60
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian Daerah penelitian terletak di wilayah pesisir Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah pesisir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wilayah pesisir dari aspek fisik yaitu batas ke arah darat adalah sejauh pengaruh proses yang terjadi di lautan seperti gelombang dan pasang surut sampai ke arah darat dan batas ke arah laut adalah sejauh pengaruh proses yang terjadi di darat memberikan pengaruh di laut. Batas ke arah darat adalah batas secara ekologis ditinjau dari aspek fisiknya dan tidak pada batas kecamatan seperti yang diamanatkan dalam UU No.27 Tahun 2007 (pada Penjelasan) dengan alasan karena fokus penelitian ini adalah pada kajian fisik dan proses fisik yang terjadi. Batas ke arah laut, dengan memperhatikan karakteristik gelombang yang besar yang terdapat di Samudera Hindia sehingga akan cukup sulit untuk menentukan besarnya pengaruh proses yang terjadi di darat yang masuk ke wilayah laut, maka penentuan batas wilayah pesisir ke arah laut adalah pada zone pecah gelombang (breakers zone). Hal ini sesuai dengan definisi wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Shepard (1958, dalam King, 1972). Secara administratif, wilayah pesisir tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo. Daerah penelitian ini sebelah barat dan sebelah timur dibatasi menurut pembagian wilayah secara administratif. Untuk batas sebelah timur berbatasan dengan wilayah adminsitasi Kabupaten Wonogiri dan batas sebelah barat berbatasan dengan wilayah administrasi Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Batas sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan batas sebelah utara adalah bagian daratan yang masih termasuk dalam wilayah pesisir. Secara spasial wilayah pesisir daerah penelitian tersaji secara jelas pada Peta Rupabumi skala 1 : 25.000 lembar 1408-211 (Temon), 1408-212 (Brosot), 1407-543 (Dringo), 1407-544 (Panggang), 1407-631 (Baron), 1407-632 (Jepitu), dan 1407-641 (Paranggupito). Panjang garis pantai secara keseluruhan mendasarkan perhitungan pada peta rupabumi tersebut adalah kurang lebih 112 Km. Letak koordinat daerah penelitian adalah 110o00’13” – 110o49’46”BT dan 07o52’30” – 08o12’10”LS atau dalam koordinat UTM 0390000– 0481250mT dan 9128000 – 9093250mU (Zone 49 M dan 49 L). . Secara grafis lokasi daerah penelitian digambarkan dalam Peta Lokasi Daerah Penelitian.
61
Gambar 15. PETA FOTO CITRA WILAYAH PESISIR
410000 mT
420000
430000
440000
450000
460000 mT
9130000 mU
9130000 mU
PETA REKOMENDASI PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA U
0
2.8
5.6
8.4 Km
Sistem Proyeksi : Universal Transverse Mercator (UTM) Sistem Grid : Grid UTM Zone UTM : 49 M & 49 L
2 9120000
9120000
2 5 2
2
5
9110000
D E R A
LEGENDA :
5
9110000
S A M U
1
H I N D I A
1 4
#
Ibukota Kecamatan Batas Desa Batas Kecamatan Batas Kabupaten Batas Propinsi Jalan Raya Sungai Garis Kontur Batas Wilayah Pesisir
410000 mT
1 2 3 4 5 6 7
5
Tipologi Pesisir Erosi Darat Tipologi Pesisir Pengendapan Darat Tipologi Pesisir Volkanik Tipologi Pesisir Struktural Tipologi Pesisir Pengendapan Laut Tipologi Pesisir Erosi Gelombang Tipologi Pesisir Organik Sumber Data : 1. Peta Rupabumi 1 : 25.000 th. 1998 2. Pengukuran lapangan, Oktober 2006 3. Peta Relief Wilayah Pesisir DIY 4. Peta Materi Penyusun Utama Wilayah Pesisir DIY 5. Peta Proses Genesa Wilayah Pesisir DIY
420000
PROVINSI D.I YOGYAKARTA 0
5 Km
U
7
9100000 mU
9100000 mU
Tipologi Fisik Pesisir
7 3 6
SA MU D
ER A
HIN
DI A
Disusun Oleh : Nurul Khakhim No. Mhs. C 261030011/SPL
Lokasi Penelitian
430000
2
440000
450000
460000 mT
62
4.2. Iklim Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Unsur-unsur penyusun iklim antara lain meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu udara dan angin. Curah Hujan Data curah hujan selama 15 tahun yaitu mulai dari tahun 1991-2005 yang diambil dari beberapa stasiun penakar hujan di daerah penelitian dapat dilihat seperti dalam Tabel 19. di bawah ini. Tabel 19. Data Curah Hujan Rerata Bulanan (mm/bulan) di Beberapa Stasiun Penakar Hujan Daerah Penelitian Stasiun
Bulan
Wono-
Karang
Pla-
Pali-
Sari
mojo
yen
yan
Semin
Pon-
Sema-
San-
Te-
jong
nu
den
mon
Wates
Panja-
Rata-
tan
Rata
J
496
404
502
481
438
455
353
281
355
333
196
357,8
F
302
323
325
316
297
281
350
308
224
384
201
275,9
M
285
241
250
266
216
275
281
185
274
316
214
233,6
A
105
94
114
136
108
175
129
118
240
114
130
121,9
M
105
82
135
63
71
103
152
23
82
38
35
74,1
J
127
94
130
138
127
105
110
42
97
74
23
88,9
J
47
57
55
80
40
34
59
10
68
23
18
40,9
A
21
13
28
33
8
33
14
39
17
33
3
20,2
S
12
27
12
10
31
26
14
29
54
9
4
19
O
75
5
63
48
45
92
101
94
315
159
152
95,8
N
137
101
153
181
6
181
140
290
467
103
177
161,3
D
224
351
273
265
414
273
245
205
331
349
307
269,8
Jmlah
1936
1792
2040
2017
1801
2033
1948
1624
2524
1935
1460
1759,2
Sumber : BMG, Stasiun Geofisika Yogyakarta (2006)
Gambar 16. Grafik Curah Hujan Rerata Bulanan Beberapa Stasiun Hujan
63
Mendasarkan pada Tabel 20 terlihat bahwa jumlah curah hujan tahunan adalah lebih dari 1500 mm/tahun dengan bulan-bulan kering ( < 60 mm) terjadi pada bulan Juli – September dan bulan-bulan basah ( >100 mm) terjadi pada bulan November – Maret. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Koppen, tipe iklim yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul termasuk dalam tipe Awa, dan wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo termasuk dalam tipe iklim Am. Tipe iklim Awa memiliki karakteristik jumlah hujan pada bulan-bulan basah ( curah hujan > 100 mm) tidak dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering (curah hujan < 60 mm), sedangkan tipe iklim Am memiliki karakteristik jumlah hujan pada bulan-bulan basah mampu untuk mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering. Suhu Udara Suhu udara adalah panas atau dinginnya udara yang diukur dengan termometer. Suhu udara suatu tempat sangat dipengaruhi oleh lintang geografi, tinggi tepat, jarak dari laut, angin, arus laut, terlindung atau tidaknya suatu tempat, dan keberadaan awan. Mengingat bahwa di wilayah pesisir daerah penelitian belum ada stasiun pengukur suhu udara maka data suhu udara di daerah penelitian didekati dengan pendekatan empiris menggunakan data suhu udara bulanan rata-rata yang diukur di Stasiun Klimatologi Adi Sucipto Tahun 1991 -2004, yaitu dengan menggunakan metode Mock dengan rumus : T = 0,006 (Z1 – Z2)oC …………………………(Mock, 1972) Dalam hal ini : T = beda temperature udara antara Z1 dan Z2 Z1 = elevasi tempat 1 (m dpal) Z2 = elevasi tempat 2 (m dpal) Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 20. Dari Tabel 20 tersebut menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata tahunan di daerah penelitian adalah 26,50 oC dengan suhu rata-rata minimum 23,45 oC dan maksimum sebesar 31,31 oC. Kelembaban Udara Kelembaban udara adalah perbandingan massa uap air yang betul-betul ada di udara dalam suatu satuan volume dengan massa uap air yang jenuh dalam satuan volume itu, pada suhu dan tekanan udara yang sama. Satuan
64
kelembaban udara dinyatakan dalam persen (%). Jika kelembaban udara mencapai 100% berarti udara itu jenuh dengan uap air. Data kelembaban udara diambil dari Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto Yogyakarta dalam jangka waktu 14 tahun (1991-2004) dan ditunjukkan dalam Tabel 21. Dari Tabel 21 tersebut terlihat bahwa besarnya kelembaban udara rata-rata bulanan maksimum 86% yang terjadi pada bulan Januari dan minimum 72,3% yang terjadi pada bulan Juni dan besarnya rata-rata tahunan adalah 81,08%. Tabel 20. Suhu Udara Rata-Rata Bulanan (oC) Tahun 1991 – 2005 Bulan Januari
Rata-Rata
Minimum 23,72 Rata-rata 26,19 Maksimum 30,55 Februari Minimum 23,65 Rata-rata 26,28 Maksimum 30,86 Maret Minimum 23,87 Rata-rata 26,58 Maksimum 31,45 April Minimum 24,15 Rata-rata 26,83 Maksimum 31,87 Mei Minimum 23,8 Rata-rata 26,95 Maksimum 32,09 Juni Minimum 23,1 Rata-rata 26,48 Maksimum 31,73 Juli Minimum 21,95 Rata-rata 25,59 Maksimum 31,29 Agustus Minimum 21,95 Rata-rata 25,7 Maksimum 31,6 September Minimum 23,08 Rata-rata 26,56 Maksimum 32,11 Oktober Minimum 23,86 Rata-rata 27,3 Maksimum 32,73 November Minimum 24,29 Rata-rata 27,07 Maksimum 31,65 Desember Minimum 23,94 Rata-rata 26,51 Maksimum 27,82 Minimum Rata-Rata Tahunan 23,45 26,50 Rata-rata 31,31 Maksimum Sumber : Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta (2006)
65
Tabel 21. Kelembaban Udara Rata-Rata Daerah Penelitian Tahun 1991-2004 Bulan
Rata-Rata
Januari
86
Februari
85,9
Maret
84,5
April
84
Mei
81,3
Juni
72,3
Juli
78,6
Agustus
77,8
September
76,5
Oktober
80
November
81,6
Desember
84
Sumber : Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta (2005)
Angin Angin merupakan pergerakan udara pada arah horizontal atau hampir horizontal. Dimensi angin meliputi arah dan kecepatan bergeraknya udara. Arah angin diukur dalam NoE (North derajat East) atau searah jarum jam, sedangkan kecepatan angin diukur dalam satuan km/jam, m/detik atau dalam knot. Pengukuran
arah
dan
kecepatan
angin
biasanya
dilakukan
dengan
menggunakan anemometer yang terpasang pada puncak menara stasiun dengan ketinggian kurang lebih 10 m dari muka tanah. Data arah dan kecepatan angin diambil dari Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto Yogyakarta dalam rentang waktu 10 tahun (1995-2004), seperti yang tersaji dalam Tabel 22. Dari Tabel 22 tersebut nampak bahwa arah angin pada musim penghujan bertiup dari barat daya sampai barat laut sedangkan pada musim kemarau angin bertiup dari selatan sampai tenggara. Perubahan musiman dari arah dan kecepatan angin dipengaruhi oleh perubahan musim. Pada musim emarau angin dengan kecepatan tinggi bertiup dari selatan sampai tenggara, sedangkan mendekati musim hujan angin menjadi lebih lemah dan bertiup dari barat daya sampai barat laut.
66
Sebagian besar angin berkecapatan kurang dari 5 m/dt. Kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan September dan Oktober. Angin maksimum dapat mencapai 10-15 m/dt. Tabel 22. Arah (NoE) dan Kecepatan (m/dt) Angin Bulanan Rata-Rata (1995-2004) 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 JANUARI arah Kec.rata-rata Kec.maksimum FEBRUARI arah Kec.rata-rata Kec.maksimum arah MARET Kec.rata-rata Kec.maksimum arah APRIL Kec.rata-rata Kec.maksimum arah MEI Kec.rata-rata Kec.maksimum arah JUNI Kec.rata-rata Kec.maksimum arah JULI Kec.rata-rata Kec.maksimum AGUSTUS arah Kec.rata-rata Kec.maksimum arah SEPT Kec.rata-rata Kec.maksimum arah OKT Kec.rata-rata Kec.maksimum arah NOV Kec.rata-rata Kec.maksimum arah DES Kec.rata-rata Kec.maksimum
210 5 13 210 7 15 180 7 14 180 6 13 170 5 13 160 5 12 160 5 12 140 5 11 140 5 12 140 4 12 110 6 14 270 5 13
210 30 210 210 210 210 270 240 240 6 3 3 6 2 3 3 3 4 15 12 12 11 11 12 12 11 15 210 20 210 210 210 230 240 210 240 6 3 4 3 3 3 3 2 4 15 13 14 12 12 12 12 10 17 60 30 210 210 210 90 90 90 240 5 3 2 3 3 3 3 2 3 12 12 11 12 11 13 12 10 15 240 30 210 100 210 90 90 90 240 4 3 2 3 3 3 2 3 4 11 12 10 10 11 11 11 11 14 170 210 120 120 120 180 220 90 180 4 2 2 2 2 2 2 3 3 11 10 10 10 10 10 9 11 12 180 120 210 120 120 90 120 80 180 4 3 3 2 3 2 2 2 3 10 10 4 9 10 11 10 10 11 180 130 130 210 120 180 180 180 180 5 3 2 3 3 3 2 2 3 11 12 10 10 11 10 10 11 11 180 130 120 240 180 180 240 180 210 3 3 6 3 3 3 2 3 3 11 12 13 11 14 11 12 13 11 180 210 130 210 180 210 240 180 210 6 3 4 3 3 4 3 3 4 13 12 13 12 11 11 11 13 15 170 130 210 210 180 210 270 210 210 7 3 4 4 3 2 3 3 4 15 12 14 13 12 11 11 14 16 180 210 210 120 210 240 270 240 240 4 3 3 3 3 4 3 3 4 13 12 12 12 11 10 11 20 15 210 210 210 210 240 270 260 240 240 3 4 3 3 4 3 3 3 4 12 13 12 12 14 13 11 14 16 Sumber : Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta (2005)
Rata-rata 204 3,8 12,4 199 3,8 13,2 141 3,4 12,2 148 3,3 11,4 158 2,7 10,6 138 2,9 9,7 165 3,2 10,8 180 3,4 11,9 189 3,8 12,3 194 3,7 13 203 3,6 13 236 3,5 13
67
Gambar 17. Grafik Kecepatan Angin Bulanan Rata-Rata (m/dt)
4.3. Geologi Kondisi geologi daerah penelitian secara garis besar dikelompokkan menjadi 2 bagian meliputi kondisi geologi wilayah Kabupaten Gunungkidul dengan karakteristik wilayah pegunungan berupa lereng-lereng terjal/clif dan kondisi geologi wilayah Kabupaten Bantul dan Kulonprogo dengan karakteristik pesisir berupa dataran pantai dengan lereng yang relatif datar. Menurut Bemmelen (1970) kondisi geologi wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul merupakan zonasi Gunung Sewu/Pegunungan Seribu yang membujur ke timur hingga wilayah Kecamatan Eromoko Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Secara stratigrafi, daerah penelitian termasuk dalam formasi Wonosari yang mempunyai kemiringan lereng ke arah selatan dengan dip rata-rata 15o – 30o. Litologi penyusunnya adalah batu gamping terumbu (reef), kecuali kawasan Pantai Siung bagian timur ke arah timur hingga kawasan Pantai Wediombo yang merupakan bagian dari satuan panggung masif berbatuan sedimen volkanik klastik berumur tersier (Bakosurtanal, 2000). Ketebalan formasi Wonosari ini adalah ± 800 m, sedangkan umur geologinya Miosen Atas – Pliosen. Formasi Wonosari ini membentuk perbukitan karst yang dikenal dengan nama Gunung Sewu/Pegunungan Seribu. Surono (1992) menyatakan struktur geologi yang berkembang di daerah ini adalah berupa lipatan, sesar, dan kekar. Lipatan terdiri dari antiklin dan siklin dengan arah umum timurlaut-baratdaya dan timur-barat, serta beberapa lipatan
68
dengan arah baratlaut-tenggara. Lipatan yang berarah baratlaut-tenggara umumnya terdapat dibagian timur, dan yang berarah timurlaut-baratdaya dan timur-barat terdapat di bagian barat. Sesar utama berarah baratlaut-tenggara, dan setempat timurlaut-baratdaya. Batuan yang terdapat di Pegunungan Seribu merupakan batuan sedimen laut yang terdiri dari pasir dan pasir halus yang mempunyai lingkungan pengendapan di sekitar pantai dan membentuk bentuklahan gisik pantai berbentuk saku. Pada zona perbukitan karst terbentuk oleh batu gamping terumbu koral yang inti terumbunya membentuk ratusan bukitbukit kecil membentuk Pegunungan Seribu. Menurut Bemmelen (1970) kondisi geologi wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo tersusun dari sedimen marin tersier dan endapan volkanik yang terangkat pada kala miosen akhir. Pada kala Pliosen awal, jalur pegunungan tersebut patah yang sebagan besar mengalami penenggelaman secara
tektonik
ke
arah
Samudera
Hindia.
Bagian
yang
mengalami
penenggelaman selanjutnya menjadi dasar lautan dan sejak kala Pleosen tengah terjadi kegiatan marin yang membentuk endapan lagun, fluviomarin. Pada kala Pleistosin – holosen terbentuk beting gisik dan gumuk-gumuk pasir yang tersusun atas bahan pasiran dari Pegunungan Kulonprogo, Serayu Selatan, Gunung Api Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sundoro yang terangkut melalui Sungai Opak, Progo, Serang dan Bogowonto.
4.4. Geomorfologi Geomorfologi
adalah
ilmu
yang
mempelajari
bentuklahan
yang
membentuk permukaan bumi, baik yang ada di atas maupun di bawah permukaan
laut
yang
menekankan
pada
genesis
dan
perkembangan
bentuklahan dengan lingkungannya (Verstappen, 1983). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa aspek terpenting dari geomorfologi adalah bentuklahan dan untuk mengetahui bentuklahan suatu wilayah maka perlu pengklasifikasian bentuklahan atas dasar genesis, artinya bahwa pengelompokan bentuklahan didasarkan pada proses yang dominan yang membentuk bentuklahan tersebut. Berkaitan dengan wilayah pesisir maka proses-proses utama yang mungkin berlangsung terutama adalah proses marin (laut), fluvial (sungai), aeolin (angin), denudasional (erosi dan sedimentasi) atau gabungan dari proses-proses yang dominan tersebut (fluvio-marin, aeolio-marin, dsb). Proses geomorfologi yang dominan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Gunung Kidul antara lain pengendapan sedimen laut oleh arus dan
69
gelombang,
sehingga
membentuk
bentuklahan
gisik
pantai
yang
arah
pengangkutannya dipengaruhi oleh kondisi angin pada saat itu. Gelombang laut mengikis tebing-tebing curam/clif di bagian pinggir pantai, sedangkan di bagian yang ke arah darat terjadi proses pelarutan/solusional membentuk bukit dan ledok karst. Adanya iklim tropis dan curah hujan yang tinggi ikut mempengaruhi kelangsungan pembentukan topografi karst. Bentuklahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul meliputi bentuklahan asal proses marin, asal proses fluvial, asal proses solusional (karst), dan asal proses volkanik. Bentuklahan asal proses volkanik terdapat di kawasan Pantai Siung bagian timur ke arah timur hingga kawasan Pantai Wediombo yang merupakan bagian dari satuan panggung masif (G. Batur) berbatuan sedimen volkanik klastik berumur tersier. Bentuklahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo lebih banyak didominasi oleh bentuklahan asal proses marin, fluvial dan aeolian. Proses fluvial (aliran sungai) menghasilkan bentuklahan dataran aluvial, dataran banjir, tanggul alam dan rawa belakang. Pada proses fluvial ini, material barasal dari daerah hulu terangkut oleh aliran sungai dan masuk ke laut. Material yang masuk ke laut ini oleh proses marin (laut) melalui gelombang laut dihempaskan di sepanjang pantai yang menghasilkan bentuklahan gisik. Selanjutnya proses aeolian (angin) mengangkut material pasir di sepanjang pantai yang dihempaskan oleh gelombang laut tersebut untuk diendapkan di tempat-tempat tertentu di darat menghasilkan bentuklahan gumuk pasir.
4.5. Tanah Tanah adalah hasil transformasi mineral dan bahan organik dari permukaan bumi oleh pengaruh faktor lingkungan (iklim, organisme, batuan, dan relief) yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Tanah berfungsi sebagai media tumbuh tanaman. Jenis tanah, sifat, potensi dan kemampuan tanah sangat menentukan dalam keberhasilan dan produktifitas penggunaan tanah (lahan). Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil Skala 1 : 50.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (2001), Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian meliputi : 1. Mediteran (Haplustalf) Jenis
tanah
ini
berkembang
dari
batuan
gamping
(limestone). Jenis tanah ini mempunyai sifat-sifat : tekstur lempung, struktur granuler-gumpal, konsistensi sangat teguh dan bila basah lekat dan plastis, warna merah cerah hingga merah kekuningan,
70
permeabilitas lambat, pH 6,0 – 6,5, kejenuhan basa tinggi, kesuburan dan potensi tanah rendah – sedang. Tanah ini tegolong agak subur dengan potensi sedang untuk pertanian. Penyebaran jenis tanah ini umumnya menempati daerah bertopografi karst yang terdapat di bagian utara wilayah Kecamatan Panggang, Saptosari, Tepus, dan Girisubo.
Gambar 18. Tanah Mediteran di Pantai Krakal (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
2. Tanah Litosol (Usturthents, Undurthemts) Tanah litosol merupakan jenis tanah yang berkembang dari asosiasi tanah latosol dan mediteran karena proses erosi sangat berat. Bahan induk jenis tanah litosol adalah batugamping koral. Jenis tanah ini mempunyai sifat-sifat : solum tanah tipis (kurang dari 25 cm) bahkan sebagian besar tinggal singkapan batuan induk (consolidated rock out crop), tekstur geluh debuan hingga geluh pasiran, struktur remah hingga gumpal, konsistensi agak teguh bila basah agak lekat, warna coklat hingga merah kekuningan, kejenuhan basa sedang, kesuburan dan potensi tanah sangat rendah. Penyebaran tanah ini mencakup sebagian besar wilayah Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Tanjungsari, dan Girisubo. 3. Tanah Regosol Bahan induk jenis tanah regosol adalah material pasir pantai atau material volkanik piroklastis. Jenis tanah ini berkembang di sepanjang pantai baik pada bentuklahan gisik, beting gisik, maupun gumuk pantai. Umumnya bertekstur pasir, struktur granuler, warna tanah putih kekuningan hingga coklat muda, permeabilitas sangat tinggi dan daya mengikat air rendah. Jenis tanah ini belum terjadi perkembangan horison tanah, pH umumnya netral, dan kesuburan sedang.
71
4. Tanah Grumusol Jenis tanah ini berasal dari batuan gamping, batuan lempung (aluvium) atau batuan volkanis bersifat basa. Ciri-ciri tanah grumusol ini adalah tekstur lempung, struktur granuler di lapisan atas dan gumpalan hingga pejal di lapisan bawah, konsistensi sangat teguh, bila basah sangat lengket dan sangat plastis, bila kering sangat keras dan retak-retak, permeabilitas lambat, dan peka erosi. Jenis tanah ini lebih banyak ditemukan di bekas laguna daerah penelitian. 5. Tanah Aluvial Tanah aluvial merupakan tanah hasil pengendapan bahan-bahan aluvium. Tanah aluvial belum mengalami diferensiasi horison, tekstur pasir, pasir berdebu, dan pasir berlempung, pH antara 7 – 8, warna coklat tua, permeabilitas tinggi, konsistensi dalam keadaan basah lekat, dan kesuburannya sedang hingga tinggi. Tanah aluvial banyak terdapat di dataran aluvial sungai dan mayoritas digunakan untuk lahan pertanian dan juga permukiman.
4.6. Oseanografi Kondisi oseanografi yang akan dibahas berikut ini meliputi gelombang, arus, dan pasang surut air laut. Pemilihan ketiga elemen oseanografi ini berkaitan dengan peran yang begitu besar dalam penentuan tipologi fisik pesisir. Gelombang laut Gelombang laut adalah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau punca gelombang dan palung atau lembah gelombang oleh gerak ayunan (oscillatory movement), akibat tiupan angin, erupsi gunung api, pelongsoran dasar laut, atau lalu lintas kapal (Sunarto, 2003). Gelombang laut memilki dimensi yaitu periode gelombang, panjang gelombang, tinggi gelombang, dan cepat rambat gelombang. Periode gelombang (T) adalah waktu tempuh di antara dua puncak atau dua lembah gelombang secara berurutan pada titik yang tetap (satuan detik). Panjang gelombang (L) adalah jarak horizontal antara dua puncak atau dua lembah yang berurutan (satuan meter). Tinggi gelombang (H) adalah jarak vertikal antara puncak gelombang dan lembah gelombang (dalam meter). Cepat rambat gelombang (C) adalah kecepatan tempuh perjalanan suatu gelombang, yang dapat diperoleh dengan pembagian panjang gelombang (L) dengan periode gelombang (T) atau C=L/T.
72
Mendasarkan pada data hasil pengukuran gelombang yang dilakukan oleh Puslitbang Air pada tahun 1989 (selama 4,5 bulan) dan 1992 (selama satu tahun yaitu Maret 1992 sampai Februari 1993), hasil analisis gelombang tersebut seperti disajikan pada Tabel 20. Dari hasil analisis gelombang didapat (Hs)5th = 3,8 m, (Hs)10th = 4,1 m, dan (Hs) 20th= 4,5 m. Tabel 23. Data Frekuensi Gelombang Tinggi Gelombang (H) (meter) 0,0 <0,5 0,5<1 1,0<1,5 1,5<2,0 2,0<2,5 2,5<3,0 3,0<3,5 >3,5
Frekuensi 1989 (4,5 bulan) 1992 (12 bulan) 7,16 18,41 41,90 44,78 29,70 33,00 14,08 3,20 4,08 0,10 1,68 0,01 0,40 0,20 -
Sumber : Bappeda Kulonrpogo dan PUSTEK UGM, 2001
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh JICA (1989) yang mendasarkan pada hasil analisis gelombang yang didapat dari buku U.S. Navy Marine Climatic Atlas of the World volume 3 Indian Ocean (1976) didapatkan data distribusi arah gelombang sebagai berikut yaitu dari arah tenggara 12,39%, dari arah selatan 65,79% dan dari arah baratdaya 21,82%. Data arah gelombang ini dibuat berdasarkan data gelombang yang dikumpulkan selama 120 tahun. Secara umum di pantai selatan Pulau Jawa tinggi gelombang dengan kala ulang 25 tahun berkisar antara 2,8 m, dengan periode gelombang (10 – 15) detik. Tinggi gelombang harian berkisar antara (1,0 – 2,0) m, gelombang ini berupa gelombang swell dengan daerah pembangkitan (generating area) berada di tengah laut. Gelombang yang mencapai pantai akan mengalami pecah gelombang. Ada tiga tipe utama pecah gelombang yaitu tipe melimpah (spilling breakers type), tipe menunjam (plunging breakers type), dan tipe menyentak atau menggelora (surging breakers type). Tipe Spilling biasanya terjadi apabila gelombang dengan kemiringan kecil menuju pantai yang datar (kemiringan kecil). Buih terjadi pada puncak gelombang selama mengalami pecah dan meninggal kan suatu lapis buih pada jarak yang cukup panjang.
73
Gambar 19. Gelombang tipe Spilling /melimpah (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Tipe Plunging terjadi apabila kemiringan gelombang dan dasar bertambah sehingga gelombang akan pecah dan puncak gelombang akan memutar dengan massa air pada puncak gelombang akan terjun ke depan.
Gambar 20. Gelombang tipe Plunging /menunjam (Sumber : Internet, 2007)
Tipe Surging terjadi pada pantai dengan kemiringan sangat besar seperti terjadi pada pantai yang berkarang. Daerah gelombang pecah sangat sempit. Gelombang pecah tipe surging ini mirip dengan plunging, tetapi sebelum puncaknya terjun, dasar gelombang sudah pecah.
Gambar 21. Gelombang tipe Surging (Sumber : Internet, 2007)
74
Tipe pecah gelombang yang terdapat di wilayah laut Provinsi DIY adalah tipe spilling (melimpah) seperti yang terlihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Gelombang tipe Spilling/melimpah di Pantai Parangtritis (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Arus laut Arus laut adalah aliran air laut yang disebabkan oleh tiupan angin, gelombang, pasang surut, perbedaan kepekaan air laut, atau aliran air sungai yang bermuaran di laut itu (Sunarto, 2003). Pola arus pantai yang disebabkan gelombang yang menuju pantai disebabkan oleh besar sudut yang dibentuk oleh gelombang dengan arus pantai. Jika sudut datang cukup besar, maka akan terbentuk arus sepanjang pantai. Jika sudut datang kecil atau nol (gelombang yang datang sejajar pantai) maka akan membentuk arus meretas pantai dengan arah menjauhi pantai disamping terbentuknya arus sepanjang pantai. Arus laut di Samudera Hindia sangat dipengaruhi oleh arus yang disebabkan oleh angin musim atau disebut dengan arus musim. Arus musim yang terjadi di Samudera Hindia terutama adalah arus musim barat dan arus musim timur. Menurut Wyrtki (Nontji, 1987 dalam Sunarto, 2003) arus musim barat yang terjadi di Samudera Hindia pada bulan Februari rata-rata berkecepatan 75 cm/detik ke arah timur. Pada musim pancaroba (peralihan antara musim brat dan timur) awal tahun di bulan April rata-rata arus laut di Samudera Hindia berkecepatan 25 cm/detik ke arah timur. Pada bulan Agustus terjadi arus musim timur dengan kecepatan rata-rata 75cm/detik ke arah barat. Pada musim pancaroba akhir tahun pada bulan Oktober, arus laut di Samudera Hindia rata-rata berkecepatan 25 cm/detik.
75
Kedua arus musim tersebut sangat berpengaruh terhadap pergerakan/ transportasi sedimen sepanjang pantai yang terbawa ke laut oleh Sungai Opak dan Sungai Progo. Besarnya arus sepanjang pantai berpengaruh terhadap karakteristik sedimen terendapkan. Sedimen sepanjang pantai hampir tidak dijumpai debu ataupun lempung karena untuk mengendapkan tersebut hanya diperlukan kecepatan kurang dari 0,6 m/detik. (Sobur, 1982). Jenis arus laut yang lain adalah arus susur pantai (longshore current) dan arus balik (rip current). Arus susur pantai adalah arus laut yang terdapat di zona empasan, yang umumnya bergerak sejajar garis pantai, yang ditimbulkan gelombang pecah yang datang menyudut terhadap garis pantai (Sunarto, 2003). Arus susur pantai berperan besar dalam dinamika pantai. Arus balik adalah aliran balik terkonsentrasi melewati jalur sempit yang mengalir kuat ke arah laut dari zone empasan (surf zone) melintasi gelombnag pecah hingga di laut lepaspantai (Sunarto, 2003). Arus balik di Samudera Hindia memiliki kecepatan sekitar 2 m/detik dan berlangsung dalam waktu yang pendek (Ritter, 1996). Arus balik umumnya membahayakan bagi para perenang maupun para wisatawan yang berkunjung ke pantai. Namun bagi para peselancar air dan para nelayan, arus balik sangat bermanfaat karena dapat membawa para peselancar, perahu nelayan, atau jaring nelayan ke arah lepas-pantai. Banyak wisatawan yang datang ke pantai selatan Yogyakarta mengalami kecelakaan yang antara lain banyak disebabkan oleh arus balik ini. Pasang surut Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang berurutan. Periode pasang surut adalah waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada muka air rerata ke posisi yang sama berikutnya. Periode pasang surut bisa 12 jam 25 menit atau 24 jam 50 menit. Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali pasang surut. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan dalam tiga tipe yaitu pasang surut harian ganda (semidiurnal tide), harian tunggal (diurnal tide) dan jenis campuran (mixed tide).
76
1. Pasang surut harian ganda (semidiurnal tide) Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. 2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. 3. Pasang surut jenis campuran (mixed tide) Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Hasil pengukuran pasang surut di Pantai Sadeng DIY yang dilakukan oleh PUSTEK UGM (2003) selama 15 hari berturut-turut dengan interval waktu 1 jam memberikan hasil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 23, sedangkan pengukuran data pasang surut di Sungai Serang yang dilakukan oleh Puslitbang Air Bandung dalam Proyek Pengendalian Banjir Selatan Jawa (Java Flood Control Project) tahun 1993 (dalam PUSTEK UGM, 2003) memberikan hasil seperti yang tersaji dalam Gambar 24. Dengan melakukan superposisi antara elevasi muka air rerata di muara Sungai Serang dan di Pelabuhan Sadeng maka dapat diperoleh beberapa elevasi muka air berikut ini (PUSTEK UGM, 2003) : Elevasi HHWL
: 2.15 m
Elevasi MHWL
: 1,65 m
Elevasi MSL
: 1,05 m
Elevasi MLWL
: 0,45 m
Elevasi LLWL
: - 0,05 m
77
Gambar 23. Data Pasang Surut Sungai Serang (PUSTEK UGM, 2003)
Gambar 24. Pasang Surut Muara Sungai Sadeng (PUSTEK UGM, 2003)
Suhu air laut Suhu air laut merupakan kondisi panas air laut akibat pemanasan sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Air mempunyai daya muat panas jauh lebih tinggi daripada daratan dalam jumlah pemanasan yang sama, daratan akan cepat menjadi panas daripada lautan, demikian juga sebaliknya (Hutabarat dan Stewart, 1985). Berdasarkan pada hasil penelitian pengukuran suhu yang dilakukan oleh Bapeda DIY dan Fakultas Geografi UGM (2002), suhu permukaan air laut pantai DIY rata-rata sebesar 26,7oC.
78
Kedalaman laut Kedalaman laut dapat diketahui dari peta batimetri. Berdasarkan pada hasil penelitian Pusat Studi Sumberdaya dan Teknologi Kalutan (PUSTEK) UGM yagyakarta (2001) menunjukkan pada jarak 180 m dari garis pantai kedalaman laut mencapai 3 m dan pada jarak kurang lebih 600 m dari garis pantai kedalaman laut mencapai 25 m.
4.7. Erosi dan Sedimentasi Pantai Erosi pantai Erosi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang dan arus laut yang bersifat merusak (destruktif). Erosi pantai disebut juga dengan istilah abrasi. Prose erosi pantai umumnya didominasi oleh kerja gelombang karena energi gelombang bersifat sangat erosif. Energi gelombang yang sangat erosif tersebut sangat tergantung pada tinggi gelombang (H), panjang gelombang (L), cepat rambat gelombang (C) dan kecuraman gelombang. Murck (1996 dalam Sunarto, 2003) menyatakan bahwa kebanyakan erosi pantai dilakukan oleh gelombang yang bergerak ke arah pantai. Kebanyakan erosi pantai terjadi pada zona yang terletak di bawah 10 m dan di atas 10 dari rata-rata muka laut. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi pantai adalah keterbukaan pantai terhadap serangan gelombang, konfigurasi garis pantai, sifat dasar batuan di sepanjang pantai, dan ada tidaknya gisik pelindung. Berkaitan dengan hal tersebut, karakteristik wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul dengan dominasi bentuklahan cliff, erosi yang terjadi pada clif tersebut dipengaruhi oleh daya rusak gelombang dan daya tahan material clif. Umumnya erosi pantai pada clif akan meninggalkan jejak yang berupa gerongan pantai (marine notch). Gerongan pantai dapat dijadikan indikator bagi ketinggian muka air laut pada saat itu dan aktivitas erosi yang bekerja di pantai tersebut. Di depan gerongan pantai umumnya terbentuk pelataran pantai (shore platform). Pelataran pantai tidaklah datar, tetapi berlereng landai ke arah laut dengan kemiringan berkisar 1 – 2 %. Hamblin (1992 dalam Sunarto, 2003) mengemukakan bahwa erosi pantai pada clif mengikuti sekuen atau urutan sebagai evolusi garis pantai. Sekuen tersebut adalah sebagai berikut :
79
a. Tahap awal : kerja gelombang mulai membentuk gerongan pantai pada muka laut, yang membentuk pula clif kikisan gelombang (wavecut cliff) b. Tahap menengah : erosi oleh gelombang masih berlanjut yang menyebabkan cliff itu mundur dan berkembang pelataran pantai kikisan gelombang. Disepanjang zona yang lemah terbentuk tiang laut (sea stack), pelengkung laut (sea arches) , dan gua laut (sea cave) sebagai akibat erosi yang berbeda evolusinya. c. Tahap akhir : pelataran pantai berkembang meluas, sehingga energi gelombang yang melintas teredam. Erosi di sepanjang pantai jauh berkurang. Gisik bekembang dan clif mundur karena gerakan massa.
Gambar 25. Proses Erosi Pantai pada Clif (Sumber : Internet, 2007)
Sedimentasi pantai Istilah sedimentasi pantai sangat berkaitan dengan erosi pantai karena jika erosi pantai telah terjadi maka segera berlangsung proses pengangkutan sedimen-sedimen hasil erosi pantai dan diendapkan di daratan membentuk gisik pantai. Laju sedimentasi atau kecepatan endapan (settling) sedimen tergantung pada ukuran partikel. Kebanyakan sedimen yang terbawa ke wilayah estuaria berada dalam bentuk suspensi dan berukuran kecil. Partikel-partikel tersebut
80
umumnya berdiameter < 2 µm, dan merupakan komposisi dari clay mineral, yaitu illite, kaolonite, dan montmorilonite, yang dibawa oleh air sungai. Semakin kecil diameter sedimen semakin sulit mengendap. King (1976) menjelaskan bahwa pasir dan pasir kasar mengendap secara cepat di perairan. Sedimen-sedimen ini mengendap dalam suatu siklus pasang, sedangkan sedimen-sedimen yang lebih kecil seperti silt dan clay, kecepatan endapannya sangat lambat, tidak dapat mengendap dalam suatu siklus pasang. Proses sedimentasi di pantai dapat dibedakan menjadi deposisi dan siltasi (Sunarto, 2003). Deposisi umumnya diartikan sebagai pengendapan sedimen lepas (klastik), sedangkan siltasi atau pelumpuran diartikan sebagai pengendapan materi lumpur atau sedimen lembek. Proses deposisi di pantai akan menimbulkan bentukan-bentukan deposisi antara lain gisik seperti yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo, sedangkan pengendapan material lumpur umumnya berasal dari sungai yang membentuk delta. Delta adalah wilayah dataran rendah yang mendekati rata pada muara sungai yang terbentuk oleh pengendapan material sungai yang tersebar ulang oleh laut. Oleh karena itu delta merupakan bentuklahan yang secara genetik terbentuk oleh gabungan proses sungai dan proses laut yang dikenal dengan istilah fluvio-marin. Bentuk delta dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses yang dominan dalam pembentukannya yaitu antara proses sungai, gelombang atau pasang-surut. Delta berbentuk elongated (memanjang) umumnya terbentuk pada daerah dengan material aluvium yang melimpah, kekuatan sungai dapat membangun delta ke arah laut, dan pengaruh gelombang dan pasang surut relatif kecil. Proses yang dominan pada delta bentuk elongated adalah proses sungai. Contoh sangat jelas dari delta berbentuk elongated adalah delta Mississippi, USA (Gambar 26). Delta berbentuk cuspate memiliki karakteristik bentuk seperti tanduk, erosi gelombang lebih mendominasi daripada distribusi sedimen dari muara sungai. Proses yang dominan pada delta bentuk cuspate adalah erosi gelombang. Delta berbentuk cuspate banyak dijumpai di daerah penelitian ini dan sebagian besar sungai di Pulau Jawa yang bermuara di Samudera Hindia (lihat Gambar 27). Pada delta berbentuk crenulate arus pasang surut menghasilkan sejumlah pulau pasiran yang terpisah-pisah oleh saluran pasang surut di sepanjang depan-delta (delta front). Proses yang dominan pada delta bentuk crenulate adalah proses pasang surut.
81
Gambar 26. Delta Bentuk Elongated/memanjang (Sumber : Internet, 2007)
Gambar 27. Delta bentuk Cuspate di Muara Sungai Opak, Parangtritis DIY (Sumber : Barandi, 2003)
Gambar 28. Delta bentuk Cuspate di Muara Sungai Progo, DIY (Sumber : Google, 2007)
Gambar 29. Delta bentuk Crenulate (Sumber : Google, 2007)
82
4.8. Hidrologi Pembahasan tentang kondisi hidrologi daerah penelitian terdiri dari air permukaan dan airtanah. Air permukaan terutama dibahas tentang kondisi sungai- sungai, kemudian dikaitkan dengan kemungkinan rawan banjir sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan tipologi penggunaan lahan wilayah pesisir. Sedangkan pembahasan tentang airtanah lebih ditekankan pada potensi menyangkut kuantitas airtanah yang juga digunakan sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan tipologi penggunaan lahan wilayah pesisir. Air Permukaan Sungai-sungai besar yang mengalir di daerah penelitian dan bermuara di Samudera Hindia adalah Sungai Opak, Sungai Progo, Sungai Serang, dan Sungai Bogowonto. Di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul yang sebagian besar wilayahnya berupa topografi karst, sebenarnya banyak terdapat sungaisungai besar yang mengalir, hanya sungai-sungai tersebut merupakan sungai bawah tanah yang merupakan fenomena khas wilayah karst, yang mengalir di bawah tanah dan bermuara di Samudera Hindia. Karena letaknya di bawah tanah, maka aliran sungai-sungai tersebut sulit untuk diikuti dari permukaan tanah, hanya beberapa ditemukan muaranya saja seperti muara sungai di Pantai Baron. Berkaitan dengan sungai di wilayah Kabupaten Gunungkidul ini, ada satu fenomena menarik berupa muara bekas aliran sungai Bengawan Solo purba di Pantai Sadeng. Kenampakan ini sangat menarik karena dapat digunakan untuk menjelaskan proses-proses yang terjadi pada masa lalu, disamping itu juga dapat digunakan sebagai daya tarik wisata. Penggunaan saat ini, Pantai Sadeng dimanfaatkan untuk pelabuhan perikanan dan tempat wisata. Sungai Opak merupakan sungai berstadium dewasa dan bermata air di lereng atas Gunungapi Merapi. Sungai Opak merupakan sungai permanen (mengalir sepanjang tahun). Dari data survei Sub Seksi Dinas Pengairan Provinsi DIY tahun 2003-2005 didapatkan debit minimum Sungai Opak sebesar ± 1,859 m3/detik, yang terjadi pada bulan Oktober. Perubahan debit sungai Opak dari bulan ke bulan sangat dipengaruhi oleh curah hujan di daerah hulu. Walaupun demikian pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (musim kemarau) sungai tersebut masih mengalir. Sungai Progo juga merupakan sungai permanen yang mengalir sepanjang tahun. Hulu Sungai Progo berasal dari Gunung Sumbing, sehingga bahan yang diangkut sebagian besar berupa lahar dan piroklastik.
83
Sungai Serang juga merupakan sungai yang permanen dan periodik, artinya pada musim hujan debit sungainya besar dan pada musim kemarau debit sungainya kecil. Akibat kecilnya debit sungai di musim kemarau menyebabkan aliran air sungai tidak mampu untuk mengimbangi laju sedimentasi pasir yang dihasilkan oleh tenaga gelombang laut, sehingga terjadi pembendungan muara sungai oleh pasir tersebut membentuk delta cuspate. Kondisi ini juga terjadi di sungai-sungai yang mengalir di wilayah penelitian, seperti sungai Opak, Progo, Serang dan Bogowonto. Tertutupnya mulut sungai merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di daerah hulu. Pada musim penghujan air banjir tidak mudah dibuang ke laut, sehingga di daerah sebelah hulu terjadi luapan dan genangan banjir. Kerugian banjir di daerah hilir Sungai Serang seperti terlihat dalam Tabel 24. Tabel 24. Kerugian Banjir di Daerah Hilir Sungai Serang Periode Ulang (tahun)
Daerah Genangan (ha)
Daerah Genangan
sawah
permukiman
total
2 5 10 25
222 937 1.123 1.136
6 195 385 537
228 1.132 1.503 1.837
Jumlah rumah
Kedalaman Durasi Rumah Orang (m) (hari) 0.5 2 358 1.824 0.7 2 1.776 9.056 1.0 2 2.365 13.064 1.5 2 2.938 14.984 Sumber : Sogreah, 1996.
Airtanah Kondisi airtanah di Kabupaten Gunungkidul mempunyai sifat-sifat hidrogeologi yang khas karena merupakan bentuklahan karst. Akuifernya mempunyai tingkat permeabilitas primer yang rendah karena tersusun dari batugamping, sehingga airtanah tidak tersimpan secara baik di dalam zona akuifer. Sifat akuifer batugamping adalah kompak dan mempunyai permeabilitas primer yang rendah. Meskipun demikian, retakan-retakan pada batuan gamping dapat berkembang menjadi batuan akuifer sekunder, sehingga banyak sedikitnya air yang dapat dikandung oleh batugamping sangat tergantung dari banyak sedikitnya retakan yang dapat dilalui oleh air permukaan (lihat Gambar 30)
84
Gambar 30. Sistem Akifer Batugamping Karst (Mandel dan Shiftan,1981)
Kedalaman airtanah pada bentuklahan beting gisik berkisar antara 2 – 6 meter dan merupakan air tawar. Kedalaman airtanah pada dataran aluvial bekas lagun dan rawa belakang rata-rata kurang dari 1,5 meter dan di beberapa tempat ditemui airtanah payau yang merupakan connate water. Pada daerah gumuk pasir tua, tersedia airtawar yang cukup banyak dengan kedalaman < 6 meter. Fluktuasi muka airtanah sekitar 2 meter, namun pada umumnya lebih kecil di dekat sungai. Hidrograf satuan menunjukkan bahwa muka airtanah akan segera naik bila hujan turun dan kembali turun bila hujan tidak turun, hal ini menunjukkan sistem penyimpan permeabilitas rendah. Pada daerah gumuk pasir fluktuasi muka airtanah antara musim penghujan dan musim kemarau sekitar 0,70 meter.
Gambar 31. Pengukuran Muka Airtanah di Lahan Pasir, Karangwuni, Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
85
4.9. Kerawanan Bencana Tsunami Bentuk kerawanan bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bahaya tsunami, banjir, dan erosi. Bahaya banjir sudah diuraikan pada uraian tentang hidrologi, sedangkan uraian tentang bahaya erosi sudah diuraikan pada uraian tentang erosi dan sedimentasi, sehingga pada uraian tentang kerawanan bencana ini lebih banyak akan diuraikan tentang bahaya tsunami. Uraian tentang bahaya tsunami ini dimaksudkan hanya untuk memberikan gambaran tentang pengertian tsunami, kejadian-kejadian tsunami yang pernah terjadi di Samedera Hindia dan tindakan/langkah-langkah untuk menyelamatkan diri apabila terjadi tsunami. Pada analisis penentuan pola pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah penelitian, faktor tsunami dianggap tidak ada atau diasumsikan nol seperti yang diutarakan pada batasan studi pada bab terdahulu. Tsunami adalah istilah yang diberikan untuk gelombang dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh adanya gangguan atau perubahan elevasi dasar laut (Pratikto, 1997). Tsunami merupakan gelombang laut berperiode panjang yang terbentuk akibat adanya energi yang merambat ke lautan akibat gempa bumi, letusan gunung berapi dan runtuhnya lapisan-lapisan kerak bumi yang diakibatkan bencana alam tersebut di samudra atau di dasar laut, peristiwa yang melibatkan pergerakan kerak bumi seperti pergeseran lempeng di dasar laut, atau dampak tumbukan meteor. Penyebutan istilah tsunami sebagai gelombang pasang (tidal wave) atau gelombang raksasa (the giant wave) tidaklah tepat (Sunarto, 2003), sebab tsunami tidak ada kaitannya dengan pasang surut air laut akibat pengaruh gaya tarik Bulan dan Matahari. Untuk memahami tsunami, sangatlah penting untuk dapat membedakannya dari pergerakan pasang-surut dan gelombang biasa yang diakibatkan oleh angin. Angin yang bertiup di atas permukaan laut menimbulkan arus yang terbatas pada lapisan bagian atas laut dengan memunculkan gelombang-gelombang yang relatif kecil. Gelombang laut mungkin dapat mencapai setinggi 10 meter atau lebih saat terjadi badai dahsyat, tapi hal ini tidak menyebabkan pergerakan air di kedalaman. Selain itu, kecepatan gelombang laut biasa yang diakibatkan angin tidaklah lebih dari 20 km/jam, sebaliknya, gelombang tsunami dapat bergerak pada kecepatan 750-800 km/jam. Gelombang pasang surut bergerak di permukaan bumi dua kali dalam rentang waktu satu hari dan, seperti halnya tsunami, dapat menimbulkan arus
86
yang mencapai kedalaman hingga dasar samudra. Namun, berbeda dengan gelombang pasang surut, penyebab gelombang tsunami bukanlah gaya tarik bumi dan bulan. Kejadian tsunami kebanyakan disebabkan oleh gelombang tektonik, seperti halnya yang terjadi di laut selatan Jawa. Penelitian menunjukkan bahwa tsunami ternyata bukan terdiri dari gelombang tunggal, melainkan terdiri atas rangkaian gelombang dengan satu pusat di tengah, seperti sebuah batu yang dilemparkan ke dalam kolam renang. Jarak antara dua gelombang yang berurutan dapat mencapai 500-650 kilometer. Ini berarti tsunami dapat melintasi samudra dalam hitungan jam saja. Tsunami hanya melepaskan energinya ketika mendekati wilayah pantai. Gelombang raksasa ini, melepaskan kekuatan dahsyat saat menerjang pantai dengan kecepatan tinggi, sehingga menyebabkan kerusakan hebat dan menelan banyak korban jiwa. Tsunami memindahkan lebih dari 100.000 ton air laut ke daratan untuk setiap meter garis pantai, dengan daya rusak yang sulit dibayangkan. (Gelombang tsunami terbesar yang pernah diketahui, yang melanda Jepang pada bulan Juli 1993, naik hingga 30 meter di atas permukaan air laut.) Tanda awal datangnya tsunami biasanya bukanlah berupa dinding air, akan tetapi surutnya air laut secara mendadak. Katili (1986) menjelaskan bahwa di selatan Jawa terdapat palung laut dalam sebagai zona subduksi yang dijumpai banyak pusat gempa yang potensial menimbulkan tsunami atau tsunamigenic earthquake. Menurut Sopaheluwaken (2007) bahwa syarat terjadinya tsunami adalah kekuatan gempa di atas 6.4 SR, lebih dangkal dari 60 – 70 Km, berada di bawah laut, kolom air yang cukup dan gerakan patahan bumi yang vertikal. Menurut informasi yang diberikan oleh Dr. Walter C. Dudley (2007), profesor oseanografi dan salah satu pendiri Museum Tsunami Pasifik, pergerakan lantai dasar samudra merupakan syarat terjadinya tsunami. Dengan kata lain, semakin besar perpindahan lempeng kerak bumi di lantai dasar samudra, semakin besar jumlah air yang digerakkannya, dan hal ini akan menambah kedahsyatan tsunami. Hal lain yang meningkatkan daya rusak tsunami adalah struktur pantai yang diterjangnya: Selain faktor seperti bentuk pantai yang berupa teluk atau semenanjung, landai atau curam, bagian dari pantai yang selalu berada di dalam air mungkin saja memiliki struktur yang dapat menambah kedahsyatan gelombang tsunami ini.
87
Gambar 32. Proses terjadinya Tsunami (Sumber : Internet, 2007)
Gelombang-gelombang laut raksasa terbesar akibat gempa bumi (tsunami) yang tercatat dalam sejarah adalah sebagai berikut : 1. 21 Juli 365 M. Gelombang raksasa paling tua yang pernah diketahui akibat gempa di laut, yang diberi nama "tsunami" oleh orang Jepang dan "hungtao" oleh orang Cina, adalah yang terjadi di Laut Tengah sebelah timur dan menewaskan ribuan orang di kota Iskandariyah, Mesir. 2. 1 November 1775. Ibukota Portugal hancur akibat gempa dahsyat Lisbon. Gelombang samudra Atlantik yang mencapai ketinggian 6 meter meluluhlantakkan pantai-pantai di Portugal, Spanyol dan Maroko. 3. 27 Agustus 1883: Gunung berapi Krakatau di Indonesia meletus dan gelombang tsunami yang menyapu pantai-pantai Jawa dan Sumatra menewaskan 36.000 orang. Letusan gunung berapi tersebut sungguh dahsyat sehingga selama bermalam-malam langit bercahaya akibat debu lava berwarna merah. 4. 15 Juni 1896: "Tsunami Sanriku" menghantam Jepang. Tsunami raksasa berketinggian 23 meter tersebut menyapu kerumunan orang yang berkumpul dalam perayaan agama dan menelan 26.000 korban jiwa. 5. 17 Desember 1896: Tsunami merusak bagian pematang Santa Barbara di California, Amerika Serikat, dan menyebabkan banjir di jalan raya utama. 6. 31 Januari 1906: Gempa di samudra Pasifik menghancurkan sebagian kota Tumaco di Kolombia, termasuk seluruh rumah di pantai yang terletak di antara Rioverde di Ekuador dan Micay di Kolombia; 1.500 orang meninggal dunia.
88
7. 1 April 1946: Tsunami yang menghancurkan mercu suar Scotch Cap di kepulauan Aleut beserta lima orang penjaganya, bergerak menuju Hilo di Hawaii dan menewaskan 159 orang. 8. 22 Mei 1960: Tsunami berketinggian 11 meter menewaskan 1.000 orang di Cili dan 61 orang di Hawaii. Gelombang raksasa melintas hingga ke pantai samudra Pasifik dan mengguncang Filipina dan pulau Okinawa di Jepang. 9. 28 Maret 1964: Tsunami "Good Friday" di Alaska menghapuskan tiga desa dari peta dengan 107 warga tewas, dan 15 orang meninggal dunia di Oregon dan California. 10. 16 Agustus 1976: Tsunami di Pasifik menewaskan 5.000 orang di Teluk Moro, Filipina. 11. 17 Juli 1998: Gelombang laut akibat gempa yang terjadi di Papua New Guinea bagian utara menewaskan 2.313 orang, menghancurkan 7 desa dan mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Bahaya tsunami juga telah terbukti terjadi di Samudera Hinda. Menurut catatan dari Badan Geologi Bandung (2006), tsunami di Samudera Hindia (tepatnya di wilayah lautan DIY dan sekitarnya) pernah terjadi pada tahun 1840, 1883, 1904, 1957, dan 2006. Tsunami terbesar di Samudera Hindia terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter dan gelombang laut raksasa yang melanda enam negara di Asia Tenggara menewaskan lebih dari 156.000 orang. Beberapa kejadian tsunami yang tercatat di pesisir selatan Pulau Jawa adalah tsunami di Pantai Pangandaran Ciamis Jawa Barat pada tahun 2006 dan di pesisir pantai selatan Kabupaten Banyuwangi pada tahun 1994. Wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta juga termasuk bagian dari pesisir selatan Pulau Jawa, yang sampai saat ini masih belum terkena bahaya tsumani, tetapi kemungkinan untuk dapat terkena tsunami cukup besar karena merupakan satu rangkaian lempeng tektonik dengan pantai Pangandaran dan Banyuwangi yang pernah terjadi tsunami (lihat Gambar 33).
89
Gambar 33. Peta Daerah Rawan Tsunami di Indonesia (J.Murjaya, 2001)
Beberapa kejadian tsunami yang pernah tercatat, baik yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia maupun yang terjadi di Provinsi Jawa Timur disajikan dalam Tabel 25. Tabel 25. Tsunami di Indonesia No
Tanggal
Pusat Gempa (Hiposenter)
Kekuatan Gempa
1
24 mei 1908
8.7LS ; 124.7BT, 33 Km
6.6
Ende
2
2 Feb 1938
5.0 LS ; 131.5 BT, 33 Km
6.6
P.Banda dan Kei
3
20 Mei 1938
0.7 LS ; 120.3 BT, 13 Km
6.6
P.Banda dan Kei
4
25 Mei 1965
2.6 LS ; 126.1 BT, 13 Km
6.3
Selat Makassar
5
11 April 1967
3.7 LS ; 129.3 BT, 55 Km
6.3
Maluku, 71 tewas
Keterangan
6
12 April 1967
---
6.1
Pantai Tinambung Sulsel, 58 tewas
7
14 Agsts 1968
0.7 LU ; 119.8 BT, 23 Km
6.0
PantaiBarat Sulteng, 200 tewas
8
23 Feb 1969
3.1 LU ; 118.5 BT, 13 Km
6.1
Pantai Majene, 64 tewas
9.
15 Jan 1975
5.0 LS ; 130.0 BT, 33 Km
5.4
Banda Naira
10
5 Maret 1975
2.4 LS ; 126.1 BT, 33 Km
6.5
Pantai Sasana Maluku
11
19 Agst 1977
11.1LS ; 118.5BT, 33 Km
7.0
Bali,Smbawa,Sumba ; 189 tewas
12
25 Des 1982
8.4 LS ; 123.0BT, 33 Km
5.6
Larantuka, 13 tewas
90
13
8 Feb 1984
3.0 LS ; 118.8BT, 95 Km
5.9
Pantai Mamuju
14
12 Des 1992
8.4LS ; 122.4 BT, 15 Km
6.8
Flores, 2100 tewas
15
3 Juni 1994
105LS ; 113.2 BT, 15 Km
5.9
Jawa Timur, 208 tewas
16
26 Des 2004
2.9 LU ; 95.6 BT, 20 K m
8.5
Provinsi NAD (Aceh),
17
17 Juli 2006
9.3 LS ; 107.3 BT,48 Km
7.2
lebih 156.000
orang tewas Pangandaran Jawa Barat, 341 tewas
Sumber : Puspito dan Triyoso (1994) Tanda-tanda bahaya terjadinya gelombang tsunami di dekat episentrum adalah : a. Terjadinya guncangan/getaran gempa yang berpusat di dasar laut atau samudera b. Terjadinya air surut secara tiba-tiba di permukaan laut sejauh puluhan meter bahkan hingga ratusan meter dari bibir pantai ke arah laut, terjadi dengan relatif cepat c. Ikan-ikan dan biota laut lainnya akan terdampar di dasar pantai yang kering akibat surut yang mendadak d. Selang beberapa menit kemudianakan terjadi gelombang pasang yang tinggi dan cepat hingga mencapai lebih kurang 200 km/jam dan dapat terjadi secara berulang Tindakan/langkah-langkah penyelamatan diri apabila terjadi bencana tsunami adalah : a. jika terjadi tanda-tanda di atas, segera mencari tempat ketinggian atau menjauh dari pantai secepatnya b. Lakukan
tindakan
aksi
penyelamatan
diri
secepat
mungkin,
prioritaskan keselamatan jiwa, abaikan harta benda c. Jika gelombang tsunami sudah reda, jangan segera kembali ke rumah/mendekat
daerah
pantai
karena
kemungkinan
terjadi
gelombang tsunami susulan d. Sebaiknya tetap berada di daerah aman/tempat ketinggian sampai dipastikan benar-benar aman dari gelombang tsunami susulan e. Jika terjadi ombak atau gelombang, sedapat mungkin untuk meraih benda yang mudah terapung sebagai pegangan.
4.10. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) adalah segala bentuk aktivitas campur tangan manusia terhadap suatu lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
91
Bentuk penggunaan lahan di daerah penelitian dikategorikan menjadi dua bagian yaitu bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul dan di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. Dari hasil interpretasi Peta Rupabumi skala 1 : 25.000 dan pengecekan lapangan, bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul meliputi tegalan/ladang, semak/ belukar, sawah tadah hujan, permukiman dan pekarangan.
Bentuk
penggunaan
lahan
yang
ada
sekarang
memang
menyesuaikan dengan kondisi wilayah yang sebagain besar merupakan bentuklahan karst dengan karakteristik yang khas pula. Jenis tanah yang terdapat pada bentuklahan karst adalah tanah mediteran dan litosol yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, sehingga bentuk penggunaan lahannya juga menyesuaikan berupa tegalan/ladang dengan tanaman yang dibudidayakan berupa ketela pohon, kacang tanah, dan tanaman tahunan seperti jati, yang berfungsi sebagai tanaman pelindung. Potensi air permukaan yang sangat rendah (hampir tidak ada) terutama pada musim kemarau ikut mendukung bentuk penggunaan lahan ini. Penggunaan lahan sawah tadah hujan hanya dilakukan pada saat musim penghujan dengan mengandalkan air hujan untuk mengairi tanaman padi. Permukiman penduduk yang jaraknya relatif dekat dengan pantai mempunyai pola yang menyebar, sedangkan perkampungan penduduk jaraknya relatif jauh dari pantai dan pola permukimannya lebih mengelompok bila dibandingkan dengan permukiman penduduk yang relatif dekat dengan pantai. Tabel 26. Luas Sawah, Tegalan, dan Pekarangan (Ha) di Beberapa Kecamatan yang berada di Wilayah Pantai Kabupaten Gunungkidul No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan Purwosari Pangang Saptosari Tanjungsari Tepus Girisubo Jumlah
Sawah Tegalan Pekarangan ½ tehnis Tadah hujan 140 12.688 1.216 129 8.321 1.074 206 16.422 879 72 9.506 1.441 90 14.828 1.694 189 6.418 1.025 826 68.183 7.329 Sumber : Gunungkidul dalam Angka, 2003
Dari Tabel 26. nampak bahwa di wilayah pantai Kabupaten Gunungkidul tidak terdapat jenis penggunaan lahan berupa sawah irigasi, tetapi yang ada
92
adalah sawah tadah hujan dan luasnya relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan berupa tegalan dan pekarangan. Lahan pertanian di kawasan Baron-Sundak merupakan lahan pertanian yang paling luas dan memiliki sistem pengairan yang cukup baik, karena mendapat pasokan air dari sumur bor di Krakal. Meskipun demikian, tidak dijumpai permukiman penduduk di sekitar lahan pertanian tersebut, karena kegiatan pertanian dan juga kehutanan di daerah penelitian dilakukan oleh penduduk yang bermukim di luar daerah penelitian.
Gambar 34. Kenampakan Padi Sawah Tadah Hujan di Pantai Krakal, Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Bentuk penggunaan lahan di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo adalah tegalan, sawah irigasi, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka, beting pantai, gosong sungai, gumuk pasir, pasir pasang-surut, rawa, permukiman dan pekarangan. Bentuk penggunaan lahan tegalan menempati pada sebagian gumuk pasir yang sudah tidak aktif dan bekas rawa belakang. Jenis vegetasi yang ada meliputi jagung, ketela, semangka, dan lombok. Pada saat menjelang musim penghujan, lahan gumuk pasir mulai diolah menggunakan traktor untuk dapat ditanami tanaman cabe, semangka, dan lain-lain. Sistem pengairannya menggunakan sistem sumur renteng, yaitu suatu sistem sawah yang sumber airnya berasal dari satu sumur utama, kemudian dari sumur utama tersebut dibuat saluran-saluran pipa pralon ke beberapa sumur yang berfungsi sebagai tempat penampungan air untuk mengairi sawah.
93
Gambar 35. Model Sumur Renteng di Lahan Pasir ,Congot Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Pada saat ini di lahan gumuk pasir yang sudah tidak aktif seperti di Pantai Glagah dan Pantai Bugel dikembangkan tanaman buah naga dan sudah mulai panen (lihat Gambar 36).
Gambar 36. Buah Naga yang ditanam di Lahan Pasir, Glagah Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Lahan sawah irigasi terdapat di rawa belakang dan dataran aluvial bekas lagun dengan drainase yang cukup jelek, yang pada musim penghujan selalu tergenang. Untuk memperbaiki drainase, selain membuat saluran drainase juga dilakukan pertanian sistem surjan, yaitu pembuatan petak-petak memanjang berselang-seling tinggi rendah dengan ukuran lebar pada bagian yang tinggi 1,5 meter. Bagian yang tinggi sebagian besar ditanami palawija seperti ketela pohon, jagung, cabe, terong, kacang tanah, kedelei, bawang merah dan kacang panjang, sedangkan bagian yang rendah pada musim penghujan ditanami padi dan pada musim kemarau ditanami jagung.
94
Gambar 37. Sistem Surjan, Trisik Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Pada dataran aluvial di kanan-kiri sungai utama, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Serang, dan Sungai Progo penggunaan lahannya berupa sawah dan sedikit tambak seperti di Sungai Bogowonto. Dataran aluvial memang merupakan tanah yang sangat subur sehingga cocok untuk penggunaan lahan sawah.
Muara S. Bogowonto
sawah
Gumuk pasir
Gambar 38. Penggunaan Lahan Sawah di Dataran Aluvial Sungai Bogowonto, Congot Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Bentuk
penggunaan lahan permukiman dan pekarangan banyak
ditemukan pada bentuklahan beting gisik tua dengan pola memanjang sejajar garis pantai, dan di dataran aluvial sungai dengan pola memanjang sepanjang sungai (lihat Gambar 39). Komposisi tanaman di pekarangan adalah kelapa, pisang, pepaya, melinjo, mangga, jambu, dan lain-lain. Lahan kosong/terbuka letaknya menyebar mulai dari pantai bagian selatan sampai dekat beting pantai bagian utara. Pada beberapa bagian lahan kosong ini ditumbuhi berbagai jenis vegetasi antara lain rumput grinting, tanaman pandan dan semak-semak,
95
sedangkan pada bagian lahan terbuka yang tanpa vegetasi penutup terbentuk gumuk-gumuk pasir yang masih aktif.
Gambar 39. Permukiman dan Pekarangan dengan Pola Memanjang di Sepanjang Sungai (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
4.11. Aksesibilitas Aksesibilitas merupakan gambaran tingkat kemudahan keterjangkauan dan sirkulasi suatu wilayah. Untuk mengetahui tingkat aksesibilitas di daerah penelitian, variabel yang digunakan meliputi variabel jarak terdekat masingmasing desa di wilayah pesisir dengan pusat kota kecamatan , kota kabupaten serta kota kabupaten lainnya, dan variabel kondisi jalan yang dapat diakses dengan baik. Purwohandoyo (2007) menyatakan bahwa rata-rata jarak terdekat antar desa dengan kota kecamatan adalah 4,87 km, sedangkan rata-rata jarak terdekat antara desa dengan ibukota kabupaten adalah 25,09 km dan dengan ibukota kabupaten lainnya adalah 36,16 km. Purwohandoyo (2007) juga menyatakan apabila tingkat aksesibilitas ini dilihat dari masing-masing desa, terdapat 12 (dua belas) desa yang memiliki kategori dekat dengan pusat kota, desa-desa tersebut meliputi desa : Sindutan, Palihan, Glagah, Pleret, Bugel, Karangsewu, dan Banaran (masuk wilayah administratif Kabupaten Kulonprogo), kemudian desa Poncosari, Gadingsari, Gadingharjo, dan Srigading (wilayah adminstratif
Kabupaten
Bantul),
serta
Desa
Sidoharjo
(masuk
wilayah
administratif Kabupaten Gunungkidul). Kondisi jalan menuju wilayah pantai di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul sebagian sudah beraspal dan dapat dilewati kendaraan meskipun tidak begitu lebar, tetapi beberapa wilayah pantai hanya dapat dilewati dengan berjalan kaki melalui jalan setapak yang berupa susunan batu dan tanah, atau
96
kadang hanya berupa susunan batu saja. Kondisi seperti ini lebih disebabkan kondisi wilayah Kabupaten Gunungkidul yang berupa perbukitan karst sehingga pembangunan prasarana jalan dibutuhkan biaya yang cukup besar dan perencanaan yang baik.
Gambar 40. Jalan Aspal menuju Pantai Krakal, Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
Kondisi jalan menuju pantai di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo relatif sebagian besar sudah beraspal dan dapat dilewati kendaraan bermotor, meskipun beberapa jalan dalam kondisi rusak terutama jalan pinggir pantai. Disamping kondisi topografinya yang datar sehingga memudahkan untuk pembangunan jalan, juga tingkat kebutuhan akan prasarana jalan yang tinggi disebabkan oleh kedekatan dan interaksi antara satu desa dengan desa yang lainnya.
Gambar 41. Kondisi Jalan di Pantai Depok-Parangtritis, Bantul (Sumber : Foto Lapangan, 2006)
97
4.12. Peraturan Perundangan dan Tata Ruang Wilayah Peraturan perundangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Pasal 7 disbutkan bahwa Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri atas : a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang
selanjutnya disebut RSWP-3-K; b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K; c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan
d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K. Selanjutnya dalam Pasal 9 disebutkan bahwa : a. RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir
dan
Pulau-Pulau
Kecil
pemerintah
provinsi
dan/atau
pemerintah kabupaten/kota. b. RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Dalam rencana tata ruang wilayah provinsi DIY pasal 37a disebutkan bahwa pengembangan kawasan pesisir dan laut ditujukan untuk : a. Menjaga fungsi wilayah pesisir dan laut agar tetap lestari. b. Menjaga dan mempertahankan batas teritorial dan kepemilikan kekayaan sumberdaya laut yang ada di dalamnya. c. Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut untuk kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pengembangan kawasan pesisir dan laut meliputi: a. Pelestarian kawasan pesisir dan laut
b. Pengendalian pemanfaatan kawasan pesisir dan kelautan dari pengaruh budidaya lain c. Pengamanan dari pemanfaatan oleh kegiatan bangsa lain d. Penyediaan sarana dan prasarana produksi pesisir dan kelautan Selanjutnya dalam Pasal 41a disebutkan strategi pengembangan kawasan pesisir dan laut meliputi kegiatan-kegiatan :
98
a. Informasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang urgensi dan kerentanan wilayah pesisir dan laut beserta potensi yang terkandung di dalamnya. b. Peningkatan partisipasi masyarakat untuk pengembangan wilayah pesisir dan laut sesuai kemampuan masing-masing. c. Penyediaan sarana dan prasarana termasuk instrumen-instrumen peraturan dan kelembagaan yang perlu untuk pengelolaan kawasan pesisir dan laut. d. Implementasi kerjasama yang setara dengan swasta untuk dapat memanfaatkan kawasan pesisir dan laut secara lestari. Selanjutnya dalam bidang transportasi laut, Pasal 53 ayat (4) berbunyi bahwa sistem transportasi laut hanya mencakup Sadeng, Pandansimo dan Glagah yang berfungsi sebagai pangkalan pendaratan ikan dengan skala pelayanan lokal dan regional masing-masing terletak di wilayah Gunungkidul, di wilayah Bantul dan di wilayah Kulon Progo. Pasal 57 disebutkan bahwa pengembangan pelabuhan Sadeng, Pandansimo dan Glagah diutamakan untuk pangkalan pendaratan ikan yang melayani pasar ikan, baik di dalam, maupun di luar daerah, dan untuk memperlancar arus pengangkutan ikan ke tempat-tempat pemasaran perlu dikembangkan jalan kolektor primer yang menghubungkan Sadeng, Pandansimo dan Glagah dengan Yogyakarta dan Surakarta. Berkaitan dengan penelitian ini maka penilaian tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk pelabuhan akan langsung dikaitkan dengan wilayah pesisir Sadeng, Pandansimo, dan Glagah. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul disebutkan bahwa wilayah pantai Kabupaten Bantul yang meliputi Kecamatan Kretek, Sanden, dan Srandakan masuk dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) IV yang diarahkan untuk pengembangan kawasan pertanian lahan basah, permukiman, peternakan, perikanan, dan wisata. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulonprogo No. 1 Tahun 2003 Lampiran IV berupa Peta Kawasan Permukiman dan Lokasi Militer, disebutkan bahwa kawasan darat yang berbatasan langsung dengan wilayah pesisir diarahkan untuk permukiman perdesaan dan di sebelah timur dari Kali Serang diarahkan untuk lokasi militer. Lokasi militer yang dimaksud adalah Pangkalan MIliter TNI-AL yang rencananya merupakan pindahan dari Pangkalan TNI-AL (Lantamal) V
masih dalam tahap survei awal tingkat kelayakan. Lokasi
99
lahan yang digunakan sudah memperoleh persetujuan dari Pakualaman Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo. Sehubungan dengan adanya cadangan pasir besi di sepanjang pesisir Kabupaten Kulonprogo, saat ini sedang dilakukan pengumpulan data cadangan pasir besi di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo sepanjang 22 km dengan luas 4000 hektar. Perkiraan kandungan biji besi sebesar 300 juta ton dan akan didirikan pabrik baja dan besi untuk pengolahannya di lokasi penambangan. Model penambangan menggunakan sistem blok yaitu per 1 km2 ditambang, langsung diolah di pabrik. Upaya konservasi dilakukan dengan membuat talud pada jarak 200 m dari garis pantai sepanjang 22 km, dimana talud ini kemudian ditanami tanaman untuk menahan gelombang, juga angin dan kemungkinan terjadinya tsunami. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gunungkidul Tahun 2005 – 2010 disebutkan bahwa Kabupaten Gunungkidul mempunyai tata ruang yang ditetapkan berdasarkan atas potensi wilayah dan aksesibilitasnya. Rencana pengembangan tata ruang Kabupaten Gunungkidul diarahkan berdasarkan prinsip konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam pelaksanaannya, pengembangan tersebut didahului dengan melakukan pembagian wilayah pengembangan menjadi 5 yaitu : 1. Wilayah
pengembangan
daerah
selatan,
yaitu
daerah
pantai/pesisir yang dikembangkan utuk pengembangan wisata alam dan bahari 2. Wilayah pengembangan daerah utara, yaitu Daerah Batur Agung untuk pengembangan agrowisata 3. Wilayah pengembangan daerah tengah, yaitu daerah Wonosari Comb untuk pengembangan wisata budaya dan wisata rekreatif 4. Wilayah
pengembangan
daerah
tenggara,
yaitu
daerah
Pegunungan Seribu untuk pengembangan wisata alam goa 5. Wilayah pengembangan daerah barat laut, yaitu sepanjang Sungai Oyo yang dapat dikembangkan untuk wisata alam sungai. Selanjutnya dalam pengembangan daerah pantai di wilayah selatan untuk wisata alam dan bahari, disusun prinsip-prinsip pengembangan lingkungan dan pendekatan pengelolaan lingkungan seperti tersaji dalam Tabel 27 dan Tabel 28.
100
Tabel 27. Prinsip-Prinsip Pengembangan Lingkungan Daerah Selatan Kabupaten Gunungkidul Zona
Karakteristik ODTW
Pengembangan
Prinsip Pengembangan
Lingkungan
Pengambangan Wisata pada Kawasan Karst (zona Pegunungan Seribu)
• Pengembangan obyek wisata goa karst • Pengembangan obyek wisata perbukitan karst • Pengembangan obyek wisata hutan di kawasan karst • Pengembangan obyek dan paket wisata arkeologi/budaya pada goagoa karst
• Menghindari pembangunan fasilitas fisik wisata di goa, dan dapat merusak ornament goa • Penambahan sarana prasaran fisik wisata di atas perbukitan karst harus disertai dengan pengelolaan dan pemeliharaan yang berkesinambungan • Pengembangan sarana prasarana umum (MCK< gardu pandang, areal parker) harus disesuaikan dengan kemampuan lahan, jauh dari resiko longsoran tebing perbukitan karst • Perlu diupayakan aksesibilitas menuju obyek wisata dengan memperhatikan kemampuan lahan di sekitar obyek wisata yang akan dikelola • Mengupayakan penyediaan dan pengaturan sumber air bersih dan pembuangan limbah cair dan sampah padat
Pengembangan wisata pada kawasan Pantai Selatan (Zona Pegunungan Seribu)
• Pengembangan obyek wisata pantai , morfologi ombak tepian pantai, biota perairan pantai • Pengembangan wisata perikanan dan bahari maupun teknologi perikanan laut
• Pengembangan obyek wisata tidak harus memaksakan penambahan fasilitas fisik dan disekitar obyek wisata • Penambahan fasilitas fisik harus memperhatikan kondisi kemampuan lahan setempat, jauh dari resiko abrasi pantai, jauh dari resiko erosi tebing maupun longsoran tanah rombakan batu gamping • Fasilitas fisik pada obyek-obyek wisata pantai di Gunungkidul harus disertai kegiatan pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas terhadap kebutuhan air bersih, pengaturan limbah cair dan sampah padat • Pengembangan sarana aksesibilitas untuk obyek-obyek wisata dan pantai yang akan dikelola secara terpadu dan berkesinambungan yang disertai pemeliharaannya.
Sumber : RIPPDA Kabupaten Gunungkidul, 2000
101
Tabel 28. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Kabupaten Gunungkidul Strategi Pengelolaan Lingkungan
Lingkungan
Rekayasa Teknik
Rekayasa Biologi
Rekayasa Sosial
1. Pembuatan bangunan tidak diijinkan di puncak bukit 2. Penetapan sempadan pantai 3. Dermaga TPI hanya di Pantai Baron dan Sadeng 4. Menetapkan diving resort, swimming resort, dan boating resort 1. Mengembangkan pemakaian sumur peresapan air hujan 2. Memperketat building coverage ratio 3. Menjaga sanitasi lingkungan 1. Mengembangkan saluran irigasi 2. Mengembangkan embung atau dam ukuran kecil
1. Pembuatan jalur hijau pada sempadan pantai 2. Penghijauan puncakpuncak bukit 3. Menjaga habitat penyu 4. Penetapan daya dukung (ecological carrying capacity)
1. Penetapan tata ruang pantai 2. Mengedalikan eksploitasi sumberdaya pesisir (terumbu karang, pasir putih, penyu, ikan hias) 3. Penangan sampah
1. Membuat penghijauan pekarangan 2. Menanam berbagai jenis empon-empon
Menyadarkan masyarakat dalam penanganan limbah nusantara dan sampah
1. Mengembangkan varietas local lahan hama dan penyakit 2. Mengembangkan pola tanam penggiliran
Menurangi pemakaian pestisida
Tegalan
1. Membuat waterdays, drop structure 2. membuat embung 3. Merujuk puncak bukit yang boleh dieksploitasi
1. Mengembangkan hutan rakyat dengan jenis yang lebih komersial 2. Menanam tanaman campuran (obatobatan, cinderamata)
1. Mengembangkan hutan rakyat jenis multi purpose 2. Kerapatan pohon lebih baik 3. Melarang eksploitasi seluruh bukit kapur
Hutan
1. Menetapkan beberapa kawasan untuk pariwisata alam 2. Menetapkan jalur-jalur jalan yang terbuka dan tertutup 1. Menjaga keaslian telaga 2. Mengendalikan pengurasan telaga (tanpa membuka pohon) 1. Pembuatan bangunan hanya boleh di luar goa dengan tipe arsitektur setempat 2. Mencegah perusakan ekosistem di mulut goa
1. Memilih jenis tanaman yang tidak dipungut daunnya 2. Mengembangkan jenis multi purpose maupun jenis langka Menanam tanaman jenis asli di sekitar telaga
mengembangkan hutan kemasyarakatan
1. Membuat penghijauan di daerah mulut goa 2. Membuat landscape yang sesuai dengan jenis dan bentuk tanah
1. Membuat regulasi pemanfaatan goa 2. mengembangkan goa sebagai ODTW
Pantai
Permukiman atau pekarangan
Persawahan
Telaga
Goa
1. Membatasi pemakaian yang berlebihan 2. menetapkan regulasi telaga untuk ODTW
Sumber :RIPPDA Kabupaten Gunungkidul, 2000
102
V. HASIL PENELITIAN Dalam menguraikan hasil penelitian ini akan dijelaskan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh dari pemrosesan dan interpretasi foto udara untuk pemetaan parameter tipologi fisik pesisir dan parameter evaluasi lahan untuk berbagai pemanfaatan.
5.1. Interpretasi Foto Udara Foto udara yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo. Interpretasi foto udara dilakukan secara
on screen digitizing dengan dilakukan koreksi geometrik
terlebih dahulu. Koreksi geometrik perlu dilakukan untuk mengoreksi kesalahan ukuran di foto udara akibat proyeksi sentral (artinya ukuran yang hampir sama dengan kondisi di lapangan terletak pada bagian tengah/sentral dari foto udara, semakin ke arah tepi kesalahan semakin besar). Rujukan yang digunakan menggunakan Peta Rupabumi digital skala 1 : 25.000. Pemilihan titik ikat pada foto udara terletak menyebar dan dipilih pada obyek-obyek yang mudah dikenali dan tidak banyak mengalami perubahan di lapangan. Perangkat lunak yang digunakan adalah ER Mapper versi 6.4. Hasil dari interpretasi foto udara adalah berupa informasi spasial bentuklahan, penggunaan lahan, materi penyusun utama, dan aksesibilitas wilayah pesisir daerah penelitian. Informasi spasial ini digunakan sebagai data masukan untuk menentukan tipologi fisik pesisir.
5.2. Tipologi Fisik Wilayah Pesisir Bertitik tolak dari konsep penentuan tipologi fisik pesisir dengan menelusuri tiga komponen (unsur) pembentuknya yaitu relief, materi penyusun utama, dan proses genesanya (termasuk dalam hal ini adalah proses yang dominan), berikut akan diuraikan hasil penelitian yang menyangkut ketiga komponen tersebut.
Relief Hasil penelitian menyangkut kondisi relief daerah penelitian, ternyata daerah penelitian secara garis besar didominasi oleh dua kondisi relief yang berbeda yaitu wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul yang didominasi oleh
103
kondisi relief cukup curam sampai sangat curam dengan kemiringan lereng > 15%, dan wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo yang didominasi oleh kondisi relief yang relatif datar sampai landai dengan kemiringan lereng 0 – 14 %. Kondisi relief dasar laut (bathimetri) menurut hasil penelitian Pusat Studi Sumberdaya dan Teknologi Kalutan (PUSTEK) UGM yaoyakarta (2003) menunjukkan pada jarak 180 m dari garis pantai ke arah laut, kemiringan lerengnya sebesar 1,7 %, kemudian semakin ke arah laut lepas dengan jarak 800 m dari garis pantai kemiringan lerengnya mencapai 4 %. Data kemiringan lereng dasar laut ini didasarkan pada hasil perhitungan menggunakan garis penampang melintang pada peta bathimetri Kabupaten Kulonprogo yang dihasilkan oleh PUSTEK UGM Yogyakarta. Hasil pengukuran relief/topografi permukaan bumi secara langsung di lapangan pada beberapa titik sampel yang telah ditentukan menggunakan abney-level, kompas geologi, yalon, dan GPS disajikan pada Gambar 42 sampai Gambar 50.
104
Gambar 42. Penampang Melintang (Profil) Pantai Ngungap, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
Gambar 44. Penampang Melintang (Profil) Pantai Krakal, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
Gambar 43. Penampang Melintang (Profil) Pantai Wediombo, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
Gambar 45. Penampang Melintang (Profil) Pantai Parangendog, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
105
Gambar 46. Penampang Melintang (Profil) Pantai Parangtritis, Bantul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
Gambar 48. Penampang Melintang (Profil) Pantai Trisisk, Kulon Progo (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
Gambar 47. Penampang Melintang (Profil) Pantai Samas, Bantul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
Gambar 49. Penampang Melintang (Profil) Pantai Glagah, Kulon Progo (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
106
Gambar 50. Perbandingan antar Penampang Melintang (Profil) di Wilayah Pesisir DIY (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)
107
Materi penyusun utama dan proses genesa Materi penyusun utama dan proses genesa (asal terbentuknya) suatu wilayah pesisir adalah sangat berkaitan, dan keduanya diturunkan dari analisis bentuklahan yang ada di wilayah pesisir daerah penelitian. Penentuan materi penyusun utama dilakukan melalui uji lapangan dan uji laboratorium. Uji lapangan melalui cara pengamatan dan pengukuran langsung, sedangkanj uji laboratorium melalui analisis tekstur tanah (lihat Lampiran 4). Hasil analisis tekstur tanah yang dikaitkan dengan bentuklahannya disajikan dalam Tabel 29. Tabel 29. Hasil Analisis Tekstur Tanah dikaitkan dengan Bentuklahannya No
Lokasi Sampel
Tekstur
Bentuklahan
Keterangan
K5 M3 M3 M3 M3 M3 M3 M3 M6 M3 M7 F5 M3 F1 F7 M3 M8 F7 F7 M8 M8 M3 M8 M3 M8 M3 M4 M8 F5 M8 M4 M8 F7
Tekstur Tanah GC = Kerikil berlempung, campuran kerikil – pasir – lempung GW = Kerikil bergradasi baik, campuran kerikil – pasir, sedikit atau tanpa butiran halus SM = Pasir berlanau, campuran pasir – lanau SP = Pasir bergradasi jelek, pasir berkerikil, sedikit atau tanpa butiran halus CL = Lempung organik dengan plastisitas rendahsampai sedang, lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau ML = Lanau organik dan pasir sangat halus, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung, atau lanau berlempung dengan sedikit plastisitas
Tanah 1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Sadeng Wediombo Siung Weru Krakal Sepanjang Kukup Baron Parangendog Parangtritis Gumuk pasir aktif Rawa belakang Depok Dat. Alluvial Opak Desa Srigading Samas Pandansimo Desa Poncosari Bleberan Trisik Gupit Bugel Siliran Dua Gisik Pranaji Pleret satu Garongan Kriyan Karangwuni Desa Glagah Pantai Glagah Kretek Trisik Dat. Banjir S. Bogowonto Kledekan Lor
GC GW GW GW GW GW GW SP SM SP SP CL SP CL ML SP SP ML ML SP SP GW SP GW SP GW SP SP CL SP SP SP ML CL
F1
Bentuklahan : K5 = dataran alluvial karst M3 = gisik M4 = beting gisik M6 = depresi antar beting gisik M7 = gumuk pasir aktif M8 = gumuk pasir tidak aktif/pasif F1 = dataran alluvial F5 = rawa belakang F7 = dataran banjir
Sumber : analisis laboratorium dan uji lapangan (2006)
108
Tipologi Fisik Pesisir Tipologi fisik pesisir dihasilkan dari proses tumpang-susun (overlay) antara parameter kondisi relief/kemiringan lereng, materi penyusun utama dan proses genesa. Data yang digunakan sebagai data spasial dalam bentuk peta dan proses yang dilakukan menggunakan pemrosesan data spasial Sistem Informasi Geografis (SIG).Hasilnya adalah Peta Tipologi Fisik Pesisir daerah penelitian. Analisis dari peta tipologi fisik pesisir yang dihasilkan ternyata bahwa di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul ditemukan hampir semua tipe pesisir, dimulai dari yang paling dominan yaitu tipe pesisir erosi darat dengan dicirikan pada relief dengan kemiringan lereng agak curam sampai sangat curam, berbatuan padu (keras), dan proses genesa solusional (pelarutan/karst), sampai pada tipe pesisir organik. Di beberapa tempat terutama di pantai yang berbentuk teluk termasuk dalam tipe pesisir pengendapan laut dan tipe pesisir organik. Kedua tipe pesisir ini dicirikan oleh relief dengan kemiringan datar sampai landai, materi penyusun utamanya berupa material lepas (pasir), dan proses genesanya marin (aktivitas laut). Tipe pesisir volkanik, struktural, dan erosi gelombang dijumpai di beberapa tempat yang spesifik , ditandai dengan ditemukannya kenampakan yang menonjol dari proses genesa tersebut di lapangan. Tipologi pesisir yang terdapat di wilayah Kabupaten Bantul dan Kulon Progo secara dominan merupakan tipe pesisir pengendapan laut dan beberapa tempat seperti di kanan kiri sungai merupakan tipe pesisir pengendapan darat. Tipe pesisir pengendapan laut bercirikan relief yang datar hingga landai, mempunyai materi pasir, dan prosesnya terdiri dari proses marin (gelombang) untuk wilayah yang dekat dengan laut dan proses aeolian (angin) pada daerah yang lebih ke arah darat. Kenampakan yang mudah untuk dikenali di lapangan adalah kenampakan gisik pantai (untuk proses marin) dan gumuk pasir (untuk proses aeolian). Tipe pesisir pengendapan darat dicirikan oleh relief yang datar hingga landai, dengan materi berupa lumpur (lembek), dan proses genesanya berupa proses fluvial (aliran sungai). Secara lebih jelas sebaran tipologi pesisir yang ada di daerah penelitian disajikan dalam Tabel 30.
109
Tabel 30. Tipologi Fisik Pesisir Daerah Penelitian No
Nama Pantai
Wilayah Administrasi (kabupaten)
Relief
Materi Penyusun Utama
Proses Genesa
Tipologi Fisik Pesisir
Kenampakn Khusus di Lapangan
Penggunaan Lahan
Lembah sungai purba (Bengawan Solo Purba) Tebing clif terjal dan terdapat bekas erosi gelombang (marine notch)
Tegalan, sawah (musim penghujan), pelabuhan wisata
Bongkahan batuan volkanik di pantai dan pasir laut Sisi sebelah timur berbatuan volkanik dan sebelah barat berbatuan gamping, sedangkan bagian tengah (teluk) pasir marin.
wisata
Hamparan pasir putih
Lokasi pendaratan kapal nelayan dan wisata
1.
Sadeng
Gunungkidul
Datar
lumpur dan pasir
fluvial dan marin (fluviomarin)
Pesisir pengendapan darat
2
Ngungap
Gunungkidul
Sangat terjal
Batuan keras (padu)
Marin (gelombang)
Pesisir erosi gelombang
3
Wediombo
Gunungkidul
Datar – landai
Pasir dan batuan volkan
Volkanik dan marin
Pesisir volkanik
4.
Siung
Gunungkidul
Datar-landai (teluk) dan agak curam (bagian timur)
Batuan volkanik dan pasir marin
Volkanik dan marin
Pesisir volkanik
5
Weru
Gunungkidul
Landai
Pasir putih
Organisme laut dan marin (bio-marin)
Pesisir organik
wisata
Keterangan
Proses marin dimasukkan dalam gelombang karena pasang-surut < 2m Proses genesanya merupakan aktivitas volkan G. Batur yang terletak di tengah antara Pantai Wediombo dan Pantai Siung sehingga kedua pantai ini merupakan tipe pesisir volkanik
110
No
Nama Pantai
Wilayah Administrasi (kabupaten)
Relief
6
Turen
Gunungkidul
Sangat curam
7
Krakal dan Sundak
Gunungkidul
8
Drini
9
Materi Penyusun Utama
Proses Genesa
Tipologi Fisik Pesisir
Kenampakn Khusus di Lapangan
Penggunaan Lahan
Solusional (karst) Organisme laut dan marin (bio-marin)
Pesisir erosi darat Pesisir organik
Fenomena karst Hamparan pasir putih
Tegalan
Landai
Batuan keras (padu) Pasir putih
Gunungkidul
Datar-landai
Pasir putih
Pesisir organik
Hamparan pasir putih
Wisata
Sepanjang
Gunungkidul
Datar-landai
Pasir putih
Organisme laut dan marin (bio-marin) Organisme laut dan marin (bio-marin)
Pesisir organik
Wisata, permukiman, tegalan
10
Kukup
Gunungkidul
Datar
Pasir putih
Organisme laut dan marin (bio-marin)
Pesisir organik
11
Baron
Gunungkidul
Datar
Pasir
Marin (gelombang)
Pesisir pengendapan laut
Hamparan pasir putih dan tempat bertelur penyu laut Hamparan pasir putih dan hamparan padang lamun Hamparan pasir sedimen laut
12
Ngobaran
Gunungkidul
Curam – sangat curam
Batuan keras (padu)
struktural
Pesisir struktural
Wisata
13
Jepitu
Gunungkidul
Sangat curam
14
Nampu
Gunungkidul
Sangat curam
15
Parangendog
Gunungkidul
Sangat curam
Batuan keras (padu) Batuan keras (padu) Batuan keras (padu)
Salusional (karst) Salusional (karst) Solusional (karst)
Pesisir erosi darat Pesisir erosi darat Pesisir erosi darat
Terdapat jalur patahan aktivitas struktural Fenomena karst Fenomena karst Fenomena karst
Keterangan
Wisata
Wisata, ikan hias Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan
tegalan tegalan Tegalan
Tempat keluarnya aliran sungai bawah tanah
111
No
Nama Pantai
Wilayah Administrasi (kabupaten)
Relief
Materi Penyusun Utama
Proses Genesa
Tipologi Fisik Pesisir
Kenampakn Khusus di Lapangan
Penggunaan Lahan
Keterangan Nama parangwedang (wedang = panas)
16
Parangwedang, Parangkusumo
Bantul
Datar – landai
Batuan volkanik dan pasir
Volkanik dan marin
Pesisir volkanik
Mata air panas
Wisata dan permukiman
17
Gumuk pasir aktif
Bantul
Datar – landai
Pasir (lepas)
Aeolian (angin dan marin (gelombang)
Pesisir pengendapan laut
Wisata dan laboratorium alam
18
Parangtritis
Bantul
Datar – landai
Pasir (lepas)
- Marin (gelombang)
Pesisir pengendapan laut
Fenomena gumuk pasir barchan, longitudinal, transversal Gisik pantai (aktivitas marin) dan gumuk pasir (aeolio-marin)
19
Depok
Bantul
Datar – landai
Pasir (lepas)
Marin (gelombang), Aeolian (angin),
Pesisir pengendapan laut
Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan, tegalan,
20
Depok 2 (rawa belakang)
Bantul
Datar
Lumpur
21
Dataran Banjir S. Opak
Bantul
Datar
Lumpur
Fluvial (sungai) dan marin (intrusi) Fluvial (sungai) dan marin (intrusi)
Pesisir pengendapan darat Pesisir pengendapan darat
Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) Hamparan sawah yang ditanami padi Hamparan sawah yang ditanami padi
Wisata, permukiman, tegalan
Sawah dan permukiman sawah
Muara Sungai Opak
112
No
Nama Pantai
Wilayah Administrasi (kabupaten)
Relief
Materi Penyusun Utama
Proses Genesa
Tipologi Fisik Pesisir
22
Pandansimo
Bantul
Datar – landai
Pasir (lepas)
Marin (gelombang), Aeolian (angin)
Pesisir pengendapan laut
23
Dataran banjir S. Progo
Bantul
Datar
Lumpur
Fluvial (sungai) dan marin (intrusi)
Pesisir pengendapan darat
24
Trisik
Kulon Progo
Datar – landai
Pasir (lepas)
Marin (gelombang), Aeolian (angin)
Pesisir pengendapan laut
25
Bugel
Kulon Progo
Datar – landai
Pasir (lepas)
Marin (gelombang), Aeolian (angin),
Pesisir pengendapan laut
26
Gumuk pasir pasif
Kulon Progo
Landai
Pasir (lepas)
Aeolian (angin) dan marin (gelombang)
Pesisir pengendapan laut
27
Karangwuni 1
Kulon Progo
Landai
Pasir (lepas)
Marin (gelombang),
Pesisir pengendapan laut
Kenampakn Khusus di Lapangan
Penggunaan Lahan
Keterangan
Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) Kenampakan sawah yang ditanami padi
Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan, tegalan
Muara Sungai Progo bagian timur
Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir pasif (aeoliomarin) Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) Kenampakan gumuk pasir pasif
Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan, dan tegalan
Kenampakan gisik pantai
Sawah
Muara Sungai Progo bagian barat
Wisata, permukiman, tegalan, tanah terbuka Tegalan (ditanami semangka) dan tanah terbuka Pangkalan TNI-AL Yogyakarta
Muara Sungai Serang sebelah timur
113
No
Nama Pantai
Wilayah Administrasi (kabupaten)
Relief
Materi Penyusun Utama
Proses Genesa
Tipologi Fisik Pesisir
Kenampakn Khusus di Lapangan
Penggunaan Lahan
Fluvial (sungai) dan marin (intrusi) Marin (gelombang), Aeolian (angin), dan fluvial (sungai)
Pesisir pengendapan darat Pesisir pengendapan laut (dekat laut) dan Pesisir pengendapan darat (sekitar sungai)
Kenampakan dataran aluvial sungai Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) dan dataran aluvial sungai (fluvial)
Permukiman
Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) dan dataran aluvial sungai (fluvial) Kenampakan dataran untuk sawah dan tambak udang
28
Karangwuni 2
Kulon Progo
Datar
Lumpur
29
Glagah
Kulon Progo
Datar – landai
Pasir (lepas)
30
Congot
Kulon Progo
Datar – landai
Pasir (lepas)
Marin (gelombang), Aeolian (angin), dan fluvial (sungai)
Pesisir pengendapan laut (dekat laut) dan Pesisir pengendapan darat (sekitar sungai)
31
Dataran Bajir S. Bogowonto
Kulon Progo
Datar
Lumpur
Fluvial (sungai) dan marin (intrusi)
Pesisir pengendapan darat
Keterangan
Wisata, pendaratan kapal nelayan, dan tegalan.
Muara Sungai Serang sebelah barat
Wisata, tegalan, sawah, dan tambak air tawar
Muara Sungai Bogowonto
Sawah dan tambak
Muara S. Bogowonto
Sumber : Hasil Analisis Spasial menggunakan SIG
114
GAMBAR 51. PETA TIPOLOGI FISIK PESISIR WILAYAH PESISIR DIY
115
5.3. Kondisi Fisik Titik Sampel Titik sampel di lapangan ditentukan berdasarkan pada tipologi fisik pesisir yang telah dihasilkan. Hal ini berarti bahwa masing-masing unit tipologi fisik pesisir diambil satu sampel lapangan. Dalam tiap sampel tersebut kemudian dilakukan
pengamatan,
pengambilan
foto
lapangan,
pengukuran
dan
pengecekan hasil interpretasi foto udara dan data sekunder lainnya. Hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
5.4. Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir ditentukan melalui metode pencocokan (matching) antara kondisi fisik pada masing-masing tipologi fisik pesisir dengan persyaratan yang dibutuhkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk perikanan, pertanian, pelabuhan, permukiman, dan wisata. Unit analisis yang digunakan adalah tipologi fisik pesisir. Hasilnya disajikan dalam Tabel 31.
Tabel 31. Matriks antara Tipologi Fisik Pesisir dengan Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir PANTAI
TIPOLOGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR
(titik
TIPOLOGI FISIK PESISIR
sampel)
Ed
Sadeng
Pd
Vc
St
Pl
Eg
Perikanan Og
√
S1
S2
N
√
Ngungap
√
Pertanian S1
S2
√
√
√
N
Pelabuhan S1
S2
N
√ √
Permukiman S1
S2
N
√
Wisata S1
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Siung
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Turen
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Krakal-Sundak
√
√
√
√
√
√
Drini
√
√
√
√
√
√
Sepanjang
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Kukup Baron
√
Ngobaran
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Jepitu
√
√
Nampu
√
√
Parangendog
√
Parangwedang Parangtritis
√ √
√
N
√
Wediombo Weru
S2
√*
√
√
√
√
√
√
√
Keterangan : Ed : Erosi darat, Pd : Pengendapan darat, Vc : Volcanik, St : Struktural, Pl : Pengendapan laut, Eg : Erosi gelombang, Og :Organik PANTAI
S1 : Sesuai, S2 : Agak sesuai, N : Tidak sesuai.
√* = dengan rekayasa teknik
TIPOLOGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR
117
(titik sampel) Ed
Gumuk aktif Depok
TIPOLOGI FISIK PESISIR Pd Vc St Pl Eg
pasir
Og
Perikanan S1 S2 N
√
S1
√
√
√*
Pertanian S2 N
Pelabuhan S1 S2 N
√
√
√
√
Depok (rawa belakang)
√
√
√
√
Dataran banjir S. Opak
√
√
√
√
Pandansimo Dataran aluvial S. Progo Trisik
√ √
√* √
√ √
√
√
√*
√
√
√
√*
√
√
Gumuk pasir pasif Karangwuni
√
√*
√
√
√
√
√*
√
√
√
√
√ √ √
√
√
√
√
√
√
√ √
√ √
√*
√
√
√
√*
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√ √
Congot
√
√
√
√
Wisata S2 N
√
√
Glagah Dataran banjir S. Bogowonto
S1
√ √
√
Bugel
Karangwuni 2
Permukiman S1 S2 N
√ √ √
Keterangan : Ed : Erosi darat, Pd : Pengendapan darat, Vc : Volcanik, St : Struktural, Pl : Pengendapan laut, Eg : Erosi gelombang, Og :Organik
S1 : Sesuai, S2 : Agak sesuai, N
: Tidak sesuai.
√* = dengan rekayasa teknik
Sumber : Hasil Analisis Spasial menggunakan SIG