PERLAWANAN BUDAYA SASTRAWAN YANG TERBUANG (Analisis Wacana Perlawanan Budaya yang Direpresentasikan oleh Marah Rusli dalam Novel “Memang Jodoh”) Ika Wulandari Kandyawan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract As a Literateur who was casted because considered as a custom violator, Marah Rusli commit a resistance through his last novel titled “Memang Jodoh”. The the novel that had been finished fifty years ago resist against the Mariage concept of Minangkabau which in the past was strictly adopted and resulted in the alienation by the family and hometown for life. Procrastination is done so as not to hurt the family in Padang Minangkabau marriage is influenced by the Matrilinal kinship system because significant differences in the rules and practices adopted. Provisions prohibiting marriage with outsiders and embracing the polygamy habbits that is strongly resisted by the author and eventually accept the consequences of being an outcast Through symbolic resistance, Marah Rusli raised criticism about Minangkabau culture. The novel is a semi-auto biography telling the story of the author's personal life on the real resistance between himself and customs of his time that strongly binding Formulated in accordance with the above problems, a study conducted to examine the contents of the message about marah Rusli resistance against the Minangkabau cultural values associated with marriage is a discourse analysis by examining the meaning of the message contained in the novel. in the story, the author indirectly touched on the concept of Minangkabau marriage is Influenced by the kinship system, Polygamy Prompts for The Duke, as well as the Consequences of Violating the Marriage Provisions of Minangkabau Custom. “Memang Jodoh” contains messages pertaining the Minangkabau Marriage is countered by Marah Rusli because he has a different concept than the customs of Minangkabau Keywords: Cultural Resistance, Minangkabau Marriage
1
Pendahuluan Perlawanan tidak selalu harus berbentuk kekerasan, hal ini dapat dilakukan dengan santun tanpa mengurangi esensi dari perlawanan tersebut. Marah Roesli menggugat adat lapuk priyayi-priyayi Minangkabau yang menganggap perkawinan antara laki-laki bangsawan Padang dan perempuan daerah lain sebagai suatu hinaan. Menurut Siti Nur Chairani, ayahnya berwasiat bahwa novel ini tak boleh diterbitkan sebelum semua orang yang disebutkan dalam naskah tersebut meninggal karena tak ingin menyakiti perasaan kerabat di Padang.1 Kisah ini diangkat dari kisah nyata Marah Rusli (Marah Hamli dalam cerita novel), yang pernikahannya ditentang oleh keluarganya, yang masih memegang adat Minangkabau dengan begitu kuatnya. Itu sebabnya, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita ini sebagian besar adalah nyata. Nama mereka memang disamarkan, tetapi pengarang roman “Sitti Nurbaya” ini tidak ingin menyakiti hati siapapun yang karakternya beliau gunakan sebagai tokoh dalam novelnya. Pengarang memang tidak setuju dengan adat Minang, khususnya mengenai pernikahan dan jodoh, yang sejatinya memang bukan urusan manusia dan keluarga belaka, tapi itu bukanlah alasan untuk menyakiti hati mereka. Untuk itu, ia berwasiat agar novel ini jangan diterbitkan hingga 50 tahun kemudian, karena ia beranggapan bahwa ketika itu, tentunya tokoh-tokoh nyata yang ada dalam novelnya telah meninggal dunia. Masyarakat Minangkabau memandang masalah perkawinan sebagai suatu peristiwa yang sangat penting artinya, karena perkawinan tidak hanya menyangkut kedua calon mempelai saja tetapi juga menyangkut orang tua dan seluruh keluarga dari kedua belah pihak. Dalam melaksanakan suatu perkawinan, masyarakat Minangkabau tidak dapat hanya berpedoman pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, melainkan perlu juga mempedomani perkawinan menurut aturan-aturan hukum agama dan hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Di samping
1
Kurniawan dkk., Novel Terakhir Sang Bangsawan Terbuang. Majalah Tempo edisi Minggu 21 Juli 2013, halaman 62
2
hukum agama juga perlu mempedomani hukum adat yang berlaku di daerah Minangkabau2 Pernikahan Marah Rusli termasuk yang kurang ideal mengingat sifat kekerabatan Minang ini. Ialah apabila salah satu pasangan berasal dari Non minang khususnya dengan wanita non minang. Pria minang yang menikah seperti ini , dianggap merusak struktur adat Minang, karena anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, bukanlah suku Minangkabau; anak yang dilahirkan akan menjadi beban bagi dirinya, karena seorang pria minang bertugas demi kepentingan bagi sanak saudaranya, kaumnya, dan negerinya; kehadiran isteri orang luar Minangkabau dianggap akan menjadi beban dalam seluruh keluarganya. Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap, kelakuan ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.3 Ketentuan adat Minang dan agama khususnya agama Islam sebagai agama utama suku Minangkabau memang menganjurkan agar wanita mau dan senang dipoligami. Kaum istri juga harus rukun dan berperilaku baik kepada istri muda suaminya. Namun demikian diceritakan dalam novel ini, Marah Hamli (representasi Marah Rusli) yang merupakan pria Minang tidak bersedia melakukan poligami bukan hanya karena istrinya tidak merestui dimadu tapi juga dirinya tidak mau membagi kasih sayangnya kepada orang lain. Bagi Hamli (representasi Marah Rusli dalam cerita novel), cinta sejati seumur hidupnya hanyalah satu yaitu Din Wati (representasi Nyai Radin Ratna Kancana, istri Marah Rusli dalam cerita novel). Novel sebagai bentuk karya sastra merupakan jalan hidup yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh)4. Novel merupakan
media
komunikasi,
melalui
media
novel
itulah
pengarang
Resty Yulanda. 2011. ‘Sangsi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai Asam Kabupaten Padang Pariaman’ Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. 3 Dikutip dari Rendra Saputra, ‘Rasuna Said, perempuan radikal dari tanah Minang’ dalam http://daerah.sindonews.com/read/2013/11/08/24/803163/rasuna-said-perempuan-radikal-daritanah-minang yang diakses pada 26 Maret 2014 10:39 4 Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta. Muhammadiyah University Press. 2
3
mengkomunikasikan sebuah pesan. Sementara, kegiatan komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan proses pembentukan makna. Dalam novel ini, pengarang selaku komunikator menyuarakan pesan perlawanan melalui kisah nyata yang sengaja dikemas dalam bentuk semi-autobiografi. Mencermati hal-hal yang dikemukan di atas menarik sekali meneliti bagaimana pesan perlawanan budaya yang dikemukakan oleh Marah Rusli sebagai komunikator. Kisah tentang perlawanan terhadap adat-adat yang mengatur pernikahan ini mengakibatkan dirinya terbuang seumur hidup dari tanah kelahirannya. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengambil judul “Perlawanan Sastrawan yang Terbuang: Analisis Wacana Perlawanan Budaya yang Direpresentasikan oleh Marah Rusli dalam Novel “Memang Jodoh” Rumusan Masalah 1. Bagaimana wacana Marah Rusli berkaitan dengan Adat Pernikahan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh”? 2. Bagaimana wacana mengenai sikap Marah Rusli terhadap Adat Pernikahan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh”? 3. Bagaimana wacana Marah Rusli berkaitan dengan Anjuran Berpoligami bagi bangsawan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh”? 4. Bagaimana wacana tentang sikap Marah Rusli terhadap Anjuran Berpoligami untuk Bangsawan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh”? 5. Bagaimana wacana Marah Rusli tentang konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran Adat pernikahan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh”? Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui isi wacana yang disampaikan Marah Rusli berkaitan dengan Adat Pernikahan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh” 2. Mengetahui wacana mengenai sikap Marah Rusli terhadap Adat Pernikahan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh” 3. Mengetahui wacana Marah Rusli berkaitan dengan Anjuran Berpoligami bagi bangsawan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh” 4
4. Mengetahui wacana tentang sikap Marah Rusli terhadap anjuran berpoligami untuk bangsawan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh” 6. Mengetahui wacana Marah Rusli tentang konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran Adat Pernikahan Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh” Tinjauan Pustaka a
Novel Sebagai Media Komunikasi Novel merupakan media komunikasi, melalui media novel itulah pengarang
mengkomunikasikan sebuah pesan. Sementara, kegiatan komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan proses pembentukan makna. Pengarang sebagai komunikator menggunakan media novel untuk menyampaikan pesan dalam bentuk sebuah cerita yang mengandung narasi dan dialog kepada para komunikan (pembaca). Tujuan dari penyampaian pesan ini adalah penciptaan makna yang terjadi diantara keduanya. Penulis memberikan sebuah makna dalam bentuk pesan, kemudian para pembaca membaca tulisan dan menangkap pemaknaan yang diberikan oleh penulis sesuai dengan latarbelakang mereka masing-masing. Dalam kajian budaya, segala artifak yang dapat dimaknai disebut sebagai teks5. Novel merupakan salah satu bentuk teks, novel memiliki sifat polisemi dan membuka peluang pembacanya untuk memaknai sebuah teks tersebut secara berbeda6 Menurut Antilan, novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelegar kehidupan manusia agar dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan.7 Novel sebagai bentuk karya sastra merupakan jalan hidup yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh)8. Novel merupakan gambaran hidup tokoh yang menceritakan hampir keseluruhan
5
Onong Uchjana Effendy. 2001. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Cetakan XIV). Bandung. Remaja Rosdakarya. hal 5 6 Dennis Mc Quail. 1997. Teori Komunikasi Massa . Jakarta. Erlangga Hal: 19 7 Antilan Purba. 2001. ‘Sastra Indonesia Kontemporer’. Medan. Universitas Sumatera Utara Press. 8 Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta. Muhammadiyah University Press.
5
perjalanan hidupnya. Penokohan serta karakter tokoh dalam novel digambarkan dengan lengkap atau jelas oleh pengarang. Setiap tokoh juga diberi gambaran fisik dan kejiwaan yang berbeda-beda sehingga cerita tersebut seperti nyata atau menjadi hidup. Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan tercetak. Selain itu, karya sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya fiksi9 Selain itu karya sastra juga merekam peristiwa-peristiwa kebudayaan.10 Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Selain itu karya sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam masyarakat, setelah mengalami pengendapan secara intensif dalam imajinasi pengarang, maka lahirlah pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk karya sastra. b
Representasi Dalam Novel Representasi dipahami sebagai cara memisahkan objek dan ide di dalamnya,
sistem delegasi, serta substitusi11 Sistem delegasi merupakan perwakilan dari sebuah objek dalam suatu realita. Misalnya, letusan gunung diwakili oleh adanya hujan abu di sekitarnya. Untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Secara sematik, representasi bias diartikan to depict, to be a picture of, atau to act or speak for (in the place of, in the name of) somebody. Berdasarkan kedua makna tersebut, to represent bisa didefinisikan sebagai to stand for. Hal tersebut bisa menjadi sebuah tanda (sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realita yang direpresentasikan
9
Rene Wellek dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terjemahan oleh Budianta). Jakarta. Gramedia. Hal: 3-4 10 Ratna, Nyoman Khutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal: 35. 11 John Webb. 2009. Understanding Representation. London. Sage Publication Inc. Hal: 15
6
tapi dihubungkan dengan mendasarkan diri pada realitas tersebut. Jadi, representasi mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya.12 Penulis mengkategorikan representasi novel yang akan diteliti menjadi dua aspek. Kedua aspek tersebut adalah aspek dialog dan non dialog. Untuk aspek dialog, peneliti mengambil percakapan-percakapan di dalam novel yang berbicara tentang permasalahan yang berkaitan dengan penelitian. Pada aspek non dialog, peneliti mengambil setting tempat atau narasi dari penulis yang relevan dengan permasalahan penelitian. c
Novel sebagai Sarana Pencitraan Perlawanan Simbolis Menurut Gramsci dalam Wiyatmi, sebagai salah satu bagian dari kebudayaan
manusia, sebuah novel diciptakan bukan untuk tujuan estetis semata, seperti diyakini oleh teori struktural objektif atau sebagai refleksi dari struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, seperti diyakini oleh teori marxis. Sebagai bagian dari kebudayaan novel memiliki posisi yang cukup penting, yaitu mengemban fungsi sosial sebagai salah satu sarana untuk membantu mengkontruksi masyarakat yang diidealkan13 Perlawanan yang dilakukan melalui sebuah karya sastra (novel) merupakan perlawanan yang bersifat simbolis. Hal ini karena perlawanan tersebut dilakukan melalui kata-kata dan gagasan yang diungkapkan dalam sebuah novel.14 Pengarang suatu novel menyisipkan gagasan-gagasannya tentang suatu hal di dalam cerita baik melalui karakter tokoh-tokohnya, narasi maupun alur berjalannya cerita. Menurut Darmono dalam Wiyatmi, sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, kalau pengarang memiliki taraf kepekaan yang tinggi, karya sastra yang dihasilkannya juga mencerminkan kritik sosial yang (barangkali tersembunyi) ada dalam masyarakat. Kepekaan semacam itu telah dimiliki oleh sejumlah sastrawan zaman lampau sampai sekarang.15
12
Ratna Noviani. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal: 61-62 Wiyatmi. 2010. ‘Citraan Perlawanan Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki Melalui Pendidikan Dan Peran Perempuan di Arena Publik Dalam Novel- Novel Indonesia” yang dimuat dalam (Jurnal Ilmiah Kajian Sastra volume 13’. Surabaya. Balai Bahasa Surabaya, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Hal: 3 14 Ibid. 15 Ibid 13
7
d Kebudayaan Minangkabau Daerah asal dari kebudayaan Minangkabau kira-kira seluas daerah propinsi Sumatera Barat sekarang ini, dengan dikurangi daerah kepulauan Mentawai, tetapi dalam pandangan orang Minangkabau, daerah itu dibagi lagi ke dalam bagianbagian khusus.16 Orang Minangkabau merupakan satu di antara kelompok etnis utama bangsa Indonesia yang menempati bagian tengah Pulau Sumatera sebelah barat sebagai kampung halamannya, yang sebagian besarnya sekarang merupakan Propinsi Sumatera Barat. Sekalipun secara statistik orang Minangkabau hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk Indonesia, mereka adalah kelompok etnis utama yang keempat sesudah orang Jawa, Sunda, dan Madura; sedangkan di Pulau Sumatera sendiri mereka merupakan kelompok etnis yang terbesar.17 Adat
minangkabau
merupakan
aturan
yang
mengatur
kehidupan
masyarakatnya. Aturan tersebut bersifat mengikat, keterikatan tersebut dapat dipahami
bahwa
ketika
orang
Minangkabau
tidak
melaksanakan
adat
Minangkabau, tidak beradat dengan Minangkabau, maka orang tersebut dianggap telah melanggar adat Minangkabau. Dengan demikian adat Minangkabau merupakan aturan yang harus dipatuhi oleh orang Minangkabau. Aturan adat Minangkabau menjadi acuan dalam kehidupan bersuku, bernagari, dan bermasyarakat. Adat Minangkabau menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau sendiri.18 Kekerabatan merupakan perihal yang berhubungan dengan pertalian keluarga. Selanjutnya sistem kekerabatan merupakan hubungan yang teratur antara seseorang di Minangkabau sehingga membentuk satu kesatuan atau kelompok.
16
Koentjaraningrat. 1997. Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta. Djambatan. Hal: 65 Mochtar Naim. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal: 14. 18 Misnal Munir. ‘Hidup di Rantau Dengan Damai: Nolai-Nilai Kehidupan Orang Minangkabau Dalam Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan Budaya Baru’, Skripsi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Hal: 29 17
8
Sistem kekerabatan yang digunakan di Minangkabau adalah matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu.19 Karena perbedaan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Minangkabau mempengaruhi interaksi yang ada dalam sebuah keluarga, seperti hubungan suami istri dan hubungan antara bapak menjadi berbeda dengan sistem patrilineal mempengaruhi konsep keluarga yang dianut oleh masyarakat luas pada umumnya. Menurut bentuk perkawinan asli masyarakat Minangkabau, laki- laki atau suami dianggap hanya sebagai "tamu" atau "orang sumando" saja yang datang menetap pada malam ban lalu pagi harinya kembali ke rumah orang tuanya. Hal ini menyebabkan peranan laki-laki atau suami terhadap isteri dan anak- anaknya sangat kecil, sedangkan peranan sebagai seorang mamak sangat menonjol20 Secara geografis, orang Minangkabau tersebar di seluruh wilayah Indonesia karena mereka memiliki budaya yang unik yaitu merantau. Menurut Naim dalam Munir, Merantau merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Minangkabau. Menurut Indo, Pepatah adat Mengatakan bahwa: Karatau madang di hulu / Babuah babugo Balun / Karantau bujang daulu / Dirumah baguno balum Karatau tumbuh di hulu / berbuh berbunga belum / Merantau bujang dahulu / dirumah perguna belum (belum berfungsi.21 Pepatah ini menegaskan bahwa anak muda Minangkabau yang masih bujangan, belum menikah dalam struktur adat Minangkabau belum termasuk orang yang memiliki fungsi adat, seperti; menentukan keputusan dalam keluarga kecil ataupun besar oleh karena itu, anak laki-laki yang masih bujangan harus mencari pengalaman terlebih dahulu dengan pergi merantau.22 Oleh sebab itu banyak kita temui orang Minang di hampir seluruh wilayah di Indonesia bergelut di bidang kuliner dan bisnis lainnya seperti Restoran Padang dan lain sebagainya. Tak jarang pula kita temui mahasiswa Minang yang berkuliah
Afdal. 2010. ‘Pemahaman Budaya Minangkabau dalam Konseling Lintas Jurusan Bimbingan dan Konseling’. Universitas Negeri Padang. Hal: 2 20 Ibid 21 Ibid 22 Ibid, Hal: 30 19
9
di Universitas diluar daerahnya seperti Marah Rusli yang menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor. e
Pernikahan Minangkabau Pada masa lalu ada adat bahwa orang sedapat mungkin kawin dengan anak
perempuan mamaknya atau gadis-gadis yang dapat digolongkan demikian, tetapi karena berbagai keadaan, timbul beberapa bentuk lain, misalnya kawin dengan kemenakan (anak saudara perempuan) perempuan anaknya. Orang juga boleh kawin dengan suami saudara perempuannya sendiri (Bride exchange). Dalam jaman sekarang, pola-pola ini juga mulai hilang. Bahkan dengan pengaruh dunia modern, perkawinan endogami lokal tidak lagi dipertahankan sebagaimana semula sehingga pemilihan makin meluas23 Menurut Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa perkawinan dalam perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan24. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan Minangkabau adalah suatu ikatan yang sah untuk membina dan keluarga sejahtera dan juga bahagia dimana kedua belah pikah memikul amanah dan tanggung jawab yang mempunyai akibat hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau. Akibat yang dimaksud disini adalah seluruh aspek tanggung jawab dan amanah suami istri diatur menurut hukum adat Minangkabau. f
Metodologi Penelitian Metode Analisis Wacana milik Halliday membedah wacana dalam sebuah
teks menyoroti 3 aspek utama yaitu Dalam analisis teks, terdapat tiga aspek utama yang berkaitan dengan wacana yaitu apa (tema yang ingin disampaikan, siapa (yang memiliki argument atau pendapat), dan bagaimana (cara wacana itu disampaikan). Ketiga aspek ini terimplementasi dalam tiga pokok bahasan: medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan mode wacana (mode of discourse). 23 24
Koentjaraningrat , opt cit. Hal: 256 Hilman Hadikusuma. 2003. ‘Hukum Perkawinan Indonesia’. Bandung. Mandar Maju.
10
Medan wacana merujuk pada tindakan sosial yang sedang terjadi atau dibicarakan, aktivitas dimana para pelaku terlibat di dalamnya, serta praktik-praktik yang terlihat dalam teks. Pelibat wacana mengidentifikasi pihak-pihak pembicara dan sasaran yang terlibat dalam pembicaraan, serta kedudukan dan hubungan diantara mereka. Sedangkan mode wacana merujuk pada pilihan bahasa masingmasing media termasuk apakah gaya bahasa yang digunakan bersifat eksplanatif, deskriptif, persuasive, metaforis, hiperbolis, dan lain-lain serta bagaimana pengaruhnya25 Sajian dan Analisis Data A Pernikahan Minangkangkabau Medan wacana (tema besar) dalam bahasan yang berkaitan dengan Pernikahan Minangkabau adalah Sistem Matrilineal Minangkabau, Adat Pernikahan Minangkabau, Adat Pernikahan Minangkabau yang Dipenngaruhi oleh Sistem Matrilineal, Larangan Menikah dengan Orang luar Minangkabau, Sikap Marah Roesli terhadap Pernikahan Minangkabau yang dipengaruhi oleh Sistem Kekerabatan Matrilineal. Kebudayaan Minangkabau menganggap pernikahan anak adalah hutang yang harus dilunasi oleh orangtua. Kegagalan dalam hal ini akan mendatangkan aib yang besar. Pernikahan adalah sepenuhnya hak orang tua (ninik dan mamak), bukan calon mempelai karena pernikahan bertujuan untuk mengembangkan keluarga dan mewariskan harta pusaka. Dalam sebuah pernikahan, seorang laki-laki pilihan mamak (paman) akan dipinang untuk keponakan perempuan. Sebagai suami dan seorang ayah, laki-laki tersebut hanya dianggap sebagai tamu di keluarga istrinya. Semua urusan penting keluarga dan penentuan keputusan besar seperti menikahkan anak berada di tangan mamak. Secara umum, novel ini mengungkapkan sikap pengarang sebagai komunikator yang melakukan perlawanan secara simbolis melalui novelnya. Objek
25
MAK Halliday dan Hasan. 1992. Bahasa, Konteks dan Teks. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal: 129
11
perlawanan yang dilakukan oleh Rusli adalah adat pernikahan Minangkabau yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan Minangkabau. Karena perbedaan yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan kebudayaan yang biasa dianut oleh lingkup masyarakat yang lebih luas, Marah Rusli menyebutnya sebagai budaya yang terbalik. Pesan perlawanan yang diilustrasikan oleh pengarang melalui cerita dalam novel, menempatkan beberapa tokoh di dalamnya sasaran pesan tersebut. Sasaran utama dari sikap Marah Rusli adalah seperti Siti Anjani (Ibu Hamli) pada saat tokoh hamli menolak untuk dinikahkan di Padang pada awal karirnya sebagai ahli pertanian. Dalam bahasan mengenai Konsep pernikahan Minangkabau dalam novelnya, Marah Rusli menggunakan kedua mode tersebut baik dialog maupun monolog. Beliau bercerita melalui narasi dan dialog yang berlangsung diantara tokoh-tokohnya. Rusli menyajikan konsep pernikahah Minangkabau dengan menggunakan gaya bahasa yang mengandung unsur asosiasi. Kewajiban untuk menikah bagi orang Padang dianggap sebagai hutang. Selain itu, dalam novel ini juga menunjukkan bagaimana Marah Rusli juga menganggap kekerabatan Minangkabau sebagai sebuah paradoks yang sering kali diungkapkan dengan bentuk-bentuk personifikasi, metafora dan asosiasi. B Kebiasaan Poligami Bangsawan Padang Dalam membicarakan Kebiasaan Poligami Bangsawan Minangkabau, terdapat dua medan wacana yang terkandung dalam novel “Memang Jodoh”. Dua tema tersebut adalah Konsep Poligami Minangkabau dan Sikap Marah Rusli terhadap Anjuran Berpoligami dengan Wanita Padang. Marah Rusli memaparkan konsep kebiasaan ini secara umum yang dianut oleh masyarakat adat Minangkabau pada masa itu sebagai sebuah kebiasaan yang dianjurkan kepada kaum-kaum yang memiliki kedudukan tertentu di masyarakat seperti bangsawan, hartawan, rupawan dan lain sebagainya. Bagi Marah Rusli yang menikah dengan bukan wanita Padang, anjuran ini bergeser menjadi sebuah kewajiban karena beliau dianggap belum
12
menunaikan kewajiban menikah dengan wanita Minang yang dianggap sebagai utang orang tua. Poligami dalam Masyarakat Minang dianggap memuliakan status seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan penikahan bagi orang Minang adalah urusan orang tua (ninik dan mamak). Pemilihan jodoh (laki-laki) bagi anak perempuan ditentukan oleh mamak, dan mamak biasanya akan memilihkan laki-laki yang memiliki kedudukan di masyarakat untuk mendapatkan keturunan yang baik. Oleh karena itu, bangsawan yang memiliki beberapa istri sekaligus dianggap mulia karena dirinya diinginkan oleh banyak mamak para istrinya karena sifat keturunannya yang baik. Dalam menganggapi kebiasaan yang dianjurkan kepadanya sebagai seorang bangsawan yang menerima banyak pinangan hingga usia lanjut, Marah Rusli memiliki prinsip tersendiri. Beliau menolak untuk melakukan poligami karena menganggap perbuatan ini beresiko menimbulkan konflik dalam keluarga. Selain itu, sang istri yang tidak bersedia dimadu juga memperkuat prinsip beliau mengenai hal ini. Dalam mengutarakan perlawanannya terhadap himbauan keluarga ini. Pengarang merupakan pembicara yang paling dominan dalam topik konsep poligami Minangkabau. Beliau menarasikan konsep ini kepada pembaca secara langsung dalam narasinya. Penyampaian secara langsung ini menuangkan pikiran Rusli dalam menyikapi kisah yang diceritakan dalam novel. Selain itu dalam membicarakan Konsep Poligami Minangkabau terdapat beberapa tokoh yang ditunjuk oleh pengarang melalui ceritanya. Tokoh-tokoh terkait tersebut adalah Sulaiman, Nurdin, Julaiha, Wanita Padang yang ditemui oleh Siti Khadijah diatas Kapal, Demang Lenanng Goar, dan Baginda Alim. Sasaran pembicaraan konsep poligami Minangkabau dalam novel “Memang Jodoh” yang paling dominan adalah pembaca yang secara langsung menjadi komunikan dari narasi pengarang sebagai komunikator tentang konsep kebiasaan yang tidak lazim dan dianut secara turun temurun oleh kebudayaan Minangkabau. Pembaca sebagai penerima pesan merupakan golongan yang memiliki keberagaman latar belakang kebudayaan, sosial dan ekonomi.
13
Tokoh lain yang menjadi sasaran dalam dialog novel adalah, Hamli (tokoh utama), Din Wati, Siti Khadijah, Baginda Raja dan istri, Siti Anjani, Bibi Kalsum, dan istri Baginda Alim. Perbincangan Nurdin dan Hamli tentang nasib Amir yang berpoligami dengan empat orang sekaligus menempatkan Hamli sebagai komunikan. Dalam menyinggung tentang kebiasaan Poligami Minangkabau, Marah Rusli sering menggunakan gaya bahasa asosiatif untuk menggambarkan perilaku poligami masyarakat Minangkabau. Marah Rusli menghubungkan antara kebiasaan ini dengan norma kebiasaan. Norma kebiasaan adalah norma yang merupakan hasil dari perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Orang-orang yang tidak melakukan norma ini dianggap aneh oleh anggota masyarakat yang lain. Kegiatan melakukan acara selamatan, kelahiran bayi dan mudik atau pulang kampung adalah contoh dari norma ini.26 C Konsekuensi Pelanggaran Hukum Adat Tentang Pernikahan Menurut Rully Roesli, kesuksesan Marah Rusli dalam novel Sitti Nurbaya yang berisi pemberontakan dan perlawanan pengarang atas aturan adat perkawinan yang keras dan kaku tidak menyurutkan niat keluarga Padang. Berbagai upaya dan intrik dilakukan, agar beliau menceraikan nenekku yang bangsawan Sunda dan menikah dengan putri asli Padang atau setidaknya beliau mau berpoligami27. Sedangkan pada “Memang Jodoh”, Dalam membicarakan konsekuensi pelanggaran hukum adat tentang pernikahan, terdapat dua tema besar yaitu Konsekuensi pelanggaran larangan menikah dengan orang luar Minangkabau, Pengusiran Sebagai Konsekuensi Pelanggaran Peraturan Pernikahan Minangkabau. Karena pernikahannya dengan seorang Bangsawan Sunda semasa beliau masih menempuh studi di Bogor, Marah Hamli (representasi Marah Rusli dalam cerita) mengalami hukuman dari keluarga dan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui ibunya yang pada saat dirinya menikah di Bogor masih
26
Dikutip dari http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-macam-jenis-norma-agamakesusilaan-kesopanan-kebiasaan-hukum.html yang diakses pada 11 Oktober 2014 pukul 1.14 27 Marah Rusli 2013. Memang Jodoh. Jakarta. Qanita. Hal 10
14
tinggal di Padang. Siti Anjani (tokoh yang merepresentasikan ibu Marah Rusli) dihujat oleh mamak Hamli (Baginda Raja) yang telah menjodohkan anak perempuannya dengan Hamli. Dari masyarakat, keluarga Hamli terutama ibunya mendapat caci dan maki yang diucapkan secara langsung dan berupa gunjingan yang kurang sedap. Gunjingan ini diawali oleh mamak Hamli yang bernama Burhan yang menyebut istri Hamli sebagai Nyai (Gundik) Belanda. Kesalahpahaman gelar bangsawan Sunda ini kemudian menjadi sedemikian hebohnya hingga menjadi pemberitaan di Koran lokal. Selanjutnya, benturan prinsip dan adat terjadi ketika Rusli menolak untuk berpoligami dengan wanita Padang. Seperti yang sudah dijelaskan pada bahasan sebelumya, meski poligami bersifat hanya bersifat anjuran, dalam kasus yang dialami oleh pengarang, hal ini bergeser menjadi sebuah kewajiban. Karena penolakan untuk menikah lagi, beliau diusir oleh segenap keluarga besar dalam sebuah pertemuan adat yang mendiskusikan permasalahan ini. Diceritakan dalam novel dan benar benar terjadi di kehidupan nyata, bahwa seumur hidupnya Rusli menghitamkan kampung halaman. Namun demikian konsekuensi hukuman yang harus dihadapi oleh Rusli ternyata tidak berhenti setelah pengusiran ini. Karena kebudayaan Minangkabau mengikat secara gineakologis dan memiliki budaya merantau, kemanapun beliau pergi, Rusli dan istri akan selalu menerima perlakuan buruk karena stigma sebagai orang buangan adat atau pinangan untuk menikah lagi yang bertentangan dengan prinsipnya. Tak jarang pinangan yang datang hingga beliau berusia lanjut ini mendatangkan pertengkaran dalam rumah tangga hingga permasalahan ekonomi. Pembicara yang paling dominan dalam menceritakan konsekuensi adat menikah dengan orang luar dalam kebudayaan Minangkabau adalah Marah Rusli. Melalui monolog, beliau menceritakan konsekuensi yang harus dihadapi keluarga atas sangsi sosial dari masyarakat dan yang ditanggung oleh Hamli sendiri sebagai representasi dirinya dalam novel. Selain itu, ada tokoh Burhan (mamak Hamli) yang dalam cerita ingin menikahi Din Wati, menjelaskan ancaman menikah dengan bangsawan Padang untuk wanita yang berasal dari luar wilayah kebudayaan Minangkabau.
15
Sasaran utama topik ini adalah pembaca yang berasal dari latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan yang beragam. Pengarang novel “Memang Jodoh” melukiskan ganjaran yang diterima oleh tokoh-tokoh dalam cerita dalam bentuk narasi. Melalui dialog, pengarang juga menceritakan konsekuensi ini melalui satu tokoh kepada tokoh lainnya. Sasaran yang paling dominan dalam dialog-dialog yang membahas konsekuensi menikah dengan orang luar menurut kebudayaan Minangkabau adalah tokoh Din wati. Pelanggaran hukum adat yang dilakukan Hamli dengan menikahi bangsawan sunda dan menolak anjuran berpoligami untuk menunaikan kewajiban menikah di Padang mendatangkan konsekuensi adat cukup hebat. Dirinya dibuang oleh keluarganya dari kampung halaman. Pernikahahannya dengan istri memiliki konsekuensi yang yang digambarkan dengan gaya bahasa asosiatif metaforis, sinisme serta gaya bahasa yang sudah jarang digunakan yaitu seloka. Kesimpulan Penelitian ini seperti yang telah dikemukakan di awal hendak mengetahui sikap perlawanan Marah Rusli terhadap Adat Pernikahan Minangkabau, Anjuran Poligami dan Konsekuensi adat yang mengikuti perlawanan ini. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Dalam “Memang Jodoh” Marah Rusli sebagai komunikator utama dalam cerita novel menunjukkan bahwa Sistem kekerabatan Matrilineal yang dimiliki oleh kebudayaan Minangkabau memberikan pengaruh yang besar terhadap tata cara pernikahan adat hingga konsekuensi yang ditimbulkan oleh pernikahan tersebut yaitu hubungan diantara anggota keluarga. 2. Dalam “Memang Jodoh”, Marah Rusli sebagai komunikator utama dalam mengemukakan pesan-pesan yang menunjukkan sikap perlawanan terhadap adat pernikahan Minangkabau yang mengatur tata cara dan konsekuensi yang ditimbulkan dari pernikahan tersebut. Pesan ini ditujukkan secara tidak langsung lewat sasaran utama dialog yaitu tokoh yang berperan besar dalam hidupnya yaitu Ibu. Perlawanan ini didasari oleh pengalaman yang didapatnya
16
selama merantau di wilayah lain bahwa adat Minangkabau berbeda dengan adat yang dianut masyarakat diluar pada umunya. 3. Dalam “Memang Jodoh” Anjuran poligami Bangsawan Minangkabau diungkapkan oleh komunikator utama yaitu Marah Rusli sebagai pengarang kepada pembaca. Pengarang mengambil sudut pandang orang lain yaitu Nurdin, yang mengindikasikan penolakan secara implisit dalam mengemukakan pesanpesan yang menunjukkan bahwa anjuran poligami bagi bangsawan Minangkabau berawal dari sebuah kebiasaan tak mengenal umur yang mengakar dari pola pernikahan yang sepenuhnya diatur oleh orang tua. Bangsawan dianggap sebagai suatu kriteria yang diidam-idamkan para mamak untuk mendapatkan bibit baik bagi keponakan. Karena bangsawan memiliki posisi tinggi di mata masyarakat yang sudah sewajarnya menjadi incaran para mamak, poligami kemudian menjadi semacam ajang penghargaan. Semakin banyak istri seorang maka semakin dimuliakan pula dirinya di mata masyarakat. Pesan ini dikemas dengan gaya asosiatif dengan menghubungkan berbagai kebiasaan di Minangkabau dengan penyimpangan dimata masyarakat luas. 4. Dalam “Memang Jodoh”, Marah Rusli sebagai pembicara sekaligus sasaran utama, yang dengan keras menolak poligami menunjukkan isi pesan bahwa beliau menganggap bahwa Anjuran ini adalah sebuah perangkap. Oleh sebab itu dari sebelum pembuangan hingga beliau lanjut usia selama masa “pembuangannya” tidak pernah sekalipun menikah selain dengan istri pertama. Di mata Rusli, poligami merupakan jalan hidup yang penuh resiko karena berbagai kerumitan yang ada didalamnya. Rusli menjabarkan contoh akibat buruk dari poligami ini melalui tokoh-tokoh dalam novel untuk memperkuat pernyataannya ini lewat gaya bahasa yang mengasosiasikan kebiasaan poligami dengan penyimpangan. 5. Dalam “Memang Jodoh” Marah Rusli sebagai komunikator utama dalam mengemukakan
pesan-pesan
yang
menunjukkan
bahwa
konsekuensi
pelanggaran adat yang beliau terima dimulai ketika dirinya menikah dengan istri yang merupakan bangsawan sunda, menolak bercerai atau berpoligami dengan wanita Padang hingga paska pembuangan oleh kaum keluarganya
17
karena menolak untuk bercerai atau menikah lagi. Akibat yang diterima oleh Rusli paska dirinya meninggalkan kampung halaman disebabkan oleh adat Minangkabau yang mengatur secara gineakologis dan budaya merantau orang Minang. Dimanampun Rusli pergi, akan selalu ada orang Padang yang ingin melamarnya untuk dijadikan menantu atau menganggapnya sebagai orang buangan adat. Dalam membicarakan pesan ini kepada sasaran utama yaitu pembaca, Marah Rusli menggunakan gaya bahasa asosiatif, metaforis dan sinisme. Selain itu, Marah Rusli juga menggunakan ungkapan berbentuk saloka yang sudah jarang digunakan dimana hal ini memberikan kesan klasik pada bentuk pesan yang disampaikan. Saran 1.
Meskipun adat Minangkabau yang sekarang sudah berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Marah Rusli pada masa itu, hendaknya dialektika antara adat dan perkembangan jaman menjadi lebih dinamis serta berkembang untuk menjadi yang lebih baik seperti kata pepatah Padang “musim beralih, zaman bertukar”. Jika tidak mau tergerus oleh peradaban, haruslah kita berkompromi dengan kemajuan dan hal baru agar Masyarakat adat tidak perlu lagi membuang anggotanya hanya karena memiliki pemikiran tersendiri, atau yang lebih parah ditinggalkan karena dirasa sudah tidak relevan lagi.
2.
Perlawanan terhadap kebudayaan, aturan atau sistem sosial tidak selalu harus dilakukan lewat fisik, perlawanan simbolis melalui karya sastra atau seni bersifat lebih halus dan santun. Kesantunan dalam sebuah perlawanan sebenarnya tidak mengurangi kekuatan yang ada pada perlawanan tersebut. Lewat ide yang dituangkan dalam bentuk pesan dan dituangkan dalam karya, kita bisa meraih kemenangan atau berdamai dengan keadaan meskipun harus menunggu puluhan tahun lamanya namun setidaknya tidak ada darah yang harus ditumpahkan atau barang yang harus dihancurkan.
3.
Perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam pada kajian ilmu komunikasi dan yang lain seperti psikologi, sastra atau sosiologi tentang kencenderungan perlawanan yang dewasa ini jauh lebih sering dilakukan lewat kekerasan. Hal
18
ini dibutuhkan untuk refleksi untuk menjadikan generasi mendatang memahami pola-pola yang sekarang ada dan menjadikannya pelajaran yang berharga.
Daftar Pustaka Alex Sobur. (2001). Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung. Remaja Rodakarya Amir M.S. (2001). Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta. PT. Mutiara Sumber Widya Antilan Purba. (2001). ‘Sastra Indonesia Kontemporer’. Medan. Universitas Sumatera Utara Press Dennis Mc Quail. (1997). Teori Komunikasi Massa . Jakarta. Erlangga Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. 2001. Yogyakarta. LKIS John Webb. (2009). Understanding Representation. London. Sage Publication Inc Koentjaraningrat. (1997). Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta. Djambatan MAK Halliday dan Hasan. (1992). Bahasa, Konteks dan Teks. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Marah Rusli. (2013). Memang Jodoh. Jakarta. Qanita Mariane W Jorgensen dan Louise J Philips., Analisis Wacana: Teori dan Metode. (2007). Yogyakarta. Pustaka Pelajar Mochtar Naim. (1984). Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Nyoman Khutha Ratna. (2007). Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Onong Uchjana Effendy. (2001). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Cetakan XIV). Bandung. Remaja Rosdakarya Ratna Noviani. (2002). Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Rene Wellek dan Austin Warren. (1995). Teori Kesusastraan (terjemahan oleh Budianta). Jakarta. Gramedia. Ridwan Syaukani SH. (2003).’ Perubahan Peranan Mamak Dalam Perkawinan Bajapuik Pada Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di Nagari Sintuak Kecamatan Sintuak Toboh Gadang Kabupaten Padang Pariaman’. Semarang: Universitas Diponegoro. Siswantoro. (2005). Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta. Muhammadiyah University Press Sumarlam. (2003). Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta. Pustaka Cakra. Dikutip dari Kurniawan dkk., Novel Terakhir Sang Bangsawan Terbuang. Majalah Tempo edisi Minggu 21 Juli 2013 Dikutip dari Hilman Hadikusuma. (2003). ‘Hukum Perkawinan Indonesia’. Bandung. Mandar Maju
19
Afdal. (2010). ‘Pemahaman Budaya Minangkabau dalam Konseling Lintas Jurusan Bimbingan dan Konseling’. Universitas Negeri Padang yang diunduh dari http://konselingindonesia.com/index.php?option=com_alphacontent&Item id=99999999§ion=4&cat=16&sort=5&limit=10&limitstart=80 Misnal Munir. ‘Hidup di Rantau Dengan Damai: Nolai-Nilai Kehidupan Orang Minangkabau Dalam Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan Budaya Baru’. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada yang diunduh dari http://icssis.files.wordpress.com/2013/09/2013-02-04.pdf Resty Yulanda. (2011). ‘Sangsi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai Asam Kabupaten Padang Pariaman’ Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang http://repository.unand.ac.id/17276/1/SANKSI_ADAT_TERHADAP_PE RKAWINAN_SESUKU.pdf Stella Zavera Monica ‘Keberlanjutan Sistem Matrilineal Keluarga Muda Minang di Era Globalisasi’ .Universitas Indonesia yang diunduh dari http://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-simg-ui2012-jilid-2-20.pdf Wiyatmi. (2010). ‘Citraan Perlawanan Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki Melalui Pendidikan Dan Peran Perempuan di Arena Publik Dalam NovelNovel Indonesia” yang dimuat dalam (Jurnal Ilmiah Kajian Sastra volume 13’. Surabaya. Balai Bahasa Surabaya, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional yang diunduh dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Wiyatmi,%20M. Hum./Citraan%20Perlawanan%20Simbolis.pdf Dikutip dari Rendra Saputra, ‘Rasuna Said, perempuan radikal dari tanah Minang’ dalam http://daerah.sindonews.com/read/2013/11/08/24/803163/rasunasaid-perempuan-radikal-dari-tanah-minang yang diakses pada 26 Maret 2014 10:39 Dikutip dari http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-macam-jenis-normaagama-kesusilaan-kesopanan-kebiasaan-hukum.html yang diakses pada 11 Oktober 2014 pukul 1.14
20