27
IV. KONDISI UMUM WILAYAH
4.1. Kota Banjarmasin Secara geografis Kota Banjarmasin terletak pada posisi antara 3 15’ LS 3 22’ LS dan 114 52’ LS - 114 98’ LS. Adapun jika ditinjau secara administratif Kota Banjarmasin memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut : •
Sebelah Utara
: Kabupaten Barito Kuala,
•
Sebelah Selatan
: Kabupaten Banjar,
•
Sebelah Barat
: Kabuaten Barito Kuala,
•
Sebelah Timur
: Kabupaten Banjar.
Kota ini memiliki luas wilayah mencapai ± 9.700 Ha atau 0,22% dari luas wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin dibagi dalam 5 wilayah kecamatan dan 60 kelurahan, dengan pembagian wilayah adminstratif Kecamatan yaitu Banjarmasin Utara, Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin Barat, dan Banjarmasin Timur (Gambar 6).
Gambar 6 . Peta Administrasi Kota Banjarmasin Sumber: RTRW Kota Banjarmasin, 2007
27
Dari gambaran kondisi geografis dan administrasi, Kota Banjarmasin berada di tepi Sungai Barito dan merupakan pintu masuk untuk 2 provinsi yang ada di Pulau Kalimantan yaitu Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga sangat berpotensi sebagai pusat perdagangan baik lingkup lokal maupun regional. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, disebutkan bahwa dalam Sistem Perkotaan Nasional Kota Banjarmasin ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN), dengan fungsi dan peranannya sebagai kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. Dalam studi ini, yang menjadi objek studi adalah lanskap Sungai Kelayan. Sungai ini berada di wilayah administrasi Kecamatan Banjarmasin Selatan yang mengaliri 7 kelurahan yaitu Kelurahan Kelayan Barat, Kelayan Luar, Kelayan Tengah, Kelayan Dalam, Kelayan Timur, Tanjung Pagar dan Murung Raya.
4.2. Kecamatan Banjarmasin Selatan 4.2.1. Batas Administrasi Berdasarkan
batas
administratif,
Kecamatan
Banjarmasin
Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Banjarmasin Barat, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin Timur di sebelah utara; Kabupaten Banjar di sebelah selatan; Kabupaten Barito Kuala di sebelah barat; dan Kecamatan Banjarmasin Timur di sebelah timur. Kecamatan Banjarmasin Selatan memiliki luas wilayah 2.018 Ha yang terbagi atas 11 kelurahan dan 169 Rukun Tetangga (RT).
27
No Scale
Gambar 7 . Peta Administrasi Kecamatan Banjarmasin Selatan Sumber: RTDRK Banjarmasin Selatan, 2007
4.2.2. Topografi Kecamatan Banjarmasin Selatan terletak sekitar 50 km dari muara Sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura, sehingga secara umum kondisi morfologi Banjarmasin didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berada di dataran rendah. Daerah ini terletak di bawah permukaan laut rata-rata 0,16 m (dpl) dengan tingkat kemiringan lahan 0–2%. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah Kota Banjarmasin, sedangkan jika dibandingkan dengan luas Provinsi Kalimantan Selatan, proporsi kondisi morfologi ini mencapai 14%. Kondisi morfologi ini sangat menunjang bagi pengembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Banjarmasin Selatan merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air.
27
4.2.3. Geologi dan Jenis Tanah Struktur geologi dapat dibagi ke dalam beberapa formasi, dimana masingmasing formasi ini tersebar secara acak di Kota Banjarmasin. Kondisi geologi ini ditentukan berdasarkan peta geologi dan data pengujian teknis pada satuan batuan di wilayah perencanaan, dan diketahui bahwa sebagian besar formasi batuan dan tanah di wilayah Banjarmasin Selatan adalah jenis Alluvium (Qa) yang dibentuk oleh kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur. Adapun kondisi dan struktur geologi di Banjarmasin Selatan adalah sebagai berikut : 1. Formasi Berai (tomb); terbentuk dari batu gamping putih berlapis dengan ketebalan 20–200 cm. Formasi ini mengandung fosil berupa batu koral dan ganggang, dengan sisipan napal berlapis berketebalan 10–15 cm dan batuan lempung berlapis dengan ketebalan 2–74 cm. 2. Formasi Dahor (Tqd); dibentuk oleh batu pasir kwarsa, konglomerat, dan batu lempung, dengan sisipan lignit berketebalan 5–10 cm. 3. Formasi Karamaian (Kak); dibentuk oleh perselingan batu lanau dan batu lempung. Formasi ini bersisipan dengan batu gamping yang memiliki ketebalan berkisar 20–50 cm. 4. Formasi Pudak (Kap); dibentuk oleh lava yang ditambah perselingan antara bleksi/konglomerat dan batu pasir dengan olistolit (masa batuan asing) berupa batu gamping, basal, batuan malihan dan ultramafik. 5. Formasi Tanjung (Tet); dibentuk oleh batu pasir kwarsa berlapis (50–150 cm) dengan sisipan batu lempung kelabu yang memiliki ketebalan 30–150 cm pada bagian atas, serta batubara hitam mengkilap dengan ketebalan 50–100 cm pada bagian bawah. 6. Alluvium (Qa); dibentuk oleh kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur. Di samping itu banyak juga dijumpai sisa-sisa tumbuhan serta gambut pada kedalaman tertentu. 7. Formasi Pitanak (Kvep); disusun dan dibentuk oleh lava yang terdiri atas struktur bantal berasosiasi dengan breksi dan konglomerat. 8. Kelompok batuan Ultramafik (Mub); disusun oleh harzborgit, piroksenit dan serpentinit.
27
Secara umum, jenis tanah yang dominan Alluvial dan sebagian berupa tanah Organosol Glei Humus. Jenis tanah ini mempunyai ciri tanah dengan tingkat kesuburan yang baik, sehingga potensial untuk pengembangan budidaya tanaman pangan (khususnya padi sawah dan hortikultura). Masalahnya dominasi jenis tanah ini terdapat pada lahan datar, sehingga kendala yang sering terjadi adalah tanah ini akan tergenang air pada musim hujan.
4.2.4. Hidrologi Secara hidrologi (terutama air permukaan), Banjarmasin Selatan dikelilingi oleh sungai-sungai besar beserta cabang-cabangnya, mengalir dari arah utara dan timur laut ke arah barat daya dan selatan. Sungai-sungai tersebut mengalir dan membentuk pola aliran mendaun (dendritic drainage patern). Sungai utama yang besar adalah Sungai Barito dengan beberapa cabang utama seperti Sungai Martapura, Sungai Alalak dan sebagainya. Muka air Sungai Barito dan Sungai Martapura dipengaruhi oleh pasang surut Laut Jawa, sehingga mempengaruhi drainase kota dan apabila air laut pasang sebagian wilayah digenangi air. Rendahnya permukaan lahan (–0,16 dpl) menyebabkan air sungai menjadi payau dan asin di musim kemarau, karena terjadi intrusi air laut. Secara umum, tipe pasang surut yang ada di Kecamatan Banjarmasin Selatan sama dengan Kota Banjarmasin adalah tipe diurnal, dimana dalam 24 jam terjadi gelombang-pasang 1 kali pasang dan 1 kali surut. Lama pasang rata-rata 5-6 jam dalam satu hari. Selama waktu pasang, air di Sungai Barito dan Sungai Martapura tidak dapat keluar akibat terbendung oleh naiknya muka air laut. Kondisi ini tetap aman selama tidak ada penambahan air oleh curah hujan tinggi. Air yang terakumulasi akan menyebar ke daerah-daerah resapan seperti rawa, dan akan keluar kembali ke sungai pada saat muka air sungai surut. Kondisi kritis terjadi pada saat muka air pasang tertinggi waktunya bersamaan dengan curah hujan maksimum. Aliran air yang terbendung di bagian hilir sungai yang menyebabkan debit air sungai naik dan menyebar ke daerah-daerah resapan, debitnya akan mendapat tambahan dari air hujan. Apabila kondisi daerah resapan tidak mampu lagi menampung air, maka air akan bertambah naik dan meluap ke daerah-daerah permukiman dan jalan.
27
Variasi tinggi permukaan air pasang surut, berkisar antara 2,0 m pada pasang purnama sampai 0,6 m pasang surut biasa (P3KT Kalimantan, 1990), sedangkan permukaan air Sungai Barito pada saat pasang maksimum mempunyai level +0,82 dpl, dan pada saat surut -0,10 dpl (Laporan Hasil Pengukuran Muka Air dan Analisa Kualitas Air di Banjarmasin, DHV/MLD, 1997). Pada daerah permukiman ketinggian muka air pasang surut tergantung dari jarak ke sungai terdekat. Untuk sungai di Banjarmasin, ketinggian permukaan air sungai umumnya mengacu pada pasang surut air di muara (ambang luar) Sungai Barito, karena semua sungai yang ada di Banjarmasin dipengaruhi oleh pasokan air dari muara sungai. Kondisi muka air sungai maupun rawa di wilayah Banjarmasin sebagai berikut: 1. Sungai Barito Sungai Barito terjadi perbedaan muka air pada waktu pasang dan surut di muara sungai Kuin 177 cm dan ke arah hulu di muara Sungai Alalak adalah 191 cm. 2. Sungai Martapura Sungai Martapura terjadi perbedaan muka air pasang dan surut masing-masing di lokasi Sungai Basirih 179 cm dan 18 cm di atas tanah rata-rata. Kecepatan arus permukaan sungai relatif lamban, tergantung kepada kondisi pasang surut. Ketika kondisi surut arus mengarah ke bagian hilir dan sebaliknya ketika pasang arus kembali ke bagian hulu. Kecepatan arus ketika pasang berkisar antara 0,28–0,37 m/s (rata-rata 0,34 m/s), sedangkan pada saat surut antara 0,32–0,39 m/s (rata-rata 0,36 m/s). Kemiringan sungai sangat kecil, karena kondisi topografi yang relatif datar dengan arus lamban, serta banyaknya hambatan berupa tumbuhan air dan tumbuhan rawa di sekitar sungai, sampah-sampah, endapan lumpur yang besar dan banyaknya rumah-rumah penduduk yang dibangun di pinggir sungai. Bentuk sungainya yang berkelak-kelok menimbulkan meander, dimana hal ini dapat dicirikan dari munculnya aktivitas erosi yang dominan ke arah samping (lateral), serta munculnya pulau-pulau kecil pada alur Sungai Barito yang bertemu dengan anak sungainya. Banjarmasin Selatan sendiri memiliki kesan sebuah pulau atau
27
delta yang terbentuk akibat bertemunya arus Sungai Barito dengan Sungai Martapura.
4.2.5. Iklim Secara klimatologi, wilayah perencanaan beriklim tropis dengan klasifikasi tipe iklim A dengan nilai Q= 14,29% (rasio jumlah rata-rata bulan kering dengan bulan basah). Temperatur udara bulanan di wilayah ini rata-rata 26° C–38° C dengan sedikit variasi musiman. Curah hujan tahunan rata-rata mencapai 2.400 mm–3.500 mm dengan fluktuasi tahunan berkisar antara 1.600 mm–3.500 mm. Penyinaran matahari rata-rata pada saat musim hujan 2,8 jam/hari dan di musim kemarau 6,5 jam/hari. Kelembaban udara relatif bulanan rata-rata tersebar jatuh pada bulan Januari yaitu ± 74–91% dan terkecil pada bulan September yaitu ± 52%. Evaporasi dari permukaan air bebas karena penyinaran matahari dan pengaruh angin, rata-rata harian sebesar 3,4 mm/hari di musim hujan dan 4,1 mm/hari di musim kemarau. Evaporasi maksimum yang pernah terjadi sebesar 11,4 mm/hari dan minimum 0,2 mm/hari.
4.2.6. Tata Guna lahan
Pola penggunaan lahan secara umum masih didominasi oleh daerah persawahan seluas 56.916 Ha atau 31,53 %, dan rawa 43.272 ha atau 23,97 % dari luas Kecamatan Banjarmasin Selatan. Kecamatan Banjarmasin Selatan memiliki areal perumahan terbangun seluas 8.131 Ha dari sekitar 4,50 % luas lahan keseluruhan. Penggunaan lahan di Kecamatan Banjarmasin Selatan tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 4.
27
Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Banjarmasin Selatan Tahun 2007 No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Bangunan dan Halaman 8.131 4,50 2 Persawahan 56.911 31,53 3 Tegalan/Kebun 7.150 3,96 4 Ladang/Huma 10.602 5,87 5 Padang Rumput/Pengembalaan 2.457 1,36 6 Rawa-rawa 43.272 23,97 7 Kolam/Tabat/Empang 512 0,28 8 Lahan Tidak Diusahakan 3.299 1,83 9 Hutan Rakyat 7.136 3,95 10 Hutan Negara 20.139 11,16 11 Perkebunaan 12.630 7,00 12 Lain-lain 8.255 4,57 Jumlah 180.494 100,00 Sumber: Kec. Banjamasin dalam angka 2007
4.2.7. Aspek Kependudukan 4.2.7.1. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Menurut Data BPS Kota Banjarmasin data kependudukan, menunjukkan jumlah penduduk tahun 2007 di Banjarmasin Selatan 190.157 jiwa, dengan ratarata jiwa dalam keluarga 3-5 jiwa. Penduduk dengan 3 jiwa/ keluarga terdapat di Kelayan Selatan dan Kelayan Dalam, sedangkan 5 jiwa/ keluarga terdapat di Pemurus Baru dan Kelayan Tengah. Sedangkan kawasan lainnya 4 jiwa/ keluarga.
4.2.7.2. Kepadatan Penduduk Kepadatan rata-rata di kawasan perencanaan Banjarmasin Selatan adalah 23.751 jiwa/ km2. persebaran kepadatan pada masing-masing kelurahan rata-rata yang ada dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kepadatan, yaitu : 1. Kawasan dengan kepadatan sangat tinggi diatas rata-rata kepadatan Banjarmasin Selatan, yaitu : -
Kawasan Kelayan Dalam 74.913 jiwa/ km2. Kawasan Kelayan Tengah 70.621 jiwa/ km2. Kawasan Kelayan Barat 60.207 jiwa/ km2.
2. Kawasan dengan kepadatan sangat tinggi sekitar rata-rata kepadatan Banjarmasin Selatan, yaitu :
27
-
Kawasan Murung Raya 24.566 jiwa/ km2.
3. Kawasan dengan kepadatan sedang dibawah rata-rata kepadatan Banjarmasin Selatan, yaitu : -
Kawasan Kelayan Timur 14.292 jiwa/ km2. Kawasan Pemurus Baru 9.334 jiwa/ km2.
4. Kawasan dengan kepadatan rendah dibawah rata-rata kepadatan Banjarmasin Selatan, yaitu : -
Kawasan Kelayan Selatan 6.158 jiwa/ km2. Kawasan Pemurus Dalam 5.174 jiwa/ km2. Kawasan Pekauman 5.809 jiwa/ km2. Kawasan Tanjung Pagar 2.211 jiwa/ km2. Kawasan Mantuil 1.4217 jiwa/ km2.
4.2.8. Aspek Transportasi Ulasan mengenai aspek transportasi di kawasan RDTRK Banjarmasin Selatan meliputi sistem transportasi darat dan sistem transportasi sungai, dengan kondisi sebagai berikut : A. Transportasi Darat Sebagai bagian dari sistem jaringan jalan Kota Banjarmasin, di kawasan Kecamatan Banjarmasin Selatan terdapat beberapa jalan utama dengan fungsi arteri maupun kolektor, yaitu terdiri dari jalan arteri primer, jalan arteri sekunder, dan jalan kolektor sekunder. B. Transportasi Sungai Terdapat sungai besar yang membatasi bagian utara kawasan yaitu Sungai Martapura yang menjadi jalur transportasi sungai utama di kawasan Kecamatan Banjarmasin Selatan pada khususnya dan Kota Banjarmasin pada umumnya. Selain itu juga terdapat beberapa sungai kecil yang masih bisa dilayari, antara lain Sungai Kelayan, Sungai Pekapuran, Sungai Bagau, Sungai Pemurus, Sungai Tatah Bangkal.
4.2.9. Kebijakan Tentang Sungai
27
Dalam usaha untuk melestarikan fungsi sungai yang serba guna yang mengalir di bagian selatan Kota Banjarmasin yang sedang berkembang pesat dan untuk menjaga kelestarian lingkungan secara menyeluruh dan terpadu, maka perlu adanya peraturan dalam penentuan penggunaan lahan daerah sempadan dan penggunaan alur sungai. Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan sehubungan dengan hal diatas adalah Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sungai. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 m sampai dengan 20 m, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 m dihitung dari tepi sungai waktu ditetapkan. Prinsip-prinsip penggunaan lahan sempadan dan alur sungai yang terdapat dalam Perda No. 2 Tahun 2007, adalah: 1. Membangun bangunan di bantaran dan sempadan sungai dilarang, kecuali untuk memberikan perlindungan terhadap sungai dan manfaat lainnya yang sifatnya tidak merusak sungai 2. Diatur pembuangan limbah secara tidak langsung, dengan terlebih dahulu dilakukan pengolahan sehingga tidak mencemarkan air sungai 3. Bebas dari adanya pemukiman liar 4. Bebas dari pembuangan sampah ke dalam daerah sempadan sungai Di dalam penjelasan umum Perda No. 2 Tahun 2007 juga dijelaskan bahwa sungai adalah life support system bagi manusia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, karena itu perlu dilestarikan. Pelestarian yang dikehendaki adalah pelestarian fungsi sungai, yang meliputi sebagai penyediaan air, prasarana transportasi, penyedia tenaga, prasarana pengaliran, dan pariwisata serta aktivitas sosial budaya. Dalam rangka memelihara fungsi sungai tersebut, maka diperlukan instrumen lingkungan yang mampu menjaga pelestariaan sungai berupa pengintegrasian ke dalam rencana tata ruang manfaat sungai, konservasi yang dimasukkan rencana tata ruang dan penetapan kelas-kelas sungai. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sungai merupakan potensi sebagai acuan dalam perencanaan lanskap tepian Sungai Kelayan. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu berupa 20% public space (RTH umum) dan 10% private space (RTH
27
pribadi/ perorangan) juga dapat dijadikan acuan dalam perencanaan luasan ruang terbuka hijau di perkotaan, khusunya pada tapak. Selain kebijakan di atas, ada beberapa kebijakan terkait aksesibilitas, yang dapat dilihat pada Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di Kawasan Tepi Air (Dirjen Cipta Karya, 2000), yaitu: 1) Akses berupa jalan kendaraan berada diantara batas terluar dari sempadan tepi air dengan area terbangun. 2) Jarak antara area masuk menuju ruang publik atau tepi air dari jalan raya sekunder atau tersier minimum 300 m. 3) Jaringan jalan terbebas dari area parkir kendaraan roda empat. 4) Lebar minimum pedestrian way disepanjang tepi air adalah 3 m. Berdasarkan Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di kawasan Tepi Air (Dirjen Cipta Karya, 2000), kebijakan peruntukan lahan di kawasan tepi air adalah: 1) Peruntukan bangunan diprioritaskan atas jenjang pertimbangan: a) Penggunaan lahan yang bergantung dengan air. b) Penggunaan lahan yang bergantung dengan adanya air. c) Penggunaan lahan yang sama sekali tidak berhubungan dengan air. 2) Kemiringan lahan yang dianjurkan untuk pengembangan area publik yaitu antara 00-150. Sedangkan untuk kemiringan lahan di atas 15% perlu penanganan khusus. 3) Jarak
antara
satu
area
terbangun
yang
dominan
diperuntukkan
pengembangan bagi fasilitas umum dengan fasilitas umum lainnya maksimal 2 km. Terkait dengan bangunan, dapat dilihat pada Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di kawasan Tepi Air (Dirjen Cipta Karya, 2000), yaitu: 1) Kepadatan bangunan di kawasan tepi air maksimum 25%. 2) Tinggi bangunan ditetapkan maksimum 15 m dihitung dari permukaan tanah rata-rata pada area terbangun.
27
3) Orientasi bangunan harus menghadap tepi air dengan mempertimbangkan posisi bangunan terhadap matahari dan arah tiupan angin. 4) Bentuk dan desain bangunan disesuaikan dengan kondisi dan bentuk tepi air serta variabel lainnya yang menentukan penerapannya. 5) Warna bangunan dibatasi pada warna-warna alami. 6) Tampak bangunan didominasi oleh permainan bidang transparan seperti tampilan elemen teras, jendela dan pintu. 7) Fasilitas yang dapat dikembangkan pada area sempadan tepi air berupa taman atau ruang rekreasi adalah area bermain, tempat duduk, atau sarana olah raga. 8) Bangunan yang ada di area sempadan tepi air hanya berupa tempat ibadah, bangunan fasilitas umum (MCK), bangunan penjaga sungai/ pantai, bangunan tanpa dinding dengan luas maksimum 50 m2/unit. 9) Tidak dilakukan pemagaran pada area terbangun. Bila pemagaran diperlukan maka tinggi pagar yang diijinkan maksimum 1 meter dengan menggunakan pagar transparan atau dengan tanaman hidup.
Gambar 8. Ilustrasi Penataan Kawasan Tepi Air Perkotaan Berdasarkan Peraturan Bangunan Tepi Air Perkotaan Sumber: Dirjen Cipta Karya, 2000 dan PP RI No. 47 Tahun 1997
V. HASIL DAN PEMBAHASAN