41
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Lokasi Lokasi penelitian adalah lahan kering di wilayah Kabupaten Bogor yang berada pada ketinggian 93 - 771 m di atas permukaan laut, meliputi tiga kecamatan sebagai sampel, yaitu Kecamatan Babakan Madang, Sukamakmur, dan Cigudeg yang masing-masing mewakili Wilayah Pengembangan Bogor Tengah, Bogor Timur, dan Bogor Barat. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara koordinat 6o18’00” - 6o47’10” Lintang Selatan dan 106o23’45” - 107o13’30” Bujur Timur (Gambar 3) yang berdekatan dengan Ibukota Negara sebagai pusat pemerintahan, jasa dan perdagangan dengan aktivitas pembangunan yang cukup tinggi, dengan batasan wilayah sebagai berikut: - Sebelah Utara
: Kabupaten
Tanggerang
(Provinsi
Banten),
Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok, - Sebelah Timur
: Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta,
- Sebelah Selatan
: Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi,
- Sebelah Barat
: Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Gambar 3. Lokasi penelitian di Kabupaten Bogor
42
Jika dilihat dari posisi geografinya seperti di atas, maka Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang sangat strategis karena letaknya yang berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Karawang di sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur di sebelah selatan serta berbatasan dengan Kabupaten Lebak di sebelah Barat.
Salah satu fungsi
strategisnya adalah sebagai daerah penyangga Ibu Kota Negara DKI Jakarta. Oleh karena itu, perkembangan pembangunan yang sangat pesat dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor yang termasuk dalam agroekologi lahan kering beriklim basah juga sangat rentan terhadap proses degradasi lahan akibat erosi oleh curah hujan dengan jumlah dan intensitas yang cukup tinggi. Luas lahan kering di Kabupaten Bogor mencapai 225.309,14 ha atau sekitar 75% dari luas total Kabupaten Bogor (299.428,15 ha), di mana 7.251,9 ha berada di Kecamatan Babakan Madang, 11.571,2 ha di Kecamatan Sukamakmur, dan 13.249 ha di Kecamatan Cigudeg. Adapun penggunaan lahannya antara lain: untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, padang penggembalaan dan lahan kosong (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008; BPS, 2008). Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja dengan mengacu pada hasil pemetaan lahan kritis yang telah dilaksanakan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor pada tahun 2008, di mana masing-masing lahan dikelompokan menjadi lima kelas lahan yaitu sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis dan tidak kritis, dengan asumsi bahwa lokasi tersebut dapat mewakili lahan kering yang tidak terdegradasi sampai sangat terdegradasi. Pertimbangan lainnya adalah arahan pembangunan di wilayah Kabupaten Bogor yang terdiri dari tiga wilayah pembangunan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah dan Bogor Timur. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2008, luas lahan kritis di Kabupaten Bogor mencapai 25.229,98 ha dengan rincian: kelas sangat kritis 320 ha, kelas kritis 9.425 ha, kelas agak kritis 9.572,22 ha, dan kelas potensial kritis 5.912,76 ha. Adapun luas lahan kritis di Kecamatan
43
Babakan Madang, Sukamakmur, dan Cigudeg berturut-turut: 897,24 ha; 1.424,31 ha; dan 1.126,27 ha Luasan lahan kritis berikut kelas kekritisan di tiga kecamatan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Dari data tersebut terlihat bahwa
berdasarkan kelas kekritisannya 46% berada dalam kategori kritis, 28% agak kritis, 21% potensial kritis dan 5% sangat kritis. Tabel 9. Luas lahan kritis tiap kategori di lokasi penelitian Kecamatan Babakan Madang Cigudeg Sukamakmur Jumlah Persentase (%)
Sangat Kritis (ha) 180,00 180,00 5,22
Kritis (ha)
Agak Kritis (ha)
536,50 554,00 510,00 1.600,50 46,42
258,00 105,00 594,77 957,77 27,78
Potensial Kritis (ha) 102,74 287,27 319,54 709,55 20,58
Luas Total (ha) 897,24 1,126,27 1.424,31 3.447.82 100,00
Sumber : Monografi Pertanian dan Kehutanan ( 2008) .
Terbentuknya lahan-lahan kritis disebabkan oleh kesalahan dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang berakibat pada penurunan daya dukung lahan untuk pertanian terutama untuk tanaman pangan, menurunnya peresapan air ke dalam tanah serta meningkatkan peluang terjadinya bencana banjir dan kekeringan. 4.2. Karakteristik Fisik Lingkungan a. Iklim Iklim khususnya curah hujan di Indonesia merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap proses degradasi lahan terutama di Indonesia bagian barat seperti di Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan karena tingginya jumlah dan intensitas hujan di Kabupaten Bogor. Rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Bogor berkisar antara 2.500 – 5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian wilayah timur dengan curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20o-30oC, dengan rata-rata tahunan sebesar 25oC (BAPPEDA, 2007).
Suhu rata-rata di masing-masing
Wilayah Pengembangan Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 10.
44
Tabel 10. Kondisi temperatur di wilayah Kabupaten Bogor No
Temperatur
1 2 3
Rata-rata (oC) Minimal (oC) Maksimal (oC)
Kabupaten Bogor 25 20 30
WP Barat
WP Tengah
WP Timur
25 17 32
25 20 30
27 22 32
Sumber : RTRW Kabupaten Bogor 2007-2025 (BAPPEDA, 2007).
Pada penelitian ini data curah hujan yang tersedia di lokasi penelitian diperoleh dari tiga stasiun pengamat curah hujan yaitu : Stasiun Sukamakmur mewakili wilayah penelitian di Kecamatan Sukamakmur, Stasiun Cimanggu mewakili wilayah penelitian di Kecamatan Babakan Madang dan Stasiun Cikasungka mewakili wilayah penelitian di Kecamatan Cigudeg.
Data iklim
lainnya seperti suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, dan radiasi sinar matahari diperoleh dari stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Bogor di Dramaga dan stasiun Balai Penelitian Hidrologi dan Agroklimat di Cimanggu. Selang waktu pengamatan tiap stasiun bervariasi dan data iklim ada yang tidak lengkap atau tidak sama.
Pada stasiun Cikasungka selang waktu
pengamatan dari tahun 2005 sampai 2009, stasiun Cimanggu selang waktu pengamatan dari tahun 2000 sampai 2009, stasiun Gadog selang waktu pengamatan dari tahun 1994 – 2004, sedangkan untuk Stasiun Sukamakmur selang waktu pengamatan tahun 2002 – 2004 dan 2007. Gambar 3 menunjukan grafik rata-rata curah hujan bulanan di lokasi penelitian. Berdasarkan data curah hujan tersebut terlihat bahwa kondisi iklim sangat dipengaruhi oleh curah hujan, dimana musim kemarau dimulai pada bulan Mei – Oktober dan musim hujan di mulai pada bulan November sampai dengan April. Curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus, sementara itu pada bulan Januari dan Februari tercatat semua stasiun menunjukan curah hujan tertinggi. Curah hujan terendah tercatat di Stasiun Sukamakmur dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.393,6 mm/tahun dan curah hujan tertinggi yaitu 4.443,3 mm/tahun tercatat di Stasiun Cimanggu-Bogor. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951), curah hujan > 2000 mm/tahun termasuk klasifikasi iklim A.
45
550,0 500,0
Curah Hujan (mm)
450,0 400,0 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 Jan
Feb Mar Apr Mei
CH Cigudeg
Jun
Jul
CH Babakan Madang
Agu Sep
Okt Nov Des
CH Sukamakmur
Gambar 4. Grafik rata-rata curah hujan bulanan di lokasi penelitian Curah hujan yang sangat tinggi di lokasi penelitian yaitu lebih dari 2500 mm/tahun baik di Kecamatan Sukamakmur, Babakan Madang maupun Cigudeg, merupakan penyebab utama terjadinya degradasi lahan melalui erosi air. Hal ini disebabkan curah hujan yang tinggi baik jumlah dan intensitasnya di lokasi penelitian akan memperbesar kemampuan hujan dalam menimbulkan erosi (indeks erosivitas hujan tinggi). Berdasarkan hasil perhitungan, indeks erosivitas hujan di lokasi penelitian lebih besar dari 1000. Menurut kriteria FAO (1979), nilai erosivitas hujan lebih dari 1000 tergolong sangat berbahaya bagi tanah karena dapat merusak dan menghancurkan agregat/struktur tanah menjadi partikel-partikel tanah yang lebih kecil dan mudah hanyut bersama aliran permukaan pada setiap kejadian hujan. Disamping curah hujan, suhu udara adalah penyebab utama terpenting perubahan iklim dan proses degradasi lahan melalui pelapukan batuan. Data suhu udara yang tersedia berasal dari satu stasiun yaitu stasiun Cimanggu-Bogor. Temperatur pada stasiun ini berkisar antara 26,2º C – 28,4º C dengan rata-rata suhu udara tahunan berkisar antara 27,2º C. Suhu tertinggi tercatat pada bulan September dan Oktober sedangkan suhu terendah tercatat pada bulan Januari dan Februari. Tabel 11 menyajikan data iklim di lokasi penelitian.
46
Tabel 11. Data komponen iklim di lokasi penelitian No. 1
Bulan
Unsur Iklim
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jumlah
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Rerata
Curah Hujan (mm) - Cigudeg
365,6 309,9 275,9 280,4 197,4 190,6 125,2 100,3 162,5 250,6 314,6 230,6
2803,5
- Babakan Madang
401,9 416,2 455,0 501,5 405,7 359,3 218,7 167,9 282,7 398,6 439,3 396,6
4443,3
- Sukamakmur
138,1 493,5 265,2 229,5 197,7 207,9
2393,6
64,8
70,0
67,0 126,9 190,3 342,9
2
Suhu (°C)
26,5
26,2
27,2
27,3
27,5
27,5
27,2
27,6
28,2
28,4
27,6
26,7
27,2
3
Kelembaban (%)
82,2
85,6
80,1
83,2
80,4
77,1
72,7
67,1
64,8
68,6
75,5
79,8
79,4
4
Kecepatan angin (Km/jam)
2,3
2,3
2,4
1,8
1,8
1,8
1,8
1,8
2,3
2,3
2,3
3,2
2,2
5
Penyinaran (%)
28,6
36,8
41,4
69,4
71,3
72,0
80,0
82,0
72,4
83,5
51,6
41,3
60,9
Sumber : BMG Dramaga, Balitklimat Cimanggu, Cikasungka Cigudeg, Stasiun Sukamakmur.
Data kelembaban udara yang tersedia berasal dari stasiun Cimanggu, dengan rata-rata kelembaban udara adalah 79,4%. Kelembaban terendah terjadi pada bulan Agustus – Oktober dan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari – Mei.
Kecepatan angin dan penyinaran matahari hanya tersedia di
Stasiun Dramaga.
Rata – rata kecepatan angin tercatat 2,2 km/jam dengan
kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Desember (3,2 km/jam) dan kecepatan angin terendah terjadi pada bulan April-Agustus (1,8 km/jam). Penyinaran matahari bervariasi antara 28,6% - 82%, dimana penyinaran terendah terjadi pada bulan Januari dan tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Penyinaran tertinggi terjadi pada musim kemarau dimana langit relatif bersih dari awan. Temperatur dan kelembaban dalam proses degradasi berperan dalam pelapukan.
Menurut Ismangil dan Hanudin (2005), pelaku utama proses
pelapukan mineral adalah ion H, di mana dengan kondisi lembab maka memungkinkan adanya peningkatan konsentrasi ion H sehingga meningkatkan kondisi asam yang dapat mempercepat proses pelarutan mineral/batuan. Demikian juga temperatur dapat berpengaruh terhadap proses hidrolisis. Pengaruhnya adalah suhu mampu meningkatkan konsentrasi ion H sehingga pelapukan mineral dipercepat dengan meningkatnya suhu. Jika dilihat dari data temperatur dan kelembaban yang cukup tinggi di lokasi penelitian, maka proses degradasi mineral/batuan dapat dipercepat melalaui pengaruh temperatur dan kelembaban tersebut.
47
b. Bahan induk Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil interpretasi peta tanah di lokasi penelitian menunjukkan bahwa bahan pembentuk tanah lokasi penelitian sebagian besar berasal dari batuan gunung berapi (volkan) dan sebagian dari batuan sedimen berupa bahan aluvium, batu pasir, batu liat dan batu kapur terutama di Kecamatan Cigudeg dan Sukamakmur. Bahan volkan membentuk tanah dengan tekstur sedang sampai halus, tanahnya berwarna kuning kecoklatan, dan mempunyai Bulk density (BD) relatif rendah, sedangkan tanah yang terbentuk dari batuan sedimen bertekstur halus sampai sangat halus, berwarna coklat kemerahan, dan Bulk densitynya relatif tinggi.
Jenis bahan induk di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Penyebaran bahan induk di lokasi penelitian No
Bahan induk
Cigudeg ha
Babakan Madang %
ha
%
Sukamakmur ha
%
1 Aluvium
1.175,3
7,7
572,7
5,8
716,3
5,0
2 Andesit
11.797,0
77,2
6.092,8
61,7
5.358,6
37,2
176,3
1,2
0,0
0,0
29,0
0,2
4 Batupasir/batu liat
1.660,6
10,9
2.605,2
26,4
8.296,1
57,6
5 Volkan campuran
468,8
3,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
600,2
6,1
0,0
0,0
15.278,0
100,0
9.871,0
100,0
14.400,0
100,0
3 Batukapur
6 Tuff volkan Jumlah
Sumber : BAPPEDA Kabupaten Bogor (2007).
Bahan induk volkan di lokasi penelitian didominasi batuan andesit (37,277,2%) dan sebagaian kecil tuff volkan dan volkan campuran. Batuan andesit merupakan jenis batuan yang kaya dengan mineral yang mengandung besi dan Mg, dan plagioklas Ca yang mudah lapuk dan menghasilkan liat dan besi bebas dengan status basa tinggi. Menurut Rachim (2007), batuan andesit memiliki kandungan kuarsa sangat rendah, akibatnya kandungan pasir yang terbentuk relatif rendah, disamping itu tipe tanah yang terbentuk cenderung kaya akan liat, dengan sedikit pasir kuarsa. Horison permukaan pada umumnya bertekstur lempung atau lempung berliat dengan warna tanah cenderung merah gelap atau coklat gelap karena
48
tingginya kandungan besi bebas. Status basa dan pH relatif tinggi, Al-dd rendah atau tidak terukur. Karena tingkat pelapukan di lokasi penelitian sudah cukup lanjut, maka status basa dan pH menjadi rendah, warna tanah menjadi coklat kekuningan. Demikian juga dengan Al-dd, nilainya meningkat dan jenis mineral liat yang terbentuk didominasi oleh montmorilonit. Bahan induk batuan sedimen di lokasi penelitian didominasi batu pasir dan batu liat (10,9-57,6%), disusul bahan aluvium (5,0-7,7%) dan batu kapur. (0,21,2%). Bahan induk batuan sedimen ini terbentuk dari pecahan bahan mineral atau batuan yang biasanya telah ditransportasikan dengan berbagai cara sebelum pada akhirnya dideposisikan. Tanah yang terbentuk dari bahan induk batu pasir biasanya bertekstur kasar (khususnya dipermukaan) dan sangat permeabel, disamping itu status basa, unsur hara, dan pH rendah, terutama jika terbentuk di iklim lembab. Namun demikian, jika batu pasir tersemen besi, warna tanah cenderung merah. Apabila feldspar > 25% disebut sedimen berpasir akosik, dan bila feldspar sangat tinggi disebut arkose. Tanah yang terbentuk dari sisa batuan tersebut cenderung bertekstur liat, karena feldspar melapuk membentuk liat, dengan kandungan hara relatif tinggi akibat terlepas dari feldspar. Tanah yang berkembang dari sedimen batu liat pada umumnya bertekstur liat relatif impermeabel, akibatnya pencucian sedikit dengan solum dangkal, status basa dan pH relatif tinggi. Di lokasi penelitian, tanah-tanah yang berkembang dari batu liat pada umumnya jenis Ultisol. Hal ini ditunjukkan oleh basa-basa yang sudah banyak tercuci karena umurnya sudah cukup tua (umumnya tertier) (Rachim,2007). Bahan aluvium di lokasi penelitian adalah sedimen sekunder yang berasal dari landskap yang telah dilapuk dan lebih tua. Sedimen ini terjadi di daerah dengan curah hujan dan suhu tinggi. Bahan asal biasanya masam, mineral mudah lapuk rendah sampai sedang, dan tekstur bervariasi dari pasir hingga liat tergantung lingkungan deposisi.
Sedimen ini mengandung liat tinggi dan dengan besi
membentuk agregat struktur granular dan gumpal halus dengan mineral liatnya biasanya kaolinit. Bahan induk sedimen batu kapur dijumpai di Kecamatan Cigudeg dan Sukamakmur, sedangkan di Kecamatan Babakan Madang tidak dijumpai. Batu
49
kapur ini kaya dengan besi, sehingga menghasilkan tanah yang berwarna merah dan bersifat masam yang dikenal denan Alfisol atau dulu disebut Mediteran Merah Kuning (Rachim, 2007). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa bahan induk sangat terkait dengan karakteristik tanah yang terbentuk baik sifat fisik maupun sifat kimianya. Menurut Kosmas et al. (1999), bahan induk dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dalam penilaian kualitas lahan.
Mereka mengelompokkan
bahan induk menjadi tiga kelas, yaitu : 1) baik, terdiri dari : shale, schist, basic (batuan bersifat basa), ultra basic (batuan bersifat sangat basa), conglomerates (konglomerat), unconsolidated (batuan tidak padu); 2) sedang, terdiri dari : limestone (batu kapur), marbel, granit, rhyolite, ignibrite, gneiss, siltstone (batu debu), sandstone (batu pasir) ; dan 3) jelek, terdiri dari : marl dan pyroclastics. Kaitannya dengan degradasi lahan, Kurnia et al. (2007) mengelompokkan bahan induk menjadi tiga yaitu : 1) bahan induk yang tahan terhadap proses degradasi, 2) bahan induk yang agak tahan terhadap proses degradasi, dan 3) bahan induk yang peka terhadap proses degradasi. Jenis bahan induk untuk tiap kelompok dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk volkan seperti Ultisol, Inceptisol, Oxisol, dan Vertisol memiliki kepekaan tanah terhadap erosi sangat rendah sampai sedang. Tanah yang berkembang dari bahan induk abu volkan seperti Andisol memiliki kepekaan tanah terhadap erosi sangat rendah sampai tinggi (Dangler dan El-Swaify, 1976 dalam Dariah et al., 2004). Hasil penelitian Kurnia dan Suwardjo (1984), menunjukkan bahwa tanah-tanah di pulau Jawa yang berkembang dari bahan induk tufa volkan sperti Ultisol dan Oxisol memiliki kepekaan tanah terhadap erosi sangat rendah. Tanah yang berkembang dari bahan induk batu liat dan batu liat berkapur seperti Ultisol dan Entisol memiliki kepekaan tanah terhadap erosi yang rendah. Tanah yang berkembang dari bahan induk breksi berkapur dan napal seperti Alfisol dan Vertisol memiliki kepekaan tanah terhadap erosi sedang. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, maka jenis bahan induk tanah di lokasi penelitian yang berasal dari bahan volkan dan sedimen akan membentuk tanah yang berpotensi untuk mengalami proses degradasi tergantung pada lingkungan pembentukannya.
50
c. Topografi Lokasi penelitian mempunyai topografi yang sangat beragam, mulai dari datar sampai bergunung. Topografi di Kecamatan Cigudeg didominasi berbukit sampai bergunung (67%), di Kecamatan Babakan Madang berombak sampai berbukit (69%), sedangkan di Kecamatan Sukamakmur berombak sampai bergunung. Rincian topografi daerah penelitian disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Kondisi topografi di lokasi penelitian Simbol
Topografi
Lereng Beda Tinggi
Cigudeg
Babakan Madang
Sukamakmur
f
Datar
(%) <1
(m) <10
ha 1.175,3
% 7,7
ha 573,7
% 5.8
ha 716.3
% 5.0
n
Agak datar
1-3
<10
1.504,3
9,8
1.786,1
18.1
815.3
5.7
u
Berombak
3-8
<10
1.199,2
7,8
2.396,7
24.3
3.561.3
24.7
r
Bergelombang
8-15
10-50
1.213,9
7,9
1.929,6
19.5
2.585.1
18.0
c
Berbukit kecil
15-30
10-50
1.520,7
10,0
69,6
0.7
1.060.7
7.4
h
Berbukit
15-30
50-300
5.657,6
37,0
2.399,2
24.3
3.027.2
21.0
m
Bergunung
>30
>300
Jumlah
3.007,0
19,7
716,2
7.3
2.634.3
18.3
15.278.0
100.0
9.871.0
100,0
14.400,0
100,0
Sumber : Peta Tanah Kabupaten Bogor skala 1:50.000 (BAPPEDA, 2007).
Pengaruh relief yang menonjol terhadap sifat tanah, antara lain adalah kondisi drainase dan erosi. Pada daerah bergelombang-bergunung umumnya berdrainase baik-cepat dan proses erosi berlangsung cukup intensif terutama pada daerah terbuka yang telah diusahakan pertanian. Hal ini dicirikan dengan adanya singkapansingkapan batuan, erosi alur dan erosi parit di beberapa tempat, serta kedalaman tanah dangkal dan sebagaian lapisan A terkikis, bahkan hilang seluruhnya (Gambar 5).
Singkapan batuan
Erosi alur
Erosi parit
Gambar 5. Singkapan batuan, bentuk erosi alur dan erosi parit di lokasi penelitian pada lahan dengan topografi bergelombang
51
e. Tanah Tanah sebagai media tumbuh tanaman adalah salah satu sumberdaya alam yang sangat penting untuk dijaga kelestariannya sehingga tidak mengalami proses degradasi. Tanah dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh lima faktor pembentuk tanah, yaitu: bahan induk, iklim, relief/topografi, vegetasi, dan waktu. Faktor pembentuk tanah yang dominan di daerah pengkajian adalah bahan induk, iklim dan relief/topografi. Tanah-tanah di daerah ini berkembang dari bahan induk volkan yang berasal dari erupsi Gunung Salak yang didominasi oleh andesit, tuff volkan, dan volkan campuran yang umumnya berbahan halus. Di daerah penelitian kondisi iklim juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan tanah, dimana tanah terbentuk pada kondisi curah hujan tinggi, sehingga pelapukan berlangsung dengan intensitas cukup tinggi. Begitu juga pengaruh relief terhadap pembentukan sangat nyata.
Daerah penelitian memiliki rejim kelembaban
termasuk udik dengan curah hujan tahunan >2500 mm dan rejim temperatur isohiperthermik dengan perbedaan suhu kurang dari 8oC (BAPPEDA, 2005). Tanah di daerah pengkajian mempunyai kelas kedalaman tanah bervariasi dari sangat dangkal sampai sangat dalam, namun secara umum didominasi oleh kelas sangat dangkal sampai sedang (<100 cm), kelas sangat dangkal sampai dangkal dijumpai di lereng volkan atau di daerah bawahnya yang mempunyai batuan yang muncul ke permukaan tanah. Tanah-tanah di daerah penelitian diklasifikasikan menurut sistem klasifikasi tanah Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003).
Berdasarkan sifat morfologi dan hasil analisis, tanah di lokasi
penelitian ditemukan 5 ordo tanah, yaitu: Inceptisol, Andisol, Oxisol, Ultisol, dan Alfisol (Tabel 14). Tabel 14. Penyebaran jenis tanah di lokasi penelitian No 1 2 3 4 5
Ordo Tanah Inceptisol Andisol Oxisol Alfisol Ultisol Jumlah
Cigudeg Ha % 8.844,4 57,9 6.380,9 41,8 0,0 0,0 52,7 0,3 0,0 0,0 15.278,0 100,0
Babakan Madang Ha % 5.241,0 53,1 1.943,7 19,7 2.085,1 21,1 0,0 0,0 601,2 6,1 9.871,0 100,0
Sumber : Peta Tanah Kabupaten Bogor skala 1:50.000 (BAPPEDA, 2005).
Sukamakmur Ha % 8.561,9 59,5 2.931,5 20,4 2.877,6 20,0 29,0 0,2 0,0 0,0 14.400,0 100,0
52
Dari Tabel 14 terlihat bahwa di Kecamatan Cigudeg ditemukan jenis tanah Inceptisol, Andisol dan Alfisol, demikian juga di Kecamatan Sukamakmur ditemukan jenis tanah tersebut ditambah Ultisol, sedangkan di Kecamatan Babakan Madang tidak ditemukan jenis tanah Alfisol, karena memang di Kecamatan Babakan Madang tidak ditemui bahan kapur.
Menurut Rachim
(2007), tanah Alfisol berkembang dari bahan induk sedimen batu kapur. Adapun sifat dari masing-masing jenis tanah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Inceptisol Inceptisol adalah tanah mineral yang telah mengalami perkembangan penampang tanah atau tanah mineral dengan perkembangan pada tahap awal yang dicirikan oleh terbentuknya karatan dan struktur yang lemah. Tanah ini berkembang dari bahan induk volkan, sedimen, dan alluvium. Kedalaman tanah bervariasi dan umumnya bersolum dalam (BAPPEDA, 2005). Ordo tanah ini menurunkan dua grup tanah, yaitu Dystrudepts dan Eutrudepts. Dystrudepts adalah inceptisols yang mempunyai kejenuhan basa <50%, dan di daerah penelitian ini terbentuk dari bahan volkan dan sedimen. Kondisi drainase baik, tekstur tanah umumnya lempung berliat sampai liat, konsistensi lekat dan agak plastis sampai plastis, dan gembur. Tanah umumnya bereaksi masam (pH 4,0-5,0). Dystrudepts yang mempunyai penampang tanah dangkal (<50cm) diklasifikasikan Lithic Dystrudepts dengan penyebaran di daerah yang agak terjal dan berbatu, sedangkan yang mempunyai kapsitas tukar kation liat rendah (16-24 me/100 g tanah) diklasifikasikan ke dalam Oxic Dystrudepts. Andic Dystrudepts merupakan inceptisols yang terbentuk dari bahan volkan dan mempunyai penampang tanah dalam (>50cm) dengan warna tanah agak gelap, gembur, dan berat isi <1,0g/cm3. Eutrudepts adalah inceptisols yang mempunyai kejenuhan basa >50%. Tanah bereaksi agak masam (pH 5,5-7,0), drainase baik, tekstur tanah umumnya liat, konsistensi lekat dan plastis, gumpal membulat sampai granular. Pada umumnya tanah ini bersolum dalam (>50cm). Eutrudepts yang banyak dijumpai di lokasi penelitian diklasifikasikan sebagai Typic Eutrudepts.
53
2) Andisol Andisol merupakan tanah yang mempunyai sifat andic. Sifat andic dipengaruhi oleh mineral alofan, imogolit, ferrihidrit atau senyawa kompleks humus-aluminium. Bahan-bahan tersebut hanya ditemukan pada tanah yang berkembang dari bahan volkan muda dan pada umumnya berada di dataran tinggi > 1000 m dpl. Adanya bahan-bahan tersebut menyebabkan tanah mempunyai sifat sangat khas terutama terhadap sifat kesuburan tanahnya antara lain retensi fosfat tinggi. Di lapangan sifat andic diduga dengan pengukuran pH NaF, estimasi kandungan gelas volkan, tekstur, dan sifat smeary. Andisols di daerah penelitian menempati daerah atas dan merupakan lahan kering. Andisols di daerah penelitian dijumpai pada landform volkan.
Umumnya tanah ini
diusahakan untuk kebun campuran. Andisol mempunyai warna tanah hitam karena mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi, berpenampang dalam (>50cm), drainase baik, tekstur lempung berdebu sampai lempung liat berdebu, konsistensi sangat gembur sampai gembur (lembab), tidak lekat dan tidak plastis (basah). Tanah bereaksi agak masam (pH 5,0-6,0). Ordo tanah ini diduga menurunkan sub grup tanah yaitu Typic Hapludands, dan Lithic Hapludands. 3) Alfisol Tanah di daerah penelitian yang sudah mempunyai perkembangan lanjut dicirikan oleh adanya horizon illuviasi liat silikat atau horizon argilik dengan kejenuhan basa pada subhorizon tersebut >35%. Alfisol di daerah penelitian dijumpai pada landform karst dan tektonik yang berkembang dari sedimen kapur atau napal.
Umumnya tanah ini diusahakan untuk pengembangan
tanaman tahunan. Kondisi drainase baik, tekstur tanah liat, konsistensi teguh, lekat dan plastis (basah), serta pH tanah dari agak masam sampai netral (pH 5,5-6,5). Alfisol yang ditemukan umumnya bersolum dalam (>50 cm) dan diklasifikasikan Hapludalfs. Hapludalfs.
Ordo Alfisol ini menurunkan subgrup Typic
54
4) Ultisol Tanah-tanah di daerah penelitian yang sudah mempunyai perkembangan lanjut dan dicirikan oleh adanya horizon illuviasi liat silikat baik sebagai horizon argilik maupun kandik diklasifikasikan sebagai Ultisol. Kejenuhan basa pada subhorizon tersebut <35% sebagian atau seluruhnya.
Ultisol
umumnya mempunyai warna merah kekuningan berpenampang dalam (>50 cm), tekstur liat, konsistensi teguh, drainase baik, reaksi tanah masam, (pH 4,04,5).
Tanah ini menurunkan Grup Paleudults dan Hapludults.
Paleudults
adalah ultisols yang dicirikan oleh adanya horizon argilik dengan KTK >16 me/100 g liat.
Tanah ini bersolum dalam, tekstur liat, gembur, lekat dan
plastis. Sifat kimia tanah umumnya miskin unsur hara, akan tetapi mempunyai sifat fisik tanah yang baik.
Hapludults adalah ultisols yang mempunyai
kandungan bahan organik rendah, N total rendah sampai sedang, P 2 O 5 total rendah, K 2 O total rendah, susunan kation basa (Ca, Mg, K, Na) rendah, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah. 5) Oxisol Oxisol adalah tanah-tanah yang sudah mengalami pelapukan yang sangat lanjut, sehingga sifat-sifat kimia tanah buruk atau sangat buruk; atau tingkat kesuburannya rendah sampai sangat rendah. Hal ini dicirikan oleh KTK liat sangat rendah < 16 me/100 g liat. Dari pengamatan tekstur diperkirakan pada lapisan atas kandungan liat mencapai 40% atau lebih (berdasarkan berat) dalam fraksi tanah halus pada 25 cm teratas. Disamping itu dijumpai horison kandik yang memiliki sifat-sifat mineral mudah lapuk < 10% di dalam 100 cm dari permukaan tanah. Dengan adanya sifat penciri tersebut maka, tanah di lokasi penelitian dikategorikan dalam ordo Oxisol. Ordo tanah ini menurunkan grup tanah Hapludox dengan ciri-ciri morfologi tanah berwarna kuning atau coklat kemerahan hingga merah, penampang tanah dalam (>50cm), tekstur liat berdebu, konsistensi gembur, drainase baik, reaksi tanah masam sampai agak masam (pH 4,5-5,5), kandungan bahan organik rendah, N-total rendah, P 2 O 5 total rendah, K 2 O total rendah, susunan kation basa (Ca, Mg, K, Na) rendah, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah.
55
Secara umum jenis tanah tidak dapat dihubungkan dengan tingkat degradasi lahan, karena jenis tanah memiliki sifat yang kompleks menyangkut karakteristik fisik, kimia, dan lingkungannya (penggunaan lahan dan tindakan pengelolaannya). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Firmansyah (2008) yang menyatakan tingkat degradasi lahan tidak berhubungan langsung dengan taksa tanah, akan tetapi sangat berhubungan dengan karakteristik lahannya. Dengan melihat karakteristik fisik lingkungan seperti di atas, di mana curah hujan sangat tinggi (>2000 mm/th), kondisi topografi berbukit sampai bergunung dengan lereng yang curam, bahan induk berupa volkan dan sedimen yang peka terhadap erosi, maka lahan di lokasi penelitian sangat berpotensi untuk terdegradasi (Saba, 2001). Hal ini dapat dilihat dari data luas lahan kritis di lokasi penelitian yang cukup tinggi (3.448 ha atau 13% dari luas wilayah penelitian) dan persentase batuan di permukaan serta singkapan batuan yang cukup tinggi (> 15%). f. Sifat Fisika-Kimia dan Kesuburan Tanah Sifat fisika-kimia tanah dan kesuburan tanah sangat dipengaruhi oleh bahan induk tanah serta tingkat pelapukan yang telah terjadi. Penetapan sifat fisika-kimia dan status kesuburan di daerah pengkajian ditentukan dari contoh tanah yang telah diambil secara komposit dari beberapa pewakil yang dianggap representatif dan dianalisis di laboratorium. Hasil analisis labororium contoh tanah disajikan pada Lampiran 5. Beberapa sifat fisika-kimia tanah hasil analisis di laboratorium diuraikan sebagai berikut: 1) Tekstur Tanah Tekstur tanah menurut Rachim (2007) adalah perbandingan relatif antara butir-butir primer pasir, debu, dan liat dalam massa tanah, yang dinyatakan dalam persen. Tekstur tanah merupakan salah sati ciri tanah yang bersifat cenderung permanen, kalaupun tekstur lapisan olah dapat berubah, namun perubahan tersebut lebih disebabkan oleh beberapa kemungkinan, salah satunya adalah adanya penghilangan lapisan permukaan karena erosi air. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, maka tekstur di lokasi penelitian didominasi oleh liat (clay) dan liat berdebu (silty clay), disamping tekstur lempung liat berdebu (silty clay loam), lempung berliat (clay loam), lempung liat
56
berpasir (sandy clay loam), dan lempung berdebu (silty loam). Seperti telah dijelaskan di atas bahwa lokasi penelitian yang didominasi bahan induk batuan andesit dan batu pasir, serta liat menyebabkan tipe tanah yang terbentuk kaya akan liat. Sebaran tekstur untuk masing-masing kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15. 2) Struktur Tanah Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lainlain (Hardjowigeno, 2003).
Oleh karena itu, Arsyad (2006) mendefinisikan
struktur tanah sebagai ikatan butir-butir primer ke dalam butir-butir sekunder. Terdapat dua aspek struktur tanah yang penting dalam hubungannya dengan erosi, yaitu : 1) sifat-sifat fisiko kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi, dan 2) adanya bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuk agregat yang mantap. Tabel 15. Karakteristik fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian No
Kecamatan
Variabel Cigudeg
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kelas Tekstur Struktur Bulk density (g/cc) Permeabilitas (cm/jam) pH C-organik (%) N-total (%) P Bray I (ppm) Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g) KTK (me/100g) KB (%) Al-dd (me/100g) H-dd (me/100g)
Babakan Madang
Sukamakmur
liat liat liat berdebu granular, gumpal membulat, gumpal bersudut 1.02 0.99 1.08 12.90 (cepat) 12.50 (agk cepat) 11.43 (agk cepat) 4.83 (masam) 4.93 (masam) 4.88 (masam) 2.01(sedang) 1.58 (rendah) 1.78 (rendah) 0.21 (sedang) 0.16 (rendah) 0.18 (rendah) 6.00 (sgt rendah) 3.26 (sgt rendah) 2.61 (sgt rendah) 2.81 (rendah) 2.72 (rendah) 3.80 (rendah) 1.24 (sedang) 1.29 (sedang) 1.62 (sedang) 0.24 (sedang) 0.22 (sedang) 0.24 (sedang) 0.22 (rendah) 0.23 (rendah) 0.26 (rendah) 19.06 (sedang) 16.11(sedang) 19.25 (sedang) 24.47 (rendah) 27.08 (rendah) 30.07 (rendah) 4.02 (tinggi) 2.72 (sedang) 3.46 (tinggi) 0.32 0.31 0.32
Sumber : Hasil deskripsi dan analisis tanah Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB.
57
Terdapat lima mekanisme pengikatan butir-butir primer menjadi agregat yang diperkirakan bekerja di dalam tanah, yaitu : 1) pengikatan secara fisik butirbutir primer oleh mycelia dan actinomycetes; 2) pengikatan secara kimia butir-butir primer melalui ikatan antara bagian-bagian positif butir-butir liat dengan gugusan negatif (carboxyl atau hidrosulfit) pada senyawa organik yang berbentuk rantai panjang; 3) pengikatan secara kimia butir-butir primer oleh ikatan antara bagian negatif liat dengan gugusan negatif (carboxyl) pada senyawa organik berantai panjang dengan perantara pertautan basa (Ca, Mg, Fe) dan ikatan hidrogen; 4) pengikatan secara kimia butir-butir liat melalui ikatan antara bagian-bagian negatif liat dengan gugusan positif (ammine, amide, amino) pada senyawa organik berbentuk rantai; dan 5) pengikatan secara kimia butir-butir liat bermuatan negatif melalui pertautan kation dan pengikatan secara kimia butir-butir liat melalui bagian positif suatu butir dengan bagian-bagian negatif butir lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan secara deskriptif di lapangan (Tabel 15), lokasi penelitian pada tanah lapisan atas memiliki struktur granular, gumpal membulat dan gumpal bersudut dimana struktur granular lebih mendominasi. Hal ini disebabkan karena di lokasi penelitian merupakan daerah beriklim basah dengan curah hujan yang cukup tinggi, sehingga terbentuk struktur tanah granular pada lapisan atas (Hardjowigeno, 2003). 3) Bulk density (BD) Bulk density adalah perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah (Hardjowigeno, 2003). Menurut Rachim (2007), Bulk density merupakan perbandingan antara berat suatu tanah yang diketahui volumenya dengan berat air dengan volume yang sama, atau berat per satuan volume.
Bulk density adalah nisbah massa terhadap volume bulk atau
partikel tanah makroskopik ditambah dengan ruang pori dalam contoh.
Bulk
density biasanya dinyatakan dalam satuan g/cc dan merupakan petunjuk kepadatan tanah, di mana makin padat suatu tanah makin tinggi Bulk density, yang berarti makin sulit meloloskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya Bulk density berkisar dari 1,1-1,6 g/cc, namun ada beberapa jenis tanah mempunyai Bulk density kurang dari 0,90 g/cc, misalnya tanah Andisol seperti yang dijumpai di lokasi penelitian. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa nilai bulk density
58
di lokasi penelitian berkisar antara 0,99-1,08g/cc. Sebaran nilai bulk density di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu. 4) Permeabilitas Tanah Permeabilitas tanah adalah kemampauan tanah untuk meloloskan air per satuan waktu, dan sangat ditentukan oleh tekstur tanah, struktur tanah, dan kandungan bahan organik tanah. Berdasarkan hasil analisis di laboratorium, maka besarnya nilai permeabilitas tanah di lokasi penelitian berkisar antara 11,43 cm/jam sampai 12,90 cm/jam dan masuk dalam kelas agak cepat sampai cepat. Dengan demikian kemampuan tanah untuk meloloskan air cukup baik, sehingga kemungkinan untuk terjadinya aliran permukaan kecil. Sebaran nilai permeabilitas di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu. 5) Reaksi Tanah (pH) Reaksi tanah sangat mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam tanah. Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa tanah-tanah di daerah pengkajian mempunyai pH masam (4,83–4,93). Kemasaman tanah ini akibat dari curah hujan di lokasi penelitian tergolong tinggi dan bahan pembentuk tanahnya terdiri dari bahan volkan yang cenderung agak masam (intermedier). Sebaran nilai pH di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu. 6) Bahan Organik Tanah (BO) Bahan organik berpengaruh penting terhadap sifat fisik dan kimia tanah. Pengaruhnya terhadap fisik tanah antara lain: merangsang granulasi, menurunkan daya kohesi, serta meningkatkan kemampuan menahan air. Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah adalah ketersediaan hara (N, P,dan S dalam bentuk organik) dan penambahan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Berhubung sumber bahan organik umumnya terkonsentrasi di lapisan atas, maka kadar bahan organik menurun sejalan dengan kedalaman tanah.
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa
kandungan bahan organik tanah di lokasi penelitian tergolong sangat rendah sampai sedang (1,58-2,01%).
Sebaran nilai C-organik tanah di tiga kecamatan di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu.
59
7) Nitrogen Total (N) Nitrogen merupakan unsur hara esensial bagi tanaman. Nitrogen di dalam tanah terdapat dalam bentuk senyawa organik maupun anorganik. Bentuk-bentuk N anorganik tanah meliputi NH 4 +, NO 3 -, NO 2 -, N 2 O, NO, dan N elemen, sedangkan bentuk-bentuk N organik tanah meliputi asam-asam amino atau protein, asam amino bebas, gula amino, dan senyawa kompleks lainnya. Tanaman menyerap nitrogen dalam bentuk NH 4 + atau NO 3 -. Kadar N-total tanah di lokasi penelitian tergolong rendah sampai sedang (0,16-0,21). Sebaran nilai N-total di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu. 8) Phosfat (P) Phosfat merupakan unsur hara esensial setelah nitrogen, berfungsi untuk pembentukan protein, ATP, ADP, dan menstimulasi pembentukan akar. Di dalam tanah, unsur hara P berada dalam bentuk organik dan anorganik yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada pH tanah
6,0-7,0
merupakan pH yang optimum bagi ketersediaan hara P. Tanaman umumnya menyerap P dalam bentuk H 2 PO 4 - dan HPO 4 =. Penyerapan P oleh tanaman dengan jalan difusi sehingga selain faktor kimia tanah, faktor fisik tanah juga berpengaruh terhadap penyerapan P oleh tanaman. Adanya bahan alofan, imogolit,
ferrihidrit
atau
senyawa
kompleks
humus-aluminium
sangat
mempengaruhi ketersediaan hara P. Berdasarkan hasil analisis, lokasi penelitian umumnya mempunyai kadar P-tersedia (Bray I)) sangat rendah (2,61-6,00 ppm). Sebaran nilai P-tersedia di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu. 9) Basa-basa dapat dipertukarkan (Ca, Mg, K, dan Na) Selain berfungsi sebagai unsur hara yang penting bagi tanaman, Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) juga mempengaruhi (pH) tanah. Kandungan basa-basa tanah di lokasi penelitian sangat menentukan besarnya nilai KTK dan Kejenuhan Basa tanah yang dapat dijadikan indikator kesuburan tanah. Nilai tukar Ca berkisar antara 2,72-3,80 me/100g (rendah), nilai tukar Mg berkisar antara 1,241,62 me/150g (sedang), nilai tukar K berkisar antara 0,22-0,24 me/100g (sedang), dan nitai tukar Na berkisar antara 0,22-0,26 me/100g (rendah). Sebaran nilai
60
basa-basa dapat ditukar di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu. 10) Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kapasitas Tukar kation merupakan kemampuan tanah untuk menahan dan menukarkan kation-kation/basa-basa. KTK yang tinggi merupakan petunjuk untuk menahan unsur hara tanah yang besar. Nilai KTK tanah di lokasi penelitian tergolong sedang (16,1-19,25 me/100g). Sebaran nilai KTK di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15 terdahulu. 11) Kejenuhan Basa (KB) Kejenuhan basa merupakan gambaran tentang banyaknya basa-basa pada kompleks adsorpsi, dinyatakan sebagai bandingan jumlah basa-basa yang dapat ditukarkan dalam miliekivalen yang terdapat dalam 150 gram tanah terhadap nilai KTK efektif tanah. Pada umumnya makin tinggi kejenuhan basa suatu tanah, nilai pH-nya juga semakin tinggi
dan kesuburan tanahnya relatif lebih baik.
Sebaliknya, rendahnya nilai kejenuhan basa, maka pH nya rendah, karena sebagian dari kompleks adsorbsi ditempati oleh kation-kation Al3+ dan H+. Kejenuhan basa di lokasi penelitian berkisar antara 24,47-30,07% (rendah). Hal ini menunjukkan bahwa basa-basa tanah sudah banyak yang tercuci oleh curah hujan yang cukup tinggi melalui proses erosi. Sebaran nilai KB di tiga kecamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15. 12) Kesuburan Tanah Kesuburan tanah alami ditentukan oleh tingkat perkembangan tanah dan komposisi bahan pembentuk tanah. Tingkat perkembangan tanah diantaranya dicerminkan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) (Tabel 15). Tanah-tanah dengan KTK rendah umumnya telah mengalami perkembangan lanjut, dan sebaliknya. Nilai KB menunjukkan bahwa tanah semakin tua maka kation-kation yang ada dalam kompleks jerapan umumnya makin rendah, sehingga KB-nya rendah. Tanah-tanah Ultisol dan Oxisol adalah jenis tanah yang dijumpai di lokasi penelitian disamping Inceptisol, Andisol, dan Alfisol yang merupakan tanah yang kurang subur karena sudah mengalami tingkat pelapukan lanjut dengan KB < 35% akibat curah hujan tinggi (Fauzi et al. 2004;
61
Prasetyo dan Suharta, 2004; Rachim 2007). Hasil penelitian Firmansyah (2003), dibandingkan tanah yang tidak terdegradasi maka tanah terdegradasi lebih rendah 38% C-organik dan 55% basa-basa dapat ditukar. Selain itu, pH cenderung lebih rendah terutama pada tanah mineral. 4.3. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Karakteristik sosial ekonomi masyarakat setempat yang perlu diketahui dalam penelitian ini antara lain : keadaan penduduk meliputi jumlah penduduk menurut usia dan tingkat pendidikan, kepadatan; mata pencaharian, dan penggunaan lahan dan vegetasi serta kondisi pertanian saat ini. a. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk di tiga kecamatan terpilih disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa di Kecamatan Babakan Madang mempunyai tingkat kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dua kecamatan lainnya, yaitu sebesar 994 jiwa/km2. Berada pada urutan kedua adalah Kecamatan Cigudeg dengan 757 jiwa/km2 dan berikutnya Kecamatan Sukamakmur dengan 517 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di Kecamatan Babakan Madang termasuk kelas kepadatan tinggi, sedangkan Kecamatan Cigudeg dan Sukamakmur kelas kepadatan penduduknya termasuk kelas sedang. Tabel 16. Jumlah penduduk, luas kecamatan dan kepadatannya di lokasi penelitian tahun 2009. No
Jumlah Penduduk
Desa Total (jiwa)
Lakilaki (jiwa)
Perempuan (jiwa)
Luas (Km2)
Kepadatan (jiwa/km2)
Kelas Kepadatan*)
1
Sukamakmur
74.376
37.707
36.669
144,00
517
Sedang
2
Babakan Madang
98.121
50.625
47.496
98,71
994
Tinggi
3
Cigudeg
115.681
59.493
56.188
152,78
757
Sedang
288.178
147.825
140.353
395,49
729
Jumlah
Sumber : Monografi Kecamatan Sukamakmur (2009). Laporan Bulanan Kecamatan Babakan Madang, September 2009. Profil Kecamatan Cigudeg, 2008 dan Monografi Cigudeg (2009). Keterangan : *) Kelas kepadatan penduduk : Rendah = < 400 jiwa/km2; Sedang = 400-800 jiwa/km2; Tinggi = > 800 jiwa/km2
62
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan kepadatan penduduk sebesar 10% (208-229 orang/km2 dan 309-340 orang/km2) dapat meningkatkan jumlah lahan terdegradasi dilihat dari peningkatan besarnya erosi sebesar 0,6% pada lahan dataran rendah dengan ketinggian < 1500 m dpl dan 2,6% pada lahan dataran tinggi dengan ketinggian >1500 m dpl (Pender et al., 2004). Lokasi penelitian dengan tingkat kepadatan >500 orang/km2 tentunya sangat besar pengaruhnya terhadap proses degradasi lahan. Dilihat dari usia produktif (15 – 54 tahun) seperti pada Tabel 17, penduduk di Kecamatan Cigudeg mempunyai penduduk usia produktif yang lebih tinggi (63.951 jiwa) dibandingkan Kecamatan Babakan Madang (54.243 jiwa) dan Kecamatan Sukamakmur (40.750 jiwa).
Sementara itu penduduk usia
nonproduktif (kurang dari 15 tahun dan di atas 55 tahun) paling tinggi dimiliki oleh Kecamatan Cigudeg (35.782 jiwa), kemudian Kecamatan Babakan Madang (30.350 jiwa) dan Kecamatan Sukamakmur (25.348 jiwa). Tabel 17. Sebaran jumlah penduduk menurut usia di lokasi penelitian tahun 2008-2009.
No
Kelompok Usia
1. 2. 3. 4. 5.
0-14 tahun 15-24 tahun 25-39 tahun 40-54 tahun > 55 tahun Jumlah
Sukamakmur 25.348 13.549 14.797 12.404 8.278 74.376
Kecamatan (jiwa) Babakan Madang 30.350 17.823 20.165 16.255 13.527 98.121
Cigudeg 35.782 21.013 23.774 19.164 15.948 115.681
Sumber : Monografi Kecamatan Sukamakmur (2009). Laporan Bulanan Kecamatan Babakan Madang, September 2009. Profil Kecamatan Cigudeg, 2008 dan Monografi Cigudeg (2009).
Jika dilihat dari Tabel 18 dapat diketahui bahwa SDM di Kecamatan Sukamakmur lebih baik jika dibandingkan dengan Kecamatan Babakan Madang dan Cigudeg. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase orang yang tamat SD, SLTP, Diploma dan Perguruan Tinggi, dimana Kecamatan Sukamakmur sebesar 63%, Kecamatan Babakan Madang sebesar 57%, dan Kecamatan Cigudeg sebesar 27%. Namun demikian persentase tersebut masih jauh dari tingkat pendidikan yang diharapkan (> 80%). Jika dilihat dari umur produktivitasnya yaitu penduduk yang berumur 15 – 54 tahun, maka kecamatan Babakan Madang memiliki umur
63
produktivitas penduduk yang paling tinggi yaitu 77%, jika dibandingkan dengan Kecamatan Cigudeg, dan Sukamakmur yang masing-masing sebesar 55%. Tabel 18. Sebaran jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di lokasi penelitian tahun 2008-2009. No
Uraian
Sukamakmur Jiwa %
Kecamatan Babakan Madang Jiwa %
Cigudeg Jiwa %
6.906
9,29
7.974
10,06
81.860
70.76
Tidak Tamat SD/Sederajat
13.450
18,08
31.323
31,92
2.189
1.89
3.
Tamat SD
38.320
51,52
38.911
39,66
20.961
18.12
4.
Tamat SLTP
6.624
8,91
12.340
12,58
6.383
5.52
5.
Tamat SLTA
1.382
1,86
3.727
3,80
3.932
3.40
6.
Tamat Akademik
245
0,33
310
0,32
139
0.12
7.
Tamat Perguruan Tinggi
58
0,08
705
0,72
217
0.19
8.
Buta Huruf
7.391
9,94
930
0,95
0
0
Jumlah 74.376 100,00 98.121 100,00 Sumber : Monografi Kecamatan Sukamakmur (2009). Laporan Bulanan Kecamatan Babakan Madang, September 2009. Profil Kecamatan Cigudeg, 2008 dan Monografi Cigudeg (2009).
115.681
100.00
1.
Belum Sekolah
2.
Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka semakin tinggi pula produktivitas tenaga kerjanya (sektor pertanian), dan sebaliknya tingkat pendidikan masyarakat yang rendah akan mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja yang menyebabkan rendahnya efisiensi usahatani di pedesaan, dan akan berpengaruh pula terhadap tingkat penyerapan aplikasi dan alih teknologi tepat guna, serta akan menyulitkan kegiatan penyuluhan. Kondisi masyarakat tersebut di atas mengakibatkan perlunya peningkatan sumberdaya manusia (SDM) pertanian agar mampu menerapkan teknologi pertanian dalam kegiatan usaha pertaniannya, melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan. Hasil penelitian Pender et al. (2004) menunjukkan bahwa suatu wilayah dengan SDM pertanian yang rendah (tingkat pendidikan dasar) dapat meningkatkan besarnya erosi 7% pada lahan dataran rendah dan 12,5% pada lahan dataran tinggi dalam memanfaatkan lahannya. Dengan demikian rendahnya SDM akan mempengaruhi tindakan pengelolaan lahan yang berpotensi mempercepat proses degradasi lahan
64
b. Mata Pencaharian Penduduk Mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian sebagian besar masih bergerak di sektor pertanian, yaitu di Kecamatan Cigudeg sebanyak 14.820 KK (52%) dari 52.852 KK, di Kecamatan Babakan Madang sebanyak 26.425 (45%) dari 59.212 KK, dan di Kecamatan Sukamakmur sebanyak 6.837 KK (43%) dari 15.878 KK. Jumlah rumah tangga yang bermatapencaharian di bidang pertanian tersebut di Kecamatan Sukamakmur merupakan petani pemilik sekaligus penggarap dan sebagaian kecil sebagai buruh tani. Sebaliknya di Kecamatan Babakan Madang, sebagian besar rumah tangga bermatapencaharian sebagai buruh tani hampir 50%, sisanya merupakan petani pemilik-penggarap dan penggarap masing-masing 25%, sedangkan di Kecamatan Cigudeg tidak ada data mengenai status rumah tangga taninya.
Data selengkapnya mengenai mata
pencaharian rumah tangga di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Sebaran jumlah penduduk menurut mata pencaharian di lokasi penelitian tahun 2008-2009. No.
Mata pencaharian
1.
Petani - Petani Pemilik Tanah - Petani Penggarap Tanah - Buruh Tani Pengusaha (besar, menengah, kecil) Buruh (perkebunan, pertambangan, industri, bangunan) Pedagang PNS/TNI/POLRI Lain-lain (pengrajin, industri kecil, pertukangan, pengemudi/ jasa, pensiunan/ purnawirawan)
2. 3. 4. 5. 6.
Jumlah
Kecamatan (KK) Sukamakmur Babakan Madang
Cigudeg
6.837 4.511 1.874 452 890
26.425 13.200 12.500 21.725 11.944
14.820 1.025
3.485
13.154
8.027
4.043 161
6.954 370
1.991 501
462
365
26.488
15.878
59.212
52.852
Sumber : Monografi Kecamatan Sukamakmur (2009). Laporan Bulanan Kecamatan Babakan Madang, September 2009. Kecamatan Cigudeg Dalam Angka, 2008 dan Monografi Cigudeg (2009).
Selain di bidang pertanian, penduduk di lokasi penelitian juga sangat menggantungkan hidupnya sebagai buruh di perkebunan, pertambangan, industri dan bangunan dengan persentase di atas 20%. Di Kecamatan Babakan Madang yang lokasinya dekat dengan Kota Bogor, penduduknya banyak yang mata
65
pencahariannya sebagai pengusaha dengan persentase di atas 20%. Penduduk di Kecamatan
Sukamakmur
selain
sebagai
petani,
banyak
juga
yang
bermatapencaharian sebagai pedagang, dengan persentase kurang lebih 25%. Mata pencaharian penduduk sangat terkait dengan pemanfaatan lahan, karena sebagian besar penduduk di lokasi penelitian menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Pemanfaatan lahan yang baik dapat mengurangi proses degradasi lahan, sebaliknya pemanfatan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah dapat mempercepat proses degradasi lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan untuk pertanian potensi degradasi lahan lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan yang pemanfaatannya untuk hutan maupun padang rumput/padang penggembalaan (Wu dan Tiessen, 2002). c. Penggunaan Lahan dan Vegetasi Penggunaan lahan (landuse) senantiasa berubah dari waktu ke waktu seiring dengan adanya pemanfaatan sumberdaya lahan oleh manusia. Penggunaan lahan di muka bumi terbagi menjadi dua bagian, yaitu lahan yang masih alami dan lahan hasil budidaya manusia.
Beberapa jenis penggunaan lahan di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Sawah
Tegalan
Padang rumput
Kebun Kelapa Sawit
Padang penggembalaan
Kebun Campuran
Gambar 6. Beberapa jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian
Pada umumnya pemanfaatan lahan di tiga kecamatan pada lokasi penelitian terdiri dari pertanian (lahan sawah dan lahan kering), hutan, perkebunan, dan lainlain. Berdasarkan penggunaan lahan di Kecamatan Sukamakmur pada Tabel 20
66
terlihat bahwa pertanian lahan kering lebih mendominasi dibandingkan dengan pertanian lahan basah, sehingga potensi untuk pengembangan pertanian cenderung ke arah pertanian lahan kering. Sekitar 7.896,89 ha (58,79% dari total luas wilayah) digunakan untuk pertanian tanaman pangan. Tabel 20. Penggunaan lahan dan vegetasi di lokasi penelitian No
Penggunaan Lahan
1
Sawah a. Irigasi Teknis b. Irigasi ½ teknis c. Irigasi Sederhana d. Tadah Hujan e. Pasang Surut Tanah Kering a. Pemukiman/pekarangan b. Tegalan/kebun c. Ladang/tanah huma d. Ladang penggembalaan Lahan Basah a. Rawa b. Situ/Danau c. Kolam/empang/balong Tanah Hutan a. Hutan Homogen b. Hutan Konservasi c. Hutan Lindung d. Hutan Heterogen e. Hutan Produksi f. Hutan Belukar g. Hutan Rakyat Tanah Perkebunan a. Perkebunan Negara b. Perkebunan Rakyat Tanah Keperluan Fasilitas Umum a. Lapangan Olah Raga b. Taman Rekreasi c. Kuburan Lain-lain (tanah tandus, tanah pasir)
2
3
3
4
5
6
Sukamakmur (ha)
Babakan Madang (ha)
Cigudeg (ha)
777,00 691,00 891,00 930,00
172,00 405,00 175,00 263,00 -
45,00 324,00 1.069,00 2.286,00
2.552,40 1.463,49 592,00 298,00
2.195,00 1.851,00 13,00
606,00 2.207,00 1.170,00 248,72
411,16
0,50 1,50
20,00 47,00
1.105,45 3.131,63 573,65 -
642,00 498,00 394,00 60,00
-
-
1.398,00 110,00
2.050,00 1.615,00
8,00 2,90 5,00
15,20 50,00 25,70 -
12,00 5,00 297,29 -
8.268,9
12.002,01
Jumlah 13.432,68 Sumber : Monografi Kecamatan Sukamakmur (2009). Laporan Bulanan Kecamatan Babakan Madang (2009). Profil Kecamatan Cigudeg (2008).
Luas lahan untuk pertanian di Kecamatan Babakan Madang sekitar 5.061 ha atau 37,67% dari luas wilayah kecamatan dan penggunaan terbesar untuk pertanian
67
lahan kering. Pengembangan pertanian di kecamatan ini dikhawatirkan akan sulit untuk dilaksanakan mengingat sebagian besar wilayah ini diperuntukan bagi pengembangan pemukiman dan sebagian besar lahan kepemilikannya udah berpindah ke pengembang (PT. Sentul City). Walaupun demikian dirasa perlu untuk tetap mempertahankan lahan-lahan pertanian yang ada saat ini dan meningkatkan produktivitasnya
karena
ada
indikasi
terjadi
degradasi
lahan.
Dengan
berkembangnya usaha penambangan batu di kecamatan ini, semakin memperbesar proses degradasi lahan. Penggunaan lahan di Kecamatan Cigudeg tidak berbeda jauh dengan Kecamatan Babakan Madang yaitu sebagian besar wilayah pertanian digunakan untuk pertanian tanaman pangan seluas 7.707 ha atau sekitar 64,21% dengan sistem pertanian lahan kering. Penggunaan lahan lain yang cukup luas adalah perkebunan, baik perkebunan negara maupun perkebunan rakyat dengan komoditas utama kelapa sawit. Degradasi lahan di Kecamatan Cigudeg juga merupakan ancaman yang cukup serius terhadap lahan-lahan produktif untuk pertanian.
Banyaknya usaha
penambangan batu seperti di Kecamatan Babakan Madang juga memperbesar proses degradasi lahan dan mengancam kelestarian sumberdaya lahan untuk usaha pertanian. Penggunaan lahan di Kecamatan Sukamakmur agak berbeda dengan penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Cigudeg
di mana di
Kecamatan Sukamakmur terdapat penggunaan lahan hutan berupa hutan homogen, hutan heterogen dan hutan belukar dengan luas hampir 5.000 ha (36%) disamping penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering (tegalan, kebun campur, dan ladang penggembalaan) sebesar 45% dan sisanya 19% adalah pertanian lahan basah dan pemukiman/fasilitas umum. Penggunaan lahan dan jenis vegetasi berpengaruh terhadap tutupan lahan, di mana dengan semakin banyak vegetasi yang tumbuh, misalnya hutan, kebun campuran dan padang rumput maka tutupan lahan semakin rapat, hal ini dapat melindungi tanah dari tumbukan air hujan secara langsung dan melindungi tanah terhadap erosi dan aliran permukaan sehingga proses degradasi lahan dapat dikurangi. Sebaliknya, lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya pertanian baik padi, palawija dan sayuran maka lahan akan semakin terbuka. Hal ini menyebabkan lahan mudah mengalami erosi sebagai penyebab utama terjadinya degradasi lahan.
Hasil
68
penelitian Marques et al. (2007), menunjukkan bahwa tutupan vegetasi 0-40% berkorelasi maksimum dengan besarnya aliran permukaan dan kehilangan tanah pada intensitas hujan yang tinggi. Korelasi positif terjadi pada tutupan vegetasi 40-60% dan jika tutupan vegetasi > 60% terjadi penurunan nilai erosivitas hujan. d. Kondisi sektor pertanian Kondisi sektor pertanian di lokasi penelitian diutamakan pada sektor pertanian tanaman pangan. Tanaman pangan yang dimaksud rneliputi tanaman bahan makanan, sayuran dan buah-buahan. Sementara tanaman bahan makanan meliputi padi-padian, jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan (Tabel 21). Dari Tabel 21 terlihat bahwa komoditas yang banyak diusahakan di lokasi penelitian adalah padi sawah dan ubikayu, sedangkan komoditas yang lain tidak begitu banyak, dan hanya diusahakan sebagai usaha sampingan. Padi sawah banyak diusahakan di Kecamatan Sukamakmur dan Cigudeg dengan produktivitas sekitar 6 ton/ha, sedangkan di Kecamatan Babakan Madang sangat sedikit. Hal ini karena di Kecamatan Babakan Madang didominasi lahan kering. Selain padi sawah, komoditas tanaman pangan yang banyak diusahakan di lokasi penelitian adalah ubikayu, terutama di Kecamatan Sukamakmur dan Babakan Madang dengan produktivitas sekitar 18 ton/ha.
Berdasarkan
wawancara dengan penduduk setempat, komoditas ubikayu banyak diusahakan karena pemasarannya mudah dan banyak dicari oleh bandar untuk dikirim ke pabrik pengolahan ubikayu untuk diolah menjadi tepung. Keragaan tanaman ubikayu dan produksinya di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Tanaman ubikayu pada lereng curam
Tanaman ubikayu pada lereng landai
Hasil ubikayu
Gambar 7. Keragaan komoditas ubikayu dan produksinya di lokasi penelitian
69
Jika dibandingkan dengan produktivitas ubikayu varietas unggul yang ditanam pada lahan yang subur dimana dapat mencapai 102 ton/ha (Subandi, 2009), maka produktivitas ubikayu di lokasi penelitian termasuk rendah. Hal ini disebabkan karena lahan-lahan di lokasi penelitian sudah mengalami penurunan produktivitas yang ditandai dengan sifat fisik dan kimia yang jelek yaitu pH masam, kejenuhan Al tinggi, kandungan bahan organik, KTK dan kejenuhan basanya rendah serta mineral liat umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada tanah-tanah terdegradasi terjadi penurunan produksi padi sebesar 22-38%, kacang tanah 9-58% (Sudirman dan Vadari, 2000), kedelai 14%, jagung 28% dan ubikayu 17% (Arsyad, 2006). Tabel 21.
No
Luas Panen (ha), Hasil per Hektar (ton/ha) dan Produksi (ton) Padi Sawah dan Padi Ladang di Kecamatan Sukamakmur, Babakan Madang, dan Cigudeg Tahun 2008 Komoditas
Sukamakmur (ha)
Padi Sawah a. Luas panen (ha) 4.311 b. Produksi (Ton) 25.564 c. Produktivitas (Ton/ha) 5,93 2 Padi Gogo a. Luas panen (ha) 211 b. Produksi (Ton) 575 c. Produktivitas (Ton/ha) 2,72 3 Jagung a. Luas panen (ha) 4 b. Produksi (Ton) 13 c. Produktivitas (Ton/ha) 3,29 4 Kacang Tanah a. Luas panen (ha) 14 b. Produksi (Ton) 18 c. Produktivitas (Ton/ha) 1,28 5 Ubikayu a. Luas panen (ha) 655 b. Produksi (Ton) 12.141 c. Produktivitas (Ton/ha) 18,54 6 Ubijalar a. Luas panen (ha) 19 b. Produksi (Ton) 248 c. Produktivitas (Ton/ha) 13,17 Sumber: Monografi Pertanian dan Kehutanan (2008).
Babakan Madang (ha)
Cigudeg (ha)
1
445 2.612 5,87
3.978 23.975 6,03
-
180 507 2,82
-
6 19 3,30
5 6 1,13
65 81 1,26
607 11.38 18,75
92 1.72 18,72
10 128 12,84
112 1.6 14,32
70
Sementara itu hasil-hasil produksi pertanian lainnya di tiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 22. Komoditi buah-buahan di Kecamatan Sukamakmur berturut-turut adalah jeruk besar, alpukat, durian, jambu air, pisang, rambutan dan nenas. Komoditi buah-buahan di Kecamatan Babakan Madang adalah jambu air, mangga, rambutan, sawo, nenas dan salak.
Komoditi buah-buahan dari
Kecamatan Cigudeg yaitu alpukat, durian, duku, jambu biji, jambu air, mangga, pepaya, pisang, rambutan, sawo dan nenas. Produksi sayur-sayuran di Kecamatan Sukamakmur adalah cabe besar, cabe rawit, bawang daun, buncis dan petsay. Produksi sayuran di Kecamatan Babakan Madang adalah cabe besar, cabe rawit, mentimun, buncis dan petsay. Sementara itu produksi sayuran dari Kecamatan Cigudeg adalah cabe besar, cabe rawit, terong, mentimun, tomat dan buncis. Tabel 22.
Produksi buah-buahan dan sayuran Kecamatan Babakan Madang, Cigudeg, dan Sukamakmur
No
Komoditas
A
Buah Alpukat Durian Duku Jambu air Mangga Pepaya Pisang Rambutan Sawo Nenas Salak
B
Babakan Madang
Cigudeg
Sukamakmur
Pohon
Produksi (ku)
Pohon
Produksi (ku)
Pohon
Produksi (ku)
10 57 80 15 100 50 Luas (ha)
361 132 2.182 14 22 2 Produksi (ku)
75 3.655 50 50 30 1.050 8.150 205 25 500 Luas (ha)
560 1.925 70 1.675 1.400 357 9.370 9.656 29 16 Produksi (ku)
20 196 7 4.717 17 780 Luas (ha)
115 4.000 100 3.772 3.220 56 Produksi (ku)
5.960 1.350 318 919 4.586 708 1.218 -
30 60 4 18 14 18
489 1.790 139 597 688 675
Sayuran Kacang panjang 4 358 105 Cabe besar 4 237 34 Cabe rawit 5 303 19 Terong 22 Mentimun 9 612 106 Bawang daun Tomat 20 Buncis 1 58 33 Petsay 6 1.216 Sumber: Monografi Pertanian dan Kehutanan ( 2008)
71
Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa komoditas buah yang banyak diusahakan di lokasi penelitian adalah pisang dan rambutan,
sedangkan
komoditas sayuran yang banyak diusahakan adalah kacang panjang, buncis dan mentimun.
Jika dilihat dari data produksinya, baik komoditas buah maupun
komoditas sayur, hasilnya kurang memuaskan. Hal ini dapat dimengerti karena produktivitas lahan di lokasi penelitian yang rendah tidak mendukung untuk produksi yang tinggi. Sifat kimia tanah di lokasi penelitian, berdasarkan hasil analisis laboratorium, menunjukkan pH tanah masam, kandungan N-total, Ptersedia dan K sangat rendah, KTK sedang dan KB rendah, serta kandungan Al-dd sedang sampai tinggi dapat menghambat pertumbuhan tanaman untuk berproduksi dengan baik. Pada tanah masam ketersediaan P rendah karena berikatan denan Al membentuk senyawa yang sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi tanaman, sementara fungsi P sangat penting untuk pertumbuhan tanaman dan pembungaan. Demikian juga dengan rendahnya unsur hara N dan K dalam tanah juga sangat menghambat pertumbuhan tanaman dan proses pemasakan buah dan ketahanan buah terhadap kerontokan.