RONGGENG DALAM KEBUDAYAAN BANYUMAS DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA “SUATU TINJAUAN OBJEKTIF” Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Oleh: Tri Mutia Rahmah NIM 1111013000046
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
ABSTRAK TRI MUTIA RAHMAH, 1111013000046, Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembalajaran Sastra di SMA “Suatu Tinjauan Objektif”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan objektif sastra. Pendekatan objektif analisis ini menitikberatkan pada kebudayaan dan kepercayaan masyarakat terhadap ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai kajian penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa permasalahan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk meliputi: 1) fungsi ronggeng sebagai kesenian, meliputi: fungsi upacara ritual, hiburan, dan pertunjukan. 2) syarat-syarat menjadi ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang meliputi: masuknya indang arwah Ki Secamenggala, upacara pemandian di depan makam Ki Secamenggala, dan upacara bukakklambu. 3) fungsi penari ronggeng di kebudayaan Banyumas, meliputi: penari, penghibur, dan pembawa keberkahan. 4) pandangan masyarakat terhadap ronggeng, dalam masyarakat Dukuh Paruk, ronggeng dianggap sebagai milik umum, pembawa keberkahan, dan simbol Dukuh Paruk. Namun, di luar masyarakat Dukuh Paruk ronggeng dianggap sebagai penghibur, pelacur, dan sundal. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat digunakan sebagai materi agar peserta didik dapat membangun karakter, kritis, menghargai dan menghormati sesama manusia, bertanggung jawab dan dapat memahami serta menyikapi nilai budaya dan nilai moral yang disampaikan dengan jelas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Kata Kunci: Ronggeng, Budaya, Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari.
i
ABSTRACT TRI MUTIA RAHMAH, 1111013000046, Ronggeng in Banyumas Culture, in Ronggeng Dukuh Paruk of a Novel by Ahmad Tohari and The Implication of Literature Learning in Senior High School “Objective Observation”, Faculty of Science a Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. The purpose of this study is to describe ronggeng in Banyumas culture in the novel Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari which is expected to be used as a learning material in school. Qualitative descriptive method is used in this research with literature objective approach. An analytical objective approach in this research concern on the culture and believe of the people toward ronggeng in the novel Ronggeng Dukuh Paruk. Based on the research, it is concluded that ronggeng in Banyumas culture, covered in the novel includes: 1) ronggeng function as art, i.e. ritual tradition, entertainment, and shows. 2) requirement to become Ronggeng, i.e. indang arwah (possession of) Ki Secamenggala, bathing ceremony in front of Ki Secamenggala grave, and bukak-klambu ceremony. 3) cultural function, i.e. as dancer, entertainer, and blessing bringer. 4) The people in Dukuh Paruk see the ronggeng as their own, a blessing bringer, and a symbol of their culture. But, people outside Dukuh Paruk seen the ronggeng as an entertainer, whore and prostitute. In Indonesian language and literature learning, this novel can be used as a learning material, so that student could built their character, critical thinking, respect among people, and able to understand the cultural and moral values described in the novel. Keywords: Ronggeng, Culture, Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari.
ii
KATA PENGANTAR Segala puji hanya bagi Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Sastra di SMA ’Suatu Tinjauan Objektif’”. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan. Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 2. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Dona Aji Karunia P., M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., Dosen Pembimbing Skripsi atas motivasi, nasihat, dan arahannya dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. 5. Dr. Nuryani, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik. 6. Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan. 7. Mama (Kundari) dan Ayah (Ustama) atas limpahan kasih sayang yang tiada henti, kesabaran yang tak berbatas, kepercayaan, dan motivasi serta doa yang selalu menjadi sumber kekuatan penulis untuk fokus menyelesaikan skripsi ini. Saudara-saudara tercinta, Nurlita Adhitama,
iii
Reza Nur Rahman dan Widya Septyani atas motivasi yang telah diberikan. 8. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2011, terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini. 9. Yayah Fauziah, Sari Satriyati, Ai Suaibah, Indah Wardah, Devi Aristiyani, dan Selviana Dewi, sahabat dan teman perjuangan yang selalu memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis. 10. Accounting Genks: Ilyus Alfaqih, Davit Tarmizi, Fiki Fadilah, Ribut Setiawan, M. Fahrul Rozi, Mulyaningsih, Kristiana, dan Kinanti, sahabat yang selalu menyemangati hingga terselesaikan penelitian ini. 11. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang ikut terlibat selama saya menyelesaikan proses penelitian skripsi ini. Semoga kalian yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan partisipasi kepada penulis, mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt, Aamiin.
Jakarta, 15 September 2015
Tri Mutia Rahmah
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ...........................................................................................................
i
ABSTRACT ........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR .........................................................................................
iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..........................................................................
5
C. Batasan Masalah ................................................................................
5
D. Rumusan Masalah .............................................................................
6
E. Tujuan Penelitian ...............................................................................
6
F. Manfaat Penelitian .............................................................................
6
G. Metode Penelitian ..............................................................................
7
1. Objek Penelitian ..........................................................................
7
2. Sumber Data ................................................................................
7
3. Metode dan Pendekatan Penulisan ..............................................
8
4. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................
10
5. Teknik Analisis Data ...................................................................
10
6. Teknik Penulisan .........................................................................
11
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................
12
A. Hakikat Novel ..................................................................................
12
1. Definisi Novel ............................................................................
12
v
2. Jenis-Jenis Novel........................................................................
13
3. Unsur-Unsur Pembangun Novel ................................................
14
B. Hakikat Penari Ronggeng ................................................................
23
1. Hakikat Penari ............................................................................
23
2. Hakikat Ronggeng .....................................................................
26
a. Definisi Ronggeng .................................................................
26
b. Proses Menjadi Ronggeng......................................................
28
c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng .........................
30
C. Kebudayaan Jawa-Banyumas ..........................................................
30
D. Hakikat Pembelajaran Sastra............................................................
33
E. Penelitian Relevan ............................................................................
36
BAB III TINJAUAN NOVEL ............................................................................
39
A. Biografi Ahmad Tohari ....................................................................
39
B. Pandangan Pengarang ......................................................................
40
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN .............................
43
A. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk ...............................
43
1. Tema ...........................................................................................
43
2. Tokoh dan Penokohan ...............................................................
44
3. Alur/Plot .....................................................................................
63
4. Latar ...........................................................................................
73
5. Sudut Pandang............................................................................
80
6. Bahasa dan Gaya Bahasa ...........................................................
82
7. Amanat .......................................................................................
84
B. Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas .......................................
85
1. Fungsi Ronggeng Sebagai Kesenian ..........................................
86
2. Syarat-Syarat Menjadi Ronggeng ..............................................
89
3. Fungsi Ronggeng di Masyarakat ................................................
92
4. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng .............................
96
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ........................... vi
100
BAB V PENUTUP ..............................................................................................
104
A. Simpulan ..........................................................................................
104
B. Saran .................................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
106
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan yang dituangkan dalam karya sastra mencakup hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungan, hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan dirinya, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Meskipun demikian, sastra tetap dianggap sebagai sebuah khayalan atau imajinasi dari kenyataan. Sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekadar tiruan kenyataan, melainkan kenyataan yang ditafsirkan oleh pengarang dari kehidupan yang ada di sekitarnya. Jadi, karya sastra adalah pengejewantahan kehidupan hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan di sekitarnya. Sastra bisa dikatakan kenyataan yang ditambah dengan proses imajinasi atau hasil daya imajinasi yang disesuaikan dengan kenyataan. Karya sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang bersifat imajinatif. Sebagai hasil yang imajinatif, sastra berfungsi sebagai bahan bacaan yang menyenangkan, di dalamnya sarat dengan nilai sosial, nilai budaya, religi, dan filsafat. Nilai-nilai tersebut bermanfaat untuk menambah kekayaan batin bagi permasalahan manusia. Pikiran dan gagasan dari seorang pengarang yang dituangkan dengan segala perasaannya, kemudian disusun menjadi sebuah cerita yang mengandung makna. Makna yang terkandung dapat memberikan pelajaran kepada pembaca akan nilai sosial, budaya, religi, dan filsafat. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam menjalani kehidupan. Karya sastra pun tidak lahir dalam situasi yang kekosongan kebudayaan. Hal ini karena, pengarang merupakan bagian dari masyarakat, yang di dalamnya terdapat berbagai masalah dan konflik. Oleh sebab itu, suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang tidak terlepas dari realita dalam suatu masyarakat. Karya sastra yang diciptakan oleh seorang pengarang bukan
1
2
hanya untuk dinikmati sendiri, melainkan ada ide atau gagasan, pengalaman, dan amanat serta nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Pengarang berharap segala ide atau gagasan yang dituangkan dalam karya sastranya dapat menjadi sebuah masukan sehingga pembaca dapat mengambil nilai-nilai kehidupan dan mampu menginterpretasikannya dalam kehidupan nyata. Setiap karya sastra yang diciptakan pengarang memiliki misinya masing-masing. Salah satunya adalah mengemas kebudayaan menjadi sebuah karya yang berbeda agar diketahui oleh semua pembacanya dan memberikan pengalaman pengarang mengenai kebudayaan yang didapatkan oleh pengarang dari lingkungannya. Kebudayaan merupakan sebuah refleksi kebiasaan dari tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Informasi-informasi yang diperoleh disertai dengan pengalaman, kemudian dibentuk dalam sebuah kehidupan fiksi berbentuk novel, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara terstruktur serta membawa unsur-unsur kebudayaan dalam karya sastra tersebut. Melalui tokoh-tokoh dan beragam rangkaian cerita, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang disampaikan atau diamanatkan. Pengarang berusaha agar pembaca mampu memperoleh nilai-nilai tersebut dan bisa merefleksikannya dalam kehidupan. Nilai-nilai yang terdapat dalam sastra di antaranya nilai budaya. Dari sebuah novel dapat diketahui nilai budaya yang ada dalam masyarakat tertentu, baik budaya yang bersifat positif maupun budaya yang bersifat negatif. Sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural.1 Selain itu, nilai budaya juga dapat dilihat dari seni budaya daerah tersebut, misalnya tarian dan penarinya. Tarian dalam suatu daerah memiliki nilai tersendiri, baik itu nilai moral, agama, maupun nilai pendidikan. Dalam 1
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 13.
3
hal ini, sebuah tarian yang dibawakan oleh penari mewakili kebudayaan tersebut, baik itu tari untuk upacara maupun tari untuk hiburan. Setiap tarian yang dibawakan oleh tiap daerah memiliki daya tarik dan ciri khas masingmasing. Ciri khas tari dalam tiap daerah memberikan nilai lebih bagi seni budaya daerah tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah kebudayaan Jawa yang digambarkan dalam karya sastra yaitu dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel ini menggambarkan tentang kebudayaan Jawa yang telah lama mengakar dalam masyarakat Indonesia. Salah satu cara suatu masyarakat mencapai taraf hidupnya banyak sekali, dengan upacara-upacara keagamaan, bahasa yang dilestarikan ataupun kebiasaan-kebiasaan dari sebuah karya berupa pertunjukan. Banyak pengarang yang berasal dari budaya tertentu memasukan unsur kebudayaan ke dalam karyanya, di antaranya Ahmad Tohari yang berasal dari Banyumas yang terkenal dengan ronggeng-nya. Di dalam karya ini, pengarang mengangkat ronggeng sebagai bentuk gambaran dari kebudayaan yang menyangkut tentang upacara-upacara keagamaan, kepercayaan, bahasa yang dilestarikan, ataupun kebiasaan-kebiasaan lain yang menjadi ciri dari tarian daerah tersebut. Bentuk
kepekaan
Ahmad
Tohari
terhadap
lingkungan
dan
kebudayaannya, dituangkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam menulis karyanya, Ahmad Tohari mengajak para pembaca untuk melihat dan mengetahui lebih rinci tentang keadaan sosial, politik, budaya, bahkan agama dalam kebudayaan Jawa yaitu Banyumas. Gambaran yang ditunjukkan dalam novel ini dijelaskan melalui seorang ronggeng, seperti pandangan masyarakat terhadap dirinya, tugas dan syarat yang harus ditempuh oleh seorang ronggeng. Semuanya itu dijelaskan dengan rinci dan tidak lupa mengaitkan tentang keadaan sosial, politik, budaya bahkan religuitas masyarakat dalam novel tersebut.
4
Penelitian ini menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sebagai objek kajian. Nilai budaya dalam kebudayaan masyarakat Banyumas menjadi hal yang menarik untuk dibahas dari novel ini. Ahmad Tohari menuliskan pandangannya tentang seorang penari ronggeng dalam budaya Jawa-Banyumas yang dilukiskan melalui tokoh yang ada di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Novel Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang sebuah desa bernama Dukuh Paruk. Cerita ini bermula saat Srintil berusia lima bulan, kedua orang tua beserta banyak penduduk desa lainnya meninggal dunia setelah memakan tempe bongkrek buatan orang tua Srintil. Lalu, ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya, Sakarya dan Nyai Sakarya. Ketika Srintil berusia sebelas tahun, kakeknya mendapati bahwa Srintil telah dianugerahi bakat supranatural (indang) menjadi ronggeng. Srintil diresmikan sebagai ronggeng dukuh tersebut dengan tata cara tradisional. Ini berarti dia menjadi barang milik umum dan milik seluruh desa.2 Berdasarkan permasalahan tersebut, tentunya sebagai penulis, Ahmad Tohari menggambarkan seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumasan baik mengenai syarat-syarat yang harus ditempuh untuk menjadi ronggeng, tugas seorang ronggeng, fungsi tarian ronggeng serta pandangan masyarakat dalam novel tersebut terkait dengan ronggeng. Sebagai peneliti, penulis akan menjelaskan terkait dengan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan menggunakan suatu tinjauan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sebagai karya yang berbicara mengenai keyakinan, budaya, dan moral, maka novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan sebuah novel yang dianjurkan untuk dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra. Sebagai
lembaga pendidikan, sekolah bertugas
memberikan pelajaran moral, agama, budaya kepada peserta didikannya.
2
Tineke Hellwig, In The Shadow Of Change, Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia, (Jakarta: Desantara, 2003), h. 176-177.
5
Pembelajaran nilai budaya, agama dan moral bisa dilakukan dengan memberikan pembinaan melalui karya sastra. Pada hakikatnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan buku yang berisi cerita yang menarik yang turut memberikan pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak, perilaku, dan kepribadian anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi yang berjudul “Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA „Sutau Tinjauan Objektif‟”. B. Identifikasi Masalah Di dalam penelitian ini, terdapat banyak hal yang harus diteliti yang memerlukan pengidentifikasi masalah. Berikut identifikasi masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah: 1. Belum adanya penelitian mengenai ronggeng dalam budaya Banyumas yang berdasarkan tinjauan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 2. Kurangnya penggambaran mengenai budaya dan masyarakat Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 3. Sulitnya menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan siswa. 4. Rendahnya minat siswa dalam mengapresiasi karya sastra dalam pembelajaran Sastra di SMA. 5. Rendahnya pemahaman dan pengetahuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra, terutama novel. C. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya fokus pada ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari melalui metode deskriptif kualitatif dan pendekatan
6
objektif karya sastra, penelitian ini menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dalam pembelajaran sastra di SMA. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, pembatasan, identifikasi, dan batasan masalah yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan pendekatan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari? 2. Bagaimana implikasi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran sastra di SMA? E. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki sasaran yang sesuai dengan pemilihan judul dan sebagai tujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada. Sejalan dengan rumusan yang ada, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. F. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki beberapa manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Berikut ini manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini: 1. Manfaat Teoretis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memperluas
ilmu
pengetahuan di bidang sastra, dan juga bermanfaat dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia, akademisi, dan masyarakat umum yang memiliki minat terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
7
2. Manfaat Praktis a. Mengetahui sastra dengan melihat bagaimana ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan menggunakan objektif sastra dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. b. Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran sastra Indonesia di SMA. c. Sebagai motivasi dan referensi bagi para peneliti lain yang berminat terhadap pembelajaran sastra Indonesia dalam melakukan penelitian lebih lanjut. G. Metodologi Penelitian 1. Objek Penelitian Objek penelitian dalam skripsi ini, yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan mengkaji objek pembangun karya tersebut dan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan pendekatan objektif karya sastra. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: a. Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses langsung dari sumbernya tanpa melalui perantara. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terbitan Gramedia, Jakarta, 2012. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku serta artikel-artikel yang membahas tentang karya sastra, hakikat penari, hakikat ronggeng, kebudayaan Banyumas dan pembelajaran sastra yang diperoleh dari sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian yang disebut sebagai sumber sekunder.
8
3. Metode dan Pendekatan Penulisan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif.
Penelitian
kualitatif
adalah
penelitian
yang
menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3 Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan mengenai situasisituasi atau kejadian-kejadian.4 Penelitian deskriptif menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variabel, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikannya apa adanya. Metode penelitian ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui. Metode ini dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode lain.5 Metode deskriptif kualitatif berfokus pada penelitian secara langsung yang diamati penulis dengan data-data sebagai sumber yang diteliti. Dalam kaitan data, ini berarti sesuatu yang diberikan alam sebagai sumber pengetahuan. Bukan petunjuk keabsahan pengetahuan. Data berfungsi untuk menguji kebenaran teori.6 Metode kualitatif deskriptif melaporkan apa yang diamati penulis, laporannya berisi pengamatan berbagai kejadian dari interaksi yang diamati langsung oleh penulis dari tempat kejadian. Hal 3
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 6. 4 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 76. 5 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.5. 6 Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 22-23.
9
ini disebut pengamatan langsung. Karena itu, sifat kejadiannya bersifat spesifik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti. Tujuan akhir tulisan kualitatif adalah memahami apa yang dipelajari dari perspektif kejadian itu sendiri, dari sudut pandang kejadiannya itu sendiri.7 Oleh sebab itu, metode kualitatif deskriptif merupakan metode yang digunakan dalam penenlitian ini karena dapat mengungkapkan hal-hal
yang ingin
peneliti
kaji
dalam sebuah
penelitiannya. Metode ini akan memberikan gambaran mengenai kejadian atau interaksi yang sedang diamati oleh peneliti dalam sebuah penelitiannya. Junus dalam Siswanto menyatakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang inti.8 Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.9 Dengan demikian, pendekatan objektif merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Selain itu, pendekatan objektif juga digunakan dalam melakukan analisis terkait dengan representasi ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Peneliti akan mengulas tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dari segi objektif, acuan yang digunakan dalam analisis tersebut bertumpu pada karya sastra itu sendiri. Dari ulasan yang dijelaskan, maka metode dan pendekatan yang digunakan sangat cocok untuk mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad 7
Ibid., h. 29 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 183. 9 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 2005), 8
h. 73.
10
Tohari, yakni fungsi ronggeng, syarat menjadi ronggeng dalam kebudayaan Banyumas, fungsi ronggeng di masyarakat, dan pandangan masyarakat mengenai ronggeng. Analisis ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan objektif. Hal inilah yang menjadi dasar penulis menggunakan metode kualitatif dan pendekatan objektif dalam menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini dengan cara: a. Membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang telah dipilih. b. Menetapkan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sebagai objek penelitian dengan fokus penelitian tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas “suatu tinjauan objektif” dalam novel tersebut. c. Membaca ulang dengan cermat untuk mencari masalah yang terkait dengan fokus penelitian. d. Mencari dan memahami pendekatan dan teori yang cocok dengan masalah yang akan diambil. e. Mencari bahan atau sumber yang akan dijadikan referensi untuk mendukung penelitian. f. Melakukan analisis tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. g. Menyimpulkan hasil penelitian. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Metode Analisis Isi Metode analisis isi menitikberatkan pada penafsiran isi pesan. Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi
11
adalah penfsiran. Apabila proses penafsiran dalam metode kualitaif memberikan perhatian pada situasi alamiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis isi memberikan perhatian pada isi pesan. Oleh karena itu, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi. 10 b. Metode Deskriptif Analisis Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan datadata,
jadi
ia
juga
menyajikan
data,
menganalisis
dan
menginterpretasi.11 Metode deskriptif analitik dilakukan degan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.12 Jadi, tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta melalui data-data tersebut. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
10
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.49. 11 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 44. 12 Op.Cit., h. 53.
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel 1. Definisi Novel Novel merupakan bentuk sastra yang sudah lama berkembang di Indonesia. Perkembangan novel ini ditandai dengan semakin banyaknya jenis novel yang ada.1 Sedangkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. The novel is fictitious – fiction, as we often refer to it, it depicts imaginary characters and situasions. A novel may include reference to real place, people and events.2 Novel adalah fiktif—fiksi, seperti yang sering terlihat, novel menggambarkan karakter dan situasi imajiner. Novel dapat mengacu tempat yang nyata, orang-orang dan peristiwa.
Novel
dihadirkan di tengah masyarakat, membentangkan segala permasalahan hidup sekaligus menawarkan pemecahan masalah dan tak lupa sebagai hiburan dalam masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam novel diharapkan dapat mengembalikan manusia pada kebenaran. Seperti yang diungkapkan oleh Chatman dalam Sofia, proses kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kode sosial budaya yang melingkupi pengarang.3 Di dalam novel, permasalahan yang dihadapi oleh pelaku sangat kompleks serta menggambarkan kehidupan pelaku sacara mendalam dan detail. Hal ini diperkuat oleh ungkapan Stanton yang mengatakan bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial
1
Erlis Nur Mujiningsih, dkk, Struktur Novel Indonesia Modern 1980-1990, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 1. 2 Jeremy Hawthorn, Studying the Novel An Introduction, (London: Great Britain, 1985), h. 1. 3 Adib Sofia, Aplikasi Kritik Sastra Feminis, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009), h. 3.
12
13
yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail.4 Novel sebagai karya fiksi, merupakan sebuah cerita yang di dalamnya mengandung tujuan yang memberikan hiburan kepada para pembacanya di samping adanya tujuan estetik. Meskipun berupa khayalan, karya fiksi bukan berasal dari hasil lamunan semata, melainkan merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai sebuah karya seni. 2. Jenis-Jenis Novel Ada beberapa jenis novel dalam karya sastra. Jenis novel mencerminkan keberagaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Burhan Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel populer dan novel serius. 5 a. Novel Populer Kayam dalam Nurgiyantoro menyatakan bahwa sebutan novel populer, atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 1970-an. Sesudah itu, novel-novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai novel “novel pop”.6 Novel populer adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel populer lebih mudah dinikmati karena bertujuan untuk memberikan hiburan dari cerita yang disampaikan dalam novel tersebut. Novel populer bersifat sementara dan cepat ketinggalan zaman. Oleh karena itu, ia lebih cepat dilupakan dengan munculnya berbagai novel populer lainnya.
4
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 90. Burhan Nugiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 20. 6 Ibid,. h. 20. 5
14
b. Novel Serius Berbeda dengan novel populer, untuk memahami novel serius dibutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dan disetai dengan kemauan untuk itu. Permasalahan yang diungkapkan dalam novel serius disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Nurgiyantoro mengungkapkan “Hakikat kehidupan dapat bertahan sepanjang masa, tidak pernah zaman. Oleh karena itu, novel yang pada umumnya sastra serius tetap menarik sepanjang masa, dan tetap menarik untuk dibicarakan.”7 Contoh novel serius adalah Belenggu karya Armijn Pane dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 3. Unsur-Unsur Pembangun Novel Salah satu unsur pembangun novel adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik juga dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri.
8
Soedjiono dalam Endah
Tri Priyatni menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur yang berkaitan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom.9 Unsur intrinsik dalam sebuah novel terdiri dari tema, alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), sudut pandang, dan amanat. Berikut ini penjelasannya. a. Tema Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.10 Aminudin yang dikutip oleh Siswanto mengatakan bahwa seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan,
7
Ibid., h. 21. Ibid., h. 22. 9 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 109. 10 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 161. 8
15
sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. 11 b. Alur (Plot) Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa pada sebuah cerita.12 Terdapat lima bagian tahapan alur menurut Tasrif.13 Tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Tahapan situation atau tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. 2) Tahap generating circumstances atau tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. 3) Tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. 4) Tahap climax atau tahap klimaks, konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intesitas puncak. 5) Tahap denouement atau tahap peyelesaian, tahap yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. c. Penokohan (Perwatakan) A novelist may use a character for purposes quite other than characterization. A character may do ‘uncharacteristic’ things in order to further the plot for the author; a character may be than we learn something about him which pages of description could not give
11
Ibid., h. 161. Stanton, Op. Cit, h. 26. 13 Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 209-210. 12
16
us.14 Seorang penulis dapat menggunakan karakter untuk tujuan lain, selain untuk karakterisasi. Karakter dapat dilakukan „seperti biasanya‟ berbagai hal untuk melanjutkan plot penulis; dari karakter tersebut pembaca dapat belajar sesuatu tentang penulis yang tidak dijelaskan dan diberikan kepada pembaca. Aminuddin yang dikutip oleh Siswanto menjelaskan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya sastra disebut perwatakan. 15 Tokoh-tokoh cerita yang terdapat dalam sebuah novel dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis. Berikut penjelasannya. 1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain, sehingga sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Sementara itu, permunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. 16 2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai pandangan dan harapan pembaca, sedangkan tokoh antagonis tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik dengan tokoh protagonis, baik
14
Hawthorn,Op. Cit , h. 48-51. Siswanto, Op. Cit, h. 142-143. 16 Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 259. 15
17
secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun psikis. 17 3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat atau watak tertentu saja. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan. 18 4) Tokoh Kompleks dan Tokoh Simpel Berdasarkan kompleksitas masalah yang dihadapi, tokoh dibedakan atas tokoh simpel dan tokoh kompleks. Tokoh simpel adalah tokoh yang tidak banyak dibebani masalah, sedangkan tokoh kompleks adalah tokoh yang banyak dibebani masalah. 5) Tokoh Statis dan Tokoh Dinamis Berdasarkan perkembangan watak tokoh, tokoh dibedakan atas tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang wataknya tidak mengalami perubahan mulai dari awal hingga akhir cerita. Sedangkan tokoh dinamis adalah tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan watak.19 d. Latar (Setting) Abrams yang dikutip oleh Siswanto mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum (generale locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.
17
Ibid., h. 261-262. Ibid., h. 265-267. 19 Priyatna, Op. Cit., h. 111 18
18
Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga bisa menggunakan latar cerita sebagai simbol atau lambang bagi sastrawan yang telah, sedang, atau akan terjadi. Bagi pembaca, latar cerita dapat membantu untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. 20 e. Sudut Pandang Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Sudut pandang berkaitan dengan unsurunsur intrinsik novel yang lain: tokoh, latar, suasana, tema, dan amanat.
21
Abrams dalam Nurgiyantoro menyatakan bahwa sudut
pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang, lewat kacamata tokoh cerita yang sengaja dikreasikan.22
20
Siswanto, Op. Cit, h. 151. Ibid., h. 151 & 154. 22 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 338. 21
19
Pembedaan sudut pandang berdasarkan pembendaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama, dan ditambah persona kedua. 1) Sudut Pandang Persona Ketiga; “Dia” 23 Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan sebagai
variasi
dipergunakan
kata
ganti.
Hal
ini
akan
mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja. Contoh novel yang menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” adalah Tarian Bumi karya Oka Rusmini, Merantau ke Deli karya Hamka, dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. 2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”24 Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut padang persona pertama, first-person point of view, “aku”, jadi: gaya “aku” narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, 23 24
Ibid., h. 347-348. Ibid., h. 352.
20
seerta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Contoh karya fiksi yang menggunakan sudut pandang persona pertama “aku” adalah novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, dan cerpen Senyum karya Nugroho Notosusanto. 3) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”25 Dalam berbagai buku teori fiksi (kesastraan) jarang ditemukan (untuk tidak dikatakan tidak pernah) pembeicaraan tentang sudut pandang persona kedua atau gaya “kau” (second person point of view). Yang lazim disebut hanya sudut pandang persona ketiga dan pertama. Namun, secara factual, sudut pandang persona kedua tidak jarang ditemukan dalam berbagai cerita fiksi walau hanya sekadar sebagai selingan dari gaya “dia” atau “aku”. Artinya, dalam sebuah cerita fiksi tidak atau belum pernah ditemukan yang dari awal hingga akhir cerita yang seluruhnya menggunakan sudut pandang “kau”. Sudut pandang gaya “kau” merupakan pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. Penggunaan
teknik
“kau”
biasanya
dipakai
“mengoranglain-kan” diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cerita fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan atau penyebutan. Hal itu dipilih tentu juga tidak lepas dari tujuan menuturkan sesuatu dengan berbeda, yang asli, yang lain daripada yang lain sehingga terjadi kebaruan cerapan indera atau penerimaan pembaca. Intinya, untuk lebih menyegarkan cerita. Contoh novel yang menggunakan sudut pandang persona kedua adalah Suami karya Eddy Suhendro. 25
Ibid., h. 357.
21
4) Sudut Pandang Campuran26 Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.
Kesemuanya
tergantung
dari
kemauan
dan
kreativitas pengarang, bagaimana mereka memanfaatkan berbagai teknik yang ada demi tercapainya efektivitas penceritaan yang lebih, atau paling tidak untuk mencari variasi penceritaan agar memberikan kesan lain. Pemanfaatan teknik-teknik tersebut dalam sebuah novel misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan keterbatasan masing-masing teknik. Contoh novel yang menggunakan sudut pandang campuran adalah Pulang karya Leila S. Chudori, dan Supernova karya Dewi Lestari. Dalam naratologi istilah fokalisasi menunjukkan hubungan antara unsur-unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unsur tersebut. Fokus memberi jawaban terhadap pertanyaan “siapa melihat”, sedangkan pengertian point of view menjawab pertanyaan “siapa menceritakan”. Si juru cerita tidak selalu memaparkan pandangannya sendiri. Dapat dibedakan fokalisasi zero yang menampilkan peristiwaperistiwa tanpa menonjolkan sudut bidik tertentu, fokalisasi intern yang berpangkal pada seorang atau beberapa orang tokoh di dalam cerita sendiri, dan fokalisasi ekstern yang menampilkan peristiwaperistiwa seperti dilihat oleh lensa kamera.27 Dengan demikian, dalam sebuah narasi pembaca dapat melihat siapa yang bercerita melalui sudut pandang, dan siapa yang melihat atau memandang dalam sebuah narasi dengan menggunakan fokalisasi.
26
Ibid., h. 359. Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 332. 27
22
f. Gaya Bahasa Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain sastra
lebih
sekadar
bahasa,
deretan
kata,
namun
unsur
“kelebihannya”-nya itu pun hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, yaitu komunikatif. 28 Abrams yang dikutip dalam Burhan Nurgiyantoro, stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain. 29 Gaya bahasa merupakan efek seni dalam sastra yang dipengaruhi juga oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang sastrawan akan menuangkan ekspresinya. Betapa pun rasa jengkel dan senangnya, jika dihubungkan dengan gaya bahasa akan semakin indah. Berarti gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan teks sastra. 30 Dengan demikian, bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra merupakan sarana pengarang dalam mengekspresikan dan mengungkapkan sesuatu kepada pembaca, tentu dengan gaya bahasa yang menarik untuk melukiskan ide dan ungkapan tersebut secara apik. g. Amanat Nilai-nilai yang ada di dalam cerita bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini biasa 28
Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 364. Ibid., h. 369. 30 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), cet. 1, 29
h. 73.
23
disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 31 B. Hakikat Penari Ronggeng 1. Hakikat Penari Penari adalah alat ekspresi komunikasi koreografer dengan penonton melalui gerak tubuh. Penari mempunyai peran dan kontribusi besar dalam menciptakan keindahan bentuk tari. Sebuah koreografi didukung oleh penari berkualitas mendukung pencapaian kualitas artistik dan keindahan bentuk tari. Jacqueline Smith menegaskan bahwa penampilan penari merupakan hal penting yang mendukung penyajian karya tari. Penampilan penari yang memperkuat komposisi tari, penampilan penari dalam membawakan tari dengan penuh semangat dan sepenuh hati, menguasai teknis, mampu mewujudkan imajinasi dan isi gerak seperti kehendak koreografer, mampu berkomunikasi dengan penonton, mampu menaati gaya tari dari awal sampai akhir menari. 32 Fungsi seni pertunjukan (seni tari) dalam kehidupan manusia secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu: a. Tari sebagai Sarana Upacara Ritual33 Tari upacara memiliki peranan penting dalam kegiatan adat, khususnya kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup seperti kelahiran, kedewasaan dan kematian. Tari juga digunakan untuk mempengaruhi
alam
lingkungan,
hal
ini
menyangkut
sistem
kepercayaan masyarakat. Upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan ini erat kaitannya dengan keidupan manusia. Dalam upacara tradisioanl umumnya memiliki makna dan tujuan untuk
31
Siswanto, Op. Cit, h 162. Novi Anoegrajekti, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya¸ (Jakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, 2008), h. 186-187. 33 Frahma Sekarningsih dan Heny Rohayani, Pendidikan Seni Tari dan Drama, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 9-10. 32
24
menghormati, mensyukuri, memuja dan memohon keselamatan pada Tuhan. Upacara tradisional mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap warga masyarakat pendukungnya. Aturan-aturan dalam upacara tradisional tumbuh dan berkembang secara turuntemurun dengan tujuan untuk melestarikan kehidupan masyarakat. Umumnya peraturan ini mempunyai sanksi dalam bentuk magicsacral. Dengan demikian upacara ini merupakan pranata sosial yang berfungsi sebagai sosial kontrol terhadap tingkah laku atau pergaulan yang berlaku di masyarakat. Seni tari untuk keperluan ritual harus mematuhi kaidah-kaidah yang telah turun-temurun menjadi tradisi. Kaidah-kaidah tari yang berfungsi sebagai sarana upacara ritual memilki ciri-ciri khas yakni harus diselenggarakan pada hari dan saat tertentu yang kadang-kadang dianggap sakral, penarinya pun dipilih orang-orang tertentu biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual, dan adakalanya disertai berbagai sesaji di tempat-tempat tertentu. Beberapa contoh tari yang berfungsi atau digunakan sebagai upacara ritual yang dilaksanakan dalam masyarakat, yaitu: 1) Tari Bedhaya Ketawang di Jawa Tengah digunakan sebagai upacara penobatan raja dan hari ulang tahun raja. 2) Tari Seblang di Banyuwangi (Jawa Timur) digunakan sebagai upacara ritual kesuburan. 3) Tari Mapeliang dari Sulawesi sebagai tari upacara kematian. 4) Tari Seju Kajo No gawi di daerah Timor Timur dilaksanakan pada acara pembuatan rumah. 5) Tari Makaria digunakan untuk mengiringi upacara permohonan berkat untuk semua usaha atau pun dalam acara keramaian pesta suku Tonsea Minahasa Sulawesi Utara.
25
6) Tari Rejang adalah tari wanita Bali yang berfungsi sebagai tari penyambutan kedatangan para dewa yang diundang untuk turun ke pura, yang kemudian disusul dengan Tari Baris. b. Fungsi Tari sebagai Hiburan34 Seni tari sebagai saran hiburan disajikan untuk kepentingan menghibur masyarakat. Dalam hal ini seni tari digunakan dalam rangka memeriahkan suasana pesta hari perkawinan, khitanan, syukuran, peringatan hari-hari besar, nasional, dan peresmianperesmian gedung. Seni tari dalam acara-acara tersebut sebagai ungkapan rasa senang dan bersyukur yang diharapkan akan memberikan hiburan bagi orang lain. Masyarakat yang diundang atau hadir dalam acara ini pada dasarnya mempunyai keinginan untuk menghibur diri atau rekreasi. Tari hiburan juga disebut tari bergembira yang berfungsi sebagai
media
pengungkapan
rasa
kegembiraan.
Ungkapan
kegembiraan ini dapat dilakukan dengan cara menari bersama. Semua orang yang terlibat di dalamnya sebagai penari. Tari hiburan dapat dikatakan pula sebagai tari pergaulan yang lebih sering dibawakan secara berpasangan, walaupun ada kalanya yang ditarikan tidak secara berpasangan. Di bawah ini beberapa contoh tari hiburan, yaitu: 1) Tari Manjau dari Tanjungkarang-Telukbetung, sebagai tari pergaulan yang menggambarkan percintaan. 2) Tari Martomdur dari Simalungun Sumatera Utara, tari berpasangan sebagai tari hiburan muda-mudi. 3) Tari Ketuk Tilu, Bangreng, Tayub dari Jawa Barat sebagai tari pergaulan. 4) Tari Calonarang dari Bali. 5) Tari Gandrung Banyuwangi dari Jawa TImur. c. Fungsi Tari sebagai Pertunjukan35 34 35
Ibid., h. 11. Ibid., h. 12.
26
Tari
pertunjukan
atau
disebut
juga
tari
tontonan
pelaksanaannya disajikan khusus untuk dinikmati. Tari yang berfungsi sebagai pertunjukan ini dapat diamati pada pertunjukan tari untuk kemasan pariwisata, untuk penyambutan tamu-tamu penting atau tamu pejabat, dan untuk festival seni. Pertunjukan tari yang digunakan pada acara-acara tersebut penggarapannya sudah dikemas dan dipersiapkan menjadi sebuah tari bentuk yang telah melewati suatu proses penataan, baik gerak tarinya maupun musik iringannya sesuai dengan kaidahkaidah artistiknya. Berikut contoh tarian pertunjukan: 1) Tari Panji, tari Rumyang, tari Samba, tari Tumenggung dan tari Klana, tari Kupu Tarung, dan tari Topeng Kencana Wungu. Taritarian ini termasuk ke dalam rumpun tari Topeng Cirebon dan Topeng Priyangan. 2) Tari Subandra, tari Srikandi, tari Arjuna, tari Gatotkaca, tari Jayengrana, tari Gandamanah, tari Badaya, tari Srimpi dan banyak lagi yang lainnya. Kelompok tarian ini dari rumpun tari wayang. 3) Tari Merak, tari Sulintang, tari Sekarputri, tari Ratu Graeni, tari Anjasmara, tari Kandagan, tari Kupu-Kupu, tari Topeng Koncaran, dan lain-lain. Tari-tarian ini adalah karya-karya R. Tjetje Somantri. 4) Tari Lanyepan, tari Kawitan, tari Gawil, tari Ngalana, tari Gunungsari, Kastawa ialah rumpun tari Keurseus. 5) Tari Wayang Wong, Dramatari Arja, tari Janger, tari Pendet dan lain sebagainya adalah tari-tarian yang ada di Bali. 2. Hakikat Ronggeng a. Definisi Ronggeng Tari-tarian Jawa dapat digolongkan di antara bentuk kesenian yang tinggi dan halus dan yang sesuai dengan watak serta suasana Jawa. Kata-kata lain yang digunakan untuk membedakan konteks, bagaimana tari-tarian Jawa dipertunjukkan: apabila beksa untuk menunjukkan koreografi klasik yang sangat distilisasi, maka kata kerja nandhak dipakai untuk menyebut tari-tarian yang tanpa persiapan atau
27
sedikit banyak spontan. Kata benda thandak sering digunakan sebagai ekuivalen untuk kata talèdhèk atau ronggèng, yaitu perempuan penari bayaran yang berkelana bersama rombongan kecil pemain musik, bermain di tempat-tempat terbuka, di pinggir-pinggir jalan, atau sebagai pertunjukan hiburan bagi tamu laki-laki dalam pesta tayuban. Corak tari-tarian demikian dihubungkan dengan suasana gairah asmara, biasanya ditarikan berdua-dua oleh perempuan penari dengan laki-laki pasangannya. Tari-tarian yang dihubungkan dengan kata thandak dan tayuban itu didasarkan kepada gerak-gerik yang termasuk tarian Jawa, tetapi diperagakan dengan sifat spontan, dan semaunya, yang tidak mungkin atau tidak diterima oleh koreografi klasik.36 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan terdapat tiga kata yang memiliki makna yang sama dengan ronggeng, yaitu: (1) ronggeng dari bahasa Jawa yang sama artinya dengan tandak yaitu penari perempuan yang diiringi gamelan—meronggeng berarti menandak atau menari; (2) joget yang berarti: (a) tari, (b) tandak atau ronggeng, (c) berjoget berarti menari; (3) tandak berarti: (a) tari Jawa yang dilakukan oleh perempuan, (b) tandak berarti penari perempuan atau ronggeng, dan (c) bertandak, menandak, berarti menari.37 Sebuah tarian hiburan yang ditarikan berpasangan oleh pria dan wanita
dewasa.
Dalam
tarian
ini
penari
wanita
mengajak
penonton/tamu pria untuk menari bersama dengan jalan menyerahkan selendangnya kepada salah seorang tamu. Pria yang kemudian menari bersama ronggeng tersebut disebut ngibing. Bila akan berhenti menari tamu pria tersebut harus memberikan sumbangan uang kepada penari wanita yang mengajaknya menari dan menyerahkan kembali selendangnya. Demikian terjadi berganti-ganti pasangan.38 Taledhek 36
Clara Brekel dan Papenhuyzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, (Jakarta: ILDEP-RUL, 1991), h. 12-15. 37 Ibid., h. 31. 38 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Tari Indonesia Seri P-T, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta, 1986), h. 41.
28
penari atau tari wanita pada pertunjukan tayuban , juga masih banyak di desa-desa, meskipun sudah jarang yang menjajakan tarian di pasar atau di pinggir jalan. Di beberapa daerah penari ini disebut pula ronggeng atau tandak. Di daerah Banyumas tari jenis tayuban disebut lengger. 39 Dalam daerah kebudayaan Bagelen, yaitu di Kedu maupun di Bagelen, para penari taledhek disebut ronggeng. Seorang penari ronggeng sudah mulai menari sejak berusia antara delapan sampai sepuluh tahun. Seorang penari anak-anak seperti itu biasanya anak gadis ketua rombongan tersebut. Menarikan tarian taledhek serta menyanyikan nyanyian anak-anak (dolanan lare). Rakyat di daerah itu menyebut penari ronggeng yang masih anak-anak itu lengger. Seorang lengger belum tentu menjadi seorang ronggeng bila sudah menjadi dewasa, akan tetapi sebaliknya seorang ronggeng biasanya berasal dari lengger.40 Sebagaimana diketahui secara luas bahwa pada umumnya kehidupan sebagai taledhek atau ronggeng diidentikan dengan kehidupan wanita sebagai pelacur, yang setiap saat menjual diri untuk kaum lelaki yang menginginkannya. Meskipun tidak semuanya demikian, namun telah menjadi pengertian umum di masyarakat, sehingga penilaian terhadap taledhek atau ronggeng menjadi turun, dan lebih jauh lagi terhadap tari yang dibawakannya.41 b. Proses Menjadi Ronggeng Seorang penari ronggeng atau lengger ketika menari harus mempunyai indhang. Indhang adalah roh halus yang dapat merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada orang tersebut. Ia dapat 39
mencapai
suatu
tindakan
yang
melebihi
kemampuan
Soedarsono, Kesenian, Bahasa, dan Foklor Jawa, (Yogyakarta: Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), h. 87. 40 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 221. 41 Ben Suharto, Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia arti.line, 1999), h. 74-75.
29
manusiawinya. Adanya indhang dalam kesenian ini merupakan mitos masyarakat
Banyumas.
Mitos
merupakan
sebuah
keyakinan,
kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil kebudayaan yang menjadi tradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang. Masyarakat Banyumas mayoritas memeluk agama Islam, namun tidak meninggalkan tradisi leluhur seperti ziarah ke makam yang dianggap leluhur. Mereka berdoa dan memohon kepada Tuhan agar yang meninggal dapat diampuni segala dosa-dosanya, diberikan tempat hidup yaitu surga, serta memohon sesuatu untuk dirinya. Untuk itu, mereka membawa bunga tabur (kembang) sebagai tanda bahwa bunga dapat menjadi media agar doanya dapat sampai kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan atau kepercayaan masyarakat Banyumas terhadap fenomena indhang masih tinggi terutama bagi mereka yang menggeluti seni pertunjukan atau kesenian rakyat. Tanpa kehadiran indhang pertunjukan tersebut tidak seru, artinya kurang greget, bahkan tidak menarik untuk ditonton. Sehingga banyak kelompok seni yang berusaha untuk dapat menghadirkan indhang sebagai salah satu syarat mutlak apabila mereka mengadakan pementasan.42 Pada saat pementasan agar indhang secara cepat dapat merasuki penari, maka ritus yang harus dilaksanakan yakni menyediakan sesaji sebelum pentas, melantunkan syair tembang khusus disebut “mantra”. Dalam beberapa waktu kemudian penari akan merasakan kekuatan yang begitu hebat merasukinya. Indhang yang datang adalah indhang yang baik. Wajah penari seketika menjadi lebih cantik dan memiliki kekuatan yang sangat kuat. Hal ini ditunjukkan dengan cara penari menyanyi dan menari selama berjamjam. Penari yang sudah dirasuki indhang juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit dengan cara mencium 42
Wien Pudji Priyanto, Jurnal “Representasi Indhang dalam Kesenian Lengger di Banyumas”, (Jurusan Pend. Seni Tari FBS-UNY).
30
keningnya. Banyak masyarakat sekitar yang anaknya sedang sakit diajak menonton agar nanti dapat disembuhkan oleh penari.43 c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng Masyarakat Jawa pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan yaitu wong cilik (rakyat kecil) dan wong gedhe (priyayi). Hubungan kedua kelompok ini selalu dibingkai oleh budi pekerti yang khas baik melalui bahasa maupun tindakan. Hakikat hubungan masyarakat Jawa adalah perwujudan pergaulan sosial yang tanpa mementingkan diri sendiri. Kepentingan kolektif jauh lebih penting dibanding hanya mementingkan kebutuhan pribadi. Itulah sebabnya, kebersamaan yang diterapkan dalam tuntunan budi pekerti gotong royong atau tolongmenolong menjadi hal yang istimewa. 44 Seorang ronggeng dalam masyarakat Jawa merupakan milik kolektif, sehingga mementingkan kepentingan orang lain daripada diri sendiri menjadi tanggungan dan akibat yang harus ditanggung seorang ronggeng. Selain itu berdasarkan penggolongan yang telah dijelaskan di atas, seorang ronggeng biasanya memiliki kedudukan tinggi dalam status sosial masyarakat di daerahnya. Keberterimaan itu yang menyebabkan ronggeng dapat dengan mudah mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Tetapi, tidak jarang ronggeng dikait-kaitkan dengan pandangan negatif seperti dianggap sebagai sundal. Hal ini tentu memberikan citra negatif terhadap ronggeng. C. Kebudayaan Jawa-Banyumas Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah yang berarti „budi‟ atau „akal‟. Kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.” Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. 43
Ibid. Suwardi Endaswara, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT. HaninditaGraha Widya, 2003), cet.1, h. 5-6. 44
31
Koentjaraningrat
mengemukakan
bahwa
kebudayaan
berarti
keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.45 Kebudayaan mempunyai tiga aspek, yaitu: kebudayaan sebagai tata kelakuan manusia, kebudayaan sebagai kelakuan manusia itu sendiri, dan kebudayaan sebagai hasil kelakuan manusia. Pada hakikatnya warna lokal itu ialah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara intrinsik dalam struktur karya sastra, warna lokal selalu dihubungkan dengan unsure pembangkitnya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup itu ialah kenyataan sosial budaya dalam arti luas, yang antara lain berkomponen aspek adat-istiadat, agama, kepercayaan, sikap dan filsafat hidup, kesenian, hubungan sosial, struktur sosial, atau sistem kekerabatan.46 Perbedaan antara adat dan kebudayaan adalah soal lain, dan bersangkutan dengan konsepsi bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah: 1) wujud ideal, 2) wujud kelakuan, dan 3) wujud fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata-kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, ialah 1) tingkat nilai-budaya, 2) tingkat norma-norma, 3) tingkat hukum, dan 4) tingkat aturan khusus.47 Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa pada umumnya menganggap kemunggalan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai cermin model bagi hubungan antara manusia dengan manusia lain di masyarakat. Bagi orang Jawa, kemunggalan berarti keteraturan, ketentraman, dan keseimbangan. Hal yang dapat diramalkan kesopanan dan keharmonisan di antara bagian-bagian, baik secara perseorangan maupun 45
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 9. 46 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 69. 47 Koentjaraningrat, Op. Cit., h. 10-11.
32
secara sosial. Untuk mencapai keharmonisan di dalam hidup, segenap keinginan, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap membahayakan keserasian sosial dan orang harus mengorbankan diri demi masyarakat dan bukannya memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Kondisi yang paling tidak disukai adalah kekacauan dan ketakharmonisan.48 Banyumas sebagai salah satu bagian dari wilayah provinsi Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dialek, dan kesenian yang unik dan menarik. Hal tersebut dikarenakan letak geografis Banyumas yang berada pada perbatasan dua etnis yang berbeda yaitu masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan masyarakat Jawa Tengah (Surakarta dan Yogyakarta). Oleh sebab itu, pengaruh kebudayaan dan kesenian etnis yang berbeda menjadi cukup kuat terhadap masyarakat Banyumas. 49 Salah satu kesenian rakyat yang berkembang sampai saat ini di daerah Banyumas adalah tayub. Tayub pada awalnya merupakan jenis kesenian yang berfungsi sebagai upacara adat, memohon kesuburan dan sebagai bentuk rasa terimakasih atas hasil panen, namun perkembangannya sekarang berfungis sebagai seni hiburan atau tontonan. Penari wanita yang menjadi pusat dari tayuban yang dikenal dengan istilah ronggeng, taledhek (tledhek, ledhek), tandhak. Dialek Banyumas merupakan salah satu identitas budaya Banyumas, selain kesenian tayub yang telah dijelaskan di atas. Banyak kosakata dialek Banyumasan yang berasal dari Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, Sunda Kuna, dan Sunda. Dialek Banyumasan adalah hasil kontak antarbudaya lokal yang terjadi sejak masa Majapahit akhir hingga sekarang. Bahasa Jawa baku menampakkan fenomena feodalisasi dalam masyarakat Jawa, tidak terkecuali Banyumas. Para elite keturunan Banyumas yang mengacu kepada budaya keratin menjadi korban feodalisme bahasa Jawa baku. Di pihak lain, gejala tersebut tidak menyentuk secara intensif 48
Slamet Riyadi, dkk, Idiom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), h. 12-13. 49 Wien Pudji Priyanto DP, “Estetika Tari Gambyong Calung dalam Kesenian Lengger Banyumas”,( Jurnal Imaji,Vol. 2, No. 2, Agustus 2004), h. 206.
33
masyarakat Banyumas yang hidup di daerah pedesaan. Masyarakat pedesaan Banyumas merupakan basis kehidupan dialek Banyumasan yang bersifat demokratis karena tidak megenal tingkatan atau strata bahasa. Masyarakat Banyumas amat menghargai kesepadanan di antara para penuturnya, terbuka terhadap
pengaruh
budaya
lain,
dan
memiliki
kebebasan
dalam
mengapresiasikan budaya Banyumas yang selaras dengan wataknya. Keegaliteran masyarakat Banyumas merupakan hasil didikan bahasa dialeknya selama berates-ratus tahun yang lalu. Roh keegaliteran (kesepadanan) inilah yang membedakan dialek Banyumasan dengan dialek lainnya.50 Kehidupan sosial masyarakat Banyumas masih akrab dengan foklor yang sangat dipengaruhi oleh ajaran dinamisme-animesme dan perkembangan islam
abangan.
Kepercayaan
terhadap
takhayul,
kekuatan-kekuatan
supranatural yang melingkupi hidup manusia dan kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan pencampuran sistem kepercayaan dan ajaran agama. Hal ini yang merupakan gambaran kehidupan religi masyarakat Banyumas. D. Hakikat Pembelajaran Sastra Pendididikan tentang sastra adalah pendidikan yang membahas hal ihwal
tentang
sastra.
Pendidikan
semacam
ini
bertujuan
untuk
mengembangkan kompetensi sastra. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Dengan pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, menikmati karya sastra secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hafalan nama-nama judul karya sastranya atau sinopsisnya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya. Mereka memahami dan menikmati unsur-unsur karya sastra bukan melalui hafalan pengertiannya, tetapi langsung dapat memahami sendiri 50
Sugeng Priyadi, “Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dalam Dialek Banyumasan”, Humaniora No.1/2000, h. 121.
34
melalui berhadapan dan membaca langsung karya sastranya. Saat mereka membahas unsur ekstrinsik karya sastra, mereka bisa langsung berhadapan dan berbicara langsung dengan sastrawan. Mereka juga bisa langsung diajak untuk mengamati kenyataan sosial budaya yang diceritakan di dalam karya sastra. 51 Ajip Rosidi mengatakan bahwa tugas yang utama pengajar sastra adalah menanamkan, menumbuhkan dan memelihara apresiasi sastra anak didiknya. Jika ia telah berhasil membuat anak didiknya mempunyai apresiasi terhadap dan mencintai karya-karya sastra, maka untuk sebagian besar kewajibannya telah terlaksana. Kegemaran membaca tanpa pengarahan yang jelas, tanpa penumbuhan apresiasi, mungkin hanya akan menyebabkan anak didik memilih bacaan yang akan menyenangkan hatinya saja, yang memberikan hiburan belaka. Di sinilah beratnya tugas pengajar sastra. Dia harus dapat menumbuhkan apresiasi anak didiknya terhadap sastra. 52 Pembelajaran novel dalam kompetensi dasar diharuskan peserta didik memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel. Novel juga diharapkan dapat membantu membentuk karakter peserta didik sesuai dengan kurikulum 2013, yakni guru diharuskan menanamkan nilai-nilai karakter dalam setiap pembelajaran di kelas. “Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.53 Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dijabarkan, diharapkan “pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. “ Seperti pada penjelasan berikut ini:
51
Siswanto, Op. Cit, h. 167-169. L.T. Muliana, Pembinaan minat Baca, Bahasa dan Sastera: Kumpulan Karangan Ajip Rosidi. (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset Surabaya, 1983), cet. 1, h. 226-227. 53 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 15. 52
35
1. Membantu Keterampilan Berbahasa Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu peserta didik berlatih keterampilan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. 2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Sastra berkaitan dengan semua aspek manusia dan alam secara keseluruhan. Setiap karya sastra menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan. Pengajaran sastra, jika dilaksanakan dengan baik, dapat mengantarkan peserta didik berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman. 3. Mengembangkan Cipta dan Rasa Dalam pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial, serta yang bersifat religius. 54 4. Menunjang Pembentukan Watak Dalam pembelajaran sastra, diungkapkan
sehubungan
dengan
ada dua tuntutan yang dapat pembentukan
watak.
Pertama,
pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam dan mampu mengantarkan siswa untuk mengenal rangkaian kehidupan. Kedua, pembelajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter. Penelitian yang difokuskan pada hakikat ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan contoh yang baik, sehingga mampu membimbing peserta didik membentuk karakter dan tingkah laku yang saling menghormati orang lain,bertanggung jawab, dan bertingkah laku baik 54
Ibid., h. 16-19.
36
terhadap orang lain. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengaruh positif untuk membentuk peserta didik, sehingga menjadi manusia yang berkarakter. E. Penelitian Relevan Dalam penelitian ini, objek penelitian yang penulis pilih adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel ini ditulis oleh seorang sastrawan yang berlatar belakang Jawa-Banyumas. Novel ini sarat akan makna dan pengetahuan tentang kehidupan seorang penari yang berlatar belakang dari daerah Jawa Banyumas. Kehidupan yang diangkat mulai dari proses untuk menjadi seorang penari, fungsi ronggeng, syarat menjadi seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas, fungsi ronggeng di masyarakat, dan pandangan masyarakat terhadap ronggeng. Untuk mendukung penelitian ini maka perlu penelitian yang relevan seperti penelitian-penelitian yang di bawah ini: Penelitian relevan yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Inung Setyami, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta, tahun 2012. Tesis Inung Setyami berjudul “Repertoire dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Kajian Estetik Wolfgang Iser”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perwujudan repertoire dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang dijadikan background penciptaan sehingga foreground yang dituju pengarang dapat diungkapkan. Penelitian ini menggunakan teori Repertoire Wolfgang Iser, penenlitian menggunakan keseluruhan teks yang dapat dikenali dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai objek kajian. Selanjutnya, objek kajian tersebut dikaitkan dengan segala sesuatu yang melandasi penciptaan, meliputi norma sosial, norma historis, dan keseluruhan budaya yang dimunculkandalam teks. Penelitian yang selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ali Imron Al-Ma‟ruf. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, tahun 2010. Penelitian ini berjudul “Kearifan
37
Lokal pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai Khasanah Budaya Bangsa”. Penelitian ini mendeskripsikan tentang kearifan local (local genius) budaya Jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari melalui kajian stilistika dengan pendekatan semiotik dan interteks. Penelitian yang selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Fitria Anggaeni, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas Muhammadiyah Purworejo, 2015. Penelitian yang dilakukan oleh Fitria berjudul “Kajian Sosiologi dan Nilai Moral pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek-aspek sosiologi sastra dan nilai moral pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penelitian relevan yang selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurfaisah Martono, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, UNTAN, Pontianak. Penelitian ini berujudul “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. Penelitian ini mendeskripsikan tentang nilai budaya yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk melalui penelitian deskriptif kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Inung Setyami, yang mengkaji tentang repertoire dalam Ronggeng Dukuh Paruk, memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, meskipun objek yang dikaji sama, yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Perbedaannya, dalam penelitian Inung memfokuskan pada repertoire dalam Ronggeng Dukuh Paruk melalui kajian estetik Wolfgang Iser, sedangkan penelitian penulis mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang ditinjau melalui objektif sastra. Yang kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ali Imron Al Ma‟ruf yang mengkaji tentang kearifan lokal pada novel Ronggeng Dukuh Paruk
38
karya Ahmad Tohari, memiliki perbedaan dengan penelitian penulis. Perbedaan yang terjadi adalah dalam penelitian Ali lebih memfokuskan pada kearifan lokal budaya Jawa melalui kajian stilistika dengan pendekatan semiotik dan interteks, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang ditinjau melalui objektif sastra. Yang ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Nur Fitria Anggraeni yang meneliti tentang kajian sosiologi dan nilai moral pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, memiliki perbedaan dengan penelitian penulis. Perbedaan ini terkait tentang tema yang berbeda yakni Nur memfokuskan penelitian mengenai nilai moral dengan kajian sosiologi sastra, sedangkan penulis memfokuskan penelitian mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas melalui pendekatan objektif sastra. Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Nurfaisah Martono, yang mengkaji tentang nilai budaya Jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, meskipun objek yang dikaji sama, yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Perbedaannya, dalam penelitian Nurfaisah memfokuskan pada nilai budaya Jawa dengan pendekatan sosiologi sastra, sedangkan penelitian penulis mengenai ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang ditinjau melalui objektif sastra.
BAB III TINJAUAN NOVEL A. Biografi Ahmad Tohari Ahmad Tohari adalah seorang pengarang kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948. Pengarang ini lebih dekat dengan pengalaman hidup di desanya. Ia lebih banyak mengangkat persoalan budaya, politik, sosial, seni, dan perempuan dalam karya sastranya. Perempuan sebagai kajian tematik dalam novelnya, tidak terlepas dari kasus-kasus perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, atau pelecehan seksual.1 Pendidikan terakhir tamat SMA di Purwokerto (1962). Pernah bekerja di majalah Keluarga dan menjadi redaktur majalah Amanah di Jakarta (1986). Cerpennya Jasa-Jasa Buat Sanwirya mendapat Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas 1975 yang diselenggarakan Radio Nederland Wereldomroep. Novelnya, Di Kaki Bukit Cibalak (1986) mendapat salah satu hadiah Sayembara Penulisan Roman DKJ 1979, dan novelnya yang lain Kubah (1980) dan Jantera Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku Utaman Departemen P & K tahun 1980 dan 1986.2 Karya-karyanya banyak mendapatkan hadiah, seperti cerpennya yang berjudul “Jasa-Jasa buat Sanwirya” memenangi Hadiah Harapan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland Werelomroep (1977). Novel Di Kaki Bukit Cibalak memperoleh salah satu hadiah Sayembara Penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979. Novel Kubah yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai bacaan terbaik dalam bidang fiksi tahun 1980.Novel Jantera Bianglala dinyatakan sebagai fiksi terbaik (1986), dan melalui novel Berkisar Merah, Ahmad Tohari meraih Hadiah Sastra ASEAN tahun 1995.
1
I Nyoman Yasa,Teori Sastra dan Penerapannya, (Bandung: Karya Putra, 2012), h. 137. Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 24-25. 2
39
40
Karya-karyanya
mulai
dipublikasikan
tahun1970-an.
Beberapa
cerpennya dimuat di Kompas. Yang membuat semangat menulisnya menggebu-gebu adalah saat cerpennya “Jasa-Jasa buat Sanwirya”, menang dalam lomba cerpen yang diadakan oleh Radio Nederland.Setelah itu, karyakarya yang ditulisnya banyak mendapat hadiah. Sampai sekarang Ahmad Tohari masih aktif menulis. Berkaitan dengan aktivitasnya di dunia tulis-menulis, tahun 1990 Ahmad Tohari mengikuti International Writing Program di Lowa, Amerika Serikat, selama tiga bulan. Karya-karya Ahmad Tohari yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, misalnya, Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah diterbitkan dalam bahasa Jepang atas biaya Toyota Ford Foundation oleh Imura Cultural Co. Ltd. Tokyo, Jepang. Selain itu, trilogi novelnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Jerman. Novel Ronggeng Dukuh Paruk sudah diterjemahkan untuk pasar bersama Eropa.3 B. Pandangan Hidup Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel yang berlatar budaya, dengan perempuan diposisikan sebagai pelaku dalam pemertahanan budaya lokal di daerah tersebut. Pemposisian perempuan sebagai pelaku dalam pemertahanan budaya melalui peran ronggeng (penari perempuan yang dapat dikencani lelaki dalam kesenian tradisional yang ketika menari diiringi gamelan. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dikontruksi dari tiga buah cerita yang saling terkait (trilogy).Tiga cerita yang tergabung dalam trilogi adalah 1) Catatan Buat Emak, 2) Lintang Kemukus Dini Hari, dan 3) Jantera Bianglala.Srintil, tokoh utama, hanya menuruti perintah dukun ronggeng, Nyai Kartareja, walaupun indung telurnya dipijat hingga Srintil tidak hamil atau melahirkan anak. Srintil digambarkan sebagai tokoh perempuan yang
3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 15-17.
41
selalu ditindas dan dimanfaatkan oleh Nyai Kartareja (dukun ronggeng) agar ia bisa hidup dan melangsungkan kehidupan. Ronggeng menurut Dukuh Paruk adalah perempuan yang menari dengan semangat berahi yang tinggi. Selain itu, ronggeng harus melayani seks lelaki yang haus ketika istri-istri mereka tidak dapat memuaskan nafsunya. Oleh karena itu, siapa pun perempuan itu, termasuk Srintil, harus melaui persyaratan ritual, yakni melalui tahapan ritual bukak-kalmbu. Bukak-klambu adalah upacara dalam bentuk sayembara diperuntukan kepada para lelaki yang ingin menikmati tubuh perawan. Laki-laki yang mengikuti sayembara ini harus memberikan mas kawin atau harta kepada dukun ronggeng. Setelah itu, laki-laki itu berhak untuk menikmati virginitas seorang perempuan calon ronggeng.4 Srintil, sebagai tokoh utama Ronggeng Dukuh Paruk adalah seorang penari tayub. Ia hidup dalam dua dunia yang berbeda. Dipuja dan dicerca. Srintil seakan memang dilahirkan untuk menjadi ronggeng. Dalam konteks ini, apakah Srintil masih dapat dikatakan bahwa seorang perempuan yang lemah dan tak berdaya. Sangat sulit untuk menjelaskan dan memastikan siapa yang dieksploitasi dari siapa pula yang mengeksploitasi. Jika dalam proses interaksi tersebut hanya dipandang sepihak yang berperan, berarti menafikan peran lain yang tak kalah penting. Adanya Srintil dengan segala variasi kehidupannya, menyadarkan kita untuk membaca secara wajar sebuah identitas. Bukankah identitas itu sendiri sebuah kecairan atau kecairan itu pula sebenarnya yang lebih sesuai dijadikan sebagai identitas.5 Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk seperti sebuah filosofi “sesuatu yang harus dikandung dalam jiwa harus dikeluarkan, hamil sastra merupakan kelahiran karya sastra yang merupakan sesuatu yang alami dan dialektis”. Novel ini ditulis atas nama pertanggungjawaban moral Ahmad 4
Ibid.,h. 138-142. Novi Anoegrajekti, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya¸ (Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, 2008), h. 151-156. 5
42
Tohari sebagai pengarang terhadap tragedi besar yang terjadi pada tahun 1965. Kesaksian dan pewartaan atas nama kemanusiaan. Hampir semua karya Ahmad Tohari terilhami
oleh pengalaman-pengalaman sendiri
yang
merupakan hasil pembacaan lahir batin atas lingkungan yang kemudian diperkaya dengan idealisme dan komitmen kemanusiaan. Penulisan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memerlukan waktu beberapa tahun. Boleh jadi karena novel ini harus mengungkapkan sesuatu yang amat serius sehingga memerlukan waktu, tenaga, dan pemikiran yang lebih banyak serta harus sekian kali ditulis ulang.6 Ronggeng Dukuh Paruk yang mengusik jiwa Ahmad Tohari sejak SMA mulai mendesak-desak untuk ditulis. Padahal pada masa yang sama Ahmad Tohari sedang menduduki posisi sebagai seorang redaktur di harian Merdeka, Jakarta. Namun, karena desakan dari dalam begitu kuat jabatan redaktur pun ditinggalkan. Ia pulang kampung dengan membawa mesin tik. Dan di kampung pulalah ia menyelesaikan Ronggeng Dukuh Paruk selama lima tahun. Sebelum terbit sebagai buku, Ronggeng Dukuh Paruk terlebih dahulu muncul sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Hal ini membantu promosi selain menjadikan honorarium yang ia terima dua kali lebih besar. Tahun 1983, buku pertama Ronggeng Dukuh Paruk difilmkan. Meskipun film ini kurang berhasil, sekali lagi Ronggeng Dukuh Paruk telah dipromosikan lebih luas. Maka buku kedua Lintang Kemukus Dinihari dan buku ketiga Jantera Bianglala segera bisa diterima oleh masyarakat pembaca. Lalu pada tahun 2011, Ronggeng Dukuh Paruk kembali diadaptasi dalam sebuah film berjudul Sang Penari. Film Sang Penari yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat.
6
Pamusuk Eneste, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 4, (Jakarta: KPG, 2009), h. 117-121.
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk 1. Tema Tema yang diangkat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah kehidupan seorang ronggeng di Dukuh Paruk, yang dimulai dari proses menjadi seorang ronggeng, tugas seorang ronggeng hingga citra ronggeng dalam masyarakat. Proses untuk menjadi seorang ronggeng dimulai ketika tokoh Srintil kemasukan indang ronggeng, lalu melalui tahapan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan upacara bukak klambu. Novel ini berisi tentang bagaimana kehidupan seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang sarat dengan kepercayaan-kepercayaan maupun mitos-mitos yang terdapat dalam kehidupan warga Dukuh Paruk. Tokoh Srintil mengalami banyak pengalaman ketika menjadi seorang Ronggeng, dia sadar betul bahwa seorang ronggeng adalah milik umum, sehingga Srintil tidak boleh memikirkan kepentingan pribadinya, seperti keinginan mempunyai anak dan keinginan untuk hamil. Hal itu tidak boleh terjadi selama indang ronggeng masih terdapat di dalam tubuh Srintil. Tokoh Rasus dalam novel ini juga mempunyai peranan yang cukup penting yakni proses yang dilalui oleh Srintil untuk menjadi seorang ronggeng berimbas pada kerenggangan hubungannya dengan Srintil, serta harus membuang jauh-jauh bayangan akan Emak pada diri Srintil. Rasus merasa kecewa dengan adat dan proses-proses yang harus dilalui seorang ronggeng. Hal ini sangat merendahkan derajat perempuan, tetapi Rasus tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu ia masih sangat kecil dan warga Dukuh Paruk sangat bersuka-cita menerima penobatan ronggeng Srintil. Rasus yang merasa kecewa memilih untuk pergi meninggalkan desanya. Pada intinya, novel ini menggambarkan tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam menghadapi kehidupannya sebagai seorang
43
44
ronggeng. Sebagai ronggeng yang menjadi milik umum, membawa keberkahan sehingga memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Dukuh Paruk. Srintil harus dengan senang hati menerima konsekuensi yang terjadi apabila menjadi seorang ronggeng, serta harus menyadari tugas Srintil sebagai ronggeng. Penggambaran tema dalam novel ini dapat dilihat ketika Srintil kerasukan indang ronggeng, dan harus melalui beberapa tahapan untuk menjadi seorang ronggeng. Dan penggambaran tema ini terlihat ketika Srintil jatuh hati pada Rasus dan menginginkan untuk menikah dengan Rasus. Jika hal itu terjadi, tentu pernikahan Srintil dengan Rasus tidak akan berjalan dengan lancar selama Srintil masih memiliki indang ronggeng. Hal ini yang menyebabkan mau tidak mau, dan suka tidak suka Srintil harus menerima peranannya sebagai ronggeng. Hal ini dapat dilihat dari kutipan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, sebagai berikut: “….Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia…. Selagi indang masih tinggal dalam diri, sampean tidak mungkin mendapatkan lebih dari itu. Tidak mungkin! Jadi sekali lagi, lupakan Rasus demi kebaikan sampean sendiri.”1 Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Srintil kecewa karena untuk menjadi seorang ronggeng berarti dia tidak bisa mendapatkan Rasus selama indang ronggeng masih terdapat di dalam dirinya. Semenjak itu dia menyadari bahwa ronggeng adalah milik umum, milik Dukuh Paruk dan dia harus menjalankan peranannya sebagai ronggeng selama indang ronggeng masih terdapat dalam dirinya. Rasus pun tidak dapat berbuat apa-apa dan memilih untuk pergi meninggalkan Srintil. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh dalam sebuah novel mempunyai peranan penting, para tokoh dapat menjelaskan bagaiamana kejadian dalam sebuah novel
1
Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet 9, h. 165-166.
45
dipaparkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, tokoh utama dalam novel ini adalah Srintil dan Rasus. Mereka mempunyai peranan penting dalam novel, sehingga kejadian dan peristiwa yang terjadi di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk banyak dipaparkan melalui kedua tokoh utama tersebut. a. Srintil Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah Srintil. Srintil adalah seorang yatim piatu, sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayahibu. Sebelum membahas terkait dengan sifat dan karakter Srintil, peneliti terlebih dahulu membahas tentang makna yang terkandung dari nama “Srintil”.
Ali Imron Al-Ma’ruf dalam Novi Anoegrajekti menyatakan
mengenai makna nama Srintil, meskipun dari namanya terdengar tidak istimewa bahkan terkesan rendah, sebenarnya memiliki makna yang dalam, simbolis, dan filosofis. Nama Srintil memiliki fungsi sebagai identitas seorang perempuan desa juga memiliki fungsi simbolik. Kata “Srintil” dalam bahasa Jawa berarti kotoran kambing yang wujudnya kebulat-bulatan berwarna hijau tua kehitam-hitaman dan berbau tidak sedap. Meskipun baunya busuk dan wujudnya menjijikan, “Srintil” dapat menjadi pupuk yang mampu menyuburkan tumbuhan-tumbuhan di sekitarnya di tanah yang gersang sekalipun. Artinya, meskipun kotoran kambing itu wujudnya menjijikan dan baunya busuk, Srintil tetap dibutuhkan dan dicari oleh manusia. Jadi, nama Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk mengandung makna filosofis yang tinggi.2 Begitu kuat pesona ronggeng Srintil bagi masyarakat Dukuh Paruk. Sehingga membuat perempuan atau para istri pun bukannya cemburu atau
2
Novi Anoegrajekti, dkk (ed), Ideosinkrasi Pendidikan Karakter melalui Bahasa dan Sastra: “Kearifan Lokal pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”, (Yogyakarta: Keppel Press, 2010).
46
marah melihat suaminya bertayub, melainkan justru bangga jika suuaminya dapat bertayub dengan Srintil. “Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan. “Jangan besar cakap,” kata yang lain. “Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.” “Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok….”3 Nama Srintil sebagai tokoh utama sengaja digunakan pengarang sebagai nama yang memiliki makna simbolik sesuai dengan sifatnya yang khas sebagai ronggeng. Srintil menggambarkan perempuan kelas bawah yang dibutuhkan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan karena superior Srintil di kalangan warga Dukuh Paruk yang menganggap bahwa Srintil pembawa berkah dan merupakan titisan dari arwah Ki Secamenggala. Srintil digambarkan sebagai seorang gadis yang bercambang halus di pipi, berambut hitam pekat, kulitnya bersih dan berlesung pipi. Gambaran Srintil yang seperti ini menegaskan bahwa Srintil adalah seorang gadis yang cantik baik untuk ukuran Dukuh Paruk maupun luar Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan sebagai berikut: “…. Dalam waktu sebulan telah terlihat perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak lagi terjerang matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup. Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna kebiruan….”4 Srintil juga digambarkan sebagai ronggeng Dukuh Paruk yang sangat menggoda. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut:
3
Op.Cit., h. 38. Ibid., h. 36.
4
47
“Kalian minta upah apa?” ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah ke arah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa mengelak, Rasus menerima cium pipi. Warta dan Darsun masingmasing mendapat giliran kemudian….Kali ini mereka yang berebut mencium pipi Srintil. Perawan kecil itu melayani bagaimana laiknya seorang ronggeng….”5 “….Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau bukakan pintu bilikmu bagiku. Nah, kemarilah.” Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu. Bangsat!”6 Kutipan di atas menggambarkan karakter Srintil yang menggoda baik sebelum menjadi ronggeng maupun sesudah menjadi ronggeng. Sifat menggoda sangat wajar dimiliki Srintil karena seorang ronggeng memang gerak-geriknya selalu dilihat dan dinilai masyarakat, sehingga jarang menjadi bahan pembicaraan ke mana pun Srintil pergi. Srintil juga digambarkan sebagai seorang ronggeng yang mempunyai pilihan. Srintil memilih untuk menjadi ronggeng untuk menghapus dosa orang tuanya, Santayib, karena telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek buatannya. Ketika Srintil melaksanakan upacara bukak-klambu Srintil memilih untuk menyerahkan kegadisannya kepada Rasus, kawannya sejak kecil. Hal ini dilakukan oleh Srintil bukan karena materi, melainkan Srintil berhak mempunyai pilihan kepada siapa dia akan menyerahkan kegadisannya pada upacara bukakklambu, dan Srintil memilih untuk memberikannya kepada Rasus. Seperti pada kutipan berikut: “Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”7
5
Ibid., h. 14 Ibid., h. 83. 7 Ibid., h. 76. 6
48
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Srintil tidak menyukai upacara bukak-klambu, tetapi Srintil memilih untuk menyerahkan kegadisannya dalam bukak-klambu kepada Rasus. Seiring dengan berjalannya waktu, tokoh Srintil mengalami pendewasaan, sehingga Srintil bukanlah seorang ronggeng
yang
sembarangan. Srintil digambarkan sebagai ronggeng yang cantik, tetapi tetap berwibawa. Seperti pada kutipan berikut: “….Dalam waktu sebulan telah terjadi perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak lagi terjerang terik matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup. Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna kebiruan. Debu yang mengendap menjadi daki, lenyap dari betis Srintil. Dan kuanggap luar biasa: Nyai Sakarya berhasil mengusir bau busuk yang dulu sering menguap dari lubang telinga Srintil.”8 “…Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya, kemandirian Srintil telah diakuinya.” “ Semua mata memandang ke arah Srintil. Ini juga peyimpangan. Biasanya Kartareja dan Sakarya berani mengambil keputusan tanpa melihat roman muka Srintil lebih dulu. Tetapi kini bahkan wibawa Srintil mampu mencegah siapa saja yang ingin berkata sugestif. Tiba-tiba mata Srintil memancarkan cahaya kuasa. Wajahnya melukiskan citra keangkuhan.”9 Kutipan di atas, menggambarkan kewibawaan Srintil, dia bukanlah ronggeng sembarangan. Srintil memiliki harga diri yang tinggi untuk ukuran seorang ronggeng. Kewibawaan Srintil bahkan diakui oleh orangorang di sekitarnya yang selama ini berlaku sembarangan dan tidak menghargai keinginan Srintil. Kejadian keracunan tempe bongkrek yang dilakukan oleh Santayib, orang tua Srintil membuat Srintil harus menerima dosa dan perlakukan yang kurang baik dari warga Dukuh Paruk. Dosa itu kemudian terhapus ketika Srintil dinobatkan menjadi ronggeng. Ronggeng
8 9
Ibid., h. 36. Ibid., h. 179 & 203.
49
bagi Dukuh Paruk adalah titisan dari arwah Ki Secamenggala dan dianggap membawa keberkahan. Sehingga, kedudukan Srintil menjadi berubah, orang-orang jadi menyegani Srintil. Kewibawaan Srintil sebagai seorang ronggeng membuat dia menjadi ronggeng yang disegani oleh lakilaki maupun perempuan Dukuh Paruk. Srintil yang dianggap pembawa keberkahan membuat banyak perempuan Dukuh Paruk berusaha sebaik mungkin untuk memanjakan ronggeng cantik tersebut, dan laki-laki Dukuh Paruk berusaha untuk dapat menari atau tidur dengan Srintil. Hal ini membuat kedudukan Srintil menjadi superior di Dukuh Paruk. Warga Dukuh Paruk sangat bangga memiliki ronggeng cantik seperti Srintil. Selain itu, Srintil juga digambarkan sebagai orang yang religius. Hal ini terlihat ketika Srintil tidak pernah lupa ngasrep di hari kelahirannya. Lebih dekat terhadap Tuhan, mematuhi setiap perintah kepercayaannya. Kepribadian Srintil ini terjadi setelah Srintil mengalami masalah yang cukup berat, yakni ketika dia dianggap terlibat oleh PKI yang membuatnya harus terpenjara selama dua tahun. Kejadian itu membuat perubahan yang sangat besar dalam diri Srintil. Srintil sebelum dianggap terlibat kisruh PKI adalah seorang ronggeng yang tenar, cantik, percaya diri, dan berwibawa. Namun, Srintil berubah menjadi pemurung, malu, rendah diri, dan takut terhadap orang-orang di luar Dukuh Paruk setelah Srintil dianggap terlibat dalam kisruh PKI. Srintil menjadi orang yang takut berbuat sesuatu yang dianggap salah dan tidak ingin bertingkah karena merasa malu dirinya telah melakukan kesalahan. Seperti pada kutipan berikut: “Jadi Sakarya tidak ikut berhura-hura. Persiapannya menyambut kembali pementasan Srintil lebih ditekankan pada segi kejiwaan. Lebih sering memasang sesaji di dekat makam Ki Secamenggala, lebih banyak terjaga di malam hari serta mengurangi minum-minum. Srintil diperintahkannya dengan sangat ngasrep pada hari kelahirannya.”
50
“Eh lha, Jenganten, Mbok sampean jangan membiarkan diri terkatung-katung. Segala keinginan harus disetiari. Sampean tidak lupa ngasrep pada hari kelahiran?” Srintil diam. “Sampen tidak lupa berpuasa Senin-Kamis?” Srintil masih diam. Oh, kamu, Nyai Kartareja. Jangankan ngasrep dan puasa Senin-Kamis. Setiap saat aku memohon kepada Tuhan, kiranya segera datang laki-laki yang suka 10 mengawiniku….” Kutipan di atas menjelaskan bahwa keinginan Srintil sebagai seorang perempuan untuk menjadi perempuan somahan, diperistri, bahagia dalam kehidupan berumah tangga, tetapi karena namanya yang telah tercoreng akibat kisruh PKI membuat Srintil pasrah. Srintil merasa orangorang menjadi segan mendekati dia, karena takut dianggap terlibat seperti Srintil. Hingga pada akhirnya Srintil merasa dirinya telah diterima kembali dan kesalahannya telah dimaafkan oleh orang-orang setelah Bajus mendekati Srintil. Srintil mulai diterima kembali keberadaannya setelah didekati oleh Bajus, yang bukan karyawan biasa dalam proyek pembangunan irigasi tersebut. Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil. Srintil merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadia maupun yang dikenai kejadian, dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi di dalam novel senantiasa menghadirkan Srintil. Srintil sebagai tokoh utama sangat menentukan perkembangan alur cerita secara keseluruhan. Selain sebagai tokoh utama, Srintil juga dikatergorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil digambarkan sebagai tokoh yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan dan memiliki hubungan denga tokoh-tokoh lain di dalam novel. Tokoh Srintil adalah tokoh yang keberadaannya untuk mencapai tujuan yang dalam hal ini adalah menjadi ronggeng untuk 10
Ibid., h. 180 & 370.
51
menghapus dosa masa lalu kedua orang tuanya dan Srintil menghadapi persoalan-persoalan yang muncul ketika Srintil hendak menjadi seorang ronggeng, seperti harus memendam dalam-dalam perasaannya terhadap Rasus, tidak boleh menikah, dan dianggap sebagai sundal oleh orang luar Dukuh Paruk. Persoalan-persoalan yang dialami oleh Srintil disebabkan oleh tokoh antagonis seperti Nyai Kartareja dan Kartareja yang tidak menyetujui kalau anak asuhnya mencintai Rasus dan memilih berhenti menjadi seorang ronggeng. Srintil dapat pula dikategorikan sebagai tokoh kompleks atau tokoh bulat. Srintil sebagai tokoh mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan sikap. Perubahan ini terkait dengan keterlibatan Srintil dengan tragedi PKI. Sebelum dianggap terlibat PKI, Srintil merupakan tokoh yang berwibawa, percaya diri, dan periang. Namun, setelah dianggap terlibat PKI Srintil menjadi penakut, pemurung, dan pendiam. Perubahan semacam ini jika dikaji secara dalam merupakan hal yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan secara alur dengan relasi sebab akibat. Srintil merupakan tokoh yang mencerminkan kehidupan manusia yang sesungguhnya perubahan
yang
sikap
memiliki
dalam
diri
berbagai Srintil
kemungkinan
menyebabkan
mengalami
Srintil
dapat
dikategorikan sebagai tokoh kompleks. Tokoh Srintil juga dapat dikategorikan sebagai tokoh dinamis karena Srintil mengalami perubahan watak sejalan dengan perkembangan peristiwa yang dikaisahkan di dalam novel. Sikap dan watak Srintil mengalami perkembangan mulai dari awal, tengah hingga akhir cerita sesuai dengan tuntutan logika cerita secara keseluruhan. b. Rasus Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad juga menjadi tokoh yang mempunyai peranan penting seperti Srintil. Rasus digambarkan sebagai seorang anak yang selalu membayangkan sosok
52
Emak dalam diri Srintil. Hal ini dikarenakan Rasus harus kehilangan Emak akibat kejadian tempe bongkrek beberapa tahun silam. Rasus yang menyukai Srintil, selalu menggambarkan Emak seperti Srintil, yang mempunyai cambang halus, dan berlesung pipi. Rasus mengagumi Srintil karena sosok Emak terbayang dalam diri Srintil, sehingga Rasus berusaha untuk selalu melindungi dan menyayangi Srintil, hingga Srintil menjadi ronggeng, bayangan akan Emak dalam diri Srintil telah menghilang. Rasus tetap menyayangi dan melindungi Srintil sebagai kawan lama. Terlebih Sakarya memberikan amanat kepada Rasus untuk menjaga Srintil, sehingga Rasus merasa sangat bersalah karena tidak dapat menjaga Srintil dengan baik hingga akhirnya Srintil mennjadi gila karena dikecewakan oleh Bajus. Rasus sangat marah setelah mengetahui bahwa Srintil menjadi gila. Rasus berusaha untuk membawa Srintil berobat dan berharap Srintil sembuh untuk bisa memperbaiki kesalahannya karena tidak menjaga Srintil dengan baik. Seperti pada kutipan berikut: “Keris yang kubawa dari rumah masih kuselipkan di ketiakku, rapi tergulung dalam baju. Aku merasa lebih baik menyerahkan benda itu kepada Srintil selagi dia tertidur. Ternyata kesan penyerahan semacam itu, dalam. Sangat dalam. Aku sama sekali tidak merasa menyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng kecil. Tidak. Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya hidup dalam alam angan-angan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur. Tentu saja perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga mewakili Emak, walau aku tidak pernah tahu di mana dia berada.“11 Keris yang diberikan oleh Rasus kepada Srintil merupakan tanda bahwa Rasus mengagumi Srintil sehingga Rasus ingin melihat Srintil menari di panggung dengan keris yang sesuai dengan tubuhnya. Keris yang diberikan Rasus bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Keris itu merupakan keris pekasih yang dulu menjadi jimat para ronggeng. Keris itu yang akan menjadikan Srintil ronggeng tenar. Rasus memberikan sesuatu yang berharga kepada Srintil. 11
Ibid., h. 41.
53
Selain itu, Rasus juga digambarkan sebagai orang yang pandai dan selalu ingin tahu. Bermula ketika Rasus merasa kecewa setelah Srintil menjadi Ronggeng. Rasus banyak belajar mengenai dunia baru di luar Dukuh Paruk. Sifatnya yang selalu ingin tahu membuatnya mengetahui banyak hal, mulai dari adat yang berbeda di luar Dukuh Paruk, pengetahuannya semakin bertambah ketika Rasus menjadi tobang dan diajarkan banyak hal oleh Sersan Slamet. Seperti pada kutipan berikut: “Berbagai pengetahuan takkan pernah kudapat bila aku tak berkesempatan mengenal Sersan Slamet. Hanya dua bulan aku belajar membaca dan menulis. Sesudah itu aku mulai berkenalan dengan buku-buku yang berisi pengetahuan umum, wayang, buku sejarah, sampai buku-buku yang berisi pengetahuan umum. Selukbeluk senjata juga kuperoleh dari sersan yang baik itu. Dari namanya seperti Pietro Beretta, Parabellum, Lee Enfield, Thomson, dan sebagainya.”12 Seperti pada kutipan di atas, Rasus digambarkan sebagai orang yang pandai dan serba ingin tahu. Dalam waktu sebentar Rasus dapat belajar banyak hal sehingga dia bisa meneruskan karirnya dan tidak hanya menjadi tobang, yaitu pesuruh tentara yang bertugas membelikan rokok, menyiapkan makanan, dan membersihkan peralatan militer. Selain memiliki kepandaian, Rasus juga digambarkan sebagai orang yang berani. Hal ini terbukti ketika Rasus berani membunuh penjahat yang ingin mencuri harta Srintil di rumah Nyai Kartareja. Seperti pada kutipan berikut: “Penjahat yang berdiri di belakang rumah kelihatan gelisah. Aku mencari sesuatu di tanah. Sebuah batu sudah cukup. Tetapi yang kutemukan sebatang gagang pacul. Ketika perampok membelakangiku, aku maju dengan hati-hati. Pembunuhan kulakukan untuk kali pertama. Aku tidak biasa melihat orang terkapar di tanah. Aku belum pernah melihat bagaimana seorang manusia meregang nyawa. Pengalaman pertama itu membuat aku gemetar. Dan siap lari andaikata tidak tertahan oleh keadaan. Aku mendengar langkah mendekat. Cepat aku mengambil senjata milik orang yang sudah kubunuh. Sebuah Thomson yang tangkainya 12
Ibid., h. 94.
54
sudah diganti dengan kayu buatan sendiri. Tak mengapa. Senjata yang telah terkokang itu kugunakan untuk pembunuhan kali kedua.”13 Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Rasus berani membunuh dua orang penjahat dan karena keberaniannya itu ia menjadi naik pangkat dan tidak lagi menjadi seorang tobang. Dan karena keberaniannya itu pula membuat Srintil menginginkan Rasus untuk menikahinya. Tetapi karena tanggungjawabnya sebagai seorang tentara dan masih ada kekecewaan di dalam hatinya terhadap Dukuh Paruk membuat Rasus pergi meninggalkan Srintil. Selain memiliki sifat yang berani, Rasus juga sangat taat dalam beribadah dan rendah hati. Hal ini terlihat ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk, meskipun dia sudah menjadi tentara, Rasus tetap mengakui orangorang Dukuh Paruk sebagai saudaranya. Selain itu, Rasus juga sangat rajin sembahyang. Seperti pada kutipan berikut: “Sampean bibiku, pamanku, uwakku, dan sedulurku semua, apakah kalian selamat?” kata Rasus kepada semua orang yang ada di sekelilingnya. Namun, sebutan “sedulur” yang diucapkan Rasus dengan tulus malah mengunci semua mulut orang Dukuh Paruk. Mereka terharu masih diakui saudara oleh Rasus yang tentara, yang kuasa menentukan apakah seseorang harus ditahan atau dibebaskan. Lama tak ada yang bersuara sampai terdengar Sakarya terbatuk dari kursinya.” “Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cepat dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat lincak. Rasus bersembahyang.”14 Seperti pada kutipan di atas, tokoh Rasus digambarkan sebagai seorang yang rendah hati, meskipun dia sudah merasa tersakiti oleh Dukuh Paruk. Rasus tetap mengakui Dukuh Paruk sebagai kampungnya dan warganya sebagai saudara-saudaranya. Hal ini membuktikan bahwa Rasus tidak menjadi sombong atau lupa diri meski dia telah menjadi seorang tentara. 13 14
Ibid., h. 101-102. Ibid., h. 257 & 351.
55
Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kedudukan sebagai tokoh utama. Seperti halnya dengan Srintil, Rasus juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Meskipun demikian, Rasus sebagai tokoh utama tidak selalu muncul dalam setiap kejadian yang terjadi di dalam novel, atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap bagian di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, namun ternyata dalam setiap kejadian atau setiap bagian di dalam novel yang tidak menyertakan Rasus. Rasus tetap memiliki keterikatan dengan tokoh utama, Srintil. Misalnya, pada bagian Jantera Bianglala, Rasus sebagai tokoh utama tidak muncul di dalam cerita tetapi tetap dikaitkan dengan konflik batin yang dialami Srintil hingga Srintil menolak untuk naik pentas. Dengan demikian, Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh utama tambahan. Rasus juga dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus merupakan tokoh yang menjadi sorotan kedua setelah tokoh Srintil dan memiliki keterikatan dengan tokoh-tokoh lain dalam novel. Kehadiran sosok Rasus memunculkan konflik batin pada Srintil karena Srintil menyukai Rasus dan Srintil ingin dijadikan istri oleh Rasus tetapi Rasus tahu kalau Srintil milik Dukuh Paruk. Konflik yang dialami tokoh Rasus disebabkan oleh tokoh antagonis, Nyai Kartareja dan Kartareja yang tidak menginginkan Rasus menikah dengan Srintil karena takut anak asuhnya berhenti menjadi seorang ronggeng. Selain itu, Rasus juga merasa kecewa dengan adat Dukuh Paruk yang menjadikan ronggeng sebagai milik umum hingga Rasus tidak dapat berteman lagi dengan Srintil yang telah menjadi ronggeng. Dengan persoalan-persoalan yang dialami oleh Rasus, tokoh Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus juga dikategorikan sebagai tokoh kompleks dan dinamis. Rasus mengalami perubahan dan perkembangan sikap dan watak. Perubahan dan perkembangan sikap Rasus terjadi seiring dengan pendewasaan dan berbagai permasalahan yang dialami Rasus sebagai
56
tokoh kompleks dan dinamis. Perubahan dan perkembangan sikap dan watak Rasus terjadi dari awal cerita yang semula Rasusu digambarkan sebagai tokoh yang rendah diri dan bodoh karena kemiskinan yang terjadi di Dukuh Paruk, lalu sikap Rasus berkembang dan mengalami perubahan menjadi tokoh yang pemberani, pandai, dan bertanggung jawab. Perubahan ini terlihat logis seiring dengan berbagai permasalahan yang menimpa Rasus hingga menyebabkan perubahan dan perkembangan sikap Rasus dalam menghadapi berbagai masalah di hidupnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini juga didukung oleh kehadiran tokoh-tokoh tambahan yang turut berperan dalam novel ini, di antaranya: a. Sakarya Tokoh tambahan dalam Ronggeng Dukuh Paruk salah satunya adalah Sakarya. Sakarya memilki sifat yang taat pada aturan-aturan kepercayaannya, serta menganggap beberapa hal yang terjadi dalam hidup ini tidak jauh dari hubungan manusia dengan Ki Secamenggala dan tidak terlepas dari kepercayaan-kepercayaan di dalamnya. Seperti pada kutipan berikut: “….Walaupun sedang menunggu mayat anak dan menantunya, tengah malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya menjadi kamitua di pedukuhan itu.” “Perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwaperistiwa kecil namun baginya penuh makna….Sakarya selalu membaca sasmita alam. Sakarya tidak pernah berpikir bahwa suatu perkara kecil apa pun bisa berdiri sendiri, lepas dari kehendak semesta. Dan semuanya pastilah mengemban makna yang sasmita. Sepanjang menyangkut binatang asing yang mendekat, apalagi
57
sampai masuk rumah, siapa pun di Dukuh Paruk akan membacanya sebagai pertanda buruk.”15 Kutipan di atas menggambarkan tokoh kakek Srintil itu sebagai seorang yang selalu percaya akan adanya makna-makna yang tersirat pada semua pertanda-pertanda alam yang terjadi. Selain itu, tokoh Sakarya juga digambarkan sebagai orang yang patuh dan taat terhadap kepercayaannya, terlebih ketika Sakarya telah menjadi kamitua di Dukuh Paruk. b. Kartareja Kartareja digambarkan sebagai dukun ronggeng yang materialistis dan licik. Sebagai dukun ronggeng, Kartareja dipercaya oleh Sakarya untuk mendidik Srintil agar menjadi ronggeng. Kartareja digambarkan sebagai orang yang materialistis dan licik karena ketika mengadakan bukak-klambu,
Kartareja
memenangkan
Dower
dan
Sulam
agar
mendapatkan sekeping ringgit emas dan juga seekor kerbau. Seperti digambarkan pada kutipan berikut: “Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?” “Kalau saya gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjar saya hilang?” tanya Dower. “Ya!” jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras.16 Pada kutipan di atas, menggambarkan Kartareja yang licik ketika ingin melakukan sayembara bukak-klambu bagi Srintil. Kelicikan itu juga terjadi ketika bukak-klambu itu sedang berlangsung besok malamnya. Seperti pada kutipan berikut: “Kartareja mengeluarkan botol-botol dari lemari. Sebuah masih penuh berisi ciu. Sebuah lagi hanya berisi seperempatnya. 15 16
Ibid., h. 30 & 158. Ibid., h. 59.
58
Isi botol yang kedua ditambah dengan air tempatnya hingga penuh. Kepada istrinya yang datang membawa dua buah cangkir, Kartareja memerintahkan menghidangkan minuman keras itu kepada Sulam dan Dower. “Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower,” kata Kartareja. Istrinya tersenyum. Walaupun tidak selicik Kartareja, namun perempuan itu sudah dapat menduga ke mana maksud tindakan suaminya.” 17 c. Nyai Sakarya Nyai Sakarya digambarkan sebagai seorang nenek yang penyayang dan juga sangat memiliki jiwa keibuan. Seperti pada kutipan berikut: “Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk berjalan merangkul cucunya. Nyai Sakarya maupun Srintil membisu. Namun dalam hati masing-masing sudah tumbuh kesepakatan: mereka berdua hendak pulang ke Dukuh Paruk…. Agak jauh di depan sepasang sinar kebiruan bergerak menyeberang pematang diikuti oleh dua pasang lainnya. Srintil merapat ke tubuh neneknya.” 18 Kutipan di atas Nyai Sakarya digambarkan sebagai seorang nenek yang penyayang, dan sabar. Nyai Sakarya dengan sabar mecari Srintil yang kala itu kabur keluar Dukuh Paruk karena ingin mencari Rasus. Selain itu, Nyai Sakarya memliki sifat yang sangat keibuan sehingga dia bisa menenangkan Srintil ketika Srintil takut atau gelisah. d. Nyai Kartareja Tokoh tambahan lain dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Nyai Kartareja. Nyai Kartareja digambarkan sebagai seorang dukun rongggeng yang licik, dan materialistis. Hal ini tidak jauh berbeda dengan suaminya. Seperti pada kutipan berikut: “Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri Lurah Pecikalan, sebuah 17 18
Ibid., h. 73-74 Ibid., h. 134-135.
59
rantai emas seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang cantik mudah saja dia memberi beban berat kepada kami.”19 Kutipan tersebut menggambarkan Nyai Kartareja yang licik karena sebenarnya yang menginginkan kalung emas itu bukan Srintil melainkan dirinya. Akibat Srintil yang tidak mau menemui Marsusi, maka alasan yang digunakan Nyai Kartareja adalah Srintil sedang merajuk karena menginginkan kalung emas. Tidak hanya itu, Nyai Kartareja juga digambarkan sebagai tokoh yang tidak tahu diri, yang tidak mengerti bagaimana perasaan Srintil setelah keluar dari penjara. Seperti pada kutipan berikut: “Oalah, Gusti Pangeran,” tangis Srintil dalam ratap tertahan. “Nyai, kamu ini kebangetan! Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu? Kamu tidak membaca zaman? Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang? Oalah, Gusti….” “Eh, sabar dulu, Jenganten. Dengar dulu kata-kataku! Siapa bilang ada orang yang tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk yang hanya bisa nunut sampean?” “Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, bahkan bonggol pisang. Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. Oalah, Nyai. Kamu hanya mengalami dua minggu di tahanan. Sedangkan aku dua tahun. Cukup, Nyai. Cukup!”20 e. Pak Bakar Pak Bakar digambarkan sebagai seorang pria yang berwibawa dan memiliki sifat kebapakan. Sifatnya tersebut Pak Bakar dapat dengan mudah diterima oleh orang Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut:
19 20
Ibid., h. 122. Ibid., h. 288.
60
“Di mata Srintil, Bakar adalah ayah yang sangat layak. Ramah, dan kelihatannya paham akan banyak hal termasuk perasaan pribadi Srintil…. Dukuh Paruk yang bersahaja sertamerta menerima Bakar sebagai orang bijak yang bisa memimpin dan melindunginya. Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti, pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi pintu masuk ke Dukuh Paruk berhias lambang partai….” Kutipan di atas menggambarkan tokoh Pak Bakar yang mudah diterima oleh orang Dukuh Paruk karena kewibawaan dan kebaikankebaikannya terhadap orang Dukuh Paruk. Dengan kepandaiannya berbicara dia digambarkan sebagai laiknya kamitua di Dukuh Paruk. Pak Bakar dipercaya dapat memimpin dan melindungi Dukuh Paruk. Padahal, Pak Bakar melakukan itu semua karena ada tujuan lain di dalamnya seperti melibatkan Dukuh Paruk ke dalam partai politiknya. Namun, setelah mengenal Pak Bakar ternyata Pak Bakar adalah orang yang tidak sopan, karena menghina Ki Secamenggala, moyang Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Nanti dulu, Kang Sakarya,” ujar Bakar sambil tersenyum. “Aku yakin betul, apa yang terjadi di sawah-sawah itu seharusnya tidak asing bagi semua orang Dukuh Paruk. Nah, apa kalian mengira aku tidak tahu siapa dan bagaimana kelakuan nenek moyang kalian?” Sakarya terperanjat. Kata-kata Bakar tak diduganya sama sekali. Kata-kata itu mengandung penghinaan, menyangkut moyang Dukuh Paruk yang amat dikeramatkan oleh sekalian keturunannya. Ki Secamenggala yang semasa hidupnya menjadi bromocorah, pemimpin rampok yang tidak hanya sekali-dua membunuh korbannya. Tetapi bagaimana juga Ki Secamenggala adalah laki-laki dari siapa semua orang Dukuh Paruk berasal.”21 f. Bajus Tokoh tambahan terakhir dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Bajus. Bajus digambarkan sebagai laki-laki Jakarta yang pandai
21
Ibid., h. 233.
61
dan menarik perhatian Srintil karena sopan terhadap dirinya, seperti pada kutipan berikut: “Dan Srintil tidak bisa menolak kenyataan bahwa Bajus makin lama membuat Rasus tersisih dari hatinya. Bajus yang sama sekali belum memperlihatkan hal-hal yang tidak disukainya. Perkenalan selama lima bulan dengan orang proyek itu adalah harapan. Selama itu Bajus sungguh belum pernah menyentuh kulitnya, belum pernah berbicara tentang hal-hal erotik, baik langsung maupun tersamar. Sopan dan ramah seperti seorang priyayi sejati. Ditambah dengan kenyataan Bajus membantu banyak sekali dalam pembangunan rumah Srintil, maka mahkota Dukuh Paruk itu hanya bisa menarik satu nalar, Bajus adalah lelaki yang baik dan bersungguh-sungguh. Dia bukan laki-laki dari dunia petualangan, dunia yang Srintil bertekad untuk meninggalkannya.” Kutipan di atas Bajus digambarkan sebagai laki-laki sejati, lakilaki yang sopan, laki-laki yang bertanggung jawab, sehingga sifat Bajus ini menarik perhatian Srintil dan memberi harapan kepada Srintil yang memang ingin segera berumah tangga. Namun, di akhir cerita ternyata Bajus bukanlah laki-laki yang seperti digambarkan di awal. Bajus adalah laki-laki yang licik dan jahat karena telah memanfaatkan Srintil untuk karir Bajus dikedepannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Sementara Blengur terus menatap foto Srintil, Bajus terus memberi keterangan panjang tentang perempuan muda dari Dukuh Paruk itu. Ketika berkata bahwa Srintil kini kelihatan sedang berusaha keras menjadi seorang ibu rumah tangga, Bajus mengubah nada kata-katanya dengan tekanan yang khas. “Jadi begitu,” potong Blengur. “Lalu mengapa dia mau kamu bawa kemari? Kamu tipu dia, kan?”22 Kutipan tersebut menggambarkan Bajus menipu Srintil dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya kepada bekas ronggeng itu. Bajus menyuruh Srintil untuk melayani Blengur karena Bajus tidak mungkin menikahi Srintil. Bajus telah kehilangan keperkasaannya akibat peristiwa kecelakaan di Proyek Jatiluhur beberapa tahun sebelumnya. Sikap Bajus yang seperti sangat mengecewakan Srintil. Karena selain menipu Srintil, 22
Ibid., h. 379.
62
Bajus juga digambarkan sebagai laki-laki yang kasar dalam berbicara, apalagi Bajus menghina Srintil yang bekas ronggeng dan bekas PKI. Seperti pada kutipan berikut: “Kamu tetap menolak? Tidak bisa! Kamu orang Dukuh Paruk harus tahu diri. Aku telah banyak membantumu. Aku telah banyak mengeluarkan uang untuk kamu!” Bajus berjalan berputar-putar sambil tetap menjaga agar dirinya menjadi palang pintu. Srintil duduk kaku, tak bereaksi sedikit pun terhadap kata-kata yang didengarnya. Tiba-tiba Bajus mengentakkan kaki lalu melangkah ke ambang pintu. Sambil menutup pintu dari luar, Bajus berkata dengan tekanan yang berat, “Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?”23 Kutipan di atas menggambarkan tokoh Bajus yang sangat tajam dalam berkata-kata sehingga sangat menyakiti perasaan Srintil. Kata-kata yang kasar tersebut tentu tidak pantas keluar dari mulut seorang Bajus, yang
digambarkan
sebagai
laki-laki
sejati
tetapi
justru
sangat
mengecewakan. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk mempunyai peran masing-masing untuk menjelaskan bagaimana seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Tokoh Srintil dan Rasus sebagai tokoh utama mempunyai peranan yang penting dalam penggambaran ronggeng Dukuh Paruk. Mereka didukung oleh tokoh-tokoh tambahan lain untuk meberikan penjelasan bagaimana peran dan kedudukan ronggeng di Dukuh Paruk. Bagi warga Dukuh Paruk, ronggeng dianggap sebagai pembawa keberkahan, milik umum dan memiliki kedudukan yang tinggi. Warga Dukuh Paruk sangat bangga mempunyai ronggeng seperti Srintil. Ronggeng adalah cerminan dari simbol Dukuh Paruk, maka Dukuh Paruk akan terasa hidup apabila di dukuhnya terdapat seorang ronggeng. Meski demikian, warga di luar Dukuh Paruk tetap menganggap ronggeng Srintil
23
Ibid., h. 383.
63
sebagai pelacur atau sundal. Srintil dianggap sebagai perusak rumah tangga dan menjadi bahan cemburu bagi istri-istri di luar Dukuh Paruk. Kedudukan ronggeng Srintil di luar Dukuh Paruk tidak seistimewa di dalam Dukuh Paruk. Selain itu, Sakarya, Nyai Sakarya, Kartareja, Nyai Kartareja, Pak Bakar dan Bajus juga dapat dikategorikan sebagai tokoh statis dan sederhana. Hal ini karena, mereka hanya memiliki satu kualitas, sati sifat, atau watak tertentu, dan tidak mengalami berbagai masalah. Selain itu, mereka juga tidak mengalami perubahan sikap dan watak dari awal hingga akhir cerita. Pak dikategorikan
Bakar, pula
Bajus, sebagai
Kartareja, tokoh
dan
Nyai
antagonis.
Kartareja
Kehadiran
dapat mereka
menyebabkan munculya suatu konflik yang dialami oleh tokoh protagonis. Selain itu, mereka juga tokoh yang bertentangan dengan tokoh protagonis, mereka selalu menentang dan melawan apa yang dilakukan oleh tokoh protagonis, serta menyebabkan terjadinya konflik sehingga cerita menjadi lebih hidup. Misalnya, Kartareja dan Nyai Kartareja yang menentang Srintil ketika Srintil memutuskan untuk berhenti menjadi ronggeng dan menjadi perempuan somahan. Mereka melakukan segala cara agar keinginan Srintil tidak terwujud. Hal ini menyebabkan konflik di antara Srintil dan Nyai Kartareja. 3. Alur/Plot Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini dikisahkan tidak secara mutlak lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik.24 Cerita dimulai ketika Srintil hendak menjadi ronggeng, lalu flashback ke peristiwa orang tua Srintil yang meracuni orang Dukuh Paruk 24
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), cet. 10. H. 215.
64
akibat tempe bongkreknya yang mengandung racun. Lalu cerita kembali ke proses Srintil menjadi ronggeng, hingga akhirnya Rasus meninggalkan Dukuh Paruk karena kecewa setelah Srintil menjadi ronggeng, itulah awal mula konflik terjadi. Puncak konflik terjadi ketika selama beberapa bulan ditinggal Rasus, Srintil enggan naik pentas dan melayani pria yang datang. Srintil justru asyik merawat Goder anak Tampi, namun ketika akhirnya Srintil memutuskan untuk naik pentas kembali, Srintil justru terlibat ke dalam PKI. Setelah bebas dari penjara, terjadi flashback dengan sedikit menceritakan bagaimana kehidupan Srintil dua tahun di penjara. Lalu, penurunan konflik terjadi ketika indang ronggeng telah menghilang dan Srintil memutuskan untuk berhenti meronggeng dan ingin membangun rumah tangga. Namun, cerita ini dibuat dengan akhir cerita yang menggantung karena ketika Srintil gila akibat dikecewakan oleh Bajus yang ternyata tidak bisa menikahinya. Srintil diajak berobat oleh Rasus. Namun pengarang membiarkan akhir cerita ini menggantung, membiarkan pembaca untuk menerka-nerka sendiri bagaimana kelanjutan hubungan Srintil dengan Rasus. Secara umum, rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui tahapan sebagai berikut: a. Tahap Penyituasian Tahapan situation atau tahapan penyituasian, tahap
yang
menjelaskan atau memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, tahapan ini di mulai dengan menjelaskan tokoh-tokoh di dalamnya, dan tahapan ketika indang ronggeng memasuki ke dalam diri Srintil. Seperti pada kutipan berikut: “Menjelang tengah malam barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di bawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan terpencil itu, masih merenungi ulah cucunya sore tadi. Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerakgerik Srintil ketika cucunya itu menari di bawah pohon nangka.
65
Sedikit pun Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng.”25 Kutipan di atas menjelaskan tahap penyituasian memperkenalkan tokoh Srintil yang pandai menari karena telah kerasukan indang ronggeng, dan memperkenalkan tokoh Sakarya, kakek dari Srintil yang merupakan kamitua di Dukuh Paruk. Selain menggambarkan tentang tokoh, tahap penyituasian juga menggambarkan tentang situasi atau latar dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Latar yang memperkenalkan novel tersebut adalah Dukuh Paruk yang penuh dengan seloroh cabul, yang tidak terganggu dengan kemiskinan dan kebodohan yang menimpa warganya yang tidak akan lengkap tanpa ada ronggeng di dalamnya. Seperti pada kutipan berikut: “Tak seorang pun menyalahkan Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “jangan mengabadikan kemeralatan seperti orang Dukuh Paruk.” Atau, “Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak Dukuh Paruk!”26 Tahapan ini juga dimulai dengan sedikit flashback tentang kejadian keracunan tempe bongkrek Santayib dan Istrinya yang merupakan orang tua Srintil. Peristiwa menceritakan bagaimana proses Srintil dan Rasus menjadi yatim-piatu. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Srintil adalah seorang yatim-piatu, sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah-ibu…. Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit. Atau tangis orang-orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau bunga sedap malam dikalahkan oleh asap kemenyan yang
25
Tohari, Op. Cit, h. 15 Ibid., h. 15-16.
26
66
mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan.”27 b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Dalam novel ini, tahap pemunculan konflik dimulai ketika proses Srintil menjadi ronggeng hingga menjadi ronggeng. Tahap ini, Srintil mulai melalui tahapan menjadi ronggeng yaitu dimulai dengan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan sayembara bukak-klambu. Kedua tahapan yang harus dilalui Srintil sebagai seorang ronggeng membuat Rasus kecewa karena Srintil nantinya akan menjadi milik umum dan tidak bisa dimiliki oleh Rasus yang saat itu belum menjadi apa-apa. Seperti pada kutipan berikut: “Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi…. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan Kartareja terus menciumi Srintil tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya.”28 Kutipan tersebut menggambarkan adanya pemunculan konflik ketika Srintil melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan Srintil harus menari dengan Kartareja yang saat itu sedang kerasukan arwah Ki Secamenggala. Melihat itu Rasus merasa amat kecewa dan benci melihatnya karena seorang diperlakukan seperti itu di muka umum. Tetapi Rasus yang saat itu masih remaja tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga akhirnya, ketika Srintil sudah menjadi penari ronggeng terkenal, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk karena sampai kapan 27 28
Ibid., h. 21&31. Ibid., h. 48.
67
pun juga Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat ini sudah menjadi milik umum. Seperti pada kutipan berikut: “….Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukakklambu itu Srintil diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah tidak akan memaafkannya. Jadi ketika Dukuh Paruk bergembira ria dengan suara calung dan joget Srintil yang telah resmi menjadi ronggeng aku malah mulai membencinya. Pengikat yang membuatku mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali….”29 Kutipan di atas menggambarkan sebab pemunculan konflik yaitu, ketika Srintil telah resmi menjadi ronggeng dan Rasus merasa kecewa terhadap Dukuh Paruk karena dengan resminya Srintil menjadi ronggeng, berarti Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat itu telah menjadi milik umum. c. Tahap Peningkatan Konflik Tahap peningkatan konflik atau tahap rising action, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tahap peningkatan konflik terjadi setelah Rasus pergi meninggalkan Srintil. Padahal saat itu Srintil ingin dinikahi oleh Rasus, namun Srintil patah hati karena Rasus tetap pergi meninggalkannya. Hal ini yang menyebabkan hubungan Srintil dengan dukun ronggengnya merenggang karena Srintil terus-terusan menolak tawaran untuk menari, seperti pada kutipan berikut: “Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila
29
Ibid., h. 80.
68
Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas. Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangkan.”30 Kutipan di atas, terjadi peningkatan konflik ketika Srintil enggan naik pentas. Hal ini membuat orang Dukuh Paruk kecewa, sehingga Nyai Kartareja melakukan segala cara untuk mengubur perasaan Srintil kepada Rasus agar bisa naik pentas kembali. Tetapi, hal itu gagal dan justru malah membuat Srintil malas menari dan pergi plesiran bersama Pak Marsusi. Akibat perlakuan Srintil yang menolak pentas dan menolak ajakan Pak Marsusi membuat Nyai Kartareja marah karena Srintil telah menolak sebuah kalung emas dengan bandul berlian. Seperti pada kutipan berikut: “Oalah, toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya! Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu! “Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram? Merasa sudah kaya? Bila kamu tidak suka kalung itu, mestinya bisa kau ambil untukku. Dan kau layani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal.”31 Kutipan di atas menunjukkan peningkatan konflik, karena Nyai Kartareja sangat marah akibat perlakuan Srintil terhadap Pak Marsusi. Semenjak kejadian itu, Srintil yang biasa tidur di rumah Kartareja, dukun ronggengnya, kini Srintil kembali ke rumahnya. Dan hubungan Srintil dan dukun ronggengnya menjadi kurang baik. d. Tahap Klimaks Tahap klimaks atau tahap climax, konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik puncak. Dalam novel ini, tahapan klimaks terjadi ketika Srintil mulai menari kembali menjadi ronggeng. Ketika puncak ketenaran Srintil sebagai seorang ronggeng diakui oleh umum, 30 31
Ibid., h. 115. Ibid., h. 152.
69
Srintil harus menelan pahitnya hidup karena Srintil dianggap terlibat dengan PKI karena kedekatan Srintil dan orang Dukuh Paruk dengan Pak Bakar, seperti pada kutipan di bawah ini: “Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan Srintil, pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya terhadap Srintil sangat nyata. Dia tidak ber-kamu lagi terhadap ronggeng Dukuh Paruk yang telah sekian lama menjadi anak akuannya, Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya, kemandirian Srintil telah diakuinya.”32 “Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berhajat, melainkan di tengah rapat umum, baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa…. Waktu itu kita disebut sebagai kelompok seniman rakyat. Padahal kita tidak pernah mengumumkan apa pun. Kemudian ada satu kejadian; aku dilarang membakar kemenyan dan memasang sesaji. Yang menyebut kita seniman rakyat dan melarangku memasang sesaji dialah orangnya. Pak Bakar. Aku tahu pasti. Kini orang itu malah sering datang kemari. Bagaimana, ya?”33 Kutipan tersebut menunjukkan adanya konflik yang terjadi ketika Srintil tengah di puncak kejayaannya. Srintil dan orang Dukuh Paruk dianggap mempunyai ketelibatan dengan peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan Pak Bakar. Akibat adanya pertentangan atau konflik yang terjadi, maka Srintil harus ditahan di penjara selama dua tahun karena dianggap terlibat. Hal ini membuat Dukuh Paruk bersedih dan membuat keguncangan di hati Srintil, karena baik Srintil maupun orang Dukuh Paruk tidak mengerti akan lambanglambang dan pidato-pidato yang diucapkan oleh Pak Bakar. Selama ini orang Dukuh Paruk dan Srintil hanya mengerti tentang ronggeng, calung, dan Ki Secamenggala. Seperti pada kutipan berikut: 32 33
Ibid., h. 179. Ibid., h. 228-229.
70
“….Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai dengan roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang. Sakum menemukan kembali cirinya; membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan katakata serangan terhadap kaum bercaping hijau.”34 Kutipan di atas menunjukkan adanya keterlibatan antara orang Dukuh Paruk dengan rapat-rapat Pak Bakar, tetapi orang Dukuh Paruk melakukan itu karena
terprovokasi
akibat rusaknya makam
Ki
Secamenggala. Hal ini yang membuat orang Dukuh Paruk, khususnya Srintil dan rombongan ronggeng harus ditahan karena terlibat dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Seperti pada kutipan berikut: “Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa saudara Kartereja dan saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas.” Srintil mendengar seluruh ucapan Komandan. Kata-kata itu menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul samar, jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat saraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan kakinya berkeringat dingin, dan Srintil tergagap dalam upaya menggapai dirinya kembali.”35 Kutipan di atas menggambarkan konflik yang menimpa tokoh Srintil karena diduga keterlibatannya dengan PKI. Hal ini membuat Dukuh Paruk semakin terpuruk dan orang Dukuh Paruk sulit diterima keberadaannya di tengah masyarakat. Bahkan, hingga Srintil dibebaskan dari penjara setelah ditahan selama dua tahun. Orang-orang di luar Dukuh 34 35
Ibid., h. 236. Ibid., h. 240-241.
71
Paruk masih takut untuk menegur atau menyapa Srintil karena takut disangka terlibat seperti Srintil. Hal ini membuat batin Srintil terguncang dan sering murung sejak kepulangannya dari tahanan. e. Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian atau tahap denouement, tahap yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tahap penyelesaian dibuat dengan akhir cerita yang menggantung. Tahap ini dimulai ketika Srintil mulai diterima kembali oleh masyarakat karena kedekatannya dengan Bajus. Telah terbang indang ronggeng pada diri Srintil. Kedekatan Srintil dengan Bajus memberi harapan kepada Srintil akan keinginannya untuk menjadi ibu rumah tangga atau perempuan somahan, seperti pada kutipan berikut: “Betul! Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku. Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang ronggeng kini tidak ada pada tubuh sampean.”36 “Srintil merasakan perubahan itu dari wajah-wajah yang dilihatnya sehari-hari. Kadar kecurigaannya tidak lagi menjadi warna utama pada setiap pasang mata. Dan kenyataan bahwa Srintil sering digandeng oleh orang yang punya peran penting dalam pembangunan pengairan, Bajus, mempengaruhi pandangan orang kepadanya….”37 Setelah masyarakat menerima kembali kehadiran Srintil, seakan membuka harapan baru bahwa Srintil bisa menjadi istri Bajus. Namun, ternyata Bajus tidak bisa menikahi Srintil dan justru membuat Srintil semakin terpuruk hingga kehilangan kesadarannya karena Bajus menipu Srintil dengan mengenalkan Srintil dengan Blengur. Srintil diminta Bajus untuk memenuhi permintaannya menemani Blengur. Ketika Srintil menolak, Srintil mendapatkan Bajus bersikap dan berkata amat kasar hingga membuat Srintil terpuruk ke bagian dirinya yang paling dasar. Penyelesaian dalam cerita ini dibuat menggantung karena ketika Srintil 36 37
Ibid., h. 335. Ibid., h. 366.
72
gila akibat ditipu oleh Bajus, Rasus pulang ke Dukuh Paruk dan sangat marah karena mengetahui perempuan yang sangat dicintainya gila. Seperti pada kutipan berikut: “Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang tertangkap oleh mata amat sulit kucerna menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan celana kolor sampai ke lutut serta kaus oblong yang robek-robek. Srintil yang hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu.”38 Dengan demikian, alur campuran dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari memiliki kesatupaduan dengan berbagai peristiwa dan konflik serte keterikatan satu dengan yang lain dengan seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan pengarang. Penggunaan alur campuran dalam novel ini menggambarkan kesatupaduan sehingga terjalin padu mulai dari tahap penyituasian hingga tahap penyelesaian. Penggunaan alur campuran ini pula yang menyebabka pembaca mengetahui dengan jelas berbagai sebab dan akibat peristiwa yang terjadi di dalam novel tersebut. Misalnya, tahap penyituasian yang dimulai dengan masuknya indang ke dalam tubuh Srintil lalu pengarang mengajak pembaca flashback untuk melihat bagaimana Srintil yang masih bayi harus ditinggal oleh orang tuanya karena mereka telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek buatannya. Setelah itu, pembaca diajak kembali untuk mengetahui bagaimana kehidupan Srintil yang begitu dikagumi dan dimanjakan setelah dia dinobatkan menjadi seorang ronggeng, padahal akibat kejadian tempe bongkrek tersebut warga Dukuh Paruk enggan untuk berdekatan dengan Srintil tetapi setelah Srintil menjadi ronggeng, mereka justru memanjakan Srintil karena dianggap sebagai titisan arwah Ki Secamenggala yang dapat membawa keberkahan bagi warga Dukuh Paruk.
38
Ibid., h. 395.
73
4. Latar Latar dibagi menjadi tiga, yaitu: latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. a. Latar Waktu Latar waktu menunjukkan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Apabila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di dalam novel, maka dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, latar waktu dimulai pada tahun 1946, pada tahun itu Srintil baru berusia lima bulan dan harus kehilangan orang tuanya, Santayib akibat peristiwa keracunan tempe bongkrek. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan itu telah tertidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam itu….” 39 Latar waktu yang terjadi dalam novel ini pada tahun 1960, yaitu ketika Rasus mulai berkenalan dengan Sersan Slamet dan ditunjuk menjadi tobang hingga akhirnya Rasus resmi menjadi tentara karena pada tahun wilayah Kecamatan Dawuan sedang tidak aman dan sering terjadi perampokan. Seperti pada kutipan berikut: “Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai merasa takut….”40 Latar waktu juga terjadi ketika mulai maraknya pawai-pawai hingga pidato-pidato partai, yaitu pada tahun 1964-1965-an. Pada masa itu, Srintil sering meronggeng sebagai seniman rakyat pada pidato-pidato yang diadakan oleh orang-orang Pak Bakar. Seperti pada kutipan di bawah ini: 39 40
Ibid., h. 21. Ibid., h. 90.
74
“….Kemudian berkumandanglah Genjer-Genjer, sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. Semangat dan kegembiraan pengunjung terbakar kembali. Banyak orang bangkit dari tempat duduk agar bisa lebih leluasa bertepuk tangan atau bahkan ikut tarik suara. Suasana sungguh meriah membahana.” “Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh. Perubahan kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya, dan Kartareja. Rumah mereka berkapur, bahkan berjendela kaca. Kartareja bisa mempunyai lampu pompa, demikian juga Sakarya. Selebihnya adalah Dukuh Paruk yang sudah dikenal orang dari generasi ke generasi….” “….Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.”41 Selanjutnya latar waktu yang menunjukkan tahun 1970-an, yaitu setelah peristiwa besar itu terjadi dan setelah Srintil dibebaskan dari tahanan. Pada tahun tersebut, Dukuh Paruk dan sekitarnya mulai mengenal dunia yang lebih luas, yang lebih modern dari desa itu sendiri. Pada tahun tersebut banyak orang-orang Jakarta yang datang ke Dukuh Paruk untuk membangun saluran irigasi di daerah mereka. seperti pada kutipan di bawah ini: “Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan ukuran. Truk-truk kuning mengangkut tanah yang dikeruk dari bukit-bukit untuk menimbun wilayah-wilayah rendah yang akan dilalui jalur pengairan. Buldoser menggali atau meratakan tanah siang-malam, kadang tidak berhenti selama dua puluh empat jam. Orang Dawuan dan sekitarnya berkesempatan melihat para pekerja yang kebanyakan berasal dari daerah lain….” “Februari 1971 adalah mangsa kasanga dalam pranata mangsa yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangar, panas. Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan,
41
Ibid., h. 189, 227, & 237.
75
mematahkan pelepah pisang, dan mematahkan batang bambu muda….”42 Kutipan di atas menunjukkan adanya perubahan waktu serta perubahan latar sosial yang terjadi, percampuran antara budaya lain yang masuk ke Dawuan dan sekitarnya membuat orang-orang lupa akan peristiwa yang telah mencoreng namaSrintil dan Dukuh Paruk. Hal ini tampak dari banyaknya orang-orang dari daerah lain, baik dari Jakarta ataupun daerah sekitarnya. Sesuai dengan perkembangan zaman dan seiring dengan masuknya budaya luar ke Dawuan dan Dukuh Paruk mengakibatkan banyak anak muda sekitar Dawuan dan Dukuh Paruk yang mengikuti gaya, perilaku, dan pakaian orang-orang yang bekerja tersebut. Hal ini pula yang menyebabkan mereka terralih perhatiannya dan melupakan peristiwa kisruh PKI yang telah mencoreng nama Srintil dan Dukuh Paruk. Srintil mulai diterima kembali dan mereka mulai bersikap baik kepada Srintil setelah Bajus, orang yang bukan sekadar pekerja rendahan pada proyek pembangunan irigasi mendekati Srintil. Srintil merasa dengan Bajus mendekatinya, orang-orang mulai menerima kembali dirinya dan memaafkan kesalahannya, meski Srintil bukan lagi seorang ronggeng. b. Latar Tempat Latar tempat menunjukkan lokasi di mana peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar tempat yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari salah satunya adalah Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah pedukuhan yang terpencil, miskin dan melarat di dekat Kecamatan Dawuan, Banyumas. Warganya banyak yang tidak bersekolah, sehingga banyak yang buta huruf. Mereka hanya mengandalkan diri sebagai petani yang bekerja di lahan orang lain. Dukuh Paruk masih sangat miskin dan terpencil, tidak terjamah oleh daerah luar. Dukuh Paruk menjadi tempat yang paling sering 42
Ibid., h. 361 & 371.
76
muncul karena sesuai dengan judul novel tersebut yakni, Ronggeng Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut: “Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercakbercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.”43 Dukuh Paruk dalam novel ini digambarkan sebagai tempat kelahiran Srintil, di mana kepercayaan akan Ki Secamenggala hidup di dalamnya, mitos-mitos serta serapah cabul menjadi hal yang biasa bagi orang Dukuh Paruk. Dalam kutipan tersebut menunjukkan Dukuh Paruk yang kala itu sedang kemarau panjang yang menyebabkan orang Dukuh Paruk sulit untuk menemukan air sehingga sawah kering dan mereka hanya bisa memakan singkong sebagai makanan utamanya. Di Dukuh Paruk, Srintil pertama kali menjadi ronggeng ketika kakeknya melihat dia sedang menari di bawah pohon nangka dengan diiringi suara calung buatan yang dibuat oleh Rasus dan teman-temannya. Selain Dukuh Paruk, latar tempat yang digunakan dalam novel ini adalah pasar Dawuan. Dawuan adalah salah satu kecamatan di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Pasar Dawuan adalah daerah luar Dukuh Paruk, adat dan kebiasaanya amat berbeda dengan Dukuh Paruk. Di pasar Dawuan tempat Rasus untuk menetap sementara setelah dia kabur dari Dukuh Paruk, dan di sana pula tempat bertemu kembali dengan Srintil setelah Srintil resmi menjadi ronggeng. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan Nyai Kartareja. Sebelum ronggeng
43
Ibid., h. 9.
77
itu mendekat aku telah tahu kehadirannya dari celoteh orang-orang di pasar itu.”44 Selanjutnya, selain di pasar Dawuan latar tempat dalam novel ini juga terjadi di Alaswangkal yaitu, tempat ketika Srintil seorang ronggeng yang kala itu diminta untuk menjadi gowok bagi Waras, anak laki-laki Sentika. Seperti pada kutipan berikut: “Babak demi babak terus berlanjut. Alaswangkal yang biasa sepi tersembunyi di belakang hutan jati dan ladang singkong jadi semarak oleh irama calung. Dan sorak-sorai warganya yang malam itu berkumpul di halaman rumah Sentika, menonton Srintil berjoget….”45 Kutipan di atas menunjukkan latar tempat dalam novel ketika Srintil diminta untuk meronggeng dan menjadi gowok yaitu, di Alaswangkal. Selanjutnya, selain di Alaswangkal, latar tempat lain yang digunakan dalam novel ini adalah Eling-eling. Eling-eling adalah tempat Srintil selama kurang lebih dua tahun ditahan di tahanan karena diduga terlibat dalam PKI, seperti pada kutipan di bawah ini: “Tengah malam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa Tengah. Kegelapan yang mencekam berlangsung setengah tahun lamanya. Tak ada orang keluar setelah matahari terbenam kecuali para petugas keamanan: tentara, polisi, dan para militer….” “…. Di sana ada sebuah bangunan besar, tinggi, dan beratap seng. Dahulu bangunan itu adalah bagian dari sebuah kompleks pabrik minyak kelapa. Sekarang bangunan itu berisi ratusan atau ribuan tahanan yang berasal dari seluruh pelosok Kabupaten Eling-eling.”46 Dengan demikian, latar tempat yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Dukuh Paruk sebagai tempat yang paling banyak digunakan di dalam novel. Dukuh Paruk yang merupakan sebuah desa terpencil, miskin, melarat yang berada di dekat Kecamatan Dawuan,
44
Ibid., h. 81. Ibid., h. 217. 46 Ibid., h. 247 & 266. 45
78
Banyumas, Jawa Tengah. Warganya banyak yang tidak sekolah sehingga kemiskinan dan kebodohan sangat kental kaitannya dengan Dukuh Paruk. Selain Dukuh Paruk, latar yang digunakan adalah pasar Dawuan yang menjadi tempat pembeda dari Dukuh Paruk. Norma dan nilai moral yang terdapat di pasar Dawuan amat berbeda dengan Dukuh Paruk. Pasar Dawuan merupakan salah satu pasar yang terdapat di Kecamatan Dawuan, Banyumas, Jawa Tengah, Pasar Dawuan menjadi tempat pelarian Rasus sebelum akhirnya Rasus diangkat menjadi tentara. c. Latar Sosial Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir masyarakat, dan juga status sosial tokohnya. Seperti dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, masyarakatnya memiliki kebiasaan hidup dan adat istiadat yang amat keras, sumpah serapah menjadi hal yang biasa di Dukuh Paruk, kata-kata cabul juga menjadi hal yang biasa untuk diucapkan, sumpah serapah itu bukan suatu hal yang tabu untuk diucapkan bagi orang Dukuh Paruk, hal ini karena, kebodohan dan kemiskinan masih lekat dengan Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut: “Tak seorang pun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya.”47 Kutipan di atas menjelaskan tentang masyarakat sosial Dukuh Paruk yang belum terjamah oleh dunia luar, sehingga kepercayaan akan mitos-mitos dan keramat Ki Secamenggala sangat lekat di dalamnya. Kebiasaan masyarakatnya yang tidak mau ambil pusing ini juga ditunjukkan ketika ada seorang suami misalnya, tidak perlu ribut bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur dengan laki-laki tetangga, 47
Ibid., h. 15.
79
suami tersebut telah tahu apa yang harus diperbuatnya yaitu melakukan hal yang sama kepada istri tetangganya, seperti pada kutipan di bawah ini: “…. Di sana, seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri tetangga dan menidurinya. Habis segala urusan! Tanah airku yang kecil itu hanya mengajarkan pengertian moral tanpa tetek-bengek. Buktinya, siapa anak siapa tidak pernah menjadi nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya tidak pernah menimbulkan urusan….”48 Status sosial di Dukuh Paruk juga amat terlihat, seperti keberterimaan mereka dengan adanya seorang ronggeng. Seorang ronggeng akan dianggap sebagai seorang yang amat disegani dan disukai baik oleh laki-laki maupun perempuan. Meski dengan konotasi yang negatif sekali pun, seorang ronggeng akan tetap dipuja oleh masyarakat tersebut, karena tanpa ronggeng dan calungnya Dukuh Paruk akan sepi dan tidak akan dinilai apa-apa. Seperti pada kutipan berikut: “Aku bersembunyi di balik onggokan singkong dan karungkarung. Semua pedagang di pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa. Penjual pakaian menawarkan baju merah saga dengan harga luar biasa tinggi. Kalau tidak dicegah oleh pengiringnya, Nyai Kartareja, Srintil akan membayarnya. Tanpa menawar. Penjual benda manik-manik mengangkat dagangannya. Sebuah cermin ditawarkannya kepada Srintil. Kali ini Nyai Kartareja tidak menghalangi ronggeng itu membeli kaca itu bersama beberapa bungkus pupur dan minyak wangi.”49 Kutipan di atas menunjukkan status sosial Srintil menjadi tinggi ketika dia telah menjadi seorang ronggeng. Semua orang memperlakukan Srintil dengan istimewa dan semua orang selalu ingin memanjakan ronggeng itu. Dengan demikian, kebodohan, kemiskinan, dan kebiasaan hidup dan adat istiadat yang amat keras, sumpah serapah yang menjadi hal biasa
48 49
Ibid., h. 85. Ibid., h. 82.
80
di Dukuh Paruk yang menjadi latar sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Kepercayaan akan mitos-mitos dan keramat Ki Secamenggala juga menjadi bagian dari latar sosial dalam novel tersebut. Kepercayaan dan keramat Ki Secamenggala menyebabkan warga Dukuh Paruk percaya bahwa seorang ronggeng akan memberikan keberkahan bagi Dukuh Paruk. Ronggeng dianggap sebagai titisan dari arwah Ki Secamenggala sehingga ronggeng di Dukuh Paruk memiliki kedudukan yang tinggi. Ronggeng merupakan gairah dari kehidupan di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk akan sepi apabila tidak terdapat ronggeng di pedukuhannya. 5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dengan gayanya sendiri.50 Dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu. Dalam penggunaan sudut pandang persona ketiga, pengarang yang menjadi narator dan menggunakan fokalisasi tokoh utama. Fokalisasi menunjukkan hubungan antara unsurunsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unssur tersebut.51 Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, sudut pandang yang digunakan persona ketiga “dia” mahatahu dengan fokalisasi intern yang berpangkal pada seorang tokoh utama dalam cerita, yakni Rasus. Fokalisasi ini digunakan untuk menjelaskan sebuah cerita dan penokohan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel. Untuk mengamati Srintil sebagai objek utama yang difokalisasikan oleh Rasus. Cerita dikisahkan dengan sudut pandang “dia” mahatahu pada bagian awal novel pertama Ronggeng Dukuh Paruk, namun kemudian pengarang menggunakan fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama “aku” dan kembali lagi ke “dia” mahatahu.
50
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakata: PT Grasindo, 2008), h. 151. Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 332. 51
81
Penggunaan sudut pandang persona ketiga “dia” mahatahu dan fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Pada bagian pertama pengarang mahatahu. Srintil adalah tokoh yang disoroti oleh “dia”, seperti pada kutipan berikut: “Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya. Srintil berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya. Srintil mendendang lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe.” 52 Mulai bagian kedua, fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama digunakan, tokoh yang di bagian pertama muncul sebagai salah seorang kawan mainan Srintil. Tokoh “aku” yang bercerita, selain menceritakan tentang Srintil yang akan menjadi penari, “aku” juga menceritakan tentang permasalahannya, gambaran tentang emaknya yang meninggal akibat tempe bongkrek akhirnya memiliki sangkut-paut dengan Srintil. Ronggeng cilik itu mengingatkan Rasus pada emaknya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup dia secantik Srintil. Bila sedang ttidur, tampillah Emak sebagai citra perempuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi sumber segala kesalehan, seperti Srintil yang saat itu masih lelap memeluk keris yang kuletakkan di sampingnya.”53 Lalu, pada bagian novel kedua Lintang Kemukus Dini Hari, penggunaan sudut pandang berganti menjadi sudut pandang persona “dia” mahatahu. Teknik ini digunakan karena tokoh “aku” sebagai fokalisasi intern tokoh utama meninggalkan Srintil, maka
sudut pandang yang
diguanakan adalah teknik “dia”. Teknik ini digunakan agar pengarang lebih leluasa untuk mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari, seperti pada kutipan berikut:
52
Tohari, Op. Cit, h. 11. Ibid., h. 42.
53
82
“Tentu saja hanya Srintil yang bisa merasakan dirinya sedang ditarik keluar dari keakuannya. Ada yang menelanjanginya, entah siapa dia, sehingga Srintil sedikit demi sedikit mengenal dirinya dari sisi lain. Bukan sebagai perempuan milik bersama sebuah tatapan, melainkan seorang perempuan dalam arti yang paling bersahaja….”54 Di akhir cerita pada novel ketiga Jantera Bianglala, penggunaan fokaliasasi intern Rasus sebagai tokoh utama digunakan kembali. Seperti pada kutipan berikut: “Ketika masih kecil aku sering keluar Dukuh Paruk malam hari bersama teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Wayang kulit itu. Dunia kecil berbumi batang pisang, bermatahari lampu blencong, telah berjasa meletakkan dasar-dasar wawasan pada diriku tentang kehidupan ini. Para dalang telah menanamkan pada diriku yang masih anak-anak nilai-nilai dasar yang waktu itu kuyakini sebagai kebenaran sejati….”55 Sudut pandang persona ketiga “dia” mahatahu dengan fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama sengaja digunakan untuk menegaskan narator dan bagaimana narator menceritakan dan memandang cerita tersebut untuk memberikan gambaran terhadap tokoh Srintil, Rasus dan tokoh-tokoh lain di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah majas sarkasme. Majas ini paling dominan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sarkasme adalah majas sindiran yang paling kasar. Majas ini biasanya dikatakan oleh orang yang sedang marah. Sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang pedas untuk menyakiti orang lain, yang berupa ejekan, cemoohan. Majas sarkasme dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menjadi hal yang sangat biasa untuk diucapkan. Umpatan dan makian kepada orang lain menjadi hal yang biasa dikatakan. Tetapi, apabila kata-kata tersebut diucapkan di luar Dukuh Paruk dapat menyinggung orang 54 55
Ibid., h. 114. Ibid., h. 387.
83
lain karena kata-kata tersebut merupakan umpatan yang sangat kasar. Katakata tersebut di antaranya, asu buntung, bajul buntung, bangsat, dan asu. Seperti pada kutipan berikut: “Santayib. Engkau anjing! Asu buntung. Lihat, bokor ini biru karena beracun. Asu buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau… engkau aaasssu….”56 Kutipan di atas merupakan majas sarkasme yang digunakan oleh para tokoh di dalam novel untuk mengumpat, memaki, dan menghina orang lain. Tetapi, karena kemeralatan, kebodohan, dan rendahnya nilai moral warga Dukuh Paruk maka kata-kata tersebut menjadi hal yang biasa untuk diucapkan. Penggunaan majas sarkasme menunjukan bahwa Dukuh Paruk yang merupakan desa terpencil di tenggara Jawa Tengah yang masih tertinggal, sehingga mereka memiliki budaya, adat, dan moral tersendiri dalam bermasyarakat di pedukuhan tersebut. Hal ini tentu berkaitan dengan kemelaratan, kebodohan, dan kemiskinan yang terjadi di Dukuh Paruk, sehingga umpatan dan makian kasar menjadi hal yang biasa diucapkan oleh warga Dukuh Paruk. Majas sarkasme digunakan untuk mengekspresikan bahwa Dukuh Paruk dengan kebodohan dan kemiskinannya meneyebabkan umpatan dan makian kasar menjadi hal yang biasa. Terlebih pengarang seakan menertawakan kebodohan, kemisikinan Dukuh Paruk. Pengarang seakanakan tengah mengejek atau menyindir kebodohan dan kemiskinan warga Dukuh Paruk. Seperti dalam kutipan di bawah ini: “Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemeralatannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul yang menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil
56
Ibid., h. 26.
84
sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam.”57 Kutipan di atas menunjukan bahwa pengarang tampak mengejek dan menertawakan kebodohan warga Dukuh Paruk, sebagai kebodohan yang langgeng, kemeralatan, dan keterbelakangan, sumpah serapah cabul, keramat Ki Secamenggala, dan lain-lain. Ironisnya, warga Dukuh Paruk sendiri justru tidak merasakan kenistaan itu, maka jangankan mereka sadar akan kebodohannya, disadarkan pun tidak mau. Pengarang menggunakan bahasa sebagai ekspresi dalam menyikapi keadaan para tokoh melalui sindiran dan ejekan. Kutipan tersebut juga menunjukkan bahwa pengarang yang berdialog dalam novel sebagai narator yang memandang dan menceritakan Dukuh Paruk seakan-akan pengarang adalah warga luar Dukuh Paruk yang tengah mengejek dan menertawakan kemelaratan, kebodohan, dan kemiskinan yang dialami oleh warga Dukuh Paruk. 7. Amanat Pesan yang ingin disampaikan oleh Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah seorang ronggeng harus dilestarikan dengan keselarasan yang agung karena ronggeng merupakan aset budaya Jawa-Banyumas. Ronggeng merupakan ciri khas budaya Jawa-Banyumas. Tarian tradisional ini dapat dilestarikan dengan menatanya dalam keselarasan yang agung, dan ronggeng yang mengembangkan wawasan berahi yang primitif tidak mendatangkan rahmat kehidupan. Ronggeng harus memiliki pesan yang baik dalam setiap tariannya dan tidak hanya menimbulkan hasrat berahi karena ronggeng bertujuan untuk menghibur masyarakat serta sebagai sarana memperkenalkan budaya Jawa ke masyarakat luar.
57
Ibid., h. 79.
85
B. Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas Penelitian yang dilakukan penulis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dan pendekatan objektif. Analisis deskriptif kualitatif merupakan teknik penelitian untuk memperoleh keterangan dari isi pesan dalam bentuk lambang atau pun tulisan. Pendekatan objektif yang digunakan merupakan pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Karya sastra (novel Ronggeng Dukuh Paruk) menjadi sesuatu yang inti dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Banyumas sebagai salah satu bagian dari wilayah Jawa Tengah, memiliki berbagai macam budaya, adat istiadat, dialek dan kesenian yang menarik. Salah satu kesenian yang ada dan berkembang di daerah Banyumas adalah kesenian ronggeng. Kesenian ronggeng merupakan salah satu primadona yang khas di Banyumas banyak dikenal dan dipentaskan dalam acara syukuran, peringatan hari besar, festival kesenian tradisional, penyambutan tamu penting dan upacara tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Kesenian ronggeng dimainkan oleh seorang ronggeng perempuan yang menembang dan menari tarian Ronggeng atau tarian Baladewa. Seorang ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk digambarkan sebagai tokoh yang berstatus sosial tinggi, memiliki kedudukan istimewa di masyarakat sehingga diperlakukan istimewa oleh orang-orang sekitar, dianggap membawa keberkahan, penghibur, dan dianggap pula sebagai pelacur. Konteks ronggeng dalam novel ini dapat diketahui melalui kutipan-kutipan dialog tokoh dan penceritaan yang dikisahkan oleh pengarang. Ronggeng yang digambarkan dalam novel karya Ahmad Tohari, setelah dilakukan analisis isi ternyata terdapat empat hal yang berkenaan dalam ronggeng, yaitu: fungsi ronggeng, syarat-syarat menjadi ronggeng, fungsi ronggeng di masyarakat, dan pandangan masyarakat mengenai ronggeng.
86
1. Fungsi Ronggeng Sebagai Kesenian Pada dasarnya ronggeng dimainkan oleh seorang wanita yang menari tarian Ronggeng atau tarian Baladewa dengan diiringi oleh suara calung dan tembang yang dinyanyikan oleh seorang ronggeng. Tarian ronggeng yang tujuannya untuk menghibur dan mengajak penonton untuk ikut menari (ngibing), tarian ini kadang digabung dengan tidak keruan dengan tarian-tarian lain seperti tari Serimpi, tari Bali, dan tari Topeng, sehingga dalam pentas orang bisa mengatakan lenggak-lenggok seorang ronggeng tidak lebih dari gerakan spontan, bermakna dangkal, dan lebih ditekankan pada kesan erotik. Namun dari penjelasan itu semua, seorang ronggeng dalam memiliki fungsi dalam setiap tarian yang ditarikannya, ada yang berfungsi sebagai upacara ritual, hiburan, dan pertunjukan. Pada fungsi ronggeng untuk upacara ritual ketika Srintil menari setelah melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala. Tarian yang ditarikan oleh Srintil karena bersifat ritual, maka tariannya lembut, halus, sakral dan jauh dari kesan erotik. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Di halaman rumah Kartareja ronggeng bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa nyanyi atau tarian erotik. Mulut Sakum bungkam. Si buta itu tidak mengeluarkan seruan-seruan cabul. Semua orang tahu permainan kali ini bukan pentas ronggeng biasa. Tetapi merupakan bagian dari upacara sakral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk.”58 Kutipan di atas menggambarkan bahwa seorang ronggeng juga dapat menari untuk upacara ritual seperti pada fungsi tarian yang telah dijelaskan di atas. Tarian tersebut dibawakan dengan sakral dan menghindarkan kesan cabul. Namun pada akhir upacara Srintil sebagai penari ketika menari harus bertayub dengan Kartareja yang diyakini sedang kerasukan arwah Ki Secamenggala, tarian yang dibawakan tetap
58
Ibid., h. 45.
87
sakral tetapi tidak lupa memasukan seruan-seruan cabul seperti pada kutipan berikut: “Konon semasa hidupnya Ki Secamenggala sangat menyukai lagu Sari Gunung. Maka dalam rangkaian upacara mempermandikan Srintil itu lagu Sari Gunung-lah yang pertama kali dinyanyikan oleh Srintil, secara berulang-ulang. Seperti pada awal upacara di rumah Kartareja, pentas di pekuburan itu meniadakan lagu-lagu cabul, Sakum diam. Tetapi menjelang babak ketiga terjadi kegaduhan…. Semua terkesima. Calung berhenti. Srintil menghentikan tariannya. Sampai di tengah arena laki-laki tua bangka itu mulai menari sambil bertembang irama gandrung.” Seorang penari dapat menari untuk upacara sehingga fungsi tari yang ditarikan oleh Srintil termasuk ke dalam fungsi tarian sebagai upacara ritual. Tarian ini ditarikan dengan sakral dan penuh dengan unsur magis. Selain berfungsi sebagai upacara ritual. Fungsi tari juga dapat digunakan sebagai pertunjukkan. Fungsi tari sebagai pertunjukkan digambarkan ketika Srintil menari pada acara tujuh belasan untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. Pertunjukan tari yang disajikan menjadi sebuah tari yang memiliki konsep meski tetap tidak terlepas dari kesan cabul. Fungsi tari sebagai pertunjukan ini untuk menjamu tamutamu penting atau tamu pejabat, dan untuk festival seni. Seperti pada kutipan berikut: “…. Hampir semua warganya keluar menggiring Srintil yang hendak meronggeng pada malam perayaan Agustusan di Dawuan. Inilah penampilan pertama ronggeng Dukuh Paruk pada sebuah arena resmi; suatu hal baru yang membawa kebanggaan istimewa.” Kutipan di atas, menggambarkan fungsi tari sebagai pertunjukkan. Sebagai seni pertunjukkan tarian yang dibawakan bersemangat, dan memberikan kesan kepada penontonnya. Di dalam pertunjukan tidak hanya menampilkan penari ronggeng tetapi juga menampilkan seni yang lain, misalnya keroncong, yang memiliki tujuan yang sama menarik perhatian penonton dengan penampilan seni yang ditampilkan. Selain memiliki fungsi sebagai pertujukan, tari juga memiliki fungsi sebagai
88
hiburan. Dalam hal ini tari ditarikan sebagai hiburan yang disajikan untuk kepentingan menghibur masyarakat. Seni tari yang dalam acara hiburan digambarkan sebagai ungkapan rasa senang atau rasa bersyukur yang diharapkan dapat memberikan hiburan kepada orang lain. Tari yang dibawakan biasanya merupakan tarian yang memberikan semangat gembira kepada panonton atau masyarakat yang hadir. Seperti yang digambarkan dalam novel ini, tarian ronggeng sebagai hiburan juga dijelaskan ketika Srintil sebagai ronggeng diminta untuk menari dalam rangka merayakan ulang tahun Waras yang ke tujuh belas dan rasa syukur keluarganya karena Waras masih tetap waras di usianya yang ke tujuh belas. Seperti pada kutipan berikut: “Rumah Sentika terang-benderang oleh tiga buah lampu pompa. Berandanya yang luas dan berlantai ubin batu telah disiapkan sebagai arena ronggeng. Meja-meja ditata di bagian tepi. Bagian tengah kira-kira dua puluh meter persegi dibiarkan kosong. Tikar pandan yang halus digelar di sana. Penonton yang pertama datang adalah kaum perempuan bersama anak-anak mereka. Sentika sudah sering menggelar pentas ronggeng. Bahkan bisa dikatakan setiap punya hajat, orang paling kaya di Alaswangkal itu nanggap ronggeng. Tetapi baru sekali inilah ronggeng yang datang bernama Srintil dari Dukuh Paruk; sebuah nama yang ketenarannya jauh menembus batas wilayah Dawuan.”59 Kutipan di atas menggambarkan fungsi tari sebagai hiburan. Di mana penonton yang datang menonton untuk mendapatkan kesenangan dan hiburan. Tentu tarian yang dibawakan bernuansa semangat dan tetap tidak terlepas dari kesan erotik laiknya tarian ronggeng. Orang yang menyelenggarakan tarian ronggeng atau nanggap ronggeng biasanya sebagai bentuk rasa bersyukur ketika panennya berhasil atau ketika tercapainya hajat yang diinginkan. Hal inilah yang dilakukan Sentika ketika nanggap ronggeng maka tarian yang dibawakan berfungsi sebagai hiburan bagi penonton. 59
Ibid., h. 212.
89
2. Syarat-Syarat Menjadi Ronggeng Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menceritakan tentang perjalanan seorang yang akan menjadi ronggeng. Sesuai adat Dukuh Paruk, maka sebelum menyandang gelar ronggeng, Srintil yang telah mendapat indang arwah Ki Secamenggala harus lebih dahulu menjalani berbagai upacara sakral. Upacara ini mencakup pemandian ronggeng di depan makam Ki Secamenggala dan upacara bukak-klambu. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu di antaranya adalah upacara pemandian yang secara turun temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala.”60 Upacara pemandian yang dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala merupakan upacara turun-temurun yang harus dilakukan oleh seorang ronggeng. Upacara ini dilakukan dengan sakral dan khidmat. Upacara yang dilakukan semata-mata untuk memperoleh restu dari Ki Secamenggala agar Srintil diizinkan untuk menjadi ronggeng di Dukuh Paruk. Srintil didandani sangat cantik dengan pakaian kebesaran seorang ronggeng. Upacara memandikan seorang ronggeng merupakan peristiwa yang amat penting bagi orang pedukuhan. Mereka percaya restu Ki Secamenggala dapat membuat seorang ronggeng menjadi ronggeng yang tenar. Restu itu didapat apabila seorang ronggeng mampu bertayub dengan arwah Ki Secamenggala, yang di dalam novel ini Srintil mendapat restu dari Ki Secamenggala ketika Kartareja kerasukan oleh roh Ki Secamenggala pada pentas di pekuburan tersebut. seperti pada kutipan di bawah ini: “Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat 60
Ibid., h. 43.
90
dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, matanya menjadi setengah terpejam. Semua orang terkesima. Calung berhenti. Srintil menghentikan tariannya karena calung dan gendang pun bungkam. Kartareja terus melangkah. Sampai di tengah arena laki-laki tua bangka itu mulai menari sambil bertembang irama gandrung. Hanya Sakarya yang cepat tanggap. Kakek Srintil itu percaya penuh roh Ki Secamenggala telah memasuki tubuh Kartareja dan ingin bertayub….”61 Kutipan di atas menunjukan bahwa salah satu syarat yang harus ditempuh oleh seorang ronggeng dengan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala, dan restu itu didapatkan ketika roh Ki Secamenggala datang merasuki Kartareja dan mengajak Srintil untuk bertayub. Selain melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala, proses yang harus dilakukan agar Srintil menjadi penari ronggeng adalah bukak-klambu. Bukak-klambu dapat disebut semacam sayembara untuk memperebutkan kegadisan calon ronggeng. Lelaki mana pun yang dapat menyerahkan sejumlah uang atau perhiasan tertentu berhak menikmati kegadisan Srintil. Upacara bukak-klambu yang disayembarakan oleh dukun ronggeng dimanfaatkan oleh orang Dukuh Paruk sebagai bentuk eksistensi baik laki-laki maupun perempuan yang akan merasa bangga apabila laki-laki atau suaminya mendapat kegadisan seorang ronggeng. Namun, warga Dukuh Paruk yang melarat dan miskin tentu tidak dapat menikmati upacara tersebut. Justru Dower dan Sulam yang dapat menikmati dan menjadi suatu kebanggan bagi diri mereka masing-masing karena telah mendapatkan kegadisan Srintil pada saat upacara bukakklambu. Seperti pada kutipan berikut: “Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara terbuka, terbuka 61
Ibid., h. 47.
91
bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.” “Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan perkuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”62 Dari kutipan-kutipan di atas, memaparkan bahwa Srintil justru memberikan kegadisannya kepada Rasus yang sejak kecil menjadi kawannya. Akibat penyerahan kegadisan Srintil kepada Rasus. Srintil telah merusak upacara bukak-klambu, meskipun upacara tersebut memang telah rusak karena telah dicurangi oleh dukuh ronggeng Srintil, Kartareja dan Nyai Kartareja. Hal ini membuktikan bahwa Srintil tidak mempercayai upacara bukak-klambu tersebut sehingga ia bebas memilih kepada siapa kegadisannya akan diberikan, dan Srintil memilih Rasus. Sedangkan untuk dukun ronggeng yang juga telah merusak upacara bukak-klambu, mereka melakukan upacara bukak-klambu
hanya sekadar untuk
mencari
keuntungan dari diri Srintil yang akan menjadi ronggeng. Superioritas Srintil sebagai ronggeng yang diyakini oleh Dukuh Paruk sebagai pembawa berkah, maka akan menjadi suatu kebanggaan apabila laki-laki dapat tidur dan menari dengan Srintil. Srintil dianggap seorang ronggeng titisan dari arwah Ki Secamenggala sehingga masyarakat meyakini bahwa Srintil akan membawa keberkahan bagi orang-orang yang dapat tidur dan menari dengan Srintil. Kedudukan Srintil yang menjadi tinggi setelah Srintil resmi menjadi ronggeng setelah melakukan kedua upacara tersebut. Srintil dapat mengangkat nama baik keluarga dan menghapus dosa masa lalu orang tua Srintil, Santayib yang telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek. Dosa tersebut telah dilupakan setelah Srintil menjadi ronggeng dari titisan arwah Ki Secamenggala. Srintil menjadi simbol dari Dukuh Paruk. Dukuh Paruk 62
Ibid., h. 51 & 76.
92
merasa hidup kembali dan mempunyai semangat kembali setelah Srintil ronggeng. Orang-orang menganggap bahwa dengan Srintil menjadi ronggeng akan membawa keberkahan bagi Dukuh Paruk. 3. Fungsi Ronggeng di Masyarakat Seorang ronggeng merupakan milik umum yang memiliki status yang tinggi di masyarakat Dukuh Paruk. Ronggeng dapat menarik laki-laki atau masyarakat dengan susuk dan jimat-jimat tertentu yang digunakan. Susuk emas yang dipasang di beberapa bagian tubuh Srintil dan keris Kyai Jaran Guyung yang merupakan keris pekasih yang selalu menjadi jimat bagi para ronggeng. Maka dari itu, seorang ronggeng dapat dengan mudah mendapat perhatian umum. Dengan segala pandangan negatif terhadap ronggeng, nyatanya dalam masyarakat seorang ronggeng mempunyai peranan atau tugas yang harus dilakukan. Ronggeng yang menjadi superior dalam warga Dukuh Paruk dan menjadi inferior dalam dunia luar Dukuh Paruk. Kedudukan ronggeng yang superior mengharuskan seorang ronggeng menjadi gowok. Hal ini mendeskripsikan bahwa kedudukan rongggeng yang tinggi akan membawa keberkahan apabila Srintil menjadi gowok. Sedangkan, dianggap sebagai
sundal, penghibur, dan pelacur
merupakan inferior dari kedudukan seorang ronggeng di mata warga luar Dukuh Paruk. Hal ini mendeskripsikan bahwa seorang ronggeng tidak lebih dari seorang sundal dan pelacur yang dianggap sebagai perusak rumah tangga suami-istri di luar Dukuh Paruk. Seorang ronggeng selalu dapat menarik perhatian masyarakat tentu tidak terlepas dari pengikat yang ada di dalam diri seorang ronggeng. Seperti dalam novel ini, Srintil ketika ingin menjadi seorang ronggeng, Srintil dipasangkan susuk emas dan mantra pekasih agar orang-orang tertarik padanya dan orang-orang melihat bahwa Srintil seorang ronggeng yang cantik. Seperti pada kutipan berikut: “Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kertareja terhadap siapa pun. Itu ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun
93
Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya; uluk-uluk perkutut manggung teka saka ngendi, teka saka tanah sabrang pakanmu apa, pakanku malu tawon, ora manis kayu patuku, Srintil Konon bukan hanya itu. Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil.”63 Kutipan di atas menggambarkan bahwa Nyai Sakarya selaku dukun ronggeng
Srintil
telah
memasukkan
beberapa
susuk
emas
dan
membacakan mantra pekasih agar Srintil dapat terlihat lebih cantik sehingga menarik perhatian penonton. Sehingga, tidak mengherankan jika seorang ronggeng mempunyai jimat tertentu agar terlihat lebih menarik dari biasanya. Kecantikan dan keakuannya sebagai seorang ronggeng, Srintil mempunyai tugas yang harus dilakoninya sebagai seorang ronggeng Dukuh Paruk. Seperti Srintil seorang ronggeng menjadi gowok. Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa. Dan menjelang kawin. Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada Waras tentang kehidupan berumah tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara baik. Misalnya, bagaimana mengajak istri pergi kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur yang terpisah. Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti seorang gowok, yaitu mempersiapkan seorang 63
Ibid., h. 18-19.
94
perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru.
64
Sebagai
seorang ronggeng yang dianggap membawa keberkahan Srintil diyakini dapat menjadi gowok yang bisa mengubah Waras menjadi laki-laki seutuhnya, sehingga laik untuk menikah dan berumah tangga. Seperti pada kutipan di bawah ini: “…. Bila menjalani peran sebagai gowok adalah hal yang baru bagi Srintil, maka melayani laki-laki yang berusia lebih muda adalah hal baru lainnya. Dua hal baru sekaligus. Bagaimana juga Srintil merasa ditantang…. Akhirnya Srintil bangkit. Sambil mengusap matanya dia berkata lirih. “Nyai, sekarang ajari aku bagaimana menjadi gowok. Ajari aku!” “Eh, Jenganten sudah mau menjadi gowok? Tetapi aku tak bisa mengajari sampean. Aku sendiri tak pernah menjadi gowok.” “Kira-kira saja.” “Nanti dulu, Jenganten. Mengapa baru sekarang sampean menyatakan kesediaan menjadi gowok?”65 Kutipan di atas menggambarkan tentang kesiapan Srintil untuk menjadi gowok karena Srintil sadar dari hatinya bahwa dirinya adalah perempuan yang dapat mengubah Waras menjadi laki-laki yang laik dan pantas untuk berumah tangga, sehingga Srintil harus mampu berperan atau bertugas banyak di hadapan seorang laki-laki muda yang nyaris tersingkir dari identitasnya. Hal ini dikarenakan ketika Srintil melihat seorang Waras yang bersikap laiknya seorang anak kecil diusianya yang telah menginjak tujuh belas tahun. Hal inilah yang membuat kesadaran baru dari dalam diri Srintil akan tugasnya sebagai seorang ronggeng yang merupakan milik umum. Selain itu, gambaran akan seorang ronggeng sebagai cerminan dari keperempuanan yang mengharuskan Srintil mengemban tugas sebagai pengganti wanita di Dukuh Paruk agar dapat memenuhi hasrat laki-laki 64 65
Ibid., h. 201. Ibid., h. 211.
95
yang tidak bisa dilayani oleh istrinya pada saat-saat tertentu. Seperti pada kutipan berikut: “Tetapi Dukuh Paruk sungguh tidak ada masalah kerumahtanggaan. Tak ada seorang istri pun yang merasa rugi oleh kecantikan Srintil. Boleh jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam tatanan nilai yang tersendiri. Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. “Awas, jangan dulu menjamah istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tak bisa menahan diri.”66 Kutipan tersebut menggambarkan peranan atau tugas seorang Srintil sebagai seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Seorang ronggeng selain mempunyai tugas menari dalam pentas, dia juga harus bisa memberikan jasa kepada laki-laki di Dukuh Paruk jika istri laki-laki tersebut sedang hamil tua atau baru melahirkan. Memang tugas itu tidak sepenuhnya dilaksanakan karena orang Dukuh Paruk tentu belum punya keberanian untuk mendekati Srintil. Srintil pun melakukan itu hanya sebagai kesadaran primordial yang dengan rela memberikan jasa. Srintil yang merupakan seorang ronggeng yang memiliki kedudukan serta dianggap membawa berkah, sehingga warga Dukuh Paruk tidak keberatan apabila suaminya yang tidak dapat dilayani oleh istrinya, mereka dapat memintanya kepada Srintil. Mereka menganggap suatu keberkahan apabila seorang suami Dukuh Paruk dapat tidur dan dilayani oleh Srintil. Tetapi karena orang Dukuh Paruk sadar bahwa Srintil seorang ronggeng yang bermartabat. Srintil tidak sama dengan ronggeng-ronggeng sebelumnya, yang menjadikan uang satu-satunya nilai tukar. Srintil hanya akan melayani laki-laki yang dia sukai atau catatan lain yang istimewa; Srintil senang menerima lelaki yang beristri cantik.
66
Ibid., h. 226-227.
96
4. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng Keberadaan ronggeng dalam masyarakat Dukuh Paruk menjadikan seorang penari ronggeng milik kolektif atau milik umum, milik Dukuh Paruk sehingga penari ronggeng memiliki status sosial yang paling atas dalam masyarakatnya. Keberterimaan akan hadirnya seorang ronggeng membuat Srintil digandrungi baik oleh laki-laki maupun perempuan. Bagi kaum perempuan akan merasa bangga apabila suaminya pernah bertayub bersama Srintil. Hal ini karena menunjukan kelelakian suaminya diakui oleh umum. Bagi lelaki tentu akan diakui status sosialnya apabila mampu bertayub dengan ronggeng. Seperti pada kutipan berikut: “Ketika menonton Srintil menari aku pernah mendengar percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di tepi arena. Percakapan mereka akan membuat para suami merasa tidak menyesal telah hidup dalam kungkungan rumah tangga…. Demikian, seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan pencemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun berahinya.”67 Keberterimaan seorang ronggeng di tengah masyarakat juga tidak hanya melalui perkara itu, melainkan juga perkara mengenai kehidupan sehari-hari seorang ronggeng. Seorang dianggap milik umum maka semua orang selalu ingin memanjakan Srintil. Baik dalam hal mandi, belanja ke pasar, apa pun yang diinginkan oleh ronggeng itu maka dengan senang hati mereka akan melakukannya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku mau minta izin kepada Nyai Kartareja.” “Engkau mau apa?”
67
Ibid., h. 38-39.
97
“Memijat Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai sebelum tidur.”68 Seorang ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan suka cita. Keakuannya adalah tembang dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang memancarkan semangat hidup alami, sehingga tidak mengherankan apabila seorang ronggeng mendapatkan status sosial kelas atas dalam masyarakatnya. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa banyak orang ingin selalu memanjakan seorang ronggeng. Namun, dalam pandangan masyarakat luar Dukuh Paruk, seorang ronggeng dianggap sebagai perusak hubungan rumah tangga, karena tidak sedikit laki-laki yang tergila-gila dengan ronggeng tersebut. Seperti pada kutipan berikut: “Hati ibu Camat risau. Tetapi perasaan itu tersembunyi di balik senyumannya yang tawar. Kejujurannya mengakui keunggulan ronggeng Dukuh Paruk itu. Lebih cantik daripada dirinya, bahkan seandainya Ibu Camat masih sebelia Srintil. Dengan gerakan yang amat licik mata Ibu Camat menoleh kepada deretan kursi lelaki. Hatinya makin kacau ketika melihat hampir semua mata laki-laki di sana terarah kepada Srintil tak terkecuali mata suaminya….”69 Kutipan tersebut menggambarkan kecemburuan seorang istri yang tidak bisa dihindari ketika mengetahui bahwa suaminya juga menyukai atau melirik Srintil. Hal ini tentu berbeda dengan rumah tangga warga Dukuh Paruk yang justru merasa bangga apabila suaminya mampu bertayub dengan Srintil, tetapi bagi istri-istri lain di luar Dukuh Paruk Srintil menjadi pengancam hancurnya rumah tangga orang atau menyebabkan kecemburuan seeorang istri terhadap suaminya. Perbedaan pandangan antara para istri Dukuh Paruk dan istri di luar Dukuh Paruk terjadi karena Dukuh Paruk yang terpencil, menyebabkan Dukuh Paruk mempunyai tata nilai, kepercayan, dan keyakinan tersendiri. Srintil sebagai ronggeng bagi istri Dukuh Paruk dianggap sebagai superior yang 68 69
Ibid., h. 20. Ibid., h. 186.
98
membawa keberkahan bagi warga Dukuh Paruk. Berbeda dengan warga luar Dukuh Paruk yang tetap menganggap Srintil tidak membawa keberkahan. Srintil tidak lebih dari seorang ronggeng yang menjadi pelacur dan sundal sekaligus. Julukan sebagai pelacur, sundal dan perusak rumah tangga istri di luar Dukuh Paruk. Kecemburuan yang dialami oleh istri-istri di luar Dukuh Paruk menjadi wajar karena mereka tidak mempercayai bahwa seorang ronggeng dapat membawa keberkahan. Hal ini tentu menjadi gambaran atau stereotip terhadap ronggeng yang tidak dapat terlepas dari julukan sundal. Hal ini seperti kutipan berikut ini; “…. Srintil telah menjadi dirinya sendiri, dalam kedaulatan yang sulit kugugat. Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal, dua predikat yang tiada beda. Aku tahu betul Srintil berhak mencari sebutan apa pun yang dia sukai. Dukuh Paruk akan hambar tanpa calung dan ronggeng.”70 Kutipan di atas menunjukan bahwa seorang ronggeng dengan citra negatifnya tidak terlepas dari kata sundal. Sehingga predikat ronggeng dan sundal selalu beriringan dengan seorang Srintil. Selain citra negatif, kehidupan seorang ronggeng yang merupakan milik umum, memaksakan Srintil sebagai ronggeng tidak dapat hamil atau berumah tangga selama indang ronggeng masih ada di dalam dirinya. Ini adalah kegetiran yang pahit yang harus diterima oleh Srintil sebagai ronggeng yang merupakan milik kolektif. Apabila seorang ronggeng menikah atau hamil maka akan terjadi kesialan baik untuk ronggeng itu sendiri maupun untuk laki-laki yang menikahinya. Hal inilah yang menyebabkan Srintil tidak boleh menikah atau hamil selama indang ronggeng masih ada. Seperti pada kutipan berikut ini: “Jenganten,” sambung Sakum. Kini dengan nada suara seorang bapak. “Bukan sampean seorang yang menjadi ronggeng dan terpikat oleh laki-laki tertentu. Hal semacam ini sejak dulu sering terjadi. Tetapi tidak segenting pada diri sampean…. Selagi indang masih tinggal dalam diri, sampean tidak mungkin
70
Ibid., h. 84.
99
mendapatkan lebih dari itu. Tidak mungkin! Jadi sekali lagi, lupakan Rasus demi kebaikan sampean sendiri.”71 Kutipan tersebut menggambarkan tentang kegetiran Srintil karena pandangan masyarakat yang menganggap ronggeng sebagai milik umum. Sehingga seorang ronggeng tidak boleh menikah, jatuh cinta atau hamil karena hal itu akan membuat karir seorang ronggeng hancur, dan tidak akan memberikan keselamatan baik bagi laki-laki yang dicintainya maupun bagi ronggeng itu sendiri. Kegetiran itu juga terjadi ketika seorang yang memang milik umum, tidak boleh hamil, maka seorang ronggeng harus dimatikan indung telurnya dan karena lekat dengan predikat sundal. Seorang ronggeng di akhir hidupnya kebanyakan terkena penyakit yang mematikan. Seperti pada kutipan berikut: “Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karir seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama. Ku kira Srintil mulai sadar kemandulan adalah hantu mengerikan, yang akan menjelang pada hari tua. Atau Srintil telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah mencapai hari tua karena keburu dimakan raja singa atau penyakit kotor lainnya.”72 Kutipan-kutipan di atas, menggambarkan citra atau pandangan masyarakat terhadap ronggeng. Ronggeng sebagai superior maupun inferior bagi masyarakat.
Pandangan baik dan buruk akan seorang
ronggeng akan selalu beriringan dengan keberterimaan masyarakat dengan kehadiran ronggeng sebagai perhiasan Dukuh Paruk yang memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas memiliki fungsi baik dari segi kesenian maupun fungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Syarat-syarat yang ditempuh Srintil untuk menjadi seorang ronggeng tidak akan terlepas dari superior Srintil di Dukuh Paruk yang beriringan dengan 71 72
Ibid., h. 165-166. Ibid., h. 90.
100
pandangan negatif warga di luar Dukuh Paruk. Srintil tidak terlepas pula dari inferior pandangan masyarakat luar Dukuh Paruk yang memandang negatif seorang ronggeng yang tidak lebih sundal atau pelacur. C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam kurikulum 2013 terbagi menjadi dua, yaitu: (1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas
wawasan
kehidupan,
serta
meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang materinya berhubungan dengan sastra. Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat kesepakatan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunan beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya. Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pribadi dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran semacam ini akan mempertimbangkan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika.73 Pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan untuk hidup dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Tujuan pembelajaran sastra dijabarkan ke dalam empat kompetensi berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan menyimak meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, mengapresiasi karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kompetensi berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kompetensi membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam 73
Siswanto, Op. Cit., h. 172.
101
karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kompetensi menulis sastra dapat meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, satu dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh yang meliputi
empat
manfaat,
yaitu:
membatu
keterampilan
berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Berdasarkan hasil analisis, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dapat digunakan sebagai suatu alternatif media pembelajaran apresiasi sastra di sekolah karena dalam novel tersebut banyak terkandung pesan-pesan moral yang sangat bermanfaat bagi pembacanya.
Pesan moral dan pengetahuan budaya yang terdapat dalam
novel tersebut yang patut ditiru. Menjadi tugas pendidik agar dapat berperan aktif dalam pembentukan watak peserta didik dengan mengarahkan mereka dalam pembentukan watak dan kepribadian peserta didik dengan memberikan pembelajaran mengenai moral yang baik, perilaku/karakter yag patut ditiru oleh peserta melalui media karya sastra, dan pengetahuan budaya yang salah satunya dengan menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sebagai sebuah karya sastra, novel selain berfungsi untuk menghibur, juga terdapat nilai moral dan nilai budaya yang dapat dijadikan pembelajaran bagi peseta didik. Nilai moral dan nilai budaya yang terdapat dalam novel tersebut diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi pembacanya, terutama peserta didik agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk disampaikan oleh pengarang secara langsung maupun tidak langsung. Penggambaran nilai moral dan nilai budaya yang terdapat di dalam novel diharapkan dapat membentuk kepribadian dan watak peserta didik serta mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter. Untuk itu, diperlukan peran aktif pendidik di samping peran orang tua membentuk kepribadian dan watak peserta didik yang dapat
102
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui media karya sastra. Dengan media
karya
sastra,
yaitu
novel
Ronggeng
Dukuh
Paruk
dapat
mengembangkan peserta didik dalam membentuk karakter dan tingkah laku saling menghormati orang lain, bertingkah laku baik terhadap orang lain, dan megatahui kebudayaan Jawa khususnya Banyumas. Nilai-nilai yang dapat dijadikan karakter antara lain: taat beribadah, rendah hati, pekerja keras, sabar, menghargai orang lain, bertanggung jawab, dan lain-lain. Moralitas pada tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMA, kelas XII, dalam aspek mendengarkan. Standar kompetensi yang harus dikuasai peserta didik yaitu, memahami pembacaan novel dengan kompetensi dasar menanggapi pembacaan novel, menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik, serta menemukan nilai budaya dan nilai moral yang terkandung di dalam novel. Apabila dikaitkan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk, pendidik dapat menggunakan novel ini kepada peserta didik untuk dijadikan rujukan sebagai bahan bacaan. Peserta didik mampu menerapkan nilai moral dan nilai budaya yang terdapat dalam novel. Novel Ronggeng Dukuh Paruk, sehingga dapat digunakan pendidik dalam membentuk kepribadian dan watak peserta didik. Hal ini dapat dilihat pada tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel misalnya tokoh Rasus yang tetap rendah hati meski Dukuh Paruk telah mengecewakannya, tokoh yang selalu bekerja keras, bertanggung jawab, rendah hati dan taat dalam beribadah. Selain itu, tokoh Srintil yang tetap tabah dalam menjalani kehidupannya meski dia harus dipenjara dan dianggap terlibat dengan PKI, tokoh yang sabar dalam menghadapi perannya sebagai seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Kedua tokoh ini tetap bersikap tawakal dan tetap yakin pada kepada Tuhan meski banyak ujian yang harus mereka hadapi. Selain itu, novel ini juga memiliki cerita yang menarik dan dapat diterima oleh pembaca. Beberapa cerita tentang Srintil yang menjadi ronggeng yang menimbulkan pandangan bahwa seorang ronggeng adalah sundal, milik masyarakat yang hidup dengan citra negatif namun tetap dikagumi. Serta
103
menggambarkan sulitnya ujian Srintil ketika harus menempuh proses menjadi ronggeng hingga ujian yang tetap harus dihadapi ketika Srintil memutuskan untuk berhenti menjadi ronggeng. Alur ceritanya pun dapat dengan mudah dicerna oleh peserta didik sehingga apabila dijadikan media pembelajaran sastra di sekolah, peserta didik tidak akan merasa kesulitan dalam memahami cerita tersebut. Melalui pembelajaran sastra dengan menggunakan media novel, diharapkan dapat membentuk kepribadian dan watak siswa melalui nilai-nilai positif yang terdapat di dalamnya. Melalui pembelajaran sastra, peserta didik diharapkan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan data yang telah ditemukan, dikumpulkan, diklasifikasi yang kemudian dianalisis, dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, maka penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, penulis menjabarkan ke dalam empat bagian, yaitu: 1) fungsi
kesenian ronggeng, meliputi: fungsi upacara ritual,
hiburan, dan pertunjukan. 2) syarat-syarat menjadi ronggeng yang meliputi: masuknya indang arwah Ki Secamenggala, upacara pemandian di depan makam Ki Secamenggala, dan upacara bukak-klambu. 3) fungsi ronggeng di masyarakat, meliputi menjadi gowok, sundal, penghibur, dan pembawa keberkahan 4) pandangan masyarakat terhadap ronggeng, yakni ronggeng memiliki status yang tinggi bagi warga Dukuh Paruk karena dianggap dapat membawa keberkahan, namun tidak dapat terlepas dari pandagan negatif tentang ronggeng sebagai sundal bagi warga luar Dukuh Paruk.. 2. Implikasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk dalam pembelajaran sastra dapat memberikan nilai-nilai positif kepada peserta didik, yakni nilai moral dan nilai budaya.. Nilai-nilai tersebut bertujuan mendidik peserta didik untuk menjadi pribadi yang lebih baik bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk kehidupan bermasyarakat. Melalui pembelajaran sastra, peserta didik diharapkan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang berkualitas. B. Saran Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijabarkan di atas, ada beberapa saran yang diajukan oleh penulis, yaitu:
104
105
1. Diharapkan novel Ronggeng Dukuh Paruk ini dapat dijadikan sebagai media pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan bagi pendidik untuk dapat memanfaatkan novel ini sebagai media pembelajaran sastra yang baik dan menarik. 2. Pembelajaran nilai moral dan nilai budaya para tokoh dalam novel ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal dan pegangan untuk peserta didik dalam mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Anoegrajekti, Novi. Estetika Sastra, Seni, dan Budaya. Jakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. 2008. ------------------------, dkk. Ideosinkrasi Pendidikan Karakter melalui Bahasa dan Sastra: “Kearifan Lokal pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. Yogyakarta: Keppel Press. 2010. Brekel, Clara dan Papenhuyzen. Seni tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya. Jakarta: ILDEP-RUL. 1991. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ensiklopedi Tari Indonesia Seri P-T. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta. 1986. Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2004. Endaswara, Suwardi. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya. 2003. --------------------------. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2013. Eneste, Pamusuk. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 4. Jakarta: KPG. 2009. H., Marta Septia. Jurnal “Citra Tokoh (Srintil) dalam Novel Ronggeng Dukuh PAruk Karya Ahmad Tohari”. Malang: Universita Negeri Malang. 2013. Hawthom, Jeremy. Studying the Novel An Introduction. London: Great Britain. 1985. Hellwig, Tineke. In The Shadow Of Change, Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Desantara. 2003. K., Santana Septiawan. Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007. Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. 2008. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.
106
107
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitaif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010. Mujiningsih, Erlis Nur, dkk. Struktur Novel Indonesia Modern 1980-1990. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. Muliana, L.T. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastera: Kumpulan Karangan Ajip Rosidi. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset Surabaya. 1983. Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. 2004. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Press. 2005. Priyadi, Sugeng. “Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dalam Dialek Banyumasan”, Humaniora No.1/2000.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara. 2010. Priyatno, Wien Pudji. Jurnal “Representasi Indhang dalam Kesenian Lengger di Banyumas”. Jurusan Pend. Seni Tari FBS-UNY. Priyatno, Wien Pudji, “Estetika Tari Gambyong Calung dalam Kesenian Lengger Banyumas”Jurnal Imaji. Vol. 2, No. 2, Agustus 2004. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.\ Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1992. Ratna, Nyoman Kutha. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajara. 2010. -----------------------------. Teori, Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
dan
Teknik
Penelitian
Sastra.
Riyadi, Slamet, dkk. Idiom Tentang Budaya Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Saputra, Nikmat. Skripsi “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari serta Implikasinya Terhadap
108
Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di MTs Al-Mansuriyah, Kec. Pinang, Kota Tangerang”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2015. Sari, Diah Ratna. Skripsi ““Konflik Batin Tokoh Utama dalam Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA”. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2014. Sekarningsih, Frahma dan Heny Rohayani. Pendidikan Seni Tari dan Drama. Bandung: UPI Press. 2006. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Soedarsono. Kesenian, Bahasa dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. Sofia, Adib. Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Citra Pustaka. 2009. Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Suharto, Ben. Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia arti.line. 1999. Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012. Tohari, Ahmad. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2012. Wachidin, Farihah, Skripsi “Representasi Diskriminasi Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Studi Seminologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari)”. Jawa Timur: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 2012. Yasa, I Nyoman. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra. 2012.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan
: SMA
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: XII/I
Aspek Pembelajaran : Mendengarkan Standar Kompetensi : Memahami Pembacaan Novel Kompetensi Dasar
Menanggapi pembacaan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan
Menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam novel
Menemukan nilai-nilai positif dalam novel
Indikator
Peserta didik mampu menanggapi dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan
Peserta didik mampu menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam novel
Peserta didik mampu menemukan nilai positif dalam novel
Alokasi Waktu
: 4 x 45 menit (2 kali pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran Adapun tujuan dari pembelajaran ini diharapkan peserta didik dapat:
Menanggapi pembacaan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan
Menemukan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam novel
Menemukan nilai-nilai positif dalam novel
Karakter peserta didik yang diharapkan:
Mencintai budaya Indonesia
Menghargai dan menghormati orang lain
Bekerja keras, jujur, dan bertanggung jawab
Taat kepada Tuhan
B. Materi Pokok Pembelajaran
Pembacaan novel
Menjelaskan unsur-unsur intrinsik novel
Menjelaskan tentang nilai-nilai positif dalam novel
C. Metode Pembelajaran
Unjuk kerja
Diskusi
Demonstrasi
Penugasan
D. Kegiatan Pembelajaran 1. Kegiatan awal Apersepsi: a. Guru mengucapkan salam b. Guru mengondisikan kelas c. Guru menulis kegiatan pembelajaran dengan bertanya jawab tentang hakikat novel. Motivasi: a. Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan disampaikan. b. Guru menjelaskan secara singkat tujuan dari pembelajaran. 2. Kegiatan Inti Eksplorasi a. Guru mampu menjelaskan tentang pembacaan novel, unsur-unsur intrinsik dalam novel, serta nilai-nilai positif yang terdapat di dalam novel. b. Guru menggunakan sumber belajar berupa modul pembelajaran Bahasa Indonesia yang dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran. c. Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru maupun antara peserta didik dengan peserta didik lain.
Elaborasi a. Guru memfasilitasi peserta didik melalui tanya jawab dan diskusi untuk menyampaikan pendapat masing-masing. b. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat menemukan unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai positif dari novel yang telah dibaca. c. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menanggapi dan memberikan komentar terhadap jawaban dari peserta didik lain terkait unsur intrinsik dan nilai-nilai positif dalam novel. Konfirmasi a. Menyimpulkan hal-hal yang belum diketahui b. Menjelaskan hal-hal yang belum diketahui c. Guru memberikan umpan balik yang positif dalam bentuk lisan, tulisan, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik. 3. Kegiatan AKhir a. Guru dan peserta didik secara bersama membuat kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari. b. Guru merefleksi materi yang disampaikan untuk kehidupan seharihari. c. Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. E. Sumber Belajar a. Pustaka rujukan dengan menggunakan buku Bahasa Indonesia untuk SMA kelas XII. b. Teks novel c. Media visual (Power Point) F.
Instrumen Penilaian Indikator
Teknik
Bentuk
Contoh
Pencapaian
Penilaian
Instrumen
Instrumen
Peserta didik dapat
menceritakan kembali
Lisan Tulisan
Lembar
Penilaian
novel
kembali
novel
secara lisan dengan
Ronggeng
gaya
Paruk karya Ahmad
penceritaan
Dukuh
sendiri.
Tohari dengan gaya
Peserta didik dapat
penceritaan sendiri.
menentukan
unsur
intrinsik
dalam
Peserta
nilai-nilai
intrinsik
yang
novel.
didik
positif
Tentukanlah
nilai-
nilai positif yang
dalam novel. Siswa
Tentukanlah unsur
terdapat di dalam
mampu menentukan
dan
ceritakanlah
novel.
Bacalah
terdapat di dalam novel.
mampu
mempresentasikan
Presentasikanlah
unsur intrinsik dan
hasil
yang
telah
nilai-nilai positif di
dibuat
dalam novel yang
unsur intrinsik dan
telah dibaca.
nilai-nilai
mengenai
positif
yang terdapat dalam novel.
Rubrik Penilaian Pembacaan Penggalan Novel
Nama Siswa
:
Kelas/No. Absen
:
Tanggal Penilaian
:
Kompetensi Dasar
: Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan
novel
No
Aspek Penilaian
1
Kelengkapan dalam menyebutkan
Deskripsi
Skor
unsur intrinsik yang ada dalam penggalan novel:
2
a. Sangat lengkap (90-100)
-
Semua unsur dalam penggalan novel
b. Lengkap (80-89)
-
Kurang satu atau dua unsur
c. Kurang lengkap (70-79)
-
Kurang dua unsur
d. Tidak lengkap (0-69)
-
Kurang tiga unsur
a. Sangat jelas (90-100)
-
Kalimat jelas, runtut, dan diksi tepat
b. Jelas (80-89)
-
Kalimat jelas, tidak runtut, dan diksi
Kejelasan bahasa yang digunakan:
c. Kurang jelas (70-79) d. Tidak jelas (0-69)
tepat -
Kalimat tidak jelas, tidak runtut, dan diksi tepat
-
Kalimat tidak jelas, runtut, diksi tidak tepat
3
Keruntutan dalam penceritaan: a. Sangat baik (90-100)
-
Runtut, kohesi, dan koherensi
b. Baik (80-89)
-
Runtut, kohesi, dan tidak koherensi
c. Cukup baik (70-79)
-
Tidak runtut, kohesi, dan koherensi
d. Kurang baik (0-69)
-
Tidak koherensi
runtut,
todak
kohesi,
Total Skor
Keterangan: Penilaian dilakukan denga cara membagi jumlah skor dengan 3 aspek yang dinilai. Jakarta, September 2015
Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Lampiran
Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Sekitar tahun 1946, banyak warga Dukuh Paruk yang meninggal akibat keracunan tempe bongkrek buatan Santayib. Ia yang merupakan ayah dari Srintil bersikeras bahwa petaka tersebut bukan disebabkan oleh tempenya. Untuk membuktikan kebenaran itu, ia dan istrinya memakan tempe secara mencolok di depan sejumlah warga pedukuhan yang mengakibatkan mereka mati keracunan. Akibat kejadian tersebut, Dukuh Paruk kehilangan ronggeng yang menjadi ciri khas pedukuhan itu. Dua belas tahun kemudian, bakat-bakat menjadi penari ronggeng mulai terlihat dari dalam diri Srintil. Rasus, seperti halnya Srintil, telah kehilangan kedua orang tuanya. Mereka senasib, dan oleh karena itulah Srintil menanggapi keinginan Rasus untuk menjalin hubungan lebih akrab lagi dan diam-diam menemukan figur emak dari dalam diri Srintil. Sejak Srintil dianggap oleh Kakeknya telah mendapatkan indang, kehidupan Srintil pun berubah. Srintil menjadi pusat perhatian warga pedukuhan. Hal ini menyebabkan hubungan Srintil dan Rasus menjauh. Srintil harus menghadapi beragam ritual seperti ritual bukak klambu, sebuah upacara di mana seorang lelaki manapun bila telah menyerahkan seringgit emas melalui dukun ronggeng yang mendidik Srintil, berhak menjadi lelaki pertama yang menikmati virginitas Srintil. Meskipun Rasus tidak mempunyai seringgit emas, nyatanya sebelum upacara berlangsung Srintil menyerahkan taruhannya itu pada Rasus dalam gelap di belakang rumah. Rasus pergi meninggal Dukuh Paruk. Rasus bekerja di pasar yang sering didatangi oleh Srintil. Rasus merasakan bahwa bayang-bayang emak sudah tidak ada lagi di dalam diri Srintil setelah Srintil menjadi ronggeng. Lewat kejadian yang terduga yaitu Rasus berhasil membunuh perampok, akhirnya membawa Rasus menjadi anggota tentara. Tetapi Rasus harus meninggalkan Srintil yang kala itu telah menawarkan dirinya untuk menjadi istri Rasus dan berhenti meronggeng. Semenjak kepergian Rasus yang tanpa pamit, Srintil merasa kehilangan. Sejak itu Srintil sering mengalami pergolakan dan perang batin.
Kepergian Rasus, menjadi tekanan dan pukulan yang cukup dalam. Srintil merasa sebagian dari hidupnya menghilang, Srintil menjadi pemurung tidak seperti layaknya seorang ronggeng. Srintil sudah dua kali menolak untuk pentas. Dari sini, warga pedukuhan mengira bahwa Rasus sudah membuat Srintil tergila-gila. Warga menyalahkan Nyai Kertareja, sebagai dukun ronggeng yang dinilai tidak mampu mendidik Srintil dengan baik. Hal ini mendorong Nyai Kertareja untuk berusaha menghilangkan bayangan Rasus dari dalam diri Srintil dengan menggunakan gaib, namun dengan suatu peristiwa yang tidak disengaja, cara itu tidak berfungsi. Kepergian Rasus memberikan dampak yang besar bagi Srintil. Srintil menjadi sering sakit-sakitan dan mulai kembali ceria setelah Srintil bertemu dengan Goder, anak Tampi. Ketika Marsusi datang lagi untuk mengajak Srintil keluar tetapi ditolak oleh Srintil, bahkan ketika Marsusi menyodorkan kalung emas Srintil tetap menolak. Hal ini tentu saja membuat Marsusi sangat marah. Kemarahan Marsusi berimbas kepada kemarahan Kertareja kapada Srintil. Srintil mulai meronggeng kembali, ketenaran Srintil sampai keluar, salah satunya terdengar oleh Mertanakim dari Alaswungkal, Srintil diminta untuk meronggeng di rumah dan menjadi gowok untuk anak laki-lakinya. Tahun 1965, keadaan menjadi tak terkendali yang menyebabkan Srintil dan rombongan ronggengnya terlibat dalam sebuah konflik politik. Ketika Srintil dan Kertareja memutuskan untuk menjelaskan ketidakterlibatannya dengan konflik tersebut pada polisi, mereka justru tidak diperbolehkan untuk pulang, mereka malah ditahan. Hal ini membuat Dukuh Paruk mati, perempuan yang dibanggakan dan seorang tetua tidak lagi berada di tempat mereka. Dukuh Paruk menjadi tempat yang sangat memprihatikan akibat konflik politik tersebut banyak rumah penduduk yang dibakar. Dukuh Paruk yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban. Dukuh Paruk kini tanpa pemimpin dan tanpa Srintil. Beberapa bulan kemudian Sakarya, Kertareja dan yang lainnya dibebaskan. Tetapi, mereka pulang tanpa membawa Srintil. Tidak ada yang
tahu Srintil saat itu berada dimana. Dukuh Paruk yang miskin, didatangi seorang pemuda yang gagah dan berseragam. Semula para warga takut dan enggan menanggapi pemuda tersebut tetapi ternyata pemuda itu adalah Rasus. Sebelum pergi, Sakarya meminta bantuan untuk membebaskan Srintil. Tidak lama kemudian, Srintil kembali pulang. Sejak kepulangannya, sikapnya berubah menjadi lebih pendiam. Hati Srintil mulai bisa terbuka kembali ketika melihat Bajus. Srintil yang yakin bahwa Bajus adalah orang yang akan mengubah hidupnya harus kembali merasakan kekecewaan yang begitu dalam. Bajus ternyata malah menawarkan Srintil kepada bosnya. Akibat tekanan batin yang mendalam, Srintil menjadi gila. Suatu ketika Rasus pulang dari menjalankan tugasnya. Namun, hati rasus sangat terkejut ketika mendapati Srintil gila. Srintil pun dibawanya ke rumah sakit khusus tentara. Akhirnya Rasus mempunyai tekad yang besar dalam dirinya untuk membawa Dukuh Paruk menjadi lebih baik.
BIODATA PENULIS
Tri Mutia Rahmah, lahir di Jakarta pada 22 Desember 1993. Anak ketiga dari empat bersaudara ini lahir dari pasangan Ustama dan Kundari. Sejak kecil memiliki hobi membaca dan menulis. Kesehariannya diisi dengan menulis dan membaca berbagai novel. Citacitanya ingin menjadi guru dan penulis menuntunnya untuk dapat masuk ke jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi langkah awal untuk mewujudkan cita-citanya. Selain disibukan dengan kuliah di PBSI, penulis juga mulai menyalurkan cita-citanya menjadi seorang guru di Bimbingan Belajar Smartgama pada tahun 2012-2013, lalu dilanjutkan di Bimbingan Belajar Universal Pondok Aren pada tahun 2015. Selain itu, hobi menulisnya juga mulai disalurkan dalam artikel yang telah dimuat dalam Koran Sindo bagian Poros Mahasiswa. Keluarga, sahabat, dan teman terdekatnya menjadi motivasinya untuk mewujudkan cita-cita menjadi seorang guru, penulis, dan anak yang dapat membanggakan bagi keluarganya.