Komposisi Hutan Perkebunan Pemukiman Tegalan
Tabel 4. Skenario perubahan penggunaan lahan *Awal (%) Skenario 1 (%) Skenario 2 (%)
21.6 31.6 25.8 11.6 9.4
Sawah * awal: mengacu pada kondisi tahun 2004
IV.
KONDISI UMUM WILAYAH KAJIAN
4.1
Kondisi Umum DAS Ciliwung Hulu
Secara astronomis Sungai Ciliwung berada pada letak lintang dan bujur 6°05` 6°50` LS dan 106°40` - 107°00` BT. Sungai ini bermula (hulu) di Gunung Mandalawangi. (Talaga) dan bermuara (hilir) di Teluk Jakarta. Wilayah DAS dengan luas sekitar 322 km2 ini dibatasi oleh DAS Cisadane di sebelah barat dan DAS Citarum di sebelah Timur. Sungai ini mengalir dari arah Selatan ke Utara dengan bentuk melebar di bagian hulu dan menyempit di bagian hilir. Sungai ini mengalir melalui daerah – daerah yang termasuk wilayah administrasi: a) Kabupaten Bogor khususnya kecamatan Cisarua, Ciawi, Kedunghalang, Cibinong dan Cimanggis; b) Kotamadya Bogor; c) Kota Administratif Depok; dan d) wilayah DKI Jakarta. Bagian hulu merupakan pegunungan dan berada pada batas ketinggian 300 m sampai 3000 dpl. Dengan luas 146 km2 bagian hulu DAS ini meliputi kecamatan Cisarua, Ciawi, dan Kedunghalang yang dibatasi oleh bendungan Katulampa sebagai outletnya, serta dikelilingi oleh G. Gede, G. Pengrango, G. Hambalang, dan Megamendung. Bagian DAS hulu ini terdiri dari sepuluh anak sungai yaitu: Citamiang, Cimegamendung, Cilember, Ciesek, Cisukabirus, dan Ciseuseupan. 4.2
Iklim
Iklim di daerah penelitian tergolong ke dalam iklim tropika. Suhu berkisar antara 23-24 °C dengan kelembaban nisbi antara 7382 %. Radiasi surya minimum terjadi pada bulan Januari (27,36 %) dan maksimum pada bulan September (81,85 %). Rata-rata penguapan minimum sebesar 2,08 mm terjadi pada bulan Januari sedangkan rata-rata penguapan maksimum sebesar 3,56 mm pada bulan Oktober.
35
55.8
27.3
13.8
25.8
26.8
2.5
1.5
9.4
2.1
Menurut Klasifikasi Iklim Schmidt Ferguson dalam Handoko (1994), iklim Sub DAS Ciliwung Hulu adalah termasuk ke dalam Zona Agroklimat A yang berarti daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika. Klasifikasi ini ditentukan berdasar dari jumlah Bulan Basah (hujan bulanan jangka panjang >100 mm) dan Bulan Kering (hujan bulanan jangka panjang <60 mm). Klasifikasi iklim A karena daerah ini mempunyai bulan – bulan basah berturut – turut sepanjang tahun. Hal ini sesuai dengan kondisi daerah hulu yang selalu tertutup awan 4.3
Tanah
Tanah – tanah yang terbentuk umumnya berasal dari bahan induk abu volkan dan batuan piroklastik. Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil Tahun 1992 skala 1:50.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian meliputi order Andisol, Ultisol, Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38.9 %, 11 %, 48 %, dan 2,1%. DAS Ciliwung Bagian Hulu dibangun oleh formasi geologi vulkanik yaitu komplek utama Gunung Salak dan komplek Gunung Pangrango. Deskripsi Litologi Kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah tufa glas lhitnik kristal, tufa fumice dan batu pasiran tufa, sedangkan kondisi fisiografi daerah kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu merupakan daerah pegunungan dan berbukit. Elevasi umumnya diatas 150 m dpl dan terdiri atas daerah lungur volkan tua dan muda. Bahan induk tanah yang terdapat di DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa tufa volkanik dan derivatifnya merupakan bahan dasar pembentuk tanah jenis tanah Latosol Coklat Kemerahan adalah jenis tanah yang dominan. Adanya pencampuran bahan vulkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya jenis-jenis tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol antara lain adalah tanah Andosol dan Regosol
Gambar 10. Peta lokasi kajian
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Pola penggunaan/penutupan lahan di daerah penelitian hasil pengamatan tahun 1994 sampai dengan tahun 2005 masingmasing digambarkan pada peta-peta yang disajikan pada Lampiran. Berdasarkan petapeta tersebut, daerah penelitian memiliki luas total 14.617 hektar dengan 8 tipe penggunaan/penutupan lahan, yaitu hutan lebat, hutan semak/belukar, kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka, pemukiman, sawah, dan tegalan/ladang. Luas masing-masing tipe penggunaan/penutupan lahan tersebut disajikan pada Tabel 5 Perubahan penggunaan/penutupan lahan dari tahun 1994 – 2004 dapat diamati
melalui proses tumpang susun (overlay) peta pada ArcView. Data lengkap perubahan tipe dan luas penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran 9. Berdasarkan analisis tersebut lahan yang paling banyak terkonversi adalah kebun teh dimana pada tahun 2004 kebun teh telah terkonversi menjadi hutan semak belukar, kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, sawah, dan tegalan dengan persentase perubahan tertinggi menjadi daerah tegalan. Menyusul lahan sawah yang terkonversi menjadi kebun campuran, kebun teh, daerah pemukiman, sawah, dan tegalan, dengan perubahan tertinggi menjadi daerah tegalan. Luas penggunaan/penutupan lahan lainnya, seperti hutan semak/belukar, kebun campuran, lahan terbuka, dan pemukiman relatif tidak terlalu besar perubahannya.
Tabel 5. Luas penggunaan/penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu Laju ∆ 1994 2004 landuse perubahan/th Nama lahan luas (Ha) % Luas (Ha) % (%) (%) hutan lebat
3571.7
21.1
3403.43
20.1
-1
-0.1%
hutan semak
576.9
4.4
256.8
1.5
-2.9
-0.29%
kebun campuran
1843.5
10.8
1873.4
11
+0.2
+0.02%
kebun teh
4248.2
25.1
3478.3
20.6
-4.5
+0.45%
lahan terbuka
50
0.2
14.8
0.1
-0.1
-0.01%
pemukiman
3315.5
19.6
4379.8
25.8
+6.2
+0.62%
sawah tegalan
2889.4 421.6
17.1 2.5
1581.2 1966.6
9.4 11.6
-7.7 +9.1
-0.77% +0.91%
5.2
Analisis Curah Ciliwung Hulu
Hujan
DAS
DAS Ciliwung terletak di Pulau Jawa dengan curah hujan yang dipengaruhi oleh monsun Asia dan Australia. Pola grafik curah hujan bulanan di daerah ini menyerupai huruf ‘V’, dengan nilai curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni sampai dengan Septembar, sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober sapmai dengan April. Faktor iklim lain yang dapat mempengaruhi pola curah hujan di Indonesia adalah siklus Hadley dan siklus Walker, kedua siklus tersebut terjadi karena perubahan tekanan pada belahan bumi utara dan selatan serta pada bagian barat dan timur.
hujan ynag dianggap dapat mewakili pada tiga ketinggian yang berbeda di DAS Ciliwung Hulu selama periode 1994 – 2005. Data harian tersebut kemudian dirata – ratakan menjadi data bulanan untuk mengetahui pola grafik curah hujan dari setiap setasiun. Ketiga stasiun hujan tersebut terletak mulai dari kawasan puncak Cisarua dengan ketinggian 1160 m dpl hingga daerah outlet katulampa dengan ketinggian 480 m dpl. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 10 (Lampiran 3) untuk analisis sifat hujan wilayah. Pola grafik curah hujan bulanan tiap stasiun hujan pada daerah hulu DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar11.
Data curah hujan harian yang diamati pada penelitian didapat dari 3 stasiun Tabel 6. Curah hujan bulanan rata – rata DAS Ciliwung Hulu (1993 – 2005) Stasiun Elevasi jan feb mar apr mei jun ags sep okt nov katulampa 480m dpl 490 438 411 369 300 229 220 240 410 437 Gn Mas 1160m dpl 626 615 354 322 223 180 124 165 265 393 Citeko 920m dpl 576 470 312 290 187 121 116 114 211 299
des 368 410 378
700 Curah Hujan (mm)
600 500 400 300 200 100 0 jan
feb
mar
apr
mei
jun
jul
ags
sep
okt
nov
des
Bulan Katulampa
Gunung Mas
Citeko
Gambar 11. Grafik curah hujan bulanan tiga stasiun di wilayah Ciliwung Hulu Dari Tabel 6 dan Gambar 9 dapat dilihat bahwa curah hujan daerah Gunung Mas lebih besar daripada daerah Citeko yang berada dibawahnya. Namun demikian daerah Katulampa cenderung memiliki curah hujan yang paling tinggi diantara keduanya. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) bahwa bulan yang memiliki nilai curah hujan bulanan < 150 mm disebut bulan kering, sedangkan bulan dengan curah hujan ≥ 150 mm disebut bulan basah.
Pada daerah hulu Ciliwung cenderung lebih banyak mengalami bulan basah sepanjang tahun yang disebabkan oleh pengaruh dari lokasi wilayah yang berada pada dataran sedang hingga tinggi. Bulan – bulan basah ini berturut – turut terjdi mulai September hingga Mei. Hal tersebut terjadi karena selain faktor ketinggian pada bulan – bulan tersebut tekanan udara di daratan Asia lebih tinggi dibandingkan di daratan Australia sehingga angin muson barat yang berasal dari benua Asia bergerak menuju benua Australia.
Kejadian sebaliknya bulan kering yang lebih banyak terjadi di daerah Citeko dan Gunung Mas. Tekanan udara di daratan Asia pada periode Juni - September mulai melemah sehingga angin muson timur bergerak dari Australia menuju Asia. Massa udara yang dibawa angin tersebut umumnya tidak mengandung uap air bahkan memiliki sifat yang kering sehingga tidak potensial untuk mendatangkan hujan. Hujan yang terjadi pada periode tersebut hanya dipengaruhi oleh sumber – sumber lokal dan awan yang dibentuk karena keadaan orografik dan juga proses konveksi. Pada periode tersebut sebagian besar daerah di Pulau Jawa mengalami musim kemarau. 600
Curah Hujan (mm)
500 400 300 200 100 0 jan
feb mar
apr
mei
jun
jul
ags sep
okt
nov des
Bulan
Gambar 12. Grafik curah hujan wilayah bulanan rata – rata DAS Ciliwung Hulu 5.3
Analisis Evapotranspirasi
Hasil perhitungan metode Penman FAO keluaran software Irsis diketahui bahwa nilai evapotranspirasi bulanan dan tahunan untuk ketiga stasiun yang dianalisis tidak nenunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk stasiun Citeko nilai evapotranspirasinya 117 mm/bulan dan 1410 mm/tahun, stasiun Gunung Mas 113 mm/bulan dan 1366/tahun, sedangkan stasiun Katulampa 118 mm/bulan dan 1417 mm/tahun. Perbedaan topografi yang relatif rendah untuk daerah Katulampa
menyebabkan daerah ini mrempunyai nilai evapotranspirasi yang relatif lebih tinggi karena penerimaan radiasi surya yang lebih banyak dengan jumlah curah hujan yang tinggi pula. Vegetasi di daerah ini pun sudah relatif berkurang sehingga penguapan air dari permukaan tanah akan lebih banyak menyokong dari proses evapotranspirasi. 160
Evapotranspirasi (mm/bulan)
Angin tersebut mengangkut massa udara yang mengandung uap air yang berasal dari proses penguapan di atas Samudera Hindia dan kemudian membentuk awan potensial yang merata dan menutupi sebagian besar pulau Jawa dan Sumatera. Awan tersebut sangat potensial untuk menghasilkan hujan, sehingga pada periode tersebut di Pulau Jawa dan sekitarnya mengalami musim penghujan.
140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan Citeko
Gn Mas
Katulampa
Gambar 13. Grafik nilai evapotranspirasi 5.4
Analisis Debit Sungai Ciliwung Hulu (1993 – 2005)
Peningkatan debit sungai Ciliwung hulu terjadi pada musim hujan dengan nilai maksimum 195 m3/det. Penurunan debit sungai pada musim kemarau mencapai 0,02 m3/det yang terjadi pada minggu ke-2 Oktober tahun 1997. Penurunan debit minimum yang sangat drastis pada tahun 1997/1998 diduga kuat akibat adanya El Nino pada periode tersebut yang menyebabkan debit sungai menyusut pada musim kering. Selanjutnya analisis debit sungai dibagi menjadi dua periode pengamatan. Periode pertama mulai tahun 1993 sampai dengan 1996 sedangkan periode kedua dari tahun 1997 sampai dengan 2005. Pembagian ini didasarkan pada nilai koefisien rejim sungai yang mulai naik signifikan setelah tahun 1996. Untuk melihat kecenderungan grafik kenaikan debit selama periode tersebut maka data debit dipilah menurut kesamaan probabilitas atau kemungkinanan peluang kejadian suatu nilai melebihi suatu nilai tertentu yang dalam analsis ini digunakan peluang terlampaui di atas 75%. Berikut hasil dari analisis data debit sungai di outlet Katulampa.
250
0 20
200
150
60 80
100
CH (mm/hari)
Debit (m3/dt)
40
100 50 120 0
140 1
251
501
751
1001
1251
1501
1751
2001
2251
2501
2751
3001
3251
Hari (Julian date) CH Debit
Gambar 14. Grafik time series hubungan curah hujan dan debit harian meningkat tajam hingga 6,2%. Sehingga daerah hulu yang seharusnya menjadi daerah resapan air (catchment area) perlahan – lahan berubah fungsi menjadi daerah padat hunian akibat maraknya pembukaan lahan.
250
D eb it ( m 3/d t )
200 150 100
5.5
Analisis DAS
50
0
20
40
60
80
100
120
140
Hujan (mm/hari) per 1997-2005
per 1993-1996
Gambar 15. Hubungan antara curah hujan dengan distribusi debit periode 1993 - 2005. Curah hujan dan debit harian telah dipilah berdasarkan kesamaan exeedance probability (peluang kejadian suatu nilai melebihi suatu nilai tertentu). Secara umum peningkatan debit seiring dengan peningkatan curah hujan Terjadi peningkatan debit harian yang cukup signifikan antara periode tahun pertama (1993 – 1996) dan periode kedua (1997 – 2005). Pada periode tahun kedua rata – rata debit hariannya lebih tinggi dibandingkan periode pertama dengan puncaknya mencapai dua kali debit puncak periode tahun pertama. Debit harian rata – rata periode pertama sebesar 12,32 m3/det sedangkan periode kedua sebesar 18,41 m3/det. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh ekosistem bagian hulu yang lahannya terus terkonversi untuk lahan hutan dan kebun sebagai penyangga air hujan pada musim hujan dan penyimpanan air pada saat musim kering. Tercatat untuk klasifikasi hutan baik hutan lebat maupun hutan semak telah berkurang 3,9%, kebun teh telah berkurang 4,5%, sdangkan pemukiman
Penyangga
Analisis lain yang dilakukan dengan data empiris curah hujan dan debit sungai Ciliwung hulu adalah aplikasi perhitungan kuantitatif dari beberapa indikator. Hasil perhitungan kuantitatif dari beberapa indikator fungsi hidrologi DAS disajikan pada Gambar 16. Indikator penyangga (buffering indicator) cenderung berkorelasi negatif dengan total debit sungai sehingga peningkatan debit akan menurunkan kapasitas menyangga dari sungai. Indikator penyangga menunjukkan tingkat penurunan yang relatif rendah pada kondisi puncak kejadian hujan (buffering peak events). 0.999
0.9985
0.998 BI
0
Indikator
0.9975
0.997 y = -0.6534x + 0.9999 R2 = 0.902 0.9965 0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
TWY
Gambar 16a. Hubungan indikator penyangga terhadap TWY
tanam terhadap debit sungai terjadi karena vegetasi dapat menghalangi jalannya limpasan langsung permukaan dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah sehingga akan menurunkan laju debit sungai.
1.000000 0.999000 0.998000
BPE
0.997000 0.996000 0.995000
y = -1.1931x + 1.0009 R2 = 0.4478
0.994000 0.993000 0.992000
5.6 0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
TWY
Gambar 16b. Hubungan indikator penyangga puncak kejadian hujan terhadap TWY 0.6 0.5
RBI
0.4 0.3 0.2 y = 16.306x + 0.2553 R2 = 0.0543
0.1 0 0
0.001
0.002
0.003
0.004
0.005
TWY
Gambar 16c. Hubungan indikator penyangga relative terhadap total debit terhadap TWY Dari Gambar 16 terlihat bahwa indikator penyangga DAS berkorelasi negatif dan cenderung menurun terhadap nilai transmisi air pada saat bulan – bulan hujan. Berbeda pada indikator penyangga relatif terhadap total debit yang tidak memperhitungkan luasan area cenderung tidak terpengaruh terhadap perubahan nilai transmisi air (TWY) yang ditunjukkan dengan pola grafik yang tidak teratur. Hal ini sesuai dengan penelitian Van Noordwidjk et al., (2004) di DAS Sumber Jaya Lampung yang menunjukkan indikator penyangga DAS semakin menurun apabila korelasinya negatif terhadap transmisi air. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan menyangga DAS semakin berkurang terhadap produksi limpasan pada musim hujan setiap tahunnya. Penurunan kemampuan menyangga ini dapat disebabkan oleh menurunnya daya dukung daerah disekitar aliran sungai yang telah berubah menjadi daerah pertanian dan pemukiman pada kurun waktu 1993 – 2005. Kemampuan suatu penggunaan lahan dalam menahan curah hujan dan mengurangi terjadinya debit sungai serta menyerapkan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah terutama vegetasi (Asdak 1995, Chapman et al., 2003) dan sifat tanah (Purwowidodo, 1999) dari lahan tersebut. Asdak (1995) menyatakan bahwa pengaruh vegetasi dan cara bercocok
Koefisien Rejim Sungai (KRS)
Kriteria lain yang digunakan untuk menilai fungsi hidrologi suatu DAS adalah dengan melihat nilai koefisien rejim sungai tiap tahunnya. Koefisien rejim sungai merupakan perbandingan antara debit harian rata – rata maksimum dan debit harian rata – rata minimum. Kecendrungan kenaikan nilai KRS menunjukkan bahwa fungsi hidrologi DAS semakin menurun demikian sebaliknya. semakin kecil koefisien ini berarti kondisi hidrologi dari suatu wilayah DAS semakin baik Batasan yang diberikan untuk menilai indikator ini adalah sebagai berikut (Asdak, 1995): KRS < 50 baik; 50 ≤ KRS < 120 sedang; KRS ≥ 120 buruk. 2500
2000 1500 KRS
0.991000
y = 25.503x 0.8151 R2 = 0.1267
1000 500
0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 17. Grafik nilai KRS tahun 1993 – 2005 Dari analisis data didapatkan bahwa KRS mulai mengalami kenaikan yang cukup signifkan mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 1999 dengan niai KRS tertinggi dicapai pada tahun 1998 sebesar 2040 hasil perbandingan dari debit maksimum 61,2 m3/det dan debit minimumnya 0,03 m3/det. Selisih yang sangat besar antara debit maksimum dan debit mimimum pada saat musim hujan dan musim kering mengindikasikan bahwa pada saat musim hujan debit sungai dapat mendatangkan banjir tetpai pada saat musim kemarau debit sungai sangat kecil hingga menyebabkan kekeringan disekitar daerah aliran sungai. Sepanjang rentang data pengamatan nilai KRS menunjukkan tahun 1993 -1995 koefisien baik karena nilai berkisar kurang dari 50, tahun 1996 – 2001 menunjukkan nilai KRS yang sangat buruk dengan kisaran 182 hingga 353,7, dan pada tahun 2002 – 2005
menunjukkan nilai KRS baik hingga sedang dengan nilai 36,6 sampai dengan 103,3. Simulasi Model GenRiver untuk Evaluasi dan Prediksi Debit Untuk mempelajari hubungan curah hujan, debit sungai dan alih guna lahan dilakukan simulasi model GenRiver menggunakan data-data daerah Ciliwung hulu. Untuk itu dilakukan simulasi model dengan komposisi 25,5% hutan pada awal simulasi dengan penurunan hingga 21,6% pada akhir simulasi selama periode 13 tahun.
Peningkatan luasan pemukiman dari 19,6% hingga 25,8% dengan penurunan luas areal pertanian dari 17,1% hingga 9,4%. Perbandingan debit dari data empiris (data pengukuran) dengan hasil simulasi model GenRiver untuk tahun ke -1(1994) dan ke11(2004) disajikan pada Gambar 18. Tahun ke – 1 mewakili kondisi awal simulasi (25,5% areal hutan) dan tahun ke-11 mewakili kondisi akhir simulasi dengan 21,6% areal hutan
35
Debit Aktual
30
Debit Prediksi
Debit (mm/hari)
25 20 15 10 5 0 1
18 35 52 69
86 103 120 137 154 171 188 205 222 239 256 273 290 307 324 341 358 Hari
Gambar 18a. Hasil simulasi GenRiver pada tahun 1994 60 55
Debit Aktual
Debit Prediksi
50 Debit (mm/hari)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1
18 35 52 69 86 103 120 137 154 171 188 205 222 239 256 273 290 307 324 341 358 Hari
Gambar 18b. Hasil simulasi GenRiver pada tahun 2004 Perbandingan hasil simulasi dengan data pengukuran tidak dapat dilakukan dengan melihat kedekatan setiap titik hasil simulasi dengan data pengukuran. Hasil tersebut secara umum berarti simulasi model dapat menghasilkan pola debit yang sama dengan data pengukuran walaupun masih belum bisa mendekati beberapa titik puncak dan aliran dasar. Dari uji keabsahan model simulasi pertama, dilihat dari kesesuaian pola bahwa debit prediksi mendekati pola debit pengukuran dengan nilai koefisien
determinasi model sebesar 0,55 yang berarti peluang data terwakili sebesar 55% sedangkan nilai rmsenya 1,7. Hal ini karena ragam (variance) dari debit prediksi yang lebih besar dari data pengukuran. Sedangkan untuk simulasi kedua, pola debit prediksi juga mendekati pola debit aktualnya dengan koefisien determinasi model (R2) mencapai 0,71 yang berarti peluang data terwakili sebesar 71% dan nilai rmsenya sebesar 2,7. Debit sungai pada tahun
ke-11 relatif lebih tinggi dibandingkan debit pada tahun ke-1(Gambar 18). Namun demikian peningkatan debit maksimum pada tahun ke-11 cukup signifikan dari tahun ke-1. Debit sungai tahun ke-11 lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan tahun ke-1 yang cenderung stabil setelah memasuki musim kering yaitu hari ke-201 hingga akhir tahun 1994.
meskipun waktu terjadinya hampir dapat bersamaan. Debit maksimum aktual dan prediksi tercapai pada tengah bulan Januari. 5.8
Analisis Sensitivitas Tutupan Lahan.
Parameter
Analisis sensitivitas dilakukan baik terhadap parameter tipe penggunaan lahan maupun terhadap peubah curah hujan. Parameter tipe penggunaan lahan yang dipilih adalah perubahan tipe tutupan lahan yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, dan sawah. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sensitivitas model terhadap perubahan tutupan lahan di suatu DAS akibat dari perubahan penggunaan lahan yang taerhadap nilai – nilai luarannya.
Pada simulasi tahun pertama debit maksimum tercapai pada besaran 44,40 m3/dt untuk data aktual sedangkan untuk debit prediksi mencapai 49,16 m3/dt. Debit minimum aktual 1.93 m3/dt dan prediksinya 1,13 m3/dt Perbedaan ini tidak terlalu jauh yang disebabkan oleh parameterisasi yang masih harus diuji lebih lanjut karena secara grafik untuk pola debit harian model mendekati pola debit harian aktualnya. Debit maksimum ini tercapai pada saat memasuki puncak musim hujan atau pada bulan Februari. Selanjutnya untuk simulasi tahun ke-11, debit maksimum aktual tercapai pada besaran 82,46 m3/dt sedangkan untuk debit prediksinya 99,36 m3/dt. Debit minimum aktual 1,20 dan prediksinya 2,35. Pada simulasi tahun ke-11 ini penyimpangan data aktual dan prediksinya juga tidak terlalu besar karena parameternya mendekati ketelitian
Langkah yang dilakukan dalam analisis sensitivitas parameter penggunaan lahan adalah menambah 5 – 10% dan mengurangi 5 – 10% dari masing – masing parameter. Penambahan dan pengurangan lahan 5% akan mengurangi dan menambah 1,25% pada setiap penggunaan lahan lainnya sedangkan penambahan dan pengurangan lahan 10% akan mengurangi dan menambah 2,5% pada setiap penggunaan lahan lainnya. Model dijalankan dengan data parameter penggunaan lahan yang telah diubah.
Tabel 7. Perbandingan luaran model pada beberapa nilai paramater penggunaan lahan dengan luaran model dan nilai awal. luaran model pada perubahan hutan (%) +5 +10
0 var luaran Total debit
∆ (mm)
(mm)
1432
1349
0
(mm)
Total debit
%
mm
(mm)
1432
1494
0
(mm)
mm
mm
(mm)
1432
1380
(mm) -80
%
mm
mm
%
97
6.8
1608
176
12.3
-5
-10 ∆
%
mm
62 4.3 1572 140 9.8 1375 luaran model pada perubahan perkebunan (%) +5 +10 ∆
(mm)
∆
mm
∆ %
-10 ∆
mm
∆ (mm)
var luaran Total debit
∆
% mm -83 -5.8 1249 -183 12.8 1529 luaran model pada perubahan pemukiman (%) +5 +10
var luaran
-5
∆
mm
%
mm
mm
%
-57
-4
1321
-111
-7.8
-5
∆
-10 ∆
∆
%
mm
mm
%
mm
mm
%
mm
mm
%
-5.6
1274
-158
-11
1504
72
5
1585
153
10.7
luaran model pada perubahan sawah (%) +5 +10
0 var luaran Total debit
∆ (mm)
(mm)
1432
1462
0
Total debit
∆
(mm)
%
mm
mm
∆ (mm)
(mm)
1432
1458
mm
26
%
mm
mm
%
-29
-2
1383
-49
-3.4
-5
-10 ∆
%
mm
mm
%
mm
mm
1.8
1469
37
2.6
1408
-24
Hasil analisis sensitivitas pada Tabel 7 terlihat bahwa variasi perubahan penggunaan/tutupan lahan selalu diikuti dengan perubahan luaran model yang berupa total debit selama setahun. Dari lima parameter yang dirubah untuk menganalisa sensitivitas model GenRiver perubahan hutan dan perkebunan yang paling sesuai dengan persentase perubahan parameter. Hal ini karena hutan dan perkebunan mempunyai kemampuan untuk menahan laju air hujan ketika jatuh ke permukaan tanah melalui kanopi pada bagian atas dan serasah pada bagian bawah. Dengan demikian air hujan tidak seluruhnya secara langsung akan membentuk limpasan akan tetapi sebagian tertahan oleh tajuk untuk kemudian diuapkan dan sebagian lagi terserap oleh akar – akar pohon besar dan terinfiltrasi pada saat curah hujan menurun. Kemampuan masing –masing lahan di sub DAS Ciliwung Hulu dalam menghasilkan debit terutama terkait dengan kemampuan masing – masing lahan tersebut dalam menghasilkan runoff. Ini disebabkan runoff merupakan komponen pembentuk debit yang memberikan sumbangan aliran air
∆
mm
∆
(mm)
-10 ∆
%
30 2.1 1472 42 2.9 1403 luaran model pada perubahan tegalan (%) +5 +10
var luaran
-5
∆ % 1.7
mm
mm
%
1392
-40
-2.8
paling besar dibandingkan dengan sumbangan air dari komponen pembentuk debit lainnya yaitu interflow dan baseflow. 5.9
Analisis Sensitivitas terhadap Curah hujan
Model
Pertimbangan ini dilakukan karena parameter curah hujan sangat berperan dalam proses kesetimbangan air. Curah hujan akan langsung berpengaruh pada besarnya aliran. Analisis sensitivitas dilakukan dengan melihat pengaruh perubahan luaran model apabila peubah ini divariasikan. Langkah yang dilakukan adalah dengan menambah 5 – 10%, dan mengurangi 5 – 10% dari peubah curah hujan sementara peubah yang lainya tetap. Model dijalankan dengan data yang telah dirubah. Luaran yang dibandingkan adalah total debit selama setahun. Data masukan yang akan digunakan adalah data simulasi tahun 2004 dengan parameter tanah dan penggunaan lahan yang telah dikalibrasi. Data curah hujan rata – rata normal digunakan untuk menjalankan model luarannya merupakan nilai awal.
Tabel 8. Perbandingan luaran model pada beberapa nilai peubah curah hujan dan nilai awal. luaran model pada perubahan hujan (%) 0 +5 +10 -5 -10 var luaran
∆ (mm)
Total debit
1432
(mm) 1528
(mm) 96
∆ %
mm
mm
%
mm
6.7
1618
186
13
1332
Berdasarkan hasil skenario di atas, kontribusi curah hujan terhadap perubahan luaran model cukup nyata. Kenaikan 5% hujan menyebabkan perubahan total debit
∆ mm % 100 - 7
∆ mm 1246
mm 186
% 13
sebesar 6,7%, kenaikan hujan 10% menaikkan 13% total debit. Sedangkan untuk penurunan hujan 5% telah menurunkan total debit hingga 4,9% dan penurunan hujan 10%
menurunkan total debit hingga 10%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan model GenRiver lebih sensitive terhadap perubahan curah hujan apabila dibandingkan dengan perubahan penggunaan/tutupan lahan. Pengaruh curah hujan yang secara langsung terhadap kesetimbangan air di permukaan tanah menyebabkan peubah ini sangat sensitive mempengaruhi fluktuasi debit. Hasil Prediksi Debit menggunakan Model GenRiver Untuk melihat pengaruh alih guna lahan dan variasi curah hujan terhadap debit harian di DAS Ciliwung hulu dilakukan simulasi GenRiver. Penggunaan model dilakukan dengan menerapkan beberapa kemungkinan skenario untuk mengetahui penggunaan lahan yang paling optimal dalam menekan fluktuasi debit, skenario yang akan digunakan adalah perubahan luas penggunaan
lahan seperti yang tercantum pada Tabel 4 dengan skenario variasi curah hujan rata – rata normal, + 25%, dan -25%. Skenario pertama menggunakan perubahan lahan tegalan dan perkebunan masing – masing 9,1% dan 4,3% menjadi lahan hutan, sementara penggunaan lahan lainnya tetap. Dengan penambahan ini maka lahan hutan menjadi 35%. Sedangkan skenario kedua mengalihgunakan 8,6% lahan perkebunan, 12,2% pemukiman, 9,1% tegalan, dan 4,3% sawah menjadi lahan hutan. Dengan pengalihugunaan ini lahan hutan menjadi 55,8% dari area DAS. Secara konsep penambahan lahan hutan dapat menurunkan debit maksimum dan debit harian karena intersepsi oleh tajuk dan penyerapan oleh akar pohon – pohon besar. Berikut hasil skenario selengkapnya pada Tabel 9 sedangkan untuk gambar grafiknya ada di Lampiran 4.
Tabel 9. Debit hasil luaran model pada berbagai skenario lahan dan hujan (satuan dalam m3/dt) Skenario 1
Var. Luaran
Skenario 2
CH rata-rata
CH + 25%
CH -25%
CH rata-rata
CH +25%
CH -25%
Debit rata2
13.25
16.48
9.73
8.89
11.1
7.13
Debit max
92.43
113.84
69.32
61.44
76.73
49.31
Debit min
2.37
2.96
0.56
2.90
3.63
2.17
KRS
39
38.46
123.79
21.19
21.14
22.72
Penggunaan berbagai skenario memberikan perubahan yang nyata terhadap KRS dan debit maksimum. Namun perubahan tersebut kurang nyata terhadap debit minimum, sehingga nilai KRS lebih
banyak dipengaruhi oleh debit maksimum. Berikut grafik yang menggambarkan kecenderungan pada berbagai skenario yang telah dilakukan. 40 Discharge skenario (mm/day)
Dari hasil simulasi debit model GenRiver skenario 1 maka dapat diketahui besaran volume debit maksimum selama satu hari sebesar 7.985.952 m3 pada kondisi curah hujan normal dengan debit minimum 204.768 m3, 9.835.776 m3 dan debit minimum 255.744 m3 dengan penambahan hujan 25%, dan 5.989.248 m3 dan debit minimum 48.384 m3 dengan pengurangan hujan 25%. Sedangkan pada skenario 2 diperoleh volume debit maksimum pada kondisi hujan normal turun menjadi 6.447.168 m3 dan debit minimumnya 217.728, 7.285.248 m3 dan debit minimum 243.648 pada penambahan hujan 25%, dan 4.923.072 m3 dan debit minimumnya 185.760 m3 pada pengurangan hujan 25%.
35 30 25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
Discharge aktual rata-rata (mm /day) rata-rata aktual SK2CHrata-rata
SK1CHrata-rata SK2CH-25%
SK1CH-25% SK2CH+25%
SK1CH+25%
Gambar 19. Plot hubungan debit model skenario terhadap debit model kondisi ratarata aktual. Skenario 1 dengan penambahan hujan 25% ternyata nilainya melebihi pada kondisi aktual normal. Sedangkan skenario lainnya mempunyai kecenderungan nilai
debit berada di bawah debit pada kondisi normal aktualnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa skenario 1 dengan hujan naik 25% akan meningkatkan rata – rata debit normal aktualnya. Perubahan debit sebagai hasil perubahan luasan lahan serta penambahan dan pengurangan curah hujan pada masing – masing skenario dipengaruhi oleh kemampuan masing – masing lahan dalam menghasilkan debit. Tipe penggunaan lahan dan kondisinya mempengaruhi besarnya runoff melalui pengaruhnya terhadap laju infiltrasi tanah. Dedaunan dan serasah menjaga infiltrasi potensial tanah dengan mencegah penutupan permukaan tanah akibat tetesan air hujan. Sebagian tetesan air hujan tertahan pada permukaan daun, meningkatkan kemungkinan air hujan tersebut terevaporasi kembali ke atmosfer. Sebagian kelembaban yang diintersepsi akan sudah mengering selama mengalir dari tanaman ke bawah menuju tanah sehingga tidak memberikan kontribusi pada masa awal terjadinya runoff.
VI. 6.1
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1.
Perubahan lahan dari tahun 1994 – 2004 didominasi oleh tegalan yang meningkat luasannya hingga 9,1%, kedua areal sawah yang menurun hingga 7,7%, dan ketiga pemukiman yang meningkat hingga 6,2% dari total luas lahan.
2.
Hasil perhitungan dan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan penurunan indikator penyangga (buffering indicator). Penurunan indikator penyangga dari tahun 1993 – 2005 menurun dari 0,998883 sampai 0,996705 cenderung diikuti dengan peningkatan nilai transmisi air dari 0,001538 sampai dengan 0,004708.
3.
Nilai koefisien rejim sungai (KRS) memiliki kecenderungsn naik selama periode tahun 1993 – 2005 yang mengindikasikan DAS Ciliwung Hulu semakin kritis.
4.
Model GenRiver cukup peka terhadap variasi perubahan penggunaan lahan khususnya hutan dan perkebunan dan variasi hujan.
6.2
Saran 1.
Hasil simulasi model GenRiver untuk tahun pertama (1994) masih harus dilakukan parameterisasi lebih lanjut sehingga didapatkan tidak hanya model yang mendekati pola aktual tetapi secara statistik juga memiliki nilai korelasi yang tinggi.
2.
Nilai debit hasil simulasi untuk setiap periode cenderung selalu di atas nilai aktualnya (over estimate) sehingga untuk nilai debit skenario dapat juga tidak tepat.