KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh: Robiatul Adawiyah NIM: 1112011000064
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
ABSTRAK Robiatul Adawiyah: Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2016. Akhlak merupakan suatu keadaan di dalam jiwa seseorang, yang menjadi sumber perbuatannya, yang bersifat alternatif (baik atau buruk) sesuai dengan pengaruh pendidikan yang diberikan kepadanya. Apabila jiwa ini dididik untuk mengutamakan kemuliaan dan kebenaran, maka dengan mudah akan lahir darinya perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak sulit baginya untuk melakukan akhlak baik (akhlakul karimah). Sebaliknya, apabila jiwa itu ditelantarkan, tidak dididik dengan semestinya sehingga ia mencintai keburukan dan membenci kebaikan, maka akan muncul darinya perkataan-perkataan yang hina dan cacat, yang disebut dengan akhlak buruk (akhlakul madzmumah). Oleh karena itu, Islam menekankan akhlak baik dan mengajarkan orang muslim untuk senantiasa membina akhlak serta menanamkannya di dalam jiwa mereka. Penilitian dalam skripsi ini, mengacu pada konsep yang dipaparkan oleh Ibnu Miskawaih dalam kitab “Tahdzibul Akhlak”. Dengan mengambil judul Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: Untuk mengetahui konsep pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dalam rangka mempertahankan martabat manusia serta dalam rangka menanamkan akhlak baik bagi peserta didik di sekolah. Jenis penelitian skripsi ini yaitu Penelitian Pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Dengan metode deskriptif kontent analysis yaitu metode dengan menganalisis isi dan mendeskripsikannya dari objek yang diteliti melalui sumber-sumber yang terkait dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah: Ibnu Miskawaih memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mempertahankan martabat dan mencapai kesempurnaan akhlak. Beliau menegaskan bahwa setiap keutamaan memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem bersifat tercela. Seperti tidak boleh berpikir salah dan tidak boleh berlebihan tetapi harus bijaksana. Tidak boleh jadi pengecut, dan tidak boleh pula sembrono, jalan tengahnya adalah berani. Tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros. Jalan tengahnya adalah sederhana. Tidak boleh dzalim dan didzalimi, jalan tengahnya adalah adil. Dan Ibnu Miskawaih memberikan kedudukan yang istimewa kepada guru, guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Ibnu Miskawaih mempunyai maksud agar setiap guru/pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya. Tidak hanya mengajarkan atau menyampaikan materi mata pelajaran yang diampunya saja akan tetapi juga harus mensisipi nilai etika dalam pelajaran yang diajarkan. i
ABSTRACT Robiatul Adawiyah: Concept of Moral Education Ibn Miskawayh, Department of Islamic Religious Education, Faculty of MT and Teaching (FITK), State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, December 2016. Virtue is a state of one's soul, which is the source of his actions, alternative character (good or bad) in accordance with the influence of education given to him. If the soul is trained to give priority to the glory and truth, it is easy to be born to her good deeds and not difficult for him to do good morals (akhlakul karimah). Conversely, if the soul is neglected, not educated properly so he loves to hate evil and goodness, it will emerge from it are the words which vile and deformed, the so-called bad morals (akhlakul madzmumah). Therefore, Islam emphasizes good character and teaches Muslims to always build character and incorporate them in their souls. The studies in this paper, refers to the concept presented by Ibn Miskawayh in the book "Tahdzibul Morals". By taking the title Moral Education Concept Ibn Miskawayh. The purpose of this study is: To know the concept of Ibn Miskawayh Moral education in order to maintain human dignity and in order to instill good character for students in the school. This type of research this thesis is Research Library (library research) using descriptive qualitative approach. Research that describe the properties or characteristics of the individual, the state, symptom, or a particular group. With contains descriptive analysis method is a method to analyze and describe the contents of the object under study through sources involved in this study. The results of this study are: Ibn Miskawayh give a "sense of middle / middle way" that must be taken by each individual in order to maintain the dignity and achieve moral perfection. He asserted that every virtue has two extreme sides. Its center is commendable and the extreme nature reprehensible. As should not be thought wrong and should not be excessive but need to be wise. There should not be a coward, and should not be too reckless, the middle road is bold. There should not be a miser, but also not to be wasteful. Middle road is simple. Not to be dzalim and didzalimi, the middle road is fair. And Ibn Miskawayh give a special position to the teacher, the teacher is considered more psychological role in educating his students in order to achieve true happiness. Ibn Miskawayh have the intention that every teacher / educator, in any material science fosterage should be directed to the creation of a noble character for himself and his students. Not only teach or deliver material diampunya subjects alone but also must mensisipi ethical value in the lessons taught.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh Alhamdulillahirobbil „alamiin, segala puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat serta nikmat-Nya kepada seluruh hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, junjungan dan sang pemberi tauladan yang telah membawa cahaya bagi kehidupan bagi ummatnya beserta kepada keluarganya, para sahabat dan para tabi‟ tabi‟in. Skripsi ini bertemakan “KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, baik dalam isi penyusunan, maupun penulisannya. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta kemampuan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik untuk menuju perbaikan sangat penulis harapkan. Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan dan kesulitan tentu penulis hadapi, namun berkat rahmat, taufik serta hiadayah Allah. Serta berbagai dorongan, saran dan bimbingan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, diantaranya: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Marhamah saleh, Lc, MA Selaku Wakil Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. Ghufron Ihsan, MA selaku Dosen penasehat akademik, atas masukan dan motivasinya yang telah diberikan kepada penulis. iii
4. Dr. Zaimuddin, MA selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa sabar membimbing dalam penyusunan skripsi ini. 5. Seluruh dosen dan karyawan akademik FITK khususnya jurusan PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan membekali ilmu pengetahuan selama 4 tahun ini. 6. Seluruh Staf Perpustakaan Umum (PU) dan Perpustakaan Tarbiyah (PT) serta Perpustakaan-perpustakaan lainnya yang didalam maupun luar UIN atas semua bantuan untuk penulis dalam melengkapi referensi. 7. Kedua orang tua tercinta, bapak Ahmad Ghozali Hakim, S.Pd.I dan ibu Siti Ulya yang telah tulus memberikan segalanya kepada penulis, baik moril maupun materil, semoga Allah selalu limpahkan kasih sayang serta rahmatNya kepada mereka berdua, agar senantiasa mereka hidup dalam kebahagiaan. 8. Kepada keluarga, adik kaka tercinta, Nahari Mubarok, S.Pd.I, Luthfi Baihaqi, Lia Farhah Rizkiyah, dan Nailah Hana Nabilah, yang selalu menjadi penyemangat dikala gundah. 9. Teman-teman tercinta, Anida Nurhanifah, Mufidatul Ummah, Liesda Aviva Shine, Nurul Azmi, Annisa Nuraeni, Mei Annisa, ciwi-ciwi kosan sholehah juga (Nur Aliyah, Mawaddah Ummah, Futuha Aripin) serta Cagur Sholehah yang sedikit banyak sudah membantu, menyemangati, dan menjadi tempat sharing dikala penulis berada dalam kebingungan maupun kesusahan. 10. Rekan-rekan seperjuangan di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2012 khususnya rekan PAI B yang tidak dapat disebutkan nama nya satu persatu, terimakasih atas 4 tahun berlalu dengan kalian, sungguh luar biasa. Semoga kekeluargaan serta persaudaraan kita semua tetap erat terjalin hingga nanti. 11. Buat Iteung, dan Lepi yang senantiasa setia menemani dimanapun, kapanpun dan kemanapun. Semoga kalian sehat-sehat selalu dan selalu bisa nemenin. 12. Yang terakhir, ucapan terimakasih untuk kamu, iya kamu! Seseorang yang senantiasa dihati, gak perlu ditulis nama kamu di halaman ini, bairin nama kamu dihati aku aja. Terimakasih karena senantiasa ada.
iv
Tidak ada yang dapat membalas kebaikan kalian semua, hanya seuntai doa dari lubuk hati yang dapat penulis sampaikan “ Jazakumullah Khairon Katsiron wa Barokallah fi hayatikum wa Salamatu fi Hayatikum”. Semoga Allah Ta‟ala membalas kebaikan kalian semua dengan kebaikan yang lebih baik di dunia ini dan kelak di akhirat nanti. Aamiin ya Rabbal „Alamiin. Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh.
Jakarta, 5 Desember 2016 Penulis
Robiatul Adawiyah
v
MOTTO
Kesabaran itu ada dua macam: Sabar atas sesuatu yang tidak kau ingin, Dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau ingini
- Ali Bin Abi Thalib -
vi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERNYATAAN JURUSAN LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ABSTRAK .......................................................................................................... i ABTRACK ......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................iii MOTTO ............................................................................................................ vi DAFTAR ISI .................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah.............................................................................. 6 C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 7 D. Rumusan Masalah ................................................................................. 7 E. Tujuan Penelitian .................................................................................. 7 F. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8 BAB II KAJIAN TEORETIK .......................................................................... 9 A. Acuan Teori ........................................................................................... 9 1. Pengertian Pendidikan Akhlak ...................................................... 9 2. Dasar Pendidikan Akhlak ............................................................ 15 3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ........................................... 16 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak.............................. 20
vii
5. Tujuan Pendidikan Akhlak .......................................................... 22 B. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................ 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 27 A. Objek dan Waktu Penelitian .............................................................. 27 B. Metode Penelitian ................................................................................ 27 C. Fokus Penelitian .................................................................................. 27 D. Prosedur Penelitian ............................................................................. 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 30 A. Deskripsi Data ..................................................................................... 30 1. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih ........................................... 30 2. Riwayat Pendidikan ................................................................ 33 3. Karya-karyanya ...................................................................... 35 B. Pembahasan ......................................................................................... 36 1. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Akhlak .............. 36 2. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak ............................................................................................ 46 a. Pengertian Pendidikan Akhlak .............................................. 46 b. Dasar Pendidikan Akhlak ...................................................... 49 c. Tujuan Pendidikan Akhlak .................................................... 51 d. Materi Pendidikan Akhlak ..................................................... 52 3. Komponen-Komponen Pendidikan Akhlak ............................... 58 1. Metode Pendidikan Akhlak.................................................... 58 2. Asas-Asas Pendidikan Akhlak ............................................... 64 3. Pendidik dan Peserta Didik .................................................... 65 4. Lingkungan Pendidikan ......................................................... 69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 72 viii
A. Kesimpulan .......................................................................................... 72 B. Saran..................................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 75
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan
pada
hakikatnya
merupakan
suatu
upaya
mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia
dalam
menjalani
kehidupan,
dan
sekaligus
untuk
memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Al-Ghazali merumuskan bahwa pendidikan adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dari pengertian pendidikan diatas maka jelas bahwa pendidikan dijadikan sarana untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif pada akhlak manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan bahwa maju mundunya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Tetapi realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati dengan banyaknya perilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat, sebagai contoh merebaknya penggunaan narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, pelecehan seksual dan sebagainya. Semua itu terjadi karena krisisnya pendidikan akhlak yang terjadi di Negara ini. Akhlak sendiri adalah merupakan suatu keadaan di dalam jiwa seseorang, yang menjadi sumber perbuatannya, yang bersifat alternatif (baik atau buruk) sesuai dengan pengaruh pendidikan yang diberikan kepadanya. Apabila jiwa ini dididik untuk mengutamakan kemuliaan
1
2
dan kebenaran, dilatih untuk mencintai kebajikan dan menyukai kebaikan maka dengan mudah akan lahir darinya perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak sulit baginya untuk melakukan akhlak baik (akhlakul karimah). Sebaliknya, apabila jiwa itu ditelantarkan, tidak dididik dengan semestinya sehingga ia mencintai keburukan dan membenci kebaikan, maka akan muncul darinya perkataan-perkataan yang hina dan cacat, yang disebut dengan akhlak buruk (akhlakul madzmumah). Oleh karena itu, Islam menekankan akhlak baik dan mengajarkan orang muslim untuk senantiasa membina akhlak serta menanamkannya di dalam jiwa mereka. Akhlak yang baik merupakan sifat Nabi Muhammad SAW dan merupakan amal para siddiqin yang paling utama, ia merupakan separuh dari agama dan merupakan buah dari kesungguhan orang yang bertaqwa dan latihan dari orang yang ahli ibadah.1 Namun problematika saat ini banyak terjadi tindakan-tindakan asusila yang dilakukan oleh manusia. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya teknologi dan berubahnya gaya hidup. Contohnya saja internet sebagai jaringan yang bergerak di dunia maya yang sudah menjalar dan menjamur dikalangan orang dewasa, anak remaja bahkan anak kecilpun saat ini sudah banyak yang menggunkan internet. Banyak terdapat di dalamnya hal-hal yang tidak sesuai dengan etika, banyak beredar gambar-gambar atau tulisan yang berbau pornografi di jejaring sosial. Tak hanya sebatas untaian kata, media tersebut seringkali dihiasi dengan gambar-gambar wanita jalang, tanpa busana, menonjolkan aurat, yang sering membangkitkan gairah bagi siapa saja yang melihat dan membacanya.2 Pergaulan yang tiada batas bahkan
1
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN Malang Press, 2008) cet. I, h. 55 2 Abu Maryam bin Zakaria, 40 Kebiasaan Buruk Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) cet. I, h. 103
3
dengan orang yang tidak dikenal sekalipun yang sangat beresiko sekali untuk terjadinya tindak kejahatan. Tidak hanya soal rusak nya moral anak-anak di bawah umur. Dunia pendidikan pun rasanya sudah memasuki zona minimnya akhlak. Belakangan ini terdapat berita tentang seorang guru yang terancam dihukum penjara karena mencubit anak didik nya yang kebetulan anak dari seorang polisi.3 Padahal sang guru mencubit murid pun pasti karena anak tersebut melakukan kesalahan. Jika zaman dulu seorang murid dihukum
oleh guru maka orang tua akan
mendukungnya, karena orang tua tau anaknyalah yang bersalah. Namun pada saat ini rasa nya dunia sudah semakin minim akan pendidikan agama dan pendidikan akhlak, anak bersalah dibela bahkan dengan teganya sampai memenjarai guru yang sudah mendidiknya. Kekuasaan diletakkan tidak pada tempat nya. Saat ini juga banyak terjadi tindakan-tindakan asusila yang dilakukan anak-anak muda misalnya seperti: berbicara kasar terhadap orang yang lebih tua, membantah perintah orang tua serta berbuat durhaka terhadap orang tua. Padahal dalam Al-Qur‟an sendiri telah jelas tertera bahwa dilarang untuk membantah dan membentak orang tua. Seperti firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 23, yaitu:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َح ُد ُه ََما َ ُّضى َرب َ ََوق َ سانًا إِماا يَ ْب لُغَ ان ع ْن َد َك الْكبَ َر أ َ ك أ اََّل تَ ْعبُ ُدوا إ اَّل إيااهُ َوبال َْوال َديْ ِن إ ْح ٍّ أ َْو كِ ََل ُه ََما فَ ََل تَ ُق ْل ل َُه ََما أ ُف َوََّل تَ ْن َه ْرُه ََما َوقُ ْل ل َُه ََما قَ ْوًَّل َك ِر ًيَما Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya
atau
kedua-duanya
sampai
berumur
lanjut
dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada 3
AhmadFaizal,guru.yang.cubit.murid.dituntut.hukuman.6.bulan.penjara,2016 (http://regional. kompas.com)
4
kepada keduanya perkataan „ah‟ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. 4 Selain itu muda mudi zaman sekarang lebih senang datang ke acara-acara hiburan dibandingkan datang ke acara-acara agama. Para wanita lebih senang bepergian demi mendapatkan pemandangan yang bagus dibandingkan dengan menjaga diri dirumah. Fenomena pantai misal nya, tak lepas dari wanita-wanita yang tidak berbusana, yang bercampur baur dengan kaum lelaki dan anak muda yang sama-sama tidak mengenakan busana, sedang yang lainnya dengan bebasnya mempertontonkan diri mereka dalam jemuran pantai, mereka sangat bangga bila ada desah kagum dan ungkapan-ungkapan ketertarikan terhadap tontonan yang mereka jajakan. Para wanita seakan menganggap, bahwa perintah untuk menundukkan pandangan hanya diperuntukkan untuk kaum laki-laki saja, dan bukan untuk kaum wanita.5 Belum lagi tawuran antar pelajar, tawuran antar supporter olahraga, dan masih banyak lagi hal-hal yang jauh dan di luar dari akhlak terpuji. Pergaulan adalah salah satu faktor
yang mendukung hal
tersebut bisa terjadi, dan juga minimnya pengetahuan akan ilmu agama yang selalu mengajarkan hal-hal yang terpuji, serta kurangnya kesadaran diri untuk berbuat yang lebih bermanfaat sebagai faktor keduanya. Hal-hal semacam inilah yang menjadi problematika penting saat ini yang perlu dicari solusinya. Pendidikan akhlak sejak dini menjadi salah satu solusi awal dari problem tersebut dan tentunya diperlukan kesadaran dari pihak-pihak yang berinteraksi langsung seperti orang tua, guru, dan masyarakat sekitar untuk membantu 4
Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006) h.284 Abu Maryam bin Zakaria, 40 Kebiasaan Buruk Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) cet. I, h. 96 5
5
menciptakan
generasi yang berakhlak mulia dan menciptakan
kedamaian hidup bersama. Pendidikan akhlak seharusnya menjadi yang paling ditekankan oleh para pendidik saat ini, bukan hanya oleh guru agama saja melainkan seluruh instrumen guru juga harus mendukung, dan hal tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan di dalam dan di luar sekolah. Dalam dunia pendidikan saat ini akhlak adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dan harus diterapkan. Akhlak harus dimiliki sekaligus diamalkan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini pada satu sisi dan manusia sebagai hamba Allah pada sisi lain. Sebagai khalifah, manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara, dan memakmurkan alam ini, tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya sebagai hamba Allah, manusia selayaknya berusaha mencapai kedudukan sebagai hamba yang tunduk dan patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah. Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan saat ini manusia dituntut menjalankan akhlak vertikal dengan baik, sekaligus tidak mengabaikan akhlak horizontalnya, baik menyangkut pergaulannya dengan sesama manusia, hewan maupun tumbuhan. Namun masalah pembinaan dan rusaknya akhlak pada masa sekarang dirasa bukanlah masalah baru lagi, tetapi sudah menjadi pembahasan para filosof tempo dulu, seperti kajian plato tentang Negara dan warga Negara yang baik dalam bukunya Republika. Dalam sejarah
pemikiran
Islam,
ditemukan
beberapa
tokoh
yang
menyibukkan diri dalam masalah akhlak, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih dan lain sebagainya. Dari sekian tokoh tersebut, Ibnu Miskawaih adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan wacana akhlak Islami. Sebagai bukti atas
6
kebesarannya, ia telah menulis banyak karya yang mebahas masalah akhlak, diantaranya: Tahdzib al-Akhlak (tentang moralitas), Thaharah al-Hubs (penyucian jiwa), al-fauz al-akbar (kiat memperoleh kebahagiaan
dalam
hidup),
kitab
al-Sa’adah
(buku
tentang
kebahagiaan), dan lain sebagainya.6 Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang akhlak dirasa relevan dan dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki etika pada zaman yang serba modern ini, karena pemikiran Ibnu Miskawaih tentang doktrin jalan tengah yang tidak hanya memiliki nuansa dinamis akan tetapi juga fleksibel. Maka dari itu doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pendidikan akhlak itu sendiri. Maka dari itu, di sini penulis akan membahas tentang pendidikan akhlak menurut tokoh yang sangat terkemuka pada zamannya itu. Selain sebagai pemikir yang produktif, ia juga merupakan ahli bahasa dan sejarawan yang sedikit banyak berpengaruh pada masa itu.
Seorang tokoh filosof pertama yang
menulis tentang teori etika sekaligus menulis buku tentang etika. Ia juga mendapat julukan sebagai “Bapak Etika” karena pemikirannya yang cemerlang tentang akhlak. Ia yakni Ibnu Miskwaih. Berdasarkan inilah penulis tertarik untuk membuat suatu karya ilmiah yang berjudul : “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih”. B. Identifkasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah penelitian sebagai berikut: 1.
Pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Baik dalam aspek bathin, maupun rohani.
6
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2000), h.6
7
2.
Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan akhlak di dalam sekolah
3.
Berubahnya
gaya
hidup
dan
berkembangnya
teknologi,
mengakibatkan pula merosotnya akhlak manusia C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah
tersebut, maka penulis
membatasi masalah yang akan diteliti yaitu hanya pada “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskwaih” yang berkaitan dengan doktrin jalan tengah dan konsep pendidikan di sekolah. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis kemukakan di atas, maka perlu kiranya diberikan rumusan masalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasannya kelak. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dalam mempertahankan martabat manusia ? 2.
Bagaimana konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dalam menanamkan akhlak baik bagi peserta didik di sekolah?
E. Tujuan Penelitian Dikemukakan tujuan utama penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan konsep pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dalam rangka mempertahankan martabat manusia 2. Serta dalam rangka menanamkan akhlak baik bagi peserta didik di sekolah.
8
F. Manfaat Penelitian Dengan
terselesaikannya
penulisan
ini
diharapkan
dapat
menberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Secara Teoritis Setelah menyelesaikan penelitian ini, diharapkan penulis, serta setiap orang yang membacanya. Akan mendapatkan ilmu yang berguna agar menjadi bekal untuk kehidupan di masa depan. 2. Secara Praktis Pembahasan ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah secara teoritis, serta menambah wawasan pendidikan bagi para pembaca khususnya Mahasiswa, Pendidik maupun instansi pendidikan lainnya. Untuk dapat lebih memahami sejarah pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam, sehubungan dengan pendidikan akhlak, yakni dengan cara saling menjaga martabat kemanusiaan antara satu dengan lainnya.
BAB II KAJIAN TEORI A. Acuan Teori 1.
Pengertian Konsep Pendidikan Akhlak Kata Konsep berasal dari bahasa latin conceptum, yang artinya sesuatu yang dipahami. Secara garis besar definisi konsep adalah suatu hal umum yang menjelaskan atau menyusun suatu peristiwa, objek, situasi, ide, atau akal pikiran yang sistematis dengan tujuan untuk memudahkan komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir lebih baik. Pengertian lainnya mengenai konsep ialah sekumpulan gagasan atau ide yang sempurna dan bermakna berupa abstrak, entitas mental dan universal dimana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya sehingga konsep membawa suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama dan membentuk suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan.1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang maupun sekelompok orang dengan tujuan untuk mendewasakan seseorang melalui usaha pengajaran dan pelatihan.2 Pendidikan dilihat dari istilah bahasa Arab mencakup berbagai pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib, ta‟lim, ta‟dib, mawa‟izh dan tadrib. Untuk isitilah tarbiyah, tahzib dan ta‟dib sering dikonotasikan sebagai pendidikan. Ta‟lim diartikan pengajaran, mawa‟izh diartikan pengajaran atau peringatan dan tadrib diartikan pelatihan.
1 2
Laode Syamri, Definisi Konsep Menurut Para Ahli, 2015 (http://laodesyamri.net) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan Nasional, cet. 3, h. 26
9
10
Istilah di atas sering digunakan oleh beberapa ilmuwan sebagaimana Ibn Miskawaih dalam bukunya yang berjudul Tahzibul Akhlak, dan Burhan al-Islam al-Zarnuji memberikan judul salah satu karyanya Ta’lim Muta’alim Tarikh at-Ta’alum.
Perbedaan itu tidak menjadikan
penghalang dan para ahli sendiri tidak mempersoalkan penggunaan istilah di atas. Karena, pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam suatu kesimpulan awal, bahwa “pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman.3 Secara istilah, tarbiyah, ta‟dib dan ta‟lim memiliki perbedaan satu sama lain dari segi penekanan, namun apabila diteliti dari segi unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak. Kata ta‟dib, lebih menekankan pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Sedang pada tarbiyah, difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Sedangkan kata ta‟lim, titik tekannya pada penyampaian ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan pemahaman amanah kepada anak. Dari pemaparan ketiga istilah tersebut, maka terlihat bahwa proses ta‟lim mempunyai cakupan yang lebih luas dan sifatnya lebih umum disbanding dengan proses tarbiyah dan ta‟dib. Definisi pendidikan dikemukakan para ahli dalam rumusan yang beraneka ragam, antara lain sebagai berikut: 1. Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
3
Djunaidatul Munawwaroh, Filsafat Pendidikan (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003) h. 169
11
2. Ahmad D Rimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.4 3. Pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk menyebar luaskan keutamaan, menanamkan
mengangkat nilai
harkat
kemanusiaan.
dan martabat Sehingga
manusia,
dapat
dan
dikatakan,
kemakmuran dan kejayaan masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada sejauh mana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.5 Sedangkan definisi pendidikan menurut para ilmuwan Barat sebagai berikut: Pendidikan menurut Plato ialah mengasuh jasmani dan rohani, agar sampai kepada keindahan dan kesempurnaan yang mungkin dicapai. Menurut Jules Simon pendidikan ialah jalan untuk merobah akal menjadi akal yang lain dan merobah hati menjadi hati yang lain. Menurut James Mill pendidikan ialah menyiapkan seseorang, supaya dapat membahagiakan dirinya khususnya dan orang lain umumnya. Sedangkan menurut Rousseau, Pendidikan ialah memberikan kepada kita perbekalan yang tak ada pada masa kanak-kanak, tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.6 Apabila isitlah pendidikan ini dikaitkan dengan Islam maka para ulama Islam memiliki pandangan yang lebih lengkap sebagaimana pandangan M. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian bahwa: “Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi
4
Heri Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999) h. 2-3 Abidin Ibn Rusn, Pendidikan Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998) h. 55 6 Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) cet. III , h. 6 5
12
masyarakat dengan segala kebaikan, dan kejahatannya, manis dan pahitnya.7 Pendek kata pendidikan telah didefinisikan oleh banyak kalangan sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari, namun pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam suatu kesimpulan awal, bahwa “pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi secara lebih efektif dan efisien. Kata akhlak berasal dari bahasa arab, masdar dari kata khulq, atas timbangan (wazan) tsulasti mazid, af’ala – yuf’ilu – if’alan yang berarti al-sajiyah, al-tabi’ah (kelakuan, watak dasar), al’adat (kebiasaan), almaru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama). Kata akhlak merupakan isim jamid (isim ghair mustaq), tidak memiliki akar kata, jamak dari kata khaliqun atau khuluqun, artinya sama dengan akhlak. Kedua kata ini terdapat dalam Alqur‟an dan sunnah. Dalam bahasa Indonesia berarti budi pekerti dan sopan santun.8 Ada beberapa definisi yang dikemukakan ahli tentang akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M). 9
اعيَةٌ لَهَا ِالَى اَ ْف َعا ِلهَا ِم ْه َغي ِْز ِف ْك ٍز َو ََل ر ُِويَ ٍة ِ س َد ِ حا ُل ِللىَّ ْف
akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Senada dengan definisi akhlak menurut Ibnu Miskawaih, Akhmad Sodiq mengatakan bahwa akhlak merupakan “kondisi jiwa yang mendorong terwujudnya pertimbangan. 7
perilaku tanpa
melalui
pemikiran dan
10
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002) Cet. IV, h. 5 8 Damanhuri, Akhlak Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili, (Jakarta: Lectura Press, 2013) cet. I, h. 28 9 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) h. 3 10 Akhmad Sodiq, Problematika Pengembangan Pembelajaran PAI”, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 3, 2009, h. 38
13
Sedangan menurut Al-Ghazali (1059-1111 M), dalam kitab Ihya Ulum al-din, akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat
memunculkan
perbuatan-perbuatan
dengan
mudah
tanpa
memerlukan pertimbangan pemikiran. Akhlak disini adalah sifat yang sudah tertanam dalam diri dan menjadi adat kebiasaan seseorang, sehingga secara otomatis terekspresi dalam amal perbuatan dan tindakannya. Dalam pengertian hakikinya akhlak itu bukan perbuatan yang lahir atas pertimbangan karena mengingat sesuatu faktor yang timbul dari luar diri, tetapi sebagai refleksi jiwa.11 Sejalan dengan pendapat diatas, Ibrahim Anas mengatakan, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang melahirkan bermacam-macam perbuatan baik atau buruk, tanpa membutuhkan pertimbangan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa akhlak merupakan kehendak dan kebiasaan manusia yang menimbulkan kekuatan-kekuatan besar untuk melakukan sesuatu. Kehendak merupakan keinginan yang ada pada diri manusia setelah dibimbing. Sedangkan pembiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Perbuatan dilakukan atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari luar. Jadi, orang yang baik akhlaknya adalah orang yang tetap kecenderungannya kepada yang baik, dan orang yang buruk akhlaknya adalah orang yang tetap kecenderungannya kepada yang buruk. Dengan demikian, akhlak adalah perbuatan yang disadari oleh si pelaku. Jika seseorang melakukan sesuatu tanpa sadar, dipaksa, atau lupa, maka dia terlepas dari dosa dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Namun demikian, dia tetap diperintahkan untuk meminta ampun kepada Allah SWT atas apa yang dilakukannya sebagaimana anjuran Alqur‟an. Akhlak dimaksudkan adalah perbuatan yang memiliki ciri-ciri : (1) 11
Damanhuri, Akhlak Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili, (Jakarta: Lectura Press, 2013) cet. I, h. 29
14
Sebagai ekspresi sifat dasar seseorang yang konstan dan tetap. (2) sebagai perbuatan yang selalu dibiasakan sehingga ekspresi akhlak dilakukan berulang-ulang, karena dalam pelaksanaannya tanpa disertai pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. (3) apa yang diekspresikan dari akhlak merupakan keyakinan seseorang dalam menempuh suatu keinginan, sehingga dalam perwujudannya tanpa ada keraguan di dalamnya Mencermati pengertian yang ada, bahwa hakikat akhlak memiliki lima ciri, yaitu: (1) perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa yang menjadi bagian kepribadian. (2) perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. (3) perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan. (4) perbuatan dilakukan secara sungguh-sungguh, bukan bersandiwara. (5) perbuatan yang dilakukan secara ikhlas semata-mata karena Allah. Setelah
dijelaskan
secara
terpisah
mengenai
pengertian
pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan Pendidikan Akhlak adalah bimbingan, asuhan dan pertolongan dari orang dewasa, lembaga pendidikan, dan orang tua untuk membawa anak didik ke tingkat kedewasaan yang mampu membiasakan diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat yang tercela. Dan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melakukan akhlak mulia.12 12
Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) h. 63.
15
Dari definisi pendidikan dan akhlak di atas. Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Akhlak adalah suatu upaya atau proses untuk membentuk suatu keadaan jiwa yang terarah pada keadaan yang baik, yakni sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Sehingga yang diharapkan adalah baiknya akhlak para generasi muslim untuk membangun kehidupan bangsa kedepan. Dengan akhlak yang baik, maka akan tercipta interkasi sosial yang baik. Atau dengan kata lain Pendidikan akhlak adalah usaha sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada seorang anak didik, sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah. Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidikan secara terus menerus dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun. 2. Dasar Pendidikan Akhlak Dasar secara bahasa berarti “fundamen, pokok atau pangkal suatu pendapat (ajaran, aturan), atau asas.13 Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar adalah landasan berdirinya sesuatu yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai.14 Adapun yang menjadi dasar akhlak dalam Islam adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam tuntunan Islam telah ditetapkan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber moral atau dasar dalam Islam yang menjelaskan criteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Kedua dasar inilah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan untuk mengatur pola hidup dan menetapkan perbuatan yang baik dan buruk. Akar dari akhlak Islam adalah taqwa. Orang yang taqwa mengetahui sunggguhsungguh bahwa Islam itu sumber dari pada akhlak dan taqwa adalah pusatnya. Al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur‟an sebagai dasar akhlak
13 14
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 318 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994) cet. I, h. 12
16
menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 :
ِ لَ َق ْد َكا َن لَ ُكم ِىف رسوِل .اهلل اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ْن َكا َن يَْر ُج ْوا اهللَ َوالْيَ ْوَم اْال ِخَر َوذَ َكَر اهللَ َكثِْي ًرا ُْ َ ْ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21)15 Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan budi luhur. 3. Ruang lingkup Pendidikan Akhlak Ruang lingkup akhlak adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Berbagai bentuk dan ruang akhlak Islami yang demikian itu dapat dipaparkan sebagai berikut. a. Akhlak terhadap Allah Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai kholik. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, karena Allahlah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari tanah yang kemudian diproses
15
Departemen Agama Republiik Indonerasia, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007) h. 420
17
menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim), setelah ia menjadi segumpal darah, segumpal daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberi roh. Dengan demikian, sebagai yang diciptakan sudah sepantasnya berterima kasih kepada yang telah menciptakan. Kedua, karena Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Ketiga, karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak, dan sebagainya. Keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Namun demikian, sungguhpun Allah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia sebagaimana disebutkan di atas, bukanlah menjadi alas an Allah perlu dihormati. Bagi Allah dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi kemuliaan-Nya. Akan tetapi, sebagaimana manusia sudah sewajarnya menunjukkan sikap akhlak yang pas kepada Allah. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah. Di antaranya dengan tidak menyekutukan-Nya, taqwa kepada-Nya, mencintai-Nya, ridha dan ikhlas kepada semua keputusan-Nya dan bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdoa kepada-Nya, beribadah, meniru sifat-Nya, dan selalu berusaha mencari keridhaan-Nya. Sementara itu, Quraish Shihab mengatakan bahwa titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkaunya. 16 16
Abudin Nata, Akhlak Tsawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014) cet. XIV, h. 128
18
Akhlak terhadap Allah ini bertujuan untuk membina hubungan yang lebih dekat kepada Allah SWT, sehingga Allah dirasakan selalu hadir dan mengawasi segala bentuk dan tingkah laku perbuatan manusia.17
b. Akhlak terhadap diri sendiri Akhlak terhadap diri sendiri, antara lain adalah dengan cara memenuhi segala kebutuhan dirinya sendiri,menjaga kesucian diri dari segala kemaksiatan, menutup aurat, jujur dalam perkataan, berbuat ikhlas serta rendah hati, malu melakukan perbuatan jahat, menjauhi dengki dan dendam, menjauhi segala perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menghormati, menyayangi dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Meyadari bahwa diri kita adalah ciptaan Allah, maka sebagai hambanya kita harus mengabdi kepada Allah. Dengan mengetahui siapa diri kita, maka kita akan mengetahui Tuhan kita. Di antara cara untuk berakhlak kepada diri sendiri yaitu: 1). Memelihara kesucian diri baik jasmanai maupun rohani 2). Memelihara kepribadian diri 3). Berlaku tenang (tidak terburu-buru) ketenangan dalam sikap termasuk dalam rangkaian akhlaku karimah 4). Menambah pengetahuan yang merupakan kewajiban sebagai manusia. Menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk memperbaiki kehidupam di dunia ini dan untuk bermoral sebagai persiapan kea lam baqa’ 5). Membina disiplin pribadi. Dalam hal ini akhlak terhadap diri sendiri adalah memelihara jasmani dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, memelihara rohani dengan memenuhi keperluan berupa pengetahuan, kebebasan dan sebagainya sesuai dengan tuntunan fitrahnya hingga menjadi manusia yang sesungguhnya. 18
17
Sururin, Asep Usmar Ismail,Wiwi Sajarah, Tasawuf, (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005) h.
18
Asmaran, pengantar Study Akhlak (Jakarta: Rajawali, 2000) h. 169
26
19
c. Akhlak terhadap manusia Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur‟an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia, meliputi: 1). Akhlak terhadap Rasulullah, antara lain dengan mencintai Rasulullah secara tulus dan mengikuti sunnahnya, menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan dalam hidup dan kehidupan, menjalankan perintahnya dan menjauhkan larangannya. Termasuk diantaranya adalah berbuat baik terhadap perempuan, sebagaimana sabda Nabi : “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” 2). Akhlak terhadap orang tua, antara lain: mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya, merendahkan diri kepada keduanya diiringi dengan perasaan kasih saying, mempergunakan kata-kata yang lemah lembut ketika berbicara dengan keduanya, tidak menyinggung perasaan dan menyakiti hatinya, membuat ibu bapak ridho terhadap kita, mendoakan keselamatan dan ampunan bagi mereka kendatipun seorang atau keduanya telah meninggal dunia. 3). Akhlak terhadap tetangga, antara lain: saling menghormati, mengunjungi, saling membantu disaat senang maupun sedih, saling memberi, saling menjaga dan saling menghindari pertengkaran dan permusuhan. 4). Akhlak terhadap masyarakat, antara lain: memuliakan tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa, menganjurkan masyarakat dan diri sendiri untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat (mungkar), serta memberi makan fakir miskin, dan berusaha melapangkan kehidupannya.19
19
Ibid, h. 29
20
d. Akhlak terhadap lingkungan Yang dimaksud ligkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda tak bernyawa. Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak member kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri. Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT, dan menjadi milik-Nya, serta semuanya
memiliki
ketergantungan
kepada-Nya.
Keyakinan
ini
mengantarkan seorang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan juga baik.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak Para ahli akhlak mengatakan bahwa pembentukan mental, bukan saja dimulai sejak kecil melainkan sejak terbentuknya sebagai manusia, di dalam kandungan ibunya. Maka, unsur-unsur terpenting yang akan menentukan akhlaknya adalah nilai-nilai yang diambil dari lingkungan keluarga. Para ahli etika menyebutkan, bahwa ada dua sumber akhlak yang dapat mempengaruhi pembentukan mental seseorang: a. Faktor Internal yakni dari dalam diri sendiri, kesadaran yang dimiliki oleh seseorang tersebut turut membentuk mentalnya. Meliputi unsur-unsur yakni: 1). Insting dan akalnya 2). Adat
21
3). Kepercayaan 4). Keinginan-keinginan 5). Hawa Nafsu 6). Hati Nurani Kemudian yang mempengaruhi perkembangan dari tabi‟at yang dibawa dari dalam dirinya adalah dengan adanya faktor yang kedua. b. Faktor eksternal yakni faktor yang berasal dari luar diri, meliputi: 1). Keturunan 2). Lingkungan 3). Rumah Tangga 4). Sekolah 5). Pergaulan kawan 6). Penguasa Jika semua aspek luar itu mendukung dalam pembentukan akhlak yang baik, maka pastilah akan terbentuk akhlak itu. Namun, jika tidak maka tabiat yang mestinya menjadi baik bisa saja berubah menjadi jahat, terlebih lagi adalah didikan dari keluarga, yang meliputi orang tua. 20 Semua faktor tersebut turut mempengaruhi perkembangan akhlak seorang anak. Tergantung mana yang memberi corak lebih kuat, umpamanya antara faktor keturunan yang mewarnai mentalnya sebagai pembawaan sejak lahir, dengan faktor pendidikan dan pergaulan yang apabila terjadi perbedaan pada coraknya, maka akan menghasilkam perbedaan pula, meskipun sedikit. Maka, untuk membentuk akhlak seseorang, hendaknya kedua faktor tersebut dan macam-macamnya mampu berjalan searah. Sehingga yang dihasilkan adalah pribadi yang mantap dan akhlaknya tidak akan mudah terpengaruh oleh hal-hal buruk lainnya.
20
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1996) h. 72-73
22
5. Tujuan Pendidikan Akhlak Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan. Tujuan pokok dari pendidikan akhlak adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak adalah agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai, atau beradat istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam. Islam memiliki tujuan pendidikan akhlak seperti: Shalat, bertujuan untuk mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan tercela, zakat untuk menyucikan harta dan membantu sesama, puasa untuk mendidik diri untuk menahan diri dari berbagai syahwat, haji untuk memunculkan tenggang rasa dan kebersamaan dengan sesama.21 Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendoronng secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik. Sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati sempurna dan menyeluruh, mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.22 Adapun menurut Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orangorang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan
21
Rosihin Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2010) h. 25 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 11 22
23
beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.23 Pendidikan Islam itu berlangsung seumur hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Pendidikan itu berlaku seumur hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Tujuan pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman Allah :
َّ يَااَيُّهَا الَّ ِذي َْه َءا َمىُ ْىا اتَّقُىا هللاَ َح ق تُقَاتِ ِه َوَلَ تَ ُمىتُ َّه اَِلَّ َواَ ْوتُ ْم ُّم ْسلِ ُم ْى َن )٢٠١ : (ال عمزان “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.24 (QS. Ali Imran (3) : 102) Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai suatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya.
B. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Fajar Datik Wahyuni, dengan judul “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih dan Kontribusinya dalam Pendidikan Islam”. Hasil penelitian yang diperoleh 1). Ibnu Miskawaih menguraikan pendapatnya tentang akhlak, menurutnya akhlak pada diri seseorang itu dapat diubah melalui pendidikan dan pembiasaan. Akhlak pada diri seseorang itu tergantung pada lingkungan ia tinggal. Menurutnya pangkal 23
Ibnu Khamdun. Pendidikan Akhlak. 2011 (http://makalah ibnu.blogspot. co.id/2011/02/ pendidikan-akhlak.html). . di akses pada 8 januari 2016. 20.33 24 Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006) h. 115
24
akaran Islam itu berpangkal pada teori jalan tengah. Yang dimaksud teori jalan tengah di sini adalah kebajikan. Kebajikan ini merupakan keseimbangan antara dua sisi yang merupakan keburukan. 2). Ibnu Miskawaih juga menguraikan bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan pendidikan akhlak kepada anak melalui materi dan metode yang tepat. Rumusan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih ini sudah relevan ketika diterapkan pada pendidikan Islam yang berguna untuk upaya pencapaian tujuan Pendidikan Islam. Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih tersebut dapat digunakan untuk menghindarkan anak dari perbuatan yang tercela dan tabiat yang buruk. Penelitian yang dilakukan Eko Hadi Santoso dengan judul “Konsep Jati Diri Manusia Menurut Ibnu Miskawaih dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam. Dengan hasil penelitian bahwa manusia menurut Ibnu Miskawaih harus mengoptimalkan pada jiwanya. Jiwa adalah initi dari kenyataan sejati manusia. Jiwa manusia memliki peran penting dalam membimbing kegiatan sehari-hari manusia. Konsep jati diri manusia Ibnu Miskawaih dijelaskan dalam suatu kesatuan yang utuh dan seimbang dari seorang manusia yang meliputi tiga aspek penting: kepribadian, identitas diri, dan keunikan manusia. Sumbangsih konsep jati diri manusia Ibnu Miskawaih dalam pendidikan agama Islam, bahwa cita-cita yang meliputi pendidikan akhlak mulia dan menjaga output pendidikan dari kenakalan remaja yang semakin merajalela, budaya tawuran antar sekolah, seks bebas, dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dapat terlaksana jika didasari pendidikan jiwa yang ditawarkan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib alAkhlaq. Penelitian yang dilakukan oleh Moh Sullah dengan judul “Studi Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ibnu Miskawaih. Dengan hasil penelitian bahwa banyak persamaan antara dua tokoh tersebut dbandingkan dengan perbedaannya. Persamaan tersebut terletak pada landasan dasar akhlak yaitu berlandaskan pada ontology (tauhid),
25
epistimologi (ilmu) dan aksiologi (akhlak/moral) yang mengacu pada AlQur‟an dan Hadits, materi pendidikan, serta tujuan pendidikan akhlak itu sendiri. Sedangkan bentuk perbedaannya terletak pada hakikat dari pendidikan akhlak itu sendiri. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas bahwa akhlak mengalami perubahan dikarenakan faktor lingkungan yang dikenal dengan teori empirisme. Sedangkan Ibnu Miskawaih bahwa akhlak itu diperoleh dari pembawaan dan lingkungan di sekitarnya yang dikenal dengan teori konvergensi. Penelitian yang dilakukan oleh Andika Ukik Krisnando dengan judul “Pendidikan Akhlak (Komparasi Pemikiran Ibnu Miskawaih dan Al-Ghazali)” dengan hasil penelitian : Pemikiran Pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih yaitu hakkat manusia terletak pada fakultas fikir ( melalui otak), dan konsep akhlaknya yaitu doktrin jalan tengah sebagai dasar keutamaan akhlak, dimana yang menjadi ukuran akal dan syariat. Tujuan pendidikan akhlaknya bersifat sosial. Materi pendidikan akhlaknya meliputi; ilmu syariat, dan ilmu akhlak. Metode pendidikan akhlaknya yaitu alami, pembiasaan, riyadah, dan mujahadah. Kewajiban mendidik anak pertama kali adalah orang tuanya. Sedangkan pemikiran pendidikan akhlak oleh Al-Ghazali adalah hakikat manusia terletak pada kekuatan pengetahuan (melalui hati), dan konsep akhlaknya yaitu doktrin jalan tengah sebagai dasar keutamaan akhlak, dimana yang menjadi ukuran akal dan syariat. Tujuan pendidikan akhlaknya bersifat individu. Materi pendidikan akhlaknya semua akhlak terpuji menurut syariat. Metode pendidikan akhlaknya yaitu melalui anugerah ilahi dan kesempurnaan fitri, pembiasaan, riyadah dan mujahadah. Menurutnya, orang tua adalah pendidik pertama kali bagi seorang anak. Kemudian, lingkungan dan unsur makanan maupun minuman akan mempengaruhi pembentukan akhlak seseorang. Secara keseluruhan pemikiran pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dengan Al-Ghazali memiliki banyak kesamaan. Penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Basuni dengan skripsi yang berjudul “Peran Orang Tua dalam Pendidikan Akhlak Anak (study Pemikiran Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzib al-Akhlak). Dengan hasil penelitian :
26
Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak anak yang mengatakan bahwa waktak itu bisa berubah, dan perubahan itu bisa melalui pendidikan dan pengajaran. Juga memaparkan tentang kebaikan dan kebahagiaan, karena Ibnu Miskawaih di dalam meninjau akhlak berdasarkan nilai-nilai kebajikan (alkhairu) untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka orang harus mencapai alkhairu
terlebih
dahulu,
kebaikan atau
kebajikan merupakan
kunci
kesempurnaan manusia. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa orang tua sangat berperan dalam pendidikan akhlak anak. Menurutnya pendidikan akhlak merupakan konsepsi baku pembentukan pribadi anak, kedua orang tua yang mula-mula tampil untuk melakukan tugas tersebut. Pencapaian kepribadian akhlak yang luhur dan berbudi pekerti, orang tua selaku pendidik mempunyai peran: member contoh atau teladan yang baik, member nasehat, dan memberikan perhatian.
BAB III Metodologi Penelitian A. Objek dan Waktu Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah pendidikan akhlak yang dikonsepkan oleh Ibnu Miskawaih dalam kitab nya Tahdzibul Akhlak. Adapun waktu penelitian, dimulai bulan Januari sampai Agustus 2016. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analysis yaitu metode dengan menganalisis isi dari objek yang diteliti melalui sumber-sumber yang terkait dalam penelitian ini. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari Ibnu Miskawaih yang berjudul kitab Tahdzibul Akhlak. 2. Data Sekunder Sumber data sekunder berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang mengulas tentang karya Ibnu Miskawaih yang mengulas tentang pendidikan akhlak. Adapun jenis penelitian ini adalah Penelitian Pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Jadi penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau suatu keadaan. C. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih yang terdapat dalam kitab Tahdzibul Akhlak. Menurutnya Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.
27
28
D. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan beberapa prosedur diantaranya yaitu: 1.
Prosedur Pengumpula Data Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri literatur, baik primer maupun sekunder yang membahas tentang pendidikan akhlak. Data-data dikumpulkan kemudian membuat ringkasan untuk menentukan batasan yang lebih khusus tentang objek kajian dari buku-buku, terutama yang berhubungan dengan tema pokok yang dibahas.
2.
Pengolahan Data Untuk mendapat data penelitian yang valid. Maka data dari literaturliteratur baik primer maupun sekunder dikekolah secara sistematis dalam bentuk dokumentasi yang setidaknya dapat memberikan informasi penting tentang pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih. Setelah data-data itu diperoleh, peneliti mengolah data-data tersebut dengan cara dibaca dan dianalisis kemudian disimpulkan.
3.
Teknik Analisis Data Analisis data adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu hipotesa. Analisis data merupakan cara bagi peneliti untuk menyimpulkan datadata yang diperoleh setelah penelitian terhadap beberapa sumber. Karena penulis menggunakan penelitian kepustakaan, maka teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Analisa data dipergunakan untuk menarik kesimpulan yang salah satunya adalah dari sebuah kitab Tahdzibul Akhlak yang sudah di terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Adapun langkah-langkahnya adalah dengan menyeleksi teks yang akan diteliti, menyusun item yang spesifik, melakukan penelitian dan yang terakhir dengan menarik kesimpulan.
4.
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah dari sudut pandang (perspektif) pendidikan akhlak oleh Ibnu Miskawaih. Maksud dari pendekatan pendidikan akhlak adalah bahwa konsep-konsep dan strategi-strategi pendidikan akhlak yang bersumber dari ajaran Islam dan pendapat para
29
ulama akan digunakan untuk melihat pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep dan strategi pendidikan akhlak. 5.
Bentuk Pelaporan Data Bentuk laporan penelitian yang disampaikan ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan semua data-data yang sudah diperoleh dan dianalisis, sehingga menjadi satu bentuk kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Analisis data pada penelitian kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan berbagi data, mengorganisasikan data, memilah-milah data menjadi satu kesatuan data yang diperoleh, mensintesiskannya, mencari dan menentukan pola, menentukan apa yang diceritakan kepada orang lain.1 Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber yang diperoleh. Kemudian data yang telah terkumpul, dianalisis, ditafsirkan dan disimpulkan kedalam bahasa yang mudah difahami dan logis sesuai dengan penelitian yang dibahas.
1
Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. XVIII, h. 13-14.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deksripsi Data 1. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih Abu Ali al-Khazim Ahmad ibnu Muhammad ibn Ya‟kub ibnu Miskawaih, atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih adalah filosof muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Walaupun sebenarnya ia juga seorang sejarawan, tabib, ilmuwan,
dan
sastrawan.
Setelah
menjelajah
berbagai
ilmu
pengetahuan, akhirnya ia memusatkan perhatiannya pada kajian sejarah dan etika. Adapun gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakar Ahmad ibnu Kamil al-Qadhi, dalam bidang filsafat adalah Ibnu al-Khammar. Nama Miskawaih diambil dari kakeknya. Kakeknya semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah dipandang sebagai seorang yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam setelahnya. Dengan adanya gelar ini, maka kebanyakan orang mengatakan bahwa ia adalah penganut
Syi‟ah.
bendaharawan
Sedangkan
diberikan
gelar
kepadanya
al-Khazim karena
ia
yang
berarti
memperoleh
kepercayaan sebagai bendaharawan di masa kepemimpinan Adid alDaulah dari bani Buwaih.1 Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya‟qub Ibnu Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Iran) dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar pada tahun 412 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa
1
Maftuhin, Filsafat Islam (Yogyakarta: Teras, 2012) h. 115-117
30
31
pemerintahan Dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi‟ah.2 Sejarah hidup tokoh ini tidak banyak diketahui orang. Para penulis dalam berbagai literatur tidak mengungkapkan biografinya secara rinci. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan bahwa Ibnu Miskawaih belajar sejarah terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat pada Ibnu AlKhammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles. Perihal kemajusiaannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurzi Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma‟rifah al-Islamiyyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhammad. Ia diduga beraliran syiah karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi pada pemerintahan Dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi kepada Al-Muhallabi, wazir nya pangeran Buwailhi yang bernama Mu‟iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya Al-Muhallabi pada 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn AlAmid, wazirnya saudara Mu‟iz Al-Daulah yang bernama Rukn AlDaulah yang berkedudukan di Rayy.3 Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa „Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H. Perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar. Sehingga pada masa ini Ibnu Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan Adhud Al-Daulah. Dan pada masa ini 2
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009) hlm 127 3 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013) hlm 56
32
jugalah Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak. Bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum. Baik dikalangan elit, menengah dan bawah. Tampaknya hal inilah yang meotivasi Miskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Ia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M. dan menetap di sana bersama ahli sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H. Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid, seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat, logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal. Kurang lebih tujuh tahun ia belajar sampai ibn al'Amid meninggal dunia pada tahun 359 H. Di beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa Ibnu Miskawaih juga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli, belajar filsafat ke ibn al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu Tahyyib al-Razy. Ia juga pernah bekerja sebagai bendahara, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, dengan demikian ia memiliki kesempatan untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan para birokrat.4 Ibnu Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles. Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya al-Fauz alAsghar. Dalam buku tersebut, ia membahas ide-ide filosofisnya ke dalam tiga bagian, yaitu : pembuktian tentang eksistensi Tuhan,
4
Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 42.
33
tentang jiwa, dan tentang kenabian. Ia mencoba melakukan rekonsiliasi antara pemikiran Yunani dengan ajaran Islam. 2. Riwayat Pendidikan Riwayat pendidikan Miskawaih tidak diketahui dengan jelas. Miskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberi informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya, namun demikian, dapat diduga bahwa Miskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman „Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur‟an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan „arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diberikan di surau-suaru; di kalangan keluarga yang berada dimana guru didatangkan ke rumahnya untuk memberikan les privat kepada anakanaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudia anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqh, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macammacam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran). Diduga miskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Miskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku, terutama di saat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al „Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan „Adhud Al-Daulah.
34
Pengetahuan Miskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini nama Miskawaih dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai
sejahrawan
dan
filosuf.
Sebagai
filosuf,
Miskawaih
memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Miskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.5 Pada tahun 384 H, Ibnu Miskawaih hijrah ke Baghdad dan mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad al-Azdi untuk menjadi seorang sekretaris pribadinya. Setelah al-Mahalbi meninggal dunia, Ibnu Miskawaih kembali ke kota Ray (sekarang Teheran) kemudian
mengabdi
kepada
Ibnu
al-„Amid,
sebagai
kepala
perpustakaan sekaligus sekretaris pribadinya sampai menteri Ibnu al„Amid pada tahun 360 H. Ibnu Miskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadli (350H/960 M), dan memperdalami filsafat pada Ibn al-Khammar, merupakan tokoh yang dianggap mampu menguasai karya-karya aristoteles. Sedangkan ilmu kimia, Ibnu Miskawaih belajar kepada Abu al-Thayyib al-Razi.6
3. Karya-karyanya Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang sebagai filosof ketuhanan (al-Falsafah alNadzariyyah al-'Amaliyah).7 Agaknya hal itu dimotivasi oleh situasi masyarakat yang kacau pada saat itu. Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah pendidikan, pengajaran, etika
5
Ahmad Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka, 2007) h. 168 Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) h. 88 7 Imam Tholhah, Membuka Jendela Pendidikan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hlm 240-241 6
35
yang utama dan metode-metode yang baik bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah: a. Al-Fauz Al-Akbar b. Al-Fauz Al-Ashgar c. Tajarib Al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya tahun 369 H/979 M) d. Uns Al-Farid (koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah) e. Tartib Al-Sa‟adah f. Al-Mustaufa (syair-syair pilihan) g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak) h. Al-Jami‟ i. Al-Siyar j. On The Simple Drugs (tentang kedokteran) k. On The Composition of the Bajats (Seni Memasak) l. Kitab Al-Asyribah (tentang minuman) m. Tahdzib Al-Akhlak (tentang akhlak) n. Risalah fi Al-Lazzah wa Al-Alam fi Jauhar Al-Nafs o. Ajwibah wa As‟ilah fi Al-Nafs wa Al-Aql p. Al-Jawwab fi Al-Masa‟il Al-Tsalats q. Risalah fi Jawab fi Su‟al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan Al-Shufi fi Haqiqah Al-Aql r. Thaharah Al-Nafs
B. Pembahasan 1. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Akhlak Ibnu Miskawaih seorang moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya ini selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaannya yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (Alqur‟an dan
36
Hadits) dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan pelengkap ialah sumber lain baru diambilnya apabila sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak demikian.8 Masalah pembinaan akhlak bukanlah masalah baru, tetapi sudah menjadi pembahasan para filosof tempo dulu, seperti kajian Aristoteles tentang moral dalam bukunya Nichomachean Ethisc. Dalam sejarah pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukkan diri dalam masalah akhlak ini, seperti Al-Kindi, AlFarabi, kelompok Ikhwan al-Safa, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih dan lain sebagainya. Namun, dari sekian tokoh tersebut, Ibnu Miskawaih adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan wacana akhlak dengan pendekatan ilmu kejiwaan. Mengenai hal tersebut, M. Natsir dalam bukunya Capita Selecta mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih adalah cendikiawan muslim pertama yang membahas wacana akhlak dan pendidikan akhlak dengan pendekatan ilmu jiwa. Pemikiran Ibnu Miskawaih katanya tidak jauh berbeda dengan ahli psikolog modern seperti Sigmund Freud. 9 Sebagai bukti atas kebesarannya, ia telah menulis banyak karya yang membahas masalah akhlak, diantaranya : Tahdzib
al-Akhlaq
(tentang
moralitas),
Thaharah
al-khubusi
(penyucian jiwa), al-fauz al-akbar (kiat memperoleh kebahagiaan hidup), kitab al-Sa‟adah (tentang kebahagiaan), dan lain sebagainya. 10 Di samping itu, pemikiran Ibnu Miskawaih banyak juga dipengaruhi oleh filosof muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi, dan lainnya. Oleh karenanya banyak para ahli menggolongkan corak pemikiran Ibnu Miskawaih ke dalam tipologi etika filosofi (etika 8
Sirajuddin Zar, Op. Cit., hlm 135 M. Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1954) h. 23 10 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) h. 6 9
37
rasional), yaitu pemikiran etika yang banyak dipengaruhi oleh para filosof, terutama para filosof Yunani. Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khuluq
sebagai
keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. 11
ُ اَ ْن َخ ْه ش َدا ِعيَتٌ نَّٓب اِنَى اَ ْف َعبنَِٓب ِي ٍْ َغي ِْز فِ ْك ٍز َٔ ََل ر ُِٔيَ ٍت ِ ق َحب ٌل نِّهَُّ ْف
“akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macammacam daya. Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Ibnu Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh Ibnu Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat dengan malaikat dan ada pula yang lebih dekat pada hewan.12 Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam. Al-Qur‟an dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan akhlak sering dijadikan 11 12
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak (Beirut Libanon : Daarul Kutub Al-Ilmiah, 1985) h. 25 Hasyimsyah Nasution, op. cit, hlm. 61
38
ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya. Pengertian akhlak menurut Ibnu Miskawaih di atas sejalan dengan pengertian akhlak yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali, di mana ia mengatakan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan.
ُ ُفَب ْان ُخه َع َُْٓب تَصْ ُذ ُر ْاَلَ ْف َعب ُل،ٌش َرا ِص َخت ِ ق ِعبَب َرةٌ َع ٍْ َْ ْيئَ ِت ِفى انَُّ ْف . ِب ُضُٓ ْٕنَ ٍت َٔيُ ْض ٍز ِي ٍْ َغ ْي ِز َحب َج ٍت ِانَى ِف ْك ٍز َٔ ُر ِٔيَ ٍت “khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan.13 Point penting dari definisi akhlak Ibnu Miskawaih dan alGhazali tersebut adalah kata “tanpa pemikiran dan pertimbangan” yang ini berarti bahwa akhlak itu berhubungan dengan perilaku dan sudah menjadi kebiasaan.” Kebiasaan lahir dari suatu tindakan yang berulangkali dilakukan dan sudah mendarah daging. Pada mulanya kebiasaan adalah suatu yang diusahakan dan dipaksakan untuk dilakukan. Contohnya, orang yang sudah terbiasa bangun jam 3 malam setiap harinya, akan mengatakan itu sebagai rutinitas dan mudah dilakukan, tubuhnya tanpa perlu dipaksakan akan member respon untuk bangun pada jam tersebut. Sedangkan bagi orang yang belum terbiasa, bangun pada jam tersebut akan sangat sulit dilakukan, dan perlu usaha keras untuk melakukannya. Kebiasaan
berawal
dari
pengetahuan
akan
sesuatu.
Pengetahuan didapatkan dari dua sumber yaitu dari pengalaman dan pendidikan. Pengalaman didapatkan dari suatu perbuatan yang telah
13
Imam al-Ghazali, Ihya Ulu al-Din, jilid 3 (Kairo: Daar al-Hadits, 2004) h. 70
39
dilakukan, sehingga yang bersangkutan sudah mengetahui seluk beluk perbuatan tersebut. Dalam kebudayaan bangsa Indonesia, orang yang jatuh kedalam kesalahan dan kegagalan yang sama akan dicap sebagai orang yang hina dan bodoh. Karena dirinya tidak mampu belajar dari pengalaman yang sudah dialaminya sendiri. Menurutnya, akhlak dalam Islam dibangun atas pondasi kebaikan dan keburukan. Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya, karena hal tersebut akan mengarahkan manusia kepada tujuan dirinya diciptakan. Keburukan adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan, entah hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganannya mencari kebaikan.14 Sepertinya Ibnu Miskawaih percaya bahwa akhlak itu pada keseluruhannya diperoleh dari pengalaman dan pendidikan. Ia terpengaruh oleh faktor-faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, adat, tradisi, sistemnya, dan harapan-harapannya. Ia tidak terpelihara (ma‟sum). Dalam Tahdzib Ibnu Miskawaih mengatakan: “Setiap karakter dapat berubah. Sedangkan apapun yang berubah maka sifatnya tidak alami. Karena tidak ada yang bisa merubah sesuatu yang alami. Tidak ada seorangpun yang bisa membuat batu yang dilempar agar jatuh ke atas, tidak ke bawah.15 Ada 4 hal pokok dalam upaya pemeliharaan kesehatan jiwa (akhlak yang baik). Pertama, bergaul dengan orang yang sejenis, yakni yang sama-sama pecinta keutamaan, ilmu yang hakiki dan ma‟rifat yang shahih, menjauhi pencinta kenikmatan yang buruk. Kedua, bila sudah mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan membanggakan diri (ujub) dengan ilmunya, melainkan harus belajar terus sebab ilmu tidak terbatas dan di atas setiap yang berilmu ada 14 15
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak. h. 25 Ibnu Miskawaih , h. 28
40
Yang Maha Berilmu, dan jangan malas mengamalkan ilmu yang ada serta mengajarkannya kepada orang lain. Ketiga, hendaklah senantiasa sadar bahwa kesehatan jiwa itu merupakan nikmat Allah yang sangat berharga yang tak layak ditukarkan dengan yang lain. Keempat, terus-terusan mencari aib diri sendiri dengan intropeksi yang serius, seperti melalui teman pengoreksi atau musuh, bahkan musuh lebih efektif dalam membongkar aib ini.16 Berbicara
mengenai
pokok
keutamaan
akhlak
Ibnu
Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan
tengah”
tersebut
antara
lain
dengan
keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masingmasing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga, jiwa alNafs al-Natiqah (berfikir/rasional), disebut jiwa raja, organ tubuh yang digunakan adalah otak. al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa ini disebut jiwa binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Dan jiwa al-Nafs as-Sabu‟iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), disebut jiwa binatang buas, dan organ tubuh yang digunakan adalah jantung. dan.17 Posisi tengah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan . jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesucian diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina, dan yang terakhir posisi tengah 16
Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak , Terj. Tahdzib al-Akhlak Ibn Miskawaih, (Bandung: Mizan, 1994), h. 74-75 17 Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak , Terj. Tahdzib al-Akhlak Ibn Miskawaih, (Bandung: Mizan, 1994), h. 44
41
jiwa as-Sabu‟iyyah/al-Ghadabiyyah adalah keberanian. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari‟at.18 Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih: a. Kebijaksanaan (al-hikmah) Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih
berpendapat
bahwa
kebijaksanaan
adalah
keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional
yang
memberi
keputusan
antara
yang
wajib
dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.19 Ibnu kebijakan
Miskawaih adalah
juga
memberi
pertengahan
antara
pengertian
bahwa,
kelancangan
dan
kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud
dengan
kedunguan
ialah
membekukan
dan
mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir.20 Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan
disini
adalah
kemampuan
dan
kemauan
seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk
memperoleh
pengetahuan,
sehingga
mendapatkan
pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini 18
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) h. 83. Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak (Beirut Libanon : Daarul Kutub Al-Ilmiah, 1985) h. 25. 20 Ibid, hal. 46. 19
42
diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan tersebut.21 b. Menjaga Kesucian Diri (al-iffah) Menjaga kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya.22 Kesucian diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya.
c. Keberanian (as-saja‟ah) Keberanian merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa, pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spiritual dan tinggi.
21 22
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) h. 99. Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, hal. 40.
43
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya. d. Keadilan (al-a‟dalah) Keadilan
adalah
bagaimana
sikap
seseorang
bisa
menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya masingmasing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga
menghasilkan
keseimbangan
berupa
keadilan.
Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat. Keempat keutamaan akhlak tersebut (al-hikmah, al-iffah, as-saja‟ah dan al-a‟adalah) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari keempat pokok keutamaan itu, amat banyak jumlahnya, bahkan tidak terhitung. Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa akhlak merupakan jalan tengah untuk mengajarkan seseorang untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk
44
membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia. Selanjutnya Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem bersifat tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari Al-Qur‟an, dan tidak pula membawa dalil Hadits. Namun demikian menurut penilaian Abd al-Hamid Mahmud dan al-Ghazali, bahwa spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat Al-Qur‟an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros. Hal ini sejalan dengan ayat yang berbunyi:
ْ س س ِط فَتَ ْق ُع َد ْ َط َها ُم َّل ا ْلب ُ َْوالَ ت َْج َع ْل يَ َد َك َم ْغلُ ْىلَةً اِلَى ُعنُقِ َل َوالَ تَب س ْى ًزا ُ َملُ ْى ًما َم ْح “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, karena kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra: 29)
ان بَيْ َن َذلِ َل قَ َىا ًما َ س ِسفُ ْىا َولَ ْم يَ ْقتُ ُس ْوا َو َم ْ َُوالَّ ِر ْي َن اِ َذا نَفَقُ ْىا لَ ْم ي “Dan
orang-orang
yang
apabila
memebelanjakan
(harta)nya mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula
45
kikir, dan menjaga di tengah-tengah antara yang kedua itu.” (QS. Al-Furqan: 67) Ayat-ayat
tersebut
memperlihatkan
bahwa
sikap
pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, sungguhpun Ibnu Miskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat Al-Qur‟an dan Hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya, paling kurang antara pada tarik menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman. Pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstim kekurangan maupun ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat kalangan mahsiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan
dengan
ukuran kesederhanaan
pada
msyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat Negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat berkembang. Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada masyakaratak Negara miskin. Disadari bahwa tidak mudah memperoleh istilah untuk ekstrem kelebihan atau kekurangan dalam setiap yang bernilai utama. Sebagai akibatnya bisa saja ada penilaian, bahwa cara
46
yang diajukan para filosof untuk memahami jalan tengah terlalu spekulatif. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan menggunakan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun juga.23 2. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak a. Pengertian Pendidikan Akhlak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang maupun sekelompok orang dengan tujuan untuk mendewasakan
seseorang
melalui
usaha
pengajaran
dan
pelatihan.24 Sedangkan pendidikan menurut Hasan Langgulung adalah suatu proses yang bertujuan untuk menciptakan pola tingkah laku tertentu pada anak-anak atau orang yang sedang dididik.25 John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses pembentukan
kemampuan
dasar
yang
fundamental,
baik
menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia biasa.26 Abudin Nata berpendapat pendidikan adalah suatu usaha yang di dalamnya ada proses belajar untuk menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis, bakat, minat, dan sebagainya yang dimiliki 23
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 9-11 24 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan Nasional, cet. 3, h. 263 25 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Akhlak (Jakarta: PT Pustaka al-Husna Baru, 2003) h. 1 26 M. Arifin, Filafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) h. 1
47
oleh para manusia.27 Intinya, dalam pendidikan itu ada proses dan tahapan, dimana membutuhkan waktu dan sistem. Sebenarnya pendapat dalam masalah pendidikan dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu golongan yang menggunakan sudut internal, dan golongan yang menggunakan sudut eksternal. Bagi golongan pertama, menganggap bahwa pengembangan potensi manusia ditentukan oleh faktor hereditas, yaitu faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tidak dapat dirubah oleh lingkungan atau pengajaran dari luar. Gagasan ini diperkenalkan oleh Sokrates. Misalnya, ia berkata, bahwa: ”saya ini bukanlah seorang guru, melaikan seorang bidan”. Tugas bidan hanya mengeluarkan janin yang sebenarnya sudah ada dan terbentuk, bukan merubah dan menciptakan janin. Selanjutnya gagasan
sudut
internal
ini
dikembangkan
oleh
Arthur
Schopenhauer (1788-1860) dengan aliran nativismenya. 28 Sedangkan golongan sudut eksternal adalah kebalikan dari golongan sudut internal dimana mereka menganggap bahwa pengembangan potensi manusia harus dipelajari dan tidak bersifat kodrati, bawaan sejak lahir. Diasumsikan proses pendidikan, bahwa peserta didik adalah gelas kosong, atau kertas putih, atau dapay dibentuk sesuai dengan keinginan orang yang akan membentuknya. Golongan ini diikuti oleh Aristoteles dan mayoritas ahli pendidikan modern.29 Terkait dua golongan ini, nampaknya Ibnu Miskawaih berada pada posisi tengah antara golongan sudut internal dan eksternal, dimana dalam salah satu penjelasannya ia membagi manusia menjadi tiga golongan, yaitu: Pertama, golongan yang baik menurut tabiatnya. Jika orang baik menurut tabiatnya, maka ia tidak bisa berubah menjadi orang jahat. Kedua, manusia yang 27
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 19 Ibid, h. 30 29 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 32 28
48
jahat menurut tabiatnya. Mereka akan sulit merubahnya, karena merupakaan bawaan. Kedua golongan ini merupakan hal yang jarang terjadi. Terjadi tapi mungkin hanya kepada orang-orang tertentu. Yang ketiga adalah golongan yang dapat menjadi baik dan mejadi jahat, hal itu terjadi karena faktor lingkungan atau faktor pendidikan yang ia terima. Ini adalah mayoritas dari manusia dan fungsi pendidikan akhlak adalah untuk membimbing golongan ini.30 Point penting dari definisi pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah mengarahkan tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia menurutnya ada 2 yaitu baik dan buruk. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang sesuai dengan esensi manusia diciptakan, karena menurutnya manusia mempunyai kecenderungan untuk menyukai kebaikan dari pada keburukan. Naluri manusia untuk melakukan kebaikan dapat dilihat ketika orang melihat suatu musibah baik musibah besar maupun kecil yang menimpa suatu tempat. Maka terlihat semua orang, baik orang yang terkenal kebaikannya maupun orang yang terkenal keburukannya. Mereka manaruh belas kasihan, ikut berduka, dan bahkan mencoba mengulurkan tangan membantu dengan berbagai upaya. Tetapi diantara semua orang yang ikut merasa iba, ada sebagian yang hanya cukup sebatas iba saja, bahkan acuh terhadap musibah tersebut. dan sebagian lagi dengan kesadaran tergugah hatinya untuk ikut menolong.
b. Dasar Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih tidak pernah menyebutkan dasar pendidikan akhlak secara langsung dalam bukunya. Hanya saja dalam pembahasan Tahdzib, masalah jiwa (psikologi) dan syariat agama merupakan pembahasan utama yang dikaitkan dengan akhlak. Oleh 30
Ibid, h. 19
49
karenanya dapat disimpulkan bahwa agama dan jiwa (psikologi) adalah dua faktor yang menjadi dasar pendidikan akhlak bagi Ibnu Miskawaih. 1). Agama Syari‟at agama Islam berpegang pada dua sumber pokok, yakni al-Qur‟an dan hadits. Ketika seseorang berlaku seperti apa yang diajarkan di dalam keduanya, maka itulah manusia yang
berakhlak
baik.
Sementara
orang
yang
berlaku
meyimpang atau tidak sesuai dengan keduanya, maka itulah orang yang berakhlak buruk. Salah satu misi utama Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dengan misi itu manusia diharapkan menjadi
makhluk yang bermoral,
yakni makhluk yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatan yang dipilihnya dengan sadar, yang baik maupun yang jahat.31 Oleh karenanya Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syari‟at agama sangat berperan penting dalam pembentukan akhlak. Dengan ajarannya, agama membiasakan manusia untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus juga mempersiapkan diri
mereka
untuk
menerima
kearifan,
mengupayakan
kebajikan, dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Terkait hal tersebut dalam kitab Tahdzib al-Akhlak Ibnu Miskawaih mengatakan: “Kalau orang dididik untuk mengikuti syari‟at agama, untuk mengajarkan kewajiban-kewajiban syari‟at, sampai dia terbiasa, kemudian membaca buku-buku tentang akhlak, sehingga akhlak dan kualitas terpuji masuk dalam dirinya melalui dalil-dalil rasional; setelah itu ia mengkaji aritmatik dan geometri. Ia juga terbiasa dengan perkataan yang benar dan argumentasi yang tepat, dan yang dipercayainya hanya 31
Nurkhalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008) h. 6
50
ini; kemudian meningkat setahap demi setahap seperti yang pernah kami gambarkan dalam buku Tartib al-Sa‟adah dan Manazil al-Ulum, sampai ia mencapai tingkatan manusia yang paling tinggi. Yaitu orang yang berbahagia dan sempurna. Kalau sudah begitu, perbanyaklah puji syukur ke hadiratNya, Allah yang Mahatinggi, atas anugerah agung itu.32
2). Psikologi Menurut
Ibnu
Miskawaih,
pengetahuan tentang jiwa erat
antara
pendidikan
dan
kaitannya. Untuk menjadi
karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina‟ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui kecenderungan jiwa terlebih dahulu. Jika jiwa diarahkan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia. Maka dari itu, jiwa merupakan landasan
yang
penting
bagi
pelaksanaan
pendidikan.
Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi.
c.
Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan
pendidikan
akhlak
yang
dirumuskan
Ibnu
Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu medorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga ia berperilaku terpuji, mencapai kesempurnaan
32
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 42
51
sesuai dengan substansinya sebagai manusia, dan memperoleh kebahagiaan (as-sa‟adah) yang sejati dan sempurna.33 Yang patut digarisbahwahi dari tujuan pendidikan akhlak yang ditawarkan Ibnu Miskawaih adalah bertujuan mendorong manusia untuk bertingkah laku yang baik guna mencapai kebahagiaan (as-sa‟adah). Jadi, menurutnya orang yang berakhlak mulia adalah orang yang bahagia. Orang yang baik adalah orang yang selaras pikiran dan perbuatannya ketika melakukan perbuatan baik. Dengan alasan tersebut maka Ahmad Abd Al-Hamid asSyair dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibnu Miskawaih sebagai filosof yang bermadzhab al-sa‟adah di bidang akhlak. Pengertian al-saadat menurut Ibnu Miskawaih ialah kebaikan yang sempurna dan merupakan pangkal dari seluruh kebaikan. Apabila seseorang telah memperoleh kebaikan ini, ini tidak memerlukan hal lain. Ibnu Miskawaih lebih lanjut menjelaskan bahwa orang yang mampu memperoleh kebaikan ini hanya manusia yang ideal (insan tam), sehingga ia menyadari bahwa orang yang mencapai tingkat ini sangat sedikit.
d. Materi Pendidikan Akhlak Untuk mencapai
tujuan yang telah
dirumuskan, Ibnu
Miskawaih menjelaskan beberapa hal yang perlu untuk dipelajari, diajarkan dan dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang mampu memberikan jalan bagi tercapainya tujuan hidup yaitu kebahagiaan. Materi tersebut dijadikan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.
33
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 30-31
52
Oleh karenanya sebagaimana tercantum dalam kitab Tahdzib al-Akhlak, peserta didik terutama anak-anak perlu dibekali pendidikan akhlak, seperti akhlak ketika makan, minum, tidur, berpakaian, olahraga, cara berjalan, duduk dan sebagainya. Membiasakan tidak berbohong dan tidak bersumpah, sedikit bicara dan berakhlak saat bercakap, menanti orang tua dan guru, serta mampu mengendalikan diri. Apabila ini tercapai, diteruskan dengan pembiasaan riyadlah. “Bila anak tumbuh menyalahi perjalanan dan didikan akhlak, tak dapat diharapkan akan selamat, dan usaha-usaha perbaikan dan pelurusannya susah untuk dilakukan, sebab ia sudah menjadi binatang buas yang tak dapat dididik, kecuali dengan cara perlahan dan kembali ke jalan yang benar dengan taubat. Bergaul dengan orang yang baik dan ahli hikmah serta berfilsafat, karena dengan berfilsafat seseorang mampu berfikir untuk menjernihkan jiwanya dari kotoran-kotoran yang menutupi kebaikan jiwanya. Walaupun hal terakhir ini lebih sulit, namun ia lebih baik ketimbang terus bergelimang dalam kebathilan.34
Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dijadikan sebagai materi pendidikan akhlak, yaitu: pertama, pendidikan yang wajib bagi kebutuhan jiwa. Kedua, pendidikan yang wajib bagi kebutuhan tubuh. Ketiga, pendidikan yang wajib terkait dengan hubungan manusia dengan sesamanya. Ketiga materi ini dapat diperoleh dari berbagai jenis ilmu. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi keperluan jiwa seperti pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya dan pemberian motivasi untuk senang kepada ilmu.35 34 35
Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 71 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 33-36
53
Ibnu Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia. Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Miskawaih antara lain seperti shalat, puasa, dan haji. Ibnu Miskawaih tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang diajukan ini. Hal ini barangkali didasarkan pada perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperinci pun orang sudah menangkap maksudnya. Gerakan-gerakan shalat secara teratur yang paling sedikit dilakukan lima kali sehari seperti mengangkat tangan, berdiri, ruku, dan sujud memang memiliki unsur olah tubuh. Shalat sebagai jenis olah tubuh akan dapat lebih dirasakan dan disadari sebagai olah tubuh (gerak badan) bilamana dalam berdiri, ruku dan sujud dilakukan dalam tempo yang agak lama.36 Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap sesamanya seperti materi dalam ilmu mu‟amalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan materi yang lain. Berbagai materi tersebut selalu terkait dengan pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu, materi yang terdapat di dalam berbagai jenis ilmu jika esensinya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada
Allah dapat dijadikan sebagai
materi
pendidikan akhlak. sebagai contoh ilmu Nahwu (tata bahasa Arab), ilmu Mantiq (logika) dan ilmu yang lain. Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibnu Miskawaih sangat mementingkan materi yang terdapat dalam ilmu Nahwu, karena materi yang terdapat di dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dan benar dalam berbicara. Materi yang terdapat di dalam ilmu Mantiq akan membantu manusia untuk lurus dalam berfikir.37
36
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 14 37 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) h. 31
54
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Ibnu Miskawaih menganggap syariat agama dan psikologi sebagi faktor yang menentukan dalam pembinaan akhlak. ada dua hal yang membuat peran agama sangat penting; pertama, dengan ajarannya, agama membiasakan manusia untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus juga mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan, dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Kedua, di samping itu penganut semua agama, termasuk Islam patuh pada ajaran agamanya karena percaya pada ajaran agama, yang intinya mempunyai doktrin semua perbuatan manusia di dunia mempunyai dua konsekuensi, yaitu di kehidupan dunia dan di akhirat. Jika di dunia berbuat tidak baik, maka ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di kehidupan nanti setelah mati ia akan di masukkan ke dalam neraka. Jadi terlihat bahwa Ibnu Miskawaih mendasari pendidikan akhlaknya pada wujud kebahagiaan yang akan diperoleh oleh manusia di dunia dan di akhirat. Makanya ia menganggap orang yang berakhlak baik adalah orang yang bahagia. Adapun pembahasan ruang lingkup akhlak yang dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran akhlak, di mana nantinya orang tua
atau seorang guru mampu menanamkan atau
mengajarkan materi ini pada anak atau peserta didiknya dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1). Akhlak kepada Allah
اَ َح ُذَْب ِفيْ ًَب يَ ِجبُ نَُّ َعهَى: اع ِ َِا ٌَّ ِعبَب َدة ٍ َٕ َْ َللا َع َّز َٔ َج َّم َعهَى ثَ َلثَ ِت ا َّ ْان َع ْب َذا ٌِ َكب ان ِّ ص َل ِة َٔان ِق ان َّش ِز ْيفَ ِت ِن ًَُُب َجب ِة للا ِ صيَ ِبو َٔان َّض ْع ِى ِانَى ْان ًَ َٕا ِف َّ ث ان ص ِح ْي َح ِت ِ س َكب ْ َِل ْع ِتقَب َدا ِ ْٕ ُ َٔانثَّب َِى ِف ْي ًَب يَ ِجبُ نَُّ َعهَى انُف. َع َّز َٔ َج َّم للا َع َّز ا ْص ًُُّ َٔ َيب يَ ْضتَ ِحقُّ ِي ٍَ انثَُّب ِء َٔانتَّ ًْ ِج ْي ِذ َٔ َكب ا ْن ِف ْك ِز ِ َٔ َكب ا ْن ِع ْه ِى ِبتَ ْٕ ِح ْي ِذ
55
ُ اَلتِّ َضب .ف ِ بر ِ ْ ضُّ َعهَى ا ْن َعبنَ ِى ِي ٍْ ُٔ ُج ْٕ ِد ِِ َٔ ِح ْك ًَتِ ِّ ثُ َّى َ فِ ْي ًَب اِفَب ِ ع فِى َْ ِذ ِِ ا ْن ًَ َع ُ َِٔانثَّبن ي فِى ِ ث فِ ْي ًَب يَ ِجبُ نَُّ ِع ُْ َذ ُي َشب َر َكب َ ِْ َٔ ٌِ بس فِى ا ْن ًَ َذ ِ َُّث ان 38 . ث َٔا ْن ًَُُب ِكح ِ ث َٔا ْن ًَ ْز َر َعب ِ ا ْن ًُ َعب َي َل Ibadah kepada Allah ada tiga macam: pertama, kewajiban beribadah secara fisik, yakni dengan sholat, puasa dan usaha untuk mendapatkan kedudukan yang mulia agar dapat dekat dengan
Allah
swt.
Kedua,
kewajiban
jiwa,
dengan
berkeyakinan dengan benar tentang keesaan Allah swt, memuji dan selalu mengagungkannya, merenungi dan mensyukuri segala
karunia-Nya,
dan
selalu
memperdalam
dalam
pengetahuan ini sehingga akan muncul rasa tawadlu‟ kepadaNya. Ketiga, kewajiban terhadap-Nya saat berinteraksi sosial, seperti saat bermuamalah dan sebagainya. 39 Maka segala hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia di bumi ini jika dilakukan karena Allah semata, maka akan ada nilai-nilai ibadah kepada Allah. Karena semua yang terjadi di dunia ini merupakan kehendak Allah swt. Jadi, pengetahuan tentang keesaan Allah-lah yang akan menjadi dasar atau pondasi dalam perkembangan akhlak anak-anak selanjutnya. Ketika kokoh pondasi itu, maka sekencang apapun angin yang menerpa, tidak akan goyah bangunan tersebut. Artinya, dengan pesatnya perkembangan globalisasi dan modernism tidak akan menggoyahkan karakter baik yang sudah tertanam dalam diri seorang anak. 2). Akhlak terhadap diri sendiri Perilaku terhadap diri sendiri yakni dengan memenuhi segala kebutuhan dirinya sendiri, menghormati, menyayangi dan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Ibnu Miskawaih 38 39
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 102 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 102
56
memaparkan bahwa berakhlak baik dengan diri sendiri yakni dengan menjaga kesehatan baik jasmani maupun rohani.
ْ ََ ف ظ َزُِ ِفى ُك ِّم َيب يَ ْع ًَ ُم ِّ يَ ُْبَ ِغى ِن َحب ِف ِظ ان َ َص َح ِت َعهَى ََ ْف ِض ِّ اَ ٌْ يَّ ْهط 40
َٔيَ ْذ ِب ُز
Setiap manusia berkewajiban menjaga kesehatan diri baik jasmani maupun rohani, dan menyembuhkannya ketika sakit. Karena dengan kesehatan itu maka kita dapat merasakan karunia Allah yang diberikan dalam diri. Kemudian dengan itu pula, maka jiwa yang baik akan suka mencari kebajikan dan ingin memilikinya, rindu pada ilmu-ilmu pengetahuan yang hakiki. 3). Akhlak kepada sesama manusia Ibnu Miskawaih mengatakan : 41
ضُٓ ْى بَ ْعضب َك َزا َيت أَ ْخ ِٕيَّت ُ َٔيُ ْك ِز ُو انَُّبسُ بَ ْع
Hubungan antar sesama
manusia hendaknya
saling
memuliakan, dengan bersikap adil ketika memutuskan sesuatu dan sebagainya. Disinilah gunanya rasa cinta dan persahabatan, masyarakat ketika rukun satu sama lain, saling gotong royong dan sebagainya akan tercipta ketentraman dalam hidup. Tidak ada kekerasan baik antar umat beragama maupun antar suku. Agama Islam sudah banyak memberikan contoh perbuatan yang indah jika dilakukan bersama-sama. Agam islam menganjurkan manusia untuk berkumpul di masjid lima kali setiap harinya untuk shalat berjamaah. Itu semua dianjurkan supaya bisa saling bertemu satu sama lain, sehingga akan melahirkan cinta dan terjadilah persatuan. Dari uraian di atas terkesan bahwa tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih memang terlihat 41
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 123
57
mengarah kepada terciptanya manusia agar menjadi filosof. Karena itu, ia memberi jalan agar seseorang memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu tertentu. Ibnu Miskawaih juga menganjurkan seseorang agar mempelajari buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak agar dengan itu manusia akan mendapat motivasi yang kuat untuk beradab.42 Pendapat Ibnu Miskawaih di atas lebih jauh mempunyai maksud agar setiap guru/pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya. Para guru/pendidik dipandang oleh Ibnu Miskawaih mempunyai kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap bidang ilmu bagi pembentukan pribadi mulia. Apabila dianalisa secara seksama, terlihat bahwa berbagai ilmu yang diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri, atau tujuan akademik semata-mata, tetapi karena tujuan yang lebih substansial, pokok dan hakiki, yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia, dan bukan semata-mata hanya ilmu. Dengan cara demikian, semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang, maka akan semakin tinggi pula akhlaknya. Namun untuk melihat sisi akhlak yang terdapat dalam setiap ilmu yang diajarkan diperlukan adanya kemampuan metodologi dan pendekatan dalam penyampaian setiap ilmu. Seseorang yang mengajarkan ilmu matematika dan fisika misalnya, selain dapat menggunakan pendekatan keilmuan, juga dapat menggunakan pendekatan secara integrated, yaitu dengan melihat ilmu tersebut dari suatu sudut atau lainnya, misalnya dari aspek akhlak atau moral. Dengan cara demikian 42
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 15
58
seseorang yang mempelajari ilmu tersebut selain memiliki keahlian dalam matematika dan fisika untuk keperluan hitungan bagi kepentingan pembangunan misalnya, juga dapat memiliki akhlak yang mulia.43
3. Komponen-Komponen Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih a. Metode Pendidikan Akhlak Metode pendidikan dapat diartikan sebagai cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, metode ini terkait dengan perubahan atau perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka moetode pendidikan di sini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Dalam kaitan ini Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan. Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metode atau metodologi pendidikan.44 Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan cara, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah: 1). Metode Alami
43
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 16 44 Ibid, h. 22
59
Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, dimana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikan diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih, dalam pendidikan karakter atau moral, dan dalam mengarahkannya
kepada
kesempurnaan,
pendidik
harus
menggunakan cara alami, yaitu berupa menemukan bagianbagian jiwa dalam diri peserta didik yang muncul lebih dulu, kemudian mulai memperbaharuinya, baru selanjutnya pada bagian-bagian jiwa yang muncul kemudian, didik secara bertahap.45 Metode ini berhubungan dengan ilmu kejiwaan (psikologi). Jadi, sebelumnya pendidik perlu mengetahui kondisi dan kecenderungan peserta didik. Pendekatan untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan ilmu kejiwaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pendidikan untuk pendidik perlu adanya pemantangan secara intens terhadap ilmu kejiwaan dan ilmu psikologi pendidikan. Terlihat ketika setelah seorang anak lahir, dia mampu mereguk air susu dari sumbernya (ASI), tanpa diajari hanya diarahkan. Kemudian seiring dengan perkembangannya ia memiliki kemampuan untuk memintanya melalui suara. Seiring berkembangnya juga fakultas lain terbentuk, seperti fakultas amarah yang dengan fakultas ini dia mencoba menolak apa yang menyakitkan dan menerima apa yang menyenangkan dirinya.46 Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan 45 46
Ibnu Miskawaih, h. 30 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 47
60
kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah. 2). Metode Bimbingan Metode ini penting untuk mengarahkan peserta didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam AlQur‟an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan
cara
mendidik
yang
ampuh
yang
hanya
bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata. Kalau orang dididik untuk mengikuti syariat agama, untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban syariat, sampai dia terbiasa, kemudian membaca buku-buku tentang akhlak, sehingga akhlak dan kualitas terpuji masuk dalam dirinya melalui dalil-dalil rasional; setelah itu ia mengkaji aritmatik dan geometri. Ia juga terbiasa dengan perkataan yang benar dan argumentasi yang tepat, dan yang dipercayainya hanya ini; kemudian meningkat setahap demi setahap seperti yang pernah kami gambarkan dalam buku Tartib al-Sa‟adah dan Manazil al-Ulum, sampai ia mencapai tingkatan manusia paling tinggi. Yaitu orang yang berbahagia dan sempurna. Kalau sudah begitu, perbanyaklah puji syukur ke hadirat-Nya, Allah yang Mahatinggi, atas anugerah agung itu. 47 Dalam Tahdzib, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa sasaran pendidikan akhlak adalah tiga bagian dari jiwa, yaitu 47
Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60
61
bagian jiwa yang berkaitan dengan berfikir, bagian jiwa yang membuat manusia bisa marah, berani, ingin berkuasa, dan menginginkan berbagai kehormatan dan jabatan; dan bagian jiwa yang membuat manusia memiliki nafsu syahwat dan nafsu makan, minum dan berbagai kenikmatan indrawi.48 Terkait hal tersebut agama mempunyai peranan penting dalam pendidikan akhlak. Agama menjadi pembatas atau pengingat ketika tiga fakultas tersebut berjalan tidak dengan semestinya. Maka, bimbingan atau arahan dari orang tua untuk menunjukan batasan-batasan itu sangat diperlukan. 3). Metode Pembiasaan Menurut Ibnu Miskawaih untuk mengubah akhlak peserta didik menjadi baik maka dalam pendidikannya diperlukan metode yang terfokus pada dua pendekatan yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan, serta peneladanan dan peniruan. Pembiasaan bisa dilakukan sejak usia dini yaitu dengan bersikap dan berperilaku yang baik, sopan, dan menghormati orang lain. Sedangkan pelatihan dapat diaplikasikan dengan menjalankan ibadah bersama keluarga seperti shalat, puasa dan latihan-latihan yang lainnya.49 Peneladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai panutan; baik orang tuanya, guru-gurunya, ataupun siapapun yang layak dijadikan figure. Kalau dilihat metode ini banyak diterapkan di lingkungan pesantren, pendidikan berbasis asrama, dan atau di rumah oleh orang tua. Sebagai contoh, di lingkungan pesantren santri dibiasakan shalat berjamaah, untuk berbahasa Arab dan Inggris 48 49
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 14 Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60
62
ketika berbicara, untuk tidak membuang sampah sembarangan, dan untuk disiplin dalam urusan waktu, serta pelbagai aturan lainnya. Bagi yang tidak mematuhi akan dikenakan sanksi yang bisa berupa pukulan ringan, diarak keliling pesantren, mendapat tugas, dan lain sebagainya. Pertama aturan tersebut ditaati dengan berat hati, tetapi seiring berjalannya waktu akan menjadi sebuah kebiasaan, dan dianggap sebagai hal yang seharusnya. Bahkan kadang setelah lulus para santri ini merindukan kondisi tersebut. Kelemahan metode ini yaitu dapat menimbulkan depresi pada orang-orang tertentu. Karena pembiasaan pada dasarnya berawal dari pemaksaan. Membiasakan diri sendiri adalah mudah, karena timbul dari kesadaran jiwa pribadi. Tetapi membiasakan orang lain untuk seperti ini dan itu dimana peserta didik belum tentu punya kesadaran untuk patuh maka akan mengalami kegagalan. Jika dilakukan dalam waktu yang lama bisa menyebabkan depresi psikis yang parah. 50 Akhirnya pelampiasannya dalah dengan melakukan prilaku-prilaku yang menyimpang. Oleh karenanya pendekatan ilmu kejiwaan sangat lah krusial dalam hal ini.
4). Metode Hukuman, Hardikan, dan Pukulan yang Ringan Ibnu Miskawaih mengatakan dalam proses pembinaan akhlak, adakalanya boleh dicoba jalan dengan menghardik, hukuman, dan pukulan ringan. Tetapi metode ini adalah jalan terakhir sebagai obat (ultimatum remedium) jika jalan-jalan lainnya tidak berhasil. Ibnu Miskawaih percaya metode ini akan membuat peserta didik untuk tidak berani melakukan
50
Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 20100), h. 263
63
keburukan dan dengan sendirinya mereka akan menjadi manusia yang baik.51 Terkait hal ini ada hadits nabi yang masyhur diketahui dikalangan umat Islam yaitu hadits tentang pendidikan anak terkait pelaksanaan shalat:
ِ ب عن أَبِ ِيه عن جد ِ ُ ِّه َق َال قَ َال رس صلَّى اللَّه َعلَْي ِه َ ول اللَّه َ َْ ْ َ ٍ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي َُ ِ َّ ِوسلَّم مروا أَوال َد ُكم ب ِِ ْ ني َو ُ ُاض ِرب َ الصالة َو ُه ْم أَبْنَاءُ َسْب ِع سن ْ ْ ُُ َ َ َ ُوه ْم َعلَْي َها َو ُه ْم أَبْنَاء ِ ع ْش ٍر وفَ ِّرقُوا ب ي ن هم ِِف الْمض )اج ِع (أخرجه ابوداود ِف كتاب الصالة َ َ ْ ُ َ َْ َ َ “Dari „Amar bin Syu‟aib, dari ayahnya dari kakeknya ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “perintahlah anakanakmu mengerjakan salat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan salat bila berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka (laki-laki dan perempuan)!”. (HR.Abu Daud dalam kitab sholat)”
Inti pokok dalam hadits tersebut Nabi mengatakan anakanak harus diajarkan untuk melakukan shalat sejak usia dini, pada usia mendekati baligh bahkan dibolehkan bagi orang tua maupun pendidik untuk memukul dengan pukulan yang ringan. Hadits ini banyak digunakan sebagai dasar pembolehan „kekerasan‟ dalam pendidikan. Kadang yang membuat banyak orang lupa bahwa walaupun Nabi memerintahkan untuk memukul dengan pukulan ringan, tetapi disana pendidik tidak boleh melakukannya dengan kebencian dan amarah. Apapun ceritanya metode ini adalah jalan terakhir jika jalan lain tidak efektif. Namun, fenomena pendidikan saat ini nampaknya jauh dari apa yang diharapkan oleh para pelaku pendidik. Maksud 51
Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60
64
hati ketika guru memarahi atau memukul ringan, agar anak didik sadar dan takut atas kesalahan yang telah dia lakukan, tapi kenyataannya tidak. Guru malah dilaporkan kepada polisi dan dipenjarakan atas perbuatannya itu.52 Padahal di dalam kitab Tahdzib al-Akhlak ini Ibnu Miskawaih membolehkan pukulan ringan, dan semacamnya dimaksudkan agar peserta didik menyadari atas kesalahannya dan diharapkan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
b. Asas-asas Pendidikan Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti: 1). Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna. 2). Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain. 3). Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal. 4). Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 5). Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
52
Ahmad Faizal , guru.yang.cubit.murid.dituntut.hukuman.6.bulan.penjara, 2016 (http://regional. kompas.com)
65
6). Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.53
c. Pendidik dan Peserta Didik Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz ataupun dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan peserta didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, anak didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian seksama. Perbedaan peserta didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya. 54 Secara garis besar yang dapat terbaca dalam kitab Tahdzib alAkhlak, bahwa Ibnu Miskawaih mengkategorikan pendidik menjadi dua, yaitu orang tua dan guru. Pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab meluruskan peserta didik melalui ilmu rasional agar mereka dapat mencapai kebagahiaan intelektual dan untuk mengarahkan peserta didik pada disiplin-disiplin praktis dan aktifitas intelektual agar mencapai kebahagiaan praktis. Posisi guru sama dengan posisi kedua orang tua yang melahirkan dan mendidik sejak kecil. Bahkan Ibnu Miskawaih meletakkan cinta murid terhadap gurunya berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan. Dengan begitu diharapkan kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.55
53
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 15. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 17 55 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidik Islam, h. 17 54
66
Apa
yang
menyebabkan
Ibnu
Miskawaih
memberikan
kedudukan yang istimewa kepada guru. Memang benar dan tidak dapat
dipungkiri
bahwa
guru adalah penyebab eksistensi
intelektual manusia, guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati, di samping itu ia ingin meninggikan penghormatan kepada guru dibandingkan jabatan yang lain dalam masyarakat. 56 Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi. Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan abadi dalam kenikmatan yang abadi pula. Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal yang demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi Nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih kepada Allah. Guru, pendidik secara sederhana dapat dipahami adalah siapapun yang mengajarkan apa yang sebelumnya tidak diketahui menjadi tahu, atau apa yang sebelumnya terlupakan menjadi ingat kembali. Guru, pendidik juga adalah seorang pelajar, mereka belajar dari pengalaman dan pendidikan. Dalam Al-Qur‟an disebutkan tentang keutamaan seorang guru dan
pelajar yang
terdapat dalam Q.S al-Mujadalah: 11, yang artinya yaitu; “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan member kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah 56
Ahmad Syar‟i, Filsafat Pendidikan Islam, h. 95
67
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S al-Mujadalah: 11) Dalam ayat ini Allah mensejajarkan antara orang yang beriman dengan orang yang berilmu. Padahal keimanan adalah puncak dari segala sesuatu. Tetapi orang yang berilmu bisa sejajar dengan orang yang beriman. Tentunya orang yang beriman yang berilmu lebih utama dari pada beriman saja dan berilmu saja. Secara tekstual yang terlihat bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu apapun yang bisa membawa kemanfaatan bagi manusia, termasuk misalnya ilmu kesehatan, astronomi/falak, matematika, dan lain sebagainya.57 Pemaparan Ibnu Miskawaih tentang bagian ilmu senada dengan yang disampaikan oleh Ibnu Sina dimana ia mengatakan ilmu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu yang kekal (hikmah) dan ilmu yang tidak kekal. Sedangkan berdasarkan tujuan, ilmu itu dibagi menjadi ilmu praktis dan ilmu teoritis. Ilmu teoritis seperti ilmu alam, falak, matematika, ilmu ketuhanan, dan sejenisnya. Sedangkan ilmu praktis diantaranya seperti ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah (management), ilmu syariah dan sebagainya. 58 Tujuan penjelasan ini adalah agar jelas bagi orang Islam bahwa menuntut ilmu apapun itu adalah bagian dari pengabdian kepada Allah. Tentang guru atau pendidik yang ideal, ini yang dijelaskan oleh al-Ghazali yang dirangkum oleh Ahmad Syar‟i, yaitu: 1) Guru harus mencintai peserta didik seperti mencintai anak kandungnya sendiri
57
Said Agil Husain al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qurani, ( Jakarta : Ciputat Press)
h.26 58
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam Klasik Hingga Kontemporer (Malang: UIN-Malang Press, 2009) h. 146
68
2) Guru tidak mengharapkan upah sebagai tujuan utama, sebab mendidik adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi, sedangkan gaji atau upah terletak pada terbentuknya peserta didik yang mengamalkan ilmunya. 3) Guru harus selalu mengingatkan muridnya agar tujuan menuntut ilmu bukan utnuk kebanggan diri atau mencapai keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah. 4) Guru harus mendorong muridnya mencari ilmu yang bermanfaat dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. 5) Guru harus memberikan contoh teladan seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada dan berakhlak mulia. 6) Guru harus mengajarkan pelajaran sesuai dengan tingkat keilmuan dan kecenderungan peserta didik. 7) Guru harus mengamalkan apa yang diajarkan, karena ia adalah idola bagi peserta didik. 8) Guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa peserta didiknya.59 Jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah untuk terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong manusia secara spontan untuk melakukan tingkah laku yang baik, sehingga ia berprilaku terpuji, mencapai kesempurnaan sesuai dengan substansinya sebagai manusia, dan memperoleh kebahagiaan yang sejati dan sempurna.60 Maka guru ideal yang dicirikan oleh Imam alGhazali adalah sangat beralasan dan tepat. Adapun
yang dimaksud dengan
guru oleh Ibnu
Miskawaih bukan dalam arti sekedar guru formal karena 59 60
Ahmad Syar‟i, Filsafat Pendidikan Islam, h. 99 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 31
69
jabatan. Menurutnya, guru adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Di samping itu, ia hendaknya menjadi cerminan atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya. Perlunya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan murid tersebut di atas dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan.61
d. Lingkungan Pendidikan Dalam proses pendidikan akhlak, lingkungan yang paling berperan besar adalah keluarga, dimana keluarga merupakan lingkungan pertama yang dilalui oleh anak. Fase anak-anak tersebut yang akan menentukan terbentuknya karakter dimasa dewasanya. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan dilalui oleh seorang anak ketika lahir ke dunia, maka segala yang ia temukan, ia dengarkan akan membekas dalam dirinya dan akan terbentuk sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pendidikan keluarga tersebut. Terlebih lagi kepada seorang ibu, yang
mengandungnya.
Dan
bahkan
ketika
dalam
kendunganpun seorang anak pada dasarnya telah mampu untuk merespon segala stimulus dari luar. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa, usaha mencapai alsa‟adat tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling tolong-menolong dan saling melengkapi, kondisi 61
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 20
70
demikian akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka al-sa‟adat tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap individu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggotaanggota badannya.62 Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa selama di alam ini, manusia memerlukan kondisi yang baik di luar dirinya. Ia juga menyatakan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai dari saudara, anak, kerabat, keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman. Disamping itu, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabi‟at manusia adalah tabi‟at memelihara diri, karena itu manusia selalu berusaha untuk
memperolehnya bersama dengan mahluk
sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya adalah dengan saling bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan
memperkuat aqidah yang benar dan kestabilan cinta
sesamanya. Selanjutnya bagaimana dengan lingkungan pendidikan yang merupakan pokok bahasan pada bagian ini. Selama ini dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Tapi Ibnu Miskawaih tidak membicarakan ketiga tersebut, akan tetapi membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari segi lingkungan sekolah yang mana menyangkut 62
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003 ) h. 20
71
hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah dengan rakyatnya, sampai seterusnya. Keseluruhan lingkungan ini satu dan
lainnya
secara
akumulatif
terciptanya lingkungan pendidikan.63
63
Ibid, h. 22.
berpengaruh
terhadap
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Konsep
akhlak
menurut
Ibnu
Miskawaih
dalam
mempertahankan martabat manusia adalah Beliau
rangka
berpendapat
bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masingmasing jiwa manusia. Untuk itu Ia memberikan pengertian pertengahan/ jalan tengah. Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem bersifat tercela. Seperti tidak boleh berpikir salah dan tidak boleh berlebihan tetapi harus bijaksana. Tidak boleh jadi pengecut, dan tidak boleh pula sembrono, jalan tengahnya adalah berani. Tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros. Jalan tengahnya adalah sederhana. Tidak boleh dzalim dan didzalimi, jalan tengahnya adalah adil. Dengan menggunakan doktrin jalan tengah ini, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun juga. Dan tentunya akan mempertahankan martabat manusia di bumi ini. 2. Adapun konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dalam rangka menanamkan akhlak baik pada peserta didik di sekolah adalah Ia mempunyai maksud agar setiap guru/pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi
diri
sendiri
dan murid-muridnya.
Tidak hanya
mengajarkan atau menyampaikan materi mata pelajaran yang diampunya saja akan tetapi juga harus mensisipi nilai etika dalam pelajaran yang diajarkan. Karena para guru/pendidik dipandang oleh Ibnu Miskawaih mempunyai kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap bidang ilmu bagi pembentukan pribadi mulia.
72
73
Dengan begitu diharapkan kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan. Ia menganjurkan bahwa berbagai ilmu yang diajarkan jangan sematamata karena ilmu itu sendiri, atau tujuan akademik semata, tetapi karena tujuan yang lebih substansial, pokok dan hakiki, yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia, dan bukan semata-mata hanya ilmu. Dengan cara demikian, semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang, maka diharapkan akan semakin tinggi pula akhlaknya. Ibnu Miskawaih memberikan kedudukan yang istimewa kepada guru, ustadz ataupun dosen. Karena bahwa guru adalah penyebab eksistensi intelektual manusia, guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati, Posisi guru sama dengan posisi kedua orang tua yang melahirkan dan mendidik sejak kecil. Bahkan Ibnu Miskawaih meletakkan cinta murid terhadap gurunya berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
B. Saran Demikian hasil pembahasan tentang konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawiah, penulis berharap kepada: 1.
Setiap individu, baik penulis atau siapapun yang membaca karya ini agar senantiasa menjaga akhlak baik, dengan menerapkan doktrin jalan tengah Ibnu Miskawaih. Bahwa jangan terlalu boros atau terlalu kikir, namun harus sederhana. Jangan dzolim dan didzolimi namun harus adil kepada sesama. Agar senantiasa hidup damai dan memiliki martabat yang baik.
2.
Para pendidik terutama kepada orang tua dan guru agar senantiasa menjaga akhlak anak serta peserta didiknya, jangan sampai mereka terbawa arus pergaulan yang tidak baik yang dimurkai Allah.
74
3.
Para guru yang lebih banyak mempunyai peran dalam menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak/peserta didik, agar para pendidik lebih memperhatikan ilmu yang diberikan kepada mereka. Bukan saja ilmu umum tetapi juga ilmu yang mengandung akhlak di dalamnya sehingga anak tidak hanya pandai ilmu tetapi juga mempunyai akhlak yang terpuji.
4.
Guru dan murid agar mempunyai cinta kasih terhadap satu sama lain agar tercipta dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan
75
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Ziauddin . Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan. Bandung: Angkasa, 2003. Al-Ghazali, Imam. Ihya Ulu al-Din. jilid 3 (Kairo: Daar al-Hadits, 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006 Aly, Heri Noer . Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999. Anwar, Rosihin. Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia, 2010 Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Asmaran. pengantar Study Akhlak. Jakarta: Rajawali, 2000. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002. Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Damanhuri. Akhlak Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Jakarta: Lectura Press, 2013 Djatnika, Rachmat . Sistem Etika Islami. Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1996. Faizal, Ahmad. guru.yang.cubit.murid.dituntut.hukuman.6. bulan. penjara, 2016 (http://regional.kompas.com) Hamim, Nur.
Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu
Miskawaih dan Al-Ghazali, Jurnal Studi Keislaman, vol 18, 2014, hlm 26 Hidayat, Helmi. Menuju Kesempurnaan Akhlak . Terj. Tahdzib al-Akhlak Ibn Miskawaih. Bandung: Mizan, 1994. Husain al-Munawwar, Said Agil. Aktualisasi Nilai-Nilai Qurani. Jakarta : Ciputat Press. Ibn Rusn, Abidin. Pendidikan Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Departemen Pendidikan Nasional Khamdun, Ibnu . Pendidikan Akhlak. 2011 (http://makalah ibnu.blogspot. co.id/2011/02/ pendidikan-akhlak.html)
76
Langgulung, Hasan . Asas-Asas Pendidikan Akhlak. Jakarta: PT Pustaka alHusna Baru, 2003. Madjid, Nurkhalis . Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2008. Maftuhin. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras, 2012. Maryam bin Zakaria, Abu . 40 Kebiasaan Buruk Wanita. Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2003. Miskawaih, Ibnu. Tahdzib al-Akhlak. Bairut, Libanon: Daar al-Kutub alIlmiyyah, 1985. Moeleong, Lexy J.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004. Munawwaroh, Djunaidatul . Filsafat Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003. Mustofa, A. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2007. Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013. Nata, Abudin . Akhlak Tsawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014. …………….,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. …………….,, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012. …………….,,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2000 Natsir, M. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1954. Raharjo, dkk.. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1994. Sodiq, Akhmad . Problematika Pengembangan Pembelajaran PAI”, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol 3, 2009 Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
77
Sururin dan Asep Usmar Ismail dan Wiwi Sajarah. Tasawuf, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005. Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih. Yogyakarta, Belukar, 2004. Syamri,
Laode.
Definisi
Konsep
Menurut
Para
Ahli,
2015
(http://laodesyamri.net) Syarif, M.M. Para Filosof Muslim. Bandung: Penerbit Mizan, 1994. Tholhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Toriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf
dalam
Dunia Modern. Malang: UIN Malang Press, 2008. Yunus, Mahmud. Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990 Zar, Sirajudin . Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.