KERANGKA ACUAN KERJA GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (SDA) INDONESIA SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA
I. Latar Belakang Sumberdaya mineral dan batubara merupakan salah satu sumber daya alam (natural capital) yang tak terbaharukan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia untuk dapat dikelola dengan baik. Pengelolaan sumberdaya alam tersebut harus mengacu pada UUD 1945 khususnya pasal 33 yang mengamanatkan pengelolaan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keberadaan UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu wujud pelaksanaan hak pengelolaan negara terhadap sumberdaya tersebut. UU No. 4 tahun 2009 (UU Tentang Pertambangan Minerba) membawa semangat pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Undang-undang tersebut juga menekankan pentingnya pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Hasil kajian KPK terkait dengan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara sejak tahun 2011, menyimpulkan adanya sejumlah permasalahan dalam proses implementasi UU Minerba. Setidaknya terdapat sepuluh permasalahan utama yang menghambat pelaksanaan tugas pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya mineral dan batubara. Kesepuluh permasalahan tersebut sebagai berikut: 1. Pengembangan sistem data dan informasi Minerba. Untuk mendorong tata kelola pertambangan minerba yang lebih baik, sistem pendataan dilakukan dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. Hingga saat ini, data yang ada belum dikelola secara terintegrasi dan belum bisa dimanfaatkan untuk memonitoring kegiatan pertambangan secara real time. Selain itu, dengan adanya sistem ini diharapkan diperoleh data minerba yang lebih akurat, real-time dan menjadi acuan tunggal bagi semua stakeholder, pusat maupun daerah. 2. Penerbitan aturan pelaksana UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sesuai amanat pasal 174 UU Minerba, semua aturan pelaksana UU tersebut harus diselesaikan paling lambat 12 Januari 2010. Namun Peraturan Pemerintah pelaksana UU tersebut ditetapkan setelah batas waktu 12 Januari 2010. Sebanyak 15 Peraturan Menteri ESDM (dari 22 Peraturan Menteri) sebagai pelaksana UU Minerba belum ditetapkan hingga saat ini.
1
3. Renegosiasi Kontrak (34 Kontrak Karya/KK dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B). Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mewajibkan adanya penyesuaian ketentuan yang tercantum dalam kontrak dengan UU minerba paling lambat 1 tahun sejak 12 Januari 2009. Dalam kerangka acuan pemerintah terkait dengan renegosiasi, setidaknya terdapat 6 hal yang akan dinegosiasikan ulang dengan pemegang kontrak. Hal tersebut mencakup: luas wilayah kontrak, penerimaan negara, divestasi, penggunaan komponen dalam negeri, tenaga kerja, dan pengolahan dan pemurnian. Hingga saat ini, belum ada satupun kontrak baru (hasil renegosiasi) yang ditandatangani bersama antara pemerintah dengan pemegang kontrak. 4. Peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batubara. UU Minerba sesuai dengan pasal 170 mewajibkan adanya kegiatan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi, paling lambat 12 Januari 2014. Kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang IUP dan IUPK operasi produksi, paling lambat dilakukan 12 Januari 2014 sesuai dengan pasal 112 PP No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Hingga saat ini pemerintah belum memiliki sikap yang jelas terkait dengan kewajiban pemurnian oleh KK dan pengolahan dan pemurnian oleh IUP dan IUPK. Bahkan pemerintah memberikan kelonggaran (relaksasi) kepada KK dan IUP/IUPK untuk mengekspor konsentrat hasil olahan beberapa jenis mineral, hingga 12 Januari 2017. 5. Penataan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba mewajibkan adanya penyesuaian Kuasa Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan. UU Minerba juga memberikan kewenanangan secara bertingkat dalam pemberian izin kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Namun hingga saat ini, jumlah IUP yang belum berstatus clean and clear sebesar 4.912 (44,99%) dari sebanyak 10.916 IUP (status per Desember 2013). 6.
Peningkatan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation) UU Minerba mewajibkan adanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum hasil tambang mineral dan batubara di ekspor. Namun hingga saat ini belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk meningkatkan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri antara lain melalui sinergi dengan sektor hilir yang menyerap bahan tamabang sebagai bahan bakunya. Hal ini menyebabkan sebagian besar barang tambang mineral dan batubara di eskpor ke luar negeri.
7. Pelaksanaan kewajiban pelaporan secara regular. UU Minerba mewajibkan pemegang IUP/IUPK melaporkan secara reguler kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Demikian pelaporan oleh pemda kepada pemerintah pusat. Faktanya IUP banyak
2
yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah daerah, yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya ke pemerintah pusat. 8. Pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang. UU minerba mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi dan pascatambang. Untuk menjamin pelaksanaan kewajiban tersebut, pemegang izin/KK/PKP2B wajib menyerahkan jaminan reklamasi dan pascatambang sebesar yang sudah ditetapkan oleh pemberi izin. Faktanya, sulit untuk menelusuri pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang, oleh karena tidak semua pemda melaporkan keberadaan jamianan tersebut kepada pemerintah pusat. Di lapangan, pelaksanaan reklamasi dan pascatambang jauh dari yang seharusnya sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pelaksanaan pengawasan. 9. UU minerba mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi dan pascatambang. Untuk menjamin pelaksanaan kewajiban tersebut, pemegang izin/KK/PKP2B wajib menyerahkan jaminan reklamasi dan pascatambang sebesar yang sudah ditetapkan oleh pemberi izin. Faktanya, sulit untuk menelusuri pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang, oleh karena tidak semua pemda melaporkan keberadaan jamianan tersebut kepada pemerintah pusat. Di lapangan, pelaksanaan reklamasi dan pascatambang jauh dari yang seharusnya sehingga menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pelaksanaan pengawasan. UU minerba mewajibkan dilaksanakannya pengawasan secara intesif kepada pelaku usaha sejak dari perencanaan (eksplorasi), produksi, pengapalan/penjualan, hingga reklamasi dan pascatambang. Namun jumlah pengawas (termasuk infrastruktur) di lapangan sangat terbatas sehingga pengawasan tidak berjalan optimal. 10. Pengoptimalan penerimaan Negara. Pelaku usaha diwajibkan untuk membayarkan penerimaan pajak dan non pajak (royalti dan iuran tetap) kepada pemerintah. Kewajiban tersebut tertuang dalam kontrak dan PP No.9 tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berada di Kementerian ESDM. Hasil temuan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (Tim OPN) menunjukkan adanya kurang bayar PNBP oleh pelaku usaha dari tahun 2003 s.d. 2011 sebesar Rp 6,7 Triliun. Demikian juga dengan hasil perhitungan berdasarkan evaluasi laporan surveyor, diperkirakan selisih pembayaran royalti oleh pelaku usaha sebesar US$ 24,66 juta tahun 2011 untuk 5 mineral utama dan sebesar US$ 1,22 miliar untuk batubara kurun waktu tahun 2010 s.d. 2012.
Permasalahan tersebut semakin mengemuka manakala pelaksanaan UU No. 4 tahun 2009 diimplementasikan di daerah. Sejumlah hal mengindikasikan hubungan yang tidak harmonis dalam pengelolaan kegiatan pertambangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak menyampaikan kewajiban pelaporannya kepada pemerintah pusat. Setiap pemberi izin (pusat
3
untuk KK/PKP2B dan Daerah untuk IUP) masing-masing bermain dalam lingkup pengawasannya saja tanpa adanya koordinasi yang baik dalam setiap kegiatan pengawasan, serta aliran data dan informasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak terjadi secara sistematis dan transparan. Dampak dari tidak terlaksananya peran pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan terkait dengan pertambangan mineral dan batubara, sangat berpotensi untuk menjadi peluang terjadinya tindak pidana korupsi yang pada akhirnya merugikan negara dan perekonomian nasional.
Oleh karenanya, perlu dilakukan perbaikan sistem dan regulasi di tingkat pusat dan daerah sebagai upaya untuk mendorong tata kelola pertambangan mineral dan batubara yang lebih baik demi mencegah terjadinya korupsi. Karenanya kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dengan melibatkan lintas instansi pemerintah pusat dan daerah, menjadi perlu untuk segera dilakukan. Pada tahun 2014, KPK telah melakukan koordinasi dan supervisi atas pertambangan mineral dan batubara yang berlokasi di 12 provinsi. Keduabelas provinsi tersebut yakni Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Kegiatan tersebut melibatkan instansi pemerintah pusat yang terkait, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Hasil dari kegiatan tersebut antara lain dicabutnya izin-izin yang tidak memenuhi ketentuan, dibayarkannya kewajiban keuangan yang selama ini diabaikan oleh pelaku usaha, penegakan aturan, dan pengawasan yang diperketat dnegan melibatkan berbagai pihak. Memperhatikan dampak positif yang demikian dan keharusan untuk membenahi permasalahan di sektor pertambangan mineral dan batubara, maka kegiatan penataan kegiatan pertambangan di provinsi lainnya (19 provinsi) dilakukan mulai Desember 2014 agar pembenahan di sektor ini dapat mencakup semua aktivitas pertambangan di Indonesia. II.
Dasar Kegiatan
1. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas antara lain: a. Huruf b: ‘supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.’ b. Huruf e: ‘melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.’ 2. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002: ‘Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.’
4
3. Pasal 14 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002: ‘Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf e, KPK berwenang: a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; b. Memberikan saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, DPR, dan BPK, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.’ 4. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: a. Pasal 1 angka 1 menyebutkan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. b. Pasal 2 menyebutkan: “Keuangan Negara sebagaimana pasal 1 angka 1 meliputi pasal 2 huruf (i): Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”. 5. Dalam UNCAC pasal 12 yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi) menyebutkan: “Setiap Negara Peserta wajib mengambil tindakan-tindakan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukum nasionalnya, untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta, meningkatkan standar akuntansi dan audit di sektor swasta, dan
dimana diperlukan,
memberikan sanksi perdata, administratif dan pidana yang efektif sebanding untuk kelalaian memenuhi tindakan-tindakan tersebut”. 6. Deklarasi penyelamatan sumberdaya alam yang ditandatangani oleh Panglima TNI Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia di Ternate pada tanggal 9 Juni 2014. Deklarasi tersebut sebagai tekad dari keempat pimpinan lembaga tersebut untuk (1) mendukung tata kelola sumberdaya alam Indonesia yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; (2) mendukung penyelamatan kekayaan sumberdaya alam Indonesia; (3) melaksanakan penegakan hukum di sektor sumberdaya alam sesuai dengan kewenangan masing-masing. 7. Rencana Strategi KPK 2011-2015 menetapkan sektor Sumberdaya Alam/Ketahanan Energi menjadi salah satu fokus area pemberantasan korupsi. Sektor Pertambangan merupakan salah satu sektor yang termasuk didalamnya.
5
III. Tujuan Kegiatan Kegiatan Gerakan Nasional Penyelamatan SDA Indonesia-Sektor Pertambangan Minerba dalam bentuk koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (minerba) bertujuan untuk mendorong terciptanya tata kelola pertambangan mineral dan batubara yang efektif yang mencakup hal-hal seperti: a. Sistem informasi dan data mineral dan batubara yang memungkinkan adanya pelaporan yang akurat dan tepat waktu. b. Adanya sistem pelaporan yang memungkinkan pengawasan atas laporan produksi sehingga dapat mencegah atau mendeteksi secara dini terjadinya tindak pidana korupsi.
c. Adanya aturan yang memadai sehingga memungkinkan pelaksanaan tata kelola pertambangan minerba yang baik. IV. Ruang Lingkup dan Fokus Kegiatan Fokus kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan minerba mencakup hal-hal sebagai berikut: a.
b.
Penataan Izin Usaha Pertambangan minerba: 1.
Failitasi pelaksanaan koordinasi penyelesaian status IUP non Clean and Clear.
2.
Supervisi pembekuan/penghentian/pencabutan IUP yang tidak memenuhi syarat.
3.
Deteksi faktor dan aktor penghambat proses penataan izin.
4.
Sosialisasi dan kampanye perbaikan sistem/kebijakan sebagai upaya pencegahan korupsi.
Pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba: 1.
Koordinasi dan supervisi pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak, iuran tetap, dan royalti terutang sesuai hasil audit BPK dan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara.
c.
d.
2.
Koordinasi dan supervisi pengelolaan dana jaminan reklamasi dan pascatambang.
3.
Deteksi faktor dana aktor tidak dilaksanakannya kewajiban keuangan pelaku usaha.
4.
Sosialisasi dan kampanye antikorupsi sebagai upaya penyelamatan keuangan negara.
Pelaksanaan pengawasan produksi pertambangan minerba: 1.
Koordinasi dan supervisi pelaksanaan pengawasan produksi.
2.
Deteksi faktor dan aktor tidak dilaksanakannya kegiatan produksi sesuai dengan ketentuan.
3.
Sosialisasi dan kampanye kegiatan antikorupsi dalam upaya pengawasan produksi.
Pelaksanaan kewajiban pengolahan/pemurnian hasil tambang minerba: 1.
Koordinasi dan supervisi pelaksanaan kewajiban pengolahan/pemurnian.
2.
Deteksi faktor dan aktor penyebab tidak dilaksanakannya kewajiban pengolahan/pemurnian.
3.
Sosialisasi
dan
kampanye
kegiatan
antikorupsi
dalam
pelaksanaan
kewajiban
pengolahan/pemurnian.
6
e.
Pelaksanaan pengawasan penjualan dan pengangkutan/pengapalan: 1.
Koordinasi dan supervisi pelaksanaan pengawasan penjualan dan pengangkutan/pengapalan.
2.
Deteksi faktor dan aktor penyebab tidak dilaksanakannya pengawasan penjualan dan pengangkutan/pengapalan.
3.
Sosialisasi
dan
kampanye
kegiatan
antikorupsi
dalam
pengawasan
penjualan
dan
pengangkutan/pengapalan. V. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui beberapa tahapan berikut: a.
Rapat koordinasi lintas instansi pusat dan daerah penyepakatan rencana aksi. Rapat melibatkan 12 instansi pusat (Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian PAN dan RB, BPN, BPKP, dan BPK) dan 19 Pemerintah Provinsi. Rapat koordinasi dilaksanakan di KPK pada tanggal 3-4 Desember 2014.
b.
Monitoring pelaksanaan rencana aksi. Kegiatan monitoring mencakup monitoring melalui pelaporan rutin progress pelaksanaan rencana aksi, observasi lapangan, dan monitoring dengan bantuan civil society organization (CSO). Monitoring dilakukan sejalan dengan pelaksanaan rencana aksi yakni pada Bulan Maret dan Juni 2015.
c.
Evaluasi hasil pelaksanaan rencana aksi. Evaluasi didasarkan pada hasil monitoring pelaksanaan rencana aksi. Evaluasi dilakukan pada Bulan Agustus - Desember 2015.
d.
Tindak lanjut hasil evaluasi pelaksanaan rencana aksi. Hasil evaluasi akan disampaikan secara resmi kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
VI. Peran Para Pihak A. Peran Pemerintah Pusat Dalam rangka pelaksanaan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di 19 provinsi, pemerintah pusat memiliki peran sebagai berikut: 1. Menyiapkan data dan informasi yang mendukung terlaksananya kegiatan 2. Menyusun aturan perundang-undangan kebijakan yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan 3. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana aksi
7
4. Melakukan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi pelaksanaan rencana aksi
B. Peran Pemerintah Provinsi Dalam rangka pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, peran Pemerintah Provinsi sebagai berikut: 1. Menyiapkan data dan informasi terkait dengan IUP yang diterbitkan oleh Gubernur dan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di tingkat provinsi. 2. Mengkoordinasikan pengumpulan data dari kabupaten/kota. 3. Memfasilitasi rapat koordinasi lintas instansi yang melibatkan pemerintah kabupaten/kota di lingkungan provinsi yang bersangkutan. 4. Mengimplementasikan rencana aksi dan melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan rencana aksi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara untuk IUP yang diterbitkan gubernur. 5. Mengkoordinasikan pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan rencana aksi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di tingkat kabupaten/kota
C. Peran Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam rangka pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, peran Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai berikut: 1. Menyiapkan data dan informasi terkait dengan IUP yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di tingkat Kabupaten/Kota 2. Mengimplementasikan rencana aksi dan melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan rencana aksi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di tingkat kabupaten/kota
D. Pelaksanaan Rencana Aksi Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota melaksanakan rencana aksi dengan waktu yang telah ditetapkan.
VII. Jadwal Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada 6 lokasi untuk 19 Provinsi sebagai berikut:
8
Jadwal Kegiatan Gerakan Nasional Penyelamatan SDA Indonesia Sektor Pertambangan Minerba GN SDA MINERBA LOKASI KEGIATAN
1
MEDAN
2
JAKARTA
3
AMBON
4
SEMARANG
5
KUPANG
6
GORONTALO
19 Prov & seluruh kab/kota di 6 kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
ACEH SUMUT SUMBAR RIAU BENGKULU LAMPUNG BANTEN MALUKU PAPUA PAPUA BARAT JATENG JABAR DIY JATIM NTT NTB
15
NTT
16 17 18
NTB SULUT GORONTALO
19
SULBAR
4 Prov 25-Mar/Rabu 9:00-13:00 3 Prov 22-Apr/Rabu 9:00-13:00 3 Prov 6-May/Rabu 9:00-13:00 4 Prov 20-May/Rabu 9:00-13:00 2 Prov 4-Jun/Kamis 9:00-13:00 3 Prov 10-Jun/Rabu 9:00-13:00
9