Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
Kebijakan SDM Aparatur ditinjau dari Perspektif Hubungan Kapasitas Aparatur dan Perwujudan Good Governance Lidya Mildiana Pengembangan Sumberdaya Manusia, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya Abstract Human resources policy apparatus viewed from the perspective of the relationship of human capacity and realization of good governance. From this awareness of the importance of human resource development apparatus, to determine issues of strategic staffing challenges and opportunities to improve the management of human resources management. So that future human resource development apparatus can generate a productive employee, spry, have the skills, behavior, performance, and professional. But in fact the wheels of government officials is still less than optimal capacity to be able to realize good governance. Initial error of the system are considered speculative recruitment, appointment of officials who are still under the influence of structural political pressure, and the placement process, the promotion is also so irrational, recruitment system must be seen as integral, not partial. Local Government should be consistent in this process by implementing the principles of participation (participatory), the rule of law (Rule of Law), transparency (Transparency), responsive (responsiveness), oriented agreements (Consensus orientation), equity (Equity), effective and efficient (effectiveness and efficiency), accountability (Accountability) in the placement of personnel policies on structural position, as well as minimizing the use of political approaches Keywords: Good Governance, Public Service, Human Resource personnel, Bureaucratic Reform
Pendahuluan Kebijakan pengembangan SDM (sumber daya manusia) berfokus pada kualitas tenaga kerja termasuk di dalamnya aparatur. Kualitas adalah fungsi dari pendidikan dasar dan lanjut, program training, dan kesehatan populasi secara keseluruhan. Kualitas dan kemampuan beradaptasi aparatur adalah kunci pengendali di dalam penciptaan sebuah lingkungan yang nyaman untuk dapat beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan yang terus berubah. Upaya pemerintah untuk melakukan pembinaan aparatur negara masih memerlukan sebuah kerja keras. Pasalnya kualitas SDM aparatur secara umum masih sangat rendah dan jauh dari harapan. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara saat ini, Azwar Abubakar, pernah menyatakan bahwa dari sekitar kurang lebih 4,5 juta pegawai negeri sipil (PNS) di negeri ini, hanya ada sekitar 5% yang dianggap kategori berkualitas, sementara 95% lainnya dianggap masih rendah. Rendahnya kualitas SDM aparatur negara ini menjadi salah satu masalah di birokrasi pemerintahan saat ini. Oleh karena itu perlu
dilakukan reformasi pada semua instansi pemerintahan di semua tingkatan. Untuk menangani masalah aparatur pemerintah yang berkualitas rendah ini harus dilakukan pembinaan termasuk bagaimana memposisikan aparatur pada bidangnya. Dan ketimpangan jumlah aparat pada instansi satu dan lainnya. Rendahnya kualitas aparatur ini berbanding terbalik dengan belanja pegawai yang sangat tinggi. Yaitu belanja pegawai di daerah rata-rata diatas 70 persen. Di sisi lain sebagian besar masyarakat merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan pemerintah. Kendati kualitas aparatur rendah serta tingkat kepuasan publik tentang pelayanan juga rendah, pemerintah tetap berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan PNS melalui kenaikan gaji pokok berkala serta kemungkinan pemberian remunerasi. Pengembangan atau perubahan organisasi pemerintah merupakan suatu tuntutan yang senantiasa dilakukan secara sistematis. Pengembangan organisasi didasarkan pada upaya penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi. Karena itu setiap organisasi harus melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap hubungan atau nilai tawar organisasi 450
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
yag dimilikinya dengan seluruh sistem yang melingkupinya. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya aparatur tidak hanya persoalan merubah individunya saja, tetapi bagaimana juga merubah sistem dalam organisasi pemerintahan tersebut misalnya aturan-aturan dari organisasi, struktur organisasi, atau dapat dikatakan pembenahan dalam kelembagaan organisasi pemerintahan tersebut terlebih dahulu. Jika perubahan dilakukan terlebih dahulu terhadap aparatur sedangkan organisasi tersebut tidak menginginkan untuk berubah maka tidak akan berguna karena aparatur akan secara tidak langsung dan lama kelamaan akan mengikuti arus besar organisasi tersebut. Jika pimpinan organisasi tidak menginginkan perubahan maka aparatur di bawahnya tentu saja akan sulit untuk menolak. Inilah beberapa hal yang ditakutkan jika dalam suatu organisasi atau lembaga publik pembenahan sumber daya dilakukan terhadap aparaturnya terlebih dahulu dengan mengabaikan pembenahan sistem organisasi. Di era globalisasi yang penuh persaingan ini, telah terjadi reformasi di berbagai bidang kehidupan. Komunikasi dan informasi telah menimbulkan dampak yang signifikan di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma sentralistis ke arah desentralisasi yang ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah dengan diberlakukannya undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Sejak dilaksanakannya UU no 32 tahun 2004, pemerintah telah melakukan beberapa kegiatan secara mendasar untuk menunjang otonomi khusus tersebut antara lain penataan kelembagaan, penataan kewenangan, penataan personil, penataan dokumen, penataan keuangan dan aset, serta termasuk juga kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas aparatur. Semua kegiatan dalam rangka menunjang implementasi otonomi daerah di atas mengakibatkan pemerintah daerah menerima kewenangan dan pengelolaan sumber daya (manusia dan non-manusia) yang besar beserta pula tanggung jawabnya. Untuk dapat mengelola sumber daya yang sedemikian besar
itu, pemerintah daerah dituntut memiliki sumber daya aparatur yang berkualitas, yaitu memiliki kemampuan teknis dan manajerial, profesionalisme, dan komitmen yang tinggi agar dapat menjamin tercapainya good governance. Artinya dalam hal menyikapi perubahan terhadap undang-undang yang telah berlaku saat ini adalah bahwa kemudian diperlukannya kesiapan pemerintah dalam mengimplementasikan apa yang menjadi tujuan dari pencapaian sasaran lembaga-lembaga pemerintah yang ada dan juga bagaimana pemerintah menyiapkan peran-peran yang akan menjalankan amanat yang telah dibebankan dalam undang-undang tersebut. Namun pemerintah khususnya daerah harus melihat terlebih dahulu bagaimana dan sejauh mana kesiapan dari tiap-tiap lembaga dalam menyiapkan hal utama yang akan dibenahi. Dalam hal ini yang akan dibenahi adalah dengan mempersiapkan sumber daya aparatur karena hal inilah yang menjadi subjek maupun objek dalam melakukan perubahan ini karena pembenahan aparatur merupakan komponen utama dalam proses pembangunan daerah. Untuk itu jika dilihat dalam berbagai kajian bahwa kritik masyarakat terhadap semakin buruknya kinerja, produktivitas, serta motivasi aparatur pemerintahan daerah diseluruh Indonesia mulai dari level atas hingga pemerintah level paling bawah (kepala desa) sebagai penyedia layanan (service provider) bagi masyarakat antara lain di sebabkan karena kurangnya kesiapan Sumber Daya Manusia bagi apratur pemerintahan daerah. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah daerah dapat mengambil langkah-langkah konkrit untuk perbaikan kinerja aparatur sebagai penyedia layanan terhadap masyarakat melalui peningkatan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan secara profesional dan terencana serta adanya kebijakan-kebijakan khusus dalam meningkatkan kualitas sumber daya aparatur pemerintahan sebagai penyedia layanan (service provider) tersebut. Ada dua faktor mendasar yang mempengaruhi peningkatan kualitas kinerja aparatur pemerintah daerah di seluruh Indonesia dalam meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat antara lain sebagai berikut:
451
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
1. Sistem Rekrutmen Pegawai Negeri Rekrutmen adalah proses mendapatkan sejumlah calon tenaga kerja yang kualifaid untuk jabatan dan pekerjaan tertentu dalam suatu organisasi atau perusahaan (Stoner, 1995). Tujuan dari rekrutmen adalah mendapatkan calon tenaga kerja yang memungkinkan pihak manajemen untuk memilih atau menyeleksi calon sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh organisasi atau perusahaan. Penerimaan pegawai yang baik dan benar akan mendapatkan tenaga-tenaga aparatur negara yang berkualitas baik dan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Namun kenyataannya hal tersebut tidak sesuai dengan yang terjadi, bahkan disinilah awal mula kesalahan atau kebobrokan dari pegawai. Pegawai adalah unsur utama sumber daya manusia aparatur negara yang mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam hal ini pihak pembuat kebijakan agar ke depan lebih jeli melihat persoalan ini,karena rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil merupakan hal mendasar yang dapat menentukan kualitas kinerja aparatur pemerintahan itu sendiri terhadap peningkatan pelayanan masyarakat sebagai penyedia layanan. Rekrutmen adalah sebagai pintu utama dalam manajemen sumberdaya manusia ternyata tidak selamanya digunakan sebagai pangkal penempatan dan pengembangan sumberdaya manusia. Dalam beberapa kenyataan hal-hal ini akan di tunjukkan dalam kasus promosi, mutasi dan penempatan seperti yang terjadi dalam kasus penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No.8 Tahun 2003. Rekrutmen yang katanya melalui tes, ternyata secara umum tidak bisa digunakan sebagai instrument yang predictable dalam kaitannya dengan Track karier di kemudian hari. Seperti lingkaran setan, rekrutmen didasarkan pada anjab yang kemudian dikaitkan dengan analisis kebutuhan pegawai, namun kalau kedua hal tersebut tidak dilakukan dengan baik, maka penentuan kebutuhan pegawai akhirnya spekulatif. Kalau kemudian rekrutmen spekulatif, maka proses penempatan, promosi dan seterusnya juga tidak rasional, sistem rekrutmen memang harus dilihat secara integral, bukan partial.
Proses rekrutmen merupakan sebuah proses awal untuk mendapat pegawai yang berkualitas artinya dengan demikian proses ini harus dibenahi karena ini merupakan proses awal dalam mendapatkan pegawai karena bila dalam proses ini hancur dan tenaga pegawai yang didapatkan tidak sesuai yang diharapkan, maka kedepannya juga pegawai tersebut tidak akan dapat bekerja secara maksimal. Maka hal apa yang kemudian pertama harus dibenahi adalah pembenahan dalam proses rekrutmen. 2. Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Pembinaan aparatur perlu diperhatikan untuk dapat meningkatkan kualitas sumberdaya melalui mengikutsertakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang tersedia dan bermutu. Dalam hal ini, pedidikan dan pelatihan yang mengarah kepada 3 (tiga) aspek, yaitu (1) meningkatkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. (2) meningkatkan potensi teknik dan manajerial dan atau kepemimpinan. (3) meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kualitas, pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan semangat kerjasama dan tanggung jawab sesuai dengan lingkungan kerja dan organisasinya. Pengembangan sumberdaya manusia bagi aparatur pemerintahan, melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat) merupakan faktor dominan dalam meningkatkan efisiensi kinerja, serta produktifitas kinerja pegawai agar Pegawai dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan nasionaldan tantangan global. Dalam upaya meningkatkan efisiensi kinerja, serta produktivitas kinerja aparatur melalui pendidikan maupun pelatihan-pelatihan serta pembinaan-pembinaan terhadap pegawai. Menyadari akan persoalan tersebut diperlukan upaya-upaya pemerintah daerah secara terus menerus dalam meningkatkan pembinaan dan pengembangan program pendidikan dan pelatihan. Sebab diklat itu sendiri pada hakekatnya “proses transformasi kualitas sumberdaya manusia aparatur negara” yang menyentuh empat dimensi utama yaitu dimensi spiritual, intelektual, mental dan physical yang terarah pada perubahanperubahan mutu dari keempat dimensi sumberdaya aparatur pemerintah itu. Hal ini menjadi tanggung jawab 452
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
pemerintah daerah dalam meningkatkan sumber daya aparatur pemerintah agar Pegawai dapat berkembang ke arah yang lebih maju sesuai dengan kebutuhn dan kondisi perkembangan zaman. Diperlukan pembinaan pegawai di setiap instansi pemerintahan. Dengan harapan di setiap instansi mempunyai kewajiban untuk menyusun program pendidikan Diklat. Masalah ini perlu dipikirkan secara baik dan bijaksana, sebab sumber daya manusia aparatur pemerintahan merupakan power bagi pelayanan publik demi suksesnya pembangunan di seluruh bidang serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Daerah tidak dapat memungkiri bahwa dalam meningkatkan sumber daya manusia dalam bidang aparatur pemerintahan yang cerdas, berdisiplin, tanggap, bijaksana, profesional, mempunyai mentalitas rohani dan jasmani yang baik serta terampil dalam mensosialisasikan setiap kebijakan baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Untuk menciptakan sumber daya aparatur pemerintahan yang handal dan profesional diperlukan suatu pengorbanan, sehingga harus memiliki komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan tidak adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Agar seluruh daerah di Indonesia menjadi setara dan merata. Artinya dalam hal ini bahwa selain rekrutmen pelatih kepada pegawai juga sangat diperlukan karena kalau kemudian kita melihat ke belakang apa yang menjadi permasalahan di dalam proses pelatihan pegawai adalah tidak adanya sebuah hasil yang dapat diperoleh atau diterapkan pada saat kembali dari pelatihan karena biasanya para pegawai tidak mendapatkan hasil maksimal setelah kembali dari diklat atau dengan kata lain setelah diklat para pegawai tersebut bukannya tambah menjadi lebih baik atau tetapi malah terkesan menjadi lebih buruk dan terkesan malasmalasan dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu untuk dapat mengambil sebuah solusi perlu diadakan pembenahan secara serius dalam proses pelatihan pegawai, misalnya saja dengan mengambil pemateri dari luar yang lebih berkualitas, kemudian agar mereka tidak lupa dengan apa yang dia dapatkan dalam pelatihan, maka setiap
kembali dari diklat diharapkan para pegawai tersebut untuk mempresentasikan beberapa poin-poin penting yang dia dapatkan dari pelatihan tersebut agar lebih efektif dan tidak lupa. Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-Government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat, makin derasnya arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide). Perubahanperubahan ini membutuhkan aparatur negara yang memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi tuntutan perubahan. Disamping itu, aparatur negara harus mampu meningkatkan daya saing, dan menjaga keutuhan bangsa dan wilayah negara. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel yang merupakan amanah reformasi dan tuntutan rakyat. Tuntutan mengadakan reformasi ini juga terjadi dalam pengalaman Inggris Raya dan Amerika Serikat, yaitu dengan terjadinya dua disfungsi organisasi negara tersebut. Yang pertama ialah makin bertambah tidak efisiennya cara mengkontrakkan jasa-jasa pelayanan masyarakat pada awal abad ke-19. Yang kedua ialah tidak efisiennya lagi cara pengangkatan kepegawaian berdasarkan patronase ketika pemerintahan bertambah besar pada akhir dari abad yang sama (Raadschelders & Rutgers 1996). Dan di Korea Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi peran administrasi negara sejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan pada saat itu adalah melalui civil servant ethnics act pada tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gift control, civil servant consciuosness reform movement, dan social purificaion movement (Hwang, 2004). Pada 453
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi adamnistrasi negara diperkuat melalui deregulasi dan simplifikasi prosedur, restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan peran komisi reformasi administrasi. Semua usaha Korea Selatan untuk merevitalisasi administrasi negara yang profesional, bersih dan berwibawa. Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan dan kinerja birokrasi aparatur yang tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga mampu menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya, keberhasilan pelaksanaan daripada reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good governance. Kerangka Konseptual Pengembangan Sumber Aparatur Pemerintah
Daya
Manusia
Salah satu komponen good governance adalah sumber daya manusia aparatur pemerintah, konsep pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi diartikan sebagai daya yang bersumber pada manusia yang dapat berupa tenaga (energi) ataupun kekuatan (power). Tenaga dan kekuatan yang bersmuber dari manusia itu dapat berupa ide, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan lain-lain yang berupa potensi fisik, moral dan intelektual yang berwujud dalam bentuk pendidikan, keterampilan, kesehatan, dan sebagainya (Zainun, 1993). Bank Dunia mengkonsepsikan pengembangan sumber daa manusia adalah menyangkut pemgembangan manusia (human development), yaitu menyangkut pengembangan aktivitas-aktivitas dalam bidang-bidang pendidikan dan pelatihan, kesehatan, gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembangan karier di tempat kerja dan kehidupan politik yang bebas. Konsep ini kemudian diperluas oleh CIDA (Kristiadi, 1993), bahwa pengembangan sumber daya manusia adalah upaya untuk mengembangkan manusia, yaitu proses
peningkatan kualitas atau kemampuan manusia (melalui investasi pada manusia itu sendiri) dan pemanfaatan kemampuan (melalui penciptaan kerangka keterlibatan manusia) ntuk mendapatkan penghasilan dan peluang kerja. Dalam jangka, pengembangan sumber daya manusia kiranya dapat memenuhi segera mungkin tentang pengembangan dan pelatihan mengenai teknik, kepemimpinan, tenaga administrasi dan upaya yang ditujukan kepada kelompok sasaran untuk mempermudah mereka yang terlibat. Notoatmodjo (1992) menjelaskan bahwa pengembangan sumber daya manusia tersebut diarahkan pada pengembangan kualitas fisik (kemampuan fisik) dan kualitas non fisik (kemampuan non fisik) yang dapat berupa kemampuan bekerja, kemampuan berpikir, dan keterampilanketerampilan lain. Pengembangan sumber daya aparatur dapat memberikan sumbangan yang optimal dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Kinerja aparatur sebagai pelaksanaan dan hasil kerja yang ditampilkan oleh seseorang pegawai dari pelaksanaan tugas dan jabatannya. Kinerja aparatur diamati/dilihat melalui beberapa indikator, yaitu: a). Kuantitas kerja, yakni jumlah pekerjaan/tugas yang dapat diselesaikan dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan banyaknya beban tugas/pekerjaan yang ditetapkan. b). Kualitas kerja, yakni tingkat kesesuaian dari kerja yang dihasilkan menurut standar kesesuaian yang ditetapkan, seperti ketelitian, kerapihan dan ketuntasan. c).Kehandalan, yakni kemampuan untuk melaksanakan/menyelesaikan tugastugas ataupun dalam menyelesaikan persoalan yang timbul adalam pelaksanaan kerja/tugas. Good Governance Dalam menganalisis perspektif Good Governance banyak para praktisi dan teoritisi dalam bidang administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan proses yang bisa dipergunakan untuk mencapai dan mengindentifikasi prinisip-prinsip dan asumsiasumsi dari tata kepemerintahan yang baik. United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk untuk menata, mengatur dan mengelola masalah454
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
masalah sosialnya (UNDP, 1997). Dan suatu institusi, mekanisme, proses dan hubungan yang komplek melalui warga negara dan untuk memfasilitasi perbedaan di antara mereka. Governance sebagai New Public Management/New Managerialism, dimana adanya pembaharuan atas manajemen publik global yang mendefinisikan kembali hubungan antara Pemerintah dan masyarakat (Donald Kettl,2000). Secara terminologi governance dimengerti sebagai kepemerintahan, sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa governance adalah sinonim government. Interpretasi dari praktek-praktek governance selama ini memang lebih banyak mengacu pada perilaku dan kapasitas pemerintah, sehingga good governance seolah-olah otomatis akan tercapai apabila ada good government. Berdasarkan sejarah, ketika istilah governance pertama kali adopsi oleh praktisi lembaga di lembaga pembangunan internasional. Konotasi governance yang digunakan memang sangat sempit dan bersifat tenokratis di seputar kinerja pemerintah yang efektif. Oleh sebab itu, banyak kegiatan atau program bantuan yang masuk dalam kategori governance tidak lebih dari bantuan teknis yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik dan mendorong adanya pemerintah yang bersih dari korupsi. PEMERINTA H ATAU NEGARA
SEKTOR SWASTA
RAKYAT
Gambar Tiga Komponen Good Governance (UNDP,1997) Terminologi governance menurut World Bank (1989), adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran
serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Good governance dapat juga diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian. Namun untuk ringkasnya, Good Governance adalah mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya dan memecahkan masalah-masalah publik yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance. Salah satu komponen good governance adalah sumber daya manusia aparatur pemerintah, konsep pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi diartikan sebagai daya yang bersumber pada manusia yang dapat berupa tenaga (energi) ataupun kekuatan (power). Tenaga dan kekuatan yang bersmuber dari manusia itu dapat berupa ide, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan lain-lain yang berupa potensi fisik, moral dan intelektual yang berwujud dalam bentuk pendidikan, keterampilan, kesehatan, dan sebagainya (Zainun, 1993). Bank Dunia mengkonsepsikan pengembangan sumberdaya manusia adalah menyangkut pengembangan manusia (human development), yaitu menyangkut pengembangan aktivitas-aktivitas dalam bidang-bidang pendidikan dan pelatihan, kesehatan, gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembangan karier di tempat kerja dan kehidupan politik yang bebas. Konsep ini kemudian diperluas oleh CIDA (Kristiadi, 1993), bahwa pengembangan sumber daya manusia adalah upaya untuk mengembangkan manusia, yaitu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia (melalui investasi pada manusia itu sendiri) dan pemanfaatan kemampuan (melalui penciptaan kerangka keterlibatan manusia) ntuk mendapatkan penghasilan dan peluang kerja. Dalam jangka, pengembangan sumber daya manusia kiranya dapat memenuhi segera mungkin tentang pengembangan dan pelatihan mengenai teknik, kepemimpinan, tenaga administrasi dan upaya yang ditujukan kepada kelompok sasaran untuk mempermudah mereka yang terlibat. Notoatmodjo (1992) menjelaskan bahwa pengembangan sumber 455
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
daya manusia tersebut diarahkan pada pengembangan kualitas fisik (kemampuan fisik) dan kualitas non fisik (kemampuan non fisik) yang sapat berupa kemampuan bekerja, kemampuan berpikir, dan keterampilanketerampilan lain. Karakteristik Good Governance. 1. Partisipasi (Participation) Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. 2. Penegakan Hukum (Rule of Law) Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. 3. Transparansi (Transparency) Transparansi dibangun atsa dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Gaffar menyimpulkan setidaknya ada delapan aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu : Ø Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan Ø Kekayaan pejabat publik Ø Pemberian penghargaan Ø Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan Ø Kesehatan Ø Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik Ø Keamanan dan ketertiban Ø Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat 4. Responsif (Responsiveness) Yakni pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginannya itu,
tapi mereka secara proaktif mempelajari dan manganalisis kebutuhn-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum tersebut. Dalam upaya mewujudkan asas responsif pemerintah harus melakukan upaya-upaya strategis dalam memberikan perlakuan yang humanis pada kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu. 5. Konsensus (Consensus Orientation) Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur. 6. Kesetaraan dan Keadilan (Equity and Inclusive) Asas Equity, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Tidak ada seorang atau sekelompok orang pun yang teraniaya dan tidak memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola pemerintahan seperti ini akan memperoleh legitimasi yang kuat dari publik dan akan memperoleh dukungan serta partisipasi yang baik dari rakyat. 7. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency) Proses-proses pemerintahan dan lembagalembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dengan menggunakan sember-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Peningkatan efektivitas pemerintahan juga harus diimbangi dengan pembinaan dan pertumbuhan sikap-sikap demokratis masyarakat yang beradab dan anti kekerasan, karena gerakan-gerakan massa, disertai dengan tindakan-tindakan anarkis dan kekerasan, justru akan melemahkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Oleh sebab itu, pemahaman demokrasi yang salah satu wujudnya adalah melakukan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, harus ditata sedemikian rupa, agar proses tersebut tidak melanggar etika demokrasi yang beradab, dan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, sehingga legitimasi pemerintahan yang dibangun dengan sistem demokrasi tidak menimbukan dampak-dampak yang 456
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
mengurangi efektivitas dan efisiensi pemerintahannya sendiri. 8. Akuntabilitas (Accountability) Asas akuntabilitas berarti pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya delegasi dan kewenangan untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan mereka maupun kepada lembagalembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Pejabat publik dalam struktur pemerintahan, harus mampu mempertanggungjawabkan kapasitas dan loyalitas individualnya, baik dalam lingkungan profesi setaranya maupun terhadap atasannya. Jika mereka melakukan pelanggaran etika dan moralitas, mereka harus dengan berani mempertanggungjawabkan pelanggarannya itu. Ada lima aspek prioritas untuk mewujudkan cita Good Governance yaitu sebagai berikut : 1. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan Lembaga perwakilan rakyat, yakni DPR dan DPRD harus mampu menyerap dan mengartikulasi berbagai aspirasi masyarakat dalam berbagai bentuk program pembangunan yang berorientasi kepentingan masyarakat dalam program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, serta mendelegasikannya pada eksekutif untuk merancang program-program operasional sesuai rumusan-rumusan yang ditetapkan dalam lembaga perwakilan tersebut. Kemudian lembaga perwakilan (DPR dan DPRD) terus melakukan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif, sehingga seluruh gagasan dan aspirasi yang dikehendaki rakyat melalui para wakilnya itu dpaat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh perangkat lembaga eksekutif. 2. Kemandirian lembaga peradilan Untuk mewujudkan Good Governance, lembaga peradilan dan aparat penegak hukum yang mandiri, profesional dan bersih, menjadi persyaratan mutlak. 3. Aparatur pemerintah yang profesional dan penuh integritas Jajaran birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan profesional baik, memiliki integritas, berjiwa demokratis, dan memiliki akuntabilitas yang kuat sehingga
memperoleh legitimasi dari rakyat yang dilayaninya. Karena itu, paradigma pengembangan birokrasi ke depan harus diubah menjadi birokrasi populis, yakni jajaran birokrasi yang peka terhadap berbagai aspirasi dan kepentingan rakyat, seta memiliki integritas untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya dengan pelayanan yang prima. 4. Masyarakat madani (civil society) yang kuat dan partisipatif Proses pembangunan dan pengelolaan negara tanpa melibatkan masyarakat madani (civil society) akan sangat lamban, karena potensi terbesar dari sumber daya manusia justru ada dikalangan masyarakat ini. Masyarakat mempunyai hak atas informasi, mempunyai hak untuk menyampaikan usulan, dan juga memiliki hak untuk melakukan kritik berbagai kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan. Baik melalui lembaga peradilan, ppers maupun penyampaian secara langsung dalam bentuk dialog terbuka dengan LSM, partai politik, organisasi massa atau institusi sosial lainnya. 5. Penguatan upaya otonomi daerah Salah satu harus diperkuat untuk mewujudkan otonomi daerah yang efektif, selain penguatan SDM, adalah komposisi anggota DPRD yang harus kuat, karena check and balance terhadap jalannya pemerintahan sangat tergantung kepada kekuatan lembaga perwakilan daerah tersebut dalam menjalankan fungsinya. Pembahasan Sejak dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah telah melakukan beberapa kegiatan mendasar untuk menunjang otonomi khusus tersebut antara lain penataan kelembagaan, penataan kewenangan, penataan aparatur, penataan dokumen, penataan keuangan dan aset, serta kegiatankegiatan peningkatan kapasitas daerah (capacity building). Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, prioritas pembangunan bidang penyelenggaraan negara diarahkan pada reformasi birokrasi dengan fokus pada upayaupaya peningkatan kinerja birokrasi aparatur pemerintah agar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan mengurangi secara 457
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
signifikan tingkat penyalahgunaan kewenangan di lingkungan aparatur pemerintahan. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka penerapan kepemerintahan yang baik antara lain : 1. Menyusun RUU Etika Penyelenggara Negara. 2. Melakukan koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) tingkat nasional secara lebih baik. 3. Melakukan sosialisasi dan koordinasi pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 4. Menyelenggarakan sosialisasi dan penajaman reformasi birokrasi dan percepatan penerapan good public governance (GPG) di berbagai instansi pemerintah baik pusat maupun di daerah. 5. Penataan kelembagaan, ketatalaksanaan aparatur dan suber daya manusia aparatur. 6. Pemetaan tentang praktik terbaik (best practice) penrapan GPG, peningkatan pelayanan publik, percepatan pemberantasan korupsi, peningkatan pengawasan dan pemeriksaan, serta saran-saran tindak lanjut hasi pemeriksaan. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik, pemerintah terus berupaya agar konsep RUU tentang Pelayanan Publik. Beberapa kegiatan Pemerintah Nasional terkait dengan upaya peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang antara lain: 1. Dilaksanakannya pengembangan dan penerapan etika dalam pelayanan publik. 2. Disusunnya pedoman supervisi pelayanan publik. 3. Disusunnya pedoman deregulasi dan debirokratisasi di bidang pelayanan publik. 4. Diterapkannya pelayanan publik yang lebih baik oleh pemerintah daerah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
sebagai acuan pemerintah daerah dalam menyusun dan melaksanakan SPM setiap satuan kerja. Dasar pelaksanaan reformasi birokrasi adalah Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 20102014. Secara teknis kedua kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai pedoman yang termuat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 7 s.d 15 Tahun 2011. Reformasi birokrasi juga berlaku bagi pemerintah daerah, sasaran penciptaan birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegrasi tinggi pada tahun 2025 menjadi tanggung jawab semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sehingga reformasi birokrasi juga harus dilaksanakan pada Pemerintah Daerah. Namun mengingat besarnya jumlah instansi pemerintah yang harus melakukan reformasi birokrasi, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Pelaksanaan reformasi birokrasi diharapkan mampu menghasilkan birokrasi yang mampu berperan sebagai fasilitator dan dinamisator penyelenggaraan pembangunan. Di sisi lain reformasi birokrasi diharapkan turut menciptakan iklim yang mendukung lancarnya proses pemerintahan dan pembangunan serta dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberantas berbagai jenis penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN. Akar Masalah dalam Good Governance Merumuskan tindak korupsi itu tidak mudah, Wertheim dalam Lubis M, mengatakan “ ..Seorang pejabat dikatakan melakukan tindak korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. 458
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
Robert Klitgaard dkk merumuskan korupsi dalam sebuah proposisi matematis : C=M+D-A Corruption = Monopoly Power + Discretion by Officials - Accountability. Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan dikresi (hak untuk melakukan penyimpangan kepada suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas. (Winasa, I Gede, 2007). Pelaksanaan reformasi birokrasi difokuskan pada upaya-upaya seperti sebagai berikut : 1. penataan sistem administrasi negara untuk menjaga keutuhan NKRI dan mempercepat proses desentralisasi melalui upaya pembenahan sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi kinerja kebijakan dan program pembangunan. 2. Pembenahan manajemen SDM aparatur pemerintahan mencakup sistem remunerasi, peningkatan kompetensi aparatur, pembinaan karier berdasarkan prestasi kerja, dan penerapan reward dan punishment dalam pembinaan pegawai. 3. Dilaksanakannya Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan. 4. Optimalisasi pemanfataan teknologi informasi dan komunikasi (e-services) dalam pelayanan publik. 5. Dukungan terhadap reformasi birokrasi juga perlu diberikan oleh legislatif. Percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi Indonesia difokuskan pada upayaupaya sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang pertanahan, investasi, Samsat, perpajakan, dan pengadaan barang dan jasa pemerintah/publik. 2. Mendorong terbentuknya sistem pelayanan terpadu (pelayanan satu atap/pintu) di pusat dan daerah. 3. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah di dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) antara lain di bidang pendidikan dan kesehatan.
4. Penyempurnaan sistem koneksi (inter phase) Nomor Induk Kependudukan yang terintegrasi antar instansi yang terkait. 5. Penyempurnaan sistem remunerasi yang adil, layak dan dapat mendorong peningkatan kinerja aparatur. 6. Penyempurnaan sistem Penilaian Kinerja PNS. 7. Penyusunan pedoman penerapan sistem manajemen kinerja untuk instansi pemerintah. 8. Penyusunan sistem pengawasan. 9. Penataan kelembagaan quasi birokrasi dan kelembagaan birokrasi. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan komitmen moral segenap aparatur negara dan dunia usaha serta masyarakat ntuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain dengan melaksanakan reformasi birokrasi secara konsisten dan berkelanjutan mencakup upayaupaya untuk meningkatkan efektivitas sistem pengawasan dan audit publik, mempercepat tindak lanjut hasil pengawasan dan pemeriksaan, meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia aparatur, meningkatkan kesejahteran aparatur pemerintahan dan pembenahan manajemen kepegawaian, menata sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan birokrasi pemerintahan, serta mendorong percepatan penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (e-service) di setiap instansi pelayanan publik. Semua upaya tersebut harus dilaksanakan dengan baik, terencana, dapat dipertanggungjawabkan dan berkesinambungan agar penciptaan tata pemerintahan yang baik dan berwibawa (good public governance) pada semua tingkatan lini pemerintahan dan kegiatan pembangunan baik di pusat maupun dareah dapat segera diwujudkan secara akuntabel. Yang menentukan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi tidak hanya ditentukan oleh KPRBN beserta jajarannya (TRBN, TI, TQA, dan UPRBN) tetapi juga seluruh kementerian/lembaga serta pemerintah daerah. Keberadaan KPRBN dn jajarannya adalah meningkatkan efektivitas pelaksanaan reformasi birokrasi nasional melalui pembuatan serangkaian kebijakan/pedoman dan kegiatan fasilitasi, namun yang paling berperan untuk 459
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
berhasil tidaknya reformasi birokrasi adalah komitmen dan upaya masing-masing pemerintah daerah. Kemudian langkah selanjutnya dalam memperbaiki sistem manajemen kepegawaian lainnya adalah berawal dari sistem rekrutmen, promosi dan mobilisasi, eselonisasi, remunerasi, pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan pegawai, disiplin, dan pensiun. Memerlukan perbaikan manajemen kepegawaian yang terintegral dan komprehensif. Hendaknya instansi yang menangani manajemen kepegawaian seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai pengelola PNS ntuk bisa bersama memperbaiki manajemen kepegawaian yang lebih baik. Dalam hasil penelitian terdahulu dari jurnal ilmiah internasional yang berjudul “Evolving public service bargains for top officials: some international comparisons” pada artikel ini mendiskusikan tentang konsep dan pengelompokkan Public Service Bargains (PSB), yang diperkenalkan pertama kali oleh Schaffer (1973), dan dikembangkan lebih jauh oleh Hood dan Lodge (2006). Yang mempertimbangkan kegunaan konsep untuk mempelajari pengaruh reformasi administrative pada peran dan posisi PNS puncak. Berdasar pada deskripsi Hood dan Lodge (2006) dan analisis hubungan antara politisi dan PNS dalam rangka Public Service Bargains. Hood dan Lodge menggambarkan hubungan politik-administrative sebagai tawar menawar implisit atau eksplisit dimana politisi mendapat secuil kesetiaan dan kompetensi dari PNS, dan PNS mendapatkan tempat dalam struktur pemerintahan, tanggung jawab dan penghargaan. Dengan konsep tawar menawar mereka membuat pada indikasi Schaffer (1973) dari pengertian antara politisi terpilih dan birokrat yang ditunjuk. Seperti yang terjadi di Inggris pada abad ke-19. Hood (2000a; 2000b; 2001) dan Hood dan Lodge (2006) mengembangkan pengelompokkan Public Service Bargains, seperti mereka mengidentifikasi tawar menawar ala Schaffer’s sebagai jalan satu-satunya dari beberapa type tawar menawar yang ada. Typology (pengelompokkan) pertama oleh
Hood (2000a; 2001) membedakan dua bentuk utama dari tawar menawar; tawar menawar sistemic dan pragmatic. Dalam tawar menawar sistemik, peran pelayanan masyarakat adalah bagian dari penyelesaian konstitusional mendasar sedangkan dalam tawar menawar pragmatik, hak dan tugas PNS adalah lebih atau kurang agen pengaturan nyaman antara politisi dan birokrat. Subtypes dari bargain sistemic adalah: bargain consociational dan Hegelian. Subtypes dari bargain pragmatic adalah: bargain Schafferian, hybrid, dan managerial bargain. Typology kedua oleh Hood dan Lodge (2006) juga membedakan antara dua type utama bargain: the trustee and the agency bargain; the trustee bargain perhubungan dengan sistemik bargain dan the agency bargain ke pragmatik bargain (Hood, 2002) dalam bargain trustee PNS diharapkan untuk memiliki otonomi tertentu dan membela kepentingan publik. Dalam bargain agency, PNS adalah agen prinsip politik dan bertindak berdasar keinginan mereka. Sub-types utama dalam bargain type ini adalah bargain loyalist serial (PNS melayani kepala berbagai macam kepala urutan dan bargain yang didelegasikan PNS memiliki otonomi derajat tinggi). Loyalist serial equivalent dengan bargain Schafferian dalam typologi pertama dan bargain delegated. Dan delegated bargain menyerupai bargain managerial dalam hal khusus ini kedua typologi digunakan. Konsep Public Sevice Bargain memperhitungkan bagaimana jumlah aspek institusional berpengaruh pada kekuatan relasi diantara pelaku. Hal ini membuat mungkin untuk mendeskripsikan pengaruh yang berbeda-beda dari tradisi political administrative pada posisi dan peran PNS puncak dalam negara yang berbeda-beda seperti typology dari Public Service Bargains adalah alat yang bagaimana untuk riset komparatif. Mengikuti ide dari orang-orang historical-institutionalist tentang ketergantungan jalur. Kita dapat mengharapkan karakteristik Public Service Bargain yang sdah ada untuk membantu membentuk pengaruh reformasi administrative pada peran dan posisi PNS puncak pada hari ini. Seperti Hood (2012) tunjukkan, Public Service Bargain juga mungkin berbeda dalam seberapa jauh dimana mereka menjauhi untuk 460
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
manuver PNS puncak untuk bertindak secara strategic. Pada gilirannya, Public Service Bargain itu sendiri juga setuju. Menganalisis pelayanan sipil melalui lensa Public Service Bargains kemudian adalah sesuatu sarana yang menjanjikan untuk memahami convergence dan divergence dalam konteks reformasi manajemen publik. Ketika karakteristik Public Service Bargains yang diwariskan ini akan berdampak pada kesempatan yang tersedia untuk mereformasi pelayanan publik (Hood, 2002), Public Service Bargains itu sendiri juga merupakan dampak dari reformasi sektor publik. Artikel dalam isu ini spesial ini mencoba dalam seberapa jauh typology Public Service Bargains merupakan alat yang berguna tidak hanya menganalisis hubungan antara PNS puncak dan pelaku politik, tetapi juga menganalisis bagaimana peran dan posisi PNS puncak dalam managemen pelayanan sipil telah mendapat tantangan sebagai hasil reformasi administrative. Perspektif good governance ditempatkan dalam bagian integral kebjakan atau keputusan penempatan aparatur dalam jabatan struktural. Faktor pendukung nternal penerapan prinsip-prinsip good governance pada penempatan aparatur dalam jabatan struktural. Sedangkan faktor-faktor pendukung eksternal yaitu kebijakan peraturan perundangundangan, eksistensi instansi yang terkait, dan adanya tuntutan kualitas pelayanan publik. Faktor-faktor penghambat internal adalah perubahan kepemimpinan, belum adanya Lembaga Uji kompetensi, Uji kompetensi belum dilaksanakan, keterbatasan Sumber daya manusia aparatur yang berkualitas, kompetensi sumberdaya manusia apratur, motivasi, inkonsistensi, konflik kepentingan, iklim organisasi, dan kepemimpinan. Faktor-faktor penghambat eksternal adalah intervensi, kurangnya peran lembaga independen, sistem pendiklatan, kondisi sosial budaya masyarakat. Solusi yang diperlukan adalah adanya perlu ada kebijakan hukum atau aturan khusus yang mengatur penerapan prinsip-prinsip Good Governance dalam penempatan aparatur dalam jabatan struktural, perlu ada kebijakan hukum atau aturan mengenai pembentukan lembaga uji kompetensi beserta kewenangwenangannya, sistem pendidikan dan pelatihan bagi PNS perlu dievaluasi menyeluruh dan
direformasi, karena pada kenyataannya kurang mampu mewujudkan sumberdaya manusia aparatur yang berkompetensi jabatan dan sekaligus memiliki kualitas dan profesionalisme, perlu ada kebijakan hukum atau aturan mengenai pelibatan Lembaga Independen dalam seluruh proses seleksi jabatan, control dan evaluasi keputusan, dan perlu ada kebijakan hukum atau aturan mengenai sanksi hukum atas penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dalam proses seleksi jabatan dn penempatan aparatur dalam jabatan struktural. Crince le Roy (Koentjoro, 2004) mengemukakan 13 asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang harus diperhatikan dalam pengangkatan pejabat struktural, yaitu asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas kesamaan, asas bertindak cermat, asas motivasi, asas jangan mencampuradukkan wewenang (Detournement de Pourvoir), asas permainan yang layak (fair play), asas keadilan (larangan melanggar willikeurt/bertentangan dengan nalar sehat, asas kepercayaan (menggapai pengharapan yang wajar), asas meniadakan akibat keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup, asas kebijaksanaan, dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. Asas tersebut diatas cenderung diabaikan dalam proses pengangkatan pejabat struktural di pemerintah daerah yang lebih dominan mengedepankan aspek kepentingan politik daripada keseimbangan antara pendekatan sosiologis, normatif dan nilai. Permasalahan dalam keputusan pengangkatan pejabat struktural masih cenderung terpengaruh secara kuat pada situasi atau keadaan riil di sekitar pemerintahan. Yakni kuatnya pengaruh tekanan politik, sehingga benar yang dikemukakan oleh (McGrew dan Wilson, 1985) bahwa suatu keputusan ialah keadaan akhir dari suatu proses yang lebih dinamis, yang diberi label pengambil keputusan. Ia dipandang sebaagai proses karena terdiri atas satu seri aktivitas yang berkaitan dan tidak hanya dianggap sebagai tindakan bijaksana. Pertimbangan-pertimbangan dan keputusan penempatan aparatur dalam jabatan struktural masih cenderung diperhadapkan pada suatu kondisi yang menyebabkan dikesampingkannya aspek manajemen sumberdaya manusia, pendekatan sosiologis dn 461
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
normatif terutama prinsip good governance. Hal ini sesuaai yang dikemukakan oleh (Morgan dan Cerullo, 1984) bahwa keputusan sebagai sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan. Dikemukakan oleh (Bridges, et al, 1971) bahwa, dibalik suatu keputusan, ada unsur prosedur yaitu, pertama pembuat keputusan mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi tujuan-tujuan khusus yang diinginkan, memeriksa berbagai kemungkinan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan mengakhiri proses itu dengan menetapkan pilihan betindak. Jadi, suatu keputusan sebenarnya didasarkan atas fakta dan nilai (facts and values). Keduanya sangat penting, tetapi nampaknya fakta lebih mendominasi nilai-nilai dalam menyehakan keputusan suatu organisasi. Namun kenyataan yang terjadi justru prosedur penempatan aparatur dalam jabatan struktural masih cenderung hanya bersifat formalitas belaka, sebab yang dominan adalah kepentingan politik. Adalah benar bahwa suatu keputusan mengandung pilihan-pilihan dan alternative seperti yang dikemukakan oleh (Bridges, et, al,, 1971), namun pada kenyataannya keputusan seringkali bukan pilihan dan alternative untuk mewujudkan prinsip-prinsip good governance, melainkan pilihan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan/kroni. Penempatan aparatur dalam jabatan struktural perlu diorientasikan pada pendekatan Merit System melalui dukungan sejumlah pengetahuan dan keterampilan disamping pengalaman kerja dan masa kerja yang harus dimiliki oleh seorang aparatur sesuai dengan tuntutan jabatan yang akan ditempatiny, oleh karena itu unsur lain yang juga menjadi tolak ukur dalam penempatan pejabat yakni pendidikan dan pelatihan serta etika birokrasi mempunyai peranan penting dalam membekali pegawai dengan sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan unruk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kesimpulan Berdasarkan paparan diatas sumber daya manusia aparatur berperan sangat penting
untuk mengetahui isu-isu strategis yang merupakan tantangan dan peluang kepegawaian dengan memperbaiki pengelolaan manajemen PNS. Sehingga untuk kedepannya pembangunan sumber daya manusia aparatur dapat menghasilkan pegawai yang produktif dan profesional. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia aparatur (PNS) diarahkan pada peningkatan sikap dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan jabatan. Selain itu program pengembangan SDM aparatur harus diarahkan kepada peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk menunjang dalam melakukan pekerjaan, sehingga memiliki kinerja yang tinggi. Untuk memperbaiki manajemen kepegawaian maka direkomendasikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Manajemen kepegawaian PNS yang cenderung menggunakan sistem tertutup karena akibat dari desentralisasi dan otonomi daerah, maka perlu dikembalikan ke sistem manajemen nasional yang terpadu dan terbuka sehingga memungkinkan semua orang bisa memasuki atau menjadi pegawai pemerintah tanpa dihalangi oleh asal usul etnis dan kedaerahannya. Dengan demikian, halhal yang bisa dibantu antara lain menata dan mereformasi manajemen kepegawaian secara menyeluruh dengan menggunakan sistem yang tepat untuk wilayah Indonesia. 2. Perlu adanya perubahan di dalam pengelolaan manajemen kepegawaian dari manajemen kepegawaian yang masih konvesional ke arah pengelolaan manajemen kepegawaian yang berbasis informasi teknologi (e-Government). Perubahan ini perlu dan mutlak dilakukan dalam rangka mengantisipasi terhadap perubahan lingkungan eksternal yang menuntut pengelolaan manajemen kepegawaian yang profesional, cepat, dan responsive dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 3. Pengembangan pendidikan dan pelatihan PNS tidak lagi dititikberatkan kepada Diklat Struktural yang cenderung menjadikan orientasi 462
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
pegawai hanya untuk mendapatkan jabatan struktural, namun diklat diarahkan untuk meningkatkan keahlian dan kecakapan pegawai. 4. Dalam hal kesejahteraan pegawai, yang merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kinerja PNS. Maka kesejahteraan pegawai perlu ditingkatkan dengan merestrukturisasi sistem pengajian PNS secara nasional dan secara rasional sesuai dengan standar minimal kebutuhan pegawai. Yang diarahkan untuk mengurangi gap gaji pegawai, struktur gaji yang bermula dari gaji pokok yang rendah perlu diperbaiki dengan memberikan jumlah gaji pokok yang besar, dan ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang relevan. 5. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pengelolaan manajemen kepegawaian di daerah dilakukan secara otonom oleh daerah mulai dari rekrutmen sampai dengan pensiun. Perlu adanya restrukturisasi kelembagaan dalam manajemen kepegawaian di daerah tidaknya bersifat administratif, namun perlu struktur kelembagaan baru yang diarahkan dan berorientasi terhadap pengembangan profesi dan profesionalisme pegawai, memberi pelayanan optimal kepada masyarakat. Maka perlu kiranya manajemen kepegawaian dibantu melakukan analisis organisasi, analisis jabatan yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan peningkatan kompetensi dan profesionalisme pegawai. Daftar Pustaka Thoha Miftah., Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada., 2002. Ackerman-Rose Susan., Korupsi Pemerintahan sebab, akibat dan reformasi, Pustaka Sinar Harapan., 2006. Moekijat, (2002).Manajemen Kepegawaian. Alumni Bandung.
463