PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM NOVEL KORUPSI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh : Taufik Hidayatulloh NIM : 1111013000101
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM NOVEL KORUPSI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.pd,)
Oleh:
Taufik Hidavatullah
NIM : 1111013000101
NIP. 19771030 200802 2 009
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAII DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAII
JAKARTA 1437
Itt20t6I]uI
LEMBAR PBNGESAHAN UJIAN MUNAQASA}I
Slaipsi Berjudul Pendidikan Antikorupsi.dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia disnsun oleh Taufik Ilidayatulloh Nomor Induk Mahasiswa 11L101300010L, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 14 Juli 2016 dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak
memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sasta Indonesia. Jakarta, 14 Juli 2016 Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (Ketua
Makwn
Jurusan/Prodi)
s-ubukLM.rrum.
Tanggal
9.-.91.:.Pll'
NIP. 19800305200901 I 015 S
eketaris
P
anitia
(S
ekretaris Jurus anlProdi)
Aii Karunia Putra. MA. NIP. 19E40409201101 I 015 Dona
Penguji
I
NoYi Diah Haryanti. M.Hum. NIP. 19841 126 201s03 2 007 Penguji
fe- of'?o\C
l3 -o? . zotL
II
Nurvati Diihadah. M.Pd.. MA. NIP. 19660829 199903 2 003
tl-
o7
-zorl
Mengetahui,
Tarbffihdan Keguruan
Tanda Tanqan ,-
ryD/mtu*--
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
Dokumen
: Terbit :
FITK-FR-AKD-089
Tgl.
No.
Revisi: :
01
No.
FORM (FR)
Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia
Hal
1 Maret 2010 1t1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
Taufik Hidayatulloh
TempaUTgl.Lahir
Jakarta, 11 Juli 1991
NIM
I
Jurusan / Prodi
Pendidikan Bahasa'dan Sasha Indonesia
Judul Skripsi
Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya
11
1013000101
Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pernbelajaran Bahasa dan Sasta Indonesia Dosen Pernbimbing: dengan
l.
Rosida Erowati, M.Hum.
ini menyatakan bahwa skripsi yang
saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan
ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Wisuda.
Jakarta, 24 Jlur;ri2016
NIM. 1111013000101
“Setiap manusia dibekali oleh Allah naluri untuk berbuat kebaikan dan kejahatan, termasuk korupsi. Untuk itu diperlukan upaya mempertebal iman dalam diri dan membuat sistem yang menutup peluang melakukan korupsi.” (Alm. KH. Dzainuddin MZ.)
ABSTRAK Taufik Hidayatulloh, 1111013000101, “Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing : Rosida Erowati, M.Hum. Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel yang menggambarkan konflik batin seorang tokoh utama dalam upayanya mencari ketenangan hidup. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pendidikan antikorupsi dalam novel Korupsi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode penentuan unit analisis, pencatatan data dan analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan novel Korupsi memiliki unsur intrinsik yang mendukung tema minor harta-tahta-wanita dan tema mayor konflik batin tokoh Bakir dalam usahanya mencari ketenangan hidup yang menurutnya hanya didapat dengan memiliki harta. Kemudian, korupsi dipilih sebagai respon atas berkurangnya harta benda akibat gaji yang kurang memadai dan pandangannya terhadap harta rekan kerja yang disangkanya hasil dari korupsi. Selain tema minor dan mayor yang diusung PAT, novel Korupsi memuat pendidikan antikorupsi yang dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (Sebelas). Pendidikan antikorupsi dapat dipelajari dari jerat lingkaran korupsi yang memperlihatkan seorang yang mencoba melakukan korupsi akan senantiasa berkutat di lingkaran korupsi. Untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan menanamkan nilai antikorupsi yang meliputi, kejujuran, tanggung jawab, disiplin dan sederhana. Kata Kunci : Pendidikan Antikorupsi, Novel Korupsi, Pramoedya Ananta Toer.
i
ABSTRACT Taufik Hidayatulloh, 1111013000101, "Anti-corruption Education in the Novel Corruption by Pramoedya Ananta Toer and It’s Implication of Indonesian Language and Literature Learning in High School.” Departement of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Rosida Erowati, M.Hum. Corruption novel by Pramoedya Ananta Toer is a novel that describes the inner conflict of a main character in his quest for peace of life. This study have a purposed to knowing the anti-corruption education in the novel Corruption and it’s implication of Indonesian language and literature learning in high school. The method used in the writing of the paper is a qualitative descriptive. Data collection in this study using the method determining the unit of analysis, data recording and analysis. The results showed the corruption of the novel has elements of intrinsic support the theme of minor treasure-throne-women and the major theme of inner conflict Bakir figures in the quest for peace of life which he only obtained with possession. Then, corruption is chosen in response to the reduction in property due to inadequate salaries and views on treasure colleagues he thought the result of corruption. In addition to minor and major themes that carried PAT, the novel Corruption contains anti-corruption education to be implicated of Indonesian language and literature learning at the high school level class XI (Eleven). Anticorruption education can be learned from the snare of the corruption circle shows a man who tried to do corruption will continue stuggling in the circle of corruption. To prevent this can be done by instilling values that include anticorruption, honesty, responsibility, discipline and simple. Keywords : Anti-corruption Education, Novel Corruption, Pramoedya Ananta Toer
ii
KATA PENGANTAR ِِبسْــــــــــــــــــمِ اهللِ الّرَحْمَنِ الّرَحِيْم
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya, skripsi yang berjudul “Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” pada akhirnya dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW karena kehadirannya merupakan rahmat bagi alam semesta. Selama lebih dari sembilan bulan proses pengerjaan skripsi, penulis begitu banyak menemui lika-liku hambatan yang mewarnai proses penulisan skripsi, dari beragamnya opsi pembahasan yang menarik untuk diteliti khususnya novel lain yang memiliki tema serupa yakni korupsi, hingga perubahan judul atas saran dosen pembimbing. Kemudian, hal tersebut menjadi motivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama berikut. 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan; 2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; 3. Dona Aji Karunia Putra, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; 4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku pembimbing dalam penulisan skripsi yang selalu memberikan arahan dengan ilmu yang meningkatkan pengetahuan penulis. Terima kasih atas arahan, motivasi, bimbingan dan kesabaran Ibu selama ini; 5. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku penguji I dan Nuryati Djihadah, M.Pd., MA., selaku penguji II yang telah menguji penulis dalam sidang munaqosah dan memberikan saran maupun perbaikan yang memperkaya ilmu pengetahuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 6. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memperkenalkan indahnya dunia sastra, keanekaragaman bahasa dan manfaat besar sebagai seorang pengajar;
iii
7. Keluarga besar Kartama dan Taspiah selaku orang tua penulis, kakak Eka Novianty dan adik Kevin Dwi Indra Tama yang tiada henti-hentinya memberikan dukungan, baik doa, moral maupun moril sejak penulis lahir hingga kini; 8. Teman skripsi seperjuangan, Meilinda Sari Rusmiyati, S.I.kom., yang telah membantu penulisan skripsi dalam hal pencarian referensi serta harapan-harapan yang memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi; 9. Teman seperjuangan dalam menempuh program sarjana strata satu, seluruh mahasiswa Jurusan PBSI khususnya PBSI C angkatan 2011 dan anggota ROJALI yang telah memberikan banyak motivasi serta pengalaman hidup yang menjadikan perjalanan menempuh pendidikan ini menjadi penuh warna dan arti. Semoga semua bantuan doa, motivasi serta bimbingan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Selain itu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak agar dapat membantu meningkatkan mutu pembelajaran dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, 24 Juni 2016 Penulis
Taufik Hidayatulloh
iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH ABSTRAK ............................................................................................................. i KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... v BAB I
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. H.
BAB II
Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 Identifikasi Masalah ........................................................................ 7 Pembatasan Masalah ....................................................................... 7 Rumusan Masalah ........................................................................... 8 Tujuan Penelitian ............................................................................. 8 Manfaat Penelitian ........................................................................... 8 Metodologi Penelitian ...................................................................... 9 Penelitian yang Relevan ................................................................. 11
LANDASAN TEORI A. Hakikat Korupsi ............................................................................. 13 1. Definisi Korupsi ....................................................................... 13 2. Pendidikan Antikorupsi .......................................................... 15 B. Hakikat Novel ................................................................................ 18 C. Unsur Intrinsik Novel .................................................................... 18 D. Sosiologi Sastra ............................................................................. 32 E. Hakikat Pembelajaran Sastra ......................................................... 33 F. Pembelajaran Prosa dalam Kurikulum 2013 ................................. 35
BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN HIDUP A. Biografi Pramoedya Ananta Toer .................................................. 38 B. Pandangan Hidup Pramoedya Ananta Toer ................................... 44
v
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Unsur Intrinsik ............................................................................... 47 1. Tema ....................................................................................... 47 2. Penokohan .............................................................................. 50 3. Alur .......................................................................................... 63 4. Latar ......................................................................................... 72 5. Sudut Pandang ......................................................................... 82 6. Gaya Bahasa ............................................................................ 83 B. Hasil Penelitian : Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi .. 87 1. Jerat Lingkaran Korupsi .......................................................... 87 2. Nilai Antikorupsi ................................................................... 100 C. Implikasi pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ......... 110 BAB V
PENUTUP A. Simpulan ....................................................................................... 115 B. Saran ............................................................................................. 116
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 117 LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1
: RPP
Lampiran 2
: Sinopsis
PROFIL PENULIS
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pramoedya (selanjutnya; PAT) adalah tokoh non-politik ketika ia memulai karirnya. Namun, kelak ia harus membayar cukup mahal keterlibatannya dalam dunia politik, hingga meskipun dikenal sebagai tokoh sastra terkemuka ia juga dituduh telah menenggelamkan bakat kepenulisannya demi tujuan-tujuan politik.1 Meski menurut Ajip Rosidi, PAT merupakan orang yang tidak suka dengan organisasi dan keterlibatan PAT dalam sebuah organisasi hanya sebatas sebagai penulis yang menuangkan karyanya.2 Keterlibatannya dalam dunia politik mengakibatkan dirinya keluar masuk penjara tanpa adanya proses hukum. Karya PAT dirampas dan dilarang terbit karena dituduh meresahkan masyarakat dan mengandung unsur kritik kepada pemerintah. Di tengah pelarangan yang digaungkan oleh pemerintah (dan sebagian masyarakat), karya-karya PAT justru mendapat sambutan baik dari dunia Internasional. Karya-karya tersebut bahkan diterjemahkan ke dalam 40 bahasa.3 Hukuman pidana yang diterapkan pemerintah orde baru terhadap masyarakat yang memiliki kaitan dengan karya PAT mengakibatkan minimnya apresiasi. Banyak karya PAT yang kurang mendapat tempat di masyarakat kalau tidak disebut dilupakan, salah satunya novel Korupsi. Novel korupsi merupakan friksi kritik pada pamong pradja yang jatuh di atas perangkap korupsi.4 Pada saat itu, pamong pradja sedang dalam sorotan permasalahan kesejahteraan pegawai dan kaitannya dengan kasus korupsi. 1
Savitri Scherer, Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), h. 1. 2 Ibid., h. xvii. 3 Tahar Ben Jelloun, Korupsi, Terj. dari L’Homme Rompu oleh Okke K.S. Zaimar, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 5. 4 Mega Fiyani, Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2011, h. 27, tidak dipublikasikan.
1
2
Rosihan Anwar dalam tulisannya “Geger Dikalangan Pamong Pradja”, memotret adanya indikasi kolusi (pada akhirnya korupsi) dalam tubuh pamong pradja. Indikasi tersebut muncul setelah pengangkatan pegawai pamong pradja baru yang dianggap hanya menguntungkan partai Menteri pada saat itu karena berlatar belakang anggota partai berkuasa.5 Di Indonesia, novel Korupsi diterbitkan pertama kali oleh Majalah Indonesia, keluaran khusus No. 54 tahun 1954.6 Ketika itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan atas anggaran belanja PPK (Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan), yang mengakibatkan berlangsungnya krisis penerbitan.7 Keadaan ini mengakibatkan banyak penerbit pada masa itu tidak dapat berkembang. Selain itu, keadaan ekonomi masyarakat dalam periode tahun lima puluhan menjadikan roman, objek yang kurang menarik dari segi ekonomi. Hal ini berdampak pada jumlah pembaca potensial yang dapat mengeluarkan uang untuk membeli buku menjadi terbatas.8 Novel Korupsi kemudian diterbitkan kembali oleh majalah kebudayaan Nusantara pada 1961 hingga menghasilkan cetakan ketiga pada 1964.9 Namun, pada 13 Oktober 1965 PAT ditahan. Ia dituduh terlibat dalam Lekra yang dianggap oleh Orde Baru sebagai badan yang disusupi komunisme.10 Citra buruk yang disebarkan Orde
Baru
kepada
masyarakat
kemudian
turut
mempengaruhi
keberlangsungan karya-karya para anggota Lekra, termasuk karya PAT. Ketika proses penciptaan novel Korupsi (dan novel lainnya ditahun lima puluhan), keadaan sosial-ekonomi keluarga PAT sedang dalam kondisi sulit karena krisis keuangan dan tanggungan PAT terhadap saudaranya pasca 5
Rosihan Anwar, “Geger Dikalangan Pamong Pradja”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10 Oktober 1954, h. 5. 6 A.Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997), h. 403. 7 Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011)., h. 15. 8 Teeuw, op. cit., h. 195. 9 Ibid., h. 403. 10 Hun, op. cit., h. 20.
3
meninggalnya orang tua mereka. Hal ini berakibat tidak memungkinkannya untuk menciptakan roman yang serius dan lebih mengejar kuantitas penerbitan. Selama masa itu, PAT fanatik menulis demi keperluan rumah tangganya.11 Dikalangan kritikus sastra, H.B. Jassin12 dan A.Teeuw13 menilai Korupsi sebagai novel yang kurang mengesankan. Rivai Apin menyorot tokoh Sirad yang dianggapnya sebagai tokoh mati.14 PAT kemudian membela diri atas kritik yang ditujukan padanya; “Pramoedya felt that the items examined by his critics were not of prime relevance to his work. He missed a discussion of the social message of his texts, as this was his main concern”.15 Dalam novel Korupsi, tujuan utama yang dimunculkan seperti kesederhanaan, sebabakibat korupsi dan angkatan tua yang mentalnya ketularan kolonialisme justru tidak mendapat perhatian para kritikus. Novel Korupsi justru mendapat sambutan yang baik oleh dunia internasional, setidaknya Korupsi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda (Korruptie, Hein Vruggink Amsterdam, 1983) dan bahasa Prancis (Corruption, Denys Lombard Paris, 1981).16 Novel Korupsi (bersama novel Bukan Pasar Malam dan Jejak Langkah) dalam edisi Prancis dikagumi oleh masyarakat Negeri Bonaparte itu.17 Bahkan, menjadi inspirasi seorang penulis Maroko yang besar dan mahsyur di Prancis, Tahar Ben Jelloun, untuk turut merekam kejahatan ini dalam novelnya yang berjudul L’Homme Rompu.18
11
Teeuw, op. cit., h. 29. HB. Jassin, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essei, (Jakarta: Gunung Agung, 1962), h. 139. 13 Teeuw, op. cit., h. 205. 14 Rivai Apin, “Tokoh2 Mati: Korupsi Novel Pramoedya Ananta Toer dalam Madjalah Indonesia”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 22 Agustus 1954, h. 25. 15 Martina Heinschke, “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya‟s Developing Literary Concepts”, Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966, h. 159. 16 Teeuw, op. cit., h. 411. 17 Bersihar Lubis, “Narsisme Harap Minggir”, Majalah Gamma, Jakarta, 31 Mei-6 Juni 2000, h. 92. 18 Tahar Ben Jelloun, op. cit., h. 11. 12
4
Sepanjang perjalanan sastra Indonesia, telah banyak penulis dengan latar belakang zamannya masing-masing menuliskan novel dengan tema korupsi. Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Muchtar Lubis dapat dikatakan sebagai perintis novel dengan tema korupsi pasca kemerdekaan, meskipun korupsi masih menjadi tema minor di tengah tema perjuangan yang dianggap masih hangat. Pada masa orde baru, terdapat novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari yang menggambarkan tokoh yang memiliki pilihan melawan atau terbawa arus korupsi. Novel 86 karya Okky Madasari yang memiliki setting waktu pasca reformasi menggambarkan kejahatan korupsi yang semakin berkembang dan menjadi fenomena yang dianggap biasa, bahkan kebanyakan masyarakat seolah tidak memiliki pilihan dan „terpaksa‟ terbawa arus korupsi. PAT mendayagunakan jalinan peristiwa secara humanis dalam novel Korupsi bahwa permasalahan ini bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja, lewat permasalahan korupsi yang dibalut dengan harapan jamak seorang pria dalam urusan dunia, harta-tahta-wanita. Hal tersebut kemudian menimbulkan konflik batin tokoh utama antara mengejar kebahagiaan semu dan mencari ketenangan batin. Eratnya penggambaran konflik batin dirasa menjadi nilai yang paling menonjol di antara novel dengan tema serupa. Dengan pemilihan sudut pandang aku orang pertama dan cerita yang berfokus pada konflik batin tokoh utama, memudahkan narator mengeksplorasi sisi batin tokoh utama untuk memperoleh empati dari pembaca. Hal yang menarik justru karena pembaca diharapkan memberikan empati dari tokoh antihero, tokoh yang berbuat kejahatan namun diharapkan dapat memberikan nilai-nilai positif kepada pembaca. Dewasa ini praktik korupsi dianggap sebagai sebuah kejahatan yang tidak bisa dihindarkan. Dogma yang berkembang di masyarakat seperti „kalau tidak korupsi kapan kaya,‟ „ujung-ujungnya duit,‟ hingga „uang terima kasih,‟ menggambarkan kebiasaan masyarakat yang justru mendukung praktik
5
korupsi. Jika direlevansikan pada masa kini, novel Korupsi dapat dijadikan pembelajaran antikorupsi yang paling mendasar dalam diri manusia yakni niat. Dengan niat kesempatan dapat dibuka dan dengan niat pula kesempatan untuk korupsi dapat ditutup. Keluarga tokoh utama digambarkan sebagai keluarga yang menolak perilaku korup dan memilih untuk tetap sederhana (meski cenderung kekurangan). Biasanya para koruptor beralasan keadaan rumah tangga dan gaya hidup keluarga yang memaksa mereka melakukan korupsi. Hal ini dapat dijadikan pembelajaran bahwa diri kita sendirilah yang bisa menentukan apa yang akan dilakukan, korupsi atau berani jujur. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Survei Corruption Perception Index (CPI) tahun 2015 yang dipublikasikan Transparancy International (TI) menunjukkan posisi Indonesia di urutan 88 dari 168 negara yang diukur.19 Hal ini menjadi paradoks negara Islam terbesar di dunia, terutama pejabat muslim yang telah melakukan sumpah jabatan di atas Al-Quran. Salah satu Firman Allah SWT dalam Al-Quran berkaitan dengan harta berbunyi:
ٍِْحكَا ِو نِتَ ْأ ُكهُىا َفرِيقًا ي ُ ْم وَتُ ْدنُىا ِبهَا ِإنَى ان ِط ِ َونَا تَ ْأكُهُىا َأيْىَاَنكُ ْى بَيَُْكُ ْى بِانْبَا 20 ٌَس بِانْإِثْىِ َوأََْتُىْ َت ْعَهًُى ِ ل انَُا ِ َأيْىَا Ada dua cara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, yakni langkah represif (penindakan) dan langkah preventive (pencegahan). Tindakan dalam langkah pencegahan di antaranya upaya perbaikan sistem birokrasi dan yang paling penting adalah penyemaian bibit-bibit antikorupsi melalui jalur pendidikan. Penanaman nilai-nilai antikorupsi akan melahirkan generasi antikorupsi dimasa yang akan datang. Divisi Pencegahan KPK telah 19
Transparency International, Perbaikan Penegakan Hukum, Perkuat KPK, Benahi Layanan Publik, diakses pada 02/02/2016, 20.30 WIB dari www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/ corruption-perceptions-index-2015 20 Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 188).
6
mengeluarkan program-program berkaitan dengan pencegahan korupsi, di antaranya membentuk program sekolah antikorupsi,21 pelatihan guru,22 pengadaan mata kuliah pendidikan antikorupsi di Perguruan Tinggi, hingga bersinergi dengan Kemdikbud dan Kemenag lewat penyelarasan kurikulum antikorupsi.23 Namun, mengherankan memang bahwa gaung bidang pencegahan kurang menarik dibanding bidang penindakan yang mampu menyedot animo media.24 Padahal, gerakan antikorupsi merupakan langkah awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai ke arah yang lebih baik sejak usia muda dengan membangun karakter. Langkah preventive di dunia pendidikan dapat diterapkan dalam proses belajar pembelajaran. Salah satunya pengajaran sastra yang memiliki peran pemupukan karakter peserta didik. Namun, kurangnya ketersediaan karya sastra seperti novel yang bermutu di sekolah mengakibatkan pembelajaran analisis novel hanya sebatas kutipan teks. Sedianya, dengan membaca keseluruhan cerita, peserta didik akan memahami pesan tersirat di samping pesan tersurat yang disampaikan oleh penulis novel. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel dapat diresap oleh peserta didik dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka. Adanya hubungan karya sastra dengan pembentukan kepribadian menunjukkan bahwa karya sastra mempunyai kesempatan untuk menjadi sarana dalam mengubah kondisi sosial masyarakatnya. Berkaitan dengan teori dan fakta terhadap novel Korupsi dan kondisi masyarakat Indonesia, peneliti tertarik mengkaji mengenai Pendidikan
21
Iman Santoso, “28 Siswa Lulus Sekolah Antikorupsi”, Integrito, Jakarta, SeptemberOktober 2015, h. 54. 22 Sheto Risky Prabowo, “KPK Ajak 25 Guru Menulis Antikorupsi”, Integrito, Jakarta, September-Oktober 2015, h. 37. 23 Sheto Risky Prabowo, “KPK Selaraskan Pendidikan Antikorupsi”, Integrito, Jakarta, September-Oktober 2015, h. 7. 24 Johan Budi, dkk., Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, (Jakarta: Spora Communications, 2007), h. 75.
7
Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kemudian, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber pengajaran yang menumbuhkan rasa kepedulian dan pengetahuan mengenai korupsi, supaya peserta didik memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi pada negeri ini dan untuk menumbuhkan semangat antikorupsi sebagai generasi penerus bangsa. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Sejarah kelam PAT menyebabkan banyak karyanya kurang mendapatkan apresiasi khususnya di Indonesia, salah satunya novel Korupsi. 2. Perilaku menganggap korupsi sebagai suatu kewajaran yang berkembang di masyarakat menumbuhkan praktik korupsi. Hal ini terlihat dari tingginya angka korupsi di Indonesia. 3. Langkah preventive kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Padahal, langkah ini merupakan tindakan yang efektif dan efesien karena akan mencegah perilaku korupsi dari akar, lewat penanaman karakter. 4. Kurangnya ketersediaan novel yang bermutu di sekolah mengakibatkan terbatasnya pengetahuan siswa terhadap novel yang baik untuk mereka baca. Selain itu, mengakibatkan pembelajaran analisis novel hanya sebatas kutipan teks yang menyebabkan siswa tidak mengetahui nilainilai yang terdapat di dalam novel. C. Pembatasan Masalah Batasan masalah ini diharapkan agar dalam penelitian tidak meluas. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu pendidikan antikorupsi dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer dan implikasinya pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
8
D. Rumusan Masalah Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan pada hal sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur pendidikan antikorupsi dideskripsikan dalam novel Korupsi karya PAT? 2. Bagaimana implikasi pendidikan antikorupsi dideskripsikan dalam novel Korupsi karya PAT pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan dan pembatasan masalah maka tujuan penelitian adalah 1. Mendeskripsikan struktur pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi karya PAT. 2. Mendeskripsikan implikasi pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi karya PAT pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi peneliti namun dapat bermanfaat untuk orang lain dalam rangka menumbuhkan semangat antikorupsi. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat teoretis Sebagai hasil penelitian yang akan memperkaya bahan ajar terutama di bidang novel, karena novel merupakan salah satu materi yang diminati siswa. Namun, kurangnya novel bermutu terutama novel klasik yang dibaca, mengakibatkan kurangnya pengetahuan siswa. 2. Manfaat praktis
9
a. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia, sebagai bahan pembelajaran untuk memudahkan guru dalam mengambil contoh pengajaran dengan tema antikorupsi. b. Bagi siswa, sebagai sarana pembelajaran dengan tema antikorupsi yang terdapat dalam karya sastra. Karya ini akan membuat siswa tertarik terhadap permasalahan antikorupsi. c. Bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi ketika mengambil tema yang sama mengenai antikorupsi dan sebagai bahan perbaikan untuk penelitian ini. G. Metodologi Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan September 2015 sampai Juni 2016. Penelitian ini tidak terkait dengan tempat tertentu karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) karya sastra yaitu novel. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data dekriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati. Adapun langkah penelitian dalam metode kualitatif adalah definisi masalah, perumusan hipotesis, perumusan definisi operasional, merancang alat penyelidikan, pengumpulan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan melaporkan
hasil
penyelidikan.25
Pengkajian
ini
bertujuan
untuk
mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang meliputi analisis dan interpretasi data tersebut. Untuk menginterpretasi data yang terdapat di dalam novel, diperlukan analisis intrinsik dengan menggunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada 25
10.
Boy S. Sabarguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UI-Press, 2005), h.
10
karya sastra.26 Unsur yang dimaksud seperti tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang dan gaya bahasa. Sastra merupakan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Apa yang ditulis sastrawan di dalam karyanya adalah apa yang ingin diungkapkan kepada pembacanya. Dalam menyampaikan idenya, sastrawan tidak bisa dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya (alam semesta).27 Untuk dapat memahami konteks perkembangan sosial masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan korupsi yang terdapat di dalam novel ini, penulis juga menggunakan pendekatan ekstrinsik; pendekatan tradisional yang meliputi sosiologi sastra maupun psikologi sastra. Kedua pendekatan ini saling berkaitan karena memiliki objek yang sama, yaitu manifestasi manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek sosiologi sastra adalah manusia dalam masyarakat sebagai transindividual, sedangkan objek psikologi sastra adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai manifestasi psike. Karena itulah, aspek-aspek psikologi bermanfaat bagi sosiologi sastra apabila memiliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan aspek-aspek kemanusiaan secara keseluruhan.28 1. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian adalah tempat memperoleh data. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah pendidikan anti korupsi dalam novel Korupsi karya PAT. Sedangkan objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Korupsi karya PAT yang diterbitkan oleh Hasta Mitra pada Februari 2002. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka yakni teknik menggunakan sumber-sumber tertulis untuk 26
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:Grasindo,2008), h. 183. Ibid., h. 178. 28 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) cet. ke 2, h. 13. 27
11
memperkuat informasi sebagai bahan dasar analisis. Teknik pustaka didapat dari berbagai sumber di antaranya buku, majalah, skripsi, file digital dan dokumen lain yang berkaitan dengan objek penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah dengan membaca novel Korupsi karya PAT kemudian mencatat teks yang menggambarkan pendidikan antikorupsi. Langkah berikutnya menganalisis dengan teknik kepustakaan berkenaan dengan pendidikan antikorupsi. 3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Secara metodis, langkah kerja teknik analisis data dalam penelitian ini dapat disusun ke dalam langkah pokok, yaitu a) mendeskripsikan data dengan menggunakan pendekatan objektif untuk mengetahui kandungan unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel berupa tema, penokohan, alur, latar dan gaya bahasa,
b)
menganalisis
teks
yang menggambarkan
pendidikan
antikorupsi dengan memanfaatkan pendekatan sosiologi sastra untuk mengetahui hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra yang berkaitan dengan permasalahan korupsi, dan c) hasil analisis tersebut kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran pendidikan antikorupsi. H. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai novel karya PAT telah banyak dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, sepanjang pencarian, penulis belum menemukan penelitian dengan fokus penelitian yang sama. Penelitian berkaitan dengan
novel
korupsi
pernah dilakukan oleh
mahasiswi
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Astri Adriani. Dalam tesisnya yang berjudul “Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer dan L’Homme Rompu karya Tahar Ben Jelloun sebagai karya sastra Francophone”. Pemilihan novel
12
Korupsi dan L’Homme Rompu didasarkan pada hubungan Indonesia dan Perancis, khususnya mengenai penerjemahan karya sastra. Astri Adriani mengungkapkan bahwa ide cerita L’Homme Rompu merupakan sambutan terhadap novel Korupsi yang terjadi karena adanya dialog antarteks dan interteks. Selain itu, mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Ricky Sukandar. Dalam tesisnya yang berjudul “Kajian Sosiologis dan Nilai Karakter dalam Novel Mengenai Korupsi serta Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar di SMA”, Ricky Sukandar membahas gambaran sosiologis dan nilai karakter yang terkandung dalam novel Korupsi karya PAT, OrangOrang Proyek karya Ahmad Tohari dan Sebuah Novel 86 karya Okky Madasari. Pemilihan novel-novel tersebut didasarkan pada latar dalam novel yang dirasa mewakili potret masyarakat pada zamannya masing-masing; Korupsi karya PAT perwakilan orde lama, Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari mewakili orde baru dan Sebuah Novel 86 karya Okky Madasari pasca reformasi. Penelitian serupa pernah dipublikasikan oleh Ni Nyoman Subardini dalam jurnal yang diterbitkan Universitas Nasional (UNAS), dengan judul “Potret Koruptor dalam Novel Korupsi.” Dalam penelitiannya, Ni Nyoman Subardini mendeskripsikan fenomena korupsi dalam dua novel yakni novel Korupsi karya PAT dengan L’Homme Rompu karya Taher Ben Jelloun. Hasilnya, kedua novel sama-sama menggambarkan sebuah fenomena korupsi dan pesan tersirat yang sama, yakni meskipun seorang koruptor telah sukses mengumpulkan hartanya, hati nuraninya belum tentu tenang karena ia harus selalu menjaga kebohongan-kebohongannya. Melihat penelitian sebelumnya terhadap novel Korupsi karya PAT, penelitian “Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” memiliki perbedaan fokus penelitian dibandingkan penelitian
13
sebelumnya. Penelitian ini mengungkapkan pendidikan antikorupsi dalam novel Korupsi yang kemudian dapat menambah khazanah pengetahuan dan menumbuhkan semangat antikorupsi dalam diri peserta didik.
BAB II LANDASAN TEORETIS Landasan teoretis yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya disusun untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini sehubungan dengan masalah yang diteliti. Landasan teori yang relevan dengan penelitian ini diuraikan sebagai berikut. A. Hakikat Korupsi 1. Definisi Korupsi Koruptologi, sebuah cabang ilmu pengetahuan baru yang bertujuan untuk mempelajari korupsi dari berbagai aspek ditawarkan Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Redatin Parwadi, M.A. Korupsi berasal dari kata Latin Coruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Corruptie. Corruptie selanjutnya masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. Adapun logi berasal dari logos yang berarti ilmu atau pengetahuan. Sesuai dengan interdisiplinernya, koruptologi adalah ilmu pengetahuan sistematik yang menelaah korupsi dalam berbagai aspek, termasuk peraturan perundang-undangan dan pelanggaran terhadap peraturan mengenai korupsi.1 Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.2 Dalam dunia hukum Indonesia yang tercantum dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001, korupsi didefinisikan sebagai 1
Redatin Parwadi, Koruptologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 41. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 736. 2
13
14
perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.3 Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi”. Sedangkan, Transpency International (TI) mengartikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, politikus, pegawai negeri, yang secara tidak wajar/ilegal memperkaya diri atau
memperkaya
mereka
yang
dekat
dengan
dirinya
dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan.4 Lebih spesifik, Boesono Soedarso mengartikan korupsi tidak hanya terbatas pada keterlibatan pejabat negara, tetapi siapapun orang yang melawan hukum untuk melakukan perbuatan memperkaya diri yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.5 Hafidhuddin dalam Mansyur Semma memberikan gambaran korupsi dalam persepektif ajaran Islam. Dalam Islam, korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar).6 Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campur tangan dan penipuan. Kemudian, suapan (sogokan) didefinisikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku,
3
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 279. 4 Anwary, Perang Melawan Korupsi, (Jakarta: Institut Pengkajian Masalah-masalah Politik dan Ekonomi, 2012), h.126. 5 Boesono Soedarso, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2009), h. 10. 6 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obor, 2008), h. 33.
15
terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).7 Korupsi didahului oleh adanya niat, kemudian adanya kesempatan karena mempunyai kewenangan, didukung oleh lingkungan yang korup, dilanjutkan dengan tindakan korupsi, serta setelah berhasil, berusaha untuk mengamankan hasil dan menikmatinya. Jika dirumuskan sebagai berikut : Korupsi = Niat (Intention) + Kesempatan (Kekuasaan, Kewenangan) + Lingkungan Korup + Action (Tindakan Melakukan Korupsi) + Security (Mengamankan Hasil/ Menikmati).8 Dari
beberapa
pengertian
mengenai
korupsi
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan uang negara yang dilakukan perorangan, perusahaan, organisasi, yayasan dsb untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kemudian, dalam penelitian ini, digunakan rumus yang dikemukakan Redatin dalam menganalisis alur korupsi yang dilakukan tokoh dalam novel Korupsi. 2. Pendidikan Antikorupsi Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk memerangi korupsi dengan berbagai cara. KPK sebagai lembaga independen yang secara khusus menangani tindak korupsi dengan upaya pencegahan dan penindakan tindak korupsi. Namun di sisi lain, upaya penindakan membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Belum lagi jika dihitung dari dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya memberantas korupsi yang paling murah dan efektif adalah dengan
7
David H. Bayley, Akibat-akibat Korupsi pada Bangsa-bangsa sedang Berkembang, Terj. dari The Effect of Corruption In a Developing Nation oleh Muchtar Lubis dan James C.Scott, (Jakarta: LP3S, 1988), h. 86. 8 Redatin, op. cit., h. 56.
16
tindakan preventive (pencegahan), seperti pendidikan antikorupsi dan penanaman nilai-nilai integritas kepada anak-anak sejak dini.9 Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan faktor eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dianut sedangkan kesempatan terkait dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi dalam diri individu. Setidaknya ada sembilan nilai antikorupsi yang penting untuk ditanamkan dalam diri individu, seperti : a. Kejujuran Kejujuran merupakan nilai dasar yang menjadi landasan utama bagi penegakan integritas diri seseorang. Tanpa adanya kejujuran mustahil seseorang bisa menjadi pribadi yang berintegritas. Seseorang dituntut untuk bisa berkata jujur dan transparan serta tidak berdusta baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. b. Kedisiplinan Ketekunan dan konsistensi untuk terus mengembangkan potensi diri membuat seseorang akan selalu mampu memberdayakan dirinya dalam menjalani tugasnya. Kepatuhan pada prinsip kebaikan dan kebenaran menjadi pegangan utama dalam bekerja. c. Tanggung Jawab Pribadi yang utuh dan mengenal diri dengan baik akan menyadari bahwa keberadaan dirinya di muka bumi adalah untuk melakukan perbuatan baik demi kemaslahatan sesama manusia. d. Kesederhanaan Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang menyadari kebutuhannya 9
dan
berupaya
memenuhi
kebutuhannya
dengan
Nanang Puspito (eds)., Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kemendikbud, 2011), h. iii.
17
semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak tergoda untuk hidup dalam gelimang kemewahan. e. Kepedulian Kepedulian sosial kepada sesama menjadikan seseorang memiliki sifat kasih sayang. Pribadi dengan jiwa sosial tidak akan tergoda untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar, tetapi ia malah berupaya
untuk
menyisihkan
sebagian
penghasilannya
untuk
membantu sesama. f. Kemandirian Kemandirian membentuk karakter yang kuat pada diri seseorang menjadi tidak bergantung terlalu banyak pada orang lain. Pribadi yang mandiri tidak akan menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab demi mencapai keuntungan sesaat. g. Kerja keras Perbedaan nyata akan jelas terlihat antara seseorang yang mempunyai etos kerja dengan yang tidak memilikinya. Individu beretos kerja akan selalu berupaya meningkatkan kualitas hasil kerjanya demi terwujudnya kemanfaatan publik yang sebesarbesarnya. h. Keberanian Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran dan menolak kebathilan. Ia tidak akan mentolerir
adanya
penyimpangan
dan
berani
menyatakan
penyangkalan secara tegas. i. Keadilan Pribadi dengan karakter yang adil akan menyadari bahwa apa yang dia terima sesuai dengan jerih payahnya. Ia tidak akan menuntut untuk mendapatkan lebih dari apa yang ia sudah upayakan. Bila ia
18
seorang pimpinan maka ia akan memberi kompensasi yang adil kepada bawahannya sesuai dengan kinerjanya.10 Seperti yang telah dijelaskan bahwa penyebab korupsi terdiri dari faktor internal dan eksternal. Upaya pencegahan korupsi pada dasarnya dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau setidaknya mengurangi kedua faktor tersebut dengan menanamkan nilai antikorupsi pada setiap individu.11 Kemudian, dalam penelitian ini, digunakan nilai antikorupsi yang dikampanyekan KPK sebagai landasan dalam menanamkan nilai antikorupsi pada peserta didik. B. Hakikat Novel Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga seolah-olah seperti kenyataan. Seorang sastrawan memperlakukan kenyataan yang digunakan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan cara meniru, memperbaiki, menambah atau menggabung-gabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan ke dalam karya sastranya.12 Istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah novel dalam bahasa Inggris yang berakar dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”. Dewasa ini, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak 10
Yuli Astuti, Nilai dan Prinsip Antikorupsi, diakses pada 02/04/16, 20.20 WIB, dari http://diskopukm.natunakab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119:komitmenanti-korupsi&catid=58&Itemid=1150 11 Nanang Puspito, op. cit., h. 75. 12 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:Grasindo,2008), h. 46.
19
terlalu pendek.13 Dari segi jumlah kata, maka biasanya suatu novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tak terbatas jumlahnya.14 Wellek dan Warren membagi ragam fiksi naratif menjadi dua, ragam fiksi naratif yang utama dalam bahasa Inggris disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realistis, sedangkan romansa bersifat puitis dan epic. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoar atau biografi, kronik atau sejarah. Dapat dikatakan novel merupakan gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Sedangkan romansa ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi.15 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. 16 Novel dibangun dari dua unsur yakni intrinsik dan ektrinsik. Dalam unsur intrinsik terdapat tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang dan gaya bahasa. Sedangkan unsur ektrinsik dapat berupa latar belakang penulis dan kondisi sosial pada saat novel tersebut dibuat. Kedua unsur tersebut saling berkaitan karena saling berpengaruh dalam sebuah karya sastra. Dari penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra fiksi yang ditulis secara naratif dengan menggunakan unsur intrinsik sebagai unsur pembangun cerita. Novel ditulis oleh pengarang
dengan mengambil
inspirasi
berdasarkan
gambaran
kehidupan. 13
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), h. 12. 14 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 165. 15 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra, Terj. dari, Theory of Literature oleh Melanie Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 282. 16 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 969.
20
C. Unsur Intrinsik Novel Novel memiliki struktur yang membangun sebuah cerita di dalamnya. Salah satunya adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam yang akan mewujudkan struktur karya sastra seperti tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang dan gaya bahasa. 1. Tema Tema karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan dan interaksinya dengan lingkungan. Pada dasarnya tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Stanton dan Kenny dalam Nurgiyantoro menjelaskan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.17 Makna sebuah cerita dapat lebih dari satu. Oleh sebab itu, banyak interpretasi yang muncul dari sebuah karya sastra. Hal ini yang menyebabkan sulitnya untuk menentukan tema pokok atau dapat disebut tema mayor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum suatu karya. Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan dan menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan dan dikandung oleh karya yang bersangkutan. Sedangkan, tema minor merupakan makna yang hanya
terdapat
pada
bagian-bagian
tertentu
cerita
diidentifikasikan sebagai makna bagian, makna tambahan.
dan
dapat
18
Menentukan tema merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena harus memperhatikan berbagai aspek, termasuk pemahaman cerita secara 17 18
Nurgiyantoro, op. cit., h. 114. Ibid., h. 133.
21
keseluruhan dan sudut pandang yang dipilih. Walau sulit ditentukan secara pasti, tema bukanlah makna yang “disembunyikan”. Untuk menentukan sebuah tema dapat disimpulkan dari keseluruhan cerita bukan hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita.19 Berdasarkan beberapa pemaparan yang telah diungkapkan, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide dasar atau gagasan pokok yang secara eksplisit terkandung dalam sebuah novel. Serangkaian peristiwa dapat diidentifikasikan berdasarkan tema mayor dan tema minor. Secara keseluruhan, untuk mendapatkan tema dalam sebuah novel diperlukan proses kesimpulan dari keseluruhan cerita. 2. Tokoh dan Penokohan Sudjiman dalam Budianta mengemukakan tema adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.20 Istilah tokoh merujuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan, Jones dalam Nurgiyantoro berpendapat penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dalam sebuah karya sastra merupakan cara pengarang untuk menampilkan watak, perwatakan dan karakter tokoh. Tokoh hanya merupakan karakter ciptaan pengarang, namun tokoh dalam karya sastra diharapkan sebagai seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan manusia.21 Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama.22 Penafsiran kualitas penokohan dalam sebuah karya didasarkan pada penerimaan pembaca. Untuk menganalisis tokoh, dapat ditinjau dari berbagai sudut, di antaranya sebagai berikut: 19
Ibid., h. 116. Melanie Budianta, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2002), h. 86. 21 Nurgiyantoro, op. cit., h. 247-249. 22 Wellek dan Warren, op. cit., h. 287. 20
22
1) Berdasarkan peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan) dan tokoh komplementer (tambahan).23 Tokoh utama (central character,
main
character)
adalah
tokoh
yang
diutamakan
penceritanya dalam novel. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh utama dalam sebuah novel bisa lebih dari seseorang, walau kadar keutamaannya tidak (selalu) sama. Sementara itu, peran tokoh tambahan dalam cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung. 2) Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh utama (antihero), tokoh utama (protagonis) dan yang terpenting adalah tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Konflik di antara mereka itulah yang menjadi inti dan menggerakkan cerita.24 Tokoh antihero adalah “a main character in a dramatic or narrative work who is characterized by a lack of traditional heroic qualities, such as idealism or courage”.25 Lebih lanjut, Abrams memberikan pengertian antihero sebagai“The chief person in a modern novel or play whose character is widely discrepant from that which we associate with the traditional protago- nist or hero of a serious literary work. Instead of manifesting largeness, dignity, power, or heroism, the antihero is petty, ignominious, passive, ineffectual, or dishonest”.26 Tokoh protagonis merupakan tokoh yang mendukung jalannya cerita, biasanya disertai nilai-nilai yang dikagumi (hero), sedangkan tokoh antagonis adalah 23
Siswanto, op. cit., h. 143. Budianta, loc. cit. 25 The American Heritage Dictionary of the English Language, Antihero, diakses pada 18/06/16, 21:00 WIB, dari http://thefreedictionary.com/antihero 26 Abrams, A Glossary of Literary Terms, (United States of America: Cornell University, 1999), h. 11. 24
23
tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung ataupun tidak langsung.27 3) Berdasarkan perwatakannya, tokoh dapat dibagi menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sedangkan, tokoh bulat merupakan tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.28 4) Berdasarkan teknik pelukisan tokoh, setidaknya ada dua cara yakni teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik ekspositori atau analitis adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung. Sedangkan teknik dramatik adalah teknik yang digunakan pengarang dengan tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku para tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan.29 Dari pemaparan yang telah diungkapkan, dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah karakter ciptaan pengarang yang mengalami peristiwa dalam cerita dan memiliki penggambaran secara wajar seperti umumnya kehidupan manusia. Dalam penelitian ini, tokoh dan penokohan dibagi menjadi tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan) dan tokoh komplementer (tambahan) dengan memperhatikan bagaimana pengarang melukiskan tokoh, fungsi penampilan di dalam cerita dan memberikan watak yang mempengaruhi perkembangan cerita. 27
Nurgiyantoro, op. cit., h. 261. Ibid., h. 265-266. 29 Ibid., h. 279-283. 28
24
3. Alur (Plot) Dalam teori-teori yang berkembang, plot juga dikenal dengan istilah struktur naratif, susunan dan juga sujet. Foster dalam Nurgiyantoro menjelaskan plot sebagai peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.30 Hubungan kausalitas diartikan sebagai hubungan sebab akibat, kemunculan peristiwa sebelumnya akan menyebabkan munculnya peristiwa lain. Kata kunci “hubungan sebab-akibat” antar peristiwa merupakan pembeda plot dengan jalan cerita yang hanya memperhatikan rentetan peristiwa. Jan Van Luxemburg dkk mengartikan alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.31 Sudjiman dalam Siswanto membagi alur menjadi alur erat (ketat) dan alur longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam suatu karya sastra; kalau salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu di dalam karya sastra, meniadakan salah satu peristiwa tidak akan mengganggu jalan cerita.32 Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dapat dibedakan menjadi plot lurus (progresif), plot sorot balik (flash back) dan plot campuran. a. Plot Lurus (Progresif) Plot sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwaperistiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa (peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Jika dituliskan 30
Ibid., h. 165-167. Jan Van Luxemburg, Mieke Bal dan Williem G Wetsteijn, Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding In de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartanto, (Jakarta: Gramedia, 1992), cet. 4, h. 149. 32 Siswanto, op. cit., h. 161. 31
25
dalam bentuk skema, secara garis besar plot progresif akan berwujud sebagai berikut. A
B
C
D
E
b. Plot Sorot Balik (Flash Back) Urutan kejadian dalam plot ini tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot sorot balik akan berwujud sebagai berikut. D1
A
B
C
D2
E
c. Plot Campuran Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adeganadegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya. Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot campuran akan berwujud sebagai berikut. E
D1
A
B
C
D233
Aminudin dalam Siswanto membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian. 1) Tahapan awal atau biasa disebut tahap perkenalan. Pada tahap ini pada umumnya diberi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Dalam tahap ini pengarang memperkenalkan identitas tokoh, misalnya nama, asal, ciri fisik dan sifatnya. 2) Tahapan konflik merupakan tahap ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan.
33
Nurgiyantoro, op. cit., h. 213-216.
26
Tahap
ini
dapat
juga
disebut
sebagai
tahap
pertikaian,
menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahapan sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. 3) Tahapan komplikasi atau rumitan merupakan bagian tengah alur cerita rekaan yang mengembangkan tikaian. Dalam tahapan ini, konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh. 4) Tahapan klimaks merupakan bagian alur cerita rekaan yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. 5) Tahapan leraian merupakan bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks.
Pada
tahap
ini
peristiwa-peristiwa
yang terjadi
menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian. 6) Selesaian atau tahap akhir merupakan tahapan di mana segala permasalahan mulai terselesaikan, semua konflik mulai menemui jalan keluar atau akhir cerita. Dalam tahap ini semua masalah dapat diurai, kesalahpahaman dijelaskan, rahasia dibuka. Ada dua macam selesaian, tertutup dan terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca. 34 Dari berbagai pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa alur adalah berbagai peristiwa yang dialami oleh pelaku, diseleksi dan diurutkan berdasarkan sebab akibat untuk mencapai efek tertentu. Dalam penelitian ini, alur akan dibahas dengan memperhatikan tahapan peristiwa maupun jalinan peristiwa di dalamnya. 34
Siswanto, op. cit., h. 159-160.
27
4. Latar Latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok; lingkungan yang dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu.35 Latar dapat berupa segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.36 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.37 Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. a. Latar Tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu dan mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat bersangkutan. b. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Permasalahan waktu dalam karya naratif dapat bermakna ganda: di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita
35
Wellek dan Warren, op. cit., h. 291. Budianta, loc. cit. 37 Nurgiyantoro, op. cit., h. 303. 36
28
dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi yang dikisahkan dalam cerita. c. Latar Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar sosial berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas. 38 Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra yang digunakan sebagai landasan untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. 5. Sudut Pandang Abrams dalam Nurgiyantoro mengemukakan sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pandangan hidup pengarang disalurkan lewat kacamata tokoh cerita.39 Aminuddin dalam Siswanto mengartikan sudut pandang atau point of view sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. 40 Berikut pembedaan sudut pandang berdasarkan bentuk persona tokoh cerita, yakni persona ketiga dan persona pertama.
38
Ibid., h. 315-322. Ibid., h. 248. 40 Siswanto, op. cit., h. 152. 39
29
1) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Dalam sudut pandang ini terdapat “dia” mahatahu, “dia” terbatas dan “dia” sebagai pengamat. 2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, first-person point of view, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran
dirinya
sendiri,
self
consciousness,
mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Narator hanya bersifat mahatahu bagi diri sendiri dan tidak terhadap orang-orang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita. a) “Aku” Tokoh Utama Si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik dan hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si “aku”, peristiwa, tindakan dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau dipandang penting. Jika tidak, hal itu tidak disinggung sebab si “aku” mempunyai keterbatasan terhadap segala hal yang di luar dirinya. Namun sebaliknya, tokoh “aku” memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Teknik “aku” dapat dipergunakan untuk melukiskan serta membeberkan pengalaman kehidupan manusia yang paling dalam dan rahasia sekalipun.
30
Si “aku” yang menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi tokoh protagonis. Hal itu amat memungkinkan pembaca menjadi merasa benar-benar terlibat. Pembaca akan mengidentifikasikan diri terhadap tokoh “aku” dan karenanya akan memberikan empati secara penuh. Namun, keterbatasan tokoh “aku” untuk menjangkau tokoh dan peristiwa lain di luar dirinya dianggap sebagai kelemahan teknik ini. Pembaca menjadi tidak banyak tahu karena pengetahuannya tergantung pada pengetahuan si “aku”. b) “Aku” Tokoh Tambahan Tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca. 3) Sudut Pandang Campuran Penggunaan kedua sudut pandang dalam sebuah novel terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita lebih banyak kepada pembaca. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran dapat berupa sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus.41 Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Kemudian, dalam penelitian ini menggunakan pembedaan sudut pandang berdasarkan bentuk persona tokoh cerita yakni sudut pandang persona pertama “Aku” tokoh utama.
41
Nurgiyantoro, op. cit., h. 347-361.
31
6. Gaya Bahasa Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istrilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahilan untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.42 Gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa. Gaya bahasa dapat dibatasi dengan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Keraf membagi jenis gaya bahasa ke dalam empat kelompok, yaitu 1) berdasarkan pilihan kata, yang terdiri atas gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan, 2) berdasarkan nada, yang terdiri atas gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah, 3) berdasarkan struktur kalimat, yang terdiri atas klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis dan repetisi 4) berdasarkan langsung tidaknya makna, yang terdiri atas gaya bahasa retoris, meliputi aliterasi, asonansi, anostrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimismus, lutotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks dan oksimoron 5) gaya bahasa kiasan yang meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, dan fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia,
42
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. ke-18, h. 112.
32
hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, dan pun atau paronomasia.43 Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa untuk mengungkapkan pikirannya yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. D. Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata Yunani, sosio (berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos yang berarti sabda, perkataan, perumpanaan). Ilmu sosiologi berarti ilmu mengenai asal-ususl dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sedangkan, sastra berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Jadi, sosiologi
sastra
berarti
pemahaman
terhadap
karya
sastra
dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan yang meliputi keterlibatan pengarang sebagai anggota masyarakat.44 Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada masa novel itu disituasikan. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula.45 Pendekatan sosiologi sastra merupakan hubungan antara sastra dan masyarakat yang bertolak belakang dari frasa De Bonald, literature is an exspression of society, bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” yang berarti sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup.46 43
Ibid., h.112-145. Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) cet. ke 2, h. 1-3. 45 Luxemburg, dkk., op. cit., h. 23. 46 Wellek dan Warren, op. cit., h. 110. 44
33
Abrams dalam Siswanto menggunakan istilah pendekatan mimetik yang berarti pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.47 Sedangkan, Robert Escarpit menjelaskan apa yang dimaksud dengan sosiologi sastra melalui hubungan antara sastra dan masyarakat dengan berbagai tinjauan sudut pandang, antara lain kesusasteraan dan masyarakat, sejarah dan politik perbukuan.48 Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra atau pendekatan mimetik adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan
aspek-aspek
kemasyarakatan
yang
melatarbelakangi karya tersebut yang meliputi keterlibatan pengarang sebagai anggota masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. E. Hakikat Pembelajaran Sastra Pendidikan (education) adalah keseluruhan aktifitas manusia dan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan, kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. Adapun parameter dari “kualitas” manusia terletak pada aspek kesadaran, pengetahuan dan keterampilan, yang ketiganya harus bersifat seimbang, saling menopang dan berkesinambungan. Keseluruhan dari keseimbangan itu akan menciptakan “karakter” manusia, yakni sifat yang dimiliki dan menjadi ciri yang membedakan dengan manusia lain. Perluasan dari “karakter manusia” adalah karakter masyarakat dan selanjutnya karakter bangsa.49 Karya sastra berfungsi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai dan karakter, serta merangsang imajinasi kreativitas anak berfikir kritis melalui 47 48
Siswanto, op. cit., h. 188. Robert Escarpit, Pengantar Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.
17. 49
Andi Sinulingga, Berharap pada Pemuda?, (Jakarta: Suara Karya, 2006), h. 82.
34
rasa penasaran jalan cerita dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya. Pembelajaran sastra juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran dan daya khayal serta kepekaan terhadap mayarakat, budaya, lingkungan hidup dan nilai yang terkandung dalam sebuah karya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra diresapi oleh anak dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka. Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanamkan, menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap nilai-nilai, baik dalam konteks individual, maupun sosial.50 Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.51 Dengan demikian kehadiran sastra dalam pembelajaran mempunyai kontribusi yang besar, karena melalui pembelajaran sastra siswa akan menemukan fakta-fakta yang berisikan pengetahuan. Fakta-fakta yang ditemukan dalam karya sastra itu berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai moral, nilai pendidikan, nilai religiuitas bahkan nilai antikorupsi yang diharapkan dapat diresapi dalam perilaku siswa. Dalam rangka mengembangkan suatu perencanaan pembelajaran, diperlukan pendekatan yang mencakup strategi, metode dan teknik pembelajaran. Pendekatan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh guru 50
Sihaloholistick, Pembelajaran dan Teori Apresiasi Sastra, diakses pada 11/12/2015, 14.00 WIB, dari www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/pembelajaran-dan-teori-apresiasi-sastra 51 Rahmanto, B., Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 17.
35
yang dimulai dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran dan diakhiri dengan penilaian hasil belajar. Pendekatan yang dapat digunakan di antaranya; 1) pendekatan imposisi, 2) pendekatan teknologis, 3) pendekatan personalisasi, 4) pendekatan interaksional, 5) pendekatan konstruktivis, 6) pendekatan pengolahan informasi, 7) pendekatan inquiry dan 8) pendekatan pemecahan masalah.52 Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra adalah proses pembelajaran yang berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter, serta merangsang imajinasi kreativitas anak berfikir kritis dan memperkaya pengalaman siswa untuk menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. F. Pembelajaran Prosa dalam Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.53 Untuk itu, kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan esensial berikut ini: 1. Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan yang bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing. Dalam hal ini peserta didik merupakan subjek belajar berlangsung secara alamiah dalam bentuk bekerja dan mengalami berdasarkan kompetensi tertentu, bukan transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). 52
Lukmanul Hakiim, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: CV Wacana Prima, 2009), h.
43. 53
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), cet. ke-6, h. 65.
36
2. Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optiimal berdasarkan standar kompetensi tertentu.54 Penyempurnaan esensial kurikulum ini berpusat pada peserta didik (student center) yang dalam pembelajaran menggunakan komunikasi dua arah antara guru dan peserta didik. Peserta didik tidak berfokus menerima ilmu pengetahuan dari guru saja, melainkan bisa mendapatkan ilmu dari mana saja seperti pengalaman disekitarnya bahkan melalui internet. Guru dituntut memberikan stimulus yang kreatif agar peserta didik menjadi aktif dengan rasa ingin tahu yang tinggi dalam materi pelajaran. Tujuan pokok yang perlu dicapai dalam pembelajaran prosa adalah peningkatan kemampuan baik secara ekstensif maupun intensif. Untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, di antaranya : 1. Menggiatkan minat baca siswa; memberikan contoh dengan wawasan guru yang luas hasil dari membaca, memberi sugesti kepada siswa mengenai hal yang menarik dari novel yang akan dibahas, memberi kemudahan dalam pencarian novel dan memberikan pengukuhan dengan hasil nilai yang sesuai dengan kompetensi. 2. Bantuan untuk mempermudah memahami novel; pemilihan edisi buku, mengawali pembicaraan dengan menyenangkan, memberikan pentahapan belajar, membuat cerita lebih hidup dan menggunakan metode yang bervariasi.55
54 55
Ibid., h. 164. Rahmanto, op. cit., h. 66-79.
37
Untuk mencapai kualitas yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip 1) berpusat pada peserta didik, 2) mengembangkan kreativitas peserta didik, 3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, 4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan 5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.56 Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kurikulum dalam pembelajaran prosa menghasilkan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik serta memberikan pembelajaran secara kontekstual yang akan menghasilkan pemahaman serta pengalaman peserta didik terhadap permasalahan yang terdapat di lingkungannya.
56
Awan Sundiawan, Skenario Mengarahkan Generasi Z, diakses pada 14 Juli 2016, 21.30 WIB, dari https://awan965.wordpress.com/2013/10/19/contoh-rpp-kurikulum-2013-semua-mapelskenario-mengarahkan-generi-z/
BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN HIDUP A. Biografi Pramoedya Ananta Toer Dilahirkan dengan nama Pramoedya Ananta, Pramoedya kemudian berinisiatif menambahkan nama Toer, pada semua keturunan Toer termasuk dirinya, sebagai penghormatan atas nama baik keluarga.1 Pramoedya Ananta Toer (kemudian disebut PAT) lahir di Blora, sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur, pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada usia 81 tahun.2 Ia anak sulung dari sembilan anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan M.Toer3 dengan Oemi Saidah. Ayah PAT merupakan putra tertua seorang naib, sementara ibunya putri tengah seorang petinggi keagamaan dari Rembang. Setelah menikah, sang suami meninggalkan sekolah dasar Belanda HIS (Holandse Indische School) untuk mengajar di sekolah swasta nasionalis Boedi Oetomo di Blora. Ia rela gajinya turun dari yang dia terima sebagai guru pemerintahan meskipun menjabat sebagai kepala sekolah di institusi pendidikan pribumi tersebut.4 Ayah PAT seorang penganut nasionalis kiri yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.5 Hal ini turut mempengaruhi pola pemikiran PAT mengenai pandangannya terhadap pola sebuah negara. Toer mengajarkan kepada PAT pengetahuan soal langit, bumi, sejarah, kisah-kisah
1
Muhammad Muhibbuddin, Catatan dari Balik Penjara: Goresan Pena Revolusi Pramoedya Ananta Toer, (Yogyakarta: Zora Book, 2015), h. 8. 2 Ibid., h.1. 3 Nama ayah Pramoedya sebenarnya Mastoer. Tetapi suku kata di depan namanya “Mas” dihilangkan, karena dianggap “Mas” berkaitan dengan kata sapaan “Mas” yang berbau feodal yang dalam pergerakan nasional, justru ditentangnya. 4 Savitri Scherer, Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), h. 11. 5 Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011)., h.2.
38
39
rakyat, kehidupan masyarakat tertindas, bahkan isu-isu nasionalisme dan kerakusan imprealisme Belanda.6 Kehidupan serba kekurangan akibat penghasilan suami sebagai guru sekolah negeri memaksa Oemi Saidah mencari nafkah tambahan untuk sebuah keluarga besar. Ini menjadi salah satu masalah yang kerap menjadi bahan percekcokan dalam keluarga. Masalah ini kemudian ikut mewarnai karya PAT dalam cerpen “Kemudian Lahirlah Dia” yang dimuat dalam Cerita dari Blora.7 Kemudian, dalam banyak karya PAT terdapat begitu banyak wanita yang hampir menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang tetap memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan,8 termasuk di dalam novel Korupsi. Kisah asmara PAT bermula sejak perkenalannya dengan seorang gadis yang bertugas sebagai Palang Merah di penjara Bukit Duri, Arfah Ilyas. Pada 15 Januari 1950, setelah menerima penghargaan untuk novel Perburuan, ia menikahi gadis itu.9 Dengan tanggungan yang makin berat dan inflasi menjadikan honor tulisan yang ia terima (kalaupun diterima) makin merosot nilainya, situasi keuangan keluarga itu makin memutusasakan. Pada masa itu PAT fanatik menulis, demi keperluan rumah tangganya. Pada Mei 1953, di tengah kondisi ekonomi keluarganya yang memburuk, ia mendapatkan undangan ke Belanda sebagai tamu dari Sticusa (Stichtung Culture Samenwerking; Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda-Indonesia).10 Ketika di Nederland, PAT menghasilkan karya Korupsi dan Midah – Simanis Bergigi Emas.11
6
Muhibbuddin, op. cit., h. 23. Hun, op. cit., h. 3. 8 A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1997)., h. 13. 9 Scherer, op. cit., h. 16. 10 Hun, op. cit., h. 15. 11 Teeuw, op. cit., h. 31. 7
40
In the Netherland, Pramoedya perhaps intending to escape the gloomy scene of Indonesia and look for inspiration from the outside world. However, the Holland trip appears to have been a disappointment for Pramoedya, primarily because he came to recognize that Indonesia and the Netherlands were simply too different. Holland reminded him of "a coffin," and he was particularly sensitive to "the contrast between his own country, in the process of establishing itself and seeking an identity, and Holland which had already been established." He became more critical of the Sticusa was a "colonial brain trust" which only aimed at "importing Western culture into Indonesia."12 Pada Januari 1954, PAT kembali ke tanah air, tepat diberlakukannya pemotongan atas Anggaran Belanja PPK (Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan)
yang
mengakibatkan
berlangsungnya
krisis
penerbitan.
Kemudian menyebabkan PAT kembali berhadapan dengan kesulitan hidup yang tentu saja berpengaruh pada keadaan rumah tangganya. Hal ini mengakibatkan pernikahan dengan Arfah Ilyas tidak berlangsung lama dikarenakan kondisi ekonomi PAT pada masa itu. Akhirnya, ia terpaksa meninggalkan anak istrinya, setelah empat kali diusir. Kesulitan ekonomi rumah tangga itu terbesit dalam beberapa tulisan PAT seperti Sunyi Senyap di Siang Hidup.13 Kemudian pada awal tahun 1955, PAT menikah lagi dengan Maimunah Thamrin, istri yang menemaninya hingga akhir hayat.14 Berpalingnya PAT ke arah kiri, tidak dapat dipisahkan dari kesulitan hidup yang dihadapinya pada masa tersebut. Pada waktu itu, PAT didekati oleh A.S. Dharta yang saat itu menjadi Sekretaris Jenderal Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Adanya uluran tangan untuk menerjemahkan Gorki pada saat paling sulit dalam hidupnya, menyadarkannya bahwa organisasi kirilah yang menolongnya pada saat detik-detik yang menentukan.15
12
Hong Liu, “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual”, Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966, h. 121. 13 Scherer, op. cit., h. xv. 14 Hun, loc. cit. 15 Scherer, op. cit., h. xvi.
41
PAT menghadiri Kongres Nasional Pertama Lekra pada Januari 1959. Ia ditunjuk sebagai wakil ketua Lembaga Sastra Indonesia.16 Menurut Ajip Rosidi penunjukan PAT hanya sebatas perlambangan saja, karena PAT bukan orang yang suka aktif dalam organisasi. Dukungannya terhadap langkah politik kiri lebih banyak disuarakan melalui tulisan dalam Lentera - ruang kebudayaan yang dipimpinnya.17 Hal ini diakui PAT kemudian, bahwa dengan menjadi anggota Lekra banyak kerugian yang didapatnya dan PAT mengaku tidak pernah mendapat satu sen pun pemberian dari pihak Lekra atau pemerintah, baik sebagai anggota Lekra maupun sebagai pendukung gagasan Bung Karno, walaupun orang lain mendapatkan kemudahan, kedudukan, status politik, bahkan perumahan bekas Belanda.18 Sejarah PAT dengan penjara dimulai sejak 1947, ketika itu ia bekerja sebagai redaktur majalah Sadar yang merupakan edisi Indonesia dari majalah The Voice of Free Indonesia. Pada 21 Juli 1947, aksi militer Belanda yang pertama pecah. Semua milik Republik Indonesia yang ada di Jakarta dikuasai tentara Belanda. PAT mendapat tugas untuk mencetak dan menyebarkan risalah-risalah perlawanan. Kemudian, ia ditangkap oleh tentara Belanda dengan surat-surat bukti di kantongnya. Naskahnya yang ditulis sejak 1938 dirampas oleh Angkatan Laut Belanda dan dia dijebloskan ke Penjara Bukit Duri. Ia dibebaskan pada masa setelah Konferensi Meja Bundar pada akhir Desember 1949. Di dalam sel, ia menulis bermacam roman dan cerita, antara lain Perburuan (1949) dan Keluarga Gerilja (1950). Dengan bantuan Prof. Resink, karya-karyanya dapat diselundupkan keluar dari penjara dan disiarkan di berbagai majalah, di antaranya, Mimbar Indonesia dan Siasat, dengan nama Pram.19
16
Ibid., h. 18. Ibid., h. xvii. 18 Hun, op. cit., h. 17. 19 Ibid., h. 11-12. 17
42
Pada bulan Maret 1960, PAT menerbitkan Hoa Kiau di Indonesia. Buku ini dituduh berisi pembelaan terhadap pedagang-pedagang keturunan China yang menurut Undang-undang “PP No. 10/1959” dilarang berdagang di daerah tingkat kecamatan dan kabupaten. Akhirnya, ia dipenjara di Cipinang selama sembilan bulan tanpa proses peradilan. Pada waktu itu, pihak militer mendakwanya sebagai “orang yang menjual Indonesia kepada China dengan buku”. Penahanan ini merupakan yang pertama bagi PAT, yang dilakukan pemerintah sendiri selepas Indonesia merdeka.20 Selama periode 1955-1965, ia menulis novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan yang diterbitkan tahun 1959. Sementara itu ia juga menulis potongan dari novel yang lebih panjang, Gadis Pantai, yang terbit berseri dalam Bintang Timur pada 1962. Namun, pada 13 Oktober 1965, tahun di mana ia berencana melanjutkan penulisan kreatifnya, ia ditahan.21 Ia dituduh terlibat dalam kegiatan-kegiatan Lekra yang dianggap oleh Orde Baru sebagai badan yang disusupi komunisme. Tanpa proses peradilan, PAT ditahan di Pulau Buru pada 10 September 1969. Selama pembuangan di sana, pada mulanya PAT tidak dibenarkan menulis, tetapi kemudian ia diizinkan menulis setelah kedatangan Jendral Soemitro ke Pulau Buru pada 1973.22 Pada 21 Desember 1979, PAT mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S tetapi masih dikenakan tahanan rumah, kota dan negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun.23 Kisahnya di Pulau Buru, dituangkan dalam lembaran-lembaran kertas dan menghasilkan karya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Selain itu, ia pun berhasil menorehkan maha karya Tetralogi Buru yang terdiri dari empat novel yaitu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
20
Ibid., h. 18. Scherer, op. cit., h. 20. 22 Hun, op. cit., h. 20. 23 Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2011), h. i. 21
43
Langkah dan Rumah Kaca yang berhasil mendapat pujian internasional dan telah diterjemahkan dalam 20 bahasa.24 Setelah bebas dari tahanan, latar belakang PAT sebagai anggota Lekra masih tersisa di masyarakat. Pada tahun 1981, PAT diusir secara tertulis oleh Dekan UI ketika memberikan ceramah di Fakultas Sastra UI atas undangan Senat Mahasiswa. Pada saat itu PAT mengisi ceramah tentang „Sikap dan Peranan Kaum Intelektual di Dunia Ketiga, Khususnya di Indonesia‟. Tidak berhenti sampai di situ, PAT kemudian di interogasi oleh Satgas Intel selama satu minggu.25 Dalam keterasingannya di negeri sendiri, PAT justru beberapa kali menerima penghargaan internasional dan menjadi nominasi penghargaan Nobel Sastra. Salah satunya ketika penganugerahan hadiah Magsaysay yang menimbulkan protes di Indonesia dari berbagai kalangan termasuk sastrawan dan budayawan, di antaranya dua pemenang hadiah Magsaysay sebelumnya, Mochtar Lubis dan H.B. Jassin, dan tokoh lain seperti Asrul Sani, Rendra dan Taufiq Ismail. Mereka membuat pernyataan bersama kepada yayasan Hadiah Ramon Magsaysay sebagai protes terhadap keputusan yayasan dan mendesak membatalkan putusan itu. Mereka menganggap bahwa sangat ironis hadiah dengan menggunakan nama Magsaysay, yang seumur hidup memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia, diberikan kepada penulis yang selama ikut memimpin Lekra terbukti anti demokratis dan ikut menindas hak manusia.26 Di Indonesia terdapat dua front, satu pro dan satu kontra. Tiga budayawan yang tidak mau menandatangani pernyataan itu, misalnya Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad dan Arief Budiman. Padahal, Goenawan dan Arief Budiman merupakan tokoh yang menandatangani Manikebu yang diteror dan tertindas oleh Lekra. Bagi Goenawan alasan penting untuk tidak 24
Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer, Belenggu di Pulau Buru, diakses pada 09/02/2016 20.30 WIB, dari http://ekakurniawan.net/blog/tetralogi-buru-dan-novel-modern-178.php 25 Teeuw, op. cit., h. 51. 26 Ibid., h. 53.
44
menandatangani protes adalah “Saya tidak mau bersikap seperti Pram dulu, mencegah seseorang mendapatkan sebuah hadiah yang memang pantas diperolehnya, hanya karena dia lawan kita. Kalau ini kita lakukan, maka ini artinya kita menghidupkan kembali budaya yang kita lawan dulu. Kita tidak menciptakan budaya baru yang lebih baik”.27 Like all authors of the Angkatan 45, he underlined as the decisive characteristic of his generation its openness to world literature, as exemplified by Chairil Anwar and Idrus, who had been able to reveal new realms of creative language use through their encounters with Western literature. He says, Indonesian literature need for to unfold its own character. Sticking too closely to a foreign model, in his view, indicated a lack of genuine creativity. To him, Indonesian literature had to be seen as a variant with equal rights, not as a replica of the occidental model.28 Demikianlah, PAT tetap berada dalam situasi yang kontras. Pada satu pihak PAT terpaksa hidup sebagai warga negara yang sudah tiga puluh tahun lebih kehilangan hak asasinya sebagai manusia tanpa pernah diadili dalam proses hukum yang pantas. Pada pihak lain, PAT tetap hadir bagi Indonesia maupun dunia internasional sebagai tokoh yang berpengaruh meskipun memiliki masa lalu yang kontroversial, namun keunggulannya sebagai sastrawan tetap diakui oleh seluruh dunia.29 B. Pandangan Hidup Pengarang Dalam karyanya, PAT secara konsisten terus menyuarakan kemerdekaan dan hak-hak asasi manusia, serta melawan berbagai penindasan. Membaca novel-novelnya berarti melihat wajah Indonesia. Bagi PAT, menulis adalah sebuah bentuk perlawanan. Inspirasi penulisan datang dari kehidupan. Baginya, “Menulis adalah tantangan pribadi saya terhadap kediktatoran,” dengan merekam apa yang dialaminya ke dalam karya. Mengenai 27
Ibid., h. 55. Martina Heinschke, “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya‟s Developing Literary Concepts”, Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966, h. 159. 29 Teeuw., op. cit., h. 54. 28
45
permasalahan korupsi, PAT pernah mengalaminya ketika bertugas sebagai Perwira Pers. Karena dituduh korupsi, PAT terpaksa mengundurkan diri dari Badan Keamanan Rakyat. Padahal seperti yang diakuinya, ia mengundurkan diri karena belum dibayar selama tujuh bulan masa kerjanya. Pengalaman ini menjadi bahan tulisannya dalam novel Krandji Bekasi Djatuh. Dalam novel, tokoh Surip merupakan perwira administrasi yang korup.30 Menurut PAT salah satu alasan praktik korupsi tumbuh subur adalah pengaruh jawanisme, paham tidak tertulis yang mengharuskan perintah atasan untuk harus selalu dipatuhi. Hal itu tercermin dari bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat yang diciptakan untuk memuliakan atasan. Ketika diterjemahkan ke dalam politik, hal tersebut dapat dikaitkan sebagai fasisme, paham yang tidak memperbolehkan adanya oposisi atau perlawanan.31 Jawanisme adalah taat dan setia kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme. Kaum Jawa memiliki prinsip yang selalu taat dan setia bahkan membabi buta kepada atasan dan tidak memikirkan pihak lain sama sekali. Menurut PAT, hal inilah yang mengakibatkan Pulau Jawa dijajah oleh berbagai bangsa asing selama berabad-abad, karena kaum elit Jawa berkolusi dengan kekuatan kolonial yang mencari rempah-rempah. Sejarah mencatat bahwa daerah kerajaan Jawa jatuh ke tangan penjajah tanpa perang, tetapi dengan cara kaum elit disuap oleh penjajah.32 Sikap taat tanpa memandang benar salah kepada atasan banyak ditentang oleh PAT lewat karyanya, salah satunya dalam novel Korupsi yang terdapat pada tokoh Sirad sebagai bawahan Bakri. Sirad yang mencium tingkah laku Bakri melakukan korupsi, segera mencari penyebabnya. Meskipun Sirad tidak berhasil mengungkapnya, namun perlawanan Sirad ditunjukkan dengan tidak
30
Hun, op. cit., h. 11. August Hans den Boef dan Kees Snoek, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 44. 32 Ibid., h. 45. 31
46
ikut tenggelam dalam perbuatan yang dilakukan Bakri. Hal ini bisa diartikan sebagai perlawanan PAT kepada paham Jawanisme. Karya lain yang menyelipkan perlawanan terhadap penindasan dan perbuatan curang (korupsi) terdapat pada novel Anak Semua Bangsa. Dalam novel, tokoh Mama memberikan nasihat kepada Minke, “Kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, ... mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.”33 PAT berpandangan bahwa penindasan yang dialami tokoh Mama dan Minke yang juga dialami oleh masyarakat Indonesia, harus dilawan. Bahwa manusia memiliki hak yang sama, entah itu berasal dari suku pribumi maupun Eropa. Kewajiban moral terhadap bangsa dan Tanah air telah memotivasi PAT untuk bekerja. Seorang pengarang besar pada hakikatnya adalah memberikan sesuatu, bukan meminta apa-apa dari karyanya. Manusia besar adalah manusia pemberi. Segala sesuatu yang dilakukan adalah untuk memperkaya kebudayaan bangsanya. Untuk bisa memperkaya, memberi sesuatu kepada umat manusia, ia harus memiliki sesuatu: karya. PAT telah menyadarkan pada kepentingan konsep dasar “memberi.” Itulah sebabnya ia kurang suka pada rencana-rencana orang untuk hidup sebagai pengarang di luar negeri.34
33 34
22.
Toer, op. cit., h. 4. Eka Budianta, Mendengar Pramoedya, (Jakarta: PT. Atmochademas Persada, 2005), h. 21 -
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Unsur Intrinsik Novel Korupsi Unsur intrinsik adalah unsur pembangun dalam sebuah karya sastra yang terdapat dalam bangunan karya itu sendiri. Karya sastra yang dipilih dalam penelitian ini adalah novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disebut PAT). Adapun unsur intrinsik yang dibahas meliputi 1) tema, 2) tokoh dan penokohan, 3) alur, 4) latar, 5) sudut pandang dan 6) gaya bahasa. 1. Tema Seperti yang telah dipaparkan penulis pada bab II mengenai pengertian
tema
dan
penggolongan
tema
berdasarkan
tingkat
keutamaannya yakni tema mayor dan tema minor. Tema minor yang terdapat dalam novel Korupsi merupakan penghubung peristiwa maupun sebab akibat atas perbuatan yang dilakukan tokoh. Ya, Sutijah sungguh cantik. ... Kalau saja dia istriku, dia akan mengerti bagaimana kesulitanku, dan dia pasti mau membantu melancarkan rencana dan usahaku. Pasti! Tidak seperti betina ini. Sebenarnya kami bisa hidup seperti itu, di sebuah rumah yang menyendiri, tidak terganggu angan-angan ini oleh betinaku yang banyak raba, banyak duga dan banyak tingkah.1 Tema minor percintaan yang diselipkan PAT dari tema mayor korupsi membuat cerita ini masih „laku‟ pada masa itu. Masa di mana tema-tema romansa mendominasi cerita novel yang terbit pada masa itu. Kutipan di atas terjadi ketika istri Bakir menolak perbuatan korupsi yang dilakukan Bakir. Bakir (yang mewakili pria pada umumnya) ketika telah memiliki harta dan terdapat perbedaan pandangan, memilih pergi dari istrinya
1
Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002), h. 38-39.
47
48
untuk mendapatkan wanita lain, Sutijah. Hal ini menunjukkan sebuah adagium yang ada di masyarakat: harta-tahta-wanita. Tema mayor novel ini justru terdapat dalam konflik batin tokoh Bakir ketika mencari ketenangan hidup yang disangkanya akan didapat dengan memperoleh harta. Untuk memperoleh hal tersebut, Bakir kemudian memutuskan korupsi. Tema tersebut tergambar jelas dari pemikiran Bakir maupun dialog antartokoh. Hampir seluruh bab dalam novel Korupsi membahas konflik batin Bakir ketika sebelum, sedang dan setelah melakukan korupsi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut. Tak mengerti aku mengapa keadaanku tinggal bobrok sedang orang yang dahulu hanya kler-ku belaka kini sudah menjadi anggota parlemen. Dia cerdik mestinya. Aku yang kurang cerdik. Dan sekaranglah saatnya. ... He, mengapa pula aku jadi begini sekarang? Kemarin aku masih merasa tenang penuh keyakinan akan kebesaran Tuhan beserta alam semestanya yang berjalan teratur dan dengan hati berisikan rahmat.2 Kutipan
di
atas
menjelaskan
konflik
batin
Bakir
dalam
„perjuangannya‟ melakukan korupsi yang dirasanya sebagai kewajaran untuk mengejar ketertinggalan cara mencari nafkah seperti prasangkanya yang juga dilakukan oleh teman kerja Bakir. Bukan hal yang mudah bagi Bakir untuk meninggalkan kejujuran yang ditanamkan oleh leluhurnya, ditambah penolakan yang ditunjukkan oleh istrinya, Mariam, serta pertentangan secara tidak langsung oleh asistennya, Sirad. “Aku masih isterimu, karena itu ada hak padaku untuk meminta sesuatu daripadamu.” “Ya, ya aku mengerti. Apa yang kau pinta?” “Aku pinta engkau tidak akan berbuat seperti itu.” “Siapakah yang bilang aku akan berkorupsi?” “Tidakkah aku cukup tua untuk mengetahui ? Tingkah lakumu yang bilang?”3
2 3
Ibid., h. 11-13. Ibid., h. 49.
49
“Pak, terus terang saja pak, aku tak suka melihat perubahan bapak.” “Aku nggak ngerti maksudmu. Bicara bergampang sajalah.” “Begini, pak, sekarang sedang mengamuk .... Korupsi!”4 Konflik dalam diri Bakir semakin meningkat ketika penolakan justru datang dari orang terdekat Bakir, istri. Seseorang yang menurut Bakir menjadi alasan untuk melakukan korupsi, untuk menyejahterakan keluarga. Peristiwa itu kemudian menimbulkan konflik batin baru dalam diri Bakir, antara mengikuti kemauan hati yang didesak kebutuhan ekonomi atau hidup pasrah dalam keadaan disisa umur yang telah menginjak empat puluh tahun. Kantor itu memang mendapat nama baik karena aku. Tanpa aku uang akan berhamburan dan negara sudah lama menderita rugi. Karena pembelianku - semua beres. Kepandaianku sebagai pembeli seharusnya kupergunakan untuk hidupku sendiri. Mengapa selama itu aku tetap bodoh dan menerima kemiskinan sebagai keharusan?5 Tahulah aku kini: untuk memperoleh uang dan kemewahan ini aku telah kehilangan segala-galanya. Juga harapan orang tuaku dahulu beserta pendidikannya kini telah lenyap! Yang tinggal hanya kesempatan untuk memulai jalan baru kembali: tetapi untuk itu umurku yang telah tua ini tidak memungkinkan. Keberanianku bertambah habis ...6 Dalam keraguan, Bakir merasa memiliki jasa atas selamatnya uang negara karena kejujurannya selama ini dan merasa berhak atas perbuatan korupsi
yang
akan
dilakukannya.
Konflik
batin
masih
terus
mempengaruhi pemikiran Bakir. Bahkan, setelah berhasil melakukan korupsi, ketenangan Bakir hilang dan merasa kehidupan masa lalu yang sederhana lebih membuatnya tenang karena baginya “kemiskinan adalah kutukan bagi hati yang tidak sederhana.”7
4
Ibid., h. 55-57. Ibid., h. 45. 6 Ibid., h. 130. 7 Ibid., h. 82. 5
50
Dari beberapa hal yang telah dipaparkan mengenai tema dapat diambil kesimpulan bahwa, tema minor memiliki peran untuk melengkapi tema mayor yang menjadi tujuan utama PAT. Adagium harta-tahtawanita
yang
mendorong
seseorang
untuk
melakukan
korupsi
digambarkan secara kompleks sehingga menjadi tema minor yang mendukung tema mayor yakni konflik batin seorang koruptor (Bakir) ketika sebelum, sedang dan setelah melakukan korupsi. 2. Penokohan Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan) dan tokoh komplementer (tambahan). Penokohan dalam novel Korupsi dapat diketahui melalui pemikiran, perbuatan dan dialog yang dilakukan oleh tokoh. a. Tokoh Utama Terdapat tiga tokoh utama dalam novel Korupsi. Tiap-tiap tokoh utama memiliki karakter yang berbeda-beda dan memiliki kedudukan yang penting atas golongan yang diwakilinya. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut. 1) Bakir Secara fisiologis, Bakir digambarkan sebagai sosok laki-laki berusia empat puluh tahun. Dilihat dari aspek sosiologisnya, Bakir merupakan pemimpin sebuah kantor pegawai negeri yang telah mengabdi selama dua puluh tahun, namun digambarkan tidak memiliki harta maupun pandangan hormat dari rekan kerja seperti umumnya pemimpin. Penggambaran dengan cara analitik ini memungkinkan narator untuk melanjutkan „tugas‟nya untuk fokus pada konflik batin yang dialami Bakir. Ditinjau dari wataknya, Bakir dapat dikategorikan sebagai tokoh dinamis. Hal ini
51
dipengaruhi oleh psikologis tokoh yang pada awalnya memegang teguh kejujuran namun karena desakan ekonomi dan status sosial yang selayaknya dia dapatkan, kemudian Bakir mengubah pendiriannya. Aku pun sudah tua. Kebesaran dan keagunganku telah padam. Yang tinggal hanya umurku yang tua dan kelemahan yang tambah lama tambah menggerumuti tenaga.8 Ah, alangkah sakit hatiku ini –merasa harus meninggalkan sejarah yang lama, yang telah kubangunkan dari hari ke hari – untuk memasuki, untuk mereguk sejarah baru, sejarah kemegahan di mana tidak ada batas yang menghalangi.9 Tidak! Tidak! Bertahun-tahun aku sudah menderita jadi pegawai. Kalau aku mengerjakan korupsi, tidak akan aku kena sial. Tidak! Itu bukan kejahatan, bukan pelanggaran – itu sudah selayaknya.10 Perannya sebagai tokoh antihero membawa tujuan besar yang dibawa PAT, bahwa seorang koruptor akan selalu merasa kehilangan ketenangan hidupnya. Dalam novel, secara psikologis Bakir takut jika kejujuran yang selama ini jadi kebanggaannya akan hilang, ia takut pandangan teman kerjanya atas apa yang akan dia lakukan dan dia takut kehilangan ketenangan batin yang selama ini menjadi satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Dengan mengambil harta benda kantor aku kehilangan ketenangan batinku. Tapi aku ingin juga memiliki ketenangan batin itu beserta harta benda ini.11 Tiba-tiba aku menjadi gelisah. Bisakah aku mengerjakannya? Beranikah aku? Dan kalau tertangkap? Kalau ketahuan oleh semua orang? Polisi dan pengadilan itu
8
Ibid., h. 1. Ibid., h. 4. 10 Ibid., h. 10. 11 Ibid., h. 18. 9
52
demikian berkuasa sehingga rebahlah siapa yang hendak dikeping-kepingnya.12 Perubahan karakter pandangan hidup tokoh Bakir dikarenakan secara psikologis, Bakir merasa memiliki jasa yang besar terhadap urusan kantor. Bakir merasa telah menjadi pemimpin yang baik dengan menghasilkan kas negara yang sehat, mengizinkan Sirad untuk kuliah, memberikan susu kepada pegawai dan bahkan melegalkan pencurian kertas yang dilakukan opas. Meski demikian, Bakir merasa tidak mendapatkan status sosial yang sepadan dengan apa yang telah dilakukannya, harta dan kehormatan. Hal tersebut mendorongnya untuk melanjutkan perbuatan korupsi yang dirasai sebagai sebuah kewajaran. Ha, pembagian kopi susu ini pun karena jasaku. ... Seharusnya pegawai-pegawai itu memuji pimpinanku dan menghormati sebagaimana layaknya.13 Mula-mula pembagian teh susu, kemudian si Sirad yang kini hampir memperoleh gelar doktoral dan kemudian si opas jahanam itu yang boleh mengambili kertas-kertas bekas dari keranjang sampah.14 Kalau korupsi suatu perbuatan jahat, bukankah kejahatan itu akan hilang lenyap karena jasaku padanya?15 Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Bakir memutuskan untuk korupsi. Dalam perjalanannya, Bakir yang merasa perbuatannya tidak melanggar hukum karena justru menolong perusahaan untuk mendapatkan order, mulai bernafsu mengumpulkan harta yang lebih banyak, bahkan berniat memiliki seorang istri muda. Istri muda secara sosial dipandang sebagai sebuah kemapanan dan kemampuan seorang laki-laki.
12
Ibid., h. 10. Ibid., h. 11. 14 Ibid., h. 14. 15 Ibid., h. 9. 13
53
Tahulah aku kini bahwa alasan perjuangan hidup untuk anak-bini dan keluarga hanyalah tameng untuk keselamatan diri sendiri belaka. Keinsafan itu membuat aku malu pada diriku sendiri.16 Kututup mataku dan kukenangkan segala kepahitan penghidupan yang telah silam: pahit tapi damai dan hati tidak gersang dirongrong kiri kanan.17 Kutipan di atas memperlihatkan akhir dari aksi korupsi Bakir yang membawanya kembali pada kesimpulan, hidup tanpa korupsi lebih tenang. Secara psikologi, perubahan karakter tokoh Bakir membawanya kembali kepada kesadaran, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dibeli yakni, ketenangan hidup. Ketenangan yang dulu selalu dia miliki bersama istri pertamanya, meskipun secara sosial keluarganya dalam keadaan sulit. Ketenangan yang mulai hilang ketika ia memperturutkan hawa nafsu untuk memenuhi gengsi dan mengejar kelas sosial dengan melakukan korupsi. 2) Mariam Tokoh Mariam dalam novel Korupsi berkedudukan sebagai tokoh utama tambahan yang keberadaannya sangat mempengaruhi tokoh utama, Bakir, dalam hal menjadi sumber dari terikatnya kesadaran Bakir terhadap cara berpikir, sikap dan bertutur. Perannya sebagai tokoh protagonis menimbulkan konflik batin tersendiri dalam diri Bakir. Tokoh yang justru merupakan sosok yang paling dekat dengannya. Mariam merupakan istri Bakir dan telah dikaruniai empat orang anak selama lima belas tahun hidup bersama. Ditinjau dari psikologisnya, Mariam digambarkan sebagai tokoh statis, tokoh yang selalu melayani sepenuh hati dan patuh kepada suami. Ketika
16 17
Ibid., h. 88. Ibid., h. 138-142.
54
dalam kesulitan ekonomi (uang belanja yang kurang), Mariam selalu berbesar hati. Bahkan, meskipun jiwanya menolak perbuatan Bakir untuk korupsi, Mariam tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Secara sosiologis, Mariam (dan Bakir) pada mulanya berasal dari keluarga yang cukup berada. Namun, jatuh miskin karena perubahan pemerintahan yang berakibat pada kurangnya gaji sehingga harta bendanya semakin berkurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Watak Mariam digambarkan
secara
dramatik
oleh
Bakir.
Hal
tersebut
menimbulkan empati tersendiri bagi pembaca, seperti pada kutipan berikut. Dan, sungguh kebaikan apa yang tidak dipikirkan oleh istriku ini sejak kita kawin? Seakan akan ia dilahirkan hanya untuk berbuat dan memikirkan kebaikan. Tiba-tiba aku mengiri pada kesederhanaannya.18 Aku dekati dia dan nampak olehku wajahnya yang pucat, kulitnya yang layu, dalam umurnya yang masih muda.19 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendapat penolakan dari Mariam untuk melakukan korupsi. Bakir melihat fisiologi Mariam dalam usianya yang masih muda namun terlihat kulit yang layu dan wajah yang pucat. Hal ini akibat dari kondisi ekonomi keluarga Bakir. Namun, meski dengan kekurangan ekonomi, kesetiaannya kepada Bakir tidak berubah dan tetap berpandangan pada kesederhanaan hidup. Hal ini dapat dijadikan cermin masyarakat ketika kekurangan ekonomi dan mengejar status sosial, umumnya seorang istri akan mendorong suami untuk melakukan segala cara, dalam hal ini untuk korupsi. “Mengapa bicara tentang korupsi, Mah?” 18 19
Ibid., h. 42. Ibid., h. 97.
55
“Ngeri aku membayangkan,” katanya. “Engkau pegawai tinggi, engkau mempunyai kekuasaan. Engkau sebenarnya bisa berbuat seperti itu. Ngeri aku membayangkan namamu dimuat di surat-suratkabar sebagai koruptor.”20 Kedudukannya sebagai tokoh statis membawanya menolak bahkan mengecam Bakir yang berniat melakukan korupsi. Karakter ini kemudian berakibat pada berpalingnya Bakir pada Sutjiah, seorang gadis yang pernah diidam-idamkannya. Namun, Mariam tak bergeming, pendiriannya tetap pada keluarga yang tenang (tanpa korupsi) meski kekurangan materi. Pada suatu sore yang tiada terduga-duga isteriku beserta keempat anaknya datang ke tempatku ditahan ... “Untuk apa engkau datang ke mari?” ... “Bukankah engkau suamiku?” ... “Engkau mengampuni aku, Mariam?” Ia mengangguk.21 Sebagai tokoh protagonis, Mariam mewakili tokoh yang berpegang teguh pada kebenaran. PAT sebagai penulis yang terinspirasi pada ibunya, memasukkan unsur „perempuan hebat‟ seperti pada karya lainnya. Kesederhanaan dan kesetiaannya kelak membuat Mariam tetap menerima keadaan Bakir bahkan ketika Bakir telah meninggalkannya dan kini sedang dipenjara. 3) Sutijah Harta-tahta-wanita, begitulah adagium tentang pemikiran seorang pria pada umumnya. Sutijah dapat dikatakan dihadirkan sebagai cerminan ungkapan tersebut terhadap Bakir. Sutijah merupakan tetangga Bakir yang telah diperhatikannya sedari kecil. Seperti jamaknya pemikiran pasangan ketika dalam masalah, Bakir pun berpikir tentang perempuan lain, Sutijah, ketika ia sedang bermasalah dengan Mariam. Dalam cerita, bayang-bayang Sutijah 20 21
Ibid., h. 38. Ibid., h. 150-152.
56
dalam pikiran Bakir ini kemudian menjadi klimaks yang menunjukkan bagaimana alur terjadinya adagium harta-tahtawanita di dalam cerita. Ya, Sutijah sungguh cantik. Tak tahu aku bagaimana nasibnya sekarang setelah ayahnya meninggal. Empat tahun paling sedikit ia telah pindah dari rumah sebelah ... alangkah manisnya ia waktu minta diri akan pindah dengan mata berkaca-kaca. Begitu mengerti anak itu. Kalau saja dia isteriku, dia akan mengerti bagaimana kesulitanku dan dia pasti mau membantu melancarkan rencana dan usahaku.22 Ditinjau dari fisiologisnya, Sutijah digambarkan sebagai gadis cantik yang memiliki kelembutan hati. Karakter Sutijah pada mulanya
dicitrakan
sebagai
karakter
protagonis.
Namun,
perubahan karakternya menjadi antagonis dikarenakan latar belakang sosiologisnya sebagai orang kaya yang jatuh miskin membawanya haus akan duniawi. Karakter yang mempengaruhi pilihannya untuk menerima duniawi yang diberikan oleh Bakir. Waktu dahulu aku selalu rindu pada Sutijah, dia terus menerus mendorong tentang Sutijah: “Anak begitu cantik. Aku kira, tiap lelaki yang melihatnya akan tergiur.” “Sutijah masih begitu muda. Kalau dikawini hanya mengocar-ngacirkan rumah tangga. Lihat saja, ia belum lagi bisa memasak, belum bisa berpakaian, belum bisa menghitung uang belanja.”23 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir teringat masa lalu ketika Mariam merasakan apa yang dipikirkan Bakir. Sebuah peristiwa yang mengungkapkan sesungguhnya seorang wanita mengetahui apa isi hati suaminya. Namun, karakter Mariam yang lemah lembut membawanya tidak berburuk sangka atas perilaku Bakir. Sebaliknya, kondisi ekonomi Bakir pada saat itu yang serba 22 23
Ibid., h. 38. Ibid., h. 72.
57
kekurangan
ditambah
keluarga
yang
masih
harmonis
membawanya untuk tidak memikirkan Sutijah lebih jauh. “Kenal betul, karena dia saudara sepupuku. Kami adalah serumpun keluarga kaya dan cuma kami yang hidup miskin.”24 “Sekiranya aku boleh memperoleh engkau,” ulangku. ... ”Bagaimana dengan anak-anak?” ia berkata bimbang seperti pada diri sendiri. “Dan bagaimana dengan ibu mereka?” katanya terus.25 Selayaknya seorang wanita, secara psikologis Sutijah turut memikirkan perasaan istri Bakir dan anak-anak mereka. Dalam diri Sutijah tidak ada cinta kepada Bakir, sedianya Sutijah ingin menolak pinangan Bakir. Namun, alasan himpitan ekonomi dan desakan Ibu Sutijah yang akan menikahkannya dengan saudara yang memiliki penyakit TBC membuat Sutijah menerima pinangan Bakir. Tambah lama kuperhatikan tingkah lakunya bertambah teranglah olehku bahwa ia adalah termasuk wanita yang tidak sederhana hatinya, ruwet dan sulit karena berbagai dambaan keduniawian.26 Sutijah semakin memperlihatkan karakter sebenarnya, sebagai seorang muda yang haus akan duniawi dan tentunya tetap tanpa cinta kepada Bakir. Ketika karakter Bakir kembali merindukan ketenangan yang hilang, karakter materialistik yang dimiliki Sutijah mengakibatkan konflik batin dalam diri Bakir. b. Tokoh Sekunder (Tokoh Bawahan) Dalam novel Korupsi, terdapat setidaknya dua tokoh sekunder. Meskipun penggambaran karakter yang ditampilkan tidak terlalu kuat.
24
Ibid., h. 102. Ibid., h. 81-83. 26 Ibid., h. 101. 25
58
Namun, tokoh sekunder ini cukup mempengaruhi jalannya cerita. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut. 1) Sirad Sejarah pembaruan oleh pemuda banyak mewarnai sejarah bangsa ini. Tokoh tambahan protagonis ini digambarkan secara dramatik oleh Bakir sebagai golongan terpelajar. Keberadaan tokoh Sirad mencerminkan konflik antara kaum tua dan kaum muda. Sebagai tokoh yang mewakili kaum muda, ditinjau dari psikologisnya,
Sirad
memiliki
pola
pikir
pembaru
dan
revolusioner. Dia selamanya bebas bertindak terhadapku, karena memang sejak dahulu aku tertarik kepadanya, dan aku anggap ia sekedudukan denganku. Ia tak pernah menunduk-nunduk mencari muka. Itulah yang kusukai.27 “Lepas dasi, berkemeja, celana pendek sesuai dengan hawa panas Indonesia, dan – selalu bersikap perwira, bertindak perwira, berpikir perwira. Kita butuh keperwiraan, tidak butuh tikus.”28 Kutipan di atas terjadi ketika Sirad mencurigai Bakir akan melakukan korupsi dikarenakan perubahan penampilan yang ditunjukkan Bakir. Bakir yang berposisi sebagai kaum tua merasa perlu mengajak kaum muda (Sirad) untuk ikut dalam „usahanya‟. Namun, Sirad yang berposisi sebagai kaum muda „ditugasi‟ oleh narator untuk membawa semangat-semangat revolusioner yang berakibat munculnya konflik dalam diri Bakir. “Pak, percayalah, dahulu bapak aku obrak-abrik juga, tetapi yang berkepentingan tidak percaya padaku. Tetapi kini tidak bisa lagi! Barang siapa mengikuti jejakmu dan mengotori kantorku akan kubuat kocar-kacir.”29 27
Ibid., h. 67. Ibid., h. 60. 29 Ibid., h. 155-156. 28
59
Semangat pembaruan yang ditunjukan Sirad tidak berdampak apa-apa ketika tidak memegang kekuasaan (dukungan dari atasan). Di satu sisi, PAT mencoba mengkritik kaum muda yang tidak memiliki keberanian ketika menyuarakan pendapatnya. Di sisi lain, karakter Sirad mewakili jutaan pemuda yang memiliki jiwa pembaruan namun tidak memiliki kekuasaan atau dukungan. 2) Bakri, Bakar, Basir dan Basirah Pemilihan kuantitas anak yang mencapai empat anak menimbulkan kesan banyaknya tanggungan Bakir. Dilihat dari posisinya, keempat anak Bakir tidak memiliki porsi yang cukup kuat dalam cerita. Kehadirannya hanya untuk menyatakan alasan yang jamak bagi pelaku korupsi, desakan kebutuhan keluarga. “Pak, pak, aku lulus! Bulan muka masukkan aku di SMA.” “Pak, pak. Aku juga lulus.” “Bulan depan aku minta masuk SMP,” sambung anak kedua si Bakar.30 “Ya, mereka sudah besar. Gaji tak memadai dan mereka membutuhkan biaya lebih banyak – tambah lama tambah banyak.”31 Secara sosiologis, keempat anak Bakir merupakan anak yang pintar dalam urusan sekolah. Di dalam keluarga, pengetahuannya akan kondisi ekonomi keluarga membawa sisi psikologisnya „hanya‟ meminta untuk dimasukkan ke sekolah yang lebih tinggi. Di sisi lain, peristiwa tersebut dapat dijadikan gambaran kondisi masyarakat Indonesia pada masa itu, yakni banyak faktor yang menghalangi dalam usaha menempuh pendidikan, salah satunya ekonomi.
30 31
Ibid., h. 3. Ibid., h. 30.
60
Ah, dahulu menjadi pegawai negeri adalah suatu kehormatan. Kebesaran malah. Dan aku harap anakku pun menjadi pegawai negeri. Itulah pula sebabnya mereka kuberi huruf pangkal B seperti namaku Bakir, agar sedikit atau banyak memperoleh tuahku dan bisa menjadi pegawai negeri.32 Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama.33 Keempat anak Bakir diberi nama dengan inisial yang sama dengan ayahnya, B. Dahulu Bakir merupakan seorang pegawai yang jaya, yang bangga terhadap posisinya sebagai pegawai negeri. Penguatan tradisi yang diharapkan Bakir dengan memberikan nama inisial yang sama, sebuah harapan akan masa jayanya dulu dapat diraih anaknya kelak. Cara yang juga dilakukan PAT pada dirinya dengan menambahkan nama Toer pada dirinya, sebagai harapan kelak dapat menjadi orang baik seperti Bapaknya, M.Toer. c. Tokoh Komplementer 1) Thiaw Lie Ham Tokoh ini dihadirkan terkait dengan hubungan dalam konteks profesi, Bakir sebagai pemimpin pengadaan barang negara sedangkan Thiaw Lie Ham sebagai presiden direktur Muria N.V., sebuah perusahaan produksi pakaian yang bekerja sama dengan kantor Bakir. Kuambil daftar perusahaan-perusahaan yang ada di laci. Deretan nama Tionghoa. Dan di antara nama Tionghoa yang dua ratus lima puluh itu hanya dua nama Indonesia, Muria N.V., presiden direktur Thiaw Lie Ham. Hmm, dialah yang mula-mula akan jadi sumber keuanganku.34
32
Ibid., h. 2. Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1993), Terj. dari, Theory of Literature oleh Melanie Budianta, h. 287. 34 Toer, op. cit., h. 60. 33
61
Secara sosial, nama Tionghoa dipilih karena mencerminkan realita bahwa perusahaan di Indonesia kebanyakan dimiliki oleh pengusaha China. Bahkan di dalam novel diceritakan ketika perusahaan bernama Indonesia, pemimpinnya tetap keturunan Tionghoa seperti pada kutipan di atas. Pikiran ini menyuruh aku mengingat, siapa yang harus menjadi sasaranku untuk pertama kali. Ya! Gampang saja. Taoke itu sudah berkali-kali mencoba menyogok aku. Kena dia sekarang. Kena!35 Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana Thiaw Lie Ham sebagai pengusaha yang berusaha menyogok Bakir untuk mendapatkan order. Kehadiran tokoh ini turut mengubah karakter Bakir, dari awalnya sebagai pegawai negara yang dapat membentengi diri dari aksi korupsi, kemudian pendiriannya berubah karena adanya dorongan dari dalam diri dan melihat peluang untuk korupsi. Hal ini dapat dikatakan sebagai potret yang melatarbelakangi terjadinya korupsi, bahwa seorang koruptor dapat melakukan aksinya terutama dikarenakan dorongan dari dalam diri ditambah adanya pihak-pihak yang bekerja sama, baik terpaksa maupun sukarela. 2) Wanita setengah tua Tokoh ini diperkenalkan tanpa nama dan latar belakang yang cukup. Dalam realita, sosok tokoh ini biasanya hanya dikenal dengan istilah „mami‟. Masalah privasi dan keamanan menjadi alasan perlunya menjaga rahasia latar belakang sosok seperti tokoh ini. Meskipun tanpa nama dan latar belakang yang cukup, tokoh ini cukup mempengaruhi konflik batin dalam diri Bakir ketika
35
Ibid., h. 10.
62
berhasil korupsi dengan terpaksa bergaul pada lingkungan baru. Lingkungan „mami‟ yang mencari ketenangan sesama golongan. Bila mas tidak ikut, nah, mas dalam beberapa hari ini akan bangkrut, karena semua orang tahu tidak ada warisan apa-apa yang ditinggalkan orang tua mas untuk mas.36 Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana „mami‟ memaksa Bakir untuk ikut golongan ini. Keberadaan „mami‟ ini membawa Bakir tenggelam jauh dalam konflik batinnya. Tokoh ini berfungsi untuk memperlihatkan bagaimana Bakir (dan para koruptor dalam realita) harus susah payah mempertahankan status sosialnya hingga terpaksa bergabung dengan kelompok sosial „mami‟. Sebuah peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bahwa, “Sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali”. Kekuatan novel Korupsi terletak pada konflik batin yang terjadi dalam diri Bakir. Perubahan psikologis Bakir dipengaruhi oleh pandangan sosial yang dirasanya
tidak
didapat
selayaknya
pemimpin perusahaan.
Keputusan untuk melakukan korupsi berawal dari niat dalam diri Bakir, namun keluarga dijadikan alasan atas pelanggaran yang dilakukan. Meskipun terdapat penamaan tokoh yang terkesan kurang diperhatikan seperti penggunaan nama Mariam37 yang sama antara istri dan wanita dalam kumpulan „mami‟, namun seluruh tokoh yang dihadirkan dilihat secara karakter maupun kedudukannya dirasa turut mendukung konflik batin yang dialami Bakir menjadi semakin kompleks. Posisi Bakir sebagai tokoh antihero dalam usahanya melakukan korupsi merepresentasikan
36 37
Ibid., h. 110. Ibid., h. 117 dan 151.
63
psikologi para koruptor, bahwa seorang koruptor akan selalu merasa hilang ketenangan hidupnya. 3. Alur (Plot) Seperti yang telah dipaparkan penulis dalam bab II mengenai plot. Plot dalam novel Korupsi adalah plot lurus (progresif). Jenis pemilihan plot tersebut akan memudahkan pemikiran pembaca untuk memahami pesan. Dilihat dari segi kriteria kepadatan cerita, novel Korupsi dapat dikategorikan sebagai novel dengan alur erat. Alur ini mengakibatkan fokus pembaca terus tertuju pada konflik batin yang dialami Bakir. Cerita dimulai secara runtut dari tahapan awal, pemunculan konflik, komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian. Peristiwa yang menjadi pokok utama dalam novel ini menceritakan konflik batin tokoh utama dalam memperoleh kebahagiaan. Berikut tahapan plot novel Korupsi: a. Tahapan Awal Secara keseluruhan novel Korupsi menceritakan bagaimana Bakir melihat suatu peluang untuk menutupi kekurangan ekonomi dalam hidupnya. Di bagian pertama, Bakir diperkenalkan sebagai seorang pegawai negeri yang serba kekurangan di umurnya yang senja. Anak-anak sudah besar dan harus melanjutkan sekolahnya ... Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati, seperti sudah jamak di masa ini: Korupsi.38 Sebetulnya sudah bisa aku kerjakan dari dahulu! Tetapi sekarang masih cukup waktu untuk memulai. Belum lagi ketinggalan.39 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir memandang keadaan ekonomi keluarganya yang semakin kekurangan. Penghasilan Bakir sebagai pegawai negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup 38 39
Ibid., h. 1-4. Ibid., h. 5.
64
ditambah kebutuhan anak-anaknya untuk sekolah. Namun, Bakir malah melihat banyak kawan-kawannya malah dalam keadaan berkecukupan. Hal ini digunakan PAT untuk memperkenalkan psikologi Bakir dalam memandang keadaan sekelilingnya. Di sisi lain, peristiwa ini dapat dikatakan plausibel, memotret realita keadaan pegawai negeri pada masa itu; gaji yang kurang dan (mengakibatkan) perilaku korup meski dengan skala kecil dan tertutup.40 Dalam novel, karakter Bakir yang pada mulanya seorang pegawai jujur, berubah terbalik menjadi karakter yang menghalalkan segala cara, dengan alasan klasik; kebutuhan ekonomi. b. Pemunculan Konflik Pada bagian pertama telah digambarkan pemikiran Bakir untuk memperbaiki ekonomi dengan cara korupsi. Meski kata telah terucapkan yang mengakibatkan seolah realisasi hanya menunggu waktu.41 Namun, kejujuran yang melekat dalam diri Bakir ditambah keraguan yang ditunjukkan, menimbulkan suspens sendiri bagi pembaca terhadap pilihan Bakir, antara melanjutkan rencana atau tetap hidup sederhana meski dalam kekurangan. Hal tersebut merupakan konflik batin pertama dalam diri Bakir. Pada bagian kedua ini, PAT mulai memunculkan konflik dengan memberikan celah kepada Bakir untuk melakukan korupsi. Sejak hari ini, sejak detik ini, telah kuputuskan hubunganku dengan sejarah dan cara hidup dahulu. ... Ini dia: surat permohonan dari daerah meminta perlengkapan. ... Apa katanya?
40
Rivai Apin, “Suasana Tjatut Meliputi Kehidupan Ekonomi”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10 Oktober 1954, h. 3 41 A. Teeuw tentang kata „niat‟ dalam Korupsi : Begitu kata itu terungkapkan dan terdengar, maka point of no return telah dilewati. Perbuatan hanya menjadi penjelmaan tak terelakan dari kata. Karena itu, mungkin cerita ini tidak cukup menegangkan bagi pembaca yang mendekatinya dari konvensi-konvensi naratif lainnya. (Lihat A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997, h. 204).
65
Kami tak bisa membiarkan daerah kami terlantar. Karena itu dengan hormat memohon diusahakan perlengkapan.42 Dadaku berdegapan berhadapan dengan satu kekuasaan yang sejak kecil menyusun pikiranku. Dan untuk pekerjaan yang akan kulakukan ini aku harus menerobosi dan menghancurkan kekuasaan ini baru perbuatan itu mungkin dapat kukerjakan.43 Kemampuan seseorang melakukan korupsi karena adanya kekuasaan. Situasi dalam teks di atas menggambarkan Bakir memanfaatkan kekuasaannya. Perubahan karakter Bakir digambarkan bertahap, pada mulanya Bakir merasa korupsi yang akan dilakukannya hanya ganjaran atas kebaikan yang telah dikerjakannya. Latar belakang Bakir yang dikenal sebagai orang jujur kemudian menimbulkan konflik kedua dalam diri Bakir. Bakir seolah berkata, “Mampukah aku melakukannya dan meninggalkan sejarah kejujuran?” c. Komplikasi Pada bagian ketiga, empat dan lima, konflik yang dialami Bakir mulai mengalami peningkatan. Dorongan kebutuhan ekonomi dan keinginan status sosial yang dicapai telah mengubah karakter Bakir dan berpandangan bahwa korupsi adalah sebuah cara yang lumrah. Pembaca diberikan surprise ketika Bakir dihadapkan dengan karakter istri Bakir yang statis, tetap pada pendiriannya untuk hidup tenang dan bahkan menentang korupsi yang akan dilakukan Bakir meski dalam kondisi kekurangan ekonomi. “Engkau tidak berniat, bukan?” tanyanya. “Berniat? Berniat apa?” “Korupsi!” Seperti geledek kata itu menyambar pendengaranku. Tubuh dan hatiku meriut karenanya dan tenaga dan semangat dan keberanianku hancur kena sambaran geledek itu ... perempuan ini
42 43
Toer, op. cit., h. 8. Ibid., h. 14.
66
banyak mengetahui! Banyak mengetahui! menyumpahinya. Tapi aku tak berani.44
Mau
aku
Posisi Mariam sebagai istri Bakir memunculkan konflik ketiga dalam diri Bakir. Membahagiakan Mariam dan keluarga sedianya merupakan alasan Bakir rela melakukan korupsi. Kondisi ini kemudian dijadikan alasan Bakir untuk melirik Sutijah, seorang gadis yang menurut Bakir dapat sejalan dengan pemikirannya. “Uang sebanyak itu tidak ada di kas kami tuan. Uang sebegitu besar musti ditaruh di bank, tuan. Kalau tidak diri tidak aman, barang tidak aman.” “Berapa bisa kasih?” “Cuma lima ribu, tuan.” “Dalam minggu ini yang lima puluh ribu harus terbayar semua. Kalau tidak, taoke akan rugi banyak. Order aku cabut kembali.”45 Kutipan di atas terdapat pada bagian keenam, menggambarkan Bakir yang melakukan korupsi pertamanya dengan meminta bagian kepada Thiaw Lie Ham, direktur N.V. Muria, atas setiap baju pegawai yang diproduksi. Perubahan pandangan Bakir, dari awalnya dapat membentengi diri dari korupsi lalu mengubah pandangannya menjadi seorang yang ikut terbawa arus korupsi, dapat dijadikan pembelajaran bahwa korupsi dapat terjadi atau tidak berasal dari dalam diri yakni niat. Ada aku lihat Sutijah memandangi uang itu lama-lama dan dengan sendirinya saja kepalaku mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja aku percaya pada diriku sendiri, pada kemenangan yang akan kuperoleh.46 Seperti jamaknya adagium harta-tahta-wanita, pada bagian ketujuh ini memperlihatkan sikap Bakir setelah memperoleh keuntungan dari 44
Ibid., h. 37. Ibid., h. 66-67. 46 Ibid., h. 81. 45
67
korupsinya yakni berusaha mendapatkan Sutijah, seorang gadis yang dahulu pernah menjadi perhatiannya. Hal ini menguatkan pandangan jamak seorang laki-laki yang direpresentasikan oleh tokoh Bakir, bahwa dengan harta segalanya dapat diraih, termasuk wanita. Namun, PAT mencoba untuk membuat cerita menjadi lebih menyatu pada realitas dengan membentuk karakter Sutijah yang kemudian menerima Bakir karena perubahan status sosial yang dialaminya. d. Klimaks Puncak konflik yang dialami Bakir terdapat pada bagian kedelapan. Peristiwa itu terjadi ketika Bakir mencoba membagi hasil korupsi kepada istri dan keluarganya. Meskipun sebelum melakukan korupsi istrinya telah menentang, baginya semua usaha ini dilakukan untuk keluarga. “Jangan engkau kira engkau sendiri satu-satunya perempuan,” kataku kemudian – deras dan menebang. “Mengapa mendekat lagi? Kalau engkau tahu banyak perempuan, mengapa tidak pergi pada mereka?” Kemarahanku yang mulai mengendap kini seakan api kecil disiram bensin. Kebakaran beserta ledakan terjadi di dalam dadaku. Tanganku melayang dan menempeleng pipinya. Ia terjatuh rebah di samping Basirah, tetapi dengan segera bangun lagi. Dan aku sendiri berjalan cepat menuju ke dunia bebas.47 Kutipan di atas terjadi ketika sikap statis yang ditunjukan Mariam membuat Bakir kehabisan kesabaran. Di satu sisi, masih ada rasa bersalah dalam diri Bakir ketika meninggalkan istri dan keluarga yang telah bersama-sama hidup dalam kekurangan. Di sisi lain, Bakir merasa penolakan Mariam dianggap sebagai sebuah penghinaan karena telah berjuang untuk menyelamatkan keluarganya. Kalaupun dengan cara korupsi, baginya itu dikarenakan tidak ada cara lain.
47
Ibid., h. 96-98.
68
“Ya, besok pagi kita berangkat ke Bogor dan kawin di sana,” kataku. Ia mengangguk. Aku dan dia dengan tali alam yang mengikat. Dan aku merasa berbahagia dalam ikatan itu.48 Pada bagian kesembilan, untuk mendapatkan status sosial selanjutnya setelah harta adalah istri muda. Istri muda dipandang sebagai sebuah keberhasilan seorang lelaki. Kutipan di atas terjadi ketika Bakir melamar Sutijah, gadis yang dirasa memiliki pandangan yang sama mengenai harta. Pemilihan Sutijah juga menimbulkan konflik tersendiri dalam diri Bakir. Ini merupakan konflik keempat yang ia alami, antara tetap bertahan dengan istri dan keluarga yang telah hidup dalam kesederhanaan atau pergi akibat penolakan Mariam atas tindakan yang dia lakukan. e. Peleraian Kehidupan Bakir terus berjalan. Pada bagian kesepuluh, di tengah gilang-gemilang Bakir dengan hasil korupsinya, terdapat sebuah penyesalan dalam dirinya, sesuatu yang hilang; kesederhanaan dan ketenangan batin. Setelah berhasil korupsi dan memperoleh istri baru, pada bagian kesepuluh narator langsung menceritakan penyesalan dalam diri Bakir. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada kesempatan untuk bersenang-senang dalam diri koruptor dengan harta rampasannya. Sebaliknya, seorang koruptor akan selalu merasakan ada yang kosong dalam dirinya. Inilah duniaku yang sempit ini. Inilah jantungku yang terus menggigil oleh ketakutan dan kecurigaan. ... Di sana lagi isteri dan keempat anakku sedang berjalan. Ya, memang nampak lebih miskin daripada dahulu. Teteapi mereka tidak terus menggigil sebagaimana aku sekarang.49
48 49
Ibid., h. 99-105. Ibid., h. 106-108.
69
Kutipan di atas menjelaskan ketika Bakir telah memiliki harta, Bakir berharap dapat hidup tenang. Namun, karakter Bakir yang terbiasa hidup damai terusik ketika jiwanya tidak merasa tenang meski memiliki harta yang dahulu diidam-idamkannya. Bakir terus terseret dalam arus duniawi tanpa ketenangan batin. Sebelum meninggalkan ruangan kerja kulihat jam. Satu jam lagi dan baru aku dapat mengunjungi Mariam – salah seorang anggota organisasi orang-orang semacam aku, dalam kesulitan seperti aku pula.50 Dalam proses peleraian cerita pada bagian kesebelas, Bakir digambarkan terus terjerumus dalam pergaulan yang membawanya pada kekosongan jiwa. Kutipan di atas terjadi ketika Bakir terpaksa ikut dalam golongan „mami‟ untuk menutupi kekhawatiran akan terbuka perbuatannya. Meski penceritaan mengenai golongan ini kurang kuat dan terkesan hanya tempelan. Namun, keberadaan golongan ini memberikan kesan bahwa seorang koruptor akan jauh tenggelam dalam urusan duniawi dan tanpa memiliki kemampuan untuk kembali. Baru sekali ini ada terlihat olehku bahwa perempuan cantik, muda dan pandai merayu inilah sebenarnya biang keladi yang menggampangkan keruntuhan pertahanan batinku.51 “Aku tahu, engkau menyesal meninggalkan anak dan isterimu. Hanya karena aku! Karena itu bukan main tololmu kalau tidak mau mengerti, segala permintaanku harus dikabulkan, ...”52 Pada bagian kedua belas dan tiga belas, narator menceritakan Bakir yang tidak bisa menutupi kegelisahannya. Kegelisahan akan kehancuran hidupnya. Di lain pihak, Sutijah dengan karakternya yang hanya ingin menguasai harta benda tidak memedulikan Bakir. Bahkan, 50
Ibid., h. 116. Ibid., h. 139-142. 52 Ibid., h. 144. 51
70
Sutijah tidak keberatan jika Bakir ingin kembali kepada Mariam dengan syarat tidak membawa harta benda apapun. Hal ini menguatkan kesan bahwa apa yang akan diraih seseorang berawal dari niat. Dalam hal ini niat Sutijah ketika menerima pinangan Bakir, harta. Kosongnya jiwa Bakir tanpa ketenangan merupakan konflik kelima yang dirasakan Bakir. f. Penyelesaian Pada tahun pembuatan novel 1953, belum ada hukuman pidana mengenai korupsi.53 Fakta ini kemudian yang digunakan narator untuk menyelesaikan cerita novel Korupsi. Penyelesaian yang tidak didugaduga oleh pembaca masa kini yang berharap Bakir ditangkap karena kasus korupsinya, namun jika dilihat konteks hukum pada tahun pembuatan novel, cerita ini menjadi plausibel. Ah, ya, sebelumnya memang aku tak mengerti bahwa aku ditangkap bukan karena orang tahu perbuatan korupsi, tetapi si celaka taoke itu telah memberi aku ribuan palsu.54 Pada bagian keempat belas, Bakir tertangkap karena diduga melakukan peredaran uang palsu yang diakuinya didapat dari taoke. Tidak ada penjelasan tentang tokoh taoke yang memberikan uang palsu kepadanya. Peristiwa ini dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama sebagai simbol perlawanan pemerasan yang dilakukan pegawai negeri meskipun dengan cara yang licik. Sisi kedua memperlihatkan bagaimana seorang pengusaha55 melakukan segala cara untuk
53
Istilah korupsi hadir pertama kali dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Lihat Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obor, 2008, h. 81. 54 Toer, op. cit., h. 149. 55 Dalam novel pengusaha yang dimaksud adalah keturunan Tionghoa. Tidak menutup kemungkinan pemilihan pengusaha keturunan Tionghoa bukan merupakan kritik etnis, melainkan hanya representasi kebanyakan pengusaha, berlatar belakang keturunan Tionghoa.
71
mendapatkan
order
dan
tetap
mendapatkan
untung
dengan
memberikan sogokan uang palsu. “Engkau,” katanya, “bagaimana pun juga adalah suamiku. Biarlah aku dan anak-anakmu tak engkau ajak bersenang, tetapi di dalam duka ini engkau tetap suamiku. Engkau tetap ayah dari anak-anakmu.” “Sejak kini aku doakan engkau selalu memperoleh kekuatan. Dalam kejatuhan itulah orang bisa memilikinya.”56 Kesederhanaan seorang wanita terus dipertahankan narator dalam tokoh Mariam. Pembaca diberikan surprise ketika Mariam menjenguk Bakir di tahanan dan mengatakan akan tetap menganggapnya sebagai suami setelah Bakir meninggalkannya untuk wanita lain. Ia pun membawa serta keempat anak mereka. Konflik batin keenam yang dirasakan dalam diri Bakir yakni sesuatu yang telah lama hilang sejak dia
mulai
memutuskan
menghamba
pada
harta
benda
dan
meninggalkan sejarah kejujurannya, ketenangan. Dari beberapa hal yang telah dipaparkan mengenai alur, dapat disimpulkan bahwa alur yang digunakan dalam novel Korupsi merupakan alur maju progresif. Eratnya alur dalam novel ini menghasilkan fokus pembaca terus tertuju pada konflik batin yang dialami tokoh utama. Hal ini menghasilkan empati pembaca sehingga konflik batin dapat diterima. Pemilihan gaya penceritaan pada bagian peleraian dengan langsung menceritakan kekosongan dalam diri Bakir ketika berhasil melakukan korupsi memberikan kesan bahwa seorang koruptor tidak pernah memiliki waktu untuk merasakan kesenangan dalam dirinya meski dengan banyaknya harta yang didapat. Pada bagian penyelesaian, meski kurang diterima oleh pembaca masa kini yang mengharapkan Bakir ditangkap karena kasus korupsinya, pemilihan ending dengan menceritakan Bakir 56
Toer, op. cit., h. 151.
72
yang dipenjara akibat mengedarkan uang palsu menjadi plausibel jika dilihat belum adanya hukum tentang koruptor pada masa itu. 4. Latar Latar dapat berupa segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. a. Latar Tempat Pemilihan latar tempat dalam karya sastra mempengaruhi pola pemikiran tokoh di dalamnya. Dalam novel Korupsi terdapat latar netral dan fungsional yang mempengaruhi perkembangan tokoh secara sosiologis maupun psikologis. Penggambaran latar tersebut koheren dan digunakan sesuai dengan fungsi alaminya. Latar tempat tersebut antara lain sebagai berikut. 1) Rumah Bakir Latar rumah Bakir dapat dikatakan sebagai latar netral dilihat dari aspek keberadaan tempat. Keberadaannya seperti umumnya rumah seseorang di berbagai tempat. Namun, jika dipandang dari segi fungsi dalam hubungannya dengan meningkatnya konflik batin Bakir, latar ini memiliki fungsi sebagai awal permasalahan. Jika dikaitkan dengan latar suasana, latar ini berfungsi membangun kegelisahan dalam diri Bakir. Keharmonisan rumah tangga yang telah dibangun selama lima belas tahun perlahan runtuh oleh desakan kebutuhan ekonomi yang mengakibatkan berkurangnya harta benda. Seperti masyarakat pada umumnya, rumah merupakan satu dari sekian faktor yang menentukan status sosial seseorang. Telah dua puluh tahun aku jadi pegawai. Tetapi kian hari kian berkurang saja harta benda dan umurku. Lemari agung yang dahulu menghiasi ruang depan sudah lima tahun ini hilang disita orang. Sepeda motor yang dahulu menjadi
73
kebanggaanku telah lama melayang. Sepeda tua itulah gantinya. Perhiasan istriku, yang dahulu kerap kali dikagumi orang, sudah lama berubah bentuk menjadi surat-surat pegadaian yang tidak berharga karena tidak tertebus.57 Dari kutipan di atas tampak perubahan ekonomi Bakir dengan menghilangnya harta benda. Meskipun istri dan anak-anak mereka tidak pernah mengeluh akan kondisi tersebut. Hilangnya harta dan juga rumah merupakan kejatuhan diri bagi pria pada umumnya. Harta benda yang hilang karena kurangnya gaji menjadi awal alasan Bakir melakukan korupsi. Penggambaran harta benda yang berkurang karena kurangnya gaji pegawai negeri menjadi koheren dengan alur dan latar suasana melihat keadaan sosio-kultur pegawai negeri pada saat itu memang diakui kurang mencukupi.58 2) Kantor Pemilihan latar kantor yang berlokasi di Jakarta secara fungsional dan tipikal koheren dengan realita, mengingat keberadaan
pusat
pemerintahan
berada
di
Jakarta.
Bakir
merupakan pemimpin perkantoran pegawai negeri yang bertugas pada pembelian dan pengadaan barang. Dari segi cerita, keberadaan latar ini berfungsi sebagai tempat yang memberikan celah kepada Bakir untuk melakukan korupsi Lihat si Herman. Engkau kenal juga dia. Bekas juru tulisku. Mestilah engkau masih ingat, sekarang? Wah rumah sendiri, mobil sendiri, menggaji sopir pula. Anak-anaknya disekolahkan ke mana-mana.”59 Kutipan di atas menggambarkan pemikiran Bakir mengenai rekan kerjanya yang lebih mapan. Di satu sisi, harta benda yang 57
Ibid., h. 2. Rosihan Anwar, “Geger Dikalangan Pamong Pradja”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10 Oktober 1954, h. 5. 59 Toer, op. cit., h. 36. 58
74
dimiliki rekan kerja menimbulkan kecemburuan yang menjadikan alasan untuk melakukan pelanggaran, dalam hal ini korupsi. Di sisi lain, potret ini menggambarkan gejolak korupsi yang mulai menggejala di kalangan pegawai negeri. Sebuah potret yang mewakili pandangan umum masyarakat mengenai citra negatif pegawai negeri. Habis kantor kuangkat sebagian harta terpendam itu, langsir ke pasar Senen dan menjualnya di tempat toko kertas tangan kedua.60 Perlengkapan
kantor
merupakan
barang
pertama
yang
dikorupsi Bakir. Perlengkapan kantor dipilih sebagai barang kecil yang dapat „melatih‟ perbuatan korupsi Bakir. Rendahnya pengawasan teman kerja Bakir membuat peluang untuk menjual perlengkapan kantor menjadi terbuka. Hal ini dapat diartikan sebagai kritik yang disuarakan oleh PAT pada masyarakat yang hanya diam ketika melihat kecurangan. Peristiwa pegawai menjual barang kantor juga
merupakan
potret
dalam
pascakemerdekaan dikarenakan kondisi ekonomi.
masyarakat
61
3) Muria N.V., Jakarta Kota Muria N.V. digambarkan sebagai perusahaan penyedia barang yang dipimpin oleh presiden direktur Thiaw Lie Ham yang berlokasi di Jakarta Kota. Dilihat dari realita, latar ini dapat dikatakan fungsional dan tipikal karena pada umumnya sebuah daerah pascakemerdekaan, hanya daerah kota yang memiliki berbagai macam pertokoan (kebanyakan dimiliki oleh keturunan Tionghoa) dan telah terkenal sebagai pusat kehidupan.
60 61
Ibid., h. 13. Rivai Apin, Loc. Cit.
75
... Dan taksi terus menderum ke kota pula: Muria N.V., Thiaw Lie Ham.62 Dilihat dari kedudukannya dalam cerita, keberadaan tempat ini berfungsi sebagai tempat korupsi yang dilakukan Bakir kepada pengusaha Tionghoa. Latar ini dapat dikatakan sebagai latar netral karena penggunaan latar dapat digantikan dengan tempat lain, meskipun akan sedikit mengubah alur maupun unsur fiksi lain. 4) Rumah Sutijah Setelah hasil korupsi ditolak oleh istrinya, Bakir menuju ke rumah Sutijah, memperkuat sebuah adagium harta-tahta-wanita. Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka rumah Sutijah dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada pemilihan cerita „mempertemukan‟ kembali Bakir dengan Sutijah di rumah Sutijah
yang menggambarkan bahwa peristiwa
perselingkuhan dimulai dari Bakir. Berbeda halnya jika pertemuan telah mereka siasati di suatu tempat yang akan menunjukkan ada keinginan dari keduanya. Empat tahun paling sedikit setelah ia pindah dari rumah sebelah, pindah di rumah yang lebih murah sewanya, lebih ke udik.63 Kutipan di atas merupakan pandangan Bakir akan keberadaan Sutijah. Rumah Sutijah diceritakan pada mulanya dekat dengan rumah Bakir, kemudian pindah ke lokasi yang lebih udik. Pemilihan penggunaan istilah „lebih udik‟ menunjukkan kondisi ekonomi Sutijah yang menurun pascameninggalnya sang ayah. Rumah itu terlindung oleh pagar bambu tinggi dalam anyaman yang rapat. Tak dapat orang lewat melihat pendopo dan pekarangannya. Bahkan bagaimana bentuk rumah itu pun 62 63
Toer, op. cit., h. 63. Ibid., h. 38.
76
tidak bisa dilihat dari luar. Hanya genteng rumah yang merahhitam saja yang nampak.64 Potret rumah Sutijah selanjutnya digambarkan dengan rumah yang tidak bisa dilihat orang dari luar karena pagar yang tinggi. Pada umumnya, pagar yang tinggi merupakan simbol pemilik rumah yang berusaha mengamankan harta bendanya dari ancaman orang luar.65 Hal ini menimbulkan pengertian yang kontradiktif mengenai arti pagar tinggi, mengingat kondisi ekonomi Sutijah diceritakan menurun pascameninggalnya sang ayah dan ditambah keterangan lokasi Sutijah yang pindah rumah ke lebih udik. Dalam konteks
cerita,
pagar
tinggi
berfungsi
untuk
melindungi
perbincangan antara Bakir dan Sutijah dari pandangan orang luar. 5) Villa di Bogor Pada umumnya, memiliki villa di Bogor dipandang sebagai sebuah kemapanan oleh masyarakat Jakarta. Jarak yang tidak terlalu jauh dari Jakarta dan perbedaan suhu antara Jakarta dan Bogor menjadikan lokasi ini dipilih sebagai hiburannya warga Jakarta. Dalam cerita, pemilihan latar villa di Bogor sebagai tujuan meningkatkan status sosial Bakir dapat dipandang sebagai latar simbolik. Juga aku tidak tinggal di kamar di belakang warung cina, tetapi di sebuah gedung dari dua setengah ratus ribu. Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang di deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor.66 Istanaku tidak memberi kedamaian batin.67
64
Ibid., h. 78. Ahadi, Apa Fungsi Pagar Rumah, diakses pada 11/06/2016, 20:00 WIB dari http://www.ilmusipil.com/apa-fungsi-pagar-rumah 66 Toer, op. cit., h. 107. 67 Ibid., h. 139. 65
77
Meskipun villa di Bogor merupakan simbol kemapanan yang diimpikan masyarakat secara umum (juga Bakir), namun dalam cerita Bakir justru merasa tidak mendapatkan ketenangan setelah memiliki harta yang didapatnya dari hasil korupsi. Hal ini dapat diartikan villa di Bogor memiliki fungsi sebagai simbol kemapanan sekaligus menjadi titik balik psikologi tokoh Bakir akan pandangan hidupnya yakni mencari ketenangan batin. 6) Penjara Keberadaan latar tempat penjara merupakan potret di masyarakat ketika seseorang menyesali perbuatannya namun terus melakukan kesalahannya dan baru (terpaksa) berhenti ketika berakhir dipenjara. Hal ini dapat dilihat dari narasi yang diutarakan Bakir mengenai keruntuhan hidupnya, namun ia terus melakukan korupsinya dan bahkan berusaha menutupinya dengan mengikuti kelompok „mami‟. Hanya untuk menunda datangnya keruntuhan, sedangkan keruntuhan itu sendiri telah kuketahui akan datang juga. Namun aku tak mau runtuh atas kehendakku sendiri. Kekuasaan dari luar harus meruntuhkan daku.68 Ah, ya, sebelumnya memang aku tak mengerti bahwa aku ditangkap bukan karena orang tahu perbuatan korupsi, tetapi si celaka taoke itu telah memberi aku ribuan palsu.69 Potret mengenai situasi penjara tidak digambarkan secara jelas karena fokus penceritaan PAT dengan latar ini adalah kembalinya karakter Bakir menjadi seorang yang mencari ketenangan batin. Selain itu, pemilihan cerita tertangkapnya Bakir bukan karena kasus korupsi merupakan kritik yang membangun untuk
68 69
Ibid., h. 111. Ibid., h. 149.
78
pemerintah pada masa itu mengenai hukuman bagi koruptor yang belum ada70 dan “negara yang masih sibuk dengan gerombolan.”71 b. Latar Waktu Latar waktu mengenai kapan peristiwa dalam novel Korupsi tidak ditunjukkan secara jelas. Hal ini memberikan kesan bahwa cerita ini universal, dapat terjadi kapan pun. Dilihat dari tahun pembuatan, novel ini ditulis sekitar tahun 1953 yang menandakan masa setelah kemerdekaan, masa di mana gejolak korupsi di kalangan pegawai negeri mulai muncul yang dilatar belakangi kurang mencukupinya gaji pegawai negeri.72 Jika dikaitkan dengan alur, cerita dalam novel mencerminkan kegelisahan masyarakat mengenai korupsi yang mulai bergejolak pada masa itu. “Apa yang mengamuk?” “Korupsi!” “Kalau bapak tahu berapa puluh ribu pemuda yang mati! Kalau bapak tahu berapa dari orang-orang tua – yang di jaman penjajahan dahulu tak sempat kaya ...”73 Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana kegelisahan Sirad mengenai korupsi di kantornya. Dalam novel, diceritakan Bakir mulai korupsi dengan menjual perlengkapan kantor. Peristiwa ini dapat 70
Istilah korupsi hadir pertama kali dalam hukum Indonesia pada tahun 1958. Hal ini turut mempengaruhi latar sosio-kultur dalam novel dengan tema korupsi setelah tahun 1958. Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis yang terbit pada 1958 mulai menggunakan hukuman koruptor ketika tokoh Sugeng ditangkap (Lihat, Mochtar Lubis, Senja di Jakarta, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, cet ke-2, 1981, h. 314). Pada masa orde baru ketika pemberantasan korupsi berjalan di tempat, novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari yang menggunakan latar waktu 1992 pun memilih untuk „membiarkan‟ koruptor menjarah proyek tanpa ada hukum yang berusaha menghentikannya (Lihat, Ahmad Tohari, Orang-Orang Proyek, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet ke-2, 2015, h. 230). Latar sosio-kultur dalam novel terus memotret realita masyarakat pada masanya. Pascareformasi, ketika korupsi diperangi lewat KPK namun masih terdapat oknum-oknum yang melindungi „keberlangsungan‟ hidup koruptor. Potret ini muncul pada 86 karya Okky Madasari ketika koruptor yang telah ditangkap berusaha menyogok di dalam pengadilan. (Lihat, Okky Madasari, 86, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet ke-3, 2015, h. 169). 71 Toer, op. cit., h. 118. 72 Anwar, loc. cit. 73 Toer, op. cit., h. 57.
79
dikatakan menyuarakan kegelisahan masyarakat jika dilihat dari realita bahwa pada masa itu usaha korupsi dengan menjual barang kantor mulai menggeliat di masyarakat.74 Selain keterangan waktu pembuatan, keterangan waktu dapat dilihat berdasarkan urutan waktu yakni, pagi, sore dan malam. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan waktu antropologis dan kronologis manusia yang juga turut mempengaruhi jalannya cerita. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut. Pagi itu aku berangkat kerja dengan semangat baru! Niat itu telah ada dalam hatiku dan keyakinan akan kemenangan perjuangan sekali ini demikian terasa di hati.75 Pagi itu Bakir berniat melakukan korupsi. Latar pagi dipilih karena berdasarkan waktu antropologis pada umumnya karyawan masuk kantor di pagi hari. Latar pagi juga dapat diibaratkan sebagai semangat baru, semangat seseorang melakukan sesuatu yang baru. “O, jadi bapak akan kondangan berdasi ini?” Tak tahu aku jawabannya, segera kutinggalkannya ... Dan taksi terus menderum ke kota pula: Muria N.V., Thiaw Lie Ham. Taoke membuka laci dan aku menerima lima ribu ... aku minta diri dan kembali melompat ke dalam taksi. Tujuan: langsung ke kantor.76 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir berbohong kepada Sirad untuk menjalankan niat korupsinya. Dalam novel, tugas untuk memberikan order seharusnya dilakukan oleh opas. Namun, untuk menjalankan niat korupsinya Bakir pergi ke Muria N.V. pada jam kerja, untuk memastikan kutipan yang telah ditentukannya pada order yang diberikan. Secara antropologis, Bakir telah melanggar kewajiban pegawai negeri pada umumnya yakni tetap bekerja pada jam kantor. 74
Apin, loc. cit. Toer, op. cit., h. 5. 76 Ibid., h. 62-67. 75
80
... tiada terasa matahari Jakarta hilang tergelincir di balik atap rumah dan tajuk pepohonan.77 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir dan Sutijah berbincang di beranda rumah Sutijah. Secara kronologis, hal ini mengisyaratkan telah terjadi percakapan yang cukup panjang dan harmonis. Peristiwa ini diperlukan untuk menunjukkan hubungan yang harmonis antara Bakir dan Sutijah. Sebuah peristiwa awal menuju peristiwa yang semakin meningkat dari segi emosional yakni, Bakir melamar Sutijah. Malam itu aku mau bicara bersungguh-sungguh dengan isteriku. Tapi ia tak datang-datang juga di ranjang. ... Wekker menunjukkan jam sepuluh malam.78 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir berusaha membujuk istrinya untuk menerima hasil korupsinya. Secara antropologis, bagi pegawai negeri, waktu untuk berbincang bersama keluarga hanya tersisa sore atau malam hari dan hari libur. Latar waktu malam dipilih karena kesunyiannya. Suasana yang cocok untuk membicarakan masalahmasalah bersama keluarga, dalam peristiwa ini Bakir kepada Mariam. c. Latar Sosial Latar sosial dalam novel Korupsi dapat dilihat sebagai potret suasana pascakemerdekaan, di mana pada saat itu gaji pegawai negeri kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.79 Latar sosial juga berkaitan dengan berkembangnya konflik batin yang dialami Bakir. Kondisi sosial yang berkaitan dengan konflik batin Bakir, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Dahulu aku mempunyai rumah sendiri. Sekarang demikian pula. Tetapi beberapa kamar, itu pun yang terbaik dan terdepan letaknya, terpaksa disewakan. Keributan di depan tidak mengijinkan – dentuman karung-karung beras yang dilemparkan di lantai, dan abu 77
Ibid., h. 79. Ibid., h. 95. 79 Anwar, loc. cit. 78
81
karung yang terbang campur aduk dengan makanan kami. Selamanya bunyi karung beras dilemparkan itu menggeletarkan jantungku yang sudah tua dan lemah, dan selalu pula kututup kupingku sekalipun perbuatan demikian tidak menolong apa-apa.80 Kutipan di atas menggambarkan latar sosial Bakir. Sebagai permulaan, diperkenalkan latar sosial Bakir yang pada mulanya memiliki rumah maupun barang-barang yang dapat menunjukkan status sosial keluarga Bakir. Namun, gaji yang semakin tidak mencukupi ditambah kebutuhan keluarga turut mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga Bakir. Berkurangnya barang-barang dan ruangan di dalam rumah karena dikontrakan dirasa Bakir sebagai sebuah kehilangan status sosial yang mengakibatkan bawahannya tidak memberikan rasa hormat pada dirinya. Hal ini kemudian turut mempengaruhi dirinya untuk korupsi. Perasaan celaka tiap kali meminta perhatianku pabila dapatlah aku kesempatan menertawakan diriku sendiri karena penduduk di sekeliling rumahku di Bogor amat menghormati aku karena mempunyai perhatian besar terhadap pemberantasan buta huruf, bahkan aku telah menjadi pelindung waktu lebaran menyerahkan beras sekarung kepada panitia zakat fitrah, waktu terjadi kebakaran menyerahkan uang lima ribu untuk para korban, dan sekiranya aku mempunyai perusahaan, maka semua surat kabar akan kuberi iklan tiap bulan tujuh kali agar mereka tak coba-coba bongkar rahasiaku.81 Setelah melakukan korupsi, Bakir mendapat status sosial dan lingkungan baru. Kutipan di atas menggambarkan bagaimana hasil dari korupsi yang dilakukan Bakir. Perubahan latar sosial merupakan bagian yang tak terelakan ketika memasuki lingkungan baru. Bakir yang mengharapkan merasa tenang setelah memiliki harta justru merasa ketakutan setiap saat, ketakutan akan datangnya keruntuhan 80 81
Toer, op. cit., h. 29. Ibid., h. 108.
82
dirinya. Sebuah tujuan utama dari novel Korupsi bahwa status sosial bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan ketenangan hidup. Perubahan latar mempengaruhi karakter tokoh Bakir seperti pada pemilihan latar villa sebagai pergerakan status sosial Bakir. Memiliki villa di Bogor dipandang oleh masyarakat Jakarta sebagai sebuah bentuk kemapanan. Pemilihan latar waktu sesuai dengan waktu antropologis kebiasaan manusia seperti Bakir yang setiap pagi bekerja. Waktu antropologis itu kemudian berbenturan dengan waktu kronologis yang menimbulkan kecurigaan pada diri Sirad ketika Bakir yang seharusnya bekerja pada jam kantor, memilih pergi ke Muria N.V. untuk menjalankan niat korupsinya. Dilihat dari latar sosial, perubahan status sosial yang didapat Bakir membawanya kepada kesadaran bahwa hidup bukan selalu tentang harta. 5. Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view merupakan cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Dalam novel Korupsi, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama. Pemain yang bertindak sebagai pelaku utama. Si “aku” tokoh utama mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik dan hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Fungsi sudut pandang orang pertama ini adalah untuk mengajak pembaca memahami isi hati dan jalan pikiran dari tokoh utama melalui narasi maupun dialog yang tertera. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Sungguh, aku tak sampai hati melihat itu. Karena itu kembali kudekati isteriku dan mengulangi ajakan untuk berdamai. Aku dekati
83
dia dan nampak olehku wajahnya yang pucak, kulitnya yang layu, dalam umurnya yang masih muda.82 Dengan menggunakan sudut pandang „aku‟ PAT mencoba menggali apa yang dipikirkan oleh Bakir untuk diresapi oleh pembaca. Pembaca kemudian (tanpa sadar) memasuki jalan pikiran Bakir. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang leluasa mengeksplorasi sisi batin Bakir untuk kemudian menciptakan konflik. 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan cara pengarang menggunakan bahasa dalam menyampaikan gagasan melalui karya yang dihasilkan. Pemilihan kata yang tepat dalam gaya bahasa mampu membangun jalinan cerita yang menarik. Penggunaan ungkapan, majas dan pengolahan kata atau kalimat akan menimbulkan kesan estetik dalam sebuah karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga memiliki fungsi dalam penekanan kata maupun kalimat yang berkaitan dengan unsur intrinsik lainnya seperti tema, penokohan, latar maupun sudut pandang. Adapun pengaruh gaya bahasa terhadap unsur intrinsik adalah sebagai berikut. a. Tema Pemilihan kata maupun kalimat dalam sebuah peristiwa di dalam novel dapat dilihat berdasarkan kedudukannya dalam membangun konflik. Kedudukan tersebut mempertegas tema yang diusung pengarang di dalamnya. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan berikut. Tiba-tiba aku mengerti : lelaki ini merasa tua kalau ia tak sanggup menarik hati wanita lagi; dan selama ia masih diterima sekalipun telah bernafas selama tiga perempat abad ia tetap merasa masih muda. Dan uang bisa menolong memudakan manusia.83
82 83
Ibid., h. 97. Ibid., h. 68.
84
Harta-tahta-wanita dapat dikategorikan sebagai tema minor yang telah dijelaskan penulis pada bagian tema. Kutipan di atas terjadi ketika Bakir membayangkan manfaat uang yang didapatnya dari hasil korupsi. Seperti adagium harta-tahta-wanita, Bakir membayangkan menggunakan uang tersebut untuk merayu Sutijah. Gaya bahasa ini dapat dikategorikan berdasarkan langsung tidaknya makna. Frasa “uang bisa menolong memudakan manusia”, dapat dikategorikan sebagai hiperbol, karena kenyataanya memiliki uang tidak dapat menahan manusia untuk menjadi tua. Frasa “memudakan manusia” juga diberikan perluasan makna oleh pengarang yakni merasa muda jika mampu memiliki wanita lagi. Hal tersebut menegaskan adagium harta-tahta-wanita. b. Penokohan Pembentukan karakter tokoh dapat dilakukan lewat narasi maupun pemikiran tokoh itu sendiri. Pemilihan pola tersebut berpengaruh pada emosi pembaca dalam memahami karakter tokoh. Dalam novel Korupsi, karakter Bakir diperkenalkan lewat pemikiran tokoh itu sendiri, hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. Dengan sendirinya saja kakiku terbanting-banting lemah ke kanan dan ke kiri untuk melepaskan kungkungan ini – kungkungan seberat ini, kungkungan seerat ini aku harus putuskan semua ini ... harus putuskan semua ini ... putuskan semua ini ... semua ini ... ini ....84 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendapatkan penolakan dari istrinya mengenai rencana untuk korupsi. Dalam dialognya, nada yang ditunjukkan Bakir seolah menunjukkan kelemahan untuk melanjutkan rencananya. Narasi sebelumnya, Bakir mengharapkan dirinya kembali muda agar dapat merayu Sutijah. Permasalahan percintaan di tengah
84
Ibid., h. 39.
85
usaha Bakir untuk melaksanakan niat korupsinya memberikan kesempatan multi tafsir bagi pembaca. Pola seperti ini dapat dikategorikan gaya bahasa retoris bagian elipsis. PAT seolah memberikan suspense bagi pembaca untuk menerka apa yang selanjutnya dilakukan Bakir; memutuskan hubungannya dengan Mariam, memutuskan untuk menikah dengan Sutijah, memutuskan untuk tidak korupsi atau bahkan segera merealisasikan niat korupsinya. c. Latar Ketepatan
pemilihan
kata
dalam
sebuah
kalimat
mampu
menimbulkan gagasan mengenai latar yang dimaksud oleh pengarang yang nantinya akan mempengaruhi imaji dalam diri pembaca. Hal tersebut dapat terlihat dalam kutipan berikut. Kalau dahulu pulang pergi naik sepeda tua, kini kendaraanku plymouth. Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang di deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor.85 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendeskripsikan hasil korupsinya. Pemilihan latar villa di selatan Bogor dapat dikategorikan sebagai ketepatan pilihan kata kategori sangat khusus dari kata sangat umum yakni rumah. Selain itu, pemilihan tempat ini dapat dikaitkan dengan jenis-jenis gaya bahasa dari segi nonbahasa. Perbedaan kondisi alam Bogor dengan Jakarta banyak dimanfaatkan warga Jakarta sebagai tujuan rekreasi. Dalam cerita, Bakir membeli villa di Bogor untuk meningkatkan status sosialnya. Memiliki villa di Bogor dapat dianggap sebagai sebuah kemapanan khususnya oleh warga Jakarta. d. Sudut Pandang Pemilihan sudut pandang „aku‟ orang pertama seperti yang telah dijelaskan penulis pada bagian sudut pandang mempengaruhi pembaca 85
Ibid., h. 107.
86
untuk turut merasakan apa yang dialami tokoh. Hal ini tidak terlepas dari pemilihan kata yang tepat, seperti terlihat pada kutipan berikut. Berkali-kali kata itu bergetar dengan hebatnya baik di mulut maupun di hati: korupsi, korupsi, korupsi. Akhirnya teguhlah niatku untuk mengerjakan juga. Berdengung kata itu: korupsi, korupsi, korupsi. Tiap dinding dan tiap benda di kamar serasa merasa ikut menggigilkan kata itu-itu juga : korupsi! korupsi!86 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mencanangkan untuk melakukan korupsi. Dengan menggunakan gaya bahasa kiasan personifikasi pada sudut pandang „aku‟ orang pertama ini, membawa pembaca seakan merasakan dengung suara yang dirasakan Bakir. Ketepatan pemilihan kata secara alami dengan memanfaatkan benda di sekitar Bakir turut menambah nuansa kegalauan yang dirasakan Bakir. Penggunaan gaya bahasa dalam novel Korupsi dapat dikatakan tepat guna. Terlihat bagaimana PAT mendayagunakan bahasa dengan detaildetail pilihan kata yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini turut mempengaruhi pembaca dalam memahami jalan cerita yang diberikan lewat pilihan kata yang meningkatkan konflik. Pemilihan kata yang telah dikonvensi oleh masyarakat seperti villa di Bogor sebagai simbol status sosial pun turut menambah nuansa kejadian ini seolah nyata adanya. Setelah penulis melakukan penelitian terhadap novel Korupsi karya PAT, terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai hasil temuan. Meskipun novel Korupsi bukan karya best seller dari PAT, namun cukup memiliki pengaruh terhadap dunia sastra dan perjalanan menulis PAT sendiri. Ciri khas PAT dalam menggambarkan gejolak dalam diri tokoh tampak dalam konflik batin yang memberikan suspense bagi pembaca dalam memahami jalan pikiran Bakir. Dilihat dari penggambaran masing-masing tokoh yang 86
Ibid., h. 4.
87
mempengaruhi perkembangan tema, baik tema minor maupun mayor, padunya alur dalam upaya membawa emosi pembaca, pemilihan sudut pandang “aku” yang menghasilkan empati pembaca atas penggambaran diri manusia dari dalam, pemilihan latar yang mempengaruhi karakter para tokoh dan bagaimana PAT mendayagunakan bahasa dengan tepat guna ditambah pelopor tema korupsi dalam sastra Indonesia menjadikan novel Korupsi satu dari sekian banyak novel PAT yang perlu mendapat apresiasi. Secara keseluruhan novel korupsi menceritakan bagaimana korupsi pada masa itu mulai menggeliat di kalangan masyarakat. Pada mulanya Bakir dapat menahan arus korupsi, namun benteng tersebut runtuh karena alasan desakan ekonomi dan kebutuhan akan status sosial. Hal tersebut menandakan korupsi dapat dicegah dan dapat pula terjadi karena adanya niat. B. Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam novel korupsi dapat diteliti berdasarkan dua aspek, yaitu jerat lingkaran korupsi dan nilai antikorupsi. Pesan atau nilai yang dapat dijadikan pembelajaran antikorupsi ini digambarkan melalui pemikiran Bakir maupun dialog antartokoh. 1. Jerat Lingkaran Korupsi Korupsi didahului oleh adanya niat, kemudian kesempatan yang tercipta karena mempunyai kewenangan, didukung oleh lingkungan yang korup, dilanjutkan dengan tindakan dan setelah berhasil, berusaha untuk mengamankan hasilnya. Jika dirumuskan sebagai berikut. Korupsi =
Niat
(Intention)
+
Kesempatan
(Kekuasaan,
Kewenangan) + Lingkungan Korup + Action (Tindakan Melakukan Korupsi) + Security (Mengamankan Hasil/ Menikmati).87
87
Redatin Parwadi, Koruptologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 56.
88
Dalam novel, melalui tokoh Bakir, PAT menggambarkan korupsi bukan hal yang mudah untuk dimulai oleh seseorang yang sebelumnya menjalani hidup secara lurus dan jujur. Namun, reputasi kejujuran yang bertahuntahun tak terusik itu akhirnya luruh juga oleh gelegak hasrat untuk mengejar ketenangan hidup yang disimbolkan dengan harta yang berkecukupan. Pembahasan mengenai jerat lingkaran korupsi berkaitan dengan unsur intrinsik yang telah dibahas sebelumnya, namun titik fokus pembahasan ini adalah bagaimana perbuatan korupsi dapat menjerat seseorang dan membawanya terus terjerumus di dalamnya. Hal ini kemudian dapat dijadikan pembelajaran untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat menjerat kita dari perbuatan korupsi. a. Niat (Intention): Otak sebagai Kontrol Perilaku PAT telah menekankan „niat‟ dalam diri Bakir untuk melakukan korupsi sebagai tegangan pada awal cerita. Secara faktual niat adalah perbuatan.88 Tekanan pada kata „niat‟ yang mendahului perbuatan diungkapkan oleh perkataan yang terus menerus dipakai. Seperti yang telah dibahas pada bagian penokohan (lihat h. 51), hal ini kemudian menimbulkan konflik batin dalam diri Bakir ketika niat berbenturan dengan nilai kejujuran yang dipegangnya. Kami ingin mendapat tempat tinggal aman. Kami butuh uang untuk mengusir warung di depan. Anak-anak sudah besar dan harus melanjutkan sekolahnya.89 Peristiwa di atas dilihat dari perkembangan alur terdapat pada bagian perkenalan yang berkaitan dengan latar sosial (lihat h. 64), bahwa pascakemerdekaan gaji pegawai negeri saat itu kurang mencukupi kebutuhan hidup pegawainya.90 Hal tersebut kemudian 88
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997), h. 203. 89 Toer, op. cit., h. 3. 90 Anwar, loc. cit.
89
menjadi alasan umum yang dilontarkan masyarakat ketika melakukan perbuatan melawan hukum: kurangnya gaji dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Dalam novel Korupsi, potret tersebut digambarkan melalui konflik batin tokoh Bakir yang intensif sejak awal alur hingga peleraian (lihat h. 64-71). Niat untuk melakukan korupsi dikarenakan keinginannya untuk mendapatkan kembali status sosial yang hilang karena berkurangnya harta benda dan ketidakpastian pendidikan anaknya, akibat gaji pegawai negeri yang kurang mencukupi. Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati seperti sudah jamak di masa kini: Korupsi.91 Kutipan di atas menunjukkan pergaulan dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat menjadi berburuk sangka terhadap kemampuan (harta) orang lain. Dalam hadist, pepatah manusia tidak dapat terlepas dari masyarakatnya, diibaratkan bergaul dengan tukang minyak wangi yang menularkan wewangian dan tukang pandai besi yang membawa panas92 yang berarti lingkungan dapat mempengaruhi seseorang. Hal ini terjadi ketika Bakir berniat untuk korupsi karena merasa temantemannya pun melakukannya. Meskipun, jika dilihat pada pembahasan mengenai tema (lihat h. 48), Bakir hanya menerka kekayaan teman kantornya dan menganggapnya sebagai hasil korupsi. Namun, pergaulan Bakir dengan orang-orang yang (menurutnya) korupsi perlahan mengubah karakternya, dari awalnya sebagai pegawai negara yang dapat membentengi diri dari aksi korupsi, kemudian mengubah pendiriannya 91
karena
melihat
lingkungan
yang
(menurutnya)
Toer, op. cit., h. 3-4. Permisalan teman yang baik dan buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap (H.R. Bukhari 5534 dan Muslim 2628). 92
90
melakukan korupsi. Hal ini merupakan kritik yang diusung PAT terhadap orang yang mudah cemburu pada harta orang lain dan secara tidak sadar menerka “mengapa dia bisa kaya, pasti korupsi”, kemudian dijadikan alasan atas pelanggaran hukum yang dilakukannya. Besok atau lusa aku akan kembali jadi pegawai terhormat sebagai di jaman kolonial dahulu, terpandang dan dimalui.93 Manusia dilahirkan dengan dibekali kemampuan akal untuk memilih perbuatan apa yang akan dilakukannya. Bagi kaum pria, urusan duniawi seperti harta-tahta-wanita, seakan menjadi simbol yang menunjukkan status sosialnya. Dalam novel, hal ini berkaitan dengan tema minor yang diusung PAT ketika alasan harta-tahta-wanita muncul dalam perkara seseorang melakukan korupsi (lihat h. 47). Hal tersebut tampak pada tokoh Bakir yang pada mulanya hanya berniat mendapatkan
harta
untuk
mencari
ketenangan
masa
depan
keluarganya. Namun, niat Bakir semakin intens ketika harta diraih dengan mengharapkan rasa hormat oleh bawahannya yang dirasa tidak didapat ketika ia belum memiliki harta. Akhirnya, seperti adagium harta-tahta-wanita, istri muda sebagai simbol kemampuan bagi seorang pria membawa Bakir memilih Sutijah sebagai istri muda. Hari ini juga akan kumulai. Gampang! Berunding dengan leperansir! Buat kuitansi palsu, dan negara akan bayar aku. Semua beres dan bukti kejahatan tidak ada. Aku sudah tua dan barangkali dalam lima atau sepuluh tahun yang akan datang tubuhku telah dikuburkan orang bersama batu kerikil. Mengapa harus menjalani korupsi? Mengapa menodai sejara yang demikian bersih kalau sejarah itu hampir selesai?94 Dalam memahami tokoh Bakir ketika merealisasikan „niat‟nya, narator menarik ulur emosi pembaca. Konflik batin dalam diri Bakir ditambah penolakan yang ditunjukkan istrinya seolah memberikan 93 94
Toer, op. cit., h. 9. Ibid., h. 10-12.
91
suspense bagi pembaca, antara Bakir yang akan menarik niatnya untuk melakukan
korupsi
atau
tetap
melanjutkan
niatnya
tanpa
memperhatikan sekelilingnya. Namun, ketika niat sudah dicanangkan dan terus dipelihara, maka realisasi dari niat hanya menunggu waktu yang tepat. Hal ini dapat dikatakan sebagai cara khas PAT dalam mendayagunakan tokohnya untuk mengusung sebuah misi. Seperti Bakir, kebanyakan tokoh yang digambarkan PAT memiliki pemikiran yang individualis, mendobrak bobroknya suatu sistem di masyarakat, namun di sisi lain tetap bersifat seperti manusia pada umumnya yang memiliki kepedulian terhadap konvensi-konvensi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tokoh Minke dalam Bumi Manusia ketika pemikirannya melawan adat Jawa. Meski menolak, secara manusiawi yang memiliki hubungan sosial, Minke tetap melakukan konvensikonvensi yang ada sebagai bentuk penghormatan kepada raja seperti berjalan dengan menggunakan pantat dan tangan untuk menunjukkan sikap hormat kepada raja, bahkan ketika raja tersebut adalah ayahnya sendiri.95 b. Kesempatan (Kekuasaan, Kewenangan): Terciptanya Peluang Korupsi Korupsi dapat terjadi karena adanya kekuasaan yang dipegang oleh seseorang
dan
wewenang
yang
berlebihan
tanpa
adanya
pertanggungjawaban yang jelas. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin besar kekuasaan serta wewenang yang luas maka akan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi atau perorangan, sehingga dengan keadaan ini potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi. Karena surat ini; - surat yang ada di tangan ini – ha, paling sedikit, aku bisa korek uang duapuluh atau tigapuluh ribu rupiah! 95
179.
Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2010), cet. ke-15, h.
92
Mengapa tidak? Aku punya kuasa dalam pembelian ini. Pegawaipegawai menengah dan rendah itu tak akan tahu sedikitpun tentang ini. Dan kalau mereka tahu mereka bisa angkat kaki dengan segera.96 Sistem akuntabilitas dalam suatu lembaga mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi kinerja pegawai dalam sebuah lembaga. Peristiwa di atas, ditinjau dari perkembangan alur yang meningkatkan konflik batin tokoh yang terdapat pada bagian pemunculan konflik (lihat h. 65), terjadi ketika Bakir melihat celah untuk korupsi yang didukung oleh sistem akuntabilitas yang lemah di kantornya. Peluang melakukan korupsi sebanding dengan semakin besarnya kewenangan seseorang terkait dengan kebijakan yang dimiliki. Hal ini merupakan kritik yang dilancarkan PAT atas lemahnya sistem akuntabilitas di pemerintah pada masa itu yang mengakibatkan peluang untuk melakukan korupsi terbuka karena tidak adanya pertanggungjawaban atas biaya yang digunakan.97 Pikiran ini menyuruh aku mengingat, siapa yang harus menjadi sasaranku untuk pertama kali. Ya! Gampang saja. Taoke itu sudah berkali-kali mencoba menyogokku. Kena dia sekarang! Kena!98 Kesempatan untuk melakukan korupsi dapat semakin terbuka ketika pihak swasta yang berhubungan dengan pegawai negeri menggunakan sogokan untuk mendapatkan order. Dalam novel, hal ini dapat dipahami lewat narasi tokoh Bakir di atas bahwa ada taoke yang pernah mencoba menyogoknya. Permasalahan ini menunjukkan pihak swasta juga memiliki peran dalam terjadinya korupsi. Pola semacam ini terus berlangsung hingga kini, 63 tahun sejak novel Korupsi 96
Toer, Korupsi, op. cit., h. 8. Rivai Apin tentang ketidakberesan pembagian lisensi impor istimewa oleh Menteri Iskak kepada kawan-kawan separtainya yang mengakibatkan langkanya ketersediaan barang di dalam negeri. (Lihat Rivai Apin, “Suasana Tjatut Meliputi Kehidupan Ekonomi” dalam Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10 Oktober 1954, h. 3). 98 Toer, op. cit., h. 10. 97
93
diterbitkan, ketika seorang tahanan KPK mengaku menerima sogokan karena diancam pihak swasta.99 Permasalahan tersebut merupakan salah satu misi yang diusung PAT yakni perang melawan korupsi juga perlu dimulai dari sikap pihak swasta (masyarakat) ketika berhubungan dengan pegawai negeri. Nanti habis kantor kuangkat sebagian dari harta terpendam itu, langsir ke pasar Senen dan menjualnya di tempat toko kertas tangan kedua.100 Selain kesempatan yang terdapat di kantor dengan kurangnya akuntabilitas, kesempatan lain yang turut menyuburkan praktik korupsi adalah adanya pasar gelap (ilegal). Dalam novel diceritakan Bakir menjual peralatan kantor ke pasar Senen, meski dengan harga yang jauh lebih murah dari harga biasanya. Harga pasar bebas semua itu tidak kurang dari seratus, tetapi aku tak berani membantah.101 „Budaya‟ menjual barang kantor ini berkaitan dengan kondisi sosial pada masa pembuatan novel seperti yang telah dibahas pada bagian latar waktu (lihat h.78), bahwa kejahatan menjual barang kantor mulai jamak dilakukan oleh masyarakat karena kondisi ekonomi.102 Korupsi pencurian aset negara dapat terjadi dalam skala yang lebih besar seperti penjualan gedung negara dengan harga yang jauh lebih murah, hingga skala yang kecil seperti menggunakan kendaraan kantor untuk keperluan pribadi. Hal ini merupakan kritik yang dilancarkan PAT terhadap keberadaan pasar gelap yang (anehnya) didukung oleh
99
Dian Maharani, Bacakan Pleidoi, Rudi Akui Terima Uang karena Terpaksa, diakses pada 02/05/2016 21.00 WIB dari, http://nasional.kompas.com/read/2014/04/15/1816082/Bacakan.Pleidoi.Rudi.Akui.Terima.Uang.karen a.Terpaksa 100 Toer, op. cit., h. 13. 101 Ibid., h. 20. 102 Apin, loc. cit.
94
masyarakat itu sendiri dengan ikut menjual barang curian meski dengan harga yang jauh lebih murah. c. Lingkungan Korup: Gejolak Korupsi di Masyarakat Secara
umum,
kondisi
lingkungan
akan
berdampak
pada
masyarakat di lingkungan tersebut. Dalam memahami korupsi, sebuah pertanyaan kemudian muncul: mungkinkah seseorang melakukan korupsi di tengah lingkungan yang tidak korup atau sebaliknya, mungkinkah untuk tidak korupsi di tengah lingkungan korup. Dalam novel, hal ini berkaitan dengan meningkatnya konflik batin Bakir ketika ia melihat rekan kerja bahkan bawahannya yang memiliki kehidupan jauh lebih baik darinya (lihat h. 64). Praktik korupsi digambarkan dapat terjadi dimulai dengan adanya niat pelaku yang didukung oleh perbedaan harta yang dimiliki rekan pegawai. Hal ini kemudian menguatkan niat Bakir untuk melakukan korupsi seperti umumnya masyarakat yang memelihara kecemburuan terhadap harta orang lain. ... Markis si Sujak itu, yang baru dibelinya untuk hadiah ulang tahun perkawinannya yang kelima belas, harganya tak kurang dari tujuh ribu ... kalau begitu si Sujak itu korupsi juga rupanya. Cuma aku yang ketinggalan kereta.103 Dengan tiada menunggu jawaban ia telah membukai harta curianku. Ah, kalau sekiranya aku polisi, dialah yang mula-mula aku tangkap. Dialah biangkeladi dari segala pencurian di kantorkantor pemerintah. Tiada dia, pencurian kertas dan karbon dan lainlainnya tidak akan terjadi di Indonesia ini.104 Secara psikologis tokoh, kutipan di atas terjadi ketika Bakir melihat keadaan ekonomi rekan kerjanya yang jauh lebih baik darinya. Ada dua sisi yang coba disuarakan PAT lewat serangkaian peristiwa di
103 104
Toer, op. cit., h. 70. Ibid., h. 20.
95
atas. Di satu sisi, PAT menggambarkan „kebiasaan‟ masyarakat yang berburuk sangka terhadap harta milik orang lain dan menjustifikasi alasan tersebut ketika melanggar hukum. Di sisi lain, PAT menggambarkan bahwa fenomena korupsi sudah sedemikian rupa mulai dilakukan pegawai pada masa itu meski masih dalam taraf yang kecil dan sembunyi-sembunyi. Hal ini, kemudian turut didukung dengan keberadaan pasar gelap yang menampung harta curian. Karena surat ini: -surat yang ada di tangan ini- ha, paling sedikit aku bisa korek uang duapuluh atau tigapuluh ribu rupiah! Mengapa tidak? ... Orang-orang lain berbuat begitu juga. Apa salahnya aku mulai mencoba-coba! Mereka bisa punya mobil malah ada yang mendirikan rumah tiga buah dalam setahun dan tidak ada satu polisi pun bisa menangkap.105 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendapatkan celah untuk melakukan korupsi. Peristiwa ini kemudian turut mengubah karakter Bakir secara perlahan, dari seorang yang antikorupsi menjadi orang yang melakukan korupsi karena melihat peluang untuk korupsi. PAT menggambarkan karakter Bakir secara manusiawi ketika memandang sebuah permasalahan, salah dalam bersikap yang bisa dialami oleh siapa saja dan di mana saja. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi dapat terjadi di tengah lingkungan yang bersih sekalipun, tergantung bagaimana seseorang menciptakan atau menutup peluang untuk korupsi. d. Tindakan Melakukan Korupsi (Action): Melawan Nurani Korupsi merupakan tindakan menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki dengan melakukan tindakan yang merugikan negara. Korupsi bermula dari suatu tindakan kecil dan seringkali akan berakhir menjadi kebiasaan dengan skala yang lebih besar. Dalam novel, tokoh yang melakukan korupsi justru tokoh yang memiliki latar belakang reputasi 105
Ibid., h. 8.
96
yang baik, Bakir. Hal ini kemudian menimbulkan surprise bagi pembaca dalam memahami perkembangan tokoh Bakir. “Kalau tidak mau aku bisa cari tempat lain ...” “Tuan kan kenal aku? Tuan kenal kantorku, kedudukanku, bahkan juga namaku.” “Jadi tuan ambil untuk tuan sendiri lima rupiah satu setel ...” “Kan bisa tuan jual delapan puluh lima rupiah. Yang lima buat aku?” “Jadi dimahalkan?” “Ya, tentu saja dimahalkan. Yang bayar kan bukan taoke? Yang bayar negara.” Ia diam dan menimbang-nimbang. Akhirnya: “Betul juga kata tuan,” katanya. 106 Ditinjau dari perkembangan konflik, kutipan di atas meningkatkan konflik batin Bakir menuju klimaks ketika Bakir tetap melaksanakan niatnya untuk korupsi (lihat h. 66), dengan „melawan‟ sejarah kejujuran yang telah dijalani. Untuk memperkuat kesan memiliki kewenangan, Bakir menunjukkan semua dapat dikendalikan dan meyakinkan kepada taoke bahwa memberikan kutipan sebagai sebuah kewajaran. Seperti umumnya orang melakukan kejahatan untuk pertama kali, Bakir pun merasa ragu-ragu untuk melakukannya. Bahkan, dilihat secara psikologis, hati Bakir mengecam perbuatan korupsi yang melawan nuraninya, “Perbuatan ini adalah tindakan pengecut! Aku cuma mau ambil jalan yang dekat, tidak ada susah payahnya, tercepat, paling menguntungkan.”107 Namun, niat yang telah dipelihara dalam hati ditambah kesempatan yang terbuka, mendorong Bakir untuk melanjutkan perbuatannya. Peristiwa ini menunjukkan betapa niat yang didukung oleh kesempatan dapat mengubah pandangan seseorang, bahkan pandangan yang bertolak belakang sekalipun. Hal ini merupakan kritik PAT terhadap orang106 107
Ibid., h. 64-66. Ibid., h. 15.
97
orang yang memelihara niat untuk melakukan pelanggaran hukum, karena peluang bisa diciptakan dan lingkungan dapat diubah sedemikian rupa. Perubahan yang sesungguhnya tidaklah ada. Rupa-rupanya hanya akulah yang berubah – aku sendiri. Dahulu semua ramah terhadap aku dan sebaliknya. Tapi kini aku tidak berani ramah terhadap mereka, takut kalau-kalau tergelincir petunjuk-petunjuk yang bisa menjejaki perbuatanku. Kedamaian dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan kehidupan berumah tangga bersama anak-anak dan biniku kini telah hilang, mungkin juga untuk selama-lamanya.108 Kutipan di atas menunjukkan konflik batin dalam diri Bakir setelah melakukan korupsi. Jika ditinjau dari perkembangan alur, peristiwa tersebut terdapat pada bagian peleraian (lihat h. 69). Bakir kembali pada kesadarannya bahwa, harta yang diimpikan nyatanya tidak dapat memberikan ketenangan dalam dirinya. Perasaan tersebut muncul tepat setelah Bakir melaksanakan niatnya untuk korupsi. Pemilihan gaya penceritaan pada bagian alur dengan langsung menceritakan penyesalan dalam diri Bakir ketika berhasil melakukan korupsi merupakan misi PAT untuk mengungkapkan bahwa seorang koruptor tidak pernah merasakan kesenangan dalam dirinya meski dengan banyaknya harta yang didapat. e. Mengamankan Hasil/ Menikmati (Security): Kritik PAT terhadap Hedonisme di Masyarakat Pelaku koruptor sadar bahwa uang hasil korupsi akan mudah terlihat oleh masyarakat, misalnya pegawai pajak yang dapat mengamati rekening kemudian melihat latar belakang pemilik rekening tersebut. Satu-satunya cara mengamankan hasil korupsi adalah dengan memanipulasi pendapatan. Dalam novel, cara tersebut
108
Ibid., h. 106-108.
98
dapat dilihat dari tokoh Bakir ketika berusaha memanipulasi pendapatan yang diperoleh. Hal ini memperlihatkan PAT berusaha mengembangkan cerita secara natural dengan memperhatikan jalinan peristiwa berdasarkan realita di masyarakat. Siasatku begitu ulung dan tidak akan diketahui orang. Bukankah setengah tahun yang lalu kubeli surat lotre yang mendapat hadiah pertama dengan lima puluh ribu rupiah lebih mahal? Bukankah itu bisa juga dipergunakan untuk mengelakkan tuduhan berkorupsi? 109 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir memikirkan siasat yang akan digunakan kelak ketika ia ditangkap karena korupsi. Seperti jamaknya pelaku kejahatan, secara psikologis, Bakir menyembunyikan sumber harta yang didapat, karena dengan gaji pegawai negerinya sangat sulit ia memiliki harta seperti yang diinginkannya. Peristiwa ini digunakan PAT untuk menunjukkan perasaan koruptor di tengah menikmati hasil korupsinya, bahwa para koruptor selalu merasakan risau perilakunya terungkap. Hal ini kemudian mengakibatkan hilangnya ketenangan batin para koruptor. “Orang tuaku adalah kaya mempunyai perusahaan pembakaran kapur dan pabrik tegel di Yogya dan Gunung Kidul. Dan kakekku.” “Dia petani kaya di Purwokerto.” “Dua ratus hektar sawahnya.” “Orang-orang itu akan salah duga kalau mendakwa aku melakukan korupsi.” “Sebenarnya mereka tak perlu menuduh-nuduh. Mereka bisa pergi kepada polisi dan mengadukan halku. Itu lebih gampang,” gertakku. Tahu benar aku bahwa gertakan itu akan melenyapkan dakwaan yang bukan-bukan. Tapi sekiranya mereka kerjakan juga, habis tandaslah riwayatku.110 Kutipan di atas terjadi ketika Bakir didakwa melakukan korupsi oleh para pegawainya. Kecurigaan tersebut muncul karena melihat
109 110
Ibid., h. 146. Ibid., h. 124-126.
99
perubahan dalam diri Bakir yang memiliki benda-benda yang dianggap dapat meningkatkan status sosial, seperti villa di Bogor, mobil plymouth dan dandanan yang perlente. Kemudian, secara naluri Bakir menolak dakwaan tersebut dan memanipulasinya dengan mengatakan harta benda yang dimiliki merupakan warisan dari orangtuanya. Hal ini merupakan misi yang diusung PAT, bahwa masyarakat dapat ikut mengawasi harta para pegawai negara sebagai pencegahan tindakan korupsi. Pada masa kini, setiap pegawai negara diwajibkan melaporkan harta kekayaannya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas harta yang dimiliki.111 Aku ingat pada janjiku yang dahulu. Kami akan berpesiar ke Bali apabila tidak ada halangan dan menghirup hawa bebas tanpa memikirkan apa pun juga. Kupandangi dia lama-lama. Begitu cantik dan muda. Tangan dan lehernya dihiasi bermacam permata yang mahal-mahal. Kuteruskan permenunganku. Kian lama kian terasa betapa hampa hidupku selama ini: dalam umur yang begini yang tiada dikawani oleh cinta seorang anak atau seorang isteri, atau sesamanya.112 Seperti jamaknya koruptor untuk menunjukkan kelas sosialnya dengan cara memiliki properti dan kendaraan mewah serta berpergian ke tempat hiburan. Dalam novel, Bakir membeli segala peralatan mewah, mobil mahal dan villa di selatan Bogor untuk menunjukkan status sosial yang telah berubah. Namun, di tengah harta benda yang dimiliki, ada sesuatu yang hilang dalam diri Bakir karena terus dilanda kekhawatiran akan terungkapnya perilaku yang dilakukan. Peristiwa ini, dilihat dari psikologi tokoh, kemudian membawa Bakir kembali kepada kesadaran bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting dari harta. Perannya sebagai tokoh antihero membawa tujuan besar yang 111
kpk.go.id, Mengenai LHKPN, diakses http://kpk.go.id/id/layanan-publik/lhkpn/mengenai-lhkpn 112 Toer, op. cit., h. 141-143.
pada
18/06/2016,
20.00
WIB,
dari
100
dibawa PAT, bahwa seorang koruptor akan selalu merasa kehilangan ketenangan
hidupnya
karena
merasa
khawatir
terbongkar
kecurangannya. 2. Nilai Antikorupsi Nilai antikorupsi yang ditampilkan PAT dalam novel Korupsi dapat dipetik dari narasi maupun dialog para tokoh yang menunjukkan nilai antikorupsi dan pelanggaran terhadap nilai antikorupsi yang dilakukan tokoh
utama,
Bakir.
Nilai
antikorupsi
yang
dilanggar
tersebut
menimbulkan konflik batin tokoh Bakir dikarenakan bersinggungan dengan nilai antikorupsi yang diusung tokoh lain. Nilai antikorupsi yang dirujuk berdasarkan sembilan nilai yang dikampanyekan KPK yakni jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani dan peduli. Dalam novel Korupsi, setidaknya terdapat empat nilai antikorupsi yang ditunjukkan oleh para tokoh maupun nilai antikorupsi yang dilanggar tokoh Bakir. Kedua sisi nilai tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk membentengi diri dari perbuatan korupsi. Nilai antikorupsi tersebut adalah sebagai berikut. a. Kejujuran: Benteng Utama Manusia Kejujuran merupakan tonggak awal untuk melawan tindak korupsi. Nilai kejujuran yang dilanggar dalam novel Korupsi terlihat dari bagaimana Bakir sebagai tokoh utama antihero yang mengalami perubahan dikarenakan lingkungan dan terutama dorongan dari dalam diri. Hal ini tampak pada perubahan tokoh utama ketika sebelum, sedang dan setelah melakukan korupsi. Sementara itu, terdapat tokoh Mariam dan Sirad yang mencerminkan tokoh pengusung nilai kejujuran. Kemudian, kedua sisi tokoh yang berseberangan ini mengakibatkan konflik yang mempengaruhi perkembangan cerita. Secara sosiologis, Bakir merupakan tokoh yang dikenal selalu mengamalkan nilai kejujuran dalam setiap tindakannya, baik itu di
101
kantor
maupun
di
dalam
keluarga.
Karakter
ini
kemudian
mengakibatkan konflik batin dalam diri Bakir kelak ketika memutuskan untuk korupsi. Aku tiada dengar apa yang dikatakan isteriku selanjutnya. Aku mulai memikirkan nasib diriku. Semua orang –semua saja- yang kenal padaku pasti tahu aku adalah orang yang jujur terus menerus. Aku yakin, bahwa kejujuranku sudah terkenal ke mana-mana dan aku yakin juga banyak orang telah bercerita tentang kejujuranku dengan perasaan kecewa: lihat tuan Bakir itu; apakah yang bisa diperolehnya dengan kejujurannya itu? Paling sedikit seratus orang telah menyesalkan kejujuranku yang tidak menghasilkan apaapa.113 Kutipan di atas menggambarkan pemikiran Bakir ketika berniat korupsi. Permasalahan yang dirasakan masyarakat secara umum: kurangnya gaji dan dorongan kebutuhan hidup. Bayangan hidup tenang dimasa tua mendorongnya untuk meninggalkan kejujuran yang selama ini dipegangnya. Bakir merasa kejujuran yang selama ini ia lakukan tidak berbekas apa-apa, bahkan menurutnya orang lain akan menyesalkan kejujurannya. Nilai kejujuran mendapatkan porsi yang cukup besar dalam andil membentuk jalinan alur lewat tokoh Bakir. Dengan memulai korupsi, berarti Bakir telah meninggalkan kejujuran yang telah melekat pada dirinya. Hal ini dapat menjadi pembelajaran yang diusung PAT, bahwa sesungguhnya pilihan untuk melakukan korupsi atau tidak, ada dalam diri masing-masing. Ah sekali membohong, pikirku, harus tetap dan terus membohong hingga akhirnya engkau tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang bohong.114 Seorang koruptor akan selalu merasa risau akan terungkapnya perilaku yang dilakukan. Untuk itu seorang koruptor akan selalu
113 114
Ibid., h. 37. Ibid., h. 87.
102
menutupi hal-hal yang menurutnya berbahaya dengan kebohongan. Kutipan di atas memperlihatkan Bakir yang merasa terlalu banyak berbohong hingga tidak tahu lagi mana yang benar. Nilai kejujuran yang diusung PAT juga terdapat dalam karya lainnya seperti Rumah Kaca, ketika tokoh Pangemanann menjabarkan konspirasinya untuk menggelincirkan
aktivitas
politik
Minke
dengan
membuat
kebohongan-kebohongan. Sebuah peristiwa yang diungkap dari sudut pandang Pangemanann sebagai tokoh antihero yang menceritakan perbuatannya ketika menghalangi perjuangan Minke. Dalam novel Korupsi, terdapat beberapa tokoh yang mengusung nilai kejujuran, di antaranya sebagai berikut. “Kalau benteng kejujuranmu telah tembus untuk pertama kali,” –ia mulai menegur dengan suara berdaulat- “engkau akan menyerah. Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan dapat memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu saja yang bisa menolongmu.”115 Kutipan di atas terjadi ketika Mariam menentang suaminya, Bakir, yang berniat melakukan korupsi. Karakternya yang statis dengan tetap berpegang pada kejujuran, menimbulkan konflik dalam diri Bakir yang memiliki karakter dinamis. Perubahan karakater Bakir pada mulanya didorong keinginan hidup tenang. Keinginan tersebut dibayangkan hanya dapat diraih jika memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. “Barangkali mereka kekurangan uang belanja, lantas berkorupsi,” tiba-tiba aku memperlunak kesalahan mereka – kesalahan yang akan kujalankan nanti. “Kalau hanya karena kekurangan belanja, mereka bisa cari kerja lain yang lebih menguntungkan dan tidak menjadi tikus. Tikus! Tikus yang terus-menerus merusak sampai akhirnya datang kucing menerkamnya.”116 115 116
Ibid., h. 48. Ibid., h. 58.
103
Selain Mariam, terdapat tokoh Sirad yang mengusung nilai kejujuran.
Hal
tersebut
terlihat
dari
kutipan
di
atas
yang
menggambarkan pemikiran Sirad yang menentang perilaku korupsi. Sebagai tokoh muda, Sirad mewakili semangat kaum yang memiliki pola pikir pembaru dan revolusioner (lihat h. 58). Lewat tokoh Sirad, PAT mengajak kaum muda untuk bergerak melakukan perubahan membangun bangsa dalam hal membentengi diri dengan kejujuran. b. Tanggung Jawab: Mengukur Etos Kerja Tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kewajiban yang seharusnya dilakukan. Seseorang yang bertanggung jawab kelak akan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya dengan anggapan yang dilakukan sebagai pengabdian dan pengorbanan. Namun, lain halnya dengan koruptor yang senantiasa mengabaikan kewajibannya. Sirad telah tiga tahun bekerja menjadi pembantuku yang setia. Dapat aku katakan dialah sesungguhnya sekretarisku, bahkan lebih dari itu: wakilku. Sesungguhnya sudah lama dia harus kuusulkan menjadi sekretarisku atau wakilku. Tetapi keinginan untuk mendapat pujian dari atasan sebagai kepala bagian, yang luar biasa giatnya inilah, yang menyebabkan dia jadi korban.117 The right man on the right job, ungkapan itu mungkin akan tepat bila disandingkan dengan kutipan di atas. Bakir merupakan kepala bagian tetapi tidak mengerti tugas yang harus dikerjakan. Sementara Sirad, pembantu Bakir yang paham apa yang harus dikerjakan, justru tidak mendapatkan promosi jabatan yang selayaknya. Secara psikologi tokoh, Bakir tidak mempromosikan jabatan kepada Sirad karena ingin menunjukkan kepada atasan seolah segala pekerjaan dia yang lakukan. Hal ini (bisa dikatakan) kritik PAT terhadap pejabat negara yang tidak 117
Ibid., h. 52.
104
memiliki kapasitas selayaknya yang mengakibatkan pelayanan publik kurang maksimal. “... Bapak terlalu sering mengabaikan kantor. Pekerjaan menjadi berantakan dan dari daerah-daerah datang protes dan keluhan kelambatan pesanan.” “Jangan dikira aku tidak bekerja sebaik-baiknya untuk keberesan kantor ini. Tidak seorang pun dapat menggulingkan aku.”118 Seorang
koruptor
senantiasa
tidak
menjalankan
tanggung
jawabnya dengan baik dikarenakan sibuk menutupi perbuatan korupsinya. Ditinjau dari perkembangan alur, kutipan di atas memperlihatkan konflik dalam diri Bakir menuju peleraian (lihat h. 69). Bakir yang merasa rekan kerjanya mulai curiga atas perubahan dalam dirinya mulai mencari siasat untuk menutupi perbuatannya. Usaha
menutupi
kegelisahannya
kemudian
mengakibatkan
terbengkalainya tugas kantor. Hal ini merupakan nilai yang diusung PAT, bahwa seorang pelaku kejahatan, dalam hal ini koruptor, akan selalu hidup dalam ketakutan yang kemudian akan berdampak pada terbengkalainya kewajiban yang dimiliki. Ia juga mempunyai jalannya sendiri: tiap hari membawa buku pelajarannya untuk menarik perhatianku. Di waktu tak ada kerja dibacainya buku-buku itu dan memberinya catatan di merge. Sebelum kantor mulai kerja ia telah duduk di teritis dengan buku yang tebal-tebal.119 Melihat aku datang, pegawai-pegawai memperlihatkan kerajinannya masing-masing. Tapi sudah lama aku tidak peduli pada sikap palsu itu. Kudapati Sirad sedang menyusun pekerjaannya.120 Selain tokoh yang mengabaikan tanggung jawab, terdapat tokoh yang mengusung nilai tanggung jawab, salah satunya Sirad. Karakter 118
Ibid., h. 114-115. Ibid., h. 53. 120 Ibid., h. 62-67. 119
105
Sirad yang statis tetap berpegang pada nilai tanggung jawab kemudian mempengaruhi konflik batin Bakir. Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana karakter Sirad yang tidak meninggalkan tanggung jawab di tengah usahanya dalam menempuh pendidikan. Jika seseorang yang memiliki sifat abai terhadap tanggung jawab akan senantiasa mencari bermacam alasan untuk menghindari tanggung jawabnya, seseorang yang memiliki tanggung jawab akan melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin, termasuk tanggung jawab dengan tidak korupsi. Hal ini merupakan cara membentengi diri dari perilaku korup yang diusung PAT lewat tokoh Sirad, bahwa masyarakat harus memiliki nilai tanggung jawab dalam setiap pekerjaannya untuk menutup peluang melakukan korupsi. c. Kedisiplinan: Menerima Pemberian Sesuai dengan Haknya Kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan. Seorang yang disiplin akan senantiasa menjalankan pekerjaan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Namun, bagi koruptor, kedisiplinan merupakan hal yang biasa untuk dilanggar, karena dengan melanggar disiplin celah melakukan korupsi akan terbuka. Perbuatan ini adalah tindakan pengecut! Pengecut! Aku cuma mau ambil jalan yang dekat, tidak ada susah payahnya, tercepat, paling menguntungkan– dan: masih tetap membutuhkan kehormatan.121 Dalam novel, PAT banyak memberikan pelajaran moral lewat tokoh Bakir. Salah satunya kutipan di atas ketika Bakir yang berniat melakukan korupsi mengakui bahwa perbuatan ini merupakan perbuatan seorang pengecut. Ditinjau dari perkembangan alur, kutipan di atas memberikan suspense bagi pembaca mengingat penggambaran 121
Ibid., h. 15.
106
karakter Bakir sebelumnya sebagai kepala kantor yang jujur, antara tetap melaksanakan niat korupsinya atau kembali kepada kesadaran. Satu hal yang dapat dijadikan pembelajaran bahwa, koruptor pun sebenarnya sadar, tindakan tidak disiplin dengan mengambil hak orang lain merupakan perbuatan yang salah dan menimbulkan kegelisahan dalam dirinya. Namun, pelaku koruptor yang memilih memelihara niat untuk mencari celah korupsi akan terus terjerumus dalam kubangan koruptor tanpa mampu kembali. “Kecurigaan tuan tidak pada tempatnya. Begini, beri aku persekot dari bagianku dan nanti sore taoke menerima order.” Taoke membuka laci dan aku menerima lima ribu. Kantongku menjadi gembung sekarang.122 ... “Tuan tidak suka pada syarat-syaratku? Tanyaku agak mendesak. “Sayang sungguh kalau tidak tuan terima. Dengan pesanan ini sekaligus perusahaan tuan akan sebesar perusahaanperusahaan asing.” Dari ruangan sebelah terdengar suara direktur perusahaan itu menelpon. “Ya, ada di sini,” katanya “bukti? ada bukti tinggal nangkap basah.”123 Mengambil hak orang lain, begitulah para koruptor „bekerja‟ dalam sistem yang mereka buat. Ada pihak yang tidak berdaya melawan koruptor dan ada pihak yang berjuang melawan koruptor. Ditinjau dari unsur penokohan, kutipan di atas menggambarkan dua sikap yang dipilih pengusaha swasta ketika berhubungan dengan Bakir. Kutipan pertama menggambarkan taoke menuruti bagian yang diminta Bakir untuk mendapatkan order. Sementara pada kutipan kedua, terdapat taoke yang memilih untuk berupaya menjebak Bakir ketika berniat korupsi. Secara umum, perlawanan yang ditunjukkan
122 123
Ibid., h. 66-67. Ibid., h. 131-133.
107
PAT lewat tokoh taoke merupakan nilai yang selalu diusung dalam setiap karyanya, mendobrak sistem yang memasung masyarakatnya (dalam hal ini korupsi). Hal ini dapat dijadikan pembelajaran bahwa dengan disiplin menerima sesuatu sesuai dengan hak dan bekerja sesuai prosedur, peluang terjadinya korupsi dapat ditutup rapat-rapat. d. Kesederhanaan: Harta sebagai Akibat Perbuatan Bukan Tujuan Pola hidup berlebih-lebihan erat kaitannya dengan tindakan korupsi. Setidaknya, kerakusan merupakan satu di antara pola hidup berlebihan yang menyebabkan perilaku korupsi sulit disembuhkan. Seseorang dengan karakter sederhana akan senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diperoleh dan perbuatannya selalu dilandasi nilai-nilai agama maupun nilai kebaikan. Cukup untuk membuat rumah sendiri, sepeda motor aku punya lagi. Rumah tangga mentereng di mana tiap waktu menderu dentaman Francis Bernett atau Indian, atau B.M.W., bahkan mungkin juga Plymouth. Dan pegawai-pegawai – monyet-monyet itu – akan mengagumi, takluk dan takzim padaku. Mereka takkan dapat bersikap masa bodoh seperti sekarang. Dan isteriku akan berpakaian baik seperti dahulu, cukup perhiasan cukup kesenangan. Kita dapat menggaji babu, barangkali dua atau tiga. Dan anak-anak? Mereka akan terus dapat sekolah. Di waktu liburan mereka dapat bersenang di gunung, di pantai atau belajar membuat tamasya jauh.124 Ditinjau dari perkembangan tokoh, kutipan di atas menunjukkan angan-angan Bakir yang tinggi secara perlahan turut mengubah karakternya menjadi dinamis. Bakir membayangkan hal-hal yang dapat membuatnya bahagia. Celakanya, untuk memenuhi hal yang diidamidamkannya itu, Bakir berniat melakukan korupsi. Korupsi, bagaimana pun alasannya merupakan tindakan melawan hukum dan tidak dapat dibenarkan. Bakir beralasan, korupsi yang dilakukan hanya untuk
124
Ibid., h. 8-9.
108
memenuhi kebutuhan hidup karena gaji yang kurang. Namun, alasan tersebut hanyalah alasan seorang koruptor. Hal ini dapat dilihat dari tokoh istri Bakir yang tetap bersyukur dan berperilaku sederhana meskipun gaji suaminya kurang mencukupi. Untuk itu, mencegah niat untuk melakukan korupsi dapat dilakukan dengan mensyukuri nikmat yang telah diterima. Sesungguhnya dia begitu setia. Barangkali tak ada satu wanita lain di dunia ini yang seperti dia setianya. Barangkali. Ia tak pernah mengeluh di depanku karena kekurangan uang belanja. Kekurangan selalu diisinya dan diatasinya sendiri. Perempuan lain mungkin meradang menghadapi kekurangan belanja.125 Sederhana merupakan satu dari beberapa nilai yang diharapkan PAT dapat dipetik dari novel Korupsi. Kutipan di atas memperlihatkan karakter Mariam yang diceritakan lewat pandangan Bakir, yang memiliki pola hidup yang tetap sederhana. Meski, dengan posisi Bakir sebagai kepala bagian memungkinkannya untuk mendorong suaminya melakukan korupsi. Dengan gaya hidup sederhana, pembaca akan dibiasakan untuk hidup sesuai dengan kemampuan dan mendahulukan kebutuhan daripada keinginan. Siapa yang tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya? Tetapi uang ini – dia telah membawa aku ke jurusan lain – di urusan yang tidak kuhendaki sendiri – dengan kekuatan yang penuh dan tiada terlawan. Aku masih ingin hidup dengan istriku yang setia itu, dengan anak-anakku yang cerdas-cerdas. 126 Kutipan di atas menggambarkan dinamisnya karakter Bakir yang akhirnya kembali pada kesadaran dan „setuju‟ bahwa meski dengan harta berlimpah seorang koruptor akan selalu merasa kehilangan ketenangan hidupnya. Bakir pun merindukan kehidupannya yang
125 126
Ibid., h. 44. Ibid., h. 107.
109
dahulu, pahit tapi damai dan hati tidak gersang dirongrong kiri kanan.127 Setelah penulis melakukan penelitian tentang pendidikan antikorupsi dalam novel Korupsi karya PAT, terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai hasil temuan. Novel Korupsi diterbitkan ketika suasana ekonomi pegawai negeri sedang menurun akibat gaji yang kurang mencukupi. Hal ini kemudian menyebabkan kegelisahan di masyarakat akan „budaya‟ korupsi yang mulai menggejala. PAT menawarkan sebuah jalinan cerita yang mengusung nilai antikorupsi yakni pilihan untuk melakukan korupsi atau melawan terdapat dalam diri manusia itu sendiri, karena setiap manusia dibekali naluri untuk berbuat kebaikan dan kejahatan. Hal tersebut dapat dilihat dari jerat lingkaran korupsi yang memberikan pelajaran bagaimana seorang koruptor menjalankan aksinya. Jerat lingkaran korupsi dimulai dari niat yang dipelihara menghasilkan dorongan untuk mencari celah melaksanakan korupsi. Lingkungan turut mendukung terjadinya pelanggaran, namun pilihan untuk melawan atau ikut terbawa arus ada dalam diri sendiri. Hal ini terlihat dari perubahan karakter Bakir dari sebelumnya dapat membentengi diri dari korupsi, kemudian beralih menjadi seorang yang terbiasa melakukan korupsi karena desakan ekonomi dan terlebih karena niat yang dipelihara. Korupsi kemudian dapat terjadi dikarenakan tersedianya peluang, salah satunya akibat rendahnya akuntabilitas. Puncaknya dengan melakukan tindakan korup, dengan atau tanpa didukung lingkungan dan dengan atau tanpa adanya peluang, karena ketika niat telah tertanam, peluang dapat diciptakan dan lingkungan dapat diubah sedemikian rupa. Jerat lingkaran korupsi berakhir pada usaha mengamankan hasil korupsi, para koruptor senantiasa merasa risau akan terungkapnya perbuatan yang dilakukan. Untuk
127
Ibid., h. 142.
110
mencegah jerat lingkaran koruptor, dapat dilakukan dengan membentengi diri dari perbuatan korupsi dengan menanamkan dan mengamalkan nilai antikorupsi, antara lain: kejujuran yang dapat membentengi diri dari perbuatan korupsi, tanggung jawab yang dapat membawa seseorang senantiasa melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, disiplin yang dapat membentuk sikap seseorang untuk menerima sesuai dengan haknya dan kesederhanaan yang dapat membentuk pribadi seseorang untuk mensyukuri nikmat yang diperoleh. C. Implikasi pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Novel Korupsi karya PAT memberikan banyak pelajaran tentang nilai antikorupsi
seperti
kejujuran,
tanggung
jawab,
kedisiplinan
dan
kesederhanaan. Hal ini sejalan dengan tujuan implementasi kurikulum 2013, salah satunya peserta didik menjadi insan yang kreatif dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, novel Korupsi dapat diimplementasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester genap (dua). Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan dalam rangka mengembangkan keterampilan berbahasa dan bersastra seperti yang terdapat dalam RPP, dengan kompetensi dasar yang menekankan pada aspek menganalisis teks cerita cerita fiksi dalam novel baik melalui lisan maupun tulisan dengan cara menentukan sifat tokoh dan cara penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan. Siswa diharapkan mampu menganalisis kedudukan dan sifat tokoh serta mampu menginterpretasi makna yang terkandung di dalam novel. Salah satu permasalahan dalam proses pembelajaran novel adalah kurangnya ketersediaan novel bermutu di sekolah yang dapat dibaca siswa. Akibatnya, ketika dihadapkan dengan tugas membaca novel dalam pelajaran, kebanyakan bersumber bukan dari novel populer dan teenlit (biasanya dimiliki siswa karena tren), siswa menjadi kurang antusias dan cenderung
111
tidak membaca novel tersebut. Dengan perkembangan teknologi, hal tersebut dapat disiasati dengan menyediakan novel digital yang dapat diunduh siswa lewat perangkat ponselnya. Hal ini tentunya memerlukan kerjasama antara pemerintah selaku penyedia layanan dan penulis selaku pemilik karya. Meski file digital belum banyak memiliki lisensi dari pemegang hak cipta. Proteksi yang minim dalam dunia internet mengakibatkan mudahnya mengakses file tersebut. Namun, dalam tujuan pembelajaran hal ini memiliki dampak positif, setidaknya dapat memperkenalkan budaya membaca pada siswa. Untuk memfasilitasi hal tersebut, guru dapat menyediakan novel digital setidaknya satu novel dalam satu semester. Novel tersebut diharapkan merupakan novel yang tersedia di perpustakaan, namun jumlahnya kurang memadai untuk dibaca secara serentak oleh siswa. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menghargai hak cipta penulis novel yang karyanya dimanfaatkan dalam pembelajaran dengan cara digital. Dalam
implikasi
pembelajaran penelitian ini,
penulis
mencoba
menggunakan teknik membaca dengan menggunakan file digital. File yang telah disiapkan sebelumnya dapat diunduh oleh siswa setidaknya satu bulan sebelum materi memahami wacana dalam novel dilaksanakan. Novel Korupsi yang memiliki tebal 160 halaman diharapkan dapat selesai dibaca oleh siswa dalam waktu yang disediakan. Dengan membaca keseluruhan cerita, siswa akan memahami pesan tersirat di samping pesan tersurat yang disampaikan oleh penulis novel. Untuk itu, diperlukan pengecekan kembali untuk memastikan siswa telah membaca novel dengan cara menanyakan isi cerita maupun pesan yang terdapat di dalam novel sebelum jadwal materi tersebut dilaksanakan. Dengan pesatnya perkembangan media sosial, tugas tersebut dapat memanfaatkan media sosial sebagai daya tarik siswa dalam pembelajaran. Dalam hal ini, siswa ditugaskan untuk mengunggah kutipan novel yang menurutnya unik atau menginsipirasi yang ditemukan di dalam novel Korupsi. Hal ini memerlukan daya tarik guru untuk membawa siswa
112
mengikuti aturan yang diterapkan guru untuk kemudian mengubah siswa menjadi gemar membaca, dalam hal ini membaca novel. Saat jadwal kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, siswa diharapkan telah membaca bahkan mendiskusikan hal-hal yang terdapat di dalam novel Korupsi lewat media sosial yang ditentukan. Dalam pertemuan pertama dengan indikator mampu menentukan teknik pelukisan, karakter tokoh dan cara penggambaran tokoh, siswa dibawa memasuki kegiatan awal pembelajaran
dengan
menggunakan
metode
tanya-jawab
untuk
mengungkapkan tokoh novel yang dikagumi dari novel yang telah dibaca selain novel Korupsi. Hal ini akan membawa siswa mempelajari secara konsep, apa yang telah mereka dapat di luar kegiatan belajar sekolah. Pada bagian inti, untuk memperkuat pemahaman siswa, guru dapat menjelaskan
konsep
karakter,
kedudukan
dan
penggambaran
tokoh
berdasarkan kutipan di dalam novel Korupsi. Kemudian, guru memfasilitasi siswa untuk mengungkapkan pengetahuannya dengan metode tanya-jawab, terkait unsur penokohan dalam novel seperti teknik pelukisan, karakter tokoh dan cara penggambaran tokoh oleh pengarang. Hal ini bertujuan untuk memberikan arahan kepada siswa ketika mengerjakan tugas selanjutnya yakni mengidentifikasi karakter, kedudukan dan penggambaran tokoh berdasarkan kutipan yang terdapat dalam novel Korupsi. Dengan menggunakan pendekatan inquiry, setelah memahami nilai maupun cara berpikir yang terdapat dalam unsur intrinsik penokohan, tugas ini akan memberi pembelajaran pada siswa untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi ketika
berhadapan
dengan
dunia
nyata.
Untuk
menugaskan
siswa
menyampaikan tugasnya di depan kelas (atau dari tempat duduknya) yang dapat dikoreksi oleh teman-temannya secara langsung, digunakan permainan “tepuk satu, tepuk dua” agar membiasakan siswa konsentrasi dan memastikan siswa telah mengerjakan tugas. Hal ini bertujuan untuk memotivasi siswa bertanggung jawab dalam mengerjakan tugasnya karena penunjukkan
113
diberikan secara acak. Sebagai penutup, guru melakukan refleksi dengan menanyakan apa yang telah dipelajari dan kesulitan yang dihadapi siswa. Kemudian, memberikan tugas untuk pertemuan berikutnya yakni menentukan nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel. Pada pertemuan kedua, dengan indikator mampu menginterpretasi makna yang terkandung pada teks novel, guru memulai pembelajaran dengan meminta siswa untuk menyampaikan pendapatnya mengenai nilai antikorupsi yang terdapat di dalam novel. Hal ini bertujuan untuk memastikan siswa telah siap memasuki pembelajaran. Guru dapat melengkapi pengetahuan siswa dengan memberikan informasi mengenai nilai antikorupsi yang diusung KPK. Pada bagian inti, guru memanfaatkan media audiovisual film dengan judul “Berani Jujur? Hebat!”128 yang akan menghubungkan pengetahuan siswa dalam menganalisis novel Korupsi. Dengan menampilkan film tersebut, diharapkan siswa memiliki pengetahuan tentang nilai antikorupsi yang dikampanyekan KPK. Untuk menunjang pembelajaran dengan metode kooperatif, guru memfasilitasi siswa untuk membuat empat kelompok (banyaknya kelompok tergantung jumlah siswa). Hal ini bertujuan agar siswa dapat mengembangkan kecakapan hidupnya, seperti memecahkan masalah, pengambilan keputusan, berpikir logis dan bekerja sama lewat interaksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Kemudian, untuk menerapkan their existing knowlegde melalui problem solving, guru menugaskan siswa untuk menghubungkan nilai antikorupsi dalam novel dengan kehidupan sehari-hari dengan cara menuliskan naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama tokoh seperti yang terdapat dalam novel Korupsi namun siswa memiliki kebebasan mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan dan mengandung nilai 128
Sosishot Project, Berani Jujur? Hebat!, diakses pada 16/06/2016 21:00 WIB, dari http://m.youtube.com/watch?v=Dz7Js09JdfA&itct=CCkQpDAYACITCKWrgcavs80CFSgYfgodrXEp vFIMYmVyYW5pIanVy&gl=ID&hl=id&client=mv-googl
114
antikorupsi meliputi aspek kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan dan kesederhanaan.
Metode
penugasan
ini
dimaksudkan
sebagai
wujud
menerapkan pemahaman siswa terkait dengan nilai antikorupsi. Setelah pembelajaran berlangsung, siswa diharapkan mengetahui nilai antikorupsi dan dapat menghindarkan diri dari perilaku korupsi dengan mengamalkan
nilai
antikorupsi.
Pada
pertemuan
pertama,
dengan
menggunakan metode inquiry, diharapkan siswa dapat menemukan sendiri unsur intrinsik berkaitan dengan penokohan berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki. Dengan menggunakan pembelajaran yang berbasis pada problem solving pada pertemuan kedua, diharapkan siswa dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-harinya secara realistis. Selain itu, pembelajaran ini diharapkan menghasilkan dampak jangka panjang yakni membentuk kepribadian siswa yang memiliki budaya antikorupsi dan berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Melalui pembelajaran dengan kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berkarakter yang menggunakan pendekatan tematik dan kontekstual, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningatkan dan menggunakan
pengetahuannya,
mengkaji
dan
meninternalisasi
serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulai sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap objek kajian novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer, maka dapat dipaparkan beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Analisis intrinsik terhadap novel Korupsi memperlihatkan seluruh unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Korupsi mendukung tema minor adagium harta-tahta-wanita yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, dalam hal ini korupsi, dan tema mayor yakni konflik batin seorang koruptor. Hal ini merupakan kritik yang dilancarkan PAT melihat kondisi sosiologi masyarakat Indonesia pada saat itu yang mulai melakukan praktik korupsi dan gagasan dasar untuk memerangi praktik korupsi yaitu seorang pelaku kejahatan akan selalu kehilangan ketenangan batinnya. Selanjutnya, dalam rangka upaya tindakan pencegahan korupsi dapat dimulai lewat pendidikan antikorupsi kepada generasi muda sebagai penerus bangsa. Analisis terhadap pendidikan antikorupsi dapat dilihat dari jerat lingkaran korupsi dan nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi yang dapat dijadikan pembelajaran dalam upaya membentengi diri dari perilaku korup. Empat nilai tersebut yakni kejujuran, tanggung jawab, disiplin dan kesederhanaan. 2. Implikasi terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah adalah peserta didik dapat mempelajari pendidikan antikorupsi melalui novel Korupsi. Pembelajaran dengan tema pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam novel ini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah seperti yang terdapat pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bahasa dan sastra di tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester
115
116
genap (dua) dengan kompetensi dasar yang menekankan pada aspek menganalisis teks cerita cerita fiksi dalam novel baik melalui lisan maupun tulisan dan menentukan sifat tokoh dan cara penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan. Pada pertemuan pertama, dengan menggunakan metode inquiry, siswa diharapkan dapat menemukan sendiri unsur intrinsik berkaitan dengan penokohan berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki. Dengan menggunakan pembelajaran yang berbasis pada problem solving pada pertemuan kedua, siswa diharapkan mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan gejala korupsi para konteks kehidupan sehari-hari. Hasil jangka panjangnya, peserta didik diharapkan memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi pada negeri ini dan semangat antikorupsi sebagai generasi penerus bangsa. Hal ini sejalan dengan tujuan implementasi kurikulum 2013, salah satunya peserta didik menjadi insan yang kreatif dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi. B. Saran Dari kesimpulan yang sudah dijelaskan sebelumnya, penulis memberikan beberapa saran yang nantinya dapat dijadikan referensi demi terlaksanakannya pengembangan pendidikan, terutama pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. 1. Penelitian ini hanya berkisar pada pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer. Untuk itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dan motivasi pada penelitian selanjutnya dengan mengaitkan novel lain yang memiliki tema serupa, korupsi. 2. Luasnya aspek pendidikan antikorupsi memungkinkan peneliti selanjutnya meneliti pendidikan antikorupsi dari bidang studi yang berbeda seperti, pendidikan antikorupsi dalam novel dilihat dari sudut pandang hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA Abrams. M.H., A Glossary of Literary Terms. United States of America: Cornell University, 1999. Anwary. Perang Melawan Korupsi. Jakarta: Institut Pengkajian Masalah-masalah Politik dan Ekonomi, 2012. B., Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988. Bayley, David H. Akibat-akibat Korupsi pada Bangsa-Bangsa sedang Berkembang, Terj. dari The Effect of Corruption In a Developing Nation oleh Muchtar Lubis dan James C.Scott. Jakarta: LP3S, 1988. Budi, Johan. Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan. Jakarta: Spora Communications, 2007. Budianta, Eka. Mendengar Pramoedya. Jakarta: PT. Atmochademas Persada, 2005. Budianta, Melanie. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera, 2002. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013. Escarpit, Robert. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Hakiim, Lukmanul. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima, 2009. Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Hans, August. dan Snoek, Kees. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Hun, Koh Young. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. Jassin, HB. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essei. Jakarta: Gunung Agung, 1962. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet. 18, 2008.
117
118
Lubis, Mochtar. Senja di Jakarta. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet ke-2, 1981. Luxemburg, Jan Van., dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding In de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartanto. Jakarta: Gramedia, cet. 4, 1992. Madasari, Okky. 86. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet ke-3, 2015. Muhibbuddin, Muhammad. Catatan dari Balik Penjara: Goresan Pena Revolusi Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Zora Book, 2015. Mulyasa. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. ke-6, 2015. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press, 1995. Parwadi, Redatin. Koruptologi. Yogyakarta: Kanisius, 2010. Puspito, Nanang T. (eds). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud, 2011. Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ke 2, 2009. Sabarguna, Boy. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, Jakarta: UI-Press. 2005. Semma, Mansyur. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor, 2008. Scherer, Savitri. Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi. Depok: Komunitas Bambu, 2012. Sinulingga, Andi. Berharap pada Pemuda?. Jakarta: Suara Karya, 2006. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Soedarso, Boesono. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta: UI Press, 2009. Tahar Ben Jelloun, Korupsi, Terj. dari L’Homme Rompu oleh Okke K.S. Zaimar, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010.
119
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 1986. Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997. Toer, Pramoedya Ananta. Korupsi. Jakarta: Hasta Mitra, 2002. -----. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara, cet. ke-15, 2010. -----. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara, 2011. Tohari, Ahmad. Orang-Orang Proyek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet ke-2, 2015. Wellek , Rene., dan Warren, Austin. Teori Sastra. Terj. dari, Theory of Literature oleh Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia, 1993.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Fiyani, Mega. “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra.” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011. tidak dipublikasikan.
Anwar, Rosihan. “Geger Dikalangan Pamong Pradja.” Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10 Oktober 1954. Apin, Rivai. “Tokoh2 Mati: Korupsi Novel Pramoedya Ananta Toer dalam Madjalah Indonesia“, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 22 Agustus 1954. -----. “Suasana Tjatut Meliputi Kehidupan Ekonomi”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10 Oktober 1954. Heinschke, Martina. “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya’s Developing Literary Concepts.” Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966. Liu, Hong. “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual.” Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966.
120
Lubis, Bersihar. “Narsisme Harap Minggir.” Majalah Gamma, Jakarta, 31 Mei - 6 Juni, 2000. Prabowo, Sheto Risky. “KPK Ajak 25 Guru Menulis Antikorupsi.” Integrito. Jakarta, September-Oktober 2015 -----. “KPK Selaraskan Pendidikan Antikorupsi.” Integrito, Jakarta, SeptemberOktober 2015 Santoso, Iman. “28 Siswa Lulus Sekolah Antikorupsi.” Integrito. Jakarta, September-Oktober 2015.
Ahadi. “Apa Fungsi Pagar Rumah.” http://ilmusipil.com, 11 Juni 2016. Astuti, Yuli. “Nilai dan Prinsip Antikorupsi.” www.diskopukm.natunakab.go.id, 02 April 2016. International, Transparency. “Perbaikan Penegakan Hukum, Perkuat KPK, Benahi Layanan Publik.” www.ti.or.id, 02 Februari 2015. Kpk.go.id. “Mengenai LHKPN.” http://kpk.go.id, 18 Juni 2016. Kurniawan, Eka. “Pramoedya Ananta Toer, Belenggu di Pulau Buru.” http://ekakurniawan.net, 09 Ferbuari 2016. Maharani, Dian. “Bacakan Pleidoi, Rudi Akui Terima Uang Karena Terpaksa.” www.nasional.kompas.com, 02 Mei 2016. Project, Sosishot. “Berani Jujur? Hebat!”, http://m.youtube.com, 16 Juni 2016. Sihaloholistick, “Pembelajaran dan Teori www.jendelasastra.com, 11 Desember 2015. Sundiawan, Awan. “Skenario Mengarahkan https://awan965.wordpress.com, 14 Juli 2016.
Apresiasi Generasi
Sastra.” Z.”
The American Heritage Dictionary of the English Language. “Antihero.” http://thefreedictionary.com/antihero, 18 Juni 2016.
Lampiran 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Sekolah Mata Pelajaran Kelas / Semester Alokasi waktu
: SMA 5 Jakarta : Bahasa dan Sastra Indonesia : XI / 2 : 2 x 45 menit (1x pertemuan)
1. Kompetensi Inti KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia. KI 3 : Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah keilmuan terkait. 2. Kompetensi Dasar 1.3. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel. 2.4. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita novel dengan cara menentukan kedudukan tokoh-tokoh. 3.3. Menganalisis teks cerita cerita fiksi dalam novel baik melalui lisan maupun tulisan dengan cara menentukan sifat tokoh dan cara penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan 3. Tujuan Pembelajaran Setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan peserta didik mampu : a. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks dalam novel. b. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita fiksi dalam novel. c. Menganalisis teks yang terdapat dalam novel dengan cara mendidentifikasi unsur intrinsik bagian penokohan. 4. Metode Pembelajaran a. Diskusi. b. Inkuiri. c. Ceramah. d. Penugasan. 5.
Langkah-Langkah Pembelajaran Pertemuan I Kegiatan
Deskripsi Kegiatan
A. Kegiatan Awal
1) Guru mempersilahkan salah satu dari peserta didik untuk memimpin doa bersama 2) Guru mengkondisikan dan momotivasi peserta didik bahwa mengerti karakter tokoh penting guna pemahaman novel keseluruhan. 3) Guru mengajak peserta didik bertanya jawab untuk menggali pengetahuan awal mengenai novel “Anak-anak, bagaimana novel yang telah kalian baca? Apakah ada tokoh yang kalian kagumi? Pada pembelajaran kali ini kita akan belajar tentang menerangkan sifat-sifat tokoh dalam novel”.
B. Kegiatan Inti
Mengamati : 1) Teknik pelukisan, penggambaran, dan karakter tokoh yang ditampilkan guru. 2) Mencermati uraian yang berkaitan dengan struktur dan kaidah novel Mempertanyakan : 1) Bertanya jawab mengenai hal yang berhubungan dengan unsur intrinsik khususnya bagian penokohan dalam novel Korupsi. Mengeksplorasi : 1) Menentukan teknik pelukisan, penggambaran, dan karakter tokoh yang terdapat novel Korupsi. Mengasosiasi :
Alokasi Waktu 15 Menit
60 Menit
C. Kegiatan Akhir
1) mendiskusikan tentang unsur intrinsik khususnya bagian penokohan Mengomunikasikan : 1) Menyampaikan teknik pelukisan tokoh, penggambaran, dan karakter tokoh yang terdapat dalam novel Korupsi. 2) Peserta didik yang lain memberikan tanggapan mengenai interpretasi yang disampaikan temannya. 1) Peserta didik diminta mengungkapkan pengalamannya dalam mengidentifikasi unsur intrinsik khususnya bagian penokohan. 2) Guru bersama peserta didik menyimpulkan materi pembelajaran menerangkan sifat tokoh dan implementasinya. 3) Guru menjelaskan tugas pertemuan berikutnya secara kelompok, menentukan nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel.
15 Menit
6. Alat / Bahan / Sumber a. Alat/bahan : 1) Buku : - Kreatif Berbahasa dan Bersast ra Indonesia u n t u k S M A kelas XI. Jakarta : Ganeca Exact. hlm. 119-122. - Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002. 2) LCD dan laptop. b. Power Point : 1) Buku Bahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional. hlm. 257-261. 2) Contoh novel : Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002. 7. Penilaian a. Teknik : Tes tertulis dan Penugasan. b. Bentuk : Uraian dan Uji Petik kerja. c. Bentuk Instrumen/Soal : Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter tokoh yang terdapat dalam novel Korupsi! Berikan alasanmu! Mengetahui, Kepala SMA/MA
Jakarta, 24 Juni 2016 Guru Bahasa Indonesia
NIP.
Taufik Hidayatulloh NIM 111.101.3000.101
Lampiran 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Sekolah Mata Pelajaran Kelas / Semester Alokasi waktu
: SMA 5 Jakarta : Bahasa dan Sastra Indonesia : XI / 2 : 2 x 45 menit (1x pertemuan)
1. Kompetensi Inti KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia. KI 3 : Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah keilmuan terkait. 2. Kompetensi Dasar 1.3. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel. 2.4. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita novel dengan cara menentukan kedudukan tokoh-tokoh. 4.1. Menginterpretasi makna teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel baik secara lisan maupun tulisan. 3. Tujuan Pembelajaran Setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan peserta didik mampu : a. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks dalam novel. b. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita fiksi dalam novel. c. Menginterpretasi makna yang terdapat dalam novel dengan baik yang berkaitan dengan nilai antikorupsi. 4. Metode Pembelajaran a. Diskusi. b. Problem solving. c. Ceramah. d. Penugasan. 5.
Langkah-Langkah Pembelajaran Pertemuan II Kegiatan
Deskripsi Kegiatan
A. Kegiatan Awal
1) Guru mempersilahkan salah satu dari peserta didik untuk memimpin doa bersama 2) Mengkondisikan dan momotivasi peserta didik bahwa mengerti karakter tokoh penting guna pemahaman novel keseluruhan. 3) Mengajak peserta didik bertanya jawab untuk menggali pengetahuan pelajaran pertemuan sebelumnya. “Anak-anak, bagaimana tugas mengenai nilai antikorpsinya? Pada pembelajaran kali ini kita akan belajar tentang menerangkan nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi. Mengamati : 1) Nilai antikorupsi berdasarkan rujukan nilai antikorupsi KPK. 2) Mencermati uraian yang berkaitan dengan nilai antikorupsi Mempertanyakan : 1) Bertanya jawab mengenai hal yang berhubungan dengan nilai antikorupsi yang pernah peserta didik alami Mengeksplorasi : 1) Peserta didik menampilkan temuan nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi yang dikerjakan secara berkelompok. Mengasosiasi : 1) Peserta didik menghubungkan nilai antikorupsi
B. Kegiatan Inti
Alokasi Waktu 15 Menit
60 Menit
C. Kegiatan Akhir
tokoh dalam novel Korupsi dengan kehidupan sehari-hari peserta didik dengan cara menuliskan cerita naskah drama secara berkelompok dengan ketentuan menggunakan nama tokoh seperti yang terdapat dalam novel Korupsi namun siswa memiliki kebebasan mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan dan mengandung nilai antikorupsi meliputi a) jujur, b) tanggung jawab, c) disiplin dan d) kesederhanaan Mengomunikasikan : 1) Menyampaikan kerangka naskah drama yang telah dibuat dan mengandung nilai antikorupsi yang telah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari meliputi aspek (a) jujur, (b) tanggung jawab, (c) disiplin, dan (d) kesederhanaan 2) Peserta didik yang lain memberikan tanggapan mengenai interpretasi yang disampaikan temannya. 1) Peserta didik mengungkapkan permasalahan di masyarakat sesuai dengan permasalahan dalam novel. 2) Peserta didik diminta mengungkapkan pengalamannya dalam mengidentifikasi nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi 3) Guru bersama peserta didik menyimpulkan materi pembelajaran mengidentifikasi nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi 4) Guru menjelaskan tugas pertemuan berikutnya secara individu, menulis poster di kertas A4.
15 Menit
6. Alat / Bahan / Sumber a. Alat/bahan : 1) Buku : - Kreatif Berbahasa dan Bersast ra Indonesia u n t u k S M A kelas XI. Jakarta : Ganeca Exact. hlm. 119-122. - Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002. 2) LCD, speaker dan laptop. 3) Video “Berani jujur?hebat!” b. Power Point : 1) Buku Bahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional. hlm. 257-261. 2) Contoh novel : Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002.
3) Video : Berani jujur? Hebat! diakses dari, http://m.youtube.com/watch?v=Dz7Js09JdfA&itct=CCkQpDAYACITC KWrgcavs80CFSgYfgodrXEpvFIMYmVyYW5pIanVy&gl=ID&hl=id& client=mv-google 7. Penilaian a. Teknik : Tes tertulis dan Penugasan. b. Bentuk : Uraian dan Uji Petik kerja. c. Bentuk Instrumen/Soal : Mengetahui, Kepala SMA/MA
Jakarta, 24 Juni 2016 Guru Bahasa Indonesia
NIP.
Taufik Hidayatulloh NIM 111.101.3000.101
Lampiran RPP
1. Bahan Ajar A. Menganalisis Karakter Tokoh Novel sebagai rekaman peristiwa kehidupan di masyarakat yang menceritakan manusia dengan segala sepak terjangnya. Novel hadir dengan tokoh-tokoh dan karakternya. Beragam karakter tokoh novel adalah gambaran karakter manusia dalam kehidupan nyata karena novel lahir dari pengalaman batin pengarang yang merasakan kehidupan manusia. Setiap tokoh dalam novel mempunyai karakter atau watak. Karakter tersebut berfungsi untuk menghidupkan tokoh. Pada umumnya, pengarang menggunakan model orang-orang di sekitarnya untuk menghidupkan cerita. Tentu saja penggambaran itu tidak persis sama. Ada perubahan-perubahan sesuai dengan visi pengarang. 1) Sifat atau Karakter Tokoh Berdasarkan sifat atau karakter yang dapat menimbulkan konflik, tokohtokoh dalam novel terdiri atas tiga jenis tokoh, yaitu: a. Tokoh antihero Tokoh utama dengan karakter protagonis. Tokoh ini mempunyai sifat yang kontras terhadap sifat-sifat umum yang biasa dimiliki tokohtokoh utama. b. Tokoh protagonis Tokoh utama pendukung jalannya cerita, biasanya memiliki nilai-nilai kebaikan yang diharapkan masyarakat. c. Tokoh antagonis Tokoh yang diciptakan untuk menghalangi upaya tokoh utama. d. Tokoh tritagonis Tokoh pembantu, bersifat netral, tokoh penengah. 2) Kedudukan Tokoh Berdasarkan peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tiga jenis golongan, yaitu: a. Tokoh primer (utama)
Tokoh yang diutamakan penceritanya dalam novel. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. b. Tokoh sekunder (tokoh bawahan) Tokoh yang mendukung tokoh utama. Kedudukannya dalam cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung. c. Tokoh komplementer (tokoh bawahan) Tokoh figuran yang membantu tokoh utama, tetapi tidak begitu aktif. 3) Penggambaran Watak Tokoh Penggambaran watak tokoh dapat diketahui melalui tiga cara, yakni dari segi fisis, segi psikis, dan segi sosiologis. a. Segi Fisis Pengarang menjelaskan keadaan fisik tokohnya yang meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tampan, menarik,
tubuh (tinggi, pendek,
pincang,
gagah,
dan sebagainya). Ciri-ciri wajah (cantik, jelek,
keriput, dan sebagainya), dan ciri khas yang spesifik. b. Segi Psikis Pengarang melukiskan tokoh berdasarkan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat, dan karakternya. Segi psikis meliputi moral, kecerdasan, temperamen, keinginan, perasaan pribadi, dan keahlian khusus yang dimilikinya. c. Segi Sosiologi Pengarang menggambarkan
latar belakang kedudukan tokoh
tersebut dalam masyarakat dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya.
Segi
menengah),
sosiologis meliputi status sosial (kaya, miskin,
peranan
dalam
masyarakat, pendidikan, pandangan
hidup, kepercayaan, aktivitas sosial, dan suku bangsa. B. Nilai antikorupsi 1) Kejujuran Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. 2) Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), Negara dan Tuhan Yang Maha Esa. 3) Kedisiplinan Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 4) Kesederhanaan Bersahaja, sikap dan perilaku yang tidak berlebihan, tidak banyak seluk beluknya, tidak banyak pernik, lugas, apa adanya, hemat, sesuai kebutuhan, dan rendah hati.
2. Penilaian Indikator A. Mampu menentukan kedudukan tokoh-tokoh dengan tepat. B. Mampu menentukan sifat tokoh dengan alasan yang meyakinkan
Jenis Tes
Bentuk Uraian
Instrumen 1. Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter tokoh yang terdapat dalam novel Korupsi! Berikan alasanmu! 2. Terdapat tiga cara penggambaran tokoh yang digunakan pengarang. Bagaimanakah cara penggambaran tokoh dalam novel Korupsi? Jelaskan masing-masing dengan memberikan tiga contoh kutipan dalam novel!
C. Mampu menginterpretasi makna yang terkandung pada teks novel
3. Buatlah naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama tokoh seperti yang terdapat dalam novel Korupsi, kamu memiliki kebebasan mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan cerita yang mengandung nilai antikorupsi meliputi 1) jujur, 2) tanggung jawab, 3) disiplin dan 4) kesederhanaan!
3. Rubrik Penilaian Instrumen 1. Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter tokoh yang terdapat dalam novel Korupsi! Berikan alasanmu!
Aspek Penilaian 1. Mampu menunjukkan kedudukan tokoh dengan tepat
Skor 30
2. Kurang tepat dalam menunjukkan kedudukan tokoh
20
3. Tidak tepat dalam menunjukkan kedudukan tokoh
10
2. Terdapat tiga cara penggambaran tokoh yang digunakan pengarang. Bagaimanakah cara penggambaran tokoh dalam novel Korupsi? Jelaskan masingmasing dengan memberikan tiga contoh kutipan dalam novel!
1. Mampu menunjukkan tiga sifat dan tiga teknik penggambaran tokoh dengan tepat
30
2. Mampu menunjukkan dua sifat dan dua teknik penggambaran tokoh dengan tepat
20
3. Buatlah naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama tokoh seperti yang terdapat dalam novel Korupsi, kamu memiliki kebebasan
1. Mampu memanfaatkan empat nilai antikorupsi dalam naskah drama dengan baik
40
2. Mampu memanfaatkan tiga nilai antikorupsi dalam naskah drama dengan baik
30
3. Mampu memanfaatkan dua nilai antikorupsi dalam naskah drama dengan baik
20
3. Mampu menunjukkan satu sifat dan satu teknik penggambaran tokoh dengan tepat 10
mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan cerita yang mengandung nilai antikorupsi meliputi 1) jujur, 2) tanggung jawab, 3) disiplin dan 4) kesederhanaan!
4. Mampu memanfaatkan satu nilai antikorupsi dalam naskah drama dengan baik 10
Total
100
Skor Akhir = Skor perolehan siswa a+b+c
Soal dan Contoh Jawaban 1. Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter tokoh yang terdapat dalam novel Korupsi! Berikan alasanmu! Kedudukan tokoh Tokoh primer (utama) : Bakir, Mariam dan Sutijah Tokoh sekunder : Sirad, Bakri, Bakar, Basir dan Basirah Tokoh komplementer : Thiaw Lie Ham dan Wanita setengah tua Alasan : Karena tokoh Bakir mendapatkan porsi cerita yang banyak yang digunakan pengarang untuk mengusung nilai antikorupsi. Tokoh Mariam dan Sutijah merupakan tokoh yang mendapat porsi cerita yang banyak dan bersinggungan secara langsung dengan Bakir. Tokoh Sirad, Bakri, Bakar, Basir dan Basirah diceritakan lebih sedikit dan tidak menimbulkan konflik langsung yang dirasakan Bakir. Tokoh Thiaw Lie Ham dan Wanita setengah tua hanya sebagai ikon atau tokoh yang membawa Bakir menjalankan niatnya dan tenggelam dalam jurang korupsi Sifat atau karakter tokoh Tokoh antihero : Bakir Tokoh protagonis : Mariam dan Sirad Tokoh antagonis : Sutijah dan Thiaw Lie Ham Tokoh tritagonis : Wanita setengah tua, Bakri, Bakar, Basir dan Basirah Alasan : Tokoh Bakir sebagai antihero karena sebagai tokoh utama yang memiliki porsi penceritaan lebih banyak namun berbuat kejahatan yang diharapkan memberikan nilai positif bagi pembaca. Tokoh Mariam dan Sirad sebagai tokoh protagonis karena membawa nilai-nilai kebaikan dan menentang Bakir dalam upaya korupsi. Tokoh Sutijah dan Thiaw Lie Ham sebagai tokoh antagonis karena
mendukung kejahatan yang dilakukan Bakir. Tokoh Wanita setengah tua sebagai tokoh tritagonis karena sebagai pelengkap kejahatan yang dilakukan Bakir dan Bakri, Bakar, Basir dan Basirah karena sebagai alasan Bakir melakukan korupsi 2. Terdapat tiga cara penggambaran tokoh yang digunakan pengarang. Bagaimanakah cara penggambaran tokoh dalam novel Korupsi? Jelaskan masing-masing dengan memberikan tiga contoh kutipan dalam novel! Segi Fisis Aku dekati dia dan nampak olehku wajahnya yang pucat, kulitnya yang layu, dalam umurnya yang masih muda. (h. 97) Kutipan di atas terjadi ketika Bakir melihat kondisi fisik istrinya, wajahnya yang pucat, kulitnya yang layu dalam umur yang masih muda secara tidak langsung menggambarkan kondisi ekonomi keluarga Bakir yang serba kurang. Segi Psikis Telah dua puluh tahun aku jadi pegawai – kumulai dari magang. Tetapi kian hari kian berkurang saja harta benda dan umurku. ... Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati seperti sudah jamak di masa kini: Korupsi.(h. 4) Kutipan di atas terjadi ketika Bakir memikirkan apa yang harus dilakukan untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarganya dan pemikirannya membawa untuk melakukan korupsi. Segi Sosiologi Kalau dahulu pulang pergi naik sepeda tua, kini kendaraanku plymouth. Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang di deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor. (h. 107). Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mengungkapkan harta kekayaan hasil korupsinya, secara sosiologis harta tersebut merubah status sosialnya. 3. Buatlah naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama tokoh seperti yang terdapat dalam novel Korupsi, kamu memiliki kebebasan mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan cerita yang mengandung nilai antikorupsi meliputi 1) jujur, 2) tanggung jawab, 3) disiplin dan 4) kesederhanaan! Masih Mau Korupsi? Tema Tokoh
: Korupsi di sekitar kita. : Mariam, Sutijah, Bakir, Pak Sirad, Thiaw Lie dan Basirah
Pagi itu siswa kelas XI A telah belajar bahasa Indonesia dengan tema Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi. Bel istirahat pun berbunyi. Seluruh siswa keluar kelas kecuali Sutijah dan Mariam yang masih berbincang di tempat duduknya masing-masing. Mariam : “Pendidikan Antikorupsi, mungkin gak sih kita gak korupsi, dari
Sutijah Mariam
sehari-hari aja kita selalu melakukan perbuatan korupsi, aku sih dengerin pelajaran tadi cuma karena gurunya aja yang asik, ganteng lagi.” : “Yee Pak Siradnya aja yang kamu inget, pelajarannya juga diinget atuh dan dijalankan!” : “Diinget sih, tapi coba deh, sehari-hari aja kita ngelakuin korupsi, kayak gini nih.”
Bakir mempraktikan apa yang dimaksud Mariam. Ketika Bakir di kantin bel tanda masuk berbunyi. Sementara Mariam dan Sutijah tetap pada tempat duduknya. *kegiatan yang dilakukan Bakir digambarkan hanya angan-angan Sutijah dan Mariam. Bakir : “Ah, nanggung nih belum abis makanannya. Lagi baru aja istirahat, cepet banget masuknya sih. Ah, nanti bilang aja sama pak Sirad abis ke wc. Sakit perut hehehe” Setengah jam kemudian Pak Sirad : Melihat Bakir meminta izin masuk kelas “Sudah setengah jam pelajaran, dari mana saja kamu?” Bakir : “Abis dari wc pak, sakit perut”. Sambil memegang perut, dalam hati Bakir mengeluh benar-benar merasa sakit perut, karma mungkin. Pak Sirad : kepada Bakir “Kamu ke UKS aja, biar sakit perut kamu sembuh.” kepada siswa di kelas “Anak-anak kita lanjutkan pembagian hadiah voucher makan di kantin ini, siapa yang bisa jawab?” Bakir : dalam hati “Ha! Uda sakit perut beneran, gak kebagian voucher makan lagi” Bakir dan Pak Sirad keluar ruangan. Mariam Sutijah
Mariam Sutijah Mariam
: “Tuh dari hal kecil aja kita uda gak jujur, akhirnya tanggung jawab kita buat belajar jadi terbengkalai kan.” : “Ya itu sih tergantung orangnya aja, masa mau boong terus. Lagian belajar sama Bu Basirah kan enak, orangnya baik. Dan siapa pun gurunya bukannya belajar kewajiban kita ya?” : “Iya sih, kalo gurunya gak asik korupsi kayak gitu kayak sesuatu yang wajar.” : “Nah, permikiran mewajarkan kesalahan itu yang bikin praktik korupsi makin subur.” : “Ya gak selamanya sih, kalau kayak gini, aku juga ngeliatnya males.”
Bapak Thiaw Lie mengantar anaknya Basirah yang terlambat masuk kelas Pak Sirad Bapak Thiaw Lie : “Maaf Bapak, anak saya terlambat, supir saya ngendarain mobil mercedes baru saya itu, hemmm ... pelan-pelan sekali, takut lecet katanya pak. Ini juga anak saya, mandi
sama dandannya lama sekali pak. Jadi makin telat pak, mohon maaf bapak.” Basirah : “Hehehe. Kan kalo tampil cantik jadi semangat diliatin temen, eh semangat belajar.” Pak Sirad : “Oh ya, bukan biasanya Basirah di antar sama mama nya jalan kaki, kan rumahnya gak jauh dari sekolah kan pak?” Bapak Thiaw Lie : “Hehe iya pak ya mulai sekarang Basirah ke mana-mana harus di anter sama supir dengan mobil mercedes barunya pak, khawatir saya” Pak Sirad : “Oh begitu, baik pak. Basirah silahkan masuk.” Setelah Bapak Thiaw Lie pergi Pak Sirad : “Basirah, kurangi dandan berlebihan kamu, sederhana saja seperti teman-teman kamu, karena pelajar itu dilihat dari kepandaiannya, bukan dari penampilannya, apa lagi kamu jadi mengabaikan disiplin masuk tepat waktu. PR kamu uda?” Basirah : “Hehehe uda pak ... eh sedikit lagi ... eh belum pak.” Pak Sirad : “Hmm ...” Pak Sirad dan Basirah keluar ruangan. Mariam dan Sutijah : “Ya kalau modelnya kayak gitu sih “MASIH MAU KORUPSI?”
Koperasi Guru dan Karyawan SMA NEGERI 5 JAKARTA Jl. Tebet Timur Raya Jakarta Selatan No Absen Nama Kelas Bidang Studi Hari/Tanggal
: : : : :
Nilai
Paraf Guru
Orang Tua
Lembar Jawaban
Soal 1. Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter tokoh yang terdapat dalam novel Korupsi! Berikan alasanmu! 2. Terdapat tiga cara penggambaran tokoh yang digunakan pengarang. Bagaimanakah cara penggambaran tokoh dalam novel Korupsi? Jelaskan masing-masing dengan memberikan tiga contoh kutipan dalam novel! 3. Buatlah naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama tokoh seperti yang terdapat dalam novel Korupsi, kamu memiliki kebebasan mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan cerita yang mengandung nilai antikorupsi meliputi 1) jujur, 2) tanggung jawab, 3) disiplin dan 4) kesederhanaan! Jawaban 1. ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ 2. ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ 3. ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................
Lampiran 2
Sinopsis Novel Korupsi Korupsi adalah sebuah novel yang menceritakan tentang kehidupan seorang pegawai negeri yang berusaha untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarganya dengan cara korupsi. Bakir, seorang pegawai negeri yang telah mengabdi selama dua puluh tahun. Berasal dari keturunan yang juga pegawai negeri. Baginya menjadi pegawai negeri adalah suatu kehormatan. Harapan itu tertuang pada nama yang ia berikan kepada keempat anaknya, dengan inisial B: Bakri, Bakar, Basir dan Basirah. Dalam novel ini PAT memotret bagaimana keadaan sosial yang terjadi pada masa itu, gaji pegawai negeri yang kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup keluarga. Dalam novel diceritakan semakin hari kebutuhan keluarga Bakir semakin banyak sedangkan harta Bakir sedikit demi sedikit menghilang untuk menutupi kebutuhan keluarga. Bagian depan rumahnya disewakan pada orang Tionghoa, kendaraan bermotor berubah menjadi sepeda tua yang berkarat dan harta berharga lainnya telah berubah menjadi surat pegadaian. Keadaan bertambah sulit ketika anakanak Bakir yang semakin dewasa akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Kegelisahan Bakir memikirkan biaya sekolah anak membuat pikirannya tak tenang. Ia melihat kawan-kawannya yang mujur dalam kehidupan. Orang-orang yang pernah menjadi bawahannya bisa lebih makmur dari dirinya. "Apakah
yang bisa diperolehnya dengan
kejujurannya itu? Paling sedikit seratus orang telah menyesalkan kejujuranku yang tidak menghasilkan apa-apa ini" Terniatlah dalam hati Bakir, satu kata : Korupsi!1 Dalam perjalanan melaksanakan niat untuk korupsi, Bakir mendapat tantangan dari istri dan asistennya sendiri. Tantangan terbesar yang dihadapi Bakir justru berasal dari diri sendiri, ketika kejujuran yang selama ini dipegangnya harus ditinggalkannya untuk melakukan korupsi. Korupsi pertama yang dilakukan Bakir adalah mengambil persediaan alat tulis kantor dan menjualnya ke Taoke di Pasar Senen. Taoke hanya 1
Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002), h. 3-4.
menghargai barang „kutipan‟ tersebut sebesar Rp 20. Di tengah konflik batin dalam diri Bakir, antara melanjutkan niatnya untuk melakukan korupsi atau tetap hidup tenang meski kekurangan, Bakir mendapat pembenaran dalam dirinya “Kalau aku terima uang sebagai tanda terima kasih, apa salahnya? Itu bukan pelanggaran dan juga bukan kejahatan”.2 Nyatanya, pembenaran tersebut hanyalah penghibur diri di tengah kecemasan ada yang menyadari tindakannya. Namun, tekad yang telah tertanam dalam diri Bakir melangkahkan kakinya untuk melakukan korupsi yang lebih besar, memanipulasi pembelian kerja sama dengan Taoke di Jakarta Kota. Di rumah, Istri yang telah mendampinginya selama 15 tahun seakanakan bisa mencium niat korupsi Bakir. Istri Bakir mengutarakan ketakutan jika suatu hari membaca nama suaminya di koran sebagai koruptor. Baginya lebih baik hidup tenang-tenang. Bakir yang merasa melakukan korupsi untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarga menantang istrinya “Kalau aku mau korupsi, apa engkau mau berkata?”. Istrinya berusaha mengingatkan Bakir tetapi ia tidak mengacuhkannya. “Kalau benteng kejujuranmu telah tembus untuk pertama kali. Engkau akan menyerah. Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan dapat memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu saja yang bisa menolongmu”.3 Setelah mendapat tentangan keras dari istri, Bakir mulai melirik gadis yang sering ada di lamunannya, Sutijah. Sutijah berusia 20 tahun. Hidup berdua dengan ibunya di kawasan kumuh. Bakir memberikan uang korupsinya pada Sutijah. Gadis polos yang telah mencecap kekejaman hidup akhirnya luluh dalam rayuan rupiah. Bakir meninggalkan istri dan empat anaknya dan menikahi Sutijah. Mereka tinggal di rumah yang besar di kawasan puncak Bogor. Perubahan Bakir sekarang nampak jelas; dandanannya semakin perlente, sepeda tua berganti dengan mobil 2 3
Ibid., h. 75-76. Ibid., h. 48.
Lampiran 2
Plymouth dan kemeja selalu buatan luar negeri. Penduduk di sekitar rumah menghormatinya karena ia tidak pelit mengeluarkan uang untuk bantuan sosial. Meskipun telah melakukan korupsi selama hampir dua tahun, dan telah menghasilkan harta yang diidamkannya, Bakir tetap diliputi konflik batin. Kali ini, Bakir merasa harta yang ia miliki tidak memberi kedamaian batin. Dalam lamunannya, Bakir teringat istri dan anak-anaknya yang setia menemani dalam kesenangan maupun kemiskinan. Berbeda dengan Sutijah yang makin lama makin cantik namun tidak bisa memberikan kebahagiaan lagi, bahkan menjadi biang keladi perasaan duka dan kemuraman. Bakir tertangkap polisi ketika sedang mengirimkan uang untuk Sutijah dikantor pos. Namun, Bakir tertangkap bukan karena korupsi melainkan diduga menyebarkan uang palsu. Di penjara, Bakir dikunjungi oleh istri dan keempat anaknya, mereka masih tetap pada pendiriannya bahwa Bakir tetap suami dan ayah dari anak-anak mereka. Dan di akhir cerita, Bakir mengartikan dirinya sebagai “Golongan tua yang sebaiknya lenyap dan tidak ada lagi faedahnya bertahan di balik benteng kepalsuan”4 dan Sirad sebagai golongan muda yang berada “Di gelanggang perjuangan di mana ia dan angkatannya sedang menjawab tantangan hari depan – buat dirinya, buat tanah air dan sejarahnya”.5
4 5
Ibid., h. 158. Ibid., h. 160.
LEMBAR PENGESAHAN UJI REFERENSI Nama
Taufik Hidayatulloh
NIM
I 1 I 1013000101
Jurusan
Pendidikan Bahbsa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Judul Skripsi
Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer dan Lnplikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosed Pembimbing
Rosida Erowati, M.Hum.
Paraf BAB
1
2
J
I
Savitri Scherer. Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi. Depok: Komunitas Bambu.2012. Tahar Ben Jelloun. Korupsi. Te1. dan L'Homme Rompu oleh Okke K.S. Zaimar. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2010. Mega Fiyani, "Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer;
knplikasinya terhadap Pembelajaran Sastra. " Skrips i pada
1,
xvii.
5,
11
1
1,3
27
I
5
2
403, 195,29, 205
)1-)
LIIN Syarif Hidayatullah lakarta,
Jakarta.
2011.
&
4 4
tidak
dipublikasikan.
Rosihan Anwar. 4
"Geger Pradja." Siasat Warta Sepekan. Jakarta, l0
Dikalangan Pamong Oktober 1954.
A.Teeuw. Citra 5
#
Manusia
Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997.
4
6
Koh Young Hun. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia.lakarta: Gramedia
15,20
2
t39
J
25
3
159
J
92
J
Pustaka Utama, 2011. HB. Jassin. Kesusasteraan 7
8
Indonesia Modern dalam Kritik dan Essei.lakarta: Gunung Agung, t962. Rivai Apin. "Tokoh2 Mati: Korupsi Novel Pramesflya Ananta Toer dalam Madjalah Indonesia." Siasat Warta Sepelmn. Iakarta,22 Azustus 1954.
Martina Heinschke.
Gelanggang and
9
"Between Lekra:
Pramoedya's Developing Literary Concepts." Jurnal Indonesia, Y ol. 61,
April
4 & &
1966.
Bersihar Lubis. "Narsisme Harap
l0
4
Minggir." Majalah
Gamma, Jakarta, 31 Mei-6 Juni 2000.
+
Transp arency International. "P erb aikan P enegakan Hukum, 11
Perkuat KPK, Benahi Layanan Publik." www.ti.or.id, 02 Februari
5
2016
t2
Iman Santoso. "28 Siswa Lulus Sekolah Antikorupsi." Integrito,
54
6
37
6
1
6
75
6
Jakarta, September-Oktober 20 1 5.
&
fr
Sheto Risky Prabowo. "KPK Ajak 13
25 Guru Menulis Antikornpsi." Integrito, Jakarta, SeptemberOktober 2015.
+
Sheto Risky Prabowo. "KPK t4
Selaraskan
Pendidikan
Antikorupsi." Integrito, Jakarla, September-Oktober 20 I 5.
15
Johan Budi, dkk. Menyalakan Tengah Kegelapan. Jakarta: Spora Communications,
Lilin di 2007.
h
$
16
Boy S. Sabarguna. Analisis Data Kualitatif.
pada Penelitian
d
10
9
183, 179
9, 10
.1-l
13
10
.l.o
13, 15
&
736,969
14, t9
&
279
15
4
t26
15
l0
15
JJ
l5
86
15
Jakarta: LII-Press, 2005.
Wahyudi Siswanto. Pengantar l7
Teori
Sastra.
Jakarta: Grasindo,200 8. 18
Nyoman Kutha Ratna. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ke 2,2009.
BAB
t9
II
Redatin Parwadi. Korupt o I o gi. Yo gyakarta:
4t,
56
Kanisius,2010.
20
2l
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.lakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional.
Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
22
Anwary. Perang Melawan Korupsi. Jakarta: Institut Pengkajian Masalah-masalah Politik dan Ekonomi, 2012.
23
Boesono Soedarso. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta: UI Press. 2009.
Mansyur Semma. Negara 24
J^
4
dan
Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Marutsia Indonesia dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor, 2008.
+
David H. Bayley. Akibat-akibat
Kortqsi pada 25
Bangsa-bangs.r
sedang Berkembang. Te{. dar, The Effect of Corruption In a Developins Nation oleh Muchtar
$
Lubis dan James C.Scott. Jakarta: LP3S, l9gg Nanang Puspito (eds). Pendidikan 26
Anti Korupsi untuk Perguntan Tinggi.lakarta: Kemendikbud,
iii,
75
16, 18
20t1.
&
Yuli Astuti. "Nilai dan Prinsip 27
Antikorupsi." http://diskopulon.natunakab. go.id, 02 Awil2016
Wahyudi Siswanto. Pengantar 28
Teori
Sastra,
Jakarta:
18
46,143, 16l. t59-160,152,
Grasindo,2008.
188
12,
18,22, 24,26, 28,33
ll4,133,
116,247-249, 29
Burhan Nurgiyantoro, Teori P engkaj ian Fiksi. Yo gyakarta : Gadjah Mada University Press, 2009.
30
Prinsip Dasar Sastra.Bandtng;
261,265-266, 279-283, 165-t67, 213-216,303, 3t5-322,249, 347-361
19,20, 21,24, 27,28,30
Henry Guntur Tarigan. Prinsip16s
t9
282,287,
19,23, 27,32
Angkasa,1986.
31
Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Sastra. Terj. dari, Theory of Literature oleh Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia, 1993.
291,
ll0
Melanie Budianta. Me.mbaca 32
Sastra. Magelang: Indonesia Tera, 2002.
86
20
+
fl
I +
s #
The American Heritage Dictionary of the English 33
Language, "Antihero." http //thefreedictionary. c om/antih ero, 18 Juni 2016
22
4
1l
22
+
749,23
24,32
:
34
35
Abrams. A Glossary of Literary Terms.United States of America: Comell University, 1 999. Jan Van Luxemburg, Mieke Bal dan Williem G Wetsteijn. Pengantar llmu Sastra. Teq'. dari
Inleidins
In
de
#
Literatuurwetenschap oleh Dick Hartanto. Jakarta: Gramedia, 1992, cet. 4.
36
Gorys Keraf. Dilrsi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Cet. ke-l8.
tt2, tt2:t45.
31, 32
37
Nyoman Kutha Ratna. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ke 2,2009.
1-3
32
t7
33
82
33
Robert Escarpit. 38
Sosiolo
Pengantar gi Sastra. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Andi Sinulinggu. Berharap pada Pemuda? Jakarta: Suara Karya,
39
2006. 40
Sihaloholistick. "Pembelajaran dan Teori Apresiasi Sastra." wwwjendelasastra.com, 11
JJ
Desember 2015
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius,
4l
17,66-79
33,36
43
JJ
65, t64
35,36
1988.
42
43
Lulsnanul Hakiim. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima,2009.
Mulyasa. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. ke-6, 2015.
Awan 44
+ + +
+ & +
4
Sundiawan. "Skenario
Mengarahkan
Generasi" https ://awan96 5.wordpress.com,
37
14 Juli 2016
III Muhammad Muhibbuddin. Catatan dari Balik Penjara: Goresan Pena Revolusi Pramoedya Ananta Toer.
B,AB
4t
&
Yogyakarta; Zora Book, 2015
8,1,23
38, 39
&
Saviki Scherer. Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi. Depok Komunitas
42
Bambu,2012.
Koh Young Hun. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak
43
Indonesia. Jakarta:
Gramedia
11, 16, xv,
ivii, ll-r2,20
xvi,
18,
2,3,15,17, 18,20,
11
PustakaUtama,2011.
A. Teeuw. Citra 44
39,39, 40,41,42
38,39, 40,41, 42,46
13,31,51, 53,55,54
39,43,44
+
t2l
40
fl
i,4
42,46
4,
43
J^
PT Dunia Pustaka Jaya,1997.
Hong Liu. "Pramoedya 45
46
Ananta
China: The of a Cultural
Transfonnation Intellectual." Jumal Indonesia, Vol. 61, April 1966. Pramoedya Ananta Toer. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara,2011.
Eka Kurniawan. 47
"Pramoedya
Ananta Toer, Belenggu di Pulau Buru." http://ekakurniawan.net, 09 Ferbuari 2015
Martina Heinschke.
Gelanggang and
48
49
50
"Between Lekra:
Pramoedya's Developing Literary Concepts." Jurnal Indonesia, Y ol. 61.
April
159
44
44,45
45
21-22
46
1966.
August Hans den Bcef dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir. Jakarta: Komunitas Bambu,2008.
Eka Budianta. Mendengar Pramoedya. Jakarta: PT. Atmochademas Persad a, 2005.
BAB IV
fl
Manusia
Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta:
Toer and
A
&
38-39,
ll-13,
49,55-57.,45,
130,82,1,4, 10,18, 10, 11, 14, g, gg,
t38-142,42, 97,38, 150152,39,72, 102, gi-93, 101,6'7,60, 155-156, 3,
30,2,60,
ll0,
117 dan 151, 1-4,5, g, 14,37, 66-67,
81,96-98,
51
Pramoedya Ananta Toer. Korupsi. Jakarta: Hasta Mifra, 2002.
99-105, 106108,116,
139-t42,144, 149,151,36,
47-t09
13, 63, 39,
,fl
78,107, l3g,
1ll,149, ll8, 57, 5, 62-67,79,95, 29, l0g, 97 , 68,39, lo7,
3-4,20,70, 64-66,15, 106-108, 146,
t24-r26,
t4t-t43,37, 87,48, 58, 52, ll4-t15, 53,62-67,15, 66-67, r3t133.44. 52
Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Sastra. Jakarta: Gramedia,
1993. Te{'. dari, Theory of
287
fl
60
Literature oleh Melanie Budianta. A. Teeuw. Citra Manusia 53
Indonesia dalam Karya Sostra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1997.
204,203
64,70,
B8
fl
Mansyur Semma. Negara 54
dan
Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
70
5
73,78,88
3
64,74, 87,92,93
+
76
&
Jakarta: Yayasan Obor, 2008.
Rosihan Anwar. 55
"Geger Dikalangan Pamong Pradja." Siasat Warta Sepekan. Jakarta, 10
Oktober 1954. 56
57
58
59
60
Rivai Apin. "Suasana ljatut Meliputi Kehidupan Ekonomi." Siasat Warta Sepekan. Jakarta, 10 Oktober 1954. Ahadi. "Apa Fungsi Pagar Rumah" http://www.il musipil.com, L1- Juni 20L6 Mochtar Lubis. Senja di Jakarta. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet ke-2, 1981. Okky Madasari. 86. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka lJtama, Cet ke3.2015. Ahmad Tohari. Orang-Orang Proyek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet ke-2, 2015.
Redatin 6t
Korupt
o I o gi.
63
&
314
78
230
78
&
169
78
d.
s6
87
.&
179
91
Parwadi. Yo gyakarta:
Kanisius,2010.
62
d 0
81
Indonesia dan Perilaku Politik.
Pramoedya Ananta Toer. Bumi Lentera Dipantara, Cet. ke-l 5, 2010.
Manusia. Jakarta:
Dian Maharani. "Bacakan Pleidoi, Rudi Akui Terima Uang karena Terpaksa." http//nasional.kompas. com 02 Mei
s
93
20t6 64
65
kpk.go.id, "Mengenai
LHKPN"
http://kpk.go.id, 18 Juni 2016 Sosishot Project. "Berani Jujur? Hebat!" http://m.youtube.com, 16 Juni 2016
99
113
+ +
KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK
FoRM (FR)
Jl. lr. H- Juanda No gS Ciputat 15112 lndonesia
:
No.
Dokumen
Tgl.
Terbit :
No.
Revisi: :
Ha
FITK-FR-AKD-081 1 Maret 2010 01 111
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor : Un.01/F. lAer{.0r.11..31}-.. tzorb Lamp. : Hal : Bimbingan Skripsi
Jakarta, l6 Juni 2016
Kepada Yth.
RosidaErowati, M.Hum Pembimbing Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ass alamu' alailatm wr.wb.
Dengan
ini
diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing VII
(materi/teknis) penulisan slaipsi mahasiswa: Nama
:
Taufik Hidayatulloh
NIM
I
Jr:rusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester
l0 (Sepuluh)
Judul Slaipsi
Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Kompsi Karya
11
1013000101
Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 2 September 2015, abstraksiloutline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redalsional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon peurbimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.
Bimbingan skripsi
ini
diharapkan selesai dalani'waktu
6
(enam) bulan, dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan. Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih. Was s al amu'
a
laibum wr.wb.
dan Sastra lndonesia
200901 1 015 Tembusan: l. Dekan FITK
2.
Mahasiswaybs.
BIODATA Taufik Hidayatulloh, anak kedua dari tiga bersaudara ini lahir di Desa Ujung Pendok Indramayu, 11 Juli 1991. Namun, karena urbanisasi yang dilakukan orang tua ke ibu kota Jakarta dan urusan administrasi baru dibuat di Jakarta, mengakibatkan pencatatan tempat lahir penulis menjadi Jakarta. Penulis menempuh pendidikan formalnya di TK Bina Mulia, SDN 03, SMPN 73 dan SMA Muhammadiyah 5 yang semuanya berlokasi di Tebet. Setelah tamat SMA, penulis mencoba mengejar cita-cita pertama dengan mendaftar di Taruna Akademi Polisi TA. 2009 dan 2010. Namun, takdir berkata lain dan membawa penulis mengejar cita-cita kedua. Kemudian, penulis memilih Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk mengejar cita-cita sebagai guru. Penulis memiliki hobi bermain sepak bola dan telah menghasilkan piala PBSI CUP. Selain itu, penulis memiliki ketertarikan pada dunia film yang disalurkan lewat merancang pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran audio visual yang dapat menarik minat siswa dalam proses pembelajaran. Pengabdian pendidikan pernah dijalankan penulis ketika PPKT di SMPN 87 Jakarta, kemudian ikut aktif sebagai sekretariat, liasion organizer (LO) maupun tim penilaian dalam penyelenggaran event lomba SMP tingkat nasional pada Lomba Karya Jurnalistik Siswa 2015, Kawah Kepemimpinan Pelajar 2015, Lomba Penelitian Ilmiah Remaja 2015 dan Olimpiade Siswa Nasional 2016.