Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Saya kaget membaca judul buku puisi: Manusia Gerobak. Apa yang Elza ungkapkan dalam buku ini bukan sekedar karikatur, tapi realitas yang berlangsung di sekeliling kita. Kebetulan saya bersentuhan langsung dengan Manusia Gerobak. Di dekat tempat saya tinggal sekarang, di Jalan Senin Raya, tinggal seorang Manusia Gerobak: seorang kakek tua yang hidup sebatang kara seperti ia tulis di dinding gerobaknya. Rupanya dia mengidap penyakit kusta hingga terkucil dari lingkungan keluarganya. Dia hidup dari rezeki yang dia peroleh dari Tuhan melalui tangan orang-orang yang baik hati dan mempunyai rasa peduli terhadap sesama yang menderita. Anak manusia yang diselimuti kesengsaraan seperti dialami Manusia Gerobak dalam beragam bentuk yang lain masih banyak jumlahnya. Elza, melalui puisinya, mengungkapkan realitas itu. Selamat Elza!
Penulis buku ini punya sensibilitas kemanusiaan untuk mengekpresikan kegelisahan batinnya tak cukup dengan esai dan artikel, tapi esai yang dipadukan dengan puisi. Puisi-puisi jenis ini seharusnya memang diterima sebagai upaya untuk memperkaya pengucapan dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Apakah karya jenis ini punya nafas panjang untuk menyuguhkan nilai yang teruji? Ketika sastra dituduh terpencil, megah bermukim di menara gading, Elza masih punya kepercayaan bahwa duka kamanusiaan bisa menemukan kendaraan lewat puisi esai seperti yang ditulisnya ini. Saya turut menyambut kehadiran Puisi Esai, dengan alasan bentuk-bentuk baru dalam kesusastraan perlu dicari, diburu, dan diberdayakan. D. Zawawi Imron, penyair
MANUSIA GEROBAK
Djohan Fffendi, pembaru Islam, pejuang pluralisme
Kumpulan Puisi Esai ELZA PELDI TAHER
Kelebihan puisi adalah mampu mewadahi dan mengekspresikan pahit-manisnya realitas hidup dalam bahasa yang singkat, padat, namun memiliki kedalaman pesan dan makna. Di situ berlangsung dialog imajiner antara penulis dan pembacanya untuk sama-sama menangkap realitas yang kadangkala memang gramatika verbalformal tidak mampu mewadahinya. Dalam himpunan puisi ini, Elza Peldi Taher menyajikan renungan kontemplatifnya terhadap sebagian realitas sosial yang sangat menyentuh.
Kumpulan Puisi Esai
ELZA PELDI TAHER
Manusia Gerobak Pengantar
D. Zawawi Imron Ilustrasi
Herry Dim
MANUSIA GEROBAK Kumpulan Puisi Esai
Elza Peldi Taher
ELZA PELDI TAHER
1
MANUSIA GEROBAK Kumpulan Puisi Esai ©Elza Peldi Taher Hak cipta dilindungi undang-undang. All right reserved. Pengantar D. Zawawi Imron Gambar/Ilustrasi cover dan Isi: Herry Dim Disain Sampul & Reka Letak Andi Espe Cetakan ke-1, Januari 2013 155 hlm. 13 x 18,5 cm ISBN 978-602-17438-1-2
Diterbitkan pertama kali oleh PT JURNAL SAJAK INDONESIA Jl. Bhineka Permai Blok T No. 6 Mekarsari, Depok, Indonesia Telp/Faks. 021-8721244 Email:
[email protected]
2
MANUSIA GEROBAK
PUISI ESAI ELZA PELDI TAHER adalah suara keberpihakan pada kelompok sosial yang bukan saja terpinggirkan, melainkan juga terbuang secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ya, mereka adalah “Manusia Gerobak”. Kehidupan memang terdiri dari sari dan ampas, tapi hanya ampas yang sampai ke gerobak kehidupan mereka. Puisi esai Elza Peldi Taher menangkap daya hidup orangorang yang penuh daya juang di tengah hanya ampas kehidupan yang mengisi gerobak hidup mereka. Dengan cara tersebut, lebih dari sekadar bersimpati dan memberi arti pada daya juang mereka, ia juga membela orang-orang yang terbuang itu. Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi Horison dan Jurnal Sajak PUISI ESAI ELZA PELDI TAHER mengawinkan kekuatan isi dan kecan-tikan artikulasi. Menguliti lapisan terdalam problema kehidupan dengan pisau bahasa yang tajam. Daya gugahnya melampui batas ruang dan waktu. Yudi Latif, cendekiawan MEMBACA BUKU INI seperti membaca sesuatu yang terselip di sebuah celah. Di sela-sela narasi tentang pertumbuhan ekonomi negeri kita yang cukup besar yang kerap kita dengar di media massa, sekitar 6,5% per tahun, ada narasi lain yang terselip —narasi tentang orang-orang yang tak beruntung, yang susah, yang kelaparan, yang miskin, yang tak terangkut dalam gerbong pertumbuhan ekonomi yang ingar-bingar itu. Buku ini menyuguhkan narasi-terselip itu, narasi tentang kehidupan orang-orang kecil yang pontang-panting bertahan hidup seperti Atmo, Rasmin, Ivon, dan lain lain. Narasi mereka biasanya tak terekam dalam angka-angka resmi BPS, indeks, atau angka-angka agregat yang lain. Tokoh-tokoh dalam buku Elza Peldi Taher ini mungkin saja bukan tokoh nyata, melainkan rekaan dia sendiri. Tetapi pengalaman mereka adalah pengalaman nyata yang bisa kita jumpai di kota-kota Indonesia. Membaca pengalaman orang-orang yang “terkecualikan” ini akan membuat kita peka kembali (resensitized) terhadap pengalaman riil manusia sehari-hari. Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan
ELZA PELDI TAHER
3
TRAGIS DAN IMPRESIF. Realitas kehidupan belantara kota, orang-orang yang terpinggirkan seperti berkaca di kali Ciliwung. Rumit dan pekat. Elza Peldi Taher menulis dan mengemas dalam bahasa yang sederhana, mudah dimengerti dan sangat menyentuh. Fatin Hamama, penyair NASEHAT SAYA JELAS: jangan baca buku ini, kalau tak ingin tidur nyenyak anda terganggu. Jangan pernah membacanya, karena ia akan membuat anda terpaksa mengakui bahwa di luar sana ketidakadilan, ketimpangan, dan kemiskinan yang mengajak pada kekufuran masih bersimaharajalela. Ini bukan buku pengantar tidur yang baik, karena justru akan membangunkan anda dari mimpi-mimpi palsu. Bravo, Bang Elza! Nurul Agustina, aktivis perempuan MEMBACA SERPIHAN orang-orang “kalah” dalam puisi esai Elza ini memang terasa getir, pahit, sedih, sekaligus membangkitkan empati pada mereka. Mereka terasa nyata dan dekat dengan kita yang jauh lebih beruntung dalam bertarung dengan hidup. Mereka sudah mencobanya, dan “kalah” pada akhirnya. Nur Iman Subono, dosen FISIP-UI KEMANUSIAAN YANG RAPUH, rentan, dan marginal adalah keprihatinan utama dari kumpulan puisi Elza Peldi Taher. Tetapi kekuatan besar di balik keprihatinan ini adalah justru di tengah kemanusiaan yang rapuh itu bisa kita rasakan kekuatan, daya tahan, dan martabat manusia-manusia yang secara nyata menghadapi hidup mereka dengan penuh kerelaan dan keikhlasan. Ery Seda, dosen FISIP-UI PUISI ESAI ELZA PELDI TAHER mengartikulasikan secara jernih tragedi hidup dan jeritan kemiskinan di tengah-tengah sangat sedikit orang berempati terhadapnya. Neng Dara Affiah, komisioner Komnas Perempuan
4
MANUSIA GEROBAK
Pengantar Penulis
T
erbitnya buku ini merupakan satu “hidayah” dalam hidup saya. Saya sebut “hidayah” karena menulis puisi tak ada dalam kamus hidup saya. Saya bukanlah penggemar puisi, tapi tiba-tiba saja melahirkan sebuah karya puisi. Saya bukan penikmat puisi, jarang membaca atau menonton pertunjukan puisi apalagi menikmati puisi sebagai sesuatu yang mencerahkan yang kemudian membuat saya “jatuh cinta” kepadanya. Kepustakaan saya di rumah lebih banyak diisi oleh bukubuku ilmu politik, sosial, teknologi atau buku-buku keagamaan. Bacaan yang berkaitan dengan sastra apalagi puisi sangatlah sedikit, bisa dihitung dengan jari. Buku-buku puisi yang menjadi legenda seperti Kahlil Gibran saya memang punya. Saya membelinya karena seperti yang sering dikatakan banyak orang karya mereka bagus dan menyentuh hati. Tapi setelah membacanya hampir sebagian besar saya tidak mendapatkan sesuatu yang bermakna di dalamnya. Buku Kahlil Gibran memang mempunyai keindahan dalam kata atau kalimat, tapi tidak memberi pencerahan sebagaimana layaknya kita membaca sebuah buku. Beda dengan kalau
ELZA PELDI TAHER
5
saya membaca buku-buku sosial atau keagamaan semacam karya Nurcholish Madjid, misalnya. Tiap kali membacanya, saya selalu mendapat pencerahan. Akhirnya jadilah buku-buku itu hanya menjadi “penghias” perpustakaan saja. “Kecuekan” saya terhadap puisi sudah sejak lama, sejak menjadi mahasiswa. Tiap kali membaca puisi saya lebih banyak merasakan tidak mendapatkan “apa-apa”, daripada mendapatkan “apa-apa”, padahal puisi yang saya baca itu dipuji bagus oleh banyak kalangan. Seiring berjalannya waktu, puisi kemudian menjadi sesuatu yang sulit untuk dipahami dan dimengerti. Ada semacam pandangan dalam dunia perpuisian bahwa sebuah puisi semakin bagus bila semakin sedikit dimengerti oleh banyak orang dan sebuah puisi menjadi gagal bila makin dimengerti oleh banyak orang. Mereka yang mengerti itu adalah cukup para penyair saja. Mereka yang bukan penyair memang tidak akan mengerti makna yang terkandung di dalam puisi, karena puisi dibuat memang untuk tidak untuk dimengerti oleh mereka. Pembaca puisi, sama dengan jamaah pendengar mubaligh yang berkhutbah di sebuah mimbar dalam bahasa Arab, yang cukup mendengarkan dengan takzim tanpa harus mengerti apa yang disampaikan. Riset yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia tahun 2011 (Denny JA, Jurnal Sajak, nomor 3, 2012, halaman 69,) menunjukkan betapa puisi menjadi 6
MANUSIA GEROBAK
sesuatu yang asing dalam masyarakat. Dalam riset itu ditemukan bahwa mereka yang tamat pendidikan tinggi sekalipun tidak mengerti dan tidak memahami puisi. Mereka yang pendidikannya menengah dan kebawah lebih sulit lagi memahaminya. Mereka menilai puisi terlalu njelimet. Jika bahasanya saja tidak dimengerti, mereka sulit untuk tahu apa yang ingin disampaikan puisi itu. Pemahaman dan apresiasi saya pada puisi, mungkin sama dengan apa yang dituliskan oleh Jon Barr, pemimpin Foundation of Poetry. Judul tulisannya menarik, “American Poetry in New Century”. Menurut Jon Barr, puisi semakin sulit dipahami. Penulisan puisi juga makin stagnan, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa makin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik-masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Karena itu Jon Barr merindukan puisi yang menjadi magnet dibicarakan, dihargai masyarakat dan memotret persoalan zamannya. *** Pada sekitar bulan Mei 2012, Denny JA, seorang konsultan politik kondang, meluncurkan sebuah buku kecil. Bukan seperti biasanya, buku berisi artikel-artikel, melainkan sebuah kumpulan puisi. Dia menamakan
ELZA PELDI TAHER
7
buku berukuran seperempat halaman folio itu sebagai “puisi esai”. Sebuah buku berwarna merah dengan gambar burung merpati dengan kalung berbentuk hati (cinta) dan kaki yang terkunci gembok. Judul buku itu adalah Atas Nama Cinta. Judul kecil di bawahnya, “Sebuah Puisi Esai”. Beberapa kalimat menyertai di bawah judul besar dan kecil itu, “Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati”. Dan satu lagi —ini mungkin paling penting— tertera tulisan “Genre Baru Sastra Indonesia” di halaman sampul buku itu. Beberapa nama kondang memberi pengantar buku itu seperti Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia Sapardi Djoko Damono, penyair Sutardji Colzoum Bachri, dan intelektual Ignas Kleden. Melalui buku itu, Denny JA mempopulerkan sebuah istilah baru: puisi esai. Tak hanya dalam bentuk buku, dalam waktu tak lama berselang, Denny JA juga membuat sebuah website khusus tentang puisi esai, yaitu puisi-esai.com. Isi situs ini tak jauh berbeda dengan buku mungil Puisi Esai. Bisa dikatakan, website itu adalah bentuk (penjelmaan) buku yang dituangkan dalam dunia maya. Dalam website itu, kita juga bisa mendapatkan “Puisi Esai” serta kata pengantarnya. Berbeda dengan buku, di website, Puisi Esai Denny JA diperkaya dengan tampilan-tampilan seperti video, pembacaan puisi yang direkam dalam klip video dan berbagai ilustrasi lainnya. Mereka yang masuk ke website 8
MANUSIA GEROBAK
ini bisa ikut memberikan komentar atas lima puisi esai karya Denny JA. Saat kata pengantar ini ditulis, record hit website itu sudah mencapai 7,5 juta lebih. Artinya, sebanyak tujuh setengah juta orang telah meng-klik situs ini. Suatu pencapaian yang luar biasa. Mungkin saja ada satu orang yang meng-klik beberapa kali situs ini. Jumlah pengunjung situs yang sangat besar itu memperlihatkan bahwa puisi esai paling tidak sudah diminati oleh publik luas. Respons dari masyarakat, tak hanya para sastrawan dan penyair, cukup positif. Tengok saja komentar-komentar terhadap puisi-puisi esai karya Denny JA yang ditulis para pembaca seperti dilihat dalam situs itu. Komentar sangat positif, bahkan banyak di antaranya yang sangat tersentuh dengan puisi-puisi esai itu. Benar, kalau dikatakan, seperti sudah disebut, pusi esai karya Denny JA itu telah “menggetarkan hati”. Bahkan, untuk lebih mempopulerkan puisi esai, Denny JA melalui situs itu menggelar beberapa lomba. Sebut saja, lomba menulis review, lomba lukisan, lomba penulisan. Semua lomba terkait dengan puisi esai. Antusiasme masyarakat juga terlihat dari para peserta lomba-lomba itu. Dengan kata lain, sambutan masyarakat termasuk para pencinta sastra khususnya, terhadap puisi esai ini luar biasa. Denny JA menyebut puisi esai itu sebagai sebuah genre baru sastra Indonesia.. “Kebutuhan ekspresi kisah ini membuat saya memakai sebuah medium yang tak ELZA PELDI TAHER
9
lazim. Saya menamakannya “puisi esai”. Ia bukan esai dalam format biasa seperti kolom, editorial atau paper ilmiah. Namun, ia bukan juga puisi panjang atau prosa liris,” tulis Denny JA dalam kata pengantar buku puisi esai, Atas Nama Cinta. Sebagai proklamator puisi esai, Denny JA lalu membuat platform puisi esai. Pertama, puisi esai mengeksplorasi sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa seperti metafora, analogi dan sebagainya justru bagus untuk dipilih. Namun diupayakan mereka yang berpendidikan menengah pun dapat memahami dengan cepat pesan yang hendak disampaikan dalam puisi. Prinsip puisi esai, semakin sulit puisi dipahami publik luas, semakin buruk puisi sebagai medium komunikasi penyair dengan dunia luarnya. Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai memotret tokoh riel yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan dalam puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah. Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset minimal realitas sosial. Ia merespon isu sosial yang sedang bergetar di sebuah komunitas, apa pun itu. Kelima, puisi berbabak dan 10
MANUSIA GEROBAK
panjang. Dalam puisi esai, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku atau perubahan sebuah realitas sosial. Dari platform yang ditulisnya itu kita kemudian tahu bahwa Denny JA ingin mencari sebuah medium di mana dia bisa bercerita tentang sebuah problema secara sederhana, mudah dimengerti, dan mengena secara langsung. Dan tentunya, diungkapkan secara indah. Medium itulah disebutnya sebagai “puisi esai”. “Yaitu puisi yang bercita rasa esai. Atau esai tentang isu sosial yang puitik, atau disampaikan secara puitis. Ia bukan puisi yang lazim karena ada catatan kaki tentang data dan fakta di sana dan di sini serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena dituliskan dengan larik, puitik, dan lebih mengeksplor sisi batin,” tulis Denny. Itu sebabnya, salah satu syarat utama sebuah puisi esai adalah tercantumnya catatan kaki—yang tak lazim untuk sebuah puisi. Catatan kaki, menurut Denny, menjadi sesuatu yang sentral. Beberapa kriteria lain dari puisi esai itu di antaranya ada eksplorasi dari sisi batin dan human interest, dituangkan dalam larik dan bahasa puitik yang mudah dipahami, memotret konteks fakta sosial, dan menyentuh hati pembaca. Sebuah puisi esai dikatakan berhasil apabila bisa menyentuh atau menggetarkan hati dan membuat pembaca mafhum tentang sebuah isu sosial di dunia nyata. ELZA PELDI TAHER
11
Kali pertama saya membaca naskah itu, saya langsung jatuh cinta. Bahasanya enak dibaca, mudah dipahami, temanya menarik dan menggugah, sangat komunikatif dan menyentuh hati. Saya setuju bahwa puisi sebagai medium komunikasi untuk menyampaikan gagasan kepada publik memang harus komunikatif dan mudah dipahami jika ingin dikenal oleh khalayak luas. Jika puisi tak bisa dipahami maka puisi akan kehilangan makna. Dan apa yang dituliskan Denny JA sangat memenuhi syarat untuk itu. Kalau seperti ini puisi dituliskan, saya yakin dunia penyair akan lebih diapresiasi publik luas. Potret Kemiskinan Puisi esai yang hadir di hadapan pembaca saat ini, ingin mendekati harapan dan kriteria sebuah puisi esai yang dimaksud Denny JA itu. Ada lima puisi esai dalam buku ini. Semua tentang kemiskinan dan kelompok marginal: pemulung (manusia gerobak), pelacur kelas bawah, keluarga buruh, preman, dan orang miskin di depan hukum. Saya memilih tema kemiskinan karena kemiskinan merupakan isu sosial di dunia nyata. Kemiskinan seperti sebuah lingkaran setan. Kemiskinan akan membuat manusia terhalang dari usaha-usaha peningkatan dirinya menuju kepada harkat dan martabat kemanusiaannya yang lebih tinggi. 12
MANUSIA GEROBAK
Kita tahu, penduduk miskin di Indonesia masih besar. Menurut catatan, jumlah penduduk miskin masih sekitar 13% atau sekitar 31 juta jiwa. Bukan cuma kemiskinan, tapi tingkat kesenjangan (indeks gini ratio) Indonesia juga tinggi. Kemiskinan yang besar dibarengi dengan kesenjangan sosial (ketimpangan antara si kaya dan miskin) yang sangat jomplang membawa akibatakibat sosial terutama pada mereka yang masuk kelompok marjinal. Maka, muncul isu-isu di seputar kemiskinan dan kesenjangan sosial. Di kota-kota besar seperti di Jakarta, nasib orang miskin jauh lebih mengenaskan daripada desa. Di desa orang miskin masih bisa bernafas karena nilai persaudaraan di antara sesama mereka masih kuat. Semiskinmiskinnya mereka tidak akan kelaparan, karena akan dibantu oleh tetangga yang solider dengan mereka. Tapi di kota besar seperti Jakarta hidup terasa kejam bagi kaum mis-kin. Sikap individualis dan tak peduli pada sesama amat kuat. Bukan hanya itu. Kaum miskin rentan dieksploitasi karena mereka tak berdaya. Hampir semua gelandangan atau pengemis di Jakarta dikuasai oleh mafia-mafia yang mengeksploitasi mereka habishabisan. Jika bertemu pengemis yang biasa mengemis di jalan-jalan raya atau datang ke rumah hati saya mendua: apakah akan bersedekah kepada mereka, yang itu artinya memperkaya mafia-mafia itu, atau tidak berseELZA PELDI TAHER
13
dekah sama sekali tapi hati dan jiwa ini tak tentram. Sejak beberapa tahun terakhir saya memutuskan tak memberi sedekah kepada pengemis di jalan raya atau yang datang ke rumah, apa pun kondisi mereka, sematamata agar eksploitasi terhadap mereka tidak makin menjadi-jadi. Jika ingin berderma bisa dilakukan kapan saja dan di sekeliling kita pasti banyak sekali orang yang membutuhkannya. Bagaimanapun kita tidak bisa menutup mata terhadap serangkaian persoalan memilukan yang menyayat hati menimpa kelompok marjinal ini. Di buku ini saya menuturkan kisah-kisah menyayat hati itu, semuanya diangkat dari kisah nyata. Seseorang yang tak mampu lagi menanggung beban hidup karena kemiskinan dan penderitaan yang berlangsung lama akhirnya me-milih jalan pintas mengakhiri hidup —bunuh diri (“Asih Bakar Diri”). Seorang perempuan yang terpaksa menjual kehormatan disinari temaram lampu jalanan untuk menghidupi bayinya dan harus kehilangan nyawa di tangan seorang preman (“Catatan Harian Ivon”). Seorang pemulung yang tak sanggup mengebumikan putrinya karena ketiadaan uang dan membawa jenazah putrinya ke mana-mana (“Manusia Gerobak”). Kisah “Manusia Gerobak “, yang menjadi judul buku ini, adalah kisah nyata, adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Saya kira sebagian kita masih
14
MANUSIA GEROBAK
mengingat kisah yang menggemparkan ini. Seorang anak meninggal di depan sang ayah, terbaring di dalam gerobak yang kotor, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Uang di saku sang bapak hanya beberapa lembar ribuan yang tak cukup untuk membeli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil. Apalagi harus menyewa ambulans dan menguburkan jenazah anaknya dengan layak. Yang tersisa hanyalah sarung kucel untuk membungkus jenazah si kecil. Si bapak membawa jenasah anaknya ke mana-mana dan seterusnya.... Kisah memilukan ini tak hanya dapat liputan oleh media cetak dan televisi di dalam negeri, tapi juga di belahan dunia lain. Itulah tragedi kemanusiaan di depan mata kita. Menyayat hati dan membuat air mata berlinang. Tragedi kemanusiaan kelompok marjinal nan papa di tengah suasana hiruk-pikuk hedonisme dan kemewahan sekelompok orang. Peristiwa tragis kaum papa yang diabaikan oleh negara. Peristiwa itu menunjukkan masyarakat dan pemerintah memang tak lagi perduli dengan sesama. Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya bertanggungjawab untuk mengurus jenazah. Bahkan, bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, mengurus jenazah merupakan kewajiban bagi sesama muslim. Peristiwa yang merupakan sebuah tamparan bagi kemanusiaan bangsa Indonesia. ELZA PELDI TAHER
15
Kisah tentang pelacur, perdagangan manusia, agaknya sudah menjadi hal yang “biasa”. Kisah yang selalu berulang terjadi di banyak tempat sepanjang masa. Namun, tetap saja ada sisi-sisi yang menyentuh hati. Apabila mendengar dan membaca latar hidup dan perjuangannya menapaki kehidupan ini. Pusi esai “Catatan Harian Ivon” mengisahkan perjuangan seorang perempuan mengarungi lautan kehidupan yang ganas ini. Dalam kasus ini, terlahir dari keluarga miskin, seorang perempuan tak mempunyai pilihan lain terjun menjadi wanita pekerja seksual. Dia harus pontangpanting mencari uang demi membiayai hidupnya dan bayinya. Tragis, karena hidupnya berakhir di tangan seorang preman. Dia pergi meninggalkan bayinya. Kita juga tidak bisa menutup mata tentang kemiskinan yang menjadi penyebab maraknya pelacuran. Kemiskinan menjadi penyebab perempuan untuk mengadu nasib dan mempertaruhkan hidup mereka. Perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan, kelak, beberapa analisa menyebutkan perempuan malah berperan menjadi tulang punggung utama kehidupan keluarga. Perempuan menjadi kekuatan produktif yang mayoritas di sektor industri. Kisah “Asih Bakar Diri” melukiskan pula tentang kisah seorang ibu yang memilih bunuh diri agar bisa lepas dari kemiskinan yang melilit hidupnya. Sang ibu bunuh diri bersama dua anak balitanya. Bunuh diri itu 16
MANUSIA GEROBAK
dilakukan dengan cara mengerikan, bakar diri. Sebelum mengakhiri hidupnya, sang ibu sempat menulis sebuah surat. Dalam surat itu ia meminta maaf kepada sang suami. Di surat terakhir itu, sang ibu mengungkapkan keputus-asa-annya dan tak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan melihat penderitaan anak mereka. Kisah “Catatan Harian Ivon” dan “Asih Bakar Diri” mengekspresikan sebuah gejala yang disebut sebagai feminisasi kemiskinan (feminization of poverty). Dalam konsep ini, kaum perempuan menjadi kelompok masyarakat yang harus menanggung beban terberat akibat kemiskinan. Berbagai penelitian di beberapa negara menyimpulkan bahwa kaum perempuan menjadi kelompok paling terkena dan terpukul karena beban berat akibat krisis. Persentase kemiskinan yang saat ini masih besar di negeri ini lebih banyak diderita kaum perempuan. Karena itu, dalam konteks ini, kaum perempuan perlu didudukkan pada porsinya yang sesuai, adil, dan demokratis. Tetapi, kenyataannya, masalah perempuan dan kemiskinan seringkali disikapi secara biasa. Tengok saja, tidak ada program (pemerintah) yang secara konkrit dan terfokus membongkar akar kemiskinan khususnya dampak kemiskinan pada perempuan. Semua kisah dalam puisi esai ini menggambarkan tragedi kemanusiaan kelompok marjinal. Ironis, tragedi kemanusiaan itu terjadi di sebuah negeri yang kaya ELZA PELDI TAHER
17
dengan limpahan sumber daya alam. Tragedi kemanusiaan itu berlangsung di tengah-tengah bersliwerannya mobil-mobil mewah keluaran terbaru, orang-orang kaya yang hidup bermewah-mewah. Lebih jauh lagi, tragedi kemanusiaan terjadi di saat para penyelenggara negara, anggota dewan, anggota DPRD, beramai-ramai menguras uang rakyat lewat korupsi berjamaah. Lebih mengejutkan lagi, para anggota dewan di Senayan tak menghiraukan tragedi kemanusiaan kelompok marjinal ini. Mereka disibukkan dengan kepentingan kelompok (partai) untuk mencari kekuasaan di samping memupuk kekayaan. Tragedi manusia gerobak, Asih, dan Ivon, terjadi di tengah bobroknya aparat hukum (polisi, jaksa, hakim) yang seharusnya memberantas korupsi tetapi lembaganya malah terlibat kasus korupsi serta merebaknya mafiamafia kasus dan mafia peradilan yang memperjualbelikan hukum dan keadilan. Fenomena-fenomena seperti itu membuat masyarakat lapisan bawah terasa getir. Indonesia adalah sebuah negara paradoks. Kekayaan alamnya melimpah tetapi rakyatnya masih terlilit kemiskinan. Segelintir orang hidup bermewah-mewah berdampingan dengan orang yang sulit mencari nafkah sehari-hari. Kegetiran hidup kalangan bawah akan terakumulasi. Selanjutnya, mereka menjadi apatis dan terjadilah frustasi sosial. Pada orang-orang tertentu, rasa frustasi itu dilampiaskan de18
MANUSIA GEROBAK
ngan cara bunuh diri. Sementara pada orang-orang lainnya, frustasi sosial diekspresikan dalam bentuk kemarahan publik yang berujung pada tindakan anarki dan destruktif. Kita tidak akan membahas lebih jauh kemiskinan dan kepapaan masyarakat lapisan bawah itu, termasuk apa- kah kemiskinan itu akibat struktural atau budaya. Dampaknya sudah jelas dialami masyarakat. Namun, sangat disayangkan, peran negara sangat minim. Negara semestinya bisa berperan dalam kebijakan sosial dan memberi pelayanan sosial. Di Indonesia, sudah tak terhitung orang miskin yang menjadi korban hingga meninggal atau bunuh diri. Kasus-kasus seperti itu selah tak menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara. Di tengah tragedi kemanusiaan yang memilukan, para penyelenggara negara malah berebut harta dan pamer kekayaan. Ironinya, rendahnya kepedulian pada kaum papa justru terjadi di tengah apa yang disebut kebangkitan agama khususnya Islam di tanah air. Masjid dan tempat-tempat ibadah berdiri di mana-mana, umat Islam rela antri bertahun-tahun untuk dapat naik haji meski biaya naik haji sangatlah mahal dan pelayanan pemerintah sangat buruk. Pada saat Idul Qurban, orang-orang perkotaan bahkan kesulitan menyalurkan hewan kurbannya karena banyaknya orang yang berkurban. Tapi kebangkitan agama itu, jika itu mau disebut sebagai ELZA PELDI TAHER
19
kebangkitan agama, berbanding terbalik dengan melemahnya komitmen mereka pada kaum miskin, padahal agama memperingatkan bahwa harta kekayaan adalah “fitnah” atau percobaan dari Tuhan kepada kita. Janganlah kita biarkan diri kita terbuai, terpukau, dan terkecoh oleh keberhasilan lahiriah dan mengabaikan sesuatu dalam kehidupan ini yang lebih tinggi nilainya. Dalam kitab suci disebutkan adanya hak kaum miskin atas harta orang-orang kaya di luar zakat. Kitab suci memerintahkan “dan berikanlah kepada anggota kerabat itu haknya, juga kepada orang miskin dan yang (terlantar) dalam perjalanan, dan janganlah engkau melakukan pemborosan” (QS al-Isra/17:26). Masih tentang hak kaum miskin Allah berfirman “Tahukah engkau (hai Muhammad) siapa dia yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin. Maka celakalah bagi mereka yang melakukan salat, yaitu mereka yang lupa salat mereka. Yaitu mereka yang suka pamrih, dan enggan memberi pertolongan” (QS. alMaun/107:1-7). Genre Baru Puisi Esai Kembali ke awal kata pengantar ini, Denny JA tidak terlalu memusingkan apakah puisi esai akan menjadi sebuah genre baru sastra Indonesia. Tetapi, Denny 20
MANUSIA GEROBAK
senang apabila medium seperti puisi esai ini banyak digunakan sebagai alternatif dalam menyampaikan pergulatan sisi batin individu dalam sebuah problematika sosial. “Sebuah genre baru di dunia seni atau paradigma di dunia pemikiran hanya ditentukan oleh satu hukum sosial saja. Yaitu apakah hal baru itu diterima oleh sebuah komunitas? Itu cukup dengan melihat banyaknya pengikut atau pengarang yang mengulangi medium atau ekspresi baru itu,” tulisnya. Buku ini paling tidak menjadi followers seperti disebutkan Denny di atas. Saya sendiri memang bukanlah seorang penyair. Dan sepertinya, saya pun tidak berpretensi menjadi seorang penyair. Tapi, mudah-mudahan, buku ini bisa mengungkapkan kisah pergulatan batin dalam sebuah problem sosial lewat puisi esai. Sebelum menutup pengantar ini, saya ingin menyampaikan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada banyak kawan yang telah membantu terbitnya buku ini. Pertama-tama tentu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Denny JA yang telah mendorong saya menulis dan menerbitkan buku ini. Kedua kepada Bapak D. Zawawi Imron yang telah berkenan memberi kata pengantar yang amat panjang dan menyentuh. Adalah suatu kehormatan besar bagi saya bahwa penyair terkenal seperti D. Zawawi Imron mau dan bersedia menulis kata pengantar untuk seseorang yang sama sekali tidak dikenal dalam dunia sastra. ELZA PELDI TAHER
21
Terima kasih tak terhingga juga saya sampaikan kepada kawan-kawan yang memberi erdorsement terhadap buku ini: Ulil Abshar Abdalla, Komaruddin Hidayat, Fatin Hamama, Ery Seda, Yudi Latif, Nur Iman Subono, Nurul Agustina, Jamal D. Rahman dan Bapak Djohan Effendi, pada siapa saya belajar agama di masa-masa awal kemahasiswaan. Kawan-kawan lain di Ciputat School: Zuhairi Misrawi, Ihsan Ali-Fauzi, Ahmad Gaus, Jonminofri Nazir, Novriantoni Kahar, Anick HT, Neng Dara Affiah, Jojo Rahardjo, Chaider S. Bamualim, Aceng Husni, Nur Iman Subono, Ali Munhanif, Budhy Munawar-Rachman dan banyak lagi juga banyak memberi masukan demi kesempurnaan buku ini. Meski “kejam” dalam memberi masukan, kadang kelewat “kejam”, secara langsung atau tidak langsung, mereka ikut memberi masukan lewat diskusi-diskusi di tempat kami yang indah, FutsalCamp, Ciputat. Juga pada kawan-kawan di Jurnal sajak yang banyak membantu penerbitan buku ini. Mereka adalah Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Berthold Damshäuser, Tugas Suprianto dan Jamal D. Rahman. Terima kasih juga pada staf saya Adji Kundalini dan penerbit yang mengurus penerbitan buku ini. Akhirnya, buku ini aku persembahkan untuk orang yang aku cintai dalam hidup ini: Ismayanti Sudjarwo, 22
MANUSIA GEROBAK
ibu dari anak-anakku yang menekuni karirnya sebagai pegawai negeri di Departemen Kelautan dan Perikanan, putra kesayanganku, Ikra Zama Dinnata, yang memulai dunia baru sebagai mahasiswa ilmu Komunikasi di Universitas Paramadina dan Hanifa Zama Dinnata, putri kesayanganku yang tahun ini menamatkan studinya di SMP 4 Pamulang. Mereka semua adalah orang yang selalu menyinari hidupku, dengan cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas. Pada akhirnya, tidak ada gading yang tak retak. Segala kesalahan adalah milik manusia, dan kebenaran hanyalah milik Tuhan. Semoga buku puisi esai ini bisa bermanfaat. Pondok Cabe, Lereng Indah, 25 Desember 2012
Elza Peldi Taher
ELZA PELDI TAHER
23
24
MANUSIA GEROBAK
Daftar Isi
Pengantar Penulis Pengantar D. Zawawi Imron Manusia Gerobak: Catatan Keterpurukan
27
Manusia Gerobak
47
Asih Bakar Diri
77
Catatan Harian Ivon
97
Toga Hakim Dan Kotak Amal
117
Zaka Dan Tato Gajah
139
Tentang Penulis
155
ELZA PELDI TAHER
25
26
MANUSIA GEROBAK
Manusia Gerobak Catatan Keterpurukan Pengantar D. Zawawi Imron
E
sai puisi atau “puisi esai” memang istilah baru di negeri kita. Istilah “puisi esai” itu menjadi nyata dengan munculnya buku puisi esai Atas Nama Cinta karangan Denny JA. Buku itu berisi kisah yang menggabungkan cara penulisan puisi yang dipadu dengan esei. Setelah diperhatikan, untuk disebut cerpen tidak bisa karena susunan dan penggalan kalimatnya ber-bentuk puisi. Unsur esainya juga jelas ada karena ada sejenis kajian terhadap masalah. Yang menarik, puisi esai tersebut ditulis oleh orang yang selama ini tidak terkenal sebagai sastrawan. Denny JA lebih terkenal sabagai intelektual, aktivis, pemerhati masalah sosial politik, dan kolumnis. Tapi, apa yang ia perbuat dengan bukunya itu agaknya sudah bisa dimasukkan sebagai karya sastra, karena Sapardi Djoko Damono berkenan memberi pengantar terhadap buku itu. Dengan demikian istilah “puisi esai” bisa diterima
ELZA PELDI TAHER
27
menjadi keluarga baru dalam rumah kesusastraan Indonesia. Agus R. Sarjono dalam tulisannya berjudul “Puisi Esai: Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan” (Jurnal Sajak edisi 3, 2012), mengulas secara panjang lebar puisi esai, yang pada intinya memberi kesempatan kreatif untuk menemukan pembaruan-pembaruan tak terduga dalam pengembangan sastra. Tapi, setiap upaya kreatif yang berupa hasil eksperimen itu akan mengalami ujian berat Daya ungkap dan pendalaman pe-ngarang terhadap subject matter karangannya yang total, akan memberi ke-mungkinan karya itu untuk mendapat apresiasi dari kalangan luas. Atau, bisa saja sebuah karya dengan bentuk yang baru dapat ditolak oleh masyarakat sastra pada zamannya, meskipun dalam rentang waktu — baik singkat maupun lama— ada kemungkinan diterima pu-blik sastra dengan pengalaman-peng-alaman baru. Ditolaknya karya itu pada waktu pertama kali terbit karena persiapan daya apresiatif masyarakat sastra pada waktu itu belum bisa menerima karena pikiran-pikiran dan gagasan pengarang mendahului zamannya. Dan ada juga kemungkinan karya itu ditolak karena memang tidak bermutu. Tapi beruntunglah kehadiran puisi esai ini seperti mulus meluncur dalam perjalanan perkembangan 28
MANUSIA GEROBAK
sastra. Kajian-kajian berikutnya terhadap puisi esai diharap akan terus berkembang baik di media maupun dalam penulisan skripsi, tesis, dan kajian ilmiah lainnya. Kehidupan manusia di dunia ini memang membutuhkan keindahan. Rasa keindahanlah yang membuat hidup ini tidak kering. Bahasa yang dipakai manu-sia sehari-hari juga memerlukan susunan kalimat yang indah. Penghayatan terhadap keindahan dengan daya kreatifnya, akan melahirkan karya seni. Seorang yang tersentuh irama suara air terjun yang jatuh dari bukit ke dalam ngarai yang curam, dapat saja kemudian meng-gubahnya menjadi sebuah lagu. Suara air terjun bernyanyi dan berdzikir, merupakan tanda keperkasaan Tuhan Rabbul ‘Alamin. Menurut Iqbal, ekspresi seni bukan sekedar meniru alam, Sang Seniman harus berupaya untuk memberi ruh bagi ciptaannya, menurut cita rasanya yang terdalam. Seni yang hanya meniru alam, tanpa upaya memberinya ruh, belum sempurna dan matang. Nilai-nilai keindahan yang ditangkap dari alam tak lain sebagai fakta spiritual. Sebagai fakta spiritual, keindahan itu bebas berkembang di dalam diri si seniman. Karena keindahan itu diyakini sebagai cermin yang memantulkan sebagian keindahan Ilahi, seniman tahu ke mana ia harus bersujud sehingga yang dihasilkan tetap mencerminkan nilai akhlaqul karimah. Untuk itu keramahan dan persahabatan dengan alam perlu menjadi visi dalam ELZA PELDI TAHER
29
kehidupan. Kemajuan yang bagaimana pun canggihnya, sebenarnya tidak boleh lepas dari alam. Persahabatan dengan alam dan manusia yang lahir dalam bentuk susunan bahasa atau dalam sajian yang menikmatkan. Di situlah sastra muncul sebagai tanda kepedulian manusia terhadap hidup. Buku Atas Nama Cinta karya Denny JA mengungkap isu-isu kemanusiaan yang berkaitan dengan sikap intoleransi terhadap perbedaan, ras, agama dan lain-lain. Kemudian muncul lagi buku puisi esai yang ditulis Ahmad Gaus. Saat ini disusul pula dengan puisi esai Manusia Gerobak karangan Elza Peldi Taher, yang bertema dan bercerita tentang orang-orang miskin. Yang menarik pada buku Elza ini ialah temanya yang tetap diambil dari berita-berita di media massa, baik di koran maupun di televisi. Ambillah “Manusia Gerobak” misalnya, yang bercerita tentang kejadian seorang miskin yang anaknya meninggal dan tak mendapatkan tanah untuk mengubur mayat anak itu. Si miskin mendorong gerobak berisi mayat anaknya itu benar-benar terjadi dan saya pernah membacanya di surat kabar. Sebagai berita, kenyataan itu memang telah diketahui orang banyak. Orang boleh mengusap dada atau terharu. Tapi mungkin keterharuan itu berlangsung sebentar. Begitu surat kabar yang memuat berita itu sudah dijadikan kertas pembungkus kacang atau pembungkus barang lainnya, berita mayat dalam 30
MANUSIA GEROBAK
gerobak dorong itu sudah mengendap ditimbun oleh berita-berita lain yang tidak kalah menarik dan mengharukan. Nah, rasa simpati dan empati Elza terhadap mayat dalam gerobak itu ternyata bergaung lama dan tak kunjung menghilang dari ingatannya. Ada semacam tanggungjawab untuk mengabadikannya. Peristiwa yang memerihkan jiwa itu harus dicatat dan diberi tempat. Lalu ditulisnya dalam bentuk puisi esai. Kalau peristiwa itu ditulis dalam puisi bisa bernasib seperti sebuah poci yang disebut Goenawan Mohamad, “Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”. Dalam puisi esai Elza, mayat dalam gerobak itu akan abadi. Duka kemanusiaan akibat dianaktirikan oleh pembangunan dan peradaban itu menjadi catatan yang tidak bisa dihapus oleh sejarah. Dalam karya yang berangkat dari peristiwa nyata seperti itu, sampai sejauh mana imajinasi penulis ikut berperan? Barangkali sudah seperti adonan tepung, air, dan gula pada roti, mungkin sudah menyatu dan sulit dipisahkan. Yang penting ide yang ingin disampaikan penulis bisa sampai tak sekedar sebagai informasi, tapi ada larutan vibrasi yang ikut memberikan warna sehingga terjadi komunikasi yang lebih menyentuh. Puisi atau sastra memang pergelutan masuk ke dalam masalah kemanusiaan yang mendalam. Ia bisa menjadi daya ungkap yang lezat, otentik, dan partikular. ELZA PELDI TAHER
31
Justru karena partikular itu lah pembaca menemukan sisi lain yang baru dan segar. Penulisnya ingin menularkan hasil penghayatan dan empatinya terhadap kemelaratan kepada orang lain. Tugas seperti itu dirasakannya sebagai tugas kemanusiaan. Coba kita perhatikan lukisan keluarga “Manusia Gerobak” yang terlunta di tengah keganasan kota Jakarta: Sang istri mulai gelisah, nyalinya kuncup Uang yang dibawa suami tak pernah cukup Tapi ia tak bisa apa-apa, tak bisa bergerak Ingin membantu suami terlantarlah anak ... Hasil sehari hanya cukup untuk makan Itu pun bukannya makanan idaman Tagihan datang setiap hari Sangat mengusik ketenteraman hati Tak tahan didesak tagihan uang Atmo memilih menggelandang Istri dan dua anaknya dibawa kerja Dengan gerobak mengembarai Jakarta Kini gerobak menjadi rumah Tetangganya berubah-ubah Jangan tanya alamat tepat Setiap hari berpindah tempat Saat kantuk menggayut datang Gerobak menjadi tempat tidur Beratap langit luas dan lapang Atmo bisa lelap mendengkur
32
MANUSIA GEROBAK
Mandi kalau ada air Makan kalau dapat uang Dengan gerobak hidup mengalir Pada langit tiada berhutang Kala siang terik menyengat Pohonan kota tempat berteduh Kala hujan menetes deras Pohonan kota tempat berteduh Kala malam kedinginan Kepada siapa mesti mengaduh? Setiap hari Atmo menghela gerobak Jalan beriring anak-beranak Sambil memulung, memilih sampah Plastik dan kardus bertumpuk megah Gerobaknya adalah istana Tempat bermukim sampah semesta Di puncak tumpukan barang-barang sisa Kedua anaknya duduk bertahta Berkuasa penuh dan digjaya Lambang kemiskinan umat manusia Atmo di depan menghela gerobak Istri di belakang sambil mengawasi Beriringan di tengah deru kendaraan Pagi Siang Malam.
ELZA PELDI TAHER
33
Di sini ada hal pokok yang ingin dikemukakan Elza, yaitu kesenjangan sosial yang membiarkan kemiskinan untuk terus berkelanjutan akibat pendangkalan rohani dan pandangan hidup egois orang-orang yang hanya ingin senang sendiri dan menutup rasa kasih bagi orang lain. Ketimpangan sosial yang berakar dari ketimpangan rohani seperti itu sangat mengganggu rasa kemanusiaan Elza. Elza termasuk orang yang selalu mengaitkan rasa sosial dan rasa keagamaan. Kecintaan kepada Allah harus berujud kecintaan kepada sesama manusia. Seyogyanya fitrah dan iman itu harus menjadi energi positif untuk melanjutkan “belas kasih” Allah kepada sesama manusia, terutama bagi manusia yang sedang bersedih dalam jurang penderitaan. Iman lah yang harus menjadi dinamo penggerak untuk melakukan tindakan nyata untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Itulah iman yang aktif yang selalu berorientasi pada kebaikan dan manfaat. Dalam Al-Qur’an, orang yang tak peduli kepada nasib anak yatim dan fakir miskin itu disebut sebagai “pendusta agama” (Surat Al-Ma’un). Akan semakin tampak bahwa ketidakpedulian kepada orang miskin itu sebagai sebuah kejahatan kalau kita memperhatikan sabda Ali Ibnu Abi Thalib, Fama ja’a faqirun illa bituhkmati qhaniyyin, tidak lapar orang miskin kecuali karena serakahnya orang kaya. Memperhatikan kalimat yang 34
MANUSIA GEROBAK
diucapkan Ali di atas, kalau dipikir, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk umat manusia itu cukup. Kenapa ada orang miskin? Karena ada orang kaya yang rakus, yang hanya mau kenyang dan senang sendiri. Pikiran seperti itulah yang meresahkan Elza sehingga ia menulis puisi “Manusia Gerobak” dan 4 puisi esai lainnya. Persoalan kemiskinan seperti itu memang bukan persoalan sastra, tapi Elza merasa persoalan itu bisa menjadi intensif diungkap dengan media sastra. Rasa sedih, terharu, gembira, dan lain-lain, diyakini dan dirasa cocok dibahasakan dalam bentuk puisi esai. Bahwa Elza tidak selalu larut lama dalam kesedihan, bisa diperhatikan pada bagian akhir dari puisi esai “Manusia Gerobak” ini. Tidak semua orang di negeri ini tidak peduli terhadap kemiskinan dan penderitaan. Orang yang baik, meskipun miskin, masih banyak. Terbukti, di tengah masyarakat yang kekurangan itu, kita menemukan jiwa penolong yang terdapat pada orang-orang miskin yang hidupnya sangat sederhana. Jenazah anak yang ada dalam gerobak itu akhirnya dikuburkan oleh orang-orang miskin yang berhati emas. Kita nikmati baris-baris terakhir “Manusia Gerobak”: Kepada Ibu Sri, Atmo bercerita Membawa jasad putrinya ke mana-mana Ibu Sri tak tahan mengurai air mata
ELZA PELDI TAHER
35
Cerita segera tersebar ke tetangga Sesama orang miskin dan papa Terguncang hati mereka Mendengar kisah orang tua Membawa jasad putrinya ke mana-mana Tapi mereka peduli Mereka bersatu hati Bukankah mengurus jenazah Menjadi kewajiban orang Islam? Jenazah putri Atmo pun lantas dimandikan Dikafankan Dishalatkan Diurus dimakamkan Bunga-bunga disiapkan Semerbak Semarak Jenazah pun diarak Beramai-ramai Orang-orang miskin Orang-orang susah Sama-sama miskin Sama-sama susah Mengiringi Atmo Ke pekuburan Hari hampir malam Jenazah dikebumikan Di liang makam Dikumandangkan adzan Adzan bergema Di kuburan Indah syahdu
36
MANUSIA GEROBAK
Adzan yang mengiring manusia dilahirkan Adzan berselimut kain kafan Adzan memanggil ingatan akhir manusia di kuburan Terdengar iqomah Seruan agar manusia pasrah Berbaris mendirikan shalat Hati tulus doa pekat Menghadap Ilahi Bersembahyang Menyerahkan diri Mendengar adzan dan iqomah Mata Atmo berair membasah Mayat kecil berkain kafan ditutup papan Tanah-tanah berhamburan Membentuk sebuah gundukan Bermahkota nisan: “Mawar binti Atmo” Bertaburkan bunga Mewangi di dada Seiring gelapnya hari Satu per satu pengiring pergi Atmo masih terpaku sendiri Menyusun doa dalam hati Penuh harap tak henti-henti Semoga arwah sang putri
Diasuh oleh bidadari Dalam sunyi Adzan Magrib menghampiri ELZA PELDI TAHER
37
Bunga-bunga bermekaran di hati Atmo tafakur Atmo bersyukur Saat di kalbunya Ia merasa Bunga surgawi Pelan-pelan mekar Buat sang putri Di alam sana Merona Beribu warna.
Mengakhiri pembacaan atas “Manusia Gerobak” ini saya jadi berfikir, sebenarnya Elza seperti mengingatkan bahwa di kalangan masyarakat kelas bawah ternyata yang namanya solidaritas masih berlangsung dengan baik. Jenazah dalam gerobak itu akhirnya dikubur dengan khidmat. Sikap solider seperti itu sampai sekarang masih menjadi nilai yang dilakukan banyak orang sampai ke pedesaan-pedesaan terpencil. Suasana guyub, tolongmenolong, masih berlaku di kalangan para petani, nelayan, dan lain-lain. Merekalah yang sebenarnya orang-orang yang masih ikut memelihara kehidupan ini tanpa pengkhianatan kepada bangsa dan negara. Sebagian besar orang-orang miskin itu masih merawat hatinya dengan baik tanpa seujung rambut pun ingin merugikan tetangga dan orang lain.
38
MANUSIA GEROBAK
Secara implisit Elza ingin memberi gambaran tentang terpeliharanya nilai-nilai dengan munculnya rasa kebersamaan dalam menyelesaikan tugas “fardu kifayah” terhadap anak mati yang berada dalam gerobak itu. Peristiwa penguburan itu, diduga keras, Elza tidak ikut menyaksikannya. Kalau ia tidak ikut, dari mana ia mendapat bahan untuk menuliskan gambaran yang detail itu. Jawabnya tidak lain dari imajinasi. Jadi, bisa kita katakan, bahwa penguburan itu adalah fakta, tapi lukisan yang lengkap tentangnya —yang penulisnya tidak ikut menyaksikannya— tidak lain adalah imajinasi. Di sini lah imajinasi itu telah berjasa memberi lukisan yang lebih lengkap dari sekedar fakta atau berita. Imajinasi lah yang telah membantu peristiwa yang hanya berupa berita itu bisa kemudian menjadi sajian yang lebih hidup dan lebih dapat dinikmati. Imajinasi lah yang membuat kejadian yang hanya “duka berita” menjadi “duka sastra”. Seandainya mayat anak dalam gerobak itu ditulis oleh 2 atau 3 orang yang berbeda, baik dalam pengembangan imajinasi maupun dalam cara bercerita dan dalam menyusun kalimat, kita akan menemukan 3 sajian yang berbeda. Tapi, inilah kisah yang disajikan oleh Elza Peldi Taher dengan daya imajinasinya, lengkap dengan pilihan kata-kata dan cara mengisahkannya. ELZA PELDI TAHER
39
Empat cerita lain dalam puisi esai ini ialah tentang Asih yang melakukan aksi bakar diri bersama anakanaknya karena putus asa akibat tekanan ekonomi yang tidak teratasi. Hidup memang tidak untuk makan, tapi kalau rejeki untuk mendapatkan makanan tak ada, sementara usaha untuk mendapatkannya sudah dilakukan tetapi terbentur pada atmosfer kehidupan yang tidak menolong, akhirnya Asih harus menyiramkan minyak tanah kepada dirinya dan anak-anaknya lalu menyalakannya dengan api yang kemudian berkobar. Tak terbayangkan, gerakan macam apa yang dilakukan oleh Asih dan anak-anaknya dalam kobaran api itu. Asih telah mengakhiri hidupnya dan hidup anak-anaknya dengan neraka yang dibuatnya sendiri. Penulis puisi esai ini seakan bertanya, manakah belas kasih sesama manusia? Di manakah kemanusiaan yang adil dan beradab? Puisi esai ketiga berjudul “Catatan Harian Ivon”, menceritakan seorang gadis yang terjerumus ke kehidupan malam. Ivon mengarungi hidupnya yang penuh duka dengan menjual diri. Dari hubungannya dengan seorang laki-laki ia melahirkan seorang bayi. Kalau malam, ia menitipkan bayinya pada tetangga. Lebih celaka lagi hampir tiap malam ia menjadi korban aksi preman yang selalu minta uang. Akhirnya, pada suatu pagi mayat Ivon terkapar di tepi jalan. 40
MANUSIA GEROBAK
Cerita ke lima berjudul “Zaka dan Tatto Gajah”, yang berbeda dengan cerita-cerita orang miskin sebelumnya. Puisi esai ini berkisah tentang seorang perampok bernama Zaka yang menjalankan hidupnya dari satu perampokan ke perampokan lainnya, sedang sebagian hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada orang miskin. Zaka adalah Robinhood akhir abad ke-20 yang kemudian menemukan kedamaian dalam bertobat. Ini lah baris-baris terakhir dari Zaka yang menemukan pencerahan: Jakarta, 1997 Zaka kembali menghirup udara bebas Tekadnya telah bulat Menjadi muslim yang utuh Itu pula, titik mula Ke rumah dai sejuta umat Belajar membangun hubungan sesama manusia Ke rumah raja dangdut Belajar berdakwah sesuai irama Ke pesantren Krapyak Belajar manajemen pendidikan Relasi dengan para kepala penjara Dirajut dalam jejaring silaturrahim Dan kini Hari-hari Zaka dilewatkan Dari penjara ke penjara
ELZA PELDI TAHER
41
Mengenalkan Islam Sebagai jalan keluar dari persoalan Bukan sebatas dosa dan pahala Surga dan neraka Mengajarkan jalan lurus Kumpulan noktah-noktah putih Bagai cericit burung-burung di langit Menjadikan tentara bergajah seperti daun-daun terkuyah.
Selintas alangkah mudahnya tobat dan kembali ke jalan yang benar itu. Tapi, di sini ada proses. Simbol gajah yang merupakan gambar tatto mengingatkan Zaka pada raja Abrahah, sedangkan peluru penegak hukum yang akan memburu para penjahat dirasakannya ibarat burung-burung ababil yang melempar gajah Abrahah dan pasukannya menjadi tersungkur dan hancur. Keperkasaan Tuhan apabila hendak ditunjukkan kepada para pembangkang akan menjadi konkret. Di sini lah seorang yang merasa sangat kecil dan tak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan akan sadar dan kemudian menemukan pencerahan. Proses inilah yang ingin dikemukakan Elza. Proses dari kehidupan yang penuh ranjau dalam selimut kegulitaan menuju atmosfer yang segar yang terang-benderang. Puisi esai yang ke-4 adalah potret belang-bontengnya keadilan di negeri ini. Elza mencoba meramu bebe42
MANUSIA GEROBAK
rapa peristiwa berbagai putusan perkara yang dialami orang-orang miskin. Dalam puisi esainya yang ini, Elza memadu beberapa episode pelaksanaan hukum yang janggal. Ada hukum tapi tak ada keadilan. Berbeda dengan ke-4 puisi esai yang lain, dalam puisi esai ini tiap episode dari peristiwa yang berbeda ditulis Elza dengan agak singkat. Padahal, seandainya Elza bersabar dalam mengembangkan daya imajinasinya, cerita ini dengan muatan-muatan yang benar-benar menyinggung rasa kemanusiaan tidak akan kalah daripada ke-4 puisi esai lainnya. Pada akhirnya, penulis Manusia Gerobak ini bisa dikatakan sebagai seorang yang punya sensibilitas kemanusiaan yang ingin mengekspresikan kegelisahan batinnya tak cukup dengan esai dan artikel, tapi esai yang dicoba dipadukan dengan puisi. Pusi-puisi jenis ini seharusnya memang diterima sebagai upaya untuk memperkaya berbagai pengucapan dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Masalah nilai sastranya tentu tidak perlu tergesa kita menilai sekarang dengan harga mati. Kita perlu menunggu batu uji yang disebut perjalanan waktu dan dialog dengan masa depan: apakah karya jenis ini punya nafas panjang untuk menyuguhkan nilai yang benar-benar teruji? Ketika sastra dituduh terpencil, atau dituduh megah bermukim di menara gading, Elza masih punya keperca-
ELZA PELDI TAHER
43
yaan bahwa duka kemanusiaan bisa menemukan kendaraan ungkap lewat puisi esai seperti yang ditulisnya ini. Saya turut menyambut kehadirannya dengan alasan bentuk-bentuk baru dalam kesusastraan perlu dicari, diburu, dan diberdayakan. Selain itu, pintu kebebasan berekspresi tidak pernah dikunci untuk mendukung lajunya kebudayaan. Ia selamanya akan terbuka karena memang harus dibuka. Tidak boleh ditutup.
Madura, 15 Desember 2012
44
MANUSIA GEROBAK
Manusia Gerobak
ELZA PELDI TAHER
45
46
MANUSIA GEROBAK
Manusia Gerobak
1 Kalbu Atmo luluh lantak Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak Langit biru alangkah indahnya Pohon-pohon segar menghijau Bunga mekar kuning dan jingga Kalbu Atmo sangatlah kacau Pedih jiwa tiada terhingga Atmo terus ayunkah langkah Susuri Jakarta yang ramai Hatinya remuk kalbunya gundah Tiada tentram tiada damai Sarung kumal membungkus jenazah Tubuh mungil diam dan pasrah Ditutup rapi, diselempangkan menyilang Di depan dadanya yang datar kerontang
ELZA PELDI TAHER
47
Lengan satunya mengapit jemari mungil Anak lelakinya yang berbaju lusuh Tertatih mengejar dengan langkah kecil Mengiringi bapaknya tanpa mengaduh
2 Baru sesaat lalu, Mawar, si putri bungsu Terbaring bisu untuk selamanya Jantung Atmo terkapar, termangu Tersedu-sedu tanpa suara Tubuh kecil Mawar ditutupnya diam-diam Terselimut hangat kain rombengan Kakak laki-laki belum terlalu mengerti Adiknya, Mawar, terbaring mati Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang Dihelanya gerobak menyusur Jakarta Orang sibuk sendiri-sendiri Padatnya jalanan tiada terhingga Tapi tak ada yang peduli 48
MANUSIA GEROBAK
Mobil dan motor cuma melintas Tak satu pun yang bertanya Hidup di kota memanglah keras Tapi bukankah mereka manusia? Matahari mulai meninggi Atmo terkenang kampungnya yang rindang Tapi sakunya kosong dan sepi Jenazah tak bisa dibawa pulang Untuk hidup di sini susah Untuk mati pun ternyata tak mudah Mesti ada tempat di kampungnya yang indah Untuk membaringkan satu jenazah Kampung halaman Atmo yang tentram Jauh dari hiruk-pikuk Jakarta Di sana bisa dibuat makam Berhiaskan pohon kemboja Di depan stasiun Atmo berhenti Hatinya resah kepalanya pepat Tak sepeser pun uang di kantong
ELZA PELDI TAHER
49
Ia mesti waspada, mesti berhati-hati Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat Untuk duduk merdeka di atap gerbong1 Ia ingin naik kereta diam-diam Menuju ke pinggiran kota Citayam Tanpa karcis tak usah bayar Kepergok kondektur bisa digampar
3 Atmo meraih jasad putrinya Diselimuti sarung kumal, lalu pelan dibopongnya Diraihnya lengan mungil anak lakinya Agar selalu ada di sampingnya Gerobak yang setia menemaninya Ditinggalkan begitu saja Tak ada harta tak ada apa-apa Barang yang berguna di dalamnya 1
KRL Jabotabek adalah jalur kereta rel listrik yang dioperasikan oleh PJKA sejak 1976, melayani rute komuter di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. KRL yang melayani jalur ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas ekonomi dan kelas ekspres yang menggunakan pendingin udara. Kereta kelas ekonomi selalu padat setiap pagi hari dan sore hari. Bahkan sampai di atap gerbong. Banyak penumpang kelas ekonomi tak memiliki karcis.
50
MANUSIA GEROBAK
Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa kemana-mana Atmo menjawab sembari bingung Hendak memakamkan anaknya di kampung Dia tahu betapa sulitnya di kota Jakarta Untuk menguburkan jasad manusia2
2
Jakarta mengalami krisis lahan pemakaman. Dari 589,65 hektar luas pemakaman, lahan yang siap pakai untuk pemakaman baru di seluruh wilayah Jakarta hanya 31,8 hektar. Di atas kertas, lahan itu diperkirakan cukup hingga 2013. Biaya pemakaman jenazah baru sebenarnya sangat murah dan sudah diatur secara jelas oleh Pemerintah Jakarta. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pemakaman, pemerintah menetapkan retribusi pelayanan pemakaman yang besarnya sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Biaya pemakaian tempat pemakaman bervariasi dari nol sampai paling mahal seratus ribu rupiah untuk jangka waktu tiga tahun. Tetapi kenyataannya, biaya taka resmi pemakaman bisa mencapai Rp 2,5 juta. Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan penduduk Jakarta berjumlah 8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya, tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0.44 persen. Lima tahun kemudian, jumlah penduduk
ELZA PELDI TAHER
51
Apalagi tanpa KTP tanpa harta Tempat tinggal pun tiada menentu Menggelandang tak punya apa-apa Sudah untung tak makan batu Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman Biaya ini dan itu tidak sedikit Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan Di Jakarta orang melarat jangan sakit Apalagi kalau sampai mati Hidup susah tak henti-henti Semasa hidup begitu pahit Kembali kepada-Nya pun masih dipersulit
meningkat menjadi 8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayananan 110 jenazah per hari atau 40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi 0.46 persen. Angka ini kembali naik menjadi 0.50 persen pada tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah 8.814.000 jiwa dengan ratarata pelayanan 120 jenazah per hari atau 43.800 per tahun. Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik kesimpulan, persentase tingkat pelayanan kematian di Jakarta mencapai 0.46 persen per tahun. Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40 ribu jiwa dan orang harus mengeluarkan biaya pemakaman sekira dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar mencapai 80 miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa lahan, biaya ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan, pengadaan rumput, pemeliharaan makam dan upah para penggali.
52
MANUSIA GEROBAK
Jakarta hanya untuk orang berpunya Tak ada belas kasihan Pegawai stasiun tak percanya Ia ditangkap jadi tawanan Atmo digelandang ke pos polisi Dia ditanya itu dan ini Jenasah anaknya harus diotopsi Penyebab matinya mesti diselidiki
4 Atmo tercenung di pintu kamar jenazah Rumah duka bagi orang yang kehilangan Hatinya gundah hatinya resah Tak cukupkah ini kemalangan Niat Atmo hanya sederhana Ingin menguburkan anak tercinta Di tanah gembur kampung sana Ternyata sulit tiada terkira Ingin hatinya menangis Tapi air mata terkuras habis Tak ada satu pun yang peduli Hanya anak lakinya yang menemani
ELZA PELDI TAHER
53
Terkenang ia masa lalunya Ketika masih bersama sang istri Keinginan Atmo sangat sederhana Tak harus bergelimang materi Cita-citanya hidup di desa Bersama sang istri yang tercinta Rukun, damai, bersahaja Dengan sang anak belahan jiwa Anaknya dua lengkaplah sudah Satu lelaki satu perempuan Kasih sayangnya selalu tercurah Setiap pagi, siang, dan malam Semuanya ia nikmati Dua buah hati dan cinta istri Anak-anaknya bermain riang Meski segalanya serbalah kurang Tak tamat sekolah dasar Atmo hanyalah buruh tani Sawah yang digarap tidaklah besar Tetapi selalu ia tekuni
54
MANUSIA GEROBAK
Hidup bergantung pemilik sawah Bekerja keras setengah mati Meski tekun mengolah tanah Hasilnya sedikit tiada berarti Sang istri mengurusi dua anaknya Berumah sempit bukan miliknya Dapur dan tempat tidur menyatu Atmo harus mencukupi keluarga Mencari nafkah ala kadarnya Untuk beras, tempe, dan tahu
5 Kini desa tak seperti dulu Sawah luas hijau membentang Alam yang tentram sudah berlalu Pabrik datang sawah menghilang Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari3 3
Menurut Kementerian Pertanian, tingkat konversi lahan menjadi peruntukkan lain sudah mengkhawatirkan. Rata-rata konversi setiap tahun mencapai 140 ribu hektare untuk berbagai kepentingan seperti perumahan, industri, dan lainnya.
ELZA PELDI TAHER
55
Petani sawah kian terjepit Lebih baik menjual sawah Lalu pergi untuk berdagang Buat Atmo semuanya rumit Tanpa sawah hidupnya susah Mau berdagang tak punya uang Atmo hanya bisa mencangkul Menggarap sawah menanam padi Tanpa tanah hidupnya terpukul Penghidupannya tak ada lagi Buruh tani kian bertambah Persaingan kian tajam Pemilik tanah semakin pongah Jalannya nasib semakin kejam Atmo terdesak Atmo terjepit Kebutuhan hidup kian meningkat Anak menangis makan pun sulit perut yang kosong makin melekat Anak mungil, lincah dan lucu Diremas lapar setiap hari Tak ada nasi, tempe, dan tahu Wajahnya kering sepucat jerami 56
MANUSIA GEROBAK
Lalu kota mulai menggoda Kata orang di sana lah surga Semua barang di sana tersedia Uang datang dengan mudahnya Di Jakarta, kata orang Mencari uang lebih gampang Karena di sana semua uang berdiam Bertumpuk-tumpuk siang dan malam Tekad Atmo seteguh karang Ke Jakarta hendak menjelang Ia tinggalkan desa yang tenteram Hijrah ke kota dan ketidakpastian Membawa uang tak seberapa Istri dan dua anak dibawa serta Tekad membatu jiwa membara Berharap lebih nanti di kota
6 Satu yang pasti di kota harus ada papan Sandang tak jadi persoalan Setelah itu barulah pangan ELZA PELDI TAHER
57
Atmo tak punya kerabat Untuk menumpang barang sejenak Kamar sepetak untuk berempat Bersewa murah di tempat sesak Atmo kini menetap berempat Di padat Manggarai, milik Ibu Sri Di tepi Ciliwung berair coklat Mandi mencuci di tepi kali Atmo tak punya pilihan Dia butuh papan untuk berlindung Ikhtiar siang istirahat malam Mati-matian mencari untung Mencari kerja ternyata susah Buruh bangunan dia tak bisa Tanpa ilmu tanpa ijazah Kerja kantoran, siapa mau terima? Atmo kumpulkan barang rongsokan Botol dan gelas air mineral Kata orang, di kota apa saja bisa jadi uang Barang bekas bisa dijual
58
MANUSIA GEROBAK
Dia berjalan dari rumah ke rumah Di koreknya kotak dan tong sampah Barang-barang yang dibuang orang Siapa tahu bisa dijadikan uang Jalanan demi jalanan Rumah demi rumah Sampah demi sampah Memulung dengan tabah Sisa nasib dan remah-remah Sampah kotoran kota Jakarta Diangkut keranjang di punggungnya Benarkah hanya sampah belaka Persembahan orang kaya bagi yang papa? Sampah sedikit sampah yang banyak Dijualnya segera ke lapak Orang yang kaya menghitung untung Sampahnya jatah si pemulung4
4
Pada tahun 2009 diperkirakan Manusia Gerobak mencapai 1.000 orang. Mereka biasanya berada di kawasan Senen, Tanah Abang, Kemayoran, dan sejumlah pemukiman padat di Jakarta. Manusia Gerobak mengacu pada kemiskinan yang membawa orang-orang di desa mencari nafkah di kota. Mereka membawa keluarganya dalam suatu gerobak. Gerobak inilah yang menjadi rumah sekaligus alat angkut dan mencari makan dengan memulung
ELZA PELDI TAHER
59
Kadang ia didera kenangan lama Mengolah tanah mencangkul sawah Meski bukan sawah sendiri Kini sawahnya seluas kota Dengan gancok mencangkul sampah Panennya plastik, bukannya padi Dikenangnya burung-burung pipit Yang mematuki remah-remah padi Sawah luas terasa sempit Di tengah kecurigaan para petani Bagai pipit dia mengembara Mematuki remah-remah orang kota Meski yang dipungut sampah tersisa Tetap saja dia ditatap penuh curiga
sampah serta barang ronsokan sekaligus mengemis. Manusia gerobak menjadi alternatif orang miskin mempertahankan hidup di kota Jakarta. Dengan cara tersebut mereka memilik risiko kecil tapi memberikan nilai ekonomis yang lumayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp 25-30 ribu dari hasil memulung.
60
MANUSIA GEROBAK
7 Sang istri mulai gelisah, nyalinya kuncup Uang yang dibawa suami tak pernah cukup Tapi ia tak bisa apa-apa, tak bisa bergerak Ingin membantu suami terlantarlah anak Sang istri mulai berkeluh kesah Sudah datang tagihan kontrakan Meski di kota berserakan sampah Sampah tidak bisa jadi simpanan Hasil sehari hanya cukup untuk makan Itu pun bukannya makanan idaman Tagihan datang setiap hari Sangat mengusik ketenteraman hati Tak tahan didesak tagihan uang Atmo memilih menggelandang Istri dan dua anaknya dibawa kerja Dengan gerobak mengembarai Jakarta Kini gerobak menjadi rumah Tetangganya berubah-ubah Jangan tanya alamat tepat Setiap hari berpindah tempat ELZA PELDI TAHER
61
Saat kantuk menggayut datang Gerobak menjadi tempat tidur Beratap langit luas dan lapang Atmo bisa lelap mendengkur Mandi kalau ada air Makan kalau dapat uang Dengan gerobak hidup mengalir Pada langit tiada berhutang Kala siang terik menyengat Pohonan kota tempat berteduh Kala hujan menetes deras Pohonan kota tempat berteduh Kala malam kedinginan Kepada siapa mesti mengaduh? Setiap hari Atmo menghela gerobak Jalan beriring anak-beranak Sambil memulung, memilih sampah Plastik dan kardus bertumpuk megah Gerobaknya adalah istana Tempat bermukim sampah semesta 62
MANUSIA GEROBAK
Di puncak tumpukan barang-barang sisa Kedua anaknya duduk bertahta Berkuasa penuh dan digjaya Lambang kemiskinan umat manusia
8 Atmo di depan menghela gerobak Istri di belakang sambil mengawasi Beriringan di tengah deru kendaraan Pagi Siang Malam Saat tiba malam Atmo mencari tempat Kadang di pinggir jalan Pondok Indah Gerobak di parkir di trotoar terdekat Menjadi bagian dari perumahan mewah Dua anaknya bermain di dalam gerobak Atmo duduk istirahat di sebelahnya Kadang mereka turun dan berteriak Bercengkrama memanggili ibunya
ELZA PELDI TAHER
63
Lalu mereka berempat bersama-sama Menikmati nasi bungkus berlauk sekadarnya Tak ada kerat daging atau ayam Untuk mengusir lapar semalaman Hari sudah jauh petang Kendaraan masih berderet panjang Orang-orang yang bergegas pulang Suara klakson berteriak lantang Di pinggir jalan Atmo duduk memandang Kendaraan melintas pulang pergi Mobil mulus warna-warni Di dalamnya orang berbaju rapi Tak satu pun dari mereka yang peduli Atmo, anak-anak, dan istri Termangu-mangu sendiri Gerobak dan Atmo sekeluarga Bagaikan etalase belaka Sekedar pajangan di pinggir jalan Sesekali ditoleh lalu dilupakan Atmo sekeluarga dan gerobaknya Sang raja yang bertahta di sampah kota Sama sekali tak dipedulikan rakyatnya Yang bermobil mewah, makmur, dan bahagia 64
MANUSIA GEROBAK
Sang raja pucat, lapar, dan termangu Di samping gerobaknya dia membisu Ia berharap rakyatnya membuang sisa-sisa Dari kehidupan mereka barang yang lebih berharga Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia Wajahnya kenyang tiada terkira Dari rumah makan siap saji Restoran bergambar daging di tengah roti Bundar dan besar, nikmat tampaknya Maka mereka semua ceria Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga Yang perutnya nyaris tiada isinya Manusia gerobak Anak-beranak Nasib berderak Membuat koyak
9 Atmo pasrah jalani hidupnya Tapi tidak bagi istrinya Sang istri mulai lelah mendampingi Kehidupan manusia gerobak yang tak pasti ELZA PELDI TAHER
65
Di tengah terik diterpa hujan Disergap dingin angin malam Hari ini makan Hari ini cari makan lagi Besok mungkin makan Besok harus mencari lagi Kalau tidak dapat apa-apa? Lantas harus makan apa? Kedua anaknya sungguh kasihan Tumbuh serba kekurangan Tidak ada masa depan Sang istri bergelut bimbang Akhirnya ia pun bilang Ingin berpisah Mencari kehidupan lain Ia telah lelah Jalani kehidupan rutin Berjalan seharian Ia sudah tak tahan Tapi Atmo masih bertahan Dengan istri enggan dipisahkan Atmo masih tetap berkeras Dengan sang istri tak mau lepas 66
MANUSIA GEROBAK
Sampai tibalah suatu malam Kala Atmo dan dua anaknya terlelap Sang istri pergi diam-diam Lantas menghilang bagaikan sulap Pagi hari Atmo mencari-cari Hilang lenyap jejak sang istri Anaknya menangis meraung-raung Membuat Atmo semakin bingung Di mana sang istri harus dicari Di tengah belantara kota Jakarta Bagaimana luka sang anak bisa diobati Dia sendiri tiada berdaya
10 Atmo pasrah Hatinya miris Atmo menelan serapah Hatinya menangis Percuma menyesali diri Dua buah cintanya lebih utama Istri yang hilang bagaimana dicari Dua anaknya mau makan apa? ELZA PELDI TAHER
67
Bertiga mereka memendam duka Sirnanya kasih ibu memang terasa Hilang sudah sang payudara Tempat menyusu putri bungsunya Susu ibu tiada gantinya Apalagi di tengah sampah kota Putri bungsu mulai merana Susu sisa pun akhirnya terbiasa Dalam gelimang kotor kehidupan Diare menyerbu sang putri bungsu Mati-matian Atmo mencari bantuan Tak kunjung ada yang datang membantu Dibawanya anaknya berobat Ke Rumah sakit dan Puskesmas Dengan selembar sepuluh ribu. Baik dokter maupun perawat Tak menggubris wajahnya yang memelas Menolak Atmo tanpa ragu Mereka seolah bersepakat dan kuat Melihat anaknya terbaring sekarat Akhirnya dengan lesu ia berangkat Di atas gerobak anaknya coba dirawat 68
MANUSIA GEROBAK
Putri bungsunya tercinta Semakin lemah tak berdaya Di tengah-tengah gemerlap kota Akhirnya dia meregang nyawa Putrinya membeku tak lagi bergerak Matanya terkatup rapat-rapat Atmo ingin sekuatnya berteriak Namun seucap pun ia tak dapat Atmo memeluk putrinya erat-erat Agaknya telah datang sang malaikat Mengambil anaknya tersayang Dari atas gerobaknya yang malang "Inna lilah wa inna ilaihi rojiun" Atmo tepekur dalam-dalam "Inna lilah wa inna ilaihi rojiun" Atmo tersedu diam-diam Dikenangnya senyum putrinya Rengekannya Tangisnya Tawanya Raut wajahnya ELZA PELDI TAHER
69
"Inna lilah wa inna ilaihi rojiun" segenap hatinya tiba-tiba jadi malam "Inna lilah wa inna ilaihi rojiun" Hati Atmo seolah karam
11 Di depan kamar jenazah Atmo menerima kembali jasad putrinya Seolah seribu gundah Dia raih dengan kedua tangannya Dipeluknya jasad itu Dengan hati tersedu-sedu Hari sudah petang Malam segera menjelang Atmo tertatih menyeret langkah Sambil terhuyung menggendong jenazah Cerita tentang Atmo pun tersebar Di kalangan pedagang asongan Tukang parkir Penjual buah Pengamen Anak jalanan: 70
MANUSIA GEROBAK
Ada manusia gerobak Membawa jasad anaknya Keliling kota Mereka ikut iba Meski mereka semua Miskin dan papa Tiada berlimpah harta Rezeki pas-pasan Rela mereka sisihkan Untuk disisipkan Di tangan Atmo Tapi tak cukup Untuk menyewa ambulan Sopir bajaj mau mengantar Ke mana pun Atmo mau Baik lama maupun sebentar Kan diantar ke tempat tuju Petang datang Malam menjelang Tak mungkin lagi Atmo berjalan jauh ELZA PELDI TAHER
71
Mengubur putrinya Di kampung halamannya Nun jauh di sana Jasad anaknya mesti dikubur segera Dalam bajaj Atmo memeluk jasad putrinya Sambil menggandeng lengan anak lakinya Ia kembali ke rumah yang pernah dikontraknya Kepada Ibu Sri, Atmo bercerita Membawa jasad putrinya ke mana-mana Ibu Sri tak tahan mengurai air mata Cerita segera tersebar ke tetangga Sesama orang miskin dan papa Terguncang hati mereka Mendengar kisah orang tua Membawa jasad putrinya ke mana-mana Tapi mereka peduli Mereka bersatu hati Bukankah mengurus jenazah Menjadi kewajiban orang Islam?5
5
Kewajiban muslim dalam mengurus jenazah adalah fardhu kifayah.
72
MANUSIA GEROBAK
Jenazah putri Atmo pun lantas dimandikan Dikafankan Dishalatkan Diurus dimakamkan Bunga-bunga disiapkan Semerbak Semarak Jenazah pun diarak Beramai-ramai Orang-orang miskin Orang-orang susah Sama-sama miskin Sama-sama susah Mengiringi Atmo Ke pekuburan
12 Hari hampir malam Jenazah dikebumikan Di liang makam Dikumandangkan adzan Adzan bergema Di kuburan Indah syahdu ELZA PELDI TAHER
73
Adzan yang mengiring manusia dilahirkan Adzan berselimut kain kafan Adzan memanggil ingatan akhir manusia di kuburan Terdengar iqomah Seruan agar manusia pasrah Berbaris mendirikan shalat Dengan tulus dan Hati tulus doa pekat Menghadap Ilahi Bersembahyang Menyerahkan diri Mendengar adzan dan iqomah Mata Atmo berair membasah Mayat kecil berkain kafan ditutup papan Tanah-tanah berhamburan Membentuk sebuah gundukan Bermahkota nisan: “Mawar binti Atmo” Bertaburkan bunga Mewangi di dada
74
MANUSIA GEROBAK
Seiring gelapnya hari Satu per satu pengiring pergi Atmo masih terpaku sendiri Menyusun doa dalam hati Penuh harap tak henti-henti Semoga arwah sang putri Diasuh oleh bidadari Dalam sunyi Adzan Magrib menghampiri Bunga-bunga bermekaran di hati Atmo tafakur Atmo bersyukur Saat di kalbunya Ia merasa Bunga surgawi Pelan-pelan mekar Buat sang putri Di alam sana Merona Beribu warna.
ELZA PELDI TAHER
75
76
MANUSIA GEROBAK
Asih Bakar Diri
ELZA PELDI TAHER
77
78
MANUSIA GEROBAK
Asih Bakar Diri
1 Rasmin tepekur di sebelah gundukan tanah gembur Kepalanya tertunduk lesu Mulutnya masih mengucapkan doa Matanya memerah Sesekali mengusap linangan air mata Hidup memang tak terduga Dalam sekejap titik membalikkan keadaan Siapa penguasa satu detik ke depan? Dialah Malikiyaumiddin Dialah Raja hari (detik) kemudian Sepi membekap Rasmin Diterpa semilir angin kesedihan Langit terang seperti runtuh Menindih kepiluan hati
ELZA PELDI TAHER
79
Istri dan dua anaknya di liang lahat Berdiam Memiringkan badan Menghadap barat Ditutup kain kafan putih Rasanya secepat kilat kejadian itu Istrinya menghitam Anaknya menghitam Satu anaknya lagi meraung-raung kesakitan Akhirnya menyusul ke peraduan kuburan Rasmin menyesali paling dalam Tak berdaya menyaksikan Kenyataan sungguh Bukan mimpi Bukan sandiwara Rasmin tak ingin beranjak dari tanah kubur itu Sendi-sendi tubuh Rasmin lunglai Untuk diajak berjalan Hatinya masih pedih Rasmin menguatkan diri Dikerahkan seluruh tenaganya Untuk bangkit dari kesedihan Yang terus menggayut 80
MANUSIA GEROBAK
Langkahnya terseok meningggalkan makam Diiringi kenangan terpendam Ketika masih bersama istri dan kedua anaknya
2 Pita kuning polisi mengitari rumah petak Bekas-bekas terbakar masih terlihat Di atas kasur Di dinding Di lantai Rasmin tak ingin kembali ke tempat itu Sebatang kara ia meninggalkan semuanya Bersama duka Rasmin tak menyangka Waktu begitu cepat membunuh Dalam sekejap hilang semua asa Saat itu Rasmin berada di pelabuhan Dipanggulnya karung-karung di atas bahu Menjadi kuli angkut Sejak kepindahan ke tempat gersang itu
ELZA PELDI TAHER
81
Deras angin laut masih menyeruak Ketika kabar itu datang tiba-tiba “Cepat datang ke rumah sakit...” Rasmin menduga anak keduanya yang menderita kanker otak Darurat mesti dibawa ke rumah sakit Semburat kekhawatiran terlintas dalam benaknya Mata sembab tetangga menyambutnya Rasmin makin terguncang Berdegup kencang jantungnya Sendi-sendi tubuhnya lunglai Ketika menyaksikan dua tubuh diselimuti kain putih Istri dan seorang anaknya Luka bakar dan menghitam Ia menangis sejadinya di tepi pembaringan Menyesali diri sedalam-dalamnya “Astagfirullah... astagfirullah...” Ia menyebut terpatah-patah Satu anaknya lagi berjuang maut Di ujung nafas Rasmin tak kuasa membendung derai air mata Mengalir tak henti meski berulang diseka 82
MANUSIA GEROBAK
Mengapa ini terjadi pada keluargaku Mengapa istriku Mengapa kedua anakku Mengapa aku... Rasmin tak mengerti
3 Baru subuh tadi Rasmin berpamitan Tak ada tanda, tak ada firasat Ia menyempatkan mencium kening anaknya yang sakit Mengucapkan salam kepada sang istri Sebelum pergi angkat kaki menuju pelabuhan Semalam, seminggu, sebulan, berbulan-bulan lalu Sang istri sering berkeluh kesah Soal tak ada beras di rumah Perihal tak ada biaya untuk merawat anaknya Masalah tak punya uang Kesulitan hidup yang mendera Sehari, seminggu, sebulan, berbulan-bulan Tak ada perubahan
ELZA PELDI TAHER
83
Harga-harga kebutuhan pokok makin mencekik Melibas mereka yang papa Tak punya apa-apa Apalah hasil dari kuli pelabuhan Hanya habis untuk sehari Esok mengadu nasib lagi Di panas terik matahari Dihempas angit laut Asih menanam kecewa dengan hidupnya Tak terbayang sedemikian merana Berada di titik nadir kehidupan Bergelut kesusahan Menimbun utang Menggali lubang tutup lubang Seandainya tak pindah ke kota Ke tempat yang gersang ini Di tepi pelabuhan Mungkin jalan hidup kan berbeda
4 Rasmin mengira hidup lebih baik Ketika menikahi Asih Hidup sederhana di desa 84
MANUSIA GEROBAK
Seperti kebanyakan tetangga-tetangga Sebagai buruh tani Yang bergantung pada tuan tanah Yang bergantung pada musim Tak menentu akibat perubahan iklim1 Produksi padi tak sebagus dulu Lahan sawah kian menyempit Tuan tanah semakin irit Tak mau rugi dari produksi Buruh tani semakin banyak Tak sebanding dengan tanah garapan
1
Pemanasan global atau Global Warming adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C selama seratus tahun terakhir. Pemanasan Global diikuti dengan perubahan iklim. Tanda-tanda terjadi perubahan iklim dapat dilihat dari meningkatnya curah hujan di beberapa bagian bumi, sementara bagian lainnya mengalami musim kering yang berkepanjangan. Hal ini terjadi karena ada perubahan suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara bertahap dalam jangka waktu puluhan tahun Global Warming mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water runoff, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif yang secara keseluruhan mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian terkait dampak perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of Science/NAS (2007) menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh Austral-Asia Monsoon and El Nino-Southern Oscilation (ENSO).
ELZA PELDI TAHER
85
Tak ada lagi mata pekerjaan lain Kehidupan buruh tani makin sulit Terbelenggu selalu kemiskinan Keluarga kecil Rasmin- Asih bahagia Tatkala lahir putra pertama Disusul putra kedua Mereka berempat Dalam langgam hidup di desa Hanya begitu-begitu saja Rasmin ingin mengubah nasib Ia mengajak istrinya pindah ke kota Mungkin nanti hidup lebih baik Kata orang, mencari uang di kota lebih gampang Asih ingin menampik Ia lebih suka di desa Meski tak punya apa-apa Banyak tetangga mau menolong Guyub 2 Rukun Jauh dari hiruk pikuk materi 2
Desa sering digambarkan sebagai gemeinschaft, yaitu bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin. Bentuk gemeinschaft adalah keluarga, kelompok
86
MANUSIA GEROBAK
Tekad Rasmin membulat Buruh tani tak menghasilkan apa-apa Ia termakan rayuan teman-teman Mengajak bekerja di pelabuhan Asih tak kuasa menolak Ia ajak serta dua buah hatinya Yang beranjak balita
5 Di kota, rumah petak mereka tempati Untuk sekadar berteduh Dari panas dan hujan Berdinding papan Di pemukiman padat yang kumuh Dengan tetangga senasib3
3
kekerabatan, rukun tetangga, dan sebagainya. Sebagai lawannya adalah gesselschaft, merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu pendek. Digambarkan dengan kehidupan di kota-kota. Sebagai rumah bagi sekitar 9,6 juta penduduk, ibu kota memang sangat timpang. Perbedaan antara si kaya dan si miskin bagaikan langit dan bumi. Jika pada tahun 2009 13 persen penduduk Jakarta berpenghasilan di atas US$ 10.000, pada saat yang sama ada sekitar 3,62 persen penduduk yang justru berpenghasilan kurang dari 316.963 rupiah per bulan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin Jakarta mencapai 363,42 ribu orang (3,75 persen), meningkat sebesar 51,24 ribu dari tahun sebelumnya yang mencapai 312,18 ribu orang (3,48 persen).
ELZA PELDI TAHER
87
Keberuntungan menjauhi Rasmin Kota jauh panggang dari api Harapan terlihat fatamorgana Penghasilan sehari tergerus habis Tak ada lebih Bahkan untuk mengobati kanker otak anak keduanya Hanya sekali dibawa ke puskesmas Setelah itu dirawat di rumah Karena tak ada biaya Putra bungsunya tergeletak lemah di pembaringan Tak seperti anak sebayanya Yang riang bermain bersama Hari-hari makin mencekik Asih menguatkan diri Di tengah impitan kebutuhan hidup Kadang Asih berontak Ia minta suaminya menambah uang Setiap kali pulang ke rumah Tapi cuma pertengkaran yang meletup Membuat kegalauan Harmoni keluarga yang mulai tercabik
88
MANUSIA GEROBAK
Hari demi hari kecewa Asih menimbun Kepada siapa mengadu? Tak ada yang mendengar Mengadu kepada Tuhan? Marah kepada Tuhan? Tak ada jawaban Diam membisu Asih hanya bisa menangis dalam hati Tanpa air mata Dalam malam yang hening
6 Hati Asih kacau Ia berpikir tentang suaminya Yang sudah bersusah payah Ia melihat anak bungsunya Tergolek bersama sakitnya Ia melihat sekelilingnya Kosong Hampa
ELZA PELDI TAHER
89
Hati Asih bimbang Ia ingin keluar dari gejolak ini Ia ingin lepas dari deburan hati yang pedih Diam Berkecamuk dalam pikiran Setan-setan menggoda Makin kencang bisikan itu Asih terombang-ambing Ke kiri dan ke kanan Ketetapan hati yang hilang Semalaman Asih gelisah Batinnya tertekan Jiwanya rapuh Suami dan kedua anaknya tertidur pulas Dipandanginya mereka Asih terenyuh Mengapa hidup sesulit ini Berhari-hari Berbulan Bertahun Asih tak kuat menanggung beban hidup
90
MANUSIA GEROBAK
Setan-setan terus menggoda Mengakhiri hidup mungkin lebih baik Daripada terus menderita Diri sendiri, dua anaknya, suami Asih berpikir bergelut berkelindan Matanya tak mau terpejam Masa-masa indah Masa-masa sulit Ingin ia akhiri Rencana tersusun Niat dikuatkan Semalaman Asih tidak tidur Hingga pagi menjelang Sang suami telah siap pergi Berpamit dengan anak istri Bersamaan dengan munculnya matahari Di ujung timur
7 Pagi itu Asih cuma merenung Sendiri Dua anaknya masih terlelap ELZA PELDI TAHER
91
Asih terus dihantui perang batin Tak mudah keluar dari kemelut itu Tekanan batinnya menghebat Pikirannya gelap gulita Tak ada secercah cahaya pun Satu jalan pintas Satu pintu untuk mengakhiri semua persoalan hidup Menjemput maut...4
4
Sosiolog Durkheim menilai bahwa peristiwa bunuh diri tidak terjadi hanya dipicu kondisi mental. Barangkali benar bahwa orang tertentu punya kecenderungan bunuh diri lebih kuat daripada orang lain. Akan tetapi, Durkheim menambahkan: bahwasanya terdapat variabel eksternal yang berpotensi memicu orang bunuh diri. Entah itu berupa tuntutan sosial, perubahan zaman, atau lain sebagainya. Hal ini disebutnya sebagai “faktor kosmis” pemicu bunuh diri. Pada dasarnya gagasan Durkheim akan bunuh diri cukup simpel: bunuh diri itu diakibatkan oleh tekanan batin akibat situasi sosial. Dua hal yang krusial mempengaruhinya yakni faktor komunitas dan stabilitas. Seorang yang memiliki ikatan baik ke masyarakat akan jauh dari kemungkinan bunuh diri. Adapun di sisi lain, bunuh diri itu juga bisa dipicu oleh perubahan landscape sosial. Ketika orang tidak siap menghadapi perubahan sosial, maka di situlah stres menyergap. Pada akhirnya itu berpotensi mendorong orang melakukan bunuh diri. Kalau saya boleh menafsirkan seenaknya, sebenarnya Durkheim hendak menyampaikan satu hal: bunuh diri itu adalah gejala sosial, oleh karena itu, pemecahannya juga harus bersifat sosial. Orang tidak mengentaskan dirinya dari depresi atau anomi dengan seorang diri. Problem itu harus diselesaikan secara sosial: melalui interaksi dengan masyarakat, maka orang terhindar dari suatu rasa frustrasi dan alienasi.
92
MANUSIA GEROBAK
Asih mengambil secarik kertas Digores pena lekas-lekas Beriring linangan air mata Bercucuran Di kamar itu Asih mengguyur dirinya dengan minyak tanah Dua anaknya yang tertidur disiram Merata ke seluruh tubuh Secepat kilat Asih menyulut api Dari sebatang korek Ke dirinya Dan kedua anaknya Api menari kesana-kemari Di tiga tubuh itu Asih meraung kesakitan Suaranya tertelan gemuruh api Kedua anaknya menggelinjang di ranjang Kegaduhan terdengar tetangga Bersebelahan disekat papan Orang-orang berhamburan ke rumah petak itu Berusaha memadamkan kemarahan api Tapi tanpa daya ELZA PELDI TAHER
93
8 Semua orang menyesal Tetangga Ketua RT Ketua RW Lurah Tokoh agama Andai bisa dicegah... Lalu di mana mereka? Bukankah pemimpin harus memperhatikan warganya?5 Bukankah tugas mereka mengangkat jerat kemiskinan? Bukankah tokoh agama seharusnya mendatangi umat? Bukan malah mendatangi? Mengapa derita berujung kematian tragis itu tidak terendus? 5
Khalifah Umar bin Khatab sangat memperhatikan rakyatnya. Pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anakanaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.
94
MANUSIA GEROBAK
Mereka ikut bertanggungjawab Mereka menyesal Hanya sesaat Lalu cepat melupakan penyesalan itu Tapi dengan cepat melempar kesalahan pada takdir Asih adalah takdir dari potret kehidupan urban Yang tak lagi manusiawi Rasmin membuka secarik kertas Yang tertinggal Membaca tulisan sang istri “Aku sudah tidak kuat lagi Menghadapi hidup ini... Maafkan aku....”
ELZA PELDI TAHER
95
96
MANUSIA GEROBAK
Catatan Harian Ivon
ELZA PELDI TAHER
97
98
MANUSIA GEROBAK
Catatan Harian Ivon
1 Sungguh berbinar hati Ivon Dipandangnya wajah bayi itu Raut suci tanpa dosa Terlahir ke dunia Ivon tersenyum Ada bahagia di balik senyum itu Sejenak lalu Ivon melahirkan Setelah mengandung sembilan bulan Masa yang penuh kegetiran Saat berbadan dua Ivon harus berjuang Ketika usia kandungan tiga bulan kekasihnya pergi Pergi tanpa pesan Meninggalkan harapan Nestapa di depan mata
ELZA PELDI TAHER
99
Masa yang berat Ivon harus menanggung Akibat pergaulan bebas Tanpa ikatan perkawinan Lewat operasi cesar Seorang diri dia menghadapi maut Tanpa satu pun lelaki pendamping Bayi itu ia beri nama Agung Bayi laki-laki yang dicintai sepenuh hati Dalam diary-nya Ivon menulis: “Telah lahir ke dunia buah hatiku Bayi mungilku yang sehat Tangisan kerasnya membuatku bangga Wajahnya memberikan kesejukan Aku beri nama Agung Seperti ku melihat keagungan Tuhan Dia membuatku bahagia Akan kucintai dan sayangi Selama-lamanya... selama hayatku...”
100
MANUSIA GEROBAK
2 Sejak SMP Ivon selalu mencurahkan isi hati Di buku hariannya Teman sepanjang suka Duka Keluh kesah Gundah gulana Kecewa dan Marah Ivon mengasuh bayinya di sebuah rumah petak Di pemukiman padat kumuh Bertetangga erat sesama Senasib sepenanggungan Tak ada gunjingan Tak pula kabar bisik-bisik Tak ada rahasia Tetangga mafhum Ivon sebagai orang tua tunggal Sejak mengandung Ivon sudah berdiam di tempat itu Di rumah petak nan sempit Orang mengenal Ivon ELZA PELDI TAHER
101
Sebagai perempuan mandiri Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri Berdiri di atas kaki sendiri Tak meminta bantuan sanak keluarga Tak mengemis pada orang lain Semua dijalaninya sendiri Berteman diary Suatu ketika ia menulis: “Hidupku memang merana Selalu terbentur gagal Mungkin ini sudah takdirku Yang harus aku jalani Entah sempai di ujung sana Aku tak tahu...” Tak ada yang tahu pasti jalan hidup seseorang Kita hanya bisa menjalani Hari kemarin Saat ini Esok hari Lusa Bulan depan Dan seterusnya.... Tak bisa lari dari kenyataan...” 102
MANUSIA GEROBAK
3 Ivon bukan wanita beruntung Sekolahnya tak tamat SMP Kedua orang tuanya bercerai Ibunya sudah meninggal sejak Ivon berusia tiga tahun Ivon kehilangan belas kasih ibunda Ia dibesarkan sang ayah Kehidupan sang ayah morat marit Setiap hari hanya menjajakan suara Dengan gitar tua Di terminal Di kaki lima Pasar atau Dari rumah ke rumah Ivon terlantar Sang ayah kawin lagi Ibu tiri pun tak peduli Ivon lepas dari perhatian Ivon lari Ia ingin bebas seperti burung Mencari makanan sendiri Menantang marabahaya Di alam yang buas ELZA PELDI TAHER
103
Sekolah ia tinggalkan Ia mulai menjelajah malam Berlabuh di tempat bilyar Menemani tamu lelaki Mengenal cinta Banyak pria jatuh hati padanya Mereka tak punya cinta sejati Cinta main-main Cinta satu malam Wanita punya satu cinta Cinta pertama Cinta sejati Ivon terlalu belia Untuk merasakan desir cinta itu Pada satu lelaki, Ariawan Ia ingin berikan cinta itu Namun keduanya tak mungkin bersatu Ariawan dari keluarga terpandang Kesenjangan memisahkan mereka Orang tua Ariawan menampik Ivon Ivon hanyalah gadis dari keluarga berantakan 104
MANUSIA GEROBAK
Cinta Ivon terlalu mendalam Seperti ia tulis dalam diary-nya: “Hanya satu lelaki yang kucintai Dalam hidupku Ingin kucurahkan jiwa ragaku padanya Ingin aku menjadi belahan jiwanya Apa daya Aku bertepuk sebelah tangan Cintanya tak seperti cintaku padanya Ariawan... maaf kita memang ditakdirkan tak bersama Mungkin kelak di alam lain kita bisa Bersatu...”
4 Satu per satu lelaki singgah di hati Ivon Yang sudah terlanjur beku Perlu siraman panas cinta untuk meluluhkan Kebekuan asmara Ivon Ivon beranjak dewasa Untuk bisa menerima seseorang Sampai datang seorang lelaki Yang mengisi kekosongan batin Ivon ELZA PELDI TAHER
105
Hari demi hari berjalan Hati kedua insan makin terpaut Jauh ke dalam Melampaui sekat-sekat moral Ivon hamil Si lelaki gamang Kemana masa depan? Perut Ivon membuncit Lelaki itu bertambah gamang Ia tinggalkan Ivon Pergi tak tahu rimbanya Ivon lelah mencari Ivon melampiaskan kekesalannya Dalam goresan pena di buku diary-nya: “Malang benar nasibku Lelaki yang ku percaya tak bertanggungjawab Dia pergi meninggalkanku Menanam janin dalam rahimku Begitu biadabkah lelaki itu? Aku tak bisa membalas Biar Biarlah karma yang bicara...
106
MANUSIA GEROBAK
Salahku mudah terpedaya Nasi sudah menjadi bubur Sesal kemudian tak berguna Menangis tak menyelesaikan persoalan Aku akan pelihara janin ini Akan ku besarkan buah hatiku nanti Meski seorang diri...”
5 Hari berbilang hari Bulan berganti bulan Lima bulan sudah Ivon memberikan seluruh kasih sayang Pada si mungil Agung Tak terlewatkan barang sedetik Biaya hidup makin membubung Harga-harga melonjak Menjepit kehidupan Ivon Utang-utang menumpuk Biaya persalinan belum lunas1 1
Biaya melahirkan di Jakarta tidaklah murah. Tarif melahirkan normal (3 Hari – 2 Malam) dengan Bidan mencapai Rp 1,4 juta, rinciannya: Jasa Medis Rp 400.000; Jasa Paramedis, Alkes, Kamar Bersalin Rp 350.000; Kamar Perawatan (3 Hari x Rp 200.000) = Rp 600.000; dan Administrasi Rp 50.000.
ELZA PELDI TAHER
107
Penghidupan di pekerjaan kandas Tempat bilyar tutup karena bangkrut Ivon semakin tercetik beban hidup Tapi ia tak mau mengemis kepada bapaknya Ia tak minta bantuan ibu tirinya Ia tak menghiba kepada tetangga Dalam kesempitan hanya ada pikiran pendek Ia memutuskan untuk menjelajah kehidupan malam Menjajakan diri Menjual tubuhnya Menggadaikan kehormatannya “Maafkan, Anakku, Mama pergi setiap malam Mama tak mendampingimu tidur Mama harus bekerja Maafkan mama anakku Hanya ini yang bisa mama lakukan Untuk kita bertahan hidup Maafkan Mama, Anakku....” Tulis Ivon di lembar buku diary-nya
108
MANUSIA GEROBAK
Kala hari gelap Ivon sudah berdandan Memberi gincu di bibirnya Bedak tebal menutupi wajahnya Agar terlihat putih Menyisir rambutnya yang tergerai Memakai pakaian yang menggoda syahwat Terlihat lekuk tubuh dan belahan dada Mengenakan sepatu agar terlihat seksi Dan parfum penggoda selera Tampilannya berbeda dengan keseharian Merona dan menantang Agung dititipkan kepada tetangga Dia menggendong bayi mungilnya sepuasnya Sebelum diserahkan kepada tetangga Para tetangga mafhum Dikecupnya lagi kening anaknya Sebelum melangkah pergi
6 Setengah khawatir Ivon harus menetapkan langkah Ia menelusuri remang-remang Kehidupan malam Jakarta Penjaja seks bertebaran di sudut kota ELZA PELDI TAHER
109
Sejak lokalisasi Kramat Tunggak ditutup2 Wanita malam ada di jalan Panti pijat, hiburan malam, karaoke, spa, Berkedok salon dan lainnya Ivon adalah pendatang baru Ia bebas mangkal di mana saja Tanpa ikatan dengan mucikari Atau tante-tante germo Satu malam ia mangkal di Cawang Satu ketika ia berpindah ke rel kereta api Lain waktu ia sudah berada di bongkaran3 2
3
Lokasi Resosialisasi (Lokres) Pekerja Seks Komersil (PSK) Kramat Tunggak, Jakarta Utara, mulai beroperasi tahun 1970 setelah dikeluarkannya SK Gubernur DKI Jakarta No. Ca. 7/1/13/1970. Semula lokalisasi ini hanya memiliki 300-an PSK dan 76 germo. Seiring berjalannya waktu, jumlah PSK terus bertambah. Saat ditutup pada 31 Desember 1999 (dengan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 6485 Tahun 1998), jumlah PSK di sini mencapai 1.615 orang, dengan 258 orang mucikari. Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar. Kendati telah berulang-kali ditertibkan, keberadaan Pekerja Seks Komersial (PSK) tak pernah hilang dari kawasan Bongkaran Jalan Jembatan Tinggi, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Keberadaan para penjaja seks itu tetap makin ramai, seiring dengan semaraknya warung-warung dadakan di sekitar lokalisasi prostitusi tidak resmi tersebut. Para PSK berpenampilan seronok itu biasanya menjajakan diri dengan berjejer di atas jembatan sejak sekitar pukul 19.00 sampai dinihari. Jumlah mereka belakangan bertambah banyak dengan memanfaatkan warung-warung di sekitar lokasi sebagai tempat mangkal. Kondisi ini jelas mengganggu warga sekitar, karena suara dentuman musik yang berbunyi keras bercampur dengan aroma minuman keras, membuat suasana lingkungan menjadi tidak nyaman.
110
MANUSIA GEROBAK
Berdiri di keremangan malam Sambil menggoda pengendara yang lewat Ditemani sebatang rokok Yang diselipkan di sela jemarinya Kadang dihisapnya dalam-dalam Menunggu pria hidung belang Pengalaman perdana bagi Ivon Ia tak tahu dunia remang-ramang malam Ia terjun begitu saja Mencari pria yang mau membayar Untuk bersenang-senang sesaat Ivon menjelajah malam hingga dini hari Kadang berpindah tempat mangkal Dari satu jalan ke jalan lain Dari satu warung ke warung lain Bisa melayani tiga pria dalam semalam Kadang pula pulang dengan tangan hampa 7 Sepasang mata nanar memandang Sudah beberapa hari lelaki itu mengawasi Sejak kehadiran Ivon setiap malam di jalan itu Didekatinya Ivon Setengah menghardik pria itu minta uang ELZA PELDI TAHER
111
Rasa takut membekap Ivon Ia serahkan lembaran uang Lelaki itu berlalu Malam berikutnya berulang Kata orang, lelaki itu preman Penguasa wilayah temaram itu Lelaki itu minta uang Ivon menampik Hari itu ia belum mendapat uang Lelaki itu berang Tangannya melayang Mendarat di pipi merah Ivon Ivon menangis Malam kembali berulang Lelaki itu bertambah kasar Tak ada yang membela Ivon Wanita dalam posisi lemah Tidak bisa melawan kekerasan Lebam membiru membekas di wajahnya Tetangga bertanya-tanya Ivon diam meraih bayinya Ia menangis memeluk Tak berkata-kata 112
MANUSIA GEROBAK
Ia bercakap dengan bayinya “Maafkan mama nak... Mama mengambil jalan salah...” Diciumi wajah bayinya Mata berkaca-kaca Wajahnya letih Suram dan kelam Penyiksaan itu direkam dalam diary-nya “Dunia memang kejam buatku Apa yang salah dengan diriku? Semalam aku dipukuli Kemarin malam aku ditampar Esok malam aku... Kesusahan dan derita selalu menderaku Tuhan, tunjukkan jalan hambamu ini Aku tak ingin seperti ini Aku ingin kembali ke jalan lurusmu Tunjukkilah jalanmu ya Allah...” Ivon memandang bayinya Dikecupnya terus Air mata membasahi Wajah bayinya ELZA PELDI TAHER
113
8 Ivon ingin menjadikan malam ini terakhir Menjelajah malam Ia tak mau dibayangi malam-malam yang menakutkan Esok ia ingin hari yang cerah Hijrah dari temaram lampu jalanan Pukul sepuluh malam Belum satu lelaki pun menghampiri Malam kian sepi Tengah malam Ivon beranjak Ia ingin pulang Menjumpai buah hatinya Ivon serasa mendengar suara tangisnya Niatnya urung Lelaki itu kembali mendatanginya Berwajah tak bersahabat Ivon berkata belum dapat pelanggan Tak ada uang Lelaki itu berang Ivon melawan Ivon tak mau disakiti 114
MANUSIA GEROBAK
Lelaki itu bertambah kalap Tangan dan kakinya bertindak Wanita makhluk yang lemah Ivon menjerit Meronta Lelaki itu menarik Ivon ke tempat sepi Di balik tembok penjara Bau alkohol menyengat dari mulutnya Lelaki itu mengeluarkan senjata tajam Seraya mengancam Ivon berteriak sekuatnya Suaranya ditelan malam sepi Perempuan-perempuan lain diam Menghindar jauh Ivon sendiri Lelaki itu panik Dihujamkan beberapa kali tusukan Terdengar erangan kesakitan Lamat-lamat Suara erangan melemah Ivon bersimbah darah Tersungkur ELZA PELDI TAHER
115
Lelaki itu berkelebat Hilang dalam bayang-bayang malam
9 Pagi cerah itu gempar Pemulung menemukan sosok mayat wanita4 Mengenakan baju berbunga merah Tergeletak di parit Di belakang tembok penjara Cipinang Kabar tersiar Ivon tak pernah kembali ke rumah Meninggalkan bayinya yang terus menangis Dan sebuah diary...
4
Kisah tragis pembunuhan PSK di lokasi-lokasi prostitusi tidak resmi senantiasa berulang dan berulang. Di sana, seks, alkohol dan narkotika menjadi ‘tiga serangkai’ yang melahirkan kultur kekerasan dan premanisme. Lalu, PSK pun pihak yang paling lemah dan rentan ekspolitasi. Ada kisah getir Sarah (Pondok Gede, Jaktim) yang di akhir Oktober 2010 dihabisi orang yang sakit hati terhadap dirinya; tragedi Rina (Sikka, NTT) yang Mei 2012 lalu dibunuh pelanggannya yang marah gara-gara diminta tambahan ongkos kencan; cerita duka Warkem (23) yang dibunuh seorang anak baru gedhe lantaran merasa terpaksa; dan masih banyak lagi deret panjang kisah semacam ini.
116
MANUSIA GEROBAK
Toga Hakim dan Kotak Amal
ELZA PELDI TAHER
117
118
MANUSIA GEROBAK
Toga Hakim dan Kotak Amal
1 Majelis meja hijau, Tanggal tiga belas bulan tiga tahun nol-tiga Aku sedikit tercenung Di hadapanku, pagi itu Tiga kerat singkong Dan seorang nenek tua di kursi pesakitan Kata si nenek tua: Satu kerat buat anak yang sakit Satu kerat buat cucu yang lapar Satu kerat lagi, “Saya sudah tiga hari tidak makan” Singkong bukan sembarang singkong Singkong bermerek Tapioka Andalas Milik seorang petinggi partai Berdalih memberi contoh Contoh penegakan hukum ELZA PELDI TAHER
119
“Lex dura sed tamen scripta Hukum itu kejam, kaku, dan keras1 Ujar kaki tangan petinggi partai Kasus ini layak dibawa ke pengadilan Jaksa pun tak kalah lugas Bukan tiga kerat yang diembat Tapi singkong mukibat tiga ikat Ibarat satu kilogram merica dibilang setengah ons2 Maka, si nenek pantas dibui Kurungan seratus lima puluh hari Dan denda satu setengah juta rupiah
1
Hukum yang bersifat memaksa dan tanpa kompromi terbukti sudah berlaku di bumi pertiwi Indonesia. Sistem ini memang pada dasarnya sebuah pembelajaran agar setiap orang mematuhinya. Sayangnya, hukum yang kejam, kaku dan keras tidak berlaku bagi pelaku kejahatan hak azasi manusia, bagi koruptor, bagi pelaku yang merendahkan moral dan martabat bangsa. Penjahat, pejabat dan penegak hukum telah berkolusi menjadi satu. Prinsip ini hanya berlaku buat Rasminah (56) yang dituduh mencuri enam buah piring, Rawi (66) yang didakwa mencuri satu ons merica, dan Samsu Alam yang dituding mencuri celana dalam wanita.
2
Gara-gara mengambil satu ons merica, Rawi (seorang kakek berusia 66 tahun) disidang di Pengadilan Negeri Sinjai, Suawesi Selatan. Tapi, barang bukti yang dibawa ke pengadilan adalah setengah kilogram merica. Supriyadi, salah seorang saksi, mengatakan dia disuruh polisi untuk menambahkan merica sampai jumlah yang layak barang bukti.
120
MANUSIA GEROBAK
Aku harus mengetuk palu Sembari memandang nenek di kursi pesakitan “Saya tidak dapat membuat pengecualian hukum Hukum tetaplah hukum Nenek harus dihukum Nenek dihukum denda satu juta rupiah Bila nenek tidak mampu bayar Nenek masuk bui duaratus hari Atas nama meja hijau Saya juga jatuhkan denda lima puluh ribu rupiah Pada tiap orang yang hadir di majelis ini Karena, saudara-saudara sekalian Membiarkan nenek kelaparan” Aku buka toga Aku masukkan satu juta dari dompetku “Saudara panitera, tolong bawa keliling Toga saya kepada semua yang hadir di sini Serahkan kumpulan denda buat nenek” Aku ketuk palu tiga kali Penuh gerutu Hadirin majelis satu per satu Tidak terkecuali manajer Tapioka Andalas Yang tersipu malu Jatuhkan kertas nominal lima puluh ribu ELZA PELDI TAHER
121
Togaku pun penuh kertas nominal Terhitung dua juta lima ratus ribu rupiah Nenek tua itu langsung bayar denda Lalu pulang Bawa senyum buat anak dan cucu
2 Majelis meja hijau Tanggal tiga belas bulan tiga tahun nol-lima Aku sedikit dibuat jengah Di hadapanku, pagi menjelang siang itu Dua pasang sandal jepit harga ratusan ribu Dan seorang kakek di kursi terdakwa Tutur si kakek tua: “Lima belas tahun sudah Saya menyiangi rumput Pada keluarga pengusaha permata Terkadang Ketika penagih utang datang Saya mesti berbohong ‘Maaf ibu sedang memburu barang antik’
122
MANUSIA GEROBAK
Waktu dua cucu saya minta sandal Ibu memberi dua pasang sandal Satu model buaya satu lagi model dinosaurus Waktu pesta diskon di mal Satu pasang dibanderol tiga ratus ribu” Jaksa pun berujar: Suatu malam yang gulita Kakek pulang ke rumah kontrakannya Majikan mencari-cari Minta ditemani Di tengah sunyi sendiri Kakek tidak kunjung datang Majikan menyusul dalam kesal Melihat sandal buaya dan sandal dinosaurus ‘Kek, ini kan sandal anak saya Di mana segenggam berlian, Sekantong sop buntut dan sebotol obat kumur’ Maka kakek layak dibui Kurungan seratus delapan puluh hari Dan denda satu juta rupiah Aku harus mengetuk palu Sambil memandang kakek yang terus menunduk Kataku jelas: ELZA PELDI TAHER
123
Memperhatikan pengakuan saksi Dua pasang sandal apresiasi pengabdian Atas nama meja hijau Kakek bebas dari segala bentuk tuntutan hukum Ongkos perkara duaribu lima ratus rupiah Dibebankan kepada saksi pelapor Jaksa langsung kasasi mahkamah yang agung Minta kakek tetap dibui Kurungan seratus delapan puluh hari
3 Beberapa bulan berselang Aku diangkat menjadi hakim yang agung Dan mahkamah yang agung tetapkan tiga hakim Tangani perkara kakek dan dua pasang sandal Majelis kasasi lalu bersidang Aku jadi ketua majelis mahkamah yang agung Pendapatku: “Kakek bebas dari segala tuntutan Dua pasang sandal itu pemberian majikan Kasasi yang diajukan jaksa tidak dapat diterima Niet ontvankelijke verklaard” 124
MANUSIA GEROBAK
Pikiran kolegaku: “Kakek bersalah mencuri Segenggam berlian itu bukan milik kakek” Benak kolegaku yang satu lagi: “Kakek bersalah mengambil tanpa hak Obat kumur itu milik majikan.” Majelis kasasi menjatuhkan vonis3 Putusan pengadilan tingkat pertama batal Kakek mesti hidup di bui seratus delapanpuluh hari Kakek telah berpindah tinggal Jauh dari rumah majikannya yang pengusaha permata Bahkan, melintas batas kota Menikmati hari tua Bercengkerama bersama anak-cucu Tiba-tiba Datang sepucuk surat Kop mahkamah yang agung Mengabarkan kakek harus masuk bui
3
Vonis tidak bulat. Salah satu hakim mengajukan beda pendapat (dissenting opinion).
ELZA PELDI TAHER
125
Sontak kakek rebah Di pundak si cucu Diam membisu Raut wajah membiru Pada akhir batas waktu
4 Majelis mahkamah yang agung Tanggal 13 bulan tiga tahun nol-sembilan Aku dan dua kolegaku Seonggok memori kasasi Atas putusan pencemaran nama baik Curahan hati lewat dunia maya Pengadilan negeri putuskan salah Enam bulan bui dengan percobaan Si pencurah hati yang kecewa Pada pelayanan rumah sakit Aku yakin Si pencurah hati tidak salah Dia cuma curhat Pada batas komunitas dunia maya
126
MANUSIA GEROBAK
Kolegaku yang ketua majelis Dan satu rekan anggota majelis berbeda Si pencurah hati terbukti Cemarkan nama tenar rumah sakit Meski di komunitas terbatas Majelis pun ketuk palu Si pencurah hati Mesti hidup di bui 200 hari Dengan 400 hari masa percobaan Dengan gontai aku balik Pada rumahku yang mungil Di kaki bukit Ciragil Isteri t’lah menanti (Kali ini) dalam tanda tanya Selembar cek baru saja dia terima Bawah nama klinik ternama “Ma, pulangkan saja pada yang punya”
5 Majelis mahkamah yang agung Tanggal 13 bulan tiga tahun sepuluh Kembali aku dan dua kolegaku ELZA PELDI TAHER
127
Seonggok memori peninjauan Atas vonis 15 tahun penjara pembunuh artis Dengan lagak overdosis Tidak salah lagi, pikirku Racikan yang membuat kulit biru Si artis memasuki batas waktu Sang pembunuh lama meramu 15 tahun singkat terlalu Seumur hidup lebih patut Benak dua kolegaku anggota majelis Si artis memang pengguna narkotik Ketergantungan yang merakut Senantiasa berlebih Mendekati bibir ajal Sang pembunuh Di waktu dan tempat Yang tidak tepat Tak sepantasnya 15 tahun dibui Majelis memutus Cukuplah 8 tahun Sang pembunuh di balik jeruji 128
MANUSIA GEROBAK
Rasa keadilan terkoyak Ingin rasanya berontak Pada sistem yang retak Nurani yang nihil watak Ah, gelayut pesimis Pulang saja ke rumahku yang mungil Di kaki bukit Ciragil Isteriku kembali mengagetkan Segepok amplop tunai Lembaran-lembaran “I Gusti Ngurah Rai”4 Tiada alamat jelas Aku berkerut kening Haruskah tanya Ayu Tingting Tercetus ide sinting Masukkan amplop Dalam kotak amal Saat aku naik Kopaja Menuju zona merah kota
4
I Gusti Ngurah Rai, Pahlawan Nasional asal Bali. Gambar potretnya kini dipasang di uang kertas nominal lima puluh ribu rupiah.
ELZA PELDI TAHER
129
Tapi, aku teringat Pada kata-kata bijak “Barangsiapa memperoleh harta Dari jalan yang haram Lalu buat bersilaturrahim Disedekahkan Dinafkahkan di jalan Allah Semua itu akan terasa sia-sia Dibakar api neraka”5 Aku batal ‘beramal’ Pada kotak amal Takut bikin kumal Hati yang kamal
6 Majelis mahkamah yang agung Tanggal 13 bulan tiga tahun sebelas Kali ini kuhadapi onggokan berkas kasasi Perkara yang menguras perhatian masyarakat Perkara jaksa yang disuap
5
Sebuah hadits ditulis oleh al-Qasim bin Mukhaimarah dalam bukunya Marasil. Kalimat sedikit dimodifikasi dalam bahasa puisi.
130
MANUSIA GEROBAK
Oleh kaki tangan konglomerat hitam Yang takut ditagih utang negara Aku bersama empat kolega Bersidang tiada jeda Nuraniku bicara Kaki tangan itu sungguh terlalu Melanggengkan mafia peradilan Membangkrutkan uang negara Merusak ekonomi masyarakat Tidak cukuplah lima tahun di bui Sebelas tahun lebih cocok Lagi-lagi empat kolegaku senada Jaksa itu tak punya malu Disuap kok ya mau Membuka jalan sekongkol Kaki tangan itu Cuma memasuki jalan terbuka Tidak layak luma tahun di bui Cukup empat tahun enam bulan6 6
Dengan seribu kata maaf bila kalimat ini mirip dengan pendapat hakim agung Imam Haryadi saat menangani kasasi Kasus Artalyta Suryani yang mengurangi hukuman Artalyta Suryani alias Ayin dari 5 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan penjara. Sementara pada peradilan tingkat pertama, Artalyta dihukum lima tahun penjara dan denda Rp250 juta karena terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar 660 ribu dollar AS. Menurut catatan
ELZA PELDI TAHER
131
Vonis pun kembali tidak bulat Pendapatku kalah suara Suara dewa kaum hedonis Yang menghalalkan segala cara Sesebentar mungkin masuk penjara Lekas aku berkemas Bergegas dengan langkah lepas Pulang ke rumah mungil Di kaki bukit Ciragil Baru kaki mau melemas Satu amplop di sela bunga hias Lembar-lembar dollar Setara rupiah dalam miliar Bawah nama kacau Bikin pikiran risau Kendati galau Tekadku bulat Bawa amplop dollar dan secarik surat “’Tuk menambal jalan abal-abal”
hukum beberapa media massa, Imam Haryadi bergabung dengan anggota majelis hakim lain yang terdiri dari Djoko Sarwoko (ketua), Hatta Ali, Krisna Harahap dan Sofyan Martabaya.
132
MANUSIA GEROBAK
Aku susuri jalan-jalan strategis Penuh lubang menganga Kubangan kerbau saat hujan Anak-anak muda Seember kerikil dan puing Menengadah topi lusuh Menahun ... Aku jatuhkan amplop dolar Aku ingin jalan itu mulus Angkot-angkot melaju Tiada lagi serapah penuh gerutu Got7 di kanan-kiri jalan Lancar mengalir Tak lagi tumpah Melumat aspal Menggerus beton
7
Di negeri jiran Malaysia, dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, pemasukan yang haram (pajak judi, retribusi minuman keras, pajak babi) dan diragukan kehalalannya (hasil korupsi dan suap aparat, cukai rokok) dimasukkan ke rekening khusus dengan alokasi peruntukan tersendiri, antara lain untuk membangun got, tempat pembuangan sampah, tempat penampungan air limbah, dan infrastruktur yang kotor-kotor. Tidak digunakan untuk membayar gaji “kaki tangan kerajaan” (aparatur pemerintah negara).
ELZA PELDI TAHER
133
Lega hatiku Kembali ke rumah mungil Di kaki bukit Ciragil Dalam kehangatan anak-istri Tiada bara kayu bakar Tiada darah hitam pekat.
134
MANUSIA GEROBAK
ELZA PELDI TAHER
135
136
MANUSIA GEROBAK
Zaka dan Tato Gajah
ELZA PELDI TAHER
137
138
MANUSIA GEROBAK
Zaka dan Tato Gajah
1 Lima belas tahun silam Sepulang dari balik jeruji besi Entah untuk ke berapa kali Zaka seorang diri Tiada lagi jabat tangan menyalam Hanya ada nyinyir dan cibir Tetangga-tetangga yang putih kelir Zaka pun kembali ke dunia orang-orang pinggir Dalam warna pahit dan getir Suatu siang Lima belas tahun lampau Dalam keriuhan terminal bus kota Di keliling orang-orang pinggir Yang menyebut diri preman Geng Gajah
ELZA PELDI TAHER
139
Tiba-tiba mata Zaka membelalak Bagai mengikuti ruh yang hendak luruh Tato gajah di lengannya yang kekar terasa terbakar Kerikil-kerikil tajam membara Dari cericit burung-burung di langit Tak hanya Zaka seorang yang membelalak Seakan ruh akan luruh Orang-orang pinggir yang tengah berteriak “Garogol, Garogol...” Pun spontan membelalak Tato-tato gajah di lengan mereka Pekat menghitam terbakar Kerikil-kerikil tajam membara Dari cericit burung-burung di langit Terkapar Menggelepar Tapi tetap sadar Panas bagai tersapu lahar Orang-orang penantian bus kota Nanar memandang Syakwasangka menatap Zaka dan orang-orang pinggir
140
MANUSIA GEROBAK
Mengerjap-ngerjap Mengelojot-ngelojot Menahan sakit yang tak terperi Orang-orang penantian bus kota Kaku mematung Diam membisu Tiada tangan mengulur
2 Zaka termangu Menguliti tato gajah Yang diserang cericit burung-burung di langit Bandul waktu Seakan berputar ke masa lalu Saat Zaka dan gengnya merampok bos SPBU yang membawanya ke Penjara Banceuy1 1
Penjara Banceuy merupakan salah satu dari tiga penjara tua di Kota Bandung, Jawa Barat. Dua lainnya adalah Penjara Kebonwaroe dan Penjara Soekamiskin. Kini bangunan Penjara Banceuy tinggal menyisakan satu sel berukuran 1 x 1,7 meter yang dulu pernah ditempati oleh Presiden Pertama RI Ir. Soekarno saat menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Penjara Banceuy telah dirobohkan dan dijadikan bangunan pusat perbelanjaan yang nyaris tidak berkembang dan kini terasa mendekati kumuh.
ELZA PELDI TAHER
141
Lalu... Bersua seorang alim yang terzalim Dicap sebagai perongrong dasar negara Oleh penguasa lalim Gara-gara koleksi buku The Road To Life Karya Makarenko2 Yang memberi pelajaran ‘Tuk jadi orang takzim Pada taklim at-ta’ibin Menuju jalan pertobatan Kembali ke titian serambut dibelah tujuh Berkisahlah si alim: Tentang cericit burung-burung di langit Tergabung dalam kompi sayap-sayap Batalion kedelapan Yang keluar atas perintah Tuhan Pernah menghancurkan Negeri Kaum Luth Datang berbondong-bondong Dengan batu-batu berselimut bara Zaka melirik Tato gajah di lengan kanan
2
Makarenko adalah seorang pedagog Rusia tersohor.
142
MANUSIA GEROBAK
Si alim terus berkisah: Tentang pasukan Abrahah Dengan tentara gajah Yang melumat apa saja Seperti melumatnya daun pepohonan Yang terus merangsek Menuju batas kota Mekkah Hendak hancurkan Ka’bah Cericit burung-burung di langit Menghadang Batu-batu berselimut bara menerjang Tentara bergajah bagai daun-daun terkunyah Zaka kembali melirik Tato gajah di lengan kanan Rasanya ingin menghapus Tapi... Zaka tak hendak Turun tahta dari puncak Geng Gajah
3 Zaka terus terdiam Sang kala Memutar memori masa silam ELZA PELDI TAHER
143
Ketika memperkosa primadona Dolly Yang membawanya menghuni Penjara Kalisosok3 Berkenalan dengan Terpidana Mati Perampok kelas kakap Spesialis barang antik Menggegerkan Gedung Gajah Menggondol 11 koleksi permata Merampok dan membunuh saudagar berlian Membagi buat orang miskin Sang perampok berkisah: Dengan ajian gajah oleng Sang perampok beraksi Perkasa menerobos terali besi Penjara Lowokwaru4 Jejak tak terlacak 3
4
Penjara Kalisosok adalah bekas penjara yang terletak di kawasan utara Surabaya, Indonesia. Penjara ini dibangun pada masa pendudukan Belanda dan pernah digunakan menjadi tempat penahanan sejumlah tokoh kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno dan Kiai Haji Mas Mansur. Bahkan KH Mas Mansur sampai wafat di penjara ini pada tahun 1946. Penjara juga cukup akrab dengan penjahat-penjahat kelas kakap seperti Kusni Kasdut yang amat terkenal dalam aksi perampokannya di era 1970-an. Penjara Lowokwaru berada di Malang, Jawa Timur. Di penjara ini “Tokoh Kiri” Amir Syarifudin pernah disekap dan disiksa oleh penguasa Jepang dengan digantung. Kemudian sekitar tahun 1965-1966, penjara ini dipenuhi ratusan orang yang dicap golongan kiri yang menurut pengakuan tahanan Harsutejo, langsung digelandang dan dibunuh.
144
MANUSIA GEROBAK
Hari berganti Terasa sepi sendiri Hilang empati dan simpati Zaka tidak jumpai Sang perampok kelas kakap Tlah kabur menggergaji jeruji Orang-orang luar penjara jadi ketar-ketir Aksi-aksi sang perampok Membuat miris hati Polisi terus memburu Hidup atau mati Dalam aksi baku-tembak Semua anak buah sang perampok Di tapal batas kehidupan Di bibir kematian Dan suratan tangan Dalam genggam regu tembak Saat dinihari Di pantai pasir putih Zaka terinspirasi Menato lengan dengan gambar gajah Memperbesar nyali Pada aksi-aksi yang kian berani ELZA PELDI TAHER
145
Penuh ambisi sakit hati Terpinggirkan lantaran justifikasi Zaka terinspirasi Lari dari Kalisosok Lepas dari eksekusi mati Bersua anak-isteri Melepas rindu-merindu Merajut mimpi-mimpi Kehangatan mahligai di kaki bukit Nalar dan kreativitas lama terpasung terali besi Sontak saling memantik Sepotong besi5 di pojok sel Buat gangsir gorong-gorong Berujung di pojok belakang penjara Langsung bermuara di jalan raya Zaka mengejar truk sapi Menumpang sampai Stasiun Turi Ingin mengejar sepur Satu tekad satu tujuan Ke Jakarta dia kan kembali 5
Sekeping pecahan botol bisa menjadi pisau cukur memadai. Sepotong paku atau besi apa saja bisa dijadikan pisau tajam. Bahkan, para tahanan kamp Nazi dapat membuat radio, bahkan pemancar sendiri.
146
MANUSIA GEROBAK
4 Semalam suntuk terpekur Dalam derit roda-roda sepur Surabaya-Jakarta tak terukur Terasa sekejap tiba di Stasiun Senen Sedikit gontai Zaka melangkah Ke kampung Kramat Tunggak Kawan lama telah menanti Terinspirasi seorang wali Yang bekas perampok budiman Membagikan hasil rampokan Pada orang-orang miskin dan papa Kisah seorang wali yang menggores Kuat dalam benak Zaka ketika masa kanak Semakin kuat tekad Tatkala baca cerita Robbin Hood Perampok baik hati Dari desa kecil Nottingham, Inggris Zaka dan kawan lama Berkongsi dalam Geng Gajah Satu demi satu Si kawan lama mencari ELZA PELDI TAHER
147
Calon gangster Yang mau ditato gambar gajah oling Yang mau berbagi dengan kaum papa Yang pantang melukai korban Geng Gajah Belasan gangster Dengan nyali besar Mulai merambah Jakarta Menyasar toko emas dan nasabah bank Cikini, 1979 Gempar Geng Gajah beraksi Dengan lima pistol Colt kaliber 38 Satu granat nanas Dan puluhan butir peluru Empat toko emas dikuras Puluhan kilogram terampas Lalu Zaka dan gengnya kabur Nyaris tanpa bekas Polisi datang kemudian Cuma mendapati bekas-bekas pijak kaki
148
MANUSIA GEROBAK
Kampung Bali, Tanah Abang, 1985 Dua karyawan CV Bambu Kuning Dengan mobil berjeruji Hendak setor tunai ke bank Mobil Geng Gajah berhenti menyilang Dua motor anak buah Zaka menyamping Acungkan pistol di jendela karyawan nahas Dua orang polisi patroli melintas Mencoba sigap menyergap Terlibat aksi baku tembak Dua anak buah Zaka tewas Zaka dan tiga kawannya kabur 6 Zaka pun buron Dia lari dari Panarukan sampai Anyer Masuk sebuah goa nan gelap dan angker Berharap bisa menghilang Tapi, dia ditangkap tentara Yang latihan operasi militer Meja hijau telah menunggu Dakwaan jaksa berlapis-lapis: Merampok toko emas ELZA PELDI TAHER
149
Merampas nasabah bank Menembak mati polisi Kabur dari Penjara Kalisosok Menebar rasa takut akan kejahatan Hukuman mati hampir pasti Cuma keajaiban yang memperingan Dan rasa adil nurani sang hakim Ketika sampai pledoi Zaka hanya berucap “Saya bagi hasil jarahan untuk orang miskin” Lalu... Tatkala tiba sang hakim jatuhkan vonis Zaka dihukum seumur hidup Di Penjara Permisan, Nusakambangan6 6
Semula di Nusakambangan terdapat sembilan penjara untuk narapidana dan tahanan politik. Kini, yang masih beroperasi tinggal empat, yaitu Penjara (sekarang istilahnya Lembaga Pemasyarakatan [LP]) Batu (dibangun 1925), LP Besi (dibangun 1929), LP Kembang Kuning (tahun 1950), dan LP Permisan (tertua, dibangun 1908). Lima lainnya, yaitu Nirbaya, Karang Tengah, Limus Buntu, Karang Anyar, dan Gleger, telah ditutup. Beberapa pesakitan terkenal yang pernah “mampir” di Nusakambangan antara lain Johnny Indo (pernah melarikan diri namun tertangkap kembali), Kusni Kasdut, sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Tommy Soeharto, Bob Hasan, Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas.
150
MANUSIA GEROBAK
7 Hari-hari sunyi di Permisan Bersama orang-orang Dengan catatan kriminal Kekerasan yang melegenda Syahdan, sewaktu datang bulan puasa Seorang napi kriminal yang dikenal sadis Menjalani ibadah puasa Di akhir bulan puasa Mulut si napi dibasahi Takbir dan tahmid Dalam derai air mata Dan sesak dada penyesalan Karena khilaf menzalimi sesama manusia Zaka termangu Dalam jiwa yang hampa Tak tahu hendak ke mana Segunung dosa tak terampun Dia kembali teringat orang alim di Banceuy Pasukan bergajah kalah dari cericit burung di langit Ada janji dari Allah Yang Maha Pengampun “Maka barangsiapa bertobat ELZA PELDI TAHER
151
(Di antara pencuri-pencuri itu) Setelah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri Sesungguhnya Allah menerima tobatnya”7) Tak ingin gunung dosanya tak terampun Zaka pilih ikut taklim Permisan Dia ingin membaca syahadat Bertekad tobat Meretas kehidupan baru Belajar membaca Al-Qur’an Mendalami aqidah, akhlak dan syariah Dalam hubungan sesama napi Dia berbagi keterampilan Cara mengasah batu akik yang baik Tidak terasa Hukuman seumur hidup Jadi limabelas tahun Bahkan, lebih singkat lagi Cukup duabelas tahun dijalani
7
Terjemah Al-Qur’an Surat al-Maa’idah ayat 39.
152
MANUSIA GEROBAK
8 Jakarta, 1997 Zaka kembali menghirup dunia bebas Tekadnya telah bulat Menjadi muslim yang utuh Itu pula, titik mula Ke rumah dai sejuta umat Belajar membangun hubungan sesama manusia Ke rumah raja dangdut Belajar berdakwah sesuai irama Ke pesantren Krapyak Belajar manajemen pendidikan Relasi dengan para kepala penjara Dirajut dalam jejaring silaturahim Dan kini Hari-hari Zaka dilewatkan Dari penjara ke penjara Mengenalkan Islam Sebagai jalan keluar dari persoalan Bukan sebatas dosa dan pahala Surga dan neraka
ELZA PELDI TAHER
153
Mengajarkan jalan lurus Kumpulan noktah-noktah putih Bagai cericit burung-burung di langit Menjadikan tentara bergajah seperti daun-daun terkunyah.
154
MANUSIA GEROBAK
Tentang Penulis ELZA PELDI TAHER, lahir di Muara Labuh, 18 Desember 1962. Saat ini sebagai pekerja sosial. Menempuh studi di FISIP UI dan IKIP Jakarta, 1982. Pada tahun 1983-1988 bersama beberapa teman mendirikan Kelompok Studi Proklamasi. Lalu, pada tahun 1988 mendirikan Lembaga Kajian Masyarakat Indonesia. Pada tahun 1996, bersama Komaruddin Hidayat dan Nurcholish Madjid mendirikan SMU Madania. Menjadi penulis dan editor beberapa buku, antara lain menulis buku Reaktualisasi Hukum Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali (Paramadina, 1993), Mahasiswa dalam Sorotan, Indonesia dan Masalah Pembangunan, Agama dan Kekerasan (Kelompok Studi Proklamasi, 1984), editor buku Nurcholish Madjid, Pintu-puntu Menuju Tuhan (Paramadina, 1994), Demokrasi dan Proses Demokratisasi Indonesia (Paramadina, 1993), Soen’an Hadi Poernomo, Birokrat Unik (LKMI, 2011). Aktif menulis di berbagai media antara lain Kompas, Media Indonesia, Panjimas, Matra, Femina, Republika. Kini ia adalah General Manager pada PT Duo Rajawali Proraga, FutsalCamp, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Pria beralamat email
[email protected] ini, bangga menjadi kreator 5 buah akun twitter, yakni @elzataher, @motivasiilmu, @twetbijak, @filecaknur, dan @kamu_perlutahu.
ELZA PELDI TAHER
155
Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Saya kaget membaca judul buku puisi: Manusia Gerobak. Apa yang Elza ungkapkan dalam buku ini bukan sekedar karikatur, tapi realitas yang berlangsung di sekeliling kita. Kebetulan saya bersentuhan langsung dengan Manusia Gerobak. Di dekat tempat saya tinggal sekarang, di Jalan Senin Raya, tinggal seorang Manusia Gerobak: seorang kakek tua yang hidup sebatang kara seperti ia tulis di dinding gerobaknya. Rupanya dia mengidap penyakit kusta hingga terkucil dari lingkungan keluarganya. Dia hidup dari rezeki yang dia peroleh dari Tuhan melalui tangan orang-orang yang baik hati dan mempunyai rasa peduli terhadap sesama yang menderita. Anak manusia yang diselimuti kesengsaraan seperti dialami Manusia Gerobak dalam beragam bentuk yang lain masih banyak jumlahnya. Elza, melalui puisinya, mengungkapkan realitas itu. Selamat Elza!
Penulis buku ini punya sensibilitas kemanusiaan untuk mengekpresikan kegelisahan batinnya tak cukup dengan esai dan artikel, tapi esai yang dipadukan dengan puisi. Puisi-puisi jenis ini seharusnya memang diterima sebagai upaya untuk memperkaya pengucapan dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Apakah karya jenis ini punya nafas panjang untuk menyuguhkan nilai yang teruji? Ketika sastra dituduh terpencil, megah bermukim di menara gading, Elza masih punya kepercayaan bahwa duka kamanusiaan bisa menemukan kendaraan lewat puisi esai seperti yang ditulisnya ini. Saya turut menyambut kehadiran Puisi Esai, dengan alasan bentuk-bentuk baru dalam kesusastraan perlu dicari, diburu, dan diberdayakan. D. Zawawi Imron, penyair
MANUSIA GEROBAK
Djohan Fffendi, pembaru Islam, pejuang pluralisme
Kumpulan Puisi Esai ELZA PELDI TAHER
Kelebihan puisi adalah mampu mewadahi dan mengekspresikan pahit-manisnya realitas hidup dalam bahasa yang singkat, padat, namun memiliki kedalaman pesan dan makna. Di situ berlangsung dialog imajiner antara penulis dan pembacanya untuk sama-sama menangkap realitas yang kadangkala memang gramatika verbalformal tidak mampu mewadahinya. Dalam himpunan puisi ini, Elza Peldi Taher menyajikan renungan kontemplatifnya terhadap sebagian realitas sosial yang sangat menyentuh.
Kumpulan Puisi Esai
ELZA PELDI TAHER
Manusia Gerobak Pengantar
D. Zawawi Imron Ilustrasi
Herry Dim