ANALISIS ESTETIKA DAN ETIKA DALAM KUMPULAN CERPEN SENYUM KARYAMIN KARYA AHMAD TOHARI Oleh Agus Budi Santoso IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan secara objektif nilainilai estetika (keindahan) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari; dan (2) mendeskripsikan secara objektif nilainilai etika (moral) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang memberikan perincian-perincian dari objek yang dibicarakan atau membeberkan suatu hal. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan (1) Analisis Aspek Estetika dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari meliputi (a) Aspek estetika atau unsur keindahan yang ada dalam karya sastra merupakan sesuatu yang membuat sebuah karya sastra menjadi lebih indah, lebih hidup, dan lebih menarik, (b) Bentuk dari aspek estetika dalam penelitian ini adalah untaian kata-kata yang ditulis pengarang yang menurut penulis memiliki keindahan dan membuat pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, aspek estetika tampak pada penggambaran lingkungan sekitar pelaku juga menjadikan cerpen ini semakin jelas dan hidup. Adanya penggambaran lingkungan dari tokoh utama Karyamin menjadikan cerpen ini dari aspek estetika menjadi sangat bagus. (2) Analisis Aspek Etika (Moral) dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari meliputi (a) Nilai moral agama dapat dilihat dalam cerita ini pada rasa syukur kepada Tuhan atas kondisi yang mendera kehidupan Karyamin. Wujud syukur itu ditunjukkan pada senyuman; (b) Nilai moral solidaritas sosial dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin dapat dilihat dari kondisi kebersamaan para pengumpul batu kali yang kerap mengutang untuk makan karena uang mereka masih dibawa para tengkulak batu. Kata Kunci: Karya Sastra, Cerita Pendek, Estetika, dan Etika.
A. PENDAHULUAN Sastra
pada
Pengejawantahan
hakikatnya
sangat
mungkin
merupakan berdasarkan
refleksi
pengalaman.
pengalaman
lahiriah
(sensation) atau pengalaman batiniah (re-flextion). Kehadiran sastra dalam masyarakat sangat diperlukan dan diperhitungkan karena karya sastra merupakan salah satu unsur dalam perubahan sosial (social change).
Konsekuensi logis dari pernyataan ini bahwa dalam karya sastra seringkali juga mengalami pelarangan, pemasungan, atau pembredelan. Kekritisan karya sastra dalam menanggapi dan mengekspresikan perkembangan zaman dalam suatu negara, seringkali membuatnya harus berbenturan dengan kekuasaan negara (state power) (Manuaba, 2000: 143). Dalam sebuah karya fiksi sering dijumpai peristiwa-peristiwa dan permasalahan yang diceritakan, karena kelihaian dan kemampuan imajinasi pengarang, tampak konkret dan seperti benar-benar ada dan terjadi. Apalagi jika ditopang oleh latar dan para tokoh cerita yang meyakinkan, misalnya sengaja dikaitkan dengan kebenaran sejarah, cerita itu pun akan lebih meyakinkan pembaca. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu seperti yang ditemuinya dalam dunia realitas, maka peristiwa-peristiwa atau berbagai hal yang dikisahkan dalam cerita itu tidak lagi dirasakan sebagai cerita, sebagai manifestasi peristiwa imajinatif belaka, melainkan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat faktual yang memang ada dan terjadi di dunia nyata (Burhan Nurgiyantoro, 1998: 100). Sebuah karya sastra bersumber dari kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya pengungkapan realitas objektif itu saja, nilai-nilai di dalamnya lebih agung dan lebih tinggi dari pada alam atau tiruan hidup tetapi karya sastra merupakan penafsiran tentang alam dan kehidupan itu. Karya sastra sering kali lahir dari seorang pemikir atau filosofi. Karya sastra dapat digunakan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman terhadap orang lain. Tokoh-tokoh pendidikan melihat bahwa karya sastra merupakan wadah atau sarana untuk generasi muda menuju kedewasaan. Dengan menghayati beberapa macam karya sastra, maka wawasan yang kita peroleh akan lebih luas, baik itu tentang pengetahuan maupun tentang hidup dan kehidupan yang dihadapi. Dengan melihat karya sastra bukan hanya mampu menggambarkan keadaan masyarakat, namun lebih dari itu sastra bahkan mampu menunjukkan arah dan membentuk perkembangan masyarakat (Jakop Sumardjo, 1982: 57).
Karya sastra dapat mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah yang pelik, menyadarkan pikiran yang jahat dan keliru, mengajak orang untuk mengasihi manusia lain, dan memberi gambaran bahwa nasib setiap manusia berbeda-beda, manusia ditakdirkan untuk hidup, sedangkan hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan dan ancaman-ancaman (Mursal Esten, 1987: 8-9). Karya sastra harus memiliki nilai estetika, nilai–nilai moral, dan nilai–nilai konsepsional. Nilai estetika harus yang memiliki nilai moral, nilai konsepsional dasarnya nilai keindahan yang sekaligus merangkum nilai moral. Untuk nilai konsepsional dapat dilihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan terhadap masalah yang diungkapkan dalam karyanya. Sebab hasil karya sastra memang tidak lahir dari kekosongan, artinya dapat dicari kaitannya dengan pengarang, latar belakang sosial, politik, ideologi, dan iklim intelektual tertentu. Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Van Mater Ames dalam Agus Sachari, 2002: 3). Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Oleh karena itulah, selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan. Menggali konsep ajaran moral dari sebuah karya sastra dapat berarti memberikan nilai bagi keberadaan sebuah karya sastra. Keberadaan karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra diciptakan oleh seorang sastrawan untuk pembaca. Arti dan nilai karya sastra ditentukan oleh pembaca yang menanggapinya. Dengan demikian, karya sastra itu baru mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai (Teeuw, 1983: 185).
Bagi pembaca yang serius membaca sebuah karya sastra tidak hanya sebagai pengisi waktu atau sebagai hiburan. Tetapi pembaca juga ingin memperoleh suatu pengalaman baru dari karya yang dibacanya itu. Ia ingin memperkaya batinnya dengan memperoleh wawasan yang menyebabkan ia lebih dapat memahami lika–liku hidup ini. Karya sastra yang baik dapat membekali dirinya dengan kearifan hidup (Panuti Sudjiman, 1988: 12). Hal di atas sejalan dengan pendapat Ignas Kleden (2004: 47) yang menyatakan bahwa sastra melukiskan kecenderungan-kecenderungan utama dalam masyarakatnya, baik karena sebuah teks dengan sadar (atau tidak sadar) mengungkapkan nya, maupun karena teks tersebut dengan sengaja (atau tanpa sengaja) menghindari atau mengelabuinya. Sebuah cerita bisa saja melukiskan situasi kejiwaan seorang individu, tetapi situasi kejiwaan tersebut dapat menjadi metafor untuk keadaan masyarakat tempat tokoh bersangkutan hidup. B. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah memberikan
perincian-perincian
dari
objek
yang
metode yang
dibicarakan
atau
membeberkan suatu hal. Dalam metode deskriptif data yang dikumpulkan berupa kata-kata hasil studi cerpen dan bukan berupa angka-angka. Dengan demikian penggunaan metode deksriptif dalam penelitian akan berisikan kutipan datadata untuk memberikan gambaran penyajian suatu laporan penelitian. Data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari, yang dicetak ulang oleh PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2002. Ada tiga belas cerpen yang dihimpun dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin, yaitu (1) Senyum Karyamin, (2) Jasa-Jasa buat Sanwirya, (3) Si Minem Beranak Bayi, (4) Surabanglus, (5) Tinggal Matanya Berkedip-kedip; (6) Ah, Jakarta, (7) Blokeng, (8) Syukuran Sutabawor, (9) Rumah yang Terang, (10) Kenthus, (11) Orang-Orang Seberang Kali, (12) Wangon Jatilawang, dan (13) Pengemis dan Shalawat Badar.
Teknik analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan urutan dasar sehingga dapat ditemukan pokok permasalahan yang diteliti sebagaimana yang ada pada data. Langkah-langkah dalam teknik analisis data adalah sebagai berikut. a. Penulis membaca kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari secara seksama untuk mengetahui isi dari cerita tersebut, khususnya masalah nilai-nilai estetika dan etika yang ada dalam cerpen. b. Penulis menelaah dan memahami isi yang terkandung dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari untuk mengetahui isi dari cerita tersebut, khususnya masalah nilai-nilai estetika dan etika yang ada dalam cerpen. c. Penulis menggaris bawahi isi dari cerita sebagaimana yang dirumuskan dalam rumusan masalah. d. Penulis membaca buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti. e. Penulis menafsirkan apa yang terkandung dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari dan didasarkan pada permasalahan sesuai dengan buku-buku penunjang yang relevan. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Aspek Estetika (Keindahan) dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari Aspek estetika atau unsur keindahan yang ada dalam karya sastra merupakan sesuatu yang membuat sebuah karya sastra menjadi lebih indah, lebih hidup, dan lebih menarik. Bentuk dari aspek estetika dalam penelitian ini adalah untaian kata-kata yang ditulis pengarang yang menurut penulis memiliki keindahan dan membuat pembaca tertarik untuk membacanya. Jalinan atau untaian kata-kata yang indah dapat dilihat dalam kutipan cerita Senyum Karyamin berikut. “Karyamin melangkah pelan dan sangat-hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik
mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalanannya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna. Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh, lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh. Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit. Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin (Ahmad Tohari, 2002: 1).” Apabila diperhatikan kutipan di atas, aspek estetika tampak pada penggunaan kalimat: Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh. Menurut penulis penggunaan kata beban, menekan dan pikulan, serta pangkalan merupakan bentuk permainan bahasa yang indah. Gambaran lingkungan sekitar pelaku juga menjadikan cerpen ini semakin jelas dan hidup. Adanya penggambaran lingkungan dari tokoh utama Karyamin menjadikan cerpen ini dari aspek estetika menjadi sangat bagus. Aspek estetika yang lain juga dapat dilihat pada kutipan cerita JasaJasa Buat Sanwirya berikut. ”Ranti dan aku patuh saja mengikuti perintah-perintah Sampir. Membukakan ikat pinggang Sanwirya dan membersihkan mukanya dari kotoran muntahan. Waras melekatkan telinganya ke dada Sanwirya Untuk meyakinkan bahwa penderes itu tidak mati. Dua buah pongkor pecah di samping Sanwirya dan niranya tertumpah
habis. Ini berarti bantingan dari ketinggian pohon kelapa itu cukup keras. Berarti pula Tuhan telah menyuruh dahan-dahan manggis menahan kecepatan tubuh Sanwirya sebelum ia mencapai tanah. Demikian cara Sampir mengaitkan nama Tuhan ke dalam urusan Sanwirya ini.Sampir mundur ketika dukun datang. la pasti masih akan menggerak-gerakkan tangan Sanwirya bila dukun tidak mencegahnya. Sampir menoleh ke kiri ke kanan dan jadi rnengerti bahwa perannya kini kurang dihargai. Maka ia memimpin kami duduk di atas lincak di ember samping rumah. Aku mengintip ke dalain bilik. Dukun sedang menguruti tubuh Sanwirya dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun Kadang-kadang ia memijit dengan tumitnya. Rintihan Sanwirya dikembari oleh guman dari mulut dukun Ajian sangkal putung sedang dibacakan. "Jadi kawan-kawan," kata Sampir, "kita sudah sepakat sama-sama merasa kasihan pada Sanwirya. Begitu?" Waras menoleh padaku, lalu Ranti. "Paling tidak itu lebih lumayan daripada bertengkar," kataku. Syukur! Marilah. Ada banyak cara untuk merasa kasihan kepada penderes itu. Menyobek kaus yang sedang kupakai untuk rnembalut luka Sanwirya adalah sejenis rasa kasihan yang telah kulakukan. Oh, jangan tergesa. kita akan menentukan lebih dulu demi apa rasa kasihan itu kita adakan." "Apa kataku! Yang seorang ini akan mulai dengan yang sulit-sulit. Kalau kau masih berbicara tentang aku akan lebih tertarik pada serabi," tukas Waras. Sanwirva mengerang. Aku mengintip. Nyai Sanwirya sedang memegangi tengkuk suaminva. Air mata perernpuan itu menetes dari hidungnya. Sampir meluruskan punggungnya, lalu mengatur duduknya dengan mantap. "Baik kalau itu menyulitkan kita singkirkan saja. Yang pertama-tama harus kita selenggarakan adalah makanan untuk keluarga Sanwirya. Siapa yang mengetahui ada peladang sedang mencabuti ubi kayu?”. Waras melirik ke samping menatap Sampir dengan benci. "Kau menyuruh kami meminta ubi kayu?” Tak mungkin. Musim ini semua orang hanya menanam ubi estepe sebab celeng dan monyet tak mau menyukainya. Kiti takkan memberi makan Sanwirya dengan ubi beracun itu (Ahmad Tohari, 2002: 7).” Pada kutipan di atas, aspek estetika dapat dilihat pada pembuka cerita di mana pengarang menguraikan dengan sangat jelas gambaran cerita tentang pelaku utama dalam cerita, khususnya Sanwirya dengan menggunakan personifikasi kata-kata telah menyuruh dahan-dahan manggis menahan kecepatan tubuh Sanwirya sebelum ia mencapai ke tanah (sebuah gambaran yang menjelaskan bahwa Sanwirya jatuh dari pohon nira kelapa).
B. Analisis Aspek Etika (Moral) dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari Analisis aspek etika dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari ini lebih dititikberatkan pada hal-hal yang berhubungan moral tingkah laku para pelaku yang ada dalam cerita. Berikut aspek estetika (moral) dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin Ahmad Tohari. 1. Nilai Moral Agama Nilai moral agama dapat dilihat dalam cerita ini pada rasa syukur kepada Tuhan atas kondisi yang mendera kehidupan Karyamin. Wujud syukur itu ditunjukkan pada senyuman. Karyamin yang selalu tersenyum dalam kondisi lapar ataupun dihina oleh teman-teman seprofesinya, yakni para pencari batu kali. Sebuah senyuman yang menggambarkan bahwa seseorang memiliki ketabahan dalam menghadapi ujian Tuhan dan berserah diri. Kutipan di bawah ini menunjukkan hal tersebut.
"Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus," kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk. “Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di anak muda petugas bank rum Min, kamu ingat anak harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya." "Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri! Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah. mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi. Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup
tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar. Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu dan selalu gagal mereka tangkap. "Min!" teriak Sarji. "Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?" Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang. Memang, Karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, Karyamin merasa demikian terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanva. Suatu kali, Karyamin ingin membabat burung itu dengan pikulannya. Tetapi niat itu diurungkan karena Karyarnin sadar, dengan mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya. Jadi, Karyarnin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperernpat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin. "Masih pagi kok mau pulang, Min?" tanya Saidah. "Sakit?" Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin. Makan, Min?"
"Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang." "Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?" Karyamin hanya tersenyurn sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya. "Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?" Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin. "Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?" tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit. "Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan." "Iya Min, iya. Tetapi ...... Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulanng. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikamiya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum (Ahmad Tohari, 2002: 2-4). Nilai pendidikan moral agama juga dapat dilihat pada cerita JasaJasa buat Sanwirya yang menggambarkan bahwa seseorang lebih percaya pada dukun dibandingkan dengan Tuhan. Bagi masyarakat Jawa yang hidup di pedesaan, pemakaian dukun untuk mengobati seseorang masih ada. Hal ini dapat dilihat bagaimana sang dukun mengobati Sanwirya yang jatuh dari pohon nira kelapa. Sang dukun yang komat-kamit membacakan mentera untuk mengobati Sanwirya dapat dilihat dalam kutipan berikut.
”Ranti dan aku patuh saja mengikuti perintah-perintah Sampir. Membukakan ikat pinggang Sanwirya dan membersihkan mukanya dari kotoran muntahan. Waras melekatkan telinganya ke dada Sanwirya Untuk meyakinkan bahwa penderes itu tidak mati. Dua buah pongkor pecah di samping Sanwirya dan niranya tertumpah habis. Ini berarti bantingan dari ketinggian pohon kelapa itu cukup keras. Berarti pula Tuhan telah menyuruh dahan-dahan manggis menahan kecepatan tubuh Sanwirya sebelum ia mencapai tanah. Demikian cara Sampir mengaitkan nama Tuhan ke dalam urusan Sanwirya ini. Sampir mundur ketika dukun datang. la pasti masih akan menggerak-gerakkan tangan Sanwirya bila dukun tidak mencegahnya. Sampir menoleh ke kiri ke kanan dan jadi rnengerti bahwa perannya kini kurang dihargai. Maka ia memimpin kami duduk di atas lincak di ember samping rumah. Aku mengintip ke dalain bilik. Dukun sedang menguruti tubuh Sanwirya dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun Kadang-kadang ia memijit dengan tumitnya. Rintihan Sanwirya dikembari oleh guman dari mulut dukun Ajian sangkal putung sedang dibacakan. "Jadi kawan-kawan," kata Sampir, "kita sudah sepakat sama-sama merasa kasihan pada Sanwirya. Begitu?" Waras menoleh padaku, lalu Ranti. "Paling tidak itu lebih lumayan daripada bertengkar," kataku. Syukur! Marilah. Ada banyak cara untuk merasa kasihan kepada penderes itu. Menyobek kaus yang sedang kupakai untuk rnembalut luka Sanwirya adalah sejenis rasa kasihan yang telah kulakukan. Oh, jangan tergesa. kita akan menentukan lebih dulu demi apa rasa kasihan itu kita adakan." "Apa kataku! Yang seorang ini akan mulai dengan yang sulit-sulit. Kalau kau masih berbicara tentang aku akan lebih tertarik pada serabi," tukas Waras. Sanwirva mengerang. Aku mengintip. Nyai Sanwirya sedang memegangi tengkuk suaminva. Air mata perernpuan itu menetes dari hidungnya. Sampir meluruskan punggungnya, lalu mengatur duduknya dengan mantap. "Baik kalau itu menyulitkan kita singkirkan saja. Yang pertama-tama harus kita selenggarakan adalah makanan untuk keluarga Sanwirya. Siapa yang mengetahui ada peladang sedang mencabuti ubi kayu?” (Ahmad Tohari, 2002: 7-8).”
Kutipan di atas merupakan kritik terhadap keadaaan masa kini, di mana banyak orang justru lebih percaya kepada dukun dibandingkan dengan Tuhan.
2. Nilai Moral Solidaritas Sosial Nilai moral solidaritas sosial dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin dapat dilihat dari kondisi kebersamaan para pengumpul batu kali yang kerap mebutang untuk makan karena uang mereka masih dibawa para tengkulak batu. Penjual warung memiliki solidaritas sosial dengan para pengumpul batu yang makan di warungnya, meskipun dengan cara mengutang. Perhatikan kutipan di bawah ini. ”Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah. mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi. Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu dan selalu gagal mereka tangkap. "Min!" teriak Sarji. "Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?" Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyurn sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang. Memang, Karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, Karyamin merasa
demikian terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanva. Suatu kali, Karyamin ingin membabat burung itu dengan pikulannya. Tetapi niat itu diurungkan karena Karyarnin sadar, dengan mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya. Jadi, Karyarnin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin. "Masih pagi kok mau pulang, Min?" tanya Saidah. "Sakit?" Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin. Makan, Min?" "Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang." "Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?" Karyamin hanya tersenyurn sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya. "Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?" Dalam kutipan di atas dapat dilihat aspek etika moral solidariotas antara pengumpul batu dengan penjaga warung yang rela warungnya diutang oleh para pengumpul batu sambil menunggu pembayaran atas batu yang dibeli tengkulak batu.
D. SIMPULAN DAN SARAN 1. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data pada bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Analisis Aspek Estetika (Keindahan) dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari Aspek estetika atau unsur keindahan yang ada dalam karya sastra merupakan sesuatu yang membuat sebuah karya sastra menjadi lebih indah, lebih hidup, dan lebih menarik, Bentuk dari aspek estetika dalam penelitian ini adalah untaian kata-kata yang ditulis pengarang yang menurut penulis memiliki keindahan dan membuat pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, aspek estetika tampak pada penggambaran lingkungan sekitar pelaku juga menjadikan cerpen ini semakin jelas dan hidup. Adanya penggambaran lingkungan dari tokoh utama Karyamin menjadikan cerpen ini dari aspek estetika menjadi sangat bagus. Aspek estetika dapat juga dilihat pada pembuka cerita di mana pengarang menguraikan dengan sangat jelas gambaran cerita tentang pelaku utama dengan menggunakan personifikasi kata-kata telah menyuruh dahandahan manggis menahan kecepatan tubuh Sanwirya sebelum ia mencapai ke tanah (sebuah gambaran yang menjelaskan bahwa Sanwirya jatuh dari pohon nira kelapa). b. Analisis Aspek Etika (Moral) dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari Analisis aspek etika dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari ini lebih dititikberatkan pada hal-hal yang berhubungan moral tingkah laku para pelaku yang ada dalam cerita. Aspek etika (moral) dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin Ahmad Tohari meliputi :
1) Nilai Moral Agama Nilai moral agama dapat dilihat dalam cerita ini pada rasa syukur kepada Tuhan atas kondisi yang mendera kehidupan Karyamin. Wujud syukur itu ditunjukkan pada senyuman. Karyamin yang selalu tersenyum
dalam kondisi lapar ataupun dihina oleh teman-teman
seprofesinya, yakni para pencari batu kali. Sebuah senyuman yang menggambarkan
bahwa
seseorang
memiliki
ketabahan
dalam
menghadapi ujian Tuhan dan berserah diri. Nilai pendidikan moral agama juga dapat dilihat pada cerita Jasa-Jasa buat Sanwirya yang menggambarkan
bahwa seseorang lebih
percaya
pada
dukun
dibandingkan dengan Tuhan. Bagi masyarakat Jawa yang hidup di pedesaan, pemakaian dukun untuk mengobati seseorang masih ada. 2) Nilai Moral Solidaritas Sosial Nilai moral solidaritas sosial dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin dapat dilihat dari kondisi kebersamaan para pengumpul batu kali yang kerap mebutang untuk makan karena uang mereka masih dibawa para tengkulak batu. Penjual warung memiliki solidaritas sosial dengan para pengumpul batu yang makan di warungnya, meskipun dengan cara mengutang. 2. SARAN Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan,
perlu
disampaikan saran sebagai berikut. a) Hendaknya apa yang diceritakan dalam kumpulan cerita pendek Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari dapat dijadikan cermin dalam menyikapi hidup, apa yang baik hendaknya dapat ditiru, dan sebaliknya yang jelek ditinggalkan. b) Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kumpulan cerita pendek Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari, hendaknya perlu disikapi secara bijaksana dan tidak boleh ditelan mentah-mentah, perlu diseleksi mana yang baik dan mana yang buruk. c) Guru hendaknya dapat menyampaikan nilai-nilai estetika dan etika yang digambarkan dalam cerita kepada siswanya dengan benar sehingga siswa dapat menyikapinya dengan benar pula.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tohari. 2002. Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin. Jakarta: Gramedia.
PT
Agus R. Sardjono. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Burhan Nurgiyantoro. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Henry Guntur Tarigan. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Herman J. Waluyo. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari Press. Jakob Sumardjo dan Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta : P.T Gramedia. ----------.1991. Novel Indonesia Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nurcahya. Luxemburg, Jan van dkk.1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya. Miles, Matthew B., A. Michael. Huberman.1984. Qualitative Data Analysis. Beverly Hills: Sage Publication. Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Panuti Sudjiman. 1986. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Patton, Michael Quinn. 1983. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills: Sage Publication. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie. 2000. Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Suyitno. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusasteraan, Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia. Zainuddin Fananie. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.