ILMU SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO Zaprulkhan 1 Abstrak Kuntowijoyo menggulirkan konsep Ilmu Sosial Profetik dalam rangka menurunkan doktrin Islam yang bersifat normatif-teologis menjelma transformatif-sosiologis. Ia mengkarakterisasikan Ilmu Sosial Profetik dengan tiga komponen yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi hendak memanusiakan manusia di tengah-tengah terjadinya proses dehumanisasi masyarakat industrial yang menjadikan manusia sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Sedangkan liberasi berupaya melakukan pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi dan pemerasan kelimpahan. Sementara transendensi akan menyuntikkan dimensi transendental ke dalam masyarakat industrial yang sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Melalui ketiga komponen tersebut, Kuntowijoyo ingin menjadikan sebagian doktrin agama Islam sebagai Ilmu Sosial Profetik dengan komitmen baru, yaitu umat yang mencakup masyarakat, komunitas, rakyat, kaum, atau bangsa. Kata kunci: Islam, ilmu sosial, profetik, Kuntowijoyo A. Pendahuluan Sampai sejauh ini, perdebatan tentang teologi di kalangan Islam masih berkisar pada
tingkat semantik.
Mereka yang berlatar belakang tradisi ilmu keislaman
konvensional mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih dalam tradisi Barat, katakanlah dari cendekiawan Muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan refleksirefleksi empiris. Sementara pandangan dari kalangan pertama lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai karya kalam klasik, kalangan kedua cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris. Jadi sementara pihak pertama lebih mengajak pada upaya untuk melakukan refleksi-normatif, pihak kedua lebih pada refleksi-aktual dan empiris. Apa 1
Dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka-Belitung.
yang menarik ketika itu adalah gagasan yang dikemukakan oleh pihak kedua bahwa dewasa
ini kita
perlu
merumuskan
suatu
teologi baru yang disebut Teologi
Transformatif.2 Teologi Transformatif berorientasi terhadap menjawab
persoalan-persoalan
sosial
sehingga
pemahaman keagamaan untuk menjadi
transformasi
sosial.
Persoalannya, artikulasi Teologi Transformatif bersifat terlalu abstrak, 3 bahkan menuai perdebatan sengit dan salah paham. Pada titik inilah, Kuntowijoyo menawarkan sebuah alternatif bahwa agama, dalam hal ini Islam, harus menjadi semacam ilmu sosial profetik.4 B. Struktur Ilmu Sosial Profetik Secara normatif-tekstual, Kuntowijoyo memang menjadikan Al-Quran sebagai pijakan normatifnya dalam mengkonstruksi ilmu sosial profetik yang diusungnya. Dalam perspektif Kuntowijoyo, pertama-tama adalah bahwa manusia perlu memahami Al-Quran sebagai paradigma. Apa yang dimaksud dengan paradigma di sini adalah seperti yang dipahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dalam pengertian ini, paradigma AlQuran berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan manusia (umat Islam) memahami realitas sebagaimana Al-Quran memahaminya.5 Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al-Quran pertama-tama dengan tujuan agar umat Islam memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al-Quran, baik pada level moral maupun sosial. Tetapi
rupanya 2
konstruksi
pengetahuan
itu
juga
memungkinkan
umat
Islam
Gagasan Teologi Transformatif dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman untuk menjawab berbagai kebuntuan teologi klasik dalam menghadapi persoalan -persoalan kontemporer. Untuk lebih detilnya, lihat Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997). 3 Sebenarnya gagasan Teologi Transformatif yang digulirkan oleh Moeslim Abdurrahman selalu dikembangkan lebih luas bukan hanya sebagai gerakan transformative tetapi juga emansipatoris untuk menciptakan perubahan social dan pemihakan kepada kaum mustadhafin. Lihat buku Moeslim Abdurrahman yang lain, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003) dan Islam Yang Memihak (Yogyakarta: Lkis, 2005). 4 Dalam makna yang lebih luas, ilmu social profetik sesungguhnya ingin menjadikan Islam sebagai ilmu atau pengilmuan Islam sebagai counter terhadap islamisasi pengetahuan yang digulirkan oleh Ismail Faruqi menjelang tahun 1980-an. Secara garis besar, jika islamisasi pengetahuan berupa gerakan dari konteks ke teks, maka pengilmuan Islam bergerak kea rah berlawanan, yaitu teks menuju konteks. Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 7-10. lihat juga buku Ismail raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003). 5 Mengenai paradigma Alquran khas pendekatan Kunto, lihat juga dalam Budhy MunawarRachman, Islam Pluralis (Jakarta: Srigunting, 2004), hlm. 405-414.
merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal sistem ilmu pengetahuannya. Jadi di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma AlQuran juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.
6
Dalam hal ini, Kuntowijoyo berangkat dari Al-Quran surat Ali-Imran ayat 110: “Engkau adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Dari ayat ini,
menurut
Kuntowijoyo
pilar
ilmu
sosial profetik
mencakup: amar ma’ruf
(humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Di bawah ini akan dieksplorasi ketiga unsur ilmu sosial profetik tersebut satu persatu. Pertama, humanisasi. Istilah humanisasi digunakan Kuntowijoyo dengan mengadopsi dari bahasa Latin, humanitas yang berarti “makhluk manusia”, atau kondisi menjadi manusia”. Sehingga
humanisasi
artinya
memanusiakan
manusia;
menghilangkan
kebendaan,
ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia. Konsep amar ma’ruf atau humanisasi dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja, dari yang sangat individual seperti berdoa, berzikir, dan shalat, sampai yang semi sosial, seperti menghormati orang tua, menyambung persaudaraan, dan menyantuni anak
yatim,
serta yang bersifat kolektif,
seperti mendirikan clean government,
mengusahakan jamsostek, dan memangun sistem sosial security.7 Tugas kemanusiaan ialah humanisasi.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa
manusia dapat jatuh ke tempat paling rendah (asfala safilin, QS Al-Tin: 5). Tugas mengangkat manusia dari kejatuhan tersebut bisa dikerjakan melalui media lain, seperti agama, moral, dan filsafat. Melalui gerakan humanisasi keagamaan, manusia dapat diangkat kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang sebaik-baiknya, semulia-mulianya, dan bermartabat manusia. Dulu kejatuhan manusia (dehumanisasi) bisa disebabkan oleh tiga faktor, yaitu egosentrisme
(individual,
kolektif),
agresivitas (individual,
kolektif),
dan syahwat.
Namun sekarang harus ditambahkan kepada tiga faktor tersebut dua hal lagi, yaitu teknologisasi dan massifikasi. Sementara egosentrisme, agresivitas, dan syahwat dapat
6 Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan 1998), hlm. 327. Bandingkan juga dengan penemuan atau analisis yang dilakukan oleh Arief Subhan, “Dr. Kuntowijoyo: Al-Quran Sebagai Paradigma”, dalam jurnal Ulumul Quran, No. 4 Vol. V, 1994, hlm. 92-101. 7 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 364-365.
dikembalikan pada animal behaviour yang sudah dikenal oleh para juru dakwah, teknologisasi dan massifikasi kiranya perlu dijelaskan lebih lanjut. Dalam
masyarakat
teknologis
terjadilah
objektivasi,
menganggap
manusia
sebagai objek atau benda. Manusia menganggap dirinya sebagai bagian dari mesin; mesin penghasil benda-benda lewat pabrik, mesin penghasil uang lewat pasar, dan mesin penghasil kekuasan lewat politik. Dalam massifikasi (menjadi massa), terjadi anonimitas (manusia tanpa “nama”), pragmatisme, dan konformisme. Anonimitas bisa terjadi bila orang hidup di tempat ramai, seperti Surabaya, Jakarta, dan kota-kota metropolitan lainnya. Orang dapat hilang (“kehilangan diri”, “menghilang”) di tengah-tengahnya. Orang merasa tidak ada yang mengawasi, dan dengan mudah kehilangan kontrol. Kalau mereka yang mengalami objektivasi kehilangan etika sosial, maka mereka yang mengalami anonimitas kehilangan moral pribadi. Sedangkan pragmatisme terjadi bila orang merasa bahwa sebaiknya dia ikut saja dalam arus besar yang tak tertahankan, lalu kehilangan kesadaran diri. Pragmatisme tersebut bisa terjadi baik dalam sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis, dan dalam sistem politik otoriter. Akhirnya konformisme terjadi ketika dengan sengaja orang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 8 Biasanya anggota suatu partai, sekte, dan “kelompok” lainnya melakukan konformisme untuk menghindari tekanan dari lingkungan. Di sini, nilai-nilai agama dapat saja hilang dalam pragmatisme dan konformisme.9 Dalam konteks inilah, menurut Kuntowijoyo, dalam tema yang bersifat umum mengenai humanisasi dapat dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi (objektivasi teknologis, ekonomis, budaya, atau negara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan kriminalitas), serta lone liness, kesepian atau keterasingan (privatisasi, individuasi). 10 Manusia
dewasa
ini hidup
dalam zaman
pasca
industrial yang
lebih
mengutamakan sistem teknologisasi. Dalam sistem yang demikian sebagian manusia bisa mengalami dehumanisasi atau alienasi. Loneliness, kesepian atau keterasingan 8
Tentu saja yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dengan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam kosep konformisme tersebut adalah penyesuaian diri dengan lingkung an yang bersifat negatif, bukan hal yang posistif. 9 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa, hlm. 258-259. 10 Ibid., hlm. 366.
kebanyakan dialami oleh masyarakat kota karena individuasi dan privatisasi. Perasaan keterasingan lazimnya dirasakan oleh kelas menengah ke atas, orang-orang kota sungguhan. Penduduk kota meskipun bergerombol sebenarnya mereka hidup sendirisendiri. Orang-orang kota yang hidup di Indonesia tentu saja tidak mengalami keterasingan seperti masyarakat yang hidup di kota-kota besar Barat. Namun dalam zaman
industrial atau
kehilangan
dimensi
bahkan
pasca industrial manusia mudah sekali terjatuh,
kemanusiaannya.
Karenanya
suatu
usaha
untuk
mengangkat
kembali martabat manusia, sangat diperlukan. Sebagaimana diingatkan Al-Quran bahwa orang dapat terjatuh ke tempat yang paling rendah. Kemudian mengecualikan orangorang yang beriman dan beramal saleh. Kiranya ayat tersebut merujuk kepada proses humanisasi, yaitu iman dan amal saleh. Namun tentu saja implikasi dari iman dan amal saleh itu menjadi sangat luas.
11
Kedua, liberasi. Liberasi merupakan terjemahan secara objektif dari konsep nahi munkar. Istilah liberasi ini pun oleh Kuntowijoyo diadaptasi dari bahasa Latin yaitu liberare yang berarti”memerdekakan”, “pembebasan” yang kesemuanya mempunyai konotasi signifikansi sosial. Selanjutnya, dalam pemaknaan yang luas, dalam bahasa sehari-hari liberasi berarti apa saja, dari mencegah teman mengkonsumsi ecstacy, melarang carok, memberantas judi, menghilngkan lintah darat, sampai membela nasib kaum buruh, dan mengusir penjajah. 12 Menurut Kuntowijoyo, teks Al-Quran bisa diturunkan menjadi empat hal yaitu amal, mitos, ideologi, dan ilmu. Islam sehari-hari adalah Islam amal yang harus selalu ada sepanjang zaman. Mitos sebagai sistem pengetahuan sudah ketinggalan zaman, meskipun masih ada orang yang hidup dalam dunia mitis. Sedangkan konsep ideologi pun sudah berlalu ketika kaum Muslim disibukkan dengan partai-partai Islam. Karenanya Islam perlu bergerak meninggalkan ideologi dan menuju ke arah ilmu. Karenanya liberasi dalam ilmu sosial profetik sekarang adalah liberasi dalam konteks ilmu, bukan liberasi dalam konteks ideologi. 13 Selanjutnya sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Sistem pengetahuan ialah usaha-usaha untuk 11
Ibid., hlm. 368-369. Ibid., hlm. 365. 13 Kuntowijoyo, Islam Sebagai, hlm. 108-109. 12
membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dari dominasi struktur, misalnya dari konsep kelas. Pembebasan dari kesadaran kelas ini bertentang dengan Marxisme yang menekan kesadaran kelas sebagai objek penelitian. Begitu pula penelitian tentang pembebasan dari belenggu sistem sosial amat penting, karena pada umumnya umat sedang keluar dari sistem sosial agraris ke sistem sosial industrial. Itulah yang disebut Kuntowijoyo sebagai the great transformation bagi umat. Secara historis-sosiologis, transformasi itu memang sudah berjalan sejak awal abad
ke-20.
communitarian
Dengan yakni
demikian, ilmu
sosial
perlu
dihadirkan
ilmu
yang
memperhatikan
sosial yang nilai-nilai
pada
bercorak sebuah
komunitas atau masyarakat.14 Sementara itu, pembebasan belenggu dari sistem ekonomi perlu mendapat perhatian, meskipun masalah ini kadang-kadang sangat sensitif karena disangkutkan dengan pembangunan nasional, stabilitas, dan keamanan. Demi kepentingan nasional, maka dituntut untuk melihat beberapa kesenjangan dan ketidakadilan dengan kepala dingin. Dalam tilikan Kuntowijoyo, mengenai kesenjangan ekonomi setidaknya ada dua ayat Al-Quran yang dengan jelas menyebutkannya, yaitu, “ QS Al-Hasyr, ayat 7 yang berbunyi, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara engkau”, dan QS Al-Zukhruf, ayat 32 yang berbunyi, “Apakah mereka yang berhak membagi-bagikan rahmat Tuhanmu?”. Maka sebuah gerakan liberasi yang didasarkan akal sehat justru penting untuk sistem ekonomi nasional. 15 Akhirnya
liberasi politik
berarti pembebasan
sistem dari otoritarianisme,
diktator, dan neofeodalisme. Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani adalah juga tujuan Islam. Perjuangan ilmu sosial profetik dalam bidang politik tersebut memang diakui Kuntowijoyo memerlukan waktu jangka panjang. 16 Sebab di sini yang berperan adalah konsep ilmu yang berhubungan dengan perubahan dan transformasi sosial jangka panjang. Tugas tersebut pun mesti dilakoni oleh para intelektual Islam yang memiliki modal wacana keilmuan. 17
14
Ibid., hlm. 100. Ibid., hlm. 110. 16 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa, hlm. 325-332. 17 Ibid., hlm. 111. 15
Ketiga, transendensi. Istilah transendensi berasal dari bahasa Latin transcendere yang berarti “naik ke atas”. Istilah tersebut lalu diadposi ke dalam bahasa Inggris, transcend yang berarti “menembus”, “melewati”, atau “melampaui”. Meskipun dalam perkembangan
selanjutnya
arti transendensi mempunyai makna yang luas,
oleh
Kuntowijoyo istilah tersebut dimaknai dalam istilah teologis yakni beriman kepada Allah (tu’ minuna billah), percaya kepada yang serba gaib, percaya kepada kitab Allah, dan percaya kepada Hari Akhir.18 Sebagian besar ilmuwan memperediksikan bahwa pada abad satu spiritualisme akan berkembang. Salah satu ciri peradaban post-modernism adalah de-differentiation, yakni agama akan menyatu kembali dengan dunia. Namun oleh orang-orang Barat agama tersebut akan ditafsirkan sebagai “agama” yang lebih tinggi dari agama-agama yang ada. Dalam filsafat sejarah Barat ada “teori spiral” yang mengatakan bahwa sejarah itu bergerak melingkar seperti sebuah per, setiap kali selalu kembali berputar seperti yang dulu tetapi selalu lebih tinggi dari semula. Singkatnya agama tersebut bukanlah agama yang melembaga sebab masayarakat Barat memang sulit untuk menyebut Tuhan yang bersifat personal dikarenakan dominasi mindset mereka yang bercorak ilmiah dan sekular.19 Namun dalam pengamatan Kuntowijoyo, perkembangan ke arah pengakuan akan sesuatu yang bersifat transendental atau bersifat ketuhanan sudah mulai terlihat. Abraham Maslow, penganut Psikologi Humanistik, mengemukakan gagasan tentang pentingnya
aktualisasi diri,
nilai,
peak
experience,
sebagai pengalaman puncak
kehidupan manusia ketika bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat transenden. Begitu pula Erich Fromm yang menginginkan sebuah masyarakat industrial yang manusiawi sudah menyebut-nyebut tentang perlunya otoritas yang bersifat transendental ketika ketika dia membicarakan tentang nilai dan norma. 20 Dalam
konteks
ini,
jika
karakter
zaman
modern
merupakan
zaman
antropsentrisme (secara sederhana berpusat kepada manusia), maka era pasca modern atau pos modern adalah teosentrisme (berpusat kepada Tuhan), yakni kembalinya spiritualitas
dalam
peradaban.
Tetapi
dalam
pandangan
Kuntowijoyo,
dimensi
spiritualitas yang dibutuhkan oleh masyarakat pos modern bukan lagi yang bersifat 18
Ibid., hlm. 260, 365 & 373. Ibid., hlm. 372. 20 Ibid.. 19
subjektif
dengan
menggunakan
istilah
masing-masing
agama,
menggunakan bahasa yang bersifat objektif, bahasa keilmuan
melainkan
dengan
yang bisa dimengerti
oleh semua orang. Bahasa spiritualitas Islam, ke dalam secara internal, yang serba subjektif, yang serba syar’i, yang memang hanya untuk umat Islam sendiri, tidak ada masalah. Namun ke luar secara eksternal, yang intersubjektif, mestilah dibuat lunak dan objektif supaya Islam dimengerti secara universal. Pada titik inilah, istilah transendensi digunakan agar bisa dimengerti sekaligus diterima oleh kelompok luar. Dalam konteks ini pula, transendensi akan menjadi sumbangan Islam yang cukup signifikan kepada dunia modern yang telah hanyut dalam kecenderungan materialisme. 21 Jadi dalam perspektif Kuntowijoyo, dimensi spiritualitas dalam agama Islam yang secara spesifik berhubungan dengan ketuhanan, mesti diterjemahkan dulu ke dalam istilah yang objektif. Istilah tu’minuna billah diobjektifkan menjadi transendensi agar orang-orang di luar Islam bisa memahami. Dalam hal ini, yang ingin dituju oleh Kuntowijoyo adalah penggunaan bahasa ilmu yang bersifat objektif, bukan bahasa dakwah
yang
menerjemahkan
bersifat subjektif. semua
komponen
Dengan bahasa dakwah memang tidak
perlu
nilai-nilai prinsipil keislaman jika disampaikan
kepada orang dalam Islam sendiri. Namun dalam paradigma keilmuan, ilmu sosial profetik, bahasa dakwah yang bernuansa subjektif tersebut mesti diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa yang objektif, sehingga bisa diadopsi oleh orang luar. 22 Melalui eksposisi di atas, Islam sesungguhnya memiliki dinamika internal untuk menciptakan transformasi sosial secara terus menerus yang berakar pada misi ideologisnya yakni cita-cita untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam masyarakat di dalam kerangka keimanan kepada Tuhan. Sementara amar ma’ruf bermakna humanisasi atau emansipasi, nahy munkar merupakan upaya untuk liberasi. Karena kedua tugas itu berada dalam kerangka keimanan, maka humanisasi dan liberasi meruapakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dari transendensi. Di setiap masyarakat, dengan struktur dan sistem apa pun, dan dalam tahap historis yang mana pun, cita-cita untuk humanisasi, liberasi, dan transendensi akan selalu memotivasikan gerakan transformasi Islam. Oleh karena itu, menjadi sangat jelas bahwa Islam sangat berkepentingan pada realitas sosial bukan hanya untuk dipahami, 21 22
Ibid., hlm. 260-161. Kuntowijoyo, Islam Sebagai, hlm. 103.
tapi juga diubah dan dikendalikan. Cita-cita ini pulalah yang akan menjadi tema transformasi Islam, suatu tema yang dipenuhi dengan pandangan profetik tertentu mengenai perubahan.23 Sampai di sini,
sebenarnya semua komponen ilmu sosial profetik yang
disuguhkan oleh Kuntowijoyo mencerminkan sifat objektif. Ia menerjemahkan istilah amar ma’ruf dengan kata humanisasi, istilah nahi munkar dengan kata liberasi, dan tu’minuna billah dengan kata transendensi. Semua cara penerjemahan konsep-konsep tersebut oleh Kuntowijoyo disebut dengan methodological objectivism, metode yang bersifat objektif sehingga ilmu sosial profetik mempunyai makna universal sesuai dengan karakter keilmuan yang bisa merengkuh siapa pun saja. 24 Karena itu, berikut ini akan dieksplorasi pula secara singkat tentang objektifikasi sebagai sebuah metode yang sangat signifikan dalam wacana ilmu sosial profetik. 25 Istilah objektifikasi berasal dari kata objektif yang oleh Kuntowijoyo diambil dari bahasa Inggris, objectification, dengan konotasi “the act of objectifying” yakni membuat sesuatu menjadi objektif. Sesuatu itu objektif kalau keberadaannya tidak tergantung pada pikiran sang subjek, tetapi berdiri sendiri secara independen. Jadi bila A adalah objektifikasi dari B, maka berarti A adalah B yang telah dibuat objektif oleh sang subjek.26 Namun dalam pemaknaan Kuntowijoyo, istilah objektifikasi harus dibedakan dengan objektivasi. Objektivasi bisa berasal dari kata objek, sehingga objektivasi adalah “memandang sesuatu sebagai objek atau benda”. Misalnya kalimat, “masyarakat teknologis
cenderung
melakukan
objektivasi
terhadap
manusia”.
Sebagai
ganti
objektivasi dalam kalimat itu sekarang lebih umum dipakai kata dehumanisasi atau menjadikan manusia sebagai mesin, menghasilkan “manusia mesin”. 27 Di sini objektifikasi bukan bermaksud menjadikan sesuatu sebagai objek, melainkan menjadikan sesuatu menjelma objektif. Dalam konteks segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, objektifikasi merupakan 23
penerjemahan
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hlm. 337-338. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa, hlm. 373. 25 Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 214. Bahkan menurut analisis Dawam Rahardjo terhadap karya Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, gagasan pokok dalam buku tersebut adalah objektifikasi, yakni menerjemahkan nilai-nilai Islam secara objektif dalam tataran sosial, budaya, kebangsaan, ekonomi, dan politik di Indonesia. Kuntowijoyo, Islam Sebagai,h 76. 26 Kuntowijoyo, Islam,hlm. 76. 27 Kuntowijoyo, Muslim, hlm. 301. 24
nilai-nilai internal atau keyakinan internal ke dalam kategori-kategori objektif. Dalam hubungannya dengan pemeluk agama lain atau hubungan interaktif antar berbagai pemeluk agama, suatu perbuatan disebut objektif bila perbuatan tersebut dirasakan oleh orang-orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan bisa tetap
menganggapnya
sebagai perbuatan
keagamaan,
termasuk
perbuatan amal.
Objektifikasi juga dapat dilakukan oleh orang-orang non-Islam, asal perbuatan tersebut dapat dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang objektif, sementara orang-orang non-Islam dipersilahkan menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan. 28 Di sini objektifikasi sebagai bentuk perbuatan rasional nilai (wertrational) yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya. Misalnya, ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang yang mendustakan agama bila tidak memperhatikan kehidupan ekonomi orang-orang miskin dapat diobjektifkan, dengan program IDT (Inpres Desa Tertinggal).
Kesetiakawanan
Nasional
adalah
objektifikasi
dari
ajaran
tentang
ukhuwah.29 Begitu pula menurut Kuntowijoyo, wacana keilmuan yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang bernuansa objektif. Artinya, suatu ilmu tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non-agama, dan anti agama sebagai norma, melainkan sebagai gejala keilmuan yang objektif semata. Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, sebab ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif. Maka objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh umat manusia, tidak hanya untuk orang beriman saja. Contoh objektifikasi yaitu akupuntur (tanpa harus percaya konsep Yin-Yang Taoisme), yoga (tanpa harus percaya Hinduisme), sengatan lebah (tanpa harus percaya kepada Al-Quran yang memuji lebah), herbal medicine (tanpa harus percaya kepada Hinduisme –Bali), perbankan syariah (tanpa harus meyakini etika Islam tentang ekonomi). Selain itu, objektifikasi juga berarti bahwa ilmu itu terbuka untuk semua
28 29
Kuntowijoyo, Islam, hlm. 65. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 68-69.
orang, dapat ditularkan secara terbuka, dan tanpa laku yang rahasia (sakti, kharisma, bertapa, “tiban”).30 Pada titik ini, ilmu yang lahir dari induk agama bersifat integralistik, bersifat menyatukan. Ilmu yang bercorak menyatukan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia itu sendiri (other worldly asceticisme). Sehingga integralisme kelimuan yang objektif diharapkan akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal (gerakan-gerakan agamis) dalam banyak sektor kehidupan. Beberapa
eksemplar secara tipikal dari agama Islam berikut ini akan
memberikan gambaran konkret. Contoh-contoh tersebut diambil dari ilmu ekonomi syariah, yang diambil semata-mata karena sudah ada praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada Bank Muamalat Indonesia, Bank BNI syariah, Bank Mandiri Syariah, usaha-usaha agrobisnis, usaha-usaha transportasi, usaha-usaha kelautan, dan sebagainya. Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi, di antaranya ialah bagi hasil, dan kerja sama. 31 Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama tersebut menjadi ilmu ekonomi yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua agama, non-agama, atau bahkan anti agama. Demikian pula dalam tataran pemerintahan, semua konsepsi keagamaan mesti dibingkai terlebih dahulu dalam bingkai kebangsaan atau keindonesiaan yang bersifat objektif sehingga bisa diterima oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia tanpa terjadi benturan, baik dalam dimensi ideologi maupun dalam dimensi fisikal. 32 Dengan demikian, objektifikasi Islam berupaya menampilkan nilai-nilai prinsipil dalam agama Islam secara objektif dalam spektrum maknanya yang sangat luas. Tujuannya tidak lain agar kebajikan Islam bisa menyentuh bukan hanya kepada umat Islam secara internal melainkan juga kepada umat non-Muslim secara eksternal, sehingga Islam benar-benar mampu menyemai kebaikan, kedamaian, dan manfaat bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin). C. Urgensi Ilmu Sosial Profetik 1. Urgensi Humanisasi dan Liberasi
30
Kuntowijoyo, Islam, hlm. 57. Ibid., hlm. 58. 32 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hlm. 71-73. 31
Menurut Kuntowijoyo, sesungguhnya dalam konsepsi Al-Quran, posisi manusia sangat penting. Begitu pentingnya posisi itu dapat dilihat dalam predikat yang diberikan Tuhan sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Predikat ini memberikan gambaran kepada manusia bahwa seolah-olah Tuhan mempercayakan kekuasaan-Nya kepada manusia untuk mengatur dunia ini, sebuah tugas yang maha berat yang makhluk-makhluk lain enggan memikulnya. Konsepsi seperti ini sebenarnya merupakan suatu konsepsi yang revolusioner jika diingat bahwa konteks lahirnya Islam sekitar abad VII, dunia terutama di belahan Barat didominasi oleh pemahaman filsafat Romawi dan Yunani serta juga pandangan Kristen yang melihat manusia secara muram, secara sangat pesimis.33 Secara teologis dan sosiologis tersebut, manusia menduduki tugas atau misi yang agung sebagai wakil Tuhan di jagad raya. Di sini sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks kontemporer, berarti Islam harus membebaskan manusia dari kungkungan aliran pemikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Tapi karena dunia kontemporer telah menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia baik itu berupa sistem-sistem produksi teknologi, sistem-sistem sosial dan ekonomi, maupun sistem lainnya yang menyebabkan manusia tidak dapat mengatualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia, maka Islam sekali lagi harus melakukan revolusi untuk merombak semua itu, suatu revolusi untuk pembebasan.34 Secara garis besar, melalui konsep humanisasi dan liberasi, Kuntowijoyo ingin memanusiakan kembali umat manusia ketika manusia dewasa ini telah terperangkap dalam budaya teknologisasi serta membebaskan manusia dari penindasan sistem ekonomi dan sistem politik yang eksploitatif. Dalam pandangan Kuntowijoyo, manusia yang telah mengalami alienasi dalam zaman pasca industrial disebabkan mereka menjadi objek dari teknologi sehingga semua menjadi proses dehumanisasi. Di sini humanisasi harus hadir dalam rangka untuk mengangkat martabat manusia, memanusiakan manusia kembali. Sedangkan melalui liberasi, secara spesifik Kuntowijoyo mendambakan pembebasan masyarakat Indonesia dari belenggu ekonomi yang bersifat menindas serta sistem politik yang bersifat otoritarianisme, diktator, dan
33 34
Kuntowijoyo, Paradigma, hlm. 162-163. Ibid., hlm. 164-165.
feodalisme.35
Namun sebagaimana corak
pemikiran Kuntowijoyo
yang berusaha
memadukan antara analisis akademis-intelektual yang bersifat abstrak dengan aplikasi secara praksis-aktual yang bersifat konkret, ia menginginkan pula perubahan mindset masyarakat sekaligus implementasi terhadap paradigma yang telah terkonstruksi dalam mindset itu sendiri. Dengan alasan tersebut, setidaknya ada beberapa solusi teoretik-aplikatif yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dalam rangka memainkan peran humanisasi dan liberasi dalam konteks keindonesiaan.36 Pertama, adalah perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuanketentuan di dalam Al-Quran. Selama ini umat Islam melakukan penafsiran yang bersifat individual ketika memahami, misalnya, sebuah ayat yang menyatakan larangan untuk hidup berlebih-lebihan. Dari penafsiran idividual terhadap ketentuan ini sering timbul sikap untuk mengutuk orang-orang yang hidup berfoya-foya, yang memiliki vilavila di puncak, atau yang mempunyai banyak simpanan deposito di bank-bank luar negeri. Tapi yang lebih mendasar sebenarnya adalah mencari sebab-sebab struktural kenapa gejala hidup mewah dan berlebihan itu muncul dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi. Dengan upaya ini, penafsiran kaum Muslim terhadap gejala hidup mewah harus lebih dikembangkan pada perspektif sosial, pada perspektif struktural. Dari penafsiran semacam ini, sangat mungkin akan ditemukan akar masalahnya yang paling esensial yaitu terjadinya konsentrasi kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem pemilikan sumber-sumber penghasilan atas dasar etika keserakahan. Gejala-gejala seperti inilah sebenarnya yang harus dirombak agar tidak memungkinkan terjadinya gaya hidup mewah, gaya hidup yang secara moral maupun sosial sangat dikecam oleh Al-Quran. Kedua, adalah mengubah cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Tentang ketentuan zakat misalnya. Secara subjektif tujuan zakat memang
diarahkan
untuk
“pembersihan” harta
dan
jiwa
kaum Muslim.
Tapi
sesungguhnya sisi objektif tujuan zakat pada intinya adalah tercapainya kesejahteraan
35 36
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa, hlm. 359-373. Kuntowijoyo, Paradigma, hlm. 283-285.
sosial.
Kesejahteraan sosial itulah yang menjadi sasaran objektif dikeluarkannya
ketentuan untuk berzakat. Dari reorientasi semacam ini, umat Islam dapat mengembangkan tesis yang lebih luas bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan tercapainya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sasarannya. Demikian juga kalau umat Islam bebrbicara tentang larangan riba. Ketentuan tersebut perlu diberi konteks pada cita-cita egalitarianisme ekonomi untuk tercapainya kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pada level aktual, kaum Muslim dapat saja mengembangkan bentuk-bentk institusi bank yang bebasr bunga (zero intersting bank) yang tidak menggunakan rente, untuk membantu pemilikan modal bagi kelas ekonomi lemah. Ketiga, adalah mengubah Islam yang normatif menjadi teoretis. Selama ini kaum Muslim cenderung lebih menafsirkan ayat-ayat Al-Quran pada level normatif, dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu menjadi kerangka-kerangka teori ilmu. Secara normatif kaum Muslim mungkin hanya dapat mengembangkan tafsiran moral ketika memahami konsep tentang fuqara dan konsep tentang masakin. Kaum fakir dan miskin paling-paling hanya akan dilihat sebagai orang-orang yang perlu dikasihani sehingga kaum Muslim wajib memberikan sedekah, infaq, atau zakat kepada mereka. Dengan
pendekatan
teoretis,
kaum Muslim mungkin
akan
dapat
lebih
memahami konsep tentang kaum fakir dan kaum miskin pada konteks yang lebih real, lebih faktual, sesuai dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, maupun kultural. Dengan cara itu, kaum Muslim dapat mengembangkan konsep yang lebih tepat tentang siapa sesungguhnya yang dimaksud sebagai fuqara dan masakin itu; pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka berada dalam suatu masyarakat, dan sebagainya. Demikianlah, kalau umat Islam berhasil memformulasikan Islam secara teoretis, maka banyak disiplin ilmu yang secara orsinal dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Al-Quran. Keempat, mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Selama ini pemahaman terhadap Al-Quran cenderung bersifat a-historis, padahal maksud Al-Quran menceritakan kisah-kisah, konsep-konsep, atau amtsal-amtsal adalah agar mereka berpikir historis. Misalnya kisah tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Fir’aun seringkali hanya dipahami pada konteks zaman itu semata. Kaum Muslim tidak
pernah berpikir bahwa apa yang disebut sebagai kaum tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan pada setiap sistem sosial. Pada zaman feodalisme, pada sistem kapitalisme, pada sistem sosialisme, selalu terdapat apa yang disebut sebagai kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Oleh karena itu, sesungguhnya umat Islam harus bisa menjelaskan siapakah golongan-golongan yang berada pada posisi tertindas itu di dalam sejarah; termasuk pada saat sekarang, dewasa ini, yaitu pada sistem sosial ekonomi yang memungkinkan terjadinya konsentrasi kapital di tangan segelintir elit. Melalui kisah-kisah yang ditampilkan dalam Al-Quran dengan puspa ragam karakteristiknya, seperti kisah tentang Nabi Ayyub as atau kezaliman Firaun, misalnya, agar kaum Muslim dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Dalam konteks kisah-kisah tersebut, menurut Kuntowijoyo, Dalam konteks kisah-kisah
tersebut,
historisnya,
melainkan
menurut pesan
Kuntowijoyo, moralnya.
yang
Bukan
paling bukti
signifikan
bukan data
objektif-empirisnya
yang
ditonjolkan, tapi ta’wil subjektif- normatifnya.37 Contoh lain misalnya diungkapan dalam sebuah ayat bahwa sebagian umat Islam harus “membebaskan mereka yang terbelenggu”. Dengan cara berpikir historis, maka Umat Islam akan dapat mengidentifikasi siapakah yang dimaksudkan sebagai golongan “yang terbelenggu” itu dalam sistem sosial politik sekarang ini. Di sini, misi humanisasi sekaligus liberasi yang bersifat memanusiakan manusia dan membebaskan manusia dari segala macam bentuk penindasan baik dalam ranah ekonomi maupun politik harus disuarakan oleh umat Islam supaya kesenjangan tersebut berakhir. Kelima, merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris. Katakanlah dalam sebuah ayat Allah mengecam orang-orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya di kalangan kaum kaya (QS Al-Hasr: 7). Pernyataan ini jelas bersifat umum dan normatif. Oleh karena itu, pernyataan tersebut harus diartikan secara spesifik dan empiris. Itu berarti umat Islam harus pnadai menerjemahkan perintah tersebut dalam realitas sekarang: bahwa Allah mengecam keras adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi politik dan adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elit yang berkuasa. 37
Kuntowijoyo, Islam Sebagai, hlm. 15.
Dengan menerjemahkan pernyataan yang umum itu secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman seseorang terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga ia dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial. Dan hal ini, pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sosial sekarang ini. Pada titik ini pula, segala eksploitasi kekayaan,
modal ekonomi, dan kesewenang-wenangan dalam dalam penggunaan
kekuasaan, mesti menjadi perhatian perjuangan menegakan humanisasi dan liberasi. Selain itu, dalam konteks humanisasi, Kuntowijoyo menyuarakan agar hak-hak kaum tertindas, seperti buruh, petani, dan orang-orang miskin mesti dibela. Sebagai eksemplar,
Kuntowijoyo
menunjukkan
bahwa
ketentuan
tentang
upah
minimum
regional (UMR) dapat dicapai landasan teologisnya pada Al-Quran surat Ali-Imran ayat 195 yang menyatakan bahwa semua urusan itu harus ada upahnya. 38 Begitu juga ayat ini diperkuat dengan hadis riwayat Ibnu Majah yang menyatakan, “Berikanlah upah buruh sebelum kering keringatnya”. Serta hadis lain yang menyatakan bahwa siapapun yang tidak memnuhi upah buruh adalah musuh Nabi. Dalam tilikan Kuntowijoyo, ayat dan hadis-hadis tersebut memiliki spirit humanisasi sekaligus liberasi. Dimensi humanisasi kedua ayat dan hadis tersebut terlihat dari prinsip untuk memperlakukan manusia, siapa pun orangnya, sebagai sosok manusia yang memiliki jiwa dan perasaan manusiawi bukan sebagai mesin yang tidak mempunyai ruh sama sekali. Sedangkan dimensi liberasinya mencerminkan upaya pembebasan para orang-orang kecil dari struktur yang sewenang-wenang dan menindas, antara para buruh yang lemah dan para majikan yang kuat. Tentu saja Kuntowijoyo menyadari bahwa dalam Islam diakui adanya perbedaan status sosial, perbedaan kelas sosial, kesenjangan natural atau kesenjangan alamiah sebagai sunnatullah. Dalam Al-Quran memang dinyatakan bahwa Allah melebihkan seseorang di atas yang lain.39 Perbedaan terjadi karena perbedaan kepandaian, nasib yang berbeda, dan lokasi yang berbeda. Seseorang yang dilahirkan dekat dengan jalan besar akan berbeda tingkat kemajuannya dengan mereka yang dilahirkan di pulau terpencil. Demikian juga seseorang yang kebetulan dilahirkan menjadi anak orang kaya akan berbeda nasibnya dengan dengan mereka yang dilahirkan dari keluaraga miskin.
38 39
Kuntowijoyo, Identitas Umat, hlm. Lihat QS. Al-An’am: 165.
Dan tingkat pendidikan yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan pendapatan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pula pola konsumsi. 40 Namun yang tidak diperbolehkan adalah membiarkan orang-orang miskin dan lebih-lebih lagi menciptakan sistem yang eksploitatif dengan menindas kaum fakir miskin dan orang-orang yang lemah. Menurut Kuntowijoyo, Allah sendiri mengancam dengan neraka siapa yang tidak memperdulikan kesejahteraan orang miskin (QS AlMa’un: 3). Mengenai kemiskinan atau kesenjangan natural saja Tuhan begitu keras, apalagi bentuk kesenjangan yang lain, yakni kesenjangan struktural, kesenjangan yang disebabkan struktur yang tidak adil. Mengenai kesenjangan struktural, Tuhan mendakwa para penindas sebagai orang-orang yang telah menghalang-halangi rahmat-Nya. Tentang orang-orang yang berperan sebagai “tuhan”, Allah bertanya, “Apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhanmu?”(QS Al-Zukhruf: 32). Dalam konteks kesenjangan struktural inilah, bagi Kuntowijoyo mesti dilakukan pula perubahan struktural. 41 Dengan kata lain, kesenjangan struktural memerlukan politik yang positif, yaitu campur tangan aktif dari pemegang kekuasaan.42 Dalam konteks inilah, Kuntowijoyo menganggap bahwa harus ada pemihakan kepada orang-orang fakir miskin dan kaum yang lemah, atau dalam bahasa agamanya kaum dhu’afa (orang kecil) dan kaum mustadh’afin (teraniaya).43 Umat Islam merupakan suatu kelompok yang akan secara terus menerus dimotivasi oleh kesadaran subjektifnya untuk membela dan memperjuangkan keadilan sosial ekonomi. Umat Islam harus melakukan pemihakan kepada mereka, yang karena proses-proses struktural, dirampas hak-hak dan peluangnya. Namun pemihakan terhadap orang-orang kecil dan teraniaya tersebut harus dilakukan dengan mulia. 44 Di sini, kesadaran dan gerakan kelas menjadi sah secara teologis jika dilakukan dalam kerangka cita-cita normatif demi terciptanya suatu struktur yang adil, bukan untuk penghancuran kelas lain. Dengan demikian, harus segera ditegaskan bahwa apa yang dimaksud dengan ideologi kelas menurut Kuntowijoyo bukanlah dalam metode sekular Marxian atau lainnya. Jika sosiologi non-Marxis membagi kelas menjadi tiga: 40
Kuntowijoyo, Identitas Politik, hlm. 9. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa, hlm. 296. 42 Kuntowijoyo, Identitas Politik, 10. 43 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hlm. 27. 44 Ibid.,hlm. 7-8. 41
atas, menengah, dan bawah; sosiologi Marxis berdasarkan pemilikan membagi kelas ke dalam dua kategori yang saling bertentang: borjuis dan proletar, maka sosiologi Islam pada dasarnya bersifat non kelas, tetapi mengakui kelas sebagai sebuah kepentingan (class in itself) dan menolak konsep pertentangan kelas (class for itself).45 2. Signifikansi Transendensi Dalam perspektif Kuntowijoyo, transendensi dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi masyarakat kontemporer yang telah hanyut dalam budaya materialistik.46 Keberagamaan setiap orang dalam segala dimensinya menurutnya mesti bersifat kaffah, yakni jangan sampai meninggalkan dimensi batiniah dan hanya mengutamakan
dimensi
lahiriah
semata. 47
Jika
hal
tersebut
yang
dilakukan
konsekuensinya tentu saja akan mengalami kehampaan ruhaniah. Sementara kebutuhan biologis atau aspek fisikal manusia tidak akan pernah terpuaskan jika dimensi psikisnya dikesampingkan. Kepentingan luar atau jasmaniah adalah kondisi yang perlu (necessary condition), tetapi itu saja tidak mencukupi, tanpa dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan ruhaniahnya. Sebab kebutuhan yang di dalam itulah yang akan mencukupi atau memuaskan (sufficient condition).48 Sehingga merupakan sebuah paradoks yang wajar bila manusia yang sudah memiliki segala idaman materialnya seperti uang, rumah yang megah, pangkat yang tinggi, isteri yang cantik, dan kendaraan yang mewah, namun masih merasakan kesengsaraan berupa kehampaan batiniah.49 Dalam pengamatan sebagian ahli mengenai fenomena keberagamaan, seperti Friedrich von Hugel kegelisahan eksistensial tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika disadari bahwa dalam agamaterdapat tiga elemen pokok yang saling terkait. 50 Pertama, elemen institusional (institutional element), yakni salah satu elemen yang menjaga agama agar tetap eksis. Dalam elemen pertama inilah agama hadir dalam bentuk institusi-institusi formal yang dikepalai oleh para pendeta atau ulama, seperengkat aturan-aturan atau dogma dan sangsi-sangsi religius yang telah terinstitusikan dari waktu ke waktu. 45
Kuntowijoyo, Identitas Politik , hlm. 43-44. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa, hlm. 372-375 & 152-153. 47 Ibid., hlm. 219 & 191. 48 Kuntowijoyo, Identitas Politik , hlm. 11. 49 Lihat dalam Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man (London: Longman, 1975), hlm. 3-23 & The Garden of Truth (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 194-203. 50 Diakses dari Wikipedia, the Free Encyclopedia. 46
Kedua, elemen intelektual (intellectual element), yakni dalam beragama ada wilayah-wiayah tertentu yang mengharuskan menggunakan akal pikiran untuk menalar. Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh para pengikutnya. Ilmu fikih dalam Islam misalnya, menghimpun informasi tentang fatwa ulama berkenaan dengan ritus-ritus keagamaan. Dan Perjanjian Baru dalam agama Kristen memuat pengetahuan tentang Kristus dan para rasulnya. Ketiga, elemen mistik (mystical element), yaitu pengalaman keberagamaan yang bersifat spiritual-transendental yang dialami oleh penganut agama. Dalam beragama, ada pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat transendental yang melampaui akal rasional. Elemen mistik lebih berhubungan dengan hati, keyakinan, atau keimanan seseorang dalam beragama. Pada dimensi ini, keberagamaan bukan hanya dalam tataran pemahaman, melainkan juga pengalaman ketuhanan, tidak hanya berupa pengetahuan tapi juga penghayatan yang utuh yang timbul dari kesadaran hati yang tulus dalam mengabdi kepada Sang Pencipta Yang Esa. 51 Dalam perspektif von Hugel, bila ketiga elemen agama ini hadir secara seimbang tentu saja tidak akan terjadi ketimpangan, termasuk kegelisahan eksistensial karena menafikan elemen mistik. 52 Dimensi mistikal inilah yang dalam bahasa Kuntowijoyo dinamakan dimensi transendensi. Sebab bagaimana pun idealnya sebuah konsep relijius yang mengandung nilai-nilai luhur tidak akan pernah mampu menyebabkan idealisme tersebut menjadi kenyataan
tanpa
dibarengi
suatu
penghayatan
terhadap
nilai-nilai relijius
yang
dianutnya. Sesuatu yang dapat menghadirkan nilai-nilai ideal sebuah agama dalam wajah faktual kehidupan para penganutnya dengan sesungguhnya adalah penghayatan beragama yang dijalani secara holistik antara kesalehan eksoterik dan esoterik sekaligus. Pada konteks ini pula, menurut Kuntowijoyo memberikan semangat spiritual (transendensi) kepada aspek syariah dirasa perlu, sebab tidak jarang masyarakat hanya condong kepada formalitasnya saja, tetapi kosong dari semangat kecintaan kepada Sang Pembuat
51
syariah
itu
sendiri.
Bisa
saja
dimensi transendensi tersebut
dengan
Tiga elemen agama von Hugel ini bisa dibandingkan dengan lima dimensi yang dimiliki oleh setiap agama: ideological dimension, ritualistic dimension, experiential dimensi on, intellectual dimension, dan consequential dimension. Lihat C.Y. Glock, Religious Education (New York: Religious Research Association, 1962), hlm. 42. 52 Von Hugel, Wikipedia.
diperkenalkannya tasawuf secara luas, tetapi tasawuf tersebut harus tetap tasawuf tanpa guru, tasawuf yang do it yourself, dan tasawuf yang terbuka.53 Jangan
sampai berkembang menjadi mistisisme yang hanya mementingkan
keselamatan diri, jangan menjadi
tasawuf yang hanya berorientasi pada “dunia lain”
dan jangan sampai tasawuf yang menyusahkan orang Islam dengan beban “keagamaan” karena yang sebenarnya hanya bersifat sunnah menjadi wajib dikerjakan. Islam mesti menjadi agama yang terbuka, sederhana, dan tergapai setiap orang (accessible). Sebaliknya, spiritualisasi syariah juga jangan disusutkan menjadi konsentrasi yang cespleng menuju pada greng, atau pada relaksasi untuk menghilangkan stress. Konsentrasi macam itu dapat dipelajari dari metode konsentarsi dalam teosofi, Aliran Kebatianan, mistik Kristen, Yoga India, Zen Buddhisme, Taoisme, Transcendental Meditation, bahkan dari latihan pernapasan dalam pencak silat. Sedangkan Islam menuntut perubahan psiko-fisik, jadi semuanya yang mencakup akidah, ibadah, sayriah, muamalh, dan akhlak.54 Jadi wacana transendensi atau tasawuf yang diusung oleh Kuntowijoyo sebagai terapi spiritual bagi manusia kontemporer bukanlah spiritualitas umum yang tidak berpijak pada agama, melainkan spiritualitas yang harus bersumber pada agama (Islam). Agama harus bisa meyakinakan manusia dewasa ini bahwa pencarian spiritual mereka berarti
pencarian
kembali
nilai-nilai
agama.
Spiritualisme
tanpa
agama,
bagi
Kuntowijoyo secara metaforis bukan makanan sehari-hari manusia melainkan hanya pil walaupun memang bergizi.55 Spiritualisme ada dalam semua agama, tetapi agama jauh lebih kaya ketimbang sekadar spiritualisme. Sebab spiritualisme terkadang hanya sebuah cosmic consiousness, dan bukan sebuah kepercayaan kepada Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan umumnya selalu menganggap Tuhan itu personal, sedangkan spiritualisme dapat menganggap Tuhan
itu
impersonal.
Dengan
demikian,
agama
dalam dimensi esoteris atau
transendensinya semakin diperlukan dalam dunia modern atau kontemporer, karena agama memberi makna yang lebih besar (Tuhan itu Maha Besar) selain itu juga mempunyai fungsi terapitik (Tuhan itu Maha Penyembuh).56
53
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa, hlm. 252. Ibid., hlm. 253. 55 Ibid., hlm. 197. 56 Ibid., hlm. 198. 54
Di samping itu, menurut pengamatan Kuntowijoyo, dimensi esoteris dalam agama Islam harus memberikan kontribusi bagi masyarakat kontemporer, tampaknya juga disebabkan
telah
terjadinya
sekularisasi
subjektif
dan
Sekularisasi subjektif terjadi ketika orang merasa tidak pengalaman
keagamaan
dengan
pengalaman
sehari-hari,
sekularisasi
objektif.57
ada hubungan antara ada
pemisahan
antara
pengalaman hidup individual dengan pengalaman keagamaan. Sedangkan sekularisasi objektif terjadi bila dalam kenyataan sehari-hari agama sudah dipisahkan dari gejala lain, seperti dari ekonomi, politik, dan lembaga-lembaga institusional,
ada pemisahan dalam pengalaman hidup sosial masyarakat dengan
pengalaman keagamaan.58 Meskipun Kuntowijoyo mengakui bahwa tidak semua umat Islam terkena sekularisasi subjektif dan objektif, salah satu problem yang dihadapi oleh agama islam adalah dua masalah tersebut. Dalam hal ini, agama Islam dengan dimensi spiritualitas atau transendensinya mesti memainkan perannya. Secara individual, transendensi tersebut bisa diperankan oleh tasawuf, sedangkan secara sosial transendensi tersebut harus disosialisasikan secara profesional, sebagai terapi sosial-struktural yang berdimnasi jangka panjang. Dalam tataran struktural kebangsaan dan pemerintahan, siapa pun tetap harus memiliki kesadaran
transendental,
kesadaran
bahwa
ada
otoritas
Tuhan
yang
bersifat
transenden.59 Sebab bagi Kuntowijoyo dengan mengutip pandangan Erich Fromm, siapa yang tidak menerima otoritas Tuhan akan terjebak dalam tiga hal negativitas, yaitu (1) relativisme total di mana nilai-nilai sepenuhnya menjadi urusan pribadi; (2) nilai tergantung kepada masyarakat sehingga yang pasti nilai-nilai dari golongan yang dominan yang akan menguasai; dan (3) nilai tergantung kepada kondisi biologis, sehingga Darwinisme sosial, egotisme, kompetisi, dan agresivitas akan dianggap sebagai kebajikan.60 Jadi agama dengan dimensi transendensinya yang meniupkan nilainilai dan makna kehidupan manusia yang bersifat sublim tetap akan berperan dalam dunia kontemporer.
57
Kedua istilah tersebut diadopsi oleh Kuntowijoyo dari Peter Berger. Lihat dalam Peter L. Berger, The Sacred Canopy (New York: Anchor Books, 1990), hlm. 127. 58 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hlm. 3, 174-175. 59 Kuntowijoyo, Islam Sebagai, hlm. 113. 60 Untuk lebih detailnya uraian mengenai tiga hal tersebutLihat juga dalam Erich Fromm, Revolusi Harapan, terj. Kamdani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 86-87.
D. Konklusi Demikianlah,
dari paparan
di atas
terllihat
bahwa
Kuntowijoyo
dalam
memformulasikan ilmu sosial profetik berpijak kepada doktrin fundamental Islam yaitu Al-Quran. Al-Quran dijadikan sebagai paradigma untuk meneropong realitas, baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah. Supaya Islam benar-benar bisa membumi dan menjawab berbagai problematika kehidupan dewasa ini yang semakin kompleks, Islam harus dirumuskan ke dalam ilmu, menjadi “pengilmuan Islam”, yakni ilmu sosial profetik. Dengan kata lain, gerakan intelektual Islam harus melangkah dari teks ke konteks. Pada titik inilah, Kunto tidak terperangkap dalam apologi agama, ideologi, atau sistem kepercayaan belaka. Dalam sikap apologis, yang dikedapankan hanyalah mengumandangkan bahwa agama, ideologi, dan sistem kepercayaan diri sebenarnya sudah mencukupi dan paripurna sehingga tidak perlu mengadopsi puspa ragam pendekatan lain dari luar, namun tanpa menguraikan pijakan epistemologinya. Kunto terbebas dari perspektif dangkal tersebut. Sebab ia mampu menguraikan konstruksi dasar espitemologis setiap manusia dalam menatap realitas yang pasti diwarnai oleh sebuah bangunan ideologi, konsep, kepercayaan, dan budaya tertentu. Sehingga kaum Muslim sudah saatnya menjadikan Islam sebagai ilmu, yakni ilmu sosial profetik yang mampu menawarkan solusi-solusi kreatif Islam dalam bingkai objektif fungsional bagi semua lapisan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Moeslim. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. _________. Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga, 2003. _________. Islam Yang Memihak. Yogyakarta: Lkis, 2005. Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Penerbit Pustaka, 2003. Anwar, Syafi'I. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995. Berger, Peter L. The Sacred Canopy. New York: Anchor Books, 1990. Fromm, Erich. Revolusi Harapan. Terj. Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Glock, C.Y. Religious Education. New York: Religious Research Association, 1962. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997. _________. Paradigma Islam. Bandung: Mizan, 1998. _________. Dinamika Sejarah Umat Islam di indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. _________. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. _________. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 2001. _________. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001. _________. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta: Teraju, 2004. _________. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan, 2002. Nasr, Seyyed Hossein. Islam and The Plight of Modern Man. London: Longman, 1975. _________. The Garden of Truth. Bandung: Mizan, 2010. Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis. Jakarta: SriGunting, 2004.