Lampiran 1 Foto dan Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo adalah sejarawan, budayawan, dan sastrawan Indonesia. Sebagai intelektual dan akademisi beliau banyak menghasilkan telaah-telaah kritis terhadap berbagai masalah sosial, budaya, dan sejarah. Perhatian terhadap sejarah, sosial, dan budaya terlihat dari buku-bukunya yang banyak beredar di masyarakat. Buku-buku tersebut antara lain; Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi (1991), Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam (1997), Pengantar Ilmu Sejarah (2001), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), Radikalisasi Petani : Esai-Esai Sejarah Kuntowijoyo (2000),
Universitas Sumatera Utara
Raja, Priyayi, dan Kawula : Surakarta 1900-1915 (2004), dan Penjelasan Sejarah (2008). Semasa hidupnya, ia mengajar di jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (sebelumnya Fakultas Sastra) Universitas Gadjah Mada. Peraih gelar doktor dari Universitas Colombia, dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society : Madura 1850-1940, ini banyak menerima penghargaan atas karya-karyanya di bidang sastra. Karya sastra Kuntowijoyo antara lain terkumpul dalam buku Suluk AwangUwung (kumpulan sajak, 1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (kumpulan sajak, 1995), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1992), Hampir Sebuah Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1996), Pasar (novel, mendapat hadiah Hari Buku 1972), Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976), Mantra Pejinak Ular (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003), Rumput-Rumput Danau Bento (drama, 1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (drama, 1972), dan Topeng Kayu (1973). Karyanya tersebar pula dalam berbagai antologi. Sebagai sastrawan beliau banyak menerima penghargaan, antara lain Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk Buku Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), Penghargaan Kebudayaan dari ICMI (1995), Cerpen Terbaik Kompas (1995,1996, 1997, dan 2005), ASEAN Award on Culture (1997), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), Mizan Award (1998), Penghargaan
Universitas Sumatera Utara
Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan Sea Write Award dari Pemerintah Thailand (1999). Sastrawan kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 ini adalah alumni Universitas Gadjah Mada. Semasa mahasiswa, Kuntowijoyo mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam (Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama Dawam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya, Ikranegara, dan Abdul Hadi W.M.). Kematangannya sebagai sastrawan dan intelektual semakin terbukti dengan beberapa karya semasa dan setelah ia menyelesaikan studi S-2 (University of Connecticut, 1974) dan S-3 (Columbia University, 1980) di Amerika Serikat. Tidak banyak sastrawan Indonesia yang sukses sebagai sastrawan sekaligus sebagai intelektual dan akademisi. Kualitas dan produktivitas Kuntowijoyo menulis karya sastra sebanding dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran sosial berbasis Islam. Baik dalam sastra (khususnya prosa) maupun dalam dunia intelektual/akademisi, Kuntowijoyo menduduki posisi penting dan terhormat. Dua aktivitas itu dijalaninya dengan khusyuk, dengan perhatian dan penekanan yang seimbang. Kuntowijoyo wafat pada tanggal 22 Februari 2005 disebabkan penyakit meningo enchepalitis yang telah dideritanya selama bertahun-tahun. Meskipun menderita penyakit parah, beliau masih saja menulis beberapa buku yang baru terbit setelah kepergiannya menghadap Illahi.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2 Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo a. Pasar Novel Pasar mengisahkan lika-liku perjalanan kehidupan Pak Mantri dalam memimpin pasar kecamatan, sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan sosial dan kebudayaan. Sebagai kepala pasar, Pak Mantri harus mengelola kehidupan pasar, mulai dari menarik orang agar melakukan kegiatan jual beli di pasar, membina hubungan dengan aparatur pemerintah (camat dan polisi), bekerjasama dengan dunia usaha, baik yang profesional (bank) maupun para pedagang. Untuk menjalankan tugas operasionalnya, Pak Mantri dibantu oleh seorang pegawai/penarik karcis bernama Paijo. Pak Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan tata krama Jawa. Orang-orang mengakui hal ini, termasuk Pak Camat dan para pegawai kecamatan lainnya. Penuturan yang hangat dan lincah dari pengarang menggambarkan kepada pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar. Namun, Pak Mantri tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kesusahan bagi para pedagang pasar. Burung-burung dara milik Pak Mantri, selain mengotori pasar dan mengganggu pengunjung pasar, juga merugikan para pedagang beras , jagung, gaplek, dsb. Bukannya menyadari kesalahannya, malahan Pak Mantri menyalahkan orang-orang yang menolak kehadiran burung tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Orang berbudi adalah orang yang bertanggungjawab. Memelihara burung itu adalah amanat. Itu tanggung jawab kita terhadap yang Mencipta burung. Meskipun tidak ada undang-undangnya. Ialah hukum yang tak tertulis. Siapa menyiakan makhluk lain, ia akan disia-siakan pula, suatu kali. Dan tahukah kau, bahwa hidup itu lebih dari hanya makan untuk diri sendiri? (P:8). Burung itu peliharaan penting dan spiritual dalam budaya Jawa. Selain simbol amanat Yang Mencipta sebagaimana yang diyakini Pak Mantri, memelihara burung juga merupakan bentuk kehalusan dan mencintai keindahan. Tidak ada orang Jawa yang benar-benar orang Jawa tidak mencintai rasa halus dan keindahan. Masalahnya, cara Pak Mantri memelihara burung merugikan orang lain, bahkan merugikan negara. Selain burung itu mengganggu pengunjung dan merugikan pedagang, burung juga menyita waktu kerja Paijo yang seorang abdi negara. Pak Mantri mencampuradukkan antara kepentingan sebagai kepala pasar dan kepentingan pribadi dalam urusan burung ketika memakai tenaga Paijo. Hal ini merupakan gaya khas Kuntowijoyo yang menggambarkan tokoh Pak Mantri yang seorang priayi terpelajar, tetapi di sisi lain merugikan orang lain. Pak Mantri bicara tata krama dan mawas diri gaya Jawa, namun ia sendiri tidak mawas diri. Hari demi hari burung dara di atap kantor bank pasar semakin bertambah jumlahnya. Burung-burung bebas beterbangan ke sana kemari, mengganggu lalu lalang orang-orang di pasar, bahkan mematuki barang-barang dagangan yang dijual di pasar. Akibatnya, para pedagang tidak betah berjualan. Mula-mula mereka pindah ke luar pagar pasar sehingga memacetkan jalan umum. Kasan Ngali sebagai pengusaha kecamatan melihat peluang ini. Dibukalah pasar swasta di halaman rumahnya, tidak jauh dari pasar Pak Mantri. Berpindahlah para pedagang ke pasar
Universitas Sumatera Utara
Kasan Ngali, apalagi pasar Kasan Ngali tidak memungut bayaran sebagaimana pasar kecamatan yang dipimpin Pak Mantri. Melihat pasarnya ditinggalkan orang, Pak Mantri tersinggung bukan kepalang. Namun, ia berusaha menahan diri. Sebagai priayi tidak baik mengumbar kemarahan. Begitu keyakinannya. Namun, ketika pasar nyaris bangkrut ia merasa harus bertindak. Ia melapor kepada camat perihal “pembangkangan” pedagang pasar dan keberadaan pasar tidak resmi milik Kasan Ngali. Camat menerima Pak Mantri dengan sopan, tetapi tidak ada realisasi atas laporan itu. Meski di hadapan Pak Camat selalu sopan, hati Pak Mantri mengutuk-ngutuk dan mengatakan camat tidak tahu aturan, tidak mengerti kepriayian. Demikianlah orang Jawa, segala sesuatu disimpan dalam hati dan karena itu dalam beberapa hal jadi munafik. Motif Kasan Ngali mendirikan pasar di halaman rumahnya tidak semata-mata karena alasan ekonomi. Itu sebabnya ia tidak memungut bayaran. Motif yang paling penting, seperti kemudian ia juga membuka bank swasta, adalah unjuk diri dan kekayaan kepada Siti Zaitun, pegawai bank pasar, yang diam-diam disukainya. Sebagai lelaki kaya yang doyan perempuan, ia tidak bisa mencegah dirinya untuk menyukai Siti Zaitun. Memang pasar dan bank milik Kasan Ngali tidak banyak memberikan keuntungan ekonomi baginya. Keuntungan diperolehnya lebih banyak dari usahanya memborong gaplek dan hasil tani di musim panen untuk dikeluarkan pada musim paceklik dengan harga amat mahal. Atau meminjamkan uang kepada banyak orang di musim paceklik untuk membayar gaplek atau hasil tani lainnya di musim panen.
Universitas Sumatera Utara
Kasan Ngali adalah tengkulak dan begitulah umumnya watak tengkulak di mana pun. Ini semakin menimbulkan kebencian Pak Mantri terhadapnya, apalagi Pak Mantri tahu bahwa Kasan Ngali mengincar Siti Zaitun. Pak Mantri sendiri, sebagai bujangan tua, meski dipendam dalam hati, diam-diam menyukai Siti Zaitun. Ia pun secara terang-terangan mengutuk Kasan Ngali di hadapan Paijo. Puncak kemarahan Pak Mantri adalah ketika mendapati burung-burungnya mati bergeletakan di halaman pasar. Kemarahan semakin telak manakala menyadari hadiah daging yang diberikan Siti Zaitun kepadanya adalah daging burung peliharaannya sendiri. Ia marah dan melapor kepada polisi, tetapi tindak lanjut polisi tidak juga menggembirakan. Pak Mantri akhirnya menyerah dan menyadari keadaan. Meski kesadaran itu datangnya tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada siapa saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar dibongkar. Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa khas priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk ketika Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk dilepaskan lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya. Sekali lagi Kasan Ngali yang bermental tengkulak memamerkan kekayaan, tidak lain tidak bukan dalam rangka memikat hati Siti Zaitun dan mengejek Pak Mantri yang priayi itu. Kasan Ngali ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa.
Universitas Sumatera Utara
Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat “Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi (Pak Mantri), nilai-nilai profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank), progresivitas usaha (Kasan Ngali, wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa.
b. Mantra Pejinak Ular Masalah pokok yang menonjol dalam novel Mantra Pejinak Ular adalah perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan (mayoritas Orde Baru) dengan kelompok minoritas yang akhirnya sanggup menjebol dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya, selain semacam “catatan etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu adalah novel sejarah. Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari, orang udik yang sempat mengecap pendidikan (mula-mula SMA, lalu STSI Solo). Kemudian menjadi
Universitas Sumatera Utara
pegawai negeri yang pandai mendalang. Oleh karena itu, ia terlibat dalam proses pembangunan, perubahan sosial budaya, dan akhirnya secara tidak sengaja tercebur ke dalam dinamika politik. Ia lahir di desa, dari seorang ayah yang kurang pendidikan dan seorang ibu keturunan priayi di pedesaan. Dari pihak ibu, konon leluhur Abu Kasan Sapari masih ada pertalian darah dengan pujangga besar Ronggowarsito. Oleh karena itu, kakek dan nenek Abu Kasan Sapari dari pihak ibu, sejak kecil mengasuhnya dalam tata krama seorang priayi. Sebagai orang yang tergolong kaya di desanya, kakek-nenek Abu Kasan Sapari berharap suatu hari cucunya menjadi priayi yang antara lain
mengetahui dan menghayati kesenian Jawa, khususnya dunia
wayang dan dalang. Abu Kasan Sapari hidup serba cukup dalam asuhan kakek-neneknya dari pihak ibu, bahkan ketika kakek-neneknya bangkrut karena pabrik-pabrik tekstil modern di negeri ini mengahancurkan industri tenun tradisional yang digelutinya. Menginjak masa SMA, selepas dari pengasuhan kakek-neneknya, Abu Kasan dipungut menjadi anak angkat Ki Lebdocarito, seorang dalang di Palar yang masih memiliki garis silsilah keturunan dengan Ronggowarsito. Di rumah Ki Lebdocarito itulah Abu Kasan memperdalam pengetahuan dan kemampuan menjadi pegawai negeri, ditempatkan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu. Sejak kecil, bahkan ketika masih bayi, Abu Kasan sudah diziarahkan ke makam Ronggowarsito oleh kakeknya, ngalap berkah (meminta restu), karena kakeknya punya firasat Abu Kasan akan menjadi seorang pujangga. Perhatikan kutipan berikut.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya, “ Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan menjadi pujangga. Aku mendapat firasat ketika aku keluar dari makam ada rombongan yang membarang, menyayi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (MPU:2) Abu Kasan kecil lahir di tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan tindak–tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Nama Abu Kasan sendiri tidak luput dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang mengacu pada Abu (sahabat nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu nabi, alias Hasan), sedangkan Sapar adalah bulan ketika ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan tembang Jawa, misalnya Dhandanggula peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah catatan etnografis yang memperlihatkan pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris dengan segala rupa mitos, keyakinan, dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-temurun. Di tengah dominasi budaya agraris itulah perlahan-lahan budaya modern (kota) masuk ke desa Abu Kasan. Bangkrutnya perusahaan tenun tradisional kakeknya tidak lain oleh munculnya pabrik-pabrik tekstil dengan budaya dan teknologi modern. Demikian pula dengan dibangunnya sekolah-sekolah di luar sekolah agama (madrasah) dan sekolah gamelan (belajar mendalang). Perkenalan ayah dan ibu Abu Kasan pun sudah terpengaruh perkenalan tokoh-tokoh dalam filmfilm modern yang diputar di bioskop kota kabupaten. Sementara Abu Kasan sendiri mengenyam pendidikan SMA, menjadi pegawai negeri, mengikuti kursus cara-cara
Universitas Sumatera Utara
membangun desa (agar modern tentunya), yang artinya bersentuhan erat dengan kebudayaan modern. Pada zaman itu hampir di seluruh tempat di Indonesia sedang berlangsung modernisasi, terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa. Abu Kasan Sapari menjadi pegawai kecamatan dan oleh karena itu dia harus membangun desa. Berbekal kursus-kursus modern, Abu Kasan berhasil mengajak masyarakat di kaki Gunung Lawu untuk membangun desa: membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hakhak politik sebagai warga negara. Di bawah komando camat, bupati, dan seterusnya ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakan-gerakan penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan perekonomian desa (penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya). Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan berbagai perlombaan yang mengarah pada modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari, meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan dididik secara priayi oleh kakek-neneknya, akhirnya menjadi agen modernisasi pembangunan. Di sela-sela kesibukannya membangun desa, tepatnya pada sebuah pesta pasar malam, Abu Kasan mengalami peristiwa yang tidak masuk akal. Di tengah keramaian pasar malam, ia didatangi seseorang yang tidak dikenal, memakai ikat kepala lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak, yang mewariskan “mantra pejinak ular”. Peristiwa ini adalah bukti bahwa masyarakat tempat Abu Kasan masih berada dalam transisi tradisi Jawa-Islam dan modernisasi. Perhatikan kutipan berikut.
Universitas Sumatera Utara
“Ini rahasia. Daun dan rumput tak boleh mendengar, “kata orang itu. Di kejauhan terdengar pengeras suara dengan musik dangdut. “Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat”. “Apa itu?” “Mantra pejinak ular”. Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.” “Mantranya kok bahasa Arab, ya?” “Ya, ini semua dari Al-Qur’an...”(MPU:19). Setelah Abu Kasan mampu melafalkan mantra itu dan lelaki tua yang misterius memintanya agar puasa mutih (hanya makan nasi putih sekepal) selama tujuh hari tujuh malam. Kemudian orang itu pun menghilang. Abu Kasan yang telah memasuki alam pikiran dan dunia modern tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik (mitos). Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khusunya dalam konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian sepenuhnya memasuki kehidupan realitas (kawin dengan Lastri, mendalang, sambil tetap menjadi pegawai negeri). Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”. Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak
Universitas Sumatera Utara
berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden (Tuhan), bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan Tuhan. Simaklah kata-kata eyang (leluhur) Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya: “Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan mantra” (MPU:231). Atau kata-kata Haji Syamsudin kepada Abu Kasan yang bimbang karena mantra pejinak ular hanya bisa dibuang kalau ia sudah menemukan orang yang tepat untuk mewarisinya. Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya mantra lagi (MPU:233). Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minunabillah). Abu Kasan, pegawai kecamatan yang cerdas, terampil, jujur, dan yang lebih penting lagi pandai mendalang sehingga pandai dikenal dan dekat dengan masyarakat. Kecamatan tempat Abu Kasan bekerja dapat dibilang sukses menjalankan program pembangunan. Oleh karena itu, camat senang sekali dan sering memuji Abu Kasan. Begitu pula dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Selain sebagai pegawai kecamatan dan pawang ular, Abu Kasan adalah dalang. Ia mencoba memadukan ular sebagai simbol lingkungan dengan dalang, bersama kelompok Masyarakat Penggemar Ular (MPU) dan Pengurus Kebon Binatang, Abu Kasan mendalang tentang lingkungan dengan lakon “Perjamuan Ular”, lakon di luar pakem yang menimbulkan prokontra di masyarakat. Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal seorang perempuan yang akan dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak menolong kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik yang tidak menyukainya. Sebagai
pegawai
kecamatan,
Abu
Kasan
berada
dalam
struktur
negara/pemerintahan. Akan tetapi, karena ia berada di luar jaringan mesin politik (Partai Randu), ia berada di luar sistem. Inilah yang merepotkan Abu Kasan. Berkalikali ia ditawari menjadi calon legislatif oleh Partai Randu dan ia menolak. Ia malah mendirikan kelompok “Paguyuban Pedalangan Independen” yang segera dipahami mesin politik sebagai dalang non-pemerintah, lalu berubah menjadi dalang antiPancasila, subversif, dan sejenisnya. Ia dilaporkan mesin politik, ditangkap polisi, meski kemudian dilepaskan karena tidak ada bukti unsur subversif. Tentang kesenian dan politik, termasuk sikap Abu Kasan tentang seni dan politik, berikut jawabannya yang diberikan pada seorang wartawan.
Universitas Sumatera Utara
Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan mempergunakan seni untuk kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal kedua itu (MPU:137). AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada yang benjolbenjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni....(MPU:153). Sikap Abu Kasan jelas. Meski akan menerangi masyarakat, ia tidak akan menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Namun, karena ia menolak tawaran mesin politik, ia dipandang lain. Inilah yang membuat Abu Kasan diawasi Partai Randu yang berkuasa di bawah komando mesin politik, hingga kemudian ditangkap dan dituduh yang aneh-aneh. Akan tetapi, siapakah sesungguhnya yang berpandangan dan menggunakan kesenian sebagai alat politik. Kuntowijoyo menjawabnya bahwa pemerintahlah yang justru memperlakukan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang amat jelas kentara politisasi budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya (Anwar, 2007:97-98).
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah, Abu Kasan sebagai sosok seniman yang berpijak pada alam (seni seperti air), yang dengan jernih mampu membedakan mana bagian kesenian dan mana bagian politik, termasuk dalam dirinya sendiri. Ia mampu membedakan pegawai negeri sebagai abdi negara dengan pegawai negeri yang menyerahkan seluruh sikap dan tindak-tanduknya bagi kepentingan mesin politik. Dalam novel ini sikap Abu Kasan banyak mendapat dukungan, termasuk ketika ia ditangkap orangorang banyak yang protes. Ia termasuk sedikit dari pegawai negeri yang lolos dari jerat mesin politik. Ia telah mengalami suka duka menjadi pegawai sekaligus seniman di zaman Orde Baru, hingga kemudian Orde Baru runtuh dan datanglah zaman reformasi. Abu Kasan telah berperan dalam hal ini, melalui konsep seni sebagai air yang meratakan benjol-benjol dalam masyarakat. Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep wayang dituturkan dengan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang dipahami. Novel ini merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat Kemuning di kaki Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru hingga keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional. Pada bagian akhir ditampilkan seorang tokoh bernama Kismo Kengser (artinya “tanah tergusur”) yang mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan
Universitas Sumatera Utara
politik dan kekuasaan Soeharto di zaman Orde Baru. Oleh karena itu, Kismo Kengser meramalkan Orde Baru akan segera jatuh karena ketidakadilan sudah merajalela di mana-mana. Menurut Kismo, para pengusaha bukan lagi pamong, tapi maling betulan,
maling
berdasi,
maling
berbintang,
dan
maling
berpendidikan.
Persekongkolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Partai Randu dalam rangka memeras rakyat. Dan pada akhirnya ada pertanda bahwa sebuah pohon besar tumbang. Orang sekitar terminal mendengar suara, “Rak-rak-reketeg! Brrruuk!” Suara itu sebenarnya cukup keras, tapi tertutup oleh gemerosok hujan dan angin ribut. Lhadalah! Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! (MPU:193). Pohon beringin itu merupakan petanda bahwa Orde Baru runtuh. Abu Kasan lulus dari STSI Solo dan ia jadi sarjana. Ki Lebdocarito, ayah angkat Abu Kasan, meninggal dunia dan menunjuk Abu Kasan sebagai ahli waris seluruh perlengkapan gamelan wayang miliknya. Ki Lebdocarito adalah dalang yang setia pada pakem, sedangkan Abu Kasan dalang yang inovatif, yang sudah bersilaturahmi dengan dunia modern. Maka mantra ular yang dimiliki Abu Kasan (mitos-mitos) segera dibuang, selain mengarah kepada syirik (membahayakan tauhid Islam), tidak sesuai pula dengan dunia modern yang berpijak pada realitas, ilmu, dan teknologi. Abu Kasan memberikan ular peliharaannya ke kebun binatang, kemudian berencana menikahi Lastri, dan menjalani hidup sebagai seorang sarjana dalang.
Universitas Sumatera Utara
c. Wasripin dan Satinah Novel Wasripin dan Satinah mengungkapkan bagaimana penguasa fobia dengan agama Islam, khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos yang para penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan bila Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan Pak Modin yang dipaksa penguasa mengaku sebagai komandan NII (Negara Islam Indonesia), sebagai alasan jahat penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah. Demikianlah Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal kehidupan manusia dan seluruh organisasi, dengan berbagai cara menyingkirkan siapa saja yang dianggap subversif dan “anti-Pancasila”, sebuah cap yang sepenuhnya dirumuskan oleh kacamata penguasa. Pancasila menjadi ideologi yang terus-menerus didoktrinkan untuk melanggengkan kepentingan politik para penguasa Orde Baru. Di tengah suasana politik seperti inilah Wasripin, Pak Modin, Satinah, dan Paman Satinah hidup, yang akhirnya merampas kahidupan dan masa depan mereka. Dengan segala tipu daya, kebohongan, fitnah yang keji, dan manipulasi yang rapi, penguasa Orde Baru dapat dengan gampang menangkap dan mendiskreditkan seseorang, sebagaimana dialami Wasripin. Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang
Universitas Sumatera Utara
dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku makar...(WdS:231).
Manipulasi dan fitnah yang sempurna. Dengan cara seperti itu penguasa berharap, mereka yang membangkang atau ada indikasi membangkang, baik atas nama “ekstrim kanan” (Islam) maupun “ekstrim kiri” (PKI), akan miris dengan berita sejenis itu. Tentu saja penguasa tidak terlalu peduli, apakah ekstrim kanan atau kiri itu ada atau tidak, apakah Wasripin itu benar bersalah atau tidak. Rekayasa merupakan strategi Orde Baru untuk menutupi segala kebusukan sekaligus dalam rangka
melanggengkan
kekuasaan.
Islamofobia
(istilah
Taufik
Abdullah)
sebagaimana diuraikan Kamaruzzaman (2001:131-132) sesungguhnya sudah muncul sejak republik ini lahir. Pada masa Orde Baru, Islamofobia dibentuk oleh pemerintah dengan jargon ekstrim kanan tidak lain sebagai bagian rekayasa rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Akan tetapi, siapakah Wasripin? Betulkah ia komandan DI/TII dan berkeinginan mendirikan negara Islam? Betulkah ia bersama Pak Modin memanfaatkan surau untuk memperkuat basis pembangkangan? Novel ini membuktikan bahwa itu semua tidak benar. Wasripin adalah orang miskin. Ia lahir di sebuah desa di pantai utara Cirebon dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup miskin, amat meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima keadaan, termasuk keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang dosa dan kenistaan.
Universitas Sumatera Utara
Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di Jakarta dapat dilihat pada kutipan berikut. Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke telinganya.“Engkau laki-laki dewasa!”....Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa (WdS:4). Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa dan kehinaan.
Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan
meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara. Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khusunya Mantra Pejinak Ular, novel ini berpijak pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain sebagai novel esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan etnografis” mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari
Universitas Sumatera Utara
kehidupan dan kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah dipahami keberadaannya oleh orang-orang miskin itu. Kehadiran Wasripin di perkampungan nelayan di pantai utara diterima dengan baik, bahkan menjadi orang yang sangat dibutuhkan, karena Wasripin memancarkan harapan bagi para nelayan yang sekian lama hidup miskin dan tidak pernah lepas dari masalah. Di tengah warga nelayan Wasripin dianggap sebagai pemimpin, sesuatu yang nyaris tidak dapat dipahami oleh Wasripin sendiri yang cuma orang miskin lulusan SD. Ia dibutuhkan warga karena ternyata Wasripin “orang yang cerdas”. Ia bisa memijit, bahkan mengobati orang sakit menahun dengan pijitannya itu. Ia bisa menduga dan menafsirkan kejadian-kejadian. Ia bisa mengusir jin yang mengganggu masyarakat. Singkat kata, kehadirannya membawa keberuntungan. Pangkal semua itu adalah tidur selama tiga hari tiga malam, begitu ia tiba di surau di perkampungan nelayan. Ini peristiwa aneh, menggemparkan, membuat Wasripin secepat kilat terkenal di kampung itu. Ia dianggap sebagai Nabi Khaidir, simbol pengetahuan dan pertolongan. Dan memang dalam tidur selama tiga hari itu ia bermimpi bertemu lelaki tua yang mengajarinya banyak hal, meski tidak sepenuhnya dipahami Wasripin. Kehadiran Wasripin di kampung nelayan mirip kehadiran “Ratu Adil” di sebuah masyarakat yang sudah sekian lama menantikannya. Di titik ini Kuntowijoyo sedang memotret sebuah masyarakat yang berada dalam ketidakberdayaan: miskin, menderita,
terbelenggu,
merasa
terancam
oleh
kesewenang-wenangan
dan
ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa tiran. Bagi orang Jawa, Indonesia
Universitas Sumatera Utara
umumnya, Ratu Adil adalah simbol pembebasan yang dinanti-nantikan kehadirannya. Di tengah masyarakat semacam itu, mitos dan hal-hal yang tidak rasional mewarnai sikap dan tindak-tanduk mereka. Perhatikan tanggapan penduduk kampung nelayan berikut. “Jangan-jangan Nabi Hidhir.” “Ya, jangan-jangan Sang Nabi.” “Pasti. Baunya harum!” “Kalau begitu, akhirnya Dia mengabulkan doa kita.” “Tak sudi lagi ada yang sewenang-wenang!” “Tak sudi lagi dipaksa-paksa!” “Kita perlu pemimpin!” “Yang muda!” “Pemberani!” (WdS:20-21). Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di berbagai tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Wasripin diterima penduduk nelayan dengan sukacita. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari menjadi pegawai oleh seorang pedagang. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari pengurus beberapa partai. Namun, ia memilih tawaran kepala TPI menjadi satpam
Universitas Sumatera Utara
TPI. Di tempat inilah Wasripin tiba-tiba bisa menaklukkan jin yang suka mengganggu lokasi TPI. Wasripin semakin terkenal dan disukai masyarakat. Kehadiran Wasripin memang membawa keberuntungan. Jika ia ikut melaut maka nelayan akan mendapatkan ikan banyak. Jika ia duduk dekat seorang pedagang maka dagangan orang itu akan laku. Jika sekelompok nelayan diterjang badai di lautan, dengan menyebut nama Wasripin badai akan menghilang. Maka potret-potret Wasripin beredar dibawa orang ke mana-mana, termasuk ketika melaut, karena diyakini membawa keberuntungan. Wasripin nyaris dikultuskan menjadi mitos di tengah kehidupan nelayan. Akan tetapi, karena itu pulalah ia dicurigai pemimpin partai, tentara, polisi, intel, dan semua penguasa. Itu pulalah yang kemudian menyeret Wasripin berurusan dengan polisi, tentara, intel, para penguasa, hingga ujungnya ia difitnah, dijebak, dituduh, kemudian dibunuh. Wasripin hidup di sebuah kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik, terutama permainan Partai Randu (sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU), partai penguasa yang dapat memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi (camat, polisi, tentara) dan para penguasa. Maka tidak mengherankan ketika Pak Modin memenangkan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), atas intruksi pusat Pak Modin tidak dilantik. Ketika rakyat protes, penguasa malah memanggil Pak Modin untuk diperiksa. Pak Modin diminta mengisi formulir, semuanya tentang pekerjaan, organisasi sosial, kegiatan politik, dan kondisi keuangan. Ia harus mengisi tentang ia sendiri: orang tuanya, mertuanya, paman-pamannya, keponakan-
Universitas Sumatera Utara
keponakannya. Semua tinggal mencoretnya, tidak punya siapa-siapa. Hanya ketika harus mengisi soal anak, nampak matanya berkaca-kaca, agak raguragu. “Anakmu masuk CGMI, ya?” (WdS:89). Dan yang terjadi adalah Pak Modin dibatalkan untuk menjadi Kepala Desa oleh Bupati, tidak lain semata-mata demi keberlangsungan Partai Randu (Golkar). Begitulah kebusukan penguasa semakin menjadi. Tidak ada lagi keadilan. Tidak ada lagi moral. Bahkan ketua partai menanggung aib besar karena menghamili seorang guru yang diangkat jadi pengurus Partai Randu. Tidak ada yang bisa menyelesaikan dampak dari aib itu, kecuali Wasripin. Wasripin suka menolong siapa saja, tidak pandang bulu. Itu sebabnya ia nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya Wasripin dituduh sebagai penyebar ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang tidak lain alat penguasa untuk mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama. Sekali lagi harus ditegaskan, penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama, khususnya agama Islam. Wasripin diawasi terus-menerus oleh intel, berkali-kali dipanggil, diinterogasi dan diintimidasi, meski penguasa tidak pernah punya bukti untuk menahan dan menghukumnya. Hingga pada suatu hari Wasripin lagi-lagi ditangkap dengan tuduhan pemimpin Gerakan Pemuda Liar (GPL). Namun, Wasripin lagi-lagi tidak bisa dijerat, termasuk tuduhan berikutnya berkaitan dengan ramainya peristiwa “pembunuhan” dukun santet. Dengan alasan Wasripin orang yang pandai, penguasa menuduh pastilah Wasripin yang membunuh dukun santet. Akan tetapi, Wasripin tidak dapat dijerat. Ia tidak terbukti dan karena itu dilepaskan. Wasripin dituduh
Universitas Sumatera Utara
golput, tetapi tidak dapat dibuktikan. Wasripin dituduh PKI karena tidak punya KTP, tetapi masih dapat dielakkan. Berbagai cara terus dilakukan Partai Randu (penguasa) untuk meringkus Wasripin dan pak Modin. Sementara Wasripin dan Pak Modin semakin populer di masyarakat, strategi pun diubah. Partai Randu mencoba merayu Wasripin agar mau jadi pengurus atau calon anggota DPR, tetapi Wasripin menolaknya. Hingga pada suatu hari, Wasripin dikabarkan akan mendapat Anugerah “Adhikarta” dari Mabes di Jakarta. Pemimpin Partai Randu gerah. Segala persiapan dilakukan. Namun, menjelang hari-H, tiba-tiba ada berita pemberian anugerah dibatalkan. Semua itu atas usaha keras Partai Randu Kabupaten yang menelepon Ketua Umum Pusat agar minta petunjuk Ketua Dewan Pembina Partai Randu. Partai Randu memang lihai memanipulasi dan memaksakan keinginan. Berbagai lobi dan upaya selalu dilakukan demi kemajuan Partai Randu, termasuk memolitisasi agama. Ketika DPRD sepakat aklamasi untuk menetapkan K.H. Rifa’i Kalisasak sebagai Pahlawan Nasional, Partai Randu kelabakan. Mereka beranggapan para pengikut tarekat aliran Rifaiyah kebanyakan golput, jadi penobatan K.H. Rifa’i sebagai Pahlawan Nasional akan merepotkan Partai Randu. Partai Randu berupaya dengan berbagai cara. Akan tetapi, karena masyarakat terus mendesak, akhirnya K.H.Rifa’i dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Di sini tampak bagaimana politisasi agama berlangsung, termasuk di tubuh Badan Pengawas Agama yang menjadi antek Partai Randu.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, seperti telah dikemukakan, Partai Randu terus-menerus bekerja keras menyingkirkan orang-orang yang akan menghalangi langkahnya dalam mempertahankan kekuasaan. Maka inilah rekayasa yang berhasil melumpuhkan Wasripin hingga ia ditahan dan kemudian dilenyapkan. Wasripin ditangkap dengan tuduhan menyimpan seonggok senapan dengan granat di bawah dipan tempat tidurnya. Senjata dan granat itu sengaja disimpan intel di kamar Wasripin. Penangkapan Wasripin sudah diatur sedemikian rupa, termasuk mengajak kru televisi dan wartawan koran. Maka tamatlah riwayat Wasripin. Hal yang menimpa Wasripin, menimpa Pak Modin pula. Dengan alasan yang tidak masuk akal, Pak Modin dipaksa mengakui bahwa ia adalah Presiden NII. Bagaimana keras dan kejamnya intimidasi itu hingga pada suatu hari Pak Modin dipulangkan secara liar ke kampung nelayan dalam kondisi menyedihkan. Perhatikan kutipan berikut. Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu... “Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral, bersenjata lengkap. “Tidak, Pak.” (WdS:255). Pak Modin dipapah memasuki kampung dalam keadaan trauma di tengah penduduk kampung yang amat mencintainya. Sepeninggal Wasripin, kampung nelayan terus-menerus mengalami keributan. Penduduk memasang bendera setengah tiang atas hilangnya Wasripin. Polisi dan
Universitas Sumatera Utara
tentara mengintimidasi dan menegaskan bahwa itu merupakan pembangkangan. Para nelayan tidak mau melaut, tetapi polisi dan tentara memaksa. Kerusuhan tidak terhindarkan hingga pada suatu hari Ketua Partai Randu di desa nelayan itu mengundurkan diri dan membubarkan partai. Oleh karena nelayan tetap mogok, penguasa dengan sewenang-wenang menaikkan pajak sehingga terpaksalah para nelayan melaut seraya memanggil-manggil nama Wasripin. Adapun Satinah kembali ke desanya setelah pamannya meninggal dunia dan Wasripin menghilang tidak tahu rimbanya. Pada suatu hari, emak angkat Wasripin tiba di kampung nelayan itu, bermaksud meminta maaf kepada Wasripin dan kepada Paman Satinah yang tidak lain suami emak angkat Wasripin. Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen (1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan. Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3 Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo a. Pasar
Universitas Sumatera Utara
b. Mantra Pejinak Ular
Universitas Sumatera Utara
c. Wasripin dan Satinah
Universitas Sumatera Utara