perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA (Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)
TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magester Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh Suwarmo S841108031
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA
(Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Oleh Suwarmo S841108031
Komisi Pembimbing
Nama
Tanda Tangan
Pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003
Tanggal
------------- --------- 2012
Pembimbing II Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. ------------- --------- 2012 NIP 19700716 200212 2 001
Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal ............................... 2012 Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL SINDEN KARYA PURWADMADI ADMADIPURWA (Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Oleh:
Suwarmo S841108031 Tim Penguji Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Ketua
Prof. Dr.Andayani, M.Pd. NIP 196010301986012002
--------------
------ 2013
Sekretaris
Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. NIP 195601211982032003
--------------
------ 2013
Anggota
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003
--------------
------ 2013
Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. ------------NIP 19700716 2002122001
------ 2013
Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal .................... 2013
Mengetahui; Direktur Program Pascasarjana UNS
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. NIP 196107171986011001
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa: 1.
KAJIAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA
AHMAD
TOHARI
DAN
PURWADMADI ADMADIPURWA
NOVEL
SINDEN
KARYA
(Pendekatan Intertekstual dan
Nilai Pendidikan) ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernahdiajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan(Permendiknas No,17, tahun 2010). 2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurangkurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Bahasa Indonesia PPs UNS berhak mempublikasikanya dalam forum ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Bahasa Indonesia PPs UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, Mahasiswa
Suwarmo S841108031
commit to user
2013
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
PENDIDIKAN BUKAN PERSIAPAN UNTUK HIDUP. PENDIDIKAN ADALAH HIDUP ITU SENDIRI (JOHN DEWEY)
JATUH TETAPI ORANG YANG KUAT ADALAH ORANG YANG PERNAH JATUH TETAPI MAMPU UNTUK BANGKIT KEMBALI DEMI MENDAPATKAN SEMUA YANG DICITA-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada: 1. Istriku tercinta dan anakanakku yang kusayang. 2. Bapak dan Ibuku. 3. Saudara-saudaraku. 4. Teman-teman mahasiswa S-2 PBI kelas paralel UNS. 5. Almamater.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul Kajian Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa (Intertekstual dan Nilai-nilai Pendidikan , disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Pendidikan pada Program Studi Bahasa Indonesia, program pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyususnan Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS. Direktur PPs Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Ketua Program Studi S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia, sekaligus Pembimbing I yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan dalam penulisan tesis ini. 4.
Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. selaku Pembimbing II yang dengan sabar meluangkan pikiran, dan waktunya untuk memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan sehingga mampu menyelesaikan penulisan tesis ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Secara pribadi penghargaan dan penghormatan yang tak terhingga penulis berikan kepada kedua putra kebanggaan dan istri tercinta yang telah memberikan motivasi sehingga dapat penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan pendidikan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, guru bahasa Indonesia dan seluruh masyarakat pecinta bahasa dan sastra Indonesia.
Surakarta, 11 Januari 2013. Penulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL
i
PENGESAHAN PEMBIMBING
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS
iii
PERNYATAAN
iv
KATA PENGANTAR
v
ABSTRAK
vi
ABSTRACK
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Rumusan Masalah
5
C. Tujuan Penelitian
6
D. Manfaat Penelitian
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori
8 8
B. Penelitian yang Relevan
41
C. Kerangka Berpikir
42
BAB III METODE PENELITIAN
44
A. Tempat dan Waktu Penelitian
44
B. Jenis Penelitian
45
C. Data dan Sumber Data
45
D. Tekni Pengumpulan Data
46
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Validasi Data ............................................................................
46
F. Teknik Analisis Data
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1.
49 49
Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan Novel Sinden...................................................
49
a.
Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk
49
1. Tema
49
2. Alur atau Plot
50
3. Penokohan
57
4. Setting atau Latar
83
5. Point of View
93
Struktur Novel Sinden
94
1. Tema
94
2. Alur atau Plot
94
b.
3. Penokohan
102
4. Setting atau Latar
115
5. Point of View
121
2. Intertekstual Novel RDP dan novel Sinden a. Persamaan Struktur Novel RDP dan novel Sinden
122 122
1) Penokohan
122
2) Setting atau Latar
123
3) Alur atau Plot
124
4) Point of Veiw
124
b. Perbedaan Struktur Novel RDP dan novel Sinden
commit to user
125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.Nilai-nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Sinden
127
A. Nilai-nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk.......... 127 a.
Nilai Pendidikan Religius Novel Ronggeng Dukuh Paruk
b.
127
Nilai Pendidikan Budaya Novel Ronggeng Dukuh Paruk
c.
131
Nilai Pendidikan Sosial Novel Ronggeng Dukuh Paruk
d.
Nilai Pendidikan Moral Novel Ronggeng Dukuh Paruk
B. Nilai-nilai Pendidikan Novel Sinden................ a.
Nilai Pendidikan Religius Novel Sinden
139
b.
Nilai Pendidikan Budaya Novel Sinden
141
c.
Nilai Pendidikan Sosial Novel Sinden
d.
Nilai Pendidikan Moral Novel Sinden
Pembahasan Hasil Penelitian..........
....... 144
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
178
A. Simpulan
178
B. Implikasi
184[
C. Saran-saran
186
DAFTAR PUSTAKA
188
LAMPIRAN.....................................................................................................
191
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Suwarmo. S.84 Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Sinden Karya .TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd, II: Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) struktur pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden; (2) persamaan dan perbedaan unsur pembangun struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden; (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggali sumber informasi dan data yang berupa teks-teks sastra, sehingga data yang tampil bukan berupa konsep-konsep secara statistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan: teknik noninteraktif meliputi membaca data, mencatat dokumen dengan content analysis, dan riset pustaka. Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan teknik analisis data model analisis inter aktif tiga alur kegiatan: (1) reduksi data; (2) penyajian data, dan (3) kesimpulan atau verifikasi. Hasil temuan penelitian dengan pendekatan intertekstual menunjukkan bahwa ke dua novel tersebut: (1) memiliki unsur pembangun yang padu, melalui unsur pembangun ditemukan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan hipogram, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk transformasinya, (2) unsurunsur struktur pembangun ke dua novel memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua novel: tema sosial budaya perjuangan wongcilik sebagai penari ronggeng dan sinden. Alur kedua novel menggunakan alur maju. Penokohaan menggunakan tokoh wanita muda belia yang cantik jelita, setting waktu terjadi pada tahun 1960-an gencar-gencarnya isu pergolakan politik PKI, sudut pandang atau point of view Sedangkan, perbedaan terletak pada: penokohan, tokoh utama pada novel Ronggeng Dukuh Paruk Srintil menjadi ronggeng karena panggilan, sedangkan tokoh utama novel Sinden Tumi menjadi sinden karena cita-cita, Setting tempat pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan latar pedukuhan terpencil, miskin, terbelakang yaitu dukuh Paruk. Setting sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan masyarakat pedesaan (masih satu keturunan) dengan penuh keluguan dan kesederhanaan, sedangkan setting sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana masyarakat campuran antara wong cilik dan priyayi yang penuh keangkuhan, (3) nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut yaitu nilai pendidikan religius, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya, dan nilai pendidikan moral. Kata kunci: novel, intertekstual, analisis konten, nilai pendidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Suwarmo. S841108031. An Intertextual Study and Education Value of Ronggeng Dukuh Paruk Novel by Ahmad Tohari and Sinden Novel by Purwadmadi Admadipurwa . Thesis. First Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd, Second Counselor: Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Indonesian Language Education Study Program, Postgraduate Program, Sebelas Maret University. ABSTRACT This research aims to describe and to explain: (1) the structure of Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels; (2) the similarity and difference of elements constructing the intertexstual of Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels; and (3) education value in Ronggeng Dukuh Paruk and Sinden novels. This research employed a descriptive qualitative method. This method was used to explore information and data source constituting literary texts, so that the data appeared is not statistically concepts. Techniques of collecting data used were: interactive and document recording technique with content analysis, listening, reading and recording technique; and library research technique). The data collected was analyzed using technique of analyzing data with an interactive model of analysis encompassing three components: (1) data reduction; (2) data display, and (3) conclusion or verification. The finding of research using intertextuality approach showed that the two novels and intertextual relationship form; (1) the elements constructing the novel structure included theme, plot, characterization, setting, and point of view structurally having similarity and difference, (2) the novel had similarity and difference. The themes of both novels were different. The theme of Sinden novel is the specific form of Ronggeng Dukuh Paruk novel. Ronggeng Dukuh Paruk novel presented the social culture theme involving a broader problems. Meanwhile Sinden novel presented a not-too complicated social culture theme. Bot used a rather developed village (under Priyayi leadership) as the primary background, Sumberwungu village, while Ronggeng Dukuh Paruk novel used an isolated rural background, Paruk hamlet. The social setting of Ronggeng Dukuh Paruk novel presented the social condition of rural society plainness and simplicity, while novel social aspect of Sinden presented combined society of grassroots and the Priyayi replete with arrogance as setting of circumstance. (3) the education values contained in both novels were social cultural and religious education values. Keywords: novel, intertextual, content analysis, education value.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karya sastra dipandang sebagai rekaman terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan kompleksitas kehidupan. Gambaran tersebut meliputi kehidupan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan sosial budaya kemudian menjadikan inspirasi bagi seorang sastrawan untuk di direspon dan ditanggapinya. Persoalan-persoalan yang terjadi kemudian dituangkan dalam sebuah karya sastra yang dikemas dan disajikan dengan penuh estetika . Karya sastra yang dihasilkan hendaknya dapat dinikmati untuk kemudian dimanfaatkan sebagai gambaran kehidupan baru. Hasil karya sastra merupakan kreasi pengarang yang diilhami oleh kepekaan rasa. Untuk itu karya sastra seharusnya mengandung dua unsur yang seimbang yaitu dulce et utile. Dulce adalah kesenangan atau kenikmatan, dan utile adalah kegunaan atau manfaat. Dengan demikian, dulce mengandung nilai-nilai estetika, dan utile mengandung nilai-nilai moral. Jadi untuk sastra yang baik memuat dua hal tersebut secara seimbang. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menyajikan kehidupan yang tersaji dalam teks sastra sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial budaya. Dalam pengertian kehidupan menyangkut hubungan masyarakat, antar individu dengan masyarakat, antar peristiwa, dan antar manusia.
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam sastra Indonesia ada beberapa bentuk cipta sastra, yaitu puisi, prosa dan drama. Karya prosa Indonesia dapat dibedakan menjadi roman, novel, dan cerpen, ketiganya biasa disebut juga cerita rekaan atau fiksi. Dibanding karya sastra puisi dan drama, novel mempunyai daya tarik tersendiri. Novel menceritakan lebih bebas, detil, rinci, berisi masalah yang lebih kompleks. Novel bernilai sastra lebih tinggi. Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama memotivasi orang untuk membacanya. Hal itu disebabkan pada dasarnya bahwa setiap orang senang cerita, apalagi yang sensasional, baik diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan. Melalui sarana cerita itu pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang. Oleh karena itu, cerita fiksi, atau kesastraan pada umumnya, sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai Sebagai bahan bacaan, novel mampu menghibur pembacanya, mampu membawa pembaca untuk mendalami bentuk kehidupan yang baru atau yang belum pernah di alaminya. Novel memuat cerita tentang aneka ragam warna kehidupan manusia dengan watak dan gaya hidupnya, dapat memberi wawasan berpikir yang lebih luas kepada para pembaca. Dengan bahasa yang indah novel memberikan suatu alur cerita kehidupan secara tuntas dan mendalam. Melalui tema, amanat, tokoh, perwatakan dan unsur instrinsik lainnya, novel mampu memberikan suatu ajaran atau nilai didik bagi pembacanya. Novel merupakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Untuk mampu memahami karya sastra dilakukan dengan mengkaji karya sastra tersebut tidak hanya sekadar membaca tetapi membaca secara cermat, dan serius. Kajian yang dimaksud adalah dalam pengertian penelaahan, penyelidikan. Pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur pebentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu disertai kegiatan analisis. Istilah analisis, misalnya analisis karya fiksi, dalam pengertian menguraikan karya itu atas unsur-unsur pembentuk karya tersebut, yaitu berupa unsur-unsur interinsik. Novel yang hadir di hadapan pembaca, seperti telaah yang dikemukakan, adalah sebuah totalitas. Novel dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur saling berhubungan sehingga dapat membentuk sebuah karya yang bermakna, hidup. Dengan kata lain tiap-tiap unsur pembangun novel akan semakin bermakna jika ada keterkaitannya secara menyeluruh. Hubungan intertekstual memandang bahwa tidak ada teks yang proses penciptaannya dilakukan tanpa sama sekali berhubungan teks-teks lain. Jadi, interteks dapat digunakan untuk menelusuri kedudukan teks dalam suatu karya sastra. Terutama dalam studi sastra baik dalam bidang kritik sastra maupun sejarah sastra. Hal ini penting karena untuk memperjelas makna sebagai karya sastra, sehingga karya sastra akan mudah untuk dipahami, baik pemahaman makna teks maupun makna, dan posisi kesejarahannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam mengkaji sebuah karya sastra (cerita fiksi; novel) terdapat bermacam-macam orientasi atau pendekatan. Diantaranya adalah intertekstual. Kritik Intertekstual ini untuk memahami makna sastra dengan melihat hubungannya dengan karya sastra (teks) lain. Melalui pengajaran atau mempertentangkan dua atau lebih karya sastra yang menunjukkan adanya hubungan antarteks, makna karya sastra akan lebih dapat digali secara timbal balik (Rachmad Djoko Pradopo, 2002: 368). Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya sastra yang bersangkutan. Karya itu dipredeksi sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari teks-teks lain. Intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam konstrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogramnya (Burhan Nurgiyantoro, 1998:54). Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, merupakan dua novel yang menggambarkan warna kehidupan sosial budaya masyarakat golongan bawah. Novel Ronggeng Dukuh Paruk
diterbitkan tahun 1982 mengisahkan tentang pergulatan penari
ronggeng yang terletak di dusun terpencil pada pedukuhan Paruk pada masa pergolakan komunis. Di mana tanpa disadari seni ronggeng dimanfaatkan dalam berpolitik. Begitu juga dalam novel Sinden yang mengisahkan sosok perempuan yang ingin menjadi sinden sejati yang mumpuni dalam perjuangannya terjadi tindak penganiayaan untuk keluarganya oleh penguasa yaitu seorang priyayi. Dalam novel Sinden pun terjadi pemanfaatan seni-seni tradisional untuk kegiatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
politik. Selain itu Ahmad Tohari menuangkan nilai-nilai religius dalam Ronggeng Dukuh Paruk begitu halus, kehidupan masyarakat Dukuh Paruk yang selalu taat dan menjunjung tinggi budaya para leluhurnya, bentuk ketaatan dan keiklasan dalam menjalankan kehidupan. Sedangkan Purwadmadi Admadipurwa dalam novel Sinden lebih menggambarkan bentuk ketaatan dan menjunjung tinggi tatakrama budaya menjadi sinden sejati yang telah diwariskan para leluhurnya, mengenai hubungannya dengan Tuhan maupun hubungan dengan sesama manusia sebagai makluk sosial. Penulis tertarik mengkaji novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa dengan pendekatan intertekstualitas. Pengkajian kedua novel tersebut dengan menganalisis struktur kedua novel kemudian menemukan benang merah berupa persamaan dan perbedaan dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, serta mencari nilai-nilai pendidikan yang terkandung pada kedua novel tersebut. Sehingga akan memberikan jawaban dari permasalahan dan mempermudah dalam memahami novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
1.
digilib.uns.ac.id
Bagaimanakah struktur pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa ?
2.
Bagaimanakah persamaan dan perbedaan unsur pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa ?
3.
Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa.
2.
Mendeskripsikan
dan
menjelaskan
persamaan
dan
perbedaan
unsur
pembangun novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa. 3.
Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap teori sastra khususnya novel. Mengenai penerapan salah satu bentuk kajian yaitu penelitian sastra yang menggunakan pendekatan intertekstual, selain itu hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu contoh kajian dalam rangka peningkatan apresiasi sastra.
2.
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada guru, siswa, dan peneliti lain dalam mengapresiasi novel novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa. a. Bagi guru memberi gambaran di dalam membimbing siswanya untuk menganalisis novel dengan pendekatan intertekstual. b. Bagi siswa dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai
pendidikan, sehingga dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. c. Bagi peneliti lain untuk memberi gambaran dalam mengapresiasi
karya sastra dengan pendekatan intertekstual.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1.
Hakikat Novel Istilah novel berasal dari bahasa Italia novell (yang dalam bahasa Jerman : novella). Secara harafiah novella
novella, dan novelle mengandung pengertian sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris : novelette), yang berarti sebuah karya sastra berbentuk prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, dan juga tidak terlalu pendek, Burhan Nurgiyantoro (1998 : 9-10). the American college dictionary adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan
paratokoh,
gerak
serta
adegan
kehidupan
nyata
yang
representative dalam suatu alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut (1960: 830). Dalam adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria, dan wanita yang bersifat imajinatif (1960: 853). Novel adalah gambaran dari kehidupan, dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis (The novel is a picture of real life and
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manners, and of the time in which it is written), (dalam Rene Wellek dan Austin Warren: 282). Virginia Wolf mengatakan bahwa sebuah roman atau novel adalah terutama sekali sebuah eksplorasi
atau suatu kronik penghidupan;
merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan,1984: 164) Herman J. Waluyo (2009:1), sependapat dengan Abrams, dijelaskan bahwa : fiction yang sebenarnya tidak ada. Cerita-cerita sastra, seperti roman, novel, dan cerita pendek diklasifikasikan sebagai prosa fiksi, sedangkan prosa yang bukan karya sastra yang merupakan deskripsi dari kenyataan yang dinyatakan sebagai prosa non-fiksi, misalnya : biografi, catatan harian, laporan kegiatan, dan sebagainya yang merupakan karya sastra yang bukan hasil imajinasi.
Selanjutnya, Nugraheni Eko Wardani (2009 : 13) menjelaskan bahwa kedudukan prosa dengan istilah fiksi dari beberapa pendapat ahli sastra sebagai berikut : Ahli sastra sering menyebut prosa dengan istilah fiksi, teks naratif, atau wacana naratif. Istilah fiksi dipergunakan untuk menyebut karya naratif yang isinya perpaduan antara kenyataan dan imajinasi. Tidak semua fiksi sepenuhnya khayalan. Dunia fiksi berada di samping dunia realitas. Pengarang dalam menciptakan karyanya selalu menghubungkan tokoh-tokoh, latar, dan peristiwa seperti yang ada dalam dunia nyata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada dasarnya pengertian Novel secara etimologis berasal dari novellus bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru (Herman J. Waluyo, 2011:5). Abrams menjelaskan tentang pengertian novel sebagai barikut : The novel is characterized as the fictional attempt to give the effect of tealism, by representing complex characters with mixes motives who are rooted in a social class, operate in a highly developed social structur, interact with many other characters, and undergo plausible, and everyday modes of the experience, (1971 : 112). Menurut pendapat Abrams novel adalah fiksi dengan ciri sebagai usaha untuk memberikan effect dari tealism, dengan mewakili karakter yang kompleks dengan mencampur motif yang berakar dengan kelas sosial, berkembang struktur sosial, berinteraksi dengan banyak karakter lain, dan menjalani mode masuk akal, dan sehari-hari dari pengalaman, (1971 : 112). Novel merupakan salah satu jenis fiksi, dalam perkembangannya novel dianggap relefan dengan prosa fiksi, sehingga pengertian fiksi berlaku untuk novel. Dalam novel disajikan sebuah dunia khayal yang dibangun melalui cerita, tokoh, peristiwa, dan latar yang semua bersifat imajinasi (Burhan Nurgiyantoro , 1998:163) Novel adalah cerita rekaan yang berisi tentang aspek problematika kehidupan manusia yang lebih kompleks, serta merupakan kesatuan dinamis yang bermakna. Kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial budaya dan juga ada yang meniru subjektivitas manusia (Wijaya Heru Santoso, 2010: 47).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara itu, Wellek dan Warren, (dalam Wijaya Heru Santoso, 2010: 47) berpendapat novel menyajikan kehidupan itu sendiri. Sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial, walaupun karya sastra meniru alam, dan kehidupan subjektivitas manusia. Pendapat lain tentang novel dari Jakob Sumarjo (1981: 12) mengatakan bahwa novel adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional atau rasional yang berada dalam masyarakat tersebut. Faruk (1999: 29) mengatakan bahwa novel adalah sebuah cerita tentang pencarian yang tergradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematic dalam dunia yang terdegradasi ( Wijaya Heru Santoso, 2010: 47). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian novel adalah cerita rekaan berisi tentang
aspek problematika kehidupan manusia yang lebih kompleks (yang dibangun melalui beberapa unsur intrinsiknya seperti: tema, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain).
2. Hakikat Cerita Fiksi Istilah fiksi (fiction), dalam pengertian novel berarti cerita rekaan (disingkat : cerkan) atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak merujuk pada kebenaran sejarah (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998 : 2). Kata fiksi merujuk pada suatu karya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada, dan terjadi dengan sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Memang tidak semua karya sastra bersifat fiksi. Dalam dunia kesastraan ada suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta (penceritaan tentang peristiwa yang pernah terjadi). Misalnya, jika dasar penulisan berdasarkan fakta sejarah maka disebut sebagai fiksi historis (historical fiction), jika dasar penulisannya berupa fakta biografis disebut fiksi biografis (biographical fiction), jika dasar penulisannya berupa fakta ilmu pengetahuan maka disebut fiksi sains (science fiction). Ketiga contoh fiksi tersebut disebut fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) (Burhan Nurgiyantoro dalam Ni Nyoman Karmini, 2000: 12). Namun, cerita fiksi walau berupa khayalan, tidak benar jika dianggap sebagai hasil lamunan belaka, melainkan penghayatan, dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup, dan kehidupan, perenungan yang dilakuakn dengan penuh kesadaran, dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran, dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Oleh karena itu, bagaimanapun, fiksi merupakan sebuah cerita, dan terkadang juga terdapat di dalamnya tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya Cleanth Brooks menyatakan bahwa fiksi adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk membedakan uraian yang tidak bersifat historis dari uraian yang bersifat historis, dengan penunjukan khusus pada sastra.( dalam Henry Guntur Tarigan;1984.120) Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, fiksi adalah sebuah cerita yang bersifat rekaan, khayalan, imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni.
3. Pendekatan Kajian Sastra Banyak teori-teori kajian tentang sastra yang digunakan untuk menelaah novel. Namun dalam uraian di bawah ini disampaikan beberapa pendekatan kajian sastra. Hal ini dikandung maksud untuk mengetahui asumsi karya sastra sesuai dengan pendekatan yang akan digunakan untuk mengkaji karya sastra. a.
Pendekatan Struktural Dalam hal orientasi sastra ada bermacam-macam orientasi atau pendekatan terhadap karya sastra. Menurut Abrams ( Rachmat Djoko Pradopo, 2009: 162-166) mengemukakan bahwa bermacam-macam pendekatan itu dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra; alam (universe), pembaca, pengarang (artist), dan karya sastra, yaitu pendekatan mimetik menganggap bahwa karya sastra itu merupakan tiruan dari alam atau kehidupan atau dunia ide; pendekatan ekspresif berpendapat karya sastra itu merupakan ekspresi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perasaan, pikiran,dan pengalaman pengarang; pendekatan pragmatik menganggap bahwa karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu bagi pembaca; dan pendekatan obyektif berpendapat karya sastra itu sebagai sesuatu yang otonom, yang berdiri sendiri, sesuatu yang mencukupi dirinya. Dari keempat pendekatan tersebut mengalami pembaharuan teori-teorinya. Dari teori tersebut, teori obyektif atau struktural lebih populer. Dengan tampilnya para kritikus baru (New Critics), aliran Chicago (Chicago School), dan kaum formalis Eropa. Sudah dikemukakan di depan bahwa kritik obyektif memusatkan perhatiannya pada karya sastra itu sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Karena berdasarkan kenyataannya yang dihadapi oleh para kritikus yaitu karya sastra itu sendiri. Pada hakekatnya teks
sastra itu sendirilah yang penting, yaitu mengenai
struktur intrinsik karya sastra. yang penting dalam penelitian sastra. Dengan menganggap karya sastra (teks
sastra) sebagai sesuatu
yang otonom, yang mencukupi dirinya, maka dalam kritik sastra yang dipentingkan
adalah
menganalisis
struktur
intrinsik-intrinsiknya,
menganalisis kompleksitas karya sastra, menganalisis bentuk formal, karya sastra, fenomena-fenomena kaarya sastra. Banyak
teori-teori
yang
membahas
tentang
unsur-unsur
pembangun dalam cerita fiksi. Unsur-unsur pembangun tersebut menurut (Herman J,. Waluyo, 2011: 6) meliputi; tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan, dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau back ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/gaya bercerita, waktu cerita, dan waktu penceritaan dan amanat. Pendapat lain, (Burhan Nurgiyantoro, 1998:23) Novel merupakan sebuah totalitas suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau pembagian itu tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan unsur exstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsurunsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan dan lain-lain. Unsur ektrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau system organisme karya sastra. Unsur yang dimaksud diantaranya adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pandangan hidup, keyakinan, sikap, pendidikkan, ekonomi, politik, socsial, dan lain sebagainya. William Kenney (1966: 8-10) menyebutkan terdapat enam unsur pembangun struktur cerita rekaan, yaitu: (1) plot; (2) character; (3) setting; (4) point of view; (5) style and tone; (6) tema. Pendapat lain dari Jakob Sumardjo (1984: 54) menyebutkan ada tujuh unsur-unsur fiksi yaitu : (1) plot (alur cerita); (2) karakter (perwatakan); (3) tema (pokok pembicaraan); (4) setting (tempat terjadinya cerita); (5) suasana cerita; (6) gaya cerita; (7) sudut pandang cerita. Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008:10) membagi unsur-unsur prosa fiksi terdiri dari : tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat cerita atau latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau back-ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa atau gaya cerita, waktu cerita dan waktu penceritaan, serta amanat. Unsur pembangun novel dibagi menjadi dua yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik antara lain: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa. Unsur ektrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, namun secara tidak langsung masih mempengaruhi bangunan karya sastra itu sendiri. Unsur ektrinsik anatara lain: subyektivitas keadaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
individu pengarang seperti, keyakinan, pendidikan, pandangan hidup, ekonomi, politik, sosial budaya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan unsur-unsur cerita pembangun novel terdiri dari : 1) Tema Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragram. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan.( Zainuddin Fananie. 2002: 84). Tema Brooks dan Warren ( Henry Guntur Tarigan,1984: 125) adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel, Sedangkan Brooks, Purser, dan Werren dalam bukunya yang lain mengatakan tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (Brooks, 1952: 820) Menurut Herman J. Waluyo, (2011: 8 ) tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Untuk dapat mengetahui tema cerita mungkin dapat diketahui denga membaca judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak melalui membaca karya sastra beberapa kali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk membedakan tema dengan amanat cerita agar tidak rancu, maka dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum. Objektif
artinya
semua pembaca cerita diharapkan mampu
menafsirkan tema suatu cerita dengan tafsiran sama. Sedangkan untuk amanat dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pembaca. Tema cerita dapat diklasifikasikan lima jenis, yaitu; (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); (5) tema divine (ketuhanan). Lebih lanjut, diterangkan bahwa tema bersifat fisik adalah tema yang berhubungan dengan inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, mencari nafkah dan lain-lain. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antar manusia, misalnya penipuan, problem keluarga dan lain-lain. Tema yang bersifat sosial berhubungan dengan problema kemasyarakatan. Tema yang bersifat egoik atau reaksi individual adalah tema yang berhubungan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Sedang tema yang bersifat divine (ketuhanan) adalah renungan yang bersifat religius antara manusia dengan Sang Kholik (Herman J.Waluyo, 2011: 8). Menurut Stanton dan Kenny ( Burhan Nurgiyantoro, 1998:67) tema (theme) adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Tema bersinonim dengan ide utama (Central Idea) dan tujuan utama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Central Purpose). Oleh karena itu tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar dalam sebuah karya novel. Pengertian tersebut diperjelas dengan pendapat Hartoko dan Rahmanto ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 68) tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra, dan yang terkandung dalam teks sebagai struktur semantik yang menyangkut persamaanpersamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Pendapat lain dari Sumino A. Sayuti (2000:97) menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Panuti Sudjiman (1988:51) menyatakan bahwa tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Wiyatmi (2006:42) memberikan definisi tema adalah makna cerita. Dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap subjek atau pokok cerita. Dapat simpulkan bahwa tema adalah ide, gagasan pokok, kerangka yang menjadi dasar penceritaan sebuah karya sastra. 2) Alur atau Plot Abrams ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 113) plot adalah sebuah karya fiksi berupa struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Dijelaskan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pula oleh Kenny (dalam
Burhan
Nurgiyantoro, 1998: 113)
mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan sebab akibat. Alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1984: 126).istilah lain yang sama artinya dengan alur atau plot ini adalah trap atau (dramatic conflict). Pada prinsipnya , cerita fiksi harus bergerak dari satu permulaan (beginning) melalui suatu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending) yang dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi( atau denoument). Eksposisi adalah proses penggarapan atau memperkenalkan informasi penting kepada para pembaca (Brooks dan Warren, 1959:684). Komplikasi adalah antar lakon, antar tokoh dan kejadian yang membangun
atau
menumbuhkan
suatu
ketegangan
serta
mengembangkan suatu masalah yang muncul dalam situasi yang orisinal yang disajikan dalam cerita itu (Brooks dan Warren, 1959:682). Resolusi adalah bagian akhir suatu fiksi. Disinilah sang pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi (Brooks dan Warren, 1959:683) Klimaks adalah puncak tertinggi dalam serangkaian puncak tempat kekuatan-kekuatan dalam konplik mencapai intensifikasi yang tertinggi (Brooks dan Warren, 1959:682)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sejalan dengan pendapat Herman J. Waluyo (2011: 9) alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat memiliki kemungkinan pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan terjadi di kemudian. Lukman Ali (1978: 120) menyatakan bahwa plot adalah merupakan sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hubungan sebab akibat dan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi. Rene Wellek (1968: 217) menyatakan bahwa plot merupakan struktur penceritaan. E.M. Foster dalam Herman J. Waluyo
(2011: 9) memberi
pengertian plot dengan bahasa Inggris sebagai berikut; narrative
of
events,
the
emphasis
falling
on
causality,
Di dalam sebuah plot (alur cerita) terdapat hubungan sebab-akibat dari suatu urutan cerita yang dapat mengembangkan konplik
ccerita. Dalam plot
itu ada
serangkaian peristiwa. Plot merupakan unsur cerita fiksi yang penting karena merupakan unsur linearitas struktur penyajian peristiwa dalam cerita. Plot atau alur menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008:14) jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang
menunjukkan
hubungan
sebab
akibat,
dan
memiliki
kemungkinan agar para pembaca memiliki rasa ingintahu peristiwa yang akan datang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminudin, 1987:83). Dijelaskan bahwa pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). Alur cerita tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Climax Complication Conflict
Falling action
Rising action Inciting moment Exposition
denouement
Gambar 1 : Plot Prosa Fiksi (Adelstein & Pival dalam Herman J. Waluyo, 2009 :19)
Exsposition atau eksposisi paparan awal cerita. Pengarang mulai memmperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokohtokoh cerita. Inciting moment adalah peristiwa mulai terjadinya problem-problem yang ditampilkan pengarang kemudian ditingkatkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengarah
pada
peningkatan
problem.
Rising
action
adalah
peningkatan adanya permasalahan yang dapat meningkatkan konflik. Complication
adalah
konflik
yang
terjadi
semakin
genting.
Permasalahan sebagai sumber konflik sudah saling berhadapan. Climax adalah puncak dari terjadinya konflik cerita yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Falling action adalah peredaan konflik cerita. Denouement adalah penyelesaian yang dipaparkan oleh pengarang dalam mengakiri penyelesaian konflik yang terjadi. Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur, yaitu (1) alur garis lurus flash back atau sorot balik, atau alur regresif, (3) alur campuran, yaitu pemakaian alur garis lurus dan flash back sekaligus di dalam cerita fiksi. Lebih lanjut dijelaskan, alur garis lurus atau alur konvensional yaitu alur yang urutan peristiwa berurutan dari awal hingga akhir. Alur atau plot sorot balik (flash-back) alur dalam cerita dimulai dengan bagian akhir dari cerita tersebut, misalnya terdapat pada novel Atheis karya Achdiat Kartamiharja. Plot campuran yaitu gabungan antara alur garis lurus, dan sorot balik terdapat pada novel Umar Kayam, Para Priyayi, dan Saman (Ayu Utami). Alfred
N.
Friedman
(Herman
J.
Waluyo,
2011:
9)
menyebutkan tiga jenis plot, yaitu; (1) plot peruntungan; (2) plot penokohan; dan (3) plot pemikiran. Disebut alur peruntungan jika plot
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut memaparkan kesedihan, sifat sinis, penghukuman, sifat sentimental, atau kekaguman. Dinyatakan sebagai alur penokohan jika menunjukkan perkembangan watak tokoh-tokohnya, perbaikan nasib hidupnya, atau kedewasaan. Dikatakan sebagai alur pemikiran jika menunjukkan
peristiwa
membuka rahasia
atau
perkembangan
pemikiran tokoh-tokohnya. Kenney ( Herman J. Waluyo, 2011: 15) menyebutkan law of plot yang berupa plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan ekspresi. Plausibility (kebolehjadian) artinya bahwa rangkaian cerita itu bukan hanya khayalan belaka, namun mungkin bisa terjadi di dalam dunia nyata ini. Walaupun fiksi sebuah cerita khayalan, tetapi rangkaian cerita itu seperti betul-betul hidup, dan hadir di hadapan pembaca. Surprise (kejutan) artinya pembaca tidak akan dapat mengira-irakan bagaimana rangkaian cerita itu terjadi. Para pembaca harus mendapat kejutan dari apa yang dibaca, sehingga senantiasa akan mengikuti jalan cerita selanjutnya. Suspense yaitu daya tarik yang diberikan pengarang kepada pembaca sehingga selalu tertarik untuk mengikuti jalan cerita berikutnya. Unity (kesatuan) artinya rangkaian yang disusun harus membentuk satu kesatuan yang terpadu. Subplot secara erat berhubungan dengan plot induknya, sehingga subplot merupakan bagian cerita sebagai penjelas. Ekspresi yaitu rangkaian kejadian dalam cerita haruslah diekspresikan dengan baik sehingga bermakna dalam cerita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dapat ditarik kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut bahwa yang dimaksud dengan alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling terkait dan dihubungkan secara sebabakibat yang terlukis dalam cerita karya sastra. 3) Tokoh dan penokohan (a) Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah cerita, novel atau cerita fiksi. Burhan Nurgiyantoro (1998: 165) menggunakan istilah tokoh untuk menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan para pembaca. Bedasarkan peran dalam sebuah cerita tokoh dapat terbagi menjadi dua, yaitu protagonis dan antagonis, Tokoh Sentral, Andalan, dan Bawahan (Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani,
2008:28).
Tokoh
protagonis
adalah
tokoh
yang
mendukung jalannya cerita yang mendatangkan rasa simpati atau baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis yang menentang alur cerita yang menimbulkan perasaan benci pada si pembaca. Tokoh sentral yaitu tokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan yang menjadi pusat penceritaan, misalnya tokoh protagonis, dan antagonis yang biasa mendominasi keseluruhan cerita. Tokoh bawahan merupakan kebalikan dari tokoh sentral.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang dapat diandalkan. Klasifikasi tokoh lain dikemukakan oleh Shanon Ahmad (1979: 66) membagi jenis tokoh atau watak menjadi dua, yaitu: tokoh atau watak bulat (round character), dan tokoh atau watak pipih (flat character). Tokoh bulat tokoh yang berwatak unik, bukan watak hitam atau putih. Watak dari tokoh jenis ini tidak mudah diketahuinya karena penggambarannya tidak sederhana. Sedangkan watak pipih adalah tokoh yang wataknya sederhana, dalam penggambaran watak hitam atau putih dapat dihayati secara sederhana. Abrams (1998:165)
sebagaimana
dikutip
Burhan
Nurgiantoro
memberikan difinisi tokoh adalah orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan cenderung tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan, dan apa yang dilakukan dalam suatu tindakan. Dapat diambil kesimpulan yang disebut dengan tokoh adalah: pelaku dalam cerita yang menjalani peristiwa berdasarkan perannya. (b) Penokohan Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah tokoh menunjukan pada pelaku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam cerita, sedangkan penokohan
menunjukkan pada sifat,
watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah
tentang
cerita (Burhan
Nurgiantoro, 1998:165). Ada beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, antaralain: (1) penggambaran secara langsung; (2)secara langsung dengan diperindah; (3)melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; dan(7) melalui dialog pelaku-pelakunya (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2008:32). Pendapat selanjutnya, Herman J.Waluyo, (2011: 21) dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Watak psikis merupakan faktor utama dalam penggambaran watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh dalam cerita tersebut baik hati, penyabar, murah hati, dermawan, pemaaf, ataukah sebaliknya ia pemberang, pendendam, pemarah, sombong, pendengki dan sebagainya. Watak dari segi fisiologis atau keadaan fisik tokoh tersebut, dapat dikaitkan dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri dan sebagainya. Watak dari segi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosiologis, melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas sosial, pangkat atau kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Dari ketiga dimensi watak tersebut dapat dilukiskan dengan cerita (deskripsi dan narasi) atau dapat juga diperhidup melalui dialog, tindaktanduk, dan tingkah laku. Dengan demikian
dapat disimpulkan yang disebut
penokohan adalah gambaran perilaku yang ditunjukkan oleh sikap, watak, karakter seseorang dalam cerita. 4) Latar atau Setting Latar atau setting disebut juga landas tumpu, menunjuk pada pengertian suatu tempat yang berhubungan dengan waktu dan lingkungan sosial terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakaan Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro ( 1998: 216). Latar atau setting adalah latar di mana cerita itu berlangsung dan terjadi. Setting bisa meliputi tempat, waktu, dan suasana. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Sementara sosial adalah menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi. Seting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen seting bukan hanya sekedar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyatakan
di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa
berlangsung, melainkan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, danj pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis ( Zainuddin Fananie, 2002: 98). Menurut Hudson (1965: 18) setting juga dikaitkan dengan keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh. Seting terbagi jadi dua setting material adalah lingkungannalam, sedangkan yang lain setting sosial. Fungsi setting adalah sebagai berikut : (1) untuk mempertegas watak pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan; (4) metafora baga psikis pelaku; (5) sebagai pemberi atmosfir (kesan); (6) memperkuat posisi plot. Burhan Nurgiyantoro (1998: 216) menyatakan bahwa latar adalah segala keterangan petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Unsur latar menurut Burhan Nurgiyantoro (1998: 227) dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut meskipun menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara sendiri-sendiri, pada kenyataannya salingberkaitan dan salingdapat mempengaruhi. Ketiga unsur tersebut antara lain:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(a) Latar Tempat Latar tempat yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam cerita fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat-tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Yogyakarta, Magelang, Juranggede dan lain-lain. Sedang untuk tempat-tempat
yang
menggunakan
inisial tertentu, biasanya
digunakan huruf awal (kapital) nama suatu tempat sehingga pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T dan desa B, dan lain-lain. Sedangkan latar tempat tanpa nama jelas biasanya berupa penyebutan jenis dan sifat secara umum tempat yang dimaksud, misalnya jalan, sungai, hutan, desa, gunung dan sebagainya. Penggunakan latar tempat dengan nama-nama tertentu seharusnya tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan ( Burhan Nurgiyantoro, 1998: 227). (b) Latar Waktu
terjadinya peristiwa yang dihubungkan dengan cerita tersebut. asanya dihubungkan dengan waktu faktual, dapat meliputi tahun, bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masalah waktu dalam sebuah karya naratif, menurut Genetto dapat bermakna ganda: disatu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada waktu yang dikisahkan dalam cerita. Latar waktu dalam cerita fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 230). (c) Latar Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan. Latar sosial dapat meyakinkan untuk menggambarkan suasana kedaerahan, warna tempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Namun bila hanya dilukiskan melalui
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kata saja tanpa didukung oleh tingkah laku, dan sikap
tokoh,
belum merupakan jaminan untuk karya sastra yang bersangkutan menjadi dominan latar sosialnya
(Burhan Nurgiyantoro,1998:
233). Dapat diambil kesimpulkan bahwa latar merupakan suatu tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana dalam cerita. 5) Sudut Pandang Pengarang (point of view) Herman J.Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 37) menjelaskan sudut pandang pengarang atau point of view adalah teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam sebuah cerita. Apakah sebagai orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Yang pertama dikatakan sebagai bergaya akuan, sedangkan yang kedua dinyatakan sebagai gaya diaan. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro(1998: 256-257) pembedaan sudut pandang yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk person tokoh cerita: person pertama dan person ketiga.
berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita denga menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengisahkan
kesadarannya
dirinya
sendiri,
self
consciousness,
mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro,1998:248) menjelaskan bahwa sudut pandang merupakan penunjuk pengertian pada cara sebuah cerita dikisahkan. Merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang atau keterlibatan pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik, siasat untuk menyampaikan gagasan cerita. b. Pendekatan Intertekstual Pendekatan intertekstual muncul pada awal 1960. Mengenai pemunculan pendekatan tersebut Juvan, Marco (2008: 1) menjelaskan bahwa kajian intertekstual yang muncul tahun 1960 itu ketika masa peralihan modern ke postmodern.
commit to user
Ketika itu konsep intertektual
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi dipertimbangkan. An explicit theory of intertextuality arose in the late 1960s during a crisis in the arts and sciences When transitioning from the modern to the postmodern; however, when considering the history of the Idea that a text is but a mosaic of citations, we may adduce older concepts, especially those that had almost as wide currency in literary studies. (Juvan, Marco, 2008: 1) Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra itu termasuk response (Teeuw, 1983) pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh sebab itu sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya ( Retno Winarni, 2009: 134). Menurut Teeuw (1984: 145-146) setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun yang sunguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaannya dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka, tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan
terlebih
dahulu;
tetapi
dalam
arti
bahwa
dalam
penyimpangan dan transformasi pun model teks yang ada memainkan peranan
yang
penting.
Pemberontakan
atau
penyimpangan
mengandalkann adanya sesuatu yang dapat memberontaki ataupun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya. Pendapat Julia Kristeva, sebagai pelopor telaah sastra pendekatan intertekstualitas dalam Teeuw (1984: 146) berpendapat:
can only be raed in connection with or against other text, which provide a grid trough which it is read and structured by establishing expectations which enable one to pick out salient features and (Culler, 1975: 139); setiap teks terwujud sebagai mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan atau tranpormasi teksdibaca dalam kaitan atau pertentangan dengan teks-teks lain, yang merupakan semacam kisi; lewat kisi-kisi itu teks dibaca dan diberi struktur sehingga memungkinkan para pembaca untuk dapat memetik ciri-ciri yang menonjol, dan dapat memberikan sebuah struktur. Penelitian disebut bersifat intertekstualitas jika pembaca mempelajari unsur-unsur dalam teks itu, dilihat dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang ada dalam teks itu sendiri. Karena setiap unsur akan membuat jaringan hubungan. Arti suatu unsur dianggap akan dapat diterangkan apabila
dihubungkan dengan unsur-unsur
yang lain dalam teks tersebut (Umar Junus,1988: 86). Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antar satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu secara etimologi (texstus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
susunan dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks
tidak
dibatasi
sebagai
persamaan
genre,
interteks
memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 172-173). Kajian intertekstual, menurut Burhan Nurgiyantoro, (1998: 35) merupakan kajian yang mengkaji adanya hubungan antar sejumlah teks. Kajian interteks mengkaji adanya hubungan yang melibatkan unsur struktur, dan pemaknaan teks-teks yang dikaji, kiranya dapat dipandang sebagai kajian struktural semiotik. Lebih lanjut (Teeuw dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998: 5) karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang lain yang kemudian disebut sebagai hipogram (hypogram). Istilah hipogram, dapat di Indonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walaupun mungkin tak tampak secara implisit, bagi penulisan karya yang lain. Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutar balikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya. Juvan (2005: 1) berpendapat bahwa pengkajian karya sastra dengan pendekatan intertekstual terbukti berhasil untuk membuktikan dan menjelaskan jenis karya sastra yang berbeda jauh. Intertekstual
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurut Juvan adalah kajian metatekstual interaksi yang melihat pengaruh dari semantik, sintaksis, dan pragmatik fitur-fitur teks karya sastra. Julia Kristeva ( Sangidu, 2004: 23-26) berpendapat bahwa prinsip interteks memandang setiap teks sastra yang perlu dibaca, dan dipahami dengan latar belakang teks-teks lain. Artinya, setiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain. Hal-hal yang dapat dikerjakan dalam membuktikan kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain adalah dengan menguraikan atau menggambarkan kejadian-kejadian atau kasus-kasus yang meneladani maupun yang menentang (Culler, 1981: 107). Sementara itu, Riffaterre ( Sangidu, 2004: 23) berpendapat bahwa sebuah karya sastra, baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra yang lain atau istilahnya dengan memperhatikan prinsip intertekstualitas. Selanjutnya ditambahkan, pemaknaan karya sastra perlu diperhatikan matriks, model, dan varian-varian yang terdapat di dalamnya. Matriks merupakan kata kunci (keyword), dan dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana. Harold Bloom ( Culler, 1981: 107-109) berpendapat bahwa intertekstual adalah sebuah teks yang berasal dari hubungan antara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak mempunyai arti, kecuali hanya dalam hubungannya dengan karya sastra lain yang memungkinkan bahwa karya sastra tersebut untuk dapat diinterpretasikan. Hubungan tersebut dapat berupa kata, frasa, kalimat, atau masalah yang terdapat dalam suatu karya sastra. Intertekstual merupakan salah satu metode kritik sastra yang menginduk kepada strukturalisme. Yang menjadi perhatian pokok dalam kritik intertekstualitas adalah teks itu sendiri, dan bukan hal yang ada di luar teks. Hanya saja peneliti, kemudian menelaah kaitan antara teks yang diteliti dengan teks lain yang menjadi model teks tersebut atau menjadi hipogram dari teks tersebut. Hubungan interteks merupakan hubungan antarteks dalam kaitan dengan usaha memberi makna sebuah karya sastra dengan jalan mensejajarkannya dengan karya sastra sebelumnya yang menunjukkan adanya pertalian. (Retno Winarni, 2009: 72). Tokoh yang dapat dikemukakan dalam teori intertekstualitas adalah Julia Kristeva (1970: 198). Ia berpendapat bahwa dalam intertekstualitas, karya sastra dipandang sebagai objek yang statis, pasif, terutama bila pengertian tersebut dibatasi dalam pengertian struktur karya sastra. Intertekstualitas memandang bahwa di dalam teks yang ditelaah hadir teks yang lain (yang mendahuluinya). Julia Kristeva menjelaskan ciri-ciri intertekstualitas sebagai berikut: (1) kehadiran secara fisikal suatu teks dalam suatu teks lainnya; (2) pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita, tetapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga teks bahasa; (3) adanya tanda yang menunjukkan hubungan (persambungan atau pemisahan) antara suatu teks dengan teks yang lain yang mendahuluinya; mungkin penulis teks tersebut telah membaca teks yang mendahului itu kemudian dimasukkannya di dalam teks yang ditulisnya; dalam membaca teks jangan terpancang pada teks itu saja, tetapi hendaknya mendampingkan teks tersebut dengan teks lainnya sehingga interpretasi terhadapnya tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lainnya Umar Junus ( Herman J. Waluyo, 2011: 32). Pada prinsipnya, intertekstualitas adalah dapat berupa: (1) perbandingan dua atau lebih teks sastra yang berbeda namun salah satunya dapat menjadi hipogram dari teks yang lain; (2) judul naskah yang sama,
tetapi memiliki versi yang bermacam-macam, yang
dibandingkan adalah strukturnya. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian intertekstual adalah kajian sastra dalam mencari keterkaitan antarteks untuk
menemukan
hubungan
yang
bermakna
dengan
cara
membandingkan dengan teks-teks lainnya.
4. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel a. Nilai Pendidikan dalam Novel Herman J.Waluyo (1992: 20) berpedapat bahwa makna nilai dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna sastra seseorang. Hal ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berarti bahwa dalam karya sastra pada dasarnya selalu mengandung nilainilai kehidupan yang bermanfaat untuk pembaca. Muatan nilai-nilai yang tersirat dalam karya sastra pada umumnya adalah nilai religius, nilai moral, nilai sosial, nilai budaya dan lain-lain. 1) Nilai Religius (Agama) Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari sesuatunyang bersifat religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah religius (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi religiusitas dengan fihak lain. Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia yang bersumber dari keyakinan dan kepercayaan manusia kepada Tuhan, sehingga melalui pendidikan ini diharapkan terbentuk manusia religius. Mangunwijaya (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 327) menyatakan:
Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang
Koentjaraningrat
(1985:
145)
menyatakan
bahwa
makin
seseorang taat dalam menjalankan syariat agama, maka semakin tinggi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pula tingkat religiusitasnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Dojosantoso (Tirto Suwondo, dkk, 1994: 63) religius adalah keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan. Keterkaitan manusia secara sadar terhadap Tuhan mencerminkan sikap manusia religius. Dengan demikian, Nilai Pendidikan religius adalah nilai keTuhanan yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan,dan merupakan nilai pusat yang terdapat di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa agama telah menjadi kekuatan untuk kebaikan. 2) Nilai Sosial Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu, mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31). Sosial
dapat
diartikan
hal-hal
yang
berkenaan
dengan
masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial, dan tata cara hidup sosial, M. Zaini Hasan dan Salladin (1996: 83). Nilai sosial dalam karya sastra adalah penggambaran suatu masyarakat sosial oleh karya sastra dalam sebuah masyarakat. Tata
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nilai sosial tertentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31 dalam Sugihastuti, 2002: 45). Nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhanya samapi dewasa ini mengandung nilai sosial walau dengan identitas yang berbeda (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 330). Dapat ditarik kesimpulan nilai pendidikan sosial adalah nilai sosial yang terkait antara hubungan manusia dalam masyarakat sehingga menjadikan manusia menyadari akan pentingnya kehidupan bersama, kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu yang satu dengan yang lainnya. 3) Nilai Budaya Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa nilai sistem budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita dapat diketahui melalui telaah terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi lain oleh Marvin Harris (1999: 19) yaitu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarkat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Nilai budaya adalah pedoman yang berlaku dalam masyarakat yang diyakini kebenarannya, dan dipakai sebagai pedoman dalam bertingkah laku pada masyarakat tertentu. 4) Nilai Pendidikan Moral Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilainilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 319). Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana yang benar dan yang salah atau tidak benar. Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disyaratkan melalui cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral (Kenny dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Burhan Nurgiyantoro, 2006:
320). Moral merupakan pandangan
pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan-pesan moral tersebut dapat disampaikan pengarang secara langsung maupun dengan cara tidak langsung. Moralitas dapat dilihat dari besar kecilnya kesadaran manusia tentang perilaku baik dan buruk tersebut. Bentuk penyampaian pesan moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung. Bentuk penyampaian pesan moral secara langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan. Sedangkan bentuk penyampaian pesan moral secara tidak langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik seperti budi pekerti, akhlak, dan etika. Moral menurut Darajat (Kamaruddin, 1985: 9) adalah kelakuan yang sesuai ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati, dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas
kelakuan
(tindakaan)
tersebut.
Tindakan
ini
haruslah
mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan moral yang terdapat dalam karya sastra di atas dapat ditarik kesimpulan nilai pendidikan moral adalah nilai atau ukuran baik dan buruk perbuatan, perilaku, dan sikap individu mengenai akhlak, budi pekerti, dan sebagainya, yang berlaku pada suatu temapat.
B. Penelitian yang Relevan a.
Hubungan Intertektual antara Film dan Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy ditunjukan adanya hubungan intertekstual mengenai variasi-variasi dan perubahan fungsi yang terdapat dalam film AAC berdasar novel asli selaku hipogramnya
dengan
meninjau
sistem
sastra
dan
sistem
filmnya
melalui telaah studi ekranisasi. Pemaknaan data didasarkan atas teori intertekstual yang digunakan sebagai pisau analisisnya. Hasil temuan dipercaya sebagai data setelah dilakukan pembacaan secara berulang-ulang (intrarater). Berdasar hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara film dan novel AAC terdapat perbedaan struktur dan fungsi. Sruktur yang dibahas meliputi alur, tokoh danpenokohan, serta setting b.
Hubungan Intertekstual Roman Balai Pustaka dan Roman Pujangga Baru
Azab dan Sengsara karya
Merari Seregar merupakan hipogram bagi roman-roman yang terbit sesudahnya, seperti : roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, roman Di Bawah arya Hamka. Dalam roman Azab dan Sengsara mengambil tema masalah adat, yaitu yang ada hubungannya dengan adat kawin paksa. Hubungan antar teks yang timbul mengenai pemikiranpemikiran serta ungkapan penceritaan atau alurnya. c. Hokenson, Jan Walsh. 2000. Artikel berjudl Comparative Literature and the Culture of the Context yang dimuat dalam jurnal CLCWeb: Comparative Literature and Culture. Penelitian ini menjelaskan pentingnya sastra bandingan dan konteks budaya dalam sastra. Sastra bandingan memperjelas mandat dari disiplin, secara historis yang berakar dalam analisis konteks lintas-budaya, sehingga disiplin ilmu sastra khususnya dalam sastra bandingan dianggap logis dan layak sebagai modus utama dari studi kritis di era banyaknya bermunculannya karya sastra. d. Jacobmayer, Hannah. 2010. Graham Swift, Ever After: a Study in Intertextuality. Dalam Journal International Sociology of Literature. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap beberapa pola intertekstual yang melekat dalam novel Ever After (1992) oleh Graham Swift, salah satu penulis terkemuka Inggris kontemporer. Hasilnya terdapat kemiripan novel Ever After
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karya Graham Swift dengan novel-novel Shaksphare, dari segi tema dan bentuk penulisan. Maka novel-novel shaksphre merupakan
hipogram dari
novel karya Graham Swift itu.
C. Kerangka Berpikir Novel novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa merupakan dua novel yang memiliki unsur struktur pembangun karya sastra yang berdiri sendiri-sendiri. Namun kedua novel itu dapat diperpadukan dengan pendekatan intertekstual. Hubungan intertekstual kedua novel dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa memiliki unsur-unsur struktur pembangun novel yaitu: tema, alur atau plot, penokohan atau perwatakan, setting, Point of view
2.
Dikaji melalui pendekatan intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa mempunyai perbedaan dan persamaan unsur-unsur strukturnya.
3. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa terkandung nilai-nilai pendidikan yaitu: nilai religius, dan nilai sosial budaya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kajian Intertekstual
Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa
Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
Struktur Novel a. Tema b. Alur/plot c. Penokohan dan perwatakan d. Setting Point of view
Struktur Novel a. Tema b. Alur/plot c. Penokohan dan perwatakan d. Setting Point of view
Persamaan dan perbedaan
Nilai-nilai Pendidikan Novel
Gambar 3. Kerangka Berpikir Kajian Intertekstual Novel Ronggeng DukuhParuk danSinden
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kulitatif dengan studi pustaka dan tidak terikat dengan tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2012 sampai dengan Oktober 2012. Rencana kegiatan adalah sebagai berikut : No
Kegiatan
Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan V
1
VI
VII
Persiapan yang meliputi: a.
Konsultasi judul.
b.
Penyusunan proposal penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data
c.
2
Seminar profosal
Pengumpulan data meliputi: a.
Pengumpulan data
b.
Pemerikasaan dan pembahasan data
c.
Pemilihan dan pengaturan data
3
Analisis Data meliputi: a.
Pengembangan sajian data dengan analisis lanjut;
b.
4
Pembuatan simpulan akhir.
Penyusunan laporan penelitian yang meliputi: a.
Penyusunan laporan awal;.
b.
Revisi laporan;
c.
Penyusunan laporan akhir.
Gambar 4. Jadwal Kegiatan Penelitian
commit to user 49
VIII
IX
X
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Jenis Penelitian Kajian sastra dengan pendekatan intertekstual merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini menekankan catatan dengan deskripsi kalimkat yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi sebernarnya guna mendukung penyajian data. Data yang dikumpulkan terutama berupa katakata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata. Kajian sastra dengan pendekatan intertekstual
merupakan kajian
sastra sebagai kelanjutan dari kajian sastra dengan pendekatan strukturalisme. Kajian sastra yang mengaitkan analisis struktur karya sastra yang menghubungkan teori sastra dengan lebih luas, seperti : psiologi, ilmu sosial, filsafat sejarah dan lain-lain, termasuk kajian sastra pasca strukturalisme (Teeuw, 1984: 144). Berdasarkan uraian di atas, kajian novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa dengan pendekatan intertekstual dalam penelitian kualitatif berarti mengkaji struktur pembangun novel, mencari perbedaan dan persamaan struktur pembangun sastra kedua novel tersebut dan nilai-nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut.
C. Data dan Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu : Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang terbit pertama tahun 1981 dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa 2005, sedangkan data sekunder berupa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
naskah sumber, seperti buku-buku teori sastra, penelitian kajian sastra yang relevan, dan jurnal ilmiah atau internasional.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif dilakukan dengan cara membaca, mencatat dokumen atau arsip (content analysis), dan riset pustaka. Aspek penting dari content analysis adalah bagaimana hasil analisis dapat diimplikasikan kepada siapa saja (Herman J. Waluyo, 2006: 65). Langkah-langkah dalam content analysis sebagai berikut: 1.
Membaca berulang-ulang novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi admadipurwa.
2.
Mengumpulkan dan mempelajari teori-teori yang relevan.
3.
Mencatat dan menganalisis semua data yang berupa kutipan penting sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.
E. Validitas Data Data yang telah digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penalitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperoleh guna menjamin, dan mengembangkan validitas data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi. Teknik pemeriksaan keabsahan data terbagi menjadi empat jenis yaitu triangulasi sumber,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori (Lexy J. Moleong, 2007: 33). Dari keempat teknik triangulasi, peneliti menggunakan teknik triangulasi data untuk mengumpulkan data yang sama. Artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantab kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang lain. Triangulasi data yang penulis maksud, data yang terkumpul diambil dari bukubuku yang relefan, jurnal ilmiah dan penelitian yang relefan.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif, dan berupa kegiatan yang bergerak pada ketiga alur kegiatan proses penelitian. Kegiatan analisis interaktif dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data (1)
(2) Reduksi Data
Sajian Data
(3) Penarikan Kesimpulan/verifikasi Gambar 5. Skema Analisis Interaktif Data, Miles & Hurberman, (Sutopo, 2006 : 120)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Teknik analisis data yang bersifat kualitatif memerlukan penjelasan yang deskriptif. Teknik analisis data terdiri dari tiga data alur kegiatan yang terjadi secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verivikasi. Berdasarkan
skema diatas
dapat
dijelaskan
bahwa pada
waktu
pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan penyajian data. Data berupa catatan lapangan terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya adalah data yang telah digali dan dicatat. Dari kedua kegiatan tersebut peneliti menyusun rumusan pengertiannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang penting, yang disebut reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan penyajian data berupa cerita sistematis dan logis sehingga makna peristiwanya dapat lebih jelas untuk dipahami. Dari sajian data kemudian dilakukan penarikan kesimpulan sementara dilanjutkan verifikasi. Apabila simpulan dirasakan kurang lengkap karena kurangnya rumusan data dalam reduksi maupun sajian data, maka peneliti kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk digunakan mendukung simpulan yang telah dikembangkan semua dilakukan untuk pendalaman data. Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan simpulan yang memuaskan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk ( RDP ) dan Novel Sinden Struktur merupakan totalitas dari beberapa unsur yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan dari unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan yang bersifat timbal balik, saling menentukan , saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh sehingga akan bermakna. Dengan kata lain, bila unsur-unsur tersebut berdiri sendiri-sendiri tidak akan bermakna atau berfungsi. Dalam penelitian ini hanya akan dibahas unsur-unsur struktur pembangun novel, yaitu: tema, alur, penokohan, setting, dan point of view. a. Struktur Novel RDP 1) Tema novel RDP Tema adalah ide, gagasan pokok yang menjadi dasar penceritaan sebuah karya sastra. Tema untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah tentang sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai penari ronggeng di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk suatu pedukuhan yang terpencil dengan keadaan alam yang kurang subur. Kehidupan rakyatnya miskin dan tidak mengenal pendidikan atau terbelakang. Ronggeng merupakan kebanggaan sekaligus citra dukuh paruk. Budaya ronggeng tersebut telah 11 tahun hilang, sehingga kehidupan
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Paruk menjadi hambar. Kehidupan bangkit kembali setelah Srintil cucu Sakarya tokoh utama dalam novel dianggap mampu mengembalikan citra Dukuh Paruk melalui seni ronggeng. Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena
ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembaalikan citra sebenarny pada dirinya sendiri. Sakarya percaya arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Partuk. (Ahmad Tohari, 2003: 15)
2) Alur atau Plot Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita. Meskipun sedikit adanya penuturan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flash back (kilas balik). Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur alur cerita itu pada prinsipnya terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). Urutan peristiwa yang terjalin dalam plot novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebagai berikut: (a) Tahap Paparan (Eksposisi) Tahap paparan atau eksposisi pada novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari yaitu tahap dimana pengarang mulai
untuk memperkenalkan tempat terjadinya cerita, waktu, tokoh-tokoh cerita dan permasalahan dalam cerita sebagai sumber konflik. Awal cerita dikisahkan tentang kehidupan di Dukuh Paruk lengkap dengan gambaran alam dan kehidupan rakyatnya.
Dukuh
Paruk adalah sebuah desa kecil yang miskin dan terpencil serta rakyatnya belum mengenal pendidikan. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena
mewarisi
kesenian
ronggeng yang menjadi martabat Dukuh Paruk. Dalam Novel ini dikisahkan kehidupan Dukuh Paruk sudah lama hambar tanpa kehadiran seni Ronggeng yang menjadi ciri khusus Dukuh Paruk. Pada waktu anak-anak Dukuh Paruk asyik menjalankan tugasnya menggembala kambing, Srintil gadis cilik itu menyanyi dan menari di bawah pohon nangka. Melihat Srintil menari
Rasus dan teman-
temannya memujinya. Oleh Srintil, Rasus dan teman-temannya malah diminta mengiringi. Meskipun suara calung dan gendang tersebut berasal dari mulut mereka. Srintil menari serupa tarian ronggeng.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peristiwa itu diketahui oleh nenek Srintil, Sakarya. Mereka kagum sekaligus bangga akan cucunya yang mewarisi budaya leluhurnya yaitu tari Ronggeng. Sudah 11 tahun menantikan ronggeng kini lewat Srintil ronggeng Paruk akan tumbuh kembali. Srintil kemudian diserahkan kepada Kartareja dukun ronggeng untuk dilatih meronggeng. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk. Mulai saat itu Dukuh Paruk terasa citranya hidup kembali dengan munculnya cucu Sakarya pemangku keturunan Ki Secamenggala sebagai penari ronggeng. (b) Tahap Rangsangan (Inciting Moment) Tahap Rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problemproblem yang ditampilkan dalam cerita oleh pengarang kemudian dikembangkan
yang mengarah
peningkatan
terjadinya konflik.
Srintil kemudian diserahkan dukun ronggeng Kartareja untuk dibina menjadi ronggeng. Warga Dukuh Paruk teringat peristiwa tempe bongkrek yang membuat banyak bocah Paruk menjadi yatim. Srintil mendapat hadiah keris dari Rasus. Sebelum Srintil menjadi ronggeng Srintil harus menjalani ritual. Mulai dari mandi di pusara kuburan Ki Secamenggala sampai dengan ritual bukak klambu. Dalam ritual bukak klambu ini Srintil harus melepaskan keperawanannya kepada lelaki yang mampu membayar sesuai dengan sayembara yang ditawarkan dukun ronggeng Kartareja
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu dengan membayar sekeping uang logam ringgit emas. Peristiwa ini bertentangan dengan naluri Srintil karena Srintil sudah menyayangi Rasus begitu pula dengan Rasus. Upacara bukak klambu itu membuat resah pada jiwa Rasus dalam hati kecilnya tidak rela sosok wanita yang dianggap dapat mewakili keberadaan ibunya, wanita yang harus dijunjung tinggi dan dihormati tetapi harus diperlakukan dengan tidak manusiawi. Walaupun akhirnya keperawanan Srintil diberikan kepada Rasus dengan iklas karena rasa cintanya. Srintil dan Rasus kemudian mencari hidupnya sendiri-sendiri. (c) Tahap Penggawatan (Rising Action) Tahap penggawatan adalah dimana konflik cerita menjadi meningkat yaitu ketenaran Srinthil banyak mengundang para lelaki yang datang ke dukuh Paruk. Kekayaan dari hasil meronggeng Srintil. Dan perginya Rasus dari dukuh Paruk karena Srintil telah menjadi milik banyak orang, padahal Rasus sangat mencintainya. Namun, dalam hari kecil Srintil terlibat cinta dengan Rasus pemuda Paruk sahabat kecilnya. Rasus mengasingkan diri ke Dawuhan. Pada saat itu wilayah kecamatan
Dawuan
tidak
aman
sering
terjadi
perampokan.
Didatangkan bantuan keamanan dari kota. Rasus mulai berkenalan dengan tentara, ia diminta untuk menurunkan peti-peti yang dibawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh tentara. Ia bekerja bersama dengan para tentara yang bertugas di sana kemudian Rasus menjadi tobang. Dukuh Paruk terjadi perampokkan yaitu di rumah Sakarya dan Kartareja (rumah Srintil). Rasus diminta
membantu tentara untuk
mengamankan dukuh Paruk. Berkat bantuan Rasus perampokan dapat diatasi. Waktu itulah orang Paruk, juga Srintil tahu bahwa putra Paruk menjadi tentara dan telah mengamankan daerahnya sendiri. Cinta Srintil kepada Rasus semakin besar. Srintil mengajak Rasus menikah, ia ingin menjadi istri tentara yaitu Rasus, tetapi Rasus tidak menerimanya. Srintil sangat bersedih karena hal tersebut.
Srintil
mencari Rasus ke Dawuan namun tidak ditemukan karena Rasus peregi tugas. (d) Tahap Pertikaian (Comflict) Konflik semakin ruwet Srinthil merasa kecewa tidak bertemu Rasus, ia jatuh sakit. Mulai saat itu Srintil berniat untuk berhenti menjadi ronggeng. Hati Srintil telah dihantui rasa takut akan kemandulan. Ia ingin menjadi perempuan pada umunya punya anak, suami dan keluarga. Srintil tidak ingin menerima tamu laki-laki lagi. Nyi Kartareja si mucikari bingung. Apalagi Srintil juga telah mendapatkan Goder anak tampi yang dijadikan anaknya sendiri untuk mengobati kekecewaan hatinya. Srintil mengecewakan banyak orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(e) Tahap Perumitan (Complication) Tahap perumitan terjadinya Srintil diminta untuk meronggeng lagi, mulai dari kegiatan pentas seni Agustusan, di alaswangkal dan meronggeng pada kegiatan rapat-rapat umum bersama pak Bakar. Pada kegiatan Agustusan Srintil terpaksa meronggeng kembali di kecamatan Dawuan. Melihat ronggeng Paruk yang mempesona banyak pejabat yang mengaguminya sehingga istri-istri pejabat merasa cemburu. Takut suaminya akan tergoda. Srintil juga diminta meronggeng di desa Alaswangkal dalam acara kaulan atau nadar. Bahkan Srintil disuruh merangkap sebagai gowok untuk anaknya Sentika. Kegiatan itupun diterima oleh Srintil. Srintil dibawa pak Bakar untuk meronggeng. Awalnya pak Bakar begitu perhatiann terhadap Ronggeng Dukuh Paruk. Banyak bantuan yang diberikan sehingga rombongan Ronggeng Dukuh Paruk merasa hutang budi. Tak tahunya pak Bakar telah memanfaatkan seni ronggeng untuk kampanye partainya. rombongan Ronggeng Dukuh Paruk digunakan untuk menghibur waktu rapat-rapat partai. Dalam kegiatan ini terjadi kerusuhan karena para penonton ronggeng mabuk separti orang kesurupan merusak tanaman padi penduduk. Hingga ronggeng dukuh paruk tidak mau lagi tampil dalam pentas pada rapatrapat umum. Dan terjadinya pengrusakan makam leluhur dukuh Paruk. Dukuh Paruk diadudomba dengan kelompok caping hijau.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(f) Tahap Klimaks atau penggawatan (Climax) Tahab klimak ini Srinthil dan beberapa warga dukuh Paruk dituduh terlibat kegiatan politik yang mendukung partai terlarang karena terlibat dalam setiap pertunjukan namanya tercatat dalam daftar anggota partai terlarang. Maka Srintil dan rombongan Ronggeng juga warga dukuh Paruk ditangkap dan ditahan. Kemudian dukuh Paruk dibumi hanguskan. Srintil ditahan untuk beberapa tahun lamanya. (g) Tahap Peleraian (Falling Action) Tahap peleraian yaitu setelah warga Paruk dikeluarkan dari tahanan, dan selang beberapa tahun Srintil juga keluar, Srintil ingin menjadi wanita somahan, yaitu wanita yang dapat menjalankan tugas hidupnya menjalin keluarga dan mempunyai
keturunan dan tidak
selalu meladeni lelaki-lelaki hidung belang yang memandang wanita sebagai pemuas saja. Pengenalan Srintil dengan lelaki Bajus lelaki yang menjadi pilihan hati Srintil. Srintil ingin bisa hidup bersama, walau nasibnya harapan Srintil tak menjadi kenyataan karena Bajus tidak berniat memperistri Srintil. Srintil malah disuruh melayani Blengur, atasan Bajus demi mendapatkan pekerjaannya. (h) Tahap Penyelesaian (Denouement) Tahap
ini
Srintil
mengalami
gangguan
ingatan
karena
penderitaannya. Rasus merasa iba kepada Srintil gadis yang dicintainya gila kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Penokohan Tokoh dalam cerita menempati posisi strategis untuk menyampaikan pesan, ide yang disampaaikan pengarang kepada pembaca. Tokoh dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk didasarkan perannya dalam cerita. Penokohan dalam novel terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh penting saja yang memegang peranan besar dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tokoh novel Ronggeng Dukuh Paruk dibedakan menjadi tokoh protagonis dan
antagonis. Tokoh protagonis
adalah tokoh
yang
mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang atau menimbulkan perasaan tidak suka pada diri pembaca sering disebut tokoh jahat. Yang termasuk tokoh protagonis
utama adalah Srintil. Tokoh
protagonis tambahan adalah: Rasus, Sakarya, Nyai Sakarya, Sakum, Tampi, Goder, Warta, dan Darsun. Sedangkan, tokoh antagonis utama adalah Kartareja, Nyai Kartareja, tokoh antagonis tambahan adalah: Marsusi, Bajus, dan Bakar, Blengur, Dower, Sulam, Sentika, Waras. Berdasarkan peranannya tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut: (a) Srintil Srintil adalah tokoh utama dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil dikisahkan sebagai gambaran salah satu dari sekian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan Dukuh Paruk yang hidup tanpa kasih sayang orangtua. Srintil tumbuh menjadi gadis lugu.
kedua
Ia mempunyai
kemampuan yang tidak dimiliki perempuan lain yaitu pandai menari dan menyanyi. Keluguan dan kemampuan menyanyi dan menari terlukis dalam kutipan di bawah ini:
seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota. Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua berdendang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanakkanakannya, Srintil mendengarkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngengot ning ora suwe. Lagu erotik. Srintil, perawan yang baru sebelas tahun, menyanyikannya dengan sungguh-sungguh. Boleh jadi Srintil belum paham benar makna lirik lagu itu. Namun sama saja. Dukuh Paruk tidak akan bersusah hati bila ada anak kecil menyanyikan lagu yang paling cabul sekalipun. (Ahmad Tohari, 2003: 11-12) Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baiknya. (Ahmad Tohari, 2003: 13) Srintil adalah gadis cantik, kenes yang mempesona, kecantikan Srintil tercermin dari kulitnya bersih dan bentuk rahang yang bagus,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pipinya jernih dengan hiasan jambang halus sehingga akan dapat memikat bagi lelaki yang memandangnya. Apalagi disaat Srintil tampil meronggeng. Usianya memang masih terlalu muda yaitu baru 17 tahun. Gadis yang baru menginjak dewasa. Gambaran fisik Srintil terlihat dalam kutipan berikut ini: Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian utuh adalah pesona baru dalam penampilannya. Dengan tata sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran remaja yang amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata apa adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas. (Ahmad Tohari, 2003: 148) Srintil adalah seorang perempuan yang mempunyai berpendirian kuat. Dalam menyampaikan prinsip hidupnya. Sikap ini terlukis pada saat Srintil memutuskan untuk berhenti meronggeng dan ingin mencari lelaki tambatan hatinya yaitu Rasus. Srintil bosan dengan hidup yang ia jalani, ia ingin hidup seperti perempuan somahan yaitu perempuan pada umumnya mengabdi pada anak, suami dan mempunyai keluarga yang jelas. Srintil juga tidak tertarik pemberian yang ditawarkan pak Marsusi walau sangat menggiurkan yaitu sebuah kalung rantai emas seberat seratus gram dengan berbandul berlian. Kalung sejenis itu hanya dimiliki oleh istri Lurah Pecikalan. Walau banyak bujukan, rayuan untuk kembali meronggeng, namun tekad Srintil untuk tidak menerima tamu laki-laki telah bulat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keteguhan sikap atau prinsip hidup Srintil terlihat dalam kutipan berikut ini:
Srintil terkejut sebelum kesadarannya pulih. Tanpa menoleh kearah sumber suaradia tahu siapa yang datang.
Srintil mengerdip tanda mengerti.
mosi.
menyepelekan tamu. Apalagi tramu kali ini tidak sembarang
(Ahmad Tohari, 2003: 119)
sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Kerana aku memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian
Marsusi mencondongkan kepalanya lebih ke depan. Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera tahu apa kata Srintil selanjutnya. (Ahmad Tohari, 2011: 150). Srintil bertekat ingin menjadi perempuan somahan. Hal itu terlihat waktu Bajus, lelaki yang diharapkan bisa menggantikan Rasus untuk dapat menjadi pendamping hidupnya. Tetapi Bajus malah meminta Srintil untuk melayani lelaki hidung belang yaitu Blengur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan tujuan agar Bajus mendapatkan pekerjaan sesuai yang diharapkan. Kemauan Srintil untuk menjadi perempuan baik-baik terdapat dalam kutipan berikut ini:
Blengur. Percayalah dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, berapa pun harganya, akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia.
Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan dadanya turun-naik dengan cepat. Kedua tanganya bergetar. idak ada pikiran macam-macam, anggaplah Pak Blengur itu diriku sendiri. Atau malah tidak perlu karena kenyatannya dia dalam semua hal lebih baik daripada aku. Kamu mau, bukan?
, 2003: 150) Srintil adalah tokoh perempuan yang taat terhadap orang tua yaitu kakek neneknya (Sakarya) selaku gurunya dan tradisi yang berlaku. Sebelum Srintil menjadi ronggeng Srintil melakukan upacara tradisi untuk seorang ronggeng yang ada di Dukuh Paruk. Srintil melakukannya dengan patuh. Sikap taat Srintil dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai diguyur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
air kembang, gayung demi gayung. Semantara itu orang-orang Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi pusat perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas masing-masing, duduk bersila di atas tanah. (Ahmad Tohari, 2003: 46) Srintil adalah perempuan yang tahu balas budi dan berhati mulia walaupun dirinya seorang ronggeng. Srintil akan iba bila menghadapi sesuatu yang tidak seharusnya. Tindakan Srintil yang tahu balas budi dan penuh belas kasihan dapat dipahami dalam kutipan di bawah ini : Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak dapat mengusir rasa sedih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang dengan membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. (Ahmad Tohari, 2003: 225) Warga Dukuh Paruk termasuk Srintil tidak mengenal pendidikan sehingga akan mempengaruhi cara berpikir
mereka.
Mereka
memandang orang dari satu sisi seperti yang dilakukan pak Bakar. Pak Bakar suka membantu tetapi pak Bakar punya pamrih hal tersebut tidak disadarinya. Kesederhanaan cara berpikir Srintil dan orangorang Dukuh Paruk dimanfaatkan oleh Pak Bakar untuk mencapai ambisinya. Sehingga mengantarkannya ke dalam penderitaan yaitu penjara. Keterbelakangan Srintil dan warga Dukuh Paruk yang tidak mengenal pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir terlihat dalam kutipan berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan sebagai
seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti,
pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi pintu masuk ke dukuh Paruk berhias lambang partai. Orang-orang merasa bangga karena itulah pengaturan Bakar. Di depan rumah Kartareja juga dipasang sebuah papan. Tak ada orang dukuh paruk yang bisa membaca tulisan dalam papan itu. Namun setidaknya mereka tahu tulisan di sana bersangkutan dengan kesenian ronggeng. (Ahmad Tohari, 2003: 228) Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulkan bahwa Srintil adalah perempuan
yang cantik dan mempesona. Srintil juga
mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Srintil perempuan yang taat kepada adat istiadat dan orang tua. Srintil juga tidak mengenal pendidikkan sehingga cara berpikirnya sangat sederhana. Berdasarkan uraian di atas Srintil dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil termasuk tokoh yang berkembang karena watak tokoh Srintil mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Srintil ingin menjadi ronggeng waktu muda setelah dewasa ia sadar suara jiwanya bahwa ia ingin menjadi perempuan somahan. (b) Rasus Rasus merupakan tokoh yang digambarkan dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sebagai laki-laki yang menghormati seorang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wanita, berkepribadian kuat, setia, cerdas, berbakti pada orang tua. Rasus memang menyukai Srintil. Walaupun Rasus mendapatkan kesempatan lebih berduaan dengan Srintil, ia tetap menghormatinya karena baginya Srintil adalah merupakan gambaran emaknya yang tidak kembali. Rasus seorang tokoh yang menghormati perempuan. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini:
menciumku. Nafasnya terdengar cepat. Kurasakan telapak tanggannya
berkeringat. Ketika menoleh kesamping wajah
Srintil tegang. Ah, sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil dengan keadaan seperti itu. Meski aku tidak berpengalaman, tetapi dapat kuduga Srintil sedang dicekam renjana birahi. Tanpa melepas tangannya di pundakku, Srintil menoleh sekeliling. Dia was-was ada orang lain di sekitar tempat itu. Sebenarnya Srintil tak usah terlalu curiga. Pohon-pohon puring dan kamboja yang mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk (Ahmad Tohari, 2003: 66) Rasus seorang yang jujur, rajin dan pekerja keras. Keadaan yang dimiliki Rasus serta dijalankan dengan penuh keyakinan membawa perubahan hidupnya. Rasus akhirnya terpilih menjadi seorang tobang. Pernyataan tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:
dapat melaksanakan tugas sebagai tobang. Tentang tenaga, aku sudah merasa pasti engkau memilikinya dengan cukup. Kejujuranmu sudah terpancar dari wajah dan sinar matamu sendiri. Jadi, aku merasa pasti pula engkau mampu menjadi seorang tobang
(Ahmad Tohari, 2003: 93)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rasus meninggalkan Dukuh Paruk. Rasus ingin mencari hidup, Srintil perempuan yang dicintainya sekarang telah menjadi milik semua orang yang mempunyai banyak uang. Setelah peristiwa bukakklambu benar-benar membuat kecewa hati Rasus. Sehingga desa tempat membesarkannya, neneknya, perempuan yang ia cintai ditinggalkannya. Dengan prinsip hidup yang kuat Rasus tidak ingin terlalu larut dalam kekecewaan. Ketegaran dan semangat Rasus dalam menentukan pilihan hidupnya mengantarkannya menjadi seorang tobang. Juga karena keberanian dan kejujurannya Rasus menjadi tentara. Prinsip hidup Rasus yang kuat dapat disimak dalam percakapan berikut ini : Tetapi Dukuh Paruk dan orang-orangnya di sana tak ada yang mengerti diriku yang sakit. Memang Dukuh Paruk member kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukak-klambu itu Srintil diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena. Aku bersumpah tidak memaafkannya. Salah seekor kambing kutuntun ke luar Dukuh Paruk pada suatu pagi. Sebelum berangkat aku berkata kepada nenek, aku akan mencari paman di luar kampung dan mungkin tidak kembali lagi, Nenek menangis. Terbata-bata Nenek meminta
(Ahmad Tohari, 2003: 80)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rasus mampu bersikap lebih dewasa dan selalu menjunjung tinggi leluhurnya. Tidak mau melakukan tindakan yang kurang pantas dimakam leluhurnya. Walau Rasus harus melawan gejolak nafsu yang membelenggunya,
perasaan
jiwanya,
namun
karena
sikap
kedewasaannya sehingga mampu menahan niat Srintil dengan halus. Kedewasaan sikap Rasus tergambar jelas dalam kutipan berikut ini:
membenahi pakaian Srintil.
minta belas kasihan dari majikannya.(Ahmad Tohari, 2003: 67) Rasus seorang laki-laki yang berpendirian teguh, prinsipnya kuat.
Rasus
pernah ikut
menyelamatkan
Dukuh Paruk
dari
perampokan, sehingga ia mendapat penghormatan dari warga Paruk dan penghormatan tersebut menjadikan diri Rasus semakin berarti, meskipun disaat yang bersamaan Srintil perempuan yang dicintainya merasa pasrah dan berjanji untuk meninggalkan ronggeng. Karena keteguhan hatinya memilih meninggalkan Srintil di pagi buta untuk menjadi seorang tentara. Semua itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Sepanjang malam itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya. Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apapun,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk. Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Dia ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet. (Ahmad Tohari, 2003: 105) Rasus seorang laki-laki yang teguh pendirian. Tegas dalam menentukan prinsip hal itu terjadi ketika Kartareja menanyakan hubungan Rasus dengan Srintil. Jawaban Rasus tegas dan pasti. Hal itu tertulis dalam kutipan berikut ini:
kepadaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, sebab aku akan segera berangkat ke tempat yang jauh dan entah kapan kembali. Maka begini saja, Kek. Bila ada lelaki baik-baik yang berminat mengambil Srintil, maka bantulah keduanya. Tetapi bila ada lelaki yang datang hanya untuk bermain-main, tolong katakan kepada Srintil sekarang dia tidak boleh berperilaku seperti dahulu. Aku yang me
(Ahmad Tohari, 2003:
360) Rasus adalah seorang cucu yang baik. Diantara tugas yang ia lakukan selalu mengingat akan Neneknya yang telah renta. Ia mengingat Neneknya yang tinggal sendirian di Dukuh Paruk. Rasus ingin selalu berbakti kepada neneknya. Ia masih menyayangi warga Paruk, sehingga Rasus kembali untuk menjenguk neneknya. Rasa bakti Rasus kepada neneknya tergambar dalam kutipan berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wong bagus. Kau datang bukan untuk menangkap kami, bukan? Kau hendak menjenguk nenekmu yang sudah payah ini, bukan? Kau masih mengaku saudara kepada kami orang(Ahmad Tohari, 2003: 256) Rasus
adalah
seorang
anak
Dukuh
Paruk
yang
bertanggungjawab. Menjadi satu-satunya anak yang telah berhasil menjadi tentara pada dirinya tertadapat sebuah tanggung jawab untuk Dukuh Paruk. Kesediaan Rasus mencari Srintil adalah menunjukkan bahwa Rasus berjiwa besar. Ia masih menyayangi Srintil dan Dukuh Paruk yang telah membiarkan Rasus dalam kekecewaan. Rasus adalah pribadi yang dewasa dan jelas dalam menentukan pilihan hidup. Ketika Sakum menanyakan perasaan terhadap Srintil, Rasus hanya tersenyum. Kutipan berikut ini adalah alasan mengapa Rasus tidak juga menikahi Srintil:
Sakarya kembali mengusap air matanya.
segera dibebaskan? Karena sampean tahu tak seorang Dukuh Paruk pun sebenarnya mengerti urusan yang menyebabkan (Ahmad Tohari, 2003: 263)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Rasus adalah seorang yang menghormati wanita. Ia begitu menghargai Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan gambaran kembali emaknya.
Ketegaranya
dalam
mencari
harapannya
ia
rela
meninggalkan Neneknya. Rasus merupakan sosok yang jujur dan pekerja keras. Ia memiliki prinsip yang kuat dan teguh pendirian. Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus merupakan tokoh yang berkembang. Watak tokoh Rasus mengalami perubahan dari rasa kecewa terhadap Srintil dan Dukuh Paruk, namun kemudian Rasus merubah semua itu menjadi sebuah rasa menyayangi dalam bentuk sebuah pengabdian. (c) Sakarya Sakarya kakek Srintil adalah orang yang bertanggungjawab terhadap Dukuh Paruk. Rasa tanggung jawabnya dibuktikan pada waktu Dukuh Paruk terjadi malapetaka. Sakarya keluar menuju makan Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di pusara Ki Secamenggala kemudian ia berkeliling pedukuhan dengan mengamati perumahan penduduk. Rasa tanggung jawab Sakarya tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:
tengah malam Sakarya keluar menuju makan Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya menjadi kamitua di pedukuhan itu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keluar
dari
pekuburan
Sakarya
berkeliling
pedukuhan.
Dijenguknya setiap rumah. Setiap kali membuka pintu Sakarya mendapat kesedihan. Bahkan tidak jarang Sakarya mendapat perlakuan yang tidak enak. Seolah-olah dia harus ikut bertanggung jawab atas dosa anaknya, Santayib. Meskipun demikian tak sebuah rumah dilewati oleh Sakarya. (Ahmad Tohari, 2003: 30) Sebagai kamitua, Sakarya orang yang bertanggung jawab terhadap Dukuh Paruk. Ia ingin mengembalikan citra Dukuh Paruk. Jatidiri
Dukuh
Paruk
tersebut
diantaranya
ada
keramat
Ki
Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Maka ketika pada suatu sore Sakarya melihat cucunya Srintil menari ronggeng di bawah pohon nangka. Hati Sakarya lega, ia
tidak ragu, Srintil cucunya telah
kerasukan indang ronggeng. Sakarya yakin bahwa cucunya akan mampu mengembalikan citra sebenarnya Dukuh Paruk. Keyakinan Sakarya itu dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena
ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan
kepada
dirinya
sendiri.
Sakarya
percaya,
arwah
Ki
Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Paruk. (Ahmad Tohari, 2003: 15)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keinginan mendengar kembali calung mengiringi ronggeng ternyata harapan banyak orang di Dukuh Paruk. Sikap teguh pendirian yang dimiliki Sakarya ini bukti tanggung jawabnya sebagai kamitua. Sakarya menyerahkan Srintil pada Kartareja seorang dukun ronggeng. Sakarya tahu betul akibat yang akan diterima Srintil setelah cucunya itu menjadi ronggeng. Srintil akan menjadi korban pelampiasan nafsu kaum laki-laki. Demi mengembalikan citra Dukuh Paruk apapun dilakukan, meskipun dengan mengorbankan cucunya sendiri. Bentuk pengorbanan Sakarya dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: -laki yang hampir sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya disimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap
(Ahmad Tohari, 2003: 16) Sebagai seorang Kamitua Sakarya seorang yang mampu membaca sasmita alam. Ia juga peka terhadap kejadian yang terjadi di sekelilingnya. Demi mencari keselamatan untuk Dukuh Paruk dan warganya. Sakarya juga mampu menyadari akan keadaan dirinya. Usianya yang sudah di atas tujuh puluh tahun tergolong telah lanjut. Ia menyadari dengan usianya yang lanjut berarti kematian semakin dekat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan dirinya. Kepekaan Sakarya dalam membaca sasmita alam dapat dicermati pada kutipan berikut ini: Sasmita buruk lagi, pikir Sakarya. Apabila sudah yakin demikian maka hanya satu hal yang harus dilakukan oleh kamitua Dukuh Paruk itu; mengetuk pintuk makam Eyang Secamenggala di puncak bukit, kemudian memasang sesaji dan membakar kemenyan. Dia bersiap-siap. Istrinya disuruh mencari kembang di halaman rumah Kartareja. Dia sendiri masuk ke kamar mengambil seikat upet. Bila sekali dibakar ujungnya, sayatan kelopak manggar ini akan terus membara sampai habis. (Ahmad Tohari, 2003: 159).
Tiba-tiba Sakarya tersenyum. Di tengah keheningan hatinya mendadak muncul kesadaran yang dalam bahwa usianya sudah di atas tujuh puluh tahun. Di Dukuh Paruk dialah laki-laki yang paling lanjut. Apabila pertanda buruk yang dirasakannya adalah peringatan akan datangnya ajal, maka pantaslah adanya. Perihal kematian
diri,
bukan
hanya
sekali-dua
Sakarya
merenungkannya. Kadang malah merindukannya. Beberapa tahun yang lalu Sakarya memesan tempat di pekuburan Dukuh Paruk. Dibuatnya pemakaman palsu dengan tonggak nisan. Bila ajal tiba maka orang akan menanam tubuh Sakarya di tempat itu. (Ahmad Tohari, 2003: 159).
Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehatihatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu eling
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lan waspada. karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada kegembiraan pastilah ada kesusahan. Sakarya mampu menahan rasa kegembiraannya, walaupun malam peringatan tujuh belasan itu adalah malam kembalinya Srintil untuk meronggeng. Ia tidak larur dalam kegembiraan sebagai kamitua Sakarya menekankan pada persiapan kejiwaan dengan memasang sesaji di makam Ki Secamenggala, terjaga di malam hari, dan mengurangi makan-minum. Sikap Sakarya yang bijaksana dan penuh kehati-hatian dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya yang sederhana. Bahwa segala sesuatu berpasang-pasangan adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan. Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya yang panjang, Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan. (Ahmad Tohari, 2003: 180) Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagaiberikut: bahwa Sakarya adalah orang yang penuh tanggung jawab memikirkan kelangsungan dan kejayaan Dukuh Paruk. Walaupun samapai harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengorbankan cucunya Srintil. Ia juga mampu membaca sasmita alam. Berdasarkan
karakter
dan
sifat
tokoh,
Sakarya
dapat
dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Sakarya mempunyai watak yang tidak berkembang. Sepanjang cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk, karakter Sakarya tidak mengalami perubahan. (d) Kartareja Kartareja dukun
ronggeng
di
Dukuh
Paruk.
Mengenai
kemampuan untuk mengelola ronggeng tidak perlu diragukan. Karena untuk menjadi seorang ronggeng, tidak hanya pandai menari tapi sisi yang lain juga perlu dipersiapkan. Seorang ronggeng harus melakukan upacara tradisional. Kartareja dan istrinya sangat ahli di bidang ini. Sebagai dukun ronggeng mereka berdua menguasai seluk beluk ronggeng. Kemampuan
Kartareja mengenai ronggeng dapat dicermati dalam
kutipan berikut ini: s tarian Srintil. Cucuku tampak belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi
Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apa-apa. guna, pekasih, susuk, dan tetek bengek lainnya yang akan membuat seorang ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli dalam urusan ini. (Ahmad Tohari, 2003: 16)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk menjadi seorang ronggeng harus melakukan upacara tradisi. Dari upacara pemandian yang dilaksanakan di pekuburan Ki Secamenggala sampai upacara ritual bukak-klambu. Bukak-klambu adalah upacara berupa sayembara untuk mendapatkan keperawanan calon ronggeng dengan syarat tertentu. Bagi laki-laki yang mampu untuk menyerahkan sejumlah uang atau perhiasan yang telah ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak mendapatkan virginitas calon ronggeng. Sebagai dukun ronggeng Kartareja sudah menentukan malam upacara bukak-klambu. Kartareja memasang syarat sekeping uang logam ringgit emas. Dengan alasan bahwa selama ini di Dukuh Paruk belum pernah ada seorang ronggeng secantik Srintil. Banyak orang merasa keberatan dengan syarat yang ditentukan oleh Kartareja. Menurutnya terlalu berat harga yang telah ditentukan untuk mengikuti sayembara bukak-klambu bagi orang Dukuh Paruk. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tidak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Alasan Kartareja memasang harga yang amat mahal untuk seorang ronggeng dapat diperhatikan kutipan berikut ini: -baik. Pernahkah ada
tapi siapa yang
-laki Dukuh Paruk akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak berhar
(Ahmad Tohari,
2003: 52) Kesombongan Kartareja terlihat juga ketika Dower datang untuk melengkapi uang panjarnya dengan membawa seekor kerbau betina. Ia sangat tidak menghargai kerbau betina yang dibawa Dower. Padahal dua uang perak kalau dijumlah dengan harga kerbau betina harganya sebanding dengan sekeping ringgit emas, bahkan bisa lebih. Sifat sombong Kartareja dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
bernil menerangkan. Namun Kartareja menyambutnya dengan senyum kecut, bahkan menyepelekan. Dower menjadi gelisah dalam duduknya. tidak kotor, dan aku takkan disusahkannya dengan urusan
membuang muka. (Ahmad Tohari, 2003: 70) Kartareja juga bersifat licik ketika malam bukak-klambu. Dower yang pada waktu itu datang membawa seekor kerbau untuk melengkapi panjar hari sebelumnya, tetapi datang juga Sulam yang membawa sekeping ringgit emas. Kartareja mempunyai niat jahat bagaimana untuk dapat menguasai kekayaan dua pemuda tersebut. Kartareja menggunakan cara licik untuk mendapatkan uang Dower dan Sulam dalam acara malam bukak-kalmbu. Kartareja memberi keduanya minuman ciu. Kedua pemuda mulai minum ciu. Sulam mulai mengigau karena minum terlalu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
banyak. Sebaliknya Dower sama sekali tidak mabuk. Sulam merasakan beribu bintang jatuh dari langit. Telinganya mendengar tembang asmara, Sulam tgerasa mabuk kepayang. Dalam keadaan semacam itu, oleh Sulam, Nyai Kartareja dianggap sebagai Srintil. Sulam
mangajak
Nyai
Kartareja
bertayub.
Kutipan
berikut
menggambarkan kelicikan Kartareja:
kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang.
panjar saya i wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras. (Ahmad Tohari, 2003: 58)
sedang hilang ingatan. Soal bertayub tak usah ditanyakan kepada istri dukun ronggeng itu. Dia sangat berpengalaman. Jadilah, teringat masa mudanya, maka Nyai Kartareja melayani Sulam dengan sepenuh hati. Dia membiarkan dirinya dibawa (Ahmad Tohari, 2003: 74-75) Kartareja juga seorang yang cerdik, sikap cerdiknya terlihat ketika perampokan melanda Dawuan dan sekitarnya, termasuk diantaranya Dukuh Paruk.
Kartareja dengan cerdik mengelabuhi perampok
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan menyembunyikan perhiasan yang dimiliki Srintil yang lebih mahal sedang yang lainnya disuruh memakainya. Sehingga menjadi sasaran perampok perhiasan yang dipakai. Kecerdikan Kartareja dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Ketika aku dan Sersan Slamet masuk, Kartareja sedang menggigil di depan Kopral Pujo. Istrinya duduk termangu. Srintil terbelalak melihat aku membawa bedil, sehingga dia ragu-ragu mendekat. Dari keterangan Kartareja diketahui perampok hanya berhasil membawa perhiasan yang pada saat itu dikenakan Srintil: sepasang subang, dua cincin, dan seuntai kalung. Kartareja menyuruh Srintil tetap mengenakan perhiasan itu untuk melindungi perhiasan lain yang lebih dari jarahan para perampok. (Ahmad Tohari, 2003: 102) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak Kartareja adalah sombong, licik, dan cerdik. Sifat sombong Kartareja yaitu pada saat dipercaya menjadi dukun ronggeng, ia memasang Kartareja memasang harga yang amat mahal untuk seorang ronggeng, dan juga ketika menanggapi Dower peserta sayembara bukak-klambu. Ia juga seorang yang licik dalam usaha untuk mendapatkan kekayaan Sulam dan Dower dan ia juga cerdik dalam mengamankan perhiasan Srintil. Sebagai dukun ronggeng ia bersama istrinya pandai memanfaatkan Srintil untuk mendapatkan uang dan materi yang lain. Berdasarkan dikategorikan
karakter
sebagai tokoh
dan
sifat
antagonis.
tokoh,
Kartareja
bisa
Kartareja juga dapat
dikategorikan sebagai tokoh yang berkembang perwatakannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah Sakarya meninggal dunia, Kartareja memikul tanggung jawab untuk Dukuh Paruk. Karena ia satu-satunya yang bisa menggantikan Sakarya sebagai kamitua di Dukuh Paruk. (e) Nyai Kartareja Nyai Kartareja adalah dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Waktu muda Nyai Kartareja pernah menjadi ronggeng. Dahulu Nyai Kartareja menjadi ronggeng tetapi tidak laku, istilahnya menjadi ronggeng bobor. Dengan latar belakang pernah menjadi ronggeng Nyai Kartareja sangat memahami dunia ronggeng. Ketika mengetahui Srintil mendapat indang ronggeng, Sakarya (kakek Srintil) menyerahkan Srintil kepada Kartareja dan Nyai Kartareja. Kartareja bertugas melatih tarian Srintil. Sedangkan Nyai Kartareja bertugas menangani Srintil tentang bagaimana Srintil jadi ronggeng dari sisi perempuan. Nyai Kartareja tidak hanya mendadani Srintil, ia juga meniupkan mantra pekasih, bahkan memasang susuk emas pada Srintil. Kemampuan Nyai Kartareja dalam memahami dunia ronggeng terdapat dalam kutipan sebagai berikut: Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya; uluk-uluk perkutut manggung teka saka ngendi, teka saka tanah sabrang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pakanmu apa, pakanku madu tawon manis madu tawon ora manis kaya putuku, Srintil. Konon bukan hanya itu. Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil. (Ahmad Tohari, 2003: 18-19)
Nyai Kartareja mempersiapkan Srintil dengan matang. Srintil diberi jampi-jampi juga mantra pekasih. Ia juga berusaha membuat Srintil tidak dapat hamil dengan cara memijit hingga mati indung telur Srintil. Hal ini sangat memungkinkan karena selain menjadi ronggeng, Srintil juga harus melayani banyak laki-laki yang memintanya. Sikap ini baru disadari ketika Srintil menginjak dewasa. Dalam hati Srintil menilai begitu jahat tindakan yang dilakukan oleh Nyai Kartareja. Karena hal itu dilakukan pada saat usia Srintil masih muda belia. Dugaan sikap jahat Nyai Kartareja pada diri Srintil dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini: Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hokum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama. Kukira
Srintil
mulai
sadar
kemandulan
adalah
hantu
mengerikan, yang akan menjelang pada hari tua. Atau Srintil telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah mencapai hari tua karena dimakan raja singa atau penyakit kotor lainnya. (Ahmad Tohari, 2003: 90)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nyai Kartareja adalah juga pandai ndai mengambil hati orang lain. Ia pandai merayu atau mengelabuhi mangsanya. Ia juga mampu mengurus Srintil dalam setiap penampilan menjadi ronggeng. Apa yang dilakukan Nyai Kartareja mempunyai maksud tertentu yaitu untuk mencari penghasilan dari kemolekan seorang ronggeng Paruk. Dia pandai merayu bukan hanya pada Srintil tetapi juga pada semua laki-laki yang menghendaki Srintil. Keahlian Nyai Kartareja dalam menaklukan mangsanya dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
bertengkar di sini. Aku khawatir tetangga nanti datang karena mendengar keributan. Ayo, bocah bagus, duduklah. Kalau kalian terus berselisih, pasti Srintil merasa takut. Bagaimana bila nanti dia tidak bersedia menjalani bukakOleh caranya yang khas gaya seorang mucikari, Nyai Kartareja dapat menenangkan Sulam dan Dower. Keduanya duduk kembali, masing-masing dengan wajah kecut. Hening. Kartareja duduk termangu. (Ahmad Tohari, 2003: 73) -menyiakan kesempatan ini. Membonceng motor ubluk bersama pak Marsusi ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau belum pernah melihat tontonan itu, bukan? Kepada Pak Marsusi kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau kau minta kalung seperti yang dipakai istri Lura
wong ayu. Tetapi (Ahmad Tohari, 2003: 119)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nyai Kartareja juga bersifat licik. Kelicikan itu terlihat ketika malam bukak-klambu ada dua pemuda yang datang ke rumahnya. Sulam membawa sebuah ringgit emas dan Dower membawa kerbau untuk melengkapi dua rupiah perak yang telah dibawanya. Dalam hati Nyai Kartareja ingin memiliki ringgit emas sekaligus semua yang dibawa Dower. Siasat licik Nyai Kartareja dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini bukak-klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah keinginannya memperoleh sebutan sebagai pemuda yang mewisuda ronggeng Srintil. Virgin atau tidak virgin ronggeng yang ditidurinya menjadi naïf Dower.
da
tengik. Baiklah, aku mau tidur di sini. Aku pun telah lelah dan (Ahmad Tohari, 2003: 76) Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Nyai Kartareja adalah seorang nenek yang pandai merayu (pandai mengambil hati orang lain). Ia seorang nenek yang serakah dan licik dengan memanfaatkan Srintil ia akan menguras kekayaan laki-laki yang mendekatinya. Berdasarkan sifat atau karakter yang dimiliki oleh Nyai Kartareja. Tokoh Nyai Kartareja dikategorikan sebagai tokoh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antagonis. Perwatakannya tidak mengalami perkembangan sepanjang alur cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
4) Latar atau setting Latar atau setting adalah merupakan suatu tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana
dalam
cerita. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Setting sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraiakan satu persatu setting yang ada dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk ini. Setting tersebut meliputi: setting tempat, setting waktu, dan setting sosial. (a) Setting Tempat Novel Ronggeng Dukuh Paruk ada beberapa tempat yang menjadi setting cerita. Cerita ini terjadi di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk bisa dikategorikan sebagai setting primer. Dukuh Paruk dihuni dua puluh tiga rumah
semuanya adalah orang-orang seketurunan Ki
Secamenggala. Dukuh Paruk merupakan pemukiman yang sempit dan terpencil. Kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan selalu menyertai Dukuh Paruk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
. Gambaran keadaan Dukuh Paruk yang amat memprihatinkan dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil ini bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangan-nya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi hamparan sawah berbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam. (Ahmad Tohari, 2003: 79) Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja
mencari
daerah
paling
sunyi
sebagai
tempat
menghabiskan riwayat keberadaannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya. (Ahmad Tohari, 2003: 79)
Selain setting primer novel Ronggeng Dukuh Paruk juga memiliki beberapa setting sekunder. Setting sekunder dalam novel ini misalnya: Pasar Dawuan, Kota Eling-Eling, dan Desa Alas Wangkal. Dalam pembahasan ini penulis hanya akan membicarakan setting sekunder yaitu Pasar Dawuan, karena Pasar Dawuan merupakan tempat pelarian Rasus setelah dirinya merasa tidak dihargai oleh Dukuh Paruk. Hal itu dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dawuan tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk terletak di sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti, pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiran orang-orang dari perkampung dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk. Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut, dan seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu. (Ahmad Tohari, 2003: 80) Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memiliki setting primer Dukuh Paruk. Semua kejadian cerita novel dari awal sampai akhir cerita bersumber di Dukuh Paruk. Novel ini juga terdapat setting sekunder yang paling dominan adalah pasar Dawuan. (b) Setting Waktu Latar waktu berhubungan dengan masal
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, dapat meliputi tahun, bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk berkisah tentang kehidupan Dukuh Paruk mulai tahun 1946. Cerita ini dumulai sejak terjadi malapetaka tempe bongkrek yang membuat anak-anak Dukuh Paruk menjadi yatim piatu. Diantara mereka yang menjadi yatim piatu yaitu Srintil dan Rasus, tokoh dalam cerita ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setting waktu dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat diperhatikan kutipan di bawah ini: Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam itu. Bangkil ampas minyak kelapa yang telah ditumbuk halus dibilas dalam air. Setelah dituntas kemudian dikukus. Turun dari tungku, bahan ini diratakan dalam sebuah tampah besar dan ditaburi ragi bila sudah dingin. Besok hari pada bungkil ampas minyak kelapa itu akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe bongkrek. Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk. (Ahmad Tohari, 2003: 21) Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit. Atau tangis orang-orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau bunga sedap malam dikalahkan oleh asap kemenyan yang mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan. (Ahmad Tohari, 2003: 31) Novel ini diawali dengan kemunculan anak-anak Dukuh Paruk seperti: Rasus, Warta, Darsun, dan Srintil. Namun yang sebenarnya sebenarnya cerita ini dimulai sejak terjadi malapetaka tempe bongkrek di Dukuh Paruk. Saat itu tokoh utama Srintil masih bayi. Penulis menuturkan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flash back (kilas balik). Diketahui dalam cerita tersebut Rasus masih berusia sekitar tiga tahun. Hal itu dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tetapi orang akan sia-sia menyampaikan pengetahuan ini ke Dukuh Paruk. Di sana orang begitu yakin asam tembaga adalah satu-satunya penyebab racun bongkrek. Demikian, dengan menghindarkan perkakas tembaga, orang Dukuh Paruk masih membuat tempe bongkrek. Jadi petaka yang terjadi ketika Srintil bayi (kata nenek aku berusia tiga tahun saat itu) bukan musibah pertama, bukan pula yang terakhir. (Ahmad Tohari, 2003: 33) Cerita
novel
Ronggeng
Dukuh
Paruk
diakhiri
dengan
kepulangan Rasus setelah bertugas dari Kalimantan. Ia mendapati Srintil dalam keadaan hilang ingatan. Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 70-an. Jadi diperkirakan Setting waktu yang terjadi dalam cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk berakhir sekitar tahun 70-an. Keterangan tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Februari 1971 adalah mangsa kesanga dalam pranata mangsa yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangat panas. Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan, mematahkan pelepah pisang, dan mematahkan batang bamboo muda. Di sawah tanaman padi yang sedang berbunga melewati saat kritis. Penyerbukan bisa gagal karena angin yang terlalu kencang. Bila hujan turun, curahnya jatuh dalam butiran-butiran besar. (Ahmad Tohari, 2003: 371) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setting waktu pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dimulai tahun 1946. Pada waktu itu terjadinya musibah tempe bongkrek dan cerita novel ini diakhiri pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tahun 70-an, bahkan data pendukung secara eksplisit disebutkan pada tahun 1971 dalam novel tersebut. (c) Setting Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan. Kehidupan masyarakat dalam cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah suasana kemelaratan, kebodohan, dan keterbelakangan. Keterbelakangan mengenai pendidikan yang dialami oleh tokoh cerita seperti Srintil dan Rasus juga anak-anak Dukuh Paruk lainnya. Gambaran tentang keterbelakangan pendidikan dapat di perhatikan dalam kutipan berikut ini: Hubungan dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai hubungan pribadi daripada sebagai hubungan antara seorang tobang dan seorang sersan. Dia banyak bertanya tentang diriku, asal-usulku, bahkan sekolahku. Dia mangajariku menulis dan membaca setelah mengetahui aku tak pernah bersekolah. Berbagai
kisah
seorang
tentara
pelajar
yang
karena
keberaniannya dapat membunuh tiga serdadu musuh dalam suatu
pertempuran.
(Ahmad
Tohari,
2003:
94). Hanya
diperlukan waktu seperempat jam dari kota Eling-Eling ke daerah berhawa sejuk di kaki gunung di sebelah utaranya. Bajus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membelokkan mobilnya ke halaman sebuah vila mungil yang ternyata kemudian sudah disewanya. Srintil diajaknya masuk. Di ruang istirahat penunggu vila sudah menyiapkan minuman serta buah-buahan. Srintil diberitahu di mana dia bisa beristirahat, dan dimana letak kamar mandi. Bajus langsung kelihatan sibuk mengeluarkan map dan buku agenda. Sebuah pemutar pita kaset diambil dari kamar lalu Srintil diajari bagaimana menghidupkannya. Majalah-majalah disodorkan dan Bajus lupa atau tidak mengerti bahwa Srintil buta huruf. (Ahmad Tohari, 2003: 374) Kemelaratan juga terlukis jelas pada Dukuh Paruk. Tidak hanya pada keluarga Sakum, tapi kemiskinan itu dimiliki oleh semua orang Dukuh Paruk. Pada waktu sayembara bukak-klambu, terbukti tak satupun orang Dukuh Paruk yang berani mengikuti sayembara itu. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tidak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini:
-laki Dukuh Paruk akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya (Ahmad Tohari, 2003: 52) Novel ini menggambarkan peristiwa pada tahun 60-an dimana keadaan masyarakat tidak aman. Banyak terjadi perampokan. Untuk orang-orang yang kaya merasa terganggu, kecuali untuk orang-orang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dukuh Paruk karena miskin, kecuali untuk ronggeng Dukuh Paruk. Suasana pada tahun 60-an yang tidak aman dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Tahun
1960
wilayah
Kecamatan
Dawuan
tidak
aman.
Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai terasa takut. Mulai tepikir olehku, apakah sudah tiba saatnya bagiku kembali ke Dukuh Paruk? Aku berharap para perampok tidak tertarik pada pedukuhan itu karena letaknya yang berada di tengah sawah. Menurut perhitunganku, andaikata terjadi perampokan di sana, polisi gampang mengepungnya. (Ahmad Tohari, 2003: 90) Cara berpikir dan bersikap warga Dukuh Paruk karena keterbelakangannya sehingga terbawa arus politik tanpa mereka sadari. Kesenian ronggeng dimanfaatkan salah satu organisasi politik dengan teknik adu domba. Waktu itu warga Dukuh Paruk mendapati cungkup Ki Secamenggala dalam keadaan rusak. Warga menduga Bakar pelakunya. Ia harus bartanggungjawab akan kejadian ini. Bakar adalah salah satu tokoh PKI yang merasa ditolak kehadirannya oleh Dukuh Paruk. Kemampuan Bakar untuk melabuhi warga Dukuh Paruk dapat berhasil. Untuk dapat menguasahi kembali Dukuh Paruk Bakar membuat kegaduhan yang ditujukan kepada kelompok caping hijau. Dalam situasi marah dan ingin menuntut pertanggungjawaban Bakar, justru berbalik setelah warga menemukan caping barwarna hijau.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Caping itu ada tulisan tertentu, orang Dukuh Paruk tak bisa membacanya.
Karena
kebodohannya
orang
Dukuh
Paruk
menyimpulkan sendiri bahwa pemilik caping hijau adalah organisasi politik yang lain. Kemudian Dukuh Paruk bersatu kembali dengan Bakar. Setelah peristiwa tersebut Bakar semakin leluasa menggunakan ronggeng Dukuh Paruk dalam melancarkan tujuannya. Dukuh Paruk yang bodoh tidak tahu bahwa mereka telah masuk perangkap. Harihari berikutnya kesenian ronggeng selalu dilibatkan dalam rapat-rapat akbar. Keadaan ini membawa orang-orang Dukuh Paruk dalam kesulitan
besar.
Dukuh
Paruk
dalam
penderitaan
yang
berkepanjangan. Suasana Dukuh Paruk setelah peristiwa politik tahun 1965 dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin menyertakan kecemasan yang meluas. Anjing-anjing liar yang beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang tidak diurus secara layak. Angin membawa bau bangkai. Dini hari di langit timur muncul tanda keperkasaan alam. Lintang kemukus menggaris langit dengan ujungnya yang runcing kemilau. Suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat. Dan letupan bedil sekali-kali. (Ahmad Tohari, 2003: 238-239) Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah keadaan
masyarakat yang miskin, bodoh dan keterbelakangan sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bersikap. Sehingga menjadi korban
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kekacauan
politik
yang
akhirnya
membawa
penderitaan
berkepanjangan semua warga Dukuh Paruk.
5) Poin of View Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik, siasat untuk menyampaikan gagasan cerita. Sudut pandang yang digunakan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk menampilkan tokoh dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan cara seperti dibawah ini. Kutipan yang menjelaskan pendapat tersebut: Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Sepanjang malam itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya. Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apapun, baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk. Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Dia ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet. (Ahmad Tohari, 2003: 105)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ahmad Tohari dalam menggunakan sudut pandang yaitu pesona menyebut nama tokohnya, sehingga posisi pengarang ada diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya.
b. Struktur Novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa 1) Tema Novel Sinden Novel Sinden kaya Purwadmadi Admadipurwa mengambil tema sosial budaya perjuangan wong cilik sebagai sinden. Desa Sumberwungu merupakan desa miskin dengan keadaan kering dan tandus hidup dalam penindasan penguasa. Desa ini banyak menghasilkan sinden kondang. Dalam novel ini juga dilukiskan prinsip keluhuran seorang sinden yang memegang tatakrama untuk mewujudkan sinden sejati. 2) Alur atau Plot Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel Sinden
menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun
secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita, meskipun sedikit adanya penuturan kisah Nyai Estu waktu berguru dengan Nyai Larasmadu mengenai sinden sejati dengan cara flash back (kilas balik). .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). Urutan peristiwa yang terjalin dalam plot novel Sinden sebagai berikut: (a) Tahap Paparan (Eksposisi) Tahap paparan atau eksposisi pada novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa yaitu tahap dimana pengarang mulai untuk memperkenalkan tempat terjadinya cerita, waktu, tokoh-tokoh cerita dan permasalahan dalam cerita sebagai sumber konflik. Awal cerita diceritakan tentang kehidupan di Sumberwungu lengkap dengan gambaran alam dan kehidupan rakyatnya. Tahap paparan atau eksposisi pada novel
Sinden karya Purwadmadi
Admadipurwa yaitu tahap dimana pengarang mulai memaparkan cerita perjuangan Tumi ingin menjadi seorang sinden yang kondang. Menjadi
Sinden
merupakan
penghargaan
besar
untuk
desa
Sumberwungu. Tumi berlatih pada Nyai Estu. Melalui Nyai Estu Tumi dibimbing dan diberi petuah yang baik untuk menjadi sinden yang bermartabat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) Tahap Rangsangan ( Inciting Moment) Tahap Rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problemproblem yang ditampilkan dalam cerita oleh pengarang yang kemudian dikembangkan yang mengarah peningkatan terjadinya konflik. Berawal dari lurah Ponco melamar Tumi untuk anaknya. Namun lamaran lurah Ponco ditolak oleh Tumi. Tumi tidak mencintai Rudito anak lurah Sumberwungu yang mempunyai tabiat tidak baik yaitu suka mabuk, judi dan main perempuan. Tentu saja penolakan lamaran lurah Sumberwungu membuat kekecewaan di hati Ponco. (c) Tahap Penggawatan (Rising Action) Tahap penggawatan adalah dimana konflik cerita menjadi meningkat yaitu dimasa pemerintahan lurah Ponco menjelang tua berperangai keras. Lurah Ponco menggalang kaum pemuda pemudi untuk dilatih fisik dan mental. Para muda mudi berbaris mengelilingi desa sambil menyanyikan lagu mars untuk menghina pak Mantri yang dianggap lawan politik Poncodriyo. Dan ulah Rudito yang selalu mabuk dan mengganggu Tumi. (d) Tahap Pertikaian (Comflict) Komflik semakin ruwet Rudito tengah malam datang kembali kerumah Tumi dengan keadaan terluka parah darah bersimbah keseluruh tubuh. Mendengar orang merintih di tengah malam Karto keluar rumah setelah melihat keadaan itu Karto panik teringat putrinya yang sampai tengah malam belum pulang. Karto membiarkan Rudito,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karto membawa obor menuju rumah Nyai Estu ingin mencari Tumi yang berlatih sinden tapi tidak pulang. Peristiwa itu diceritakan pada Nyai Estu. Akhirnya ketiga orang itu menuju rumah Tumi. Rumah Karto ternyata kosong Rudito hilang tak tahu kemana ditabuhnya tanda bahaya sehingga para tetangga ramai-ramai menuju rumah
Karto.
Peristiwa itu segera dilaporkan
ke kelurahan
Sumberwungu. Akhirnya Kartosemedi ditangkap Mangundarmo atas perintah Ponco. Kartosemedi dituduh membunuh Rudito dan mayatnya disembunyikan. Karto menerima siksaan dan hinaan dibalai desa bahkan hampir saja disayat oleh para pemuda untung tentara dari agen repin datang Karto bebas dari siksaan kemudian dibawa untuk ditahan. (e) Tahap Perumitan (Complication) Poncodriyo marah besar, sehabis rapat dari kecamatan, malam itu juga Mangundarmo mengumpulkan para pamong desa dibalai desa Sumberwungu. Rapat dilakukan secara tertutup dihalaman pendopo dijaga ketat oleh para pemuda. Rapat berisi arahan dari lurah Poncodriyo bahwa hilangnya Rujito bukan kriminal biasa tetapi merupakan gerakan politik yang ingin mendongkel kekuasaan Poncodriyo untuk itu setiap malam para pamong harus piket untuk menjaga
gerakan
lawan
dan
rakyat
Sumberwungu
diminta
mengadakan gerakan merebut tanah milik tuan tanah, penguasa, untuk dapat dikerjakan para petani yang tidak punya tanah demi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mewujudkan kemakmuran yang merata atas perintah Poncodriyo. Dalam waktu dekat setiap pamong diminta memberikan laporan tertulis para penguasa tanah kepada Poncodriyo. Dalam pertemuan itu pamong desa Kasan Ikromo selaku jagabaya mengundurkan diri karena tidak setuju dengan Poncodriyo. Setelah selesai rapat para pamong itu diantar oleh para pemuda satu persatu sampai rumah masing-masing. Agen Repin dengan Peltu Sudiro sudah tahu tentang permainan Poncodriyo, Mangunsarkoro di desa Sumberwungu. Karena desa itu sudah menjadi pengawasan pihak Kabupaten Argalaksa. Permainan politik yang dijalankan Poncodriyo dan kawan-kawan. Tarman dipanggil untuk dimintai keterangan atas tuduhan penganiayaan Sular, ia datang sambil menengok Karto membawakan bungkusan nasi untuk Kartosemedi titipan dari Tumi. Tarman berbicara dengan Agen Repin dan Pak Dandis. Mangun mengadukan Tarman atas nama keluarga Pak Pawiro ayah Sular, pemuda yang mengeroyok Tarman. Mangunsarkoro juga melaporkan Karto dengan dua perkara yaitu pembunuhan Rudito dan penganiayaan Mangun waktu dibalai desa. Tarman dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Agen Repin atas pengaduan Mangun. Sehabis diperiksa Tarman diajak Pak Repin ke TKP malam itu juga. Tarman bingung kemana arah dan tujuan yang dimaksud, diluar dugaan Tarman tempat yang di tuju adalah rumah Pak Pancar petani kaya di desa Jetis Kecamatan Semugih. Di rumah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pak Pancar ternyata telah berkumpul Pak Thohir, Gendon Supanji dan Renggo Baskoro tokoh seni dan Politik Argalaksa.
Ada agenda
penting rapat ini yaitu membuat serangan balik atas aksi orang-orang Mangundarma.
Untuk
melindungi rakyat
dan mengembalikan
kekuatan spiritual yang akan dipimpin Pak Thohir dan Gendon, gerakan seni oleh Romo Renggo Baskoro, gerakan hukum akan diatur dengan minta bantuan Agen Repin, mobillisasi massa oleh Tarman. Gerakan tani oleh pak Mantri yang penting kita tidak akan mencari permusuhan, kita hindarkan konflik bersama. Sebab hilangnya Rudito merupakan pematik api, tapi api tidak menyala. Karto dan Gendon diharap yang membunuh Rudito agar rakyat marah dan mengamuk , kemudian Rudito dibunuh oleh Mangun sendiri agar rakyat percaya. Mangun yang kejam, licik, memperalat Poncodriyo namun tidak menyadarinya. Untung Rudito ada ditangan kita, jadi aman kita. Dilain
fihak
Mangundarmo
gelisah
menghadapi
lawan
politiknya. Karena Rudito yang disembunyikan di Misuwur Budaya Hilang. Seni kethoprak Tobong
Misuwur Budoyo dimanfaatkan
Mangun dalam berpolitik. Pimpinan Misuwur Budoyo Nyai Suparni wanita simpanan Mangundarmo diberi harapan untuk menjadi Lurah di Sumberwungu. Selain Nyai Suparni dibantu, Romo Pus (penulis cerita) dan Johan (ahli pembuat trik). Room Pus punya rencana jahat ingin mengadu rakyat dengan laskar Poncodriyo dalam penampilan cerita malam berikutnya. Harapannya rakyat akan menyerang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Misuwur Budoyo kemudian lascar Poncodriyo membalaskannya, sehingga kekuatan Poncodriyo akan berkurang. Tahap perumitan terjadinya peristiwa hilangnya Rudito dan ditangkapnya Karto Semedi yang dituduh menghilangkan nyawa Rudito.
Karto Semedi ditahan. Lurah Poncodriya menggalang
kekuatan bersama Mangundarmo. Para pamong desa dipersiapkan untuk mengadakan gerakan merebut kembali tanah-tanah yang dikuasai oleh tuan tanah. Pengadaan jam malam. Juga mundurnya Kasan Ikromo dari jogoboyo . (f) Tahap Klimaks atau penggawatan (Climax) Tahab klimaks terjadinya pergolakan politik dengan ditandai adanya berita dari Jakarta bahwa keadaan tidak menentu maka dari itu diadakan jam malam dan semua kantor dibekukan sampai menunggu perkembangan. Keadaan tidak menentu Karto hilang dari tahanan. Tumi, Nyai Estu, Kasan Ikromo yang dipanggil polisi untuk dimintai keterengan sehubungan dengan penahanan Kartosemedi. Sampai ditempat penahanan diketahui keadaan tidak menentu Karto hilang dari tahanan. Akhirnya ketiga orang tersebut disuruh kembali naik truk menuju Sumberwungu. Keadaan desa Sumberwungu semakin tak menentu banyak penangkapan tokoh-tokoh desa seperti; Ponco, Mangun, Nyai Suparni, Margonocarito para pemuda hilang entah kemana. Banyak rakyat yang ditangkap tidak tahu apa salahnya. Partai besar yang ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekarang mlempem. Banyak rakyat kawatir kalau dianggap simpatisan partai terlarang itu. Dibubarkannya ketoprak tobong yang menjadi alat propaganda Mangundarmo. Dan
penangkapan pembersihan orang-
orangnya Poncodriya dan warga Sumberwungu yang terdaftar sebagai anggota partai terlarang. (g) Tahap Peleraian (Falling Action) Tahap peleraian terjadi adanya peristiwa pergantian pejabatan lama dengan pejabat baru yang ada di Sumberwungu. Pejabat lama pada
waktu
pemerintahan
Poncodriya
dan
Mangundarmo
diberhentikan karena mereka ternyata pengikut partai terlarang.Pak Mantri,
Guru tarman dinobatkan sebagai
pimpinan baru di
Sumberwungu. Akan mengembalikan kehidupan rakyat yang telah dibelokkan oleh Mangundarmo. (h) Tahap Penyelesaian (Denouement) Tahap penyelesaiannya setelah terwujudnya pemerintahan baru Tumi ingin meneruskan cita-citanya menjadi sinden ternama. Atas saran Nyai Estu agar cita-citanya dapat berhasil Tumi membutuhkan pendamping hidup yang mampu mengayominya. Tumi kemudian dikawinkan dengan Raden Renggo Baskara tokoh seni di Argalaksa. Karena Renggo Baskoro salah satu pejabat Argalaksa maka pernikahannya dilaksanakan dengan mewah dihadiri oleh bupati Argalaksa. Tumi bergelar Renggamanis. Hasil dari perkawinannya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tumi yang berganti nama Renggamanis mendapatkan seorang putra bernama Tuwuh .
3) Penokohan Novel Sinden memiliki banyak tokoh. Berdasarkan perannya dalam sebuah cerita dalam novel terbagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh penting saja yang memegang peranan besar dalam novel Sinden Tokoh utama protagonis dalam novel Sinden
adalah: Tumi.
Sedangkan tokoh protagonis tambahan dalam novel ini adalah Gendon Supanji, Kartosemedi, Nyai Estu Suminar, Minten (ibu Tumi), pak Mantri, Tarman, Ki Ageng Dipo Badranaya, pak Thohir, pak Dandis, Nyai Larasmadu, Kasan Ikromo, Peltu Sudiro, RM. Dinu, Renggo Baskoro. Tokoh antagonis adalah Rudito, Raden Poncodriyo, Mangundarmo, sedangkan tokoh antagonis tambahan adalah: Margono Sucitro, nyai Suparmi, Romo pus. Berdasarkan perannya tokoh-tokoh tersebut akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut: (a) Tumi Tumi merupakan tokoh utama perempuan dalam novel Sinden. Tumi adalah perempuan Sumberwungu bercita-cita menjadi sinden. Tumi perempuan lugu. Keluguan Tumi tergambar dalam kutipan di bawah ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
-curi pandang saat saya latihan
-
-menjep kearah sana kearah sini. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 13) Secara fisik Tumi digambarkan sebagai perempuan yang cantik mempesona. Ia memiliki kulit lebih cerah dari diantara perempuan Sumberwungu. Gigi gingsul, dan punya lesung pipi, gambaran perempuan cantik. Gambaran fisik Tumi
terlihat dalam kutipan
berikut ini: Disamping kulitnya lebih cerah, sedikit gingsul giginya, sedikit lesung pipinya, menambah rona kecantikannya. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 102) Tumi adalah seorang perempuan yang berpendirian kuat. Mereka tidak mudah tunduk dengan pria ganteng, kaya, dan anak penguasa. Untuk menentukan pilihan hidupnya tumi mempunyai prinsip tersendiri. Kutipan di bawah ini menggambarkan pendirian kuat dari Tumi: Tumi sama sekali tidak menaruh perhatian pada Rudito, anak lurah penguasa Sumberwungu itu. Memang banyak gadis yang ingin dipersunting Rudito yang ganteng, kaya, berkuasa. Tapi Tumi tidak. Sama sekali tidak. Hanya saying Rudito selalu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengejar-ngejarnya. Rudito pemuda yang sudah waktunya kawin tetapi belum juga mendapat jodohnya. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 102) Tumi juga seorang anak yang mandiri. Karena didikan Ayahnya Kartosemedi
yang hidup menduda sehingga Tumi membantu
ayahnya. Menyiapkan kebutuhan hidupnya, menata rumahnya, bahkan membantu ayahnya keladang. Semua itu bentuk tanggung jawab Tumi terhadap ayahnya. Kemandirian Tumi dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya yang mungil hingga menjadib rapi. Di halaman ada taman kecil dengan bunga bakung dan ceplok piring. Alau musim penghujan tumbuh juga kembang kertas dan bunga matahari. Di pembatasan pekarangannya, tumbuh berbagai
tanamanyang
dijadikan
sumberpendapatan
Kartosemedi. Pekarangan menjadi tampak teduh, rimbun dan terjaga kesejukannya. Tumi tumbuh menjadi gadis yang mengerti kebutuhan dirinya. Kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan menyiapkan masa depan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 14) Tumi juga bukan berpendidikan cukup karena lulusan SR. Meneruskan ke SMP swasta saja berhenti di tengah jalan. Tumi sudah bulat ingin menjadi seorang sinden. Pernyataan Tumi ini dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meski tak terlalu pandai Tumi dapat menyelesaikan sekolah SR Sumberwungu. Ia memang tak lulus dalam ujian Negara dan karenanya hanya bisa melanjutkan ke sekolah SMP Swasta. Tapi itu hanya ditempuh seraruh jalan karena Tumi lebih
ingin
menekuni dunia sinden yang lebih menarik hasrat hatinya. Sejak dua tahun terakhir, Tumi tidak masuk sekolah. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 15) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tumi seorang tokoh yang cantik penuh pesona. Tumi perempuan yang penuh percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip. Berdasarkan sifatnya, Srintil dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Tumi juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh Tumi mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Tumi yang diwaktu belia sangat manja setelah dewasa menjadi pribadi yang mandiri. (b) Nyai Estu Nyai Estu wanita janda keturunan ningrat adik penguasa Sumberwungu merupakan guru sinden sejati. Nyai Estu istri Dalang Dipocarito yang sekarang mengambil istri Minten mboknya Tumi. Walaupun maru tetapi meraka saling menyayangi Tumi. Dengan peristiwa tersebut Nyai Estu mematuhi petuah gurunya Nyai Larasmadu. Bahwa dirinya harus mengembalikan citra sinden yang telah dihancurkan oleh segelintir orang. Sinden suka kawin cerai, Sinden menjadi wanita simpanan kebanyakan orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lewat Nyai Estu Sumirat mencoba untuk menjadi guru yang baik, selain memberikan contoh juga menanamkan prinsip sinden sejati kepada Tumi muridnya. Semua petuah Nyai Estu dapat dicermati pada kutipan di bawah ini: Kartosemedi menginginkan anak gadisnya dapat mencapai cita-citanya sebagai sinden sekaligus mebrantas tradisi kawin cerai yang dialami banyak pesinden. Seperti pesan
Kalau kamu kawin sekali saja. Disamping itu, bersetialah kepada
suamimu
satu-satunya
Admadipurwa, 2007: 17) Nyai Estu wanita penuh wibawa karena keadaan dirumah Kartosemedi tak menentu, maka terpaksa Nyai Estu mengendalikan warga yang mulai gaduh membicarakan hilangnya Rudito. Ketegasan Nyai Estu membuat semua orang diam dan menurut. Gambaran kewibawaan Nyai Estu terlukis pada kutipan dibawah ini:
termasuk orang tuanya Rudito, ia keponakan saya. Kita harus bertindak dewasa dan tidak emosional. Kita tidak mempunyai kewajiban menyelidiki semua ini. Polisi yang akan bertindak. Tugas kita, pertama, amankan lokasi ini. Kedua,
Kang
Karto jangan
pergi
sampai
dimintai
keterangan. Ketiga, harus ada yang mencari Gendon. Keempat, harus ada yang melapor ke kelurahan malam ini juga. Kelima, kalau ada yang berani, cari ditempat-tempat
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 62)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nyai Estu setelah dicerai dalang Dipocarito masih tetap menyendiri. Prinsip untuk setia pada suaminya kuat seperti yang diajarkan pada murid-muridnya. Prinsip kuat Nyai Estu untuk tidak kawin lagi, banyak lelaki yang menggodanya dengan iming-iming harta dan emas namun Nyai Estu tidak bergeming. Prinsip Nyai Estu untuk tetap setia dapat dipahami lewat kutipan berikut ini : Nyai Estu setelah dicerai Dalang Dipocarito tidak lagi mau meningkah. Mesti kehidupan sebagai pesinden yang janda justru sangat menyulitkannya. Banyak laki-laki yang menggoda. Tidak hanya dengan rayuan gombal, tetapi dengan uang banyak dan
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 17) Nyai Estu Suminar berpendirian kuat tidak mau di pengaruhi siapapun. Meskipun ia kakaknya sendiri. Nyai Estu juga orang baik tidak mau menyalah gunakan keahliannya untuk perbuatan merugikan orang lain. Prinsip Nyai Estu kuat dan baik dapat dipahami lewat kutipan berikut ini : `
Bahkan
Nyai
Estu
sendiri
telah
berkali-kali
diminta
Poncodriyo untuk datang kekelurahan dan melatih kesenian para perempuan yang dikumpulkan di sana. Estu menolak, karena baginya kesenian bukan untuk melukai orang lain, bukan untuk menyakiti pihak lain. Kesenian untuk kedamaian dan
ketentraman
serta kebaikan
Admadipurwa, 2007: 45)
commit to user
sesama.
(Purwadmadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keyakinan Nyai Estu Suminar untuk tetap tidak menikah lagi, pernah bimbang. Namun perasaan itu segera dapat di atasi dengan memegang prinsip hidup untuk tidak akan menikah lagi. Banyaknya rayuan dan godaan laki-laki kadanghanya didasarkan atas nafsu dan keinginan untuk memiliki kekayaan, bukan berdasarkan ketulusan cinta. Prinsip Nyai Estu untuk tetap setia tergambar lewat kutipan berikut ini : Estu iklas menjalani hidup kesendiriannya dengan tenang. Sesekali masih dipenuhi permintaan menyinden. Termasuk menyindeni Dipocarito dalam pagelarannya. Estu mencoba bersikap dewasa dan realistis. Ia putuskan hidup sendiri hingga akhir hayat. Pernah juga hinggap dalam pikiranya untuk menikah lagi. Banyak priya yang menginginkanya untuk menjadi istri. Tidak sedikit para jejaka tulen yang melamarnya. Tapi Estu masih menangkap sinar mata dan motivasi mereka kalau tidak pada nafsu juga karena harta kekayaan Estu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 50) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Estu Suminar adalah seorang vigur perempuan yang setia, baik, berwibawa, dengan prinsip yang kuat. Nyai Estu menjadi pesinden kondang dan mampu menguasai alat musik tradisional jawa tersebut. Cita-citanya akan mengembalikan citra pesinden yang suka kawin cerai dan suka menjadi pelarian laki-laki hidung belang. Untuk mewujudkan harapannya prinsip itu ditanamkan kepada semua muridnya, termasuk Tumi. Maka Nyai Estu dijuluki guru sejati.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan sifatnya, Nyai Estu Suminar dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Nyai Estu juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh Nyai Estu mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. (c) Kartosemedi Kartosemedi adalah orang tua dari Tumi. Kartosemedi hidup menduda karena istrinya Minten seorang sinden tergoda Dalang Dipocarito yang dapat membawa perubahan dalam hidupnya. Walaupun Dipocarito sudah memiliki istri Nyai Estu namun Minten terpikat karena sering menjadi sinden saat Dipocarito mendapat tanggapan. Kartosemedi adalah bapak yang sabar terhadap nasibnya, walaupun hidup menduda dengan sabar mengasuh anak gadisnya. Kesabaran Karto dapat dicermati kutipan di bawah ini: Waktu Tumi baru saja pulang dari berlatih nyinden di rumah Nyai Estu, sinden ternama. Tumi bercita-cita menjadi sinden. Wis ta, sana. Sudah gede masih suka nglendhot agak keras tapi tetap dengan senyumanya.
Elho, bapak sudah bilang sama mereka. Yang mau
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 7) Kartosemedi adalah orang yang berpendirian kuat, meskipun Karto hanyalah orang lugu seperti kebanyakan orang, namun tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mudah dipengaruhi dan dihasut diajak wira-wiri tanpa kepastian. Kartosemedi lebih senang pergi keladang. Maka Karto dianggap orang yang bodoh sehingga dianggap juga tidak mengerti soal politik yang dimainkan oleh Ponco dan Mangundarmo. Hal itu tertulis dalam kutripan dibawah ini: Banyak orang
orang yang lugu terhasut dan suka
berbarengan kesana-kemari atas nama kerjabakti dan gotong-royong. Namun, Kartosemedi tak suka mengikuti ubyang-ubyung, ramai-ramai bergerombol kesana-kemari tidak karuan. Ia lebih nikmat mengerjakan ladangnya sendiri dan tidak menyesusahkan orang lain. Ia suka-suka saja membantu tetangga mengerjakan ladang, tetapi bukan dengan gerakan masa yang pada akhirnya lebih banyak berbaris atau menyanyi mars dari pada membedah tanah. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 26) Kartosemedi adalah seorang ayah yang tabah hanya karena tidak menerima lamaran Rudito anak penguasa Sumberwungu harus menerima siksaan dari penguasa. Kartosemedi menyadari kalau wong cilik tidak akan mampu melawan penguasa mereka dengan tabah menerima perlakuan Poncodriyo dan Mangundarmo. Ketabahan Kartosemedi dapat diketahui melalui gambaran kutipan berikut ini: Mangun
tampaknya
mulai
menggunakan
teori
lama.
Pesakitan yang tidak mengaku atau membuka imformasi, harus dianiaya. Pesakitan memang untuk disakiti. Karto mencoba tabah. Mudah-mudahan, piker dan harapnya dalam hati, Mangun tidak akan menganiaya lebih jauh. Meski begitu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 76) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kartosemedi adalah seorang tokoh yang sabar, tabah, mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Kartosemedi seorang bapak yang baik dan bertanggung jawab. Walaupun Kartosemedi hidup menjanda, ia mampu membawa anaknya dalam mencapai kesuksesan atas citacitanya. Berdasarkan sifatnya, Kartosemedi dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Kartosemedi
juga termasuk tokoh tidak berkembang.
Watak tokoh Kartosemedi tidak
mengalami perubahan dan
perkembangan. (d) Poncodriyo Poncodriyo adalah keturunan ningrat yang memerintah sebagai kepala Desa Sumberwungu. Cara kepemimpinan Poncodriyo sudah terlihat sejak masih muda, karena para leluhurnya adalah lurah dari Sumberwungu. Kepemimpinan Ki Poncodriyo berubah perangainya kereas setelah Poncodriyo tua. Poncodriyo inginlebih meningkatkan kedudukannya melalui kesanggupannya mendukung partai garis keras yang menjajikannya. Keberingasan Ponco sudah tak memperdulikan rakyat dalam kegiatan politik dan pemerintahannya. Sikap tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah iuni: Sekarang sandang dan pangan sudah terasa mulai sulit didapatkan oleh rakyat. Mereka harus antri gaplek, minyak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanah, susu prongkol, dan disuntik antimalaria. Tampaknya, Ponco
dan
Mangun
membiarkan
rakyatnya
miskin.
Memiskinkan rakyat memang program Ponco demi ambisi
Ponco yang sampai ke telinga Tarman.
(Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 71) Poncodriyo penguasa yang mempunyai niat jahat dalam berpolitik. Dalam pemerintahannya semakin hari semakin tambah watak
kerasnya.
Niat
jahat
Poncoterhadap
lawan
politiknya
dipersiapkan dengan matang. Para pemuda desa dikumpulkan dan dilatih beladiri, perang-perangan dan baris-berbaris layaknya pasukan perang. Kegiatan Poncodriyo tersebut dapat dicermati kutipan berikut ini: Setiap kali pulang up grading, selalu tambah watak kerasnya. Juga semakin sering mengumpulkan orang-orang samopai larut malam. Bahkan Poncodriyo mulai melatih pemuda-pemuda dengan ketrampilan beladiri, perang-perangan, dan berbaris. Setiap pagi di depan rumah tinggalnya, dekat balai desa, banyak anak muda berltih di sana sambil nyanyi mars. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 27)
Kekejaman Ponco tidak hanya berhenti disitu terhadap lawan politik atau yang menentangnya. Ia telah mempersiapkan tehnik yang tepat. Kegiatan tersebut selain baris, beladiri, Ponco juga telah memepersiapkan pemakaman ternadap korbannya agar tidak diketahui
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang. Tindakan Poncodriyo tersebut tergambar pada kutipan berikut ini: Gendon sengaja lewat jalan yang berbeda. Terlihat olehnya, di belakang rumah Ponco sedang dilakukan penggalian sumur yang cukup dalam. Juga tengah digali sebuah liang lebar yang cukup dalam. Konon, lubang itu untuk kolam aair yang akan ditebari ikan. Tapi Gendon merasakan sesuatu yang aneh, mana mungkin memelihara ikan harus menggali sedemikian dalam ? (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 38) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak lurah Poncodriyo adalah cerdik, licik, dan sombong. Sifat sombongnya terlihat ketika ia menerima Gendon dib alai desa. Ia juga seorang yang cerdik dalam menghasut hati rakyat hamper seluruh rakyat 72 % mendukung partai terlarang tersebut. Berdasarkan sifat tokoh, Poncodriyo bisa dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Poncodriyo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh yang berkembang perwatakannya. Setelah Poncodriyo keluar dari penjara terlihat diam . (e) Mangundarmo Mangundarmo
adalah
tokoh
yang
mampu
memerankan
peranpolitiknya. Ia mampu memainkan lurah Poncodriyo demi ambisi cita-citanya. Bahkan ia mampu membisikan rencana-rencana jahatnya kepada
Poncodriyo.
Poncodriyo
tidak
menyadari
kelicikan
Mangundarmo. Mangundarmo seorang yang kejam, bengis serasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Kelakuan Mangundarmo yang tanpa kemanusiaan tercermin dari kutipan berikut ini: Karto tetap diam dan merunduk. Ia memang tak merasa lapar. Seandainya ada makanan enak ia tak begitu berselera. Tapi sungguh, Karto sangat terkejut ketika piring nasi itu diletakan Mangun di lantai. Persis di depan Mangun duduk di dingklik panjang. putih yang semula di cangkir kaleng ke piring nasi. Air mengucur
Karto melihat kea rah nasi dipiring itu. Kaki Mangun menyepak piring dan piring kaleng itu meluncur di atas permukaan lantai pendapa maju kencang kearah Karto. Ada nasi yang rontok ke lantai. Piring berhenti ketika membentur kaki Karto. Sejumlah butir nasi rontok berceceran di lantai, namun tempe goreng masih btergeletak indah diatas nasi yang sudah berkubang digenangan air putih. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 81) Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa watak
Mangundarmo adalah cerdik, licik, dan kejam. Kelicikannya dapat memperalat Poncodriyo untuk mencari kedudukan. Kejahatannya untuk memusnahkan lawan politiknya. Berdasarkan sifat tokoh, Mangundarmo bisa dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Mangundarmo juga dapat dikategorikan sebagai
tokoh
tidak
berkembang
perwatakannya.
Mangundarmo ditangkap tidak pernah kembali lagi.
commit to user
Setelah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Latar atau setting Latar atau setting adalah merupakan suatu tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan suasana dalam cerita. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Setting sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi.. Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas satu persatu setting yang ada dalam cerita Sinden ini. Setting tersebut yakni: setting tempat, setting waktu, dan setting sosial. (a) Setting Tempat Dalam novel Sinden ada beberapa tempat yang menjadi setting cerita. Secara umum, cerita ini terjadi di Desa Sumberwungu. Desa Sumberwungu bisa dikategorikan sebagai setting primer. Desa Sumberwungu adalah desa yang subur dari diantara desa sekitar, namun pada peta kabupaten terdaftar sebagai desa miskin kecamatan Semugih kabupaten Argalaksa Yogyakarta. Gambaran bisa dicermati dalam kutipan ini: Humus dan pupuk
kandang menjadi penyubur tanah yang
hebat. Meski begitu, dalam peta kemiskinan, Sumberwungu tergolong desa miskin yang tandus. Kemiskinan dan ketandusan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak jadi penghalang anak-anak gadis belajar menjadi sinden. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 9) Keadaan desa Sumberwungu merupakan tempat pemukiman wilayah yang banyak mencetak para sinden. Seolah-olah desa Sumberwungu merupakan tempat untuk mencetak para sinden. Tampaknya, bentang alam Sumberwungu sendiri memerlihatkan rahmat tak terkira, tempat yang dipahat sangat khusus untuk keperluan berlatih menyinden. Bentang alam yang dikelilingi bukit-bukit kecil, dibelah sebuah (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 9) Selain setting primer novel Sinden juga memiliki beberapa setting sekunder. Banyak setting sekunder dalam novel ini misalnya: Argosari, Semugih. Dalam pembahasan ini penulis hanya akan membicarakan
setting
Semugih.
Karena
Semugih
temapat
Kartosemedi ditahan dan Semugih sebagai kota kecamatan. Jalan setapak itu nanti akan sampai dibelakang Kantor Distrik Polisi Semugih. Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak bercakap-cakap. Mereka berjalan beriringan. Kasan Ikromo di depan, disusul Nyai Estu dan Tumi. Oleh karena berharap bisa bertemu bapaknya. Tumi membawa sepasang baju ganti untuk Karto, sebungkus makanan ala kadarnya yang dibeli diwarung didekat perempatan jalan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 255-256)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) Setting Waktu
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, dapat meliputi tahun, bulan, hari, tanggal, jam, atau saat yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Novel Sinden berkisah tentang kehidupan Sumberwungu mulai tahun 60-an samapai sekitar pergolakan partai terlarang yang puncaknya
tahun
1965.
Tanda-tanda
terlukis
dalam
naskah
diantaranya gambaran zaman pegaber, adanya kegiatan Lurah Poncodriyo seperti kegiatan baris berbaris, membuat kolam dalam pekarangan, kegiatan tersebut disinyalir kegiatan pada era timbulnya PKI. Adanya penghilangan para tokoh partai terlarang dan penangkapan pengikut partai terlarang. Penulis juga menuturkan mengenai pengalaman Nyai Estu waktu berguru kepada Nyai Larasmadu yang kemudian ditanamkan etika untuk menjadi sinden sejati, dikisahkan dengan cara flashback (kilas balik). Mengenai awal dimulainya dan akhir dari perjuangan guru Tarman dan Pak Mantri juga tidak tertulis jelas. Kutipan di bawah ini yang
menunjukkan
setting
waktu
novel
Sinden.
Keadaan
menggambarkan Sumberwungu pada sekitar tahun enam puluhan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan gambaran zaman pegaber Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Waktu seakan cepat berlalu. Enam tahun memang waktu yang pendek. Belum hilang dari ingatan, waktu itu banyak orang mati kelaparan. Banyak warga menderita kurang gizi. Bahan pangan sulit diperoleh. gaplek berubah menjadi bahan pangan mewah. Sulit didapat. Bahkan nasi thiwul kering, gogik pun dengan mudah dapat ditukar sawah-sawah petani milik warga yang mendesak butuh bahan pangan bagi keluarganya. Terpaksa banyak warga yang makan kulit ketela yang dikeringkan dan ditumbuk halus. Diolah sederhana jadi gaber. Zaman sulit itu sering disebut pegaber. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 269) Pada waktu itu, begitu benih ditabur, tanaman mulai tumbuh, hujan tak turun lagi. Persediaan benih sudah tertanam dan persediaan pangan tak cukup lagi. Tanaman peretanian mati. Persediaan pangan menipis. Hama tikus merajalela. Tanaman diserang tikus. Mati layu dan lading kembali kering. Di jalanjalan banyak rakyat memburu pangan. Ada yang meminta-minta belaskasihan ke rumah-rumah warga yang masih mampu. Hewan-hewan ternakpun dipotong, daging sapi, kambing, ayam, bebek pun sangat murah dan biasa dibagi-bagikan. Malah disejumlah tempat tikus-tikus reewog diburu, disembelih dan dikuliti,
digoreng
didapur-dapur
umum.
(Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 270) Keadaan menggambarkan Sumberwungu pada sekitar tahun enam puluhan lima. Banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh Lurah Ponco dan kroni-kroninya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gendon sengaja lewat jalan yang berbeda. Terlihat olehnya, di belakang rumah Ponco sedang dilakukan penggalian sumur yang cukup dalam. Juga tengah digali sebuah liang lebar yang cukup dalam. Konon, lubang itu untuk kolam air yang akan ditebari ikan. Tapi Gendon merasakan sesuatu yang aneh, mana mungkin memelihara ikan harus menggali sedemikian dalam ? (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 38) Setiap kali pulang up grading, selalu tambah watak kerasnya. Juga semakin sering mengumpulkan orang-orang samopai larut malam. Bahkan Poncodriyo mulai melatih pemuda-pemuda dengan ketrampilan beladiri, perang-perangan, dan berbaris. Setiap pagi di depan rumah tinggalnya, dekat balai desa, banyak anak muda berltih di sana sambil nyanyi mars. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 27) -kawan harus waspada, jangan lengah, sebab revolusi ini hampir selesai, hampir mencapai puncak. Jangan sampai kita (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 136) (c) Setting Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat yang terdapat pada suatu tempat yang diceritakan dalam cerita fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat meliputi beberapa masalah dalam lingkup yang amat kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan. Kehidupan
sosial
kemasyarakatan
untuk
warga
desa
Sumberwungu terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli terhadap penderitaan sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
berupa
digilib.uns.ac.id
harta,
pikiran,
tindakan.
Bentuk
kepedulian
warga
Sumberwungu terhadap keluarga yang mendapat musibah, seolah-olah juga ikut merasakan penderitaan ini. Sikap warga desa Sumberwungu dapat diperhatikan kutipan berikut ini: Meski diliputi rasa was-was, malam itu sejumlah tetangga dan beberapa sanak saudara berkunjung ke rumah Karto. Mereka menemani Tumi. Nyai Estu juga berencana nginep di rumah Tumi. Mungkin inilah pengalaman Nyai Estu nginep di rumah orang lain. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192) Mereka berada dirumah Karto secara suka rela untuk memberi penguatan moril bagi Tumi agar tabah dalam menghhadapi cobaan. Akan halnya Nyai Estu sampai bersedia nginep di rumah Tumi adalah sebuah keluar biasaan. Tetangga Tumi pun merasa turut dihormati oleh Nyai Estu. Mereka bangga kepada Tumi yang mampu menarik hati perempuan yang sangat berwibawa itu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192) Dngan demikian dapat disimpulkan keadaan sosial desa Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa pamrih. Untuk para penguasa yang dilakukan kalangan Priyayi terjadi pergolakan perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Yang berakhir sapa salah seleh, sapa nggawe bakal nganggo.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5) Poin of View Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik, siasat untuk menyampaikan gagasan cerita. Sudut pandang yang digunakan pada novel Sinden yaitu pesona
dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti ia. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Sinden menggunakan cara seperti dibawah ini. Kutipan yang menjelaskan pendapat tersebut: Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya yang mungil hingga menjadib rapi. Di halaman ada taman kecil dengan bunga bakung dan ceplok piring. Kalau musim penghujan tumbuh juga kembang kertas dan bunga matahari. Di pembatasan pekarangannya, tumbuh berbagai
tanamanyang
dijadikan
sumberpendapatan
Kartosemedi. Pekarangan menjadi tampak teduh, rimbun dan terjaga kesejukannya. Tumi tumbuh menjadi gadis yang mengerti kebutuhan dirinya. Kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan menyiapkan masa depan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 14)
Purwadmadi Admadipurwa dalam menggunakan sudut pandang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya.
2. Intertekstual Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa. Hubungan intertekstual akan difokuskan dari persamaan dan perbedaan unsur-unsur struktur pembangun novel. a. Persamaan Struktur Novel 1) Tema Tema pada kedua novel mengenai sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai penari ronggeng pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sedangkan untuk novel Sinden menghadirkan tema sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai sinden. 2) Penokohan Tokoh yang ditampilkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sinden ada persamaan bila ditinjau dari perwatakan. Hal ini bisa dilihat dari tokoh utama wanita dalam kedua novel tersebut. Srintil tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kemiripan dengan tokoh utama Tumi pada novel Sinden. Tokoh utama novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil adalah seorang wanita yang cantik penuh pesona. Di usia belia Srintil perempuan yang taat baik kepada adat, orangtua, serta berkepribadian kuat pantang menyerah dalam menentukan pilihan hidup. Begitu juga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tumi tokoh novel Sinden pada usia muda cantik mempesona, taat kepada perintah orang tua dan guru, mandiri, berkepribadian kuat, prinsip hidupnya kuat dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk menjadi sinden sejati. 3) Setting Waktu Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk berdasarkan cerita terjadi antara tahun 1957 sampai berakhir tahun 1971. Dikisahkan dalam novel pada tahun 1946 terjadi kefakuman ronggeng di dukuh Paruk, waktu itu Srintil belum lahir. Dukuh Faruk terjadi malapetaka tempe bongkrek. Setelah 11 tahun Srintil menjadi ronggeng. Pada usia 11 tahun inilah cerita ini dimulai. Sedangkan berakhirnya sekitar tahun 1971 yaitu ketika Rasus telah kembali berkunjung ke dukuh Paruk setelah ia bertugas. Berlibur ke Dukuh Paruk mendapatkan Srintil sakit ingatan. Rasus bertindak untuk melindunginya Srintil dimasukan ke rumah sakit jiwa. Untuk novel Sinden mengenai waktu tidak dapat ditunjukan dengan pasti karena wujudnya hanya tersirat. Namun dapat ditangkap berdasarkan keadaan yang diterangkan dalam cerita terjadinya sekitar tahun 1960-an dan diakhiri setelah meletusnya gerakan PKI 1965 dikisahkan dalam cerita rakyat Sumberwungu mengalami zaman pegaber, musim kemarau panjang bahan makan susah, berburu tikus kemudian dagingnya dimakan, adanya slogan sama rata sama rasa, adanya penangkapan pemuka partai terlarang dan pencidukan warga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terdaftar pada anggota partai terlarang. Kemudian diadakan pemberhentian aparat desa dan diganti dengan yang baru. 4) Alur atau Plot Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling terkait dan dihubungkan secara sebab-akibat yang terlukis dalam cerita karya sastra. Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwaperistiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita. Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). 5) Poin of View Point of View atau sudut pandang cerita adalah cara pandang pengarang yang digunakan untuk menyajikan tokoh, perwatakan, latar dan berbagai rangkaian peristiwa suatu cerita dalam karya fiksi. Sudut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pandang digunakan pengarang untuk menyampaikan strategi, teknik, siasat untuk menyampaikan gagasan cerita. Sudut pandang yang digunakan pada alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh dalam novel disebutkan nama dan variasi kata ganti.
b. Perbedaan Struktur Novel Penokohan, tokoh utama Srintil pada novel Ronggeng Dukuh Paruk untuk menjadi seorang ronggeng merupakan panggilan, tetapi Tumi tokoh utama pada novel Sinden untuk menjadi seorang sinden merupakan cita-cita. Setting tempat kedua novel mempunyai perbedaan. Latar tempat pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan latar pedukuhan terpencil, miskin, dan terbelakang yaitu Dukuh Paruk. Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan
masyarakat
pedesaan
dengan
penuh
keluguan
dan
kesederhanaan, sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana masyarakat campuran antara wong desa dan priyayi yang penuh keangkuhan. Dari beberapa paparan terkait dengan tema, penokohan, setting tempat, waktu dan sosial bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, maka dapat diketahui bahwa terdapat intertskstual dalam unsur pembangun cerita. Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam kedua novel tersebut menunjukan adanya hipogram untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk transformasinya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menampilkan struktur yang berupa kesejajaran, penyempitan dan pertentangan atau perbedaan. Kesejajaran bahwa kedua novel sama-sama mengangkat tema sosial budaya daerah tertentu dan mengambil latar belakang waktu pengisahan yang sama sekitar tahun 1960-an dimana pada saat itu baru gencar-gencarnya isu G30S/PKI dan seni tradisional dijadikan peralatan dalam propaganda suatu politik, penyempitan terjadi dalam novel Sinden terjadi mempersempit tema dengan menyajikan permasalahan-permasalahan yang agak sederhana bila dibandingkan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk, sedangkan bentuk pertentangan atau perbedaannya terdapat dalam penokohan atau perwatakan dalam novel RDP guru sebagai pendidiknya (dukun ronggeng) tidak menanamkan etika kebaikan, sedangkan dalam novel Sinden ditampilkan sosok guru sinden yang pantas untuk diteladani dengan menanamkan tatakrama yang baik. Bukti lain adalah tahun terbit novel. Novel Ronggeng Dukuh Paruk terbit pertama kali tahun 1981, untuk novel Sinden terbit pertama kali tahun 2005. Dalam kajian intertekstual tahun terbit ini dapat digunakan bukti bahwa sebuah karya sastra yang terlahir lebih dulu dapat menjadi inspirasi karya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sastra berikutnya. Inspirasi terjadi dapat dijelaskan secara inplisit bahwa karya novel Sinden ada kemiripan, kemiripan kisah tersebut sebagai bukti adanya faktor pengarang terinspirasi oleh tek terdahulu.
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Sinden Nilai pendidikan dalam sastra adalah suatu ukuran mengenai sifat-sifat yang berguna dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai di dalamnya tidak hanya terbatas pada soal kebajikan dan moral saja, tetapi terdapat nilai lain yang terdapat pada karya sastra. a. Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk 1) Nilai Pendidikan Religius Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah religius (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi religiusitas dengan fihak lain. Nilai religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Religiusitas yang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat kaitannya dengan penciptaNya. Wujud dari hubungan tersebut dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berupa doa-doa ataupun upacara-upacara adat. Do a dan upacara tersebut dipanjatkan merupakan wujud suatu kesadaran bahwa semua yang ada di muka bumi ini ada yang menciptakannya. Untuk menjadi ronggeng harus melakukan upacara tradisi ronggeng. Salah satunya adalah upacara pemandian di depan cungkup Ki Secamenggala, leluhur mereka. Tindakan ini untuk memohon do a atau diberkahi untuk menjadi ronggeng, bentuk ritual ini sebenarnya sama dengan yang diminta oleh mereka yang sudah mengenal Tuhan. Upacara ritual kepercayaan dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu diantaranya adalah upacara pemandian yang secara turun temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala. (Ahmad Tohari, 2003: 43)
Bentuk ritual yang dilakukan Srintil melalui dukun ronggeng untuk
Paruk
tergolong
abangan
permintaan tersebut dilakukan
melalui
leluhurnya.
Hal yang sama dilakukan ketika kesenian ronggeng akan berpentas di Kecamatan Dawuan dalam upacara Agustusan. Sakarya sebagai
kamitua
Dukuh
Paruk
juga
melakukan
ritual
minta
leluhurnya Ki Secamenggala. Orang-orang Dukuh Paruk tidak ingin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pentas ronggeng dilaksanakan dengan meninggalkan adat atau tradisi. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini:
-jangan kita melakukan kesalahan. Pentas kita kali ini dilakukan menyimpang adat. Sampean mendengar ucapan-
-syarat lainnya. Wah, hatiku sungguh tidak enak. Bisa terjadi apa-apa
membujuk Srintil agar mau kembali menari. Nah, sekarang Srintil sudah mau, tetapi mereka kelihatan tidak menghargai tata (Ahmad Tohari, 2003: 188)
Ritual yang dilakukan Sakarya disaat akan pentas ronggeng merupakan bentuk ritual yang berhubungan dengan arwah Ki Secamenggala. Entah secara kebetulan atau apa, pentas yang tidak diawali dengan ritual membakar dupa itu ada sedikit kendala. Srintil tiba-tiba pingsan di tengah-tengah pementasan. Upacara-upacara yang dilakukan di Dukuh Paruk sebagai implementasi kepercayaan dan ketaatan mereka terhadap leluhurnya. Yang mereka minta adalah keselamatan, kebaikan, dan keselarasan hidup. Ketika terjadi malapetaka di Dukuh Paruk mereka mengadu pada Ki Secamenggala bukan yang lain. Menurut mereka semua kejadian di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dukuh Paruk semua adalah kehendak Ki Secamenggala. Bentuk kepercayaan di Dukuh Paruk itu dapat dicermati pada kutipan berikut ini: Legenda khas Dukuh Paruk misalnya kisah nenek tentang fenomena di pekuburan Dukuh Paruk malam hari ketika terjadi bencana itu. Nenek mengatakan banya obor terlihat di atas kerimbunan pohon beringin di atas makam Ki Secamenggala. Dari pekuburan itu terdengar suara tangis bersahutan. Nenek juga
mengatakan
bayangan
Ki
Secamenggala
keluar,
mendatangi setiap mayat yang malam itu belum satu pun sempat dikubur. Bahkan Sakarya kematian
mendengar Ki Secamenggala
delapan
belas
warga
Dukuh
mengatakan
Paruk
adalah
kehendaknya. Selama hidupnya menjadi bromocorah, Ki Secamenggala berutang nyawa sebanyak itu, maka nyawa keturunannya dipakai sebagai tebusan. (Ahmad Tohari, 2003: 32-33) Di Dawuhan Rasus, meninggalkan kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Dukuh Paruk. Religiusitas Rasus selalu dikaitkan dengan Tuhan. Rasus sudah mengenal dan melaksanakan ibadah sembahyang. Bagi Rasus semua kejadian di dunia ini erat hubungannya dengan Tuhan. Perubahan sikap religius yang dilakukan Rasus dapat diperhatikan pada kutipan berikut ini: Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cerpat dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat lincak. Rasus bersembahyang. (Ahmad Tohari, 2003: 351) Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia sadar dan bangkit dari kebodohannya. Dengan air mata berjatuhan aku memohon kepada Tuhan kiranya Srintil mendapat
kesempatan
kembali
untuk
memanusia
dan
memakhluk. (Ahmad Tohari, 2003: 398) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk kaya Ahmad Tohari terdapat nilai-nilai religius. Bentuk religius tersebut berupa keyakinan dan kepercayaan terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala. Berbeda dengan Rasus yang telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk. Rasus sudah mengenal agama sehingga bentuk religious dilakukan dengan
menjalankan
ibadah sholat sesuai agama yang dianutnya. 2) Nilai Pendidikan Budaya Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilainilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain dalam ( Nyoman Kutha Ratna: 5). Bentuk budaya Jawa yang dapat digunakan untuk menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Sinden yakni adat kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat klas bawah. Rakyat klas bawah dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu yang dilakukan warga Dukuh Paruk, sedangkan klas atas para priyayi di Dawuan. Sedangkan dalam Novel Sinden yang tergolong rakyat klas bawah adalah sebagian warga desa Dawuan dan untuk golongan klas atas para priyayi desa Dawuan. Nilai pendidikan budaya novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis fokuskan pada analisis budaya rakyat klas bawah diantaranya ` sebagai berikut: (a) Ngleluri tradisi (Melestarikan Tradisi) Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh golongan klas bawah (wong cilik) mendominasi cerita. Srintil sebagai golongan rakyat bawah menjadi seorang ronggeng merupakan anugerah karena mendapat kepercayaan dari para leluhurnya dengan mendapat indang ronggeng. Merupakan keberhasilan hidup yang harus disyukuri. Untuk menjadi seorang ronggeng yang terkenal harus melakukan tradisi yang berlaku di wilayah tersebut yaitu Dukuh Paruk. Maka Srintil segera diserahkan oleh Kertareja dan istrinya demi mendapatkan ilmu tentang ronggeng. Srintil harus menjalani semua tradisi yang ditetapkan dukun ronggeng tersebut agar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keinginan menjadi seorang ronggeng menjadi kenyataan. Bentuk tradisi tersebut memperoleh ilmu pekasihan, hal itu dapat dipahami dalam kutipan berikut ini: Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika ia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya; uluk-uluk perkutut manggung teka saka ngendi, teka saka tanah sabrang pakanmu apa pakanku madu tawon manis madu wawon, ora manis kaya putuku, Srintil. Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil. (Ahmad Tohari, 2003: 18-19) Selain itu, untuk menjadi ronggeng sejati Srintil juga harus mau mengikuti tradisi yang berlaku. Ada dua tahapan yang harus dilalui seorang ronggeng yaitu upacara pemandian di depan pusara Ki Secamenggala dan upacara bukak klambu. Sebuah upacara tradisi yang ironis untuk seorang ronggeng. Sebuah tradisi yang dilakukan oleh Srintil dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kertareja, ditiupkan ke ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai diguyur air kembang, gayung demi gayung. Sementara itu orang-orang Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi
pusat
perhatian.
commit to user
Rombongan
penabuh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas masingmasing, duduk bersila di atas tanah. (Ahmad Tohari, 2003: 46) Dari orang-orang Dukuh Paruk aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang
disayembarakan
adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (Ahmad Tohari, 2003: 51) Dapat disimpulkan bahwa betapa berat tradisi yang berlaku di suatu tempat tetap dijunjung tinggi oleh warganya demi keberhasilan dari yang diinginkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. tradisi yang dilakukan merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang sering dilakukan
golongan klas
bawah
untuk
mendapatkan
kemuliaan hidup. (b) Sapa Temen Bakal Tinemu (Rajin Bekerja) Setelah melarikan diri ke Dukuh Paruk Rasus menemukan harapan baru dalam kehidupannya setelah dikecewakan Dukuh Paruk. Menurut Rasus Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari hatinya.
Untuk
mewujudkan
harapan
tersebut
Rasus
rela
meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di Pasar Dawuan. Rasus mengawali kegiatan di pengasingannya dengan menjadi kuli pasar Dawuan. Rasus menyadari sebagai wong cilik dan tidak mempunyai kemampuan apapun kecuali tenaga dan tekat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pekerjaan yang diterima dilakukan dengan sepenuh hati (temen), sapa temen bakal . Rasus selalu temen atau rajin bekerja dengan penuh keiklasan. Kelak pasar Dawuan menjadi saksi perubahan hidup Rasus. Perjuangan
Rasus di tempat pelariannya dapat dicermati
pada kutipan berikut ini: Perkenalanku
dengan
pedagang
singkong
di
pasar
memungkinkan aku mendapat upah. Di Dukuh Paruk setiap anak berkenalan dengan singkong sejak lahir. Maka pedagang itu terkesan betapa cepat aku mengupasi barang dagangannya. Selain mendapat upah buat makan sehari-hari, aku menemukan sebuah tempat yang teduh untuk menggelar karung-karung. Itulah tempat tidur yang kupakai selama berbulan-bulan. (Ahmad Tohari, 2003: 80-81) Pada suatu sore di Pasar Dawuan kedatangan sekelompok tentara. Kedatangan tentara itu bertugas untuk mengamankan daerah Dawuan dan sekitarnya dari perampokan yang kian merajalela. Berkat temen dan ketabahan, takdir rupanya telah memilih Rasus untuk menuju ke garis kehidupan yang lebih baik. Seorang tentara bernama
Sersan
Slamet
meminta
Rasus
untuk
membantu
menurunkan peti-peti yang berada dalam sebuah truk. Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara ajaib. Dimulai pada sore di depan pasar Dawuan. Pasar begitu sepi. Apalagi perampokan makin hari makin sering terjadi. Sebuah truk penuh tentara berhenti. Kira-kira dua puluh orang tentara turun, masing-masing dengan topi baja dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bedil. Banyak anak menyingkir melihat kedatangan para tentara itu. Mereka terutama takut kepada bedil. Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan gerbang pasar. Ketika seorang tentara, yang kemudian kukenal sebagai Sersan Slamet, mencari seseorang untuk membantu menurunkan peti-peti serta barang-barang lainnya. Dia tidak melihat seorang pun kecuali aku. Jadi lambaian tangannya
kemudian
diarahkannya
kepadaku.
(Ahmad
Tohari, 2003: 91) Rasus telah menjadi tentara, berkat ketekunannya sehingga membuat warga Paruk menaruh harapan pada diri Rasus. Perubahan yang terjadi sudah merubah nilai sosial pada diri Rasus. Rasus sudah memiliki kedudukan dan jabatan akan merubah cara berpikir, bertindak untuk Dukuh Paruk. Rasus baru kali pertama berkenalan dengan tentara, maka dalam hatinya ada rasa takut ketika dan gemetar menerima panggilan seorang tentara. Tapi ketika Sersan Slamet mengulangi dengan lambaian tangannya, Rasus mendekat dan menerima tawaran kerja dari Sersan Slamet. Rajin bekerja adalah salah satu sikap yang dimiliki Rasus. Rasus tidak berusaha menunjukkan pada Sersan Slamet, tapi Sersan Slamet melihat ketangkasan Rasus dalam bekerja. Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam serta barang-barng berat lainnya kuangkat di atas pundak dan kubawa ke sebuah rumah batu yang ternyata telah dipersiapkan sebagai markas tentara. Dari rasa takut lambat laun berubah menjadi rasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bangga. Seorang Dukuh Paruk bekerja dalam kelompok tentara. Meski pakaianku tidak seragam dengan mereka, tetapi aku berjalan beriring dengan mereka. Bahkan aku sudah berbicara dengan pemimpin mereka, Sersan Slamet. Aku telah berkenalan dengan seorang tentara. Karena merasa bangga bekerja dengan sekelompok tentara, maka aku mampu mengeluarkan tenaga lebih dari biasanya. Bila
mereka
mengangkat
peti
itu
satu-satu,
aku
mengangkatknya sekaligus dua buah di pundakku. Dalam waktu sekian menit mereka hanya bisa membawa sebuah barang dari truk ke markas. Tetapi dalam waktu yang sama aku telah dua kali hilir-mudik. Rupanya Sersan Slamet mencatat hal ini. (Ahmad Tohari, 2003: 91-92) Sersan Slamet sangat terpesona dengan cara kerja Rasus begitu rajin. Rasus kemudian ditawari untuk menjadi tobang di kesatuan tentara yang dipimpin Sersan Slamet. Tugas tobang adalah melayani segala keperluan tentara di sebuah markas. Bagi seorang Rasus, yang tidak pernah mengenal baca tulis menjadi seorang tobang adalah kebanggaan dan kehormatan yang tak terhingga. Dengan penuh kesadaran Rasus sebagai wong cilik selalu temen dalam menerima tugas dari majikan dilakukan dengan baik penuh kejujuran, mengantarkan dirinya memiliki kedudukan yang lebih baik yaitu sebagai tentara sehingga dapat mengabdikan diri untuk tanah airnya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat temen bakal tinemu dari apa yang akan dicita-citakan, serta dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kejujuran akan membawa keberkahan bagi dirinya sendiri. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, temen merupakan bagian dari nilainilai sosial budaya yang harus dilakukan wong cilik maupun golongan klas atas untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. (c) Eling lan waspada (Selalu Hati-hati) Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehatihatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu eling lan waspada. karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada kegembiraan pastilah ada kesusahan. Sakarya mampu menahan rasa kegembiraannya, walaupun malam peringatan tujuh belasan itu adalah malam kembalinya Srintil untuk meronggeng. Sakarya menekankan pada persiapan kejiwaan dengan memasang sesaji di makam Ki Secamenggala, terjaga di malam hari, dan mengurangi makan-minum. Sikap Sakarya yang penuh kehati-hatian dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya yang sederhana. Bahwa segala sesuatu berpasang-pasangan adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan. Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya yang panjang, Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan (Ahmad Tohari, 2003: 180).
3) Nilai Pendidikan Sosial Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu, mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31). (a) Kerukunan Warga Paruk yang hidup di dukuh kecil dan masih berasal dari satu keturunan memiliki rasa kerukunan yang kuat. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan di berikut ini:
Srintil. Rasus tersenyum. Baginya, memenuhi permintaan Srintil selalu menyenangkan. Maka ia berbalik, menoleh kiri kanan mencari pohon bacang. Setelah di dapat, Rasus memanjat. Cepat seperti seekor monyet. Dipetiknya beberapa lembar daun bacang yang lebar. Piker Rasus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan daun itu mahkota di kepala Srintil akan bertambah manis. (Ahmad Tohari, 2003: 12-13). Pada waktu Srintil berlatih meronggeng di rumah Kartareja banyak warga yang tertarik kepada Srintil. Rasa ketertarikan itu menunjukan
suatu
dukungan
para
perempuan
yang
menyaksikannya. Pernyataan tersebut dapat diperhatikan kutipan berikut ini:
ya. Aku akan
kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya kalian yang ingin memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku mau minta izin kepada Nyai
(Ahmad Tohari, 2003: 20).
4) Nilai Pendidikan Moral Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik seperti budi pekerti, akhlak, dan etika.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sikap budi luhur merupakan sebuah sikap yang dilakukan manusia dalam menjalankan kehidupannya yang dilandasi sikap mulia seperti: kasih sayang, balas budi, adil, tidak membeda-bedakan, suka menolong. (a) Balas Budi Srintil perempuan penari ronggeng yang memiliki rasa balas budi. Kecantikan dan kemampuan dalam meronggeng tidak semata digunakan untuk mencari uang seperti kebanyakan penari ronggeng. Tetapi keluhuran budi Srintil dapat diperhatikan dalam kutipan berikut ini: Bersama kabut tipis yang mulai lenyap oleh cahaya matahari. Srintil berjalan menuruni bukit, meninggalkan Alaswangkal. Di belakangnya berjalan Mertanakim yang disuruh majikannya mangawal Srintil sampai ke Dukuh Paruk. Sebuah sapu tangan di dalam genggaman Srintil penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak bias mengusir rasa perih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang dengan membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang m asa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. (Ahmad Tohari, 2003: 224-225). Kutipan di atas menunjukan keluhuran sifat Srintil karena sudah mendapatkan imbalan, namun tidak dapat menjalankan tugasnya. Beban hati Srintil juga merasa tidak tega melihat penderitaan yang diterima oleh Waras.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) Budi Luhur Rasus memiliki sifat budi luhur, sikap tersebut diberikan kepada Srintil perempuan yang telah mengecewakan hatinya, hingga membuat Rasus pergi dari Dukuh Paruk menuju Dawuan. Sifat budi luhur tercermin bahwa Rasus tidak memiliki rasa dendam terhadap Srintil. Ketika Srintil mengalami gangguan kejiwaannya dengan iklas Rasus menolong membawanya ke rumah sakit jiwa. Hal itu dapat diperhatikan dalam kutipan di bawah ini: Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi. Baju lengan panjang serta celana abu-abu. Yang masih menandakanaku
tentara
adalah
potongan
rambut
serta
sepatuku. Pintu rumah Kartareja aku ketuk. Istrinya kuminta memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas. Aku akan membawanya ke rumah sakit tentarakarena aku tahu di sana ada bagian perawatan penyakit kejiwaan. Oh, aku menyaksikan sekali lagi Srintil yang sudah kehilanganm kemanusiaannya. (Ahmad Tohari, 2003: 398-399). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap balas budi dan budi luhur dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap tersebut merupakan bentuk tindakan manusia dalam menjalankan hidupnya yang dilandasi sifat mulia tahu balas budi, suka menolong, dan ikut merasakan penderitaan orang lain.
b. Nilai Pendidikan dalam Novel Sinden 1) Nilai Pendidikan Religius Kehadiran nilai religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra itu tumbuh dari sesuatun yang bersifat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
religius. Pada awal mulanya segala sastra adalah religious (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 326). Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hokum-hukum yang resmi religiusitas dengan fihak lain. Ada berbagai macam hubungan manusia yang berkaitan dengan masalah religiuitas. Hubungan-hubungan tersebut meliputi: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungan dan masyarakat, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya. Pembahasan mengenai nilai religious dalam novel Sinden penulis fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia. Religiusitas yang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaanNya, pastilah sangat erat kaitannya dengan penciptanya. Wujud dari hubungan itu biasa berupa doa-doa. Doa tersebut dilakukan oleh manusia karena suatu kesadaran bahwa semua yang ada di alam raya ini tidak akan luput dari pengawasanNya. Penggunaan kekuasaan yang otoriter walau sekuat apapun. Tidak akan mampu melawan kekuasaan Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah tidur akan selalu welas asih terhadap hambanya yang teraniaya. Melalui rasa pasrah, narimo dengan menyerahkan semua urusan kepada Tuhan. Dengan demikian ada kepercayaan kepada Tuhan bahwa orang yang teraniaya akan mendapat pertolongan, sedangkan orang yang menindas, menganiaya akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendapat balasan dari Tuhan. Kepercayaan warga Sumberwungu akan hal itu dapat diperhatikan kutipan berikut ini: ...tapi memang, kalau menolak keinginan mereka sama halnya akan menjadi makanan empuk untuk diejek, difitnah dan macammacamlah. Tapi Tuhan tidak pernah tidur tetap, welas asih, pasti tahu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 52)
Rakyat Sumberwungu tidak mampu untuk memahami peristiwa yang terjadi, banyaknya orang-orang yang ditangkap atau diciduk. Tidak tahu mana kawan, mana lawan. Tidak tahu juga apa salahnya, rasa was-was itu menghantui
semua warga, namun hanya keprasahan pada Tuhannya.
Keprasahan itu berupa keyakinan yang tertanam dalam hatinya sapa salah seleh, sapa nggawe ngenggo. Pernyataan itu terlukis dalam kutipan berikut ini : Kemana harus mencari dan menuntut? Tak ada yang tahu. Tak ada yang membela. Semua orang seakan tenggelam dalam rasa bersalah dan menerima kekalahan. Rakyat Sumberwungu hanya mempunyai keyakinan. Sapa salah seleh,atau siapapun yang salah akan mendapatkan hukumannya. Sapa nggawe ngenggo, siapa yang berbuat akan menuai hasil sesuai dengan perbuatannya. Tidak heran bila banyak yang permisif dan membiarkan semuanya terjadi tanpa perlu diusut dan dipermasalahkan. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 267) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa terdapat nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut tertanam dalam keyakinan jiwanya akan keadilan Tuhan terhadap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semua perbuatan manusia di muka bumi ini. Keyakinan akan perbuatan manusia yang tertanam dalam hati Rakyat Sumberwungu adalah pasrah, sapa salah seleh, sapa nggawe bakal ngenggo. 2) Nilai Pendidikan Budaya Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa system nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu system nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Analisis nilai pendidilan
budaya dalam novel Sinden penulis
fokuskan pada analisis budaya wong cilik yang meliputi sebagai berikut: (a) Aja Seneng Raben ( budaya kawincerai) Dalam novel Sinden tokoh cerita Tumi ditanamkan prinsip kawin cerai. Prinsip tersebut ditanamkan oeh orang tuanya yaitu Kartosemedi dan oleh gurunya yaitu Nyai Estu Suminar. Walau kenyataannya Tumi adalah korban kawin cerai dari orang tuanya. Untuk itu mengingat peristiwa itu pada Tumi ditanamkan rasa kesetiaan terhadap suami. Seperti kutipan berikut ini: Tetapi Kartosemedi teguh dalam pendiriannya. Ia menempuh segala resiko jika lurah Sumberwungu akan mempersulit dirinya dikemudian hari kartosemedi menginginkan anak gadisnya mencapai cita-citanya sebagai sinden sekeligus akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membrantas tradisi kawin cerai yang dialami banyak pesinden.
pesinden. Kalau kamu kawin, sekali saja. Disamping itu, bersetialah kamu pada suamimu satu-
(Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 17) Pesan tersebut untuk membangun citra sinden yang telah dicemarkan perilaku beberapa sinden yang dengan mudah kawin cerai, tidak memiliki kesetiaan terhadap pendamping hidupnya. Maka Nyai Estu yang juga korban kawin cerai oleh suaminya mewanti-wanti pesan pada murid-muridnya untuk selalu setia pada pasangan hidupnya. Petuah Nyai Estu terlukis pada kutipan berikut ini :
hinggap dalam pikiranya untuk menikah lagi. Banyak priya yang menginginkanya untuk menjadi istri. Tidak sedikit para jejaka tulen yang melamarnya. Tapi Estu masih menangkap sinar mata dan motivasi mereka kalau tidak pada nafsu juga karena harta kekayaan Estu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 50) (b) Aja Seneng Royal (Membudayakan penampilan sederhana) Nyai Estu guru sinden sejati juga menanamkan sekaligus member contoh kepada muridnya bahwa dalam menyinden sinden tidak perlu royal, dandan yang terlalu berlebihan cukup sederhana saja. Perilaku orang yang suka royal pada akhirnya mudah melakukan tindakan negatif. Tetapi dengan kesederhanaan dapat mewujudkan keaslian diri akan menarik banyak orang. Contoh tindakan Nyai Estu tertulis dalam kutipan berikut ini :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berbeda dengan banyak sinden lainnya, berbedak tebal, bergincu kemerahan, gelungnya bercunduk mentul, dan telinganya, leher, lengan, dan jemarinya banyak perhiasan emas. Kain kebayaknya bukan hanya lurik, melainkan kain boorklat dengan warna mencorong, merah menyala, hijau menyala, biru menyaka, bahkan ada yang mengenakan kebaya merah jambu. Malah ada seorang pesinden yang berkulit hitam terbakar sinar matahari yang mengwenakan kebayak hijau pupus dan selendang merah jambu. Demikian juga dengan Tumi, sinden muda belia terbaik dari yang ada di Argalaksa saat ini. Ia berdandan amat sederhana seperti guru sejatinya. Juga tanpa perhiasan sedikitpun. Tubuhnya kosong melompong dari perhiasan. Bahkan tanpa bedak dan gincu. Wajah Nyai Estu dan Tumi seakan rembulan kembar
diantara
wajah
sinden
lainnya.
(Purwadmadi
Admadipurwa, 2007: 288) Dari
uraian di
atas
dapat disimpulkan bahwa untuk
mengembalikan citra sinden sejati harus mampu menjadi figur sinden yang tidak melakukan tindakan yang meremehkan dirinya sendiri, seperti
Seneng
Raben
(suka
kawin
cerai),
Seneng
Royal
(berpenampilan yang berlebihan). Dengan kemampuan olah pikir,olah rasa,olah cara dan olah batin akan membentuk sinden sejati yang bermatabat. 3) Nilai Pendidikan Sosial Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu, mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31). (a) Rasa Sosial Kehidupan
sosial
kemasyarakatan
untuk
warga
desa
Sumberwungu terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli terhadap penderitaan sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang berupa
harta,
pikiran,
tindakan.
Bentuk
kepedulian
warga
Sumberwungu terhadap keluarga yang mendapat musibah, seolah-olah juga ikut merasakan penderitaan ini. Sikap warga desa Sumberwungu dapat diperhatikan kutipan berikut ini: Meski diliputi rasa was-was, malam itu sejumlah tetangga dan beberapa sanak saudara berkunjung ke rumah Karto. Mereka menemani Tumi. Nyai Estu juga berencana nginep di rumah Tumi. Mungkin inilah pengalaman Nyai Estu nginep di rumah orang lain. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192) Mereka berada dirumah Karto secara suka rela untuk memberi penguatan moril bagi Tumi agar tabah dalam menghhadapi cobaan. Akan halnya Nyai Estu sampai bersedia nginep di rumah Tumi adalah sebuah keluar biasaan. Tetangga Tumi pun merasa turut dihormati oleh Nyai Estu. Mereka bangga kepada Tumi yang mampu menarik hati perempuan yang sangat berwibawa itu. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 192) Dngan
demikian
dapat
disimpulkan
keadaan
sosial
desa
Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa pamrih. 4) Nilai Pendidikan Moral Nilai pendidikan moral dalam novel Sinden dapat dilihat dari perwatakan tokoh Tumi sebagai sinden. Melalui tokoh Tumi, pencitraan sinden dapat diubah dari citra yang negatif menjadi citra yang positif. Tumi tumbuh menjadi gadis remaja yang baik. Ia biasa bekerja di ladang. Ia biasa menyiapkan makan untuk bapaknya. Ia juga mengurus ayam-ayam piaraannya. Ia juga mengurus rumahnya yang mungil hingga menjadib rapi. (Purwadmadi Admadipurwa, 2007: 14). Kartosemedi menginginkan anak gadisnya dapat mencapai citacitanya sebagai sinden sekaligus mebrantas tradisi kawin cerai
kamu harus membangun citra pesinden. Kalau kamu kawin sekali saja. Disamping itu, bersetialah kepada suamimu satu-satunya , 2007: 17)
B. Pembahasan Hasil Penelitian 1.
Unsur-unsur Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan Sinden a) Tema Tema untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah tentang kehidupan sosial budaya kehidupan masyarakat lapisan bawah yang bernama Dukuh Paruk. Dukuh Paruk suatu pedukuhan yang terpencil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan keadaan alam yang kurang subur. Kehidupan rakyatnya miskin dan tidak mengenal pendidikan. Ronggeng merupakan seni budaya kebanggaan sekaligus citra Dukuh Paruk. Budaya ronggeng tersebut telah 11 tahun hilang, kehidupan bangkit kembali setelah Srintil cucu Sakarya tokoh utama dalam novel dianggap mampu mengembalikan citra Dukuh Paruk melalui seni ronggeng. Dalam novel ini digambarkan warna kehidupan Dukuh Paruk yang mengagungkan seni ronggeng dan perjuangan wanita penari ronggeng yang ingin kembali menjadi wanita baik-baik (wanita somahan). Novel Sinden kaya Purwadmadi Admadipurwa mengambil tema kehidupan sosial budaya
bagi masyarakat kalangan bawah
bernama desa Sumberwungu. Desa Sumberwungu merupakan desa miskin dan mendapat perlakuan penindasan penguasa. Desa ini banyak menghasilkan sinden kondang. Kebiasaan para Sinden yang kurang baik akan merendahkan martabat sinden itu sendiri. Agar dapat mewujudkan sinden yang bermartabat ditanamkan prinsip keluhuran seorang sinden yang memegang tatakrama. Secara intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden memiliki persamaan yaitu mengangkat sosial budaya suatu daerah kalangan rakyat kecil, sedangkan perbedaannya adalah pada novel Sinden berbentuk lebih spesifik dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan kehidupan sosial
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
budaya yang melibatkan permasalahan yang lebih luas, untuk novel Sinden tidak begitu komplek. b) Alur atau Plot Berdasarkan urutan peristiwa yang terlukis dalam alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwaperistiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita. Namun ada sebagian Penulis menuturkan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flashback (kilas balik) dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan pada novel Sinden, penulis juga menuturkan pengalaman Nyai Estu Suminar pada waktu berguru sinden dengan Nyai Larasmadu dengan cara flashback (kilas balik). Jadi kedua novel tersebut menggunakan alur maju, sehingga rangkaian kejadian yang tersusun secara urut
mulai awal sampai akhir dan
membentuk satu kesatuan yang utuh.
a. Pokok-pokok peristiwa yang terjalin dalam plot novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebagai berikut: 1.Gambaran alam dan kehidupan rakyat Paruk (exsposition). 2. Srintil mendapat indang ronggeng. 2. Srintil diserahkan kepada Kartareja seorang dukun ronggeng (inciting moment)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Petaka tempe bongkrek (flash back). 4. Srintil figur emak bagi Rasus. 5. Srintil mendapat hadiah keris dari Rasus sebagai tanda cintanya. 6. Srintil melakukan ritual sebagai syarat menjadi ronggeng. 7. Srintil melakukan ritual bukak klambu (rising actions) 8. Srintil penari ronggeng dari Paruk menjadi terkenal. 9. Rasus mengasingkan diri ke Dawuan . 10. Rasus menjadi tobang membantu mengamankan Dukuh Paruk dari perampokan 11. Srintil mencintai Rasus. Srintil mengajak Rasus menikah. 12. Srintil menolak untuk meronggeng (conflict). 13. Srinthil tidak mau melayani tamu. 14. Srintil malah mencari Rasus ke Dawuan. 15. Srintil merasa kecewa tidak bertemu Rasus, ia jatuh sakit. 16. Srintil terhibur setelah mendapatkan Goder menjadi anaknya 17. Srintil tidak mau meronggeng dan melayani tamu laki-laki. 18. Srintil diminta untuk meronggeng lagi (complication). 19. Srintil meronggeng dalam kegiatan pentas seni Agustusan. 20. Srintil menjadi gowok di alaswangkal. 21. Srintil bergabung dengan pak Bakar. 22. Ronggeng Paruk digunakan untuk menghibur rapat-rapat partai. 23. Kerusuhan pengikut pak Bakar merusak tanaman padi penduduk. 24. Ronggeng Paruk tidak lagi tampil dalam pentas pada rapat-rapat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25. Terjadinya pengrusakan makam leluhur Dukuh Paruk. 26. Dukuh Paruk diadudomba dengan kelompok caping hijau. 27. Srintil dan rombongan Ronggeng juga warga Dukuh Paruk dituduh sebagai pengikut partai terlarang, ditangkap dan ditahan. Kemudian Dukuh Paruk dibumi hanguskan ( climax) 28. Srintil ditahan untuk beberapa tahun lamanya. 29. Rasus pulang ke Paruk. 30. Rasus mencari Srintil ditahanan. 31. Warga Paruk dikeluarkan dari tahanan, kecuali Srintil (falling actions) 32. Srintil keluar dari tahanan. 33. Srintil ingin menjadi wanita somahan. 34. Srintil berkenalan dengan Bajus. 35. Srintil diumpankan untuk melayani Blengur, atasan Bajus. 36. Srintil hilang ingatan (denouement) 37. Srintil dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Bajus.
Dari rentetan peristiwa di atas dapat dikelompokan ke dalam beberapa bagian peristiwa sesuai dengan tahapan alur cerita yang terjadi. Tahap pemaparan atau exsposition terlukis pada bagian peristiwa 1 sampai 2. Bagian 1 gambaran situasi keadaan alam Dukuh Paruk dan bagian 2 kegiatan anak-anak Paruk di musim kemarau yang dikejutkan Srintil menyanyi dan menari layaknya penari ronggeng dewasa. Menurut para sesepuh Srintil kemasukan indang ronggeng Paruk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagian 3, 4, 5, 6, 7 adalah tahap inciting moment atau rangsangan. Pada bagian ini Srintil mulai diserahkan kepada dukun Ronggeng untuk dididik menjadi penari ronggeng oleh Kartareja dan istrinya. Kemampuan Srintil menari ronggeng mengingatkan peristiwa silam petaka tempe bongkrek yang dialamiorang tua Srintil. Waktu itu Srintil baru umur lima bulan. Dan nasib itu juga dialami Rasus pemuda yang simpati pada Srintil. Rasus mencari emaknya vigur emaknya justru tersirat pada Srintil. Sebagai pelengkap Rasus menyerahkan keris peninggalan orang tuanya untuk Srintil. Untuk menjadi ronggeng Srintil harus melalui upacara adat mulai mandi di pusara Ki Secamenggala leluhur Dukuh Paruk. Bagian 8, 9, 10, 11, 12, adalah tahap rising action atau penggawatan. Pada tahap ini upacara yang susah diterima akal sehat yaitu upacara bukak klambu. Dimana upacara ini mengenai penyerahan keperawanan seorang calon ronggeng dengan syarat bagi siapapun yang memenangkan sayembara yang telah ditentukan dukun ronggeng. Sekepeng uang logam ringgit emas. Warga Dukuh Paruk menjadi gelisah dengan besarnya harga keperawanan seorang ronggeng tak terkecuali Rasus. Rasus tidak bisa menerima tindakan yang semena-mena melecehkan seorang wanita apalagi terhadap Srintil, gadis yang ia cintai. Begitu pula dengan Srintil merasa begitu berat karena Srintil belum dewasa dan memang itu syarat menjadi ronggeng Srintil patuh terhadap perintah dukun ronggeng. Walau akhirnya keperawanan Srintil diberikan kepada Rasus tanpa imbalan apapun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Srintil menjadi terkenal dan menjadi pujaan semua orang serta kaya raya. Melihat Srintil telah menjadi mili8k semua orang Rasus kecewa kemudian melarikan diri ke Dawuan yang kemudian menjadi tobang pembantu tentara bahkan mampu ikut mengamankan Dukuh Paruk ketika terjadi perampokan. Dan pertemuan antara Rasus dengan Srintil membuat Srintil semakin mencintai Rasus bahkan berniat untuk menjadi istri Rasus. Bagian 13, 14, 15, 16, 17 adalah tahap conflict atau pertikaian. Srintil benar-benar mencintai Rasus. Seorang ronggeng pantangan untuk jatuh cinta. Srintil tidak mau meronggeng, tidak mau melayani tamu lakilakinya tindakkan itu membuat dukun ronggeng menjadi sangat kecewa. Bahkan
pada
waktu
pak
Marsusi
mandor
perkebunan
karet
menginginkannya Srintil tidak mau menemui bahkan malah pergi mencari Rasus di Dawuan. Srintil tidak menemukan Rasus merasa kecewa dia mengurung diri, tidak mau makan, tidak mau keluar kamar. Dia sakit, untung menemukan Goder anak tampi Srintil merasa terhibur dan menganggap Goder sebagai anaknya sendiri. Srintil masih tetap tidak mau melayani tamu laki-laki sehingga banyak orang yang kecewa. Bagian 18,19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27 adalah tahap complication atau tahap perumitan. Pada tahap ini Srintil dan rombongan ronggeng Paruk diminta meronggeng lagi oleh atasan mereka di Dawuan pada acara tujuh belasan bersama kelompok kesenian yang lain. Akhirnya Srintil kembali meronggeng. Rombongan ronggeng Paruk juga mendapat tanggapan ke Alaswangkal dalam acara kaulan atau nadar. Bahkan Srintil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diminta untuk menjadi gowok untuk putra Sentika di Alaswangkal. Tidak hanya itu ronggeng Paruk bertemu dengan pak Bakar ketua partai dimusim paceklik itu justru ronggeng Paruk banyak mendapat tanggapan untuk menghibur dalam rapat-rapat partai. Bahkan karena seringnya ronggeng Paruk dijuluki ronggeng rakyat dan Dukuh Paruk terpasang gambargambar yang warga paruk sendiri tak mengerti maksudnya. Dan juga terjadinya penonton ronggeng peserta rapat mengamuk menghancurkan padi milik petani. Peristiwa itu membuat ronggeng Paruk protes tidak mau meronggeng dalam rapat. Namun karena kelicikan pak Bakar warga Paruk diadu domba melalui pengrusakan makam Ki Secamenggala dengan kelompok caping hijau. Kemudian ronggeng Paruk kembali meronggeng dalam kegiatan partai. Bagian 28, 29, 30, 31 adalah tahap penggawatan atau climax. Pada tahap ini terjadilah malapetaka bagi Dukuh Paruk karena Srintil dankelompok ronggeng Paruk juga warga yang terdaftar ditangkap dan di tahan karena dituduh anggota partai terlarang. Tidak hanya itu saja Dukuh Paruk dibumi hanguskan. Banyak warga Paruk yang ketakutan. Pada saat itu Rasus pulang ke Dukuh Paruk melihat rumah-rumah habis terbakar Rasus merasa prihatin. Rasus diminta untuk mencari Srintil ditahanan. Rasus dapat bertemu Srintil namun tak sempat untuk bicara. Bagian 32, 33, 34, 35, 36 tahap peleraian atau falling action.Tahap ini warga Paruk yang di tahan di keluarkan kecuali Srintil . Srintil ditahan agak lama kemudian selang beberapa tahun Srintil dilepaskan. Ke
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pulangan Srintil disambut dengan suka cita warga Paruk. Srintil bertekat menjadi wanita baik-baik, walau sekembali dari tahanan Srintil ditawari meronggeng kembali oleh Nyai Kartareja Srintil tidak mau dia ingin menjadi wanita somahan. Srintil berkenalan dengan Bajus. Perkenalan mereka semakin akrab, bahkan ketika Rasus berlibur ke Paruk Srintil bimbang karena hatinya menaruh harapan kepada Bajus untuk menjadi pendamping hidupnya. Rasuspun menyadari bila memang Srintil telah menemukan lelaki yang baik. Srintil ternyata masih menerima kemalangan nasibnya karena Bajus tidak berniat memperistri Srintil, malah Srintil diminta melayani pak Blengur hingga akhirnya Srintil tak mampu menerima penderitaannya jiwanya menjadi tergoncang. Bagian 37, 38 adalah tahap penyelesaian atau denouement. Tahap ini dikisahkan Srintil menjadi hilang ingatan. Pada waktu itu Rasus pulang dari tugas keluar Jawa. Melihat keadaan warga Paruk apalagi yang dialami Srintil batin Rasus tersentuh Srintil kemudian dibawa kerumah sakit jiwa. b. Pokok-pokok peristiwa yang terjalin dalam plot novel Sinden adalah sebagai berikut: 1. Gambaran alam dan kehidupan rakyat Desa Sumberwungu yang dihiasi tembang-tembang dari para wanita yang meladang (exsposition). 2. Tumi bercita-cita menjadi sinden yang kondang. 3. Tumi mulai berlatih nyinden di rumah Nyai Estu. 4. Karto dan Tumi menolak lamaran Rudito (inciting moment).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Tumi digoda oleh Rudito yang sedang mabuk. 6. lurah Ponco melatih pemuda dalam kegiatan beladiri, baris dengan meneriyakan yel-yel untuk menghina lawan. (rising actions) 7. Ayah Tumi menyuruh Gendon melapor keadaan Rudito ke balai desa. 8. Gendon diperlakukan kurang baik oleh Mangundarmo. 9. Lurah Ponco mash kecewa lamaranya belum diterima oleh Tumi. 10. Tumi berlatih di rumah Nyai Estu. 11. Tumi bermalam di rumah Nyai Estu. 12. Nyai Estu menceritakan masa silamnya (flash back). 13. Rudito
mabuk
di
rumah
Tumi
dengan
bersimbah
darah
Kartosemedi mencari Tumi di tengah malam 14. Karto dituduh membunuh Rudito (conflict).. 15. Karto ditangkaap daan dibawa ke balai desa. 16. Karto diperlakukan tidak baik di balai desa Sumberwungu. 17. Karto melawan perlakuan Mangundarmo. 18. Guru Tarman membela Karto 19. Lurah Ponco menyusun gerakan untuk melawan lawan politiknya (complication). 20. Lurah Ponco mengadakan piket malam 21. Kasan Ikromo mengundurkan diri dari jogoboyo.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22. Guru Tarman, pak Mantri dkk menyusun siasat untuk melawan Ponco. 23. Mangundarmo orangnya Ponco memanfaatkan Misuwur Budoyo dalam aksinya. 24. Penangkapan para pemimpin Sumberwungu Lurah Ponco dkk( climax) 25. Ketoprak Tobong dibubarkan. 26. Pembersihan warga Sumberwungu yang masuk daftar. 27. Pergantian pejabat lama dengan pejabat baru (falling actions) 28. Tumi
ingin
meneruskan
cita-citanya
menjadi
sinden
(denouement) 29. Tumi diperistri Raden Renggo Baskoro Dari rentetan peristiwa di atas dapat dikelompokan ke dalam beberapa bagian peristiwa sesuai dengan tahapan alur cerita yang terjadi. Tahap pemaparan atau exsposition terlukis pada bagian peristiwa 1, 2, 3. Tahap ini adalah
gambaran situasi keadaan alam Desa Sumberwungu serta
menceritakan cita-cita Tumi untuk menjadi sinden yang kondang samapai harus putus sekolah. Menjadi sinden di Desa Sumberwungu adalah suatu kebanggaan. Tumi berguru sinden kepada Nyai Estusuminar. Bagian 4, 5 adalah tahap inciting moment atau rangsangan. Pada bagian Tumi selalu digoda oleh Rudito putra Lurah Sumberwungu. Tentu lamaran Lurah Ponco ditolak Tumi karena tabiat Rudito yang kerjanya mabuk dan main perempuan. Siang itu Rudito mabuk berat mengejar Tumi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hingga ke rumah Tumi. Penolakan Tumi menjadikan Lurah Ponco merasa kecewa seakan Karto ayah Tumi menentang kekuasaan Ponco. Bagian 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, adalah tahap rising action atau penggawatan. Pada tahap ini Lurah Ponco mempersiapkan para pemuda Sumberwungu untuk beladiri, baris sambil menyanyi dan meneriakan yelyel untuk menghina lawan politik (guru Tarman dkk). Karto menyuruh kepada Gendon untuk melapor kepada Lurah Ponco tentang Rudito yang teler di rumah Tumi. Namun Gendon malah mendapat perlakuan tidak baik oleh Mangundarmo. Lurah Ponco juga merasa sakit hati karena lamarannya tidak diterima oleh Tumi. Tumi giat berlatih ditempat Nyai Estu. Hari itu Tumi tidak diperbolehkan pulang diminta tidur di rumah Nyai Estu. Nyai Estu malam itu banyak bercerita pada muridnya tentang keluarganya, tentang gurunya Nyai Larasmadu. Sesampai dirumah Karto tidak menemukan anaknya. Sedang malam itu Rudito mabuk lagi dengan tubuh berlumuran darah. Perasaan Karto bingung dan cemas tentang anaknya. Sehingga Karto meninggalkan Rudito yang bersimbah darah di lincaknya. Karto mencari ke rumah Nyai Estu. Bagian 14, 15, 16, 17, 18 adalah tahap conflict atau pertikaian. Sampai dirumah Karto kaget karena Rudito tidak ada, ditabuhnya tanda baahaya. Peristiewea itu dilaporkan ke kelurahan. Lurah Ponco menuduh Karto telah membunuh Rudito dan mayatnya disembunyikan. Karto ditangkap oleh Mangundarmo atas perintah Ponco. Di Balai Desa Kartomenjadi pesakitan, ia dilakukan dengan tidak manusiawi.hingga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akhirnya Karto berani melawan Mangundarmo. Guru Tarman bermaksud membela Karto namun malah disambut dengan tidak baik. Bagian 19, 20, 21, 22, 23 adalah tahap complication atau tahap perumitan. Pada tahap ini lurah Ponco menyusun gerakan untuk melawan politiknya. Aparat desa Sumberwungu diminta jaga malam. Banyak mendengarkan pidato dari pusat. Walau keputusan Ponco ditolak oleh Kasan Ikromo selaku Jogo Boyo. Kegiatan Ponco juga diimbangi oleh kelompok pak Mantri dan guru Tarman. Pak Mantri dkk juga membentuk kelompok tersendiri. Bahkan kegiatan Ponco telah mendapat pengamatan dari apparat polisi. Dalam melancarkan aksinya Mangundarmo juga memanfaatkan Misuwur Budoyo. Dengan catatan kontrak jabatan. Bagian 24, 25, 26 adalah tahap penggawatan atau climax. Pada tahap ini terjadilah malapetaka setelah ada imformasi geger di Jakarta. Lurah Ponco
dkk
ditangkap
karena menjadi
anggota partai
terlarang.
Penangkapan diteruskan bagi warga Sumberwungu yang tercatat dalam daftar anggota tersebut. Misuwur Budaya dibubarkan, Bagian 27 tahap peleraian atau falling action.Tahap ini warga Sumberwungu berganti pemerintahan baru dengan pejabatan baru karena pejabat lama ditangkap dan entah di bawa kemana. Diharapkan dengan pemerintahan baru dapat pula menyejahterakan warga. Bagian 28, 29 adalah tahap penyelesaian atau denouement. Tahap ini disahkan Tumi tetap akan meneruska cita-citanya menjadib sinden sejati. Untuk dapat melancarkan tujuannya Tumi diperistri Renggo Baskoro
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seniman dari Argalaksa. Tumi mengganti namanya menjadi Renggamanis. Perkawianannya dengan Renggo Baskoro dikaruniai seorang putra yaitu Tuwuh.
Renggo Baskoropun hilang entah kemana. Ternyata Renggo
Baskoro merupakan agen ganda. Dari pembahasan tentang alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden bila dikaji dengan alur yang sama, secara konvensional menggambarkan alur yang sama. Masing-masing terdiri atas tiga jalinan peristiwa yaitu: bagian awal, tengah, dan akhir. Rangkaian unsurunsurtersebut adalah : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
c)
digilib.uns.ac.id
Penokohan dan perwatakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Dari
digilib.uns.ac.id
bagan
penokohan
dan
perwatakan
dapat
dijelaskan
intertekstualnya novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden, sebagai berikut: Tokoh utama protagonis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah: Srintil dan Tumi untuk novel Sinden. Tokoh utama protagonis yaitu tokoh yang selalu mendominasi dan mendukung jalannya cerita. Tokoh utama yang ditunjukkan oleh kedua novel tersebut memiliki unsur kesamaan dari segi fisik Srintil dan Tumi adalah perempuan cantik dan mempesona. Dari segi watak kedua tokoh memiliki watak yang baik hati, taat, berpendirian kuat serta kedua tokoh juga tergolong tokoh yang berkembang. Perbedaan dari kedua tokoh Srintil perempuan dusun yang sama sekali tidak mengenyam sekolahan, tetapi untuk Tumi mengalami sekolah walau hanya pendidikan dasar ( SMP belum lulus) dengan latar belakang pendidikan yang berbeda akan mempengaruhicara berpikirnya. Tokoh protagonis tambahan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah: Rasus, Sakarya, Sarkum, Goder, Tampi, Darsun, Warta. Untuk novel Sinden tokoh protagonis tambahan adalah: Nyai Estu, Gendon, Guru Tarman, Pak Mantri, Kasanikromo, Nyai Larasmadu, Pak Dandis, Agen Revin. Tokoh antagonis utama adalah tokoh yang menjadi sumber konflik tokoh utama. Tokoh antagonis utama novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah dukun ronggeng Sakarya dan Nyai Sakarya, sedangkan antagonis tambahan adalah: Marsusi, Bajus, Blengur, Dower, Sulam,Sentika, Waras. Untuk novel Sinden sebagai tokoh antagonis utama adalah Rudito, Lurah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Poncodrio, Mangundarmo, dan tokoh antagonis tambahan adalah: Nyai Suparni, Romo Pus, Bung Johan. Persamaan pada tokoh antagonis kedua novel tersbut sama-sama memicu terjadinya konflik egois, licik. Sedangkan segi pembedanya untuk novel RDP watak dari tokohnya tidak melalui kekerasan sedang pada novel Sinden wataknya keras dan kejam.
c. Deskripsi karakteristik tokoh novel RDP dan novel Sinden: 1) Tokoh dalam novel RDP (a) Srintil Srintil adalah perempuan yang cantik dan mempesona. Srintil juga mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Srintil perempuan yang taat kepada adat istiadat dan orang tua. Srintil juga tak berbeda dengan warga paruk
yang lainnya karena tidak mengenal
pendidikkan sehingga cara berpikirnya sangat sederhana. Srintil dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil juga termasuk tokoh yang berkembang karena watak tokoh Srintil mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Srintil ingin menjadi ronggeng waktu muda setelah dewasa ia sadar suara jiwanya bahwa ia ingin menjadi perempuan somahan. (b) Rasus Rasus adalah seorang yang menghormati wanita. Ia begitu menghargai Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan gambaran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kembali emaknya. Ketegaranya dalam mencari harapannya ia rela meninggalkan Neneknya. Rasus merupakan sosok yang jujur dan pekerja keras. Ia memiliki prinsip yang kuat dan teguh pendirian. Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang berkembang. Watak tokoh Rasus mengalami perubahan dari rasa kecewa terhadap Srintil dan Dukuh Paruk namun kemudian Rasus merubah semua itu menjadi sebuah rasa menyayangi dalam bentuk sebuah pengabdian. (c) Sakarya Sakarya adalah orang yang penuh tanggung jawab memikirkan kelangsungan dan kejayaan Dukuh Paruk. Walaupun
samapai harus
mengorbankan cucunya Srintil. Ia juga mampu membaca sasmita alam. Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Sakarya dapat dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang berkembang. Sakarya mempunyai watak yang tidak berkembang. Sepanjang cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk, karakter Sakarya tidak mengalami perubahan. (d) Kartareja Kartareja adalah sombong, licik, dan cerdik. Sifat sombong Kartareja
yaitu pada saat dipercaya menjadi dukun ronggeng, ia
memasang Kartareja memasang harga yang amat mahal untuk seorang ronggeng, dan juga ketika menanggapi Dower peserta sayembara bukakklambu. Ia juga seorang yang licik dalam usaha untuk mendapatkan kekayaan Sulam dan Dower dan ia juga cerdik dalam mengamankan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perhiasan Srintil. Sebagai dukun ronggeng ia bersama istrinya pandai memanfaatkan Srintil untuk mendapatkan uang dan materi yang lain. Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, Kartareja bisa dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kartareja juga dapat dikategorikan sebagai tokoh yang berkembang perwatakannya. Setelah Sakarya meninggal dunia, Kartareja memikul tanggung jawab untuk Dukuh Paruk. Karena ia satusatunya yang bisa menggantikan Sakarya sebagai kamitua di Dukuh Paruk. (e) Nyai Kartareja Nyai Kartareja adalah seorang nenek yang pandai merayu (pandai mengambil hati orang lain). Ia seorang nenek yang serakah dan licik dengan memanfaatkan Srintil ia akan menguras kekayaan laki-laki yang mendekatinya. Berdasarkan sifat atau karakter yang dimiliki oleh Nyai Kartareja. Tokoh
Nyai
Kartareja
dikategorikan
sebagai
tokoh
antagonis.
Perwatakannya tidak mengalami perkembangan sepanjang alur cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
2) Tokoh dalam Novel Sinden: (a) Tumi Tumi merupakan tokoh utama perempuan dalam novel
Sinden.
Tumi adalah perempuan Sumberwungu bercita-cita menjadi sinden sejati. Tumi perempuan lugu penunuh pesona. Tumi perempuan yang penuh percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan sifatnya, Tumi dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Tumi juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh Tumi mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh, sikap Tumi yang diwaktu belia sangat manja setelah dewasa menjadi pribadi yang mandiri. (b) Nyai Estu Nyai Estu wanita janda keturunan ningrat adik penguasa Sumberwungu merupakan guru sinden sejati. Nyai Estu istri Dalang Dipocarito yang sekarang mengambil istri Minten mboknya Tumi. Walaupun maru tetapi meraka saling menyayangi Tumi. Dengan peristiwa tersebut Nyai Estu mematuhi petuah gurunya Nyai Larasmadu. Bahwa dirinya harus mengembalikan citra sinden yang telah dihancurkan oleh segelintir orang. Sinden suka kawin cerai, Sinden menjadi wanita simpanan kebanyakan orang. Lewat Nyai Estu Sumirat mencoba untuk menjadi guru yang baik, selain memberikan contoh juga menanamkan prinsip sinden sejati kepada Tumi muridnya. Semua petuah Nyai Estu dapat dicermati pada kutipan di bawah ini: Berdasarkan sifatnya, Nyai Estu Suminar dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Nyai Estu juga termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh Nyai Estu mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(c) Kartosemedi Kartosemedi adalah orang tua dari Tumi. Kartosemedi hidup menduda karena istrinya Minten seorang sinden tergoda Dalang Dipocarito yang dapat membawa perubahan dalam hidupnya. Walaupun Dipocarito sudah memiliki istri Nyai Estu namun Minten terpikat karena sering menjadi sinden saat Dipocarito mendapat tanggapan. Kartosemedi adalah bapak yang sabar terhadap nasibnya, walaupun hidup menduda dengan sabar mengasuh anak gadisnya. Kartosemedi adalah seorang tokoh yang sabar, tabah, mempunyai pribadi yang kuat dalam menjalani prinsip hidup. Kartosemedi seorang bapak yang baik dan bertanggung jawab. Walaupun Kartosemedi hidup menjanda, ia mampu membawa anaknya dalam mencapai kesuksesan atas cita-citanya. Berdasarkan sifatnya, Kartosemedi dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Kartosemedi juga termasuk tokoh tidak berkembang. Watak tokoh Kartosemedi tidak mengalami perubahan dan perkembangan. (d) Poncodriyo Poncodriyo adalah keturunan ningrat yang memerintah sebagai kepala Desa Sumberwungu. Cara kepemimpinan Poncodriyo sudah terlihat sejak
masih
muda,
karena
para
leluhurnya
adalah
lurah
dari
Sumberwungu. Kepemimpinan Ki Poncodriyo berubah perangainya kereas setelah
Poncodriyo
tua.
Poncodriyo
inginlebih
meningkatkan
kedudukannya melalui kesanggupannya mendukung partai garis keras
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang menjajikannya. Keberingasan Ponco sudah tak memperdulikan rakyat dalam kegiatan politik dan pemerintahannya Poncodriyo adalah cerdik, licik, dan sombong. Sifat sombongnya terlihat ketika ia menerima Gendon dib alai desa. Ia juga seorang yang cerdik dalam menghasut hati rakyat hamper seluruh rakyat 72 % mendukung partai terlarang tersebut. Berdasarkan sifat tokoh, Poncodriyo bisa dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Poncodriyo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh yang berkembang perwatakannya. Setelah Poncodriyo keluar dari penjara terlihat diam. (e) Mangundarmo Mangundarmo
seorang
yang
kejam,
bengis
serasa
tidak
mempunyai rasa kemanusiaan. Mangundarmo adalah cerdik, licik, dan kejam. Kelicikannya dapat memperalat Poncodriyo untuk mencari kedudukan. Kejahatannya untuk memusnahkan lawan politiknya. Berdasarkan sifat tokoh, Mangundarmo bisa dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Mangundarmo juga dapat dikategorikan sebagai tokoh tidak berkembang perwatakannya. Setelah Mangundarmo ditangkap tidak pernah kembali lagi.
4) Latar atau setting Latar atau setting untuk kedua novel untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraiakan satu persatu. Setting dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk meliputi: setting tempat, setting waktu, dan setting sosial.Setting
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tempat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk setting primer terjadi pada Dukuh Paruk pemukiman yang sempit dan terpencil dengan gambaran kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan. Karena semua kejadian cerita novel dari awal sampai akhir cerita bersumber di Dukuh Paruk. Novel ini juga terdapat setting sekunder yang paling dominan adalah pasar Dawuan. Setting waktu novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk berkisah tentang kehidupan Dukuh Paruk mulai tahun 1957 samapai sekitar tahun 1971. Cerita ini dumulai setelah Sintil berusia 11 tahun mendapatkan indang ronggeng, meskipun diceritakan malapetaka tempe bongkrek yang membuat anak-anak Dukuh Paruk menjadi yatim piatu tahun 1946 secara flashback (kilas balik). Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk keadaan masyarakat yang miskin, bodoh dan keterbelakangan sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bersikap. Sehingga menjadi korban kekacauan politik yang akhirnya membawa penderitaan berkepanjangan semua warga Dukuh Paruk. Sedangkan untuk novel Sinden Setting tempat sebagai setting primer Desa Sumberwungu yang juga dikategorikan desa miskin kecamatan Semugih kabupaten Argalaksa Yogyakarta karena peristiwa awal sampai akhir terjadi di desa Sumberwungu sedangkan setting sekundernya Semugih sebagai kota kecamatan. Setting waktuNovel Sinden berkisah tentang kehidupan Sumberwungu mulai tahun 60-an samapai sekitar pergolakan partai terlarang yang puncaknya tanggal pertama bulan Oktober tahun 1965. Tanda-tanda terlukis dalam naskah diantaranya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gambaran zaman pegaber, adanya kegiatan Lurah Poncodriyo seperti kegiatan baris berbaris, membuat kolam dalam pekarangan, kegiatan tersebut disinyalir kegiatan pada era timbulnya PKI. Adanya penangkapan dan pembersihan para tokoh partai dan pengikut partai terlarang yang terdaftar. Setting sosial desa Sumberwungu masyarakatnya campuran antara wong cilik dan priyayi. Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa pamrih. Untuk para penguasa yang dilakukan kalangan Priyayi terjadi pergolakan perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Secara intertekstual setting waktu antara novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mengangkat peristiwa yang sama yaitu gerakan partai terlarang beserta akibat yang diterima oleh masyarakat saat itu dan berakhir meletusnya PKI tahun1965. Sedangkan untuk setting tempat dan sosial ada perbedaan. Tempat untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat latar kehidupan rakyat kecil Dukuh Paruk yang homogen, sedang novel Sinden masyarakat campuran antara rakyat keci dan para priyayi Desa Sumberwungu.
5) Poin of View novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sinden Sudut pandang yang digunakan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk menampilkan tokoh dalam novel disebut nama dan variasi kata ganti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan menyebut nama tokohnya, sehingga posisi pengarang ada diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya Sudut pandang yang digunakan pada novel Sinden yaitu pesona
dalam novel disebut nama dan
posisi pengarang ada diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasaan tokoh satu dengan tokoh lainnya. Secara intertekstual novel RDP dan novel Sinden ada persamaan
2. Intertekstual novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa. Hubungan intertekstual akan difokuskan dari persamaan dan perbedaan unsur-unsur struktur novel. 1) Tema Tema untuk kedua novel ada persamaan. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan tema sosial budaya kehidupan wong cilik sebagai penari ronggeng. Sedangkan untuk novel Sinden menghadirkan tema sosial budaya seputar kehidupan dan perjuangan wong cilik sebagai sinden.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Penokohan Tokoh yang ditampilkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sinden ada persamaan bila ditinjau dari perwatakan. Hal ini bisa dilihat dari tokoh utama wanita dalam kedua novel tersebut. Srintil tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kemiripan dengan tokoh utama Tumi pada novel Sinden. Tokoh utama novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil adalah seorang wanita yang cantik penuh pesona. Di usia belia Srintil perempuan yang taat baik kepada adat, orangtua, serta berkepribadian kuat, pantang menyerah dalam menentukan pilihan hidup. Begitu juga Tumi tokoh novel Sinden pada usia muda cantik mempesona, taat kepada perintah orang tua dan guru, mandiri, berkepribadian kuat, prinsip hidupnya kuat dalam mencapai tujuan yang diinginkan untuk menjadi sinden sejati. Namun dari segi prosesi dalam menjalani profesi ada perbedaan. Srintil menjadi ronggeng karena panggilan, sedangkan Tumi menjadi sinden karena kemauan sendiri, sinden adalah profesi yang diinginkan. 3) Setting latau latar Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk terjadi antara tahun 1957 sampai berakhir tahun 1971. Dikisahkan dalam novel pada tahun 1946 terjadi kefakuman ronggeng di dukuh Paruk, waktu itu Srintil belum lahir. Dukuh Paruk terjadi malapetaka tempe bongkrek. Setelah 11 tahun Srintil menjadi ronggeng. Pada usia 11 tahun inilah cerita ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimulai. Sedangkan berakhirnya sekitar tahun 1971 yaitu ketika Rasus telah kembali berkunjung ke Dukuh Paruk setelah ia bertugas samapi Dukuh Paruk mendapatkan Srintil sakit ingatan. Rasus bertindak untuk melindunginya Srintil dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Untuk novel Sinden mengenai waktu tidak dapat ditunjukan dengan pasti karena wujudnya hanya tersirat. Namun dapat ditangkap berdasarkan keadaan yang diterangkan dalam cerita terjadinya sekitar tahun 1960-an dan diakhiri setelah meletusnya gerakan PKI 1965 dikisahkan dalam cerita rakyat Sumberwungu mengalami zaman pagaber musim kemarau panjang bahan makan susah, berburu tikus kemudian dagingnya dimakan, adanya slogan sama rata sama rasa, hingga adanya penangkapan pemuka partai terlarang dan pencidukan warga yang terdaftar pada anggota partai terlarang. Kemudian diadakan pemberhentian aparat desa dan diganti dengan yang baru. Jadi setting waktunya mempunyai kesamaan mengangkat peristiwa pergolakkan politik tahun 1965 beserta dampak yang diterima oleh rakyat. Dalam kurun waktu 60-an sampai meletusnya PKI 1965. Setting Tempat dan sosial. Setting tempat kedua novel mempunyai perbedaan. Latar tempat pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan latar pedesaan terpencil yaitu dukuh Paruk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setting Sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan kesederhanaan, sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana masyarakat campuran antara wong desa dan priyayi yang penuh keangkuhan. 4) Alur atau Plot Alur atau plot novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden ada persamaan yaitu menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun
secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi
dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita. Rangkaian kejadian yang tersusun dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Rangkaian unsur-unsur itu pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). 5) Poin of View Sudut pandang yang digunakan pada alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mempunyai persamaan yaitu pesona
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari beberapa paparan terkait dengan tema, penokohan, setting tempat, waktu dan sosial bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa, maka dapat diketahui bahwa terdapat intertskstual dalam unsur pembangun cerita. Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam kedua novel tersebut menunjukan adanya hipogram untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, sedangkan novel Sinden sebagai bentuk transformasinya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menampilkan struktur yang berupa kesejajaran, penyempitan dan pertentangan atau perbedaan. Kesejajaran bahwa kedua novel sama-sama mengangkat tema sosial budaya daerah tertentu dan mengambil latar belakang waktu pengisahan yang sama sekitar tahun 1960-an dimana pada saat itu baru gencar-gencarnya isu G30S/PKI dan seni tradisional dijadikan peralatan dalam propaganda suatu politik, penyempitan terjadi dalam novel Sinden terjadi mempersempit tema dengan menyajikan permasalahan-permasalahan yang agak sederhana bila dibandingkan dengan
novel
Ronggeng
Dukuh
Paruk,
sedangkan
bentuk
pertentangan atau perbedaannya terdapat dalam penokohan atau perwatakan dalam novel RDP guru sebagai pendidiknya (dukun ronggeng) tidak menanamkan etika kebaikan, sedangkan dalam novel
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sinden ditampilkan sosok guru sinden yang pantas untuk diteladani dengan menanamkan tatakrama yang baik. Bukti lain adalah tahun terbit novel. Novel Ronggeng Dukuh Paruk terbit pertama kali tahun 1981, untuk novel Sinden terbit pertama kali tahun 2005. Dalam kajian intertekstual tahun terbit ini dapat digunakan bukti bahwa sebuah karya sastra yang terlahir lebih dulu dapat menjadi inspirasi karya sastra berikutnya. Inspirasi terjadi dapat dijelaskan secara inplisit bahwa karya novel Sinden ada kemiripan, kemiripan kisah tersebut sebagai bukti adanya faktor pengarang terinspirasi oleh tek terdahulu.
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Sinden a. Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk 1) Nilai Pendidikan Religius Nilai religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat kaitannya dengan penciptaNya. Wujud dari hubungan tersebut dapat berupa doa-doa ataupun upacara-upacara adat. Doa dan upacara tersebut dipanjatkan merupakan wujud suatu kesadaran bahwa semua yang ada di muka bumi ini ada yang menciptakannya. Bentuk religius tersebut berupa keyakinan dan kepercayaan terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berbeda dengan Rasus yang telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk. Rasus sudah mengenal agama sehingga menjalankan ibadah sholat sesuai yang dianutnya. 2) Nilai Pendidikan Budaya Bentuk budaya Jawa yang dapat digunakan untuk menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden yakni adat kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat klas bawah dan rakyat klas atas. Rakyat klas bawah dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu yang dilakukan warga Dukuh Paruk, sedangkan Klas atas para priyayi di Dawuhan. Sedangkan dalam novel Sinden yang tergolong rakyat klas bawah adalah sebagian warga desa Dawuhan dan untuk golongan klas atas para priyayi desa Dawuhan. Nilai pendidilan sosial budaya novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis fokuskan pada analisis budaya rakyat klas bawah diantaranya ` sebagai berikut: (a) Ngeluri Tradisi (Melestarikan tradisi). Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh golongan klas bawah (wong cilik) mendominasi cerita. Srintil sebagai golongan rakyat bawah menjadi seorang
ronggeng merupakan anugerah
karena mendapat kepercayaan dari para leluhurnya dengan mendapat indang ronggeng. Merupakan keberhasilan hidup yang harus disyukuri. Betapa berat tradisi yang berlaku di suatu tempat tetap dijunjung tinggi oleh warganya demi keberhasilan dari yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diinginkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. tradisi yang dilakukan merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang sering dilakukan
golongan klas
bawah
untuk
mendapatkan
kemuliaan hidup. (b) Sapa temen bakal tinemu (bekerja dengan sungguh-sungguh) Setelah melarikan diri ke Dukuh Paruk Rasus menemukan harapan baru dalam kehidupannya setelah dikecewakan Dukuh Paruk. Menurut Rasus Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari hatinya.
Untuk
mewujudkan
harapan
tersebut
Rasus
rela
meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di Pasar Dawuan. Bahwa sifat sapa temen bakal tinemu dari apa yang akan dicita-citakan, serta dengan kejujuran akan membawa keberkahan bagi dirinya sendiri. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, temen merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang harus dilakukan wong cilik maupun golongan klas atas untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. (c) Eling lan waspada (selalu wapada) Sakarya merupakan orang yang bijaksana dan penuh kehatihatian. Ketika orang-orang Dukuh Paruk larut dalam hiruk-pikuk perayaan tujuh belasan, Sakarya tidak ikut-ikutan. Sakarya tetap penuh kehati-hatian. Ia mempunyai filsafat yang sederhana yaitu eling lan waspada karena segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada kegembiraan pastilah ada kesusahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Manusia pada umumnya gampang lupa bila mendapatkan suatu nikmat, sehingga mudah terjerumus dalam penderitaan. Untuk itu perlu kiranya sifat eling lan waspada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang harus dilakukan wong cilik maupun golongan klas atas untuk tetap selalu ingat kepada keagungan Tuhan. 3) Nilai Pendidikan Sosial Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu, mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31). (a) Kerukunan Warga Paruk yang hidup di dukuh kecil dan masih berasal dari satu keturunan memiliki rasa kerukunan yang kuat. Pada waktu Srintil berlatih meronggeng di rumah Kartareja banyak warga yang tertarik kepada Srintil. Rasa ketertarikan itu menunjukan
suatu
dukungan
para
perempuan
yang
menyaksikannya. 4) Nilai Pendidikan Moral Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik seperti budi pekerti, akhlak, dan etika. Sikap budi luhur merupakan sebuah sikap yang dilakukan manusia dalam menjalankan kehidupannya yang dilandasi sikap mulia seperti: kasih sayang, balas budi, adil, tidak membeda-bedakan, suka menolong. (a) Budi Luhur Rasus memiliki sifat budi luhur, sikap tersebut diberikan kepada Srintil perempuan yang telah mengecewakan hatinya, hingga membuat Rasus pergi dari Dukuh Paruk menuju Dawuan. Sifat budi luhur tercermin bahwa Rasus tidak memiliki rasa dendam terhadap Srintil. Ketika Srintil mengalami gangguan kejiwaannya dengan iklas Rasus menolong membawanya ke rumah sakit jiwa. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap balas budi dan budi luhur dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap tersebut merupakan bentuk tindakan manusia dalam menjalankan hidupnya yang dilandasi sifat mulia tahu balas budi, suka menolong, dan ikut merasakan penderitaan orang lain. b. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Sinden 1) Nilai Pendidikan Religius Novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa terdapat nilainilai religius. Nilai-nilai tersebut tertanam dalam keyakinan jiwanya akan keadilan Tuhan terhadap semua perbuatan manusia di muka bumi ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keyakinan akan perbuatan manusia yang tertanam dalam hati Rakyat Sumberwungu adalah sapa salah seleh, sapa nggawe bakal ngenggo. 2) Nilai Pendidikan Budaya Nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Sinden penulis fokuskan pada analisis budaya wong cilik yang meliputi sebagai berikut: (a) Aja Seneng Raben (Menolak budaya kawincerai) Dalam novel Sinden tokoh cerita Tumi ditanamkan prinsip kawin cerai. Prinsip tersebut ditanamkan oeh orang tuanya yaitu Kartosemedi dan oleh gurunya yaitu Nyai Estu Suminar. Walau kenyataannya Tumi adalah korban kawin cerai dari orang tuanya. Untuk itu mengingat peristiwa itu pada Tumi ditanamkan kebiasaan kawin cerai yang dilakukan sinden sumberwungu. Pesan tersebut untuk membangun citra sinden yang telah dicemarkan perilaku beberapa sinden yang dengan mudah kawin cerai (raben), tidak memiliki kesetiaan terhadap pendamping hidupnya. Maka Nyai Estu yang juga korban kawin cerai oleh suaminya mewanti-wanti pesan pada murid-muridnya untuk selalu setia pada pasangan hidupnya (b) Aja Seneng Royal (Membudayakan dengan penampilan sederhana) Nyai Estu guru sinden sejati juga menanamkan sekaligus memberi contoh kepada muridnya bahwa dalam menyinden sinden tidak perlu dandan yang terlalu berlebihan cukup sederhana saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karena dengan kesederhanaan mewujudkan keaslian diri akan menarik banyak orang. Bahwa untuk mengembalikan citra sinden sejati harus mampu menjadi
figur
sinden
yang
tidak
melakukan
tindakan
yang
meremehkan dirinya sendiri, seperti raben ( suka kawin cerai), royal (berpenampilan yang berlebihan). Dengan kemampuan olah pikir, olah rasa, olah cara dan olah batin dapat mewujudkan sinden sejati yang bermartabat. 3) Nilai Pendidikan Sosial Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu, mengenai segala perbuatan yang dianggap baik, ataupun buruk. Karya sastra tercipta selalu melibatkan sistem sosial yang terjadi di suatu wilayah tertentu. Tata nilai sosial tentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan dalam karya sastra dengan ekspresinya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31). Kehidupan sosial kemasyarakatan untuk warga desa Sumberwungu terlihat rukun. Warga Sumberwungu sangat peduli terhadap penderitaan sesama warga. Bentuk kepedulian itu ada yang berupa harta, pikiran, tindakan. Bentuk kepedulian warga Sumberwungu terhadap keluarga yang mendapat musibah, seolah-olah juga ikut merasakan penderitaan ini. Dngan
demikian
dapat
disimpulkan
keadaan
sosial
desa
Sumberwungu untuk kalangan wong cilik kehidupan warganya yang saling rukun, suka menolong dalam mengatsai kesulitan dengan tanpa pamrih.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d) Nilai Pendidikan Moral Joko Widagdo (2001: 30) mengemukakan moral diartikan sebagai norma, dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilainilai pendidikan tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap. Kewajiban moral dalam masyarakat yang baik seperti budi pekerti, akhlak, dan etika. Nilai pendidikan moral dalam novel Sinden dapat dilihat dari tokoh Tumi. Tokoh ini digambarkan pengarang sebagai tokoh perempuan remaja yang baik. Citra sinden di mata penduduku yang semulanya negatif, melalui tokoh Tumi citra buruk tersebut dapat diubah menjadi citra yang positif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan 1. Struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden terdiri dari (a) Tema Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mengangkat tema sosial budaya perjuangan wong cilik sebagai penari ronggeng dan sinden. (b) Penokohan atau perwatakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Sinden terdiri dari tokoh protagonis, tokoh antagonis, tokoh utama dan tokoh tambahan. Srintil tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan tokoh utama Tumi pada novel Sinden. (c) Setting waktu antara novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden mengangkat peristiwa yang sama yaitu sekitar tahun 1960-an dimana saat itu sedang gencar-gencarnya isu G30S PKI dan berakhir meletusnya PKI tahun 1965-an. Sedangkan untuk setting tempat dan sosial untuk novel Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat latar kehidupan rakyat kecil Dukuh Paruk yang homogen, sedang novel Sinden masyarakat campuran antara rakyat kecil dan para priyayi Desa Sumberwungu. (d) Alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden menggunakan alur maju. Dalam artian jalinan cerita tersusun secara urut melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dipahami secara lengkap mulai awal sampai akhir cerita. (e) Sudut pandang yang digunakan pada alur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden pengarang berada di luar cerita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Hubungan intertekstual berdasarkan keterkaitan unsur pembangun novel, novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai hipogram dan novel Sinden sebagai transformasinya. Persamaan dan perbedaan unsur-unsur struktur novel. Persamaan: tema pada kedua novel yaitu sosial budaya, perjuangan wong cilik sebagai penari ronggeng dan pesinden, penokohannya menggunakan tokoh wanita muda belia yang cantik belia, alur kedua novel menggunakan alur maju, setting waktu sekitar tahun 1960-an, sudut pandang atau Poin of View
-
. Perbedaan: penokohan pada novel
Ronggeng Dukuh Paruk tokoh utama Srintil menjadi ronggeng karena panggilan, sedangkan untuk novel Sinden tokoh uatama Tumi karena citacita, latar tempat pada novel Sinden menggunakan latar desa yang agak maju (dibawah pimpinan Priyayi) sebagai latar primer yaitu desa Sumberwungu, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan latar pedukuhan terpencil, miskin, terbelakang yaitu dukuh Paruk, setting sosial novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan sosial kemasyarkatan masyarakat pedesaan dengan penuh keluguan dan kesederhanaan, sedangkan segi sosial novel Sinden menghadirkan latar suasana masyarakat campuran antara wong cilik dan priyayi yang penuh keangkuhan. 3.
Nilai pendidikan novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Sinden ialahnilai pendidikan religius, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan moral. Keempat nilai pendidikan tersebut terintegrasi dan diwujudkan dalam kedua novel masing-masing melalui penggambaran perwatakan para tokoh-tokohnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Implikasi Perkembangan dan perubahan paradigma
sastra perlu direspon secara
positif. Hai itu karena karya sastra khususnya novel memuat fenomena kehidupan yang dapat direalisasikan pemanfaatannya dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini kajian intertekstual pada novel RDP dan Sinden akan mampu menambah wawasan manusia yang memiliki kepakaan rasa, empati, jiwa dan pikiran jika dibaca dengan cermat, teliti penuh pemahaman. Sebab sastra adalah sebuah refleksi kehidupan dengan fenomena yang tertata secara rasional yang terjadi di masyarakat. Dalam novel RDP dan Sinden menawarkan fenomena kehidupan masyarakat lapisan bawah dalam berjuang untuk perubahan kelangsungan hidupnya. Srintil dalam RDP perempuan yang menjadi penari ronggeng kurban pemaksaan budaya leluhur yang selalu mendapat nasib kemalangan hidupnya, tetap berjuang menuju perubahan nasibnya untuk menjadi perempuan seutuhnya. Begitu pula Dukuh Paruk yang selalu membanggakan budaya leluhurnya dan membiarkan tindak asusila dalam kehidupannya ternyata tidak membawa kedamaian dan kebahagiaan selalu datang bencana menyertainya. Maka putra Paruk, Rasus berani hidup keluar dari Paruk sehingga dapat menemukan jatidirinya. Begitu pula dalam novel Sinden yang menawarkan paradigma baru menjadi sinden harus dapat menjujung tinggi citra sinden. Agar pesinden mempunyai martabat dalam masyarakat. Dengan demikian novel ini akan mampu memberi nilai-nilai baru yang dapat diteladani. Nilai tersebut antara lain : nilai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
religius, kompleksitas kehidupan sosial, pemahaman kebudayaan, serta kesadaran untuk tidak mengekploitasi seks dalam kehidupan yang berdampak kurang baik. Implikasi Teoritis bahwa dengan pesatnya penelitian sastra dengan berbagai pendekatan maka penelitian sastra melalui pendekatan intertekstualitas dapat memperkaya kajian telaah sastra. Model kajian secara struktural yang dilanjutkan dengan intertekstualitas dapat dimanfaatkan menjadi acuan pengkajian sastra yang berbeda dengan pendekatan yang berbeda pula. Kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas dapat pula menjadi solusi untuk mengatasi kemandulan kajian sastra. Implikasi Praktis diharapkan penelitian ini kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas ini merupakan salah satu novel yang menggunakan dua pendekatan dalam menelaah dan mengapresiasi dua karya novel atau lebih. Dua pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan strukturalisme yang dilanjutkan pendekatan intertekstual dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan telaah sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra disekolah. Sehingga dalam pembelajaran sastra tidak hanya sekedar teori saja, namun kegiatan apresiasi sastra harus mampu mendorong peserta didik untuk lebih mencintai, memahami, serta meneladani nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sehingga akan terbentuk pribadi yang dewasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Saran Saran-saran ini ditujukan kepada para pendidik dan tenaga kependidikan, peneliti sastra, dan para pembaca sebagai bahan pertimbangan dalam mengabdikan tugas-tugas mereka: 1. Bagi Pendidik a. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa sangat baik untuk digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra dan dapat pula digunakan untuk membandingkan unsure-unsur struktur novel sehingga dapat ditemukan persamaan dan perbedaannya. b. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Sinden karya Purwadmadi Admadipurwa yang berupa pendidikan sosial budaya, nilai-nilai religius, dan nilai moral/budipekerti sangat baik untuk ditanamkan pada anak didik. 2. Bagi Pembaca a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mengenai pembahasan tokoh dan perwatakannya. b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca mengenai nilainilai pendidikan yang ada di dalamnya. 3.
Bagi Peneliti Sastra Penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
untuk
penelitian
berikutnya ketika menganalisis karya sastra, khususnya untuk pendekatan intertekstual.
commit to user