MASALAH SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh: Fitri Khoiriani NIM 1110013000065
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAK Fitri Khoiriani, 1110013000065, “Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Jamal D. Rahman, M. Hum. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan masalah sosial dalam Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dan implikasisnya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif kualitatif dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sastra dan sosiologi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa masalah sosial banyak timbul dikalangan masyarakat kalangan bawah. Masalah sosial yang timbul adalah masalah kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, masalah pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat yang meliputi pelacuran dan homoseksualitas. Sedangkan penyebab munculnya masalah sosial adalah karena faktor ekonomi dan kebudayaan. Analisis kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dapat memenuhi standar kompetensi pada pembelajaran sastra melalui memahami keterkaitan unsur intrinsik cerpen dengan kehidupan sehari-hari. Melalui pembelajaran ini diharapkan akan menimbulkan kepekaan dalam diri peserta didik terhadap lingkungan di sekitarnya sehingga akan terbentuk sikap toleran, menghargai, tolong-menolong antarsesama.
Kata kunci: masalah, sosial, cerpen, Mata yang Enak Dipandang, Ahmad Tohari
i
ABSTRACT
Fitri Khoiriani, 1110013000065, "Social Problems in Set of Short Stories entitle Mata yang Enak Dipandang written by Ahmad Tohari and Its Implication towards Indonesian Language and Literature Education", Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers‟ Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: D. Jamal Rahman, M. Hum. This study aims to describe social problems in the set of short stories entitle Mata yang Enak Dipandang and its implication towards Indonesian language and literature learning. The method used in this research is a qualitative descriptive by using literature and sociology approach. Based on the analysis which had been conducted by the researcher, the results of this study indicate that many social problems arise among the people frequently from lower classes. Those problems are such of poverty, crimes, family disorganization, juvenile delinquency in modern society, and violation of the norms of the society which includes prostitution and homosexuality. While factors caused those social problems are due to the economic and cultural issues. Analysis of the short story collection can meet the standard of competence in learning literature through understanding the relevance of the intrinsic elements of a short story with everyday life. Through this study, it is expected to make sensitivity in self-learners towards their environment around them so that it will shape a tolerant attitude, respecting each other, and helping each other.
Keywords: problems, social, short stories, Mata yang Enak Dipandang, Ahmad Tohari
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahi robbil „alamin segala puji bagi Allah atas segala yang ada di semesta jagad raya dan telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan untuk Nabi besar Muhammad Saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya. Penulis menyusun penelitian ini untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan. Dalam penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, dan semangat dari berbagai pihak. Semua itu tak lain untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang lebih baik dan kaya informasi, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Ahmad Tib Raya, M.A dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2. Dra. Hindun M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 3. Dona Aji
Karunia Putra, M.A., selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing yang dengan kesabarannya membimbing penulis merampungkan penelitian ini. 5. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan. 6. Drs. Cecep dan Nuri Saroh, kedua orang tua yang mempunyai kesabaran yang sangat luar biasa menunggu penyelesaian skripsi ini, dengan tak lupa memberikan dukungan yang tiada henti. 7. Fatmawati, Kakak yang selalu memperlihatkan cara untuk terbuka pada diri sendiri. Serta Adik penulis, Fikri Nur Rohmadina yang selalu iii
menengahi keributan di rumah dengan penjelasan agamanya, tak lupa Nur Arifik Mugni Habibi dan Hasbi Mayar Nurkamil yang penulis sayangi. 8. Teman-teman terdekat penulis selama di perkuliahan yang tergabung dalam PKK (Penggiat Kumpul Kosan), Aulia Herdiana Puspasari, Rizkia Auliani, Dwina Agustin, Ade Fauziah, Mawaddah, Nurul Inayah, Tazka Adianti, Yunia Ria Rahayu, Mabruroh, Aisyatul Fitriah dan anggota lain yang ikut meramaikan. 9. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas B yang selalu memperlihatkan kekompakannya baik dalam kelas maupun di luar kelas perkuliahan. 10. Dini Pratiwi, Fitriza Romly, Rika Anjani, Sarifatul Hidayah (Ipeh), Purnama Wulandari, dan khoerunnisa yang tergabung dalam gang “The Gambreng” serta anak-anak kelas XI IPA 2 MA Negeri 2 yang sampai saat ini masih sangat kompak. 11. Guru-guru MI Nurul Huda, SMP Negeri 16 Bogor, MAN 2 Bogor yang telah menuntun penulis sampai pada tahap ini. Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah membalas kalian semua. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca. Jakarta,
Penulis
iv
Februari 2015
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 4 C. Pembatasan Masalah ................................................................................ 4 D. Rumusan Masalah .................................................................................... 5 E. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5 F. Manfaat Penelitian ................................................................................... 5 G. Metodelogi Penelitian ............................................................................... 6
BAB II KAJIAN CERPEN, MASALAH SOSIAL DAN SOSIOLOGI SASTRA .............................................................................................................. 9 A. Hakikat Masalah Sosial ............................................................................. 9 1. Pengertian Masalah Sosial ................................................................. 9 2. Beberapa Masalah Sosial Penting ...................................................... 11 3. Faktor Penyebab Masalah Sosial ....................................................... 15 B. Hakikat Cerpen.......................................................................................... 16 1. Pengertian Cerpen .............................................................................. 16 2. Unsur-unsur Cerpen ........................................................................... 17 C. Sosiologi Sastra ........................................................................................ 26 D. Pembelajaran Sastra ................................................................................. 29
BAB III AHMAD TOHARI DAN KARYANYA ............................................. 33 A. Biografi AhmadTohari .............................................................................. 33 B. Karya-karya Ahmad Tohari ...................................................................... 36
v
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KUMPULAN CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI ............................. 40 A. Unsur Intrinsik dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari ................................................................................ 40 B. Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang KaryaAhmad Tohari ................................................................................. 53 1. Bentuk Masalah Sosial dalam Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari ...................................................... 53 a. Masalah Kemiskinan .................................................................... 53 b. Masalah Kejahatan atau Kriminalitas .......................................... 56 c. Masalah Disorganisasi Keluarga .................................................. 60 d. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern.................... 64 e. Masalah Pelanggaran Terhadap Norma-norma masyarakat ........ 65 2. Penyebab Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari ...................................................... 71 C. Implikasi Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ............................................. 76
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 79 A. Simpulan .................................................................................................. 79 B. Saran ......................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI RIWAYAT PENULIS
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreativitas seorang pengarang mengenai ide, pemikiran atau pendapat tentang suatu hal baik yang ia dengar dari orang lain atau yang ia lihat dan rasakan sendiri, yang dikemas sedemikian rupa sehingga orang yang menikmati karya sastra itu dapat memahami maksud si pengarang. Dalam sebuah karya sastra sering dijumpai peristiwa-peristiwa dan permasalahan yang diceritakan, karena kelihaian dan kemampuan imajinasi pengarang, tampak konkret dan seperti benar-benar ada dan terjadi. Apalagi jika ditopang oleh latar dan para tokoh cerita yang meyakinkan, misalnya sengaja dikaitkan dengan kebenaran sejarah, cerita itu pun akan lebih meyakinkan pembaca. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu seperti yang ditemuinya dalam dunia realitas, maka peristiwa-peristiwa atau berbagai hal yang dikisahkan dalam cerita itu tidak lagi dirasakan sebagai cerita, sebagai manifestasi peristiwa imajinatif belaka, melainkan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat faktual yang memang ada dan terjadi di dunia nyata. Oleh sebab itu, tidak salah apabila dikatakan karya sastra sebagai cerminan masyrakat. Karya sastra bukan hanya mampu menggambarkan keadaan masyarakat, namun lebih dari itu sastra bahkan mampu menunjukkan arah dan membentuk perkembangan masyarakat.1 Karya sastra dapat mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah yang pelik, menyadarkan pikiran yang jahat dan keliru, mengajak orang untuk mengasihi manusia lain, dan memberi gambaran bahwa nasib setiap manusia berbeda-beda, manusia ditakdirkan untuk hidup, sedangkan hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan dan ancaman-ancaman2.
1
Jakob Sumardjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusasteraan. (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 57 2 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa, 1987), h. 8-9
1
2
Dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak lepas dari pengaruh lingkungan kehidupan di mana sastra itu tumbuh. Ia tercipta dalam rangka merelasikan apa yang dirasakan serta dialami pengarang di lingkungannya yaitu tempat ia bersosialisasi.
Oleh sebab itu, sebuah karya sastra mengungkapkan tentang
masalah-masalah manusia, perjuangan, kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Selain itu, dengan memanfaatkan acuan peristiwaperistiwa realitas sebagai dasar penceritaannya akan menjadikan sebuah karya sastra akan menjadi lebih nilai tambah bagi pembaca. Melalui karya sastra, pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dan ingin menafsirkan makna hidup dan hakikat hidup. Banyak bentuk karya sastra yang dapat digunakan oleh seorang pengarang dalam menuangkan idenya seperti karya sastra berbentuk puisi, drama dan prosa. Semua bentuk karya sastra itu tentu memiliki jenis-jenis lagi seperti prosa yang memiliki bentuk lain, diantaranya adalah cerpen. Dengan caranya yang menyelusup dalam satu cerpen, pengarang bisa menceritakan segala pengalaman yang dulu diceritakan dalam satu roman besar. Dengan adanya cerpen seorang pengarang dapat membuat sebuah cerita yang dapat memperlihatkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan untuk dirinya dan masyarakat lain yang ikut merasakannya dalam waktu yang relatif sebentar, namun bisa langsung mengena di hati pembaca. salah satu tema yang sering diangkat oleh pengarang adalah mengenai masalah sosial yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah. Pada dasarnya karya sastra menawarkan masalah manusia dan kemanusiaan, masalah hidup dan kehidupan. Masalah kemanusiaan dalam sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari masalah kemanusian yang tertangkap oleh pengarang, karena pengarang adalah bagian dari masyarakat. Masalah sosial yang terdapat dalam sebuah karya sastra merupakan reaksi dan tangggapan pengarang terhadap berbagai kenyataan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Masalah sosial yang terjadi di masyarakat saat ini sudah sampai tahap memperihatinkan, bahkan seolah masyarakat sudah memandang apa yang menjadi masalah sosial adalah hal yang biasa terjadi atau bahkan mungkin tidak
3
mengetahui apa yang mereka lihat dan rasakan merupakan sebuah masalah. Sehingga menyebabkan pola pikir masyarakat pun berubah dalam memandang sebuah peristiwa yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di negara ini. Contoh masalah sosial yang terjadi di masyarakat adalah masalah kemiskinan yang menjadi pangkal munculnya masalah-masalah sosial lainnya seperti tindak kejahatan, pelacuran atau pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di mayarakat. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada maret 2014 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28 juta jiwa.3 Meski jumlah ini telah menurun dibandingkan dengan survei yang dilakukan bulan Januari 2014 yaitu mecapai 28,55 juta jiwa4, tetap saja tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Salah satu sastrawan yang konsisten mengangkat masalah sosial dalam karyanya adalah Ahmad Tohari. Ahmad Tohari adalah sastrawan yang namanya melejit setelah pertengahan 1970. Ahmad Tohari merupakan sastrawan yang selalu menampilkan karya-karyanya dengan tokoh masyarakat kalangan bawah. Ada beberapa orang yang menganggap, hasil karya Ahmad Tohari sebagai kritik sosial yang mengangkat kehidupan kecil. Emha Najib, Budayawan asal Yogya pernah mengatakan bahwa Ahmad Tohari lebih pantas disebut sebagai kritikus sosial dari pada sebagai novelis. Mengenai pendapat itu Ahmad Tohari mengatakan, “Pendapat itu memang dapat saya maklumi. Karena tema tulisan-tulisan sastra saya selalu berkisar pada masalah yang dihadapi rakyat kecil di sekitar lingkungan tanah kelahiran saya. Bahkan dapat saya sebutkan, cerita yang saya tulis adalah realita yang memang ada di masyarakat saya... hal itu merupakan perwujudan keprihatinan saya dalam masalahmasalah sosial”5
3
Ridho Syukro, “BPS: Maret 2014, Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Capai 28 Juta”, http://www.beritasatu.com/nasional/193810-bps-maret-2014-jumlah-penduduk-miskin-indonesiacapai-28-juta.html, diakses 04 April 2015, pukul 11:56 4 Pebrianto Eko Wicaksono, “Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Meningkat Jadi 28,55 Juta Jiwa”, http://bisnis.liputan6.com/read/790061/jumlah-penduduk-miskin-indonesia-meningkatjadi-2855-juta-jiwa. 04 April 2015, pukul 11:00 5 Eko Widayatno, “Hidup dalam Sehari „Si Ronggeng‟ Ahmad Tohari”,Harian Umum Republika, Jakarta, 13 Juni 1993, h. 4
4
Mata yang Enak Dipandang adalah salah satu karya dari Ahmad Tohari. Mata yang Enak Dipandang merupakan kumpulan cerpen yang memuat lima belas karya Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya. 6 Hal yang menjadi alasan peneliti menjadikan kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah kebanyakan peneliti yang menganalis karya Ahmad Tohari mengambil objek novel dalam penelitiannya terutama Ronggeng Dukuh Paruk, dan cukup sedikit yang meneliti cerpencerpennya padahal cerpen-cerpen yang dibuat oleh Ahmad Tohari pun sangat layak untuk diteliti. Namun, alasan yang paling penting kenapa menggunakan Mata yang Enak Dipandang adalah kumpulan cerpen ini banyak mengangkat masalah sosial yang dapat membantu siswa untuk mengetahui apa saja bentuk masalah sosial yang berada di lingkungan mereka selain itu siswa dapat membentuk karakter siswa seperti rasa peduli, tanggung jawab, toleransi, serta bijaksana dalam memandang sebuah peristiwa yang mereka temui di lingkungannya. Penelitian ini didasari oleh pandangan bahwa sastra pada dasarnya merupakan cerminan dari masyarakat. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Sebuah pendekatan multidisipliner yang mengkaji hubungan antara kondisi kehidupan sosial masyarakat dengan karya sastra. Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini mengambil judul Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
6
Ahmad Tohari, Mata yang Enak Dipandang, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama), sampul halaman belakang.
5
B. Idetentifikasi Masalah 1. Masalah sosial yang terjadi di masyarakat sudah sangat memprihatinkan. 2. Sebagai kumpulan cerpen, Mata yang Enak Dipandang belum banyak dianalisis 3. Kurangnya pembahasan mengenai masalah sosial yang diimplikasikan terhadapat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
C. Pembatasan Masalah Banyak hal yang dapat diteliti dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. namun, hal yang paling menonjol dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang adalah gambaran masalah sosial. Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada analisis masalah sosial dalam tujuh cerpen yang terdapat kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari yang terdiri dari yaitu, (1) “Mata yang Enak Dipandang”, (2) “Bila Jebris Ada di Rumah Kami”, (3) “Penipu yang Keempat”, (4) “Warung Penajem”, (5) “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, (6) “Rusmi Ingin Pulang”, (7), “Dawir, Turah, dan Total.” dan bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang? 2. Bagaimana implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa Indonesia?
E. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsiskan masalah sosial dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. 2. Mendeskripsikan implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah.
6
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian sebagai sarana kajian peneliti dalam menerapkan salah satu pendekatan dalam karya sastra dan hasil penlitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan penerapan ranah ilmu sastra serta studi tentang sastra dan juga penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pembaca sebagai sumber penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian diharapkan dapat mengetahui secara lebih lengkap tentang Ahmad Tohari dan karya-karyanya, memberikan sedikit gambaran tentang masalah sosial yang ada di masyarakat dan apa yang menyebakan munculnya masalah sosial tersebut melalui analisis kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang sehingga dapat meningkatkan sikap kritis mengenai keadaan di masyarakat.
G. Metodelogi Penelitian 1. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang belum diketahui. pendekatan ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui dan dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan
yang penting untuk
memahami suatu fenomena sosial dan prespektif individual yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah menggambarkan, mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Pemahaman fenomena ini dapat diperoleh dengan cara
7
mendeskripsikan dan mengeskplorasikannya dalam sebuah narasi.7 Sementara itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penggunaan metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran, deskripsi, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. 2. Sumber Data Menurut Nyoman Kutha Ratna, dalam ilmu sastra, sumber data adalah karya, naskah, data penelitian, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.8 Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah Kumpulan cerpen Mata yang Enak di Pandang karya Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh PT Gramedia, cetakan pertama dengan tebal 215 halaman. Sedangkan, data sekuder yaitu berupa data-data dari buku, majalah, esai, jurnal, online dan dokumen-dokumen lain yang menunjang dalam penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.”9 Studi dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen untuk mendapatkan data atau informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menganalis dengan membaca secara terus menerus terhadap sumber data primer yaitu teks kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari untuk memperoleh data yang diperlukan yaitu gambaran masalah sosial. Hasil analis tersebut kemudian 7
Syamsuddin AR, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosada karya, 2006) h. 73-74 8 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra ,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 47 9 . h. 329
8
digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.
BAB II TINJAUAN MASALAH SOSIAL, CERPEN DAN SOSIOLOGI SASTRA Pada prinsipnya, penelitian tentang “Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra” ini memanfaatkan kajian interdisipliner, yaitu penelitian antardisiplin atau bidang studi sosiologi dan sastra. Oleh karena itu, perlu diperjelas lebih dalam tinjauan teori yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, meliputi tinjauan cerpen, tinjauan masalah sosial, tinjauan sosiologi sastra, serta tinjauan terhadap pembelajaran sastra
A. Hakikat Masalah Sosial 1. Pengertian Masalah Sosial Dalam setiap usaha manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya senantiasa tidak lepas dari benturan-benturan antara nilai, norma-norma sosial dengan
keterbatasan
kemampuan
dan
sumber-sumber
kebutuhan
yang
diperebutkan. Jika nilai-nilai atau unsur-unsur kebudayaan pada suatu waktu mengalami perubahan, di mana anggota-anggota masyarakat merasa terganggu atau tidak dapat memenuhi kebutuhan melalui kebudayaan tadi, maka timbul gejala-gejala sosial yang meresahkan masyarakat yang disebut dengan masalah sosial. Banyak para ahli khususnya ahli sosiologi yang telah mencoba untuk mendefinisikan masalah-masalah sosial, yang pada dasarnya mengarahan perhatiannya pada kondisi ketidak-seimbangan perilaku, moral, dan nilai-nilai sosial. Hal ini diartikan sebagai suatu kehidupan masyarakat yang sebelumnya normal menjadi terganggu, sebagai akibat dari perubahan pada unsur-unsur dan kepentingan manusia.10
10
Abdulsyani, Sosiologi (Skematika, Teori, dan Penerapannya), (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), cet. ke. 4, h. 182
9
10
Masalah sosial berkisar dari suatu keadaan ketidakseimbangan antara unsur nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam masyarakat yang relatif membahayakan atau menghambat anggota-anggota masyarakat dalam usahanya mencapai tujuan.11 Kartono mendefinisikan masalah sosial atas dua hal, yaitu: (1) semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat istiadat (dan adat istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama), dan (2) situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar warga masyarakat mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak. Dua pernyataan ini memperlihatkan bahwa masalah sosial adalah tingkah laku yang dianggap tidak cocok, melanggar norma, adat istiadat, dan tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum.12 Menurut Soekanto, masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan yang yang immoral, berlawanan hukum, dan bersifat merusak. Sebab itu masalah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.13 Ukuran-ukuran masalah sosial banyak sekali macamnya tergantung apa yang sedang dirasakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Ada yang mengatakan bahwa bisa disebut masalah sosial , jika ia menyangkut masalah kejahatan,
perceraian,
kemiskinan,
pelanggaran-pelanggaran
hukum
dan
sebagainya. Namun, demikian ada beberapa ukuran secara umum yang dapat dipakai sebagai anjungan, yaitu: 1. Terjadinya disorganisasi dalam masyarakat, misalnya keresahan sosial atau terjadinya pertenangan-pertentangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
11
Ibid., h. 184 Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 8 h. 1 13 Soerjano Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1998), cet. ke. 25, h. 397 12
11
2. Ketidakmampuan
dalam
berhadapan
dengan
inovasi
atau
mungkin
ketidakmampuan dalam menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.14
2. Beberapa Masalah Sosial Penting a. Masalah Kemiskinan Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut Emil Salim, kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan lain-lainnya.15 b. Masalah Kejahatan Donal R. Gressey berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Timbulnya kriminalitas atau kejahatan disebabkan oleh adanya berbagai ketimpangan sosial, yaitu gejala-gejala kemasyarakatan, seperti; krisis ekonomi, keinginan-keinginan yang tak tersalurkan, tekanan-tekanan mental, dendam dan sebagainya. c. Masalah Disorganisasi Keluarga Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain: 1) Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar perkawinan,
14
Abdulsyani, op. cit, h. 184 Ibid., h. 134-135
15
12
2) Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja dan tempat tidur dan seterusnya. 3) Adanya kekurangan dalam keluaraga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi antara anggota-anggotanya. Goede menamakannya sebagai empty shell family. 4) Krisis keluaraga, oleh karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan. d. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern Masalah generasi muda pada umunya ditandai dua ciri berlawanan. Yakni keinginan untuk melawan (misalnya dalam bentuk radikalisme, delikuensi dan sebagainya) dan sikap yang apatis (misalnya penyesuaian yang membabibuta terhadap ukuran moral generasi tua). Sikap melawan mungkin disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi masalah sosial dan biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja, secara fisik dia telah matang, tetapi untuk diakatakan dewasa dalam arti sosial masih diperlukan faktor-faktor lainnya. Dia perlu belajar banyak mengenai nilai dan norma-norma masyarakatnya. e. Masalah Peperangan Peperangan mungkin merupakan masalah sosial paling sulit dipecahakan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Masalah peperangan bebeda dengan masalah sosial lainnya karena menyakut beberapa masyarakat sekaligus, sehingga memerlukan kerja sama intetrnasional yang hingga kini belum berkembang dengan baik. Perrkembangan teknologi yang pesat semakin memodernisasikan cara-cara berperang dan menyebabkan pula kerusakan-kerusakan yang lebih hebat ketimbang masa-masa lampau. Sosiologi menganggap peperangan sebagai suatu gejala yang disebabkan oleh pelbagai faktor. Peperangan mengakibatkan diisorganisasi
13
dalam pelbagai aspek kemasyarakatan, baik bagi negara yang ke luar sebagai pemenang, apalagi bagi negara yang takluk sebagai si kalah. Apalagi peperangan pada dewasa ini biasanya merupakan perang total, yaitu di mana tidak hanya angkatan bersenjata yang tersangkut, akan tetapi seluruh lapisan masyarakat. f. Pelanggaran Terhadap Norma-norma Masyarakat 1) Pelacuran Pelacuran
merupakan
masalah
sosial
yang
cukup
besar
pengaruhnya bagi perkembangan moral. Banyak kehawatiran-kehawatiran yang timbul karena adanya pelacuran ini. Sebab ia tidak hanya membuat masalah bagi keluaraga dan generasi muda saja, melainkan ia juga sudah merupakan masalah nasional. Pelacuran akan menjadi masalah sosial yang besar, jika ia berkembang menjadi suatu profesi. Ia berkembang menjadi suatu profesi, jika nilai-nilai moral keterlanjuran itu sudah merasuk ke dalam jiwa bagi para pelakunya, lebih-lebih tertanam pula suatu tanggapan bahwa pekerjaan itu adalah mudah dilakukan. 2) Delikuensi Anak-anak Delikuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam suatu ikatan/organisasi formal atau semi formal dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang atau tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delikuensi anak meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obatan dan mengendarai kendaraan bermotor tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas. 3) Alkoholisme Umumnya orang awan berpendapat bahwa alkohol merupakan stimulun, padahal sesungguhnya alkohol merupakan racun protoplasmik yang mempunyai efek depresan pada sistem syaraf. Akibatnya seorang
14
pemabuk semakin kurang kemampuannya untuk mengendalikan diri, baik secara fisik, psikoligis maupun sosial.
4) Homoseksualitas Homoseksual adalah seseorang yang cendrung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual istilah ini digunakan untuk pria sedangkan wanita yang berbuat demikian disebut lesbian. Berbeda dengan homoseksual adalah yang disebut transeksual. Mereka menderita konflik batiniah yang menyangkut identitas diri bertentangan dengan identitas sosial, sehingga ada kecendrungan untuk mengubah karakteristik seksualnya. Dorongan yang kuat untuk menyimpang, anara lain dalam bentuk homoseksualitas adalah reaksi negatif terhadap kedudukan dan peranan yang diberikan oleh lingkungan sosial kepada seseorang. Hal ini disebabkan, karena adanya keyakinan, bahwa moralitas tidak memberikan kesempatan kepada pribadi untuk membentuk kepribadiannya sendiri atau setidak-tidaknya ikut berperan membentuk kepribadian itu. g. Masalah Kependudukan Pada dasarnya masalah penduduk merupakan suatu sumber yang sangat penting dalam rangka mensukseskan pembangunan dalam suatu negara. Sebaliknya ia juga bisa menjadi faktor penghambat bagi pembangunan itu sendiri, jika pertambahannya tidak terkontrol, disamping tidak merata. Oleh karena itu perubahan atau pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol merupakan gejala-gejala yang akan menimbulkan masalah sosial. h. Masalah Lingkungan Hidup Dalam lingkungan hidup ini manusia merupakan unsur yang paling dominan. Manusia memiliki kemampuan untuk bertambah secara kuantitatif dan berkat akal pikirannya maka manusia juga mampu meningkatkan diri secara kualitatif. Oleh karena manusia merupakan faktor dominan maka sasaran telah tertuju pada pengaruh pengaruh timbal
15
balik antara manusia dengan lingkungan dalam berbagai aspeknya (ekosistem). Lantas kemudian pengaruh timbal balik tersebut dapat menimbulkan masalah-masalah, baik itu lingkungan fisik, lingkungan biologis ataupun lingkungan sosial. i. Birokrasi Pengertian
birokrasi
menunjuk
pada
suatu
organisasi
yang
dimaksudkan untuk mengarahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Atau dengan kata lain, birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirakis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas-tugas administratif. Digunakan istilah bureaucratism untuk menunjuk pada birokrasi yang malahan menghambat roda pemerintahan, yang berarti bahwa birokrasi tersebut menyimpang dari tujuan.
3. Fakor Penyebab Masalah Sosial Masalah sosial timbul dari kekurangan kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomis, biologis, psikologis, dan kebudayaan. a. Faktor Ekonomis Masalah yang berasal dari faktor ekonomis antara lain kemiskinan, pengangguran. Kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak bisa menjamin hidupnya sendiri seperti orang lain pada umumnya. Ukuran ini akan semakin jelas, jika seseorang kurang atau tidak mampu menggunakan tenaga fisik dan dan mentalnya dalam usaha mencapai taraf hidup yang diinginkan, seperti taraf hidup orang lain dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Selanjutnya adalah pengangguran yang memiliki pengertian sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak mempunyai pekerjaan yang bisa menjamin hidupnya sendiri.
16
b. Faktor Biologis Masalah yang bersumber dari faktor biologis ini misalnya, masalahmasalah yang menyangkut kependudukan dan keharusan biologis lainnya. Kekurangan atau tergoncangnya faktor biologis ini seperti bertambahnya umat manusia dan keharusan pemenuhan kebutuhan makan, dorongan untuk mempertahankan dirinya dan terakhir adalah kebutuhan akan lawan jenis. c. Faktor Psikologis Masalah sosial bisa timbul oleh karena faktor psikologis, seperti kebingungan, disorganisasi, penyakit syaraf dan sebagainya. Dikatakan demikian oleh karena faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan manusia atau masyarakat tidak mampu untuk berfikir dan bertindak secara wajar. Ketidak wajaran dalam berfikir dan bertindak ini disebabkan oleh adanya tekanantekanan psikologis. d. Faktor Kebudayaan Masalah sosial yang bersumber dari faktor kebudayaan biasanya yang paling menonjol bagi kehidupan manusia dalam masyarakat, yaitu jika manusia tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kebudayaan. Menurut Soekanto persoalan yang menyangkut perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik sosial, dan keagamaan bersumber dari faktor kebudayaan.16
B. Hakikat Cerpen 1. Pengertian Cerpen Dalam perkembangan sastra di Indonesia, cerpen merupakan bentuk sastra yang paling banyak digemari sesudah perang dunia kedua disamping puisi. Bentuk itu tidak hanya digemari oleh para pengarang yang dengan sependek itu bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang tiga puluh tahun atau lebih sebelumnya barangkali mesti dilahirkan dalam bentuk roman. Bentuk cerpen juga disukai oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak mengorbankan terlalu banyak waktu. 16
Ibid., h. 401
17
Cerpen merupakan kependekan dari cerita pendek. Cerpen adalah bentuk prosa rekaan pendek. Pendek di sini masih mepersyaratkan adanya keutuhan cerita, bukan asal sedikit halaman. Karena pendek, permasalahan yang digarap tidak begitu kompleks. Biasanya menceritakan peristiwa atau kejadian sesaat. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga bahasa yang sederhana. 17 Pendapat ini sejalan dengan Jakob Sumardjo dan Saini yang mendefiniskan cerpen sebagai cerita atau narasi yang fiktif atau sesuatu yang tidak benar-benar terjadi tapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja serta relatif lebih pendek.18 Satyagraha Hoerif dalam Anatomi Sastra menjelaskan “cerita pendek adalah karakter yang “dijabarkan” lewat rentetan kejadian daripada kejadiankejadian itu sendiri satu persatu. Apa yang “terjadi” didalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah yang pada hakikatnya disebut cerpen.”19 Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan cerita yang pendek yang memiliki batasan panjangnya cerita dan masalah dalam cerita yang disajikan. Hal ini karena cerita pendek atau cerpen hanya fokus pada satu kejadian.
2. Unsur-unsur Cerpen Cerpen sebagai salah satu karya rekaan (fiksi), merupakan satu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur. Unsur-unsur itu saling berkaitan, tidak terpisahkan satu sama lain, dan secara bersama-sama membentuk cerita. Unsurunsur yang membentuk cerpen terdiri dari unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan dan 17
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:Grasindo, 2008), h. 141-142 Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan,(Jakarta:Gramedia, 1986), h.
18
37 19
Prof. M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang:Angkasa Raya, 1993),h. 34
18
tata nilai yang dianut masyarakat. “unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.”20 Sedangkan unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut antara lain tema, tokoh dan penokohan atau perwatakan, alur, setting, gaya bahasa dan sudut pandang. Umumnya kita menggunakan istilah ini dengan nama unsur intrinsik. a. Tema Terkadang orang masih sering kali menyamakan pengertian tema dengan topik padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang tidak sama. Kata topik berasal dari bahasa Yunani yaitu topoi yang berarti tempat, dalam suatu tulisan topik berarti pokok pembicaraan. Sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. Tema memberikan kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadiankejadian yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Apapun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan tema diperlukan karena menjadi salah satu bagian penting yang terpisahkan dengan kenyataan cerita. Tema bukanlah sesuatu yang diungkapkan pengarang secara langsung melalui fakta-fakta seperti “moralitas” pada fabel aesop.21 Picket menyebutkan wujud tema dalam sastra, berpangkal kepada alasan tindak (motif tokoh). Sedangkan Robert Stanton menyebutkan “Theme” as the meaning of a story which specially accounts of the largest number of its elements in the simples way. M. Atar Semi menjelaskan lebih lanjut bahwa tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Unsur gagasan tersebut adalah topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengaranngnya. Jadi, dalam pengertian tema tercangkup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembacanya. 22
20
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadja Mada Uniersity Press, 2005),cet. Ke. 5, h. 23 21 Ibid., h. 7-8 22 Ibid., h.42-43
19
Tema merupakan gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pertanyaan.23 Sedangkan menurut Aminuddin dalam Pengantar Teori Sastra tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tongkat pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan pengarangnya.24 Berdasarkan pendapat di atas tema adalah ide atau gagasan dasar sebuah cerita yang didalamnya terdapat persoalan dan tujuan dari pengarang dalam membuat karya sastra (cerpen) tersebut kepada pembacanya.
b. Tokoh dan Penokohan Masalah tokoh dan penokohan merupakan salah hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita. Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan25 Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama, ada jenis tokoh lain yang terpenting adalah tokoh lawan, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama.26 Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Perilaku para
23
Abdul Rozak Zaidaan, dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.204 Siswanto, op. cit.,h.161 25 Ibid., h. 142 26 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h.86 24
20
tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, atau sejalan tidaknya antara apa yang dilakukan dengan apa yang dilakukan. 27 Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan merupakan unsur yang sangat penting dalam karya fiksi karena tugasnya adalah sebagai pelaku yang mengalami peristiwa yang dibuat oleh pengarang dalam karyanyanya.
c. Alur/ Plot Alur/plot
bisa
dikatakan
unsur
intrinsik
terpenting
tanpa
menyampingkan unsur-unsur lain karena, alur atau plot merupakan jalan cerita sebuah karya sastra yang akan menentukan apakah pembaca mengerti atau tidak, tertarik atau tidak apa yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang dalam karya sastranya. Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.28 Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandakan urutan-urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Alur merupakan suatu jalur lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. 29 Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua yang terikat dalam suatu kesatuan waktu selain itu kejadian atau peristwa dipengaruhi oleh banyak hal, 27
Semi, op. cit.,h. 37 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007),h.26 29 Semi,op. cit., h. 43 28
21
antara lain adalah karakter tokoh, pikiran atau suasana hati sang tokoh, latar (setting), dan suasana lingkungan. Burhan Nurgiyantoro membagi jenis alur/plot berdasarkan kriteria urutan waktu, yakni 1) plot lurus, maju (progresif) yakni jika peristiwaperistiwa yang dikisahkan bersifat kronologis dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks) dan akhir (penyelesaian). 2) plot sorot balik, flas back yakni urutan kejadian yang dikisahkan tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir baru kemudian tahap awal dikisahkan. 3) plot campuran tidak ada sebuah karya sastra secara mutlak berplot lurus atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah karya sastra mungkin progresif, tetapi didalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan sorot balik. Begitu pun sebaliknya tidak, dapat diakatakan tidak mungkin ada sebuah cerita yang mutlak flasback artinya pengarang juga menggunakan plot campuran dalam membuat sebuah cerita.30
d. Latar Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembacanya. Bagi sastrawan, latar cerita dapat dikembangkan untuk mengembangkan cerita. Latar cerita juga digunakakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu dan suasana yang dialami tokoh. Latar cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk kedalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang diamati, seperti kampus, di kafetaria, di penjara. Selain waktu yang masuk ke dalam latar adalah waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan di saat upacara sekaten, dan sebagainya. 31 Robert dalam Teori Fiksi menjelaskan bahwa latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan dan tahun), cuaca, atau satu 30
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 213-214 Ibid., h. 46
31
22
periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita dalam berbagai cerita dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang karakter.32 Burhan Nurgiyantoro membagi latar menjadi tiga unsur yakni unsur tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadi peristiwa yang dieritakan dalam sebuah karya fiksi sedangkan latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi dan yang terakhir adalah latar sosial yang menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat dan tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya.33 Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa latar merupakan keterangan mengenai tempat, waktu dan sosial yang digambarkan seorang pengarang dalam karya sastranya.
e. Sudut Pandang Sudut pandang dianggap menjadi salah satu unsur yang penting dan menentukan dalam sebuah karya sastra terlebih setelah seorang novelis dan esai yaitu Henry James menuliskan esai tentang sudut pandang. Sudut pandang atau titik pandang dalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.34 Atar Semi menjelaskan sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu. Dari titik 32
Stanton, op. cit., h. 35 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 227-233 34 Siswanto, op.cit.,h. 65 33
23
pandang pengarang ini pulalah pembaca memahami temanya.
mengikuti jalannya cerita dan
35
Sudut pandang secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu sudut pandang persona pertama dan sudut pandang persona ketiga. Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pertama, first-person poin of view, narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan pristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.36 sudut pandang ini terdiri atas: teknik pencerita “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan sebagai pengamat. Dalam sudut pandang teknik pencerita “aku” tokoh utama, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. Dalam teknik ini si “Aku” otomatis menjadi tokoh utama yang praktis menjadi tokoh protagonis. Kelebihan teknik ini adalah pembaca akan mengidentifikasi terhadap tokoh “aku” dan menjadi tokoh utama
yang mengalami dan merasakan semua
petualangan dan pengalaman si “aku”.kelemahan dalam teknik ini adalah pembaca tidak akan mengetahui tokoh dan peristiwa lain diluar tokoh “aku” jika tokoh “aku”pun tidak mengetahui. Teknik pencerita “aku” tokoh tambahan, dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul sebagai tokoh tambahan, first-person perihal. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannyadan tokoh itulah yang menjadi tokoh utamanya. Si “aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita. Si “aku”tentu saja dapat memberikan komentar dan penilaian terhadap tokoh 35
Atar Semi, op.cit., h. 57 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 352
36
24
utama. Namun, hal itu bersifat terbatas karena tokoh utama tersebut bagi si “aku” merupakan tokoh “dia” sehingga ia menjadi tidak bersifat mahatahu. Pandangan dan penilaian si “aku” akan mengontrol pandangan dan penilaian pembaca terhadap tokoh utama. Tokoh “aku” tambahan adalah tokoh protagonis, sedang tokoh utama itu sendiri juga protagonis. Dengan demikian empati pembaca ditunjukan kepada si “aku” dan tokoh utama cerita.37 Selanjutnya adalah sudut pandang persona ketiga, pengisahan cerita menggunakan sudut pandang ini, gaya “dia” narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga terdiri atas: “dia” mahatahu dan “dia” terbatas. Sudut pandang “dia” mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator,
dapat menceritakan apa saja hal-hal yang
menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi.
38
teknik ini merupakan teknik yang paling natural karena pengarang dapat mengekspresikan sedemikian rupa ceritanya dengan penuh kebebasan. Namun, teknik ini juga dikatakan yang paling tidak natural karena dalam realitas kehidupan tidak ada seorang pun yang bersifat mahatahu, hanya terbatas pada apa yang dilihatnya jika menyangkut orang lain. Selanjutnya adalah sudut pandang “dia” terbatas “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut pandang ini, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas.39 Pengarang dapat mengomentari dan menilai sesuatu yang diamati sesuai dengan pandangan dan pengalamannya. Namun, hal itu harus hanya
37
Ibid., h. 356 Ibid., h. 348 39 Ibid., h. 350 38
25
berasal dari satu sudut pandang tokoh tertentu yang telah dipilih sebagai pengamat. f. Gaya Masalah penggunaan bahasa dihadapkan kepada usaha sepenuhnya bagi pengungkapan isi hati, perasaan, daya khayal, dan daerah kenyataan baru yang sedang dijalani si sastrawan, dan disinilah bahasa dipertemukan dengan gaya-gaya.Istilah gaya diambil dari bahasa Inggris style dan dalam bahasa latin stillus, mengandung arti leksikal “alat untuk menulis”40. Jakob Sumardjo dan Saini K.M telah mendefinisikan gaya. Menurut mereka “Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerpen, itulah gaya seorang pengarang. Dengan kata lain, gaya adalah
pribadi
pengarang itu sendiri.”41 Definisi tersebut sesuai dengan penjelasan yang diungkapkan oleh Aminuddin. Menurutnya, “Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta menuansakan yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.”42 Lebih lanjut Aminudin menjelaskan, ada tiga masalah yang sangat erat hubungannya dengan pembicaraan masalah gaya yaitu, pertama, masalah media berupa kata dan kalimat. Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata mengandung makna padat, reflektif, asosiasitif, dan bersifat konotatif, sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuasa makna tertentu saja. Kedua, hubungan gaya dengan makna keindahannya. Terakhir, seluk beluk eksperesi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual pengarang, maupun konteks sosial-masyarakat
40
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Angkasa,2010) h.114 41 Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta:Gramedia, 1986), h. 92 42 Siswanto, op.cit., h. 145
26
yang melatar belakanginya. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, majas bunyi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan gaya merupakan ciri khas seorang pengarang membuat karya sastranya. Alat gaya, majas dan kiasan. Ini menunjukan pengertian gaya lebih luas dibandingkan gaya bahasa yang sering diungkapkan dalam buku-buku pengajaran kesusastraan di Indonesia.
C. Sosiologi Sastra Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra sebagai cerminan hidup masyarakat. Melalui sastra pengarang mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui sejelas-jelasnya. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Menurut Wolf sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Wolf juga menawarkan sosiologi verstehen atau fenomologis yang sasarannya adalah level “makna” dari karya sastra43 Secara tradisional objek sosiologi dan satra adalah manusia dalam masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan
kebudayaan.
Perbedaannya,
apabila
sosiolog
melukiskan
kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisi ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Nyoman Kutha Ratna, menurutnya, kedua ilmu itu memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Perbedaan sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana ditunjukan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta. 44
43 44
2009), h. 2
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013), h. 4 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
27
Ada dua kecendrungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra inti nya dalam pendekatan ini menganggap teks sastra bukan yang utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra yang mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang diluar satra.45 Wellek dan Warren mengklasifikasikan masalah yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu 1) sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. 2) isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. 3) permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk kedalam tiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya satra yang bersifat sosial dan dampak satra terhadap masyarakat.46 Klasifikasi tersebut tidak tidak berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Waat dalam esainya yang berjudul “Literature and Society”. Esai itu membicarakan tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat47, antara lain: 1. Konteks sosial pengarang Konteks sosial sastrawan ada hubungannya posisi sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyrakat pembaca. Dalam pokok ini 45
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra:Pengantar Ringkas), (editum, 2013) h. 3 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (diindonesiakan oleh Melani Budianata), (Jakarta:PT Gramedia, 1995), h. 111 47 Damono, op. cit., h. 4 46
28
termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah: 1) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya; apakah ia menerima bantuan dari pengayom (patron), atau dari masyarakat secara langsung atau dari kerja rangkap. 2) profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi. 3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang; hubungan antara pengarang dan masyrakat dalam hal ini sangat penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra. 2. Sastra sebagai cerminan masyarakat Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Kendati demikian, sastra tetah diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Pengertian “cermin” disini sangat kabur, dan oleh karenanya banyak disalahtafsirkan dan disalah gunakan. Terutama mendapat perhatian adalah: 1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, 2) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang
atau
sastrawan
sering
mempengaruhi
pemilihan
dan
penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, 3) genre sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, 4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diterima atau dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barang kali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sastra akan dinilai sebagai cerminan masyarakat. 3. Fungsi sosial satra Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau
29
nabi. Dalam pandangan ini tercangkup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, 2) sudut pandang lain menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan “seni untuk seni misalnya, tak berbeda dengan usaha untuk melambungkan dagangan agar menjadi best seller. 3) sudut pandang kompromistis seperti tergambar dalam slogan “sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur”.48
D. Pembelajaran Sastra Pokok materi pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Secara umum pembelajaran sastra yaitu terkait dengan apresiasi terhadap karya. Dalam pembelajaran sastra, siswa bukan hanya dituntut memahami teori-teori sastra saja, tetapi juga dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra tersebut. Apresiasi berarti menghayati amanat dan
sekaligus
cara
pengungkapannya–dan
atas
dasar
itu
kemudian
49
menghargainya . Salah satu kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra yang dapat melatih siswa dalam mengapresiasi sastra adalah menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasar ini terdapat dalam kurikulum KTSP kelas X semester satu pada kegiatan membaca. Seperti yang terlampir pada silabus berikut ini :
48
Ibid, h. 4-5 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Susastra Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, Vol. 3, 2007, h. 10 49
30
SILABUS Sekolah
: SMA/MA
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas
:X
Semester
:1
Standar Kompetensi : Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen. Kompetensi Dasar
:Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari
Materi Pembelajara n
Indikator
Kegiatan
Pencapaian
Pembelajaran
Kompetensi
Naskah
Membaca cerpen
cerpen
Mengidentifikasi
Unsur
Penilaian
Mengidentifikasi
Jenis
unsur-unsur(tema, Tagihan: praktik
unsur-unsur
penokohan,dan
intrinsik
(tema, penokohan,
amanat)
(tema,
danamanat) cerita
penokohan
pendek yangtelah
pendekyang telah Bentuk dibaca Tagihan:
,dan
dibaca
amanat
cerita
Mengaitkan unsur
Mengaitkan unsur intrinsik
(tema,
intrinsik
(tema,
penokohan,
penokohan,
danamanat)
danamanat)
dengan kehidupan
dengan kehidupan
sehari-hari
sehari-hari Menuliskan cerita
isi
pendek
secara ringkas
Alokasi
Sumber
waktu
Belajar
4
Buku kumpulan cerpen/ Media
performan si format pengamat an
massa/ internet
31
E. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yanng mengangkat kumpulan cerpen karya Ahmad Tohari sudah pernah dilakukan. Diantaranya yaitu: Pertama Ika Endang Sri Hendrawati (1995) melakukan penelitian dengan judul “Wong Cilik dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin”.
Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa cerpen-cerpen Ahmad Tohari dalam kumpulan Senyum Karyamin memang mengungkapkan kondisi, keberadaan, lingkungan, dan sikap hidup wong cilik. Kemudian, dari pembicaraan yang telah dilakukan pada bab II dan III diketahui bahwa ada pergeseran orientasi tentang wong cilik dalam pandangan Ahmad Tohari. Pergeseran pandangan ini terjadi sejalan dengan perkembangan proses kepengarangannya. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Angga Hidayat, FPBS, UPI yang mengambil judul “Representasi Kritik Sosial dalam Antologi Cerpen Senyum Karya Ahmad Tohari: Kajian Sosiologi Sastra” peneitian ini mengambil tiga cerpen sebagai kajian, yaitu: “Jasa-jasa buat Sanwirya”, “Si Minem Beranak Bayi”, dan “Blokeng”. Hasil penelitian menunjukan cerpen “Jasa-jasa buat Sanwirya” mempresentasikan kritik sosial tentang ketertindasan penderes oleh tengkulak dan kurangnya kesadaran masyarakat desa akan dunia medis. Cerpen “Si Minem Beranak Bayi Bayi” mempresentasikan kritik sosial tentang pernikahan muda. Masalah tersebut mempresentasikan kenyataan dalam artikel psikologizone.com. cerpen Blokeng mempresentasikan kritik sosial tentang deskriminasi masyarakat menyikapi masyarakat miskin. Penggambaran tersebut didapat dari analisis struktur meliputi tokoh, peristiwa, latar dan penceritaan. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Asti Apriyanti yang mengambil judul “Perkembangan Orientasi Kepengarangan Ahmad Tohari: Senyum Karyamin, Nyanyian Malam Rusmi Ingin Pulang. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Hasil penelitian yaitu, orientasi kepengarangan Ahmad Tohari yang dimulai sejak awal tahun 1970 digolongkan menjadi dua,
32
yaitu orientasi kedesaan dan orientasi desa-kota. Orientasi kepengarangan Ahamd Tohari dikatakan berkembang, dari awalnya orientasi kedesaan menjadi orietasi desa-kota. Perkembangan orientasi kepengarangan Ahmad Tohari terjadi karena fakta yang terjadi di depan matanya. Modernisasi desa Tinggarjaya (tempat ia tinggal), termasuk di dalamnya proses urbanisasi dan re-urbanisasi yang banyak terjadi, menyebabkan Ahmad Tohari berintegrasi dengan perubahan tersebut. Ketiga penelitian di atas mengkaji tentang Ahmad Tohari dan karyanya. Dari penelitian yang sudah ada, peneliti belum menemukan penelitian yang mengambil objek serta kajian tentang masalah sosial dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Dalam penelitian ini, akan dideskripsikan bagaimana bentuk-bentuk masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dan apa yang menyembabkan masalah tersebut muncul serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
BAB III AHMAD TOHARI DAN KARYANYA
A. Biografi Pengarang Ahmad Tohari lahir pada 13 Juni 1948 di Desa Tinggar Jaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Ia merupakan anak keempat dari dua belas bersaudara. Ahmad Tohari lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga taat menganut agama islam. Ayahnya, seorang santri bernama Mohammad Diryat, dan ibunya seorang wanita buta huruf bernama Saliyem. Ayah Ahmad Tohari pernah menjadi ketua Jamiyah Nadhatul Ulama di kecamatan Jatilawang, disamping menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama di Purwokerto. Tahun 1953 Ahmad Tohari masuk ke Sekolah Rakyat di Desa Tinggarjaya dan lulus tahun 1959, ia pun melanjutkan ke sebuah SMPN di Purwokerto. Setelah lulus SMP, Ahmad Tohari melanjutkan pendidikannya ke SMAN 2 Purwokerto yang diselesaikan pada tahun 1965. Selepas SMA Ahmad Tohari mengikuti kakaknya untuk tinggal di Jakarta dan dua tahun kemudian yaitu tahun 1967, ia melanjutkan pendidikannya dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Ibnu Khaldun, Jakarta. Namun, berhenti di tingkat tiga karena masalah biaya. Setelah tinggal di Jakarta selama hampir empat tahun, awal tahun 1970 ia kembali ke Purwokerto dan memutuskan untuk menikah dengan Syamsiah, seorang guru Sekolah Dasar di desa Tinggarjaya. Perkawinan mereka dikaruniai empat putri dan seorang putra. Setelah berkeluarga, Ahmad Tohari memutuskan untuk kembali berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto. Tahun 1976 ia pindah ke Fakultas sosial dan politik di Universitas yang sama dan disela-sela kuliah inilah cerpen “Jasa-jasa buat Sanwirya” dibuat. Namun demikian, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya lagi. Jadi, secara formal Ahmad Tohari hanya menenempuh pendidikan sampai tingkat SMA.
33
34
Dalam dunia pekerjaan, Ahmad Tohari pernah bekerja sebagai tenaga honorer mengasuh majalah perbankan. Ia pernah pula tercatat sebagai redaktur harian Suara Merdeka di Semarang, Jawa Tengah. Diharian ini ia aktif menulis sketsa. Skesa-sketsa itu kemudian dikumpulkan dan dibuat menjadi sebuah buku dengan judul Mas Mantri Gugat. Buku ini diterbitkan pada tahun 1994 oleh Penerbit Yayasan Bentang Budaya. Harian Suara Merdeka kemudian ditinggalkanya. Tahun 1974-1981 Ahmad Tohari aktif di majalah Keluarga. Namun, Majalah ini pun ditinggalkannya. Selanjutnya ia tercatat pula sebagai pengasuh majalah Amanah, di majalah ini ia aktif mengisi kolom “seloka” yang memuat kupasan-kupasan tentang berbagai hal yang menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sastra dan juga lingkungan hidup. Kini Ahmad Tohari bekerja di Yayasan Piyung Emban sebagai salah seorang penasehat. Yayasan Piyung Emban adalah sebuah LSM pendamping anak-anak jalanan di sekitar Terminal Purwokerto. Dalam pelaksanaannya, yayasan ini melibatkan para relawan yang berasal dari pemuda masjid, aktivis gereja, dosen, dan mahasiswa Universitas Jendral Soedirman Purwokerto. Kecintaan Ahmad Tohari dalam dunia satra dimulai dari kakeknya yang sering mendongengkan cerita-cerita wayang kepadanya. Sejak kecil Ahmad Tohari sudah menggemari buku-buku bacaan sejenis komik dan setelah menjadi murid SMP kegemaran membaca makin menjadi, ia sering meminjam koleksi novel klasik milik guru keseniannya dan mengaku telah membaca semua novel klasik Indonesia dan beberapa karya terjemahan pada saat itu. Ketertarikan Ahmad Tohari untuk menulis sudah ada saat kelas dua SMP, yakni ketika gurunya memintanya untuk mengisi majalah dinding. Maka ia pun membuat puisi. Namun, ia menjadi trauma karena temannya mengatakan puisi yang dibuat oleh Ahmad Tohari adalah sebuah plagiat, hal yang tidak pernah ia lakukan. Ketertarikannya pada dunia tulis sempat padam saat itu.
35
Rasa traumanya terhadap menulis, tidak berpengaruh pada kegemarannya membaca. Di SMA Ahmad Tohari kerap meminjam buku sastra meski ia seorang siswa jurusan Pasti-Alam dan di tempat kosnya yang dimiliki oleh tokoh daerah yang mengharuskan berlangganan beberapa koran penting, baik lokal maupun nasional membuat ia bisa mengenal Pramoedya Ananta Toer, Asrul Sani, Sitor Situmorang dan seterusnya. Di SMA ini pula Ahmad Tohari telah belajar menulis cerpen, esai, catatan perjalanan, yang masih ditulis tangan. Ia tidak membuat puisi karena masih trauma. Saat Ahamd Tohari harus keluar dari Fakultas Kedokteran, ia merasa kehilangan harapan dan melampiaskannya dengan membuat puluhan cerpen dan tulisan lainnya namun tidak ada niat untuk diterbitkan. Tetapi karena desakan beberapa teman maka Ahmad Tohari pun mengirimkan cerpen yang berjudul “Upacara Kecil” kesebuah koran kecil kemudian beberapa cerpen dan artikel menyusul. Pada tahun 1975 cerpen Ahmad Tohari yang berjudul “Jasa-Jasa buat Sanwirya” menjadi pemenang harapan lomba cerpen Radio Hilversum, Belanda. Tahun 1978 novel pertama Ahmad Tohari, Di Kaki Bukit Cibalak, mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan setahun kemudian terbit di harian Kompas. Tahun 1979 Ahmad Tohari memutuskan untuk secara serius memasuki dunia sastra sekaligus jurnalistik dengan menerima jabatan sebagai redaktur di harian Merdeka, Jakarta. Keputusannya menggandeng jurnalistik sebagai paraliterary
carreer
karena
menganggap
dapat
bersinergi
dengan
kepengarangannya selain sebagai sumber penghasilan alternatif. Selama menjadi seorang pengarang sudah cukup banyak kritikan yang menghampiri Ahmad Tohari. Salah satunya adalah dari almarhum Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang mengatakan jika novelnya yang berjudul Kubah tidak punya kelebihan menonjol, tidak ada ketegangan, alur cerita mudah ditebak, hitam putih, dan lain-lain. Namun, kritikan tersebut Ahmad Tohari terima dan menjadi pedomannya untuk melahirkan karya yang lebih baik.
36
B. Karya-karya Ahmad Tohari Dalam dunia kesusastraan, Ahmad Tohari kerap menulis novelet, cerita pendek (cerpen) dan novel. Hasil tulisanya itu dapat dibaca pada media massa cetak, seperti Kompas, Republika, ataupun majalah Kartini. Namun, namanya mulai melejetit setelah Ahmad Tohari menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ahmad Tohari dianggap telah memberikan warna baru dalam dunia sastra Indonesia. Kesuksesan cerpen “Jasa-jasa buat Sanwirya” dan novelnya Di Kaki Bukit Cibalak mengantarkannya membuat karya baru dan diterbitkan tahun 1980. Karya itu berupa novel baru yang diberi judul Kubah dan memasukan namanya sebagai salah seorang pengarang yang patut diperhitungkan. Novel ini dibuat saat Ahmad Tohari menjadi redaktur harian Merdeka. Karya ini memperoleh penghargaan sebagai predikat terhormat dari Yayasan Buku Utama Depdikbud tahun 1981. Sejak kehadiran Kubah, Ahmad Tohari makin produktif menghasilkan karya-karya baru berupa cerpen dan artikel. Namun, namanya baru benar-benar dikenal setelah menulis novel ketiga, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk yang awalnya diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung harian kompas sejal 17 Juli sampai 21 Agustus 1981 namun belum mendapat tanggapan apapun baru kemudian dalam bentuk buku mengundang perhatian. Banyak sekali tulisan berupa resensi, artikel maupun surat pembaca mengomentari novel tersebut. tahun 1987 novel ini diterbitkan ke dalam bahasa Jepang oleh Mr. Juji Imura, Direktur Publishing Coy, Tokyo, Jepang. Disamping itu Ronggeng Dukuh Paruk juga pernah diresensi oleh pengamat sastra Indonesia di Belanda, H. J. M. Maier, resensinya dimuat dalam majalah Orient. Sesudah Ronggeng Dukuh Paruk, Ahamd Tohari menulis sebuah novel remaja yang diterbitkan dalam seri Bunga tahun 1982 dengan judul Lambaian Pagi Bening. Tahun berikutnya, karyanya berupa Novelet Bulan Kuning Sudah Tenggelam, berhasil dimuat dalam majalah Kartini tahun 1983. Ronggeng Dukuh
37
Paruk ternyata merupakan bagian pertama dari trilogi novel yang menceritakan dunia peronggengan karena bagian keduannya muncul sebagai cerita bersambung harian Kompas, 23 September sampai 27 Oktober 1984, dengan judul Lintang Kemukus Dini Hari. Setahun kemudian, penerbit Gramedia menerbitkannya sebagai buku. Tidak lama sesudahnya, muncul pula bagian ketiganya yang juga berupa cerita bersambung harian Kompas, 23 September sampai 26 Oktober 1985, dengan judul Jentera Bianglala buku terakhir ini mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama Depdikbud sebagai fiksi terbaik yang terbit tahun 1986. Setelah menulis trilogi di atas, Ahmad Tohari menulis Lingkar Tanah Lingkar Air, karya ini pernah dimuat dalam sebagai cerita bersambung dalam dalam harian Republika yang terbit untuk bulan Januari-Februari 1993. Novel yang mengisahkan seorang aktivis DI TII dengan berbagai problematika hidupnya di dalam masyarakat ini pernah diterbitkan oleh penerbit lokal di Purwokerto. Novel selanjutnya berjudul Bekisar Merah. Karya ini juga pernah dimuat sebagai cerita bersambung dalam Kompas yang terbit antara bulan Februari sampai Mei 1993. Novel ini merupakan pengembangan kisah dalam cerpen “Jasajasa buat Sanwirya”. Ahmad Tohari beranggapan novel ini merupakan suatu gugatan dunia penderes yang selalu menjadi sapi perahan yang tidak boleh mati, kemudian ini juga merupakan suatu gugaatan terhadap tanggung jawab moral terhadap kaum cerdik pandai pada komitmen sosial. Novel Ahmad Tohari yang lain adalah Belantik yang terbit tahun 2001, dan terakhir adalah Orang-orang Proyek yang terbit pada tahun 2002. Seperti sudah menjadi ciri khas seorang Ahmad Tohari jika semua karyanya mengambil tema sosial dengan tokoh utamanya adalah orang-orang dari kalangan bawah. Contohnya karyanya yang berjudul Kubah yang menceritakan tentang Karman seorang mantan tahanan politik karena masuk partai komunis. Dalam buku ini diceritakan tentang hidup Karman dari sebelum sampai menjadi seorang anggota komunis karena pengaruh para petinggi-petinggi komunis yang memakai alasan kemiskinan yang telah dialami oleh Karman dan lingkungan yang
38
ada di desanya untuk menjeratnya menjadi salah satu dari mereka. Selain itu karya lainnya yaitu , Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan tentang orang-orang di desa Tanggir yang berada di kaki Bukit Cibalak karena terbiasa hidup miskin dan tidak memiliki pendidikan yang cukup sehingga dapat dengan mudah ditipu oleh pejabat pemerintah yang melakukan korupsi dan mereka pun tidak mendapatkan hak mereka sebagai seorang rakyak. Meski begitu mereka tidak bisa berbuat apaapa karena takut dengan para pejabat pemerintah itu karena merasa tidak layak. Selain seorang novelis, Ahmad Tohari juga dikenal sebagai seorang cerpenis. Cerpen-cerpennya yang pernah dimuat dimedia massa antara dalam Kompas: “Si Minem Beranak Bayi” pada 28 September 1982, “Surabanglus” pada 2 Januari 1983, “Tinggal Matanya Berkedip-kedip”, “Senyum Karyamin” 26 Juli 1987”, “Penipu yang Keempat” 27 Januari 1991, dan “Mata yang Enak Dipandang” 29 Desember 1991; Suara Merdeka: “Syukuran Sutabawor” 19 Mei 1985, “Blokeng” 31 Agustus 1985; Warta NU: “Orang-orang Seberang Kali” Edisi Maret 1986; Panji Masyarakat: “Ah Jakarta” 11 September 1984, “Pencuri” 11 Februari 1985; Amanah: “Wangon Jatilawang” edisi November 1986, dan dalam Kartini: “Nyanyian Malam” kemudian oleh Maman S. Mahayana cerpencerpen Ahmad Tohari dikumpulkan menjadi sebuah kumpulan cerpen dengan judul Senyum Karyamin yang diterbitkan pada tahun 1989. Selain Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin, Ahmad Tohari juga telah mengeluarkan beberapa kumpulan cerpen yang lain, yaitu pada tahun ahun 2000 kumpulan cerpennya berjudul Nyanyian Malam, berisikan 10 cerpen. Tahun 2004 kumpulan cerpen Rusmi Ingin Pulang juga diterbitkan dengan lima cerpen didalamnya. Semua cerpen yang dimuat dalam Rusmi Ingin Pulang menceritakan tentang perempuan. Terakhir adalah Mata yang Enak Dipandang yang juga menjadi objek penelitian ini berisikan 15 cerpen yang pernah diterbitkan dalam sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Tujuh cerpen dalam Mata yang Enak Dipandang pernah dimuat sebelumnya dalam kumpulan cerpen Nyanyian Malam
39
dan cerpen “Rusmi Ingin Pulang juga pernah di muat dalam kumpulan cerpen Rusmi Ingin Pulang, serta Bulan Kuning Sudah Tenggelam pernah dimuat dalam Nyanyian Malam dan Rusmi Ingin Pulang. Seperti juga novel-novelnya yang tidak pernah lepas dari latar alam pedesaan, tokoh-tokoh rakyat atau petani, hampir semua cerpennya menggambarkan hal demikian. Sedangkan artikel yang tersebar di berbagai media massa, baik harian ibukota, maupun daerah, serta majalahmajalah seperti Tempo, Panji Masyarakat, Optimis,atau Horison, tidak hanya mebicarakan kesusastraan semata-mata, melainkan juga masalah sosial, budaya, politik, agama, atau sejarah. Diantaranya ada yang berupa komentar atau tanggapan terhadap kritik dan kecaman orang atas karyakaryanya. 50 Pencapain lain yang sudah didapat oleh Ahmad Tohari yaitu Fellow Writer di University of lowa, USA, tahun 1990, Southest Asian Writers Award/ SEA Write Awards , tahun 1995 dan Anugerah Kebudayaan Kategori Hadiah Senni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2010.
50
Maman S. Mahayana, “Analisis Bandingan Antara Kubah dengan Atheis,” Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1986, h. 16, tidak dipublikasikan
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KUMPULAN CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI
Buku kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari berisi 15 cerita, namun dalam pembahasan ini hanya akan dianalisis tujuh cerpen saja. Yakni, “Mata yang Enak Dipandang”, “Bila Jebris Ada di Rumah Kami”, “Penipu yang Keempat”, “Warung Penajem”, “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, “Rusmi Ingin Pulang”, dan “Dawir, Turah, dan Totol”.
A. Unsur Intrinsik dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari 1. Tema Tema adalah ide atau gagasan dasar sebuah cerita yang didalamnya terdapat persoalan dan tujuan dari pengarang dalam membuat karya sastra (cerpen) tersebut kepada pembacanya. Tema yang diangkat dalam tujuh cerpen di kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah mengenai masalah sosial. Dalam kumpulan cerpen ini, Ahmad Tohari berusaha untuk menggambarkan kehidupan masyarakat kelas bawah dengan segala likalikunya yang mengakibatkan timbulnya masalah sosial. “Bila kamu tidak sakit, ayo bangun. Kamu kere, bukan? Yang namanya kere harus ngemis bukan.”51 Beberapa permasalahan sosial yang
dibicarakan dalam kumpulan ini
merupakan bentuk perwujudan keprihatinan Ahmad Tohari terhadap masalahmasalah sosial yang terjadi di lingkungannya bahkan di negara ini karena sampai saat ini, permasalahan itu belum juga teratasi.
51
Ahmad Tohari Mata yang Enak Dipandang, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama),
h.13
40
41
2. Tokoh dan Penokohan Masalah sosial yang menjadi tema dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang digambarkan melalui para tokohnya. Ciri khas Ahmad Tohari adalah mengangkat kehidupan masyarakat bawah maka tokoh-tokohnya pun diambil dari kalangan bawah. Sapardi Djoko Damono mengungkapkan tentang tokoh yang biasa diangkat oleh Ahmad Tohari
yang dikutip oleh Maman. S. Mahayana “ciri
khasnya, kehidupan pedusunan yang bertokoh orang-orang lapisan bawah, sangat menonjol dan mampu menjadi daya tarik utama”52 seperti dalam “Mata yang Enak Dipandang” merupakan cerpen yang mengangkat masalah sosial yang diceritakan dalam tokoh seorang pengemis buta yang bernama Mirta. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras kering; kering compangcamping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu lintas dengan kedua telinganya 53 Keadaan fisik dari tokoh Mirta yang tergambar dalam cerpen tersebut seolah memperkuat bagaimana selama ini Mirta telah hidup dengan sangat menderita selama bertahun-tahun tanpa ada perubahan. Selain itu, keadaan Mirta yang buta membuat ia tidak bisa berbuat banyak selain bergantung pada penuntunnya, seorang anak bernama Tarsa yang membuatnya jengkel karena terus menerus memerasnya. Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun. ..., Mirta mulai goyah, ia bergerak untuk mencapai tempat yang teduh dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.54
52
Maman S. Mahyana, Ektrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada, 2007), h. 324 53 Ahmad Tohari, op. cit., h. 9 54 ibid., h. 10
42
Diceritakan bahwa Mirta sudah bertahun-tahun mengemis sehingga ia sampai dapat mengetahui bahwa hanya orang yang memiliki mata yang enak dipandang saja yang memberikan mereka uang. “Sudah kubilang, aku puluhan tahun jadi pengemis, kata temen-temen yang melek, mata orang yang suka memberi memang beda” “Tidak galak?” “Ah betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa , kamu betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata temen-teman yang melek, enak dipandang. ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak dipandang”55 Selanjutnya cerpen “Bila Jebris Ada di Rumah Kami”. Tokoh dalam cerpen ini adalah seorang wanita bernama Jebris yang menjadi perbincangan masyarakat sekitarnya karena tetap menjadi seorang pelacur meski sudah beberapa kali mendapat peringatan dari Hansip dan RT setempat. Ketidakpedulian Jebris terhadap peringatan orang-orang disekitarnya membuat teman dekatnya Sar, menjadi sedih. Terlebih karena mereka bertetangga yang hanya dipisahkan oleh surau yang dipimpin oleh Ratib suami Sar. Membuat orang-orang seakan ikut menghina keluarganya. Di pojok dusun itu mungkin hanya Sar, istri Ratib, yang benar-benar sedih melihat Jebris. Sar dan Jebris bertetangga sejak bocah, bahkan sampai sekarang pun mereka tinggal sepekarangan, hanya terpisah surau itu, surau yang dipimpin oleh Ratib, suami Sar. Selain menjadi imam surau, Ratib juga menjadi ketua seksi pembinaan rohani dalam kepengurusan RT. Maka ada orang yang bilang, kepelacuran Jebris mencolok mata Ratib, suami Sar.56 Dalam cerpen ini tokoh Jebris digambarkan sebagai seorang wanita yang “nakal” oleh temannya yang bernama Sar karena sering memakai barangnya tanpa permisi, meski begitu Jebris adalah seorang teman bermain yang setia dan patuh. .... Memang, ulah Jebris acap kali merupakan ujian yang lumayan berat bagi kesabaran Sar. Jebris nakal. dia suka mengambil sabun atau detergen. Jebris malah sering juga mengambil pakaian dalam Sar yang sedang dijemur.57 55
Ibid., h. 14 Ibid., h. 21-22 57 Ibid., h. 23 56
43
Ketika bocah, tubuh Jebris seperti Mendol; gemuk dan putih. Betisnya penuh. Karena gemas, Sar sering mencubit pantat Jebris yang berwajah agak bloon tetapi pandai mencatut karet gelang milik Sar. Anehnya, Sar tidak mau berpisah dengan Jebris karena sebagai teman bermain Jebris setia dan patuh.58 “Kenakalan” Jebris yang suka memakai barang milik Sar dalam cerpen ini menunjukan jika selama ini Jebris hidup dalam kekurangan yang bahkan untuk membeli sabun atau deterjen saja dia tidak mampu. “Penipu yang Keempat” menceritakan tentang tokoh “Aku” yang bertemu dengan tiga orang yang penipu yang meminta uang kepada dirinya dengan mengatasnamakan menolong orang yang membutuhkan. Penipu pertama adalah seorang perempuan dengan memperlihatkan kesan wanita yang baik-baik yang diutus oleh sebuah yayasan yatim piatu di Banyuwangi. Penipu kedua adalah seorang laki-laki yang menampilkan kesan lugu, laki-laki itu menjual barang-barang kepada tokoh “Aku” dengan mengatasnamakan buatan penyandang cacat. Terakhir penipu ketiga seorang lakilaki yang menampilkan kesan lapar dan lelah, ia meminta uang kepada tokoh “Aku” karena harus pulang ke Cikokol karena anaknya sedang sakit dan ia tidak memiliki uang. Tokoh “Aku” digambarkan sebagai orang yang munafik dan merupakan penipu keempat yang berpura-pura peduli pada penderitaan orang-orang yang telah disebutkan oleh para penipu itu, namun hatinya sendiri tidak peduli sama sekali pada penderitaan itu. “Warung Penajem” adalah cerpen yang menceritakan tentang tokoh Kartawi yaang memiliki seorang istri bernama Jum. Jum merupakan seorang wanita yang ambisius yang akan melakukan apa saja agar warungnya laris dan ramai. ... Orang bilang Jum pergi ke sana demi memperoleh penglaris bagi warungnya. Soal mencari penglaris, Kartawi maklum bahkan setuju. Ya. Kartawi memang percaya, meraih cita-cita tidak cukup dilakukan dengan usaha nyata. Namun masalahnya, cas-cis-cus para tetangga mengembang 58
Ibid., h. 24
44
lebih jauh; bahwa Jum telah memberikan penajem kepada Pak Koyor. Kartawi tahu penajem, yaitu syarat yang harus diberikan kepada dukun agar suatu upaya mistik berhasil, bisa berupa uang, ayam cemani, atau bahkan tubuh si pasien sendiri. Dan para tetangga bilang, Jum telah memberikan yang terakhir itu kepada sang dukun.59 Meski Kartawi mempercayai Penglaris dan Penajem.Ia tidak bisa menerima jika istrinya memberikan tubuhnya sebagai syarat. Tapi, pada akhirnya Kartawi hanya bisa pasrah menerima perbuatan istrinya itu untuk ditukar dengan meningkatnya hidup mereka. Tetapi dada Kartawi kembali terasa remuk ketika teringat penajem yang telah dibayar oleh Jum. Peningkatan ekonomi itu ternyata telah menuntut pengorbanan yang luar biasa dan mahal.60 Cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri” menceritakan tentang Kang Sarpin seorang penjual beras bersepeda yang datang ke tokoh “saya” untuk meminta bantuannya membuat ia menjadi orang yang baik. Keinginanannya untuk menjadi orang baik karena ia menyadari orangorang disekitarnya tidak menyukai dirinya karena selama ini masyarakat menggambarkan Kang Sarpin adalah orang yang tidak tahu malu dan suka main perempuan. “Ah, sebenarnya orang sekampung, lelaki dan perempuan, sudah tahu siapa dan bagaimana Kang Sarpin. Dia memang lain. Dia tidak hanya mau menelanjangi diri di depan orang banyak. Ada lagi tabiatnya yang sering mengerutkan als karena tak habis pikir: Kang Sarpin sangat doyan main perempuan dan tabiat itu tidak ditutup-tutupi”61 Namun, dalam usahanya untuk menghentikan perilakunya itu, ia mengalami kesulitan. Maka, menurutnya jalan satu-satunya adalah dengan cara dikebiri. Ia pun meminta bantuan tokoh “Saya” untuk memberi tahu dokter mana yang dapat mengkebiri dirinya. “Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah kebiri. Ah, burung saya yang kurang ajar itu memang harus dikebiri. sekarang Mas, tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau 59
Ibid., h. 56 Ibid., h. 60-61 61 Ibid., h. 79 60
45
mengebiri saya. Saya tidak main-main, betul, Mas, saya tidak mainmain.”62 Keinginan Kang Sarpin untuk dikebiri menunjukan kegigihannya dalam mengatasi permasalahan dalam dirinya sehingga ia dapat membuktikan jika ia dapat menjadi orang yang baik. Dalam cerpen “Rusmi Ingin Pulang” diceritakan tentang tokoh yang bernama Kang Hamin yang merasa gelisah, khawatir dan serba salah karena mengetahui jika anaknya yang bernama Rusmi akan pulang kampung. Kang Hanim berjalan meninggalkan rumah dengan kepala menunduk. Wajahnya kusut karena hampir semalam tidak bisa tidur. Hari masih diambang pagi. Dedaunan masih basah oleh embun. Kang Hanim melihat beberapa orang pulang dari salat berjamaah subuh. Ah, pagi ini aku tak berjamaah, sesal Kang Hanim sambil terus melakah.63 Kehawatiran Kang Hanim disebabkan telah berkembang di masyarakat tempat tinggalnya jika selama ini Rusmi bekerja sebagai perempuan penghibur. Kang Hanim takut jika masyarakat mengusir Rusmi dari kampungnya. Rusmi merupakan seorang wanita yang memiliki dua anak yang harus menjalani masa-masa yang sulit karena harus menjadi janda setelah suaminya meninggal dalam kecelakaan. Rusmi pun memutuskan untuk bekerja di kota setelah cukup lama bertahan dalam kesulitan lahir dan batin. Jadilah Rusmi yang manis dan bermata jernih serta punya semangat hidup tinggi tiba-tiba menjadi Janda. Tiba-tiba Rusmi merasa jadi penumpang perahu tanpa pengemudi. Hidupnya terasa oleng.64 Selanjutnya
cerpen “Dawir, Turah dan Totol.” Menceritakan tentang
kehidupan Dawir, Turah dan Totol dan para penghuni area sekitar terminal setelah menghadapi berbagai persoalan akibat dipindahkannya terminal bus ke tempat yang baru. Dawir, Turah dan Totol terikat sebagai keluarga. Dawir bertindak sebagai ayah. Turah sebagai ibu yang juga melahirkan Totol. Totol anak lima tahun yang telah dilahirkan oleh Turah. 62
Ibid., h. 82 Ibid., h. 109 64 Ibid., h. 115 63
46
Mereka adalah manusia terminal. Dawir merasa sebagai ayah, Turah sebagai emak, dan Totol, anak lima tahun, lahir dari perut Turah65 Dawir adalah seorang pengamen sekaligus seorang pencopet, ia sangat menyayangi Turah dan Totol walaupun belum jelas apakah Totol benar anaknya. Dawir digambarkan sebagai seorang yang meski tidak pernah melakukan ibadah namun ia sangat menghargai tempat orang yang melakukan ibadah. Turah pernah minta Dawir menggelar kardus di bekas musolah saja, jangan di luar. Kan tidak ada angin, lebih terlindung, kata Turah. Tapi Dawir tidak mau. Musalah itu tempat berdoa, jawab Dawir. Kita tidak bisa berdoa apa-apa, tambah Dawir66 Turah merupakan seorang wanita yang sejak kecil sudah terbiasa tidur dengan berbagai pria. Turah pun sangat menyayangi Totol, maka ketika ada lakilaki yang mengacamnya karena tidak mau tidur dengannya ia pun terpaksa melayaninya Ayah Totol memang bisa Dawir bisa bukan. Tapi Turah tidak mau kehilangan Totol. Tidak mau. Untuk itu Turah harus mengalah kepada si Jeger. Jadi Turah kembali ke gelaran kardus.67 Totol merupakan anak Dawir dan Turah. Ia berusia anak lima tahun. Meski umurnya masih kecil, ia sudah terbiasa untuk melihat sesuatu yang dilakuakan oleh Dawir dan Turah yang tidak diperuntukan untuk anak seusia Totol. “Jadi nanti malam Mak main sama siapa? Totol terus mencecar. Turah masih belum menoleh. Juga tidak gugup atau heran dengan pertanyaan Totol. Karena Turah sudah mengerti Totol sering melihat dia sedang main sama Dawir di satu kardus yang digelar untuk tidur bertiga.”68 3. Alur Alur dalam tujuh cerpen dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang umumnya didominasi oleh alur campuran (maju-mundur). Dari tujuh
65
Ibid., h. 119 Ibid., h. 121 67 Ibid., h. 128 68 Ibid., h. 125-126 66
47
cerpen yang diteliti terdapat enam cerpen yang menggunakan alur campuran yakni, “Bila Jebris Ada di Rumah Kami”, “Penipu Keempat”, “Warung Penajem”, “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, “Rusmi Ingin Pulang”. Satu cerpen menggunakan alur maju yakni “ Mata yang Enak Dipandang”. Alur dalam cerpen tersebut umumnya dimulai dari munculnya masalah sosial di masyarakat kemudian mundur (flash back) menceritakan tentang hal yang melatarbelakangi munculnya masalah sosial itu.Alur campuran ini dimulai dari penceritaan adanya masalah sosial yang disebabkan salah satu tokoh, kemudian pembaca diajak mengenang apa yang selama ini dihadapi tokoh utama sehingga menimbulkan masalah sosial. Selanjutnya di akhir cerita, pencerita menceritakan kembali peristiwa seperti di awal cerita. Jika digambarkan menggunakan skema, adalah sebagai berikut: D
A
B
C
D
Simbol D merupakan awal pengisahan dari tokoh yang mengalami masalah sosial. Kemudian A, B dan C adalah kronologis kejadian yang dikisahkan secara sorot balik (flash back). Klimaksnya terjadi di C. Setelah pengisahan cerita selesai, leraian (akhir cerita) terjadi di D atau kembali ke masa seperti penceritaan di awal. Selanjutnya hanya satu cerpen yaitu “Mata yang Enak Dipandang yang menggunakan alur maju. Jika digambarkan menggunakan skema, adalah sebagai berikut: A
B
C
D
E
Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B – C - D – Melambangkan kejadian-kejadian berikutnya, tahap tengah yang merupakan inti cerita, kemudian berakhir di E yang merupakan tahap penyelesaian cerita.
48
4. Latar Latar merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk membentuk suatu cerita. latar meliputi latar waktu, tempat dan suasana, latar waktu merupakan waktu atau kapan terjadinya peristiwa. Latar tempat merupakan lingkungan tempat peristiwa terjadi. Terakhir adalah latar sosial yang menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya dikehidupam sosial. Secara jelas telah dibahas jika Ahmad Tohari memiliki ciri khas yaitu mengangkat tentang masyarakat dari kalangan bawah, maka latar yang digunakan pun menggunakan latar yang dapat menunjukan tempat yang biasa masyarakat kalangan bawah berada tinggal. Maka, latar sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini pun memperlihatkan bagaimana keadaan sosial disekitar kalangan masyarakat bawah tinggal sehingga mempengaruhi munculnya masalah sosial. Latar tempat yang digunakan dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang” adalah stasiun kereta api. Stasiun kereta api merupakan tempat biasa Mirta dan Tarsa penuntunnya mengemis. Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang jalan depan stasiun69 “Kereta datang, Kang. Ayo masuk stasiun”70 Stasiun kereta merupakan tempat berbagai macam golongan masyarakat berada. Mengetahui Golongan masyarakat ini merupakan hal yang sangat penting untuk Mirta. Biasanya orang dengan golongan atas akan menaiki kereta kelas satu dan tidak akan memberikan uang untuk mereka, masyarakat kelas atas ini akan memandang orang-orang seperti Mirta dan Tarsa dengan pandangan yang tidak suka dan tidak akan memperdulikan kehadiran mereka. Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang mata yang enak dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat dengan berpasang69 70
Ibid., h. 9 Ibid., h. 13
49
pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh.71 Golongan masyarakat yang akan memberikan uang kepada pengemis seperti Mirta adalah masyarakat yang menaiki kereta di kelas tiga. Orang yang disebut dengan kelas tiga oleh Mirta adalah orang-orang yang memiliki mata yang enak dipandang yang tidak galak terhadap kehadiran Mirta dan temantemannya. Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi kata teman-teman yang melek, enak dipandang. ya kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak dipandang 72 . Latar tempat yang digunakan dalam cerpen “Bila Jebris ada Dirumah Kami” adalah sebuah pojok pedusunan yang berusaha menerapkan nilai keislaman dalam kehidupan masyarakatnya namun dusun itu juga yang memiliki latar belakang sebagai tempat kelahiran pelacur-pelacur. Selentingan ini menyusup kesetiap rumah di pojok dusun itu. ... Maka orang berkata, Jebris janda beranak satu, telah menghidupkan kembali aib lama, aib pojok dusun dusun itu yang dulu dikenal sebagai tempat kelahiran pelacur-pelacur. Di pojok dusun ini kini sudah berdiri surau yang seperti demikian adanya, terletak hanya beberapa langkah dari rumah Jebris. Di sana juga sudah ada rukun tetangga dengan seksi pembinaan rohani. Para perempuan sering berhimpun dalam dalam pertemuan atau arisan. Dalam kesempatan seperti itu, selalu ada acara ceramah pembinaan kesejahteraan keluarga atau pengajian.73 Penerapan nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat pedusun ini membuat masyarakatnya tidak bisa menerima jika ada yang salah satu warganya melanggar ketentuan yang telah disepakati bersama.
71
Ibid., h. 15 Ibid., h. 14 73 Ibid., h. 21 72
50
Penggunaan latar pedusunan dalam kumpulan cerpen ini juga terdapat dalam cerpen “Warung Penajem”, “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, dan “Rusmi ingin Pulang”. Ciri khas dari pedusunan adalah masyarakatnya hidup secara berdampingan dan interaksi antar masyarakatnya masih sangat terjaga. Maka, apa bila salah satu warganya terdengar melakukan perbuatan yang memang bertentangan atau tidak sesuai dengan perilaku yang harus ditampilkan oleh warga secara umum mereka cendrung lebih cepat mengetahuinya dan menjadi bahan perbicangan diantara mereka selain kehidupan di pedusunan juga cendrung masih mempercayai mitos seperti yang tergambar dalam cerpen “Warung Penajem”, Kang Sarpin Minta Dikebiri”, dan Rusmi ingin Pulang” . Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Penipu yang keempat” adalah rumah tokoh “aku” dan pasar. Rumah tokoh “Aku” merupakan tempat tokoh “Aku” bertemu pertama kali dengan tiga orang penipu karena keinginannya untuk bertemu kembali dengan penipu yang telah datang ke rumahnya maka tokoh “Aku” memutuskan untuk mencarinya di pasar. “Aku mengganti kaus oblong yang kupakai dengan baju lengan panjang, kain sarung, dan pantolan. Topi pun kusambar dari catelannya. Kemudian aku bersicepat, bukan ke arah terminal melainkan ke arah pasar.” “Lelaki dari Cikokol itu aku jamin ada di sekitar pasar, bukan di terminal. Lihatlah, dia sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Melihat gerakgerik dan gayanya berbicara ia sedang mengulang tipuannya. Tapi kulihat calon korbannya menghindar.”74 Selanjutntya, latar tempat yang digunakan dalam cerpen “Dawir, Turah, Totol.” adalah bekas Terminal bus. Terminal bus dalam cerpen ini merupakan tempat tinggal Dawir, Turah dan Totol. Biasanya Dawir, Turah, Totol tidur dekat bak sampah besar yang atapnya terbuka tetapi karena terminal telah dibongkar maka mereka bisa tidur di lantai antara kakus dan musolah.
74
Ibid., h. 36
51
Terminal bus sudah pindah tempat ke tempat lain agak di pinggir kota. Kepindahan itu menyebabkan Dawir, Turah, Totol kehilangan tempat menggelar kardus alas tidur di samping bak sampah besar.75 Kehidupan di Terminal dapat dikatakan sangat “bebas” karena disanalah manusia dengan berbagai profesi hidup. Tapi dalam kebebasan itu juga dibarengi oleh rasa takut jika sewaktu-waktu satpol PP atau polisi melakukan razia dan akhirnya menangkap mereka. Waktu itu ada segerombolan anak terminal, lelaki-perempuan. Ada penyemir sepatu, ada pengamen, ada pengemis. Malah ada pencopetnya juga. Mereka harus kumpul di sudut belakang terminal karena sama-sama takut digaruk oleh satpol PP. 76 Latar waktu dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang tidak diperlihatkan secara pasti. Namun, Latar pedusunan yang digunakan dalam “Bila Jebris Ada Dirumah Kami”, “Warung Penajem” “Kang sarpin minta Dikebiri”, “Rusmi ingin Pulang” kemudian latar stasiun kereta dalam “Mata yang Enak Dipandang”, latar pasar dalam “Penipu yang Keempat” serta latar terminal yang terdapat dalam cerpen “Dawir, Turah, dan Totol” menunjukan jika Ahmad Tohari belum meninggalkan ciri khasnya mengangkat kehidupan masyarakat bawah dengan menampilkan lingkungan tempat mereka hidup serta keadaan sosial yang membayanginya.
5. Sudut Pandang Sudut pandang ketujuh cerpen dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang ini beragam. Sudut pandang yang terdapat dalam tujuh cerpen tersebut antara lain sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama terdapat dalam cerpen “Penipu keempat”. dalam cerpen ini pengarang memposisikan dirinya untuk melukiskan serta membeberkan berbagai pengalamannya yang ditemuinya.
75 76
Ibid., h.119 Ibid., h. 119-120
52
Kemudian sudut pandang orang pertama sebagai pelaku tambahan terdapat cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”. Dalam cerpen ini pengarang memposisikan dirinya sebagai saksi yang menceritakan tentang kehidupan tokoh yang bernama kang Sarpin. Terakhir adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu terdapat dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, “Warung Penajem”, “Rusmi ingin Pulang”, dan terakhir “Dawir, Turah dan Totol”. Sudut pandang ini juga merupakan sudut pandang yang dominan dipakai oleh pengarang. Pengarang bertindak sebagai pencerita yang tidak memiliki porsi tokoh (diluar cerita). 6. Gaya Gaya penceritaan Ahmad Tohari dalam kumpulan cerpen ini cendrung menggunakan bahasa sehari-hari namun dalam penceritaannya Ahmad Tohari kerap memasukan unsur dakwah dalam cerpennya. Kita akan terus bertetangga dengan dia. Dan kamu tak usah khawatir malaikat pembawa berkah tidak akan datang ke rumah ini bila kamu tetap punya kesabaran dan sedikit empati terhadap anak penjual gembus itu. 77 Unsur dakwah dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari tidak terlepas dari latar belakangnya yang seorang pengasuh pesantren. Selain itu juga, Ahmad Tohari juga kerap menggunakan diksi lokal jawa dalam cerpennya. Penggunaan wong gemblum (orang gila) muncul beberapa kali dalam “Kang Sarpin Minta Dikebiri” atau kata sampean dalam “Penipu keempat”. Dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang ini juga Ahamd Tohari menggunakan majas dalam penulisannya. Seperti majas perumpamaan untuk menggambarkan sebarah parah kondisi yang dirasakan oleh tokoh dalam cerpen ini Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering, compangcamping dan gelisah. 78 Ia jongkok seperti mayat yang dikeringkan. 79 77 78
Ibid., h. 28 Ibid., h. 9
53
Bentuk majas lain seperti majas personifikasi juga menghiasi kumpulan cerpen ini seperti Dan matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut. 80
B. Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang KaryaAhmad Tohari Masalah sosial yang terjadi di masyarakat tentu tidak akan muncul begitu saja. Ada faktor penyebab yang menyebabkan munculnya masalah sosial di tengah masayarakat. Dalam penelitian akan diuraikan bentuk masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dan faktor penyebab munculnya masalah sosial itu di tengah masyarakat. 1. Bentuk Masalah Sosial dalam Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. a. Masalah kemiskinan Masalah sosial berbentuk kemiskinan merupakan tema utama dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. Masalah kemiskinan memang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kalangan bawah. Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Ukuran kaya atau miskin dapat dilihat melalui kemampuan atau jumlah pemilikan nilai-nilai ekonomisnya. Jika pemilikan terhadap nilai-nilai ekonomis ini mengalami ketimpangan, di mana tidak cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka keadaan tersebut dapat menimbulkan masalah-masalah sosial. 79 80
Ibid., h. 11 Ibid., h.10
54
Salah satu contoh hasil dari masalah kemiskinan adalah munculnya fenomena pengemis. Di kota-kota besar kegiatan mengemis atau memintaminta yang dilakukan oleh orang-orang yang disebut pengemis ini adalah fenomena yang banyak dan sering kita saksikan. Hampir di setiap tempat umum yang banyak terdapat orang-orang berkumpul, fenomena pengemis ini dapat kita temui. Berdasarkan
Permensos
tentang
Pedoman
Pendataan
dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang dimaksud dengan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.81 Masalah pengemis ini dibahas dalam cerpen “Mata yang Enak Dipandang”, cerpen ini menceritakan tentang kehidupan kang Mirta yang sudah mengemis selama beratahun-tahun dan penuntunya Tarsa. Kang Mirta yang hidup dalam kemiskinan karena keterbatasan fisik yang dialaminya, sulit melakukan pekerjaan lain selain mengemis. “Tolol? Aku sudah puluhan tahun jadi kere. Sudah puluhan anak jadi penuntunku. Tetapi baru bersamamulah aku sering tak dapat duit.”82 Selama puluhan tahun Kang Mirta mengandalkan mengemis sebagai pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengalamannya membuat ia menyadari tidak semua orang dapat memberikan uang padanya. Selama ini uang yang ia dapat hanya berasal dari orang-orang yang menaiki kereta kelas tiga yaitu orang-orang yang bukan berasal dari kalangan atas. Orang-orang kelas tiga ini disebut orang yang memiliki mata yang enak dipandang oleh Kang Mirta.
81
Permensos No.08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial. 82 Tohari, op.cit., h. 13
55
“Percuma mengemis di kereta api utama. Aku sudah berpengalaman. Jadi, turutilah apa yang kubilang. Tunggu saja kereta kelas tiga” 83 Tarsa adalah seorang anak yang menjadi penuntun Mirta. Kehidupan Tarsa sangat bergantung pada hasil mengemis dengan Mirta. Dari Mirta juga ia mengetahui siapa saja yang dapat memberikan uang kepada seorang pengemis. ... Ketika Mirta meraih tangannya, Tarsa memandangi orang yang dituntunnya, Tarsa memandangi orang yang dituntunnya itu dengan perasaan campur aduk. Mungkin ia menyesal telah menjemur Mirta terlalu lama demi segelas es limun. Mungkin juga ia jengkel ketika menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari kacung bagi kere picek yang kini menggeletak di tanah di depannya; sialan, hidupku tergantung hanya kepada kere tua yang keropos kedua matanya itu. Mampus kamu, Kang Mirta!84 Fenomena pengemis merupakan suatu hal yang sampai saat ini masih ada dan terus bertambah terutama di kota-kota besar. Tentu hal ini sangat memprihatinkan, di satu sisi Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya, tetapi di sisi lain banyak penduduk Indonesia yang miskin dan hidup kekurangan. Banyaknya orang-orang yang keadaannya seperti tokoh Mirta dan Tarsa, kehidupannya sangat bergantung dari hasil mengemis merupakan contohnya. Masalah pengemis menjadi hal yang serius karena bukan hanya menunjukan banyaknya masyarakat Indonesia yang miskin tetapi juga keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat sudah sangat mengganggu karena merusak keindahan kota dan juga membuat tidak nyaman masyarakat lain. Dahulu ketika orde lama Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi semangat “BERDIKARI” berdiri di kaki sendiri, tetapi saat ini Indonesia sangatlah bergantung pada negara lain khususnya negara maju.
83 84
Ibid., h. 15 Ibid., h 15-16
56
Fenomena pengemis pun secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki sifat ketergantungan yang tinggi, walaupun memang kita ketahui bahwa manusia tidaklah bisa hidup sendiri. b. Masalah Kejahatan atau Kriminalitas Tindakan kriminal biasanya banyak yang terjadi pada masyarakat yang tergolong sedang berubah, terutama pada masyarakat-masyarakat kota yang lebih banyak mengalami berbagai tekanan. Tindakan-tindakan kejahatan tidak hanya bisa tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan juga karena tekanan-tekanan yang datang dari luar, seperti pengaruh pergaulan kerja, pergaulan dalam lingkungan masyarakat tertentu, yang kesemuanya mempunyai unsur-unsur tindakan kejahatan.85 Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusian (immoril), merugikan masyarakat, a-sosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.86 Dalam cerpen “Dawir, Turah, Totol.” Terminal yang menjadi latar tempat cerpen ini, merupakan rumah bagi mereka yang disebut manusia terminal. Manusia terminal adalah orang-orang yang kehidupannya bergantung pada hasil kerjanya di terminal. Terminal menjadi tempat yang sangat strategis bagi orang-orang untuk melakukan tindakan kejahatan, karena di sinilah banyak orang-orang berkumpul. Tindakan kejahatan juga dilakukan oleh mereka yang disebut manusia terminal. Dalam cerpen ini tindakan kejahatan di lakukan oleh tokoh utama yang bernama Dawir. Dawir memang berprofesi sebagai pengamen yang merangkap sebagai pencopet.
85
Abdulsyani, Sosiologi (Skematika, Teori, dan Penerapannya), (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), cet. ke. 4, h.189 86 Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 8, h. 125
57
Ngamen ya ngamen, tapi jangan nyopet, kata polisi kepada Dawir sambil berusaha membawanya pergi. Dawir tidak melawan, malah masih berusaha bicara dengan Totol. Tembak aku, Tol. Tembak. Dan Totol menembak sambil berteriak dan tertawa;87 Dalam kutipan di atas terlihat jika Dawir sama sekali tidak melawan, juga tidak merasa takut saat polisi menangkapnya. Hal ini karena Dawir sudah terbiasa ditangkap dan di masukan penjara. Tindakan kejahatan juga dialami oleh Turah. Turah dipaksa untuk melayani Jeger meski tidak mau dengan melakukan pengancaman. Totol juga tidak tahu ada lelaki merebahkan diri di seberang tubuh Turah. Itu si Jeger, tukang palak yang selalu meminta setoran kepada pengamen dan para pengemis. Turah, yang memang belum tidur dan sedang tidak bernafsu, malah bangkit. Si Jeger seperti mau memperkosa, tapi Turah yang tubuhnya kuat tidak bisa dipaksa. Turah berjalan meninggalkan totol tidur sendiri dan digigit nyamuk. Si Jeger tidak sulit menemukan cara untuk memeras turah. Sudah malam begini Dawir belum setor ke saya, kata si Jeger sambil berjalan menyusul Turah, jadi kamu yang harus bayar, harus! Tambahnya dengan mengancam.88 Kelakuan Jeger yang suka mengancam apabila Turah tidak mau melayaninya tidak hanya dilakukan sekali tapi sudah beberapa kali. Jeger pernah mengancam akan menculik anak Turah, Totol. Turah jengah. Turah tahu watak si Jeger. Kalau maunya tidak dituruti, nanti akan ada tinja berserakan di kardus alas tidur Turah. O, itu biasa, dan Turah tidak takut. Tapi si Jeger bisa berbuat lebih dari itu. Buktinya dulu dia pernah mengancam akan menculik Totol bila Turah tidak menuruti maunya. Totol akan dijualnya ke makelar anak yang tidak jauh dari terminal. Ayah Totol memang bisa Dawir bisa bukan. Tapi Turah tidak mau kehilangan Totol. Tidak mau. Untuk itu Turah harus mengalah kepada si Jeger. Jadi Turah kembali ke gelaran kardus. Merebahkan tubuh dekat sekali tapi tidak menyentuh Totol. Turah bermain tanpa minat. Tapi puas karena yakin telah menularkan nanah kepada si Jeger. Rasakan, tukang palak! Kutuk Turah. 89 Terminal memang tempat yang sangat memungkinkan sebagai tempat untuk tindakan kriminalitas, selain pencopetan atau pengancaman. Jual-beli 87
Ahmad Tohari, op.cit., h. 125 Ibid., 127 89 Ibid., h. 127-128 88
58
berahi, jual-beli narkoba dan penjualan miras merupakan tindakan kriminalitas yang juga berada di terminal dalam cerpen ini. Banyak tidaknya tindakan kejahatan atau kriminalitas dapat juga dipengaruhi lingkungan tempat seseorang tinggal. Dalam cerpen ini, terminal merupakan tempat yang sangat besar memiliki peluang terjadinya tindakan kejahatan atau kriminal. Tapi dalam keremangan itu selalu terlihat sosok laki-laki, perempuan, lesbi, hombreng lalu lalang atau duduk berdua-dua sambil ngobrol atau merokok. Ada berbagai macam jual-beli berahi, ada jual-beli narkoba, ada lesehan miras.90 Selain itu tindakan kejahatan lain berupa penipuan seperti dalam cerpen “Penipu Keempat” . Penipuan yang terdapat dalam cerpen ini, sadar atau tidak sering kali dijumpai di masyarakat. Banyaknya orang-orang yang melakukan penipuan dengan mengatasnamakan membantu sesama, tentu telah menjadi masalah sosial ditengah masyrakat. “Penipu keempat” merupakan cerpen yang menggambarkan tentang tokoh “Aku” yang bertemu dengan para penipu yang meminta uang kepada tokoh “Aku” dengan berbagai alasan yang intinya membantu orang-orang yang membutuhkan. Dia adalah penipu ketiga yang datang kepadaku hari ini. Dengan menampilkan kesan orang lapar dan lelah. Dia, lelaki yang baru kukenal. Minta uang kepadaku. Katanya, ia harus segera pulang ke Cikokol, karena anaknya sedang sakit di sana. Tetap katanya ia tak bisa berangkat kecuali aku bermurah hati memberinya ongkos perjalanan.91 Dalam kutipan di atas terlihat jika tokoh “Aku” telah didatangi oleh beberapa penipu, penipu yang mendatangi tokoh “Aku” meminta uang dengan memberi alasan ingin menemui anaknya yang berada di Cikokol. Penipu itu juga berakting seperti orang kelaparan dan kelelahan untuk memperkuat kesan orang yang sedang sangat kesusahan.
90 91
Ibid., h. 127 Ibid., h. 31
59
Sebelumnya tokoh “Aku” telah didatangi oleh seorang penipu perempuan yang meminta sumbangan untuk membantu anak-anak yatimpiatu, untuk membuat tokoh “Aku” percaya, perempuan itu menyertakan surat-surat yang telah distempel sebagai bukti. Namun, tokoh “Aku” orang yang tidak mudah dibohongi, ia dapat dengan mudah mengetahui penipuan yang dilakukan oleh perempuan. Meski begitu, tokoh “Aku”tetap memberikan uang kepada perempuan itu. Tadi pagi, seorang perempuan mengetuk pintu rumahku. Ia memperlihatkan kesan perempuan saleh dan datang kepadaku minta sumbangan. Katanya, ia diutus oleh sebuah yayasan pemelihara anakanak yatim-piatu di Banyuwangi. Ia tunjukan surat-surat berstempel sebagi bukti jati dirinya. Dan akhirnya ia berkata bahwa yayasan yang mengutusnya sangat memerlukan bantuan dana. Tanpa bantuan semacam itu, katanya, anak-anak yatim-piatu di sana akan bertambah sengsara.92 Kulihat mata perempuan itu bersinar-sinar. Mungkin ia senang karena disangkanya aku tak tahu betapa mudah membuat stempel palsu dan betapa jauh kota Banyuwangi dari rumahku. Atau ia mengira aku orang yang menjalankan perintah agama dengan baik karena tidak berburuk sangka kepada orang yang baru kukenal.93 Tak lama setelah penipu perempuan pergi, penipu laki-laki datang yang menawarkan beberapa barang dengan harga yang sangat tinggi karena dibuat oleh anak-anak penyandang cacat yang berada di Solo yang sangat memerlukan bantuan. Penipu itu pun berakting lugu untuk menarik simpati tokoh “Aku” Tak lama sesudah perempuan itu pergi, datanglah tamu lain. Kali ini seorang laki-laki yang memberi kesan amat lugu. Dia membawa bungkusan agak panjang berisi kemucing serta empat pisau dapur. Kata lelaki itu, barang-barang yang dibawanya adalah buatan anakanak penyandang cacat di kota Solo. Dia menawarkan barang-barang itu kepadaku dengan harga, kukira, tiga kali lipat harga sewajarnya.94
92
Ibid., h. 32 ibid 94 Ibid. 93
60
Tindakan kejahatan berupa penipuan ini terdapat dalam undangundang pasal 378 KUHP tentang penipuan, yakni barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.95 Penipuan yang mengatasnamakan membantu orang-orang yang membutuhkan ini telah sangat banyak keberadaannya di tengah masyarakat. Tentu saja bagaimana pun bentuknya penipuan semacam ini merupakan bentuk kejahatan yang cukup mengganggu di masyarakat. c. Masalah Disorganisasi Keluarga Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan peranan sosialnya. Salah satu bentuk disorganisasi keluarga adalah Krisis keluaraga, oleh karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan. Masalah disorganisasi keluarga dalam bentuk ini terdapat dalam cerpen “Rusmi ingin Pulang” diceritakan dalam cerpen ini karena suaminya meninggal, kehidupan Rusmi yang awalnya bercukupan menjadi sangat menyedihkan karena kekurangan. Rusmi setiap hari merasa ditemani oleh perasaan beruntung. Rumahnya sudah patut. Pakaian dan perhiasan pun sudah punya. Bahkan bersama suaminya Rusmi mulai menabung untuk naik haji. Namun keberuntungan itu cepat berubah sejak suami Rusmi
95
Kartono, op.cit., h. 128
61
meninggal. Sebuah mobil yang dikendarai oleh sopir yang mengantuk menabrak sepeda motor yang dikendarai suaminya.96 Kematian suaminya sangat
mempengaruhi kehidupan Rusmi.
Awalnya ia tak perlu memikirkan bagaimana mencari uang karena ada suaminya, namun karena suaminya telah meninggal ia pun harus memikirkan bagaimana cara menghidupi dirinya beserta anaknya. Tiba-tiba Rusmi merasa jadi penumpang perahu tanpa pengemudi. Hidupnya terasa oleng. Bila terpandang mata kedua anaknya masih kecil, ta bisa tidak Rusmi menangis . “Bagaimanakah hidupku besok, lusa, dan seterusnya?” 97 Kesulitan
yang terus-menerus ia hadapi
memaksanya untuk
berubanisasi agar mendapat pekerjaan dan ia pun terpaksa meninggalkan anaknya meski mereka masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Satu setengah tahun bertahan dalam kesulitan lahir-batin, akhirnya Rusmi menyerah. Suatu hari Rusmi memenuhi ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota. Kedua anaknya ditinggal bersama kakeknenek mereka. Ada yang bilang Rusmi pergi ke Jakarta. Namun ada juga yang bilang dibawa orang ke Surabaya. Kang Hanim sendiri tidak tahu mana yang benar, karena sedemikian jauh Rusmi tak pernah berkirim surat. 98 Status janda yang disandang oleh Rusmi, membuatnya juga menjadi bulan-bulanan warga sekampung. Banyak yang membicarakan hal-hal yang negatif tentang Rusmi, meski belum diketahui kebenarannya. Hal-hal negatif yang menyebar pun mempengaruhi keluarga Rusmi. Isu-isu negatif tentang janda memang kerap membayangi perempuanperempuan yang memilih atau terpaksa berpisah dari suaminya. Dalam sebuah wawancara, Ahmad Tohari mengatakan bahwa perempuan-perempuan janda dan pelacur memang dikerasi oleh masyarakat, apalagi di desa yang
96
Ibid., h. 114-115 Ibid., h. 115 98 Ibid. 97
62
nilai religiusnya tinggi, terutama desa-desa kecil dan terpencil, seperti Tinggarjaya.99 Selain bentuk disorganisasi di atas terdapat juga disorganisasi keluarga karena tidak adanya keseimbangan dari perubahan-perubahan unsurunsur warisan sosial (social heritage). Keluarga, menurut pola masyarakat yang
agraris,
menghadapi
persoalan-persoalan
dalam
menyongsong
modernisasi, khususnya idustrialisasi. Dengan dimulainya industrilasasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga berubah. Biasanya hanya ayah yang wajib mencari penghasailan. Namun, karena pengahasilan yang tidak mencukupi, ibu turut pula mencari penghasilan tambahan.100 Kasus disorganisasi keluarga seperti di atas, terdapat juga dalam cerpen “Warung Penajem”. Jum yang memiliki sebuah warung lebih dapat memenuhi kehidupan keluarganya dibanding Kartawi yang bekerja sebagai seorang petani. Dari penghasilan warung, Jum telah berhasil meraih keinginannya untuk memiliki rumah yang ditembok, sebuah televisi dan keinginan Jum yang terbaru adalah memiliki sepeda motor bebek. Dengan warung itu Jum terbukti mampu mengembangkan ekonomi rumah tangga. Pada tahun ketiga, sementara dua anak telah lahir, Jum berhasil meraih salah satu keinginannya, memiliki rumah tembok. Tahun berikut ia sudah punya televisi hitam-putih 14 inci. Kini giliran sepeda motor bebek yang ingin diraih Jum. Dan Kartawi sepenuhnyaberada di belakang cita-cita istrinya itu. 101 Keinginan Jum untuk meningkatkan ekonomi keluarga membuatnya bekerja keras bahkan menempuh segala cara agar warungnya tetap maju dan laris. Salah satu hal yang dilakukan oleh Jum adalah memperoleh penglaris. Sebenarnya penglaris merupakan hal yang biasa bagi kartawi. Namun, saat mendengar para tetangga membicarakan Jum yang memberikan penajem 99
Astri Apriyani, “Perkembangan Orientasi Kepengarangan Ahmad Tohari: Senyum Karyamin, Nyanyian Malam, dan Rusmi ingin Pulang” Skripsi pada program Studi Indonesia, Universitas Indonesia, 2007., h. 77 100 Soerjano Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1998), cet. ke. 25. h. 413 101 Ahmad Tohari, op.cit., h. 56
63
yaitu memberikan tubuhnya sendiri kepada sang dukun untuk dapat memperoleh penglaris itu, hati kartawi pun menjadi sangat tersiksa. Ya, Kang, pekan lalu saya memang pergi kepada pak Koyor,” kata Jum dalam gaya tanpa beban. “Setiyar, Kang, supaya warung kita tetap laris. Kamu tahu, Kang, sekarang sudah banyak saingan.102 Dominasi Jum dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarganya membuat Kartawi tidak bisa berbuat apa-apa sebagai seorang kepala rumah tangga, ketika mengetahui ternyata benar Jum telah memberikan tubuhnya sebagai penajem. Pada hari keempat Kartawi pulang. Rindunya kepada rumah, kepada anak-anak, dan kepada Jum tak tertahankan. Bagaimana juga Jum dan anak-anak sudah lama menjadi bagian hidup Kartawi sendiri. Kemarahan yang amat sangat tak mampu mengeluarkan Jum dari inti kehidupannnya. Namun sampai di halaman Kartawi termanggu. Dipandangnya warung Jumyang laris dan telah mendatangkan banyak untung. “Dengan warung ini ekonomi rumah tanggaku bisa sangat meningkat,” pikir Kartawi. “keluargaku bisa hidup wareg, anget, rapet”.103 Tetapi dada Kartawi kembali terasa remuk ketika teringat penajem yang telah dibayar oleh Jum. Peningkatan ekonomi itu ternyata telah menuntut pengorbanan yang luar biasa dan mahal. Kartawi jadi bimbang dan tergagap di halaman rumag sendiri. 104 Keadaan Kartawi yang tidak bisa memenuhi peranannya sebagai suami dalam peningkatan ekonomi keluarganya, memberikan dampak kepada dirinya karena saat istrinya menginginkan kehidupan ke arah modern dengan meningkatkan ekonominya melalui cara-cara yang dianggap bertentangan norma yang dianut masyarakat, ia tidak bisa menyalahkan sepenuhnya masalah itu pada istrinya. Selain itu, keinginannya untuk hidup enak pun menjadi salah satu faktor.
102
Ibid., h. 58 Ibid., h. 60 104 Ibid., h. 60-61 103
64
d. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern Masalah generasi muda pada umunya ditandai dua ciri berlawanan. Yakni keinginan untuk melawan (misalnya dalam bentuk radikalisme, delikuensi dan sebagainya) dan sikap yang apatis (misalnya penyesuaian yang membabi buta terhadap ukuran moral generasi tua). Sikap melawan mungkin disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat. Ahmad Tohari ternyata cukup memperhatikan masalah sosial yang mengkhususkan generasi muda ini. Dalam cerpennya yang berjudul “Rusmi Ingin Pulang” Ahmad Tohari menyinggung masalah generasi muda yang sering melakukan tindakan main hakim sendiri. Rasa takut yang dirasakan oleh Kang Hanim ketika mendengar Rusmi anaknya akan pulang, memang karena ia takut menerima kenyataan jika anaknya benar menjadi seorang wanita penghibur tapi lebih dari itu rasa takut yang ia rasakan juga karena sikap masyarakat khususnya pemuda yang ada di lingkungannya akan berbuat anarkis terhadap kedatangan Rusmi. “... Namun Pak RT tentu masih ingat, bulan lalu ada copet tertangkap di pasar. Copet itu hampir dibakar ole para pemuda kampung kita. Maka saya takut Rusmi pun di perlakukan demikian, karena anak saya itu dianggap aib kampung. Maka saya selalu gelisah. Istri saya malah sering menangis di malam hari.105 Dalam cerpen ini digambarkan sikap pemuda dalam menghadapi sebuah peristiwa sangat menghawatirkan, para pemuda sangat mudah dipengaruhi untuk berbuat sesuatu yang dianggap sangat anarkis bagi masyarakat Indonesia yang memegang prinsip musyawarah terhadap suatu kebijakan. “Ya, Pak, saya khawatir anak-anak muda tidak akan patuh kepada Bapak. Sudah banyak bukti anak-anak muda sekarang mudah marah 105
Ibid., h. 112-113
65
dan mudah dihasut. Selain tentang copet itu, Bapak tentu tidak lupa peristiwa pembakaran rumah yang dicurigai sebagai sarang mesum di belakang pabrik kayu bulan kemarin.”106 Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya, karena pada periode itu, seseorang meninggalkan tahap kehidupan anak-anak, untuk menuju ke tahap selanjutnnya yaitu tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai
suatu
krisis
karena
belum
adanya
pegangan,
sedangkan
kepribadiannya sedang mengalami pembentukan.107 Sikap pemuda yang melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap pencopet atau pembakaran rumah yang dicurigai tempat mesum dalam cerpen ini didasari adanya rasa takut dalam diri mereka bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Namun, sikap pemuda yang
melakukan tindakan main hakim sendiri tentu
bertentangan dengan prinsip musyawarah yang dianut masyarakat. e. Masalah Pelanggaran terhadap Norma-norma Masyarakat 1. Masalah Pelacuran Pelacuran merupakan “profesi” yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang. Dan senantiasa menjadi masalah sosial, atau menjadi obyek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam pelbagai bentuk dan tingkatan108
106
Ibid., h. 113 Soerjono Soekanto, op. cit., h. 414 108 Kartini Kartoono, op.cit., h. 177-178 107
66
Masalah pelacuran dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang terdapat dalam cerpen “Bila Jebris ada Dirumah Kami”. Tindakan pelacuran dilakukan oleh tokoh bernama Jebris. Selentingan tentang Jebris kian meluas. Seperti bau terasi terbakar, selentingan itu menyusup ke setiap rumah di pojok dusun itu. Kini rasanya tak seorang pun yang tinggal di sana belum tahu bahwa Jebris sudah jadi pelacur.109 Tindakan pelacuran yang dilakukan oleh Jebris, dilakukannya setiap hari. Ia pergi tiap sore ke daerah batas kota yang setiap malam selalu berubah menjadi tempat mesum dan pulang pagi-pagi sekali. Tiap sore Jebris naik bus ke daerah batas kota, sekitar terminal, yang pada malam hari menjadi wilayah mesum. Menjelang matahari terbit, Jebris sudah berada di rumah karena selalu menumpang bus paling awal.110 Tindakan pelacuran yang dilakukan oleh Jebris tentu mengganggu masyarakat yang berada di sekitarya, terlebih latar masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggal Jebris yang sepakat untuk membuang latar belakang sebagai tempat lahirnya pelacur-pelacur dengan mengedepankan nilai keislaman di desanya. Rumah
Jebris yang bersebelahan dengan surau yang dijadikan
masyarakat sebagai pusat pembinaan kerohanian membuat masalah ini menjadi
lebih
pelik,
maka
orang-orang
yang
merasa
memang
bertanggungjawab untuk menertibkan masyarakat yang bertentangan dengan kebiasaan masyarakat pun turun tangan untuk mempringati perbuatan Jebris itu. Orang bilang, sebenarnya Jebris sudah beberapa kali mendapat peringatan. ia pernah didatangi hansip yang memberikan nasihat banyak-banyak. mendengar nasihat itu demikian, orang bilang Jebris mengangguk-nganguk dan dari mulutnya terdengar “ya, ya”, Jebris juga menghidangkan kopi untuk Pak Hansip. Tetapi ketika menghidangkan minuman itu, Jebris hanya ber-pinjung kain batik, 109 110
Tohari, op. cit., h. 21 Ibid., h. 22
67
tanpa kebaya, dan rambut tergerai. Kata orang, Pak Hansip tak bisa berkata sepatah kata pun dan langsung pergi.111 Selain karena rumah Jebris yang dekat dengan surau sehingga perbuatannya itu dianggap sangat tidak pantas, masyarakat disekitar rumah Jebris pun percaya jika kehidupan mereka tidak akan berkah jika ada tindakan pelacuran disekitar mereka. “Kang Ratib, kata orang, keberkahan tidak akan datang pada empat puluh rumah di sekitar tempat mesum. Apa iya, Kang?” “Ya, mungkin.” “Kalau begitu hidup kita tidak berkah ya, Kang?” “Maksudmu selentingan terbaru tentang Jebris?” 112 Sikap masyarakat yang sangat mempermasalahkan pelacuran yang dianggap tidak pantas karena berlawanan dengan norma yang berlaku pun, terlihat pada cerpen “Rusmi Ingin Pulang” . Ada yang bilang kini Rusmi di Jakarta. Atau di Surabaya. Di sana Rusmi jadi perempuan penghibur. Konon seseorang pernah melihat Rusmi bersama lelaki. Dan yang paling seru adalah pengakuan seseorang yang konon mendengar cerita Rusmi telah menjadi penghuni kompleks pelacuran.113 Entah mengapa kabar miring itu makin berkembang dengan bumbu yang makin pekat dan beraneka. Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka dia harus dijauhkan dan ditolak. Banyak perempuan dan pemuda akhinya menyatakan akan menolak dan mengusir keluar bila Rusmi kembali ke kampung ini. 114 Sikap masyarakat yang akan menolak dan mengusir Rusmi bahkan ketika mereka hanya mendengar dan belum membuktikan sendiri perbuatan Rusmi yang tergambar dalam cerpen “Rusmi Ingin Pulang” menunjukan masyarakat sangat tidak bisa menerima perbuatan pelacuran yang dilakukan anggota masyarakatnya karena dianggap sebuah aib bagi masyarakat itu sendiri. 111
Ibid. Ibid., h. 24 113 Ibid., h. 111 114 Ibid., h. 111-112 112
68
Pelacuran yang ada di masyarakat dianggap sebuah masalah sosial yang tidak boleh terjadi dan harus dihentikan karena dengan berbagai alasan yang yang telah dikembangkan oleh masyarakat merupakan perbuatan yang tidak pantas dan merusak. 2. Masalah Homoseksualitas Selama berabad-abad seksualitas telah distigmakan sebagai sesuatu yang buruk secara perilaku dan bersifat apatis bila disangsikan oleh sakramen perkawinan. Setiap aktivitas seksual yang bukan tujuan penciptaan, terutama penyimpangan seksual, secara moralitas dianggap jahat. 115 Homoseksualitas dan lesbian merupakan sebutan bagi mereka yang melakukan penyimpangan seksual karena melakukan hubungan seks dengan sesama jenis. Penyimpangan seksual merupakan bagian dari perilaku seks bebas yang juga merupakan penyakit masyarakat karena telah melanggar norma-norma perkawinan yang wajar. Masalah homoseksualitas ini sedikit dibahas dalam cerpen “Dawir, Turah, Totol.” dalam cerpen ini diceritakan jika Turah bercerita pada Dawir ia sering melihat “lesbi” dan “hombreng” yang melakukan hubungan seks di tempat ibadah yang terdapat di bekas terminal dalam cerpen ini. Musolah itu tempat orang berdoa, jawab Dawir. Kita tidak bisa berdoa apa-apa, tambah Dawir. Turah belum menyerah. Dia bilang, kok banyak lesbi atau hombreng pada main disitu? Kok tidak apaapa? tanya Turah. Kamu pernah melihat sendiri hombreng dan lesbi main di situ? Dawir balik tanya. Iya, saya melihat sendiri, jawab Turah. Kamu senang melihat mereka main ya? Tanya Dawir lagi. Ih, amit-amit! Jawab Turah sambil meludah. Cuh! Dawir diam.116 Mengetahui kenyataan itu ada perasaan tidak suka dan jijik yang menghampiri Dawir dan Turah. Namun, meski keduanya tidak suka mengetahui kenyataan itu, Dawir dan Turah tidak bisa berkomentar banyak karena perilaku mereka pun tidak jauh berbeda dengan perilaku para
115 116
Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, Matriaki, Gender, (Yogyakarta:Jalasutra). h. 203 Tohari, op. cit., h. 114
69
hombreng dan lesbi itu, yang membedakan adalah mereka melakukannya dengan lawan jenis. Dawir dan Turah adalah penganut seks bebas. Seks bebas juga menjadi bagian dari pelanggaran terhadap norma-norma perkawinan yang wajar. Dawir dan Turah kerap kali melakukan hubungan seks meski mereka tidak terikat perkawinan, terutama Turah yang melakukannya tidak hanya pada Dawir tetapi juga pada penghuni terminal lain yang sudah ia lakukan sejak umur yang masih sangat muda. ... sejak saat itu anak-anak terminal mengatakan Turah istri Dawir. Tapi sering ada kernet, atau sopir, atau si jeger, yang suka minta setoran kepada pengemis dan pengamen, memakai Turah. Dan Turah mau saja. Padahal waktu itu tetek Turah masih kecil.117 Perilaku seks bebas yang sudah dilakukan oleh Turah semenjak ia masih muda, mengakibatkan ia menderita penyakit kelamin yang ia bisa tularkan kepada siapa saja yang ia kehendaki. Biar saja si Jeger dan polisi dua-duanya main sama aku. Biar duaduanya ketularan. Rasakan! Ketularan apa, Mak? Totol bingung. Ketularan gatal dan perih. Biar si Jeger dan polisi itu aku tulari nanah! Jawab Turah. Apa itu, Mak? Ah, jangan rewel, kamu masih kecil, jawab Turah sambil merebahkan badan.118 Perilaku seks bebas ini juga dilakukan oleh Kang Sarpin dalam cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, karena perilakunya itu Kang Sarpin dijuluki oleh masyarakat di lingkungan rumahnya dengan sebutan wong gemblung atau dapat diartikan “orang gila”. “Bagaimana aku tak menyebut iparku itu wong gemblung? Coba dengar. Suatu ketika di kilang padi, orang-orang menantang Sarpin: bila benar jantan, dengan upah lima ribu rupiah dia harus berani membuka celana di depan orang banyak. Mau tahu tanggapan Sarpin? Tanpa pikir panjang Sarpin menerima tantangan itu. Ia menelanjangi dirinya bulat-bulat di depan para penantang. Lalu enak saja, dengan kelamin berayun-ayun dia berjalan berkeliling sambil meminta upah yang dijanjikan”119 117
Ibid., h. 120 Ibid., h. 126 119 Ibid., h.79 118
70
Kang Sarpin dikenal oleh tetangganya sebagai orang yang tidak memiliki rasa malu dan sangat suka main perempuan, ia sudah meniduri puluhan perempuan, hal ini diakui sendiri oleh Kang Sarpin di depan para tetangganya dengan tanpa beban. Namun, ia tidak pernah meniduri wanita yang masih memiliki suami. “..., Ah sebenarnya orang sekampung, lelaki dan perempuan, sudah tahu siapa dan bagaimana Kang Sarpin. Dia memang lain. Dia tidak hanya mau menelanjangi diri di depan orang banyak. Ada lagi tabiatnya yang sering membuat orang sekampung mengeritkan alis karena tak habis pikir: Kang Sarpin sangat doyan main perempuan dan tabiatnya itu tidak ditutup-tutupinya. Dia dengan mudah mengaku sudah meniduri sekian puluh perempuan. “ Saya selalu tidak tahan bila hasrat berahi tiba-tiba bergolak,” kata Kang Sarpin suatu saat.120 “Tetapi Kang Sarpin masih ada baiknya juga” cerita Dalban lagi. “Meski gemblung dia berpantangan meniduri perempuan bersuami. Kalau soal janda sih, jangan tanya; yang tua pun dia mau. Dan hebatnya lagi, dia juga tak pernah melupakan jatah bagi istrinya, jatah lahir maupun batin.121 Meski terkesan cuek dengan reaksi para tetangganya, nyatanya Kang Sarpin juga memikirkan perilaku seks bebasnya ini yang dapat dikatakan salah oleh siapa pun termasuk dirinya sendiri. Terbukti ketika ia mendatangi tokoh “Aku” dan menceritakan keinginginannya untuk menghentikan perilakunya itu. “Ah, Mas kan tahu saya begini, orang jelek. Wong gemblung. Doyan perempuan. Saya mengerti sebenarnya semua orang tak suka kepada saya. Sudah lama saya merasa orang sekampung akan lebih senang bila saya tidak ada. Saya adalah aib di kampung ini.122 Perilaku Kang Sarpin yang tidak memiliki malu dan suka main perempuan ini mempengaruhi sikap masyarakat di lingkungannya. Maka ketika Kang Sarpin meninggal, mereka tidak menunjukan sikap duka cita atau sikap kehilangan anggota masyarakatnya. 120
Ibid. Ibid., h. 80 122 Ibid. 121
71
Di rumah Kang Sarpin saya melihat banyak orang berkumpul. Jenazah sudah terbungkus kafan dan terbujur dalam keranda. Tapi tak terasa suasana dukacita. Wajah para pelayat cair-cair saja. Mereka duduk santai dan bercakap-cakap sambil merokok seperti dalam kondangan atau kenduri. Ada juga yang bergurau dan tertawa. Asap mengambang di mana-mana, melayang seperti kabut pagi. Ah, saya harus bilang apa? Di rumah Kang Sarpin pagi itu memang tak ada dukacita atau belasungkawa. Kalaulah ada seorang bermata sembap karena habis menangis,dialah istri Kang Sarpin. Tampaknya istri Kang Sarpin berduka seorang diri.123 Homoseksualitas, lesbian atau perilaku seks bebas lainnya merupakan bagian dari penyimpangan norma masyarakat khususnya norma perkawinan yang ada di masyarakat sehingga akan menimbulkan pertentanganpertentangan karena dapat menimbulkan hal-hal negatif seperti penyakit kelamin yang sangat sulit untuk diobati. 2. Penyebab Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari Masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat tidak timbul begitu saja. Ada penyebab yang menjadi latar belakang mengapa masalah sosial itu timbul di tengah masyarakat. Begitu pun masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Mata yang Enak Dipandang terdapat beberapa faktor
penyebab mengapa masalah sosial timbul. Penyebab masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang disebabkan oleh faktor ekonomis dan faktor kebudayaan. Sudah tentu, suatu masalah dapat digolongkan ke dalam lebih dari satu kategori. Namun, dalam kumpulan cerpen ini masalah sosial didominasi oleh faktor kebudayaan. Faktor ekonomi menjadi penyebab masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. Penyebab Kang Mirta menjadi pengemis serta Jebris yang menjadi seorang pelacur dikarenakan kehidupan 123
Ibid., h.78
72
ekonomi yang mereka hadapi sangat rendah. Kemiskinan yang sudah dialami tokoh Kang Mirta dalam “Mata yang Enak Dipandang” serta tokoh Jebris dalam “Bila Jebris Ada Dirumah Kami” menjadi alasan bagi mereka melakukan profesi yang mereka geluti dalam cerpen-cerpen tersebut. Pemenuhan kebutuhan ekonomi memaksa para tokoh melakukan apa saja meski itu bertentangan dengan norma atau hal yang mereka lakukan itu dapat meresahkan masyarakat di tempat tinggalnya. Tokoh Mirta yang sudah hidup miskin selama bertahun-tahun tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonominya dengan baik karena kondisi matanya yang tidak bisa melihat. Satu-satunya usaha yang dapat Kang Mirta lakukan adalah dengan cara mengemis. Tokoh Jebris pun dalam usahanya untuk memenuhi kehidupan ekonomi keluarganya yang sangat sulit harus rela menjadi pelacur, sebelum menjadi pelacur Jebris pernah mengadu nasib ke kota. Namun, keadaan anaknya yang masih kecil serta ayahnya yang sakit-sakitan membuat ia tidak tega meninggalkan mereka lebih lama. Meski kehidupan Jebris dibantu oleh Sar dengan memberikan beras tiap bulan, tetap saja hal tersebut tak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kelurga Jebris, maka satu-satunya jalan yang dapat dilakukanya adalah menjadi pelacur. Orang bilang keberuntungannya telah berakhir. Sar yang menjadi tetangga terdekat merasakan kebenaran apa yang dibilang orang. Jebris keliatan sangat berat menghidupi diri sendiri, anak serta ayahnya sudah sakit-sakitan karena dia tak punya penghasilan apa pun. Jebris pernsh mengadu untung ke kota, namun segera pulang karena katanya tak tega meninggalkan Mendol serta ayah yang sudah lebih banyak tergeletak di balai-balai. Sar yang sudah menjadi guru setip bulan menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah. Tetapi Sar tahu apalah arti sokongan itu bgai kehidupan Jebris.124 Alasan meningkatkan ekonomi rumah tangga juga yang menjadi alasan tokoh Jum dalam cerpen “Warung Penajem” rela memberikan tubuhnya sendiri sebagai penajem kepada dukun. Perbuatannya itu tentu bertentangan norma sehingga tidak heran karena perbuatannya itu ia menjadi pembicaraan tetangga di 124
Ibid., h 26
73
sekitar rumahnya. Namun, dalam cerpen “Warung Penajem” tidak hanya faktor ekonomis saja yang menjadi faktor penyebab timbulnya masalah sosial ada faktor kebudayaan yang juga menjadi penyebab masalah sosial tersebut muncul. Faktor kebudayaan menjadi penyebab masalah sosial dalam cerpen “Warung Penajem” adalah perkembangan kebudayaan yang terjadi dalam lingkungan tempat tinggal Jum dalam bentuk teknologi. Jum mempunyai keinginan untuk memiliki barang-barang seperti televisi dan sepeda motor yang merupakan sebuah prestasi apabila memilikinya di lingkungan tempat tinggal Jum. Namun, dalam upaya mewujudkannya keinginannya itu, pemikiran Jum masih sangat tertinggal. Ia masih percaya jika dengan mendatangi dukun dan memberikan
penajem
pada
dukun
itu,
ia
akan
mampu
mewujudkan
keingginannya. Sebuah kenyataan yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa
pertumbuhan
kebudayaan
tidak
selalu
sama
cepatnya
dengan
perkembangan pemikiran manusia, sehingga kadang-kadang manusia tertinggal jauh dibelakang. Dengan warung itu Jum terbukti mampu mengembangkan ekonomi rumah tangga. Pada tahun ketiga, sementara dua anak telah lahir, Jum berhasil meraih salah satu keinginannya, memiliki rumah tembok. Tahun berikut ia sudah punya televisi hitam-putih 14 inci. Kini giliran sepeda motor bebek yang ingin diraih Jum. Dan Kartawi sepenuhnyaberada di belakang cita-cita istrinya itu. 125 Faktor kebudayaan juga yang menyebabkan munculnya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh para pemuda dalam cerpen “Rusmi ingin Pulang”. Ketidaksiapan para pemuda menghadapi perkembangan kebudayaan, membuat mereka melalukan tindakan radikal untuk mencegah perbuatanperbuatan yang dianggap merusak norma dalam masyarakat yang merupakan akibat dari perkembangan kebudayaan. Lingkungan sosial masyarakat juga menjadi penyebab munculnya masalah sosial. Lingkungan sosial yang tergambar pada kumpulan cerpen yaitu masyarakat yang tidak benar-benar perduli para penderitaan para tokoh yang mengalami 125
Ibid., h., h. 56
74
kesulitan dan hanya peduli terhadap diri mereka sendiri, dan ketika saatnya para tokoh itu melakukan hal-hal yang bertentangan atau yang mengganggu kenyamanan dan kedamaian, mereka akan langsung bereaksi dengan keras. Hal ini terbukti dalam beberapa cerpen, seperti “Mata yang Enak Dipandang”, ketika Kang Mirta yang seorang pengemis buta terjatuh karena sepeda yang sedang diparkir di jalan. Melihat kejadiaan itu pemilik sepeda datang hanya untuk mengurus sepedanya yang dijatuhkan oleh Mirta dan tidak menolong lelaki buta tersebut atau saat para penumpang kelas satu yang sangat terganggu dengan kehadiran Kang Mirta sebagai pengemis dan tidak membantu sama sekali. Mirta melanggar sepeda yang diparkir melintang. Sepeda itu tumbang dan tubuh Mirta serta merta menindihnya. Bunyi berderak disambut soraksorai dari seberang jalan. Dan itu suara Tarsa. Pemilik suara datang hanya untuk mengurus kendaraannya126 Ketidakpedulian lingkungan sosial juga ada dalam cerpen “Bila Jebris ada Dirumah Kami” Hansip dan Ketua RT yang datang ke rumah Jebris untuk menasehatinya agar tidak menjadi pelacur nyatanya tidak benar-benar serius. Mereka menasehati Jebris hanya sebagai formalitas, karena mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penertiban masyarakat yang melakukan perbuatan yang dianggap salah. Mereka tidak memperdulikan alasan mengapa Jebris menjadi pelacur yang mereka perdulikan adalah Jebris melakukan kesalahan dan patut ditegur. ..., sesungguhnya tidak pernah ada hansip atau pengurus RT yang mencoba menghentikan Jebris. Mereka, para hansip dan sebagian besar pengurus RT, adalah sontoloyo yang sebenarnya tidak keberatan Jebris menjadi pelacur.127 Dalam cerpen “Penipu Keempat” kita pun dapat contoh ketidak pedulian masyarakat. tokoh “Aku” yang melihat penipuan yang ada di depan matanya justru tetap memberikan uangnya meski sudah mengetahui jika ia telah ditipu. Tokoh “Aku” digambarkan hanya berpura-pura perduli terhadap penderitaan yang
126 127
Ibid., h 10-11 Ibid., h 23
75
diceritakan oleh para penipu tersebut. Ketidak pedulian tokoh “Aku” terhadap penipuan di depannya mungkin karena ia hanya mengeluarkan uang yang tidak banyak untuk mereka jadi bukan hal yang patut dipermasalahkan, tetapi kenyatannya banyak orang yang juga berpikiran seperti tokoh “Aku”, membuat praktek-praktek penipuan seperti itu makin subur karena sangat mudah dilakukan dengan hanya berbekal alasan-alasan yang menyedihkan dan berakting sedang mengalami kesulitan. Lingkungan sosial juga yang menjadi penyebab baik langsung maupun tidak langsung perilaku seks bebas yang terjadi dalam cerpen “Dawir, Turah, Totol.” Dawir sejak kecil sudah diperlihatkan bagaimana ibunya sering meninggalkannya saat tidur hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan lelaki mana saja sehingga membuat Dawir merasa tidak nyaman dan memilih meninggalkan ibunya. Dan Dawir cuh lagi ketika dia ingat, dulu, sering terjaga tidurnya karena badannya merasa dingin. O, Emak yang tadinya tidur berdempet sudah bergeser. Emak sedang main. Waktu itu Dawir masih kecil. Tapi Dawir sudah bisa merasa Emak tidak lagi suka padanya. Buktinya Emak lebih suka berdempet dengan lelaki dan membiarkan tubuh Dawir kecil kedinginan di gerbong rusak di stasiun.128 Masalah sosial memang merupakan suatu hal yang harus dipikirkan bagaimana jalan keluarnya, agar dapat menghentikan atau menurunkan tingkat masalah sosial yang ada di masyarakat. Tetapi, mengetahui penyebab mengapa sebuah masalah sosial dapat muncul juga merupakan hal yang penting diketahui karena mencegah lebih baik.
C. Implikasi Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang penting yang patut
128
Ibid., h 122
76
menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.129 Pengajaran sastra yang tepat semestinya memenuhi tiga ranah yang ditentukan, yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berhubungan dengan seberapa jauh peserta didik dapat memahami karya sastra yang dibacanya. Guru dapat mengetahuinya pemahaman siswa dengan cara melihat dari kemampuan peserta didik memahami dan menafsirkan unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam cerpen. Ranah afektif berhubungan dengan sikap dan tingkah laku yang ditunjukan peserta didik dalam pembelajaran. Guru dapat mengamati keterlibatan peserta didik selama pembelajaran berlangsung, apakah peserta didik tersebut bersikap aktif atau tidak. Selanjutnya ranah psikomotorik
berhubungan
dengan
perkembangan
peserta
didik
dalam
menerapkan nilai-nilai yang didapat dari hasil membaca karya satra dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang
karya Ahmad Tohari, dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran
apresiasi sastra untuk Sekolah Menengah Atas kelas X semester dengan Standar Kompetensi memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen dalam aspek membaca dan kompetensi dasar yaitu menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari. Penganalisisan ini untuk meningkatkan kemampuan siswa dan menambah pemahaman siswa dalam bidang sastra. Dengan memanfaatkan kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang, karya Ahmad Tohari, peserta didik dapat menjadikan kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipadang sebagai kajian untuk membahas unsur intrinsik yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan KD yang telah ditetapkan. Peserta didik dapat mengambil nilai-nilai kemanusian dengan memahami tema, 129
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h.15
77
tokoh, serta latar tempat maupun sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang yang mengangkat kehidupan orang-orang dari kalangan bawah ini. Guru dapat mengajarkan kepada peserta didik jika selalu ada alasan mengapa seseorang melakukan suatu tindakan, baik yang disukai maupun tidak oleh masyarakat. Pendidik mencoba mengajarkan pada peserta didik mencoba memahami setiap tindakan orang lain sebelum menghakiminya. Dengan begitu, peserta didik akan mulai menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan disekitarnya sehingga akan terbentuk sikap toleran, menghargai, dan tolongmenolong antar sesama. Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang mengangkat masalah sosial di kalangan bawah. Pendidik harus memiliki pengetahuan seputar masalah sosial, seperti apa saja bentuk masalah sosial, apa yang menyebabkan masalah sosial itu muncul dan lain-lain. Materi masalah sosial terdapat dalam pelajaran sosiologi kelas X, untuk itu diperlukan kerja sama antara guru bahasa Indonesia dan guru sosiologi agar tidak ada perbedaan saat guru bahasa Indonesia memberi pengetahuan masalah sosial apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerpen dengan guru sosiologi yang mengajarkan materi masalah sosial kepada peserta didik. Dalam hal ini dapat dikatakan jika guru sedang menggunakan metode tematik yaitu menyatukan tema pembelajaran, yaitu antara pelajaran Bahasa Indonesia dengan pembelajaran sosiologi melalui pembahasan masalah sosial. Dari hasil analisis dan pembahasan dapat diketahui bahwa dari lima belas cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen terdapat tujuh cerpen yang dapat mewakili keberadaan masalah sosial. Bentuk masalah sosial dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang terdiri masalah kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern dan masalah pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat yang terdiri dari masalah pelacuran dan seks bebas. Penyebab masalah sosial dalam kumpulan cerpen ini diakibatkan faktor ekonomi dan faktor kebudayaan. Faktor ekonomi yang rendah mengakibatkan munculnya masalah kemiskinan sedangkan faktor kebudayaan meliputi perkembangan kebudayaan yang lebih cepat dibanding
78
pemikiran manusia dan lingkungan sosial yaitu kurang perhatiannya masyarakat terhadap sekitarnya. Tema masalah sosial dalam kumpulan cerpen ini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan cara menggunakan cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang sebagai bahan pembelajaran. Peserta didik dapat mengambil nilai-nilai kemanusian dengan memahami tema, tokoh, serta latar tempat maupun sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. Peserta didik mencoba memahami setiap tindakan orang lain sebelum menghakiminya. Dengan begitu, peserta didik akan mulai menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya sehingga akan terbentuk sikap toleran, menghargai, tolong-menolong antarsesama.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan penelitian terhadap kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Masalah sosial merupakan tema penting dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. Dari lima belas cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen diambil tujuh yang dapat mewakili keberadaan masalah sosial. Bentuk masalah sosial dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang
terdiri
masalah
kemiskinan,
kejahatan,
disorganisasi
keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern dan masalah pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat yang terdiri dari masalah pelacuran dan seks bebas. Penyebab masalah sosial dalam kumpulan cerpen ini diakibatkan faktor ekonomi dan faktor kebudayaan. Faktor ekonomi yang rendah mengakibatkan munculnya masalah kemiskinan sedangkan faktor kebudayaan meliputi perkembangan kebudayaan yang lebih cepat dibanding pemikiran manusia dan lingkungan sosial yaitu kurang perhatiannya masyarakat terhadap sekitarnya. 2. Tema masalah sosial dalam kumpulan cerpen ini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah dengan cara menggunakan cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang sebagai bahan pembelajaran. Peserta didik dapat mengambil nilai-nilai kemanusian dengan memahami tema, tokoh, serta latar tempat maupun sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang. peserta didik mencoba memahami setiap tindakan orang lain sebelum menghakiminya. Dengan begitu, peserta didik akan mulai menumbuhkan
79
kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya sehingga akan terbentuk sikap toleran, menghargai, tolong-menolong antarsesama.
B. Saran Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian, maka ada beberapa saran yang bisa menjadi masukan untuk ke depannya 1. Peneliti menyarankan buku Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipadang dipakai sebagai sumber pembelajaran dalam menganalisis sebuah karya sastra khususnya cerpen di sekolah karena kumpulan cerpen ini menggambarkan masalah sosial dan orang-orang kalangan bawah yang dapat dijadikan renungan bagi siswa untuk lebih peduli pada kondisi lingkungan yang ada di sekitar mereka. selain itu, gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen ini cukup mudah dimengerti sehingga siswa akan tidak terlalu sulit dalam memahami maksud yang ingin disampaikan dalam kumpulan cerpen ini. 2. Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang ini memperlihatkan jika masalah sosial
banyak timbul di kalangan
masyarakat bawah. Oleh
karena itu, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan secara khusus kondisi mereka, sehingga masalah sosial yang tidak diharapkan dapat dicegah atau dikurangi jumlahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta: Fajar Agung. 1987. -------
, Sosiologi (Skematika, Teori, dan Penerapannya). Jakarta: PT Bumi Aksara. cet. ke. 4. 2012.
AR, Syamsuddin . Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosada karya. 2006. Astri Apriyani, “Perkembangan Orientasi Kepengarangan Ahmad Tohari: Senyum Karyamin, Nyanyian Malam, dan Rusmi ingin Pulang” Skripsi pada program Studi Indonesia, Universitas Indonesia, 2007. Budianta, Melani dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Indonesia Tera: Magelang. 2006. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta:Editem. 2013. Eko Widayatno, “Hidup dalam Sehari „Si Ronggeng‟ Ahmad Tohari” Jakarta: Harian Umum Republika.13 Juni 1993. Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, Matriaki, Gender, (Yogyakarta:Jalasutra) Esten, Mursal . Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa. 1987. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013. Firmansyah, Arif. “Ahmad Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”. Jakarta: Mingguan Koran Tempo. Minggu, 13 Januari 2002. Kartini, Kartono. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. cet. 8. 2003. Ratna, Nyoman Kutha. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. ,
Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Mahayana, Maman S. “Analisis Bandingan Antara Kubah dengan Atheis”. Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 1986. tidak dipublikasikan
, Ektrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada. 2007. Mochtar, Syahriel. “Paman dan Bibi Saya Makan Tempe Bongkrek”. Jakarta: Suara Pembaruruan. Senin, 21 Maret 1988. Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2013. Nurhayati, Dini. “Konflik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Bukavu dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah” Skripsi pada Fakultas Tarbiah Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. 2014. Tidak dipublikasikan. Permensos No.08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial. Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Angkasa. 2010. Rahmanto,B. Metode Pengajaran Sastra . Yogyakarta: Kanisius. 1988. Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang:Angkasa Raya. 1993. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Soekanto, Soerjano. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Grafindo Persada. cet. ke. 25. 1998. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabet, 2010. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:Gramedia.1986 Taman Ismail Marzuki. “Ahmad Tohari”, http//www.tamanismailmarzuki.com/, 2014.
Tohari, Ahmad. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2013. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, (diindonesiakan oleh Melani Budianata). Jakarta:PT Gramedia. 1995. Widjoko dan Endang Hidayati. Teori dan Sejarah Sastra. Bandung: UPI Press. 2006. Zaidaan, Abdul Rozak ,dkk. Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Lampiran
Lampiran RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SEKOLAH MATA PELAJARAN KELAS SEMESTER
: : Bahasa Indonesia :X :1
A.
STANDAR KOMPETENSI : Membaca : 7. Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen
B.
KOMPETENSI DASAR : 7.2 Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari
C.
MATERI PEMBELAJARAN : Naskah cerpen : unsur intrinsik (tema, penokohan, dan amanat)
D.
INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI : Nilai Budaya Indikator Pencapaian No Dan Karakter Kompetensi Bangsa 1 Mengidentifikasi unsur-unsur (tema, penokohan, dan amanat) cerita pendek yang telah dibaca 2 Mengaitkan unsur intrinsik (tema, penokohan, dan amanat) dengan kehidupan sehari-hari
E.
Bersahabat/ komunikatif Tanggung jawab
Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif Kepemimpinan
TUJUAN PEMBELAJARAN* : Siswa dapat: Mengidentifikasi unsur-unsur (tema, penokohan, dan amanat) cerita pendek yang telah dibaca Mengaitkan unsur intrinsik (tema, penokohan, dan amanat) dengan kehidupan sehari-hari
F.
METODE PEMBELAJARAN : Penugasan Diskusi Tanya Jawab Unjuk kerja Ceramah
G.
StrategiPembelajaran
H. No. 1. 2.
Tatap Muka
Terstruktur
Mandiri
Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen
Naskah cerpen : unsur intrinsik (tema, penokohan, dan amanat)
SiswaMengaitkan unsur intrinsik (tema, penokohan, dan amanat) dengan kehidupan sehari-hari.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN : Kegiatan Belajar Kegiatan Awal : Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini. Kegiatan Inti : Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi : Membaca cerpen Mengidentifikasi unsur-unsur (tema, penokohan, dan amanat) cerita pendek yang telah dibaca Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, Mengaitkan unsur intrinsik (tema, penokohan, dan amanat) dengan kehidupan sehari-hari Mendiskusikan wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen Melaporkan hasil diskusi Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa: Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa Bersahabat/ komunikatif Tanggung jawab
3.
Kegiatan Akhir : Refleksi Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini. Penugasan
Bersahabat/ komunikatif
I.
ALOKASI WAKTU : 4 x 40 menit
J.
SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN : Buku kumpulan cerpen : Mata yang Enak Dipandang PENILAIAN : Jenis Tagihan: tugas individu ulangan Bentuk Instrumen: uraian bebas pilihan ganda jawaban singkat
K.
...., ................... 2015 Mengetahui, Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran
NIP.
NIP.
RIWAYAT PENULIS
Fitri Khoiriani lahir di Bogor, 12 Mei 1993. Putri kedua dari lima bersaudara ini memiliki orang tua bernama Drs. Cecep dan Nuri Saroh. Tempat tinggal yang ia tempati sekarang beralamat di Jalan Baru Kayumanis, Kp. Sumur Wangi No. 31 Rt 001/07 Kelurahan Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal, Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di MI Nurul Huda 1 Bogor pada tahun 2003, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 16 Bogor dan lulus tahun 2006, kemudian penulis menyelesaikan sekolah tingkat atas di MAN 2 Bogor tahun 2009. Setelah itu, penulis menyelesaikan program S1 di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis yang memiliki hobi membaca novel dan menonton drama ini menyelesaikan S-1 dengan menulis skripsi yang berjudul “Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”.