CITRA TOKOH (SRINTIL) DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI Septia Martha Harnawi1 Roekhan2 Universitas Negeri Malang Jalan Semarang No. 5 Malang Email:
[email protected]
Abstract: This study aimed to obtain a description of the image of the characters in the novel Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari work. The approach used in this study is descriptive qualitative. The results (1) figure image (Srintil) in relation to the Lord Srintil not prove that their religion (not godless), Srintil embraced animism and dynamism; (2) the image of figure (Srintil) in conjunction with others (social) Srintil prove that a person who is easy going and sesalu friends who accompanied him playing, dancing, and singing; and (3) image of the figure (Srintil) in conjunction with self Srintil result is lost as an individual who is a woman and as a dancer he could only surrender to the rules on Hamlet Paruk, including treatment against Nyai Kartareja have deliberately massaging to death ovary. This study is expected to be beneficial to all parties who have an interest and concern with the customs in Indonesia. So that they can better understand and know how to respond to symptoms arising from the sociology literature violation of norms in society. Key word: image, image, character, novel, sociocultural. Abstrak: Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi tentang citra tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (2011). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian (1) citra tokoh (Srintil) dalam hubunganya dengan Tuhan membuktikan bahwa Srintil tidak menganut agama (tidak berTuhan), Srintil menganut kepercayaan animisme dan dinamisme; (2) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan sesama (sosial) membuktikan bahwa Srintil seorang pribadi yang mudah bergaul dan memiliki teman-teman yang sesalu menemaninya bermain, menari, dan bernyanyi.; dan (3) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan diri sendiri hasilnya adalah Srintil sebagai seorang individu yang kalah yaitu sebagai perempuan dan sebagai seorang ronggeng dia hanya bisa pasrah pada aturan yang ada di Dukuh Paruk, termasuk perlakuan Nyai Kartareja terhadapnya yang telah dengan sengaja memijat hingga mati indung telurnya. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memiliki kepentingan dan ________________________ 1 Septia Martha H. adalah mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM), Malang. Artikel ini diangkat dari Skrispsi Sarjana Pendidikan, Program Sarjana Universitas Negeri Malang, 2013. 2 Roekhan adalah Dosen Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang.
12 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
kepedulian dengan adat-adat yang ada di Indonesia. Agar mereka dapat lebih memahami dan mengetahui bagaimana menyikapi gejala sosiologi sastra yang timbul akibat adanya pelanggaran norma-norma dalam masyarakat. Kata kunci: citra, pencitraan, tokoh, novel, sosiokultural.
Di dalam karya sastra, sering ditemukan penggambaran wanita sebagai orang yang lemah lembut, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas dan aktif. Citra pria dan wanita tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis sastra. Wanita sering digambarkan sebagai warga kelas dua dan tersubordinasi. Sebagai contoh, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini yang merepresentasikan citra tokoh (Srintil) sebagai gadis yatim piatu, masyarakat golongan bawah dah selalu ditindas oleh kaum laki-laki karena profesinya sebagai seorang ronggeng. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah citra tokoh, karena ideologi tokoh dalam suatu karya sastra akan dapat diketahui dengan pembahasan citra tokoh utama. Pembahasan mengenai citra wanita dalam kesusastraan pada saat ini mendapat perhatian yang cukup besar. Pembicaraan tentang wanita sebagai salah satu anggota kelompok masyarakat merupakan kajian sastra yang cukup sering dibicarakan. Hal ini berkaitan dengan perubahan dalam memandang masalah ini sesuai perubahan nilai-nilai dan moralitas mereka yang memberi penilaian. Sekalipun nantinya terdapat perbedaan atau persepsi dalam penilaian, hal itu merupakan konsekuensi dari nilai-nilai yang dianut. Perkembangan atau perubahan nilai-nilai dalam masyarakat ini sedikit banyak menyebabkan perubahan dalam menampilkan tokoh-tokoh dalam karya sastra, khususnya tokoh wanita. Bagaimanapun juga karya sastra yang mencerminkan selera dan aspirasi suatu kelompok masyarakat tertentu merupakan gejala yang selalu ada pada setiap zaman, sepanjang sejarah kesusasteraan. Gejala tersebut tentu saja dapat mengakibatkan perkembangan yang positif bagi dunia sastra. Jender dapat juga disebut dengan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya. Jender merupakan kategori sosial (feminimitas dan maskulinitas) yang tercermin dalam perilaku, keyakinan, dan organisasi sosial. Gambaran seorang perempuan dalam karya sastra dapat diibaratkan sebuah cermin yang merefleksikan objek terkait. Sikap pengarang, keadaan masyarakat, atau kehidupan pribadi seseorang adalah bagian dari objek yang dapat direfleksikan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa jender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh struktur sosial dan budaya di sekitar mereka. Yandianto (1997:69) mendefinisikan citra sebagai rupa, gambaran, dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya sastra prosa ataupun puisi. Dengan demikian citra tokoh dalam karya sastra dapat dipahami sebagai hasil gambaran tokohnya. Hasil gambaran tersebut bisa berupa pola pikir, tingkah laku, dan sikap tokoh dalam kehidupannya. Penciptaan karya sastra selalu dilatarbelakangi oleh kenyataan sosial. Kemunculan karya sastra seringkali menyoroti masalah sosial yang ada dalam masyarakat. Sastra dipandang sebagai cermin masyarakat karena sastra mengungkap fakta kemanusiaan (Faruk, 1999:14). Manusia dan lingkungan sekitarnya berada pada proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan selakigus saling mengisi.
13 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan Tuhan, (2) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan sesama manusia (sosial), dan (3) citra tokoh dalam hubungannya dengan diri sendiri. METODE Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Moleong (2005:6) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami tentang fenomena apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang dialami dengan memanfaatkan metode ilmiah. Penelitian karya sastra merupakan penelitian kualitatif, karena karya sastra merupakan karya individual yang kompleks. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan data-data secara sistematis, nyata, dan sesuai citra tokoh pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Berdasarkan orientasi metodologinya, penelitian ini termasuk penelitian berorientasi pada citra tokoh utama pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang dianalisis dengan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini mengkaji unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara, yaitu pertama menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra (tersurat), maksudnya unsur yang tercermin dari apa yang diceritakan dalam novel tersebut. Yang kedua, menganalisis melalui perbandingannya dengan unsur-unsur di luarnya (tersirat) maksudnya unsur yang tercermin di masyarakat yang sesuai dengan cerita dalam novel tersebut. Kirk dan Miller (dalam Moleong 2005:2) berpendapat bahwa penelitian kualitatif merupakan tradisi tertentu dalam suatu ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasan sendiri yang berhubungan dengan orangorang dalam bahasannya dan dalam peristilahannya. Data penelitian ini adalah (1) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan Tuhan; (2) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan sesama (sosial); dan (3) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan diri sendiri pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sumber data penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan keenam yang terbit pada tahun 2011. Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini merupakan novel ketiga karya Ahmad Tohari. Instrumen penelitian adalah alat-alat atas fasilitas yang digunakan oleh peneliti untuk menjaring data yang diperlukan dan berhubungan dengan masalah penelitian. Pada dasarnya instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Karena peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi pelopor hasil penelitiannya (Moleong, 2005:121). Selain peneliti sebagai instrumen, pada penelitian ini juga menggunakan instrumen pengumpulan data yang berupa paparan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis tekstual. Adapun langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari secara intensif dan berulang-ulang untuk memahami struktur serita dan konteks dalam novel tersebut yang berupa dialog, monolog, dan narasi. Kedua, data dikumpulkan pada tabel (ada pada lampiran 1). Ketiga, peneliti memberikan kode berbagai hal tentang hasil penelitian. Setiap satuan akan diberi kode huruf dan angka sebagai penjelas data yang terkumpul. Kode CT-T.4, berarti citra tokoh dengan Tuhan terdapat pada halaman 4. Keempat, peneliti mendaftar data yang menggambarkan (a) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan Tuhan, (b) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan sesama manusia (sosial), (c) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan diri sendiri. Data tersebut diperoleh dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari berdasarkan kriteria yang sesuai dengan permasalahan. 14 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
Teknik analisis data penelitian ini adalah teknik intertekstual. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteksual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1984: 62-5). Teknik analisis intertekstual dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut. Pertama, peneliti mengklasifikasikan data dengan cara mengatur dan mengurutkan data ke dalam suatu satuan urutan yang menggambarkan masalah yang akan dikaji. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah deskriptif kualitatif dengan acuan dokumentasi, yakni: menganalisis citra tokoh dalam hubungannya dengan Tuhan, citra tokoh dalam hubungannya dengan sesama, dan citra tokoh dalam hubungannya dengan dirinya sendiri. Setelah data dikumpulkan dan diuji keabsahannya, data dianalisis sesuai dengan masalah yang telah ditetapkan. Kedua, peneliti memaparkan terlebih dahulu teori yang berkaitan dengan citra tokoh dengan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam prosa, juga ditinjau dari segi religius dan sosiokultural. Ketiga, Peneliti menginterpretasikan data sesuai dengan teori citra tokoh dalam hubungannya dengan Tuhannya, citra tokoh dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan citra tokoh dalam hubungannya dengan dirinya sendiri. Data yang telah terkumpul dicek kemudian diberi kode-kode untuk memperoleh hasil analisis dengan pengkodifikasian. Selanjutnya data dibuktikan kebenarannya sesuai dengan teori yang telah disusun sehingga memberikan penafsiran makna sebagai suatu hasil analisis.
HASIL ANALISIS Dalam bab ini dipaparkan hasil analisis citra tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Analisis data ini berdasarkan tujuan penelitian, yakni mendeskripsikan (1) citra tokoh (Srintil) dalam hubunganya dengan Tuhan, (2) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan sesama manusia (sosial), dan (3) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan diri sendiri. Paparan secara lengkap dapat dibaca pada uraian berikut. Citra Tokoh (Srintil) dalam Hubungannya dengan Tuhan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari Citra Tokoh sebagai Individu yang Mempercayai Kekuatan Roh (Animisme). Hasil analisis citra tokoh sebagai individu yang mempercayai kekuatan roh (animisme) dapat disimpulkan bahwa, Srintil masih sangat percaya pada paham animisme yaitu paham atau kepercayaan terhadap roh leluhur atau nenek moyang (sesuatu yang tidak tampak oleh mata). Dari paparan data di atas membuktikan betapa Srintil, bahkan juga Rasus dan Nyai Kartareja masih percaya akan keberadaan roh leluhur mereka yang telah lama mati yatu Ki Secamenggala. Srintil percaya bahwa roh Ki Secamenggala masih hidup di Dukuh Paruk dan selalu mengawasi keturunannya di Dukuh Paruk, termasuk Srintil calon ronggeng. Citra Tokoh sebagai Individu yang Mempercayai Kekuatan Benda-Benda (Dinamisme). Hasil analisis citra tokoh sebagai individu yang mempercayai kekuatan benda-benda (dinamisme) di atas adalah Srintil sebagai seorang yang digadang-gadang akan meneruskan tradisi di Dukuh Paruk yang telah lama hilang, yaitu menjadi seorang ronggeng, dia memiliki kepercayaan kepada roh leluhurnya dan kepercayaan kepada benda-benda pusaka yang memiliki kekuatan magis. Karena di Dukuh Paruk hanya berpaham animisme dan dinamisme. Srintil percaya keris yang diberikan oleh Rasus adalah keris milik ronggeng secara turun 15 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
temurun yang berfungsi sebagai pekasih. Jadi, Srintil percaya jika dalam keris tersebut terdapat kekuatan magis yang akan membuatnya menjadi seorang ronggeng yang luar biasa. Citra Tokoh sebagai Individu yang Tidak Menganut Ajaran Agama. Hasil analisis citra tokoh sebagai individu yang tidak menganut ajaran agama dipaparkan beberapa data yang membuktikan bahwa Srintil memang tidak berTuhan atau ia tidak memiliki kepercayaan terhadap suatu agama. Karena, kepercayaan selalu dikaitkan dengan sebuah agama. Begitu juga dengan rasus dan Nyai Kartareja, mereka adalah orang-orang dengan paham kuno dan belum mengenal Tuhan. Maka dari itu mereka dapat berbuat sesuka mereka tanpa takut akan aturan-aturan yang ada dan dosa, karena dalam hidup mereka tidak ada aturan pasti yang mengatur. Citra Tokoh (Srintil) dalam Hubungannya dengan Sesama Manusia dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Citra Calon Ronggeng sebagai Individu yang Timbul secara Natural Ditengah Masyarakat. Hasil analisis citra calon ronggeng sebagai individu (masyarakat) yang timbul secara natural ditengah kehidupan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang ronggeng seorang perempuan harus rela diperlakukan kurang ajar oleh laki-laki. Seperti perlakuan yang diterima Srintil dari para laki-laki, perlakuan tidak sopan tersebut dalam bentuk pelecehan fisik dan pelecehan mental. Pelecehan fisik yang mereka lakukan adalah memegang dan menggoda Srintil, sedangkan pelecehan mental berupa mereka mengatakan kata-kata yang tidak pantas kepada Srintil yang seharusnya mereka hormati sebagai seorang perempuan. Tetapi Srintil hanya bisa pasrah, karena dia sadar itulah resiko yang harus diterima sebagai seorang ronggeng. Citra Ronggeng sebagai Individu dan Makhluk Masyarakat. Hasil analisis citra ronggeng sebagai individu dan makhluk masyarakat di atas dapat disimpulkan bahwa Srinti sebagai seorang calon ronggeng dalam kehidupan sosialnya merupakan pribadi yang sangat mudah bergaul. Sejak kecil dia sudah berteman dengan Rasus, Warta, dan Darsun. Mereka selalu bermain bersama dan Srintil selalu suka apabila dia diminta bernyanyi dan menari seperti seorang ronggeng oleh teman-temannya. Memang hanya ketiga laki-laki itulah yang diceritakan sering menemani Srintil bermain, terutama Rasus dia yang selalu bersama Srintil sampai Srintil menjadi seorang ronggeng. Citra Ronggeng sebgaai Individu yang dapat Digunakan sebagai Alat Mengumpulkan uang. Hasil analisis citra ronggeng sebagai individu yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan uang adalah bagaimana seorang ronggeng, Srintil dimanfaatkan oleh Nyai Kartareja dan suaminya untuk menjadi mesin uang bagi mereka. Dalam syarat pengangkatan ronggeng di malam bukak klambu yang sangat merugikan Srintil tetapi terlalu menguntungkan bagi suami istri Kartareja. Karena dalam malam bukak klambu tersebut Srintil dipaksa untuk melayani dua orang laki-laki secara bergantian. Nyai Kartareja sebagai sesama perempuan justru memaksa Srintil untuk melakukan hal yang tidak terpuji dan melanggar norma-norma yang berlaku. Selain itu Nyai Kartareja juga tega memijat indung telur Srintil hingga mati yang menyebabkan Srintil tidak akan dapat memiliki keturunan. Citra Tokoh (Srintil) dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Citra Tokoh sebagai Individu yang Bergantung pada Individu Lain. Hasil analisis diambil dari citra tokoh sebagai individu yang bergantung pada individu lain adalah Srintil yang sangat bergantung kepada orang lain, terutama Rasus. Rasus adalah orang yang selalu ada 16 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
disaat Srintil membutuhkannya, baik senang maupun susah. Karena, memang Rasus menyukai Srintil sejak mereka kecil begitu juga dengan Srintil. Sebagai seorang ronggeng Srintil tidak dapat hidup sendiri dia bergantung kepada orang lain. Dalam semua hal Srintil butuh bantuan orang lain. Citra Tokoh sebagai Individu yang Kalah. Hasil analisis citra tokoh dari individu yang “kalah” adalah Srintil sebagai seorang ronggeng hanya bisa pasrah pada aturan-aturan yang berlaku di Dukuh Paruk, aturan yang telah dibuat jauh sebelum Srintil ada. Kekalahan Srintil tentang penolakan Rasus akan permintaan Srintil untuk menikah, dan yang lebih menayakitkan lagi adalah kekalahannya sebagai perempuan ia tidak dapat hamil dan berbagai penyakit kelamin menghantuinya. Karena sebagai ronggeng Srintil tidur dengan bergantiganti pria, sehingga sangat mungin bagi Srintil untuk terserang penyakit kelamin. Inilah yang membuat Srintil menjadi individu yang kalah.
PEMBAHASAN Pembahasan dari data citra tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini berdasarkan analisis data, yakni mendeskripsikan (1) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan Tuhan; (2) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan sesama manusia (hubungan sosial); dan (3) citra tokoh (Srintil) dalam hubungannya dengan diri sendiri. Paparan bahasa secara lengkap dapat dibaca pada uraian berikut. Citra Tokoh (Srintil) dalam Hubungannya dengan Tuhan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari Citra Tokoh sebagai Individu yang Mempercayai Kekuatan Roh (Animisme). Animisme dipercaya sebagai suatu agama yang primitif, yang merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh manusia didalam mengalami dunia dan Tuhan, suatu pandangan tertentu terhadap segala kehidupan disekeliling manusia atau mentalitet atau sikap rohani tertentu. Orang yang telah mati dipercaya tidak dapat mencukupi kebutuhan sendiri, karena itu oleh orang yang masih hidup dan orang yang percaya akan keberadaan mereka memberikan sesaji atau makanan sebagai pemujaan bagi roh tersebut. Ada tujuan-tujuan tertentu dibalik pemberian sesaji tersebut, yaitu agar roh-roh tersebut senantiasa menjaga mereka dari segala hal yang buruk dan tidak membahayakan bagi manusia yang masih hidup (Nurgiyantoro, 2010). Dari analisis data citra tokoh sebagai individu yang mempercayai kekuatan roh (animisme) pada bab sebelumnya dapat dibahas bahwa tokoh Srintil khususnya dan warga Dukuh Paruk umumnya menganut paham animisme. Mereka percaya roh Ki Secamenggala, leluhur mereka masih ada di sekitar Dukuh Paruk walaupun sudah lama meninggal dan akan menjaga mereka apabila mereka terus memberikan sesaji kepadanya. Begitu juga dengan apa yang dilakukan Srintil, ia tidak pernah lupa untuk memberikan sesaji kepada Ki Secamenggala di cungkup atau makamnya selama Srintil menjadi seorang ronggeng. Roh Ki Secamenggala begitu dipuja oleh warga Dukuh Paruk,bahkan pada saat malam pelaksanaan syarat pertama sebelum Srintil menjadi ronggeng yaitu syarat memandikan ronggeng, pada saat Ki Kartareja bertayup dengan Srintil bak orang kesetanan dan memaksa menciumi Srintil orang-orang percaya kalau Ki Kartareja pada saat itu kerasukan roh Ki Secamenggala. Mereka bahkan senang karena merasa Ki Secamenggala menerima Srintil menjadi seorang ronggeng.
17 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
Citra Tokoh sebagai Individu yang Mempercayai Kekuatan Benda-Benda (Dinamisme) Kebudayaan atau budaya menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan sebagai pola pikir dan berbuat yang terlihat dalam kehidupan sekelompok manusia dan membedakannya dengan kelompok lain. Kebudayaan dapat dipahami sebagai suatu sistem ide atau gagasan yang dimiliki suatu masyarakat melalui proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial bagi masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 2000:61). Pengertian dinamisme menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu dynamis artinya kekuasaan, kekuatan, dan khasiat. Sedangkan pengertian dinamisme menurut istilah adalah paham yang mengajarkan bahwa tiap benda mempunyai suatu daya kekuatan atau kekuasaan yang dianggap keramat dan tidak berpribadi, dianggap halus maupun berjasad, dimiliki maupun tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang, dan manusia. Sedangkan benda-banda yang mengandung kesaktian yang biasa disebut fetisy dan seolah-olah mendekatkan kesaktian kepada manusia, sehingga kesaktian itu dapat memberi pengaruh yang baik kepada hidup manusia. Fetisy-fetisy itu dianggap membawa keselamatan yang bermacam-macam sifatnya: melindungi orang terhadap bencana, menyembuhkan penyakit, memberi kekuatan untuk hidup baru, dan sebagainya. Selain fetisy benda-benda yang dianggap memiliki makna berupa jimat dan relik, benda tersebut dipuja atau diperlakukan dengan baik dan disimpan dengan hati-hati. Tetapi apabila kesaktian benda tersebut telah hilang, maka sang pemilik dapat menghentikan pemujaan itu atau membuang benda pusaka tersebut (Hafizh, 2011). Jadi, dapat disimpulkan pengertian dinamisme adalah kepercayaan orang primitif dan bersifat mistis, menyatakan bahwa segala kejadian dan perubahan pada benda-benda material adalah perwujudan yang nyata daripada sesuatu kekuatan yang tidak terlihat (gaib). Begitu juga dengan yang terjadi pada Srintil, dia sangat percaya bahwa keris Kyai Jaran Guyang pemberian dari Rasus memang sebuah benda pusaka istimewa yang memiliki kekuatan magis dan keris itu memang diiptakan untuk para ronggeng. Karena keris yang telah lama hilang pada saat ronggeng terakhir sebelum Srintil tiba-tiba muncul lagi pada Srintil menjadi ronggeng. Citra Tokoh sebagai Individu yang Tidak Menganut Ajaran Agama Ajaran agama adalah sebuah sarana untuk hidup manusia itu sendiri, pedoman manusia dalam melakukan segala bentuk aktifitasnya, petunjuk arah tujuan manusia melangkah hingga sampai ke depan (Wikipedia, 2012). Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini tokoh Srintil, Rasus, dan Nyai Kartareja belum menerima keyakinan akan sebuah ajaran agama. Pada dasarnya bukan salah mereka kalau mereka belum menganut suatu keyakinan (agama), karena mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan warga Dukuh Paruk belum memiliki keyakinan terhadap suatu agama. Mungkin ajaran agama belum masuk ke pedukuhan itu, jadi mereka tidak mengetahui dan tidak mempunyai pengetahuan tentang agama.bisa juga karena letak Dukuh Paruk yang sangat terpencil berada dipelosok, maka dari itu ajaran tentang suatu agama/keyakinan belum ada di pedukuhan tersebut. Karena alasan itulah mereka bisa berbuat sesuka hati mereka, dikarenakan tidak ada aturan dan hukum yang mengatur. Karena merasa tidak ada aturan yang harus ditaati, juga tidak ada hukum yang mengatur tentang suatu perbuatan yang tidak baik, maka Srintil merasa tidak takut menjadi seorang ronggeng dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa dengan para laki-laki yang 18 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
memujanya sebagai ronggeng asalkan dia mendapatkan imbalan yang sepadan dengan apa yang telah dia berikan. Bukan hanya Srintil, Nyai Kartareja juga sama, dia adalah salah satu orang yang membuat Srintil menjadi seorang ronggeng. Nyai Kartareja berperan sangat besar dalam hal ini, dia yang dengan berani menjual Srintil kepada dua pemuda demi mendapatkan keping emas, dua rupiah perak, dan seekor kerbau. Dia yang tanpa takut akan dosa, karma, dan dirinya sebagai seorang perempuan menjerumuskan Srintil kedalam dosa yang besar dengan menjadikannya seorang ronggeng yang selalu dibumbui dengan berbagai macam hal yang berbau musrik. Citra Tokoh (Srintil) dalam Hubungannya dengan Sesama Manusia dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Citra Calon Ronggeng sebagai Individu yang Tumbuh secara Natural di Tengah Kehidupan (Nurgiyantoro, 2010: 71) menjelaskan masalah hidup dan kehidupan yang dialami manusia sangat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks kehidupan yang ada. Walau masalah yang dialami manusia tidak sama ada masalah-masalah tertentu yang bersifat universal. Artinya hal itu akan dialami oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama. Berbagai masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat ke dalam karya sastra, baik berupa pengalaman yang bersifat individual maupun sosial, kecemasan, dendam, religius, kesombongan, harga diri, keadilan, dan lain sebagainya. Dalam pembahasan subbab ini dikaitkan dengan moral tokoh. Terkadang moral pengertiannya di identikkan dengan tema, walau sebenarnya tidak selalu menyaran pada maksud yang sama. Moral dan tema, karena keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, diambil dari cerita, dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan (Nurgiyantoro, 2010: 320). Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan dalam penelitian ini. Moral dalam cerita dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dari cerita tersebut (Nurgiyantoro, 2010: 321). Nilai moral dalam pembahasan subbab ini dalam cerita dikaitkan dengan sifat tokoh (Srintil) yang mudah bergaul dengan teman-temannya di Dukuh Paruk sejak dia masih kecil. Srintil merasa sangat senang saat bermain dengan Rasus, Warta, dan Darsun. Pada saat Srintil bernyanyi dan menari mereka pasti mengiringi Srintil dengan menirukan suara gamelan menggunakan mulut mereka. Srintil paling senang kalau mereka berkata Srintil pandai menari dan bernyanyi seperti seorang ronggeng. Citra Ronggeng sebagai Individu dan Makhluk Masyarakat Citra ronggeng sebagai individu dan makhluk sosial ini adalah image atau gambaran seorang ronggeng (Srintil) sebagai seorang ronggeng dan Srintil sebagai seorang warga Dukuh Paruk. Kalau dilihat sepintas mungkin tidak akan ada bedanya, karena keduanya saling berhubungan erat. Srintil sebagai seorang ronggeng dia memiliki kehidupan yang serba mewah, dan apa yang dia inginkan selalu tercapai. Sedangkan sebagai makhluk masyarakat, Srintil sebagai warga Dukuh Paruk yang bekerja atau berprofesi sebagai seorang ronggeng pasti akan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari masyarakat di pedukuhan tersebut, terutama dari para laki-laki.
19 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
Bila dilihat lagi terasa sangat janggal, Srintil hidup dalam kemewahan, apa yang dia inginkan selalu terpenuhi, padahal kehidupan di Dukuh Paruk dengan masyarakat yang serba kekurangan dan masih terbelakang. Mereka hidup serba kekurangan dan hidup dalam keterbatasan, ada baiknya Srintil juga memikirkan orang-orang disekitarnya, karena dia mendapatkan semua kekayaannya dari orang-orang, baik dari Dukuh Paruk maupun dari pedukuhan lain. Citra Ronggeng sebagai Individu yang dapat Digunakan sebagai Alat untuk Mengumpulkan Uang Pembahasan dari subbab citra ronggeng sebagai individu yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan uang. Maksud dari subbab ini adalah, seorang ronggeng (Srintil) yang dimanfaatkan keberadaannya oleh dukun ronggeng dan istrinya (Kartareja) untuk menghasilkan uang. Sebagai seorang ronggeng Srintil bekerja siang dan malam menari dan bernyanyi dihadapan orang-orang kampung, tidak jarang dia menerima perlakuan tidak baik dari para laki-laki. Tetapi dia selalu menerimanya dengan sabar, karena Srintil sadar itu memang sudah menjadi risikonya sebagai seorang ronggeng. Ronggeng adalah milik semua orang, dan orang-orang beranggapan bebas melakukan apa saja kepada ronggeng, asal ronggeng tersebut tidak menolak, bahkan untuk tidur bersama. Sebagai ronggeng, Srintil mendapatkan imbalan yang banyak baik berupa uang maupun benda-benda berharga dari para laki-laki yang menyaksikan pertunjukannya. Srintil merupakan salah satu ronggeng yang cantik dari sejarah ronggeng-ronggeng yang ada di Dukuh Paruk. Karena itu, para laki-laki berusaha untuk mendapatkan Srintil. Hal itu merupakan salah satu keuntungan bagi suami istri Kartareja, mereka merasa Srintil adalah gudang uang bagi mereka. Dari Srintil mereka mendapatkan banyak uang hasil Srintil menjadi ronggeng. Maka dari itu, mereka sangat menjaga Srintil, termasuk dari para laki-laki yang ingin memperistri Srintil. Karena, kalau Srintil sudah menikah dia sudah tidak boleh lagi menjadi ronggeng. Srintil banyak dimanfaatkan oleh suami istri Kartareja, terutama Nyai Kartareja. Dari sebelum Srintil resmi menjadi ronggeng dipaparkan dengan jelas bagaimana Srintil dimanfaatkan oleh dukun ronggeng tersebut untuk melayani kedua pemuda, demi mendapatkan keping emas, dua rupiah perak, dan satu ekor kerbau. Uang hasil bukak klambu tersebut tentunya tidak semuanya diberikan kepada Srintil, Kartareja pasti mengambil keuntungan dari penderitaan Srintil. Citra Tokoh dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Citra Tokoh sebagai Individu yang Bergantung pada Individu Lain Berdasarkan hasil analisis data tersebut di atas, pada bab pembahasan tentang citra tokoh sebagai individu yang bergantung pada individu lain ini maksudnya adalah Srintil sebagai seorang ronggeng dan Srintil sebagai seorang perempuan ciptaan Tuhan. Pesan moral yang berkaitan dengan hubungan sosial banyak diamanatkan dalam berbagai karya sastra di Indonesia, bahkan sejak awal pertumbuhan novel telah banyak mengangkat masalah tersebut, termasuk Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini (Nurgiyantoro, 2010: 325). Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumya, bahwa Srintil sebagai seorang ronggeng tidak dapat hidup sendiri, dia selalu bergantung dengan orang lain. Baik itu Rasus, Nyai dan Ki Kartareja, warga Dukuh Paruk, maupun para laki-laki yang selalu melihat 20 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
pertunjukkannya dan memberikan uang kepada Srintil. Dengan Rasus Srintil membutuhkannya sebagai teman bercerita yang sangat mengerti dirinya dan menyayanginya, dengan Nyai dan Ki Kartareja Srintil membutuhkan mereka sebagai dukun ronggeng yang sangat mengetahui apa yang harus Srintil lakukan sebagai seorang ronggeng karena banyak aturan-aturan yang Srintil tidak tahu. Sedangkan warga Dukuh Paruk dan penduduk lain adalah mereka sebagai orang yang selalu menyaksikan dan menikmati pertunjukkan Srinti, dan dari mereka juga Srintil mendapatkan uang. jadi itulah alasannya mengapa Srintil tidak dapat hidup sendiri, dan membutuhkan kehadiran banyak orang. Citra Tokoh sebagai Individu yang “Kalah” Dalam pembahasan subbab ini berisi penjelasan tentang bagaimana citra tokoh (Srintil) sebagai individu yang “kalah”. Kata kalah disini diartikan Srintil sebagai seorang perempuan dan seorang ronggeng merasa tidak berdaya terhadap semua aturan bagi seorang ronggeng, Srintil juga tidak memiliki kekuatan untuk melawan aturan tersebut. Karena di dalam hati Srintil dia tidak menginginkan hal tersebut, dia tidak meminta dijadikan ronggeng, dia rela menjadi ronggeng karena dia ingin membayar kesalahan kedua orang tuanya dimasa lalu yang menyebabkan banyak warga Dukuh Paruk meninggal karena keracunan tempe bongkrek buatan mereka. Kekalahan Srintil yang kedua adalah, di saat dia sudah merasa lelah akan kehidupannya sebagai ronggeng, dia ingin berhenti menjadi ronggeng, dan dia ingin menikah dengan Rasus saat Rasus sudah berhasil menjadi seorang tentara. Namun, yang di dapat Srintil adalah dia dikecewakan oleh Rasus, karena dengan sekuat tenaga Rasus menolak permintaan Srintil untuk menjadi istrinya. Karena Rasus berpikir itu hanya keinginan sesaat dari Srintil, dan karena Rasus sudah melihat bagaiamana kehidupan di luar, sehingga dia tidak ingin terburuburu mengambil keputusan. Kekalahan terbesar Srintil adalah saat dia mulai menyadari bahwa Nyai Kartareja telah memijit indung telurnya hingga mati, sehingga Srintil tidak dapat mempunyai anak dari rahimnya sendiri. Hal tersebut dilakukan oleh Nyai Kartareja, karena apabila seorang ronggeng sudah hamil maka kariernya akan terhenti dengan sendirinya. Maka dari itu, suami istri dukun ronggeng tersebut tidak akan mensia-siakan hal tersebut, mereka tidak ingin Srintil berhenti dengan cepat sebagai ronggeng. Karena Dukuh Paruk sudah sangat lama kehilangan sosok seorang ronggeng. Kekalahan Srintil dalam hal ini adalah sebagai seorang perempuan dia merasa sudah tidak berharga lagi, karena nantinya dia tidak bisa memiliki keturunan. Srintil juga dihantui ketakutan akan berbagai penyakit kelamin yang bisa menyerangnya kapan saja, karena sebagai ronggeng dia tidur dengan berganti-ganti pria. Sehingga sangat mungkin bagi Srintil untuk terkena penyakit kelamin.
SARAN Pada penelitian ini tokoh yang diteliti adalah Srintil, Rasus, dan Nyai Kartareja. Namun, pusat pembahasan pada penelitian ini adalah pada tokoh Srintil, maka wujud citra tokoh dalam hubungannya dengan Tuhan ini tampak pada ketiga tokoh yang tampak tidak memiliki pegangan atau kepercayaan terhadap agama, Srintil bahkan tidak memiliki Tuhan. Ia lebih percaya pada kekuatan roh-roh gaib (animisme) dan kekuatan dari benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan magis (dinamisme). Ini terjadi mungkin karena Srintil tinggal di Dukuh Paruk, sebuah pedukuhan yang miskin dan berada di pelosok. Sehingga belum banyak kebudayaan yang masuk, termasuk tentang kepercayaan terhadap Tuhan (agama), etika dan estetika. 21 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013
Saran bagi pembaca, penelitian ini dapat digunakan pembaca sebagai salah satu referensi dalam memahami sekaligus menambah pengetahuan tentang gejala yang dtimbulkan setelah masa kemerdekaan. Pembahasan secara sastra Ronggeng Dukuh Paruk sebenarnya sudah bagus. Ada tokoh utama, ada tokoh minor, ada latar, setting, dan juga ada narasi. Narasi dilakukan secara mendalam pada pikiran tokoh minor dan penokohan dikembangkan dengan dialog. Saran bagi peneliti selanjutnya, peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian sejenis, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai dasar referensi tambahan disertai pengembangan masalah dari sudut pandang yang berbeda. Batasan mengenai sastra masih sangat jarang digunakan, dan masih banyak kesempatan untuk mengembangkannya. Saran bagi pengajar sastra, diharapkan agar para pengajar sastra mampu memberikan model pembahasan untuk menganalisis karya sastra yang telah mengalami kemajuan sejak awal kemunculannya sampai dengan sekarang dengan memakai teori-teori tentang sastra yang telah ada. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dalam menemukan dan meneliti penggunaan teori tentang sastra yang terdapat dalam karya sastra sehingga pengajaran sastra menjadi lebih berkembang dan tidak monoton. DAFTAR RUJUKAN Hafiz, M. 2011. Makalah Dinamisme. http://www.referensimakalah.com/2010/09/pengertiandinamisme.html?m=0. 14 Desember 2012. Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Moleong, L. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurgiyantoro. 2010. Makalah Animisme. http://indonesiaadmin.blogspot.com/2010/02/animisme.html?m=1. 13 Desember 2012. Nurgiyantoro, B. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia. Tohari, A. 2011. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wikipedia. 2010. Agama. http://www.ajaran.com/fardhie.htm. 13 Desember 2012. Yandianto. 1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Percetakan M2S.
22 | JPBSIOnline, Volume 1, Nomor 1, April 2013