PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH (Interpretasi terhadap Makna al-Wasath dalam al-Quran)
Chairan M. Nur Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT He morality is the main thing that must applied by humans, because it is tabi'at, who was appeared spontaneously from one's self. The Good morals will be realized through education. It is because education of morality is the behavior education. It is kind of process to educate, nurture, shape, and provide training the person's character. According to Ibn Maskawaih, morality is the good behavior as a characteristic of a believer. Noble character is a middle way between the two things, such between the careless and frighten. The Ibn Maskawaih opinion refers to the QS. al-Isra: 29, about al-wasath meaning the middle way (the golden way). Kata Kunci: Akhlak, al-Wasath, Ibnu Maskawaih PENDAHULUAN Pendidikan merupakan upaya sadar mendidik manusia agar memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk dapat melakukan penalaran dalam segala bidang. Pendidikan juga merupakan upaya untuk menfasilitasi individu lain dalam mencapai kemandirian, serta kematangan mental sehingga dapat bersaing didalam kompetisi kehidupan. Pendidikan mempunyai banyak aspek, diantaranya pendidikan secara mentalitas, kognitif, dan akhlak. Diantara ketiga aspek pendidikan tersebut, pendidikan akhlak menjadi sentral utama dalam segala hal, karena akhlak merupakan fondasi untuk pembentukan kepribadian seseorang. Secara umum, pendidikan akhlak adalah upaya sadar dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah dan merealisasikannya dalam perilaku mulia dalam kehidupan sehari-hari melalui keagamaan, bimbingan, pengajaran, latihan dan pembiasaan, dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Dalam bidang keagamaan, pendidikan ini juga diarahkan pada peneguhan akidah dan peningkatan toleransi serta saling menghormati dengan penganut agama lain dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa.1 Pendidikan akhlak juga merupakan pendidikan perilaku, suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak seseorang. Dalam pengertian yang sederhana, menurut hemat penulis, pendidikan akhlak diartikan sebagai proses pembelajaran akhlak. Sebagai mata pelajaran di Madrasah Aliyah, pendidikan akhak disatukan dengan akidah, sehingga istilahnya menjadi akidah akhlak. Akidah akhlak sebagai mata pelajaran adalah upaya sadar _____________ 1
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002),
199. 60
CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH
dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah dan merealisasikannya dalam perilaku.2 Secara garis besar tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah ingin mewujudkan masyarakat beriman yang senantiasa berjalan di atas kebenaran. Masyarakat yang konsisten dengan nilai-nilai keadilan, kebaikan dan musyawarah. Di samping itu, pendidikan Islam juga bertujuan menciptakan masyarakat yang berwawasan, demi tercapainya kehidupan manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme yang mulia.3 Merujuk pada penjelasan pendidikan dalam Pasal 28 ayat (3) butir b, dalam Standar Nasional Pendidikan, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Akhlak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar karena dengan akhlak dapat menetapkan ukuran segala perbuatan manusia, baik buruk, benar, salah, halal dan haram. Berbicara pada tatanan akhlak tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang sempurna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Oleh karena itu, akhlak sangat urgen untuk manusia, urgensi akhlak ini tidak hanya dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.4 Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Bahkan diutusnya Nabi ke dunia ini bertujuan untuk menyempurnakan ahklak manusia. Nabi Muhammad bersabda bahwa orang yang sangat dicintai dan yang paling dekat tempat duduknya dengan beliau diantara umat manusia adalah yang paling baik akhlaknya.5 Pribadi guru atau pendidik juga memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan dalam pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi guru sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Ini dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka meniru, termasuk meniru pribadi guru dalam membentuk pribadinya. Semua itu menunjukkan bahwa kompetensi personal atau kepribadian guru sangat dibutuhkan oleh peserta didik dalam proses pembentukan pribadinya. Oleh karena itu, wajar ketika orangtua mendaftarkan anaknya ke suatu sekolah akan mencari tahu dulu siapa guru-guru yang akan membimbing anaknya. Kompetensi kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi para peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian
_____________ 2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 4-6. Selanjutnya disebut Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf. 3 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia,…, 161. 4 Zahruddin, dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 13. 5 Kamal Al-Haydari, Manajemen Ruh, (Bogor: Cahaya, 2004), 27. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
61
anak, guna menyiapkan dan menyumbangkan sumberdaya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan negara dan bangsa pada umunya.6 Namun akhir-akhir ini banyak guru atau pendidik yang tidak bisa memberikan contoh yang baik bagi anak didiknya, dengan seringkali memperlihatkan sikap dan tingkah laku moral yang memperburuk citra dunia pendidikan, seperti yang diberitakan di surat kabar Serambi Indonesia baru-baru ini, ada kasus seorang guru memukul siswa karena tidak mengerjakan PR. Kasus lainnya, ada seorang siswa yang melempar correction-pen kepada temannya, lalu guru melihat dan memukulnya. Padahal Islam mempunyai konsep pendidikan yang menempatkan moralitas berada pada urutan teratas kualifikasi keguruan, prioritas utama, baru menyusul kualitas keilmuan akademik dan persyaratan administratif formal lainnya. Oleh karena itu, upaya reaktualisasi konsep alwasath Ibnu Maskawaih menjadi sangat urgen untuk ditawarkan guna memperkuat dan meningkatkan kualitas kepribadian para pendidik dalam dunia pendidikan. Konsep al-wasath dari Ibnu Maskawaih menawarkan solusi agar berbagai permasalahan dapat berguna dan dapat menjadi ibrah bagi pendidik, orang tua, dan dengan tulisan ini pula para pendidik, dapat melakukan introspeksi dan dapat memperbaiki kepribadiannya serta muncul sikap optimistis dalam menghadapi masa depan. IDEALITAS PENDIDIKAN DALAM ISLAM Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya. Seluruh ide tersebut telah tergambar secara integratif dalam sebuah konsep dasar yang kokoh. Islam pun telah menawarkan konsep akidah yang wajib diimani agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya pada perilaku normatif yang mengacu pada syariat Islam. Perilaku yang dimaksud adalah penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia itu sendiri, baik dilakukan secara individual maupun kolektif. Aspek keimanan dan keyakinan menjadi landasan akidah yang mengakar dan integral, serta menjadi motivator yang menggugah manusia untuk berpandangan ke depan, optimistis, sungguh-sungguh, dan berkesadaran. Aspek syariat telah menyumbangkan berbagai kaidah dan norma yang dapat mengatur perilaku dan hubungan manusia. Aspek penghambaan merupakan perilaku seorang manusia yang berupaya mewujudkan seluruh gambaran, sasaran, norma, dan perintah syariat tersebut. Pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian manusia agar seluruh aspek di atas menjelma dalam sebuah harmoni dan saling menyempurnakan. Lewat penjelmaan itu, seluruh potensi manusia dipadukan dan dicurahkan demi mencapai suatu tujuan. Segala upaya, perilaku, dan getar perasaan, senantiasa bertitik tolak dari tujuan tersebut.
_____________ 6
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Rosdakarya, 2005), 25. 62
CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH
KONSEPS ISLAM TENTANG MANUSIA, SEMESTA, DAN KEHIDUPAN Islam memiliki konsep tentang manusia dan alam semesta yang jelas dan wajib diimani oleh manusia. Konsep-konsep itu adalah: Pertama, Islam memiliki kejelasan pikiran yang menjadi landasan hidup seorang muslim, artinya, seorang muslim menganut pikiran tersebut, mempercayainya, mengikuti peringatannya, dan menyerukannya secara hati-hati. Karena, hanya pikiran itulah yang mengontrol segala perilaku dan perbuatan manusia. Kedua, Islam memiliki kelogisan akidah dan kesesuaiannya dengan fitrah, akal, dan jiwa manusiawi. Ketiga, Islam memiliki objek keyakinan yang jelas karena disajikan secara jelas lewat al-Qur’an, yang dengannya manusia akan menyaksikan realitas sebagai bahan perenungan serta mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang kekuasaan dan keesaan Allah sesuai dengan tabiat psikologis dan fitrah keagamaan manusia. Jika seorang manusia merenungkan firman Allah, ia akan menemukan bahwa al-Qur’an menjadikan dirinya sebagai bahan renungan. Sehingga ia mampu melihat bagaimana Allah menciptakan dirinya dari segumpal darah, mengajarinya membaca, menulis, atau mendayagunakan semesta, dan dapat dididik. Bagaimana Allah menciptakan dan membentuk dirinya dalam rahim ibu melalui beberapa fase perkembangan hingga posturnya menjadi sempurna dan lahir dalam keadaan tidak mengetahui apapun, kemudian dewasa hingga tiba-tiba menjadi musuh yang nyata. Keempat, jika ada yang bertanya-tanya, mengapa al-Qur’an menggunakan dialog yang menyentuh perasaan dan emosi serta membahas akal dan pengalaman yang mampu mengalirkan air mata dan menimbulkan getaran hati tatkala semuanya diungkapkan secara berulang-ulang, terutama tentang alam semesta dan diri? Sesungguhnya, pengulangan gambaran alam semesta dan manusia secara variatif dalam berbagai kondisi tidak hanya untuk mengenalkan aspek budaya kepada manusia atau untuk dikompetisikan dengan budaya atau filsafat lain agar keunggulan logika al-Qur’an dapat dipertahankan dan kemampuan argumentasinya mampu mengalahkan budaya lain, atau dimaksudkan untuk melatih akal manusia melalui penghapalan dan pemahamannya. Lebih dari itu, metode tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan tersebut menjadi gerak pikiran dan perasaan yang kemudian kembali berkembang menjadi kekuatan yang mendorong realisasinya dalam dunia realitas. Tegasnya, agar manusia mewujudkan penghambaannya kepada Allah yang tidak menjadikan gambaran semesta yang mengagumkan ini kecuali sebagai peringatan bagi manusia yang tidak takut. Dengan demikian, manusia menuju amal islami yang terejawantahkan dalam perwujudan keadilan dan syariat Ilahi dalam kehidupan manusia serta pemakmuran semesta. Penyajian ayat-ayat Allah tentang semesta, seperti yang dikatakan Sayyid Quthub, dimaksudkan agar umat manusia kembali kepada Allah, kepada manhaj-Nya yang diperuntukkan bagi manusia, dan kepada ketinggian dan kemuliaan yang ditetapkan Allah bagi manusia dalam suatu periode sejarah. Jika gambaran tersebut menjadi sebuah kenyataan, hal itu akan tergambar pada suatu umat yang akan memimpin umat manusia lainnya menuju kebaikan, kemaslahatan, dan perkembangan. Mengingat begitu pentingnya kedudukan pendidikan dalam hidup manusia, hendaknya pembahasan tersebut menjadi salah satu seruan yang dapat Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
63
meninggalkan dampak praktis bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Sehingga dalam melakukan kegiatannya, mereka memegang teguh manhaj pendidikan Islam. Karena itu, pembahasan tersebut hendaknya didominasi oleh metode Qur’ani sehingga manusia memahami tanda-tanda kebesaran dan keesaan Allah sebagai basis penghambaan kepada-Nya. Selain itu, dapat juga disertakan pendapat para sahabat dan tabi’in, terutama konsep pendidikan yang berhubungan dengan kehidupan manusia di alam semesta ini. Biarkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh manusia mendapatkan pemecahan masalah dari al-Qur’an sehingga terbukti bahwa manhaj Islam, dengan keleluasaan dan kesempurnaannya, mampu membangkitkan kehidupan manusia dan masyarakatnya secara keseluruhan serta mampu memecahkan setiap permasalahan umat manusia.7 DOKTRIN JALAN TENGAH IBNU MASKAWAIH Ibnu Maskawaih mendasarkan teori keutamaan al-wasathnya pada “pertengahan”. Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrine of the Mean atau The Golden Mean, ternyata sudah dikenal para filosof sebelum Ibnu Maskawaih. Filosof China, Mancius (551-479 SM) misalnya, telah didapati menulis buku tentang doktrin jalan tengah. Filosof Yunani seperti Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan filosof muslim seperti al-Kindi dan Ibnu Sina juga didapati memiliki paham demikian. Ibnu Maskawaih secara umum memberi pengertian “pertengahan atau jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dapat terlihat bahwa Ibnu Maskawaih memberi tekanan yang lebih pada pribadi. Jiwa manusia menurutnya ada 3, yaitu jiwa al-bahimiyyat, jiwa alghadabiyyat dan jiwa al-nathiqat. Menurut Ibnu Maskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyyat adalah menjaga kesucian diri (al-iffat/temperance). Posisi tengah jiwa al-ghadabiyyat adalah keberanian (al-syaja’at/courage). Posisi tengah jiwa al-nathiqat adalah kebijaksanaan (al-hikmat/wisdom). Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan dan keseimbangan al-‘adalat / justice. Keutamaan al-wasath tersebut merupakan pokok, sedangkan keutamaan lainnya adalah cabang. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Jenis dan pemahamannya pun bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Menurut Ibnu Maskawaih, setiap keutamaan mempunyai dua ekstrem. Yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrem adalah tercela. Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Ibnu Sina, tetapi setuju dengan Aristoteles. AlGhazali sependapat dengan Ibnu Sina bahwa keadilan hanya mempunyai satu lawan makna, yakni aniaya (al-jaur). Sehubungan dengan itu, keadilan menurut Ibnu Sina dan al-Ghazali tidak pula memiliki cabang-cabang. Posisi tengah yang dimaksudkan di sini adalah suatu standar atau prinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya (al-wasath al_____________ 7
Abd. Rahman al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah wa al-Islamiyah fi al-Baity wa alMadrasah wa al-Mujtama’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 77. 64
CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH
haqiqi) adalah satu, yakni disebut keutamaan (al-fadilat). Yang satu ini disebut juga garis lurus (al-khathath al-mustaqim). Karena pokok keutamaan ada empat yakni kebijaksanaan, keberanian, menahan diri, dan keadilan, sedangkan yang tercela ada delapan. Walau barangkali terjemahannya tidak tepat dalam pengertian bahasa Indonesia, kedelapan sifat tercela tersebut dapat disebutkan seperti berikut, nekad (al-tahawwur/recklessness), pengecut (al-jubn/cowardice), rakus (al-syarah/profligacy), dingin hati (al-khumud/frigidity), kelancangan (al-safah/ impudence), kedunguan (al-balah/stupidity), aniaya (al-jaur/al-zhulm/tyranny), dan teraniaya (al-muhanat/al-inzhilam/servility) Dalam menguraikan sikap tengah dalam akhlak (al-wasath fi al-akhlaq) ini, Ibnu Maskawaih tidak membawa satu ayat pun atau hadis . Walau demikian – menurut penilaian Abd al-Halim Mahmud dan al-Ghazali–spirit doktrin jalan tengah ini adalah islami karena memang banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Di antara ayat yang dimajukan sebagai dasar penilaiannya QS. Al-Isra’: 29, yang artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal.” Dengan dalil tersebut, walaupun Ibnu Maskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat al-Qur’an dan hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya, pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan, dan aktivitas. Karena sebagai makhluk sosial, manusia selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman, yang menjadi pemicu perkembangan tersebut adalah ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Ukuran akhlak tengah disini selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrem kekurangan maupun ektrem kelebihannya. Ukuran kesederhanaan dibidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan, dan juga dikalangan mahasiswa dan dosen. Demikian juga pada tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju otomatis akan bebeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Dengan demikian, doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis saja tetapi juga fleksibel. Karena itu, doktrin tersebut dapat berlaku terus-menerus sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak tentunya.8 Selain dalil dari ayat di atas, juga terdapat beberapa ayat al-Qur’an lain yang menjelaskan mengenai hal ini, diantaranya QS. al-Furqan: 67; “Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta)nya, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan –menjaga- di tengah-tengah antara yang kedua.” Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling kurang pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan efektivitas. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman. _____________ 8
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, 10.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
65
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, ekonomi, dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran “akhlak tengah” selalu mengalami perubahan menurut ekstrem kekurangan maupun ekstrem kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat mahasiswa tidak dapat disamakan dengan dosen. Ukuran tingkat kesederhanaan untuk negara maju akan berbeda dengan negara berkembang, apalagi bila dibandingkan dengan negara miskin. Dibanding dengan al-Ghazali, Ibnu Maskawaih tampak lebih optimis dalam hal kemungkinan mencapai posisi tengah itu. Al-Ghazali berpendapat bahwa hanya Nabi yang dapat mencapai posisi pertengahan itu, sedangkan manusia hanya akan mampu mendekati dan tidak akan mampu mencapainya. Akan tetapi, seperti halnya Aristoteles dan al-Farabi, Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa dengan memperhatikan aturan-aturan tertentu seseorang sangat mungkin untuk mendapatkan posisi pertengahan itu. Pendapat ini tentunya memberi efek tersendiri bagi kesungguhan usaha. Ibnu Maskawaih lebih banyak memberi peluang bagi kesungguhan usaha yang terus menerus dengan suatu sikap optimistis untuk berhasil, sementara al-Ghazali tampak telah memberi batasan bagi kemungkinan tidak berhasil dalam usaha. Hanya saja istilah “sangat mungkin” yang dimajukan Ibnu Maskawaih dapat saja dipahami dalam bahasa lain sebagai rasa pesimis walau barangkali ia tidak bermaksud demikian. Jika dari uraian di atas ditarik pemahaman, maka yang dimaksudkan dengan “posisi tengah” adalah keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa dapat menempati posisi yang utama (al-fadhilat). Apabila seseorang senantiasa berupaya menempuh posisi pertengahan dalam segala situasi maka sifat-sifat utama, yakni kebijaksanaan, keberanian, kesucian dan menahan diri, serta keadilan akan dapat dihasilkan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku (relevan) dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan al-wasath. Jadi, dengan menggunakan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun. KESIMPULAN Uraian di atas memberikan afirmasi konsep al-wasath Ibnu Maskawaih yang terletak pada al-wasath moderasi (doktrin jalan tengah) yang intinya mengandung makna jalan lurus, benar, selamat, adil, harmonis, seimbang dan utama, terhadap kompetensi kepribadian seorang guru atau pendidik. Al-Wasath tersebut di samping mengandung arti etos kerja yang tinggi, nuansa dinamika individu dan sosial, juga selalu relevan dengan tantangan zamannya, tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan al-wasath. Hal ini dikarenakan setiap perkembangan menuntut adanya tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan efektivitas individu maupun sosial. Akhirnya dapat ditegaskan, bahwa dengan menggunakan doktrin jalan tengah dalam al-wasath, manusia terutama para pendidik tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
66
CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH
DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo, 2000. Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Gema Insani Press, Jakarta, 2004. --------, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th. Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2002. Kamal Al-Haydari, Manajemen Ruh, Bogor: Cahaya, 2004. Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
67