Tesis Konsep Jiwa Ibnu Miskawaih dan Implikasinya dalam Pendidikan Akhlak
Oleh: Fadhli NIM : 82100721127
Tesis Diajukan Untuk Menyelesaikan Studi S2 Program Magister Ilmu Agama Islam – The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) – Universitas Paramadina Jakarta
THE ISLAMIC COLLEGE FOR ADVANCED STUDIES (ICAS)UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA 2016
ABSTRAK
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk membentuk sumber daya manusia yang terampil dan kompeten. Melalui pendidikan manusia membangun peradaban yang bermartabat, bermanfaat dan beradab. Dari sinilah pendidikan menemukan tujuannya sendiri sebagai alat untuk mencapai kebahagian. Di dalam Islam, pendidikan menempati posisi istimewa, terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh islam, filosof, ulama dan cendekiawan muslim yang konsen terhadap isu pendidikan. Salah satu tokoh tersebut adalah Ibnu Miskawaih. Sebagai seorang pemikir islam, Miskawaih menyandarkan konsep pendidikannya kepada perbaikan karakter (akhlak), sehingga apa yang dilahirkan dari tingkah lakunya selaras dengan ajaran islam dan sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan akhlak dapat diterapkan sedini mungkin, dengan metode dan strategi tertentu. Miskawaih mengatakan penerapan pendidikan akhlak dapat dimulai dari penerapan syariat islam kepada anak didik. Sebab, menurutnya anak-anak memiliki jiwa bahimiyah yang lebih mementingkan kesenangan. Memberikan contoh yang baik adalah metode yang cocok untuk melatih tingkah laku anak-anak. Sehingga diharapkan kedepannya anak-anak akan tetap pada garis yang benar hingga dewasa kelak. Beranjak dewasa, jiwa manusia berkembang seiring berjalannya waktu. Manusia akan semakin memiliki ego yang besar untuk menguasai sesuatu, sehingga jiwa sabuiyah (kesatria) dominan dalam jiwa ini. Marah, melawan dan ingin mempertahankan hidup sangat besar mempengaruhi manusia. Untuk melatih dan mendidik jiwa ini guru (pendidik) mesti memahami kondisi setiap peserta didik. Metode bimbingan, nasehat dan pembiasaan sangat baik untuk mengarahkan jiwa sabuiyah menuju kesempurnaan akhlak. Dan terakhir, kata Ibnu Miskawaih manusia memiliki sisi berfikir (natiqah) jiwa inilah yan menjadi penengah dari jiwa bahimiyah dan sabuiyah, hingga akhirnya mengarahkan manusia menuju kebahagian dunia dan akhirat. Adapun metode yang patut diterapkan bagi manusia yang sudah beranjak dan dominan memiliki karakter ini adalah dengan dialog dan diskusi. Hingga puncaknya, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan akhlak itu adalah meluruskan tauhid dan bertindak ikhlas tanpa pamrih. Itulah kualitas akhlak yang sebenarnya dan selaras dengan misi kenabian.
Kata Pengantar
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, islam dan ihsan sehingga saya mampu menyelesaikan penelitian ini. Salawat serta salam yang khusus dihaturkan kepada baginda Rasulullah SAW sang manusia sempurna nan berakhlak agung, yang telah membawa manusia berhijrah dari zaman jahiliyah pada zaman yang penuh dengan cahaya islam. Salam cinta dan rindu untuk bapak tercinta almarhum Harahab BA, semoga mendapat tempat terbaik disisi-Nya, amin. Ucapan terima kasih tak terkira kepada Ibunda terkasih, Ibu Erna Willis, Istri tercinta Mairi Silvia, S. Pd, adik-adikku tersayang Fadhilah beserta keluarga dan Fauziah Multazmi, serta seluruh pihak dan temanteman yang selalu memberikan doa dan dukungan. Terima kasih juga saya haturkan kepada Ketua PMIAI ICAS-Paramadina Jakarta Dr. Khalid al-Walid, pembibing saya Dr. Humaidi AS, serta para dosen, segenap staf dan karyawan ICAS-Paramadina Jakarta yang telah sudih mengulurkan tangan guna membantu saya untuk menyelesaikan penelitian ini.
Jakarta, September 2016 Hormat saya,
Fadhli
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang menuntun
manusia menuju kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan pendidikan, manusia dibedakan dengan kehidupan makhluk lainnya. Melalui pendidikan pula manusia membangun peradaban yang besar, mulia dan bermartabat.
Hakikat
pendidikan
adalah
melatih
potensi
diri
dan
mengembangkannya menjadi aktualisasi karya yang bermanfaat bagi sesama. Di dalam ajaran islam pendidikan tak hanya untuk mengembangkan potensi diri, tapi melatih jiwa menuju akhlak al karimah (akhlak mulia). Pendidikan akhlak dalam islam berfungsi menumbuhkembangkan sikap manusia agar menjadi lebih sempurna secara moral, sehingga hidupnya selalu terbuka bagi kebaikan dan tertutup dari segala keburukan dan menjadikan manusia berakhlak. Ini merupakan misi Islam, menjadikan manusia makhluk yang bermoral, yakni mahkluk yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatan yang dipilihnya dengan sadar, yang saleh maupun yang jahat. Akhlak al Karimah yang diajarkan dalam Islam merupakanorientasi yang harus dipegang oleh setiap muslim.1 Seseorang yang hendak memperoleh kebahagiaan sejati (al-sa’adah alhaqiqjyah), hendaknya menjadikan akhlak sebagai landasandalam bertindak dan berprilaku. Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan pembinaan akhlak adalah orang yang tidak memiliki arti dan tujuan hidup. Pembinaan akhlak sangat terkait kepada dua unsur substansial dalam diri manusia yaitu jiwa dan jasmani dengan budi pekerti yang baik, berarti juga mengisi perilaku dan tindakan mulia yang dapat dimanifestasikan oleh jasmani atau dengan kata lain, budi pekerti yang terdapat di dalam jiwa turut mempengaruhi keutamaan
1
Nurkhalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), hlm.6.
1
pribadi seseorang. Oleh karena itu, akhlak harus dijadikan sebagai orientasi hidup di manapun dan kapanpun. Menurut Mahmud As-Sayyid Sulthan sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan islam harus memenuhi beberapa karakteristik, seperti kejelasan, universal, integral, rasional, actual, ideal dan mencakup jangkauan untuk masa depan yang panjang. Atau dengan bahasa sederhananya, pendidikan islam harus mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotor (jihadiyah), spiritual, dan sosial kemasyarakatan.2 Dalam konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia
dewasa
ini,
sudah
tentu
tidak
terlepas
dari
peran-peran
pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi yang dicapai bangsabangsa diberbagai belahan bumi ini, telah merupakan akses produk suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu di bawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang memakai produk lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan akhlak sangat penting bagi peserta didik dalam menumbuhkembangkan hubungan antara peserta didik dengan Sang Pencipta, hubungan antara peserta didik dengan manusia lainnya sehingga memunculkan suatu sikap yang harmonis di antara sesamanya. Pernyataan ini sesuai dengan Bukhari Umar bahwa “pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlaq karimah). Proses tersebut tidak terlepas dari pembinaan kehidupan beragama peserta didik secara totalitas”.Hal senada juga disampaikan oleh AlAttas bahwa wajib hukumnya bagi peserta didik untuk membentengi dirinya dengan akhlak yang dalam perkataan beliau dikenal dengan istilah ta’dib.3 Akhlak dalam kehidupan manusia merupakan faktor yang sangat penting. Oleh karena itu sumber ajaran Islam tidak luput memuat akhlak sebagai sisi penting dalam kehidupan manusia. Di samping memiliki peranan 2
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006), hlm.112. Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed MuhammadNaquib Al-Attas, (Bandung: MIZAN, 1998), hlm. 22. 3
2
penting dalam Islam, akhlak juga mempunyai peranan penting dalam setiap aspek dari ajaran agama ini, selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut dengan akhlak al-karimah. Dengan demikian akhlak Islami secara sederhana dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Akhlak Islam ini sifatnya universal yang untuk menjabarkannya diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social (kondisi dan situasi) yang terkandung dalam ajaran etika dan moral di dalam suatu masyarakat tertentu. Quraish Syihab menjelaskan bahwa tolak ukur akhlak Islami adalah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Dan sesuatu yang dinilai baik oleh Allah pastilah esensinya baik, demikian juga sebaliknya. Allah tidak mungkin menilai kebohongan sebagai kelakuan yang baik, karena kebohongan esensinya buruk.4Akhlak Rasulullah SAW biasanya disebut juga akhlak Islam. Karena akhlak beliau bersumber dari al-Qur’an, maka akhlak Islam mempunyai ciriciri tertentu yang membedakan dengan akhlak wadiyah (ciptaan manusia). Adapun ciri tersebut antara lain: a. Kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyah al-mualaqah). Yaitu kebaikan yang tekandung dalam akhlak Islam merupakan kebaikan yang murni, baik untuk individu maupun untuk masyarakat, di dalam lingkungan, keadaan, waktu, dan tempat apapun. b. Kebaikan bersifat menyeluruh (as-salahiyah al-‘ammah). Yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia di segala zaman dan di semua tempat. c. Tetap, langgeng, dan mantap. Maksudnya adalah kebaikan yang terkandung di dalamnya bersifat tetap tidak berubah oleh perubahan
waktu
dan
tempat
atau
perubahan
kehidupan
masyarakat. d. Kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam al-mustajab) Adalah kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam merupakan hukum
4
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: MIZAN, 1996), cet. Ke-3, hlm.259.
3
yang harus dilaksanakan sehingga ada sanksi hukum tertentu bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya.
Karena akhlak bersumber dari Allah SWT, maka pengaruhnya lebih kuat dari akhlak ciptaan manusia sehingga seseorang tidak berani melanggarnya kecuali setelah ragu-ragu dan kemudian akan menyesali perbuatannya untuk selanjutnya bertobat dengan sungguh-sungguh dan tidak melakukan perbuatan yang salah lagi. Ini terjadi karena agama merupakan pengawas yang kuat. Pengawas lainnya adalah hati nurani yang hidup dan didasarkan pada agama dan akal sehat yang dibimbing oleh agama serta diberi petunjuk.
Akhlak al-karimah merupakan sarana untuk mencapai kesuksesandunia dan akhirat, dengan akhlak pula seseorang akan diridhai oleh Allah SWT, dicintai oleh keluarga dan manusia pada umumnya. Ketentraman dan kerukunan akan diraih manakala setiap individu memiliki akhlak seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.Membangun manusia berakhlak mulia berarti menegakkan fitrah manusia yang berkedudukan tinggi. Jika kita tidak berupaya menegakkan agar manusia berakhlak mulia, berarti kita menentang fitrah manusia itu sendiri. Manusia secara fitrah berkecendrungan untuk membuat kebijakan, mengakui adanya kekuasaan yang lebih yang mempunyai segala aturan untuk kemaslatan umat manusia.Dalam ajaran Islam semua itu telah ditegaskan. Mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi
lingkungan
yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk
menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau dipelajari sejarah bangsa arab sebelum Islam datang maka akan ditemukan suatu gambaran dari sebuah peradaban yang sangat rusak dalam hal 4
akhlak dan tatanan hukumnya. Seperti pembunuhan, perzinahan dan penyembahan patung-patung yang tak berdaya. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai akhlak yang terkandung dalam al Qur’an. Di dalam al-Qur’an terdapat perilaku (akhlak) terpuji yang hendaknya diaplikasikan oleh umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Karena akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan, ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa ahklak merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam. Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya. Penyair besar Syauqi pernah menulis:“Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini.”5Syair tersebut menunjukkan bahwa akhlak dapat dijadikan tolak ukur tinggi rendahnya suatu bangsa. Seseorang akan dinilai bukan karena jumlah materinya yang melimpah, ketampanan wajahnya dan bukan pula karena jabatannya yang tinggi. Allah SWT akan menilai hamba-Nya berdasarkan tingkat ketakwaan dan amal (akhlak baik) yang dilakukannya. Seseorang yang memiliki akhlak mulia akan dihormati masyarakat akibatnya setiap orang di sekitarnya merasa tentram dengan keberadaannya dan orang tersebut menjadi mulia di lingkungannya. Sangatlah jelas bahwa Al-Qur’an dan hadis Rasul adalah pedoman hidup yang menjadi dasar bagi setiap Muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber akhlaqul karimah dalam ajaran Islam. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul adalah ajaran yang paling mulia dari segala ajaran manapun
5
Umar Bin Ahmad Baraja, Akhlak Lil Banin, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), hlm.2.
5
hasil renungan dan ciptaan manusia. Sehingga telah menjadi keyakinan (aqidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk mengikuti petunjuk dan pengarahan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari pedoman itulah diketahui kriteria mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk.6 Islam tidak muncul di dalam ruang hampa, tetapi di tengah-tengah kondisi sosial yang penuh dengan pertentangan antar lapisan sosial, kejumudan berfikir dan kekacauan alam fikiran, terutama mengenai hubungan antara individu dan penciptanya. Kondisi tersebut berdampak pada tingkah laku sehari-hari individu serta aspek-aspek kehidupan material dan mental masyarakat jahiliyah.Dengan kata lain, Islam pada esensinya merupakan pendidikan baru bagi masyarakat jahiliyah. Pendidikan tersebut pada gilirannya membuat masyarakat Islam menjadi masyarakat terdidik yang secara sadar dengan fikiran terbuka, kebijaksanaan, dan pelajaran yang baik mampu melepaskan diri dari faktor-faktor penyebab keterbelakangan, kemudian berupaya membangun kebudayaan yang memberi landasan kekuatan dan kemajuan bagi diri mereka sendiri dan masyarakat sekitar.Islam dengan dua sumber yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjadi pegangan dalam menentukan segala urusan dunia dan akhirat. Kedua sumber itulah yang menjadi sumber akhlak Islamiah. Prinsip-prinsip dan kaedah ilmu akhlak Islam semuanya didasarkan kepada wahyu yang bersifat mutlak dan tepat neraca timbangannya. Dalam Tahdzib, Ibnu Miskawaih tidak pernah menyebutkan dasar pendidikan akhlak secara langsung. Hanya saja dalam pembahasan Tahdzib, masalah jiwa (psikologi) dan syariat agama merupakan pembahasan utama 6
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), hlm.5.
6
yang dikaitkan dengan akhlak. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa agama dan ilmu kejiwaan (psikologi) adalah dua faktor yang menjadi dasar pendidikan akhlak bagi Ibnu Miskawaih. Letak pentingnya ilmu kejiwaan dalam dunia pendidikan sudah lama disadari oleh ahli pendidikan modern. Dalam pendidikan modern dikenal ilmu Psikologi Pendidikan dengan pelbagai varian metodenya. Di Indonesia, khususnya tahun 2014 pendekatan pendidikan yang digunakan juga difokuskan pada pendidikan karakter. Dalam hal ini, terlihat bahwa Ibnu Miskawaih termasuk salah satu perintis pendidikan dengan pendekatan kejiwaan, disamping Aristoteles dan lain sebagainya. Para pendiri negara Indonesia, the founding fathers sangat menyadari pentingnya pembinaan akhlak. Hal itu dapat dilihat dalam lagu Indonesia Raya “bangunlah
jiwanya,bangunlah
badannya”,
dimana
hal
tersebut
menunjukkanbahwa pembinaan jiwa (akhlak) lebih didahulukan dari pada pembinaan fisik. Kemudian sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Disamping itu di era Globalisasi, dimana arus informasi yang begitu banyak dan beragam. tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai itu bersifat positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah berlaku di dalam masyarakat. Kemudian yang lebih penting lagi pengaruh globalisasi adalah pengaruh nilai-nilai seperti materialisme, konsumerisme, hedonisme, kekerasan dan penyalahgunaan narkoba yang dapat merusak moral masyarakat. Oleh karenanya, dalam menghadapi globalisasi tersebut sebaiknya kita tidak boleh bersikap apriori 7
menolak apa saja yang datang bersama arus globalisasi. Sebaiknya kita harus bersikap selektif dan berusaha memfilter dan menanamkan akhlak yang baik pada peserta didik agar dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi. Seperti pendapat Fran Magnis Suseno, ada beberapa fungsi etika dalam kehidupan manusia. Pertama, ia dapat dijadikan sebagai panduan dalam memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. Kedua, dapat dijadikan sebagai obat penawar dalam menghadapi berbagai ideologi kontemporer, seperti; materialisme,nihilisme, hedonisme, radikalisme, marxisme, sekularisme,dan lain-lain. Ketiga, dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi prilaku menyimpang akibat pengaruh negatif globalisasi.7 Dalam rangka penanaman akhlak tersebut pendidikan menjadi kunci utama. Pendidikan mempunyai peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai kepada peserta didik, maka diperlukan sistem pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan zaman.8 Kenapa pembinaan akhlak dianggap lebih penting dari bidang pendidikan lainnya? Hal ini karena pembinaan akhlak inilah yang bertujuan mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga ia berprilaku terpuji, sempurna sesuai dengan substansinya sebagai manusia, yang bertujuan mengangkatnya dari derajat yang paling tercela9.Pendidikan akhlak sebagai pendidikan yang penting untuk menanamkan nilainilai moral spiritual dalam kehidupan sehari-hari dapat menumbuhkan budi pekerti, tingkah laku, dan kesusilaan yang baik untuk masa depan seseorang. Banyaknya perilaku menyimpang di kalangan remaja dan anak-anak pada zaman globalisasi ini merupakan bukti nyata kemerosotan akhlak. Mereka sudah tidak lagi terikat dengan agamanya. Banyaknya kemaksiatan seperti meluasnya penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, durhaka kepada kedua orang tua, adalah beberapa contoh dan bukti betapa generasi muslim semakin jauh dari nilai-nilai Islami Semua itu akibat dari minimnya pendidikan ahlak sedari dini, sejak manusia dalam kandungan. 7
Fran Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanasius, 1987), hlm. 15. 8 Said Agil Husain al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qurani, (Jakarta Selatan: Ciputat Press), hlm. 26. 9 Helmi Hidayat , Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Kitab Tahdzib al-Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 61.
8
Sejak kecil seorang anak dibiarkan berkeliaran di luar kontrol orang tuanya, karena orang tua terkadang sibuk mencari nafkah, dengan dalih demi kelangsungan hidup keluarga. Mereka lupa, hakekatnya pendidikan akhlak dan kasih sayang kepada anak adalah lebih penting dari sekadar menimbun uang. Sepanjang sejarah umat manusia, masalah akhlak selalu menjadi pokok persoalan. Karena perilaku manusia secara langsung ataupun tidak langsung masih menjadi tolak ukur untuk mengetahui perbuatan atau sikap mereka, wajar kiranya persoalan akhlak selalu dikaitkan dengan persoalan sosial masyarakat, karena akhlak menjadi simbol bagi peradaban suatu bangsa. Apabila pendidikan akhlak tidak ditanamkan dalam diri peserta didik sejak kecil, maka tidak menutup kemungkinan akan menjerumuskan peserta didik pada sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat luas. Misalkan ada seorang pelajar membentak, memukul, saling adu jotos sama teman-temannya, dan lain sebagainya. Hal seperti inilah yang tidak kita inginkan, lebih-lebih bagi orang tua. Belakangan ini umat Islam dilanda berbagai masalah terutama dalam pendidikan akhlak terhadap peserta didik yang menuntut adanya solusi yang terbaik dalam memecahan permasalahan tersebut. Melihat dari permasalahan ini, Al-Attas dan Ibnu memberikan analisis bahwa yang menjadi penyebab para pelajar melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam bersumber dari kurangnya pembinaan pendidikan akhlak terhadap peserta didik baik yang bersifat formal maupun non-formal.10 Sudah menjadi suatu kewajiban kita sebagai pendidik untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan khususnya pendidikan ahlak, hendaknya seorang pendidik tidak hanya menyampaikan materi pelajaran semata melainkan harus bisa menanamkan ahlak pada diri peserta didik dan mampu menjadi suritauladan yang baik bagi siswa, sehingga sisiwa mampu memahami dan menjalankan sepenuhnya akan fungsi dan tujuan pendidikan ahlak. 10
Kemas Baharuddin, Filsafat Pendidikan Islam: Analisa Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, (Celaban Timur: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 1.
9
Masalah remaja pada setiap saat merupakan salah satu yang dipersoalkan oleh pemerintah, masyarakat dan orang tua yang menaruh perhatian terhadapat pembinaan dan pendidikan para remaja. Menurut keterangan ahli jiwa bahwa pembinan remaja itu memerlukan sesuatu kekhususan sesuai dengan sifat tertentu, yang ada pada dirinya karena mereka sedang menempuh masa kritis dan guncangan-guncangan dalam dirinya. Masa remaja termasuk masa terpenting dalam fase umur manusia, pada masa itu pula pemikiran masih labil dan pada masa itu pula terbangunlah akidahnya juga pada masa perkembangan tersebut, terbentuklah jati dirinya dan tertanamlah akhlaknya. Saat itu sangatlah dasyat pertempuran antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kebathilan, antara kehidupan yang suci penuh harga diri dan kehidupan yang penuh sarat permainan dan kesia-siaan. Sesungguhnya
sebab-sebab
(yang
mendukung
terjadinya)
penyimpangan dan problem (di kalangan) para pemuda sangat banyak dan bermacam-macam, karena manusia di masa remaja akan mengalami pertumbuhan besar tubuh, pikiran dan akal. Karena masa remaja adalah masa pertumbuhan, sehingga timbullah perubahan yang sangat cepat (pada dirinya). Oleh karena itulah, dalam masa ini sangat dibutuhkan tersedianya saranasarana untuk membatasi diri, mengekang nafsu dan pengarahan yangbijaksana untuk menuntun ke jalan yang lurus. Sementara menurut Abuddin Nata, bahwa banyak dari para orang tua mengeluhkan terhadap ulah perilaku para pelajar yang sukar dikendalikan, nakal, keras kepala, sering berbuat keonaran, sering melakukan kemaksiatan, tawuran, mabuk-mabukan, bergaya seperti gayanya orang Barat, banyaknya pemerkosaan dan perilaku penyimpangan-penyimpangan yang lain.11 Masalah pembinaan akhlak dan karakter, bukanlah masalah baru, tetapi sudah menjadi pembahasan para filosof tempo dulu, seperti kajian Plato tentang negara dan warga negara yang baik dalam bukunya Republika. Dalam Sejarah pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukkan diri 11
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 190.
10
dalam masalah akhlak ini, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Kelompok Ikhwan alSafa, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Miskawaih, dan lain sebagainya. Dari sekian tokoh tersebut, Ibnu Miskawaih adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan wacana akhlak islami. Sebagai bukti atas kebesarannya, ia telah menulis banyak karya yang membahas masalah akhlak, diantaranya; TahzibalAkhlaq(tentang moralitas), Thaharahal-Hubs (penyucian jiwa), alfauz al-akbar (kiat memperoleh kebahagiaan dalam hidup), kitab al-Sa’adah (buku tentang kebahagiaan), dan lain sebagainya.12 Namun, dari sekian kitab menurut penulis sudah sulit untuk ditemukan.Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlak dapat dikatakan memiliki corak yang berbeda dengan pemikir lainnya. Terlihat dalam buku Tahdzib al-Akhlak pembahasan akhlaknya banyak dikaitkan dengan pemikiran para filosof Yunani, seperti Aristoteles, Plato, dan Galen. Disamping itu, Ibnu Miskawaih banyak juga dipengaruhi oleh filosof muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan al-Razi serta lainnya. filosof Yunani dan filosof muslim sama-sama berpendapat bahwa “Tujuan dalam suatu kehidupan adalah untuk mencapai kabahagiaan”, cara memperoleh kebahagian adalah dengan beretika atau Berakhlak dengan baik. Oleh karenanya banyak para ahli menggolongkan corak pemikiran Ibnu Miskawaih kedalam tipologi etika filosofi (etika rasional), yaitu pemikiran etika yang banyak dipengaruhi oleh para filosof, terutama para filosof Yunani.13 Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa manusia terdiri dari tiga bagian (fakultas); Pertama, bagian jiwa yang berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan berbagai realitas, organ yang digunakan adalah otak. Kedua, bagian jiwa yang membuat kita bisa marah, berani, ingin berkuasa, dan menginginkan berbagai kehormatan dan jabatan, organ tubuh yang digunakan adalah jantung. Ketiga, bagian jiwa yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan nafsu makan, minum dan berbagai kenikmatan indrawi, organ tubuh yang digunakan adalah hati.14 Ketiga bagian jiwa tersebut harus
12
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.6. 10 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 22. 14 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, (Beirut : Darul al-Kutub al-Ilmiah, 1985), hlm. 15.
11
digunakan oleh manusia secara seimbang. Mengutamakan salah satunya akan menjeremuskan manusia kepada kejahatan dan kebinasaan. Di sisi lain, dimensi jiwa dalam kehidupan manusia sangat berpengaruh dalam membina perjalanan keimanan, ke-Islaman dan keihsanan seorang muslim. Pentingnya wahana ruhani dikarena jiwa adalah eksistensi terdalam yang senantiasa membutuhkan konsumsi spritual agar berkembang tumbuh sehat dan mandiri. Sebab pendidikan seorang muslim tidak akan berhasil secara maksimal apabila tidak bisa mengolah rasa jiwanya sampai pada tahap kesucian, kemuliaan dan keluhuran. Untuk mencapai tahapan keluhuran, maka harus dimulai dari tahap pertama yaitu tahap penyucian jiwa, tahap inilah yang dalam istilah bahasa arab disebut penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Tazkiyah dimaksudkan sebagai cara untuk memperbaiki seseorang dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi dalam hal sikap, sifat, kepribadian dan karakter. Semakin sering seseorang melakukan tazkiyah pada karakter kepribadiannya, semakin Allah membawanya ke tingkat keimanan yang lebih tinggi. Sebagaimana firman Allah dalam surat As-Syamsy yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, danSesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. Jelas bahwa menyucikan jiwa adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan seorang manusia. Jiwa yang bersih akan menghasilkan prilaku yang bersih pula, karena jiwalah yang menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk. Jadi dapat dikatakan bahwa, puncak kebahagiaan manusia terletak pada penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), sementara puncak kesengsaraan manusia terletak pada tindakan membiarkan jiwa mengalir sesuai dengan tabiat alamiah. Ketika seseorang menginginkan dijauhkan dirinya dari perbuatan keji dan mungkar, umat Islam sangat dianjurkan untuk melaksanakan shalat, akan tetapi kondisi yang ada, seseorang justru tidak berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya. Ternyata banyak ditemukan orang yang rajin shalat, akan tetapi bersamaan itu pula orang sering melakukan perbuatan keji dan mungkar. Dengan demikian, proses penyucian jiwa sebagaimana dimaksud di atas akan
12
lebih efektif jika dipraktekkan di dalam proses pendidikan mulai sejak usia dini dengan diawali oleh pembelajaran dan pengamalan syariah. Selain itu Ibnu Miskawaih juga mengatakan bahwa dalam hidup ini manusia hanya melakukan dua hal yaitu kebaikan dan keburukan. Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya karena hal tersebut akan mengarahkan manusia kepada tujuan dirinya diciptakan.15 Keburukan adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan, entah hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganannya mencari kebaikan.16 Ibnu Miskawaih membagi manusia menjadi tiga golongan: Golongan pertama yang baik menurut tabi’atnya, ini merupakan hal yang jarang terjadi. Terjadi tapi mungkin hanya kepada orang-orang tertentu. Orang baik menurut tabi’atnya, maka ia tidak bisa berubah menjadi orang jahat.Kedua, manusia yang jahat menurut tabi’atnya, hal ini terjadi pada kebanyakan orang. Mereka akan sulit merubahnya, karena merupakan bawaan.Ketiga, manusia yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua. Golongan ini dapat menjadi baik dan menjadi jahat, hal itu terjadi karana faktor lingkungan atau faktor pendidikan yang ia terima.17 Dari golongan ketiga inilah, Ibnu Miskawaih menganggap faktor lingkungan dan pendidikan sangat penting bagi perkembangan manusia. Faktor-faktor tersebut membantu terbentuknya kematangan intelektual, emosional, dan sosial sebagai jalan menuju kedewasaan.18 Oleh karenanya, menurutnya pendidikan akhlak dapat diusahakan. Artinya, akhlak baik dapat dibentuk dengan latihan dan pembiasaan. Awalnya keadaan itu terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian, mulai dipraktikkan terusmenerus, menjadi karakter atau kebiasaan.19 Selanjutnya, secara garis besar, Ibnu Miskawaih mengklasifikasikan materi pendidikan akhlak kedalam tiga jenis, yaitu (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa manusia, (3) hal15
Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, hlm. 37.
16
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, hlm. 39-41. Ibnu Miskawaih, hlm. 33-39 18 Sudarsono, Etika Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Putra,1993), hlm. 130-131. 19 Ibnu Miskawaih, hlm. 26. 17
13
hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.20 Menurutnya, dalam pendidikan akhlak, dan dalam mengarahkannya kepada kesempurnaan, pendidik harus menggunakan cara alami, yaitu berupa menemukan bagianbagian jiwa dalam diri peserta didik yang muncul lebih dulu, kemudian mulai memperbaharuinya, baru selanjutnya pada bagian-bagian jiwa yang muncul kemudian, dididik secara bertahap.21 Selain itu yang patut dibanggakan dalam konsep pendidikan akhlak ibnu Miskawaih adalah berorientasi untuk membentuk manusia yang berkepribadian utama atau manusia yang berkepribadian muslim (insan kamil), sehingga orientasi pendidikan akhlak sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan Islam. Dalam konteks ini, peneliti tertarik untuk mengungkap kembali pemikiran Ibnu Miskawaih di bidang pendidikan akhlak dengan tujuan barangkali dijumpai pendapat yang layak untuk dihidupkan kembali dan di implementasikan dalam pendidikan akhlak masa sekarang dan masa mendatang. Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan suatu alasan yang mendasar apabila penulis membahas permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul, ‘Konsep Jiwa Ibnu Miskawaih dan Implikasinya dalam Pendidikan Akhlak’. B.
Batasan dan Rumusan Masalah Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof muslim dengan banyak karya
agung dan menakjubkan. Tak heran perannya bagi pemikiran islam sangat besar terutama di bidang Etika. Ia juga disebut sebagai guru ketiga dan bapak etika islam, karena tulisannya di bidang akhlak banyak memberikan pengaruh bagi sarjana setelahnya. Untuk membatasi pembahasan, penulis mencoba mengkaji kembali bagaimana konsep Ibnu Miskawaihi dilihat dari sisi pendidikan akhlak. Konsep serta strategi yang diterapkan dan menemukan implikasi konsep jiwa dalam pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih.
20 21
Ibnu Miskawaih, hlm. 33-36 Helmi Hidayat, hlm. 60
14
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Setelah merumuskan batasan masalah, dapat disimpulkan sejumlah
tujuan penelitaian, diantaranya dapat mendeskripsikan konsep pendidikan akhlaq Ibnu Miskawaih dan melihat implikasinya bagi pendidikan islam setelahnya. Adapun manfaat dari penilitian ini adalah secara teoritis dapat digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya. Sementara, secara praksis penelitian dapat diterapkan dalam keluarga sekolah maupun lingkungan masyarakat. D.
Tinjauan Pustaka Sepanjang penelusuran, penulis menemukan beberapa penelitian
terkait pemikiran dan konsep Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan Akhlaq. Namun, masih bersifat tekstual dan kajian kitab karya Ibnu Miskawaih. Ada juga yang bersifat kajian komparasi pemikiran antara dua tokoh pendidikan islam. Misalnya, Penelitian Moh. Sullah dengan judul Studi Komparasi Konsep Pendidikan AkhlakSyaid Muh. Naquib Al-Attas dengan Ibnu Miskawaih dimanadalam penelitian ini dilakukan perbandingan konsep akhlak antara dua tokoh tersebut. Ada juga penilitian Achmad Basuni dengan judul Peran Orang TuaDalam Pendidikan Akhlak Anak (Studi Pemikiran Ibnu Miskwaih dalam Kitab Tahdzib al-Akhlak).Dalam kajian tersebut, penulis mengemukakan pendapt Ibnu Miskawaih bahwa orang tua sangat berperan dalam pendidikan akhlak anak. Menurutnya pendidikan akhlak merupakan konsepsi baku pembentukan pribadi anak, kedua orang tua yang mula-mula tampil untuk melakukan tugas tersebut. Pencapaian kepribadian akhlak yang luhur dan berbudi pekerti, orang tua selaku pendidik mempunyai peran: memberi contoh atau teladan yang baik, memberi nasehat, memberikan perhatian. Selanjutnya, karya tulis Suwinto dengan judul “FilsafatPendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih”. Dalam tulisan inipenulis menelaah pemikiran Ibnu Miskawaih tentang akhlak dengan pendekatan filsafat. Menurutnya, Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak dapat dikatakan 15
memiliki corak yang berbeda dengan pemikir lainnya. Terlihat dalam buku Tahdzib al-Akhlak pembahasan akhlaknya banyak dikaitkan dengan pemikiran para filosof Yunani, seperti Aristoteles, Plato, dan Galen. Disamping itu, Ibnu Miskawaih banyak juga dipengaruhi oleh filosof muslim, seperti al-Kindi, alFarabi, dan al-Razi serta lainnya.Lebih lanjut, tulisan saudari Halimatu Sa’diah
dari
Universitas
Islam
Madura
dengan
judul
Konsep
PendidikanAkhlak Perspektif Ibnu Miskawaih. Dalam tulisan ini penulis menguraikan bahwa dalam pemikiran Miskawaih, keutamaan akhlak berada dalam posisi tengah di antara dua ekstrim. Posisi tengah yang dimaksud adalah al-‘iffah, al-syajâ'ah, dan alhikmah. Adapun perpaduan dari ketiganya disebut al-‘adâlah (keadilan atau keseimbangan). Pribadi yang diidealkan oleh Ibnu Miskawaih ialah pribadi yang mampu memposisikan dirinya secara proporsional dan profesional dalam rangka keseimbangan dan senantiasa menempatkan posisi tengah antara ekstremitas kehidupan. Tulisan ini cukup menarik, tapi sayanganya terlalu singkat untuk menguak dimensi akhlak yang terkandung dalam Tahdzib. Oleh karenanya, penulis meyakini belum ada penelitian secara khusus yang membahas konsep dan strategi pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dan implementasinya bagi pendidikan islam. E.
Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif.22 Peneliti menggunakan
metode ini karena banyaknya permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan yang seharusnya tidak ada, tetapi ternyata ada dan nyata. Seperti halnya masalah akhlak yang akan diteliti ini, seharusnya akhlak dari seorang yang mengenyam pendidikan adalah akhlak yang baik. Karena di dalam sekolah mereka diajarkan ilmu-ilmu tentang akhlak, bagaimana cara bergaul
22
Penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memamfaatkan berbagai metode alamiah. Baca Lexy J. Moleong, MetodelogiPenelitian Kualitatis, Edisi Refisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, hlm.6.
16
dengan baik, balasan apa yang didapat oleh seorang yang berakhlak baik, dan sebagainya. Namun, itu semua tidak terjadi sebagaimana mestinya, sekarang ini banyak sekali peserta didik yang akhlaknya menurun bahkan rusak layaknya orang-orang yang tidak tahu tentang akhlak. Hal ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka dari itu peneliti ingin mencari tahu tentang akar dari masalah ini. Untuk mengulas objek penelitian, penulis menggunakan sumber data terdiri atas sumber data primer (primary sources) dan sumber data sekunder (secondarysources). Sumber data primernya berupa pandangan-pandangan Ibnu Miskawaih tentang Konsep dan Strategi Pendidikan Akhlak. Data-data sekundernya adalah karya-karya lain yang berbicara langsung atau tidak langsung tentang konsep dan strategi pendidikan akhlak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research atau penelaahan dokumen. Dalam penelitian ini penulis melakukan studi dokumentasi untuk memperoleh data yang diperlukan dari berbagai macam sumber, seperti dokumen yang ada pada informan dalam bentuk peninggalan karya tulis dan fikir. Studi dokumen dilakukan untuk mempertajam dan memperdalam objek penelitian karena hasil penelitian yang diharapkan
nantinya
adalah
hasil
penelitian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik dan ilmiah. Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang ilmiah). Maksudnya data yang ada itu tidak dibuat-buat atau sengaja disetting untuk proses penelitian. Sementara untuk pendekatan penelitian yang digunakan adalah dari sudut pandang (perspektif) pendidikan akhlak dan psikologi pendidikan. Maksud dari pendekatan pendidikan akhlak adalah bahwa konsep-konsep dan strategi-strategi pendidikan akhlak yang bersumber dari ajaran Islam dan pendapat para ulama akan digunakan untuk melihat pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep dan strategi pendidikan akhlak.
17
F.
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan tesis ini, penulis menggunakan
sistematika penulisan, sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan meliputi sub bab yang berisi latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Pandangan umum tentang pendidikan akhlak. Dalam bab ini berisi pandangan, konsep, strategi terkait pembahasan. Bab III : Karena ini merupakan pemikiran tokoh, maka bab ini akan mengemukakan biografi, riwayat hidup, karya dan analisis konsep Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan Akhlak Bab IV: Berisi tentang Konsep Jiwa Ibnu Miskawaih dan Implikasinya dalam Pendidikan Akhlak. Bab V : Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
18
DAFTAR PUSTAKA -
Abdullah, M. Yatimin, Study Akhlak dalam Perspektif al-Quran, Jakarta: Amzah, cet. 1, 2007.
-
Agama, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Balai Pustaka, ed. 3, 2005.
-
Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
-
Aristoteles, Nicomachean Ethics, Terj. Embun Kenyowati, Bandung: Penerbit Teraju, 2004.
-
Asmaran, Pengantar Study Akhlak, Jakarta: Rajawali, 1992.
-
Basuni, Achmad, Peran Orang Tua dalam Pendidikan Akhlak Anak(Studi Pemikiran Ibnu Miskawaih Dalam Kitab Tahdzib Akhlak), tugas skripsi IAIN Waliosongo Semarang, thn 2008.
-
Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
-
Dkk, Zainuddin, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009.
-
Elias, John L., moral education (secular and religious), Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc, 1989.
-
Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
-
Ghazali, Imam al, Ihya’ Ulum al-Din, jilid 3, Kairo : Daar al-Hadits, 2004.
-
Hidayat, Helmi , Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Kitab Tahdzibal-Akhlak, Bandung: Mizan, 1994.
-
Jamaludin, Falsafat al-Tarbiyyah Inda Ikhwan al-Safa, Kairo: Samir Abu Daud, 1983
-
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Akhlak, Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003.
-
Mazhahiri, Husain, Mengendalikan Naluri, Jakarta: Lentera, 2000.
-
Madjid, Nurkhalis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2008.
-
Maftuhin, Filsafat Islam, Yogyakarta : Teras, 2012.
-
Miskawaih, Ibnu, Tahdzib al-Akhlak, Beirut, Libanon : Darul Kutub al-Ilmiah, 1985.
-
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Refisi, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009.
-
Munawar, Agil Said Husain al, Aktualisasi Nilai-Nilai Qurani, Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2005.
-
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir (kamus Arab-Indonesia), Surabaya: Pustaka Progressif, cet. 14, 1997.
-
Mustofa, A, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
-
Muthahhari, Murtadha, Ceramah-Ceramah Muthahhari Seputar Pendidikan, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang, 2007).
-
Muthahhari, fitrah, terj.H. Muhammad (Jakarta: Lentera, 1999)
-
Nasir, M., Capita Selecta, Jakarta; Bulan Bintang, cet. Ke-3, 1973.
-
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2000.
-
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri KajianFilsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003.
-
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
-
Nata, Abuddin, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
-
Nawawi, Imam an, al-‘Arba’in an-Nawawi, Semarang: al-Barokah, tth.
-
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
-
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam ( Jakarta: UI Press, 1983)
-
Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. 1981. Islam: Konsep Agama dan Dasar dari Etika dan Moralitas, Bandung : Pustaka. Naquib Al-Attas, Syed Muhammad. 1984. Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung : Mizan. Qusyairy, Muslim bin al-Hajjaj al-Hasan al-Husain al, Shohih Muslim, Bairut: Daar
-
Ihya al-Maktab al-Arabiyah, jil. 4, 1985. -
Runzo, Joseph, Ethics, Religion and the Good Society, Louisville, Kentucky: John Knox Press, 1992.
-
Shiddieqy, Tengku M. Hasbi ash, Tafsir al-Quranul Madjid an-Nur,Jilid 5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003.
-
Shihab, M Quraisy, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
-
Slavin, Robert E, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktek, Jilid 2, Jakarta: Indeks, 2011.
-
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
-
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Bandung : Mizan.