Membedah Wacana Kekuasaan Bersama Pramoedya Ananta Toer Agustinus Fahik, S.Fil., MA. “Seluruh ilmu dan pengetahuan, milik paling berharga dari kaum brahmana yang tak dapat diragukan ini, dikerahkan hanya untuk memburuk-burukkan yang tidak disukai, tidak menjadi kekuatan yang mengungguli yang lain-lain.” (Pram – Arok Dedes)
Catatan Awal Setelah Ken Arok menggulingkan Tunggul Ametung dengan menimpakan seluruh kesalahan pada Kebo Ijo, untuk pertama kalinya Ken Dedes membiarkan air matanya berlinang. Ia menangis, bukan lantaran kehilangan Tunggul Ametung, ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Ia sedang menangisi kekuasaannya sebagai Pramesywari Tumapel yang kini sudah tidak lagi utuh. Ken Dedes mungkin tidak bisa lari dari kenyataan bahwa meski tidak pernah mencintai Tunggul Ametung, ia toh menikmati kekuasaan yang diberikan kepadanya sebagai isteri seorang akuwu di Tumapel. Malah ia menjalankan kekuasaan itu lebih baik dari sang akuwu sendiri, sebab ia berpengetahuan. Ia menguasai pengetahuan yang diturunkan ayahnya, Mpu Parwa, bukan saja dalam bahasa Jawa, tetapi juga bahasa Sansekerta. Pengetahuan itulah yang membuat dia lebih leluasa menunjukkan sikap memberontak terhadap suaminya, yang tidak bisa baca tulis, apalagi berbahasa Sansekerta. Barangkali karena Ken Dedes seorang perempuan maka ia mengalami kegoncangan yang demikian, tetapi apakah hasrat kekuasaan mengenal jenis kelamin? Bukankah Ken Arok pun mempunyai hasrat yang sama, dan memuaskannya dengan sebuah intrik yang lalu dicontoh oleh banyak penguasa yang muncul kemudian? Apakah ia mesti disalahkan ketika menolak kehadiran yang lain untuk berbagi kekuasaan yang selama ini digenggamnya sebagai ratu di Tumapel? Bagian paling akhir dari roman Arok Dedes karya sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) yang saya ulas dalam dua paragraf awal makalah ini, sekiranya bisa dengan jelas menunjukkan apa yang disasar Pram dalam karya itu, yakni relasi pengetahuan dan kekuasaan. Ketika Pram mendedahkan relasi pengetahuan dan kekuasaan dalam Arok Dedes, ia serentak menggumuli sebuah persoalan lain, yakni bagaimana kekuasaan itu dibentuk. Pram keluar dari pandangan Timur tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang diturunkan dari langit, sesuatu yang diberikan para dewa sebagai warisan yang mengalir dalam urat nadi kaum bangsawan berdarah biru. Lewat Arok Dedes, Pram membalikkan pandangan tradisional Timur itu dengan menunjukkan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang bisa dikonstruksi dengan bertumpu pada pengetahuan. Namun, pengetahuan sendiri belum menjadi jaminan diraihnya kekuasaan. Diperlukan empat faktor lain, yakni teman, kesetiaan, uang dan senjata. Keempat hal ini ditambah pengetahuan akan mampu memanipulasi berbagai prakondisi lain yang memungkinkan kekuasaan itu direbut, kemudian dijalankan. Kini kita akan melihat bagaimana pertalian antara pengetahuan utamanya pemahaman sejarah dengan kekuasaan, ditambah kehadiran empat faktor dalam anggapan Pram di atas, serta relevansinya bagi situasi sosial politik terkini yang melanda tanah air.
Pengetahuan (Pemahaman Sejarah) dan Kekuasaan Kepentingan kekuasaan terhadap pemahaman atas masa lalu tidak lain dari upaya memberi legitimasi terhadap kekuasaan itu sendiri. Artinya pemahaman sejarah pada level tertentu memang dibentuk, bahkan diarahkan untuk mengukuhkan kekuasaan yang disandang oleh tokoh atau golongan tertentu. Sejarah dikonstruksi untuk memberi semacam bukti bahwa kekuasaan yang pada masa kini disandang oleh sebuah golongan adalah keniscayaan yang memang perlu diterima sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Konstruksi pengetahuan sejarah oleh kekuasaan selalu bertalian dengan paling kurang dua faktor (Nordholt et al., 2008): pertama, penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan mengenai masa lalu. Hal ini terkait dengan bagaimana pengetahuan mengenai masa lalu itu diproduksi, entah melalui buku pelajaran sekolah, film dokumenter, pemberian nama jalan, pembangunan tugu/monumen peringatan, yang tujuannya ialah menanamkan ingatan kolektif tertentu dalam kepala masyarakat. Kedua, tantangan terhadap narasi besar sejarah berupa narasi-narasi alternatif yang berasal dari kaum intelektual dan anggota masyarakat yang berada di pinggir kekuasaan. Faktor pertama di atas memang memengaruhi kontrol atas kesadaran kolektif masyarakat. Untuk itu, arsip-arsip sejarah sebisa mungkin diseleksi untuk diambil bagian-bagian yang berfungsi mengokohkan kekuasaan dan melenyapkan unsur-unsur yang berpotensi mengganggu kekuasaan yang sedang berlangsung. Peran tokoh tertentu ditonjolkan sedemikian rupa, sementara tokoh yang lain dieliminasi perannya, bahkan dibalikkan menjadi pengkhianat bahkan pecundang dalam sejarah. Hal ini dapat dilihat pada Orde Baru Soeharto ketika mengendalikan narasi tentang peristiwa 1965, dan rentetan kejadian yang mengikutinya kemudian. Pemahaman atas apa yang terjadi pada masa itu seluruhnya dikendalikan oleh mesin kekuasaan Orde Baru dan dijalankan lewat institusi-institusi resmi negara, terutama militer dan departemen pendidikan yang berfungsi memproduksi pengetahuan. Pram sendiri diisolasi dari sejarah ketika ia disingkirkan ke pembuangan di Pulau Buru. Nama dan karyanya tidak banyak dibahas di dalam negeri seiring larangan atas peredaran karyakaryanya dari hadapan pembaca sastra tanah air. Di sini terihat bagaimana perluasan dominasi medan kekuasaan politik ke dalam medan sastra yang dikendalikan oleh Orde Baru. Pada titik ini, Pram adalah representasi paripurna mereka yang dikorbankan dalam peristiwa 1965. Bukan saja pribadinya yang ditindas melainkan karya-karyanya juga turut dilindas oleh mesin kekuasaan Orde Baru. Ia dianggap sebagai panglima dari para seniman yang bergabung dalam Lekra dan dituduh menyebarkan Marxisme meski tidak pernah dibuktikan sampai tuntas dan diberi kesempatan membuat pembelaan diri di hadapan pengadilan. Pada tahun 1995, ketika nama Pram diumumkan sebagai pemenang Penghargaan Ramon Magsaysay, sejumlah sastrawan melayangkan surat keberatan. Seperti dicatat Dhakidae (2015), Mochtar Lubis yang menjadi penggalang dukungan untuk memboikot penghargaan terhadap Pram, menganggap Pram pernah terlibat dalam membunuh karya orang lain pada masa kejayaan Lekra dan karena itu tidak pantas mendapatkan apapun, bahkan perlu diketok kepalanya. Tuduhan bahwa Pram membakar karya orang lain dan turut melarang peredaran karya sastrawan tertentu dijawab Pram bahwa yang berhak melarang peredaran sebuah buku adalah Jaksa Agung, bukan sesama sastrawan. Jawaban Pram ini oleh Dhakidae diartikan sebagai cara Pram menunjukkan keterlibatan medan kekuasaan politik (negara) ke dalam medan sastra (kebudayaan). Dengan demikian,
sastra kehilangan kebebasannya karena telah terlampau jauh didominasi oleh kepentingan kekuasaan politik. Medan sastra dikontrol oleh kekuasaan politik dan digiring menjadi alat bagi lenggengnya kekuasaan itu. Di tengah hantaman yang dilatari sentimen pribadi dan kepentingan politik Orde Baru, Pram membuktikan kelasnya dengan menerbitkan salah satu karya terbesarnya yakni Arus Balik. Sebagai seorang yang berada di pinggir kekuasaan politik, Pram konsisten menggunakan medium sastra untuk membuktikan dirinya sebagai mutiara yang tetap berkilau meski dicampakkan ke dalam lumpur sekalipun. Apa yang dialami Pram menjadi cerminan bagaimana kekuasaan Orde Baru mengontrol kesadaran kolektif masyarakat luas terhadap sejarah bangsanya sendiri. Persitiwa sebenarnya yang terjadi pada September 1965 tetap menjadi sesuatu yang simpang siur meski berbagai buku telah ditulis untuk mengurai benang kusut peristiwa itu. Arok Dedes menjadi narasi yang meski tidak berbicara tentang peristiwa September 1965, tetapi memiliki beberapa kesejajaran yang relevan untuk memahami peristiwa yang dikaitkan dengan persaingan antara PKI dan militer khususnya Angkatan Darat itu. Pram dan Analisis Wacana Kekuasaan Arok Dedes dalam pandangan saya menjadi sebuah karya sastra yang memberi analisis wacana kekuasaan atas peristiwa yang terjadi di Tumapel pada abad XIII yakni ketika Ken Arok merebut kekuasaan dari tangan Tunggu Ametung lewat kudeta berdarah. Peristiwa ini punya kesejajaran dengan peristiwa 1965 sebab kedua peristiwa sejarah itu berujung pada jatuhnya kekuasaan ke tangan satu tokoh saja. Yang menarik dari Arok Dedes ialah penggambaran tentang terciptanya lingkaran kekuasaan yang dibangun oleh sang tokoh utama, Ken Arok dalam mengendalikan momentm, menciptakan pra kondisi dan mengambil alih kekuasaan. Ken Arok memanfaatkan setiap unsur yang dia anggap perlu untuk membangun legitimasi bagi kekuasaannya. Selain kelima unsur yang saya sebutkan di muka, ada unsur lain yang dipakai Ken Arok yakni unsur mistis di sekitar kemunculannya. Ken Arok digambarkan sebagai titisan Batara Brahma lewat peran seorang perempuan desa bernama Ken Endok. Sebagai titisan dewa, Ken Arok berbeda dari manusia kebanyakan. Ia bukan bagian dari dunia manusia, meski ia berada di dalam dunia manusia. Kehadiran Ken Arok adalah pengejahwantahan kehendak ilahi bagi kelangsungan sejarah kerajaan-kerajaan besar di Tanah Jawa, dan kelak di Nusantara. Dhakidae menguraikan dengan sangat detil unsur-unsur ilahi yang dimiliki Ken Arok dengan merujuk pada apa yang ditulis dalam Serat Pararathon, sebuah data pustaka kuno tentang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa. Campur tangan ilahi dalam kelahiran dan kemunculan Ken Arok pada panggung politik dan perebutan kekuasaan di Tumapel menjadi ciri khas konsep kekuasaan dalam kaca mata Timur. Pram sebagaimana dituturkan Dhakidae melampaui konsep Timur ini dengan menunjukkan bahwa kekuasaan itu bukan sesuatu yang murni diturunkan dari langit, melainkan sesuatu yang dikonstruksi sendiri dengan memanfaatkan tangan manusia. Ken Arok merebut kekuasaan bukan semata-mata dengan memanfaatkan narasi tentang campur tangan ilahi dalam menggambarkan ihwal kelahirannya, melainkan dengan memanfaatkan lima hal lain yang diupayakan sendiri oleh manusia yakni pengetahuan, teman, kesetiaan, uang dan senjata. Ken Arok memperoleh pengetahuan setelah ia diangkat menjadi murid di padepokan milik Mpu Parwa, salah satu Guru yang menguasai agama Hindu, juga seorang pemuja Syiwa. Mpu Parwa pulalah yang memberi gelar Sang Pembangun kepada Ken Arok (bandingkan
dengan gelar Bapak Pembangunan yang diberikan Suharto kepada dirinya sendiri). Di bawah bimbingan Mpu Parwa, Ken Arok menjadi murid paling cemerlang yang menguasai bahasa Sansekerta dan memahami hampir seluruh isi Kitab Suci. Diam-diam ia mempelajari niat kaum Brahmana pemuja yang telah sekian tahun merasa dizolimi oleh Raja Kretajaya di Kediri yang memuja Wisynu. Ia menangkap kekecewaan kaum Brahmana yang kehilangan kekuasaan akibat tidak diberi tempat oleh Raja yang menyembah Wisynu, bukan Syiwa. Di sini, terlihat bahwa Pram sedang menarasikan pertentangan antar penganut kepercayaan, yang ternyata direkayasa untuk kepentingan segelintir golongan (dalam hal ini kaum Brahmana) saja. Jusuf Wanandi (2014) salah satu pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga yang menjadi think tank Soeharto hingga akhir 1980-an, mengisahkan bahwa ketika situasi memanas di Jakarta menjelang peristiwa September 1965, intelektual muda Islam memilih merapat kepada kalangan intelektual muda Katolik. Menurut Wanandi, kekuatan Islam dan Katolik lebih ditakuti PKI daripada kekuatan Protestan yang dinilai mudah dihadapi karena sudah terpecah-pecah ke dalam berbagai kelompok (denominasi) kecil. Hal ini bisa jadi benar mengingat selama masa Orde Baru, paling tidak hingga sebelum terbentuknya ICMI, kaum intelektual di Indonesai terkesan tidak terlalu berurusan dengan agama. Ini bisa dimaklumi sebab Orde Baru telah menyatakan Pancasila sebagai ideologi tunggal bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk partai-partai politik dan berbagai ormas yang dibentuk di Indonesia. “Persaingan” antar agama baru menguat kembali setelah Soeharto memilih merapat ke kaum intelektual Islam yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dimotori tokoh-tokoh seperti Habibie, Amien Rais, dan menjelang berakhirnya rezim Soeharto muncul tokoh-tokoh muda seperti Hatta Rajasa. Meski tidak kelihatan, sebetulnya ada persaingan antara CSIS dan ICMI dalam merebut pengaruh untuk menjadi think tank Soeharto. Kekalahan CSIS dalam persaingan ini seperti diafirmasi Wanandi bermula ketika Benny Moerdani dilengserkan dari jabatan panglima ABRI. ABRI sendiri terlebih Angkatan Darat telah menjadi kekuatan utama yang dimanfaatkan Suharto untuk melindungi kekuasaannya sejak awal hingga 32 tahun kemudian. Kematian perwira-periwira Angkatan Darat dalam peristiwa September 1965 meninggalkan dendam membara angkatan ini terhadap PKI. Sebetulnya persaingan antara Angkatan Darat dan PKI telah dimulai jauh-jauh hari, sejak masa perjuangan revolusi. Dalam narasi sejarah yang ditulis kemudian oleh tokoh militer seperti Nugroho Notosusanto, peran PKI dikecilkan menjadi pengkhianat bangsa, meski PKI adalah partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia dan yang melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1926. Imbasnya ialah, negara ini dinarasikan sebagai hasil perjuangan militer, karena peran militer yang terlalu dibesar-besarkan oleh para penulis sejarah. Peran sipil yang berjuang lewat jalur diplomasi dan partai politik dikecilkan untuk memuluskan berjalannya doktrin dwifungsi ABRI, dimana ABRI tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan negara melainkan turut masuk dalam ranah sipil guna mengurusi persoalan sosial politik negara ini. Sampai di sini masih terlihat sebuah benang merah antara Ken Arok dan Soeharto, terutama kelihaian memanfaatkan pengetahuan dan senjata untuk memuluskan langkah memegang kekuasaan tunggal. Dua unsur lain, uang dan teman didapatkan Soeharto dari konglomerat-konglomerat besar seperti Liem Soei Liong dan Bob Hasan. Pertemanan Soeharto
dengan para pemilik uang ini telah terjalin pada tahun 1950-an ketika Soeharto menjadi Pangdam Diponegoro. Soeharto membangun jaringan pertemanan yang menguntungkan dirinya serentak menyingkirkan mereka yang menjadi saingannya. Ia menarik ke dalam lingkarannya orangorang yang bisa diandalkan loyalitasnya seperti Ali Murtopo, Sumitro, Sudomo, Alamsjah, tetapi diam-diam membiarkan mereka bersaing untuk berebut pengaruh, sehingga ia sendiri aman dari rongrongan janderal-jenderal kepercayaannya itu. Ia membiarkan orang-orang di sekitar lingkaran kekuasaannya saling bersaing agar ia bisa sendirian berdiri pada pusat kekuasaan. Sementara itu, penumpasan terhadap mereka yang dianggap bagian atau yang bersimpati terhadap PKI dilakukan di tengah desas-desus bahwa PKI akan merebut kekuasaan di Jakarta, mengganti Pancasila dengan komunisme dan memegang daftar nama orang-orang yang akan dibantai hingga ke daerah-daerah. Dalam kenyataan, pembantaian terhadap mereka yang dianggap bagian dari PKI tidak melulu dilakukan atas dasar perbedaan ideologi atau haluan politik, tetapi bercampur dengan sentimen-sentimen pribadi dan persaingan antar golongan yang tersisa setelah tersingkirnya PKI. Soeharto bersikap seperti yang ditulis Pram dalam nasehat yang disampaikan Mpu Parwa kepada Ken Arok sebelum merebut kekuasaan Tunggul Ametung, “Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak dari tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” Soeharto menggunakan tangan Sarwo Edhie untuk menumpas PKI di Jawa. Sarwo Edhie termotivasi bukan saja oleh semangat anti komunisme tetapi juga oleh sentimen pribadi akibat kematian Jend. Ahmad Yani. Keduanya sama-sama berasal dari Purworejo-Jawa Tengah. Sarwo Edhie merasa berhutang budi pada Ahmad Yani yang berjasa mengorbitkan karier militernya. Dengan melihat berbagai kesejajaran antara kisah Ken Arok dengan Soeharto, maka roman Arok Dedes saya anggap sebagai sebuah analisis wacana kekuasaan di Jawa pada abad XIII. Namun, Pram menggunakan persitiwa itu untuk menyasar peristiwa lain yang terjadi pada abad XX di sebuah negara bernama Indonesia. Relevansi dari analisis ulang yang dibuat Pram atas perebutan kekuasaan di Tumapel dapat ditemukan dalam kejadian-kejadian terkini yang mendera Indonesia hingga saat ini. Beberapa Relevansi dan Simpulan Jika roman Arok Dedes dipakai untuk melihat situasi sekarang, maka saya memilih fenomena tampilnya Ahok sebagai calon gubernur petahana DKI Jakarta yang kerap dihantam dengan isu SARA oleh lawan-lawan politiknya. Sebagian orang menganggap Ahok adalah bagian dari sedikit pemimpin jujur dan tegas yang mengusung semangat anti korupsi dalam menjalankan pemerintahannya. Namun, perlu diingat bahwa Ahok sendiri memiliki setidaknya 5 dari 6 unsur yang digambarkan Pram dalam analisisnya terhadap peristiwa Tumapel. Ahok punya pengetahuan, teman, kesetiaan, senjata dan uang. Ahok memang tidak memiliki latar belakang kemunculan mistis, tetapi Ahok menemukan penggantinya yang sepadan yakni media. Bila kontestasi pada pusat kekuasaan di DKI Jakarta ini kita pahami lagi dengan melihat kembali kontestasi pada pemilihan presiden 2014 lalu akan muncul kesamaan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, dengan peran yang berbeda, meski isu yang diusung masih tetap sama. Kala itu Prabowo misalnya, menggunakan silsilah keluarganya untuk membuktikan diri sebagai
pewaris darah penguasa, menampilkan diri layaknya ksatria Jawa dengan menunggang kuda dan menyelipkan keris di pinggangnya. Jokowi melawan cara Prabowo ini dengan memanfaatkan media. Jokowi tidak menyibukkan diri dengan silsilah kebangsawanan, sehingga ia memilih mencitrakan diri sebagai pemimpin yang berasal dari bawah, bukan yang turun dari atas. Kehadirannya di antara orang-orang kecil dan kunjungannya ke kampung-kampung kumuh menjadi santapan media untuk disajikan ke hadapan publik. Orang menerima Jokowi oleh karena keberaniannya tampil seperti orang kebanyakan, menumpang pesawat kelas ekonomi, hingga menggunakan becak ketika mendaftar ke KPU. Kekuasaan dikonstruksi bukan lagi berdasarkan silsilah dan warisan darah bangsawan yang tidak mungkin bercampur dengan kaum pinggiran, tetapi oleh aneka cerita dan berita yang dirangkai media tentang sang tokoh sendiri. Konstruksi media tentang Jokowi, mengalahkan unsur-unsur mistis yang coba dieksploitasi oleh kubu Prabowo, bahkan ketika Prabowo diklaim oleh salah seorang pendukungnya sebagai titisan Allah. Kembali ke persoalan Ahok, isu terakhir yang menghantam Ahok ialah penistaan agama yang menyebabkan ormas-ormas keagamaan seperti FPI dengan legitimasi fatwah MUI terus menggalang dukungan massa untuk membawa Ahok ke pengadilan. Terlibatnya ormas-ormas keagamaan ini perlu dicari akarnya jauh ke belakang, terlebih persaingan antara ICMI dan CSIS yang hingga kini belum sepenuhnya selesai. Sebagian faksi di kalangan Islam menganggap Islam terlalu dipinggirkan dalam wacana kekuasaan sejak era Soeharto, dan mencari momentum yang tepat untuk kembali meraih kekuasaan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut Islam (bdk. Kekecewaan penganut Syiwa dalam Arok Dedes). Sekilas terlihat permainan isu SARA dalam perseteruan FPI-Ahok di Jakarta, tetapi sebetulnya isu itu hanya bungkus luarnya saja. Substansi yang ada di balik permainan isu itu tidak lain adalah persoalan kekuasaan, entah kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Medan kekuasaan ekonomi mendominasi medan politik, sehingga isu-isu yang dianggap mudah dieksploitasi untuk menimbulkan simpati massa akan lebih dahulu ditampilkan ke permukaan. Masing-masing pihak bisa saja memiliki lima unsur yang ada dalam kaca mata Pram, tetapi unsur terakhir yakni media, masih memberi keunggulan kepada Ahok. Poin terakhir yang coba saya angkat ialah, dimana posisi kaum intelektual yang berpengetahuan? Jika pengetahuan dianggap bertalian dengan kekuasaan, maka kaum intelektual yang punya pengetahuan jelas memiliki peran kunci dalam sebagian atau keseluruhan proses merebut kekuasaan itu. Persoalannya ialah, apakah keberpihakan (pemilihan posisi) itu dilakukan dengan bebas oleh subjek intelektual itu, atau ia didikte oleh kekuatan lain yang barangkali jauh lebih besar melebihi sang subjek sendiri? Dengan kata lain, apakah pengetahuan sendiri sudah bisa menjamin kebebasan berpihak seorang intelektual, ataukah ia terikat dan bergantung pula pada unsur-unsur lain, di luar pengetahuan? Seperti pandangan Pram, pengetahuan yang tidak turun ke bumi, yang tidak memanfaatkan teman, kesetiaan, uang dan senjata akan jadi tidak berguna, dan tidak bisa dioperasikan dalam wacana kekuasaan. Fenomena yang terjadi di Indonesia selama 32 tahun kekuasaan Soeharto menunjukkan secara gamblang bagaimana kekuasaan dioperasikan dengan instrumen-instrumen yang dianalisis oleh Pram dalam Arok Dedes sebagaimana kita bahas secara singkat dalam makalah ini. Saya tidak ingin menutup makalah ini dengan simpulan apapun, selain membiarkan ruang diskusi tetap terbuka untuk menganalisis lebih jauh, apa yang terjadi dalam dinamika
kekuasaan di Indonesia pasca-reformasi dengan kaca mata yang pernah digunakan Pramoedya. Keterbukaan ruang diskusi ini menjadi sebuah jalan bagi para intelektual muda yang sibuk melengkapi diri dengan aneka pengetahuan filsafat dan analsis sosial untuk menentukan posisinya dalam wacana sosial-politik yang ada di Indonesia saat ini. Apakah pengetahuan itu hanya akan digunakan untuk menjelek-jelekkan pihak lain, atau diarahkan untuk memperoleh aneka perangkat lainnya yang bisa dioperasikan sebagai instrumen analsis wacana kekuasaan.
Disajikan dalam Seminar Senat Mahasiswa STFK Ledalero – Maumere 29 Oktober 2016
Daftar Pustaka Buku Dhakidae, Daniel. 2015. Menerjang Badai Kekuasaan. Jakarta: Gramedia. Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schulte Nordholt, Henk., Purwanto, Bambang., dan Saptari, Ratna., eds. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, Denpasar: Pustaka Larasati. Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Arok Dedes. Yogyakarta: Hasta Mitra. Van Klinken, Gerry. 2015. The Making of Middle Indonesia, Kelas Menengah di Kota Kupang, 1930-an – 1980-an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor dan KITLV. Wanandi, Jusuf. 2014. Menyibak Tabir Orde Baru. Memoar Politik Indonesia 1965-1998. Jakarta: Kompas. Artikel dan Majalah Aidit, Asahan. “Pramoedya, Sastrawan Tanpa Panglima” dalam Indoprogress, 11 Januari 2008. Nugroho, Ragil. “Pram dan Arok” dalam Indoprogress, 05 Februari 2012. Tempo, 2008. Edisi Khusus Soeharto.