PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM NOVEL PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR, DAN WASRIPIN DAN SATINAH (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh : Giyato S 840908012
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM NOVEL PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR, DAN WASRIPIN DAN SATINAH (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun oleh : Giyato S 840908012
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 19440315 197804 1 001
Tanggal
__________
________
Pembimbing II Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, Hum. __________ NIP 19700716 200212 2 001
________
Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 19440315 197804 1 001
ii
PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM NOVEL PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR, DAN WASRIPIN DAN SATINAH (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun oleh : Giyato S 840908012
Telah Disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan
Nama
Tanda Tangan Tanggal
Ketua
Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.
_________
_______
Sekretaris
Dr. Retno Winarni, M.Pd.
_________
_______
_________
_______
Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. _________
_______
Anggota Penguji Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Mengetahui, Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. NIP 131427192
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 19440315 197804 1 001
iii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini nama
: Giyato
NIM
: S 840908012
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” adalah betulbetul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Januari 2010 Yang Membuat Pernyataan,
Giyato
iv
MOTO Verba volant, scripta manent; Kata-kata mudah sirna, namun tulisan mengabadikannya (Pepatah)
Bukan apa yang sudah, melainkan apalagikah? (Timur Sinar Suprabana)
Bukan sekadar apa yang terjadi, tetapi bagaimana bisa menjadi? (Penulis)
v
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk: 1. Kedua orang tuaku, Parto Wiyono dan Ginah, serta kakakku Mbak Gentik sekeluarga yang selalu mencurahkan cinta, kasih sayang, dan doa untukku. 2. Istriku, Ita Nurdevi yang memberi semangat di setiap langkahku. Mengingatkanku di saat aku lalai dan menyemangatiku di saat aku malas. 3. Dixie Arunnisa Sarwanto, Tafiqoh Izza Tazkia, Alif Ardhiansyah Budi Husada, dan Aryaditya Nurwahid, keponakan-keponakanku yang lucu dan selalu memberi keceriaan
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia. Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya semua hambatan dapat diatasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan dan persetujuan serta pengesahan laporan penyusunan tesis ini 3. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. selaku Sekretaris Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta 4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Pembimbing I dan selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan arahan dengan sabar hingga tesis ini dapat terselesaikan. 5. Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., selaku Pembimbing II yang dengan sabar membimbing dan menasihati penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
vii
6. Bapak dan Ibu Dosen Pragram Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti sehingga dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis. 7. Bapak dan Ibu, Papi dan Mami, kakak-kakak, dan istri tercinta yang telah memberikan doa dan semangat untuk menyelesaikan laporan penyusunan tesis ini. 8. Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberi semangat, keceriaan, dan motivasi dalam proses penelitian ini; 9. Saudara-saudara seperjuangan di Komunitas Tarbiyah, LP2R Bina Insan Cendekia, Thulabiy Club, dan Komunitas Pembaca Karanganyar yang telah memicu dan memacu semangat dalam menempuh studi. Peneliti menyadari bahwa laporan penyusunan tesis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan guna kesempurnaan laporan penyusunan tesis ini dan demi menambah wawasan pengetahuan peneliti. Akhirnya, peneliti berharap semoga laporan penyusunan tesis ini dapat bermanfaat
bagi
dunia
kesusastraan,
khususnya
pengembangan
kajian
strukturalisme genetik dan nilai-nilai pendidikan dalam novel.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman JUDUL ........................................................................................................ i PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS......................................................
iii
PERNYATAAN...........................................................................................
iv
MOTTO...................................................................................................... .
v
PERSEMBAHAN........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR.................................................................................
vii
DAFTAR ISI ................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiii
ABSTRAK...................................................................................................
xiv
ABSTRACT................................................................................................ .
xv
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................
1
B. Rumusan Masalah ............................................................................
3
C. Tujuan Penelitian .............................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................
5
BAB II. LANDASAN TEORETIS .............................................................
6
A. Landasan Teoretis ............................................................................
6
1. Hakikat Novel ...........................................................................
6
a. Pengertian Novel ...................................................................
6
b. Jenis-jenis Novel................................................... .................
8
c. Unsur-unsur Novel .................................................................
10
2. Hakikat Strukturaisme Genetik .................................................
25
a. Pengertian Strukturaisme Genetik ........................................
34
b. Struktur Sosial Budaya..........................................................
26
c. Pandangan Dunia Pengarang ................................................
27
ix
d. Kuntowijoyo sebagai Pengarang ..........................................
32
3. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ........................................
35
a. Pengertian Nilai……………………………………………. ...............
35
b. Nilai-nilai Pendidikan………………….…………………..
37
1) Nilai Pendidikan Agama ..................................................
39
2) Nilai Pendidikan Moral ...................................................
39
3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya ........................................
41
4) Nilai Pendidikan Sosial ...................................................
42
5) Nilai Pendidikan Kepahlawanan .....................................
43
c. Cara Mengukur Adanya Nilai Pendidikan dalam Novel ......
44
B. Penelitian Lain yang Relevan ..........................................................
50
C. Kerangka Berpikir ............................................................................
51
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................
52
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................
52
B. Metode Penelitian ............................................................................
53
C. Pendekatan Penelitian ......................................................................
53
D. Sumber Data .....................................................................................
53
E. Teknik Cuplikan ..............................................................................
54
F. Prosedur Penelitian .........................................................................
54
G. Validitas Data ..................................................................................
55
H. Analisis Data ....................................................................................
56
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ...........................
57
A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo ........... .........................
57
2. Deskripsi Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ..... ..................................................................
73
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ........................... 148
x
4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ..................................................... 162 B. PEMBAHASAN 1. Religius Profetik sebagai Pandangan Kuntowioyo........... ...............
167
2. Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ..... ..................................................................
179
3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ........................... 182 4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ............................................................... 199
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. ...................................
201
A. Simpulan.................................................................................. ......... 201 B. Implikasi............................................................................................
203
C. Saran................................................................................................ .. 209
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 210 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ..........................................................
xii
52
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
Kerangka berpikir ........................................................................................
51
Bagan Model Interaktif Miles & Huberman ..............................................
57
xiii
ABSTRAK Giyato. S 840908012. “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) pandangan dunia Kuntowijoyo dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (3) struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; dan (4) nilai pendidikan novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah;. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Sumber data penelitian ini adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, karya-karya Kuntowijoyo yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian. Teknik analisis cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu : (1) reduksi data (data reduction); (2) sajian data (data display); dan (3) penarikan simpulan (conclution drawing). Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahap mencakup: (1) tahap eksplorasi dan memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus, (3) tahap pengecekan dan keabsahan data. Berdasarkan analisis data melalui pendekatan strukturalisme genetik, dapat disimpulkan: (1) Pandangan dunia Kuntowijoyo meliputi pandangan religius profetik yang meliputi misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan moral; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, dan sudut pandang; (3) struktur sosial budaya masyarakat novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi proses kreatif, latar sosial budaya masyarakat (religiusitas dalam masyarakat Jawa, seni budaya Jawa, mitos masyarakat Jawa, perilaku dan kesenangan masyarakat Jawa, penggunaan bahasa dalam masyarakat, prinsip hidup masyarakat Jawa, interaksi sosial dalam masyarakat Jawa, pewarisan kepemimpinan, penyampaian kritik), penokohan sebagai perwujudan sosok masyarakat Jawa; (4) dan nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi nilai pendidikan agama, moral, adat/budaya, sosial, dan kepahlawanan.
xiv
ABSTRACT Giyato. S840908012. The World Vision of Kuntowijoyo in Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah (A Study of Genetic Structuralism and Education Value). Thesis: Indonesian Language Education Program, the Postgraduate of the University of Sebelas Maret. The aim of this research is to describe : (1) the world vision of Kuntowijoyo in in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (2) the Text Structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (4) education value of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah. The qualitative descriptive research was done using content analysis method. Data source of this research is novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah written by Kuntowijoyo, other literatures of Kuntowijoyo, Kuntowijoyo’s biography, comments from other authors, articles from books, newspapers, and internet which is supported to research problem. Sampling technique of this research was purposive sampling. Validity of research data was done using triangulation theory. The technique of data analyze in the research is using flow model of analyze that cover three components, that is: (1) data reduction; (2) data display; (3) conclusion drawing. Data analysis technique was done by dialectical model. The research was done in 3 steps, including : (1) exploration and general description, (2) focused exploration, (3) data validity checking. Based on data analysis by genetic structuralism approach, concluded that : (1) Kuntowijoyo’s world vision comprises prophetical religious vision includes art, social, culture, politic, economy, education, and moral value; (2) text structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah includes theme, plot, figure, background, and point of view; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah which includes creative process, sociocultural background of society (religiousness in Javanese society, Javanese art and culture, Javanese society’s myth, attitude and pleasure of Javanese society, language practice in society, life principal of Javanese society, social interaction in Javanese society, leadership inheritance, critic telling) characterization as figure realization of Javanese society; (4) education value in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah comprises religion education value, moral, tradition, social, and heroic.
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra selama ini diyakini mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden Amerika Serikat John F Kennedy begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak ini mengatakan, “Ketika Politik Bengkok, Sastra akan Meluruskannya”. Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma kemudian mengafirmasi pernyataan John F. Kennedy dengan membuat adagium “Ketika Jurnalisme Dibungkam, maka Sastralah yang akan Berbicara”. Seno Gumira Adjidharma tidak main-main dengan statement-nya, kumpulan Cerpen “Saksi Mata” terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah “saksinya”. Seluruh cerpen dalam kumpulan ini merupakan “pembocoran” fakta peristiwa kekerasan yang terjadi di Dili, Timor Lorosai saat itu. (Teguh Trianton, 2008: 3) Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang dielaborasikan
subjek
individual
terhadap
1 xvi
realitas
sosial
di
sekitarnya
menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61). Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang signifikan terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang dihasilkan pengarang. Kecenderungan ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra, pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan. Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya.
Latar
belakang
sosial
budaya
tersebut
menjadi
deskripsi
permasalahan yang diangkat dalam cerita novel. Karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang melingkupi penciptanya. Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-
xvii
sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan sastra dengan cara pandang yang berbeda yaitu strukturalisme genetik. Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra yang dilihat sebagai suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial. Karya sastra yang dipilih sebagai objek kajian dengan pendekatan strukturalisme genetik adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah
karya Kuntowijoyo dengan alasan: (1) Kuntowijoyo seorang
sastrawan besar pencetus sastra profetik, (2) novel-novel tersebut merupakan cermin realitas masyarakat; dan (3) kajian strukturalisme genetik dan nilai pendidikan terhadap ketiga karya sastra tersebut belum pernah dilakukan Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
xviii
1. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo? 2. Bagaimana struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo? 3. Bagaimana struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo? 4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan profetik Kuntowijoyo dan totalitas makna novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. 2. Mendeskripsikan struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. 3. Mendeskripsikan struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. 4. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
xix
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian ilmu sastra, khususnya pengkajian prosa fiksi (novel) dengan pendekatan strukturalisme genetik.
2. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini yaitu: a. Menambah pengetahuan pengkajian prosa fiksi para pembaca khusunya pada novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo. b. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berniat menganalisis lebih lanjut karya sastra khususnya melalui pendekatan strukturalisme genetik. c. Menjadi pengalaman yang cukup berarti bagi peneliti dan hasilnya dapat digunakan dalam usaha pembinaan apresiasi sastra di sekolah terutama dengan penanaman nilai-nilai pendidikan
xx
BAB II LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teoretis 1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Bentuk novel dianggap sama dengan bentuk roman, walaupun sebenarnya berbeda. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang yang terdapat pada roman. Novel hanya menceritakan episode yang dianggap penting saja dari kehidupan tokoh utama, misalnya masa remaja hingga berumah tangga, masa kanak-kanak hingga menikah, masa berumah tangga, dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca (misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain). Istilah tentang novel antara negara satu dengan negara lain beragam. Dalam bahasa Jerman disebut Novelle. Sedangkan dalam bahasa Prancis disebut Nouvelle. Kedua istilah tersebut dipakai dalam pengertian yang sama yaitu prosa yang agak panjang dan sederhana karena hanya menceritakan
xxi 6
maksud kejadian yang memunculkan suatu konflik yang mengakibatkan adanya perubahan nasib pelakunya. Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari kata Latin novellus yang berarti diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan “baru” karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut Robert Liddell (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali lahir adalah Famela pada tahun 1740. Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para ahli sastra. Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua pihak. Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang banyak dan setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat manusia. Goldmann (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia. Robert Stanton (2007: 90) berpendapat bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang sangat rumit,
xxii
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Itulah yang membedakan novel dengan dengan cerpen. Yang lebih menarik lagi dari novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit. Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002: 37) mengungkapkan bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya sastra yang kompleks dan memiliki unsur pembangun berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. b. Jenis-jenis Novel Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya. Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2003: 31) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas
xxiii
dunia. Dalam novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik. Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 127). Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia imajinasi. Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002: 60) memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstinsik, faktor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan
xxiv
juga dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri. Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Wellek dan Warren (1990: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki. Kenney (1966: 6-7) berpendapat, “To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole”.
Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel dibagi menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.
c. Unsur-unsur Novel Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (2002: 23) menyebutkan beberapa unsur, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.
xxv
Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengkajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik. 1) Tema Tema sering dimaknai sebagai inti cerita novel. Semua cerita yang dibangun berpusat dari satu tema. Definisi yang disampaikan Robert Stanton (207: 147) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002: 142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan. Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara nilai baik - buruk, misalnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras, dan sebagainya. Tema cerita kadang-kadang dinyatakan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya, sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya saja, misalnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan lain-
xxvi
lain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul menunjukkan tema cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, misalnya Layar Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat implisit (tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh cerita dengan tekun dan cermat. Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantara, 2009:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopamg sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Sayuti (Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagad raya. Jadi, tema dapat berfungsi sebagai penyatu unsur-unsur cerita dan juga sebagai penghubung visi pengarang dengan kehidupan nyata. Berkenaan dengan jenis tema, Burhan Nurgiyantoro (2002: 77-84) menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang ’ituitu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga
xxvii
mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, dan tema tambahan atau tema minor. Di samping itu Burhan Nurgiyantoro (200: 77-84) juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, yaitu manusia sebagai individu. Namun Herman J Waluyo(2002:12) mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; tema egoik(reaksi probadi); dan tema devine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Sedangkan tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang khalik. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema menyangkut masalah hakiki manusia dan dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat fisik, organik, sosial, egoik, dan tema ketuhanan.
xxviii
2) Alur/Plot a). Pengertian alur Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya. William Kenney (1966: 13-14) menyatakan: “ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect”. “The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns”. Foster (Budi Darma, 2004: 13) mengungkapkan bahwa plot adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh hubungan sebab-akibat. Jika rangkaian peristiwa itu tidak diikat oleh hubungan kausalitas maka itu bukanlah plot. Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan, tempat menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu bangun yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian dapat dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur bawahan atau pengisi jarak antara dua peristiwa utama.
xxix
Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut sudah
dipilih
dengan
memperhatikan
kepentingannya
dalam
membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan) ditinggalkan,
sehingga
sesungguhnya
pengaluran
selalu
memperhatikan hubungan kausalitas/sebab-akibat. Memang, hubungan kausalitas ini tidak selalu segera tampak dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam ucapan maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca harus dapat menangkap hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika banyak digresi (lanturan) dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa utama ke peristiwa pelengkap Herman J. Waluyo (2008: 21) mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut: 1). Plot adalah kerangka atau struktur crita yang merupakan jalinmenjalinnya cerita dari awal hingga akhir; 2). Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari peristiwa-periatiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;
xxx
3). Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita tokoh-tokohnya; 4). Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita; 5). Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan definisi alur adalah
pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang
menunjukkan adanya hubungan kausalitas. b). Penahapan Alur Secara teoretis plot biasanya dikembangkan dalam urut-urutan tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) exposition, yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment, yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (3) rising action, yang penanjakan konflik; (4) complication, yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.
xxxi
Bertolak dari pendapat di atas, tahapan alur adalah exposition, inciting moment, rising action, complicatipn, klimaks, failing action, dan denovement c) Jenis Plot Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan.Alur berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga, yaitu: -
Alur maju. Alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa.
-
Alur mundur, regresif atau flash back. Alur ini terjadi jika cerita dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita.
-
Alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur. Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar progresif dan regresifnya (Burhan Nurgiyantoro, 1995:153-155). Selain itu, Burhan Nurgiyantoro membagi alur berdasarkan kepadatannya menjadi dua, yaitu: -
Alur padat yaitu cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susulmenyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga apabila ada salah satu cerita dihilangkan maka cerita tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya.
xxxii
-
Alur longgar yaitu alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat (Burhan Nurgiyantoro, 2002:159-160). Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasakan sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2002: 153-163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepedatan, dan isi. Plot sebuah novel dikatakan progresif jka peristiwaperistiwa yang dikisahkanbersifat ideologis, peristiwa oertama diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemuddian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan, maaka berplot sorot balik atau flash-back. Istilah plot tunggal atau subplot digunakan pada menilik plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu mmenandakan adanya subplot. Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak
xxxiii
dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya . Sedangkan dalam novel yang berplot longgar, antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana. Pembedaan plot berdasar kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besaar, yaitu plot peruntungan, plot tokohan, dan plot pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh. Plot tokohan mengarah pada adanya sifat pementingan tokoh. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, dan perasaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis plot antara lain plot maju, mundur, dan campuran. Selain itu juga ada plot rapat dan renggang. 3) Tokoh dan Penokohan a) Pengertian Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Wahyu Wibowo (2003: 46-47) mengungkapkan
xxxiv
bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh. The characters of a book are the fictional figures who move through the plot. They are invented by the author and are made of words rather than of flesh and blood. Therefore they cannot be expected to have all the attributes of real human beings. Nevertheless, novelists do try to create fictional people whose situations affect the reader as the situations of real people would. (http://encarta.msn.com/encyclopedia_761560384_5/Novel.html) Pernyataan di atas senada dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 165) yang menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak yang terdapat pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidupdan mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan adalah cara pandang pengarang menampilkan tokoh dan penggambaran tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata. b). Teknik Penokohan Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, Robert Humpre (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 32) menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung; (2) teknik interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4) teknik solilokui.
xxxv
Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik pengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolaholah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Sedangkan teknik solilukui atau percakapan batin artinya penggambaran watak melalui percakapan tokoh itu sendiri. Sedangkan Kenney (1966:34) menyebutkan ada lima teknik penampilan watak tokoh cerita, yaitu: (1) secara diskursif yaitu pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu; (2) secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan tingkah laku (actino); (3) melalui tokoh lain yang berarti tokoh lain menceritakan tokoh tersebut atau sebaliknya; (4) secara kontekstual artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut; (5) dengan metode campuran(mixing methods) hádala metode penampilan watak melalui pencampuran teknik-teknik yang sudah dikemukakan terdahulu. Herman J Waluyo (2002: 40) menggenapi beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokoh menjadi tujuh, yaitu: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung dengan diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan terhadap keadaan
xxxvi
sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; (7) melalui dialogdialog pelakunya. Apabila tokoh-tokoh dalam suatu cerita dilihat berdasarkan perannya dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu, jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan pembaca. tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro, 2002:178-179). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik penokohan terdiri atas
teknik monolog interior tak langsung,
teknik
interior langsung, teknik pengarang serba tahu, dan teknik solilokui.
4) Latar a) Pengertian Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40), yaitu: (1) the actual geographical location, including topography scenery, even the details of a room’s interior; (2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters; (3) the time in which the action takes plece,e.g, historical period, season of the year; (4) the religious, moral, intellecctual, social, and emotional environment of the characters. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di
xxxvii
lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut. b) Fungsi Latar Latar disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini, Kenney (1966:40) menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu: 1. Membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi. 2. Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya sekadar memberi tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu. 3. Sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat. Selain ketiga fungsi tersebut Herman J Waluyo (2002: 35) menambahkan dua fungsi lagi, yaitu: mempertegas watak pelaku dan memberi tekanan pada tema cerita. Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi latar sangat penting karena kedudukannya berpengaruh dalam cerita novel. c) Unsur Latar Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: (1) Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (2) Latar waktu, berhubungan dengan maslaah “kapan”
xxxviii
peristiwa itu terjadi dan diceritakan dalam novel; dan (3) Latar sosial, menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan masyarakat, kebiasaan hidup, pandangan hidup, adat-istiadat dan cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan. (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 227–333). 5) Sudut Pandang Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 248) mendefinisikan sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik
yang
dipergunakan
pengarang
untuk
menemukan
dan
menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Percy Lubbock (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 113) mengatakan dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif. Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Namun, pandangan para pakar tersebut pada dasarnya
xxxix
memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai orang pertama, orang ketiga atau bahkan campuran. Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002: 184-185), yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku” dan disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik diaan; (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Shipley dalam Herman J. Waluyo (2002, 37) menyebutkan adanya dua jenis sudut pandang, yaitu: internal point of view dan external point of view. Iinternal point of view meliputi tokoh yang bercerita, pencerita menjadi salah satu pelaku, sudut pandang akuan, dan pencerita sebagai tokoh sampingan bukan tokoh hero. Pengarang memakai tokoh ‘aku’ sebagai penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan pribadi pengarang.
Tentu
saja
ini
menyesatkan
dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor adalah cerita dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘saya’; sedangkan sudut pandang orang
xl
pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang). Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’ hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama. External point of view meliputi gaya diam dan gaya penampilan gagasan dari luar tokohnya. Tokoh utama cerita dengan point of view ini adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang bisa bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), bisa pula mendudukkan diri di luar cerita (objective point of view). Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Karya sastra lama umumnya menggunakan teknik point of view ini. Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. 2. Hakikat Strukturalisme Genetika a. Pengertian Strukturalisme Genetik Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan sastra dengan cara pandang yang berbeda yang dikenal dengan pendekatan strukturalisme genetik.
xli
Pendekatan strukturalisme genetik merupakan salah satu bentuk pendekatan sosiologi sastra yang dicetuskan oleh Lucien Goldmann. Menurutnya, pendekatan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pandangan dunia pengarang, stuktur teks, dan struktur sosial. Karya sastra dipandang sebagai fakta kemanusiaan sehingga karya sastra tidak dapat dilepaskan dari ciri-ciri dasar perilaku manusia. The first basic principle of genetic structuralism is that human facts must be related to the behavior of a subject in order to be understood. Human facts are the result of human behavior and can be very precisely defined. Man transforms the world arround him in order to archive a better balance between himself (as subject) and the world. (Goldmann, 1981: 40) Goldmann, dengan pendekatan strukturalisme genetik, mengembangkan konsep tentang pandangan dunia. Sebagaimana dikatakan Faruk (2003: 43) bahwa teori strukturalisme genetik Goldmann mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Atas dasar hal-hal di atas, Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang bernilai sastra, yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial. b. Struktur Sosial Budaya
xlii
Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat (literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004: 44) mengungkapkan teorinya tentang sastra sebagai pencerminan masyarakat. Ia menyatakan bahwa seni (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan bagaikan
sebuah
tustel
foto,
tetapi
melukiskan
kenyataan
dalam
keseluruhannya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi lebih dari itu, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel. Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan kenyataan berhubungan erat dengan warna lokal. Cerita rekaan akan senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan. Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek. (Herman J. Waluyo, 2002 : 54).
xliii
Konteks karya sastra
yang cenderung memantulkan keadaan
masyarakat menjadikan karya sastra sebagai saksi yang zaman (Suwardi Endraswara, 2003: 89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumetnasikan zaman sekaligus alat sebagai alat komunikasi dengan pemacanya (masyarakat itu sendiri). Sastra yang ditulis pada suatu kurun tertentu pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu (Luxemburg dalam Sangidu, 2004: 40). c. Pandangan Dunia Pengarang Menurut Lucien Goldmann pandangan dunia pengarang merupakan istilah yang paling tepat dan cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasangagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia berkembang sebagai hasil situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. World views are historical and social facts. They are totalities of ways of thinking, feeling, and acting which in given conditions are imposed on men finding themselves in a similar economic and social situation, that is, imposed on certain social groups. Through these latter, it is clear that new world views do not appear all at once. (Goldmann: 1981: 112) Dari pandangan ini tampak bahwa pandangan dunia merupakan sebuah sintesis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak. “ia” akan menggerakkan aktivitas hidup dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan sosial.
xliv
Pengarang
sebagai
subjek
individual
mencoba
menghasilkan
pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 59). Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat problematic hero merupakan struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini akan sematamata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia ini tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoretis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 61). Pandangan dunia itu merupakan kesadaran yang munkgin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Dalam hal ini kesadaran yang mungkin dibedakan dari kesadaran yang nyata. Kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat. Individuindividu itu menjadi anggota berbagai pengelompokkan dalam masyarakat, seperti keluarga, kelompok sekerja, dan sebagainya. Ditambah dengan kompleksnya kenyataan masyarakat, individu-individu itu jarang sekali mempunyai kemampuan untuk menyadari secara lengkap dan menyeluruh mengenai makna dan arah keseluruhan dari aspirasi-aspirasi, perilakuperilaku, dan emosi-emosi kolektifnya (Faruk, 2003: 16).
xlv
Dalam esainya yang berjudul “The Epistemology of Sociology” Godlmann (1981: 55-74) mengemukakan pendapat mengenai karya sastra pada umumnya yakni (1) karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dan (2) dalam usahanya mengekspresikan pandangan dubia pengarangnya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Selanjutnya Goldmann mengemukakan bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Namun, dalam karya sastra, hal ini amat berbeda dengan kedaan nyata. Kesadaran tentang pandangan dunia ini adalah kesadaran mungkin, atau kesadaran yang telah ditafsirkan. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa karyawa sastra sebenarnya merupakan ekspresi pandangan dunia yang imajiner. Secara garis besar, ciri-ciri genetis karya seni, khususnya karya sastra, yang melekat pada struktur sosial, dapat ditunjukkan dengan adanya sejumlah persamaan, antara lain: (1) sama-sama dicirikan oleh adanya totalitas dan unsur, (2) persamaan dalam eksplorasi tokoh-tokoh dan peristiwa, (3) persamaan dalam penggunaan simbol-simbol sebagai alat, (4) persamaan tujuan, yaitu transedensi dan transformasi, dan (5) persamaan hakikat, yaitu abstraksi dari rekonstruksi ide-ide, sastra dalam bentuk rekonstruksi naratif, struktur sosial dalam bentuk rekonstruksi perilaku. Di sinilah analisis sosiologi sastra menunjukkan kelebihannya di antara ilmu sosial yang lain, yaitu dalam
xlvi
menunjukkan fungsi-fungsi pandangan dunia sebagai mediasi, sehingga memungkinkan terjadinya dialog antardisiplin (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 233) d. Kuntowijoyo sebagai Sastrawan Pencetus Sastra Profetik Kuntowijoyo telah melahirkan karya-karya luar biasa, baik dalam kajian keislaman, sejarah, mau pun cerita pendek dan novel. Lebih dari 50 judul buku ia hasilkan selama masa sakitnya, 1992-2005. Belum lagi kolomnya di berbagai media. Karya sastranya, antara lain Hampir Sebuah Subversi (1999) Pasar (2000), Fabel Mengusir Matahari (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), 2001. Tiga kali berturut-turut Cerpen-cerpennya menjadi Cerpen Terbaik Kompas, yiatu “Laki-laki yang Kawin dengan Peri” (1995), “Pistol Perdamaian” (1996), dan “Anjing-anjing yang Menyerbu Kuburan” (1997). Hingga ia pernah menelepon redaksi Kompas untuk meminta agar dirinya tidak lagi dimenangkan, seandai memang layak untuk menang lagi. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan SEA Write Award (1999) dari Pemerintah Thailand.
xlvii
Memang, ia mudah lelah. Mengikuti pertemuan atau membaca 2 jam sudah sangat melelahkan baginya. Sewaktu masih bugar, ia membaca 8 jam dalam sehari. Sebelum sakit, konon 200 halaman buku dilalapnya tiap hari, kebanyakan pada pagi hari sebelum dan sesudah shubuh, serta malam hari menjelang tidur.Tapi, tetap, dengan keadaan sakit pun, hasilnya begitu optimal. Bila kita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo— Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular, Wasripin dan Satinah, dll— maka setidaknya dapatlah kita memiliki sebuah gambaran tentang sikap pengarang terhadap karya yang dihasilkannya. Dalam sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan dua macam sastra yang bertentangan; pertama, sastra universal humanistik-emansipatoris-liberasi. Kedua, sastra religius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka sastra yang dipilih dan dicita-citakan oleh Kuntowijoyo adalah jenis sastra (Islam) profetik, yang menggabungkan keduanya. Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”. Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan beriman kepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara kesaksian itu dengan menjaga kesucian fitrah. (Ibnu Anwar, 2008: 2)
xlviii
Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik” Kuntowijoyo benar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapat strukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasi yang melebihi kognisi pengalamannya. Kuntowijoyo (2005: 80) menegaskan idealismenya tentang sastra, “Keinginan saya dengan sastra adalah sastra sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal.” Penulis novel Pasar dan Khotbah di Atas Bukit ini terus berkarya sampai detik-detik terakhir hayatnya. pengantar
Ia masih sempat memberi kata
kumpulan puisi Taufik, Malu Aku Jadi Orang Indonesia.
Kuntowijoyo meninggalkan dua naskah yang belum sempat diedit, yaitu Pengalaman Sejarah (Historical Experience) dan Sejarah Eropa Barat (pengembangan
skripsinya
pada
1969),
serta
ide
tulisan
untuk
Muhammadiyah dalam rangka muktamarnya. Kunto sudah meninggal pada hari Selasa, 22 Februari 2005. Tapi ide dan semangatnya masih hidup. (Ekky, 2009: 4) Kuntowijoyo
sebagai
pencetus
maklumat
sastra
profetik
tentu
mempunyai pandangan yang khas. Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh komunisme, sastra memilih realisme sosialis dengan agresif dan berusaha
xlix
mematikan aliran lain. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika, itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. (Kuntowijoyo, 2005: 10) Etika tersebut disebut profetik karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang Prophet. Kuntowijoyo terinspirasi kutipan ungkapan sufi dalam buku Muhammad Iqbal, sang sufi mengagumi peristiwa Isra’-Miroj. Meskipun Nabi Muhammad telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Menurut Kuntowijoyo (2005: 10-11) konsep etika profetik ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Imron ayat 110. ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, danmencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah.” Etika profetik berisi tiga hal yaitu humanisasi (’amar ma’ruf), Liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minunna billaah). Liberalisme memilih humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih transendensi. Etika profetik menginginkan ketiga-tiganya. Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi pemikirannya. Apa yang disampaikannya senada dengan khitah perjuangan Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan khurafat. (Sabili, 2003: 134) Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam ’amar-ma'ruf nahi
l
mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah. Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.” (www.muhammadiyah-online.com) Menurut Suminto A. Sayuti, (2005: 5) Etika profetik yang digagas Kuntowijoyo merupakan perwujudan strukturalisme transendental. Dalam kaidah sastra profetik harus ada kesadaran bahwa sastra dimaknai sebagai ibadah. Kuntowijoyo pun menyatakan idealismenya dalam bersastra, “Inilah cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air.” Menurut Moh. Wan Anwar (2005: 29) persoalan manusia dan kehidupan masyarakat
modern ditampilkan Kuntowijoyo dalam atmosfer
budaya Jawa dan pemikiran Islam. Hantu, takhayul, jin, peri, firasat, kepercayaan orang-orang
Jawa yang irasional dan emosional dihayati
Kuntowijoyo dalam perspektif Islam. Ia menghadapkan dua wawasan tersebut, tanpa membenturkannya. Sastra
Profetik
memiliki
kaidah-kaidah
kegiatannya. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
li
yang
memberi
dasar
1. Epistemologi Strukturalisme Transendental (berdasar kitab suci yang transenden dan mempunyai struktur yang utuh, khususnya dalam terminologi Islam) 2. Sastra sebagai ibadah (Islam adalah agama yang utuh, kaffah, (QS. AlBaqarah: 208. Seorang muslim tidak dikatakan Islamnya kaffah jika dia mengamalkan rukun Islam dengan tertib, tetapi pekerjaannya tidak diniatkan sebagai ibadah) Keterkaitan antar-kesadaran (Tugas kemanusiaan sastra profetik adalah memperluas ruang batin, menggugah kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan. Hablumminallah dan hablumminannas.) Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa etika profetik Kuntowijoyo mengarah pada pandangan religius. Pandangan religius tersebut bukan religius sufistik, melainkan religius profetik yakni mengarah pada keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama. 3. Nilai Pendidikan dalam Novel a. Pengertian Nilai Menurut Max Scheler (dalam Paulus Wahana, 2004: 5) manusia tidak dapat hidup tanpa nilai. Nilai sebagai sesuatu yang membuat berharga layak diingini, dijunjung tinggi, dicita-citakan sebagai pemandu dan pengarah dalam kehidupan manusia. Filsafat nilai Max Scheler memberi kontribusi dalam mengelola realitas pluralitas yang ada untuk dilihat sebagai perbedaan bukan pertentangan.
lii
Realitas dalam karya sastra yang baik sebagai hasil imajinasi dan kreativitas pengarang terkadang dapat memberikan pngalaman total pada pembaca. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang pengarang bukan saja mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filasafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang problema hidup dan kehidupan. Bermacam-macam wawasan itu disampaikan pengarang lewat rangkaian kejadian, tingkah laku dan perwatakan para tokoh, ataupun komentar yang diberikan pengarangnya. Dengan adanya bermacam-macam wawasan yang dikandung dalam karya sastra, pada dasarnya suatu karya sastra yang bermutu dan berbobot akan selalu mengandung bermacam nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun secara fungsional mempunyai ciri yang mampu membedakan antara satu dengan yang lain. Suatu nilai jika dihayati seseorang, maka akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindakdemi mencapai tujuan hidupnya. Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan, sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya yaitu berupa ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Wiyatmi (2006: 73), nilai berarti suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu hal yang dapat dijadikan dasar penentu tingkah laku
liii
seseorang, karena suatu yang menyenangkan (profitable) atau merupakan suatu sistem keyakinan (believe). Nilai-nilai berarti tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi pekerti, sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan pelanggaran norma atau susila. Nilai-nilai ditunjukkan oleh perilaku baik yang sesuai dengan norma-norma atau aturan yang ada dan pelanggaran nilai-nilai berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik serta melanggar norma atau aturan yang ada. Nilai atau nilai-nilai merupakan suatu konsep, yaitu pembentukan mentalita yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang hakiki, baik dan perlu dihargai sebagaimana mestinya. Nilai-nilai menyediakan prinsip umum dan yang menjadi acuan serta tolok ukur standar dalam membuat keputusan, pilihan tindakan, dan tujuan tertentu bagi para anggota suatu masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya yang tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi pekerti, sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan pelanggaran norma atau susila.
b. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Sastra Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai
liv
pendidikan moral, agama, sosial, kepahlawanan maupun estetis (keindahan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990:27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Ahmadi dan Uhbiyati (1991: 69) berpendapat bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Mudji Sutrisno (1997: 63) juga menyatakan bahwa nilai-nilai dari sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai siapa manusia, keberadaannya di dunia dan di dalam masyarakat; apa itu kebudayaannya dan proses pendidikannya; semua ini dipigurakan dalam refleksi konkret fenomenal berdasar fenomena eksistensi manusia dan direfleksi sebagai rentangan perjalanan bereksistensi. Nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca. Pembaca perlu menyadari bahwa tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibacanya itu menyentuh dirinya, maksudnya menyentuh perasaannya. Berdasar pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nilai sastra, yaitu sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan sesuatu yang positif yang berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk
lv
dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek). Kehadiran karya sastra sebagai hasil cipta sastrawan tidak saja lahir dari fenomena-fenomena kehidupan nyata, tetapi dating adri kesadaran bahwa karya sastra sebagai suatu yang imajinatif dan fiktif. Di samping itu juga adanya pengembangan ekspresi sehingga tercipta karya sastra. Seorang sastrawan
dalam
menciptakan
keindahan
juga
berkeinginan
untuk
menyampaikan pikiran, pendapat, dan saran terhadap sesuatu. Apa yang hendak disampaikan pengarang itu merupakan nilai-nilai pendidikan. Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai didik di dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastra. Walaupun masih banyak nilai lain, tetapi jika berbicara tentang nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika dan kebajikan. Hal ini wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Sastra memiliki nilai didik kesusilaan, mengandung nilai estetika, dan memperjuangkan hal-hal yang baik dan benar. Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra di atas ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang bisa diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu diantaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, and sebagainya. 1) Nilai Pendidikan Agama
lvi
Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sehingga dari pendidikan ini diharapkan dapat terbentuk manusia religius. Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:327) menyatakan: “Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada tuhan hukum-hukum resmi. Religius, di pihak lain melihat aspek yang di lubuk hati, riak getar nurani, totalitas ke dalam pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi.” Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:145) bahwa makin ia taat menjalankan syariat agama, maka makin tinggi pula tingkat religiusitasnya. Di lain pihak, Dojosantoso (dalam Tirto Suwondo, dkk, 1994:63) menyatakan bahwa “religius” adalah “keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan”. Keterkaitan manusia secara sadar terhadap Tuhan merupakan cermin sikap manusia religius. Berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap agama tertentu, Darsono Wisadirana (2004: 60) memberikan pernyataan bahwa orang-orang zaman dahulu, terutama orang-orang pedesaan, bersifat sangat religious. Sifat ini tampak atau ditandai dengan berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Upacara-upacara keagamaan atau ritual biasanya dilakuakan bersamaan dengan upacara tradisi leluhur, yaitu berupa selamatan, bersih desa, melakukan sesaji untuk roh-roh penunggu atau leluhur yang telah meninggal. Doa bersama juga dilakukan dalam rangka meminta hujan ketika musim kering yang dipimpin oleh seseorang tokoh atau tokoh agama
lvii
Nilai pendidikan agama atau keagamaan dalam karya sastra sebagian menyngkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan adanya sifat edukatif (Burhan Nurgiantoro, 2002:317). Dasar dari pendidikan agama adalah hakikat makhluk yang beragama. Tujuan pendidikan keagamaan adalah membentuk manusia yang beragama atau pribadi yang religius. Di samping itu, sesuai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 dan Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia, pendidikan merupakan segi utama yang mendasari semua segi pendidikan lainnya. Norma-norma pendidikan kesusilaan maupun pendidikan kemasyarakatan atau sosial, sebagian besar bersumber dari agama. Betapa pentingnya pendidikan agama itu bagi setiap warga Negara, terbukti dari adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan pendidikan agama itu diberikan kepada anak-anak sejak pendidikandi taman kanak-kanak sampai tingkat pendidikan tinggi. 2) Nilai Pendidikan Moral Pada dasarnya, moral dapat dimaknai sebagai ajaran tentang kebaikan dan keburukan. Franz Magnis Suseno (2000: 143) menyatakan bahwa moralitas merupakan kesesuaian sikap, perbuatan, dan norma hokum batiniah yang dipandang sebagai suatu kewajiban. Moral seringkali dikaitkan dengan perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, susila, dan lain-lain. Seorang tokoh dalam cerita dikatakan bermoral tinggi apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk. Namun, pada kenyataannya pandangan mengenai moral dalam hal-hal tertentu bersifat relatif.
lviii
Sering kita menjumpai karya sastra yang menampilkan cerita-cerita dan kisah-kisah yang penuh nilai didik. Karya sastra demikian itu sungguh potensial untuk digunakan sebagai sarana mengajarkan budi pekerti yang luhur dan teladan-teladan yang terpuji. Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilainilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebisaaan di mana individu berada. (Burhan Nurgiantoro, 202:319). Moral diartikan sebagai norma dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, sikap serta kewajiban moral dalam masyarakat yang baik, seperti budi pekerti, akhlak, dan etika (Joko Widagdo, 2001:30). Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang menjunjung budi pekerti dan nilai susila. Nilai moral dalam karya sastra bisaanya bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai estetika dan budi pekerti. Nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang inividu atau dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila. 3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya
lix
Koentjaraningrat (1985:18) mengemukakan bahwa sistem nilai buaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya bisaanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Cerita (dalam hal ini adalah novel) sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sistem nilai atau sistem budaya masyarakat pada suatu tempat alam suatu masa. Nilai-nilai itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau dicela, pandangan hidup manusia yang dianut atau yang dijauhi, dan hal-hal apa yang dijunjung tinggi. Lebih jauh Koentjaraningrat (1985:10-11) mengatakan bahwa: Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap, wujud itu disebut adat tata kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi adalah gotong royong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai tinggi ialah bila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar.
Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat local atau adat daerah yang dimaksud dalam novel ini adalah adat daerah yang bernuansa kejawaan. Nilai budaya kejawaan ini kadang dibalut sekaligus berbenturan dengan nilai-nilai agama yang dipegang oleh tokoh utama. 4) Nilai Pendidikan Sosial
lx
Karya sastra juga mengungkapkan nilai pendidikan sosial. Dengan memabca banyak karya sastra, diharapkan perasaan pembaca lebih peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan lebih dalam penghayatan sosialitasnya, sehingga lebih mencintai keadilan dan kebenaran. Nilai Sosial menjadi pedoman langsung bagi setiap tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat yang di dalamnya memuat sanksisanksi siapa saja yang melanggar. Dengan demikian, nilai sosial merupakan nilai yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan usaha menjaga keselarasan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa nilai sosial merupakan gagasan-gagasan dan pola ideal masyarakat yang dipandang baik dan berguna, yang telah dituangkan dalam bentuk norma-norma, aturan-aturan, dan hukum. Secara garis besar, persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Burhan Nurgiyantoro (2002: 233-234) menjelaskan bahwa tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lainlain yang tergolong latar spiritual. 5) Nilai Kepahlawanan (Heroik)
lxi
Menurut Anis Matta (2004: 4) pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengaja dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Mereka datang untuk membawa beban yang tidak dipikul oleh manusia-manusia di zamannya. Para pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan kepunyaannya demi membela kebenaran. dan berusaha mewujudkan keyakinan tersebut. Kepahlawanan yang dimaksud adalah sifat atau karakter tokoh-tokoh yang diceritakan dalam novel, berjuang mewujudkan cita-citanya. Dengan demikian tokoh yang menjadi pahlawanan dalam konteks pembahasan ini adalah perjuangan tokoh yang diceritakan dalam novel untuk membela keyakinannya.
c. Cara Mengukur Adanya Nilai Pendidikan dalam Novel Nilai pendidikan dalam karya sastra adalah
sebuah
solusi atas
sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah. Nilai pendidikan dalam sastra mengandung beberapa nilai antara lain nilai agama, moral, adat, dan sosial. Cara mengukur atau menganalisis nilai pendidikan yang ada di dalam novel adalah dengan membaca novel-novel tersebut secara berulangulang, memahami sacara mendalam, dan mencatat kalimat-kalimat mana sajakah yang penting dan dianggap dapat mendukung sebuah nilai pendidikan di dalamnya. Setalah dapat memahami isi teks novel tersebut, kemudian dikaji tema dan amanat yang ada di dalam ketiga novel tersebut.
lxii
Dengan adanya tema yang dimunculkan di dalamnya, dapat diketahui apakah nilai-nilai yang ada di dalam novel tersebut dapat digunakan sebagai landasan pendidikan atau tidak. Nilai yang dimaksud adalah sebuah ukuran tentang bagaimana sebuah novel dapat memberikan solusi dalam memecahkan masalahmasalah sosial yang ada di dalam masyarakat. Apabila nilai yang terkandung sudah banyak memunculkan hal positif untuk masyarakat, maka dapat kita ambil nilai didik di dalamya. Ukuran yang digunakan selanjutnya adalah sebuah amanat yang ada di dalam novel-novel tersebut. Dengan amanat yang terkandung di dalamnya, berbagai pola pikir, sikap, dan akhlak/perilaku yang menyimpang di masyarakat dapat diluruskan. Sastra dikenal dapat menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit dalam masyarakat. Dengan membaca sastra, diharapkan masyarakat menjadi lebih bermoral dan beradab karena sastra banyak mengajarkan nilai positif. Dulce nt utile, indah dan banyak pesan yang terkandung di dalam sebuah sastra. Sama halnya dengan novel yang merupakan bagian dari sastra, novel-novel Kuntowijoyo tentu mengandung nilai pendidikan yang penting bagi masyarakat.
B. Penelitian Lain yang Relevan Dalam rangka mencapai langkah penyusunan kerangka teoretis peneliti juga melakukan pengkajian terhadap penelitian yang relevan. Hal ini dilakukan
lxiii
untuk menghindari adanya duplikasi yang sia-sia dan memberikan perspektif yang jelas mengenai hakikat dan kegunaan penelitian dalam perkembangan secara keseluruhan. Di samping itu, juga dikemukakan bahwa salah satu kesimpulan penelitian yang telah dilakukan atau sintesis dari beberapa penelitian yang dipublikasikan dapat dijadikan titik tolak dari penelitian ini
dalam mencoba
melakukan pengulangan, revisi, modifikasi, dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni Eko Wardani dengan judul Makna Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar Kayam dengan Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann dan telah diterbitkan oleh LPP UNS bekerjasama dengan UNS Press (2009). Nugraheni Eko Wardani dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa makna totalitas dalam novel tersebut merupakan
kritik Umar Kayam sebagai priyayi cendekiawan
terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi yang luhur. Pandangan dunia Umar Kayam berkaitan dengan kelompok sosialnya sebagai priyayi cendekiawan yang mempertahankan fungsi integritas cendekiawan untuk menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Pandangan dunia Umar Kayam adalah humanisme sosial. Struktur teks berpusat pada tokoh hero yang mengalami degradasi nilai dunia priyayi untuk menemukan nilai otentik berupa makna luhur priyayi dalam kondisi sosial yang memburuk. Nilai otentik ini berkaitan dengan pandangan dunia humanisme sosial Umar Kayam. Struktur sosial berkaitan dengan struktur sosial masyarakat Jawa. Prinsip-prinsip sosial dalam kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya bernilai universal.
lxiv
Pandangan dunia humanisme sosial sesungguhnya dapat diaplikasikan dalam pembelajaran hidup dan kehidupan sosial masyarakat Jawa priyayi. Namun, banyak nilai-nilai luhur priyayi telah menyimpang karena banyak kaum priyayi lebih mengutamakan status sosial, gaya hidup, dan nilai-nilai yang bersifat materi. Selain itu, juga disimpulkan bahwa pendekatan strukturalisme genetik merupakan pendekatan yang memadai untuk meneliti karya sastra Indonesia. Pendekatan strukturalisme genetik juga memperbaharui kritik sastra Abrams, pendekatan strukturalisme, dan pendekatan sosiologi sastra positivisme. Penelitian lainnya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Wemmy Al-Fadhli (2005: 1-4) dengan judul “Analisis Strukturalisme Genetik-Semiotik Faruk terhadap Roman Siti Nurbaya”. Wemmy Al-Fadhli dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dengan metode dialektik dan landasan teoritik semiotik plus strukturalisme genetik terhadap “Siti Nurbaya” dapat mengungkap faktor-faktor semiotik maupun referensi sosio-kultural teks yang mendukung roman tersebut. Novel tersebut memiliki struktur teks yang lengkap dan stuktur sosial yang berisi kritik terhadap budaya Minangkabau. Dalam budaya Minangkabau terdapat semacam konsepsi pandangan hidup sekaligus tatanan sosio kemasyarakatan yang paradoksial (di satu sisi, sekaligus) juga ada harmonisasi. Wemmy Al-Fadhli mengungkapkan bahwa ketepatan mengekspresikan pandangan dunia masyarakatnya merupakan salah satu faktor yang menentukan kebesaran dan popularitas roman tersebut. Sementara kunci keberhasilan karya itu sendiri terdapat pada kajian semiotik yang berhasil mengungkapkan konsep
lxv
disharmoni maupun harmonisasi dan kajian sosio-kulturtal yang memperlihatkan sikap demitifikasi karya terhadap nilai-nilai yang berlaku sebelumnya. Relevansi penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut adalah mengenai metode yang digunakan yaitu strukturalisme genetik, terutama pada penelitian yang dilakukan Nugraheni Eko Wardani. Metode dan teknik analisis yang dilakukan menjadi panduan dalam penelitian ini karena ada kesamaan objek kajian yaitu novel. Perbedaan dengan penelitian Nugraheni Eko Wardani dan Wemmy AlFadhli terletak pada objek kajian yakni novel-novel Kuntowijoyo yang berlatar belakang sejarawan dan aktivis Muhammadiyah. Selain itu dalam penelitian ini terdapat tambahan analisis nilai pendidikan dalam novel. Kajian strukturalisme genetik ini telah dipakai untuk mengkaji hubungan antara masyarakat dengan novel. Tremanie (1978: 34-35) mengaitkan relevansi novel dan masyarakat dalam novel Sunday Anoize yang berlatar budaya Afrika: An initial attempt, however, to provided the much needed theoretical and methodological integration of text and context has been undertaken by Sunday Anozie. Anoize describe his own critical perspective as a genetic-structuralism sociology of literature. While he is obviously not the first to suggest the relevance of a sociological orientation to African literature, he is the first to attempt to lend serious methodological substance to such an orientation. Novel dapat digunakan sebagai sarana untuk membentuk karakter. Pembentukan karakter ini disebabkan adanya nilai-nilai didik dalam novel. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Stamm dalam Journal of College & Character Volume X, NO. 7, November 2009: The possibilities of using this novel in courses on student development to make the understanding of identity development become more alive than through the more usual scholarly analyses. Given the
lxvi
emerging understanding of today’s millennium generation of college students, are particularly appropriate. Pop culture has played an educative role in the lives of the Millennial Generation. In thinking about novels as ethnographies of the college experience, both that of faculty as well as students, the possibilities are even more extensive, as exemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels from different time periods, for example, might serve to amplify other studies of the history and foundations of higher education. (Stamm, 2009: 2) Diharapkan novel mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Orr dalam Journal of European Studies. Volume, 9 No. 36 bahwa tujuan novel adalah penyadaran terhadap realitas. Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is polemical and a response to a vacuum in literary theory and finally it is concerned with the destiny of the modern novel itself. This destiny would appear to the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around, Orwell. (Orr, 1977: 304-305) Nilai pendidikan dalam karya sastra penting untuk membangun masyarakat yang berkarakter kuat. Nilai pendidikan yang tergambar dalam interksi antar tokoh dan kebiasaan-kebiasaan tokoh dalam novel sesuai dengan konsep pendidikan kontekstual John Dewey. Hal ini senada dengan kajian Carver and Richard P. Enfield (2006: 66) dalam Journal education and culture, Vol 22 berikut ini: Offering an introduction to both John Dewey’s philosophy of education and the 4-H Youth Development Program, this paper draws clear connections between these two topics. Concepts explored include Dewey’s principles of continuity and interaction, and contagion with respect to learning. Roles of educational leaders (including teachers) are investigated in the context of a discussion about the structuring of opportunities for students to develop habits of meaningful and life-long learning. Specific examples are described in depth to demonstrate, from a Deweyan perspective, the educational process and value of 4-H
lxvii
participation. Brief comments are made about the place of 4-H in the U.S. system of public education. Selain itu, pendidikan yang disampaikan melalui cerita (dalam hal ini novel) dapat menjaga dan memelihara suatu nilai pendidikan budaya seperti tidak mengagungkan dirinya di atas orang lain. Hal ini dapat dilihat pada pemaparan Black (1999: 35) dalam Journal Of Culture Education, Volume 75 berikut ini: Teaching Through Nature The ancient Polynesians lived close to nature; nature was the measure of, as well as the predominant influence in, their lives. Consequently, many of the legends and fables of Polynesia are concerned with nature's creatures and phenomena. Some nature stories were created to preserve and transmit a cultural value, such as not exalting oneself above one's peers.
C. Kerangka Berpikir Novel sebagai salah satu karya sastra memiliki nilai guna dan indah, dulce et utile. Novel dapat merekam berbagai realitas sosial di masyarakat. Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah merupakan novel yang merekam berbagai pemikiran orang Jawa kejadian-kejadian sosial politis di Jawa. Novel tersebut tidak akan ditemukan maknanya secara utuh jika hanya dianalisis unsur-unsur intrinsiknya. Diperlukan berbagai unsur untuk menganalisis novel tersebut.
Dengan demikian perlu ada pendekatan yang cocok untuk
menganalisis novel tersebut. Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah strukturalisme genetik. Adapun yang dianalisis meliputi : pandangan dunia pengarang, struktur teks, struktur sosial budaya masyarakat, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut. Dengan berbagai analisis tersebut, diharapkan totalitas makna dapat
lxviii
dipahami secara utuh. Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Realitas Kehidupan
Karya Sastra Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah
Nilai Pendidikan:
Strukturalisme Genetik
Agama, moral, adat, sosial
Aspek-Aspek Struktural: Tema, Seting, Alur, Penokohan, dan Sudut Pandang
Pandangan dunia pengarang
Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat Penokohan
Totalitas Makna Novel
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
lxix
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen berupa novel yaitu novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah (WS) sebagai objek penelitiannya, maka Penelitian ini berupa kajian novel, maka objek kajian penelitiannya adalah novel itu sendiri. Adapun rincian penelitian ini tidak terpancang waktu dan tempat.waktu dan pelaksanaan jenis kegiatan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan tabel berikut: Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
No
1. 2. 3.
Waktu Jenis Kegiatan Persiapan Pembuatan Proposal Revisi Proposal
4.
Pengumpulan Data
5.
Pengolahan dan Analisis Data
6.
Penyusunan Laporan Hasil Penelitian Revisi Laporan Hasil Penelitian
7.
Juni
Juli
Agust
Bulan Sept Okt. .
Nov Des
Jan
xx xx
xx
Feb
xx xx xx xx
xxxx
xx xx
xx xx xx xx
xx
xx
xx
lxx
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 52 Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode content analysis atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan strategi tinjauan strukturalisme genetik dan menganalisis nilai didik yang ada di dalam ketiga novel tersebut. Penelitian ini akan mendeskripsikan pandangan dunia pengarang Kuntowijoyo, struktur novel, struktur sosial budaya masyarakat, dan nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.
C. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis dalam menganalisis novel adalah pendekatan strukturalisme genetik. Pendekatan strukturalisme genetik merupakan suatu disiplin ilmu yang menaruh perhatian kepada teks sastra dan latar belakang sosial budaya serta subjek yang melahirkannya (Sangidu, 2004; 29). Hakikat pendekatan strukturalisme genetik ialah menganalisis unsur instrinsik yang tedapat di dalam novel dan unsur ekstrinsik yang ada di luar novel (Suwardi Endraswara, 2003: 56).
lxxi
D. Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, karya-karya Kuntowijoyo yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian.
E. Teknik Cuplikan Pada teknik cuplikan, peneliti mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang dihadapi, dan sebagainya. Teknik cuplikan yang diterapkan adalah purposice sampling, yaitu sumber data yang digunakan di sini tidak sebagai yang mewakili populasinya, tetapi cenderung mewakili informasinya (H.B. Sutopo, 2002: 56). Peneliti mencuplik bagian-bagian dalam cerita novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang mewakili informasi penting agar bisa digunakan untuk analisis serta diperbandingkan dalam rangka mengetahui totalitas makna novel. Pada sisi lain, peneliti juga mencuplik bagian pokok artikel majalah dan artikel internet yang bisa memberikan informasi tentang pandangan dunia pengarang.
F. Prosedur Penelitian Berdasarkan masalah yang diteliti, prosedur penelitian yang peneliti lakukan meliputi beberapa tahap sesuai arahan Lexy J. Moleong (2006: 389-390) sebagai berikut: 1. Tahap orientasi untuk memperoleh gambaran umum
lxxii
Tujuan tahap ini ialah untuk memperoleh latar yang nantinya diikuti dengan tahap merinci yang diperoleh pada tahap berikutnya. Peneliti melakukan tahap pertama ini berdasarkan bahan yang dipelajari dari berbagai sumber kepustakaan. Pada tahap ini peneliti mengadakan eksplorasi awal terhadap objek yang diteliti. 2. Tahap eksplorasi fokus Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan dengan urutan sebagai berikut: a. Mengumpulkan
bahan-bahan
pustaka
yang
mendukung
kegiatan
penelitian, meliputi buku-buku referensi dan artikel-artikel sastra yang menunjang penelitian. b. Menganalisis data-data yang terkumpul berdasarkan teori dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian. c. Mengalisis pandangan dunia Kuntowijoyo sebagai subjek yang melahirkan karya sastra. d. Menganalisis struktur teks novel, struktur sosial masyarakat, dan nilai pendidikan dalam novel Pasar, MPU, dan WS e. Merumuskan hasil penelitian 3. Tahap pengecekan dan keabsahan data Pada tahap ini peneliti melakukan penelaahan terhadap laporan yang telah disusun untuk mengecek kembali kekurangan yang ada terutama mengadakan triangulasi, pengecekan anggota dan auditing. Penelaahan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengungkapkan fakta atau interpretasi serta mengecek kembali apakah ada hal-hal yang
lxxiii
terbuang sehingga perlu diadakan perbaikan. Perbaikan ini dimaksudkan untuk membangun derajat kepercayaan yang telah diperoleh.
G. Validitas Data Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses penelitian. Untuk mendapatkan keabsahan data, dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu (Lexy J. Moleong, 2006: 330). Adapun triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teori, yaitu cara penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda dalam menganalisis data. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Lexy J. Moleong, 2006: 331), berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Menurut Sutopo (2002: 82) triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
H. Analisis Data Analisis data merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian karena dengan menganalisis data yang diteliti akan dapat diketahui makna atau jawaban pemecahan masalahnya. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy J. Moleong (2006: 248), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
lxxiv
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, seperti yang dikemukakan oleh Matthew B. Miles & A. Michael Huberman (Sutopo, 2002: 69-70), yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data. Langkah-langkah di dalam analisis data tersebut dapat dilihat di dalam bagan berikut ini.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan Simpulan/ Verifikasi
Gambar 2. Bagan Model Interaktif Miles & Huberman (Sutopo, 2006: 70)
Analisis data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Adapun prosedur analisis data dalam penelitian ini setelah pengumpulan data dilakukan analisis data awal yang dilakukan bersamaan dengan pengamatan serta
lxxv
wawancara. Selama pengumpulan data berlangsung proses analisis awal telah dilakukan, yaitu dengan melakukan reduksi data, mengidentifikasi data, dan mengklasifikasi data. Reduksi data merupakan proses seleksi data, pemfokusan, penyederhanaan data dengan cara memilih data yang banyak, kemudian dipilah dan dipilih dalam rangka menemukan fokus penelitian. Data yang setipe dan yang direduksi tersebut untuk menemukan sistem atau kaidah yang dicari sesuai dengan objek kajian. Setelah data direduksi dengan identifikasi dan klasifikasi, langkah selanjutnya adalah dengan menyajikan data. Sajian data merupakan proses menyusun informasi yang ditemukan dalam rangka menjawab dari permasalahan penelitian. Artinya, data yang diperoleh dari lapangan disajikan untuk menunjukkan bukti-bukti dan menjawab masalah yang diteliti. Analisis terhadap kesantunan berbahasa bentuk tuturan direktif yang dikaji secara sosiopragmatik tidak terlepas dari adanya penelitian kontekstual. Artinya, dari data lingual yang diperoleh di lapangan akan dianalisis dengan memperhatikan aspek nonlingual yang menyertai tuturan. Langkah terakhir yang dilakukan adalah penarikan simpulan. Penarikan simpulan ini adalah proses analisis yang cukup penting yang didasarkan atas penyusunan informasi yang diperoleh dalam analisis data (Sutopo, 2002: 91—93). Penarikan simpulan disusun berdasarkan temuan-temuan selama proses penelitian berlangsung dan dalam tahap penulisan atau penyusunan
laporan. Dari
penyusunan tersebut kemudian dilakukan penafsiran intelektual terhadap simpulan-simpulan yang diperoleh.
lxxvi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di depan, maka akan dibahas secara berturut-turut mengenai pendekatan strukturalisme genetik dan nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. Analisis tersebut meliputi: (1) analisis pandangan dunia pengarang, (2) analisis struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah, (3) analisis struktur sosial budaya masyarakat novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah, dan (4) analisis nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.
A. Hasil Penelitian Sebelum dilakukan analisis dan pembahasan, berikut ini dipaparkan temuan penelitian yang menyangkut aspek pandangan dunia pengarang, struktur teks, struktur sosial, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo Menurut Kuntowijoyo, disadari atau tidak, ternyata cara berpikir masyarakat saat ini tak jauh berbeda dengan sistem pengetahuan nenek moyang; sejarah sepertinya berjalan di tempat. Nenek moyang dulu berpikir berdasarkan mitos. Kuntowijoyo melihat sebagai bangsa, masyarakat kita pun rupanya sekarang masih hidup dalam mitos. Masyarakat lebih suka menghindar dari realitas dan bukan menghadpinya, persis seperti nenek moyang dulu yang
57 lxxvii
menghindar menggunakan ruwatan, petung, dan sesaji yang dijadikan sebagai simbol yang dapat menghindarkan orang dari malapetaka. Pandangannya tersebut tertuangkan dalam kutipan berikut: Abu Kasan Sapari berjalan hilir mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. “Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah dikatannya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri. (Kuntowijoyo, 2000: 196). Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar itu dan minta nama baru lagi. Sial bagi mereka, orang pintar itu sudah meninggal. Usaha sang ayah untuk menyepi malam-malam dikuburan oran pintar dengan harapan ada nama baru yang dipesankannya tidak berhasil. … Maka, saudara dekat suami-istri mengusulkan untuk mengadakan kenduri dan lek-lekan (semalam suntuk tidak tidur) guna membuang sial. Maka empat puluh santri dari sebuah pondok diundang untuk mengaji di rumahnya. (Kuntowijoyo, 2003: 44) “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik. (Kuntowijoyo, 2003: 246) Kuntowijoyo adalah budayawan yang mengerti nilai keluhuran seni. Apalagi sebagai orang Jawa Kuntowijoyo memahami hakikat seni Jawa. Seni Jawa merupakan perpaduan antara olah rasa masyarakat jawa dan keyakinan kepada Sang Pencipta. Kuntowijoyo menekankan pentingnya seni sebagai ruh pencerahan yang selaras dengan pandangan profetiknya. Pemahamannya ini dinampakkan melalui tokoh Abu ketika diwawancarai seorang wartawan media massa dalam kutipan novel di bawah ini: AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya, kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiraminya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat bahwa seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi
lxxviii
tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni. (Kuntowijoyo, 2000: 153). “Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh.. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap, Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.” (Kuntowijoyo, 2000: 83). “Ya kalau tidak, ya diulang-ulang sampai orang mengerti. Kesadaran itu datangnya harus dari dalam, tidak bisa dipaksakan dari luar.” (Kuntowijoyo, 2000: 83). Kuntowijoyo menyesalkan krisis kultural dalam bentuk politisasi dan komersialisasi kesenian. Politisasi dan komersialisasi kesenian berakibat buruk pada masyarakat. Komersialisasi misalnya menimbulkan pembodohan dan dehumanisasi. Dehumanisasi merupakan penempatan manusia seperti mesin robot sebagai objek yang bisa diperalat untuk kepentingan kekuasaan. Berikut kutipan yang menggambarkan hal di atas: Lalu dia menjelaskan bahwa esok hari akan ada pernyataan pers dari Mesin politik bahwa mereka sudah mengumpulkan para dalang untuk keperluan Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu) se-Kodya Surakarta sebanyak 150 orang. Mereka memutuskan untuk menggunakan media tradisional pedalangan untuk kampanye. Dalang-dalang akan diterjunkan di seluruh eks-Karesidenan Surakarta selama masa kampanye. (Kuntowijoyo, 2000: 144). Fenomena adanya kelas sosial digambarkan Kuntowijoyo dalam kutipan cerita berikut: “Lagi pula yang penting, ingatlah bahwa kau orang Jawa. Ketika engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain, Nak. Jangan, sekali-kali jangan. Orang yang berpangkat harus berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang kesusahan, harus bisa membantu. Jangan malah menertawakan. Kalau tidak bisa membantu, menyesallah. Dan berjanjilah suatu kali kau akan membantu. Sebaliknya ikutlah berduka cita atas kemalangan orang lain. Engkau boleh tertawa apabila saudaramu beroleh kesukaan.
lxxix
Bersusahlah bersama orang yang susah, bergembiralah bersama orang yang bergembira. Renungkanlah, Nak.” (Kuntowijoyo, 2002: 344). “Segala sesuatu dapat dirundingkan. Musyawarah untuk mufakat. Mari!” (Kuntowijoyo, 2003: 74). Berdasarkan kutipan di atas, nampak bahwa Kuntowijoyo memberikan gambaran peran intelektualitas dalam membangun interaksi sosial dengan melandaskan pada pandangan religius profetik. Kuntowijoyo meyakini budaya Jawa yang telah mengakar di dalam masyarakat Jawa selama ratusan tahun sebagai sesuatu yang memiliki nilai luhur. Kuntowijoyo memperlihatkan hal itu dalam kutipan cerita Pasar sebagai berikut: Tidak ada orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. Adu jago saja patohan, membuat candrasengkala mesti ke Pak Mantri. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis. (Kuntowijoyo, 2002: 63-64). “Dan kalau aku mati. Itulah warisanku, Nak. Pewarisnya, siapa saja yang bisa menyebut diri orang Jawa. Aku akan menghubungi ini.” Lalu Pak Mantri mengeluarkan majalah bahasa Jawa. (Kuntowijoyo, 2002: 346). Itulah kebudayaan kota, sebab toko-toko menempelekan harga, hingga orang tidak perlu menawar. Pasar itu ramai, orang-orang yang sedang menawarkan dagangan. (Kuntowijoyo, 2000: 46).
Sedikit berbeda dengan novel Pasar dan Mantra Pejinak Ular, Kuntowijoyo dalam novel Wasripin dan Satinah menyoroti budaya Jawa masyarakat pantura. Dia menyebutkan bahwa orang pantura lebih suka selawatan daripada wayang. Hal ini dapat dilihat dari penggalan berikut ini. Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Babinsa sepi pengunjung. Di siskamling orang-orang rerasan, “maklum pendatang”, “Orang akan lebih suka selawatan daripada wayang dan ruwat.” (Kuntowijoyo, 2003: 83)
lxxx
Politik yang mengarah pada kebersamaan tujuan disatukan dalam perwujudan demokrasi. Kunto mengingatkan, kebudayaan bersifat unik dan particular. Karena itu, demokrasi kebudayaan harus hati-hati jangan sampai demokrasi menyebabkan hilangnya kepribadian. Dalam demokrasilah hak-hak semua masyarakat dapat disampaikan. Berkenaan dengan itu maka harus dijaga jangan sampai demokrasi berarti anarki, artinya terdapat tindakan untuk menekan dan memaksanakan agar hak individu atau golongan lebih diakui daripada kepentingan umum. Kuntowijoyo mengungkapkannya dalam cerita MPU, dalam kutipan berikut: Randu, botoh, dukun, dan tokoh-tokoh lokal berusaha memengaruhi jalannya pemilihan lurah dengan berbagai cara. Kemenangan dalam pemilihan lurah mempunyai makna sendiri bagi yang berkepentingan. Bagi Mesin Politik kemenangan pilkades berarti kemenangan dalam pemilu nanti, uang bagi botoh, prestise bagi dukun, dan sekadar rezeki bagi orang-orang lain. (Kuntowijoyo, 2000: 94) Pak Mantri Pasar menjadi contoh peran intelektual dalam menyelesaikan masalah di pasar, seperti digambarkan dalam kutipan berikut: Beberapa kali ia memegang pensil. Beberapa kali direnungrenungkan. Setiap kali akan menulis direnungkannya kembali. Tidak raguragu lagi, bahasanya pasti yang terbaik. Bahasa Jawanya sempurna belaka. Cepat dicoretnya judul-judul yang sudah dibuat. Dan dengan tegas saja ia mengulang menulis “Pemberontakan orang pasar”. Apalagi! Tidak ada yang lebih cepat. Dan lagi sebuah “Kerja uler kambang”. Ini untuk memberi istilah pada cara kerja polisi dan camat itu. Sekarang ialah barisbaris yang pertama. Pokoknya yang mengenai pasar didahulukan. Dan baru kemudian tentang alat-alat pemerintah di kecamatan itu. (Kuntowijoyo, 2002: 145). Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa, tidak pada elite (kekuasaan, bisnis) dan massa (budaya, voting behaviour). Tindakan Abu Kasan Sapari ketika menolak dijadikan sebagai alat politik praktis yang tidak
lxxxi
mengedepankan kebersamaan dan kejujuran pada kutipan cerita MPU berkut merupakan bentuk tindakan intelektualitas yang tepat: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” (Kuntowijoyo, 2000: 145) Selain itu, menurut Kunto politik adalah pengejawantahan moral bukan sekadar kendaraaan menuju kekuasaan. Berikut ini kutipan yang menggambarkan pandangan tersebut: “Wah, sampai di mana penataran politikmu? Politik itu the art of possible.” “Itu PKI, Pak. Katanya, politik itu pengejawantahan moral.” (Kuntowijoyo, 2003: 222) “Rakyat berjasa tak dihargai!” “Penggede korupsi malah jadi pahlawan!” “Ini demokrasi pancasila. Yang gedhe diemuk-emuk, yang kecil dikerasi” (Kuntowijoyo, 2003: 188)
Dalam pandangan Kuntowijoyo, masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan. Kuntowijoyo melontarkan menurut persepsi intelektual bahwa dalam masyarakat terdapat kemiskinan struktural. Masyarakat miskin bukan karena kemalasan, tetapi karena dimiskinkan oleh sistem dan struktur yang pincang. Dengan mudah investor mendapatkan tanah. Karena hotel dibangun dalam hubungannya dengan agrowisata, maka sawah, kebun, tegal, dan tanaman jeruk harus ditata. Selain sedap dipandang, juga diharapkan bahwa turis (wisman, wisnu) dapat ke kebun, ikut memanen tanaman…… Yang menjadi heboh ialah pasar dan terminal harus dipindah. (Kuntowijoyo, 2000: 87) Kesenjangan antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah yang lazim adalah monopoli. Hal itu tidak hanya menggeser eksistensi pasar
lxxxii
tradisional, tetapi juga mengubah tatanan sosial budaya yang telah terbentuk sekian ratus tahun pada masyarakat Jawa. Kuntowijoyo menyampaikannya melalui cerita MPU dalam kutipan berikut: Itulah kebudayaan kota, sebab toko-toko menempelkan harga, hingga orang tidak perlu menawar. Pasar itu ramai, orang-orang yang sedang menawarkan dagangan. (Kuntowijoyo, 2000: 46) “Hari ini semua soal akan beres. Tidak usah menghadapkan kedatangan penabung dari luar pasar.” Berhenti sebentar, melihat perangai Zaitun. “Aku menuntut pengesahan itu dari camat dan polisi. Soalnya Bank Pasar dimaksudkan untuk menolong rakyat kecil. Bukan untuk jatuh dalam monopoli orang kaya. Itu tidak sesuai dengan undang-undang negara kita. Apalagi orang-orang yang kayanya entah dengan cara apa itu” (Kuntowijoyo, 2002: 120). Kuntowijoyo juga memandang bahwa dalam kegiatan ekonomi pelaku utama adalah rakyat kecil. Tanpa mereka, kegiatan perekonomian tidak berjalan dan dapat mengganggu stabilitas negara. Telepon rumah dan Kantor Bupati mendapat keluhan bahwa harga ikan-ikan di kota-kota Jawa Barat naik berat. Minta supaya bupati menggunakan seluruh kekuasaan untuk memaksa para nelayan melaut. (Kuntowijoyo, 2003: 246) Maka terjadilah peristiwa yang tidak ada duanya di dunia. Nelayan dipaksa melaut. Seorang polisi pilihan (kekar, atletis, dan sehat) berada di atas perahu. Sehabis subuh, lima belas perahu nelayan berangkat bersamalima belas polisi. Para polisi berdiri tegar, tangan menyelempang ke belakang, pistol di pinggang. (Kuntowijoyo, 2003: 251-252)
Dalam paradigma pendidikan, Kuntowijoyo juga mengkhawatirkan mengenai gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status yang lebih tinggi. Dia juga mencemaskan kemungkinan sarana mobilitas sosial. Sebagai contoh yang nyata kini sekolah-sekolah kian mahal dan eksklusif sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat bawah. Di sini
lxxxiii
komersialisasi pendidikan sama berbahaya dengan indoktrinasi dalam pendidikan. Komersialisasi pendidikan berakibat pembodohan dan kemiskinan. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sesuatu prestise yang hanya bisa diperoleh oleh kalangan masyarakat kaya: Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang. Ada yang jadi insinyur gula, ada yang jadi pegawai tinggi, ada yang jadi perwira tinggi, ada yang kerja di bank, ada yang jadi dosen, dan ada yang jadi bisnismen. (Kuntowijoyo, 2000: 14). “Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. (Kuntowijoyo, 2003: 1) Kuntowijoyo memandang bahwa industrialisasi telah mengakibatkan dekadensi nilai dan moral. Awal dari krisis nilai dan moral disebabkan oleh tidak adanya keteladanan. Kuntowijoyo juga berkali-kali mengingatkan bahwa bangsa kita berkali-kali mengalami krisis keteladanan. Yaitu, sirnanya tokoh-tokoh anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan bertindak. Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung! Keterlaluan! Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan. (Kuntowijoyo, 2002: 83). Bahkan sebaliknya, para pejuang dituduh melakukan penyimpanganpenyimpangan yang sebenarnya hanyalah direkayasa belaka: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” (Kuntowijoyo, 2000: 145) “Celaka, Pak!” Katanya mendahului. “Apa yang celaka, Paijo?” “Kita dituduh!” “Dituduh apa?” “Mengorupsi uang pasar!” “Siapa bilang itu?”
lxxxiv
“Ada pegawai kecamatan kesini!” “Lah, betul tidak. Ada kau korupsi?” “Tidak, pak. Terang tidak.” “Ah, kalau kau memang begitu boleh susah. Tetapi tidak, bukan?” (Kuntowijoyo, 2002: 250) “Menculik Wasripin?” “Iya.” “Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘air susu dibalas dengan air comberan’.” (Kuntowijoyo, 2003: 219) Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat dipetik inti dari pemikiran profetik Kuntowijoyo yakni pentingnya peran agama dalam memperbaiki berbagai bidang kehidupan manusia. Selain itu, Peran intelektual dalam membangun interaksi sosial hendaknya berlandaskan pandangan religius profetik, bukan religius sufistik yang menafikkan keberadaan manusia lain sebagai objek dakwah. Hal ini bertujuan agar terbentuk masyarakat utama adil makmur yang diridaiAllah dan terwujudnya negara yang baldatun thoyibatun wa robbun ghofur. 1. Kelompok Sosial Kuntowijoyo a. Kelompok Cendekiawan Muslim Muhammadiyah Lucien Goldmann (dalam Nugraheni, 2009: 190) berpendapat bahwa pengarang merupakan anggota kelompok sosial tertentu dalam masyarakat, ia merupakan wakil masyarakatnya. Oleh karena itu pengarang berfungsi untuk menyuarakan pendapat dan pemikirannya atas kondisi sosial kemasyarakatan dalam karya-karyanya.
Kelompok
cendekiawan mengacu pada sekelompok orang dalam masyarakat yang memainkan peran kecendekiawanan. Kelompok sosial Kuntowijoyo dapat dikatakan sebagai kelompok cendekiawan muslim.
lxxxv
Kuntowijoyo aktif dalam organisasi Islam Muhammadiyah. Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi pemikirannya.
Apa
yang
disampaikannya
senada
dengan
khitah
perjuangan Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan khurafat. (Majalah Sabili, 2003: 134) Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang
membawa paham
pembaharuan (tajdid). Oleh karena itu, gerak pemahaman dan pengamalan Islam bagi Muhammadiyah selalu mempunyai tiga maksud, yaitu sebagai pemahaman Islam, sebagai ajakan kepada seluruh umat manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam, dan sebagai koreksi atau evaluasi terhadap berbagai pemikiran yang telah dilakukan. Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 dzulhijah 1330 H atau bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M. Muhamadiyah ikut berperan dalam pergerakan nasional baik sebelum kemerdekaan, pada saat merdeka, dan pascakemerdekaan. Peran aktivis-aktivis Muhammadiyah dalam proses kemerdekaan tidak dapat diragukan lagi. Tokoh-tokoh nasional seperti Mas Mansur, Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, Kahar Mudzakkir adalah sejumlah nama tokoh pergerakan nasional yang besar dari rahim Muhammadiyah. Peran Muhammadiyah pascakemerdekaan terlihat pada penumpasan G30S/PKI, peran dalam politik praktis, dan kepedulian terhadap pendidikan. (Ibnu Salimi, 1995: 111).
lxxxvi
Menurut
Amien
Rais,
Kuntowijoyo
menyimpan
banyak
keteladanan. "Kehidupan almarhum penuh keteladaan, seorang yang arif, bijaksana dan saleh sehingga dicintai oleh banyak orang," kata Amien Rais saat menyampaikan pidato melepas kepergian Kuntowijoyo di rumah duka, Jl. Ampelgading 429 Condongcatur Depok Sleman, Rabu (23/2/2005) pukul 12.30 WIB. Menurut Amien, Kunto adalah seorang kepala keluarga yang berhasil membangun keluarga sakinah. Ketika mengajar dikampus pun, Kunto juga dicintai oleh mahasiswa dan sesama dosen karena kepandaiannya. Saat menjadi pengurus Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah sejak tahun 1990, pemikiran-pemikirannya sangatlah cemerlang. "Dia adalah seorang pemikir yang menguasai ilmu sejarah, sosiologi, budaya dan sastra sehingga karya-karyanya pun banyak dipuji orang. (www.detikNews.com) Menurut Haedar Nasir (PP Muhammadiyah), Kuntowijoyo adalah pencari kebenaran sejati, yang mampu menangkap tafsir Al Manar dan mengkontekstualisasikan dalam kehidupan modern. Kuntowijoyo meirntis Muhammadiyah untuk mengintegrasikan iman dan kemajuan telah melahirkan generasi muslim terpelajar
yang tidak saja memiliki
kepribadian kokoh, namun juga berorientasi untuk maju. Kelompok cendekiawan muslim Kuntowijoyo terdiri dari kaum cendekiawan muslim yang aktif menyuarakan kebenaran ilahiyah, membebaskan diri dari kesyirikan, dan aktif dalam amar ma’ruf nahi
lxxxvii
munkar,
mengajak
masyarakt
kepada
kebaikan
dan
mencegah
kemungkaran. b. Kelompok Sejarawan Kelompok sosial Kuntowijoyo juga dikatakan sebagai kelompok sejarawan. Sebagai sejarawan dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah mengajarkan kearifan itu. Baginya,
belajar
sejarah
adalah
proses
belajar
kearifan.
Dia
mengimplementasikan dlam kesehariannya yakni dengan sikap rendah hati dan bisa bergaul dengan semua orang. Menurut Sejarawan Prancis March Bloch, “Sejarah di atas segalanya, adalah tentang ilmu perubahan.” Historiografi atau penulisan sejarah Indonesia pun berkembang dari masa ke masa. Semula menurut Kuntowijoyo ada segelintir sejarawan yang merekayasa sejarah untuk kepentingan penguasa. (www.rumahbacacendekia.wordpress.com) Melalui buku Penjelasan Sejarah (2008) Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang mandiri, dalam arti memiliki filsafat ilmu sendiri, persoalan sendiri, serta penjelasan tersendiri. Argumen filosofisnya adalah serangkaian upaya untuk menafsirkan, memahami, dan mengerti. Dikatakan juga bahwa ilmu sejarah bersifat khas baik pada ruang lingkup maupun penjelasannya. Secara eksplisit hal tersebut dapat dipahami sebagai tonggak warisan dalam rangka mendorong kreativitas riset bagi generasi sejarawan sesudahnya. Harapannya kebenaran sebuah sejarah tidak lagi mudah untuk dimanipulasi atau dikamuflase hanya demi
lxxxviii
sebuah kepentingan kekuasaan. Karya-karya Kuntowijoyo tentang sejarah masyarakat dalam bingkai hegemoni penguasa sangat banyak, termasuk desertasinya yang mengangkat Masyarakat Petani Madura. Karya-karya beliau banyak dijadikan rujukan serta contoh berbagai karya tulis, terlebih tulisan beliau mengenai kebudayaan dan persejarahan. Tidak heran jika Prof.. Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa karyakarya beliaulah yang paling lengkap mengupas tentang pelbagai kebudayaan dan persejarahan Indonesia. Dia merekam berbagai kondisi perpolitikan Indonesia di saat pemerintahan Soeharto. Kuntowijoyo berusaha meluruskan sejarah yang dibengkokkan rezim orde baru. (www.rumahbacacendekia.wordpress.com) Ahmad Mansyur Suryanegara (Sabili, 2003: 36) mengatakan bahwa usaha untuk meluruskan sejarah bukan pekerjaan yang mudah. Dia pernah diancam akan dihadapkan pada regu tembak oleh seorang pembesar era orde baru ketika ia mau meluruskan catatan sejarah perjuangan Kiai Caringin. Sayangnya, upaya-upaya para sejarawan mengungkap sejarah tidak diimbangi oleh kemauan generasi muda untuk menjaga sejarah tersebut. Para sejarawan merasa prihatin pada generasi muda yang abai pada sejarah. Jika dilihat dari lingungan sosial dan pergulatan pemikiran kesejarahannya, kelompok sosial kuntowijoyo adalah kelompok sejarawan yang berwawasan ktitis dan intensif berjibaku dalam upaya pelurusan sejarah bangsa Indonesia.
lxxxix
c. Kelompok Budayawan Kelompok sosial Kuntowijoyo yang lain adalah kelompok budayawan, termasuk para sastrawan dan seniman.
Kuntowijoyo
merupakan salah satu begawan kebudayaan Indonesia. Budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) mengatakan bahwa selama berkenalan dan berkawan akrab selama 35 tahun dengan Kuntowijoyo, sebagai seorang sastrawan dan budayawan, Kuntowijoyo adalah seorang intelektual yang jujur, obyektif dan cemerlang. "Pak Kunto tidak pernah mati, karena itu dia tidak bisa digantikan siapa pun. Namun kita juga tidak boleh kehilangan dia," kata cak Nun. (www.rumahbacacendekia.wordpress.com) Cak Nun mengatakan bahwa Kuntowijoyo itu hidup dengan penuh kearifan, tidak pernah marah, tidak pernah punya hati jahat dengan siapa pun. "Dia itu cocok menjadi malaikat, tidak pernah punya ambisi, tidak pernah berbuat dosa dan maksiat. Tekun memikir dan orang yang luar biasa," katanya. Misi profetik berkaitan tersebut dilaksanakan di tengah-tengah manusia, tentu dengan memerhatikan konteksnya. Untuk saat ini, harus diakui bahwa peradaban dunia, termasuk Indonesia, tengah berada dalam hegemoni Barat. Kita semua telah memasuki, atau dimasuki, modernitas (bahkan pasca-modernitas) dengan segala eksesnya. Perkembangan teknologi mengubah struktur masyarakat yang tadinya agraris menjadi industrial. Tenaga manusia yang sebelumnya dominan diganti oleh mesin. Di samping manfaatnya, keadaan ini menjadikan dehumanisasi: manusia
xc
hidup seperti robot, serba mekanis dan otomatis. Sistem pasar dan globalisasi memerlakukan manusia sebagai gejala abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kuntowijoyo merupakan salah satu begawan kebudayaan Indonesia yang pemikirannya berlandaskan pandangan religius profetik. Kuntowijoyo mengingatkan pentingnya agama dan kemanusiaan agar terhindar bahaya globalisasi dan hegemoni budaya barat
2. Pemikiran Tokoh-Tokoh yang Berada dalam Satu Kelompok Sosial dengan Kuntowijoyo Salah satu komponen pandangan dunia pengarang adalah menyebutkan tokoh-tokoh yang memiliki pandangan dunia sama dengan Kuntowijoyo. Tidak semua tokoh yang memiliki pandangan dunia sama dengan Kuntowijoyo diuraikan di sini. Ada dua tokoh cendekiawan yang memiliki memiliki pandangan dunia religius profetik berlandaskan budaya Jawa yaitu: Amien Rais, Muhammad Diponegoro, dan Buya Hamka. a. Amien Rais Amien Rais pernah dijuluki King Maker karena perannya dalam reformasi 1998 yang menyebabkan kejatuhan Soeharto dan perannya dalam menentukan presiden pada tahun 1999 yakni dengan strategi poros tengah. Sebelum dikenal sebagai politisi, ia telah lama malang melintang di
dunia
pendidikan
dan
xci
organisasi
Islam
Muhammadiyah.
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah inilah yang menjadikan Amien Rais dan Kuntowijoyo memiliki kesamaan pandangan religius profetik. Ketika
ia
terpilih
sebagai
ketua
PP
Muhammadiyah
ia
melemparkan ide untuk menuju suksesi nasional. Hal ini merupakan keberanian yang luar biasa mengingat waktu itu Soeharto beghitu otoriter. Karena keberaniannya itu ia berhasil mengangkat pamor Muhammadiyah di tingkat nasional. Ketika kejatuhan Soeharto, ia adalah Cendekiawan yang berdiri paling depan. (www.isai.or.id, 2008) b. Muhammad Diponegoro Muhammad Diponegoro adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang telah banyak memberi sumbangsih dalam dunia sastra tanah air. Cerpen-cerpen Muhammad Diponegoro penuh dengan nilai-nilai moral dan hakikat hidup yang diciptakan dengan ilustrasi sederhana namun sangat mengena. (Nuri, 2010: 2) Muhammad
Diponegoro
merupakan
orang
yang
memiliki
pemikiran sama dengan Kuntowijoyo. Kesamaan ini disebabkan keterlibatannya dalam Muhammadiyah yakni sebagai wakil pemimpin redaksi Suara Muhammadiyah. Pandangan Islam modern tertuang dalam karya-karyanya yang dibacakan di Radio Australia. Bahkan dia menulis puitisasi terjemahan Alquran sebagai bentuk kecintaannya pada Alquran. Dia juga mendirikan teater Muslim Yogyakarta dan selalu menekankan pentingnya religiusitas dalam hidup karena manusia hidup harus mempunyai tujuan dan harus memegang ajaran agama.
xcii
2. Deskripsi Struktur Teks Novel Pasar, Novel Mantra Pejinak Ular, dan Novel Wasripin dan Satinah Salah satu analisis dari penelitian ini yaitu mengkaji struktur teks novel Pasar, novel Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah (WS). Setiap novel terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita. Pembahasan dalam bab ini dilakukan melalui pemaparan aspek struktur yang meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang. Analisis tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Tema Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan, Maka, tema merupakan pokok permasalahan yang menjadi bahan utama atau latar belakang cerita. Dari seluruh cerita novel Pasar, MPU, dan WS
tampak
permasalahan yang menonjol yaitu masyarakat Jawa yang harus menghadapi realita transisi kehidupan sosial budaya dan politik. Permasalahan sosial yang menjadi sejarah kemanusiaan itulah yang tidak lepas dari latar belakang cerita novel Pasar. Novel Pasar mengungkapkan proses pewarisan nilai-nilai Jawa dan transisi perubahan sosial budaya masyarakat. Cerita Pasar menampilkan bagaimana semestinya budaya Jawa yang dianut dan diwariskan masyarakat bertransformasi dalam kehidupan modern. Tokoh Pak Mantri dalam novel itu dijadikan sebagai andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin di masyarakat. Dalam konteks Jawa yang harus dimiliki para pemimpin itu adalah filosofi orang Jawa yang dengan tetap menstransformasikan sari-sari akar budaya
xciii
dalam mengelola kehidupan modern. Fakta tersebut dalam novel Pasar dapat dilihat pada ujaran Pak Mantri kepada Paijo seperti berikut: “Rumusnya adalah kebahagiaan bagi orang banyak. Sesuaikanlah kepentinganmu dengan kepentingan yang lebih besar. Inilah yang diperbuat Arjuna ketika menghadapi Resi Bima. Tidak salah lagi, pahlawan itu mencintai musuhnya, yang juga moyangnya. Tetapi layapkanlah dirimu bersama tujuan yang mulia. Muliakanlah dirimu bersama dengan kepentingan manusia. Mungkin itu menyiksamu. Menyedihkanmu. Menyengsarakanmu. Tetapi apa arti setitik air dalam samudera luas? Dan siapakah sangkamu Adipati Karna itu? Ia tahu Pandawa itu saudaranya sendiri. Tetapi ia memihak Kurawa, padahal sudah jelas bahwa ia akan hancur? Mengapa? Ia seorang pemberani. Dia itu menempatkan dirinya sebagai bagian dari warga yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang disebut Perang Baratayuda.” (Kuntowijoyo, 2002: 270-271). Persoalan utama yang diangkat dalam kisah MPU yaitu upaya perlawanan terhadap proses dehumanisasi dan objektivasi yang berlangsung di masyarakat, baik secara material maupun spiritual. Cerita MPU menampilkan masalah perjuangan seorang pegawai biasa yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan. Benturan-benturan kepentingan yang harus dialami sang tokoh baik sebagai dalang dengan lingkungan sosialnya maupun posisinya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), oleh pengarang dijadikan peranan yang baik untuk menyuguhkan tema yang bermakna itu kepada pembaca. Abu Kasan Sapari, seorang pegawai rendahan di kecamatan, menolak menjadi pegawai lebih tinggi untuk menunjukkan sikap penolakannya menjadi pengikut partai pemerintah yang berkuasa kala itu. Sang tokoh menganggap bahwa sistem mesin politik yang diterapkan partai tersebut merupakan bentuk dehumanisasi modern yang harus dilawan. Kesadaran yang kuat untuk tetap teguh
xciv
pada hati nurani siap menghadapi risiko penekanan bahkan penyingkiran atas dirinya. Baginya, itu lebih baik daripada menjadi pejabat atau anggota legislative tetapi tunduk pada sistem politik kepentingan. Berikut ini kutipan yang menggambarkan masalah tersebut: “Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak Abu sebagai caleg jadi,” kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain.” Abu bingung. Ia tak pernah menghubungi atau dihubungi siapasiapa. Kejadian itu sangat tiba-tiba. “Saya-saya tidak tahu apa-apa!” “Ya, Pak Abu tidak tahu. Tapi kami punya banyak telinga. Ini kehormatan. Jangan ditolak. “Tapi saya tak pernah mengharapkan.” “Banyak memang peristiwa di dunia ini yang berada di luar harapan.” Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” (Kuntowijoyo, 2000: 144) Sang tokoh juga menentang dehumanisasi tradisional yang masih ada di dalam masyarakatnya. Bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional tersebut dalam masyarakat Jawa di antaranya ialah pemujaan pohon besar, mantra tahayul, jimat, sesaji, tapa, kekeramatan kuburan, dan lain-lain. Sang tokoh mewujudkan penolakan dehumanisasi tradisional tersebut dengan membuang ularnya, memutus mata rantai mantra pejinak ular dan tidak menggunakan sesaji waktu mendalang. Secara halus sang tokoh berusaha bersikap kritis terhadap gejala mitologisasi dengan mengajak masyarakatnya cara berpikir lebih rasional. Kutipan berikut ini menggambarkan sikap yang diambil sang tokoh: Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah
xcv
itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. (Kuntowijoyo, 2000: 242) Sebagaimana ditunjukkan dalam novel MPU, budaya tradisi dan modern dalam novel Pasar pun dihadirkan dalam konteks sejarah dan kemanusiaan. Tokoh Pak Mantri yang mencoba dan berhasil mengatasi persoalan yang muncul di pasar merupakan satu tipe ideal pemimpin modern dibandingkan dengan camat, kepala polisi, dan pemimpin umumnya sekarang yang tidak mengerti baik akar tradisi sendiri maupun semangat modernitas. Di tangan orang yang tidak mengerti hakikat masa lalu dan masa kini, tradisi dan modernitas, manusia dan Tuhan, kehidupan modern akan tampil dalam bentuk-bentuknya yang melemahkan spiritualitas manusia. Sikap itulah yang ditunjukkan Pak Mantri sebagaimana kutipan berikut: Biarlah perempuan itu keheranan. Begitulah kalau mau tahu watak Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Dipandangnya burungburungnya yang berkeliaran. Ditinggalakannya Zaitun dalam keadaan bertanya-tanya. Memang, dirasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah datang juga petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel juga. Pantaslah, saya memahami kalian, saudara-saudara. Ia bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung! (Kuntowijoyo, 2002: 254) Pasar sebagai simbol tempat bertemunya manusia dengan segala karakternya yang melakukan interaksi sehingga membentuk komunitas sosial yang spesifik. Pasar di saat sekarang merupakan saksi sejarah atas proses perubahan sosial budaya pada masyarakat yang terus berlangsung. Dalam Novel WS
yang diangkat adalah ketidakberdayaan dalam
menghadapi proses marjinalisasi yang berlangsung di masyarakat pesisir yang
xcvi
disebut sebagai ekstrem kanan, subversive, dan dedengkot golput. Novel WS menampilkan seorang modin dan satpam TPI yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan. Berbagai konflik yang dialami tokoh oleh pengarang dijadikan peranan yang baik untuk menyuguhkan tema yang bermakna itu kepada pembaca. “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkanbila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”) (Kuntowijoyo, 2003: 137) Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DI/TII Pantura, antiPancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. (Kuntowijoyo, 2003: 231) “Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” (Kuntowijoyo, 2003: 255) Jika dalam novel Pasar dan MPU tokoh mampu menjadi pioneer dalam perubahan, tokoh novel WS tidak demikian. Tokoh dalam novel WS pada akhirnya tidak berdaya menghadapi kekuasaan politik dan militer. Meskipun demikian, perlawanan yang dilakukan Pak Modin dan Wasripin telah membakar semangat masyarakat pesisir untuk berani melawan meskipun risikonya besar. Bupati menugaskan kepala Dinas Perikanan untuk menemui para nelayan dan mengatakan bahwa melaut adalah untuk kepentingan nelayan sendiri, sambil menyampaikan ancaman itu. “Kami mau melaut, tapi pulangkan Pak Modin.” (Kuntowijoyo, 2003: 247) 2. Alur Novel Pasar, MPU, dan WS dibangun di atas alur yang menarik. Kontinuitas struktur cerita yang ditunjukkan dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang tersusun secara berurutan menjadi karakter alur novel Pasar. Secara jelas
xcvii
novel Pasar memiliki alur maju. Agak berbeda, cerita novel MPU dan WS memiliki struktur sastra konvensional roman yang kuat. Cerita MPU dan WS mengisahkan perjalanan hidup tokoh sejak kecil hingga menjadi sosok manusia dewasa. Alur dalam cerita MPU dan WS bersifat campuran karena gaya penceritaan waktu peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh tidak selamanya linear ke depan, tetapi juga terdapat kilas peristiwa yang bersifat flashback “mundur ke masa belakang”. Studi analisis tahapan alur dalam novel Pasar, MPU, dan WS dapat dipaparkan sebagai berikut: a. Eksposisi Cerita novel Pasar, MPU, dan WS diawali dengan menampilkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita bersama kedudukannya masingmasing. Di samping itu juga dipaparkan kondisi pembentuk latar cerita. Kutipan novel Pasar berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh yang terlibat di dalam cerita: Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri memupuk padanya. (Kuntowijoyo, 2002: 1) Kutipan di atas memunculkan tokoh Pak Mantri Pasar sebagai sentra cerita dan tokoh Kasan Ngali sebagai kontra. Tokoh Pak Camat dan Pak Kepala Polisi diperlihatkan sebagai pejabat pemerintah yang memiliki interaksi formal dan informal terhadap tokoh Pak Mantri Pasar. Di samping itu juga terdapat tokoh Siti Zaitun (hal. 3) sebagai pegawai Banak Pasar dan
xcviii
tokoh Paijo (hal.6) sebagai pegawai pasar yang membantu Pak Mantri Pasar serta tokoh para pedagang pasar (hal. 2). Peristiwa dalam kutipan novel MPU di bawah ini digunakan untuk memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan hal tersebut: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orangtuanya, “Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (Kuntowijoyo, 2000: 2) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh, yang kemudian dikenal dengan Abu Kasan Sapari, diperkenalkan masih keturunan pujangga besar Ronggowarsito, meskipun masih bayi memiliki karakter yang dewasa Abu Kasan Sapari pun membawanya untuk menjadi dalang, sebagaimana nampak dalam kutipan berikut: Pada tahun ketiga, kalau ada permintaan mendalang, Ki Lebdo selalu menanyakan pada yang datang, “Apa bisa diwakilkan?” Kalau orang yang datang setuju, pekerjaan itu akan diserahkan pada Abu. (Kuntowijoyo, 2000: 14) Pada tahap ini terdapat deskripsi cerita mundur dalam alur novel MPU. Deskripsi tersebut terlihat pada proses penceritaan pada peristiwa yang terjadi di masa lalu, yaitu deskripsi tentang Desa Palar di masa lalu dan kisah pertemuan antara ayah Abu dengan ibu Abu masa sebelum menikah. Berikut kutipan yang mendeskripsikan hal tersebut.
xcix
Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam. Tetapi ketika desa perdikan itu dihapuskan pada 1915, juru kunci makam tidak lagi otomatis menjadi lurah desa. Waktu pilihan lurah, juru kunci cum lurah pada waktu itu suka ma-lima, yaitu madon, minum, madat, main (“wanita, minuman keras, mengisap candu, judi”) sehingga tidak terpilih jadi lurah. (Kuntowijoyo, 2000: 4) Waktu itu ibu (calon) Abu berdagang pakaian dari pasar ke pasar dengan sepeda merek Releigh yang bisa bunyi ck-ck-ck dan ayah (calon) Abu menjalankan ternak apa saja milik para tetangga. Maka bertemulah ayah-ibu Abu. Ayah Abu suka membeli soto dekat ibu Abu berjualan. (Kuntowijoyo, 2000: 8) Peristiwa dalam kutipan novel WS di bawah ini digunakan untuk memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan hal tersebut: “Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. … Lalu Wasripin meloncat keluar, melambaikan tangan untuk mengucapkan terima kasih. Lambaian tangan itu juga berarti bahwa dia mengucapkan selamat tinggal untuk dunianya yang lama. “Inilah tumpah darah ibuku”, katanya dalam hati. Ia berjalan ke kiri, ke mana pun kaki melangkah, tanpa tahu tempat yang dituju. Pokoknya, pantai, pantai! (Kuntowijoyo, 2003: 1) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh diperkenalkan sebagai keturunan orang pantai dan sudah lama berada di Jakarta.
b. Inciting Moment Pada tahap ini baik novel Pasar, MPU, maupun WS mulai nampak permasalahan yang mengenai tokoh cerita. Gambaran permasalahan yang muncul pada tokoh novel Pasar, Pak Mantri, nampak dalam peristiwa berikut: Ternyata, lebih banyak pedagang yang berjualan di jalanan muka pasar daripada masuk los-los. Pak Mantri Pasar sudah berusaha
c
menggiring mereka ke dalam, tetapi sia-sia. Makin hari los-los makin sepi. Dengan bermacam-macam alasan. Seperti: “lebih baik di jalan”, “lebih dekat dengan pembeli” sampai “peruntungan saya di jalan, bukan di pasar”, itu membuat jengkel Pak Mantri Pasar saja. Akhirnya orang tua itu menyerah. Bahkan akhir-akhir ini orang yang telah menjual kambing di jalanan juga dan bukanya di pasar hewan. Semakin hari semakin parah dengan pedagang itu. Dan sialan, Pak Mantri Pasar pula yang disalahkan! Soalnya ialah karena burungburung dara itu. Tunggulah duduk perkaranya. (Kuntowijoyo, 2002: 4) “Coba. Mereka membunuh burung daraku. Seberani itu.” “Siapa?” “Orang pasar.” ….. “Juga Bank Pasar akan rugi. Burung-burung itu membunuh bank.” (Kuntowijoyo, 2002: 29) “Menabung, Ning?” Ah, untungnya saja habis dimakan burung dara! (Kuntowijoyo, 2002: 32) “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi! Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu! Betul tak mau bayar! (Kuntowijoyo, 2002: 35) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas permasalahan yang muncul disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara. Munculnya permasalahan terlihat ketika sebagian besar para pedagang berjualan di jalanan, bukan di loslos pasar yang telah ada. Di antara para pedagang itu beralasan karena terganggu oleh keberadaan burung-burung dara di pasar dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka pun menyalahkan Pak Mantri karena burung-burung dara tersebut dianggap milik Pak Mantri. Permasalahan berkembang saat para pedagang yang masih berjualan di dalam pasar pun mengalami emosi sehingga mereka berani membunuh burung dara Pak Mantri. Peristiwa itu kemudian diketahui oleh Pak Mantri dan disampaikannya kepada Siti Zaitun, pegawai Banak Pasar. Namun Siti Zaitun
ci
ternyata juga menyalahkan Pak Mantri. Siti Zaitun beranggapan bahwa kemunduran Bank Pasar karena tidak adanya para pedagang yang menabung lagi disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara di pasar. Keberadaan burung-burung dara tersebut dianggap telah mengakibatkan berkurangnya penghasilan para pedagang, sehingga mereka pun enggan untuk menabung lagi. Permasalahan lain muncul ketika para pedagang juga tidak mau lagi membayar retribusi pasar. Mereka beralasan karena dagangannya telah dimakan burung-burung dara. Pada tahap ini, dalam novel MPU, tokoh Abu Kasan Sapari mulai tersentuh dengan permasalahan ketika Abu mendapatkan mantra pejinak ular yang harus dipegangnya semasa dia hidup. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut: “Apa itu?” “Mantra pejinak ular.” Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya? Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.” (Kuntowijoyo, 2000: 19) Permasalahan yang juga dialami oleh Abu ialah ketika ia terlibat dalam perpolitikan. Abu memanfaatkan wayang untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Abu mendalang dengan mengambil cerita partisipasi rakyat dalam pemerintahan sebagai wujud kedaulatan dalam demokrasi. Di bawah ini adalah scenario wayangan yang dibuat oleh dalang Ki Abu Kasan Sapari. Judulnya “Bambang Indra Gentolet
cii
Takon Bapa” atau “Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah”. (Kuntowijoyo, 2000: 61) Permasalahan berkembang ketika keterlibatan Abu dengan politik semakin jauh. Ia mendalang untuk mendukung salah satu calon dalam pemilihan lurah. Padahal saat itu di samping sbagai dalang, kedudukan Abu juga sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini berarti ia mulai konflik berhadapan dengan Mesin Politik yang pada saat itu mempunyai kekuatan politik besar. Gambaran tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Kabar mengenai pemilihan lurah di Kemuning sudah didengar oleh media massa yang telaten nongkorng di Pemda. Seorang wartawan dari Suara Bengawan menemuni Pak Camat dan oleh camat diverwijs pada Abu Kasan Sapari. Abu mengatakan bahwa banyak hal menarik perlu diberitakan. Kemudian dia bercerita tentang campur tangan Mesin Politik, adanya botoh, dan peran dukun dalam Pilkades. Wartawan itu diberi kebebasan untuk meliput. Dia juga memberikan jadwal dia akan mendalang untuk mendukung calon. Wartawan itu berjanji akan datang nonton, untuk mengetahui efektivitas kesenian dalam politik, (Kuntowijoyo, 2000: 93-94) Dalam
novel
WS,
tokoh
Wasripin
mulai
tersentuh
dengan
permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut: “Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?” “Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.” (Kuntowijoyo, 2003: 65) Masalah berkembang ketika kepala TPI (Tempat Pelelangan Ikan) mendapat surat ancaman. TPI akan dibakar jika orang-orang TPI mencapuri
ciii
urusan mereka. Ternyata ancaman itu bukan omong kosong. Pada suatu malam TPI memang dibakar habis, sampai ludes.
c. Rising Action Peristiwa-peristiwa
yang
terjadi
terus
berkembang
mengalami
penajakkan konflik cerita. Pengarang berusaha mengembangkan konflik dengan melibatkan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran penting dalam kedudukan tokoh memacu peningkatan konflik. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Pasar ialah satu pendekatan negara terpenting. Pajak yang ditarik melalui pasar seyogyanya mendapat perhatian pula.” “Ya, Ya.” “Tahukah Pak Camat,” ah napasnya tak begitu teratur sudah. “Akhir-akhir ini di pasar terjadi pemogokan. Pemogokan! Pembangkangan!” (Kuntowijoyo, 2002: 65) “Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah memukulinya. Membunuhnya!” Kepala Polisi itu hanya menganggukangguk. Cepat mengeluarkan catatan dari saku celananya, lalu menulis itu. (Kuntowijoyo, 2002: 84) Kutipan di atas menerangkan ketika Pak Mantri melaporkan masalah para pedagang yang tidak mau membayar retribusi kepada Pak Camat sebagai bentuk upaya pembangkangan terhadap pemerintah. Sedangkan peristiwa matinya burung dara dilaporkannya kepada Pak Kepala Polisi sebagai tragedy pembunuhan. Tindakan yang dilakukan Pak Mantri tersebut secara tidak langsung membawa tokoh lain terlibat dalam permasalahan yang terjadi. Pak Mantri berkeinginan agar Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, selaku abdi negara, turut menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar.
civ
Tekanan konflik pun semakin terasa saat Pak Mantri menuduh keterlibatan Kasan Ngali, tokoh yang selama ini dikenal selalu bertentangan dengan Pak Mantri, dalam permasalahan yang terjadi. Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan berikut: “He, Jo. Aku tahu sekarang. Ini semua tentu ada biang keladinya. Tidak ada asap tanpa api. Tentu ada yang di belakang. Siapa, coba?” “Siapa, Pak?” “Orang itu, tentu.” “Ya, orang itu!” Ah, pantang bagi mulutku menyebut namanya. “Kasan Ngali, Pak?” “Siapa lagi!” “Terus bagaimana, Pak?” “Aku akan menggugatnya.” (Kuntowijoyo, 2002: 92-91) Bahkan hal yang tidak terduga terjadi, yaitu Pak Mantri harus berseteru dengan orang yang selama ini dianggapnya dekat, Siti Zaitun. Berikut kutipan yang memperlihatkan fakta tersebut: “Mengerti bagaimana, Pak? Pak Mantrilah sekarang yang bertanggung jawab untuk tutupnya bank ini. Setiap hari saya mencatat peristiwa burung dara itu. Mereka tak mau menabung karena untungnya habis dimakan burung dara itu. Tetapi syukurlah. Itu kebetulan. Makin cepat bank bangkrut makin baik. Segera saya dipindahkan dari kota gurem di gunung begini. Daerah setandus ini!” (Kuntowijoyo, 2002: 107)
Dalam novel MPU, konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik menyebabkan ia harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu dipindahtugaskan ke daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan berkuasa terhadap tatanan pemerintahan. Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalahgunakan kesenian.” “Yam Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu
cv
ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. (Kuntowijoyo, 2000: 105) Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya/ pasalnya tindakan Abu itu mendapat tentangan dari warga karena dianggap membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam konflik yang dialaminya. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. (Kuntowijoyo, 2000: 122) Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan Abulah penyebab dari banyaknya ular. (Kuntowijoyo, 2000: 131) Permasalahan yang dihadapi Abu semakin berkembang pada pananjakan konflik. Konflik antara Abu dengan Mesin Politik menyebabkan ia harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu dipindahtugaskan ke daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan berkuasa terhadap tatanan pemerintahan. Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalagunakan kesenian.” “Ya, Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. (Kuntowijoyo, 2000: 105) Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya.
cvi
Pasalnya tindakan Abu itu mendapat tantangan dari warga karena dianggap membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam konflik yang dialaminya. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. (Kuntowijoyo, 2000: 122) Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan Abulah penyebab dari banyaknya ular. (Kuntowijoyo, 2000: 131) Tokoh Wasripin dan Pak Modin dalam novel WS mendapat teror berkali-kali karena tidak mau menuruti keinginan Militer dan partai penguasa yaitu, Partai Randu. Ketika Pak Modin terpilih menjadi kepala desa, dia tidak dilantik karena diduga ekstrem kanan alias golput. Pak Modin kemudian dituduh subversif dan dibawa ke Semarang. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra Partai Randu setempat.(Kuntowijoyo, 2003: 137) Danramil lapor Dandim. Dandim lapor Danrem. Danrem lapor pada Laksudda (Pelaksana Khusus Daerah, mengurusi soal subversi). Maka Pak Modin pun dipanggil ke Semarang. (Kuntowijoyo, 2003: 89) Nasib Wasripin tidak jauh berbeda, diapun ditangkap karena dituduh mengajarkan agama sesat. Penyebabnya adalah para nelayan
cvii
memasang foto Wasripin pada kapal mereka. Ketika kepala polisi membebaskannya, militer memfitnah Wasripin dengan tuduhan mau memperkosa. Tuduhan ini juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan Wasripin karena Wasripin menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah pocong. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta diadakan sumpah pocong. (Kuntowijoyo, 2003: 166) d. Complication Perkembangan masalah yang terjadi dalam cerita menjadi lebih kompleks pada tahap ini. Dalam novel Pasar konflik yang terjadi semakin ruwet. Interaksi antara tokoh Pak Mantri dengan tokoh-tokoh lain menjadi friksi atau benturan sehingga membuat jalinan masalah semakin rumit. Tindakan Kasan Ngali mendirikan pasar merupakan bentuk pertentangan secara terang-terangan bagi Pak Mantri. Paijo melihat pasar itu. Benar-benar Kasan Ngali ingin menyaingi pasar yang sah. “Lebih bersih. Lebih strategis. Tidak bayar karcis. Kita berlomba dalam memberi servis masyarakat. Itulah ilmu dagang. Pegawai tak punya ilmu itu. Kau anggap pedagang-pedagang di pasar mesti melayanimu, dan bukan sebaliknya. Kalau ingin jadi feudal jangan kerja macam begini. Masyarakat tak butuh lagi semangat itu!” (Kuntowijoyo, 2002: 110-111) Konflik dengan Pak Mantri tidak hanya dengan Kasan Ngali. Di awal Pak Mantri sudah melibatkan Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, apalagi terhadap para pedagang yang menuntut banyak hal. Perkara itulah yang membuat kepercayaan dan harga diri Pak Mantri dipertaruhkan. Lebih-lebih terhadap Paijo, orang paling dekat yang selama ini telah membantunya.
cviii
Pak Mantri sudah mengancm camat pula! Dengan polisi belum beres. Dengan pedagang-pedagang belum selesai. Dengan Kasan Ngali apalagi! Pak Mantri terlalu banyak punya musuh. Dan Paijo harus berdiri pada Pak Mantri! Itulah susahnya. (Kuntowijoyo, 2002: 143) Kesusahan yang dialami Pak Mantri semakin bertambah. Pak Mantri digugat oleh dua perempuan yang dikenalnya baik. Karena kesalahpahaman Pak Mantri dilabrak Marsiyah, perempuan yang dikenalnya pada masa muda. Pertemuan kembali dengan Marsiyah tidak pernah oleh Pak Mantri. Pak Mantri dilabrak oleh Marsiyah karena laporan anaknya yang telah dimarahi dianggap memusuhinya. Peristiwa itu membuka kenangan lama yang dialami Pak Mantri terhadap Marsiyah. Seperti tersayat hati Pak Mantri. Ia tak tahan dengan adegan itu. Pelan ia melangkah. Tidak berani menoleh lagi. Sangat kecewa menyimpan muntahan pikiran yang tak jadi keluar. Oh, Marsiyah. Sampai hati kau! (Kuntowijoyo, 2002: 154) Di samping itu Zaitun, pegawai bank itu, menggugat Pak Mantri. Pak Mantri dianggap bertanggungjawab atas kepemilikan burung dara yang telah menyebabkan kemunduran Bank Pasar tempat ia bekerja. Berikut ini kutipan yang menggambarkan peristiwa tersebut: Mata Pak Mantri Pasar terbelalak. Orang bersalah mestinya minta maaf, itu yang betul. Siti Zaitun yang menurut Pak Mantri bersalah, malahan membentaknya. Darah melonjak ke kepala. Suara perempuan itu keras, menusuk-nusuk. Berani-beraninya! Apa urusan Pak Mantri, sungguh kurang ajar mengatakan itu. Di tengah pasar, merendahkan kekuasan Mantri Pasar! Urusan lain boleh saja ia singkirkan, tetapi soal-soal pasar dan burung-burung adalah haknya. Hidupnya tidak terpisahkan dengan kedua hal itu. Jatuh pasar, jatuh Pak Mantri. Jatuh burung dara, jatuh Pak Mantri. Untung dia cukup menghargai diri sendiri dengan memelihara adab pergaulan yang beradab. (Kuntowijoyo, 2002: 162)
cix
Dalam novel MPU pemasalahan yang dihadapi Abu semakin rumit ketika Abu mendalang lagi untuk mendukung salah satu calon, kali ini dalam pemilihan kepala desa. Hal ini menandakan pertentangannya terhadap Mesin Politik semakin kuat, meskipun ia tahu risiko yang akan dihadapinya. Sikap ini pun telah melibatkan lagi Lastri. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Lastri menyerahkan hal itu pada Abu. Abu cenderung menerima tawaran cakades itu, meski sebenarnya berat hatinya. Itu akan berarti bahwa ia sudah nekad. Risiko paling kecil ialah dimarahi, diskors, dipindah lagi, atau paling-paling dipecat, ya biar saja. Kepalang basah. Namun petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya, seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan. (Kuntowijoyo, 2000: 135) Kekalahan Abu pada pertarungan pemilihan kepala desa tidak membuatnya jera. Malah pada pemilu nasional ia mengambil sikap lain untuk menyatakan ketidaksepakatannya dengan Mesin Politik. Pernyataan Abu tentang sikap independensi dalang sebagai seni dalam pemilu nasional dipublikasikan media massa. Bahkan akhirnya ia membentuk Paguyuban Dalang Independen dan dibertakan media dengan wacana “Para Dalang Menolak Politisasi Kesenian”. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Koran yang memuat interviu dengan Abu Kasan Sapari kebanjiran surat. Pada umumnya mreka mengatakan bahwa intervieu itu menunjukkan visi dan misi pedalangan yang jelas sebagai sebuah profesi yang mandiri. Mereka juga menyatakan akan bergabung seandainya didirikan sebuah paguyuban. (Kuntowijoyo, 2000: 138139) Anehnya, pemberitaan di Koran pagi harinya menyatakan bahwa di Karangmojo sudah terbentuk Paguyuban Pedalangan Independen. Berita itu diberi judul, “Para Dalang Menolak Politisasi Kesenian”. (Kuntowijoyo, 2000: 143)
cx
Permasalahan tersebut tampak jelas semakin bertambah ketika Mesin Politik membuat respon negative terhadap sikap Abu. Mesin Politik berusaha menekan Abu agar tidak melakukan aktivitas yang merugikan Mesin Politik. “Maksudnya, mm, Pak Abu jangan mengerjakan apa-apa dan jangan bicara apa-apa menjelang pemilu ini. Dan untuk itu kami akan memberikan kompensasi.” (Kuntowijoyo, 2000: 139) Permasalahan-permasalahan yang dialami Abu belum mencapai klimaksnya. Peristiwa-peristiwa dari seluruh cerita yang terjadi ditahan untuk memperlihatkan proses menuju puncak klimaks cerita tersebut. Abu mengalami peristiwa yang semakin besar lagi terhadap permasalahan yang dihadapinya. Klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang hendak
mencalonkannya
menjadi
calon
anggota
legislative.
Sikap
pertentangannya tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. (Kuntowijoyo, 2000: 145) Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. (Kuntowijoyo, 2000: 148) Dalam novel WS, Wasripin diceritakan ditahan oleh kelompok geng yang kemudian disergap oleh geng lain. Meskipun dihajar, namun Wasripin masih bertahan. “Begitulah hukumannya jika kamu bohong. Nama?” “Wasripin” “Pekerjaan?”
cxi
“Satpam.” “Bohong!” sebuah tinju bersarang di kepalanya. (Kuntowijoyo, 2003:184)
e. Klimaks Pada tahap ini rangkaian-rangkaian peristiwa yang terjadi mencapai klimaks. Puncak dari seluruh cerita atau peristiwa sebelumnya ditahan untu dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Pada novel Pasar permasalahan yang dihadapi Pak Mantri tidak kunjung menemui titik solusinya, bahkan semakin bertambah besar. Klimaks cerita tejadi ketiak Pak Mantri sedang berusaha keras menyelesaikan masalahnya, tetapi pada saat itu Paijo malah mencabut laporan yang pernah disampaikannya kepada Pak Camat berkenaan dengan pasar baru yang didirikan oleh Kasan Ngali. “Anu, Pak. Dulu itu ada yang salah. Ini, tentang pasar baru punya Kasan Ngali itu. Yang benar ialah, bahwa di pasar baru itu tidak ditarik karcis. Jadi salah dulu itu. Sudah, Pak. Permisi.” (Kuntowijoyo, 2002: 210) Pak Mantri marah atas perbuatan yang dilakukan Paijo. Apalagi, setelah itu ia mendapat kabar bahwa Kasan Ngali telah mendirikan bank kredit. Tidak terkiarakan bencinya pada orang itu. Kasan Ngali telah mendirikan pasar. Sekarang mendirikan bank. Ia tahu mendirikan bank itu bukan gampang beigut saja asal mempunyuai papan nama. Mesti ada urusan dengan hukum! Rasanya kalau ia buka orang yang arif, tentu sudah memutuskan bahwa Kasan Ngalilah sejahat-jahatnya orang di muka bumi. Atau sebenarnya ia telah menuruti hawa nafsu dengan membenci orang lain itu? Camat, polisi, semua sudah dihubunginya. Ah, orang itu semoga pendek umurnya! Semoga disambar petir! Pak Mantri mengurut-urut dada. Tidak pantas ia berdoa yang seburuk itu, sebenarnya. (Kuntowijoyo, 2002: 226)
cxii
Akumulasi permasalahan yang dialami Pak Mantri memuncak ketika dalam kegagalannya menarik retribusi pasar dari para pedagang sehingga tidak bisa menyetorkan uang ke negara, ia malah dituduh melakukan tindak pidana korupsi uang pasar. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut: “Celaka, Pak!” Katanya mendahului. “Apa yang celaka, Paijo?” “Kita dituduh!” “Dituduh apa?” “Mengorupsi uang pasar!” “Siapa bilang itu?” “Ada pegawai ke camatan kesini!” (Kuntowijoyo, 2002: 250) Dalam novel MPU permasalahan-permasalahan yang dialami Abu mencapai klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang hendak mencalokannya menjadi calon anggota legislative. Sikap pertentangannya tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. (Kuntowijoyo, 2000: 145) Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. (Kuntowijoyo, 2000: 148) Wasripin dalam novel WS difitnah menyembunyikan senapan dan granat tangan. Dia kemudian ditahan. Peristiwa tersebut diceritakan sebagai berikut: Seorang tentara memadamkan listrik yang terang benderang. Lapangan jadi gelap. Dalam gelap itu Wasripin diantar oleh enam orang bersenjata ke rumahnya di samping surau. Tangan Wasripin diborgol. …. Seorang tentara menggeledah ruangan itu, tidak
cxiii
menemukan apa-apa, lalu menengok kolong tempat tidur Wasripin. Ia menunjuk ke seonggok senapan dan granat tangan. (Kuntowijoyo, 2003: 228) Pak Modin ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi antiPancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut: Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan! Jangan!” teriakan itu membuat orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti mati. (Kuntowijoyo, 2003: 246) f. Falling Action Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai menurun. Dalam novel Pasar, Pak Mantri mulai menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Pak Mantri mencoba untuk bersikap tenang. Ketenangan batinnya membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan situasi pasar serta mengembalikan kepercayaan warga pasar. Pak Mantri mengajurkan kepada para pedagang agar mereka kembali berjualan ke pasar. Bahkan dengan pertimbangannya para pedagang tidak dipungut retribusi. Gambaran tersebut tercantum dalam kutipan berikut: “Kita anjurkan mereka ke pasar. Anak-anak nakal akan pulang juga ke orang tuanya. Kerbau mesti pulang ke kandang. Pedagang mesti pulang ke pasar. Dan satu lagi.” Pak Mantri diam. Agak susah ia mengatakan ini. Ada pertimbangan-pertimbangan. Lama menanti, Paijo menyela. “Dan apa, Pak?” “Hm. Dan katakana mereka tidak akan dipungut pajak.” (Kuntowijoyo, 2002: 252)
cxiv
Malam hari Pak Mantri selalu tidur dengan tenang. Kemenangan batinnya membuat ia tenteram. Itulah saat-saat paling besar paling besar dalam hidupnya. Tidak lagi diingatnya Kasan Ngali, Siti Zaitun, orang-orang pasar. Ia melihat diri sendiri. Penemuannya sungguh mengagumkan, sangat jarang ditemukan orang macam itu dalam sejarah. Ternyata, ia mampu mengorbankan dirinya sendiri. Dan hal itu akan ditambahnya lagi. Sesuatu yang tak terjangkau oleh gagasan orang lain. Sambil tiduran ia memikirkan, kalau perlu burungburung daranya bisa saja ditangkap. Supaya orang-orang pasar itu selamat. Tentang caranya bisa dierahkan pada Paijo. Keputusannya yang luar biasa itu memberi harapan, bakan baginya sendiri. Dan ia yang setua itu mempunyai kerelaan yang demikian besar. Semoga diterima amalnya! (Kuntowijoyo, 2002: 253) Di sinilah kemudian nampak jiwa kepemimpinan yang dimiliki Pak Mantri. Pak Mantri menyadari bahwa solusi dari semua permasalahan terdapat di dalam dirinya. Solusi tersebut akan dapat dimunculkan dan diwujudkan dengan keberanian mengambil sikap diri tanpa harus bergantung pada orang lain. Jiwa ksatira seorang pemimpin dinyatakan dengan kemampuan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang lebih besar, bahkan tanpa harus diketahui banyak orang, maka respon kebaikanlah yang akan diterimanya. Keberhasilan dari hasil perjuangan Pak Mantri tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut” Aksi penertiban itu dijalankan dengan berhasil, tanpa pertengkaran polisi dan teriak-teriak keras. “Kalau mau negara teratur, pasar harus diatur. Pasar memegang peranan penting dalam Negara. Tanpa pasar ekonomi tidak jalan. Ayo los-los masih luang. Kesempatan bagi yang pandai. Tanpa tempat yang tetap, pedagang akan rugi. Tidak dikenal pembeli. Tidak dikenal pembeli, tidak dikenal rezeki. Iya, to Kang? Betul, to Yu?” Dia berjalan-jalan sambil mengomel. “Sebentar lagi musim hujan. Kalau hujan, mana enak, di jalanan atau di los pasar. Tidak hujan, tidak panas, tidak angina.” Maka bergeser sedikit-sedikit orang-orang masuk los. Sangat cemerlang pekerjaan itu dilakukan. Hanya tukang karcis Pak Mantri sanggup mengerjakan itu. Paijo sudah meningkat satu taraf lebih pandai. (Kuntowijoyo, 2002: 340)
cxv
Dengan kembalinya para pedagang berjualan di los-los pasar merupakan tanda kepercayaan mereka kepada negara. Kepercayaan warga pasar dengan sistem perbaikan yang digalakkan, yang berarti kepercayaan kepada Paijo juga Pak Mantri Pasar. Lebih-lebih kepercayaan itu juga terwujud dengan kemauan para pedagang untuk membayar kembali retribusi pasar yang lama tidak dipungut. Dengan diam, Paijo memuntahkan uang dari saku bajunya di meja. Pak Mantri heran. Apa pula ini? Ah, sudah mulai lagi karcis itu! Ya, hanya senyumlah yang keluar pada bibirnya. (Kuntowijoyo, 2002: 342) Pada tahap ini terjadi kilas balik peristiwa dalam cerita MPU. Kilas balik peristiwa masa lalu tersebut terlihat ketika Kakek Abu bercerita kepada Abu tentang kisah hidup leluhurnya (hal. 175-189). Fakta tersebut sedikit dapat diketahui dari kutipan berikut: (Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek bercerita). Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin. Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia mendapat hadiah sebuah hutan gung liwangliwung, hutan lebat. (Kuntowijoyo, 2000: 175) Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai menurun. Abu tidak lagi mendalang untuk mendukung calon yang berhadapan dengan Mesin Politik. Oleh karena itu sebutan dalang politik anti-Randu yang semula melekat pada dirinya sudah hilang. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari,
cxvi
“Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang. (Kuntowijoyo, 2000: 206) Perihal lain yang menjadi menurunnya cerita ialah semakin harmonisnya hubungan antara Abu dengan Lastri. Dalam hal ini, Abu memastikan apakah Lastri mau kalau ia nantinya menjadi istrinya. Peristiwa tersebut diwujudkan melalui dialog wayang ‘Cangik Bertanya pada Limbuk” sebagai berikut: Cangik : Aku sudah bilang Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah sudah pengalaman, bisa ngajari Mas Petruk. Limbuk : Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk? Cangik : Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orang tua, tapi orang tua menurut anak. Limbuk : Aku konservatif kok yung. Cangik : Artinya? Limbuk : Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk yam au, Mas Gatokaca ya mangga. (Kuntowijoyo, 2000: 226) Dalam novel WS, menurunnya cerita ditandai dengan kematian Wasripin dan sikap pasrah masyarakat pada takdir Tuhan. Pak modin sebagai sesepuh di perkampungan nelayan memberi nasihat untuk menenangkan masyarakat. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik.” (Kuntowijoyo, 2003: 246) g. Denovement Setelah cerita melalui proses pemecahan masalah dari semua peristiwa, maka mengarah pada penyelesaian. Dalam novel Pasar, Pak Mantri telah kembali pada keluhuran sikap dan ketenangan batin. Keseluruhan sikapnya membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan situasi pasar dan memulihkan
cxvii
kepercayaan warga pasar. Lebih dari itu, ketenangan batinnya membawa pada pandangan bahwa semua peristiwa dan permasalahan yang dialaminya merupakan
jaring-jaring
menuju
pemahaman
kesempurnaan
makna
kehidupan. Masalah-masalah yang ada telah terselesaikan dengan solusi yang tepat. Pak Mantri memulihkan kembali kepercayaan warga pasar terhadap dirinya. Para pedagang berpindah menempati los-los. Uang karcis mulai ditarik kembali. Tidak ada lagi persaingan dengan Kasan Ngali. Bahkan ia bisa membebaskan perasaannya terhadap Siti Zaitun. Kutipan berikut menjelaskan deskripsi tersebut: Siti Zaitun masih berdiri di tangga. Ia menatap semua orang. Ada Pak Mantri, Paijo, ibu-ibu, camat, kepala polisi. Dan Kasan Ngali! Ah! Terlalu banyak yang dikenangnya atau yang harus dilupakan. Ia telah memaafkan semua. Pak Mantri terpaku. Ia berbisik: Saya cinta kepadamu, Nak.” (Kuntowijoyo, 2002: 362) Pak Mantri selalu tahu tindakan apa yang harus dilakukannya. Dengan keyakinan yang mantap ia mewariskan nilai-nilai luhur kepemimpinan kepada generasi penerusnya, yaitu Paijo. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Dan kalau aku mati. Itulah warisanku, Nak. Pewarisnya, siapa saja yang menyebut diri orang Jawa. Aku akan menghubungi ini.” Lalu Pak Mantri mengeluarkan majalah bahasa Jawa. “Akan kurikulum ke sini. Tetapi ketahuilah, engkaulah yang sebenarnya pewaris. Maukah, Nak?” Paijo mengangguk. Kertas-kertas disusunnya. “Kalau macam mati meninggalkan belangnya. Kalau Pak Mantri mati meninggalkan tembang.” Lalu ia pun tertawa, terkekeh. Paijo tertawa. Tertawa yang sopan dan ringan. Paijo berkeringat. Tembang-tembang itu dibacanya. Bisa saja, tetapi lebih baik waktu lain. (Kuntowijoyo, 2002: 346) “Hari-hari terakhir untukku, Nak. Hari-hari pertama untukmu. Sebentar lagi saya akan meniggalkannya. Tetapi saya percaya padamu.
cxviii
“Kemudian suara itu tidak jelas, serak, berakhir dengan isak. Mereka masuk lingkungan kantor. (Kuntowijoyo, 2002: 363) Pada tahap ini, dalam novel MPU, semua peristiwa telah mengarah pada proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Abu telah mencapai kesadaran terhadap realitas kehidupan yang dialaminya dengan berinteraksi di masyarakat. Ia meyakini bahwa kemampuan manusia diwujudkan karena berusaha keras bukan karena mantra. Oleh karena itu, Abu rela melepas mantra yang pernah melekat dalam dirinya sehingga ia terikat pada pemahaman dan perilaku yang irasional sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Deskripsi tersebut dapat diketahui dalam kutipan berikut: Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus matarantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. (Kuntowijoyo, 2000: 242) Pada tahap ini, dalam novel WS, semua peristiwa telah mengarah pada proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Wasripin telah meninggal dan Pak Modin menjadi gila karena siksaan yang biadab. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut: “Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” (Kuntowijoyo, 2003: 255) Selain itu, masalah berakhir ditandai dengan pulangnya emak angkat Wasripin. Setelah menyatakan bertaubat di depan kyai, Emak mencari Wasripin dan Paman Satinah. Namun kedua orang itu telah meninggal.
cxix
Akhirnya Emak mencium tanah dua kali sebagai permohonan maaf untuk Wasripin dan Paman Satinah. Berikut ini kutipannnya: Perempuan itu mencium tanah dua kali. “Maafkan, emakmu. Maafkan, Mas.” (Kuntowijoyo, 2003: 254)
3. Tokoh dan Penokohan Sebuah cerita novel berjalan seiring dengan peran tokoh dan penokohan yang terdapat dalam cerita tersebut. Analisis struktur tokoh dan penokohan dalam novel Pasar, MPU, dan WS dilakukan dengan melihat penggambaran watak tokoh dari beberapa sisi, yaitu melalui metode deskripstif maupun dramatik. a. Deskripsi Tokoh-Tokoh dalam Novel Pasar, MPU, dan Wasripin dan Satinah Novel Pasar karya Kuntowijoyo menampilkan tokoh utama Pak Mantri, Paijo, Kasan Ngali, dan Siti Zaitun. Nama tokoh kemudian berkembang dengan nama-nama Pak Camat, Pak Kepala Polisi, Marsinah, pedagang pasar, anak-anak kecil, anak buah Kasan Ngali, Darmokendang, Jenal, pegawai kecamatan, dan pegawai kepolisian. Novel MPU memiliki tokoh dan penokohan yang menarik karena tidak semua tokoh diwujudkan dengan sosok tunggal manusia. Cerita MPU menampilkan tokoh utama Abu Kasan Sapari, Sulastri, dan Mesin Politik. Perkembangan cerita kemudian melibatkan tokoh tambahan seperti orang tua Abu, kakek nenek abu, wartawan, Haji Syamsudin, Ki Lebdocarito, Ki Manut Sumarsono, polisi, rakyat atau masyarakat desa, Kismo Kengser dan laki-laki tua. Tokoh-tokoh tambahan tersebut hanya muncul sekali atau beberapa kali dalam jalannya cerita.
cxx
Sedangakan novel WS memiliki menampilkan tokoh utama Wasripin, Satinah, Emak, dan Paman Satinah. Nama tokoh kemudian berkembang dengan nama-nama Pak Modin, Bu Modin, Danramil, Kapolsek, Perwira Pati, Camat, Sekdes, Nelayan, dan warga perkampungan nelayan. Novel Pasar menempatkan tokoh Pak Mantri sebagai pusat bagi pengarang untuk mengungkapkan ceritanya. Pak Mantri merupakan tokoh sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam cerita Pasar. Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Tokoh Pak Mantri berhubungan dengan tokoh pedagang pasar. Sebagai pengelola pasar tentu Pak Mantri sangat dekat dengan para pedagang yang setiap harinya mencari penghidupan di pasar. Oleh karena itu tokoh Pak Mantri tidak hanya memiliki hubungan strata dengan tokoh pedagang pasar. Tokoh Pak Mantri juga membangun hubungan persahabatan dengan mereka. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Biasanya, pada hari pasar macam begini Pak Mantri akan berkeliling, sekadar berbicara dengan orang-orang, terutama dengan penjual obat yang dari jauh. Sekadar bersahabat. Hari pasar sekali ini benar-benar kehilangan selera untuk berkelakar. Ia terpaksa dudukduduk di kantor. Tak ada minat. (Kuntowijoyo, 2002: 101) Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Siti Zaitun. Secara fisik tokoh Pak Mantri bertetangga dekat dengan tokoh Siti Zaitun karena Siti Zaitun bekerja sebagai pegawai bank yang letaknya bersebelahan dengan kantor pasar. Oleh karena itu mereka memiliki kedekatan emosional satu sama lain.
cxxi
Tobat! Alangkah malu. Siti Zaitun yang berkantor di sebelah itu sudah datang. Sepanjang hidupnya, mantra pasarlah yang membuka kantor paling pagi di kecamatan pelosok itu. Kebetulan mereka bertatapan. Perempuan itu tidak tersenyum, hanya mengangguk dingin. “Selamat pagi, Pak.” Itu di luar kebiasaan. (Kuntowijoyo, 2002: 7) Tokoh Pak Mantri berhubungan erat dengan Tokoh Paijo sebagai rekan kerja, meskipun kedudukan mereka berbeda. Tokoh Pak Mantri berkedudukan lebih tinggi daripada tokoh Paijo. Tokoh Paijo merupakan pegawai yang membantu kerja tokoh Pak Mantri dalam mengelola pasar, yaitu menarik retribusi pasar. Hubungan mereka dekat. Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ingat ketela itu, tegurnya: “Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini. Sudah kerja seumur hidup, belum tahu tugasnya.” (Kuntowijoyo, 2002: 9) Tokoh Pak Mantri memiliki hubungan yang kurang baik dengan tokoh Kasan Ngali. Tokoh Kasan Ngali sebagai pedagang kaya merupakan rival bagi tokoh Mantri Pasar baik dalam pengaruh di pasar maupun persaingannya dalam menarik hati tokoh Siti Zaitun. Dalam novel Pasar, tokoh Pak Mantri tidak pernah berbicara langsung kepada tokoh Kasan Ngali. Kutipan berikut menjelaskan hubungan tersebut. Kasan Ngali? Huh. Hanya dia belum juga punya alasan yang tepat untuk mengumumkan permusuhannya dengan laki-laki kurang sopan itu. Mungkin ia bisa menuntut atas dasar kucing itu? Nah ini bisa dipikir. Akal tuanya tak membenarkan hal seremeh itu dibesarbesarkan. Lagi pula Kasan Ngali bukan kucing dan kucing bukan Kasan Ngali. Ia bisa memaafkan kucing, tetapi memaafkan Kasan Ngali tidak mungkin. (Kuntowijoyo, 2002: 57) Tokoh Pak Mantri sebagai tokoh berpengaruh juga berhubungan dengan tokoh Pak Camat. Kedekatan hubungan antara Pak Mantri dengan Pak
cxxii
Camat merupakan penghormatan antartokoh berpengaruh di kota kecamatan. Adanya kepentingan masing-masing sangat memengaruhi hubungan mereka. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut: Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. (Kuntowijoyo, 2002: 61) Di samping itu tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Kepala Polisi sebagai penanggung jawab keamanan di kota kecamatan tersebut. Hubungan antara tokoh Pak Mantri dan tokoh Kepala Polisi pun terkait masalah kebutuhan dan tanggung jawab satu sama lain sebagaimana dalam kutipan berikut: Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri menghapus keringatnya. Sapu tangan itu wangi. Kepala Polisi mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. (Kuntowijoyo, 2002: 86) Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh anak-anak. Pak Mantri memandang anak-anak adalah kehidupan masa lalu yang pernah dialaminya pula. Oleh karena itu, Pak Mantri sangat sayang kepada anak-anak. Hubungan Pak Mantri dan anak-anak tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Pak Mantri mengelus-ngelus anak itu. Dan tangan yang dipegang anak itu dilihatnya. Ah, ada yang salah di sini. Anak itu ketakutan. Anak ini perlu ditolong. Ia harus mengangkatnya kuat-kuat, kalau mau menolongnya mengantar pulang. Ia tak bisa, ia terlalu lemah. Terpaksa ia melambai pada anak-anak yang diketahuinya menunggu di luar pagar. Ah, ia ingin menangis untuk anak itu. Ia sendiri senakal itu pula waktu kecil. Barangkali anak itu sangat patut
cxxiii
menjadi cucunya. Anak-anak yang di luar pagar itu ragu-ragu datang. Ia memanggil-manggil. Mereka datang juga. (Kuntowijoyo, 2002: 147) Di samping itu, tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Marsiyah. Bagi Pak Mantri, Marsiyah merupakan seorang wanita yang pernah dicintainya, tapi ia menerima takdir yang berbeda yang menurutnya itu lebih baik. Hubungan Pak Mantri dan Marsiyah tersebut nampak pada kutipan berikut: Lho! O, tentu salah urus, ini. Bagaimana memulai omong yang baik pada Marsiyah. Untunglah dia tak kawin dengan perempuan ini. Syukurlah. Akhirnya ia membenarkan nasib juga bagaimana keterangannya sampai perempuan itu melabraknya. Ini yang ingin diketahuinya. (Kuntowijoyo, 2002: 150 – 151) Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh sentra yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel MPU. Tokoh Abu paling banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan tokoh Abu sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Waktu kecil tokoh Abu sudah dipelihara oleh kakeh neneknya karena ikatan janji keluarga (hal. 6). Padahal tokoh Abu baru satu tahun diasuh kedua orangtunya. Menginjak masa pendidikannya juga untuk mengembangkan karir dalangnya tokoh Abu tinggal bersama tokoh Ki Lebdocarito (hal.13) bahkan kemudian tokoh Abu diangkat sebagai anak. Kutipan berikut menunjukkan adanya hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Lebdocarito: Dalam musyawarah keluarga ketika anak-anak berkumpul, Ki Lebdo mengutarakan maksud untuk mewariskan gamelan dan wayang kepada Abu, semuanya setuju. Kemudian ditulislah wasiat. (Kuntowijoyo, 2000: 15)
cxxiv
Sebagai dalang tokoh Abu juga berinteraksi dengan tokoh Ki Manut Sumarsono. Selain sebagai dalang senior, tokoh Ki Manut Sumarsono juga merupakan guru yang harus dihormati baginya. Berikut kutipan yang menunjukkan hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Manut Sumarsono: Ia dipercaya untuk mendalang pada peringatan hari lahir Ki Manut Sumarsono. Selain itu, Ki Manut Sumarsono punya cara sendiri untuk mempromosikannya. Mula-mula Ki Manut akan memulai, kemudian dia melanjutkan. Sesudah itu kadang-kadang orang yang datang pada Ki Manut akan di-verwijs padanya. (Kuntowijoyo, 2000: 106) Posisi tokoh Abu yang memiliki pandangan berbeda menyebabkan tokoh Abu terlibat masalah dengan tokoh Mesin Politik dan warga. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan interaksi pertentangan tokoh Abu dengan tokoh Mesin Politik juga warga: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. (Kuntowijoyo, 2000: 133) Masalah Abu dan ular itu telah membagi warga menjadi dua: yang mendukung Abu dan yang menentang. (Kuntowijoyo, 2000: 131)
Di samping itu, tokoh Abu juga memiliki hubungan cinta kasih dengan tokoh Sulastri. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan fakta tersebut: Di luaran, di kecamatan, di pasar, dan di terminal telah berkembang rerasan bahwa Abu akan mengawini Lastri. Orang-orang akan berhenti bekerja dan diam-dia memerhatikan Abu dan Lastri, kalau mereka sedang lewat. “Wajahnya sudah mirip,” kata orang. (Kuntowijoyo, 2000: 116) Tokoh Wasripin merupakan tokoh sentra yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel WS. Tokoh Wasripin paling
cxxv
banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan tokoh Wasripin sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Dalam
novel
WS,
tokoh
Wasripin
mulai
tersentuh
dengan
permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut: “Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?” “Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.” (Kuntowijoyo, 2003: 65) Wasripin ditangkap dengan tuduhan mau memperkosa. Tuduhan ini juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan Wasripin karena Wasripin menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah pocong. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta diadakan sumpah pocong. (Kuntowijoyo, 2003: 166) Di bagian akhir, Wasripin akhirnya mati ditembak karena dituduh sebagai komandan DI/TII. Berikut petikan cerita yang menunjukkan hal tersebut: Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DI/TII Pantura, antiPancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. (Kuntowijoyo, 2003: 231)
cxxvi
b. Penggolongan Tokoh dalam Novel Pasar dan Novel MPU Dalam novel Pasar, tokoh Pak Mantri merupakan tokoh yang melakukan segala tindak tokoh utama sebagaimana diamanatkan oleh pengarang. Karena itu tokoh Pak Mantri memenuhi syarat disebut sebagai tokoh protagonist. Tokoh protagonist memiliki watak yang baik sehingga disenangi oleh pembaca. Tokoh Kasan Ngali tidak disenangi karena sebagai seorang pedagang kaya, dalam bertindak selalu mendahulukan kepentingan pribadi juga memperhitungkan masalah keuntungan materi. Ketika pasar dalam keadaan kacau, sebagai orang yang mampu ia tidak mau ikut serta dalam memberikan solusi malah membuat kondisi semakin kacau. Di awal ia membantu orang menabung di bank pasar karena ingin mendekati tokoh Siti Zaitun. Bahkan karena keangkuhannya ia mendirikan bank kredit untuk membuat keadaan pasar menjadi labil. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Pasar baru Kasan Ngali telah mengacaukan pikirannya benar. Keparat! Kepada orang banyak yang lewat di jalan ia ingin mengatakan, bahwa mantra pasar sedang lewat, minggir, beri jalan! Tetapi ia tidak suka dengan penonjolan diri, justru dialah yang mencari-cari jalan di sela-sela orang. Mereka yang berbudi mesti mengalah, tidak berebutan jalan. Kalau berbuat baik boleh berebut, kalau berjalan tak usahlah berebut. Maka bukannya ia sengaja mengutuki Kasan Ngali, tetapi Kasan Ngali telah merugikan pasar yang dipegangnya. Karena tanggung jawablah ia berbuat. Sedang dia lupa membicarakan dengan polisi. Itu saja sayangnya. (Kuntowijoyo, 2002: 87) Dari sisi pandang lain, dapat diketahui kalau tokoh pedagang merupakan tokoh datar atau tokoh sederhana karena tokoh pedagang dan tokoh anak-anak kecil merupakan tokoh yang mudah dikenali tanpa perlu
cxxvii
analisis. Dari dulu dimana pun dan sampai kapan pun yang namanya pedagang dan anak-anak kecil memiliki karakter yang jelas. Sedangkan tokoh Pak Mantri, Paijo, Siti Zaitun, dan Kasan Ngali merupakan tokoh bulat karena dapat dimaklumi pembaca setelah dilakukan analisis mendalam tentang tokoh. Tokoh-tokoh tersebut diketahui setelah ada deskripsi fisik yang ditampilkan oleh pengarah juga dapat melalui analisis tindakan, pemikiran, dan interaksi dengan tokoh lainnya. Berikut ini gambaran tokoh pedagang yang selalu memperhitungkan segala sesuatu dengan perhitungan uang: “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi!” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu! Betul tak mau bayar! (Kuntowijoyo, 2002: 35) Sedangkan tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut: Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu! Jangan usik mereka. Lalu tangkap basah! Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari paguponnya. (Kuntowijoyo, 2002: 146) Dalam penyebutan lain, kecuali tokoh Pak Mantri, semua tokoh-tokoh yang disebut dalam novel Pasar merupakan tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut secara esensial dari awal hingga akhir cerita tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan yang diakibatkan oleh adanya pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh Pak Mantri disebut sebagai tokoh dinamis karena tokoh tersebut mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan akibat pengaruh peristiwa-peristiwa yang
cxxviii
terjadi. Perubahan tokoh Pak Mantri tersebut dapat dicermati melalui jalan pikiran tokoh Pak Mantri dalam berusaha menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar. Pak Mantri mengalami perkembangan pola piker yang mencerdaskan dalam mengambil keputusan-keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar. “Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah memukulinya. Membunuhnya!” (Kuntowijoyo, 2002: 84) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pak Mantri memiliki sikap keras perlakuan tokoh pedagang pasar terhadap burung-burung daranya. Sikap tersebut kemudian berubah setelah tokoh Pak Mantri mencapai kesadaran akal dan pikirannya. Tokoh Pak Mantri merubah sikap egois yang telah dimilikinya dulu menjadi sikap empati. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut: Begitulah kalau mau tahu watak Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Di pandangnya burung-burung yang berkeliaran. Ditinggalkannya Zaitun dalam keadaan bertanya-tanya. Memang, diarasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah datang petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel juga. Pantaslah, saya memahami kalian, Saudara-saudara. Ia bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung! (Kuntowijoyo, 2002: 254) Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel MPU kepada tokoh Abu mencakup watak dan sikap tokoh tersebut merupakan hal-hal yang disenangi pembaca. Tokoh Abu menghadapi dan menyelesaikan problema
cxxix
hidup diri juga masyarakat dengan sikap yang berani. Oleh karena itu tokoh Abu Kasan Sapari dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh Abu Kasan Sapari ialah tokoh Mesin Politik. Tokoh Mesin Politik memiliki watak dan sikap yang buruk sering melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, tokoh Mesin Politik mempunyai konflik dengan tokoh Abu Kasan Sapari. Tokoh Mesin Politik ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kutipan berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut: Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. (Kuntowijoyo, 2000: 133) Berdasarkan pandangan lain, tokoh Abu Kasan Sapari, tokoh Mesin Politik, dan tokoh Lastri merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut baru dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokohtokoh lain seperti tokoh wartawan, tokoh warga kampung, tokoh-tokoh rakyat, dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat permanent. Kutipan berikut menunjukkan watak tokoh wartawan yang suka menggunakan bahasa jurnalistik sebagai persepsi kebenarannya juga tokoh rakyat yang memiliki watak suka bertindak dengan emosi, tidak mengindahkan logika rasional: “Aku tahu kau heran. (Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144)
cxxx
Aku
telah
menyulap
angka.”
Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya. (Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198) Penyebutan lain tokoh dalam cerita MPU terdapat tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh Abu Kasan Sapari dapat disebut tokoh dinamis karena tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sikap keras yang dimiliki tokoh Abu pada masa awal berubah menjadi moderat dan strategik dalam menyikapi masalah yang dialaminya. Begitu pula pandangannya terhadap pengaruh mantra yang dimilikinya terhadap kehidupannya menjadi tidak percaya hal takhayul. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut: Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu ‘dalang politik antiRandu’. (Kuntowijoyo, 2000: 205) Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus matarantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. (Kuntowijoyo, 2000: 242) Sedangkan tokoh-tokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perkembangan perwatakan secara esensial. Tokoh-tokoh tersebut tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang dikisahkan. Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel WS kepada tokoh Wasripin dan Satinah mencakup watak dan sikap tokoh yang disenangi pembaca. Tokoh Wasripin dan Satinah menghadapi dan menyelesaikan
cxxxi
problema hidup diri dengan sikap yang lugu dan berani. Oleh karena itu tokoh Wasripin dan Satinah dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Tokoh lain yang juga dikategorikan dalam tokoh protagonis adalah tokoh Pak Modin. Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh protagonist ialah tokoh Ketua Partai Randu, orang-orang militer, dan Presiden Sadarto. Tokoh-tokoh tersebut memiliki watak dan sikap yang buruk sering melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, tokoh-tokoh tersebut mempunyai konflik dengan tokoh Wasripin, Satinah, dan Pak Modin. Tokoh Ketua Partai Randu ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kutipan berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut: “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”) (Kuntowijoyo, 2003: 137) Berdasarkan pandangan lain, tokoh Wasripin, Satinah, Pak Modin, dan Ketua Partai Randu merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut baru dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokohtokoh lain seperti tokoh Danramil, tokoh warga kampong nelayan, dosen, Satgas, dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat permanen. Penyebutan lain tokoh dalam cerita WS terdapat tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh Wasripin dan Pak Modin dapat disebut tokoh dinamis karena tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya
cxxxii
keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokohtokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perkembangan perwatakan secara esensial. Tokoh-tokoh tersebut tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang dikisahkan.
c. Perwatakan Tokoh Salah satu hal yang menjadi karakteristik novel yaitu perwatakan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Setiap tokoh yang ditampilkan dalam novel Pasar memiliki watak yang berbeda yang menjadi karakteristik masingmasing tokoh. Meskipun begitu tokoh-tokoh tersebut saling melakukan interaksi sosial satu sama lain. Selanjutnya akan diuraikan tentang bagaimana pengarang mendeskripsikan tokoh-tokoh ceritanya. Deskripsi watak tokoh Pak Mantri seperti dalam kutipan berikut: Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi , dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini! Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri menumpuk padanya. Siapa tidak percaya kebaikan budi Pak Mantri Pasar, baik bertanya pada diri sendiri apakah keputusan itu sepantasnya. (Kuntowijoyo, 2002: 1) Habis, memang tak akan ada orang lain. Dalam hal membuat candrasengkala, Pak Mantri tak ada duanya. (Kuntowijoyo, 2002: 63) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Pak Mantri dideskripsikan sebagai tokoh utama yang dikenal karena interaksi sosialnya yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah. Tokoh Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang jujur, setia sopan, dan tahu
cxxxiii
diri. Di samping itu tokoh Pak Mantri adalah guru yang baik bagi tokoh Paijo (hal. 155 – 159). Tokoh Pak Mantri senantiasa memberikan nasehat dan teladan mengenai hakikat hidup kepada tokoh Paijo. Tokoh Pak Mantri juga sosok
yang
bertanggung
jawab
(hal.
252).
Ia
senantiasa
mempertanggungjawabkan hasil perbuatan yang telah dilakukannya. Hal itu bisa dilihat ketika Pak Mantri memperbolehkan burung daranya untuk ditangkap dan dimiliki, juga berjiwa besar ketika dituduh telah menggunakan uang pasar. Pak Mantri pun memiliki sifat sabar (hal. 273) dalam menghadapi tantangan hidup yang dialaminya. Hal lain yang melekat dalam diri tokoh Pak Mantri ialah ia merupakan orang yang telah berumur dengan pemahaman ilmu kejawen yang baik. Dapat dikatakan tokoh Pak Mantri merupakan sosok kawulo Jawa yang hidup di jamannya. Deskripsi watak tokoh Paijo seperti dalam kutipan berikut: Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ketela itu, tegurnya: “Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini. Seumur hidup, belum tahu tugas-tugasnya.” Paijo menggapai sapu ijuk di pojok kamar. (Kuntowijoyo, 2002: 9) Itulah Paijo yang tak mengerti benar. Dan perasaan itu berlainan sama sekali bila yang menepuk pundak adalah Kasan Ngali. Seperti Kasan Ngali menjanjikan pekerjaan dan uang, sedangkan Pak Mantri menjanjikan yang lain. Hanya Paijo tidak tahu persis, apa yang telah membuatnya terikat dengan laki-laki tua itu. Di samping Pak Mantri, ia merasa kecil. Sekalipun kadang-kadang ia kurang ajaran. Namun jauh dalam hatinya ada yang menyuruhnya hormat. Tidak dimengerti apa sebabnya, tetapi begitulah. Maka siang ia menurut saja pulang sampai larut siang, sambil kadang-kadang merasa kasihan pada laki-laki tua yang dihadapannya. Ah, Pak Mantri! (Kuntowijoyo, 2002: 116)
cxxxiv
Paijo kembali ke pasar. Dengan dua orang polisi! Bagaimana ia berhasil membawa polisi, itu luar biasa. Persahabatan telah menolongnya. Ah, sedikit terlambat ia punya pikiran itu. E, Paijo juga punya polisi! Keuntungan dari main bola. (Kuntowijoyo, 2002: 316) Pengarang mendeskripsikan tokoh Paijo sebagia juru karcis, pegawai bawahan tokoh Pak Mantri, yang penurut, meskipun terkadang harus diperingatkan dalam menjalankan tugasnya. Tokoh Paijo juga merangkap tukang sapu, mengurusi burung-burung peliharaan Pak Mantri serta pekerjaanpekerjaan lain (hal. 6). Tokoh Paijo memiliki watak yang lugu sehingga jalan pikirannya senantiasa diarahkan oleh hati nuraninya yang jujur, bukan oleh nafsu dan emosi. Tokoh Paijo sangat menghormati tokoh Pak Mantri sebagai atasnnya juga orang yang memiliki teladan dan kharismatik lebih baginya. Tokoh paijo juga termasuk orang yang sabar dalam menghadapi pertentangan dengan tokoh lain, seperti tokoh pedagang dan tokoh Kasan Ngali (hal. 275). Bagaimanapun juga tokoh Paijo memiliki relasi yang bagus dengan tokohtokoh yang mempunyai kekuasaan, seperti tokoh polisi. Sebagai sosok pegawai, ia termasuk orang yang cukup cerdas dalam menangani permasalahan tertentu. Deskripsi watak tokoh Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut: Kasan Ngali jelas tak pernah bercermin. Aduh, biasanya pakai celana komprang kolor. Sekarang bukan main. Lihatlah, he ada babi pakai baju! Sekarang orang itu pakai topi betul, berkacamata putih, celana panjang, dan baju kotak-kotak. Pak Mantri tahu saja, topi itu adalah untuk menutupi botaknya di gundul itu! Hanya tongkat itu! Pakai tongkat segala. Kenapa tidak naik kuda sekalian? Itu menimbulkan tertawaa Pak Mantri. (Kuntowijoyo, 2002: 94) Kasan Ngali di tokonya. Orang kaya akan selalu memenangkan pertandingan, Bung! Ia akan menunjukkan bahwa uang itu berkuasa. Akan ditunjukkannya siapa Kasan Ngali sebenarnya. Bahwa dengan
cxxxv
uang itu, sebenarnya orang bisa berbuat banyak. Ya, biar orang tahu. Ia tersenyum melihat kemungkinan-kemungkinan itu. (Kuntowijoyo, 2002: 267) Berdasarkan kutipan di atas secara fisik tokoh Kasan Ngali dideskripsikan bertubuh gemuk dengan analogi “hewan babi” dan “celana komprang kolor” serta berkepala botak. Tokoh Kasan Ngali adalah sosok pedagang kaya. Namun, cara berdagang yang dilakukannya menunjukkan bahwa ia bukan pedagang yang jujur karena senang menimbun bahan pokok untuk dijual kemudian hari. Tokoh Kasan Ngali menampakkan watak suka bergaya pamer atas kekayaan yang ia miliki seperti uang, busana mahal, dan mobil. Dengan kekayaan yang dimilikinya tokoh Kasan Ngali menjadi sombong karena ia merasa dapat berbuat sesuai keinginannya. Tokoh Kasan Ngali tidak memiliki interaksi sosial yang bagus dengan tokoh-tokoh yang lain, seperti tokoh Pak Mantri, tokoh Paijo, tokoh Siti Zaitun, tokoh Pak Polisi bahkan kepada pegawainya sendiri yang sering diperlakukan kasar. Oleh karena itu, tokoh Kasan Ngali tidak disukai tokoh lain. Deskripsi watak tokoh Siti Zaitun seperti dalam kutipan berikut: Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat atau datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. (Kuntowijoyo, 2002: 350) Siti Zaitun, gadis cantik, pegawai bank, yang sosial, suka membantu, yang peramah, yang menyenangkan, yang matanya bercahaya, yang kulitnya kuning itu, yang selalu rapi pakaiannya. (Kuntowijoyo, 2002: 361)
cxxxvi
Deskripsi tokoh Siti Zaitun dinampakkan dengan jelas yaitu sosok gadis cantik yang matanya bercahaya, kulitnya kuning dan memerhatikan penampilan yang rapi. Tokoh Siti Zaitun juga seorang pegawai bank yang berjiwa sosial, suka membantu, ramah dan menyeyangkan. Watak tokoh Siti Zaitun membuat ia disenangi oleh tokoh-tokoh lain sehingga keberadaannya begitu terasa bagi tokoh-tokoh lain. Di samping itu, tokoh Siti Zaitun juga memiliki sikap berani menentang pikiran dan perilaku tidak baik dari tokoh lain terhadap dirinya, seperti yang dilakukannya terhadap tokoh Pak Mantri (hal. 106-107) dan tokoh Kasan Ngali (hal. 139). Deskripsi watak tokoh Pak Camat seperti dalam kutipan berikut: Hari sudah siang waktu itu. Pak Camat tahu juga kesopanan, ia minta maaf pada Pak Mantri karena ada sedikit keperluan. Ya, nonton adu jago. Itu Mantri Pasar sudah tahu. Lalu Camat itu juga membisikkan bahwa ia baru saja nonton adu jago. (Kuntowijoyo, 2002: 62) Pengarang mendeskripsikan tokoh Pak Camat sebagai sosok pegawai pemerintah yang kental dengan budaya-budaya feodal. Dalam hal birokrasi misalnya, tokoh Pak Camat masih menggunakan aturan formal janji temu, tetapi kepada tokoh-tokoh tertentu yang dihormati ia lebih fleksibel. Dalam interaksi sosial, tokoh Pak Camat membedakan keeratan terhadap siapa orang yang dihadapi, terutama dipandang dari status sosial di masyarakat. Tradisi terlambat dan tidak hadir dalam acara tertentu pun melekat dalam diri tokoh Pak Camat karena menimbang aspek kepentingan bagi dirinya (hal. 143). Di samping itu, tokoh Pak Camat juga menyukai perilaku nonton adu jago. Perilaku tersebut sebenarnya bagi kapasitas tokoh masyarakat dipandang
cxxxvii
kurang tidak layak, bahkan jika sampai meninggalkan tugasnya sebagai abdi negara dan masyarakat. Deskripsi tokoh Pak Kepala Polisi seperti dalam kutipan berikut: Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung! Keterlaluan! Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan (Kuntowijoyo, 2002: 83) “Ya, ya. Sekarang begini saja, Pak. Bapak bisa pulang. Dan urusan ini kami tampung. Akan kami pertimbangkan, tindakan apa yang bisa dilakukan.” “Nah, itulah!” Pak Mantri lega sebentar. Kemudian timbul pikirannya yang lain. “Coba gambarkan, perbuatan apa yang akan dilakukan oleh polisis?” “Kita pikir dulu.” “Tanggap saja!” “Pendek kata yang setimpal,” kata kepala polisi “Pendek kata yang setismpal,” kata Pak Mantri Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri menghapus keringatnya. Saputangan itu wangi. Kepala Polisi mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. (Kuntowijoyo, 2002: 86) Pengarang mendeskripsikan watak tokoh Pak Kepala Polisi mirip dengan watak tokoh Pak Camat, yaitu kenal dengan budaya-budaya feudal. Pak Kepala Polisi membedakan sikap dalam berinteraksi dengan memberi penghormatan lebih kepada tokoh yang memiliki status tinggi di masyarakat. Di samping itu, tokoh Pak Kepala Polisi juga biasa melakukan sesuatu kesenangan dalam waktu dinas. Dalam kutipan di atas, perbuatan tersebut dicontohkan dengan masuk pasar dan menawar burung pada jam dinas. Pak Polisi juga bertindak tidak gagabah dalam sesuatu masalah dan ia pandai melakukan komunikasi yang birokratif dengan tokoh lain.
cxxxviii
Deskripsi watak tokoh Marsiyah seperti dalam kutipan berikut: Bening matanya! Putih wajahnya! Terurai rambutnya! Ada yang memancar-mancar pada muka itu! Dulu ia berpendapat bahwa Marsiyah ini pasti keturunan kerabat kerajaan yang terlempar dari desa. Ada yang lain padanya, yang tak ditemukan pada perempuan desa biasa. (Kuntowijoyo, 2002: 152) “Engkau salah paham, Marsiyah.” “Cukup,” kata perempuan itu sengetah membentak. Hilanglah kalimat-kalimat yang tersusun di kepala Pak Mantri. Tinggal potongan-potongan. “Saya datang kemari…..” “Tidak butuh orang!” (Kuntowijoyo, 2002: 152 – 153) Deskripsi tokoh Marsiyah dinampakkan secara jelas. Secara fisik, tokoh Marsiyah adalah seorang wanita paruh baya (hal. 152) yang memiliki tubuh terawat dengan mata bening, wajah putih, dan rambut terurai serta muka yang bersinar-sinar. Watak tokoh Marsiyah digambarkan sebagai sosok penuh emosi dan tidak mau menerima penjelasan tokoh lain. Deskripsi watak tokoh pedagang pasar seperti dalam kutipan berikut: “Hitunglah, Pak,” kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi!” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu! Betul tak mau bayar! (Kuntowijoyo, 2002: 35) Umpatan, teriakan, kegemasan. Sebuah tenggok dagangan, entah apa isinya, tertumbuk. “Hati-hati, e!” “Awas!” “Bajingan!” “Anjing”! “Dagangan! Dagangan!” “Wo!” “Kurang ajar, dagangan disusun baik-baik, tumpah.” (Kuntowijoyo, 2002: 38) Tokoh pedagang memiliki pendeskripsian watak yang jelas. Tokoh pedagang
pasar
merupakan
tokoh
yang
memiliki
watak
selalu
memperhitungkan dengan uang segala sesuatunya. Di samping itu, tokoh pedagang pasar juga tokoh yang suka berbicara dengan bahasa kasar dengan berbagai umpatan-umpatan sehingga dikenal adanya bahasa pasar.
cxxxix
Deskripsi watak tokoh anak-anak kecil sebagai berikut: Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu! Jangan usik mreka. Lalu tangkap basah! Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari dari peguponnya. (Kuntowijoyo, 2002: 146) Tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng. Mereka bertindak belum mempertimbangkan baik buruk nilai perbuatannya tersebut. Berdasarkan kutipan di atas contoh dari perbuatan yang dilakukan tokoh anakanak kecil ialah berusaha akan mencuri burung-burung dara milik tokoh Pak Mantri. Deskripsi watak anak buah Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut: Kebetulan bagi mereka. Ketika mereka lewat tergesa-gesa di muka Paijo, tukang karcis itu bertanya, mau kemana mereka. Lalu mereka berteriak keras. Supaya Kasan Ngali mendengar. “Beli kambing benggala. Beli kambing bandot! Yang besar! Yang gemuk! “Untuk apa?” “Apalagi! Kita mau pesta! Hi-hu!” (Kuntowijoyo, 2002: 321) Tokoh anak buah Kasan Ngali dideskripsikan mewakili watak penurut buta, yaitu selalu menuruti segala perintah majikannya, tokoh Kasan Ngali, tanpa pengetahuan karena rasa takut kepada majikannya. Tokoh anak buah Kasan Ngali juga suka mencari muka di hadapan majikannya agar majikannya tersebut merasa senang. Deskripsi watak tokoh Darmokendang seperti dalam kutipan berikut: Sebenarnya tidak sampai di rumah Sri Hesti. Hanya berbicara sedikit dengan ketua perkumpulan, lalu minta diantar kembali. Ada pikirannya, sudah. “Dia mau main juga,” katanya “Kalau sudah jadi biniku?”
cxl
Kalau Paka Kasan sanggup memberi pekerjaan untuk semua rombongan, ia mau berhenti.” “Mati! Wong ayu mahal harganya! Maksudnya bagaimana?” “Ya, itu permintaannya, Pak!” “Tidak mungkin!” “Lalu bagaimana?” (Kuntowijoyo, 2002: 356) Tokoh Darmokendang adalah salah satu anggota rombongan ketoprak. Berdasarkan
kutipan
di
atas
dapat
diketahui
bahwa
watak
tokoh
Darmokendang ialah suka berbohong. Tokoh Darmokendang juga suka melakukan perbuatan dengan pertimbangan keuntungan bagi dirinya. Tokoh Darmokendang pandai berdebat kata untuk mencapai keinginannya tersebut. Deskripsi watak tokoh Jenal seperti kutipan berikut: Jenal berbisik juga, “Pak, wah saya mau bicara.” Dan Jenal menarik tangan Kasan Ngali. “Wah, seperti yang punya rumah kau saja!” Tetapi Kasan Ngali menurut juga. “Saya punya firasat tak baik tentang perempuan itu, Pak. Untunglah menjadi tukang cukur itu banyak faedahnya. Waktu dicukur, semua omongan bisa keluar. Sungguh, Pak. Jangan kawin dengan dia.” “Mengapa tidak?” “Semua orang tahu! Tidak seorang pun lupa bahwa ia main ketoprak!” “Itu jelas. Apa soalnya?” “Pak Kasan itu kaya, terhormat. Mengapa harus kawin dengan dia?” (Kuntowijoyo, 2002: 353) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Jenal adalah seorang tukang cukur. Tokoh Jenal memiliki watak merasa dekat dengan siapa saja yang pernah berinteraksi dengannya, termasuk kepada tokoh terpandang Kasan Ngali. Dari pekerjaannya itu tokoh Jenal menjadi orang yang suka mendengarkan informasi dan menyampaikan informasi tersebut bilamana perlu. Hal tersebut dapat dicermati ketika tokoh Jenal memberikan saran kepada tokoh Kasan Ngali.
cxli
Deskripsi tokoh pegawai kecamatan dan pegawai kepolisian seperti dalam kutipan berikut: “Maaf, Nak. Apa Pak Camat ada?” Tukang ketik itu mengangkat muka dan menjawab. “Coba tulis di buku tamu,” menunjuk ke meja buku tamu. (Kuntowijoyo, 2002: 58) “Kantor ini sepi saja. Di mana Pak Camat?” Kecurigaannya diusahakannya untuk dilupakan. “Tunggu saja, di sana.” Juru tulis menunjuk deretan kursi. (Kuntowijoyo, 2002: 59) Ketika Kepala Polisi sudah kembali dan Pak Mantri sendirian membenarkan letak pakaiannya di depan kantor itu, seorang agen menegur. “Pasti perkara burung dara!” Kurang ajar, pikir Pak Mantri. Sedangkan kepalanya saja menghormati. (Kuntowijoyo, 2002: 86)
Berdasarkan deskripsi dialog di atas dapat diketahui bahwa tokoh pegawai kecamatan memiliki watak pragmatis, hanya menjalankan tugas apa adanya karena tidak merasa kepentingan pribadinya. Sikap pegawai tersebut ditunjukkan dengan acuh tak acuh kepada yang memerlukan pelayanan darinya. Sedangkan watak tokoh pegawai kepolisian cenderung apatis terhadap kepentingan orang lain. Tokoh-tokoh dalam cerita MPU juga memiliki perwatakan yang berbeda satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk memerankan peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan amanatnya. Pengarang menguraikan peran watak tokoh-tokoh cerita dengan mendeskripsikan setiap aktivitas dan fisik para tokoh yang dapat diketahui melalui bacaan dalam cerita.
cxlii
Deskripsi watak tokoh Abu Kasan Sapari seperti dalam kutipan berikut: Ketekunannya nyantrik di rumah Notocarito sudah menghasilkan bukti. Di SD kelas V ia jadi dalang cilik yang punya nilai tertinggi di Festival Dalan Cilik se-Kabupaten Klaten. Di SMP ia menjadi juara dalang cilik se-eks Karesidenan Surakarta. Di SMP ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah. (Kuntowijoyo, 2000: 12) Ketika dia berkeliling desa, dengan kuda inventaris, topi pedagang krupuk, tas sekolah yang digantung menyilang pundak, tibatiba tangan kanannya ke udara, ibu jarinya bergeser dengan telunjuknya, berbunyi “cetit”, “Aku tahu!” Ya, ia tahu: orang-orang desa harus diajak membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai desa. Langkah pertama, menurut kursus, ialah sosialisasi gagasan. (Kuntowijoyo, 2000: 16) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Abu Kasan Sapari sejak kecil telah memiliki watak baik. Ia adalah seorang yang tekun belajar dan berprestasi. Masa dewasanya menunjukkan ia dapat menggunakan kecerdasannya untuk membantu masyarakat di tempat ia tinggal. Kepiawaian utama yang dimilikinya ialah sebagai seorang dalang. Sebagai dalang ia juga termasuk orang yang menghindari perbuatan tabu bagi seorang muslim Jawa, yaitu kepercayaan terhadap hal takhayul. Hal itu dapat dicermati pada kutipan berikut: “Soal lakon, Pak, saya lebih suka ‘Semar Boyong’. Artinya kira-kira pemimpin itu butuh rakyat.” “Bagus, ternyata kau diam-diam nggembol watu item. Diam di luar, tapi penuh isi di dalam.” (Kuntowijoyo, 2000: 30) “Tidak akan ada sesajen,” kata Abu. “Itu tidak termasuk permintaan dalam mimpi.” (Kuntowijoyo, 2000: 86) Tokoh Abu juga memiliki watak yang lugu, mengatakan sesuai dengan apa yang terjadi (hal. 28). Di samping itu ia juga ia aadalah warga yang peduli
cxliii
terhadap lingkungan hidup (hal. 54) serta pandai bersosialisasi dengan masyarakat (114). Bahkan sisi lain seorang tokoh Abu, ia adalah sosok yang romantis. Tokoh Abu pandai membuat syair lagu Jawa (hal. 113 – 114) dan geguritan bernuansa cinta kasih (hal. 163 -174). Watak utama yang dimiliki tokoh Abu ialah ia seorang yang tidak bisa berlaku diam terhadap ketidakadilan. Tokoh Abu adalah seorang yang tegar dengan prinsip kebenaran yang dimilikinya. Fakta tersebut ditunjukkan ketika ia menentang tindakan-tindakan tokoh Mesin Politik yang semena-mena terhadap rakyat. Bahkan ia menolak saat ditawari menjadi jabatan prestise sebagai calon anggota legislative. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan hal tersebut: Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” “Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” (Kuntowijoyo, 2000: 145) Tokoh antagonis dalam cerita MPU adalah tokoh Mesin Politik. Tokoh ini tergolong unik karena tidak berupa sosok seseorang. Tokoh Mesin Politik merupakan perwujudan dari sikap, perilaku, dan pemikiran sebuah sistem kelompok. Jadi, tokoh ini dalam perannya bisa diwakili seseorang atau pun kelompok dengan membawa tindakan dan pemikiran sistem komunitas. Tokoh Mesin Politik bisa berupa Randu bisa berupa personel sistem atau pun sistem komunitas itu sendiri. Deskripsi watak tokoh Mesin Politik seperti dalam kutipan berikut ini:
cxliv
Camat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mesin Politik berusaha memindahkan sebelum waktunya, dan rasanan itu sudah beredar di Kemuning jauh sebelumnya. Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu banyak yang kalah di kecamatannya. Gara-gara itu ia dinilai tidak serius memperjuangkan Randu. (Kuntowijoyo, 2000: 90) Ada perbedaan pendapat antara Mesin Politik dan Pak Bupati. Dalam pertemuan dengan para camat sekabupaten Bupai memberi “Petunjuk Politik” agar jarak antara pengumuman dan pemilihan dipanjangkan kira-kira-kira dua minggu. “Itu baru fair kepada rakyat”, katanya. Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan pelaksanaan itu singkat saja, umpanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling terorganisir, orang-orangnya pasti lulus ujian, dan Mesin Politik itu weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum kejadian) karena ada rekayasa. (Kuntowijoyo, 2000: 91) Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?” “Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.” “Saya tidak berpolitik.” “Tidak berpolitik itu politik maut idak mau, suka tidak suka, kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” (Kuntowijoyo, 2000: 136)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Mesin Politik merupakan sistem komunitas yang berpengaruh dan memiliki kekuatan besar dari tingkat negara sampai tingkat kelurahan atau desa. Watak yang dominant ditunjukkan tokoh Mesin Politik ialah arogan. Tokoh Mesin Politik sering menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain yang tidak sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak menguntungkan, maupun menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan Mesin Politik tersebut kerap dilakukan dengan manipulasi, terror, maupun kekerasan.
cxlv
Deskripsi watak tokoh Lastri atau Sulastri seperti dalam kutipan berikut: Itu karena dulu Lastri seorang primadona di Tegalpandan. Membuka jatihan di pasar Tegalpandan, setelah tamat SKK (Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Ia adalah penyanyi keroncong di sebuah klub amatir, yang pasti muncul di pesta-pesta di kecamatan itu. Ia menikah, suaminya meninggal, belum punya anak. Jadi, janda kembanglah. Setahun setelah suaminya meninggal, ia memutuskan untuk kembali ke pasar. Mertuanya berusaha mencarikan suami, tapi ditolaknya. Dikatakannya bahwa ia ingin hidup sendiri tanpa kesibukan rumah tangga. Meskipun mertuanya, Pakdenya, dan orang tuanya menyuruhnya tinggal di tempat mereka, ia berkeras untuk kembali ke pasar. Maka Pakdenya memberikan tempat itu. Akhir-akhir ini, setelah menikah, kesibukannya bertambah: banyak orang memintanya jadi juru rias temanten. (Kuntowijoyo, 2000: 108) Jadi Lastri juga merias temanten, pikir Abu. Penjemput mengatakan bahwa orang memilih Lastri karena pengantin selalu tampak lebih cantik, barangkali saja kena imbas Lastri. Abu tahu bahwa Lastri ramah, tetapi bahwa dia cantik ia baru mendengarnya, namun ia sangat setuju. (Kuntowijoyo, 2000: 112) Lastri tersinggung dikatakan ‘janda’, lalu menyela, “Tapi, Pak. Maaf, saya masih ingin sendiri.” “Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang.” Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke tempat sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia membik-membik mau menangis. Lastri melempar kalengkaleng ke dipan. (Kuntowijoyo, 2000: 201)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Lastri merupakan seorang janda yang belum punya anak. Tokoh Lastri merupakan tokoh serba bisa karena memiliki banyak kepiawaian profesi: seorang penjahit di Pasar Tegalpandan, juru rias pengantin, juga pernah menjadi penyanyi keroncong primadona. Watak tokoh Lastri dideskripsikan sebagai sosok yang cantik, mandiri. Telaten, cekatan dan ramah. Tokoh Lastri memiliki interaksi yang baik,
cxlvi
terlihat dari hubungan dengan keluarganya juga dengan masyarakat. Tokoh Lastri juga mempunyai sikap kepedulian terhadap orang lain seperti dengan tokoh Abu. Di samping itu tokoh Lastri juga bisa marah apabila perasaannya tersinggung atas sikap orang lain. Deskripsi watak tokoh orang tua Abu seperti dalam kutipan berikut: “Diapakan saja kau,” tanya ayah. “Ya disuruh makan kenyang, tidur cukup, olahraga.” “Tidak disiksa, to?” “Mana ada orang berani menyiksa saya?” “Jangan kemaki. Saya dengar ditahan itu artinya disiksa. Diestrum, disulut rokok, disuruh merangkak di atas kedelai?” “Tapi, alhamdulillah anak Bapak-Ibu tidak.” “Lha iya. Wong ditahan di kantor polisi kok tidak nampak susah, kok malah mrusuh (gemuk bercahaya)?” kata ibu Abu. (Kuntowijoyo, 2000: 154-155) “Klangenan ya boleh. Tapi jangan ular, jangan harimau, jangan buaya. Kakek-kakek kita paling-paling pelihara kucing, lutung, perkutut, dan kuda. Soalnya ibu takut kalau kau syirik.” “Syirik? Ya boleh jadi, meskipun sedikit,” “Kalau syirik jangan, lho.” (Kuntowijoyo, 2000: 155) Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yang segera menarik tangannya. Demikian juga ayah Abu. Penolakan itu sepertinya mengejutkan Lastri. Suasana jadi kaku. (Kuntowijoyo, 2000: 155)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas tokoh orang tua Abu memiliki watak yang perhatian dan peduli terhadap anaknya. Hal ini diperlihatkan ketika tokoh orang tua Abu merasa cemas kemudian menengok anaknya saat sesuatu hal terjadi pada anaknya tersebut. Tokoh orang tua Abu juga merupakan sosok masyarakat Jawa yang taat terhadap keyakinan agama yang kuat, seperti tampak pada penolakannya terhadap perbuatan syirik dan kehatihatian atas interaksi fisik non keluarga.
cxlvii
Deskripsi watak tokoh kake nenek Abu seperti dalam kutipan berikut: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Di bawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. (Kuntowijoyo, 2000: 2) Sesampai di desa baru, kakek nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing Jawa. (Kuntowijoyo, 2000: 6) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui kakek nenek Abu memiliki rasa sayang kepada cucunya. Tokoh kakek dari ayah masih memercayai ritual tradisional masyarakat Jawa, begitu klenik. Sedangkan tokoh kakek nenek Abu dari ibu memercayai ritual religius agama yang dianutnya. Deskripsi watak tokoh wartawan seperti dalam kutipan berikut: Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari akrab dengan kawan wartawannya. Wartawan itu anggota AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia). Masih muda bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Ia hanya mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik kepada siapa pun. (Kuntowijoyo, 2000: 94) Sore hari teman wartawan itu datang di Tegalpandan. Belum sempat ditanya dia bilang: “Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka.” (Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144)
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan tokoh wartawan berinteraksi baik dengan tokoh Abu. Tokoh wartawan didskripsikan sebagai sosok muda bersemangat yang memiliki jiwa idealisme profesi tinggi. Sebagaimana seorang wartawan, tokoh wartawan pun berkata dan bertindak sesuai karakter jurnalis. Tokoh wartawan kerap menyampaikan informasi dalam bentuk berita di media yang ia tulis dengan memberikan keterangan-keterangan tambahan
cxlviii
yang sesuai dengan pikiran pribadinya. Fakta tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berita yang ditulis tokoh wartawan berikut: Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan kampanye tapi ditolaknya. (Kuntowijoyo, 2000: 153) Deskripsi watak tokoh Haji Syamsudin seperti dalam kutipan berikut: Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan lampu dan menutup jendela. Kucni pintu diserahkan Haji Syamsuddin, dan buka pada Lastri. Itu pasti kesengajaan Abu supaya ia tidak terpaksa melihat kandang ular. Ketika melihat Lastri, Haji Syamsyuddin yang tahu perasaan Lastri berkata ringan, “Itulah politik, Jeng. Nanti juga selesai. Tengan saja.” Ia berkata demikian karena pamannya pernah ditahan Polisi pada tahun 1960 selama sebulan karena menjadi pengurus Masyumi. (Kuntowijoyo, 2000: 150) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Haji Syamsuddin memiliki watak yang baik, mengerti perasaan orang, dan bijaksana. Haji Syamsuddin adalah sahabat dekat tokoh Abu juga warga masyarakat yang baik. Tokoh Haji Syamsuddin juga tokoh yang pandai memetik pengalaman hidup. Deskripsi watak tokoh haji camat seperti dalam kutipan berikut: Benar, Pak Camat benar. Desanya memenangkan Lomba Desa. Beberapa wartawan datang dan Pak Camat dengan jujur mengatakan bahwa semuanya berkat kerja Abu. (Kuntowijoyo, 2000: 28) Abu menilai camat baru adalah seorang professional tulen, bukan “orang baik” macam camat lama. Umurnya masih sangat muda disbanding camat lama, namun jauh lebih bersemangat. Setidaknya, ia bukan tipe “camat santai”. (Kuntowijoyo, 2000: 75) Kutipan-kutipan
di
atas
menunjukkan
watak
tokoh
camat
dideskripsikan seorang yang jujur. Berdasarkan pengamatan tokoh lain tokoh camat dinilai sebagai sosok muda yang bersemangat dan professional. Tokoh
cxlix
camat juga memiliki pengetahuan tinggi dilihat dari cara berbicara dan istilah kata yang digunakan ketika melakukan pidato di depan warganya (hal. 77). Di samping itu diketahui tokoh camat juga akrab dengan tokoh Abu (hal. 78). Deskripsi watak tokoh Ki Lebdocarito seperti dalam kutipan berikut: Ki Lebdo sendiri selalu memilih yang berdasar pakem, lakon yang aneh-aneh akan diserahkannya pada Abu. Ia menyimpulkan bahwa enak yang punya uang, daripada dalangnya. “Jadilah yang punya uang, jangan jadi dalang”, nasihatnya pada anak-anak. Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang. (Kuntowijoyo, 2000: 14) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Ki Lebdo adalah seorang dalang yang menggunakan cerita konvensional. Sebagai sosok Jawa tokoh Ki Lebdo memiliki pemikiran yang berkembang dengan memerhatikan pendidikan anak-anaknya sampai ke tingkat tinggi, bahkan tokoh Ki Lebdo tidak ingin anak-anaknya tersebut mewarisi profesi yang digelutinya. Kedudukan Ki Lebdo sebagai dalang di wilayahnya terhitung sebagai sesepuh dalang (hal. 211). Ki Lebdo seorang yang baik, ia mengangkat tokoh Abu sebagai anak (hal.13) bahkan sampai mewariskan semua perangkat gamelan dan wayahnya kepada tokoh Abu (hal. 15). Deskripsi watak tokoh Ki Manut Sumarsono seperti dalam kutipan berikut: Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo terpaksa kulanuwun minta restu padanya sebelum mendalang di wilayahnya. Dia memanggil Abu Kasan Sapari. Katanya, “Intuisi saya mengatakan bahwa sudah tiba waktunya Rahwana dipecundangi kera-kera. ‘Rama Tambak’ adalah lakon yang pas saat ini. (Kuntowijoyo, 2000: 210) Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’,
cl
julukan sebagai ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. (Kuntowijoyo, 2000: 206) Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Ki Manut adalah seorang dalang senior di wilayahnya yang berpengaruh dan dihormati oleh dalangdalang lainnya. Tokoh Ki Manut juga memiliki karakter baik dan cerdas. Hal ini dapat dicermati ketika membantu tokoh Abu memperoleh persepsi positif di masyarakat. Tokoh Ki Manut juga menentang sikap tokoh Mesin Politik dengan cara yang bijaksana tanpa menimbulkan permusuhan dan pertikaian. Deskripsi watak tokoh polisi seperti dalam kutipan berikut: Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan Kepala Bagian Penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan. (Kuntowijoyo, 2000: 157) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa polisi merupakan tokoh yang memiliki kekuatan dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu tokoh
polisi
terkadang
dimanfaatkan
oleh
pihak
tertentu
untuk
kepentingannya. Fakta di atas menunjukkan sikap Kepala Polisi dan Kepala Bagian Penyelidikan yang jujur dalam menjalankan hukum dan tidak mau diperalat pihak lain. Meskipun di lain hal terkadang aparat kepolisian melakukan tindak kesewenangan dengan menangkap orang tanpa adanya proses hukum yang benar, seperti penangkapan yang dialami oleh tokoh Abu (hal. 148) dan tokoh Kismo Kengser (hal.192). Deskripsi watak tokoh rakyat atau warga desa seperti dalam kutipan berikut:
cli
Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya. (Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198) Kutipan di atas menunjukkan watak rakyat atau warga desa yang cenderung menggunakan emosi dan mudah memberikan reaksi terhadap halhal yang terjadi. Hal ini dapat dilihat ketika tokoh rakyat atau warga mudah terpancing provokasi untuk memprotes camat baru dalam merespon peristiwa hasil pilihan lurah. Deskripsi watak tokoh laki-laki tua atau Kismo Kengser seperti dalam kutipan berikut: “Kismo Kengser meramal bahwa pemerintahan sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada dimana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong, tapi maling betulan, maling berdasi, maling berbintang, maling berpendidikan. Persengkokolah penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat…..” (Kuntowijoyo, 2000: 1991 – 1992) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua yang mengaku bernama Kismo Kengser memiliki watak yang berani. Tokoh Kismo Kengser juga mengaku pandai meramal. Hal tersebut dapat dilihat ketika tokoh Kismo Kengser mengungkapkan ramalannya tentang keruntuhan pemerintahan saat itu di hadapan banyak orang sampai ia akhirnya ditangkap polisi karena tuduhan tindakan subversive. Deskripsi watak tokoh laki-laki tua misterius seperti dalam kutipan berikut: Orang tua itu menjauh, sambil memukul jidatnya dikatakannya: “O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.” Orang itu tertawa panjang, lega. Kemudian menghilang dalam gelap. (Kuntowijoyo, 2000: 20)
clii
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua merupakan sosok yang misterius, tidak dikenal, datang dan pergi dengan tibatiba. Pakaian dan tingkah lakunya aneh (hal. 2) karena tidak seperti orang pada umumnya. Laki-laki tua misterius itulah yang memberikan mantra pejinak ular kepada tokoh Abu. Tokoh-tokoh dalam cerita WS juga memiliki perwatakan yang berbeda satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk memerankan peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan amanatnya. Pengarang
menguraikan
peran
watak
tokoh-tokoh
cerita
dengan
mendeskripsikan setiap aktivitas para tokoh yang dapat diketahui melalui bacaan dalam cerita. Deskripsi watak tokoh Wasripin digambarkan sebagi anak pungut yang dijadikan budak nafsu Emak dan wanita-wanita pinggiran (h. 3) kemudian ia sadar dan pergi meninggalkan kampungnya (h.5-6). Wasripin pergi menuju pantura, tempat yang diyakini sebagai tanah kelahirannya. Setibanya di pantura, dia diyakini telah menjadi murid Nabi Khidir dengan berbagai kelebihan. Wasripin menjadi tukang pijat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Tukang cat medekat. Wasripin memijat leher, kepala, dan semua bagian atas. Ia hanya mencoba-coba memijat. Ia heran tangannya seperti bergerak sendiri. Ia sendiri tidak yakin dengan pijatannya. (Kuntowijoyo, 2003: 37) Ketika Wasripin menjadi satpam, ia menjadi satpam yang sangat jujur dan memegang teguh prinsip. Berikut ini kutipannya: “Jangan urus aku. Uruslah pencuri yang besar-besar.”
cliii
“Besar atau kecil sama saja. Mencuri ya pencuri.” (Kuntowijoyo, 2003: 62) Wasripin adalah orang yang sederhana dan tidak suka berlebihan. Ketika ia akan menerima penghargaan karena berhasil megungkap mafia pedagangan kayu illegal, ia merasa apa yang akan dia terima terlalu berlebihan. Berikut ini kutipannya: “Dari stadion kita terus ke SDN. Ada sedikit upacara bendera untuk menghormat bintang itu.” “Tapi itu terlalu berlebihan,” kata Wasripin “Biar, berlebihan tak apa. Kata Bung Karno, kita bukan bangsa tempe tapi bangsa yang besar.” (Kuntowijoyo, 2003: 226) Tokoh Pak Modin digambarkan sebagai seorang yang bijak, religius, dan disegani masyarakat. Kuntowijoyo menjadikan Pak Modin sebagai tokoh yang menyampaikan amanat pengarang. Keikutsertaan Kuntowjoyo dalam organisasi Muhammadiyah mempengaruhi pemikirannya yang disampaikan melalui tokoh Pak Modin. Meskipun kebanyakan masyarakat pantura adalah Nahdlatul Ulama, tetapi pemikiran dan perilaku Pak Modin yang menentang keyakinan manusia sebgai washilah (sarana/perantara terkabulnya doa) jelas menunjukkan bahwa ia adalah Muhammadiyah. Berikut kutipannya: Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orangorang dari desa sekitar berdatangan. “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisiNya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik. (Kuntowijoyo, 2003: 245-246) “Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan menantu saja gagal.” (Kuntowijoyo, 2003: 233) “Apapun yang terjadi, Bu, beristighfarlah dan ucapkan Alhamdulillah.” Ia menarik nafas panjang. (Kuntowijoyo, 2003: 234)
cliv
Tokoh Emak digambarkan sebagai wanita yang mudah bersyukur. Meskipun dia meminta Wasripin sebagai budak nafsunya dan menjadikan Wasrpin sebagai pemuas nafsu wanita-wanita lainnya demi mendapatkan uang. “Kita sungguh beruntung, jelek-jelek kita punya rumah. Coba, kalau tidak kita akan tidur di tepi jalan, di bawah jemabtan, di emperan toko. (Kuntowijoyo, 2003: 3) Suatu sore Emak angkatnya berkata, “Yu Mijah butuh tenagamu.” Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak angkatnya dengan enak gentian tidur di dinap Wasripin. Ia menguras tenaganya.” (Kuntowijoyo, 2003: 4)
Tokoh Satinah yang dulunya bernama Waliyem (h. 43) dan Satiyem (h. 45) digambarkan sebagai seorang wanita yang pandai menyanyi dan pemaaf. Masa lalunya yang pernah diperkosa pamannya menjadiakan ia merasa tidak pantas menjalin hubungan dengan lelaki. Berikut ini kutipan yang menyatakan watak Satinah: “Kasihan dia, Lik.” Katanya pada paman yang buta,bersarung, bersurjan, berikat kepala dengan bundar-bundar ke belakang. ((Kuntowijoyo, 2003: 14) “Jangan begitu, Paklik. Tidak ada dosa, tak ada yang harus ditebus.” (Kuntowijoyo, 2003: 48) Tokoh Paklik atau Paman Satiyem digambarkan sebagai orang yang nakal namun bertaubat setelah memerkosa keponakannya. Berikut ini kutipan yang menyatakan watak Paklik: Paman mendapat gagasan. Disautnya sendok di meja, lalu cicungkilnya kedua matanya. Bola mata itu jatuh ke tanah. “Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi!” (Kuntowijoyo, 2003: 47) “Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku padamu. (Kuntowijoyo, 2003: 48)
clv
Tokoh ayah dan ibu Satinah diceritakan sebagai orang desa yang sangat pasrah pada keputusan Tuhan. Mereka juga bisa memaafkan kesalahan orang lain. Ketika Paklik meratapi kesalahannya, kedua orang tua Satinah pun memaafkannya. “Yang sudah ya sudah. Jangan dipikir terus.” (Kuntowijoyo, 2003: 48) Tokoh antagonis dalam cerita WS adalah tokoh Ketua Partai Randu. Deskripsi watak tokoh tersebut seperti dalam kutipan berikut ini: Upacara pemberian bintang itu membuat gelisah Ketua Partai Randu Kabupaten. Di tengah-tengah musim kampanye, hal itu merupakan kampanye gratis dan besar-besaran bagi partai lain dan golput…. Maka wewenang itu diserahkan kepada Departemen Khusus. Kapolri perlu dibuat berhalangan dan protocol ngoceh seperti burung. Itu bukan perkara sulit baginya. Ia bekerja cepat. Ditemuinya seorang dukun yang bisa membuat niatnya kesampaian. (Kuntowijoyo, 2003: 215-216) “Satgas saya tugaskan menculik Wasripin, sampai besok siang pukul 12.00. sudah itu boleh kau lepas dia. Tapi jangan sampai orang tahu.” (Kunowijoyo, 2003: 217) “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”) (Kuntowijoyo, 2003: 137)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa Watak yang dominan ditunjukkan tokoh Ketua Partai Randu ialah arogan dan menghalalkan segala cara. Tokoh ini sering menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain yang tidak sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak menguntungkan, maupun menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan sama dengan tokoh Mesin Politik dalam MPU yaitu melakukan manipulasi, teror, dan kekerasan.
clvi
Tokoh-tokoh lain yang membangun cerita menjadi utuh adalah germo (h. 57), pedagang, pemilik koplakan, dan anaknya (h. 52), jamaah surau , lurah, dan tentara (h. 11), pencuri (h. 62) jin penunggu laut atau peri laut (h 64), kepala TPI (h. 66), pelacur (h. 67), Camat, Danramil, dan Kapolsek (H. 84), Kapten dan Pati berbintang satu (h. 90), hakim, mahasiswa, jaksa (h.104), Pendekar Tingkat II dan Pendekar Tingkat Desa (h. 115), Anggota Gerakan Pemuda Liar
(h. 120), pemuda desa (h. 131), Legiun Veteran (h. 149)
Presiden Sadarto dan Menteri Penerangan (h. 160) tokoh-tokoh lain yang tidak disebutkan secara detail wataknya.
4. Latar a. Latar Waktu atau Masa Setiap novel memilki latar waktu untuk mendukung cerita. Apalagi dalam novel karya Kuntowijoyo terbentuk dari sejarah kemanusiaan, tentu memerhatikan hal tersebut. Peristiwa dalam novel Pasar terjadi pada masa perubahan sosial akhir tahun 50-an. Kala itu merupakan era pascakolonialisme penjajahan bangsa barat di Indonesia. Pada masa itu pula bangsa Indonesia tengah memulai melakukan pembangunan di berbagai aspek dan wilayah. Keberadaan berbagai sarana fisik maupun pranata sosial seperti kantor pasar, kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar juga sarana pendidikan dan informasi menjadi gambaran fakta dalam novel Pasar berikut: Kantor pasar itu bergandeng dengan kantor Bank Pasar, Ada bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. Ada pula usaha mengecat jendela
clvii
dan pintunya. Kalau saja tanpa burung dara, di bagian kantor Bank Pasar itu akan sangat bagus jadinya. (Kuntowijoyo, 2002: 3) Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri menumpuk padanya. (Kuntowijoyo, 2002: 1). Dalam cerita MPU secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi pada tahun 1997 di masa pemilihan umum nasional. Dari penyebutan tersebut dapat diketahui waktu antara terjadinya peristiwa dalam cerita MPU. Serangkaian peristiwa yang melatari cerita MPU terjadi dalam rentang masa panjang di antara tahun 90-an, mulai di awal kemunculan tokoh Abu Kasan Sapari, kemudian perjalanan Abu bekerja sebagai PNS, aktivitas mendalang hingga, keterlibatan dalam konflik politik. Kutipan berikut ini memaparkan latar waktu tersebut: Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah Tahanan) Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo, tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di kompleks perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik kalah. (Kuntowijoyo, 2000: 156) Dalam cerita WS tidak secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi pada tahun berapa tetapi secara implisit latar waktu dapat diketahui dari berbagai peristiwa yang terjadi. Cerita tersebut berlatar waktu masa orde baru. Hal ini dapat diketahui dari adanya peristiwa penculikan orangng yang dianggap subversive, ekstem kanan maupun kiri, dan golput. Selain itu juga ada pernyataan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah tahun 1965. Kutipan berikut ini memaparkan latar waktu tersebut:
clviii
Menyadari apa yang terjadi, seorang berteriak di tengah lapangan, “Allahuakbar! Allahuakbar!” sebentar kemudian pintu-pintu di sekitar lapangan terbuka, orang-orang keluar dengan senjata di tangan: golok, linggis, tangkai besi, cangkul, dan sabit. Pada tahun 1965 teriakan itu berarti bahaya dating. (Kuntowijoyo, 2003: 229)
b. Latar Tempat Latar tempat memberikan deskripsi imajinasi tempat terjadinya peristiwa dalam novel. Latar cerita Pasar terjadi di kota kecil bernama Gemolong, secara geografis termasuk wilayah Kabupaten Sragen, yang baru mulai mengalami kemajuan pembangunan di berbagai bidang. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut: Koran itu dipinjamnya dari kantor kecamatan. Dan ketahuilah hanya lingkungan terpelajar di Kecamatan Gemolong itu suka membaca Koran. (Kuntowijoyo, 2002: 11) Namun begitu, secara dominan peristiwa dalam novel Pasar terjadi di area pasar. Dalam penceritaan tempat lainnya juga terjadinya di area sekitar pasar, seperti kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar, rumah Kasan Ngali, rumah Pak Mantri, dan rumah Marsiyah. Kutipan berikut ini menunjukkan tempat-tempat peristiwa yang terjadi dalam cerita Pasar. Kantor pasar itu bergandengan dengan kantor Bank Pasar. Ada bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. (Kuntowijoyo, 2002: 3) Benarlah! Ketika Paijo keluar dari rumah Kasan Ngali, ia terkejut. Di pekarangan Kasan Ngali sudah berdiri los-los pasar! Dan pedagangnya sekali. Tentu saja Kasan Ngali sengaja menggiring mereka ke pekarangannya. (Kuntowijoyo, 2002: 77) Kutipan di atas menunjukkan latar kantor pasar, tempat Pak Mantri bekerja, dan kantor bank pasar yang letaknya berdampingan. Rumah Kasan
clix
Ngali ditunjukkan dengan pekarangannya yang luas karena bisa dijadikan tempat berdagang. Di samping itu, terdapat pula penunjukkan peristiwa yang terjadi dengan latar di kantor-kantor pemerintah. Secara geografis letak kantor-kantor pemerintah tersebut digambarkan tidak jauh karena masih atau kompleks dengan pasar. Kutipan berikut ini menunjukkan adanya latar kantor kecamatan dan kantor polisi. Di kota kecil itu kantor kecamatan punya gaya tersendiri. Tobat, hanya ada seorang juru tulis sedang menghadapi mesin tulis besar. Muka orang itu tenggelam di belakang mesin tulis yang keras bunyinya. Gaduhnya mesin itu. O, ya ada pegawai-pegawai wanita di ruangan lain. Ia mendekat dan juru tulis itu berhenti bekerja. (Kuntowijoyo, 2002: 58) Setiba di kantor, ia menjauhkan diri ke kursi yang terdekat, dan sebentar memejamkan mata. Asal bisa tenang, segalanya akan selesai. Untunglah kantor polisi itu sepi. Jadi ia dapat agak lama berbaring ya begitulah sebenarnya di kursi itu. (Kuntowijoyo, 2002: 82) Dalam cerita Pasar ditunjukkan tempat sarana publik sebagai latar, yaitu stasiun dan stanplat. Kutipan berikut memperlihatkan latar stasiun: Sudah jam! Kereta api ke kota akan tiba! Kabarnya Zaitun akan pergi dengan kereta pagi itu! (Kuntowijoyo, 2002: 361) Novel MPU memiliki deskripsi latar yang luas. Hal ini karena cerita MPU itu sendiri memiliki alur dengan masa yang panjang. Namun demikian, deskripsi latar ditunjukkan dengan jelas secara spatial ‘kewilayahan’. Kutipan berikut mendeskripsikan latar pada masa kecil Abu. Desa Palar, tempat makam Ronggowarsito, merupakan wilayah Klaten. Sejak di SMP, dan dia sudah biasa bersepeda ke rumah ibunya, ia tahu bahwa Ronggowarsito dikubur di sana. Tetapi kuburan itu tidak berarti apa-apa. Baru sejak SMA-lah ia sadar apa arti Ronggowarsito, dia masih sedarah. Mula-mula sosok pujangga itu kabur, tapi makin
clx
lama makin jelas. Ia makin mengerti arti Palar baginya, dan nama pujangga itu pun masuk dalam doanya. (Kuntowijoyo, 2000: 12) Masa dewasa Abu, masa ia sudah bekerja, tinggal di daerah Kemuning. Kutipan di bawah ini mendskripsikan latar Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu (hal. 15). Kemuning dideskripsikan sebagai latar yang terletak di daerah pegunungan danmemiliki pemandanga yang indah, namun dengan saran air yang sulit meskipun terdapat mata air. Saat itu Abu menjadi pegawai lokal yang ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa). Berikut ini deskripsi Kemuning sebagai latar cerita: Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda dibuatnya di depan. Tapi satu hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang jauhnya dua kilometer. Ada sumur, tetapi sangat dalam, dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga, kadang-kadang habis, dan bisanya hanya untuk mengisi gentong atau padasan. Dia beruntung, bisa naik kuda ke sendaang, dan kembali membawa air. Jadi, diputuskannya hanya mandi sekali sehari di sendang sepuas-puasnya seperti semua orang. (Kuntowijoyo, 2000: 16) Peristiwa cerita MPU juga terjadi di daerah lain, Kecamatan Tegalpandan. Latar Tegalpandan dimulai setelah Abu dipindahtugaskan ke daerah tersebut. Berikut kutipan-kutipan yang mendeskripsikan Tegalpandan sebagai latar cerita: Tegalpandan –kota kecamatan yang juga kota tempat Pembantu Bupati– lebih kota dari Kemuning, tetapi lebih desa dari Karangmojo. Ada pasar dengan los-los, warung, kios, dan di sekitar terminal ada toko-toko. Pohon beringin tua tumbuh di terminal, tidak seorang pun tahu kapan ditanam dan siap menanam. Begitu tua pohon itu, sehingga dulu ada orang yang menganggapnya bertuah. (Kuntowijoyo, 2000: 104)
clxi
Kutipan
di
atas
mendeskripsikan
latar
Tegalpandan
yang
diperbandingkan dengan latar Kemuning. Diketahui bahwa Tegalpandan merupakan kota kecamatan yang lebih berkembang daripada Kemuning karena faktor letak geografis, meskipun tergolong masih daerah gunung. Sarana kemajuan yang disebutkan yaitu adanya pasar dengan los-los, warung, kios, dan terminal dengan toko-toko di sekitarnya. Di samping itu, peristiwa dalam cerita MPU juga terjadi di tempat rekreasi. Kebon binatang yang bertempat di Solo diperlihatkan dengan keterangan latar lain berupa jalan raya antarkota dan Sungai Bengawan Solo. Latar tempat tersebut memperkuat latar suasana yang ada berupa deskripsi aktivitas di tempat wisata, semisal adanya panggung hiburan sebagai bentuk tontonan masyarakat. Berikut ini kutipan yang memaparkan latar tersebut: Bonbin itu terletak di pinggir jalan Solo-Karangmojo di tepi Bengawan Solo. Untuk menarik wisatawan domestic, kebon binatang itu setiap Minggu mengundang artis lokal untuk menyuguhkan atraksi, di hari-hari besar artis-artis nasional juga didatangkan. Sebuah panggung dibangun secara khusus untuk keperluan itu. (Kuntowijoyo, 2000: 125) Latar cerita WS dimulai dari Jakarta. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut: “Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagipagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan.”(Kuntowijoyo, 2003: 1) Latar tempat lebih banyak terjadi di perkampungan nelayan, secara geografis termasuk wilayah Pantura, yang baru mulai mengalami kemajuan pembangunan di berbagai bidang. Secara spesifik latar yang digambarkan
clxii
meliputi Tempat Pelelangan Ikan, Surau, Pasar, Sungai, dan Lapangan. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut: Ia merasa tidur sangat nyenyak di emperan surau sampai Ashar, sampai Maghrib, sampai Isya’. Jamaah Isya’ berkerumun di sekitarnya. (Kuntowijoyo, 2003: 8) Lapangan itu sudah berubah menjadi pasar. Para pedagang measang tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar. (Kuntowijoyo, 2003: 16) “Sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara di teluk dan mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di teluk TPI.” (Kuntowijoyo, 2003: 23)
c. Latar Sosial Dalam novel Pasar, MPU, dan WS latar sosial juga diperlihatkan beiringan dengan latar tempat dan waktu. Ruang pasar dengan ditunjukkan dengan lingkungan yang mengelilingnya lengkap beserta masyarakatnya, pedagang dan pegawai pemerntahan setempat. Latar ruang tersebut juga membentuk latar suasana dari hasil kultur sosial yang dimiliki oleh tokohtokoh pembentuk yang ada di situ. Aktivitas para pedagang didukung latar waktu di pagi hari yang tidak nampak ramai menjadi latar kehidupan masyarakat di pasar. Di samping itu, diperlihatkan pula unsure budaya Jawa, yaitu dikenalnya hari pasar sebagai puncak aktivitas pasar. Berikut ini gambaran dasar cerita Pasar, MPU, dan WS sebagai tempat berlangsungnya cerita: Hari masih pagi di pasar itu. Matahari kunng kemerahan, berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam di atas loslos pasar. Di bawah pohon-pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumutan berjajar sepi. Sedikit orang saja. Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hari itu hari
clxiii
Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian di pasar, pada Kliwonlah. Namun, mereka pun bersabar menunggu datangnya kesibukan. Juga orang hilir mudik di jalanan berbatu di muka pasar. Sekelompok orang berdiri, atau duduk-duduk di bawah pohon waru di pojok stanplat bis di seberang pasar. (Kuntowijoyo, 2002: 2) Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu sudah hidup sejak subuh. Hari itu hari Pasar. Orang membawa kambing, kerbau, dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh. Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasar itu. (Kuntowijoyo, 2000: 46) Hari Pasar di pasar TPI. Hari pasar yang dulu seekor sapi hilang. Tidak ada yang protes dari orang banyak, sebab pemiliknya memang dikenal pelit pada tetangga. Dan hari itu seekor sapi lagi, padahal pemiliknya dikenal pemurah. Maka, para belantik menolak untuk membayar pajak. Mereka marah kepada pasar TPI. Ketika petugas penarik pajak dating, mereka menuding-nudingnya. (kuntowijoyo, 2003: 110) Kutipan di bawah ini memperlihatkan latar sosial masyarakat dalam deskripsi novel MPU: Kemuning dapat jadi tempat agrowisata. Lebih indah dari Tawangmangu, tempat peristirahatan itu. Dari Kemuning orang dapat menikmati matahari kemerahan waktu terbit dan tenggelam. Ditambah dengan adanya jalan-jalan yang mulus sampai puncak-puncak bukituntuk itu Pemerintah Order Baru patut mendapat acungan jempolKemuning bisa berkembang. (Kuntowijoyo, 2000: 86) Ada suasana sosial yang diperlihatkan dalam kutipan di atas yaitu gambaran warga yang mencari air ke sendang juga aktivitas mandi yang hanya sekali sehari. Di samping itu diperlihatkan juga kemajuan peradapan sosial budaya dari fakta Kemuning dijadikan sebagai tempat agrowisata juga adanya pembangunan jalur transportasi yang sudah baik. Latar dalam novel MPU berupa perkantoran pada kutipan sebelumnya, sebenarnya juga menunjukkan suasana modernitas di zamannya yang sedang berlangsung dikota kecil itu. Berdasarkan gambaran di atas diketahui kultur
clxiv
interaksi antarpegawai dan aktivitas kerja di perkantoran. Latar tersebut juga didukung adanya peradaban budaya berupa perlengkapan teknologi mesin tulis serta adanya penataan ruang kantor. Bahkan media surat kabar kala itu sudah mulai bisa dinikmati sebagian masyarakat. Latar sosial lain dalam cerita MPU digambarkan dari latar Kemuning juga bisa kita cermati dari komunal sosial antarmasyarakatnya. Kutipan di bawah ini menunjukkan interaksi strata sosial masyarakat Kemuning. Sebuah daerah yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dengan budaya pengaruh masyarakat feodalisme. Hal itu nampak pada fakta kebiasaan pejabat desa yang menyatakan sepakat tanpa pertimbangan ilmu. Seorang lurah menunjukkan jari. “Kalau semua pemimpin, siapa yang rakyat?” “Ya kita semua. Jadi sekaligus kita semua adalah pemimpin dan rakyat. Misalnya lurah adalah pemimpin di desanya, tapi sekaligus bagian dari desanya, dan bagian dari rakyat Indonesia. “Setuju, Bapak-bapak?” “Setujuuu!” kata mereka. Seperti diketahui, para lurah biasa bersama-sama bilang “setuju!” pada pidato pimpinan. (Kuntowijoyo, 2000: 76) Sebagai latar sosial, Tegalpandan masih memiliki keamanan mandiri yang menggunakan sistem keamanan keliling (siskamling). Latar sosial ditunjukkan dengan adanya interaksi sosial warga kaum laki-laki melalui perbincangan ringan di gardu. Sebuah kultur sosial yang memperat hubungan antarwarga. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan latar tersebut: Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. Sebutan tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita Ramayana dan Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri. (Kuntowijoyo, 2000: 114)
clxv
Dalam cerita Pasar, interaksi sosial terpengaruh oleh budaya feodalisme. Penghargaan status sosial sangat memengaruhi interaksi sosial. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut: Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. (Kuntowijoyo, 2002: 61) Dalam cerita WS, interaksi sosial terpengaruh oleh budaya pesantren yang begitu menghormati imam sebuah masjid atau surau. Pak Modin tidak bisa digantikan siapapun. Masyarakan pesisir begitu menghormati pemimpin agama. Dan rupanya Pak Modin cukup dihormati orang-orang desa. Kematian, sedekah laut, dan upacara-upacara resmi selalu memerlukan kehadirannya.kepercayaan orang melebihi Kaur Agama yang resmi.(Kuntowijoyo, 2003: 73) Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orangorang dari desa sekitar berdatangan. (Kuntowijoyo, 2003: 245)
5. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara pengarang memosisikan diri dalam cerita. Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam menyajikan cerita olahannya. Dalam novel Pasar, MPU, dan WS, pengarang menggunakan teknik penceritaan yang disebut “omniscient narrative” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Berikut kutipan novel Pasar yang menunjukkan sudut pandang pengarang tersebut: Lagi, Pak Mantri datang terlambat di kantor hari itu. Meskipun ia tiba dengan kereta terpagi dari kota. Maka segala pekerjaan Paijo sudah
clxvi
selesai. Burung-burung dan ruangan terpelihara semua. Rupanya tukang karcis itu ingin menunjukkan kesetiaannya yang akan luntur. “Bagus,” kata Pak Mantri. “Meski begitu. Selayaknya engkau menjadi pegawai.” Paijo senang. Pujian yang sangat jarang keluar dari kepalanya itu. Baru saja ia terancam akan pemecatan sekarang sudah dipuji-puji. Ada kegembiraan pada wajah tua itu. Pujian untuk Paijo sebagian disebabkan kegirangan pada Pak Mantra sendiri juga. Ada yang baru dikerjakan di kota. Sekali pergi ke kota. Paijo menebak-nebak. Alangkah cepatnya perubahan. Sekali pergi ke kota dan bereslah semua. Pak Mantri sadar juga bahwa perubahannya diketahui oleh tukang karcisnya. (Kuntowijoyo, 2002: 117)
Dalam novel MPU, fakta tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut: “Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’ itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur. Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu mendapat pujian dari Gubernur. (Kuntowijoyo, 2000: 28-29)
Dalam novel WS, dapat diketahui dalam kutipan berikut: Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan! Jangan!” teriakan itu membuat orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti mati. (Kuntowijoyo, 2003: 246) Berdasarkan kutipan di atas, pengarang menempatkan diri benar-benar di luar cerita. Pengarang tidak memerankan diri menjadi salah satu tokoh pelaku cerita. Meski begitu, dalam posisi demikian pengarang seolah-olah mengetahui segala tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita. Pengarang tidak hanya tahu tindakan tokoh cerita, tetapi juga mengetahui perasaan yang dialami tokoh cerita. Pengarang menjelaskan secara detail tindakan dan perasaan yang dialami
clxvii
tokoh. Hal ini menunjukkan adanya penguatan terhadap cara pandang suatu permasalahan cerita. Pengarang seolah-olah meletakkan tokoh-tokohnya sebagai sarana berkomunikasi dengan pembaca dalam menjadikan tokoh-tokoh cerita tersebut sebagai saksi mata dan pelaku sejarah. Menilik pada penggunaan sudut pandang seperti di atas pada proses cerita pengarang memiliki maksud tertentu. Pengarang dalam hal ini Kuntowijoyo seolah-olah ingin mengusulkan kepada khalayak tentang gagasan-gagasan dan pikiran-pikirannya melalui pendekatan setiap tokoh cerita. Pengarang bisa memberikan pemahaman setelah ia tersublim dengan tokoh-tokoh tersebut dari segala kedudukannya, sebagai pemimpin, pejabat pemerintah, satpam, modin, pegawai swasta, bahkan pedagang. Inilah sudut pandang yang unik dari pengolahan empati rasa yang ingin ditunjukkan kepada pembaca.
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Novel Mantra Pejinak Ular, dan Novel Wasripin dan Satinah
1. Proses Kreatif Novel Pasar, Novel Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah
Novel Pasar dikarang oleh Kuntowijoyo pada tahun 1972. Pada tahun itu era kolonial baru saja berakhir dengan penjajahan yang dilakukan bangsa barat. Masa itu merupakan mas-masa negara dalam asa penataan struktur fisik dan mental bangsa. Bangsa Indonesia tengah melaksanakan pembangunan di berbagai sektor dan wilayah. Akulturasi dan asimilasi budaya telah terjadi dalam
clxviii
masyarakat Indonesia. Khususnya dalam masyarakat Jawa, kultur dan nilai-nilai luhurnya berusaha untuk bertahan di masa pembangunan dilakukan karena pembangunan berarti kemajuan di segala aspek yang dapat mengubah tatanan yang ada. Oleh karena itu novel Pasar lahir di masa transisi pasca kolonialisme di Indonesia yang mulai mengalami perkembangan zaman semakin maju. Kuntowijoyo memang sastrawan sekaligus sejarawan produktif. Sudah lebih 50 judul buku tulisnya. Memang, menulis telah menjadi aktivitas kesehariannya. Ia menulis dari fajar sampai waktu subuh. Setelah subuh ia meneruskan menulis lagi. Kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan pagi. Siang hari tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristirahat sejenak dan sehabis isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul 02.00. Karya-karya sastra lain yang dikarangnya pada masa-masa itu yaitu: Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1966), Rumput-rumput Danau Bento (naskah drama, 1968), Topeng Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (naskah drama, 1972), Topeng Kayu (naskah drama, 1973), Suluk AwangUwung (kumpulan puisi, 1975), Isyarat (kumpulan puisi, 1976), dan Khotbah di Atas Bukit sebagai karya master piece (novel, 1976). Novel Mantra Pejinak Ular (MPU) sendiri ditulis pada tahun 2000, setelah cukup lama mengidap meningo enchepalitis di tahun 1992. Novel MPU diterbitkan pertama kali sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Masa pembuatan novel MPU merupakan masa zaman mencapai modernisasi, yang dikenal dengan awal millennium ketiga. Pada masa itu era keterbukaan,
clxix
demokrasi, liberasi, dan kemajuan teknologi telah berkembang demikian pesat. Maka, dikatakan bahwa lahirnya novel MPU pada masa transisi kemajuan zaman ke arah yang lebih modern. Tahun 1992, tepatnya pada 6 Januari, Kuntowijoyo menderita sakit akibat serangan virus meningo enchepalitis. Sejak saat itu saraf motoriknya mengalami gangguan serius, hingga sulit berbicara. Untuk mengatakan satu kata saja, ia seperti harus mengerahkan seluruh kekuatannya. Meski dalam usia yang jelas tak lagi muda, bahkan dalam kondisi fisik yang belum pulih, di tahun-tahun terakhir hidupnya Kuntowijoyo masih tetap menulis. Dalam sakit panjangnya itu “sang Begawan”, begitu dikenalnya, lebih produktif dibandingkan teman-temannya yang sehat. Otaknya tetap bekerja normal untuk mengalirkan karya-karya sastra. Ini terbukti dengan berupa karya-karya sastranya yang dikarang setelah masa sakitnya, seperti: Makrifat Daun-Daun Makrifat (kumpulan saja, 1995), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1993), Hampir Sebuah Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Wasripin dan Satinah (novel, 2003). Novel Wasripin dan Satinah ditulis pada tahun 2003. novel ini merupakan karya sastranya yang terakhir. Novel berlatar budaya masyarakat pantura ini sarat dengan nuansa politik yang menggambarkan betapa kekuasaan politik dan militer di segala lini kehidupan. Nuansa politik yang digambarkan mirip dengan novel MPU yaitu dengan adanya Partai Randu. Presiden Sadarto merupakan gambaran Presiden Suharto yang melanggengkan kekuasaan dengan prinsip “Senyum dalam penampilan, namun keras dalam tindakan.” Masyarakat pesisir yang miskin
clxx
dijadikan media untuk berkuasa. Kalau ada yang mau melawan, dia akan dimusnahkan dengan tuduhan ekstrem kanan.
2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasrpin dan Satinah Latar belakang sosial budaya dalam novel Pasar, MPU, dan WS menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa. Latar belakang sosial budaya dalam cerita novel Pasar dan novel MPU ditampilkan berkenaan dengan warna lokal berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, keadaan alam, jalan, perumahan, dan paparan tentang kesenian. Berikut penjabarannya: a. Masa Peristiwa Pada cerita Pasar ditunjukkan kehidupan masyarakat Jawa yang sedang mengalami perkembangan sosial budaya atas pengaruh kemajuan perkembangan zaman yang berlangsung pascakolonial. Sedangkan pada cerita MPU menampilkan kehidupan masyarakat Jawa ketika kemajuan zaman mencapai masa demokrasi dan modernitas. Perkembangan sosial budaya pada cerita MPU diperlihatkan sebagai berikut: Listrik PLN sudah masuk, jalan antarkecamatan beraspal membentang di tengah desa. Desa itu menjadi desa Pelopor P-4. Jalanjalan desa sudah dikeraskan dengan batu, berkat AMD (ABRI Masuk Desa) tahun sebelumnya. Jumlah radio tak terhitung, pesawat tv lebih dari sepuluh. Orang-orang desa suka menonton acara-acara TV yang dipasang di ruang tamu untuk tontonan umum. Selain itu ada beberapa orang berlangganan Koran. (Kuntowijoyo, 2000: 95)
clxxi
Perkembangan sosial budaya pada cerita WS diperlihatkan sebagai berikut: Dengan sebuah megafon keesokan harinya sebuah jip polisi keliling perkampungan nelayan. “Halo! Halo! Nelayan wajib mencari ikan. Kalau tidak, izin kapal dicabut.” (Kuntowijoyo, 2003: 251)
b. Strata Sosial dalam Masyarakat Jawa Novel Pasar, MPU, dan WS juga memperlihatkan adanya pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat. Pengakuan kelas atas diperlihatkan dengan kepemilikan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan atau wewenang. Sebagai pelaku sosial para tokoh pun melakukan interaksi, baik secara struktural maupun kultural. Bahkan interaksi tersebut meluas pada pelaku sosial lain. Pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat digambarkan sebagai berikut: Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. (Kuntowijoyo, 2002: 61)
Berbeda dengan apa yang diperlihatkan novel Pasar, dalam novel MPU dan WS pengakuan masyarakat terhadap strata sosial tidak terlalu berpengaruh pada interaksi antarmasyarakat. Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?” “Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.” “Saya tidak berpolitik.”
clxxii
“Tidak berpolitik itu. Politik. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” (Kuntowijoyo, 2000: 136) Kepala Polisi bilang pada bawahannya. “Kalian akan kami usulkan dapat bintang produksi. Besok diluang lagi. Sampai mereka sadar.” “Ya, tugas dan bintang itu berikan saja kepada orang lain.” (Kuntowijoyo, 2003: 252)
c. Religiusitas dalam Masyarakat Jawa Novel Pasar memperlihatkan masyarakat Jawa yang berpegang pada ajaran Islam Kutipan berikut ini memberikan fakta tersebut: Segala puji bagi-Mu. Petunjuk yang cemerlang. Ada untungnya ia menjadi orang Jawa, membaca surat-surat, dan riwayat para nabi juga! (Kuntowijoyo, 2002: 256) Novel MPU memperlihatkan perilaku hidup masyarakat Jawa banyak dipengaruhi unsur Arab atau Islam Sesampai di desa baru, kakek-nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing jawa. (Kuntowijoyo, 2000: 6-7)
Dalam kutipan lain diperlihatkan juga adanya sinkretisme ajaran, yaitu kebiasaan masyarakat Jawa ketika memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut: Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya, “Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan, anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (Kuntowijoyo, 2000: 2)
clxxiii
Dalam novel WS
nuansa islam lebih terasa karena memang
masyarakat pantura mayoritas Islam yang senang menampilkan simbol keislaman. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: Anak-anak yang mengaji di surau belajar sholawatan bersama dua orang gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh rebana. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
d. Seni Budaya Jawa Kesenian juga menjadi warna dalam memberikan gambaran karakter sosial budaya masyarakat. Dalam novel Pasar dan novel MPU diperlihatkan bentuk seni syair dan tembang Jawa Kuna, candrasengkala, dan ketoprak sebagai seni yang hampir hilang di masyarakat. Sedangkan dalam novel WS, seni nembang dan shalawatan yang lebih dominan. Ia menemukan kejanggalan. “Hh,” katanya, “Darmo Kondo ini mesti Koran Cina! Apa ini: Dandanggula bukan, Kinanti buka, macapat bukan, tembang gedhe bukan. Tak ada bahasa Kawi-nya. Mana bisa. Mana jadi. Orang tak tahu sastra menulis sastra. (Kuntowijoyo, 2002: 11) “Apalagi. Candrasengkala sebuah kalimat untuk menandai tahun dibangunnya pompa itu, Pak.” (Kuntowijoyo, 2002: 63) Pak Mantri suka nonton ketoprak, hanya saja ia kurang suka dengan cara penonton-penonton yang suka menyoraki pelaku-pelaku perempuan yang cantik, terutama kepada Sri Hesti itu. (Kuntowijoyo, 2002: 17)
Kutipan dalam novel Pasar di atas menunjukkan bahwa seni tambang jawa Kuna, candrasengkala, ataupun ketoprak telah mulai tergeser oleh budaya baru sebagai salah satu efek perkembangan zaman.
clxxiv
Fakta yang sama juga diperlihatkan dalam novel MPU. Pertunjukkan wayang sekarang ini kerap menampilkan cerita yang telah mengalami proses kreativitas karena pengaruh modernitas zaman. Yang punya rumah bisa pesan lakon apa saja: Dari “Gatotkaca Krama” kalau yang punya hajat mantu, “Wahyu Makuta Rama” untuk perayaan 17 Agustus, sampai yang aneh-aneh, seperti “Petruk Sunat”. Dari yang sangat pakem (baku) sampai yang paling carangan (cabang). (Kuntowijoyo, 2000: 14) Menurut pengalamannya 85% dari konsumen wayang ialah konsumen kolektif (kepanitiaan), sedangkan konsumen individual hanya 15%. Makin ke kota makin besar konsumen kolektifnya, hanya di desa masih ada satu dua konsumen individual. (Kuntowijoyo, 2000: 214) Yang punya rumah bisa pesan lakon apa saja: Dari “Gatotkaca Krama” kalau yang punya hajat mantu, “Wahyu Makuta Rama” untuk perayaan 17 Agustus, sampai yang aneh-aneh, seperti “Petruk Sunat”. Dari yang sangat pakem (baku) sampai yang paling carangan (cabang). (Kuntowijoyo, 2000: 14) Dalam novel MPU diperlihatkan bahwa ilmu seni juga sudah dapat diperoleh melalui pendidikan formal yang lebih tinggi. Perkembangan zaman membutuhkan peran sosial lain untuk melengkapi satu aspek kehidupan, termasuk seni. Kutipan berikut ini menggambarkan fakta tersebut di tahun 90an: STSI menghasilakn sarjana atau seniman. Sarjana hanya perlu menulis “teori”, dan seniman hanya perlu ‘praktik’. Abu ingin jadi kedua-duanya. (Kuntowijoyo, 2000: 219-220)
Bahkan dalam cerita MPU juga diperlihatkan terjadi pergeseran yang bersifat negatif dalam kesenian. Kesenian saat ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan politik golongan. Kutipan di bawah ini memperlihatkan adanya
clxxv
pertunjukkan kesenian wayang yang diselenggarakan karena kepentingan politik partai: Musim Agustusan tiba. Randu sekali ini ingin mengesakan bahwa ia punya perhatian besar pada sebangsa kebudayaan tradisional. Itulah sebabnya ia mengerahkan dalang dari luar Karangmojo untuk merayakan Agustusan di tingkat daerah dan cabang-cabang. (Kuntowijoyo, 2000: 209)
Sedangkan dalam novel WS, tokoh Satinah dan paman menyampaikannya melalui nyanyian yang diiringi siter dan seruling untuk mbarang. Berikut ini cuplikan seni budaya Jawa dalam WS : Kata Satinah lagi, “Karena Paklik juga akan meninggalkan kalian, ia sudah menggubah lagu ‘Maskumambang Selamat Berpisah’ dan ‘Megatruh Selamat Tinggal’. ‘Maskumambang’ artinya emas yang mengapung di air, sebuah keajaiban, dan ‘megatruh’ artinya pisahnya roh dari badan, tanda bahwa perpisahan ini ibarat kematian. Silakan Paklik.” Satinah memasukkan kaset, merekam tembang pamannya. (Kuntowijoyo, 2003: 206) Dalam novel ini juga diceritakan bahwa masyarakat pantura lebih menyukai sholawat daripada wayang orang. Hal ini tidak berarti masyarakat Jawa bagian pesisir kehilangan seni budaya Jawa. Anak-anak yang mengaji di surau belajar sholawatan bersama dua orang gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh rebana. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
e. Mitos Masyarakat Jawa Novel Pasar, MPU, dan WS memperlihatkan posisi pasar menjadi sentra tempat aktivitas sosial bagi masyarakat Jawa dan meyakini hari pasar sebagai hari baik. Selain untuk penjadwalan agar tertata, hal ini diyakini mempermudah rizki. Mengenai hari pasar dapat dilihat dalam kutipan ketiga novel berikut:
clxxvi
Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hari itu hari Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian hari pasar, pada Kliwonlah. (Kuntowijoyo, 2002: 2) Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu sudah hidup sejak subuh. Hari itu hari Pasar. Orang membawa kambing, kerbau, dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh. Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasar itu. (Kuntowijoyo, 2000: 56) Petugas dari kecamatan dengan tas di pinggang mendekati para pedagang dan menarik pajak. Hari ni bukan hari pasar biasa, tapi Hari Pasar. Itulah sebabnya Satinah dan Pamannya dating. Pasar akan segera selesai. (Kuntowijoyo, 2003: 16)
f. Perilaku Kesenangan Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa memiliki banyak perilaku yang khas sebagai indentitas masyarkat. Hal tersebut juga menjadi perhatian yang digambarkan dalam novel Pasar dan novel MPU. Sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut: Burung-burung itu mengharap padanya, bahkan puter di sangkar yang bulat itu mengepakkan sayap. Pak Mantri bersiul lagi, mengacungkan tangannya, menggeserkan ibu jari ke jari tengah. (Kuntowijoyo, 2002: 10) “Saya akan memeliharanya sebagai klangenan,” kata Abu. Hampir setiap rumah memelihara klangenan. Burung dara, kucing, jalak, kutilang, parkit. Ada yang suka tosan aji, batu mulia, bonsai. Orang kaya memelihara kuda, kapal pesiar, mobil balap. Negeri akan tenang bila semua orang punya klangenan. (Kuntowijoyo, 2000: 120)
g. Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu tidak lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat. Hal itulah yang juga diperlihatkan dalam novel Pasar, MPU, dam
clxxvii
WS. Ketiga novel tersebut memperlihatkan penggunaan bahasa dalam masyarakat Jawa yang sudah mengalami campur kode. Kutipan dalam kedua novel berikut menunjukkan hal itu: Rokok-rokok dilempar ke panggung. Lalu, suit-suit! Ai laf yu darling! Wah nek ngene aku emoh! Sewengi gak iso bubuk, rek! Aku wegah mulih, yu! Kowe gelem po karo aku! Dan, di antara orang yang melemparkan rokok ke panggung itu ialah Kasan Ngali. (Kuntowijoyo, 2002: 336) Masak lupa, peristiwa sepenting ini biasanya dipakai alasan untuk show up.” (Kuntowijoyo, 2000: 233) “Tahu saja. Itu kan cover girl di tabloid itu, to?” “Ya, kalau mau. Kalau tidak, bagaimana?” “Jadi laki-laki yang pede, jangan ingah-ingih (Kuntowijoyo, 2000: 231)
begitu.”
“Saru itu nyasarnya kalau turu (tidur)” (Kuntowijoyo, 2003: 225)
h. Prinsip Hidup Masyarakat Jawa Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun menjadi gambaran dalam novel Pasar, MPU, dan WS. Dalam novel Pasar terdapat semboyan yang menunjukkan cara berpikir dan mentalitas masyarakat Jawa yang senang berusaha keras. Berikut merupakan pandangan masyarakat Jawa dalam novel Pasar, MPU, dan WS yang banyak berupa semboyan Jawa: Sekarang memang sedang musim tanam. Jangan mengharapkan panen. Jer basuki mawa beya. Tidak ada kemakmuran masa depan tanpa ada pengorbanan. (Kuntowijoyo, 2002: 238-239) Sak bejo-bejone, wong kang lali Isih bejo, wong kang eling lan waspodo (semujur-mujurnya orang yang lupa diri masih mujur orang yang ingat dan waspada) (Kuntowijoyo, 2000: 24) Rerasan yang tersebar dari mulut ke mulut, makin lama makin besar seperti kata ungkapan Sak dawa-dawane lurung ish dawa gurung
clxxviii
(sepanjang-panjangnya lorong, masih panjang tenggorokan): ada agama sesat di lingkungan nelayan! (Kuntowijoyo, 2003: 101-102) Dalam
novel
MPU
diperlihatkan
juga
terjadinya
pergeseran
masyarakat Jawa dalam memandang sebagian semboyan Jawa. Misalnya dalam kutipan novel MPU berikut: “Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa mangan ora mangan waton ngumpul itu sudah kuno,” pinta orang itu.(Kuntowijoyo, 2000: 27)
i. Interaksi Sosial dalam Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa sifat kekeluargaan satu sama lain. Kutipan dalam novel Pasar, MPU,dan WS berikut memperlihatkan suasana efek harmonis dari interaksi kekeluargaan yang dibangun: Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. (Kuntowijoyo, 2002: 350) Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. (Kuntowijoyo, 2000: 114)
Wasripin ketika mau menikah dalam keadaan miskin sehingga masyarakat secara sukarela membantunya. Berikut kutipan yang merupakan interaksi masyarakat di perkampungan nelayan.
clxxix
Sebuah panitia sudah dibentuk. Para nelayan patungan menanggung biaya. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
j. Pewarisan Kepemimpinan Novel Pasar, MPU, dan WS menampilkan peralihan kepemimpinan sebagai tradisi yang senantiasa eksis dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Tetapi ketahuilah, engkaulah yang sebenarnya pewaris. Maukah, Nak?” Paijo mengangguk. (Kuntowijoyo, 2002: 346) Di Kemuning ada sembilan lurah yang habis masa jabatannya dan pilkades akan dilaksanakan serentak di seluruh kecamatan. (Kuntowijoyo, 2000: 91) Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan selawatan mereka melantik Modin sebagai Kepala Rakyat alias Karak. Pembawa acara mengatakan bahwa yang melantik adalah rakyat, jadi rakyatlah yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa rakyatlah yang akan maju. (Kuntowijoyo, 2003: 87)
k. Penyampaikan Kritik Pengungkapan komunikasi di era yang sudah maju difasilitasi dengan perangkat teknologi lain. Seperti diperlihatkan dalam novel Pasar, MPU, dan WS bahwa penyampaian kritik dilakukan melalui sarana atau media. O, ya. Ada di bawanya surat kabar. Mungkin ada contohnya di sana. Ia mengeluarkan selembar surat kabar dari tas. Bagaimana modelnya. Judulnya? Ia ingin menulis sesuatu tentang keburukan cara kerja di kecamatan itu. Juga tentang apa yang disebutnya sebagai pemberontakan orang pasar. Ini tentu akan menarik pembaca. Tulisan jangan sampai hanya luapan perasaan saja. Harus sesuatu yang meyakinkan, penuh bukti-bukti. Bukan isapan jempol. (Kuntowijoyo, 2002: 145) Ini agak luar biasa, tidak pernah ada demo mahasiswa sejak 1966 ketika mahasiswa mendemo Bupati yang PKI. Demo belum umum, apalagi di kota kabupaten itu. (Kuntowijoyo, 2000: 157) Lima puluhan nelayan ke Kodim. Mereka berboncengan sepeda motor dan sepeda ontel. Membawa bendera merah putih. (Kuntowijoyo, 2003: 142).
clxxx
3. Penokohan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa Kuntowijoyo juga membangun konsep latar sosial budaya melalui karakteristik tokoh-tokohnya yang kuat. Karakteristik serta interaksi tokoh dengan berbagai simbol yang melekat dalam dirinya memberikan perwujudan aspek latar sosial budaya novel. Tokoh Mantri Pasar dalam novel Pasar merupakan sosok orang Jawa tradisional yang memiliki andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin di masyarakat. Dalam novel MPU, tokoh Abu Kasan Sapari, menjadi simbol orang Jawa modern yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman di masa hidupnya. Pikiran dan tindakannya merupakan perwujudan manusia Jawa modern. Sedangkan dalam WS, tokoh Wasripin dan Pak Modin menjadi simbol masyarakat pesisir yang telah megalami berbagai kemelut hidup. Tokoh Pak Modin adalah mantan pejuang yang memiliki kemampuan agama lebih, disegani, dihormati, dan dicintai penduduk. Wasripin adalah tokoh berlumur dosa yang bertaubat dan dapat memberi manfaat pada banyak orang karena keahliannnya. Karakter tokoh wanita, Siti Zaitun dalam novel Pasar, Sulastri dalam novel MPU, dan Satinah dalam novel WS menjadi ikon sebagai sosok wanita Jawa modern. Tokoh antagonis Kasan Ngali dalam novel Pasar, Mesin Politik dalam novel MPU, dan militer/pemerintah dalam novel WS merupakan gambaran watak yang kontrapositif terhadap harmonisasi kehidupan sosial masyarakat Jawa.
clxxxi
4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo
Deskripsi nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah (WS) meliputi deskripsi nilai pendidikan : (a). agama; (b) moral; (c). Adat/budaya; dan (d) sosial. Berikut peneliti kemukakan deskripsi terhadap masing-masing nilai pendidikan tersebut. a. Nilai Pendidikan Agama Dalam novel Wasripin dan Satinah (WS) pengarang menyampaikan nilai pendidikan agama dengan ungkapan tokoh-tokohnya. Tokoh Wasripin bertaubat dan ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Pada tahun kelima ia merasa harus menghentikan semua kegiatannya membantu para tetangga dengan tenaganya (memuaskan nafsunya). “Aku tak mau mati dengan cara begini,” katanya. (Kuntowijoyo, 2003: 5) Selain itu, Wasripin ketika mengobati orang sakit ia mengajarkan doa minta kesembuhan kepada Allah. Wasripin memijat-mijat bagian perut, dan memberikan botol Aqua yang sudah diberi doa. Kemudian juga mengajarkan doa Nabi Ibrahim untuk dicaba sesering mungkin, Wa idza maridhtu, fahuwa yasyfiin (Dan ketika aku sakit, Dia menyembuhkanku). (Kuntowijoyo, 2003: 97) Paklik/Paman Satinah mengisyaratkan kepada pembaca pentingnya bertaubat dan pasrah pada Tuhan. “Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi!” (Kuntowijoyo, 2003: 47) “Ya kalau ya, kalau tidak bagaimana. Umur orang itu sudah ditetapkan, tidak bisa dimajukan ataupundiundurkan sedikitpun”. (Kuntowijoyo, 2003: 213)
clxxxii
Nilai pendidikan agama dalam novel WS juga dapat diperoleh dari ucapan-ucapan Pak Modin, seperti kutipan berikut ini: “Bapak-bapak, sudah waktunya sembahyang ashar. Bagaimana kalau pertemuan ditutup?” kata Pak Modin. (Kuntowijoyo, 2003: 33) “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisiNya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik. (Kuntowijoyo, 2003: 246) “Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan menantu saja gagal.” (Kuntowijoyo, 2003: 233) “Apapun yang terjadi, Bu, beristighfarlah dan ucapkan Alhamdulillah.” Ia menarik nafas panjang. (Kuntowijoyo, 2003: 234) Dalam novel MPU, Kuntowijoyo juga memberi amanat agar manusia tidak berlaku syirik. Abu Kasan Sapari berjalan hilir mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. “Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah dikatannya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri. (Kuntowijoyo, 2000: 196). Dalam novel Pasar, Kuntowijoyo juga memberi amanat agar manusia pasrah, bersahaja, (samadya), dan tidak menuruti hawa nafsunya. Hal itu terungkap dari deskripsi pemikiran Pak Mantri berikut ini: Pak Mantri mencoba menerima nasibnya. Kalau nafsu sudah menguasai budi, nasihat tak ada gunanya. (Kuntowijoyo, 2002: 6). Orang itu harus samadya jangan berlebihan, jangan makan terlalu panas atau terlalu dingin. (Kuntowijoyo, 2002: 10). b. Nilai Pendidikan Moral Sikap tanggung jawab terhadap perbuatan adalah sikap moral yang wajib dilakukan. Hal itu terungkap dalam novel WS melalui pernyataan Pendekar Tingkat Desa ketika dirinya hamil karena ulah Pendekar Tingkat II.
clxxxiii
Ketika Pendekar Tingkat Desa ada tanda-tanda hamil, Pendekar Tingkat II mengusulkan seorang dukun yang bisa menggugurkan. Tapi Pendekar menolak, “Ini bayi, bayiku sendiri. Jangan gelem mangan nangkane, emoh pulute (mau enaknya, tak mau susahnya). (Kuntowijoyo, 2003: 115) Selain itu, sikap moral yang biak juga terlihat dari pernyataan kader Partai Randu yang disuruh menculik Wasripin. “Menculik Wasripin?” “Iya.” “Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘air susu dibalas dengan air comberan’.” (Kuntowijoyo, 2003: 219)
Begitu pula dalam novel Pasar, Kuntowijoyo mengkritisi sikap pejabat (camat dan kepala polisi) yang masih hobi adu jago dan keluyuran pada saat jam kerja. Padahal mereka adalah figur yang dijadikan panutan. Hari sudah siang waktu itu. Pak Camat tahu juga kesopanan, ia minta maaf pada Pak Mantri karena ada sedikit keperluan. Ya, nonton adu jago. Itu mantri pasar sudah tahu. Lalu camat juga membisikkan bahwa ia baru saja nonton adu jago. (Kuntowijoyo, 2002: 62) Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung! Keterlaluan! Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan (Kuntowijoyo, 2002: 83). Sikap Abu Kasan Sapari dalam novel MPU juga merupakan pendidikan moral. Dia menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi. Yaitu agar Abu tidak menghalang-halangi usaha kotor (politik uang dan pemaksaan) Mesin Politik mendapat suara terbanyak.
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. “Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?”
clxxxiv
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. (Kuntowijoyo, 2000: 145)
c. Nilai Pendidikan Adat/Budaya Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah dalam novel ini adalah adat daerah yang bernuansa kejawaan. Kutipan novel Pasar berikut merupakan salah satu nilai pendidikan adat: Tidak ada orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. Adu jago saja patohan, membuat candrasengkala mesti ke Pak Mantri. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis. (Kuntowijoyo, 2002: 63-64). Dalam novel MPU, ada nilai pendidikan adat yang dapat diambil yaitu berupa kritik terhadap budaya Jawa. “Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa mangan ora mangan waton ngumpul itu sudah kuno,” pinta orang itu (Kuntowijoyo, 2000: 27)
Sedikit berbeda dengan novel Pasar dan Mantra Pejinak Ular, Kuntowijoyo dalam novel Wasripin dan Satinah nilai pendidikan adat/budaya budaya Jawa masyarakat pantura dapat dilihat dari penggalan berikut ini. Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Babinsa sepi pengunjung. Di siskamling orang-orang rerasan, “maklum pendatang”, “Orang akan lebih suka selawatan daripada wayang dan ruwat.” (Kuntowijoyo, 2003: 83)
d. Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Kutipan novel Pasar berikut ini merupakan penggalan nilai pendidikan sosial.
clxxxv
“Lagi pula yang penting, ingatlah bahwa kau orang Jawa. Ketika engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain, Nak. Jangan, sekali-kali jangan. Orang yang berpangkat harus berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang kesusahan, harus bisa membantu. Jangan malah menertawakan. Kalau tidak bisa membantu, menyesallah. Dan berjanjilah suatu kali kau akan membantu. Sebaliknya ikutlah berduka cita atas kemalangan orang lain. Engkau boleh tertawa apabila saudaramu beroleh kesukaan. Bersusahlah bersama orang yang susah, bergembiralah bersama orang yang bergembira. Renungkanlah, Nak.” (Kuntowijoyo, 2002: 344). Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetanggatetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. (Kuntowijoyo, 2002: 350)
Kutipan di atas menggambarkan adanya hubungan sosial yang sangat harmonis. Adanya kasih sayang sesama masyarakat dan kerelaan untuk berbagi dalam keadaan susah dan senang patut diteladani oleh siapapun. Dalam novel MPU, Abu sering ikut ronda atau siskamling. Berikut ini kutipan yang menjadi bukti adanya nilai pendidikan sosial: Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. (Kuntowijoyo, 2000: 114) Sementara itu, dalam novel WS, nilai pendidikan sosial ini berupa gotong royong yang dilakukan warga ketika Wasripin mau menikah. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya gotong royong dalam masyarakat. Berikut ini kutipan yang menjadi bukti adanya nilai pendidikan sosial: Sebuah panitia sudah dibentuk. Para nelayan patungan menanggung biaya. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
clxxxvi
B. PEMBAHASAN Berdasarkan Deskripsi dan temuan yang telah diuraikan di atas, maka akan dikemukakan pembahasan yang meliputi pandangan dunia pengarang, struktur teks, stuktur sosial, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
1. Religius Profetik sebagai Pandangan Dunia Kuntowijoyo Gagasan Kuntowijoyo yang paling terkenal adalah pemikirannya tentang ilmu sosial profetik. Menurut keyakinan Kuntowijoyo diperlukan upaya mengembalikan kesadaran manusia. Sebuah gerakan kebudayaan yang mengolah dimensi kedalaman manusia (trasendensi, pendidikan moral, pengembangan estetika) dalam jangka panjang diyakini akan dapat memulihkan kembali kesadaran itu. Inilah inti pemikiran yang menjadi pemahaman dari kerangka pemikiran Kuntowijoyo di atas. Etika profetik memang sangat penting. Apalagi di tengah perkembangan sosial budaya yang begitu mengedepankan aspek material. Bukanlah dalam konstelasi semacam itu manusia perlu pegangan dalam kehidupannya. Konteks inilah yang memberi signifikasi kehadiran etika profetik. Ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kuntowijoyo merupakan alternative terhadap kondisi status quo teoriteori sosial positivis yang kuat pengaruhnya di kalangan intelektual dan akademisi di Indonesia. Ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial. Tetapi juga memberikan interpretasi, mengarahkan, serta membawa perubahan bagi pencapaian nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat berupa emansipasi atau humanisasi, liberasi, dan transendensi.
clxxxvii
Oleh karena itu etika profetik menjiwai seorang intelektual berpegang pada nilai-nilai yang universal mencakup: keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Itulah gagasan Kuntowijoyo yang memperkenalkan pemikirannya tentang ilmu sosial profetik. Menurut keyakinan Kuntowijoyo, krisis ilmu sosial sekarang ini tidak bisa diatasi hanya dengan penolakan-penolakan tetapi dengan mengubah komitmennya, yaitu pada masyarakat yang konkret, dan kaidahnya, yaitu profetisme. Perhatian utama yang dibangun adalah emansipasi masyarakat, yang konkret dan histories, dengan mengaitkannya dengan problem-problem actual yang dihadapi umat. Problem sekarang ini bagaimana mengantarkan masyarakat dalam transformasi menuju masyarakat rasional, dan budaya yang manusiawi dengan mengikatkan hubungan kemanusiaan dalam nilai-nilai spiritual. Konsepsi pemikiran holistik tidak bisa dipisahkan dari kepribadian Kuntowijoyo, termasuk di dalamnya ketika ia menawarkan paradigma kecendekiaan baru yang ditajukinya sebagai ilmu sosial profetik. Baginya, paradigma tersebut tidaklah cukup jika sekedar diposisikan sebagai sebuah kerangka teoritik dan metodologis demi penjelasan dan pengubahan fenomena sosial yang ada. Upaya interpretasi, refleksi, dan aksi harus selalu ada, dan bersifat
konkomitan.
Muara akhirnya,
untuk
mengarahkan, mendorong,
mengubah, dan merekontruksi berbagai kenyataan sosial sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Sosok keteladanan itu, kita juga diwariskan dengan sejumlah karya Kuntowijoyo yang penuh inspirasi, yang tampaknya lahir dari kontemplasi dan renungannya yang mendalam akan problem kebudayaan yang tidak hanya
clxxxviii
dihadapi oleh bangsanya, tetapi juga oleh umat manusia. Sebagai penulis, Kuntowijoyo bisa dibilang komunikator yang jenius dan istimewa. Ini terlihat dari kepiawaiannya meracik buah pikirannya dalam bentuk puisi, drama, novel, dan cerita pendek yang memungkinkannya gagasannya mencapai khalayak yang lebih luas dan digemari. Di samping sebagai sejarawan, Kuntowijoyo juga seorang aktivis Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah bahkan sampai pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Latar belakang keterlibatannya sebagai aktivis di organisasi Islam Muhammadiyah mempengaruhinya untuk berpikir secara rasional dan menentang cara berpikir irasional. Kuntowijoyo mengingatkan perlunya demitologisasi alam pikiran kita dalam memandang sejarah dan realitas masa lalu dan realitas kontemporer. Menurut Kuntowijoyo, mitos merupakan bentuk pikiran yang irasional. Masyarakat yang hidup dalam mitos tak akan bisa menangani permasalahan realitas. Akar permasalahannya terletak dalam cara berpikir sebagai bangsa. Kuntowijoyo merupakan sosok yang menentang mitos kesyirikan berupa sesaji, kepercayaan terhadap binatang, menyepi di kuburan, dan yang lainnya karena memang hal tersebut bertentangan dengan keyakinan agamanya. Meski begitu Kuntowijoyo mengambil sikap moderat dengan tidak secara konfrontatif melakukan penentangan, tetapi melalui pemberian pemahaman ilmu yang arif dan bijak. Kuntowijoyo memaparkan keyakinan terhadap mitos sebagai suatu yang tidak benar, tetapi ia juga melihat bahwa hal tersebut sebagai realitas yang menjadi fenomena yang hidup di masyarakat.
clxxxix
Dalam novel Mantra Pejinak Ular (MPU), Kuntowijoyo menggunakan tokoh utama Abu Kasan Sapari untuk menyampaikan pandangannya tentang kekeliruan masyarakat dalam menyelesaikan masalah dengan mitos. Sedangkan dalam novel Wasripin dan Satinah (WS), Kuntowijoyo menggunakan tokoh saudara orangtua Satinah agar tidak menyepi di kuburan untuk sekadar mengganti nama. Mereka mengusulkan mengadakan kenduri di rumah dan mengundang para santri untuk mengaji. Dengan begitu masyarakat diajak untuk berpikir lebih maju dan rasional. Kuntowijoyo menyodorkan sebuah sikap yang solutif dengan dasar keyakinannya, seperti melalui peran tokoh Abu dan Wasripin dalam mengganti keyakinan mitos dengan nilai budaya yang lebih luhur. Selamatan leluhur dialihkan menjadi ceramah keagamaan dan ruwat bumi dilakukan tanpa menggunakan sesajian. Intelektualitas muslimnya membawa Kuntowijoyo menggunakan dasardasar wahyu sebagai landasan bertindak dan berpikir bijak untuk meluruskan perilaku masyarakat yang bertentangan dengan pandangannya. Dalam cerita Pasar Kuntowijoyo menyampaikannya melalui tokoh Pak Mantri yang senantiasa memegang ajaran cinta kasih sebagai warisan para nabi. Pak Mantri menjadi teladan
yang baik di masyarakat telah kehilangan rasionalitas dalam
menyelesaikan masalah. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia Kuntowijoyo adalah pandangan religius profetik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetik. Dikatakannya bahwa sastra adalah sebagai bagian dari ibadah. Ini adalah bukti pandangan religiusnya.
cxc
Akan tetapi, pandangan religius tersebut bukanlah religius sufistik yang hanya mengedepankan hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangannya adalah religius profetik karena ada humanisasi, leiberasi, dan transendensi. Cara pandang inilah yang menurut Moh. Wan Anwar mampu menjejak bumi (hubungan dengan manusia) dan menjangkau langit (hubungan dengan Tuhan). 1. Misi Profetik Kesenian Kuntowijoyo mengatakan bahwa keluhuran seni bersifat profetik, artinya memiliki dasar nilai keagungan ajaran yang religius. Seni memiliki tanggung jawab menempatkan diri sebagai unsur keseimbangan terhadap unsur yang lainnya. Dalam hal ini seni tidak boleh menyimpang dari hakikat intinya. Di sisi lain, Kuntowijoyo membandingkan kesenian dengan kekuasaan, Kuntowijoyo memaparkan bahwa kesenian dengan kekuasaan memiliki batas yang berbeda. Oleh karena itu, kesenian dalam perannya memberikan kesadaran di masyarakat dilakukan dengan keluhuran yang dimilikinya. Kuntowijoyo menyesalkan krisis kultural dalam bentuk politisasi dan komersialisasi kesenian. Komersialisasi misalnya menimbulkan pembodohan dan dehumanisasi. Dehumanisasi merupakan penempatan manusia seperti mesin robot sebagai objek yang bisa diperalat untuk kepentingan kekuasaan. Dalam hal ini Kuntowijoyo memberikan peringatan agar kaum cendekiawanlah yang berperan aktif menjalankan misi profetik kesenian. Dalam novel Pasar, tokoh Pak Mantri telah menyampaikannya melalui candrasengkala dan tembang Jawa. Dalam novel MPU tokoh Abu
cxci
menyampaikannya melalui seni wayang. Sedangkan dalam novel WS, tokoh Satinah dan paman menyampaikannya melalui nyanyian yang diiringi siter dan seruling untuk mbarang. 2. Misi Profetik Sosial Dalam
pandangan
Kuntowijoyo,
terjadinya
pelapisan
sosial
berdasarkan kelas menjadi hal yang tidak terhindarkan. Kepemilikan harta, jabatan, dan wewenang menjadi pengakuan terhadap strata sosial di masyarakat. Permasalahan konflik sosial pastilah berpotensi muncul dalam kondisi seperti itu. Tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah adanya keseimbangan interaksi sosial yang memiliki timbale balik positif. Kuntowijoyo menyarankan agar kaum intelektual harus memulai dengan gerakan kesadaran untuk melawan kecenderungan-kecenderungan sosial yang dekaden. Kaum intelektual dan budayawan itu seharusnya bisa melihat
secara
komprehensif
pada
masyarakatnya.
Sebab,
menurut
Kuntowijoyo, di samping sangat mobile pemikirannya, kaum intelektual dan budayawan dituntu pula untuk secara partisipatif mengubah persepsi masyarakat. Kalau misalnya sistem sosialnya akan menjadi sistem sosial yang depresif (menindas), maka kaum intelektual dan budayawan harus melawan kecenderungan itu dengan kearifan. Kuntowijoyo memberikan gambaran peran intelektualitas dalam membangun interaksi sosial dengan melandaskan pada etika profetik. Etika profetik akan mengarahkan cendekiawan untuk memberikan sikap keteladanan dan tanggung jawab dalam proses interaksi. Proses interaksi antarmanusia
cxcii
harus dibangun di atas landasan humanisme dan trasendental. Artinya interaksi dilakukan dalam rangka mencapai kebersamaan tanpa saling mencederai dan senantiasa memerhatikan nilai-nilai luhur religius sebagai kontrol hubungan transendental. 3. Misi Profetik Budaya Sebagai seorang sejarawan, Kuntowijoyo sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah seolah-olah memang mengajarkannya kearifan itu. Bagi Kuntowijoyo, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Kuntowijoyo meyakini budaya Jawa yang telah mengakar di dalam masyarakat Jawa selama ratusan tahun sebagai sesuatu yang memiliki nilai luhur. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya sangat penting bagi keseimbangan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai luhur budaya Jawa memberikan arahan bagi manusia dalam berpikir dan berperilaku sebagai manusia yang alim. Kuntowijoyo melihat bahwa masyarakat Jawa sekarang telah melupakan dan meninggalkan budaya Jawa. Hal itu berarti telah melupakan dan meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Sebagian
masyarakat
telah
melupakan
dan
meninggalkan
candrasengkala, seni sastra Jawa, yang berisi nilai luhur kehidupan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Efek yang bisa timbul yaitu terjadinya penyimpangan perilaku oleh masyarakat, apalagi sebagai pejabat negara, jauh dari kearifan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, Kuntowijoyo menyarankan agar budaya Jawa harus diwariskan dari generasi ke generasi
cxciii
sepanjang masa agar keteladanan terhadap nilai-nilai luhur tersebut dapat lestari. Kuntowijoyo juga memandang bahwa masa sekarang telah terjadi kemajuan budaya yang luar biasa. Kemajuan budaya telrihat dari pembangunan dari sector fisik yang sangat berperan mempengaruhi keberadaan budaya yang ada. Dalam kutipan di bawah ini Kuntowijoyo mengkhawatirkan adanya pergeseran budaya karena pengaruh pesatnya kemajuan yang tak terbendung efeknya. Maka, kemajuan sarana fisik haru diimbangi denga penanaman nilai-nilai luhur budaya yang tidak luntur meski zaman semakin berkembang. Hal lain yang diperlihatkan Kuntowijoyo ialah kenyataan pada budaya yang terkait cara berpikir masyarakat. Masyarakat sekarang sudah mulai menerima wujud keterbukaan pikiran terhadap pola hidup, bahkan mungkin sampai mengubah kultur yang telah ada. Kutipan berikut ini menunjukkan pergeseran kultur pernikahan dari cara Siti Nurbaya, dijodohkan, menjadi keleluasaan pihak yang akan menikah. Di samping itu juga pergeseran terhadap pemikiran hidup selalu berkumpul dalam masyarakat terpengaruh program transmigrasi. 4. Misi Profetik Politik Politik yang mengarah pada kebersamaan tujuan disatukan dalam perwujudan demokrasi. Kuntowijoyo mengingatkan, kebudayaan bersifat unik dan partikular. Karena itu, demokrasi kebudayaan harus hati-hati jangan sampai demokrasi menyebabkan hilangnya kepribadian. Dalam demokrasilah
cxciv
hak-hak semua masyarakat dapat disampaikan. Berkenaan dengan itu maka harus dijaga jangan sampai demokrasi berarti anarki, artinya terdapat tindakan untuk menekan dan memaksanakan agar hak individu atau golongan lebih diakui daripada kepentingan umum. Dalam gerakan politik menuju sistem politik yang rasional itulah kaum intelektual dapat berperan. Peran yang harus dimainkan intelektual dalam masyarakatnya adalah salah satu isu yang menjadi kepedulian Kuntowijoyo. Peran intelektual ialah menggerakkan dan menggunakan potensi ilmunya sebagai kritik sosial. Kaum intelektual harus berani melontarkan kritik kepada masyarakat dan melakukan kontrol terhadap sistem yang sedang berjalan. Pak Mantri Pasar menjadi contoh peran intelektual dalam menyelesaikan masalah di pasar. Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa, tidak pada elite (kekuasaan, bisnis) dan massa (budaya, voting behaviour). Tindakan Abu Kasan Sapari ketika menolak dijadikan sebagai alat politik praktis yang tidak mengedepankan kebersamaan dan kejujuran pada kutipan cerita MPU merupakan bentuk tindakan intelektualitas yang tepat. Selain itu, menurut Kuntowijoyo politik adalah pengejawantahan moral bukan sekadar kendaraaan menuju kekuasaan. 5. Misi Profetik Ekonomi Dalam pandangan Kuntowijoyo, masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan. Kuntowijoyo melontarkan menurut persepsi intelektual bahwa dalam masyarakat terdapat kemiskinan
cxcv
struktural. Masyarakat miskin bukan karena kemalasan, tetapi karena dimiskinkan oleh sistem dan struktur yang pincang. Keberadaan pasar tradisional tergeser oleh ego pembangunan yang mendasarkan capital semata, seperti pembangunan hotel, pabrik, atau pun yang mengatasnamakan penataan geografis. Masyarakat ekonomi sekarang tidak bisa dibayangkan tanpa ekonomi pasar, demikian juga ekonomi pasar hanya dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat pasar. Pasar sebagai sentra aktivitas perekonomian rakyat, menopang ekonomi bagi masyarakat kecil. Padahal yang terjadi gejala tersebut tidak hanya menggeser eksistensi pasar tradisional, tetapi juga mengubah tatanan sosial budaya yang telah terbentuk sekian ratus tahun pada masyarakat Jawa. Kesenjangan antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah yang lazim adalah monopoli. Kesenjangan itu terjadi sebagai akibat dari tidak terkendalinya fasilitas yang diberikan oleh mekanisme ekonomi. Dengan demikian perilaku para kapital atau pemilik modal dapat bertindak sesuai kepentingannya dengan menguasai perekonomian sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan kesempatan yang sama karena selalu ditekan. Kuntowijoyo juga memandang bahwa dalam kegiatan ekonomi pelaku utama adalah rakyat kecil. Tanpa mereka, kegiatan perekonomian tidak berjalan dan dapat mengganggu stabilitas negara. 6. Misi Profetik Pendidikan Dalam paradigma pendidikan, Kuntowijoyo juga mengkhawatirkan mengenai gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan
cxcvi
simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status yang lebih tinggi. Dia juga mencemaskan kemungkinan sarana mobilitas sosial. Sebagai contoh yang nyata kini sekolah-sekolah kian mahal dan eksklusif sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat bawah. Di sini komersialisasi pendidikan sama berbahaya dengan indoktrinasi dalam pendidikan. Komersialisasi pendidikan berakibat pembodohan dan kemiskinan. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sesuatu prestise yang hanya bisa diperoleh oleh kalangan masyarakat kaya: Kuntowijoyo mengatakan demokrasi kebudayaan dalam aspek pendidikan justru berusaha supaya setiap warga negara punya akses yang sama terhadap sumber-sumber kebudayaan, seperti akses terhadap pendidikan. Oleh karena itu, peran intelektualitas harus menempatkan diri bukan sebagai pembatas jenjang yang telah ada, tetapi memberikan keseimbangan dengan membuka saluran bagi pendidikan rakyat. Dalam contoh konkret, hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dengan standar yang tidak membeda-bedakan pelayanan dalam rangka ketercapaian kualitas. Dengan inilah pendidikan dapat dinikmati oleh masyarakat kalangan manapun. 7. Misi Profetik Moral Kuntowijoyo memandang bahwa industrialisasi telah mengakibatkan dekadensi nilai dan moral. Awal dari krisis nilai dan moral disebabkan oleh tidak adanya keteladanan. Kuntowijoyo juga berkali-kali mengingatkan bahwa bangsa kita berkali-kali mengalami krisis keteladanan. Yaitu, sirnanya tokoh-
cxcvii
tokoh anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan bertindak. Pada saat yang sama, kita juga sedang mengalami krisis pengalaman, dan kebijakan. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi akan dianggap sia-sia. Kejujuran seorang pejabat dianggap sebagai kebodohan. Kesederhanaan dapat dianggap sebagai kemewahan yang tak terjangkau. Orang senang hidup dalam alam ilusi dan gaya hidup serta simbol. Untuk sukses dalam kehdupan dan “budaya serba-instan” ini, perjuangan dan kerja keras tidak ada artinya. Di tengah arus pragmatisme kebudayaan, ikhlas telah digantikan oleh sikap pamrih, altruisme digantikan oleh individualisme. Yang dulu pejuang bisa tetap tidak punya apa-apa; tidak kekuasaan, tidak kekayaan, tidak juga kehormatan. Bahkan sebaliknya, para pejuang dituduh melakukan
penyimpangan-penyimpangan
yang
sebenarnya
hanyalah
direkayasa belaka. Di tengah potret dunia kehidupan yang kontradiktif ini, Kuntowijoyo lantas mengingatkan pentingnya pendidikan nilai dan moral. Salah satu aspek pendidikan nilai dan moral adalah perlunya identifikasi diri dalam mengembangkan konsep baik dan buruk. Tapi dengan adanya anomi (tidak ada norma, kekacauan nilai, perasaan tidak percaya pada nilai) selama dasawarsa di bawah Orde Baru bangsa Indonesia telah kehilangan begitu banyak teladan (exemplary center). Kuntowijoyo sendiri mengatakan generasi muda sudah menjadi yatim piatu, menghadapi dunia sendirian, tanpa contoh dari orang tua. Seolah-olah dia dilemparkan ke dunia asing. Tidak heran jika
cxcviii
mereka menjadi pemberang yang agresif. Mereka tidak sadar bahwa perilaku mereka merugikan orang lain.
2. Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Stuktur teks dalam pendekatan stukturalisme genetik yang dicetuskan oleh Goldmann berpusat pada tokoh yang disebut sebagai tokoh hero. Tokoh hero ini menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pandangan dunianya. Tokoh hero mengalami problematik dengan tokoh lain dan dengan dunia. Tokoh hero inilah yang dipergunakan pengarang untuk menyampaikan pandangan dunia religius profetik. Tokoh hero dalam novel Pasar adalah Pak Mantri Pak Mantri merupakan tokoh sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam cerita Pasar. Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Pak Mantri dideskripsikan sebagai tokoh hero yang dikenal karena interaksi sosialnya yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah. Tokoh Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang religius, jujur, setia sopan, dan tahu diri. Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh hero yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan pandangan religius profetik dalam novel Mantra Pejinak Ular. Tokoh Abu paling banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan tokoh Abu sebagai
cxcix
tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokohtokoh lain. Abu Kasan Sapari sejak kecil telah memiliki watak baik. Ia adalah seorang yang tekun belajar dan berprestasi. Masa dewasanya menunjukkan ia dapat menggunakan kecerdasannya untuk membantu masyarakat di tempat ia tinggal. Kepiawaian utama yang dimilikinya ialah sebagai seorang dalang. Sebagai dalang ia juga termasuk orang yang menghindari perbuatan tabu bagi seorang muslim Jawa, yaitu kepercayaan terhadap hal takhayul. Tokoh Wasripin dan Pak Modin merupakan tokoh sentra yang digunakan pengarang untuk menyampaikan pandangan religius profetiknya dalam novel Wasripin dan Satinah. Tokoh Wasripin dan Pak Modin paling banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan tokoh Wasripin dan Pak Modin sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Wasripin adalah orang yang sederhana dan tidak suka berlebihan. Tokoh Pak Modin digambarkan sebagai seorang yang bijak, religius, dan disegani masyarakat. Stuktur teks pada pendekatan strukturalisme menekankan kajian pada tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang. Kajian strukturalisme berkaitan dengan kualitas suatu karya sastra. Hal ini diperkuat oleh pendapat Teeuw (1984: 121) yang mengatakan bahwa dalam konsep strukturalisme, karya sastra yang baik harus memiliki kepaduan (unity) dalam hal tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang; urutan cerita yang teratur dan memiliki logika cerita (order); cerita harus memiliki kemungkinan perkembangan kisah yang masuk akal
cc
(complexity); dan cerita berisi kisah yang masuk akal atau harus terjadi berdasarkan tuntutan konsistensi dan logika cerita (coherence). Teori mengenai
strukturalisme menurut Teeuw memiliki persamaan
dengan William Kenny (1984: 19). Keduanya berpendapat bahwa kualitas suatu karya sastra dilihat dari unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Perbedaannya, Kenny mengatakan bahwa suatu karya sastra harus memiliki kemungkinan terjadi dalam kehidupan nyata (plausibility); penciptaan suasana yang berdaya tarik tinggi, (suspense); kejutan (surprise); dan watak tokoh memiliki kemiripan dengan watak manusia dalam kehidupan nyata (lifelikeness). Berdasarkan penelitian dari segi strukturalisme, maka novel Pasar, MPU, dan WS merupakan novel yang berkualitas dari segi struktur karya sastra yang memiliki uniyt, order, complexity, dan coherence. Novel tersebut juga memiliki plausibility, suspense, surprise, dan lifelikeness Berdasarkan
perbandingan
antara
struktur
teks
pada
pendekatan
strukturalisme dan struktur teks pada pendekatan strukturalisme genetik dapat dikemukakan bahwa pada pendekatan strukturalisme menekankan kajian pada tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang. Struktur teks pada penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik menekankan kajian pada tokoh hero. Ada benang merah antara struktur teks berdasarkan pendekatan strukturalisme genetik dengan pandangan dunia pengarang dan struktur sosial. Kajian struktur teks pada pendekatan strukturalisme dapat meperkaya dan melengkapi kajian struktur pada pendekatan strukturalisme genetik. Kualitas intrinsik suatu karya sastra perlu diteliti melalui pendekatan strukturalisme.
cci
3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah
Struktur sosial budaya masyarakat dalam cerita novel Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah(WS) berkaitan erat dengan kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa. Kenyataan tersebut ditampilkan berkenaan dengan warna lokal berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, keadaan alam, bahasa, perumahan, dan paparan tentang kesenian. Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan dan salah satu bentuk
ekspresi
manusia
dalam
menyikapi
realitas
kehidupan
dengan
menggunakan bahasa simbol. Sastra Indonesia mestinya difungsikan untuk meninggikan derajat kemanusiaan dan membawa pembaca pada pengumbaran jiwa manusia dengan ekspresi yang rendah. Oleh karena itu perlunya diimbangi dengan sastra yang bercorak lebih bagus secara makna dan isinya, yang berdasarkan pada nilai-nilai agama.Sastra yang bercorak pada nilai-nilai agama merupakan pengungkapan jiwa dan sarana untuk melakukan Ibadah pada Pencipta. Sebagaimana sastra Islam merupakan sastara yang bersifat multi fungsi dimana bukan pengungkapan jiwa semata tetapi mengajarkan nilai-nilai transenden. Kuntowijoyo merupakan sosok yang fenomenal pada masa itu karena konsep yang ia tawarkan dalam melihat realitas. Dilihat dari latar belakang pendidikannya ia merupakan seorang yang ahli sejarah. Sejarah yang ia ungkapkan dengan menggunakan pendekatan sosial, hal ini dapat dilihat dari disertasinya yang membahas tentang perubahan sosial masyarakat Madura. Walaupun ia seorang sejarawan tetapi apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo lebih dari sejarawan. Hal ini disebabkan ia banyak sekali memberikan konstribusi pada
ccii
bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial dan pengintegrasian ilmu agama dengan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, MPU, dan WS dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Proses Kreatif Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah (WS) Penulisan Novel Pasar, MPU, dan WS sama-sama ditulis pada saat terjadi perubahan sosial budaya karena perkembangan zaman. Dalam proses kreatifnya Kuntowijoyo tidak pernah melepaskan latar sejarah kemanusiaan yang sedang berlangsung. Ketiga novel tersebut terwujud sebagai bentuk perenungan dan pencerahan Kuntowijoyo terhadap fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam proses kreatifnya Kuntowijoyo tidak pernah melepaskan latar sejarah kemanusiaan yang sedang berlangsung. Dalam pengantar Hampir Sebuah Subversi (1999) dikatakan Kuntowijoyo bahwa ia merenungkan kembali kegiatannya menulis cerpen. Ia mengaku menulis begitu saja, yang dirasanya baik, tanpa resep-resep. Meskipun begitu karya-karya Kuntowijoyo penuh dengan gagasan, penuh dengan renungan hakikat manusia dalam kehidupan modern ini. Dengan kata lain, instuisi diri Kuntowijoyo yang telah berpadu dengan kecerdasan intelektualnyalah yang akhirnya menghasilkan karya-karya tersebut. Penulisan dengan cara semacam itu dapat dilihat dalam hampir setiap tulisan karya sastra Kuntowijoyo. Novel Pasar diceritakan alurnya berangkat dari yang serba sederhana, yaitu dari kekaguman atas “misteri
cciii
kehidupan”. Dalam novel Pasar Kuntowijoyo mengungkapkan soal perubahan sosial di kota kecil pada akhir tahun 50-an. Dua orang yang sudah berumur, seorang priyayi Jawa kecil-kecilan, Pak Mantri Pasar, bersaing dengan seorang pedagang, Kasan Ngali, memperebutkan “cinta” seorang gadis pegawai Bank Pasar. Tidak seorang pun yang memenangkan persaingan karena gadis itu dipindahtugaskan. Kuntowijoyo mengatakan bahwa cerita Pasar ditulis karena ia mengagumi tokoh-tokohnya, ia mengagumi pasar yang semasa kecil menajdi tempat bermain, ia mengagumi tokoh-tokohnya, ia mengagumi burung dara, ia mengagumi ketoprak dan ludruk yang pemain-pemainnya mandi di sumurnya, ia mengagumi para penjual obat di lapangan depan pasar. “Semua waktu itu adalah realitas keseharian bagi anak-anak, lima belas tahun kemudian – ketika saya sudah dewasa, waktu saya menulis ternyata semua itu berubah jadi misteri yang mengagumkan. Adapun pasar itu sendiri sekarang berubah menjadi pasar modern dengan kios-kios di sekitarnya,” katanya. Novel MPU pun menampilkan pesoalan manusia dalam konteks sejarah kemanusiaan. Melalui novel MPU, Kuntowijoyo melakukan kritik terhadap
proses
dehumanisasi
yang
berlangsung
di
masyarakat,
terkungkung dalam mesin birokrasi (negara) dan mesin politik (partai) yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang ketertindasan, baik secara material maupun spiritual.
cciv
Kuntowijoyo sudah mencoba mengisahkan perlawanan terhadap dehumanisasi dan objektivasi olehmesin birokrasi bernama negara dengan mesin politik berupa parti pemerintah dalam novel MPU. Seorang pegawai rendahan di kecamatan menolak menjadi pegawai lebih tinggi di kabupaten untuk menunjukkan penolakannya menjadi pengikut partai pemerintah. Atau, dalam istilah etika profetik disebut tokoh ingin menjadi pribadi yang utuh. Di samping dehumanisasi “modern” di atas, ada lagi dehumanisasi “tradisional”. Dehumanisasi tradisional yang masih ada dalam masyarakat kita ialah pemujaan terhadap benda keramat, kekeramatan kuburan, sesaji, mantra, jimat. Dan sebagainya. Tokoh Abu Kasan Sapari menolak dehumanisasi “tradisional” yang disimbolkan dengan membuang ularnya, memutus mata-rantai mantra pejinak ular, dan tidak memakai sesaji waktu mendalang. Fakta-fakta yang ditampilkan dalam cerita MPU merupakan fakta sejarah yang menjadi fenomena di masyarakat Jawa. Kuntowijoyo juga membangun cerita novelnya dengan internalisasi tokoh yang berjalan atau ia menyebutnya dengan sastra dari dalam. Sastra dari dalam, artinya peristiwa-peristiwa dipahami sebagaimana tokohtokohnya memahami dunianya sendiri. Pengarang harus membiarkan tokoh-tokoh
imajinernya
mereaksi-mereaksi
peristiwa-peristiwanya
sendiri. Dengan katalain, the I tokoh imajinerlah yang berpikir, berbicara, dan berbuat, bukan sang pengarang. Kalau tokoh-tokoh imajiner itu orang sederhana, pikiran, perkataan, dan perbuatannya juga harus sederhana.
ccv
Tokoh Abu Kasan Sapari dalam novel MPU tak pernah tahumenahu soal objektivasi modern dan tradisional, padahal objektivasi itulah tema dari tema novel itu. Ia hanya bereaksi sewajarnya atas peristiwa yang dihadapi. Mendalang, menolong, seorang cakades, menolak tawaran partai, mencari rumah kontrakan, dan jatuh cinta. Pengarang sama sekali “tidak berbicara” lewat tokoh-tokohnya. Satu-satunya privilis saya adalah teknik “apa-apa ada”. Tokoh Pak Mantri yang telah berusaha dan berhasil mengatasi pesoalan yang muncul di pasar merupakan satu tipe ideal pemimpin modern dibandingkan dengan cermat, bupati, dan pemimpin umumnya sekarang yang tidak mengerti baik akar tradisi sendiri maupun semangat modernitas. Di tangan orang yang tidak mengerti hakikat masa lalu dan masa kini, tradisi dan modernitas, bumi dan langit, manusia dan Khalik, kehidupan
modern
akan
tampil
dalam
bentuk-bentuknya
yang
melemahkan spiritualitas manusia. Tokoh tersebut menjalankan misi yang ada dalam karakter miliknya tanpa harus mengetahui modernitas apa yang tengah terjadi di masanya. Dalam novel WS, masing-masing tokoh mempunyai sifat yang menggambarkan secara nyata sifat orang pantura. Tokoh Pak Modin sebagai orang yang punya banyak pengalaman dijadikan Kuntowijoyo sebagai media untuk menyampaikan pesan moral. Pak Modin adalah pemimpin
yang
diharapkan
oleh
rakyatnya,
tetapi
dianggap
membahayakan kekuasaan di atasnya. Pada akhirnya ia diculik dan disiksa
ccvi
hingga menjadi gila. Tipikal pemimpin yang diharapkan rakyat adalah orang yang memiliki kemampuan sebagai rohaniwan/ulama dan manajer. Kuntowijoyo memang memiliki landasan yang jelas dalam merambah proses kreatifnya; sebuah bukti lain bahwa dirinya merupakan sosok pribadi yang konsisten. Proses-proses kreatif bersastra, baik dalam ranah
produktif,
reproduktif
maupun
reseptif,
memang
harus
dikembangkan dalam sebuah landasan yang jelas. Kuntowijoyo melihat bahwa masyarakat tidak dicetak oleh ruh masyarakat, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan, maka kita menemukan wajah manusia yang otentik. Manusia terikat pada yang semata-mata konkret dan empiris yang dapat ditangkap indra. Kesaksian manusia pada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian lahiriah jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama manusia harus membebaskan diri dari aktualitas, dan kedua, membebaskan diri dari peralatan inderawi. Selanjutnya, pada saat teks-teks sastra semacam ini realitasnya memang ada, dan memang eksis, ia kemudian memperkenalkan apa yang kemudian dikenal sebagai sastra profetik. Untuk melihat konsep-konsep etika profetik dalam sebuah karya sastra dilalui dengan melihat struktur sastranya. Bagi Kuntowijoyo, sastra adalah struktur alisasi dari pengalaman, imajinasi, dan nilai. Imajinasi selalu ada dalam setiap struktur sastra sehingga struktur itu terdiri dari dua atau tiga unsure. Pengalaman bisa berupa pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, dan hasil riset. Imajinasi ialah kemampuan mental untuk membayangkan sesuatu secara
ccvii
urut, sadar, dan aktif. Nilai itu bisa apa saja: agama, filsafat, ilmu, adapt, dan gugon-tuhon. Dalam
karya-karya
mutakhirnya,
Kuntowijoyo
lebih
mengedepankan dimensi profetik yang bersifat liberasi. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa sastra adalah sebuah dunia symbol, yang sifat dan proses komunikasinya berbeda dengan sifat dan komunikasi sehari-hari. Karena sebagai krator ia harus menciptakan dunia simbol sebagai sesuatu yang baru, proses kreatif menjadi berpeluang lebih luas dalam mengeksplorasi gagasan dan konsep, baik dalam tataran tradisi, budaya maupun keagamaan. Dan Kuntowijoyo tidak tanggung-tanggung dalam hal ini. Karena itu karya-karyanya bergerak dalam kemungkinan tersebut. Pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam pelukisannya dan koheren dengan tema (konsep etika profetik) dan plotnya (penuturan yang runtut, jalan cerita yang masuk akal). Intuisilah yang akan membimbing pengarang menuju koherensi itu.
2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasrpin dan Satinah Cerita Pasar dilatari oleh sebuah deskripsi kehidupan masyarakat Jawa yang tinggal di sebuah kota kecil pada akhir tahun 50-an yang sedang mengalami pembangunan di banyak bidang. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pada masa itu kota kecil tersebut telah memiliki perangkat-perangkat kemasyarakatan, yaitu mantri pasar, camat, juga polisi tentunya beserta perangkat fisik perkantoran pemerintahannya, yaitu kantor pasar, kantor kecamatan, dan kantor kepolisian.
ccviii
Perkembangan sarana-sarana fisik tersebut menandakan adanya kemajuan budaya manusia. Perkembangan sosial budaya pada cerita MPU diperlihatkan sebagai masa kemajuan pembangunan di era akhir tahun 90-an. Semakin terjangkaunya sarana fisik yang merambah wilayah pedesaan mendorong perilaku budaya dan gaya hidup baru bagi masyarakat Jawa. Kutipan di bawah ini memperlihatkan perkembangan budaya membaca dan mencari informasi dari radio dan televise merupakan salah satu perkembangan perilaku budaya yang fenomenal di masyarakat yang lebih maju. Hal itu pun menunjukkan bahwa kondisi latar yang ditunjukkan dalam latar cerita MPU lebih modern daripada latar dalam cerita Pasar Perkembangan sosial budaya pada cerita WS diperlihatkan sebagai masa kemajuan masyarakat pesisir. Kegiatan politik modern mewarnai seluruh kehidupan masyarakt Indonesia, tak terkecuali masyarakat pesisir. Dengan menggunakan samaran nama dan peristiwa, digambarkan bahwa pelatiahan kader partai sudah dengan manajemen yang modern dan peralatan yang modern pula. Pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat mempengaruhi terhadap interaksi sosial diperlihatkan dalam novel Pasar. Kultur feodalisme yang masih melekat dalam masyarakat pascasosial menyebabkan adanya interaksi sosial yang bersifat terbatas antaranggota masyarakat karena implikasi dari pengakuan terhadap strata sosial. Hal ini diperlihatkan dengan komunikasi top down atas pengaruh yand dimiliki dari anggota tokoh strata lebih tinggi kepada tokoh dengan strata lebih rendah. Persepsi terhadap strata dalam masyarakat Jawa
ccix
memberikan perlakuan istimewa pada orang-orang berstrata tinggi di masyarakat. Perlakuan tersebut berupa dalam banyak hal, seperti dalam diawalkan mendapat kesempatan atau diberikan tempat terdepan dalam acara-acara masyarakat. Berbeda dengan apa yang diperlihatkan novel Pasar, dalam novel MPU dan WS pengakuan masyarakat terhadap strata sosial tidak terlalu berpengaruh pada interaksi antarmasyarakat. Masyarakat dalam novel MPU sudah tersentuh modernisasi sehingga hal itu melemahkan interaksi yang bersifat top down, malah sebaliknya modernisasi
mengakibatkan terbukanya sistem feudal
dalam
komunikasi. Komunikasi yang terjadi dalam novel MPU, yang bisa dianggap menampilkan masyarakat modern, berlangsung dua arah yang saling timbale balik. Namun begitu, perubahan lain yang timbul ialah adanya tekanan dari kekuatan dari strata tinggi karena faktor capital atau pemilikan modal dan kekuasaan. Novel Pasar memperlihatkan masyarakat Jawa yang berpegang pada ajaran Islam. Keyakinan Islam yang dijalankan dalam segala tindakan merupakan perbauran antara ajaran Islam dan kepercayaan masyarakat Jawa yang diwariskan turun-temurun. Sebagian dari masyarakat Jawa sangat taat dalam melaksanakan keyakinan yang kuat dipegangnya Novel MPU memperlihatkan perilaku hidup masyarakat Jawa banyak dipengaruhi unsur Arab atau Islam. Pada kalangan penganut Islam taat, kebiasaan ritual yang dituntutkan agama dilakukan secara baik. Masyarakat dalam novel MPU dideskripsikan
menjalankan
keyakinan
Islam
yang menganjurkan
mengadakan selamatan dengan menyembelih kambing atas kelahiran anak.
ccx
Selain itu, diperlihatkan juga adanya sinkretisme ajaran, yaitu kebiasaan masyarakat Jawa ketika memanjatkan doa kepada Sang Pencipta dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti makam para leluhur. Ritual keyakinan tersebut menunjukkan adanya sinkretisme budaya antara Islam dan Hindu. Di samping itu, masyarakat Jawa juga sering menggunakan cara berpikir pralogik, yaitu pemikiran yang menghubungkan sesuatu hal dengan hal lain yang tidak secara ilmiah, hanya atas dasar pewarisan menurut kebiasaan atau tuturan nenek moyang. Dalam novel WS nuansa islam lebih terasa karena memang masyarakat pantura mayoritas Islam yang senang menampilkan simbol keislaman. Pada kalangan penganut Islam taat, kebiasaan ritual yang dituntutkan agama dilakukan secara baik. Masyarakat dalam novel WS dideskripsikan menjalankan keyakinan Islam yang menganjurkan mengadakan acara pernikahan dengan sebutan walimahan dan menggunakan hiburan rebana. Novel
Pasar
menunjukkan
adanya
seni
tembang
Jawa
Kuna,
candrasengkala, ataupun ketoprak telah mulai tergeser oleh budaya baru sebagai salah satu efek perkembangan zaman. Dalam novel Pasar disebutkan bahwa hanya Pak Mantrilah yang pandai menulis tembang Jawa Kuna dan candrasengkala. Dikatakan bahwa generasi muda sudah tidak lagi memerhatikan ilmu seni apalagi untuk berusaha melestarikannya. Kesenian Jawa yang telah ada sejak puluhan tahun silam mengalami perkembangan yang besar di masa sekarang diperlihatkan dalam novel MPU. Masa yang modern menjadikan novel MPU memperlihatkan bahwa cerita wayang
ccxi
tidak lagi harus mendasarkan pada cerita baku dunia pewayangan. Pertunjukkan wayang sekarang ini kerap menampilkan cerita yang telah mengalami proses kreativitas karena pengaruh modernitas zaman. Di samping itu, cerita MPU juga memperlihatkan bahwa eksistensi pergelaran kesenian wayang saat ini telah mengalami pergeseran. Pertunjukkan kesenian wayang lebih banyak diselenggarakan karena permintaan konsumen kolektif atau kepanitiaan daripada permintaan konsumen individu. Masyarakat sekarang lebih memilih “menangkap” kesenian modern daripada kesenian wayang. Dalam novel MPU
diperlihatkan bahwa ilmu seni juga sudah dapat
diperoleh melalui pendidikan formal yang lebih tinggi. Perkembangan zaman membutuhkan peran sosial lain untuk melengkapi satu aspek kehidupan, termasuk seni. Bahkan dalam cerita MPU juga diperlihatkan terjadi pergeseran yang bersifat negatif dalam kesenian. Kesenian saat ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan politik golongan. Kutipan di bawah ini memperlihatkan adanya pertunjukkan kesenian wayang yang diselenggarakan karena kepentingan politik partai Sedangkan dalam novel WS, tokoh Satinah dan paman menyampaikan kesenian melalui nyanyian yang diiringi siter dan seruling untuk mbarang. Dalam novel ini juga diceritakan bahwa masyarakat pantura lebih menyukai sholawat daripada wayang orang. Hal ini tidak berarti masyarakat Jawa bagian pesisir kehilangan seni budaya Jawa. Novel Pasar, MPU, dan WS memperlihatkan posisi pasar menjadi sentra tempat aktivitas sosial bagi masyarakat Jawa. Setiap pagi semarak para pedagang
ccxii
sudah memulai aktivitas mempersiapkan barang-barang dagangannya. Setelah itu terjadilah aktivitas sosial berupa jual beli antaranggota masyarakat. Selain itu, masyarakat Jawa juga memiliki keyakinan terhadajp mitologi dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu mitologi yang ditunjukkan dalam novel Pasar, MPU, dan WS adalah adanya keyakinan terdapat “hari baik” untuk melakukan aktivitas. Hal tersebut berupa “hari baik” yang dijadikan Hari Pasar. Konon setiap pasar memiliki hari yang baik untuk melakukan transaksi jual beli. Misalnya pasar A memakai hari paaran “Kliwon”, Pasar B “Legi” dan seterusnya. Selain untuk penjadwalan agar tertata, hal ini diyakini mempermudah rizki. Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan umum memelihara sesuatu yang menjadi kesukaannya. Fakta di atas memperlihatkan orang Jawa suka memelihara binatang atau benda-benda yang dianggapnya bertuah. Perbedaan masa memperlihatkan perbedaan terhadap sesuatu yang menjadi peliharaan. Dalam novel MPU, dalam masa medernisasi, orang Jawa sudah tidak hanya memelihara binatang dan benda pusaka, tetapi juga mulai memelihara barang-barang berupa mobil, kapal pesiar, atau yang lainnya yang menjadi kesenangan hati. Di samping kemajuan zaman, faktor utama perubahan tersebut karena tingkat ekonomi sebagian masyarakat Jawa yang telah mencapai ekonomi tinggi. Berbeda dengan kedua novel tersebut, novel WS menceritakan masyarakat pesisir yang tidak gemar memelihara binatang. Baginya setiap hari adalah waktu untuk mengangkap ikan.
ccxiii
Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu tidak lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat. Dari ketiga novel tersebut, penggunaan bahasa yang paling mudah dipahami adalah bahasa pada novel Pasar. Penggunaan bahasa pada Mantra Pejinak Ular lebih sulit dipahami dan pada novel Wasripin dan Satinah paling sulit dipahami karena banyak menggunakan istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Arab. Sebagai seorang cendekiawan muslim Kuntowijoyo kadang melupakan bahwa yang membaca karyanya bukan hanya kalangan akademisi. Meskipun demikian, ketiga novel tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh novel lain yakni pada aspek kesesuaian dengan kondisi masyarakat dan misi yang hendak disampaikannya. Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun menjadi gambaran dalam novel Pasar, MPU, dan WS. Dalam novel Pasar terdapat semboyan yang menunjukkan cara berpikir dan mentalitas masyarakat Jawa yang senang berusaha keras. Masyarakat Jawa memandang bahwa sesuatu hasil tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan melakukan usaha untuk memperolehnya. Dalam usahanya tersebut manusia harus selalu mengasu pada kewaspadaan agar tidak menyimpang dari kejujuran. Pandangan masyarakat terhadap filosofi Jawa tentang hidup bersama dalam kekerabatan sudah mulai luntur. Keluarga masyarakat Jawa tidak lagi hidup bersama dalam satu atap atau area wilayah, tetapi sebagian yang lainnya telah merantau ke wilayah lain. Fenomena perubahan pandangan hidup masyarakat Jawa tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan kemajuan zaman.
ccxiv
Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa sifat kekeluargaan satu sama lain. Setiap anggota masyarakat akan memberikan respon timbal balik yang positif. Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. Sebutan tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita Ramayana dan Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri. Sampai-sampai ada yang berkomentar kalau jadi dalang kok masih mau ronda. Wasripin ketika mau menikah dalam keadaan miskin sehingga masyarakat secara sukarela membantunya. Berikut kutipan yang merupakan interaksi masyarakat di perkampungan nelayan. Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa masyarakat Jawa masih memegang kuat interaksi kekeluargaan antaranggota masyarakat. Masyarakat satu sama lain akan saling menolong dan membantu orang lain dalam rangka mengisi aspek hidup kemasyarakatan. Kultur seperti itu biasanya didukung karena komunikasi antarwarga masyarakat yang baik melalui perangkat yang ada. Dalam novel Pasar perangkat itu adalah pertemuan ibu-ibu, dalam novel MPU perangkat itu adalah sistem ronda, dan dalam novel WS adalah jamaah masjid yang bergotong royong. Kultur yang menjadi karakteristik dalam masyarakat Jawa yaitu peralihan kepemimpinan dari generasi ke generasi selanjutnya. Novel Pasar, MPU, dan WS menampilkan peralihan kepemimpinan sebagai tradisi yang senantiasa eksis dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Pada novel Pasar peralihan kepemimpinan diperlihatkan melalui pewarisan sedangkan pada novel MPU dan
ccxv
WS diperlihatkan melalui sistem demokrasi. Kutipan berikut menggambarkan Pak Mantri mewariskan kepemimpinan kepada Paijo sebagai penerusnya (dalam novel Pasar) dan peralihan kepemimpinan yang dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat secara demokrasi (dalam novel MPU dan WS). Pengungkapan komunikasi di era yang sudah maju difasilitasi dengan perangkat teknologi lain. Seperti diperlihatkan dalam novel Pasar, MPU, dan WS bahwa penyampaian kritik dilakukan melalui sarana atau media. Dalam novel Pasar orang sudah bisa melakukan penyampaian gagasan melalui surat kabar sedangkan dalam novel MPU dan WS lebih vulgar lagi yaitu berupa aksi masa secara langsung atau dikenal dengan isiltah demo. Kedua pola di atas merupakan perkembangan yang timbul sebagai implikasi perkembangan teknologi atau sosial lainnya. Di latar cerita MPU dan WS terjadi era keterbukaan karena efek demokrasi dalam sistem masyarakatnya.
3. Penokohan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa Kuntowijoyo juga membangun konsep latar sosial budaya melalui karakteristik tokoh-tokohnya yang kuat. Karakteristik serta interaksi tokoh dengan berbagai simbol yang melekat dalam dirinya memberikan perwujudan aspek latar sosial budaya novel. Tokoh Mantri Pasar dalam novel Pasar merupakan sosok orang Jawa tradisional yang memiliki andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin di masyarakat. Dalam konteks Jawa yang harus dimiliki para pemimpin itu adalah
ccxvi
filosofi orang Jawa yang ada dalam teks-teks sastra Jawa lama. Tentu bukan berarti seorang pemimpin harus berpedoman kepada tradisi lama dalam mengelola organisasi dan kehidupan modern. Yang harus mereka lakukan adalah mengelola kehidupan modern dengan tetap menstransformasikan sari-sari akar tradisi budaya. Budaya tradisi dan modern dalam novel ini dihadirkan dalam konteks kesejahteraan. Dalam novel MPU, tokoh Abu Kasan Sapari, menjadi simbol orang Jawa modern yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman di masa hidupnya. Pikiran dan tindakannya merupakan perwujudan manusia Jawa modern. Tokoh Abu memang orang Jawa yang mengenyam pendidikan maju, sarana mobilitas, kemajuan teknologi di era demokrasi dan modernisasi. Meski begitu tokoh Abu berprinsip tidak semua tindakan yang mengatasnamakan modernisasi bisa diterima begitu saja. Demokrasi yang otoriter dan industrialisasi yang meminggirkan rakyat kecil harus ditentang karena tidak sesuai dengan etika kemanusiaan. Sedangkan dalam WS, tokoh Wasripin dan Pak Modin menjadi simbol masyarakat pesisir yang telah megalami berbagai kemelut hidup. Tokoh Pak Modin adalah mantan pejuang yang memiliki kemampuan agama lebih, disegani, dihormati, dan dicintai penduduk. Wasripin adalah tokoh berlumur dosa yang bertaubat dan dapat memberi manfaat pada banyak orang karena keahliannnya. Karakter tokoh wanita, Siti Zaitun dalam novel Pasar, Sulastri dalam novel MPU, dan Satinah dalam novel WS menjadi ikon sebagai sosok wanita Jawa modern. Gambaran wanita Jawa masa lalu yang senantiasa teguh pada
ccxvii
pandangan tradisi tradisional masyarakat Jawa dideskripsikan terbalik dalam cerita. Siti Zaitun, Sulastri, dan Satinah memiliki perwujudan wanita yang berwatak mandiri. Mereka sama-sama menjadi wanita karir yang produktif. Siti Zaitun adalah gadis yang bekerja sebagai pegawai bank pasar. Sulastri adalah janda kembang yang berkarya menjadi penjahit dan perias pengantin. Satinah adalah penyanyi dan penjahit. Di samping itu mereka memiliki sikap yang berani menentang pandangan wanita Jawa kuno yang pasrah terhadap tindakan ketertindasan atas perilaku terhadap wanita. Oleh karena itu, Siti Zaitun, Sulastri, dan Satinah membuktikan bahwa tempat wanita di masyarakat sosial berada dalam posisi sejajar. Artinya memiliki peran nyata dan bisa berprestasi dalam kehidupan bermasyarakat. Tokoh antagonis Kasan Ngali dalam novel Pasar, Mesin Politik dalam novel MPU, dan militer/pemerintah dalam novel WS merupakan gambaran watak yang kontrapositif terhadap harmonisasi kehidupan sosial masyarakat Jawa. Kasan Ngali adalah pedagang besar sebagai simbol kapitalis. Kapitalis menjadi pengganggu keseimbangan ekonomi kerakyatan karena penguasaan terhadap modal digunakannya sebagai penindas rakyat kecil. Sedangkan Mesin Politik, Militer, dan Penguasa adalah simbol arogansi yang menggunakan kekuasaan, wewenang, dan kekayaan untuk melakukan penekanan terhadap rakyat kecil.
ccxviii
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo Nilai agama merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan. Manusia senantiasa akan membutuhkan Tuhan karena secara naluri, manusia akan selalu membutuhkan perlindungan dan pertolongan dari-Nya. Oleh karena itu, selalu mengingat Tuhan merupakan pencerminan pribadi yang bertakwa dan menjunjung tinggi fitrah manusia. Manusia senantiasa akan membutuhkan Tuhan dalam berbagai masalah yang dihadapinya. Nilai moral sering disamakan maknanya dengan nilai etika. Nilai moral atau etika merupakan suatu nilai yang menjadi ukuran pantas atau tidaknya tindakan seorang manusia dalam kehidupan sosialnya. Moral atau etika juga menyangkut baik dan buruknya, benar dan salahnya, dan pantas tidaknya perilaku. Nilai tersebut biasanya dibangun dari kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tertentu. Begitu pula dalam novel Pasar, Kuntowijoyo mengkritisi sikap pejabat (camat dan kepala polisi) yang masih hobi adu jago dan keluyuran pada saat jam kerja. Padahal mereka adalah figur yang dijadikan panutan. Sikap Abu Kasan Sapari dalam novel MPU juga merupakan pendidikan moral. Dia menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi. Yaitu agar Abu tidak menghalang-halangi usaha kotor (politik uang dan pemaksaan) Mesin Politik mendapat suara terbanyak. Budaya Jawa yang telah mengakar di dalam masyarakat Jawa selama ratusan tahun sebagai sesuatu yang memiliki nilai luhur. Nilai-nilai luhur yang
ccxix
terkandung di dalam budaya sangat penting bagi keseimbangan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai luhur budaya Jawa memberikan arahan bagi manusia dalam berpikir dan berperilaku sebagai manusia yang alim. Masyarakat Jawa sekarang telah melupakan dan meninggalkan budaya Jawa. Hal itu berarti telah melupakan dan meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Dalam novel MPU, ada nilai pendidikan adat yang dapat diambil yaitu berupa kritik terhadap budaya Jawa. Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah dalam novel ini adalah adat daerah yang bernuansa kejawaan. Nilai budaya kejawaan ini kadang dibalut sekaligus berbenturan dengan nilai-nilai agama yang dipegang oleh tokoh utama. Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai pendidikan sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian tersebut dapat berupa perhatian maupun gotong royong. Dalam novel MPU, Abu sering ikut ronda atau siskamling. Dalam novel Pasar perangkat itu adalah pertemuan ibu-ibu, dalam novel MPU perangkat itu adalah sistem ronda, dan dalam novel WS adalah jamaah masjid yang bergotong royong. Hal ini adalah wujud hubungan sosial yang baik. Nilai kepahlawanan dalam ketiga novel tersebut tampak pada perjuangan Pak Mantri untuk membela para pedagang dari kapitalisme Kasan Ngali, perjuangan Abu Kasan Sapari dalam melawan hegemoni Mesin Politik, serta perjuangan Wasripin dan Pak Modin dalam menegakkan kebenaran meskipun itu berakibat pada kematian.
ccxx
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan Penelitian ini mengkaji novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah (WS) melalui pendekatan strukturalisme genetik. Analisis yang dilakukan meliputi: (a) pandangan dunia pengarang Kuntowijoyo; (b) struktur novel Pasar, MPU, dan WS; (c) struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, MPU, dan WS, (d) nilai-nilai pendidikan dalam Novel novel Pasar, MPU, dan WS. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut: Pandangan dunia Kuntowijoyo adalah pandangan religius profetik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetik. Dikatakannya bahwa sastra adalah sebagai bagian dari ibadah. Ini adalah bukti pandangan religiusnya. Akan tetapi, pandangan religius tersebut bukanlah religius sufistik yang hanya mengedepankan hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangannya adalah religius profetik karena ada humanisasi, leiberasi, dan transendensi. Kuntowijoyo menolak mitologi dan menyarankan demitologisasi agar masyarakat berpikir secara rasional dengan melandaskan pada ajaran yang sesuai wahyu ketuhanan. Pandangan religius profetiknya mencakup segala aspek kehidupan. Misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan moral. Kuntowijoyo memandang etika profetik menjiwai seorang intelektual berpegang pada nilai-nilai yang universal mencakup: keadilan, kemanusiaan, dan
201 ccxxi
kebenaran. Kuntowijoyo menekankan bahwa ilmu, budaya, ekonomi, politik, sosial, seni dan segala aspek hidup harus membawa misi profetik. Paradigma etika profetik tidak sekadar diposisikan sebagai sebuah kerangka dan metodologis demi penjelasan dan pengubahan fenomena sosial yang ada, tetapi muara akhirnya untuk mengarahkan, mendorong, mengubah, dan merekonstruksi berbagai kenyataan sosial yang sesuai dengan nilai-nilai spiritual. Berdasarkan penelitian dari segi strukturalisme, maka novel Pasar, MPU, dan WS merupakan novel yang berkualitas dari segi struktur karya sastra yang memiliki unity, order, complexity, dan coherence. Novel tersebut juga memiliki plausibility, suspense, surprise, dan lifelikeness Tokoh hero dalam novel Pasar adalah Pak Mantri Pak Mantri merupakan tokoh sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam cerita Pasar. Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Pak Mantri dideskripsikan sebagai tokoh hero yang dikenal karena interaksi sosialnya yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah. Tokoh Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang religius, jujur, setia sopan, dan tahu diri. Struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah(WS) berkaitan erat dengan kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa. Kenyataan tersebut ditampilkan berkenaan dengan warna lokal berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan
ccxxii
kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, keadaan alam, jalan, perumahan, dan paparan tentang kesenian. Analisis nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah meliputi analisis nilai pendidikan : (a). agama; (b) moral; (c). adat/budaya; (d) sosial; dan (e) kepahlawanan.
B. Implikasi Penelitian ini melakukan pengkajian terhadap karya sastra novel berjudul Pasar, novel berjudul Mantra Pejinak Ular (MPU), dan novel berjudul Wasripin dan Satinah (WS). Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Menjadi alternatif bahan materi pengajaran sastra Pada aspek pendidikan, penelitian ini dapat memberikan alternatif bahan materi pengajaran sastra. Pengajaran sastra seharusnya difokuskan pada upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, kemampuan untuk memiliki sikap dan nilai, tidak terbatas hanya pada pengetahuan atau menghafal judul dan pengarang karya sastra. Di dalam hal tersebut tercakup masalah pemberian tanggapan terhadap karya sastra. Dalam pengajaran sastra, siswa harus diarahkan pada penilaian karya sastra secara objektif. Maka, hal ini akan membentuk jiwa sastra yang tidak hanya menampilkan prestasi akademis, tetapi juga mengembangkan karakter diri yang potensial. 2. Pencapaian dalam proses pengajaran sastra
ccxxiii
Penelitian ini mengkaji objek karya sastra berbentuk novel berjudul Pasar, MPU, dan WS karya Kuntowijoyo. Memang, karya novel memiliki jumlah halaman yang banyak sehingga diperlukan waktu banyak dalam proses apresiasi karya. Meskipun demikian, hasil analisis pada aspek struktur pada ketiga novel tersebut telah memberikan gambaran awal yang sederhana terhadap kandungan novel Pasar, MPU, dan WS. Pemahaman struktur merupakan tahapan kelanjutan atas pengenalan aspek fisik sastra berupa wujud buku. Struktur sastra terbentuk di dalam karya sastra, bukan di luar karya sastra. Oleh karena itu, pendidik harus memberikan arahan jelas terhadap aspek pencapaian pembelajaran apresiasi sastra. Dengan begitu ada persiapan berupa bahan materi yang telah disederhanakan sehingga dapat dipahami siswa secara baik. 3. Pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik Bagi guru, pengkajian terhadap karya sastra novel melalui pendekatan strukturalisme genetik bisa dikembangkan dalam pola pengajaran apresiasi karya sastra kepada siswa. Kajian ini memberikan fakta sastra dari dalam karya itu sendiri juga dari luar karya sastra, berupa pengarang kreatifnya dan latar sosial budaya masyarakat pembentuknya. Dalam hal ini patokan pengajaran bukan hanya pada aspek kognitif, melainkan juga pada aspek afektif bahkan psikomotoriknya. Hal tersebut dapat dicapai dengan peran pendidik yang tidak hanya menyampaikan kaidah pemahaman struktur, tetapi juga pada aspek nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Artinya, pendidik juga menggugah kesadaran siswa sebagai manusia dengan
ccxxiv
memberikan gambaran keteladanan dari nilai-nilai edukatif cerita sastra tersebut. 4. Sebagai salah satu pendidikan nilai moral Media pembelajaran dapat diambil dari berbagai sumber, termasuk dari sebuah kisah atau cerita. Cerita novel Pasar dan novel MPU merupakan cerita yang mengandung nilai pendidikan, terutama nilai moral. Novel Pasar, MPU, dan WS menceritakan manusia dalam menghadapi kehidupan. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam ketiga novel tersebut menggambarkan karakteristik manusia dengan sisi kemanusiaan yang dimiliki. Manusia merasakan suka dan duka, tertawa dan menangis, juga emosi dan pemaaf. Hal itu merupakan cerminan bagi pembaca dalam menjalani hidup dalam kehidupan masyarakat juga dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat. Ketiga novel tersebut memberikan gambaran lengkap sosok manusia dengan realitas masalah yang dihadapi dalam hidup. Sikap dan perilaku yang dilakukan dalam menangani masalah yang terjadi menjadi contoh yang bisa diteladani. Oleh karena itu, novel Pasar, MPU, dan WS dapat dijadikan sebagai sumber pengajaran. 5. Aspek keteladanan Bagi siswa, materi dengan objek novel yang menggambarkan realitas masyarakat memberikan variasi materi belajar terhadap apresiasi karya sastra. Siswa juga akan merasa terdorong aspek kesadarannya jati dirinya sebagai insane cendekia. Cerita yang bermakna dalam dan menggugah dari novel Pasar, MPU, dan WS memberikan kedalaman arti tersendiri bagi siswa. Pada
ccxxv
akhirnya siswa akan menemukan keteladanan yang utuh saat mereka menghadapi realitas kehidupan yang mereka jalani. 6. Aspek pelestarian seni budaya Jawa melalui pendidikan Wujud lain dari implikasi penelitian ini yaitu pada pelestarian budaya, khususnya dalam hal ini seni budaya Jawa sebagaimana menjadi cerita novel Pasar, MPU, dan WS. Aktivitas penelitian yang dilakukan penulis merupakan bentuk kepedulian yang secara sederhana dari tindakan yang bisa dilakukan dalam aspek pelestarian seni budaya Jawa. Sebagai hal sederhana penulis akan mencapai pemahaman dasar terhadap seni budaya yang memang harus dilestarikan yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut. Keluhuran seni budaya Jawa perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Aspek awal yang bisa dilakukan yaitu dengan proses show up “menunjukkan” eksistensi seni budaya tersebut. Hal itu bisa dicapai dengan pelaksanaan penelitian ini. Meluasnya efek ini ketika terjadi akumulasi dari pengaruh positif yang diperoleh oleh masyarakat pembaca karya sastra ini. Setiap pembaca akan memberikan pengaruh yang lebih luas dengan penyebaran terhadap nilai-nilai seni budaya yang terkandung dalam karya sastra manakala terjadi proses interaksi yang lebih meluas. Oleh karena itu, proses pelestarian seni budaya Jawa kemudian dapat lebih dikembangkan, bahkan bisa dilakukan secara lebih sistematis. Aplikasi yang lebih mudah mengarah pada media pendidikan. Penyelenggaraan pengajaran sastra menjadi salah satu sarana yang bisa diandalkan. Sistematika yang dimiliki proses pengajaran bisa menempatkan karya sastra ini sebagai
ccxxvi
bahan ajar apresiasi karya sastra. Diharapkan proses pengajaran menjadi sarana pelestarian seni budaya yang efektif. Penanaman nilai-nilai luhur seni budaya Jawa dapat dilakukan terprogram, kontinyu, terarah, terpantau secara baik. 7. Pengembangan kualitas dan kompetensi penelitian sastra Pada aspek penelitian ilimiah, hasil penelitian ini menambah kuantitas dan kualitas penelitian ilmiah, khususnya kajian di bidang karya sastra. Secara kuantitas, penelitian ini akan menjadi dokumen sastra yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penelitian yang akan dilakukan di masa datang. Oleh karena itu, penelitian ini juga mendorong kegiatan ilmiah karena akan memberikan motivasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan penelitian. Tumbuhnya motivasi kegiatan ilmiah juga akan meningkatkan kompetensi atau kualtas kajian terhadap penelitian. Para peneliti lain akan melakukan peningkatan kualitas penelitian mulai dari materi yang dikaji sampai ke metodologi sehingga penelitian pada masa selanjutnya akan lebih berkembang dan bervariasi. 8. Memberikan paradigma positif sastra kepada masyarakat pembaca Kajian sastra merupakan alternative bagi mahasiswa atau peneliti yang memiliki sense kecenderungan terhadap dunia sastra. Paradigma pengkajian terhadap karya sastra sendiri akan mengubah persepsi masyarakat yang cenderung memandang sastra sebagai sesuatu yang abstrak dan imajinatif belaka. Fakta yang bisa dimunculkan yaitu dengan peningkatan kualitas
ccxxvii
penelitian serta hasil penelitian yang ternyata menyodorkan solusi dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan di masyarakat. 9. Pengembangan sastra profetik Sastra yang dikembangkan Kuntowijoyo adalah sastra profetik. Sastra profetik yaitu sastra yang tidak hanya mengandung nilai kemanusiaan, tetapi juga nilai religius. Hadirnya aliran sastra yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo menjadi warna tersendiri dalam dunia sastra. Dengan demikian, masyarakat sastra bisa memberikan apresiasi yang lebih luas terhadap perkembangan munculnya karya-karya sastra dengan cara pandang yang beragam. 10. Intelektualitas profetik Dasar pandangan dunia Kuntowijoyo yang menjadi hasil penelitian ini menjadi pemikiran baru yang dapat dikembangkan sebagai satu konsep pemikiran yang dapat diterapkan dalam berbagai kajian. Konsep pemikiran intelektual profetik memberikan cakrawala bagi para cendekiawan untuk mengambil peran yang lebih dalam menyelesaikan permasalahan umat manusia. Etika profetik yang telah dikembangkan ke arah interaksi sosial akan membuka demarkasi sosial yang telah menjadi kecenderungan saat ini. Elemen dari kelas mana pun semestinya memberikan kemanfaatan bagi yang lainnya. Para cendekiawan, yang menjadi sasaran Kuntowijoyo, merupakan ikon yang diharapkan menjadi motor untuk memelopori gerakan social profetik ini ke masyarakat. Paradigma sosial profetik membangun hubungan humanisme dan transsendental. Konsep dasar yang membangun pemikirannya
ccxxviii
ialah rasionalisme berpikir dalam menyelesaikan problematika kehidupan, bukan dengan mitologi. 11. Cermin edukasi masyarakat Pada aspek sosial masyarakat penelitian terhadap novel Pasar, MPU, dan WS ini dapat menjadi cermin bagi masyarakat pembaca. Pembaca merupakan pribadi-pribadi yang hidup di masyarakat. Demikian juga tokohtokoh dalam novel merupakan perwujudan pribadi manusia dalam media cerita. Pengalaman-pengalaman peristiwa yang terjadi pada tokoh bisa menjadi teladan yang bijak tanpa dengan menggurui. Masyarakat pembaca pun dapat belajar dari interaksi social yang positif dari cerita yang diperlihatkan dalam novel tersebut. Dengan akal pikiranya, masyarakat pembaca akan dapat bertindak dan berperilaku dengan baik melalui hikmah yang diambil dari deskripsi peristiwa dalam cerita novel tersebut karena pada hakikatnya karya sastra merupakan wujud realitas yang dituangkan dalam sebuah cerita. Perwujudan sikap dan perilaku yang santun di dalam masyarakat akan membentuk sistem kemasyarakatan yang baik.
C. Saran Pada penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut: 1. Pada aspek pendidikan, pendidik bahasa dan sastra sebaiknya melakukan pengajaran dengan sistematika yang runtut dan detail agar mudah dipahami dan mendapatkan makna novel yang mendalam. Pencapaian maksimal
ccxxix
terhadap pengajaran apresiasi sastra harus diwujudkan secara baik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak terpatok pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam. Di samping itu, pendidik tidak boleh melupakan berkenaan penanaman nilai moral serta kesadaran pelestarian seni budaya kepada siswa. 2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens karena dengan hal ini maka pencapaian prestasi siswa tidak hanya pada akademis, tetapi juga pada perubahan behaviour. 3. Peneliti yang memiliki sense terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengkajian sastra. Pengkajian sastra bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada juga dengan objek karya sastra mutakhir yang memiliki tingkat kerumitan yang kompleks. 4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta nyata yang bisa menjadi pengaruh meluas terhadap perwujudan efek-efek potensial di masyarakat. 5. Para cendekiawan sebaiknya meneladani sosok Kuntowijoyo berkenaan pandangan positifnya tentang etika profetik dengan mengembangkannya dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka memberikan solusi efektif terhadap permasalahan yang muncul di masyarakat.
ccxxx
DAFTAR PUSTAKA Adian Husaini. 2003. ”Muhammadiyah: Meretas Jalan Baru untuk Indonesia” dalam Majalah Sabili edisi khusus Sejarah Emas Muslim Indonesia Edisi November Ahmadi dan Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineke Cipta. Anis Matta. 2004. Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta: The Tarbawi Center Anonim. 2009. “Technique Novel” dalam http://www.victorianweb.org diunduh tanggal 1 Agustus 2009 pukul 16.13 WIB Black, Sharon. 1999. “Using Polynesian Legends and Folktales to Encourage Culture Vision and Creativity”, Journal Of Culture Education, Vol. 75 Budi Darma. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Burhan Nurgiyantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: GMU Press Carver, Rebecca L. and Richard P. Enfield.2006. “Philosophy of Education Is Alive and Well”, Journal education and culture, Volume 22 Darsono Wisadirana. 2004. Sosiologi Pedesaan: Kajian Kultural dan Struktural Masyarakat Pedesaan. Malang: UMM Press. Ekky. 2008. “Berprestasi dengan Satu Jari”. Dalam http://ekkyij.multiply.com diunduh tanggal 22 Agustus 2009 pukul 15.45 WIB Faruk.. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Franz Magnis Suseno. 2000. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius. Goldman, Lucien. 1977. Towards A Sociology of The Novel. London: Tavistock Publication Limited Gunawan. 2010. ”Syafi’i Ma’arif dan Pembaharuan Pemikiran Islam.” dalam www.gunawan.multiply.com diunduh tanggal 23 Februari 2010 pukul 15.00 WIB Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi dan Pengkajian Prosa Fiksi. Salatiga: Widya Sari Press Ibnu Salimi, dkk. 1995. Studi Kemuhammadiyahan. Surakartal: Pusat Studi Kemuhammadiyahan.
ccxxxi
Ibnu
Anwar. 2008. “Sastra Profetik Kuntowijoyo” dalam http://ibnuanwar.wordpress.com diunduh tanggal 20 Agustus 2009 pukul 16.05 WIB
Iswanto. 2001. “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dal 211 Jabrohim dan Ari Wulandari (Ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya Jamal T. Suryanata. 1999. “Sastra yang Tercerahkan: Optimisme Menatap Kegamangan Abad ke-21” dalam Horison Edisi April 1999” Joko Widagdo. 2001. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen P dan K Jujun S. Sumantri. 2001. Filasafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press Koentjaraningrat. 1985. Budaya, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Kundera, Milan. 2009. “The Art of Novel” dalam http://encarta.msn.com diunduh tanggal 1 Agustus 2009 pukul 14.43 WIB Kuntowijoyo. 2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Kompas _______. 2002. Pasar. Yogyakarta: Bentang Budaya _______. 2003. Wasripin dan Satinah. Jakarta: Kompas _______. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005 Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Moh. Wan Anwar. 2005. “Kuntowijoyo: Menjejak Bumi, Menjangkau Langit” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005 Mudji Sutrisno. 1997. Sari-sari pencerahan. Yogyakarta: Kanisius. Muhammadiyah: Meretas Jalan Baru untuk Indonesia dalam Majalah Sabili edisi khusus Sejarah Emas Muslim Indonesia bulan November 2003 Nugragheni Eko Wardani. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: UNS Press
ccxxxii
Nuri. 2010. ”Apa dan Bagaimana Cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro” dalam www.disiniakuada.multiply.com diakses tanggal 23 Februari 2010 pukul 16.00 WIB Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Orr, John. 1977. “Tragic Realism and Modern Society: Studies in the Sociology of the Novel” Journal of European Studies. Volume, 9 No. 36 Paulus Wahana. 2004. Nilai: Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat FIB UGM Stamm, Liesa. 2009. ”A Novel Window on the Academy” Journal of College & Character Volume X, NO. 7, November 2009 Robert Stanton. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Suminto A. Sayuti. 2005. “Selamat Jalan Kuntowijoyo” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005 Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar, Teori, dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Uns Press Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Teguh
Trianton. 2008. “Problem Pengajaran Sastra di SMK” dalam www.antonaktualita.blogspot.com diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 10.40 WIB
Tirto Suwondo, dkk. 1994. Nilai Budaya Sastra Jawa. Jakarta: Depdikbud Tremanie, Louis. 1978. “Literary Sociology and the African Novel: The Theories of Sunday Anozie and Lucien Goldmann” Journal African Literatures Volume, 9 No. I Wahyu Wibowo. 2003. Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban Kosmopolitan. Jakarta: Gramedia Wemmy Al-Fadhli. 2005. “Analisis Strukturalisme Genetik-Semiotik Faruk terhadap Roman Siti Nurbaya” dalam www.bohewimian.com diunduh tanggal 21 April 2009 pukul 20.08 WIB
ccxxxiii
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. www.detikNews.com 23/2/2005 diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 15.45 WIB www.isai.or.id, diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.00 WIB www.muhammadiyah-online.com diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.45 WIB www.rumahbacacendekia.wordpress.com diunduh tangga 28 Oktober 2008 pukul 13.45 WIB www.sinarharapan.co.id 2/2/2005 diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.45 WIB Zurmailis. 2008. “Dadaisme: Mencari JalanPulang.” Dalam Jurnal Studi Islam dan Budaya, IBDA Vol. 6 No. 1. Purwokerto : P3M STAIN Purwokerto
ccxxxiv