung)
melalui novel Pulang
KEGIATAN PEMBELAJARAN TAHAP
KEGIATAN PEMBELAJARAN
NILAI BUDAYA
PEMBUKA Apersepsi
Guru
mengucapkan
dilanjutkan
salam
dengan
doa
Dapat dipercaya Rasa
hormat
perhatian
pembuka
Tekun
Guru mengondisikan kelas
Tanggung jawab
dan
Guru memulai pelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah novel
Motivasi
Guru menanyakan pada peserta didik mengenai hobi dalam membaca
karya
sastra
khususnya novel dan pengertian novel
Guru
menjelaskan
secara
singkat materi pokok yang akan disampaikan
Guru
menjelaskan
secara
singkat tujuan pembelajaran INTI
Mengamati
Peserta didik membaca teks di dalam novel
Peserta didik mencermati teks novel yang berkaitan dengan unsur intrinsik novel
Peserta
didik
kepribadian
menemukan tokoh
yang
terkandung dalam novel Mempertanyakan
Guru dan peserta didik bertanya jawab tentang hal-hal
yang
berhubungan dengan isi bacaan Mengeksplorasi
Guru membantu peserta didik dalam mencari berbagai sumber
Berani
informasi
tentang
unsur
intrinsik, dan kedirian tokoh, dengan
menggunakan
pelukisan
teknik
tokoh
yang
terkandung dalam novel Mengasosiasikan
Peserta
didik
saling
mendiskusikan tentang unsurunsur
yang
mengemukakan
wujud kedirian tokoh dalam teks novel
Peserta
didik
dapat
menyimpulkan
hal-hal
terpenting dalam kedirian tokoh Mengomunikasikan
Peserta
didik
menuliskan
laporan kerja kelompok tentang analisis tokoh dalam novel
Peserta didik membacakan hasil kerja kelompok di depan kelas, siswa
lain
memberikan
tanggapan. PENUTUP
Internalisasi
Peserta
didik
diminta
menjelaskan
manfaat
dari
pembelajaran
analisis
tokoh
Lintang melalui teknik dramatik tokoh dalam sebuah novel Persepsi
Siswa diminta mengungkapkan
pengalaman kehidupan sebagai pembelajaran yang terkandung dalam senuah novel
METODE DAN SUMBER BELAJAR Sumber
Pustaka Rujukan
Belajar
Buku Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA kelas XII
Buku
referensi
lain
yang
menunjang materi menganalisis dan menyunting teks novel
Buku
referensi
lain
yang
mengenai analisis tokoh melalui teknik dramatik Media
cetak
dan
elektronik
Siaran
mengenai
bedah
buku
pembahasan analisis tokoh dalam senuah novel
Website dan internet
Artikel
pembahasan
analisis
kedirian tokoh dalam sebuah novel Presentasi Diskusi Kelompok
PENILAIAN TEKNIK BENTUK
DAN Tugas
Peserta
didik
diminta
berdiskusi
untuk
memahami unsur intrinsik serta menemukan sifat tokoh Lintang di dalam novel
Secara
individual
menganalisis intrinsik novel
teks
peserta
didik
sesuai
dengan
diminta unsur
Secara
kelompok
menemukan
sifat
peserta
didik
tokoh
Lintang
diminta yang
terkandung di dalam novel Observasi
Mengamati kegiatan peserta didik dalam proses mengumpulkan data, analisis data, dan pembuatan laporan
Portofolio
Menilai laporan peserta didik tentang analisis tokoh Lintang dalam novel
Tes Tertulis
Menilai kemampuan peserta didik dalam memahami, menerapkan, dan menyunting teks novel sesuai dengan unsur intrinsik serta penggambaran sifat tokoh yang terkandung di dalam novel
Mengetahui,
Jakarta, 07 April 2015
Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran
(
(Holida Hoirunisa)
NIP.08000123
)
NIM. 1110013000100
RIWAYAT PENULIS HOLIDA HOIRUNISA, lahir di Tangerang, 3 Oktober 1992. Menuntaskan pendidikan dasar di SDN Sudimara 5. Kemudian, menuntut ilmu di SMP Yuppentek 3 Ciledug, melanjutkan
ke
jenjang sekolah
menengah
di
SMA
Yuppentek 2 Ciledug. Tahun 2010 meneruskan pendidikanya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Anak dari Muhammad Holis dan Rosyanti ini sejak kecil tinggal bersama orang tuanya di Jln. Tanah 100, Ciledug Tangerang. Dia anak pertama dari tiga bersaudara, adik perempuannya bernama Dwi Kurnia Khoiria, dan adik lakilakinya bernama Rosy Kurniawan. Sejak kuliah, dia menambah pengalamannya dengan mengajar les privat dan bimbel. Pernah mengajar bidang studi Bahasa Indonesia di sekolah SMP PGRI 336 Pondok Betung selama 4 bulan di tahun 2014. Selain itu menambah pengalamannya sebagai interviewer di Litbang Harian Kompas selama 2 bulan tahun 2014.