1
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENALARAN DAN KEBIASAAN MEMBACA KARYA SASTRA DENGAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK (Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh : Suwarti S840209125
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM PASCASARJANA
SURAKARTA 2010
2
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENALARAN DAN KEBIASAAN MEMBACA KARYA SASTRA DENGAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK (Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang)
Disusun oleh: Suwarti S840209125 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd.
Dr. Retno Winarni, M. Pd.
NIP 194403151197804 1 001
NIP 19560121198303 2 003
Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP194403151197804 1 001
3
PENGESAHAN
Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Tesis Program Pascasarjana Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Negeri Sebelas Maret dan diterima mendapatkan gelar Magister Pendidikan. Pada hari
: Kamis
Tanggal
: 27 Mei 2010
Tim Penguji Tesis : Jabatan Ketua
Nama Terang
Tanda Tangan
: Prof. Dr. St.Y. Slamet, M. Pd NIP 19461208198203 1 001
Sekretaris
: Dr. Andayani, M. Pd NIP 19601030198620 1 001
Anggota I
: Prof. Herman J. Waluyo, M. Pd NIP 194403151197804 1 001
Anggota II
Dr. Retno Winarni, M. Pd NIP 19560121198303 2 003
Ketua Program Studi Direktur PPs UNS
Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Drs. Suranto, M. Sc., Ph.D.
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd
NIP130472192
NIP 194403151197804 1 001
4
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya Nam
: Suwarti
NIM
: S840209125 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Hubungan
antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek ( Survai pada Siswa SMA Se-Kota Magelang) benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari, ternyata pernyataan saya tidak benar, saya bersedia, menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Mei 2009 Yang membuat Pernyataan,
Suwarti NIM S840209125
5
MOTTO
Seorang intelektual adalah orang yang pikirannya menjaga pikirannya sendiri
(Albert Camus)
Akhir terbesar dari kehidupan bukanlah pengetahuan, tetapi tindakan.
( Thomas Henry Huxley)
,
6
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan tesis ini sebagai ungkapan cinta, kasih, sayang, dan terima kasih kepada : 1. Ayah dan Ibuku Dalidja Sudihardjo yang selalu memberikan doa untukku. 2. Suamiku Drs. F.X. Samingin M. Hum. yang telah memberikan semangat, dukungan, dengan penuh kesabaran dan kesetiaan dalam setiap langkah hidupku. 3. Anak-anakku tercinta Domitianus Anggara Pramudita, S.T., Yohanes Yogi Widita S.E., dan Rosa Riris Suciningtyas yang dengan setia membantu Ibu dalam penyelesaian tesis ini, dan memberikan semangat dalam hidupku.
7
Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat waktu. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar magister Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berkat bantuan, dan dorongan, serta bimbingan berbagai pihak makalah ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. dr. H.Much. Syamsulhadi, Sp. K.J.(K), selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin untuk melakukan penelitian. 3. Prof. Dr. Herman J. Walujo Ketua Program Pendidikan Bahasa Indonesia sekaligus sebagai pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, dorongan semangat, petunjuk, serta bimbingan dengan penuh kesabaran. 4. Dr. Retno Winarni sebagai pembimbing yang telah memberikan pengarahan, petunjuk,semangat, dan bimbingan dengan penuh ketelatenan. 5. Para dosen Program Studi Bahasa Indonesia yang telah membekali materi sehingga dapat membantu dalam penyusunan tesis ini.
8
6. Kepala Dinas Pendidikan Kota Magelang yang telah memberikan izin belajar. 7. Kepala SMA El Shadai Magelang yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi. 8. Kepala SMA Negeri 1, 3, dan 4 Magelang yang telah memberi kesempatan untuk mengadakan penelitian. 9. Suami dan anak-anaku yang sangat perhatian dan pengertian, memberikan semangat, dorongan dan bantuan dalam penyusunan tesis ini.. 10. Rekan-rekan seperjuangan di Pascasarjana Program Bahasa Indonesia yang telah memberikan masukan, dan semangat. 11. Rekan-rekan sekerja yang memberikan semangat, masukan, dan sebagai teman diskusi dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mohon kritik dan saran. Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, maupun bagi pembaca. Surakarta, Mei 2010
Penulis
9
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
i
PENGESAHAN PEMBIMBING
ii
PENGESAHAN TESIS
iii
PERNYATAAN
iv
MOTTO
v
PERSEMBAHAN
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
ABSTRAK
xx
ABSTRACT
xxi
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Perumusan Masalah
7
C. Tujuan Penelitian
7
D. Manfaat Penelitian
8
1. Manfaat Teoretis
8
2. Manfaat Praktis
9
10
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
10
A. Kajian Teori
10
1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
10
a. Pengertian Kemampuan
10
b. Pengertian Apresiasi
11
c. Pengertian Cerita Pendek
13
d. Unsur Pembangun Cerita pendek
16
e. Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
27
f. Pengukuran Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
27
2. Hakikat Kemampuan Penalaran
29
a. Pengertian Kemampuan
29
b. Pengertian Penalaran
29
c. Kemampuan Penalaran
36
d. Pengukuran Kemampuan Penalaran
36
3. Hakikat Kebiasaan Membaca Karya Sastra
37
a. Pengertian Kebiasaan
37
b. Pengertian Membaca
38
c. Pengertian Karya Sastra
42
11
d. Pengertian Kebiasaan Membaca Karya Sastra
44
e. Pengukuran Kebiasaan Membaca Karya Sastra 45 B. Penelitian yang Relevan
46
C. Kerangka Berpikir
48
1. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
48
2. Hubungan antara Kebiasaan Membaca dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
48
3. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra Secara Bersama-sama dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
BAB III
49
D. Pengajuan Hipotesis
50
METODOLOGI PENELITIAN
51
A. Tempat dan Waktu Penelitian
51
B. Metode Penelitian
52
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
53
D. Teknik Pengumpulan Data
54
E. Instrumen Penelitian
55
F. Validitas dan Reliabilitas
59
G. Hasil Uji Coba Instrumen
63
H. Hipotesis Statistik
65
I. Uji Persyaratan Analisis
65
J. Teknik Analisis Data
70
12
BAB IV
HASIL PENELITIAN
73
A. Deskripsi Data
73
1. Data Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
73
2. Data Kemampuan Penalaran
74
3. Data Kebiasaan Membaca Karya Sastra
76
B. Pengujian Persyaratan Analisis
77
1. Uji Normalitas Data
77
2. Uji Linearitas dan Signifikansi Regresi
78
C. Pengujian Hipotesis
80
1. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
80
2. Hubungan antara Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
80
3. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra Secara Bersama-sama dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
BAB V
81
D. Pembahasan Hasil Penelitian
82
E. Keterbatasan Penelitian
84
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan
86
B. Implikasi
87
13
C. Saran
89
DAFTAR PUSTAKA
91
LAMPIRAN
95
14
DAFTAR TABEL Tabel 1
Jadwal Kegiatan Penelitian
51
Tabel 2
Tabel ANAVA
69
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Apresiasi Cerpen
73
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran
75
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membaca Karya Sastra
76
15
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Kerangka Berpikir
49
Gambar 2
Desain Penelitian
52
16
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1a Kisi-kisi dan Instrumen Kemampuan Mengapresiasi Cerpen (Tes Uji Coba)
95
Lampiran 1b Kisi-kisi dan Instrumen Kemampuan Mengapresiasi Cerpen (Pengambilan Data)
112
Lampiran 2a Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Penalaran (Tes Uji Coba)
128
Lampiran 2b Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Penalaran (Pengambilan Data)
145
Lampiran 3a Kisi-kisi Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra (Uji Coba)
161
Lampiran 3b Kisi-kisi Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra (Angket Penelitian) Lampiran 4
Uji Validitas Tes Kemampuan Mengapresiasi Cerpen Tahap I
Lampiran 5
179
Hasil Uji Validitas Butir Soal tes Penalaran (dengan Teknik Statistik Point Biserial) Tahap I
Lampiran 7
175
Uji Validitas Tes Kemampuan Mengapresiasi Cerpen Tahap II
Lampiran 6
172
183
Hasil Uji Validitas Butir Soal tes Penalaran (dengan Teknik Statistik Point Biserial) Tahap II
187
17
Lampiran 8
Hasil Uji Validitas Butir Soal Tes Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra (Teknik Statistik Product Moment) Tahap I
Lampiran 9
191
Hasil Uji Validitas Butir Soal Tes Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra (Teknik Statistik Product Moment) Tahap II
195
Lampiran 10 Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Tes Kemampuan Mengapresiasi Cerpen
199
Lampiran 11 Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Tes Kemampuan Penalaran
203
Lampiran 12 Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra
207
Lampiran 13 Data Induk Penelitian
218
Lampiran 14 Uji Normalitas Data Kemampuan Mengapresiasi Cerpen
226
Lampiran 15 Uji Normalitas Data Kemampuan Penalaran
234
Lampiran 16 Uji Normalitas Data Kebiasaan Membaca Karya Sastra
240
Lampiran 17 Tabel Kerja Untuk Melakukan Analisis Data dengan Teknik Statistik Regresi dan Korelasi ( Sederhana maupun Ganda)
246
Lampiran 18 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran
253
Lampiran 19 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membaca Karya Sastra
254
18
Lampiran 20 Distriibusi Frekuensi Kemampuan Mengapresiasi Cerpen
255
Lampiran 21 Analisis Regresi Linear Sederhana Y atas X1
256
Lampiran 22 Analisis Regresi sederhana Y atas X2
257
Lampiran 23 Uji Signifikansi dan Linearitas Regresi Sederhana Y atas X1
258
Lampiran 24 Tabel Kerja untuk Melakukan Analisis Data Deskriptif maupun Inferensial dengan Teknik Statistik Regresi dan Korelasi (sederhana maupun ganda) Lampiran 25 Tabel Anava untuk regresi Ŷ = 17.0033 + 0.2686X1
260 266
Lampiran 26 Uji signifikansi dan Linearitas Regresi Sederhana Y atas X2
268
Lampiran 27 Tabel Kerja untuk Melakukan Analisi Data Deskriptif maupun Inferensial dengan Teknik Statistik Regresi dan Korelasi (sederhana maupun ganda)
269
Lampiran 28 Tabel Anava untuk regresi Ŷ= 16.55 + 0.061X2
275
Lampiran 29 Analisis Regresi Linear Ganda Y atas X1X2
277
Lampiran 30 UJi Signifikansi Koefisien Korelasi dalam regresi linear ganda Ŷ = 20.724 + 0.258X1 + 0.058X2 Lampiran 31 Uji signifikansi Regresi Linear Ganda
279 281
19
Lampiran 32 Analisis Korelasi Sederhana X1 dengan Y
284
Lampiran 33 Analisis Korelasi Sederhana X2 dengan Y
285
Lampiran 34 Analisis Kontribusi Tunggal dan Bersama X1, X2 danY
286
Lampiran 35 Histogram Frekuensi
287
Lampiran 36 Gambar Grafik Persamam Regresi Sederhana
288
20
ABSTRAK
Suwarti. S840209125. 2010. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara (1) kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, (2) kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, dan (3) kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersam-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Objek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri se- Kota Magelang. Sampel yang digunakan untuk penelitian siswa kelas XI SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 4 Magelang yang berjumlah 120 . Cara pengambilan sampel dengan simple random sampling. Sedangkan instrumen untuk mengumpulkan data dengan menggunakan tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek, tes kemampuan penalaran, dan angket kebiasaan membaca karya sastra. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah regresi dan korelasi ( sederhana, dan ganda). Hasil analisis menujukkan bahwa (1) ada hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek ( = 0.260 dengan p<α 0.05 , t0 = 2.9319033dan tt = 1.98); (2) ada hubungan positif yang signifikan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek ( = 0.25476 dengan p < α 0.05, to= 2.8619 dan tt= 1.98); (3) ada hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek ( = 0.12767 dengan p > α 0.05, F0 = 8.5621 > Ft = 3.08). Berdasarkan hasil peneltian di atas, maka guru bahasa Indonesia dalam pembalajaran sastra khususnya pembelajaran cerpen perlu memperhatikan kemampuan penalaran siswa, dengan memberikan pelatihan-pelatihan agar kemampuan penalaran meningkat, dan perlu memotivasi siswa agar mempunyai kebiasaan membaca terutama membaca karya sastra, supaya siswa dapat meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
.
21
ABSTRACT
Suwarti. S840209125. 2010. The Correlation between Logical Ability and Literature Reading Habit with Ability to Appreciate Short Story (Survey in Magelang Senior High School Student). Thesis. Surakarta: The Study Program of Indonesian Education of Postgraduate Program, Sebelas Maret University. The aim of this research are to know the correlation between (1) logical ability with ability to appreciate short story, (2) the literature reading habit with ability to appreciate short story, and (3) logical ability and the literature reading habit along with ability to appreciate short story. The research object is the XI-grade of Senior High School student in Magelang. Samples that are used to the research are the XI-grade of SMA 1 Magelang and SMA 4 Magelang of 120 participants. The method of collecting samples is by simply random sampling. Meanwhile the instrument to collect data is by using ability test of appreciating short story, logical ability test, and questionnaire of literature reading habit. Techniques to analyze data are regression and correlation. The result of the analysis shows that (1) there are significant positive = correlation between the logical ability with ability to appreciate short story ( 0.260 with p<α 0.05, to=2.9319033 and tt=1.98); (2) there are significant positive correlation between literature reading habit with ability to appreciate short story ( =0.25476 with p<α 0.05, to=2.8619 and tt=1.98); (3) there are significant positive correlation between logical ability and literature reading habit along with ability to appreciate short story ( = 0.12767 with p>α 0.05, Fo=8.5621 > Ft=3.08). Based on the research’s result above, so the Indonesian teacher in literature learning especially on short story needs to pay more attention on student’s logical ability, by giving exercises in order to increase the logical ability, and needs to motivate the students to have a reading habit especially on literature, so that the students may increase the ability to appreciate short story.
22
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresisiasi karya sastra. Di dalamnya terkandung maksud agar siswa dapat menghargai dan membanggakan kesusastraan bangsa sendiri serta dapat menikmati dan memanfaatkan
secara langsung yaitu nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan. Oleh karena itu, pembelajaran sastra harus diikuti dengan mewajibkan siswa untuk melakukan apresiasi sendiri karya-karya sastra terpilih (Depdiknas, 2006: 261). Boen S. Oemarjati (1996: 196) mengemukakan bahwa pengajaran sastra bertujuan menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormat terhadap tata nilai baik dalam konteks individual, maupun sosial. Tujuan ini perlu diwujudkan agar siswa memiliki sifat-sifat luhur tersebut. Tujuan pengajran sastra seperti di atas, belum tercapai seperti yang diharapkan. Menurut Andayani (2008: 83) ada keprihatinan dalam pembelajaran apresiasi sastra karena adanya sejumlah keterbatasan yang berkaitan dengan pembelajaran sastra. Hal ini tentu merupakan penghambat tercapaimya tujuan pengajaran sastra. 22
23
Ada beberapa faktor penyebab tujuan pengajaran sastra belum memenuhi harapan.. Faktor-faktor tersebut ialah guru, murid, dan lingkungan. Faktor dari guru sebagai penyebab rendahnya kemampuan mengapresiasi sastra dapat dimungkinkan kurangnya pemahaman guru terhadap sastra, kurang optimalnya proses belajar mengajar, kurangnya penugasan siswa untuk membaca karya sastra. Menurut J. Prapta Diharja, S.J. (2004: 145) pengajaran sastra masih berorientasi pada penugasan materi hafalan. Pengajaran selama ini masih merupakan transfer pengetahuan, bukan merupakan proses pengembangan potensi bawaan anak didik. Hal ini tentu juga merupakan faktor penyebab belum tercapainya tujuan pengajaran sstra. Faktor siswa merupakan faktor terpenting dalam proses pembelajaran sastra. Siswa merupakan subjek pada proses pembelajaran sastra. Faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya apresiasi sastra adalah rendahnya minat baca siswa terhadap karya sastra. Untuk dapat mengapresiasi sastra siswa harus terlibat secara langsung untuk mengakrabi, menggauli dan menikmati karya sastra. Guru harus melibatkan siswa untuk mau mengakrabi karya sastra. Salah satu cara agar siswa mau mengakrabi karya sastra adalah siswa membaca karya satra. Dalam beberapa hal, membaca suatu bahan bacaan akan lebih melibatkan rasa dan pikiran sehingga memungkiinkan si pembaca menafsirkan sendiri informasi yang didapatkannya lewat bacaan itu. Oleh karena itu, kebiasaan membaca jangan sampai dibiarkan surut, dan kebiasaan itu wajib dikembangkan di sekolah maupun di universitas (B. Rahmanto. 1988: 67).
24
Mengapresiasi sastra berarti memahami menafsirkan atau menanggapi karya sastra dengan baik. Untuk itu diperlukan kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra yang baik. Artinya untuk dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik maka siswa harus memiliki kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya dengan baik pula. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra. Kemampuan penalaran merupakan salah satu komponen yang ikut andil dalam menentukan kualitas kemampuan mengapresiasi karya sastra. Hal ini dapat dipahami karena penalaran siswa merupakan salah satu kemampuan dalam proses berpikir yang dibutuhkan untuk memutuskan sesuatu dengan memanfaatkan bukti-bukti yang ada. Dengan penalaran yang baik, pembaca karya sastra akan menghubung-hubungkan secara logis unsur-unsur yang membangun karya sastra baik secara intrinsik maupun ekstrinsik sehingga pemahaman, penafsiran, penerimaan, dan penanggapan terhadap karya sastra yang dibaca akan lebih tepat sesuai dengan yang dikehendaki penulisnya. Aspek lain yang ikut mendukung dalam kegiatan mengapresiasi karya sastra adalah kebiasaan membaca karya sastra. Dengan membaca, siswa dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru melalui materi yang ada dalam buku yang dibacanya. Semakin banyak membaca akan semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang dipreroleh. Pengetahuan yang diperoleh siswa akan menjadi skemata yang dapat membantu sisiwa dalam menganalisis karya saatra. Brown dan Yule dalam bukunya Discource Analysis (terjemahan I Soetikno 1996:247) mengatakan bahwa skemata merupakan pengetahuan latar
25
belakang yang rapi dan menyebabkan kita menduga dan meramalkan segi-segi dalam penafsiran wacana. Oleh karena itu, siswa perlu memiliki kebiasaan untuk membaca. Khususnya dalam hal ini adalah membaca karya sastra, karena berkaitan dengan apresiasi karya sastra. Rene Wellek dan Austin Warren (1988: 276) mengatakan bahwa karya sastra adalah suatu seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu. Kita harus mempunyai pengetahuan di luar sastra untuk mengetahui hubungan antara suatu karya satra tertentu dengan kehidupan. Dengan membaca akan dapat diperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, kebiasaan membaca harus ditingkatkan. Menurut Kui Yan (2006: 99) dalam apresiasi cerita pendek, siswa harus didorong untuk membaca cerita setidaknya dua kali. Di samping itu, kegiatan apresiasi cerpen membutuhkan pengetahuan tentang sastra maupun pengetahuan lain. Kegiatan pembalajaran dirancang dari indikator untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, peserta didik dengan lingkungan, dan peserta didik dengan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Pengalaman yang dimaksud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran
yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman
belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik (Depdiknas, 2007: 16). Untuk memiliki kecakapan hidup dibutuhkan kemampuan bernalar. Kemampuan bernalar akan mempengaruhi siswa dalam mengambil keputusan.
26
Mengambil keputusan adalah salah satu kecakapan hidup yang akan dialami siswa. Oleh karena itu, kemampuan penalaran harus mendapat perhatian dalam proses pembelajaran. Membaca dapat melatih siswa buntuk mengembangkan penalaran, karena dengan membaca siswa akan banyak mendapat pengetahuan baru. Pengetahuan dan pengalaman ini akan sangat berguna dan berpengaruh pada pengambilan keputusan. Dengan demikian, maka kebiasaan membaca perlu ditingkatkan agar dapar menunjang kemampuan penalaran. Pengembangan materi pembelajaran berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dasar dengan memperhatikan potensi peserta didik; kebermanfaatan bagi peserta didik; aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran; relevansi dengan kebutuhan peserta didik, sesuai dengan tuntutan lingkungan dan alokasi waktu (Depdiknas, 2007 :17). Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka pembelajaran sastra akan lebih baik kalau siswa sudah banyak bergaul dengan karya sastra. Maka akan lebih menguntungkan kalau siswa senang membaca satra. Oleh karena itu, dalam merancang pembelajaran sastra, harus diperhitungkan yang dapat mendorong minat siswa untuk membaca karya sastra. Melalui membaca, orang dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru. Pengetahuan baru atau pengalaman baru yang ditemukan atau yang dialami oleh orang lain akan dapat diketahuinya. Kegiatan membaca merupakan jendela dunia. Dengan banyak membaca berarti seseorang dapat memperoleh berbagai informasi yang berkembang, baik yang sifatnya lokal, nasional maupun yang
27
global. Melalui kegiatan membaca, seseorang dapat belajar mengenai berbagai hal mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks. Tetapi yang menjadi keprihatinan adalah kegiatan membaca masih belum menjadi kebiasaan atau kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. ( Sudirman Siahaan dan Rr. Murtiningsih. 2008: 1). Hal ini akan memengaruhi cara menganalisis sesuatu, termasuk menganalisis karya sastra yang dibacanya. Kebiasaan membaca dapat ditingkatkan dan dikembangkan.Tampubolon dalam bukunya Kemampuan Membaca (1990: 229) menjelaskan bahwa fundasi kuat untuk membentuk kebiasaan membaca pada anak adalah menumbuhkan minat membaca. Minat membaca dapat ditumbuhkan melalui proses belajar mengajar di sekolah. Demikian juga minat membaca karya sastra dapat ditumbuhkan, agar menjadi kebiasaan. Apabila siswa memiliki kebiasaan membaca karya sastra diduga dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra. Jenis sastra ada prosa, puisi, dan drama. Prosa ada yang berbentuk cerpen, novel, dan roman. Hal ini sesuai dengan pendapat Rene Wellek dan Austin Warren
yang mengatakan bahwa teori sastra modern membagi satra rekaan
menjadi fiksi (novel, cerpen, epik), drama, dan puisi. Dalam penelitian ini yang dijadikan objek kajian adalah kemampuan penalaran, kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan mengapresiasi cerpen.
28
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Apakah terdapat hubungan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek? 2. Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek? 3. Apakah terdapat hubungan secara bersama-sama antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi ceita pendek? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan , yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut. 1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang kemampuan penalaran,kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang. 2. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya: a. hubungan kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
29
b. hubungan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. c. hubungan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat,baik secara teoritis maupun secara praktis. Kedua jenis manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis ,hasil penelitian ini dapat memberi
kelengkapan
khasanah teori yang berkaitan dengan kemampuan penalaran, kebiasaan membaca karya satra, dan
kemampuan pemahaman karya sastra. Dengan
mengatahui pengaruh kedua variabel tersebut dapat diketahui pentingnya variabel-variabel itu terhadap kemampuan pemahaman karya sastra. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain sebagai berikut. a. Bagi siswa Bagi siswa penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran tentang kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerpen
30
dan kemampuan penalaran mereka terhadap kemampuan mengapresiasi cerpen. b. Bagi guru Bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA (SMA negeri kota Magelang) manfaat yang dapat dipetik melalui penelitian ini adalah dapat digunakan membina, mempertahankan, dan mengembangkan sikap positif terhadap mengapresiasi ceita pendek siswa. c. Bagi Kepala Sekolah Bagi Kepala Sekolah penelitian ini dapat digunakan untuk membina para guru dalam meningkatkan pembelajaran mengapresiasi cerita pendek.
31
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A.Kajian Teori 1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek a. Pengertian Kemampuan Istilah kemampuan apresiasi cerpen mencakup tiga kata yakni kemampuan, apresiasi dan cerita pendek. Kemampuan adalah kesanggupan; kecakapan; kekuasaan; keterampilan (Abdul Ghofur, 2004:83). Kesanggupan menunjukkan kecakapan seseorang, kecakapan artinya kepandaian atau kemahiran untuk melaksanakan tugas, kekuasaan maksudnya kemampuan orang untuk menguasai sesuatu, sedangkan keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Gagne melalui Ratna Wilis Dahar (1989: 134), mengemukakan bahwa kemampuan adalah penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar. Ada lima macam yaitu (1) kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan intelektual, (2) kemampuan yang berhubungan dengan penggunaan strategi kognitif, (3) kemampuan yang berhubungan dengan sikap, (4) kemampuan yang berhubungan dengan informasi verbal, dan (5) kemamapuan yang berhubungan dengan keterampilan motorik. Menurut Woodworth dan Marquis melalui Sumadi Suryabrata (1987: 169) kemampuan (ability) mempunyai tiga arti, yaitu: (1) achievement yang merupakan
31
32
actual ability, yang dapat diukur langsung dengan alat atau tes tertentu, (2) capacity yang merupakan potensi ability, yang dapat diukur secara tidak langsung dengan melalui pengukuran terhadap kecakapan individu,
kecakapan ini
berkembang dengan perpaduan antara dasar dengan training yang intensif dan pengalaman, (3) aptitude, yaitu kualitas yang hanya dapat diungkap/ diukur dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan suatu kegiatan secara maksimum agar mencapai hasil yang paling tinggi dan kemampuan merupakan hasil belajar. Namun, harus diakui bahwa kemampuan seseorang ini belum tentu ditampilkan secara maksimum pada setiap melakukan kegiatan. Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan tersebut, di antaranya bagaimana orang tersebut menyikapi objek kegiatan. b. Pengertian Apresiasi Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986: 17) menyatakan bahwa kata apresiasi dipinjam dari bahasa Inggris appreciation yang artinya penghargaan. Apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap karya sastra. Apresiasi adalah mengenal, mamahami, menghayati, dan menghargai karya sastra (Henry Guntur Tarigan, 1998: 36). Untuk dapat mengenal, memahami, menghayati, dan mengahargai karya sastra diperlukan upaya untuk menggauli karya sastra.Salah satu cara adalah dengan membaca karya sastra secara sungguh-sungguh.
33
Menurut S. Effendi (1974:18), apresiasi sastra adalah kegiatan menggali cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Menggali cipta satra berarti memahami cipta sastra. Untuk itu diperlukan usaha untuk menyenangi karya sastra. Perasaan senang terhadap karya sastra akan menumbuhkan keinginan untuk lebih mengerti, menghargai, dan akhirnya memiliki kepekaan pikiran dan perasaan terhadap karya sastra. Senada dengan pendapat S. Effendi, yaitu Jakob Sumardjo dan Saini K.M.(1986:
173)
mengatakan
bahwa
apresiasi
mengandung
pengertian
memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai. Apresiasi sastra yaitu memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai karya sastra. Yus Rusyana (1984: 322) menyatakan bahwa apresiasi sebagai pengenalan nilai-nilai yang lebih tinggi. Sedangkan apresiasi sastra adalah pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra, dan kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra seseorang merasakan pengalaman yang telah disusun oleh pengaranganya. Apresiasi tingkat pertama, apabila seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya. Apresiasi tingkat kedua, apabila daya intelektual pembaca bekerja lebih giat, misalnya pembaca mulai bertanya kepada dirinya tentang makna pengalaman yang diperolehnya, tentang pesan yang disampaikan pengarang, tentang hal tersembunyi di belakang alur, dan lain-lain. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apresiasi satra yaitu upaya untuk
mengenali, memahami, menikmati,
34
menghargai, dan menilai karya sastra sehingga tumbuh rasa senang terhadap karya satra, dan akhirnya dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam karya satra yang dibacanya. c. Pengertian Cerita Pendek Menurut Dedi Pramono (2008: 1) cerita pendek yaitu cerita fiksi bentuk prosa yang singkat padat, yang unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok, sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas, dan keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal. Dengan demikian, cerita pendek itu cerita yang ringkas. Unsur-unsur intrisik seperti setting, penokohan, peristiwa dalam cerita diungkapkan secara singkat. Ahli lain mengemukakan, ceita pendek ialah karya sastra berbentuk prosa yang isinya merupakan kisahan pendek yang mengandung kesan tunggal (Zaidan Hendy,1989: 184). Kisahan pendek maksudnya cerita diungkapkan secara ringkas. Secara ringkas maksudnya
peristiwa-peristiwa diuraikan secara terbatas atau
secara tidak mendalam. Jakob Sumardjo dan Saini K.M.(1986: 36) menjelaskan bahwa menurut bentuk fisiknya, cerita pendek adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang pendek saja, orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek, adalah sebuah cerpen. Ciri dasar lain adalah sebuah rekaan (fiction). Cerita pendek bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun cerpen hanya rekaan, namun ditulis berdasarkan
35
kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan dalam cerpen memang tidak pernah terjadi, namun dapat terjadi semacam itu. Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), menyatakan bahwa cerita pendek (Inggris: short story) cerita yang pendek, namun panjang pendek cerita bervariasi. Cerpen dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai detaildetail khusus yang “kurang penting”yang lebih bersifat memperpanjang cerita. W.H. Hudson dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W. (2009: 5) mengemukakan “ a short story is a prose narrative” requiring from half to one or two hours in its perusal”. Putting the same idea in to different phraseology, we may say that a short story is a story that can be easily read at a single sitting.” (Cerpen adalah sebuah prosa naratif, membutuhkan waktu satu setengah sampai dua jam untuk membacanya. Menggunakan frasa yang sama, kita dapat mengatakan bahwa cerpen mudah dibaca dalam sekali duduk). Menurut Willam Kenney (1966: 103) cerpen terdiri dari seribu sampai 15000 kata ( “More specifically, the term “ short story” is normally applied to works of fiction ranging in length from one thousand to fifteen thousand words). Beliau juga memberi penjelasan tentang cerpen dalam perbandingannya dengan novel yaitu The short story, for instance, is not merely a truncated novel. Nor is it part of an unwritten novel. It’s true that work originally published as short stories later turn up as chapters in novel, but you’ll usually find that considerable revision has occourred in the process. The length of a good short story, is an essential part of the experience of the story.
36
Sebuah ceita pendek bukan semata-mata novel yang dipendekkan, bukan juga
bagian novel yang tidak dituliskan.Memang benar sebuah cerita pendek
kadang-kadang menjadi bab dalam sebuah novel, namun Anda akan menemukan revisi yang cukup berarti dalam proses itu. Panjang sebuah cerita pendek yang baik merupakan bagian penting dari cerita itu. Edgar Allan Poe dalam Kenney (1966:103) juga menjelaskan tentang cerpen yaitu “settied the matter of a short story’s proper length when he said it should be short enough to be read at one sitting. The story should be long enough to produce the desired effect on the reader. Cerita pendek dapat dibaca dalam sekali duduk. Dan cerita itu akan memberikan pengaruh sesuai yang diinginkan pembaca. Panjang sebuah cerpen bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada yang panjangnya cukupan (middle short strory), dan ada yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan ribu kata (Burhan Nurgiantoro, 2005: 10). Ian Reid menyebutkan antara 1.600 kata sampai dengan 20.000 kata. S. Tasrif mengatakan antara 500 sampai 32.000 kata, Nugroho Noto Susanto menyebutkan 5000 kata atau 17 halaman kertas kuarto spasi rangkap (Herman J. Waluyo, dan Nugraheni E.W.,2009: 6). Ciri-ciri cerita pendek antara lain adalah (1) singkat, padu, dan ringkas; (2) memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerakan; (3) bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian; (4) mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan;(5) memberi efek tunggal dalam pikiran pembaca;(6)
37
mengandung detail dan inseden yang betul-betul terpilih;(7) ada pelaku utama yang benar-benar menonjol dalam cerita: dan (8) menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi Guntur Tarigan. 1998: 177). Cerpen termasuk jenis cerita fiksi atau rekaan. Kata fiksi berasal dari bahasa Latin fictio berarti membentuk, membuat, atau mengadakan. Dalam bahasa Indonesia
kata “fiksi”dapat diartikan sebagai
yang dikhayalkan atau
diimajinasikan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., 2009: 1). Menurut Burhan Nurgiantoro (2005: 9), karya fiksi karya yang berbentuk prosa, prosa naratif, atau teks naratif. Karya fiksi, seperti halnya dalam kesastraan Inggis dan Amerika, menunjuk pada karya berwujud novel dan cerita pendek. d. Unsur Pembangun Cerita Pendek Unsur pembangun cerita fiksi menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W.(2009: 10) adalah: tema cerita, plot, atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau back-ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/gaya cerita, waktu cerita dan waktu penceritaan, serta amamnat. Burhan Nurgiantoro (2005: 23) mengemukakan bahwa unsur pembangun fiksi dikelompokkan menjadi dua yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik yaitu unsur dari luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita namun bukan bagian di dalamnya, walau demikian unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (tidak dikatakan :cukup menentukan). Sedangkan unsur intrisik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra.
38
Unsur-unsur ini yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsurunsur yang secara faktual akan dijumpai kalau seseorang membaca karya sastra.Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung membangun cerita.. Unsur-unsur tersebut adalah: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1986: 37) unsur-unsur intrinsik cerpen adalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita, suasana cerita (mood dan atmosfir cerita), latar cerita atau (setting) sudut pandanagan pencerita (point of view), dan gaya (style) pengarangnya. Unsur-unsur tersebut adalah unsur pembangun cerita.Sebagai unsur pembangun cerita maka unsur-unsur tersebut harus hadir dalam cerita. Berdasarkan beberapa pendapat tersebutdi atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pembangun cerita rekaan termasuk cerita pendek adalah: (1) tema; (2) plot atau alur cerita; (3) tokoh dan karakter; (4) point of view; (5) setting atau latar; (6) gaya bercerita / gaya bahasa Penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut. (1) Tema Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif konkret yang menentukan urutan peristiwa atau situasi tertentu (Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986:142).
39
Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. (2009: 10-11), tema adalah gagasan pokok. Tema cerita mungkin dapat diketahui melalui judul atau petunjuk setelah judul, atau dengan melalui proses pembacaan karya sastra berkali-kali, karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca. Perbedaannya dengan amanat cerita, dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum William Kenney (1966: 91) menjelaskan tentang tema seperti berikut ini, “ If theme is not moral, not the subject, not a “hidden meaning” illustrated by the story. Theme is the meaning the story releases; it may be the meaning the story discovers. Tema bukan moral, bukan subjek, bukan makna yang disembunyikan melalui ilustrasi cerita. Tema adalah makna yang dikemukakan cerita, dan dapat ditemukan di balik cerita yang mendukungnya. Jadi, untuk menemukan tema cerita harus dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data yang lain( unsur-unsur intrinsik). Sedangkan Burhan Nurgianotro (2005: 70), mengemukakan tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum cerita. Dasar (utama) cerita sekaligus berarti tujuan (utama) cerita. Jika dilihat dari sudut pengarang, dasar cerita dipakai sebagai panutan pengembangan cerita, dilihat dari sudut pembaca ia akan bersifat sebaliknya. Berdasarkan cerita yang dibeberkan itulah pembaca berusaha menafsikan apa dasar utama cerita itu, dan hal itu akan dilakukan berdasarkan detail-detail unsur yang terdapat dalam karya yang bersangkutan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan.
40
Menentukan tema sebuah cerita tidaklah mudah. Untuk dapat menentukan tema, pembaca harus memahami cerita secara sungguh-sungguh, maka diperlukan membaca tidak hanya sekali. Di samping itu unsur-unsur pembangun lain harus juga dipahami dan dikaitkan atau diarahkan dengan tema. Jadi, menentukasn tema juga harus dilihat atau didasarkan pada unsur-unsur pembangun yang lain. Cara menafsirkan tema cerita sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. (2009: 13) adalah sebagai berikut: (1) jangan sampai bertentangan dengan setiap rincian cerita; (2) harus dapat dibuktikan secara langsung dalam teks; (3) penafsiran tema tidak hanya berdasarkan pikiran; dan (4) berkaitan dengan rincian cerita yang ditonjolkan ( mungkin disebutkan sebagai bagian dari judul). (2). Plot atau alur cerita Plot atau sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., 2009.14). Plot atau alur merupakan struktur naratif (Rene Wellek dan Austin Warren, 1988: 284). Plot adalah serangkaian peristiwa drama atau cerita naratif dan peristiwa itu tersusun untuk membawa pencapaian efek emosi dan seni secara khusus (Abrams, 1981: 127). William Kenney (1966: 13-14) mengemukakan “plot reveals events to us, not only in their temporal, but also in their causal relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in a temporal series but also as an
41
intricate pattern of cause and effect”.Jadi, plot menunjukkan peristiwa- peristiwa yang merupakan hubungan sebab akibat. Hukum plot berdasarkan pendapat
Kenney (1966: 19-22) berupa
plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan ekspresi. Plausibility yaitu kebolehjadian, maksudnya cerita mungkin dapat terjadi dalam kehidupan nyata. Surprise atau kejutan maksudnya kelanjutan cerita tidak dapat ditebak oleh pembaca. Pembaca dikejutkan oleh rangkaian cerita berikutnya, sehingga pembaca mempunyai keinginan untuk mengikuti cerita selanjutnya. Suspense yaitu tegangan yang membuat pembaca ingin segera mengetahui kisah selanjunya dari cerita. Unity maksudnya urutan kejadian cerita harus padu. Subplot yaitu bagian cerita sebagai penjelas yang selalu berhubungan dengan plot utamanya. Ekspresi yaitu ungkapan cerita, maksudnya cerita mengekspresikan pengalaman tokoh sehingga dapat menghidupkan cerita.
Jakob
Sumardjo dan Saini K.M. (1986: 48-49) menjelaskan bahwa apa yang disebut plot dalam cerita memang sulit dicari. Plot tersembunyi di balik jalannya cerita. Namun jalan cerita bukanlah plot. Jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadah, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Jalan cerita memuat kejadian. Tetapi suatu kejadian ada karena ada sebabnya, ada alasannya. Yang menggerakkan kejadian cerita tersebut adalah plot, yaitu segi rohaniah dari kejadian. Intisari plot adalah konflik. Elemen –elemen plot adalah (1) pengenalan; (2) timbulnya konflik; (3) konflik memuncak; (4) klimaks; (5) pemecahan masalah. Pendapat Burhan Nurgiantoro (2005: 94) sama dengan pendapat Jakob Sumardjo yaitu plot berbeda dengan cerita. Keduanya memang sama-sama
42
mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa, namun tuntuntan plot bersifat lebih kompleks daripada cerita. Cerita sekedar mempertanyakan apa
dan atau
bagaimana kelanjutan peristiwa, sedang plot lebih menekankan permasalahannya pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan. Menurut William Kenney (1966: 14-19) tahap-tahap plot yaitu: (1) beginning atau exposition (2) the midle- conflict, complication, climax; (3) the end. Sedangkan, Herman J. Waluyo mengemukakan bahwa plot terdiri dari rangkaian kejadian sebagai berikut: (1) eksposisi; (2) inciting moment; (3) rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; (7) denaument (penyelesaian).Unsur-unsur itu dijelaskan sebagai berikut. Ekposisi yaitu paparan awal,pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh cerita. Inciting moment artinya mulainya problem cerita. Rising action artinya konflik dalam cerita meningkat. Complication menunjukkan konflik yang semakin ruwet. Climax yaitu puncak cerita atau pucak penggawatan, merupakan jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak mungkin dapat atau dapat lebih ruwet lagi.Sedangkan falling action dan denoument adalah bagian akhir cerita yaitu peleraian dan penyelesaian cerita. Simpulan yang dikemukakan William Kenny (1966: 23) tentang plot yaitu plot merupakan faktor paling penting dalam sebuah pemahaman cerita fiksi (an understanding of plot is the most important factor in the understanding of fiction).
43
(3). Tokoh dan karakter Tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan tindakan (Abrams, 1981: 21).Tokoh- tokoh memiliki watak yang menyebabkan terjadinya konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita. Tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus atau yang menimbulkan perasaan antipati atau benci pada diri pembaca. Kedua jenis tokoh ini mendominasi cerita maka disebut juga tokoh sentral yang berarti tokoh yang dipentingkan.dan menjadi pusat penceritaan. Yang menjadi kebalikan tokoh sentral adalah tokoh bawahan atau tokoh sampingan. Tokoh laian adalah tokoh wirawan yaitu tokoh penting termasuk sentral tetapi bukan tokoh protagonios dan antagonis. Sedangkan tokoh bawahan yang dapat diandalkan disebut tokoh andalan, dan tokoh tambahan adalah tokoh yang dijadikan latar belakang saja dan tidak dipandang penting ( Herman J. Waluyo, dan Nugraheni E. W.,2009: 28-29). Watak-watak dalam cerita oleh pengarang dideskripsikan melalui teknikteknik tertentu. Teknik atau cara penggambaran watak tersebut dinamakan perwatakan atau penokohan. Penokohan ada yang menggunakan teknik langsung yaitu pengarang langsung mendeskripsikan watak tokohnya, dan teknik tak langsung, pengarang menggunakan berbagai cara. Jakob Sumardjo dan Saini
44
K.M.(1986: 65) mengemukakan cara penggambaran tokoh yaitu dengan: (1) melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis; (2) melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui penggambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan langsung. Sedangkan menurut Herman J.Waluyo dan Nugraheni E.W.(2009:32), penggambaran watak tokoh dengan: (1) secara langsung; (2) secara tidak langsung dengan melalui a) pernyataan oleh tokohnya sendiri; b) dramatisasi; c) pelukisan keadaan sekitar tokoh; d) analisis psikis pelaku; dan e) dialog pelaku-pelakunya atau cerita orang lain. (4). Point of View Point of view menujukkan kedudukan atau tempat berpijak juru cerita terhadap ceritanya ( Dick Hartoko dan B.Rahmanto, 1986: 108). Point of view dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan pengarang untuk berperan dalam cerita. Ada dua macam yaitu sebagai orang pertama disebut akuan dan sebagai orang ketiga disebut diaan (Herman J. Waluyo, dan Nugraheni E.W., 2009: 37). Abrams (1981: 133) mengatakan bahwa point of view adalah “ signifies the way a story gets rold”. Pengarang menggunakan berbagai cara untuk menyajikan suatu cerita. Cara itu antara lain menggunakan orang pertama dan oring ketiga. Sudut pandang orang pertama narrator bercerita sebagai saya dalam karakter sebuah cerita. Sudut pangang orang ketiga narrator berada di luar cerita, dan menunjukkan semua watak atau tokoh rerita tersebut dengan kata: ia, dia,
45
mereka. Dalam hal ini Kenney (1966: 48), membedakan dua cara yaitu omniscient narrator dan limited narrator. Sementara itu Burhan Nurgiantoro (2005: 256-266)
mengemukakan
bahwa sudut pandang ada tiga macam yaitu sudut pandang persona ketiga, gaya “dia’. Sudut pandang ini ada dua macam yaitu sudut pandang “dia” mahatahu, dan “dia” terbatas atau “dia” sebagai pengamat. Sudut pandang “dia” mahatahu dalam literatur bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third- person omniscient, the omniscient narrator. Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia”. Narator mengetahui segalanya. Sudut pandang “dia” terbatas pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Sedangkan sudut pandang persona pertama disebut juga first-person point of view , “aku” ada dua macam yaitu “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. “Aku” tokoh utama, aku menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi tokoh protagonis. ‘Aku” sebagai tokoh tambahan aku muncul bukan sebagai tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Sudut pandang campuran yaitu pengarang berganti-ganti dalam teknik penceritaan dari teknik satu ke teknik yang lain. Penggunaan sudut pandang yang
46
bersifat campuran ini, campuran antara sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. (5). Setting atau lattar Setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun setting juga dikaitkan dengan tempat dan waktu ( Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., 2009: 34). Setting dalam fiksi tidak hanya sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Setting dapat berarti banyak yaitu tempat tertentu, daerah tertentu , orang-orang tertentu dengan watakwatak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara berpikir tertentu ( Jakob Sumardjo dan Saini K.M., 1986: 76). Rene Wellek dan Austin Werren (1988: 290) menyebut setting dengan istilah
latar. Latar adalah lingkungan, dan lingkungan—terutama interior
rumah—dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar dapat menunjukkan ekspresi kehendak manusia. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial. (6). Gaya Bercerita dan Gaya Bahasa Dalam cerita narasi ada gaya bercerita dan gaya bahasa. Keduanya tentu ada hubungannya. Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., ( 2009: 39), gaya bercerita seorang pengarang akan dapat dilihat dari gaya bahasa yang digunakan. Setiap pengarang mempunyai gaya bercereita yang khas. Pengarang berusaha menciptakan bahasa yang khas, yang lebih hidup, ekspresif, dan estetis.
47
Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana seseorang pengarang memilih dan menyusun kata-kata, tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakannya. Gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri. Gaya pengarang adalah kaca bening jiwanya ( Jakob Sumardjo dan Saini K.M., 1986: 92) Kenney (1966: 60-67) menjelaskan bahwa gaya ada tiga unsur yaitu: diction, imagery, dan syntax. Diction atau diksi yaitu pilihan kata, imagery yaitu citraan, sintax atau sintaks berarti efek yang ditimbulkan oleh penggambaran cerita. Jadi, gaya pengarang adalah cara pengarang memilih kata, kalimat, dan majas. Pendek kata pemakaian aspek bahasa yang digunakan pengarang untuk menghidupkan cerita. Dalam hal ini tentu menyangkut penggunaan gaya bahasa misalnya personifikasi, hiperbola, paradoks, dan sebagainya. Berpijak pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah cerita rekaan yang melukiskan kehidupan manusia secara ringkas dan padat, yang diceritakan hanya satu peristiwa pokok, sehingga cerita pendek dibaca hanya dalam sekali duduk dan unsur-unsur pembangun cerpen yaitu tema, plot, tokoh/ karakter, point of view, setting atau latar, dan gaya bercerita atau gaya bahasa. e. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Berpijak pada berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengapresiasi cerpen adalah kesanggupan individu untuk melakukan kegiatan mengenali, memahami, menghargai, dan menilai atau menguasai secara
48
sungguh-sungguh cerita rekaan yang melukiskan kehidupan manusia, secara ringkas dan padat, dan yang diceritakan hanya satu peristiwa pokok. f. Pengukuran Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Untuk mengukur kemampuan mengapresiasi cerpen menurut Moody (Burhan Nurgiantoro, 2009: 340) ada empat kategori yaitu information (informasi), concepts (konsep), prespectives ( perspektif), dan appreciation (apresiasi). Tingkat informasi berkaitan dengan hafalan, tingkat konsep berkaitan dengan persepsi siswa, tingkat perspektif berkaitan dengan pandangan siswa, dan tingkat apresiasi berhubungan dengan kemampuan menganalisis, menilai karya sastra. Tes kesastraan tingkat informasi dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan siswa yang berkaitan dengan hal-hal pokok yang berkenaan dengan sastra, baik yang menyangkut data-data tentang suatu karya maupun data-data lain yang dapat dipergunakan untuk membantu menafsirkannya. Pertanyaanpertanyaan untuk tingkat informasi ini antara lain: apa yang terjadi, di mana, kapan, berapa, nama-nama pelaku dan sebagainya. Tes kesastraan tingkat konsep berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana data-data atau unsur-unsur karya sastra itu diorganisasikan. Pertanyaanpertanyaan untuk tes ini: apa sajakah unsur-unsur yang terdapat dalam fiksi, mengapa pengarang justru memilih unsur yang seperti itu, apa efek pemilihan unsur itu, apa hubungan sebab-akibat unsur atau peristiwa-peristiwa itu, apa konflik pokok yang dipermasalahkan, konflik apa sajakah yang timbul, faktor-
49
faktor apa saja yang terlibat dalam atau mempengaruhi terjadinya konflik, dan sebagainya. Tes kesastraan tingkat perspektif berkaitan dengan pandangan siswa, atau pembaca pada umumnya, sehubungan dengan karya sastra yang dibacanya. Bagaimana pandangan dan reaksi siswa terhadap sebuah karya akan ditentukan oleh kemampuannya memahami karya sastra yang bersangkutan. Pertanyaanpertanyaan untuk tes ini : apakah karya sastra ini berarti atau ada manfaatnya, apakah sesuai dengan realitas kehidupan, apakah cerita ( juga: kejadian, tokoh, situasi, konflik) bersifat tipikal, bersifat tipikal dalam realitas yang mana, apakah ada kemungkinan cerita semacam itu terjadi di tempat lain, simpulan apakah yang dapat diambil dari karya atau cerita itu, apa manfaat karya atau cerita itu, dan sebagainya. Tes kesastraan tingkat apresiasi terutama berkisar pada permasalahan dan atau kaitan antara bahasa sastra dengan linguistik. Seperti apa bahasa sastra, atau apa ciri khas bahasa satra. Pertanyaan untuk tes ini: mengapa pengarang justru memilih bentuk, kata, atau ungkapan yang seperti itu, apakah pemilihan itu memang lebih dibanding bentuk-bentuk linguistik yang lain, apa efek pemilihan bentuk, kata, ungkapan, kalimat, dan gaya bagi karya itu secara keseluruhan, jenis atau ragam bahasa apa yang dipergunakan dalam karya itu dan sebagainya. Dalam tes tingkat ini siswa dituntut untuk mampu mengenali, menganalisis, membandingkan, menggeneralisasikan, menggeneralisir, dan menilai bentukbentuk kebahasaan yang dipergunakan dalam sebuah karya yang dibahas.
50
Instrumen yang akan digunakan untuk mengetes kemampuan apresiasi, diuji validitas dan reliabelitasnya, agar dapat digunakan untuk mengukur secara benar. Uji validitas menggunakan rumus Point Beserial, uji reliabelitas menggunakan rumus KR—20. Melalui jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden dan dianalisis menggunakan rumus yang telah ditentukan dapat diketahui apakah seseorang mempunyai kemampuan mengapresiasi cerpen tinggi atau rendah. 2. Hakikat Kemampuan Penalaran a. Pengertian Kemampuan Seperti yang telah diuraiakan pada paragraf sebelumnya, kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan suatu kegiatan secara maksimum agar mencapai hasil yang paling tinggi, dan kemampuan merupakan hasil belajar. b. Pengertian Penalaran Penalaran adalah proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan. Berpikir merupakan suatu aktivitas untuk menemukan pengetahuan yang benar atau kebenaran (Burhanudin Salam, 1988: 4). Penalaran sebagai aktivitas berpikir mempunyai dua ciri yaitu (1) adanya pola berpikir yang disebut logika atau proses berpikir logis, (2) adanya sifat analitik. Jadi, dengan berpikir orang menggunakan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima melalui panca indra, dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Hurley (1982: 1) mengemukakan bahwa logika adalah pengetahuan yang mengevaluasi argumen. Tujuan dari logika, sebagai ilmu yang mengevaluasi argumen, untuk mengembangkan metode dan teknik yang memungkinkan
51
membedakan argumen yang baik dari yang buruk (argumen, dan argumen itu adalah argumen yang benar. Logic may be defined as the science that evaluates arguments. The purpose of logic, as the science that evaluates arguments, is thus to develop methods and techniques that allow us to distinguish good arguments from bad). Dengan demikian, di dalam berpikir orang menggunakan argumen, dan argumen itu adalah argumen yang benar. Menurut Jan Hendrik Rapar (1996: 16) penalaran adalah kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir ini tidak lepas dari bahasa. Dalam berpikir orang selalu menggunakan bahasa, baik bahasa yang digunakan dalam pikiran, diucapkan dengan mulut, maupun bahasa tertulis. Jadi, bahasa yang digunakan seseorang dapat menunjukkan penalaran seseorang. Jujun S. Suryasumantri (1984:42), menjelaskan bahwa penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya makhluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dari tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Meskipun demikian, patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi, penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran Penalaran mempunyai cirri-ciri tertentu. Ciri yang pertama, adanya pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, maksudnya penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Ciri yang kedua, adalah analitik, artinya sebagai
52
kegiatan berpikir dengan alur atau langkah-langkah tertentu yang merupakan konsekuensi dari adanya pola berpikir tersebut. Pendapat Gorys Keraf (2001: 5) tentang penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Lionel Ruby melalui Setya Yuwana Sudikan (1984: 21) mengemukakan bahwa berpikir ilmiah adalah berpikir secara metodis, dan teratur. Cara berpikir yang berguna bila kita menghadapi persoalan yang sulit untuk dipecahkan, dalam hal ini ada dua cara yaitu cara deduktif dan cara induktif. Menurut Alex Lanur (1991: 7) yang dimaksudkan dengan berpikir adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia, mengolah, mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya Pengolahan, pengerjaan ini terjadi dengan mempertimbangkan, meng- uraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik simpulan bahwa terdapat ciri penting dalam penalaran. Ciri-ciri itu adalah adanya fakta, alur berpikir (analitik), ada tujuan yaitu simpulan berupa pengetahuan,dan kelogisan. Sebagai suatu proses penarikan kesimpulan, secara umum penalaran dibedakan atas (1) penalaran induksi dan (2) penalaran deduksi. Penalaran induksi penalaran yang bertolak dari hal yang khusus menuju pada suatu simpulan umum. Sebaliknya penalaran deduksi yaitu penalaran yang dimulai dari peristiwa umum menuju pada peristiwa khusus,
53
Menurut Gorys Keraf (2001: 37) untuk menurunkan suatu simpulan induksi diperlukan bahan-bahan atau fakta-fakta terlebih dahulu. Semakin banyak
fakta
yang
dikumpulkan
semakin
baik
ciri
simpulan
yang
diturunkan.Yang termasuk penalaran induksi yaitu generalisasi, analogi, dan hubungan kausal. Menurut Gorys Keraf (2001: 43-52), generalisasi adalah penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi. Prinsip-prinsip dalam menarik simpulan generalisasi yaitu: (1) peristiwa –peristiwa sebagai dasar generalisasi harus cukup banyak, (2) peristiwa itu merupakan sampel yang baik, (3) harus mem-
memperhatikan kekecualian- kekecualian, (4) perumusan
generalisasi itu harus absah. Analogi yaitu suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain,sehingga apa yang berlaku untuk satu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain. Sebagai ilustrasi perhatikan contoh berikut. Rina tamatan Fakultas Ekonimi Gajah Mada. Ia telah memberikan prestasi yang luar biasa pada perusahaan Elindo tempat dia bekerja. Ketika penerimaan pegawai baru, Direktur Perusahaan menerima Dinta alumnus Fakultas Ekonomi Gajah Mada sebagai pegawai baru. Menurut logika direktur, Dinta memiliki kualitas yang sama atau hampir sama dengan Rina. Hubungan kausal dapat berlangsung dalam tiga pola: sebab- akibat, akibatsebab, dan akibat ke akibat. Semua peristiwa mempunyai sebab yang mungkin dapat diketahui bila manusia berusaha menyelidikinya. Seorang filsuf Yunani
54
bernama Leucippus, mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa sebab, tiap hal mempunyai sebab (Gorys Keraf. 2001: 50). Hubungan sebab- akibat bertolak dari peristiwa yang dianggap sebagai sebab, kemudian menuju kepada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat. Efek yang ditimbulkan oleh sebab dapat tunggal, atau dapat pula berupa sejumlah efek bersama-sama.Misalnya
menghidupkan lampu di sebuah ruangan
gelap
menyebabkan ruangan menjadi terang. Hujan sebagai suatu sebab dapat menimbulkan akibat bersama-sama jaitu tanah basah, tanah becek, sungai banjir, petani dapat menanam tanaman, dan sebagainya. Hubungan akibat - sebab merupakan proses berpikir yang bertolak dari suatu peristiwa yang merupakan akibat, kemudian bergerak menuju sebab-sebab yang mungkin telah menimbulkan akibat. Hubungan akibat-sebab ini dapat diuji kebenarannya dengan pertanyaan : Apakah cukup terdapat sebab untuk menghasilkan sebuah akibat?, Apakah tidak mungkin ada sebab lain yang menimbulkan akibat itu? Contoh penalaran akibat–sebab yang benar misalnya, “Para petani mulai menanam padi sebab musim penghujan telah tiba”.Penalaran akibat-sebab yang salah misalnya, “Hari menjadi siang sebab ayam berkokok”. Hubungan akibat- akibat adalah proses penalaran yang bertolak dari suatu akibat menuju suatu akibat yang lain, tanpa menyebut sebab umum yang menimbulkan kedua akibat tadi. Dalam penalaran ini, yang perlu diperhatikan adalah apakah data yang merupakan sebab benar-benar dapat dipercaya. Data yang merupakan sebab harus betul-betul data yang bersifat umum dan cukup kuat untuk menghasilkan kedua akibat.( Gorys Keraf. 2001: 52). Contoh penalaran ini :
55
Harga bahan bakar minyak naik.
Akibatnya transportasi naik, harga barang-
barang kebutuhan pokok naik. Hal iu dirasakan berat oleh rakyat. Oleh karena itu, pendapatan rakyat harus ditingkatkan. Penalaran deduksi yaitu penalaran yang bertolak dari suatu proposisi yang sudah ada, yang bersifat umum, menuju pada suatu proposisi yang bersifat mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian dengan proposisi umum tadi. Untuk menarik simpulan yang bersifat deduksi, fakta-fakta tidak perlu dikumpulkan terlebih dahulu, tetapi yang diperlukan suatu proporsi yang bersifat umum, dan suatu proporsi yang mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian dengan proporsi umum tadi. Dengan demikian, apabila identifikasi yang dilakukan benar, dan proporsi juga benar, maka dapat diharapkan suatu simpulan yang benar. Penalaran deduksi ada beberapa corak yaitu: silogisme kategorial, silogisme hipotetis, silogisme alternatif, entimem, rantai deduksi (Gorys Keraf, 2001: 58). Burhanuddin Salam dalam bukunya yang berjudul Logika Formal (1988: 75) mengmukakan bahwa penalaran deduksi merupakan cara berpikir yang bertolak dari pernyataan-pernyatan yang bersifat umum, untuk menarik simpulan yang bersifat khusus. Penarikan simpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir silogisme. Penalaran silogisme yaitu penalaran yang menghubungkan dua proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan. Kedua kalimat yang pertama disebut premis, sedangkan yang ketiga disebut kesimpulan. Premis
56
pertama disebut premis mayor, sedang premis kedua disebut premis minor.. . Misalnya: Premis mayor: Semua pengendara kendaraan bermotor harus memiliki SIM Premis minor: Rudi pengendara kendaraan bermotor. Simpulan
: Rudi harus memiliki SIM.
Menurut Setya Yuwono Sudikan (1984: 23), silogisme kategoris berisi suatu penggolongan silogisme ke dalam kelas-kelas seperti: Kambing binatang menyusui. Kerbau binatang menyusui. Jadi, kambing dan kerbau binatang menyusui. Silogisme hipotesis disebut juga silogisme bersyarat yang belum tentu terbukti, seperti: Kalau sedang lapar Murni menangis . Sekarang Murni sedang lapar. Jadi, Murni sekarang sedang menangis. Silogisme alternatif berarti memilih satu di antara premis yang ada seperti: Kita pergi atau di rumah saja. Kita di rumah saja. Jadi, kita tidak jadi pergi. Silogisme sebagai suatu cara untuk menyatakan pikiran tampaknya bersifat artificial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan, proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran dan dianggap diketahui pula oleh orang lain. Bentuk semacam ini disebut entimem (Gorys Keraf, 2001: 72). Contoh : Habibi pandai karena habibi seorang professor. c. Kemampuan Penalaran Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disintesiskan bahwa pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan kemampuan penalaran dalam tesis ini
57
adalah kesanggupan siswa untuk melakukan kegiatan berpikir secara maksimal menurut suatu pola tertentu, atau sesuai dengan logika induktif, maupun deduktif guna menghubung-hubungkan fakta atau bukti-bukti yang ada dengan langkahlangkah yang teratur, sistematis (bersifat analitik), dan bertujuan untuk menghasilkan simpulan. d. Pengukuran Penalaran Untuk mengetahui seberapa baik kemampuan penalaran siswa diperlukan tes kemampuan penalaran. Tes ini dikembangkan dengan mengacu pada konsep dan teori yang telah dipaparkan
oleh Gorys Keraf.
Adapun aspek-aspek
kemampuan penalaran yang diukur meliputi: (a) penalaran induktif dan (b) penalaran deduktif. Masing-masing aspek di atas dijabarkan ke dalam indikator, yaitu (a) untuk aspek penalaran induktif, di dalamnya mencakup: (1) generalisasi, (2) analogi, dan (3) hubungan kausal; (b) untuk aspek penalaran deduktif, di dalamnya meliputi: (1) silogisme kategorial, (2) silogisme hipotesis, (3) silogisme alternatif, dan (4) entimem. 3. Hakikat Kebiasaan Membaca Karya Sastra a. Pengertian Kebiasaan Kata kebiasaan dalam bahasa Inggris “habit” merupakan salah satu dari istilah-istilah teknis dalam psikologi. Menurut J.P. Chaplin (2000: 219) arti habit atau kebiasaan sebagai berikut: (1) suatu reaksi yang diperoleh atau dipelajari; (2) suatu kegiatan yang menjadi relatif otomatis
setelah melewati praktik yang
panjang; (3) pola pikiran atau sikap yang relatif tetap terus menerus: (4) suatu
58
bentuk karakteristik dari tingkah laku, ciri, sifat; (5) suatu dorongan yang diperoleh atau dipelajari, seperti kecanduan obat bius. Makna kebiasaan berasal dari kata biasa, yang mengandung arti pengulangan atau sering melakukan.. Sesuai dengan pernyataan tersebut, maka jika suatu perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan seseorang secara berulangulang dalam hal yang sama, akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan biasanya terjadi tanpa kesadaran pada pihak yang memiliki kebiasaan itu. Kebiasaan adalah perilaku tetap individu yang akan tampil setiap kali ia berada dalam situasi tertentu. Pengaruh lingkungan terhadap pembentukan kebiasaan sangat besar. Adanya keuntungan atau imbalan yang menyenangkan atas suatu perilaku atau cara bereaksi bisa membuat perilaku cara bereaksi meneguh menjadi kebiasaan. Lingkungan kultural akan berusaha menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baik pada individu (S.C. Utami, 1990: 28 ). Tampubolon (1990: 227-228) menjelaskan bahwa kebiasaan adalah kegiatan atau sikap, baik fisik maupun mental, yang telah membudaya dalam suatu masyarakat. Kebiasaan itu merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Dia juga mengatakan kebiasaan berkaitan dengan minat, dan merupakan perpaduan antara keinginan dan kemauan yang dapat berkembang jika ada motivasi. Dengan kebiasaan dimaksudkan cara berbuat yang seragam, seperti halnya sikap adalah cara merasa atau berfikir yang seragam atau tetap. Umumnya kebiasaan itu berlangsung agak otomatis dan dengan hanya sedikit atau tanpa kesadaran (Yus Rusyana,1984: 192).
59
Berpijak pada beberapa pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa
kebiasaan merupakan suatu cara bertindak yang telah dikuasai, yang berlangsung secara otomatis, mekanis, yang terjadi secara berulang-ulang, dan merupakan tindakan yang diperoleh melalui belajar. b. Pengertian Membaca Berdasarkan pendapat Tampubolon (1990: 228) membaca adalah kegiatan fisik dan mental yang dapat berkembang menjadi suatu kebiasaan. Membaca merupakan kemampuan motoris berupa gerakan-gerakan mata, dan berupa proses kognitif yang melibatkan kegiatan pikiran atau penalaran termasuk ingatan. Dengan kegiatan penalaran dimaksudkan pembaca berusaha menemukan dan memahami informasi yang dikomunikasikan oleh pengarang. Dalam membaca lanjut, pembaca dapat memperoleh dua jenis pengetahuan,yaitu,informasiinformasi baru dari bacaan, cara-cara pikiran dalam karangan. Jadi, membaca dapat meningkatkan daya nalar. Seni membaca merupakan proses pikiran tanpa bantuan apa pun kecuali kata-kata dalam bahan bacaan itu, dapat meningkatkan pemahaman. Pikiran bergerak dari kurang paham ke lebih paham. Semua tindakan yang menyebabkan hal ini merupakan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi pembaca yang berhasil (Mortimer J. Adler dan Charles Van Doren, 1987: 7). Menurut Ahmad S. Harjasujana (1988: 3) membaca merupakan interaksi antara pembaca dan penulis. Interaksi tersebut tidak langsung, namun bersifat komunikatif. Komunikasi antara pembaca dan penulis akan semakin baik jika pembaca mempunyai kemampuan yang lebih baik.
60
Henry Guntur Tarigan (1989: 192) mengatakan bahwa membaca mengandung pengertian sebagai suatu proses penafsiran dan pemberian makna terhadap lambang- lambang oleh pembaca dalam usaha untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui kata-kata yang berupa tulisan. Membaca yang dimaksudkan di sini adalah membaca pemahaman, maksudnya memahami arti suatu bacaan, menguasai isi bacaan. Menurut Goodman (1980:15) membaca pemahaman merupakan suatu proses merekonstruksikan pesan yang terdapat dalam teks bacaan. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa proses rekonstruksi pesan itu berlapis, interaktif, dan di dalamnya terjadi proses pembentukan dan pengujian hipotesis. Hasil pengujian hipotesis akan dipakai oleh pembaca sebagai dasar kesimpulan mengenai pesan atau informasi yang disampaikan oleh penulis. Jadi, pengertian kebiasaan membaca yaitu kegiatan yang dilakukan seseorang secara otomatis , mekanis dan teratur / berulang-ulang dalam rangka memahami, menafsirkan, dan memaknai teks. Kebiasaan membaca ini dapat dilatih sehingga dapat menjadi sesuatu yang membudaya dalam diri seseorang. Dengan demikian, membaca akan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap orang.. Jika kebiasaan membaca telah membudaya dalam suatu masyarakat, yang perlu dicapai ialah kebiasaan membaca yang efisien, yaitu kebiasaan membaca yang disertai minat yang baik dan keterampilan membaca yang efisien telah samasama berkembang dengan maksimal ( Tampubolon, 1990: 228). Dalam usaha pembentukan kebiasaan membaca, Tampubolon mengatakan ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu minat ( perpaduan antara keinginan, kemauan, dan motivasi) dan keterampilan membaca. Yang dimaksudkan
61
keterampilan membaca ialah keterampilan mata dan penguasaan teknik-teknik membaca. Kalau minat tidak berkembang, maka kebiasaan membaca sudah tentu tidak akan berkembang. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan minat dan kebiasaan membaca. Kegemaran membaca, seperti kegemaran lain tidak timbul secara tiba-tiba. Kegemaran membaca merupakan buah kebiasaan. Kebiasaan ini sebaiknya diawali sejak kanak-kanak. Cara lain yang dilakukan untuk menumbuhkan kegemaran membaca dengan menyediakan buku-buku yang sesuai atau yang menarik bagi anak-anak ( Arman Duval, 2009: 1 dalam http: // group. Yahoo.com/ group/ pasar buku/ message/ 18472.) Menurut Yus Rusyana (1984: 201), kegiatan membaca itu bertambah apabila ada dorongan kepada anak-anak untuk membaca. Dorongan itu akan menambah kemauan anak-anak untuk membaca. Kegiatan membaca dapat ditingkatkan dengan menggunakan perangkat visual dalam mengajar. Kehadiran unsur-unsur visual dalam belajar mengajar dapat meningkatkan integrasi sebagai gambar dan presentasi visual dengan teks (Suzanne Stokes, Tanpa Tahun: 1). Kegiatan membaca merupakan jendela dunia. Dengan banyak membaca berarti seseorang dapat memperoleh berbagai informasi yang berkembang, baik yang sifatnya lokal, nasional maupun yang global. Melalui kegiatan membaca, seseorang dapat belajar mengenai berbagai hal mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks. Tetapi yang menjadi keprihatinan adalah kegiatan membaca masih belum menjadi kebiasaan atau kebutuhan hidup masyarakat
62
Indonesia (Sudirman Siahaan dan Rr. Murtiningsih, 2008: 1). Paulo
Freire
(1983:
5)
dalam
penelitiannya
tentang
membaca,
mengemukakan bahwa tindakan sebenarnya dari membaca teks dapat dilihat sebagai bagian dari proses yang lebih luas dari pengembangan manusia dan pertumbuhan yang berdasarkan pemahaman baik dari pengalaman sendiri dan dunia sosial. Belajar membaca harus dilihat dari sebuah aspek tindakan untuk memahami dan sebuah tindakan kreatif.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa membaca adalah proses pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan yang melibatkan interaksi antara pembaca dan teks. c. Pengertian Karya Sastra Batasan sastra sangat relatif, karena pengertian sastra sangat tergantung pada bagaimana karya itu dipandang (Nani Tuloli, 2000: 5). Definisi-definisi sastra yang ada yang selama ini sering dijadikan patokan tentang pengertian sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan gambaran pengertian sastra secara utuh (Zainudin Fananie, 200: 5). Mustahillah memberikan suatu definisi mengenai sastra yang berlaku untuk semua lingkungan kebudayaan dan semua zaman. Sifat-sifat yang pada zaman tertentu dianggap ciri khas bagi sastra ( misalnya rekaan, kiasan), pada zaman lain dianggap tidak relevan. Sastra berkaitan erat dengan perkembangan suatu bangsa ( Dick Hartoko
63
dan Rahmanto, 1986: 124). Selanjutnya, berikut ini dikemukakan berbagai definisi sastra dari pakar-pakar sastra.. Sastra menurut Retno Winarni (2009: 7) adalah hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Pendapat Zainudin Fananie (2000: 6) sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Sedangkan Rene Wellek dan Austin Warren (1988: 3) mengatakan sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sementara itu, B. Rahmanto (1989: 10) mengemukakan bahwa sastra mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa yang khusus, yang digunakan dalam berbagai pola yang sistemis untuk menyampaikan segala perasaan, dan pikiran. Yus Rusyana (1984: 311) menguraikan bahwa sastra sebagai seni adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium bahasa. Sastra berada dalam dunia fiksi, yaitu hasil kegiatan kreatif manusia, hasil proses pengamatan, tanggapan, fantasi, perasaan, fikiran, dan kehendak yang bersatu padu, yang diwujudkan dengan menggunakan bahasa. Jakob Sumardjo dan Saini K.M.(1986: 3). juga mengemukakan pendapatnya tentang sastra yaitu, “satra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman , pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
64
Kesusastraan mempunyai tujuan dan kewajiban yang disebut tema dan tugas. Sastra bukanlah sastra semata, tetapi sastra alat untuk mencapai tujuan , yaitu mempertajam pandangan manusia terhadap hidupnya, mempertinggi kesadaran, dan memperkaya jiwa, mempertinggi tingkat peradaban manusia (Azhar Ibrahim Alwee, 2008: 11). Sastra pada dasarnya untuk dinikmati. Dari sastra diharapkan dapat diperoleh kenikmatan ( Yus Rosyana, 1984: 312). Sedangkan manfaat
membaca karya sastra menurut Rene Wellek dan
Austin Warren (1988:27) yaitu untuk mendapatkan kesenangan. Kesenangan yang dimaksudkan adalah kesenangan yang kontemplasi yang bersifat didaktis. Maman S. Mahayana (2008:1) dalam penelitiannya tentang apresiasi satra di sekolah menyebutkan bahwa siswa harus didorong untuk menghargai karya sastra bukan untuk memahami konsep-konsep. Melalui karya sastra, siswa dapat mengembangkan saling menghormati satu sama lain tentang pendapat masingmasing berkenaan dengan karya sastra Jadi, apresiasi sastra di kalangan siswa perlu ditingkatkan melalui berbagai cara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah hasil karya kegiatan kreatif manusia yang mengungkapkan penghayatan dan aspek estetika dengan menggunakan bahasa. d. Kebiasaan Membaca Karya Sastra Menurut A.Teew (1983: 12-15), membaca karya sastra adalah proses pemberian makna pada sebuah teks sastra tertentu, yang dipilih atau yang dimintakan kepada pembaca untuk dibaca. Dalam membaca karya sastra
65
diperlukan pengetahuan sistem kode, yakni kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
.
B. Rahmanto ( 1988: 40-41) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran sastra perlu disertai pembinaan minat serta kesenangan terhadap karya sastra itu semaksimal mungkin.Untuk membina kesenangan membaca ini perlu pendekatan membaca ekstensif dan membaca intensif. Kedua jenis membaca ini satu sama lain saling melengkapi dan tentu saja, masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri. Gerald C. Cupchik, dkk. (2003: 1) dalam penelitiannya tentang efek membaca cerita pendek, menyimpulkan bahwa membaca cerita pendek dapat memberikan efek positif kepada pembaca. Oleh karena itu kebiasaan membaca cerita pendek ( sastra ) perlu ditingkatkan. Berdasarkan kajian teoretis dan konsep di atas, dapat disentesiskan bahwa kebiasaan membaca karya sastra adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara otomatis, mekanis dengan sengaja/ terencana dan teratur/ berulang-ulang dalam rangka memahami, menafsirkan, memaknai karya sastra.
e. Pengukuran Kebiasaan Membaca Karya Sastra Dalam mengungkap kebiasaan membaca, Utami Munandar (1982: 5967) mengungkapkan konsep kebiasaan membaca menjadi dua belas aspek. Kedua belas aspek itu dapat dipergunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kebiasaan membaca, yaitu (1) kesenangan membaca, (2) keseringan membaca, (3) jumlah buku yang dibaca dalam waktu tertentu (4) asal buku bacaan yang
66
diperoleh, (5) keseringan mengunjungi perpustakaan, (6) macam buku yang disenangi, (7) keseringan membaca, (8) hal berlangganan majalah, (9) bagian surat kabar yang disenangi untuk dibaca, (10) hal berlangganan majalah, (11) jenis majalah yang dilangganani, (12) majalah yang paling disenangi dibaca.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Sumadiyono ( 2002) tentang Hubungan antara Kebiasaan Membaca dan Pemahaman terhadap Sastra dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Siswa Kelas III SLTP Negeri I Klaten dan SLTP Negri I Karangdowo, menyimpulkan bahwa kebiasaan membaca dan pemahaman terhadap sastra berhubungan positif dengan kemampuan mengapresiaasi cerita pendek. Penelitian lain yaitu yang dilakukan oleh Tukiman (2005) tentang Kemampuan Meresepsi Teks Drama Ditinjau dari Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra Siswa SMA Negeri Se- Kabupaten Sukoharjo, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan apresiasi teks drama. Hubungan penelitian Sumadiyono (2002) dengan penelitian ini adalah sama-sama bertujuan untuk mengetahui kemampuan mengapresiasi cerita pendek yang dipengaruhi oleh kebiasaan membaca karya sastra. Sedangkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tukiman (2005) hubungannya yaitu sama-sama menggunakan variabel kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan
67
penalaran sebagai variabel bebas yang mempengaruhi apresiasi karya sastra ( karya drama). Perbedaan penelitian Sumadiyono (2002) dengan penelitian ini,terletak pada salah satu variabel bebas yaitu penelitian Sumadiyono menggunakan variabel
pemahaman
terhadap
sastra,
sedangkan
dalam
penelitian
ini
menggunakan variabel kemampuan penalaran. Penelitian ini dengan penelitian Tukiman (2005) perbedaannya terletak pada variabel terikat (Y). Walaupun berbeda tetapi masih ada hubungan karena sama-sama hasil sastra hanya beda bentuk saja. Sementara penelitian ini menggunakan variabel terikat (Y) kemampuan mengapresiasi cerpen, sedangkan penelitian Tukiman menggunakan variabel terikat (Y) kemampuan mengapresiasi teks drama. Penelitian yang dilakukan oleh Nor Shahriza Abdul Karim (2006: 1) tentang sikap dan kebiasaan membaca mahasiswa Sarjana Seni dari Internasional Islamic Universitas Malaysia, ditemukan ada perbedaan yang signifikan antara dua kelompok mahasiswa dalam hal jenis bahan bacaan dan sumber daya yang digunakan. Perbedaan sikap dan kebiasaan membaca juga diamati untuk peserta laki-laki dan perempuan. Hasil studi dapat digunakan untuk membimbing professional di perpustakaan dan peneliti lain yang berkaitan dengan bidang membaca. Hubungannya dengan penelitian ini, yaitu berkaitan dengan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca setiap orang itu berbeda-beda. Demikian juga, dalam hal kebiasaan membaca sastra.
68
Jadi, kalau dibandingkan dengan penelitian yang sudah dilakukan terdahulu, penelitian ini memang bukan penelitian yang sama sekali baru, tetapi dapat dikatakan sebagai penelitian kelanjutan. Pebedaan dengan penelitian sebelumnya, terletak pada variabel bebas dan objek yang diteliti.
C. Kerangka Berpikir 1. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Berdasarkan kajian teori dapat dirumuskan kemampuan mengaapresiasi cerpen adalah kesanggupan individu untuk melakukan kegiatan untuk mengenali, memahami, menghayati, dan menghargai karya sastra cerpen. Untuk kegiatan ini dibutuhkan kemampuan penalaran yang baik agar dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan penalaran baik mampu mengapresiasi karya sastra (cerita pendek) dengan baik. Maka dari itu, diduga ada hubungan positif antara kemampuan penalaran dan kemampuan mengaapresiasi cerpen.
2. Hubungan antara Kebiasaan
Membaca Karya Sastra dan Kemampuan
Mengapresiasi Cerpen Hakikat apresiasi cerpen adalah kesanggupan individu melakukan kegiatan untuk mengenali, memahami, menghayati, dan menghargai cerita pendek.
69
Kemampuan tersebut ada hubungannya dengan kebiasaan membaca karya sastra. Kebiasaan membaca karya sastra dapat membantu siswa mengapresiasi cerpen. Berdasarkan penjelasan tersebu, dapat dikatakan bahwa siswa yang memilki
kebiasaan
membaca
karya
sastra
akan memiliki
kemampuan
mengapresiasi cerpen dengan baik. Berdasarkan konsep-konsep teori yang telah dijabarkan dan dijelaskan tersebut maka diduga ada hubungan positif antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan apresiasi cerpen. 3. Hubungan antara Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra secara Bersama-sama dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerpen Berdasarkan uraian di atas diketahui dengan jelas bahwa kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra
merupakan faktor penting
terhadap tingkat kemampuan apresiasi cerpen siswa. Siswa yang mempunyai kebiasaan membaca karya sastra baik dan memilki kemampuan penalaran tinggi diduga memilki kemampuan mengaapresiasi cerpen yang tinggi pula. Dengan demikian, dapat diduga ada hubungan yang positif antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengaapresiasi cerpen. Gambaran kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
70
3a
1a
Kemampuan Penalaran
2a
Tinggi
Tinggi
Tinggi Kemampuan apresiasi cerpen
Rendah
Kebiasaan membaca karya sastra
Rendah
1b
2b
Rendah
3b Gambar 1. Kerangka Berpikir Keterangan 1.a
Kemampuan
penalaran
yang
tinggi
berkecenderungan
kemampuan
mengapresiasi cerpen siswa tinggi. 1.b
Kemampuan penalaran
yang rendah berkecenderungan kemampuan
mengapresiasi cerpen rendah. 2.a Kebiasaan membaca karya sastra yang tinggi berkecenderungan kemampuan mengapresiasi cerpen siswa tinggi. 2.b Kebiasaan membaca karya sastra yang rendah berkecenderungan kemampuan mengapresiasi cerpen siswa rendah. 3.a Kemampuan penalaran yang tinggi dan kebiasaan membaca karya sastra yang tinggi berkecenderungan kemampuan mengapresiasi sastra siswa tinggi. 3.b Kemampuan penalaran yang rendah dan kebiasaan membaca karya sastra yang rendah berkecenderungan kemampuan mengapresiasi sastra siswa rendah.
D. Pengajuan Hipotesis Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka tersebut di atas, maka diajukan tiga hipotesis penelitian sebagai berikut.
71
1.Terdapat hubungan positif antara kemampuan penalaran dan kemampuan mengapresiasi cerpen. 2.Terdapat hubungan positif antara kebiasaan membaca karya satra
dan
kemampuan mengapresiasi cerpen. 3.Terdapat hubungan positif antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerpen.
72
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri se–Kota Magelang, yang terdiri dari lima sekolah yaitu SMA Negeri 1, SMA Negri 2, SMA Negeri 3, SMA Negeri 4, dan SMA Negeri 5. Semuanya berada di wilayah kota Magelang. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama delapan
bulan
yaitu mulai bulan
Oktober 2009 sampai Juni 2010. Secara garis besar rencana kegiatan penelitian yang ditempuh dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Kegiatan Penelitian No
Jenis Kegiatan
Waktu
1.
Penyusunan proposal
Oktober 2009
2.
Seminar dan revisi proposal
Desember 2009
3.
Permohonan izin penelitian
Januari 2010
4.
Penyusunan instrument penelitian
Januari 2010
5.
Uji coba instrumen dan menganalisis
Februari 2010
6.
Pengumpulan data
Februari 2010 Minggu ke-4
7
Pengolahan dan analisis data
Maret dan April 2010
72
73
8.
Penayangan abstrak
Mei 2010 Minggu 1, 2
9.
Ujian dan revisi
Mei 2010 minggu ke-4
B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai dengan pendekatan studi korelasional. Pemilihan metode tersebut dengan pertimbangan bahwa tujuan penelitian ini dirancang untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan gejala pada saat penelitian berlangsung. Pertimbangan lainnya mengapa dipilihnya metode survai, karena melalui metode tersebut khususnya studi korelasional dapat dipakai untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi –variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi ( Sumadi Suryabrata, 1983: 26). Hubungan antar variabel dalam penelitian ini digambarkan dalam desain penelitian sebagai berikut. Gambar 2. Desain Penelitian.
X1 Y X2 Keterangan: X1
= Kemampuan Penalaran
X2
=
Kebiasaan membaca karya sastra
Y
=
Kemampuan apresiasi cerpen
74
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X1 SMA Negeri se- Kota Magelang tahun pelajaran 2009/2010. Jumlah populasi ada 923 siswa. 2. Sampel Sampel penelitian ini adalah SMA Negeri 1 berjumlah 60 siswa, dan SMA Negeri 4 berjumlah 60 siswa. Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 120 siswa. Dari populasi, sampel penelitian ini berjumlah 13%. 3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara acak sederhana (simple random sampling). Yang dimaksud sampel acak sederhana adalah sampel yang teknik pengambilannya secara acak. Tujuannya agar semua populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Cara pengambilan anggota sampel dengan undian yaitu dengan mengundi seluruh satuan elementer dalam populasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1984:111). Dari kelima sekolah SMA Negeri yang berada di Kota Magelang, kemudian diambil secara acak untuk dijadikan sampel. Dari cara undian ternyata yang keluar SMA Negeri 1, dan SMA Negeri 4 sehingga yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah SMA Negari 1 Magelang dan SMA Negeri 4 Magelang. Untuk kepentingan uji coba instrumen dipilih siswa SMA Negeri 3 Magelang.
75
Secara rinci langkah-langkah pengambilan sampel dilakukan sebagai berikut. 1. Dari lima sekolah negeri yang ada di wilayah Kota Magelang, diambil secara acak dua SMA. Melalui pengacakan ini terambil SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 4 Magelang. 2. Pengacakan terhadap kelas yang dijadikan sampel dari dua SMA Negeri yang telah terundi, melalui perandoman ini terambil kelas XI SMA. 3. Dari kelas XI yang ada di kedua SMA Negeri tersebut, kemudian diacak terambil kelas XI IPS1 dan IPS2 dari SMA Negeri 1 Magelang, kelas XI IPA dan XI IPS2 dari SMA Negeri 4 Magelang. D. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan variabel penelitian ini terdapat tiga jenis data yang dikumpulkan. Data kemampuan mengapresiasi cerpen dikumpulkan dengan teknik tes. Data kemampuan penalaran diambil dengan teknik tes. Data kebiasaan membaca karya sastra dikumpulkan dengan angket. E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini ada dua macam yaitu tes dan nontes. Instrumen tes berbentuk skor kemampuan mengapresiasi cerpen, dan skor kemampuan penalaran. Sedangkan instrumen nontes berupa skor kebiasaan membaca karya sastra. Skor kemampuan mengapresiasi cerpen dan skor kemampuan penalaran dijaring dengan instrumen yang berupa tes objektif, sedangkan skor kebiasaan membaca karya sastra dijaring dengan kuesioner atau angket.
76
1. Instrumen Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek a. Definisi Konseptual Kemampuan mengapresiasi cerita pendek adalah kesanggupan individu untuk melakukan kegiatan mengenali, memahami, menghargai, dan menilai atau menguasai secara sungguh-sungguh cerita rekaan yang melukiskan kehidupan manusia, secara ringkas dan padat , serta yang diceritakan hanya satu peristiwa pokok. b. Definisi Operasional Secara operasional kemampuan mengapresiasi cerita pendek adalah nilai yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes kemampuan mengapresiasi cerpen yang berupa tes objektif. Komponen-komponen
pokok
yang
terdapat
dalam
kemampuan
mengapresiasi cerita pendek adalah (1) tema, (2) amanat (3) alur atau plot, (4) perwatakan atau penokohan, (5) latar atau setting, (6) sudut pandang atau point of view, (7 ) bahasa atau gaya bahasa. c. Indikator Indikator dalam kemampuan mengapresiasi cerita pendek adalah siswa mampu menjawab soal yang berkaitan dengan aspek-aspek berikut: (1) amanat, (2) alur atau plot, (3) perwatakan atau penokohan, (4) latar atau setting, (5) sudut pandang atau point of view, dan (6) bahasa atau gaya bahasa. Soal dibuat dalam bentuk tes objektif dengan skor nilai satu untuk jawaban yang benar dan skor nilai nol untuk jawaban yang salah.
77
2. Instrumen Kemampuan Penalaran a. Definisi Konseptual Kemampuan penalaran adalah kesanggupan siswa untuk melakukan kegiatan berfikir secara maksimal menurut suatu pola tertentu, atau sesuai dengan logika induktif, maupun deduktif guna menghubung-hubungkan fakta atau buktibukti yang ada dengan langkah-langkah yang teratur, sistematis (bersifat analitik), dan bertujuan untuk menghasilkan simpulan. b. Definisi Operasional Secara operasional kemampuan penalaran adalah skor yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes kemampuan penalaran. Komponen- komponen pokok yang terdapat dalam kemampuan penalaran adalah: (1) penalaran induksi yang terdiri atas: a) generalisasi, b) analogi dan c) sebab akibat atau hubungan kausal. (2) Penalaran deduksi yang terdiri atas: a) silogisme, b) entimem. Silogisme ada bermacam-macam antara lain: silogisme kategorial, silogisme hipotesis, dan silogisme alternatif. c. Indikator Indikator kemampuan penalaran adalah siswa mampu menjawab soal-soal tes kemampuan penalaran yang meliputi: (1) penalaran induksi, aspek yang dinilai adalah a) menarik kesimpulan dengan cara generalisasi, b) menghindari salah nalar karena generalisasi sepintas, c) menarik kesimpulan analogi, d) menghindari salah nalar karena analogi yang pincang, e) menarik kesimpulan dengan cara hubungan kausal atau sebab- akibat, f) menghindari salah nalar karena salah hubungan kausal.(2)Pe-nalaran deduksi, aspek yang dinilai a) menarik kesimpulan
78
silogisme kategorial, b) menarik kesimpulan silogisme hipotesis, c) menarik kesimpulan silogisme alternatif, d) menarik kesimpulan entimem, dan e) menghindari salah nalar karena tidak mengerti persoalan. 3. Instrumen Kebiasaan Membaca Karya Sastra a. Definisi Konseptual Kebiasaan membaca karya sastra adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara otomatis, mekanis dengan sengaja/ terencana dan teratur/ berulang-ulang dalam rangka memahami, menafsirkan, memaknai karya sastra. b. Definisi Operasional Secara operasional kebiasaan membaca karya sastra adalah skor yang diperoleh siswa setelah menjawab angket kebiasaan membaca karya sastra. Komponen-komponen pokok yang terdapat dalam kebiasaan membaca karya sastra yaitu, (1) kesenangan membaca, (2) keseringan membaca, (3) jumlah buku yang dibaca dalam waktu tertentu (4) asal buku bacaan yang diperoleh, (5) keseringan mengunjungi perpustakaan, (6) macam buku yang disenangi, (7) keseringan membaca, (8) hal berlangganan majalah, (9) bagian surat kabar yang disenangi untuk dibaca, (10) hal berlangganan majalah, (11) jenis majalah yang dilangganani, (12) majalah yang paling disenangi dibaca. c. Indikator Indikator kebiasaan membaca karya sastra dalam penelitian ini yaitu siswa dapat menjawab angket sesuai dengan keadaan siswa yang sesungguhnya. Aspekaspek yang digali melalui angket ini adalah: (1) kesenangan membaca, (2) keseringan membaca, (3) jumlah buku yang dibaca dalam waktu tertentu (4) asal
79
buku bacaan yang diperoleh, (5) keseringan mengunjungi perpustakaan, (6) macam buku yang disenangi, (7) keseringan membaca, (8) hal berlangganan majalah, (9) bagian surat kabar yang disenangi untuk dibaca, (10) hal berlangganan majalah, (11) jenis majalah yang dilangganani, (12) majalah yang paling disenangi dibaca. Pengukuran kebiasaan membaca karya sastra menggunakan skala Likert, dilaksanakan dengan menyediakan lima pernyataan yang disediakan. Skala jawaban terdiri dari lima pernyataan yang disusun berturut-turut dari yang paling positif ke negatif atau dari yang paling negatif ke yang paling positif. Jawaban yang paling positif diberi skor 5, seterusnya 4, 3, 2, dan paling negatif skor 1.
F. Validitas dan Reliabilitas Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur yang mampu mengukur apa yang akan diukur. Menurut Djaali,dan Pudji Muljono (2008: 49) validitas suatu instrumen adalah seberapa jauh suatu tes mampu mengungkapkan dengan tepat ciri atau keadaan yang sesungguhnya dari objek ukur, akan tergantung dari tingkat tes yang bersangkutan. Reliabilitas maksudnya adalah seberapa jauh hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah ( Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 55 ).
80
Sebelum digunakan untuk penelitian, instrumen penelitian yang berupa tes objektif yaitu kemampuan mengapresiasi cerita pendek, dan kemampuan penalaran, serta angket tentang kebiasaan membaca karya sastra diujicobakan terlebih dahulu untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas butir soal. Hal ini dilakukan agar butir-butir soal yang tidak memenuhi syarat tidak digunakan dalam penelitian. Uji coba instrumen dilakukan di SMA Negeri 3 Magelang dengan jumlah siswa 40. 1. Validitas dan Reliabilitas Tes Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek a. Validitas Menurut Djaali dan Pudji Muljono (2008:53) instrumen penelitian yang berbentuk tes yang memiliki skor dikotomis (1 atau 0) perhitungan validitas butir digunakan rumus Korelasi Point Biserial ( Point Biserial). Berdasarkan pendapat tersebut maka validitas butir tes kemampuan mengapresiasi cerpen menggunakan rumus Korelasi Point Beserial. Rumus Korelasi Point Biserial sebagai berikut :
()=
−
Keterangan: (i)
: koefisien korelasi beserial antara skor butir soal nomor satu dengan skor total.
xi
: rerata skor untuk yang menjawab benar
xt
: rerata skor untuk seluruhnya
81
St
: standar deviasi skor total semua responden
Pi
: proporsi jawaban benar
qi
: proporsi jawaban yang salah (Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 53 )
b. Reliabilitas Reliabilitas tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek menggunakan rumus KR-20. Adapun rumusnya sebagai berikut: =
1−
∑ ∑
Keterangan: : koofisien reliabilitas tes k
: cacah butir : varian skor butir : proporsi jawaban yang benar untuk butir nomor i : proporsi jawaban yang salah untuk butir nomor i : varian skor total (Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 93 )
2. Validitas dan Reliabilitas Kemampuan Penalaran a. Validitas Instrumen yang digunakan untuk kemampuan penalaran adalah tes yang memiliki skor dikotomi 1 dan 0. Oleh karena itu, rumus yang digunakan sama
82
dengan rumus yang dipakai dalam kemampuan mengapresiasi cerita pendek yaitu rumus Korelasi Point Biserial. b. Reliabilitas Untuk reliabilitas tes kemampuan penalaran digunakan rumus KR-20 seperti pada tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek. 3. Validitas dan Reliabilitas Kebiasaan Membaca Karya Sastra a. Validitas Instrumen yang mempunyai skor kontinum ( berkisar antara 1-5) digunakan rumus korelasi product moment, yaitu dengan mengorelasikan skor item dengan skor total. Dengan demikian, validitas angket kebiasaan membaca karya sastra menggunakan rumus korelasi product moment.
=
{ ∑
∑
− (∑
− (∑
) }{ ∑
)(∑
) − (∑
) }
Keterangan:
: koefisien korelasi antara skor butir pernyataan dan skor total yang dicari. : jumlah responden uji coba xi
: skor hasil butir pernyataan untuk butir ke –i
xt
: skor hasil total (Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 53)
83
b. Reliabilitas Untuk uji reliabilitas angket kebiasaan membaca karya sastra dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach.
=
−1
1−
∑ ∑
Keterangan: : koefisien reliabilitas tes k
: jumlah butir pernyataan yang valid : varian skor butir : varian skor total (Djaali dan Pudji Muljono, 2008: 89) G. Hasil Uji Coba Instrumen
1. Hasil Analisis Validitas Sebelum digunakan untuk penelitian insrumen ini diujicobakan di SMA Negeri 3 Magelang, kelas X1. SMA Negeri 3 Magelang yang dipilih sebagai subjek karena memiliki karakteristik yang setara dengan subjek yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Jumlah siswa yang dijadikan subjek uji coba 40 siswa. Berdasarkan hasil uji coba validitas butir soal tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek yang dihitung dengan rumus korelasi point beserial, ternyata dari 45 butir soal yang diujicobakan ada 40 butir soal yang dinyatakan valid, sedangkan yang tidak valid ada 5 butir, yakni butir soal nomor 11, 13,18,
84
30,38 karena koefisien validitas butir-butir tersebut hasilnya lebih kecil dari rkritis yakni 0,312 ( pada n = 40 taraf nyata 0,05) (lihat lampiran 4 hal 175). Hasil analisis uji coba validitas butir soal tes kemampuan penalaran yang dihitung dengan rumus korelasi point beserial, ternyata dari 45 butir soal yang diujicobakan ada lima butir soal yang didrop, yakni butir soal nomor 6, 15, 21, 40, 41 karena koefisien validitas untuk kelima butir soal tersebut hasilnya lebih kecil dari r- kritis, yakni 0,312 (pada n = 40 taraf nyata 0,05) ( lihat lampiran 6 hal 183 .) Hasil analisis uji coba validitas butir angket kebiasaan membaca karya sastra yang dihitung dengan rumus product moment ternyata dari 42 butir pernyataan, yang dinyatakan valid ada 40 butir, yang drop ada satu butir yaitu butir nomor 35, 36 karena koefisien validitas untuk butir nomor tersebut hasilnya lebih kecil dar r- kritis, yakni 0,312 ( pada n = 40 taraf nyata 0,05) ( lihat lampiran 8 hal 191 ). 2. Hasil analisis Reliabilitas Menurut Burhan Nurgiantoro ( 2009: 108) berdasarkan koefisien korelasi tingkat keterpercayaan berkisar antara 0 sampai 1,0. Koefisien 0,800 sampai 1,00 = sangat tinggi. Koefisien antara 0, 600 sampai 0,799 = tinggi. Koefisien 0,400 sampai 0,599 = cukup. Koefisien 0,200 sampai 0,399 = rendah, dan koefisien 0, 00 sampai 0, 199 = sangat rendah. Hasil uji reliabilitas tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek dinyatakan memiliki koefisien reliabilitas yang tinggi, sebab setelah dianalisis dengan teknik KR- 20 diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,949.
85
Hasil uji reliabilitas tes kemampuan penalaran dinyatakan memiliki koefisien reliabilitas yang tinggi, karena setelah dianalisis dengan teknik KR- 20 diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,899. Untuk uji reliabilitas angket kebiasaan membaca karya sastra yang dihitung dengan rumus Alpha Cronbach dihasilkan nilai koefisien sebesar 0,928 (lihat lampiran). Hal ini menunjukkan bahwa instrumen angket kebiasaan membaca karya sastra juga reliabel.
H. Hipotesis Statistik Hipotesis Statistik Penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut. 1. Hipotesis Pertama Ho :
=0
H :
< 0
2. Hipotesis Kedua :
=0
:
>0
3. Hipotesis Ketiga :
= 0
:
> 0
I. Uji Persyaratan Analisis Sebelum menguji hipotesis perlu dilakukan uji persyaratan analisis, yang meliputi: 1) Uji normalitas,
2) Uji keberartian dan liniaritas regresi. Uji
86
normalitas digunakan teknik Liliefors, sedangkan uji keberartian linearitas regresi digunakan teknik Anava dalam regresi ganda.
1. Uji normalitas Pengujian normalitas (kenormalan) ditempuh melalui prosedur atau langkah-langkah sebagai berikut. a. Pengamatan
,
…,
menggunakan rumus
dijadikan bilangan baku =
,
…,
dengan
( x dan s masing-masing merupakan rata-
rata dan simpangan baku sampel) b. Untuk tiap bilangan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung ( )= ( ≤ c. Selanjutnya dihitung proporsi
,
…
,
,….
, yang lebih kecil atau sama
, jika proporsi ini dinyatakan oleh
dengan ∑
)
( ), maka
( )=
,
d. Hitung selisih ( )- ( )kemudian tentukan harga mutlaknya. e. Ambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut. Harga Lo terbesar disebutkan untuk menolak atau menerima hipotesis nol, bandingkan Lo dengan nilai kritis L yang diambil dari daftar nilai kritis L untuk uji Liliefors untuk taraf nyata
yang dipilih.
Kriterianya adalah : tolak hipotesis nol bahwa populasi berdistribusi normal jika Lo yang diperoleh dari data pengamatan melebihi dari daftar. Dalam hal ini hipotesis nol diterima (Sudjana, 1992 : 466)
87
2. Uji linearitas dan keberartian regresi Uji linearitas atau kelinearan dan keberartian regresi menggunakan langkah-langkah yang dijelaskan oleh Sudjana (1992 : 15). Langkah-langkah tersebut : a.
Menyususun tabel pasangan data (Xi Yi) dengan pengulangan pengamatan terhadap X.
b.
Menghitung jumlah kuadrat, disingkat JK untuk berbagai sumber variasi. Sumber-sumber variasi yang JK nya perlu dihitung adalah sumber variasi untuk total, koefisien (a, regresi(b/a), sisa, tuna cocok dan galat). Untuk sumber-sumber variasi JK nya berturut-turut diberi symbol JK(T), JK(a), JK(b/a), JK(S), JK(TC), JK(G) .
Rumus-rumus untuk menghitung sumber-sumber variasi tersebut adalah sebagai berikut JK(T) = JK(a) =
∑ (∑ )
∑
JK(b/a)=
−
(∑ )
JK(S) =
JK(T)-JK(a)-JK(b/a)
JK(G) =
∑
JK(TC)
=
∑
−
(∑ )
JK(S)-JK(G)
88
c. Menentukan derajat kebebasan (dk) untuk setiap sumber variasi, yang besarnya sebagai berikut : 1) dk total
=
n
2) dk koefisien(a)
=
1
3) dk regresi (b/a)
=
1
4) dk sisa
=
n-2
5) dk tuna cocok
=
k-2
6) dk galat
=
n-k
d. Menentukan kuadrat tengah disingkat KT yang diperoleh dengan jalan membagi JK dengan dk nya, sehingga masing-masing sumber variasi KT hanya diperoleh dengan rumus sebagai berikut : 1) kuadrat tengah total, rumusnya
KT(T)
=
2) kuadrat tengah galat, rumusnya
KT(a)
=
3) kuadrat tengah regresi, rumusnya
KT(b/a)
=
4) Kuadrat tenga sisa, rumusnya
KT(S)
=
5) Kuadrat tengah tuna cocok, rumusnya KT(TC)
=
6) Kuadrat tengah galat, rumusnya
=
KT(G)
( )
( )
( / )
( )
(
)
( )
Perlu diketahui untuk KT (b/a) dilambangkan pula dengan dilambangkan pila dengan
; KT(TC) dilambangkan pula dengan
KT(G) dengan dilambangkan pula
.
; KT(S) dan
89
e. Menyusun besaran-besaran yang telah diperoleh pada butir d ke dalam tabel varians (ANAVA) sebagai berikut . Tabel 2. ANAVA Sumber
dk
JK
KT
F
Varians Total
N
∑
∑
Koiefisien (a)
L
JK(a)
JK(a)
Koefisien (b/a)
L
JK(b/a)
Sisa
n-2
JK(S)
Tuna cocok
k-2
JK(TC)
Galat
n-k
JK(G)
-
=
( )
=
( ) −2
(
= =
f. Untuk menguji hipotesis nol (i) dipakai statistik
) −2 ( ) −
=
dan selanjutnya
menggunakan distribusi F beserta tabelnya dengan dk pembilang satu dan dk penyebut (n-2), sedangkan untuk menguji hipotesis nol (ii) dipakai statistik
90
=
yang selanjutnya juga digunakan distribusi F beserta tabelnya dengan dk
pembilang (k-2) dan dk penyebut (n-k) ( Sudjana: 15-19). J. Teknik Analisis Data
Analisis data dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. Dalam analisis data penelitian ini, mencakupi analisis data secara deskriptif dan analisis data secara inferensial. Analisis deskriptif, meliputi pendeskripsian tedensis sentral dan tedensi penyebaran, penyusunan distribusi frekuensi nilai dan histogramnya. Sementara itu, analisis data secara inferensial digunakan untuk keperluan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis, meliputi pengujian hipotesis I dan II digunakan teknik korelasi sederhana. Adapun rumus korelasi sederhana sebagai berikut: ,
=
∑ { ∑
− (∑ )(∑ )
− (∑ ) }{ ∑
− (∑ ) }
Keterangan : ,
= koefisien korelasi antara skor X dan skor Y yang dicari
n
= jumlah responden uji coba
Y
= skor kemampuan apresiasi cerita pendek
X
= skor kemampuan membaca pemahaman dan sikap bahasa (Sudjana,
1992:47)
Sementara itu, rumus ganda adalah sbb: ℛ
=
( ∑
)
91
Keterangan : = koefisien korelasi ganda (bersama-sama) = jumlah kuadrat regresi (Sudjana, 1992:107)
JK(reg)
Selain digunakannya analisis data statistik dengan korelasi product moment untuk mengetahui kadar atau derajat kekuatan hubungan antar variabel bebas dengan terikat sebagaimana tersebut di atas, dalam analisis data ini pun perlu diketahui model persamaan garis regresi yang hendak ditentukan. Adapun model persamaan garis regresi tersebut adalah sebagai berikut: Terdapat dua model hubungan yang dicerminkan melalui persamaan garis regresi linear sederhana dalam penelitian ini yakni : 1. Model Persamaan Garis Regresi Linear Sederhana Y atas digambarkan sebagai
=
+
2. Model Persamaan Garis Regresi Linear Sederhana Y atas digambarkan sebagai
=
+
Harga besaran a dan b dicari dengan rumus sebagai berikut :
=
=
(∑ )(∑
∑
) − (∑ )(∑ ∑ − (∑ )
− (∑ ∑
− (∑
(Sudjana, 1992:8)
)(∑ ) )
yang
)
yang
92
Keterangan : a
= bilangan konstanta
b
= koefisien arah regresi Disamping dua model persamaan garis regresi linear sederhana seperti
tersebut di atas, dalam analisis data ini pun juga ditentukan model persamaan garis regresi ganda. Adapun model hubungan dalam persamaan garis regresi linear ganda tersebut dapat digambarkan modelnya sebagai berikut : =
+
.
+
.
(Sudjana, 1992:70) Koefisien = =
=
:
−
:dan
dicari dengan rumus sebagai berikut :
+
(∑
)(∑ ) − (∑ . (∑ )(∑ ) − (∑
)(∑ . )
)
(∑
)(∑ ) − (∑ . )(∑ ) − (∑ (∑
)(∑ . )
)
(Sudjana, 1992:76)
93
BAB IV HASIL PENELITIAN Pada bab IV ini akan diuraikan: A. deskripsi data setiap variabel yaitu kemampuan penalaran, kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, B. pengujian persyaratan analisis, C. pengujian hipotesis, D. pembahasan hasil penelitian, dan E. keterbatasan penelitian. A. DESKRIPSI DATA 1. Data Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek (Y) Data kemampuan mengapresiasi cerita pendek diperoleh melalui tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Data ini memiliki skor tetinggi 30 dan skor terendah 14; mean sebesar 46.89 ; median sebesar 24; modus sebesar 26 . Varians data ini adalah 10.19 , dengan simpangan baku sebesar 3.19 ( harga-harga statistik ini, pengerjaanya dilakukan dengan program Microsoft Excel yang hasilnya dapat dilihat pada lampiran. Distribusi frekuensi data ini dapat dilihat pada tabel dan histogram frekuensi dan poligonnya dapat dilihat pada gambar Tabel 3. Distribusi Frekuensi Apresiasi Cerpen Interval 14-17 18-21 22-25 26-30
F (absolut) 4 26 50 40 120
F(relatif) 3.33 21.67 41.67 33.33 100
Histogram Frekuensi Apresiasi cerpen 93
94
50
40
26
4 13,5 = 23.642,
17,5 = 3.19
21,5 = 25
2. Data Kemampuan Penalaran (
25,5
30,5
o = 26
)
Data kemampuan penalaran diperoleh melalui tes kemampuan penalaran. Data ini menunjukkan skor tertinggi 31 dan skor terendah 14; mean sebesar 49.024
; modus 23, dan median 25. ;varian 9.59 ; simpangan baku sebesar 3.09.
Harga-harga statistik deskriptif ini dihitung dengan Program Microsoft Excel, yang hasilnya dapat dilihat pada lampiran. Distribusi frekuensi data ini dapat dilihat pada tabel , dan histogram dan poligon frekuensinya dapat dilihat pada gambar .
95
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Interval 14-16 17-19 20-22 23-25 26-28 29-31 Jumlah
F(absolut) 1 5 23 41 38 12 120
F (relatif) 0.833 4.166 19.166 34.16 31.66 10 100
Histogram frekuensi Kemampuan Penalaran
41 38
23
12 5 13,5 = 24.716,
16,5
19,5
= 3.09
22,5 = 25
25,5
28,5
31,5
o = 23
3. Data Kebiasaan Membaca Karya Satra (
)
Data kebiasaan membaca karya sastra diperoleh melalui angket kebiasaan membaca karya sastra. Data ini menunjukkan skor yang diperoleh melalui angket kebiasaan membaca karya saatra dengan skor tertinggi 147 dan skor terendah 87 ; modus sebesar 123 ;varians 177.07 dan simpangan baku sebesar 13.31. Harga-
96
harga statistik tersebut diperoleh dengan program Microsoft Exel yang hasilnya dapat dilihat pada lampiran. Data distribusi frekuensi dapat dilihat pada tabel , dan histogram serta polygon frekuensi dapat dilihat pada gambar. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membaca Interval 87-90 91-94 95-99 100-103 104-107 108-111 112-115 116-119 120-123 124-127 128-131 132-135 136-139 140-143 144-147
F (absolut) 5 4 7 5 13 11 11 10 20 11 9 9 2 0 3 120
F(relatif) 4.17 3.33 5.83 4.17 10.83 9.17 9.17 8.33 16.67 9.17 7.50 7.50 1.67 0.00 2.50 100
Histogram Frekuensi Kebiasaan Membaca
20 13 11
11
11 10
7 5
4
9
8
5
3 2
86,5 90,5
94,5 99,5
103,5 107,5 111,5 115,5 119,5 123,5 127,5 131,5 135,5 139,5 143,5 147,5
97
= 115.89
= 13.31
= 116
o = 123
B. Pengujian Persyratan Analisis Sebelum analisis data secara inferensial, diadakan 1) uji normalitas, 2) uji signifikansi dan linearitas regresi sederhana. 1. Uji Normalitas Data Untuk menguji normalitas data menggunakan teknik Liliefors ( Sudjana, 1992:
446). Hasil pengujian normalitas data untuk kemampuan mengapresiasi cerita pendek (Y) yaitu Lo maksimum sebesar 0.0546 ( lihat lampiran 14 hal 233). Daftar nilai kritis L untuk Uji Liliefors dengan n = 120 dan taraf nyata
= 0,05
diperoleh Lt = 0.0808 dan Lo = 0.0546. Dari data tersebut terlihat bahwa Lt lebih besar daripada Lo sehingga dapat disimpulkan bahwa data kemampuan mengapresiasi cerpen (Y) berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas data untuk kemampuan penalaran( X1) menghasilkan Lo maksimum sebesar 0.0755, ( lihat lampiran 15 hal 239). Nilai kritis L untuk uji Liliefors dengan n = 120 dan taraf nyata
= 0,05 diperoleh Lt = 0.0808. Dari data
tersebut terlihat bahwa Lo lebih kecil dari Lt sehingga dapat disimpulkan bahwa data kemampuan penalaran (X1) berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas data terhadap kebiasaan membaca karya sastra (X2 menunjukkan bahwa Lo maksimum sebesar 0.00410, ( lihat lampiran 16 hal 245) . Dari daftar nilai kritis L untuk uji Liliefors dengan n = 120 dan taraf nyata
=
0,05 diperoleh data Lt = 0.0808. Dari data tersebut terlihat bahwa Lo lebih kecil dari Lt. Jadi, dapat disimpulkan bahwa data kebiasaan membaca karya sastra (X2) berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
98
2. Uji Linearitas dan Signifikansi Regresi Pada sub bab ini akan diuji apakah persamaan regresi sederhana Y atas X1 dan Y atas X2 linier atau signifikan. Hasil analisis regresi sederhana Y atas X1 diperoleh persamaan
= 17.0033 + 0.2686X1 (lampiran 21 hal 249). Tabel Anava
untuk uji linearitas dan signifikansi regresi Y masing-masing menghasilkan Fo sebesar 8.596071 dan 0.760371 (lampiran 25 hal 266). Dari daftar distribusi F pada taraf nyata
= 0,05 dengan dk pembilang 2 dan dk penyebut 118
hipotesis (1) bahwa regresi signifikan,
untuk
diperoleh Ft : 3.07 , (2) bahwa regresi
bersifat linear diperoleh Ft sebesar 1.79. Jadi, hipotesis nol ditolak karena Fo lebih besar daripada Ft. Sebaliknya, hipotesis nol (2) diterima karena Fo lebih kecil darpada Ft. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa regresi Y atas X1 linier dapat diterima. Analisis regresi sederhana Y atas X2 menghasilkan persamaan regresi = 16.55 + 0.061X2 (lihat lampiran 22 hal 257) masing-masing menghasilkan Fo sebesar 8.1906 dan 0.944 (lihat tabel Anava pada lampiran 28 hal 275). Dari daftar distribusi F pada taraf nyata
= 0,05 dengan dk pembilang 2 dan dk
penyebut 118 untuk hipotesis (1) bahwa regresi tidak signifikan atau tidak berarti diperoleh Ft = 3.07 dan dengan dk pembilang 45 dan dk penyebut 73 untuk hipotesis (2) bahwa regresi bersifat linier diperoleh Ft sebesar 1.53. Terlihat bahwa hipotesis nol (1) ditolak karena Fo lebih besar dari Ft. Dengan demikian, koefisien arah regresi nyata sifatnya. Ternyata regresi Y atas X2 berbentuk linier dapat diterima. Sedangkan persamaan regresi ganda Y atas = 10.4482 + 0.258X1 + 0.058X2 masing-masing menghasilkan
menghasilkan = 2.9015 dan
99
= 0,05 diperoleh
= 2.831. Pada taraf nyata >
.. 1.29.
Ini berarti
>
dan
sehingga signifikan. C. Pengujian Hipotesis
1.
Hubungan
antara
Kemampuan
Mengapresiasi Cerita Pendek (
Penalaran
dan
Kemampuan
dengan Y )
Analisis korelasi sederhana antara X1 dengan Y menghasilkan koefisien korelasi sebesar
= 0.260 (lihat lampiran 32 hal 284) Pengujian signifikansi
(keberartian) koefisien korelasi dengan menggunakan uji-t menghasilkan = 2.9319 (lihat lampiran 32 hal 284). Dari hasil analisis, besar daripada nilai t yang terdapat pada tabel ( signifikan,
lebih
) sebesar 1.98. Jadi,
maka koefisien korelasi sebesar 0.260 pun signifikan. Dengan
demikian, hipotesis nol ditolak; dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerpen. Kontribusi X1 terhadap Y sebesar 6.79%. Hasil tersebut diperoleh dengan ruperhitungan rumus −
.
2. Hubungan antara Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerpen (
dengan Y )
Analisis korelasi sederhana antara X2 dengan Y menghasilkan koefisien korelasi sebesar
= 0.254 ( lhat lampiran 33 hal 285). Uji keberartian koefisien
korelasi ( uji t) menghasilkan
sebesar
2.8619 ( lihat lampiran 33 hal
285). Dari hasil analisis t untuk dk =118 dan taraf nyata
= 0,05 diperoleh
100
sebesar 1.98. Terlihat bahwa menunjukkan bahwa
nilai
lebih besar daripada
.
hal ini
signifikan; dan koefisien korelasi sebesar 0.254 juga
signifikan. Dengan demikian, hipotesis nol ditolak; hipotesisi alternatif diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi sastra. Kontribusi X2 terhadap Y yaitu sebesar 5.97%. Hasil tersebut diperoleh dengan perhitungan rumus
−
.
3. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra secara Bersama-sama dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerpen (
dan
dengan Y)
Analisis korelasi ganda antara menunjukkan koefisien korelasi (
.
dan
secara bersama-sama dengan Y
) sebesar 0.3573 ( lihat lampiran 30 hal
279). Uji keberartian koefisien korelasi ganda menghahsilkan
sebesar
8.562 ( lihat lampiran 30 hal 279). Dari hasil analisis F dengan dk pembilang 2 dan dk penyebut 118 pada taraf nyata bahwa nilai
ℎ
= 0,05 diperoleh
jauh lebih besar daripada
.
sebesar 3.08. Terlihat Jelaslah, bahwa
signifikan, dan koefisien korelasi ganda sebesar 0.3573 juga signifikan. Dengan demikian, maka hipotesisi nol yang dinyatakan dalam penelitian ini gagal diterima.. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerpen. Kontribusi X1 dan X2
101
terhadap Y yaitu sebesar 0.51%. Hasil tersebut diperoleh dengan perhitungan rumus
+
-
.
D. Pembahasan Hasil Penelitian Ketiga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: terdapat hubungan
positif
antara
kemampuan
penalaran
dengan
kemampuan
mengapresiasi cerita pendek, terdapat hubungan positif antara kebiasaan membaca karya sastra dengan
kemampuan mengapresiasi cerita pendek, dan terdapat
hubungan positif antara kemampuan penalaran serta kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, ternyata terterima. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama mempengaruhi kemampuan mengapresiasi cerita pendek pada siswa kelas XI SMA Negeri se- Kota Magelang. Hasil analisis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, hasil analisis yang berkaitan dengan hubungan antara kemampuan penalaran dan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Terdapat hubungan positif antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerpen. Hal ini mengandung makna bahwa semakin baik kemampuan penalaran siswa semakin baik pula kemampuan mengapresisi cerpen. Kadar kekuatan hubungan sebesar 0.260 dan sumbangan efektif sebesar 6,79%, dapat dikatakan bahwa kemampuan penalaran memberikan kontribusi sebesar 6,79% terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang.
102
Kedua, hasil analisis yang berkaitan dengan hubungan antara kebiasaan membaca karya satra dengan kemampuan mengapresiasi cerpen. Terdapat hubungan positif antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Maksudnya siswa yang memiliki kebiasaan membaca karya sastra, akan memiliki kemampuan mengapresiasi cerita pendek lebih baik.Kadar kekuatan hubungan sebesar 0,254 dan sumbangan efektif sebesar 5, 97%, dapat dikatakan bahwa kebiasaan membaca karya sastra memberikan kontribusi sebesar 5, 97% terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri kota Magelang. Ketiga, hasil analisis yang berkaitan dengan hubungan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Kedua variabel bebas tersebut secara bersama-sama mempengaruhi siswa dalam kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Maksudnya, semakin baik kemampuan penalaran siswa dan semakin siswa mempunyai kebiasaan membaca karya sastra, maka siswa akan memiliki kemampuan mengapresiasi cerita pendek semakin baik. Sumbangan efektif yang diberikan kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek sebesar 0,51%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang yaitu sebesar 0, 51%. Berarti ada variabel lain yang mempengaruhi kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang.
103
Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien korelasi ganda sebesar 0.3573 Hal ini berarti bahwa kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya satra secara bersama-sama memberi sumbangan siswa dalam kemampuan mengapresiasi cerpen. Kedua variabel yaitu kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra memberikan sumbangan yang hampir sama yaitu 6,75% dan 5,97%. Kemampuan penalaran memberikan kontribusi terhadap kemampuan mengapresiasi karya sastra lebih besar 0,78% dibandingkan kebiasaan membaca karya sastra. Hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sumadiyono di SLTP Negeri Klaten, dan SLTP Negeri Karangdowo., dan yang dilakuakan oleh Tukiman di SMA Negeri Se- Kabupaten Sukoharjo. Masing- masing menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara penalaran dengan kemampuan mengapresiasi sastra (cerpen, drama) dan antara kebiasaan membaca karya satra dengan kemampuan mengapresiasi sastra ( cerpen, drama). E. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini sudah diupayakan sesuai dengan prosedur, dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati, namun tetap saja ada kekurangan. Kekurangan ini desebabkan oleh keterbatasan dalam penelitian. Keterbatasan ini menyangkut hal-hal berikut. 1. Hasil penelitian ini
mengungkapkan kemampuan mengapresaiasi cerita
pendek siswa berkaitan dengan variabel penelitian kelas X1 SMA Negeri seKota Magelang dengan sampel yang diambil secara acak, sehingga simpulan
104
yang terdapat dalam penelitian ini hanya terbatas pada lingkup siswa SMA Negeri Kota Magelang saja. 2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini bukan instrumen baku, melainkan instrumen yang dibuat oleh peneliti. Oleh karena itu, penelitian ini masih banyak kekurangan. Di samping itu, uji coba instrumen hanya dilakukan sekali, sehingga validitas dan reliabilitasnya masih mengandung kelemahan jika dibandingkan dengan instrumen yang baku. 3. Instrumen kemampuan mengapresiasi cerita pendek dalam penelitian ini menggunakan penggalan-penggalan cerita pendek. Mungkin ini merupakan suatu kelemahan. Oleh karena itu, instrumen kemampuan mengapresiasi cerita pendek munkin perlu menggunakan cerita pendek yang lengkap. 4. Suasana kelas kurang kesungguhan. Siswa dalam mengerjakan tes kurang sungguh-sungguh, mengangagap bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan nilai mata pelajran.Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada simpulan penelitian. 5. Salah satu variabel dalam penelitian ini adalah angket. Siswa dalam mengisi angket sering kali tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga kurang dapat mencerminkan keadaan yang sesungguhnya tentang diri siswa. Hal ini sedikit banyak tentu berpengaruh pada simpulan akhir.
105
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan Sesuai dengan hasil analisis dan pengujian hipotesis yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, terdapat hubungan positif dan signifikan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa Kelas XI SMA Negeri seKota Magelang. Kemampuan penalaran memberikan sumbangan positif kepada kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Keduanya terdapat hubungan seiring, maksudnya semakin tinggi kemampuan penalaran semakin tinggi pula kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Kedua, terdapat hubungan positif dan signifikan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa XI SMA Negeri seKota Magelang. Kebiasaan membaca karya sastra memberikan sumbangan positif kepada kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Kedua variabel tersebut ada hubungan seiring, artinya semakin tinggi frekuensi
membaca karya sastra
semakin tinggi kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Ketiga, terdapat hubungan positif dan signifikan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek siswa kelas XI SMA se- Kota Magelang. Semakin tinggi kemampuan penalaran dan semakin tinggi frekuensi membaca karya sastra, maka hasil kemampuan mengapresiasi cerita pendek semakin tinggi.
105
106
B. Implikasi Sesuai dengan penemuan dalam penelitian ini, maka ada beberapa implikasi yang dapat dikemukakan , yaitu sebagai berikut. Pertama, model konseptual teoretik yang dicerminkan melalui hubungan hipotetik antarvariabel penelitian telah diuji kebenarannya secara empirik. Implikasinya adalah kemampuan mengapresiasi cerita pendek dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra. Kedua, implikasi teoretik tersebut selanjutnya terkait dengan kebijakan pokok bahwa peningkatan kemampuan mengapresiasi cerita pendek dapat ditingkatkan melalui peningkatan kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra. Beberapa implikasi kebijakan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1.
Upaya
Meningkatkan
Kemampuan Hasil
Kemampuan
Penalaran
untuk
Meningkatkan
Mengapresiasi Cerita Pendek
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
kemampuan
penalaran
merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan hasil mengapresiasi cerita pendek. Oleh karena itu, penting diupayakan agar kemampuan penalaran siswa meningkat. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penalaran adalah banyak membaca dan berlatih. Dengan banyak membaca maka siswa akan memiliki banyak pengetahuan sehingga daya nalar akan meningkat. Bernalar berarti menghubung-hubungkan data. Dengan memahami secara lengkap sebuah data maka siswa dapat berpikir lebih jelas. Oleh karena itu, siswa perlu dilatih menemukan data dan menggali secara lengkap data yang diperoleh. Salah satu cara yaitu dengan membaca. Siswa diberi motivasi untuk banyak
107
membaca, melalui tugas-tugas yang berkaitan dengan pembelajaran khususnya pembelajaran sastra. Guna berlatih bernalar secara benar siswa diperkenalkan dengan berbagai cara membuat simpulan secara benar dan ditunjukkan berbagai jenis salah nalar. Juga siswa perlu dilatih menganalisis dan menemukan kesalahan dalam bernalar, sehingga siswa dapat mengetahui letak kesalahannya. 2. Upaya Meningkatkan Kebiasaan Membaca Karya Sastra untuk Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Ceita Pendek Sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa kebiasaan membaca sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan mengapresisi cerita pendek, maka perlu diupayakan agar siswa mempunyai kebiasaan membaca karya sastra. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan motivasi kepada siswa untuk membaca karya sastra. Motivasi ini dapat dilakukan dengan memberikan tugas-tugas yang menuntut keterlibatan siswa untuk membaca karya sastra. Untuk mewujudkan harapan tersebut perlu didukung oleh banyak pihak antara lain keterlibatan pustakawan sekolah. Pustakawan hendaknya bekerja sama dengan guru bahasa Indonesia untuk menyediakan buku-buku yang diperlukan siswa, yang dapat menunjang kegiatan apresiasi sastra. Guru bahasa Indonesia perlu memberikan informasi kepada pustakawan sekolah mengenai buku-buku yang harus disediakan untuk menunjang kegiatan apresiasi sastra, sehingga ketika siswa diberi tugas oleh guru , siswa mudah menemukan buku, karena tersedia di perpustakaan. Buku-buku yang disediakan hendaknya yang disenangi siswa. Guru
108
perlu juga memberikan informasi kepada siswa mengenai buku-buku sastra yang ada diperpustakaan, supaya siswa terpancing untuk membaca. C. Saran Saran-saran yang diusulkan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah: 1. Untuk Siswa a) Siswa perlu memiliki kesadaran akan pentingnya membaca. Khususnya untuk
meningkatkan apresiasi cerita pendek ,siswa harus banyak membaca
karya sastra. b) Untuk meningkatkan kemampuan bernalar siswa perlu berlatih menganalisis kesalahan bernalar, dan membandingkan dengan penalaran yang benar. 2. Untuk Guru a) Guru harus dapat memotivasi siswa agar siswa memiliki kebiasaan membaca khususnya membaca karya sastra. Misalnya dengan memberikan tugas yang menuntut anak untuk membaca karya sastra. b) Guru dalam mengajar sastra khususnya cerpen, membiasakan siswa untuk membaca cerita lengkap bukan ringkasan. c)
Berikan tugas kepada siswa untuk mendorong siswa mengunjungi perpustakaan. Dalam hal ini guru perlu menjalin kerja sama dengan petugas perpustakaan, agar petugas perpustakaan menyediakan buku-buku yang sesuai dengan tugas-tugas siswa.
d)
Pilih metode yang menarik dalam pembelajaran sastra khususnya pembelajaran cerita pendek, karena dengan metode yang menarik siswa akan senang belajar. Perasaan senang akan mendorong siswa mau menggali
109
lebih dalam karya sastra, sehingga akan meningkatkan daya apresiasi siswa terhadap karya sastra. e)
Berikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan menganalisis karya sastra sehingga siswa terlibat langsung dalam pembelajaran sastra.
f) Sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra berpengaruh terhadap kemampuan mengapresiasi cerita pendek, maka guru harus memperhatikan kedua faktor tersebut dalam pembelajaran agar kemampuan siswa mengapresiasi cerita pendek hasilnya meningkat. 3. Untuk Lembaga Sekolah a) Sekolah perlu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai yang dapat memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran khususnya yang berkaitan dengan buku-buku dan ruang baca. b) Menyelenggarakan lomba membaca, menulis, menganalisis, mementaskan karya sastra dalam waktu - waktu tertentu. 4. Untuk Peneliti Lain Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada dalam penelitian ini maka peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian lebih baik.
110
Daftar Pustaka Abdul Ghofur, dkk. 2004. Pola Induk Pengembangan Sistem Penilaian. Jakarta: Depdiknas. Abrams, M.H. 1981. A Glosary In Literary Term. New York: Holt, Rinehart and Winston. Ahmad S.Harjasujana, dkk. 1988. Membaca. Jakarta: UT. Arman Duval. 2009. Kegemaran Membaca (Sastra) Versus Televisi. http://groups. Yahoo.com/ pasar buku/ message/18472. Diunduh 20 November 2009. Andayani. 2008. “ Penerapan Model Sosial dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar”. Dalam Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya UNS. Vol.6, No. 1 April 2008. hal. 83. Alex Lanur. 1991. Logika. Yogjakarta: Kanisius. A. Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Boen S. Oemarjati.1996.“ Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan” dalam Muljanto Sumardi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. B. Rahmanto.1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Discource Analysis. Terjemahan I. Soetikno. Cambridge: Cambridge University Press. Burhanuddin Salam. 1988. Logika Formal. Jakarta: Bina Aksara. Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. -----------------2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPEE-Yogyakarta. Chaplin. J. P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cupchik, Gerald C.,dkk. 2003. Emotional Effects of Reading Excerpts from Short Stories by James Joyce. Journal of Education. Canada: University of Toronto. pp. 1. Diunduh 5 Maret 2010.
110
111
Djaali dan Pudji Muljono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo. Dedi Pramono. 2008. Menghayati Karya Sastra dan Menggali Nilai-Nilai yang Bermanfaat bagi Kehidupan. Yogjakarta: Departemen Pendidikan 84 Nasional Universitas Negeri Yogjakarta.. Depdiknas. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : BSNP. Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BNSP. Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986: Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Goodman, Yetta M. 1980. Strategies Focus on Chomprehension. Singapore: B& J Enterpries PTE. Ltd. Reading. Gorys Keraf. 2001. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: SUN. Henry Guntur Tarigan.1984. Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa. ----------------1989. Membaca dalam Kehidupan. Bandung: Ankasa. ----------------1998. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung. Angkasa. Freire, Paulo. 1983. The Importance of The Act Reading. Journal of Education. Brazil: Catholic University. pp.5. Diunduh 5Maret 2010. Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Ibrahim, Azhar Alwee. 2008. Perancangan ke Arah Pemberdayaan dalam Pembelajaran Satra. Konferensi Internasional Kesusastraan XIX/Hiski. http: www.pusat bahasa. diknas. Go.id/ Diunduh 2 Februari 2010). Hurley, Patrick J. 1982. A Concise Introduction to Logic. California: Wadsworth. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Logika. Yogyakarta: Kanisius.
112
J. Prapta Diharja, S.J. 2004. “Pembelajaran Sastra yang Kreatif”. Dalam Gatra Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra, No. 27 Th. XIX. Januari 2004. hal.145. Jujun S. Suriasumantri. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1984. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pt. Pertja. Maman S. Mahayana. 2008. Appreciating Indonesian Literature in Schools. Journal of Education. Jakarta: University Indonesia.pp. 1. Diunduh 5 Maret 2010. Mohammad Asrori. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Mortiner J. Adler, dan Charles van Doren. 1987.Cara Membaca Buku dan Memahaminya ( diterjemahan Budi Prayitno). Jakarta: Panca Simpati. Nani Tutoli. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: Nurul Jannah. Noehi Nasution. 1994. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Depdiknas. Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Retno Winarni. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari. Rositer, Marsha.2003. Narative and Stories in Adult Teaching and Learning. Eric Digest. ( Dalam http://www. Ericdigests. Org/2003-4/ adult teaching.htm.) Diunduh 1 Februari 2010. S.C. Utami Munandar dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia.1990. Jakarta: Cipta Adi pustaka. S. Effendi.1974 .Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende-Flores. : Nusa Indah. Setya Yuwana Sudikan. 1984. Penuntun Penyusunan Karya Ilmiah. Semarang: Aneka Ilmu. Shahriza, Nor Abdul Karim. 2006. Reading Habits and Attitude in Malaysia: Anlisis of Gender and Academic Programme Differences. Kekal Abadi, 25 (1/2). pp. 1. Diunduh 2Maret 2010. Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
113
---------. 1992. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung: Tarsito. Sudirman Siahaan dan Rr, Murtiningsih.2009. Mengapa Kebiasaan Membaca Masih Belum Berkembang? Dalam www. Depdiknas. go id. Pdf. Diunduh 2 Februari 2010. Sumadi Suryabrata. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Stokes, Suzanne. Tanpa Tahun. Visual Literacy in Teaching and Learning: A Literature Perspective. Electronic Journal for the Integration of Technology in Education. Troy State University. Vol.1. No. 1.Diunduh 15 April 2010.hal.1. Syamsudin A.R. dan Vismaia S. Damaianti. 2006. Metode Penelitian Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tampubolon.1990. Kemampuan Membaca Teknik Membaca Efektif dan Efisien. Bandung: Angkasa. .Utami Munandar. 1982. Pemanduan Anak Berbakat: Suatu Studi Penjajagan. Jakarta: Rajawali . Wellek, Rene dan Austin Warren.1988. Teori Kesusastraan (edisi terjemahan oleh Melani Budianta) Jakarta: Gramedia. Yan, Kui. 2006. An Approach To Teaching Short Stories. International Journal of Business and Management. Guangdong : Qinghai University. Dalam www. Ccsenet. Org.pdf.Diunduh 20 November 2009. Yus Rusyana. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: C.V. Diponegoro. Zaidan Hendy. 1989. Pelajaran Sastra Program Budaya. Jakarta: Gramedia. Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Mohammadiyah University Press.