AKTUALISASI DIRI TOKOH SASANA DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Ema Fitriyani 1110013000033
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
LEルIBAR
PENGESAHAN SKRIPSI
TOKOⅡ SASANA DALAⅣ INOVEL IИ Sじ:Ⅳ σ J」 ″% KARYA OKKY ⅣLDASARIDAN IPIPILIKASINYA PADA I PEMBELAJ― NISASTRA DIS朧 Skripd
Dttukan Kepada Fakultas lmu Tarbiyah dan Kettman
I"
Unれよ MmenuhiP¨ yarttan Mencapd Gdar Sttana Pendidikail(S,Pd)
Diwsun oleh: Enla Fit」 yani
NIM ll10013000033
Erowati, M. Hum
PROGRAM STUDIPENDIDIKAN BAⅡ ASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTASILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF
ⅡIDAYATULLAH
JAKARTA 2017
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI Sk五 psi yang be」 udul AktualiSasi DirifTokoh Sasana rdalNamtNoveliPα
s朋 酔 Л″α
Karya Okky IⅦ adasari dan lmplikasinya pada Pembelaiaran sastra di SPIA disusun oleh Ema FitHyanl,NINl: 1110013000033,dittukan kepada Fakultas 111■ u Tarbiyah dan
_。 _Kcguruan UIN SyaHf Hidayatullah Jakarta,_dinyatakan LULUS_pada`可
ian=tln― qasah
. tangga1 3 Apri1 2017 di hadttan dewan pentti.Olell karena itu,penulis berhak memperolch gelar Saゴ ana Pendidikan(S.Pd。 )pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra lndoncsia.
Jakarta,28 Ap五 12017
Panilia Ujian Munaqasah Tanggal Kctua Panida(Ketua Jurusan PBSI)
Dr.ⅣIakvun Subukin M.Hum.
Je
-q ' 2ot+
NIP.19800305200901 1015 Sckretans Jurusan
Toto EdidarmoR MA.
%´ 0ッ ー幻 ι ヶ
NIP.19760225200801 1020 Pengu」 lI
NoviDiah Harvantin ⅣI.Ⅱ um
2s - o1. tot?
NIP.198411262015032007 Pentti II
Ahnlad Bahtiar,M.Hum
」 ヽ 9-ο Y-2。 ノ テ
NIP.197601182009121002
NIP 19550421
Tanda Tangan
副 MENTERIAN AGAM■ m JAnRTA ΠⅨ Л ″凛
―
腸
"G″
No_Dokumcn Tgl.Terb■
FORPI σ⊃
No-
慇 ′ノ 7カれ 菌 a
: FITK‐ FR‐ AKD-089 : l Maret 2010
Revisi: :
01
Hal
"′
│
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
Ema Fitl・ iyalu
Tempat/Igl,Lahir
BogorD 28 Maret 1993
NIM
1110013000033
Jurusan / Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra hdonesla
Judul Skripsi
Aulisasi Diri TokOh Sasana dalam Novel P`6“ ng‐ Okky Madasari dan hTilikaslnya pada
ι ″}ッ α Karya
Pelnbelttaran sastra di SMA
DosenPerzbimbing
:1.Rosida Erowati,M.Hum。 2.
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hzuil karya scndiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang sa.ya tulis. Pemyataan ini
dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakart■ 7 Marct 2017
Ema Fitrivani
NIM:1110013000033
\ヽ \
ABSTRAK EMA FITRIYANI. NIM: 1110013000033. Skripsi. “Aktualisasi Diri Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum. Pasung Jiwa merupakan novel yang mewakili perjuangan manusia mewujudkan mimpi dengan cara menggali potensi dalam diri agar mengaktualisasikan diri semaksimal mungkin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses aktualisasi diri yang dilakukan tokoh utama Sasana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif, dengan menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu psikologi sastra yang memfokuskan penelitiannya pada masalah tokoh Sasana dalam mengaktualisasikan dirinya dengan menggunakan teori Kebutuhan Bertingkat Abraham Maslow. Peneitian ini menemukan adanya sikap optimisme dalam diri Sasana yang berusaha keluar dari keterkungkungannya dan trauma masa lalu demi mengaktualisasikan dirinya menjadi seorang biduan. Keoptimisan dari tokoh utama Sasana bisa menjadi contoh yang baik bagi siapapun yang ingin berusaha keras mewujudkan cita. Penelitian ini juga menemukan bahwa perbedaan antar manusia seharusnya tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan kekerasan, justru bisa memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengaktualisasikan diri. Dalam penelitian pada novel Pasung Jiwa, banyak nilai yang bisa diambil antara hubungan orangtua dan anak yaitu menuntut kesempuranaan pada anakanak dengan memaksa anak mengikuti hobi orangtua bisa berimbas pada mental sang anak dan membatasi kreativitas mereka. Dalam dunia pendidikan, penelitian ini juga menunjukkan bahwa bullying atau merisak masih terjadi di sekolah, tempat yang seharusnya aman bagi para peserta didik menimba ilmu. Terakhir, pembahasan novel Pasung Jiwa dapat disampaikan dalam pembelajaran sastra di SMA, yakni sebagai materi analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia, sehingga bisa memenuhi kompetensi belajar peserta didik. Melalui kegiatan menganalisis novel bisa menambah pengetahun peserta didik, meningkatkan keterampilan berbahasa, dan memperluas wawasan kehidupan tentang perbedaan yang terjadi di masyarakat. Kata kunci: Aktualisasi diri, Novel Pasung Jiwa, Okky Madasari, Teori Kebutuhan Bertingkat, Abraham Maslow.
ABSTRACT
EMA FITRIYANI. NIM: 1110013000033. Thesis. "Self-actualization of Sasana the figure of Soul Stocks “Pasung Jiwa”, a novel by Okky Madasari and its implications on the Literature studies in high-school". Education of Indonesian Language and Literature in Faculty of Tarbiyah and Teachers Training. Islamic State University Syarif Hidayatullah, Jakarta. Supervisor: Rosida Erowati, M. Hum. Soul Stocks “Pasung Jiwa” is a novel that represents the human struggle in realizing a dream by exploring the true self-potentials in order to be actualized as fully as possible. This research aims to find out how the process of self-actualization was performed by the lead character, Sasana, a transgender. This research was using qualitative description method and interdisciplinary approach, which is psychology realism. This research is focuses on investigates the issue of Sasana’s selfexploration by using the Hierarchy of Needs theory by Abraham Maslow. This research found an existence of the optimism within her as she tried to get out from her shackled and past trauma to herself as a dangdut singer. The optimism of the main protagonist, Sasana, can be a good example for anyone who wants to strive in realizing his/her dream. The study also found that the difference between human beings should not be an excuse for violence; instead it should be able to provide an opportunity to actualize themselves. The research of Soul Stocks novel can be given as language and literature studies in SMA. The learning competencies that can be fulfilled from this research are increase the language skills, analyze the building elements in the novel, expands the insight of life about differences that occur in the community, emerge tolerance in seeing the diversity among people, and build optimism in actualizing the students’ dreams.
Keywords: self-actualization, Pasung Jiwa, Okky Madasari, Transgender, Hierarchy of Needs Theory, Abraham Maslow.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil ’alamin, segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kuasanya memberi kita rahmat, karunia, dan keberkahanNya sehingga penelitian panjang akhirnya bisa diselesaikan juga di tahun terakhir masa studi perkuliahan angkatan 2010. Jujur saja, pemilihan tema ini sebagai penelitian akhir saya karena ketidaksengajaan saya menemukan novel ini dan berkesempatan wawancara dengan pengarangnya. Karena perbincangan tersebut, akhrinya peneliti memutuskan menganalisis novel ini menjadi tugas akhir skripsi. Dalam menyelesaikan penelitian ini, saya banyak dibantu dan dibimbing oleh orang-orang di sekitar. Karenya, sebagai bentuk rasa hormat, saya ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. yang sudah memimpin FITK menjadi fakultas yang banyak melahirkan lulusan para guru yang profesional. 2. Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Makyun Subuki, M. Hum, Dra. yang sudah membimbing saya selama kuliah di PBSI dan memberikan perhatian kepada mahasiswa untuk segera menyelesaikan penelitian ini. 3. Ibu Rosida Erowati, M. Hum., dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak bantuan dan masukkan kepada saya ketika kehilangan arah dalam menulis hingga akhirnya penelitian ini selesai. Bagi saya, beliau adalah orang kedua yang sangat berpengaruh pada penyelesaian skripsi saya setelah orangtua. Rasanya, selain terima kasih, saya juga hanturkan rasa maaf sebesar-sebarnya karena sudah begitu merepotkan beliau menghadapi mahasiswanya yang satu ini bimbingan selama tiga tahun. Semoga Ibu selau diberi kesehatan dan keberkahan. 4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khsususnya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sudah mengajarkan banyak ilmu dan membantu segala administrasi perkuliahan hingga saya lulus.
5. Kedua orangtua saya, Bapak Herman dan Umi Yumyanah, yang dengan sabar membantu saya melalui doa dan semangatnya yang tak terkira selagi saya berusaha untuk bangkit dan bangkit lagi menulis skripsi hingga selesai. Mohon maaf telah menunggu selama tiga tahun untuk melihat anaknya sidang. Juga kepada kedua adik saya, Puput Helmy dan Muhammad Fauzan yang sabar menunggu kakaknya wisuda. Tak lupa kepada Ajkiani Nurfa, sepupu yang selalu rajin menuliskan semangat di post it di meja belajar saya dan Nurmah Juwita, bibi yang ingin segera menghadiri wisuda keponakannya di kampus lamanya. 6. Pengarang novel Pasung Jiwa Okky Madasari yang juga sudah meluangkan waktunya berdiskusi soal novel ini dan memberikan beberapa pilihan tema bagi skripsi saya kala itu. 7. Jayanti Puspita Dewi, Aisyah “Uni Ica” Mulyani Arlen, dan Nur “Mbak Dee” Oktaviani yang sudah menjadi teman sejak di asrama mahasiswi 7 tahun lalu dan masih memberikan semangat dan bantuannya kepada saya, berupa tumpangan kos-kosan, uang, buku, dan banyak hal lainnya ketika saya tengah kesulitan menyelesaikan skripsi ini dan membutuhkan itu semua. Tak lupa juga kepada Kak Pratiwi yang sudah banyak membantu dan menampung saya ketika tak lagi kos tapi harus bolak-balik ke kampus. 8. Keluarga besar PBSI angkatan 2010, baik itu kelas A, B, C yang membantu manakala saya bertanya soal penelitian ini di grup WA, terutama pada kalian yang sudah lebih dulu lulus! 9. Teman-teman kantor di Cikini: Naila Sa’adah, Kak Honey Annisa, Fahrudin Mualim, Hariry Anwar, Fajrin Fathia, dan Kana Karinion yang sudah mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan penelitian ini dengan berbagai cara yang greget pisan! 10. Rekan kantor di Game Center, Jatinegara: Mbak Kartika Djoemadi, Pak Agung Djoemadi, Mas Hariadhi, Miftahul Jannah, Kak Rendy Doroii, Kak Sheila Savitri, Kak Lucky “Kiki” Karina, Mas Raymon Yohanes, Kak Nando Senewe, Rezian Al Islami, Mujahid Alawy, Mas Ledi Kurniawan, dan Mas Arif Rahman yang memberikan dukungan untuk segera
merampungkan ini dan menginzinkan saya tak ngantor ketika sedang bimbingan. 11. Keluarga besar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta, khususnya angkatan 2010: Rahmat Kamaruddin, Aprilia Hariani, Trisna Wulandari, Rahayu Oktaviani, Mpok Muji Hastuti, Mpok Aam Mariyamah, Aditya Putri, Jaffry Prabu Prakoso, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Rizqi Jong, dan Aditia Purnomo yang sudah menjadi kawan selama belajar menulis sehingga menjadi bekal saya ketika menulis skripsi ini. Love y’all so much! 12. Atiqah Amanda Siregar, teman SMA yang selalu merayu saya untuk bertemu di kafe agar bisa memantau saya mengetik skripsi! Makasih lho setiap ketemu ditraktir terus, akhirnya kelar juga nih! 13. Teman-teman seperjuangan skripsi di masa-masa terakhir, Amalia Utami, Yanty “Bephra” Nuryanah, Naila Sa’adah, Ihda Auliannisa, Bobby Hadipratama, Daniel Adepi, Sri Wahyuningsih, dan banyak lainnya yang menjadi tempat saya untuk berbagi informasi, keluh kesah, dan menimba banyak semangat untuk segera mengakhiri penelitian ini ke meja sidang. 14. Terakhir, kepada CNBlue, FTIsland, dan BigBang yang lagu-lagunya selalu mengalun apik dan setia di playlist laptop menemani saya mengetik penelitian ini setiap malam. Selain nama-nama di atas yang juga turut membantu saya dalam memperjuangan nasib skirpsi saya, terima kasih! Semoga Allah SWT selalu melimpahkan banyak kebahagiaan dan kemudahan kepada kalian karena sudah membantu saya hingga selesai. Tak lupa, semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi banyak pihak, baik bagi insan pendidikan di masa mendatang atau bagi mereka yang memerlukannya. Bogor, 7 Februari 2017
Penulis
DAFTARISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
ABSTRA CT............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR........................................................................................... iii
DAFTAR lSI ......................................................................................................... vi
BABI:PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 5
C. Batasan Masalah .......................................................................................... 5
D. Rurnusan Masalah ........................................................................................ 5
E. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
G. Metode Penelitian ........................................................................................ 7
BAB II: KAJIAN TEORITIS A. Transgender dan Kaitannya dengan Novel Pasung Jiwa .......................... 11
B. Hakikat Psikologi Sastra................................................................................... 13
1. Pengertian Psikologi Sastra .............................................................................. 13
2. Relevansi Psikologi Sastra dan Cerminan Kejiwaan Manusia
dalam Kehidupan .............................................................................................. 15
3. Keterkaitan Karya Sastra dan Psikologi Humanis Abraham
Maslow............................. ~ ........................... ~ .................................................... 17
4. Aktualisasi Diri dari Teori Berkebutuhan Bertingkat dan
Kaitannya dengan Novel Pasung Jiwa ......................................................... 20
a. Kebutuhan-kebutuhan Fisiclogis .................................................... 22
b. Kebutuhan-kebutuhan Rasa Arnan ................................................... 22
c. Kebutuhan-kebutuhan Rasa Cinta dan Memiliki ............................ 23
d. Kebutuhan-kebutuhan Penghargaan ................................................. 23
e. Kebutuhan-kebutuhan Akrualisasi Diri ........................................... 24
vi
vii
C. Hakikat Novel .................................................................................................... 25
1. Pengertian Novel ........................................................................................... 25
2. Jenis Novel ..................................................................................................... 25
3. Unsur Novel .................................................................................................... 27
D. Pembelajaran Sastra ........................................................................................ 34
E. HasH Penelitian yang Relevan ........................................................................ 35
BAB III: BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi Okky Madasari .......................................................................... 39
B. Karya Okky Madasari ................................................................................ 39
C. Sinopsis Pasung Jiwa .............................................................................. 41
D. Pemikiran Okky Madasari ....................................................................... 43
BAB VI: PEMBAHASAN A. Analisis .................................................................................................... 47
1. lTnsur Instrinsik Novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari ............... 46
2. Unsur Ekstrinsik: Aktualisasi Diri Tokoh Sasana ............................... 98
B. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra ............................................... 110
BAB ·V: PENUTUP A. Simpulan ................................................................................................ 114
B. Saran ........................................................................................................ 115
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 117
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
PROFIL PENULIS
Vll
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa lalu perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini memang menjadi bahan yang menarik untuk disublimasikan dalam sebuah karya sastra seperti prosa atau puisi. Kejayaan, kengerian, ketidakadilan, dan berbagai peristiwa kemanusiaan dalam setiap rezim yang berkuasa di tanah air menjadi salah satu ide yang selalu mempunyai daya tarik untuk ―dihidupkan‖ kembali dalam sebuah cerita fiksi. Seperti Pasung Jiwa yang diangkat Okky Madasari dengan menciptakan tokoh utamanya sebagai transgender. Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk dalam tataran dunia ketiga terus mengembangkan sumber daya alam dan manusianya dari waktu ke waktu. Dengan semangat membangun negeri, rupanya tak bisa lepas dari ekses positif dan negatif yang dihasilkan bangsa kita. Infrastruktur yang terus digenjot setiap tahun serta undang-undang yang terus dibuat dan diperbaharui para legislator dalam lingkaran kekuasaan sebuah rezim melahirkan orangorang yang termajinalkan sebagai dampak ekses negatif tadi. Salah satunya kaum transgender. Kehadiran transgender di Indonesia merupakan sebuah perjalanan panjang yang penuh pro kontra. Tidak tahu pasti kapan sebenarnya awal mula kemunculan mereka di Indonesia. Jika ditelusuri secara periodik, hadirnya fenomena transgender bisa ditandai dengan para bissu atau seniman yang juga merangkap sebagai pendeta agama Bugis kuno di Sulawesi Selatan yang sudah ada sejak ratus tahun lalu sebagai bagian dari adat masyarakat Sulawesi Selatan pra Islam. Dalam studi kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBTI yang ditulis Ariyanto dan Rido Triawan dari komunitas Arus Pelangi—organisasi yang peduli dengan LGBTI, dikatakan umumnya mereka adalah pria yang bersifat kewanitaan (calabai/waria) dan dalam kehidupan
1
2
keseharian selalu tampil sebagai wanita.1Meluasnya gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1950 hingga 1965 mengakibatkan para bissu ditangkap karena dianggap sudah menyekutukan Tuhan dengan memberikan persembahan sesajen pada roh-roh nenek moyang dalam adat Bugis. Mereka disuruh memilih kembali menjadi laki-laki normal atau mati dibunuh.2 Fenomena transgender memang telah melintasi rezim negeri ini. Isuisu yang menyangkut mereka memang tak bisa dipisahkan dari kekerasan dan ketidakadilan. Mereka dianggap sebagai anak haram negara, sebab undangundang kita hanya mengakui dua jenis kelamin; laki-laki dan perempuan. Selain itu, Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia menjadikan kaum transgender terbentur aturan agama. Hal itu menyebabkan imej transgender masih terdengar tabu bagi sebagian masyarakat. Akan tetapi, semangat reformasi membuka keran untuk bersuara dalam memperjuangan hak-hak mereka sebagai gender ketiga di Indonesia. Beberapa kementrian mencoba menampung suara-suara marjinal mereka, seperti Kementrian Hukum dan HAM, Komnas HAM, yang bekerja sama dengan organisasi-organisasi peduli LGBTI non pemerintah yang memang sudah eksis sejak tahun 1970-an, di antaranya LBH, GAYa Nusantara, Forum Komunikasi Waria se-Indonesia, dan Arus Pelangi. Semangat untuk mengubah stigma negatif kaum LGBTI melalui berbagai forum nasional maupun internasional inilah yang coba disuarakan OM melalui Pasung Jiwa. OM ingin membeberkan bahwa negara telah semena-mena terhadap hak hidup manusia yang ―berbeda‖ seperti transgender. Mematikan hak hidup dan hak memilih mereka. Padahal, banyak 1
Dalam studi kasus di atas yang dibukukkan berjudul Jadi, Kau tak Merasa Bersalah? dijelaskan walaupun bissu digolongkan sebagai waria, mereka bukan waria biasa. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus ditasbihkan (irreba) terlebih dahulu. Mereka memiliki kesaktian dan peranperan dalam upacara ritual yang sudah ratusan tahun dalam masyarakat Bugis. 2 Mereka yang tetap membangkang dan tak mau melepaskan kewariaannya, dibunuh bersamaan dengan pembantaian massal G30/S rezim Orba antara tahun 1965-1967 dalam Operasi Toba (Operasi Taubat).
3
alasan yang mendasari mereka akhirnya ―terjebak‖ pada label transgender. Mulai dari faktor bawaan lahir, seperti hormon progesteron yang lebih dominan dibanding testosterone dalam tubuh laki-laki atau tumbuhnya alat reproduksi wanita secara alami dalam tubuh laki-laki—yang akhirnya ketika dewasa ia memilih membuang kelamin jantannya itu dan memutuskan menjadi perempuan. Tapi, tak sedikit yang menjadi transgender karena faktor lingkungan. Tindakan kekerasan atau bullying di sekolah, rumah, dan lingkungan bermain yang dialami anak-anak bisa mempengaruhi seseorang memilih menjadi transgender di kemudian hari. Sementara itu, fenomena bullying itu sendiri atau dikenal juga dengan istilah ―penggencetan‖ atau merisak tengah marak terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia. Yang paling mencengangkan justru terjadi di tingkat sekolah dasar. Komisi Nasional Perlindungan Anak menerima aduan kekerasan di sekolah sepanjang Januari-Mei 2014 sebanyak 3.339 kasus.3Sementara itu, dari hasil penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan sebanyak 17% kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah. Bahkan pada 2013, tercatat 181 kasus yang berujung pada tewasnya korban, 141 kasus korban menderita luka berat, dan 97 kasus korban luka ringan.4 Bullying inilah yang juga menjadi perhatian OM dalam menghidupkan tokoh utamanya. Meski hanya dibahas sedikit bagaimana tokoh utamanya dikeroyok saat masih sekolah, kejadian itu melatarbelakangi jalan cerita Sasana—tokoh utama Pasung Jiwa—dalam menentukan pilihan hidupnya. Keterpurukan yang dialami Sasana hingga membenci dunia laki-laki membuatnya terjebak dalam kenyamanan menjadi seorang Sasa—bagian dirinya yang lain yang lembut seperti perempuan.
3
Dalam jurnal Info Singkat Kesejahteraan Sosial: Kajian Singkat terhadap Isu-isu Terkini Vol. VI, No.09/I/P3DI/Mei/2014 berjudul Budaya Kekerasan antar Anak di Sekolah Dasar yang ditulis oleh Elga Andina menyebutkan statistik Komna PA menunjukkan selama lima tahun terakhir (2010-2014) terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus terbunuhnya anak di sekolah. 4 Ibid.
4
Manusia memang mempunyai kehendak bebas dalam memilih sekalipun banyak yang menentang pilihan itu. Kuncinya hanya satu: menyalakan api keberanian dalam mewujudkan pilihannya tersebut, meski resiko besar sangat mungkin menghampirinya. OM telah menyalakan api keberanian itu melalui tokohnya. Di tengah ingatan masa lalu tokohnya akan bullying, OM mencoba mengeluarkan tokohnya dari sandera menyakitkan itu dengan mengaktualisasikan diri si tokoh dengan menjadi biduan dangdut. Novel ini menarik dibahas karena sekalipun keberadaan transgender masih dianggap sebelah mata, bahkan dalam dunia pendidikan kita menjadi momok yang dihindari untuk dibahas dalam pembelajaran, Pasung Jiwa memberikan semangat bahwa perbedaan harusnya disikapi dengan sikap toleransi. Kasus bullying begitu dekat dengan dunia pendidikan. Hal ini juga yang menjadi kritik OM bahwa dunia pendidikan justru menjadi salah satu ―wadah‖
terciptanya
trauma
berkepanjangan
bagi
anak-anak
yang
mengalaminya. Perlu ditekankan, seperti sudah dijelaskan di muka, transgender masih menjadi polemik di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Penelitian ini juga tidak
mengarah
kepada
keberpihakan
peneliti
terhadap
keberadaan
transgender. Akan tetapi, sebagai manusia yang memiliki derajat sama di mata Tuhan, sudah selayaknya menjunjung tinggi asas habbulumminnas termasuk interaksi terhadap transgender. Di tengah kutukan banyak pihak terhadap transgender, kebaradaan mereka tidak bisa kita naifkan begitu saja. Mereka ada di sekitar kita, dan oleh karenanya, kita tak boleh menghakimi mereka hanya karena mereka berbeda, justru sebaliknya, mengedepankan sisi humanis dan toleransi kita sebagai makhluk sosial. Jatuh bangun yang dialami tokoh utama untuk menjadi bintang panggung ini yang ingin penulis teliti dalam sebuah skripsi berjudul ―Proses Aktualisasi Diri Sasana dalam Pasung Jiwa Karya Okky Madasari dan Impilikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA‖. Dari cerita novel tersebut
5
akan dicari peristiwa-peristiwa yang menggambarkan tingkah laku tokoh Sasana dalam mencapai tujuan hidupnya yang ditapaki melalui teori kebutuhan
bertingkat
mengaktualisasikan
Abraham
dirinya
bisa
Maslow. menjadi
Upaya contoh
Sasana
yang
baik
dalam dalam
pembelajaran sastra Indonesia di SMA dengan mengajarkan kepada siswa bahwa dibutuhkan perjuangan untuk setiap langkah yang kita ambil dalam hidup ini melalui tokoh-tokoh yang hidup di dalam Pasung Jiwa.
B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah yang memungkinkan menjadi pembahasan suatu penelitian mencakup seluruh variable karya sastra yang meliputi: 1. Isu transgender yang masih tabu bahkan dihindari dalam pembahasan dunia sekolah. 2. Banyak sekali tindakan kekerasan yang dialami anak-anak di lingkungan sekolah. 3. Belum adanya penelitian tentang aktualisasi diri tokoh Sasana dalam mengaktualisasikan dirinya dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; 4. Belum adanya implikasi pembahasan aktualisasi diri tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari pada pembelajaran sastra di SMA.
C. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian karya sastra ini hanya mencakup pembahasan tentang unsur intrinsik pembangun novel, yakni: analisis struktural yang terdiri atas tema, tokoh dan penokohan, alur, latar atau setting,sudut pandang, gaya bahasa, dan amanatserta unsur ekstrinsiknya yang pendekatan interdisipliner, yaitu psikologi sastra dengan fokus pada penerapan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Oleh karena itu, peneliti
6
membatasi masalah pada ―Aktualisasi Diri Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA‖. D. Rumusan Masalah Permasalah yang terkait dengan novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari dalam perspektif psikologi sastra sebagai berikut: 1. Bagaimana aktualisasi diri tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari? 2. Bagaimana implikasi pembahasan aktualisasi diri tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari pada pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian adalah: 1. Mendeskripsikan perjuangan tokoh Sasana dalam mengaktualisasikan dirinya dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; 2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan aktualisasi diri tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari pada pembelajaran sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam cakupan aspek teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang sastra dan karya-karya sastra Indonesia, khusunya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini diharapkan mampu
memberi
sumbangan
dalam
kajian
psikologi
mengungkap novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari.
sastra
dalam
7
Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari, terutama tentang aktualisasi diri seseorang dalam menggapai cita-citanya yang termaktub dalam teori kebutuhan bertingkat dalam psikologi humanistik yang yang merupakan pemanfaatan interdispliner ilmu sastra dan psikologi.
G. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan penelitian (yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah.5Oleh karena itu sangatlah penting alasan menentukan suatu metode penelitian tertentu karena cocok digunakan dalam tema atau karya sastra tersebut agar menghasilkan kesimpulan yang maksimal. Endraswara menyebutkan setidaknya ada tiga cara untuk memahami teori psikologi sastra. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian.6 Dari ketiga cara di atas, poin kedualah yang digunakan dalam penelitian ini. Peneliti mula-mula menentukan karya yang akan dianalisis, yakni novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Setelah membaca karya tersebut secara keseluruhan, peneliti menganggap novel keempat Okky Madasari ini cocok diteliti menggunakan pendekatan psikologi humanistik Abraham Maslow,
5
I Made Wirartha, Metode Penelitian Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), h.68. Ibid., h. 59
6
8
yakni teori berkebutuhan tingkat sebagai representasi dari pencarian jati diri tokoh utamanya, Sasana dalam mengaktualisasikan diri. Dalam penelitian ini sendiri akan menggunakan metode kualitatif dikarenakan dianggap pas digunakan untuk menganalisis novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Di mana dalam metode ini secara deskriptif akan dilakukan penafsiran terhadap novel Pasung Jiwa dengan memperhatikan data-data faktual yang berkaitan isi novel, seperti unsur-unsur dalam pembangun sastra serta wacana atau isu-isu yang diangkat untuk kemudian dianalisis
menggunakan
interdisiplin
ilmu
psikologi
sastra,
seperti
menganalisis aspek kejiwaan sang tokoh dalam mengaktualisasikan dirinya dalam teori berkebutuhan tingkat Abraham Maslow. Dengan demikian, laporan penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. 1. Objek Penelitian Seusai tujuan peneliti, yang menjadi objek penelitian adalah ―Aktualisasi Diri Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA‖. 2. Data dan Sumber Data Penelitian a. Data Pengambilan data dalam sebuah penelitian sangatlah penting, karena data sebagai suatu sumber yang akan dianalisis haruslah diperisiapkan sejak awal penelitian. Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai semua hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.7Dalam penelitian ini, data yang disajikan berupa kutipan-kutipan kata, kalimat, dan wacana yang akan 7
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Yogyakarta: Erlangga, 2009), h.61.
9
diangkat dari suatu interdisiplin ilmu psikologi sastra yang terdapat di dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. b. Sumber Data Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1) Sumber Data Primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari diterbitkan pada Mei 2013 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. 2) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu buku-buku, artikel baik cetak atau online dari surat kabar yang berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Okky Madasari, serta wawancara kepada penulis novel, Okky Madasari. 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun langkah-langkah pengumpulan data dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari yaitu: a. Membaca secara cermat novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; b. Mencatat kalimat yang berkaitan dengan struktur novel dan kalimat yang menggambarkan aktualisasi diri tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; c. Hasil poin b digunakan sebagai data untuk menganalisis aktualisasi diri tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; d. Hasil poin c digunakan sebagai data untuk mengimplikasikan aktualisasi diri tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari pada pembelajaran sastra di SMA.
10
4. Teknik Analisis Data Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data adalah: a.
Menganalisis novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari dengan menggunakan analisis struktural karya sastra. Analisis struktural dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari yang mengandung unsur tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat;
b. Analisis dengan tinjauan psikologi sastra dilakukan dengan membaca dan
memahami
kembali
data
yang
diperoleh.
Selanjutnya
mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang aktualisasi diri tokoh Sasana yang ada di dalam novel dengan yang ada di luar novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; c.
Mengimplikasikan novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari pada pembelajaran sastra di SMA yang dilakukan dengan cara menghubungkan materi pelajaran sastra di sekolah.
BAB II KAJIAN TEORETIS Penelitian tentang ―Proses Aktualisasi Diri Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA‖ ini menggunakan
pendekatan kajian
interdisipliner, yakni penelitian antar disiplin ilmu sastra dan psikologi. Oleh karena itu, perlu diperjelas lebih dalam tinjauan teori yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, meliputi fenomena transgender di Indonesia, tinjauan psikologi sastra, teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow sebagai tahapan menuju pengaktualisasian diri si tokoh, tinjauan unsur-unsur novel, serta tinjauan implikasi terhadap pembelajaran sastra di SMA. A. Transgender dan Kaitannya dengan Novel Pasung Jiwa Laki-laki dan perempuan adalah dikotomi yang sudah ada sejak jaman manusia pertama kali lahir. Perbedaan jenis kelamin itupun disertai dengan— di antaranya—beda pola tingkah dan sifat keduanya yang di antaranya terkonstruksi oleh masyarakat. Pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat justru ada laki-laki yang bersikap atau merasa dirinya perempuan, pun sebaliknya pada perempuan yang bersikap kelaki-lakian. Lebih dari itu, yang ekstrim adalah mengubah kelamin mereka. Fenomena ini dikenal dengan istilah transgender. Transgender adalah kondisi di mana seseorang memiliki identitas gender yang berlawanan dengan tubuhnya (seks biologis). Seorang transgender menghayati dirinya dalam gender lain yang berbeda dengan seks biologisnya.8 Transgender sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam, yang pertama transgender dikarenakan faktor medis/biologis yang terdapat dalam
8
http://aruspelangi.org/gender-ketiga-sebuah-bentuk-keberagaman/ diakses pada 30 oktober 2015, 12:28 am
11
12
diri seseorang atau dapat dikatakan terjadi secara natural.9 Istilah transgender sendiri dimasukkan ke dalam kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Menurut Sinyo, transgender adalah istilah untuk menunjukkan keinginan tampil berlawanan dengan jenis kelamin yang dimiliki.
10
Dengan
kata lain, seorang transgender tidak mempermasalahkan jenis kelaminnya. Orientasi atau identitas seksualnya bisa saja seorang heteroseksual, biseksual, homoseksual11, dan lainnya. Dari beberapa penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa transgender adalah keadaan di mana seseorang yang terjebak pada tubuh yang salah. Mereka lalu menampilkan diri sebagaimana yang mereka rasa. Mengapa begitu? Beragam alasan melatarbelakangi seseorang menjadi transgender, di antaranya faktor gen dan faktor lingkungan. Dalam sebuah wawancara dengan Direktur PUSHAM UII Eko Riyadi, mengatakan setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi seseorang memilih menjadi transgender seperti kutipan berikut.12 a) Faktor bawaan (hormon dan gen) Faktor genetik dan fisiologis adalah faktor yang ada dalam diri individu karena ada masalah antara lain dalam susunan kromosom, ketidakseimbangan hormon, struktur otak, kelainan susunan syaraf otak. b) Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan atau karena bergaul dengan lingkungan transgender akhirnya orang tersebut terpengaruh. c) Karena sering mengalami kekerasan sehingga menimbulkan trauma yang mendorong seseorang tersebut untuk menjadi transgender.
9
http://pkbh.uii.ac.id/news/latest/transgender-dalam-pandangan-hak-asasi-manusia.html diakses pada 30 oktober 2015, 12:38 am. 10 Sinyo, Anakku Bertanya tentang LGBT, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014), h. 9. 11 Heteroseksual digunakan untuk menyebut identitas seksual seseorang ―normal‖ atau memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Biseksual digunakan untuk menyebut seseorang yang mempunyai ketertarikan seks terhadap sesame jenis dan lawan jenis secara bersamaan. Dan Homoseksual digunakan untuk menyebut orang-orang yang memiliki ketertarikan seks terhadap sesame jenis. Homoseksual umumnya dibagi dua, Gay untuk penyuka sesama lelaki, dan Lesbian untuk penyuka sesama perempuan. 12 PKBH UII, loc. cit.
13
Jika membaca keseluruhan novel Pasung Jiwa, faktor lingkunganlah yang cocok untuk menebak alasan tokoh utamanya, Sasana, menjadi transgender. Mulai dari pemaksaan orangtuanya untuk mencintai piano dan musik klasik, melarang segala hal yang berhubungan dengan dangdut, dan bullying yang dialaminya saat sekolah menengah cukup menjadi alasan Sasana menjadi Sasa sebagai bentuk dari kekecewaannya terhadap imej laki-laki yang dekat dengan kekerasan. Akan tetapi, kita tahu hidup sebagai seorang transgender di negara yang hampir semua warganya beragama tentu sangat tidak mudah. Pun dengan undang-undang Indonesia yang hanya mengakui dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Hal ini tak pelak menyebabkan banyaknya tindakan diskriminasi, penganiayaan, pelecehan, bahkan sampai pembunuhan terhadap transgender seperti pada data berikut ini: Di Indonesia, berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan, stigma, penolakan, pengusiran paksa, bahkan hingga penghilangan nyawa, masih kerap ditemui terhadap komunitas marginal transgender. Ada sederet kasus pembunuhan terhadap waria yang pernah terjadi di Indonesia. Pada Maret 2002, 3 orang waria pekerja seks terbunuh di Tanjung Duren, Jakarta Barat, Jasad mereka tertembus timah Panas dan diduga milik oknum kepolisian. Sementara pada 29 Oktober 2005, waria Vera terbunuh di Purwokerto- Jawa Tengah, pada jasadnya ditemukan bekas tusukan dan penganiayaan keji. Selain itu pada 17 November 2007, Waria Elly Susana ditemukan meninggal secara mengenaskan di Kali Cideng, Gambir, Jakarta Barat, Korban diduga meneceburkan diri ke Kali Ciliwung untuk menyelamatkan diri dari kejaran Satpol PP.13 Data yang dihimpun Kalyanamitra ini menunjukkan pada kita bahwa identitas sebagai transgender menjadikan mereka objek kekerasan aparat atau masyarakat sipil. Jika merujuk pada Pasung Jiwa, di mana tokoh utamanya. Sasana merupakan seorang trangender, dapat dilihat apa yang dialaminya sebagai Sasa merupakan representasi dari keadaan dan keberadaan transgender yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat kita. Kita tidak bisa menutup mata dan naif terhadap kemunculan mereka sebagai bagian dari perkembangan masyarakat modern. Sehingga, menurut peneliti sendiri, serumit apapun 13
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/11/transgender-masih-menjadi-komunitas-yangtermarjinalkan/ diakses pada 30 oktober 3:46 am
14
legalitas yang tengah diperjuangankan mereka, sebagai masyarakat dan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan, sebaiknya kita menghormati mereka dengan tidak menghakimi pilihan hidupnya. Bagaimanapun, jalan hidup yang mereka ambil di luar dari kebiasaan orang normal pasti memiliki alasan kuat seperti yang terjadi pada Sasa. Dengan berbagai peristiwa yang dialami tokoh Sasana, maka penelitian ini cocok menggunakan pendekatan psikologi sastra untuk mengetahui bagaimana perjuangan Sasana keluar dari keterkungkungannya dalam mengaktualisasikan dirinya menggunakan teori kebutuhan bertingkat dari Abraham Maslow.
Tahapan dalam teori Maslow menjadi reprentasi
bagaimana Sasana keluar dari trauma keterpaksaan, kekerasan, hingga pelecehan yang dialaminya sambil terus mengaktualisasikan dirinya menjadi apa yang dia inginkan. B. Hakikat Psikologi Sastra 1. Pengertian Psikologi Sastra Manusia merupakan makhluk hidup yang diciptakan Tuhan dengan sempurna. Di balik kesempurnaanya, manusia adalah makhluk yang kompleks dengan sejumlah permasalahan. Salah satunya permasalahan transgender seperti yang sudah peneliti paparkan di atas. Hal tersebut menjadikan masalah ini menarik untuk diteliti dalam disiplin ilmu sastra dan psikologi. Sementara itu, perkembangan kajian sastra yang bersifat interdisipliner telah menjadikan sastra bersinggungan dengan cabang ilmu lainnya, seperti psikologi, yang kemudian lahirlah pendekatan psikologi sastra. Sebelum membahas kaitan manusia dengan pendekatan psikologi sastra, akan dijelaskan mengenai definisi psikologi dan sastra terlebih dahulu. Psikologi dimaknai sebagai suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas sebagai manifestasi hidup
15
kejiwaan.14
Psikologi
juga
meneliti
manusia
sebagai
makhluk
multidimensional, memiliki pikiran, dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Lebih dari itu, psikologi menekankan pada aspek interaksi personal dan perilaku manusia dalam kehidupan sosial, termasuk implikasi sosial terhadap kejiwaan seorang manusia.15 Sementara sastra, menurut Wellek dan Warren adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.16 Hal ini juga dibenarkan oleh Danziger dan Jhonson dalam Melani Budianta yang melihat sastra sebagai suatu ―seni bahasa‖, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.17 Berkaitan dengan itu, Atar Semi mengatakan sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu, karena sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas.18 Dari pendapat para ahli sastra tersebut, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah suatu proses kreatif pengarang dalam mengungkapkan kehidupan manusia dengan menggunakan media bahasa. Kerja kreatif ini pun sudah berlangsung lama, seiring peradaban manusia di dunia. Adapun kaitannya dengan psikologi, menurut Wiyatmi, dalam kajian sastra yang menggunakan pendekatan psikologi sastra inilah, hubungan antara sastra dan psikologi terjadi.19 Endraswara dalam Minderop mengatakan, mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam.20 Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah
14
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2002), h. 8. Nina W. Syam, Psikologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), h.37. 16 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, Diindonesiakan oleh Melani Budianta, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 3. 17 Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Jakarta: Indonesia Tera, 2012), h. 7. 18 Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2012), h. 1. 19 Wiyatmi, H. 18 20 Albertine Minderop, Psikologi Sastra, (Jakarta: Buku Obor, 2010), h. 59. 15
16
manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain.21 Dengan begitu, dapat dipahami bahwa dengan menganalisis suatu karya menggunakan pendekatan psikologi sastra dapat membantu mengenali, mengidentifikasi, dan meneliti kejiwaan tokoh yang merupakan representasi jiwa manusia di kehidupan nyata, termasuk persoalan dalam tokoh utama nove Pasung Jiwa, Sasana. Dari beberapa uraian di atas, peneliti berkesimpulan Pasung Jiwa relevan untuk dikaji menggunakan pendekatan psikologi sastra sebab novel karya Okky Madasari ini mengulik tentang perjalanan tokoh utama yang mencoba
berjuang mencari kebebasan diri di tengah kemelut jiwa yang
mengelilinginya. Teori berkebutuhan tingkat dari psikologi humanistik digunakan
untuk
meneliti
tahapan
perjuangan
tokoh
utama
dalam
mengaktualisasikan dirinya. 2. Relevansi Psikologi Sastra dan Cerminan Kejiwaan Manusia dalam Kehidupan Pendekatan psikologi dalam suatu karya hingga saat ini dinilai para ahli masih minim digunakan dalam penelitian sastra, khususnya di Indonesia.22 Padahal, pendekatan psikologi sastra sangat dekat kaitannya dengan kehidupan kita, yakni manusia itu sendiri. Dalam peradaban, karya sastra merupakan produk pemikiran manusia yang disublimasikan melalui bahasa ke dalam sebuah tulisan ataupun lisan. Wellek dan Warren menuturkan, sastra ―menyajikan kehidupan‖, dan
21
Albertine Minderop, Psikologi Sastra, (Jakarta: Buku Obor, 2010), h.59. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti yang dikemukakan Nyoman Kutha Ratna, yakni, pertama, psikologi seolah-oleh hanya berkaitan dengan manusia sebagai invidu, kurang memberi peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit. Kedua, dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra. Ibid, h.52. 22
17
―kehidupan‖ sebagaian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga ―meniru‖ alam dan dunia subjektif manusia.23 Sementara, menurut Nyoman Kutha Ratna, karya sastra mengandung aspek-aspek kultural, bukan individual. Benar, karya sastra dihasilkan seorang pengarang, tetapi masalah-masalah yang diceritakan adalah masalah-masalah masyarakat pada umumnya. Benar, karya sastra menceritakan seorang tokoh, suatu tempat dan kejadian tertentu, dan dengan sendirinya melalui bahasa pengarang, tetapi yang diacu adalah manusia, kejadian, dan bahasa sebagaimana dipahami oleh manusia pada umumnya.24 Dari beberapa pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa sastra merupakan kumpulan dari pengalaman dalam kehidupan manusia. Itu menunjukkan sastra sangat dekat dengan masyarakat. Ia masuk dalam berbagai lini, seperti budaya, sosial, ekonomi, dan agama. Dengan kata lain, sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Sementara pendekatan psikologi sastra tidak bisa dipisahkan dari kata ―kejiwaan‖. Ia berdiri, di antaranya menjadi corong penelitian tentang manusia dan segala kompleksitasnya, seperti perubahan watak atau berbagai bentuk penyimpangan tokohyang mengelilinganya dalam sebuah cerita. Menurut Atar Semi, pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperlihatkan perilaku yang beragam.25Karya fiksi psikologis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu novel yang bergumul dengan spiritual, emosional, dan mental para tokoh dengan cara lebih banyak mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau peristiwa.26 Albertine Minderop juga menyebutkan relevansi analisis psikologi diperlukan justru pada saat tingkat 23
Wellek dan Warren, op cit., h.109. Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, h. 329. 25 Atar Semi, h. 96 26 Albertine h. 53 24
18
peradaban mencapai kemajuan,pada saat manusia kehilangan pengendalian psikologis.27Sebagai contoh, kemajuan teknologi saat ini sangat membantu banyak orang dalam berkomunikasi, tapi di sisi lain, hal itu juga menimbulkan aspek-aspek negatif, misalnya kehilangan harga diri sebagai akibat keseluruhan harapan dialihkan pada teknologi, pada mesin dan berbagai mekanismenya, sehingga hubungan antar muka secara langsung diabaikan. Jika diterapkan pada novel Pasung Jiwa, sesungguhnya hubungan antara psikologi dan sastra sebagai cerminan kejiwaan manusia di masyarakat sangat dekat sekali. Pasung dan jiwa adalah dua kata yang bisa dimaknai terpasungnya jiwa seseorang dalam hal-hal tertentu. Dalam novel ini dikisahkan dua tokoh, utamanya Sasana dalam mencari makna kebebasan dalam hidupnya. Keputusan yang diambilnya sebagai upaya untuk mencapai kebebasan itu dihadapkan pada banyak benturan, seperti aturan norma, agama, budaya, ekonomi, yang kesemuanya merupakan hal yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam jiwa kita sendiri. 3. Keterkaitan Karya Sastra dan Psikologi Humanis Abraham Maslow Teori-teori psikologi kepribadian yang digunakan dalam pendekatan psikologi sastra cukup banyak. Setidaknya, menurut E. Koswara, dalam psikologi terdapat tiga revolusi yang mempengaruhi personologis modern, yakni psikoanalisis, behaviorisme, dan psikologi humanistik.28 Ketiga mahzab psikologi kepribadian di atas menjadikan manusia sebagai objek kajian mereka. Pertama, psikoanalisis adalah teori psikologi yang digagas oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri dan konflik-konflik. Konsepsi manusia yang suram ini, berasal dari individu-individu yang mengalami gangguan, di mana Freud dengan
27 28
Albertine Minderop, h.54 E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: PT Eresco Bandung, 1991), h. 109.
19
psikoanalisanya menekankan bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan tak sadar dan irasional.29 Inti dari penelitian psikoanalisis Freud adalah problem kejiwaan yang dialami pasiennya yang berasal dari pengalaman masa lalu yang kemudian membentuk tingkah lakunya di kemudian hari.Dari situlah kemudian Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga macam, yaitu Id, Ego, dan Super Ego30yang sangat terkenal hingga saat ini, termasuk di dunia sastra, sekalipun banyak ilmuwan yang meragukan teorinya secara saintifik. Teori psikologi kepribadian yang kedua adalah behaviorisme. Behaviorisme mencirikan manusia sebagai korban yang fleksibel, pasif, dan penurut terhadap stimulus lingkungan, atau sebagai bidak dari ketentuan lingkungan.31 Teori ini menggunakan dan meneliti binatang (dalam hal ini kera) sebagai representasi tingkah laku manusia. Pada behaviorisme ini, perbuatan manusia terbentuk karena adanya stimulus atau rangsangan dan respon di lingkungan. Tokoh yang terkenal dalam teori ini di antaranya J. B. Watson, Skinner,dan John Dewey. Teori psikologi kepribadian yang ketiga adalah psikologi humanistik. Psikologi humanistik mulai dikenal sekitar tahun 1960-anyang digagas oleh Abraham Maslow dan beberapa ahli psikolog lainnya, seperti Rollo May dan
29
Ibid, 109 Idadalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/cadangan energi manusia. Idbekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitive sehingga bersifat kaotik (kacau, tanpa aturan), tidak mengenal moral, tidak memiliki rasa benar-salah. Satu-satunya yang diketahui Idadalah perasan senang-tidak senang. Egoadalah segi kepribadian yang harus tunduk pada Iddan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Berlawanan dengan Id, Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, artinya ia dapat menunda pemuasan diri atau mencari bentuk pemuasan lain yang lebih sesuai dengan batasan lingkungan dan hati nurani. Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat di mana individu itu hidup. Berbeda dengan Ego, Supergo yang memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri (self control) selalu akanmenuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dikutip dari S.S. Budi Hartono, Dasar-dasar Psikoanalisis Freudian dalam buku Psikoanlisis dan Sastra, peny. Anggadewi Moesono, (Depok, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003), h.3-4. 31 E. koswara, h. 109 30
20
Carl Rogers.32 Lahirnya gerakan psikologi humanistik ini di antaranya dilandasi oleh paham eksistensialisme dan konsep kemenjadian (becoming). Menurut Koswara, beberapa tokoh yang tergabung dalam gerakan mahzab ketiga ini memiliki pandangan berbeda soal humanistik, tetapi mereka berpegangan pada konsepsi yang sama mengenai manusia, yaitu berakar pada paham eksistensialisme.33Poin penting yang menarik bagi para psikolog humanistik terhadap eksistensialisme karena bagi para eksistensialis, yang paling utama dan patut dipersoalkan terus-menerus adalah: dapatkah seseorang hidup dalam kehidupan yang sejati melalui pengungkapan segenap potensialitas atau kemungkinan yang dimilikinya?34 Sementara menurut konsep kemenjadian, manusia tidak pernah diam, tetapi selalu dalam proses untuk menjadi sesuatu yang lain dari sebelumnya. […] Dengan menempatkan nilai yang tinggi pada kemenjadian, para ahli psikologi humanistik, menurut Koswara, mengingatkan bahwa pencapaian kehidupan yang penuh dan memuaskan itu tidaklah mudah. Kesulitan ini terutama dialami individu-individu akibat adanya perubahan dan hambatan kultural.35 Contoh perubahan dan hambatan kultural bisa dilihat dari kehidupan masyarakat birokratis kita yang cenderung menggolongkan individu dalam 32
Selain Maslow, ada juga Carl Rogers dan Rollo May yang menggagas teori psikologi humanistik. Yang membedakan mereka satu sama lain adalah eksperimen mereka terhadap manusia dalam psikologi humanistik. Jika Maslow meyakini setiap manusia memiliki kemampuan aktualisasi diri dalam dirinya, Rogers menganggap bahwa manusia membutuhkan unconditional positive regard, yakni kasih sayang dan dukungan tanpa syarat. Ia mencotohkan kasih sayang ibu ke anak harusnya tanpa embel-embel, misalnya jika sang anak melakukan kesalahan bukan berarti lantas kasih sayang ibu kepada anaknya akan pudar. Rogers melihat bahwa justru kebanyakan anak dibesarkan dengan keadaan conditional positive regards. Sementara Rollo May menganggap kepribadian kita mencerminkan cara kita menghadapi kesulitan dan mencari makna keberadaan kita, untuk menggunakan kebebasan kita secara bijaksana. (Carole Wade dan Carol Tavris, h. 225226). 33 Dalam E. Koswara, Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang mempermasalahkan manusia sebagai individu dan sebagai problema yang unik dengan keberadaannya. Manusia, menurut eksistensialisme, adalah hal yang mengada-dalam-dunia (being-in-the-world), dan menyadari penuh akan keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia sematamata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksitensialisme percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya itu. E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, h. 133. 34 Koswara, h. 113 35 Koswara, h. 114.
21
suatu kelompok tertentu, semisalorang yang baru keluar dari penjara sering kali dianggap bukan lagi bagian dari masyarakat yang baik-baik, tetapi dicap selalu buruk. Hal yang sama juga terjadi pada individu yang menjadi transgender, kerap kali mengalami tindakan diskriminasi, dihakimi tidak baik, memalukan keluarga, bahkan dianggap kotor karena dekat dengan kehidupan seks bebas, dan menyimpang dari nilai-nilai agama, seperti yang dialami tokoh utama Pasung Jiwa, Sasana. Fenomena ini, menurut Koswara, akan menyebabkan individu itu bukan saja tidak mampumengungkapkan potensi-potensinya, melainkan juga mengalami keterasingan, asing terhadap sesamanya, dan bahkan asing terhadap dirinya sendiri. Dari kedua konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap individu berhak menentukan kebebasan dirinya secara bertanggung jawab sebab manusia memiliki akal untuk terus berpikir dan bertindak menjadi sesuatu yang lebih baik. Pemahaman itu mereka dapatkan dalam konsep fundamental eksistensialisme dan kemenjadian. 4. Aktualisasi Diri dari Teori Berkebutuhan Bertingkat dan Kaitannya dengan Novel Pasung Jiwa Studi tentang manusia akan terus berlangsung sepanjang zaman seiring kehidupannya yang dimanistik. Manusia senantiasa bergerak dari satu kotak ke kotak lain. Membuka pintu satu ke pintu lain dalam kehidupannya.Ia (manusia), mengutip Professor Filsafat Riyanto, mencintai meski juga membenci. Ia bekerja dengan susah payah. Iamenggapai cita-cita tiada henti meski akhir hidup menjemput lagi. Singkat kata, manusia adalah dia yang mencari, mengejar, menyerahkan diri, bermimpi, dan menciptakan sejarah hidupnya sendiri.36 Penuturan Riyanto di atas mengingatkan pada adagium lama Descartes yang begitu populer, cogito ergo sum yang membedakan manusia dengan 36
Armada Riyanto, CM, Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius: 2013), h. 9.
22
hewan. Bagi peneliti, manusia menggunakan akalnya untuk berpikir dan bertindak. Dalam berpikir dan bertindak, mutlak manusia memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupannya. Contoh sederhana, misalnya ketika seorang mahasiswa ingin bisa bekerja di perusahaan besar yang dia impikan, maka ia harus segera menuntaskan masa studinya dengan hasil yang memuaskan. Lalu, ketika ia ingin naik jabatan, tentu ia juga akan berusaha meningkatkan kualitas dirinya agar bisa sampai ke puncak. Proses tersebut dikenal dengan istilah aktualisasi diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktualisasi adalah perihal mengaktualkan; pengaktualan: kasus-kasus ini sudah sampai pada suatu— diri.37Sedangkan dari sisi psikologi, definisi aktualisasi menurut Maslow masih kabur. Tapi ia secara bebas melukiskannya sebagai ―penggunaan dan pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dsb. Orang semacam itu memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya. 38 Dari dua pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa aktualisasi diri adalah tindakan atau aksi yang dilakukan manusia untuk mencapai sesuatu yang menurutnya sebagai puncak dari keinginannya menjadi sesuatu. Bisa kita lihat juga, aktualisasi diri menunjukkan sikap optimistik individu dalam menentukan pilihannya, di mana setiap pilihan masing-masing orang berbeda dan cara yang digunakannya pun berbeda. Garis besar dari konsep ini adalah memaksimalkan segenap potensi atau bakat dalam diri seseoranguntuk menggapai keinginannya, sebesar apapun resiko yang dihadapi. Sisi menarik lainnya dari manusia adalah pengalaman. Suatu masa atau kejadian yang pernah menghampiri mereka di masa lalu. Kadang sesuatu itu berisi kenangan indah atau justru sebaliknya, buruk dan menyisakkan trauma. Ia (Maslow) menekankan bahwa meskipun kita dipengaruhi oleh pengalaman masa kanak-kanak yang malang, namun kita bukanlah 37 38
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tahun 1988, h. 17. Frank Goble, Mahzab Ketiga, Psikologi Humanistik Abaraham Maslow. h. 48
23
korban tetap dari pengalaman-pengalaman tersebut. Kita dapat berubah, bertumbuh dan mencapai kesehatan psikologis yang tinggi. Dalam pandangan humanistik, manusia memiliki potensi lebih banyak daripada apa yang mereka capai. Maslow berpendapat bahwa apabila kita dapat melepaskan potensi itu, maka kita semua dapat mencapai keadaan eksistensi yang ideal yang ditemukan pada mereka yang mengaktualisasikan diri.39 Dari pendapat Maslow yang dikutip dalam Minderop, dapat disimpulkan bahwa tiap manusia memiliki masa lalunya sendiri. Tak sedikit dari masa lalu yang buruk memengaruhi kehidupan manusia di masa mendatang. Itulah kenapa ada orang yang memandang pesimis dalam menatap masa depan, tapi ada juga yang optimistik untuk menuju ke sana. Pilihan kedualah yang menjadi landasan Maslow dalam teorinya; manusia yang optimistik. Hal ini juga yang kemudian menjadi perhatian peniliti dalam melakukan riset terhadap tokoh Sasana. Dalam perjalanan hidupnya, ia memiliki semacam pemaksaan dari orangtuanya untuk menggeluti jenis musik klasik dan harus mahir dalam berpiano. Ia juga mengalamibullying saat sekolah yang menyisakan trauma yang mengubah pandangannya terhadap sifat lakilaki. Masa lalunya itu bisa dikatakan menjadi salah satu faktor pemicu ia memilih menjadi transgender di masa depan. Lalu di mana letak aktualisasi dirinya? Aktualisasi diri yang dilakukannya adalah ketika ia menjadi transgender dengan menjadi penyanyi dangdut. Di tengah banyak pihak yang merasa dirinya salah memilih jalan, bahkan tak sedikit yang mencemooh dan menganiayanya, nyatanya ia tak gentar menjadi dirinya sendiri. Memang ada yang harus dibayar dari setiap perjuangan yang kita pilih hingga sampai ke puncak. Tahapan inilah yang kemudian menurut peneliti masuk ke dalam teori berkebutuhan bertingkat Abraham Maslow yang akan dibahas di Bab IV. Abraham Maslow yang menjadi aktor dalam pembentukan konsep aktualisasi diri, membuat tahapan-tahapan dalam mengaktualisasikan diri.
39
Minderop. H. 276
24
Tahapan itu dikenal denganteori hirarki berkebutuhan atau teori kebutuhan bertingkat yang terdiri dari lima tahap kebutuhan40, yaitu: a. Kebutuhan-kebutuhan Fisiologis Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (psysiological needs) adalah kebutuhan yang jelas terhadap makanan, air, udara, tidur, dan seks dan pemuasaan terhadap kebutuhan-kebutuhan itu sangat penting untuk kelangsungan hidup. Karena kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan yang terkuat dari semua kebutuhan. b. Kebutuhan akan Rasa Aman Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan jaminan, stabilitas, perlindungan, ketertiban, bebas dari ketakutan dan kecemasan. Malsow percaya bahwa kita semua membutuhkan sedikiti banyak sesuatu yang bersifat rutin dan dapat diramalkan. Ketidakpastian sulit dipertahankan, karena itu kita berusahan mencapai sebanyak mungkin jaminan, perlindungan, ketertiban menurut kemampuan kita. c. Kebutuhan akan Rasa Memilki dan Cinta Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan cara menggabungan diri dengan suatu kelompok atau perkumpulan, menerima nilai-nilai dan sifat-sifat atau memakai pakaian seragamnya dengan maksud supaya merasakan perasaan memiliki. Untuk memuaskan kebutuhan akan cinta kita dapat membangung suatu hubungan akrab dan penuh perhatian dengan orang lain atau dengan orang-orang pada umumnya, dalam hubungan ini memberi dan menerima cinta adalah sama penting. d. Kebutuhan akan Penghargaan Maslow membedakan dua macam kebutuhan akan penghargaan: penghargaan yang berasal dari orang-ornag lain dan penghargaan terhadap diri 40
Koswara
25
sendiri. Penghargaan yang berasal dari orang lain adalah yang utama; jelas sulit bagi kita untuk berpikir baik tentang diri sendiri kecuali kita merasa yakin bahwa orang-orang lain berpikir baik tentang kita. Menurut Maslow, penghargaan yang berasal dari luar dapat berdasarkan reputasi, kekaguman, status, popularitas, atau keberhasilan dalam masyarakat, semua sifat dari bagaimana orang-orang lain berpikir dan bereaksi terhadap kita. […] Apabila kita merasakan suatu perasaan penghargaan dari dalam atau penghargaan diri, kita merasa yakin dan aman akan diri kita; kita merasa berharga dan adekuat (serasi, imbang). Apabila kita kekurangan harga diri, kita merasa rendah diri, kecil hati, dan tak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Supaya memiliki perasaan harga diri yang sejati, kita harus mengetahui diri kita dengan baik dan mampu menilai secara objektif kebaikan-kebaikan dan kelemahan-kelemahan kita. Kita tidak dapat menghargai diri kita, jika kita tidak mengetahui kita siapa dan apa. e. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri Kebutuhan yang kelima ini dapat diartikan sebagai kebutuhan yang paling tinggi. Aktualisasi diri dapat didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat kita, pemenuhan semua kualitas dan kapasitas kita. Kita harus menjadi menurut potensi kita untuk menjadi. Meskipun kebutuhan-kebutuhan dalam tingkat yang lebih rendah dipuaskan— kita merasa aman secara fisik dan emosional, mempunyai perasaan memiliki dan cinta, merasa berharga, namun kita akan merasa kecewa, tidak tenang, dan tidak puas kalau kita gagal berusaha memuaskan kebutuhan akan aktualisasi diri. Bila kondisi ini terjadi, maka kita tidak dapat berada dalam damai dengan diri kita dan tidak dikatakan sehat secara psikologis. 41 Menurut Schultz, kita tidak didorong oleh kelima kebutuhan itu pada saat yang sama. Hanya salah satu kebutuhan sangat penting dalam setiap
41
Schultz, h. 91-93.
26
momen tertentu; kebutuhan yang mana yang tergantung pada manakah yang telah dipuaskan.42 Dari paparan mengenai tahapan berkebutuhan bertingkat Maslow bisa disimpulkan
bahwa
manusia
senantiasa
berusaha
untuk
memenuhi
kebutuhannya karena itu merupakan sifat bawaan manusia dari lahir juga untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Jika tahapan pertama sudah dilewati, maka manusia cenderung memenuhi tahapan lainnnya dan puncak dari tahapan itu adalah aktualisasi diri. Lalu seperti apakah tahapan yang dilakukan Sasana dalam mengaktualisasikan dirinya? Apakah ia akan melewati semua tahapan kebutuhan di atas? Penelitiannya akan dibahas dalam Bab IV. C. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Dalam kesusastraan, terdapat beberapa bentuk untuk menggolongkan jenis karya sastra yaitu, di antaranya puisi, drama, novel, dan cerpen. Semua kategori tersebutmemiliki kekhasannya sendiri. Untuk novel, dalam Prinsip-prinsip Dasar Sastra, terdapat beberapa pengertian yang dikutip Tarigan, di antaranya,dalam The American College Dictionary, ―novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.‖43 Virginia Wolf mengatakan bahwa ―sebuah roman atau novel ialah terutama
42 43
Schultz, h. 90. Tarigan, h. 167
sekali
sebuah
eksplorasi
atau
suatu
kronik
penghidupan;
27
merenungkan dan melukiskan dalam bentuk, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak-gerik manusia.‖44 Sementara menurut H.E. Batos, ―sebuah roman, pelaku-pelaku mulai dengan waktu muda, mereka menjadi tua, mereka bergerak dari sebuah adegan ke sebuah adegan yang lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain.‖45 Adapun
Stanton
mengatakan
novel
mampu
menghadirkan
perkembangan satu karakter, siatuasi yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. 46 Berdasarkan beberapa pandangan ahli di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa novel merupakan bentuk karya sastra yang berisi kisahan panjang karena salah satunya menyajikan kehidupan tokoh rekaan dari muda hingga tua. Selain itu, cerita yang diangkat ke dalam novel juga sangat dekat dengan permasalahan manusia semisal masalah konflik agama, pergeseran budaya, kehancuran suatu keluarga, diskriminasi masyarakat, dan sebagainya. Jika dikaitkan dalam novel Pasung Jiwa, Okky Madasari menyajikan apa-apa yang disebutkan dalam definisi novel di atas. Dalam novel setebal 328 halaman itu, Okky menceritakan Sasana dari kecil hingga dewasa. Perjalanan hidup tokoh utamanya itu pun dibuat penuh lika-liku dengan berbagai konflik yang rumit dalam diri seorang transgender yangmasih tabu di Indonesia. Tak pelak, konflik yang dihadirkan pun bersinggung dengan norma masyarakat pada umumnya. Meski begitu, Okky mencoba membangun sikap optimitistik pada diri si tokoh bahwa serumit apapun hidup, manusia berhak menentukan kebebasannya sendiri dalam bentuk aktualisasi diri.
44
Tarigan, h. 167 Tarigan, h. 167 46 Stanton, h. 90. 45
28
2.
Jenis Novel Dalam sebuah karya sastra, lazimnya ditemui kekhasan ide cerita yang
ditulis pengarang. Ide ini biasanya timbul dari berbagai faktor yang mempengaruhi proses kreatif si pengarang. Misalnya, pengarang novel asal Bali, Oka Rusmini ketika menulis Tarian Bumi, salah satu alasannya dilatarbelakangi oleh kegelisahan dan ketertungkan yang dihadapinya sebagai masyarakat Bali atas aturan yang berlaku di sana. Tentu beda Oka, beda juga Dewi Lestari yang banyak menulis novel tentang kehidupan kekinian yang berkisah seputar kisah cinta anak muda seperti dalam novel Perahu Kertas. Perbedaan inilah yang kemudian masuk dalam kategori jenis novel. Merujuk pada jenis novel menurut Mochtar Lubis47, Pasung Jiwa masuk dalam novel psikologi. Pada gambar yang dibuat Lubis, menujukan bentuk novel psikologis. Perhatian tidak ditujukan pada avontur yang berturutturut terjadi (baik avontur lahir maupun rohani) tetapi lebih diutamakan pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku, yang dalam gambar di atas ditunjukkan oleh A, B, C, D, E, dan seterusnya.
Gambar garis putus-putus membentuk seperti deretan pegunungan yang terdiri dari puncak dan jurang sebagai bentuk dari novel psikologis yang lazimnya memainkan psikologis dalam diri si tokoh yang terkadang berada pada posisi sadar, kadang berada di bawah alam sadarnya. Kaitannya tokoh utama Pasung Jiwa, Sasana jika dilihat dari jalan ceritanya, memang menunjukkan ciri-ciri tokoh yang dibentuk dan dikembangkan perilakunya secara psikologis oleh pengarang.
47
Nurgiyantoro, h.23
29
3. Unsur Novel Novel adalah sebuah bangunan kokoh yang berdiri di atas unsur-unsur pembangunnya. Unsur-unsur inilah yang kemudian menjadi kemudi bagi pengarang dalam merajut cerita kata per kata, lembar demi lembar, dan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Secara garis besar, berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik.48 a. Unsur Ekstrinsik Dalam sebuah penelitian karya sastra, unsur ekstrinsik tak bisa diabaikan begitu saja. Untuk menilai urgensi unsur ekstrinsik dalam sebuah penelitian, Furqonul Aziz dan Abdul Hasim mengibaratkannya dengan wawancara imajenir yang dilakukan seorang novelis, Eric Reader, antara pewawancara dengan John—yang tak lain adalah dirinya. Dalam wawancara sekitar tahun 1987
ini, ia membahas tentang novel dan seperti apa
keunikannya dibanding bentuk karya sastra lainyang menjadi daya tariknya.―Saya menemukan kenyataan bahwa dengan novel, Anda bisa berbuat leluasa. Tidak ada batasan tempat dan waktu. Semua pengalaman bisa Anda manfaatkan,‖49 begitu kira-kira petikan wawancaranya. Hal di atas menunjukkan sebelum menjadi suatu tulisan yang utuh, karya sastra memiliki latar belakang yang sangat mungkin didapatkan dari berbagai hal, di antara biografi kepengarangannya, latar belakang sosial, budaya, pendidikan pengarang, idealisme pengarang. Pengamatan pengarang terhadap isu-isu yang yang beredar di koran-koran dan berita di televisi setiap harinya atau juga fenomena yang terjadi di masyakarat juga bisa menjadi inspirasi yang bisa dianalisi. Dengan kata lain, unsur ekstrinsik adalah unsur di luar karya sastra yang mempengaruhi karya yang diciptakan. 48
Nurgiyantoro, h.23 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 5. 49
30
Kaitannya dengan Pasung Jiwa, peneliti melihat isu transgender yang diangkat Okky Madasari dilatarbelakangi oleh perhatian pengarang dalam memandang keberadaan mereka di tengah masyarakat kita yang agamis. Latar belakang pengarang sebagai seorang jurnalis juga sangat memungkinkan dirinya bersinggungan dengan kaum transgender di lapangan dan menaruh simpati pada mereka lalu sebagai bentuk dukungannya, pengarang menulis sebagian kecil kisah mereka dalam sebuah novel. Hal ini juga yang menarik perhatian peneliti dalam menganalisis novel ini karena seberbeda apapun transgender dengan orang-orang normal, mereka tetaplah manusia yang berhak mengaktualisasikan dirinya. Berhak menunjukkan eksistensinya. b. Unsur Intrinsik Menulis sebuah cerita adalah perjalanan panjang seorang pengarang. Berbagai ide cemerlang yang sudah menari-nari di imajinasinya akan tunduk juga pada unsur intrinsik. Perwujudan utuh sebuah novel bisa dilihat dari unsur-unsur yang mendukung di dalamnya, seperti berikut ini: 1) Tema Menurut Nurgiyantoro, tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.50 Hal ini juga diamini Tarigan bahwa setiap fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan51, sebab menurut Stanton, tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‗makna‘ dalam pengalaman manusia; menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akanada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita.52 Dari beberapa pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa tema merupakan benang merah dari suatu kisah yang melingkupi keseluruhan isi cerita. Jika mengamati perkembangan tema-tema pada karya sastra Indonesia, terlihat umumnya pemelihan tema terjadi karena banyak faktor, di antaranya 50
Nurgiyantoro, h. 23 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2011), h. 125. 52 Robert Stanton, h. 37. 51
31
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat, seperti diskriminasi, dehumanisasi, ketidakharmonisan keluarga, pemberontakan terhadap nilainilai di masyakarta, hubungan manusia dengan sesama manusia dan Tuhan, dan banyak persoalan sosial lainnya. Berkaitan dengan penelitian ini, tema dalam Pasung Jiwa menyinggung soal perjuangan manusia meraih eksistensi dirinya dengan cara mengaktualisasikan apa yang menjadi cita-citanya selama hidup meski harus menghadapi berbagai hambatan dan keterbatasan yang ada. 2) Tokoh dan Penokohan Dalam suatu cerita, terdapat subjek yang dihidupkan pengarang, yaitu tokoh. Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.53 Setiap tokoh yang dihidupkan pengarang pasti memiliki perannya dan tingkat kepentingannya masing-masing. Oleh karena itu, menurut Sudjiman, Sukada, dan Aminuddin, ditinjau dari peran dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan), dan tokoh komplementer (tambahan).54 Apa yang dikatakan Sudjiman, dkk, disebutkan pula oleh Minderop dalam Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, dengan istilah karakter dengan merujuk pada pengertian Horby (1973: 156), yakni karakter (character) bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental, dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi, dan tanda atau huruf.55 3) Alur (plot) Stanton mengatakan alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.56 Sedangkan peristiwa-peristiwa dalam sebuah ceritanya kata Nurgiyantoro dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap53
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hal 142 Siswanto, h. 143. 55 Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, h. 2 56 Roberts Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 26. 54
32
sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.
57
Sementara menurut Froster dalam
Nurgiyantoro mengatakan plot adalah peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.58 Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan keberadaan plot menjadi salah satu unsur penting dalam analisis fiksi karena memiliki keterkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya dalam satu cerita. Keterkaitan itu terlihat dengan adanya hubungan sebab-akibat. Adapun untuk menganalisa novel ini, peneliti menggunakan plot yang disebut Tasrif dalam Nurgiyantoro yang akan dibahas di bab IV. 4) Latar (setting) Menurut Welleck dan Warren dalam Melani Budianta, latar adalah segela keterangan mengenai waktu, ruang, suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, relatistis, dokumenter, dan dapat juga berupa deskripsi perasaan.59 Sementara menurut Furqonul Aziez, latar tidak hanya mengacu pada latar geografis, tapi juga faktor sejarah dan sosialnya. Berdasarkan dua pendapat di atas, menurut peneliti, latar dimaksudkan dengan tujuan tertentu oleh pengarang. Selain waktu, ruang, dan suasana yang kerap kita dengar saat sekolah, latar juga memainkan perannya dalam keadaan suatu negeri yang kacau, seperti latar sosial Indonesia saat jaman penjajahan. 5) Sudut Pandang Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceriteranya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan
57
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 114. 58 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 113. 59 Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 86.
33
yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh.60 Menurut Nurgiyantoro, sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat.61 Kesimpulannya, sudut pandang menjadi penggerak dari tema yang sudah ditetapkan pengarang sebagai hubungan antara pengarang dan dunia fiktif ceritanya.Hampir setiap buku kajian fiksi yang ditulis para ahli mengeluarkan jenis sudut pandang menurut versi mereka. Ada yang cenderung mirip dan ada pula yang beragam. Jenis sudut pandang yang digunakan peniliti untuk menganalisis Pasung Jiwa beradasarkan versi Nurgiantoro, berikut ulasannya:62 1. Sudut pandang persona ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang pertama ini menggunakan sudut pandang persona ketiga, ―dia‖ dengan posisi narator berada di luar cerita di mana menampilkan para tokohnya dengan sebutan kata ganti orang, seperti: ia, dia, mereka. Sudut pandang ini terbagi lagi menjadi dua macam, yakni ―Dia‖ mahatahu dan ―Dia‖ terbatas di mana berada sebagai pengamat. 2. Sudut pandang persona pertama: “Aku” Dalam pengisahan kedua, menggunakan sudut pandang persona pertama, ―Aku‖ di mana gaya ―aku‖ narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ―aku‖ tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Nurgiyantoro membagi sudut pandang ―aku‖
60
Albertine Minderop, Metode Karakteristik Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 88. 61 Nurgiyantoro, h.246. 62 Nurgiyantoro, h. 256-271
34
menjadi dua macam, yakni ―aku‖ sebagai tokoh utama dan ―aku‖ sebagai tokoh tambahan. a. ―Aku‖ Tokoh Utama Dalam sudut pandang teknik ini, si ―aku‖ mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ―aku‖ menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita.63
b. ―Aku‖ Tokoh Tambahan Dalam sudut pandang ini tokoh ―aku‖ muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. 64
3. Sudut pandang campuran Sudut pandang campuran ini mengkombinasikan antar sudut pandangpersona ketiga ―Dia‖ dan persona ―Aku‖ termasuk turunan keduanya. Pemanfaatan teknik ini digunakan demi terciptanya efektivitas penceritaan yang lebih bervariasi, tergantung dari kebutuhan dan kreativitas pengarang. 6) Gaya Bahasa Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra.65 Semantara gaya adalah
cara
seorang
pengarang
menyampaikan
gagasannya
dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
63
Nurgiyantoro, h. 263 Nurgiyantoro, h. 264 65 Nurgiyantoro, h. 272. 64
35
menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.66 Berdasarkan penyataan kedua ahli di atas, disimpulkan bahwa dengan segala keistimewaannya, sastra menggunakan gaya bahasa yang tidak melulu tunduk pada kaidah bahasa Indonesia seperti bahasa jurnalis, sebab diksi yang digunakan sastrawan mengandung makna padat, konotatif, dan bermajas. 7) Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.67Amanat atau yang sebut moral ini, sering dianggap mirip dengan tema karena sama-sama menyampaikan pesan. Akan tetapi, Kenny dalam Nurgiyantoro mengatakan, moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema falam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. 68 Menurut peneliti, amanat merupakan pesan yang bisa diterapkan atau direnungkan oleh pembacanya. Jika amanat yang disampaikan penulis merupakan hal yang tidak baik, amanat itu bisa diteladani dengan tidak melakukan tindakan tercela dalam novel tersebut, begitupun sebaliknya, jika amanat yang tercetus justru menunjukkan nilai-nilai kebaikan, maka amanat itu bisa diteladani pembacanya. D. Hasil Penelitian yang Relevan Sebagai sebuah karya ilmiah yang mengedepankan unsur orisinalitas, adanya penelitian yang relevan membantu menghindarkan kesamaan atau plagiarisme atas karya orang lain. Selain itu, penelitian relevan juga berfungsi sebagai pembanding dan referensi dalam penelitian ini. Berikut disertakan dua skripsi yang menggunakan novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sebagai bahan penelitian. Pertama, penelitian yang berjudul ―Konflik Batin Tokoh 66
Aminuddin dalam Siswanto, h.159. Siswanto, h. 162 68 Nurgiyantoro, h. 320. 67
36
Utama dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA‖yang dilakukan Elviana Yuniar Kuswanti. Kedua, penelitian berjudul ―Emosi dan Kecemasan Tokoh-tokoh dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari (Kajian Psikoanalisis)‖ yang dilakukan Julia Hartini. Elviana Yuniar Kuswanti, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah dengan judul skripsi ―Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA‖ tahun 2014. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Akan tetapi, judul novel dan pengarang dalma objek karya sastra sama. Dalam skripsi Elviani, ia menggunakan pendekatan psikologi sastra yakni mendeskripsikan konflik batin tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Berdasarkan hasil penelitiannya, konflik batin tokoh utama dalam novelPasung Jiwa terdapat tiga konflik, (a) konflik mendekat-mendekat, yaitu 1) antara kasih sayang dan kesukaannya, 2) antara senang dan heran, 3) antara baik dan buruk saat mengubah penampilan, 4) antara meninggalkan atau menemani ibunya (b) konflik mendekat-menjau, yaitu 1) antara hal yang disukai dan dibenci, 2) antara melupakan masa lalu atau meneruskan masa lalu,(c) konflik menjauh-menjauh, yaitu 1) antara kasih sayang atau kenyamanan, 2) antara takut dan gelisah. Julia Hartini, Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (nonpendidikan), dengan judul skripsi ―Emosi Dan Kecemasan Tokoh-tokoh dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari (Kajian Psikoanalisis)‖ tahun 2015.Penelitian yang dilakukan Julia Hartini berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Akan tetapi, sama halnya dengan Elviana Yuniar Kuswanti, penelitiannya menggunakan judul novel dan pengarang yang sama dengan peneliti. Yang berbeda adalah tinjuan psikologi sastranya. Pada Julia Hartini, ia menggunakan pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud untuk
37
mengurai klasifikasi emosi dan kecemasan tokoh-tokoh dalam Pasung Jiwa. penelitian ini dilatarbelakangi dengan kuatnya nuansa pergolakan jiwa pada novel ini, maka penelitian ini menjawab (1) persoalan struktur dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; (2) struktur kepribadian tokoh-tokoh dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; (3) klasifikasi emosi tokohtokoh dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; (4) kecemasan tokoh– tokoh dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Bertalian dengan analisis psikoanalisis, hasil penelitian ini terdiri atas empat hal yaitu (1) terdapat alur sorot balik, kilas balik, dan bayangan, terdapat 41 tokoh, 20 latar tempat, 11 latar waktu dan mengandung latar sosial, menggunakan tipe wicara alihan, wicara yang dilaporkan, dan yang dinarasikan serta kehadiran pencerita pronomina ―aku‖ dan ―dia‖ dalam novel Pasung Jiwa; (2) struktur kepribadian tokoh berupa Id,Ego, dan Superego digambarkan oleh 2 tokoh utama dan 3 tokoh bawahan yang membantu tokoh utama mencapai kebebasannya; (3) gambaran klasifikasi emosi seperti perasaan yang bersalah, rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan, kebencian, dan cinta pada tokoh-tokoh dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari; (4) terdapat kecemasan objektif, kecemasan neurosis, dan kecemasan moral yang dialami tokoh-tokoh dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Setelah menelaah novel ini, peneliti selanjutnya bisa membedah isi teks melalui analisis sosiologi sastra melihat konteks sosial yang kentara dalam teks ini dan tinjauan struktural genetik atas pandangan dunia pengarang dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Peneliti
sendiri
melakukan
penelitian
yang
berjudul
―Proses
Aktualisasi Diri Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra‖. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra tapi menggunakan teori yang berbeda
yakni Teori Berkebutuhan Tingkat Abraham Maslow.Teori ini
digunakan untuk mengetahui kondisi kejiwaan tokoh dalam mewujudkan
38
aktualisasi dirinya di tengah banyaknya aturan-aturan masyarakat yang menghambatnya. E. Pembelajaran Sastra Sebagai ilmu pengetahuan, sastra menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia. Karya sastra yang dilahirkan seorang sastrawan menyimpan banyak makna yang bisa ditafsirkan dari berbagai pemikiran pembaca yang bisa mengasah kepekaan kita pada masalah seperti kondisi sosial, ekonomi, budaya, humanism, dsb. Fungsi ―membaca sastra berarti membaca kehidupan‖ patut menjadi poin penting dalam pembelajaran sastra di sekolah. Berdasarkan Kurikulum 2004 disebutkan bahwa secara umum, tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam bidang sastra agar: (1) peserta didik mampu menikmati dan memamfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan kemampuan pengetahuan dan bahasa; dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.69 Jika
menengok
ke
belakang,
menurut
sejarahnya,
Siswanto
mengatakan sastra mulai masuk dalam kurikulum pendidikan sekitar tahun 1970-an.70 Di masa ini, pemahaman tentang sastra dalam dunia pendidikan masih sebatas menghafal pengertian unsur-unsur pembangun karya sastra. Perkembangan ilmu pengetahuan dan semakin banyaknya penelitian tentang pola pengajaran sastra di sekolah, membuat pembelajaran sastra tak lagi hanya berkutat pada tataran menghafal materi teori sastra, tapi mulai menganaslisis, mengapresiasi, mengkritik, dan akhirnya berlatih membuat karya sastra. Jika tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia benar-benar dilaksanakan dengan baik di kelas oleh guru dan perseta didik maka banyak sekali manfaat 69 70
Siswanto, h. 170 Wahyudi Siswanti, Pengantar Teori Sastra, h. 167.
39
yang bisa didapat peserta didik, seperti mengasah kepekaan mereka terhadap lingkungan, budaya, humanisme, perbedaan suku, ras, agama, dan banyak lagi unsur kehidupan yang bisa diperoleh dari pembelajaran sastra di sekolah.
BAB III PROFIL OKKY MADASARI
Sosok Okky Madasari (OM) menjadi perbincangan di dunia sastra saat salah satu karyanya, Maryam, memenangkan penghargaan bergengsi Khatulistiwa Literary Award 2012. Pada suatu kesempatan,penulis berhasil mewawancarai OM yang dimuat di majalah INSTITUTedisi 41 tahun 2014. Beberapa informasi tentang OM juga penulis dapatkan dari beberapa laman berita koran nasional dan blog pribadinya untuk menunjang penulisan bab ini.
A. Biografi Okky Madasari Okky Puspa Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur pada 30 Oktober 1984. Lulusan Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional ini mengawali karirnya di dunia tulis-menulis sebagai jurnalis di Koran Jurnal Nasional. Tiga tahun menjalani profesi sebagai wartawan, OM mendapatkan banyak pengalaman tentang bagaimana menulis dengan efektif dan mudah dipahami. Hal itu pula yang membantunya saat ia menulis novel pertamanya, Entrok. Kiprahnya di dunia sastra memang baru dimulai tahun 2009. Kala itu, OM benar-benar melepas profesinya sebagai wartawan. Keputusannya ini didasarkan pada keinginannya menyuarakan kebebasan dan keadilan dengan lebih mengena. ―Saya pikir dengan menulis novel, suara-suara yang tertindas bisa lebih efektif didengar dan dibaca dibandingkan hanya menyuarakannya di dalam sebuah tulisan berita. Berita sering kali kita dengar dan baca sambil lalu, sekenanya saja,‖ kata Okky di suatu kafe di Jl. TB Simatupang (24/10/13).71 Sejak saat itulah OM merasa dirinya mantap menekuni dunia sastra. Karya-karyanya mengkritik masalah sosial sudah lahir dari kejelian mengasah kepekaan dan imajinasinya. Meski diakui Okky, sebelumnya keinginan 71
Ema Fitriyani, “Menyuarakan Keadilan pada Lembar Sastra‖, INSTITUT, Ciputat, Edisi 41, 2014, h. 66.
40
41
menulis novel adalah karena ia ingin sekali saja dalam hidupnya memiliki sebuah karya yang ditulis sendiri sebagai sesuatu yang bisa dikenangnya kelak. Tapi kini terhitung, perempuan lulusan Universitas Gajah Mada ini, sudah melahirkan empat novel berbahasa Indonesia dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Sambutan yang hangat dari masyarakat dan dukungan yang kuat dari suaminya—Abdul Khalik—inilah yang akhirnya terus memacu produktivitas OM sebagai novelis dan memiliki tanggung jawab dalam menuangkan gagasannya. ―Sebagai penulis yang dikatakan masih baru, saya tentu punya tanggung jawab lebih besar untuk terus menulis cerita-cerita tentang permasalahan sosial yang ada. Saya menjadi lebih mau mendengar, dituntut lebih untuk memperjuangkan keadilan lewat tulisan, dan melakukan kebaikan kemanusiaan,‖ katanya.72 Kini, selain menulis dan menjalankan hobinya bermain piano serta menciptakan lagu, OM juga disibukan dengan ALF atau Asean Literary Festival yang dibentuknya bersama sang suami, Abdul Khalik. Kegiatan yang menjadi kumpulnya para sastrawan se-Asia Tenggara untuk lebih mengenal karya-karya sastra sesama anggota Asean ini baru diselenggarakan tahun lalu.
B. Karya Okky Madasari Sejak kemunculan karyanya yang pertama lima tahun lalu, kini terhitung ada empat novel sudah diterbitkan istri salah satu wartawan Jakarta Post ini, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Keempat karyanya ditulis OM dengan mengambil tema yang berada di masyarakat tentang ketidakadilan, kekuasaan, diskriminasi, dan berbagai bentuk kritik sosial yang menggelisahkan dirinya. Berikut ulasan singkat karya-karyanya: 1. Entrok (The Years of The Voiceless), 2010 dan 2014 Entrok adalah novel pertama yang ia tulis tahun 2009 dan diterbitkan setahun setelahnya. Novel ini bercerita tentang sebuah perjalanan seorang perempuan Jawa yang hidup di tahun 1950 hingga lengsernya kejayaan Orde 72
Ibid.
42
Baru. Namanya Marni. Ia adalah gadis desa miskin dan buta huruf yang hanya tinggal berdua dengan Mboknya. Novel ini banyak mendapat pujian di antaranya tentang perjuangan seorang perempuan yang menjadi saksi bagaimana rakyat kecil dibodohbodohi oleh penguasa, termasuk dirinya sendiri, dan banyak isu-isu lainnya yang berkaitan dengan kondisi Indonesia kala itu. Novel ini juga sendiri, diakui OM, merupakan pengalaman dirinya saat kecil mendengarkan cerita neneknya di Magetan, Jawa Timur. Hal itu bisa terlihat dari pengambilan latar tempat di sekitar Jawa Timur, kampung halamannya. Novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 2014 lalu.
2. 86, 2011 Bahaya laten korupsi memang sudah tak terelakkan lagi. Sejarah mencatat, di negara manapun, perilaku memperkaya diri sendiri atau kelompok dengan mengambil yang bukan haknya ini memang selalu berpotensi terjadi hampir di setiap lapisan masyarakat. Indonesia pun masuk ke dalam jajaran atas negara dengan kasus korupsi tertinggi di dunia. Yang lebih membuat miris lagi, sarang koruptor itu justru banyak berada di instansi penegak hukum. Mulai dari pejabat tinggi sampai pegawai rendahan di tubuh penegak hukum Indonesia akrab dengan korupsi. Fenomena inilah yang diangkat OM di dalam novel keduanya, 86. 86 sendiri diambil OM dari ungkapan yang digunakan di kalangan kepolisian, yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan menggunakan uang.73 Faktanya memang di novel tersebut berbagai peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya menggunakan istilah 86.
3. Maryam (The Outcast), 2012 dan 2013 Maryam adalah novel ketiga OM yang meraih Anugerah Khatulistiwa Award 2012. Kali ini OM bercerita tentang diskriminasi beragama di 73
Okky Madasari, 86, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 94.
43
Indonesia. Ahmadiyah, begitu nama keyakinan yang dianut Maryam—tokoh utama dalam cerita ini—yang dilarang ada di Indonesia meski tidak sedikit pengikutnya. Dalam identitas buku novel ini ditulis bahwa Maryam adalah karya fiksi tetapi dalam kehidupan nyata sesungguhnya apa yang yang dialami Maryam dan beberapa tokoh cerita ini juga dialami oleh para Ahmadi— sebutan untuk pengikut kepercayaan Ahmadiyah. Bahkan, sampai saat ini bayang-bayang akan dikucilkan, dilabelisesat, bahkan diusir dari tempat tinggal mereka sendiri—seperti beberapa kasus terusirnya Ahmadiyah di beberapa wilayah, seperti Parung Bogor dan Lombok, yang kemudian menjadi latar tempat cerita dalam Maryam—masih menghantui mereka. Diakui OM sendiri, sebelum menulis Maryam, ia mengadakan penelitian beberapa bulan ke Desa Gegerung untuk mendeksripsikan dan menentukan setting cerita tentang diskriminasi yang dialami para Ahmadi.
4. Pasung Jiwa (Bound), 2013 dan 2014 Novel yang dirilis pada Mei 2013 ini, mengangkat tema perjuangan seorang transgender yang mengalami ketidakadilan dalam mengaktualisasikan cita-citanya, apa yang menjadi keinginannya. Tokoh utama itu bernama Sasana. Sasana kecil hidup di keluarga yang berpunya. Ayahnya seorang pengacara dan ibunya dokter bedah. Sejak masih dalam kandungan, ia sudah diperkenalkan dengan musik-musik klasik seperti karya-karya Mozart dan Beethoven. Maka, ketika lahir ia pun disuguhi oleh piano. Ia menjadi kebanggaan orangtuanya, guru-guru di sekolah, dan banyak orang yang menyaksikan bakat mengagumkan dari kemahiran anak SD memainkan piano. Segalanya berubah ketika suatu malam ia mendengar sayup-sayup orang bernyanyi dari belakang komplek rumahnya. Ia pun menghampiri untuk mencari tahu. Ia menemukan sekumpulan orang ramai-ramai menggerakan badannya menikmati alunan musik yang dinyanyikan oleh perempuan di atas panggung. Semua bergoyang. Sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Saat ia juga mulai meliuk-liuk badannya, ada yang menepuk badannya. Itu ibunya.
44
Tanpa ada kata, ia pun langsung dibawa masuk ke mobilnya. Besok paginya, saat ia, ibu, dan ayahnya sarapan, insiden semalam dibahas. Sasana dilarang main ke kampung di belakang rumahnya apalagi sampai berjoget musik dangdut karena itu tidak baik, mabuk-mabukan. Meski dilarang, Sasana justru tak bisa melupakan alunan dangdut dan mulai menyukainya sampai kemudian semua itu mengubah hidupnya. Setelah mengalami bullying saat SMP yang begitu membuatnya membenci dunia laki-laki yang penuh darah dan kekerasan, ia pun merasa lebih menyukai menjadi perempuan. Sasana dewasa kemudian menjadi penyanyi dangdut, lebih tepatnya biduan dangdut yang berpakaian seksi, make up tebal, serta goyangan panasnya. Kekerasan dan kengerian yang ia alami saat SMP ternyata terulang kembali ketika ia menjadi seorang penyanyi dangdut, lebih tepatnya saat ia mencoba mendatangi pabrik yang diduga oknum di dalamnya membunuh anak dari pemilik warung kopi tempat Sasana mulai debutnya sebagai pengamen di Malang bersama Jaka Wani. Kerusuhan yang Sasana dan kawan-kawan buat untuk bisa masuk ke dalam pabrik dan bertemu dengan pihak yang bisa menjelaskan di mana anak dari pemilik warung kopi yang diduga tewas, ia dan kawan-kawan justru dihadang oleh aparat keamanan pemerintah. Mereka berpencar. Sasana ditangkap dan dikurung oleh aparat pemerintah. Tak hanya dipukuli, ia juga mengalami tindakan pelecehan seksual. Sasana hanya seorang diri di Malang sejak kejadian itu. Ia tak tahu Jaka Wani dan kawan-kawannya ke mana, apakah selamat atau tidak. Ia, dengan kebingungan dan kengerian yang dihadapinya, memutuskan untuk meninggalkan Malang dan kembali ke Jakarta dengan membawa luka. Syukurnya, ia diterima kembali di keluarganya, keluarga yang selama ini tak pernah diberi kabar olehnya sejak kuliah di Malang. Keluarga yang sudah memberinya kehidupan hingga berkesempatan kuliah di Malang tapi tak ia lanjutkan. Di rumahnya, ia terus diam. Ia kembali menjadi Sasana, berpenampilan laki-laki pada umumnya. Oleh ibunya, ia kemudian didaftarkan kuliah di Jakarta. Tanpa banyak kata, ia menuruti ibunya. Ia pun berpikir mungkin ini merupakan jalan untuknya
45
mengubah hidupnya menjadi normal. Ia akan melupakan dangdut, goyangan khasnya, Jaka Wani, dan tentunya ia akan melupakan dirinya yang dulu, Sasa. Akan tetapi, ketakutan dan kesakitan yang iaalami saat dilecehkan secara seksual oleh aparat yang mengurungnya, membuat jalannya semakin susah untuk bangkit. Meski sempat ingin menjadi Sasana yang normal, nyatanya ia kembali menjadi Sasa ketika dirinya terpaksa dikurung oleh ibunya di rumah sakit jiwa. Sasana kemudian kabur dari rumah pesakitan itu dan kembali bernyanyi. Meski Ayahnya sejak dulu tidak bisa menerima kelainan yang dialami Sasana, tapi ibu mana yang tak tega melarang keinginan terpendam anaknya. Kekerasan yang dialami Sasana selama ini membuat Ibunya memilih tinggal bersama anak sulungnya itu dan akhirnya menjadi manajernya dalam meniti karier sebagai penyanyi dangdut yang kemudian membawanya bertemu dengan teman seperjuangannya dalam mewujudkan cita-citanya menjadi penyanyi besar. Ya, ia bertemu Jakawani dalam suatu konsernya di Malang— kota yang menjadi saksi pertemuan mereka dulu. Tapi yang terjadi adalah ia bertemu sesuatu yang lain dari Jakawani. Seseorang pria berjubah putih dengan mata penuh kebencian sedang menatap dirinya yang sedang dihardik oleh beberapa pria yang juga berpakaian seperti dia. Mereka menghancurkan konser dangdutnya juga menghancurkan dirinya sebagai Sasa. Ia ditelanjangi dan dipukuli di depan pria yang menjadikannya seperti Sasa. Di akhir cerita Pasung Jiwa, peperangan batin melanda Jaka Wani. Pria itu selalu dihantui oleh tatapan dingin Sasana saat penggerebekan konser dangdut yang dilakukan kelompoknya. Jaka Wani mencoba bertahan dan mengalihkan bayang-bayang saat Sasana dipermalukan di depan para anggota Laskar Putih, tapi ia rasa bersalahnya kian memuncak. Sampai suatu malam, ia menghampiri Sasana di dalam penjara. Baginya—yang sudah mendapat kepercayaan oleh pihak Kepolisian setempat karena sudah membantu memberantas segala tindak maksiat di kota Malang—sangat mudah masuk ke dalam sel di mana Sasana dikurung. Tapi, apa yang terjadi justru mengejutkan. Jaka Wani membawa kabur Sasana dari dalam hotel prodeo untuk merebut kebebasan. Mereka keluar penjara, lari sekencang-kencang menjauhi tempat
46
mengerikan itu sambil melepaskan atribut sorban dan jubah putihnya. Begitupun Sasana melepas baju tahanannya dan berteriak, ―Bebas…. bebas, aku bebaaas!‖. Seperti novel-novel sebelumnya, Okky selalu menggantungkan nasib tokoh dalam setiap karyanya. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah Sasana dan Jaka Wani kabur dari penjara. Dalam paragraf terakhir Pasung Jiwa, Okky hanya menulis: ―Tak ada yang bisa melarang apa yang kami lakukan. Tak ada yang bisa mengatur apa yang harus kami lakukan. Ini hidup kami. Ini kebebasan kami.‖ 74 Okky memang sengaja mengakhiri ceritanya dengan tidak memberi kepastian pada kelanjutan kisah yang ia tulis sendiri. ―Saya ingin pembaca menilai sendiri akhir cerita itu seperti apa. Dengan menyerahkan sepenuhnya akhir cerita itu kepada pembaca, membuka berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Dan bukan tidak mungkin itu justru akan menimbulkan sikap kritis dan skeptis terhadap permasalah dalam novel saya,‖ katanya. 75
C. Pemikiran Okky Madasari Membicarakan novel-novel OM memang tidak bisa terlepas dari persoalan diskriminasi, ketidakadilan, ketertindasan bagi mereka yang lemah dan keserakahan, kebengisan, serta kesewenang-wenang bagi mereka yang kuat. Dari keempat novelnya, OM —hampir bisa dikatakan—selalu mengangkat realitas kehidupan yang terjadi di Indonesia. Seperti sebuah berita, OM selalu menyajikan isu-isu sensitif di negeri ini yang belum tuntas, bahkan massif dilakukan saat ini. Meski tokoh-tokoh dalam ceritanya fiktif, tapi benang merah yang ingin disampaikan pada pembaca sangat ―ke-Indonesiaan‖. Mulai dari persolan tirani kekuasaan yang sempat meliputi negeri ini berpuluh-puluh tahun lamanya, kasus korupsi yang tak pernah tercerabut sampai ke akar74 75
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 321. Fitriyani, op. cit., h.67.
47
akarnya—bahkan sangat subur di banyak lembaga hukum pemerintahan, perampasan hak warga sipil dalam menyakini suatu aliran, hingga persoalan ketidakadilan pada transgender. Ada yang khas pada novel-novel OM. Jika diamati, penulis berusia 32 tahun ini juga selalu menyisipkan setting waktu pada masa Orla, Orba, hingga reformasi dan alur mundur dalam dari keempat novelnya. Ia seperti ingin menapaki setiap kejadian penting dalam sejarah kelam bangsa Indonesia melalui cerita-cerita fiksi yang dibangunnya. Dan rezim Soeharto-lah yang selalu menjadi ―bulan-bulanan‖ dalam penulisannya. Lihat saja pada kisah Entrok¸ sebuah kesaksian yang ia dengar dari cerita neneknya ketika jaman penjajahan hingga jaman Orba yang kemudian diolahnya menjadi jalan panjang hidup seorang Marni dan Rahayu. Dua perempuan berbeda generasi ini menjadi corong OM dalam menyuarakan tentang kesemena-menaan mereka yang bersenjata, dan ketidakadilan bagi mereka yang lemah. Satusatunya cara supaya ―aman‖ ya dengan uang yang harus dibayarkan setiap waktu yang ditentukan oknum-oknum berseragam itu seenaknya. Seperti kutipan di bawah ini: ―Orang-orang bersepatu tinggi itu datang lagi. Memakai seragam loreng dengan pistol di pinggang. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima orang. Aku menghitung dalam hati.‖76 Dulu, aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam datang ke rumah kami. Kata Ibu, untuk keamanan. Lalu kenapa Ibu selalu memberikan uang pada mereka? Tanyaku lagi. Namanya juga keamanan ya bayar, jawab Ibu. ―77 Pun dengan yang dialami Arambi pada 86, Maryam pada Maryam, dan Sasana pada Pasung Jiwa. Kisah-kisah yang tergambar pada semua tokoh OM selalu membawa pesan bahwa seharusnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif bisa bersinergi dalam mewujudkan Indonesia lebih baik. Pemerintah dan warga sipil adalah dua elemen yang harusnya bisa memberi dan menerima sesuatu yang sesuai undang-undang. Yang salah ya harus 76 77
Madasari, op. cit., h.50. Madasari, op. cit., h.53.
48
diadili, yang lemah ya harus diselamatkan. Kenyataan pahitnya adalah banyak sekali warga miskin justru menjadi objek dari pembangkangan hukum dan undang-undang oleh mereka yang justru menjadi tempat untuk mencari keadilan. Sebab, kata OM dalam tulisan di blognya, ―…. kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman adalah lembaga yang masih sulit dipercayai di negeri ini‖78 Buku-buku dari pengarang besar pun tak luput sebagai referensi OM dalam menulis. Permasalahan yang diangkat Okky, diakui dirinya tak lepas dari buku-buku sastra yang ia baca. Setidaknya, ada dua sastrawan yang menurutnya ―setipe‖ dengannya, tak lain dan tak bukan adalah Pramoedya Ananta Toer dan Umar khayam. ―Saya menyukai mereka berdua mengusung aliran reaslime sosialis. Mereka menulis sebuah cerita realita sekitar. Dan itu yang saya lakukan sekarang,‖ katanya.79 Dari sini, bisa disimpulkan bahwa tulisan dan karya-karya OM dilatarbelakangi oleh kepeduliannya terhadap orang-orang yang seharusnya mendapatkan hak, diperhatikan pemerintah, dan dijamin kesejahteraannya. Juga tentang keserakahan manusia dalam mengeruk kekayaan sebanyakbanyak yang justru berakhir dalam dinginnya sel penjara menjadi pemandangannya sehari-hari selama menjadi jurnalis politik dan hukum yang kemudian coba dituangkannya dalam bentuk fiksi agar bisa lebih didengar orang banyak dalam waktu yang lama.
78
Politik Ranjang http://okkymadasari.net/essay/politik-ranjang/, diakses pada 18 Maret 2015 pukul 4:11. 79 Fitriyani, op. cit., h.67.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PASUNG JIWA A. Deskripsi Data 1. Unsur Instrinsik Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari a. Tema Dalam novel Pasung Jiwa, terdapat dua tema, mayor dan minor. Tema mayor dalam novel ini ialah perjuangan untuk mengaktualisasikan diri. Tokoh utama Sasana memperlihatkan pada kita tentang sebuah perjuangan untuk meraih cita-cita. Cita-cita yang ingin diraihnya itu diwujudkan Sasana dalam sebuah pertunjukkan sebagai bentuk aktualisasi dirinya menjadi penyanyi dangdut dalam diri seorang Sasa. Berikut kutipannya: Ini pentas besar pertamaku lho. Pertama kalinya aku manggung di lapangan besar, ditonton banyak orang. Panggungnya saja tinggi, sound system-nya keras. Suaraku pasti terdengar sampai ke manamana, bisa-bisa juga terdengar sampai kampung tetangga.80 Dari kutipan di atas, Sasana—yang selanjutnya kita sebut Sasa— terlihat tengah asyik menikmati pengalaman pertama kalinya bernyanyi di atas panggung dan ditonton banyak orang. Kata panggung digunakan sebagai penanda sebuah awal keberhasilan Sasa mengaktualisasikan dirinya. Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia, Panggung diartikan
/pang•gung/ 1) lantai (terbuat dari papan, bambu, dan sebagainya) yang diberi bertiang; 2) bangunan yang agak tinggi, lantainya bertiang; 3) lantai yang agak tinggi tempat bermain sandiwara, berpidato, dan sebagainya; pentas: biduan itu sudah biasa bermain di --; 4) tempat yang agak tinggi (di stadion, gelanggang pacuan kuda, dan sebagainya) untuk menonton; tribune: mereka berjejal-jejal memenuhi --;81
80 81
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 46. KBBI Online, diakses pada 3 September 2016
49
50
Jika merujuk pada pengertian panggung dalam KBBI di atas, panggung adalah tempat atau wadah yang memiliki tiang-tiang tinggi di setiap sudutnya dan terdiri ruang yang luas di tengahnya. Tapi lebih dari itu, panggung, menurut peneliti bisa diartikan sebagai ajang pembuktian. Panggung dibuat untuk menarik perhatian khayalak ramai. Panggung menjadi manifestasi bagi siapapun untuk menunjukkan sesuatu sehingga manggungnya Sasa dalam kutipan di atas, menjadi satu pembuktian awal dia mengaktualisasikan diri sebagai penyanyi yang bisa ditonton banyak orang dan menghibur. Dalam novel ini, terdapat beberapa kali peristiwa Sasa manggung. Mulai panggung (baca: ranjang tempat tidur) di dalam kamarnya sendiri, panggung 17 Agustusan seperti kutipan di atas, panggungnya di rumah sakit jiwa, panggung di tengah pasar, hingga panggung professionalnya ketika menjadi artis Ibukota. Seperti sudah disebutkan di awal, tema mayor dalam novel ini adalah perjuangan dalam mengaktualisasikan diri, oleh karenanya panggung memiliki peran penting bagi Sasa sebab dalam mengaktualisasikan dirinya yang dilatarbelakangi oleh berbagai keadaan yang kemudian peniliti klasifikasikan sebagai tema minor untuk mempertegas perjuangan Sasa dalam mengaktulasasikan dirinya. Tema minor seperti yang disebutkan Nurgiyantoro, adalah maknamakna tambahan yang bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.82 Dengan kata lain, keberadaan tema minor menjadi penguat atau penyokong dari tema mayor yang diusung dalam penelitian ini yang berhubung satu sama lain. Tema minor dalam novel ini, setidaknya menurut peneliti dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kungkungan. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki banyak aturan atau norma-norma sebagai bagian dari konsensus kehidupan bermasyarakat. Aturan tersebut umumnya dibuat untuk dijalankan atau dipatuhi. Contoh nyata dalam aturan di masyarakat terjadi di dalam keluarga. 82
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press, 2005), h. 83
51
Sebuah keluarga yang idealnya tediri dari ayah, ibu, dan anak, kepemimpinan dipegang oleh ayah. Oleh karenanya sebagai orangtua, sosok ayah memegang peranan dalam membuat aturan di dalam keluarga untuk istri dan anakanaknya. Dalam novel Pasung Jiwa ini, sosok Ayah yang merupakan ayah Sasana menerapkan sebuah aturan agar anaknya mahir bermain piano. Berawal dari keinginan agar otak anaknya cerdas, sosok ayah dan ibu kemudian mengarahkan anaknya untuk terus berlatih piano. Tanpa disadari, keputusan ini justru mengkungkung
83
kebebasan Sasana dalam menyukai jenis musik lain
seperti pada kutipan di bawah ini: Sudah berbulan-bulan aku tak bisa lagi memainkan piano. Ayah dan Ibu tak pernah lagi memaksa. Mereka percaya, aku hanya sedang bosan. Mereka yakin suatu hari nanti aku akan rindu pada hal yang telah aku cintai sejak dulu. Mereka tak tahu, aku telah mencintai hal baru: dangdut. 84 Tak ada lagi musik dalam hidupku. Ayah dan Ibu telah merampas kebahagiaanku bersama dangdut, maka aku pun tak akan memberikan
83
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, mengkungkung diartikan mengungkung/me·ngung·kung/ v 1 memasang kungkung pada; membelenggu; 2 ki mengelilingi; meliputi: pada waktu penyakit itu sudah ~ badannya, barulah dia mendekati Allah; 3 ki mengurung; melingkung; mengepung: ~ kubu-kubu musuh;. Sementara kata kungkung/kung·kung/ n kayu atau besi berlubang yang dipasang atau digantungkan di leher (sebagai hukuman atau supaya yang dipasung jangan melarikan diri); pasung; Dalam novel ini, keputusan orangtuanya yang mengharuskan anaknya terus-menerus memberi les piano dan musik klasik, tanpa disadari orangtuanya justru mengkungkung atau seperti memasang kungkungan pada anaknya sendiri sehingga dirinya dipasung oleh aturan tersebut. Hal ini membuat Sasana tak punya ruang gerak untuk menyukai jenis musik dangdut dengan kata lain, Sasana juga terbelenggu. Dalam KBBI Online, dijelaskan belenggu/be·leng·gu/ n 1 alat untuk mengikat kaki atau tangan; borgol: polisi memasang -- pada tangan pencuri yang baru ditangkap itu; 2 ki ikatan (sehingga tidak bebas lagi): negara kita sudah terlepas dari -- penjajahan; sementara terbelenggu/ter·be·leng·gu/ v 1 terikat belenggu; 2 ki terkurung; tidak bebas lagi ung/ v terbelenggu; terkurung: bangsa kita ~ penjajahan selama lebih dari tiga setengah abad;. Sehingga kata terkungkung dan terbelenggu menurut peneliti memiliki kesamaan dalam kasus Sasana di novel ini. 84
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.26.
52
kebahagiaan pada mereka lewat piano dan musik yang jadi kekagumana mereka.85 Menurut peneliti, pada kutipan pertama di atas, tampak terlihat orangtua Sasana masih menginginkan anaknya bisa bermain terus piano. Maka, ketika Sasana menyukai dangdut, mereka tak menghiraukannya dan hanya berpikir anak lelakinya sedang bosan. Nyatanya, Sasana memang bukan sedang bosan pada piano, tapi benar-benar tak ingin menyentuhnya dan hanya ingin bisa mendengarkan musik dangdut. Oleh karenanya, pada kutipan kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa Sasana tak ingin lagi keinginan orangtuanya dalam berpiano itu mengkungkung dirinya. Dengan melakukan aksi protes seperti kutipan di atas menunjukkan proses awal mulanya mengaktualisasikan dirinya seperti ditegaskan dalam kutipan di bawah ini: Radio telah dirampas, janji telah dibuat, tapi aku masih punya cara untuk membuat diriku sendiri bahagia. Ranjangku adalah panggungku, kamarku selalu jadi lapangan pentasku.86 Berdasarkan kutipan di atas, lagi-lagi kata panggung hadir menjadi pembuktian Sasana dalam mengaktualisasikan dirinya. Dari ruang geraknya yang sempit terhadap dangdut, ia menciptakan dunianya sendiri untuk mewujudknya keinginannya dengan caranya sendiri. Kedua, kebebasan. Tema minor yang kedua adalah upaya Sasana meraih kebebasannya dari ingatan pengalaman buruk yang dialami Sasana saat sekolah dan ketika ikut berdemo di Malang seperti pada kutipan di bawah ini: Setiap hari, lima anggota Dark Gang menghampiriku saat aku baru keluar dari kelas. Mereka minta jatah lima ribu rupiah. Kadang mereka menggeledah tasku, mengambil apa saja yang bisa diambil.87 Aku bangun sambil meringis kesakitan. Pipiku terasa bengkak dan panas. Belum sempurna aku berdiri, sebuah tendangan bersarang di
85
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.27. Ibid, h.27. 87 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.34. 86
53
perutku. Aku terhuyung ke belakang sampai membentur dinding. Orang yang lain kini menarik rambutku. 88 Pada kutipan pertama, terlihat bagaimana Sasana dipalak oleh seniornya di sekolah. Tindakan ini menurut peneliti menunjukkan perbuatan kesewang-wenangan dari mereka yang lebih dulu ada di lingkungan tersebut sehingga menyiksa yang lainnya yang dianggap lemah. Pun dengan kutipan kedua, saat Sasana ditangkap oleh anggota TNI dan dikurung di sel usai demonstrasi di Malang. Tindakan penganiayaan aparat terhadap warga sipil adalah bentuk kesewenang-wenangan mereka terhadap kekuasaan. Kedua pengalaman ini, meninggalkan bekas luka dan kesakitan di ingatannya. Akan tetapi,
sikap
optimis
justru
muncul
dalam
dirinya
untuk
bisa
mengaktualisasikan dirinya seperti pada kutipan di bawah ini: Aku tidak mau menyerah. Aku harus menjadi Sasa yang dulu. Bahkan harus lebih! Hidup baruku dimulai. Hidupku yang ketiga.89 Kutipan di atas menurut peneliti menunjukan sikap optimismenya. Atmosfer itu terlihat dari penggunaan tanda seru pada kalimat ketiga layaknya sebuah penegasan bahwa ia bersungguh-sungguh untuk menjadi apa yang ia inginkan dan tak bisa ditawar lagi. Selain itu, sikap optimistis juga terasa pada frase ―hidupku yang ketiga‖ menunjukkan bahwa ia pernah mengalami fase hidup pertama dan kedua yang tidak mengenakan terlihat dari kalimat sebelumnya, ―aku harus menjadi Sasa yang dulu. Bahkan harus lebih‖. Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa kedua fase hidup yang dilaluinya pernah berisi masa kejayaan dan masa suram. Oleh sebabnya, ia menginginkan fase ketiga dalam hidupnya yang lebih baik seperti tertera dalam kutipan di bawah ini: Hidup pertamaku dimulai saat aku dilahirkan, lalu aku mati di sekolah laki-laki. Hidup keduaku dimulai saat aku bertemu Cak Jek hingga aku dikubur di rumah sakit jiwa. Sekarang aku mendapat kesempatan ketiga. Tak akan kusia-siakan.90 88
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.96. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.228. 90 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.228-229. 89
54
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, kesimpulan dari tema minor di atas adalah fakta pendukung bagi tema mayor yang peniliti bahas sebelumnya. Kenyataan bahwa seseorang yang terbentuk saat ini adalah orang yang bisa dipengaruhi oleh latar belakang hidupnya yang lalu. Pun dengan Sasana yang berproses dalam mengaktualisasikan dirinya dimulai dari peristiwa-peristiwa di masa lalunya agar dia bisa keluar dan bebas mewujudkan mimpinya. b. Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan menjadi salah satu bagian penting dalam unsur instrinsik karena tokoh merupakan manifestasi pengarang pada sebuah cerita yang ditulisnya. Secara hierarki, urutan tokoh dan penokohan dalam Pasung Jiwa terdiri dari tokoh utama Sasana, tokoh tambahan yang utama Jaka Wani, dan disusul tokoh tambahan seperti Ibu, Ayah, Melati, Masita, dan Banua. Pemilihan tokoh dan penokohan yang dianalisa karena berkaitan dengan pembahasan penelitian ini, yakni aktualisasi diri pada tokoh utama Sasana. 1) Sasana Dalam Pasung Jiwa, Sasana masuk kategori sebagai tokoh utama sebab ia menjadi pusat cerita dan menjadi tokoh sentral di mana berbagai peristiwa yang terjadi dalam novel ini berhubungan dengannya. Diceritakan, Sasana merupakan anak laki-laki yang lahir dari
keluarga mapan sehingga ia
mendapatkan fasilitas pendidikan yang baik dari orangtuanya, termasuk dileskan piano, sebuah alat musik mahal yang tak semua orang mampu membelinya, seperti kutipan di bawah ini: Ketika aku sudah bukan bayi lagi dan memasuki masa kanak-kanak, orangtuaku mendatangkan seorang guru piano untuk mengajariku. Guru itu datang seminggu dua kali pada sore hari.91 Arahan orangtuanya les piano membuat Sasana menjadi anak yang berbakat memainkan alat itu. Ia pun menjadi kebanggaan banyak orang, akan tetapi Sasana tak menyukainya dan jatuh cinta pada jenis musik lain, dangdut: 91
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.14.
55
Dangdut. Aku baru tahu nama itu sekarang. Ternyata itu yang aku tonton tadi malam. Aku ingat kata dangdut juga disebut dalam lagu yang kudengar tadi malam: Dangdut suara gendang rasa ingin berdendang…92 Berdasarkan kutipan di atas, Sasana terlihat baru pertama kali mengetahui apa itu dangdut sehingga pada peristiwa berikutnya dalam novel ini, Sasana berusaha mengaktualisasikan dirinya menjadi penyanyi dangdut dengan nama panggung. Berkaitan dengan itu, analisa tokoh dan penokohan pada Sasana pun akan peneliti dedah menjadi dua bagian: a) Karakter Sasana sebelum menjadi Sasa Sebelum menjadi Sasa, Okky Madasari mengisahkan masa kecil Sasana yang digambarkannya sebagai anak yang penurut pada orangtuanya. Penggambaran ini diceritakan oleh Sasana sebagai pencerita seperti pada kutipan di bawah ini: Saat masuk sekolah dasar, aku sudah mahir memainkan komposisikomposisi klasik dunia. Beethoven, Chopin, Mozart, Bach, Brahms… Sebutkan saja! Aku bisa memainkan semuanya dengan indah. Aku bermain dengan menggunakan akalku, bukan dengan perasaanku. Memainkan piano hanya soal menggunakan alat, pikirku saat itu. Kalau sekadar mengikuti apa yang diajarkan guru, aku dengan mudah melalukannya. Meski sebenarnya aku tak suka dan selalu tersiksa. Jika dilihat dari kutipan di atas, sikap kepatuhan Sasana pada apa yang berikan dan diinginkan orangtuanya menjadikannya berprestasi di bidang akademik dan non akademik. Dalam konteks masa belajar anak-anak, kedua aspek yang didapatkan Sasana adalah impian banyak orangtua, bisa mememuhi kebutuhan belajar anaknya dalam mengembangkan otak kiri dan kanan. Akan
tetapi,
bagi
Sasana,
apa
yang
dirasakannya
tentang
ketidaksukaannya pada keinginan orangtuanya bahkan ketika orangtuanya melarangnya mendengarkan musik dangdut kutipan di bawah ini, menunjukkan
92
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 22.
56
dia tetap menjalankan kewajibannya sebagai anak agar orangtuanya bahagia. Perhatikan kutipan di bawah ini: Hidupku hanya berputar pada Melati, kamarku, dan sekolah. Ketika tidak bersama Melati dan tidak di dalam kamar, itu artinya aku sedang sekolah. Mengikuti pelajaran sebaik-baiknya untuk mendapatkan nilai sebagus-bagusnya. Tak terlalu sulit bagiku untuk tetap termasuk sepuluh murid paling pintar, meski tak ada satu pelajaran pun yang benar-benar kusukai.93 Sifat patuh Sasana pada orangtuanya juga ditunjukkan ketika dia bercerita bahwa dirinya tak bisa menolak keinginan orangtuanya untuk memasukkan dalam sekolah khusus laki-laki. Perhatikan kutipan di bawah ini: Aku tak bisa membantah ketika lulus SMP dimasukkan ke SMA khusus laki-laki. Sebuah SMA yang dikelola yayasan Khatolik. Mereka berdua yang memilihkannya untukku, tanpa pernah bertanya aku ingin sekolah di mana. Ayah dan ibu berpikir itu yang terbaik untukku.94 Tak hanya menceritakan nasibnya yang tak bisa menolak permintaan orangtuanya, tokoh Sasana juga mengomentari sikap yang diambil orangtuanya kepada dirinya yang membuatnya harus patuh pada apa yang diputuskan mereka. Hal itu terlihat jelas pada kutipan di bawah ini: Orangtuaku tak mempersoalkan sekolah itu adalah sekolah Katholik. Agar aku tak kehilangan pengetahuan agamaku, seminggu dua kali seorang guru ngaji didatangkan ke rumah kami. Ini seperti mengulang apa yang mereka lakukan saat aku kecil dulu. Bedanya, jika dulu yang dipanggil guru piano, sekarang guru ngaji yang rutin datang ke rumah kami.95 Berdasakan kutipan-kutipan di atas, jika disimpulkan, menurut peneliti, Sasana dalam masa kecil hingga masa sekolahnya, memiliki karakter sebagai anak penurut pada hampir semua keinginan orangtuanya. Apa yang diberikan orangtuanya pada Sasana dalam konteks masa pertumbuh-kembang anak di bidang pendidikan, itu terlihat bagus. Mulai dari 93
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 28. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 30. 95 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.30-31. 94
57
pemenuhan pendidikan formal anak sampai pemberian les musik merupakan sebuah kombinasi yang pas untuk mengasah perkembanga dan daya pikir anak. Tapi, yang bisa dilihat dari sikap orangtua Sasana menunjukkan adanya sikap memaksakan kehendak antara orangtua kepada anaknya sehingga sang anak tak berkesempatan untuk menggali apa yang menjadi keinginan dan citacitanya untuk diaktualisasikan. Di sini, menurut peneliti, Okky Madasari ingin menunjukkan bahwa orangtua tak selamanya bisa memaksa kehendak anak tanpa adanya komunikasi apa yang menjadi kesukaan atau passion dalam diri anak tersebut. Karakter Sasana yang penurut juga terlihat ketika dia dirisak oleh seniornya di SMA khusus laki-laki. Perhatikan kutipan berikut: Hari ini tepat sudah satu bulan aku jadi kambing perasaan Dark Geng. Sebulan ini tak terjadi apa-apa. Aku patuh memberi mereka lima ribu setiap hari, yang merupakan jatah harianku. 96 Berdasarkan kutipan di atas, Sasana tampak tak berani melawan Dark Geng, seniornya di sekolah ketika dipalak. Ini menunjukkan karakter Sasana yang penurut pada sesuatu yang tak bisa dia lawan dan membuatnya terlihat lemah. Akan tetapi, pada proses aktualisasi dirinya untuk menjadi penyanyi dangdut sebenarnya sudah terlihat ketika dia masih sekolah, seperti pada kutipan berikut ini: Tanpa perlu dikatakan, kami telah bersepakat. Aku hanya akan belajar dan bersekolah. Aku akan menjadi anak yang baik agar jadi yang paling pintar. Aku tak akan pernah lagi mendengarkan dangdut, menonton di kampung belakang, apalagi bergoyang. Sebaliknya, Ayah dan Ibu tak akan memaksaku bermain piano seperti dulu lagi.97 Radio telah dirampas, janji telah dibuat, tapi aku masih punya cara untuk membuat diriku sendiri bahagia. Ranjangku adalah panggungku, kamarku selalu jadi lapangan pentasku.98
96
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.27. 98 Ibid, 27. 97
58
Kutipan pertama menunjukkan adanya sikap melawan dari Sasana terhadap orangtuanya dengan cara tetap menjadi anak yang baik bagi orangtuanya, yakni berprestasi di sekolah. Sementara pada kutipan kedua menunjukkan pemberontakkan Sasana justru cara untuk dia tetap bisa melakukan hal yang dia inginkan, yakni coba mengaktualisasikan dirinya pada dunia dangdut dengan menjadi penyanyi bagi dirinya sendiri, bagi kebahagiaannya sendiri. b) Karakter Sasana ketika mengaktualisasikan dirinya dalam diri seorang Sasa Pertemuan Sasana dengan Jaka Wani, seorang pengamen di warung kopi yang berada dekat kosnya, di Malang membuatnya menjalani hidup yang barangkali tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Peneliti menganalisa terdapat beberapa karakter dalam diri Sasana ketika mengaktualisasikan dirinya menjadi seroang biduan dalam diri seorang Sasa:
Pertama, Sasana merasa tidak percaya diri Perbedaan yang terlihat pada Sasana ketika dia masih sekolah di
Jakarta yang sebelumnya patuh pada orangtuanya, tak begitu nampak ketika dia hidup di Malang, setidaknya ketika dia mengubah dirinya dan berpenampilan seperti Sasa. Perubahan watak pun terjadi pada Sasana yang sibuk menjadi Sasa di Malang seperti pada kutipan di bawah ini: Jam tujuh malam kami sudah berada di alun-alun pusat kota ini. Kami berjalan berdua, menyusuri trotoar, membelah keramaian. Aku merasa setiap orang sedang melihatku. Ada yang tertawa mengejek, ada yang terpana. Bahkan beberapa kali aku mendengar ada yang berbisik, ―Ayu tenan, rek‖. Kalau mendengar ada yang berkata seperti itu, aku akan semakin melenggak-lenggokkan jalanku, membuat pantatku semakin terpantul-pantul agar semua orang semakin kagum.99 Dari kutipan di atas, tokoh Sasana yang baru saja diberi nama baru oleh tokoh Jaka Wani menjadi Sasa untuk pertama kalinya keluar dari kosan 99
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.58-59.
59
mereka. Terlihat ia bermonolog tentang dirinya yang merasa mencuri perhatian orang-orang yang dilaluinya di alun-alun. Karakter Sasa yang memakai sepatu merah ber hak dan rok mini100 tampak merasa percaya diri. Tokoh Sasana yang kini dipanggil Sasa, meski penampilannya baru, ia merasa orang-orang yang mengerumuninya disebabkan bukan hanya karena penampilannya berbeda, tapi juga karena dia mempunyai kualitas seperti kutipan di bawah ini: Semakin ditertawakan aku semakin membuat mereka penasaran. Tapi siapa yang tak mengakui suaraku bagus? Tak sedikit yang akhirnya ikut bernyanyi.101 Akan tetapi, karakter Sasana yang merasa percaya diri sebagai Sasa berubah ketika dia harus tampil seperti Sasa di siang hari. Perhatikan monolog panjang di bawah ini: Selama ini aku hanya berdandan untuk kerja malam. Keluar rumah saat orang-orang sudah menutup rapat pintu rumahnya. Manusiamanusia yang melihat aku saat bekerja tentu berbeda dari yang sekarang melihatku. Kalau kerja malam, aku benar-benar merasa bebas. Tak ada lagi malu atau takut. Karena aku telah menjadi Sasa. Tapi siang seperti ini, aku merasa sinar matahari terlalu terang menyorotiku. Menunjukkan keaslian wajahku yang tertutup bedak. Menyingkap badan di balik baju-baju cantik ini. Aku merasa tak bisa menyembunyikan apapun.102 Berdasarkan
kutipan
di
atas
terlihat
bahwa
Sasana
tengah
mengomentari apa yang dipikirkan orang lain terhadap penampilannya. Rasa percaya diri Sasana pada kutipan sebelumnya berbeda dengan rasa percaya dirinya ketika tampil di siang hari. Hal ini menunjukkan adanya keraguan di awal-awal ketika Sasana menjadi berpenampilan seperti Sasa.
Kedua, rasa percaya dirinya mulai muncul ketika mulai banyak yang mengundangnya menyanyi di panggung
100
Di halaman 56 dalam novel Pasung Jiwa, Okky menulis, tokoh Sasana menceritakan untuk pertama kalinya dirinya baru saja dibelikan beberapa perangkat untuk menunjang penampilannya yang tadinya seorang Sasana menjadi Sasa oleh Jaka Wani. Pada kesempatan yang pertama kalinya pula ini, Sasa menggunakan sepatu merah ber hak tinggi dan rok mini yang meriah. 101 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.59. 102 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.76-77.
60
Setelah beberapa kali tampil sebagai Sasa dengan bernyanyi menggunakan kostum perempuan, rasa percaya diri Sasa mulai tumbuh setelah banyaknya acara yang mengundangnya tampil bersama Jaka Wani seperti kutipan berikut: Sepertinya aku salah pilih sepatu. Percuma beli mahal-mahal, tapi dipakai kok rasanya seperti ini. Tapi memang bagus lho modelnya, aku jadi kelihatan tinggi dan seksi. Terus warnanya itu lho, merah jreng. Cocok dengan rok putih yang aku pakai ini. 103 Sejak tadi pagi aku menghitung berapa orang yang ikut goyang di depan panggung. Ya gagal terus. Banyak sekali. Ratusan orang. Semua ikut menyanyi, ikut bergoyang sepertiku. Semua memujaku. Semuanya senang padaku. Aku benar-benar menjadi bintang , walau baru untuk panggung tujuh belasan.104 Pada kutipan pertama di atas, terlihat Sasana tengah bercerita tentang kostum yang dia kenakan. Hal ini menunjukkan bahwa dia mulai peduli apa yang dikenakannya, bukan lagi pada apa yang dibicarakan atau dinilai orang lain terhadap dirinya. Artinya, mulai tumbuh rasa percaya dirinya tampil menggunakan menggunakan kostum ketika bernyanyi di hadapan orang banyak. Rasa percaya dirinya juga muncul seperti pada kutipan kedua yang menunjukkan bahwa penampilan Sasana sebagai Sasa diterima banyak orang di depan ratusan banyak yang merasa terhibur oleh aksi panggungnya. Ketiga, ketakutan-ketakutan Sasana untuk mengaktualisasikan dirinya dalam diri Sasa Insiden ditangkapnya Sasana oleh tentara ketika berdemo sebagai Sasa di depan pabrik tempat Marsini bekerja mempengaruhi karakter Sasana yang tadinya percaya diri sebagai Sasa. Hal ini terlihat pada kutipan berikut: Aku pulang hanya dengan kaus dan celana pendek yang dilemparkan tentara-tentara itu. Rambut panjangku awut-awutan tak terawat. Ibuku memotong pendek rambutku. […] Tapi dengan rambut sependek ini
103 104
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h..46. Ibid, 46.
61
bagaimana mungkin aku bisa secantik dulu lagi? Lagi pula, masih adakah kesempatan bagiku untuk menjadi Sasa kembali?105 ―Sasa hanya membebaskan tubuhku. Tapi tidak pikiranku,‖ jawabku. ―Saat menjadi Sasa, justru ketakutan itu bertambah besar. Aku takut menyakiti ibuku, ayahku, juga adikku. Aku takut menjadi orang yang tak berguna…‖106 Jika dianalisa, kutipan pertama terlihat perubahan penampilan diri Sasana yang kembali menjadi Sasana seperti di mata orangtuanya. Kalimat tanya yang dilontarkan Sasana pada dirinya menujukkan bahwa dia pun ragu apakah Sasa bisa muncul dan mengaktualisasikan dirinya seperti ketika dia bersama Jaka Wani di atas panggung. Sementara pada kutipan kedua, adalah peristiwa di mana Sasana terlibat pembicaraan pada seorang perawat bernama Masita di Rumah Sakit Jiwa, tempat di Sasana dirawat atas permintaan orangtuanya. Dialog bersama Masita itu di atas menunjukan bahwa Sasana sebenarnya memiliki ketakutan dan kekhawatirannya apakah dirinya akan diterima jika hidup sebagai Sasa di mata keluarganya. Sampai di sini, menurut peneliti, peristiwa pengurungan dan pelecahan yang dilakukan tentara pada Sasana yang saat itu tampil sebagai Sasa sangat mempengaruhi perubahan karakter tokoh Sasana. Keempat, karakter Sasana yang percaya diri ketika menjadi Sasa muncul lagi Perubahan karakter terjadi lagi pada Sasana ketika dialog bersama Masita
berlanjut.
Setelah
perawat
mengajak
bicara
panjang
lebar,
memunculkan keinginan kuat untuk mengaktualisasikan lagi dirinya sebagai Sasa dengan kabur dan kembali ke Malang, tempat ia bertemu Jaka Wani dan menjadi Sasa. Perhatikan kutipannya: ―Kalian harus menentukan membuyarkan lamunanku.
hidup
kalian
sendiri.‖
―Tapi bagaimana caranya?‖ 105 106
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h..106. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.144.
Masita
62
―Kalian harus berontak.‖ … ―Kalau aku jadi kalian, aku akan lebih memilih mati di luar daripada mati di sini‖.107 Aku si Sasa. Saudara kembar Sasana. Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang saling merindukan. […] Sasa menyanyi dan bergoyang, Sasana bersiul dan menabuh gendang. Kami satu, tapi kami dua. Kami dua, tapi kami satu.108 Kutipan pertama adalah dialog antara Masita dan Sasana yang akhirnya menggugah rasa berontak Sasana, sebagaimana dia dulu berontak ke orangtuanya. Bedanya kali ini pemberontakannya dengan keluar dari Rumah Sakit Jiwa dan pergi ke Malang untuk kembali mengaktualisasikan dirinya menjadi Sasa yang bisa bernyanyi seperti yang terlihat pada kutipan kedua di atas yang menunjukan pada pembaca bahwa Sasana tetap adalah dalam tubuh Sasa, begitu pun sebaliknya. Hal ini bisa artikan sebagai penegasan bahwa seseorang bisa menjadi apa yang dia inginkan tanpa harus melupakan apa yang dia miliki, tetapi mengoptimalkan kemampuan dirinya untuk meraih citacitanya, mengaktualisasikan diri hingga akhirnya Sasana bisa menjadi bintang besar, bukan lagi skala daerah, tapi sudah tampil di surat kabar seperti kutipan berikut ini: Fotoku terpasang di halaman depan dengan ukuran besar. Judulnya berbunyi ‗‘Goyang panas sang biduan‘‘. Sejak gambarku muncul di koran itu, makin banyak yang mengundangku untuk mengisi acara mereka. Tidak hanya di Jakarta, aku juga diundang ke luar kota. Purwokerto, Jogja, Surabaya, dan Malang.109 Berdasarkan kutipan di atas menujukkan bahwa proses tak akan mengkhianati hasil. Hal ini juga yang terjadi pada tokoh utama Sasana dalam mengaktualisasikan dirinya. Dalam proses aktualisasi dirinya, tampak Sasana 107
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.151-152. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.232. 109 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.288. 108
63
mengalami perubahan karakter seperti kesakitan dirinya, rasa tak percaya diri, takut dan khawatir menjadi beban bagi keluarganya. Semua hambatan itu ternyata tak menyurutkannya untuk tetap mengaktualisasikan dirinya menjadi Sasa sang biduan. 2) Jaka Wani Dalam buku Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro dikatakan tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak (selalu) sama.
110
Hal ini juga yang membuat
Jaka Wani atau Cak Jek menurut peneliti dikatakan sebagai tokoh primer juga karena keberadaannya sama krusialnya dengan tokoh Sasana meski kadar utamanya berbeda. Tokoh Jaka Wani memiliki porsi lebih sedikit dari porsi tokoh Sasana dalam bercerita sebagai dirinya sendiri menggunakan sudut pandang persona pertama ―aku‖ sehingga peneliti menyimpulkan tokoh Jaka Wani masuk dalam tokoh tambahan yang utama. Karena tokoh Jaka Wani muncul setelah bertemu Sasana, maka peneliti membagi tiga karakter Jaka Wani setelah bertemu dan terpisah dengan Sasana berikut ini: Pertama, Jaka Wani ketika pertama kali bertemu Sasana Seperti yang sudah disinggung di analisis tokoh dan penokohan Sasana, pertemuan Jaka Wani dengan Sasana terjadi ketika mereka sedang berada di warteg Cak Man. Jaka Wani sebagai tokoh tambahan yang mudah diajak mengobrol. Pada bagian ini, semua kutipan berasal dari penuturan tokoh Sasana. Cak Jek sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Usianya juga cuma terpaut lima tahun di atasku. Selain untuk urusan ngamen, aku juga suka merasa nyambung ngobrol dengan Cak Jek.111
110 111
Burhan, 177 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.50.
64
Selain mudah mengobrol dengan orang baru, karakter tokoh Jaka Wani juga pintar. Ia bahkan pernah makan bangku kuliah, meski tak selesai, seperti pada kutipan berikut ini: Di balik kesehariannya yang kayak gembel itu, Cak Jek sebenarnya orang yang pintar. Paling pintar di kampungnya. Dibiayai orang untuk kuliah di IKIP agar jadi guru, tapi malahan ―jebol‖ kayak aku.112 Tak hanya pintar, melalui dialog yang di bawah ini, Jaka Wani memiliki sikap percaya diri yang tinggi, seperti pada kutipan di bawah ini: ―Kita harus optimistis. Kita bisa jadi bintang! Ya memang bukan seperti bintang-bintang di TV itu. Tapi yang penting kita harus professional,‖ kata Cak Jek. 113 Karena mimpinya untuk menjadi seniman professional, Cak Jek pun menciptakan Sasa, penampilan lain dari seorang Sasana. Terlihat di sini Jaka Wani mengambil peran yang besar dalam penciptaan Sasa, seperti pada dialog berikut ini: ―Ini nama panggung. Sasa. Gampang diingat dan cocok buat orang seperti kamu,‖ katanya. ―Ya? Ya? Sasa ya?‖ bujuk Cak Jek.114 ―Orang yang bisa nyanyi sambil joget itu memang banyak. Tapi kita harus beda. Harus istimewa,‖ jelasnya. Cak Jek lalu menyodorkan sepatu dan baju-baju itu padaku. ―Sono, coba dulu…! Kutipan yang lontarkan Cak Jek pada Sasana di atas menunjukkan selain sikap percaya dirinya yang dimiliki Cak Jek, cara dia meyakinkan Sasa adalah nama panggung yang cocok bagi Sasana menunjukkan dirinya sudah memikirkan jauh soal rencana ke depan proyek bemusik mereka berdua. Hal ini semakin ditegaskan pada kutipan kedua yang memperlihatkan juga bagaimana tokoh Jaka Wani mengambil peran yang cukup penting dalam pembentukkan karakter Sasa.
112
Ibid, h. 50. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.51. 114 H. 56 113
65
Meski begitu, tampak Jaka Wani memiliki karakter laki-laki yang tak mau ambil pusing pada keadaan yang tengah diributkan seperti ketika ada lakilaki yang melakukan tindakan tak senonoh pada Sasa saat mengamen malammalam. ―Yok opo to kon iki? Kalau orang-orang itu mengeroyok kita bagaimana? Tanya Cak Jek saat ami sudah menjauh dari warung itu. ―Ya aku hajar semuanya. Memang aku takut apa?‖ ―Kon iki yo… mbok rodo mikir… memangnya mampu melawan orang segitu banyaknya?‖ … ―Pakai mulut saja. Hajar pakai mulut!‖ kata Cak Jek.115 Dari kutipan di atas, bisa terlihat bahwa Jaka Wani yang sering menggaung-gaungkan mimpinya menjadi professional, tampak tak berdaya dan cenderung mengalah untuk menghindari keributan padahal keributan itu terjadi karena sikap kurang ajar para preman yang memegang-megang tubuh Sasa, artis masa depannya. Hal ini menunjukkan kalau tokoh Jaka Wani pengecut dan tidak memiliki keberanian ketika jumlah mereka hanya berdua. Kedua, ketika Jaka Wani Terpisah oleh Sasana dan Tinggal di Batam Jaka Wani lari ke Batam usai aksinya bersama Sasa, Memed, Leman, dan Cak Man didatangi tentara. Di Batam, ia bukan menjadi Jaka Wani yang bernyanyi dan bergitar ke sana ke mari, tapi kerja sebagai buruh pabrik. Mau bagaimana lagi kalau nasibku sekarang maah berada di tepat ini. Bukannya memegang gitar, ketipung, atau kecrekan, eee… malah mengusap-usap kaca untuk layar televisi.116 Kutipan di atas menunjukkan kehidupan yang dijalani Jaka Wani di Batam mengkungkung kebebasannya. Jaka Wani yang besar menjadi seniman jalanan selama di Malang terbiasa dengan kebebasan dan tak ada aturan kapan mau mengamen atau tidak harus terbelunggu pada jadwal masuk dan keluar 115 116
H. 63 H. 159
66
pabrik demi bisa melanjutkan hidup. Keadaan ini membuat karakter Jaka Wani menjadi pemabuk dan suka bermain perempuan seperti pada kutipan di bawah ini: Ini sebenarnya yang paling aku tunggu dari pelesiran tiap Sabtu: mabuk! Hanya dengan mabuk aku bisa lari dari hidupku saat ini. Aku bisa menyanyi, bisa bermain gitar, bisa melakukan apa saja. Aku bukan lagi mesin pabrik. Aku adalah pemilik diriku, tubuhku, dan pikiranku.117 Pada dua kutipan di atas, jika mengaitkan dengan tema yang diangkat dalam novel ini, kebebasan menjadi sebuah barang yang mahal bagi mereka yang tak memiliki pilihan untuk menentukan jalan hidupnya. Alhasil, mabuk menjadi pilihan bagi Jaka Wani yang ingin lepas dari keterkungkungan hidup. Jika dihadapkan pada tokoh Sasana, cara yang diambil Jaka Wani untuk meraih kebebasan mengarah kepada hal-hal negatif, sementara pada tokoh Sasana, cara dirinya keluar dari belenggu adalah dengan mengaktualisasikan dirinya. Dunia kotor yang dijalani Jaka Wani juga terlihat pada kutipan berikut ini: Maka jadilah rumah kami tempat pelacuran kecil. Elis mencari pelanggan di luar lalu membawanya pulang. Dan aku pun jadi seperti mucikari. Atau penjaga pintu? Menerima uang dari setiap tamu yang datang, kadang juga persenan dari pendapatan Elis.118 Sikap tak bertanggung jawab dan pengecut Jaka Wani ketika menghadapi tuntunan orang banyak juga terlihat ketika rumah bordil yang didirikannya digrebek sejumlah orang. Dia melarikan diri, sementara Elis tertangkap oleh warga. Elis dan Sasa. Dua orang ini bergantian menghantui pikiranku. Saat aku bisa bersembunyi dari Elis, Sasa menangkapku dan mengikatku. Kejadian yang menimpa Elis ini mengubah segala ingatanku tentang 117 118
H. 165 H, 186
67
Sasa. Sasa hanya kepengecutanku.119
datang
untuk
mengejekku,
menertawakan
Ketiga, Jaka Wani Berubah Menjadi Jaka Baru Setelah Bergabung dengan Laskar Putih Perubahan karakter pada Jaka Wani yang ketiga adalah ketika dirinya bergabung dalam organisasi laskar yang mengatasnamakan agama Islam ketika tiba di Jakarta usai kabur dari Batam. Berikut kutipannya: Apakah ini memang waktu untukku menemukan jalan yang benar, setelah sepanjang hidupku hanya melakukan hal-hal dosa? Janganjangan ini memang jalanku untuk bisa berbuat kebaikan. Lihat saja, baru sekadar niat saja jalanku sudah dipermudah.120 Berdasarkan kutipan di atas, Jaka Wani yang sebelumnya mabukmabukan, main perempuan, sampai mendirikan rumah bordil mendadak relijius ketika diajak ke dalam perkumpulan orang-orang bersorban putih yang menamakan diri mereka Laskar Putih penumpas segala maksiat. Dalam perkumpulan ini, terjadi adanya doktrin untuk menerabas siapa saja yang tak sejalan dengan pikiran mereka. Atas nama agama, mereka mengahalalkan kekerasan dan perusakan. Doktrin ini kemudian membuat Jaka Wani yang tadinya dekat dengan maksiat menjadi orang yang merazia kelompok esekesek. Dilematis yang dialami Jaka Wani yang sudah relijius ketika bertemu dan merazia aktivitas pergelaran musik dangdut di mana penyanyinya adalah Sasa, sosok transgender yang diciptakannya dulu saat masih bersama Sasana. Mulanya Jaka Wani mantap untuk merazia Sasa yang dianggap aksinya sudah terlarang. Waktu malam itu memimpin operasi ke pertunjukannya, aku melakukannya dengan gagah tanpa keraguan sedikit pun. Padahal aku sudah tahu bintang dangdut yang akan manggung itu adalah Sasa. 121
119
H, 192 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h..252. 121 H, 299 120
68
Kemantapan Jaka Wani untuk merazia pertunjukan Sasa semakin terbangun ketika dia berpikir seperti pada kutipan di bawah ini: Sasa sudah menjadi penyanyi terkenal. Pasti kelakuannya tak beda jauh dengan orang terkenal lainnya. Lebih dari itu, lagu-lagu dan goyangan Sasa itu porno.122 Puncak dari dilema Jaka Wani terjadi ketika aksi razia dilakukan dan melihat Sasa dipermalukan, ditelanjangi, dan dianiaya kelompok Laskar Putih Malang yang dipimpin dirinya. Aku tak tega melihat Sasa malam itu. Karena rasa iba aku buru-buru mengajak anak buahku untuk menyudahi semuanya. Bagaimana pun aku masih punya rasa. Dan bagaimanapun… Sasa ada karena aku. 123 Di sinilah pergulatan hati Jaka Wani mencapai klimaksnya. Jaka Wani terjebak pada label pemimpin laskar yang mengedapankan agama sebagai alat untuk mencapai tujuannya, tapi juga merasa tak berdaya ketika yang dihadapinya adalah bagian dari hidupnya di masa lalu, orang yang pernah diciptakannya untuk menjadi professional, orang yang dengan konsisten hidup di dunia musik dangdut, dunianya yang dulu dia jalani dengan senang hati, bukan dunia yang dipenuhi kekerasan seperti saat ini.
3) Ibu Tokoh Ibu dalam novel ini masuk ke dalam kategori tokoh tambahan yang mengalami perubahan watak akibat peristiwa yang terjadi pada anaknya, Sasana. Perkembangan watak itu digambarkan oleh Sasana berikut ini: ―Kamu mau jadi berandalan?‖ kata-kata itu terus diucapkannnya berulang. ―Kamu mabuk ya, sampai goyang-goyang kayak gitu?‖124
122
H, 299 H, 298 124 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.20. 123
69
Kutipan di atas menunjukkan ketidaksukaan Ibu Sasana terhadap ulah anaknya—pada saat itu usia 12 tahun—yang ikut-ikutan menonton dangdut. Kata ‗berandalan‘ dan ‗mabuk‘ menjadi kunci bahwa Ibu tak menyukai dangdut bahkan menganggap musik memiliki stigma yang akan memberikan dampak buruk bagi anaknya. Padahal kita tahu, musik dangdut amat dekat dan mengakar di Indonesia terutama bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Eksistensinya pun masih tinggi hingga saat ini. Akan tetapi, padangan tokoh Ibu pada anaknya yang menyukai dangdut berubah seperti pada kutipan berikut ini: Untuk pertama kalinya aku mempertontonkan goyanganku di depan Ibu. Goyang Gandrung yang membuat semua orang terbakar dan bergelora. Ibu awalnya terkejut. Tapi lama-lama dia hanyut.125 Ibu berkata, ―Apa pun yang kamu pilih sekarang, kamu harus serius. Jangan cuma main-main.‖ Lain waktu dia berkata, ―Mau jadi penyanyi boleh! Tapi harus jadi penyanyi top, bukan cuma penyanyi jalanan.‖126 Berdasarkan kedua kutipan di atas, bisa terlihat tokoh Ibu berperan sebagai tokoh berkembang di mana ia yang awalnya menentang Sasana mendengarkan musik dangdut malah mendukung anak sulungnya untuk menjadi penyanyi terkenal. Perubahan tokoh Ibu dalam memandang sikap yang dilakukan Sasana mengingatkan kita pada adagium lama: kasih ibu sepanjang masa. Hal ini juga yang tergambar dari ketulusan dan keikhlasan seorang ibu mendukung pilihan sang meski resikonya berat. 4) Ayah Tokoh Ayah dalam novel ini diceritakan sebagai orangtua Sasana yang berprofesi sebagai pengacara. Dalam peran sebagai Ayah, tokoh ini masuk ke dalam kategori tokoh tambahan yang cenderung statis dalam menanggapi keputusan Sasana menyukai dangdut. Sebagai seorang Ayah, sebenarnya ia adalah sosok penyanyang kepada anaknya, berusaha 125 126
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.286. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 287.
70
memberikan yang terbaik bagi anaknya, Sasana dan Melati seperti tergambar dari penuturan Sasana berikut ini: Setiap hari Ibu memberiku lima ribu rupiah untuk uang saku kuliah. Termasuk besar untuk masa itu. Tapi tak terlalu besar juga kalau tahu ayahku pengacara dan ibuku dokter bedah. Segala kebutuhanku sudah dipenuhi, uang saku hanyalah pelengkap.127 Berdasarkan kutipan di atas, terlihat betapa bertanggungjawabnya sosok Ayah pada anaknya dalam hal fasilitas. Ia adalah sosok yang sangat bisa diandalkan dalam keluarga. Akan tetapi, sebagaimana ciri-ciri tokoh statis yang diibaratkan Burhan Nurgiyantoro128, reaksi yang ditampilkan Ayah dalam melihat Sasana menyukai dangdut adalah sama, tak menyetujui sama sekali. Berikut kutipannya: ―Musik seperti itu tidak baik, Sasana,‖ kata Ayah. ―Musiknya orang mabuk, orang tidak pernah sekolah. Kamu lihat sendiri kan, semalam banyak orang mabuk?‖129 Ayah malu sekali malam itu. Meski tetanga-tetangga masih belum percaya aku anaknya, tapi Ayah merasa semua orang kini menertawakannya. Setelah aku pergi, Ibu memaksa menemuiku. Ayah melarang. Katanya, aku bukan anaknya. Ibu bersikeras. Hingga akhirnya Ayah berkata, ―Terserah kalau kau mau menemui dia. Tapi jangan pernah membawa dia ke rumah ini.‖130 Berdasarkan kutipan pertama yang terjadi ketika Sasana masih SD. Respon tokoh Ayah terlihat jelas melarang anaknya menonton musik dangdut. Sebuah keputusan sepihak yang dianggap sang ayah sebagai pilihan tepat untuk menjauhkan anaknya dari pengaruhan negatif jika bersentuhan dengan musik dangdut. Di dalam awal novel ini memang ada semacam diskriminasi definisi dalam genre musik. Orangtua Sasana begitu mencintai musik klasik karena meyakini akan membuat otak anak-anaknya cerdas. Sasana memang tumbuh menjadi anak kecil yang tak hanya mahir bermain piano dan musik
127
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 34. Dalam bukunya, Teori Pengkajian Fiksi, Burhan Nurgiyantoro menyebutkan tokoh statis bagaikan batu karang yang tak tergoyahkan walau tiap hari dihantam dan disayang ombak. 129 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 23. 130 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 283. 128
71
klasik, tapi ia juga juara kelas. Sebaliknya, mereka begitu anti dengan musik dangdut yang dianggapnya dekat dengan hal-hal negatif seperti mabukmabukan dan anarkis. Sementara pada kutipan kedua, terjadi pada tahun 1998 ketika rezim Orba baru saja ditumbangkan. Kutipan yang dinarasikan oleh Sasana berdasarkan cerita ibunya, dapat kita lihat sikap tokoh Ayah masih saja sama. Rupanya sang Ayah secara konsisten tak menyukai anaknya berhubungan dengan musik dangdut dan bertranfromasi sebagai Sasa. Sikapnya melarang Sasana kembali ke rumah adalah bagian dari kekecewaan dan kemarahannya pada anaknya yang tak memenuhi harapannya selama ini. 5) Melati Tak ada dialog yang dilakukan Melati terhadap Sasana dan orangtuanya, sehingga tokoh Melati masuk dalam kategori tokoh tambahan yang secara perwatakan sebagai tokoh stastis. Dalam novel ini, Melati hanya diceritakan oleh Sasana dan Ibunya. Seperti pada kutipan berikut ini: Saat aku kelas 4 SD itu, adikku lahir. Bayi perempuan yang cantik. Pipinya montok dan halus. Badannya mungil, matanya lebar. Aku mengaguminya. 131 Berdasarakan kutipan di atas, tokoh Melati digambarkan sebagai adik yang menggemaskan bagi Sasana. Kesukaan Sasana pada adiknya ini, juga terlihat pada kutipan di bawah ini: Melati selalu menjadi penghibur hati. Aku menghabiskan waktuku dengan bermain bersamanya. Kadang aku juga membantunya saat buang air kecil atau air besar. 132 Selama di Malang, Melati-lah yang kerap aku rindukan dibanding dengan Ayah dan Ibu. Ia sudah remaja sekarang. Baru masuk SMA. Sudah pintar berdandan.133
131
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.15. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 28. 133 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.105. 132
72
Jika dibaca dari dua kutipan di atas, terlihat Sasana senang dengan adiknya tidak hanya pas kecil, tapi juga ketika adiknya tumbuh remaja. Akan tetapi, meski Melati tak memiliki dialog dalam novel ini dan selalu diceritakan tokoh lain, keberadaannya menjadi penting bagi Sasana, bagi keinginannya menjadi Sasa, seperti kutipan di bawah ini: Perasaanku padanya selalu campur antara iri dan sayang. Rasa iri yang sudah kupendam sejak kecil ternyata tak bisa hilang setelah aku dewasa. … Begitu cerianya dia dengan baju-baju cantik yang dia kenakan. Begitu indah parasnya dengan pulasan bedak tipis dan pelembap bibir yang tak berwarna.134 Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikatakan Melati memiliki pengaruh yang cukup penting di awal cerita bagi kehidupan Sasana selanjutnya. Segala hal yang melekat pada keperempuanan Melati menjadi daya tarik tokoh utama Sasana ketika dia menjadi Sasa. 6) Masita Dalam novel ini, Masita termasuk ke dalam tokoh tambahan yang cukup punya pengaruh pada tokoh utama, Sasana. Tokoh Masita hanya tampil dalam satu latar saja yakni selama Sasana di rumah sakit jiwa. Ia tampil dalam beberapa kali peristiwa di sana. Dalam penuturan Sasana, ia dideskripsikan sebagai berikut: Perawat ini masih muda. Baju putih yang tampaknya menyeramkan dan lebih tua dari usianya.135 Aku menatap matanya. Lembut dan hangat. Tak seperti perawat lain yang kala menatap kami seperti hendak menelan kami bulat-bulat.136 Berdasarkan dua kutipan di atas, Sasana memperhatikan Masita dibanding perawat rumah sakit jiwa yang lainnya. Pendeskripsiannya itu menunjukkan tokoh Masita memiliki keistimewaan di mata Sasana. Sebab, perawat satu ini tak hanya berdiri sebagaimana perawat umumnya, tapi 134
Ibid, h. 105. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.130. 136 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.131. 135
73
mencoba melakukan pendekatan yang berbeda kepada pasien sehingga tampak seperti teman, dikuatkan dengan kutipan Sasana berikut ini: Dan perawat ini kini menyebut kata menemani. Ia telah menjebol pagar tinggi yang memisahkan si waras dengan si tak waras. Ia bukan lagi juru rawat yang mengawasi kawanan kerbau dari pinggir kubangan. Sewaktu-sewaktu saat ada kerbau mengamuk atau melawan perintah, mereka siap mencambuk atau menyuntik hingga kerbau tak sadar.137 Berdasarkan kutipan di atas, streotipe yang ditampilkan selama ini, perawat adalah pengendali pasien coba dipatahkan Okky Madasari. Kehadiran Masita menjadi alternatif cara mendekati pasien yang baik, meski di dalam novel, Sasana sempat kecewa kepada Masita138. Tapi secara keseluruhan, kehadiran perawat yang seperti ini menurut peneliti seperti jembatan yang baik bagi interkasi antara perawat dengan pasien rumah sakit jiwa. Sejak saat itu, banyak dialog antara mereka yang penting dan menggugah hati Sasana tentang kebebasan. Perhatikan kutipan berikut ini: ―Apakah kamu masih punya rasa takut… saat kamu menjadi Sasa?‖ tanya Masita. Ia bertanya dengan hati-hati, seolah takut membuatku tersakiti. ―Sasa hanya membebaskan tubuhku. Tapi tidak pikiranku,‖ jawabku. ―Saat menjadi Sasa, justru ketakutan itu bertambah besar. Aku takut menyakiti ibuku, ayahku, juga adikku….‖ Dan petikan kutipan berikut ini: Masita sesaat diam. Lalu dia menjawab,―Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda‖139 Beradasarkan dua kutipan pertama di atas, peneliti melihat cara Masita mendekati pasiennya, dalam hal ini Sasana, langsung ke permasalahan
137
H 131 Sasana sempat kecewa dengan Masita ketika dia mengatakan tujuan utamanya merawat di rumah sakit jiwa. Begini petikannya: 139 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.146. 138
74
utamanya. Kalimat tanya yang dilontarkannya tidak menunjukkan seperti orang yang menuduh apa yang dilakukan Sasana menjadi Sasa itu salah. Tapi, dia coba menyelami apa yang dirasakan Sasana ketika menjadi Sasa. Hal yang sama juga terjadi pada kutipan kedua. Cara pemahaman Masita terhadap orang waras dan tak waras dalam kutipan di atas tak melulu soal dunia medis, yang hanya mengacu pada terganggunya organ atau syaraf manusia sehingga ia menjadi tidak normal. Tapi, sesungguhnya aturan-aturan yang sudah ada lama di masyarakatlah yang kadang menjadi batu sandungan bagi mereka yang memilih atau memiliki kebiasaan berbeda. Apakah yang berbeda berarti tak waras? Dari pemikiran tokoh Masita yang disampaikan pencerita, Sasana, menunjukkan itu tak sepenuhnya benar. 7) Banua Dalam novel ini, sama halnya Masita, tokoh Banua hadir sebagai tokoh tambahan yang sama-sama berada di rumah sakit. Bedanya, Banua adalah pasien. Sama seperti Sasana. Dari perkenalan mereka, mula-mula Sasana mendeskripsikan dulu tokoh Banua secara fisik, seperti berikut ini: Salah satu laki-laki yang ikut bergoyang denganku langsung dekat denganku. Usianya sepertinya sekitar lima tahun lebih tua dari usiaku. Banua, begitu dia mengenalkan dirinya.140 Selama tinggal di rumah sakit jiwa, suatu hari keduanya terlibat percakapan yang penting menyoal apa itu kungkungan, seperti pada kutipan berikut ini: Banua memulai ceritanya ketika ia dipaksa masuk pesantren setelah lulus SMP. Ia menolak, tapi orangtuanya tetap memaksa. Aku bisa paham ketidakberdayaannya. Aku juga demikian. ―Itu awal kegilaanku. Sudah sejak lama aku tak lagi memiliki tubuh dan pikiranku,‖ kata Banua.141
140 141
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.118. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 140.
75
Dari dua kutipan di atas, bisa disimpulkan jiwa Banua mengalami kungkungan atas keinginan orangtuanya. Di saat yang bersamaan, Sasana mengenang dirinya yang dulu juga dipaksa untuk terus bermain piano dan masuk SMA khusus laki-laki. Jika dilihat dari dua kasus ini, kehendak orangtua yang memaksakan keinginan anaknya ternyata berujung pada terbebani diri seorang anak. Itulah mengapa baik Banua ataupun Sasana merasa dirinya terkungkung. Dan Okky menyuguhkannya pada pembaca semua, sekalipun apa yang disarankan para orangtua adalah yang terbaik bagi anaknya, tapi belum tentu sesuai dengan keinginan anaknya, sehingga membuat mereka merasa dijajah, seperti di bawah ini: ―Lalu sebenarnya ada masalah apa dengan pikiranmu itu, Ban?‖ ―Dalam pikiranku ini, sudah ada tempelan-tempelan bagaimaan seharusnya hidup yang benar, yang kayak hidup banyak orang,‖ jelasnya. ―Pikiran yang cuma tempelan ini lalu jadi penjajah tubuhku sendiri.‖142
c. Alur (Plot) Alur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alur Tasrif dalam Nurgiyantoro yang membagi menjadi lima tahap, yakni: 1.
Tahap penyituasian Tahap penyituasian adalah tahap yang berisikan pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan pembukaan cerita dan pemberian informasi awal, dan lain-lain,yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. Tahap penyituasian pada novel Pasung Jiwa ini berisi tentang pengenalan tokoh Sasana dan keluarganya seperti berikut ini: Ayahku ahli hukum, ibuku dokter bedah. Mereka bertemu saat masih kuliah. Sama-sama mencintai alat musik klasik. Setelah menikah dan
142
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 137-`138.
76
punya rumah, benda pertama yang mereka beli adalah piano yang sekarang kami miliki. 143 Mereka suka sekali mendudukkan aku di depan piano, menuntun tanganku untuk memencet-mencet tiap tutsnya.144 Kutipan di atas menunjukkan keberadaan piano di keluarga Sasana sudah ada sejak mereka pertama kali berumah tangga. Itu pula yang membuat Sasana sudah kenal dengan piano sejak dini, yang menjadi tahap penyituasian pertama antara Sasana dan piano yang terjadi di dalam rumah orangtua Sasana yang akan berlanjut pada tahap berikutnya. Masih dalam tahap penyituasian dan kaitannya dengan Sasana dan piano adalah harapan orangtua Sasana pada anaknya, seperti kutipan berikut ini: Mereka percaya, benda ini akan sangat berguna. Tak hanya untuk kebahagiaan mereka berdua, tapi juga demi masa depan anak-anak mereka. Mereka yakin, musik yang dimainkan dengan piano itu akan memberikan kecerdasaan pada anak-anak mereka.145 Pada tahap penyiatuasian kedua ini, berdasarakan kutipan di atas, alat musik piano ternyata menjadi benda berpengaruh dan penting bagi orangtua Sasana sehingga harapan yang dibangun orangtuanya untuk anak-anaknya bisa cerdas membuat aktivitas berpiano di rumah menjadi hal yang wajib. Di sinilah menurut peneliti tahap pemunculan konflik dimulai. 2. Tahap pemunculan konflik Tahap pemunculan konflik adalah tahap di mana masalah dan peristiwa dalam cerita menyulut terjadinya awal mula konflik yang akan berkembang menjadi konflik yang lebih luas lagi pada tahap ketiga, peningkatan konflik.
143
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 14. Ibid, 14. 145 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 16. 144
77
Menurut peneliti, ada dua tahap pemunculan konflik dalam novel ini, pertama terjadi saat Sasana menonton pertunjukkan musik dangdut di belakang komplek perumahannya, berikut kutipannya: Muka Ayah da Ibu jadi berubah. Mereka seperti menahan amarah. Ibu menggeleng-geleng, tapi tetap tak berkata apa-apa. Ayah menarik nafas. ‗‘Musik seperti itu tidak baik, Sasana,‘‘ kata Ayah. ‗‘Musiknya orang mabuk, orang tidak pernah sekolah. Kamu lihat sendiri kan, semalam banyak orang mabuk?‘‘ Aku menggeleng. Memang tak kulihat orang mabuk tadi malam. 146 Berdasarakan kutipan di atas, tahapan pemunculan konflik terlihat dari perbedaan pendapat antara Sasana dan Ayah. Sikap Ayah yang langsung menghakimi orang-orang yang ada di acara dangdutan sebagai orang mabuk dibantah dengan gelengan kepala Sasana menandakan tidak setuju yang terjadi di ruang makan saat mereka sedang sarapan pagi. Tahapan pemunculan konflik ini juga yang menjadi konflik pertama antara Sasana dan orangtuanya versus antara musik dangdut dan musik klasik, yang melandasi kemunculan peningkatan konflik antara Sasana dan Ayah di kemudian hari, di mana Sasana merasa dirinya terkungkung dengan aturan sang Ayah, dan kemauan orangtua yang tak bisa dipenuhi anaknya. Tahapan pemunculan konflik yang kedua muncul pada diri Sasana saat dia mengalami bullying dan sekolahnya seperti berikut: Bagi sekolah ini, keributan, perkelahian, penganiayaan, adalah urusan kecil remaja laki-laki yang bisa diselesaikan mereka sendiri. Aku pun jadi membenci laki-laki. Membenci diriku sendiri yang jadi bagian laki-laki. Jika aku bukan laki-laki, aku tak akan masuk sekolah ini. Jika aku tak masuk sekolah ini, aku tak akan menderita seperti ini.147 Kutipan di atas menjelaskan kemunculan konflik Sasana yang dibully membuat timbul konflik yang lebih besar di dalam dirinya yakni membenci
146 147
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 22-23. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 35.
78
dirinya sendiri. Konflik batin ini menjadi latar belakang lahirnya peningkatan konflik yang terjadi pada tahap keempat, peningkatan konflik. 3. Tahap peningkatan konflik Berdasarakan tahap kemunculan konflik, pada tahap ini, konflik yang muncul menjadi lebih mendalam lagi bagi tokoh utama Sasana seperti berikut: Aku meringkuk di sudut paling gelap dari tubuh tinggi-besar ini. Mengubah suara, mengubah rambut dan muka. Mengubah semuanya. Tapi tidak dengan jiwaku. Jiwa ini tetap utuh dan sama. Hanya disembunyikan rapat agar tak ada seorang pun melihat.148 Lalu aku ingat apa yang aku alami selama ditahan. Pukulan, siksaan, dan yang paling menyakitkan adalah mereka menggunakan tubuhku untuk melayani nafsu mereka. […] Aku jijik. Aku pedih. Aku marah. Tapi pada siapa? Ingin aku memanjat dinding lalu menghancurkan semua yang ada di bawahku.149 Sedikit memberi gambaran, kedua kutipan di atas terjadi pasca Sasana mengalami pelecahan seksual saat di tahan di markas tentara di Sidoarjo. Saat itu, Sasan tampil sebagai Sasa, melakukan demosntrasi di depan pabrik sehingga dianggap makar oleh perusahaan. Berdasarkan peritiswa tersebut bisa kita lihat pada kutipan yang pertama menunjukan adanya jiwa yang tergoncang dan ingin berlindung dari segala ingatan mengerikan yang dialami bersama tentara itu. Latar tempat pada kutipan di atas terjadi di kamar tidur Sasana di rumah orangtuanya, rumah yang selama ini dia tinggalkan selama di kuliah di Malang. Sehingga tampak adanya konflik dalam diri Sasana yang dia rasakan tapi coba disembunyikan. Sedangkan pada kutipan kedua, terlihat bagaimana rasa sakit atas pelecahan itu semakin dan semakin menyiksanya sehingga konflik batin dalam dirinya pun menjadi tak terbendung tapi dia pun tak kuasa untuk keluar dari masalah tersebut.
148 149
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 101. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 103.
79
Peningkatan konflik juga terjadi ketika Sasana bangkit dari ingatan buruknya atas tindakan tentara, dia telihat bangkit lagi menjadi Sasa yang pintar bernyanyi dan bergoyang seperti pada kutipan berikut ini: Setelah satu bulan, ketenaran mulai bisa kudapatkan. Aku sudah dikenal orang-orang di sepanjang jalan. Mana ada pengamen yang secantik dan seseksi Sasa? Mana ada penyanyi jalanan yang suaranya semerdu Sasa? Dan yang paling utama, cuma Sasa yang punya goyangan maut yang bisa bikin siapapun jadi mabuk.150 Kutipan di atas menunjukan adanya usaha Sasana untuk bangkit mengaktualisasikan dirinya menjadi Sasa dan bernyanyi kembali, tapi sayangnya usahanya itu harus diganggu oleh para preman yang kemudian memunculkan konflik lebih dalam pada diri Sasana seperti kutipan berikut: Dua preman itu telah merusak semua yang kubangun sejak kembali lagi ke kota ini. Aku jadi kehilangan gairah. Setiap malam aku mengamen hanya sekadar untuk mencari uang agar bisa makan dan bayar kontrakan. Kenapa aku hanya bisa jadi bulan-bulanan? Kenapa aku tak pernah punya keberanian untuk melawan? Dari anak-anak SMA, hingga tentara dan preman pasar, kenapa semuanya membuatku tak berdaya? Jika dulu aku selalu dihantui oleh ketakutan, kini aku terus diikuti oleh dendam dan marah.151 Kutipan panjang di atas menunjukkan adanya rasa amarah mendalam dari diri Sasana karena telah berkali-kali kalah pada mereka yang bersikap sewenang-sewang dan menindas orang lain, termasuk dirinya. Tapi, dalam novel ini, seolah seperti jatuh bangun berkali-kali, Sasana pun kembali bangkit menjadi Sasa, sayangnya hal yang sama terjadi padanya, konflik dalam dirinya semakin memuncak menjadi klimaks dan masuk dalam tahap keempat, klimaks. 4. Tahap klimaks Perjuangan Sasana untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi Sasa masih tampak dalam kutipan berikut:
150 151
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.230. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.237.
80
Penonton mulai berdatangan. Aku mengintip dari balik tirai panggung untuk mengetahui berapa banyak yang datang. […] Pentasku di Malang ini akan menjadi patokan untuk pentas-pentas selanjutnya. Jika ini sukses, kota-kota lain pasti akan memperebutkan aku.152 Berdasarakan kutipan di atas, pementasan yang digelar di Malang menjadi kesempatan untuk Sasa menata lagi mimpinya menjadi professional bersama Jaka Wani akan tetapi peristiwa ini menjadi justru tahapan klimaks dari penderitaan yang dialami Sasa atas sikap kesewenang-wenangan orang lain terhadap dirinya terjadi lagi seperti kutipan berikut ini: Seluruh bajuku diambil. Hanya celana dalam yang masih melekat ditubuhku. Aku menangis meraung-ruang. Menangis rasa terhina dan kekalahanku. Aku merasa sakit, jauh lebih sakit jika aku dihajar habishabisan.Sambil terus terisak, aku tatap orang-orang di sekelilingku satu per satu. Aku mau mereka merasakan kebencian dan dendam yang sedang kutanam.153 Tahapan klimaks semakin meninggi ketika Sasa mengetahui siapa pihak yang ikut dalam aksi razia tersebut, yakni Jaka Wani yang dikenali lewat tatapan kedua mata mereka berikut ini: Tatapanku berhenti pada sepasang mata yang sangat aku kenal. Ia pun menatap aku. Dalam beberapa hitungan, tatapan kami beradu. Ia kemudian lebih dulu mengalihkan pandangan. Aku masih terus menatapnya. Aku perhatikan setiap bagian tubuhnya. Aku tidak salah orang.154 Dari berbagai kutipan di atas, bisa disimpulkan bahwa perjalanan Sasana dalam mengaktualisasikan dirinya menjadi Sasa yang melakukan pentas di manas sebagai biduan dangdut menemui banyak kendala dan hambatan yang membuat langkahnya terhenti, namun dia bangkit lagi dan lagi untuk keluar dari kungkungan yang membelenggunya demi bisa sampai pada kebebasan dalam mengaktualisasikan dirinya yang peneliti masukan dalam tahap penyelesaian. 5. Tahap penyelesaian 152
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 290. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.292. 154 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 293. 153
81
Tahapan penyelesaian merupakan tahap terakhir dalam cerita di mana berbagai konflik yang sudah mencapai klimaks menemukan penyelesaiannya di dalam cerita yang ditulis Okky Madasari. Tahapan penyelesaiannya yakni dengan bertemunya Sasana dan Jaka Wani, dua tokoh yang terpisah pasca insiden demonstrasi di depan pabrik perusahaan sepatu dan pasca tatapan mereka bertemu kala merazai kafe di Malang, tempat Sasa manggung, diamdiam Jaka Wani menemui Sasa di dalam penjara. Berikut kutipannya: Pelan-pelan, aku mengakat kepala. Kususuri wajah Sasa. Matanya, hidungnya, mulutnya. Dia masih Sasa yang dulu. Sasa adikku. Sasa yang dulu kugadang-gadang akan menjadi bintang. 155 Berdasarkan kutipan di atas, cara Jaka Wani menatap Sasa menunjukan adanya pencarian keyakinan dari dalam diri Jaka Wani bahwa yang berada di hadapannya adalah Sasa, partnernya di masa lalu ketika mengamen. Kami berdua menangis bersama. Terlalu banyak yang ingin dikatakan. Lewat tangisan kami sedang menumpahkan semuanya. Sasa tetap adikku. Kami tetap satu. Tangisan adalah buktinya. Aku berhenti menangis. Aku bangkit dan berkata, ‗‘Kita harus pergi, Sa.‘‘156 Langkah Jaka Wani menemui Sasa seperti kutipan di atas menurut peneliti menjadi tahap penyelesaian dari semua cerita yang disugukan Okky Madasri. Tawaran Jaka Wani untuk kabur bersama menunjukkan itulah bentuk kebebasan mereka dalam mencari jalan hidup yang mereka inginkan dan bisa jadi menjadi perwujudan aktualisasi diri paling tertinggi, yakni melepaskan semua beban dan mengejar mimpi mereka seperti pada kutipan berikut ini: Sasa melepas baju tahananya. Lalu aku menyusul melepas serbanku, membuang jubahku. ‗‘Bebas… bebas, aku bebaaas!‘‘teriak Sasa. […] Taka da yang bisa melarang apa yang kami lakukan. Tak ada yang bisa mengatur apa yang harus kami lakukan. Ini hidup kami. Ini kebebasan kami.157
155
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 319. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 320. 157 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.321. 156
82
Kutipan di atas menjadi penutup dari plot tahapan penyelesain konflik dalam penelitian ini. peneliti berkesimpulan bahwa perjuangan tokoh utama Sasa dalam novel ini sangat panjang dan berliku, tapi dari alur cerita ini, bisa terlihat bagaimana tokoh Sasana melewati penderitaan yang menghampirinya demi bisa mengaktualisasikan diri sebagai bidua dangdut. 6. Latar (setting) Latar yang terdapat dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Berikut penjelasannya. 1. Latar Tempat Dalam novel Pasung Jiwa, terdapat beberapa latar tempat yang ada di dunia nyata, yakni tiga kota besar yang ada di Indonessia: Jakarta, Malang, Sidoarjo, dan Batam. Pada masing-masing kota tersebut, dipecah lagi menjadi beberapa tempat penting terjadinya peristiwa. Berikut analisanya. 1) Jakarta Jakarta menjadi lokasi pertama yang menjadi latar tempat dalam novel ini. Di Jakarta, ada beberapa tempat yang menjadi latar tempat terjadinya peristiwa berikut ini: Rumah orangtua Sasana Rumah orangtua Sasana menjadi tempat lahir dan tumbuhnya Sasana dan adiknya, Melati dalam sebuah rumah yang dihuni mereka bersama orangtuanya, seperti pada kutipan berikut: Ketika aku sudah bukan lagi bayi dan memasuki masa kanak-kanak, orangtuaku mendatangkan seorang guru piano untuk mengajariku. Guru itu datang seminggu dua kali pada sore hari. Pada hari-hari guru itu datang, aku selalu dimandikan awal. Lalu pengasuhku membawaku ke ruang tengah, tempat piano keluargaku berada.158
158
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.14.
83
Berdasarkan kutipan di atas, dapat terlihat bagaimana Sasana menceritakan masa kecilnya bersama piano. Mendatangkan seorang guru les piano, bahkan saat dirinya, masih kanak-kanak dan memiliki pengasuh menunjukkan bahwa rumah orangtua Sasana bukanlah rumah sederhana, tapi rumah yang dihuni kalangan menengah ke atas. Rumah tak hanya menjadi tempat tinggal mereka, tapi juga rumah untuk pulang ketika Sasana. Beberapa kali Sasana memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya, di Jakarta ketika dewasa dan merantau ke Malang, seperti pada dua kutipan berikut: Segera aku cari kereta yang menuju Jakarta. Aku ingin pergi jauh dari kota ini. Aku ingin segera menjauh dari semua yang kualami. Dan satu-satunya yang kuingat hanyalah pulang: ke Jakarta.159 Kutipan pertama di atas terjadi pasca Sasa tertangkap oleh anggota TNI usai berdemo di depan sebuah pabrik sepatu di Sidoarjo. Penganiayaan dan pelecahan yang dialaminya membuatnya ingin kembali ke Jakarta. Menurut
peneliti,
keputusannya
kembali
ke
rumah
orangtuanya
menggambarkan rumah dan orangtuanya di Jakarta masih menjadi tempatnya berlindung dari kesulitan yang dihadapinya, sekalipun dia sudah tak memberi kabar kepada orangtuanya ketika tinggal di Malang. Sasana juga menyebutnyebut rumahnya sebagai tempat pulang ke rumahnya pada kutipan di bawah ini: Aku mau pulang. Pulang ke rumahku. Pulang ke orangtuaku dan ke adikku Melati. Zaman sudah berganti. Sudah tak perlu lagi aku bersembunyi di balik kepura-puraan, melarikan diri dari orang-orang yang kucintai. Aku ingin kembali bersama mereka. Sebagai Sasa.160 Kutipan kedua di atas terjadi pasca dia bersama mahasiswa di Malang yang turun ke jalan menuntut turunnya rezim Orde Baru ke Jakarta. Kemenangan ini membuatnya ingin pulang ke rumah orangtuanya. Menurut peneliti, alasan pulang Sasana ke rumah orangtuanya di Jakarta kali ini berbeda dengan kutipan yang pertama. Kali ini, alasannya pulang justru bentuk dari euforianya usai rezim yang berkuasa selama 32 tahun lamanya telah runtuh, 159 160
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.100. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.244.
84
dan rakyat yang selama ini terkerangkeng hak bersuaranya telah merdeka. Pun dengan Sasana, kalimat yang dilontarkan, “sudah tak perlu lagi aku sembunyi dari kepura-puraan” menunjukkan dirinya yang pantas untuk berterus terang pada keluarganya bahwa dirinya telah menjadi Sasa selama ini. Adapun kesamaan dari kedua kutipan di atas, rumah menjadi tempatnya untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga yang juga menjadi penanda bahwa keberadaan orangtua dan adiknya begitu penting. SMA Khusus Laki-laki Sasana remaja melanjutkan sekolahnya di SMA yang dipilihkan Ayahnya. Sebuah sekolah khusus laki-laki di Jakarta yang dikelola yayasan Katolik. Latar tempat ini menjadi penting karena Sasana mengalami bullying saat menjadi siswa baru seperti pada kutipan di bawah ini: Pagi ini Dark Gang mencegatku di pagar sekolah. Mereka langsung menyeretku ke belakang WC yang dulu digunakan untuk menghajarku pertama kali. Tanpa bicara, mereka lancarkan pukulan dan tendangan ke tubuhku. Bertubi-tubi. Bergantian.161 Berdasarkan kesimpulan di atas, pengkroyokan yang dilakukan bersama-sama dan berkali-kali terhadap Sasana di WC sekolah menunjukkan lokasi tempat buang air ini jauh dari jangkauan dari guru-guru atau pengurus sekolah. Ini menunjukkan tidak adanya perhatian dari pihak sekolah dalam memahami kondisi atmosfir lingkungan dan murid-muridnya. Rumah Sakit Jiwa Latar tempat ketiga di Jakarta adalah rumah sakit jiwa. Tokoh utama Sasana dilarikan ke rumah sakit jiwa oleh orangtuanya setelah berteriak di tengah keramaian, di kampus baru yang akan dimasuki. Meski sama-sama berteralis, tempat ini jauh lebih baik dibanding sel tempat aku dikurung waktu itu. Di sini lebih bersih, jauh lebih terang,
161
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 38.
85
ada tempat tidur yang ditata rapi dengan seprai putih dan sarung bantal putih. 162 Saat Ayah dan Ibu keluar, seorang petugas berbaju putih mengunci pintu kamar bertralis itu. Aku kembali terkurung.163 Berdasarakan kutipan pertama, Sasana tengah mendeskripsikan ruangan yang baru dilihatnya. Ia pun membandingkan ruangan itu pada ingatannya tentang sel tempat ia dikurung oleh anggota TNI saat di Malang. Apakah ruangan berteralis dengan tempat tidur yang tertata rapi jauh lebih baik? Mari lihat pada kutipan kedua. Dari kutipan tersebut, ternyata, Sasana merasa ruangan itu sama saja dengan ruangan sel sebelumnya, ruangan yang mengurung dirinya dan kebebasannya. 2) Di Malang Malang adalah salah satu kota/kabupaten di Jawa Timur yang memiliki beberapa tempat penting seperti kekayaan dan keindahan alamnya seperti Gunung Bromo dan beberapa universitas negeri bergengsi. Di Malang, menjadi tempat pertemuan Sasana dan Jaka Wani pertama kali, juga menjadi tempat mereka kembali bertemu setelah sekian lama terpisah. Warung Cak Man Padahal ya, aku sudah berusaha melupakan hasrat besarku pada goyangan dan musik yang satu ini. Kok malah sekarang dipertemukan lagi. Dalam tidur siangku, aku kembali menyanyi dan bergoyang dengan iringan gitar Cak Jek.164 Kutipan di atas menunjukkan takdir Sasana berkenalan dengan Cak Jek justru mempertemukan ia pada musik dangdut lagi ketika berada di warung kopi Cak Man. Hal itu pun membuat ia kembali bergoyang. Malang, tak hanya istimewa bagi Sasana karena menyalakan kecintaannya pada dangdut. Malang membuatnya kembali mencintai dangdut usai terjadi di Malang. Di Warung
162
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 111. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 112. 164 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 48. 163
86
Cak Man juga menjadi tempat pertamanya tampil sebagai Sasa dalam balutan pakaian cantik seperti pada kutipan berikut ini: Dengan sepatu dan baju seperti ini, tentunya goyangku lebih bergairah daripada kalau aku hanya pakai sandal jepit dan celana kolor. Aku bergoyang memutari warung. Mendekati setiap orang. Ingin menyapa sekaligus berkata, ―Ini lho aku.‖165 Meski itu penampilan pertama Sasana bernyanyi menggunakan kostum perempuan, nyatanya perangkat itu memberikan kepercayaan yang lebih untuk pertama kalinya. Batu Batu, Malang menjadi hunian baru bagi Sasana dan Jaka Wani usai mereka memutuskan menjadi teman duet dalam mengamen. Kini aku tinggal menepi ke daerah atas. Tempat yang masih sepi, sawah di sana-sini, dingin sepanjang hari. Batu, begitu nama kota itu. Harga tanah masih sangat murah di sana.166 Pemaparan Sasana tentang tempat tinggal barunya memang ada di dunia nyata. Batu merupakan salah satu kota wisata di Jawa Timur yang berdekatan dengan Malang. Sebagai daerah gunung, Batu dikenal memiliki lahan peratnian yang luas. Salah satunya pertanian apel yang menjadi ciri khas oleh-oleh Batu. Rumah Ibu Jaka Wani Pada bagian bab berisi tokoh tambahan yang utama Jaka Wani, ia pulang ke rumah ibunya setelah hidupnya berpindah dari Batam, hidup di laut, dan Jakarta. Rumah ibu kini bukan hanya markas laskar. Rumah ini sudah jadi tempat berkumpulnya orang yang mau belajar agam dan berdoa
165 166
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.57. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 51.
87
bersama. Semua orang mengelu-elukan aku. Aku adalah pemimpin. Aku adalah panutan.167 Jaka Wani, seperti yang sudah dipaparkan dalam tokoh dan penokohan, mengalami perubahan watak menjadi tokoh yang relijius setelah bergabung dengan kelompok laskar yang menggunakan nama agama, ia memilih kembali ke Malang untuk menjadikan dirinya pusat dari pengamanan kota atas nama agama seperti seniornya di Jakarta, seperti ditegaskan dalam kutipan berikut ini: Di Jakarta selamanya aku hanya jadi cecunguk. … Di Malang aku bisa jadi pemimpin.168 Alun-alun Kota Malang Seperti sudah disinggung di atas, Malang menjadi kota yang penting bagi hubungan Sasana dan Jaka Wani sebagai seorang teman, saudara, dan rekan mengamen di masa lalu. Dan sebuah takdir mempertemukan mereka kembali pada peristiwa yang terjadi di Alun-alun Kota Malang, seperti pada kutipan berikut: Sambil terus terisak, aku tatap orang-orang di sekelilingku satu per satu. Aku mau mereka merasakan kebencian dan dendam yang sedang kutanam. Tatapanku berhenti pada sepasang mata yang sangat aku kenal. Ia pun menatap aku. Dalam beberapa hitungan, tatapan kami beradu. Ia kemudian lebih dulu mengalihkan pandangan.169 Tatapan Sasa terus mengikutku. Sepasang mata itu menggangguku sepanjang waktu, menyiksaku setiap malam lewat mimpi-mimpiku. Mata itu marah, ia ingin menuntut balas. Aku seperti pembunuh yang sedang dikejar-kejar penagih nyawa.170 Kutipan pertama diceritakan oleh tokoh Sasana. Razia yang dilakukan kelompok laskar Jaka Wani di tempat manggung Sasa, membuat mereka untuk pertama kalinya bertemu lagi pasca demonstrasi di depan pabrik sepatu tempat Marsini bekerja. Situasi yang tergambar dalam kutipan pertama menunjukkan
167
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.265. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 264. 169 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.292. 170 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.297. 168
88
perasaan Sasana yang marah pada orang-orang yang merazia dan melucuti dirinya. Perasaan terkejut juga terasa pada saat ia melihat sosok yang dikenalnya selama ini, yang mengenalkannya pada musik dangdut yang lebih kaya, yang melahirkan Sasa di masa lalu. Tatapan Sasana yang tajam melihat Jaka Wani begitu lekat merupakan respon manusia pada umumnya ketika melihat sesuatu yang tak disangka dirinya, seperti perasan dikhianati. Sementara di kutipan kedua, tokoh Jaka Wani yang menjadi pencerita sudut
pandang
persona
pertama
―aku‖.
Bayang-bayang
Sasa
yang
menggelayuti pikirannya menunjukkan tokoh Jaka Wani berada pada titik bimbang yang dalam. Hal ini wajar karena dulu, ia dan Sasana (atau Sasa) adalah kawan, saudara, dan rekan yang memiliki mimpi menjadi seniman dangdut professional, dunia yang sudah ditinggalkannya pasca demonstrasi di pabrik sepatu. 3) Sidoarjo Sidoarjo merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur. Lokasinya sendiri tak jauh dari Surabaya. Sidoarjo juga dikenal sebagai daerah industri, seperti yang juga menjadi latar tempat dalam novel ini: pabrik sepatu. Berikut kutipannya: Pabrik itu dikelilingi pagar. Semuanya tertutup, taka da celah sedikit pun untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya. Hanya ada satu pintu masuk yang juga selalu tertutup. Dua pos penjagaan berada di situ.171 Kutipan di atas menggambarkan suatu pabrik yang menjadi tempat kerja anaknya Cak Man, Marsini. Melalui pencerita tokoh Sasana, dapat kita lihat bentuk bangunan luar pabrik yang umumnya sama dengan pabrik yang ada di dunia nyata: tertutup dan dijaga ketat sehingga dari luar tampak seperti benteng di mana jika jam istirahat mulai atau jam pulang kerja, akan keluar ribuan bahkan ratusan ribu manusia dari balik pagar yang kokoh menjulang seperti kawanan itik yang baru keluar kandang.
171
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.91.
89
4) Batam Daerah nyata lainnya yang diangkat Okky Madasari adalah Batam. Sebuah kota yang masuk dalam administrasi Provinsi Riau ini, terkenal dengan dunia industri. Seperti pada kutipan di bawah ini, yang diceritakan tokoh Jaka Wani: Untunglah, mencari kerja di Batam tidak terlalu susah dibanding mencari kerja di Jawa. Banyak pabrik di sini. Pabrik-pabrik baru juga terus berdiri.172 Berdasarkan kutipan di atas, bisa disimpulkan Batam memang sudah lama diproyeksikan sebagai kota industri. Hal ini dikarenakan secara geografis, wilayah Batam dekat dengan jalur laut yang menjadi jalan pengiriman atau pemasukan barang-barang dari dalam atau pun luar negeri. Dekatnya Batam dengan negara tetangga, seperti Singapura, membuat banyak barang-barang yang dijual di Batam banyak berasal dari Singapura seperti pengalaman yang dituturkan Jaka Wani, berikut ini: Dari dermaga itu kami menuju pusat pertokoan Nagoya. Ini pusat perbelanjaan terbesar di pulau ini. Banyak barang yang didatangkan dari luar negeri. Baju, parfum, dan berbagai barang lainnya. 173 Berdasarkan kutipan di atas, kata Nagoya yang menjadi nama pusat pertokoan makin memperlihatkan Batam memang sebuah pulau bagi tumbuh suburnya para pengusaha atau pekerja asing. Nagoya merupakan nama sebuah daerah di Jepang. 2. Latar Waktu Latar waktu yang terjadi dalam novel ini terjadi pada tiga masa rezim yang pernah ada di Indonesia, yakni: rezmi Orde Baru, Reformasi, Pasca Reformasi. Berikut kutipannya: Rezim Orde Baru 172 173
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.161. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.165.
90
Peristiwa pertama yang masuk rezim Orba dalam novel ini ditandai dengan penanggalan berikut ini: 17 Agustus 1993 Basah-basah basah seluruh tubuh, Ah, ah, ah, menyentuk kalbu, Manis manis manis semanis madu, ….174 Semua ikut menyanyi, ikut bergoyang sepertiku. Semua memujaku. Semuanya senang padaku. Aku benar-benar menjadi bintang, walau baru untuk panggung tujuh belasan.175 Pada kutipan pertama merupakan lirik sebuah lagu yang tengah dinyanyikan Sasa di atas panggung tujuh belasan. Kejadiannya, pada 17 Agustus 1993. Sementara pada kutipan kedua, menunjukan tokoh Sasa merasa bernyanyi dan aksi panggungnya diterima dan banyak masyarakatpun ikut bergoyang. Jika ditelaah dari kedua kutipan tersebut dan kaitannya dengan rezim Orba, pada tahun 1993, taka da larangan dari aksi panggung Sasana yang tampil
sebagai
Sasa.
Menurut
peneliti,
itu
terjadi
karena
Sasana
menampilkannya di sebuah kampung dalam momen perayaan kemerdekaan karena pertunjukkan musik dangdut menjadi pilihan bagi masyarakat kelas bawah ketika merayakan sesuatu, seperti hajatan dan panggung tujuh belasan ini. Peristiwa kedua pada rezim Orba dalam novel ini, perhatikan kutipan di bawah ini! ―Hei, cong, kowe, PKI ya?‖ tanya si komandan. Aku langsung menggeleng. PKI apa? Partai Komunis Indonesia? Partai yang dilarang itu? Seumur-umur tahu namanya juga cuma dari pelajaran sekolah. ―Jawab!‖ 174 175
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.45. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.46.
91
―Bukan,‖ jawabku. ―Terus ngopo bikin rusuh koyok mau awan176?” Aku bingung mau menjawab. BUUG! Tendangan kembali mampir di perutku.177 Berdasarkan kutipan dialog antara Sasa—pasca ditangkap usai berdemo—dengan anggota TNI, terlihat sikap kesewenang-wenangan dan main tuduh dari pasukan yang harusnya melindungi rakyat. Penuduhan seseorang sebagai PKI karena dianggap berbuat onar di ruang publik, di Indonesia
kala
Orba,
memang
cara
pemerintahan
Soeharto
untuk
membinasakan PKI dari Indonesia. Sejarah panjang yang dimiliki PKI di Indonesia dan kaitannya dengan politik Soeharto membuat kepemimpinan di eranya menyebarkan aturan, bagi siapapun yang dianggap melanggar pemerintah yang sedang berkuasa dianggap PKI dan anggota TNI wajar melakukan kekerasan seperti yang dialami Sasana dalam novel ini. Menjelang Hancurnya Rezim Orba Maret 1998 Kota ini menjadi tak biasa. Antrean panjang orang di depan toko minyak dan bank. Harga sewa kontrakan dan makanan naik dua kali lipat. Uang ngamen makin berkurang. Semua orang kini jadi pelit dan merasa kekurangan.178 Kutipan di atas dituturkan oleh Sasana berdasarkan pengamatan yang dia lihat di sekelilingnya. Gambaran yang dikatakan Sasana merupakan pemandangan kejadian yang sama di Indonesia ketika krisis moneter terjadi, pada 1998. Kekacauan tersebut dan dominasi kekuasaan Soeharto selama 32 tahun menjadi presiden membuat rakyat turun ke jalan menuntut sang diktator lengser dari jabatannya. Peristiwa ini juga yang dimasukkan Okky melalui penuturan Sasana dalam novel ini. Berikut petikannya:
176
Artinya: Kayak tadi siang. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.97. 178 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.239. 177
92
Kami 23 orang berangkat ke Jakarta. Hanya tiga orang yang bukan mahasiswa. Satu pengamen, yang tak lain adalah aku, dan dua anak muda pengangguran.179 Apapun yang mereka teriakkan, aku tirukan. Mereka menyanyi, aku menyanyi. Mereka acungkan kepalan ke atas, aku pun demikian. Berhari-hari aku ada di antara lautan manusia. Memanglah benar, semangat dan keberanian selalu menular.180 Kedua kutipan di atas merupakan gambaran kecil dari bagaimana sesungguhnya demonstrasi besar-besaran yang pernah menjadi sejarah Indonesia, terutama mahasiswa dan aktivis dalam memperjuangkan reformasi birokrasi. Reformasi Lengsernya Seoharto membuka lembaran baru memang bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Tapi bentuk kekerasan masih terjadi dalam format yang berbeda, yakni dengan menjual agama. Berikut kutipannya: ―Sori, ane lupa ngasih tahu ente. Mereka justru pelindung kita. Kita ada untuk bantu tugas polisi dan tentara. Mereka yang kasih kita makan, Jek!‖181 Kami harus berani melawan apa saja yang tidak sesuai dengan hukum Ilahi. Aku yang masih bimbang tentang apa yang akan kulakukan tibatiba seperti disusupi kekuatan sekaligus kenekatan. Semua orang di sekelilingku jadi garang dan siap menerkam siapa saja. … Sepanjang jalan kami terus mengacungkan senjata di tangan kanan.182 Botol-botol bir yang masih utuh hancur dalam tebasan parangku. Lampu kerlap-kerlip yang menghiasi ruangan dan sound system yang memutar musik juga hancur di tanganku.183 Pada kutipan pertama, disebut-sebutnya polisi dan tentara yang memberi tugas pada organisasi laskar ini disebutkan dalam novel, terjadi setelah Orba lengser. Sementara kutipan kedua dan ketiga menunjukksan
179
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.242. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.243. 181 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.254. 182 Ibid, h. 254. 183 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.255. 180
93
adanya aksi pengrusakan secara beringas pada tempat publik. Sebuah tindakan semena-mena pada sesuatu yang mereka anggap salah. 3. Latar Sosial Dalam novel Pasung Jiwa terdapat beberapa latar sosial yang diangkat yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, yakni: a) Sikap pemaksaan orangtua terhadap bakat yang harus dimiliki anaknya Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya selalu hidup dalam kecukupan, baik itu sandang, pangan, papan, pendidikan, bahkan banyak orangtua yang mampu memenuhi kebutuhan bakat anaknya dengan memberikan les di luar dari pelajaran akademik. Hal ini juga yang terjadi pada Sasana. Akan tetapi, sikap orangtuanya yang mengharuskan anaknya mahir berpiano membuat sang anak merasa dikekang seperti kutipan berikut: Sejak hari itu, Mbak Minah jadi terus-terusan mengawasiku. Setiap aku bergerak sedikit ke halaman, ia langsung ikut keluar dan mengajakku kembali ke dalam. Ia selalu mengingatkan aku untuk latihan piano, juga untuk belajar. Ayah dan Ibu semakin sering menelpon saat mereka taka da di rumah.184 Tak ada lagi musik dalam hidupku. Ayah dan Ibu telah merampas kebahagiaanku bersama dangdut, maka aku pun tak akan memberikan kebahagiaan pada mereka lewat piano dan musik yang jadi kekaguman mereka.185 Pada kutipan pertama terlihat bahwa sikap orangtua yang memaksa anaknya untuk tetap bermain piano. Aturan yang mereka buat justru berakibat pada aksi menolak untuk memainkan piano dan musik klasik seutuhnya seperti yang terjadi pada kutipan kedua. Hal ini menujukkan, bahwa selera musik tak bisa dipaksakan untuk diterima semua orang, termasuk anak sekecil Sasana. Pemaksaan yang dilakukan orangtua dalam menentukan bakat yang dimiliki anak justru malah mematikan kreativitas sang anak. 184 185
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.23. h. 27
94
b) Tindakan merisak atau bullying di lingkungan sekolah Di Indonesia, kasus kekerasan pada anak di lingkungan sekolah sering terjadi. Bahkan tak hanya kekerasan, tapi sampai pada tahap pelecehan seksual dan berujung pada terenggutnya nyawa murid. Dalam novel ini juga terdapat peristiwa di mana bullying dilakukan sekelompok gang terhadap tokoh utama, Sasana. Berikut kutipannya: Setiap hari, lima anggota Dark Gang menghampiriku saat aku baru keluar dari kelas. Mereka minta jatah lima ribu rupiah. Kadangkadang mereka menggeledah tasku, mengambil apa saja yang bisa diambil. Asalkan aku tak dipukul hingga ketika pulang penuh lebam dan membuat ibuku kembali menangis.186 Dari kutipan di atas, pengarang novel, Okky Madasari tampak ingin memperlihatkan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk menimba ilmu justru dekat dengan dunia kekerasan yang memberikan dampak berkepanjangan pada murid yang mengalaminya. Kekerasan di dunia pendidikan umumnya terjadi karena adanya rasa sakit hati dari senior bahwa mereka dulu juga pernah dirisak saat menjadi junior. ―Ada satu anak jenderal, satu anak pejabat. Kasusnya tidak bisa diproses,‖ jawab Ayah datar.187 ―Yayasan tak berani. Mereka minta Sasana yang dipindahkan. Demi kebaikan bersama….‖ 188 Dilihat dari kutipan di atas, dua percakapan yang disampaikan Ayah Sasana menunjukan pelaku bullying dekat dengan kekuasaan. Bukan hanya si anak yang berkuasa di sekolah, tapi juga orangtua mereka yang berasal dari golongan berpengaruh juga membuat praktik seperti ini akan subur dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan yang seharusnya mengutamakan proses belajar mengajar murid justru menjadi lemah manakala sekolah terseut diancam oleh mereka yang berkuasa. Dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa yang serupa terjadi ketika seorang anak (mantan) menteri mengalami 186
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 34. H. 42 188 H. 44 187
95
kecelakaan di mana dia sebagai pelaku tabrakan ternyata proses hukumnya tak memvonis si anak pejabat itu lantaran bapaknya adalah seorang menteri. c) Kesewenangan-wenangan tentara Indonesia di masa lalu Dunia militer pernah menjadi sejarah panjang Indonesia di masa lalu. Hal ini terkait dengan keberadaannya yang menjadi tameng bagi penguasa saat menjadi jaman Orde Baru sehingga begitu ditakuti oleh masyarakat kala itu. Mereka yang berkuasa melakukan tindakan sewenang pada masyarakat sipil, hal ini juga yang tampak pada cerita Sasana yang mengalami kekerasan berikut ini: ―Hei, cong, kowe PKI ya?‖ tanya si komandan. ―Bukan,‖ jawabku. ―Terus ngopo bikin rusuh koyok mau awan?‖ Aku bingung mau menjawab. BUUG! Tendangan kembali mampir di perutku. 189 Kutipan di atas merupakan penggalan percakapan tentara dan Sasana yang disebut bencong oleh mereka. Tuduhan yang menyebut Sasana PKI karena berbuat keributan adalah sisa-sisa peninggalan masa lalu bangsa Indonesia tentang keberadaan dan ketakutan masyarakat Indonesia terhadap PKI atau Partai Komunis Indonesia, sehingga bagi siapapun yang dianggap berbuat makar akan dengan mudah dilabeli anggota atau bagian dari PKI. Jika dikaitkan dengan konteks saat ini, akhir-akhir menjelang Pilkada Serentak 2017, isu tentang kemunculan PKI santer memanas di media mainstream maupun di media sosial. Tanggapan atas isu ini pun beragam. Ada yang khawatir, ada juga yang menganggap bahwa PKI hanya masa lalu Indonesia. ―Enaknya kita apain bencong ini? tanya si komandan.‖ ―Kita pakai saja dulu, Ndan. Biasanya juga dipakai orang,‖ jawab yang lain. Mereka lalu terbahak bersama.
189
H, 97
96
Perih… perih rasanya di hatiku. Lebih sakit dibandingkan badanku yang remuk ini.190 Sementara dari kutipan kedua di atas merupakan penggalan percakapan para tentara di atas terlihat bahwa mereka tidak memperlakukan tahanan mereka semena-mena. Di sini tampak bahwa mereka mengerdilkan manusia
karena
Sasana
berpenampilan
seperti
perempuan
sehingga
beranggapan bahwa Sasana bisa dipakai sebegitu kejinya yang kemudian meninggalkan luka mendalam dalam jiwa Sasana. Tindakan tentara yang melakukan pelecehan seksual pada tahanannya merupakan perbuatan semenamena para pasukan pengamanan negara ini. d) Melakukan kekerasan atas nama agama Latar sosial selanjutnya yang pengarang angkat dalam novel Pasung Jiwa adalah menggunakan agama untuk melakukan kekerasan, seperti pada kutipan berikut: Mendengar ceramah setiap hari tentu juga berpengaruh pada diriku. Rasanya ada yang panas dan terbakar dalam dadaku ini, setiap kali dengan berapi-api disebut kata ―lawan‖, ―berani‖, ―basmi‖, dan ―berantas‖. Kobaran itu semakin membesar ketika dikatakan ―demi agama‖, ―demi Allah‖.191 Kutipan di atas merupakan penuturan tokoh Jaka Wani terhadap lingkungan baru yang dimasukinya ketika berada di Jakarta. Lingkungan ini berbeda dengan kehidupan yang dijalani tokoh Jaka Wani sebelumnya, sehingga ia merasa lebih dekat dengan Tuhan dan meyakini ini jalan yang benar. Akan tetapi, siraman rohani yang dia dapatkan menurut peneliti hanya sebagai alat atau pembungkus dari agenda besar yang sedang dijalankan di dalam asrama tersebut, seperti pada kutipan berikut ini: Aku mengikuti apa saja yang dilakukan orang-orang di sekitarku. Botol-botol bir yang masih utuh hancur dalam tebasan parangku.
190 191
H. 98 H 253
97
Lampu kerlap-kerlip yang menghiasi ruangan dan sound system yang memutar musik juga hancur oleh tanganku.192 Di tengah tawa, Jali membuka tas punggungnya. Ia keluarkan botolbotol dari dalamnya. Aku melongo. Sementara kawan-kawan yang lain berseru kegirangan. ―Sesekali kita juga boleh berpesta,‖ kata Jali. 193
Pada kutipan pertama di atas, terlihat Jaka Wani tengah menjalankan tugas pertamanya di sebuah kafe. Sementara pada kutipan kedua terlihat minuman keras dihancurkan seperti pada kutipan pertama, ternyata sebagian diselamatkan untuk dinikmati bersama atau mabuk ria. Terlihat adanya perbedaan antara kutipan pertama dan kedua yang menunjukkan bahwa mereka memberantas maksiat dengan cara kekerasan, tapi komponen dari maksiat itu sendiri minuman keras yang jelas-jelas haram dalam agama Islam malah dikonsumsi bersama oleh Jaka Wani dan kelompoknya. Terlihat bahwa pada kutipan ini, latar sosial yang ingin ditunjukkan pengarang adalah kondisi di mana agama bukan solusi bagi penyimpangan ke jalan yang benar, tapi justru ikut melakukan penyimpangan itu sendiri. 7.
Sudut Pandang Dalam novel Pasung Jiwa, Okky Madasari menggunakan sudut
pandang persona pertama ―aku‖. Hal ini ditandai dengan narator bercerita dan ikut terlibat dalam cerita tersebut untuk disampaikan pada pembaca. Dalam novel ini terdapat dua tokoh yang menggunakan sudut pandang persona pertama ―aku‖. Dua tokoh ini, yakni Sasana dan Jaka Wani yang berkisah tentang dirinya, apa yang dirasanya dan dilihatnya. Hanya saja yang membedakan kedua tokoh bersudut pandang persona pertama ―aku‖ adalah jumlahnya. Jika dihitung berdasarkan daftar isi novel ini, secara kuantitatif, novel ini terdiri dari 6 bab utama, yaitu:
192 193
H. 255 H. 256
98
Sasana, Jaka Wani, Sasa, Jaka Baru, Sang Bintang, dan Suara Jiwa. Dari 6 bab utama, terdapat 13 sub bab, yaitu: Perangkap Tubuh, Selain Sasana, Ketakutan yang Mengejar, Mesin-mesin Pabrik, Penjara Kuasa, Hidup Ketiga, Melawan, Jebakan Jiwa, Mengikat Diri, Melepas Belenggu Dua Pasang Mata, Jerit Sunyi, dan Merebut Kekuasaan.194 Dari data di atas, analisa peneliti, keberadaan tokoh Sasana yang menceritakan dirinya menggunakan sudut pandang persona pertama ―aku‖ terdapat di dalam 4 bab, yakni Sasana, Sasa, Sang Bintang, dan Suara Jiwa. Untuk sub bab yang memuat Sasana sebagai pencerita ―aku‖ terdapat dalam tujuh sub bab, yakni: Perangkap Tubuh, Selain Sasana, Ketakutan yang Mengejar, Hidup Ketiga, Melawan, Melepas Belenggu, dan Jerit Sunyi. Semantara sisanya berisi bab dan sub bab yang menarasikan Jaka Wani sebagai pencerita. Melihat kedua tokoh memiliki jumlah bab dan sub bab yang berbeda di mana tokoh Sasana lebih banyak, peneliti berkesimpulan bahwa tokoh Sasana dalm sudut pandang ini merupakan ―aku‖ tokoh utama dan Jaka Wani sebagai ―aku‖ tokoh tambahan. Adapun kutipan yang menunjukkan kedua tokoh tersebut menggunakan sudut pandang persona pertama ―aku‖ masingmasing terdapat pada kutipan berikut ini: Sejak tadi pagi aku menghitung berapa boring yang ikut goyang di depan panggung. Ya gagal terus. Banyak sekali. Ratusan orang. Semua ikut menyanyi, ikut bergoyang sepertiku. Semua memujaku semuanya senang padaku. Aku benar-benar menjadi bintang, walau baru untuk panggung tujuh belasan.195 Goyanganku kini adalah Sasa dan Sasana yang tak malu menampakkan diri. Goyanganku menyingkap semua selubung yang membatasiku. Goyanganku adalah perayaan atas setiap titik tubuhku.196
194
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.VII. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 46. 196 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 233. 195
99
Berdasarkan dua kutipan di atas dapat dilihat bahwa sudut pandang persona ―aku‖ tokoh utama dapat diidentifikasikan melalui penggunaan kata ―aku‖ pada tokoh utama Sasana. Melalui dua peristiwa di atas, menyoal pengalamannya manggung di panggung tujuh belasan dan membahas goyangan yang melekat pada dirinya menunjukkan pada pembaca bahwa tokoh utama tengah bercerita pada pembaca tentang apa yang dialami dan dipikirakannya. Pun dengan tokoh Jaka Wani berikut ini: Ya beginilah yang namanya nasib. Maunya apa, jadinya apa. Kalau mau mengikuti yang kumaui, ya pasti aku memilih ngamen saja. Bebas, hati selalu senang, tidak diatur-atur orang. Tapi mau bagaimana lagi kalau nasibku sekarang malah berada di tempat ini. Bukannya memegang gitar, ketipung, atau kecrekan, eee… malah mengusap-usap kaca untuk dijadikan layar televisi.197 Dari kutipan di atas, cerita yang dituturkan Jaka Wani sebagai tokoh yang bersudut pandang persona pertama ―aku‖ dapat diidentifikasi melalui penggunaan kata aku yang menceritakan apa yang dirasanya sebagai penutur. 8. Gaya Bahasa Dalam novel Pasung Jiwa, pengarang menggunakan beberapa gaya bahasa, seperti: 1.
Penggunaan bahasa Jawa dalam dialog antara Cak Man dan Cak Jek ketika melihat Sasana didandani menjadi Sasa yang terjadi di warung Cak Man yang memang berada di Malang, Jawa Timur. Berikut petikannya: ―Sas… Sasana… Iki tenanan awakmu, Sas?” Cak Man yang pertama bertanya. Aku tersenyum, sengaja menggoda. ―Sas… Sas… Iki Sasa, Cak. Sasa!”seru Cak Jek. ―Jancuk… edan kowe kabeh!” kata Cak Man sambil tertawa.
197
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 159.
100
―Pantes dandananmu, Sas… eh, Sa,” kata salah satu pengunjung warung yang sudah karab dengan kami.198 Selain kutipan di atas, penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa percakapan hanya terjadi pada latar tempat di Jawa Timur saja, seperti ketika Cak Jek dan Sasa terlibat obrolan bersama Marjinal di warung kopi di dekat kampus Sasana berkuliah. Berikutnya: ―Yang penting buat kami bisa tetap makan tiap hari, terus hati senang terus. Gak ono urusan karo negoro, gak ono urusan karo politikpolitikan,” jawab Cak Jek. ―Sampeyan mungkin memang tidak ada urusan sama negara. Tapi negara punya urusan sama sampeyan.” Meski cukup banyak bahasa Jawa yang digunakan dalam dialog, pengarang memberikan artinya pada catata kaki sehingga pembaca dengan mudah memahami apa maksud dari bahasa Jawa yang diucapkan. 2.
Penggunaan majas Dalam novel ini, pengarang juga menggunakan beberapa majas,
seperti berikut: a. Majas personifikasi Majas personifikasi dalam novel ini terdapat pada kutipan berikut: Atau mungkin aku akan mengakhiri tubuhku, meninggalkan semuanya, lari sejauh-jauhnya. Lari meninggalkan tubuhku, meninggalkan tembok-tembok yang mengungkungku, meninggalkan hidupku.199 Kutipan di atas menjelaskan tentang kepasrahan Sasana yang dia ucapkan ketika dirinya bertemu Jaka Wani yang mengacaukan konsernya di Malang. Karena merasa sudah berkali-kali merasa dirinya selalu dilarang untuk bernyanyi, Sasana merasa putus asa dengan mengatakan akan mengakhiri
198 199
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 57 H. 10
101
hidupnya, merobohkan tembok yang mengkungkunya. Tembok merupakan benta mati yang dianalogikan Sasana sebagai benda yang mengurungnya. Ketertungkungan yang dirasakan seperti tembok besar yang mengurungnya yang menunjukkan seolah-olah tembok benda hidup. 9. Amanat Berdasarkan isi novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari banyak pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, khususnya pesan moral tentang sikap pantang menyerah dalam mengaktualisasikan diri pada apa yang diyakini sebagai cita-cita. Beberapa amanat yang bisa diambil dari novel Pasung Jiwa adalah: Pertama, manusia harus memiliki jiwa optimisme dalam dirinya ketika memperjuangkan cita-citanya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut ini: Akan kusambung lagi keinginan-keinginan yang sempat terhenti. Mau aku wujudkan mimpi Cak Jek agar kami bisa jadi seniman profesional. Profesional! Cak Jek… Cak Jek… di mana pun kamu sekarang, apa pun yang terjadi padamu sekarang, lihatlah Sasa di sini yang akan menghidupkan lagi semua yang kamu inginkan.200 Kedua, dalam novel ini, pembaca juga diajarkan bahwa meskipun setiap orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, mereka tak boleh begitu saja memaksakan kehendaknya jika sang anak tak suka. Hal itu akan membuat sang anak merasa kebebasannya terkungkung, seperti pada kutipan di bawah ini: Memainkan piano tak sekadar memainkan alat yang bisa dilakukan siapa saja. Selama ini aku memang tak suka. Tapi aku bisa melakukannya karena aku ini menunjukkan aku bisa. Karena aku ingin membuat Ayah dan Ibu bahagai. Tapi sekarang… rasanya aku tak punya lagi keinginan apa-apa. Jari-jariku kaku setiap kali menyentuh tuts-tuts itu.201
200
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 229. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 23.
201201
102
Selain itu, pemaksaan orangtua agar anaknya bersekolah di tempat yang mereka inginkan belum tentu baik bagi sang anak. Hal ini terlihat pada kutipan berikut ini: Pada hari kepulanganku itu, Ayah memberi kabar terbaru. ―Sasana pindah sekolah saja ya. Yang aman, yang tidak ada berandalannya,‖ katanya. Tentu saja aku lega dan senang. Inilah yang dari dulu aku inginkan. Tapi aku heran, kenapa Ayah yang paling ingin aku masuk sekolah khusus laki-laki itu justru mengambil keputusan seperti ini.202 Ketiga, pembaca diajak untuk tidak menghakimi antar sesama manusia, sekalipun mereka berbeda, bukan berarti boleh memandang rendah apalagi melakukan kekerasan pada manusia lainnya, seperti pada kutipan berikut ini: ―Jadi apa kesimpulanmu setelah meneliti kami?‖ tanyaku. Masita sesaat diam. Lalu dia menjawab, ―Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda.203 Keempat, dalam novel ini, pembaca juga diperlihatkan bagaimana kasih ibu selalu ada sepanjang masa bagi anaknya, sekalipun kenyataan sulit diterimanya, seperti yang sudah pernah dianalisa di tokoh penokohan pada sosok Ibu, tapi peneliti tegaskan lagi seperti pada kutipan berikut ini: Dia selalu menemaniku setiap aku ada pementasan. Menyewa rumah sederhana, sekitar lima kilometer jauhnya dari rumah kami yang sebenarnya. Ibu memilih menemaniku, dan berpisah dari Ayah dan Melati. Bukan aku yang memintanya. Tapi Ibu bersikeras melakukannya bahkan meskipun ia harus bermusuhan dengan Ayah hingga saat ini.204
202
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 42. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 146. 204 Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h. 277-278. 203
103
Secara keseluruhan, pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui novel ini adalah tak ada manusia yang tak memiliki masa lalu, baik itu masa lalu yang buruk atau indah. Karenanya, manusia harus punya sikap optimistis dalam mewujudkan cita-citanya, sekalipun masa lalunya buruk. Keterbatasan atau kungkungan yang berasal dari lingkungan sekitar jadikan
sebagai
pecutan
untuk
tetap
melangkah
dan
berjuang
mengaktualisasikan diri.
2. Unsur Ekstrinsik Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Perjuangan dan Pencapaian Tokoh Utama Sasana dalam Teori Kebutuhan Bertingkat Abraham Maslow Masalah merupakan sebuah keniscayaan yang akan ditemui manusia dalam hidup dan berkehidupan. Setiap masalah yang dialami manusia beragam. Karenanya, penyelesaian yang diambil manusia untuk keluar dari masalah itupun beda-beda. Ada yang pasrah begitu saja, ada juga yang merasa perlu untuk bangkit dan meraih apa yang ingin dicapainya. Proses dalam mencapai itu semua tentu tak mudah, ibarat sebuah pohon, banyak hal yang harus dipenuhi agar pohon itu bisa mencapai pucuk tertinggi. Hal ini juga yang menjadi latar belakang peneliti untuk menganalisis tokoh Sasana menggunakan teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow dilihat dari penderitaan dan perjuangannya dalam mengaktualisasikan dirinya. a) Gambaran Pencapaian Kebutuhan Fisiologis Seperti diketahui, kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang paling dasar untuk dipenuhi manusia. Kebutuhan itu antara lain kebutuhan sandang, pangan, papan, dan oksigen demi keberlangsungan hidup manusia. Tahapan kebutuhan fisiologis pada tokoh Sasana, peneliti bagi menjadi dua. Pertama, ketika Sasana mulai menjadi Sasa atau transgender. Kedua, ketika ia harus berjuang sendiri tanpa Jaka Wani, sebut saja dengan ―Hidup Ketiga‖. Hal ini
104
karena pada kedua peristiwa itulah Sasana terlihat berjuang memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Berikut analisisnya: 1. Kehidupan awal sebagai Sasa Sasana Selama tinggal bersama orangtuanya, tokoh Sasa hidup berkecukupan. Pun setelah dia kuliah di Malang, dia masih menerima uang bulanan dari orangtuanya yang juga cukup untuk memenuhi biayanya. Tetapi, pertemuannya dengan tokoh Jaka Wani, membuat tokoh Sasa menghidupi dirinya sendiri dari usahanya bernyanyi sebagai Sasa untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya seperti pada kutipan berikut ini: Awalnya memang hanya makanan gratis itu untung yang kami dapatkan. Tapi kemudian, aku lupa bagaimana mulanya, kami selalu pulang membawa uang. Entah berapa jumlahnya. Kadang hanya cukup untuk membeli sebatang rokok, kadang bisa untuk makan tiga kali, kadang bahkan cukup untuk makan sampai tiga hari.205 Setahun ini aku hidup dari satu panggung kecil ke panggung kecil lainnya. Kawinan, sunatan, segala jenis hajatan. Kadang kalau kami sudah kehabisan uang dan tak ada satu pun yang mengundang, kami main saja di jalanan. Orang-orang satu per satu berkumpul lalu aku berkeliling mengedarkan kantong, minta saweran. Dari uang itu kami bisa makan.206 Berdasarkan kutipan pertama, tokoh Sasa melakukan pemenuhan kebutuhannya dengan cara mengamen. Hasil yang didapatnya dari bernyanyi itu, berupa saweran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan makannya. Karena makanan merupakan sumber gizi yang vital bagi kehidupan manusia di bumi, tokoh Sasa pun berusaha untuk terus memenuhi kebutuhan pangannya itu seperti terlihat pada kutipan kedua. Kalimat “Kadang kalau kami sudah kehabisan uang dan tak ada satu pun yang mengundang, kami main saja di jalanan.” yang diucapkan tokoh Sasana menunjukkan adanya usaha yang lebih ketika pemenuhan kebutuhan pangannya tidak stabil. Hal ini menunjukkan manusia senantiasa mencari cara untuk bisa mencukupi kebutuhan pangannya. 205 206
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.49. Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.47.
105
Selain pemenuhan kebutuhan makanan, pemenuhan kebutuhan fisiologis yang lainnya juga dilakukan tokoh Sasa saat bernyanyi seperti pada kutipan berikut ini: Goyanganku ini tentu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan goyangan-goyangan mereka yang tubuhnya semok, pantatnya menyembul kencang, dan dada yang mentul-mentul. Apalagi aku cuma pakai baju gembel sepert ini. Kaos oblong, celana pendek. Lha memang cuma baju itu yang aku punya.207 Dari kutipan di atas memperlihatkan bahwa awal mula mereka menjajaki dunia ngamen itu belum memiliki konsep yang matang. Tak ada kostum khusus untuk menyanyi. Akan tetapi hari-hari selanjutnya mereka mulai memikirkan konsep ngamen mereka yang profesional. Oleh karenanya mereka membeli beberapa potongan pakaian untuk memenuhi kebutuhan sandang Sasanadalam bernyanyi. Mereka juga menyewa sebuah kos untuk ditinggali berdua agar bisa lebih fokus menjadi profesional. Pada suatu siang, Cak Jek menyuruhku pindah kos. Katanya kosku tak lagi layak. Kosku itu hanya untuk mahasiswa. Sementara aku… aku bukan lagi mahasiswa. Aku penghibur. Aku biduan.208 Sambil terus tersenyum, Cak Jek mengeluarkan satu per satu isi plastik itu: sepatu merah dengan hak yang tinggi dan lancip, rok-rok mini, dan blus blus seksi warna-warni.209 Dari kedua kutipan di atas menggambarkan upaya tokoh Jaka Wani untuk memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mulai dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Pada titik ini, peneliti menganggap mereka, khususnya tokoh Sasa telah memenuhi kebutuhan fisiologisnya karena ketika malam pertama Sasa muncul dan bernyanyi dengan kostum yang dibelikan Jaka Wani, mereka mendapatkan uang yang cukup banyak seperti kutipan di bawah ini. Di tengah penampilan, aku edarkan tempat saweran. Seperti biasa, orang-orang memasukkan uang dengan sukarela. Yang istimewa 207
Okky Madasari, Pasung Jiwa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2016), h.49. H. 52 209 H. 50 208
106
adalah uang yang kami dapat malam itu jauh lebih banyak dibanding malam-malam sebelumnya.210 Selanjutnya, perubahan penampilan siginifikan yang dilakukan Sasa oleh Jaka Wani makin mendatangkan uang karena mereka mulai dikenal di Malang. Oleh karena itu, menurut peneliti Sasana sudah memenuhi atau mencapai kebutuhan-kebutuhan fisiologisnya karena uang yang mereka hasilkan bisa memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, membeli kostum untuk bernyanyi, dan berbagai keperluan lainnya. 2. Pasca kabur dari rumah sakit jiwa dan kabur ke Malang Berasarkan alur novel ini, beberapa tahun berikutnya tokoh Sasa mengalami kesulitan yang sama di mana ia harus memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papannya, bahkan kali ini dia harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan fisiologis seperti kutipan berikut ini: Yang pertama harus kulakukan adalah membebaskan tubuhku. Aku mengendap-endap di halaman belakang rumah orang dan mengambil baju perempuan yang ada di jemuran.211 Dua minggu pertama di kota ini aku hidup di jalanan. Aku tak punya uang buat sewa kamar, walaupun di desa-desa yang mblusuk sekalipun. […] Kadang di masjid, kadang di bawah pohon di taman kota, kadang aku juga masuk ke kampusku dulu mencari celah yang sepi dan bisa dipakai untuk tidur bareng sejenak.212 Berdasarkan kutipan di atas, bisa dilihat tokoh Sasa mencoba memenuhi kebutuhan fisiologisnya dengan mencuri baju dan mencari tempat untuk sekadar tidur. Hal ini menunjukkan ternyata kebutuhan fisiologis sebagai kebutuhan pertama akan selalu menjadi yang pertama dicari manusia, juga secara bersamaan berdampingan dengan kebutuhan lainnya. Pada kasus ini, memperlihatkan bahwa pemenuhan akan sandang, pangan, dan papan akan selalu ada seiring dengan pemenuhan kebutuhan lainnya sebab kebutuhan
210
H. 58 H. 228 212 H. 229 211
107
tingkat pertama ini merupakan kebutuhan vital untuk keberlangsungan hidup manusia. b) Gambaran Pencapaiana Kebutuhan Rasa Aman Kebutuhan akan rasa aman adalah kondisi di mana seseorang merasa dirinya terancam dan perlu mencari tempat untuk berlindung atau seseorang yang bisa membuat dirinya aman dari rasa ketakutakan dan kecemasan. Dalam kasus tokoh Sasa, kebutuhan tingkat kedua ini berangkat dari beberapa peristiwa yang membuatnya harus mengalami penghinaan, kekerasan, bahkan pelecahan seksual. Rangkaian kejadian itupun membuatnya harus mencari dan memenuhi kebutuhan akan rasa aman bagi dirinya. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang tak mengenakan yang membuat dirinya ketakutan dan mencari tempat untuk berlindung. Peristiwa-peristiwa tersebut tergambar dari kutipan berikut. 1) Ketika suatu malam ia dan Jaka Wani ngamen, ada pria yang menyentuh dirinya. Aku belum selesai menyanyikan satu lagu saat salah seorang lelaki itu meremas tonjolan dadaku. Ia melakukannya sambil tertawa. […] Aku punya harga diri. Kalau hanya memandang dengan tatapan meremehkan atau menertawakan di kejauhan aku tak pernah keberatan. Tapi kalau sudah menyentuh tubuhku tanpa izinku… cih! Makan ini bogemku.213 Berdasarkan kutipan di atas, tindakan yang diambil tokoh Sasa pada laki-laki tersebut adalah bentuk rasa aman yang dibangun dirinya. Dengan menunjukkan keperkasaannya, yang ditandai dengan memukul dan menendang laki-laki tersebut, adalah upayanya melindungi harga dirinya. 2) Dalam benaknya, tokoh Sasa sempat menyimpan ketidakpercayaan dirinya menjadi transgender seperti pada kutipan berikut. Di hadapan orang-orang ini aku malu, merasa telah melakukan sesuatu yang tak pantas. Padahal tak ada hal buruk yang mereka lakukan 213213
H. 61-62
108
padaku. […] Aku bisa membedakan tatapan yang menghina atau gerak tubuh yang mengundang masalah. Orang-orang ini sama sekali tak bermaksud seperti itu. Senyum, tawa, cara mereka membicarakanku itu hanya semata karena kau menarik bagi mereka.214 Kalau pada peristiwa kedua ini, tokoh Sasa merasa dirinya tak seharusnya berpenampilan seperti perempuan dan menjadi biduan panggung. Menurut peneliti, keraguan tersebut bisa dipahami karena masyarakat Indonesia umumnya, masih menganggap transgender sebagai suatu fenomena yang menyalahi aturan agama dan norma-norma keindonesiaan. Apalagi, Indonesia memang hanya mengakui dua jenis kelamin di KTP atau Kartu Tanda Penduduk. Keresahan tokoh Sasa itu coba ditanggulangi dengan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan dalam dirinya bahwa tidak ada yang salah dari penampilannya dan keputusannya untuk menjadi biduan. Menurut peneliti tindakan Sasana tersebut sebagai upayanya memenuhi kebutuhan akan rasa aman dari keraguan-keraguan dirinya juga pendapat orang lain tentang transgender. 3) Mencari rasa aman pasca dikurung oleh tentara Diceritakan sebelumnya bahwa tokoh Sasa melakukan demonstrasi menuntut kejelasan nasib Marsini, anak Cak Man. Kejadian ini berujung pada ditangkapinya mereka oleh tentara, termasuk tokoh Sasa yang kemudian dikurung di sebuah sel di Kantor Koramil. Di situlah ia mengalami banyak penyiksaan yang membuatnya trauma dan kehilangan harga dirinya sebagai manusia. Ia pun mencari perlindungan diri. Hal pertama yang dilakukan adalah pulang ke Jakarta. Aku lari. Lari sekencang-kencangnya. Aku ingin segera menjauh dari tempat itu. Sedikit pun aku tak ingin menoleh ke belakang. Aku terus berlari. Terus lari. 215
214 215
H. 77 100
109
Segara aku cari kereta yang menuju Jakarta. Aku ingin pergi jauh dari kota ini. Aku ingin segera menjauh dari semua yang kualami. Dan satu-satunya yang aku ingat hanyalah pulang: ke Jakarta. 216 Rasa aman yang dicari Sasana dengan cara pulang ke rumah orangtuanya menurut peniliti menunjukkan bahwa rupanya ia masih menganggap rumah adalah tempatnya berpulang, tempatnya kembali bersama orangtuanya, dan berharap di sana ia bisa merasa aman bersama orang-orang yang dikasihinya: keluarga. Kutipan berikut, menujukkan bagaimana cara tokoh Sasa untuk memenuhi kebutuhan akan rasa amannya: Aku meringkuk di sudut paling gelap dari tubuh tinggi-besar ini. Mengubah suara, mengubah rambut dan muka. Mengubah semuanya. Tapi tidak jiwaku. Jiwa ini tetap utuh dan sama. Hanya disembunyikan rapat agar tak ada seorang pun melihat.217 Perubahan penampilan yang dilakukan tokoh Sasa agar terlihat menjadi tokoh Sasana sebagaimana yang dikenal orangtuanya adalah upaya dirinya mencari perlindungan. Ia bersembunyi di balik penampilan tokoh Sasana; potret dirinya sebagai laki-laki. Kenyataanya, di rumah ia masih saja dihantui perasaan kesakitan atas tindakan para TNI. Aku terjebak dalam frustasi berkepanjangan. Tiap malam aku tak bisa tidur. Sementara aku hanya bisa tetap berada di dalam kamar, mengembara dalam kegelisahan dan bermacam ingatan.218 Pada titik ini, Sasana mendapatkan rasa aman. Keluarganya menolongnya seperti pada kutipan berikut. Ibuku yang membuatku tahan melalui setiap detik ingatanku. Ia merawatku dengan sabar. Membawakan makanan untukku sehari tiga kali, menungguiku, menanyakan apa yang kurasakan.219 Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Sasa mengira bisa mendapatkan rasa aman dan perlindungan ketika ia pulang ke rumah. Meski 216
100 H. 101 218 H. 102 219 H. 105 217
110
masih dihantui ingatan buruknya, keluarg masih memberikan perhatian yang tulus kepadanya. Pada titik ini, peneliti menganggap tokoh Sasa telah berusaha memenuhi kebutuhan akan rasa aman. c) Gambaran Pencapaian Kebutuhan Rasa Cinta dan Memiliki Cinta merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Dengan cinta, seseorang akan merasa dirinya hidup, memiliki emosional yang baik terhadap lingkungan sekitar. Cinta juga juga bisa membuat seseorang merasa diinginkan, menimbulkan semangat untuk menjadi lebih baik. Cinta bisa dimanifestasikan antar jenis kelamin, hubungan anak dan orangtua, juga terhadap komunitas atau persamaan nasib dan latar belakang. Kaitannya dengan tokoh Sasa dalam pemenuhan kebutuhan cinta dan rasa memiliki tergambar dari tokoh Sasana yang peneliti batasi latar waktunya, yakni pasca Sasana menjadi Sasa di Malang untuk pertama kalinya. Pulang Sasana ke rumah orangtuanya pasca ditahan oleh tentara, selain untuk mencari rasa aman, ia juga memenuhi kebutuhan yang ketiga, yakni cinta dan rasa memiliki dari keluarganya. Penerimaan keluarga yang hangat pada tokoh Sasa usai kabur dari Malang membuatnya menyembunyikan apa yang terjadi padanya sebagai bentuk rasa ingin melukai perasaan orangtuanya. Kamarku tetap utuh seperti dulu. Foto-fotoku masih terpasang di dinding ruang keluarga dan ruang tamu. Piala-piala yang kukumpulkan sejak kecil masih berjajar di atas rak buku. Apalagi yang kurasakan kalau bukan malu?220 Rasa malu yang timbul dari dirinya karena ketulusan orangtuanya selama ia menghilang dua tahun belakangan ini membuat Sasana mengubur cerita soal apa yang dilakukannya di Malang. Menurut peneliti, perlakuan keluarganya menyambut kepulangannya membuat ia merasa masih dicintai mereka. Di sinilah, tampak bagaimana tokoh Sasa mencoba memenuhi kebutuhan akan rasa dicintai dan dimiliki ketika kembali pada orangtuanya, berikut kutipannya: 220
H. 102
111
Biarlah semuanya menjadi rahasiaku sendiri. Biarlah mereka membangun dugaan apa yang dua tahun aku lakukan. Mungkin mereka pikir aku mengembara. […] Mereka bisa membangun apa yang cerita sesuai yang mereka inginkan. Yang penting sekarang aku pulang. Biarlah mereka hanya tahu aku yang seperti ini.221 Sikap tokoh Sasa yang menyembunyikan apa yang terjadi pada dirinya di Jawa Timur menurut peneliti sebagai bentuk saling mengasihi dari dirinya kepada orangtuanya karena masih menyimpan rapi barang-barangnya selama ini di rumah yang bisa diartikan bahwa mereka masih peduli dengan anak pertamanya itu. Sasana mencoba memenuhi kebutuhan akan saling mencintai antara dirinya dan keluarga dan tak ingin mengecewakan mereka. Pada interaksinya dengan Ibu dan Melati pun ditemui sikap yang serupa seperti pada kutipan berikut: ―Kamu harus segera melangkah lagi, Sas,‖ kata Ibu. Aku belum mengiyakan. Tapi aku sudah punya jawabannya. Aku akan menerima tawaran Ibu itu.222 Menurut peneliti sikap pro aktif yang ditujukan tokoh Sasa pada saran Ibunya bukannya hanya membuktikan bahwa ia menginginkan kehidupan yang baru dan bisa terbebas dari ingatan buruknya tapi juga seorang kasih sayang seorang ibu tak akan pernah putus pada anaknya. Selain pemenuhan kebutuhan rasa cinta dan memiliki pada keluarganya, sebenarnya, kebutuhan rasa mencintai dan memiliki sendiri juga penting. Hal ini juga dilakukan Sasana ketika dirinya meyakinkan bahwa Sasana dan Sasa adalah dirinya. Berikut kutipannya: Aku si Sasa. Saudara kembara Sasana. Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang saling merindukan. Menjadi dua bukanlah kesalahan. Menjadi satu bukanlah keharusan. Sasana memang berpenis, tapi Sasa punya lubang dan putting. Sasa menyayi dan bergoyang. Sasana bersiul dan menabuh gendang. Kami satu, tapi kami dua. Kami dua, tapi kami satu.223
221
H. 106 H. 107 223 H. 232-233 222
112
Dari kutipan di atas, menunjukan bahwa tokoh Sasana mencoba memenuhi kebutuhan yang lain dengan mencintai dirinya sendiri, baik itu sebagai Sasana dan Sasa. Kutipan di atas diceritakan Sasana ketika dia kabur dari rumah sakit jiwa ke Malang. Di saat yang bersamaan, menurut latar tempat, terjadi pada saat Sasana juga tengah memenuhi kebutuhan fisiologisnya seperti yang sudah dibahas pada analisis tokoh dan penokohan Sasana yang menunjukkan bahwa di saat dia memenuhi kebutuhan rasa cinta dan memiliki atas dirinya, di saat yang bersamaan dia juga sedang memenuhi kebutuhan bertingkat lainnya. d) Gambaran Pencapaian Kebutuhan Penghargaan Penghargaan atau apresiasi menjadi salah satu faktor penting dalam hidup manusia. Sebab dengan mendapatkan penghargaan, seseorang akan merasa dirinya berarti dan termotivasi. Hal ini juga yang terjadi pada tokoh utama Sasana. Dalam novel ini ditemukan beberapa bentuk penghargaan yang coba dipenuhi oleh tokoh Sasana, baik itu penghargaan yang datang dari dirinya maupun penghargaan dari orang lain di sekitarnya. Berikut analisisnya: Perkenalan kedua Sasana dengan musik dangdut terjadi pada tahun 1993 saat dia pertama kali bertemu dengan Jaka Wani atau Cak Jek di Malang, masa di mana Sasana juga tengah memenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Pertemuan itu membuat Sasana semakin mencintai dangdut dengan tampil di hadapan banyak orang. Dari penampilan-penampilannya ini, Sasana terlihat tengah memenuhi kebutuhan akan rasa penghargaan dari orang lain seperti kutipan berikut ini: Akhirnya, dari sekadar ikut-ikutan, semuanya ikut nongkrong dari pagi. Mereka juga ikut bernyanyi dan bergoyang. Aku semakin bergoyang. Begini to rasanya menyanyi sambil goyang di tengah banyak orang. Begini to rasanya jadi pusat perhatian.224
224
h. 47
113
Kutipan di atas menunjukkan apresiasi diperoleh Sasana dari orangorang yang melihat aksinya bernyanyi dan bergoyang. Ternyata, reaksi mereka membuat Sasana semakin termotivasi seperti kutipan berikut: Ah aku ingin membuat orang-orang itu semakin terhibur dan tergilagila. Goyanganku semakin lepas.225 Dalam memenuhi kebutuhan akan apresiasi dari luar, Sasana mendikte reaksi orang-orang di sekitar yang melihat aksinya. Kadang ia juga merasa tak percaya diri, kadang juga menyadari kalau dirinya sebenarnya punya potensi dan layak untuk diapresiasi seperti pada kutipan di bawah ini: Di setiap kerumuman orang, Cak Jek berhenti. Memainkan gitarnya, lalu aku menyanyi sambil bergoyang. Orang-orang tertawa. Menertawakan aku. Aku tak peduli. Semakin ditertawakan aku semakin membuat mereka penasaran. Tapi siapa yang yang tak mengakui suaraku bagus? Tak sedikit yang akhirnya ikut menyanyi. 226 Capaian kebutuhan penghargaan dari luar yang menjadi apresiasi paling berarti bagi Sasana adalah ketika tampil di depan ibunya sendiri sebagai Sasa. Berikut kutipannya: Untuk pertama kalinya aku mempertontonkan goyanganku di depan Ibu. Goyang Gandrung yang membuat semua orang terbakar dan bergelora. Ibu awalnya terkejut. Tapi lama-lama dia hanyut. Sayang dia masih setengah-setengah. Sekuat tenaga menjaga dirinya agar tak lebur dalam goyanganku. Ibu mau menonton goyangaku hingga selesai saja sudah cukup bagiku.227 Berdasarkan kutipan di atas, menurut peneliti, adalah puncak dari pemenuhan kebutuhan penghargaan bagi Sasana karena pengakuan di keluarga penting bagi dirinya untuk tetap menjadi Sasa yang bernyanyi dan bergoyang. Keluarga, terutama ibu adalah kekuatan terbesarnya. e) Gambaran Pencapaian Kebutuhan Aktualisasi Diri
225
h. 48 H. 59 227 H. 286 226
114
Kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan kebutuhan paling tinggi dari rangkaian tahapan teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow. Kebutuhan ini lazimnya bisa terlaksana setelah empat pemenuhan kebutuhan terdahulunya sudah terpenuhi. Pada kondisi ini, Sasana tak lagi coba untuk memenuhi kebutuhan seperti fisiologis, rasa aman, rasa cinta dan memiliki, serta rasa penghargaan dari luar, sebab meski tak lagi tinggal di rumah orangtuanya, Sasana tinggal bersama Ibunya di sebuah rumah kontrakan, mereka bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya yang berasal dari uang Ibunya yang memiliki mobil. Ketika Sasana dan Ibunya tinggal bersama pun, kebutuhan akan rasa aman sudah terpenuhi sebab tak ada insiden yang berarti pasca rezim Orba lengser pada Sasana. Sementara rasa cinta dan memiliki terpenuhi seiring mereka hidup bersama seperti pada kutipan di bawah ini: Setelah beberapa minggu hidup bersama, aku dan Ibu sudah seperti dua sahabat yang saling percaya dan mau membuka rahasia. Dia bukan lagi Ibu yang menuntut kesempurnaan dari anak-anaknya, yang kecewa dan marah ketika anaknya tak memenuhi harapannya. 228 Jadi, bisa dikatakan, keempat unsur kebutuhan bertingkat sudah terpenuhi ketika Sasana akan mengaktualisasikan dirinya bersama Ibunya. Akan tetapi, pada novel Pasung Jiwa, aktualisasi diri yang dilakukan Sasana terlihat sebenarnya sudah dia lakukan sejak dia menyukai dangdut dan berusaha untuk tampil di depan banyak orang. Dari banyaknya panggung yang sudah dia buat, mulai dari panggung di kamarnya sendiri, panggung 17-an di tahun 1993, panggung ketika di rumah sakit jiwa, hingga panggung di pasar sebelum dihajar preman pasar, hingga panggung ketika memasuki tahun 1998 di mana dia bertemu mahasiswa yang akan demo menuntut pemerintahan orde baru, panggung ketika diliput medialah puncak dari aktualisasi dirinya sebagai penyanyi dangdut. Berikut kutipannya:
228
281
115
Wajahku muncul di surat kabar. Memang baru surat kabar kelas bawah. Tapi Ibu bilang, ―Justru Koran ini yang dibaca banyak orang.‖ Judulnya berbunyi ―Goyang Panas sang Biduan‖. 229 Ibu menawarkan hiburan pengisi acara pada koneksi-koneksinya. Ibu merekam goyangku dan mengirimkannya ke berbagai media massa. Goyang Gandrung pelan-pelan mulai dikenal di Jakarta.230 Pada kutipan pertama, pencapaian aktualisasi diri Sasana sebagai biduan dangdut terlihat ketika dia mulai dikenal oleh media. Media massa memang menjadi salah satu wadah yang membuat orang terkenal dengan cepat, tak peduli yang ditampilkan adalah sebuah prestasi atau skandal. Dan tokoh Ibu paham jika anaknya ingin terkenal sebagai penyanyi dangdut yang memiliki goyangan khasnya harus di-blow up di media. Dan itulah yang dilakukan tokoh Ibu yang kini bisa menerima keinginan anaknya sehingga menurut peneliti, pada titik inilah aktualisasi diri tertinggi Sasana sebagai Sasa terwujud dengan bisa tampil di media masa, tak ada larangan manggung, dan didukung penuh oleh Ibunya. Sejak dukungan penuh dari Ibunya, aktualisasi diri Sasana sebagai biduan dangdut pun terlihat pada banyaknya tawaran tampil untuk menghibur di berbagai kota seperti pada kutipan berikut: Sejak gambarku muncul di koran itu, makin banyak yang mengundangku untuk mengisi acara mereka. Tidak hanya di Jakarta, aku juga diundang ke luar kota. Purwokerto, Jogja, Surabaya, dan Malang. Itu kota yang segera kudatangi dalam waktu dekat ini. Ada hiburan politik, pesta pernikahan, hingga acara dangdut komersial. Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana media memiliki peran yang besar pada eksistensi seseorang, termasuk Sasana. Jika dilihat dari alasan penyelenggara acara mengundang Sasana untuk tampil terlihat bagaimana penerimaan masyarakat pada Sasa sebagai transgender untuk manggung dan menghibur mereka. Hal ini menunjukkan dunia hiburan memberi ruang bagi orang-orang seperti Sasana untuk mengekspresikan dirinya.
229 230
288 287
116
3. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra Berdasarkan kajian yang dilakukan terhadap novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari, implikasi yang bisa terapkan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah kompetensi dalam menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel. Kegiatan ini dapat melatih aspek keterampilan membaca, mendengarkan, dan berbicara peserta didik. Seperti yang sudah disebutkan pada tujuan pembelajaran sastra sebelumnya, dengan membahas karya sastra secara menyeluruh, banyak nilai yang didapat peserta didik, selain kemampuan mengemukakan pendapat di depan kelas, dan meningkatkan kemampuan berbahasa, kegiatan menganalisis karya sastra juga bisa mengasah kepekaan dalam diri peserta didik dalam memahami cerita dan karakter tokoh dalam novel. Pada novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari, karakter Sasana disajikan sebagai tokoh yang ceritanya menjadi pusat perhatian pembaca. Berbagai karakter tokoh yang disajikan pengarang bisa mnejadi pelajaran bagi peserta didik untuk mengetahui mengapa setiap tokoh yang muncul memiliki karakter berbeda-beda. Apa yang menyebabkan setiap tokoh dalam perjalanan ceritanya mengalami perubahan karakter. Dan bagaimana karakter-karakter tokoh yang ada di dalam novel ini bisa diamati para peserta didik sebagai refleksi dari karakter-karakter manusia di dunia nyata. Kegigihan dan perjuangan tokoh dalam novel ini dalam mewujudkan aktualisasi dirinya bisa menjadi nilai semangat dan motivasi yang diambil peserta didik dalam kehidupannya. Selain itu, nilai-nilai tenggang rasa dan toleransi antar sesama makhluk hidup di dalam novel ini bisa menjadi implikasi yang bagus kepada peserta didik dalam menghadapi perbedaan yang ada di lingkungan sekitarnya.
BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari dan impilikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam novel Pasung Jiwa, tokoh utama protagonis, Sasana merupakan anak yang pintar baik dari segi akademik dan non akademik seperti bermusik. Kehidupannya yang diulas dari sejak bayi hingga dewasa membuatnya memiliki beberapa karakter yang terbentuk dari berbagai peristiwa yang terjadi di dalam novel Pasung Jiwa ini. Secara garis besar, tiga kunci dalam pembentukan karakter tokoh utama Sasana di dalam novel ini adalah: pembatasan kreativitas yang dilakukan oleh orangtua pada dirinya; beberapa kali mengalami kekerasan dan pelecehan, dan kecintaanya pada musik dangdut. Ketiga faktor itu melatarbelakangi semangat Sasana untuk keluar dari belenggu keinginan orangtuanya dan ingatan masa lalunya yang menyakitkan dengan cara mengaktualisasikan diri menjadi Sasa, si biduan dangut. 2. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori kebutuhan bertingkat yang terdiri dari lima tahapan: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan rasa cinta dan memiliki, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Dari hasil analisis, peneliti menemukan Sasana memenuhi semua kebutuhan tersebut. Tapi, pada prosesnya, kebutuhan yang dipenuhi tidak runut seperti tingkatan piramida yang disebuat Maslow. Ada peristiwa di mana Sasana yang baru menjadi Sasa memenuhi kebutuhan makan, sandang, dan papan mereka. Tapi ada juga peristiwa di mana Sasana yang mencari kebutuhan rasa aman dan rasa cinta secara bersamaan, dan ada pula peristiwa di mana Sasa yang sudah pernah memenuhi kebutuhan
117
118
fisiologisnya, ternyata di peristiwa yang lain kembali memenuhi kebutuhan vital tersebut. 3. Bicara soal transgender, dalam penelitian ini ditemukan adanya sikap masyarakat yang menerima dan ada yang tidak bisa menerima keberadaan mereka. Reaksi yang beragam tersebut menunjukan bahwa keberadaan transgender di Indonesia masih perlu dikaji lagi dari segi konteks keindonesiaan. Maksudnya, seringkali pembahasan transgender terjebak pada penyamarataan atas penyimpangan orientasi seksual karena masuk dalam singakatan LBGT (Lesbian, Bisesksual, Gay, dan Transgender). Padahal, permasalahan dari transgender adalah identitas gender yang tidak sesuai dengan identitas gender awal. Pada novel ini, sebagai seorang transgender, sisi perempuan Sasana hanya pada penggunaan kostum yang lazim digunakan perempuan dan aktivitas menyanyinya sebagai biduan. Tokoh utama Sasana tidak memiliki ketertarikan untuk berganti kelamin. Dalam mengaktualisasikan diri di masyarakat, transgender mengalami diskrminasi. Sitgma sebelah mata, penganiyaian, sampai pelecehan yang dialami tokoh Sasana merupakan gambaran nyata kondisi yang terjadi pada transgender di dunia nyata. Sementara itu, penelitian ini bertujuan untuk mengedepankan aspek humanisme antara sesama manusia. Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa kegigihan Sasana untuk mengaktualisasikan diri sampai pada akhir cerita novel ini menjadi pembuktian bahwa transgender pun memiliki kemampuan yang bisa ditonjolkan dalam masyarakat Indonesia yang heteregon dengan mengedapankan bahwa setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan dirinya. 4. Dari penelitian ini, implikasi pembelajaran sastra yang bisa diambil adalah pada penelitian ini dihasilkan beberapa nilai-nilai yang bisa pelajari oleh siswa yakni: sikap jangan menghakimi orang lain hanya karena mereka berbeda. Pertanyaan mengapa mereka berbeda harus lebih dulu dicari tahu sebelum kita melakukan tindakan yang berujung pada kesemena-menaan. Dengan mengetahui alasan seseorang berbeda akan memunculkan sikap
119
saling menghargai antara sesama manuisa. Kedua, bahwa manusia, apapun kekurangan dan kelebihannya, dia adalah makhluk hidup yang berhak menentukan jalannya sendiri.
B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran agar: 1. Kepada institusi pendidikan, bullying bukan lagi hanya persoalan antara senior dan junior, tapi juga perbuatan melanggar hukum karena mengancam keselamatan orang lain. Karenanya, pihak sekolah diharapkan bisa lebih mengawasi segala aktivitas yang terjadi di sekolah, bukan hanya persoalan akademik dan non-akademik, tapi interaksi antar sesama peserta didik. 2. Kepada orangtua, meski memenuhi semua kebutuhan anak adalah sesuatu yang mulia, tapi menuntut kesempurnaan anak seperti yang diinginkan bisa membatasi kebebasan dan kreativitas anak. Perlu ditekankan komunikasi dua arah antara orangtua dan anak dalam mengeksplorasi hobi sang anak. 3. Pemerintah dan segenap kementerian terkait dapat membuka jalan bagi permasalahan yang terjadi pada transgender. Jika banyak laporan yang masuk tentang kekerasan yang terjadi pada mereka, pemerintah harus ikut mendampingi untuk memulihkan trauma mereka. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif juga bisa memberikan solusi bagi mereka untuk bisa tetap produktif seperti menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang berbeda. Karena transgender masih dianggap tabu di masayarakat, pemerintah harus bisa memberikan penjelasan mengapa mereka berbeda dan mengapa mereka juga perlu mendapatkan haknya di dunia, seperti hak politik, bekerja, dan penggunaan fasilitas umum. Jika pemerintah masih belum bisa menerima keberadaan transgender di Indonesia, pemerintah tetap bisa membiarkan mereka hidup dengan mengendapkan hak-hak hidup atas mereka di Indonesia dan melarang bentuk penganyiaan atau kekerasan pada mereka.
DAFTAR PUSTAKA
~\ndina,
Elga. "Budaya Kekerasan antar Anak di Sekolah Dasar". Info Singkat
Kesejahteraan Sosial: Kajian Singkat terhadap Isu-isu Terkini Vol. VI, Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informas (P3DI), Sekretariat lenderaI DPR RI, 2014. Aziez, Furqonul & Abdul Hasiln, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra. Jakarta: Indone3ia Tera, 2012. Goble, Frank. Mahzab Ketiga, Psikologi Humanistik Abaraham Maslow. Tt;rj. dari The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow oleh A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius, 1991. Hartini, Julia. "Emosi Dan Kecemasan Tokoh-tokoh dalam Novel Pasung Jiwa Kary£!. Okky Madasari (Kajian Psikoat!aIisisr', Universitas Penrlidikan Indonesia, Bandung, 2015. H&rtono, S.S. Budi. "Dasar-dasar Psikoanalisis Freudian", dalam Anggadewi Moesono (ed), Psikoanalisis dan Sastra. Depok, Pusat Penelitian Kenlasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial Peudekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga, 2009. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Umuffi, 2004, Cet. XIV. Koeswara, E. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT Ereseo Bandung, 1991. Kuswanti, Elviana Yuniar, "Konflik Batin Tokoh Utatna clalam Novel Pasung
Jiwa
Karya
Okky
Madasari:
Tinjauan
Psikologi
Sastra
dan
IInplementasinya sebagai Bahan Ajar Sa3tra di SMA", Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakatia, 20 i 4.
J:
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, ldetode, dan Teknik Penelttian Sastra. YogyaI:arL::i: Pustaka Pelajar, 2007. Minderop, Albertine. Metode .Kar:lkteristik Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Minderop, Albertine. Psikologi Sastra, Jakarta: Yayasan Pustaka Buku Obor Indonesia, 2010. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press, 2005. Riyanto CM, Armada. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Penerbit Kanisius: 2013. Schultz, Duane. Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian Sehat, Terj. dari Growth Pscychology: Models of the Healthy Personality oleh Yustinas. Yogyakarta: Kanisius, 1991. Semi, Atar. Metode Penelitian Sastrq. Bandung: Penerbit Angkasa, 2012. Simon, Peter (ed), The Norton Introduction to Literature. London: W. W. Norton & Company, 2002
Sinyo. Anakku Bertanya ten tang LGBT. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Stanton, Rebert. Teori Fiksi TeIj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka :Peiajar, 2007. Syam, Nina W. Psikologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Silnbiosa Rekatama Media, 2011. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011. Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. eet. III.
I ; ,\
Triawan, Rido & Ariyanto. Jadi Kau Merasa Tak Bersalah? Studi Kaslis
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap LGBT!. Jakarta: Arus Pelangi dan Yayasan Tifa, 2008. Wade, Carol & dan Carol Tavris, Psikologi Edisi ke-9, Terj. dari Psychology, 9111
Edition oleh Padang Mursalin dan Dinastuti. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007. WaIgito, BTmo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi, 2002. WeHek, Rene & Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literatuj"e oleh Melani Badianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993), Cet. III. Wiyatmi. Psikologi Sastra: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Kanwa Publisher, 2011.
Maialah Fitriyani, Ema. "Menyuarakan Keadilan pada Lembar Sastra", INSTITUT, Ciputat, Edisi 41,2.014.
Artikel Daring Aar,
18
Nilai
dalam
Pendidikan
Karakter
Bangsa,
diakses
dari
http://rumahinspirasLcol11/18-nilai-dalam-nendidikan-karakter-bangsaJ pada 28 April 2017, puklJI 07:24 WIB. Aedeta Putra, Rizky & Veni Dwi PuspitadeVv'i, Transgender dalam Pandangan
Hak Asasi Manusia, artikel- diakses pada 17 September 2015 dari . http://pkbh.uii.ac.id/news/latestitransgender-dalam-pandangail-hak-asasi manusia.html. Ardiansyah, Abipraya, Gender Ketiga: Sebuah Bentuk KebertJgaman, artikel diakses pada 25 Septelnber 2015 dari
http://aruspe1angi.orgl~ender
k.etiga-sebuah-b~n!y'l5;:k~Q_er
Ka1yana111itra, Transgender Masih Menjadi Komunitas yang Termarjinalkan, artikd
diakses
pada
25
Sept~rnber
2015
dari
hlm1/www.kalyan~m.j.!r~.~r-=id/2.Q1)l.l.J1.1r.flI.l$.g~n.Q.~.:Ing.$jl1.~:.n}~rlj?(~li:
komunitas-yan g-tennJlj"nn.gJkani.
Lampiran..lamplr&n
'"
RENCANAPELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Mata Pelaja.ran
: Bahasa Indonesia
Kelasl Program
: XlInti
Semester'
:1
Pertemuan Ke
:1
.Alokasi W Aktu
: 4 :x 40 menit
A. Standar Kompetensi: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia
B. Kompetensi Dasar: Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik maupun ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung maupun melalui rekaman.
c. Indikator: 1. Mampu mcngidentifikasi unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh, aIur, dan amanat), dan ekstrinsik (nilai-nilai opmjstik dalam diri tokoh utama) dalam novel Pasung Jiwa. 2. Mampu menganalisis unsur~unSdr instrinsik dan ekstrinsik 3. Menanggapi (setuju maupun tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang dis2mpaikan antar kelompok.
D.. Tujuan Penlbelajaran: 1. Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik (tema, tokoh, alur, dan amanat), dan ekstrinsik (nilai-nilai sosial) da]am novel Pasung Jiwa. 2. Menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik 3. Menanggapi (setuju maupun tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan antar kelompok.
E. Materi! . :> .., Rt;kaman cerit~~atau tuturan lan~~ung. F. AlaiIBahanl$Jimber: 1. Buku paket~Bahasa Indonesia untuk SMA kelas X semester I 1. Novel Pasung Jiwa per kelompok 3. BiografiOkky Madasari 4. Tuturanlpembacaan langsWlg G. Metode Pembelajaran: 1. Penugasan 2. Diskusi kelompok 3. Tanya jawab 4. Ceramah H. Langkah..l8D:gkah Kegiatai1 Pembelajaran: 1. Kegiatan Awal: a. Guru mengucap salam, kemudian mengajak berdoa bersama b. Guru mengabsen untuk mengecek peserta didik yang tidak hadir dan berkoordinasi dengan siswa agar siap untuk belajar c. Guru menyampaikan standar kompetensi dan kompetensi dasar d. Guru Inemberikan apersepsi dengan cara memberi pertanyaan kepada peserta didik tentang materi yang akan dibahas 2. Kegiatan Inti a. Eksplorasi o GW1l mempersilahkan perwakilan salah satu kelompok lL.'1.tuk menymnpaikan Iingkasan Jari novel Pasung Jiwa yang sudah dibaca sebelumnya oleh semua kelompok pada penugasan sebellltnDya. b. Elaborasi o Guru meminta kepada peserta didik untuk membentuk kelompok diskusi yang terdiri atas 3-4 orang peserta didik. o Guru menjele.skan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsi~( yang terdapat daiam novel Pasung Jiwa. o Peserta didik berdisk.Llsi untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Pasung Jiwa. o Peserta didik berdiskusi untuk Inenganalisis l.lnsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik nevel Pasung Jiwa.
o
S~J~
satupeserta didik
mempresentasikan' hasil
diskusi
ke~9mpoknya.,
o Pe$erta didik yang, lain menanggapi presentasi hasil diskusi
kelompok yang presentasi. 3. Kegiatan.Akhir o Refieksi o Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini o Penugasan ,
, ,
I. Penilaian: Penilaian proses dan sesudah pembelajaran. Instrumen soal:
1. Catatlah pokok-pokok materi yang telah disampaikan! 2. Buatlah rulalisa unsllr-unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel Pasung Jiwa! 3. Buatlahanalisasmengenai manfaat d&i nilai-nilai sosial yang bisu diambil dalam novel Pasung Jiwa! 4. Temukan dan analisis nilai-nilai keoptimisan dalarn tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa dalam mengaktualisasikan dirinya!
LEMBARPENILAIAN ANALISIS UNSUR INTRINSIK DANENTRINSIK
NOVEL PASUNG JIWA
Kompetensi Dasar
: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dnn ekstrinsik novel Indonesia
NamaSiswa KelaslNo Abs~n Tanggal Penilaian
UNSUR Y.ANG DINILAI
SKOR
1 Analisis
Unsur
1
Ketajaman analisis
,
Intrinsik
2
KeJengkapan unsur yang dianalisis
3
Keruntutan penyajian hasH analisis
4
Manfaat yang bisa diambil dari unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel
Analisis
Unsur
1
Ketajaman analisis
2
Kelengkapan unsur yang dianalisis
3
Keruntutan penyajian hasH analisis
4
Manfaat yang bisa diambil dari
Ek8trillSik .
unsur ekstrinsik dalam novel
5
Kesimpulan
Perolehan Nilai -= Total skol x 2
.
2
3
4
5
Mengetahui,
Bogor, 16 Februari 2017
Kepala Sekolah
Guru Mapel Bahas Indonesia
UJIREFERENSI
Nama
: Ema Fitriyani
NIM
: 1110013000033
Judul Skripsi -
: Aktualisasi Diri Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa., Kruya Okky Madasari dan Jmplikasinya pada Pembelajaran Sastra di SMA
Dosen Pembimbing
: Rosida Erowati, M. Hum
No. 1.
Referensi
Paraf
Andiria, Elga. "Budaya Kekerasan antar
A~ak
di Sekolah
Daser". lnfo Singkat Kesejahteraan Sosial: Kajian Singkat terhadap Isu-isu Terkini Vol. VI, Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data Jan Infonnas (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR Rl, 2014. 2..
Aziez, Furqonul & Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi: Sebuah
Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. ~--~---------------------------.--------------+-~----~
3.
Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra. Jakarta: Indonesia
Tera, 2012. 4.
Goble, Frank. Mahzab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham
Maslow. Terj. dad The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow oleh A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius, 1991. 5.
Hartini, Julia. "Emosi Dan Kecemasan Tokoh-tokoh dalam
Novel
Past;ng
Jiwa
Kurya
Okky
Madasari
(Kajian
Ps ikoana lisis)", Cniversitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2015.
6.
Hartono, S.S. Budi. "Dasar-dasar Psikoanalisis Freudian", dalam Anggadewi Moe:;oilo (ed), Psikoanalisis dan Sastra.
Depok, . . . ;':ll:psat' .. Fenelitian", Kemasyarakatan
dan
Budaya
Lembaga'~nelitian ,Univernitas Indonesia, 2003. i··;r
7.
'
:,
Idrus, Muhlunmad~,Metode Penelitian llmu Sosial Pendekatan Kualitati/dall Kuantitatij. Y ogYakarta: Erlangga, 2009.
8.
Keraf, OQ&s. Diksidan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia PustakaUinum, 2004, Cet XIV.
9.
Koeswara,~ E.
Teori-teori Kepribadian. BandWlg: PT Eresco
,Bandung, .,1991.
10. I
1
~~ ,....
.\
d?f.,
1"''''''
._,
c~
Kuswanti, , Elviana YUiliar, "Kotif/ik Batin Tokoh V~ama
dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Psikologi ,Sastra dan llnplententasinya sebagai Bahan Ajar Sastrq di SMA", Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2014.
11.
Kut:J:1a Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik PeneIitian
Sastra.Yogyakarta: Pustfu<:a Pelajar, 2007. 12.
Minderop, Albertine. Metode Karakteristik Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
13.
Minderop, Albertine. PsP,%gi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Buku Obor Indonesia, 2010.
14.
c~
Nurgiyantoro, Burhan. Teari Pengkajian Fiksi. Y ogyakarta: Gadjah Mada Universty Press, 2005.
15.
Riyanto eM, Armada. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis
Sehari-hari. Yogyakarta: Penerbit Kanisius: 2013. 16.
Schultz,
Duane.
Psikologi
Pertumbuhan:
Model-model
Kepi ibadian Sehat, Telj. dari Growth Pscychology: Models of the Healthy Personality olel) Yustinus. Yogyakarta: Kanisius, 1991. 17.
Semi, Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa, 2012.
18.
Simon, Peter (ed). The Norton Introduction to Literature.
\
-
J
London::tW. W. Nprton & Company, 2002 19.
Sinyo.Ali(lkku Bertanya tentang LGBT. Jakarta: Elex Media Komputinoo, 201.4.
2u.
Siswanto( WahYudi.
Pengantar
Teori
Sastra.
Jakarta:
Stanton, Robert. Teori Fiksi Terj. dari An Introduction to
Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Y ogYakarta: PustakaPelajar, 2007. 22.
Syatn, Nina W. Psikologi sebagai Akar lImu Komunikasi. Bandung: SimbiosaRekatama Media, 2011.
23.
Tim PenyusunKamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. eet. III.
24
_. 25.
Bandung:Angkasa, 2011. Triawan,Rido & Ariyanto . .ladi Kau Merasa Tak Bersalah?
Jakarta: Arus Pelangi dan Yayasan Tifa, 2008. Wade, Carol & dan Carol
Tavri~,
Psikologi Edisi ke-9, Terj.
dari Psychology, 9th Edition oleh Padang Mursalin dan Dinastuti. Jakarta: Penerbit Erla.'1gga, 2007. 27.
Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Y ogyakarta:
I
Andi, 2002.
28
We:Iek, Rene & Austin
Warr~n,
dari Theory of Literature oleh
TeoriKesus,':lstraan, Terj.
Mel ani Budianta.· Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum, 1993), Cet. III. 1---'
29.
~ e~. J}
Wiyatmi.
Psikologi
Sastra:
Teori
dan
Aplikasinya.
Yogyakarta: Kanwa PubliGher, 2011.
J
~
Fitriyani, Ema. "Menyuarakan Keadilan pada Lembar
Sastra", INSTITUT, Ciputat, Edisi 41, 2014. 3l.
Acdeta Putra, Rizky & Ve"1i Dwi Puspitadewi, Transgender
.
~I~
&1 A
30.
,-
-;-::-.".",.
Tarigau, Henry G'..:mtur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra.
Stud; Kasus Diskriminasi dan Kekerasan terhadap LGBTI.
- 26.
1
C~1
Grasindo,';2008. 21.
C~\,
\
\
~
~
'l\
dalam Pdndangan Hak Asasi Man usia , artikel diakses pada 17 i":j',
Septemb¢r
2015
'1,:;'
dari
htm:/IRk~~. uii.acJdlne\vsllatestltransgender-dalam nandan~~"'hak-asasi-manusia.html.
32.
ArdiansYah' Abipraya,
Gender Ketiga:
Sebuah Bentuk
Keberagciman, artikel diakses pada 25 September 2015 dari http://aruspelangi.orglgender-ketiga-sebuah-bentuk.. keberagamanl.
33
Kaylanamitra, Transgender Masih Menjadi Komunitas yang
Termarjinalkall,
artik~l
diakses pada 25 September 2015 dari
htt,Q:/lwww.kalyanamitra.or.idl20 13/11/transgender-masih menj~di-komunitas-yar..g-tennID:ii!lalkani.
~
,-,
I"vh'"
,3,
KEM.ENTE.R.·lAN.';;qAGAMA. UIN JAKARTA <, FJTK JI. If. H. JulJlXlil No
.
" No. Dokumen
FORM (FR)
H~1s.:t 2:~
.
; Tgl.Terbit ; No. Revisi: j Hal
FITK-FR-AKD-OS1 \
1 Mar~t 2010
l
~
01
i
1/t
SURAT BJMBINGAN SKRIPSI
Nomar : Un.OllF.1/KlvtO'.·~3/ .......... J2013 Lamp. '
Hal : Bimbingan Skrjl>~j
Jakarta, 16 Desember 2013
Kepada yth.
Ibu Rosida Erawati1 M. Hum
Pembimbing Skripsi
Fakultas Ilmu Tarblyah dan Keguruan
UIN Syarif HidayatUllah
Jakarta.
Assalamu 'alaikum wr. wb. Dengan ini diharapkan kesediaan penuJisan skripsi mahasiswa:
Saudara
untuk
menjadi
pembimbing
IJII
(materiltekni~)
Nama
: Ema Fitriyalli
NIM
: 1110013000033
Jurusnn
: Pendidikan B,'lhasa dan Sastra Indonesia
Semester
: VII (Tujuh)
Judul Skripsi
: Aktualisasi Diri Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okley Madasari dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 16 Desemher 2013, abstraksiloutline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perIu, 'mohon pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu. Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan. . Atas perhatian dan kerja sarna Saudara, karni ucapkan terima kasih. Wassalamu 'aZaikum wr. wb. a.n. Dekan Kajur Pend. Bahas
Tembusan: 1. Dekan FITK 2. Mahasiswa ybs.
Sastra Indonesia
BIODATA PENULIS Ema Fitriyani lahir di Bogor, 28 Maret 1993 dari pasangan Ibu Yumyanah dan Bapak Herman. Masa kecilnya hingga SMA dihabiskan di Bogor. Ketika kuliah, dia tinggal di Ciputat selama empat tahun. Selama kuliah di UIN Jakarta, Ema tergabung aktif dalam Lembaga Pers Mahasiwa UIN Jakarta atau LPM INSTITUT selama empat tahun. Di sini, banyak pelajaran menulis dan wawancara yang dia dapatkan. Kegiatan menulisnya di antaranya membuat berita di Tabloid Institut, Majalah Institut. Dia juga pernah tergabung dalam beberapa proyek penulisan seperti di Jurnal Wisuda UIN Jakart, Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara, Puslitbang Kementerian Agama, Tribute to Venerable Master Chin Kung di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013). Tak hanya menulis, Ema juga pernah menjadi guru ekstrakulikuler Writing Club di SMA Global Islamic School 2 Serpon (2015) selama satu semester. Selain itu, selagi kuliah, dia juga pernah bekerja di Majalah Bisnis Global selama 9 bulan pada 2012-2013 dan kini bekerja di sebuah agensi media digital, Medialogy Digital Agency sejak 2015 lalu.