BIOGRAFI DAN KARYA IBNU MISKAWAIH
IBNU MISKAWAIH
A. BIOGRAFI DAN KARYA IBNU MISKAWAIH Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis. Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam,
tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak. Ibnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
B. FILSAFATNYA Ibnu
Miskawaih
menggunakan
metode
eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan
berbagai
pemikiran-pemikiran
sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidangbidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawaih hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain. 1. Metafisika Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak
ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada
yang
lain
sedangkan
yang
lain
membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Tentang penciptaan yang banyak (alam) oleh yang satu (Tuhan), Ibnu Miskawaih menganut paham emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya AlFarabi. Tetapi dalam perumusannya terdapat perbedaan
dengan
Al-Farabi,
yaitu
bahwa
menurut Ibnu Miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Dalam teori Al-Farabi akal aktif ini menempati tahap pemancaran ke sepuluh (akal 10). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan
yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini. Diambilnya teori emanasi ini dimaksudkan untuk mensucikan ke-esaan Tuhan dari sifat banyak. Ibnu Miskawaih mengatakan, bilamana satu penyebab berlainan,
melahirkan maka
sejumlah
efek
kemajemukannya
yang kiranya
tergantung pada alasan-alasan di bawah ini: a. Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan. b. Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek. c. Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi. Tak satu pun pernyataan di atas berlaku untuk penyebab utama, yaitu Tuhan. Tuhan tidak mungkin dalam zatnya mempunyai bermacammacam kekuatan yang berlainan. Jika Tuhan menggunakan berbagai sarana, seperti manusia menciptakan kursi dengan berbagai sarana seperti kayu, paku, gergaji, dan sebagainya, maka
siapakah yang menciptakan sarana-sarana itu? Jika sarana-sarana itu diciptakan oleh penyebab yang selain Tuhan, berarti ada pluralitas penyebab utama. Pernyataan ketiga pun tidak mungkin bagi Tuhan, karena yang banyak tidak dapat mengalir dari tindak satu agen penyebab. Karena itu pastilah
bahwa
penyebab
utama
hanya
menciptakan satu entitas yang darinya kemudian tercipta entitas-entitas yang lain. Entitas itulah yang disebut akal aktif. Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi makhluk hidup yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas empat tahapan: a. Evolusi mineral; yaitu bentuk kehidupan yang dihuni makhluk-makhluk rendah. Misal batu, air, tanah. b. Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah
rerumputan
spontan,
kemudian
tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan
tumbuhan
maupun
hewan,
namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena. c. Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera. d. Evolusi
manusia;
ditandai
oleh
adanya
inteligensi dan daya pemahaman.
2. Kenabian Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda dengan filsuf dalam hal bahwa keduaduanya memperoleh kebenaran yang sama. Hanya cara
memperolehnya
yang
berbeda;
Nabi
memperoleh kebenaran melalui wahyu, jadi dari atas (akal aktif) ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-
hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber kebenarannya sama-sama akal aktif.
3. Jiwa Jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah substansi ruhani yang kekal, tidak hancur dengan kematian jasad. Kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa. Jiwa bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang bersifat materi. Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad Ibnu Miskawaih mengemukakan argumenargumen sebagai berikut: a. Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan yang kuat selama beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi rangsangan yang lebih lemah, sedangkan aksi mental dan kognisi tidak. b. kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c. mempersepsi merugikan berkembang
rangsangan indera, dan
tetapi menjadi
yang
kuat
intelek
bisa
kuat
dengan
mengetahui ide dan paham-paham umum. d. kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental. e. jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi. f. ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan
inderawi,
dan
menyatukan pengetahuan. Jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Tiga daya itu masing-masing melahirkan sifat kebajikan. Yaitu hikmah,
keberanian,
dan
kesederhanaan.
Keselarasan ketiga kebajikan tersebut akan menghasilkan kebajikan keempat, yaitu adil. Hikmah ada tujuh macam; tajam dalam berpikir, cekatan
berpikir,
jelas
dalam
pemahaman,
kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Keberanian ada sebelas sifat; murah hati, sabar, mulia, teguh, tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, dan belas kasih. Kesederhanaan ada dua belas; malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka. 4. Moral/Etika Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak disorot dikarenakan langkanya filsuf Islam yang membahas bidang ini. Secara praktek etika sebenarnya sudah berkembang di dunia Islam, terutama karena Islam sendiri sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ibnu Miskawaih mencoba menaikkan taraf kajian etika dari praktis ke teoritis-filosofis, namun dia tidak sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong
untuk
berbuat
tanpa
berpikir
dan
pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan
pentingnya
pendidikan
untuk
membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia. Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah),
dan
keutamaan
(al-fadhilah).
Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah
kebaikan
bagi
seluruh
manusia
dalam
kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh seluruh
manusia.
Kebaikan
khusus
adalah
kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang. Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang
pertama
mengatakan
diwakili
bahwa
oleh
hanya
Plato
yang
jiwalah
yang
mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua
dipelopori
oleh
Aristoteles,
yang
mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Ibnu kedua
Miskawah
mencoba
pandangan
yang
mengompromikan berlawanan
itu.
Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan
meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat malaikat. Tentang keutamaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih
memandang
sikap
uzlah
(memencilkan diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat.
5. Sejarah Sejarah merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi masyarakat pada masa tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang pasang-surut kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan datang. Demikianlah sekadar pengantar kepada pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih.
Ibnu Miskawaih, Bapak Etika Islam Guru ketiga setelah al-Farabi. Gelar itu ditabalkan kepada Ibnu Miskawaih, seorang ilmuwan agung kelahirkan Ray, Persia (sekarang Iran) sekitar tahun 320 H/932 M. Ia merupakan seorang ilmuwan hebat, bahkan ia juga dikenal sebagai seorang filsuf, penyair, dan sejarawan yang sangat terkenal. Ia terlahir pada era kejayaan Kekhalifahan Abbasiyyah. Ibnu Maskawaih adalah seorang keturunan Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia beragama Majuzi dan pindah ke dalam Islam. Ibnu Maskawaih berbeda dengan al-Kindi dan al-Farabi yang lebih menekankan pada aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada tataran filsafat etika seperti al-Ghazali. Sejarah dan filsafat merupakan dua bidang yang sangat disenanginya. Sejak masih muda, ia dengan tekun mempelajari sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi
pustakawan Ibnu al-‘Abid, tempat dia menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Tak hanya itu, Ibnu Miskawaih juga merupakan seorang yang aktif dalam dunia politik di era kekuasaan Dinasti Buwaih, di Baghdad. Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaih sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Dia mengkombinasikan karier politik dengan peraturan filsafat yang penting. Tak hanya di kantor Buwaiah di Baghdad, ia juga mengabdi di Isfahan dan Rayy. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis. Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak. Semasa hidupnya, ia merupakan anggota kelompok intelektual terkenal seperti al-Tawhidi and al-Sijistani.
Sayangnya ia harus menghembuskan nafas terakhirnya di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Menurut Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal dalam karyanya bertajuk The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and Polity, menjelaskan bahwa Ibnu Miskawaih merupakan orang pertama yang memaparkan secara jelas ide tentang evolusi. Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawaih merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia.
Neoplatonism Ibnu Miskawah memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral, seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis. Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
Ibnu Miskawaih menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya diinformasikan
tampaknya oleh
versi
secara
umum
Neoplatonism.
telah Dia
menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah. Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam. Ibnu Miskawaih menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh Tuhan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak).
Pancaran
yang
terus-menerus
dari
Tuhan
dapat
memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materimateri baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini. Kitab Taharat al-A'raq merupakan karya yang paling tinggi dan menunjukkan fakta-fakta kompleksitas yang konseptual sekali. Dalam karyanya itu, ia menetapkan untuk menunjukkan bagaimana kita dapat mungkin memperoleh watak yang baik untuk melakukan tindakan yang benar dan terorganisir serta sistematis. Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa adalah abadi dan substansi bebas yang mengendalikan tubuh. Itu intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah. Kebahagiaan kami timbul melalui gerakan keatas, kemalangan kami melalui gerakan dalam arah berlawanan.
Pembahasan Ibnu Miskawaih tentang kebaikan dengan menggabungkan ide Aristoteles dengan Platonic. Menurut dia, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah.
Bapak Etika Islam Ibnu Miskawaih dikenal sebagai Islam.
bapak Ia
telah
etika telah
merumuskan dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa yang
mengajak perbuatan
seseorang tanpa
untuk
difikirkan
melakukan dan
perbuatan-
diperhitungkan
sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik. Kata dia, ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Ibnu Maskawaih memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anakanak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal. Menurut dia, jiwa anak-anak itu menghilangkan jiwa binatang
tersebut
kemanusiaannnya.
dan
''Jiwa
memunculkan
manusia
pada
jiwa
anak-anak
mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial,'' ungkap Ibnu Miskawaih.
Sementara nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani dan rohani. Ia pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah, mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang tua, serta sikap positif lainnya. Ibnu
Maskawaih
(kebaikan),
dan
membedakan as-sa’adah
antara
(kebahagiaan).
al-Khair Beliau
mengambil alih konsep kebaikan mutlak dari Aristoteles, yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati.
Menurutnya
kebahagiaan
tertinggi
adalah
kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek; aspek teoritis yang bersumber pada selalu berfikir pada hakekat wujud dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang melahirkan perbuatan baik. Dalam menempuh perjalananannya meraih kebahagiaan tertinggi tersebut manusia hendaklah selalu berpegangan pada nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan mereka. Ia berpendapat jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, yakni nafsu kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa
yang cerdas. ''Setiap manusia memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung kepada kebajikan, adapun mereka yang yang bukan berasal dari keduanya maka golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung dengan pola pendidikan, pengajaran dan pergaulan.''
.
Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih 1. Riwayat Hidup Ibn Miskawaih Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci,
cuma
sebagian
antara
lain
terkenal
memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn alAkhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib. Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama
Ibn
Miskawaih
adalah
bendaharawan,
sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan
ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib alAkhlak), diantara karyanya adalah: a) al-Fauz al-Akbar b) Al-Fauz al-Asghar c) Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M) d) Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara). e) Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik) f) al-Musthafa (syair-syair pillihan). g) Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak) h) al-jami’ i) al-Syiar (tentang aturan hidup) j) Tentang
pengobatan
kedokteran)
sederhana
(mengenai
k) Tentang
komposisi
Bajat
(mengenai
seni
memasak) l) Kitab al-Asyribah (mengenai minuman). m) Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq) n) Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a) o) Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu’ah tersebut diatas dalam raghib majmu’ah di Istanbul) p) al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)). q) Risalah fi Jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137)). r) Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667). Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah
pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70). Mengenai
urutan
karya-karyanya
kita
hanya
mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz alAkbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib alakhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah. 2. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih Pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk kedua ini dapat dikemukakan sebagai berikut: A. Dasar Pemikiran Ibnu Miskawaih. a) konsep manusia Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki
macam-macam
daya.
Menurut
dalam diri manusia ada tiga daya yaitu:
Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
Daya
berani
(an-nafs
as-sabu’iyyat)
sebagai daya pertengahan.
Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan
berfikir
manusia
itu
dapat
menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
Al-Nafs al-Sabu’iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyat) dan berani (al-Nafs as-sabu’iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-nafs annathiqat) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua annafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs annathiqat tidak akan mengalami kehancuran. Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyat/as-syahwiyyat (bernafsu) dan jiwa as-sabu’iyyat/al-ghadabiyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. b) konsep akhlak Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep
akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Ibn
Miskawaih
secara
umum
memberi
pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (alGhadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian
yang
diperhitungkan
dengan
masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah
dari
jiwa
pemikiran
adalah
kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan poko atau induk akhlak yang mulia. Akhlakakhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih
sayang,
hemat,
dan
sebagainya
merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur’an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros
tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya
tanpa
keutamaan akhlak.
menghilangkan
pokok
B. Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak,
maka
konsep
pendidikan
yang
dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut: a) Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai
baik
sehingga
mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati. b) Fungsi Pendidikan
Memanusiakan manusia
Sosialisasi individu manusia
Menanamkan rasa malu
c) Materi Pendidikan Ahlak Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang
dapat
dipahami
sebagai
materi
pendidikan akhlaknya yaitu:
Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
Hal-hal yang wajib bagi jiwa
Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa’i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan
Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf.
Karena
itu
Ibn
Miskawaih
memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah:
Matematika
Logika dan
Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa
berbagai
ilmu
pendidikan
yang
diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan
seharusnya
tidak
diajarkan
semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya. d) Pendidikan dan anak didik Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik
terhadap
gurunya
menurut
Ibn
Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya
maka
Ibn
Miskawaih
mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang
guru
menurut
Ibn
Miskawaih
dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
e) Lingkungan pendidikan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling
melengkapi
dan
Ibnu
Miskawaih
juga
berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.
Selanjutnya
Ibn
Miskawaih
berpendapat
bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain
dengan melaksanakan kewajiban syari’at. Shalat berjama’ah menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya.
Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih
secara
eksplisit
tidak
membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
f) Metodologi Pendidikan Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan.
Maka
usaha-usaha
untuk
mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguhsungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-’adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua,
dengan
menjadikan
semua
pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai
cermin
bagi
dirinya.
Adapun
pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum
akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya
juga
sedikit
banyak
memiliki
kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau
kembali
semua
perbuatannya
sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.
Kesimpulan Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah. Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Konsep manusia adalah daya bernafsu (an-nafs albahimmiyyat) sebagai daya terendah, daya berani (annafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, daya berpikir (an-nafs an-nathiqat) sebagai daya tertinggi. Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan ahklak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:
Tujuan pendidikan akhlak
Materi pendidikan akhlak
Pendidikan dan anak didik
Lingkungan pendidikan
Metodologi pendidikan
Referensi: Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999. Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta: Serambi, 2001. DIarsipkan di bawah: Filsafat | Tagged: al-Farabi, Aristoteles,
etika,
Filsafat,
filsafat
Islam,
Ibnu
Miskawayh, Ikhwan al-Shafa, moral, plato, plotinus, sejarah « Imaji dalam Puisi Menimbang Novel Filsafat »2 Tanggapan kusmardiyanto, di/pada Nopember 29th, 2008 pada 9:55 pm Dikatakan: seorang Nabi tidak berbeda dengan seorang filosof? … apa nggak salah tuh?… mengingat Nabi itu orang yang menerima wahyu dari Alloh dan pandangan hidupnya didasarkan atas wahyu Alloh yang ia terima… adapun pengetahuan Alloh itu meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang ghoib, masa lalu, masa sekarang, dan
masa depan… Alloh yang menentukan mana al-haq dan mana al-bathil dan yang paling tahu mana yang mambawa maslahat/manfaat
dan
mudhorot/mafsadat
untuk
mana
yang
manusia
di
mambawa dunia
dan
diakherat.Adapun filosof pengetahuannya sangat terbatas, parsial, sebatas pengalaman hidupnya dan pandangan hidupnya didasarkan atas capaian-capaian akal dari hasil olah pikir dia di dalam menyikapi pengalaman hidupnya… ia tidak tahu mana al-haq dan mana al-bathil karena ini hanya Alloh yang tahu… yang ia lakukan itu adalah sebatas megeneralisasi karena ia tidak tahu seluruh yang nampak lebih-lebih yang ghoib…ia mungkin hanya tahu apa yang bermanfaat di dunia saja… lagi pula banyak perselisihan hebat diantara para filosof itu sendiri… Jadi bagaimana bisa seorang Nabi disamakan dengan seorang filosof?…seorang Nabi bukan filosof karena dasar dari pandangan hidupnya adalah wahyu Alloh, bukan buah pikirannya sendiri… maka akan banyak membawa manfaat bagi manusia jika ia berpedoman kepada wahyu Alloh, al-qur’an, dan dengan ikhlas karena Alloh semata mempraktekan semampunya dalam kehidupan sehari-hari karena al-qur’an (termasuk di dalamnya as-sunnah)telah
mencukupi kebutuhan manusia untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Saya kuatir kalau orang menjauhkan diri dari petunjuk Alloh, al-qur’an, dan cenderung kepada filsafat dan kagum kepadanya akan tersesat. Maka saya tinggalkan filsafat dan para filosof siapapun dia muslim atau non muslim.