NILAI MORAL TOKOH AKU DALAM NOVEL BUKAN PASARMALAM KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Agung Bachtiar NIM 1110013000049
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAK AGUNG BACHTIAR (NIM:1110013000049). Nilai Moral Tokoh Aku dalam Novel Bukan Pasarmalam Karya Pramoedya Ananta Toer dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Bukan Pasarmalam adalah sebuah novel yang mengisahkan sepenggal perjalanan seorang pemuda revolusi yang penuh dengan nilai moral. Tokoh aku sebagai tokoh utama yang menjadi pencerita merupakan seorang pemuda revolusi yang ikut berjuang pada masa perjuangan kemerdekaan. Diceritakan bagaimana keperwiraan tokoh aku yang pada akhirnya melunak ketika menghadapi kenyataan hidup. Ia menemukan ayahnya yang seorang guru penuh bakti sedang sakit terjangkit TBC, rumah tua milik ayahnya yang seakan tidak kuat menahan arus waktu, anggota keluarganya yang miskin, dan ketidakpedulian istrinya yang cerewet. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini ialah tentang nilai moral yang dimiliki oleh tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam, dan relevansi moral tokoh aku dalam novel tersebut dengan pembelajaran sastra di SMA. Untuk menggali nilai-nilai tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode dengan cara mendeskripsikan data-data, kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan hasil analisis buku ini maka ditemukan bahwa cerita ini mengandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai tersebut antara lain seperti sabar, memelihara lisan, santun, tanggung jawab, menahan amarah, tolong-menolong, dan religius. Kata Kunci: Moral, Bukan Pasarmalam, Relevansi.
i
ABSTRACK AGUNG BACHTIAR (NIM:1110013000049). The Moral Value of I Figure in Bukan Pasarmalam Novel Work of Pramoedya Ananta Toer and its Relevant to Bahasa and Learning Literature at Senior High School. Bukan Pasarmalam is a novel which tells the journey of a young revolutionary which is full of moral values. The main character “I” who becomes the narrator is a young revolutionary who fought in the struggle for independence. It is recounted how character “I” heroism eventually softened when faced with the reality of life. He found his father, a devout teacher, infected with tuberculosis, his father’s house seemed cannot hold the current of time, and the members of his family were poor, and his fussy wife. Problems examined in this study is about the moral values of the character “I” in the novel Bukan Pasarmalam, and it’s relevance the moral of the character “I” in the novel with learning literature in SMA. To explore these values, this research uses qualitative descriptive method, the method is by describing the data, then followed by analysis. Based on the analysis of this book it was found that this story has the moral values. Values such as patience, maintaining oral, well manner, responsibility, anger control, helping each other, and religious Keyword: Moral, Bukan Pasarmalam, Relevance
ii
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, segala puji penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya. Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membutuhkan bimbingan, bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Hindun, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan arahan akademik maupun administratif kepada penulis. 3. Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya di sela-sela kesibukan untuk memberikan motivasi, bimbingan, dan pengarahan sampai selesai penyusunan skripsi ini. 4. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen FITK lainnya yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 5. Ayahanda tercinta Hasan dan ibunda Suadah yang selalu mendoakan, kakak tercinta Ai Lestari dan adik-adikku Adam dan Citra yang selalu memberikan keceriaan, Dwi Melasari yang selalu membantu dan memberikan semangat. iii
6. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas B 2010, yang selalu menjadi motivasi dalam segala hal kebaikan, yang memberikan kenangan, kebersamaan, kekompakan, serta kekeluargaan yang mengesankan. 7. Semua pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Hal sekecil apapun yang kalian berikan kepada penulis, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang berguna untuk perbaikan skripsi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya serta bagi pihak yang membutuhkan pada umumnya.
Jakarta, 15 Desember 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ....................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... iii DAFTAR ISI ....................................................................................................v BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah .........................................................................1 B. Identifikasi masalah ..............................................................................5 C. Pembatasan masalah..............................................................................5 D. Perumusan masalah ...............................................................................6 E. Tujuan Penelitian ..................................................................................6 F. Metode Penelitian..................................................................................7 G. Pendekatan Objektif ..............................................................................7 H. Manfaat Penelitian ..............................................................................10 BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Moral .....................................................................................11 1. Pengertian Moral ............................................................................11 2. Bentuk Nilai Moral .........................................................................15 a. Sabar ..........................................................................................15 b. Memelihara Lisan ......................................................................16 c. Santun ........................................................................................16 d. Tanggung Jawab ........................................................................16 e. Menahan Amarah .......................................................................17 f. Tolong-menolong.......................................................................17 g. Berani .........................................................................................17 h. Religius ......................................................................................18 B. Hakikat Sastra .....................................................................................18 C. Hakikat Novel .....................................................................................20 1. Pengertian Novel ............................................................................20 v
2. Jenis Novel .....................................................................................21 a. Novel Populer ............................................................................21 b. Novel Serius ...............................................................................22 3. Unsur-unsur Novel .........................................................................23 a. Unsur Intrinsik ...........................................................................23 b. Unsur Ekstrinsik ........................................................................29 D. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................30 E. Pengajaran Sastra di Sekolah ..............................................................32 BAB III TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi Pramoedya Ananta Toer .......................................................35 B. Sinopsis ...............................................................................................35 C. Unsur-unsur intrinsik ..........................................................................43 1. Tema ...............................................................................................43 2. Tokoh dan Penokohan ....................................................................44 3. Gaya Bahasa ...................................................................................47 4. Alur .................................................................................................48 5. Sudut Pandang ................................................................................55 6. Latar ................................................................................................55 7. Amanat ...........................................................................................59 D. Pembahasan Hasil Temuan .................................................................59 1. Sabar ...............................................................................................60 2. Memelihara Lisan ...........................................................................62 3. Santun .............................................................................................63 4. Tanggung Jawab .............................................................................64 5. Menahan Amarah ...........................................................................65 6. Tolong-menolong ...........................................................................66 7. Berani .............................................................................................66 8. Religius ...........................................................................................68 E. Relevansi ............................................................................................69
vi
BAB IV PENUTUP A. Simpulan .............................................................................................71 B. Saran ....................................................................................................72 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................73
vii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni.1 Karya sastra merupakan hasil dari penciptaan, karya yang lahir dari hasil pemikiran yang dikemas dengan cara yang unik. Proses kreatif atau penciptaan karya sastra merupakan keahlian tersendiri seorang sastrawan, biasanya setiap sastrawan memiliki cara yang yang berbeda dengan sastrawan lain dalam proses kreatifnya. Karya sastra merupakan sebuah karya yang memiliki fungsi edukatif dan rekreatif. Fungsi edukatif, artinya dari karya sastra seseorang akan mendapat pelajaran tentang nilai-nilai di dalamnya dan pengetahuan tentang seluk-beluk kehidupan manusia, fungsi ini menitikberatkan pada pembelajaran dan pengetahuan, disebut juga dengan sastra serius. Karya sastra juga memiliki fungsi rekreatif, yaitu dengan karya sastra seseorang dapat memperoleh hiburan yang diceritakan atau dikisahkan oleh sang pengarang atau sastrawan. Karya sastra rekreatif ini menitikberatkan pada aspek hiburan, disebut juga dengan sastra populer. Karya sastra berfungsi untuk menuangkan sejumlah kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreatifitas dan imajinasi. Sebagai karya fiksi, sastra menyajikan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan yang terjadi dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkap kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Altenberd dan Lewis mengatakan, fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
1
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 3.
1
2
mengandung antarmanusia.
kebenaran
yang
mendramatisasikan
hubungan-hubungan
2
Objek karya sastra merupakan realitas, yakni peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Dengan demikian, karya sastra dapat menerjemahkan peristiwa ke dalam bahasa dengan maksud untuk memahami peristiwa menurut tingkat kemampuan pengarang. Belakangan ini banyak sekali penulis memperhatikan tingkah generasi penerus bangsa yang tidak menggambarkan generasi yang menjadi harapan untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Kelakuan negatif mulai dari kekerasan verbal, hingga kekerasan fisik dan berujung pada mengkonsumsi miras dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Penulis sadar bahwa segala tindakan
negatif yang dilakukan oleh anak muda adalah sebuah hasil dari sebuah kesalahan proses. Tontonan televisi yang seakan mengesampingkan nilai pembelajaran dan lebih mementingkan unsur hiburan merupakan salah satu kesalahan proses yang terjadi dalam diri para generasi penerus bangsa. Sebagai salah satu contoh efek negatif dari tontonan di televisi yang kurang mendidik adalah tindakan kekerasan verbal. Kekerasan verbal yang pada awalnya hanya berupa candaan, berubah menjadi ucapan untuk memaki saat sedang emosi, hal tersebut merupakan tindakan yang tidak layak dilakukan baik oleh siapapun. Ketika menerima pembelajaran di sekolah yang penuh dengan hafalan dan hitung-hitungan anak-anak akan merasa bosan dan jenuh, murid seakan ingin cepat mengakhiri proses pembelajaran, sedangkan ketika menonton televisi yang bersifat menghibur maka yang terjadi adalah mereka enggan pergi dan berpaling dari layar televisi, hal tersebut juga berakibat mereka menjadi malas untuk banyak membaca buku. Anak-anak tersebut kurang peduli dengan tugasnya sebagai pelajar, oleh karena itu maka diperlukan sebuah pembelajaran yang tidak hanya hafalan dan hitung-hitungan, namun juga diperlukan suatu pembelajaran
2
Burhan, Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 3.
3
yang dapat menghibur. Dibutuhkan pembelajaran yang dapat merangsang kebiasaan membaca dan keingintahuan mereka, agar mengurangi rasa jenuh dan bosan yang dialami oleh para peserta didik tersebut, proses pembelajaran seperti itu khususnya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat mempergunakan karya sastra sebagai media yang menyenangkan. Pandangan hidup dari seorang pengarang dengan kematangan pemikiran dan kedalaman jiwa yang dituangkan ke dalam karya sastra, merupakan sebuah media pembelajaran yang tepat dan bagus untuk digunakan. Cerita yang ada dalam sebuah karya sastra khususnya novel dapat memberikan pembelajaran sekaligus hiburan. Karya sastra adalah karya yang harus dilihat sebagai sosok yang berdiri sendiri dan terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya sebuah hasil karya yang bulat. Sastra dapat dijadikan sebagai alat untuk mengungkapkan apa yang telah dirasakan orang dalam kehidupan, dan apa yang dialami oleh orang tersebut tentang kehidupan, serta apa yang direnungi dan dirasakan orang mengenai segisegi kehidupan. Keinginan dasar manusia yang mendorong mengungkapkan diri untuk menaruh minat kepada dunia realitas dan pada dunia angan-angan, dunia yang dihayalkan sebagai dunia nyata. Karya yang ditulis oleh pengarang merupakan objek realitas, yakni peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang bagaimana mengajar sastra dengan menggunakan pendekatan objektif. Moral generasi penerus bangsa merupakan sebuah cerminan bagaimana dan ke arah mana bangsa yang berkembang ini akan bergerak. Moral yang kurang baik, sebagai contoh yang sering terjadi adalah kekerasan fisik seperti peristiwa tawuran, tawuran terjadi bukan semerta-merta mereka merasa jagoan dan suka berkelahi, kasus seperti ini bila ditelusuri terus ke akarnya maka akan terlihat sangat kompleks, sebuah kasus yang sering orang menggunakan ungkapan fenomena gunung es, yang tampak hanyalah sebagian kecil namun masalah yang jauh lebih besar tak tampak karena berada di dalam lautan yang dingin. Berkaca dari peristiwa tawuran yang sering terjadi maka dipandang sangat perlu akan pembelajaran moral bagi generasi penerus bangsa.
4
Dalam setiap karya sastra yang bernilai sastra pasti memiliki makna yang sedang menunggu untuk digali dan dikaji. Nilai moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca, nilai moral merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya atau makna yang disarankan lewat cerita.3 Novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah karya besar yang lahir dari seorang sastrawan besar Indonesia yang diakui oleh dunia. Novel Bukan Pasarmalam dapat dijadikan bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dan yang tak kurang penting adalah novel ini dapat memberikan pendidikan moral kepada murid di SMA.
Nilai moral dalam novel Bukan
Pasarmalam, memaparkan tokoh aku sebagai tokoh sentral, yang merupakan seorang pejuang muda zaman revolusi bangsa Indonesia yang berasal dari Blora. Ia memiliki moral yang baik, tokoh aku dalam Bukan Pasarmalam dapat menjadi contoh dalam membangun moral peserta didik ke arah yang baik. Penulis berpandangan bahwa novel Bukan Pasarmalam yang memiliki jumlah 104 halaman, cocok untuk dijadikan sebagai media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia serta moral di SMA, karena jumlah halamannya yang tidak terlalu tebal dan mudah untuk membacanya hingga selesai bagi murid di tingkat SMA. Dalam novel Bukan Pasarmalam, pengarang ingin mengemukakan betapa anehnya permasalahan yang terjadi di dalam diri seorang pejuang muda, pemuda yang tampak dari luar tidak terlihat memiliki permasalahan hidup yang berarti, namun ketika diselami maka semakin dalam semakin terlihat kompleks permasalahan yang dihadapinya. Hal ini menyadarkan kepada kita bahwa setiap manusia memiliki permasalahan dalam dirinya, tidak ada seorang pun yang hidup di dunia ini yang tidak memiliki masalah, baik masalah yang ringan maupun masalah yang berat. Dari hal di atas, terdapat hubungan yang erat antara pengajaran sastra dengan penanaman moral, bagaimana seseorang agar prilaku bermoral sesuai dengan adat lingkungannya. Dengan pernyataan ini, penulis ingin memaparkan tentang moral dalam diri tokoh aku yang dituangkan Pramoedya Ananta Toer 3
Ibid., h. 3.
5
dalam karyanya Bukan Pasarmalam, dengan menggunakan pendekatan Objektif. Maka penulis mengambil judul penelitian Nilai Moral Tokoh Aku dalam Novel Bukan Pasarmalam Karya Pramoedya Ananta Toer dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.
B. Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini akan difokuskan pada upaya penggalian bagaimana Pramoedya Ananta Toer memasukkan nilai moral kehidupan dalam novelnya, maka timbul beberapa masalah yang dapat diidentifiasikan sebagai berikut: 1. Unsur-unsur intrinsik dalam novel Bukan Pasarmalam. 2. Unsur-unsur ekstrinsik dalam novel Bukan Pasarmalam. 3. Novel Bukan Pasarmalam menggambarkan kehidupan masyarakat pada waktu itu. 4. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel Bukan Pasarmalam. 5. Nilai-nilai moral yang terdapat pada tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam. 6. Implikasi nilai moral tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. 7. Relevansi antara novel Bukan Pasarmalam dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
C. Batasan Masalah Dari sejumlah masalah yang ada, maka dapat diambil kesimpulan bahwa karya sastra tidak dapat terlepas dengan nilai moral, setiap pengarang pasti memasukkan nilai moral dalam karyanya. Sejumlah permasalahan yang ada di
6
dalam karya sastra diperoleh dari proses kreatifitas pengarang melalui penggalian objek yang dikajinya. Banyak terdapat permasalahan dalam novel Bukan Pasarmalam, maka penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada beberapa permasalahan yaitu Moral Tokoh Aku dalam Novel Bukan Pasarmalam Karya Pramoeya Ananta Toer dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah seperti telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana nilai moral apa saja yang terdapat pada tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam? 2. Bagaimana relevansi nilai moral tokoh Aku dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah?
F. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca untuk mendalami makna suatu karya sastra, sebagai bekal meningkatkan apresiasi dan wawasan masyarakat terhadap karya sastra. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat pada tokoh Aku dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer.
7
2. Mengetahui relevansi nilai moral tokoh Aku dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. E. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Strauss dan Corbin mengatakan bahwa penelitian kualitatif bisa dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.4 Dalam metode penelitian kualitatif terdapat dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer cetakan 2003. Sedangkan sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui perantara, tetapi masih berdasar kepada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal, artikel, maupun pencarian secara online.
G. Pendekatan Objektif Sausure mengatakan bahwa pendekatan objektif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sebagai dirinya sendiri.5 Pendekatan objektif bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya. Bila hendak dikaji atau diteliti, yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya tersebut, seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, serta hubungan harmonis antar aspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra. 4
Syamsuddin, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, (Bandung: Rosdakarya, 2006), h.
73. 5
Rh. Widada, Saussure untuk Sastra (Sebuah Metode Kritik Sastra Struktural), (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), Cet. 1, h. 4.
8
Hal-hal yang bersifat ekstrinsik, seperti penulis, pembaca, atau lingkungan sosial budaya harus tersampingi karena tidak punya kaitan langsung struktur karya sastra tersebut.6 Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra menjadi tanda yang otonom, yang berhubungan dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Siswanto mengatakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra, karena karya sastra menjadi sesuatu yang inti.7 Di bidang ilmu sastra, penelitian yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra dirintis oleh kelompok peneliti Rusia tahun 19151930. Mereka biasanya disebut kaum Formalis, dengan tokoh utama Roman Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum, dan Tynjanov. Pada awalnya mereka ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah, atau kebudayaan.8 Tugas peneliti pertama-tama adalah meneliti struktur karya sastra yang kompleks dan multi dimensional yang setiap aspek dan unsur berkaitan dengan aspek dan unsur lain yang semuanya mendapat makna penuh dan fungsinya dalam totalitas karya itu. konsep penting kaum formalis adalah konsep dominan, ciri menonjol sebuah karya sastra berbentuk prosa yaitu tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, amanat, gaya bahasa. Pendekatan ini memiliki kaitan yang erat dengan teori sastra modern, khususnya teori yang menggunakan konsep dasar struktur. Pendekatan objektif mengidentifikasikan perkembangan pikiran manusia sebagai evolusi teori selama lebih kurang 2.500 tahun. Evolusi ini berkembang sejak Aristoteles hingga awal abad ke-20, yang kemudian menjadi revolisi teori selama satu abad, yaitu awal
6
M. Atar Semi , Metode Penelitian Sastra, (Bandung: CV Angkasa, 2012), h. 84. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 183. 8 Ibid. 7
9
abad ke-20 hingga awal abad ke-21, dari strukturalisme menjadi strukturalisme dinamik, resepsi, interteks, dekonstruksi, postrukturalisme pada umumnya. 9 Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting, sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Masuknya pendekatan objektif ke Indonesia sekitar tahun 1960, yaitu dengan diperkenalkannya teori strukturalisme, memberikan hasil-hasil yang baru sekaligus maksimal dalam rangka memahami karya sastra. Adanya penolakan unsur yang berada di luarnya, maka masalah yang dipecahkan dalam pendekatan objektif harus dicari dalam karya tersebut, seperti citra bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang dapat menimbulkan kualitas estetis dalam suatu karya sastra. Ada beberapa kekuatan pendekatan objektif yang diungkapkan oleh Semi, yaitu: (1) pendekatan objektif memberi peluang untuk melakukan telaahan atau kajian sastra lebih dalam, (2) pendekatan ini mencoba melihat sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya, (3) karena analisis yang objektif dan bersifat analitik banyak memberi umpan balik kepada penulis dan dapat mendorong penulis untuk menulis secara lebih berhati-hati dan teliti, kesalahan yang kecil sekalipun tidak luput dari pengamatan pembaca. Di samping adanya kekuatan seperti yang dikemukakan tersebut, terdapat pula beberapa kelemahan pendekatan objektif, kelemahan pendekatan objektif, antara lain:
9
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), h. 73.
10
(1) analisis komponen atau unsur secara menjelimet berkecenderungan untuk menyebabkan masalah estetika dikorbankan, (2) pendekatan objektif lebih bersifat diakronis, ia lebih cocok untuk analisis karya sastra pada satu masa, tetapi sukar digunakan untuk analisis perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu, (3) pendekatan objektif memerlukan dukungan pengetahuan teori sastra yang lebih dalam agar dapat berbicara lebih dalam tentang aspek-aspek yang membangun karya sastra, (4) pendekatan objektif mengesampingkan konstelasi sosial budaya, padahal sastra merupakan sesuatu yang berada dan lahir dalam suatu konstelasi sosial budaya, sehingga pendekatan ini dinilai mengesampingkan manusia yang berada di sekitar sastra.10 Pendekatan karya sastra yang berpusat pada karya sastra sebagai kesatuan yang utuh disebut juga sebagai pendekatan objektif. Dalam pendekatan objektif yang diteliti adalah unsur-unsur yang membangun karya tersebut, seperti tema, alur, latar, gaya penulisan, penokohan, dan gaya bahasa. H. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk perkembangan ilmu sastra khususnya di bidang karya sastra yang berbentuk novel, dan dalam teori sastra khususnya pada nilai moral dengan pendekatan objektif, serta membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan nilai moral.
1. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dalam hal membuat perencanaan pengajaran, untuk memberikan lebih lebih banyak pilihan bahan bacaan atau rujukan.
10
M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: CV Angkasa, 2012), h. 88-89.
11
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Moral 1. Pengertian Moral Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka, secara sederhana dapat disamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi.1 Orang yang baik adalah orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Franz Magnis mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baikburuknya manusia sebagai manusia. Bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulutangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.2 Baik buruknya manusia sebagai manusia, karena setiap manusia pada dasarnya adalah manusia yang sama dengan manusia yang lain, dalam hal ini profesi yang diperankan oleh setiap manusia, tidak masuk dalam ukuran moral. Moral selalu menuju pada pribadi yang dibentuk dari dalam hati, bukan aturanaturan yang diikuti secara terpaksa. Moral dalam cerita, menurut Kenny dalam buku Teori Pengkajian Fiksi karangan Burhan Nurgiyantoro biasanya dimaksud sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat 1
Purwa, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta: Kanusius, 1990), h. 13. . Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 19. 2
11
12
diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.3 Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan moral yang disampaikan. Semi mengatakan moral dalam pengertian filsafat merupakan suatu konsep yang telah dirumuskan oleh sebuah masyarakat untuk menentukan kebaikan atau keburukan. Oleh karena itu, moral merupakan suatu norma tentang kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kegiatan atau kehidupan sebuah masyarakat.4 Muh. Said mengatakan bahwa norm (norma = jamaknya) berarti ukurukuran atau kaidah bagi pertimbangan dan penilaian.5 Norma merupakan suatu kaidah yang menentukan atau mempertimbangkan baik atau buruknya moral seseorang. Zakiah Drajat berpendapat bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar), rasa tanggung jawab atas tindakan itu, dan mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.6 Misalnya moral yang terdapat dalam agama Islam yang mencontoh akhlak Nabi Muhammad SAW seperti sifat yang benar, adil, jujur, dan dipercaya. Moral sangat penting bagi setiap orang, tiap bangsa, bahkan ada seorang penyair Arab berkata bahwa ukuran suatu bangsa adalah akhlaknya. Jika mereka tidak berakhlak, maka bangsa itu tidak berarti.
3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 321. 4 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: CV Angkasa, 2012), h. 89. 5 Muh. Said, Etik Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h. 25. 6 Zakiah Darajat, Membaca Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 8.
13
Antara akhlak dengan moral dapat dibedakan, akhlak menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah budi pekerti, yang mengacu pada kelakuan orang yang berpendidikan7, apabila akhlak seseorang baik, maka tingkah laku orang tersebut dapat dikatakan terpuji (mahmudah), sedangkan akhlak yang buruk, maka tingkah lakunya tidak baik atau tidak terpuji (mazmumah). Berbeda halnya dengan moral, yaitu ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai tingkah laku.8 Nilai moral dalam masyarakat menjadi sesuatu yang penting. Apabila suatu bangsa memiliki moral yang baik maka kehormatan bangsa itu akan baik di mata dunia, dan kesejahteraan pun akan terjadi di dalam bangsa yang memiliki moral yang baik. Maka dari itu untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai
bangsa
yang
sejahtera
dan
terhormat,
maka
sangatlah
perlu
memperhatikan pendidikan moral bagi generasi penerus bangsa, agar menjadi generasi yang mampu membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih besar di masa yang akan datang. Moral dalam sastra merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Secara umum moral mengandung pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima mengenai perbuatan sikap kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila.9 Karya sastra yang memiliki moral baik adalah karya sastra yang berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berpikir, dan berketuhanan. Memang karya sastra tidak saja gagasan, tema, dan pesan-pesan tertentu. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat martabat umat 7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Ed. 3, h. 20. 8 Ibid., h. 754. 9 Ibid., h. 766.
14
manusia. dalam hal ini karya sastra tidak hanya tercipta dari kemahiran dan bakat yang dimiliki oleh seorang penulis karena ia juga memiliki visi, aspirasi, maksud baik, dan perjuangan sehingga karya sastra yang dihasilkan dapat memiliki nilai tinggi. Karya sastra yang memiliki nilai tinggi adalah karya sastra yang memiliki keseimbangan isi antara seni dan moral yang dikandungnya. Meski moral yang disampaikan pengarang dalam karya sastra biasanya selalu menampilkan pengertian yang baik, tetapi jika terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai sikap dan tingkah laku yang kurang terpuji atau tokoh antagonis, tidak berarti tingkah laku yang kita ambil harus seperti tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat ahli maka dapat disimpulkan bahwa aspek moral adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya berdasarkan pandangan hidup masyarakat. Nilai-nilai moral yang tercantum dalam karya sastra dapat berbentuk tingkah laku yang sesuai dengan kesusilaan, budi pekerti, dan juga akhlak. Dalam hubungannya dengan pengajaran, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan tentang sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya. Pendidikan moral sebagai istilah muncul secara resmi dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam kalimat berikut: “untuk mencapai cita-cita tersebut maka kurikulum di semua tingkat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan pendidikan Moral Pancasila dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda” Atas dasar ketetapan tersebut dalam melaksanakan Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam bidang pendidikan, maka dirasakan perlu menanamkan nilai moral Pancasila.10
10
Burhanuddin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h. 79.
15
2. Bentuk Nilai Moral Ajaran moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. hal tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek seperti hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Untuk itu pendidikan moral harus diintensifkan dan perlu dilaksanakan di dalam rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Moral dengan sendirinya akan terbentuk dari setiap lingkungan di mana seseorang tumbuh dan berkembang, dan dengan sendirinya pula moral dapat mendorong kita kepada kehidupan kesusilaan yang tinggi. Kesusilaan yang tinggi adalah moral dasar dalam pembangunan dan kehidupan bangsa. Orang yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu yang lama dapat mencapai keunggulan moral yang disebut keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan yang dicapai oleh seseorang untuk bersikap batin maupun berbuat secara benar. Misalnya: kerendahan hati, kepercayaan kepada orang lain, keterbukaan, kebijaksanaan, ketekunan kerja, kejujuran, keadilan, keberanian, penuh kasih, dan sebagainya.11 Moral merupakan ukuran akhlak yang sudah ditanamkan, akhlak mahmudah dilahirkan oleh sifat-sifat mahmudah dan akhlak mazmumah dilahirkan oleh sifat-sifat mazmumah pula. a. Sabar Kata sabar dari bahasa Arab kata Sabara Yashburu Shabaran yaitu ketundukan penerimaan apa-apa yang telah Allah berikan baik kesenangan atau kesedihan. Sesuatu yang terjadi pasti akan ada hikmahnya yang Allah berikan kepada setiap hambanya yang selalu berikhtiar dan bertawakal. Ada peribahasa mengatakan bahwa kesabaran itu pahit laksana jadam, namun akibatnya lebih manis dari madu. Ungkapan tersebut menunjukkan hikmah kesabaran sebagai fadilah (manfaat). Kesabaran dibagi menjadi dua kategori: 11
Purwa, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta: Kanusius, 1990), h. 21.
16
1. Kesabaran ketika ditimpa musibah (tabah) 2. Kesabaran dalam mengerjakan sesuatu (rajin, tekun, istiqamah)12
b. Memelihara lisan Memelihara lisan adalah sikap seseorang memelihara ucapan untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak layak atau tidak pantas untuk diucapkan. Sikap menjaga lisan tersebut dapat menjaga seseorang selalu berbuat baik dalam ucapannya dan perbuatannya.13 Kelihaian berbicara kadang membuat seseorang mudah melepaskan kata-kata tanpa kendali, sehingga akhirnya terjerumus dalam perbuatan dosa, seperti menggunjing serta mencela orang lain.
c. Santun Santun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah halus dan baik dalam budi bahasa dan tingkah lakunya.14 Santun merupakan cerminan dari hati yang bersih. Penyantunan artinya orang yang baik budi bahasanya dan baik budi tingkah lakunya. Hal tersebut merupakan sikap terpuji yang menjaga dirinya dan menjaga orang lain untuk tidak menyakiti sesama. Misalnya ketika bertamu ke rumah teman, kita harus mengucapkan salam. Contoh lain saat ingin meminjam sesuatu, harus meminta ijin terlebih dahulu kepada pemiliknya.
d. Tanggung jawab Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.15 Sikap tanggung jawab bisa terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain. contoh tanggung jawab terhadap
12
Ibid., h. 169. Meyta Sartika, “Nilai Moral Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 13. 14 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 997. 15 Ibid., h. 1139. 13
17
diri sendiri yaitu seorang pelajar yang bertanggung jawab akan menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tepat waktu. Sedangkan contoh bertanggung jawab kepada diri sendiri yaitu apabila diberi keperayaan untuk suatu pekerjaan, maka harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sudah disepakati.
e. Menahan Amarah Ada kata bijak yang dituturkan oleh Imam Hasan as „Bukanlah orang yang gagah itu orang yang paling gagah di medan pertempuran, melainkan orang yang gagah itu adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” Kemampuan seseorang mengendalikan amarah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor genetika dan eksternal yang memberikan pengaruh jiwa dan amarah, seperti kesulitan-kesulitan diri, kesulitan-kesulitan sosial, kesulitan-kesulitan ekonomi, dan kesulitan-kesulitan pendidikan. Oleh karena itu, setiap manusia harus bisa mengendalikan amarah dengan usaha melatihnya agar terbangun kecerdasan emosi yang dapat mengendalikan kapan dan di mana saja emosi itu muncul.
f. Tolong-menolong Sikap senang menolong orang lain, baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga dan moril merupakan sikap yang terpuji. Dalam kehidupan sehari-hari manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. sikap ini dikemukakan dalam Alquran. Jika sikap gotong-royong telah terhujam dalam pribadi, maka setiap ada seseorang yang kesulitan selalu terunggah untuk bangkit memberikan pertolongannya. 16 g. Berani Sikap berani adalah hiasan pribadi yang mendorong manusia mencapai kemajuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh orang-orang yang telah berjasa bagi bangsanya, agamanya, dan kemanusiaan. Keberanian menimbulkan 16
Ibid., h. 178.
18
ketentraman, dan sebaliknya pengecut akan selalu timbul rasa gelisah dan keraguan-keraguan pada dirinya. Selain itu, keberanian juga menghilangkan kesulitan dan kepahitan. Perasaan sulit sebenarnya berakar pada rasa takut (cemas), ketika keberanian timbul maka hilanglah rasa kesulitan tersebut. Seseorang yang takut menghadapi urusan, maka ia akan merasa sangat sulit hidupnya. Tetapi jika dia berani menghadapi urusan itu, maka seketika itu hilang kesulitannya.
h. Religius Menurut Mangunwijaya dalam Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi.17 Religius adalah sifat yang keluar dari lubuk hati, bukan sekedar beragama, buktinya banyak orang yang mengaku memiliki agama dan dicantumkan di KTP namun ia tidak mendalami agamanya tersebut, orang yang seperti itu dapat dikatakan memiliki agama tetapi tidak religius, karena religius tidak sekedar formalitas. Seorang yang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia. 18
B. Hakikat Sastra Sastra (Sansekerta/ Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta shastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar shas yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan”
17
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 327. 18 Ibid.
19
atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
19
Selain itu
dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan yang mediumnya bahasa. Dalam pengertian ini, sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan saja, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Menurut B. Rahmanto dalam buku Metode Pengajaran Sastra, sastra mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa yang khusus, yang digunakan dalam berbagai pola yang sistematis untuk menyampaikan segala perasaan dan pikiran.20 Sastra merupakan sebuah permainan bahasa yang bertujuan untuk menyampaikan pemikiran dan perasaan. Menurut Teeuw dalam Buku Metode Penelitian Sastra karya Semi, bahwa dalam dua dasawarsa belakangan ini ilmu sastra internasional berkembang dengan cepat ke arah yang menjadikan ilmu ini sangat penting, sehingga perlu diperhatikan oleh penelitian sastra Indonesia.21 Sastra nasional harus dapat mengimbangi perkembangan sastra internasional. Sastra menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis, sastra mengandung nilai-nilai sosial, falsafi, dan religi. Semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat inilah yang menjadi sifat ambiguitas karya sastra, karya yang memiliki multitafsir. Sastra tidak saja lahir karena fenomena-fenomena kehidupan lugas, tetapi juga dari kesadaran penulisnya bahwa sastra sebagai suatu yang imajinatif, fiktif, dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Sastrawan saat menciptakan karyanya tidak hanya sekedar didorong untuk menciptakan keindahan, tetapi juga harus dapat menyampaikan pikiran-pikiran, pendapatpendapatnya, dan kesannya terhadap sesuatu. Sebuah karya sastra dapat dikatakan luar biasa apabila memiliki nilai yang luar biasa dalam proses pembuatannya mampu melibatkan semua aspek. Karya sastra yang bernilai tinggi akan dapat kita nikmati ketika membaca isinya mampu melibatkan batin, dapat disimpulkan 19
Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara), h. 2. B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 1988), Cet. 8, h. 10. 21 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: CV Angkasa, 2012), h. 2. 20
20
bahwa sastra yang berkualitas memiliki nilai tinggi dari segi pengarang dan karya itu sendiri.
C. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Kata novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama.22 Menurut Ratih novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif. Biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel berasal dari bahasa Italia, “novella” yang berarti “sebuah kisah, sepotong berita”. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrical sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitikberatkan pada sisi-sisi yang aneh dan naratif tersebut.23 Novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius (didaktif) dan karya hiburan (rekreatif). Novel memiliki fungsi rekreatif, yaitu seseorang dapat memperoleh kesenangan atau hiburan yang dikisahkan oleh pengarang. Karya sastra rekreatif ini menitikberatkan pada aspek hiburan, karya sastra seperti ini disebut dengan sastra populer. Selain itu sastra juga memiliki fungsi didaktif, artinya dari karya sastra seseorang akan mendapat pengetahuan tentang selukbeluk kehidupan manusia dan pelajaran tentang nilai-nilai di dalamnya, fungsi ini menitikberatkan pada pelajaran dan pengetahuan disebut sastra serius. Pendapat
22
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT Bumi Aksara), h. 124. 23 Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara), h. 39.
21
demikian memang benar tapi ada kelanjutannya, yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan pengetahuan bisa disebut sebagai karya serius. 2. Jenis Novel Burhan menggolongkan jenis novel menjadi dua, yaitu; a. Novel Populer Novel populer adalah novel populer pada masanya dan banyak yang penggemarnya, khususnya pembaca dari kalangan remaja. Novel jenis ini selalu menampilkan permasalahan yang aktual selalu sesuai dengan zamannya, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab apabila demikian novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artificial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia, biasanya, cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya.24 Novel populer akan terus bermunculan dan akan terus menutupi novel-novel populer yang sudah lebih dahulu diterbitkan, dan akan hilang seiring berubahnya zaman. Sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. sastra populer hanya setia memantulkan kembali “emosi-emosi asli”, dan bukan penafsiran tentang emosi itu. oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.25 24
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 18. 25 Ibid.
22
Sastra populer tidak banyak mengeksplorasi berbagai kemungkinankemungkinan yang kiranya akan terjadi dalam kehidupan, biasanya sastra populer selalu memantulkan keadaan batin pengarang yang sesungguhnya secara mendasar.
b. Novel Serius Novel serius adalah novel yang “harus” sanggup memberikan yang serba kemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca,
atau
paling
tidak,
mengajaknya
untuk
meresapi
dan
merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Hakikat kehidupan, boleh dikatakan, tetap bertahan sepanjang masa. Ia tidak pernah ketinggalan zaman. Itulah sebabnya, antara lain, novel dan pada umumnya sastra serius tetap menarik sepanjang masa, tetap menarik untuk dibicarakan. Kita dapat mengambil contoh, misalnya, Hamlet, Romeo dan Juliet, dan lain-lain karya Shakespeare, Madame Bovary karya Gustave Flaubert, atau bahkan yang lebih tua lagi misalnya La Divina Commedia karya Dante, atau beberapa karya Homerus, Sophocler, dan lain-lain pada masa Yunani Klasik. Karya-karya tersebut adalah sejumlah contoh karya yang tetap menarik untuk dibaca dan dibicarakan sampai sekarang. Contoh karya sastra Indonesia misalnya, Belenggu, Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, atau karya klasik seperti Mahabrata dan Ramayana.26 Permasalahan kehidupan yang tak pernah berubah dan abadi sepanjang masa membuat novel serius dapat dinikmati 26
Ibid., h. 18-19.
23
sepanjang masa, bahkan novel yang telah berusia ribuan tahun masih dapat dijadikan sebuah perbincangan sastra. Novel jenis ini merupakan novel yang bermutu sastra. Novel serius umumnya bermaksud menyajikan pengalaman manusia melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahaminya kadang harus melakukan analisis terhadap bagianbagian tersebut dan relasinya satu-sama lain.27 dalam novel serius, pengarang cenderung memanfaatkan kebebasan kreasi. Dengan kebebasan itu, pengarang akan selalu berusaha menampilkan hal yang baru dengan tetap menjaga keorisinalitasannya. Berdasarkan teori di atas, novel Bukan Pasarmalam termasuk dalam kategori novel serius. Novel ini menceritakan permasalahan kehidupan yang tak pernah berubah dan abadi sepanjang masa, banyak mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang kiranya terjadi dalam kehidupan, dan memantulkan keadaan batin pengarang yang sesungguhnya secara mendalam. Novel Bukan Pasarmalam tidak hanya memberikan hiburan kepada pembacanya, namun juga memberikan pengetahuan yang berharga, mengajak meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. 3. Unsur-unsur Novel a. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Novel terdiri dari beberapa unsur yaitu:
27
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. 1, h. 13.
24
a) Tema Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah—yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang—yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut. Jika dasar cerita telah ditetapkan—kerangka cerita, perwatakan para tokoh dan lain-lain pun segera dapat dibayangkan.28 Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema dapat digali atau ditemukan dari keseluruhan teks yang ada pada karya sastra, baik secara tersirat maupun tersurat.
b) Tokoh dan Penokohan Burhan mengatakan bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.29 Ratih juga berpendapat bahwa tokoh ialah pelaku dalam karya sastra, biasanya ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya sastra. Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character).30 Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra oleh pengarangnya untuk menjalankan sebuah cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi—karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan—menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. 28
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 70. 29 Ibid., 165. 30 Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara), Cet. 1, h. 5.
25
Atau seperti dikatakan oleh Jones yang dikutip oleh Burhan dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.31 Menurut ratih penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh. Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah cara penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Cara dramatik, ialah cara menampilkan tokoh tidak langsung tetapi melalui pelaku atau tokoh dalam suatu cerita.32 Penokohan adalah adalah suatu pencitraan tokoh dalam cerita, dan ada dua cara dalam menampilkan pencitraan tersebut, yaitu analitik dan dramatik. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh (-tokoh) yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalam tokoh utama cerita (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).33 Ada dua tokoh jika dilihat dari peranannya dalam cerita, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasi diri dengan dengan tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonist, dan tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonist, secara langsung ataupun tak langsung, secara fisik ataupun batin.34
31
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 165. 32 Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara), Cet. 1, h. 6. 33 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 176. 34 Ibid., h. 178-179.
26
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Sebagai tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat atau tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Lalu tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi dan jati dirinya35
c) Alur Alur adalah tahapan/ rangkaian peristiwa yang dilahirkan oleh para tokoh dalam cerita yang memaparkan sebab-akibat peristiwa. Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya.36 Tahapan alur menurut Mochtar Lubis yang dikutip oleh Burhan dalam buku Teori Pengkajian Fiksi yaitu membedakan menjadi lima. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut. 1. Tahap Penyituasian Tahap penyituasian adalah tahap yang terutamaberisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh(-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.37 2. Tahap Pemunculan Konflik
35
Ibid., h. 181-183. Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. 1, h. 26. 37 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 149. 36
27
Tahap pemunculan konflik adalah tahap di mana masalah(-masalah) dan
peristiwa-peristiwa
yang
menyulut
terjadinya
konflik
mulai
dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awalnya muncul konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.38 3. Tahap Peningkatan Konflik Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.39 4. Tahap klimaks Dalam tahap ini konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh(tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.40 5. Tahap Penyelesaian Konfliks yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflikkonflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.41
d) Sudut Pandang Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita di sini adalah pribadi
yang diciptakan pengarang untuk
menyampaikan cerita. Paling tidak ada dua pusat pengisahan yaitu pencerita 38
Ibid. Ibid., h. 149-150 40 Ibid., h. 150. 41 Ibid. 39
28
sebagai orang pertama dan pencerita sebagai orang ketiga. Sebagai orang pertama pencerita duduk dan terlibat dalam cerita tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga, pencerita tidak terlibat dalam cerita tersebut tetapi ia duduk sebagai seorang pengamat atau dalang yang serba tahu.42 Jadi pusat pengisahan adalah bagaimana cara bercerita yang dilakukan oleh pengarang karya sastra, apakah sang pengarang bercerita menggunakan pencerita orang pertama atau pencerita sebagai orang ketiga.
e) Latar Abrams yang dikutip oleh Burhan mengatakan bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.43 Latar atau setting adalah suatu keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana peristiwa. Hal ini penting untuk memberikan gambaran kepada pembaca, sehingga mempermudah pembaca mengimajinasikannya. Latar yang digunakan dalam novel ini yaitu latar tipikal, adalah latar yang menggambarkan situasi lingkungan sosial saat peristiwa itu terjadi. Selain itu ada pula latar netral, yaitu latar yang sekedar menyebut situasi dan tempat kejadian suatu peristiwa.
f) Gaya Bahasa Majas atau gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang. Majas dibagi menjadi beberapa macam, yakni perbandingan, majas sindiran, majas penegasan, dan majas pertentangan.44
g) Amanat
42
Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara), Cet. 1, h. 7-8. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 216. 44 Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara), Cet. 1, h. 28. 43
29
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah makna yang termuat dalam karya sastra tersebut.45 Amanat adalah nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat secara eksplisit merupakan saran peringatan, nasihat anjuran, larangan, dan sebagainya yang disampaikan pengarang di tengah atau di akhir cerita terutama mengenai halhal yang berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita tersebut. Amanat secara implisit merupakan solusi (jalan keluar) atau ajaran moral yang disiratkan melalui tingkah laku tokoh dalam cerita.
b. Unsur Ekstrinsik tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri.46 Unsur ekstrinsik merupakan unsur yang berada di luar novel. Unsur ini akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra. Atau secara lebih khusus, sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Wellek dan Warren dalam Teori pengkajian Fiksi menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki 45 46
Ibid., h. 5. Ibid., h. 8.
30
sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuan yaitu akan memengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Seperti unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra.47
D. Hasil Penelitian yang Relevan Suatu hasil penelitian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsurunsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang peneliti atau penulis. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan referensi atau acuan yang menopang penelitian yang sedang dikerjakan. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet, atau yang lainnya. sejauh yang peneliti ketahui, belum ada yang meneliti “Nilai Moral Tokoh Aku dalam Novel Bukan Pasarmalam Karya Pramoedya Ananta Toer dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah” di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Jakarta. Prof. Dr. A. Teeuw seorang peneliti sastra Indonesia dari Belanda menulis sebuah disertasi tentang karya-karya Pramoedya, dengan judul “Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer” yang kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1997, membahas novel Bukan Pasarmalam dari sudut pandang, hubungan kekeluargaan, dan latar belakang. Hal tersebut ditulis dengan judul Tiga Keluarga yang Bermiripan Blora Ditengok Kembali. A. Teeuw menjelaskan bahwa sudut pandang dalam cerita Bukan Pasarmalam merupakan cerita persona pertama, yang di dalamnya pencerita sekaligus protagonis. Dilihat dari hubungan kekeluargaan dari beberapa cerita yang disebutkannya seperti Blora, Dia Jang Menyerah, dan Bukan Pasarmalam tidak menyajikan „riwayat sejati‟ keluarga Pramoedya. Tetapi bagi tiga cerita ini 47
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 24.
31
Pramoedya memerlukan latar sebuah keluarga yang mempunyai kredibilitas, dan mungkin tidak kebetulan dalam cerita keluarganya yang nampak paling dekat dengan kenyataan keluarga Pramoedya, adalah Bukan Pasarmalam. Kajian pustaka lainnya yang terkait dengan penelitian ini adalah, skripsi Mega Fiyani yang berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasarmalam Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra” Jurusan pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rumusan
masalah penelitian ini tentang gambaran sosial masyarakat Indonesia, nilai sosial dalam novel Bukan Pasarmalam dengan tinjauan sosiologi sastra, dan implikasi nilai sosial dalam novel tersebut dalam pembelajaran sastra di sekolah. Untuk menggali nilai-nilai tersebut, penelitian ini
menggunakan metode deskriptif
analisis, yaitu metode dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta, kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan hasil analisis buku ini diketahui bahwa buku tersebut memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di dalam keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan. Kajian pustaka lainnya tentang novel ini berjudul “Ayah-Anak: Kajian Eksistensial dan Fenomenologis Atas Novel Bukan Pasarmalam Karya Pramoedya Ananta Toer” yang disusun oleh mahasiswa Fakultas Psikolog Universitas Surabaya, Yaitu: Waty Chai, Tonny, dan Hari K Lasmana. Penelitian tentang relasi ayah-anak yang menggunakan pendekatan Merleau Ponty dan eksistensial Satre, yang dianggap mampu menawarkan makna ayah dalam inventaris tambahan tentang makna ayah. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut terlihat perbedaan tersendiri dalam memfokuskan penelitian tentang nilai moral tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam yang diteliti oleh penulis. Penulis kali ini memaparkan bagaimana nilai moral tokoh aku yang merupakan pejuang muda revolusi yang
32
memiliki sikap bertanggungjawab, sabar, dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi persoalan yang menderanya dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan objektif.
F. Pengajaran Sastra di Sekolah Pengajaran
sastra
dalam
pembelajaran
bahasa
Indonesia
sangat
bermanfaat, karena sastra sebagai karya seni memiliki kaidah-kaidah unik yang seringkali sulit untuk didefinisikan. Selain itu pengajaran sastra dapat dikatakan sebagai suatu proses interaksi antara guru dan siswa dalam mengakrabkan diri dengan sastra. Di dalam interaksi terjadi proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan terhadap karya sastra, hingga akhirnya siswa mampu menerapkan temuannya dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, siswa akan memperoleh nilai-nilai kehidupan yang sifatnya positif dan mampu membangun cara pandangnya menjadi lebih baik. Pengajaran nilai moral di sekolah merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan, dengan membaca karya sastra yang memiliki nilai moral dan mengkajinya maka akan memberikan sebuah pembelajaran moral yang baik sekaligus menyenangkan bagi siswa. Guru dapat memberikan sebuah bacaan yang memiliki nilai moral kepada peserta didik. Pengajaran sastra di sekolah tinggakt SMA, SMK, Madrasah Aliyah, sudah menunjukan tingkat tinggi. Siswa sudah dihadapkan dengan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah novel. Padahal untuk mengetahui unsurunsur tersebut seorang siswa harus banyak membaca buku yang bersangkutan dengan novel maupun mengulang novel tersebut. Hal tersebut menjadi kendala bagi siswa tingkat SMA, SMK, Madrasah Aliyah, yang terkadang malas membaca. Pola pengajaran yang cenderung bersifat hafalan, dan bukan apresiatif. Para siswa disodorkan begitu banyak konsep, nama pengarang, dan judul buku.
33
Tetapi hanya sesekali siswa diwajibkan membaca langsung karya sastranya. Akibatnya, pelajaran sastra nyaris sama dengan pelajaran ilmu sosial lainnya.48 Guru memberikan motivasi belajar dan menggunakan metode yang menarik saat pelaksanaan pembelajaran sastra yang sudah diterapkan di RPP. Dari pembelajaran sastra menggunakan novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer ini, siswa akan belajar bagaimana nilai moral sebagai anak manusia yang memiliki tanggungjawab yang cukup besar terhadap seluruh keluarganya yang sedang dilanda oleh persoalan yang rumit dan mendesak, dan dapat mengaplikasikannya dalam tindakan sehari-hari. Unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel terdapat dalam silabus pengajaran di SMA, berikut adalah contoh silabus: SILABUS Alokasi Waktu: 2 x 45 Menit Kompetensi
Materi
Kegiatan
Dasar
Pembelajaran
Pembelajaran
Menganalisis
Novel
unsur-unsur
Indonesia dan
novel
unsur-unsur
intrinsik dan
novel
Indonesia, dan
intrinsik dan
ekstrinsik
terjemahan
novel
ekstrinsik novel
novel
- Unsur-unsur
terjemahan.
intrinsik
- Menganalisis
- Menganalisis
- Membandingkan
Penilaian - Tugas individu - Tugas kelompok
unsur-unsur
Bentuk
unsur-unsur
ekstrinsik dan
instrumen:
penokohan,
intrinsik dan
intrinsik (alur,
- Uraian
sudut
ekstrinsik.
tema, penokohan,
- Membandingk
sudut pandang,
latar dan
an unsur
latar, bahasa, dan
amanat
intrinsik dan
amanat) novel
ekstrinsik
terjemahan
ekstrinsik
novel
dengan novel
dalam novel
Indonesia
Indonesia.
- Unsur-unsur
Sumber - Novel indonesia - Novel terjemahan
- Ulangan
(alur, tema,
pandang,
48
- Membaca
Indikator
bebas - Pilihan ganda - Jawaban singkat
B. Rahmanto, Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011), h. 118.
34
(nilai budaya,
dengan novel
sosial, moral,
terjemahan.
sejarah, dan sebagainya).
35
BAB III TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi Pengarang Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925, sebagai anak sulung Bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah.1 Pram merupakan pengarang Indonesia paling terkemuka. Banyak karyanya yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Berkali-kali dicalonkan untuk mendapat hadiah Nobel.2 Satu-satunya penulis Indonesia yang pernah berkali-kali menjadi kandidat pemenang nobel sastra. Pramoedya kecil sering menderita akibat kekerasan dan kesewenangan ayahnya. Ia selalu merasa bersalah dan minder karena prestasinya di sekolah sangat mengecewakan ayahnya; tiga kali ia tidak naik kelas. Ketika ia masuk kelas empat, ayahnya melarangnya masuk sekolah lagi dan mulai memberi pelajaran pribadi.3 Ayahnya yang seorang guru merasa malu mempunyai anak yang tiga kali tidak naik kelas, dan ia merasa mampu untuk memberi pelajaran secara pribadi, tidak di dalam kelas dan tidak bersama anak-anak lain. Walau ayahnya menolak membantu Pramoedya untuk meneruskan pelajarannya, ia sempat belajar di sekolah kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya, berkat usaha ibunya yang mulai berdagang padi dan lain-lain sebagai ‗tengkulak‘. Kurikulum sekolah yang terdiri dari tiga semester berhasil dituntaskannya dengan nilai yang cukup baik; hanya hasil ujian praktek nya kurang dan tidak mencukupi angkanya. Pada hari akhir ujian (8 Desember 1941), terdengar Jepang menyerang Pelabuhan Pearl Harbour, dengan demikian perang dunia II juga mulai berkobar di daerah Asia Timur dan Lautan Pasifik. Oleh karena kekacauan keadaan perang itu, ijazah sekolah yang seharusnya datang dari 1
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1997), h. 4. 2 Ajip Rosidi, Yang Datang Telanjang: Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 765 3 A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1997), h. 11.
35
36
Bandung tidak pernah sampai pada Pramoedya.4 Ijazah yang tak pernah sampai ke tangan Pramoedya membuat hasil belajarnya tidak memiliki bukti sah kelulusan. Pemerintahan Prancis, sebagai pimpinan sebuah Negara yang mempunyai tradisi penghargaan sastra yang tua dan kuat, tentu tidak sembarang membagikan ―La croix de l‘Ordre des Arts et des Lettres‖, sebuah bintang penghargaan yang cukup berwibawa. Tidak setiap pengarang hebat yang dimiliki suatu Negara dianugerahi bintang itu. Pasti harus ada alasan-alasan kuat yang masuk akal bagi pemerintah Prancis di balik setiap penganugerahannya. Adapun alasan penganugerahan penghargaan itu kepada Pramoedya yang diberitakan di surat kabar adalah, karya-karya Pramoedya senantiasa mengungkapkan perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan, dan jasa dalam bidang sastra dan budaya.5 Pram merupakan sosok penting dalam perjalanan sastra Indonesia, bukan hanya karena karya-karyanya yang dapat dibanggakan baik di dalam maupun di luar negeri, tetapi Pram juga merupakan sosok seorang penulis yang sangat idealis. Pram yang dituding sebagai ―jubir‖ Lekra percaya bahwa seni harus melayani rakyat dan politik, sementara kebanyakan Angkatan 1945 bersikeras bahwa seni memiliki kriteria estetiknya sendiri dan harus dipisahkan dari politik. Berbenturan pandangan politik serta kebudayaan inilah yang akhirnya mencetuskan Peristiwa Manikebu 1963-1964.6 Peristiwa yang amat penting menentukan bagi Pram berlangsung pada juli 1956. Pram diundang oleh wakil kedutaan Cina untuk menghadiri peringatan wafat kedua puluh tahun lu Hsun. Karena perjalanan Pramoeya ke Cina tersebut, orang mulai menilai Pram bukan hanya memihak pada komunis, bahkan telah menjadi komunis.7 Kisah asmara Pramoedya juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan, realitas yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para
4
Ibid., h. 14-15 Apsanti Djokosujatno, Membaca Katrologi Bumi Manusia (Magelang: Indonesiatera, 2004), h. 1. 6 JJ Rizal, ed., Pram dan Cina (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 49-50. 7 A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1997), h. 33-34. 5
37
penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pramoedya dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga gerai yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah. Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di gerai itu layaknya seorang penjaga. Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampingi dalam segala suka duka mereka sampai Akhir hayat.8 Pramoedya memulai mengarang sejak zaman Japang dan awal revolusi, dia telah menerbitkan buku Kranji Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949 ketika cerpennya ‗Blora‘ yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka ‗Blora‟ yang ditulis dalam gaya yang sangat padat, dimuat pertama kali dalam majalah Indonesia (1949). Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lain yang juga ditulis Pramoedya dalam penjara diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950).9 Novelnya yang berjudul Blora mengharumkan nama Pramoedya. Novel ini ditulis kira-kira bulan Mei 1949, waktu Pram berada di penjara Bukit Duri. Oleh jasa Dr. G.J. Resink, naskahnya bisa diselundupkan keluar dan dimuat dalam majalah Indonesia dan terjemahannya ke bahasa Belanda dalam majalah Orientatie. Novel ini terutama menarik perhatian oleh kemanusiaan yang
8
Ary Cahya Utomo, 11 Fakta mengenai Pramoedya Ananta Toer, 2005, (http://pelitaku. sabda.org/11_fakta_mengenai_pramoedya_ananta_toer) 9 Ajip Rosidi, Ikhtisari Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Binacipta, 1968), h. 109.
38
memancar dari dalamnya, hasrat seorang tawanan pada kemerdekaan, pengalaman dalam angan-angan apa yang dilakukannya setelah merdeka.10 Hampir separuh hidup Pramoedya dihabiskan di penjara: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di orde lama, dan 14 tahun di orde baru (13 Oktober 1965 – Juli 1969, pulau Nusa Kambangan Juli 1969 – 16 Agustus 1969, Pulau Buru Agustus 1969 – 12 November 1979 / banyumanik November – Desember 1979) tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30 PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat ini, diantaranya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).11 Selama dalam penjara Pramoedya banyak menulis, kecuali roman Perburuan yang diselundupkan melalui Dr. G.J. Resink dan H.B Jassin untuk kemudian diikutkan pada sayembara mengarang Balai Pustaka, dalam sayembara itu Pramoedya juga menyelesaikan roman Keluarga Gerilja (1950) dan sejumlah cerpen. Cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama-sama dengan beberapa cerpen yang ditulis sebelumnya, kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Pertjikan Revolusi (1950). Pramoedya Ananta Toer adalah seorang yang sangat produktif menulis, baik berupa cerpen, roman, esai maupun kritik. Buku-buku tak henti-hentinya mengalir dari padanya. Kecuali yang tadi sudah disebut, karyanya yang berjudul Mereka Jang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951-1952) merupakan pengalamanpengalamannya selama dipenjara, Tjerita dari Blora (1952), sekumpulan cerpen yang berpusat di Blora, mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk kumpulan cerpen Di tepi Kali Bekasi (1950) sebuah roman yang 10
H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, (Jakarta: Gunung Agung, 1967), h. 96. 11 Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), h. 1.
39
melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Karawang Bekasi; Bukan Pasarmalam (1951), Gulat di Jakarta (1953), Korupsi (1954), Midah si Manis Bergigi Emas (1954), Tjerita dari Djakarta (1957).12 Novel Bumi Manusia (1980), bagian pertama Tetralogi Buru. Dilarang 1981, Jaksa Agung.13 Pramoedya mulai menerbitkan pandangannya tentang sastra dan hubungannya dengan politik yang dilakukan seniman pada awal 1960-an. Artikelartikelnya dimuat dalam Lentera, suplemen budaya (yang ia edit) dari Koran sayap-kiri, Bintang Timur. Yang paling kontroversial dari artikel-artikel itu adalah satu sereal berjudul „Jang Harus Dibabat dan Jang Harus Dibangun‟. Secara terselubung ia mengacu kepada para penulis (yang ia sebut gelandangan) yang menentang ideologi dari rezim Soekarno, sebagai termasuk golongan “Jang harus dibabat”. Pramoedya juga membantu dilarangnya Manifesto Kebudayaan dan pembredelan buku-buku para pendukungnya.14 Pramoedya dapat dikatakan sebagai penulis yang pintar, dan memberikan sebuah gagasan baru terhadap dunia sastra di Indonesia. Pemikiran-pemikirannya yang mendunia membuatnya menjadi seseorang yang ahli dalam memahami hakikat kehidupan yang sesungguhnya dan dengan bakatnya menulis, ia dapat menciptakan karya-karya sastra yang bernilai sastra. Kedekatannya dengan bangsa Tionghoa bagaikan gusi dengan bibir, terasa sangat dekat. Namun karena pemikirannya yang agak bertentangan dengan para pemikir di masanya menjadikannya sebagai sastrawan yang seakan kurang dihargai dinegerinya sendiri. Pramoedya wafat pada usia 81 tahun, tanggal 30 april 2006 pukul 08.55 WIB. Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke
12
Ajip Rosidi, Ikhtisari Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Binacipta, 1968), h. 109. Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2005), h. 5. 14 Allen, Membaca dan Membaca Lagi, (Magelang: Indonesia Tera, 2004), h. 28. 13
40
TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.15
B. Sinopsis Bukan Pasarmalam adalah sebuah novel yang menceritakan tentang seputaran kehidupan seorang pejuang muda revolusi. Seorang pejuang yang gagah pemberani namun pada akhirnya mengalah dengan keadaan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Ia dihadapi dengan permasalahan yang menimpa kehidupan keluarganya, keadaan ayahnya yang tergolek di rumah sakit karena terserang TBC, dan keadaan finansialnya yang tidak mencukupi, ditambah lagi dengan keadaan rumahnya yang tak kuat menahan arus waktu dan juga istri yang cerewet. Sepanjang cerita tokoh aku terus ditimpa masalah yang rumit. Dalam novel ini juga mengkritik bagaimana keadaan sosial yang terjadi pada masa itu, ketimpangan antara kemewahan dan kemiskinan terlihat jelas ketika tokoh aku yang merasa sebagai pejuang tetapi kurang mendapatkan kehidupan yang layak, tidak seimbang dengan perjuangannya membela tanah air di medan perang melawan penjajah, hal tersebut berbanding terbalik dengan para perwira tinggi yang hidup bermewah-mewahan dan terus memperkaya diri dengan segala cara licik. Perjuangan yang tak kenal lelah sang ayah menjadi cerminan pejuang Indonesia yang sesungguhnya dalam memperjuangkan dunia pendidikan dan kemerdekaan Indonesia pada masa itu. Namun sekeras-kerasnya perjuangan manusia pasti akan berakhir, entah dengan kepuasan harta atau dengan kematian. Cerita ini berawal ketika tokoh aku menerima surat dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya jatuh sakit. ini terlihat dalam kutipan berikut:
15
Mega Fiyani, ―Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra‖, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 25.
41
Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu sakit. tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien. Akhirnya ketahuan beliau kena TBC. Ayahmu ada di rumah sakit sekaranng, dan telah empat kali memuntahkan darah.16 Mendengar kabar itu, tokoh aku terkejut dan segera meminta bantuan pinjaman uang ke sana ke mari untuk ongkos pulang ke Blora. Sepanjang perjalanan tokoh aku ke Blora bersama istrinya, ia terkenang akan banyak kenangan pada setiap tempat yang ia lewati. Kenangan itu terus melayang dalam pikiran tokoh aku. Sebelum meninggalkan Jakarta tokoh aku dan istri sempat mengirim telegram untuk mengabarkan bahwa mereka akan ke Blora. Sesampainya di Blora tokoh aku melihat-lihat ke sekitar stasiun, barangkali ada saudara yang datang menjemput, namun ia tak menemukannya. Kemudian tokoh aku dan istrinya melanjutkan perjalanan ke rumah dengan menaiki dokar. Sesampainya mereka di rumah, mereka disambut bahagia oleh keluarga tokoh aku. Tokoh aku dan keluarga mengobrol banyak tentang Jakarta, Semarang, dan mobil. Mereka asik mengobrol sampai akhirnya tokoh aku menanyakan keadaan ayahnya, semua terdiam, kemudian adik tokoh aku yang keempat menjawab dengan perlahan dan hati-hati. Dia mengatakan kiriman wesel dan pil sudah diterima, uang tersebut dibelikan telur, selimut, dan kemeja, namun ayah menyuruh untuk membawanya kembali ke rumah. Kemudian pembicaraan beralih, tokoh aku menyanyakan keadaan adiknya yang ketiga. Adiknya terkena sakit ketika ia ditahan oleh pasukan merah, di daerah malaria. Dan yang lebih menyedihkan anak dari adiknya yang ketiga meninggal dunia. Pada sore harinya tokoh aku dan istri bersama dengan adikadiknya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk keadaan sang ayah. Kondisinya sangat menyedihkan, badannya yang dulu berisi, kini hanya bagaikan sebilah papan. Ketika ditanya apa yang diinginkan, beliau hanya menjawab tidak ingin apa-apa. 16
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), h. 2.
42
Pada saat tokoh aku berjalan-jalan mengelilingi kampung, ia bertemu dengan tetangganya yang seorang tukang potong kambing, ia berkata bahwa rumahnya sudah butuh perbaikan, rumah itu sudah berdiri puluhan tahun dan tidak pernah mendapat perbaikan. Tokoh aku langsung menjawab bahwa dirinya akan merenovasi rumah tersebut. Pada sore harinya ketika tokoh aku kembali menjenguk tokoh ayah, ia berkata bahwa ia akan merenovasi rumah yang mereka tinggali. Malam harinya tokoh aku bersama dengan pamannya pergi mencari dukun. Dukun yang dimaksud adalah seorang guru yang dipercaya dapat menyembuhkan orang sakit. Dukun itu bermeditasi sebentar ke dalam rumahnya, tak lama kemudia dukun itu keluar dan berkata ia tidak dapat menyembuhkan penyakit ayah tokoh aku, namun ia memberikan syarat saja. Ia mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam sakunya. Kemudian dukun itu bercerita bahwa ia banyak berhutang budi pada ayah tokoh aku. Satu sore tokoh aku dan istrinya kembali menjenguk ayahnya di rumah sakit. tokoh aku mengatakan maksudnya bahwa ia akan pulang dulu ke Jakarta. Tokoh ayah mengatakan tunggu seminggu lagi, dan tokoh aku mengiyakannya karena tidak tega meninggalkan ayahnya yang sedang sakit parah tersebut. Pada malamnya tokoh aku dan adinya duduk berhadapan di depan lampu minyak. Perbincangan kedua kakak-adik itu terlihat serius, mereka membicarakan keadaan keluarga ketika tokoh aku sedang berada di Jakarta. Pada suatu sore ketika tokoh aku berjalan-jalan dengan sang istri banyak pembicaraan yang terjadi, sang istri mengajak tokoh aku pulang ke Jakarta karena keuangan mereka semakin menipis. Tokoh aku pun mengatakan kepada istrinya bahwa ia tak akan pulang sebelum semua beres. Dupa yang diberikan oleh dukun itu ternyata tidak berpengaruh terhadap kesehatan ayahnya. Dan pada dini hari adik tokoh aku yang keempat berlari-lari dan mengatakan bahwa ayahnya berbicara tentang jagung. Ayahnya meminta untuk dipegangi tangannya dengan erat, kemudian menunjuk ke arah timur dan
43
mengatakan bahwa ada sembilan puluh sembilan butir jagung di timur. Namun seisi rumah tak mengerti maksud dari perkataan tersebut. Kemudia bapak berkata: ―cukup anakku, sekian dulu. Pergilah engkau semua. Tinggalkan aku sendirian.‖17 Semua pergi meninggalkan beliau sendirian. Dan menjelang magrib adik tokoh aku yang keempat berlari-lari menghampiri dan mengatakan bahwa ayah sudak tidak ada. Malam itu ayah yang sudah tidak ada lagi dibaringkan di bale dalam kerumunan orang banyak. Di antara pelawat seorang pelawat Tionghoa menyeletuk sebagai berikut: Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Mengapa kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita.18 C. Unsur Intrinsik 1. Tema Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra, dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaanperbedaan.19 Tema merupakan makna yang terdapat di dalam teks karya sastra. Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang ―disembunyikan‖, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ―tersembunyi‖ di balik cerita yang 17
89.
18
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), h.
Ibid., h. 95. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h.68. 19
44
mendukungnya.20 Tema berasal dari penggabungan seluruh isi teks di dalam sebuah karya sastra secara utuh, inti dari seluruh cerita, bukan sebagian cerita. Tema yang terdapat dalam novel Bukan Pasarmalam yaitu ―perjalanan seorang pemuda revolusi‖, kutipan yang melukiskan bahwa tema pada novel Bukan Pasarmalam adalah ―perjalanan seorang pemuda revolusi‖ adalah sebagai berikut: Sesungguhnya surat itu takkan begitu menyayat hatiku, kalau saja sebelumnya aku tak mengirim surat yang berisi sesuatu yang tak enak untuk dibaca. Begini surat yang kuterima itu: Blora, 17 Desember 1949 Anakku yang kucintai! Di dunia ini tak ada sesuatu kegirangan yang lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali, anak yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak, anak yang beberapa waktu terasing dari masyarakat ramai, terasing dari cara hidup manusia biasa. … Kutipan tersebut merupakan surat dari seorang ayah yang ditujukan kepada anaknya, anak yang tertua. Dalam surat tersebut dituliskan bahwa surat tersebut ditulis pada tahun 1949, tahun pada masa revolusi bangsa Indonesia. Surat itu ditujukan untuk tokoh aku yang menjadi tokoh utama dan sebagai pemuda revolusi. Surat itu adalah sebuah permulaan yang membuka cerita novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer.
2. Tokoh dan Penokohan Menurut Aminuddin, penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi. Penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama atau sebutan. Lebih lanjut penokohan dapat diidentifikasi dalam penggambaran fisik, jenis kelamin, umur, karakter, status sosial, dan lain-lain, yang dapat menghidupkan tokoh dalam cerita fiksi. Penokohan pada novel ini yaitu: a. Aku Novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya adalah sebuah semi autobiografi Pramoedya sendiri, kehidupan yang diceritakan dalam buku ini 20
Ibid., h.68.
45
melukiskan tentang kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga Pram. Tokoh aku adalah tokoh utama dalam novel ini, maka jika dikatakan sebuah semi autobiografi dapat dikatakan bahwa tokoh aku sebagai pencerita adalah perwujudan dari seorang Pram, tokoh aku adalah pemeran sentral dalam menjalankan cerita dalam novel Bukan Pasarmalam. walaupun tokoh aku merupakan seorang pejuang muda yang gagah berani di medan peperangan, namun di balik itu keberaniannya ia juga mendapatkan penokohan tokoh orang yang memiliki perasaan sensitif dan halus. Secara tersurat dituliskan bahwa tokoh aku memang orang yang perasa, jelas tergambarkan bahwa tokoh aku merupakan seorang yang mempunyai hati yang dan mudah tersayat. Sepertinya perasaan halus yang dimilikinya adalah sesuatu yang diwariskan dari lingkungan keluarganya, tokoh aku mengatakan bahwa keluarganya adalah mahkluk yang perasa, dan ia menyadari itu. Sikap perasa sebenarnya merupakan sesuatu yang lumrah terjadi pada setiap manusia, tokoh aku merupakan tokoh yang paling sering tampil dan merupakan pencerita dalam cerita Bukan Pasarmalam, dan karena itu juga maka semakin membuat perasaan tokoh aku menjadi sebuah bahan eksplorasi untuk membangkitkan perasaan para pembaca. Perasaan halus yang dimiliki oleh tokoh aku dapat terlihat dalam kutipan: ―Aku mengeluh. Hatiku tersayat. Aku memang perasa. Dan keluargaku pun terdiri dari mahkluk-mahkluk perasa‖21 Dalam kutipan tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tokoh aku adalah tokoh utama yang berada dalam cerita. Tokoh aku merupakan pencerita dan juga merupakan bagian dari cerita karena ia ikut perperan. Dalam novel Bukan Pasarmalam, tokoh aku merupakan tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Dilihat dari fungsinya, penokohan tokoh aku adalah tokoh protagonis, karena di dalam cerita Bukan Pasarmalam tokoh aku mendapat simpati dan empati seperti pada kutipan tersebut, tokoh aku dapat menarik simpati dan empati dari pembaca lewat keluhan batinnya. Sedangkan jika dilihat dari perwatakannya tokoh aku
21
15.
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), h.
46
merupakan tokoh bulat, kompleks, tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi dan jati dirinya. Tokoh aku yang merupakan seorang pejuang muda di jaman revolusi yang yang pada awalnya memiliki perwatakan keras namun pada akhirnya melunak ketika mendapati ayahnya yang sedang sakit keras di kampung. Tokoh aku adalah simbol yang dipakai oleh Pram untuk mengutuk bobroknya moral para petinggi Negara yang selalu sibuk memperkaya diri tanpa memikirkan rakyat kecil selayaknya negarawan yang baik.
b. Istri Tokoh istri adalah tokoh yang memiliki watak cerewet dan terkesan masa bodoh. Sikap sang istri seharusnya dapat menjadi sosok perempuan yang memberikan ketenangan kepada tokoh aku yang sedang ditimpa masalah, namun yang terjadi adalah ketika tokoh aku sedang dilanda musibah, dia malah menjadi istri yang cerewet yang seolah tidak mengerti akan tekanan yang sedang dialami oleh tokoh aku sebagai suaminya. Sikap cerewet tokoh istri merupakan sebuah permasalahan yang juga menambah beban di dalam pikiran tokoh aku. Karakter tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini: ―Jangan terlalu lama di Blora,‖ kata istriku itu. aku rasai keningku jadi tebal oleh kerut-mirut. Dan aku menjawab pendek: ―kita melihat keadaan dulu.‖ Sebentar bayangan kenangan pada ayah hilang. ―barang kali kalau terlalu lama, aku terpaksa pulang dahulu‖.22 Sikap cerewet tokoh istri terlihat karena ia merasa kebutuhan finansialnya kurang terpenuhi, hal tersebut terjadi karena memang tokoh aku bukanlah seorang pejabat dengan penghasilan tinggi. Sikap cerewet karena finansial yang kurang terpenuhi dapat dilihat seperti pada kutipan berikut: ―Lebih baik kita pulang dulu. Engkau harus ingat pada keuangan kita,‖ kata istriku.23 Dalam cerita novel Bukan Pasarmalam tokoh istri merupakan tokoh tambahan, tokoh istri disebut sebagai tokoh tambahan karena tokoh istri hanya 22 23
Ibid., h. 14. Ibid., h. 81.
47
dimunculkan beberapa kali dalam cerita, dan itu pun dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Jika dilihat dari fungsinya tokoh istri tergolong dalam tokoh antagonis, karena kehadiran tokoh istri di beberapa bagian kerap menjadikan sebuah konflik, seperti yang terjadi pada kutipan tersebut. Tokoh istri kurang mendapat simpati dan empati karena sifatnya yang dirasa cerewet, dan sepanjang kehadirannya dalam cerita yang kerap memancing sebuah konflik dengan tokoh aku. Dilihat dari perwatakannya tokoh istri merupakan tokoh sederhana, tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Sebagai tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Sejak awal perwatakan tokoh istri dilukiskan sebagai seorang istri yang cerewet dan banyak menuntut, tokoh istri merupakan orang yang berasal dari pasundan. Pernikahannya dengan tokoh aku merupakan pernikahan lintas budaya antara yang juga dapat diartikan lewat tokoh istri inilah sikap nasionalisme Pram ingin mengatakan bahwa Indonesia adalah satu dan berbeda suku dan budaya adalah hal yang wajar.
c. Ayah Novel Bukan Pasarmalam sebagai autobiografi Pram yang menceritakan kehidupan keluarga Pram, bercerita ketika sang ayah sakit dan keluarganya menjadi semakin tidak terurus. Tokoh ayah dalam novel Bukan Pasarmalam menjadi perwujudan dari seorang Mastoer, ayah dari seorang Pram. Tokoh ayah adalah seorang ideolog, Ia memiliki watak yang keras dan penuh dengan perjuangan dalam hidupnya. Tokoh ayah bukanlah orang yang serakah, ia merasa perjuangan
belum
selesai
dan
belum
saatnya
untuk
menikmati
hasil
perjuangannya, ia menolak untuk duduk sebagai pekerja kantoran yang ia rasa kurang memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan, dunia yang ia perjuangkan selama ini, dan sebab itu maka ia lebih memilih untuk tetap bekerja sebagai pengajar di sekolah. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut: ―Hanya saja ayah bilang begini, perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut—sekalipun badut besar. Dan ayah tetap menolak. Ayah pun pernah mendapat tawaran
48
jadi kordinator pengajar untuk mengatur pengajaran untuk seluruh daerah Pati. Tapi ayah menolak juga dan bilang, tempatku bukan di kantor. Tempatku ada di sekolahan.‖24 Tokoh ayah dalam cerita merupakan tokoh tambahan, tokoh ayah hanya dimunculkan beberapa kali dalam cerita, dan itu pun dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Sosok fisik tokoh ayah baru ditampilkan pada bagian pertengahan alur cerita. Jika dilihat dari fungsinya tokoh ayah tergolong dalam tokoh protagonis, tokoh ayah yang merupakan sosok yang diceritakan oleh tokoh aku dalam cerita berhasil mendapat simpati dan empati karena sifat dan keteguhannya, baik dalam berjuang melawan penyakit dan berjuang dalam memperjuangkan citacitanya terhadap bangsa Indonesia khususnya di bidang pendidikan seperti yang terjadi pada kutipan tersebut, tokoh ayah di sini merupakan seorang pejuang sejati yang tak kenal lelah dan tak kenal menyerah. Dilihat dari perwatakannya tokoh ayah merupakan tokoh sederhana, tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Sebagai tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Tokoh ayah adalah seorang yang kerapkali keluar-masuk penjara saat pendudukan ―merah‖ pada masa PNI. Sejak awal perwatakan tokoh ayah yang merasakan hidup di jaman perjuangan revolusi dilukiskan sebagai seorang pejuang yang memiliki tekad yang kuat dalam memperjuangkan cita-citanya bagi bangsa Indonesia. Sang ayah muak dengan gaya hidup para jendral dan petinggi negara yang lebih mementingkan untuk memperkaya diri sendiri, karena tokoh ayah merasa perjuangan belum berakhir.
3. Alur Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga membentuk cerita yang dihadirkan oleh para pelakunya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alur merupakan tumpuan ide, tendens dan motif yang disalurkan dari peristiwa dan perwatakan dalam prosa fiksi. Adapun alur yang terdapat dalam novel Bukan Pasarmalam adalah alur maju, yang bercerita bagaimana menyesalnya tokoh aku ketika membaca surat balasan yang 24
Ibid., h.65.
49
mengabarkan keadaan ayahnya yang sedang sakit di kampung hingga akhirnya sang ayah meninggal dunia. Alur dapat kita perhatikan dari rangkaian-rangkaian kejadian yang dibangunnya. Untuk mengetahui bagaimana alur sebuah cerita, kita perlu menyimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya yang bersangkutan, seperti gambar berikut:
Inciting forces +)
*)
Awal
**)
Tengah
pemecahan
Akhir
Keterangan: *) Konflik dimunculkan dan semakin ditingkatkan **) Konflik dan ketegangan dikendorkan +) Inciting forces menyaran pada hal-hal yang semakin meningkatkan konflik sehingga mencapai klimaks.25 Tahapan alur menurut Mochtar Lubis yang dikutip oleh Burhan dalam buku Teori Pengkajian Fiksi yaitu membedakan menjadi lima. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut. a. Tahap Penyituasian Tahap penyituatian dalam novel ini berada pada awal bab 1-3, cerita dibuka dengan surat dari sang ayah yang ditujukan kepada tokoh aku.
25
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 151.
50
Pengenalan tokoh terlihat pada kutipan berikut ini yang memperkenalkan bahwa tokoh aku adalah tokoh yang memiliki jiwa keperwiraan. Sekilas melela kenangan lama. Dulu—empat tahun yang lalu! Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh pucuk howitzer. Jumlah itu bisa dihitung dari bekas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlampau banyak, terlampau bingung, terlampau ketakutan—dan suaraku tak terdengar oleh mereka. Dan dikala aku bertiarap di bawah pohon besar itu kulihat sebuah—dua buah, tiga, empat, lima—peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai. Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman, dan kepada ayah.26 Kutipan tersebut adalah sebuah kutipan yang memberikan pengenalan tentang tokoh aku, dalam tahap pengenalan tersebut terlihat bahwa tokoh aku merupakan seorang pejuang muda revolusi yang pemberani, ia dapat menekan kepanikannya dan berusaha melindungi warga-warga yang berlarian menerima serangan tentara Belanda yang datang tiba-tiba. Hal tersebut tidak lepas dari rasa tanggung jawab yang ia emban sebagai seorang tentara pejuang. Lalu ada perkenalan sang istri, tokoh yang terkesan sudah tidak menarik lagi di mata tokoh aku sebagai suami dari sang istri, memiliki istri yang sudah tidak menarik adalah sebuah tanda keretakan rumah tangga, dan hal ini merupakan satu permasalahan yang terus dibawa oleh tokoh aku hingga akhir cerita. Hal tersebut terjadi karena sang istri yang kurang memiliki kepekaan terhadap sang suami yang sedang didera oleh persoalan. Ketidaktertarikan tokoh aku kepada tokoh istri tergambar pada kutipan berikut: Dipandanginya aku. Dulu—sebelum bertunangan—matanya amat bagus dalam perasaanku. Tapi kebagusan itu telah lenyap sekarang. Ya, matanya seperti mata orang-orang lainnya yang tak menarik perhatianku. Dan aku membalas pandangannya. Barangkali
26
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), h.15.
51
mataku yang buruk itu—dan ini sudah ku ketahui sejak kecilku— juga tak menarik hatinya lagi.27 Kutipan tersebut juga masuk ke dalam tahap pengenalan. Tokoh istri yang seharusnya mendampingi dengan setia dan sabar dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh yang ccerewet, sifat istri yang cerewet tersebut adalah salah satu permasalahan yang ikut memberikan tekanan kepada tokoh aku sehingga melunaknya keperwiraan tokoh aku. Terlihat dalam tahap penyituasian ini dilukiskan tokoh(-tokoh) cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik terjadi ketika berlangsung sebuah percakapan yang mempercakapkan kondisi kesehatan ayah, tokoh aku yang baru datang dari Jakarta belum tahu bagaimana kesehatan ayahnya. Dalam tahap ini keadaan mulai terasa mencekam dan permasalahan yang besar seakan sedang menunggu untuk tampil dan menuntut sebuah penyelesaian. Hal tersebut seperti yang tergambar pada kutipan sebagai berikut: Kami duduk-duduk di ruang depan. Adik-adik yang belum dewasa, yang nampak masih liar itu kini mendekati. Dan kami mengobrol panjang tentang Jakarta, tentang Semarang, dan tentang mobil. Mengobrol adalah suatu pekerjaan yang tak membosankan, menyenangkan, dan biasanya panjang-panjang. Dan di kala aku bertanya: ―Bagaimana kesehatan bapak?‖ Semua berdiam diri. Dan tak ada sepasang mata pun menentang mataku. Obrolan yang panjang dan menyenangkan tadi sekaligus lenyap. Suasana kesungguh-sungguhan menggantikan. Dan aku bertanya lagi: ―Bagaimana kesehatan bapak?‖28 Dalam kutipan tersebut terlihat bagaimana bingungnya adik-adiknya menjawab pertanyaan yang sederhana yang terlontar dari mulut tokoh aku. Jiwa pemimpin yang dimiliki oleh tokoh aku masih terlihat jelas dalam 27 28
Ibid., h.14. Ibid., h.24.
52
kutipan tersebut. Dalam kutipan tersebut terjadi sebuah tahap pemunculan konflik ketika tokoh aku bertanya tentang kesehatan ayahnya, tahap di mana masalah(-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Tahap ini merupakan tahap awalnya muncul konflik. c. Tahap Peningkatan Konflik Dalam tahap ini terasa betapa rumitnya permasalahan yang dialami oleh keluarga tokoh aku. Penyakit yang diderita oleh tokoh Ayah semakin hari semakin bertambah parah, permintaannya pun semakin hari semakin aneh. Persoalan semakin terasa dalam dan suram. Hal tersebut seperti terlukiskan pada kutipan sebagai berikut: Dalam seminggu itu tak terjadi apa-apa. Hanya kesehatan ayah tambah menguatirkan. Waktu aku datang menengok, ayah tak suka makan seperti halnya selama seminggu itu. Es! Es! Eslah yang selalu dipintanya. Dan karena kami tak sampai hati akan mengecewakan hatinya, kami bawakan selalu e situ. Dan bila pabrik es di Rembang tidak bekerja karena kerusakan mesin, dan kami datang ke rumahsakit dengan tak membawa es, kami merasa sebagai manusia berdosa diseret ke depan hakim. Dalam seminggu itu pula orang berkata pada kami: ―Mengapa ayahmu tak kau bawa pulang saja?‖29 Dalam tahap ini tekanan batin tokoh aku semakin terasa mendesak, permasalahan yang dialaminya semakin terasa rumit. Sewaktu baru datang dari Jakarta tokoh aku dengan jiwa keperwiraannya selalu berusaha tenang, namun apa daya, kini tokoh aku sebisa mungkin mengikuti keinginan ayahnya, perasaannya tak tega jika tidak menuruti permintaan sang ayah. Hidup ini terus digerus dan semakin lama semakin hancur, hanya tunggu waktu dan menerima giliran yang sudah di tuliskan oleh tuhan. Dalam tahap ini tokoh aku masih terus berusaha untuk menyembuhkan sang ayah, walau sudah terasa letih olehnya. Dalam tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, 29
Ibid., h.72.
53
eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. d. Tahap klimaks Tahap krisis memang harus dilalui ketika tahap klimaks dirasakan sudah terlewati. Menurut dokter, kesehatan tokoh Ayah selama dirawat di rumah sakit tidak memperlihatkan perkembangan, maka dengan kehendak tokoh aku, tokoh ayah diperbolehkan untuk dibawa pulang. Tanpa peralatan medis yang tersedia di rumah, tokoh aku dan keluarga merawat tokoh Ayah dengan kesabaran. Tidak lama setelah dibawa pulang ternyata tokoh Ayah menghembuskan nafas terakhirnya, dan tahap krisis tersebut terlukiskan dari kutipan sebagai berikut: ―Mas, mas, Bapak sudah-sudah-sudah-sudah tak ada.‖ Cepat-cepat aku lari ke dalam kamar ayah yang sudah diterangi lampu minyak tanah. Sebagian adikku sudah ada di situ. Segera aku melompat di samping ayah. Aku lihat mulutnya telah terbuka. Tangannya terkulai di sampingnya. Dan isteriku pun turut lari dan berdiri di dekatku. Katanya: ―Sebut: —Ayah!‖ Karena aku tak pernah mengalami peristiwa seperti itu, aku menurut. Kudekatkan mulutku pada kupingnya. Berseru: ―Bapak!‖ ―Lagi,‖ susul isteriku. ―Bapak!‖ seruku lagi. Kemudian diam sebentar. Tiba-tiba teringat olehku: ayah orang islam. Dan kembali kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru: ―Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖30 Kesedihan ketika tokoh Ayah yang merupakan seorang guru penuh bakti akhirnya telah menghembuskan nafas terakhirnya merupakan tahap klimaks dalam novel ini, setiap orang memang akan menemui ajalnya masing-masing, hanya bagaimana dan di mana tak ada yang tahu kecuali sang pencipta. Terkadang manusia memang selalu lebih nyaman ketika berada di lingkungan asalnya, bahkan ia merasa ingin menyatu dengan tanah yang ia injak selama hidupnya. Di sini terlihat bahwa jiwa keperwiraan 30
Ibid., h.90.
54
tokoh aku hilang lenyap entah kemana, ia sampai harus diajarkan oleh tokoh istri ketika menghadapi peristiwa tersebut. Dalam tahap ini konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh(-tokoh) utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. e. Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian novel Bukan Pasarmalam adalah ketika dalam cerita tersebut tokoh Ayah sudah dinyatakan meninggal. Tahap peleraian dalam novel Bukan Pasarmalam terjadi seperti pada kutipan sebagai berikut: Di kala para pengantar telah menyaksikan penurunan jenazah ayah ke dalam lahatnya; juga di kala mereka telah menurunkan tanah dari unggukannya; juga setelah ayah lenyap ke dalam pelukan bumi—belum juga aku bangun dari tindasan haruan. Hati yang tersayat-sayat ini membatalkan maksud mengucapkan terimakasihku kepada mereka. Ada juga beberapa mata yang memandangku—karena tahu bahwa aku anak sulung— untuk mengucapkan beberapa kalimat. Tapi tak sepatah pun suara keluar dari mulutku. Akhirnya seorang demi seorang pergi. Dan kami—aku dan adik-adikku—berlutut dengan kepala tunduk merenungi kuburan baru.31 Dalam tahap leraian kembali terlihat bagaimana pemuda revolusi yang gagah berani kini tak terlihat gagah dan berani lagi, untuk mengucapkan kalimat terimakasih yang ditunggu oleh mata yang memandangnya pun tak jadi diucapkannya. Sikap kepemimpinan yang seharusnya ditunjukkan oleh tokoh aku gagal diperlihatkannya karena suasana hatinya sedang sedih. Dalam tahap ini konfliks yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
31
Ibid., h.92.
55
4. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara bagaimana sebuah cerita dikisahkan sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi. Sudut pandang pada novel Bukan Pasarmalam menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama dalam cerita. Tokoh aku sebagai pencerita dan sebagai tokoh utama yang menjalankan cerita. Pencerita tidak serba tahu karena pencerita adalah tokoh yang juga berperan dalam cerita, pencerita hanya mengetahui keadaan yang terjadi di sekitar pencerita dengan cara menggunakan semua indera yang dimilikinya sebagai tokoh utama dalam cerita. Sudut pandang ini dicirikan dengan ―aku‖. Seperti pada kutipan, ―Kepalaku, dan juga mataku, kutarik dari daerah pandangnya dan kulemparkan kembali ke luar jendela‖.32 Perjalanan hidup pemuda revolusi dalam novel Bukan Pasarmalam ini diceritakan oleh tokoh aku yang merupakan tokoh utama dalam novel.
5. Latar Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta mempunyai fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Menurut batasan tersebut, setting dapat dibedakan menjadi setting waktu, tempat, dan suasana. Keberadaan latar atau setting dalam suatu cerita sangat penting, hal itu tidak hanya dilihat dari fungsi tetapi juga dalam hubungannya dengan unsur intrinsik yang lain untuk membentuk suatu kesatuan mewujudkan tema cerita. Maka di situlah peran setting teridentifikasi. Selain memberi informasi tentang situasi ruang dan waktu, setting juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh dalam cerita. a. Latar Tempat Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi 1. Jakarta 32
Ibid., h. 15.
56
Latar pertama dalam novel Bukan pasarmalam adalah Jakarta, tokoh aku yang merupakan perantau yang tinggal di kota Jakarta pada masa revolusi merasakan kerasnya persaingan hidup di kota besar. Ia hanya dapat mengeluh kepada kerasnya kehidupan, seperti pada kutipan: Pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman Jepang dulu bila aku pergi ke Blora juga, kini tinggal seperempatnya. Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu. bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu?33 Secara tersurat bahwa tokoha aku sedang melewati stasiun Jatinegara dan sebelumnya juga tokoh aku sudah meninggalkan stasiun Gambir, kedua stasiun tersebut adalah nama-nama stasiun yang berada di daerah Jakarta. Tokoh aku merasa bahwa hidup ini bagaikan sebuah gundukan tanah merah yang tinggi yang di seret air hujan dan dicangkuli hingga perlahan-lahan habis tak tersisa, ia merasakan kerasnya hidup di kota Jakarta yang penuh dengan segala persoalan hidup hingga ia merasa bahwa hidup seakan seperti tanah merah yang tinggi tersebut. Jakarta adalah tempat penokohan tokoh aku mulai terlihat melunak dan pasrah dalam kenyataan hidup dalam novel Bukan Pasarmalam. Lalu dengan kekesalannya, tokoh aku hanya bisa membatin dan membandingkan hidupnya dengan kehidupan di istana, presiden sebagai simbol penguasa tertinggi sebuah Negara dalam bayangannya adalah orang yang serba praktis dan sangat beruntung bila dibandingkan dirinya. Hal tersebut seperti pada kutipan sebagai berikut: Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu—mandi dalam cahaya lampu listrik. Entah beberapa puluh ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam persangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt. Dan sekiranya ada dirasakan
33
Ibid., h. 12.
57
kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan. 34 Kutipan-kutipan tersebut menandakan bahwa tokoh aku sedang berada di Jakarta, karena istana dan stasiun-stasiun yang disebutkan tersebut adalah nama-nama tempat yang berlokasi di Jakarta. Jakarta adalah tempat di mana perjalanan seorang pemuda revolusi dimulai.
2. Blora Latar tempat yang menjadi latar yang sentral atau yang dominan menjadi latar cerita dalam novel Bukan Pasarmalam adalan Blora. Blora adalah kampung halaman dari Tokoh aku, ia mengunjungi kampung halamannya untuk melihat keadaan ayahnya yang sedang sakit. kutipan yang menunjukkan latar tempat Blora adalah sebagai berikut. Waktu kereta memasuki batas kota Blora, nampak olehku, tanah lapang—dan gedung-gedung yang berdiri di tanah lapang itu. sekaligus terpikir olehku: peperangan yang meruntuhkan bangunanbangunan itu. dan keinginan mau tahu itu membuatku selalu menjengukkan kepala…35 Dalam kutipan tersebut jelas dicantumkan Blora. Blora yang meninggalkan banyak kenangan pada diri tokoh aku. Sebagian besar memang
cerita
berlangsung
di
Blora,
semua
permasalahan
dan
penyelesaiannya terjadi di tempat ini. tokoh aku pulang ke Blora untuk menemui tokoh ayah yang sedang sakit, tokoh ayah adalah tokoh yang menginspirasi tokoh aku untuk cinta tanah air.
b. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah ―kapan‖ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Untuk tahun yang terjadi pada novel Bukan Pasarmalam adalah tahun 1949, lima tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Seperti pada kutipan berikut:
34 35
Ibid., h. 9. Ibid., h. 22.
58
Blora, 17 Desember 1949 Anakku yang kucintai! …36 Kenangan-kenangan akan masa perjuangan melawan penjajah adalah kenangan yang tak akan terlupakan begitu cepat, tokoh aku yang pada masa itu merupakan seorang pejuang muda masih sempat merasakannya. Suasana perjuangan yang dibawa oleh tokoh aku juga menjadi sebuah latar waktu yang unik yang terjadi pada masa itu. Pada masa ini keadaan Indonesia terlihat sangat mengecewakan, khususnya bagi para pejuang yang dengan ikhlas memperjuangkan kemerdekaan, korupsi dan perebutan pangkat di dalam kesatuan angkatan bersenjata merupakan salah satu penyebab kekecewaan tersebut.
c. Latar Suasana Latar suasana pada novel itu mengharukan. Dalam kalimat ―Dan kami menjauh. Badai batuk menerjang pula. Dan badan yang menyerupai sebilah papan itu tertarik-tarik karenanya. Kami semua memperhatikan— memperhatikan dengan kepiluan yang memaksa-maksa. Badai batuk itu reda juga dan akhirnya lenyap‖.37 Kepiluan yang terjadi ketika sang ayah sedang batuk menunjukan kepasrahan yang mengharukan, melihat orang tua sakit tanpa dapat membantu meringankan penderitaannya adalah sebuah kejadian yang sangat menyayat hati. Hampir tidak ditemukan suasana gembira yang dilukiskan dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya. Secara umum latar suasana yang terlukiskan adalah mengharukan. Kisah yang dapat dikatakan tragis untuk sebuah kisah perjalanan hidup seorang pejuang yang tak mendapat kehidupan layak seperti pejuang-pejuang pada umumnya.
36 37
Ibid., h. 7. Ibid., h. 32.
59
6. Amanat Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau larangan untuk melakukan /tidak melakukan sesuatu. Yang jelas amanat dalam sebuah cerita pasti bersifat positif. Amanat dari novel ini adalah seseorang tak akan bisa kuat bila ingin melawan kematian, tetap sabar dan tawakal karena manusia hanya bisa merencanaakan bukan menentukan, perjuangan bukanlah sebuah formalitas. ―Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang… seperti dunia dalam pasar malam…. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana.‖38 Tak ada yang abadi dan tak ada yang tak akan musnah di dunia ini, kecuali sang pencipta yang berkuasa dengan kekuatan rahasia yang maha besar.
D. Pembahasan Hasil Temuan Bukan Pasarmalam, novel pendek Pramoedya Ananta Toer ini, barangkali adalah novel yang paling banyak dipuji dan diapresiasi para pembaca karya-karya Pram setelah Bumi Manusia. Setidaknya YB Mangunwidjaja seorang penulis novel dan juga rohaniawan mengatakan bahwa Bukan Pasarmalam adalah karya Pramoedya yang paling disukainya. Oleh sebagian pembaca, Bukan Pasarmalam, sering disimpulkan sebagai novel yang bernuansa religius, beraura mistik dan mengandung pergulatan eksistensial diri manusia ketika berhadapan dengan maut di samping ironi seorang pejuang kemerdekaan yang kecewa dan tak mendapatkan tempat yang layak justru ketika kemerdekaan yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan itu sudah terwujud.39 Tokoh aku yang merupakan seorang pejuang yang hidup di masa revolusi bangsa Indonesia, dapat dikatakan
38
Ibid., h. 103-104. A.J. Susmana, Review Bukan Pasarmalam, 2015, https://www.goodreads.com/review/ show/79501401) 39
60
sebuah contoh pejuang yang kurang dihormati bila dibandingkan dengan apa yang telah ia perjuangankan di medan perang dalam mempertahankan NKRI. Tokoh aku terperangkap dalam dilema yang melilit di benaknya, persoalan yang bertumpuk, semua persoalan seakan datang secara bersamaan, dan pastinya semua persoalan harus diselesaikan. Dapat dibayangkan bagaimana tertekannya batin seorang tokoh aku, persoalan demi persoalan datang dari segala arah, menghimpit dan menekan hingga tak ada ruang gerak yang dapat dijadikan solusi yang tepat untuk membereskan semua persoalan secara bersamaan, karena beda persoalan beda solusi. Semua persoalan hidup yang dihadapi oleh tokoh aku dapat dijadikan pelajaran untuk kita semua, ketabahan dan keikhlasannya menerima segala keadaan membuat kita tersadar bahwa hidup adalah perjuangan, butuh pengorbanan dan kekuatan dalam menghadapi semua itu. tingkah laku tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam memiliki nilai-nilai moral setelah dilakukan penelitian analisis ini, terdapat beberapa kategori pesan atau nilai moral yaitu:
1. Sabar Tiap manusia memiliki tingkat kesabaran yang berbeda-beda, dan tiap manusia juga pasti memiliki batas kesabaran, begitu juga dengan tingkat kesabaran tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam. Tokoh aku yang merupakan seorang putra sulung dari seorang pejuang secara tidak langsung diajarkan untuk memiliki jiwa pejuang dalam dirinya, tokoh aku tumbuh besar dengan adanya tokoh ayah yang seorang pejuang dan sebagai guru mengajarinya sehingga tokoh ayah menjadi model untuk tokoh aku. Tokoh aku yang memiliki darah seorang pejuang rasanya merasa tak pantas jika tidak ikut berjuang membela tanah air seperti sang ayah, hingga akhirnya nasib tokoh aku yang juga sebagai pejuang, tertangkap oleh tentara penjajah dan dipenjara tanpa diadili dalam waktu yang cukup lama. Ketika tokoh aku dilepaskan ternyata kehidupannya berubah, ia diberi cap sebagai
61
seorang tentara merah dan tidak diberi penghormatan layaknya pejuang yang telah membela tanah air dengan segenap jiwa dan raga. Hubungan tokoh aku dan tokoh ayah menjadi dingin dan kurang komunikasi. Tokoh ayah yang menjadikannya sebagai pejuang ternyata memberikannya jalan kehidupan
yang
tidak
menyenangkan,
harapan
tentang
mendapat
penghormatan sebagai pejuang ternyata kini malah dicap sebagai pemberontak. Dibalik semua itu tokoh aku terlihat sabar dalam menghadapi permasalahan yang menekannya, tokoh aku sabar untuk menerima keadaan. Contoh kesabaran tokoh aku terlihat dalam kutipan sebagai berikut: ―Kita bangun keluarga baru Adikku—dengan tenaga kita sendiri, untuk kita sendiri. Biarlah kita jadi pulau terpencil di tengahtengah samudera. Bila kita jatuh, Adikku, kita jatuh dengan tidak berteriak. Bila pulau kita terendam samudera, kita akan terendam sendirian dan tak ada orang yang melihat. Aku sendiri, Adikku, aku sendiri sudah bosan pada semua ini. Aku sudah bosan pada kesopanan yang sia-sia ini. O, aku tak mengerti, aku tak tahu apa-apa lagi.‖40 Tokoh aku sudah merasa pasrah, ia seakan tak lagi peduli dengan kesopanan. Keluarganya yang dibangun oleh sang ayah yang sibuk berjuang untuk kehidupan masyarakat malah mendapat perlakuan yang kurang baik dari masyarakat sekitar. Kesabaran merupakan cerminan tingkah laku, di sini tokoh aku yang juga merupakan manusia biasa dengan segala problematika kehidupan sudah merasa pasrah dengan segala keadaan, ia ingin menjadi keluarga yang berdiri sendiri, keluarga yang jauh dari gangguan keluarga lain, bila keluarganya jatuh maka biarkan jatuh sendiri. Tokoh aku yang mencerminkan bagaimana sifat dasar manusia menunjukan bahwa kesabaran selalu dibutuhkan, di sini tokoh aku sudah merasa tak berdaya dan menerima keadaan yang menimpa keluarganya, tokoh aku merasa sudah tidak dapat melawan keadaan. Pram mengambil judul Bukan Pasarmalam karena menurutnya hidup itu selalu ramai dengan berbagai peristiwa 40
62.
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), h.
62
layaknya seperti sebuah pasar malam, tetapi yang menjadi masalah hidup ini bukan pasar malam, di akhir tokoh aku menyadari hal itu, bahkan yang kita hadapi dalam kehidupan bukanlah pasar malam, bukan keramaian, yang kita hadapi adalah kesunyian dan kesunyian itu akan semakin terasa ketika kita akan menghadapi kematian, dan pada tahap ini kepasrahan sangat dibutuhkan kembali. 2. Memelihara Lisan Memelihara lisan agar tidak terjadi perkelahian baik itu verbal maupun fisik, menjaga lisan sama juga dengan menjaga jarak agar tidak terjadi gesekan yang membuat keadaan semakin keruh. Kiranya sikap memelihara lisan memang perlu dimiliki, terutama ketika berbicara dengan orang yang disayangi dan orang yang dihormati. Sikap memelihara lisan yang ditunjukkan oleh tokoh aku adalah seperti pada kutipan berikut: ―Jangan terlalu lama di Blora,‖ kata istriku. Kupandangi istriku itu. aku rasai keningku jadi tebal oleh kerut-mirut. Dan aku menjawab pendek: ―kita melihat keadaannya dulu.‖ Sebentar bayangan kenangan pada ayah hilang. ―Barangkali kau terlalu lama, aku terpaksa pulang dahulu.‖ Hatiku kesal 41 Tokoh aku adalah tokoh yang memiliki karakter yang tenang dan cenderung perasa, sepanjang cerita tidak terlihat ledakan amarah yang meledak-ledak dari tokoh aku. Pembawaan tokoh aku yang tenang membuatnya memiliki porsi berbicara yang sedikit dalam menyikapi suatu peristiwa. Tokoh aku sadar betul bahwa sikap cerewet sang istri diakibatkan tokoh aku yang tidak dapat memberikan kebahagiaan kepada tokoh istri. Memelihara lisan disamping menghindari permasalahan, sikap menjaga lisan yang dilakukan tokoh aku juga dapat mempererat keharmonisan rumah tangga, dan tokoh aku pasti tahu betul akan hal itu sebagai seorang suami yang baik dan penyayang.
41
Ibid., h. 14.
63
3. Santun Novel Bukan Pasarmalam yang menceritakan kasih sayang seorang anak ketika mendapati ayahnya yang sedang sakit ternyata bermula dari surat balasan yang ditulis oleh sang Paman, surat balasan itu mengatakan bahwa tokoh aku lebih baik segera menengok keadaan ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tokoh aku pernah bersurat tidak sopan kepada ayahnya yang mengakibatkan penyesalan yang mendalam, seperti yang ada dalam kutipan berikut: ―Ananda tak suka mendengar kabar tentang kabar sakitnya adikku itu. sungguh aku tak bersenang hati. Mengapakan adik saya itu bapak biarkan sakit. O, manusia ini hidup bukan untuk dimakan tbc Bapak. Bukan. Dan sekarang nyata olehku sendiri, bukan adikku yang sakit seperti itu, tapi ayahku sendiri, ayahku sendiri. Kacau dadaku. Dan airmata terus menderas. Leher-leherku terasa kaku oleh tangisku sendiri itu. mata jadi sepat dan akhirnya—dengan tiada terasa—aku telah jatuh tertidur.‖42 Berbicara kasar terhadap orang tua adalah contoh sikap yang tidak santun, bagaimana pun orang tua adalah orang yang harus selalu kita hormati. Bersikap sopan dan santun adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam novel ini Pram tidak ingin menjadikan tokoh aku menjadi seorang anak yang durhaka, dengan kemahiran menyusun kata yang dimiliki oleh seorang Pram, sikap perasa yang dimiliki oleh tokoh aku menjadikan sikap kasarnya tersebut menjadi penyesalan yang mendalam, penyesalan yang begitu dalam juga sekaligus dapat dijadikan sebuah media dalam meminta maaf. Sebagaimana sifat yang sering dimiliki oleh pemuda pada umumnya, tokoh aku terlihat gegabah dalam mengambil keputusan hingga akhirnya meninggalkan penyesalan, namun digambarkan oleh pengarang bahwa tokoh aku adalah seorang pemuda yang memiliki perasaan yang lembut. Di sini terlihat bagaimana melunaknya sikap keperwiraan yang dimiliki oleh tokoh aku,
42
Ibid., h. 89.
64
sebagai seorang pejuang revolusi yang dihadapkan oleh kenyataan bahwa ayahnya sakit keras dan lemah tak berdaya. Kehangatan dalam lingkungan keluarga juga terlihat dari kutipan tersebut, tokoh aku merupakan seorang kakak yang sangat sayang kepada adiknya. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan adiknya. Hal tersebut menunjukkan bagaimana pada saat menulis surat itu terlihat jiwa keperwiraan tokoh aku terhadap keluarganya, ia tidak ingin ada satupun anggota keluarganya yang menderita.
4. Tanggung Jawab Dalam novel Bukan Pasarmalam banyak sekali pelajaran hidup yang dapat dijadikan contoh. Tokoh aku yang merupakan seorang anak pertama adalah tumpuan bagi adik-adiknya di kala mereka membutuhkan tumpuan, ketika sang ayah sakit maka secara otomatis tokoh aku harus bertindak menjadi pemimpin keluarga menggantikan sang ayah yang sedang tidak dapat berbuat apa-apa. Contoh sikap tanggung jawab tokoh aku ketika merasa bahwa dirinya adalah tumpuan keluarga dicerminkan pada kutipan berikut: ―Bapak, rumah itu akan kuperbaiki.‖ Tapi ayah sudah jauh lebih lemah daripada kemarin. Perlahan sekali dibuka tapuk matanya. Berkata dengan suara sengsara:‖Ya, Anakku, rumah itu… rumah… rumah itu sudah… sudah… terlalu tua.‖43 Tokoh aku merupakan seorang pemuda yang sangat perasa dan bertanggungjawab, ia sadar bahwa dirinya yang merupakan anak sulung adalah tumpuan keluarganya di saat sang ayah sedang sakit, kewajiban sang ayah kini menjadi kewajibannya. Jika rumahnya rusak maka penghuninya juga rusak, dan jika rumahnya bagus maka penghuninya pun bagus, ungkapan tersebut adalah ungkapan yang sangat melekat dalam benak tokoh aku, ungkapan tersebut
43
Ibid., h. 45.
65
dilontarkan oleh salah seorang tetangganya yang peduli akan keadaan keluarga tokoh aku. Ketika tokoh aku memperhatikan rumah keluarganya sekali lagi, maka yang yang dilihat adalah rumah yang sudah sedikit miring dan butuh banyak perbaikan di mana-mana, dengan nasihat yang datang dari seorang tetangganya tersebut, maka tokoh aku merasa betul bahwa rumah itu memang harus diperbaiki. Rumah yang memberikan keteduhan ketika panas matahari menyengat di siang hari, memberikan kehangatan ketika hujan turun. Rumah yang dapat mencirikan penghuninya. Tokoh aku merasa sangat bertanggungjawab dengan keadaan keadaan rumah keluarganya tersebut. 5. Menahan Amarah Tokoh aku dapat menguasai amarahnya, ia menanggapi masalah dengan kepala dingin. Tokoh aku yang sadar bahwa kini ia dan adiknya sudah besar dan harus bersikap dewasa, mereka harus dapat menentukan sikap. Meskipun banyak orang yang seakan menjahati dan memanfaatkan kebaikan-kebaikan mereka, bukan berarti mereka harus kesal dan balas menjahati, menahan amarah adalah kuncinya, tokoh aku yang berkarakter tenang menasehati dengan bijak kepada adiknya. Berikut adalah contoh kutipan ketika tokoh aku menasehati dan menahan amarahnya. ―Dulu kita selalu senang saja, karena waktu itu kita masih kecil-kecil. Dan kini, Adikku, kini terasa betul oleh kita, pahit sungguh hidup di dunia ini, bila kita selalu ingat pada kejahatan orang lain. tapi untuk kita sendiri, Adikku, bukankah kita tidak perlu menjahati orang lain?‖44 Pahitnya kehidupan yang kini sudah terasa seiring berjalannya waktu seakan terus memancing amarah, tokoh aku sadar akan pancingan tersebut karena ia adalah orang yang perasa, ia lebih memilih untuk tidak bersikap jahat kepada orang yang menjahatinya, karena amarah bukan jalan keluar yang baik. Melewati permasalahan dengan amarah hanya akan membuat penyesalan dan berbuah malu di kemudian hari. Menahan amarah
44
Ibid., h. 62.
66
merupakan sebuah nilai moral yang patut dimiliki oleh setiap orang, agar tidak memakai cara kekerasan ketika hendak menyelesaikan masalah, terciptanya kehidupan yang aman, nyaman, dan tentram dengan segala keindahan berperilaku. Di sini terlihat betul kedewasaan yang dimiliki oleh tokoh aku, dengan sangat bijaknya ia memberi nasehat kepada adiknya. 6. Tolong-menolong Sebagai seorang manusia yang hidup di tengah manusia lain maka saling bersinggungan adalah sebuah kejadian yang mau tak mau harus dilakukan, saling tolong menolong adalah suatu contoh yang baik dalam kehidupan bermasyarakat ini. dalam novel Bukan Pasarmalam tokoh aku mendapat
pertolongan
dari
seorang
temannya
ketika
ia
sedang
membutuhkan pertolongan, hal tersebut terjadi seperti pada kutipan berikut: … sekiranya teman yang baik itu tak dapat mengulurkan uangnya sambil berkata uang ini sementara bisa engkau pakai, pastilah keadaanku lebih tersiksa daripada tadinya…45 Tokoh aku melukiskan bahwa dirinya sangat berterimakasih kepada temannya yang sudah memberikan pertolongan kepadanya. Dalam tolong menolong bukan hanya memberi yang menjadi perhatian penulis, berterimakasih juga termasuk dalam lingkup tolong menolong, karena ketika ditolong maka balasan yang pertama yang setidaknya harus dilakukan adalah berterimakasih kepada si penolong.
7. Berani Tokoh aku memiliki keberanian yang luar biasa, ia berani dalam menghadapi serangan Belanda yang tiba-tiba di kerumunan manusia. Berikut adalah contoh kutipan prilaku berani tokoh aku ketika berada di suatu tempat yang tiba-tiba berubah menjadi medan pembantaian rakyat pribumi yang tak bersenjata oleh Belanda. Sekilas melela kenangan lama. Dulu—empat tahun yang lalu! Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan 45
Ibid., h. 9.
67
kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh howitzer. Jumlah itu bisa dihitung dari bekas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlampau banyak, terlampau bingun, terlampau ketakutan—dan suaraku tak terdengar oleh mereka. Dan di kala aku bertiarap di bawah pohon besar itu kulihat sebuah—dua buah, tiga, empat, lima—peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai. Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman, dan kepada ayah.46 Sebagai seorang pemuda revolusi dan sebagai pejuang yang ikut berjuang pada masa revolusi tokoh aku merupakan seorang pejuang yang gagah berani, ia tak gentar menghadapi meriam belanda, sikap keperwiraannya menuntunnya untuk lebih memperdulikan keselamatan penduduk walaupun dalam keadaan yang sangat mencekam sekalipun. Ketika diserang oleh meriam belanda dari tiga penjuru tokoh aku menyarankan agar orang-orang segera merunduk, jangan berlari, karena akan menambah kepanikan yang memang sedang memuncak ketika itu. namun apa daya saran tokoh aku tersebut tidak dilakukan oleh orang-orang, mereka terus berlarian tak menentu kemana arah tujuannya. Orang-orang kocar-kacir berhamburan karena diserang rasa panik, namun tokoh aku tetap berusaha tenang, keberanian yang dimilikinya membuat rasa paniknya dapat dikontrol dengan baik. Tokoh aku merupakan seorang pemuda revolusi yang berani karena ia mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya. seorang pejuang yang sering turun ke medan perang, walaupun pada akhirnya tokoh aku merasa bahwa perjuangannya tak dihargai seperti apa yang diharapkannya, menurutnya yang dapat merasakan manisnya perjuangan hanyalah para jenderal dan pejabat tinggi Negara, mereka yang sibuk memperkaya diri dengan harta
46
Ibid., h. 15.
68
hasil korupsi tanpa peduli dengan nasib bawahannya, tanpa memikirkan nasib bangsa. 8. Religius Novel
Bukan
Pasarmalam
yang
menurut
Mangunwidjaya
merupakan novel yang religius memang benar adanya, novel ini mengandung unsur religius. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia. Kutipan nilai religius dalam novel Bukan Pasarmalam terlihat dalam kutipan berikut: Cepat-cepat aku lari ke dalam kamar ayah yang sudah diterangi lampu minyak tanah. Sebagian adikku sudah ada di situ. Segera aku melompat di samping ayah. Aku lihat mulutnya telah terbuka. Tangannya terkulai di sampingnya. Dan istriku pun turut lari dan berdiri di dekatku. Katanya: ―Sebut: —Ayah!‖ Karena aku tak pernah mengalami peristiwa seperti itu, aku menurut. Kudekatkan mulutku pada kupingnya. Berseru: ―Bapak!‖ ―Lagi,‖ susul istriku. ―Bapak!‖ seruku lagi. Kemudian diam sebentar. Tiba-tiba teringat olehku: Ayah orang Islam. Dan kembali kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru: ―Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖ 47
Nilai religiositas dalam keluarga yang tampak saat ayah menghadapi ajalnya, tokoh aku
memberikan
contoh
yang
baik
untuk
adik-
adiknya dan istrinya. Ia membimbing mengucapkan lafaz Allah di saat sang ayah menghadapi sakaratul maut. ‖Tiba-tiba teringat olehku: ayah orang Islam. Dan kembali kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru: ―Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖ Tanda bakti seorang anak kepada ayahnya. Begitulah kewajiban sesama muslim, apalagi yang mengalaminya adalah orang tua kita sendiri. Begitulah selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah membesarkan kita. Tokoh aku 47
Ibid., h. 90.
69
ingin mengantarkan tokoh ayah pada kehidupan yang lebih baik di surga. Pram ingin menyampaikan pesan keagamaan, bahwa kehidupan dunia akhirat haruslah sama-sama dijalani secara seimbang. Orang boleh saja, dan mestinya demikian, berjuang secara sungguh-sungguh dan selalu fokus dengan cita-cita kebangsaannya, namun setelah berakhirnya kehidupan di dunia maka kehidupan di akhirat adalah yang selanjutnya.
E. Relevansi Kesustraan suatu bangsa adalah hasil buah pikiran, lukisan jiwa, getaran sukma suatu bangsa yang berkebudayaan dan berkepribadian sendiri, bangsa yang ingin mempertinggi derajat bangsanya masa kini dan masa yang akan datang. Karena budaya merupakan cerminan diri bagi setiap bangsa. Beberapa tujuan umum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang salah satunya menyebutkan bahwa tujuan umum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah agar siswa mampu mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan sastra, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Tujuan umum tersebut dijabarkan lagi dalam tujuan khusus yaitu agar siswa mampu menikmati, menghayati, memahami, dan menarik manfaat-manfaat karya sastra. diharapkan dengan belajar sastra siswa dapat lebih memahami esensi kehidupan. Cara yang ditempuh guru bahasa Indonesia untuk membimbing dan mengarahkan kepribadian siswa agar bertingkah laku baik, adalah memanfaatkan karya-karya sastra dan salah-satunya membaca karya-karya sastra yang mengandung aspek psikologis. Melalui peristiwa-peristiwa batin yang terdapat dalam novel, siswa dapat mengetahui peristiwa-peristiwa yang menyentuh hati pembaca novel. Dengan berpijak pada nilai-nilai moral, agar siswa tahu contoh perilaku bermoral dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupannya, guru bahasa Indonesia seharusnya memberikan bacaan yang mengandung nilai-nilai tersebut, seperti apa yang terdapat dalam novel Bukan Pasarmalam yang diteliti oleh penulis.
70
Relevansi novel Bukan Pasarmalam sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, nilai-nilai moral seperti bertanggungjawab, bersabar, menjaga lisan, dan religius merupakan nilai-nilai yang sebagaimana diketahui saat ini adalah aspek penting yang harus diajarkan kepada siswa di sekolah. Sekiranya siswa diharapkan mempunyai sikap yang berperasaan seperti tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam. Nilai-nilai moral yang baik harus diajarkan oleh guru agar murid tumbuh dalam aturan-aturan dan ia dapat mengikuti aturan-aturan tersebut dengan panggilan jiwa yang mereka miliki, maka dari itu novel Bukan Pasarmalam dapat dijadikan sebagai novel dalam pembelajaran siswa di sekolah untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut. Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa analisis tersebut diperuntukkan agar siswa mengetahui bahwa novel Bukan Pasarmalam merupakan contoh nilai-nilai moral yang relevan, nilai-nilai moral yang tak akan lekang dimakan waktu dan akan terus ada sepanjang masa. Hal tersebut dapat dibuktikan walau pun novel Bukan Pasarmalam adalah novel yang terbit sudah cukup lama, nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel Bukan Pasarmalam adalah nilai yang relevan pada masa kini, jadi novel Bukan Pasarmalam adalah novel serius yang tak lekang oleh waktu. Dan pembelajaran diperuntukkan bagi siswa tingkat SMA. Dengan demikian pembelajaran apresiasi sastra pada novel sastra merupakan perpaduan antara pembelajaran lain khususnya budi pekerti.
71
BAB IV PENUTUP Setelah penulis melakukan analisis terhadap novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan nilai moral penulis dapat mengambil simpulan sebagai berikut: A. Simpulan Skripsi ini mendeskripsikan nilai moral yang terdapat pada tokoh aku dalam novel Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer. 1. Nilai-nilai moral yang terdapat pada tokoh aku berbentuk perilaku yang sebagian besar layak untuk dijadikan teladan bagi setiap orang seperti bertanggungjawab terhadap persoalan yang baik ditimbulkan oleh pihak lain maupun oleh pihak sendiri seperti ketika tokoh aku merasa bertanggung jawab dengan keadaan rumahnya yang sudah sedikit miring walaupun bukan karena ulahnya sendiri, kesabaran yang kuat yang ditunjukkan oleh tokoh aku seperti ketika tokoh aku pasrah dan merasa sia-sia dengan semua kesabaran yang selama ini dilakukannya, lalu sikap menjaga lisan seperti yang ditunjukkan oleh percakapan tokoh aku dengan tokoh istri yang cerewet, tokoh aku mengambil sikap diam (tidak berbicara) ketika sikap istrinya mulai menjengkelkan, lalu nilai religius yang dimiliki tokoh aku ketika berada dalam situasi sang ayah baru meninggal, tokoh aku membacakan lafadz Allahu Akbar ditelinga sang ayah, tokoh aku memiliki kedewasaan yang matang untuk menjadi manusia yang memiliki nilai moral yang positif. 2. Novel Bukan Pasarmalam yang mengandung nilai-nilai moral seperti bertanggung jawab, bersabar, menjaga lisan, dan religius dirasakan perlu untuk diajarkan kepada siswa, maka dari itu novel Bukan Pasarmalam dapat dijadikan sumber pembelajaran di sekolah untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut. 71
72
B. Saran Saran yang dapat penulis sampaikan melalui skripsi ini berdasarkan analisis dan relevansi adalah sebagai berikut: 1. Guru bahasa dalam pelajaran sastra sebaiknya memfokuskan kepada moral dan isi karya sastra agar karya sastra dapat berguna untuk membentuk kepribadian peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, seperti kepribadian tokoh aku yang dilukiskan dalam novel Bukan Pasarmalam. 2. Guru harus dapat merangsang kemauan membaca siswa dengan cara memberikan bahan bacaan yang bermutu seperti novel Bukan Pasarmalam, dan mengajarkan murid bagaimana cara mengambil sisi positif dari apa yang dibacanya.
73
Daftar Pustaka Allen. Membaca dan Membaca Lagi. Magelang: Indonesia Tera, 2004. Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2008. Darajat, Zakiah. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Djokosujatno, Apsanti. Membaca Katrologi Bumi Manusia, Magelang: Indonesiatera, 2004. Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Jakarta: Gunung Agung, 1967. Mihardja, Ratih. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005. Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT Bumi Aksara. Purwa. Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta: Kanusius, 1990. Rahmanto, B. Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011. ----------------. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 1988. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008. Rizal, JJ. Pram dan Cina. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Rosidi, Ajip. Ikhtisari Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta, 1968. --------------. Yang Datang Telanjang: Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang 19802002. Jakarta: PT Gramedia, 2008. Said, Muh. Etik Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1980. Sartika, Meyta. Nilai Moral Tokoh Hanafi dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. 73
74
Semi, M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: CV Angkasa, 2012. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo, 2008. Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Susmana, A.J. “Review Bukan Pasarmalam”, www.goodreads.com, 25 Januari 2015. Syamsuddin. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Rosdakarya, 2006. Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1996. Toer, Pramoedya Ananta. Bukan Pasarmalam. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003. ------------------------------. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2005. ------------------------------. Cerita Calon Arang. Jakarta: Lentera Dipantara, 2010. Utomo, Ary Cahya, “11 Fakta mengenai Pramoedya Ananta Toer”, http://pelitaku. sabda.org/11_fakta_mengenai_pramoedya_ananta_toer, 25 Januari 2015. Wellek, Rene., and Warren, Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 1993. Widada, Rh. Saussure untuk Sastra (Sebuah Metode Kritik Sastra Struktural). Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
BIODATA PENULIS
Agung Bachtiar dilahirkan pada 29 Mei 1992 di Kota
Tangerang,
pasangan
Hasan
Banten. dan
Anak
Suadah
kedua ini
dari
memulai
pendidikannya di SDN Gondrong 03, tamat pada tahun 2004. Melanjutkan pendidikannya di SMPN 18 Kota Tangerang, tamat pada tahun 2007. Kemudian melanjutkan pendidikannya di SMAN 10 Kota Tangerang, tamat pada tahun 2010. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010, dan memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Putra asli Tangerang yang humoris ini sejak kecil sudah sangat menyukai klub-klub sepak bola Indonesia, terutama Persita dan Persipura. Kecintaannya yang bermula terhadap klub sepak bola lokal tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kecintaannya terhadap semua yang berbau lokal. Kecintaannya tersebut merupakan hal yang biasa bagi setiap orang yang mengaku warga Indonesia, memang tidak ada alasan untuk tidak menyukai Indonesia, karena Indonesia sangat indah dan menawan.