-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM KARYA-KARYA OKA RUSMINI DAN PRAMOEDYA ANANTA TOER Tjahjono Widarmanto Mahasiswa S3 Unesa, Guru dan Penyair
Abstrak Relasi bahasa dan kekuasaan sebagai hubungan kekuatan simbolis yang membentuk realitas. Bahasa maupun wacana merupakan praktik kekuasaan yang digunakan oleh kelompok dominan untuk mengontrol yang didominasi. Dominasi tersebut di antaranya melalui kekerasan simbolik. Sebagai sebuah fenomena kekerasan simbolik menjadi bahan dan sumber yang menarik bagi para sastrawan. Makalah ini berupaya mengungkapkan bentuk kekerasan simbolik dan mekanisme praktik simbolik dalam karya Oka Rusmini (kumpulan cerpen Sagra dan novel Tempurung) dan Pramoedya Ananta Toer (Gadis Pantai dan Bumi Manusia), dengan menggunakan Teori Kekerasan Simbolik Pierre Bourdeu. Hasil kajian menunjukkan bahwa kekerasan simbolik dalam karya-karya Oka Rusmini dan Pramoedya Ananta Toer berbentuk diskriminasi, kekerasan simbolik seksualitas, kekerasan simbolik yang berlindung di balik tradisi, sosial dan politik. Bentuk-bentuk kekerasan simbolik tersebut berjalan melalui mekanisme doxa, mekanisme sensorisasi dan eufemisme. Bentuk-bentuk kekerasan simbolik tersebut dilawan secara simbolik pula melalui heterodoxa. Kata Kunci: kekerasan simbolik, mekanisme praktik simbolik, doxa, heterodoxa
Pendahuluan Kekuasaan bisa dimaknai sebagai dominasi. Dalam keterkaitan antara bahasa dan dominasi inilah, Bourdieu (1994:14) melihat bahasa tak sekedar alat komunikasi, namun sebagai instrumen tindakan dan kekuasaan. Komunikasi merupakan pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai hubungan kekuasaan simbolis terwujudnya hubungan kekuatan antara pembicara dan mitra bicara dalam suatu komunitas. Hubungan sosial adalah hubungan dominasi yang ditandai oleh interaksi simbolis yang mengimplikasikan pengetahuan dan kekuasaan. Hal tersebut berarti hubungan komunikasi adalah pertukaran bahasa sebagai hubungan kekuatan simbolis. Sistem simbol (bahasa, wacana, tanda-tanda simbolik, dan sebagainya) tidak sekedar instrumen komunikasi, namun merupakan sistem simbol untuk mempresentasikan dunia menurut pikiran, tindakan dan kepentingannya. Tiap kata, konsep, wacana atau kode-kode simbol yang lain selalu mengaktualisasikan imajinasi-imajinasi, rencana, bahkan ambisi-ambisi. Tidak ada pemaknaan yang linier namun selalu berjalan berdasarkan sirkulasi kekuasaan tertentu. Bourdieu (dalam Fashri, 2014:198) menunjukkan bahwa bahasa maupun wacana merupakan praktik kekuasaan yang digunakan oleh kelompok dominan untuk mengontrol yang didominasi. Sebaliknya, bagi kelompok marjinal yang didominasi, bahasa dan wacana digunakan untuk mempertanyakan, melawan, dan mendelegitimasi kekuasaan simbolik yang diciptakan oleh kelompok dominan. Relasi bahasa dan kekuasaan sebagai hubungan kekuatan simbolis yang membentuk realitas inilah disebut Bourdieu (1995:66) sebagai kuasa simbolik. Kekuasaan simbolik inilah yang pada akhirnya menuntut terbentuknya legitimasi untuk diakui, diyakini, ditaati dan dianggap sebagai kebenaran.. Ada suatu bentuk persetujuan terhadap sudut pandang kelompok dominan yang ditanamkan secara halus. Situasi seperti itu diistilahkan oleh Bourdieu (1994:129) sebagai doxa. Doxa merupakan sudut pandang penguasa atau yang dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal. Dominasi simbolik membuka peluang untuk terciptanya kekerasan simbolik. Kekerasan dide inisikan oleh Lardellier (dalam Haryatmoko, 2010:127) sebagai prinsip tindakan yang 336
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Di dalam kekerasan terdapat unsur dominasi kepada pihak lain dalam berbagai wujud; bisa verbal, isik, gambar atau psikologis. Ungkapan nyata kekerasan bisa berupa manipulasi, itnah, pemberitaan yang tidak benar, kata-kata yang menyudutkan, penghinaan, atau kata-kata kasar yang merendahkan dan mengancam. Kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolik yang beroperasi melalui wacana. Disebut simbolik karena dampak yang biasa dilihat dalam kekerasan isik tidak tampak. Tidak terdapat luka, tidak ada akibat traumatis, tidak muncul kecemasan, tidak tampak adanya ketakutan, bahkan korban tidak merasa mendapatkan kekerasan dan tidak merasa didominasi. Kekerasan simbolik berjalan karena pengakuan, kesediaan dan keterlibatan suka rela yang didominasi (Bourdieu, 1991:56). Dampak kekerasan simbolik itu halus, berlangsung melalui ketidaktahuan, pengakuan, atau perasaan korbannya (Haryatmoko, 2010:128). Sejauh mana praktik kekerasan simbolik diungkapkan dalam novel-novel Indonesia mutakhir menjadi sesuatu yang penting dan menarik untuk dikaji. Berdasarkan pernyataan tersebut maka fokus dalam penelitian ini adalah mengkaji bentuk kekerasan simbolik berikut mekanisme praktik simbolik dalam karya Oka Rusmini yaitu kumpulan cerpen Sagra dan novel Tempurung; dan dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Gadis Pantai dan Bumi Manusia Pembahasan Konsep Kekerasan Simbolik Pierre Bourdeu Saat kekerasan dimaknai sebagai sebuah upaya untuk menghadirkan sebuah pemaksaan sebagai mekanismenya, maka kekerasan dapat mewujud dalam berbagai bentuk. Ia bisa berwujud sebagai kekerasan isik dengan jasmani sebagai objek kekerasan, bisa pula kekerasan psikologis, kekerasan struktur negara terhadap individu atau kelompok tertentu, dan bisa pula berbentuk kekerasan ide, wacana, bahasa maupun bentuk-bentuk simbolik lainnya. Interaksi kekuasaan untuk mendapatkan dan melakukan dominasi membutuhkan mekanisme objektif agar dapat diterima oleh individu atau kelompok yang akan dikuasai. Modal simbolik merupakan media yang efektif untuk melakukan mekanisme objektif itu. Melalui modal simbolik ini mekanisme kekerasan tidak mudah dikenali karena tidak dilakukan jalan kekerasan secara isik atau nyata. Mekanisme semacam ini disebut oleh Bourdieu sebagai kekerasan simbolik, yang disebutnya sebagai “...kekerasan yang lembut, bentuknya tersamar sehingga tidak tampak sebagai sebuah kekerasan, tersembunyi atau terselubung melalui doktrin loyalitas, hadiah, pengakuan, balas budi atau melalui etika kehormatan.” (Bourdieu, 1990:192). Dengan begitu, kekerasan simbolik merupakan bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak yang menyembunyikan dirinya di balik relasi kekuasaan. Kekerasan simbolik bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dominasi menjadi sesuatu yang diterima sebagai sesuatu yang ‘wajar’ dan ‘seharusnya demikian’. Kekerasan yang berjalan bergerak secara berlahan namun pasti, sulit dikenali, sehingga individu atau kelompok kelas yang mengalami kekerasan dan terdominasi tidak sadar dan tidak merasa bahwa dirinya mengalami objek dan tindakan kekerasan. Mereka yang terdominasi dan yang mengalami kekerasan menjadi tidak keberatan untuk dikuasai dan berada dalam lingkaran dominasi. Kekerasan simbolis berjalan karena pengakuan, kesediaan dan keterlibatan yang didominasi atau diatur yang oleh Bourdieu disebut sebagai doxa (Bourdieu, 1990:197) yaitu sudut pandang penguasa atau dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal. Doxa ini dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh mereka yang terdominasi.
337
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Karena berjalan dalam prinsip simbolis berupa bahasa, cara berpikir, cara bekerja dan cara bertindak, maka kekerasan simbolis diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai, bahkan tidak dirasakan sebagai bentuk kekerasan sehingga dapat berjalan dengan efektif. Kekerasan simbolik menimbulkan kepatuhan yang tidak disadari sebagai sebuah paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan yang ditanamkan. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “menyembunyikan kekerasan” dan mengubahnya menjadi sesuatu yang diterima sebagai sesuatu yang memang seharusnya demikian. Bentuk dan Mekanisme Kekerasan Simbolik dalam Karya Oka Rusmini Kekerasan simbolik dalam karya Oka Rusmini berbentuk diskrimisasi peran dan kedudukan, seksualitas, pengebirian hak. Bentuk-bentuk kekerasan simbolik tersebut muncul melalui mekanisme kekerasan simbolik berupa doxa, mekanisme sensorisasi dan eufemisme. Kekerasan simbolik dalam karya Oka Rusmini muncul berbentuk perlakuan diskriminasi peran karena kasta yang tidak disadari: Jangan sembarang merawat cucuku, Sagra. Kelak, dialah penerus dinasti Pidada. Dia yang akan mewarisi seluruh hotel milikku. Ajari dia menjadi bangsawan yang baik. ....jangan pernah makan satu piring dengannya.Jaga dia sebagai ksatria, Jangan kotori darah birunya (Sagra, hal 159). Perbedaan kasta dalam tradisi Bali membuka peluang terciptanya kekerasan simbolik. Otoritas kaum Brahmana sangat tinggi dan dominan atas kasta yang lainnya. Struktur kasta merupakan sistem adat yang tidak adil yang lebih banyak memberikan keleluasaan pada kaum lelaki, maka akibatnya menjadikan posisi perempuan menjadi tertindas dan didominasi oleh pihak lelaki Kekerasan simbolik dalam Sagra, tidak hanya berwujud dalam bentuk diskriminasi peran saja, namun juga dalam bentuk kekerasan seksualitas. Kekerasan simbolik yang berwujud seksualitas muncul melalui mekanisme kekerasan simbolik yang berupa doxa. Doxa merupakan sebuah sudut pandang penguasa, bisa berupa mitos atau anggapan yang dianggap sebagai sebuah kebenaran yang harus diterima. Dalam Sagra, doxa yang muncul adalah pandangan yang menunjukkan bahwa seksualitas merupakan salah satu kekuasaan simbolik laki-laki atas perempuan: ......di sinikah laki-laki akan bercermin tentang kebesaran, seperti Ken Arok yang berusaha mengungkapkan rahasia hidupnya lewat kaki Ken Dedes (hal52) Lembaga dan ritual perkawinan menjadi kekuasaan simbolik yang bisa menjadi jalan terjadinya kekerasan simbolik. Salah satu cerpen yang terdapat Sagra yaitu Ketika Perkawinan Di Mulai bisa diamati bahwa lembaga perkawinan telah menjadi jalan bagi mekanisme praktik kekerasan simbolik. Perkawinan menjadi mekanisme sensorisasi yaitu sensor yang memunculkan sebuah nilai yang dianggap sebagai sesuatu yang suci: ..... Berdosalah perempuan yang tidak memiliki anak. Kelak kalau ia mati ia akan menyusui ulat. Perempuan yang tidak kawin juga berdosa, kalau mati Ada babi pejantan, yang terus menerus mengejar tubuhnya...(Sagra:135). Eufemisme atau penghalusan juga menjadi mekanisme terjadinya kekerasan simbolik. Dalam cerpen Sagra terdapat eufemisme bahwa Cenana boleh dan berhak tinggal di griya, tempat keluarga besar Brahmana tinggal, namun haknya sebagai keluarga dicabut sehingga tidak bisa memakai gelar Ida Ayu (Sagra hal:190) Di novel Tempurung kekerasan simbolik muncul dalam bentuk perlakuan dan posisi terhadap perempuan. Posisi perempuan yang hanya berperan domestik seputar dapur, rumah dan ranjang telah menjadi doxa yang ampuh untuk mendeskriminasikan peran perempuan: 338
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
... Upacara kecil yang selalu kulakukan, sebelum aku melakukan tugas perempuanku: menjadi ibu, menjadi koki, menjadi pembantu (memasak, memandikan anak, menyiapkan ini itu dan membersihkan rumah), menjadi buruh di tempat kerja, kadang menjadi pelacur untuk suamiku (hal;4) Peran perempuan yang hanya sebatas dosmetik bahkan dalam perilaku seksual pun ia hanya boleh menerima tak boleh meminta: ..... Tiang mau apalagi? Namanya jadi perempuan, ya harus serba menerima...(Tempurung, hal 9). Perempuan yang nrimo sudah menjadi mekanisme sensorisasi. Perempuan yang sudi menerima takdirnya merupakan perempuan yang baik sedangkan perempuan sebaliknya dianggap bukan sebagai perempuan yang baik. Perilaku nrimo inilah yang menjadikan tokoh Saring, ikhlas menerima segala bentuk ketidakadilan yang menimpanya. Bentuk keikhlasannya bahkan diwujudkannya dengan bekerja keras (Temprung, hal 57-58). Keluarga adalah sesuatu yang suci yang harus dipertahankan. Doxa inilah yang membuat tokoh Saring ikhlas menerima perlakuan tidak adil dan menutup-nutupi perselingkuhan suaminya. Bentuk dan Mekanisme Kekerasan Simbolik dalam Karya Pramoedya Ananta Toer Kekerasan simbolik dalam karya Pramoedya Ananta Toer tak banyak berbeda dengan yang diungkap Oka Rusmini yaitu berbentuk diskriminasi peran dan kedudukan, seksualitas, pengebirian hak. Bentuk-bentuk kekerasan simbolik tersebut muncul melalui mekanisme kekerasan simbolik berupa doxa, mekanisme sensorisasi dan eufemisme. Dalam novel Bumi Manusia, kekerasan simbolik diperoleh oleh Sanikem (Nyai Ontosoroh) yaitu ketika dia menjadi nyai dari Tuan Mellani. Sanikem tidak menganggap kalau nyai merupakan sebuah kekerasan. Bagi Sanikem kedudukan Nyai justru merupakan peningkatan status bagi perempuan seperti dirinya. Sanikem bahkan menganggap menjadi nyai justru mengangkat derajatnya ke kelas yang lebih tinggi. Perhatikan kutipan di bawah ini: ...”Dia yang mengajari ku segala pertanian, perusahaan, pemeliharaan hewan, pekerjaan kantor. Mula-mula diajarinya aku bahasa Melayu, kemudian Membaca dan menulis. Setelah itu juga bahasa Belanda..... diajarinya aku berurusan dengan bank, ahli-ahli hukum, aturan dagang ...(Bumi Manusia, 68). Sekalipun masyarakat memandang rendah sosok nyai sebagai istri simpanan atau gundik tapi Sanikem ikhlas menerimanya walau dengan imbalan ia harus mematuhi segala keinginan Tuam Mellema. Bentuk kekerasan simbolik yang berupa ‘mengajari membaca menulis, berbahasa Belanda dan kenaikan status kelas’ merupakan mekanisme kekerasan simbolik yang berupa eufemisme atau penghalusan. Eufemisme atau penghalusan merupakan penghalusan suatu kekerasan simbolik sehingga tidak dikenali dan bahkan dipilih secara sadar oleh yang dikenai tindak kekerasan simbolik. Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer menunjukkan bentuk kekerasan simbolik bisa berjalan melalui melalui mekanisme sensorisasi yaitu mengatur dan mengarahkan akses ungkapan yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap memiliki simbol moral, dalam hal ini adalah priyayi, bangsawan dan agamawan. Tokoh Bendoro adalah tokoh yang dianggap terhormat, berbudi bahasa halus sehingga segala tindakannya selalu dibenarkan dan diterima masyarakat (Gadis Pantai: 31, 32, 36). Di bagian halaman yang lain, mekanisme kekerasan simbolik diperlihatkan Pram melalui sebuah doxa yang berkaitan dengan konsep hidup berkeluarga: ....” Setiap perempuan mesti ikut lakinya... dia harus belajar menyenangkan Lakinya.”..(Gadis Pantai, 67) ...”Lantas milik perempuan sendiri apa?” 339
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
“Tidak ada Mas Nganten, dia sendiri hak milik lelaki (Gadis Pantai, hal 88) Kekerasan simbolik yang diungkap oleh Pramudya Ananta Toer dan Oka Rusmini sesungguhnya serupa namun ada beberapa faktor yang membedakannya. Pramudya menunjukkan bahwa kekerasan simbolik banyak dipicu oleh pertentangan dan dominasi kelas, perebutan arena ekonomi dan politik. Adapun Oka Rusmini menunjukkan bahwa kekerasan simbolik yang diungkapnya berpusar pada adat, tradisi dan seksualitas. Kekerasan simbolik yang diungkap oleh kedua pengarang tersebut, juga mengalami perlawanan yang juga bersifat simbolik, yaitu berupa heterodoxa. Heterodoxa adalah cara pandang yang bertentangan dengan doxa, bahkan menjungkirbalikkan doxa. Oka Rusmini mengungkapkan heterodoxa dalam Tempurung dalam memandang dirinya sebagai sosok perempuan:...perempuan tak hanya perlu genit, kadang harus sedikit tidak seronok, sedikit nakal. Dan berani...(Tempurung, hal 3) Pramudya mengungkapkan heterodoxa melalui tokoh Sanikem yang bermetamorfosis menjadi Nyai Ontosoroh... Yang tumbuh menjadi pribadi baru dengan penglihatan dan kesadaran baru’ (Bumi Manusia hal 84). Penutup Akhirnya, dari pemaparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: (1) Karyakarya Pramoedya Ananta Toer dan Oka Rusmini menunjukkan adanya kekerasan simbolik yang merupakan re leksi realitas kita; (2) Kekerasan simbolik dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Oka Rusmini berbentuk: doxa, mekanisme sensorisasi, dan eufemisme; (3) Kekerasan simbolik tersebut juga mendapat perlawanan secara simbolik yaitu melalui heterodoxa. Membaca fenomena kekerasan simbolik dalam karya-karya Oka Rusmini dan Pramoedya Ananta Toer dapat memberikan kesadaran bahwa banyak terdapat praktik-praktik kekerasan simbolik yang harus dengan sadar dilawan untuk menghindari dominasi kuasa apapun.
Daftar Pustaka Barker, Chris.2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta:Bentang, terjemahan Tim Kunci Cultural Studies Centre, dari judul asli Cultural Studies:Theory and Practice. Sage Publication-London, 2000 Bourdieu, Pierre. 1983. “ The Philosophical Institution”, terj. dari bahasa Perancis oleh Kahleen McLaughlin, dalam Alan Monte iore (Ed.), Philosophy in France Today. Cambridge: Cambridge University Press. __________. 1984. Distinction. London: Routladge. ___________. 1992. The Logic Of Practice, terj. dari bahasa Perancis oleh Richard Nice. Stanford: Stanford University Press. _________. 1993. The Field of Cultural Production: Essay on art and Literature. Randhal J o h s o n (Ed.) Cambridge: Polity Press. _______. 1995. Language and Symbolic Power, terj. Dari bahasa Perancis oleh Gino Raymond & Matthew adamson. Cambridge: Polity Press. _________. 1995. Outline of A. Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press. ________. 2011. Choses Dites; Uraian dan Pemikiran, terj. Ninik Rchani Sjams. Yogyakarta: Kreasi wacana 340
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Fashri, Fauzi. 20014. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra. Jenkins, Richard. 1992. Membaca Pikiran Piere Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana Kutz, Lezter & Turpin, Jenifer.2002. “Menguraikan Jaringan Kekerasan.” dalam Teori-Teori Kesusastraan. Jakarta: Gahlia Langenberg, Michael Van. 1996. “Negara Orde Baru:Bahasa, Ideologi dan Hegomoni” Dalam Latif, Yudi dan Idy Subandi.1996. Bahasa dan Kekuasaan. Politik Wacana di Panggung Orde Baru.Bandung:Mizan Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pndidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: RajaGra indo Persada. Ritzer, George & Douglas. J. Godman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Gra indo
341