REPRESENTASI KOMUNIKASI PROFETIK DALAM NOVEL “SEMESTA SEBELUM DUNIA” Studi Kualitatif dengan Pendekatakan Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk Mengenai Representasi Komunikasi Profetik dalam Novel “Semesta Sebelum Dunia” Karya Fahd Djibran
ARTIKEL ILMIAH Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh : FIKA PERTIWI 10080010042 Bidang Kajian Jurnalistik
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG BANDUNG 2014
REPRESENTATION OF COMMUNICATION PROPHETIC IN NOVEL TITLED “SEMESTA SEBELUM DUNIA” Qualitative Studies with Critical Discourse Analysis Models of Teun A. Van Dijk an Representation of Communication Prophetic in the Novel Titled “Semesta Sebelum Dunia” by Fahd Djibran
RESEARCH PAPER Entitled for completing the Bachelor Degree of Communication Sciene By: FIKA PERTIWI 10080010042 Journalism Science Studies
THE FACULTY OF COMMUNICATION SCIENCE ISLAMIC UNIVERSITY OF BANDUNG 2014
ARTIKEL ILMIAH SARJANA FIKOM UNISBA TANGGAL KELULUSAN 16 JULI 2014
REPRESENTASI KOMUNIKASI PROFETIK DALAM NOVEL “SEMESTA SEBELUM DUNIA” Fika Pertiwi, 2Askurifai Baksin Prodi Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung. Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 1 e-mail :
[email protected],
[email protected] 1
Abstract. In the perspective of prophetic communication, the communicator should have moral responsibility and social responsibility towards their communicant. The message of prophetic communication has substance humanization, liberation, and transcendence. By using critical discourse analysis models of Teun A. Van Dijk which includes dimensional analysis of the text, social cognition, and social context, this study aims to determine how the novel entitled "Semesta Sebelum Dunia" contained the representations of prophetic communication. For deepening the analysis, researcher conducted interviews with Djibran Fahd as the author of the novel and interviews with some observers prophetic communication. The results of the study showed that in the novel titled "Semesta Sebelum Dunia" by Fahd Djibran has contained representation prophetic communication, because the novel presented a discourse about of pro-life who have substance of humanization to appreciate ourself as a human life, then substance of liberation to appreciate the life of humanity, and have substance of transcendence to appreciate God as the creator of life. Keyword: novel, prophetic communication, critical discourse analysis Abstrak. Dalam perspektif komunikasi profetik, komunikator dipandang sebagai penyampai pesan yang harus memiliki tanggung jawab moral serta tanggung sosial terhadap komunikannya. Komunikasi profetik terbangun dari dihadirkannya pesan yang yang memiliki substansi humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk yang meliputi analisis pada dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi komunikasi profetik yang terdapat dalam novel “Semesta Sebelum Dunia”. Untuk pendalaman analisis, dilakukan wawancara pada Fahd Djibran selaku pengarang novel dan wawancara pada beberapa pemerhati komunikasi profetik. Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” terdapat representasi komunikasi profetik, karena novel tersebut menghadirkan wacara pro-life yang mengajak pembacanya pada upaya humanisasi berupa menghargai kehidupan diri sendiri sebagai manusia, kemudian mengajak pada upaya liberasi berupa menghargai kehidupan kemanusiaan, dan mengajak pada upaya transendensi berupa menghargai Tuhan sebagai pencipta kehidupan. Kata kunci: novel, komunikasi profetik, analisis wacana kritis 1
A. Pendahuluan Seiring dominasi pemikiran rasionalistik dan materialistik yang tercipta dari peradaban modern, tidak sedikit dari manusia modern yang kemudian mengalami dehumanisasi. Menurut Ellen C. Nugroho dalam tulisannya di Jurnal Humanika (Volume 14 tahun 2011), bahwa “pada intinya, dehumanisasi adalah penyangkalan terhadap esensi kemanusiaan”. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu potret dehumanisasi yang tengah terjadi yakni maraknya praktik aborsi atau pengguguran kandungan yang dilakukan bukan atas dasar pertimbangan medis, melainkan tindak aborsi yang dilakukan atas pertimbanganpertimbangan lain yang hanya bersifat rasionalistik dan materialistik semata. Misalnya tindakan aborsi yang dilakukan untuk menutupi aib tertentu, tindakan aborsi atas pertimbangan karir karena kehamilan yang dialami dinilai dapat menghambat karir, atau dapat juga tindakan aborsi atas pertimbangan keadaan ekonomi keluarga, dimana terdapat kekhawatiran berlebih bahwa kehadiran sang calon bayi akan menambah beban kehidupan mereka. Banyak sumber yang mencatat bahwa jumlah tindakan aborsi semacam itu relatif tinggi dari tahun ke tahunnya, dan fenomena mengerikan tersebut terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Potret buram seputar dehumanisasi tersebut kemudian menggugah kepedulian sastrawan bernama Fahd Djibran, yakni dengan menghadirkan karya sastra berupa novel yang berjudul “Semesta Sebelum Dunia”. Novel yang lahir di tahun 2010 tersebut pada mulanya berjudul “Rahim”, dan hingga perjalanannya kini, novel tersebut tercatat sebagai salah satu novel fiksi ilmiah yang best seller di Indonesia.
2
Novel “Semesta Sebelum Dunia” menceritakan upaya seorang tokoh bernama Dakka Madakka yang memiliki profesi istimewa sebagai Pengabar Berita dari Alam Rahim. Dakka mengemban amanah dari Kerajaan Semesta untuk mengabarkan sebuah berita dan cerita kepada manusia tentang fase kehidupan manusia selama di alam rahim. Dengan pengabaran tersebut, Kerajaan Semesta mengharapkan agar manusia modern yang terlampau rasional, materialistik dan mengesampingkan nilai-nilai transendental, akan dapat kembali menyadari bahwa kehidupan yang dialaminya merupakan sebuah anugerah dari Raja Semesta (Tuhan), dan bahwa kehidupan manusia tersebut dimulai dari tempat suci bernama rahim. Oleh karenanya rahim seorang perempuan harus di jaga dan di hargai, yakni dengan tidak melakukan tindakan aborsi atas dasar logika dan pertimbangan materialistik semata. Wacana tersebut dinamakan pula dengan wacanna pro life, melalui wacana itulah novel “Semesta Sebelum Dunia” menghadirkan kritik sosial yang tetap mengindahkan norma etika dan nilai-nilai transendental atau ketuhanan. Dengan bertitiktolak dari hal tersebut, penulis memandang bahwa novel “Semesta Sebelum Dunia” merepresentasikan adanya komunikasi profetik atau komunikasi kenabian, sebab novel tersebut mengusung pesan humanisasi, liberasi, dan juga transendensi, dimana ketiga aspek tersebut merupakan karakteristik pesan komunikasi profetik. Istilah profetik sendiri berasal dari bahasa Inggris “prophet” yang artinya nabi, dimana nabi dalam konteks tersebut yakni nabi Muhammad saw karena kehidupan beliau sarat dengan nilai kemanusiaan, etika, dan nilai ketuhanan. Dengan dilakukannya penelitian secara lebih jauh, kita akan dapat mengetahui lebih mendalam meliputi hal-hal apa saja dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” yang kemudian dapat merepresentasikan komunikasi profetik. Bila ditinjau dari manfaat penelitian, secara teoritis penelitian ini dapat menjadi literatur tambahan pada ranah ilmu 3
komunikasi mengenai komunikasi profetik, terlebih penulis melihat belum banyak peneliti yang mengangkat tema seputar komunikasi profetik dalam penelitiannya. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi motivasi bagi para sastrawan dan praktisi komunikasi untuk turut menjadi komunikator yang profetik.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang situasi yang sudah dijelaskan, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana representasi komunikasi profetik dalam novel Semesta Sebelum Dunia karya Fahd Djibran?” Selanjutnya, fokus pertanyaan dalam rumusan permasalahan ini meliputi : 1. Bagaimana representasi komunikasi profetik dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” ditinjau dari dimensi teks? 2. Bagaimana representasi komunikasi profetik dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” ditinjau dari dimensi kognisi sosial? 3. Bagaimana representasi komunikasi profetik dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” ditinjau dari dimensi konteks sosial?
C. Kajian Pustaka Penelitian ini bertitiktolak dari konsep Ilmu Sosial Profetik rumusan Prof. Dr Kuntowijoyo yang dilekatkan dalam disiplin ilmu komunikasi, sehingga kemudian memunculkan istilah komunikasi profetik. Istilah kata profetik tersebut berasal dari kata bahasa Inggris ‘prophet’, yang artinya nabi. Menurut Ahimsa-Putra dalam makalahnya pada acara Sarasehan Profetik 2011 Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, makna profetik adalah “mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif. Nabi juga 4
memiliki sifat transformatif dan mencerahkan umat manusia, sehingga istilah profetik tersebut kemudian diterjemahkan menjadi ‘kenabian’ yakni Nabi dalam konteks ini adalah nabi Muhamammad Saw.” Menurut Kuntowijoyo (Syahputra, 2007:125), ilmu sosial profetik tidak hanya berupaya menjelaskan dan merubah fenomena sosial, tetapi juga memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Cita-cita itu didasarkan pada Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110, yaitu: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan (ta’muruna bil ma’ruf), mencegah kemunkaran (tanhauna anil munkar) dan beriman kepada Allah (tu’minuna billah). (Ali Imran [3]: 110) Kandungan profetik dalam ayat tersebut yaitu: (1) menegakkan kebaikan (ta’muruna bil ma’ruf), dalam paradigma profetik di istilahkan dengan humanisasi. (2) mencegah kemunkaran (tanhauna anil munkar) yang di istilahkan sebagai liberasi, dan (3) beriman kepada Allah (tu’minuna billah) yang di istilahkan sebagai transendensi. Secara lebih lanjut, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Kuntowijoyo mengusulkan humanisme teosentrik untuk mengangkat kembali martabat manusia. Kemudian liberasi adalah upaya untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Kemudian pilar yang ketiga dalam Ilmu Sosial Profetik yakni transendensi, merupakan dasar dari unsur humanisasi dan liberasi tersebut. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) kepada Tuhan sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Karena komunikasi profetik menggunakan konsep Ilmu Sosial Profetik sebaagai fondasinya, maka komunikasi profetik mensyaratkan pesan komunikasinya memiliki substansi berupa humanisasi, liberasi, dan transendensi.
5
Penelitian ini juga bertitik tolak dari representasi yang dihadirkan dalam suatu teks media. Menurut Eriyanto (2012: 113), representasi itu penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan tertentu ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), representasi yakni “mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili, perwakilan”. Sementara itu menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan “hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi.”1. Eriyanto (2012: 116) menyebutkan bahwa representasi sekaligus misrepresentasi adalah peristiwa kebahasaan. Maka yang perlu di kritisi adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media dalam menuliskan realitas untuk di baca oleh khalayak. Hal itu dapat saja diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi, aksentuasi foto atau gambar, dan sebagainya. D. Metode dan Sasaran Penelitian Penelitian memiliki kedudukan yang sangat penting untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. “Penelitian memiliki kemampuan untuk memperbaharui ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan menjadi lebih up to date, canggih, applied, serta setiap saat aksiologis bagi masyarakat” (Bungin, 2010: 9). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975: 5 dalam Moleong, 2001: 3) mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Kemudian Deddy Mulyana (2008: 5) menyatakan bahwa 1
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2013/3/13/cultural-representation-representasi-budaya/ tanggal akses 10 Maret 2014 pk. 08.30 wib
6
penelitian kualitatif adalah “penelitian yang bersifat interpretif atau menggunakan penafsiran. Penelitian kualitatif cenderung diasosiasikan dengan keinginan peneliti untuk menelaah makna, konteks, dan suatu pendekatan holistik terhadap fenomena”. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan analisis wacana kritis dengan model dari Teun A. Van Dijk. Menurut Sobur (2012: 11) wacana dapat diartikan sebagai “rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa”. Namun dalam kerangka analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami sebagai studi bahasa semata melainkan dilihat sebagai bentuk praktik sosial yang dihubungkan dengan konteks sosial. Berkaitan dengan hal itu, wacana dalam model analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi analisis yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Eriyanto (2012: 224) menyebutkan bahwa inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut kedalam kesatuan analisis.
Teks Kognisi Sosial Konteks
Gambar 1. Model Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Sumber : Eriyanto (2012: 225)
Dalam pengumpulan data penelitian, teknik yang dilakukan meliputi: (1) Analisis tekstual, yakni analisis terhadap teks novel “Semesta Sebelum Dunia”. Dalam kerangka analisis wacana kritis, analisis tekstual dilakukan dengan analisis bahasa kritis. (2) Wawancara, dilakukan kepada Fahd Djibran selaku penulis novel “Semesta Sebelum Dunia”, dan juga kepada beberapa praktisi komunikasi. (3) Studi kepustakaan, yakni untuk memperoleh data bersifat teoritis dan berguna memperluas wawasan penelitian. 7
E. Temuan Penelitian Dari proses penelitian dan analisis yang sudah dilakukan, berikut ini adalah temuan penelitian mengenai representasi komunikasi profetik dalam Novel “Semesta Sebelum Dunia”, yang meliputi temuan pada dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. 1. Representasi Komunikasi Profetik dalam Novel “Semesta Sebelum Dunia” Ditinjau dari Dimensi Tek Dimensi teks meneliti struktur teks, yang terdiri atas tiga struktur yakni (1) struktur makro, (2) superstruktur, dan (3) struktur mikro. Dalam struktur makro, yang dianalis adalah tema. Elemen tematik yang dikembangkan dalam teks novel “Semesta Sebelum Dunia” adalah tentang perjalanan manusia didalam rahim seorang ibu. Tema ini didukung oleh beberapa sub tema mengenai fase pertumbuhan manusia secara biologis, dan juga mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami manusia ditinjau dari perspektif agama seperti peniupan roh dan persaksian tentang Tuhan. Dalam perjalanan alam rahim tersebut, digambarkan bahwa sesungguhnya manusia mengalami pengalaman yang sangat berharga, agung, dan sakral. Namun sayangnya hal itu menjadi mudah dilupakan atau bahkan disangkal oleh kebanyakan manusia modern yang didominasi pemikiran rasionalistik dan materialistik. Oleh karena itulah, tidak sedikit dari manusia di zaman modern yang kemudian menganggap rahim seorang perempuan hanya sebagai “sekedar organ reproduksi” semata. Rahim bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, dan harus di jaga dengan sebaik-baiknya. Akibatnya, banyak orang yang dapat dengan mudahnya melakukan tindakan aborsi atau pengguguran kandungan. Karena orang-orang sudah tak memercayai lagi kehidupan suci di alam Rahim, praktek aborsi menjadi perkara sepele yang seolah-olah tak berdosa untuk dilakukan. (Djibran, “Semesta Sebelum Dunia”, 2013: 169)
8
Tema memainkan peranan penting sebagai pembentuk kesadaran sosial (Eriyanto, 2012: 229). Begitupun dengan tema perjalanan manusia di alam rahim yang terdapat dalam novel “Semesta Sebelum Dunia”. Tema tersebut ikut berperan sebagai pembentuk kesadaran sosial bagi para pembacanya, sebab memiliki amanat agar manusia dapat lebih menghargai kehidupannya sendiri sebagai individu, menghargai kehidupan secara luas, dan puncaknya agar manusia dapat menghargai Tuhan. Hasil wawancara terhadap Fahd Djibran selaku pengarang novel, juga memperkuat temuan penelitian tersebut. “Melalui novel itu, saya ingin mengajak pembaca untuk lebih menghargai kehidupan dengan cara menyajikan sebuah perjalanan bayi dalam rahim seorang ibu. Dengan kisah “perjalanan” itu, saya berharap pembaca akan lebih menghargai dirinya sendiri, dan kemudian menghargai hidup orang lain, untuk selanjutnya menghargai kehidupan secara luas.Dengan memahami bagaimana dan mengapa manusia terlahir ke bumi, kita akan tahu mengapa semua individu itu penting dan memiliki misi besar dalam hidupnya masing-masing. Jika setiap orang menghargai hidup, mereka akan menghargai Tuhan. Dalam novel Semesta Sebelum Dunia, representasi Tuhan disebut sebagai Raja Semesta.” (wawancara Fahd Djibran melalui email, 13 Maret 2014) Karena tema yang hadirkan dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” memiliki tiga substansi pesan komunikasi profetik yakni adanya pesan humanisasi, liberasi, dan transendensi, maka merepresentasikan komunikasi profetik. Selanjutnya analisis dalam dimensi superstruktur yang berhubungan dengan kerangka suatu teks yakni skematik atau alur. Ditemukan bahwa alur yang digunakan dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” merupakan strategi pengarang novel sebagai komunikator, untuk mendukung tema atau makna umum yang diusung dalam teks. Kemudian dalam dimensi mikro yang membahas makna wacana dari bagian kecil dari suatu teks, meliputi semantik (makna dalam teks), sintaksis (kalimat yang dibentuk), stilistik (pilihan kata yang dipakai) dan retoris (penekanan melalui grafis dan metafora), ditemukan bahwa kesemua elemen wacana tersebut menunjang tema dan memperlihatkan representasi komunikasi profetik dalam novel. 9
2.
Representasi Komunikasi Profetik dalam Novel Semesta Sebelum Dunia Ditinjau dari Dimensi Kognisi Sosial Dimensi kognisi sosial menganalisis bagaimana suatu teks di produksi, sehingga
dapat diperoleh pengetahuan mengapa suatu teks bisa menjadi semacam itu. Dari penelitian dimensi kognisi sosial Fahd Djibran selaku pengarang novel “Semesta Sebelum Dunia”, ditemukan bahwa wacana yang terdapat dalam teks novel tersebut dapat hadir karena memang adanya pemahaman, kesadaran, pengalaman, dan pengetahuan tertentu dari Fahd Djibran terhadap suatu peristiwa. Fahd Djibran melihat telah terjadi kejahatan kemanusiaan berupa tingginya jumlah kasus aborsi, serta kejahatan kemanusiaan lainnya yang dilakukan anak-anak kepada para orang tuanya sendiri, terutama kepada para Ibu. Berbagai kejahatan tersebut memperlihatkan semakin menurunnya penghargaan manusia terhadap kehidupan dan terhadap Tuhan. Oleh karena itulah Fahd menghadirkan pesan yang memiliki substansi profetik untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya agar menghargai kehidupan dan kemanusiaan (humanisasi), untuk membebaskan sesama manusia dari kekeliruan bertindak yang merendahkan martabat manusia (liberasi), dan menyeru manusia untuk menghargai Tuhan (transendensi). “Melalui novel itu, saya ingin mengajak pembaca untuk lebih menghargai kehidupan dengan cara menyajikan sebuah perjalanan bayi dalam rahim seorang ibu. Dengan kisah “perjalanan” itu, saya berharap pembaca akan lebih menghargai dirinya sendiri, dan kemudian menghargai hidup orang lain, untuk selanjutnya menghargai kehidupan secara luas. Dengan memahami bagaimana dan mengapa manusia terlahir ke bumi, kita akan tahu mengapa semua individu itu penting dan memiliki misi besar dalam hidupnya masing-masing. Jika setiap orang menghargai hidup, mereka akan menghargai Tuhan. Saya terinspirasi dari sebuah kalimat dalam “Barang siapa mengenal dirinya, maka (dia) akan mengenal Tuhannya”. Dalam novel Semesta Sebelum Dunia, representasi Tuhan disebut sebagai Raja Semesta”. (wawancara Fahd Djibran melalui email, 13 Maret 2014)
10
Kemudian sebagai seorang penulls, Fahd merupakan penulis yang menerapkan konsep profetik dalam berkarya. Fahd menyetujui bahwa novel “Semesta Sebelum Dunia” karyanya merupakan bentuk komunikasi profetik. “Saya setuju dan memang itu yang sedang saya lakukan. Saya termasuk pengagum Kuntowijoyo. Tafsirnya tentang surat Ali Imron ayat 104 dengan mengemukakan konsep humanisasi, liberasi, dan transendensi adalah salah satu yang paling mempengaruhi saya dalam berkarya.” (wawancara Fahd Djibran melalui email, 13 Maret 2014) Fahd mengemas pesan-pesan kebaikan dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” secara universal, tidak secara eksplisit menggunakan istilah-istilah dalam ajaran Islam. Namun sebagai seorang muslim, Fahd memiliki basis pengetahuan dan keyakinan Islam dalam dirinya, dan ia tidak bisa melepaskan pengaruh tersebut. “Saya memang tidak menuliskan novel itu untuk pembaca dengan latar belakang agama tertentu, misalnya Islam. Buku itu untuk siapa saja. Jika ada pesan-pesan atau nilai-nilai yang saya sampaikan di dalamnya terinspirasi dari ajaran atau bercorak Islam, tentu saja karena saya memiliki basis pengetahuan dan keyakinan Islam dalam diri saya. Saya tidak bisa melepaskan pengaruh itu dari dalam diri saya. Saya meyakini jika saya menuliskan kebenaran sebagaimana yang saya yakini, tanpa pretensi apapun, kebenaran itu akan sampai dengan sendirinya kepada pembaca”. (wawancara Fahd Djibran melalui email, 13 Maret 2014)
Kemudian mengenai produksi teks secara teknis, ditemukan bahwa sebagian besar ide dan materi dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” berasal dari imajinasi Fahd, namun untuk hal-hal yang berkaitan dengan informasi medis mengenai proses perjalanan bayi dalam rahim, ia mendapatkannya dari riset sederhana melalui sejumlah buku dan artikel internet. Sedangkan data-data berupa jumlah aborsi dan lainnya juga ia dapatkan dari laporan sebuah Universitas terkemuka di Jakarta. Selain itu, Fahd juga banyak mengobrol dan berdiskusi dengan istrinya mengenai suasana batin seorang ibu yang tengah mengandung atau hamil. 11
3. Representasi Komunikasi Profetik dalam Novel Semesta Sebelum Dunia Ditinjau dari Dimensi Konteks Sosial Dalam novel “Semesta Sebelum Dunia”, wacana yang dihadirkannya adalah pro life yang merepresentasikan komunikasi profetik. Wacana pro life, yakni wacana yang mendukung adanya kehidupan yang harus dihargai dan diberi hak, serta menolak dilakukannya praktik aborsi. Istilah pro life merupakan lawan dari istilah pro choice. Kedua istilah itu kerap ditemui dalam diskursus mengenai aborsi. Istilah pro life merujuk pada pihak-pihak atau pandangan yang kontra terhadap tindakan aborsi. Bagi pihak pro life, aborsi hanya boleh dilakukan untuk menyelamatkan jiwa sang ibu saja, maka tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan aborsi hanya atas dasar pertimbangan karir, material, atau hal-hal yang sifatnya non medis. Gerakan pro life sejalan dengan pendapat dari kalangan agama, yaitu bahwa hidup itu berharga, mulia, dan diyakini itu adalah anugerah dari Tuhan. Berkebalikan dari hal tersebut, Pro Choice justru merujuk pada pihak atau pandangan yang setuju terhadap tindakan aborsi. Faktor ekonomi, karier, dan peran wanita dapat menjadi alasan wanita diperbolehkan melakukan tindakan aborsi tersebut, karena wanita dinilai memiliki hak atas dirinya. Dalam perspektif analisis wacana kritis, wacana yang hadir dalam suatu teks media pada dasarnya adalah bagian wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga perlu dilakukan analisis konteks sosial. Berkaitan dengan novel “Semesta Sebelum Dunia”, wacana pro life dalam novel tersebut turut terbentuk pula oleh wacana yang berkembang di masyarakat Indonesia. Sebagai negara hukum dan mengakui keberadaan agama, Indonesia melarang tindakan aborsi non medis. Tindakan aborsi hanya boleh dilakukan atas alasan medis semata. Keputusan aborsi sesungguhnya bukanlah keputusan perempuan itu semata, melainkan bisa juga merupakan keputusan lingkungan, misalnya suami, anakanak, orang tua, tetangga, atasan atau rekan sekerja, sahabat, dan lain-lain. Dengan 12
demikian, ketika ada keinginan untuk menyuarakan pro life atau menjunjung tinggi kehidupan, maka harus ada upaya penyadaran yang dapat melingkupi banyak pihak. Maka disanalah komunikasi profetik dapat menjadi salah satu instrumen dalam penyadaran publik, sebab komunikasi yang memiliki substansi pesan humanisasi, liberasi, dan transendensi, yang dapat menjangkau berbagai latar belakang kebudayaan dan agama. F. Diskusi Berbagai temuan penelitian memperlihatkan bahwa pesan komunikasi yang terdapat dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” memiliki substansi humanisasi, liberasi, dan transendensi sehingga merepresentasikan adanya komunikasi profetik. Dalam komunikasi profetik, semangat humanisasi yang diusung adalah humanisme teosentrik karena berasal dari paradigma Islam. Kuntowijoyo (1994: 167-168), menyebutkan bahwa : “Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentralnya. Inilai dasar nilai Islam, tapi berbeda dengan prinsip-prinsip filsafat dan prinsip-prinsip agama lain, humanisme Islam adalah humanisme teosentrik. Artinya, ia merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia.”
Komunikasi profetik menekankan pada substansi pesan yang diperlihatkan nabi Muhammad saw, yakni komunikasi yang dilakukan harus menjadi kebaikan, dengan cara yang baik dan benar, serta sesuai dengan nilai-nilai kebenaran. Secara lebih lanjut, Gunara (2009: 110) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad dalam berkomunikasi selalu menggunakan berbagai metode sesuai dengan keadaan, kemampuan, dan kebutuhan orang atau umat yang dihadapi. Sehingga dalam menyampaikan pesan atau risalah, nabi selalu menggunakan kata-kata yang sesuai dengan tingkat pemikiran lawan bicaranya, meliputi: (1) Jawami’ul kalim yaitu pernyataan singkat dan jelas, namun padat maknanya. (2) Tidak 13
zalim, yaitu berbicara diatas pemikiran pendengarnya, dan (3) Tidak sia-sia, yaitu berbicara dibawah pemikiran pendengarnya. Mengenai eksistensi komunikasi profetik, Iswandi Syahputra yang merupakan seorang pengamat media dan pemerhati komunikasi profetik (dalam wawancara bersama penulis, 13 Maret 2014), menilai bahwa kehadiran dan penerapan komunikasi profetik merupakan hal yang penting, sebab hari ini kita dikendalikan oleh sistem kapitalisme global yang sulit untuk dilawan. Sehingga yang dapat kita lakukan adalah merubah sedikit demi sedikit wajah kapitalisme tersebut dengan memunculkan pesan-pesan profetik, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan dan media massa. Namun sayangnya hingga saat ini, istilah komunikasi profetik belum begitu memasyarakat, termasuk dalam ranah keilmuan komunikasi sendiri. Maka bila ditinjau dari perspektif pengembangan ilmu, kesinambungan penelitian mengenai komunikasi profetik mutlak diperlukan.
Kesimpulan Dari temuan penelitian dan analisis yang sudah dilakukan pada dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Ditinjau dari dimensi teks, keseluruhan struktur teks yang meliputi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro yang terdapat dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” merepresentasikan komunikasi profetik. 2. Ditinjau dari dimensi kognisi sosial, novel “Semesta Sebelum Dunia” merupakan novel yang merepresentasikan komunikasi profetik sebab sang pengarang novel memiliki pemahaman mengenai konsep Ilmu Sosial Profetik yang merupakan fondasi pembentuk komunikasi profetik. 3. Ditinjau dari dimensi konteks sosial, wacana pro-life dalam novel “Semesta Sebelum Dunia” yang merepresentasikan komunikasi profetik, merupakan wacana yang turut 14
dibentuk oleh kondisi sosial masyarakat Indonesia mayoritas beragama sehingga mendukung adanya kehidupan yang harus dihargai, serta menolak dilakukannya praktik aborsi. Kemudian istilah dan konsep komunikasi profetik juga merupakan hal yang sengaja dimunculkan sebagai bentuk antitesis terhadap hegemoni sekulerisme dalam ranah keilmuan komunikasi dan dalam pesan-pesan komunikasi di media massa. Daftar Pustaka Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Djibran, Fahd, 2013. Semesta Sebelum Dunia. Bandung: Mizan Media Utama Eriyanto. 2012. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Mahayana, Maman. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Persada
Raja Grafindo
Moleong, Lexy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Syahputra, Iswandi. 2007. Komunikasi Profetik, Konsep dan Pendekatan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Sobur, Alex. 2012. Analisis Teks Media: Suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik, dan analisis framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Kuntowijoyo. 1994. Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan Gunara, Thorik. 2009. Komunikasi Rasulullah, Indahnya Berkomunikasi Ala Rasulullah. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Mulyana, Deddy. 2008. Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Sumber lain: “Cultural Representation, Representasi Budaya, http://sosiologibudaya. wordpress.com /2013/3/13/cultural-representation-representasi-budaya. Tanggal akses 10 Maret 2014 pk. 08.30 wib Nugroho, Ellen C. 2011. “Menghargai Modus-Modus Esensial Manusia Sebagai Upaya Mengatasi Problem Dehumanisasi di Indonesia”. dalam Jurnal Humanika. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Vol 14 th 2011. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2011. “Paradigma Profetik, Mungkinkah? Perlukah?”, Makalah disampaikan dalam Sarasehan Profetik 2011 Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta 15