NOVEL MEMANG JODOH KARYA TERAKHIR MARAH ROESLI SUATU KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK Adek Yulianti
Abstrak Novel Memang Jodoh merupakan sebuah novel yang mempresentasikan fakta kemanusiaan yang dialami oleh seorang sastrawan Indonesia bernama Marah Roesli. Novel yang berlatar sosial Minangkabau. Artikel ini mengungkapkan hubungan antar struktur cerita dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau. Selain itu artikel ini juga menjelaskan tentang pandangan dunia yang terefleksi dalam novel Memang jodoh. Novel itu dikaji berdasarkan teori Strukturalisme Genetik. Strukturalisme Genetik dikenalkan oleh Lucian Goldmann dengan tujuan menganalisis struktur cerita kemudian mengungkapkan pandangan dunia yang direfleksikannya. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan yang terdiri dari beberapa data primer dan sekunder. Data primer yang diperoleh dari teks yang terdapat dalam novel Memang Jodoh, kemudian data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian dan juga hasil dari pemikiran penulis. Kata kunci: perkawinan, jodoh, lintas etnik, mamak, Minangkabau.
PENDAHULUAN Novel dikatakan sebagai sebuah produk sastra yang memiliki peran penting di dalam hidup dan kehidupan manusia dengan berbagai macam aspek di dalamnya. Selain untuk hiburan, novel juga memberikan gambaran tentang manusia dan segala aspek persoalan yang ada. Sebagai sebuah hasil cipta sastra dari satu sisi yang dapat berfungsi sebagai cerminan dari masyarakat pada suatu waktu dan tempat. Novel juga sebagai salah satu produk yang memegang peranan penting dalam memberikan kemungkinan untuk menyingkap hidup dan kehidupan manusia. Jika dibandingkan dengan sastra lain, seperti puisi dan cerpen maka novel merupakan karya sastra yang kompleks, walaupun semuanya itu merupakan jenis karya fiksi yang berbentuk narasi.
Kisah Siti Nurbaya adalah novel yang diangkat oleh salah seorang sastrawan Indonesia bernama Marah Roesli. Kisah yang sarat akan latar sosial budaya, khususnya sosial budaya di Minangkabau. Selain Siti Nurbaya karyakarya lainnya yang sudah diterbitkan yaitu La Hami (1952), Anak dan Kemenakan (1956), Gadis yang Malang, terjemahan novel karya Charles Dickens (1922). Selain keempat judul tersebut, ternyata masih ada karya terakhir Marah Roesli yang baru saja diterbitkan yaitu Memang Jodoh. Novel Memang Jodoh di terbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Qanita pada tahun 2013, merupakan sebuah karya sastra yang bercerita tentang persoalan sosial budaya Minangkabau. Novel ini menceritakan tentang seorang laki-laki yang bernama Hamli yang melakukan pemberontakan terhadap adat Minang. Hamli menolak untuk berpoligami. Hal ini dilatar belakangi karna Hamli menikahi seorang gadis di luar Minangkabau. Melalui novel Memang Jodoh ini. Marah menggambarkan adat pernikahan antar etnik di Indonesia antara Minang dengan Sunda, kemudian lika-liku kehidupan masyarakat mulai dari harta pusaka, adat istiadat, percintaan dan peristiwa atau tragedi. Marah juga mengkritik adat Minangkabau yang tidak cocok dengan ajaran agama dan logika yang sehat. Sama dengan karya sebelumnya Siti Nurbaya, dalam karya terakhirnya ini Marah kembali menggugat adat pernikahan. Namun kali ini bukan berdasarkan imajinasinya semata, akan tetapi hal ini memang ia alami sendiri selama 50 tahun pernikahannya dengan seorang gadis berdarah bangsawan Sunda. Seperti dalam kehidupan aslinya dimana Marah Roesli adalah seorang keturunan bangsawan Padang. Melalui persoalan yang diangkat dalam novel ini membentuk realitas realitas yang hadir dalam sebuah karya sastra. Novel ini merupakan sebuah karya besar dan sangat cocok di analisis melalui teori strukturalisme genetik. Yang menyajikan tentang pandangan tentang adat Minangkabau dengan sistem sosial budayanya. Dalam novel ini juga terdapat unsur-unsur yang membangun seperti Alur, latar, tokoh, tema sebagai pengikat dan amanat yang disampaikan. Dengan
adanya teori ini akan dapat dijelaskan pemahaman dan pemaknaan terhadap novel ini. Berhubung penelitian ingin mengkaji sebuah teori strukturalisme genetik, maka digunakanlah metode dialektika sebagai pembongkar teks yang tergambar di dalam novel Memang Jodoh, baik teks tersurat maupun tersirat. Prinsip dasar metode dialektika adalah pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkrit dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Sehubungan dengan itu, metode dialektika mengembangkan konsep, yaitu “pemahaman-penjelasan”. Penelitian sastra akan mengungkap elemen-elemen dasar pembentuk sastra dan penafsiran sesuai paradigma atau teori yang digunakan. Penelitian terhadap novel Memang Jodoh ini akan dilakukan dengan berbagai teknik yaitu dengan mengumpulkan data dan studi kepustakaan untuk mengumpulkan data terkait dengan penelitian ini. Selanjutnya, data tersebut disajikan dalam bentuk bentuk deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan pemecahan masalah berdasarkan datadata yang ada, menganalisis data, dan menginterprestasikannya.
STRUKTUR TEMATIK NOVEL MEMANG JODOH KARYA MARAH ROESLI. Terdapat tiga konsep untuk menganalisis novel Memang Jodoh karya Marah Roesli ini yaitu, struktur cerita, struktur penceritaan, dan struktur kemaknaan. Struktur cerita akan menjelaskan tentang bagaimana keterkaitan antar unsur yang terdapat pada sub bab dalam novel. Struktur penceritaan yang ditarik dari adanya unsur-unsur yang membangun karya sastra seperti latar, alur, dan penokohan dalam karya sastra sedangkan struktur kemaknaan melihat hubungan antara struktur cerita dengan penceritaan yang membentuk sebuah kemaknaan sebagai tema sentral.
1.
Struktur Cerita Dalam sebuah novel yang dikatakan unsur tematik terdiri dari ide pokok
pengarang terbagi ke dalam beberapa sub judul, sehingga tema di dalam suatu novel Memang Jodoh karya Marah Roesli. Marah menyebutkan dalam beberapa sub judul di dalam novel tersebut terdiri dari beberapa peristiwa. 1.1 Konflik Pernikahan Antar Etnis. Bagian ini menjelaskan terjadinya pernikahan antara etnis Minangkabau dengan Sunda. Hamli adalah seorang laki-laki berdarah kebangsawanan Padang yang mencoba menuntut ilmu di rantau orang. Di perantauan, Hamli bertemu dengan perempuan keturunan bangsawan Sunda bernama Radin Asmawati atau biasa dipanggil Din Wati. Berawal dari perkenalan, mereka pun saling jatuh hati dan menjalin hubungan. Mengingat penyakit Hamli yang semakin hari semakin membaik, neneknya Khatijah mengambil keputusan untuk menikahkan cucunya tersebut tanpa sepengetahuan keluarganya di Padang. Peristiwa tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini. “...Namun, perkawinan mereka harus dilakukan dengan diam-diam, kalau diizinkan oleh ibu-bapak Din Wati. Keluarga Hamli di Padang jangan sampai tahu dan perkawinan ini jangan sampai menimbulkan kegaduhan yang tidak dapat diramalkan bagaimana akibatnya. Dua hari kemudian berangkatlah Hamli dan Din Wati, bibi, paman dan neneknya, untuk meminang Din Wati dengan resmi kepada orangtuanya, lalu langsung kerumah Ratu Maimunah, di Kampung Anyer...” (Rusli, 2013: 180). Dari kutipan di atas tergambar bahwa akan terjadi pergaduhan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata seperti apa kegaduhan yang akan terjadi apabila keluarga Hamli di Padang mengetahui pernikahan Hamli dengan perempuan Sunda tersebut. Pernikahan antara etnis yang berbeda ini ternyata membawa petaka pada Hamli, yang terikat dengan aturan-aturan adat di Minangkabau, khususnya dalam adat pernikahan. Menurut adat, seorang laki-laki Minang tidak diizinkan menikahi perempuan di luar suku Minang dan dilazimkan memiliki istri lebih dari satu.
Pernikahan Hamli dan Din Wati mengalami banyak rintangan, tidak hanya ditolak oleh keluarga besar Hamli di Padang, tetapi di Bogor Hamli juga mendapat kecaman dari mamanda Din Wati yang tidak menyetujui adanya perkawinan tersebut. Bentuk- bentuk penolakan tersebut antara lain sebagai berikut. a. Penolakan oleh “Mamanda” Din Wati b. Penolakan oleh Keluarga besar Hamli c. Percobaan penganiayaan Din Wati d. Penawaran Istri Tambahan pada Hamli
1.2
Tindakan Mamak Mengeluarkan Kemenakannya. Banyaknya halangan dan rintangan dalam perkawinan mereka, tak
sedikitpun rasanya Hamli berniat untuk memadu istrinya, ditambah lagi dengan kehadiran buah cinta diantara mereka, menambah rasa cinta Hamli terhadap Din Wati. Ketua rapat saat itu memberikan pilihan kepada Hamli, jika ia tak ingin memadu istrinya ninik mamak meminta Hamli untuk menceraikan istri Sundanya tersebut. Hamli tidak ingin menyakiti perasaan istrinya dengan kemelut adat istiadat yang ada di Minangkabau ini. hal tersebut terdapat pada kutipan berikut. “,,,Tetapi, jika sungguh kau tak dapat menurutkan permintaan kami ini, tinggal satu jalan lagi yang dapat di tempuh, yaitu kita berpisah. Karena, barang siapa diantara anak cucu kami yang tak dapat mengikuti adat istiadat yang harus kami pegang teguh karena inilah kewajiban kami, terpaksa kami ceraikan pula. Kami orang Padang, orang berkampung bernegeri, orang beradat istiadat, bukan orang hutan yang tak punya aturan, tak patut mereka tinggal di lingkungan kaum keluarga kmi,,,”(Rusli, 2013: 358). Hamli menolak permintaan dari ninik mamaknya tersebut untuk menikah kembali dengan perempuan Minang, karena ia tak ingin mengikuti aturan adat di Minangkabau ini dan juga tidak ingin memadu istri yang sangat ia cintai yaitu Din Wati. Hal itu tergambar pada kutipan berikut. “,,,Sekarang tak dapat dikatakan, bahwa saya tak suka mengikuti kehendak orang-orang tua untuk mengawini perempuan Padang, tetapi ninik mamaklah yang tak
dapat mengabulkan permintaan saya. Dan, karena tak dapat kata sepakat dalam perundingan kita ini, izinkanlah saya mengundurkan diri...” (Rusli, 2013: 367). Dari penjelasan di atas, tergambar jelas bahwa Hamli menolak permintaan ninik mamak untuk menikahi perempuan Minang, iapun rela dibuang dari kaumnya dan diusir dari negerinya demi mempertahankan cintanya pada Din Wati. 1.3
Perkawinan Hamli dan Din Wati adalah Takdir. Pada bagian ini dijelaskan tentang terjadinya perkawinan antara seorang
keturunan bangsawan Padang, Marah Hamli, dengan Radin Asmawati, seorang perempuan keturunan bangsawan Sunda. Perkawinan itu bukanlah sebuah perkawinan biasa melainkan perkawinan yang telah ditakdirkan. Banyak al ihwal yang terjadi sebelum adanya pernikahan ini, seperti mimpi Ibunda Hamli, Siti Anjani yang mendapat burung Jawa yang sangat cantik, kemudian juga kata-kata terakhir yang diungkapkan oleh Kiai Naida, guru ayahanda Din Wati yang menyebutkan bahwa jodoh Din Wati berasal dari pulau Sumatera kala Din Wati masih berumur 10 tahun. Hal itu sesuai dengan tenungan Mpok Nur yang mengatakan bahwa jodoh Din Wati sudah dekat, tepat sebelum Din Wati dan Hamli bertemu di stasiun. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut. "... terlebih-lebih dia yakin, perjodohannya dengan Hamli, adalah takdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah tertulis di Lauh Mahfuz dan tak dapat diubah lagi. Bukankah perjodohan ini telah diramalkan oleh Ajengan Kiai Naidan. Guru ayahnya yang telah meninggal dunia itu, tatkala ia masih berumur sepuluh tahun? Bukankah ibu Hamli juga telah mendapat pertanda yang serupa itu pula, tatkala dia sendiri entah masih berada di mana? Dan bukankah sudah dipastikan pula oleh tenungan Mpok Nur, dua jam sebelum ia bertemu dengan Hamli? Mengapa ia dan Hamli tak jadi pergi ke Belanda? Mungkin akan menyebabkan hal-hal yang akan mengubah perjodohan ini kala mereka berdua jadi pergi...” (Rusli, 2013: 158). Tidak hanya itu, kutipan lain juga menyatakan atas takdir pernikahan Hamli dan Din Wati ini.
“...Sesungguhnya, sejak waktu itu hati Din Wati tidak raguragu lagi dan yakin bahwa Hamli inilah jodoh sejatinya, yang telah ditakdirkan Tuhan sebelum mereka lahir dan telah ditampakkan pada ibu Hamli di dalam mimpinya dan telah diramalkan oleh Ajengan Kiai Naidan, tatkala Din Wati berumur sepuluh tahun. Hamli inilah yang akan menjadi ayah anaknya, yaitu arwah Ajengan ini, yang akan kembali ke dunia...”(Rusli, 2013: 178). Kutipan di atas menjelaskan bahwa pernikahan antara Hamli dan Din Wati ini memang telah ditakdirkan. Hal itu terjadi karena banyaknya Al ihwal yang terjadi tanpa disengaja membuat bertambah pula keyakinan Hamli dan Din Wati akan perjodohan yang telah ditakdirkan.
2. Struktur Penceritaan. Dalam novel Memang Jodoh karya Marah Roesli terdapat beberapa unsur yang harus dicermati untuk suatu keterpaduan yang tidak bisa berdiri sendiri karena satu unsur saja tidak akan berarti tanpa adanya unsur-unsur yang lain (Hasanadi, 2003: 43). Oleh sebab itu perlu adanya unsur-unsur membangun sebuah karya sastra seperti latar, alur, tokoh dan penokohan. 2.1 Aspek Latar Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu dan suasana terjadinya peristiwa secara keseluruhan yang terdapat di dalam novel (Sudjiman, 1992: 44). Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas. Hal ini bertujuan untuk memberikan pesan realitis kepada pembaca. Informasi dari sebuah latar dapat melalui sarana cerita yang lebih efektif dari sarana informasi yang lain. Latar juga berfungsi sebagai penentu pokok. Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam novel Memang Jodoh karya Marah Roesli tergambar jelas ketiga latar tersebut. a.
Latar Tempat
Dalam novel Memang Jodoh karya Marah Roesli terdapat sepuluh lokasi seperti Bukittinggi, Padang, Bandung, Bogor, Teluk Sumbawa, Medan, Yokyakarta, Sumedang, Jakarta, Semarang. Diantara sepuluh lokasi tersebut tempat yang paling dominan adalah Padang, Bogor dan Semarang. Kemudian lokasi yang lain adalah bagian dari perjalanan hidup tokoh utama (Hamli). b.
Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya suatu
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi yang biasanya berkaitan dengan waktu faktual dan waktu yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam novel Memang Jodoh karya Marah Roesli yang terlihat pada ulasan di bawah ini. Meninggalnya ibunda Din Wati bernama Ratu Maimunah tahun 1927 pada usia 63 tahun, penyakit tersebut diketahui karena terlalu lama ditinggal suaminya yang sangat ia cintai, Selang waktu setahun sepeninggalan Ratu Maimunah, pada 1928 ibunda Hamli Siti Anjani juga meninggal dunia pada usia 57 tahun. Siti Anjani di makamkan di Gunung Berintik Semarang di tanah kelahirannya, akan tetapi orang Padang menyebutnya meninggal di rantau orang. Selanjutnya pada tahun 1933 kembali salah satu dari keluarga Hamli meninggalkannya. Khatijah nenek Hamli yang sejak dari kecil merawat Hamli hingga sampai akhir hayatnya. Kesedihan yang sangat mendalam dirasakan Hamli setelah anggota keluarganya satu persatu kembali pada sang pencipta yang maha kuasa. c.
Latar Sosial. Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata kehidupan sosial masyarakat yang mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks yang dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup cara berfikir dan bersikap (Nurgiyantoro, 1995: 235). Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan misalnya rendah, menengah, atau atas. Latar sosial novel Memang Jodoh karya Marah Roesli, menggambarkan keadaan masyarakat sosial Minangkabau. Masyarakat yang masih berpegang
teguh pada aturan-aturan adat yang sudah sejak lama didirikan. Selanjutnya tentang adat perkawinan yang tidak mengizinkan antar etnis, dalam hal ini tidak menyetujui pernikahan antara etnis Padang dengan Sunda. Sebagaimana yang terlihat pada kutipan berikut. “...Sekalian isi Kota Padang, lebih-lebih kaum bangsawan sangat mencela perbuatan Hamli ini, karena sangat melanggar adat istiadat Padang, memberi malu kaum bangsawan, kawin di negeri orang dengan perempuan suku asing dan tidak dengan seizin ninik mamak dan orangtuanya dan tidak pula sepengetahuan kaum keluarganya, dengan perempuan yang telah hina, sebagai laki-laki yang tak tahu lagi negerinya, sampai menyerahkan dirinya kepada nyai Belanda...” (Rusli, 2013: 239). Perdebatan antara tertua adat di Minangkabau yang memanggil Hamli perihal masalah perkawinannya dengan seorang perempuan Sunda. Keputusan yang diambil oleh Hamli membuat ninik mamak bertindak keras dengan menyuruh Hamli menikahi perempuan Padang. Hal ini dilakukan untuk melepaskan “hutang”nya sebagai mamak. Akan tetapi Hamli menolak dengan penjelasan Hamli. 2.2 Aspek Alur Dalam novel Memang Jodoh digunakan pembagian alur longgar dan ganda. Peristiwa yang terjadi dalam cerita tidak terikat erat antar satu dengan yang lainnya.
Pertama
pengarang
mengenalkan
tentang
tokoh
utama
dan
menggambarkan tentang gambaran peristiwa yang terjadi dan kemudian memacu kearah konflik yang terjadi antar tokoh. Konflik yang muncul dalam novel ini adalah pernikahan Hamli dan Din Wati seorang bangsawan Sunda yang tidak di setujui oleh mamak Hamli yang kemudian memutuskan untuk mengeluarkan Hamli dari kaum dan membuangnya. Peristiwa yang muncul di dalam novel, merupakan suatu kenyataan yang terdapat di dalam adat di Minangkabau, yang bertentangan dengan pandangan agama. Kekakuan masyarakat tentang adat membuat masyarakat yang tidak berdaya untuk keluar dari aturan adat. Sehingga tidak ada pula perbaikan yang
dilakukan tentang adat tersebut. Alur kehidupan Hamli memperlihatkan bahwa adanya pemberontakan dengan kehidupan masyarakat. Kondisi inilah yang melahirkan suatu pandangan dunia yang merefleksikan pengarang dalam novel ini. Hamli adalah salah satu contoh masyarakat Minangkabau yang memprotes adat pernikahan di tanah kelahirannya sendiri, karena tidak setuju dengan adat tersebut. 2.3 Aspek Tokoh Penokohan. Tokoh utama dalam novel Memang Jodoh adalah Hamli, Hamli digambarkan oleh pengarang membawa permasalahan yang ada pada dirinya. Sepanjang alur yang terdapat di dalam cerita, hampir setiap latar menceritakan tentang konflik pernikahan Hamli. Kehadiran para tokoh pendukung berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh Hamli, kemudian kehadirannya pun menunjang jalannya cerita, sehingga Hamli dikatakan sebagai pemeran utama. Sementara terdapat pula tokoh-tokoh bawahan seperti, Din Wati, istri Hamli, Khatijah, Siti Anjani, Ratu Maimunah, Baginda Alim, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh ini dihadirkan secara analitis. Artinya, memaparkan watakwatak tokoh. 2.3.1 Hamli Hamli adalah seorang pemuda yang tampan, pandai, berbudi pekerti baik dan memiliki darah keturunan bangsawan. Ia juga seorang pemuda yang memengang prinsip dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini digambarkan pada kutipan dibawah. “...Jadi, pendeknya tak dapat kau menurutkan permintaan kami?” tanya seorang laki-laki yang benci kepada Hamli itu. “... dengan sangat menyesal, saya ulang sekali lagi perkataan saya, tidak dapat,” sahut Hamli dengan pasti...” (Rusli, 2013: 357) Pada satu sisi, novel ini memperlihatkan bahwa perjuangan Hamli untuk memprotes adat istiadat Minangkabau. Khususnya memprotes adat perkawinan yang tidak mengizinkan menikah dengan perempuan di luar Minang. Oleh sebab itu Hamli mengambil keputusan untuk keluar dari adat. Dengan keyakinannya
tersebut untuk keluar dari kaum dan mempertahankan pernikahannya yang tidak disetujui oleh banyak pihak. Hamli merupakan seorang laki-laki yang terlahir di Minangkabau, yang berusaha keras untuk mengubah adat yang telah jauh melenceng dan nyata berbenturan dengan syarak. Masyarakat tidak berdaya melakukan perbaikan terhadap adat meskipun mereka sadar akan perbaikan tersebut. 2.3.2 Din Wati. Din Wati bernama lengkap Nyai Radin Asmawati yang dihadirkan oleh pengarang seorang gadis keturunan bangsawan dan juga seorang cucu Bupati di tanah Pasundan. Tokoh Din Wati dihadirkan sebagai istri dari Hamli. Parasnya yang cantik membuat laki-laki tertarik. Din Wati begitulah panggilannya. Juga merupakan seorang perempuan yang berpendidikan tinggi karena latar belakang keluarga
terdidik.
Kemudian
keanggunannya
berpakaian,
kesantunannya
berbahasa hingga sedap dipandang mata. Hal itu tergambar dalam pujian Radin Asmaya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. “...tatkala Radin Asmaya melihat kemenakannya keluar dengan dandanan seperti itu, tak disengajanya keluar pujian dari mulutnya. “Din Wati, jika telah berdandan seperti ini, memang susah mencari perbandingannya. Cantik jelita, molek manis. Sedap dipandang mata, enak dipandang hati,” katanya, walaupun ia sendiri perempuan berparas cantik dan pandai pula berdandan. Hanya badannya agak pendek dan montok itu saja yang mengalahkannya dari Din Wati...” (Rusli, 2013: 97). 2.3.3 Siti Anjani. Pengarang menghadirkan tokoh Siti Anjani sebagai ibunda Hamli yang berasal tanah Jawa, namun sudah dianggap orang Padang karena ia menikah dengan Sultan Bendahara (Ayahanda Hamli), karena ia tidak memiliki gelar puti sebagaimana gelar yang disandang oleh perempuan Minang biasanya, maka dari itu Hamli bergelar ‘marah’ di depan namanya. Siti Anjani dibawa ke Padang oleh Sultan Bendahara, maka ia telah dianggap memiliki suku di Minangkabau. Siti Anjani dimadu dengan seorang perempuan Minangkabau karena adat istiadat di Minangkabau yang tidak mengizinkan menikahi perempuan di luar Minangkabau
kecuali ia mau dimadu oleh suaminya. Hal ini dilatar belakangi oleh warisan harta pusaka yang akan hilang jika ia menikahi perempuan diluar Minangkabau dan juga merupakan kebiasaan yang dilazimkan di Minangkabau ini dimana laki-laki diizinkan memiliki istri lebih dari satu. 2.3.4
Khatijah Tokoh khatijah adalah berperan sebagai nenek Hamli, pengarang
menghadirkan tokoh khatijah sebagai seorang tokoh yang banyak terlibat dengan tokoh utama, karena Khatijah yang merawat cucunya Hamli mulai dari ia bersekolah di sekolah Raya di Bukittinggi, hingga melanjutkan ke sekolah pertanian di Bogor. Khatijah berjuang menyembuhkan penyakit cucunya. Kekhawatiran Khatijah terhadap penyakit yang dialami cucunya ini ternyata tak ia rasakan sendiri melainkan juga teman-temannya, seperti terlihat pada kutipan berikut. “...inilah yang membuat pikiran saya bingung, karena saya tidak tahu apa yang membuatnya jadi seperti sedemikian, apa penyakitnya ini dan bagaimana cara mengobatinya. Lebih-lebih ketika saya dengar perkataan sahabat-sahabat di sini, yang rupanya juga khawatir melihat keadaanya. Mereka takut, kalau-kalau Hamli tersesat pikirannya dan melakukan perbuatan yang dapat mencelakakan dirinya. Tak dapat saya katakan, bagaimana kecut hati saya yang sangat saya kasihi ia akan celaka,” kata Khadijah dengan suara sedih, sementara air matanya mulai tergenang dipelupuk matanya...” (Rusli, 2013: 132-133). Kemudian juga tindakan untuk membohongi seorang perempuan Padang yang bertemu saat perjalanan pulang ke Padang untuk melindungi cucunya dari pinangan-pinangan perempuan Padang. hal itu terlihat pada kutipan berikut. “...Sultan Angat Garang, sipir penjara di Kota Raja,”bohong Khatijah supaya tidak diketahui perempuan itu alamat ayah Hamli yang sebenarnya..”(Rusli, 2013: 339). Dari beberapa uraian tentang watak tokoh di atas, hanya tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan tokoh utama. Selain itu masih ada tokoh-tokoh tambahan
lain yang tidak dianalisis secara detial, karena dalam novel ini tokoh tersebut tidak banyak berkaitan dengan tokoh utama, hanya sebagai pendukung di dalam cerita. PANDANGAN DUNIA YANG TEREFLEKSI DALAM NOVEL MEMANG JODOH KARYA MARAH ROESLI 1. Fakta Kemanusiaan. Menurut Hasanuddin (2013, xiv) fakta kemanusiaan adalah aktivitas atau prilaku manusia, serta hasil dari aktivitas atau prilaku itu baik itu verbal maupun fisik. Fakta-fakta tersebut dapat beruwujud aktivitas sosial tertentu, politik maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung dan seni sastra. Meskipun demikian fakta kemanusiaan pada hakikatnya dapat dijadikan dua macam. fakta kemanusiaan yang terefleksikan ke dalam adat budaya Minangkabau berkaitan dengan analisis yang telah dilakukan terhadap novel Memang Jodoh karya Marah Roesli yang terdiri atas beberapa unsur yang terlihat dalam konteks sosial budaya di Minangkabau. Unsur tersebut antara lain, adat Minangkabau, sistem kekerabatan, peran mamak di Minangkabau, perkawinan di Minangkabau dan merantau. 1.1 Adat Minangkabau. Kata adat berasal dari bahasa Arab, yaitu adah yang berarti kebiasaan atau perbuatan yang dilakukakan secara berulang-ulang. Selain itu adat juga berasal dari bahasa sanskerta, yaitu a yang berarti tidak dan duto yang bersifat perbendaan. Jadi dapat disimpulkan sesuatu yang tidak bersifat kebendaan. Dalam pengertian lain adat disebut juga dengan ‘urf, yang mengandung arti sesuatu yang diterima, diikuti, diulang-ulang sehingga menjadi suatu kebuasaan dalam masyarakat, yang dapat berupa kata-kata dan macam-macam perbuatan. Adat bagi masyarakat Minangkabau adalah kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun, ada adat yang tidak dapat berubah, seperti kata mamangnya: Kain dipakai usang, adaik dipakai baru (kain dipakai usang, adat dipakai baru). Maksudnya, sebagaimana pakaian bila dipakai terus akan usang, sedangkan adat yang dipakai terus-menerus senantiasa awet. Oleh sebab itu, Navis membagi adat tersebut menjadi empat, yakni sebagai berikut. (1)
Adat Nan Sabana Adat.
Adat nan sabana adat merupakan sebuah ketentuan yang diterima dari Nabi Muhammad s.a.w yang berdasarkan Qur’an dan Hadist yang berlaku secara universal,adat yang tidak lekang oleh panas, dan tidak lapuk karena hujan (ABSSBK). Adat nan sabana adat merupakan adat yang asli, yang tidak berubah, yang tak lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Adat nan sabana adat ini juga merupakan adat yang tetap, kekal, tidak terpengaruh oleh tempat dan waktu atau keadaan. Sebab itu dikiaskan dengan "Indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan". Jika dipaksa dengan keras mengubahnya, dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu). Adat yang lazim diungkapkan dalam pepatah dan petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah hidup mereka. (Navis, 1984: 89). (2) Adat Istiadat. Adat-istiadat ialah suatu kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni atau tingkah laku pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan tidak apa-apa. Adat ini dalam mamangan diibaratkan seperti: batang sayua nan gadang dek diambak, tinggi dek anjuang (besar karena dilambuang, tinggi karena dianjung), yang artinya adat itu akan dapat tumbuh hanya karena dirawat dengan baik. (3) Adat Nan Diadatkan Adat nan diadatkan dikatakan apa yang dinamakan sebagai undangundang dan hukum yang berlaku, seperti yang didapati pada Undang-undang nan Dua Puluah. Terhadap adat ini berlaku apa yang diungkapkan mamangan: Jikok dicabuik mati, jikok diasak layua (jika dicabut (ia) mati, jika dipindahkan (ia) layu), seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak ada tangan yang mengganggu hidupnya. Hakikat dalam adat nan diadatkan ini menjadi sebuah pegangan yang tak pernah bergeser dari dahulu hingga sekarang tang tergambar dalam falsafah adat Minangkabau. Bulek aia ka pambuluah Bulek kato dek mufakat Bulek dapek digolongkan
Picak dapek dilayangkan (4) Adat Nan teradat Adat yang teradat ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus masyarakat yang memakainya, seperti yang dimaksud mamangan: Patah tumbuah, hilang baganti (patah tumbuh, hilang berganti). Ibarat pohon yang patah karena bencana, maka ia akan dapat tumbuh lagi pada bekas patahannya. Kalau ia hilang, ia diganti pohon lain pada bekas tempatnya hilang karena pohon itu perlu ada untuk keperluan hidup manusia. Ketentuan yang berlaku dalam adat nan taradat berdasarkan hasil keputusan bersama ataupun keputusan niniak mamak dalam sebuah nagari (Navis, 1984: 89). 1.2 Sistem Kekerabatan Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal. Matrilineal berasal dari dua kata yaitu matri dan lineal. Matri berarti ibu dan lineal berarti garis, jadi matrilineal garis keturunan berdasarkan dari pihak ibu. Alisyahbana (dalam Navis, 1984: 19) mengatakan bahwa ciri sistem matrilineal di Minangkabau adalah keturunan dihitung dari keturunan ibu. anak tinggal dan dibesarkan di rumah ibunya, sedangkan suaminya sebagai orang lain bagi keturunan. Menurut M. Radjab sistem kekerabatan terdiri dari delapan ciri : 1.
Keturunan yang dihitung berdasarkan garis keturunan ibu.
2.
Sebuah suku terbentuk menurut garis keturunan ibu.
3.
Setiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya (eksogami).
4.
Pembalasan dendam yang merupakan suatu kewajiban bagi seluruh kaum.
5.
Kekuasaan di dalam suku, menurut teorinya terletak pada tangan ibu (tetapi saat sekarang sudah sangat jarang digunakan)
6.
Yang sebenarnya memegang kekuasaan adalah saudara laki-laki ibu.
7.
Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami tinggal dirumah istrinya.
8.
Harta dan pusaka yang diwariskan dari mamak kepada kemenakannya yaitu saudara laki-laki dari ibu kepada anak-anak dari saudara perempuan (Hasan, ed. 1988: 35-36). Setiap keluarga merupakan kesatuan geneologis terkecil yang disebut
samande (seibu), yang dikepalai oleh seorang saudara laki-laki ibu yang disebut mamak. yang mendiami sebuah rumah gadang dan dikepalai oleh mamak tertua disebut dengan tungganai. Kehidupan di rumah gadang ini dinamakan saparuik (seperut) yang terdiri dari silsilah keluarga tersebut. Saparuik merupakan kesatuan fungisional yang terpenting. Kumpulan dari beberapa paruik yang berasal dari nenek yang sama disebut juga dengan kaum. Kaum dikepalai oleh tungganai tertua yang disebut dengan penghulu. Kemudian dari beberapa kaum yang memiliki keturunan disebut juga dengan sasuku (sesuku) atau sakampung (sekampung), dikepalai oleh penghulu andiko. Seorang mamak dalam kesatuan fungsional saparuik ini, tidak hanya berfungsi sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan keluarga, namun juga bertanggung
jawab
atas
pendidikan
dan
perkembangan
kepribadian
kemenakannya. Oleh sebab itu berlakulah kesatuan eksogami dalam perkawinan sepesukuan tidak dibenarkan. Di Minangkabau, seorang ibu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menentukan sesuatu. Fatwa adat mengatakan bahwa ibu (perempuan) adalah ”Limpapeh rumah nan gadang”
dimana kedudukan seorang ibu dalam
kerabatnya. Limpapeh merupakan sejenis kupu-kupu yang sangat indah, limpapeh kemudian di ibaratkan sebagai tunggak tuo dari sebuah rumah gadang, yang juga berkuasa atas harta benda, seperti, sawah ladang, hutan, tanah dan lain-lain. Semuanya tersebut berada di tangan kaum ibu yang di lambangkan sebagai "amban puruak”. Amban puruak diartikan sebagai pegangan kunci. Artinya, seorang perempuan dipercayai sebagai penyimpan dan pemelihara kekayaan keluarga baik berupa harta pusako maupun sako.
1.3 Peran Mamak di Minangkabau. Secara harfiah mamak disebut juga dengan saudara laki-laki ibu, sedangkan secara
sosiologis semua laki-laki dari generasi yang lebih tua
dikatakan mamak. Golongan dari kelompok masyarakat yang mempunyai pimpinan dan berada di tangan mamak. Karena berfungsi sebagai pimpinan, mamak dipandang sebagai raja. Dalam sistem matrilineal anggota dalam kaum terdiri dari, ibu, anak dan mamak. Posisi ayah tetap sebagai anggota keluarga dari kaum dimana ia berasal yang merupakan keluarga lain dari isteri dan anaknya. Seorang mamak mempunyai peranan penting dalam suatu kaum. Mamaklah yang menentukan segala sesuatu dalam persukuan. Mamak adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. apabila mamak menjadi pimpinan dalam kaum, maka ia disebut dengan pengulu. Pengulu merupakan gelar yang diberikan secara turun temurun melalui garis keturunan ibu, dari mamak ke kemenakan. Navis (1984: 130) mamangan adat mengatakan “ Kemenakan barajo kamamak, mamak barajo kapangulu, pangulu barajo kanan bana, bana berdiri sendirinyo” (kemenakan baraja ke mamak, mamak baraja ke penghulu, penghulu baraja kekebenaran, kebenaran berdiri sendirinya). 1.4 Perkawinan di Minangkabau. Perkawinan pada masyarakat Minangkabau bukanlah suatu urusan sepasang manusia yang akan membentuk rumah tangga saja, akan tetapi urusan antara kerabat kedua belah pihak (Navis, 1984: 193). Artinya, seorang mempelai adalah wakil dari kerabat dan kaumnya. Sebaliknya perkawinan menurut syarak merupakan ikatan yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim (Rasyid dalam Hasanadi, 2003: 71). Dapat disimpulkan bahwasanya dalam membentuk sebuah ikatan, kedua mempelai akan didampingi oleh kedua wali pernikahan dan dua orang saksi. di dalam suatu pernikahan yang sah diwajibkan bagi mempelai mengucapkan akad dihadapan orang banyak dengan tujuan mendapat restu atas perkawinan mereka.
Pola perkawinan masyarakat di Minangkabau bersifat eksogami. Dimana kedua belah pihak atau salah satu pihak yang melakukan perkawinan itu tidak lembur ke dalam kaum kerabat pasangannya. Hal itu didasari karena struktur masyarakat Minangkabau. Setiap orang mempunyai kaum dan suku masingmasing yang tidak dapat dialihkan. Anak yang lahir dari perkawinan itu menjadi anggota kaum istrinya, sehingga ayah tidak perlu lagi bertanggung jawab terhadap anaknya tersebut, bahkan terhadap rumah tangganya (Navis, 1984: 193). Perkawinan antara dua orang yang bersaudara sepupu, yang menurut struktur sebuah keluarga berada dalam satu perut, maka menurut syarak tidak dibenarkan untuk menikah. Qs 4 (22-23) mengatakan bahwa di dalam hukum syarak yang tidak boleh berkawin adalah seseorang dengan muhrimnya, yaitu, ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara bapak yang perempuan, saudara ibu yang perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, ibu yang menyusukan, saudara sepersusuan, mertua, anak tiri, menantu. Pada dasarnya suku dikatakan sebagai keturunan sedarah yang biasa disebut dengan dunsanak atau badunsanak (dunsanak/berdunsanak). Perkawinan antara orang-orang yang dikatakan badunsanak akan melahirkan anak-anak yang tidak mungkin dibedakan lagi antara anak dan kemenakan. Akan tetapi akan mendapat kesulitan dalam pewarisan harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah (Amir Ms, 2001:3). Hal ini dilakukan agar dapat memelihara keseimbangan antara penerapan ketentuan aturan adat dan hukum syarak. Di Minangkabau dikenal dengan adanya perkawinan ideal. Menurut alam pikiran orang Minangkabau, perkawinan yang paling ideal ialah perkawinan antar keluarga dekat seperti antara perkawinan anak dengan kemenakan. Perkawinan tersebut lazim disebut dengan Pulang ka mamak atauPulang ka bako. Pulang ke mamak artinya mengawini anak dari saudara laki-laki ibu, sedangkan pulang ka bako mengawini kemenakan ayah. Dengan kata lain, perkawinan ideal bagi masyarakat Minangkabau ialah perkawinan “awak samo awak”. Itu bukan menggambarkan bahwa mereka menganut sikap yang eksklusif. Pola perkawinan “ awak samo awak” itu berlatar belakang sistem komunal dan kolektivisme yang
dianutnya. Sistem yang dianut mereka itu barulah akan utuh apabila tidak dicampuri oleh orang luar (Navis, 1984: 169). 1.5 Merantau Merantau merupakan suatu cara berpindah dengan tujuan untuk kembali. Dalam pengertian fisik dan spiritual adalah suatu sistem penting yang diperkenalkan orang Minangkabau dengan dunia lain (Naim, 1984: 226). Sebab-sebab merantau sebagaimana yang dikemukakan oleh Muchtar Naim (1984: 228-229). Secara garis besar terdiri dari delapan faktor, yaitu. 1. Faktor fisik, ekologi dan lokasi 2. Faktor ekonomi dan demografi 3. Faktor pendidikan 4. Faktor daya tarik kota 5. Faktor politik 6. Faktor keresahan sosial 7. Faktor arus baru 8. Faktor sosial bagi migrasi masyarakat lain Menurut Hamka (1985: 29), pada permulaan perantauan masyarakat Minangkabau masih dipakai istilah bahwa mencari harta bukan untuk diri sendiri, atau untuk anak istri, melainkan untuk kemenakan. Berapa pun banyaknya yang dia dapatkan di perantauan, makan akan dibawa pulang untuk kemudian dimanfaatkan sebagai penambah harta kaumnya. Oleh karena itu, meskipun gigih mencari harta para perantau tetaplah miskin dan melarat. Di rantau masyarakat Minangkabau akan mendapatkan sesuatu yang baru. Segala kenangan pahit karena kekangan aturan adat pun berangsur hilang, dan semakin lama mereka akan semakin renggang dengan adatnya. Kalaupun mereka akan pulang ke kampung halamannya, maka tentulah pada saat tertentu, seperti pada saat lebaran atau ketika berlangsungnya perkawinan (Hasanadi. 2003: 83).
2. Pandangan Dunia. Menurut Goldmann (dalam Faruk, 2005: 16), pandangan dunia merupakan istilah yang cocok dari kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasiaspirasi dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial lain sebagai suatu pemahaman kesadaran subjek kolektif. Pandangan dunia Marah Roesli yang direfleksikan dalam novel Memang Jodohini mengungkapkan bahwa adat istiadat di Minangkabau, khususnya masalah adat perkawinan perlu diubah agar masyarakat tidak lagi terkait dengan aturan-aturan adat tersebut. Di dalam novel diungkapkan bahwa masyarakat Minangkabau tidak melazimkan adanya perkawinan antar etnis, karena mereka tidak mau ada campur tangan bangsa lain mengenai adat. hal itu dianggap melanggar aturan adat yang berlaku di Minangkabau. Hal ini terdapat pada kutipan berikut. “...Apa sebabnya Cucunda telah melanggar adat kita di Padang ini; kawin dengan perempuan yang bukan bangsa awak...”(Rusli, 2013: 348). Pandangan dunia yang terefleksikan bahwa diperlukan perubahan kepincangan-kepincangan adat di Minangkabau khususnya dalam hal perkawinan, hal ini dilakukan agar masyarakat tidak lagi terikat pada aturan-aturan adat. Marah membuka novel ini dengan pidato yang ditujukan pada masyarakat Minangkabau yang terlihat pada kutipan berikut. “,,,Bagi orang Minangkabau, hendaknya cerita-cerita ini dapat menjadi suatu pertimbangan dalam adat istiadat, terutama tentang perkawinan; agar mencapai pernikahan sejati, yang berbahagia dan dirahmati serta dikarunia Tuhan Yang Maha Esa. Jika ada kesalahan atau kekhilafan dalam karanganku ini atau dalam karanganku sebelumnya, yang semuanya mengungkap berbagai hal tentang perkawinan di Minangkabau, yang ku rasa masih banyak perpincangan,
lebih-lebih jika dibawa ke dalam suasana masa sekarang, maka aku mohon maaf dan mohon ampun sebanyakbanyaknya; karna maksudku bukan hendak mencela, menghina, menempelak atau menyesali kaumku sendiri, sekali-kali tidak. Terutama pada perbuatanku itu, dalam hal ini, akan menjadi seperti kata pribahasa: bak menepuk air di dulang, yang kena mukaku sendiri. Niatku hanya semata-mata ingin mengingatkan pada kepincangan-kepincangan pelaksanaaan adat istiadat, yang tak baik lagi dipertahankan, bahkan seharusnya sudah sejak dulu diperbaiki dan diganti, sehingga dapat disesuaikan dengan zaman yang telah beralih dan masa yang telah berubah. Agar mereka selamat di tengah arus pergaulan dunia yang luas seperti kaum-kaum yang lebih dulu maju...(Roesli, 2013: 18) Kutipan di atas menjelaskan bahwa pandangan dunia Marah Roesli terhadap adat perkawinan yang tidak ia setujui. Ia meminta agar masyarakat Minangkabau dapat mengungkap hal yang berkaitan dengan adat perkawinan di Minangkabau. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat mengenal dunia luar tidak hanya terpaku pada adat yang berlaku. Pandangan dunia Marah Roesli menggambarkan bagaimana adat Minangkabau yang masih kaku dan perlu diperbaiki. Tindakan yang diambil oleh Hamli untuk meninggalkan kampung halamannya merupakan suatu bentuk penolakan terhadap poligami yang dilazimkan di Minangkabau. Sebagai seorang pengarang, Marah Roesli tidak terlepas dari lingkungannya. Seorang individu yang mempunyai interaksi timbal balik dengan individu lain dalam kelompok sosial. Sebagai seorang pengarang Marah tentu mempunyai pandangan dan penafsiran tentang lingkungan tersebut. Penafsiran dan pemahaman itu bukanlah merupakan pandangan pribadinya saja, melainkan pandangan kelompok sosialnya. Dalam novel Memang Jodoh ini pengarang juga memperlihatkan pandangannya tentang sosial budaya masyarakat Minangkabau yang tertuang di dalam mamangan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah). Artinya, bahwa semua ajaran adat bersendikan agama dan agama berdasarkan alqur’an.
Sikap etnosentrisme yang masih melekat pada diri masyarakat Minang dan tentang sikap yang melarang masyarakat untuk kawin antar etnis di Indonesia yang perlu diubah menjadi sikap yang lebih terbuka dan menjadi warga dunia yang tidak menutup diri berinteraksi dengan warga dunia lain. Artinya, menjadi masyarakat yang multikulturalisme. Selain itu, novel yang lahir kala peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada tahun 1919 yang memuntahkan isi perutnya dan menelan ribuan jiwa. Ketika itu pengarang tinggal di Blitar dan merekam jelas kajadian itu dan melampirkannya di dalam novel dengan tidak menyebutkan jumlah orang yang menjadi korban. pada bagian terakhir sekaligus untuk menutup cerita dijelaskan pengalaman pengarang dalam melakukan tindakan melawan Belanda dan tentara sekutu. Dalam novel penulis menggambarkan kebenciannya terhadap pasukan NICA yang ditulis dalam novel “Anjing NICA”. Pada sub bab terakhir ini dijelaskan secara detail perjuangan pemuda Indonesia, Hamli ikut berjuang kala itu untuk Indonesia. Masih banyak hal yang menarik yang dapat kita ambil hikmatnya dari novel ini, lewat kritikkan terhadap adat pernikahan di Minangkabau yang begitu keras dan tidak sesuai dengan perubahan zaman begitupun dengan cara pengarang yang menentang adat tersebut dengan cara yang sangat santun. Kisah yang tertuang di dalam novel dengan latar belakang kehidupan adat dan masyarakat Minangkabau di masa lampau, hingga dapat dipahami adat dan budaya Minang dengan berjalannya waktu. Kemudian tindakan yang dilakukan oleh Hamli berpijak pada falsafah alam Minangkabau yang mengatakan dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang (dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung). Artinya, dimana kita hidup dan berpijak aturan di sanalah yang harus kita pakai. Perbuatan Hamli untuk menentang adat di tanah kelahirannya yang diikuti oleh pemudapemuda Minang yang mau mengikuti jejak Hamli, dengan meninggalkan kampung halamannya dan mencari istri ke negeri orang lain. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan adat yang sudah seharusnya diganti.
3. Subjek Kolektif
Subjek kolektif atau trans-individual merupakan subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek kolektif bukan kumpulan individu yang berdiri sendiri, melainkan suatu kesatuan kolektifitas. Subjek kolektif juga dikatakan sebagai subjek fakta sosial dari satu pandangan dunia hanya kelompok sosial yang menjadi gagasan dan aktivitasnya cendrung ke arah penciptaan suatu pandangan dunia. Subjek kolektif tersebut dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial dan sebagainya. Goldmann (dalam Faruk, 2005: 25). Marah Roesli dikenal dengan sebutan Bapak Moderen Indonesia. Semasa hidupnya Marah banyak menulis tentang fenomena budaya di Minangkabau salah satunya adalah roman Siti Nurbaya. Roman yang berisi tentang pengalaman pribadinya yang melanggar adat istiadat Minangkabau. Roman ini diterbitkan pada tahun 1920 dan mendapat sambutan yang sangat baik dari kalangan masyarakat, khususnya pemuda Minangkabau karena dapat memicu mereka untuk melakukan hal yang sama sebagai bentuk penolakan terhadap adat dengan aturanaturannya yang sudah seharusnya diganti. Pada tahun 1924 Marah juga menerbitkan roman dengan judul La Hami, yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Sumbawa yang diterbitkan sebagai bentuk ucapan terimakasih kepada masyarakat Sumbawa yang telah banyak membantunya selama ia bertugas disana. Marah Roesli yang dilahirkan dalam lingkungan budaya Minangkabau, dan merupakan bagian dari masyarakat sosial di Minangkabau yang seringkali mengungkap fakta-fakta kemanusiaan melalui karya sastra. Fakta kemanusiaan yang dihadirkan di dalam novel ini, terdapat dua bagian, yaitu bagian dari kelompok sosial atau subjek kolektif tertentu. Selain kedua roman tersebut marah juga menulis Tambang Intan Nabi Sulaiman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Jakarta, kemudian Gadis yang Malang yang merupakan sebuah karya terjemahan dari novel Charles Dickens dan yang terakhir adalah novel Memang Jodoh. Penelitian di atas menyuarakan pandangan dunia dari subjek kolektif yang terefleksi dalam novel ini meliputi kelompok intelektual Minangkabau memperoleh pendidikan tinggi dan juga hidup di perantauan, kosmopolit, serta
berinteraksi dengan orang-orang yang berada di luar Minang. Hal itu dihadirkan oleh pengarang untuk menjawab fakta-fakta kemanusiaan yang terdapat pada saat kelahiran novel Memang Jodoh ini.
PENUTUP Bentuk-bentuk penolakan dari kedua belah pihak, penolakan yang dilakukan oleh Mamanda Din Wati, yang menolak menyetujui perkawinan kepenakannya, Din Wati dengan Hamli. Hal ini yang dilatarbelakangi karena pengalaman yang dialami keluarganya yang kawin dengan orang Minangkabau yang berakhir dengan penderitaan, kemudian juga pinangan yang datang pada Mamanda Din Wati untuk meminangnya. Penolakan yang datang dari keluarga Hamli yang melakukan berbagai cara untuk mengahiri perkawinan Hamli dan Din Wati yaitu dengan mencoba melakukan penganiayaan terhadap Din Wati, kemudian menawarkan istri tambahan untuk Hamli yang berasal dari Minangkabau, lalu tindakan yang diambil oleh mamak untuk mengeluarkan Hamli dari adat sebagai sanksi karena melakukan perkawinan antar etnis yang jelas dilarang oleh adat. Berkaitan dengan kelahiran novel Memang Jodoh yang dilahirkan setelah semua tokoh yang terdapat di dalam novel ini meninggal dunia dengan alasan pengarang tidak mau menyinggung perasaan saudara-saudaranya. Hal ini menjadi amanat yang disampaikan oleh pengarang sebelum ia meninggal dunia. Maka dari itu lebih dari 50 tahun lamanya novel ini tersembunyi hingga akhirnya 2013 diterbitkan. Berkaitan dengan tanah kelahiran pengarang. Minangkabau, yang direfleksikan ke dalam novel Memang Jodoh ini melalui fakta-fakta kemanusian yang
dihadirkan
oleh
pengarang
seperti
pemberontakan
adat
istiadat
Minangkabau, kemudian juga menggangap sebuah sistem yang tidak adil. Sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau yang menjadi simbol kekhasan masyarakat Minangkabau saat ini, kemudian juga beberapa keterkaitannya dengan novel seperti, sistem kekerabatan, sistem perkawinan, adat istiadat Minangkabau dan lain-lain.
Pandangan dunia pengarang yang menghubungkan struktur karya sastra dengan struktur sosial yang terdapat di dalam novel Memang Jodoh . Melalui novel ini Marah Roesli menggungkapkan persoalan adat perkawinan di Minangkabau yang patut untuk diperbincangkan dan sudah seharusnya pula masyarakat melakukan perbaikan terhadap adat yang membelenggunya, dan membuka mata untuk melihat dunia luar. Begitu pula halnya dengan agama yang telah tercantum dalam Al’quran yang mana manusia diciptakan dengan berbagai macam suku bangsa, dan beragam budaya yang dapat menjadikan kita untuk saling mengenal, taaruf, dan menjalin hubungan silaturrahmi antar sesama manusia. Hal itulah yang menimbulkan relevansi kebangsaan yang mencitacitakan Indonesia dalam satu etnik Bhineka tunggal ika. DAFTAR PUSTAKA Endaswara,Suwardi.2009. MediaPresindo.
Metodologi
Penelitian
Folklor.
Yokyakarta:
Esten, Musral. 1993. Kesusastraan:Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa Raya. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Faruk, 1994. Metode Penelitian Sastra. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. .1988. Strukturalisme Genetik dan Epistimologi Sastra. Yogyakarta: PD Lukman. .2005. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modrenisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra Surakarta: Muhammadiyah Unoversity Press.Jakarta: BalaiPustaka. Fitri, Tika. 2013, “Naskah Drama Dara Jingga Karya Wisran Hadi Suatu tinjauan Strukturalisme Genetik”. Skripsi: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Hasanuddin. 1991. “Integrasi Adat dan Syarak Suatu Dilema; Tinjauan Strukturalisme Genetik; Drama Wisran Hadi Tuanku nan Rencek”. Padang: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Andalas. Hasanuddin, 2013. Adat dan Syarak Sumber Inspirasi dan Rujukan Nilai Dialektika di Minangkabau. Universitas Andalas: Pusat Studi Informasi dan Kebudayaan Minangkabau (PSIKM).
Hasanadi, 2003, “Gurindam Ratok Mak Enggi Karya Yus DT. Parpatiah”. Skripsi: Fakultas Sastra Universitas Andalas. Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau; Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. . 1986. Sosiologi Sastra; Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kutha Ratna, Nyoman.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar. Kosasi, Anggi Zoriyati.2008.” Protes Sosial Dalam Novel Siti Nurbaya (Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra)”.Skripsi: Fakultas Sastra Universitas Andalas. Koentjaraningrat, 2005.Pengantar Antropologi I Pokok-pokok Etnografi.Jakarta: Asdi Mahasatya. , 2004. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan Marlina. 2005. “ Nilai Moral Tokoh Dalam Novel Debu-Debu Cinta Karya Nadjib Kartapati Z (Tinjauan Instrinsik)”. Skripsi: Fakultas Sastra Universitas Andalas. Navis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafitipers. Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gajah Mada Universitas Press. Rusli,Marah.2013.Memang Jodoh. Jakarta: Pustaka Jaya Shadly, Hasan (ed). 1982. Ensiklopedia Indonesia. Jilid 4. Jakarta : Penerbit Buku Ichtiar Baru Semi,Atar.1988.Metode Penelitan Sastra.Padang: Angkasa Raya Staf Pangajar UGM,IKIP dkK. 1994.Teori Penelitian Sastra: Yokyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yokyakarta. Suriasumatri,S Jujun.1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Sosial. Jakarta: PustakaSinar Harapan Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa Sudjiman, Panuti.1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah Teeuw, A.1983. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek,Rene dan Austin Warren,1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani Budianta).Jakarta: Gramedia.