Prosiding SNaPP2011: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN 2089-3590
Mimpi Perempuan sebagai Pemberontakan terhadap Rasionalitas Patriarki: Analisis Tokoh dalam “Cala Ibi” Karya Nukila Amal Andhika Pratiwi Program Studi Sastra Inggris, Universitas Al Azhar Indonesia, Jl. Sisingamangaraja - Jakarta 12110 e-mail:
[email protected]
Abstrak. Cala Ibi ditulis Nukila Amal dengan rangkaian kata-kata berima laiknya puisi. Teknik tersebut menyiratkan gaya penulisan perempuan yang mengalir, bertumpuk-tumpuk, dan bias antara kenyataan dan impian. Teknik tersebut sangat berbeda dengan teknik penulisan pada umumnya yang cenderung tertib, kronologis, dan merujuk pada alur linear yang konservatif. Gaya penulisan unik tersebut sangat berpengaruh pada tema perempuan yang digambarkan selalu mempertanyakan eksistensi dirinya di tengah dunia dikuasai oleh sistem patriarki. Analisis novel ini akan mengeksplorasi sudut pandang tokoh utama bernama Maya, seorang perempuan yang bermimpi. Selanjutnya, melalui mimpi-mimpinya, akan diperlihatkan bagaimana tokoh tersebut dengan aktif memperdebatkan dan mendekonstruksi dunia rasio yang dingin dan dianggapnya tidak manusiawi.
Key Words: Cala Ibi, gaya penulisan perempuan, mimpi, rasionalitas, dekonstruksi, patriarki
1.
Pendahuluan
Cala Ibi ditulis dengan gaya yang berbeda dengan novel-novel lainnya. Umumnya, novel ditulis dalam bentuk prosa. Namun, Nukila Amal menulis Cala Ibi dengan rangkaian kata-kata yang berima, laiknya penyair menulis puisi. Tulisan seperti ini mengacu pada keunikan tulisan perempuan. Gaya penulisan tersebut menyiratkan kekayaan intelektual perempuan yang tidak hanya tunduk pada gaya penulisan konvensional yang disebut “realis, runtut, dan logosentris” (2005:9). Dengan penulisan yang mengalir, model penceritaan yang bertumpuk, dan bias antara dunia nyata dan khayal, Nukila Amal merupakan salah satu penulis perempuan Indonesia yang merepresentasikan perempuan yang aktif mempertanyakan, memperdebatkan, dan mendekonstruksi dunia yang dikonstruksi patriarki untuknya. Konstruksi patriarki yang benar-benar direpresentasikan dalam novel ini adalah rasionalitas. Rasionalitas menekankan pada hal-hal yang dapat diterima dengan akal sehat. Descartes dalam Adian menyebutkan bahwa Seluruh pengetahuan yang dimiliki manusia harus disangsikan termasuk pengetahuan yang dianggap paling pasti sekali yaitu pengetahuan tentang dunia eksternal di luar subjek manusia. … kebenaran yang tidak dapat disangsikan lagi oleh Descartes yaitu ‘aku yang berpikir’…, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti-tak tergoyahkan … karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. (2002:45-46)
301
302 |
Andhika Pratiwi
Kesadaran diri dan tindak berpikir sangat penting bagi penganut rasionalisme. Konstruksi patriarki mempergunakan konsep ini untuk melanggengkan kekuasaannya. Menurut mereka, Orang-orang yang rasional akan menolak keberadaan yang sifatnya tidak pasti, seperti dongeng, mitos, legenda, dan mimpi. Kepastian bersumber pada ‘aku yang berpikir’, subjek yang menggunakan logikanya secara benar, bukan terbuai mimpimimpi atau khayalan-khayalan tidak berdasar. Tokoh Maya Amanita dalam Cala Ibi digambarkan sangat rasional dan penuh dengan keteraturan. Ia tidak percaya mimpi karena bermimpi adalah bagian dari ketaksadaran, fase tidur, yang akan “hilang di pagi hari” (2003:8). Mimpi hanyalah khayalan-khayalan semu yang membuai orang-orang yang tidak berpikir. Maya adalah golongan intelektual yang berpikir dan sadar dengan kenyataan yang sebenarnya. Ia mewarisi sifat rasional itu dari ayahnya dan mempercayai bahwa “dunia nyata hanya ada di pagi hari, ketika sadar” (2003:8). Maya mengidentifikasikan dirinya dengan ayahnya yang merupakan representasi dari konstruksi patriarki. Cara berpakaian yang formal dan bertindak yang teratur dan taktis didapatkan Maya dari sang ayah yang seorang ilmuwan kelautan. Dunianya adalah dunia yang terberi oleh sang ayah mulai dari nama sampai dengan sifat dasar yang disebutnya “lahir dari belahan kepalanya [kepala ayahnya] seperti Athena” (2003:8). Tokoh Maya merujuk keberadaan dirinya yang benar-benar dipengaruhi kepala (rasio, akal sehat, dan kesadaran) dan ayahnya sebagai wujud yang ada dan dapat ia lihat serta tiru dari sifat-sifat “kepala” tersebut. Selain itu, merujuknya tokoh Maya pada Athena adalah rujukan pada para ilmuwan dan filsuf masa Pencerahan (terutama di Eropa abad ke-15 dan abad ke-16) yang menggali kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, dan keteraturan yang anggun dan agung pada ajaran-ajaran Yunani dan Romawi Kuno. Dunia Maya jelas adalah dunia patriaki barat yang rasional. Maya mengenali dirinya yang utuh dan teratur melalui ayahnya. Keadaan ini pernah disinggung oleh Lacan sebagai salah satu tahap perkembangan psikis pada manusia yang disebut “mirror stage”. Pada tahapan ini, seorang anak mengenali dirinya sendiri dan lingkungan disekitarnya melalui perantaraan cermin. Bayangan cermin (image) yang dilihatnya dianggap gambaran utuh dirinya (2001:173). Maya melihat keutuhan dirinya dengan cara bercermin dari hal-hal yang dianggap ayahnya—sebagai representasi patriarki—rasional dan penuh kepastian. Caranya menjalani pekerjaannya sangat mewakili keadaan ini. Berikut kutipan tentang hal tersebut. … Dengung faksimili. Dengkur computer. Mataku mengerjap-ngerjap mengikuti kelap-kelip karser, mataku menjelajahi kalender. Jariku mengetikkan huruf-huruf angka-angka, berhitung beranalisa. … Apa saja yang menaikkan adrenalin, tidak boleh marah. … Amarah hanya energi negatif yang akan menghanguskan diriku seperti api. Telepon ketiga puluh sembilan (aku menghitung), pada malam jam setengah delapan (aku menghitung waktu). (2003:105)
Pekerjaan Maya berkutat pada hal-hal yang sifatnya teknis dan kaku. Semuanya diukur dari analisa angka-angka yang menjemukan dan penuh keteraturan. Perasaan pribadi pun tidak boleh ikut campur di dalamnya. Maya tidak boleh merasa marah atau kesal karena emosi-emosi tersebut dianggap sebagai hambatan sebuah sistem besar yang selama ini menaunginya.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Mimpi Perempuan sebagai Pemberontakan terhadap Rasionalitas Patriarki: Analisis Tokoh dalam “Cala Ibi”...
| 303
Keutuhan dirinya mulai goyah ketika ia mendengar ibunya bermimpi buruk tentang abangnya. Beberapa hari kemudian, abangnya mendapat kecelakaan. Maya mulai resah dengan kenyataan bahwa mimpi ibunya menjadi kenyataan. Ia mulai bertanya-tanya tentang hal-hal yang diperlihatkan dalam mimpi yang sebelumnya dia anggap tidak berdasar dan tidak pernah ia perdulikan. Maya pun akhirnya bermimpi tentang namanya. Aku memimpikan nama… Sebuah nama yang bukan namaku… Nama itu, terdengar seperti namaku sendiri, tapi bukan punyaku. Ada huruf lain, huruf hidup, yang tak ada dalam namaku. Maia. Huruf-huruf yang tertera, seperti tertulis, seperti datang dari seberang sana. Dan aku mengeja, membacanya, suaraku pelan berubah kian keras, meneriakkannya. Tapi seperti bukan suaraku. (2003:9)
Mimpi tentang nama berhubungan dengan kegelisahan Maya terhadap keajegan identitasnya sendiri. Keutuhan diri yang seolah-olah telah didapatkannya melalui berbagai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan keteraturan yang diajarkan dan diwariskan ayahnya berangsur menjadi semu. Maya dihadapkan dengan sosok yang lain dalam mimpinya, yaitu Maia. Ia mengenali Maia sebagai dirinya yang lain, seseorang yang berasal dari dunia yang belum pernah ia kenali, sang liyan (the other). Ketertarikan terbesar Maya terhadap Maia adalah huruf mati “y” pada namanya berganti huruf hidup “i”. Maya menyadari bahwa kehidupan yang dijalaninya sekarang penuh dengan aturan-aturan yang membuatnya tidak berdaya dan terkungkung. Maia yang berasal dari dunia mimpi seperti hendak menyadarkannya dan membuatnya melihat kenyataan lain yang ada di luar kehidupan rasional membosankan yang Maya kenal. Maia menghidupkan Maya melalui pembentukan atau penulisan ulang identitas diri. Penulisan ulang identitas diri ini pun dilakukan oleh Maya dengan cara menuliskan mimpi-mimpinya dalam buku bersampul hitam. Mimpi Maya selanjutnya yang sangat penting adalah pertemuannya dengan keponakannya, Laila. Pertemuan Maya dan Laila dalam mimpi tersebut menyebabkan Maya meragukan semua hal yang ia percayai selama ini. Maya begitu saja percaya ketika Laila menamai benda di tangannya sebagai “mutiara”. Laila mempertanyakan kekritisan Maya dalam menghadapi segala sesuatu. Laila mempertanyakan otoritas absolut yang dimiliki Maya dan orang-orang dewasa lainnya untuk “menyimpulkan, menafsirkan, menilai, menghakimi, menamai” (2003:19). Laila menuding kemapanan dan kepercayaan diri yang dimiliki orang-orang dewasa dalam meyakini seluruh konsep kehidupan yang dijalani secara begitu saja, tanpa keraguan dan kepenasaran akan hal-hal yang berjalan tidak semestinya. Saat Maya bermimpi tentang pertemuannya dengan Laila, sekali lagi ia dihadapkan dengan sang liyan, dirinya yang lain, yang diproyeksikan melalui sudut pandang Laila yang tiba-tiba dapat berbicara begitu lancarnya (mirip dengan cara orang dewasa berbicara). Laila bahkan memperlakukan Maya dengan sikap yang merendahkan seolah-olah Maya adalah anak kecil. Merujuk kembali ke “mirror stage”, proyeksi diri sendiri melalui kacamata orang ketiga ini sesungguhnya adalah perpanjangan konsep semu dari keutuhan diri. Ketika seorang anak merasa bahwa dirinya dan bayangan (image) di dalam cermin yang dilihatnya membentuk suatu kesatuan, anak tersebut tengah ditipu oleh pencitraan tersebut.
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011
304 |
Andhika Pratiwi
The seductiveness of the mirror stage is its offer of totality and a vision of the self as a unified whole. What lies ‘beyond’ the mirror stage is a loss of totality, the fragmentation of the body and the self… (2001:184). Bayangan yang dilihat bukanlah bagian dari tubuh anak tersebut. Keadaan ini membawanya pada keterasingan antara dirinya dengan bayangan tersebut (yang pada akhirnya dipersepsi sebagai sang liyan). Keutuhan tidak dapat dipertahankan karena terdapat keterpisahan literal antara badannya yang asli dengan bayangan di cermin serta keterpisahan metaforis antara dirinya yang tengah melihat dengan dunia yang berada di luar yang dilihat sekaligus melihat dirinya. Maya yang sebelumnya ada di posisi keutuhan semu dalam “mirror stage” akhirnya mulai memasuki tahap keterasingan dan keterpecahan diri. Dalam mimpinya, secara literal, Maya membedakan dirinya dengan Laila yang masih kanak-kanak. Namun, hal-hal yang dipertanyakan Laila pada Maya (tentang keragu-raguan dan kekritisan dalam menghadapi sesuatu) adalah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuat gelisah Maya yang pada akhirnya membuatnya mempercayai dan menuliskan mimpi-mimpinya. Pendapat Laila yang melihat kesewenang-wenangan orang dewasa menamai dan mempercayai sesuatu dapat diasumsikan sebagai pemberontakan nurani Maya terhadap kesewenang-wenangan sistem patriarki yang selama ini selalu mengukungnya. Kutipan “…Laila telah datang padaku di suatu malam. Ataukah bukan dia, tak pernah dia, namun sesuatu di dalam diriku yang mengambil rupa seorang anak Laila.” (2003:204) menegaskan keadaan ini. Maya memproyeksikan dirinya melalui Laila karena keenganannya diidentifikasikan dengan dirinya yang dewasa, mapan, dan rasional. Dia ingin keluar dari bayang-bayang penamaan patriarki dengan kembali pada keadaan sebelum ia mengenal hukum Ayah atau “symbolic order” (2001:184), sebelum dikenalnya bahasa dan peraturan-peraturan lain, yang disimbolkan dengan kemunculan Laila – yang di dunia nyata masih berumur 4 tahun dan masih cadel – dalam mimpi. Mimpi berikutnya adalah pertemuannya dengan naga bernama Cala Ibi. Maya yang menjadi Maia dalam mimpi dipertemukan dengan makhluk yang tidak nyata, makhluk khayalan dalam dongeng dan mitos yaitu seekor naga. Reaksi pertamanya adalah ketakutan. Naga adalah makhluk yang besar mengerikan dengan cakar-cakar yang tajam. Dalam mitos dan dongeng barat, naga sering dianggap monster pengganggu yang sangat berbahaya. Sikap Maia yang ketakutan dan masih tidak mempercayai kehadiran seekor naga di kamarnya membuat Cala Ibi menegaskan keberadaannya, “[d]isini, aku ada. Seperti ada-mu. … Aku ada disini karena kau, dan kau ada disini karena aku…” (2003:30). Cala Ibi mengacu identitas dirinya pada Maia. Kegelisahan Maya Amanita pada rujukan terhadap ketidaknyataan dan racun berbahaya yang tercantum pada arti namanya mengundang Cala Ibi dalam dunia Maia. Selanjutnya, Cala Ibi mengajak Maia untuk terbang menuju berbagai tempat, salah satunya adalah tempat leluhurnya di Halmahera. Tindakan Maia untuk terbang bersama Cala Ibi menyiratkan keinginannya untuk melepaskan diri dari aturan-aturan yang selama ini mengekangnya, “sejenis terbang tanpa halangan, tanpa sabuk pengaman, tanpa tahu tujuan, tanpa kurungan badan pesawat, tanpa sesama penumpang, ajakan bicara basa basi, pramugari” (2003:34). Maia merasa bebas secara mental dari sistem yang kaku dan teknis di kantor dan keramahtamahan palsu yang membuatnya merasa bukan manusia. Secara fisik, dia pun ingin terbebas dari pengkotak-kotakkan manusia,
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Mimpi Perempuan sebagai Pemberontakan terhadap Rasionalitas Patriarki: Analisis Tokoh dalam “Cala Ibi”...
| 305
khususnya perempuan, dari aturan-aturan yang berdalih atas dasar keamanan, keselamatan, serta keindahan dalam versi patriarki, seperti aturan berpakaian kebaya dengan kain yang menyempit di pergelangan kaki yang membuat perempuan tidak leluasa bergerak (2003:3). Terbangnya Maia dan Cala Ibi ke Halmahera dapat diartikan sebagai perpindahan antar ruang, dari ruang yang terbatas ke ruang yang tanpa batas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan perempuan untuk berada di ruang yang terbatas atau ruang privat (keadaankeadaan yang secara biologis hanya dapat dialami oleh perempuan itu sendiri, seperti menstruasi dan melahirkan anak) serta di ruang yang tidak terbatas atau ruang publik (berbaur dengan laki-laki berbicara tentang “hal-hal besar” seperti sejarah, politik dan ekonomi suatu negara misalnya). Selain itu, perpindahan tersebut pun dapat dimaknai sebagai perubahan dari ruang sempit kantor ala kota besar yang penuh aturan dan uang sebagai simbol semu kedirian menuju ruang yang jauh lebih luas dan lebih nyata yaitu kampung halaman sebagai wahana dekonstruksi asal usul diri. Maia mencoba menelusuri asal usulnya. Ia tiba di daerah yang berubah nama – Mo-loku (genggaman perempuan) menjadi Hal-mahera (induk pertikaian). Nama tersebut merujuk pada “pulau [yang] pernah perempuan” (2003:66) yang akhirnya “menjelma lelaki” (2003:69) karena “ia menghendaki kuasa atas apa-apa, dan tegak pada kekuasaan atas semua” (2003:68). Daerah yang sebelumnya tak terjamah akhirnya rusak karena kekuasaan dan ekspoitasi berlebihan orang-orang pendatang. Metafora satuperempuan yang bersedia menjadi setengahperempuan untuk bersama dengan setengahlelaki yang diakhiri dengan keinginan setengahlelaki menjadi satulelaki adalah simbol kuatnya konstruksi patriarki dalam sejarah dan politik berdirinya suatu daerah. Laki-laki memegang kekuasaan atas perempuan. Perempuan hanya dianggap mesin pencetak anak yang siap dididik menjadi laki-laki oleh sistem patriarki. Konsep keterpecahan diri ini terus bergulir sampai pada pertanyaan yang disebutkan sedikitnya dua kali dalam Cala Ibi yaitu “maukah kau menukar satu untuk sepasang?” (2003:82,170). Pertanyaan ini penting karena keutuhan serta keintegritasan Maya digoyahkan akan kemunculan sang liyan, dalam hal ini dapat berupa Maia yang berada pada tataran mimpinya serta berupa interupsi aturan-aturan patriarki (aturanaturan ayahnya dan norma-norma masyarakat) yang berada pada tataran kenyataan Maya. Maia adalah liyan dari Maya, dan Maya adalah liyan dari patriarki. Maia adalah ketaksadaran yang terkunci dalam diri Maya. Maya adalah perempuan yang dilepaskan dari keterikatannya pada ibunya (serta pada identitasnya sebagai perempuan dan bagian dari sejarah panjang suatu daerah yang pada akhirnya hanya dianggap mitos) karena mengacu pada sistem simbolik ayah (hukum ayah) untuk dapat selaras dengan masyarakat patriarki perkotaan yang rasional dan teratur. Penyelarasan dan identifikasi Maya terhadap ayah (sistem patriarki) adalah identifikasi terhadap yang disebut Lacan sebagai “phallus”. “Phallus” menurut Lacan mengacu pada keadaan ideal yang ingin dimiliki semua orang namun tidak seorang pun dapat mencapainya (2004:226). “Phallus” merepresentasikan kekurangan (“lack”), yakni lubang-lubang atau kekosongan dalam psikis yang selalu dirasakan seseorang ketika ia terlepas dari keutuhan atau kesatuannya dengan ibu dan mulai mengenal bahasa dan sosialisasi ayah. Maya adalah perempuan dewasa yang berpikir bahwa kasih sayang ibunya dapat ditambal dengan dunia rasio ayahnya. Dunia di luar dirinya dianggap lebih baik daripada dirinya yang telah tercabut dari ibunya. Maya akhirnya membiarkan dirinya yang dianggapnya “tidak sempurna” dipersepsi dan dikonstruksi oleh patriarki melalui doktrin
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011
306 |
Andhika Pratiwi
rasionalitas dengan segala ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi kepastian dan keteraturan. Maya mulai melihat dirinya utuh melalui persepsi patriarki. Keutuhan yang sebenarnya hanyalah ilusi karena keadaan tersebut terberi oleh sistem di luar dirinya. Maya adalah penamaan simbolik tentang kematian (penyerahan) diri pada patriarki yang diwakili oleh huruf mati “y”. Oleh karena itu, Maya adalah liyan dari patriarki. Kedudukan Maya tetap berada di bawah patriarki karena ia dilihat (objek pasif), bukan melihat (subjek aktif), serta karena ia dinamai, bukan menamai. Maya yang merasakan ketimpangan ini melihat Maia sebagai liyan yang berasal dari dirinya sendiri. Mimpi-mimpinya merujuk pada keadaan-keadaan yang tidak menentu, berubah-ubah, dan penuh misteri. Satu mimpi membawa Maya ke mimpi yang lain yang tidak masuk akal dan membingungkan. Contohnya pertemuannya dengan Laila yang masih kanak-kanak membuatnya meragukan integritasnya selama ini sebagai perempuan yang selalu rasional dan mempercayai logika. Setelah itu, Maya dikejutkan dengan hidupnya mainan gabus yang diberikan Laila. Mainan itu berubah menjadi naga. Hidupnya mainan tersebut serta Cala Ibi yang memperlihatkan dirinya dalam wujud seekor naga membuat Maya makin mempertanyakan keabsahan kenyataan dan kesadaran yang selama ini selalu ia percayai. Maya, yang sebelumnya hanya pasrah dengan keajegan identitas yang diberikan sistem patriarki, dipenuhi dengan keingintahuan yang menggebu-gebu tentang hal-hal lain, khususnya tentang dirinya yang lain yang kehidupannya terlupakan, Maia dan Mo-Loku. Maya akhirnya menemukan dirinya sendiri melalui penelusuran atas sang liyan yang berada dalam dirinya, Maia, yang selama ini selalu ia hindari. “(Awalnya adalah orang lain, di luar dirimu, yang membuat dirimu mengenali dirimu) … (Akhirnya adalah dirimu sendiri, mesti dan hanya dirimu, yang mengenali dan memahami dirimu.)” (2003:204). Mimpi Maya tentang Maia adalah konsep “mirror stage” tentang keberadaan pencitraan sang liyan dalam cermin yang mendistorsi keadaan yang sebenarnya. Maya sebelumnya melihat Maia dan dunia mimpi sebagai liyan karena Maya merasa bahwa dunianya adalah kenyataan, kepastian, kestabilan, dan kesadaran. Maya sebelumnya menjadikan dunia di luar dirinya (ayahnya dan sistem patriarki) sebagai patokan yang pada akhirnya menginternalisasi nilai-nilai tersebut untuk dijadikan sebagai “pelengkap ketidaksempurnaannya”. Maia, Cala Ibi, dan mimpi dianggap sebagai liyan karena dominasi rasionalitas patriarki. Oleh karena itu, mimpi Maya adalah pendefinisian kembali identitas Maya yang terlupakan. Mimpi Maya adalah simbol pemberontakan perempuan terhadap sejarah panjang patriarki yang selalu berusaha mendefinisikan dan menertibkan segala hal. Penelusuran mimpi adalah wujud penelusuran ketaksadaran yang patut diperhitungkan. Irigaray sempat menuliskan bahwa [i]f we keep on speaking the same language together, we’re going to reproduce the same history… If we keep on speaking sameness, if we speak to each other as men have been doing for centuries…we’ll miss each other, fail ourselves. (2004:230) Mimpi adalah salah satu alternatif pendefinisian kembali perempuan terhadap hal-hal besar yang selalu diagung-agungkan patriarki (dalam hal ini penelusuran sejarah dan identitas). Laki-laki menertibkan perempuan agar perempuan tetap berada dalam wilayah kekuasaannya sekaligus pelestarian sistem patriarki itu sendiri. Salah satu caranya dengan pelestarian “bahasa” rasio, “bahasa” kesadaran, dan “bahasa” keajegan
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Mimpi Perempuan sebagai Pemberontakan terhadap Rasionalitas Patriarki: Analisis Tokoh dalam “Cala Ibi”...
| 307
diri yang memosisikan dirinya lebih tinggi dari “bahasa” mimpi, “bahasa” ketaksadaran, dan “bahasa” sang liyan. Maya yang sebelumnya mengira bahwa dirinya utuh karena berbicara dengan “bahasa” yang sama dengan patriarki. Berbagai ketegangan dan pertanyaan bermunculan setelah ia berhadapan dengan mimpi-mimpinya. Penelusuran dan penulisan kembali mimpi-mimpi Maya adalah simbol penolakannya pada patriarki untuk kembali pada dirinya sendiri dengan “bahasa” yang berbeda. Maya akhirnya menemukan Maia, bagian dirinya yang terlupakan. Melalui Maia, Maya mendapatkan sudut pandang lain yang perlahan-lahan mampu menjawab pertanyaan tentang asal usul dan identitas dirinya. Sebagai penutup, Cala Ibi mengemukakan perempuan yang terus menerus mempertanyakan keberadaan dirinya melalui penelusuran mimpi-mimpi serta penulisan kembali mimpi-mimpi tersebut. Keadaan ini dipicu oleh ketidakpercayaannya pada keadaan yang absolut, statis, dan diam seperti yang dikonstruksikan patriarki terhadapnya, salah satunya melalui rasionalitas. Perempuan selalu bertanya tentang dirinya yang sebelumnya utuh menyatu dengan ibunya, kemudian terpisah dan terpaksa mengidentifikasi ayahnya, lalu ragu-ragu dengan identifikasi tersebut dan mencoba menggali dari perspektif lain untuk kembali menemukan dirinya yang sebenarnya. Perempuan selalu berada dalam proses penelusuran dan penulisan diri. Kesadaran perempuan adalah kesadaran yang kompleks dan dinamis pada konsep kehidupan, kematian, serta kehidupan kembali. Perempuan adalah hasil sebuah proses panjang yang berlangsung sepanjang hidup, tanpa awal dan tanpa akhir.
Daftar Pustaka Adian, Donny Gahral. (2002). Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju. Amal, Nukila. (2003). Cala Ibi. Jakarta: Pena Klasik. Budiman, Manneke. (2005). “Ketika Perempuan Menulis” dalam Srinth!l No. 8 Perempuan & Sastra Poskolonial. Depok: Kajian Perempuan Desantara. Culler, Jonathan. (2001). “The Mirror Stage” dalam The Pursuit of Signs. London: Routledge.
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011
308 |
Andhika Pratiwi
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora