NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER; IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA Skripsi
Mega Fiyani NIM 107013000047
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
i
ABSTRAK MEGA FIYANI, 107013000047, “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. November, 2011. Bukan Pasar Malam adalah sebuah novel yang sarat dengan nilai-nilai sosial. Buku ini menceritakan pengalaman seorang anak revolusioner yang pulang kampung untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku. Dimulai dengan persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan, kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di Jakarta. Rumusan masalah penelitian ini tentang gambaran sosial masyarakat Indonesia, nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam dengan tinjauan sosiologi sastra, dan implikasi nilai sosial dalam novel tersebut dalam pembelajaran sastra di sekolah. Untuk menggali nilai-nilai tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta, kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan hasil analisis buku ini diketahui bahwa buku tersebut memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di dalam keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih sayang, nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan. Kata kunci: nilai sosial, implikasi.
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt semata, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, serta kesehatan rohani dan jasmani. Atas izin dan kasih-Nya penulis diberikan kemudahan sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra”. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada utusan Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad Saw yang menghindarkan kita dari jalan kegelapan. Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, karya ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA. Ph. D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini; 2. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sosok dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini; 3. Bapak Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang sangat
berpengaruh
dalam
penyelesaian
skripsi
ini,
juga
telah
mengenalkan dan membangkitkan kecintaan penulis pada dunia bahasa dan sastra. Terima kasih untuk arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak selama ini. 4. Ibu Dra. Elvi Susanti, M. Pd., selaku dosen PBSI yang telah memberikan ilmu kebahasaan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
iii
5. Ibu Rosida Erowati, S.S. M. Hum., selaku dosen PBSI yang telah memberikan pengetahuan kesusastraan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 6. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan; 7. Keluarga ku tercinta terutama kepada Papa dan Mama, yang selalu memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis untuk terus maju, dan selalu memberikan kasih sayangnya hingga detik ini; 8. Kak Risfana Faisal, guru teater sekaligus kakak dan teman yang telah banyak memberikan buku bacaan sastra dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 9. Keluarga besar Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR), terima kasih atas semangat yang telah kalian berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 10. Seluruh mahasiswa/mahasiswi PBSI angkatan 2007, teman-temanku seperjuangan, terima kasih atas dukungannya; 11. dan untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis senantiasa mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Serta diberikan balasan setimpal dari Allah Swt. Amin. Akhirnya penulis pun berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, September 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR………………………….................................................. i-ii DAFTAR ISI......................................................................................................... iii-iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………......................................1-4 B. Rumusan Masalah…………………………................................................4 C. Tujuan Penelitian………………………….................................................4-5 D. Metodologi Penelitian…………………………..........................................5-6 E. Manfaat Penelitian…………………………...............................................6 F. Kajian Pustaka………………………….....................................................6-8 G. Sistematika Penulisan.......................................…………………………...8 BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Sosiologi Sastra…………………………….................................9 1. Pengertian Sosiologi Sastra………………………………………......9-13 B. Hakikat Novel……………………………................................................13 1. Pengertian Novel……………………………......................................13 C. Hakikat Nilai Sosial…………………………….......................................13-14 1. Nilai dan Sosial……………………………........................................14 2. Pengertian Nilai Sosial…………………………….............................15-16 3. Ciri Nilai Sosial……………………………........................................16-17 4. Macam-macam Nilai Sosial ……………………………....................17-18 5. Hakikat Pembelajaran Sastra……………………………...................18-20 BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam………………………………………20 1. Biografi Pramoedya Ananta Toer...........…………………………….20-25 B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer...………………………………….…………………………………25-27
v
C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer………………………………………27 D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam…………………………...28-29
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sastra menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sastra mengandung nilai-nilai sosial, falsafati, dan religi. Sebuah karya sastra memiliki nilai yang luar biasa dalam penceritaannya jika pengarang dalam proses pembuatan karyanya mampu melibatkan semua aspek kehidupan di dalamnya. Sebuah karya sastra bernilai tinggi dan terasa ketika membaca isinya yang mampu melibatkan batin pembaca dengan nuansa imajinatif yang pengarang berikan. Pada hakikatnya seorang sastrawan adalah bagian dari masyarakat. Sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa adalah salah satu ciptaan sosial. Oleh sebab itu, sastrawan tidak dapat lepas dari status sosial tertentu. Karya sastra merupakan cerminan hubungan sosial individu dengan individu lain, atau antara individu dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ketika membaca sebuah karya sastra, mungkin kita akan merasakan kenikmatan seperti kita sedang melakukan permainan, atau bahkan kita akan merasakan ketenangan, atau karena begitu dalamnya kita dalam membaca sebuah karya sastra, kita akan lebih mudah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sifat sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Horace mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna.1 Pengertian ini menunjukkan fungsi karya sastra yang bukan sekedar menghibur, namun mengajarkan sesuatu yang berguna. Pendapat lain diungkapkan tentang fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi 1
Achadiati Ikram, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan Aksara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 33
1
berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya. Hal itu dikarenakan karena pada dasarnya setiap orang senang cerita, apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan. Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, cerita, fiksi, atau kesastraan pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai ”memanusiakan manusia.”2 Sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, di dalamnya terbayang dengan lebih tegas nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita dan selalu ditinjau kembali. Dengan menggunakan bahasa sebagai alat seorang sastrawan berusaha untuk tidak sekedar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif terhadapnya.3 Fungsi novel ini adalah bagaimana nilai sastra yang terkandung berkaitan dengan nilai sosial, bagaimana kisah ini memuat nilai sastra yang sangat berkaitan dengan nilai sosial yang ada pada masa itu. Nilai sosial dimana sosok Ayah masih menghormati pemerintahan masa itu dengan penuh kesabaran. Ia merupakan guru yang sangat berbakti. Akan tetapi, dipenjarakan di tiga tempat dalam waktu dua minggu. Kemudian tokoh Aku adalah mantan tentara muda yang dipenjarakan oleh Belanda karena idealismenya. Dikisahkan dalam novel ini adalah masa pascakemerdekaan yang masih banyak terdapat rakyat yang mengalami kemiskinan sedangkan para jenderal atau pembesar-pembesar hanya sibuk
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press.2000), hlm. 4 3 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah” dalam Susastra volume 3/No.5/2007, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 4
2
mengurus dan memperkaya diri sendiri. hak itu pun yang masih terjadi sampai saat reformasi ini. Beberapa pengarang telah mengangkat kehidupan masyarakat menjadi tema utama dalam karyanya. Kesenjangan sosial, seperti masalah kemiskinan, masih kuatnya nilai feodalisme, bobroknya nilai dan norma, menjadi masalah yang menarik untuk dibahas. Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang sering kali melatarbelakangi ceritanya dengan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan. Bukan Pasar Malam diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1951. Di dalam novel ini, Pramoedya menggambarkan kesedihan, penderitaan dan kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai interaksi sosial dalam keluarga, hingga interaksi dengan kehidupan di masa lalu serta lingkungan yang serba sulit dideskripsikan dengan sangat detail oleh Pramoedya. Sehubungan dengan hal di atas, peneliti tertarik mengkaji nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Dari isi cerita novel tersebut akan dicari nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Novel dinilai memiliki banyak nilai sosial, nantinya bisa dijadikan sebagai materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
3
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar penelitian ini sebagai berikut: 1) Dari segi penceritaan, novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer sangat menarik untuk dikaji menggunakan tinjauan sosiologi sastra. 2) Novel Bukan Pasar Malam menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan untuk mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 3) Novel Bukan Pasar Malam relevan dengan dunia pendidikan sehingga dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan sosiologi sastra? 2) Bagaimana nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan tinjuan sosiologi sastra? 3) Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra?
C. Tujuan Penelitian Dengan adanya penelitian ini, diharapkan: 1) Untuk mendeskripsikan gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan sosiologi sastra. 2) Untuk mendeskripsikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra.
4
3) Untuk mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra.
D. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data hubungannya dengan konteks keberadaanya. Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna yang terkandung di balik tindakan, yang mendorong timbulnya gejala sosial. Penelitian mempertahankan hakikat nilai-nilai. Sumber data dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana. 4 Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel ini. Metode penelitian sastra yang digunakan secara khusus adalah metode sosiologi sastra. Metode sosiologi sastra didasarkan atas prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi atau cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Langkah-langkah dalam penelitian ini mengikuti metode kerja sosiologi sastra yakni, dengan cara menelaah konteks sosial karya sastra dengan dunia kenyataanya atau zamannya. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah: 1) Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu teks novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, 2) Menentukan fokus penelitian, yakni menelaah konteks sosial karya sastra pada teks, fungsi novel berkaitan dengan nilai sosial yang terkandung dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah 4
Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 46-47
5
3) Menganalisis objek penelitian, dan 4) Menyusun dan membuat laporan penelitian.
E. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi Sastra Indonesia khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam teori sosiologi sastra dalam mengungkap novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. 2) Manfaat Praktis Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer terutama menguraikan cara pandang pengarang yang direpresantasikan dalam karyanya, dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.
F. Kajian Pustaka Kajian tentang novel ini berjudul ”Ayah-Anak: Kajian Eksistensial dan Fenomenologis Atas Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer” yang disusun oleh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, yaitu: Waty Chai, Tonny, dan Hari K. Lasmana. Penelitian tentang relasi ayah-anak yang menggunakan pendekatan Merleau Ponty dan eksistensial Satre yang dianggap mampu menawarkan makna ayah dalam inventarisasi tambahan tentang makna ayah. Prof. Dr. A. Teeuw seorang peneliti sastra Indonesia dari Belanda, menulis sebuah disertasi tentang karya-karya Pramoedya dengan judul ”Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer‖ yang kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1997 membahas novel Bukan Pasar Malam dari sudut pandang (point of view), hubungan kekeluargaan, dan latar belakang. Hal tersebut ditulisnya dengan judul Tiga Keluarga Yang
6
Bermirpan Blora Ditengok Kembali. A. Teeuw menjelaskan bahwa sudut pandang dalam cerita Bukan Pasar Malam merupakan cerita persona pertama, yang di dalamnya pencerita sekaligus protagonis. Dilihat dari hubungan kekeluargaan dari beberapa cerita yang disebutkannya seperti Blora, Dia Jang Menyerah, dan Bukan Pasar Malam tidak menyajikan ’riwayat sejati’ keluarga Pramoedya. Tetapi bagi tiga cerita ini Pramoedya memerlukan latar sebuah keluarga yang mempunyai kredibilitas. Dan mungkin tidak kebetulan dalam cerita keluarganya yang nampaknya paling dekat dengan kenyataan keluarga Pramoedya, adalah Bukan Pasar Malam. Kajian pustaka lainnya yang terkait dengan penelitian ini adalah ”Nilai Sosial dalam Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar” ditulis oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Muhammadiyah Makkassar. Dalam novel Azab dan Sengara, penggambaran hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia, peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya. Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah. Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah,
7
masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan. Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan (marga). Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari jodoh pada marga lain. G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai berikut: Bab I berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi Kajian teoretis, yang membahas hakikat sosiologi sastra, hakikat novel, hakikat nilai sosial, dan hakikat pembelajaran sastra. Bab III berisi Profil Pramoedya Ananta Toer, yang membahas penulis novel Bukan Pasar Malam, karya-karya dan penghargaan Pramoedya Ananta Toer. Bab IV berisi Analisis nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, yang membahas tinjauan terhadap novel Bukan Pasar Malam, Sinopsis Bukan Pasar Malam, gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam, temuan penelitian dan analisis nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam, implikasi dalam pembelajaran sastra di sekolah. Bab V berisi Penutup, yang membahas simpulan dan saran.
8
BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Sosiologi Sastra 1. Pengertian Sosiologi Sastra Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.5 Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan perubahannya.6 Sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan.7 Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood (1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa
5
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 7 6 Dandi Sugono (editor). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. hlm. 1332 7 Drs. Widjojoko, M. Ed, dan Drs. Endang Hidayat, M. Pd. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I, (Bandung: UPI Press, 2006), hlm. 2
9
masyarakat itu bertahan hidup. Hal ini menyebabkan adanya satu pendapat bahwa sosiologi adalah ilmu yang rumit.8 Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke- 18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael (Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la literature cin sideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albrecht, dkk.9 Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi
masyarakat
yang justru
merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.10 Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Burhan mengutip pendapat Wellek dan Warren dalam Teori Pengkajian Fiksi membahas hubungan antara sastra dan masyarakat. Sastra lahir sebagai proses kreativitas manusia yang bersumber dari kehidupan masyarakat (manusia) tempat ia itu dilahirkan. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi (peniruan). Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan dari hal yang dilihat dan
8
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 1 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 331 10 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 332 9
10
dirasakan oleh sastrawan dalam lingkungan kehidupan yang kemudian dituangkannya dalam karya sastra.11 ”Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang memengaruhi pengarang [...] dan harus mengabaikan sudut pandang yang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya yang independen dan berdiri sendiri” 12 Karya sastra itu lahir melalui imajinasi pengarang dengan gambaran atau realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Pengarang merupakan anggota masyarakat sehingga dia ikut merasakan dan mengalami akibat dari kejadiankejadian yang timbul di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ide-ide yang diekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, hal-hal yang dilihat, dialami, dan dirasakan oleh pengarang dalam lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya. Dirumuskan sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat. Ia terikat status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Jadi tak apa, jika kita membicarakan masalah 11
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press.2000), hlm. 6-7 12 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.2005), hlm. 8
11
timbal-balik antara ketiga unsur tersebut. Karena sejatinya karya sastra yang telah dijelaskan sebelumnya, diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Boleh dikatakan sastra muncul berdampingan dengan lembaga sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif, misalnya, kita sulit memisahkan sastra dari upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari, dan permainan. Dalam membaca novel atau sajak, kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan seharihari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.13 Menurut Ian Watt dalam eseinya yang berjudul ‖Literature and Society‖ tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, secara keseluruhan adalah sebagai berikut: pertama, konteks sosial pengarang. Ini hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaintannya dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Maksudnya sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan masyarakat. Dan ketiga, fungsi sosial sastra, yaitu sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.14 Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, berupa hasil karya sastra dengan masyarakat.
13
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 1-2 14 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 3-4
12
B. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ’novel’ berarti karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sebutan novel dalam bahasa Inggris yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti ’sebuah barang baru kecil’, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams, 1981: 119) Dalam novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya roman waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris. Di Inggris dan Amerika istilah yang dikenal adalah novel, tidak dikenal atau tidak menggunakan istilah roman, betapapun menyangkut karya-karya besar. Karya Tolstoi, Perang dan Damai, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga disebut novel walaupun di Rusia dinamai roman.15 Unsur-unsur yang membangun sebuah novel secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar (ekstrinsik) dan (2) Struktur dalam (intrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya: faktor sosial-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut, seperti: tema, tokoh, alur, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.16
15 16
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 32 Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 35
13
C. Hakikat Nilai Sosial Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk mengatur berlangsungnya kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Di sisi lain, ada juga sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara umum disebut sebagai nilai sosial. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu terdapat perbedaan tata nilai antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun. 1. Nilai dan Sosial Nilai menurut Horton dan Hunt (1987) adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.17 Kata ’nilai’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Kata ’nilai’ diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai nilai. Maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna dalam kehidupan manusia. Sedangkan kata ’sosial’ memiliki arti berkenaan dengan masyarakat. Jadi, nilai sosial merupakan hal-hal bersifat 17
J. Dwi Narwoko, dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua, (Jakarta: Media Group, 2004), hlm. 55
14
penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
2. Pengertian Nilai Sosial Berikut ini definisi nilai sosial menurut pendapat para ahli: a. Alvin L. Bertrand Nilai adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu objek, gagasan, atau orang. b. Robin Williams Nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang. c. Kimball Young Nilai sosial adalah asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting dalam masyarakat. d. Clyde Kluckhohn Dalam bukunya ' Culture and Behavior ', Kluckhohn menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nilai bukanlah keinginan, tetapi apa yang diinginkan. Artinya nilai bukan hanya diharapkan, tetapi diusahakan sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain. e. Woods Nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan seharihari.
15
f. Koentjaraningrat Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. g. Green Kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek. Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.18 3. Ciri Nilai Sosial Beberapa ciri nilai sosial di antaranya adalah sebagai berikut: a. Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antaranggota masyarakat b. Nilai sosial disebarkan di antara anggota masyarakat (bukan bawaan lahir) c. Nilai sosial terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar yang berlangsung sejak dari masa kanak-kanak dalam keluarga) d. Nilai sosial merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia e. Nilai sosial dapat memengaruhi pengembangan diri sosial dalam masyarakat, baik positif maupun negatif 18
Anonim, ”Nilai Sosial” di dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh pada Jumat, 1 April 2011 pkl 21:24 WIB)
16
f. Nilai sosial memiliki pengaruh yang berbeda pada antaranggota masyarakat g. Nilai sosial bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain h. Nilai sosial cenderung berkaitan satu sama lain dan membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam suatu masyarakat.19 4. Macam-macam Nilai Sosial Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Seseorang dianggap patuh atau menyimpang dari tatanan sosial, nilai tersebut sebagai tolok ukurnya. Nilai-nilai tersebut sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada hampir semua masyarakat. Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara lain sebagai berikut: 1. Etika Etika menjadi tolok ukur untuk menganggap tingkah laku atau perbuatan seseorang dianggap baik atau menyimpang. Etika adalah suatu nilai tentang baik atau buruk yang terkait dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bersama. Misalnya, dalam berbicara, sopan atau tidakkah seseorang dalam bertutur kata. Jika seseorang berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa mereka akan menggunakan kromo madyo atau kromo inggil kepada orang yang lebih dihormati, misalnya: ‖Punopo bapak sampun dhahar?‖ (Apakah Bapak sudah makan?)
2. Moral Nilai sosial yang terkait dengan moral adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan jiwa, hati, dan perasaan seseorang dalam melakukan tindakan. Nilai moral menjadi tolok ukur untuk menganggap perilaku seseorang, bertentangan dengan hati nurani atau tidak. Misalnya, mencuri, tidak jujur, dan ingkar janji merupakan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan moral. Tindakan pemerkosaan, melakukan kebohongan, dan memfitnah adalah tindakan yang tidak bermoral. 19
Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1(Jakarta: Yudhistira, 2006), hlm. 36
17
3. Agama Nilai sosial terkait dengan nilai agama adalah tindakan-tindakan sosial yang terkait dengan tuntunan ajaran agama yang ada. Apakah seseorang menjalankan kewajiban agama secara benar dan baik ataukah ia tidak menjalankan kewajiban keagamaannya secara baik.
4. Hukum Nilai hukum sangat terkait dengan perundang-undangan yang berlaku. Hukum biasanya memiliki kepastian tentang nilai-nilai yang diatur di dalamnya dan sanksi yang diberikan terhadap pelanggarnya. Nilai hukum terkait dengan hak asasi manusia atau terkait dengan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan akan masuk dalam hukum pidana. Pelanggarnya secara otomatis dilaporkan oleh pihak kepolisian untuk diadili.20
D. Hakikat Pembelajaran Sastra Secara umum tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan
kehidupan,
serta
meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi 20
Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1(Jakarta: Yudhistira, 2006), hlm. 36-37
18
kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam Kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah: 1. kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal; 2. kecakapan berpikir rasional (thinking skill); 3. kecakapan sosial (social skill); 4. kecakapan akademik (academic skill); 5. kecakapan vokasional (vocasional skill).21 Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat, bukan dengan cara teknik akademis melisankan melalui tulisan sastra.22 Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain. Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca. Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada siswa. Sastra dapat mempengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal. 21 22
Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: 2008), hlm. 171-173 Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: 2008), hlm. 67
19
Karya sastra sangat bermanfaat bagi pembaca apabila ia bersedia mengapresiasikannya. Apresiasi mengandung arti memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai. Obyek apresiasi lain, mengalami sendiri atau dari membaca buku. Salah satu buku yang juga memuat pengetahuan adalah novel. Karya sastra yang berbentuk novel, memuat kisah-kisah tentang kehidupan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa secara halus yang bersifat imajinatif oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca pun mesti menggunakan pikiran kritis dan kepekaan perasaannya untuk karya sastra. Pemahaman sensitif lebih mengacu pada aspek afektif kemampuan seseorang daripada aspek kognitif. Menurut Oemarjati mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang dikandung karya yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kerangka tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran sastra di sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu pada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif.23
23
Boen, S. Oemarjati, ―Pembinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses Belajar Mengajar,‖, dalam Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pengajaran, ed., Bambang Kaswanti Purwa (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 58
20
BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam 1. Biografi Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta Toer yang oleh semua adiknya dipanggil Mas Moek, adalah nama kepengarangan yang kini menjadi standar bagi dia. Perjalanan dari nama Pramoedyo ke nama Pramoedya Ananta Toer, tidak sangsi lagi, merupakan sejarah panjang pergulatan pemikiran dan perenungan. Tidak heran, Mas Moek merasa
perlu
menuliskannya
dalam
satu
uraian
panjang
berjudul
―Memoar−Hikajat Sebuah Nama‖ di tahun 1962. Paling tidak ada sembilan nama yang pernah digunakannya, sebelum akhirnya ia mantap menggunakan nama Pramoedya Ananta Toer. Itu dapat dilacak dari berbagai tulisan yang dimuat dalam májala dan suratkabar pada zamannya, yaitu: a. Pramoedya Tr., dalam ―115 Boeah Wasiat Madjapahit‖, penerjemah (Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947) b. Ananta Toer, dalam Lode Zielens: ―Bunda untuk apa kami dilahirkan‖, penerjemah (Sadar, No. 5 Th. II, 13 Juni1947) c. M. Pramoedya Toer, dalam ―Hoeroef‖ (Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947) d. Pr. Toer, dalam ―Kalau Mang Karta di Djakarta‖ (Sadar, Mei 1947), “ORI di Djakarta” (J. 23-5-1947, Sadar 1947) e. Pr. A. Toer, dalam ‖Dajachajal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu‖ (J. 11XI-1952, Pemuda, No. 1 Th. IV, Januari 1954) f. Pramoedya Toer, dalam ‖Bingkisan: Untuk adikku R.‖ (Sadar, No.6 Th. II, 13 Juni 1947) g. Pram Ananta Toer, dalam ‖Keluarga Mbah Rono Djangkung‖ (sumber tak jelas) h. Pramudya Ananta Tur, dalam ‖Lemari Buku‖ (Mimbar Indonesia, [1951], ”Keadaan sosial para pengarang Indonesia” (Star Weekly, No. 576, 12 Januari 1957), ”Sepku” (Mingguan Politik Pelopor, 27 Januari 1952)
21
i. Pramudya Ananta Toer, dalam ”Kalil siopas kantor”, ”Yang tinggal dan yang pergi (Gelanggang, April 1955), dan akhirnya j. Pramoedya Ananta Toer, dalam ”Anak Tumpahdarah” (sumber tak jelas).24
Pramoedya Ananta Toer lahir di tengah-tengah keluarga guru yang gandrung akan kemerdekaan. Mamuk adalah nama kecil dari Pramoedya Ananta Toer, ayahnya bernama
Imam Mastoer, ia dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 6
Februari 1962. Nama Pramoedya sendiri memiliki makna “yang paling pertama dalam peperangan”, makna dari nama tersebut sesuai dengan suasana waktu itu pada zaman penjajahan. Ibunya pernah menerangkan bahwa para yang berarti ’yang terutama’ atau ’paling pertama’, sedangkan moedya berarti ’peperangan’, jelas yang paling pertama dalam peperangan.25 Ayahnya bernama Mastoer adalah seorang guru. Selain itu ayahnya juga seorang tokoh Politik (PNI) cabang Blora yang juga mampu menulis. Hal ini banyak berpengaruh terhadap Pram. Apalagi ia pernah bersekolah di sekolah yang berpaham kebangsaan. Paham kebangsaannya itu tumbuh dan berkembang saat Belanda ingin memulihkan kekuasaannya di Indonesia. Pram bergabung dengan kaum nasionalis, dengan bekerja di radio dan menerbitkan majalah berbahasa Indonesia. Pada saat itulah ia mulai menulis cerita. Tulisannya yang pertama adalah cerita pendek berjudul Kemana di majalah Pancaraya tahun 1947. Selanjutnya namanya mencuat melalui novel Kranji-Bekasi Jatuh pada tahun 1947. Pram mengaku menulis sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar (SD), satu di antaranya pernah dikirimkan ke penerbit Tan Koen Swie, Kediri, tetapi ditolak. Anak sulung ini pernah menempuh pendidikan di Radio Volkschool Surabaya (1940), Taman Dewasa/Taman Siswa (1942-1943), Sekolah stenografi (19441945), dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945). Pernah menjadi juru tik di Kantor Berita Jepang Domei (1942-1945), Letnan dua dalam Resimen 6 Divisi 24
Koesalah Soebagyo Toer, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. viii 25 Koesalah Soebagyo Toer, “Pengantar Koesalah Soebagyo Toer” di dalam Menggelinding I. Editor: Astuti Ananta Toer, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), hlm xxi
22
Siliwangi (1946), Redaktur Balai Pustaka (1950-1951), Pimpinan ”Literary & Features Agency Duta” (1951-1954), Redaktur bagian penerbitan ”The Voice of Free Indonesia” (1954), anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Soviet (1958), Anggota Dewan Komite Perdamaian Indonesia (1959), redaktur ”Lentera” (1962-1965). Dosen Fakultas Sastra Universitas Res Republika, Jakarta (sekarang Universitas Trisakti), dan dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, Jakarta. Pada saat di Penjara Bukit Duri, tahanan dilarang untuk menulis, Pram mencari cara untuk tetap bisa menulis, yaitu memakai arang yang diruncingkan. Ia menulis sambil jongkok di atas kaleng margarin, dengan alas sepotong papan, bermeja ambin beton yang biasa digunakannya untuk tempat tidur. Ia pun tetap menulis di kala malam, sambil tengkurap di ambin tempat tidurnya dengan penerangan pelita.
26
Di Pulau Buru pun ia mendapat pelarangan yang sama.
Namun, ia tetap mengatur untuk menulis. Tubuh Pram memang terpenjara. Namun tidak menghalangi pikirannya yang terus bergolak. Bahkan di Pulau Buru lah empat buku novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang merupakan karya terbesar Pram Tetralogi Pulau Buru. (The Quartet Buru). Proses penciptaan buku tersebut itu pun sangat luar biasa. Pram khawatir tidak mungkin bisa keluar dari Buru hidup-hidup dan menyelesaikan empat bukunya itu. Lalu ia memutuskan untuk mengarang empat novel tersebut di dalam kepalanya, dan menceritakannya secara lisan kepada rekan-rekannya sesama tahanan politik di Pulau Buru. Pada tahun 1960an ia ditahan kembali oleh pemerintahan Orde Baru rezim Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan (Juli 1969-16 Agustus 1969), dan akhirnya di Pulau Buru selama sepuluh tahun (Agustus 196912 November 1979). Penjara, penderitaan, penyiksaan, penghinaan tidak membuat Pramoedya Ananta Toer “mati”. Kreativitasnya bergolak dan semuanya itu dibalasnya dengan karya-karya besar yang mampu menembus dunia. Dari 26
Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau Buru, Jakarta: Lentera. hlm. 70
23
penjara inilah karya-karyanya dikenal sampai ke luar negeri. Pramoedya Ananta Toer memang ditakdirkan untuk menulis. Bahkan di penjara di mana ada larangan untuk menulis, Pram menggunakan segala cara untuk bisa menulis. Kehidupan pengarang yang satu ini tak lepas dari kontroversi. Ketika Pramoedya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award tahun 1995 diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke Yayasan Ramon Magsaysay. Mereka merasa penghargaan tersebut tidak pantas diberikan kepada Pramoedya, karena Pram pernah dituding sebagai jubir Lekra yang paling galak, menghantam, menggasak, membantai, dan mengganyang di masa Demokrasi Terpimpin. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsanya meralat pemberitaan tersebut. Katanya bukan menuntut pencabutan, namun mengingatkan siapa Pramoedya itu. Katanya banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram dulu. Maka dari itu pemberian Ramon Magsaysay dikatakan sebagi suatu kecerobohan. Di lain pihak, Mochtar Lubis mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan kepadanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Begitu pula dengan HB. Jassin.27 Pengarang yang bersahabat dengan penjara ini merupakan penulis yang produktif. Terbukti ia telah menulis lebih dari 40 karya seperti: novel, cerita pendek, drama, sejarah, kritik sastra dan lebih dari 400 essai dalam surat kabar. Pram seorang humanis, sebagaimana ia sangat mengagumi Multatuli. Ia seorang nasionalis, sangat cinta kepada kemanusiaan dan kepada bangsanya. Oleh karena itu, karya-karyanya selalu membela kemanusiaan, tentang penderitaan anak-anak bangsa karena penjajahan. Dari kecintaannya kepada kemanusiaan inilah lahir sejumlah karya Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga Tetralogi Bumi Manusia. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadarkan diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa ia ke RS. St. Carolus. Ia didiagnosis menderita radang 27
Astuti Ananta Toer (editor), dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara. 2009. hlm.4-5
24
paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, ia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu, 29 April sekitar pukul 19.00 WIB begitu sampai di rumahnya. Kondisinya menjadi jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00 WIB. Pram masih dapat tersenyum
dan
mengepalkan
tangan
ketika
sastrawan
Eka
Budianta
menjenguknya. Ia juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Ia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00 WIB. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00 WIB. Para tentangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00 WIB mereka mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, ia sempat mengerang ”Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang.” katanya. Akhirnya pada tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 WIB, Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer Pram tidak memberatkan simpatinya pada suatu –isme, kecuali pada humanitas. Misalnya dalam ”Dia yang Menyerah” hidup sekali Pram melukiskan jiwa revolusioner pemuda merah, komplit dengan istilah-istilah feodal, borjuis, kapitalis, imperalis dan sebagainya. Sangat realistis sekali lukisan-lukisannya tentang kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak.
25
Pram mengaku bahwa Idrus adalah sastrawan yang pertama dikaguminya.28 Ia bahkan menganggap Idrus adalah ”guru besarnya”. Menurutnya, Idrus adalah seorang stylist yang belum tertandingi. Tulisan Idrus, katanya, ”tidak ada satu kata yang lebih, dan tidak ada satu kata yang kurang. Ia juga mengagumi Steinbeck, pengarang Amerika. Ia belajar cara menulis plastis, agar tulisan itu memunculkan gambaran seperti film dibenak pembaca. Pram belajar dari William Saroyan cara membuat tulisan agar menimbulkan perasaan haru, dengan menggunakan elemen-elemen yang paling sederhana dalam pertemuan antar manusia. Ia juga belajar dari Maxim Gorki. Menurutnya, Gorki kalau menulis bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semua berubah dan bergerak. Pengarang yang dikagumi Pram yang banyak memberinya inspirasi
tentang
kemanusiaan
adalah
Multatuli.
Multatuli
mendirikan
kemanusiaan dengan mengorbankan segala-galanya. Bahkan Pram sering mengutip ucapan Multatuli, ”It is the duty of human beings to become human”. (kewajiban
manusia
adalah
menjadi
manusia).29
Intinya
Pram
banyak
menyuguhkan gugatan terhadap kemiskinan, kebodohan, perbudakan dan pelacuran karena kemiskinan dalam karyanya. Dua perempuan, dua pahlawan. Ibu dan neneknya dari sosok dua perempuan inilah Pram banyak mendapat inspirasi dalam setiap tulisan-tulisannya. Karena pengaruh perempuan dalam kesehariannya itulah yang menarik Pram untuk menampilkan sosok perempuan di titik pusat karya-karyanya, sebagai barisan Srikandi yang bertarung dengan kekuatan sejarah. Berbeda dengan hal di atas, novel Bukan Pasar Malam yang dibuat oleh Pram lebih memperhatikan tokoh ayah. Dilukiskan tokoh ayah seorang guru dan nasionalis jatuh sakit lantaran kekecewaannya terhadap pemerintahan yang ada pada saat itu.
28
Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum. (Pemimpin Redaksi) Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu. 2004. hlm. 740-744 29 Max Lane. Esei “Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer, Novelist, 19252006” Editor: Astuti Ananta Toer dalam buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa., (Jakarta: Lentera Dipantara, 2009), hlm.74
26
Cerita dalam novel ini berlangsung di Jakarta dan Blora. Pram sendiri mengaku dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir yang ditulis Kees Snoek, menyebutkan Bukan Pasar Malam sebagai novel otobiografisnya. “Sebenarnya itu hanya tentang apa yang saya alami sendiri di masa muda dan di masa perjuangan kemerdekaan”.30 Ia menulis novel ini pada tahun 1950an, di saat Pram berusia 25 tahun.
C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada tahun 1948 dan 1949. Pada tahun 1950an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya yang berjudul Korupsi. Buku Korupsi yang terbit pada 1954 mengakibatkan hubungannya dengan pemerintahan Soekarno tidak baik. Karyanya Korupsi merupakan friksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Di masa itu pula ia mempelajari masalah penyiksaan terhadap Tionghoa di Indonesia, dan pada saat yang sama Pram berhubungan erat dengan para penulis di China. Ia kemudian menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia dalam buku Hoakiau di Indonesia. Karena buku tersebut, ia dipenjara oleh Orde Lama selama satu tahun. Kemudian dibebaskan karena desakan internasional.
30
den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: Komunitas Bambu. 2008). hlm: 29
27
D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih nyata mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya. Pada tahun 1951 Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam, dari tahun tersebut dapat dipastikan bahwa Pramoedya menulis novel ini sebelum tahun 1951, atau tepatnya menurut A. Teeuw pada saat sesudah Pramoedya melakukan perjalanan ke Blora dalam bulan Mei 195031. Itu artinya, bahwa novel ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari kehidupan Pram yang memang lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang ayah. Novel ini menceritakan pengalaman seorang anak yang pulang kampung untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit dan diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku,. Dimulai dengan persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan, kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di Jakarta. Bab pertama merupakan ancang-ancang pada tema utama, yaitu kematian sang ayah, ayah yang juga merupakan korban ketaksamarataan di antara manusia yang dihasilkan oleh revolusi, dengan kata lain revolusi sosial yang gagal. Penghayatan Aku dalam Bukan Pasar Malam perjalanan itu sangat lama, sama sekali tidak 31
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997). hlm. 112-113
28
menggairahkan, sebaliknya suram-muram, terutama sebab keterasingan dengan isteri yang baru dikawininya sudah mulai tampak emosi yang dialaminya ketika kereta api berjalan lewat daerah Jawa Barat tempat si Aku ikut berperang tidak dapat dibagikannya dengan isterinya, demikian pula ketika mereka mendekati daerah Blora isterinya tidak dapat ikut merasakan emosi kenang-kenangan masa mudanya. Lain daripada itu rasa berdosanya terhadap ayahnya menjadi ganjalan emosional. Ketika mereka tiba di Blora tidak ada yang menjemputnya, dan dalam perjalanan naik dokar ke rumah tak seorang pun keluarga atau kenalan kelihatan. Mulai bab keempat, cerita makin berpusat pada penyakit sang ayah, masa lampaunya, dan hubungannya dengan si Aku, walaupun sekaligus yang belakangan ini (dan bersama dengan dia pembaca) mendengar banyak cerita dari anggota keluarga lain tentang segala apa yang terjadi selama tahun-tahun belakangan. Namun cerita ini kurang hebat emosinya, antara lain karena jarak waktu antara yang diceritakan dengan penceritaannya. Yang dominan ialah penghayatan oleh pencerita tentang kematian sang ayah yang tak dapat tidak akan datang bahwa maut ’bukan pasar malam’. Bukan keramaian yang dialami bersama-sama, melainkan pengalaman yang ngeri, yang mendatangi setiap manusia dalam keadaan mutlak.32 Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam... Seorang-seorang datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana... (Toer, 2007: 5) Menurut Romo Mangunwijaya, inilah novel Pram yang paling menonjol dan paling disukainya. Sebabnya sederhana karena belum tersentuh oleh tangantangan politik penulisnya. Novel ini pun sangat manis dan liris karena ia mengangkat hal ihwal sehari-hari dan jauh dari tema besar bergebyar-gebyar. Ini adalah novel biografis penulisnya di hari-hari jelang ayahnya wafat di Blora. Ia mampu menyajikan dialog-dialog yang menyentuh. Juga tentang renungan soal hakikat hidup dan kematian manusia yang bukan seperti pasar malam. 32
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997), hlm: 118-119
29
BAB IV ANALISIS NILAI SOSIAL NOVEL BUKAN PASAR MALAM KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
A. Gambaran Sosial Masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam Potret masyarakat yang secara khusus ingin digambarkan oleh Bukan Pasar Malam yaitu kelas-kelas yang tercipta dalam masyarakat. Kesenjangan sosial begitu terlihat sebagai akibat adanya kelas di masyarakat. Berbagai alasan timbul melatarbelakangi hal tersebut mulai dari ekonomi, hingga sistem pemerintahan. ―Kadang-kadang kereta kami berpacu dengan mobil, dan kami memperhatikan tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh mobil debu yang bercampur dengan berbagai macam tahi kuda, tahi manusia, reaknya, ludahnya mengepul menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami dapati anak-anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya mengemis. Dan keadaan ini berlaku sejak jalan kereta api dibuka dan kereta api meluncur sejak di atas relnya. Bila orang melempar-lemparkan sisa-sisa makanan, mereka berebutan. Tapi ini tidak penting betul kuceritakan.‖ (Toer, 2007 :20). Barangkali kesenjangan sosial yang tergambar di atas dilatarbelakangi perbedaan dalam masalah ekonomi si kaya dan si miskin. Gambaran paradoks tercermin ketika kaum kaya dapat menikmati segala fasilitas, kaum miskin hanya bisa mendapatkan sisanya. Ini jelas merupakan sebuah ironi bagi sebuah bangsa yang menyebut salah satu dasar negaranya adalah keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya. Tokoh Aku sudah geram dengan keberadaan semua ini. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, juga bedanya rakyat dengan pejabat. Pejabat yang dimaksud adalah seorang presiden dan kroni-kroninya. Dalam alur kisahnya tokoh Aku menyamakan presiden dengan seorang raja yang bisa mendapatkan segala kemudahan dan semua yang diinginkannya. ―Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa pluh ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam sangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan.‖ (Toer, 2007 :9).
30
Untuk cuplikan di atas, latar belakang pemerintahan dalam hal ini kekuasaan, termasuk di dalamnya ekonomi menjadi penyebab terjadinya kesenjangan sosial. Secara tegas tokoh Aku merasakan adanya kesewenangan seorang presiden dalam mendapatkan listrik yang seharusnya menjadi milik semua rakyat. ―Ya, Mas,‖ kata adikku dengan suara yang tidak bertujuan. Kemudian ia meneruskan ceritanya, Kemudian ayah terlampau banyak bekerja untuk Republik. Dan waktu kita merdeka, ayah jatuh sakit. Tiga bulan dirawat di rumah sakit. Tapi ayah masih juga banyak bekerja. Akhirnya terasa juga olehnya bahwa kesehatannya tak mengizinkan, dan sebuah demi sebuah jabatannya dalam pergerakan politik dan sosial dilepaskan. Tapi kesehatannya yang dulu tak kembali. Ayah jatuh sakit lagi hingga kini. Dokter bilang sakit paru-paru. Dan waktu kutanyakan ke sana-sini, barangkali ayah bisa ditempatkan di sebuah sanatorium- ya, Mas, pertanyaan itu tinggal jadi dengung belaka. Tak ada setangkup pun mulut yang berani menjawab. Kalau ada orang menjawab, jawabannya hanya begini; ongkos di sanatorium mahal sekarang. Dan kalau tidak begitu jawabannya ialah, sanatorium? Sanatorium sudah penuh oleh pedagang. Kalau engkau jadi pegawai, kalau bukan pegawai tinggi, jangan sekali-kali berani mengharapkan mendapat tempat di sanatorium.‖ (Toer, 2007: 64) Setahun kemudian melayang surat dari Blora. Pamannya memberi kabar buruk padanya. Isi surat itu menyatakan ayahnya sedang sakit TBC, dirawat di rumah sakit. Dalam pikiran Aku hanyalah bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk membayar rumah sakit. Hal ini sangat berbeda dengan cerita para pejabat, Jenderal pada saat itu. Mereka dapat hidup enak, malah mereka sibuk mengumpulkan harta benda untuk kepentingan pribadi mereka. Di kala mereka sakit, mereka mendapat pelayanan kesehatan yang sangat baik dari rumah sakit tanpa harus memikirkan biaya rumah sakit maupun lain-lain yang begitu mencekik rakyat kecil. Jika ayah jadi wakil rakyat, atau jadi koordinator, ayah akan jadi pegawai tinggi. Dan kalau ayah jadi pegawai tinggi barangkali bisa mendapat tempat di sanatorium. Tapi dalam kenyataannya, ayah hanya seorang guru yang sangat tidak diperhatikan kesejahteraannya. Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam persangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt.
31
Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan. Presiden memang orang praktis tidak seperti mereka yang memperjuangkan hidupnya di pinggir jalan berhari-harian. Kalau engkau bukan presiden, dan juga bukan menteri, dan engkau ingin dapat tambahan listrik tigapuluh atau limapuluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tigaratus rupiah. Ini sungguh tidak praktis. Dan kalau isi istana itu mau berangkat ke A atau ke B, semua sudah sedia pesawat udaranya, mobilnya, rokoknya dan uangnya. Dan untuk di Blora ini, aku harus pergi mengelilingi Jakarta dulu dan mendapatkan hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu. Dan kalau engkau jadi presiden, dan ibumu sakit atau ambillah bapakmu atau ambillah salah seorang dari keluargamu yang terdekat, besok atau lusa sudah bisa datang menengok. Dan sekiranya engkau pegawai kecil yang bergaji cukup hanya untuk bernafas saja, minta perlop untuk pergi pun susah. Karena, sep-sep kecil itu merasa benar kalau dia bisa memberi larangan sesuatu pada pegawainya. (Toer, 2007: 9-10) Sungguh malang nasib rakyat kecil pada masa itu, bahkan sampai saat ini pun hal itu tetap terjadi. Jika kita tak punya uang, barang yang sangat kita inginkan pasti hanya bisa dilihat tapi tak bisa dibeli. Berhutang pun merupakan suatu cara yang harus dipilih untuk menyambung hidup. ―Pagi-pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun Gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman Jepang dulu bila aku bepergian ke Blora juga, kini tinggal seperempatnya. Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu. Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu?‖ (Toer, 2007: 12) Kutipan di atas memang benar adanya. Kehidupan rakyat kecil selalu dirampas kebahagiaannya oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Tokoh ayahpun begitu, waktu bersama keluarganya dirampas oleh para komunis, dengan memenjarakannya di berbagai tempat. Bagaimana perasaan anak mereka jikalau sosok ayah yang seharusnya menjadi panutan tetapi direbut dari kebahagiaan keluarga. Kemudian, keadaaan kota Blora sangatlah memprihatinkan bahkan air di kota itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di kota ini tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian ledeng dengan teratur,
32
bening dan baik. Di sini, orang-orang berjalan dengan kulitnya yang berkerakkerak. Dengan begitu, masyarakat secara sendirinya telah membuat kelas sosial di dalamnya. Seperti yang membedakan si miskin dan si kaya. Kelas sosial pun terjadi dengan warga desa dengan warga kota baik dari segi ekonomi, fasilitas, kemampuan, citra, pendidikan, dll yang tercermin dalam cuplikan dibawah ini: Air di kota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng disini tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air ledeng dengan teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan-jalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak. (Toer, 2007 :42). Di samping itu, orang Blora pada zaman itu sangat mempercayai hal-hal mistik. Mereka menghubung-hubungkan suatu kejadian dengan keadaan rumah mereka masing-masing. ―Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu engkau baru bisa tengkurap. Duapuluh lima tahun yang lalu! Dan selama itu, rumahmu itu belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Duapuluh lima tahun! Itu tidak sebentar dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu, semua itu sudah roboh, bongkar, dan sobek-sobek. Rumahmu itu sangat kuat. Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, ―Kalau bisa, Gus, kalau bisa, harap rumahmu itu engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun akan rusak.… ―Kuharap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu itu. Dan lagi, dan lagi, orang tua-tua bilang, engkau masih ingat bukan? Masih ingat apa yang kukatakan tadi? Apabila rumahnya rusak ….‖ (Toer, 2007: 44) Kemudian, pamannya Agus mengajak Agus pergi menemui guru dukun, untuk menyembuhkan sang ayah. Karena mereka telah kehabisan akal dan kesabaran. ―Ini bukan usada, ini hanya syarat saja. Tuan boleh merendamnya di air minum ayah Tuan. Tapi aku sendiri tak bisa berkata apa-apa. Kami bertiga menunduk seperti takut berpandang-pandangan satu sama lain. Kemudian aku lihat paman mengambil dupa itu dan dimasukan ke dalam sakunya. Percakapan hanya dengan lambat saja bisa hidup kembali. Kemudian terdengar guru dukun itu bercerita.‖ (Toer, 2007: 51)
33
Hal yang dianggap mereka mistik dan sangat dipercayai oleh mereka tak menghasilkan apa-apa. Syarat-syarat yang telah dianjurkan oleh guru dukun itu tak mempan untuk menyembuhkan penyakit ayah. Memilih dukun sebagai alternatif penyembuhan Ayah, merupakan bentuk ketidakmampuan manusia untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangatlah kurang. Anak-anak mereka punya cita-cita yang tinggi akan tetapi tidak ada yang mempedulikan nasib guru di masa yang akan datang. Siapa yang akan mengajar cucu mereka jika tak ada yang mengajar mereka. Karena itu waktu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan bangku sekolah. Siapakah yang akan meneruskan ke sekolah guru? Di antara murid-murid yang limapuluh orang itu Cuma tiga orang yang mengacungkan jarinya. Selain itu, semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Alangkah sedihku waktu itu. Dan berkata aku pada mereka. Kalu di antara limapuluh orang Cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada yang menjawab di antara mereka. Kemudian ku nasihati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskanlah cita-citamu untuk menjadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban-kurban untuk selamalamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, kami bercita-cita jadi guru walau bagaimanapun juga sukarnya. Dan aku angguk-anggukkan kepalaku kepada tiga orang itu. (Toer, 2007: 54-55) Kesejahteraan guru setelah merdeka sangat tidak diperhatikan oleh pemerintah. Nampak sekali bahwa kemauan dan keinginan ayah tambah berubahubah. Pagi itu seorang juru rawat yang semalam kena dinas jaga malam datang ke rumah kami dan menyerahkan selembar kwitansi, minta voorschot gaji untuk bulan Maret. Bulan itu adalah bulan Mei. Kwitansi itu dari ayah. Aku tak mengerti mengapa voorschot untuk bulan Maret yang dimintanya. Dan di kala hal ini kutanyakan pada paman, ia mengatakan: Sejak kita merdeka, guru belum lagi dibayar. Hampir setengah tahun ini. Ironi sekali nasib guru pada pascakemerdekaan, begitu pun adanya sekarang. Kebanyakan masyarakat kita menjadikan profesi guru sebagai ’alternatif’. Buktinya banyak di sekolah yang menjadi guru bukan dari bidang keterampilan
34
yang sebernarnya. Seorang guru dituntut mendidik dan mencerdaskan penerus bangsa ini. Namun, kesejahteraannya jauh memprihatinkan. Meskipun guru mendapat julukkan ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Tak dipungkiri, guru juga seperti manusia lainnya. Kecewa setelah merdeka pastilah dirasakan oleh setiap guru di tanah air kita. Rasa-rasanya mereka tak sanggup lagi melihat dunia sekelilingnya yang jadi bobrok itu, bobrok dengan segala akibat. Orang-orang yang dulu jadi jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan tokoh ayah yang ada dalam novel ini membela kepentingan mereka itu. Tapi kala kemerdekaan tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi. Dan barang siapa tak memperoleh yang diinginkannya, mereka pergi, karena mereka tak perlu mengharapkan gaji lagi. Dan mereka tak sanggup melihat keadaan seperti itu. Segala kekecewaan mereka disimpan saja di dalam hati. Tapi akibat yang sangat besar tak diduganya akan menimpa dirinya. Akhirnya pada hari kamis, menjelang magrib, Ayah telah meninggal dunia. Sosok yang sangat dikagumi oleh banyak orang kini telah tiada. TBC kilat, hanya dalam waktu dua setengah bulan sakit, dan ayah harus pergi. Ya, mengapa hidup ini begitu cepat? Orang Tionghoa itu mnyambung... Hidup ini bukan pasar malam. Mengapa kita harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita. Seperti tokoh ayah dalam novel ini. Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? (Toer, 2007: 94-95) Manusia selama hidupnya telah menjadi anggota dari masyarakat, dan tentunya telah memiliki beragam pengalaman dalam hubungan sosial serta bermasyarakat. Oleh karena itu penelitian terhadap manusia akan terus muncul tiada habisnya. Karena manusia ketika sudah berada di dalam bermasyarakat akan memunculkan beragam permasalahan yang terus-menerus. Beragam hal yang timbul dari kehidupan sosial masyarakat banyak menjadi sorotan, salah satunya
35
menjadi sorotan untuk diangkat dalam karya sastra. Oleh karena, itu tidak salah apabila muncul pernyataan bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan sosial. Bukan Pasar Malam menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Indonesia ketika masa penjajahan dimana orang pribumi yang seharusnya bertindak sebagai tuan rumah justru sebaliknya diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Hal tersebut menyebabkan munculnya konflik sosial yang berkepanjangan bukan hanya antara penjajah dan orang pribumi. Namun pada individu-individu itu sendiri. Yang lebih ditekankan dalam novel ini adalah masa setelah kemerdekaan, dimana keadaan ekonomi, politik dan sosial belum stabil. Hal tersebut berakibat pada kehidupan masyarakatnya.
B. Temuan Penelitian dan Analisis Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam di tahun 1951, dengan ketebalan 104 halaman, dan bisa dibaca dalam waktu singkat seperti membaca sebuah cerita pendek. Nilai-nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer tersebut, nampak dari pandangan hidup dan penggambaran kesepakatan masyarakat dalam percakapan maupun narasi novel yang penulis buat di dalam tabel. Setelah dilakukan penelitian, peneliti ternyata mendapatkan dua kategori yang terdapat di dalam interaksi, yaitu: 1. Nilai interaksi sosial dalam keluarga: nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas. 2. Nilai interaksi sosial dalam bermasyarakat: nilai kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan. Untuk lebih memudahkan pembaca, peneliti membuat tabel untuk lebih mudah memahami kedua kategori nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, maka peneliti menguraikan dalam tabel sebagai berikut: 1. Nilai interaksi sosial dalam keluarga Kisah utamanya mengenai pertemuan Aku dengan ayahnya yang sakit keras. Betapa tersentuhnya batin anak dengan seseorang ayah yang begitu lemah terkulai
36
dan sakit-sakitan padahal dahulunya ia adalah lelaki yang pantang menyerah, berjiwa besar dan mempunyai fisik kuat. Seperti tergambar pada cuplikan berikut: No. 1.
Nilai Sosial
Teks novel Bukan Pasar Malam
Nilai kasih sayang
Segera kupegang tangan ayah. Dan kulihat kini badan ayah yang dahulu tegap itu kini telah menyerupai sebilah papan. Aku lihat ayah
membuka
matanya.
Hati-hati
dan
menyengsarakan diangkatnya tangannya yang hanya tinggal tulang dan kulit. Diusapusapnya rambutku. Terdengar suara yang dalam, gelap, kosong, dan tidak bertenaga: ―Kapan engkau datang?‖ ―Jam duabelas siang tadi, Bapak.‖ ―Alangkah cepat.
Engkau naik pesawat
udara?‖ ―Keretaapi, Bapak.‖ Ayah
tak
ditutupnya
bicara kembali.
lagi.
Matanya
Aku
pudar
berdiri
dan
melepaskan pegangangku pada tangannya. (Toer, 2007 :31) Berdasarkan cuplikan di atas, gambaran sosial anak dan ayah yang dipertemukan dalam keadaan penuh duka dan kesakitan usai bertahun-tahun lamanya terpisah begitu jelas tergambar nilai kasih sayang di dalam keluarga, ”Aku lihat ayah membuka matanya. Hati-hati dan menyengsarakan diangkatnya tangannya yang hanya tinggal tulang dan kulit. Diusap-usapnya rambutku. Terdengar suara yang dalam, gelap, kosong, dan tidak bertenaga..‖ (Toer, 2007: 31) tampak oleh tokoh Ayah yang telah menanti lama untuk bertemu dengan anaknya. Meskipun dengan keadaan lemah terkulai, dengan sisa-sisa kekuatan yang ada tokoh Ayah berusaha membuka matanya dan mengusap kepala anak yang dicintainya. Begitulah adanya rasa kasih sayang orang tua akan tercurah sepanjang masa.
37
No. 2.
Kategori
Dialog novel Bukan Pasar Malam
Nilai kasih sayang
Sore ini aku menengok ke rumahsakit dengan isteriku
dan
kedua
adikku.
Isteriku
menyuapkan sup sumsum ke mulut ayah. Dan di kala itu terasa oleh hatiku betapa gampangnya
manusia
dengan
manusia
didekatkan oleh kemanusiaan. Aku terharu. Sungguh, aku terharu oleh perbuatan kecil yang tak berharga itu. Sebentar-sebentar tenggorokan ayah meneguk sup itu. Dan tiap tegukan dibarengi bunyi detakan. Ya, seperti bukan bunyi tenggorokan itu berbunyi begitu. Duabelas
suap!
Alangkah
gembiraku.
Biasanya tak sebanyak itu ayah makan. Datang
saja
―Barangkali
suara Bapak
pengharapan mulai
jadi
ini, baik
Sekarang.‖ (Toer, 2007:56)
Nilai sosial dalam interaksi keluarga pun tak hanya ditunjukkan melalui kisah ayah dengan anaknya. Interaksi yang terjadi antara tokoh Ayah dengan tokoh isteri. “..Isteriku menyuapkan sup sumsum ke mulut ayah. Dan di kala itu terasa oleh hatiku betapa gampangnya manusia dengan manusia didekatkan oleh kemanusiaan…‖. (Toer, 2007: 56) Ia menyuapi mertuanya yang sedang sakit keras. Sikap seperti itu selayaknya dilakukan seorang anak kepada orangtua, merawatnya dengan tulus. Walaupun sang isteri seorang anggota baru dalam keluarga tersebut, namun dengan tulus ia merawat ayah mertuanya, selayaknya orang tua kandung.
38
No. 3.
Kategori
Teks novel Bukan Pasar Malam
Nilai pengayoman
―Mula-mula kami jual apa yang bisa kami jual. Kami berdagang. Orang-orang suka beli pada kami. Lama kelamaan mereka mulai mengebon. Karena uang susah didapat. Dan kemudian--kemudian
mereka
tak
mau
membayar hutangnya. Ya, Mas, Seakan-akan senanglah hati mereka bila semua runtuh.‖ Ia diam lagi dan aku lihat matanya berkacakaca. Tidak sampai di situ saja. Airmata mulai menitik-nitik. Sedu-sedan. Akhirnya menangis. ―O, mereka Seakan-akan tak tahu, bahwa ayah sedang memperjuangkan Republik.‖ ―Biarlah, Adikku, biarlah. Yang sudah lalu kini tinggal jadi sejarah. Jangan engkau sedihkan semuanya itu. Engkau masih punya kakak. Dan aku akan berbuat sekuat tenagaku untuk kebaikan kalian semua.‖ Dihapusnya airmatanya cepat-cepat. (Toer, 2007: 61) Nilai pengayoman tampak pada tokoh Aku memperlakukan adik-adiknya. Selayaknya anak sulung, anak yang paling dituakan di keluarganya. Aku menasehati adiknya tentang sikap masyarakat dahulu kepada keluarganya. Keluarga yang ditindas saat ayahnya ditangkap dan dipenjarakan. Seperti di dalam cuplikan berikut:―Biarlah, Adikku, biarlah. Yang sudah lalu kini tinggal jadi sejarah. Jangan engkau sedihkan semuanya itu. Engkau masih punya kakak. Dan aku akan berbuat sekuat tenagaku untuk kebaikan kalian semua.‖Dihapusnya airmatanya cepat-cepat. (Toer, 2007: 61). Hal tersebut menggambarkan peran seorang kakak sulung yang mengayomi dan menjaga adik-adiknya di saat keadaan keluarga sesulit apapun.
39
No. 4.
Kategori
Teks novel Bukan Pasar Malam
Nilai religiositas
Cepat-cepat aku lari ke dalam kamar ayah yang sudad diterangi lampu minyak tanah. Sebagian adikku sudah ada di situ. Segera aku melompat
di
samping
ayah.
Aku
lihat
mulutnya telah terbuka. Tangannya terkulai di sampingnya. Dan isteriku pun turuta lari dan berdiri di dekatku. Katanya: ‖Sebut: Ayah!‖ Karena aku tak pernah mengalami peristiwa seperti itu, aku menurut. Kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru: ‖Bapak!‖ ‖Lagi,‖ susul isteriku. ‖Bapak!‖ seruku lagi. Kemudian diam sebentar. Tiba-tiba teringat olehku: ayah orang Islam. Dan kembali kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru: ‖Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖ (Toer, 2007: 90)
Nilai religiositas dalam keluarga yang tampak saat ayah menghadapi ajalnya, tokoh Aku memberikan contoh yang baik untuk adik-adiknya dan istrinya. Ia membimbing mengucapkan lafaz Allah di saat sang ayah menghadapi sakaratul maut. ”Tiba-tiba teringat olehku: ayah orang Islam. Dan kembali kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru:‖Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖ (Toer, 2007: 90)”. Tanda bakti seorang anak kepada ayahnya. Begitulah kewajiban sesama muslim, apalagi yang mengalaminya adalah orang tua kita sendiri. Begitulah selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah membesarkan kita.
40
2. Nilai interaksi sosial dalam bermasyarakat No. 1.
Kategori
Teks novel Bukan Pasar Malam
Nilai kepedulian
―Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang mendirikannya dulu. Waktu itu engkau baru bisa tengkurap. Duapuluh lima tahun yang lalu! Dan selama itu, rumahmu itu belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Duapuluh lima tahun! Itu tidak sebentar dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Coba lihatlah rumahrumah
tembok
yang
didirikan
sesudah
rumahmu semua itu sudah roboh, bongkar, dan sobek-sobek. Rumahmu itu masih kuat.‖ Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, Kalau bisa, Gus, kalau bisa harap rumahmu itu engkau perbaiki. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak.‖... ‖Engkau anak sulung, Gus, aku harap—sekalipun
aku
bukan
familimu—
peliharalah rumahmu itu.‖ (Toer, 2007: 43-44)
Suasana kehidupan bertetangga yang rukun dan saling tolong-menolong dalam Bukan Pasar Malam beberapa kali terekam di lingkungan rumah Blora, seperti: ‖Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, Kalau bisa, Gus, kalau bisa harap rumahmu itu engkau perbaiki. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak.‖... ‖Engkau anak sulung, Gus, aku harap—sekalipun aku bukan familimu— peliharalah rumahmu itu.‖ (Toer, 2007: 43-44). Dari cuplikan tersebut, tergambar nilai sosial dalam masyarakat berupa nilai kepedulian masyarakat sekitar dengan
41
keluarga Aku. Hal yang langka ditemukan pada zaman sekarang ini, terutama di kota besar seperti Jakarta.
No. 2.
Kategori
Teks novel Bukan Pasar Malam
Nilai kesetaraan
―Ya Mas, tiap hari datang surat kemari, baik dari tentara maupun dari mereka yang menyebut dirinya orang non. Engkau tahu surat apa, Mas? Sokongan! Minta sokongan. Dan tiap hari begitu saja yang terjadi. Dan semua surat itu tak dibiarkan hampa saja oleh ayah. Tidak. Semua mesti behasil. Kadangkadang aku tak menerima belanja secepeng pun juga sekalipun untuk makan ayah sendiri—dan untuk satu bulan penuh, dan semua ini mengingatkanku pada seorang budiman Tionghoa. Di waktu ayah masih di daerah gerilya dan juga di masa pendudukan merah, orang Tionghoa itu banyak membantu kami. Dan aku tak mengerti mengapa dia sudi menolong
keluarga
kami
dari
bahaya
kelaparan.‖ ‖Ya, Adikku, kemanusiaan kadang-kadang menghubungkan seorang dari kutub utara dan seorang dari kutub selatan. Dan dalam hal ini, kemanusiaan
itu
telah
menghubungkan
seorang dari kerajaan langit kita.‖ (Toer, 2007: 63-64)
Tokoh ayah selalu menjalankan tugasnya dengan rasa penuh tanggung jawab dan selalu berempati kepada lingkungan sekitarnya. Misalnya, saat ia diangkat
42
menjadi pengawas sekolah oleh Belanda. Saat itu ayah banyak menerima surat dari orang yang mengaku non, yang isinya mencari sokongan kepadanya. Suratsurat tersebut tak dibiarkan saja, melainkan diperjuangkannya sampai berhasil. Oleh karena budi baiknya tersebut, keluarganya mendapatkan bantuan untuk kebutuhan sehari-hari saat dirinya ditahan di masa pendudukan merah. Bantuan tersebut diberikan oleh seorang Tionghoa ”...Di waktu ayah masih di daerah gerilya dan juga di masa pendudukan merah, orang Tionghoa itu banyak membantu kami. Dan aku tak mengerti mengapa dia sudi menolong keluarga kami dari bahaya kelaparan.‖(Toer, 2007: 63). Melalui seorang Tionghoa tersebut juga siswa dapat belajar, bahwa untuk tolong-menolong itu tidak pandang kedudukan, ras, agama, seseorang di dalam masyarakat.
No. 3.
Kategori
Teks novel Bukan Pasar Malam
Nilai kebersamaan
Aku lihat ayah menarik nafas. Dan aku lihat ia mencari tenaga dalam nafas yang diisapnya itu. Bibirnya yang kering itu tersenyum. Kemudian matanya yang berlingkar biru itu terbuka
sedikit—sedikit
saja.
Kemudian
bersambung dengan suara orang menyerah: ‖Tak.. ada.. apa-apa.. yang kupikirkan... anakku!: Lemah sekali. Aku
menangis.
Ayah
menutup
matamya
kembali. Lama tak terdengar suara apa-apa—suaraku dan suara ayah. Kemudian—dengan tiada terduga-duga—terdengar suara lemah, dalam, dan melayang: ‖Sum-mur... itu... perbaik-i tem-tembok...nya.‖ ‖Ya, Bapak.‖ aku menjawab. Lama tak terdengar apa-apa. Kemudian terdengar sambungannya:
43
―Or-ra-ng itu membu-tuh-kan a-ir.‖ Tertahan agak lama suara itu, meneruskan, ―dalam hi..dup-nya.‖ (Toer, 2007: 46)
Di dalam keadaan sakit keras sekali pun, sang ayah masih saja memikirkan nasib masyarakat tempat ia tinggal. Ayah menyuruh memperbaiki tembok sumur, karena sumur menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Blora. ‖Sum-mur... itu... perbaik-i tem-tembok...nya.. ―Or-ra-ng itu membu-tuh-kan a-ir.‖ Tertahan agak lama suara itu, meneruskan, dalam hi..dup-nya.‖ (Toer, 2007: 46) Melalui tokoh ayah, kita dapat belajar makna nilai kebersamaan terhadap sesama meskipun dalam keadaan sulit sekalipun. Tokoh Ayah sebagai guru yang penuh bakti, memiliki pendirian yang tegas, dan bertanggungjawab akan tugas yang diberikan kepadanya. Buktinya bahwa dahulu ayah pernah ditawarkan sebagai perwakilan daerah, tapi ia menolaknya. Ayah menganggap bahwa perwakilan daerah tak ubahnya sebagai ”badut besar” yang bermain di atas panggung sandiwara. Selain itu, ayah juga pernah ditawari menjadi koordinator pengajaran untuk mengatur pengajaran seluruh daerah Pati. Tapi, ayah menolak juga. Ia merasa tak pantas di tempat seperti itu, tempatnya adalah di kelas mendidik murid-murid. Meskipun ia dulu pernah menjadi pengawas sekolah, dan kembali menjadi seorang guru. Ia tetap pada pendiriannya ‖kita guru-guru di tanahair kita ini jangan sampai kurang seorang pun juga.‖ (Toer, 2007: 65).
No. 4.
Kategori
Teks novel Bukan Pasar Malam
Nilai keikhlasan
‖Dunia ini memang aneh, Adikku,‖ kataku lagi, ‖kalau suatu keluarga itu bisa timbul mengatasi
keluarga-keluarga
yang
lain,
orang-orang dengki. Ada saja mereka punya bahan untuk memaki dan menghina-hinakan di belakang layar. Tapi ada sebuah keluarga
44
yang runtuh, ramai, ramai-ramai orang menyoraki dan turut meruntuhkannya. Aku tahu, Adikku, inilah adat di kota kecil. Karena, Adikku,
penduduk
kota
kecil
ini
tak
mempunyai perhatian apa-apa selain dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Lain dengan di kota besar. Banyak yang masuk ke dalam perhatian mereka. Karena itu, Adikku, lebih baik engkau jangan turut campur dalam kepentingan-kepentingan
mereka.
Engkau
mengerti, bukan?‖ (Toer, 2007: 61)
Kehidupan bermasyarakat tak lepas dari rasa dengki terhadap sesamanya. Apalagi jika orang itu dapat berbuat baik dan membantu sekitarnya. Ada saja orang yang mencari kelemahan dari orang yang berbuat baik tersebut, dan mereka senang jika orang yang berbuat baik itu gagal. Intinya setiap perbuatan orang lain lakukan pasti salah di mata mereka. Dengan begitu, melalui tokoh Aku menanamkan nilai keikhlasan dalam menghadapi masalah di masyarakat. Bahwa kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan. Tetapi tokoh Aku berusaha mengajarkan kepada adik-adiknya tentang rasa ikhlas dengan introspeksi diri. Bagaimana pun perlakuan masyarakat terhadap keluarga mereka, Aku mengajarkan agar tidak menaruh dendam apa pun kepada mereka. Meskipun keluarga mereka selalu disakiti. Aku menasehati kepada adiknya untuk memperbaiki keadaan keluarga mereka yang lalu dengan lebih baik ke depannya nanti. ‖Kita bangunkan keluarga baru Adikku—dengan tenaga kita sendiri, untuk kita sendiri. biarlah kita jadi pulau terpencil di tengah-tengah samudera. Bila kita jatuh, Adikku, kita jatuh dengan tidak berteriak. Bila pulau kita terendam samudera, kita akan terendam sendirian dan tak ada orang yang melihat. Aku sendiri, Adikku, aku sendiri sudah bosan pada semua ini. Aku sudah bosan pada kesopanan yang sia-sia ini. O, aku tak mengerti, aku tak tahu apa-apa lagi.‖ (Toer, 2007: 62).
45
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Berdasarkan tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam Kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan
kehidupan,
serta
meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu: kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal; kecakapan berpikir rasional (thinking skill); kecakapan sosial (social skill); kecakapan akademik (academic skill); kecakapan vokasional (vocasional skill). Novel Bukan Pasar Malam menggambarkan kesedihan, penderitaan dan kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap yang bagian dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan dalam keluarga dan bermasyarakat. Hal tersebut dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek mendengarkan. Dengan Standar Kompetensi memahami bacaan, dan Kompetensi Dasar menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacakan atau yang didengarkan melalui rekaman bacaan, misalnya siswa mampu menemukan nilai sosial, nilai moral, nilai budaya dalam suatu cerita. Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya tentang gambaran sosial dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini, diharapkan guru dalam pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat dan dapat menambah pengetahuan juga wawasan siswa serta memberikan nilai-nilai untuk kehidupan siswa di masyarakat. Nilai sosial yang ditemukan melalui interaksi keluarga yang dapat diambil untuk pembelajaran siswa melalui tokoh Aku sebagai kakak tertua, begitu
46
mengayomi dan menjaga adik-adiknya disaat keluarga sesulit apapun. Selain itu, Aku juga memberikan contoh yang baik untuk adik-adiknya dan istrinya. Ia membimbing mengucapkan lafaz Allah di saat sang ayah menghadapi sakaratul maut. Begitulah selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah membesarkan kita. Tokoh Aku juga mengajarkan kepada adiknya agar tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang membenci keluarganya. Nilai sosial yang ditemukan melalui interaksi masyarakat yang dapat dijadikan pelajaran siswa maupun guru yaitu gotong-royong, seperti yang dilakukan tokoh Ayah sebagai guru yang penuh bakti, memiliki pendirian yang tegas, dan bertanggungjawab akan tugas yang diberikan kepadanya. Buktinya bahwa dahulu ayah pernah ditawarkan sebagai perwakilan daerah, tapi ia menolaknya. Ayah menganggap bahwa perwakilan daerah tak ubahnya sebagai ”badut besar” yang bermain di atas panggung sandiwara. Selain itu, ayah juga pernah ditawari menjadi koordinator pengajaran untuk mengatur pengajaran seluruh daerah Pati. Tapi, ayah menolak juga. Ia merasa tak pantas di tempat seperti itu, tempatnya adalah di kelas mendidik murid-murid. Meskipun ia dulu pernah menjadi pengawas sekolah, dan kembali menjadi seorang guru. Ia tetap pada pendiriannya ‖kita guru-guru di tanahair kita ini jangan sampai kurang seorang pun juga.‖ (Toer, 2007: 65). Sekalipun keadaan fisiknya yang tak lagi kuat dan sehat seperti sebelumnya, keadaan anggota keluarganya miskin, rumah tuanya sudah tak kuat lagi menahan arus waktu. Ayah selalu menjalankan tugasnya dengan rasa penuh tanggung jawab dan selalu berempati kepada lingkungan sekitarnya. Misalnya, saat ia diangkat menjadi pengawas sekolah oleh Belanda. Saat itu ayah banyak menerima surat dari orang yang mengaku non, yang isinya mencari sokongan kepadanya. Suratsurat tersebut tak dibiarkan saja, melainkan diperjuangkannya sampai berhasil. Oleh karena budi baiknya tersebut, keluarganya mendapatkan bantuan untuk kebutuhan sehari-hari saat dirinya ditahan di masa pendudukan merah. Bantuan tersebut diberikan oleh seorang Tionghoa (Toer, 2007: 63). Melalui seorang Tionghoa tersebut juga siswa dapat belajar, bahwa untuk tolong-menolong itu tidak pandang kedudukan, ras, agama, seseorang di dalam masyarakat.
47
Diharapkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Setelah siswa membaca dan memahami novel ini, siswa dapat menerapkan nilai-nilai sosial yang ada di kehidupan sehari-hari mereka. Dalam proses pembelajaran sastra dapat novel ini dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai
kearifan
dalam
menghadapi
kehidupan
yang
kompleks
dan
multidimensi. Realitas sosial, lingkungan hidup, kedamaian dan perpecahan, kejujuran dan kecurangan, keshalihan dan kezhaliman juga cinta dan kebencian, dan kemanusiaan, semuanya ada dalam novel ini. Dengan kata lain, dalam pembelajaran sastra novel ini berperan penting dalam pembangunan karakter bangsa. Selain itu setelah membaca dan memahami novel ini, siswa diharapkan dapat mengembangkan daya nalarnya terhadap diri sendiri dan lingkungannya.
48
BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Bukan Pasar Malam merupakan sebuah novel yang mengandung nasehat, anjuran dan pendidikan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Di dalam novel ini, Pramoedya menggambarkan kesedihan, penderitaan dan kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai interaksi sosial dalam keluarga, hingga interaksi dengan kehidupan bermasyarakat di masa lalu, serta lingkungan yang serba sulit dideskripsikan dengan sangat detail oleh Pramoedya. Sebuah novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1951, dapat dipastikan bahwa Pramoedya menulisnya sebelum tahun novel ini diterbitkan, atau tepatnya pada saat, sesudah Pramoedya melakukan perjalanan ke Blora dalam bulan Mei 1950. Itu artinya, bahwa novel ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari kehidupan Pram yang memang lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang ayah.
2. Berdasarkan temuan dan hasil analisis terhadap novel ini, diketahui bahwa novel Bukan Pasar Malam memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di dalam keluarga dan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih sayang, nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.
49
3. Nilai-nilai sosial dalam kehidupan dalam keluarga dan bermasyarakat yang ada di dalam novel tersebut dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek mendengarkan. Dengan Standar Kompetensi memahami bacaan, dan Kompetensi Dasar menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacakan atau yang didengarkan melalui rekaman bacaan, misalnya siswa mampu menemukan nilai sosial, nilai moral, nilai budaya dalam suatu cerita. B. Saran Berdasarkan hasil analisis, simpulan dan implikasi yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis yaitu:
1. Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.
2. Bagi guru hendaknya dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat, agar siswa bertambah pengetahuan dan wawasannya tentang nilai-nilai sosial untuk kehidupan di masyarakat.
3. Diharapkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Setelah siswa membaca dan memahami novel ini, siswa dapat menerapkan nilai-nilai sosial yang ada di kehidupan sehari-hari mereka.
50
Lampiran - 1
Sinopsis Bukan Pasar Malam Novel ini terjadi dalam suatu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena Ayahnya sakit. Cerita ini berawal ketika tokoh Aku menerima surat dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya jatuh sakit. Ini terlihat dalam kutipan dibawah ini. Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu sakit. Tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien. Akhirnya ketahuan beliau kena Tbc. Ayahmu ada di rumahsakit sekarang, dan telah empat kali memuntahkan darah. (Toer, 2007: 2) Mendengar kabar itu, tokoh Aku terkejut dan segera meminta bantuan pinjaman uang ke sana kemari untuk ongkos pulang ke Blora. Sepanjang perjalanan ke Blora, ia terkenang akan banyak kenangan pada setiap tempat yang ia lewati. Pada saat kereta meluncur dari stasiun Gambir, tokoh Aku melihat gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu dilihatnya saat zaman Jepang, kini tanah itu tinggal seperempatnya, karena diendapkan oleh air hujan, dicangkuli, dan diseret oleh air hujan. Ia ngeri membayangkan bahwa kehidupan manusia itu seperti itu, setiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah tersebut. Pada saat di Lemah Abang tokoh Aku juga terkenang akan kenangan lama, ini tergambar dalam kutipan berikut. Sekilas melela kenangan lama. Dulu-empat tahun yang lalu! Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh pucuk howitser. Jumlah itu bisa dihitung dari bekas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan bercorong kedua tanganku: ‖Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlampau banyak, terlampau bingung, terlampau ketakutan-dan suaraku tak terdengar oleh mereka. Dan di kala aku bertiarap di bawah pohon besar itu kulihat sebuah-dua buah, tiga, empat, lima-peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai. Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman, dan kepada Ayah. (Toer, 2007: 15) Kenangan-kenangan terus melayang dalam pikiran tokoh Aku, dia juga membayangkan kuburan, tempat peristirahatan terakhir manusia. Tapi, kadang-
51
kadang manusia tidak mendapat tempat terakhir, dan tokoh Aku membayangkan bagaimana jika ayahnya yang tidak mendapatkan tempat tinggal terakhir. Kereta terus melaju di atas relnya, ketika melewati sebuah dusun tiba-tiba pikiran tokoh Aku mati. Dusun itu dulunya berada dalam kekuasaan garong. Dulunya tokoh Aku sering berpatroli ke dusun itu. Di dusun itu pula ia berkenalan dengan dengan wanita cantik. Karena dusun itu kepunyaan tuan tanah, datang saja pikiran dalam otaknya, Dia mesti anak blaster. Tapi aku tak peduli. Dan bapaknya berjanji padaku: kalau bapak mengawini anakku, bapak tak perlu kerja. Sawah cukup luas. Dan bapak boleh mengambil separuh dari sawahku. (Toer, 2007: 18) Tokoh Aku menjadi mabok kepayang mendengar tawaran itu. Karena pada saat itu kemiskinan selalu melayang-layang di kepalanya. Namun, ketika tokoh Aku kembali lagi ke dusun itu, wanita cantik itu telah dinikahi garong, dan tokoh Aku kembali dengan penyesalan dan juga kegembiraan karena tak jadi menggadaikan diri. Tokoh Aku dan istrinya terus melanjutkan perjalanan, hingga mereka sampai ke Blora. Sebelum meninggalkan Jakarta mereka sempat mengirimkan telegram mengabarkan bahwa mereka akan ke Blora. Tokoh Aku melihat-lihat ke sekitar stasiun,
barangkali
ada
saudaranya
yang
menjemput,
namun
ia
tak
menemukannya. Ia dan istrinya melanjutkan perjalanan dari stasiun ke rumah menggunakan dokar. Kemudian mereka pun sampai lah di rumah dan disambut bahagia oleh adik-adiknya. Aku dan keluarganya mengobrol banyak tentang Jakarta, Semarang, dan tentang mobil. Mereka mengobrol banyak sampai akhirnya Aku menanyakan tentang bagaimana dengan kesehatan ayahnya. Semuanya terdiam, kemudian adik Aku yang keempat menjawab perlahan dan hati-hati. Dia mengatakan bahwa kiriman pil dan selimut untuk ayah telah diterima. Juga weselnya sudah diterima. Dan sudah dipergunakan untuk membeli susu dan telur. Kemeja untuk ayah juga telah diambil dari pos. Selimut, kemeja dan pil sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi ayah bilang bawa saja semua itu pulang ke rumah. Telur dan madu, ayah mengatakan dia sudah bosan.
52
Kemudian, pembicaraan beralih. Aku menanyakan keberadaan adiknya yang ketiga, yang waktu itu dikatakan sakit. Adiknya itu terkena sakit, ketika ia terkurung oleh pasukan merah di daerah rawa, di daerah malaria, dan pada saat perang obat-obatan sangat kurang. Dan yang lebih menyedihkan, anak dari adiknya yang ketiga itu telah meninggal dunia. Pada sore harinya Aku, istrinya dan adiknya pergi ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, mereka memasuki kamar nomor tiga belas, yaitu kamar tempat di mana ayahnya dirawat. Betapa bahagia hati ayahnya ketika anaknya yang ditunggu-tunggu datang menjenguk. Aku juga bahagia karena melihat istrinya mau menyembah pada orang tuanya. Setiap hari Aku datang mengunjungi ayahnya di rumah sakit, kondisinya sangat menyedihkan. Tubuhnya yang dulu berisi, dan kini tak ubah seperti sebilah papan. Ketika ditanyai apa yang diinginkan, beliau hanya menjawab aku tak ingin apaapa. Pada waktu tokoh Aku berjalan-jalan mengelilingi kampungnya, ia bertemu dengan tetangganya yaitu seorang tukang potong kambing. Tukang kambing itu berkata padanya, bahwa rumahnya yang sudah dua puluh lima tahun itu sudah rusak dan perlu diperbaiki. Pada sore hari Aku pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya, dalam perjalanan dia bertemu kembali dengan tukang kambing itu, dan kemudian Aku langsung mengatakan bahwa dia akan memperbaiki rumah itu, tukang kambing itu pun tersenyum mendengarnya. Sesampainya di rumah sakit Aku langsung mengatakan maksudnya untuk memperbaiki rumah pada ayahnya, dan ayahnya pun sangat bergembira. Dan berkata bahwa sumur juga perlu diperbaiki. Di kampung Aku, orang yang membuat sumur adalah orang yang berwakaf, jika orang membangun sumur namun hanya dipakai untuk keperluan pribadi saja, maka orang itu akan dicap sebagai orang yang pelit. Malam harinya, Aku dan paman berangkat mencari dukun. Dukun yang mereka temui adalah seorang guru sekolah rakyat di luar kota. Menurut adat daerahnya jika akan membicarakan hal-hal yang penting dimulai dengan obrolan yang bukan-bukan. Begitu juga yang dilakukan oleh Aku dan pamannya. Dan pada akhirnya sampailah pembicaraan pada tujuan yang paling utama. Paman
53
mengatakan maksud kedatangannya, yaitu ingin meminta bantuan menyembuhkan kakaknya yang sedang sakit. Kemudian dukun itu pergi sebentar ke dalam rumah. Tak lama kemudian dukun itu keluar lagi setelah melakukan meditasi. Kemudian mulai terdengar suaranya, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa banyak membantu, namun ia memberikan syarat saja. Ia mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam sakunya. Kemudian dukun itu kembali bercerita bahwa sebetulnya ia banyak berhutang budi pada ayah tokoh Aku. Dukun itu berhutang budi, karena ayah tokoh Aku lah yang menempatkannya di daerah itu. Dukun itu juga mengatakan bahwa ayah tokoh Aku adalah seorang pimpinan pemerintahan gerilya. Suatu sore Aku dan istrinya kembali ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya kembali. Karena persediaan uang sudah menipis, Aku dan istrinya berencana untuk pulang dulu ke Jakarta. Di rumah sakit istrinya menyuapi ayahnya bubur sumsum, hal ini menggambarkan bahwa dengan sangat mudahnya manusia dengan manusia didekatkan oleh kemanusiaan. Setelah itu Aku mengatakan maksud untuk pulang kepada bapaknya, dia mengatakan bagaimana jika mereka pulang dulu ke Jakarta. Bapaknya mengatakan seminggu lagi. Aku pun menuruti perintah ayahnya. Aku berfirasat bahwa tak lama lagi bapaknya akan meninggalkannya. Dalam seminggu itu banyak yang terjadi dengan kesehatan ayahnya, banyak sekali permintaannya. Mulai dari ikan lele, dan es. Walaupun itu dilarang oleh dokter, namun tetapi diberikan pada ayahnya. Pada malamnya, Aku dan adiknya duduk berhadapan di depan lampu minyak. Aku bertanya pada adiknya tentang bagaimana keadaannya pada waktu pendudukan merah. Adiknya masih melanjutkan cerita, kemudian ayahnya ditangkap oleh Belanda pada saat sedang tidur di langgar. Ketika ayahnya bangun ia sudah terkurung oleh pasukan Belanda dan ditodong pula. Kemudian ayahnya diangkat oleh Belanda menjadi pengawas sekolah. Ketika itu ayahnya jarang sekali ada di rumah. Ia selalu keluar untuk berjudi, meski kepergiannya di masa pendudukan bukan hanya untuk berjudi saja. Namun ayahnya berjuang terus untuk hidupnya Republik. Setiap hari datang surat ke rumahnya, yaitu surat minta
54
sokongan. Ayahnya kemudian terlalu banyak bekerja untuk Republik. Dan waktu merdeka ayahnya jatuh sakit hingga sekarang. Pada saat itu, adiknya bertanya-tanya ke sana-sini, apakah ayahnya bisa ditempatkan di Sanatorium, namun pertanyaan itu hanya menjadi dengung belaka. Ada yang menjawab, Sanatorium mahal sekarang, sanatorium sudah penuh pedagang. Kalau engkau pegawai, kalau engkau bukan pegawai tinggi, jangan sekali-kali berani mengharapkan mendapat tempat di sanatorium. (Toer, 2007: 64) Ayahnya juga pernah ditawari menjadi anggota perwakilan daerah, namun ayahnya menolak. Ayahnya mengatakan begini, ‖Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut-sekalipun badut besar.‖ (Toer, 2007: 65) Adiknya masih melanjutkan cerita, pada saat Aku ditawan, kakek dan neneknya meninggal. Dan pada saat itu mereka di daerah gerilya. Dalam seminggu itu, tak terjadi apa-apa dengan ayahnya. Ayahnya hanya meminta es dan es. Dan pada suatu hari, seseorang datang mengantarkan kwitansi yang di belakangnya tertulis pesan dari ayahnya. Ayahnya meminta supaya ia dibawa saja pulang ke rumah. Dan setelah minta izin dari dokter, maka ayahnya dibawa pulang ke rumah. Suatu sore Aku dan istrinya berjalan-jalan. Dalam perjalanan itu banyak sekali yang mereka bicarakan. Karena uang sudah hampir habis, istrinya menyarankan supaya mereka pulang dulu ke Jakarta. Banyak sekali yang berkecamuk dalam pikiran Aku. Uang! Ayah! Jakarta! Rumah rusak! Tokoh Aku pun mengatakan kepada istrinya bahwa ia tak akan pulang sebelum semuanya beres. Dupa yang diberikan oleh dukun itu, ternyata tak berpengaruh apa-apa terhadap kesehatan ayahnya. Dan pada dini hari, adik Aku yang keempat berlarilari dan mengatakan bahwa ayahnya berbicara tentang jagung. Ayahnya minta untuk memegangi tangannya dengan erat, kemudian menunjuk ke arah timur dan mengatakan bahwa ada sembilan puluh sembilan butir jagung di timur. Namun seisi rumah tak mengerti maksud bapak itu apa? Kemudian bapaknya berkata, ‖Cukup, Anakku, sekian dulu. Pergilah engkau semua. Tinggalkan aku sendirian. ” (Toer, 2007: 89)
55
Kemudian semuanya pergi meninggalkan beliau sendirian. Dan menjelang magrib adik Aku yang keempat berlari-lari menghampiri dan mengatakan bahwa ayah sudah tak ada. Malam itu ayah Aku sudah tak ada lagi dan dibaringkan di bale dalam kerumunan orang banyak. Di antara banyak pelawat seorang pelawat Tionghoa menyeletuk demikian: Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Mengapa mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Mengapa kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita. (Toer, 2007: 95)
56
Lampiran - 2
Karya-karya dan Penghargaan Pramoedya Ananta Toer Karya pertamanya yang diterjemahkan adalah Cerita dari Blora dalam bahasa Rusia tahun 1956 dan judul itu pula yang terbanyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu diterjemahkan ke dalam 18 bahasa, selanjutnya judul yang terbanyak diterjemahkan adalah Bumi Manusia yang diterbitkan di Australia, Amerika, Kanada, dan Inggris. Gadis Pantai adalah karyanya yang paling sering dicetak ulang. Sampai tahun 1995, judul novel ini sudah dicetak 14 kali di Belanda. Judul-judul lain yang banyak dicetak ulang adalah Tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. 1. Karya Fiksi No.
Tahun Terbit
Judul Karya
1.
1946
Sepuluh Kepala Nica, hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta (1947).
2.
1947
Kranji-Bekasi Djatoeh. Djakarta: The Voice of Free Indonesia, 90 pp. (diterbitkan kembali sebagai bagian akhir Di Tepi Kali Bekasi, mulai Bab 9, lihat 1951).
3.
1950
Perburuan (sebuah tjeritera chajali). Keluarga Gerilya, Kisah keluarga manusia dalam tiga hari dan tiga malam. Djakarta: Jajasan Pembangunan, 238 pp. (cetakan kedua terbit tahun 1955; edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun 1996; dua bab pernah terbit terpisah, dengan teks yang agak berlainan: Bab 2, ”Fajar Merah” dalam Gema Suasana 3.1, 1950; Bab 5, ”Mencari Anak Hilang” dalam Daya 2.2, 1950). a. Dia Jang Menyerah. Djakarta: Pustaka Rakjat, 44 pp. (cetakan kembali dari Pudjangga Baru Nomor Khusus, II.II/12: 23-55; lihat di bawah,
57
1953, Tjerita dari Blora). b. Subuh,
Tjerita-Tjerita
Pendek
Revolusi,
Djakarta: Jajasan Pembangunan, 67 pp. (cetakan ketiga terbit tahun 1961; cetakan keempat tahun 1963, Bukittinggi-Djakarta: Nusantara). Berisi kumpulan tiga cerpen: ”Blora”, halaman 5-26; ”Jalan Kurantil No. 28”, halaman 27-40; ”Dendam”, halaman 41-66. c. Percikan Revolusi, dengan Kata Pengantar H. B. Jassin. Djakarta: Gapura, 195 halaman. (pada halaman ii tercantum: Tjetakan pertama Djuni 1950; cetakan kedua tahun 1957, Djakarta: Balai Pustaka). Berisi 10 kumpulan cerpen. 4.
1951
Bukan Pasar Malam. Djakarta: Balai Pustaka, 109 halaman,
(juga
diterbitkan
dalam
majalah
Indonesia, halaman 23-55; cetakan kedua terbit tahun 1959; cetakan ketiga terbit tahun 1964, Djakarta: Jajasan Kebudajaan Sadar). Di Tepi Kali I. Djakarta: Usaha Penerbitan Gapura N. V., Djanuari 1947, Tjetakan pertama Februari 1951; cetakan kedua terbit tahun 1957, Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 339 halaman; cetakan pertama berakhir pada halaman 257edisi kedua; dalam edisi kedua bagian Krandji-Bekasi Djatoeh ditambahkan; cetakan ketiga terbit tahun 1965; edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun 1996), sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada Juli 1947. Mereka Jang Dilumpuhkan, dua bagian. Djakarta: Balai Pustaka, 286 + 296 halaman. Dia Jang Menyerah, kemudian dimasukkan dalam
58
kumpulan Tjerita Dari Blora; pemenang hadiah untuk karya sastra terbaik 1952 oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). 5.
1952
Tjerita Dari Blora. Djakarta: Balai Pustaka, 368 halaman. (Kata Pengantar oleh H. B. Jassin; cetakan kedua terbit tahun 1963, Djakarta: Balai Pustaka; cetakan ketiga terbit tahun 1989, Kuala Lumpur; edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun 1994.
6.
1953
Gulat di Djakarta. Djakarta: Mimbar Penjiaran DUTA, 86 halaman. Kapal gersang, Zenith 3.9: 550-556. Tentang emansipasi buaya, Zenith 3.12 722-730.
7.
1954
Korupsi, ditjetak oleh: G. A. De Weille & Zn-Weesp untuk Chatulistiwa, 102 halaman. (terbit di Jakarta dalam Indonesia 5.4: 165-245; juga dipasarkan sebagai buku; diterbitkan kembali sebagai buku, bukittinggi-Djakarta:
Nusantara,
154
halaman;
cetakan kedua terbit tahun 1961; cetakan ketiga terbit tahun 1964. Kalil, Siopas Kantor, Kisah 2.3: 85-90. 8.
1955
Midah Si Manis Bergigi Emas. Bukittinggi-Djakarta: Nusantara,111 halaman.
9.
1956
Sunyisenyap di Siang Hidup, Indonesia 8.6 (Juni: 255-268).
10.
1957
Tjerita dari Djakarta, sekumpulan karikatur keadaan dan manusianja. Djakarta: Grafica, 197 halaman. Berisi 12 kumpulan cerpen. Tjerita Tjalon Arang.
11
1958
Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Djakarta: Djawatan
Pergerakan
59
Tenaga,
Kementerian
Pekerdjaan Umum dan Tenaga, 1959. (cetakan kedua terbit tahun 1963, Bukittinggi-Djakarta: Nusantara, 114 halaman; digarap sebagai lakon drama oleh Dhalia dengan judul Orang-Orang Baru dari Banten. Djakarta: bagian penerbitan Lekra, 1959). Yang Pesta dan Yang Tewas, Zaman Baru 21/22. 12.
1962
Gadis Pantai (dalam bentuk cerita bersambung; bagian pertama trilogi tentang keluarga penulis; diterbitkan kembali tahun 1987, Jakarta: Hasta mitra, viii + 189 halaman; juga diterbitkan di Malaysia; jilid II dan III jadi korban vandalisme 1965.
13.
1965
Panggil Aku Kartini Saja I & II; bagian III & IV, menjadi korban vandalisme 1965. Kumpulan Karja Kartini (yang pernah dimuat di berbagai berkala), jadi korban vandalisme 1965. Wanita Sebelum Kartini, jadi korban vandalisme Orde Baru. Paman Martil, dalam Jang tak terpadamkan (kumpulan cerpen, menyambut ulang tahun ke-45 PKI, Jakarta: Jajasan Pembaharuan, halaman 5-27).
14.
1975
A heap of ashes (kumpulan cerpen dalam bahasa Inggris, terbit di St. Lucia, Queensland).
15.
1978
Bericht uit Kebayoran (kumpulan cerpen dalam bahasa Belanda, terbit di Den Haag, Belanda). Verloren (kumpulan cerpen dalam bahasa Belanda, terbit di Den Haag).
16.
1980
Bumi Manusia, sebuah roman bagian pertama tetralogi Buru Anak Semua Bangsa, sebuah roman bagian kedua tetralogi Buru
60
17.
1985
Jejak Langkah, bagian ketiga tetralogi Buru Sang Pemula
18.
1988
Rumah Kaca, sebuah roman sejarah, bagian keempat tetralogi Buru.
19.
1995
Arus Balik, sebuah roman sejarah.
20.
1999
Arok Dedes.
21.
2000
Mangir, Larasati
22
2004
Menggelinding I.
23.
2005
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
2. Karya Terjemahan dan Non-fiksi No.
Tahun Terbit
Judul Karya
1.
1950
John Steinbeck, Tikus dan Manusia. Terjemahan Pramoedya. Djakarta: Pembangunan (terjemahan (Of Mice and Men). Leo Tolstoy, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu, terjemahan dari Belanda Huwelijksgeluk.
2.
1953
Prof. Dr. Wertheim tentang Kesusastraan Indonesia Modern. Kegagalan Kesusastraan Modern Indonesia, SIASAT Gelanggang Cahier Seni dan Sastra, 15 November. Offensif Kesastraan, H. B. Jassin sudah lama mati sebelum gantung diri, Pudjangga Baru 14.8: 234239.
3.
1954
Leo Tolstoi, Perjalanan Ziarah yang Aneh.
4.
1955
Mari Mengarang, tak jelas nasibnyadi tangan sebuah penerbit besar di Jalam Kramat, Jakarta.
5.
1956
Ibunda, kerja utama Maxim Gorki, Kisah Seorang
61
Prajurit Sovyet karya Mikhail Sholokov Ke Arah Sastra yang Revolusioner. 6.
1957
Balai
Pustaka
Harum
Internasional-dahulu.
Namanya
Kini
di
Dunia
hampir-hampir
tak
bernyawa lagi, dimuat dalam Star Weekly, 9 Februari. Balai Pustaka di Alam Kemerdekaan, dimuat dalam Star Weekly, 16 Februari. 7.
1959
Pramoedya Ananta Toer (catatan otobiografi, ditulis atas permintaan A. Teeuw, dengan bibliografi singkat. Asmara dari Rusia karya Alexander Kuprin. Manusia Sejati karya Boris Polewoi.
8.
1960
Hoa Kiau di Indonesia
9.
1962
Panggil aku Kartini Saja, Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun, Memoar-Hikajat Sebuah Nama (pandangan dan refleksi tentang nama Pramoedya)
10.
1963
Bagaimana
Kisah
Dikibarkannya
Humanisme
Universa (karangan), Laporan Tentang Pengajaran Sastra
(karangan),
Sebuah
Memoar:
Penjara
Cipinang (fragmen), Sastra Asimilatif: Sastra PraIndonesia (karangan), Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (sebuah peninjauan sosial), Surat Penutup Tahun 1963, untuk H. B. Jassin, Basa Indonesia Sebagai Basa Revolusi Indonesia (karangan). 11.
1964
Sejarah
Bahasa
Indonesia:
Satu
Pertjobaan
(menjadi korban vandalisme 1965) 12.
1965
Sekali Lagi Tentang Pengajaran Sastra, Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total
13.
1981
Karya
Tulis
62
Larangan
dan
Penghancuran,
Gesprekken met Pramoedya Ananta Toer oleh Phil Kalpana dan Ellis Elburg, Sikap dan Peranan Kaum Intelektual di Dunia Ketiga, Khususnya Indonesia. 14.
1982
Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia.
15.
1983
Catatan otobiografis singkat, dengan biblografi dan daftar sejumlah tanggapan atas karya Pramoedya Ananta Toer, bertanggal 9 Juli 1983.
16.
1984
Perburuan dan Keluarga Gerilja, dalam Proses kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, jilid II, ed Pamusuk Eneste.
17.
1985
Sang
Pemula
dan
Karya-karya
Non-Fiksi
(Jurnalistik) – Fiksi (cerpen/novel) R .M. Tirto Adhi Soerjo. Surat kepada Keith Foulcher (stensilan, tanggapan atas surat terbuka Achdiat K. Mihardja kepada temannya di Australia). 18.
1986
Katalog Publikasi oleh dan tentang Pramoedya Ananta Toer 1947-1986, Multatuli een herinnering (Multatuli kenang-kenangan), Onze Wereld.
19.
1987
Hikayat Siti Mariah
20
1988
Surat
Jawaban
kepada
Yth.
Redaksi
Suara
Pembaharuan dan H, Rosihan Anwar 21.
1991
Lied van een stomme, brieven van Buru. Terjemahan dari Nyanyi Tunggal Seorang Bisu: Catatan-Catatan Pribadi Pramoedya Ananta Toer dari Tahanan Pulau Buru.
22.
1992
Maaf
atas
Nama
Pengalaman
ditulis
untuk
kumpulan karangan dalam bahasa Belanda Het wereldbeeld, Pengalaman dengan Belanda, Negeri dan Orangnya. Wawancara Pramoedya Ananta Toer kepada Kees
63
Snoek . Biodata (stensilan; terdiri atas dua bagian: Biodata dan Studies and Reviews. De Kinderdief in een Rode Auto (ditulis khusus untuk surat kabar Belanda). 23.
1994
Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan Ini, Wawancara Hayam-wuruk.
24.
1995
Memoar Oei Tjoe Tat (editor atas karya Oei Tjoe Tat), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (catatan-catatan dari Pulau Buru), Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauhkan Bahaya novel? (teks Indonesia, ceramah yang diucapkan atas nama Pramoedya Ananta Toer pada desempatan penyerahan Hadiah Magsaysay.
25.
1996
Jalan Raya Pos, De Groote Postweg, een film van Bernie Ijdis met Pramoedya Ananta Toer (film dokumenter dengan esai tentang sejarah Jalan Raya Pos yang ditulis dan dibacakan oleh Pramoedya beserta petikan-petikan riwayat hidupnya.
26.
1999
Kronik Revolusi Indonesia I-II
27.
2001
Kronik Revolusi Indonesia III, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
28.
2003
Kronik Revolusi Indonesia IV
3. Penghargaan dan Kehormatan Tahun
Penghargaan
1951
Hadiah Pertama Balai Pustaka untuk Perburuan.
1953
Hadiah Badan Musyawarah dan Kebudayaan Nasional (BMKN) untuk Tjerita dari Blora.
1957
Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk Tjerita dari Djakarta.
1964
Hadiah Yamin Foundation untuk Orang-orang Banten Selatan (ditolak oleh penulis).
64
1978
Adopted Member of the Nederlands Center of PEN International (sewaktu masih di Pulau Buru), Honorary Member of the Japan Center of PEN International (sewaktu masih di Pulau Buru)
1982
Honorary Life Member of the International PEN Australia Center, Australia. Honorary Member of the PEN Center Swedia.
1987
Honorary Member of the PEN American Center, Amerika Serikat.
1988
Freedom-to-Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat.
1989
Anggota Deutschsweizeriches PEN, Zentrum, Switzerland. Anugerah The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat.
1992
International PEN English Center Award, Great Britain.
1995
Wertheim Award ―for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people (dari The Wertheim Foundation, Leiden, Belanda). Ramon Magsaysay Award, ―for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the historical awakening, and modern experience of the Indonesian people‖. (dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina).
1996
UNESCO Madanjeet Singh Prize, ―in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence‖ (dari UNESCO, Paris, Perancis).
1999
Doctor of humane Letters, ―in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom‖ (dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat). Chanceller’s Distinguished Honor Award. ―for his outstanding literary archievements and for his contributions to etnic tolerance and global understanding‖ (dari University California, Berkeley,
65
Amerika Serikat. International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland. 2000
New York Foundation for Arts Award, New York, Amerika Serikat. Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
2004
The Norwegian Authors Union, Centenario Pablo Neruda Republica de Chile.
4. Studi Mengenai Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta Toer telah menulis berbagai karya sastra, seperti: novel, cerpen, essei, dan sebagainya. Meskipun karya sastranya banyak ditentang oleh pemerintah pada zamannya. Kini, kita telah dapat dengan bebas menikmati hasil karya sastrawan yang dituding sebagai penganut paham komunis ini. Pecinta sastra telah banyak juga mengulas hasil karya Pramoedya dalam bentuk artikel, studi akademis, maupun buku. Berikut beberapa studi akademis dan buku tentang karya Pramoedya: 1963
Rangkuti, Bahrum. Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya.
1967
Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II (khususnya pada bab ―Pramoedya Ananta Toer Pengarang Keluarga Gerilya‖).
1981
Scherer, Savitri Prastiti. From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965 (disertasi; Canberra)
1997
Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer.
1999
Kurniawan, Eka. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
2000
Mrazek, Rudolf. Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Baru.
Sebenarnya masih banyak tulisan tentang karya Pramoedya selain yang penulis sebutkan di atas. Pembaca dapat melihat berbagai artikel tentang Pramoedya dan karyanya dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa.
66
BIOGRAFI PENULIS
MEGA
FIYANI
lahir
di
Tangerang,
1989.
Menuntaskan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Islam Al-hasanah. Kemudian, ia menuntut ilmu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yadika 3 Karang Tengah. Setelah itu, ia melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Akhir di SMA Negeri 3 Tangerang. Ia meneruskan sekolahnya di Perguruan Tinggi Islam Negeri, yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, masuk pada tahun angkatan 2007. Ia mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Mahasiswa yang gemar dengan kebudayaan dan kesenian tradisional Indonesia ini pernah menjabat sebagai Ketua Koordinator Seni Karawitan POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah) selama 3 tahun. Saat ini ia aktif sebagai Tutor Bahasa InggrisIndonesia untuk Sekolah Dasar di daerah Bintaro. Selain itu, ia juga bekerja menjadi front liner di South Java Entertaiment. Dalam hidupnya berprinsip Ora et Labora bahwa bekerja tanpa berdoa bagaikan tubuh tanpa jiwa, karena sebagaimana makanan untuk tubuh, berdoa adalah makanan bagi jiwa. Dengan berdoa dan bekerja yang selalu berjalan beriringan serta saling meresapi, harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa akan terwujud.
67
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979
_____________________. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2004
den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Komunitas Bambu. 2008
Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994
Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum (Editor). Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu. 2004
Ikram, Achadiati, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan Aksara, Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Lane, Max. Esei Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer, Novelist, 1925-2006
Toer, Astuti Ananta (editor) dalam buku
Seribu
Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara. 2009
Narwoko, Dwi J., dan Bagong Sujanto. Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua, Jakarta:Media Group. 2004
68
Nurgiyantoro, B. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. 2000
Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa Pembaharuan Pengajaran, Yogyakarta: Kanisius. 1991
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struktualisme hingga Poststruktualisme: Perspektif Wacana Naratif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Semi, Atar. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya. 1988
Sugono, Dandi (Pimpinan Redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soeroso, M. S, Andreas. Sosiologi I, Jakarta: Yudhistira. 2006
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT. Grasindo: 2008
Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997
Toer, Koesalah Soebagyo. Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Jakarta: PT. Gramedia. 2006
Toer, Pramoedya Ananta. Bukan Pasar Malam, Jakarta: Lentera Dipantara. 2003
____________________. Menggelinding I, Jakarta: Lentera Dipantara. 2004
____________________. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau Buru, Jakarta: Lentera.
69
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I, Bandung: UPI Press. 2006
Yoesof, M. dkk. Susastra 5, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007 Anonim. “Nilai Sosial” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh pada tanggal 1 April pukul 21:24 WIB
70