1
IBNU MASKAWAIH (Filsafat al-Nafs dan Filsafat al-Akhlak) Ibrahim Nasbi Abstrak Ibnu Maskawaih (932-1010 M) adalah seorang filosof Muslim yang masyhur dengan teorinya tentang filsafat al-Nafs dan filsafat al-Akhlak. Dalam pandangan Iqbal, beliau adalah seorang pemikir teistis, moralis dan seorang sejahrawan Persia yang tersohor. Jiwa (al-Nafs) dalam pandangannya adalah sebuah esensi yang amat halus dan jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab hancurnya kematian jasmani. Menurutnya, jiwa memiliki tiga kekuatan, yakni kekuatan rasional, kekuatan marah dan kekuatan gairah atau nafsu. Kekuatan tersebut bertingkat-tingkat pada setiap orang tergantung kepada adat dan pendidikannya. Menurutnya, apabila gerak aktifitas dari ketiga kekuatan tersebut seimbang dan normal, maka akan melahirkan tiga keutamaan, yakni keutamaan ilmu dari kekuatan rasional. Keutamaan kesantunan dan keberanian dari kekuatan marah dan keutamaan keberhasilan dan kedermawanan dari kekuatan gairah. Mengenai akhlak, ia mendefinisikan akhlak sebagai suatu sikap mental yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa terlebih dahulu dipikirkan dan dipertimbangkan. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa perbuatan itu tidak selamanya merupakan pembawaan fithrah sejak lahir, namun juga berasal dari latihan dan kebiasaan. I. PENDAHULUAN Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid tahun 786 M, di zaman Daulah Bani Abbasiyah, dikenal sebagai figure cinta kepada ilmu pengetahuan, sehingga buku-buku Yunani banyak yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan adalah buku yang memuat pengetahuan
2
tentang kedokteran, ilmu pengetahuan dan filsafat seperti buku-buku Aristoteles, Plato dan Gaelan.1 Dari usaha yang ditekuni oleh khalifah tersebut, timbullah minat orangorang Islam untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan dan filsafat. Maka muncullah para cendekiawan dan filosof dikalangan umat Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi termasuk Ibnu Maskawaih yang terkenal dgn filsafat al-Nafs dan filsafat al-Akhlak. Ibnu Maskawaih dikenal sebagai seorang filosof sekaligus sebagai seorang filosof Muslim. Salah satu karya magnum opus beliau adalah kitab – Tahzib al-Akhlak Ibnu Maskawaih. Kitab ini dimaksudkan untuk memberikan tuntunan dan bimbingan bagi generasi muda kepada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai akhlak yang luhur dan mengajak mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat. Hal inilah yang menunjukkan keterkaitan antara agama dan filsafat akhlak. Dari uraian tersebut di atas, maka tulisan ini akan membahas secara khusus Ibnu Maskawaih dalam kaitannya dengan pemikiran-pemikiran beliau tentang filsafat jiwa dan filsafat akhlak dengan pokok permasalahan adalah “Bagaimana pemikiran Ibnu Maskawaih tentang filsafat jiwa dan filsafat akhlak?, dengan sub masalah sebagai berikut: 1. Siapa dan bagaimana sosok Ibnu Maskawaih? 2. Bagaimana pemikirannya tentang filsafat jiwa? 3. Bagaimana pemikirannya tentang filsafat akhlak?
1
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 11.
3
II. PEMIKIRAN IBNU MASKAWAIH TENTANG FILSAFAT JIWA DAN AKHLAK. A. Biografi Ibnu Maskawaih Nama lengkap beliau adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ya’kub Ibnu Maskawaih, disebut juga Abu Ali al-Khazin. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H / 932 M.2 Kakeknya bernama al-Kifti menganut agama Majusi kemudian masuk Islam.3 Ibnu Maskawah belajar sejarah terutama Tarikh al-Thabari, kepada Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al-Qadhi (350 H/960 M). Ia juga mengkaji ilmu kimia bersama Abu al-Thayyib al-Razi. Iqbal mengatakan bahwa Ibnu Maskawaih adalah seorang pemikir teistis, moralis dan sejarahwan Persia paling terkenal.4 Ibnu Maskawaih hidup di zaman Dinasti Buwaihi. Kemudian beliau meninggalkan Ray menuju ke Baghdad dan mengabdi pada Pangeran Buwaihi. Ketika kembali ke Ray, ia dipercaya menjaga perpustakaan besar yang menyimpan banyak rahasia, sehingga beliau digelar dengan al-Khazin.5 Pada dasarnya Ibnu Maskawaih adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga seorang penyair. Kesederhanaan dan ketegarannya dalam menundukkan diri dan kebajikan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tidak rasional, merupakan asas petunjuk moral kepribadiannya. Dia menjelaskan tentang perubahan moral dalam bukunya Tahzib al-Akhlak, yang menunjukkan bahwa 2
Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gajah Mada Press, 1999), h. 56.
3
Ibnu Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1999), h. 29.
4
M.M. Syarif, Para Filosof Muslim (Cet. XI; Bnadung: Mizan, 1998), h. 83-84.
5
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 57.
4
ia melaksanakan dengan baik apa yang ditulisnya tentang etika. Akhirnya beliau wafat di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H atau 16 Februari 1030 M. B. Pemikiran Filsafat Jiwa Ibnu Maskawaih Definisi jiwa menurut Ibnu Maskawaih adalah sebuah inti yang sangat halus dan jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab hancurnya kematian jasmani. Ia tidak dapat dirasakan oleh salah satu indera manusia, dan hanya mengetahui dirinya sendiri.6 Jiwa merupakan sesuatu yang mempunyai perbuatan yang berbeda dengan karateristik perbuatan tubuh, sehingga dalam satu dan lain hal jiwa tidak dapat berada bersama-sama dengan tubuh. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan tubuh dalam hal sifat dan bentuk jiwa tidak bisa berganti dan tidak pula berubah. Setiap benda memiliki bentuk dan form tertentu. Namun jiwa tidak mungkin bisa menerima bentuk lain selain bentuknya yang oertama, kecuali benda tadi betul-betul telah berpisah dengan bentuknya yang pertama. Contohnya, bila lilin mencair dalam wadah tertentu, maka lilin tersebut tidak akan mengambil bentuk lain selain wadah tersebut tetap dalam bentuknya secara penuh sempurna. Hal ini berarti bahwa manusia selalu mengalami perubahan dan peningkatan pengalaman jika ia terus berlatih lalu menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan.7 Jiwa memiliki substansi yang lebih mulia dan lebih tinggi disbanding substansi benda-benda yang lainnya. Selain dari pada itu, meskipun jiwa mempunyai prinsipo lain serta tingkah laku yang 6
Ibid., h. 62.
7
Ibnu Maskawaih, op. cit., h. 36.
5
lain pula, yang sama sekali bukan dari indera. Indera hanya mengetahui obyek yang dapat diindera, tetapi jiwa mampu mengetahui hal-hal yang berbeda dengan hal-hal yang dapat di indera tanpa bantuan bagian apapun dari tubuh. Jika jiwa memutuskan bahwa indera itu benar atau salah, maka sesungguhnya penilaian itu tidak diperolehnya dari indera, karena indera tidak mungkin menentang dirinya terhadap apa yang telah diputuskannya. Sebagai contoh, indera mata kita melakukan keslahan ketika melihat mata hari jarak jauh, seakan matahari itu kecil. Namun setelah dibuktikan dengan dalil rasional, ternyata memiliki beratus-ratus kali lipat dari besarnya bumi. Jiwa menerima bukti ini dan menolak kesaksian indera. Dengan demikian, jiwa bukanlah tubuh dan bukan pula bagian dari tubuh. Jiwa mengetahui dari esensi dan substansi sendiri, yaitu akal. Ia tidakpernah membutuhkan sesuatu yang lain untuk mengetahui sesuatu, kecuali dirinya sendiri. Oleh karena itu, akal aqil (orang yang berfikir), ma’qul (obyek yang dipikirkan) merupakan satu kesatuan yang saling berkait. 8 Eksistensi dan sifat jiwa yang diterangkan oleh Ibnu Maskawaih seperti itu ternyata memiliki kekuatan, yaitu: 1. Kekuatan rasioanl atau daya pikir (quwwah natiqah), yang disebut quwwah Malikiah, merupakan fungsi jiwa tertinggi, kekuatabn berfikir dan melihat fakta, yang dipergunakan dari dalam badan adalah otak sebagai alat. 2. Kekuatan apetitif atau maarah (quwwah ghadabiyah), yaitu keberanian menghadapi resiko, ambisi terhadap kekuasaan, kedudukan dan
8
Ibid., h. 39.
6
kehormatan. Kekuatan ini disebut pula quwwah subu’iyah (daya kekuasaan). Daya yang dipergunakan dari dalam badan adalah hati. 3. Kekuatan gairah atau nafsu (quwwah syahwiyah) disebut juga dengan quwwah bahimiah, yakni daya hewani, seperti drongan nafsu makan, keinginan terhadap kelezatan makanan, minuman, seksualitas dan segala macam kenikmatan inderawi (al-ladzizay al-hissiyah). Alat yang digunakan dari dalam badan adalah perut. Kekuatan-kekuatan tersebut akan dialami oleh setiap orang secara berbeda. Kuat lamanya kekuatan itu, beragntung pada perangai, adat kebiasaan atau pendidikannya.9 Yang menarik lagi dari Ibnu Maskawaih adalah kekuatan jiwa yang akan melahirkan kekuatan (fadhilah) sewaktu gerak aktifitasnya normal (mu’tadilah), sesuai dan seimbang. Rinciannya adalah: a. Bila gerak jiwa rasional (natiqah) normal, tidak menyimpang dari hakekatnya dan kecenderungannya kepada ilmu pengetahuan yang benar, lahir keutamaan ilmu (fadhilah al-Ilm), kemudian kebijaksanaan (al-Hikmahi). b. Bila gerak jiwa apetitif (ghadabiyah) serasi dan seimbang, patuh pada petunjuk jiwa rasional, tidak bergejolak diluar batas, terjadilah keutamaan
kesantunan
(fadhilah
al-Hilm),
kemudian
disusul
keberanian (al-Suja’ah). c. Bila gerak jiwa gaiarah (bahimyah) serasi dan seimbang, dibawah kontrol daya jiwa rasional, patuh kepadanya, tidak hanya mengikuti 9
Lihat Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa al-Takhthir al-A’raq (Mesir: al-Husainiyah, 1392), h. 13.
7
hawa nafsu, lahirlah keutamaan keberhasilan diri (fadhilah al-Iffah), kemudian kedermawanan (al-Saha). Bila ketiga keutamaan tersebut alHikmah, al-Iffah dan al-Suja’ah dalam keseimbangan dan kerasian satu sama lain, maka lahirlah keadilan (al-adalah).10 Adapun lawan dari keempat sifat utama ini adalah bodoh, penakut, rakus dan dzalim. 11 Inilah sifat-sifat utama yang pokok dan dibawah masing-masing sifat ini terdapat sejumlah sifat-sifat lain yang berkaitan dengannya, seperti: 1.
Sifat hikmah (kebijaksanaan) mencakup sifat-sifat lain yang merupakan persiapan baginya, misalnya cerdik, mengingat, berfikir dan sebagainya. Sifat ini berasal dari jiwa yang rasional, jiwa fikir analisis untuk mengetahui segala yang ada karena keberadaannya.
2.
Sifat iffah (kesucian diri), sifat ini mencakup sejumalh sifat antara lain, sifat malu, sabar, qana’ah, sopan, zuhud dan lain-lain. Hal ini tampak pada waktu seseeorang mengendalikan hawa nafsu.
3.
Sifat al-Suja’ah (keberanian). Hal ini meliputi sifat jiwa besar, berani menghadapi bahaya, santun, tabah, tidak lemah mental dan lain-lain. Hal ini berasal dari jiwa apetitif yang tampak pada diri manusia, ketika jiwa apetitif dikendalikan oleh keutamaan kebijaksanaan dan dipergunakan sesuai dengan akal pikiran untuk menghadapi
masalah
yang
beresiko,
seperti
tidak
gentar
menghadapi perkara yang menakutkan. 4.
Sifat al-Adalah (keadilan). Sifat ini meliputi sifat-sifat ersaudaraan, kerukunan, sambung rasa keluarga dan lain-lain. Hal ini berasal dari
10
Ibid.,
11
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 63.
8
sifa utama pada jiwa sebagai hasil integrasi (ijtima’) dari ketiga keutamaan.12 Sifat-sifat utama tersebut hanya ada pada diri manusia, tidak ada pada hewan. Manusia tidak mewujudkan sifat-sifat tersebut tanpa bantuan orang lain. Karena itulah manusia merupakan makhluk budaya dan rasional yang memerlukan adanya masyarakat dan negara di mana ia akan hidup dan saling membantu sesamanya sehingga dapat mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Demikian pula sifat-sifat keutamaan hanya pada diri manusia.13 Selanjutnya Ibnu Maskawaih menjelaskan tentang bagian dari sifat-sifat keutamaan tersebut.14 Oleh karena itu, dengan jiwa yang sempurna, manusia dapat mencapai kebahagiaan. Bahagia menurut Ibnu Maskwaih ada dua tingkat yaitu, Pertama, ada manusia yang tertarik dengan hal-hal yang bersifat bena dan mendapat kebahagian dengannya. Namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu ia berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari kenikmatan benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. 15 Kebahagiaan yang bersifat benda tidak dingkarinya, tetapi dpandang sebagai tanda-tanda
12
Lihat Ibnu Maskawaih, Tahzib…, op. cit., h. 13.
13
Ibid.,
14
Bagian-bagian dari kearifan adalah pandai, ingat, berpikir, kejernihan pikiran, ketajaman dan kekuatan otak serta kesempurnaan belajar dengan mudah. Bagian-bagian sederhana adalah mencakup malu, tenang, sabar, dermawan, integritas, puas. Loyal, disiplin diri, optimis, kelembutan, anggun, berwibawa dan wara. Bagian-bagian dari sifat berani adalah tegas, ulet, tenang, menguasai diri dan perkasa. Bagian-bagian dari dermawan adaalh murah hati, mementingkan orang lain, rela berbakti, tangan terbuka dan pengampun. Bagian-bagian dari adil adalah bersahabat, semangat social, silaturrahmi, memberi imbalan, baik dan bekerja sama, kejelian dalam memutuskan perkara, cinta beribadah dan takwa. 15
Hasyimisyah Nasution., op. cit., h. 70.
9
kekuasaan Allah. Menurut Ibnu Maskawaih, kebahagiaan tersebut (bersifat benda)
mengandung
kepedihan
dan
penyesalan
serta
menghambat
perkembangan jiwa menuju kehadirat Allah Swt. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna dan mampu mengantarkan manusia untuk memiliki derajat malaikat.16 Keberadaan jiwa menurut Ibnu Maskawaih adalah untuk membantah kaum materialis yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Roh tidak berbentuk materi sekalipun ia bertempat pada maeri, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, imateralaitas jiwa itu menunjukkan ketidakmateriannya, karena kematian adalah karakter yang material. 17 C. Pemikiran Filsafat Akhlak (Falsafah al-Akhlak) Ibnu Maskawaih Manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena daya pikirnya. Dengan dasar itu pula manusia dapat membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Orang yang paling sempurna kemanusiaannya adalah orang yang benar cara berpikirnya serta paling mulia perbuatannya. Usaha untuk mewujudkan kebaikan merupakan indicator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Dalam konteks tersebut, Ibnu Maskawaih menekankan bahwa kerja sama merupakan penopang utama kegiatan manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan
16
Ibid.,
17
Ibid., h. 62.
sifat-sifat
kemanusiaannya
sejalan
dengan
hakikat
10
penciptaannya. Di sini terlihat kecenderungan Ibnu Maskawaih menetapkan akhlak sebagai dasar pemikiran pendidikannya. Dalam filsafat akhlak, Ibnu Maskawaih banyak dipengaruhi oleh Plato, Aristoteles, Gaelan dan ajaran-ajaran Islam. Ia berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan teori-teori filsafat Yunani tersebut, meskipun pengaruh Aristoteles lebih dominan. Pemikirannya tentang akhlak secara detail ditulis dalam kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq yang berarti pendidikan budi dan pembersihan watak. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak adalah suatu sikap mental yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa lebih dahulu dipikirkan dan dipertimbangkan. Sikap mental ini dapat berasal dari naluri (citra) sejak lahir dan dapat juga berasal dari kebiasaan-kebiasaan dan latihanlatihan.18 Dari pandangan tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa sikap mental yang mendorong manusia melahirkan perbuatan secara spontan itu, tidak selamanya merupakan pembawaan fithrah sejak lahir, akan tetapi dapat juga diperoleh dengan latihan pembiasaan diri hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan terpuji. Dengan kata lain, manusia dapat berusaha merubah watak kejiwaan yang merupakan pembawaan yang tidak baik. Oleh karena itu, pembiasaan atau pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji.19 Ibnu Maskawaih menolak sebagian pendapat pemikiran Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Namun 18
Ibid., h. 25.
19
Ibid., h. 61.
11
Ibnu Maskawaih menegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu harus melalui pendidikan. Olehnya itu, ditengah-tengah masyarakat dapat dijumapi ada orang yang berakhlak mulia dan ada juga berakhlak hina.20 Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam yang secara gambling dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dari itulah akhlak sering dijadikan ukuran keberhasilan seseorang dalam mengenal dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Dengan demikian, pendidikan nilai menempati posisi yanga sangat penting bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlak. Oleh karena itu, dalam upaya merubah watak kejiwaan manusia diperlukan aturanaturan syariat, sehingga manusia dengan akhlaknya dapat membedakan yang mana seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya ditinggalkan. 21 Aspek lain yang diperhatikan dalam pemikiran Ibnu Maskawaih adalah pendidikan akhlak pada anak-anak. Menurutnya, kejiwaan anak-anak adalah meruapakn mata rantai jiwa binatang dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak berakhirlah watak binatang dan mulailah watak manusia, jiwa anakanak berkembang dari tingkat sederhana ketingkat yang lebih tinggi, semula tanpa ukiran, kemudian berkembang pada kekuatan perasaan nikmat dan sakit, kemudian timbul pula hasrat yang lebih kuat yaitu kekuatan syahwat yang disebut sabu’iyah atau ghadabiyyah, akhirnya dalam perkembangan berikutnya timbul rasa malu pada anak-anak. Pada tahap inilah anak-anak dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk.
20
Ibid.,
21
Ibid., h. 62.
12
Kehidupan utama pada anak memerlukan dua syarat, kejiwaan dan social. Syarat kejiwaan tersimpul dalam menumbuhkan cinta kepada kebajikan yang dapat dilakukan dengan mudah pada anak-anak yang berbuat baik dan dapat dilatih dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat untuk cenderung kepada kebaikan. Syarat social dapat dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan diri dari teman-teman yang buruk. Sangat berfaedah menjauhkan anak-anak dari lingkungan keluarganya sehari-hari pada saat tertentu, dan memasukkan mereka dalam lingkunagn lain yang akan menumbuhkan rasa percaya diri lebih besar daripada jika mereka selalu di lingkungan keluarganya.22 Nilai-nilai keutamaan pada anak-anak yang harus menjaid perhatian adalah yang mencakup aspek jasmani dan rohaninya. Mengenai kebutuhan jasmani harus diutamakan makan, kegiatan-kegiatan dan istirahatnya. Diutamakan makanan yang sederhana tetapi memenuhi syarat kesehaan. Kegiatan olahraga perlu pula diperhatikan untuk memasukkan gairah, memelihara kesehatan, menghilangkan kemalasan, mencegah kebodohan. Istirahat perlu pula mendapat perhatian, dengan memberikan kebiasaan pada anak-anak tidak terlalu banyak tidur dan tidak menggunakan tempat tidur yang cenderung kepada kenikmatan. Nilai rohani harus mendapat lebih banyak perhatian, dengan menumbuhkan rasa cinta kepada kehormatan,percaya kepada diri sendiri. Ibnu Maskawaih juga memandang bahwa diam pada anak-anak adalah sesuatu hal
22
Ibnu Maskawaih, Tahzib…, op. cit., h. 46-47.
13
yang positif dan harus dijauhkan dari kebiasaan-kebiasaan berbicara kotor dan tidak pantas.23 Keutamaan-keutamaan dalam pergaulan sesama anak yang harus diutamakan adalah kejujuran dan menjauhkan diri dari kebiasaan berdusta, tidak melakukan permintaan yang berlebih-lebihan, pemarah dan menyalahkan diri sendiri untuk mengutamakan orang lain yang lebih mendesak. Menanamkan rasa ketaatan dan penghormatan kepada orang lain, terutama kepada kedua orang tua dan guru-gurunya. Cara-cara seperti ini akan memberikan hasil positif pada anak-anak. Dengan demikian mereka akan terbiasa dalam mengendalikan diri, suka mendengar nasehat, rajin belajar dan mencintai ajaran-ajaran syariat.
III. PENUTUP Ibnu Maskawaih mempunyai keahlian dalam ilmu sejarah, sastra, kimia dan ketabiban. Selain dari pada itu, ia juga sangat intes dalam filsafat. Mengenai filsafatnya, ia lebih banyak mengungkapkan masalah jiwa dan akhlak. Hal ini dapat disimpulakn sebagai berikut: 1. Ibnu Maskawaih mengaitkan potensi jiwa dengan perilaku manusia yang melahirkan empat keutamaan yang merupakan perilaku khas manusia yang tidak dapat ditiru oleh makhluk lain. 2. Bahagia menurut Ibnu Maskawaih ada dua tingkat yaitu: Pertama, ada manusia yang tertarik pada hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa,
23
Widyastini, Unsur-unsur Filsafat Islam (Cet. I; Yogyakarta: Kota Kembang, 1991), h. 56.
14
lalu ia berusaha untuk memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari kenikmatan benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan jiwalah yang meruapakn kebahagiaan yang sempurna dan mampu mengantarkan manusia untuk memiliki derajat malaikat. 3. Pemikiran Ibnu Maskawaih tentang jiwa dan akhlak, bila dipadukan maka dapat disimpulkan bahwa ia merupakan perintis ilmu jiwa pendidikan, karena dalam pembahasan tentang kejiwaan ia menyajikan penerapannya dalam pendidikan moral dan akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Maskawaih, Ibnu, Menuju Kesempurnaan Akhlak Cet. IV; Bandung: Mizan, 1999. Maskawaih, Ibnu, Tahzib al-Akhlaq wa al-Takhthir al-A’raq
Mesir: al-
Husainiyah, 1392. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Nasution, Hasyimiyah, Filsafat Islam Cet. I; Jakarta: Gajah Mada Press, 1999. Syarif, M.M., Para Filosof Muslim Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998. Widyastini, Unsur-unsur Filsafat Islam Cet. I; Yogyakarta: Kota Kembang, 1991.
15