PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam
Oleh:
YUSUF ALI IMRON 121 05 004
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2010 1
2
MOTTO
CITA-CITA TIDAK AKAN TERCAPAI KECUALI MELALUI BERBAGAI RINTANGAN JADILAH PEMIMPIN YANG DAPAT DIPATUHI ATAU RAKYAT YANG PATUH TAPI JANGAN JADI ORANG KETIGA (BANYAK KELUH KESAH)
3
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, yang telah meberikan kekuatan dan pertolongan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang pangeran dari zaman jahiliyah menuju zaman ke-Islaman. Tanpa bantuan dari berbagai pihak tentunya skripsi ini tidak akan bisa selesai, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tuaku dan adik-adikku yang selalu perhatian, kasih sayang serta memberikan pengorbanan siang dan malam tanpa mengenal lelah. 2. Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag selaku pembimbing skripsi, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan dukungan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar sampai selesa 3. Dindaku Tercinta dan Tersayang Naelasari Anisia yang selalu memberikan semangatnya serta motivasi berupa kedamaian dalam hatiku serta selalu sabar menghadapiku. 4. kepada kawan-kawan FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) yang mengajarkan tentang memperjuangkan nasib kaum tertindas. 5. Kepada kawan-kawan Teater Getar yang selalu menjadikanku keluarganya Sahabatku Adjie, camat, amrie yang selalu membantuku. 6. Semua temen-temen yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu terselesainya skripsi ini. Penulis menyadari, skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan ilmiah dimasa yang akan datang. Salatiga, 07 September 2010 Penulis, Yusuf Ali Imron
4
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada : Terutama dan paling utama ALLAH SWT yang telah memberi sedikit
dari rahmat & hidayahnya, serta masih mengizinkanku untuk bernafas sampai detik ini. Bapak dan Ibu tercinta, Zumroni, S.Ag dan Latifah, yang telah mem-
berikan semua pengorbanan, bimbingan dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Semua adik-adikku, yang selalu memberi semangat dalam hidupku,
untuk selalu mengejar cita-cita setinggi mungkin. Kawan-kawan Teater GETAR, FPPI, LBC, yang selalu menjadi teman terbaikku. Dindaku
tercinta & tersayang Naelasari
memberikan semangat,
perhatian dan
Anisia yang selalu
motivasi, serta selalu ada
buatku. Semua sahabatku yang tidak bisa saya sebut satu persatu yang selalu memberikan dukungan & semangat pada penulis.
5
DAFTAR ISI Halaman Judul ……………………………………………………………. Motto ……………………………………………………………………... Persembahan ……………………………………………………………... Kata Pengantar…………………………………………………………… Daftar Isi………………………………………………………………….. Abstrak……………………………………………………………………. BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ………………………………… B. Fokus Penelitian ………………………………………. C. Rumusan Masalah ………………………………………. D. Tujuan Penelitian……………………………………….. E. Manfaat Penelitian ……………………………………... F. Telaah Kepustakaan……………………………………. G. Metodologi Penelitian…………………………………… H. Sistematika Penulisan Skripsi …………………………... BAB. II Biografi Dan Setting Sosial Ibnu Miskawaih A. Biografi Ibnu MIskawaih…………………………. 1. Tentang Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih……….. 2. Pendidikan Ibnu Miskawaih…………………...... 3. Aktivitas Ibnu Miskawaih .…………............. 4. Karya-Karya Ibnu Miskawaih 5. Latar Belakang Penulisan Kitab Tahzibul Akhlak B. Setting Sosial Ibnu Miskawaih......................................... BAB. III Isi Pokok Pemikiran Ibnu Miskawaih A. Pendidikan Akhlak Anak……………………………….. B Konsep Pendidikan Akhlak Anak……………………… 1. Tujuan Pendidikan Akhlak………………………. 2. Materi Pendidikan Akhlak……………………… 3. Pendidik Dan Anak Didik ..................................... 4. Lingkungan Pendidikan.......................................... 5. Metodologi Pendidikan………………………….. BAB IV. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak Anak Menurut Ibnu Miskawaih dengan Pendidikan Islam Di Indonesia
BAB
A. B. C. V.
Relevansi Materi Pendidikan Akhlak................................ Relevansi Tujuan Pendidikan Akhlak ………………... Relevansi Metode Pendidikan Akhlak Penutup
A. Kesimpulan ……………………………………….. B. Saran-Saran………………………………………... Daftar Pustaka…………………………………………………………….. Daftar Riwayat Hidup…………………………………………………….. 6
ABSTRAK Yusuf Ali Imron. 2010. PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Progran Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag. Key word : Pendidikan Akhlak Anak - Ibnu Miskawaih. Problematika rendahnya pendidikan akhlak di dalam masyarakat kita sekarang, yang berarah pada kehancuran bangsa ini. Sehingga untuk menyelamatkan bangsa, seluruh masyarakat dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan paling atas harus dikembalikan kepada akhlak. Caranya membiasakan anak dengan akhlak yang baik sejak kecil agar tercipta generasi penerus yang memiliki kepribadian yang sempurna dan dapat menghadapi tantangan hidup di zaman sekarang. Pendidikan mempunyai peranan penting terhadap perkembangan anak. Hal ini tentunya dalam membantu anak dalam menentukan dan mengembangkan jati dirinya. Nilai-nilai dan tata hidup anak akan memiliki arah sedemikian rupa, sehingga mereka tetap memiliki arah hidup yang taat dan efektif dalam menghadapi gerak perubahan ini. Artinya ia tetap memiliki tata nilai yang menjadi pegangan hidup. Dengan demikian orang tua, masyarakat haruslah berperan serta dalam proses pendidikan akhlak bagi anak. Berangkat dari fenomena yang di paparkan diatas, dengan berlakunya otonomi pendidikan setidaknya kita harus kembali ke hakekat pendidikan, yaitu memanusiakan manusia dengan mendorong anak untuk memunculkan daya kritis, kreatif dan sebagainya. Berangkat dari problematika tersebut diatas, penulis termotivasi untuk mengkaji lebih lanjut tentang pendidikan akhlak anak dengan mengacu pada kitab ”Tahzibul akhlak wa thathirul A’raq” atau buku terjemahan dalam bahasa Indonesia menuju kesempurnaan akhlak. Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukkan bahwa: pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak anak yang mengatakan bahwa watak itu bisa berubah, dan perubahan itu bisa melalui pendidikan dan pengajaran. Juga memaparkan tentang kebaikan dan kebahagiaan, karena Ibnu Miskawaih di dalam meninjau akhlak berdasarkan nilai-nilai kebajikan (al-khairu) untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka orang harus mencapai al-khairu terlebih dahulu, kebaikan atau kebajikan merupakan kunci kesempurnaan manusia. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa orang tua sangat berperan dalam pendidikan akhlak anak. Menurutnya pendidikan akhlak merupakan konsepsi baku pembentukan pribadi anak, kedua orang tua yang mula-mula tampil untuk melakukan tugas tersebut. Pencapaian kepribadian akhlak yang luhur dan berbudi pekerti, orang tua selaku pendidik mempunyai peran: memberi contoh atau teladan yang baik, memberi nasehat, memberikan perhatian. Beberapa metode pendidikan akhlak anak Ibnu Miskawaih diantaranya : metode alamiah, metode keteladanan dan metode pembiasaan. Adapun relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih mengenai peran orang tua dalam pendidikan akhlak anakdiantaranya adalah: akhlak kepada Tuhan, akhlak kepada sesama, akhlak kepada diri sendiri dan akhlak kepada lingkungan. Tak heran jika Ibnu Miskawaih kemudian menyimpulkan, hal-hal yang telah terbiasa dilakukan oleh anak-anak sejak kecil, akan memengaruhinya ketika menjadi orang dewasa. Dengan demikian, anak laki-laki ataupun perempuan harus sejak dini dididik tentang kebaikan. Bila hal ini diabaikan, ungkap Ibnu Miskawaih, mereka akan jatuh dalam perangkap keburukan. Dan, tentunya hubungan spiritual dengan Allah SWT akan mengalami gangguan akibat perilaku yang buruk itu. Jadi, pendidikan akhlak menjadi hal yang sangat berperan penting.
7
8
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dengan perubahan zaman yang semakin maju, secara otomatis juga telah merombak perubahan tatanan kehidupan. Pada masa dahulu kehidupan masyarakat sangat dinamis, saling menghormati dan menghargai terutama pada yang lebih tua (baik sebagai orang tua atau guru). Namun pada zaman sekarang keadaan tersebut mulai bergeser. Akhlak yang baik merupakan buah iman yang mendalam dan perkembangan relegius yang benar. Dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah, SWT, rasa takut, bersandar, meminta ampun pada Allah, maka kita akan memiliki potensi menerima keutamaan dan kemuliaan akhlak (Arif Abdullah Fatah Thabrani, 1996 : 10). Pada hakekatnya ajaran Islam memberikan pedoman hidup kepada umat manusia. Pedoman hidup itu telah terurai banyak secara luas dan jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan contoh-contoh dalam kehidupan Nabi Muhammad, SAW. Inti dari pedoman hidup tersebut adalah manusia dianjurkan untuk membangun kehidupan itu dengan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Hal ini jika dijalankan,
maka kehidupan akan selamat.
Manusia disuruh untuk
memilihnya, tentunya persoalan semacam ini masuk dalam lingkup pembahasan akhlak.
1 9
Melalui pendidikan dari Al-Qur’an anak diajak memiliki budi pekerti yang luhur yang sering disebut Akhlakul Karimah. Sehingga setelah Akhlakul Karimah ini melekat dalam setiap diri anak sebagai generasi penerus umat Islam, maka akan mengantarkan mereka pada umat yang baik. Sebagaimana di Firmankan Allah melalui Al-Qur’an menjadi Khoirul Ummah. Karena karimah telah melekat pada dirinya, kehidupan didunia akan menjadi tenang dan damai sebab dipenuhi orang-orang yang baik (Purwadi Wardoyo, 1999 : 13). Penulis melihat karya-karya masa lampau, karena karya masa lampau merupakan sejarah yang perlu kita jadikan tolak ukur untuk dapat diambil hikmahnya, untuk bisa membawa perubahan ke masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini penulis melihat filosof muslim timur, karena menganggap timurlah yang tepat sebagai acuan, tuntunan disamping kesamaan akidah juga kesesuaian dengan jati diri manusia Indonesia. Dengan adanya kesamaan
akidah juga kesesuaian inilah dapat memberikan jalan
keluar didalam setiap masalah yang terjadi. Sedangkan penulis tidak melihat para tokoh barat yang dianggap lengkap secara proposional. Penulis memandang walaupun barat itu lebih lengkap akan tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah, bahkan sebaliknya. Penulis mengambil tokoh Ibnu Miskawaih, karena tokoh ini seorang muslim yang memiliki kredibilitas tinggi dalam bidang akhlak, etika, budi pekerti. Ibnu Miskawaih menonjol pembahasannya tentang etikanya dengan panduan antara kajian teoritis dan praktis.Hal tersebut bisa dilihat dengan 10
pengalaman hidupnya sendiri, yang waktu muda sering dihasilkan pada perbuatan yang sia-sia, telah menjadikan dorongan kuat bagi generasi sesudahnya. Begitu para ahli (pendidikan dan filsafat) yang telah membahas etika atau akhlak, baik pada kalangan bahasan etika tidak kalah seriusnya dibandingkan dengan filusuf yunani. Tetapi tokoh yang paling menonjol banyak mencurahkan perhatiannya pada etika dalam pemikirannya adalah Ibnu Miskawaih dengan karya monumentalnya “Tahzibul akhlak wa thatirul A’raq”. Pandangan Ibnu Miskawaih tentang etika dan akhlak merupakan sebuah karya besar bagi dunia pendidikan dan banyak dijadikan referensi dalam praktek di dunia pendidikan Islam. Problematika rendahnya pendidikan akhlak di dalam masyarakat kita sekarang, yang berarah pada kehancuran bangsa ini. Sehingga untuk menyelamatkan bangsa, seluruh masyarakat dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan paling atas harus dikembalikan kepada akhlak. Caranya membiasakan anak dengan akhlak yang baik sejak kecil agar tercipta generasi penerus yang memiliki kepribadian yang sempurna dan dapat menghadapi tantangan hidup di zaman sekarang. Pendidikan mempunyai peranan penting terhadap perkembangan anak. Hal ini tentunya dalam membantu anak dalam menentukan dan mengembangkan jati dirinya. Nilai-nilai dan tata hidup anak akan memiliki arah sedemikian rupa, sehingga mereka tetap memiliki arah hidup yang taat dan efektif dalam menghadapi gerak perubahan ini. Artinya ia tetap memiliki tata nilai yang menjadi pegangan hidup. 11
Dengan demikian orang tua, masyarakat haruslah berperan serta dalam proses pendidikan akhlak bagi anak. Berangkat dari fenomena yang di paparkan diatas, dengan berlakunya otonomi pendidikan setidaknya kita harus kembali ke hakekat pendidikan, yaitu memanusiakan manusia dengan mendorong anak untuk memunculkan daya kritis, kreatif dan sebagainya. Berangkat dari problematika tersebut diatas, penulis termotivasi untuk mengkaji lebih lanjut tentang pendidikan akhlak anak dengan mengacu pada kitab ”Tahzibul akhlak wa thathirul A’raq” atau buku terjemahan dalam bahasa Indonesia menuju kesempurnaan akhlak. B. Fokus Penelitian Untuk menghindari salah tafsir dalam memahami judul di atas, maka perlu adanya pembahasan dan penjelasan terlebih dahulu dengan judul tersebut. Adapun pembahasan dan penjelasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pendidikan Akhlak Anak Pendidikan
dapat
diartikan
sebagai
usaha
sadar
untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur, 2004 : 57). Atau dengan kata lain pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penentuan dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradapan umat manusia (Mansur, 2001 : 1). Jadi pengertian diatas dapat difahami bahwa pendidikan adalah proses bimbingan oleh pendidik (guru, orang tua, masyarakat atau lingkungan) kepada anak didik baik jasmani maupun rohani yang 12
dilakukan secara sadar dan sengaja agar terbentuk kepribadian yang utama serta untuk memperbaiki kualitas hidup umat manusia. Tujuan utama dari pendidikan Islam yaitu pembentukan akhlak dan budi pekerti yang menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik lakilaki maupun perempuan, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi dan dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk (Muh. Atiyah, Al Abarasyi, 1970 : 103). Kesimpulan
yang
dapat diambil
dari pengertian
diatas,
pendidikan akhlak anak adalah suatu bimbingan oleh si pendidik terhadap anak didik dengan tujuan membentuk kebiasaan atau sikap yang baik sehingga anak memiliki kepribadian yang utama. 2. Ibnu Miskawaih Abu ali Ahmad Ibnu Miskawaih dilahirkan di Ray (Teheran). Mengenai
tahun
kelahiran
para
penulis
berbeda-beda
pendapat,
M.M, Syarif mencatat tahun 320 H/933 M sebagai tahun kelahiran (M.M, Syarif, 1989 : 84). Margoliouth sebagaimana dikutip oleh Izzat menyebut 330 H/941 M, sementara Abdul Aziz Izzat sendiri menyebutkan 325 H./938 M (Abu Bakar Atjeh, 1991 : 170). Dalam kitab ”Tahzibul Akhlak” Ibnu Miskawaih menyebutkan 330 H/941 M merupakan tahun kelahirannya (Ibnu Miskawaih, 1994 : 13). Sedang penulis sendiri lebih condong pada tahun (330 H/941 M) sebagai tahun kelahiran Ibnu Miskawaih. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar
13
Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-khammar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib. Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Ibnu Miskawaih adalah seorang yang representatif dalam bidang akhlak (filsafat etika) dalam Islam. Sungguhpun terpengaruh oleh budaya asing, terutama yunani, namun usahanya sangat berhasil dalam melakukan harmonisasi antara filsafat dan pemikiran Islam, terutama dalam bidang akhlak, hal itu bisa kita lihat dengan karyanya. Kitab ”Tahzibul Akhlak wa Thathirul A’raq” yang merupakan uraian suatu aliran akhlak yang materinya ada yang berasal dari konsepkonsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran Islam serta diperkaya dengan pengalaman hidupnya dan juga situasi pada zamannya. Ia terutama ditunjukkan untuk memberikan bimbingan bagi generasi muda dan menuntut mereka pada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat agar mereka tidak sesat dan umur mereka tidak di sia-siakan. Dari itu ”aliran akhlak Ibnu Miskawaih merupakan perpaduan antara kajian filsafat teoritis dan juga tuntunan praktis di mana segi pendidikan dan pengajaran lebih menonjol” .
14
Pada tanggal 9 shaffar 421 H/16 pebruari 1030 M, Ibnu Miskawaih menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan bani Abbas (Abudin Nata, 200: 5). Yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah. C. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Biografi Ibnu Miskawaih ? 2. Apa yang melatar belakangi Ibnu Miskawaih menekankan pemikirannya pada akhlak ? 3. Bagaimana konsep pendidikan akhlak anak menurut Ibnu Miskawaih ? 4. Sejauh mana relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih dalam konteks pendidikan di Indonesia kontemporer ? D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan objek pokok permasalahan maka tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. Untuk mengetahui biografi intelektual Ibnu Miskawaih. 2. Untuk mengetahui apa yang melatar belakangi Ibnu Miskawaih menekankan pemikirannya pada akhlak. 3. Untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak anak menurut Ibnu Miskawaih. 4. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih dalam konteks pendidikan di Indonesia kontemporer. E. Manfaat Penelitian 15
Setelah penulis mengkaji karya-karya Ibnu Miskawaih (Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq) dan karya lain yang ada hubungannya di harapkan bermanfaat bagi semua untuk : a. Menambah wawasan pengetahuan tentang akhlak dan menjadikannya sebagai bekal utama dalam mencari ilmu di manapun berada. b. Memberikan informasi dan dapat memperkaya wacana mengenai pemikiran tentang seorang cendekiawan muslim Ibnu Miskawaih yang dapat dijadikan panutan. F. Telaah Kepustakaan Untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil tiruan yang membahas permasalahan yang sama dari seseorang baik dalam bentuk buku, kitab dan dalam bentuk tulisan yang lainnya, maka penulis akan memaparkan beberapa buku yang sudah ada sebagai bandingan dengan mengupas permasalahan tersebut sehingga diharapkan akan muncul penemuan baru. Karya tulis mengenai pemikiran Ibnu Miskawaih yang sebelumnya sudah ada diantaranya : a. Menuju Kesempurnaan Akhlak, karya Ibnu Miskawaih, penerjemah Helmi Hidayat yang berisi: pembahasan tentang jiwa, tentang fitrah manusia dan asal usulnya, mengetahui dan memahami etika secara filosofis dan sangat mendidik. b. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, karya Abudin Nata, berisi tentang konsep pendidikan para tokoh-tokoh Islam. c. Akhlak Seorang Muslim, karya Muhammad Al-Ghazali, yang berisi tentang moralitas skriptual, teori-teori teologi dengan landasan Al-Qur’an 16
dan Sunnah, teori relegius berakar dari konsepsi Al-Qur’an tentang manusia dan kedudukannya di alam semesta. G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bibliografi, karena dengan metode sejarah untuk mencari, menganalisa, membuat interprestasi serta generalisasi dari fakta-fakta yang merupakan pendapat para ahli dan mencakup hasil pemikir-pemikir dan ahli-ahli (Moh. Nasir, 1995 : 62). Tatang M. Arifin yang menyebutkan bahwa peneliti literer lebih di maksudkan studi ”kepustakaan” dan bukan studi ”perpustakaan” (Tatang M. Arifin, 1990 : 135). Jadi penelitian ini menggali datanya dari dari bahan-bahan tertulis (khususnya berupa teori-teori). Penelitian di dasarkan pada studi literer dari buku-buku yang ada hubungannya langsung dengan penelitian ini. Dengan cara demikian, maka penulis kan mendapatkan data-data serta informasi yang dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini penulis menggunakan: a. Library Research yaitu suatu riset kepustakaan (Sutrisno Hadi, 1983 : 9). Penelitian ini menempuh langkah-langkah di antaranya: -
Mencari buku-buku yang ada kaitannya dengan penulisan ini.
-
Mencari penyusunan dalam buku-buku, mulai buku pegangan sistematis, karangan kusus dan lain-lain.
-
Menyusun catatan, kemudian dikonsultasikan atau dirujuk pada buku yang berkaitan.
17
b. Metode
Deskripsi
yaitu
metode
penelitian
dengan
cara
mendeskripsikan realita-realita fenomena sebagaimana adanya yang di pilih dari perspektif subjektif (Anton Bekker dan A. Haris, 1990 : 65). Dalam hal ini mendiskripsikan pemikiran serta pendapat Ibnu Miskawaih yang berkaitan denagan akhlak dalam kitabnya ”Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq”. c. Metode Historis yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui perkembangan pemikiran tokoh yang bersangkutan, baik yang berhubungan dengan lingkungan historis dan pengaruh di dalamnya maupun dalam kehidupan sehari-hari (Winarno, 1989 : 132). Metode ini berarti penyelidikan yang mengaplikasikan metode pemecahan yang ilmiah dari perpekstif historis suatu masalah. d. Metode Analisis, metode ini adalah di maksudkan untuk menganalisis bab per bab mencari pembentukan akhlak yang terkandung di dalam kitab ”Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq”. e. Metode induksi, metode ini berdasarkan pada analisis dari isi kitab tersebut, maka penulis mengambil kesimpulan dengan metode induksi. 2. Metode Pengumpulan Data Penulisan di dalam pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Karena penelitian ini bibliografi maka pengumpulan data yang di pergunakan adalah metode dokumentasi yaitu laporan dari kejadian-kejadian yang berisi pandangan pemikiran-pemikiran manusia di masa lalu (Moh. Nasir, 1995 : 62).
18
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini di bagi menjadi dua bagian yaitu : a. Sumber data yang bersifat primer yaitu kitab ”Tahzibul Akhlak” karya Ibnu Miskawaih. b. Sumber data yang bersifat skunder, yaitu yang menjadi pelengkap dalam penelitian ini, merupakan bacaan yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian. 3. Metode Analisa Data Penelitian ini merupakan serangkaian kegiatan untuk menarik kesimpulan dari hasil kajian konsep atau teori yang mendukung dalam penelitian ini. H. Sistematika Penulisan Skripsi BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Fokus Penelitian C. Rumusan Masalah D. Tujuan Penelitian E. Manfaat Penelitian F. Telaah Kepustakaan G. Metodologi Penelitian H. Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II
: BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL IBNU MISKAWAIH A. Biografi Ibnu Miskawaih 1. Tentang riwayat hidup Ibnu Miskawaih 2. Pendidikan Ibnu Miskawaih 19
3. Aktivitas Ibnu Miskawaih 4. Karya-karya Ibnu Miskawaih 5. Latar belakang penulisan kitab Tahzibul Akhlak B. Setting Sosial Ibnu Miskawaih BAB III
: ISI POKOK PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH A. Pendidikan Akhlak Anak B. Konsep Pendidikan Akhlak Anak 1. Tujuan Pendidikan Akhlak 2. Materi Pendidikan Akhlak 3. Pendidik dan Anak Didik 4. Lingkungan Pendidikan 5. Metodologi Pendidikan
BAB IV
: RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA. 1.
Relevansi Materi Pendidikan Akhlak
2.
Relevansi Tujuan Pendidikan Akhlak
3.
Relevansi Metode Pendidikan Akhlak
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-Saran 20
21
BAB II BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL IBNU MISKAWAIH
A. Biografi Ibnu Miskawaih 1. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof yang menitik beratkan perhatiaanya pada bidang etika, Ibnu Miskawaih adalah ”seorang filusuf muslim yang mencurahkan perhatiannya pada masalah etika islam (akhlak) dan dialah yang mula-mula membahas masalah tersebut dalam suatu uraian yang terinci. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’qub Ibnu Miskawaih, akan tetapi kebanyakan orang menyebut namanya dengan Ibnu Miskawaih atau Miskawaih. Sedangkan penulis sendiri cenderung menggunakan namanya Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih lahir di Rayy (Teheran) dan meninggal di Isfahan, tahun kelahiran di perkirakan 320 M/932 M dan wafat 9 Shaffar 421 H/16 Februari 1030 M (M.M. Syarif, 1989 : 84). Ibnu Miskawaih sepenuhnya hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyah (320 H-450 H/932 M1062 M) yang para pemukanya berfaham Syi’ah (Abudin Nata, 200 : 5). Ibnu Miskawaih adalah seorang anak yang bernasib tidak mujur. Sejak kecil Ia tidak pernah menerima dan merasakan belaian kasih sayang seorang ayah, karena ayahnya meninggal sewaktu Ia masih dalam kandungan, hidup dalam keadaan yatim, dia diasuh dan dibesarkan hanya oleh ibunya sampai menginjak dewasa. 14 22
Menginjak dewasa, Ibnu Miskawaih juga pernah tinggal bersama Ibnu al-Hamid sebagai seorang petugas perpustakaan (Pustakawan). Kemudian berhidmat pula kepada anaknya Ali bin al-Hamid tetapi terakhir tugas ini bukan sebagai tugas pokok melainkan dilakukan oleh Ibnu Miskawaih sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang yang Ia pandang sebagai seniornya. Ketika Ibnu Hamid meninggal tahun 360 H, Ia diganti oleh anaknya dengan nama keluarga Dzul al-Kifayatin (M.M. Syarif, 1996 : 84). Ibnu Miskawaih juga pernah mengabdi kepada Abdullah al-Daulah, salah seorang keturunan Buwaih dan kemudian beberapa penguasa yang lain. Memperhatikan
tahun
kelahirannya
dan
wafatnya
serta
kehidupannya diatas, dapat diketahui bahwa Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan bani Abbassiyah berada dibawah pimpinan Buwaih yang beraliran Syi’ah dan dari keturunan Persi bani Buwaihi mulai terpengaruh sejak Khalifah al-Mustakhfi dari bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar M’az al-Daulah pada tahun 945 M. Ayahnya Abu Saja’ Buwaih adalah pimpinan suku yang sangat berpengaruh dan kebanyakan pengikutnya berasal dari daerah selatan laut Kaspia yang merupakan pendukung keluarga Saman. Tiga anaknya selain Ahmad, Ali dan Hasan adalah tokoh pimpinan yang disegani dinegeri Dailan, mereka muncul dalam bidang politik pada abad IV H. Dengan berhidmat pada seorang panglima Dalian Musdami bin Ziar yang berpengaruh besar di negeri-negeri laut Kaspia ditanah Persi. 2. Pendidikan Ibnu Miskawaih 23
Berawal dari latar belakang pendidikannya secara rinci tidak diperoleh keterangan. Akan tetapi diketahui cuma sebagian antara lain Ia terkenal mempelajari sejarah terutama Tarikh al-Thabari, kepada Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi (350 H/960 M). Ibn al-khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmuilmu filsafat. Ibnu Miskawaih mengkaji alkimia dari Abi Thayyib al-Razi, seorang ahli kimia (M.M. Syarif, 1989 : 83). Secara konklusif dapat dikatakan bahwa dalam keseluruhan perjalanan study Ibnu Miskawaih mendapatkan tuntunan guru hanya pada pelajaran-pelajaran tingkat dasar. Adapun untuk pelajaran tingkat lanjutan di peroleh melalui self study yang berarti tanpa bimbingan dari seorang guru. Ibnu Miskawaih menganggap perpustakaan serupa sekolah, tempatnya untuk mendalami berbagai macam Ilmu Pengetahuan (Wahyu Murtiningsih, 2008 : 179). 3. Aktivitas Ibnu Miskawaih Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selain akrab dengan penguasa Ibnu Miskawaih juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Yahya Ibnu Adi dan Ibnu Sina.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemashurannya melebihi pendahulunya, al-Thabari wafat sekitar tahun (310 H/923 M). Selain itu juga dikenal sebagai dokter, penyair dan 24
ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel yang tidak luput dari kepentingan filsafat akhlak. 4. Karya-karya Ibnu Miskawaih Dari buku referensi tentang Ibnu Miskawaih yang penulis baca, bahwa Ibnu Miskawaih seorang penulis yang produktif, secara jelas tidak ada literatur yang memberikan informasi yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui sejak kapan Ibnu Miskawaih mulai menulis. Namun yang pasti ada banyak artikel maupun buku yang telah berhasil ditulisnya. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih yang penulis ketahui diantara semua karyanya adalah: a.
Tahzibul Akhlak wa Thatirul A’raq (kitab ini membahas tentang teori-teori etika atau akhlak).
b.
Al Fawz al-Asghar (kitab ini membahas persoalan ketuhanan, kejiwaan dan kebahagiaan).
c.
Tajarub al-Umam (sebuah sejarah tentang peristiwa setelah banjir besar pada masa Nabi Nuh yang ditulis pada tahun 369 H/979 M).
d.
Jawidzan al-Khirad (kumpulan ungkapan bijak atau filsafat Yunani, Arab, Persi dan India).
e.
Tartib al-Sa’adah (kitab ini membahas tentang etika adab politik)
f.
Al Usn al-Farid (kitab ini berisi tentang kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
g.
Al Musthafa Fi al-syi’ri (kitab ini berisi kumpulan syair-syair pillihan).
h.
Al Syiar (kitab ini membahas tentang aturan hidup). 25
i.
Al Asyribah (kitab ini menerangkan macam-macam minuman).
j.
Al jami’ (berisi tentang ketabiban atau kedokteran).
k.
Al Fawz al-Akbar (kitab ini berisi tentang persoalan etika).
l.
Thaharat al-Nafs (suci dan nafsu).
m.
Risalah fi al-Ladzdzat wal-Alam fi Jauhar al-Nafs, naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463,lembar 57a-59a.
n.
Aj wibah wa As’ilah fi al-Nafs wal Aql, dalam majmu’ah tersebut diatas dalam Raghib Majmu’ah di Istanbul.
o.
Al Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats, naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31).
p.
Risalah fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql, perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137). Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan
bahwa Ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70. Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Ibnu Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz alAsghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah (M.M. Syarif, 1996 : 85). Hampir seluruh bidang keilmuan yang berkembang masa itu Ibnu Miskawaih pelajari, oleh karena itu ada beberapa penulis memberikan predikat filosof, sastrawan, ahli kedokteran, sejarawan dan fisikawan. Selain seorang sarjana yang amat luas Ilmu Pengetahuannya, Ibnu
26
Miskawaih juga selalu tercantum dalam deretan nama-nama para filosof muslim. 5. Latar Belakang Penulisan Kitab Tahzibul Akhlak Dalam pendahuluan kitab “Tahzibul Akhlak” Ibnu Miskawaih :
)قال( احمد بن مسكويه عرضنا في هذا الكتاب ان نحصل لنفسنا خلقا تصدربه عنا الفعال كلها جميلة وتكون مع ذلك سهلة علينا ل كلفة ول مشقة ويكون ذلك بضاعة وعلى ترتيب تعليم وطريق Mengatakan, tujuan kami dalam kitab ini adalah agar mencapai budi pekerti yang melahirkan perbuatan-perbuatan luhur, serta mudah dilakukan dan tidak memberatkan atau menyakiti. Budi pekerti tersebut dapat dicapai dengan latihan dan pendidikan (Ibnu Miskawaih, 1985 : 3). Ungkapan tersebut memberikan penjelasan tentang teori akhlak yang tujuan akhirnya adalah untuk turut memberikan sumbangan dan ikhtiar menyembuhkan penyakit hati sehingga seseorang bisa lebih berbudi pekerti luhur dimanapun dan kapanpun berada. Tetapi disamping itu ada satu hal yang tidak menyenagkan dihati Ibnu Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh sebab itu, Ibnu Miskawaih mulai tertarik untuk mencurahkan perhatiannya dalam bidang etika Islam (akhlak) sebagai ikhtiar untuk mengatasi tradisi masyarakat dan dekadensi (kemerosotan tentang akhlak) tersebut. Dari sinilah Ibnu Miskawaih untuk membangun masyarakat yang mengalami kemerosotan moral, dengan segala pemikirannya dan merasa bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan masa itu. lalu Ia menulis kitab “Tahzibul Akhlak” tersebut dengan tujuan, tatkala masyarakat dilanda penyakit kemerosotan moral. Oleh karena itu rujukannya adalah 27
untuk memberikan bimbingan dan menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak kepada nilai-nilai akhlak yang luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat, agar tidak sesat dan umur mereka tidak disia-siakan seperti yang dialami pada masa itu (Ahmad Daudy, 1986 : 61). B. Setting Sosial Ibnu Miskawaih Ibnu Miskawaih adalah ahli sejarah yang pemikirannya sangat cemerlang. Dialah Ilmuwan Islam paling terkenal dan yang pertama kali menulis filsafat akhlak. Setiap orang yang mengkaji sejarah al-Thabrani dan membandingkannya dengan sejarah Ibnu Miskawaih yang terkenal dengan nama ”Tajarub al-Umam”, akan memahami dia berada pada peringkat kedua dalam penulisan sejarah setelah peringkat yang diduduki oleh para pendahulunya. Karena Ibnu Miskawaih bekerja cukup lama di pemerintahan dan kantor negara, dia memiliki banyak keistimewaan. Pengetahuan tentang orang-orang yang terkenal pada zamannya sangat luas. Ia mampu memperoleh informasi dari sumber aslinya. Perlu diketahui Ia juga sangat memahami model administrasi dan strategi peperangan sehingga Ia dengan mudah dapat menuliskan berbagai peristiwa secara jelas. Dia juga menguasai berbagai manuver politik dengan baik, kita tahu bahwa al-Thabari jarang menyebutkan tentang ekonomi negara. Berbeda dengan Ibnu Miskawaih, Ia sering berbicara tentang perekonomian negara dengan sangat akurat, bahkan Ia menuliskannya menjadi sejarah politik yang sangat hidup (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 154). Ibnu Miskawaih bersifat jujur dan objektif, meskipun dia mengabdikan dirinya kepada pemerintahan Buwayh, Ibnu Miskawaih tidak pernah 28
menyembunyikan
kejahatan
mereka.
Bahkan
sebaliknya
dia
berani
membongkarnya untuk diadili. Berbeda dengan al-Thabari yang ahli tafsir AlQur’an dan ahli fiqih, perhatiaanya sangat sedikit kepada masalah-masalah agama. Sehingga mungkin saja orang yang membaca beberapa jilid bukunya, akan dengan mudah meragukan kemusliman pengarangnya (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 154). Ibnu
Miskawaih
memiliki
kemampuan
luar
biasa
dalam
mengungkapkan pribadi seseorang, menjelaskan kerusakan zamannya dan menuliskan pemandangan yang amat mengerikan yang sulit dilupakan meskipun hanya dibaca sekali saja. Misalnya, tragedi eksekusi dan penyaliban al-Hallaj, matinya Ibnu al-Furat dan penyanderaan Wazir Ibnu Maqlah (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 155). Ibnu Miskawaih juga mempunyai kelebihan dalam bidang filsafat akhlak. Sejak masa mudanya, dia telah mempelajari akhlak Persia dan Yunani. Keterlibatannya dalam bidang politik dan sosial membuatnya sangat matang dalam dunia itu. Disamping itu, dia juga sangat senang mengkaji persoalan jiwa dan seluk beluknya. Dalam bidang ini dia mengarang berbagai buku diantaranya buku yang berjudul ”Tahzibul Akhlak, Al Fawz al-Akbar, Al Fawz al-Asghar” dan buku berbahasa Persia yang berjudul ”Jawidan Khurd” yang artinya akal yang kekal. Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa adalah sebuah inti yang sangat halus yang tidak dapat dirasakan oleh salah satu indra manusia. Dia mengetahui bahwa dia mengetahui dan bekerja. Dia bukan badan, karena dia bisa menerima sesuatau yang saling bertolak belakang, seperti keberanian dan rasa 29
takut. Sifatnya sangat menerima pengetahuan. Jiwa memang satu kesatuan antara akal, akil, dan maqul. Ibnu Miskawaih memberikan penjelasan bahwa dengan jiwa, manusia dapat mencapai puncak wujud, bahkan mengapai zatNya. Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa adalah abadi dan substansi bebas yang mengendalikan tubuh. Itu intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah. Kebahagiaan kami timbul melalui gerakan keatas, kemalangan kami melalui gerakan dalam arah berlawanan. Pembahasan
Ibnu
Miskawaih
tentang
kebaikan
dengan
menggabungkan ide Aristoteles dengan Platonic. Menurut dia, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah. Untuk mendapat jiwa yang bersih maka anak-anak sejak kecil lagi harus didedahkan dengan nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai buruk pula hanya akan mengganggu proses tumbesaran dan menyebabkan mereka membesar tanpa menghiraukan tatasusila. Anak-anak perlu dilatih pada peringkat awal tumbesaran supaya bersikap dan bertindak mengikut nilai-nilai ini agar sebati dengan diri serta sanubari mereka. Neoplatonism Ibnu Miskawah memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral 30
berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filusuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral, seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis. Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya,
yaitu
dengan
memadukan
berbagai
pemikiran-pemikiran
sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidangbidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain. Ibnu Miskawaih menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah. Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam. 31
Ibnu Miskawaih menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh Tuhan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aqli fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini. Dalam hal akhlak, manusia memiliki sifat yang bermacam-macam. Diantara mereka ada yang bertabiat baik, jumlahnya sangat kecil. Ada pula yang bertabiat jahat, jumlahnya sangat banyak. Ada pula manusia yang tidak termasuk kedalam kelompok pertama dan kelompok kedua. Mereka bisa saja masuk dalam kelompok yang bertabiat baik dan bertabiat jelek karena dibiasakan. Allah adalah kebaikan yang mutlak. Semua orang yang baik berupaya mencapai kepada-Nya. Ibnu miskawaih membedakan antara kebaikan dan kebahagiaan. Menurutnya, kebaikan adalah apa yang dituju oleh manusia dalam posisinya sebagai manusia, sedangkan kebahagiaan adalah milik pribadi. Seseorang tidak berbahagia, kecuali dia telah dapat memuaskan tabiatnya (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 155). Asas dari keutamaan, menurut Ibnu Miskawaih, adalah kecintaan manusia kepada semua manusia. Tanpa kecintaan tidak akan ada suatu masyarakat. Manusia tidak dapat mencapai jati dirinya, kecuali dia hidup bersama-sama jenisnya dan saling memberikan pertolongan. Kecintaan tidak akan berbekas, kecuali dalam kehidupan bermasyarakat. Jika seseorang 32
mengucilkan diri dari masyarakat, hidup sebagai paderi atau ahli ibadah, dia tidak akan tahu apakah perbuatannya baik atau buruk. Masalah akhlak pernah ditulis oleh para Ilmuwan sebelum Ibnu Miskawaih, seperti Ibnu al-Muqaffa’ dan al-Jahizh. Namun, buku yang mereka tulis hanya kumpulan hikmah dan kata-kata mutiara yang susunan katanya sangat bagus, tetapi ditulis secara tidak teratur. Ibnu Miskawaih dan Abu Bakar al-Razi menulis akhlak secara teratur, menyeluruh dan filosofis, sehingga menjadikan akhlak sebagai sebuah ilmu akhlak menurut Aristoteles dan para penulis akhlak lainnya dari Yunani (Husayn Ahmad Amin, 2001 : 156). Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawaih merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia.
33
34
BAB III ISI POKOK PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH
A. Pendidikan Akhlak Anak Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Mansur, 2004 : 57). Atau dengan kata lain pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradapan umat manusia (Mansur, 2001 : 1). Jadi pengertian diatas dapat difahami bahwa pendidikan adalah proses bimbingan oleh pendidik (guru, orang tua, masyarakat atau lingkungan) kepada anak didik baik jasmani maupun rohani yang dilakukan secara sadar dan sengaja agar terbentuk kepribadian yang utama serta untuk memperbaiki kualitas hidup umat manusia. Tujuan utama dari pendidikan Islam yaitu pembentukan akhlak dan budi pekerti yang menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik laki-laki maupun perempuan, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi dan dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk (Muh. Atiyah al-Abarasyi, 1970 : 103). Kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian diatas, pendidikan akhlak anak adalah suatu bimbingan oleh si pendidik terhadap anak didik dengan tujuan membentuk kebiasaan atau sikap yang baik sehingga anak memiliki kepribadian yang utama. 35 27
Ibnu Miskawaih, merumuskan bahwa akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa (al-Nafs) yang mendorong diri atau jiwa untuk melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan dengan senang tanpa didahului oleh daya pemikiran, kerana sudah menjadi sifat atau kebiasaan Cita-cita
pendidikan
sebagaimana
yang
dimaksudkan
Ibnu
Miskawaih di isyaratkanya dalam awal kalimat kitab Tahzibul Akhlak ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir daripadanya perilaku-perilaku luhur, atau berbudi pekerti mulia dan budi (jiwa/watak) serta lahir pekerti (perilaku) yang mulia. Untuk mencapai cita-cita ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia. Dalam pendahuluan kitab “Tahzibul Akhlak” Ibnu Miskawaih :
)قال( احمد بن مسكويه عرضنا في هذا الكتاب ان نحصل لنفسنا خلقا تصدربه عنا الفعال كلها جميلة وتكون مع ذلك سهلة علينا ل كلفة ول مشقة ويكون ذلك بضاعة وعلى ترتيب تعليم وطريق Mengatakan, tujuan kami dalam kitab ini adalah agar mencapai budi pekerti yang melahirkan perbuatan-perbuatan luhur, serta mudah dilakukan dan tidak memberatkan atau menyakiti. Budi pekerti tersebut dapat dicapai dengan latihan dan pendidikan (Ibnu Miskawaih, 1954 : 9). Hal ini sejalan dengan ayat Allah dalam surat Al-Furqan ayat 63 dan Ali Imrom ayat 112 yang berbunyi :
36
Artinya : Dan hamba-hamba Tuhan yang maha penyayang itu (ialah) orangorang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orangorang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (Q.S. Al-Furqan : 63) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 568).
Artinya :Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu, karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas (Q.S. Ali Imron : 112) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 94). Sebagai filusuf akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian serius terhadap pendidikan akhlak anak-anak. Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa seorang anak itu diibaratkan sebagai mata rantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak ini, jiwa binatang berakhir, sementara jiwa manusia mulai muncul. Menurutnya, anak-anak harus dididik mulai dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yakni daya keinginan, daya marah, dan daya berfikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, berpakaian, dan lainnya. Sementara daya berani diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berfikir dilatih dengan menalar, sehingga akan dapat menguasai segala tingkah laku. Kehidupan utama anak-anak memerlukan dua syarat, yakni : Syarat kejiwaan, Syarat pertama ini tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta 37
kepada kebaikan. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah pada anak yang berbakat baik. Bagi anak-anak tidak berbakat, maka hal ini bisa dilakukan dengan cara latihan membiasakan diri agar cenderung kepada kebaikan. Syarat sosial, Syarat kedua dapat dicapai dengan cara memilihkan temanteman yang baik, menjauhkan anak dari pergaulan dengan teman-temannya yang berakhlak buruk, menumbuhkan rasa percaya diri pada dirinya, dan menjauhkan anak-anak dari lingkungan keluarganya pada saat-saat tertentu, serta memasukkan mereka ke tempat kondusif (Mudakir Fauzi, 2010 : 10). Selanjutnya Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa banyak tingkatan manusia dalam menerima akhlak. Dalam konteks anak-anak, Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak atau karakter mereka muncul sejak awal pertumbuhan mereka. Anak-anak tidak menutup-nutupi dengan sengaja dan sadar, sebagaimana dilakukan orang dewasa. Seorang anak terkadang merasa enggan untuk memperbaiki karakternya. Karakter mereka itu mulai dari karakter yang keras sampai kepada karakter yang malu-malu. Terkadang karakter anak-anak itu baik, terkadang pula buruk seperti kikir, keras kepala, dengki, dan seterusnya. Keberadaan berbagai karakter anak ini menjadi bukti bahwa anak-anak tidak memiliki tingkatan karakter yang sama. Tak hanya itu, sebagian mereka tanggap dan sebagian lain tidak tanggap, sebagian mereka lembut dan sebagian lagi keras, sebagian mereka baik dan sebagian lain buruk. Namun sebagian mereka berada pada “posisi tengah” di antara kedua kubu ini (Ibnu Miskawaih, 1994 : 38). Sebagai pendidik, maka orang tua harus mendisiplinkan karakter mereka. Jika tabiat-tabiat ini diabaikan, tidak 38
didisiplinkan, dan di koreksi, maka mereka akan tumbuh berkembang mengikuti tabiatnya. Selama hidupnya, kondisinya tidak akan berubah. Mereka akan memuaskan diri sesuai dengan apa yang dianggapnya cocok menurut selera alamiahnya, dan seterusnya. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat alqur’an yang memberi isyarat untuk itu seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros. Hal ini sejalan dengan ayat yang berbunyi :
Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya,karena kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal (Q.S. Al-Isra’ : 29) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 428).
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta)nya, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan menjaga di tengahtengah antara yang kedua itu” (Q.S. Al-Furqan : 67) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 568). Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Oleh larena itu sungguhpun Ibnu Miskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam (Abuddin Nata, 2001 : 10).
39
Tidak sebatas itu, Ibnu Miskawaih memandang syari’at agama dapat menjadi faktor guna meluruskan karakter remaja. Syari’at agama menjadi penting karena dapat membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik. Syari’at agama pun dapat mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berfikir dan penalaran yang akurat. Dalam konteks ini, sebagai pendidik, maka orang tua wajib mendidik mereka agar menaati syari’at ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dilakukan melalui nasehat, pemberian ganjaran dan hukuman. Jika mereka telah membiasakan diri dengan prilaku ini, dan kondisi ini terus berlangsung lama, maka mereka akan melihat hasil dari prilaku mereka itu. Mereka pun akan mengetahui jalan kebajikan dan sampailah mereka pada tujuan mereka dengan cara yang baik.
B. Konsep Pendidikan Akhlak Anak Bertolak dari pemikiran Ibnu Miskawaih diatas, Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Disini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang di-bangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibnu Miskawaih ini selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara sepontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai 40
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan ini maka Ahmad al-Hamid as-Syair dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibnu Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab assa’adat di bidang akhlak. As-Sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna As-Sa’adat sebagaimana dinyatakan M. Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam bahasa inggris walau secara umum diartikan sebagai happines (Abuddin Nata, 2001 : 12). Menurutnya as-sa’adat merupakan konsep komprehensif yang didalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (succes), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness) dan kecantikan (beautitude). Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya (Abuddin Nata, 2001 : 12). Menurut Ibnu Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak ini adalah mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga manusia itu dapat berprilaku terpuji dan sempurna sesuai dengan substansinya sebagai manusia, serta bertujuan mengangkat manusia dari derajat yang paling tercela sehingga menjadi derajat yang dicintai oleh Allah SWT. Secara tegas dapat dikatakan bahwa menurut Ibnu Miskawaih bahwa pendidikan akhlak ini bertujuan agar manusia menjadi manusia sempurna.
41
Menurut Ibnu Miskawaih, kesempurnaan manusia memiliki tingkatan dan substansi. Baginya kesempurnaan manusia ada dua macam, yakni kesempurnaan kognitif dan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan kognitif terwujud jika manusia mendapatkan pengetahuan sedemikian rupa sehingga persepsinya, wawasannya, dan kerangka berfikirnya menjadi akurat. Sementara kesempurnaan praktis ialah kesempurnaan karakter. Menurut Ibnu Miskawaih, kesempurnaan teoritis (kognitif) berkenaan dengan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpa kesempurnaan praktis, begitu pula sebaliknya. Hal ini karena pengetahuan adalah permulaannya dan perbuatan itu akhirnya. Kesempurnaan sejati tercapai jika keduanya berjalan berkesinambungan. Di pihak lain, bagi Ibnu Miskawaih bahwa kesempurnaan manusia itu terletak pada kenikmatan spiritual, bukan kenikmatan jasmani. 2. Materi Pendidikan Akhlak Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan , Ibnu Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, di ajarkan atau dipraktekan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua isi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi dimaksud oleh Ibnu Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Sejalan
dengan
uraian
tersebut
diatas
Ibnu
Miskawaih
menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah (1). Hal-hal yang 42
wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2). Hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan (3). Hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibnu Miskawaih dapat direroleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut Al-Ulum Al-Fikriyah, dan kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut Al-Ulum Al-Bissiyat. berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi yang terdapat dalam ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 41). Ibnu Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi manusia disebutkan Ibnu Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa’i. Ibnu Miskawaih tidak memberi penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang diajukan ini. Hal ini barangkali didasarkan pada perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperincipun orang sudah dapat menangkap maksudnya. Gerakan-gerakan shalat secara teratur yang paling sedikit dilakukan lima kali sehari seperti mengangkat tangan, berdiri, ruku’, dan sujud memang memiliki unsur olah tubuh. Shalat sebagai jenis olah tubuh akan dapat lebih dirasakan dan disadari sebagai olah tubuh (gerak badan) bilamana dalam berdiri, ruku dan sujud dilakukan dalam tempo yang agak lama. Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh Ibnu Miskawaih dengan pembahasan 43
tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaranNya, serta motivasi untuk senang terhadap ilmu. Adapun materi yang terkait dengan materi dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain. Selanjutnya karena materi-mareri tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian terhadap Tuhan, Ibnu Miskawaih tampak akan menyetujuinya. Ia menyebutkan misalnya ilmu nahwu (tata bahasa). Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibnu Miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu ini, karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dalam berbicara. Demikian pula materi yang ada dalam ilmu manthiq (logika) akan memnantu manusia untuk lurus dalam berfikir. Adapun materi yang terdapat dalam ilmu hitung (Al-Hisab) dan geometri (AlBandasat) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan. Sementara itu sejarah dan sastra akan membantu manusia berlaku sopan. Materi yang ada dalam syari’at sangat ditekankan oleh Ibnu Miskawaih, menurutnya dengan mendalami syari’at manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhoi Tuhan, dan jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai kebahagiaan (As-Sa’adat) (Ibnu Miskawaih, 1994 : 54). Dari uraian tersebut diatas terkesan bahwa materi pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar menjadi filusuf. Karena itu ia memberi 44
jalan agar seseorang memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu tertentu. Dalam hubungan ini Ibnu Miskawaih memberikan uraiaan tentang sejumlah ilmu yang dipelajari agar seseorang menjadi filusuf. Ilmu tersebut adalah : (1). Matematika (Ar-Riyadiyat), (2). Logika (Al-Manthiq) sebagai alat falsafat dan (3). Ilmu kealaman (Natural Science), menurutnya seseorang baru dapat dikatakan filusuf apabila sebelumnya telah
mencapai
predikat
(Astrologer), tabib
muhandis
(Psysician),
(Insinyur/Engineer),
manthiqi
munajjim
(Logician), atau
nahwi
(Philologist/Grammarian), atau lainnya (Abuddin Nata, 2001 : 15). Selain materi yang terdapat dalam ilmu-ilmu tersebut, Ibnu Miskawaih juga menganjurkan seseorang agar mempelajari buku-buku yang khusus berbicara tentang akhlak agar dengan itu manusia akan mendapat motivasi yang kuat untuk beradab (Ibnu Miskawaih, 1994 : 54). Pendapat Ibnu Miskawaih diatas lebih jauh mempunyai maksud agar setiap guru atau pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya. Para guru atau pendidik dipandang oleh Ibnu Miskawaih mempunyai kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap bidang ilmu bagi pembentukan pribadi mulia. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Ibnu Miskawaih memberi makna kejasmanian terhadap sesuatu yang sudah pasti bernilai kerohanian. Untuk perintah shalat dan puasa misalnya, dikaitkan dengan kesehatan tubuh. Kegiatan ritual lainnya seperti haji, shalat jum’at dan berjamaah, ia terjemahkan sebagai upaya untuk membantu manusia untuk 45
mengembangkan cinta kepada sesama dan rasa persahabatan yang fitrawi agar manusia tidak saling berselisih. Hal ini sangat berbeda dengan pendat Al-Ghazali tentang manfaat shalat yang dinilainya semata-mata untuk keuntungan jiwa Individual (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 53). Apabila dianalisa secara seksama terlihat, bahwa berbagi ilmu yang diajarkan dalam kegiatan pendidikan semata-mata karena ilmu sendiri, atau tujuan akademik semata-mata tetapi karena tujuan lain yang lebih substansial, pokok dan hakiki, yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa akhlak yang mulia, dan bukan semata-mata ilmu. Dengan cara demikian, semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi pula akhlaknya. Namun untuk meliahat sisi akhlak yang terdapat dalam setiap ilmu yang diajarkan diperlukan adanya kemampuan metodologi dan pendekatan dalam penyampaiaan setiap ilmu. Seseorang yang mengajarkan ilmu matematika atau fisika misalnya, selain dapat menggunakan pendekatan secara integrated, yaitu dengan melihat ilmu tersebut dari suatu sudut atau lainnya, misalnya dari aspek akhlak atau moral. Dengan cara demikian seseorang yang mempelajari ilmu tersebut selain memiliki keahlian dalam matematika dan fisika untuk keperluan hitungan bagi kepentingan pembangunan misalnya dapat memiliki akhlak yang mulia. 3. Pendidik dan Anak Didik Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak 46
didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya (Abuddin Nata, 2001 : 17). Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibnu Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syari’at sebagai acuan utama materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi kecintaan terhadap Tuhan ini jarang ada yang mampu melakukannya, maka Ibnu Miskawaih mendudukkan cinta terhadap guru berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 133 ). Alasan yang ia ajukan adalah karena seorang guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan illahi. Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan bijaksana yang tinggi dan 47
menunjukkan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 134). Namun demikian, Ibnu Miskawaih tampaknya tidak menempatkan guru secara keseluruhan pada posisi dan derajat tersebut diatas. Guru menempati posisi yang demikian tinggi itu adalah guru yang berderajat Mu’alim Al-Misal (misalnya), Al-Hakim atau Al-Mualim Al-Hikmat (Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 134). Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih terhadap Allah (Abuddin Nata, 2001 : 18). Dari pandangan demikian itu, dapat diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan diatas disini sama oleh Ibnu Miskawaih denganseorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab. Menurutnya yang tergolong sebagai teman atau saudara adalah orang yang satu keturunan atau lainnya, baik anak-anak maupun orang tua (Ibnu Miskawaih, 1994 : 140). Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat memudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat memudar. Ketiga, cinta yang 48
melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat dan keempat cinta yang melekatnya lambat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya kenikmatan, termasuk cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya. Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat. Macam-macam cinta ini, menurutnya sekedar cinta manusiawi. Ibnu Miskawaih sangat mengharapkan adanya cinta selain itu semua. Cinta yang diharapkan adalah cinta yang didasarkan atas semua jenis kebaikan itu, tetapi kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta yang murni dan sempurna. Cinta yang demikian disebutnya dengan cinta illahi. Cinta ini tidak memiliki cacat sedikitpun, karena ia muncul dari manusia yang suci terlepas dari pengaruh kematerian. Pemikiran demikian itu sejalan dengan tujuan pemikiran akhlak yang telah diuraikan diatas. Adapun posisi teman atau saudara, menurut Ibnu Miskawaih, paling tinggi hanya mungkin diletakkan diatas berbagi hubungan cinta kasih tersebut, tetapi masih berada dibawah cinta murni. Dengan demikian, maka cinta murid terhadap guru biasa, masih menempati posisi lebih tinggi dari pada cinta anak terhadap orang tua, hanya saja tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Seperti halnya pada masalah lain, Ibnu Miskawaih selalu berusaha mencari yang terbaik. Yang terbaik,
49
sebaimana telah disebutkan diatas adalah yang pertengahan. Karena itu posisi guru biasa, bisa diletakkan diantara guru yang ideal dan orang tua. Adapun yang dimaksud dengan guru biasa oleh Ibnu Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan diantara lain: (1). Bisa dipercaya, (2) pandai, (3) dicintai, sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya (Abuddin Nata, 2001 : 20). Perlunya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan murid tersebut diatas dipandang demikian penting, karena terkait dengan kenerhasilan dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan. Ibnu Miskawaih memberikan perhatian besar terhadap pendidikan akhlak bagi anak-anak. Hal ini bertujuan agar anak dapat memiliki akhlak sempurna dan segera menggapai kesempurnaannya. Pendidikan akhlak ini dapat dicapai dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Seorang pendidik hendaknya mendidik manusia sejak kecil untuk mengikuti syari’at agama agar terbiasa mengerjakan kewajibankewajiban agama, membaca buku-buku akhlak agar akhlak dan kualitas terpuji merasuk dalam dirinya melalui dalil-dalil rasional, dan mempalajari matematika sehingga terbiasa dengan perkataan dan argumentasi yang benar dan tepat. Jika semua hal ini dilakukan, maka 50
seseorang dapat mencapai tingkat manusia sempurna, sebagaimana dijelaskan di atas. b. Jika seorang anak dididik dengan kesenangan dan kenikmatan jasmani, sehingga jiwa dan raganya telah terbiasa dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah itu, maka hendaknya orang tua atau pendidik lain mengajari anak itu agar anak itu memandang semua kesenangan dan kenikmatan jasmani tersebut sebagai kesengsaraan dan kerugian, bukan sebagai kebahagiaan dan keberuntungan. Hendak pula anak itu diajari agar anak itu menjauhkan dirinya dari kenikmatan seperti itu secara perlahan. c. Orang tua harus memahami jiwa anak-anak secara umum. Secara umum dikatakan bahwa seorang anak kecil itu malu-malu. Dia akan menundukkan kepalanya ke bawah. Dia pun takut dan tidak berani menatap wajah orang dewasa. Hal ini mengindikasikan bahwa anak tersebut telah mulai mampu membedakan baik dan buruk. Rasa malunya itu merupakan pengekangan diri yang terjadi karena anak itu khawatir jika ada keburukan yang muncul dari dirinya. Jiwa seperti ini siap menerima pendidikan dan cocok untuk dipupuk. d. Orang tua harus memilihkan teman bergaul yang berakhlak mulia untuk anaknya. Seorang anak tidak boleh dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang berakhlak buruk, karena orang-orang seperti itu akan merusak jiwanya. Sebab jiwa anak kecil masih sederhana dan belum menerima gambar apa pun serta belum mempunyai pendapat yang akan mengubahkan dari satu keadaan ke keadaan lain. Jika jiwa anak 51
itu telah menerima gambar tertentu, maka anak ini akan tumbuh sesuai dengan jiwa seperti gambar yang diterimanya. Oleh sebab itu, jiwa seorang anak harus diupayakan agar mencintai kebaikan dan membenci keburukan. e. Orang tua harus mengajari anak agar berpakaian baik. Anak harus diajari agar berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya, memakai pakaian putih, dan lainnya. f. Orang tua harus membiasakan anak untuk melaksanakan kewajibankewajiban agama. g. Orang tua harus memuji seorang anak ketika anak tersebut melakukan kebaikan dan akhlak mulia. h. Orang tua hendaknya memerintahkan seorang anak agar menghafal tradisi-tradisi yang baik, syair-syair yang dapat membuatnya terbiasa melakukan moral terpuji. i. Orang tua hendaknya mengajari anaknya tentang tata cara makan yang baik. Orang tua harus mengajari anaknya bahwa tujuan makan bukan demi kenikmatan semata, melainkan demi kesehatan. Makan tidak boleh berlebihan dan melampaui batas. Orang tua pun harus memberi banyak makan di malam hari, sebab jika orang tua memberi makan di siang hari, maka anak menjadi malas, mengantuk, dan otaknya menjadi lamban. j. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak tidak boleh menyembunyikan sesuatu. Sebab tidak mungkin dia berbuat begitu, kecuali dipastikan bahwa perbuatanmu buruk. 52
k. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak itu tidak tidur terlalu lama, karena akibatnya membuat otak anak menjadi bebal dan mematikan pikirannya. Jangan sampai dia terbiasa tidur siang. Jangan biarkan dia tidur ditempat empuk dan mewah agar dia terbiasa hidup sederhana. l. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak itu sering berjalan, bergerak, berkuda, dan olah raga. Anak diajari agar tidak boleh jalan tergesa-gesa, bersikap angkuh, tetapi supaya anak itu sering mensedekapkan tangannya ke dada. m. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak itu tidak boleh memanjangkan rambut (jika laki-laki), tidak boleh memakai pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, tidak boleh memakai cincin, tidak boleh membanggakan kedua orang tuanya, tidak boleh sombong dan keras hati. n. Orang tua harus mengajari anaknya agar anak tidak boleh meludah, menguap, dan membuang ingus ketika sedang bersama orang lain. Tidak boleh bertopang dagu dan menyandarkan kepala pada kedua tangannya, sebab hal itu menunjukkan bahwa dia malas. Biasakan anak tidak berbohong dan tidak boleh bersumpah. o. Orang tua harus mengajari anaknya agar anaknya membiasakan tidak banyak bicara dan hanya menjawab pertanyaan. Hendaknya anak itu mendengarkan kata-kata orang tua dan diam dihadapan orang dewasa. Anak diajari agar tidak berkata kotor, hina, sumpah serapah, menuduh, dan tidak bicara senonoh. Biasakan dia dengan kata-kata anggun, 53
bermuka manis kepada orang lain, tidak mengatakan kata-kata buruk di depan orang lain. Ajari anak hendaknya anak belajar melayani diri sendiri. p. Orang tua harus mengajari anaknya agar ketika anak dipukul oleh gurunya, maka dia tidak boleh mengadu dan tidak boleh meminta perlindungan orang lain, karena tindakan itu hanya pantas dilakukan para budak. q. Orang tua hendaknya tidak menakut-nakuti anak kecil. Berilah anak semangat, memberikan hadiah kepadanya jika mereka berbuat baik, agar anak tidak meminta-minta kepada orang lain. Upayakan mereka agar mereka benci kepada perhiasan dan agar mereka lebih takut pada keduanya ketimbang takut pada hewan buas. r. Orang tua harus membiasakan agar anak taat kepada kedua orang tua, dan pendidiknya. Biarkan dia bermain dengan permainan baik. Menurut Ibnu Miskawaih, semua hal yang disebutkan di atas sangat bermanfaat, tidak hanya bagi anak kecil, tetapi juga untuk anakanak. Hal ini bermanfaat karena sikap-sikap seperti itu mendidik anak untuk cinta kepada kebajikan dan kemuliaan, serta untuk tumbuh berkembang dengan kebajikan dan kemuliaan tersebut. Akibatnya, dia akan mudah menjauhi kehinaan dan keburukan, dan mudah mengikuti ajaran filsafat. Dia akan terbiasa mengekang diri dari hawa nafsu yang senantiasa menggodanya, serta bisa menjaga diri agar tidak hanyut oleh kenikmatan jasmaniah. Sikap baik itu akan membawanya kepada martabat yang tinggi. 54
4. Lingkungan Pendidikan Seperti dikemukakan sebelumnya, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (As-Sa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apabila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap individu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya (Abuddin Nata, 2001 : 20). Selanjutnya Ibnu Miskawaih berpendapat, bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubunganya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih (Ibnu Miskawaih, 1994 : 44). Selanjutnya Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri. Karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih semuanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan 55
kewajiban syari’at. Shalat jum’at, shalat berjamaah, shalat hari raya dan haji menurut Ibnu Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurangnya satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada tingkat yang paling jauh. Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibnu Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi. Satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tuanya. Selanjutnya bagaimana dengan lingkungan pendidikan yang merupakan pokok bahasan pada bagian ini. Selama ini dikenal adanya tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat. Ibnu Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Miskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintahan yang menyangkut hubungan rakyat dengan pemimpinnya, sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota lingkungan 56
lainnya. Keseluruhan lingkungan ini satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan (Abuddin Nata, 2001 : 22).
5. Metodologi Pendidikan Metodologi pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari senelumnya. Dengan demikian metode ini terkait dengan perubahan atau perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka metode pendidikan di sini berkaitan dengan pendidikan akhlak. Dalam kaitan ini Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan. Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan metodologi (Abuddin Nata, 2001 : 22). Metodologi perbaikan akhlak disini dapat diberi pengertian sebagai metode mencari akhlak yang baik, dan metode memperbaiki akhlak yang buruk. Walaupun demikian pembahasannya disatukan karena antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan secara ketat.
57
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibnu Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguhsungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (Al-Adat wa AlJihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa (Ibnu Miskawaih, 1994 : 65). Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa AlSyahwaniyyat dan Al-Ghadabiyyat. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah nekerja yang didalamnya mengandung unsur yang berat, seperti mengerjakan shalat yang lima, atau melakukan sebagian pekerjaan baik yang didalamnya mengandung unsur yang melelahkan. Latihan yang sungguh-sungguh semacam ini diumpamakan oleh Ibnu Miskawaih seperti kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh. Kesiapan dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus menerus dan tidak menunggu waktu. Metode semacam ini ditemui pula dalam karya etika para filusuf lain seperti halnya yang dilakukan Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi dan Ibnu Sina. Metode semacam ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa (Abuddin Nata, 2001 : 23). Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan 58
dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banya memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya, sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiaanya (Abuddin Nata, 2001 : 24). Sedang menurut Ibnu Miskawaih, tentang metode pendidikan jiwa yaitu seperti halnya pendidikan jasmani yakni menjaga kesehatannya selagi sehat dan memilihkannya jika sakit. Ia menuliskan sejumlah metode guna mendidik jiwa agar tetap sehat, yakni: a. Tidak bergaul dengan orang-orang yang jiwanya tidak baik dan tidak bajik. Seseorang jika ingin mendidik jiwanya harus menjauhi orangorang keji yang suka pada kenikmatan-kenikmatan buruk, suka berbuat dosa, bangga, dan tenggelam dalam dosa. Bergaul dengan orang-orang seperti mereka akan membuat jiwa kotor sehingga tidak dapat dibersihkan kecuali melalui waktu yang sangat lama. Manusia harus bergaul dengan pemilik jiwa yang baik dan bajik, jiwa yang suka mencari kebajikan dan ingin memilikinya, jiwa yang rindu pada ilmuilmu hakiki serta pengetahuan yang sahih.
59
b. Khusuk melaksanakan tugas yang berkenaan dengan pengetahuan dan praktik, suatu tugas yang tak boleh diabaikan, sehingga kedua hal itu dapat melayani jiwa. Karena itu, seseorang harus melatih diri dengan berfikir dan mempelajari ilmu-ilmu matematika. Selain itu, olah raga diperlukan untuk menjaga kesehatan tubuh. c. Senantiasa melakukan hal-hal di atas. Karena dengan berbuat demikian, seseungguhnya seseorang sedang menjaga nikmat tiada tara yang mulia sebagai anugrah bagi jiwanya. d. Seseorang harus merasa cukup jika telah memperoleh kebahagiaan eksternal dan tidak hidup secara berlebihan. Sebab kebahagiaan eksternal tidak ada batasnya. Jika seseorang masih berupaya memperoleh kebahagiaan eksternal yang lebih banyak lagi, maka orang tersebut akan mengalami bahaya yang tak ada habisnya. e. Seseorang dianjurkan untuk tidak menggelorakan fakultas hawa nafsu dan amarah-nya dengan cara mengingatkan dirinya akan apa yang didapatnya dari masing-masing fakultas tadi. f. Seseorang harus memperhatikan seluruh tindakan dan rencananya, serta organ-organ tubuh dan jiwa yang akan digunakannya untuk melaksanakan rencananya itu, agar dia tidak menggunakannya menurut kebiasaan yang menyimpang dari pikirannya. g. Seseorang harus senantiasa introspeksi diri. Dia harus tahu cela apa yang terdapat dalam dirinya. h. Seseorang harus mampu menjauhkan diri dari penyakit-penyakit jiwa dan bahkan harus mampu mengidentifikasi pelbagai penyakit jiwa 60
serta cara penyembuhannya. Orang tersebut harus mengetahui penyebab, akibat dan cara menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa tersebut. Menurut Ibnu Miskawaih, penyakit-penyakit jiwa itu tidak lain adalah kebalikan atau lawan dari kebajikan-kebajikan sebagaimana disebut di atas. Penyakit-penyakit jiwa itu adalah seperti bodoh, rakus, pengecut, dan lalim. Namun Ibnu Miskawaih membagi lagi kejahatan dan kehinaan menjadi delapan bagian. Jumlah ini dua kali jumlah kebajikan yang empat. Kedelapan bagian itu adalah sembrono dan pengecut sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa berani. Kemudian memperturutkan hawa nafsu dan mengabaikan hawa nafsu sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa sederhana. Kemudian bodoh dan tolol sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa ‘arif dan lalim dari watak budak sebagai dua ujung dari satu titik tengah yang berupa adil. Kedelapan jenis penyakit jiwa ini bertolak belakang dengan empat kebajikan yang merupakan tanda kesehatan jiwa. Sebenarnya, di bawah penyakit-penyakit jiwa ini memiliki jenis-jenis penyakit lain yang tak terbatas. Perinciannya dapat dilihat beberapa contoh di bawah ini: 1) Marah Menurut Ibnu Miskawaih, marah juga merupakan salah satu bentuk penyakit jiwa. Penyebab marah ini adalah sombong, cekcok,
meminta
dengan
sangat,
bercanda,
berolok-olok,
mengejek, khianat, berbuat salah dan mencari hal-hal yang membawa kemasyhuran dan yang membuat manusia saling 61
bersaing diri. Sifat marah ini menimbulkan hal-hal buruk seperti menyesal, mengharap dihukum cepat atau lambat, perubahan temprament serta kepedihan. Sifat marah ini dapat disembuhkan dengan cara menyingkirkan sebab-sebab marah, melemahkan daya marah, mencabut substansi marah dan melindungi diri dari akibatakibatnya. Selain itu, sifat marah dapat disembuhkan melalui cara menghentikan sikap melampaui batas. 2) Takut Sebagai salah satu penyakit jiwa, sifat takut disebabkan oleh sejumlah hal, yakni merasa bakal terjadi sesuatu yang buruk, takut pada kejadian-kejadian yang bakan terjadi. Sebenarnya kejadian ini baru sebatas kemungkinan saja sehingga bisa terjadi dan bisa tidak terjadi. Karena itu jangan ditetapkan di dalam hati bahwa hal itu pasti terjadi, karena hal ini membuat kita takut. Inilah cara pengobatannya. Selain itu sifat takut disebabkan oleh pilihan buruk dan dosa sendiri. Hal ini dapat disembuhkan dengan jalan mengekang diri untuk tidak mengulangi perbuatan itu, tidak melakukan perbuatan bahaya, dan meninggalkan semua perbuatan keji yang kita cemaskan segala akibatnya. Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa terkadang manusia itu takut tua dan takut mati. Untuk kasus takut tua, maka seseorang harus menyadari bahwa jika manusia menghendaki umur panjang, berarti dia pasti akan berusia tua dan mengantisipasinya bahwa hal itu akan terjadi. Untuk kasus takut mati, bahwa penyebab takut mati adalah orang 62
tersebut tidak mengetahui hakikat jiwa, tidak tahu hakikat mati, menduga bahwa jiwa akan hancur bersama jasad, menduga ada penderitaan menyakitkan setelah kematian, dan adanya keyakinan ada siksa setelah mati. Penyembuhannya dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang hakikat jiwa dan hakikat mati. 3) Sedih Sebagai salah satu penyakit jiwa, sifat sedih hati disebabkan hilangnya sesuatu yang dicintai dan gagal mendapatkan apa yang dicari. Hal ini karena seseorang serakah pada harta benda, haus pad nafsu badani, dan merasa rugi ketika salah satu dari itu semua hilang atau gagal diperoleh. Penyembuhannya dapat dilakukan melalui memberikan pemahaman tentang hakikat dirinya dan menjelaskan bahwa seluruh alam semesta akan hancur karena tidak kekal. Jika hal ini telah dilakukan, maka seseorang yang terkena penyakit sedih hati tidak akan sedih lagi. Jika sudah demikian, maka orang tersebut akan mengarahkan tujuannya bukan kepada hal-hal jasmaniah lagi, melainkan ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja. Dari pengertian diatas Ibnu Miskawaih menuliskan tentang metode agar seorang manusia dapat mencapai kesempurnaan itu. Yakni seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan tubuh dan jiwa dan kebutuhan-kebutuhan
primernya
untuk
melenyapkan
kekurangan-
kekurangan itu serta memperbaikinya. Dalam konteks tubuh, maka seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani dan 63
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
primernya
untuk
melenyapkan
kekurangan-kekurangan itu serta memperbaikinya. Kemudian, manusia itu pun tidak boleh melampaui batas dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya. Dalam konteks jiwa, maka seorang manusia
harus
mengetahui
kebutuhan-kebutuhan kekurangan
itu
kekurangan-kekurangan
primernya
serta
untuk
memperbaikinya.
melenyapkan kebutuhan
jasmani
dan
kekuranganjiwa
adalah
pengetahuan, mendapatkan objek-objek fikiran, membuktikan kebenaran pendapat, menerima kebenaran, dan seterusnya. Seorang manusia harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa ini, serta mengetahui kekurangan dan melenyapkan kekurangan tersebut. Ibnu Miskawaih juga mengenalkan sejumlah langkah yang akan melahirkan aspek positif dalam mendidik. Ia, misalnya, memandang penting pemberian pujian. Pujian, kata dia, bisa dilakukan oleh orang tua atau pendidik ketika anak-anak melakukan hal-hal baik. Menurut Ibnu Miskawaih, patut pula memberikan pujian kepada orang dewasa yang melakukan perbuatan baik di hadapan anak-anak. Tujuannya, anak-anak bisa mencontoh sikap terpuji yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut. Ibnu Miskawaih mengingatkan, pujian harus dilakukan untuk menekankan pentingnya tindakan-tindakan yang baik dan harus diberikan untuk tindakan yang baik-baik saja. Selain pujian, ia juga memberi saran untuk mendorong anak menyukai makanan, minuman, dan pakaian yang baik. Namun, perlu diingatkan pula agar seorang anak atau siapa pun yang telah dewasa untuk tak makan, minum, dan berpakaian secara 64
berlebihan. Dalam aturan makan, anak harus diberi tahu bahwa makan itu suatu keharusan dan penting bagi kesehatan tubuh. Makan, jelas Ibnu Miskawaih, bukan sebagai alat kesenangan indra. Perlu diketahui pula bahwa makanan merupakan obat bagi tubuh, yakni obat untuk rasa lapar dan mencegah timbulnya penyakit. Orang tua atau pendidik harus mengingatkan anak didiknya agar tak makan berlebihan. Dalam cara berpakaian, Ibnu Miskawaih menyatakan, saat anak telah
beranjak
dewasa,
khususnya
laki-laki,
sebaiknya
mereka
mengenakan pakaian putih-putih dan menghindari pakaian berpola. Sebab, menurut dia, pakaian berwarna dan berpola lebih layak untuk perempuan. Selain itu, Miskawaih mendorong laki-laki untuk tak menghiasai dirinya dengan perhiasan perempuan, seperti memakai cincin dan mempunyai rambut panjang. Mereka tidak boleh mengenakan emas dan perak dalam bentuk apa pun. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa anak-anakpun harus dilatih untuk mengagumi sifat-sifat murah hati. Misalnya, berbagi makanan. Selain pujian, anak juga perlu mendapatkan peringatan bila melakukan hal tak baik. Jika anak berbuat buruk, perbuatan itu juga perlu dikecam. Langkah ini bertujuan agar si anak tak lagi melakukan hal buruk. Jika kecaman tak membuat si anak menghentikan perbuatan buruknya, Ibnu Miskawaih menyarankan tindakan terakhir, yaitu hukuman fisik. Namun, hukuman ini tak dilakukan secara berlebihan.
65
66
BAB IV RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK MENURUT IBNU MISKAWAIH DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Pola relevansi konsep pendidikan akhlak anak dalam pemikiran Ibnu Miskawaih bagi pendidikan Islam di Indonesia yaitu tentang, 1) Relevansi materi pendidikan akhlak anak, 2) Relevansi fungsi dan tujuan pendidikan akhlak anak, 3) Relevansi metode pendidikan akhlak anak. Dapat penulis kemukakan bahwa analisis konsep pendidikan akhlak anak menurut Ibnu Miskawaih ialah yang ada hubungannya dengan pengertian tentang pendidikan
akhlak
anak
dalam pemikiran
Ibnu Miskawaih
yang
ada
kesesuaiannya dengan pendidikan Islam di Indonesia. A.
Relevansi Materi Pendidikan Akhlak Anak Bahan ajar atau materi pembelajaran (intructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan dan sikap atau nilai (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 324). Model pengelolaan pendidikan dalam era reformasi menuntut otonomisasi, demokrasi dan keterbukaan tentu saja hal seperti ini akan sia-sia tanpa adanya kemampuan akademik yang tinggi pula lengkap dengan dukungan sistem, dana, dan prasana yang memadai dan relevan dengan 60 67
masalah dan tanggung jawab yang dihadapinya. Oleh karena itu tidak diperlukan kurikulum atau materi ajar yang seragam yang berlaku disemua sekolah atau perguruan diseluruh pelosok tanah air. Masing-masing sekolah dan dan daerah atau komunitas pendidikan dapat menyusun kurikulumnya sendiri sesuai visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai untuk tumbuh kembangnya kepribadian yang bertanggung jawab kepada maju tidaknya bangsa Indonesia dalam tata kehidupan modern (global) juga wajib menjadi tanggung jawab para penyelenggara pendidikan dan pimpinan pemerintahan baik
daerah
atau
pusat
bahkan
masyarakatpun
juga
berkewajiban
mengontrolnya. Hanya pilihan materi ajar, pengelolaan dan metodologi pembelajarannya, yang diserahkan oleh para pelaksana atau penyelenggara pendidikan, yang pada akhirnya akan bertemu dalam akreditasi (pengakuan) nasional (Mastuhu, 2003 : 164). Masih mengenai materi ajar, dalam kaitannya dengan agama, ilmu dan agama, diajarkan secara terpisah, materi agama disajikan secara fragmentaris, seperti juga materi-materi ajaran untuk ilmu-ilmu umum. Terdapat dikotomi diantara keduanya, tidak terdapat hubungan yang fungsional dan terjalin dalam kesatuan yang integral diantara agama dan ilmu pengetahuan. Padahal
tuntunan
dunia
modern,
keduanya
bersatu
dalam
kemanunggalan yang fungsional, sebenarnya hal ini sudah sejak lama dikumandangkan ”agama tanpa ilmu akan lumpuh, dan ilmu tanpa agama akan buta tau anarkis”. Dalam Islam, ilmu itu bagaikan esensial dari agama, karena itu materi ajar untuk ilmu-ilmu umum seyogianya bersumber dari nilainilai agama, dan berkembang dalam kandungan atau persfektif agama. Agama 68
adalah puncak pencapaian, sedangkan ilmu adalah salah satu jalan atau sarana menuju puncak pencapaian. Agama tidak mengubah kenyataan tidak juga merupakan usaha pembaruan. Agama merupakan puncak pencapaian, yang mengubah atau melakukan pembaruan adalah manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari ajaran tauhid (Mastuhu, 2003 : 38). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Srandar Nasional Pendidikan pasal (6) ayat (1) butir (a) berbunyi, 1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejujuran dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia ( Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 6). Yang dimaksudkan dalam pasal (1) butir (a) diatas dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang dimaksud dengan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia termasuk didalamnya muatan akhlak mulia yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/SMPLB/MTS/Paket B,
SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk peningkatan spiritual, peningkatan potensi spiritual dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia mencakup pengenalan, 69
pemahaman, dan penanaman nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia untuk Madrasah Aliyah atau bentuk lain yang sederajat, dapat dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, dan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi ( Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 62). Sedangkan pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 144). Yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk
70
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 105). Materi belajar bagi anak usia dini dibagi dalam (2) kelompok usia, Pertama materi usia lahir sampai 3 tahun meliputi: 1) Pengenalan diri sendiri (Perkembangan konsep diri), 2) Pengenalan perasaan (Perkembangan emosi), 3) Pengenalan tentang Orang lain (Perkembangan Sosial), 4) Pengenalan berbagai gerak (perkembangan Fisik), 5) Mengembangkan komunikasi (Perkembangan bahasa), 6) Ketrampilan berfikir (Perkembangan kognitif). Kedua materi untuk anak usia (3-6) tahun meliputi : 1) Keaksaraan mencakup peningkatan kosa kata dan bahasa, kesadaran phonologi, wawasan pengetahuan, percakapan, memahami buku-buku, dan teks lainnya. 2) Konsep Matematika mencakup pengenalan angka-angka, pola-pola dan hubungan, geometri
dan
kesadaran
ruang,
pengukuran,
pengumpulan
data,
pengorganisasian, dan mempresentasikannya. 3) Pengetahuan Alam lebih menekankan pada objek fisik, kehidupan, bumi dan lingkungan. 4) Pengetahuan Sosial mencakup hidup orang banyak, bekerja, berinteraksi dengan yang lain, membentuk, dan dibentuk oleh lingkungan. Komponen ini membahas karakteristik tempat hidup manusia, dan hubungannya antara tempat yang satu dengan yang lain, juga hubungannya dengan orang banyak. Anak-anak mempelajari tentang dunia dan pemetaannya, misalnya dalam rumah ada ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi, dapur, ruang keluarga, ruang belajar; di luar rumah ada taman, garasi dan lain-lain. Setiap rumah memiliki tetangga dalam jarak dekat atau jauh. 5) Seni mencakup menari, musik,
bermain
peran,
menggambar 71
dan
melukis.
Menari,
adalah
mengekspresikan ide ke dalam gerakan tubuh dengan mendengarkan musik, dan menyampaikan perasaan. Musik, adalah mengkombinasikan instrumen untuk menciptakan melodi dan suara yang menyenagkan. Drama, adalah mengungkapkan cerita melalui aksi, dialog, atau keduanya. Seni juga mencakup melukis, menggambar, mengoleksi sesuatu, modeling, membentuk dengan tanah liat atau materi lain, menyusun bangunan, membuat boneka, mencap dengan stempel dan lain-lain. 6) Teknologi mencakup alat-alat dan penggunaan operasi dasar. Kesadaran Teknologi. Komponen ini membahas tentang alat-alat teknologi yang digunakan anak-anak di rumah, di sekolah, dan pekerjaan keluarga. Anak-anak dapat mengenal nama-nama alat dan mesin yang digunakan oleh manusia sehari-hari. 7) Ketrampilan Proses mencakup pengamatan dan eksplorasi, eksperimen, pemecahan masalah, dan koneksi, pengorganisasian, komunikasi, dan informasi yang mewakili. Untuk mewadahi proses belajar bagi anak usia dini pendidik harus dapat melakukan penataan lingkungan main, menyediakan bahan-bahan main yang terpilih, membangun interaksi dengan anak dan membuat rencana kegiatan main untuk anak. Proses pembelajaran anak usia dini dilakukan melalui sentra atau area main. Sentra atau area tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi dari masing-masing satuan Pendidikan. Contoh sentra atau area bermain tersebut antara lain : Sentra Balok, Sentra Bermain Peran, Sentra Seni, Sentra Musik, Sentra Persiapan, Sentra agama, dan Sentra Memasak (Mastuhu, 2003 : 164). Sedang
Sistem pendidikan Islam di Indonesia sudah berkembang
sejak abad pertama Islam datang di Indonesia (sekitar abad 614 M). 72
Pendidikan Islam dalam perkembangannya dipengaruhi oleh aliran atau faham perkembangan sistem pendidikan barat. Pengaruhnya terhadap pendidikan Islam terbukti mengakibatkan sistem pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan Islam yaitu untuk membentuk manusia yang taqwa yang melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah. Hubungan antara pendidikan dengan masyarakat erat sekali, maka dalam proses perkembangannya saling mempengaruhi. Mesin pendidikan yaitu sekolah dalam proses perkembangannya tidak terlepas dari gerakan. Mesin sosial menggerakkan setiap komponen kehidupan manusia yang terdiri dari sekitar sektor sosial, politik dan agama. Masing-masing sektor ini bergerak dan berkembang saling pengaruh mempengaruhi menuju kearah tujuan yang telah ditetapkan. Apabila gerakan masing-masing sektor itu berada di dalam pola yang harmonis. Akan tetapi apabila salah satu atau beberapa sektornya mengalami ketidak harmonisan, maka sektor lainnya akan terpengaruh dan inilah awal dari terjadinya masalah-masalah kehidupan masyarakat yang pada gilirannya melanda sekolah, bahkan sekolah ditekan dan dibebani tugas untuk memberikan konsep-konsep penyelesaiannya. Dalam era kehidupan masyarakat yang dipetakkan oleh para ahli sebagai sesuatu kesuraman dan kekusutan karena berbagai dampak Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang menggerogoti nilai-nilai seluruh bidang kehidupan, khususnya dalam bidang moral dan spiritual, yang menimbulkan keresahan batin yang menyakitkan (H.M. Arifin, 1990 : 36). Oleh karena itu untuk mengembalikan moral dan spiritual masyarakat, pendidikan Islam 73
mempunyai tugas pokok, tugas tersebut adalah membantu membina individu agar bertaqwa dan berakhlakul karimah, bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Sebagaimana pengertian pendidikan Islam itu sendiri misalnya yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba yaitu: bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Ahmad D. Marimba, 1989 : 19). Sedangkan menurut Al-Syaibany pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya (Oemar Mohammad Al-thoumy Al-Syaibany, 1979 : 41). Dan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama serta berguna bagi kehidupan dirinya masyarakat dan alam sekitarnya. Manusia itu pada dasarnya mempunyai sifat-sifat dan potensi atas nama fitrah sesuai dengan kejadian manusia yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Arrum ayat 30 sebagai berikut :
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidaklah ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Arrum : 30) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 645). 74
Fitrah Allah untuk manusia disini diterjemahkan dengan potensi dapat dididik dan mendidik, memiliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga kemampuannya dapat melampaui jauh dari kemampuan fisiknya yang tidak berkembang, kalau potensi itu dikembangkan dan itu senantiasa dilakukan dalam usaha kegiatan pendidikan (Zakiyah Darodjat, dkk, 1999 : 17). Dalam hubungan horisontal, orang tua bertanggung jawab atas perkembangan dan pertumbuhan anak yang diwarnai dan diisi oleh pendidikan Islam yang dialami dalam hidupnya. Karena manusia menjadi manusia ditempuh
dengan
pertumbuhannya
pendidikan,
maka
pendidikan
anak
sejak
awal
memiliki kunci dalam mewujudkan cita-cita untuk
membentuk kepribadian yang sempurna. Itu semua dilakukan agar anak-anak terhindar dari hal-hal yang negatif atau pergaulan yang tidak baik. Anak merupakan anugerah dari Allah kepada manusia yang menjadi orang tua. Anak adalah kuncup-kuncup yang akan bertanggung jawab dengan kehidupan manusia, janji gemilang bagi masa depan bangsa, negara dan penghibur orang tua. Mendidik hanyalah merupakan cabang dari pendidikan individu yaitu mempersiapkan dan membina supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna dan menjadi insan yang sholeh dalam hidupnya (Abdullah Nasih Ulwan, juz 1, 1994 : 16). Untuk mencapai itu semua, sejak dini anak harus dibekali dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, SWT. Setelah iman dan taqwa bersemayam pada jiwa anak maka perilaku yang ditampilkan akan mempengaruhi penyesuaian diri dengan dirinya maupun dengan masyarakat. 75
Sehingga
membawa
ketenangan
hidup,
ketentraman
jiwa,
maupun
kebahagiaan batin. Oleh karena itu orang tua harus bisa memahami dan mendidik anak sejak awal pertumbuhannya. Sedini mungkin, ruh anak harus disirami dengan air samawi agar dapat mengantarkan pada kematangan kepribadian
atau
akhlak
mendorong
manusia
anak,
keutuhannya,
mengembangkan
dirinya
keseimbangannya, menuju
dan
kesempurnaan
manusiawi. Pendidikan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga menjadi tanggung jawab pendidikan Islam baik madrasah atau pondok pesantren. Sehingga pendidikan Islam harus tetap mengembangkan nilai-nilai moral anak yang telah ditanamkan oleh orang tuanya sejak kecil, caranya pendidikan akhlak harus dijadikan ”kurikulum” utama karena kepribadian muslim anak hanya dapat dibentuk melalui pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak adalah melatih anak untuk berakhlak mulia dan memiliki kebiasaan yang terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan menjadi karakter dan sifat yang tertancap kuat didalam diri anak tersebut yang dengannya anak mampu meraih kebahagiaan didunia dan akhirat serta terbebas dari jeratan akhlak yang buruk (Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy, 2001 : 204). Dengan demikian, pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan budi pekerti. Membiasakan seseorang dengan sifat-sifat yang baik dan mulia seperti bertindak jujur, mengutamakan orang lain, ikhlas dan beramal, keberanian dalam kebenaran, percaya diri, menjauhkan dari hal-hal yang berakibat buruk. 76
Dalam Al-Qur’an surat Ad-Dahr ayat 3 Allah berfirman :
Artinya : Sesungguhnya Kami telah menunjukkan manusia jalan yang lurus, (diantaranya) ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (Q.S. AdDahr : 3) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 1003). Jadi akhlak adalah sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya, artinya suatu perbuatan yang tidak dibuat-buat dan perbuatan yang dapat dilihat adalah gambaran dari sifat-sifat yang tertanam didalam jiwa, jahat atau baiknya. Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya suatu bangsa itu tergantung pada akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak) akan sejahteralah lahirbatinnya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak) rusaklah lahir batinnya (Rahmat Djatmika, 1996 : 11). Menanamkan akhlak yang baik kepada anak sejak dini tidak hanya menumbuhkan generasi muda yang pandai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga generasi muda yang berkepribadian utama yaitu kepribadian yang selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan begitu tujuan pendidikan Islam itu dapat tercapai. Pada hakekatnya pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniyah, menumbuh 77
suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan Islam tersebut, maka lembaga pendidikan harus menyusun rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum, di Indonesia pendidikan Islam berorientasi kepada tiga (3) hal yaitu: Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah), Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia), Tercapainya tujuan hablum minal’ alam (hubungan dengan alam) (Haidan Putra Dauly, 2004 : 155). Mengenai materi Pendidikan Islam, Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa akhlak adalah suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Ibnu Miskawaih membagi asal keadaan jiwa ini menjadi dua jenis. Pertama alamiah dan bertolak dari watak. Kedua tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Baginya akhlak itu alami sifatnya namun akhlak pun dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasihat-nasihat yang mulia. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus akan menjadi akhlak yang baik. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan akhlak dan manusia sebagai pelakunya. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan perbuatan yang bernilai baik. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
78
Kesesuaian pemikiran Ibnu Miskawaih dengan perkembangan zaman : Pemikiran Ibnu Maskawaih masih sejalan dengan tujuan pendidikan Islam zaman sekarang. Bahkan mengenai pendidikan akhlak sangat ditekankan dalam Islam sampai kapanpun karena Rasululllah SAW sendiri diturunkan dibumi juga dalam rangka memperbaiki akhlak, seperti difirmankan dalam AlQur’an surat Ali Imron ayat 110:
Artinya: Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali Imron : 110) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 94). Dan surat Al-Ahzab ayat 21:
Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (Q.s. AlAhzab : 21) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 670). Dalam hadist yang diriwayatkan Ahmad: Yang artinya bahwasannya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak.(HR. Ahmad) (Muhammad Al-Ghazali, 1986: 10). Berkaitan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan perbuatan yang bernilai baik dalam zaman modern ini disebut dengan karakter (character) dimana karakter diartikan sifat yang sudah 79
mendarah daging. Dan dalam pengetahuan afektif (sikap) adalah berada dalam tingkatan tertinggi (puncak). Sehingga materi Pendidikan Ibnu Miskawaih ini juga masih relevan dengan perkembangan zaman. B.
Relevansi Fungsi dan Tujuan Pendidikan Akhlak Sebagaimana disebutkan dalam Bab II, pasal 1 bahwa: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 94). Secara konseptual, dasar pendidikan nasional ini mengandung nilai-nilai yang tidak diragukan lagi kehandalannya, amat ideal dan luhur, dan secara konsensus seluruh bangsa Indonesia sudah menerimanya. Karena hakekat kedua dasar tersebut secara filosofis merupakan bagian dari filsafat Islam, artinya seluruh kandungan isi dan maknanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan tercerminkan dalam ajaran Islam. Karena itu, kedua dasar tersebut harus diterjemahkan dan ditafsirkan secara Islami, dengan pola menginternalisasikan nilai-nilai Islami ke dalam seluruh kandungan isi dan makna kedua dasar tersebut. Dengan demikian, setiap penyelenggaraan negara termasuk penyelenggaraan satuan pendidikan akan terisi oleh nilai-nilai yang semakin identik dengan ajaran Islam. Sedangkan hakekat fungsi pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Pasal 2, yakni: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 94). Kalimat ini sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan luas. Di mana bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dibangun atas tiga pilar. Pertama, 80
memiliki kemampuan dalam menguasai berbagai aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, sosial, politik, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun aspek agama. Kedua, memiliki watak kepribadian yang luhur dan anggun, patriotis dan nasionalis, serta watak bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga, memiliki peradaban yang humanis religius, serta kewibawaan yang tinggi, sehingga bangsa-bangsa lain tidak memperlakukan dan mengintervensi bangsa Indonesia sekehendaknya. Semua ini menjadi tanggung jawab pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Untuk itu, setiap satuan pendidikan, termasuk pendidikan Islam dituntut dalam programnya mencerminkan tiga pilar tersebut, sehingga dapat mencerdaskan kehidupan peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan Islam dituntut mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menguasai berbagai aspek kehidupan termasuk aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dipandu secara utuh oleh keimanan dan ketakwaan, sehingga akan menampilkan sosok manusia yang berketrampilan luhur dan tinggi. Selanjutnya, tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam pasal tersebut adalah: Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 94). Konsep ini akan menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil), yakni terbinanya seluruh potensi yang dimiliki baik jasmani, intelektual, emosional, sosial, agama dan sebagainya. Dengan demikian, ia dapat mengemban tugas hidupnya dengan baik dan penuh 81
tanggung jawab, baik yang berkenaan dengan kepentingan pribadi, masyarakat, bangsa dan negaranya. Untuk itu, setiap penyelenggaraan satuan pendidikan dituntut agar dapat mengorientasikan dan menjabarkan tujuan tersebut. Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah menuntut terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang Islami, kondusif, harmonis, dan penuh dialogis. Proses pembelajaran yang seperti ini akan mendorong peserta didik untuk secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan iman, kedalaman ilmu, dan ketrampilan profesional, sehingga dapat bertanggung jawab dalam mengemban tugas hidupnya sebagai Abdullah sekaligus sebagai khalifatullah fil ardhi, dalam rangka mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Sedangkan tentang pendidik diatur dalm Pasal 39 (1) Tenaga kependidikan
bertugas
melaksanakan
administrasi,
pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. (2) Pendidik merupakan tenaga profesional
yang
bertugas
merencanakan
dan
melaksanakan
proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 111). Pasal 40, (1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan 82
kualitas, perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual, dan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. (2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya . (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 112-113). Guru atau dosen diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor.14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen, kompetensi guru meliputi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, tentang program pendidikan profesi guru bagi guru dalam jabatan, pasal (1) butir (2): Program pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan yang selanjutnya disebut program pendidikan
profesi
guru
(PPG)
adalah
program
pendidikan
yang
diselenggarakan untuk mempersiapkan guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan, sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik, dalam pasal (3) poin.a.4): Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada poin a.3) minimal salah satu latar belakang pendidikannya adalah bidang pendidikan. Poin a.3) yang dimaksud diatas adalah memiliki dosen tetap sekurang-kurangnya 2 (dua) orang berkualifikasi doktor (S3) dengan jabatan akademik paling rendah lektor dan 4 (empat) 83
orang bekualifikasi magister (S2) dengan jabatan akademik paling rendah lektor kepala berlatar belakang pendidikan sama dan/atau sesuai dengan program PPG yang akan diselenggarakan. Islam mengatur kehidupan manusia agar seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Akhlak Islam tidak mengorbankan kepentingan jasmani untuk rohani, begitu juga sebaliknya. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memperoleh kebahagiaan didunia dan akhirat. Mengenai pendidikan Islam yang mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya (Abuddin Nata, 2001 : 12) adalah benar, akan tetapi masih belum lengkap karena masih meninggalkan faktor keselamatan. Mengapa perlu ada keselamatan disamping kebahagiaan. Karena kita mengetahui banyak orang yang bisa merasakan bahagia, bahkan bahagia yang seluas-luasnya . Namun ada kalanya kebahagiaan tersebut belum tentu membawa keselamatan di akhirat. Cita-cita pendidikan sebagaimana yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih diisyaratkanya dalam awal kalimat kitab Tahzibul Akhlak ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir daripadanya perilaku-perilaku luhur, atau berbudi pekerti mulia. Dan budi (jiwa atau watak), lahir pekerti (perilaku) yang mulia. Untuk mencapai cita-cita ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia (Ibnu Miskawaih, 1994 : 9). Apakah watak itu dapat dididik?, Ibnu Miskawaih dalam bahasan kedua membahas tentang Al-Khulq (watak) itu ialah suatu kondisi bagi jiwa yang mendorong untuk melahirkan tingkah laku tanpa pikir dan pertimbangan 84
(tingkah laku spontan). Kondisi ini terbagi dua. Ada yang alami dari asal mizaaj (temperament) seperti sifat pada seorang manusia yang mudah terpengaruh atau bereaksi oleh suatu hal yang sederhana. Umpama marah disebabkan suatu faktor yang kecil, atau takut sebab yang sederhana dan lainlain seperti mudah kaget karena dengan suara gemerisik, mudah sedih, mudah senang, mudah tertawa disebabkan hal perangsang yang sederhana. Kedua ialah watak seorang yang diperoleh dari kebiasaan atau latihan yang berulang-ulang, pada mulanya perilaku itu disertai kesengajaan atau pikiran kemudian berkelanjutan berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan atau watak. Para ahli jaman dahulu berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan bahwa watak itu adalah tertentu bagi kekuatan jiwa. Sebagian lain mengatakan ada juga aspek dari kekuatan jiwa pada watak itu. Perbedaan kedua adalah apakah watak itu alami. Sebagian mengatakan watak itu alami tak dapat dirubah. Sebagian lain mengatakan tak ada sesuatupun pada watak itu yang alami. Ibnu Miskawaih sendiri tidaklah berpendapat watak itu tidak alami. Kita diciptakan atas dasar menerima watak, namun kita berubah berkat pendidikan dan pengajaran cepat atau lambat. Pendapat terakhir inilah pilihan Ibnu
karena sesuai dengan kesaksian mata kita. Pendapat pertama (yang
mengatakan watak itu alami dan tak dapat dididik) menyampingkan kekuatan penalaran serta akal dan menolak segala upaya membiarkan manusia tidak beradab, menelantarkan para remaja dan anak-anak tanpa pendidikan. Kemudian Ibnu Miskawaih mengemukakan pendapat golongan Ruwwaqiyyun (Stoicism), Jalinus (Galer, 131-201 SM) dan pendapat Aristoteles tentang watak manusia (M.M. Syarif, 1996 : 89). Golongan 85
Rawwaqiyyun berpendapat bahwa watak itu dasaraya baik, kemudian karena pengaruh pergaulan watak yang baik itu menjadi buruk Sedang Jalinus berpendapat bahwa sebagian watak manusia pada dasarnya (alami) jahat, sebagian lagi mengatakan watak itu dasarnya baik, diantara mereka ada yang mengatakan dasar watak itu tengah-tengah antara baik dan buruk. Mereka yang wataknya baik alami sedikit; mereka tidak akan berubah menjadi buruk. Sedang mereka yang wataknya buruk alami banyak, mereka tidak akan berubah menjadi baik. Mereka yang wataknya berada di tengah-tengah diantara baik dan buruk dapat berubah menjadi baik jika mendapat pengaruh pendidikan yang baik dan berubah menjadi buruk jika mendapat pengaruh pendidikan yang buruk. Kemudian Miskawaihi mengutip pendapat Aristoteles yang dijadikannya pegangan. Menurut Aristoteles orang jahat atau watak buruk dapat berubah dengan pendidikan namun tidak mutlak. Pengajaran dan pendidikan yang berkelanjutan serta bimbingan yang baik yang diupayakan manusia tentulah akan memberi pengaruh yang berbeda-beda terhadap bermacam-macam orang. Ada diantara mereka yang menerima pendidikan dengan cepat sedang sebagian yang lain menerimanya dengan lambat untuk menuju keutamaan. Temperament adalah pembawaan yang bergantung kepada konstitusi tubuh. Kemungkinan mengubah atau mendidik temperament hanyalah sedikit sekali, karena dalam temperament terdapat unsur-unsur yang tidak dapat dipengaruhi kemauan. Adapun watak adalah keadaan atau konstitusi jiwa yang nampak
dalam
perbuatan-perbuatannya.
Watak
bergantung
kepada
pembawaan dan lingkungan hidup (pergaulan hidup, pendidikan). Jadi watak 86
bergantung kepada kekuatan dari dalam dan dari luar. Begitulah karakter (watak) Lebih luas dari temperament. Temperament terdapat dalam karakter. Karakter dapat diubah dan dididik. Dari bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ibnu Miskawaih menjelaskan tentang ”Fungsi dan tujuan Pendidikan” Relevansinya dengan pendidikan Islam sekarang ini adalah, pertama fungsi pendidikan: 1) Memanusiakan manusia Setiap makhluk di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya yang tidak ada makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala makhluk yang ada mempunyai perilaku khusus yaitu segala yaitu segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu siapa yang pertimbangannya paling jernih penalarannya paling benar, keputusannya paling tepat, adalah orang yang paling sempurna martabat kemanusiaannya . Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakan dia dengan makhluk lainnya. Maka, kewajiban yang tidak diragukan lagi ialah berbuat kebajikan yang merupakan kesempurnaan manusia yang untuk itu mereka diciptakan dan agar mereka berupaya sungguh-sungguh untuk sampai pada kebajikan (AlKhairaat) itu, dan agar manusia menghindari kejahatan-kejahatan (AsSyurur) yang menghambat mereka sampai kepada kebaikan. Oleh 87
karena itu tugas pendidikan adalah mendudukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dari makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia yang tak mungkin dilakukan makhluk yang lain. 2) Sosialisasi individu manusia Pendidikan haruslah merupakan proses sosialisasi hingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajikan untuk kebahagiaan bersama. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa kebajikan itu sangat banyak dan tak mungkin mewujudkan seluruh kebajikan dari kemampuan satu orang manusia. Oleh karena itu kata Ibnu Miskawaih, untuk mewujudkan seluruh kebajikan itu haruslah jama’ah besar. Jadi seluruh individu berhimpun pada suatu waktu untuk mencapai kebahagiaan bersama. Kebahagiaan tiap individu sempurna berkat pertolongan lainnya. Kebajikan menjadi milik bersama. Kebahagiaan dibagi-bagikan kepada individu hingga masing-masing bertanggung jawab atas bagian dan kebahagiaan itu. Kamalul insany atau human perfection tercapai berkat gotong royong itu. Untuk hal demikian wajiblah manusia saling mencintai satu sama lain, karena masing-masing orang melihat kesempurnaanya berada pada orang lain. Kalau tidak saling mencintai, tidaklah sempurna kebahagiaanya. Jadi tiap orang merupakan anggota dari anggota badan. Rangka manusia sempurna dengan utuhya anggotaanggota badan. Ibnu Miskawaihi menegaskan lagi bahwa manusia di 88
antara
segala
makhluk,
hewan
tak
dapat
mandiri
dalam
menyempurnakan essensinya sebagai insan, tetapi pasti dengan pertolongan dari golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupan yang baik dan melaksanakan kewajibannya dengan tepat. Manusia pada dasarnya adalah anggota masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat
tenwujud kabahagiaan
insaniyahnya.
Setiap
orang
memerlukan orang lain. Dia sewajarnya bergaul dengan masyarakat sebaik-baiknya, mencintai mereka setulus-tulusnya. 3) Menanamkan rasa malu Manusia diciptakan dengan kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiyah. Kekuatan yang mulamula
muncul
ialah
tuntutan
biologis,
yakni
kecenderungan
syahwaniyah seperti makan untuk mengembangkan fisik. Tuntutan biologis
ini
terus
berkembang
ke
berbagai
kecenderungan-
kecenderungan keinginan. Kemudian menyusul timbul kekuatan imaginasi yang timbul dari pengindraan. Sesudah itu muncul kekuatan kemauan untuk bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi kecenderungan. Bila gagal mengatasi sendiri, menangislah anak itu, atau dia minta bantuan kepada orang tuanya. Setelah itu lahir kekuatan pertimbangan nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilakuperilaku khas manusiawi sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini, anak dinamai aqil. Kekuatan-kekuatan
ini
banyak,
sebagiannya
secara
fundamental mendorong terwujudnya sebagian kekuatan yang lain 89
sehingga tercapai tujuan perkembangan terakhir (tingkat akhir perkembangan akal insany), Tujuan yang tak ada lagi tujuan lainnya, yaitu "al-Khair al-Mutlaq". Kebajikan mutlak yang diinginkan manusia sebab dia manusia. Pertama-tama yang muncul dari kekuatankekuatan ini pada manusia adalah rasa malu (al-Hayaa'u), yaitu rasa takut lahirnya sesuatu yang jelek dari dirinya. Karena itu Ibnu Miskawaih menjelaskan, pertama-tama yang harus diamati benar-benar pada anak-anak dan dipandang tanda awal perkembangan akalnya adalah timbulnya rasa malu karena hal itu menunjukkan bahwa anak sudah menginsafi tentang keburukan. Disamping
keinsafan tentang keburukan anak juga berupaya
memelihara dirinya dan menjauhi keburukan itu. Ibnu Mskawaihi menandai gejala ini dengan perilaku anak seperti kata Ibnu Miskawaih bila kau amati anak-anak dan kau dapati dia tersipu-sipu, matanya menunduk ke bawah, wajahnya sayu, maka itu tandanya awal dari kebagusan bawaannya dan menjadi bukti bagimu bahwa jiwa sudah mengerti kebaikan dan keburukan. Jiwa yang demikian berbakat untuk dididik, pantas diberi perhatian, wajib tidak ditelantarkan dan jangan dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang dapat merusaknya. Dari pemikiran Ibnu Miskawaih diatas jelaslah bahwa penanaman rasa malu adalah fungsi pendidikan yang penting dan penanaman ini dimulai sedini mungkin yakni pada awal munculnya gejala pertimbangan nalar, yakni perkembangan anak mulai berpikir kritis dan logis pada waktu mereka duduk di sekolah dasar, pada umur 90
antara 10-12 tahun. Anak telah dapat mengenal aturan kesusilaan serta tahu bagaimana dia harus bertingkah laku . Jadi tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Miskawaih masih relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan Islam masa kini. Kedua, tujuan pendidikan akhlak anak menurut Ibnu Miskawaih dalam kitab ”Tahzibul Akhlak” adalah untuk menghasilkan bagi diri anak suatu watak pribadi yang melahirkan perilaku yang baik seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi tanpa kesulitan (maksudnya perilaku yang baik lahir dari watak itu secara otomatis). Hal demikian diperoleh melalui proses pendidikan dan jalan untuk demikian lebih dahulu dipelajari ilmu jiwa. Apa dan bagaimana jiwa itu? Untuk apa dia dciptakan, kesempurnaannya, tujuannya, kemampuannya "sifatnya" yang bila kita pergunakan dan bina sebagaimana mestinya, niscaya jiwa itu akan membawa kita, kepada martabat yang mulia. Dan perlu pula kita pelajari faktor-faktor yang menghambat jiwa itu dalam rnenuju martabat yang mulia, apa saja yang mensucikannya dan apa yang mengotorinya, maka karena itu Tuhan berfirman dalam Surat As-Syams ayat 10 - 11:
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. As-Syams : 10 - 11) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 1064). Sedangkan tujuan pendidikan yang diterapkan di Indonesia sekarang ini adalah, untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia 91
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 94). Jadi tujuan pendidikan akhlak yang dikemukakan Ibnu Miskawaih masih relevan dengan tujuan pendidikan islam di Indonesia sekarang ini. C.
Relevansi Metode Pendidikan Akhlak Pasal (19) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 menjelaskan tentang standar proses pembelajaran yaiitu: 1) Proses pembelajaran pada satuan
pendidikan
diselenggarakan
secara
interaktif,
inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. 2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan. 3) setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 14). Dalam pasal (20), Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuatsekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, 2005 : 15). 92
Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal ada beberapa metode diantaranya: 1) metode konvergensi (pembiasaan), dimana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dan dengan mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik (Armai Arief, 2002 : 111). Pendekatan pembiasaan sangat erat kaitannya dengan aliran Behaviorisme dalam dunia psikologi pendidikan, menurut aliran Behaviorisme, dasar atau keturunan itu tidak ada, hasil pendidikan ditentukan oleh pengaruh yang diterima anak dari dunia sekitarnya. Psikologi individual memandang kecil arti bakat dan keturunan, sedangkan pengaruh lingkungan dan pendidikan lebih diutamakan (Armai Arief, 2002 : 116). Dalam kaitan ini Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan. Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan metodologi (Abuddin Nata, 2001 : 22). 2) Metode keteladanan, dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa keteladanan dasar katanya teladan yang berarti: perbuatan atau barang yang patut ditiru atau dicontoh. Dengan demikian keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. 93
Namun keteladanan yang dimaksud disini adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai lat pendidikan Islam, yaitu keteladanan yang baik (Armai Arief, 2002 : 117). Untuk menciptakan anak yang berakhlak mulia, pendidik tidak cukup hanya memberikan prinsip saja, karena yang lebih penting bagi siswa adalah figur yang memberikan keteladanan dalam menerapkan prinsip tersebut. Sehingga sebanyak apapun prinsip yang diberikan tanpa disertai contoh tauladan, ia hanya kan menjadi kumpulan resep yang tak ber makna (Armai Arief, 2002 : 121). Dalam hal ini Allah mengingatkan dalam firman-Nya surat Al-Baqarah ayat 44:
Artinya: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab, maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. Al-Baqarah : 44) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 16). Dari ayat diatas dapat dimabil pelajaran, bahwa seorang guru hendaknya tidak hanya mampu memerintah atau memberikan teori kepada anak didik, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjadi panutan bagi anak didiknya, sehingga anak didik dapat mengikutinya tanpa merasakan adanya unsur paksaan, oleh karena itu keteladanan merupakan faktor dominan menentukan keberhasilan pendidikan (Armai Arief, 2002 : 122). Dalam kaitan ini Ibnu Miskawaih menjelaskan, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi peserta didik dalam pembelajaran, Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak 94
yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banya memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya,
sehingga
tidak
satupun
perbuatannya
terhindar
dari
perhatiaanya (Abuddin Nata, 2001 : 24). 3) Metode pemberian ganjaran, ganjaran dalam bahasa Indonesia bisa dipakai untuk balasan yang baik dan buruk, kaitannya dengan pendidikan Islam adalh pemberian ganjaran yang baik terhadap perilaku baik dari anak didik dan pemberian hukuman sebagai jalan terakhir dalam proses pembelajaran. Dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 148, Allah berfirman:
Artinya: karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (Q.S. Ali Imron : 148) (Al-Quran dan terjemahannya, 1990 : 100). Dalam sebuah hadist riwayat Abu Daud: Yang artinya suruhlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah bila ia membangkang (meninggalkan shalat) jika mereka telah berusia 10 tahun pisahkan tempat tidurnya (HR. Abu Daud) (Muhammad Al-Ghazali, 1986: 10). Dalam metode ini Ibnu Miskawaih juga mengenalkan sejumlah langkah yang akan melahirkan aspek positif dalam mendidik. Ia, misalnya, 95
memandang penting pemberian pujian. Pujian, kata dia, bisa dilakukan oleh orang tua atau pendidik ketika anak-anak melakukan hal-hal baik. Menurut Ibnu Miskawaih, patut pula memberikan pujian kepada orang dewasa yang melakukan perbuatan baik di hadapan anak-anak. Tujuannya, anak-anak bisa mencontoh sikap terpuji yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut. Ibnu Miskawaih mengingatkan, pujian harus dilakukan untuk menekankan pentingnya tindakan-tindakan yang baik dan harus diberikan untuk tindakan yang baik-baik saja. Selain pujian, ia juga memberi saran untuk mendorong anak menyukai makanan, minuman, dan pakaian yang baik. Selain pujian, anak juga perlu mendapatkan peringatan bila melakukan hal tak baik. Jika anak berbuat buruk, perbuatan itu juga perlu dikecam. Langkah ini bertujuan agar si anak tak lagi melakukan hal buruk. Jika kecaman tak membuat si anak menghentikan perbuatan buruknya, Ibnu Miskawaih menyarankan tindakan terakhir, yaitu hukuman fisik. Namun, hukuman ini tak dilakukan secara berlebihan. Sebelum anak dapat berfikir logis dan memahami hal-hal abstrak, belum sanggup menentukan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, orang tua harus memiliki metode yang tepat untuk membina pribadi anak. Sebab pembentukan manusia yang berpribadi luhur adalah melewati proses pembentukan kepribadian, yang tidak bisa tumbuh dengan tiba-tiba dan serta merta, tetapi harus melalui proses. Didalam proses pembentukan kepribadian itulah diperlukan setrategi dan metode yang tepat. Dalam hal ini Ibnu Miskawaihi mengemukakan bahwa manusia dalam menerima pendidikan bermacam-macam tingkatan. Hal demikian mudah 96
disaksikan pada anak-anak, karena watak mereka nampak wajar sejak mula perkembangan, terbuka apa adanya tidak diselubungi dengan pikiran-pikiran dan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana halnya orang dewasa yang memahami apa yang buruk bagi dirinya lalu ditutup-tutupinya dengan bermacam-macam tipu muslihat dengan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan perangainya itu. Kita mengetahui dari watak anak serta kesiapan mereka dalam menerima didikan ada diantara mereka yang kasar ada pula yang pemalu, pemurah, kikir, penyayang, keras, dan sebagainya. Kebermacaman itu kita lihat pula pada orang-orang dewasa dalam menerima didikan budi pekerti utama. Bila kita abaikan perbedaan-perbedaan watak individual ini lalu tidak kita didik sebagaimana mestinya, maka tiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individualnya itu, mungkin dia tumbuh jadi baik atau buruk. Maka disinilah pentingnya pendidikan agama (pendidikan normatif). Agamalah yang dapat meluruskan anak-anak dan mendidik mereka dengan perilaku yang terpuji dan mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima "hikmah". Tanggung jawab orang tualah pelaksanaan pendidikan agama ini dengan berbagai upaya, kalau perlu mempergunakan ancaman hukuman sampai mereka terbiasa hidup beragama. Setelah menguraikan perbedaan individual manusia dan diperlukannya pendidikan untuk membina perkembangan individual itu, Ibnu Miskawaih kemudian mengemukakan penggunaan thariqun thab'iyyun (metode alamiyah) dalam mendidik. Metode alamiyah itu bertolak dari pengamatan terhadap potensi-potensi insany. Mana yang muncul lahir lebih dahulu, maka 97
pendidikan diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan potensi yang lahir dahulu itu, kemudian kepada kebutuhan potensi berikutnya yang lahir sesuai dengan hukum alam. Potensi yang muncul pertama kali adalah gejala umum yang ada pada tingkat kehidupan hayawani dan nabati, kemudian terus-menerus lahir suatu gejala khusus yang berbeda dengan gejala potensi macam lain sampai menjadi tingkat kehidupan insany. Maka dari itu kata Ibnu Miskawaihi wajib bagi kita memulai dengan hasrat (kecenderungan) akan makan, yang muncul pada diri kita dengan jalan memenuhi kebutuhan kecenderungan, lalu muncul kecenderungan berani dan cinta kemuliaan, kita didik dengan jalan memenuhi kecenderungan, kemudian terakhir lahir kecenderungan kepada ilmu pengetahuan, maka kita didik dengan jalan memenuhi kecenderungan itu. Urutan kemunculan inilah yang Ibnu Miskawaihi maksudkan metode alami, karena didasarkan proses kejadian manusia, yakni pertama kali embrio lalu bayi kemudian orang dewasa. Potensi-potensi ini lahir berurutan secara alamiyah. Ide pokok dari metode alami Ibnu Miskawaihi ialah bahwa pelaksanaan kerja mendidik itu hendaknya didasarkan atas perkembangan lahir batin manusia. Setiap tahap perkembangan manusia mempunyai kebutuhan phisikologis dan cara mendidik hendaklah memperhatikan kebutuhan ini sesuai dengan tahap perkembangannya. Dari contoh metode Pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih diatas dapat digaris bawahi bahwa metode yang diterapkan relevan dengan metode pendidikan akhlak saat ini yang menekankan, dalam proses pembelajaran pendidik
memberikan
keteladanan
pembentukan,
pembiasaan
akhlak,
pemberian pujian dan hukuman, setiap satuan pendidikan melakukan 98
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien untuk tercapainya anak didik yang berakhlak sempurna. Maka dari keseluruhan relevansi pendidikan akhlak anak dalam kitab Tahzibul akhlak yang sudah dibahas diatas dikaitkan dengan kebutuhan pendidikan Islam di Indonesia pada masa kini adalah membentuk kepribadian utama anak didik dengan memiliki akhlak yang mulia, bertabiat terpuji dan berbudi pekerti yang luhur, hubunganya dengan Tuhan, sesama dan lingkungan. Mempunyai ilmu pengetahuan yang berguna bagi diri sendiri, bangsa dan agama. Dengan kata lain terbentuknya diri sendiri yang seimbang dan utuh.
99
100
BAB V PENUTUP a. Kesimpulan Berdasarkan uraian tentang Pendidikan Akhlak Anak Menurut Ibnu Miskawaih, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : i.
Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library reseach) yaitu penelitian perpustakaan atau penelitian murni. Penelitian ini bertujuan mengumpulkan data dan informasi dan bantuan bermacam-macam yang terdapat di ruang perpustakaan seperti buku-buku, majalah, dokumen, catatan dan kisah-kisah sejarah dan lain-lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Ibnu Miskawaih sebagai landasan dalam penelitian. Adapun dalam pengumpulan data ini diambil sumber primer dan sumber sekunder. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah metode content analysis dan metode interpretasi. Analisis ini sangat berguna bagi penulis untuk mencari peran orang tua dalam pendidikan akhlak anak secara implisit yang ada pada pemikiran Ibnu Miskawaih.
ii.
Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukkan bahwa: pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak anak yang mengatakan bahwa watak itu bisa berubah, dan perubahan itu bisa melalui pendidikan dan pengajaran. Juga memaparkan tentang kebaikan dan kebahagiaan, karena Ibnu Miskawaih di dalam meninjau akhlak berdasarkan nilai-nilai kebajikan (al-khairu) untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka orang harus mencapai al-khairu terlebih dahulu, kebaikan atau kebajikan 95 merupakan kunci kesempurnaan manusia. 101
iii.
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa orang tua sangat berperan dalam pendidikan akhlak anak. Menurutnya pendidikan akhlak merupakan konsepsi baku pembentukan pribadi anak, kedua orang tua yang mulamula tampil untuk melakukan tugas tersebut. Pencapaian kepribadian akhlak yang luhur dan berbudi pekerti, orang tua selaku pendidik mempunyai peran: memberi contoh atau teladan yang baik, memberi nasehat, memberikan perhatian. Beberapa metode pendidikan akhlak anak Ibnu Miskawaih diantaranya : metode alamiah, metode keteladanan dan metode pembiasaan. Adapun relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih mengenai peran orang tua dalam pendidikan akhlak anakdiantaranya adalah: akhlak kepada Tuhan, akhlak kepada sesama, akhlak kepada diri sendiri dan akhlak kepada lingkungan.
b. Saran-Saran Agar pendidikan akhlak itu dapat mencapai hasil dan tujuan yang diharapkan, maka hal yang perlu diperhatikan bagi pendidik: i.
Materi pendidikan akhlak hendaknya diberikan sejak dini, sehingga anak nantinya tumbuh menjadi orang yang berkepribadian mulia.
ii.
Dalam teknik penyampaian materi pendidikan akhlak hendaknya diperbanyak melalui teladan dari pada tekhnik pengajaran yang lainnya.
iii.
Perlu juga dipertimbangkan dalam mengajar guru memberikan bimbingan dengan mengajarkan dan melatih agar siswa dapat mengamalkan akhlak dengan sebaik-baiknya. Dan membuat buku monitoring sekitar pengamalan akhlak peserta didik.
102
103
DAFTAR PUSTAKA Arif Abdullah, Fattah Thabrani, Dosa Dalam Pandangan Islam, terj. Bahrun Abu Bakar, Risalah Bandung, 1996. Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, Ramadani, Solo, 1991. Al-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumiddin, C.V. Asy Syifa, Semarang, 1994. Al-Ghazali, Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, Wicaksana, Semarang, 1986. Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002. Ahmad, D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Rosda Karya, Bandung, 1989. Al Abarasyi, M. Atiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohan Bahry, L. I. Ss, Bulan Bintang, Jakarta, 1970. Arifin, Tatang. M, Menyusun Rencana Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, 1990. Bekker, Anton dan A. Haris, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990. Djatmika, Rahmad, Sistem Etika Islam, Panjimas, Jakarta, 1996. Daradjat, Zakiyah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986. Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahannya, Mahkota, Surabaya, 1989. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta, Andi Ofset, 1983. Husayn, Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 1995. Hasan, bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Pustaka Alkautsar, Jakarta, 2001. Ibnu, Miskawaih, Tahzibul Akhlak wa Tathirul A’raq, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Lebanon, Beirut, 1985. Ibnu, Miskawaih, Tahzibul Akhlak wa Tathirul A’raq, Al Hurainiyah, Mesir, 1954. 104
Ibnu, Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, Cet. I, 1994. Murtiningsih, Wahyu, Biografi Para Ilmuwan Muslim, Insan Madani, Yogyakarta, 2008. Mansur, Sejarah Sarekat Islam Dan Pendidikan Bangsa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Mudakir, Fauzi, Gagasan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Islam, Sabtu, 31 Juli 2010, http//dakir. word press.com/2009/05/02/KosepPendidikan-Ibnu-Miskawaih/. Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran, Sistem Pendidikan Nasional, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2003. Nata, Abbudin, Perpektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, Study Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. Nasih Ulwan, Abdullah, Pedoman Pendidikan Akhlak Dalam Islam, terj. Syaifullah komali dan Heery Nur Ali, juz.1, Asifa, Semarang. Nasir, Muh. Metologi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995. Nata, Abbudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Oemar, Muhammad, Al-Thoumy Al-Syabany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Samsul Nizar, Bulan Bintang, Jakarta, 1979. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005, Tentang Standar Nasional Pendidikan, BP. Dharma Bhakti, Jakarta, 2005. Putra, Dauly, Haidan, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004. Purwadi, Wardoyo, Hakikat Berkeluarga-Dalam Peran Dan Tanggung Jawabnya Di Zaman Moderen, IKIP. Cab. DIY, Yogyakarta, 1994. Syarif, M.M.(ed.), Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, 1989. Tatapangarsa, Humaidi, Akhlak Yang Mulia, Dina Ilmu, Surabaya, 1980. Winarno, Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Tarsito, Bandung, 1989. Zuhairini, Metodologi Pendidikan Agama, Ramadani, Solo, 1993 105
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Yusuf Ali Imron
Tempat Tanggal Lahir
: Nabire, 06 Juni 1984
Kebangsaan
: Indonesia
Agama
: Islam
Alamat
: Culeng, Kentengsari, Kec. Kedung Jati, Kab.
Grobogan Status
: Belum Kawin
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Nama Orang Tua
:
Ayah
: Zumroni, S.Ag.
Ibu
: Latifah
Riwayat Pendidikan TK
:
: TK Lestari, Desa. Kali Bumi, Kali Semen, Kec. Paniai, Kab. Nabire, Lulus Tahun 1990.
SD
: SDN IDT 01, Desa. Kali Bumi, Kali Semen, Kec. Paniai, Kab. Nabire, Lulus Tahun 1997.
MTS
: MTS Yasu’a, Desa. Pilang Wetan, Kec. Kebun Agung, Kab. Demak, Lulus Tahun 2000.
MA
: MA Yasu’a, Desa. Pilang Wetan, Kec. Kebun Agung, Kab. Demak, Lulus Tahun 2003.
D2
: STAIN Salatiga, Lulus Tahun 2005.
106