Ruh Estetika Sastra Kuntowijoyo*)
D. Zawawi Imron**) * Artikel ini semula merupakan makalah yang dipresentasikan oleh penulisnya dalam seminar “Apresiasi Hidup dan Pemikiran Kuntowijoyo” yang diselenggarakan oleh MYIA CRCS bekerjasama dengan BKMS Universitas Gadjah Mada di gedung University Center - UGM pada tanggal 26 Mei 2005. Artikel ini dimuat atas ijin langsung (Ed. AWBS) kepada penulisnya. **
D. Zawawi Imron, lahir di dusun Batang-batang, Sumenep, Madura. Sejak tamat Sekolah Rakyat
(Sekolah Dasar) ia melanjutkan belajar di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Sumenep, selama 18 bulan. Buku puisinya Bulan Tertusuk Ilalang difilmkan oleh sutradara Garin Nugroho. Buku puisinya Nenekmoyangku Airmata mendapat penghargaan Yayasan Buku Utama (1985). Buku puisinya Celurit Emas mendapat penghargaan sebagai buku puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta (1990). Puisinya mendapat penghargaan Juara Pertama lomba yang diselenggarakan oleh ANTeve (1995). Buku puisinya yang sudah diterbitkan 13 judul, dan buku cerita rakyat Madura yang ditulisnya dan telah terbit 33 judul. Buku puisinya Celurit Emas diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Henk Meyyer (diterbitkan Leiden University Press). Ia pernah mengikuti Festival Penyair Dunia di Belanda (2003). Sampai saat ini ia masih berumah di dusunnya, sembari mengasuh pesantren, sekalipun seringkali meninggalkan dusunnya untuk memenuhi seminar di berbagai kota. Abstract: In his “Prophetic Art Announcement”, Kuntowijoyo said: “My intention with the art is as religious service and pure art.” Prophetic art which done—not merely idealized—by Kuntowijoyo not only talking about inner world, because art may not cloistered from reality. This is the important of “social pious” beside ritual one. Islam’s wholeness has to cover all its deeds (muamalah). Hence, themes of Kuntowijoyo’s works always accompanied by aesthetics’ skill and supporting form. His works reflect specific style and language. As religious-service intention, prophetic art parallel with “akhlakul karimah art”, “ shirathal mustaqim art”, “ihsan art”, etc. Keywords: Prophetic art, literary esthetic, Kuntowijoyo’s masterpiece.
Pengantar Assalamualaikum w. w. Redaksi Horison Yth. Bersama ini saya kirimkan naskah “Maklumat Sastra Profetik” meskipun terlalu panjang untuk format majalah. Karena itu, mohon jangan merasa di-fait accompli dan dipaksakan pemuatannya. Anggap saja kiriman ini sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah menulisnya. Semua itu saya kerjakan karena saya terlanjur dikabarkan – terutama lewat Horison sebagai penganjur Sastra Profetik. Dan, saya merasa “berdosa” kalau tidak saya kirim ke Horison terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan segan-segan untuk tidak memuat. Mohon berita lewat telepon 0274881-XXX, terutama selepas pukul 08.00 malam.
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
1
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
Wassalamualaikum w.w. Yogyakarta, 1 Februari 2005 (Kuntowijoyo)
Itulah bunyi surat pengantar naskah Kuntowijoyo kepada redaksi majalah Horison, sebagaimana tertera di cover depan majalah Horison No. 5, terbitan bulan Mei 2005. Itulah barangkali surat Kuntowijoyo yang terakhir kepada Redaksi Horison dengan tanggal 1 Februari 2005. Karena tiga minggu kemudian, Kuntowijoyo wafat. Karangan yang berisi maklumat Kuntowijoyo yang berjudul “Maklumat Sastra Profetik” itu ternyata dimuat dalam Horison No. 5 terbitan bulan Mei 2005 bersama dengan tulisan-tulisan lain “obituari” tentang Kuntowijoyo. Tulisan itu dimuat tentu bukan karena penulisnya meninggal, tetapi memang karena penting agar orang bisa lebih memahami kesastrawanan Kuntowijoyo, lengkap dengan argumentasinya.
Ruh Susastra Kuntowijoyo Sebelum wafat, Kuntowijoyo ingin menjelaskan tentang kredo kesastrawanannya–ia tidak menyebutnya sebagai kredo–tetapi sebagai “maklumat”, sebagai pengumuman atau penjelasan kepada orang lain dan masyarakat sastra agar dirinya bahkan kepergiannya tidak menjadi teka-teki bagi orang lain. Mungkinkah ia sadar bahwa sebagian puisi-puisinya, misalnya Suluk AwangUwung, banyak kata-kata yang menyimpan misteri, tidak sekadar teka-teki? Wallahu a’lam. Tetapi, justru dengan kata-kata puitis yang menyimpan misteri itu Kuntowijoyo menjadi menarik, menggoda, bahkan mempesona sehingga pembaca ingin mengejar apa yang tersirat dan terarah dari kata-katanya. Lalu untuk apa ia membuat maklumat lagi? Menurut hemat saya, Kuntowijoyo adalah seorang sastrawan yang rendah hati, ia tidak ingin disalahpahami. Ia tidak suka memicu kontroversi. Paling tidak, dengan maklumat itu ia ingin pamitan kepada kita dengan pesan dan kesan yang indah. Bukankah Kuntowijoyo sangat menghargai “isyarat” sebagai tanda yang bermakna. Maklumat itu bisa menjadi sebuah “isyarat” bahwa ia akan “istirahat” sebagaimana tersirat pada sajaknya:
Sesudah Perjalanan
1
Sesampai di ujung engkau menengadah ke langit kekosongan yang lembayung Ayolah, ruh tiba saatnya engkau menyerahkan diri
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
2
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
Sunyi mengantarmu ke kemah di balik awang-uwung di mana engkau istirahat sesudah perjalanan yang jauh Kesadaran akan maut sebagaimana ia tulis: Ayolah, ruh / tiba saatnya/ engkau menyerahkan
diri/, ia hayati sebagai kelanjutan dari perjalanannya menuju hadirat al-Khalik. Sajak di atas adalah maklumat kepada diri (ruh)-nya sendiri tentang penyerahan (Islam). Di sini Kuntowijoyo bertemu dengan doa iftitah : “Sesungguhnya shalatku, amal ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah, Pencipta alam semesta.” Dalam “Maklumat Sastra Profetik”-nya ia menjelaskan: “Keinginan saya dengan sastra ialah sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilainilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.”2 Apa yang dinyatakan oleh Kuntowijoyo di atas adalah sebuah pilihan di tengah aneka ragam pilihan yang ada di dunia ini. Jadi, jika orang lain boleh memilih paham yang lain, kenapa Kuntowijoyo tidak boleh memilih suatu pilihan yang lahir dari kejujuran hati nuraninya? Selagi ia memilih dan mewujudkan pilihannya tanpa maksud memaksa dan merugikan orang lain, itu sah dan bebas dengan pilihannya itu. Apa lagi, sastra itu untuk ibadah, untuk pencerahan dan kemanusiaan, tentu tidak ada orang lain yang berhak menghalanginya. Kalau sekadar tidak setuju, silakan! Sebagaimana Kuntowijoyo tidak ingin membredel paham orang lain yang berbeda dengannya. Pandangan-pandangan yang lain yang berbeda bisa melakukan dialog dengan pandangan Kuntowijoyo, juga dengan pandangan-pandangan lain karena perjalanan kebudayaan adalah dialog kreatif tak kunjung berhenti. Kenapa sastra sebagai ibadah? Menurut Kuntowijoyo, Islam yang utuh itu harus meliputi seluruh muamalahnya. Kuntowijoyo berangkat dari firman Allah dalam al-Qur’an: “Masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan)” (Q.S. 2:208). Pengarang yang shalat dengan rajin, zakat dengan ajeg, haji dengan uang halal, tetapi pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah, menurut Kuntowijoyo, Islamnya tidak kaffah.3 Pandangan itu bisa dirujuk dengan tauhid, meskipun dalam maklumatnya Kuntowijoyo lebih sering menyebut iman, kaffah, profetik dan lain-lain. Tauhid di sini, tidak saja menyembah satusatunya Dzat, satu-satunya Pencipta alam semesta, yaitu Allah. Lebih dari itu, tauhid bermakna menomorsatukan nilai-nilai yang dari Allah. Alasannya, karena manusia itu milik Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kuntowijoyo tidak pernah merasa memiliki dirinya sendiri karena itu ia harus muslim (menyerah, damai) kepada Allah.
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
3
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
Berdamai dengan Allah untuk mengupayakan hidup yang bermakna, maka muncullah “Sastra Profetik” karena ingin meniru Nabi yang rahmah li al-’alamin (rahmat bagi alam semesa) sekaligus sebagai uswah al-hasanah (teladan yang baik). Meniru akhlak Nabi bagi Kuntowijoyo adalah cara yang paling benar dalam mengabdi kepada Allah. Hati yang bertauhid, taqarrub (dekat) kepada Allah, berdzikir akan membuat hati menjadi jernih dan mudah untuk mendapatkan jalan kebenaran (shirath al-mustaqim). Menurut Ari Ginanjar Agustian, kebenaran hati sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual centre, yang tidak bisa ditipu oleh siapapun atau oleh apapun termasuk oleh diri kita sendiri. Matahati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata.4 Dalam Masnawi-nya Jalaluddin Rumi menyebutkan, “Matahati punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran hakiki.”5 Seorang Kuntowijoyo ingin selalu menyelaraskan suara hatinya (baca: suara sastranya) dengan suara Tuhan. Hanya dengan bertemu Tuhan Kuntowijoyo merasakan kebebasan sejati. Jadi, semua aturan (syari’at) yang datang dari Allah tidak pernah dirasakan menyempitkan gerak hidup dan nuraninya, justru dengan cintanya kepada Allah telah menumbuhkan gerakan untuk salalu bersama irama kasih Allah. Bagi Kuntowijoyo, seperti tidak ada hidup yang lebih nikmat daripada berharmoni dengan firman-firman Allah. Dari kesadaran inilah kreativitas sastra Kuntowijoyo berkembang. Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”.6 Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan beriman kepada Allah (Q.S. 7:172). Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara kesaksian itu dengan menjaga kesucian fitrah. Menurut Robert K. Cooper, hati dapat mengaktifkan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati tahu hal-hal yang dapat atau yang tidak dapat diketahui oleh pikiran. Selanjutnya ia menyatakan: “Hati adalah sumber energi dan perasan mendalam yang menuntut kita belajar, menyatakan bersama, memimpin, dan melayani.”7 Pengabdian kepada Tuhan dengan hati yang taqarrub akan menyingkap makna-makna sehingga hal-hal yang sepele pun akan mampu menjadi batu loncatan kreatif. Alam yang disaksikan sebagai realitas tiba-tiba memandu pengalaman puitik. Sebagaimana contoh dalam puisi Kuntowijoyo di bawah ini:
Penghibur yang mulia ialah sepi Waktu bintang berkedip dan purnama Lalu pelan, mawar membuka kelopak Sedangkan engkau di tengah-tengah Sambil diam-diam P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
4
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
Sukmamu menghisap madu (Suluk Awang-Uwung, 1975:10)
Dalam sajak di atas terasa sekali betapa akrabnya penyair dengan alam. Awan, pohon, gigir bukit, dan bumi, tampil sebagai istilah lain dari “cinta.” Alam dalam jiwa Kuntowijoyo adalah suara keramahan, kelembutan dan kedamaian abadi. Tuhanlah sutradara kejadian ini. Penyair merasa damai di bawah Tuhan. Maka ia berdoa: Ya Tuhan. Kabarkanlah awan selalu jingga. Ia mohon agar Tuhan bercerita tentang awan. Warna awan itu jingga. tetapi itulah awan yang berjasa melebur duka. Kenapa awan bisa melebur duka? Karena bersahabat dengan pohon, dan seterusnya, dan seterusnya. Dengan sajak di atas, saya dibawa sang Penyair untuk memasuki sebuah dunia ruhani dengan lanskap yang begitu luas dan kaya, yang setiap kata atau benda yang disebutnya menyimpan makna sekaligus rasa keramahan yang sublim. Dalam membaca sajak-sajak Kuntowijoyo jenis ini, saya jadi bertanya, Kuntowijoyo atau alamkah yang berpuisi? Paling tidak, dari pengalaman-pengalaman dialognya dengan alam, ada kerjasama yang akrab antara alam dengan penyair karena dengan kerendahhatian (tawadhu’)-nya, penyair telah mempersilahkan alam memantul dalam hatinya. Proses pemantulan itu tentu saja dengan pergumulan olah pikir dan olah rasa, dzikir, pikir, dan olah kata-kata yang telah berharmoni untuk melahirkan karya sastra. Dengan mata kalbunya, setiap sang Penyair memandang alam, yang tampak adalah kebesaran dan kesucian Tuhan Pencipta. Angin, daun, biru langit dan semesta lainnya dirasakan membisikkan sesuatu yang agung, yang lebih dekat dengan penyair daripada urat lehernya sendiri. Kita perhatikan:
Subhanallah Kasiat langit ialah yang biru tempat rindu dikuburkan Lalu di pagi hari semi di timur mengundang Adam bersyukur Ingatlah: dari yang hampa engkau lahir dan tumbuh (Suluk Awang-Uwung, 1975:12) Ketika penyair menyebut nama benda, ia seperti berhadapan dengan Yang Menciptakan benda-benda itu. Ia menyebut laut, hatinya terbayang Yang Menciptakan laut. Karena itu, meskipun ia menyebut benda-benda biasa, ia terasa tetap bertakzim dengan Dzat yang menciptakan benda-benda itu karena benda-benda itu ada pemiliknya, Tuhan. Dialog
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
5
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
kesastrawanan Kuntowijoyo dengan alam dan benda menghasilkan keakraban dengan Pencipta alam atau Pencipta benda-benda itu. Itulah kenikmatan dan kebahagiaan yang didapatkan dari pengalaman kreatifnya. Tidak mustahil dalam sajaknya muncul ucapan-ucapan khusuk dan takzim, seperti ucapan alhamdulillah, subhanallah, Allahuakbar, dan lain-lain.
Di batas laut Garis mempertemukan Yang rendah dan yang tinggi sedangkan engkau satu-satunya sukma yang hadir secara sah Ayolah, jangan lewatkan: Alhamdulillah, tak pernah pandangmu lepas Juga ketika malam tiba Pejalan mengenal arah Dari cahaya tubuhmu (Suluk Awang-Uwung, 1975: 13)
Jangan dijaring malam Sebab sesudah itu angin tak berhenti di pohon Lalu di manakah engkau berteduh kalau hutan tenggelam? Tidak. Ruh tak berpaut di daunan. Ingatlah: Para lelaki dari gua lahir kembali dari tidur. Di depannya: Surya mengembang Allahuakbar. Waktu luluh di tangan (Suluk Awang-Uwung, 1975: 20)
Kenapa penyair berseru alhamdulillah? Karena ia yakin, “Engkau” adalah satu-satunya sukma yang hadir secara sah, kehadiran Yang Awal dan Yang Baqa (akhir tanpa berkesudahan), atau yang menurut al-Ghazali paling Nyata dari segala yang jelas. Kenapa ia berseru Allahuakbar? Penyair merasa sebagai seseorang yang selalu lahir setiap pagi bersama matahari. Dengan Allahuakbar, hanya Allah yang Maha Besar, dunia jadi kecil, waktu pun jadi kecil, dan luluh pada tangan. Dengan Allahuakbar, penyair dengan kekecilannya merasa meraih keabadian. Dengan pandangan batin seperti itulah, Kuntowijoyo merasa bersemangat hidup dalam alunan-alunan Firman. Bahasa yang dipakainya pun bahasa kreatif yang disusunnya berdasarkan
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
6
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
denyut jantung dan desiran darahnya. Baris-barisnya tersusun dari kata yang menyegarkan. Misalnya “Lalu di manakah engkau berteduh / kalau hutan tenggelam?”; “Di batas laut / garis
mempertemukan / yang rendah dan yang tinggi”; “Lalu di pagi hari / semi di timur / mengundang Adam bersyukur.” Bahasa yang indah, yang menyegarkan, tentu berangkat dari pengalaman estetik dan pengalaman spiritualnya yang dalam. Kadangkala dalam beberapa puisinya Kuntowijoyo sepintas bermain-main dengan kata-kata. Tetapi, setelah diperhatikan lagi, permainan itu memang sangat diperlukan. Perhatikan dua sajak di bawah ini:
Mimpi ialah rahmat Ketika kau tutup mata Tiba-tiba bunga bermekaran Sukmamu membuka Menghisap harum gaib Wewangi angan-angan Yang tertutup ialah yang terbuka ialah yang tertutup ialah yang terbuka Pada masanya: Kau saksikan putik berkembang. Raihlah! (Suluk Awang-Uwung, 1975: 21)
mukamu membekas rumput setelah kau cium lima kali Lewat pucuk daun bumi mengirim berkah waktu kau menggosok Pernahkah kau lihat ia gelisah? Yang dahsyat ialah yang tenang ialah yang dahsyat ialah yang tenang Ketika kau menunduk Pelan ia membisik: Assalamualaikum Lalu kau tersenyum Mengeluskan tangan (Suluk Awang-Uwung, 1975: 22)
Perhatikan larik-larik, sukmamu membuka / menghisap harum gaib / Wewangi angan-angan
/ Yang tertutup ialah yang terbuka ialah yang tertutup ialah yang terbuka /; atau pada sajak
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
7
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
berikutnya, Lewat pucuk daun / bumi mengirim berkah/ waktu kau menggosok / Pernahkah kau
lihat ia gelisah?/ Yang dahsyat ialah yang tenang ialah yang dahsyat ialah yang tenang /. Begitu lihai dan terampilnya ia memainkan kata, tak sekadar akrobatik kata-kata, sebuah permainan yang semakin menggoda dan menyegarkan. Kepenyairan
dan
kepengarangan
itu
dilakukan
Kuntowijoyo
dengan
kesadaran
transendentalnya. Hatinya bertumpu pada iman karena dengan itu ia melakukan sesuatu selalu bersama Allah. Ia seperti menjadi pelaksana dari hadis Rasulullah SAW yang artinya: “Dalam diri manusia itu ada segumpal daging, kalau baik segumpal daging itu, maka akan baik seluruh (perbuatan) tubuhnya, dan kalau buruk segumpal daging itu, buruk pula tindakan fisiknya. Ketahuilah, segumpal daging itu ialah kalbu.” Sastra profetik yang dilakukan (bukan hanya digagas) oleh Kuntowijoyo tidak hanya bicara tentang dunia batin, sastra menurutnya tidak boleh terpencil dari realitas, meskipun kata Kuntowijoyo, “Sastra itu lebih luas dari realitas,” atau sastra “membangun realitasnya sendiri.” Realitas sastra adalah realitas simbol, bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol itulah sastra memberikan arah dan melakukan kritik atas realitas.” Di sinilah Kuntowijoyo bertemu dengan “habl min Allah” (hubungan dengan Allah) dan habl min al-nas (hubungan antar-sesama manusia). Dalam agama, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Muhammad Sobary dan K.H.A. Mustofa Bisri, betapa pentingnya “kesalehan sosial” di samping “kesalehan ritual” itu. Keduanya sama penting untuk bisa meraih “kaffah”. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan, shalat berjamaah (bersama-sama) ditingkatkan 27 kali derajatnya daripada shalat sendirian karena Allah sangat menghargai kebersamaan, persatuan dan persaudaraan. Dalam membela kemanusiaan, hak asasi manusia, melawan penindasan dan melawan dehumanisasi, dan lainnya, Kuntowijoyo menampilkan amar makruf dan nahi mungkar, menyuruh perbuatan baik dan mencegah kemungkaran. Sastra telah membuat Kuntowijoyo bisa melakukan itu semua dengan cara dan bahasanya sendiri. Sastra bisa memberikan pengalaman cinta kemanusiaan yang mendalam. Iman dalam Islam harus bisa membuahkan kebahagiaan bagi siapapun (rahmah li al-’alamin). Senyum (keramahan) bisa bernilai sedekah. Minusnya cinta kemanusiaan ialah pertanda minusnya iman. Nabi Muhammad besabda, “Tidak beriman seorang kamu sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri.” Kuntowijoyo sangat sadar tentang hal ini, karena itu pengabdian kepada Allah dengan memihak kepada kebersamaan, persamaan, keadilan dan kesejahteraan manusia banyak tampil dalam cerpen-cerpen dan novel-novelnya. Suminto A. Sayuti, dalam “Catatan Kebudayaan” di majalah Horison No. 5 Mei, 2005, menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan puisi-puisinya yang lebih cenderung pada transendensi, cerpen-cerpenya lebih luas dimensi profetiknya dalam rangka melengkapkan humanisasi. Meskipun dalam prosesnya Kuntowijoyo tetap kental juga dimensi transendensinya.8
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
8
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
Dalam kesempatan ini karena sempitnya waktu dan tempat untuk membicarakan Kuntowijoyo, saya membatasi diri dengan contoh sajak-sajaknya saja. Sajak-sajak Kuntowijoyo yang mutakhir, Daun Makrifat Makrifat Daun, meskipun tetap dengan sibghah (celupan) transendensi, dimensi kemanusiaannya tampil berimbang. Dalam kumpulan itu ia menulis, “Sajak-
sajak yang Dimulai Bait al-Barzanji” dengan terjemahan (saduran?) berbagai versi yang sama-sama indah. Tetapi, juga mengisi kumpulan itu dengan sajak “Saksi Pemogokan”, “Aku Cemas Bumi Semakin Menyusut”, dan lain-lain. Kita perhatikan cinta profetik tersirat pada salah satu sajaknya:
Sebagai hadiah Malaikat menanyakan Apakah aku ingin berjalan di atas mega Dan aku menolak Karena kakiku masih di bumi sampai kejahatan terakhir dimusnahkan sampai dhu’afa dan mustadh’afin diangkat Tuhan dari penderitaan. (Daun Makrifat Makrifat Daun, 1995:63) Dalam sajak-sajaknya yang bertemakan kemanusiaan, Kuntowijoyo bertemu dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. Untuk sajak-sajak Daun Makrifat Makrifat Daun, Moh. Wan Anwar berkomentar bahwa Kuntowijoyo mengangkat persoalan sehari-hari yang menukik pada hakikat sejatinya masalah. Dengan cara itu sajak tidak mengawang di langit, tetapi akrab menapak di bumi. Selanjutnya Wan Anwar menyatakan: “Membaca sajak Kuntowijoyo sesungguhnya mengembara di antara keluasan langit dan bumi untuk mengenal dan mencintai manusia dan Keagungan-Nya.”9 Dengan sastra profetik, Kuntowijoyo telah berusaha menjadi “hamba Allah” yang baik. Apa yang dikatakannya bukan sekadar slogan karena ia mencari dan mencapainya dengan kesungguhan yang utuh. Meskipun demikian, ia tidak ingin terjebak oleh tema dan misi. Tema dalam Kuntowijoyo muncul sebagai pantulan dari realitas yang ditemukan, disaksikan, dialami, kemudian diolahnya dengan proses kreatif. Karena itu, dalam karya-karya Kuntowijoyo tema itu selalu disertai dengan kemampuan estetik dan bentuk yang sangat menunjang. Sastra sebagai ekspresi pribadi, gaya serta bahasa yang khas sangat jelas tercermin dalam karya-karyanya. Menurut Kuntowijoyo sastra profetik tidak bisa memberi arah serta melakukan kritik terhadap realitas sendiri saja, tetapi sebagai bagian dari collective intelligence. Dengan caranya sendiri sastra profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja.10 Karena itu, sastra bisa menjadi perjuangan intelektual, perjuangan kebudayaan sekaligus pengabdian kepada Allah. Dengan pengabdian itu ia mengharapkan keabadian dan kebahagiaan
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
9
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
sejati. Maksudnya, sesudah kehidupan di dunia ini, ia ingin eksis dalam kehidupan lain yang disebut dengan alam “akhirat”. Kuntowijoyo masih seperti orang Jawa yang lain, “Urip mung
mampir ngombe,” hidup ini hanya bagaikan seorang pengembara yang mampir minum, ada kelanjutan hidup yang tanpa akhir. Untuk itu, ketika hidup ia berjuang, menulis, mengajar, bekerja, dengan kesadaran transendentalnya. Kalau saya boleh bersaksi, kehidupan ritual dan sosial Kuntowijoyo untuk ukuran manusia sekarang sudah termasuk manusia saleh, ia tidak berbeda dengan sajak-sajaknya, yang cerdas, damai, takzim, menentramkan sebagaimana tertulis pada kelembutan senyumnya ketika berjumpa. Ada persamaan dan rasa persaudaraan yang benar-benar terbit dari keikhlasan jiwanya. Dengan kepribadian yang khas Kuntowijoyo, kesastrawanan Kuntowijoyo menurut hemat saya tak banyak berbeda dengan pandangan Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Fudoli Zaini, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, K.H.A. Mustofa Bisri, Abidah el-Khalieqy, Abdul Wachid B.S., Suminto A. Sayuti, dan lain-lain. Semua karya mereka diniatkan sebagai ibadah kepada Allah. Karena itu, sastra profetik bisa bertemu dengan “sastra akhlakul karimah”, “sastra shirathal mustaqim”, “sastra ihsan”, dan semacamnya.
Penutup Saya telah banyak bicara tentang paham Kuntowijoyo dalam sastra. Saya mohon maaf tidak mampu melakukan telaah kritis terhadap karya-karyanya. Sejak saya dipesan oleh panitia untuk menjadi pembicara dalam seminar ini, saya mencoba membaca karya-karyanya dengan sikap kritis. Tetapi, beberapa saat kemudian sikap kritis saya lebur oleh daya pesona sajak-sajaknya. Saya hanyut dalam arus keindahan dan kedalaman permenungannya, dan saya tidak menyesali hal itu.
Endnote 1
Kuntowijoyo, Suluk Awang-Uwung (Jakarta: Budaya Jaya, 1975).
Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005, hal. 8. 2
3
Ibid., hal. 9.
4
Ari Ginanjar Agustian, SQ, Emotional Spiritual Quotient (Jakarta: Penerbit Arga, 2001).
5
Jalaluddin Rumi, via Abdul Hadi W.M. (Ed.), Rumi Sufi dan Penyair (Bandung: Penerbit Pustaka), hal.
6
Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik”, hal. 10.
v. Robert K. Coper dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998). 8 Suminto A. Sayuti, “Selamat Jalan Kuntowijoyo”, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005, hal. 7. 7
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
10
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192
Moh. Wan Anwar, “Kuntowijoyo Menjejak Bumi, Menjangkau Langit”, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005, hal. 20. 9
10
Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik”, hal. 8.
Daftar Pustaka Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI. Agustian, Ari Ginanjar. 2001. SQ, Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Penerbit Arga. Anwar, Moh. Wan. 2005. “Kuntowijoyo Menjejak Bumi, Menjangkau Langit”, dalam Majalah Horison No. 5, Mei 2005. Coper, Robert K., dan Ayman Sawaf. 1998. Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan
dan Organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hadi W.M., Abdul (Ed.). 1985. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka. Kuntowijoyo. 1975. Suluk Awang-uwung. Jakarta: Budaya Jaya. ____________. 1995. Daun Makrifat Makrifat Daun. Jakarta: Gema Insani Press.
____________. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005, hal. 8.
P3M STAIN Purwokerto | D. Zawawi Imron
11
Ibda` | Vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2005 |178-192