perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SKRIPSI Perlawanan Kaum Perempuan Terhadap Patriarki dalam Film Analisis Wacana Perlawanan Kaum Perempuan terhadap Patriarki dalam Film “Perempuan Berkalung Sorban”
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Oleh:
Anita Kusnul Khotimah D 0205003
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta 2010
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN
Disetujui Untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pembimbing
Prof. Drs. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
Telah Diuji dan Disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari
:
Tanggal
:
Panitia Penguji:
1. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D
(
NIP. 19600813 198702 2 001
2. Nora Nailul Amal, S.Sos,MLMEd,Hons
Ketua Penguji
(
NIP. 19810429 200501 2 002
3. Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002
(
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Surakarta, Dekan
Drs. H. Supriyadi S.N, SU NIP. 19530128 198103 1 001
commit to user iii
) Sekretaris Penguji
Mengetahui,
Universitas Sebelas Maret
)
) Penguji
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya kecil nan sederhana ini kupersembahkan teruntuk : Ibu, Almarhum Bapak, dan Kakak-kakakku, serta Kekasihku, karena dukungannya yang luar biasa terlampau besar bagi penulis. Semoga karya ini menjadi sebentuk senyum di setiap wajah-wajah yang penulis cintai.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
God didn't promise days without pain, sun without rain, laughter without sorrow, but God did promise strength for the day, comfort for the tears, and light for the way. Always try the best and always pray.
Life isn't about finding yourself, it's about creating yourself!
,
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Anita Kusnul Khotimah, D 0205003, Perlawanan Kaum Perempuan Terhadap Patriarki dalam Film. Analisis Wacana Perlawanan Kaum Perempuan Terhadap Patriarki dalam Film “Perempuan Berkalung Sorban”. Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010, 128 halaman. Dalam kehidupan di masyarakat sering terjadi bentuk pembatasan terhadap hak-hak perempuan dikarenakan pengutamaan kepentingan laki-laki. Dimana laki-laki mendominasi atas perempuan dalam keluarga berlanjut kedalam semua lingkungan masyarakat lainnya. Gejala sosial dalam masyarakat seperti inilah yang ditangkap oleh media sebagai wacana yang dirasa perlu disosialisasikan. Seiring dengan pergerakan perempuan yang mendengungkan semangat kesetaraan gender, film merupakan salah satu media yang dapat membantu. Film sebagai agen perubahan sosial, setidaknya membantu semangat kesetaraan gender sehingga perempuan dapat menentukan dan mengapresiasikan keinginan dalam hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah film “Perempuan Berkalung Sorban” menyajikan wacana perempuan melawan patriarki. Menguraikan dan mengetahui wacana perlawanan perempuan terhadap patriarki yang berdasarkan tiga konsep dasar feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme sosialis (marxis) dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan analisis wacana, dengan teknik pengumpulan data melalui pemilihan beberapa scene pada film “Perempuan Berkalung Sorban” yang secara dominan menampilkan perempuan dalam melawan patriarki. Serta mengambil dari berbagai tulisan artikel, buku-buku, internet dan lain sebagainya. Setelah itu dianalisis dengan menggunakan analisis wacana Van Dijk dengan memperhatikan aspek sinematografinya (audio dan visual), diklasifikasikan dengan tema tertentu untuk menentukan struktur makro dan struktur mikro dalam film tersebut. Secara keseluruhan perlawanan terhadap patriarki dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” terdiri dari tiga konsep dasar feminisme. Pertama, feminisme liberal, dalam feminisme liberal perempuan berjuang melawan patriarki untuk mendapatkan persamaan hak, yaitu hak memperoleh pendidikan dan juga hak dalam politik. Serta berjuang untuk mendapatkan kebebasan, yaitu kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk beraktivitas di luar rumah. Kedua feminisme radikal, dalam feminisme radikal perempuan melawan patriarki untuk melawan penguasaan terhadap tubuhnya. Menolak segala sesuatu yang tidak perempuan inginkan pada tubuhnya sampai ke jalur hukum yang berakibat perceraian. Ketiga feminisme sosialis (marxis), perlawanan terhadap struktur domestik perempuan, yaitu supaya perempuan tidak harus bekerja di rumah dan supaya perempuan tidak dibebani peran ganda.
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Anita Kusnul Khotimah, D 0205003, Women’s Resistance Against Patriarchy in Film. Discourse Analysis of Women's Resistance Against Patriarchy in the film "Perempuan Berkalung Sorban”. Thesis, Department of Communication Studies, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University of Surakarta, 2010, 128 pages. In common society life there are form of restrictions on women's rights because the interests of male primacy. Where men dominate the women in the family continues into every other sphere of society. This social phenomena is captured by the media as deemed appropriate discourse socialized. Along with the movement of women who struggle the spirit of gender equality, film is one of medium that can help. Film is an agent of social change, at least help the spirit of gender equality so that women can define and appreciate the desire in her life. This study aimed to find out how the film "Perempuan Berkalung Sorban” presents the discourse of women against patriarchy. Describing and knowing discourse of women's struggle against patriarchy is based on three basic concepts of feminism, namely liberal feminism, radical feminism, and socialist (Marxist) feminism in the film "Perempuan Berkalung Sorban”. The research methodology is used in this study is qualitative by using discourse analysis, with data collection through the selection of a few scenes in the film "Perempuan Berkalung Sorban" which is the dominant view of women in the fight against patriarchy. And to take from the writings of articles, books, internet and others. After it is analyzed using discourse analysis, Van Dijk, with attention to aspects of cinematography (audio and visual), classified by specific themes to determine the macro structure and micro structure in the film. Overall resistance against patriarchy in the film "Perempuan Berkalung Sorban" consists of three basic concepts of feminism. First, liberal feminism, liberal feminism of women in the struggle against patriarchy is to get equal rights, the right to get education and also the right in politics. And struggled to get freedom, freedom of opinion and freedom to have activities in society. Second, radical feminism, radical feminism of women’ resistance against control over her body. Reject all things that women do not want on her body and through the legal way that lead to divorce.. Third feminism socialist (Marxist), resistance against women's domestic structure, in order to women do not have to work at home and women are not burdened with a dual role.
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta alam, yang telah melimpahkan nikmat, karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Sungguh kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Tidak ada yang sempurna melainkan Dia. Tangan-Nya yang bernama takdir, membuat penulis yakin bahwa segala hal adalah mungkin. Ditengah proses penelitian untuk skripsi ini, banyak hambatan yang muncul dihadapan penulis. Tapi berkat motivasi yang selalu penulis dapatkan, serta dengan waktu yang cukup lama akhirnya
skripsi ini bisa
mengantarkan penulis mendapatkan ilmu pengetahuan dan meraih gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I. Kom). Semoga penulis dapat memanfaatkannya untuk menempuh kehidupan yang diridhoi oleh Allah SWT. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian karya ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dan berlipat kepada mereka. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Drs. Supriyadi, SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta. 2. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. 3. Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku pembimbing skripsi, yang telah melakukan bimbingan dengan baik, dan senantiasa memberikan motivasi kepada penulis. Terima kasih atas segala masukan dan nasehatnya, penulis banyak belajar serta menikmati dalam setiap kesempatan berdiskusi. 4. Prof. Drs. H. Totok Sarsito, S.U, M.A, Ph.D, selaku pembimbing akademik penulis, yang telah banyak membatu dalam setiap kesempatan. 5. Semua staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. Terima kasih atas kesediaannya memberikan ilmu. Mohon maaf atas segala kesalahan. Semoga semua ilmu commit to user yang telah diberikan bermanfaat dunia akhirat. vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Seluruh karyawan di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret yang tak kalah berperan penting dalam membantu peneliti selama masa perkuliahan. 7. Keluarga, almarhum Bapak, Ibu, Mas Eko, Mas Rudi, Mas Anton yang selalu memberikan dukungan, bagaimanapun bentuknya kepada penulis. 8. Novian Anata Putra yang selalu ada untuk membantu dan memberikan dukungan kepada penulis. 9. Teman-teman di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret angkatan 2005. Tetap kompak selalu. 10. Untuk kesempatan bertemu dan merangkai kenangan bersama orang-orang istimewa yang belum tersebutkan sungguh semua itu menjadi anugerah terindah yang penulis miliki. Kiranya semua itu hanya patut terlukis dalam sanubari nan abadi. 11. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas semua bantuannya.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Namun, demikian penulis tetap berharap dapat memberikan manfaat kepada siapapun yang membaca. Surakarta, Juli 2010
Anita Kusnul Khotimah
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
viii
ABSTRAK .......................................................................................................
xi
ABSTRACT......................................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
................................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................
8
E. Telaah Pustaka ..................................................................................
8
1. Komunikasi sebagai Proses Pertukaran Makna...............................
8
2. Film Sebagai Bentuk Komunikasi Massa.......................................
12
3. Perempuan....................................................................................... commit to user
15
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Patriarki .......................................................................................
21
5. Feminisme ……………………....................................................
25
F. Kerangka Pemikiran ..........................................................................
37
G. Metodologi Penelitian ........................................................................
37
1. Jenis Penelitian .............................................................................
37
2. Subjek Penelitian ..........................................................................
38
3. Sumber Data ..................................................................................
39
4. Teknik Sampling ...........................................................................
39
5. Teknik Pengumpulan Data ............................................................
40
6. Teknik Analisis Data .....................................................................
40
7. Validitas..........................................................................................
50
BAB II DESKRIPSI FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN A. Film Perempuan Berkalung Sorban ....................................................
53
B. Sinopsis Film Perempuan Berkalung Sorban......................................
56
C. Profil Sutradara Film Perempuan Berkalung Sorban .........................
61
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III ANALISIS WACANA FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN A. Analisis Wacana Teks Makrostruktur .......................................
66
B. Sub Topik ..................................................................................
67
C. Perlawanan Terhadap Patriarki .................................................
70
1. Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Liberal.................................................................................... 2.
70
Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Radikal...... .............................................................................
99
3. Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Sosialis (Marxis) .................................................................................
109
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................
123
B. Saran ....................................................................................................
128
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Film merupakan sebuah produk budaya yang dinilai efektif untuk menyampaikan pesan serta merefleksikan realitas sosial. Film merupakan salah satu bentuk media massa yang digemari oleh masyarakat karena keunggulannya yang dapat menghadirkan unsur audio visual secara bersamaan. Oleh karena itu, film dapat mempunyai dampak yang besar terhadap masyarakat menyangkut nilainilai yang ada didalamnya, sebagai contoh model rambut Demi Moore dalam film ”Ghost” diikuti oleh banyak gadis di seluruh dunia di era 90-an. Dewasa ini banyak sineas Indonesia yang telah menghasilkan film-film yang berkualitas, diantaranya adalah Riri Reza dengan film “Laskar Pelangi”, John De Rantau dengan film “Denias Senandung di Atas Awan”, dan lain-lain. Karya anak bangsa berupa film ini harus senantiasa diapresiasi secara positif, agar dapat memicu kembali diproduksinya film-film yang berkualitas. Pembuat film yang baik adalah pembuat film yang ingin menyampaikan pesan-pesan tertentu termasuk di dalamnya kritik sosial. Karena film yang baik adalah film yang diniatkan untuk penyampaikan pesan-pesan lewat cerita-cerita yang dipungut dari kenyataan. Selain itu, film juga mampu membuat kita memahami pandangan dunia dari peradaban lain, atau kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita melek budaya. Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya. Ekky al-Malaky, misalnya mengungkapkan bahwa:
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita, dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu”.1
Banyak film yang mengusung tema perempuan, seperti film Perempuan Punya
Cerita,
Pertaruhan,
Berbagi
Suami,
dll.
Film-film
ini
banyak
menggambarkan kritik sosial terhadap masyarakat Indonesia sendiri yang di dalamnya masih tertanam patriarki yang mendalam, khususnya dibeberapa suku. Perempuan dianggap berbeda kedudukannya dengan laki-laki. Film berperan besar dalam membentuk dan mempertahankan citra perempuan dalam budaya patriarki. Sebagai salah satu bentuk komunikasi massa, film berperan sebagai alat sosialisasi pembelajaran, internalisasi nilai-nilai, dan norma yang dianut dalam kebudayaan kita. Patriarki kemudian menjadi norma dan keyakinan yang dianggap sebuah ’kebenaran’ dalam masyarakat. Individu atau kelompok yang menentangnya dicap negatif sebagai penyimpangan. Seiring dengan pergerakan perempuan yang mendengungkan semangat kesetaraan gender, film merupakan salah satu media yang dapat membantu. Film sebagai agen perubahan sosial, setidaknya membantu semangat kesetaraan gender dalam mengubah kehidupan perempuan menjadi lebih baik. Sehingga perempuan dapat menentukan dan mengapresiasikan keinginan dalam hidupnya. Kaum feminis sering kali mengeluhkan bahwa perempuan rutin diterangkan dengan cara meremehkan.
Hal
ini
mendorong
kaum
feminis
untuk
lebih
gigih
memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam NUJ, 1982, hal 6 mengungkapkan, 1
Ekky al-Malaky,” Menonton : Nggak Sekedar Cari Hiburan, Powerfullnya Sebuah Film”, dapat diakses melalui http://majalahannida.multiply.com/reviews. 11/08/2009/11.30
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
”Tidak ada alasan mengapa anak perempuan dan orang wanita harus secara umum dicirikan bersifat emosional, sentimentil, bergantung, rentan, pasif memikat, misterius, rendah, lemah, inferior, gila, lembut, kacau, sombong, intuitif,... Juga tidak ada alasan anak laki-laki dan laki-laki harus diasumsikan sebagai pihak dominan, kuat, agresif, bijak, bernafsu, yakin, berani, ambisius, tidak emosional, logis, mandiri kasar.”2
Salah satu judul film yang mengusung wacana perempuan adalah film ”Perempuan Berkalung Sorban”. Film ini di produksi tahun 2008 dan mulai tayang pada tanggal 15 Januari 2009 dengan Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya. Film “Perempuan Berkalung Sorban” berkisah tentang pengorbanan seorang perempuan yang hidup dalam lingkungan konservatif. Dalam kehidupannya sehari-hari diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dan hal itu membuatnya beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Setiap protesnya selalu dianggap rengekan anak kecil. Sampai saat dewasa ketika ia ingin menempuh pendidikan ke jenjang universitas di Yogyakarta, hal ini tidak dikabulkan oleh orangtuanya karena ia perempuan. Sedangkan kedua kakak laki-lakinya harus menempuh pendidikan hingga ke luar negeri. Film ini diangkat dari sebuah novel karya Abidah Al Khalieqy kemudian skenarionya di tulis oleh Ginatri S. Noor & Hanung Bramantyo. Kaum feminis meyakini bahwa tradisi sastra perempuan dan laki-laki memang berbeda. Perbedaan itu dapat ditelusuri jejaknya melalui eksistensi dan kesadaran perempuan pengarang melaui karya sastra yang dihasilkannya. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya 2
David Graddol & Joan Swan, Gender Voices: Telaah kritis Relasi Bahasa dan Gender, Pedati, 1989, hal 185
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk menanggapai dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada. Dalam bingkai feminisme, kajian gender sebuah karya mengarahkan perspektifnya pada beberapa tujuan, yang di antaranya dapat diacu sebagai cara kreatif untuk membebaskan perempuan dalam menulis dan menceritakan pengalamanya sendiri di luar konvensi, aturan, konsep dan premis budaya patriarki. Wacana gender juga merupakan androginitas budaya, membangun kesetaraan tatanan sosial yang didasarkan pada nilai-nilai keperempuanan.3 Aquarini mengutarakan bahwa film feminis menampilkan citra perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakatnya sendiri tetapi kemudian bangkit dan menjadi luar biasa dalam artian memperoleh kekuasaan dan kendali tertentu atas hidupnya. Sehingga melalui proses identifikasi, seorang perempuan dapat menemukan artikulasi atas artikulasinya yang direpresi di dalam dunia yang dialaminya melalui film.4 Bertolak dari landasan di atas, film “Perempuan Berkalung Sorban” memiliki kecenderungan pokok untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh pembuatnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana cara menolak, menghindar, memberontak dan 3
Aning Ayu Kusuma, “Wacana: Sastra, Santri dan Film Perempuan Berkalung Sorban”, dapat diakses melalui: http://www.cabiklunik.blogspot.com/2009/01/wacana-sastra-santri-dan-filmperempuan.html.11/08/2009/11.20 4 Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Yogyakarta, Jalasutra, 2006, hal 337
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melawan terhadap dominasi kekuasaan patriarki. Perjuangan kaum feminis dapat dikenali melalui aliran pokok dalam gerakan tersebut, yaitu Feminisme radikal, Feminisme liberal dan Feminisme sosial. Masing-masing aliran tersebut memiliki arah pergerakan dan fokus perjuangan yang berbeda-beda, namun secara esensial memiliki pandangan yang sama. Bahwa perempuan harus dibebaskan dari kungkungan sistim tradisi dan budaya patriarki.5 Dalam film ini, tokoh utamanya Annisa (Revalina S. Temat) dilukiskan sebagai seorang santri yang ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan kecerdasannya pula, Anisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai agama. Dengan demikian, baik tersurat atau tersirat film ini juga memberi kritikan terhadap mereka yang mengaku Islam namun sikap dan perbuatannya amat jauh dari nilai-nilai Islam. Ajaran-ajaran Islam sering disalahgunakan justru sebagai tameng dan pembenaran bagi tingkah laku menyimpang yang seringkali berakibat ketidakadilan bagi perempuan. Pada suatu kesempatan Hanung Bramantyo, sutradara film “Perempuan Berkalung Sorban” menyatakan: "Film ini benar-benar saya dedikasikan untuk menghargai perempuan dan menitipkan pesan pada penonton tentang bagaimana seharusnya kita berbuat sesuatu untuk seseorang yang kita cintai.”6
5
Ibid,
6
“Film Perempuan Berkalung Sorban Kritisi AAC”, ANTARA NEWS, Selasa 27 Januari 2009 http://www.antara.co.id/view/?i=1233058098&c=SBH&S=.28/7/ 2009/13:53
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan) mengatakan media film adalah alat yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan positif tentang hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dengan harapan melalui film tersebut isu dan persoalan tentang perempuan dapat menjadi perhatian banyak pihak.7 Namun tidak sesuai harapan, film ini menuai banyak kontroversi. Dua kelompok saling menjadi oposisi. Kelompok anti- film “Perempuan Berkalung Sorban”, menyatakan bahwa film ini sesat menyesatkan, menjelekjelekkan pesantren dan Islam secara umum, bagian dari propaganda Islam Liberal, menyatakan agar film ini jangan ditonton. Karena semua
hal yang
menggambarkan patriarki di film ini identik dengan pesantren. Sedangkan kelompok pro- film “Perempuan Berkalung Sorban”, tak habis-habisnya heran, apa yang salah dengan film ini?8 Justru, film ini berani membongkar kasus-kasus penindasan perempuan. Antara kelompok anti dan pro “Perempuan Berkalung Sorban” terjadi perbedaan pandangan dalam mengartikan makna yang tersirat maupun yang tersurat dalam film. Film merupakan cerminan mentalitas bangsa sendiri. film “Perempuan Berkalung Sorban” memiliki kecenderungan pokok untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh pembuatnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana cara menolak, menghindar, 7
“Film Perempuan Berkalung Sorban Kritisi AAC”, Ibid Ekky Imanjaya, “Posisi Ideologis dan Representasi: Perempuan Berkalung Sorban, Membela atau Merusak Nama Islam?”, dapat di akses di: http://www.old.rumahfilm.org/resensi/resensipbs.htm.28/7/2009/13.45
8
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberontak dan melawan terhadap dominasi kekuasaan patriarki. Penulis ingin mencoba mencari bentuk-bentuk perlawanan perempuan terhadap patriarki yang terdapat dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”.
B. Rumusan Masalah Bertolak pada latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut, 1. Secara Umum: Bagaimana film “Perempuan Berkalung Sorban” menyajikan wacana perlawanan perempuan terhadap patriarki? 2. Secara Khusus: a. Bagaimana wacana perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminisme liberal dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”? b. Bagaimana wacana perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminisme radikal dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”? c. Bagaimana wacana perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminisme Sosialis (Marxis) dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitan ini bertujuan untuk: 1. Secara Umum: Untuk mengetahui bagaimana film “Perempuan Berkalung Sorban” menyajikan wacana perempuan melawan patriarki.
2. Secara Khusus:
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Untuk mengetahui wacana perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminisme liberal dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”. b. Untuk mengetahui wacana perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminisme radikal dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”. c. Untuk mengetahui wacana perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminisme sosialis (marxis) dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis-akademis, penelitian diharapkan mempunyai signifikansi dalam membongkar penggambaran wacana patriarki yang ditampilkan film, baik dalam bentuk pencitraan yang digambarkan melalui adegan (gestur, mimik) serta dialog-dialog yang muncul dalam film terkait dengan konteks kondisi sosial budaya saat film tersebut dibuat. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat berfungsi bagi para sineas film untuk lebih memahami bahwa film dapat menjadi wahana bagi pembebasan dan pengaktualitasan kondisi yang riil (nyata) sehingga selanjutnya mendorong para sineas film Indonesia untuk lebih menggambarkan nilai yang telah hilang dan luntur khususnya terkait dengan kesetaraan gender.
E. Telaah Pustaka 1. Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna Kehidupan manusia sudah dikodratkan untuk saling bergantung dalam suatu tatanan kehidupan yang disebut kehidupan sosial. Dalam menjalani kehidupan sosialnya, manusia senantiasa harus berinteraksi satu sama lain. Untuk
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu komunikasi sangat penting untuk menunjang kehidupan sosial masyarakat. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan berasal dari kata communis yang berarti sama. Komunikasi akan berlangsung dengan lancar apabila terdapat kesamaan pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan makna yang dimaksud.9 Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi. John Fiske, membagi studi Komunikasi dalam dua Mahzab Utama.10 Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Fiske tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan, mahzab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi. Selanjutnya kita akanmenyebut mahzab ini sebagai “Mahzab Proses”.11 Sedangkan mahzab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orangorang dalam kebudayaan kita. Fiske menggunakan istilah-istilah seperti 9
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal 69-71. 10 John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta, Jalasutra, hlm 8 11
Ibid,
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi––hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.12 Mahzab ini mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. Bagi mahzab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, kemudian menghasilkan makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.13 Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemenelemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka 12 13
Ibid, hal 9 Ibid,
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis.14 Merunut pada mazhab komunikasi produksi dan pertukaran makna di atas15, penerima atau pembaca teks dipandang memainkan peran yang lebih aktif dibandingkan dalam kebanyakan model mazhab komunikasi proses yang lebih menonjolkan pada pihak pengirim pesan teks. Bahasa merupakan media primer dalam penyampaian pesan. Bahasa sebagai kode verbal mempunyai pengertian sebagai percakapan. Dalam wacana linguistik bahasa diartikan sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.16 Komunikasi merupakan paket isyarat, masing-masing memperkuat yang lain. Bila isyarat komunikasi saling bertentangan, kita menerima
pesan
yang
kontradiktif.
Komunikasi
merupakan
proses
penyesuaiandan terjadi hanya jika komunikator menggunakan system isyarat yang sama.17 Komunikasi bersifat transaksional. Komunikasi merupakan proses, komponen-komponennya saling terkait dan komunikator beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan yang utuh.
18
Kita mempersepsi manusia tidak hanya
14 15
Ibid, hal 11 Ibid, hal 61
16
Drs. Alex Sobur, M.Si., Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hal 274 Joseph A Devito, Komunikasi Antar Manusia, Jakarta: Profesional Books, 1997, hal 40-41 18 Ibid, hal 47 17
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melalui bahasa verbal, melainkan juga melalui bahasa nonverbal. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter: “Komunikasi nonverbal menyangkut semua rangsangan (kecuali rangsngan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; baik perilaku yang disengaja atau tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan.”19 Kita tidak menyadari bahwa pesan-pesan nonverbal yang kita lakukan bermakna bagi orang lain. Studi yang dilakukan oleh Albert Mahrabian (1971) menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7 persen dari bahasa verbal, 38 persen dari vocal suara dan 55 persen dari ekspresi muka. Ia juga menambahkan jika terjadi pertentangan antara apa yang di ucapkan seseorang dengan perbuatannya, maka orang lain cenderung percaya pada hal-hal bersifat nonverbal.20 Menurut Littlejohn, definisi komunikasi massa merupakan: “…the process whereby media organizations produce and transmit message to large publics and process by which those message are sought, used, understood and influence by audience.” (proses dimana media memproduksi dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak luas dan proses dimana pesan-pesan dicari, digunakan, dipahami dan dipengaruhi oleh khalayak).21 Salah satu media massa yang mempunyai kontribusi terhadap perubahan masyarakat adalah film. Dalam sejarah perkembangannya film dimanfaatkan sebagai media propaganda karena dapat menjangkau orang banyak dalam waktu cepat dan dapat memanipulasi kenyataan dengan pesan fotografis.
2. Film sebagai Media Komunikasi Massa
19
Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., Op. Cit, hal 308 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 hal 108 21 Pawito, Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKiS, 2007, hal 16 20
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Film adalah medium komunikasi massa, yaitu alat penyampai berbagai jenis pesan dalam peradaban modern ini. Dalam penggunaan lain, film menjadi medium artistik, yaitu menjadi alat bagi seniman-seniman film untuk mengutarakan gagasan, ide, lewat suatu wawasan keindahan. Film merupakan sebuah bentuk komunikasi dengan tanda karena dalam proses produksinya film menciptakan tanda (sign) dan simbol dengan makna (pesan) tertentu. Dimana simbol dan tanda ini terkait dengan bahasa. Dalam prosesnya film layaknya sebuah bahasa yang dirangkai dengan bentuk simbol dan tanda yang membawa pesan tertentu di dalamnya.22 Menurut James Monaco (kritikus film dan ahli komunikasi massa Amerika Serikat23, pengalaman dalam menikmati film menyerupai pengalaman dalam menghayati bahasa. Artinya orang yang berpengalaman dalam menghayati film, akan lebih banyak melihat dan mendengar dibandingkan orang lain yang jarang melihat film. Seseorang menonton film untuk mencari nilai-nilai yang memperkaya batin. Hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik ini muncul didasarkan atas argument yang menyatakan bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film
22
Larry Gross, Sol Worth and The Study of Visual Communication, pada Chapter One : The Development. of a Semiotic of Film. http://astro.temple.edu/~ruby/wava/worth/sintro.html
23
Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta: Grasindo, 1996), hal 27
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar.24 Filmic evidence is not an unambiguous representation of events; by its very nature, film has multiple meanings. So too, film images are not unbiased; rather, they represent one point of view to the exclusion of all others. (Bukti filmic bukan merupakan representasi yang jelas dari peristiwa; pada dasarnya, film ini memiliki beberapa makna. Demikian pula, penggambaran dalam sebuah film tidak bias, melainkan, mereka mewakili hasil suatu sudut pandang dari semua orang lain)25 Berbeda dengan Graeme Turner yang menolak perdpektif dalam melihat film sebagai refleksi masyarakat, yaitu film dilihat sebagai cermin yang memantulkan
kepercayaan-kepercayaan
dan
nilai-nilai
dominan
dalam
kebudayaannya. Menurutnya perspektif ini sangat primitif dan mengemukakan metafor yang tidak memuaskan
karena menyederhanakan proses seleksi dan
kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan, baik dalam bidang film, prosa atau bahkan percakapan. Antara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang menentukan, baik bersifat kultural, subkultural, industrial serta institusional. Greame Turner berpandangan bahwa film merupakan representasi dari realitas. Film membentuk dan ‘menghadirkan kembali’ realitas berdasarkan kodekode, konvensi-konvensi sekaligus ideologi dari kebudayaannya, seperti yang di ungkapkannya:26
24 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal 127 25 Jessica M.sillbey. Croos Examining film. University of Maryland Law Journal of Race, Religion, Gender and Cla.ss, Vol. 8, p. 101, halm 10, 2009. Suffolk University Law School Research Paper No. 08-21. 26 Greame Turner, Film as Social Practice: Second Edition, (London & New York: Routledge, 1993), hal 131
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Film does not reflect or even record reality; like any other medium of representation it constructs and ‘re-presents’ its picture of reality by way of the codes, conventions, myth, and ideologies of its culture as well as by way of the specific signifying practices of the (Film tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain, ia mengkonstruksi dan ‘menghadirkan kembali’ gambaran dari realitas melaui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos, dan ideologi-ideologi dari kebudayaannya sebagaimana secara praktik signifikasi yang khusus dari medium.) Hubungan film dengan ideologi kebudayaannya bersifat problematik. Hal ini dikarenakan film adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya, tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut.
3. Perempuan Telah banyak kajian tentang perempuan, salah satu contohnya adalah penelitian dari Ulfa Mubarika, Poligami dalam Film (Analisis Wacana Film Berbagi Suami dan Ayat-Ayat Cinta).27 Film Berbagi Suami memberikan suatu fenomena tersendiri dalam perkembangan film di Indonesia terutama yang menyangkut masalah perempuan. Film yang dikategorikan sebagai ‘film perempuan’ ternyata dapat memberikan aspirasi untuk perempuan. Permasalahan perempuan yang diangkat dengan kacamata perempuan ternyata memperlihatkan strategi khusus yang memberikan celah yang menguntungkan bagi mereka. Disisi lain, secara tematis film ini memberikan empowering pada perempuan yang tidak dimunculkan dalam Ayat-Ayat Cinta karena penekanan poligami ditujukan pada dilematis pihak laki-laki dalam berlaku adil dalam memperlakukan istri-istrinya. Ini semua dapat dijadikan model dalam memahami masalah multikultural di Indonesia mengenai poligami. 27
Ulfa Mubarika,” Poligami dalam Film” (Analisis Wacana Film Berbagi Suami dan Ayat-Ayat Cinta),(Universitas Sebelas Maret Surakarta,2009), Skripsi
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Poligami sebenarnya tidak lepas dari nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat, terutama masyarakat timur. Budaya yang diterapkan dalam suatu masyarakat tadi mengakibatkan efek psikologis pada wanita yang menyebabkan mereka tergantung pada laki-laki dari segi emosional dan financial. Bagaimana mereka merasa hidupnya tidak lengkap apabila tidak ada laki-laki disampingnya, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menjalani hidup. Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem tatanan nilai yang berkembang pada masyarakat Indonesia. Dalam hampir seluruh kebudayaan lokal Indonesia, tidak terkecuali pada budaya matrilineal, konstruksi sosial yang bias gender menunjukkan praktek dominasi yang tinggi dari pihak laki-laki yang menempatkan perempuan hanya sebatas rumah tangga (sektor domestik), seperti yang tergambar dalam film Berbagi Suami. Begitu juga dalam penelitian Anita Widyaning Putri, Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Iklan TV (Studi Analisis Wacana Kritis Fairclough terhadap Iklan Komersial Televisi).28 Didalam penelitiannya, menjelaskan bahwa ide iklan AXE berangkat dari perspektif patriarki. Perempuan ditampilkan–tubuh, ekspresi, hasrat--dibentuk berdasarkan keinginan laki-laki. Dalam pembuatan iklan tersebut, ia juga menyarankan agar pembuat iklan AXE, juga memperhitungkan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang sangat plural, sehingga tidak lagi terjadi benturan budaya.
28
Anita Widyaning Putri, “Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Iklan TV “ (Studi Analisis Wacana kritis Fairclough terhadap Iklan Komersial Televisi), (Univeritas Sebelas Maret Surakarta, 2009), Skripsi
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Begitu pula dalam penelitian yang dilakukan oleh Eka Septiana Kusumaningrum,29 Analisis Semiotika dalam Film The Stepford Wifes, menyimpulkan bahwa secara umum tanda-tanda yang terdapat dalam film The Stepford Wifes, mengandung makna, yaitu lembaga perkawinan dipandang sebagai tempat tumbuh suburnya ideologi patriarki. Scene yang terdapat dalam visualisasi film ini secara tidak langsung ingin menyampaikan bahwa lembaga perkawinan dianggap sebagai wacana penguasaan antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan kekuasaan. Sejalan dengan penelitian ini, penulis ingin melakukan analisis untuk mengetahui bagaimana film “Perempuan Berkalung Sorban” menyajikan wacana perempuan melawan patriarki. Perempuan identik dengan diskriminasi akan jenis kelamin yang mereka miliki. Perempuan di identikan dengan kaum yang kedudukannya selalu berada dibawah kaum laki-laki, sebagai pelengkap ataupun pemuas nafsu kaum laki-kali. Budaya patriarki sendiri yang dianut masyarakat secara langsung membatasi hak-hak yang dimiliki perempuan. Perempuan hanya dianggap mempunyai peranan rumah tangga saja dan tidak berperan dalam urusan public. Masalahnya karena perempuan sendiri tidak punya akses terhadap teks, maka sebagai konsumen, mereka sangat tergantung pada siapa yang mendefinisikannya. Perempuan sebagai “empu” (yang dihormati) mempunyai kewajiban untuk berbuat sesuatu demi kesejahteraan kehidupan kaumnya. Karena itu profil perempuan harus bisa menumbuhkan transformasi sosial secara berbudaya dan 29
Eka Septiana Kusumaningrum, “Analisis Semiotika Film The Stepford Wifes”, (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2007) Skripsi
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusiawi, apalagi profil perempuan itu dituntut untuk bisa mengkaji permasalahan yang sangat mendasar, berat, dan mengangkat kaum perempuan itu sendiri. Dalam pengalaman sejarah perempuan kehidupannya sudah dijalankan sejak dini oleh ideologi gender masyarakat. Dalam hal ini perempuan harus berusaha menantang semua kelemahan yang telah dipolakan secara cultural dari awal kehidupannya.30 Contoh paling menarik adalah dari studi teks tentang kepemimpinan perempuan yang mengambil kasus kontroversi kepemimpinan Megawati. Tahun 1997, Munas NU di Lombok mengeluarkan fatwa bahwa perempuan dapat berkiprah di ruang publik dan berperan aktif dalam berpolitik. Kala itu nama Megawati masih sangat samar-samar meski telah tampil ke muka. Yang lebih terlihat justru Tutut yang tampaknya sedang dipersiapkan Golkar. Namun pada tahun 1999, fatwa itu semacam di anulir oleh Munas Alim Ulama MUI mengeluarkan fatwa bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi pemimpin. Bahkan, orang yang benar-benar sangat kuatpun dalam memperjuangkan hak-hak perempuan seperti Gusdur, sempat mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan pendapat ulama yang mengatakan perempuan tidak bisa jadi pemimpin. Apalagi orang seperti Hamzah Haz yang bermain untuk kepentingan politikya.saat itu dia mengatakan mayoritas penduduk Indonesia adalah umat
30
Prof. Dr. Hj. Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis, (Bandung: Yrama Widya, 2009), hal 170
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Islam dan dalam Islam, perempuan dilarang jadi Presiden. Semua koor penolakan itu sangat jelas bertujuan untuk mengganjal Megawati.31 Diakui atau tidak dehumanisasi terhadap kaum perempuan terhadap kaum perempuan pernah terjadi dalam panggung sejarah. Bahkan hingga sekarang kondisi tersebut masih dapat kita saksikan. Betapa perdagangan perempuan, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap mereka seakan tak pernah terlewatkan dalam berita-berita kriminal di media. Ironisnya fenomena itu juga terjadi di negara yang mengaku sebagai Negara Islam, seperti di Malaysia, Arab Saudi misalnya. Tidak sedikit korban kekerasan yang dilakukan oleh sebagian majikan terhadap para TKW Indonesia yang bekerja disana. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, kaum perempuan masih dianggap sebagai kelas dua (second class) oleh sebagian masyarakat yang belum memiliki sensitivitas gender.32 Kelahiran anak perempuan terkadang masih dianggap kurang membanggakan di banding dengan anak laki-laki. Perlakuan dan pola asuh terhadap anak perempuan sering masih dibedakan dengan anak lakilaki. Semua itu jika dibiarkan tentu akan berdampak pada ketidakadilan dan diskriminasi gender. Ada banyak faktor mengapa kaum perempuan mengalami bias gender, sehingga mereka belum setara. Pertama, budaya patriarki yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik yang belum sepenuhnya 31
Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Theologi dan HAM di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal xxx-xxxi 32 Dr. H. Abdul Mustaqim, MA., Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka), hal 13
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpihak pada kaum perempuan. Ketiga, faktor ekonomi dimana sistem kapitalisme global yang melanda dunia, sering kali mengeksploitasi kaum perempuan. Keempat faktor interpretasi teks-teks agama yang bias gender.33 Ideologi gender, yang melahirkan perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan akibat perbedaan gender ini terhilat dari peminggiran (marginalisasi) dan subordinasi kaum perempuan. Dengan berkembangnya stereotip yang tidak adil terhadap perempuan, maka sering terjadi kekerasan dan beban kerja yang lebih berat terhadap perempuan (Fakih, 1999:1213).34 Marginalisasi kaum perempuan bisa dilihat sejak dari lingkungan rumah tangga dalam bentuk diskriminasi pada anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan, misalnya dengan memprioritaskan anggota keluarga laki-laki harus didahulukan dalam memperoleh pendidikan. Sedangkan subordinasi
terhadap
kaum perempuan misalnya terlihat dari sikap menempatkan perempuan irrasional atau emosional, sehingga tidak layak tampil sebagai pemimpin. Contohnya masih adanya anggapan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena nanti akhirnya akan ke dapur.35 Keyakinan bahwa laki-laki harus ‘memimpin’ kaum perempuan tersebut sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang ‘kepemimpinannya’ bersifat adil dan tidak menindas. Namun, persoalan lain yang timbul adalah justru 33
Ibid, hal 15 Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 159 35 Ibid, 34
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepercayaan tersebut membawa pada keyakinan, bahwa kaum perempuan adalah ‘subordinasi’ dari kaum laki-laki, meskipun secara obyektif misalnya ia lebih mampu, lebih pandai, dan lebih layak, ia tetap harus dipimpin.36
4. Patriarki Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak.37 Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumbersumber ekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting bagi keluarga. Dalam sistem sosial, budaya (juga keagamaan), patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki. Pengertian patriarki secara harafiah adalah kekuasaan bapak atau “patriarkh” (patriarch). Pada awalnya istilah ini dipakai untuk menyebut suatu jenis keluarga yang dikuasai oleh laki-laki, yaitu rumah tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan atau “hukum bapak” sebagai laki-laki atau penguasa itu.38 Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga, ia 36
Mansour Fakih, Membincang feminism Diskursus gender perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) hal 54-55 37 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, cet. Balai Pustaka, cet. 3, 1990, hlm. 654 38 Kamla Basin, Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan, (Yogyakarta: yayasan Bentang Budaya, 1996), hal 1-2
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga isteri, perempuan simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123).39 Dalam masyarakat sekarang juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat patriarki masih terdapat ideologi yang menganggap bahwa perempuan sesudah menikah menjadi hak milik suaminya, dan anak perempuannya milik ayahnya, istri adalah milik suami. Menurut Gramsci, ada beberapa jenis kekuasaan. Pertama, kekuasaan hegemonis atau kekuasaan yang diperoleh dengan persetujuan dari orang yang dikuasai. Kedua, kekuasaan yang diperoleh melalui pemakaian fisik. Dalam pengertian Gramsci patriarki atau kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan kekuasaan hegemoni. Karena perempuan sadar atau tidak sadar menerima dan menyetujui kekuasaan laki-laki sebagai sesuatu yang wajar. Kaum laki-laki tidak perlu menggunakan kekuatan fisiknya untuk memaksa perempuan tunduk pada mereka.40 Kate Millet, dalam bukunya yang terkenal Sexual Politics, beranggapan bahwa sistem patriarki adalah faktor utama yang menyebabkan pembagian kerja secara seksual. Millet menyatakan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat merupakan hubungan politik. Ia mendefinisikan politik sebagai “Hubungan yang didasarkan pada struktur kekuasaan. Suatu sistem masyarakat dimana satu kelompok manusia dikendalikan oleh kelompok manusia lainnya.”. Nama struktur
kekuasaan yang menggambarkan laki-laki mengendalikan
perempuan adalah patriarki. 39
Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 215 Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hal 36-37
40
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Begitu sempurna sistem sosialisasi dari patriarki, begitu lengkap nilai-nilai yang dipupuk dan dikembangkannya, begitu lama dan begitu universal nilai-nilai ini disebarluaskan sehingga untuk melaksanakan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, kekuatan fisik yang kasar hampir tidak diperlukan.”41 Menurut Farid Waiji yang membahas pandangan Rifat Hassan, guru besar studi keagamaan (religious study) di universitas Louisville, Kentucky, Amerika Serikat, yang menyatakan tiga asumsi dasar dalam struktur masyarakat patriarki. Ketiga asumsi dasar itu adalah42 a. Manusia pertama adalah laki-laki dan perempuan diciptakan darinya, sehingga dia adalah mahkluk sekunder b. Walaupun perempuan adalah mahkluk kedua dalam penciptaannya, tetapi dia adalah mahkluk pertama dalam perbuatan dosa. c. Perempuan diciptakan dari dan untuk laki-laki, sehingga tumbuh anggapan bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk mendefinisikan status, hak, dan martabatnya. Kaum laki-laki diuntungkan dengan sistem patriarki ini, baik secara materi maupun fisik. Patriarki merupakan buatan manusia dan proses-proses sejarah telah menciptakannya.43 Pandangan yang bias terhadap perempuan ini, berpangkal dari keinginan kaum laki-laki menguasai mengontrol dan mengeksploitasi tubuh perempuan, terutama kapitalis seksual, atau mengharuskan perempuan bekerja di bidang ’domestik’. Dalam konteks yang lebih luas perempuan menjadi obyek yang inferior dihadapan subyek laki-laki yang superior. Hegemoninya upaya laki 41
Ibid, hal 41 HM. Atho Mudzhar, Sajida S. Avid an Saparinah Sadli (ed.), Wanita dalam Masyarakat Indonesia; Akses Pemberdayaan dan Kessempatan, (Yogyakarta: Sunan kalijaga Press, 2001), hal 283. 43 Kamla Bhasin, Op Cit, hal 14 42
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
laki (patriarki) sehingga keyakinan gender sudah tertanam di dalam dunia perempuan. Magie Humm, mengutip pernyataan Dorothy Dinnerstein, seorang psikoanalisis, yang menyatakan bahwa patriarki atau penyingkiran perempuan dari sejarah berasal dari pembentukan gender laki-laki dan perempuan serta standar ganda yang mengikutinya.44 Citra umumnya yang biasa dihayati perempuan adalah citra yang dianut oleh kaum laki-laki, bahwa perempuan itu harus sabar, tabah, penyayang, keibuan, patuh, suka mengalah, sumber kedamaian dan keadilan, pandai mengurus suami, anak-anak dan rumah tangga, selalu cantik, langsing, awet muda, tidak boleh mengeluh. Poligami lebih berpotensi pada masyarakat patriarki. Adapun latar belakang dari ketentuan poligami ini di ambil dari penafsiran kebanyakan ulama dalam kitab tafsir maupun kitab fiqih yang dapat dikatakan sama sekali tidak ada perdebatan terhadap pemberlakuan poligami, artinya menyetujui institusi poligami dan legitimasi dari Al-Quran yaitu an Nisaa ayat 3. Seperti disebutkan salah satunya dalam kitab Bidayatul Mujtahid, bahwa umat Islam sepakat mengenai kebolehan menikahi empat permpuan secara bersamaan. Kalimat ini langsung dikutip dalam pasal 55 Kitab Hukum Islam persis sebagaimana dinyatakan dalam kitab ini.45 Penafsiran yang tekstual dan rigid dari ayat ini, diambil begitu saja menjadi ketentuan hukum tanpa melihat konteks turunnya ayat dan ideal moral
44
Magie Humam, Ensiklopedia Feminism, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal:334 Ratna Batara Munti, Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: LBH-APIK, 2005), hal 103
45
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang ada di baliknya. Ayat 3 An-Nisaa ini juga dibaca terpisah-pisah dari ayat lain, yang pada dasarnya satu rangkaian berhubungan. 5. Feminisme Feminisme berasal dari bahasa Latin ‘femina’ yang berarti memiliki sifat keperempuanan. 46 Secara etimologis feminis berasal dari kata ‘femme’ (woman), yang berarti perempuan.47 Feminisme adalah faham perempuan yang berupaya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sebagai kelas sosial. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang di marginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh budaya dominan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial. Dalam ilmu kontemporer lebih dikenal dengan kesetaraan gender. Feminisme diawali oleh ketimpangan posisi perempuan dibanding lakilaki dalam masyarakat. Operasionalisasi upaya pembebasan diri dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminis.48 Istilah feminisme sendiri muncul pada abad ke 17 dan pada saat itulah feminisme itu digunakan. Pada abad 18 hingga 19 (1790-1860) feminisme tampil dalam satu gerakan, pandangan dan strategi yang homogen. (Rosyad, 2003:51)49 Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadp sistem patriarki yang ada pada masyarakat (Selden, 1996:139).50 Feminisme bukanlah hanya perjuangan perjuangan emansipasi dari kaum 46
Mansour Fakih, Op. Cit, hal 61 Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 139 48 Dr. Riant Nugroho, Op Cit, hal 30 49 Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 139 50 Ibid, hal 140 47
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan terhadap kaum laki-laki saja, karena mereka juga menyadari bahwa kaum laki-laki khususnya kaum proletar mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi, dan represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan srtuktur yang tidak adil menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun lakilaki.51 Dengan kata lain hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial, dalam arti tidak hanya memperjuangkan masalah perempuan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial kearah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Eksplorasi feminisme dilakukan dalam berbagai hal, baik melalui sikap, penulisan artikel, puisi, novel, film, maupun berbagai media lain yang memungkinkan untuk dapat mentransformasikan gagasan atau pandangan sebagai bentuk kritis feminis terhadap situasi dan pandangan masyarakat. Tujuan pokok dari teori feminisme adalah memahami penindasan perempuan secara ras, gender, kelas, dan pilihan seksual, serta bagaimana mengubahnya. Dr Riant Nugroho mengutip dari Ratna Megawangi, dalam bukunya Membiarkan Berbeda, bahwa feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut:52 1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesame manusia. 2. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin. 51 52
Dr. Riant Nugroho, Op Cit, hal 31 Ibid, hal 33-34
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
3. Menghapuskan
digilib.uns.ac.id
semua
hak-hak
istimewa
ataupun
pembatasan-
pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin. 4. Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan. Feminisme sebagai suatu aliran berusaha untuk membela kaum perempuan dari diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan represi yang dilakukan oleh kaum patriarki, negara, dan masyarakat53. Mereka menuntut demokratisasi dan kebebasan untuk berkiprah di ruang publik, dalam arti untuk mencapai kesederajatan dan kesetaraan harkat serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan. Berdasarkan asumsi seperti ini, maka perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya dapat merubah posisi dan hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang akan dillihat dari konflik antara dua kepentingan.54 Yang dikategorikan konflik ini antara lain, Feminism radikal55, yang sejarahnya muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60an, khususnya melawan kekerasan seksual dan pornografi (Brownmiller, 1976). Kaum feminis radikal menganggap penyebab penindasan terhadap kaum 53
Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 164 Mansour Fakih, Op. Cit, hal 84 55 Ibid, hal 84-86 54
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan oleh laki-laki, berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri dan ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan penindasan kelas dalam hubungan produksi.56 Menurut Marx, hubungan suami istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakatnya bisa diukur dari status perempuannya. Bagi penganut feminism marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat structural. Maka mereka tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya penyebab masalahnya.57 Bagi teori marxis klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dengan menghapuskan pekerjaan domestik9rumah tangga)58 Feminism sosialis, menurut Jaggar (1983), aliran ini melakukan sintesis antara metode historis materialis Marx dan Engels dengan gagasan personal is political dari kaum feminis radikal.59 Feminisme sosialis menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan revolusi, tetapi bukan model perempuan berdasarkan jenis kelamin (women as sex) seperti yang diproklamirkan feminisme radikal.60 Bagi feminis sosialis seperti Einstein, ketidakadilan bukan akibat dari
56
Ibid , hal 86 Ibid, hal 89 58 Ibid, 59 Ibid, 60 Ibid, hal 92 57
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbedaan biologis laki-laki dengan perempuan, tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social constructions) terhadap perbedaan itu.61 Feminisme Liberal,62 asumsi dasarnya berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminism liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak perempuan. Di Indonesia dikenal dengan tokoh Kartini sebagai awal perjuangan kaum feminis, padahal waktu itu belum muncul istilah feminisme. Pada saat itu (1817)63, Kartini
telah mempunyai pendapat yang sangat brillian. Kartini
berpendapat bahwa bila ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini membangun pola piker kemajuan dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sezamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan kesekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan laki-laki. Kartini mempermasalahkan mengapa posisi kaum perempuan masih tetap menjadi objek kaum laki-laki, misalnya poligami sebagai institusi yang diskriminatif dan membelenggu kaum perempuan. Akibatnya, perempuan Jawa, khususnya kalangan priyayi, tersubordinasi dan termarginalisasi. Sistem kekuasaan feodal aristrokratik telah menempatkan perempuan sebagai penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung didalam rumah. Dalam perkembangan 61
Ibid, Ibid, hal 81 63 Yoce Aliah Darma , Op Cit, hal 143 62
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sejarah budaya jawa, kedudukan perempuan selalu diusahakan berada dibawah laki-laki dan ruang geraknya dibatasi. Ideologi ini, diasosiasikan dan diinternalisasikan pada jiwa perempuan sejak dini. Dalam masyarakat patriarki, dominasi patriarki laki-laki meliputi berbagai aspek. Keadaan ini menunjukkan adanya paralelisme dan kesamaan di berbagai budaya suku bangsa di seluruh Indonesia.64 Terjadinya
perbedaan
status
antara
perempuan
dan
laki-laki
berdasarkan pada perbedaan dalam konteks biologis, tetapi perbedaan tersebut kemudian melebar pada perbeaan konteks sosial budaya. Sehingga muncul anggapan perempuan sebagai mahkluk lemah, emosional, tidak rasional, tidak mandiri. Dan sebaliknya laki-laki dianggap sebagai mahkluk kuat, rasional dan mandiri. Inilah yang disebut konsep gender. Namun tidak demikian, dalam NUJ, 1982, hal 6 mengungkapkan, ”Tidak ada alasan mengapa anak perempuan dan orang wanita harus secara umum dicirikan bersifat emosional, sentimentil, bergantung, rentan, pasif memikat, misterius, rendah, lemah, inferior, gila, lembut, kacau, sombong, intuitif,... Juga tidak ada alasan anak laki-laki dan laki-laki harus diasumsikan sebagai pihak dominan, kuat, agresif, bijak, bernafsu, yakin, berani, ambisius, tidak emosional, logis, mandiri kasar.”65 66
Kata-kata pembuka dalam buku historis Simone de Beauvoir, The
Second Sex, menangkap esensi karakteristik jender: ’seseorang tidak dilahirkan, tapi menjadi, seorang perempuan.’ Seorang perempuan bisa menjadi lebih ’feminin’ dan kurang atau lebih ’maskulin’. Sehingga seorang laki-laki bisa
64
Ibid, hal 186 David Graddol & Joan Swan, Op. cit, hal 185 66 Ibid, hal 11 65
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menampilkan karakteristik-karakteristik ’feminin’ sama halnya perempuan juga bisa menampilkan sifat ’maskulin’. Aquarini mengutip pendapat dari
Gayle Rubin yang memandang
bahwa seorang perempuan adalah tubuh ditambah konstruk sosial kultural yang diinfestasikan
kepada
tubuhnya.
Logika
pembedaan
seks/gender
dalam
masyarakat mengahasilkan konstruk yang mensituasikan bahwa perempuan adalah ‘perempuan secara biologis’ dan karena itu harus menjadi feminin, yang bermakna “perempuan secara sosial kultural’.67 Faktanya secara biologis perempuan memiliki organ yang berbeda dengan laki-laki. Kebanyakan perempuan mempunyai otot yang lebih sedikit daripada laki-laki., memiliki rahim, vagina dan payudara, tetapi fakta biologis tersebut telah memberikan makna tertentu dalam konteks sosial tertentu. Hal ini menyebabkan timbulnya pengalaman hidup yang berbeda diantara mereka yang bertubuh perempuan dan laki-laki. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Iris Marion Young, bahwa payudara dan penis tidak dihargai setara. Payudara juga menandai perempuan sebagai objek pandangan laki-laki.68 Hal ini bukan merupakan abstarksi valid, namun hingga saat ini abstraksi inilah yang berlaku di dalam masyarakat kita. Pendapat yang cukup ekstrim datang dari Kamla Bhasin dalam bukunya Menggugat Patriarki, media adalah alat yang sangat penting di tangan laki-laki kelas atas untuk menyebarluaskan ideologi gender dan kelas. Dari film dan tv sampai majalah, koran, radio, penggambaran perempuan sifatnya stereotipikal dan terdistorsi. Pesan-pesan mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas 67 68
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Op. cit, hal 52 Ibid, hal 59
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan diulang-ulang secara konstan; kekerasan terhadap perempuan sangat merajalela, khususnya dalam film. Bersama sektor-sektor lain-lain, perempuan sangat ditonjolkan secara profesional dan bias-bias dalam pemberitaan, liputan, iklan, dan pesan-pesan yang sangat seksis. Intinya adalah bahwa kaum laki-laki sangat diuntungkan dengan sistem patriarki ini, baik secara materi maupun fisik. Patriarki
merupakan
buatan
manusia
dan
proses-proses
sejarah
telah
menciptakannya.69 Istilah ‘gender’ pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari cirri-ciri fisik biologis.
70
Ann Oakley (1972), juga sangat berjasa dalam mengembangkan
istilah dan pengertian gender, dalam bukunya Sex, Gender, and Society menuturkan bahwa gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.71 Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin, (sex) adalah kodrat Tuhan maka secara permanen berbeda dengan pengertian gender. Gender merupakan behavioral difference (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara social, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial cultural yang panjang. Kantor
Menteri Negara pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia, mengartikan, gender adalah peran-peran sosial yang dikontruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki 69
Kamla Bhasin, Op. cit, hal 14
70
Dr. Riant Nugroho,Gender dan Strategi Pengarus-utamaanya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal 2 71 Ibid, hal 3
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan).72 Dalam Al-Quran yang dengan tegas memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling mengenal, kemuliaan manusia tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tetapi dari ketakwannya kepada Allah SWT (QS. Al Hujurat 49:3). Laki-laki dan perempuan sama-sama diibaratkan seperti pakaian. Keduanya harus saling melindungi dan menutupi kekurangannya (QS. Al Baqarah 2:187). Laki-laki dan perempuan yang beriman dan memiliki prestasi amal soleh, sama-sama akan mendapat jaminan surga (QS. An Nisaa 4:124). Allah SWT juga mengabulkan permohonan, menghargai prestasi kerja dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka (QS Ali Imran 3:195). Bahkan kaum laki-laki dan perempuan sama-sama disebutkan dan dipuji dengan sifat-sifat yang baik. Mereka dijanjikan memperoleh ampunan dan pahala yang besar (QS. Al Ahzab 33:35). Dalam kondisi saat ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan gender (gender differences) dimana kaum perempuan itu tidak rasional, emosional, lemah, lembut, sedangkan laki-laki memiliki sifat rasional, kuat dan perkasa. Gender differences sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbulkan gender inqualities (ketidak adilan gender). Manifestasi perbedaan gender yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, yaitu, sebagai berikut:73
72 73
Ibid, hal 4 Ibid, hal 9-16
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Marginalsasi, keadaan dimana perempuan mengalami pemiskinan ekonomi yang dikarenakan adanya program pembangunan pemerntah yang tidak berkeadilan gender. Hal ini dapat terjadi karena adanya bias gender dalam masyarakat yang menyebabkan kaum perempuan semakin tersingkir dari dunia pekerjan yang selama ini masih banyak ditemui di daerah pedesaan, dimana kekuasaan laki-laki masih sangat besar. .74 Salah satu sumber dari ketidakadilan gender tersebut adalah keyakinan atau tafsiran keagamaan.75 b. Subordinasi, timbul akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang dimaksud. c. Stereotipe, dalam masyarakat terdapat stereotipe yang dilekatkan pada perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. Masyarakat beranggapan bahwa trugas utama perempuan adalah melayani suami, sehingga mengakibatkan pendidikan dikaum perempuan dinomor duakan serta gaji perempuan lebih kecil dibandingkan laki-laki, karena adanya keyakinan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah dan setiap pekerjaan yang dilakuikan perempuan hanya dinilai sebagai tambahan, sehingga perempuan boleh digaji lebih rendah. Hal ini ada dalam masyarakat dan berakibat menomorduakan kaum perempuan. Hal ini dapat terjadi dimana-mana. 74 75
Ibid, hal 9-11 Mansour Fakih, Op. Cit, hal 61
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dahulu dalam masyarakat banyak anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat terjadi diskriminasi terhadap pendidikan kaum perempuan, dan pendidikan kaum perempuan ini di nomo duakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak aturan pemerintah, aturan keagamaan,
kebudayaan, dan kebiasaan
masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini. Persoalnnya seringkali stereotipe ini sering kali dilandaskan pada suatu keyakinan dan tafsiran keagamaan, sehingga tidak saja memberikan legitimasi keagamaan, bahkan menjadi faktor pendorong diskriminasi. Untuk itu usaha penghapusan stereotipe perempuan yang bersumber dari tafsiran keagamaan ini perlu didekonstruksi, dengan melakukan pentafsiran ulang ajaran dasar Islam, terutama yang berkenaan dengan asumsi dan wacana keislaman mengenai kaum perempuan. 76 d.
Violence (kekerasan) adalah serangan terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Adanya stereotipe gender yang menganggap perempuan itu lemah, sehingga mendorong laki-laki untuk bertindak seenaknya pada perempuan. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk lebih halus seperti pelecehan (sexual harasement) dan penciptaan ketergantungan. e.
Beban Kerja peran gender perempuan adalah memngelola rumah tangga,
sehingga banyak perempuan menanggung beban kerja domestik yang lebih banyak dan lebih lama. Peran gender tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya 76
Ibid, hal 58-59
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa perempuan harus bertanggung jawab atas terlaksanyanya keseluruhan kerja domestic, sehingga akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas domestic tersebut. Beban kerja terjadi dua kali lipat bagi perempuan yang juga bekerja di luar rumah. Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin yang melahirkan dua teori besar, yaitu teori nature dan nurture. Teori nature menganggap bahwa perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki bersifat kodrati (nature). Sedangkan teori nurture beranggapan perbedaan relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak ditentuka oleh faktor biologis melainkan oleh faktor konstruksi masyarakat. Nilai-nilai bias gender yang banyak terjadi dalam masyarakat yang dianggap disebabklan oleh faktor biologis sesungguhnya tidak lain adalah konstruksi budaya.77 Secara umum para feminis menginginkan kesetaraan gender yang sama rata antara laki-laki dan perempuan dari segala aspek kehidupan, baik dilingkungan keluarga maupun di masyarakat. Hal ini semakin menguatkan bahwa perempuan harus terus berjuang untuk bisa lepas dari patriarki dan kapitalisme yang menggunakan ke’perempuan’nya.
77
Ibid, hal 22
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Kerangka Pemikiran
Film “Perempuan Berkalung Sorban”
Perlawanan Perempuan terhadap patriarki
Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Liberal Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Radikal
Analisis Wacana
Perlawanan terhadap patriarki Berdasarkan Feminisme Sosialis (Marxis)
G. Metodologi Penelitian Metode penelitian dipergunakan peneliti guna memberikan kerangka kerja dalam memahami objek yang akan menjadi sasaran ilmu pengetahuan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan ditunjukkan untuk melihat pesan yang dibawa oleh film terkait dengan wacana patriarki. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode analisis wacana. Jenis penelitian kualitatif tidak dibatasi pada kategori-kategori tertentu saja
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehingga memungkinkan peneliti untuk menangkap informasi kualitatif secara mendalam dan detail (fokus pada kedalaman dan proses). Menurut Pawito, penelitian komunikasi kualitatif, biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.78 Data dalam penelitian ini terutama adalah data kualitatif, yaitu data yang kurang bersifat kuantum (bilangan) melainkan lebih bersifat kategori substantif yang kemudian diinterpretasikan dengan rujukan, acuan atau referensi secara ilmiah. Hal tersebut dilakukan sebab tujuan penelitan kualitatif adalah berupaya memahami situasi tertentu.79 2. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi yang menjadi obyek adalah adeganadegan Film “Perempuan Berkalung Sorban” yang menggambarkan wacana perempuan dalam melawan patriarki. Film ini diproduksi oleh Starvision dan digarap oleh sutradara Hanung Bramantyo. Kisahnya diangkat dari Novel karya Abidah Al Khalieqy yang menuturkan perjuangan dan pengorbanan seorang muslimah. Film ini ber-genre drama. Adegan (scene) adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang
78 79
Pawito Ph.D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta:LKiS, 2007), hal 35 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakaya, 2002)
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan.80 3. Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder: a. Sumber data primer Sumber data primer dipilih dari cuplikan-cuplikan gambar (scences) beserta
naskahnya
dalam
film
“Perempuan
Berkalung
Sorban”
yang
menggambarkan perempuan dalam melawan patriarki. Dalam penelitian ini cuplikan data yang diambil lebih bersifat selektif. Peneliti mendasarkan pada konsep teoritis yang digunakan. Maka metode yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu memilih sumber data yang dianggap dapat memberikan informasi dan masalah secara mendalam. b. Sumber data sekunder Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data sekunder yang berasal dari buku-buku referensi, artikel, situs internet, dan juga jurnal. 4. Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasar konsep teoritis yang digunakan. Sebagaimana diungkapkan Pawito81, teknik penentuan subjek penelitian komunikasi kualitatif berbeda dengan kuantitatif, dimana kualitatif lebih mendasarkan diri pada alasan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu 80 81
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), hal 29 Pawito, Op cit, hal 88
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(purposeful selection) sesuai dengan tujuan penelitian. Oleh karena itu, sifat metode penarikan subjek dari penelitian kualitatif adalah purposive sampling. Hal yang lebih dibutuhkan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah keterwakilan substansi dari data atau informasi. Sampel yang digunakan adalah adegan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” yang menampilkan perempuan dalam melawan patriarki yang dominan. Kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis wacana Van Dijk. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan scene yang secara dominan menampilkan perempuan dalam melawan patriarki pada film “Perempuan Berkalung Sorban”. Setelah itu dianalisis dengan menggunakan analisis wacana Van Dijk dengan memperhatikan aspek sinematografisnya (audio dan visual), diklasifikasikan dengan tema tertentu kemudian dikaitkan dengan konteks sosial yang berkembang dalam masyarakat. Peneliti juga melakukan studi literatur, dengan menggunakan berbagai sumber bahan untuk mengetahui persoalan lebih dalam mengenai film yang akan dianalisis. 6. Teknik Analisis Data Penelitian ini
menggunakan
metode analisis wacana sebagai
pendekatan analisis. Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa analisis wacana (discourse analysis) adalah suatu cara
atau metode untuk mengkaji wacana
(discourse) yang terdapat atau terkandung di dalam pesan-pesan komunikasi baik
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara tekstual maupun kontekstual.82 Analisis wacana memungkinkan kita melihat bagaimana pesan-pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami. Dalam bukunya The Study of Discourse, Van Dijk mengemukakan, “In the same way as the study of discourse spread in most of the humanities and social sciences, also the more critical approaches to language, discourse and interaction can now be found in many disciplines. The awareness has grown that with the increasingly powerful methods of the explicit and systematic description of talk and text, and the more sophisticated theories of cognition and interaction in their social and institutional contexts, discourse and conversation analysts are well prepared to tackle more complex and socially relevant issues”.Da(dalam cara yang sama seperti studi tentang wacana tersebar di sebagian besar humaniora dan ilmu sosial, juga pendekatan yang lebih kritis dengan bahasa, wacana dan interaksi kini dapat ditemukan dalam banyak disiplin ilmu. Kesadaran telah berkembang bahwa dengan metode yang semakin kuat dari deskripsi eksplisit dan sistematis bicara dan teks, dan semakin canggih teori kognisi dan interaksi dalam konteks sosial dan kelembagaan, wacana dan percakapan analis sudah dipersiapkan dengan baik untuk menangani lebih rumit dan sosial isu-isu yang relevan)83 Wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan koheren, yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana yang paling besar.84
Dalam bukunya Discourse Analysis, Barbara
Johnstone mengungkapkan, “Discourses are ideas as well as ways of talking that influence and are influenced by the ideas”. (Wacana adalah gagasan serta caracara berbicara yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh ide-ide.).85 Yoce Aliah Darma mengutip Alex Sobur yang mengungkapkan bahwa, wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal 82
Pawito, Op cit, hal 170 Teun A.van Dijk (Ed.), Discourse Studies. 5 vols. Sage Benchmarks in Discourse Studies. (London: Sage, 2007), pp xix-xli, hal 9 84 Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 3 85 Barbara Johnstone, Discourse Analysis, (UK:Blacwell Publising, 2002), hal 3 83
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun non segmental bahasa86. Jadi wacana adalah proses komunikasi menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa didalam system kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana, pesan-pesan komunikasi seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar dan lain-lain, tidak bersifat netral atau steril. Ekstensinya ditentukan oleh orang yang menggunakannya, konteks, peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatar belakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain. Meskipun pendefinisian mengenai wacana (discourse) kenyataanyya memang berbeda-beda sesuai dengan perspektif teori yang digunakan, pada umumnya disepakati bahwa wacana sebenarnya adalah proses sosio kultural sekaligus juga proses linguistik.87 Analisis wacana memungkinkan diupayakannya jembatan yang menghubungkan analisis mengenai bahasa yang bersifat mikro disatu sisi dengan analisis dinamika sosiokultural yang bersifat makro disisi lain. Tokoh yang memberikan sumbangan besar pada analisis wacana salah satunya adalah John Powers. Bagi Powers pesan merupakan hal yang bersifat sentral dalam komunikasi. Dalam kaitan ini, pesan memiliki tiga unsure pokok yang bersifa structural, yaitu: lambing atau symbol, bahasa dan wacana. Tokoh lain yang layak disebut juga adalah Scott Jacobs. Tokoh ini menyebutkan ada tiga
86 87
Yoce Aliah Darma, Log Cit, hal 3 Pawito, Op Cit, hal 171
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jenis persoalan yang dapat dilacak dengan analisis wacana, yaitu: masalah makna, masalah tindakan, dan masalah koherensi.88 Berdasarkan pengertian wacana, kita dapat mengidentifikasikan ciriciri dan sifat sebuah wacana, antara lain: 1) Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan atau tulisan atau rangkaian tindak tutur. 2) Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek). 3) Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, dan lengkap dengan semua situasi pendukungnya. 4) Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu. 5) Dibentuk oleh unsure segmental dan non segmental. 89 Dalam kenyataannya wujud dari bentuk wacana itu dapat dilihat dalam beragam buah karya sipembuat wacana, yaitu: Text (wacana dalam bentuk tulisan/grafis) antara lain dalam wujud berita, features, artikel, opini, cerpen, novel, dan sebagainya. Talk (wacana dalam wujud ucapan) antara lain dalam wujud rekaman wawancara, obrolan, pidato, dsb. Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain dalam wujud lakon drama, tarian, film, defile, demonstrasi, dan sebagainya. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud bangunan, lanskap, fashion, puing, dan sebagainya.90 Yoce Aliah Darma, menyitir pernyataan Fatimah (1994), konteks wacana dibentuk dari berbagai unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, amanat, kode, dan saluran. Unsur-unsur itu berhubungan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Hymes (1964), latar (setting),
88
Ibid, hal 176-177 Yoce Aliah Darma,Op Cit hal 3-4 90 Ibid, hal 4 89
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peserta (participant), hasil (ends), amanat (message), cara (key), sarana (instrument), norma (norms), jenis (genre).91 Berdasarkan analisisnya, ciri dan sifat wacana menurut Syamsudin (1992:6) dapat diungkapkan sebagai berikut,92 1) analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa didalam masyarakat (rule of use-menurut Widdowson, 1978). 2) analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth, 1957). 3) Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantic (Beller) 4) analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from wha is done, Labov, 1970). 5) Analisis wacana di arahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language, Coulthard, 1977). Analisis wacana merupakan wawasan yang berfungsi sebagai bentuk pengetahuan dalam konteks spesifik yang menghasilkan interpretasi dengan berfokus pada efek kekuasaan dan dapat digeneralisasikan dalam konteks yang lain.93 Dasar teoritis untuk analisis wacana didasarkan pada beberapa perkembangan sejarah, filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu sosial. Van Dijk mengungkapkan, “The description of structures and strategies at all levels earlier mentioned should take place in terms of explicit theories, and analyses of specific discourse types should be systematic and relevant, and not merely a personallysubjective interpretation, paraphrase or comment on text or talk, as is still often the case in many studies that purport to do ‘discourse analysis’”.( Gambaran struktur dan strategi pada semua tingkatan yang disebutkan sebelumnya harus dilakukan dalam hal eksplisit teori-teori, dan analisis jenis wacana tertentu harus 91
Ibid, hal 4-6 Ibid, hal 15-16 93 Ibid, hal 157 92
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sistematis dan relevan, dan tidak hanya pribadi-penafsiran subjektif, parafrase atau mengomentari teks atau berbicara, seperti masih sering terjadi di banyak penelitian yang mengaku melakukan 'analisis wacana')94
Analisis
wacana
berpretensi
memfokuskan
pada
pesan
yang
tersembunyi, karena banyak sekali teks komunikasi yang disampaikan secara implisit. Makna suatu pesan tidak hanya ditafsirkan apa yang tampak nyata dalam teks, melainkan harus dianalisis dari makna yang tersembunyi. Pretensi analisis wacana adalah pada muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam suatu teks, maka didalam analisis wacana unsur yang terpenting adalah penafsiran (interpretasi). Tanda dan elemen yang terdapat dalam suatu teks dapat diartikan secara mendalam oleh penulis. Disamping itu analisis wacana menyelidiki ‘bagaimana yang ia katakan’ (how), dan tidak berpretensi melakukan generalisasi.95 Ada tiga96 pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Menurut mereka analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Wacana diukur dari pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara gramatikal). Pandangan kedua disebut konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Oleh karena 94
Teun A.van Dijk (Ed.) Op. Cit, Hal, 11 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, 2006, hal 337-340 96 Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 17-18 95
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kekuasaan yang ada, batasanbatasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dalam jurnal komunikasi yang ditulis oleh Teun Van Dijk, ia memgungkapkan, “In each of these disciplines, an interest in texts seemed to mark a paradigm shift with respect to earlier studies of the structures and functions of language. Besides a focus on the "system" of language, explicitly accounted for within structural and generative-transformation- al grammars, a new emphasis was placed on the analysis of language use (e.g., within cognitive and sociocultural contexts), on language use as social action (e.g., within the study of so-called speech acts), and on the analysis of "natural" data (e.g., everyday conversations)”. (Dalam masing-masing disiplin ilmu, suatu kepentingan dalam teks-teks tampaknya menandai perubahan paradigma terhadap penelitian sebelumnya mengenai struktur dan fungsi bahasa. Selain fokus pada "sistem" bahasa, yang secara eksplisit dihitung untuk struktural dan generatif-transformasi tata bahasa, baru penekanannya adalah pada analisis pemakaian bahasa (misalnya, dalam konteks kognitif dan sosio-budaya), pada penggunaan bahasa sebagai aksi sosial (misalnya, dalam kajian yang disebut tindak wicara, dan pada analisis "alami" data (misalnya, percakapan sehari-hari).97 Berdasarkan sebuah penelitian, (Hamad, 2004), proses konstruksi realitas oleh pelaku pembuat wacana, misalnya dalam media massa dimulai dengan adanya realitas pertama berupa keadaan, benda, pikiran, orang, peristiwa, dan sebagainya. Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai strategi tertentu. Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal, strategi konstruksi ini mencaakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf, pilihan fakta yang akan dimasukkan atau dikeluarkan dari wacana popular disebut strategi framing, dan pilihan teknik menampilkan wacana didepan public disebut strategi priming. Selanjutnya, hasil dari proses ini adalah wacana (discourse) atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan (text), ucapan (talk), tindakan (act), atau 97
Teun A Van Dijk, “Discourse Analysis: Its Development and Application to the Structure of News”, Journal of Communication, Volume 33:2, tahun 1983, hal 21
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peninggalan (artifact). Oleh karena
itu wacana yang terbentuk ini telah
dipengaruhi oleh berbagai factor, kita dapat mengatakan bahwa dibalik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. Dimensi teks menurut Van Dijk terdapat tiga unsur, yang dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan 1 Dimensi Teks Van Dijk Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang diamati dari suatu topik/tema yang diangkat oleh suatu teks. Superstruktur Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan. Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. Dimensi teks menurut Van Dijk98 terdiri dari 3 struktur, yaitu: 1. Struktur Makro, yaitu merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat dari suatu teks, bersifat tematik (tema/topik yang dikedepankan dalam suatu teks) dan sintaksis (bagaimana kalimat yang dipilih).
98
Eriyanto, Op cit, hal 225-229
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Superstruktur, merupakan kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan bersifat skematik (bagaimana bagian dan urutan teks diskemakan dalam suatu teks secara utuh), dan stilistik (bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam suatu teks). 3. Struktur Mikro, adalah makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks, bersifat semantik (makna yang ingin ditekankan dalam suatu teks), dan retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan). We need to know how local (micro) situations may thus combine with more global (meso and macro) levels of context interpretation and influence, for instance how daily practices of members of institutions are controlled both by specific interaction types (e.g., interviews or meetings) as well as more global (knowledge about the) structure of institutions or organizations. (Kita perlu tahu bagaimana lokal (mikro) situasi demikian dapat menggabungkan dengan lebih global (meso dan makro) tingkat penafsiran konteks dan pengaruh, misalnya bagaimana praktek sehari-hari anggota lembaga-lembaga yang dikontrol baik oleh jenis interaksi tertentu (misalnya, wawancara atau pertemuan ) dan juga lebih global (pengetahuan tentang) struktur lembaga atau organisasi).99 Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu oleh Van Dijk bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik berkomunikasi, yaitu suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penantang. Dalam penerapan analisis film dengan menggunakan analisis model Van Dijk, penulis menerapkan 3 unsur diatas (struktur makro, superstruktur dan struktur mikro) dalam menganalisis adegan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”. Komponen-komponen dalam film lebih kompleks daripada teks tertulis, sehingga penerapan analisis model Van Dijk penulis terapkan dengan 99
Teun A.van Dijk (Ed.), Op. Cit, hal 11
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggunakan ketiga unsur diatas dengan tidak meninggalkan aspek-aspek mikro dalam film, misalnya aspek sinematografis. Penerapan analisis wacana Van Dijk penulis terapkan dalam analisis film yaitu: Dalam tahap pertama analisis adegan film dimulai dengan menentukan fakta-fakta cerita yang muncul dalam adegan film, inilah nantinya menjadi kerangka adegan. Kemudian setelah ditemukan kerangka atau sub tema dari adegan, dapat disimpulkan tema global dari adegan tersebut yang menjadi struktur makronya. Struktur mikro merupakan penjelasan secara rinci dari kerangka adegan dan tema global. Selanjutnya penulis menarik kesimpulan dari penjelasan dari adegan-adegan tersebut. . Dalam analisis wacana teks Van Dijk topik suatu teks memang baru bisa disimpulkan, seperti halnya kalau ketika kita membaca buku, mendengar cerita, atau menonton film. Kita dapat mengetahui topik sebuah teks ketika kita selesai membaca tuntas teks (berita, buku, film, dan lain-lain) tersebut.100 Melihat tuntas film “Perempuan Berkalung Sorban” dengan memperhatikan dialog, visual film, serta para tokoh yang ditampilkan di film sehingga peneliti dapat menyimpulkan topik utama dalam film. Topik utama dalam film ini adalah perlawanan perempuan terhadap patriarki. Topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang saling mendukung terbentuknya topik utama. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga dengan subbagian yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan 100
Ibid, hal229
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
utuh. Untuk mendukung topik utama dari film “Perempuan Berkalung Sorban” tersebut maka peneliti membagi menjadi beberapa sub topik yang dapat menggambarkan topik utama yang koheren dan utuh. Sub topik dalam penelitian ini mendasarkan pada tiga konsep dasar feminisme yaitu: 1. Perlawanan terhadap patriarki berdasarkan Feminisme Liberal. Feminisme Liberal,101 asumsi dasarnya berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. 2. Perlawanan terhadap patriarki berdasarkan Feminisme Radikal. Feminisme Radikal, kaum feminis radikal menganggap penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri dan ideologi patriarkinya.102 3. Perlawanan terhadap patriarki berdasarkan Feminisme Sosialis (Marxis). Feminisme Sosialis (Marxis), penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Maka mereka tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya penyebab masalahnya.103 Pada dasarnya analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap
data,
menafsirkan
(interpreting),
atau
mentransformasikan
(transforming) data ke dalam bentuk-bentuk narasi yang kemudian mengarahpada temuan yang bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah (thesis), yang akhrnya 101
Mansour Fakih, Op. Cit, hal 81 Ibid, 84-86 103 Ibid, 102
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sampai pada kesimpulan-kesimpulan final.104 Analisis wacana Van Dijk dalam penelitian ini mengalami penyesuaian terhadap obyek film. Maka sebagai suatu kegiatan rekontruksi yang menyeluruh, langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Melakukan pengamatan terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban, beserta script naskahnya. b. Memilih scene yang mewakili wacana-wacana yang hendak diangkat dalam film ini c. Menentukan beberapa pokok bahasan kemudian mengelompokkan data-data sesuai dengan perangkat/elemen analisis wacana serta tetap mengacu pada pokok bahasan yang telah ditentukan. d. Menganalisa makna yang dikemas dalam masing-masing kelompok berdasarkan tema yang sesuai, baik wacana yang mengandung signifikasi terhadap perempuan maupun yang tidak mengandung signifikasi sama sekali. Selanjutnya akan dilihat pula bagaimana keterkaitan antara wacana yang satu dengan wacana yang lain dalam film ini.
7. Validitas Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Persoalan penting lainnya dalam hal pengumpulan data dalam konteks komunikasi kualitatif 104
Ibid, hal 101
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah trianggulasi, yakni bukan terletak pada upaya menguji data mana yang lebih benar diantara data yang diperoleh, ketika data yang didapat ternyata berbeda atau bahkan bertolak belakang satu dengan lainnya.105 Teknik trianggulasi sendiri meliputi trianggulasi data/sumber, trianggulasi metode, trianggulasi teori dan trianggulasi peneliti.106 Guna menjamin validitas data yang dikumpulkan maka peneliti menggunakan teknik trianggulasi sumber. Jenis trianggulasi ini mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data, ia menggunakan berbagai sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis akan lebih mantab kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Peneliti juga menggunakan trianggulasi teori menunjuk pada penggunaan perspektif teori yang bervariasi dalam menginterpretasi data yang sama. Dalam penelitian ini, setelah ini peneliti mengambil scene yang menunjukkan tanda-tanda yang menggambarkan perempuan dalam melawan patriarki, kemudian dicek ulang dalam buku-buku dan artikel. Jika memang benar mantap kebenarannya, peneliti menggunakan scene yang telah terpilih sebagai data.
105 106
Pawito, Op cit, hal 97 Ibid, hal 99
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II DESKRIPSI FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
A. Film Perempuan Berkalung Sorban Hanung Bramantyo kembali mengadopsi sebuah novel untuk diangkat ke layar lebar. Kali ini dari novel karya penulis perempuan Abidah Al Khalieqy, perempuan berkelahiran di Jombang, 1 Maret 1965. Sebuah kisah tentang usaha seorang perempuan, anak kyai salafiah, yang mencoba mendobrak sistem yang tak berpihak kepada dirinya, juga entitasnya sebagai seorang perempuan. Skenarionya ditulis oleh Ginatri S. Noer dan Hanung Bramantyo. Film ini diproduksi tahun 2008 mulai tayang mulai tanggal 15 Januari 2009 dengan Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya. Film “Perempuan Berkalung Sorban” digarap dibawah bendera produksi Starvision mampu menyedot animo masyarakat yang begitu besar, bahkan menimbulkan kontroversi. Lewat kisah “Perempuan Berkalung Sorban”, Hanung sepertinya ingin mencoba menawarkan sebuah wacana baru dalam karya filmnya. Sebelum Hanung, film sejenis juga pernah diusung sejumlah sutradara perempuan lewat film “Perempuan Punya Cerita”. Napas yang dihadirkan lewat ceritanya memang hampir sama, yakni gambaran tentang perempuan yang tertindas lantaran sebuah sistem yang diciptakan. Namun, kali ini Hanung menghadirkannya dalam suasana kehidupan di sebuah pesantren Salafiah.
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hanung paham betul, bahwa apa yang dihadirkan lewat karyanya tersebut bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda. Karenanya, ia mewanti-wanti agar penonton melepaskannya dari wacana keislaman. "Mari kita bicara manusia tentang manusia. Tentang manusia yang diunggulkan dan manusia yang tak diunggulkan. Ini (film), lebih membicarakan tentang keluarga. Hubungan anak dengan bapak, anak dengan ibu, atau hubungan anak dengan keluarga," 107 Tapi bagaimana pun, toh, film adalah sebuah potret zaman. Keterkaitan cerita yang diusung Abidah Al Khalieqy lewat novelnya, dan dituangkan secara bahasa gambar oleh Hanung, mewakili kondisi sosial yang ada sekarang ini. Agama kerap dijadikan senjata untuk memuluskan kepentingan kelompok atau pribadi. Tengok saja, jauh lebih luas, banyak kelompok yang menjual ayat-ayat demi kepentingan politik, kaum yang kuat menekan yang lemah. Suami menekan istri, atau orang tua memaksakan kehendaknya terhadap anaknya. "Mari kita bicara proposional. Mari kita menghargai perbedaan," kata Hanung.108 Secara cerita, “Perempuan Berkalung Sorban”, tentu saja memiliki alur cerita yang kuat. Kisah hidup Anissa yang suram dan perjuangannya menemukan jati dirinya sebagai perempuan terekam jelas. Ia berjuang meraih kebebasan berpikir untuk kaumnya di pesantren. Mengajak mereka menjelajah pemikiranpemikiran besar para penulis besar lewat buku yang ditulisnya. Ia tangguh, tapi juga rapuh. Aroma luka dan getir itu kian terasa disuguhkan lewat ilustrasi musik Tya Subiakto dan alunan lagu Batasku, Asaku yang melodinya diciptakan sekaligus dinyanyikan penyanyi asal Malaysia, Siti Nurhaliza.
107
Eko Hendrawan Sofyan, “Perlawanan dalam Getir dan Sunyi”, http://entertainment.kompas.com/read/2009/01/15/e095351/perlawanan.dalam.getir.dan.sunyi... 108 Ibid,
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di film tersebut, penampilan menawan diperlihatkan Revalina S. Temat dan Reza Rahadian. Keduanya tampil dengan permainan terbaiknya. Sebagai pemain baru, Reza berhasil menghadirkan karakter Samsudin, suami Anissa, yang memuakkan. Ia jumawa tatkala menunjukkan egonya sebagai suami. Tapi merengek-rengek bak anak ingusan, ketika diancam ditinggalkan Anissa. Dan, tentu saja, acungan jempol layak diberikan kepada aktris senior Widyawati. Istri mendiang aktor Sophan Sophian berhasil menghadirkan sosok perempuan yang tegar dan kharismatik, meski dalam suasana batin yang tertekan.
Sutradara
: Hanung Bramantyo
Penulis Naskah
: Hanung Bramantyo dan Ginatri S. Noer
Produser
: Hanung Bramantyo
Rumah produksi
: Starvision
Durasi
: 120 menit
Genre
: Drama
Tahun produksi
: 2008
Tayang Mulai
: 15 Januari 2009
Pemain
: Revalina S Temat Oka Antara Widyawati Joshua Pandelaki Ida Leman Reza Rahardian
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
Pemeran Pembantu
digilib.uns.ac.id
: Pangki Suwito, Risty Tagor, Berliana Febrianti, Leroy Osmani, Cici Tegal, Tika Putri
B. Sinopsis Film Perempuan Berkalung Sorban109 Ini adalah sebuah kisah pengorbanan seorang perempuan, Seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri. Annisa (23th), seorang perempuan dengan pendirian kuat. Cantik dan cerdas. Annisa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda Jombang, Jawa Timur. Pesantren Salafiah putri Al Huda adalah pesantren kolot dan kaku. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Quran, Hadist dan Sunnah. Ilmu lain yang diperoleh dari buku-buku apalagi buku modern dianggap menyimpang. Karena itu para santri, termasuk Annisa, dilarang membaca buku-buku tersebut. Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim. Seorang muslimah yang baik menurut Islam adalah, tidak diperbolehkan membantah suami; Haram meminta cerai suami; selalu ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan suami, termasuk jika suami berkehendak melakukan poligami; Tidak boleh berkata lebih keras dari suaminya, sekalipun dalam menyatakan ketidaksetujuan; Tidak boleh mengulur-ulur waktu bahkan menolak ketika suami mengajak berjimak; Ikhlas menerima pembagian waris sekalipun hanya ¼ bagian. (lebih kecil daripada bagian laki-laki).
109
Hanung Bramantyo dan Ginatri S Noer, “Sinopsis Perempuan Berkalung Sorban”, http://www.facebook.com/pages/PEREMPUAN-BERKALUNGSORBAN/34484707706#!/pages/PEREMPUAN-BERKALUNGSORBAN/34484707706?v=info/12/1/2010/10.30
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pelajaran itu membuat Annisa beranggapan bahwa Islam sangat membela laki-laki. Islam meletakkan perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Sejak kecil Annisa selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari Kyai. Dua orang kakaknya boleh belajar berkuda, sementara Annisa tidak boleh hanya karena dirinya perempuan. ‘Bagaimana dengan Hindun Binti Athaba?’ Tanya Annisa kepada ayahnya. ‘Beliau perempuan, seorang panglima. Lalu Fatima Azahra, putri Rosul, malah memimpin perang.’ Tapi protes Annisa selalu dianggap rengekan anak kecil. Annisa juga sering memprotes, ketika Ustadz Ali mengajarkan kitab Akhlaqul Nisaa, Bulughul Maram dan Bidayatul Mujtahid, yang membahas hak dan kewajiban perempuan dihadapan suami yang dirasa tidak adil bagi Annisa. ‘Apa hukuman buat suami yang minta cerai,. Padahal sang isteri kekeuh mempertahankan rumah tangga?’ Tanya Annisa kepada Ustadz Ali. ‘Lalu bagaimana jika suami yang mengulur-ulur waktu atau menolak ketika sang isteri mengajak berjimak? Apa hukuman buat suami?’ Lagi-lagi protes Annisa hanya dianggap sambil lalu. Annisa selalu merasa dirinya berada dalam situasi yang salah. Hanya Khudori, paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Annisa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Annisa. Khudori selalu menjadi tambatan, curahan perasaan Annisa ketika dirinya diperlakukan tidak adil oleh keluarganya. Diam-diam Annisa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan, sekalipun bukan sedarah. Khudori juga menyadari selisih umur yang terpaut jauh
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan Annisa. Hal itu membuat Khudori selalu membunuh cintanya demi menjaga stabilitas pesantren. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo. Khudori selalu menekankan ke Annisa untuk belajar. Kalau perlu sampai ke luar negeri. Khudori yang membawa pemikiran Annisa kearah keterbukaan wawasan, hingga secara diam-diam Annisa mencoba mendaftarkan kuliah ke jogja dan diterima. Tapi kenyataan berkata lain. Kyai Hanan tidak mengijinkan Annisa melanjutkan kuliah ke Jogja, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh orang tua. Annisa merengek dan protes dengan alasan ayahnya. Akhirnya Annisa malah dinikahkan dengan Samsudin, seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jombang. Pernikahan itu dimaksudnya juga sebagai pernikahan dua pesantren Salafiah yang mana nantinya akan menjadi pesantren besar di kota Jombang seperti Tebu Ireng. Sekalipun hati Annisa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga demi kelangsungan keluarga dan pesantren Al Huda. Dalam mengarungi rumah tangga bersama Samsudin. Annisa selalu menadapatkan perlakuan kasar dari samsudin. Samsudin adalah tipe seorang lakilaki pengidap kelainan psikologis. Seorang lelaki possesif, kasar. Tapi ketika Annisa berniat meninggalkannya, Samsudin akan berubah menjadi lelaki rapuh yang merengek-rengek sambil bersujud meminta ampun kepada Annisa. Biduk keluarga Annisa berlangsung bagai neraka. Tubuh Annisa yang semula segar bercahaya, menjadi suram. Apalagi dalam 2 tahun pernikahan, Annisa tidak
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikaruniai anak. Keluarga Samsudin semakin memandang buruk Annisa dan Samsudin. Sampai kemudian Annisa harus menhadapi kenyataan Samsudin menikah lagi perempuan bernama Kalsum. Seorang perempuan lebih tua, cantik dan bisa mempunyai anak. Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Annisa seketika runtuh. Annisa berada dalam pusaran gelombang panas yang tidak memiliki harapan untuk keluar. Dalam keputusasaan itu, Khudori pulang dari Kairo. Annisa seperti mendapatkan harapan. Tapi Khudori bukan seorang anak Kyai seperti Samsudin. Apalah arti seorang Khudori bagi keselamatan Annisa. Tapi Annisa tidak peduli. Dia tumpahkan keluh kesah ke Khudori. Annisa meminta Khudori membawanya pergi. Annisa rela dianggap anak durhaka asal dirinya bisa keluar dari kemelut keluarganya. Tapi Khudori bukan lelaki gegabah. Khudori mencoba meredam ‘bara’ Annisa. Dalam kegusarannya itu, Khudori memeluk Annisa. Sebuah pelukan hangat seorang paman kepada keponakannya yang sedang resah. Tapi tiba-tiba, Samsudin datang dan memergoki kedunya. Samsudin berteriak ‘Zinah! Rajam! Rajam!’ yang kemudian membawa Annisa dan Khudori kedalam kemelut fitnah. Annisa tidak bisa berbuat apa-apa karena orang-orang sudah terlanjur terbakar emosi fitnah. Kejadian itu membuat Kyai Hanan malu dan sakit hingga kemudian meninggal. Khudori diusir dari kalangan keluarga pesantren Al Huda, sementara Annisa pergi ke jogja untuk melanjutkan niatnya sekolah. Pesantren Al Huda diserahkan kepada Reza, kakak Annisa untuk dikelola. Akibat peristiwa itu, hubungan keluarga Samsudin dan Annisa menjadi buruk. Tapi Reza mencoba memperbaiki hubungan silaturahmi dengan keluarga Samsudin demi kepentingan
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pesantren. Hal itu membuat hubungan Reza dan Annisa renggang. Dimata Reza, Annisa seorang perusak stabilitas keluarga. Perilaku Annisa bukan cerminan anak kyai yang baik. Sementara itu Annisa berkembang sebagai muslimah dengan wawasan dan pergaulan yang luas. Lewat studinya sebagai penulis, Annisa banyak menyerap ilmu tentang filsafat modern dan pandangan orang barat terhadap Islam. Banyak buku sudah dihasilkan dari Annisa yang memotret hak perempuan dalam Islam. Dalam kiprahnya itu, Annisa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai. Namun Annisa masih dalam trauma pernikahan. Tapi Khudori adalah lelaki dewasa yang bisa mengerti kondisi Annisa. Akhirnya keduanya menikah meski sebetulnya pernikahan itu membuat hubungan Annisa dan keluarganya semakin jauh. Oleh Khudori Annisa disarankan untuk pulang. Annisa tidak mau karena dirinya sudah merasa diusir dari rumah itu. ‘Sebenarnya tidak ada yang mengusir kamu. Kamu yang selalu merasa terusir oleh kami.’ Begitu Ibunya selalu bilang kepada Annisa. Bagi Annisa Ibu adalah figur yang lemah. Tidak berdaya dihadapan ayahnya. Ibu bukan seorang yang bisa dijadikan teladan bagi Annisa. Tapi kemudian Annisa sadar bahwa untuk menciptakan lingkungan nyaman, seseorangan harus mengubah dirinya menjadi nyaman. Dan itu yang dilakukan oleh Ibu, yang biasa dipanggil Nyai. Rasa diam ibu, yang dianggap Annisa sikap lemah dan tak berdaya, sebenarnya adalah sikap toleran dan pengertian demi lingkungan stabil yang dia perjuangkan.
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Akhirnya Annisa pulang dan sujud dihadapan ibunya. Kata maaf dari Annisa bukan ditujukan untuk suatu kesalahan. Tapi sebuah sujud rasa bakti kepada orang tua. Dalam kata maaf itu, Annisa berjanji untuk terus berjuang menjadi yang terbaik. Menjadi muslimah sebagaimana yang Ayah dan Ibunya inginkan. (Hanung Bramantyo dan Ginatri S Noer, 6 Juni 2008) C. Profil Sutradara Film Perempuan Berkalung Sorban Setiawan Hanung Bramantyo lahir di Yogyakarta, 1 Oktober 1975, Hanung Bramantyo, merupakan anak pertama dari empat bersaudara keluarga HM. Salim Purnomo, hanung pernah menyabet Juara I Film Alternatif 1998 dalam Festival Film Alternatif Dewan Kesenian Jakarta (FFA-DKJ) lewat karya film dramanya, Tlutur, Tingkling Glass, dan Gelas-Gelas Berdenting, Juara III Bronze 11th Cairo Internatonal Film Festival (CIFF) Category TV Program di Mesir, Hanung pun mendapatkan penghargaan sebagai Sutradara Terbaik Lawan Catur pada Festival Teater Remaja yang digelar SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, dan dua juara-juara seni lainnya. Hanung pernah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) dan juga Jurusan Seni Rupa Fakultas pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta, tetapi tidak satupun yang diselesaikannya, karena ia pindah mempelajari dunia film di Jurusan Film, Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.110 Sutradara muda dan penulis skenario berbakat ini sejak usia enam tahun sudah dekat dengan seni. Neneknya gemar menonton ketoprak, Hanung kecil kerap diajak. Karenanya Hanung tertarik dengan dunia seni peran. Saat 110
“Hanung Bramantyo Sutradara Generasi Baru Perfilman Indonesia”, dapat diakses: http://www.swaberita.com/2008/05/01/profil/hanung-bramantyo-sutradara-generasi-baruperfilman-indonesia.html#more-578/12/3/2010/20.30
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
duduk di kelas empat SD, Hanung Bramantyo sudah bergabung di Teater Mesjid dimana musiknya masih menggunakan gamelan. Hanung pun terlibat didalamnya dan mendapatkan peran figuran. Ini merupakan pertama kali dirinya manggung. Sejak itu pula Hanung tertarik dengan semua hal yang menyangkut dunia panggung. Pada saat SMP menjelang perpisahan, Hanung membentuk teater dengan teman-temannya. Ternyata keseriusannya belajar teater tidak disambut baik oleh pihak sekolah dan orang tua Hanung. Ayahnya takut kalau Hanung aktif di teater akan terjebak pada pergaulan yang kurang sehat dan kurang baik. Namun, Hanung bertekad dan bertekad membuktikan pada ayahnya bahwa pemikiran itu salah. Dengan berbekal niat dan modal sendiri, hanung membuktikan di teater bahwa ia bisa belajar banyak dan mendapatkan hal yang bermanfaat. Setelah lama menggeluti dunia teater, sutradara peraih Piala Citra di tahun 2005 dan 2007 itu mencoba masuk dunia film. Lalu dirinya pun hijrah ke Jakarta. Saat di Jakarta ia menemui produser film Leo Sutanto dan mengutarakan maksudnya untuk membuat film. Sebelum membuat film lulusan IKJ ini harus bisa membuat sinetron terlebih dahulu dan setidaknya mencapai rating yang diinginkan. Hanung pun menyanggupi. Beberapa judul sinetron berhasil dibuat Hanung, diantaranya, Malam Pertama (MP) dan beberapa judul FTV. Pada suatu saat hanung bertemu dengan Teguh Karya (Almarhum) dan mengutarakan niatnya menjadi sutradara, jawaban dari Teguh Karya ternyata cukup menggembirakan. Teguh sangat apresiatif sekali ketika Hanung berniat membuat film, namun untuk bisa menjadi sutradara yang handal, Teguh
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyarankan agar Hanung terlebih dahulu ikut magang di Teater Populer Teguh Karya. Karena mendapat sambutan yang baik, Hanung pun bersedia melakukan apa yang disarankan Teguh. Semua yang dilakukan Hanung berbuah manis, film perdananya ‘Brownies’ tahun 2003 menang dalam kategori film terbaik di Festival Film Indonesia (FFI).111
Filmografi:112 •
Topeng Kekasih (2000)
•
Gelas-Gelas Berdenting (2001)
•
When … (film pendek) (2003)
•
Brownies (2004)
•
Catatan Akhir Sekolah (2005)
•
Sayekti dan Hanafi (Film TV) (2005)
•
Jomblo (2006)
•
Lentera Merah (2006)
•
Kamulah Satu-Satunya (2007)
•
Legenda Sundel Bolong (2007)
•
Get Married (2007)
•
Ayat-Ayat Cinta (2007)
•
Doa yang Mengancam (2008)
•
Get Married 2 (2009)
•
Perempuan Berkalung Sorban (2009)
111 112
“Hanung Bramantyo”, (http://www.indosinema.com/detailsineas.php)12/06/2009/13.59 “Hanung Bramantyo”, http://www.imdb.com/name/nm2538739//15/3/2009/00.40
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
•
JK(film pendek) (2009)
•
Menebus Impian (2010)
•
Sang Pencerah (2010)
digilib.uns.ac.id
Film hasil penyutradaraan Hanung Bramantyo yang paling banyak menuai kontroversi adalah Film Perempuan Berkalung Sorban. Dalam blognya Hanung mengungkapkan, 113 “Jika kamu seorang yang menganggap perempuan sebagai makhluk kelas dua, maka film ini benar-benar untuk anda. Maaf jika ada yang tidak berkenan. Peringatan keras bagi yang punya pemikiran anti kebebasan, silakan jauhi film ini daripada nanti anda sakit hati”
113
Hanung Bramantyo, “Perempuan Berkalung Sorban”, http://hanungbramantyo.multiply.com/video/item/5.12/3/2010/20.20
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III ANALISIS WACANA FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Pada bab pendahuluan sudah dijelaskan bahwa film merupakan salah satu dari jenis media komunikasi audio visual. Sebuah media komunikasi dimanfaatkan sebagai alat perantara fakta-fakta sosial dimana di dalamnya tidak dapat dilepaskan dari adanya konstruksi realitas atau konstruksi sosial. Kemudian konstruksi realitas atau konstruksi sosial sendiri tidak akan dapat dilepaskan dengan penggunaan simbol. Simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbiter (berubah-ubah) dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran disebut dengan kata atau bahasa.114 Dalam kaitan ini, dikemukakan pandangan Giles dan Wiemann tentang hubungan bahasa dengan penciptaan realitas (Discourse), dimana ternyata bahasa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi dapat menciptakan realitas. Realitas media yang tersusun dari rangkaian bahasa inilah yang melahirkan pemaknaan dibenak penonton. Hal ini diperkuat pendapat Graeme Turner yang melihat makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Analisis teks ini kemudian dimaksudkan untuk menguak makna pesan di dalam teks film “Perempuan Berkalung Sorban” yang 114
Sobur, Alex,Op. Cit, Hlm 42
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merujuk pada pewacanaan isu-isu perempuan dalam film. Dalam teks film “Perempuan Berkalung Sorban” yang berwujud media komunikasi audio visual ini, gambar dan suara (dialog) menjadi bahan analisis teks yang utama. Maka selanjutnya peneliti menelusuri wacana pewacanaan isu-isu perempuan yang terdapat dalam teks film “Perempuan Berkalung Sorban” melalui analisis wacana yang didasarkan pada analisis makrostruktur dan mikrostruktur teks. Mengacu pada metode analisis wacana teks model Van Dijk, analisis makrostruktur dipahami sebagai bagian dari analisis wacana teks yang mengamati tentang tematik/ topik teks dengan menunjuk gambaran umum dari suatu teks. Sedangkan analisis mikrostruktur adalah analisis makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafarase, dan gambar. A. Analisis Wacana Teks Makrostruktur : Makrostruktur adalah bagian dari analisis wacana teks yang mengamati tentang tematik/ topik teks dengan menunjuk gambaran umum dari suatu teks.115 Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh pembuat teks di dalam teks. Gagasan penting Van Dijk, wacana umumnya dibentuk dalam tata aturan umum (macrorule). Kalau metode Van Dijk lebih menukik pada analisa topik dari teks berita tertulis maka dalam penelitian ini analisa makrostruktur akan diaplikasikan untuk melihat topik umum dari film “Perempuan Berkalung Sorban”. Berbeda dengan teks berita tertulis yang melihat topik umum dari 115
Eriyanto, Op. Cit, hal 226
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
susunan kata sampai kalimat. Maka untuk teks audio visual film ini peneliti akan melihat topik utama dari isi skrip dialog film, gambar visual film, dan tokoh nara sumber yang masuk dalam film. Dalam analisis wacana teks Van Dijk topik suatu teks memang baru bisa disimpulkan, seperti halnya kalau ketika kita membaca buku, mendengar cerita, atau menonton film. Kita dapat mengetahui topik sebuah teks ketika kita selesai membaca tuntas teks (berita, buku, film, dan lain-lain) tersebut.116 Melihat tuntas film “Perempuan Berkalung Sorban” dengan memperhatikan dialog, visual film, serta para tokoh yang ditampilkan di film peneliti menyimpulkan bahwa topik utama dari film ini adalah: Topik: Perlawanan Perempuan terhadap Patriarki Topik diatas dimunculkan dalam film oleh sang pembuat film sepertinya dengan dilatar belakangi realitas sosial dewasa ini dimana banyak perempuan nasibnya tidak lebih baik saat Kartini memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Perempuan digambarkan sebagai makhluk tidak berdaya yang menjadi korban ketidakadilan dari lingkungannya. Namun dengan kekuatan yang berasal dari dalam dirinya, perempuan tersebut bangkit dan melakukan perlawananperlawanan untuk mempertahankan harga diri agar nasibnya tidak menjadi lebih buruk. Film ini menyajikan perlawanan perempuan dalam sebuah sistem patriarki yang dilegitimasi oleh tafsir keagamaan dan tradisi masyarakat. B. Sub Topik Teks tidak hanya didefinisikan mencerminkan suatu pandangan tertentu atau topik tertentu tetapi suatu pandangan umum yang koheren. Van Dijk 116
Ibid, hal229
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyebut hal ini sebagai koherensi global (global coherence), yakni bagianbagian dalam teks kalau dirunut menunjuk pada suatu titik gagasan umum, dan bagian-bagian itu saling mendukung satu sama lain untuk menggambarkan topik umum tersebut.117 Oleh sebab itu topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang saling mendukung terbentuknya topik utama. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga dengan subbagian yang saling mendukung antara satu bagian dengan bagian lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh. Untuk mendukung topik utama dari film “Perempuan Berkalung Sorban” tersebut maka peneliti membagi menjadi beberapa sub topik yang dapat menggambarkan topik utama yang koheren dan utuh. Dalam buku Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, terdapat tiga konsep dasar feminisme yaitu: 1.
Feminisme Liberal,118 asumsi dasarnya berakar pada pandangan
bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminism liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak perempuan. 2.
Feminisme Radikal, kaum feminis radikal menganggap penyebab
penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, berakar dari jenis kelamin 117
Ibid hal: 230. Mansour Fakih, Op. Cit, hal 81
118
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
laki-laki itu sendiri dan ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan.119 3.
Feminisme Sosialis (Marxis), bagi feminis sosialis seperti Einstein,
ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dengan perempuan, tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social constructions) terhadap perbedaan itu.120 Feminisme Sosialis (Marxis), penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Maka mereka tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya penyebab masalahnya.121 Bagi teori marxis klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga)122. Peneliti menggunakan konsep dasar tersebut untuk mengamati dan meneliti film “Perempuan Berkalung Sorban”, penulis akan memaparkan sub topik sebagai berikut: 1) Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Liberal 2) Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Radikal 3) Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Sosialis (Marxis)
119
Mansour Fakih, Op. Cit, hal 84-86 Ibid, hal 89, 121 Ibid, 122 Ibid, 120
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Perlawanan terhadap Patriarki Aliran fungsionalisme struktural adalah mahdzab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Robert Meryon dan Talcott Parsons.123 Masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, sampai keluarga) dan masingmasing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. 1. Perlawanan terhadap Patriarki berdasarkan Feminisme Liberal Feminisme Liberal,124 asumsi dasarnya berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk didalamnya kesempatan dan hak perempuan. a. Perlawanan terhadap Patriarki untuk Memperjuangkan Persamaan Hak.
1) Persamaan Hak dalam Bidang Pendidikan Dalam film ini, laki-laki dan perempuan tidak mempunyai hak yang sama dalam bidang pendidikan. Laki-laki diharuskan sekolah tinggi sedangkan perempuan tidak diijinkan sekolah. Menomorduakan pendidikan anak perempuan adalah bentuk subordinasi yang sering terjadi, karena anggapan bahwa perempuan tugasnya hanya melayani suami dan merawat anak, sehingga tidak dibutuhkan pendidikan yang tinggi. Bentuk subordinasi seperti ini merupakan suatu bentuk 123
Mansour Fakih, Op. Cit., hal 80 Mansour Fakih, Op. Cit, hal 81
124
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesadaran gender yang tidak adil. Perlawanan dilakukan tokoh utama sejak masih kecil karena ia merasa diperlakukan tidak adil dengan kedua kakak laki-lakinya. a) Perlawanan untuk Mendapatkan Pendidikan Perlawanan Annisa dalam mendapatkan pendidikan ditunjukkan dengan protes-protesnya sejak ia masih kecil. Perlawanan tersebut bisa dilihat lebih pada dialog dalam scene-scene berikut: (1) Scene 10 ANNISA Annisa pengen belajar naik kuda. Wajah Nyai cemas. Dia melihat ke arah suaminya di ujung meja yang masih terlihat tenang. NYAI (setengah berbisik) Jangan bicara sambil makan, gak ilok! ANNISA Itu Mas Reza sama Mas Wildan aja boleh naik kuda. Kenapa Nisa gak boleh? Nyai semakin gelisah. Wildan menundukkan kepalanya. Diaberusaha menghindari konflik di meja itu. Sementara Reza menatap Annisa kesal. Kyai menghela napas. Dia sudah terbiasa dengan perdebatan ini. KYAI HANAN Karena kamu perempuan. Reza dengan sok tahu membenarkan ucapan Kyai Hanan. REZA Iya! Kamu itu perempuan. Enggak pantes! Annisa melotot ke Reza. Nyai memberi tanda agar Reza tak ikut-ikutan dengan matanya. ANNISA Terus kenapa? (beat) Aisyah istri Nabi? Putri Budur? Hindun Binti Athaba? Mereka perempuan. Mereka naik kuda sambil mimpin pasukan. Reza terpancing emosinya. REZA Ya berarti mereka juga enggak pantes! Kyai Hanan mulai kehilangan kesabaran. Dia memotong ucapan Annisa yang sudah siap membalas Reza. KYAI HANAN (Memotong)
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mereka bukan anak abi. Kamu anaknya abi! Anaknya Kyai. Annisa yang semakin marah berteriak ke arah Kyai Hanan. ANNISA Terus kenapa kalau anak kyai? Kyai Hanan memukul meja. Tidak begitu keras, tetapi membuat semua yang dimeja makan kaget. Suasana menjadi semakin kaku. Terlihat sekali Kyai sangat berkuasa disitu. Annisa hanya menghela nafas. Potongan Gambar scene 10:
Kyai Hanan Marah
Protes Annisa
Scene 10 perlawanan ditunjukkan dengan protes-protes dari Annisa mengenai perbedaan perlakuan antara dirinya dan kedua kakak laki-lakinya. Ketika kedua kakaknya diperbolehkan naik kuda sedangkan dirinya tidak diperbolehkan menimbulkan pertanyaan tersendiri buatnya. Beberapa kali dinyatakan secara gamblang dalam scene ini mengenai diskriminasi terhadap perempuan. Dan dialog ini dinyatakan oleh laki-laki yang kental dengan unsur patriarki.
Protes-protes Annisa hanya dianggap sebagai rengekan anak kecil.
Dalam scene ini dinyatakan keterbatasan-keterbatasan sebagai perempuan, karena kekuasaan tertinggi ada pada laki-laki (bapak). Dalam sistem sosial, budaya (juga keagamaan), patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan. Pada awalnya istilah ini dipakai untuk menyebut suatu jenis keluarga yang dikuasai oleh laki-laki, yaitu
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rumah tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan atau “hukum bapak” sebagai laki-laki atau penguasa itu.125 (2) Scene 31 Kyai Hanan selesai membaca surat dari Universitas itu. Melipatnya dan meletakkan di meja. Annisa menunggu jawaban dari abinya. Kemudian, Kyai Hanan menggeleng. Annisa kecewa. ANNISA Ini kan cuma di Yogya, abi. Masih dekat dari sini kan.Lagi pula Nisa juga Gak usah bayar. Kan beasiswa. KYAI HANAN Bukan masalah uangnya Nisa. ANNISA Terus apa? Emangnya abi gak seneng kalau anaknya pinter? Kyai Hanan menghela napas. KYAI HANAN Abi gak bisa melepaskan kamu tanpa muhrim. ANNISA Jadi karena Nisa perempuan? Itu kan maksud abi? Kyai Hanan tampak lelah dan seperti malas meladeni Annisa. ANNISA (CONT'D) Abi sampai rela jual tanah untuk biayanya Mas Reza ke Madinah. Pinjam uang untuk biaya Mas Wildan, kenapa buat Nisa gak? Kyai Hanan tersinggung. KYAI HANAN (nada suaranya meninggi) Mereka itu ya harus sekolah tinggi! Mereka yang akan gantiin abi untuk mimpin pesantren ini...mimpin pesantren, Ngerti? ANNISA Terus gunanya Nisa apa,? Kyai Hanan merendahkan suaranya. KYAI HANAN Yaa, Nanti kamu mengerti setelah kamu menikah. Membangun keluarga sendiri. (MORE) Punya suami... Punya anak. Itu sumber pahala kamu, Nisa. Potongan Gambar Scene 31
125
Kamla Bhasin, Op. cit, hal 1-2
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Anisa menyatakan keinginannya kuliah
Kyai Hanan tidak mengijinkan Annisa kuliah
Selanjutnya scene 31, perlawanan Annisa untuk mendapatkan pendidikan digambarkan dengan mendapatkan beasiswa kemudian minta ijin Kyai Hanan untuk melanjutkan kuliah ke Jogja dengan beasiswa tersebut. Dalam keluarga patriarki, semua keputusan ada ditangan bapak sebagai kepala keluarga. Begitu pula dalam kesempatan memperoleh pendidikan antara laki-laki dengan perempuan, semuanya ditentukan oleh kepala keluarga. Annisa tidak diijinkan kuliah di Jogja dengan alasan perempuan tidak boleh keluar tanpa muhrim. Sedangkan kedua kakaknya Wildan dan Reza diharuskan sekolah tinggi hingga ke Mekkah dan Madinah, walaupun harus sampai menjual tanah dan meminjam uang kepada orang lain. Perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan tinggi karena pada akhirnya hanya akan mengurus rumah tangga. Sedangkan laki-laki harus memperoleh pendidikan tinggi karena dianggap mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Begitulah pendapat kyai Hanan, sebagai kepala keluarga patriarki. Jelas sekali bahwa Kyai Hanan melakukan perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuannya. Salah satunya dengan menomorduakan pendidikan untuk anak perempuannya, perempuan tidak memerlukan pendidikan tinggi, karena gunanya perempuan adalah setelah menikah, mengurus suami dan anak.
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, kaum perempuan masih dianggap sebagai kelas dua (second class) oleh sebagian masyarakat yang belum memiliki sensitivitas gender.126 Kelahiran anak perempuan terkadang masih dianggap kurang membanggakan di banding dengan anak laki-laki. Perlakuan dan pola asuh terhadap anak perempuan sering masih dibedakan dengan anak laki-laki. Semua itu jika dibiarkan tentu akan berdampak pada ketidakadilan dan diskriminasi gender. (3) Scene 36 ANNISA (sinis) Tumben cepat pulangnya. Bisanya semalam lagi baru pulang. Samsudin masih diam. ANNISA (CONT’D) Enak jadi kamu. Bisa pulang seenaknya. SAMSUDIN Maksud kamu? ANNISA Kapan aku boleh kuliah? Samsudin menghela napas sambil memegang kepalanya yang pusing. SAMSUDIN Mikirin kuliah tu Ngapain? hidupmu sekarang tu udah enak. Tinggal duduk manis tenang dirumah nunggu suami pulang. Dihormati orang jadi mantu Kyai? Kurang apa coba?! ANNISA Kurang kuliah! Aku bisa edan kalau hidup sama kamu kayak gini! Samsudin langsung marah dan mendorong Annisa ke dinding.
Potongan gambar Scene 36
126
Dr. H. Abdul Mustaqim, Op. cit, hal 13
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Annisa setelah menikah dengan Samsudin
Perlakuan kasar samsudin pada Annisa karena menyatakan keinginannya kuliah
Dalam scene 36 Annisa digambarkan kurus dan matanya cekung. Dia tampak tertekan dan kelelahan. Begitu pula dengan Samsudin yang tampak sangat acak-acakan karena sering mabuk-mabukan. Annisa tertekan dengan kelakuan suaminya. Dari dialog Annisa dan Samsudin dapat diketahui bahwa Samsudin jarang pulang, bukan bekerja melainkan keluyuran dan mabuk-mabukan. Annisa masih belum diperbolehkan kuliah. Perlawanannya ditunjukkan dengan menyatakan keinginannya untuk kuliah dan bahwa dia tidak ingin hidup di rumah sepanjang hari untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Samsudin tampak kesal dengan keinginan Annisa kuliah, kemudian marah dan mendorong Annisa ke dinding, hingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik maupun psikis. Dalam masyarakat sekarang juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat patriarki masih terdapat ideologi yang menganggap bahwa perempuan sesudah menikah menjadi hak milik suaminya, dan anak perempuannya milik ayahnya, istri adalah milik suami.127 Jadi Samsudin merasa memiliki istrinya sehingga bisa berbuat seenaknya terhadap istrinya. b) Perlawanan untuk Mendapatkan Penunjang Pendidikan 127
Yoce Aliah Darma, Op. cit, hal 215
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perlawanan Annisa untuk mendapatkan penunjang pendidikan dilakukan dengan usaha-usahanya memberikan buku-buku bacaan dan juga usulannya untuk mendirikan sebuah perpustakaan modern di pesantren. Perlawanan tersebut bisa dilihat dalam scene-scene berikut: (1) Scene 115 ANNISA Kalau boleh Nisa mau membangun perpustakaan. Nisa juga mau ngajar nulis, supaya para santri bisa punya wadah untuk berkreasi. Reza melirik ke Wildan dengan pandangan tak suka. Wildan menggeleng menyuruh Reza diam saja. Tapi Reza keburu menatap Annisa dengan kesal. REZA Mereka bukan kamu, Nis. Kita gak boleh mengajari mereka menjadi perempuan yang liar. Nanti mereka bisa keluar dari kodratnya ... ANNISA Kodrat yang mana maksud Mas? Kodrat bahwa perempuan harus terus berlindung diketiak suami? menerima perlakuan kasar suami? Atau ... REZA Kamu gak boleh perlakukan diri kamu sama dengan mereka. ANNISA Mereka akan sama seperti Nisa kalau gak dikasih ruang untuk berpendapat, Mas. REZA Perempuan sudah mendapatkan surganya tanpa harus berpendapat. Itu Janji Allah di dalam Kitab suci Quran. Dengan menjaga sikap perempuan sudah mendapatkan surganya. Bukan begitu Kyai? Annisa hendak menjawab, tetapi Khudori memegang tangannya. Suasana menjadi tidak enak.
Potongan gambar scene 115
Annisa menyatakan keinginannya mendirikan perpustakaan
untuk
Keinginannya pesantren
commit to user 77
ditentang
oleh
orang-orang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di scene 115 perlawanan Annisa ditunjukkan dengan mengutarakan keinginannya untuk mendirikan sebuah perpustakaan modern dan mengajar menulis di pesantren. Keinginannya tersebut agar para santri punya wadah untuk berkreasi. Perempuan yang kreatif dianggap liar dan keluar dari kodratnya. Kodrat adalah segala sesuatu pemberian Tuhan seperti perempuan melahirkan dan menyusui sedangkan laki-laki tidak. Jadi tidak berhubungan dengan kekreatifan seseorang. Sedangkan perempuan yang harus berlindung dan bergantung pada laki-laki bukanlah kodrat manusia. Melainkan bentukan sosial budaya yang telah mengakar dalam masyarakat. Kebudayaan patriarki yang mendapat legitimasi keagamaan
sangat
menyumbangkan
langgengnya
ketidakadilan
gender.
Perlawanan Annisa untuk mendapatkan penunjang pendidikan dalam scene belum mendapatkan sambutan baik dari pihak pesantren. Dahulu dalam masyarakat banyak anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat terjadi diskriminasi terhadap pendidikan kaum perempuan, dan pendidikan kaum perempuan ini di nomorduakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak aturan pemerintah, aturan keagamaan,
kebudayaan, dan kebiasaan
masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini. Persoalnnya seringkali stereotipe ini sering kali dilandaskan pada suatu keyakinan dan tafsiran keagamaan, sehingga tidak saja memberikan legitimasi keagamaan, bahkan menjadi faktor pendorong diskriminasi. Untuk itu usaha penghapusan stereotipe perempuan yang bersumber dari tafsiran keagamaan ini perlu didekonstruksi,
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan melakukan pentafsiran ulang ajaran dasar Islam, terutama yang berkenaan dengan asumsi dan wacana keislaman mengenai kaum perempuan. 128 (2) Scene 120 Suara Khudori masih mengiringi adegan berikut. Seorang santriwati sedang membaca. Ada beberapa yang menulis cerpen. Berjudul: Cinta di bawah Kubah Masjid KHUDORI (O.S) Kita harus membedakan mana yang nature dan mana yang nurture. nature itu adalah perempuan melahirkan, dan laki-laki tidak. Sedangkan nurture, baik lakilaki maupun perempuan itu memiliki kesempatan dan ruang yang sama untuk berkreasi, mengembangkan diri sampai dengan belajar. Sebenarnya hal-hal seperti perempuan harus di dapur itu bukan sifat nature perempuan. Itu gak lebih dari bentukan budaya itu sendiri. Tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh Nyai Syarifah. Para santriwati pura-pura tidur. Nyai itu celingukan sendiri. Matanya menatap dengan curiga ke para santriwati. Setelah dia pergi, para santriwati langsung bangun dankembali beraktivitas. Potongan gambar scene 120
Khudori mengajarkan kesetaraan gender kepada santriwati
Santriwati membaca buku dari Annisa di rumah pohon
Santriwati membaca buku di pinggir sawah
Santriwati menulis cerpen
128
Mansour Fakih, Op. Cit, hal 58-59
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Santriwati membaca buku sebelum tidur
Scene 120, perlawanan perempuan ditunjukkan dalam dialog dan juga visual dari scene ini. Perlawanan Annisa dilakukan dengan membagikan buku modern kepada santriwati. Annisa dibantu suaminya, Khudori mengajarkan ilmu mengenai kesetaraan gender kepada santriwati dalam pesantren tersebut. Para santriwati asyik membaca buku yang di bagikan Annisa secara diam-diam. Ada sebagian yang menulis cerpen. Ini merupakan kesungguhan Annisa ingin membuat perpustakaan untuk bisa memajukan pesantren putri itu. Agar santrisantri mempunyai banyak pengetahuan baru dari buku. Sehingga bisa memperjuangkan haknya yang selama ini tertindas dalam sistem patriarki. Sedangkan Khudori juga membantu Annisa mengajarkan kepada santri tentang kesetaraan gender. Tentang teori nature dan nurture, teori nature menganggap bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan bersifat kodrati, (nature). Sedangkan teori nurture beranggapan perbedaan relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan oleh konstruksi masyarakat. Baik laki-laki maupun perempuan itu memiliki kesempatan
dan ruang yang sama
untuk berkreasi, mengembangkan diri sampai dengan belajar.129 Semua ajaran yang diajarkan Khudori mengenai kesetaraan ini sangat bertentangan dengan pesantren pada waktu itu. 129
Riant Nugroho, Op. Cit, hal 22
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(3) Scene 136 Di dalam ruangan yang sempit itu tampak semua pengajar pesantren berkumpul. Juga ada Reza dan Wildan. KYAI ALI Perpustakaan itu tidak perlu. Annisa mengerutkan keningnya tanda tak setuju. KYAI ALI (CONT’D) Karena kita sudah punya perpustakaan sendiri, dan buku-buku modern kamu itu tidak diperlukan karena merusak akhlak dan akidah santri-santri kita. Nyai mendengar perdebatan itu dari luar sambil menggandeng Mahbub, cucunya. Setelah meminta salah seorang santri menemani mahbub, Nyai masuk ke dalam ruang itu. ANNISA Orang tahu mana yang bener dan mana yang salah itu lewat buku. Orang tahu dunia luar yang belum mereka datangi juga lewat buku... REZA Itu semua sudah ada di kitab suci, Nis. Gak perlu buku modern kamu. ANNISA Apa yang salah dengan buku modern??? REZA (Suara tinggi) Salah kalau dibaca di tempat ini
Potongan gambar scene 136
Kyai Ali melarang Annisa mendirikan perpustakaan
Scene
136,
Annisa
melakukan
perlawanan
dengan
berusaha
meyakinkan semua untuk mendirikan sebuah perspustakaan di pesantren. Sebuah perpustakaan dapat menjadi tititk tolak perubahan pesantren tersebut. Pesantren yang konservatif bisa sedikit lebih terbuka dengan adanya pesantren. Namun usaha Annisa meyakinkan sia-sia. Semua tidak menyetujui ide Annisa. Buku-buku
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
modern dianggap dapat merusak akhlak dan akidah para santri. Hanya kitab suci bacaan yang diperbolehkan, buku-buku modern tidak diperlukan. Semua hal memang telah ada dalam kitab suci Al-Quran, namun tidak ada salahnya membaca buku modern. Kitab suci Al-Quran dijadikan pedoman hidup, sedangkan buku modern untuk mempeluas wawasan. Dengan wawasan yang luas Annisa berharap santri-santri bisa lebih cerdas dan kreatif. Dengan begitu akan dapat muncul kesadaran gender yang mengususng persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tentunya tidak ada sedikitpun keinginan untuk merusak akhlak dan akidah santri, Annisa ingin pesantren menjadi tempat yang nyaman bagi para santri dalam menimba ilmu. Tidak terbelenggu dengan peraturan-peraturan yang sangat bias gender karena patriarki yang dilegitimasi oleh keyakinan dan tafsir keagamaan. Aquarini mengutip pendapat dari Gayle Rubin yang memandang bahwa seorang perempuan adalah tubuh ditambah konstruk sosial kultural yang diinfestasikan
kepada
tubuhnya.
Logika
pembedaan
seks/gender
dalam
masyarakat mengahasilkan konstruk yang mensituasikan bahwa perempuan adalah ‘perempuan secara biologis’ dan karena itu harus menjadi feminin, yang bermakna “perempuan secara sosial kultural’.130 (4) Scene 153 Seorang santri membuka kain penutup papan, tanda dibukanya perpustakaan baru. PERPUSTAKAAN AL HUDA. Diiringi tepuk tangan riuh dari para santri. Umi sangat bangga terhadap Annisa. Sewaktu membalikkan badannya, Annisa seakan-akan melihat Khudori dengan senyuman menyambut. 130
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Op. cit, hal 52
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Potongan gambar scene 153
Dibukanya perpustakaan perjuangan perempuan
Al
Huda
atas
Nyai bangga kepada terhadap keberhasilanAnnisa
Di scene 153 menggambarkan keberhasilan Annisa dalam perlawanannya mendapatkan penunjang pendidikan yaitu berupa sebuah perpustakaan modern dalam pesantren. Hal ini merupakan tanda runtuhnya sistem patriarki yang di legitimasi oleh tafsir keagamaan yang selama ini di pegang kukuh dalam pesantren. Sehingga keterbatasan-keterbatasan itu mulai menipis dan kesetaraan gender yang diperjuangkan Annisa dapat terwujud. Perjuangan perempuan dalam melawan sistem patriarki dalam film ini merupakan usaha keras yang dilakukan kaum perempuan untuk meraih persamaan hak antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan. 2) Persamaan Hak dalam Bidang Politik Dalam film ini, laki-laki dan perempuan tidak mempunyai hak yang sama dalam bidang politik. Di sini agama tidak membenarkan seorang perempuan menjadi pimpinan. Dalam kultur sosial masyarakat perempuan dianggap terlalu emosional dan irasional sehingga dianggap tidak bisa tampil memimpin. Berbagai tafsiran agama telah melahirkan suatu peran gender (gender role) yang sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang ditetapkan berdasarkan keyakinan
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau tafsiran agama antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam Islam. Sebenarnya konstruksi sosial dalam peran gender seperti itu tidaklah menjadi masalah jika tidak menimbulkan ketidakailan gender, misalnya dalam bentuk diskriminasi kepemimpinan seperti diatas. a) Perlawanan untuk Menjadi Ketua Kelas Perlawanan Annisa untuk menjadi ketua kelas dilakukan saat Annisa masih kecil, saat duduk di bangku sekolah dasar. Perlawanan tersebut bisa dilihat dalam scene berikut: (1) Scene 14 Annisa dan seorang teman prianya berada di depan kelas bersama seorang Pak guru. Di kelas itu sendiri tempat duduknya dibuat seperti shaft shalat. Dipisah pria dan perempuan. Di papan tulis terlihat nama Annisa dan Farid. Ada jumlah turus pemilihan ketua kelas. Jumlah suara imbang antara Annisa dan Farid. Tinggal satu lembar kertas suara lagi yang siap dumika. Seorang siswi maju dan membuka kertas itu perlahan. Annisa dan Farid menatap tegang. Lalu... SISWI (histeris) Fariidd…..!! SISWI (histeris) Annisaaaa !!!!! GURU Terakhir, sopo, Win,, Winda..!! SISWI Annisaaaa… Semua siswi (yang jumlahnya lebih sedikit dibanding putra) dan beberapa siswa bersorak. Farid dan beberapa siswa lain tampak kecewa. Pak Guru tersenyum memandang ke papan tulis lalu melihat ke arah murid-muridnya. GURU Annisa 12, Farid, 1, 2, 3, 11.. Annisa terimakasi silahkan duduk, Farid silahkan duduk… PAK GURU Alhamdulillah sudah selesai pemilihannya. Sekarang, karena perempuan dalam Islam itu tidak boleh jadi pimpinan , Maka dari itu, tanpa mengurangi nilai dari demokrasi Pancasila, bapak putusken, yang menjadi ketua kelas adalah Farid.
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sorakan pendukung Annisa langsung hilang. Annisa menatap wajah para pendukungnya yang kecewa. Mereka tampak menghindari pandangan Annisa. Para pendukung Farid membahana. Annisa marah dan keluar dari kelas begitu saja. Potongan gambar scene 14
Pak Guru mengatakan bahwa perempuan tidak boleh jadi pimpinan
Annisa berlari meninggalkan kelas
Scene 14 yaitu scene pemilihan ketua kelas di kelas Annisa. Ketua kelas dipilih dengan cara voting atau suara terbanyak. Ada dua calon ketua kelas, yaitu Farid dan Annisa. Annisa tidak dapat menjadi ketua kelas walaupun dia yang memenangkan voting. Itu karena dalam Islam perempuan tidak boleh jadi pimpinan. Perlawanan Annisa ditunjukkan dengan meninggalkan kelas karena tidak setuju dengan keputusan dari Pak Guru. Keyakinan bahwa laki-laki harus ‘memimpin’ kaum perempuan tersebut sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang ‘kepemimpinannya’ bersifat adil dan tidak menindas. Namun, persoalan lain yang timbul adalah justru kepercayaan tersebut membawa pada keyakinan, bahwa kaum perempuan adalah ‘subordinasi’ dari kaum laki-laki, meskipun secara obyektif misalnya ia lebih mampu, lebih pandai, dan lebih layak, ia tetap harus dipimpin.131 Scene 16 Annisa digeret ayahnya masuk ke dalam kamar mandi itu sambil diomeli. 131
Mansour Fakih, Op. Cit, hal 54-55
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANNISA Pak guru yang curang! Pak guru yang curang! Annisa harusnya jadi ketua kelas!!! KYAI HANAN Tapi kenapa harus kabur dari sekolah? Lagipula sudah bener itu, laki-laki yang pantas jadi pemimpin. Tau!! ANNISA Annisa nggak kabur! (beat) Berarti abi sama pak guru sama curangya!! Kyai Hanan murka, lalu memasukkan Annisa ke dalam kamar mandi. KYAI HANAN Mulut kamu itu harus diajar disiplin!!! Sini .. Sini.. Masukkk!! Annisa menggedor-gedor minta dikeluarkan. Suara tangisannya mulai terdengar. NYAI Bi, sampun tho bi,,,, Teriak nyai sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.
Potongan gambar scene 16
Annisa mengatakan seharusnya dia yang menjadi ketua kelas
Annisa dihukum dikamar mandi
Pada scene 16 terdapat dialog yang membenarkan bahwa laki-lakilah yang pantas menjadi pemimpin. Dan ketika Annisa tidak terima dengan hal itu kemudian protes kepada bapaknya, dia mendapatkan hukuman. Karena sistem patriarki yang kental membuat kepala rumah tangga mempunyai kekuasaan dan mendorongnya untuk mengambil tindakan menghukum Annisa dengan hukuman fisik. Jadi kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat terjadi karena seorang
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bapak merasa berkuasa memberikan hukuman pada anaknya. Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga, ia memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga isteri, perempuan simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123).132 b) Perlawanan untuk Menjadi Ketua RT Perlawanan perempuan untuk menjadi ketua RT dapat dilihat pada percakapan perempuan yang membincangkan mengenai perempuan yang menjadi ketua RT pada scene sebagai berikut: (1) Scene 84 Ada meja-meja yang berdampingan dengan komputer sederhana dan mesin tik. Ada tiga orang perempuan yang asik mengobrol sambil tertawa-tawa. AKTIVIS 1 Ini Indonesia La... Perempuan jadi ketua RT aja masih suka dipanggil "Pak RT". Annisa agak terdiam mendengar percakapan itu. Potongan gambar scene 84
Percakapan tentang kepemimpinan perempuan
Di scene 84 perlawanan perempuan untuk menjadi ketua RT terdapat dialog yang menyatakan bahwa di Indonesia perempuan yang menjadi ketua RT masih sering dipanggil Pak RT. Annisa terdiam mendengar percakapan tersebut. Hal ini dikarenakan masih banyak orang yang menganggap laki-laki lebih pantas menjadi 132
Yoce Aliah Darma, Op Cit, hal 215
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pimpinan. Ini merupakan bentuk subordinasi yang menempatkan perempuan ke dalam posisi yang tidak penting yang muncul dari anggapan bahwa perempuan itu emosional dan irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin. b. Perlawanan untuk Mendapatkan Kebebasan Film ini menyajikan sebuah kehidupan di pesantren dengan kekeliruan dalam memahami tafsir agama, dengan sistem patriarki yang tertanam dalam keluarga tersebut. Film ini banyak menceritakan perempuan dalam melakukan perlawanan sebagai korban bias gender dari sistem patriarki tersebut. Berdasarkan sumbernya yaitu keyakinan dan tafsir agama serta tradisi dan kebiasaan maka timbulah gender differences di dalam pesantren ini. Keyakinan, tradisi yang berpegang pada patriarki dan didukung tafsir agama membuat gender differences disini menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). 1) Kebebasan Mengeluarkan Pendapat Indonesia adalah Negara hukum yang melindungi setiap warga Negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi peraturan perundangundangan di Indonesia
didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28. Praktek
kongrit dilapangan bangsa Indonesia masih sangat memprihatinkan adanya masih banyak kasus melanggaran hak-hak tersebut. a) Kebebasan Mengeluarkan Pendapat yang Dianggap Tabu Dilakukan Perempuan Perlawanan
Annisa
untuk
mendapatkan
kebebasan
mengeluarkan
pendapat, sekalipun yang dianggap tabu dilakukan dengan protes-protesnya
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap hal tersebut. Seperti halnya digambarkan dalam film ini pada scenescene sebagai berikut: (1) Scene 10 ANNISA Annisa pengen belajar naik kuda. Wajah Nyai cemas. Dia melihat ke arah suaminya di ujung meja yang masih terlihat tenang. NYAI (setengah berbisik) Jangan bicara sambil makan, gak ilok! ANNISA Itu Mas Reza sama Mas Wildan aja boleh naik kuda. Kenapa Nisa gak boleh? Nyai semakin gelisah. Wildan menundukkan kepalanya. Diaberusaha menghindari konflik di meja itu. Sementara Reza menatap Annisa kesal. Kyai menghela napas. Dia sudah terbiasa dengan perdebatan ini. KYAI HANAN Karena kamu perempuan. Reza dengan sok tahu membenarkan ucapan Kyai Hanan. REZA Iya! Kamu itu perempuan. Enggak pantes! Annisa melotot ke Reza. Nyai memberi tanda agar Reza tak ikut-ikutan dengan matanya. ANNISA Terus kenapa? (beat) Aisyah istri Nabi? Putri Budur? Hindun Binti Athaba? Mereka perempuan. Mereka naik kuda sambil mimpin pasukan. Reza terpancing emosinya. REZA Ya berarti mereka juga enggak pantes! Kyai Hanan mulai kehilangan kesabaran. Dia memotong ucapan Annisa yang sudah siap membalas Reza. KYAI HANAN (Memotong) Mereka bukan anak abi. Kamu anaknya abi! Anaknya Kyai. Annisa yang semakin marah berteriak ke arah Kyai Hanan. ANNISA Terus kenapa kalau anak kyai? Kyai Hanan memukul meja. Tidak begitu keras, tetapi membuat semua yang dimeja makan kaget. Suasana menjadi semakin kaku. Terlihat sekali Kyai sangat berkuasa disitu. Annisa hanya menghela nafas.
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Potongan gambar scene 10
Annisa menyatakan ingin naik kuda
Di scene 10 perlawanan ditunjukkan dengan protes-protes dari Annisa mengenai perbedaan perlakuan antara dirinya dan kedua kakak laki-lakinya. Ketika kedua kakaknya diperbolehkan naik kuda sedangkan dirinya tidak diperbolehkan
menimbulkan
pertanyaan
tersendiri
buatnya.
Pendapatnya
mengenai perempuan yang naik kuda ditentang oleh bapak dan kakak lakilakinya. Penyampaian pendapat Annisa diakhiri ketika Kyai Hanan menggebrak meja yang menandakan ketidaksukaannya terhadap pendapat Annisa. Beberapa kali dinyatakan secara gamblang dalam scene ini mengenai diskriminasi terhadap perempuan. Protes-protes Annisa hanya dianggap sebagai rengekan anak kecil. Dalam scene ini dinyatakan keterbatasan-keterbatasan sebagai perempuan, karena kekuasaan tertinggi ada pada laki-laki (bapak). Pada awalnya istilah patriarki dipakai untuk menyebut suatu jenis keluarga yang dikuasai oleh laki-laki, yaitu rumah tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan atau “hukum bapak” sebagai laki-laki atau penguasa itu.133
133
Kamla Bhasin, Op. cit, hal 1-2
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Kebebasan Beraktivitas di Luar Rumah Perempuan dilarang keluar dari pesantren dengan alasan apapun, merupakan pembatasan dari hak manusia untuk mendapatkan kebebasan, baik laki-laki maupun perempuan. dalam film ini perlawanan perempuan untuk mendapatkan kebebasan dapat dilihat di scene-scene ssebagai berikut: (1) Scene 21 Annisa menulis surat buat Khudori. Mukanya berseri-seri. ANNISA (O.S) Kapan Annisa bisa melihat dunia luar, lek? Naik kuda saja Annisa tidak boleh? Kamera bergerak melintasi pohon-pohon. Ketika kamera melintas pohon, mengubah Annisa 10 tahun menjadi Annisa 17 tahun. ANNISA (O.S) (CONT’D) (suara Annisa berubah dewasa) Dunia luar cuma mimpi buat Nisa. Dunia luar hanya untuk laki-laki, lek... Potongan gambar scene 21
Annisa menulis surat untuk Khudori Scene 21 dialog off screen yang menyatakan perasaan Annisa sebagai perempuan di pesantren dengan sistem patriarki. Annisa merasa dunia luar hanya mimpi, dunia luar hanya untuk laki-laki. Di sini perempuan tersubordinasikan karena perempuan dianggap tidak penting melihat dunia luar dan tidak perlu, karena pada akhirnya hanya akan mengurus rumah tangga. Sehingga membatasi kegiatan perempuan di luar rumah. Annisa menunjukkan usaha untuk melawan
commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hal tersebut diawali dengan menulis surat kepada Khudori yang berpikiran lebih terbuka mengenai kesetaraan gender. (2) Scene 74 ANNISA Assalamualaikum! Aisyaahh??? Dirinya bersender ke dinding luar kamar kostnya. Pintu kamar Aisyah terbuka. Aisyah keluar dengan memakai baju yang berantakan. Aisyah lalu keluar kamar sambil memasang kerudung.Seorang lelaki keluar dari kamar Aisyah. Annisa kaget melihat lelaki itu. Mata Annisa tidak berkedip. AISYAH (tersenyum genit) Waalaikumsalam, Nisa. Cepet banget kamu Nis datengnya. (ke arah pacarnya) Sayang, kenalin ini Annisa. Pacar Aisyah mengulurkan tangannya. Namun Annisa yang masih kaget tak membalas uluran tangan itu. Si pacar Aisyah bergumam tak jelas menyebutkan namanya lalu pergi terburu-buru. Wajah Annisa masih shock. Annisa salah tingkah. Aisyah tertawa kecil. AISYAH (CONT’D) Duduk yuk Nis. Kenapa? Ganteng kan pacarku? (beat) Sekarang aku ngerti, Nis kenapa kita nggak boleh kenal sama cowok. (tersenyum genit) Yah, Kamu pasti ngerti lah? Aisyah tertawa genit. Annisa masih memandang tajam. Tawa Aisyah berhenti. AISYAH (CONT'D) Nggak usah kaget Nis. Temen-temen kita juga banyak yang kayak aku. aku mending, masih pake kerudung. Masih inget sama orang tua. (beat) Kamu inget Siti nggak... sekarang maunya dia dipanggil Sita. pake baju selalu seksi. Terus, kalau dia Dicolek-colek sama cowok dia diem aja... Annisa menundukkan kepalanya. Tak tahu harus menjawab apa. AISYAH (CONT'D) Makasih ya Nis, kamu dulu udah nyaranin aku buat kuliah di Jogja. Emh.. ternyata, Bebas itu enak Nis rasanya. Annisa mengangguk. ANNISA Iya, bebas itu enak
Potongan gambar Scene 74
commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Annisa ke tempat kos Aisyah
Aisyah keluar kamar dengan baju yang berantakan
Pacar Aisyah keluar kamar dengan baju yang berantakan
Pacar Aisyah mengulurkan tangan hendak berkenalan dengan Annisa
Aisyah mengutarakan senangnya merasa bebas
Dalam film ini juga digambarkan adanya satu scene yang menggambarkan kebebasan yang salah, kebebasan yang tidak bertanggung jawab, yaitu scene 74. Scene dimana Aisyah (sahabat Annisa di pesantren) kuliah di Jogja. Aisyah merasa telah bebas dari kekangan segala peraturan di pesantren. Karena tidak mempunyai bekal yang cukup dalam kehidupan bersosial, Aisyah mendapati kebebasan yang kebablasan. Termasuk melakukan hubungan sex diluar nikah dengan pacarnya. Bahkan Aisyah sendiri tidak mengerti apa itu kebebasan. Aisyah merasa senang dengan kebebasan yang ia rasakan sekarang. Perlawanan
commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aisyah untuk mendapatkan kebebasan dilakukan dengan melanjutkan kuliah di Jogja. Karena tidak dibekali ilmu yang mencukupi untuk hidup bersosial, kini dirinya mendapati kebebasan yang kebablasan. Tentunya bukan kebebasan seperti itu yang di cari tokoh utama dalam film ini. Sehingga hanya digambarkan dalam satu scene saja agar tidak menonjol. Hanya sepersekian dibandingkan dengan total durasi film yang mencapai 120 menit. Karena hanya sebagai penggambaran saja adanya kebebasan yang salah jika tidak dibekali ilmu yang mencukupi untuk hidup bersosial dalam masyarakat. Satu scene berdurasi 2 menit 15 detik itu cukup menggambarkan kebebasan yang salah tersebut. (3) Scene 109 B Annisa berdiri di tepi pantai. Dia mendekap buku Bumi Manusia. Tak jauh ada segerombolan santri putri sedang duduk bercanda-canda ditepi pantai. Ada lima anak, rata-rata berumur 16 tahun. Annisa berjalan kearah mereka. Mereka ketakutan. SANTRI PUTRI 1 (berbisik) Sari..sarii… ukhti Annisa SANTRI PUTRI 2 Afwan ukhti, kita baru sekali ini kok bolos. Semua anak gelisah. Annisa terus berjalan tak memperdulikan mereka. Mereka salah tingkah. SANTRI PUTRI 2 (CONT'D) Jangan adukan kita ya... ANNISA Bolos? ULFAH Iya ukhti... Kita keluar cuma mau beli majalah kok. Tapi kita gak diizinin. Kata Kyai Reza perempuan gak boleh keluar tanpa muhrimnya. Annisa melihat anak-anak itu satu per satu. Dia baru sadar kalau mereka santri. Annisa tertawa. ANNISA Kalian tenang aja. Ana juga nggak mau kok balik ke pesantren. Para santri saling tatap. ANNISA (CONT’D) Duduk yuk... ayo duduk, sini..!
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seorang anak bermata cerdas menatap Annisa. Namanya ULFAH (16 tahun). Dia melihat buku di tangan Annisa, ULFAH Buku apa itu ukhti? Annisa melihat buku yang dipegangnya. Dia menjawab dengan berbisik. ANNISA Ini buku Bumi Manusia. Karangan Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah pengarang terkenal lho. (beat) Kamu tau gak, dia nulis buku ini dimana? Di penjara... Annisa terus bercerita. Kelima anak itu mendengarkan cerita Annisa dengan kagum. Terutama Ulfah. Potongan gambar scene 109B
Santriwati bolos untuk membeli majalah
Pada scene 28, ketika Annisa kena marah karena dikira nonton bioskop, yanga pada akhirnya dilarang keluar pesantren. Hal ini pun masih terjadi ketika Annisa telah dewasa dan kembali ke pesantren, yaitu scene 109B. dalam scene ini Annisa bertemu dengan santriwati-santriwati yang
masih diperlakukan sama
dengan dirinya bertahun-tahun lalu, yaitu perempuan dilarang keluar pesantren tanpa muhrim sekalipun hanya untuk membeli sebuah majalah. Hingga para santriwati melakukan perlawanan dengan cara membolos dari pesantren hanya untuk membeli majalah tersebut. Kebebasan kalau tidak diberikan dengan semestinya dapat mengakibatkan seseorang melanggar peraturan.
commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(4) Scene 149 Annisa datang bersama para santri yang lain. Seluruh santri heboh. Lalu keluar menatap meraka. Terlihat Kyai Ali, nyai syarifah, Reza, Wildan dan Nyai menatap annisa. Reza bersungut-sungut melihat Annisa. Wildan tersenyum. WILDAN Sukron Nisa… Seorang Nyai menghampiri annisa dan hendak mengambil salah satu santri putrid. Dia sembunyi di belakang Annisa. NYAI SYARIFAH Ulfah sini kamu, kamu harus di hukum. Bikin malu pesantren. ULFA Nyai…. ANNISA Mereka gak berbuat salah. KYAI ALI Nyi Syarifah.. la.. Lalu Annisa menghadap keseluruh santri putri itu. ANNISA Saya belajar satu hal dari mereka, bahwa kebebasan itu harus diraih. (beat) Mereka memang salah, tapi kita tidak boleh membuat suasana yang membuat mereka berbuat salah. REZA Tapi kamu gak pernah ada disini Nis? Kamu gak tau mana yang salah dan mana yang benar. ANNISA kali ini Nisa gak kemana-mana lagi mas, Nisa akan terus ada disini. REZA Terus kamu mau ajari mereka jadi liar, gitu? (beat) Nis, abi kita buat pesantren ini agar perempuan berakhlak baik dan ketika berkeluarga, keluarganya menjadi sakinah Nis. Annisa menatap keseluruh santriwati yang berkumpul. ANNISA Kalian semua adalah calon muslimah… calon istri untuk suami kalian tercinta, dan calon ibu untuk anak-anak yang kalian sayang. Mata para sntriwati menatap kearah Annisa yang sedang berbicara. ANNISA (CONT’D) Surge menurut janji Allah, ada di bawah telapak kaki kita, perempuan. (beat) Tapi jangan lupa satu hal! Bahwa Allah juga memberikan manusia kebebasan. Mau jadi apapun kalian nanti… pilihlah jalan Allah dengan rasa bebas, dan dengan hati yang ikhlas. Annisa menatap Reza, para Kyai dan Nyai di belakangnya. ANNISA (CONT’D)
commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan begitu, insya Allah kita akan hidup dengan tenang dan tanpa rasa benci. Nyai menatap Annisa dengan kagum. Semua santriwati itu tersenyum. Kemudian satu persatu santriwati-santriwati itu menyalami dan mencium tangan Annisa. Potongan gambar scene 149
Annisa membawa pulang santriwati yang melarikan diri dari pesantren
Annisa mengucapkan kata-kata bijak mengenai kebebasan
Para santriwati mencium tangan Annisa
Scene 149, ketika Annisa membawa pulang para santri yang kabur mengikuti seminar menulis di Jogja, karena merasa terkekang di pesantren. Puncaknya ketika semua buku-buku modern milik Annisa dibakar. Kebebasan itu harus diraih. Suasana di pesantren lah yang membuat para santri berbuat salah. Para santri merasa terkekang, tidak bebas, sehingga mereka mencoba meraih kebebasan dengan cara yang salah. Para santri adalah muslimah, calon istri bagi suami dan calon ibu bagi anak-anaknya. Untuk hidup tenang dan tanpa rasa benci, pilihlah jalan Allah dengan rasa bebas dan hati yang ikhlas. Pesantren ini dibuat agar perempuan berakhlak baik, dan ketika berkeluarga, menjadi keluarga yang sakinah. Berakhlak baik bukan berarti harus selalu bergantung pada suami, menurut semua
perkataan suami, menerima perlakuan kasar suami. Allah
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menciptakan laki-laki dan perempuan setara dihadapan Allah. Dalam Al-Quran yang dengan tegas memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling mengenal, kemuliaan manusia tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tetapi dari ketakwannya kepada Allah SWT (QS. Al Hujurat 49:3). Dan tingkat taqwa itu, hanya Allah yang mempunyai otoritas mengetahui tingkat taqwa seseorang. Bahkan perempuan harus lebih dihormati, karena menurut janji Allah, surga adalah di telapak kaki ibu. (5) Scene 153
Dibukanya perpustakaan perjuangan perempuan
Al
Huda
atas
Nyai bangga kepada Annisa
Di scene 153 menggambarkan keberhasilan perlawanana Annisa dalam memperjuangkan sebuah perpustakaan dalam pesantren. Hal ini merupakan tanda runtuhnya sistem patriarki yang di legitimasi oleh tafsir keagamaan yang selama ini di pegang kukuh dalam pesantren. Sehingga keterbatasan-keterbatasan itu mulai menipis dan kesetaraan gender yang diperjuangkan Annisa telah ada di depan mata. Kebebasan perempuan dalam memperoleh ilmu pengetahuan dapat tercapai dengan dibangunnya perpustakaan tersebut.
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Radikal Kaum feminis radikal menganggap penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri dan ideologi patriarkinya. Sejarahnya muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khususnya melawan kekerasan seksual dan pornografi (Brownmiller, 1976).
134
a. Perlawanan terhadap Penguasaan Tubuh Perempuan Kaum laki-laki diuntungkan dengan sistem patriarki ini, baik secara materi maupun fisik. Patriarki merupakan buatan manusia dan proses-proses sejarah telah menciptakannya.135 Pandangan yang bias terhadap perempuan ini, berpangkal dari keinginan kaum laki-laki menguasai mengontrol dan mengeksploitasi tubuh perempuan, terutama kapitalis seksual, atau mengharuskan perempuan bekerja di bidang ’domestik’. Dalam konteks yang lebih luas perempuan menjadi obyek yang inferior dihadapan subyek laki-laki yang superior. Hegemoninya upaya lakilaki (patriarki) sehingga keyakinan gender sudah tertanam di dalam dunia perempuan. Kekerasan adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Adanya stereotipe gender yang menganggap perempuan itu lemah, sehingga mendorong laki-laki untuk bertindak seenaknya pada perempuan. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan 134 135
Mansour Fakih, Op. Cit hal 84-86 Kamla Bhasin, Op Cit, hal 14
commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk lebih halus seperti pelecehan (sexual harasement) dan penciptaan ketergantungan.136 Banyak sekali kekerasan pada perempuan yang ditimbulkan karena adanya stereotipe gender. Pemerkosaan yang merupakan salah satu bentuk violence yang sering kali terjadi, sebenarnya bukan disebabkan karena unsur kecantikan, melainkan karena kekuasaan dan stereotipe gender yang dilekatkan pada kaum perempuan.137 Bahwa karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang amat lama, sehingga menimbulkan kaum perempuan secara fisik lemah dan kaum lakilaki
umumnya lebih kuat.
Hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang
anggapan lemahnya perempuan tersebut tidak mendorong laki-laki boleh dan seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Pengusaan tubuh perempuan dalam film ini digambarkan pada scene sebagai berikut: (1) Scene 42 SAMSUDIN Seorang isteri muslimah WAJIB melayani suaminya. Kalau menunda-nunda, tubuhnya akan dibakar di neraka. Ngerti kamu? Badan Annisa gemetar sambil mengucap istighfar. SAMSUDIN (CONT’D) Biarpun kamu istighfar 1000 kali, Allah gak bakal denger. Kamu durhaka ke suami, tau? Air mata Annisa menetes. Lalu Samsudin menarik Annisa masuk. Annisa meronta. ANNISA Mas, jangan disini ... SAMSUDIN Aku bosan di kasur... Potongan gambar scene 42
136 137
Riant Nugroho, Op. cit, hal 13 Ibid,
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Annisa diperlakukan kasar oleh Samsudin.
Annisa dipaksa masuk kamar mandi
Annisa dipaksa melayani nafsu Samsudin
Annisa diperkosa Samsudin
(2) Scene 45 ANNISA Aku lagi haid, mas. Hari pertama. Mata Samsudin membelalak. SAMSUDIN Haid lagi? Tangan Samsudin mencengkeram pipi Annisa. Matanya melotot. SAMSUDIN (CONT’D) Kamu itu... 'Ditancap' berapa kali juga gak bunting-bunting! Abiku nanya terus Kapan aku punya anak! Aku dianggap laki- laki tolol!!! Ngerti kamu? Mata Annisa mengerjap ketakutan. SAMSUDIN (O.S.) (CONT'D) Dasar mandul! Kamera menangkap bayangan Annisa diperkosa Samsudin ... Potongan gambar scene 45
Annisa sakit perut saat haid hari pertama
commit to user 101
Samsudin masuk kamar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Samsudin mengajak Annisa berjimak
Annisa menolak kemudian diperlakukan kasar oleh samsudin
Annisa diperkosa Samsudin
(3) Scene 46 SAMSUDIN Mau apa kamu? Membunuhku? Annisa tak menjawab. Gunting itu digenggamnya semakin erat. Gunting itu menjadi alat pelindungnya. SAMSUDIN (CONT’D) Ayo bunuh? Kamu tidak saja dilaknat Allah. Tapi juga dikutuk sama semua orang karena membunuh suami kamu sendiri. ANNISA (Tegas dan kuat) Lebih baik aku dikutuk sama semua orang daripada hidup bersama suami seperti kamu!!! Samsudin langsung mundur. Takut. Tapi dia menyembunyikan. Annisa tetap kuat memegang pisaunya. Matanya menajam. Potongan gambar Scene 46
Annisa lari saat diperkosa Samsudin
Annisa mengambil senjata tajam
commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Annisa mengancam Samsudin
Scene 42, terjadi kekerasan dalam rumah tangga dalam hal hubungan seksual. Di dalam perkawinan juga masih terdapat istilah pemerkosaan. Artinya pemerkosaan yang terjadi jika seseorang untuk mendapatkan pelayanan seksual dilakukan secara paksa tanpa mendapat kerelaan dari yang bersangkutan.138 Di scene 45 masih terjadi lagi perkosaan Samsudin terhadap Annisa. Saat Annisa sedang merintih sakit perut karena sedang haid hari pertama, Samsudin tidak mau tau. Ia tetap memaksa Annisa melayaninya. Di scene ini terjadi kekerasan fisik dan psikis. Karena tidak hanya serangan-serangan terhadap fisik Annisa tetapi juga serangan-serangan terhadap psikis yaitu dengan melontarkan katakata kasar. Ketidak relaan dalam melakukan hubungan seksual dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan dari segi ekonomi, sosial maupun kultural sehingga tidak mempunyai pilihan lain. Annisa tidak ingin tubuhnya dikuasai oleh Samsudin, dia berusaha menolak paksaan Samsudin, tapi tidak bisa. Kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Adanya stereotipe gender yang menganggap perempuan itu lemah, sehingga mendorong laki-laki untuk bertindak seenaknya pada perempuan. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik 138
Riant Nugroho, Op. cit, hal 13
commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk lebih halus seperti pelecehan (sexual harasement) dan penciptaan ketergantungan.139 Ketika mendapatkan kesempatan untuk beranjak dari kasur, dia lari dan melakukan perlawanan dengan mengambil senjata sekenanya untuk mengancam Samsudin (scene 46). Annisa sudah jengah dengan penguasaan Samsudin atas tubuhnya. Dalam kehidupan berumah tangga hubungan seksual seharusnya menjadi sesuatu yang baik. Namun karena selalu dipaksakan dapat menimbulkan efek buruk seperi keluarga yang tidak harmonis dan dapat memunculkan trauma. (4) Scene 47 Annisa keluar rumah sambil membawa tas. SAMSUDIN NISA! Kamu mau kemana? Annisa tak peduli. Matanya menatap ke depan. Tiba-tiba teriakan Samsudin hilang berubah menjadi isak tangis. ANNISA Lepasin… aku mau pergi. Aku udah gak tahan lagi. SAMSUDIN (tersedu-sedu) Jangan…jangan…jangan pergi..jangan pergi…jangan pergi, Nis. Aku mohon jangan pergi.. (beat) Aku gak penting mau punya anak apa gak… aku mau kamu Nisa…aku mau kamu…. Annisa terlihat kaget. Dia membalikkan badannya. Dia melihat Samsudin berjongkok dan menangis seperti anak umur tiga tahun. Samsudin segera memeluk kaki Annisa. SAMSUDIN (CONT'D) Aku akan berubah Nisa. Annisa berusaha berjalan lagi. Samsudin terus memohon- mohon sambil meminta maaf. Tangannya memeluk kaki Annisa sehingga Annisa semakin sulit berjalan. SAMSUDIN (CONT'D) Aku berubah Nisa... Aku mau berubah.. Aku janji berubah. Kamu boleh kuliah... Kamu boleh apa saja!
139
Ibid, hal 13
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Annisa tertegun, dia menatap sekelilingnya lalu menatap mata Samsudin. Annisa menatap kedua mata suaminya itu dengan iba. Hatinya luluh. Annisa menghela napas. Potongan gambar scene 47
Samsudin memohon supaya Annisa tidak pergi
Annisa iba dan berhenti
Hubungan antara suami istri disini berantakan dikarenakan laki-laki terlalu egois dan merasa berkuasa. Karena sudah tidak tahan lagi dengan Samsudin, Annisa hendak pergi meninggalkan Samsudin (scene 47). Hal ini merupakan bentuk perlawana Annisa. Ia sudah tidak ingin tubuhnya dikuasai lagi oleh Samsudin, sehingga ia memutuskan untuk pergi. Samsudin tiba-tiba berubah, teriakannya menjadi isak tangis, kemudian berjongkok dan memeluk kaki Annisa serta berjanji akan berubah. Annisa menghela napas iba, dan tidak jadi pergi. Laki-laki dalam sistem patriarki merupakan orang yang berkuasa dalam rumah tangga. Sehingga bisa semaunya sendiri dalam memperlakukan perempuan. namun pada dasarnya laki-laki takut ditinggalkan perempuan karena tidak ada lagi yang melayaninya nanti. Sehingga Samsudin memohon-mohon Annisa untuk tidak pergi meninggalkannya. Sebagaimana dalam
NUJ, 1982, hal 6
mengungkapkan, ”Tidak ada alasan mengapa anak perempuan dan orang wanita harus secara umum dicirikan bersifat emosional, sentimentil, bergantung, rentan, pasif memikat, misterius, rendah, lemah, inferior, gila, lembut, kacau, sombong, intuitif,... Juga tidak ada alasan anak laki-laki dan laki-laki harus
commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diasumsikan sebagai pihak dominan, kuat, agresif, bijak, bernafsu, yakin, berani, ambisius, tidak emosional, logis, mandiri kasar.”140 Perbuatan Samsudin yang tiba-tiba menjadi lemah dan terisak-isak ketika akan ditinggalkan Annisa menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa menjadi sentimental dan inferior. Jadi tidak ada alasan hanya perempuan saja yang secara umum dicirikan sensitif dan inferior.
141
Kata-kata pembuka dalam buku historis
Simone de Beauvoir, The Second Sex, menangkap esensi karakteristik jender: ’seseorang tidak dilahirkan, tapi menjadi, seorang perempuan.’ Seorang perempuan bisa menjadi lebih ’feminin’ dan kurang atau lebih ’maskulin’. Sehingga
seorang
laki-laki
bisa
menampilkan
karakteristik-karakteristik
’feminin’ sama halnya perempuan juga bisa menampilkan sifat ’maskulin’. b. Perlawanan terhadap Penguasaan Tubuh Perempuan Melalui Jalur Hukum Perlawanan perempuan dengan bantuan hukum dalam film ini dibantu oleh LBH (Lembaga Bantuan Hukum) tempat Annisa bekerja. dalam film ini perlawanan terhadap penguasaan tubuh perempuan dapat dilihat di scene-scene ssebagai berikut: (1) Scene 99 Annisa berhadapan dengan seorang ibu muda yang stress. NINA Saya gak sanggup lagi... saya gak sanggup. Dia selalu menyiksa saya. ANNISA Kenapa mbak tidak mencoba pergi? NINA (Suaranya meninggi) Gak bisa… ANNISA 140 141
David Graddol & Joan Swan, Op. cit, hal 185 Ibid, hal 11
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apa mbak pernah mencoba pergi? NINA Gak bisa…. Gak…. ANNISA Mbak pasti bisa mbak, mbak pasti bisa kalau mbak mau….!! Annisa hendak melanjutkan bicaranya tapi ditahan. Umi muda itu menangis. Histeris. Mbak Maryam hanya menggeleng perlahan. Potongan gambar scene 99
Annisa menyarankan Nina untuk pergi (2) Scene 101 Annisa kembali menangani ibu muda itu. Kali ini ibu muda itu mulai terbuka. NINA Setiap kali suami saya ngajak saya ngamar. Perut saya tiba-tiba sakit. Tapi saya sembunyikan. Karena suami saya pasti ngamuk ... dia pasti ngamuk… Annisa menyimak. Matanya tidak lepas dari wajah ibu muda yang lelah. Potongan gambar scene 101
Nina mengatakan sering disiksa suaminya
(3) Scene 104 Palu hakim mengetuk. Annisa, Maryam dan Nina tampak tegang menunggu keputusan hakim. HAKIM Dengan ini saya memutuskan pihak kedua bercerai dengan pihak pertama ... Terdengar suara tepuk tangan. Terlihat Nina berucap syukur. Suami Nina beranjak dari kursi. Pergi dengan kecewa. Annisa dan Maryam terlihat senang. Nina mencium tangan Maryam, dan menjabat tangan Annisa. NINA Terima kasih, mbak... Mbak terimakasih, Mbak telah memberi saya hidup baru
commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Potongan gambar scene 104
Hakim memutuskan Nina bercerai dengan suaminya Di scene 99 seorang ibu muda yang melakukan perlawanan terhadap penguasaan tubuh perempuan melalui jalur hukum yaitu dengan bantuan LBH tempat Annisa bekerja. Digambarkan seorang ibu muda yang sedang konsultasi dengan Annisa. Dia mengatakan bahwa suaminya kerap kali menyiksanya. Langkah ibu muda ini benar, dengan meminta bantuan ke lembaga bantuan Hukum mungkin bisa menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikannya sendiri. Scene 101 ibu muda tadi semakin terbuka dengan menceritakan kehidupan seksualnya. Suaminya akan ngamuk jika dia merasa sakit saat berhubungan seksual, jadi dia selalu menyembunyikan rasa sakitnya agar suaminya tidak ngamuk. Keterpaksaan pada perempuan ini bisa menimbulkan tekanan psikis jika tidak segera diselesaikan. Perempuan tidak berani meninggalkan suaminya yang kerap kali menyiksanya karena alasan anak. Perempuan takut tidak bisa menghidupi anaknya nantinya. Pemikiran seperti itu muncul karena terlalu lama hidup dalam sistem patriarki. Hingga perempuan merasa tidak mampu hidup tanpa laki-laki. Di scene 104, nina dinyatakan bercerai dari suaminya ditandai dengan diketuknya palu dan pembacaan Hakim. Nina tampak bersyukur dapat terbebas dari siksaan suaminya
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan mendapatkan hidup baru sehingga tubuhnya tidak lagi dikuasai mantan suaminya.. Budaya yang diterapkan dalam suatu masyarakat mengakibatkan efek psikologis pada wanita yang menyebabkan mereka tergantung pada laki-laki dari segi emosional dan finansial. Bagaimana mereka merasa hidupnya tidak lengkap apabila tidak ada laki-laki disampingnya, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menjalani hidup. Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem tatanan nilai yang berkembang pada masyarakat Indonesia. Dalam hampir seluruh kebudayaan lokal Indonesia, tidak terkecuali pada budaya matrilineal, konstruksi sosial yang bias gender menunjukkan praktek dominasi yang tinggi dari pihak laki-laki yang menempatkan perempuan hanya sebatas rumah tangga (sektor domestik).142 3. Perlawanan terhadap Patriarki Berdasarkan Feminisme Sosialis (Marxis) Bagi feminis sosialis seperti Einstein, ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dengan perempuan, tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social constructions) terhadap perbedaan itu.143 Bagi penganut feminism ini, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Maka mereka tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya penyebab masalahnya.144 Bagi teori marxis klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga)145. 142
Ulfa Mubarika, Op. cit, hal 143 Mansour Fakih, Op. Cit, hal 89, 144 Mansour Fakih, Op.Cit, hal 89 145 Ibid, 143
commit to user 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Perlawanan terhadap Struktur Domestik Perempuan Dalam pengalaman sejarah perempuan kehidupannya sudah dijalankan sejak dini oleh ideologi gender masyarakat. Dalam hal ini perempuan harus berusaha menantang semua kelemahan yang telah dipolakan secara kultural dari awal kehidupannya.146 Ada banyak faktor mengapa kaum perempuan mengalami bias gender, sehingga mereka belum setara. Pertama, budaya patriarki yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik yang belum sepenuhnya berpihak pada kaum perempuan. Ketiga, faktor ekonomi dimana
sistem
kapitalisme
global
yang
melanda
dunia,
sering
kali
mengeksploitasi kaum perempuan. Keempat faktor interpretasi teks-teks agama yang bias gender.147 Perlawanan terhadap struktur domestik perempuan dalam film ini dapat digolongkan menjadi: 1) Perlawanan Perempuan untuk Tidak Harus Bekerja di Rumah. Peran gender perempuan adalah
memngelola rumah tangga, sehingga
banyak perempuan menanggung beban kerja domestik yang lebih banyak dan lebih lama. Peran gender tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa perempuan harus bertanggung jawab atas terlaksanyanya keseluruhan kerja domestik, sehingga akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas domestik tersebut. Dalam film ini dapat dilihat dalam scene-scene sebagai berikut:
146
Prof. Dr. Hj. Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis, (Bandung: Yrama Widya, 2009), hal 170 147 Ibid, hal 15
commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1) Scene 8 Annisa melepaskan tangannya dari genggaman uminya. Matanya marah. Nyai menghela napas menyabarkan diri melihat anak perempuannya itu. Dia mendekati Annisa dengan lembut. REZA Eh, udah sana perempuan didapur aja ANNISA Iihh.. Umi nggak adil… NYAI (CONT’D) Nis, kowe kenopo tho, nglawan terus sama Umi sama Abi? Annisa semakin cemberut. Tangannya bersidekap dan tak mau melihat uminya. Potongan gambar scene 8
Annisa protes karena tidak boleh naik kuda dan harus bekerja di dapur
Scene 8, perlawanan Annisa ditunjukkan dengan protes-protesnya. Dalam film ini digambarkan sejak dari kecil perempuan telah disosialisakikan untuk menekuni peran gender mereka, yaitu dialog dari Reza yang menyatakan bahwa perempuan di dapur saja.
Hal ini menyatakan pendapat masyarakat bahwa
pekerjaan di dapur atau pekerjaan domestik merupakan tanggung jawab perempuan. Ini telah ditanamkan sejak kecil, bahwasanya perempuan di dapur dan laki-laki menafkahi. Sehingga banyak yang merasa ‘terima’ dengan keadaan seperti itu. (2) Scene 24 KYAI ALI (O.S.) Banyak sekali perempuan yang mengaku modern berani minta cerai kepada suaminya. Wajah Annisa tampak tidak setuju dengan penjelasan Kyai Ali. Dia melihat teman-temannya yang tampak biasa saja mendengar penjelasan Kyai Ali.
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KYAI ALI (O.S.) Padahal apabila seorang istri mengatakan kepada suaminya aku minta cerai! Maka akan datang pada hari kiamat nanti dengan muka tidak berdaging, lidahnya keluar dari kuduknya dan terjungkir di kerak jahanam. Sekalipun dia berpuasa di siang hari dan malam hari bangun shalat selamanya. Potongan scene 24
Annisa tidak setuju dengan ajaran Kyai Ali
Kemudian dalam scene 24, perlawanan Annisa ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan tidak setuju yang dilontarkannya kepada Kyai Ali. Istri yang berani minta cerai kepada suami maka pada hari kiamat ia akan datang dengan muka tidak berdaging. Lidahnya keluar dari kuduknya dan terjungkir di kerak jahanam. Sekalipun dia berpuasa disiang hari dan malam hari bangun shalat selamanya. Penafsiran ayat ini sangat mendorong patriarki. Mengagungkan lakilaki dan menomorduakan perempuan. perempuan menjadi tidak punya hak apapun dalam perkawinan. Kaum laki-laki diuntungkan dengan sistem patriarki ini, baik secara materi maupun fisik. Patriarki merupakan buatan manusia dan prosesproses sejarah telah menciptakannya.148 Pandangan yang bias terhadap perempuan ini, berpangkal dari keinginan kaum laki-laki menguasai mengontrol dan mengeksploitasi tubuh perempuan, terutama kapitalis seksual, atau mengharuskan perempuan bekerja di bidang ’domestik’. Dalam konteks yang lebih luas perempuan menjadi obyek yang inferior dihadapan subyek laki-laki yang superior. 148
Kamla Bhasin, Op Cit, hal 14
commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hegemoninya upaya laki-laki (patriarki) sehingga keyakinan gender sudah tertanam di dalam dunia perempuan. (3) Scene 31 ANNISA Terus gunanya Nisa apa,? Kyai Hanan merendahkan suaranya. KYAI HANAN Yaa, Nanti kamu mengerti setelah kamu menikah. Membangun keluarga sendiri. (MORE) Punya suami... Punya anak. Itu sumber pahala kamu, Nisa. Potongan gambar scene 31
Annisa protes tidak diijinkan kuliah karena pahala perempuan ada di rumah tangga
Kemudian di scene 31 dinyatakan bahwa gunanya perempuan adalah setelah ia menikah, membangun keluarga, punya suami, punya anak. Perempuan bertugas mengurusi pekerjaan rumah tangga. Jadi perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya hanya akan mengurus rumah tangga. Annisa tetap saja bersikeras kuliah dengan membandingkan dirinya dengan kakak lakilakinya yang harus kuliah sampai ke luar negeri. Namun semua keputusan ada di Kyai Hanan, Annisa diharuskan menikah. Stereotipe perempuan adalah mengurus rumah tangga berpengaruh terhadap pendidikan, karena stereotipe itu mendorong penomorduaan pendidikan perempuan, sehingga berakibat kebodohan dan selalu bergantung pada laki-laki. Kate Millet, dalam bukunya yang terkenal Sexual
commit to user 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Politics, beranggapan bahwa sistem patriarki adalah faktor utama yang menyebabkan pembagian kerja secara seksual. Ia menyatakan: “Begitu sempurna sistem sosialisasi dari patriarki, begitu lengkap nilai-nilai yang dipupuk dan dikembangkannya, begitu lama dan begitu universal nilai-nilai ini disebarluaskan sehingga untuk melaksanakan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, kekuatan fisik yang kasar hampir tidak diperlukan.”149 Sosialisasi pembagian kerja secara seksual ini telah ditanamkan sejak kecil. Hingga banyak perempuan yang merasa “terima” dengan kekuasaan laki-laki, walau tanpa pemaksaan sekalipun. Hegemoni patriarki telah berakar dalam masyarakat kita, sehingga menimbulkan diskriminasi gender, yang pada umumnya merugikan perempuan. (4) Scene 36 ANNISA Enak jadi kamu. Bisa pulang seenaknya. SAMSUDIN Maksud kamu? ANNISA Kapan aku boleh kuliah? Samsudin menghela napas sambil memegang kepalanya yang pusing. SAMSUDIN Mikirin kuliah tu Ngapain? hidupmu sekarang tu udah enak. Tinggal duduk manis tenang dirumah nunggu suami pulang. Dihormati orang jadi mantu Kyai? Kurang apa coba?! Potongan gambar scene 36
Samsudin melarang Annisa kuliah Dan menganggap enteng kerjaan Annisa dirumah
149
Arif Budiman, Op. Cit, hal 41
commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya di scene 36, yaitu scene ketika Annisa bertanya kapan dia boleh kuliah, Samsudin menganggap kuliah itu tidak perlu karena Annisa telah hidup hidup enak di rumah, hanya tinggal duduk tenang menunggu suami pulang. Di sini pekerjaan domestik dianggap tidak berat sama sekali. Pekerjaan domestik hanya dipandang sebelah mata. Sedangkan keinginan untuk belajar dianggap tidak perlu, karena tanpa kuliahpun Samsudin menganggap hidup istrinya sudah enak. Kebutuhan manusia tidak hanya materi, kebutuhan akan pendidikan juga penting. Dengan membatasi pendidikan perempuan dan menganggap enteng pekerjaan domestik, merupakan akibat dari bias gender terhadap perempuan. (5) Scene 39
Annisa sedang memasak di dapur
Samsudin minta dibuatkan kopi
Annisa memecahkan gelas, dan mengambil remahannya
Samsudin membanting peralatan rumah tangga
commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Samsudin marah dan menyebut Annisa goblok
Dalam scene 39 digambarkan Annisa sedang mengerjakan pekerjaan domestik yaitu memasak, sedangkan Samsudin sedang santai menonton Televisi. Dengan kasar Samsudin menyuruh Annisa membuatkan kopi. Karena sedang sibuk memasak Annisa tidak bisa dengan segera membuatkan kopi. Samsudin marah dan semakin membentak hingga Annisa kaget dan memecahkan gelas. Dalam hal ini Samsudin menganggap membuatkan kopi adalah salah satu perbuatan melayani suami, yang merupakan tugas perempuan. Tugas perempuan membuatkan kopi suami merupakan bentukan dari sosial budaya masyarakat bukan kodrati sebagai wanita. Kenapa Samsudin tidak membuat kopi sendiri, toh Annisa sedang sibuk memasak dan dirinya sedang santai. (6) Scene 115 ANNISA Kalau boleh Nisa mau membangun perpustakaan. Nisa juga mau ngajar nulis, supaya para santri bisa punya wadah untuk berkreasi. Reza melirik ke Wildan dengan pandangan tak suka. Wildan menggeleng menyuruh Reza diam saja. Tapi Reza keburu menatap Annisa dengan kesal. REZA Mereka bukan kamu, Nis. Kita gak boleh mengajari mereka menjadi perempuan yang liar. Nanti mereka bisa keluar dari kodratnya ... ANNISA Kodrat yang mana maksud Mas? Kodrat bahwa perempuan harus terus berlindung diketiak suami? menerima perlakuan kasar suami? Atau ... REZA Kamu gak boleh perlakukan diri kamu sama dengan mereka. ANNISA
commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mereka akan sama seperti Nisa kalau gak dikasih ruang untuk berpendapat, Mas. REZA Perempuan sudah mendapatkan surganya tanpa harus berpendapat. Itu Janji Allah di dalam Kitab suci Quran. Dengan menjaga sikap perempuan sudah mendapatkan surganya. Bukan begitu Kyai? Potongan gambar scene 115
Annisa menentang pernyataan Reza Bahwa kodrat perempuan adalah dibawah laki-laki
Scene
115,
perlawanan
Annisa
dilakukan
dengan
mengutarakan
keinginannya untuk membangun sebuah perpustakaan di Pesantren Al Huda. Dengan banyak membaca buku Annisa berharap para santriwati dapat mempunyai wawasan yang lebih luas. Annisa ingin mengajar menulis supaya para santri mempunyai wadah untuk berkreasi. Keinginan Annisa ditolak mentah-mentah oleh Reza, kakak Annisa.
Reza takut jika perempuan membaca buku-buku
modern, mereka akan keluar dari kodratnya. Kodrat perempuan dalam konsepsi Reza adalah mengurus rumah tangga dan melayani suami. Sedangkan pengertian kodrat adalah sifat nature manusia, yaitu segala sesuatu pemberian Tuhan, seperti perempuan hamil, melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak. Yang dimaksud Reza kodrat perempuan mengurus rumah tangga dan melayani suami merupakan sifat nurture manusia. Yaitu bentukan dari sosial budaya masyarakat sendiri, bukan kodrati. Magie Humm, mengutip pernyataan Dorothy Dinnerstein, seorang psikoanalisis, yang menyatakan bahwa patriarki atau penyingkiran perempuan dari sejarah berasal dari pembentukan gender laki-laki dan perempuan
commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
serta standar ganda yang mengikutinya.150 Citra umumnya yang biasa dihayati perempuan adalah citra yang dianut oleh kaum laki-laki, bahwa perempuan itu harus sabar, tabah, penyayang, keibuan, patuh, suka mengalah, sumber kedamaian dan keadilan, pandai mengurus suami, anak-anak dan rumah tangga, selalu cantik, langsing, awet muda, tidak boleh mengeluh. 2) Perlawanan Perempuan Agar Tidak Dibebani Peran Ganda. Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menganggung beban kerja domestik. lebih banyak dan lebih lama dibanding dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Dengan demikian sebenarnya kaum perempuan ini menjadi korban dari bias gender dalam masyarakat.151 Untuk perempuan yang bekerja diluar rumah, beban kerja terjadi dua kali lipat bagi perempuan. dalam film ini terdapat dalam scene: (1) Scene 94 Terlihat sebuah tangan mencuci piring. Itu adalah tangan milik Khudori. Annisa memperhatikan suaminya yang asyik mencuci piring itu dengan tatapan penuh kasih. Annisa duduk di ruang makan - di meja makan yang menyatu dengan dapur. Selesai mencuci piring. Khudori menghantarkan segelas teh ke Annisa yang asyik mengetik di meja makan. Dia menaruh gelas itu di hadapan Annisa. Annisa kaget. KHUDORI Ini minum dulu tehnya. ANNISA (tersenyum terharu) Sukron Lek. 150 151
Magie Humm, Op. cit, hal:334 Riant Nugroho, Op. Cit, hal 16-17
commit to user 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Khudori mencuci piring
Annisa melihat Khudori mencuci piring
Khudori membuatkan the untuk Annisa
Annisa mengetik sambil minum teh buatan Khudori
Pada scene 94 di gambarkan Khudori sedang mencuci piring dan membuatkan teh untuk istrinya sedangkan Annisa sedang mengetik. Selain bekerja di LBH, Annisa bekerja sebagai penulis yang banyak menulis dirumah. Annisa tidak dibebani peran ganda sebagai ibu rumah tangga. Khudori mengerjakan pekerjaan rumah tangga ketika Annisa
sedang sibuk mengetik.
Bahkan Khudori menyiapkan teh untuk Annisa. Karena Annisa sedang sibuk dan Khudori sedang santai, sehingga tidak masalah jika dia membuatkan teh untuk istrinya tersebut. Tidak ada salahnya seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik. Karena mengerjakan pekerjaan domestik bukanlah kodrat sebagai perempuan. Kodrat perempuan adalah melahirkan dan menyusui sedangkan lakilaki tidak. Perempuan melahirkan dan menyusui inilah yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Jadi tidak ada alasan membebankan semua pekerjaan domestik
commit to user 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepada perempuan, hal ini terjadi karena bentukan sosial budaya masyarakat sendiri. (2) Scene 103 Annisa sedang berdiri melamun menatap jendela. Khudori datang membawa sarapan. Annisa menatap suaminya dengan pandangan sayang ... KHUDORI Sarapan dulu Nis,
Potongan gambar Scene 103
Annisa sedang resah
Khudori membuatkan sarapan untuk Annisa
Begitu pula di scene 103, Khudori menyiapkan sarapan dan mengingatkan istrinya untuk segera sarapan, ketika istrinya sedang galau memikirkan pekerjaannya. Disaat seperti ini Annisa tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan baik. Khudori menyadari hal tersebut, sehingga tidak membebankan pekerjaan rumah tangga sepenuhnya pada Annisa. (3) Scene 108 Annisa dan Khudori sedang memasak bersama. KHUDORI Eh, Nis kamu masih inget temenku pak Ruli gak? Itu lho temenku yang dosen filsafat... ANNISA Oh,Iya-iya, aku inget mas, kenapa? KHUDORI
commit to user 120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masak anaknya sudah lahir lho, Nis. Cewek. Lucu banget. Beratnya 3,5 kilo. Katanya, istrinya terpaksa di-caesar soalnya bayinya udah sepuluh bulan lebih gak mbrojol-mbrojol. Sementara Khudori bercerita, Annisa tercenung sendiri, lalu meletakkan pekerjaan dan menjauh dari Khudori. Khudori heran melihat itu.
Potongan gambar scene 108
Annisa menggoreng tempe
Khudori membantu Annisa memasak
Pada scene 108, tampak Annisa dan khudori sedang memasak bersama. Dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersama, akan meringankan beban satu sama lain. Beban kerja yang di emban wanita banyak disepelekan oleh lakilaki, karena dianggap mudah. Beban kerja yang diakibatkan dari bias gender tersebut kerap kali diperkuat dan disebabkan oleh adanya keyakinan atau pandangan masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik dianggap dan dinilai lebih rendah dari jenis pekerjaan yang dianggap sebagai jenis pekerjaan laki-laki, dan dikategorikan sebagai pekerjaan yang bukan produktif. Sementara itu kaum perempuan, berkaitan dengan anggapan gender, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Dilain pihak, laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Semua itu
commit to user 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan.152 Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, film ini juga telah berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali. Karena itu, “Perempuan Berkalung Sorban” mengajak para pemirsa untuk melakukan perlawanan secara proporsional terhadap sistem budaya patriarki. Perlawanan proporsional dimaksud meliputi perlawanan perempuan atas laki-laki, serta perlawanan perempuan terhadap kelengahan kaumnya sendiri. Film “Perempuan Berkalung Sorban” memberikan suatu fenomena tersendiri dalam perkembangan film di Indonesia terutama yang menyangkut masalah perempuan. Film ini ternyata dapat memberikan aspirasi untuk perempuan. Permasalahan perempuan yang diangkat ternyata memperlihatkan strategi khusus yang dapat memberikan celah yang mampu menginsipirasi bagi yang menontonnya. Terlebih lagi jika yang menonton adalah perempuan dan memiliki permasalahan yang sama. Sehingga film ini memiliki kelebihan tersendiri yakni memberikan suatu empowering pada perempuan.
152
Riant Nugroho, Op. Cit, hal 17
commit to user 122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah melakukan analisis terhadap data yang ada, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Secara umum terlihat kesan bahwa film “Perempuan Berkalung Sorban” dalam menyajikan wacana patriarki memberikan penekanan pada gambaran perlawanan perempuan terhadap patriarki. Secara keseluruhan perlawanan terhadap patriarki dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” terdiri dari tiga konsep dasar feminisme, 1. Perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminisme liberal. Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. a.
Perlawanan terhadap patriarki untuk memperjuangkan persamaan hak. 1) Persamaan hak dalam bidang pendidikan Dalam film ini, laki-laki dan perempuan tidak mempunyai hak yang sama dalam bidang pendidikan. Laki-laki diharuskan sekolah tinggi sedangkan perempuan tidak diijinkan sekolah. Perlawanan dilakukan tokoh utama sejak masih kecil karena ia merasa diperlakukan tidak adil dengan kedua kakak laki-lakinya.
commit to user 123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Perlawanan untuk mendapatkan pendidikan. Perlawanan Annisa dalam mendapatkan pendidikan ditunjukkan dengan protes-protesnya sejak ia masih kecil dan juga usahanya untuk mendapatkan beasiswa untuk kuliah. b) Perlawanan untuk mendapatkan penunjang pendidikan Perlawanan Annisa untuk mendapatkan penunjang pendidikan dilakukan dengan usaha-usahanya memberikan buku-buku bacaan kepada para santriwati dan juga usulannya untuk mendirikan sebuah perpustakaan modern di pesantren. 2) Persamaan hak dalam bidang politik Dalam film ini, laki-laki dan perempuan tidak mempunyai hak yang sama dalam bidang politik. Di sini agama tidak membenarkan seorang perempuan menjadi pimpinan. a) Perlawanan untuk menjadi ketua kelas Annisa tidak dapat menjadi ketua kelas walaupun dia yang memenangkan voting. Itu karena dalam Islam perempuan tidak boleh jadi pimpinan. Perlawanan Annisa ditunjukkan dengan meninggalkan kelas karena tidak setuju dengan keputusan dari Pak Guru, dan mencoba mengatakannya kepada Kyai Hanan, namun ia malah dihukum.
commit to user 124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Perlawanan untuk menjadi ketua RT Perlawanan perempuan untuk menjadi ketua RT terdapat dalam dialog yang menyatakan bahwa di Indonesia perempuan yang menjadi ketua RT masih sering dipanggil Pak RT. Hal ini dijadikan topik suatu percakapan yang membuktikan bahwa perempuan concern mengenai hal tersebut. b.
Perlawanan untuk mendapatkan kebebasan 1) Kebebasan mengeluarkan pendapat Indonesia adalah Negara hukum yang melindungi setiap warga Negara dalam
melakukan
setiap
bentuk
kebebasan
berpendapat,
menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, namun dalam film ini digambarkan bahwa kebebasan masih harus diperjuaangkan. a) Kebebasan mengeluarkan pendapat yang dianggap tabu dilakukan perempuan Perlawanan Annisa untuk mendapatkan kebebasan mengeluarkan pendapat, sekalipun yang dianggap tabu dilakukan dengan protesprotes Annisa mengenai perbedaan perlakuan antara dirinya dan kedua kakak laki-lakinya. Ketika kedua kakaknya diperbolehkan naik kuda sedangkan dirinya tidak diperbolehkan, karena naik kudaa dianggap tabu untuk perempuan.
commit to user 125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Kebebasan beraktifitas di luar rumah Dalam film ini perempuan dilarang keluar dari pesantren dengan alasan apapun, merupakan pembatasan dari hak manusia untuk mendapatkan kebebasan, baik laki-laki maupun perempuan. Perlawanan dilakukan dengan cara memberikan masukan-masukan kepada pengurus pesantren sampai dengan jalan negatif seperti membolos dan kabur dari pesantren. 2. Perlawanan terhadap patriarki terhadap feminism radikal Kaum feminis radikal menganggap penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, berakar dari jenis kelamin laki-laki itu sendiri dan ideologi patriarkinya. a. Perlawanan terhadap penguasaan tubuh perempuan Perlawanan terhadap penguasaan tubuh perempuan dalam film ini, di lakukan dengan penolakan-penolakan Annisa saat dipaksa berhubungan suami istri. Annisa juga mengancam suaminya dengan senjata tajam ketika suaminya sudah keterlaluan. Bahkan Annisa juga hampir meninggalakan suaminya karena perbuatannya yang tidak diinginkan Annisa atas tubuhnya. b. Perlawanan terhadap penguasaan tubuh perempuan melalui jalur hukum Perlawanan terhadap penguasaan tubuh perempuan melalui jalur hukum dalam film ini dilakukan dengan bantuan LBH dan kemudian perkara ini disidangkan yang menghasilkan perceraian. Perceraian dalam hal ini membebaskan tubuh perempuan atas segala perbuatan yang tidak dinginkan perempuan pada tubuhnya yang dilakukan laki-laki.
commit to user 126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Perlawanan terhadap patriarki berdasarkan feminism sosialis (marxis) Bagi penganut feminism sosialis (marxis), penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Perlawanan ditujukan pada segala perbuatan yang mengeksploitasi tubuh perempuan yang menyangkut beban kerja dan juga stereotipe pada perempuan. a. Perlawanan terhadap struktur domestik perempuan Dalam film ini perempuan kehidupannya sudah dijalankan sejak dini oleh ideologi gender masyarakat. Dalam hal ini perempuan harus berusaha menantang semua kelemahan yang telah dipolakan secara kultural dari awal kehidupannya. 1) Perlawanan perempuan untuk tidak harus bekerja di rumah Perlawanan perempuan untuk tidak bekerja di rumah ditunjukkan dengan mengatakan keinginannya untuk kuliah yang diutarakan Annisa kepada bapak dan juga suaminya. Sehingga tidak harus selalu mengerjakan pekerjaan rumah. 2) Perlawanan perempuan untuk tidak di bebani peran ganda. Untuk perempuan yang bekerja diluar rumah, beban kerja terjadi dua kali lipat bagi perempuan. Dalam film ini terdapat saling pengertian antara Khudori dan Annisa. Sehingga walaupun Annisa bekerja sebagai konsultan LBH dan juga sebagai penulis ia tidak dibebani peran ganda dalam rumah tangga. Karena pekerjaan rumah tangga dilakukan bersama dengan suaminya tidak membedakan lakilaki dan perempuan.
commit to user 127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam riset mengenai film, terutama film yang bertemakan kritik sosial, diharapkan menganalisis beberapa film. Untuk penelitian lebih lanjut diharapkan untuk melakukan penelitian mengenai efek media, dengan begitu tentunya dapat lebih mengungkapkan wacana-wacana ketertindasan pihak-pihak minor oleh kelompok dominan. Dalam perkembangan film sekarang ini banyak film-film yang dihasilkan hanya untuk mengejar sisi komersil semata. Oleh karena itu, kini sudah saatnya para sineas film untuk lebih memahami bahwa film dapat menjadi wahana bagi pembebasan. Film yang bertemakan kritik sosial jumlahnya masih sedikit dibandingkan tema-tema tentang seks dan horor seperti yang berkembang saat ini. Semoga ini dapat menjadi pertimbangan bagi produsen film dan pemerintah untuk terus meningkatkan film yang bertemakan kritik sosial. Kepada komunikator, sebaiknya mendalami lebih dalam lagi mengenai film yang akan dibuat, film yang mengangkat agama tentu lebih riskan menuai kontroversi. Terlepas dari unsur agama, film “Perempuan Berkalung Sorban” ini menggambarkan perlawanan perempuan terhadap patriarki, dimana perempuan terdiskriminasi. Semoga film ini dapat memberikan inspirasi bagi para perempuan agar tidak selalu berada di bawah budaya patriarki yang telah mengakar, sehingga perempuan juga mendapatkan kesetaran hak dan kebebasan tanpa adanya ancaman dan tekanan.
commit to user 128