BAB III PEMIKIRAN KUNTOWIJOYO TENTANG NILAI-NILAI PROFETIK
A. Biografi Kuntowijoyo 1. Kelahiran dan Latarbelakang Keluarga Kuntowijoyo Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang komplit. Ia banyak menyandang identitas dan julukan. Selain seorang guru besar, ia juga seorang sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis, dan juga seorang khotib. Kuntowijoyo merupakan anak dari
pasangan Martoyo dan Warastri. Martoyo sebagai pedalang dan
Warastri, yang eyang buyutnya adalah seorang penulis muskhaf Al-Qur‟an dengan tangan. Kuntowijoyo lahir di desa Ngawonggo, kecepatan Ceper, Kabupaten Klaten pada tanggal 18 September 1943. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Kuntowijoyo menempuh dunia pendidikan sekolah dasarnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten, lulus pada tahun 1956. Setamat dari SD Klaten, ia melanjutkan ke SMP Negeri Klaten, lulus pada tahun 1959. Lalu melanjutkan studi ke SMA Negeri Solo, lulus pada tahun 1962. Kemudian ia melanjutkan studinya di Fakultas Sasrta UGM Yogyakarta, lulus pada tahun 1969.1 Setelah lulus dari UGM, Kuntowijoyo melanjutkan kuliah di University of Connecticut dan meraih master (M.A., American Studies, 1
Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm. 180.
43
44
1974) dan gelar doktor (Pd.H., Ilmu Sejarah, 1990) di Universitas Columbia, dengan disertasi yang berjudul Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.2 Kuntowijoyo merupakan sosok yang dikenal sebagai seorang intelektual yang rendah hati dan bisa bergaul dengan siapa saja. Ia juga seorang intelektual muslim yang jujur dan berintegrasi tinggi, meskipun dalam keadaan sakit, Kuntowijoyo masih dengan sabar melayani bimbingan mahasiswa. Dalam perjalanan hidupnya Kuntowijoyo menikahi seorang perempuan yang bernama Susiloningsih, istrinya tersebut juga menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga telah menyelesaikan studi di Psychology Department, Hunter College of The City University if New York pada tahun 1980. Dari pernikahannya tersebut Kuntowijoyo dikaruniani dua orang anak yakni Punang Amari Puja dan Alun Paradipta.3 Dalam masa hidupnya, Kuntowijoyo mengalami serangan virus meningo anchepalitis (infeksi yang menyerang bagian otak) dan Kuntowijoyo meninggal pada hari selasa, 22 Februari 2005. Kiprah Kuntowijoyo yang selain sebagai sejarawan, Kuntowijoyo juga sebagai seorang kiai. Julukan kiai bagi Kuntowijoyo bukanlah hal-hal yang mengada-ada. Selain ia piawai dalam menjelaskan problem-problem
2
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 177. 3
Badiatul Roziqin, Op. cit., hlm. 181.
45
keislaman, dan tulisannya pun berbau Islami.4 Kuntowijoyo juga ikut dalam pembangunan dan pembinaan pondok pesantren Budi Mulia Pada tahun 1980. Kuntowijoyo menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai. Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafi‟i Maarif menyebut Kuntowijoyo sebagai sosok pemikir islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurutnya kritik Kunto sangat pedas tapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar. Kuntowijoyo sebagai pemikir islam ini, semasa kuliah ia sudah akrab dengan dunia seni dan teater karena semenjak kecil hidup dilingkungan dunia seni dari ayahnya. Kunto bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua studi Groupn Mantika, hingga tahun 1971. Di organisasi ini, ia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu‟ban Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said. 2. Setting sosial Pemikiran Kuntowijoyo Kiprah Kuntowijoyo dalam dunia menulis berawal ketika Kuntowijoyo duduk di bangku Sekolah Dasar. Kuntowijoyo ditempa oleh dunia lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja. Ketika SD, Kuntowijoyo dimasukan ke sekolah agama yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI). Disinilah Kunto kecil sangat Kagum Pada guru Ngajinya, yaitu Ustadz Mustajab yang sangat piawai
4
Badiatul Rozikin, Op. cit., hlm. 179.
46
menerangkan tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah-olah ia dan peserta didik lainnya ikut mengalami peristiwa yang disampaikan oleh gurunya. Sejak itu Kuntowijoyo tertarik dengan sejarah, yang hingga kemudian ditekuni dan serius terjun mendalami ilmu sejarah. Di MI inilah bakat menulis Kuntowijoyo mulai tumbuh. Kedua gurunya, Sariamsi Arifin (penyair) dan Yusmanam (pengarang) telah membangkitkan gairah Kuntowijoyo untuk menulis hingga akhirnya Kunto kecil gemar membaca dan menulis.5 Kuntowijoyo dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah. Semenjak kecil sudah akrab dengan dunia seni. Ayahnya yang suka mendalang, mendidiknya untuk mendalami agama dan seni. Latar belakang cetusan-cetusan pemikiran kuntowijoyo salah satunya bersumber dari pengaruh para filosof baik barat maupun timur yang tidak bisa dipungkiri ikut mewarnai hampir semua ide-ide Kuntowijoyo. Hal ini bisa dilihat dalam buku Kuntowijoyo yang berjudul Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), dengan piawai Kuntowijoyo mengajak pembaca untuk melakukan wisata akademik yakni dengan menagamati bagaimana sejarawan bekerja dan memebekali para pemabaca dengan “panduan wisata” yang berupa rangkaian review kokret atas berbagai kerja sejarawan. Tema-tema karya Kuntowijoyo antara lain menyoroti fenomena sejarah kesadaran sosial umat islam. Tentang transformasi umat islam
5
Ibid., hlm. 180.
47
dalam menyikapi perkembangan global dengan industrialisasinya, serta bagaimana agar umat islam mampu dalam melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita-cita yang diderivasikan dari misi historis islam sebagaimana yang terkandung dalam QS. Ali Imron(3) ayat 110. Gagasan pemikiran Kuntowijoyo ini di ilhami oleh Muhammad Iqbal, khususnya ketika Iqbal berbicara mengenai peristiwa mi‟raj Nabi Muhammad SAW. Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita profetik. Dalam buku yang berjudul Dinamika Sejarah Umat Islam Indoesia diterangkan bahwa Nabi telah memimpin umat dengan berhasil, dan itulah tugas sejarahnya. Dia telah mengubah superstruktur (budaya musyrik, politeis, diubah menjadi budaya-budaya tauhid, monoteis) dan mengatur kembali struktur sosial (mengangkat derajat wanita dan kaum budak pada kedudukan yang mulia). Di tengah-tengah umat Islam terdapat suatu golongan yang dipanggil Allah untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, yang mana setiap manusia adalah sebagai
48
khalifah, maka umat Islam diperintahkan Allah sebagai pengendali sejarah, subjek sejarah di tengah-tengah manusia.6 Dengan sikap berpegang teguh pada Al-qur‟an, Kuntowijoyo menawarkan bentuk penafsiran ajaran islam yang lebih fungsional yang mampu manjadi titik pijak penerapan ajaran Islam itu sendiri, mampu diterapkan dalam realitas masa kini dan disini,7 Pada periode ilmu, di tengah transformasi sosial umat Islam yang sedang berjalan dalam era globalisasi. Metode ini ia namakan strukturalisme transendental. Dari pandangan Kuntowijoyo tentang sosok ideal cendikiawan dapat disimpulkan bahwa tokoh, meskipun dia sudah meraih gelar yang tinggi, secara intelektual dan akademik, tapi belum atau tidak memiliki kepedulian terhadap persoalan sosial umat islam di sekitarnya, atau keberadaanya tidak fungsional dalam masyarakat, maka belum pantaslah ia disebut sebagai seorang cendikiawan, pergumulan Kuntowijoyo yang intens dengan ilmu-ilmu sosial dan budaya, serta kemampuan menelaah pemikiran-pemikiran para filosof, baik dari barat maupun dari islam sendiri banyak mewarnai cetusan gagasan-gagasannya dalam wacana pemikiran Islam, yang selalu menjadi tema-tema menarik untuk diperbincangkan.
6
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Shalahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 113-114. 7
Kuntowijoto, Islam sebagai Ilmu Epistimologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 27.
49
3. Sosio-historis Perpolitikan Kuntowijoyo Menurut Kuntowijoyo, pada masa orde baru terdapat beberapa perubahan masalah, misalnya politik kelas. Pada masa sebelum tahun 1965, perkumpulan politik dan kelompok kepentingan kelas banyak sekali. Kuntowijoyo beranggapan bahwa pola kehidupan politik Indonesia bersifat patron client. Pengelompokan politik tidak didasarkan hubungan atas aliran budaya maupun solidaritas kelas, tetapi berdasarkan hubungan antara patron dan client mereka, sebagai hubungan berantai tanpa terputus. Seperti ditunjukannya dengan keterlibatan para pembesar dan pejabat sebagai mesin birokrasi yang sangat efektif untuk memobilisasi massa dalam kampanye pemilu pasca 1965. Hal ini mengakibatkan perubahan sisitem ekonomi dari kapitalisme agraris menuju kapitalisme industrial.8 Memasuki masyarakat modern dan industrial, menimbulkan dua hal, Rasionalisasi dan sistemisasi. Ada tiga jalan yang ditempuh masyarakat duni dalam melakukan industrialisasi yaitu demokrasi, fasisme, dan komunisme. Sementara Indonesia, menurut Kuntowijoyo masih mancari jalan menuju industrialisasi. Dengam masyarakat yang plural, Indonesia tentunya akan jalan sendiri. Pancasila dan UUD 45 menuntut untuk menggabungkan antara nilai dan kepentingan sehingga munculah teori teodemokrasi, yaitu konsep tentang kekuasaan negara yang didalamnya terdiri dari konsep kekuasaaan (ketuhanan, kedaulatan rakyat),
8
M. Fahmi, Islam Transendental; Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), hlm. 179.
50
konsep mengenai proses (kemanusiaaan, kebangsaan), dan konsep tentang tujuan (keadilan sosial).9 Menurut Kuntowijoyo konsep teodemokrasi telah dijalankan di Indonesia namun masih tersendat-sendat. Hasil dari periode ini dapat dilihat dalam tiga bidang yaitu ekonomi Islam (ddirikankannya Bank Muamalat, bank tanpa bunga), politik praktis , serta pemikiran agama dan juga psikologi Islam. Dalam bidang politik praktis, Kuntowijoyo beranggapan bahwa PAN (Partai Amanat Nasional ) yang berdiri pada 1998, ketua pertamanya adalah M. Amien Rais, PAN menyatakan diri sebagai partai politik yang berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan, dan keadilan sosial untuk cita-cita suatu masyarakat Indonesis yang demokratis berkeadilan soaial, otonom dan mandiri. Tentang pemikiran agama, Kuntowijoyo menyebutkan pribadi yang sesuai sebagai pemikir dan paling terprogram menurutnya tidak ada ad boc, namun Kuntowijoyo mencalonkan M. Amin Abdillah dari UIN Sunan Kalijaga. Dalam pandangan Kuntowijoyo beliau memiliki tiga progam yang dirintisnya yaitu menjadikan agama sebagai gejala objektif, budaya agama yang mengikuti zaman, dan ilmu agama yang kritis.10 Tentang perkembangan psikologis islam, Kuntowijoyo tidak memperjelas keberadaannya. Hanya saja ia menambahkan, bahwa 9
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan 2000), hlm. 61.
10
M. Fahmi, Op.cit., hlm.190-191.
51
psikologi Islam masih dibawah umur dengan menyebutkan istilah nggenduki.11 4. Karya-Karya Kuntowijoyo Kuntowijoyo merupakan sosok yang mumpuni. Sejumlah identitas atau julukan yang ia sandang antara lain sebagai sejarawan, budayawan, sastrawan, kolumnis, intelektual muslim, aktifis, khatib, dan sebagainya. Melalui kemampuan menulisnya Kunto mampu menghasilkan karya-karya antara lain: a. Karya-karya Kuntowijoyo yang berupa non-fiksi, antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Dinamika Sejarah Umat Islam (1985) Paradigma Islam: Interprestasi Untuk Aksi (Mizan, 1991) Radikalisasi Petani (Bentang, 19995) Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994) Pengantar Ilmu Sejarah (Bentang, 1995) Identitas Politik Umat Islam (Mizan, 1997) Muslim Tanpa Masjid (Mizan, 2001) Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura, 1980, 1940 (Mata Bangsa, 2002) 9) Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (Mizan, 2002) 10) Metodologi sejarah (Tiara wacana, 2003) 11) Raja, Priyayi dan Kawula (Ombak, 2004) 12) Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa (Ombak, 2005) 13) Maklumat Sastra Profetik (Grafindo Litera Media, 2006) 14) Budaya dan Masyarakat (1987, terbit ulang 2006) 15) Islam sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika (Tiara wacana, 2007) b. Karya Kuntowijoyo yang berupa puisi, antara lain: 1) Suluk Awang-Awung (1975) 2) Isyarat (1976) 3) Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995)
11
Ibid., hlm. 192.
52
c. Karya-karya yang berupa fiksi, antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, novel (1966) Dilarang Mencintai Bunga-bunga, kumpulan cerpen (19992) Khotbah Di Atas Bukit, novel (1976, terbit ulang 1993) Pasar, novel(1972, terbit ulang 1994) Mengusir Matahari, kumpulan fabel (1999) Hampir sebuah Subversi, kumpulan cerpen (1999) Impian Amerika, novel (1989) Mantra Penjinak Ular, novel (2000) Topeng Kyu, drama (2001)12
5. Penghargaan yang diperoleh Beberapa penghargaan yang pernah diperoleh Kuntowijoyo, antara lain : a. Penghargaan sastra Indonesia, dari Pemda DIY (1986) b. Penghargaan penulisan sastra, dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, untuk kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1994) c. Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995) d. Satya Lencana Kebudayaan RI (1997) e. ASEAN Award on Culture (1997) f. Mizan Award (1998) g. Penghargaan Penulisan Sastra (1999) h. S.E.A Write Award, dari Pemerintah Thailand (1999) i. Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra, dari Menristek (1999) Sedangkan hadiah yang pernah diterima Kuntowijoyo adalah sebagai berikut: a. Majalah Sastra, Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1968) b. BPTNI (Badan Pembina Teater Nasional Indonesia), naskah drama Rumput-rumput Danau Bento (1968) c. Dewan Kesenian Jakarta, naskah drama Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatimah, Barda, dan Carta (1972) d. Panitia Hari Buku Nasional, novel Pasar (1972) e. Dewan Kesenian Jakarta, naskah drama Topeng Kayu (1973) f. Harian Kompas, cerpen Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995) g. Harian kompas, cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997)13 12
Kuntowijoyo, Penjelasan..., hlm. 177.
13
Ibid., hlm. 178.
53
B. Pemikiran Kuntowijoyo tentang Nilai-nilai Profetik Nilai-nilai profetik menurut Kuntowijoyo didasarkan pada tiga pilar yang berlandaskan pada surat al Imron ayat 110, yang dikenal dengan nama ISP (Ilmu Sosial Profetik) dengan penyebutan beberapa unsur, Unsur pertama adalah humanisasi. Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma‟ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.14 Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya. Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia.
14
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Banding: Mizan, 2001), hlm.364-365.
54
Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali. Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi. Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia.15 Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi 15
228-230.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interprestasi Untuk Aksi,(Bandung: Mizan, 2001), hlm.
55
transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).16 Unsur kedua adalah liberasi. Liberasi adalah pemaknaan kreatif dari nahi munkar. Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai dengan prinsip sosialisme
(marxisme,
komunisme,
teori
ketergantungan,
teologi
pembebasan).17 Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.
16
17
Kuntowijoyo, Muslim..., hlm. 366-369.
Kuntowijoyo, “Paradigma Baru Ilmu-Ilmu Islam: Ilmu Sosial Profetik Sebagai Gerakan Intelektual” , ( Jurnal Mukaddimah, N0. 7, Tahun V/ 1999), hlm. 104.
56
Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos. Transendensi adalah unsur ketiga ISP. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minûna billâh(beriman kepada Allah). Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik. Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan
oleh
agama
untuk
menyelesaikan
persoalan-persoalan
kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.
57
Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan. Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia. Surat Ali Imran (3): 110 selain menjadi landasan Kuntowijoyo dalam merumuskan tiga unsur Ilmu Sosial Profetik juga menginspirasikan akan pentingnya kesadaran dalam proses-proses sejarah. Nilai-nilai Ilahiah („Amar Ma’rûf Nahyî Munkâr) menjadi tumpuan aktifisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari etika materialistis. Pandangan kaum marxis bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis material)
58
bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran.18 Dengan ini Ilmu Sosial Profetik berniat untuk menjadi paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure. Feminisme menyatakan bahwa seks
(jenis
kelamin)
menentukan
kesadaran.
Ilmu
Sosial
Profetik
membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan begitu banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora. Heru Nugroho menyebut pandangan ini dengan istilah Hegellianisme Relijius. Pandangan Kuntowijoyo ini tidak jauh beda dengan paham idealisme para penganut Hegel. Namun ada perbedaan mendasar yaitu bahwa dalam idealisme hegellian, kesadaran rasional (ruh absolut) merupakan motor penggerak sejarah umat manusia, sedang dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik, kesadaran yang menggerakkan sejarah adalah kesadaran yang didasarkan pada nilai-nilai ilahiah.19 Ilmu sosial selama ini terombang-ambing di antara dua kutub ekstrem determinisme. Marxisme menganut determinisme materi dengan konsepnya bahwa structure menentukan superstructure, sedang sosiologi Weberian menganut determinisme kesadaran. Weber meyakini bahwa kesadaran independen dari basis material, karenanya ide bisa menggerakkan perubahan.
18
19
Kunrowijoyo, Muslim....Op. cit., hlm. 358.
Heru Nugroho,”Mencari Legitimasi Akademik Sosial Profetik”, (Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 1997).
59
Sepintas kita melihat bahwa Ilmu Sosial Profetik dekat dengan konsep Weber ini. Tapi tampaknya kesan ini keliru karena Kuntowijoyo sesungguhnya juga mengakui adanya kesadaran material. Kesadaran material adalah kesadaran yang ditentukan oleh basis materialnya.20 Pandangan deterministis, baik determinisme material maupun determinisme kesadaran, sama-sama ahistoris dan bersikap apriori terhadap realitas. Dalam logika Marxis, structure itu bersifat obyektif, dalam arti independen dari kehendak (subyektifitas, kesadaran) manusia. Karena itu kesadaran, kehendak, dan subyektifitas manusia (superstructure) menjadi tidak bermakna karena structure menentukan superstructure. Subyektifitas manusia ditundukkan di bawah obyektifitas-obyektifitas material. Dalam kenyataannya, tidak pernah ada sebuah penundukan yang berlangsung secara total. Obyektifitas material memang seringkali sangat hegemonik, tapi subyektifitas tidak pernah benar-benar mampu ditundukkan secara total. Selalu ada ruang-ruang emansipatoris bagi subyektifitas kesadaran manusia untuk keluar dari hegemoni materi. Sebaliknya, logika determinisme kesadaran akan menyatakan bahwa subyektifitas, ide, dan kesadaran itulah yang akan menentukan structure (basis material) karena superstructure menentukan structure. Pandangan ini menafikan realitas bahwa terdapat orang-orang yang kesadarannya bersifat sangat materialistis. Kesadaran material adalah kesadaran yang sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi materialnya. Karena itu, kedua bentuk determinisme itu sama-sama
20
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,cet. 2, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 224.
60
bermasalah,
karena
realitas
sesungguhnya
bersifat
dialektis,
tidak
deterministik. Realitas sosial berjalan di atas ketegangan dialektis antara structure dan superstructure, antara basis material dan kesadaran, antara obyektifitas material dan subyektifitas manusiawi. Ilmu Sosial Profetik tidak boleh terjebak dalam logika deterministik yang bersikap apriori terhadap realitas. Artinya untuk menentukan apakah dimensi material ataukah kesadaran yang saat itu lebih berperan, Ilmu Sosial Profetik hendaknya mendasarkan diri pada pengamatan empiris atas realitas. Karena realitas itu terlalu kompleks untuk dijelaskan melalui konsep deterministik. Pandangan deterministik justru akan memaksa realitas untuk mengikuti teori, sedang teori seharusnya berdasar realitas, bukan sebaliknya. Walaupun demikian, penting bagi Ilmu Sosial Profetik untuk tetap memiliki keberpihakan etis sehingga dapat tetap memainkan fungsi kritisnya dalam menghadapi realitas. Dalam konteks inilah kita dapat menyetujui pernyataan Kuntowijoyo bahwa kesadaran diletakkan di atas basis material, karena Islam mengidealkan fungsi kritis kesadaran dalam proses transformasi sosial.21
21
Ibid., hlm. 230.