“PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU MISKAWAIH TENTANG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK”
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh Herudin NIM 109011000109
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/1437 H
PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU MISKAWAIH
DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK-ANAK Skripsi Diajuakan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.l.)
Oleh:
Herudin
NIM: 109011000109
Pembimbing
NrP. 19680313 199903 1 006
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2016
M
rl \1
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Slaipsi berjudul "PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU
MISKAWAIH DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK. AI\AIC', disusun oleh Herudirq NIM. 109011000109, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.
Jakarta,2lMmet 2016
Yang mengesahkan,
13 199903 1 006
I(EMENTERIAN AGAMA fIIN JAKARTA F'ITK JI. b. H.
Jwdo
No 95 Cip{tdt I 54 12
Dokumen Tgl. Terbit : No. Rerisi, :
FITK-FR-AKD-089
Hal
UL
No.
FORM (FR)
|tul@ie
STTRAT PERNYATAAN
I Maret 01
IC{RYA SEI{DIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
. Herudin
TempaliTgl.Lahir
: Jakarta, 31 Oktober 2016
NIM
'109011000109
Jurusan
i Prodi
Judul Skripsi
: Pendidikan Agama :
Islam
Perbandingan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu
Miskawaih tentang pendidikan agamalslam pada anak-anak Dosen Pembimbing
dengan
: Dr. Muhammad Dahlan. M.Hum
ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 21Maret20l6 Mahasiswa Ybs.
Herudin NrM. 109011000109
2010
ABSTRAK
Herudin, NIM 109011000109 “Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penulis memilih judul tersebut karena masih sangat banyak orang tua zaman sekarang yang masih mengenyampingkan pendidikan agama Islam pada anak, kemudian masih banyak orang tua yang belum mengenal konsep pendidikan yang dijelaskan oleh tokoh-tokoh filsafat muslim. Pemilihan dua tokoh tersebut karena banyak melihat perbedaan pemikiran dalam bidang filsafat mereka. Pendidikan agama Islam pada anak sangatlah penting, oleh karena itu tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui konsep pendidikan agama islam menurut alGhazali dan Ibnu Miskawaih, dan mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran pendidikan agama Islam pada anak serta mengetahui pentingnya pendidikan agama Islam pada anak. Metode yang digunakan untuk Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan dengan suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini. Seperti kitab Ihya Ulumuddin dan terjemahannya, serta kitab Tazibul Akhlak dan terjemahannya. Konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut Ibnu Miskawaih maupun al-Ghazali sama-sama menitik beratkan pada pendidikan akhlak yang dibentuk melalui pembiasan, latihan, dan teladan yang baik. Pendidikan akhlak yang mereka jelaskan sama-sama memulai dari melatih dan menekan nafsu yang tumbuh pada anak-anak dengan pendidikan akhlak melalui bimbingan, teladan, dan pembiasaan. Untuk membentuk akhlak hal penting yang harus dilakukan menurut mereka adalah menghindarkan anak-anak dari pergaulan yang kurang baik, serta menghidari meraka dari syair-syair yang membuai, musik-musik yang syairnya tentang percintaan yang saat ini banyak dikonsumsi oleh anak-anak jaman sekarang, serta manjauhakn mereka dari bersifat konsutif dan matrealistis, anak-anak harus diajarkan kesederhanaan hidup.
Kata Kunci: Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih, Pendidikan Agama Islam Pada Anak
i
ABSTRACT Herudin, NIM 109011000109 "Comparative Thoughts Al-Ghazali and Ibn Miskawayh On Islamic Education in children". Thesis Department of Islamic Religious Education, Faculty of Science and Teaching Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta The author chose the title because there are still very many parents today who still disregard the Islamic religious education to children, then there are still many parents who are not familiar with the concept of education described by the leaders of Muslim philosophy. Selection of these two figures because many see the difference of thought in the field of their philosophy. Islamic religious education of children is important, therefore the purpose of this paper is to investigate the concept of Islamic religious education according to al-Ghazali and Ibn Miskawayh, and find out the similarities and differences of thought of Islamic religious education to children and to know the importance of Islamic education in children. The method used for this study used a qualitative approach. Qualitative research is research that aims to understand the phenomenon of what yangg experienced by research subjects eg, behavior, perception, motivation, action, and others. Holistically, and by way of description in the form of words and language, and with a special natural context and by utilizing a variety of natural methods. Supported by the data obtained through library research (library research). Because of the problems to be studied examines the history of the necessary amount of literature relevant to this thesis. As Ihya Ulumuddin and translation, as well as Tazibul book Morals and translation. The concept of Islamic education to children according to Ibn al-Ghazali Miskawayh and equally focuses on moral education formed by refraction, exercise, and a good example. Moral education that they explain both start from the train and suppress appetite that grows in children with moral education through guidance, exemplary, and habituation. To form morals important things that must be done according to them was to avoid children from the association were not good, and avoid meraka of poetry cradles, music that poem about the romance that is currently widely consumed by children today, as well as those of nature konsutif manjauhakn and materialistic, children should be taught the simplicity of life.
Keyword: Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih, Islamic Education in children
ii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU MISKAWAIH DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK-ANAK” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.Pd.I.) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A.
2.
Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Marhamah Saleh, Lc. M.A serta seluruh staf Jurusan dan Laboratorium, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini.
4.
Bapak Aminudin Yakub, M.Ag, selaku dosen penasihat akademik.
5.
Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6.
Teman-teman Prodi Pendidikan Agama Islam yang baik hati, khususnya prodi Pendidikan Agama Islam angkatan 2009 kelas C (Agus, Iqbal, Miftah, Rasid, Sukri Gozali, Chairul, Sihab dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu). Terimakasih banyak atas tawa-duka, suka duka, kebersamaan, motivasi, dan bertukar pikiran selama ini.
iii
7.
Kedua orang tua (Suyanto dan Saminah) dan kakak-kakak (Sriyanah dan Suwarno), tercinta yang telah memberikan segenap kasih sayang yang tiada henti dan memberikan dorongan baik materil maupun moril serta do’a kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8.
Terimakasih keluarga besar Pondok Pesantren Daarussalaam Depok khususnya kaka kelas saya (Yusuf Qomarudin) dan adik kelas saya (Sadiah Nurjanah) yang telah memberikan banyak bantuannya.
9.
Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka semua, amien. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr, Wb.
Jakarta, 21 Maret 2016
Herudin
iv
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SURAT PERYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ........................................................................................ KATA PENGANTAR .................................................................................. DAFTAR ISI ......................................................................................... BAB I : PENDAHULUAN
BAB II
i ii iii
A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Identifikasi Masalah ...........................................................
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................
8
: KAJIAN TEORI A. Pendidikan Agama Islam ..................................................
9
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ...........................
9
2. Ruang lingkup ............................................................ 11 3. Tujuan ........................................................................ 15 B. Anak-Anak ........................................................................ 17 1. Pengertian anak-anak ................................................... 17 2. Klasifikasi pertumbuhan manusia ............................... 18 C. Pendidikan anak usia dini (kanak-kanak) ........................ 21 1. Pengertian ................................................................... 21 D. Kajian Penelitian yang Relevan ....................................... 23 B AB III
: METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 25 B. Metode Penelitian ............................................................... 25 C. Prosedur Pengumpulan dan pengolahan data .................... 25 D. Pemeriksaan atau pengecekan keabsahan data ................. 26 E. Analisis data ..................................................................... 28
v
BAB IV
: PEMBAHASAN A. Biografi Imam Al-Ghazali .................................................. 29 B. Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Anak-anak Menurut Imam Al-Ghazali ................................................. 34 C. Biografi Ibnu Miskawaih .................................................... 47 D. Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Anak-anak Menurut Ibnu Miskawaih .................................................. 49 E. Pembahasan Analisis Hasil Penelitian ................................ 57 F. Analisis Persamaan dan Perbedaan .................................... 64
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 67 B. Saran ................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, dengan kemampuan berpikirnya berusaha untuk hidup lebih baik dan lebih maju. Ketika manusia menghendaki kemajuan dalam hidupnya, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakatnya.1 Menurut ajaran Islam, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur ardli dan unsur samawi. Unsur ardli adalah jasmaniyah, yang meliputi seluruh jasad manusia baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dan semuanya terdiri dari zat materi yang membutuhkan makanan. Sedang unsur samawi adalah rohaniah yang juga membutuhkan makanan berupa santapan rohani seperti pendidikan agama, bimbingan, penyuluhan, rekreasi, istirahat dan sebagainya.2 Dewasa ini makin terasa perlu manusia dibentengi dengan nilai-nilai luhur agama, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap manusia. Keduanya (jasmani dan rohani) dapat menyeret manusia pada kelalaian, kealpaan, dan lupa yang disebabkan oleh kesibukan-kesibukan sehingga manusia butuh pendidikan.3 Dengan Pendidikan Agama Islam akan mengarahkan manusia kepada pembentukan insan kamil, yakni khalifah Allah yang pada hakekatnya ialah manusia shaleh, manusia yang dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.4 Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah 1
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 01 2 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 136. 3 Ibid, h. 137 4 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), h. 132
1
2
usaha untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang bertujuan dan usaha mendewasakan anak.5 Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang positif.6 Pendidikan Agama Islam, sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya.7 Pendidikan Agama Islam harus diajarkan sejak kanak-kanak karena masa kanak-kanak merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan manusia. Sebab ia menjadi pijakan fase-fase selanjutnya dalam proses pendidikan dan pembinaan
pribadi.8
Anak-anak
adalah
generasi
penentu
masa
depan,
sebagaimana ia juga akan menjadi pemimpin di masa yanga akan datang.9 Jadi perkembangan agama seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman hidup sejak kecil, baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat.10 Agama bukanlah mata-pelajaran yang dipelajari untuk menumbuhkan pengetahuan atau ketangkatasan, tetapi agama ialah roh dan pengaruh. sukses
5
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1991), h. 2 6 Ahmad Tafsir, Ilmu dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 84 7 Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), cet. 2, h.31-32 8 Aan Wahyudin, Mendidik Anak Pertmpuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. ix 9 Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiaran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 82 10 Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 139
3
guru tidak diukur dengan banyak muridnya yang menghafal ayat-ayat Al-Qur‟an, hadis-hadis dan hukum-hukum agama, tetapi diukur dengan apa yang tercetak dalam hati murid-murid yang berkelakuan baik, berakhlak mulia, berbudi luhur, menunaikan kewajiban terhadap Tuhan, orang tua, keluarga, dan masyarakat.11 Peserta didik adalah indikator yang sangat diperhatikan karena merekalah pelaku yang menerima pendidikan tersebut dan setiap perserta didik harus diberikan pendidikan agama. Pendidikan agama harus diajarkan sejak dini kepada peserta didik, karena agama akan membentuk akhlak peserta didik untuk menjalani hidup dengan akhlak mulia. Masa kanak-kanak sangat baik untuk menerima pendidikan, untuk menamkan dasar-dasar agama lebih baik pada masa kanak-kanak. Anak adalah penerus cita-cita bangsa. Selain amanah dari Allah SWT. Anak juga merupakan cikal bakal yang akan memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan demi kebahagiaan dunia akhirat. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, serta sosialnya secara utuh dan seimbang.12 Firman Allah SWT :
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S Ar-Ruum:30)
Sabda Nabi Saw : 11
Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), h. 18 12 Subhan Husen Albari, Agar Anak Rajin Solat, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), h. 11
4
Artinaya: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih dan suci); maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi. (HR. Muslim) Fitrah artinya bersih tanpa dosa dan noda, baik dalam akal maupun nafsunya. Dengan demikian, manusia yang fitrah adalah manusia yang bersih dari dosa. Makna fitrah adalah suatu kemampuan dasar manusia yang berkembang secara dinamis dan dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya dengan mengandung komponen-komponen yang bersifat dinamis dan responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar. Komponen-komponen yang dimaksud yaitu bakat, insting, dorongan nafsu, karakter atau watak, dan intuisi.13 Dari ayat dan hadis di atas jelaslah bahwa pada dasarnya anak telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sesuai dengan tingkat usia anak dalam pertumbuhan.14 Pendidikan yang tepat akan mengembangkan kemampuan anak sesuai fitrahnya, yaitu dangan pedidikan agama kemampuan anak dalam memahai fitrahnya sebagai manusia akan berkembang. Kita sangat menyesalkan sekali bila kita terpaksa berkata bahwa pendidikan akhlak atau Pendidikan Agama Islam kurang sekali mendapat perhatian, baik di rumah-rumah atau di sekolah-sekolah dan dalam masyarakat, pada saat-saat kita meneriakkan bahwa kebahagiaan suatu bangsa tidak tergantung pada banyaknya penghasilan atau keindahan bangunan-bangunannya akan tetapi tergantung pada putra-putrinya yang terpelajar. Bila kesempurnaan akhlak dan moral ada, maka kebahagiaan, kekuatan dan keindahan suatu bangsa itu dapat tercapai.15 13
Hasan Basri, Beni Ahamad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 128. 14 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama ISIN “Filsafat Pendidikan Islam” Jakarta. Hal.168-169 15 Muhammad „Athiyah Al-Abrasyi, Asas-Asas Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 116
5
Bila kita ingin bangun dan menegakkan kembali keagungan Islam di masa lalu, maka kewajiban kita untuk memikirkan masalah-masalah ilmu dan penyebarannya, pendidikan dan perluasannya, moral dan pembentukannya. Suatu bangsa tidak akan dapat bertambah tinggi hanya dengan uang dan benteng, tetapi suatu bangsa bertambah tinggi dengan ilmu dan akhlak. Suatu bangsa tidak akan makmur dengan gedung-gedungnya, sedangkan akhlaknya hancur-binasa.16 Maka dengan ilmu dan akhlak kita akan sanggup mengembalikan keagungan kaum Muslimin di zaman keemasan dulu, zaman keagungan Islam, dan kita akan sanggup menuntun dunia sekarang dan dunia yang akan datang separti kita pernah memimpin di waktu-waktu yang lampau.17 Banyak ahli (pendidikan dan filsafat) yang telah membahas pentingnya Pendidikan Agama Islam pada anak-anak. Filosof-filosof muslim tersebut antara lain Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali. Mereka adalah filosof muslim yang banyak berbicara tentang pendidikan. Sangatlah bijak kita mengkaji kembali pemikiranpemikiran pendidikan dari kedua filosof muslim tersebut terutama pendidikan agama pada anak-anak, namun masih banyak orang tua zaman sekarang tidak mengenal pemikiran mereka berdua tentang pendidikan akhlak pada anak. Dalam sebuah tulisan di media sosial facebook saya mendapat kiriman tetang pendidikan yang diberikan orang tua zaman sekarang, “dulu saya susah maka anak saya tidak boleh susah sekarng saya akan berikan apa saja untuk anak saya,” kata salah satu teman di facebook. Kemudian orang tua itu pun membiasakan sang anak makan nasi impor yang mahal dari kecil, namun apa yang terjadi ketika terjadi krisis orang tuanya tidak mampu memberikan nasi impor yang mahal, anak tersebut tidak dapat makan nasi selain nasi yang impor yang mahal itu. Anak yang dimaja dan dibiasakan hidup mewah akan kesulitan hidup ketika keadaan memaksa harus hidup susah. Dalam satu kasus lagi seorang anak selalu mandi dengan kamar mandi mewah yang ada di rumahnya menggunakan air hangat, namun ketika dia berlibur kerumah neneknya dan di rumah neneknya tidak terdapat kamar mandi mewah dan tidak ada air hangat di sana sang anak mengamuk dan marah-marah 16 17
Ibid, h. 117 Ibid, h. 117
6
tidak mau mandi. Banyak konsep pendidikan orang tua saat ini sangatlah jauh berbeda dengan pendidikan-pendidikan yang dikembangkan oleh para filosof muslim. Seperti pendapat imam al-Ghazali tentang pendidikan anak di bawah ini.
Menurut imam al-Ghazali: Ash-Shabiy atau anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih merupakan permata yang berharga, lugu dan bebas dari segala macam ukiran dan gambar. Ukiran berupa kebiasaan berbuat baik akan dapat tumbuh subur sehingga ia akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jika sang anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik kepadanya, ia akan tumbuh dengan baik dan akan memperoleh kebahagiaan, kemudian pahala yang dipetiknya turut dinikmati oleh kedua orang tuanya. Dan apa bila dibiasakan pada hal-hal buruk, dan ditelantarkan begitu saja bagaikan memperlakukan hewan ternak, maka niscaya sang anak akan tumbuh menjadi anak yang celaka dan binasa. Dan dosa yang ditanggung anak itu, akan menjadi beban bagi orang yang pernah mengajarinya dan yang menjadi walinya. Anak adalah amanah yang harus didik dengan sebaik mungkin, pendidikan yang diterima anak sejak dini akan membangun kebiasaan dan karakternya saat dewasa. Kebiasaan saat dewasa adalah gambaran pendidikan saat sang anak didik sejak kecil, jika dibiasakan baik maka baik pula hidupnya. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih terkenal sebagai tokoh Moralis. Tetapi antara al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih mempunyai latar belakang kehidupan dan pendidikan yang berbeda, dimana sejak dini al-Ghazali, hidup dalam kesederhanaan dan diasuh oleh seorang sufi dan beliau termasuk orang yang gemar menuntut ilmu agama, selalu tidak puas dengan hasil-hasil studi yang 18
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, (Darul Fikri), Jilid 3, h. 66
7
dicapai. Sedangkan Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof yang telah banyak mempelajari filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plato19. Pemikiran filsafat mereka pun berbeda, al-Ghazali menolak pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih tentan ketuhanan. Banyak bantahan-bantahan yang dilakukan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al Falasifah (kekacauan para filosof). Ini menarik untuk diperhatikan adakah perbedaan yang signifikan antara mereka tentang konsep Pendidikan Agama Islam pada anak-anak. oleh karena itu penulis merasa perlu mengkaji kembali pemikiran mereka. Demikianlah yang melatarbelakangi penulis membuat judul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU MISKAWAIH DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Banyak orang tua zaman sekarang yang mengeyampingkan Pendidikan Agama Islam pada anak-anak. 2. Banyak orang tua zaman sekarang yang tidak mengenal dan mengetahui konsep pendidikan agama Islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih 3. Perbedaan al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih dalam latar belakang pendidikan dan pemikiran filsafat.
C. Pembatasan Masalah Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pemikiran pendidikan al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih maka perlu diadakan pembatasan masalah dalam penelitian agar persoalan penelitian dapat dikaji lebih mendalam, yaitu hanya mengkaji perbandingan pemikiran pendidikan Agama Islam pada anak-anak dalam bidang iman, dan akhlak saja menurut imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.
19
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 60.
8
D. Perumusan Masalah Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka di sini penulis memberikan perumusan masalah, antara lain: 1. Bagaimana konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut alGhazali Dan Ibnu Miskawaih? 2. Apa perbedaan dan persamaan pemikiran Pendidikan Agama Islam antara al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih?
E. Tujuan Penelitian Dengan memahami latar belakang yang telah penulis sampaikan di atas, maka dalam penelitian karya ini, tardapat beberapa tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep Pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih. 2. Untuk mengetahui lebih dalam perbedaan dan persamaan pemikiran Pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih. 3. Untuk mengetahui pentingnya Pendidikan Agama Islam pada anak-anak.
F. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan dan pengalaman penulis khususnya tentang pengamalan nilai-nilai Pendidikan Agama Islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih. 2. Mengingat kembali potensi sejarah pemikiran pendidikan al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, dan menemukan hal-hal penting, yang masih tetap relevan dengan pendidikan agama pada anak-anak saat ini. 3. Mengingat kembali peran penting pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih tentang pendidikan. 4. Dapat dijadikan evaluasi pendidikan agama pada anak-anak saat ini.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Agama Islam
1.
Pengertian Pendidikan Agama Islam Kata “pendidikan” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama paedagogos
yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi, dikenal dengan educare, artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Dalam bahasa Belanda menyebut istilah pendidikan dengan nama opvoeden, yang berarti membesarkan atau mendewasakan, atau voden memberi makan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah education, yang berarti to give moral and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.1 Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah usaha untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang bertujuan
dan
usaha
anak.2
mendewasakan
meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Pendidikan agama di sekolah
Pendidikan
adalah
usaha
3
berarti suatu usaha yang
secara sadar
dilakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka pembentukan manusia beragama.4 Pendidikan Agama Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan
1
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 16 2
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1991), h. 2 3 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 6 4 Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 172
9
terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatannya.5 Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Islam. Pendidikan Agama Islam dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan Agama Islam, Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “Agama Islam” karena yang diajarkan adalah Agama Islam bukan Pendidikan Agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan Agama Islam disebut Pendidikan Agama Islam. Kata “pendidikan” ini ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini PAI sejajar atau sekatagori dengan pendidikan Matematika (nama pelajarannya adalah Matematika), pendidikan Olahraga (nama mata pelajarannya adalah Olahraga), pendidikan Biologi (nama mata pelajarannya adalah Biologi) dan seterusnya. Sedang pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki komponen secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Pendidikan Agama Islam yakni upaya mendidik agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian ini dapat terwujud segenap kegiatan yang dilakukan seorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam keterampilan hidupnya sehari-hari.6 Dalam Al Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan adanya perintah tersebut, antara lain:
5
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), cet. 2, h. 31-32 6 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Rajawali Persada, 2009), h. 6-8
10
11
Dalam Surat An-Nahl ayat 125, yang berbunyi:
.... Artinya : “Ajaklah kepada agama Tuhanmu dengan cara yang bijaksana dan dengan nasehat yang baik.....” 7 Dalam Surat Ali Imron ayat 104, yang berbunyi :
Artinya : “Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh perbuatan baik dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” 8 Dalam Surat At- Tahrim ayat 6, yang berbunyi :
........ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.......”. 9 Ayat-ayat tersebut di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam ajaran Islam memang ada perintah untuk mendidik agama, baik pada keluarganya maupun pada orang lain sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Jadi Pendidikan Agama Islam adalah upaya untuk menanamakan ajaran Islam dalam kehidupan peserta didik dalam setiap perbuatannya. 2.
Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Pada Anak Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya Pendidikan Agama Islam terdiri
dari sejumlah pelajaran di antaranya sebagai berikut ini: a. Keimanan 7
Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 421. 8 Al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 104, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 93. 9 Al-Qur’an surat An-Tahrim ayat 6, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 951.
12
Iman berarti percaya. Menurut rumusan ulama tauhid, iman berarti membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lidah akan wujud dan keesaan Allah.10 Al-Ghazali mengatakan iman adalah mengucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota tubuh.11 Sedangkan iman menurut syariat adalah membenarkan dan mengetahui adanya Allah dan sifat-sifat-Nya disertai melaksanakan segala yang diwajibkan dan disunahkan serta manjauhi segala larangan dan kemaksiatan.12 Al-Qur’an telah memberikan gambaran yang jelas mengenai pendidikan akhlak pada anak-anak yang tertuang dalam surat Lukman.
Artinya : dan (ingatlah) ketika Luqman mengatakan kepada anak-anaknya untuk memberikan pelajaran: hai anakku! janganlah engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah itu adalah suatu kesalahan besar. Ayat tersebut mengisyaratkan bagaimana seharusnya para orang tua mendidik anaknya untuk mengesakan penciptanya dan memegang prinsip tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya. b. Akhlak Akhlak diartikan sebagai budi pekerti; kelakuan sebenarnya kata akhlak berasal dari bahasa Arab, dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti perangai, tabiat. Karakter (khuluq) merupakan keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. 10
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 63-64 11 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 97 12 Ali Nurdin, dkk, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Universitas Terbuka), h. 63
13
Ibnu Miskawaih memberi pengertian akhlak sebagai berikut: 13
Artinya, ”khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa
dipikirkan
dan
diperhitungkan
sebelumnya”.
Sedangkan Al-Ghazali memberikan pengertian akhlak sebagai berikut: 14
Artinya: “Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara‟, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut AlGhazali mencakup dua syarat: a.
Perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi kebiasaan. Misalnya seseorang yang memberikan sumbangan harta hanya sekali-sekali karena dorongan keinginan saja, maka orang itu tidak dapat dikatakan sebagai pemurah selama sifat
13
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Terj. Helmi Hidayat) Bandung: Mizan, 1997, Cet. III. hal 56 14 Abû Hâmid al-Ġazâlî, Ihyâ' „Ulûm ad-Dîn, Jilid III, (Dar Ihya al-Kutub al-Arab, 1987), h. 52.
14
demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa. b.
Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain, atau pengaruhpengaruh dan bujukan-bujukan indah dan sebagainya. Misalnya orang yang memberikan harta benda karena tekanan moral dan pertimbangan. Maka belum juga termasuk kelompok orang yang bersifat pemurah.15
Begitu pentingnya posisi akhlak dalam Islam. Hal ini dibuktikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh Rasulullah SAW, seperti dalam haditsnya :16
“Menceritakan kepada aku dari Malik bahwasannya benar-benar sampai kepadanya sesungguhnya Rasulallah Saw. bersabda (aku diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak).” (H.R. Malik bin Anas dari Anas bin Malik). Sedangkan sabda Rasulullah saw, yang berbunyi : 17
Artinya :
c.
“Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah dengan budi pekerti yang baik”. (HR. Ibnu Majah).
Ibadat Dalam bahasa indonesia, kata ibadat sudah biasa digunakan orang, bila
disebut ibadat orang sudah mengerti berasal dari bahasa arab yang berarti
15
Zainudin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al –Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 102-103 16 Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwatha, Darul Ifaq Al-Jadidah, 1993, hal 789 17
Al Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qozwin, Sunan Ibn Majah, Jilid II, Maktabah Dahlan, Indonesia, hal. 1211
15
penyembahan. Dalam pengertian yang luas, ibadat itu ialah segala bentuk pengabdian yang ditujukan kepada Allah semata yang diawali oleh niat. Ada bentuk pengabdian yang secara tegas digariskan oleh syari’at Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan ada pula yang tidak digariskan secara pelaksanaannya dengan
tegas,
tetapi
diserahkan
saja
kepada
yang
melakukannya, asal saja perinsip ibadatnya tidak tertinggal.18 Kemudian anak-anak hendaklah diajarkan untuk mengerjakan shalat. Sehingga terbentuk manusia yang senantiasa kontak dengan penciptanya. 19
Artinya : “Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan mencegah (mereka) dari perbuatan yang munkar…”. (Q.S. Luqman: 17)
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.
3.
Tujuan Pendidikan Agama Islam Tujuan Pendidikan Agama Islam menurut al-Ghazali adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.20 Tujuan pendidikan agama membina, berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya, dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kejayaan hidup dunia akhirat.21 Tujuan pendidikan Islam mencakup tujuan sementara dan tujuan akhir pendidikan Islam. Untuk mencapai tujuan akhir pendidikan harus dilampaui
18
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 72 19 Ibid,., hal. 655 20 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Permata, 2005), h.212 21 Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 172
16
terlebih dahulu beberapa tujuan sementara. Tujuan akhir pendidikan Islam terbentuknya kepribadian muslim.22 Tujuan Pendidikan Agama adalah meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan.23 secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama, dan negara.24 Akhlak adalah bagian dari agama yang secara khusus memberi pedoman bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama.25 Tujuan Pendidikan Islam yang disarankan Konperensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah 8 April 1977, sebagai berikut: Pendidikan
harus
diarahkan
mencapai
pertumbuhan
keseimbangan
kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, rasio, perasaan, dan penghayatan. Karena itu, pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia dalam segala seginya: spiritual, intelektual, imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif, dan semua itu didasari motivasi ibadah karana tujuan akhir pendidikan muslim itu terletak pada (aktivitas) merealisasiakan pengabdian dan kemanusiaan.26 Tujuan tertinggi dan terakhir adalah tujuan hidup manusia dan peranannya sebagi ciptaan Allah, yaitu: a. Menjadi hamba Allah yang bertaqwa b. Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di bumi) yang mampu memakmurkannya (membudayakan alam sekitar). c. Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.27
22
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 30 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 30 24 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), 35. 25 Sutarjo Adisusilo, J.R. Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2012), h. 50 26 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 101 27 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 95-97 23
17
B. Anak-Anak
1.
Pengertian Anak-Anak Thifl dan thiflah berarti anak kecil, bentuk pluralnya adalah athfal.
Seseorang disebut thifl (anak) ketika ia lahir dari perut ibunya hingga ia mengalami mimpi basah (sebagai pertanda baligh).28 Anak adalah amanat Allah yang harus dibina, dipelihara, dan diurus secara seksama serta sempurna agar kelak menjadi insan kamil.29 Ada sejumlah klasifikasi fase-fase pertumbuhan manusia yang dilansir dalam berbagai literatur30 disiplin ilmu psikologi pertumbuhan. Dari sekian banyak itu penulis memilih beberapa di antaranya: a. Fase Pra-Natal Fase pranatal (sebelum lahir) mulai masa konsepsi sampai proses kelahiran yaitu sekitar 9 bulan 20 hari. Ibnu Mas`ud berkata bahwa Rasulullah bersabda yang artinya : “Sesungguhnya seorang baru kalian dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari (asal sperma), selanjutnya menjadi segumpal darah beku itupun selama 40 hari. Selanjutnya Allah Swt, mengutus malaikat, maka ia pun meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Malaikat ini diperintah mencatat (menetapkan) empat hal, yaitu mengenai rezekinya, amalnya, celakanya dan bahagianya” (H.R Bukhari dan Muslim). b. Fase Lahir Fase lahir merupakan permulaan atau periode awal keberadaan sebagai individu dan pada masa ini dimulai dari kelahiran dan berakhir pada saat bayi
28
Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xiii 29 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terjemahan dari Tarbiyatul Awlad Fil Islam, oleh Jamaludin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. 3, Jilid I, h.7. 30 Dalam buku Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam karangan Drs Tohirin, Psikologi perkembangan individu memaparkan enam tahap perkembangan individu tahap-tahap itu adalah fase bayi, anak-anak, remaja, dewasa awal, setengah baya, dan fase tua
18
menjelang dua minggu dan periode ini juga bayi mulai menyesesuaikan dirinya dengan kehidupan di luar rahim. Fase ini terbagi menjadi dua periode, yaitu : periode pertunate (mulai kelahiran sampai antara lima belas dan tiga puluh menit sesudah kelahiran), sedangkan periode neonate (dari pemotongan dan pengikatan tali pusar sampai sekitar akhir minggu kedua dari kehidupan paseamatur, yaitu lingkungan di luar tubuh ibu). c. Fase Dua Tahun Pertama Pada fase 2 tahun pertama ini dapat dilihat dari khasnya yaitu anak mulai memusarkan dirinya untuk mengenal lingkungannya, menguasai gerak-gerik fisik dan belajar berbicara dan pada masa ini Rasulullah bersabda, yang artinya : “Mulailah mendidik anak-anak kalian dengan kalimat pertama : Laa ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), bimbinglah mereka ketika mereka berada dalam sekarat dengan Laa ilaha illallah,” (H.R Al-Baihaqi). Kalau kita cermati hadits di atas adalah pendidikan pertama ditanamkan kepada anak adalah meng-Esakan Allah dengan kalimat tauhid, dengan kalimat Laa ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). d. Fase Kanak-kanak Masa kanak-kanak ini berlangsung selama enam tahun, oleh pendidik disebut pra sekolah. Awal masa kanak-kanak ini sering dianggap sebagai usia kritis dalam penggolongan peran seks. Pada masa inilah anak paling peka dan siap untuk belajar dan dapat memahami pengetahuan dan selalu ingin bertanya dan memahami. Perkembangan kembangan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kognitifnya. Hal ini membentuk persepsi anak mengenai dirinya sendiri, dalam kompetensi sosialnya, dalam peran jenis kelaminnya, dan dalam menegakkan pendapatnya mengenai apa yang benar dan yang salah.
19
e. Fase Puber Periode ini merupakan masa pertumbuhan dan perubahan yang pesat dan masa ini terjadi pada usia yang berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Kriteria umum yang digunakan fase ini adalah bagi anak laki-laki ditandai dengan mimpi basah, sedangkan pada anak perempuan ditandai dengan masa haid pertama. Adapun periode masa puber terbagi menjadi tiga masa, antara lain : 1) Masa pra pubertas : usia 12-14 tahun, masa ini merupakan peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya yaitu : a) Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi b) Anak mulai bersikap kritis 2) Masa pubertas : masa remaja awal usia 14-16 tahun. Adapun cirinya, antara lain sebagi berikut : a) Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya b) Memperhatikan penampilan c) Sikapnya tidak menentu d) Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib 3) Masa akhir pubertas : usia 17-18 tahun, masa ini meupakan peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya, antara lain : Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya. Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria. f. Fase Dewasa Masa dewasa adalah pencarian kemantapan dan masa reproduktif, yaitu suatu masa yang penuh masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesesuaian hidup yang baru. Pada fase ini sebaiknya yang perlu ditanamkan pada diri sendiri adalah menjalankan ketaatan, karena pada fase ini individu sudah menetukan sendiri kemana mereka akan melangkah. g. Fase Lansia
20
Pada fase ini memiliki ciri sebagai berikut : periode kemunduran, perbedaan individual pada efek menua, usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda. Masalah umum yang unik bagi orang-orang yang lanjut usia ini adalah ditandai dengan keadaan fisik yang lemah dan tak berdaya, sehingga tergantung pada orang lain.31 Selain itu ada juga fase pertubuhan antara lain: Pertama, fase pra-kelahiran; dimulai saat terjadinya kehamilan barakhir dengan kelahiran. Umumnya adalah sembilan bulan. Kedua, fase menyusui (atau radha‟ah menurut istilah kalangan ahli fikih); a. Dua minggu pertama kehidupan bayi b. Rentang masa menyusui dan berakhir pada usia dua tahun. Ketiga, fase kanak-kanak dini (atau hadhanah menutut istilah kalangan ahli fiqih); dimulai dari usia tiga tahun sampai akhir usia lima tahun. Keempat, fase kanak-kanak pertengahan; dari usia enam hingga delapan tahun. Itu setara dengan usia tiga kelas pertama sekolah dasar. Kelima, fase kanak-kanak akhir; mulai usia sembilan hingga dua belas tahun. Itu sebanding dengan tiga kelas terakhir sekolah dasar. Kalangan fiqih menyebut fase keempat dan kelima ini dengan istilah tamyiz. Keenam, fase remaja (murahaqah); biasanya mulai usia tiga belas sampai delapan belas tahun. Rentang waktu fase ini setingkat dengan dua tinggkat sekolah menengah (SMP dan SMA). Ketujuh, fase muda; usia delapan belas hingga dua puluh empat tahun. Itu merupakan fase yang memiliki ragam problematika yang terkait dengan orientasi kerja dan pendidikan. Fase tersebut sejajar dengan rentang waktu pendidikan tinggi. Kedelapan, fase dewasa
31
Dra. Rohmalina Wahab, M.Pd.I., Psikologi Belajar, Grafika Telindo Press, Palembang, 2014, hal.128
21
Kesembilan, fase tua. Fase ini berbeda-beda antar orang, berkisar antara usia enam puluh lima hingga tujuh puluh tahun. Fase tersebut ditandai dengan ciri khas suka pikun dan kelemahan menyeluruh. Perlu ditegaskan di sini, masalah periodisasi fase pertumbuhan dan ciricirinya ini sebaiknya tidak dipahami sebagai patokan akhir dan mutlak. Sebab ia hanya untuk mempermudah pembelajaran dan penelitian bagi kalangan yang berminat menekuninya, tidak lebih. Proses pertumbuhan terus berkelanjutan dan saling bereretan, dan pada hakikanya ia pun tidak menerima segala macam pengklasifikasian ini.32 Sementara pembatasan usia anak-anak dan kanak-kanak menurut para ulama berhenti di usia dua belas tahun, sehingga yang disebut anak adalah orang yang belum mengalami mimpi basah.33 Al-Ghazali menggunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti alshobiy (kanak-kanak), al-Mutaallim (pelajar), dan thalibul ilmi (penuntut ilmu). Oleh karena itu anak didik di sini dapat diartikan anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek utama pendidikan (dalam arti yang luas).34
C. Pendidikan Anak untuk Usia Dini (Anak-Anak) Berdasarkan UUSPN (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional) pengertian pendidikan anak usia dini adalah “suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Fase pendidikan agama ada tiga:
32
Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xii 33 Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan Di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xiv 34 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 172
22
1. Agama pada anak-anak adalah fitrah dan amalan 2. Agama pemuda/pemudi adalah rohani dan perasaan 3. Agama orang dewasa logika dan peraturan35 Sedangkan dasar al-Hadist adalah sabda Rasulullah saw, yang berbunyi: 36
Artinya : “Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah dengan budi pekerti yang baik”. (HR. Ibnu Majah). Pendidikan agama untuk anak-anak mempunyai pemikiran yang terbatas dan pengalaman yang sedikit dan percobaan yang kurang. Mereka hidup dalam alam pikiran yang nyata, yang dapat mereka lakukan dengan salah satu panca indra. Mereka belum memikirkan soal-soal maknawi, soal-soal abstrak dan hukum-hukum yang umum. Bahkan mereka belum dapat memikirkan dalil-dalil akal dan teori-teori yang mendalam. Kalau dikatakan kepada anak-anak, bahwa nasi yang kita makan dan air yang kita minum adalah pemberian Allah, maka ia percaya demikian itu tanpa dalil-dalil akal yang tersebut dalam ilmu Al-Kalam. Maka keimanan anak-anak adalah keimanan yang fitrah berdiri atas dasar perhubungan dengan alam yang nyata. Anak-anak sangat perasa, mempunyai perasaan halus, mudah terpengaruh, hal ini dapat dipergunakan untuk memimpin anak-anak supaya mereka berkelakuan baik dan berakhlak mulia dengan menggunakan perasaan halusnya. Bukan dengan dalil akalnya. Begitu juga sifat anak-anak suka mencontoh dan menurut. Ditirunya apa-apa yang dilihatnya, dicontohkannya kelakukan orang tuanya atau teman sejawatnya. 35
Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), cet. 17, h. 8 36
Al Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qozwin, Sunan Ibn Majah, Jilid II, Maktabah Dahlan, Indonesia, hal. 1211
23
Oleh sebab itu pendidikan agama yang akan diberikan kepada anak-anak, haruslah sesuai dengan keadaan mereka itu, sesuai dengan akal pikirannya, sesuai dengan sifat-sifatnya, sebagaimana yang telah disebutkan itu. Berikanlah pendidikan agama dalam bidang yang praktis, berupa amal perbuatan dan akhlak yang mulia dan kelakuan yang baik, sekali-kali janganlah diberikan dalil-dalil akal dan teori-teori yang mendalam yang belum dapat dipahami oleh anak-anak.37
D. Hasil Penelitian yang Relevan Dalam proses pembuatan penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih. Adapun skripsi yang relevan dengan kajian penulis yaitu, skripsi mahasiswi UIN Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) jurusan Pendidikan Agama Islam 2012 Siti Mulayanih yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak Pada Anak Didik Menurut Al-Ghazali. Kesimpulan dari skripsinya adalah pembentukan akhlak pada awal pertumbuhan dapat dilakukan dengan memberikan makanan yang baik dan halal sebagai sumber darah daging, memberikan teladan yang baik agar anak meniru perilaku yang baik, menanamkan rasa malu jika berbuat kesalahan. Sedangkan untuk menanamkan, membentuk akhlak yang baik pada anak didik dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, melawan dorongan hawa nafsu, kedua mujahadah dan berusaha maksimal dengan mengerjakan perbuatan tersebut. Artinya ia haus memaksakan dirinya untuk melakuan perbuatan yang baik. Kemudian ia membiasakan perbuatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka akhlak baik akan melekat pada dirinya. Serta skripsi mahasiswi UIN Jakarta, Fakaultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 2012 Resnamia Novianti yang berjudul Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam menurut Ibnu Miskawaih dan Ibnu Khaldun. Yang berkesimpulan bahwa konsep pendidikan Ibnu Miskawaih bertumpu pada terbentuknya etika dan moral yang 37
Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), cet. 17, h. 9-10
24
mencerminkan jiwa seorang
manusia seutuhnya. Pendidikan anak-anak
disesuaikan dengan jenjang dan tingkat pendidikannya, yang dalam hal tujuan pendidikan itu sendiri
didesain sedemikian rupa agar batin mendapatkan
kebahagiaan sejati, yang diabadikan dalam bentuk pengabdian pada Allah SWT.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “Perbandingan Pemikiran Imam Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak”. dilakasanakan dari bulan Desember 2014 sampai Mei 2015. digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari text book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian.
B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yangg dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan dengan suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.1 Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya literaturliteratur yang relevan dengan skripsi ini.
C. Prosedur Pengumpulan Data 1.
Teknik Pengumpulan Data Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 22, h. 6
25
26
material yang terdapat di ruangan perpustakaan,2 misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah sejarah, dan sumber lain, yang berhubungan dengan pemikiran Imam Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya. Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research). Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a.
Data Primer Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung
objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari Imam AlGhazali Ihya Ulummuddin dan Terjemahan Ihya Ulumuddin, Ibnu Miskawaih Tazibul Akhlak dan Terjemahan Tazibul Akhlak b.
Data Sekunder Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-data
tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas. 2.
Teknik Pengelolahan Data Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi datadata yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis dalam satu pembahasan yang utuh.
D. Pemeriksaan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data pada skripsi ini dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu: 1.
Kredibilitas Data
2
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: PT Alfabeta, 2008), h. 329.
27
Kriteria kredibilitas melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif adalah kredibel atau dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian tersebut. Strateginya meliputi perpanjangan pengamatan, ketekunan penelitian, triangulasi (mengecek keabsahan data dengan memanfaatkan berbagai sumber dari luar data sebagi bahan perbandingan), diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif. 2.
Transferabilitas. Dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada semua orang untuk
membaca laporan penelitian sementara yang telah dihasilkan oleh peneliti, kemudian pembaca diminta untuk menilai substansi penelitian tersebut dalam kaitannya dengan fokus penelitian. Peneliti dapat meningkatkan transferabilitas dengan melakukan suatu pekerjaan mendeskripsikan konteks penelitian dan asumsi yang menjadi sentral pada penelitian tersebut. Dengan kata lain apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. 3.
Dependabilitas Data Apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam
mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Artinya apakah peneliti akan memperoleh hasil yang sama jika peneliti melakukan pengamatan yang sama untuk kedua kalinya.3 4.
Konfirmabilitas Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya di mana hasil
penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.4
3
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 79-80. 4 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 81.
28
E. Analisis Data Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah ditemukannya kepada orang lain.5 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content analysis) dalam bentuk deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.6
5
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 85. 6
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. 3, h. 155-159.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Al-Ghazali Nama lengkapnya abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Thusi ibn Muhammad al-Ghazali lahir di Ghazaleh, suatu desa dekat Thusi di daerah Khurasan (Persia) pada tahun 450 H (1059 M). Ia keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Orang tuanya sebagai pemintal wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzal. Terdapat perbedaan pendapat tentang nama sebenarnya dari al-Ghazali ini. Pada umumnya dikenal dengan nama Al-Ghazali (satu z), nama ini berasal dari nama desa tempat ia lahir. Tetapi ia dikenal pula dengan nama Al-Ghazzali (dua z), nama ini diambil dari profesi orang tuanya sebegai ghazzal (tukang pintal benang wol).1 Ayahnya seorang sufi yang sangat war‟a yang hanya makan dari usahanya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wol. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil.2 Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat.3 Al-Ghazali memiliki saudara laki-laki yaitu Ahmad. Ia dan saudaranya, oleh ayahnya dititipkan kepada seorang sahabatnya (seorang ahli tasawuf) agar pendidikan dua saudara ini diteruskan setalah wafatnya nanti, sampai semua harta yang ditinggalkannya habis semua. Kemudian, kepada keduanya diwasiatkan ayahnya agar terus belajar semampu mungkin.4
1
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 156-157 2 Ahamd Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta:PT Bulan Bintang, 1992), h. 97 3 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999), h. 77 4 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidiakan Menurut Al-Ghazali,( Jakarta: Dea Press, 2000), h. 24
29
30
Ketika sufi yang mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu itu, antara tahun 465-470 H, Al-Ghazali belajar fiqh dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad al-Radzkani di Thus, dan dari Abu Nash al-Isma‟ili di Jurjan. Setelah itu Al-Ghazali kembali ke Thus dan selama tiga tahun di tempat kelahirannya ini ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf pada Yusuf al-Nassaj (wafat tahun 487 H).5 Pendidikan selanjutnya diperoleh al-Ghazali di bawah pimpinan Imam alHaramain di Madrasah al-Nizamiyah di Nasyapur. Di sinilah ia belajar teologi atau ilmu kalam dan filsafat. Mata pelajaran yang lain yang diberikan di universitas itu ialah hukum Islam, sufisme, logika dan ilmu-ilmu alam. Bahkan alGhazali dapat bertukar pikiran dengan segala aliran dan agama, serta menulis berbagai buku di berbagai cabang ilmu pengetahuan, sehingga keahliannya itu diakui dapat mengimbangi gurunya. Dalam usianya yang baru mencapai 28 tahun, al-Ghazali telah menggemparkan kaum sarjana dan ulama dengan kecakapannya yang luar biasa.6 Kemudian pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan
bantahan-bantahan
terhadap
pemikiran
golongan
batiniyah,
ismailiyah, filsafat, dan lainnya. Para mahasiswa sangat gemar dengan kuliah-kuliah yang disampaikan alGhazali oleh karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang ia miliki. Para mahasiswa dan sarjana yang tidak kurang jumlahnya 300 samapai 500 orang seringkali terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat mengikuti perkembangan pemikiran dan pandangannya, sehingga dia menjadi sangat masyhur dalam waktu yang relatif singkat. Sebenarnya al-Ghazali telah menelan seluruh paham, aliran dan ajaranajaran firqah, thaifah, dan filsafat. Semua itu menimbulkan pergolakan dalam 5
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 78 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 158 6
31
otaknya sendiri, karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya sehingga ia ragu kepada kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi untuk mengetahui hakikatnya.7 Pada tahun 488 H/1095 M Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, theologi dan filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu Al-Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus selama kira-kira dua setengah tahun Al-Ghazali di kota ini, ia melakukan uzlah, riyadhah dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Palestina dan di sini pun ia tetap merenung, dan menulis dengan mengambil tempatdi Bait Al-Maqdis. Setelah itu tergeraklah hatinya untuk pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya, Thus, di sinipun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar Ihya‟ „Ulumuddin (The Revival Of The Religion Science; Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Karena desakan penguasa Saljuk, al-Ghazali mengajar kembali pada Madrasah Nizhamiyah di Nasabur, tetapi hanya berlangsung selama dua tahun, kemudian ia kembali ke Thus (untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin). Di kota inilah ia wafat tahun 505 H/1111 M.8 Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan puluhan buku telah ditulisnya, karangan-karangan beliau meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan antara lain; filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul figh, tafsir, tasauf, akhlak dan otobiografinya. Karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab. Adapun hasil-hasil karya Al-Ghazali menurut kelompok ilmu sebagai berikut: 7
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
h. 8-9 8
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 78-79
32
1. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam, yang Meliputi: a. Maqashid Falasifah (Tujuan Para Filosof) b. Tahafut al Falasifah (Kerancuan Para Filosof) c. Al Iqtishod fi al-I’tiqad (Moderasi dalam Akidah) d. Al Munqid min al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan) e. Al Maqashidul Asna fi Ma’ani Asmillah Al-Husna(Arti Nama-nama Tuhan Allah Yang Hasan) f. Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah (Perbedaan antara Islam dan Zindiq) g. Al Qishasul Mustaqim (Jalan untuk Mengatasi Perselisihan Pendapat) h. Al-Mustadhiri (Penjelasan-penjelasan) i. Hujjatul Haq (Argumen yang Benar) j. Mufilul Khlaf fi Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan dalam Ushuluddin) k. Al Muntahal fi ‘Ilmil Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Diskusi) l. Al Madhnun bin “Ala Ghairi Ahlihi (Prasangka Pada Bukan Ahlinya) m. Mahkun Nadlar (Metodologika) n. Asraar ‘Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama) o. Al Arba’in fi Ushuluddin (Empat Puluh Masalah Ushuluddin) p. Iljamul Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam (Menghalangi Orang Awam dari Ilmu Kalam) q. Al Qulul Jmil Fir Raddi ala man Ghayaral Injil (Kata yang Baik untuk Orang-orang yang Mengubah Injil) r. Mi’yarul ‘Ilmi (Timbangan Ilmu) s. Al Intishar (Rahasia-rahasia Alam) t. Isbatul Nadlar (Pemantapan Logika) 2. Kelompok Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, yang meliputi: a. Al Bastih (Pembahasan yang Mendalam) b. Al Wasith (Perantara)
33
c. Al Wajiz (Surat-surat Wasiat) d. Khulashatul Mukhthashar (Intisari Ringkasan Karangan) e. Al Mustasfa (Pilihan) f. Al Mankhul (Adat Kebiasaan) g. Syifakhul ‘Alil fi Qiyas wat Ta’lil (Penyembuh yang Baik dalam Qiyas dan Ta‟lil) h. Adz-Dzari’ah ila Makarimis Syari’ah (Jalan kepada Kemulian Syari‟ah) 3. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf, yang meliputi: a. Ihya ‘Ulummuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) b. Mizanul Amal (Timbangan Amal) c. Kimiyaus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) d. Minhajul ‘Abidin (Pedoman Beribadah) e. Ad-Dararul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhllrah (Mutiara Penyingkap Ilmu Akhirat) f. Al-‘Ainis fil Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan) g. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wa Jalla (Mendekatkan Diri Kepada Allah) h. Akhlak Al-Abrar Wan Najat minal Asrar (Akhlak yang Luhur dan Menyelamatkan dari Keburukan) i. Bidayatul Hidayah (Permulaan dan Tujuan) j. Talbis Al-Iblis (Tipu Daya Iblis) k. Nasihat Al-Mulk (Nasihat untuk Raja-raja) l. Al ‘Ulum Al-Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni) m. Al Risalah Al-Qudsiyah (Risalah Suci) n. Al-Ma’khadz (Tempat Pengambilan) o. Al-Amali (Kemuliaan) 4. Kelomok Ilmu Tafsir yang meliputi: a. Yaaquutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil (Metodelogi Ta‟wil di Dalam Tafsir yang Diturunkan) b. Jawahir Al-Qur’an (Rahasia yang Terkandung dalam Al-Qur‟an)
34
Sebenarnya masih banyak kitab al-Ghazali yang tidak tersebut di atas karena masih ada kitab-kitab karangannya yang musnah, hilang ataupun yang belum ditemukan.9 B. Konsep Al-Ghazali Tentang Pendidikan Agama Islam Bagi Anak-Anak 1.
Pendidikan Keimanan bagi anak-anak Al-Ghazali mengatakan iman adalah mengucapkan dengan lidah, mengakui
benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota tubuh. 10 Al-Ghazali menganjurkan tentang asas pendidikan keimanan ini agar diberikan kepada anakanak sejak dini: Akidah (keyakinan) sebaiknya didahulukan kepada anak-anak pada masa pertumbuhannya, supaya dihafalkan dengan baik, kemudian senantiasa terbuka pengertiannya nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah dewasa. Jadi permulaan dengan menghafal, lalu memahami, kemudian beri‟tikad, mempercayai dan membenarkan.11 Al-Ghazali mengatur cara berangsur-angsur untuk menanmkan keimanan melalui membaca, menghafal, memahami, mempercayai, dan membenarkan, kemudian tertanam sangat kuatnya pada jiwanya setelah dewasa. Seperti pengertian iman itu sendiri pendidikan keimanan harus dimulai dengan mengucapkan dengan lisan atau bahkan dihafalkan ayat-ayat maupun hadis-hadis yang berhubungan dengan keimanan, kemudian memahami pengertiannya dan mencamkan dalam pikirannya kemudian diakui kebenarannya dalam hati, agar dapat meresap secara mendalam, serta yang terakhir mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya dengan cara yang sebenar-benarnya. Sedangkan pendidikan keimanan pada anak-anak dimulai dengan membaca dan menghafal dan belum mencakup pengertian yang mendalam, serta
9
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
h. 19-21 10
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) h. 97 11 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 98
35
pembiasaan ibadah sehari-hari tanpa pengertian yang mendalam pula karena pengertian yang mendalam akan dia dapatkan ketika dewasa nanti. Pendidikan keimanan harus ditanamkan pada anak usia dini karena berkaitan dengan fitrah manusia. Anak didik yang menerima pendidikan aspek keimanan akan berhati-hati menjalani kehidupan di masyarakat,12 oleh karena itu pedidikan keimanan adalah hal pertama yang harus ditanamkan dalam setiap individu agar menjadi pondasi dari ilmu pengetahuan dan aspek pendidikan lainnya serta merupakan pedoman dan pandangan hidup seorang muslim. 2.
Pendidikan Akhlak bagi Anak-anak Al-Ghazali adalah seorang tokoh Moralis yang mempunyai perhatian yang
sangat besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dalam Ihya Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan akhlak dan pembiasaannya, yang dibagi menjadi dua bagian penting yaitu Riyadhatun Nafs (latihan pribadi umum) dan Riyadhatus Shibyan (latihan pekerti anak-anak). Pertama-tama Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anakanak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah swt kepada orang tuanya. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya, gurunya serta pendidikannya pun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa,
12
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 228
36
dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tuanya, walinya atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya.13 Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini sekali. Sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti diasuh dan disusui oleh wanita yang shalihah, kuat dalam melaksanakan ajaran agama, dan tidak makan kecuali yang halal saja.14 Kemudian pada saat kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (tamyiz) mulai muncul dalam diri anak, perhatian harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan bahwa ia mengaitkan nilai kebaikan dengan hal-hal yang memang baik dan nilai keburukan kepada hal-hal yang memang buruk (asosiasi nilai). Sedangkan metode yang digunakan sama dengan metode yang digunakan untuk orang dewasa. Namun titik berat pada kedua metode itu berbeda. Pada orang dewasa membiasakan diri merupakan metode dasar mencapai akhlak yang baik dan oleh sebab itu mendapat tekanan lebih besar ketimbang pergaulan tetapi dalam kasus anak-anak sebaliknya, melindungi mereka dari pergaulan buruk dianggap sebagai dasar latihan bagi anak-anak untuk berakhlak yang baik. Hal ini karena sebagian besar pengajaran untuk mereka adalah peniruan. Pengetahuan tentang manfaat dan mudharat dari sifat-sifat baik dan buruk bagi akhirat tidak relevan dalam latihan moral pada kanak-kanak. Karena akal mereka belum bisa memikirkan hal seperti itu. Hadiah dan hukuman dari orang tua dan pujian serta cercaan dari orang lainlah yang harus dipergunakan sebagai alat membiasakan diri mereka jadi baik dan mencegah mereka dari perbuatan yang buruk.15 Adapun pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anakanak adalah sebagai berikut: a.
Akhlak Terhadap Allah 13
Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, Terj. Ismail Ya‟kub, (Jakarta: Cv. Faisan, 1986), Jilid IV,
h. 193 14
Ibid, h. 193 M. Abul Quasem, Op.Cit.., h. 102-103
15
37
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan shalat. Juga mulai diperintahkan berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan.16 Al-Ghazali sangat menganjurkan sejak dini orang tua membiasakan anakanaknya untuk beribadah, seperti shalat, berdoa, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain, sehingga secara berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, kemudian dengan sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa perintah dari luar (motivasi eksternal) tetapi dorongan itu timbul dari dalam dirinya (motivasi internal) dengan penuh kesadaran. Anak harus berangsur-angsur dapat mengabstraksikan, memahami bahwa beribadah itu harus sesuai dengan keyakinannya sendiri, keyakinan dengan sadar bukan ikut-ikutan atau paksaan. Dengan kata lain, anak yang banyak mendapatkan kebiasaan dan latihan keagamaan pada waktu dewasanya akan semakin merasakan kebutuhan terhadap pentingnya agama dalam kehidupan.17 Selain itu, Al-Ghazali juga menekankan perlunya anak-anak pada usia tamyiz diajarkan tentang hukum syari‟at yang diperlukan. b.
Akhlak Terhadap Orang Tua Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak haruslah dididik untuk selalu
taat kepada kedua orang tuanya, gurunya serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Dan hendaklah ia menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua dari padanya. Dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau di hadapan mereka.18 Setelah menekankan pentingnya menanamkan rasa hormat anak terhadap orang tua, Al-Ghazali juga menjelaskan perlunya menerapkan hukuman dan hadiah. Mengenai hal ini Al-Ghazali berkata:
16
Al-Ghazali, Op.Cit, h. 197 Zaenuddin, Op.Cit, h. 166 18 Al-Ghazali, Op.Cit, h. 197 17
38
19
“Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika suatu saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila anak berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya sehingga ia tidak peduli lagi dengan kecaman siapapun. Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat buruk dari perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman-kecaman yang ditujukan padanya.”20 Di samping itu Al-Ghazali juga menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anak-anaknya. Untuk itu, janganlah ia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk.21 c.
Akhlak Kepada Diri Sendiri 1) Adab Makan Menurut al-Ghazali sifat yang mula-mula menonjol pada anak-anak ialah kerakusannya terhadap makanan. Karena itu, hendaklah ia diajarkan 19
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, (Darul Fikri), Jilid 3, h. 66 20 Ibid, h. 195 21 Ibid
39
tentang adab makan dan minum. Umpamanya ia harus diajar membaca basmallah sebelum makan, tidak mengambil makanan kecuali dengan tangan kanannya, memulai dengan makanan yang lebih dekat dengannya, tidak memulai makan sebelum orang lain memulainya, tidak memusatkan pandangan ke arah makanan dan tidak pula ke arah orang-orang yang sedang makan, mengunyah makanan dengan baik, tidak memasukkan makanan ke dalam mulut sebelum menelan suapan sebelumnya, tidak menyisakan makanan, tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan makanan, hendaklah ia kadang-kadang dibiasakan makan roti tanpa lauk agar dapat menganggap adanya lauk tidak sebagai suatu keharusan. Kemudian setalah meranjak sedikit dewasa di kenalakan bahwa makanan itu adalah obat. Yang dimaksud obat ialah untuk menguatkan manusia agar dapat beribadah kepada Allah SWT.22 Yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak-anak mempelajari adab atau sopan santun pada waktu makan adalah dengan contoh, latihan dan pembiasaan yang berangsur-angsur dalam waktu yang lama, bukan hanya dengan keterangan dan penjelasan yang membosankan. Di samping itu, alGhazali sangat menganjurkan agar orang tua menanamkan dalam diri anak nilai-nilai kesederhanaan. Bahkan, ia membolehkan untuk memberikan sekedar teguran dan pujian, sebagaimana dikatakannya:
22
Ibid, h. 194
40
23
Sifat petama yang menonjol pada anak-anak itu, ialah rakus kapda makanan. Maka sebaiknya ia dididik tentang itu, misalnya tidak mengambi makanan selain dengan tanangan kanannya. Membaca bismillah ketika mengambilnya. Bahwa ia makan makanan yan gekat dengan dia. Tidak tergesa-gesa ke pada suatu makanan sebelum orang lain. Bahwa ia tidak menitik perhatian kepada suatu makanan dan kepada orang yang memakannya, bahwa ia tidak makan cepat-cepat. Bahwa ia mengunyah makanannya dengan baik tidak memasukan makanan kemulut terus menerus. Tidak mengotorkan tangan dan pakaian dengan makanan. Membiasakan roti kering pada sebagian waktu. Sehingga ia memandang jelek banyak makan, dengan diserupai orang yang banyak makan itu dengan binatang ternak dan dicelanya anakk-anak dihadapannya yang banyak makan. sebaiknya dipuji anakanak yang sopan dan sedikit makan. Disukakan kepadanya mengutamakan makanan itu untuk orang lain dan kurang memperhatikan kepada makanan itu. Dan merasa cukup dengan makan apa saja yang ada.24 Jelas sekali bahwa al-Ghazali melarang anak-anak hidup mewah dan berlebihan dalam segala hal. Terutama makan karena sifat nafsu yang muncul pada anak dalah sifat rakus pada makanan. Maka harus dilatih tidak dibiasakan makanan yang enak dan tidak dibiasakan makan banyak. Memandang sifat konsutif itu berbahaya dan menyamakan seperti binatang, merasa cukup dengan apa yang ada. Bahkan al-Ghazali memandang bahwa anak-anak harus dibiasakan juga makan seadanya dan memakan makanan yang kurang lezat 2) Adab Berpakaian Al-Ghazali menegaskan bahwa anak-anak harus diajarkan untuk menyukai pakaian-pakaian yang berwarna putih dan polos saja, bukan yang berwarna atau sutera, sebab kedua jenis pakaian seperti itu hanya layak untuk perempuan atau orang-orang yang menyerupakan dirinya dengan 23
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, (Darul Fikri), Jilid 3, h. 66 24 Ibid
41
perempuan (banci) dan karenanya, laki-laki tidak pantas mengenakannya.25 Keterangan seperti ini, hendaknya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakannya ayah mengecamnya dan menegaskan lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya. Hendaklah ia dijauhkan dari anak-anak yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berpakaian mahal-mahal. Juga melarangnya bergaul dengan anak-anak yang membiasakan dirinya bersenang-sengan, bermewah-mewah dan memakai pakaian yang membanggakan.26 Dengan demikian jelaslah, bahwa orang tua harus benar-benar menjaga anaknya untuk tidak gemar berhias, mengejar kesenangan, kemewahan dan pemborosan. Karena jikalau ini dilakukan, maka hal itu akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan jiwanya nanti, misalnya kurang memiliki sikap sabar, tabah dan tahan menderita. Di samping itu, Al-Ghazali menjelaskan bahaya senang terhadap emas dan perak, yaitu:
27
“Hendaklah anak-anak sejak kecilnya disadarkan buruknya perilaku kecintaan kepada emas dan perak, serta ketamakan untuk memilikinya. Dan agar ditanamkan rasa takut dari keduanya melebihi rasa takut dari ular dan kalajengking. Sebab, bahaya kecintaan kepada emas dan perak lebih besar dari pada bahaya racun, terhadap anak-anak maupun orang dewasa.”28 Jauhkanlah anak dari kemewahan karena jika anak sejak kecil dibiasakan hidup mewah akan timbul kecintaannya terhadap benda-benda yang mewah dan manjadikannya sebuah keharusan dalam hidup. Dalam 25
Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, (Jakarta: Mutiara, 1976), h. 38 26 Ibid 27 Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, (Darul Fikri), Jilid 3, h. 66 28 Ibid, h. 196
42
kenyataan sekarang banyak orang-orang kaya yang tiba-tiba miskin mereka menyerah dan tidak bisa hidup dengan kemiskinannya. Atau orang miskin yang bergaya sangat modis dan mewah menggunakan barang barang mahal padahal rumahnya masih mengontrak karena sejak kecil dibiasakan hidup mewah tanpa diperkenalkan kemewahan itu berbahaya. 3) Kesederhanaan Tidur Al-Ghazali menegaskan sebaiknya anak-anak dilarang untuk tidur pada waktu siang, karena menyebabkan malas. Tetapi jangan dilarang untuk tidur pada malam hari.29 Larangan anak-anak tidur di kasur yang empuk, biar anggota badannya kuat dan ototnya subur dan supaya tubuhnya jangan lamban dan lemah.30 Kebiasaan tidur siang pada anak-anak menyebabkan anak menjadi pemalas, karena sebagian waktu siang bagi anak-anak adalah untuk bermain dan bergaul dengan teman sebaya atau bahkan digunakan untuk belajar atau berlatih kerja. 4) Sabar dan Berani Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang dihukum atau dipukul oleh gurunya, hendaklah tidak berteriak-teriak dan tidak meminta pertolongan kepada orang lain, agar diselamatkan dari hukuman. Tetapi seharusnya ia tetap tabah dan sabar, karena begitulah sikap orang-orang jantan dan berani, sedangkan menangis dan berteriak-teriak adalah sikap para budak atau perempuan.31 Jadi anak-anak dididik untuk sabar dan tabah dalam menerima hukuman akan berbentuk menjadi pribadi-pribadi yang sabar dan pemberani. Selain mendidik akhlak anak-anak dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang 29
Ibid, h. 195-196 Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, (Jakarta: Mutiara, 1976), h. 38 31 Ibid, h. 197 30
43
baik, Al-Ghazali juga menganjurkan agar mendidik anak-anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau ajaran agama Islam, antara lain: 5) Adab Berjalan Al-Ghazali menjelaskan, anak-anak hendaklah jangan diperbolehkan berjalan telalu cepat, tidak menjatuhkan kedua tangan ke bawah, tetapi diletakkan kedua tangan itu pada dada.32 6) Larangan Bersumpah Al-Ghazali berkata bahwa anak-anak jangan diperbolehkan sama sekali untuk bersumpah, baik ia benar maupun bohong.33 Membiasakan anak-anak untuk tidak bersumpah dimaksudkan agar kelak ketika dewasa, ia tidak mudah bersumpah dan dengan seenaknya melanggar sumpah tersebut. 7) Larangan Mencuri Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak haruslah diajarkan untuk tidak sekali-kali mengambil barang yang bukan miliknya walaupun mungkin sangat diinginkannya. Jika ia berasal dari keluarga yang terhormat, diberitahukan kepadanya bahwa kemuliaan seseorang dapat diraih dengan memberi dan bukannya dengan mengambil. Dan bahwasanya mengambil sesuatu yang bukan miliiknya, adalah perbuatan yang rendah, hina dan busuk. Dan apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka hendaklah diyakinkan kepadanya bahwa ketamakan dan keinginan kuat untuk mengambil sesuatu atau diberi sesuatu oleh orang lain adalah suatu sifat yang menghinakan dan tidak terhormat. Bahwa hal itu sama seperti perilaku
32
Al-Ghazali , Op. Cit, h. 196 Ibid
33
44
anjing, yang menggerak-gerakkan ekornya ketika menunggu sepotong makanan yang diinginkannya.34 Dengan demikian Al-Ghazali menganjurkan agar anak-anak dibiasakan untuk suka memberi bukan suka menerima, apalagi mengambil sesuatu yang bukan miliknya (mencuri). Hal ini apabila dilatih terus menerus sehingga dewasa nanti akan menjadi seorang dermawan yang suka membantu dan menolong orang lain. 8) Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak harus dijaga agar tidak melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi. Sebab ia tidak akan melakukan sesuatu perbuatan dengan sembunyi-sembunyi kalau ia meyakini bahwa perbuatannya itu jahat. Kalau ia dibiarkan berlaku demikian, maka ia akan membiasakan perbuatan jahat.35. Adanya larangan untuk melakukan perbuatan secara sembunyisembunyi dimaksudkan untuk menghindarkan anak yang telah mengetahui bahwa perbuatan itu buruk, tetapi ia tetap melakukannya secara sembunyisembunyi karena takut ditegur, dimarahi atau bahkan dihukum oleh orang tuanya atau pendidiknya apabila perbuatan tersebut diketahuinya. 9) Larangan Membuka Aurat Menurut al-Ghazali, anak-anak hendaklah dibiasakan untuk tidak membuka aurat di hadapan orang lain.36 d.
Akhlak Kepada Orang Lain Al-Ghazali memberikan beberapa nasihat agar para orang tua membiasakan
anaknya untuk berbuat hal-hal yang patut dan sesuai dengan norma-norma
34
Ibid Ibid 36 Ibid. 35
45
masyarakat yang berlaku, sebaliknya menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum. Nasihat-nasihat Al-Ghazali itu antara lain: 1) Adab Duduk Al-Ghazali berkata hendaklah anak-anak diajarkan cara duduk yang baik, tidak meletakkan kaki yang sebelah di atas kaki yang sebelahnya lagi. Demikian pula tidak meletakkan telapak tangannya di bawah dagu (topang dagu) dan tidak menegakkan kepala dengan tangannya. Sebab yang demikian itu menandakan kemalasan.37 Maksud dari nasihat Al-Ghazali tersebut, di samping mengajarkan sopan santun pada waktu duduk, juga menghindarkan sikap malas pada anak-anak. 2) Adab Duduk Bersama Orang Lain Al-Ghazali menegaskan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak meludah pada tempat yang bukan semestinya, tidak menguap dan membuang ingus di hadapan orang lain. Dan tidak membelakangi orang lain.38 Dengan demikian jelaslah bahwa di samping mendidik sopan santun di hadapan orang lain, al-Ghazali juga mengajarkan untuk menjaga kebersihan. Selain itu, al-Ghazali juga mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, seperti dijelaskannya: “Dan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak memulai pembicaraan, tetapi hanya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan sekedar memberikan jawaban secukupnya. Dan diajarkan kepada mereka agar pandai-pandai mendengarkan orang lain apabila ia berbicara, terutama jika usianya lebih tua dari mereka. Dan agar berdiri untuk menghormati kedatangan orang lain yang lebih tua, memberinya tempat duduk, setelah itu duduk dengan sopan di hadapannya.39
37
Ibid. Ibid. 39 Ibid 38
46
3) Adab Berbicara Al-Ghazali berkata: anak-anak dijaga dari perkataan yang sia-sia, keji, mengutuk, memaki dan bergaul dengan orang yang lidahnya selalu berbuat demikian karena tidak dapat dibantah bahwa yang demikian itu akan menjalar dari teman-teman yang jahat.40 4) Tawadhu‟ Menurut Al-Ghazali seorang anak hendaklah dilarang membanggakan diri di depan teman-temannya, disebabkan sesuatu yang dimiliki oleh orang tuanya, tentang makanan, pakaian atau peralatan sekolahnya. Akan tetapi dibiasakan bersikap tawadhu‟ dan memuliakan setiap orang yang bergaul dengan dia, dan berkata lemah lembut.41 Sangatlah penting menjauhkan anak dari sifat konsutif dan senang dengan kemewahan yang sangat terlihat di masyarakat kita saat ini, sifat sederhana dan tidak memandang rendah terhadap orang yang ada di bawah. Tidak menjadikan gaya hidup mewah sebuah keharusan. Dengan demikian jelaslah bahwa segala pengalaman yang dilalui anak dengan berbagai contoh pembiasaan, latihan, anjuran dan larangan, kemudian diberikan penjelasan dan pengertian sesuai dengan taraf pemikirannya tentang norma dan nilai-nilali kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan. Kemudian tumbuhkan tindakan, sikap, pandangan, pendirian, keyakinan, dan kesadaran serta kepercayaan untuk berbuat sesuatu yang bertanggung jawab akhirnya terbentuklah kata hati (kerohanian yang luhur) pada anak pada masa dewasanya.42 Jadi pembinaan pribadi anak adalah dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan yang disatupadukan, sehingga terwujud sikap, mental, akhlak dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
40
Ibid Ibid 42 Ibid, h. 197-198 41
47
C. Biografi Ibnu Miskawaih Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad Ya‟qub ibn Miskawaih. Ia lahir dikota ray (Iran) pada 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada 9 safar 421 H (16 Februari 1030M).43 Di sini penulis menggunakan tahun 320 H sebagai kelahirannya, dengan berdasarkan alasan bahwa ia pernah mengabdi kepada al-Mahallabi yang menjabat sebagai wazir pada tahun 339 H / 950 M dan meninggal pada 421 H/1030 M yang paling tidak ia telah berusia sembilan belas tahun.44 Perihal kemajusiannya, sebelum Islam banyak dipersoalkan oleh pengarang. Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Ya‟qub dan pengarang Dairah al-Ma‟arif al-Islamiyah kurang setuju pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya Muhammad.45 Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi 320-450 H/932-1062 M. Pada zaman raja „Adhudiddaulah, Ibn Miskawaih mendapat kepercayaan besar dari raja sebagai penjaga (khazin) perpustakaan yang besar, di samping sebagai penyimpan rahasia raja dan utusan ke pihak-pihak yang diperlukan. Dan diduga Ibn Miskawaih penganut syiah karena hidupnya dihabiskan mengabdi pada menteri syiah.46 Sebagaimana diketahui, setelah khilafah Baghdad mengalami kemunduran sejak permulaan abad ketiga hijriyah, lahirnya negera-negara kecil yang melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad, walaupun dari segi de jure mengaku takluk kepadanya. Pada abad keempat lahirlah negara Bani Buwaih di wilayah Dailam dan kemudian menaklukkan Persia, Ray dan Asfahan, sehingga mereka mampu menempatkan khalifah di Baghdad di bawah kekuasaan mereka. Dan pada 43
M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 84 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 84 45 Hasimsyah Nasution, Op.Cit., h. 56 (dikutip dari Muhammad Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlak Fi Al-Islam dan Ibrahim Zaky Khursyid Dairah Al-Ma‟arif Al-Islamiyah 46 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 56 44
48
zaman „Adhudiddaulah, Irak dan Baghdad diletakkan di bawah kekuasaan pemerintahnya. Para menteri Bani Buwaih sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan. Mereka meniru apa yang dilakukan oleh para khalifah Abbasiyyah pada masa keemasannya, terutama pada masa Harun Rasyid, al-Amin dan al-Ma‟mun. Karena itu, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di kawasan kekuasaan mereka, dan para penguasa sering merupakan sarjana dan sastrawan yang gemar sekali menyemarakkan istananya dengan majelis diskusinya dengan sejumlah ulama, sarjana, dan sastrawan. Demikian situasi zaman di mana Ibnu Miskawaih menghabiskan sebagian besar umurnya, sehingga ia mampu memanfaatkan keadaan itu untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan.47 Ia belajar sejarah terutama tarikh al-Thabar kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadhi (350/960 M). Ibn Miskawaih mengkaji alkimia bersama abu al-Thayyib al-Razi, seorang ahli alkimia. Perhatiannya lebih besar diberikan kepada masalah akhlak sehingga ia dikenal sebagai pemikir dalam bidang akhlak. Sebagai seorang filosof muslim di samping sebagai seorang ilmuwan, Ibnu Miskawaih memiliki karya-karya dalam beberapa bidang 1. Bidang metafisika a.
Kitab Al-Fauz Al-Ashghar
2. Bidang Etika b.
Kitab Al-Fauz Al-Akbar
c.
Kitab Thaharah An-Nafs
d.
Kitab Tahdzibul Akhlaq wa Tath-hir Al-A’raq
3. Bidang Politik dan Hukum a.
Kitab Tartib Al-Sa’adah (Tentang Akhlak dan Politik)
b.
Kitab Jawizan Khirad (Koleksi Ungkapan Bijak)
4. Bidang Kedokteran dan Hidangan: 47
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 56-57
49
a.
Kitab Al-Jami’
b.
Kitab Al-Adwiyah
c.
Kitab Al-Asyribah
d.
Tentang Komposisi Bajat
5. Bidang Estetika dan Sastra: a.
Kitab Al-Mustafa
b.
Kitab Uns Al-farid
6. Bidang Psikologi: a. Maqalat fi An-Nafsi wal ‘Aqli 7. Sejarah dan Naskah-naskah yang Lain: a.
Tajarib Al-Umam (Sebuah Sejarah Tentang Banjir Besar yang menuturkan peristiwa-peristiwa sejarah setelah air bah Nabi Nuh as hingga masa 369 H yang ditulis pada tahun 369 H/979 M).
c.
Risalah Fi Al-Ladzat Wa ‘Al-Alam Fi Jauhar Al-Nafs
d.
Ajribah wa As ‘ilah fin-Nafs wal’Aq
e.
Al-Jawab fi Al-Massail ast-Tsalast
f.
Risalah Al-Jawwad fi suaal Ali bin-Muhammad Abu Hayyan alShufi fi Haqiqat Al-‘aql.48
D. Konsep Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak Dalam Pendidikan Agama Islam pada anak-anak Ibnu Miskawaih bertumpu pada pembiasaan akhlak yang baik dan pemberian contoh yang baik. Ibnu miskawaih memandang bahwa pendidikan akhlak pada anak harus ditanamkan sejak anak usia dini karena perkembangan mental anak berevolusi, berkembang menuju kesempurnaan menyimpaan pesan-pesan masa lalu dan merasuk ke dalam jiwa berfikir.49 Ibnu Miskawaih menaruh perhatian besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak pada anak-anak tertuang dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak. 48 49
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Reneka Citra, 1991), h. 118-119 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 228
50
Ibnu Miskawaih mengawali pembahasan tentang pendidikan akhlak pada anak-anak dengan urutannya tentang kejiwaan anak-anak. Menurutnya kejiwaan anak-anak adalah mata rantai antara jiwa Adapun pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep pendidikan akhlak pada anak-anak adalah sebagai berikut: 1. Akhlak kepada Allah Ibnu Miskawaih menjelaskan hendaklah anak-anak dididik membiasakan diri melaksanakan kewajiban agama.50 Dengan demikian jelaslah bahwa anak-anak harus dibiasakan untuk melaksanakan kewajiban agama sehingga akan tumbuh rasa senang melaksanakan ibadah tersebut. Anak-anak yang terlatih untuk melaksanakan kewajiban agama, kelak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang taat terhadap perintah Allah . 2. Akhlak Kepada Orang Tua Ibnu Miskawaih menegaskan biasakan anak-anak supaya taat pada kedua orang tuanya, guru-guru serta para pendidiknya dan menghormati mereka.51 Sebaliknya bagi orang tua Ibnu Miskawaih memberikan nasehat sebagai berikut: “Setelah itu hormati dan pujilah dia sekiranya dia menunjukkan moral dan perilaku yang baik. Bila suatu ketika anda dapati dia melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan apa yang kami ungkapkan ini, maka yang pertama sekali harus anda lakukan adalah jangan cerca dia ! jangan anda katakan terus terang padanya bahwa dia telah melakukan perbuatan buruk. Pura-puralah tidak memperhatikannya, seolah-olah dia tak sengaja melakukan hal itu, atau bahkan katakan saja sebetulnya hal itu bukan kehendaknya. Ini khususnya diperlukan bila anak menutup-nutupinya atau bersikeras menyembunyikan dari mata umum apa yang telah dilakukannya lagi maka diam-diam celalah. Tunjukkan betapa fatal apa yang telah dia lakukan itu dan peringatkan agar tak lagi mengulanginya. Karena kalau anda terbiasa mencela dan membeberkan kesalahannya secara terang-terangan, maka secara tidak langsung anda telah menyeretnya ke dalam keburukan. Tanpa sengaja anda telah menyudutkannya untuk mengulangi kembali
50
Ibnu Miskawaih, Op.Cit, h. 76 Ibid, h. 80
51
51
perbuatan buruk yang telah dilakukannya. Akibatnya, dia tak mau mengindahkan nasihat dan cercaan anda”.52 3. Akhlak Kepada Diri Sendiri a. Adab Makan Menurut Ibnu Miskawaih mendidik jiwa harus dimulai dengan membentuk sikap makan yang baik. Pertama-tama harus ditegaskan bahwa tujuan makan adalah demi kesehatan. Bukan demi kenikmatan semata-mata dan bahwa seluruh makanan yang diciptakan dan disediakan untuk kita hanyalah sarana agar badan kita sehat dan demi kelangsungan hidup kita. Maka lapar dan nyeri yang diakibatkan lapar, sebagaimana tujuan obat, bukanlah untuk sekedar bersenang-senang atau pemuas hawa nafsu. Demikian halnya maka yang tidak sepantasnya dimakan kecuali sekedar menjaga kesehatan badan, menolak nyeri lapar, dan agar tidak sakit. Bila ini sudah diyakininya dengan sendirinya dia akan memandang rendah nilai makanan yang biasa diagungkan oleh orang-orang yang rakus. Dia juga akan memandang hina mereka yang rakus yang jika makan selalu di luar batas yang diperlukan tubuh dan tenggelam dalam apa yang tidak cocok bagi mereka. Dengan demikian dia akan merasa puas dengan makanan sekedarnya. Bila ia duduk bersama orang lain. Dia bukan yang pertama makan atau terus menerus memperhatikan bermacam-macam makanan tetapi akan puas dengan makanan di dekatnya. Jangan sampai terburu-buru kalau makan. Jangan besar-besar kalau memotong, dan jangan ditelan sebelum dikunyah dengan baik jangan diperbolehkan mengotori tangan dan bajunya, jangan sampai dia memandangi gerakan lengan mereka yang tengah makan. Latihlah supaya dia membiasakan diri memberi orang lain makanan yang ada di dekatnya walau itu lebih di dekatnya. Didiklah agar ia mengekang hawa nafsunya, hingga dia puas dengan makanan yang sedikit dan rendah nilainya sekalipun, dan kadang-kadang roti kering saja. Sikap
52
Ibid, h. 77
52
seperti ini, jika dimiliki orang miskin terpuji, tetapi bahkan lebih terpuji bila diperlihatkan orang kaya . Disarankan agar anak makan berat di waktu malam, sebab kalau di waktu siang, dia menjadi malas, ngantuk dan otaknya menjadi lamban. Kalau dia dilarang agar tidak sering makan daging itu bermanfaat baginya sehingga dia aktif dan penuh perhatian berkurang kebodohannya, serta bangkit semangat hidupnya. Usahakan anak-anak tidak memakan kue-kue permen dan buah-buahan. Karena kue-kue, permen dan buah-buahan mempercepat proses peruraian, dan sekaligus membiasakan pemakannya menjadi rakus, dan suka makan banyak. Biasakan anak-anak supaya tidak minum air di sela-sela makannya.53 Jadi menurut Ibnu Miskawaih yang pertama kali harus dilakukan adalah memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang manfaat makan sekaligus menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dalam hal makan, sehingga anakanak tidak terbiasa makan berlebih-lebihan, tetapi sekedarnya saja sesuai dengan kebutuhan. Selain itu Ibnu Miskawaih juga menganjurkan kepada para orang tua untuk mendidik
anak-anaknya agar menjauhi arak dan
minuman keras, seperti yang dikatakannya: “Hendaklah orang tua menjauhkan anak-anaknya dari arak dan jenisjenis minuman yang memabukkan karena selain sangat berbahaya bagi tubuh, juga membuat peminumnya cepat marah, ceroboh senang berbuat buruk. Cegahlah jangan sampai ia berada di antara orang-orang yang minum-minuman keras. Tetapi buatlah dia berada di antara banyak orang saleh dan mulia . Hal ini dimaksudkan agar dia tidak mendengarkan perkataan keji dan melihat perbuatan rendah mereka”.54
b. Adab Berpakaian 53
Ibid., h. 77-78 Ibid, h. 78
54
53
Ibu Miskawaih menjelaskan: hendaklah anak-anak diajarkan bahwa warna pakaian paling baik dan terhormat adalah putih, atau yang serupa dengan itu, hingga tampak seperti layaknya orang yang mulia. Pakaian warna-warni penuh aksesoris hanya cocok untuk perempuan yang berhias demi tampil baik dan menarik. Di depan laki-laki dan di mata pelayan lakilaki dan perempuan. Jika seorang anak dibesarkan dengan ajaran-ajaran ini cegahlah jangan sampai ia bergaul dengan orang-orang yang menyatakan kepadanya
hal
sebaliknya,
lebih-lebih
kalau
itu
teman
sebaya,
sepermainannya.55 Jadi jelaslah bahwa Ibnu Miskawaih sangat menganjurkan untuk berpakaian sederhana, tetapi tetap menjaga wibawa (kemuliaan). Di samping itu ia juga mengajurkan untuk menjauhi emas dan perak seperti yang dikatakannya: “Didiklah agar mereka membenci emas dan perak, dan agar mereka takut pada keduanya melebihi takutnya pada harimau, ular, kalajengking atau binatang berbisa lainnya sebab mencintai emas dan perak lebih berbahaya dari pada racun.”56 c. Kesederhanaan Tidur Ibnu Miskawaih berpendapat bahwasannya anak-anak jangan dibiarkan tidur terlalu lama, karena menyebabkan otak menjadi bebal, serta mematikan pikirannya jangan dibiasakan tidur siang, dan jangan dibiasakan dengan tempat tidur yang empuk dan sarana mewah lainnya. Supaya dia terbiasa dengan kehidupan yang sulit.57 Tidur terlalu lama menyebabkan anak-anak menjadi bodoh, sedangkan tidur pada waktu siang membuat anak menjadi pemalas, karena waktu siang bagi anak-anak adalah waktu bermain dan bergaul dengan teman-teman sebayanya atau bahkan digunakan untuk belajar atau dilatih kerja. Maka
55
Ibid, h. 76 Ibid. h. 79-80 57 Ibid, h 78-79 56
54
Ibnu Miskawaih menganjurkan para orang tua
untuk melarang anak-
anaknya tidur terlalu lama dan mencegah anak-anaknya tidur pada waktu siang. Selain itu Ibnu Miskawaih juga menganjurkan untuk tidak memanjakan anak-anak dengan tempat tidur yang empuk dan sarana-sarana mewah lainnya. d. Adab Berjalan Ibnu
Miskawaih
menjelaskan
hendaklah
anak-anak
jangan
diperbolehkan berjalan tergesa-gesa, jangan diperbolehkan bersikap angkuh, tetapi supaya mensedekapkan tangannya ke dada.58 e. Adab Berbicara Ibnu Miskawaih menegaskan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk diam, tidak banyak berbicara selain menjawab pertanyaan, jika bersamasama dengan orang yang lebih dewasa. Hendaklah dia mendengarkan katakatanya, jangan diperbolehkan bicara kotor, hina sumpah serapah menuduh yang bukan-bukan dan bicara tidak senonoh, biasakan dia dengan kata-kata yang baik dan anggun.59 Dengan demikian jelaslah, hendaknya anak-anak dibiasakan untuk berbicara yang baik–baik saja, hendaklah dijaga agar tidak membuangbuang waktunya untuk pembicaraan yang sia-sia, tetapi dilatih untuk bisa memanfaatkan waktu dengan hal-hal berguna. Ibnu Miskawaih juga sangat menganjurkan agar anak-anak didik untuk berbicara dengan orang-orang yang lebih tua darinya. f. Hal-hal Yang Dilarang Dipelajari Oleh Anak-anak Ibnu
Miskawaih
menegaskan,
menghafalkan tradisi-tradisi
58
Ibid, h. 79 Ibid.
59
perintahanlah
anak-anak
untuk
yang baik dan syair-syair yang bisa
55
membuatnya terbiasa melakukan moral terpuji.60 Salain itu Ibnu Miskawaih juga menegaskan hal hal yang dilarang untuk dipelajari seorang anak, seperti yang dikatakannya: “Upayakan agar anak-anak jangan sekali-kali memilih syair-syair cengeng murahan yang cuma melontarkan kata-kata buaian yang melafalkan, dan jangan sampai mengenal penulis-penulisnya dan ungkapan-ungkapan palsu yang oleh penulisnya ditampilkan seakan itu suatu bentuk keanggunan dan kemuliaan karena syair itu bakal merusak jiwanya”.61 g. Bersikap Mandiri Menurut ibnu Miskawaih, anak-anak haruslah dilatih untuk belajar melayani diri sendiri, gurunya atau orang lain yang lebih dewasa dari dia.62 Selain mendidik akhlak anak-anak dengan membiasakan perbuatanperbuatan yang baik, Ibnu Miskawaih juga menganjurkan agar mendidik anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela, serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau ajaran agama Islam. h. Larangan Bersumpah Ibnu
Miskawaih
menjelaskan
anak-anak
jangan
diperbolehkan
bersumpah, baik sungguh-sungguh maupun bohong-bohongan, sebab bersumpah itu buruk bagi orang dewasa, kendati pada saat saat tertentu mereka membutuhkannya juga, tetapi tidak diperlukan anak-anak Selain melarang anak-anak bersumpah Ibnu Miskawaih juga melarang anak-anak untuk berbohong seperti yang dikatakan “anak-anak hendaklah dibiasakan untuk tidak berbohong.63
60
Ibid, h. 76-77 Ibid h, 77 62 Ibid 63 Ibid, h.79 61
56
i. Larangan Meminta Ibnu Miskawaih menjelaskan, hendaklah orang tua memberikan hadiah bagi anak-anaknya jika mereka berbuat baik agar anak tidak meminta-minta pada temannya.64 Jadi anak harus dibiasakan untuk tidak meminta minta, ia harus terbiasa mencukupkan diri dengan apa yang dimilikinya, bahkan dibiasakan untuk suka memberi jika hal ini dilatih terus-menerus sehingga dewasa nanti akan terbentuk pribadi yang sederhana sekaligus dermawan. j. Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi Ibnu Miskawaih menegaskan, anak-anak jangan diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang dia sembunyikan sebab tidak mungkin berbuat begitu kecuali bisa dipastikan bahwa perbuatannya buruk. k. Larangan Bersikap Lemah Ibnu Miskawaih berpendapat biasakan anak-anak untuk tidak mengaduh atau mengeluh apabila dihukum oleh gurunya, dan jangan diperbolehkan meminta perlindungan orang lain, karena tindakan seperti itu cuma pantas dilakukan para budak, hamba sahaya serta orang-orang lemah. Menganjurkan anak-anak untuk bersikap sabar dan tabah dalam menjalani hukuman dari gurunya, selain itu Ibnu Miskawaih mengingatkan para orang tua untuk tidak selalu sering menakut-nakuti anak kecil. 4.
Akhlak kepada orang lain a. Adab Duduk Bersama Orang Lain Ibnu Miskawaih menjelaskan anak-anak harus diajarkan untuk tidak membuang ingus ketika sedang bersama-sama orang lain, atau menguap dan menggeliat ketika datang orang lain dan mengangkat sebelah kaki lalu
64
Ibid.
57
meletakannya di atas sebelah kaki yang lain, dan jangan diperbolehkan bertopang dagu dan menyandarkan kepala pada kedua tangannya. Sebab itu menunjukkan bahwa dia pemalas dan secara tidak langsung tidak menghormati orang yang di hadapannya.65 Dengan demikian di samping mengajarkan tentang kesopanan duduk dengan orang lain, Ibnu Miskawaih juga mengajarkan anak-anak untuk menjaga kebersihan b. Bersikap tawadhu‟ Ibnu
Miskawaih
menegaskan
hendaklah
jangan
diperbolehkan
membanggakan harta orang tuanya, makanannya, pakaiannya dan lainlainnya jangan diperbolehkan sombong dan keras hati akan tetapi upayakan agar dia menundukkan kepala pada setiap orang dan menghormati mereka yang bergaul dengannya. Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak pada anak-anak bertujuan untuk mendidik anak untuk cinta pada kebajikan dan kemuliaan, serta untuk tumbuh berkembang dengan kebajikan dan kemuliaan tersebut. Sehingga mereka mudah untuk menjauhi kehinaan dan keburukan, terbiasa mengekang diri dari rayuan hawa nafsu dan mudah mengikuti ajaran filsafat dan syari‟at agama.
E. Analisis Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Pada Anak 1. Persamaan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak. a. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memandang bahwa pada dasarnya seseorang anak dilahirkan dalam keadaan berjiwa lurus dan mempunyai fitrah suci, akan tetapi Allah SWT menjadikan sempurna melalui pendidikan terutama dalam pendidikan akhlak. 65
Ibid
58
Al-Ghazali mengibaratkan jiwa seorang anak kecil bagaikan mutiara yang belum dibentuk, jika ia dibiasakan untuk berbuat baik, diberi pendidikan yang baik, maka ia akan tumbuh di atas kebaikan. Sebaliknya jika ia dibiasakan kepada perbuatan buruk dan ditelantarkan pendidikannya, maka akibatnya ia akan tumbuh sebagaimana manusia yang rusak akhlaknya.66 Dari sini, dapat dilihat betapa beliau memandang penting untuk menerapkan metode pembiasaan dalam mendidik akhlak anak-anak. Meskipun menurutnya pokok dari pendidikan akhlak pada anak anak adalah menjauhkan mereka dari lingkungan yang buruk.67 Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka harus diterapkan kepadanya pendidikan akhlak sedini mungkin. Sejak awal harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti dirawat dan disusui oleh wanita baik-baik. Pada tahapan ini al-Ghazali melihat betapa penting peran ibu dalam mendidik akhlak anak-anak. Kemudian Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa jiwa anak kecil masih sederhana dan belum menerima gambar apapun, dan belum memiliki tekad atau pendapat yang mengubahnya dari satu hal ke hal lain oleh karenanya jika jiwa seorang anak telah menerima gambar tertentu, anak tersebut akan tumbuh sesuai dengan gambar itu dan menjadi terbiasa.68 Menurut Ibnu Miskawaih jiwa manusia mengalami proses evolusi, mengalami perubahan secara pelan dan terus-menerus dari tingkat yang terendah, kemudian meninggi sehingga mencapai tingkat kesempurnaan sebagai jiwa yang baik dan cerdas.69 Untuk itulah seorang anak harus
66
Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali Terj. Ismail Ya‟qup, (Jakarta: CV. Faizin, 1986) Jilid IV,
h 193 67
Ibid, h 197 Ibnu Miskawaih, Tahzibul Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1998) Cet.
68
IV., h. 76 69
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Bina Aksara , 1983) h.
132
59
mendapatkan pendidikan yang baik dan dihindarkan dari lingkungan dan orang-orang berakhlak buruk. b. Mengenai penanaman akhlak kepada Allah, al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih berpendapat tentang perlunya membiasakan anak-anak melaksanakan kewajiban ibadah. Menurut al-Ghazali pada usia tamyiz anak-anak harus dididik untuk melaksanakan kewajiban ibadah. Beliau memberikan rincian mengenai betuk-bentuk ibadah yang harus dibiasakan kepada anak-anak seperti shalat dan puasa di bulan Ramadhan, serta menyarankan agar anak-anak dididik untuk tidak meninggalkan thaharah (bersuci). Selain itu pada tahapan itu alGhazali memandang perlu mengajarkannya ilmu-ilmu syariat yang diperlukannya. Sedangkan Ibnu Miskawaih hanya menegaskan perlunya membiasakan anak-anak untuk melaksanakan kewajiban agama, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Tujuan membiasakan anak-anak melaksanakan ibadah adalah agar sejak pertumbuhannya anak belajar tentang hukum-hukum semua ibadah dan terbiasa melaksanakannya sejak dini sehingga ia terdidik untuk taat kepada Allah, melaksanakan hak-haknya, mensyukurinya, dan menyerahkan diri hanya kepada-Nya sehingga di dalam ibadah-ibadah ini juga mendapat kesucian rohaninya, kesehatan fisiknya, terlatih akhlaknya dan perbaikan bagi segala ucapan dan tindakannya.70 Adanya keharusan bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan firman Allah dalam QS Luqman ayat 17 dalam ayat tersebut tercermin kewajiban bagi pada orang tua agar mendidik anaknya untuk melaksanakan ibadah shalat. c. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menegaskan agar anak-anak dididik untuk taat dan menghormati orang tua. 70
Abdullah Nashih Ulwan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), Cet, III, h. 148
60
Menurut al-Ghazali sekurang-kurangnya ada empat hal yang harus diajarkan kepada anak-anak berkaitan dengan penanaman akhlak terhadap orang tua, yaitu anak-anak hendaklah dididik untuk taat kepada orang tua dan para pendidiknya, menghormati mereka, senantiasa bersikap sopan kepada mereka dan tidak bersenda gurau di hadapan mereka. Sedangkan Ibnu Miskawaih hanya menyebutkan dua hal, yaitu taat dan menghormati orang tua dan para pendidiknya. d. Al-Ghazali maupun Ibnu Miskawaih menjadikan nilai-nilai kesederhanaan dan kedermawanan sebagai nilai utama yang harus dibiasakan pada anak sejak awal, baik dalam hal makanan maupun pakaian dan sebagainya, mereka menekankan supaya anak-anak dijauhkan dari emas dan perak. AlGhazali dan Ibnu Miskawaih mengingatkan agar orang tua tidak mengajarkan anak dan membiarkannya bersenang-senang dalam kenikmatan dan kemewahan. Menurut al-Ghazali hal itu akan menyebabkan mereka menyia-nyiakan
umurnya
untuk
mengerjakan
kenikmatan
tersebut
sedangkan menurut Ibnu Miskawaih hal itu akan merusak jiwa anak. e. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sepakat tentang pentingnya memanfaatkan waktu luang anak-anak untuk mempelajari hal hal yang baik karena salah satu faktor mendasar yang sering mengakibatkan penyimpangan pada anak anak ialah tidak dimanfaatkannya waktu luang mereka. Menurut al-Ghazali di antara cara-cara yang dapat digunakan untuk menjauhkan anak-anak dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak bermakna adalah mengisi waktu luangnya dengan menyibukkannya di madrasah, membiasakan banyak membaca al-Qur'an hadits dan hikayat orang-orang shahih serta keadaan mereka agar tertanam di dalam hatinya kecintaan kepada orang-orang saleh.71
71
Al-Ghazali, Op. Cit, h 195
61
Ibnu
Miskawaih
menyarankan
agar
anak-anak
dididik
untuk
mempercerdas diri dengan banyak menghafal cerita-cerita yang baik dan puisi-puisi yang akan membantu terhadap hidup utama.72 Sebaliknya al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menyarankan untuk menjauhkan anak-anak dari bacaan-bacaan yang berkecenderungan akan merusak kejiwaan mereka. f. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memandang perlu untuk melarang anakanak bersikap sembunyi-sembunyi, sebab tidak mungkin dia berbuat begitu, kecuali bisa dipastikan bahwa perbuatannya buruk. Maka sudah seharusnyalah orang tua dan para pendidik menanamkan kesadaran para pendidik menanamkan kesadaran diri anak akan pengawasan Allah terhadap semua makluknya termasuk manusia, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di manapun, di langit maupun di bumi. g. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menjadikan permainan sebagai sarana yang ikut membantu pendidikan dan pengajaran anak di samping sebagai medium bagi anak dalam mengungkapkan
fitrahnya. Permainan juga berfungsi
sebagai sumber pengaman yang dapat menghanyutkan setumpuk kelelahan pada dirinya ketika menghadapi pelajaran. Menurut al-Ghazali, melarang anak-anak bermain dan mendesaknya agar terus-menerus belajar dapat membuat hatinya mati, berkurang kecerdasannya dan akhirnya terasa olehnya sangat benar sehingga ia mencari jalan untuk melepaskan diri darinya.73 Permainan menurutnya memiliki tiga fungsi pokok dalam perkembangan fisik dan rasio anak secara sama, yaitu 1) Permainan dapat membantu melatih fisiknya serta menguatkan anggotaanggota
tubuhnya,
yang
pertumbuhan fisik yang sehat. 72
Sudarsono, Op. Cit, h 142 Al-Ghazali, Op. Cit, h 179
73
pada
gilirannya
akan
menciptakan
62
2) Membantu untuk membawa kegembiraan dan gairah bagi anak, sekaligus menjadi faktor rekreasi yang tidak dapat diabaikan 3) Sebagai sumber yang memegang peranan memberi istirahat anak dari keletihan belajar yang selanjutnya akan mempermudah dalam belajarnya.74 Sedangkan Ibnu Miskawaih tidak membahasnya secara detail. Ia hanya menyarankan untuk memberikan izin anak-anak untuk bermain sebagai pelepas setelah belajar. h. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memberikan uraian yang sangat lengkap mengenai adab dan tata cara pergaulan sesama manusia. Dari pemikiran kedua tokoh ini dapat dilihat bahwa hampir tidak satupun terlupakan oleh mereka tentang rincian budi pekerti yang baik, perilaku yang terpuji dan sopan santun yang layak. Pembahasan mereka tentang pendidikan akhlak pada anak-anak tidak hanya sebatas akhlak pribadinya, atau tabiat dan kebiasaan kebiasaannya sebagai individu, tetapi mencakup juga dasar-dasar pendidikan yang sebenarnya tujuannya adalah bila sudah dewasa dan dapat mengungkap esensi segala masalah, ia dapat bergaul dengan sesamanya di tengah-tengah masyarakat dengan kebaikan yang maksimal dan simpatik, dengan cinta yang utuh dan dengan budi pekerti yang luhur. 75 2. Perbedaan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhak Pada Anak-Anak a. Dalam pemikiran al-Ghazali orang tua berkewajiban untuk menjaga
kewibawaannya di hadapan anak-anak. Menurutnya tidak semestinya orang tua mencela anak-anaknya, kecuali pada waktu tertentu. Seorang ibu berkewajiban untuk menasihatkan anaknya agar ia merasa segan terhadap ayahnya dan turut serta menegurnya jika anak berbuat salah. Mengenai 74
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam Pendidikan, Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali , Dimas, Semarang, 1993, h 65 75 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. III, h . 101-102
63
idenya anak-anak diajarkan segan terhadap ayahnya dilihat dari fungsi bapak sebagai pusat kekuasaan dalam keluarga, kiranya pantas apabila ia menjadi pribadi yang dihargai dan diperhitungkan bukan sebagai lambang yang menakutkan. b. Dalam menanamkan kesadaran tentang kesederhanaan, al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menggunakan cara-cara yang berbeda. Al-Ghazali menyerupakan orang-orang yang rakus terhadap makanan seperti halnya binatang ternak. Selain itu, ia menyarankan untuk menggunakan pujian dan celaan. Sedangkan menurut Ibnu Miskawaih sejak awal harus ditanamkan kesadaran pada diri anak akan tujuan makan, yaitu demi kesehatan. Beliau mengibaratkan makanan sebagaimana halnya obat, yang tidak sepantasnya dimakan kecuali sekedar menjaga kesehatan, menolak nyeri lapar dan agar tidak sakit. Bila ini sudah diyakininya, dengan sendirinya dia akan memandang rendah nilai makanan. Selain itu Ibnu Miskawaih melarang untuk memakan kue-kue, permen dan buah-buahan, karena mempercepat proses peruraian sekaligus membiasakan pemakannya menjadi rakus. Ibnu Miskawaih juga menyarankan agar anak-anak tidak dibiasakan untuk minum di sela-sela makannya
menjauhi arak dan jenis-jenis minuman
memabukkan, karena sangat membahayakan kesehatan tubuh, serta membuat peminumnya cepat marah, ceroboh dan tidak segan berbuat buruk. Di samping itu beliau menyarankan untuk menjauhkan anak anak dari orang–orang yang suka mabuk dan minuman keras.76 c. Ibnu Miskawaih
memandang perlu untuk menumbuhkan sikap mandiri
pada anak-anak dengan cara melatihnya untuk melayani dirinya sendiri, gurunya maupun orang lain yang lebih dewasa dari dia. Adapun al-Ghazali tidak membahas permasalahan ini sama sekali.
76
Ibnu Miskawaih, Tahzibul Akhlak, (Terj. Helmi Hidayat), Mizan, Bandung, Cet. IV, 1998 h 77-78
64
F. Analisis Tentang Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak No
Persamaan Pemikiran
1.
Al-Ghazali: Anak seperti mutiara yang amat berharga dan masih halus kosong dari segala ukiran dan menerima segala ukiran kepadanya Ibnu Miskawaih: Jiwa seorang anak memiliki jiwa yang kosong dan pesan masa lalulah yang akan mengisinya
2
Al-Ghazali: Membiasakan anak sejak dini untuk beribadah, seperti shalat, berpuasa dan lain-lain Ibnu Miskawaih: Membiasakan anak melaksanakan kewajiaban agama
3
Al-Ghazali: Memandang buruk banyak makan, tidak terburu-buru ketika makan, bukan yang pertama menggambil makanan dan lain-lain Ibnu Miskawaih: Memandang hina yang ragkus, bukan yang pertama mengambil makanan, jagan tergesa-gesa ketika makan
4
Al-Ghazali: Hendaklah menjauhakan anak dari hidup dalam kemewahan seperti berpaikan mahal-mahal, tidak dibiarkan tidur dikasur yang empuk Ibnu Miskawaih Diajarkan kepada anak berpaikan sederhana Tidak dibiarkan anak tidur dikasur yang empuk, dan fasilitas mewah lainnya
5.
Al-Ghazali: didik membenci dan takut terhadap emas dan perak melebihi ketakutannya terhadap hewan buas dan beracun. Ibnu Miskawaih:
65
didik membenci dan takut terhadap emas dan perak melebihi ketakutannya terhadap hewan buas dan beracun. 6.
Al-Ghazali: Diajarkan kepada anak sikap berani dan sabar tidak meminta pertolongan orang lain untuk diselamatkan dari hukuman, dilarang mengadukan jika di hukum guru Ibnu Miskawaih: Anak sabar dan tabah menjalani hukuman guru
7
Al-Ghazali: Menjauhkan anak-anak dari perkataan keji, memaki, mengutuk dan bargaul dengan orang yang lidahnya demikian Ibnu Miskawaih: Dibiasakan meninggalkan perkataan sia-sia, perkataan kotor, sumpah serapah. Perbedaan Pemikiran
1
Al-Ghazali: membahas pendidikan keimanan pada anak dengan terperinci Ibnu Miskawaih Tidak membahas pendidikan keimanan
2
Al-Ghazali: Meranjak dewasa baru diberi tahu bahwa makan itu sebagai obat Ibnu Miskawaih Sejak dini sudah diberi tahu bahwa makan sebagai obat
3
Al-Ghazali: Menjelaskan secara terpeinci cara dan mendidik anak Ibnu Miskawaih: Menjelaskan secara umum cara mendidik anak
66
Setelah penulis mendiskripsikan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak pada anak-anak, terlihat jelas bahwa antara pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memiliki banyak kesamaan. Namun pembahasan al-Ghazali mengenai pendidikan akhlak pada anak-anak lebih lengkap, karena disertai dengan argumentasi-argumentasi dan cara-cara untuk mencapainya. Kemiripan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sangat jelas, sehingga muncul pendapat bahwa sebagian besar pemikiran al-Ghazali merujuk pada pemikiran Ibnu Miskawaih, bahkan dalam pemikirannya tentang pendidikan akhlak pada anak-anak al-Ghazali memperoleh inspirasi dan berhutang pada Ibnu Miskawaih melalui karyanya Tahdzib Al Akhlaq, yang isinya disaring, disusun ulang dan dipresentasikan kembali oleh al-Ghazali dalam kerangka kerjanya sendiri yang ditambahkan penjelasan-penjelasannya kemudian disandingkan dengan hadis-hadis dan ayat-ayat yang berhubungan dengan penjelasannya untuk memperkuat argumennya. Sedangkan Ibnu Miskawaih sendiri banyak merujuk pada karya Brison. Brison adalah seorang filosof aliran New Pitogarian, dari abad pertama masehi. Hal ini terlihat jelas pada judul yang diberikan Ibnu Miskawaih yaitu” Pendidikan Remaja dan Anak-Anak Khususnya (kebanyakan diambil dari buku Brison) dan sangat
sedikit
menyandingkan
argumennya.77
77
Hasan Ashari., Op. Cit, h 81
ayat-ayat
dan hadis
untuk
memperkuat
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tentang “Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Dalam Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak ”, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berukut: Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan Agama Islam pada anak-anak berdasarkan atas dasar asumsi bahwa seorang anak dilahirkan dengan fitrah suci dengan potensi netral, karenanya ia siap menerima pengaruh apapun dari luar. Hal ini menjadikan pendidikan anak sebagai seni menjaga dan merawat serta sebuah proses penyediaan dorongan-dorongan yang membawa pada pertumbuhan dan perkembangan yang positif. Pendidikan Agama Islam pada anak-anak beliau menitik beratkan pada pendidikan akhlak yang menekan nafsu yang pertama tumbuh pada diri anak. Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan Agama Islam pada anak-anak berasumsi bahwa untuk anak-anak pendidikan akhlaklah yang menjadi pendidikan yang utama. Akhlak tidak bersifat natural atau pembawaan, tetapi hal itu perlu diusahakan agar akhlak menjadi baik. Perubahan pada akhlak dapat dilakukan secara bertahap melalui pendidikan, pembiasaan, dan bimbingan, Konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut Ibnu Miskawaih maupun al-Ghazali sama-sama menitik beratkan pada pendidikan akhlak yang dibentuk melalui pembiasan, latihan, dan teladan yang baik. Pendidikan akhlak yang mereka jelaskan sama-sama memulai dari melatih dan menekan nafsu yang tumbuh pada anak-anak dengan pendidikan akhlak melalui bimbingan, teladan, dan pembiasaan. Untuk membentuk akhlak hal penting yang harus dilakukan menurut mereka adalah menghindarkan anak-anak dari pergaulan yang kurang baik, serta menghidari meraka dari syair-syair yang membuai, musik-musik yang syairnya tentang percintaan yang saat ini banyak dikonsumsi oleh anak-anak
67
68
jaman sekarang, serta manjauhakn mereka dari bersifat konsutif dan matrealistis, anak-anak harus diajarkan kesederhanaan hidup. Persamaan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sangat jelas dari konsep pendidikan agama islam pada anak-anak mereka berdua menitik beratkan pada pendidikan akhlak pada anak-anak, namun al-Ghazali lebih mendetail disertai hadis dan ayat-ayat yang berkaitan dangan penjelasannya. Al-Ghazali pun menganjurkan untuk mengajarkan iman sejak dini dengan cara menghafal ayatayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan keimanan, bersamaan dengan itu pendidikan akhlak harus juga diajarkan sejak dini sedangkan Ibnu Miskawaih tidak membahas pendidikan keimanan dengan mendetail seperti al-Ghazali, Ibnu Miskawaih hanya menganjurkan anak-anak harus dibiasakan beribadah dan pendidikan akhlak sejak dini.
B. Saran Mengingat pentingnya pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian anak, maka semestinya pendidikan akhlak pada anak-anak dimulai sejak dini, sebelum karangka watak dan kepribadian seorang anak yang masih suci diwarnai oleh pengaruh lingkungan yang buruk, maka pentinglah pendidikan agama islam pada anak-anak agar menjadi pengarah kehidupanya di masa yang akan datang. Orang tua pendidik yang pertama dan yang utama bagi anak-anak memiliki yang sangat penting dalam pembentukan akhlak anaknya, untuk itu hendaklah para orang tua memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya membekali diri dengan ajaran-ajaran agama serta mampu menjadi teladan yang baik dalam semua tingkah lakunya.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Albari, Subhan Husen, Agar Anak Rajain Solat, (Yogyakarta: Diva Press, 2011) Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Asas-Asas Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1969. Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qozwin, Sunan Ibn Majah, Jilid II, Maktabah Dahlan, Indonesia. _______, Beberapa Pemikiaran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996 Al-Ġazâlî, Abû Hâmid, Ihyâ' ‘Ulûm ad-Dîn, Jilid III, Beirut: Dâr al-kutub ilmiyah, 1987. _______, (Terj. Ismail Ya’kub), Jilid. IV, Jakarta: Cv. Faisan, 1986. Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989 Al-Rasyidin, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2005. Burhan, Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, Cet. III, 2008. Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. _______, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 2008. Daudy, Ahamd, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992. Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. II, 2011. Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, Jakarta: Amzah, 2007. Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Terj. Helmi Hidayat) Bandung: Mizan, Cet. III, 1997. Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwatha, Darul Ifaq Al-Jadidah, 1993
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. II, 2006. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Rajawali Persada, 2009. N, Ridjaluddin F, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009 Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Permata, 2005. Nurdin, Ali, dkk, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Universitas Terbuka, h. 6.3. Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi agama ISIN, Filsafat pendidikan islam, Jakarta. Ramayulis, dkk, Eksiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: Bina Aksara, 1983 Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1991. Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: PT Alfabeta, 2008. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Sistem Pendidiakan Menurut Al-Ghazali, Jakarta: Dea Press, 2000. Syarif, M.M., Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1994 Tafsir, Ahmad, Ilmu Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya _______, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Thaha, Nashruddin, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1976. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998 Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Anak dalam Islam, (Terjemahan dari Tarbiyatul Awlad fil islam oleh Jamaludin Miri), Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. 3, Jilid I
Wahyudin, Aan, Mendidik Anak Pertmpuan di Masa Kanak-Kanak, Jakarta: Amzah, 2007. Yasin, A. Fatah, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008. Yunus, Mahmud, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992. Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
UJI REFERENSI
PARAF PEMBINIBING
NO
FOOTNOTE
I
BAB I PENDAHULUAN M. Arifin, Jlmu Pendidi.kon Islant Suatu Pendekatan Teoritis rlan Praktis, (Jakarta: Bumi Aksara. 1999), hlm. 0l
2
Ftrad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarla: Rineka cipta, 1991). hlm. 136.
J
Ibd, hlm. 137
4
Abidin Ibn Rusn, l'emikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan,
5
6
9
N"[
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hhn 132 Nana Sudjana,I'emhinaan tlan Pengembangan Kurikulurt Dr Sekolah, (Bandung. Sinar Baru Al Gensindo, 1991), h. 2 Ahnrad Tafsir, Ilmu Dalant PerspekttJ-Islant, (Bandurg: PT Rernaja Rosdakarya), h. 84 Al -Rasyidin, Samsul Ni zar, I i I s aJtt t P en dr dikan (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet.2, h 31-32
8
I
I sl ctnt
I
-
Aan Wahyudin,l,{enclidik Anak Perttnpuan di Llu,sa KanakKanak, (Jakarta: Atnzah,2007), h. ix Mtrlramm ad Athi y'ah Al-Abrasyr,
B e b e r apa P em i ki a r an Pendidikon Islant, (Yogyakarta: Titian Ilal.ri Press, 1996)- h.
82 10
Abdtrl tvlaj i d, I' end i.tl ikan A gam u I s I a m B e r h a s ts K o m pe t en,s i, (Bandung: PT Rerna-ja Rosdakarya,2004), h. 139
11
Matunud Yunus, Metodik Khusus Pendi.dikan Agoma, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), h. l8
12
Subhan Husen Albari, Agar Anak Rctjin Solctt (Yogyakarta: Diva Press, 201 1), h. 1l
l3
Ilasan Basri, Beni Ahamad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam, @andung: Pustaka Setia, 2004),h. 128.
l4
Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tingg agatrra ISIN "Flisa/at pendidikun is\am" Jakarta. Hal.168-169
I
v,-/1
l5 16
l7
Muhammad'Athiyah Al-Abrasyi, Asas -As as P okak Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 116
,t"^
Ibid, h. 117 Ibid" h. 117
18
Ramayulis, dan Samsul Nizar, ElcstHopedia Tokah Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching,2005), h. 5
t9
Ahmad Daud-v, Kttliah [,-ilsafat lslom, (Jakarta. Bulan Bintang. 1986), h.50
I
! I I
BAB
II I I
1
2
-1
A. Fatah Yasin, Dinensi-Dimensi Pendidikan (Malang: UIN Malang Press, 2008), h l6
Lslaru,
i 1 1
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, @andung: Sinar Baru Al Gensindo, l99I), h. 2 Alrmad Tafsir, Metod.ologi Pengajaran. Agatna Islarn, @andung: PT Remaj a Rosdakarya, 2007), h. 6
4
Zakiah Daradj at, dl
5
Al-Rasyidin, Sam sul Nizar, I;' i.l,s alat P e.ndit{ i kan I.s I am, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. 2, h. 31-32
6
Muhainrin, P e n g,e m b a rtgttn Ktu' iku I um P e n tl id ifut n A ga ma Islctnt, (Jakarta: PT Ralawali Persada, 2009). h. 6-8
7
Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 125, Yayasan Penerjemah dan Penafsir aI -Qur'an, Depag RI, Al-Qu r' an dnn Terj emahannya, (Semarane: CV. Toha Putra. 1989). h. 421.
8
9
10 11
t2
A gam
t
a
I
I
?
Al-Qur'an surat Ali-Imron ayat 104, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur' an, Depag RI, Al-Qur' an dan Terj emahannya, (Semarang: CV. Toha hrtra, 1989). h. 93. Al-Qur'an surat An-Tahrim ayat 6, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur' an, Depag F.l, Al- Qur' an dan Te rj emahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 951. Zaklah Daradj at dlck, M et o d ik K hu s u s P e n gaj ar an Agam a Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), Cet.4, h.6344 Zai:notddin, dhk, Seluk Beluk Pendidikan dori Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, l99l),h.97 Ali Nurdin, dkk, Pendidikan Agama Islom, (Jakarta: Universitas Terbuka), h. 63
t
I l
I
L,t"'{
t3
t4
l5 16
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak,Terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 7997\. Cet. 3. hal56 Abfi HArnid al-Gazali,IayL-d' 'Lilfint ud-I)in, Jilid III, (Dar Ihya al-Kutub al-Arab, 1987), h.52.
i,L/
Zainudin, dkk, Se/afr Belttk Pendidiktm dari Al-Ghazali^ (Jakarta: Burni Aksara, 1991 ), h 102- 103 Imam Malik Ibn Anas, Al-lv{uw,athn, (Danrl lfaq Al-Jadidah, 1993), h. 789
Al Hafidz Abi Abdillah
17
Muhammad Ibn Yazid Al-Qozwin, Srutan lbn A.{ajah, Jilid II, (Indonesia: Maktabah Dahlan), h.
l8
Zakiah D aradj at, dkk, 1v4 e t o tl ik K hu s u,s P e n ga j n r an Islam, (Jakarta. Bumi Aksara, 2008), Cet.4,h.72
12ll A ga m a
lbid,., h, 655 T9
20
\
Abudin Nata, I; i I s af at P en tl iclikan I s la m, (Jakarta: Gaya Media Pennata, 2005 ), h.212
I1 1,
21
Zakiah Daradjat, dkk, A,fetoclik Khu.s'u,s' I'engalaran Agama Islatn, (Jakarla: Bumi Aksara,2008), Cet.4- h.172
22
Nur Uhbiyati. llnnt Pendidikan Lslctn, (Bandturg: Pustaka Setia. 1998). h. 30
23
Zakiah Daradjat, fimtt Pendidikan Lslonr, (Jakarta: Bumi Aksara. 1996), h 30
Zakiab Daradjat, Pendidikan lslant dalam Keluarga dan
24
Sekolah, (Jakafia: Ruharna, 1995). 35
25
Sutarj o Adisusilo, J .R. P ern b e laj ar an N i.l a i- K a rakte r, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesad4 2012),h.5A
26 27
28
29
30
I
I I I
I
Aclunadi, I deo I o g i P en d id i.kan I s I arn, (Yo gl,akar1a: Pustaka Pelajar, 2005), h. 101 Aclrrn adi, I tleo I o gi I' end,tdikan I s lant, (Yo gyakarta; h-rstaka Pelajar. 2005), h. 95 -9'r Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendiclik Anak Perernpuan cli Ifiusa Kanak-Kanak, (Jakarta: Arnzah, 2007)- h. xiii
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islan, terjemahan darl Tarbiyatul Awlad Fil Islam,oleh Jamaludin Mi{, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. 3, Jilid I, h.7. Dalam buku Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam karangan Drs Tohirin, Psikologi perkembangan individu memaparkan enarn tahap perkembanean individu
I
ry
31
32
-1-1
34
tahap-tahap itu adalah fase bayi, anak-anak, remaj4 dewasa awal, setengah baya, dan fase tua Hannan Athiyah Ath-Thuri, MendidikAnak Perempuan di Ma,so Ranuk- Kanak. (J akarta: Amzah. 2007). h. xii Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Mas a Kan ak- Kanak, (I akafiz: Arnzah, 2007 ), h. xiv
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidilan Islam, (Jakarta: Pustaka Kaiian Islam FAI UHAMKA 2009). h. 172 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992\. Cet. 1?, h. 8
I I
t i
Al Hdrdz Abi Abdillah 35
Muhammad Ibn Yazid Al-Qozwin, Sunan lbn Majah, Jilid tr, (Indonesia: Maktabah Dahlan), h.
t2tt
36
\
Mahmud Yunus, Metodik fltusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Azung. L992).Cet. 17. h. 9-10
BAB
\ I
III
I I I
1
2
J
4 5
6
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006 ), Cet. 22, h. 6
I
Sngiono, bfetode ]'enelitian Pcnclitlikcn Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,' dan R<*.D, (Bandung: PT Althbeta,
I I
2008), h.329.
I
I
Emnr, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Datc (lakarta: Raia Grafindo Persada, 201l), Cet.2,h. 79-80.
Emzir, lvfetodologi Penelitian Kualitanf: Analisis
I L)ata
(Jakarta: Raia Grafindo Persada.20l 1). Cet. 2. h. 81. Emzir, M et o do logi P enelitian Kualttatif: Analis is Data (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2011), Cet.2,h. 85. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Laitrnya, (Jakarta: Kencara, 2008). Cet. 3, h. 155-159.
BAB I\T 1
2 a
J
4 5
Ridjaltrddin F.N, Filsafat Pendidikan Islarn, (Jakarta: Pustaka Katian Islam FAI UIIAMKA.2009). h. 156-157 Alramd Daudy, Kuliah Filsalitt Islam, (Jakafia:PT Bulan Bintane. 1992\.h.97 Hasyirnsyah Nasution, I,.il,tctfitt lslam, (Gaya Media Pratama. Jakarta. 1999\.h.77 Fathiyah Hasan Sulaiman, Si,stern Pendidiakan lv.Icnurut Al()hazali,( Jakarta: Dea Press. 2A00),h. 24 Hasyirnsyah Nasution. l,'ilsafot lslam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 78
I til
^il,
l8 l9
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kaiian Islam FAI UIIAMKA. 2009). h. 158 Zainuddin, dld<, Seluk Beluk Pendidikon dari Al-Ghazali, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991), h. 8-9 Hasyimsyah Nasution" Fil,safat Isl.ant.^ (Jakarta: Gaya Media Pratama. I 999). h. 7 8-7 9 Zainuddin, dld<" Seluk Beluk Pendidikon dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.19-21 Imam Abu llamid Muhammad bin Muhamrnad al-Ghazali, Ihya 'ulumuddin, (Darul Filffi), Jilid 3, h. 66 Zairruddin, dkk, Sefuk Beluk Pendidikan dari Al-(ihazali, (Jakarta: Buni Aksara, l99l) h. 97 Zainuddin, dkJr-, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta:Bumi Aksara. l99l). h. 98 Hasan Basri, [;il,vafat Pendidikan ]slaru, @andung: hrstaka Setia, 2009),h.228 Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, Terj. Ismail Ya'kub, (Jakarta: Cv. Faisan. 1986)^ Jilid IV. h. 193 rbid, h. t93 M. Abul Quasem, Op.Cit.., h. 102-103 Al-Ghazali . Op.Cit, h. 797 Zaenuddin, Op.Cit,h. 166 Al-Ghazali, Op.Cit, h. 197
20
Ibid,h.l95
2t
Ibid Ibid,h. r94 Ibid
6 ,|
8 9
l0 1t T2
l3 t4 15
l6 17
22 23
24
Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikon Islam Di Zaman Java, (Jakarta:Mutiara. 1976). h. 38
25
Ibid Ibid,h.196 Ibid,h.l95-196
26 27 28
Nashruddin Thaha, Tofuih-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jayo, (Iakarta: Mutiara, 1976), h. 38
29
Ibd,h.197
30
Al-Ghazali ,Op. Cit,h. 196
31
Ibid rbid Ibid Ibid Ibid Ibkt Ibid
IZ JJ
34 35
36 37
tA I
t
I
I
I
I
I
l1
\/"tx
40
lbid lbid Ibd,h.197-198
4t
M.M S1,arif,
38 39
42 43
44 45 46 47
48
Pctra F'ilosof Mustrn, (Bandung: Mizan ,1994), Cet. VII, h, 84 M.M. Syarif , P ara l; i lo s of' lv{uslln. ( Bandung : Mizan, 199 4\, Cet. VII, h. 84 Hasimsyah Nasution, Op.Cit., h. 56 (dikutip dari Muhammad Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlak Fi Al-Islam dan Ibrahim Zaky Khursyd Dairah Al-I\fa'arif Al-Islamiyah Ahnrad Daudy, Kuliah bilsaibt Islcrm, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 56 Alrmad Daudy, Kuliah l;ils'afut lslam, (Jakarla: Bulan Bintang, 1986), h. 56-57 Sudarsono, Etiku Lslaru Tentang Kenakalan Rema.1cr, (Reneka Citra, 1991), h. 118-119 Hasarr Basri, F' i l.: afitt I'j en di d ik a n I s I am, /Bandurg: Pustaka Setia, 2009 ),h.228 Ibnu Miskawaih, Op. C it, h. 7 6
50
Ibid,h.80 Ihid.h.77
51
Ibid., h. 77 -78
52
Ibd,h.7g
53
1bid,h.'76
54 55
rbid.h.79-80 Ibid,h78-79
56
Ibkl,h.79
57
Ibtd.
58
Ihid.h.76-77
s9
Ibidh,7l
60
Ibid
61
Ibid,h.7g Ibid. tbid Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali Terj Isrnail Ya'qup, (Jakarta: CV. Faizin, 1986) Jilid IV, h 193 Ibid,h197 Ibnu Miskawaih, Tahzibul Akhlak, Terj. Hehni Hidayat, (Bandung: Mizan, 1998) Cet. IV., h. 76 Sudarsono, Etika Islaru Tentong Kenokalan llemala, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 132
49
62 63
64 65
66 67
,/\)
VJ
I
I I
I
J
I
\ \
I i\,
\
68 69 70
7t 72
l3 14 75 '76
Abdullah Nashih Ulwan, Pemeliharoon Ke,sehatan Jiwo ,4rak, (Bandung: Remaja Rosdakary a, 7996), Cet, III, h. 148 Al-Ghazali, Op. Cit,h 195
t)
()it,h 142 Al-Ghazali, Op. Cit,h l7 9 Sudarsono, Op.
Fatlriyah Hasan Sulaiman, Alu'un-Alirun dalotn l,endicl*an, Studi Tentang Aliran ]'}enclidikan iVfenurut Al-Gha-zali Dimas, Semarang. 1993, h 65 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosja/ Anak, @andung: Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. [L h . 101-102 Ibnu Mjskawaih, T'cthzibttl Akhlak. (1-erj Helmi Hidayat), Mizan, Bandung, Cet. IV, 1998 h 77-18 M. Abul Quasern, KAMIL, Etika lfiaiemuk rJi dcrlam Islam(Bandung: PustakaBandturg, 1988), h 2l Hasan Ashari., Op. Cit,hBl
Jakarta, 21 Maret 2016
\
vv
I
-y