NILAI MORAL DALAM NOVEL PESANTREN IMPIAN KARYA ASMA NADIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Widiyowati Tria Rani Astuti 1111013000077
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
NILAI MORAL DALAM NOVEL PESANTREN IMPIAN KARYA ASMA NADIA DAN IMPLIKASINYA TERIIADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Widivowati Tria Rani Astuti
NIM. 1111013000077
Mengetahui,
NIP. 19841126 201503 2 007
JURUSAN PENDIDIKA}I BATIASA DAN SASTRA INDONBSIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 20Ls
LEMBAR PENGESEHAN UJIAN MUNAQASAH Skripsi berjudul Nilai Moral dalam Novel Pesantren Impian Karya Asnta Nadia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah disusun oleh WIDIYOWATI
TRIA RANI ASTUTI Nomor Induk Mahasiswa 1111013000077, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
telah
dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 12 Oktober 2015 di hadapan
dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta, Oktober 2015
Panitia Uj ian Munaqasah
Tanggal
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi)
,1 ok\ow aort
Makyun Sutruki, M. Hum. NrP. 19800305 200901 1 015 Sekretaris ( Sekretaris Jurusan/Prodi) Dona Aii Kurnia Putra, M.A. NIP. 19840409 201101 I 015
ar
Penguji I Rosida Erowati. M. Hum. NIP. 19771030 200801 2 009 Penguji
23 OFbber rDt
II
Zt 0h{ebot
Ahmad Bahtiar. M. Hum. NrP. 19760118 200912 1 002
I r.i,r +. t-..h+.
-
* l-' 1v
t" tr\ \\}:
r^l ic-l il(: ] q.t ]
. I 1r-r rt' t&-:*\
fLit.'ff-' [. .rru
O*okr aou
i--eir5 I
I
;
Tanda Tangan
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
: Terbit : No. Revisi: :
01
Hal
1/',|
No.
Dokumen
Tgl.
FORM (FR)
Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia
FITK-FR-AKD-089 1 Maret 20't0
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
WIDIYOWATI TRIA RANI ASTUTI
Tempat/Tgl.Lahir
Jakarta,09 Juli 1993
NIM
n1r0r3000077
Jurusan / Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi
NILAI MORAL DALAM NOVEL PESA]{TREN IMPIAN KARYA ASMA NADIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Dosen Pembimbing
:
1 1.
Novi Diah Haryanti, M.Hum.
2
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta,06 Oktober 201 Mahasiswa Ybs.
5
Widi),owati Tria Rani. A
NrM. 1111013000077
ABSTRAK
WIDIYOWATI TRIA RANI ASTUTI, NIM. 1111013000077, “Nilai Moral dalam Karya Asma Nadia dan Implikasinya Terhadap Novel Pesantren Impian Pembelajaran Sastra di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai moral yang terdapat dalam novel Pesantren Impiankarya Asma Nadia yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan objektif yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra dan pendekatan pragmatik untuk memahami nilai moral yang terdapat dalam novel. Berdasarkan temuan dan hasil analisis yang dilakukan terhadap novel ini, diketahui bahwa novel Pesantren Impian memuat nilai moral melalui interaksi maupun tingkah laku dari setiap tokoh yang ada. Nilai moral tersebut meliputi: sikap hormat, tanggung jawab, kejujuran, toleransi, disiplin diri, suka menolong, berbelas kasih, kerja sama, dan berani. Mengenai implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan siswa tentang nilai moral untuk kehidupan sehari-hari mereka.
Kata kunci: Nilai Moral, Novel Pesantren Impian, Asma Nadia, Pembelajaran Sastra.
i
ABSTRACT
WIDIYOWATI TRIA RANI ASTUTI, NIM. 1111013000077, “Moral Values in the Pesantren Impian Novel by Asma Nadia and Its Implications for Learning Literature in school”, Departement of Education Indonesia Language, Faculty of Science dan Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum. The research aims to find out moral values in the Pesantren Impian Novel by Asma Nadia which is expected to be used as lessons learned at school. The method used in this research is qualitative method through objective approach that focused on the literary work and pragmatic approach to understand of the moral value in the novel. Based on the findings and the result analysis done in the novel, it is known that Pesantren Impian novel contains moral values through interaction and behavior of every figures. Moral values included: respect gesture, responsibility, honesty, tolerance, self discipline, helpful, empathy, cooperation, and courage. Furthermore, for the implications to literature learning at school, the result of this research is expected to provide benefits and increase students’ knowledge of moral values in their daily life.
Key words: Moral Value, Pesantren Impian Novel, Asma Nadia, Literature Learning.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur yang tiada terkira penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nilai Moral dalam Novel Pesantren Impian Karya Asma Nadia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad saw. semoga syafaatnya selalu menyertai kita semua hingga akhir zaman. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Skripsi ini pun tidak lepas dari banyak kekurangan dan kekeliruan namun penulis berusaha untuk menyajikan skripsi yang terbaik. Tanpa bantuan dan peran berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2. Makyun Subuki, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan dosen penasihat yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, 3. Dona Aji Kurnia Putra, MA. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, 4. Novi Diah Haryanti, M. Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, dan kesabaran serta waktu luang Ibu selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, 5. Ayahanda Surani dan Ibunda Kartini tercinta yang selalu memberikan doa restu dan dukungan baik motivasi maupun materil kepada penulis untuk bersemangat
iii
dalam penyusunan skripsi ini serta selalu memberikan kasih sayang sampai detik ini, 6. Seluruh keluarga penulis, Mba Widiastuti Enggar Sayekti, Mas Teguh, Neila Aline Safitri, Cris Hartini, dan Rizky Bintang Saputri yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, 7. Hardiyani Windari, Amanah Ari Rachmanita, Aminah Ratna Ningsih, Rifqi Faizah, dan Silviani Marlinda. Mereka adalah sahabat seperjuangan penulis yang selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, 8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya kelas C. Terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini. 9. Teman-teman PPKT SMP Negeri 10 Ciputat, angkatan Februari-Juni 2015, Dwi Ratnasari, Tuti Annisa, Aristiana Indah Kumalasari, Tiara Ayu Hurul’Ain, dan Ayatika Adawiyah. 10. Murid-murid SMP Negeri 10 Ciputat, khususnya kelas VII-2, VII-3, dan VII-4 yang telah memberikan doa, semangat, dan kenangan kepada penulis. 11. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebukan satu persatu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Amin.
Jakarta, September 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK . ...............................................................................................
i
ABSTRACT ...............................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..............................................................................
1
B. Identifikasi Masalah .....................................................................
5
C. Pembatasan Masalah .....................................................................
5
D. Perumusan Masalah .....................................................................
6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................
6
F. Manfaat Penulisan .........................................................................
6
G. Metode Penelitian .........................................................................
7
BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Novel ...............................................................................
10
1. Pengertian Novel ......................................................................
10
2. Unsur-Unsur Novel ..................................................................
10
B. Hakikat Nilai Moral ......................................................................
19
C. Penelitian Relevan ........................................................................
25
BAB III TINJAUAN NOVEL PESANTREN IMPIAN A. Profil Asma Nadia.........................................................................
28
B. Gambaran Umum Novel ...............................................................
31
C. Sinopsis Novel ..............................................................................
36
vi
BAB IV HASIL PENELELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Objektif Novel Pesantren Impian ...................................
38
1. Tema ........................................................................................
38
2. Tokoh dan Penokohan .............................................................
39
3. Plot ...........................................................................................
50
4. Latar ........................................................................................
60
5. Sudut Pandang .........................................................................
69
6. Gaya Bahasa ............................................................................
70
7. Amanat .....................................................................................
71
B. Analisis Nilai Moral dalam Novel Pesantren Impian...................
72
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ...................
87
BAB V PENUTUP A. Simpulan .. ....................................................................................
90
B. Saran .............................................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Lampiran 2 Transkip Wawancara Lampiran 3 Bukti Wawancara Lampiran 4 Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 5 Daftar Uji Referensi
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra pada umumnya berisikan tentang permasalahan yang melengkapi kehidupan manusia. Karya sastra memiliki dunia yang merupakan hasil dari pengamatan terhadap kehidupan yang diciptakan oleh pengarang baik berupa novel, puisi, maupun drama yang berguna untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam setiap karya sastra yang dibaca atau dilihat pasti mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat dijadikan pengetahuan dan pembelajaran. Seorang pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra memadukan antara fiksi dan fakta dalam karyanya. Kata fiksi mempunyai makna khayalan, impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan. Pengarang menggunakan imajinasinya untuk mendapatkan ide atau gagasan sebagai bagian dari karya sastranya. Pengarang memperlakukan fakta atau kenyataan yang digunakan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan cara meniru, memperbaiki, menambah atau menggabung-gabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan ke dalam karya sastra. Novel termasuk karya sastra yang banyak digemari masyarakat dan memiliki nilai pendidikan untuk kehidupan manusia dalam setiap ceritanya. Sebagai pembaca seseorang harus dapat memahami nilai yang sebenarnya ingin disampaikan dari novel tersebut kepada para pembaca dan bukan hanya sebagai bacaan yang menghibur semata. Dalam karya sastranya pengarang mencoba menggambarkan atau menceritakan peristiwa yang pernah terjadi melalui cerita yang dibuatnya ataupun ungkapan dari keadaan jiwa dan emosi pengarang, sehingga memiliki nilai dan isi tersendiri yang ingin disampaikan pada saat itu. Novel merupakan bahasa komunikasi antara pengarang dan pembacanya, komunikasi akan berjalan dengan baik apabila pembaca dapat menentukan nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut. Selain menjadi bahasa komunikasi,
1
2
novel dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan yang dapat diterapkan di sekolah. Novel Pesantren Impian karya Asma Nadia bercerita tentang remaja yang memiliki riwayat kejahatan atau pengalaman kurang baik di masa lalu mereka, remaja tersebut menjalani rehabilitasi di sebuah pesantren yang dinamakan Pesantren Impian. Sebuah pesantren yang bisa menjadi pusat rehabilitasi bagi anak-anak muda yang bermasalah dan mendapatkan ketenangan dengan lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta, selain itu novel Pesantren Impian juga menggambarkan tekad tokoh dalam cerita untuk menjadi pribadi yang lebih baik selama menjalani masa rehabilitasi. Cerita di dalam novel Pesantren Impian memiliki pesan untuk pembaca dan menyimpan nilai-nilai pendidikan yang bermanfaat bagi kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat berupa nilai moral, nilai agama, dan sebagainya. Novel Pesantren Impian merupakan salah satu karya Asma Nadia yang pertama kali terbit pada tahun 2000, lalu novel Pesantren Impian mengalami pengeditan yang diterbitkan kembali pada Juli 2014. Novel Pesantren Impian yang menjadi objek penelitian penulis adalah novel yang telah diedit dan diterbitkan kembali pada tahun 2014. Novel Pesantren Impian memperlihatkan permasalahan penyimpangan pergaulan remaja dan secara tersirat dari isi novel Asma Nadia ingin menyampaikan pesan kepada pembaca supaya tidak melakukan kesalahan atau pergaulan seperti cerita yang ia tuangkan dalam novel Pesantren Impian. Selain itu, Asma Nadia memperlihatkan permasalahan kehidupan manusia dengan Tuhan, selama dalam rehabilitasi para remaja diajarkan untuk melaksanakan kewajibannya dalam beragama. Novel Pesantren Impian mengajarkan tentang pesan-pesan moral agama khususnya agama Islam. Dalam novel karya Asma Nadia yang berjudul Pesantren Impian penulis ingin mencari nilai yang terkandung dalam novel tersebut, nilai yang akan penulis kaji adalah nilai moral yang terdapat dalam novel Pesantren Impian melalui cerita, dialog, peristiwa ataupun penokohan di dalam cerita.
3
Dalam cerita nilai moral merupakan nilai yang berkaitan dengan akhlak/budi pekerti atau etika, karya sastra (novel) dapat menjadi suatu medium yang efektif dalam membina moral dan kepribadian pembaca. Dalam konteks pendidikan dapat diartikan terdapat hubungan yang erat antara pengajaran sastra dengan pembentukan moral. Melalui karya sastra siswa dapat melakukan olah rasa, batin dan budi pekerti sehingga secara tidak langsung memiliki perilaku dan kebiasaan yang positif melalui proses apresiasi karya sastra. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, nilai moral merupakan bagian dari pendidikan karakter yang sebaiknya diajarkan melalui berbagai tindakan praktik dalam proses pembelajaran karena dalam proses pembelajaran juga terdapat adanya proses mendidik. Mendidik dalam arti menanamkan kepribadian dan karakter yang bertujuan untuk menjadikan pribadi yang lebih baik karena moral yang baik akan menghasilkan kepribadian yang baik pula. Pengarang dalam karyanya sudah pasti memiliki nilai yang ingin disampaikan kepada pembaca sebagai makna dalam sebuah karya sastra yang dapat dilakukan melalui pemaparan cerita, salah satunya adalah nilai moral. Seperti novel Pesantren Impian Asma Nadia ingin menyampaikan pesan kehidupan yang bermanfaat bagi pembacanya. Novel ini memiliki pesan yang sangat baik untuk para pembacanya karena di dalam cerita mengisahkan tentang tekad dan usaha tokoh dalam cerita untuk mengubah sikap diri dan tingkah laku untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah sudah seharusnya memberikan pembelajaran moral kepada para siswa yang menjadi bagian dari seluruh aktivitas sekolah terutama pembelajaran di kelas. Pembelajaran moral tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pembinaan melalui pembelajaran karya sastra. Novel selain menjadi bahasa komunikasi antara pengarang dan pembaca, novel juga dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran yang diterapkan di sekolah. Selama ini pembelajaran sastra di sekolah kebanyakan guru hanya memanfaatkan karya sastra yang terdapat di dalam buku pelajaran yang
4
digunakan sebagai panduan di kelas. Padahal dengan menggunakan karya sastra (novel) yang diketahui siswa atau novel terbaru yang sedang banyak dibicarakan masyarakat sebagai media pembelajaran di sekolah dapat meningkatkan minat membaca siswa karena siswa dapat merasa tertarik untuk mempelajarinya, tetapi hal yang terpenting adalah novel yang digunakan harus disesuaikan dengan usia siswa dan memiliki tema yang mendidik. Bukan suatu hal yang baru siswa terkadang merasa jenuh ketika pembelajaran membaca sastra, karena siswa diminta untuk banyak membaca. Hal tersebut dapat disebabkan karena rendahnya minat siswa dalam membaca terlebih dalam pembacaan novel. Oleh karena itu, guru harus berperan aktif untuk menarik perhatian dan minat membaca siswa, salah satunya guru harus pandai memilih bahan ajar yang digunakan untuk pembelajaran di kelas. Pada hakikatnya pembelajaran sastra ialah dengan memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra dan mengajak siswa untuk memahami serta menghayati pengalaman yang terdapat di dalam cerita melalui penjelasan unsur instrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra. Secara khusus pembelajaran sastra bertujuan untuk mengembangkan minat baca dan kepekaan siswa terhadap nilai moral, nilai sosial, nilai keagamaan yang tercermin dalam karya sastra tersebut. Karya sastra berupa novel memiliki nilai yang sangat strategis karena penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Melalui konflik dan tokoh-tokohnya, siswa akan belajar tentang kehidupan dan belajar menyikapi setiap permasalahan dalam kehidupan. Selain itu, karya sastra dapat menumbuhkan imajinasi yang dapat menjadi instrumen hebat dalam menciptakan karakter pembacanya dan memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi. Imajinasi yang baik akan mendorong siswa untuk menyenangi dan membiasakan dirinya berprilaku baik. Pada novel Pesantren Impian berisi cerita yang baik dan menarik yang turut memberikan pengaruh dan peranan dalam pembentukan watak, prilaku, dan kepribadian siswa. Isi cerita dalam novel Pesantren Impian diharapkan mampu memotivasi para pembaca untuk dapat memiliki tekad dan usaha yang
5
kuat untuk mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik seperti tokoh dalam cerita tersebut. Sampai saat ini penulis belum menemukan skripsi atau penelitian lainnya yang menjadikan novel Pesantren Impian sebagai objek penelitian. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji novel Pesantren Impian dengan tujuan untuk menganalisis nilai moral yang terdapat dalam novel tersebut. Dari pemaparan di atas, diharapkan dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah turut berpengaruh dalam pembentukan kepribadian siswa dan dapat meningkatkan minat membaca siswa. Sehingga secara tidak langsung melalui proses apresiasi sastra siswa memiliki perilaku dan kebiasaan yang positif. Selain itu, melalui proses apresiasi sastra dapat melatih keempat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dan menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia: adat istiadat, agama, dan kebudayaan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mengkaji aspek moral yang terdapat di dalam novel Pesantren Impian karya Asma Nadia. Maka penulis mengangkat judul skripsi: “Nilai Moral dalam Novel Pesantren Impian karya Asma Nadia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah” B. Identifikasi Masalah 1. Belum adanya analisis novel Pesantren Impian karya Asma Nadia terkait nilai moral yang terkandung dalam novel tersebut. 2. Kurangnya bahan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah. 3. Kurangnya minat siswa dalam membaca.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan masalah yang teridentifikasi, maka permasalahan pada penelitian ini akan dibatasi pada “Nilai Moral dalam Novel Pesantren Impian karya Asma Nadia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”
6
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah seperti yang telah diuraikan, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut; 1. Bagaimana nilai moral yang tergambarkan dalam novel Pesantren Impian karya Asma Nadia? 2. Bagaimana implikasi nilai moral dalam novel Pesantren Impian karya Asma Nadia terhadap pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penulisan Dengan adanya penelitian ini diharapkan; 1. Mendeskripsikan nilai moral yang terdapat dalam novel Pesantren Impian karya Asma Nadia. 2. Mendeskripsikan implikasi nilai moral dalam novel Pesantren Impian karya Asma Nadia terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penulisan 1. Manfaat secara teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengembangan ilmu pengetahuan studi sastra Indonesia mengenai analisis novel khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dan memberi gambaran mengenai nilai moral yang terkandung dalam novel Pesantren Impian karya Asma Nadia serta implikasi nilai moral yang terdapat dalam novel Pesantren Impian pada pembelajaran sastra di sekolah.
7
G. Metode Penelitian 1. Objek dan Waktu Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah teks novel Pesantren Impian karya Asma Nadia. Fokus dalam penelitian ini adalah nilai moral yang terkandung dalam novel Pesantren Impian. Pada penelitian ini penulis menggunakan novel cetakan pertama, Juli 2014 yang diterbitkan oleh Asma Nadia Publishing House, Jakarta. Waktu penelitian dimulai sejak Januari sampai dengan September 2015. 2. Metode Pembahasan Ditinjau dari objek penelitian yang mengarah pada nilai moral yang terkandung dalam novel Pesantren Impian penulis menggunakan metode kualitatif. “Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.”1 Metode kualitatif sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya yang akan menghasilkan data deskriptif berupa tulisan yang diamati, data yang dideskripsikan terlebih dahulu dengan maksud untuk menemukan unsurunsur instrinsik dan ekstrinsik dalam novel serta menemukan data-data yang berkaitan dengan nilai moral dalam novel Pesantren Impian. Dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan melalui wawancara, pengamatan dan pemanfaat dokumen. Sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai. Oleh karena itu, penelitian kualitatif dipertentangkan dengan penelitian kuantitaif yang bersifat bebas nilai. Dalam ilmu sosial sumber datanya adalah masyarakat, data penelitiannya adalah tindakantindakan, sedangkan ilmu sastra sumber datanya adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana.2
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 4. 2 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 47.
8
Untuk menunjang penelitian ini, maka diperlukan teori ilmiah yang relevan dengan objek penelitian. Dalam hal ini, teori ilmiah tersebut digunakan sebagai pendekatan sekaligus sebagai model dalam penelitian novel. Pendekatan merupakan alat untuk memahami realita atau fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah karya. Seorang analis atau pembaca kritis harus mampu menerjemahkan pengalaman atau realita yang ia dapatkan melalui kegiatan membaca sebuah karya ke dalam bedah analisis yang rasional dengan merujuk kepada pendekatan tertentu.3 Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan objektif dan pendekatan
pragmatik.
Wahyudi
Siswanto
mengemukakan
bahwa
pendekatan objektif adalah pendekatan yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra.4 Mengkaji karya sastra dengan pendekatan objektif memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan unsur instrinsik, sedangkan pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra.5 Pendekatan objektif dalam penelitian ini, misalnya yang dicari adalah unsur-unsur novel; tema, tokoh dan penokohan, plot, latar, sudut pandang, dan sebagainya. Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur instrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin, sedang pendekatan pragmatik dalam penelitian ini untuk mengkaji dan memahami nilai moral yang terdapat dalam novel. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat karena data-datanya berupa teks. Pada penelitian ini penulis melakukan penelitian melalui pengamatan pada novel Pesantren Impian
3
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 48. 4 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 181-183. 5 Ibid,. h. 190.
9
karya Asma Nadia untuk membuktikan adanya nilai moral yang terdapat di dalam novel tersebut. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: membaca novel Pesantren Impian karya Asma Nadia secara berulang-ulang dari awal sampai akhir untuk memperoleh makna keseluruhan, dan mencatat kalimat–kalimat atau bagian-bagian yang termasuk ke dalam nilai moral. 4. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam kategori, dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema tertentu yang menjadi bahan kajian penulis. Analisis novel merupakan suatu cara untuk memahami makna yang terkandung di dalam novel dengan menelaah dan menguraikan kutipan cerita dari novel, sehingga dapat diperoleh suatu pemahaman dan kesimpulan yang relevan. Setelah pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah menganalisis data
dengan
mengutip
teks
cerita
yaitu
mengklasifikasikan
dan
menginterpretasikan tema tertentu yang sudah penulis pilih pada bab-bab yang mengandung nilai moral pada novel Pesantren Impian karya Asma Nadia.
BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Novel merupakan salah satu karya sastra imajinatif atau rekaan tetapi ada pula novel yang diciptakan berlatar dari realita atau pengalaman di masa lalu yang dituangkan oleh pengarang. Novel sebagai sebuah karya imajinatif atau menceritakan tentang fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kehidupan. Fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi yang sesuai dengan pandangannya. Sastra yang dianggap fiksi pada hakikatnya adalah fakta, karya-karya itu lahir didasarkan atas keasadaran pengarang dalam melihat realitas masyarakatnya. “Dengan munculnya karya-karya seperti itu, misal Laskar Pelangi yang bercerita tentang realitas pendidikan di pulau terpencil, pemerintah ikut campur tangan dalam membenahi fasilitas pendidikan. Dari kesadaran sejarah ini, masyarakat disadarkan tehadap kondisi atau realitas yang saat ini sedang berproses.”1 Ciri khas novel adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, namun perlu diketahui bahwa dunia kesastraan terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarakan diri pada fakta. Wellek & Warren dalam Nurgiyantoro mengemukakan, bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.2 1
Dwi Susanto S.S., M.Hum., Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: CAPS, 2012), h. 45. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 6. 2
10
11
Kata novel berasal dari bahasa Latin novellus. Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia, sedangkan dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle).3 Ensiklopedia Americana mendefinisikan novel sebagai cerita dalam bentuk prosa yang agak panjang dan meninjau kehidupan sehari-hari.4 Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya novel adalah cerita dan aspek terpenting novel adalah menyampaikan cerita. “A novel is „a fictitious prose narrative or tale of considerable length (now usually one long enough to fill one or more volumes) in which characters and action representative of the real life of past or present times are portrayed in a plot of more or less complexity.”5 Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.6 2. Unsur-unsur Novel Novel dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yaitu unsur instrinsik dan ekstrinsik. Pada umumnya, para ahli membagi unsur instrinsik prosa rekaan atas tema, tokoh, penokohan, alur (plot), latar cerita (setting), sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.7 1. Tema Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto mengemukakan bahwa tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.8 Pengertian lainnya, dalam novel tema merupakan
3
Burhan Nurgiyantoro, op., cit., h. 9. Endah Tri Priyatni, Membaca sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 124. 5 Jeremy Hawthorn, Studying the Novel An: Introduction, (USA: Great Britain, 1985), h. 1. 6 Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 29. 7 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 142. 8 Ibid., h. 161. 4
12
gagasan utama yang dikembangkan dalam plot.9 Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan dan menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Oleh karena itu, untuk menentukan tema sebuah novel harus disimpulkan dari keseluruhan cerita tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Novel yang kompleks akan dapat dianalisis dengan sejumlah besar tema yang berbeda atau bahkan saling terkait, tetapi pembaca harus menentukan kekuatan atau kepentingan utama yang ada dalam novel tersebut. Singkat kata, dari sekian tema yang dapat ditarik ia memiliki tema besar yang dikandungnya. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan sosok atau pelaku yang berada di dalam cerita sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Abrams mengemukakan, tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya, yang oleh pembaca ditafsirkan memilik kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.10 Tokoh-tokoh dalam cerita dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan, berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dibedakan menjadi; tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagain besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama, sedang yang kedua adalah tokoh tambahan.11 9
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 75 10 Burhan Nurgiyantoro, op., cit., h. 165. 11 Ibid., h. 259-267.
13
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, ia sangat menentukan perkembangan plot cerita secara keseluruhan, karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan
dengan
tokoh-tokoh
lain,
ia
sangat
menentukan
perkembangan plot cerita secara keseluruhan. Tokoh utama dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari seorang walau kadar keutamaannya belum tentu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh utama senantiasa relevan dalam setiap peristiwa di dalam suatu cerita.12 Selain tokoh utama terdapat tokoh utama tambahan yang memiliki kadar keutamaan dibawah tokoh utama. Pada tokoh tambahan terdapat pembedaan berdasarkan gradasi karena kadar keutamaannya, yaitu tokoh tambahan utama dan tokoh tambahan (yang memang) tambahan. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dapat juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjukan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya dibandingkan tokoh karena ia sekaligus mengartikan masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. 3. Plot Stanton mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
12
Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 7.
14
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.13 Pengarang menyusun cerita sehingga pembaca ingin selalu mengikuti apa yang terjadi setelah itu, ingin tahu mengapa hal itu terjadi. Akibat plot itu bagi pembaca ada dua macam: akan terus mengikuti apa yang terjadi berikutnya atau tidak mau lagi mengikuti apa yang terjadi selanjutnya.14 Selain rincian mengenai pengertian plot sebagaimana yang telah dikemukakan, terdapat tahapan plot yang dikemukakan lebih rinci. Rincian yang dimaksud oleh Tasrif dalam Nurgiyantoro adalah membedakan tahap plot menjadi lima bagian, yaitu;15 a. Tahap situation: tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita. b. Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, Pada tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. c. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Peristiwaperistiwa dramatik yang menjadi inti semakin menegangkan. Konflikkonflik yang terjadi internal dan eksternal, pertentangan, benturanbenturan antarkepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. d. Tahap climax: tahap klimaks, konflik yang terjadi, yang dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intesitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. 13
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 167. Wijaya Heru Sentosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 55-56. 15 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 209-210. 14
15
e. Tahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap ini berkesesuaian dengan tahap akhir di atas. Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan kriteria urutan waktu. Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, yang pertama disebut sebagai plot maju atau progresif, kedua plot sorot balik atau regresif flash-back, dan plot campuran.16 Plot progresif bersifat kronologis, secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), akhir (penyelesaian). Plot progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelitbelit, dan mudah diikuti. Plot flash-back, cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Teks yang berplot jenis ini, langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan konflik yang meruncing. Selanjutnya, plot campuran atau progresif regresfif, barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Jadi, dapat dikatakan tidak mungkin ada sebuah cerita yang mutlak flash-back. Pengategorian plot sebuah novel ke dalam progresif atau flash-back, sebenarnya lebih didasarkan pada mana yang lebih dominan. Hal tersebut disebabkan pada kenyataannya sebuah novel pada umumnya akan mengandung keduanya atau berplot campuran untuk mendukung tema dan penokohan dalam novel. 4. Latar (Setting) Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat dan hubungan waktu terjadinya peristiwa16
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 213-216.
16
peristiwa yang diceritakan. Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan, pelukisan, atau penunjukan latar, namun hal tersebut tak berarti bahwa pelukisan dan penunjukan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dalam karya sastra, latar tidak mesti realitas objektif, tetapi bisa jadi realitas imajinatif. Artinya latar yang digunakan hanya ciptaan pengarang, yang kalau
dilacak
kebenarannya
tidak
akan
bertemu
sebagaimana
diceritakan.17 Abrams
mengemukakan,
latar cerita
kesejarahan, dan kebiasaan masyarakat.
18
adalah tempat,
waktu
Latar tempat menyaran pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya, latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya. Kedua unsur tersebut dalam satu kepaduan yang jelas akan menyaran pada makna yang lebih khas dan meyakinkan. Ketepatan latar sebagai salah satu unsur fiksi pun tidak dilihat secara terpisah dari berbagai unsur yang lain, melainkan dari kepaduannya dengan keseluruhan. Dalam Nurgiyantoro latar terbagi menjadi latar fisik dan latar spiritual, latar netral dan latar fungsional. Latar fisik adalah latar tempat secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya, sedang latar spiritual adalah latar yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar netral adalah sebuah tempat hanya sekedar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan tidak lebih dari itu dan tidak akan mempengaruhi pemlotan dan penokohan, sedang latar fungsional adalah latar yang mampu mempengaruhi cerita dan 17 18
Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya Padang, 1990), h. 62. Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 149.
17
bahkan ikut menentukan perkembangan plot dan pembentukan karakter tokoh, karena mempengaruhi perkembangan plot dalam sebuah cerita fiksi, latar fungsional tidak dapat digantikan dengan latar lain tanpa mengganggu atau bahkan merusak cerita.19 5. Sudut Pandang Penceritaan Sudut pandang merupakan tempat pengarang memandang cerita. Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat yang yang disengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang semua sudut pandang tokoh.20 Sudut pandang menyaran pada cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya kepada pembaca. Cuddon dalam Albertine Minderop mengemukakan bahwa sudut pandang terdapat beragam variasi dan kombinasi, namun ada tiga varian mendasar yang berbeda, yaitu sudut pandang impersonal, orang ketiga dan orang pertama.21 Sudut pandang impersonal adalah apabila pencerita berdiri di luar cerita dan bergerak bebas dari satu tokoh ke tokoh lainnya, satu tempat ke tempat lainnya, satu episode ke episode lainnya yang dapat memberikan akses terhadap pikiran dan perasaan tokoh dengan bebasnya. Jenis sudut pandang orang ketiga terbagi atas; pertama “dia” mahatahu dan “dia” terbatas. “Dia” mahatahu yaitu pencerita yang berada di luar cerita dan melaporkan peristiwa-peristiwa yang menyangkut para tokoh dari sudut pandang “ia” atau “dia”. Pencerita mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah tokoh “dia” yang satu ke tokoh “dia” yang lain, menceritakan ucapan, tindakan 19
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 304-308 Albertine Minderop, Metode Karakteristik Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 88. 21 Ibid., h. 89-90. 20
18
tokoh bahkan juga hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas. Kedua, “Dia” terbatas yaitu pencerita yang berada di luar cerita yang mengetahui segala sesuatu tentang diri seorang tokoh saja baik tindakan maupun batin tokoh tersebut. Dalam percakapan antar tokoh banyak penyebutan “aku” dan “engkau”, sebab tokoh-tokoh “dia” sedang dibiarkan mengungkapkan diri mereka sendiri. Jenis sudut pandang pertama “akuan” terdiri atas “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. Sudut pandang “Aku” tokoh utama yaitu pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh utama, melaporkan cerita dari sudut pandang “aku” dan menjadi fokus atau pusat cerita. Sudut pandang “aku” tokoh tambahan, yaitu pencerita yang tidak ikut berperan dalam cerita, hadir sebagai tokoh tambahan yang aktif sebagai pendengar atau penonton dan hanya melaporkan cerita kepada pembaca dari sudut pandang “saya”. 6. Gaya Bahasa Bahasa dapat menjadi sarana pengungkapan sastra. Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. 22 Gaya berdasarkan pendapat Aminuddin adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.23 Alat gaya dapat melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata atau pun majas kalimat. 7. Amanat Pamusuk Eneste mendefinisikan amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai intipersoalan yang digarapnya.24 Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.
22
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 61. Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 158-159. 24 Pamusuk Eneste, Novel dan Film, ( NTT: Nusa Indah, 1991), h. 57. 23
19
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri pengarang dan pembacanya. Dari sudut pengarang, nilai ini biasa disebut amanat. Wahyudi Siswanto mengemukakan, amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.25 Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu; biografi pengarang, psikologi pengarang, keadaan lingkungan sosial dan ekonomi pengarang, dan pandangan hidup suatu bangsa.26 B. Hakikat Nilai Moral 1. Pengertian Nilai Moral Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti berguna, berdaya, dan berlaku. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut tindakan, nilai seseorang diukur melalui tindakan.27 Berdasarkan pemaparan Sutarjo dalam buku Pembelajaran Nilai Karakter, nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai, dan menjiwai tindakan seseorang.28 Istilah Moral berasal dari kata Latin mos yang berarti (kebiasaan, adat istiadat, cara tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Helden dan Richards dalam Sjarkawi mengatakan bahwa moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya Atkinson mendefinisikan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan.29
25
Wahyudi Siswanto, op.cit., h. 162. Ibid., h. 23-24. 27 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 64. 28 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 56. 29 Sjarkawi, op. cit,. h. 28. 26
20
Moral tidak identik dengan ilmu, pangkat atau keturunan, artinya tidak setiap orang bodoh, orang rendah dan dari keturunan rakyat banyak akan bermoral rendah, kendatipun kemampuannya untuk berpikir itu terbatas. Betapa banyaknya kita melihat kejahatan, kemaksiatan, dan kemerosotan moral terjadi di kalangan orang pandai, berpangkat tinggi dan dari keturunan bangsawan. Moral menyangkut kebaikan, orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka, secara sederhana kita mungkin dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi.30 Aristoteles dalam H.Burhanuddin menjelaskan, nilai moral adalah manusia itu dalam semua perbuatannya, bagaimanapun juga mengejar sesuatu yang baik.31 Nilai moral tidak boleh berlawanan atau bertentangan dengan agama yang dianutnya, maka pendidikan moral tidak bisa dipisahkan dari pendidikan agama. Setiap agama mengandung suatu ajaran moral
yang
menjadi
pegangan
bagi
perilaku
para
penganutnya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tokoh dalam novel yang ditulis pengarang Rusia termasyhur, Dostoyevski: “Seandainya Allah tidak ada, semuanya diperbolehkan”.32 Oleh karena itu, karena hidup berpegang teguh pada ajaran agama yang berasal dari Allah maka setiap perilaku ada batasan yang dikatakan baik atau buruk yang sering disebut perilaku bermoral atau tidak bermoral. Pengaruh agama dengan sendirinya membina budi pekerti dan membina otak, bagi orang yang sama sekali tidak pernah mendapatkan didikan dan ajaran agama (ataupun tidak pernah mempelajari agama itu sendiri), maka kebiasaan hidupnya dengan sendirinya tidak dilandasi oleh ajaran-ajaran
30
Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1990),
h.13. 31
Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h. 31. 32 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 38.
21
agama. Beragama, berarti bersedia hidup sesuai dengan ajaran dan tuntunan dari agama itu. Nilai moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja dan tindakan yang berkaitan dengan nilai baik-buruk yang berlaku di masyarakat. Tindakan yang bersifat moral adalah tindakan yang menjunjung nilai pribadi manusia dan masyarakat. Tindakan yang menjunjung nilai manusia adalah semua tindakan yang menjaga dan menjamin kelangsungan hidup manusia. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia, sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik.33 Nilai moral merupakan bagian dari pendidikan karakter, pendidikan karakter sebaiknya diajarkan melalui berbagai tindakan praktik dalam proses pembelajaran. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengemukakan, moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.34 Hal tersebut merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan, ia bersifat praktis sebab petunjuk itu dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita melalui sikap atau tingkah laku tokoh-tokohnya.
33
H. Burhanuddin Salam, Etika Sosial (Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia) (Jakarta: PT. Rineke Cipta, 2002), h. 3. 34 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 321.
22
Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan pengarang. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat. Unsur amanat itu, sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan. Sebuah novel tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral yang menyangkut seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seperti persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial, termasuk hubungannya dengan lingkungan alam dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca melalui karya sastra, selalu dalam pengertian baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh yang kurang terpuji, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak seperti diceritakan dalam karya sastra. Pada dasarnya misi nilai moral yang diterapkan di lingkungan sekolah, keluarga, dan lingkungan adalah mengajarkan nilai dasar hormat pada diri sendiri dan orang lain. Dalam buku Pendidikan Karakter Panduan Lengkap: Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik terdapat nilai-nilai moral yang harus diajarkan di sekolah dan penulis rangkum menjadi sembilan nilai dasar moral, yaitu;35 1. Sikap hormat Sikap hormat berarti menunjukkan penghormatan dan bakti melalui sikap yang baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilaku. Nilai ini terbagi menjadi; sikap hormat terhadap diri sendiri, dan sikap hormat terhadap orang lain. Sikap hormat terhadap diri sendiri menuntut untuk memperlakukan kehidupan kita sendiri dan manusia lain sebagai sesuatu yang memiliki nilai yang baik. Sikap hormat pada orang lain 35
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter Panduan Lengkap: Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, (Bandung: Nusa Media, 2013), h. 64-66.
23
menuntut untuk memperlakukan semua manusia termasuk yang tidak disukai sebagai sosok yang memiliki harga diri dan hak-hak yang setara dengan diri kita.36 2. Tanggung jawab Tanggung jawab merupakan kemampuan untuk menanggung, menekankan kewajiban-kewajiban positif untuk saling peduli terhadap satu sama lain.37 Selain itu, melaksanakan kewajiban yang seharusnya dilakukan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, orang lain, dan lingkungan. Sikap tanggung jawab sangat penting di tanamkan pada diri seseorang, dengan adanya sikap tanggung jawab maka seseorang akan lebih berhatihati dalam melakukan sesuatu karena segala sesuatu yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi.”38 3. Kejujuran Kejujuran merupakan sikap yang berkaitan dengan hati nurani manusia, Heri Gunawan menjelaskan bahwa kejujuran merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan dan tindakan. 39 Jadi, kejujuran adalah suatu kata atau tindakan yang dilakukan sesuai dengan fakta dan kebenaran. 4. Toleransi Toleransi merupakan sikap yang adil, obyektif, dan saling menghargai terhadap semua orang yang memliki perbedaan gagasan, ras atau keyakinan dengan kita. Toleransi adalah sesuatu yang membuat dunia menjadi tempat yang aman bagi keberagaman.40
36
Ibid,. h. 62. Ibid,. h. 63. 38 Nurla Isna Aunillah, Panduan menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Laksana, 2011), h. 83. 39 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implemetasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 33. 40 Thomas Lickona, op., cit., h. 65. 37
24
5. Disiplin diri Disipin merupakan suatu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.41 Disiplin diri mengajarkan untuk tidak memperturutkan kehendak hati yang cenderung melakukan perbuatan merendahkan diri atau kesenangan yang merusak diri, disiplin diri menuntut kita untuk mengejar hal-hal yang baik.42 Berdasarkan pemaparan tersebut bahwa sikap disiplin pada diri seseorang akan membuat orang tersebut membatasi diri untuk tidak melakukan halhal yang tidak baik dan melanggar batas norma yang berlaku di masyarakat maupun agama. 6. Suka menolong Senang memberikan pertolongan kepada orang lain secara ikhlas, semangat suka menolong akan menimbulkan kebahagiaan tersendiri di saat kita bisa melakukan suatu kebaikan.43 7. Berbelas kasih Berbelas kasih dalam arti ikut merasakan keadaan yang tengah dialami orang lain.44 Berbelas kasih merupakan sisi empati karena peduli dengan keadaan orang lain. Rasa empati juga merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam menjalin hubungan antarpribadi dengan memahami permasalahan dan perasaan orang lain. 8. Kerja sama Kerja sama merupakan suatu usaha yang dikerjakan secara bersamasama untuk mendapatkan tujuan yang telah direncakan. Tujuan kerja sama akan terjalin dengan adanya sikap saling menghargai. Kerja sama menunjukkan bahwa dalam dunia yang semakin saling tergantung ini harus bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, bahkan hal yang paling mendasar seperti mempertahankan kelangsungan hidup manusia.45
41
Heri Gunawan, op., cit., h.33. Thomas Lickona, op., cit., h. 65. 43 Ibid., h. 65. 44 Ibid., h. 65. 45 Ibid., h. 65. 42
25
9. Berani Merupakan sikap percaya diri yang besar dalam menghadapi kesulitan, bahaya dan sebagainya dengan rasa tidak takut. Berdasarkan sembilan nilai dasar moral yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa nilai moral dapat menjadi tatanan atau ukuran yang mengatur tingkah laku, perbuatan, dan kebiasaan manusia yang dianggap baik atau buruk oleh masyarakat ataupun di lingkungan sekolah. Adanya nilai moral
tersebut berupaya untuk meningkatkan manusia menjadi makhluk
yang berbudaya, berpikir, dan berakhlak. C. Penelitian yang Relevan Pada penelitian ini penulis menggunakan novel Pesantren Impian karya Asma Nadia sebagai objek penelitian. Penulis mencari referensi yang bersumber dari skripsi dan internet, tetapi sampai saat ini penulis belum menemukan skripsi, tesis atau disertasi yang menjadikan novel Pesantren Impian sebagai objek penelitian. Namun, terdapat hasil penelitian yang menjadikan nilai moral dan karya Asma Nadia lainnya sebagai objek penelitian dalam skripsi. Penelitian yang sesuai dengan penelitian sebelumnya, dirumuskan melalui judul, penulis dan tahun penyusunan, yaitu : “Nilai Moral dalam novel 5cm dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah” 2012 oleh Silvia Ratna Juwita, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan psikologi sosial yang membahas tentang hubungan antarindividu. Nilai-nilai moral yang tertulis diantaranya; Jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja sama. “Nilai-Nilai Religius dalam Novel Cinta di Ujung Sajadah Karya Asma Nadia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” 2013 oleh Anggi Mutiara Mardika, mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal. Adapun objek kajian penelitian ini adalah nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Cinta di Ujung Sajadah karya Asma Nadia. Metode yang digunakan
26
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, data dalam penelitian ini berupa data yang berwujud kata, kalimat, dan ungkapan yang terdapat di dalam novel Cinta di Ujung Sajadah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi dan studi pustaka, nilai-nilai religius yang menajdi objek penelitian terdiri dari penyerahan diri dan taat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan yang penuh kemuliaan, perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, perasaan batin yang ada hubungannya dengan rasa berdoa, dan pengakuan akan kebesaran Tuhan. “Aspek Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Cinta di Ujung Sajadah karya Asma Nadia: Tinjauan Psikologi Sastra” 2013 oleh Ika Putri Adiyanti, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta. Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji novel Cinta di Ujung Sajadah karya Asma Nadia adalah metode deskriptif kualitatif dengan strategi kasus terperancang. Hasil analisis kepribadian tokoh utama dengan tinjauan psikologi sastra meliputi struktur kepribadian, dinamika kepribadian, serta kecemasan. Struktur kepribadian dalam penelitian ini mencangkup das es (aspek biologis), das ich (aspek psikologis), dan das ueber ich (aspek sosiologis). Dinamika kepribadian dalam penelitian ini mencangkup instink hidup dan instink mati, sedangkan kecemasan mencangkup kecemasan moral dan kecemasan realistis. “Analisis Struktural dan Kajian Religiutas Tokoh Dalam Novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia” 2013 oleh Kusumaning Dwi Susanti, mahasiswa Universitas Diponegoro. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi kualitatif, metode ini digunakan untuk memaparkan hasil dari penelitian, struktur novel mulai dari tokoh, penokohan, alur pengaluran dan latar. Mendeskripsikan unsur religiusitas yang terdiri dari dimensi kepercayaan, praktis, pengalaman, pengetahuan, dan etis. Pada penelitian ini terdapat perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dari segi objek penelitian penulis menggunakan novel Pesantren Impian cetakan pertama Juli 2014 karya Asma Nadia. Penulis menggunakan metode kualitatif untuk menemukan dan menganalisis data yang berkaitan dengan nilai moral yang terdapat dalam novel Pesantren Impian yang merujuk
27
pada nilai moral berdasarkan pemaparan Thomas Lickona yang terbagi menjadi; sikap hormat, tanggung jawab, kejujuran, toleransi, disiplin diri, suka menolong, berbelas kasih, kerja sama dan berani. Adapun pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan objektif untuk menemukan unsur-unsur dalam novel Pesantren Impian yang dikenal dengan analisis instrinsik.
BAB III TINJAUAN NOVEL PESANTREN IMPIAN A. Profil Asma Nadia Asma Nadia adalah nama pena dari Asmarani Rosalba, lahir pada 26 Maret 1972 di Jakarta. Anak dari pasangan Amin Usman dan Maria Eri Susanti masuk ke dunia tulis menulis ketika menciptakan lagu di sekolah dasar. Asma Nadia aktif menulis dan mempublikasikan karyanya setelah ia lulus dari SMA 1 Budi Utomo Jakarta dan sasarannya adalah majalah keislaman, yaitu majalah Annida. Setelah lulus dari SMA 1 Budi Utomo, lalu ia melanjutkan kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asma Nadia menikah dengan Isa Alamsyah seorang penulis buku motivasi yang berjudul No Excuse dan dari pernikahannya Asma Nadia memiliki dua anak, yaitu Putri Salsabila dan Adam Putra Firdaus. Saat ini Asma Nadia masuk dalam penulis „best seller‟ wanita Indonesia, Asma Nadia juga aktif menulis lirik lagu sebagian lirik lagunya dapat ditemukan di album Bestari I (1996), Bestari II (1997), dan Bestari III (2003), Snada The Prestation, Air Mata Bosnia, Cinta Illahi, dan Kaca Diri. Selain itu, Asma Nadia dikenal sebagai ketua Forum Lingkar Pena yaitu sebuah forum kepenulisan dengan identitas Islam yang memiliki tujuan mendidik dan memberikan pencerahan kepada pembaca melalui tulisan.1 Asma Nadia dikenal sebagai penulis yang peduli terhadap buku-buku yang dapat dimanfaatkan untuk anak-anak yang kurang mampu. Hal tersebut dibuktikan dengan menyumbangkan hasil royalti dari buku-buku yang telah ditulisnya untuk mengembangkan Rumah Baca Asma Nadia sebuah perpustakaan dan tempat mengasah kreativitas bagi anak dan remaja kurang mampu. Asma Nadia juga memanfaatkan kemajuan teknologi dalam upayanya menyemangati
kaum
perempuan
untuk
membaca
melalui
milisnya
[email protected]. Berawal dari milisnya tersebut lahirlah kelompok buku AsmaNadia (KBA) di berbagai kota di tanah air, sebagai
1
Fairuz Su‟da. http://id.scribd.com/doc/34709803/Biografi-Asma-Nadia, (diunduh pada 11 September 2014, 09.40 WIB)
28
29
kegiatan alternatif yang setiap bulannya para anggota berkumpul dan berdiskusi tentang buku yang telah mereka baca.2 Adik dari penulis Helvy Tiana Rosa ini menjadi satu dari 35 penulis dari 31 negara yang diundang untuk menjadi penulis tamu dalam International Writing Program di Lowa, ia sempat berbagi tentang Indonesia dan proses kreatifnya dalam menulis dengan pelajar dan mahasiswa serta senior citizen di Amerika. Beberapa kali diundang untuk menghadiri acara kepenulisan di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Di tahun 2006 ia didaulat menjadi salah satu dari dua sastrawan muda Indonesia yang diundang untuk tinggal oleh pemerintah Korea Selatan selama enam bulan. Asma Nadia juga pernah menjadi pembicara pada forum Seoul Young Writers Festival di Korea Selatan, memberikan workshop kepenulisan kepada pelajar Indonesia di Mesir, Swiss, Inggris, Jerman, Roma (Italia) dan Vatikan, buruh migran di Hongkong dan Malaysia. Di dalam negeri, ia sering diundang untuk menjadi pembicara di berbagai universitas ternama di Indonesia, seperti UI, ITB, UNPAD, UGM, IPB, Unsyiah, Universitas Brawijaya, dan perguruan tinggi ternama lainnya. Asma Nadia memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menulis dan berkarya, ia pun banyak mendapat berbagai penghargaan dan hadiah sastra hasil dari karya-karyanya. Pada Maret 2010, Republika menobatkan Asma Nadia sebagai salah satu tokoh Perubahan Republika yang menyuarakan semangat keislamannya melalui novel-novel karangannya. Sebuah cerpennya yang berjudul Ilmut dan Koran Gondrong pernah memenangi juara I Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI) tingkat nasional yang diadakan Majalah Annida 1994. Penghargaan lainnya, seperti Rembulan di Mata Ibu meraih Adikarya IKAPI untuk kategori Buku Remaja Terbaik I tahun 2001, 2002, dan 2005. Tahun 2003 Asma Nadia menjadi pengarang Fiksi Remaja Terbaik dari Mizan Award, dua cerpennya masuk dalam antologi kumpulan cerpen terbaik majalah Annida; Merajut Cahaya (Pustaka Annida). Selain hadiah dan penghargaan 2
Sakti Mandraguna, http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/asma.html, (diunduh pada 11 September 2014, 09.32 WIB)
30
sastra atas karya fiksinya Asma Nadia juga pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara XI di Brunei Darussalam, workshop kepenulisan novel yang diadakan Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA), serta novelis IBF terbaik lewat novelnya Istana Kedua (2008). Tahun 2011, salah satu karya Asma Nadia, Sakina Bersamamu terpilih sebagai fiksi terfavorit oleh Anugerah Pembaca Indonesia, Goodreads Indonesia. Pada tahun yang sama Tupperware She Can memberikan penghargaan terhadap Asma Nadia sebagai salah satu perempuan Indonesia paling inspiratif. Harian Republika memberikan anugerah pada Asma Nadia sebagai Tokoh Perubahan 2010 kepada penulis produktif yang telah menulis 49 buku, Sementara IKAPI menyematkan penghargaan sebagai Tokoh Perbukuan Islam di tahun 2011. Asma Nadia juga masuk dalam daftar The 500 most Influential Muslim di dunia tahun 2012. Beberapa karya Asma Nadia telah difilmkan, diantaranya Emak Ingin Naik Haji yang telah difilmkan oleh Aditya Gumay (film ini meraih lima penghargaan di Festival Bandung, salah satunya sebagai Film Terpuji), Rumah Tanpa Jendela, dan 17 Catatan Hati Ummi (judul filmnya Ummi Aminah). Selain itu Asma Nadia juga menulis skenario: Pintu Surga (seri Ramadhan di Trans TV) dan Anak Matahari (SCTV). Sementara Catatan Hati Seorang Istri telah di sinetronkan oleh RCTI dengan judul Catatan Hati Seorang Istri sejak Juni 2014-dibintangi oleh Dewi Sandra.3 Karya-karya Asma Nadia; Aisyah Putri 1 : Operasi Milenia (2000), Serenade Biru Dinda (2000), Hari-Hari Cinta Tiara (2000), Pesantren Impian (2000), Ola si Koala 1: gara-gara hal yang sepele (2000), Ola si Koala 2: Lomba Mengaji (2000), Kerlip Bintang Diandra (2000), Rembulan di Mata Ibu (2000), Kepak Sayap Patah (2001), Aisyah Putri 2: Chat Online (2001), Dialog 2 Layar (2001), Aisyah Putri 3: Mr. Penyair (2002), Derai Sunyi (2002), Meminang Bidadari (2002) , Aisyah Putri 4: Teror Jelangkung Keren (2003), Jai dan Jamilah 1: T-Two On Mission (2003), Aku Ingin menjadi Istrimu (2004), Jadilah Istriku (2005), Jangan Jadi Muslimah Nyebelin (2005), 3
Asma Nadia, Assalamualaikum, Beijing!, (Jakarta: Noura Books, 2013), h. 340.
31
32
Walaupun judul novel tersebut adalah 10 Orang Negro tetapi tokoh-tokoh dalam novel tersebut bukanlah orang-orang negro, sepuluh orang negro adalah sebuah sajak kuno yang ditemukan di rumah mewah yang terletak di pulau Negro. Kesepuluh orang tersebut diundang ke pulau Negro dengan maksud untuk menebus kesalahan mereka, sepuluh orang tersebut adalah orang-orang yang memiliki riwayat kejahatan pembunuhan di masa lalu. Penebusan dosa sepuluh orang tersebut yang diundang ke pulau Negro dibayar dengan nyawa mereka, dan satu persatu tewas secara misterius dengan cara pembunuhan yang berbeda-beda seperti yang tertuliskan dalam sajak sepuluh orang negro. Setelah penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat sedikit kemiripan pada penceritaan Asma Nadia dalam novel Pesantren Impian, dengan mengundang para remaja yang memiliki riwayat kejahatan di masa lalu untuk menetap di sebuah pesantren yang berada di pulau Lhok Jeumpa, Aceh. Dalam novel Pesantren Impian mengundang para remaja untuk menebus kesalahan masa lalu mereka dengan cara yang berbeda dengan penceritaan Agatha Christie dalam novel 10 Orang Negro, Asma Nadia memilih cerita dengan cara merehabilitasi para tokoh yang memiliki riwayat kejahatan untuk menjadi seseorang yang lebih baik dengan meninggalkan masa lalu mereka. Selain itu, Asma Nadia ingin menulis sebuah buku dengan setting pesantren yang pada saat itu belum banyak yang menulis tentang pesantren. Asma Nadia berharap novel Pesantren Impian bisa menginspirasi orang lain yang mempunyai proyek atau yang sedang membangun pesantren untuk membuat pesantren yang mencangkup semua hal, artinya tingkat keimanannya baik, teknologinya baik, dan perkembangan keilmuannya juga tercover dengan baik. Novel Pesantren Impian murni sebagai novel fiksi tetapi untuk berbagai fenomena kejahatan yang terjadi di dalam cerita, seperti narkoba, seks bebas, kriminal Asma Nadia berusaha mengangkat fenomena penyimpangan pergaulan tersebut dari realitas yang banyak terjadi di kehidupan masyarakat.
33
Awal mulanya novel Pesantren Impian adalah sebuah cerita bersambung yang Asma Nadia tulis disalah satu majalah Annida yang setiap sebulan sekali ia kirim dan dimuat bersambung selama hampir dua tahun. Cerita novel Pesantren Impian dimuat bersambung dan melalui tahap pengeditan, setelah semua cerita terkumpul baru dilakukan proses penerbitan novel Pesantren Impian dengan kurun waktu sekitar dua bulan. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara singkat yang dilakukan dengan Asma Nadia melalui media sosial (WhatsApp), Asma Nadia mengemukakan bahwa bagaimana pun naskah-naskah yang terbit pada tahun 2000 harus dilakukan pengeditan dan disesuaikan dengan kondisi perkembangan zaman dan teknologi saat ini, seperti yang Asma Nadia katakan bahwa tidak mungkin cerita yang ditulis saat ini tanpa membahas sosial media. Hal tersebut diupayakan untuk menyesuaikan cerita dengan kondisi saat ini. Asma Nadia menjelaskan bahwa secara garis besar cerita dalam novel Pesantren Impian yang terbit tahun 2000 dengan novel yang diterbitkan tahun 2014 masih memiliki kesamaan cerita, perubahan hanya terjadi pada penceritaannya, deksripsinya dan konflik batin yang terjadi di dalam cerita. Perubahan pada bagian tertentu supaya kekinian dalam cerita pun terlihat nyata sesuai dengan kehidupan saat ini. Asma Nadia dalam novel Pesantren Impian mendeskripsikan makna pesantren bukan hanya sebagai tempat mendapatkan pengetahuan agama, tetapi juga sebagai tempat yang bisa menjadi pusat rehabilitasi bagi para remaja yang bermasalah atau pun sedang mangalami permasalahan dalam hidupnya untuk mendapatkan ketenangan batin dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tujuannya agar para remaja tersebut menjadi pribadi dengan keislaman yang lebih baik. Seperti yang dituliskan Asma Nadia dalam novel Pesantren Impian. “Sejak itu, sudah tak terhitung jumlah mereka yang datang dan pergi. Sebab pesantren, dengan cara yang khas, juga rutin mengundang pendatang. Mereka yang ingin mendapatkan ketenangan, membersihkan diri, belajar tentang Islam lebih dalam, atau sekedar mengubah cara hidup
34
agar lebih dekat ke alam-begitu kalimat yang tercantum dalam setiap undangan-Pesantren Impian mungkin jawabannya.”4 Seperti yang dipaparkan Asma Nadia dalam wawancara singkatnya, Pesantren Impian tidak hanya memberikan pembinaan keislaman tetapi mereka pun menampung bahkan mengundang secara pribadi anak-anak muda yang bermasalah yang terjerat drugs, seks di luar nikah, penjahat kriminal bahkan yang telah melakukan pembunuhan meskipun tidak disengaja. Asma Nadia ingin Pesantren Impian menjadi pesantren yang keislamannya kuat tetapi juga update terhadap perkembangan teknologi. Untuk bisa menetap dan menjalani rehabilitasi di Pesantren Impian tidak semua orang dapat menjangkau pesantren tersebut yang lokasinya berada di Pulau Lhok Jeumpa, Aceh. Di dalam novel, pesantren tersebut digambarkan berada di lokasi yang sulit untuk ditemukan oleh orang lain karena pulau tersebut tidak tertera dalam denah peta. Salah satu cara Asma Nadia menggambarkan betapa rahasianya Pesantren Impian selain menceritakan lokasi pesantren yang tak tergambarkan dalam denah peta, yaitu dengan jalur undangan yang diberikan secara khusus kepada remaja yang akan menjalani rehabilitasi. Para remaja yang menerima undangan rahasia dari Pesantren Impian akan dijemput dan diantarkan sampai pesantren oleh pengurus yang bekerja di pesantren impian. “Pesantren Impian dibangun sedemikian rupa, untuk memberi ketenangan dan kedamaian bagi penghuninya. Sebagai investasi akhirat jangka panjang, lelaki itu tak pernah merasa rugi, dengan besarnya dana yang dihabiskan untuk pembangunan pesantren. Kalau tempat ini sekaligus bisa menjadi pusat rehabilitasi bagi anak-anak muda yang bermasalah, maka kenyamanan merupakan upaya pertama untuk membuat mereka betah. Tanpa itu, mustahil mereka bisa direhabilitasi.”5 Berupaya menciptakan tempat dan suasana yang menyenangkan untuk memberikan ketenangan pada para remaja yang menjalani rehabilitasi para pengurus pesantren selain mengisi waktu para remaja dengan kegiatan 4
Asma Nadia, Novel Pesantren Impian (Jakarta: AsmaNadia Publishing House, 2014), h.
5
Ibid, h. 56-57
20.
35
keagamaan seperti setiap hari Senin dan Kamis dijadwalkan berpuasa sunnah dan mengaji bersama. Pengurus pesantren pun juga menyediakan fasilitas untuk para remaja, seperti diadakannya lahan untuk menanam tumbuhan bagi yang senang bercocok tanam, ada pula binatang ternak dan sarana olah raga untuk para remaja supaya terbiasa melepaskan diri dari kebiasaan buruknya di masa lalu. Asma Nadia dalam pembuatan novel Pesantren Impian menyiratkan pesan-pesan moral dan religius dalam ceritanya. Sejak Asma Nadia lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Budi Utomo ia aktif menulis dan mempublikasikan karyanya di majalah Annida. Asma Nadia memang dikenal sebagai penulis novel Islami. Novel Pesantren Impian selain memiliki nilai agama, novel tersebut juga memiliki nilai kehidupan yang bermanfaat untuk pembaca. Novel Pesantren Impian selain menceritakan kisah para remaja yang terbelenggu dalam pergaulan yang salah, novel tersebut juga mengisahkan sikap dermawan seorang laki-laki yang mendirikan pesantren yang menjadi tempat rehabilitasi para remaja. Asma Nadia juga dikenal sebagai sastrawan yang menyuarakan semangat keislaman melalui novel-novel karangannya. Karya sastra merupakan bingkai dari realitas yang berlaku pada saat karya itu ditulis. Karya sastra bisa menjadi cerminan dari keadaan dan situasi kehidupan nyata yang dituangkan dalam bentuk fiksi atau rekaan. Asma Nadia dalam novel Pesantren Impian mengangkat cerita mengenai peristiwa yang banyak terjadi pada saat ini yaitu tentang akibat pergaulan bebas, pemerkosaan, dan akibat perceraian orang tua. Oleh karena itu, sasaran novel Pesantren Impian sangat baik untuk para remaja namun tidak menutup kemungkinan bahwa kalangan orang dewasa atau orang tua juga banyak yang membaca novel Pesantren Impian. Asma Nadia sebagai seorang penulis novel yang dapat dikatakan sebagai penulis Best Seller, memiliki amanat tersendiri untuk para pembacanya. Melalui novel Pesantren Impian Asma Nadia berharap bisa membangun harapan untuk anak-anak muda yang terseret pergaulan bebas supaya tidak
36
menyerah, dan berusaha bisa mengubah diri lewat tokoh di dalam novel Pesantren Impian. Asma Nadia ingin siapa pun yang saat ini mungkin berada dalam situasi atau pernah melakukan kesalahan seperti yang dialami dan dilakukan tokoh-tokoh di dalam cerita tergerak untuk hijrah dan bertobat. “Jadi ada semangat hijrah di sini ada semangat tobat di sini, Insya Allah selalu ada ruang untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan menjadikan apa hal-hal yang tidak baik yang saat ini kita lakukan untuk menjadi masa lalu.” Begitulah yang dikatakan Asma Nadia sebelum menutup wawancara singkat yang dilakukan melalui kontak pribadinya di media sosial WhatsApp. C. Sinopsis Para remaja putri dengan latar belakang dan riwayat kejahatan yang berbeda-beda mendapat undangan misterius untuk datang ke sebuah pesantren yang berada di daerah terpencil yang terletak di Pulau Lhok Jeumpa, Aceh. Sebuah pesantren yang bisa menjadi tempat rehabilitasi, tempat untuk mencari arti hidup dan ketenangan. Pesantren tersebut didirikan oleh seorang laki-laki bernama Teungku Umar, yang tak lain menyamar sebagai seorang pengacara untuk menutupi jati diri aslinya sebagai pemilik pesantren. Berbagai pengalaman masa lalu membawa para remaja tersebut datang ke pesantren yang dinamakan dengan Pesantren Impian. Mereka menetap selama satu tahun untuk dibina di Pesantren Impian dengan tujuan dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Gadis adalah salah satu dari remaja yang diundang untuk datang ke pesantren, ia adalah seorang perempuan yang berasal dari panti asuhan dan memiliki anak-anak asuh yang tinggal bersamanya. Hal tersebut membuatnya harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan anakanak asuhnya. Gadis yang hanya berasal dari panti asuhan, hidup tanpa orang tua membuatnya harus bersikap mandiri untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan biaya untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak asuhnya membuat ia harus bekerja dan menghasikan uang yang banyak, rendahnya pendidikan dan terbatasnya kemampuan yang ia miliki membuatnya
37
memberanikan diri mengambil keputusan untuk bekerja sebagai wanita tunasusila karena desakan masalah ekonomi yang ia rasakan. Peristiwa yang terjadi pada Gadis berawal ketika ia memilih bekerja sebagai wanita tunasusila walaupun bukan keinginannya masuk dalam dunia pekerjaan seperti itu. Setiap malam Gadis menemani para lelaki yang datang padanya, namun pada suatu hari di salah satu hotel di wilayah Medan tanpa sengaja ia membunuh seorang laki-laki yang sedang bersamanya. Peristiwa tersebut membuatnya berhenti menjalankan pekerjaannya sebagai wanita tunasusila karena Gadis takut tindakannya tersebut diketahui oleh orang lain. Peristiwa tersebut juga mendorong Gadis datang ke Pesantren Impian. Di sana ia bertemu dengan orang-orang baru yang memiliki berbagai riwayat kejahatan di masa lalu mereka, seperti Butet adalah seorang pengedar narkoba, Sinta dan Santi adalah pemakai narkoba, bahkan ia bertemu dengan Rini seorang mahasiswa berprestasi yang menjadi korban pemerkosaan, dan tokoh-tokoh tambahan lainnya, seperti Eni, Evi, Ina, Sri, Ipung, Sissy, Inong, dan Yanti Di Pesantren Impian para remaja tersebut menjalankan masa rehabilitasi dengan disibukan dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti solat berjamaah, membaca Al-Quran bersama, dan mendengarkan ceramah yang didampingi oleh ustadz dan ustadzah yang membina moral mereka. Pesantren Impian berhasil menjadi jembatan hidayah bagi Gadis dan remaja lainnya yang menjalani rehabilitasi, dan masa rehabilitasi tersebut memberi pengaruh baik pada cara berpikir Gadis, ia bertekad untuk mendapatkan uang dengan pekerjaan yang lebih baik dan tidak mengulangi pekerjaannya sebagai wanita tunasusila. Gadis menjadi lebih taat menjalani setiap kewajiban kepada pencipta-Nya. Setelah satu tahun berada di pesantren Impian Gadis dan para remaja lainnya kembali ke daerah asal dengan tujuan hidup yang lebih baik.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Instrinsik Novel Unsur-unsur pembangun dalam sebuah novel secara langsung turut serta membangun cerita yang disebut dengan unsur instrinsik. Kepaduan antarberbagai unsur instrinsik yang membuat sebuah novel dapat terwujud. Unsur yang dimaksud antara lain tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Unsur-unsur tersebutlah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks karya sastra. 1. Tema Seorang pengarang tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang ingin diutarakan kepada para pembaca. Secara umum novel Pesantren Impian berceritakan tentang anak-anak muda yang memiliki riwayat kejahatan pada masa lalu mereka, namun ada hal lain yang digambarkan dalam novel ini, yaitu dengan bertemakan tekad dan usaha seorang perempuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik setelah menjalani masa rehabilitasi di Pesantren Impian yang tergambarkan melalui tokoh Gadis. “PI, begitu anak-anak menyebut pesantren mereka sekarang, memang berbeda. Di sini selain belajar lebih dalam tentang Islam, belajar mengaji Qur‟an dengan tajwid yang benar, para santri juga mendapat pelajaran memasak, keterampilan, bahasa Arab dan Inggris, bahkan kelas komputer.”1 Tidak hanya kegiatan keagamaan yang diberikan oleh pesantren kepada Gadis dan remaja lainnya sebagai masa rehabilitasi, tetapi kegiatan lainnya seperti kegiatan rutin olahraga dan keterampilan lainnya. Berbagai macam kegiatan yang diberikan bertujuan untuk mengalihkan perhatian mereka dari kebiasaan-kebiasaan buruk di masa lalu dan memusatkan perhatian mereka 1
Asma Nadia, Pesantren Pimpian, (Jakarta: Asma Nadia Publishing House, 2014), h. 37.
38
39
untuk fokus pada masa rehabilitasi dan mampu menjauhi dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Usaha Gadis untuk menjadi pribadi yang lebih baik dapat terealisasi dengan keinginan yang kuat selama berada di Pesantren Impian dengan bimbingan untuk menjalankan ibadah sholat dan ibadah sunah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Setiap hari Senin dan Kamis, semua dijadwalkan berpuasa sunah. Sholat lima waktu yang biasa sering diabaikan, di PI dilakukan dengan tertib dan berjama‟ah. Saat ada yang merasa malas, terutama sholat Subuh, entah siapa yang memulai, si pemalas akan dihujani kitikan habis. Bayangkan, oleh empat belas pasang tangan!”2 Kewajiban yang dahulunya sering ditinggalkan Gadis selama berada di pesantren dilakukan dengan sungguh-sungguh. Selain bimbingan untuk menjalankan ibadah sholat, motivasi untuk menjadi pribadi yang baik bisa didapat dari lingkungan sekitar atau pun dukungan teman-teman, seperti yang dituliskan dalam kutipan di atas „si pemalas akan dihujani kitikan habis‟ yang menunjukkan bahwa para remaja tersebut saling membantu agar mereka dapat menjalankan ibadah secara tertib.
2. Tokoh dan Penokohan Aminuddin dalam Siswanto mengemukakan cara memahami penokohan dalam cerita dapat melalui; tuturan pengarang terhadap karaktersitiknya pelakunya,
gambaran
yang
diberikan
pengarang
melalui
lingkungan
kehidupannya, menunjukkan bagaimana perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, memahami jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat tokoh lain berbincang
2
Asma Nadia, Ibid, h.38.
40
dengannya, melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberi reaksi terhadapnya, dan bagaimana tokoh itu mereaksi tokoh yang lain.3 Berdasarkan peran dan pentingnya tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh yang tergolong dalam tokoh utama, yaitu ; a. Gadis Tokoh Gadis diperkenalkan di awal cerita, ia digambarkan sebagai perempuan yang pekerja keras, penyayang dan suka menolong dengan penggambaran fisik yang cantik dan memiliki tubuh yang langsing. Sifat penyayang dan suka menolong Gadis terlihat ketika ia mau mengasuh anakanak jalanan dan memberikannya tempat tinggal, alasan ia mengasuh anakanak tersebut dapat dilihat dari latar belakang Gadis yang berasal dari panti asuhan. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dikatakan alasan ia memberikan tempat tinggal untuk anak-anak jalanan karena ia tidak ingin anak-anak tersebut merasakan hal yang serupa dengannya, hidup tanpa kasih sayang orang tua, dan hidup tanpa punya tempat untuk singgah. Seperti dalam kutipan berikut; “Wanita cantik berperawakan tinggi langsing berantakan itu, apa yang tengah dilakukannya.”4
yang tampak
“Gadis tumbuh tanpa kenal orang tua kandungnya. Usia lima belas tahun, ia harus keluar dari panti. Mengingat tempat yang terbatas, mereka harus memprioritaskan anak-anak yang lebih kecil. Setelah itu kerja serabutan, dan tinggal berpindah-pindah. Tiga tahun kemudian mengontrak sebuah rumah yang agak besar dan membiarkannya terbuka bagi anak-anak jalanan yang ia temui.”5 Selain itu, tokoh Gadis juga menjadi salah satu tokoh yang datang ke Pesantren Impian dengan latar belakang ia sebagai „wanita malam‟, berdasarkan kutipan tersebut dapat dilihat alasan Gadis memilih pekerjaan tersebut karena faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan yang ia punya 3
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta, PT Grasindo: 2008), h.145. Ibid., h. 3 5 Asma Nadia, Op. Cit., h. 122. 4
41
karena pada usia lima belas tahun sudah bekerja untuk mempertahankan hidup. Jika melihat penggambaran fisik Gadis dengan wajah cantik dan tubuh yang tinggi, serta langsing, hal tersebut juga dapat mendorong Gadis menjadi seorang „wanita malam‟ karena ia dapat memanfaatkan tubuhnya untuk mendekati para laki-laki walaupun dengan kemampuannya yang terbatas. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Gadis memiliki motivasi lain yang lebih besar dalam bekerja, yaitu membiayai sekolah dan kehidupan anak-anak asuhnya. Seperti dalam kutipan berikut; “Kebutuhan anak-anak asuhnya memang besar dan membuatnya sering berbuat nekat. Biasanya si Gadis hanya menunggu di bar atau diskotik, sampai ada lelaki hidung belang yang tertarik mengajaknya dansa atau menginap.”6 Selama berada di pesantren Gadis menjalani berbagai ibadah secara tertib dan kegiatan keagamaan lainnya, seperti ia mengaji, sholat berjamaah, berpuasa Senin-Kamis, dan mendengarkan ceramah. Hal tersebut yang memberikan pengaruh terhadap cara berpikir Gadis, ia bertekad menjalani hidup yang baru dengan pekerjaan yang baik untuk kehidupannya dan anakanaknya. “ … Padahal dulu ia merasa yakin akan sulit melalui hari demi hari. Dan sejak kapan persisnya dia lupa, sholatnya sekarang tertib. Tidak lagi bolong-bolong seperti dulu.”7 “Si Gadis bersumpah dalam hati tak akan mengulang lembaran hitam dalam hidup yang dulu dilakukannya.”8 Kutipan tersebut menggambarkan adanya upaya perubahan ke arah yang baik
pada diri
Gadis
setelah mengikuti
diselenggarakan oleh pesantren.
6
Ibid, h. 117. Ibid, h. 278. 8 Ibid, h. 285. 7
berbagai
kegiatan
yang
42
Porsi penceritaan tokoh yang tidak sama antara tokoh Gadis dengan tokoh lainnya dan penjelasan penokohan yang lebih mendetail dengan penggambaran fisik seperti pemaparan di atas, hal tersebut yang menjadikan Gadis sebagai tokoh utama dalam cerita ini, apabila tokoh utama digantikan oleh tokoh lain maka tidak ada penggerak dalam cerita karena memang hanya tokoh Gadis yang dijelaskan secara mendalam mengenai permasalahan dalam kehidupannya. Selain tokoh utama, di dalam cerita juga terdapat tokoh tambahan yang memiliki kadar keutamaannya tidak sama dengan tokoh utama. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya; b. Rini Rini digambarkan sebagai tokoh perempuan yang sabar dan pantang menyerah. Rini merupakan salah satu tokoh yang datang ke Pesantren Impian, ia datang bukan karena riwayat kejahatan yang pernah dilakukannya tetapi datang sebagai korban pemerkosaan untuk menjalani masa pemulihan semangat dan percaya dirinya dengan kegiatan keagamaan yang semakin mendekatkan Rini dengan Tuhan, dan mendapatkan ketenangan dalam hatinya. Sifat sabar Rini terlihat ketika ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia menjadi korban pemerkosaan dan menghadapi permasalahan yang muncul akibat perstiwa tersebut, seperti ia sebagai seorang mahasiswi terbaik dan berasal dari keluarga terpandang tetapi ia harus menanggung kehamilan yang sebenarnya tidak dikehendakinya, impian masa depannya seakan hancur karena kegadisannya telah direnggut oleh pelaku pemerkosa itu, dan yang membuatnya semakin kecewa adalah pelaku pemerkosaan itu adalah salah satu dari anggota keluarganya. “Penderitaan luar biasa. Ia sudah berusaha sabar dan mengikhlasan semua kepada Gusti Allah. Melarutkan diri dalam sholat, doa, dan dzikir, tapi tetap tidak bisa. Belum bisa menghapus dendam di hatinya. Dia hanya korban. Kenapa justru lelaki yang menodainya dibiarkan bebas?
43
Rini tahu, Gusti Allah Maha Adil. Ia juga percaya, pemerkosaan tak akan bisa lolos dari pengadilan Allah nanti.”9 Selain itu, Rini juga digambarkan sebagai anak yang patuh dengan Ibunya. Sikap tersebut dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini; “Rini mengangguk lemah. Mencoba tersenyum, tapi gerakan bibirnya hanya membentuk guratan yang nyaris tak memiliki makna apa-apa. Allah. Begitu sulitnya tersenyum jika pada saat bersamaan dia berusaha kerasa menahan nangis. Tapi demi Ibu, ia harus menyapa sanak keluarga dan mereka yang telah meluangkan waktu menjenguk. Demi Ibu, sakit atau tidak, ia tidak boleh kehilangan tata krama.”10 Kutipan di atas menunjukkan sikap Rini yang berusaha menjaga sikap santun di hadapan keluarganya, walaupun ia dalam keadaan perasaan yang sangat terpukul akibat peristiwa pemerkosaan itu. Hal tersebut menyiratkan sikap patuh Rini untuk menjaga perasaan Ibunya, karena ia tahu Ibunya adalah wanita yang sangat menjaga kehormatan keluarga. c. Teungku Umar (Umar) Penulisan nama tokoh sesuai dengan penulisan dalam novel, Umar adalah pemilik dari Pesantren Impian, ia digambarkan sebagai pemuda yang pekerja keras. Sebelum ia membangun pesantren, ia adalah pemuda yang memiliki riwayat kejahatan dalam kasus narkotika. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut; “Usianya baru empat belas, belum cukup kuat untuk menampik godaan sedemikian rupa besar. Bersama teman-teman, mereka berdagang dan memperluas ladang. Anak muda itu bekerja keras, belajar banyak dari mulai proses penanaman sampai pascapanen. Ia juga mulai membaca banyak buku tentang penjualan. Ketika waktunya tiba. Lelaki itu memutuskan membuka lahan sendiri. Ia baru delapan belas tahun saat memiliki ladang ganja terbesar di Aceh.”11 9
Ibid, h. 69. Ibid, h. 6. 11 Ibid, h. 26-27. 10
44
Umar adalah sosok laki-laki yang senang berpetualang, tekadnya kuat untuk mengelilingi seluruh wilayah Aceh. Kesenangannya tersebut yang membuatnya harus tinggal berjauhan dengan keluarganya dan berusaha mencari uang lebih banyak untuk kehidupannya dan mencapai tekadnya tersebut. Apabila melihat tujuan Umar dapat dikatakan bahwa alasan ia menjual ganja adalah faktor ekonomi, mendapatkan penghasilan yang besar menjadi alasan yang mendasar Umar terlibat dalam kejahatan tersebut, namun pertemuannya dengan Teungku Hasan seorang laki-laki tua yang sempat menolongnya membuat hidupnya berubah. Seakan ia membuka lembaran baru dalam hidupnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut; “Pada detik-detik kritis, sepasang tangan Teungku Hasan menariknya menjauh. Menyelamatkan dari api yang berkobar. Tak urung, sebelah tangan Umar sempat terluka bakar. Beberapa waktu ia pingsan tak sadarkan diri. Setelah kejadian malam itu, jalan hidupnya berubah. Bersama Teungku Hasan ia menemukan titik balik. Umar hijrah! Dua tahun berikutnya mereka merancang proyek besar: Pesantren Impian. Umar ingin mendirikan satu tempat, di mana semua orang berkesempatan menemukan titik balik dalam hidup mereka, seperti dia. Dan bagi lelaki itu, inilah kesempatan untuk menebus kesalahannya.(….)”12 Pada bagian kalimat „Umar hijrah!‟ menggambarkan perubahan kehidupan Umar yang sebelumnya terjerumus dalam pergaulan yang salah, setelah bertemu dengan Teungku Hasan hidupnya menjadi baik dengan meninggalkan masa lalunya sebagai penghasil ganja. Riwayat masa lalunya yang pernah terjerumus dalam dunia pergaulan yang salah menjadi motivasi Umar membangun sebuah tempat yang dapat menjadi pusat rehabilitasi bagi anak-anak muda yang bermasalah dan memiliki kesempatan yang sama dengannya, yaitu memiliki kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat untuk orang lain.
12
Ibid, h. 127.
45
Pembangunan pesantren diatasnamakan oleh Teungku Hasan, jika melihat latar belakang kehidupan Umar dan riwayat kejahatannya, hal tersebut yang menjadi alasan ia mengatasnamakan pesantren dengan nama Teungku Hasan karena ia merasa tidak pantas menyandang posisi tersebut. Umar juga merupakan tokoh yang dermawan, selain membangun pesantren Umar juga membantu masyarakat lainnya, salah satunya terlihat dalam kutipan berikut; “Kau sudah tanda tangani cek untuk para pengungsi di daerah bencana?” Umar menepuk dahi. “Untung Teungku ingatkan.” Umar mengeluarkan buku ceknya. Di perusahaan konsultan hukum ini, adalah cooperate secretary. Walaupun begitu hampir semua tugastugas strategis ada di tangannya. (….)”13 Hidup Teungku Umar semakin baik dan tenang semenjak ia bisa membantu para remaja untuk menyembuhkan mereka dari riyawat kejahatan yang pernah mereka lakukan. Penulisan gelar Teungku pada tokoh Teungku Umar sesuai dengan penulisan dalam novel. Gelar Teungku dalam masyarakat Aceh diberikan pada seseorang yang memiliki pengetahuan agama (seorang ulama) atau keturunan dari keluarga bangsawan. Jika pengarang bermaksud ingin menggambarkan Umar sebagai seorang anak bangsawan dengan gelar Teungku tetapi pengarang tidak memberikan penjelasan secara mendetail mengenai latar belakang keluarga Umar dan tidak ada fakta cerita yang menunjukkan Umar sebagai seorang anak dari keluarga bangsawan atau seorang tokoh agama. Hal tersebut dapat menunjukkan salah satu kelemahan dari novel Pesantren Impian, yaitu pendeskripsian tokoh yang tidak mendetail.
13
Ibid, h. 172.
46
d. Teungku Hasan (Teungku Budiman) Teungku Hasan digambarkan sebagai tokoh yang disegani karena ia adalah laki-laki yang suka menolong. Tengku Hasan diceritakan menjadi pemiliki Pesantren Impian untuk membantu menjalankan misi kebaikan Umar. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut; “Hanya satu yang dimintanya pada Teungku Hasan, yaitu untuk berpura-pura menjadi pemilik pulau dan Pesantren Impian. Meski berat, permintaan tersebut akhirnya disetujui. Lelaki paruh baya itu bisa mengerti keinginan Umar. Beliau bersedia menandatangani semua surat dan akte yang menyangkut kepemilikan tanah di pulau dan pesantren atas namanya.”14 Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa kepemilikan pesantren sebenarnya adalah milik Umar, kutipan tersebut juga menggambarkan sifat suka menolong Teungku Hasan yang telah membantu Umar. Penyamarannya menjadi pemilik pesantren membuat ia dikenal sebagai laki-laki yang dermawan oleh masyarakat sekitar pesantren, dan memanggilnya dengan nama Teungku Budiman. Penggambaran sifat dermawan Teungku Hasan terlihat pada kutipan tersebut. “Belakangan lelaki itu menawarkan keinginannya membeli seluruh tanah di pulau dari penduduk asli. Tidak ada yang keberatan, tidak juga dari kalangan ulama, karena Teungku Budiman, begitu mereka biasa menyebutnya, sudah berbuat banyak. Apalagi dalam kontrak jual beli disebutkan bahwa penduduk bisa tetap tinggal, bahkan bekerja di perkebunan milik Teungku.”15 Teungku Hasan menyamar menjadi pemilik pesantren tidak memiliki tujuan lain, kecuali untuk menolong Umar, masyarakat pun juga beranggapan bahwa pesantren dan perkebunan yang mereka kelola adalah milik Teungku Hasan dan Umar yang mereka tahu hanyalah seorang pengacara kepercayaan Teungku Hasan.
14 15
Ibid, h. 128. Ibid, h. 20.
47
Pada tokoh Teungku Hasan, gelar Teungku yang diletakkan di awal nama tokoh sesuai dengan penulisan dalam novel. Teungku Hasan digambarkan sebagai laki-laki yang dihormati karena memiliki sikap dermawan. Jika pengarang ingin menggambarkan Teungku Hasan sebagai tokoh masyarakat sehingga menyandang gelar Teungku tetapi pengarang tidak menuliskan fakta cerita yang menunjukkan bahwa tokoh Teungku Hasan adalah seorang ulama atau memiliki pengetahuan mengenai keagamaan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa tokoh dalam novel ini tidak digambarkan secara mendalam, hanya dengan nama tokoh dan penokohan secara watak tanpa latar belakang yang jelas. Permasalahan mengenai gelar Teungku tersebut, memiliki kemungkinan bahwa pengarang kurang melakukan riset terhadap penggunaan gelar Teungku khususnya di wilayah Aceh atau bahkan pengarang tidak menyajikan cerita secara lengkap yang tentu saja dapat melemahkan kualitas novel tersebut. e. Butet Butet adalah anak muda yang diundang untuk datang Ke Pesantren Impian karena riwayat kejahatannya sebagai pengedar narkoba, namun riwayat kejahatannya tersebut tidak membuat Butet menjadi seseorang yang tidak memiliki sisi kebaikan. Kutipan di bawah ini menggambarkan penokohan pada tokoh Butet; “Rini terus menggeleng, berharap ini suatu mimpi buruk dan bukan kenyataan. Tapi saat matanya menatap surat yang masih di tangan. Tangis Rini makin keras. “Rin… sabar Rin. Kau kenapa ? Butet mengusap bahu Rini. Mencoba menenangkan.”16 Berdasarkan kutipan tersebut menggambarkan sikap peduli Butet kepada temannya, berusaha mengerti dengan keadaan orang lain menyiratkan sifat empati seseorang. Kedatangan Butet ke pesantren bertujuan untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik dengan berhenti 16
Ibid, h. 104.
48
menjadi pengedar narkoba dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan seperti mengaji dan melakukan sholat malam berjamaah. “Saya merasa penuturan Butet bisa dipercaya. Artinya ia tidak berusaha jadi pengedar di sini. PI merupakan dunia baru baginya. Saya juga melihat kesungguhannya dalam mengikuti setiap kelas dan program pesantren. (…)”17 Kesungguhan Butet dalam menjalani berbagai kegiatan di pesantren dapat menunjukkan bahwa ia memiliki tekad yang kuat untuk berhenti menjadi pengedar narkoba dan meyakinkan para pengurus pesantren bahwa kedatangannya ke pesantren memiliki tujuan untuk menjadi seseorang yang lebih baik. f. Sinta dan Santi Sinta dan Santi adalah saudara kembar yang diundang untuk datang ke Pesantren Impian dengan riwayat masa lalu mereka yaitu sebagai pemakai narkoba. Latar belakang Sinta dan Santi, mereka berasal dari keluarga broken home, apabila melihat latar belakang Sinta dan Santi terdapat kemungkinan bahwa alasan mereka menggunakan narkoba adalah tempat pelarian masalah yang mereka hadapi. Pada penceritaan kedua tokoh ini pengarang tidak terlalu memberikan penekanan pada penokohan mereka, tetapi melalui prilaku yang dilakukan oleh kedua tokoh ini dapat menyiratkan penggambaran penokohan mereka. Seperti pada kutipan di bawah ini; “Gadis itu sadar, ia butuh bantuan. Kalau tidak bisa-bisa ia makaw lagi. Tangan kurus Sinta terjulur kearah Ustadzah Hanum, menyerahkan kantong plastik kecil berisi serbuk putih, yang selama ini disembunyikannya di kloset. Serbuk mimpi, putaw!”18 Kutipan di atas menunjuk pada penokohan Sinta, berdasarkan yang dilakukan Sinta ia dapat digambarkan memiliki sifat yang jujur dengan
17 18
Ibid, h. 98. Ibid, h. 45.
49
menyerahkan narkoba yang mereka simpan secara diam-diam kepada pengurus pesantren, dengan menyerahkan norkoba tersebut dapat dikatakan bahwa tokoh Sinta memiliki tekad yang lebih kuat untuk sembuh dari pemakaian narkoba. Selain Sinta, terdapat penggambaran tokoh Santi melalui perilaku yang ia lakukan. Seperti pada kutipan di bawah ini; “Sinta mulai membatasi diri. Sayang, Santi setelah beberapa hari berpuasa ternyata tak bisa menahan ketergantungannya. Dan terjadilah peristiwa semalam saat gadis muda itu fly dan mendadak liar.” Kutipan tersebut menunjuk pada tokoh Santi yang menyiratkan bahwa penokohan Santi digambarkan sebagai tokoh yang memiliki tekad yang lemah untuk sembuh dari ketergantungan narkoba apabila dibandingkan dengan tokoh Sinta. Hal tersebut dituliskan secara jelas oleh pengarang ketika Santi tidak bisa menahan untuk tidak memakai narkoba, namun kedatangan mereka ke pesantren untuk mewujudkan tekad mereka agar dapat terlepas dari ketergantungan narkoba dengan menjalani masa rehabilitasi di pesantren. Dalam novel ini juga didukung oleh kehadiran tokoh-tokoh tambahan lainnya, seperti Ibu Hartini, Eni, Evi, Ina, Sri, Ipung, Sissy, Inong, Yanti, Ustadz Agam, Ustadzah Hanum, Ummu Shalihat, Cut Ana dan dokter Aulia. Berdasarkan pemaparan mengenai tokoh-tokoh tambahan di atas, fungsi deskriptif mengenai tokoh hanya penggambaran secara perwatakan tanpa penjelasan penokohan secara fisik. Hal tersebut juga yang membedakan antara tokoh utama dengan tokoh tambahan karena tokoh utama memang harus dibuat mendetail agar mampu menyampaikan tema dan amanat yang terkandung dalam cerita, pada dasarnya tokoh tambahan memang hanya berperan sebagai pendukung dalam cerita. Jika dilihat dari perannya tokoh tambahan memang tidak terlalu berpengaruh sehingga penggambaran mengenai perwatakan dirasa sudah cukup untuk membantu berjalannya sebuah cerita. Penjelasan tentang perwatakan tokoh
50
utama dan tokoh tambahan tidak secara langsung dituliskan oleh pengarang, tetapi dilukiskan melalui sikap dan tindakan tokoh dengan tokoh lainnya. 3. Plot Plot
cerita
dalam
novel
Pesantren
Impian
terlalu
memaparkan
permasalahan para tokoh yang sebenarnya membuat cerita menjadi tidak fokus, dari konflik satu ke konflik lainnya tidak ceritakan secara runtut yang tentu saja dapat menimbulkan ketidakfokusan cerita. Oleh karena itu, pada penelitian ini lebih mengutamakan pada tokoh Gadis. Plot dalam novel Pesantren Impian merupakan plot sorot balik atau flash back karena menyoroti keadaan tokoh Gadis dan peristiwa yang dialaminya untuk mengungkapkan tokoh Gadis dengan diawali penggambaran konflik yang tengah meruncing, kemudian baru tahap awal cerita dikisahkan. Seperti dalam penjelasalan Nurgiyantoro bahwa plot sorot balik, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.19 Pemaparan plot dalam novel ini dapat digambarkan sebagai berikut. a. Tahap Penyituasian Tahap pengenalan dalam novel Pesantren Impian cerita dimulai dengan pengenalan latar dan penggambaran tokoh dalam novel. Pada kutipan di bawah ini merupakan penggambaran latar tempat yang memiliki hubungan dengan peristiwa yang terjadi pada tahap selanjutnya di pemuncakan konflik. “Medan, Tiara Hotel Ya Tuhan, kenapa begini? Gadis berambut panjang itu memandang sekeliling dengan paras pucat. Di hadapannya tergeletak sesosok tubuh tak bergerak. Beling pecahan botol berserakan, berbaur dengan percikan darah yang melebar menodai karpet.”20
19
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), h. 214 20 Asma Nadia, Ibid, h. 2.
51
“Bodoh! Gadis itu berulang kali menepuk kening, mestinya lelaki itu Cuma pingsan, kalau saja ia tidak menghantamnya terlalu keras. Panik, perempuan muda itu membersihkan noda darah di blus putihnya. Ketika tak juga hilang, ia meraih jas si lelaki yang kebesaran, lalu tergesa melangkah ke luar kamar hotel. Sesegera mungkin dia harus menemukan tempat persembunyian yang aman. Tapi ke mana?” 21 Kutipan tersebut menggambarkan situasi latar tempat tokoh Gadis yang sedang menjalankan pekerjaannya sebagai „wanita malam‟ di sebuah hotel, dan merupakan awal penceritaan yang berintikan peristiwa Gadis tanpa sengaja telah membunuh seorang laki-laki. Selain riwayat pekerjaannya sebagai „wanita malam‟ peristiwa tersebut juga mendorong Gadis untuk datang ke Pesantren Impian. Pada tahap berikutnya akan mengisahkan awal cerita untuk mengetahui konflik-konflik yang menyebabkan terjadinya peristiwa pada kutipan latar tersebut. b. Tahap Pemunculan Konflik Dalam tahap ini merupakan awal munculnya konflik, peristiwa yang terjadi merupakan sorot balik karena mengisahkan peristiwa yang dialami Gadis sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut dan peristiwa di bawah ini yang melatarbelakangi Gadis bekerja sebagai „wanita malam‟. Peristiwa yang terjadi seperti dalam kutipan berikut; “Ada apa, Di? Ya, ampun, kamu berdarah!” Suara si Gadis Kaget. “Kamu luka?” Agak gagap Edi menjelaskan, “Bu…bukan! Bu… bukan Edi, Kak! Tapi Bayu… dia…dia..di..” “Dia kenapa, Di? Kenapa?” Si Gadis tambah cemas. Dia ditu.. ditusuk orang, Kak. Sekarang di luar, barusan Edi bawa pa…pakai becak ke… sini.”22 “Perempuan muda itu merasa dengkulnya lemas. Kejadian ketiga dalam bulan ini. Uang tabungannya sudah ludes untuk biaya sehari-hari sekolah anak-anak, ditambah biaya rumah sakit. Sudah lama sebetulnya 21 22
Ibid., h. 2-3. Ibid, h. 119.
52
mereka harus keluar dari lingkungan saat ini yang kasar dan terkenal sebagai gudang penjahat, agar tidak terus-terusan menjadi korban. Sebelumnya, Wulan, anak empat tahun itu kepalanya di lempar pakai batu bata, oleh laki-laki mabuk yang ngamuk, hingga bocor dan harus dijahit. Lalu uang hasil jual koran Andi dipalak preman setempat. Karena melawan, tangan kanan anak itu dibacok. Untung Adi sempat menghindar. Meski begitu tangannya luka parah”23 Kutipan tersebut menggambarkan peristiwa yang dialami Gadis dan anak-anak asuhnya karena perlakuan kasar masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya yang mayoritas penghuninya adalah preman. Pada bagian penokohan Gadis telah dijelaskan bahwa ia adalah seorang perempuan yang memiliki anak-anak asuh yang ia berikan tempat tinggal dan kebutuhan hidupnya. Pemunculan konflik tersebut terjadi karena adanya penindasan pada anak-anak Gadis, dan ketidakberdayaan Gadis dalam melawan para preman karena mereka berada dikaum yang lebih lemah dibandingkan para preman yang ada di lingkungan itu. Hal tersebut yang memberi pengaruh pada cara berpikir Gadis, ia harus bekerja keras untuk mendapatkan uang dan mencari tempat tinggal yang lebih aman untuk anak-anaknya. Berlatar pada peristiwa tersebut menimbulkan peristiwa lainnya yang akan berkembang pada tahap berikutnya. c. Tahap peningkatan konflik Pada tahap peningkatan konflik berlatar dari peristiwa yang terjadi pada Gadis dan anak-anak asuhnya. Peningkatan konflik terjadi ketika Gadis dengan permasalahannya yang sudah dipaparkan dalam pemunculan konflik membuat ia memilih bekerja sebagai „wanita malam‟, namun hal tersebut bukan seluruhnya keinginan Gadis. Pada kenyataannya menjadi „wanita malam‟ bukan merupakan pekerjaan yang diharapkan oleh setiap 23
Ibid, h. 119.
53
perempuan, sudah pasti terdapat faktor yang melatarbelakangi ketika seorang perempuan memilih menjadi „wanita malam‟. Pada kutipan di bawah ini menggambarkan pekerjaan yang sedang dilakukan oleh Gadis; “Seperti yang sudah-sudah, setelah tiba di hotel, atau apartemen ia akan cepat-cepat menuang minuman dan membubuhkan obat tidur dalam jumlah agak banyak. Lalu membujuk “si teman” meminumnya. Tidak lama menunggu lama, setelah korbannya pulas, si Gadis dengan leluasa mengambil barang berharga milik korban, dan melenggang keluar.”24 “Lelaki bertubuh gendut yang digandengnya tertawa-tawa saat menghenyakkan tubuh dan bersandar di sofa. Seperti biasa, si Gadis menyodorkan minuman yang barusan dipesannya, dan telah dibubuhi obat tidur, trik selama ini. Itu pula alasan kenapa ia masih bisa menjaga kesuciannya. Tak perlu waktu lama bagi siapa pun yang meminumnya untuk tergolek tak sadarkan diri.”25 Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan yang Gadis lakukan bukan keinginan hatinya dengan Gadis harus memberi obat tidur kepada setiap laki-laki yang datang kepadanya untuk ia ambil harta bendanya. Jika melihat yang dilakukan Gadis hal tersebut adalah upaya Gadis untuk mendapatkan uang dan menjaga keselamatan dirinya. Apabila melihat penokohan Gadis yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Gadis dapat digambarkan sebagai tokoh yang suka menolong, dan penyayang, terdapat suatu pertentangan antara kepribadian Gadis dengan pekerjaannya yang ia pilih. Pertentangan ini berupa keterpaksaan ia dalam menjalankan pekerjaannya sebagai „wanita malam‟, tetapi karena faktor kebutuhan hidup yang membuatnya harus mendapatkan uang untuk menghidupi dirinya dan anak-anak asuhnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan alasan yang mendasari Gadis memilih pekerjaan tersebut adalah faktor ekonomi dan faktor rendahnya pendidikan dimilikinya.
24 25
Ibid., h. 120 Ibid., h. 270
54
d. Klimaks Klimaks merupakan bagian yang melukiskan puncak ketegangan dalam cerita. Tahap ini berkaitan dengan tahap penyituasian yang telah dipaparkan sebelumnya. Tahap klimaks sengaja dibuat berkaitan untuk menegaskan pertalian kronoligisnya dengan tahap awal yang telah dipaparkan. Konflik mencapai puncaknya ketika Gadis dalam menjalankan pekerjaannya di sebuah hotel tanpa sengaja membunuh seorang laki-laki yang saat itu sedang bersamanya. Seperti dalam kutipan berikut; “Tapi kali ini berbeda. Lelaki yang memboyongnya ke kamar hotel bersikeras menolak minuman yang disodorkan, dengan alasan dia muslim. “Kamu tau kan, Cantik, kalau orang Islam haram meminum minuman keras?” dalihnya yang membuat Gadis tertegun. Situasi semakin tak terkendali ketika kemudian tubuh gendut menubruk dan memaksanya ke tempat tidur. Si Gadis berusaha meronta dan menendang sia-sia. Kesempatan untuk menyelamatkan diri baru muncul ketika tanpa disengaja tangannya meraih botol minuman di meja kecil dekat ranjang. Tanpa berpikir, murni didorong kepanikan, si Gadis menghantamkan botol minuman kuat-kuat ke kepala lelaki yang berusaha memeluk hingga dia nyaris tak bisa bernapas. Ia tak punya niat membunuh siapa pun. Si Gadis baru tersadar saat lelaki itu mengendurkan pelukan lalu menggelosor, terbaring di karpet dalam keadaan tak bernyawa. Sepenuhnya kecelakaan.”26 Jika melihat kutipan tersebut, yang saat itu dirasakan Gadis adalah ia merasa takut, panik, dan berusaha untuk menyelamatkan diri karena merasa dalam bahaya dengan perlakuan laki-laki tersebut. Gadis yang saat itu melakukan usaha untuk menyelamatkan diri, tanpa sengaja memukul lelaki tersebut hingga tewas. Pada dasarnya penokohan Gadis sejak awal pemaparan tidak ada yang menunjukkan bahwa Gadis menyukai atau pun mempunyai sikap yang kasar.
26
Ibid., h. 275-276.
55
Peristiwa pembunuhan tersebut juga menjadi alasan Gadis untuk datang ke Pesantren Impian dan berusaha meninggalkan pekerjaannya sebagai „wanita malam‟ karena ia takut pembunuhan tersebut diketahui orang lain, jika ia tertangkap polisi lalu bagaimana dengan nasib anak-anak asuhnya. “Si Gadis mengembuskan napas berat. Masa lalu yang mengantarkan dia ke tempat ini berkelebat cepat. Hidup menempanya menjadi wanita kuat, hingga dia tak menangis panik, saat peristiwa itu terjadi. Kematian di Tiara hotel.”27 Kutipan tersebut menunjukkan keberadaan Gadis yang berada di Pesantren Impian, di pesantren Gadis bertemu dengan tokoh-tokoh tambahan lainnya, seperti Butet sebagai seseorang yang ingin berhenti menjadi pengedar narkoba, Sinta dan Santi sebagai pemakai narkoba yang ingin sembuh dari ketergantungan narkoba, namun terdapat salah satu diantara tokoh tersebut yang menjadi korban kejahatan orang lain, yaitu Rini sebagai korban pemerkosaan. Pertemuan antara tokoh Gadis dengan tokoh tambahan lainnya baru terjadi ketika mereka berada di pesantren, hal tersebut disebabkan karena memang sejak awal penceritaan tokoh Gadis dengan tokoh tambahan lainnya tidak memiliki pertalian konflik atau hubungan sebab akibat sehingga pengarang mempertemukan mereka dengan tujuan yang sama, yaitu upaya untuk menyembuhkan diri di pesantren. Selama di pesantren Gadis dan tokoh lainnya menjalankan masa rehabilitasi dengan berbagai kegiatan olahraga dan kegiatan keagamaan, seperti sholat berjamah yang dilaksanakan dengan tertib, mengaji bersama, melaksanakan puasa sunah, dan mendengarkan ceramah untuk ketenangan hati mereka yang diselenggarakan oleh para pengajar yang berada di pesantren.
27
Ibid., h. 279.
56
Penceritaan mengenai masa rehabilitasi para tokoh di pesantren hanya memiliki porsi yang kecil dalam novel ini, yaitu hanya penceritaan secara singkat mengenai kegiatan keagamaan dan lain-lainnya, dengan ketebalan novel sekitar 314 halaman novel ini lebih banyak memaparkan konflikkonflik para tokoh yang sebenarnya membuat penceritaan mengenai tokoh Gadis menjadi tidak fokus. Seharusnya dengan halaman novel yang cukup banyak tersebut pengarang dapat lebih leluasa menceritakan secara mendetail mengenai berbagai hal yang dilakukan pesantren untuk membantu tokoh Gadis menjadi pribadi yang lebih baik. e. Tahap Penyelesaian Tahap ini merupakan kelanjutan langsung dari peristiwa-peristiwa awal yang
melatarbelakangi
Gadis
hingga
datang
ke
pesantren,
dan
menggambarkan perubahan cara berpikir dan perilaku Gadis setelah menjalani masa rehabilitasi di pesantren bersama dengan tokoh lainnya. Gadis memiliki tekad untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai „wanita malam‟ dan menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti dalam kutipan berikut; “Si Gadis merayapi bangunan pesantren untuk terakhir kali. Kalau ada bagian hidup yang paling disyukuri adalah kesempatan yang Allah berikan hingga ia bisa mengecap kehidupan tenang di sini. Beroleh hidayah.”28 “Si Gadis bersumpah dalam hati tak akan mengulangi lembaran hitam dalam hidup yang dulu dilakukannya.”29 Kutipan tersebut menggambarkan keberadaan Gadis sebelum ia kembali bersama anak-anak asuhnya, dan menggambarkan tekad Gadis untuk tidak mengulangi pekerjaannya sebagai „wanita malam‟, selain itu dapat dikatakan ada perasaan bersyukur dan tidak menyesal telah datang ke pesantren. Kalimat terakhir pada kutipan pertama „beroleh hidayah‟ menyiratkan bahwa
28 29
Ibid., h. 285. Ibid., h. 285.
57
Gadis mendapat pentunjuk dari Allah untuk hidup lebih baik karena telah datang ke Pesantren Impian. Jika ia tidak datang ke pesantren belum tentu Gadis memperoleh hidayah seperti yang ia rasakan hingga ia memiliki tekad yang baik. Selain itu, terdapat kutipan lain yang menggambarkan perubahan pada tokoh tambahan lainnya; “Rini berpikir akan meneruskan kembali kuliahnya. Gadis ringkih yang kini jauh lebih tegar karena tempaan yang dialami, bertekad menutup sepenuhnya lembaran masa lalu.”30 “Santi dan Sinta kini sudah benar-benar sembuh dari ketergantungan terhadap obat-obatan psikotropika. Wajah keduanya lebih cerah. Berkat Ummu Shalihat pula, si kembar yang dulu kurus, sekarang tampak lebih berisi. Raut muka mereka pun lebih segar”31 “… Beberapa hari lagi mereka pulang. Kecuali Butet, semua akan kembali pada kehidupan masing-masing. Tentu dengan harapan bisa menempuh jalan kehidupan lebih baik.”32 Pada tokoh Rini menggambarkan semangatnya yang telah kembali setelah menjalani masa rehabilitasi
di
pesantren akibat peristiwa
pemerkosaan yang menimpa dirinya, Sinta dan Santi yang sudah sembuh dari ketergantungan narkoba, begitu juga dengan Butet tekadnya untuk berhenti menjadi pengedar narkoba dapat tercapai. Beberapa kutipan tersebut menggambarkan tekad mereka untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Setelah berhasil mewujudkan usaha dalam memperbaiki diri dan kehidupannya, mereka pun kembali ke daerah asal mereka dan melakukan aktivitas dan kegiatan yang lebih bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Pada tahap penyelesain cerita dapat dikatakan bahwa pengarang menggambarkan tokoh Gadis dengan berbagai permasalahannya menjadi seseorang yang lebih baik singkat kata tokoh Gadis bertobat, begitu juga 30
Ibid., h. 287. Ibid., h. 289. 32 Ibid., h. 289. 31
58
dengan para tokoh lainnya dengan berbagai riwayat masa lalunya mereka menjadi seseorang yang lebih baik. Hal tersebut dapat dikatakan tokoh-tokoh dalam cerita dibangun dengan misi menuju kebaikan yang disebut dengan tokoh stereotip. Hal tersebut dapat dilihat kaitannya dengan biografi Asma Nadia yang merupakan salah satu pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) suatu organisasi kepenulisan yang berindetitaskan Islam, singkat kata selain menghibur pembaca Asma Nadia berdakwah melalui karyanya. Ketika seseorang mendirikan sebuah organisasi tentu memiliki tujuan dalam organisasi tersebut, begitu juga dengan Asma Nadia. Ia mendirikan FLP dapat dikatakan sebagai tempat untuk menginterpretasikan gagasannya dalam dunia kepenulisan. Memberikan pencerahan kepada pembaca adalah salah satu tujuan Asma Nadia dalam membuat karya, seperti yang terdapat dalam visi FLP, yaitu memberikan pencerahan melalui tulisan. Jika melihat pemaparan plot pada tahap klimaks yang menjadi kekurangan dari novel ini adalah tidak dipaparkannya secara jelas mengenai cara atau tahap penyembuhan yang dilakukan pesantren untuk membantu Gadis dan para tokoh tersebut sembuh dari riwayat kejahatan mereka. Pengarang hanya memaparkan para tokoh selama berada di pesantren melaksanakan solat berjamaah dan menjalankan puasa sunah. Pengarang tidak berusaha mengaitkan isi cerita dengan fakta dalam kehidupan, misalnya pemakai narkoba dapat sembuh hanya dengan melakukan puasa sunah padahal untuk membantu seseorang terlepas dari ketergantungan narkoba membutuhkan penyembuhan lebih dari sekedar itu, walaupun karya ini murni fiksi tetapi sebenarnya pengarang dapat menambahkan cerita yang dapat disesuaikan dengan keadaan sebenarnya sebagai penguat dalam cerita. Seperti pendapat yang dikutip dari Pikiran Rakyat, Sabtu 23 Februari 2008 oleh Topik Mulyana seorang editor di Penerbit Sygma Examedia Arkanleema dan pegiat FLP Bandung “Melani Budianta pernah melakukan studi objektif. Dia membaca beberapa karya FLP, kemudian mengkritisinya.
59
Dia mengupas beberapa kekurangan teknis yang mendasar dengan menunjukkannya, misalnya membuat komparasi antara logika cerita dan fakta.”33 Dari pemaparan Melani Budianta tersebut dapat dikatakan kelemahan dalam karya Asma Nadia dan karya-karya FLP adalah tidak memberikan perbandingan yang tepat antara fakta dan logika cerita yang dapat terlihat pada pengaluran cerita. Penceritaan mengenai pertobatan tokoh yang terlalu singkat tentu saja melemahkan cerita dalam novel ini karena pengarang tidak berusaha menggambarkan tantangan yang dihadapi para pengurus pesantren dalam menyembuhkan para tokoh terutama pada tokoh Gadis, pada intinya cerita mudah ditebak oleh pembaca dengan akhir cerita semua tokoh menjadi baik. Seperti yang dipaparkan oleh kritikus sastra dan pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Maman S Mahayana “Selama ini kecenderungan isi cerpen atau novel terbitan penulis FLP mudah ditebak. Misalnya persoalan cerita selesai pada akhir cerita, menimpakan berkah pada tokoh baik, tokoh selalu heroik. Padahal ada tantangan menampilkan kenyataan apa adanya. Jadi tak selalu berakhir happy ending.”34 Pendapat yang dipaparkan oleh kritikus sastra tersebut semakian menguatkan bahwa memang cerita dalam novel Pesantren Impian lebih mengutamakan tersampaikannya tujuan untuk memberikan pencerahan kepada pembaca, yaitu dengan menggambarkan semua tokoh menjadi baik dibandingkan teknik penulisan cerita yang seharusnya bisa lebih baik dan membuat pembaca terkesan.
33
Topik Mulyana, Sastra: FLP, Kritik, dan Gerakan Literasi, cabiklunik.blogspot.co.id /2008/0 2/sastra-flp-dan-gerakan-literasi.html (diunduh pada Sabtu, 17 Oktober 2015) 34 Suara Merdeka, FLP Baru Cetak Jago Kandang, www.suaramereka.com/harian /0702/26/ bud10.html (diunduh pada Sabtu, 17 Oktober 2015)
60
4. Latar a. Latar Tempat Latar tempat dalam novel Pesantren Impian terdapat latar yang berfungsi sebagai latar fungsional dan latar netral, yang termasuk dalam latar fungsional adalah latar tempat hotel dan latar tempat Pesantren Impian, sedang latar netral adalah latar tempat RS. Darmo Surabaya, latar pulau Lhok Jeumpa Aceh dan pesisir pantai. 1) Hotel Medan, Tiara Hotel “Ya Tuhan, kenapa begini? Gadis berambut panjang itu memandang sekeliling dengan paras pucat. Dihadapannya tergeletak sesosok tubuh tak bergerak. Beling pecahan botol berserakan, berbaur dengan percikan darah yang melebar menodai karpet.”35 “Bodoh! Gadis itu berulang kali menepuk kening, mestinya lelaki itu Cuma pingsan, kalau saja ia tidak menghantamnya terlalu keras. Panik, perempuan muda itu membersihkan noda darah di blus putihnya. Ketika tak juga hilang, ia meraih jas si lelaki yang kebesaran, lalu tergesa melangkah ke luar kamar hotel. Sesegera mungkin dia harus menemukan tempat persembunyian yang aman. Tapi ke mana?”36 Latar tempat di atas dituliskan secara jelas oleh pengarang yang berada di hotel, namun pendeskripsian mengenai kamar hotel kurang mendetail. Kutipan di atas terletak di awal pembukaan novel Pesantren Impian. Latar tempat tersebut adalah lokasi tempat terjadinya peristiwa yang melatarbelakangi Gadis datang ke Pesantren Impian, yaitu peristiwa terbunuhnya laki-laki yang dilakukan tanpa sengaja oleh Gadis. Selain itu, latar tempat tersebut berfungsi sebagai latar fungsional karena mempengaruhi perkembangan plot yang berada di tahap penyituasian, yaitu latar tempat yang berkaitan dengan penokohan Gadis dan tidak 35 36
Asma Nadia, Ibid, h. 2. Ibid., h. 2-3.
61
dapat diganti dengan latar tempat lain karena akan merusak plot cerita yang difokuskan pada tokoh Gadis. Pada latar tempat ini dapat dikatakan memberi pengaruh pada pembentukan sikap tokoh, yaitu sikap berani pada Gadis. Situasi yang membuatnya merasa terancam karena perlakuan laki-laki yang sedang bersamanya membuat ia memberanikan untuk berusaha menyelamatkan diri dengan cara memukul laki-laki tersebut. Berdasarkan kutipan tersebut juga menggambarkan rasa penyesalan Gadis telah melakukan tindakan yang mengakibatkan tewasnya seseorang. Pada dasarnya Gadis menjadi „wanita malam‟ hanya berusaha menghasilkan uang untuk kehidupan dirinya dan kebutuhan anak-anak asuhnya.
2) Pesantren Impian Penggambarannya dapat dilihat pada kutipan berikut; “Dari luar, pesantren terlihat seperti kompleks bangunan segi empat sederhana, dengan gerbang tinggi dan tembok yang mengelilingi area pesantren putri. Ketika gerbang dibuka, barulah tampak kemegahannya. Masjid terletak di depan, dan menjadi objek indah pertama yang dilihat. Di sekeliling masjid terdapat taman dengan rumput kehijauan dan bunga warna-warni. Di taman sebelah dalam, sesudah masjid, ada sudut khusus di sisi kanan untuk memelihara berbagai binatang jinak. Di sana penghuni pesantren bisa menyalurkan hobi berternak mereka, atau sekedar memelihara dan memberi makan berbagai hewan, seperti beberapa pasang kelinci, marmut, berbagai jenis burung, dan ayam. Tidak jauh dari situ terdapat kolam ikan indah dengan bebatuan mengilat dan air terjun kecil yang mengalir jernih. Di lapis ketiga, berdiri bangunan utama pesantren yang terdiri dari kelas-kelas, membentuk huruf U ke arah taman. Paling luar ada kelas Bahasa Inggris, komputer, science, keterampilan, kelas Al-Quran, dan kelas seni di mana santri putri bisa melukis, belajar menulis kaligrafi, atau bahkan berlatih peran. Dan tentu kelas beladiri yang diikuti hampir sebagian besar santri. Terakhir sebuah perpustakaan
62
dengan jendela-jendela besar dibangun menghadap bagian taman yang paling indah.”37 Kutipan di atas merupakan pendeskripsian pesantren yang dijelaskan secara detail. Hal itu terlihat pada penggambaran sebuah tembok yang mengelilingi pesantren dan juga gerbang tinggi. Tembok dan gerbang yang tinggi menandakan bahwa pesantren tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang tanpa izin. Penggambaran mengenai beberapa sudut tempat diceritakan secara detail, seperti masjid dikelilingi taman, berbagai kelas yang lengkap untuk setiap keterampilan yang dilakukan, selain itu penggambaran perpustakaan yang nyaman dengan menghadap ke taman. Semua fasilitas yang dibangun sedemikian rupa untuk berbagai aktivitas para remaja dan memberi ketenangan selama berada di pesantren. Berbagai fasilitas tersebut dibangun agar penghuni yang ingin menjalani masa rehabilitasi dapat merasa nyaman dan dapat menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Latar pesantren ini sebenarnya dapat menguatkan cerita dan dapat berfungsi sebagai latar fungsional karena datangnya tokoh Gadis ke pesantren mempengaruhi penokohan Gadis, ia menjadi lebih rajin beribadah dan memberikan pengaruh pada cara berpikir Gadis untuk menjadi seseorang yang lebih baik, tetapi karena tidak dijelaskan secara mendetail mengenai rehabilitasi yang dilakukan pesantren pada tokoh Gadis latar tempat ini terkesan hanya sebagai latar netral, yang berarti pengarang hanya memberikan porsi yang kecil dalam fungsi latar pesantren terhadap pembentukan karakter tokoh Gadis. Porsi kecil tersebut hanya berupa penceritaan solat berjamaah, puasa sunah dan mendengarkan ceramah. Pembaca hanya diberitahu bahwa pada latar 37
Ibid., h. 57.
63
pesantren ini tokoh Gadis menjadi lebih baik, namun mungkin sekali hal tersebut terjadi karena pengarang yang menjadikan novel ini sebagai media untuk berdakwah lebih memperlihatkan cerita mengenai kegiatan keagamaan sebagai cara pengarang untuk mengajak pembaca dalam melakukan kebaikan terutama beribadah kepada Allah. Judul yang terpasang jelas pada cover novel seharusnya memiliki keterkaitan dengan latar tempat ini, tetapi dari hasil fakta cerita hanya menunjukkan latar pesantren impian seperti sebuah „tempelan‟ tanpa makna yang mendalam. Seharusnya pada latar ini dapat memberikan cerita yang memfokuskan tentang Gadis dan tahap-tahap perubahan sikapnya, namun pengarang tidak berusaha memaparkan hal tersebut secara rinci, yang menunjukkan bahwa novel Pesantren Impian memang lemah dalam memaparkan latar tempat, tetapi bukan berarti novel ini tidak baik hanya saja cerita yang dituliskan pengarang tidak berusaha untuk mengaitkan unsur instrinsik yang satu dengan unsur yang lainnya yang berakibat pada menurunnya kualitas novel ini.
3) RS. Darmo, Surabaya “RS. Darmo, Surabaya. Rini membuka mata perlahan. Dirasakan kepala teramat berat ketika ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ruangan putih pucat di sekitarnya jelas bukan rumah. Pandangan yang masih samar kemudian hinggap pada seraut wajah yang teramat akrab. Wajah yang selalu ia hormati.” 38 Latar tempat ini hanya sebagai latar tempat netral dan tidak memiliki keterkaitan dengan perkembangan penokohan Gadis, selain itu tidak mempengaruhi pada perkembangan plot dalam cerita. Keberadaan latar tempat
38
Ibid., h. 3.
ini
sebenarnya
dapat
melemahkan
cerita
karena
dapat
64
menimbulkan ketidakfokusan pada konflik dengan memamparkan latar tempat yang tidak memiliki keterkaitan dengan tokoh utama. Kutipan di atas menggambarkan sebuah ruangan di rumah sakit di RS. Darmo tetapi pendeskripsian ruangan di rumah sakit kurang mendetail. Kutipan tersebut menggambarkan Rini yang baru tersadar dari keadaan pingsan dari usaha bunuh dirinya setelah peristiwa pemerkosaan menimpa dirinya yang dilakukan oleh Paklik Kusno. Peristiwa pemerkosaan tersebut yang mendorong Rini datang ke Pesantren Impian untuk menjalani rehabilitasi memulihkan rasa percaya dirinya dan untuk mendapatkan ketenangan hati.
4) Pulau Lhok Jeumpa, Aceh “Pulau Lhok Jeumpa, Aceh Sebuah senja di ujung Pulau Sumatera. Matahari telah memantulkan bayangan di pasir putih yang basah dijilati ombak.”39 “Mereka tiba pukul lima sore. Ketika feri merapat, tak ada mata yang tak terpesona melihat keindahan pulau. Tidak hanya kemilau pasir putih yang bercampur dengan kulit kerang kecil, tetapi juga menyaksikan jernih air laut dengan kebiruan berbeda sesuai kedalamannya.”40 Latar tempat pulau ini hanya sebagai latar netral yang tidak memberi pengaruh pada penokohan atau pun perkembangan plot cerita, namun pada latar ini tidak berarti melemahkan novel. Mungkin sekali pengarang hanya menjadikan latar ini sebagai latar tambahan untuk menunjukkan letak pesantren. Kutipan di atas ini menggambarkan bahwa pulau Lhok Juempa, Aceh terletak di pulau Sumatera. Pada kutipan kedua, menunjukkan kedatangan Gadis dan para remaja lainnya yang tiba di Pulau Lhok Jeumpa karena 39 40
Ibid., h.12. Ibid., h.12-13.
65
Pesantren Impian digambarkan berada di pulau tersebut. Pasir putih yang berkemilau dan air laut yang jernih dengan warna kebiruan menandakan bahwa laut di pulau tersebut belum tercemar dengan limbah atau pun kotoran lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan pulau Lhok Jeumpa yang belum banyak didatangi oleh orang lain. Seperti yang dipaparkan oleh pengarang dalam novel, bahwa pulau Lhok Jeumpa tidak tertulis di dalam peta, sehingga sulit bagi orang lain untuk menemukan lokasi pulau tersebut kecuali para penghuni Pesantren Impian.
5) Pesisir Pantai “Kadang Ustadzah membawa mereka ke pinggir pantai lewat pintu belakang pesantren. belajar di alam terbuka sambil menghirup udara laut yang khas atau membangun benteng dan benda-benda lain dari pasir.”41 Latar tempat ini hanya sebagai latar tempat netral, apabila dihilangkan tidak akan merusak cerita. Selain itu, latar pesisir pantai memiliki kesamaan seperti latar pulau di atas, yaitu sebagai latar tambahan karena kutipan tersebut hanya menggambarkan salah satu latar tempat yang digunakan untuk kegiatan para remaja termasuk Gadis ketika berada di pesantren, kegiatan pembelajaran yang dilakukan di pinggir pantai agar mereka lebih dekat dengan alam.
b. Latar Waktu Latar waktu dalam novel Pesantren Impian terdapat dua latar waktu yang dituliskan secara jelas oleh pengarang, yaitu latar waktu tahun 1979 dan tahun 2003, namun keberadaan latar waktu tersebut hanya sebagai latar netral dan tidak memberi pengaruh pada perkembangan plot.
41
Ibid., h. 38.
66
1) Tahun 1979 “Aceh 1979 Kelahirannya disambut gembira. Akikahan diadakan secara besarbesaran. Ayah memilih dua ekor kambing terbaiknya untuk disembelih, sebagai rasa syukur. Kehadiran anak lelaki adalah hal yang paling dinantinya. Empat anak yang dilahirkan Maimon sebelumnya perempuan. Seisi desa turut gembira dengan kehadiran bungsu keluarga Teungku Muhammad Ramli. Ayah menamainya Umar (….)”42 Latar waktu tersebut tidak berfungsi sebagai latar fungsional hanya sebagai
latar
waktu
yang
menceritakan
suatu
peristiwa
tanpa
mempengaruhi perkembangan plot cerita. Sebenarnya keberadaan latar waktu tersebut dapat melemahkan cerita karena tidak memiliki keterkaitan dengan tokoh utama. Umar yang berperan sebagai salah satu tokoh tambahan diberikan ruang khusus dengan latar waktu yang dituliskan secara jelas, sedang Gadis sebagai tokoh utama tidak diberikan penggambaran latar waktu yang jelas, misalnya ketika terjadi peristiwa pembunuhan atau pertemuannya dengan anak-anak asuhnya. Hal tersebut membuktikan bahwa pengarang memang tidak fokus dalam memaparkan konflik-konflik dalam novel ini. Kutipan tersebut menceritakan latar waktu kelahiran Umar, seorang laki-laki yang menjadi pemilik Pesantren Impian. Teungku Muhammad Ramli memberikan nama Umar kepada putranya karena ia kagum dengan pahlawan Aceh yang melegenda yaitu Teungku Umar, ia berharap kelak semangat pahlawan tersebut dalam tertanam pada diri Umar.
42
Ibid., h. 33.
67
2) Tahun 2003 “Pulau Lhok Jeumpa, 2003 Teungku Budiman memandang bangunan setengah jadi di hadapannya. Di sebelah laki-laki itu berdiri pengacara sekaligus orang kepercayaan yang sangat berperan dalam proyek ini. Memang belum selesai, pikirnya. Tapi seolah sudah terbayang seperti apa bangunan ini setelah jadi nanti. Lelaki itu memejamkan mata. Satu bangunan megah yang komplit pun terlukis.”43 Latar waktu tersebut hanya sebagai latar netral yang menggambarkan proses pembangunan Pesantren Impian yang didirikan oleh Umar, keberadaan latar waktu tersebut tidak pula menguatkan cerita karena yang terlihat dalam kutipan tidak menujukkan keterkaitan dengan tokoh utama dan tidak memberi pengaruh pada perkembangan plot. Kutipan tersebut menunjukkan pembangunan pesantren yang bertujuan untuk membantu para anak muda yang memiliki riwayat kejahatan ataupun bagi mereka yang memiliki permasalahan dalam hidupnya untuk mendapatkan ketenangan. Kenyaman merupakan upaya pertama untuk membuat mereka merasa tenang, tanpa itu mustahil mereka bisa menjalani rehabilitasi dengan baik. 3) Pagi hari “Selepas subuh, mereka, kecuali Rini, berkumpul di lantai tiga, ruang olahraga.”44 “Perpisahan bagi si Gadis terjadi lebih dini. Pagi-pagi sekali, ba‟da sholat Subuh, ia menyampaikan kepulangan yang dipercepat.”45 Pada kutipan pertama menunjukkan aktivitas rutin yang dilakukan para remaja selama berada di pesantren, setelah sholat Subuh mereka memang dibiasakan untuk berolahraga di pagi hari yang bertujuan untuk 43
Ibid., h. 56. Ibid., h. 110. 45 Ibid., h. 274 44
68
menjaga kebugaran tubuh mereka selama menjalani rehabilitas dan untuk mengalihkan perhatian mereka dari perilaku-perilaku buruk yang pernah mereka lakukan. Setelah olahraga para remaja tersebut mengisi waktu mereka dengan pelajaran keterampilan yang telah disediakan pesantren. Kutipan kedua menggambarkan perpisahan Gadis dengan temantemannya di pesantren untuk pulang lebih awal. Kepulangannya yang tanpa direncanakan karena rasa khawatir dengan keadaan anak-anak asuhnya dan ingin secepatnya untuk pulang yang membuatnya harus menyampaikan berita tersebut setelah solat Subuh, karena setiap selesai solat berjamaah semua remaja selalu berkumpul dan menjadi waktu yang tepat untuk menyampaikan salam perpisahan. 4) Sore hari “Mereka tiba pukul lima sore. semua berjumlah tiga puluh orang, ditambah empat pemimpin rombongan.(….)”46 Kutipan tersebut menggambarkan kedatangan para remaja di Pulau Lhok Jeumpa, Aceh. Perjalanan dengan jarak tempuh yang jauh dengan menggunakan kapal feri membuat mereka tiba di pulau Lhok Jeumpa pada sore hari, selain itu kondisi laut mempengaruhi waktu lamanya perjalanan mereka. 5) Malam hari “Ketika malam tiba, keputusan si Gadis sudah bulat. Ia akan minta izin pesantren untuk diperbolehkan pulang lebih cepat. Bocah-bocah tersayang membutuhkan kehadirannya.”47 “Usai sholat malam, ia memang sengaja membuka dialog untuk mengetahui apa yang anak-anak muda itu rencanakan setelah tidak di pesantren lagi.”48
46
Ibid., h. 12. Ibid., h. 269 48 Ibid., h. 274 47
69
Kutipan pertama menunjuk pada tokoh Gadis, kutipan ini berkaitan dengan kutipan yang terdapat di latar waktu pagi hari. Keputusan Gadis untuk pulang lebih awal karena ia menerima surat dari seseorang yang dipercayainya untuk menjaga anak-anak asuhnya selama ia pergi ke Pesantren Impian. Gadis khawatir dengan anak-anak asuhnya karena dalam surat diberitahukan bahwa anak-anak sudah mulai kelaparan karena mereka tidak mempunyai uang untuk membeli makanan oleh karena itu Gadis berniat untuk pulang lebih awal. Kutipan kedua menunjuk pada salah satu pengurus pesantren, yaitu Ummu Shalihat. Selesai solat pengurus pesantren selalu mengadakan ceramah atau memberikan waktu untuk saling berbagi cerita dan permasalahan yang mereka hadapi. Pada kutipan tersebut juga menyiratkan masa rehabilitasi yang akan segera selesai, oleh karena itu salah satu pengurus pesantren mengadakan dialog untuk mengetahui rencana para remaja setelah keluar dari pesantren. Harapan para pengurus tentunya ingin para remaja yang telah menjalani masa rehabilitasi dapat hidup lebih baik dan bermanfaat untuk orang lain.
5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah cara atau pandangan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Seperti dalam kutipan di bawah ini; “Hanya si Gadis yang dengan seksama memerhatikan raut muka Rini dan menangkap keresahan dan genangan air mata di sana. Pasti ada sesuatu yang tak disangka, batin si Gadis. Diam-diam ia meninggalkan kerumunan.”49
49
Ibid., h.104.
70
“Situasi semakin tak terkendali ketika kemudian tubuh gendut menubruk dan memaksanya ke tempat tidur. Si Gadis berusaha meronta dan menendang sia-sia.”50 Pada kutipan tersebut yang bercerita adalah orang yang tidak terlibat dalam cerita. Ia hanya mengamati peristiwa yang dialami Gadis. Selain itu, pencerita mengetahui segala hal yang dirasakan oleh tokoh dan tindakan tokoh dalam cerita, bahkan berupa pikiran, dan perasaan tokoh. Pencerita selalu menceritakan tokohnya dengan nama tokoh. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa sudut pandang yang digunakan dalam novel Pesantren Impian adalah sudut pandang orang ketiga mahatahu. Melalui penggambaran yang dilakukan pengarang dengan sudut pandang orang ketiga mahatahu, pencerita pada dasarnya ingin menggambarkan peristiwa fisik maupun peristiwa yang terjadi dalam perasaan tokoh, selain itu sudut pandang orang ketiga mahatahu mempermudah pembaca dalam melihat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Pesantren Impian lebih menggunakan bahasa keseharian dan mudah dipahami oleh pembaca. Seperti pada kutipan di bawah ini. “Usia delapan belas tahun, mulai bekerja di salon seorang perias terkenal. Tiga tahun kemudian mengontrak sebuah rumah yang agak besar dan membiarkannya terbuka bagi anak-anak jalanan yang ia temui.”51 “Situasi semakin tak terkendali ketika kemudian tubuh gendutnya menubruk dan memaksanya ke tempat tidur. Si Gadis berusaha meronta dan menendang sia-sia.” Pada kutipan pertama dan kedua bahasa yang digunakan pengarang menggambarkan bahasa sehari-hari dan menunjukkan penggunaan bahasa yang 50 51
Ibid., h. 275. Ibid, h. 123.
71
tidak terlalu baku. Dari kedua kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Asma Nadia dalam menggambarkan suatu keadaan atau kejadian dalam cerita dituliskan secara lugas dan jelas.
7. Amanat Amanat sangat berkaitan dengan tema atau mengenai inti persoalan dalam cerita yang merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat yang terdapat dalam novel Pesantren Impian tergambarkan melalui tokoh utama dalam cerita, yaitu pada dasarnya manusia memiliki kebaikan dalam dirinya, namun kesulitan yang dihadapi dalam hidup dapat menciptakan sikap atau perilaku buruk pada manusia. Seperti dalam kutipan berikut; “Sementara itu masih ada lima belas mulut kecil yang harus diberi makan. Mungkin ia harus mulai beroperasi lagi, setidaknya sampai mereka punya cukup uang untuk pindah.”52 “Perempuan muda itu merasa dengkulnya lemas. Kejadian tiga bulan ini. Uang tabungannya sudah ludes untuk biaya sehari-hari di sekolah anakanak, ditambah biaya rumah sakit.”53 Kutipan tersebut menunjukkan kebaikan pada tokoh Gadis, walaupun kondisi ekonomi membuatnya harus bekerja sebagai „wanita malam‟ tetapi ia memiliki tekad yang baik dalam menjalani hidup, seperti ia dalam bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia juga membantu kehidupan orang lain, yaitu anak-anak asuhnya. Selain itu, ia juga memiliki tekad untuk menjadi seseorang yang lebih baik yang tergambarkan melalui penokohan Gadis. Berdasarkan hasil analisis terhadap unsur-unsur instrinsik dalam novel Pesantren Impian dapat dikatakan bahwa novel tersebut memiliki kelemahan dalam struktur
52 53
Ibid, h. 120 Ibid., h.119
72
cerita, yaitu antara unsur instrinsik yang satu dengan lainnya kurang memiliki keterkaitan. Kelemahan tersebut dibuktikan dengan plot cerita yang terlalu banyak membahas
konflik-konflik
para tokoh
sehingga
tidak
memfokuskan pada
permasalahan Gadis sebagai tokoh utama. Oleh karena itu, dalam penelitian ini lebih mengutamakan pada tokoh Gadis. Selain itu, terjadinya ketidakseimbangan antara latar dengan penokohan, seharusnya latar-latar dalam novel memiliki hubungan yang erat terhadap penokohan Gadis, tetapi dalam novel cukup banyak memaparkan latar waktu dan tempat yang tidak memiliki keterkaitan dengan tokoh utama sehingga cerita terlihat kurang meyakinkan. Apabila melihat makna dari isi novel Pesantren Impian sebenarnya pengarang berusaha untuk memaparkan cerita yang memiliki pengetahuan moral khususnya moral dalam agama Islam yang tergambarkan pada masa rehabilitasi di pesantren, tetapi kurang didukung dengan teknik penceritaan yang mendetail. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa novel ini secara struktur cerita memiliki kualitas yang kurang baik, tetapi secara penyampaian untuk media berdakwah dapat tersampaikan dengan cukup baik yang menggambarkan para tokoh yang memiliki riwayat kejahatan melakukan pertobatan dan menjadi pribadi yang lebih baik di akhir cerita.
B. Analisis Nilai Moral dalam novel Pesantren Impian karya Asma Nadia Dalam penelitian ini untuk menganalisis nilai moral dalam novel menggunakan pendekatan pragmatik, yaitu menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam memahami karya sastra. Novel Pesantren Impian cetakan pertama terbit pada Juli 2014 dengan 314 halaman. Nilai-nilai moral yang tampak pada novel Pesantren Impian karya Asma Nadia terlihat pada cerita, dialog, peristiwa ataupun penokohan di dalam cerita. Setelah dilakukan penelitian, penulis mengacu nilai moral difokuskan pada nilai-nilai moral yang harus diajarkan di sekolah berdasarkan definisi yang terdapat dalam buku Pendidikan Karakter Panduan Lengkap: Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Penulis rangkum menjadi sembilan nilai dasar moral, yaitu sikap hormat, tanggung jawab,
73
kejujuran, toleransi, disiplin diri, suka menolong, berbelas kasih, kerjasama, dan berani. 1. Sikap hormat Sikap hormat berarti menunjukkan penghormatan dan bakti melalui sikap yang baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilaku. Sikap hormat dalam cerita tergambarkan melalui dialog dan perilaku tokoh dalam cerita. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut; “Tapi demi Ibu, ia harus menyapa sanak keluarga dan mereka telah meluangkan waktu menjenguk. Demi Ibu, sakit atau tidak, ia tidak boleh kehilangan tata krama.”54 “Sebenarnya ia masih bisa bersikeras menolak, cuma lagi-lagi tak sanggup membantah tatapan Ibu. Dalam banyak hal rasanya lebih nyaman jika tidak bertentangan dengan wanita yang melahirkannya. Lagi pula ia tidak ingin lebih mengecewakan Ibu.”55 Kedua kutipan tersebut menggambarkan sikap hormat terhadap orang lain, yaitu sikap hormat Rini kepada ibunya. Rini digambarkan berasal dari keluarga terhormat, oleh karena itu Rini sangat menjaga perilakunya. Selain itu, alasan lainnya adalah Rini menyadari bahwa Ibunya adalah seorang perempuan yang sangat menjaga nama baik keluarganya di hadapan orang lain. Berdasarkan kutipan tersebut, sikap yang ditunjukkan Rini kepada Ibunya merupakan penggambaran sikap bakti seorang anak kepada orangtuanya. Apabila melihat kutipan tersebut menunjukan adanya pesan moral agama yang disampaikan pengarang, berkaitan dengan latar belakang pengarang yang memiliki tujuan menulis untuk menyuarakan kebaikan melalui karyanya pengarang menyiratkan pesan, seperti berbuat baik kepada orangtua dan mengajarkan untuk tidak menunjukkan sikap yang dapat menyakiti hati orangtua, karena pada dasarnya berbuat baik kepada orangtua menjadi
54 55
Asma Nadia, Ibid, h. 6. Ibid, h.71.
74
keputusan yang mutlak dari Allah. Selain kutipan di atas, terdapat sikap hormat lainnya seperti pada kutipan berikut; “Ia baru saja mandi dan memakai baju. Refleks, diraihnya sehelai kerudung putih dan mulai mematut diri di kaca. Setelah mengaitkan peniti di jilbab, gadis itu menatap lagi bayangan di cermin. Tersenyum, mulai menyukai apa yang dilihatnya.”56 Kutipan di atas menggambarkan sikap hormat dan menghargai diri sendiri dengan memperlakukan kehidupannya sebagai sesuatu yang memiliki nilai yang baik. Kutipan tersebut menggambarkan sikap tokoh Gadis yang mulai menghormati dirinya sendiri dengan menggunakan pakaian yang lebih baik dengan menutup batasan auratnya dibandingkan sebelum ia datang ke pesantren. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan terdapat kaitannya antara keberadaan Gadis di pesantren dengan perilaku Gadis, yaitu memberikan pengaruh terhadap cara sikap dan perilaku tokoh menjadi lebih baik. Jika melihat kutipan tersebut menunjukkan bahwa perubahan yang positif dapat terjadi pada siapa saja dan menyiratkan pesan moral, seperti setiap perempuan sudah seharusnya menghormati dirinya sendiri dengan tidak melakukan hal yang dapat merendahkan dirinya sehingga perempuan mendapatkan kehormatan pada dirinya. 2. Tanggung jawab Tanggung jawab merupakan kemampuan untuk menanggung dan menekankan kewajiban-kewajiban yang bersifat positif, serta melaksanakan kewajiban yang seharusnya dilakukan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, orang lain, dan lingkungan. Pada kutipan-kutipan di bawah ini merupakan tanggung jawab yang dilakukan oleh tokoh cerita ketika berada di Pesantren Impian. “PI, begitu anak-anak menyebut pesantren mereka sekarang, memang berbeda. Di sini selain belajar lebih dalam tentang Islam, belajar mengaji Qur‟an dengan tajwid yang benar, para santri juga mendapatkan pelajaran 56
Ibid, h. 113.
75
memasak, keterampilan, bahasa Arab dan Inggris, bahkan kelas komputer.”57 “Setiap hari Senin dan Kamis, semua dijadwalkan berpuasa sunah. Sholat lima waktu yang biasa sering diabaikan, di PI dilakukan dengan tertib dan berjama‟ah. Saat ada yang merasa malas, yang lain mengingatkan. Kalau masih malas juga, terutama sholat Subuh, entah siapa yang memulai, si pemalas akan dihujani kitikan habis. Bayangkan, oleh empat belas pasang tangan!.”58 Pada dua kutipan tersebut dapat dilihat secara jelas pengarang memberikan pesan moral agama dalam cerita, yaitu tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban sebagai umat yang beragama Islam kepada Tuhan dan menjalankan sunnah yang diajarkan dalam agamanya. Jika melihat kutipan tersebut, menggambarkan kegiatan rutin para tokoh dalam menjalankan kewajiban mereka dalam menuntut ilmu di pesantren. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan di pesantren bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan kebiasaan para remaja terhadap kebiasaan buruk, seperti rasa ingin menggunakan narkoba. Selain itu, melalui kutipan tersebut terlihat adanya kesungguhan para remaja dalam menjalani kegiatan yang diselenggarakan pesantren sebagai upaya mereka dalam memperbaiki sikap dan perilaku mereka. “Sepasang mata lelaki muda itu meredup. “Begini saja, biar mereka yang memutuskan. Sementara kita meningkatkan keamanan di pesantren. Tolong kumpulkan dua puluh relawan yang bertugas di luar. Secepatnya harus dilakukan tindakan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.”59 Kutipan di atas menggambarkan sikap tanggung jawab terhadap keselamatan orang lain, dan menunjukkan sikap tanggung jawab pada tokoh Umar sebagai pemilik pesantren dalam melindungi para penghuni pesantren.
57
Ibid, h. 37. Ibid, h. 38. 59 Ibid, h. 172. 58
76
Dalam mengerjakan atau melakukan suatu hal selalu memiliki konsekuensi yang harus diterima, kesadaran akan konsekuensi tersebut dapat meningkatan rasa tanggung jawab
seseorang. Selain itu, kutipan di bawah ini
menggambarkan sikap tanggung jawab pada tokoh Gadis. “Ketika malam tiba, keputusan si Gadis sudah bulat. Ia akan minta izin pesantren untuk diperbolehkan pulang lebih cepat. Bocah-bocah tersayang membutuhkan kehadirannya. Soal uang, akan ia pikirkan kemudian. Selama anak-anak tak jauh dari pandangan tidak seperti sekarang, segalanya akan baik-baik saja.”60 Kutipan tersebut menggambarkan rasa tanggung jawab terhadap orang lain, walaupun Gadis bukan ibu kandung dari anak-anak tersebut sejak awal Gadis sudah bertekad untuk menanggung kehidupan mereka. Jika melihat kutipan tersebut menunjukkan sikap Gadis yang ingin segera pulang dari pesantren untuk menemui anak-anak asuhnya, karena dalam memenuhi kebutuhan seharihari anak-anak tersebut menjadi tanggung jawab Gadis, selain itu kutipan tersebut menyiratkan kasih sayang dan kepedulian Gadis kepada anak-anak tersebut. 3. Kejujuran Kejujuran adalah sikap yang berkaitan dengan hati nurani, kata atau tindakan yang sesuai dengan kebenaran. Kejujuran harus dilakukan sesuai dengan fakta dan kebenaran sebagai upaya untuk upaya menjadi orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan dan tindakan. “Gadis itu sadar, ia butuh bantuan. Kalau tidak bisa-bisa ia makaw lagi. Tangan kurus Sinta terjulur ke arah Ustadzah Hanum, menyerahkan kantong plastik kecil berisi serbuk putih, yang selama ini disembunyikan di kloset. Serbuk mimpi, putaw!”61 Kutipan di atas menggambarkan sikap jujur Sinta kepada Ustazah Hanum mengenai perbuatannya telah menggunakan narkoba pada masa rehabilitasi, 60 61
Ibid, h. 269. Ibid, h. 45.
77
sikap jujur tersebut terlihat ketika ia menyerahkan narkoba tersebut ke salah satu pengurus pesantren. Hal yang melatarbelakangi Sinta untuk bersikap jujur adalah tekadnya untuk sembuh dari ketergantungan narkoba. Oleh karena itu, ia membutuhkan pertolongan para pengurus pesantren untuk mewujudkan tekadnya. Selain itu terdapat kutipan lainnya sebagai berikut; “… Keberanian Rini menceritakan masalahnya, harus diacungkan jempol. Apa lagi ketika akhirnya dia tak lagi menolak, dan dengan berani menanggung kehamilan yang sama sekali tidak dikehendaki.”62 Kutipan di atas ini menggambarkan kejujuran pada tokoh Rini, awalnya Rini tidak ingin menceritakan musibah yang menimpa dirinya sehingga temanteman di pesantren ada yang beranggapan bahwa ia hamil karena akibat pergaulan yang salah bukan karena kasus pemerkosaan, namun setelah tinggal bersama Rini memberanikan diri untuk menceritakan peristiwa yang sebenarnya. Kejujuran Rini dalam menceritakan permasalahannya membuat teman-temannya semakin bersimpati dengannya. “Bang Umar. Ada hal penting.” Kalimatnya canggung. Perlu waktu untuk membiasakan diri mengubah panggilan dari „Pak‟ menjadi „Bang‟. “Apa?” suara lelaki itu sabar. Kejadian di Tiara Hotel mendadak terulang di depan mata.”63 Kutipan terakhir dalam sikap kejujuran ini menunjuk pada tokoh Gadis, kutipan tersebut memperlihatkan usaha Gadis untuk bersikap jujur kepada Umar tentang peristiwa yang mendorong ia untuk datang ke pesantren, yaitu peristiwa pembunuhan yang tidak sengaja ia lakukan di sebuah hotel dan berbagai peristiwa anak-anak asuhnya hingga ia terlibat dalam pekerjaan yang memiliki banyak resiko tersebut. Jika melihat tiga kutipan tersebut sikap jujur yang dilakukan tokoh adalah menjelaskan permasalahan yang mereka alami
62 63
Ibid, h. 81. Ibid, h. 285-286.
78
dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan mereka, karena pada dasarnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan. 4. Toleransi Bersikap adil dan saling menghargai setiap tindakan orang lain adalah mencerminkan sikap toleransi, di dalam novel ini sikap toleransi juga tergambarkan melalui perilaku dan sikap tokoh. “Dari hari ke hari, ikatan di antara mereka semakin erat. Ustadzah Hanum bisa merasakannya. Ternyata tidak sesulit yang diperingatkan Teungku. Meski menyadari bahwa sejauh ini pesantren baru bisa membuat para santriwati kerasan. (….)”64 Para remaja yang datang ke pesantren berasal dari daerah yang berbeda, profesi yang berbeda dan dari latar keluarga yang berbeda, namun perbedaan tersebut tidak membuat mereka saling tidak peduli ataupun tidak saling menghargai. Pada kalimat pertama menggambarkan keakraban mereka di pesantren, hal tersebut dapat tercipta karena adanya sikap saling menghargai dan berbagi di antara mereka, seperti saling belajar menghargai pendapat dan saling menjaga perasaan teman sehingga tidak menimbulkan perselisihan diantara mereka. “Perpisahan bagi si Gadis terjadi lebih dini. Pagi-pagi sekali, ba‟da sholat Subuh, ia menyampaikan kepulangan yang dipercepat. Meski diwarnai protes, teman-teman baik selama di pesantren, akhirnya rela melepaskan. Selama setahun bersama, baru kali ini si Gadis terlihat bersedih.”65 Kutipan tersebut menggambarkan sikap menghargai pendapat orang lain dan sikap toleransi terlihat ketika teman-teman di pesantren menghargai keputusan Gadis untuk pulang lebih awal karena ia mengkhawatirkan anakanak asuhnya yang sudah beberapa hari kehabisan uang untuk membeli makanan. Teman-teman di pesantren tidak bisa menolak keputusan Gadis 64 65
Ibid, h. 38-39. Ibid, h. 274-275.
79
karena mereka harus mengerti kepentingan orang lain. Pada bagian ini, dapat dikatakan pengarang menyiratkan pesan mengenai pentingnya sikap toleransi untuk menciptakan suasana yang rukun dan damai dalam kehidupan. 5. Disiplin diri Sikap disiplin diri mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan yang merendahkan diri dan menuntut kita untuk mengerjakan hal-hal yang baik. Kutipan-kutipan di bawah ini menggambarkan sikap disiplin diri para remaja yang mulai terbentuk setelah mereka merasa nyaman menikmati berbagai kegiatan dan peraturan yang ada di pesantren. “Ketika sampai tadi, setelah mandi, para pendatang putri langsung mengenakan busana muslimah yang disediakan pesantren. Sedang penghuni putra memakai baju koko dan celana panjang longgar atau sarung.”66 Kutipan tersebut menceritakan tata tertib berpakaian yang terdapat di pesantren, selain itu kutipan tersebut menyiratkan sikap disiplin diri untuk tidak melakukan perbuatan merendahkan diri, seorang perempuan yang memilih untuk mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dengan baik menandakan bahwa ia sedang menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merendahkan dirinya. Kutipan tersebut juga menggambarkan bahwa mereka bersikap disiplin dengan mematuhi tata tertib yang berlaku di pesantren. “Ia telah menjelma manusia baru. Lebih sabar, tidak ukuran, tidak sombong, dan bangga diri. Ia bahkan mulai mampu menghayati masalah orang lain.”67 “Padahal dulu ia merasa yakin akan sulit melalui hari demi hari. Dan sejak kapan persisnya ia lupa, sholatnya sekarang tertib. Tidak lagi bolongbolong seperti dulu.”68
66
Ibid, h. 21. Ibid, h. 114. 68 Ibid, h. 278. 67
80
Kedua kutipan tersebut menunjukkan sikap disiplin diri pada tokoh Gadis, selama menetap di pesantren Gadis mampu menahan dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih sabar dan tidak sombong yang berarti Gadis tidak mengikuti kehendak hatinya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Kedatangan Gadis di pesantren menuntut ia untuk melakukan hal-hal yang baik, seperti Gadis menjadi rajin sholat dan ia lebih bersikap simpati terhadap orang lain. Jika melihat kutipan terakhir pada bagian disiplin diri, pengarang menyiratkan pesan moral agama berupa sikap disiplin dalam menjalankan ibadah kepada Allah yang tergambarkan melalui tokoh Gadis dengan usahanya untuk rajin dalam melaksanakan sholat. 6. Suka menolong Sikap suka menolong adalah keikhlasan dalam membantu sesama, sikap suka menolong dalam cerita ini tidak hanya tergambarkan melalui sikap para tokoh. “Belakangan lelaki itu menawarkan keinginannya membeli seluruh tanah di pulau dari penduduk asli. Tidak ada yang keberatan, tidak juga dari kalangan ulama, karena Teungku Budiman, begitu mereka biasa menyebutnya, sudah berbuat banyak. Apalagi dalam kontrak jual beli disebutkan bahwa penduduk bisa tetap tinggal, bahkan bekerja di perkebunan milik Teungku.”69 “Tidak hanya itu, Teungku juga mengumpulkan para tenaga ahli yang benar-benar menguasai bidangnya. Termasuk dokter Aulia dan beberapa dokter lain yang bertugas di klinik. Mereka membuka Puskesmas bagi masyarakat dan klinik rehabilitasi ketergantungan obat bagi pendatang. Kecuali mereka yang bertugas di sini benar-benar perpaduan kecerdasan dan ketulusan, pasti banyak subsidi dan hal-hal lain yang dilakukan Teungku Budiman, untuk membuat para staf ahli tersebut bertahan di pulau seterpencil ini.”70 Dari dua kutipan tersebut menggambarkan kebaikan Teungku Umar dalam menolong masyarakat di sekitar pesantren, keinginannya untuk menolong 69 70
Ibid, h. 20. Ibid, h. 76.
81
secara ikhlas juga terlihat pada sikap Umar yang tidak menunjukkan identitasnya dalam menolong masyarakat. Seluruh bantuannya ia atas namakan oleh Teungku Budiman karena bayangan riwayat kejahatannya di masa lalu membuatnya merasa bersalah, dengan membangun sekolah untuk anak-anak, memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat, dan membuat pesantren sebagai tempat pusat rehabilitasi bagi anak-anak muda yang bermasalah Umar merasa hidupnya lebih berguna karena dapat membantu orang lain. “Pada detik-detik kritis, sepasang tangan Teungku Hasan menariknya menajuh. Menyelamatkan dari api yang berkobar. Tak urung, sebelah tangan Umar sempat terluka bakar. Beberapa waktu ia pingsan tak sadarkan diri. Setelah kejadian malam itu, jalan hidupnya berubah. Bersama Teungku Hasan ia menemukan titik balik. Umar hijrah!”71 Kutipan tersebut menggambarkan sikap penolong Teungku Hasan ketika ia menolong Umar yang hendak bunuh diri karena depresi memikirkan semua keluarganya yang telah meninggal dalam peristiwa kebarakan. Setelah kejadian usaha bunuh diri tersebut, Teungku Hasan menolong dan merawat Umar. Dari Teungku Hasan, Umar banyak belajar dan mampu mengubah dirinya menjadi pemuda yang bertanggung jawab dan dermawan. Di bawah ini merupakan sikap suka menolong yang tergambarkan pada tokoh Gadis. “Perempuan muda itu merasa dengkulnya lemas. Kejadian ketiga dalam bulan ini. Uang tabungannya sudah ludes untuk biaya sehari-hari sekolah anak-anak, ditambah biaya rumah sakit.”72 “Usia delapan belas tahun, mulai bekerja di salon seorang perias terkenal. Tiga tahun kemudian mengontrak sebuah rumah yang agak besar dan membiarkannya terbuka bagi anak-anak jalanan yang ia temui.”73 Dua kutipan tersebut menggambarkan sikap suka menolong tokoh Gadis yang secara ikhlas merawat dan memberikan tempat tinggal untuk anak-anak 71
Ibid, h. 127. Ibid, h. 119. 73 Ibid, h. 123. 72
82
asuhnya. Sikap suka menolong Gadis dipaparkan secara jelas oleh pengarang pada kutipan, uang tabungannya ia gunakan untuk biaya sekolah dan memberikan tempat tinggal untuk anak-anak asuhnya. Dapat dikatakan motivasi Gadis dalam bekerja selain untuk kebutuhan dirinya, Gadis juga bekerja untuk membantu orang lain. “Cut Ana menghentikan hafalan. Perhatiannya beralih pada Rini yang terus mengaduh-aduh. Si Gadis mengambil inisiatif. “Yan, ambil barang-barang Rini di kamar. Siap-siap ke klinik. En, kamu cepat cari Ustadzah Hanum, siapkan kendaraan. Dan …” “Saya akan menghubungi dokter Aulia,” suara Cut Ana cepat. Si Gadis mengangguk.”74 Kutipan terakhir menggambarkan sikap suka menolong Gadis dan tokoh lainnya yang menjalani rehabilitasi di pesantren. Sikap tolong menolong tersebut ditunjukkan untuk menolong Rini yang sedang merasakan sakit pada perutnya dan membawa Rini ke klinik pesantren. Sikap tolong menolong di antara mereka sangat tinggi karena mereka saling peduli dengan keadaan sesama. Berdasarkan kutipan-kutipan di atas mengenai sikap suka menolong memiliki kaitan dengan tujuan pengarang dalam menulis, yaitu mengajak pembaca untuk berbuat kebaikan. Dalam agama Islam sikap tolong menolong dalam hal kebaikan merupakan suatu keharusan dan dapat mempererat tali persaudaraan, jika melihat pemaparan tersebut menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan pengarang menyiratkan pesan moral agama tentang pentingnya sikap tolong menolong antar sesama. 7. Berbelas kasih Berbelas kasih dalam arti ikut merasakan keadaan yang tengah dialami orang lain. Berbelas kasih merupakan sisi empati karena peduli dengan keadaan orang lain. Seperti dalam kutipan berikut; 74
Ibid, h. 153.
83
“Rin, jangan sedih gitu, dong. Nanti aku jadi ikut sedih, nih!” Butet mengusap matanya yang mulai berair. Gadis Medan ini sensitif juga rupanya.”75 Kutipan di atas menggambarkan sikap berbelas kasih yang ditunjukkan Butet, peristiwa pemerkosaan yang menimpa Rini membuat teman-temannya di pesantren termasuk Butet ikut merasakan kesedihan yang Rini rasakan. Sikap empati dengan keadaaan yang dialami orang lain dapat timbul karena adanya rasa saling peduli diantara mereka. “Umar makin bersimpati terhadap jalan hidup si Gadis. Sepasang matanya yang tajam merayapi foto si Gadis saat keluar dari Tiara Hotel, yang terselip di akhir file.”76 Kutipan di atas ini menggambarkan sikap berbelas kasih yang ditunjukkan Umar ketika ia mengetahui kehidupan dan perjuangan hidup Gadis dalam bekerja dan menghidupi anak-anak asuhnya. Umar tahu bahwa hidup seorang diri dengan menanggung anak-anak yang harus diberi makan setiap hari bukan hal yang mudah butuh perjuangan dan hati yang mulia, karena Umar pun pernah merasakan sulitnya hidup seorang diri ketika ia berada jauh dari keluarganya. “Kita temui dan hibur Rini, yuk!” Si Gadis bangkit. Mereka akan ada di sana bersama Rini. Menemani dan membantunya mengatasi kesedihan. Pahit, tapi selalu ada hikmah dalam setiap kejadian. Musibah sekalipun. Begitulah lebih kurang suara hati anak-anak melangkah bersama, masih dalam diam menuju klinik.”77 Kutipan di atas ini menggambarkan sikap berbelas kasih Gadis terhadap peristiwa yang menimpa Rini, yaitu ketika bayi yang dilahirkan Rini meninggal dunia. Gadis dan teman lainnya berusaha untuk menghibur Rini, walaupun Gadis hanya seorang Ibu asuh tetapi ia tahu bagaimana perasaan seorang Ibu 75
Ibid, h. 105. Ibid, h. 123. 77 Ibid, h. 263. 76
84
ketika terjadi hal buruk pada anaknya, hal itu ia rasakan ketika anak asuhnya terluka akibat tindakan preman di sekitar rumahnya. 8. Kerja sama Kerja sama merupakan suatu usaha yang dikerjakan secara bersama-sama untuk mendapatkan tujuan yang telah direncakan. Pada kutipan di bawah ini menggambarkan sikap kerjasama para tokoh. “Saya pikir semua berjalan baik, Teungku. Kalau semua sesuai rencana, insya Allah anak-anak setempat sudah bisa memanfaatkan bangunan sekolah sebagai sekolah mereka akhir tahun ini. Alhamdulillah. Baik, ayo kita teruskan.” Lelaki paruh baya itu tersenyum lega. Semua pekerja ikut tersenyum. Mereka tidak bisa menutupi rasa senang bekerja untuk Teungku baik hati.”78 Kutipan di atas menggambarkan kerja sama Umar dengan Teungku Hasan dalam membangun sekolah untuk anak-anak, selain sekolah Umar dengan Teungku Hasan juga membangun puskesmas untuk masyarakat. Umar merasa segala bantuan yang ia lakukan adalah untuk investasi jangka panjang, oleh karena itu ia tidak pernah merasa rugi. “Dua tahun berikutnya, mereka merancang proyek besar: Pesantren Impian. Umar ingin mendirikan satu tempat, di mana semua orang berkesempatan menemukan titik balik dalam hidup mereka, seperti dia. Dan bagi lelaki itu, ini lah kesempatan untuk menebus kesalahannya dulu.”79 Kutipan tersebut menggambarkan kerja sama Umar dengan Teungku Hasan untuk membangun sebuah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat, tempat yang dapat membantu orang lain untuk merehabilitasi diri mereka dari hal-hal yang tidak baik dan tempat untuk belajar lebih mendekatkan diri pada Tuhan, yaitu membangun sebuah pesantren.
78 79
Ibid, h. 61. Ibid, h. 127.
85
Sebuah pesantren yang dapat menjadi tempat untuk semua orang berkesempatan menemukan titik balik dalam hidup mereka, seperti yang dirasakan oleh Umar setelah tinggal bersama Teungku Hasan. Berkesempatan mengubah hidup mereka menjadi lebih baik dan bermanfaat dengan bertobat. Selain itu, terdapat kutipan lainnya seperti di bawah ini; “Dari kantor Ustadzah Hanum, Eni bergabung bersama santriwati lain yang sedang menunggu kedatangan Rini. Mereka telah menyiapkan kejutan manis. Dipimpin Inong, anak-anak menghias kamar sang calon ibu. Beberapa lukisan nuansa baby dan kaligrafi karya mereka tergantung di dinding. Lainnya merias langit-langit dan sudut kamar dengan pita-pita dan kertas krep yang dirangkai indah.”80 Kutipan tersebut menggambarkan kekompakan dan kerja sama para remaja yang menjalani rehabilitasi di pesantren untuk memberikan kejutan pada Rini setelah beberapa hari di rawat di klinik pesantren. Hasil kerja sama mereka bertujuan untuk membuat Rini senang dan bersemangat kembali. Kekompakan mereka membuat Rini senang ketika disambut dengan kejutan yang dibuat di kamarnya. Kutipan tersebut juga menggambarkan sikap peduli dan kasih sayang mereka kepada Rini. 9. Berani Bersikap percaya diri yang besar dalam menghadapi kesulitan dan bahaya dengan rasa tidak takut. Pada kutipan di bawah ini menggambarkan sikap berani dalam menolong orang lain. “Ustadz Agam berjalan mendekati. Pelan suaranya terdengar, “Sabar Nak Santi, istighfar! Serahkan pisaunya, ya? Tangan lelaki itu terulur, mendadak Santi melibaskan pisau. Untung tak mengenai Ustadz Agam.”81 Kutipan tersebut menggambarkan sikap berani Ustadz Agam dalam menghadapi Santi yang sedang dalam keadaan mabuk narkoba dan hilang 80 81
Ibid, h. 184. Ibid, h. 43-44.
86
kendali. Ustadz Agam dengan sigap memegang tangan Santi untuk mengambil pisau yang ada ditangannya. Semua yang melihat merasa khawatir dengan posisi Ustadz Agam mereka khawatir Santi akan melukai Ustaz Agam, namun dengan keberanian Ustaz Agam, Santi dapat dikendalikan dan segera dibawa ke klinik pesantren. Selain itu, terdapat kutipan lainnya yang menggambarkan sikap berani pada tokoh seperti di bawah ini. “Kebutuhan anak-anak asuhnya memang besar dan membuatnya sering berbuat nekat. Tapi ia bukan pelacur. Biasanya si Gadis hanya menunggu di bar atau diskotik, sampai ada lelaki hidung belang yang tertarik mengajaknya dansa atau menginap.”82 Pada kutipan di atas menggambarkan sikap berani Gadis dalam menghadapi kesulitan dalam hidupnya, karena ia berani memutuskan untuk bekerja sebagai „wanita malam‟, suatu pekerjaan yang dapat membahayakan dirinya. Kebutuhan dirinya dan anak-anak asuhnya serta kesulitan dalam masalah ekonomi membuatnya harus memberanikan diri dalam menjalani pekerjaannya tersebut. Sikap yang dilakukan Gadis menyiratkan keberanian dalam dirinya untuk berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anak asuhnya. Dalam kutipan tersebut pada kalimat “Tapi ia bukan pelacur”, sebenarnya dengan penggalan kalimat tersebut pengarang mempertegas bahwa Gadis dalam menjalankan pekerjaannya yang berada di lingkungan prostitusi ia tidak sepenuh hati. Hal tersebut diperjelas dengan fakta cerita yang dituliskan pengarang bahwa Gadis memberi obat tidur kepada laki-laki yang datang kepadanya untuk diambil harta bendanya. Cara itu lah yang digunakan Gadis untuk mendapatkan uang dalam menjalankan pekerjaannya sebagai „wanita malam‟ sehingga ia tetap bisa menjaga kegadisannya.
82
Ibid, h.117.
87
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah
Proses belajar-mengajar di dalam lingkungan formal dikenal dengan istilah pengajaran. Pengajaran memiliki tujuan untuk mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, dan keterampilan. Tujuan pengajaran tersebut dapat dilihat dalam tujuan pendidikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional
pasal
3,
pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.83 Boen S. Oemarjati memaparkan bahwa pengajaran tidak hanya berarti penanaman, melainkan terlebih lagi merupakan proses pemeliharaan, pembinaan, dan penumbuhan dari apa yang ditanamkan ke arah perkembangan yang dijadikan tujuan pengajaran tersebut.84 Berdasarkan penjelasan Bambang Kaswanti pada hakikatnya pengajaran sastra ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalamanpengalaman yang disajikan itu.85 Pengajaran sastra dapat dikatakan sebagai membina, dan menumbuhkan pengenalan serta menikmati sastra dan betujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai moral, nilai sosial ataupun gabungan keseluruhannya. Selian itu, pengajaran sastra dapat melatih keterampilan berbahasa para siswa, seperti keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis melalui kegiatan apresiasi sastra. 83
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta;2006), h. 8-9. 84 Boen S. Oemarjati, Mengakrabkan Sastra, (Jakarta: UI-Press, 2012), h. 1. 85 Bambang Kaswanti Purwo, Bulir-Bulir Sastra & Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 61.
88
Apresiasi sastra dapat diterangkan sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra, dan kegairahan kepadanya serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu.86 Kegiatan apresiasi merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sadar, dan bertujuan untuk mengenal dan memahami dengan tepat nilai sastra, untuk menumbuhkan kesenangan dan kenikmatan sastra. Di sekolah pembelajaran apresiasi direncanakan oleh sekolah dan dirancang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Apabila dikaitkan dengan novel Pesantren Impian dalam pembelajaran apresiasi karya sastra guru dapat memberikan rujukan kepada siswa untuk membaca dan menganalisis unsur instrinsik yang terdapat di dalam novel, serta menemukan nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel tersebut, karena novel Pesantren Impian memberikan gambaran tentang sikap hormat, tanggung jawab, kejujuran, toleransi, disiplin diri, suka menolong, berbelas kasih, kerja sama, dan berani yang merupakan nilai moral yang dapat mengembangkan karakter siswa. Oleh karena itu, hal tersebut dapat diterapkan pada pembelajaran sastra tingkat SMA kelas XI (sebelas), dengan kompetensi dasar; mampu menjelaskan tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan amanat, serta mampu menjelaskan nilai-nilai positif dalam novel. Di samping itu, novel Pesantren Impian juga menggambarkan tekad dan usaha tokoh yang bersungguh-sungguh dalam meraih sesuatu yang diinginkannya, misalnya tekad mereka untuk memperbaiki sikap diri, dan perilaku buruk yang pernah mereka lakukan, walaupun terdapat beberapa tindakan para tokoh yang kurang layak ditiru, misalnya memakai narkoba, atau menjadi pengedar narkoba tetapi setidaknya ada sikap tokoh yang layak dijadikan panutan oleh siswa, bahkan melalui sikap dan perilaku yang kurang baik dari beberapa tokoh tersebut siswa dapat mengambil pelajaran dari penggambaran tokoh tersebut, seperti siswa mengerti akibat buruk dari apa yang telah dilakukan tokoh tersebut sehingga siswa 86
Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gampitan Pendidikan (Bandung:C.V. Dipnegoro, 1984), h. 322.
89
mampu menghindari perbuatan buruk di kehidupan sehari-harinya. Siswa juga dapat mencontoh sikap positif, seperti semangat dan tekad yang ditunjukan tokoh dalam meraih sesuatu yang dicita-citakan dan tidak mudah putus asa dalam berbuat kebaikan. Penggambaran sikap positif tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap pengembangan kepribadian siswa. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi siswa menjadi manusia yang berakhlak mulia, kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Penanaman nilai moral melalui pesan sebuah karya sastra dipandang lebih mudah dan nyaman diterima siswa karena berkesan tidak menggurui, siswa pun dapat menangkap secara langsung pesan yang ia terima melalui proses pembacaan karya sastra. Dalam pembelajaran sastra terdapat proses mendidik secara tersirat, siswa dapat mencerna pengetahuan atau nilai yang terkandung dalam novel sesuai dengan perkembangan jiwanya. Hal yang terpenting dalam pembelajaran sastra adalah karya sastra harus mudah diterima oleh siswa dengan guru menyesuaikan karya sastra yang diberikan harus sesuai dengan usia siswa dan memilih tema yang sesuai dengan pendidikan dan kehidupan masa kini. Upaya penanaman nilai moral di sekolah melalui apresiasi karya sastra ataupun melalui pembinaan lainnya bertujuan supaya siswa melakukan sesuatu berdasarkan kesadaran pribadi dan hati nuraninya, jika siswa hanya melakukan apa yang dikehendaki atau yang hanya diperintahkan saja tanpa disertai kesadaran maka dapat dikatakan pendidikan moral belum berhasil.87 Oleh karena itu, setelah pembelajaran dalam pembacaan novel ini dilakukan, diharapkan siswa mampu menerapkan nilai-nilai moral yang tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga pada akhirnya turut berpengaruh terhadap kepribadian siswa tersebut.
87
Tonny D. Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004), h. 110.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Penjabaran nilai-nilai moral dalam novel Pesantren Impian berdasarkan hasil analisis terdiri dari sembilan nilai dasar moral yang mengacu pada definisi Thomas Lickona dalam buku Pendidikan Karakter Panduan Lengkap: Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, yaitu sikap hormat, tanggung jawab, kejujuran, toleransi, disiplin diri, suka menolong, berbelas kasih, kerja sama dan berani. Penggambaran nilai moral dalam novel Pesantren Impian dapat terlihat melalui sikap, perilaku dan tindakan tokoh dalam cerita yang memiliki tekad dan usaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik yang tergambarkan pada tokoh yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil analisis nilai moral tersebut terdapat 24 kutipan yang menggambarkan nilai moral, yaitu; sikap hormat 3 kutipan, tanggung jawab 4 kutipan, kejujuran 3 kutipan, toleransi 2 kutipan, disiplin diri 3 kutipan, suka menolong 6 kutipan, berbelas kasih 3 kutipan, kerja sama 3 kutipan, dan berani 2 kutipan. Nilai moral yang mendominasi dalam novel Pesantren Impian adalah sikap suka menolong dengan jumlah kutipan terbanyak diantara lainnya, hal tersebut memiliki kaitan dengan amanat dalam novel ini, yaitu pada dasarnya manusia memiliki kebaikan dalam dirinya. Kebaikan yang dimaksudkan adalah berupa sikap suka menolong dan tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik seperti yang tergambarkan melalui penokohan pada tokoh utama Gadis, tetapi penggambaran nilai moral tidak hanya terdapat pada tokoh utama tetapi juga terlihat pada tokoh tambahan lainnya. Berdasarkan hal tersebut dapat simpulkan bahwa semua tokoh dibangun dengan misi menuju kebaikan yang dikenal sebagai tokoh stereotip. Nilai-nilai moral dalam novel Pesantren Impian dapat diimplikasikan pada pembelajaran sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas). Dalam
90
91
pembelajaran sastra ini, standar kompetensi yang harus dikuasai adalah memahami novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar siswa mampu menjelaskan unsur-unsur instrinsik; tema, tokoh dan penokohan, alur, alur, latar, sudut pandang, dan amanat dari pembacaan novel dan mampu menjelaskan nilainilai positif yang terdapat dalam novel. Oleh karena itu, setelah pembelajaran ini melalui apresiasi karya sastra diharapkan dapat mengembangkan minat baca siswa, berpengaruh dalam pembentukan kepribadian siswa dan siswa mampu menerapkan nilai-nilai positif atau nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel di kehidupan sehari-hari.
B. Saran Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, ada beberapa saran yang diajukan penulis, yaitu: 1. Diharapkan nilai moral yang terkandung novel Pesantren Impian dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah sehingga guru dapat memanfaatkan novel ini sebagai media pembelajaran sastra. 2. Pembelajaran nilai-nilai moral yang telah ditetapkan dalam novel Pesantren Impian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan siswa tentang nilai moral untuk kehidupan sehari-hari mereka.
DAFTAR PUSTAKA Adisusilo, Sutarjo, Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Aunillah, Nurla Isna. Panduan menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Laksana, 2011. Atmazaki. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya Padang, 1990. Aziez, Furqonul dan Hasim, Abdul, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta,2006. Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. NTT: Nusa Indah, 1991. Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter Konsep dan Implemetasi. Bandung: Alfabeta, 2012. Hadiwardoyo, Al. Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Hawthom, Jeremy. Studying the Novel An Introduction. USA: Great Britain, 1985. Lickona, Thomas. Pendidikan Karakter Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa Media, 2013. Minderop, Albertine. Metode Karakteristik Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. Nadia, Asma. Novel Assalamualaikum, Beijing!. Jakarta: Noura Books, 2013. _____. Novel Pesantren Impian. Jakarta: AsmaNadia Publishing House, 2014. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: GajahMada University Press, 1995. Oemarjati, Boen S. Mengakrabkan Sastra. Jakarta: UI-Press, 2012. Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010. Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-Bulir Sastra & Bahasa. Yogyakarta: Kanisius, 1991. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Rusyana, Yus. Bahasa dan Sastra dalam Gampitan Pendidikan. Bandung:C.V. Dipnegoro, 1984. Salam, H. Burhanuddin. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineke Cipta, 2000. _____. Etika Sosial (Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia). Jakarta: Rineke Cipta, 2002. Sentosa, Wijaya Heru dan Wahyuningtyas, Sri. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka,2010 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Stanton, Robert . Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 1986. Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: CAPS. 2012 Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004. Mandraguna, Sakti http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/asma.html, (diunduh pada 11 September 2014, 09.32 WIB) Su’da, Fairuz. http://id.scribd.com/doc/34709803/Biografi-Asma-Nadia, (diunduh pada 11 September 2014, 09.40 WIB) Suara Merdeka, FLP Baru Cetak Jago Kandang, www.suaramereka.com/harian /0702/26/ bud10.html (diunduh pada Sabtu, 17 Oktober 2015)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Nama Sekolah Mata Pelajaran Kelas/ Semester Alokasi Waktu
: SMA : Bahasa Indonesia : XI/1 : 3 x 45 menit
Standar Kompetensi 3. Memahami Berbagai Hikayat, Novel Indonesia/ Novel Terjemahan Kompetensi Dasar 3.1. Menganalisis unsur-unsur instrinsik novel Indonesia 3.2. Siswa mampu menjelaskan nilai-nilai positif yang terdapat dalam novel. Indikator a. Siswa mampu menjelaskan unsur-unsur instrinsik dalam novel (tema, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat). b. Siswa mampu menjelaskan nilai-nilai positif yang terdapat dalam novel. I. Tujuan Pembelajaran a. Siswa dapat menjelaskan unsur-unsur instrinsik dalam novel. b. Siswa dapat menjelaskan nilai-nilai positif dalam novel. Karakter siswa yang diharapkan: a. Berani b. Kreatif c. Percaya diri d. Rasa ingin tahu e. Bertanggung jawab f. Rasa hormat dan perhatian II. Materi Pokok Pembelajaran a. Unsur-unsur instrinsik novel b. Nilai-nilai moral III. Metode Pembelajaran a. Ceramah b. Tanya Jawab c. Diskusi
IV. Kegiatan Pembelajaran Pertemuan ke
Langkah-langkah Pembelajaran
Alokasi Waktu
A. Kegiatan Awal Pertemuan 1
1. Apersepsi a. Guru dan siswa saling memberikan dan menjawab salam. b. Salah satu siswa diminta untuk memimpin doa (jika pelajaran jam pertama). 15 menit c. Siswa bersama guru memeriksa kehadiran. d. Guru bertanya jawab tentang novel yang pernah dibaca oleh siswa dan unsur instrinsik novel. 2. Motivasi a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, yaitu menganalisis unsur-unsur instrinsik novel dan nilai positif yang terdapat di dalam novel. b. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok kecil. B. Kegiatan Inti 1. Eksplorasi a. Siswa menyimak penjelasan guru mengenai unsur-unsur instrinsik novel dan nilai moral yang terdapat di dalam novel.(Rasa hormat dan perhatian) b. Guru dan siswa bertanya jawab mengenai unsur-unsur instrinsik dalam novel.(Rasa ingin tahu) 2. Elaborasi a. Siswa secara berkelompok membaca novel kemudian menganalisis unsur instrinsik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang dan amanat) dalam novel.
100 menit
(Bertanggung jawab dan kreatif) b. Siswa menganalisis nilai moral yang terdapat dalam novel Pesantren Impian. (Bertanggung jawab dan kreatif) c. Guru memfasilitasi siswa melalui tanya jawab dan diskusi untuk memunculkan ide atau gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis. d. Siswa mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas secara bergantian. (Berani dan Percaya diri) 3. Konfirmasi a. Guru memberikan kesempatan pada kelompok lainnya ataupun siswa lainnya untuk memberikan komentar atau menanggapi terhadap jawaban kelompok mengenai unsur instrinsik dan nilai moral dalam novel. (Berani) b. Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya mengenai hal yang belum dipahami.(Rasa ingin tahu) C. Kegiatan Akhir 1. Siswa diminta menjelaskan amanat yang 20 menit diperoleh 2. Siswa diminta mengungkapkan nilai moral yang ditemukan dalam novel. 3. Siswa dipandu guru menyimpulkan pelajaran hari ini. V. Sumber belajar : a. Buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonedia kelas XI b. Novel Pesantren Impian karya Asma Nadia c. Sumber lainnya yang mendukung, seperti buku, majalah VI. Penilaian
Indikator Pencapaian
Teknik Penilaian
Siswa mampu menjelaskan unsur-unsur instrinsik dalam novel.
Tes tulis
Siswa mampu menjelaskan nilai-nilai positif dalam novel.
Tes tulis
Bentuk Instrumen
Contoh Instrumen
Lembar Penilaian Tentukan unsurunsur instrinsik dalam novel tersebut. Sertakan bukti pendukung unsur instrinsik yang telah dibaca ! Tentukan nilai Lembar Penilaian moral dalam novel tersebut!
Rubik Penilaian No
Aspek Penilaian
1
Menjelaskan unsur-unsur instrinsik dalam novel. a. Baik (3) b. Cukup baik (2) c. Kurang baik (1)
2
Menggunakan bukti pendukung unsur instrinsik. a. Baik (3) b. Cukup baik (2) c. Kurang baik (1)
2
Menjelaskan nilai-nilai positif dalam novel. a. Baik (3) b. Cukup baik (2) c. Kurang baik (1)
Bobot
Nilai
Keterangan : Skor maksimal 3(3 x 5) = 45 Nilai akhir
: Skor yang diperoleh x 100 Skor maks.
Mengetahui, Kepala Sekolah SMA
………………2015 Guru Mata Pelajaran
NIP.
NIP.
TRANSKIP WAWANCARA Pewawancara (P)
: Widiyowati Tria Rani Astuti
Narasmber (N)
: Asma Nadia, Penulis Novel Pesantren Impian
P
: Apakah latar belakang Bunda Asma menciptakan novel Pesantren Impian ?
N
: Latar belakang penulisan novel Pesantren Impian saya terinspirasi sama salah satu novel karya Agata Christy 10 Orang Negro, secara cerita berbeda cuma inspirasi awalnya dari buku itu. Dan saya pikir saya ingin menulis sebuah buku dengan setting pesantren, dan saya kira belum banyak yang menulis tentang itu dan saya maunya pesantren impian juga merupakan bentuk yang ketika itu kan marak pesantren yang kalau misalnya teknologinya bagus tapi keislamannya kurang kuat. Tapi ada juga yang keislamannya sangat baik dan hafalan bagus tapi teknologinya kurang. Pesantren Impian mudah-mudahan bisa menginspirasi mereka yang barangkali mempunyai proyek kesana atau sedang membangun pesantren untuk membuat pesantren yang mudah-mudahan lebih mencangkup semua hal artinya keimanannya baik gitu kan ya tapi juga teknologi dan perkembangan keilmuan juga ter-cover dengan baik.
P
: Ketika menulis novel Pesantren Impian adakah sesuatu yang menjadi inspirasi sehingga Bunda menulis novel Pesantren Impian dan mencetuskan “Pesantren Impian” sebagai judul novel ?
N
: Pertanyaan nomor 2 saya pikir sudah terjawab di no 1 yaa. Terus kenapa judulnya pesantren impian bahwa itu mungkin bagi saya pribadi menjadi suatu proyek impian, ya mudah-mudahan juga menginspirasi banyak orang.
P
: Bagaimana tahap-tahap penulisan novel Pesantren Impian dari riset, menulis, hingga editing ? dan berapa lama waktunya ?
N
: Awalnya Pesantren Impian saya tulis sebagai cerita bersambung di salah satu majalah Islam. Jadi hanya ya sebulan sekali kalau nggak salah waktu itu atau dua pekan sekali. Kalau nggak salah sebulan sekali saya harus nyetor 1 nomor gitu kan. Jadi, sudah dimuat bersambung kemudian di edit ulang, kalau nggak salah sampe sekitar 22 nomor ya. Jadi kalau 22 nomor perbulan jadi ya hampir dua tahun.
Saya lupa perdua minggu atau
perbulan gitu dimuatnya. Tapi cukup lama prosesnya kemudian editing lagi sampai kemudian diterbitkan. Proses terbitnya si nggak lama ya sekitar dua bulanan tapi harus menunggu cerita bersambungnya selesai dulu baru bisa diterbitkan. P
: Apakah yang menjadi alasan Bunda Asma meng-edit novel Pesantren Impian yang terbit tahun 2000 dan diterbitkan ulang pada tahun 2014 ?
N : Naskah-naskah saya yang lama karena diterbitkan tahun 2000-an bagaimana pun harus edit ya, harus diedit berat tidak secara alur. Ini sekalian menjawab pertanyaan berikutnya, tidak secara alur, ini sekalian menjawab pertanyaan berikutnya. Tidak secara alur secara garis besar cerita sama gitu tapi penceritaannya kemudian deskripsinya kemudian konflik batin itu ditambahkan sehingga juga diupdate hal-hal yang seperti, nggak mungkin cerita sekarang tanpa membahas tentang sosial media atau gadget gitu kan, yang tahun 2000 tidak terlalu marak. Tapi kalau sekarang dan bahkan sosial media tidak seperti sekarang, baru maen ngeblog. Jadi saya pikir ya tetep harus diedit kesana sehingga kekiniannya dapet gitu.
P
: Apakah ada perubahan yang signifikan pada novel Pesantren Impian tahun 2000 dengan novel Pesantren Impian tahun 2014 baik dari cerita, alur, penokohan ataupun unsur lainnya ?
N
: (terjawab pada pertanyaan sebelumnya)
P
: Di dalam cerita novel Pesantren Impian, sebenarnya konsep “Pesantren” yang bagaimana yang ingin bunda gambarkan dalam novel tesebut ?
N
: Nomor enam juga terjawab ya dengan pertama, saya pengen pesantren yang secara keislaman secara Qur’an kuat tetapi juga disisi lain update terhadap perkembangan zaman gitu lho, update terhadap teknologi. Kalau ceritanya kan di pesantren impian menjadi tempat rehabilitasi ya, tidak hanya pembinaan keislaman tapi juga mereka menampung bahkan mengundang secara pribadi orang-orang yang bermasalah, anak-anak muda yang bermasalah yang kena drugs yang terjebak seks bebas, penjahat kriminal dan bahkan ada yang telah melakukan pembunuhan meskipun tidak sengaja. Jadi, konsep rehabilitasi jalan mencoba menjadi jembatan bagi mereka yang hijrah mereka yang berusaha tobat gitu lho. Jadi, berusaha membantu mereka yang bermasalah untuk hijrah, untuk melakukan tobat dan kemudian menjadi pribadi dengan keislaman yang lebih baik.
P
: Menurut bunda, apakah relevansinya dari cerita novel Pesantren Impian dengan kehidupan masyarakat saat ini ?
N
: Pesantren itu juga bisa menjadi media yang membangkitkan potensi anakanaknya, kalau di pesantren impian kan mereka teater, kemudian ada belajar kaligrafi, ada yang lain-lain. Saya pikir sekarang pesantren juga sudah banyak yang seperti itu untuk melihat dan menyalurkan potensi dan kecerdasan orang kan berbeda-beda potensi mereka juga berbeda-beda gitu kan. Nah kalau pesantren bisa menjadi media yang bisa memberi ruang bagi anak-anak muda untuk melihat potensi mereka, menggali kemudian menjajaki saya kira luar biasa.
P
: Apakah novel Pesantren Impian murni fiksi atau ada pengalaman pribadi yang terselip dalam hidup Bunda Asma ?
N
: Pesantren Impian murni fiksi tetapi saya mengangkat realita termasuk fenomena pergaulan remaja yang harus diperhatikan gitu lho hal-hal yang
trend drugs dan segala macam. “Itunya” saya angkat dari realitas dan berusaha untuk riset juga kesana. P
: Sebagai penulis, pesan apakah yang sebenarnya ingin Bunda sampaikan kepada pembaca melalui novel Pesantren Impian ?
N
: Pesantren Impian saya berharap bisa memberikan, membangun harapan mereka mungkin
yang anak-anak muda kita yang bermasalah atau
mungkin yang sudah terseret pergaulan untuk tidak menyerah pada tarikan-tarikan ya jalan neraka di sekitar mereka dan berusaha untuk lewat tokoh-tokoh di Pesantren Impian saya berharap siapa pun yang saat ini mungkin berada atau ada dalam situasi atau pernah melakukan kesalahan seperti yang dialami atau dilakukan tokoh-tokoh dalam novel Pesantren Impian mudah-mudahan juga tergerak untuk hijrah juga tergerak untuk melihat bahwa dan mencoba mendekati jalan tobat bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar untuk Allah ampuni bahkan syirik saja Allah ampuni kalau misalnya hamba-Nya bertobat gitu lho, sebelum maut menjemput. Jadi ada semangat hijrah di sini ada semangat taubat di sini ada semangat untuk Insya Allah selalu ada ruang untuk menjadi pribadi yang lebih baik selalu ada ruang untuk keluar dari dan menjadikan apa hal-hal yang tidak baik yang saat ini kita lakukan untuk menjadi masa lalu.
Bukti Wawancara
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
No.
FORM (FR)
Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia
Dokumen
:
FITK-FR-AKD-081
Tgl.
Terbit :
1 Maret 2010
No.
Revisi: :
01
Hal
1tl
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor : Un.01/F. 1/KM.01.3/..?.1.!.9 .12014 Lamp. :Hal :Bimbingan Skripsi
J
akarta, 3 Desember 20 1 4
Kepada Yth.
Novi Diah Haryanti, M. Hum Pembimbing Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UN Syarif Hidayatullah Jakarta. As s al amu' al aikum
Dengan
wrw
ini
b.
diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing
llll
(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa: Nama
Widiyowati Tria Rani Astuti
NIM
111
Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester
VII (Tujuh)
Judul Skripsi
:
1013000077
Nilai Moral Dalam Novel Fesantren Impian karya Asma Nadia
dan_ Rele-vansinya fe-rhadap Peun-belajsran Bahasa tlarrr Sastr6
Indonesia. Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 1 Desember 2014 , abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.
Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanj angan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaihtm
wr.wb.
..."1, :i
..:
Jurusan
:A., Ph.D. 199002 1 00 r Tembusan: Dekan FITK Mahasiswa ybs
1. 2.
LEMBAR UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penelitian skripsi berjudul
'Nilai Moral
dalam Novel Pesantren Impian Karya Asma Nadia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra
di Sekolah" yang
disusun oleh V/IDIYOWATI TRIA RANI
ASTUTI, NIM 1111013000077, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra lndonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
lakafia, telah disetujui kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada Selas4 06 Oktober 2A15.
Jakarta, 06 Oktober 2015
NIP.
19841 126 201503
2 007
DAFTAI( REIIERItrNSI Nama
Widiyowati Tria Rani Astuti
NIM
1
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan I(eguruan
Judul Skripsi
Nilai Moral dalam Novei
I 1 1013000077
Pesantren Impian I(arya Asma
Nadia dan Implikasinl,a Terhadap I'embelajarau Sastra di Sekolair.
Novi Diah Flaryanti,
Dosen Pembimbing
N4.
I{um.
Halaman dalam Buku
No
Nama Buku
I
Adisusilo, Sutarjo, Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
56
Aunillah, Nurla Isna. Panduan meneraplcon Penclidikcm Karalrter di Sekolah. Jogjakarla:
6J
2.
Laksana,2011. J.
Atmazaki,
Ilmu Sastra: Teori dan
Terapan.
Padang: Angkasa Raya Padang, 1990. 4.
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim, Menganolisis Filrsi Sebuah Pengontctr. Bogor: Ghalia Indonesia,
62
75
2010. 5.
6.
7.
8"
Bertens, I(. Etilca" Jakarla: Gramedia Puslaka Utama, 1993. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan P emerintah N tentang Pendidikan Jakarta,2006.
38
8-9
Eneste, Pamusuk. Novel clan Film. NTT: Nusa Indah,1991.
57
Gunawan, He,ri. Pendidikan Karakter : Konsep dan lrnp I eme t a s i. Bandung: Alfab eta, 20 12.
J-l
Paraf
\l
r $
th tA
L
\,h *
r9,
9.
10.
Hadiwardoyo, Al. Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: I(anisius, 1 990.
Hawthom, Jeremy. Studying the Novel An Introductiorz. USA; Great Britain, 1 985.
1l
13
1
Lickona, Thomas. Penclidikan Karakter Puncluan Lengkap Mendidilc Siswct Meniadi Pintor clun
62-66
Bailc. Bandung: Nnsa Media, 2013. 12.
13.
14.
15.
16.
Minderop, Albertine. Metode Karakteristik Telaah Fiksi. lakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005,
Moleong, Lexy
J.
88-90
Metodologi Penelitian
Kualitatif . Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
4
Nadia, Asma. Novel Assolanrualoiktutt, Beijing!. Jakarla: Noura Books, 2013.
2-289
Nadia, Asma. Novel Pesantren Impion. Jakarla AsmaNadia I'ublishing House. 2014.
340
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi Yogyakarta: Gaj ahMada University Press, 1 995,
6,9,99, 165,167,
209-2t6 \7.
Oenrarjati, Boen
S.
Mengakrablcon Sostru.
Jakarta: UI-Press, 20 1 2. 18.
1
Priyatni, Endah Tri. Merubucn Sostrrt Dengun Ancongan Literosi Krilis..Iakarta: PT Bumi Aksara,2010.
t9.
20.
Bulir-lJulir Sastru & B cth asa. Yogyakarla: I(anisius, I 99 l.
$ $ w
$
\fl r1
\h \,\
r
Pur-wo, Bambang l(aswanti.
Ratna, Nyoman I(utha. Teori, Metocle, don Teknik Penelitian Sostro. Yogyakarta: Pustaka Felajar, )oo'1
2l
t24
lq-
Rusyana,
Yus. IJahaso dan Sostra
6i
47,74
clalsnt
Gompitan Pencliclikon. Bandung:C.V. I)ipnegoro, 1
984.
322
Lh
F
22.
Salam,
H. Ilurhanuddin. Etika Individual
Polcr
Dosar Filsctfat Moral. .Iakarta: Rineke Cipta,
31
2000. 23.
Salam, H. Burhanuddin. Etilca Sosial (Asos Morol Dalaru l(ehiclupun Marusia). Jakarta: Rineke
Cipta,2002. 24.
IIem
Sri WahyLrningtyas. Pengantar Apresiasi Prosct. Surakarta: Yuma Sentosa. Wijaya
J
tb
7, 55-56
s
clan
Pr,rstaka,2010
25.
Siswanto, Wahyudi. Penguntor Teori Sastra. Jakafia: Grasindo, 2008.
26.
27.
Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian J
28.
742,149,
lBl-183
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Y ogyakarta: Pustaka Pelaj ar, 20 I 0.
48
Anak.
29,64
akarta: Bumi Aksara, 2006.
Stanton, Robert . Teori Fiksi Robert Stanton, Yogyakarta: Pustaka P elajar, 2007 Sumardjo, Jakob dan Saini I(.M, Apresiasi Kesusas traan. Jakarta: Gramedia, 1 986.
61
.
29.
30.
31
Susanto, I)wt. Pengantor Teori Sostrct. Jakarta: CAPS. 2012
Widiastono, Tonny 2004.
)L.
33.
29
45
D.
Pendiclikan Monusict Inclonesicr. Jakarta: PT I(ompas Media Nusantara,
Mandraguna,Sakti. hftp:// www.taqranisrqailfna rzuki .co.id/tokoh/asma.html, (diunduh pada l1 September 2014, 09.32 WIB) da,Fairuz. http ://id. sqribd. com/doc/3 470 9 Q03./ pada l1 September 2014, 09.40 WIB) Su'
Biografi-Asm.a-Nadia,(diunduh
I
110
s
\l
I,F
rh
$ \A
\l \h
F
BIOGRAFI PENULIS
WIDIYOWATI TRIA RANI ASTUTI lahir di Jakarta pada 9 Juli 1993, biasa dipanggil dengan Widiya adalah anak
kedua
dari
dua
bersaudara.
Menuntaskan
pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 09 Pagi Cipete Utara, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri
250
Jakarta.
Setelah
itu,
melanjutkan
pendidikannya di SMK Dharma Karya Melawai. Setelah lulus pada tahun 2011, ia memilih meneruskan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Semoga karya pertamanya ini skripsi dengan judul “Nilai Moral dalam Novel Pesantren Impian Karya Asma Nadia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah” menjadi awal dari kesuksesan yang akan mendatang.