KARAKTERISTIK REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN POPULASI KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR
SKRIPSI NIA NUZUL KURNIASIH
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
1
RINGKASAN Nia Nuzul Kurniasih. D14080213. 2012. Karakteristik Reproduksi dan Perkembangan Populasi Kambing Peranakan Etawah di Lahan Pasca Galian Pasir. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath, M. Fuah. MS Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing lokal, yang sudah beradaptasi dengan baik lingkungan Indonesia. Pada umumnya, kambing PE dipelihara oleh peternak di Jawa Barat sebagai penghasil daging dan susu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik reproduksi dan dinamika populasi kambing PE di Sumedang, Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan yaitu dari bulan Juli sampai Agustus 2011, menggunakan metode survey ke lokasi peternakan yang ada di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang. Responden terdiri dari 36 orang petani peternak yang ditentukan secara purposif yaitu mereka yang memiliki ternak kambing PE, sebagai anggota kelompok tani dan bersedia untuk diwawancara. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner dan pengamatan langsung ke lokasi penelitian, dan data sekunder diperoleh dari kantor statistik peternakan Sumedang dan pencacatan dari ketua kelompok. Parameter yang diamati adalah kondisi dari lokasi pemeliharaan dan karakteristik reproduksi ternak kambing PE yang ada di lokasi penelitian. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Berdasarkan karakteristik reproduksi ternak kambing yang didapat, dilakukan estimasi dinamika populasi selama waktu pengembangan enam tahun dengan asumsi kondisi yang ada tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh rata-rata umur betina saat pertama kali birahi masing-masing 10,06±1,65 bulan dan 12,89±3,86 bulan, umur betina saat pertama kali kawin 10,56±1,55 bulan dan 13,26±3,93 bulan, jarak kelahiran anak 7,75±0,58 bulan dan 7,17±1,11 bulan. Nilai mortalitas kambing PE muda masing-masing sebesar 17,53% dan 77,78% di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh. Hasil estimasi dinamika populasi ternak kambing PE selama enam tahun periode pengembangan menunjukkan adanya kenaikkan populasi ternak sebesar 11,43% di Kecamatan Cimalaka, sehingga dalam waktu enam tahun jumlah ternak betina produktif sebanyak 308 ekor. Untuk itu, setiap tahun perlu disiapkan 79 ekor betina pengganti untuk proses reproduksi. Populasi ternak di Kecamatan Paseh mengalami penurunan sebesar 23,37%. sehingga dalam waktu enam tahun jumlah ternak betina produktif sebanyak 41 ekor. Untuk itu, setiap tahun perlu disiapkan 8 ekor betina pengganti untuk proses reproduksi. Kata-kata kunci: kambing PE, reproduksi, dinamika populasi, Sumedang
2
ABSTRACT Reproduction Characteristic and Population Dynamics of Etawah breads On Sand Post-mining Land Kurniasih, N.N., A. M. Fuah and R. Priyanto The crossbreed of Etawah and local goats is generally called,” Peranakan Etawah (PE)” which is well adapted to the enviromental of Indonesia. These animals are also well maintained and kept by farmers as the main producers of meat and milk. The aim of this research was to study the reproductive characteristics and population dynamics of PE goats in Sumedang of West Java. This research was conducted for two months from July to August of 2011, took place in Cimalaka and Paseh subdistricts of Sumedang. Thirty six (36) farmers were purposively chosen as respondents for this study. Primary data were obtained from the farmers by interview using questionnaires, and observation was also conducted to their field to understand the animal condition and management practiced by farmers. Secondary data were collected from Sumedang livestock office and statistical report data from farmers group. Data collected were analyzed descriptively to obtain reproductive characteristics of goats. Based on the reproductive characteristics obtained, estimation was made on the population dynamics of dairy goats in Cimalaka and Paseh subdistricts. The average age of ewes at first estrus was 10,06±1,65 m and 12,89±3,86 m in Cimalaka and Paseh respectively. The first conception of ewes occurred at 10,56±1,55 m and 13,26±3,93 m, and kidding interval was 7,75±0,58 m and 7,17±1,11 m whereas, the mortality rate of young goats was 8% and 24% in Cimalaka and Paseh respectively which was varied between region. The results of estimation made of the population dynamics of dairy goats in the Cimalaka subdistricts indicated that the increase rate of goats after six years was 11,43%, is resulted in the increase of goat numbers obtain six years, to be 308 heads. Therefore, the number of ewes should be kept in the flock was 79 heads in order to maintain population.The results of estimation made of the population dynamics of dairy goats in the Paseh subdistricts indicated that the decrease rate of goats after six years was 23,37%, is resulted in the decrease of goat numbers obtain six years, to be 41 heads. Therefore, the number of ewes should be kept in the flock was 8 heads in order to maintain population. Keywords : goats, reproduction characteristic, population dynamics, Sumedang
3
KARAKTERISTIK REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN POPULASI KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR
NIA NUZUL KURNIASIH D14080213
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
4
Judul :Karakteristik Reproduksi Dan Perkembangan Populasi Kambing Peranakan Etawah Di Lahan Pasca Galian Pasir Nama : Nia Nuzul Kurniasih NIM : D14080213
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Dr. Ir. Asnath M. Fuah. MS) NIP: 19541015 19790 3 2001
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Rudy Priyanto) NIP: 19601216 19860 3 1003
Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 24 Juli 2012
Tanggal Lulus: 5
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 April 1990 di Bogor, Jawa Barat. Sebagai anak ke lima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Arifin dan Ibu Hj. Rohima. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Limo 03 Kota Depok pada tahun 2002, pendidikan menengah pertama di SLTP Tadika Pertiwi Kota Depok diselesaikan pada tahun 2005 dan pendidikan menengah atas di SMA Cenderawasih 1 Jakarta diselesaikan pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2009-2010. Selama kuliah, pernah mengikuti kegiatan magang di D’Farm Fakultas Peternakan pada tahun 2009. Program peningkatan keterampilan yang pernah diikuti adalah Program Kreativitas Mahasiswa bidang pengabdian Masyarakat (PKMM) yang didanai oleh Dikti pada tahun 2011 dengan judul “MAPASA” Metode Pengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Aplikasi Sains Peningkat Daya Kreativitas Dan Inovasi Siswa Di SDN Carangpulang 01 Kabupaten Bogor dan Sistem Bank Rumput Syariah, Solusi Penyediaan Hijauan Pakan yang Berkelanjutan di Desa Tegal Waru, Bogor pada tahun 2012. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum untuk MK. Teknologi Hasil Ikutan Ternak pada semester genap tahun ajaran 2011-2012.
6
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaanirrahiim Asslamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah Robbil Alamin, puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi
yang
berjudul
“Karakteristik
Reproduksi
dan
Perkembangan Populasi Kambing Peranakan Etawah (PE) di Lahan Pasca Galian Pasir “ dengan lancar. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman. Kambing merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki dwi fungsi yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Kambing Peranakan Etawah adalah salah satu ternak kambing yang dimanfaatkan sebagai ternak perah dan pedaging (jika sudah afkir). Lahan kritis seperti yang ada di Kabupaten Sumedang merupakan lahan bekas galian pasir , dengan kondisi lahan yang gersang sehingga kurang baik untuk pertumbuhan ternak perah. Namun kambing memiliki daya adaptasi yang cukup baik terhadap kondisi lingkungan yang kurang memadai bagi ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik reproduksi kambing PE di lahan bekas galian pasir, menganalisis perkembangan populasi kambing PE, dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan populasi kambing PE di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh, Sumedang. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu sebagai saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan skripsi ini akan sangat membantu penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Amiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, September 2012 Penulis
7
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN
i
ABSTRACT
ii
LEMBAR PERNYATAAN
iii
LEMBAR PENGESAHAN
iv
RIWAYAT HIDUP
v
KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Ternak Kambing Potensi Ternak Kambing Faktor Lingkungan Faktor Pakan Potensi Pakan Faktor Ekonomi Permintaan Terhadap Kambing dan Susu Harga Susu dan Kambing Sosial Budaya Masyarakat Karakteristik Produksi Bobot Badan Ternak Kambing Produksi Susu dan Daging Karakterisktik Reproduksi Kambing PE Produktivitas Kambing PE Tingkat Kelahiran dan Kematian Penyakit dan Penanganan Dinamika Populasi Potensi Ternak Kambing di Jawa Barat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi
1 2 3 3 4 4 5 7 8 9 10 11 12 12 14 15 15 17 19 19 21 22 22 22
vii
Metode Rancangan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Cimalaka Kecamatan Paseh Populasi dan Kepemilikkan Ternak Karakteristik Petani Jumlah Ternak Karakteristik Reproduksi Kambing PE Penyakit dan Penanganan Sistem Pemeliharaan Jenis Pakan dan Pemberiannya Dinamika Populasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kambing PE KESIMPULAN DAN SARAN
22 23 24 24 25 28 30 30 33 34 40 41 43 44 45 46
Kesimpulan Saran
46 46
UCAPAN TERIMAKASIH
47
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
54
viii
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2.
Halaman Penjualan Kambing Selama Setahun Terakhir Dilakukan Peternak Di Sukabumi dan Lampung
yang
11
Rataan Lahir Anak Kambing PE Jantan Betina
13
3.
Komposisi Susu Kambing dari Berbagai Penelitian
14
4.
Umur dan Berat Badan Pubertas Kambing Peranakan Etawah
16
5.
Rataan Angka Kelahiran Kambing PE
18
6.
Karakteristik Petani di Lahan Bekas Tambang Pasir
31
7.
Pendapatan Petani di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh
32
8.
Jumlah Ternak Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh Bulan Juli 2011
33
9.
Karakteristik Reproduksi Kambing PE di Lahan Bekas Tambang Pasir di Kabupaten Sumedang
35
10.
Angka Kematian Kambing PE Bulan Juli 2011
39
11.
Proyeksi Kambing PE Induk Selama Enam Tahun Pengembangan di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh
44
vii
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Kambing PE
Halaman 4
2.
Lokasi Lahan Tambang Pasir di Kecamatan Cimalaka
25
3.
Lahan yang Sudah Direklamasi dengan Pohon Gamal
26
4.
Kambing PE di Kecamatan Cimalaka
27
5.
Lahan Galian Pasir yang Ditanami Buah Naga di Kecamatan Cimalaka
28
6.
Lahan Bekas Tambang Pasir yang Belum Direklamasi di Kecamatan Paseh
29
7.
Lahan yang Sudah Direklamasi dengan Pohon Gamal
29
8.
a. Kandang di Kecamatan Cimalaka
43
b. Kandang di Kecamatan Paseh
43
vii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2.
Perhitungan Dinamika Populasi Kambing PE di Kabupaten Sumedang Kuisioner Penelitian
Halaman 55 59
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak kambing merupakan hasil domestikasi kambing liar untuk diternakkan yang tersebar dan beradaptasi di berbagai daerah, serta menghasilkan nilai fungsional berbeda–beda yaitu sebagai kambing pedaging, kambing penghasil susu, diambil bulunya maupun kambing penghasil susu sekaligus daging (Dinas Kesehatan Hewan, 2010). Investasi yang sedikit, dewasa tubuh dan kelamin yang cepat, jumlah anak per kelahiran sering lebih dari satu, kidding interval yang pendek serta masa kebuntingan yang relatif cepat menyebabkan perputaran modal menjadi relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan ternak lain. Ternak kambing memiliki beberapa keunggulan lain yaitu tidak membutuhkan lahan yang luas, tenaga kerja yang diperlukan sedikit dan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan pakan yang buruk. Hal tersebut yang membuat banyak petani di pedesaan memelihara kambing, terutama di Pulau Jawa. Kurangnya pemahaman terhadap manfaat ternak kambing menyebabkan petani kurang menerapkan sistem pemeliharaan kambing yang benar, sehingga beternak kambing hanya dijadikan sebagai usaha sambilan, dan sebagai tabungan yang dijual untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Menurut data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011), peningkatan terbesar populasi kambing terjadi di Provinsi Jawa Tengah yang merupakan salah satu daerah sentra ternak kambing nasional. Hal ini terlihat bahwa Provinsi Jawa Tengah merupakan populasi kambing terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 3.691.096 ekor pada tahun 2010, Jawa Timur sejumlah 2.822.912 ekor, dam dikuti oleh Jawa Barat berada pada urutan ketiga terbesar dengan populasi kambing sejumlah 1.801.320 ekor. Populasi ternak kecil secara nasional pada tahun 2010 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan populasi pada tahun 2009 yaitu: kambing 16,62 juta ekor (peningkatan 5,08%), domba 10,72 juta ekor (peningkatan 5,16%), dan babi 7,47 juta ekor (peningkatan 7,19%). Menurut BPS (2011), menunjukkan bahwa peningkatan populasi ternak kambing setiap tahun adalah sebesar 2,91%, menyatakan bahwa ternak kambing merupakan salah satu komoditas unggulan di provinsi Jawa Barat dan berpotensi untuk dikembangkan.
1
Tipe kambing yang banyak diternakkan di Indonesia adalah kambing pedaging dan kambing perah. Kambing perah jenis Etawah berpotensi untuk dikembangkan, penyebarannya cukup luas sampai ke beberapa negara yaitu India, Indonesia, Pakistan, Amerika Selatan, dan lain-lain (Devendra dan Burn, 1994). Kambing Etawah menyebar dibeberapa negara dan banyak digunakan untuk memperbaiki kualitas kambing lokal, dengan cara mengawinkan kambing Etawah dengan kambing lokal seperti yang ada di Kaligesing. Kambing Etawah memiliki perfoma produksi dan reproduksi yang baik. Berbeda dengan sapi, yang memiliki empat puting dan satu ambing, kambing hanya memiliki dua puting dan dua ambing saja. Hasil perkawinan antara kambing Etawah dan kambing lokal menghasilkan kambing yang disebut Peranakan Etawah (PE), dengan karakteristik yang hampir sama dengan kambing Etawah, mengakibatkan sebagian besar masyarakat memelihara kambing hasil persilangan tersebut. Kambing PE dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi alam Indonesia, mudah dipelihara dan merupakan ternak jenis unggul penghasil daging serta susu. Produksi daging Kambing PE lebih tinggi dibanding kambing lokal (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). Lahan kritis di Kabupaten Sumedang merupakan lahan bekas galian pasir yaitu lahan yang kurang produktif dengan kondisi cuaca yang panas sehingga kurang cocok untuk pemeliharaan ternak terutama ternak perah. Cuaca dan iklim yang kurang nyaman dapat menurunkan produksi dan reproduksi tenak perah. Daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan menyebabkan ternak ruminansia tersebut mampu hidup di lingkungan yang paling ekstrim, contohnya kekurangan pakan dan manajemen pemeliharaan yang kurang memadai. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik reproduksi dan menganalisis perkembangan populasi kambing PE di lahan pasca galian pasir. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan populasi kambing PE di lahan pasca galian pasir di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh, Sumedang.
2
TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Ternak Kambing Kambing merupakan hasil domestikasi dari hewan liar. Penjinakan kambing diperkirakan terjadi di daerah pegunungan Asia Barat selama abad ke-7 sampai ke-9 sebelum masehi. Awalnya kambing yang dijinakkan untuk diperoleh dagingnya. Kambing dimanfaatkan sebagai sumber daging pada awalnya. Kambing sebagai hewan perah juga dianggap hewan yang tertua, jika dipandang dari kemudahannya diperah. Berbagai metode telah digunakan oleh para peneliti terdahulu untuk menggolongkan kambing sebagai hewan peliharaan, dengan mendasarkannya pada berbagai sifat seperti fungsi, daerah asal geografis, serta sikap kepala dan tubuh ketika berjalan (Devendra dan Burns, 1994). Kambing adalah hewan yang sangat penting dalam pertanian subsistem karena kemampuannya yang unik untuk mengadaptasikan dan mempertahankan dirinya dalam lingkungan yang keras. Asal-usul kambing masih ditentukan dengan jelas meskipun bukti-bukti yang tersedia menunjukkan bahwa bezoar Asia Barat daya adalah nenek moyang kambing yang utama. Ada empat cara pengklasifikasian kambing yaitu berdasarkan asal-usulnya, kegunaannya, besar tubuhnya, dan bentuk serta panjang telinganya (Williamson dan Payne, 1993). Kambing Etawah, masuk ke Indonesia pertama oleh orang Belanda pada tahun 1920-an, orang Belanda tersebut membawa banyak kambing Etawah pertama kali ke Pulau Jawa, tepatnya di Jogyakarta. Kambing ini lebih terkenal sebagai kambing perah atau penghasil susu, dimana saat itu kambing ini disebut dengan kambing Benggala atau kambing Jamnapari sesuai dengan asalnya di India. Selanjutnya kambing Etawah ini dikembangbiakkan di daerah perbukitan Menoreh sebelah barat Jogyakarta dan di Kaligesing, Purworejo. Seiring dengan perjalanan waktu terjadilah perkawinan silang antara kambing Etawah dengan kambing lokal (seperti kambing Jawarandu atau kambing Kacang,) dan ternyata keturunan yang dihasilkan lebih bagus daripada kambing lokal (Dinas Kesehatan Hewan, 2010).
3
Gambar 1. Kambing PE Kambing Etawah atau kambing Jamnapari berasal dari distrik Etawah daerah antara Sungai Yamuma dan Chambal Provinsi Utara Pradesh, India. Kambing Etawah yang didatangkan ke Indonesia bertujuan untuk memperbaiki kambingkambing lokal yang memiliki tubuh kecil, karena kambing Etawah adalah bangsa kambing tipe besar sehingga diharapkan melalui persilangan antara kambing Etawah dan kambing Kacang akan muncul bangsa kambing baru yang lebih besar dari kambing Kacang dan mampu menghasilkan susu dengan baik (Heriyadi, 2004). Kambing Jamnapari atau Etawah sangat baik sebagai hewan perah dan sebagai penghasil daging. Ciri-ciri dari kambing Etawah adalah telinganya menggantung dengan panjang kurang lebih 30 cm, mempunyai berbagai warna (putih, merah coklat, dan hitam), ambingnya berkembang baik, bentuk muka cembung, dan biasanya bertanduk pendek yang berbentuk pedang lengkung (Devendra dan Burns, 1994). Potensi Ternak Kambing Faktor Lingkungan Adaptasi fisiologi didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku ternak. Kemampuan seekor ternak untuk mengatasi pengaruh lingkungan yang baru berasal dari
kapasitasnya
untuk
menanggapi
peubah
lingkungan
sambil
tetap
mempertahankan keseimbangan tubuh. Perubahan lingkungan yang secara serius cukup menantang bagi satu individu mungkin kurang menghasilkan respon yang dapat diukur pada individu yang lain. Adaptasi kambing lokal meliputi: anatomis,
4
respon morfologis dan fisiologis, perubahan tingkah laku makan, metabolisme, dan penampilan (Mastika, 1993). Semua ternak domestik mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran yang paling cocok untuk terjadinya aktivitas biologis yang optimum. Kisaran yang paling normal pada jenis mamalia adalah 370C-390C, sedangkan pada burung adalah 400C440C. Produksi panas yang bervariasi tergantung pada cara ternak mengeluarkan panasnya. Penguapan merupakan cara ternak domestik mengeluarkan panasnya. Pengaruh iklim tidak langsung terhadap ternak terutama pada kuantitas dan kualitas makanan yang tersedia bagi ternak. Pengaruh tersebut tidak langsung dari iklim karena ada faktor lain yaitu penyakit dan parasit (Williamson dan Payne, 1993). Kambing PE dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi alam Indonesia, mudah dipelihara dan merupakan ternak jenis unggul penghasil daging serta susu. Produksi daging kambing PE lebih tinggi dibanding kambing Lokal (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). Daerah tropis memiliki iklim yang tidak seragam dan sering terdapat perbedaan iklim yang tajam yang disebabkan oleh berbagai faktor geografi, seperti ketinggian daerah dan tekanan udara sehingga beberapa daerah tropis dapat mempunyai iklim subtropis, disamping kisaran utama iklimnya panas-kering sampai panas-lembab. Oleh karena itu, tatalaksana pemeliharaan dan bangsa kambing yang dikembangkan di daerah beriklim subtropis dapat diterima dengan baik dibeberapa tempat (Devendra dan Burns, 1994). Faktor Pakan Setiap hari kambing membutuhkan pakan hijauan sebanyak 10% berat badannya. Berhubung kambing mempunyai sifat memilih pakan yang disajikan, maka hijauan perlu diberikan dua kali lipat dari kebutuhan yang disediakan pada pagi dan sore. Selain hijauan, idealnya kambing diberi konsentrat (dedak padi, dedak jagung, dan ketela), khususnya bagi kambing yang sedang tumbuh, bunting, menyusui dan ternak jantan yang sedang aktif memacek. Jumlah konsentrat yang diberikan 1% berat badan, disajikan pagi hari. Selain itu juga, kambing perlu diberi garam dapur untuk meningkatkan palatabilitas terhadap pakan yang diberikan. Sebaiknya garam disediakan dalam wadah tersendiri yang dipasang di dalam kandang sehingga kambing bisa menjilat garam sesuai kebutuhan (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). 5
Novita et al. (2006), melaporkan bahwa jerami padi yang difermentasi dengan urea dan probiotik baik yang dipotong maupun digiling dan dikombinasikan dengan konsentrat mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan induk kambing selama bunting dan laktasi, pertumbuhan anak kambing, produksi susu dan kualitas susu, sehingga dapat menggantikan rumput gajah sebagai sumber serat dalam ransum. Namun penggunaannya dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan karena pemberian dalam bentuk potongan atau cacah dapat menurunkan kondisi tubuh induk. Kambing memiliki kebiasaan makan yang berbeda dengan ruminansia lainnya dan bila tidak dikontrol dapat mengakibatkan kerusakan. Kambing mampu merumput pada bagian rumput yang sangat pendek dan meragut dedauanan yang biasanya tidak dimakan oleh ternak lainnya (Devendra dan Burns, 1994). Pemberian pakan yang sangat tinggi (200% maintenance) pada periode sebelum implantasi dapat mempengaruhi daya hidup embrio. Pakan yang terlalu tinggi selama akhir kebuntingan dapat mengakibatkan distokia, akibatnya induk dan anak menjadi lemah dan mati oleh lamanya proses kelahiran. Kekurangan pakan juga berakibatkan menurunkan bobot lahir lahir anak yang lahir, sehingga ternak menjadi lemah (Feradis, 2010). Kambing memiliki kebiasaan makan yang unik yaitu kambing akan menolak makanan yang telah dikotori hewan lain. Kambing menyukai pakan beragam dan tidak bisa tumbuh dengan baik bila terus diberi pakan yang sama dalam jangka waktu lama. Kambing memiliki indera pengecap yang baik, sehingga dapat membedakan rasa pahit, manis, asin, dan asam. Kambing mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap rasa pahit dibandingkan sapi (Devendra dan Burns, 1994). Berdasarkan hasil penelitian Mathius, et al. (2002), Kambing PE muda yang mendapat pakan perlakuan dengan kandungan protein kasar dan energi sebanyak 14,4% BK dan 2,63 Mkal EM/kg BK memberikan respon terbaik dengan pertambahan bobot hidup harian 123 gram. Kebutuhan hidup pokok kambing PE muda dibutuhkan energi metabolis dan protein kasar adalah 0,106 Mkal EM/kg BH0,75 dan 4,40 g/kg BH
0,75
.
Sementara untuk setiap gram pertambahan bobot hidup dibutuhkan protein kasar sejumlah 0,315 gram dan energi metabolis sejumlah 7,59 kkal. Munier (2006) melaporkan bahwa pemberian pakan tambahan gamal (Gliricidia sepium) pada
6
kambing meskipun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap PBHH tetapi masih dapat meningkatkan PBHH kambing betina. Potensi Pakan Leguminosa Indigofera sp. cukup potensial dimanfaatkan sebagai pakan kambing karena menujukkan pertumbuhan yang baik dengan produksi yang tinggi (51 ton segar/ha/panen) serta nilai nutrisi yang tinggi (protein kasar 24,17% dan energi bruto 4,038 Kkal/kg). Palatabilitas Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan Leucaena
leucocephala
(konsumsi
bahan
kering
masing-masing
sebesar
187,38±29,69 dan 193,85±21,83 g/ekor/hari) (Sirait, et al., 2012). Program pengembangan pakan alternatif berbasis limbah pertanian dan industri agro yang telah dilaksanakan menunjukkan potensi beberapa tanaman hortikultura sebagai sumber bahan baku pakan. Pakan alternatif yang digunakan adalah limbah hasil pengolahan buah markisa dan buah nnenas, keduanya digunakan sebagai penyusun konsentrat (sumber energi atau protein) maupun sebagai pakan dasar. Potensi ini menyebabkan ketergantungan yang minimal akan hijauan pakan yang pada dasarnya sangat terbatas pada agroekosistem hortikultura, sehingga produksi kambing sepenuhnya didukung oleh limbah hortikultura.(Simon et al., 2003). Rumput S. secundatum atau B. Humidicola yang memiliki toleransi yang baik terhadap naungan, secara kualitatif juga memiliki potensi yang baik sebagai hijauan pakan untuk ternak kambing. Walaupun kandungan protein termasuk sedang, namun berada diatas ambang batas yang dapat menyebabkan rendahnya konsumsi pada ternak, hal ini terlihat pada taraf konsumsi ternak pada kisaran standar. Koefisien cerna beberapa unsur nutrisi yang penting bagi ternak berada pada kisaran sedang sampai tinggi, sehingga sebagai hijauan pakan dapat menyediakan nutrisi bagi kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Kedua jenis rumput dapat direkomendasikan sebagai alternatif tanaman pakan ternak pada sistem integrasi tanaman-ternak, khususnya tanaman perkebunan dengan ternak kambing. (Simon et al., 2006). Ada beberapa tanaman hortikultura dan perkebunan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk kambing yaitu anakan tanaman pisang dapat digunakan sebagai pakan dasar sebanyak 20% total ransum pada kambing dewasa. pemberian kulit nenas dalam bentuk tepung ad libitum pada kambing menghasilkan
7
pertambahan bobot badan yang baik (60,0 g/h) dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Lumpur minyak sawit (decanter) dapat digunakan sebagai suplemen tunggal pada taraf 1,0% bobot badan dan menghasilkan pertambahan bobot badan 50-60 g/h. Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai pakan dasar pengganti rumput, walaupun palatabilitasnya. rendah, sehingga membutuhkan waktu adaptasi panjang (>1 bulan) sebelum kambing mampu mengkonsumsi dalam jumlah cukup. Untuk meningkatkan konsumsi daun kelapa sawit pemberiannya dapat digunakan sebagai sumber serat dalam pakan komplit. Penggunaan daun kakao sebagai suplemen tunggal (20%) dengan pakan dasar gamal (80%) menghasilkan pertuymbuhan yang sangat baik pada kambing (78 g/h). Penggunaan tepung limbah kopi disarankan tidak melebihi 20% total ransum. Penggunaan 40% dalam ransum menurunkan konsumsi sebesar 22% dan menekan pertumbuhan, sedang penggunaan 60% dalam ransum bahkan menggangu kesehatan kambing, walaupun kecernaan bahan organik ampas kopi cukup tinggi. Pucuk tebu (Saccharum officinarum) dapat digunakan sebagai suplemen tunggal, dan konsumsi dapat ditingkatkan bila pucuk tebu dicacah menjadi potongan ukuran kecil 1-3 cm dibandingkan dengan potongan lebih panjang, misalnya 20 cm. Ampas teh dapat digunakan baik sebagai pakan dasr pengganti rumput (20%) maupun sebagai suplemen, terutama sebagai sumber protein pada kambing (Simon dan Ginting, 2005). Faktor Ekonomi Beternak kambing PE lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan memelihara kambing lokal atau domba. Beberapa nilai ekonomis dari berternak kambing PE antara lain: (a) Penghasil susu ,di Indonesia susu kambing dikonsumsi sebagai obat alternatif, bukan sebagai pelengkap gizi. Umumnya, orang mengkonsumsi susu ini untuk membantu penyembuhan penyakit asma, tuberkolosis (TBC), eksim, membantu penyehatan kulit, mencegah penuaan dini dan mencegah osteoporosis. (b) Kambing ketika masa laktasi mampu menghasilkan 0,8 l - 2,5 l susu perhari, dengan harga jual antara Rp15.00 - 20.000/l. (c) Penghasil pupuk dan kulit, kotoran kambing PE dapat digunakan sebagai pupuk organik sedangkan kulitnya karena mempunyai ukuran yang lebih besar daripada kulit kambing lokal, maka kulit kambing PE banyak dicari orang untuk digunakan sebagai bahan kerajinan kulit. (d) Sebagai sumber pendapatan beternak kambing PE, dapat 8
digunakan sebagai sumber pendapatan alternatif di pedesaan yang sangat menjanjikan bila ditekuni secara serius, biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan kandang dan biaya perawatan relatif sama bila dibandingkan dengan biaya memelihara kambing lokal (Dinas Kesehatan Hewan, 2010). Manfaat utama berternak kambing dan domba adalah bisa dimiliki oleh petani miskin dan petani penggarap dimana pemilihan ternak tersebut sering dijadikan sebagai sumber mata pencaharian utama. Ternak ruminansia kecil merupakan satu-satunya sumber pendapatan bagi mereka yang tidak mempunyai lahan pertanian bagi petani tersebut (Mastika, 1993). Menurut Sutama (2008), diilihat dari prospek ekonomi, permintaan akan susu di Indonesia semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Dengan demikian, produksi susu kambing dapat menjadi bagian dari usaha peningkatan produksi susu dalam negeri. Ukuran tubuh yang kecil, berarti untuk mengembangkan usaha peternakan kambing diperlukan investasi awal yang relatif lebih rendah dan kerugian karena kematian atau kehilangan juga lebih kecil. Hal ini sangat sesuai dan menarik bagi petani miskin di pedesaan. Permintaan Terhadap Kambing dan Susu Menurut Siregar (1996), bahan baku pakan yang dapat diberikan untuk kambing terdiri atas dua jenis yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat. Pakan hijauan merupakan pakan kasar yang dapat berupa rumput lapang, rumput jenis unggul dan jenis kacang-kacangan. Pakan konsentrat merupakan pakan penguat yang terdiri dari bahan yang kaya karbohidrat dan protein seperti jagung, bekatul, dedak gandum dan bungkil. Konsentrat untuk kambing laktasi disarankan 0,5-1 kg/hari. Menurut Atabany (2002), tipe dan jumlah pakan harus disesuaikan dengan fungsi dan tujuan pemeliharaan. Kambing jantan yang tidak aktif dan induk kering dibedakan pakannya dengan induk laktasi dan kambing jantan aktif. Pemberian konsentrat diperlukan, akan tetapi jangan terlalu banyak karena akan menyebabkan kegemukan. Seekor kambing dengan berat badan 40 kg dan berproduksi 2 liter per hari diberikan 5 kg hijauan dan 0,5 – 1,0 kg konsentrat. Kadang – kadang kambing sedang laktasi diberikan hijauan secara ad libitum dan konsentrat yang mengandung protein kasar 16% sebanyak 0,5 kg per ekor per hari. Persentase pakan hijauan dan
9
konsentrat agar diperoleh ransum yang murah dan koefisien cerna yang tinggi digunakan perbandingan pakan hijauan 60% dan konsentrat 40%. Atabany (2001) mengungkapkan bahwa persentase pakan untuk kambing laktasi di Peternakan Barokah adalah 60,9% konsentrat dan 39,1% rumput. anak kambing yang baru lahir perlu diberikan kolostrum. Anak kambing minum susu sampai 35 hari sebanyak 1,2 liter/hari. Umur 35 – 70 hari, anak kambing yang menyusu pada induknya minum 1,6 liter/hari dan yang dibesarkan dengan susu pengganti minum sebanyak 2 liter/hari. Anak kambing mulai mencicipi makanan padat ketika berumur sekitar 2–3 minggu. Tingkat permintaan daging kambing tidak terlalu fluktuatif sepanjang tahun, namun permintaan akan meningkat dengan cepat pada saat Hari raya Idul Adha. Pada hari raya tersebut, biasanya permintaan daging akan meningkat dan harga akan meningkat pula. Pada Hari raya Idul Adha, dijual kambing hidup yang sehat untuk digunakan pada kegiatan keagamaan. Laju peningkatan populasi yang tidak seimbang
dengan
laju
permintaan
kambing
tersbut
akan
menciptakan
ketidakseimbangan antara permintaan dan produksi tersebut. Jika diperkirakan seekor kambing dapat menghasilkan daging seberat 10 kg, laju permintaan daging kambing 6% per tahun dan laju peningkatan populasi kambing sebesar 3% per tahun (Dhican, 2006). Kebutuhan daging termasuk daging kambing yang semakin meningkat belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri sehingga jumlah impor komoditi tersebut cenderung meningkat. Hal ini menjadi peluang bagi produsen di dalam negeri untuk meningkatkan produksinya sehingga kebutuhan di dalam negeri terpenuhi dan kelebihan produksi dapat diekspor (Makka, 2004). Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2006), permintaan susu sapi maupun kambing di Jawa Barat terus meningkat
dari 176.650 di tahun 2005
menjadi
208.698 ton pada tahun 2006. Adapun produksi riil susu secara nasional tahun 2006 adalah 0,577 juta ton sehingga masih perlu 2,493 juta ton lagi untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Konsumsi susu dari tahun ke tahun terus meningkat. Harga Susu dan Kambing Harga yang sangat menarik karena harga susu kambing jika dibandingkan harga susu sapi yang dapat mencapai 10 kali lipat. Harga susu kambing Etawah segar adalah Rp 12.000/liter di Jakarta, sebaliknya harga susu sapi Rp 2000–3000,-/liter (Dhican, 2006). Menurut Asmoro ( 2012), susu kambing murni dijual seharga Rp 10
39.000 / liter. Sedangkan susu kambing kolostrum atau susu yang baru pertama kali keluar dijual lebih mahal. Yaitu Rp 300.000 / liter. Harga kambing kontes jauh lebih mahal dibanding dengan harga kambing perah. Kambingkontes menjapai harga Rp 10 juta, sedangkan kambing perah Rp 1,5– 2,5 juta. Kambing perah ini tidak butuh perawatan khusus. Setiap ekor kambing butuh biaya hidup Rp 5.000 / hari, seudah termasuk biaya tenaga perawat (Asmoro, 2012). Berikut adalah hasil penjualan kambing di Sukabumi dan Lampung pada tahun 2001. Tabel 1. Penjualan Kambing Selama Setahun Terakhir yang Dilakukan Peternak Di Sukabumi dan Lampung Status Fisiologis Jantan dewasa Betina dewasa Jantan muda Betina muda Jantan anak Betina anak Total Rata/peternak
Sukabumi Ekor total (RP) 23 5.800.000 9 1.880.000 4 800.000 7 255.000 43 8.935.000 1,59 330.925
rataan (Rp) 252.000 208.900 200.000 65.000 -
Lampung Ekor total (RP) rataan (Rp) 9 5.940.000 660.000 4 675.000 168.750 8 1.075.000 134.475 10 1.210.000 121.000 2 150.000 75.000 3 250.000 83.333 36 10.650.000 1,89 560.526 -
Sumber: Priyanto et al., 2001
Sosial Budaya Masyarakat Masyarakat Indonesia mengenal produk kambing berupa daging, kulit, dan susu kambing. Ternak dapat dijual saat dibutuhkan karenanya penjualan terjadi setiap saat dengan harga cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan permintaan akan daging kambing meningkat, akan tetapi untuk pemasaran susu kambing masih memerlukan proses yang cukup lama. Peran kambing bagi petani dalam sistem usahatani umumnya masih sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dijual untuk memenuhi kebutuhan dana yang relatif besar dan mendesak seperti pembayaran biaya sekolah, biaya pernikahan anak, kelahiran, biaya kesehatan, pembangunan/perbaikan rumah, dan lain sebagainya. Permintaan akan kambing untuk Idul Adha cukup besar dengan meningkatnya kondisi ekonomi masyarakat, dikaitkan dengan kewajiban sebagai umat beragama. Dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia maka bagi petani ketersediaan pangan dari tanaman pangan umumnya cukup, dan selama empat dekade lalu tidak ada laporan kejadian kelaparan (honger oedeem = HO). Sebagai
11
suatu usaha integrasi tanaman pangan-kambing, kesenangan petani akan kambing dikaitkan dengan kemudahan dan harga yang relatif terjangkau petani disamping ketersediaanya, maka usaha ternak kambing cukup menarik. Masyarakat Indonesia mengenal produk kambing berupa daging, kulit dan susu kambing. Ternak dapat dijual saat membutuhkan karenanya penjualan terjadi setiap saat dengan harga cukup tinggi. Karena kondisi ini maka permintaan akan daging kambing bukan masalah, akan tetapi untuk pemasaran susu kambing masih memerlukan proses yang cukup lama (Djajanegara dan Misniwaty, 2003). Nilai positif ternak kambing bagi kepentingan petani di pedesaan, antara lain: (1) Ternak kambing dapat dipotong sewaktu-waktu untuk keperluan sendiri, pesta adat, atau menjamu tamu yang datang. (2) Kambing merupakan sumber penghasilan dan tabungan. (3) Kambing mudah dirawat, karena hampir semua jenis tanaman dapat digunakan sebagai sumber pakan. (4) Kambing dapat berkembang biak dengan cepat. (5) Kotoran kambing yang terkumpul dapat digunakan untuk pupuk sehingga dapat menyuburkan tanaman dan memperbaiki mutu tanah pertanian. (6) Modal yang diperlukan untuk memulai beternak kambing tidak besar (Sitepu, 2008). Menurut Diwyanto el al. (2001), memelihara ternak dengan alasan menabung ternyata memperoleh banyak keuntungan, antara lain: ternak akan tumbuh atau berkembang sehingga nilainya bertambah; resiko kematiannya ternak relatif kecil; serta untuk beberapa peternak menggunakan pendekatan ini untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu mengkombinasikan budaya menabung, bekerja, dan menerapkan teknologi tepat guna dalam memelihara ternak dapat menjadi salah satu pilihan untuk menciptakan kondisi agar petani mau memelihara ternak. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, produk-produk yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan bagi umat muslim sangat berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu produk peternakan yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan adalah ternak kambing. Kebutuhan akan hewan kurban di Provinsi Jawa Barat mencapai 40 ribu ekor per tahun, sementara kemampuan suplai hanyalah setengah dari permintaan. Kondisi ini mengidentifikasi bahwa permintaan akan daging kambing sangat tinggi. Selain itu, susu kambing banyak diyakini orang memiliki khasiat dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti penyakit kuning, asma, kulit, bronchitis, TBC, asam urat, impotensi dan darah tinggi. Hal ini
12
menyebabkan permintaan susu kambing terus meningkat. oleh karena itu kedua hal tersebut dapat menjadi peluang bagi peternak kambing PE (Prihatini, 2008). Karakteristik Produksi Bobot Badan Ternak Kambing Rataan berat lahir anak kambing PE yang diamati 3,84 kg (kisaran 2,O-6,0 kg). Berat lahir anak jantan 3,97 kg dan anak betina 3,73 kg. Berat lahir anak tunggal 4,26 kg, kembar dua 4,08 kg dan kembar tiga 3,17 kg dan kembar empat 2,63 kg (Atabany et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian Mahmilia et al. (2008), bobot lahir dipengaruhi oleh jenis kelamin dan tipe kelahiran. Bobot lahir jantan (2,21±0,51 kg) lebih tinggi dibandingkan dengan betina (2,01±0,52 kg) dan tipe kelahiran tunggal (2,30±0,48 kg) lebih tinggi dibandingkan kelahiran kembar (1,84±0,46 kg). Tinggi rendahnya bobot lahir (birth weight) anak kambing sangat dipengaruhi oleh kondisi induknya saat masa kebuntingan. Faktor utama yang paling menentukan adalah pakan yang berkaitan dengan jumlah dan mutu pakan yang dikonsumsi kambing. Kebutuhan pakan bagi kambing yang sedang bunting melebihi porsi pada kambing yang tidak bunting karena kebutuhan untuk hidup pokok calon induk untuk pertumbuhan calon anak yang dikandungnya. Kekurangan pakan (unsur nutrisi) umumnya mengakibatkan lemahnya fisik calon induk, produksi air susu rendah menjelang kelahiran, kondisi fisik anak lemah dan bobot lahir rendah (Munier, 2008). Rataan bobot lahir anak kambing PE jantan dan betina setelah diberikan perlakuan pakan kulit buah kakao (KBK) dapat dilihat pada Tabel 2 : Tabel 2. Rataan Bobot Lahir Anak Kambing PE Jantan dan Betina Perlakuan
Bobot lahir jantan (kg)
Bobot lahir betina (kg)
Rataan
P0
2,70a
2,40a
2,55
P1
3,05
b
2,60
b
2,83
P2
3,15b
2,90c
3,03
Keterangan: Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,01). P0:pemberian pakan tanpa KBK (kebisaan peternak), P1: 1000 gr/ekor/hari, dan P2: 1500 gr/ekor/hari. Sumber: Munier, 2008
Bobot badan kambing PE dewasa jantan 65–90 kg dan betina 45–70 kg, sedangkan kambing lokal jantan dewasa 30–40 kg dan betina 20–30 kg. Kambing PE dapat memproduksi susu 1-3 l/hari, sedangkan kambing Lokal 0,5 l/hari. Kambing 13
PE sangat prospektif untuk usaha pembibitan untuk memproduksi anak. Harga anak kambing PE bisa mencapai 3–5 kali harga anak kambing lokal. Kambing PE dapat beranak pertama pada umur 16–18 bulan, dalam 2 tahun dapat beranak 3 kali dengan masa produktif 5 tahun. Anak kambing PE bisa kembar 2 atau 3 (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). Menurut Devendra dan Burn (1994), bobot badan kambing PE jantan 68-91 kg dan betina 36-63 kg. Bobot badan hidup kambing PE jantan sekitar 40 kg dan betina 35 kg (Mulyono, 1999). Produksi Susu dan Daging Produksi susu kambing yang dikandangkan kurang lebih dua kali lipat hasil susu kambing yang digembalakan, tetapi tidak beda nyata dalam persentase lemak atau kasein meskipun keduanya lebih tinggi sedikit pada kambing yang digembalakan. Tiga perempat protein susu kambing adalah kasein, selebihnya adalah gamma globulin 0,19%, beta laktoglobulin 0,48%, alfa laktalbumin 0,25%, dan serum albumin 0,08% (Devendra dan Burns, 1994). Komposisi susu kambing dari beberapa penelitian dapat disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Susu Kambing dari Beberapa Penelitian BK
Lemak
PK
Laktosa
Abu
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
13,50 – 14,80
4,00 - 5,60
3,60 – 3,80
-
-
14,8
5,05
4,33
2,57
-
-
4,5
-
4,4
-
Devendra (1990)
12,1
3,9
3,4
3,8
-
Ernawati (1989)
13,99
4,92
4,36
4,73
-
13,70 – 14,30
4,22 – 4,44
3,55 – 4,03
4,63 – 5,46
0,62 – 0,80
Sumber Edelsten (1988) dan Tilman et al. (1991) Katipana (1986) Berg (1990)
Subhagiana (1998) Sumber: Atabany, 2001
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu adalah jumlah kambing laktasi, penggunaan tenaga kerja, jumlah pakan hijauan, dan jumlah pakan konsentrat. Produksi susu dapat ditingkatkan dengan cara menambah pemilikan jumlah kambing laktasi oleh peternak, karena rataan pemilikan kambing laktasi saat
14
dilakukan survey hanya 3,45 ekor (0,49 Satuan Ternak) dengan kisaran antara satu sampai sembilan ekor setiap peternak. Dengan pemilikan jumlah kambing laktasi harus diimbangi pula pemberian pakan konsentrat yang lebih baik kuantitas maupun kualitasnya (Astuti et al., 2002). Berdasarkan hasil penelitian Novita et al. (2006), produksi susu selama 3 bulan laktasi tidak dipengaruhi jenis ransum. Rataan produksi susu mencapai 754 g/hari dengan kisaran 585-970 g/ekor/hari. Rataan yang tertinggi terdapat pada perlakuan KRG (konsentrat + jerami pada fermentasi giling) dan yang terendah pada perlakuan KJP ( konsentrat + jerami padi fermentasi potong), dan puncak produksi susu pada penelitian ini dicapai rata-rata pada minggu ke lima laktasi. Ada tiga jenis daging kambing yang dihasilkan dan dikonsumsi di daerah tropis, yaitu: (a) daging anak kambing (umur 8-12 minggu), (b) daging kambing muda (umur 1-2 tahun), dan (c) daging kambing tua (2-6 tahun). Anak kambing biasanya disembelih pada umur kurang lebih 8-12 minggu, ketika berat hidupnya sekitar 6-8 kg. Kambing muda disembelih pada berat hidupnya berkisar 12,9-24,7 kg pada jantan dan antara 11,2-19,7 kg pada betina. Kambing yang disembelih pada umur 2-6 tahun dapat berupa kambing tipe pedaging atau perah (Devendra dan Burn,1994). Karakteristik Reproduksi Kambing PE Produktivitas Kambing PE Libido dan kemampuan kawin ternak jantan berhubungan erat dengan efisiensi pejantan dalam melakukan perkawinan. Libido ditandai dengan beberapa kali ternak jantan menaiki betina birahi, sedangkan kemampuan kawin ditandai dengan jumlah ejakulasi. Semakin kecil perbandingan antar jumlah menaiki dengan jumlah ejakulasi, maka semakin efisien ternak jantan dalam melakukan perkawinan. Sistem perkawinan secara alami yang terbaik adalah menggunakan kambing PE jantan yang berumur 54 bulan yang ditempatkan dalam kelompok betina seluruhnya (Hatono et al., 1997). Berdasarkan hasil penelitian Atabany (2001), umur kawin pertama dipengaruhi oleh pencapaian dewasa kelamin, pencapaian dewasa tubuh pada kambing dara, dan kandungan nutrisi pada pakan yang dikonsumsi. Umur pertama
15
kawin kambing ketika berumur 403,32 hari (13,44 bulan) dan pada peternakan kambing Saanen 446,87 hari (14,89 bulan). Kambing Peranakan Etawah (PE) betina mencapai pubertas (birahi pertama) pada umur 10-12 bulan dan pada berat badan sekitar 13,5-22,5 kg (rataan 18,5 kg) atau sekitar 55-60% dari berat badan dewasa. Umumnya birahi pertama diikuti oleh ovulasi (Sutama et al., 1995), sehingga perkawinan pertama dapat menghasilkan kebuntingan. Walaupun demikian, penundaan umur perkawinan pertama perlu dilakukan untuk memberi kesempatan ternak untuk mencapai kondisi dan berat badan yang cukup untuk mempertahankan kebuntingan dan kinerja produksi dan reproduksi selanjutnya (Sutama dan Budiarsana, 1997). Data pada Tabel 4 menunjukkan rataan bobot kambing PE masa pubertas berdasarkan jenis kelamin dan umur. Tabel 4. Umur dan Berat Badan Pubertas Kambing Peranakan Etawah Jenis Kelamin
Umur (bulan)
Berat Badan (kg)
Jantan
6-8
12,9-18,7
Betina
10-12
13,5-22,5
Sumber: Sutama dan Budiarsana, 1997
Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu dimana organ-organ reproduksi sudah mulai berfungsi dan perkembangbiakkan dapat terjadi. Pubertas pada ternak jantan ditandai dengan kesanggupannya menghasilkan sperma dan berkopulasi disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pertumbuhan organ reproduksi ternak jantan dimulai dari sempurnanya pertumbuhan testis sampai perkembangan penis secara sempurna, yang kemudian diikuti dengan pubertas di mana ternak mencapai dewasa kelamin dan telah mampu melakukan aktivitas reproduksi, yang ditandai dengan adanya sel-sel sperma hidup dalam ejakulat (Adiati, 2008). Umur pubertas ternak jantan termasuk kambing sangat bervariasi, tergantung dari parameter yang dipakai untuk menentukan pubertas tersebut. Pubertas pada ternak jantan terjadi bila ternak tersebut sudah mencapai dan mempunyai kemampuan untuk memproduksi spermatozoa hidup, mengekspresikan tingkah laku seksual, dan perkembangan penis. Jadi dengan tercapainya pubertas menandakan bahwa ternak tersebut sudah siap untuk bereproduksi, namun untuk mencapai hasil yang lebih baik, khususnya untuk tujuan breeding, perkawinan
16
hendaknya dilakukan saat ternak tersebut telah mencapai dewasa tubuh dan dewasa kelamin (Foote, 1969 dalam Sutama et al., 2006). Siklus birahi pada kambing PE bervariasi 18-22 hari (rataan 19 hari), dengan lama birahi adalah 25-40 jam. Namun sering juga dijumpai ternak mempunyai siklus yang agak panjang. Tingkat konsepsi pada birahi pertama adalah rendah (45-60%), sebagian disebabkan adanya ternak (5-10%) yang birahi tanpa diikuti dengan ovulasi (Sutama et al., 1994). Masa birahi terjadi hanya beberapa saat, yaitu sewaktu hormon esterogen mencapai puncaknya. Masa birahi kambing terjadi 24-48 jam, sedangkan masa birahi domba hanya 24-36 jam. Satu siklus esterus pada kambing memerlukan waktu 20-21 hari, sedangkan siklus esterus domba lebih pendek yaitu 16-18 hari (Mulyono, 1999). Menurut Devendra dan Burns (1994), lama kebuntingan kambing berkisar dari 147 hingga 155 hari. Induk harus dipelihara pada kondisi yang baik selama bunting untuk perkembangan normal anaknya yang dikandungnya (Blakely dan Bade, 1991). Berdasarkan penelitian Sutama dan Budiarsana (1997), bahwa lama kebuntingan 144-156 hari (rataan 149 hari) dan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor, tergantung umur dan paritas induk. Lama bunting pada kambing ditemukan agak konstan pada sekitar 146 hari, meskipun kisaran yang dilaporkan antara 143 sampai 153 hari. Berdasakan hasil penelitian Mahmilia et al. (2008), lama bunting berdasarkan jenis kelamin relatif sama (p>0,05). Rataan lama bunting untuk anak jantan adalah 148,32±3,05 dan anak betina 147,53±2,95 hari. Partus kelahiran tunggal terjadi dengan rentang waktu yang lebih panjang (144-158 hari), di mana persentase tertinggi 16,90% terjadi pada lama bunting 150 hari, sedangkan partus pada kelahiran kembar dua terjadi dengan rentang waktu yang lebih singkat (142-151 hari), dan persentase terbanyak 29,62% terjadi pada lama bunting 148 hari. Aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE terjadi relatif cepat (semasa ternak masih menyusui anaknya), sehingga interval beranak 7-8 bulan bisa terjadi. Kambing PE dengan produksi susu rendah cenderung menunjukkan aktivitas seksual lebih awal dari pada kambing PE dengan produksi susu sedang dan tinggi. Interval beranak adalah periode antara dua beranak yang berurutan dan terdiri atas periode perkawinan (periode dari beranak sampai konsepsi) dan periode bunting (Sutama et al ., 1997).
17
Tingkat Kelahiran dan Mortalitas Angka kelahiran anak jantan 52,35% dan anak betina 47,45%. Kelahiran jantan menunjukkan berat lahir, berat sapih, dan berat dewasa yang lebih berat dibandingkan kelahiran betina. Hal ini dapat dimaklumi bahwasanya secara alamiah berat lahir suatu individu akan dipengaruhi oleh tipe kelahirannya dan status kelamin dari indvidu yang bersangkutan atau yang kita kenal dengan istilah sexual dimorphism (Mulyadi, 1992). Salah satu sumber kerugian yang cukup besar terjadi pada kambing PE adalah tingginya kematian anak pra-sapih (36-71%) pada umur 0-4 bulan. Upaya untuk mengurangi tingkat kematian anak sangat diperlukan. Manajemen pemeliharaan sekitar waktu beranak adalah sangat penting mengingat sebagian besar kematian anak terjadi segera setelah lahir. Kambing sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, perubahan pakan dan pemeliharaan lainnya (Sutama et al ., 1997). Atabany et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya bahwa angka kelahiran anak selama setahun disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Angka Kelahiran Kambing PE Uraian
Kambing PE
Angka Kelahiran Setahun
1,89
Angka Kelahiran Seinduk
1,77
Persentase Kelahiran (%) Anak Jantan
51,96
Anak Betina
48,04
Anak Tunggal
14,54
Anak Kembar Dua
57,52
Anak Kembar Tiga
24,35
Anak Kembar Empat
3,59
Sumber: (Atabany et al., 2004)
Persentase kematian dari lahir sampai umur 3 bulan adalah 55%, setelah itu turun dengan cepat dengan meningkatnya umur. Kematian yang paling besar terjadi selama 14 hari pertama setelah lahir. Kematian sampai umur enam bulan lebih tinggi pada musim yang lebih dingin, dan pada kambing dewasa gangguan parasit paling berat terjadi antara umur enam bulan dan dua tahun. Angka kematian tahunan pada
18
induk dewasa adalah 13-17%, menunjukkan bahwa angka kematian anak kambing paling tidak dua kali lipat dari kematian kambing dewasa. Kematian anak yang baru lahir selalu merupakan proporsi yang tinggi dari kematian total dan dengan mudah disebabkan oleh kedinginan, kekurangan makanan, dan penyakit serta kesulitan beranak (distokia). Kematian sebelum lahir (kematian janin dan keguguran) memberi proporsi kematian anak total yang beragam dan angka kematian setelah lahir biasanya mulai menurun dari kurang lebih seminggu setelah lahir. Embrio dini sangat rentan terhadap cekaman panas (Devendra dan Burns, 1994). Penyakit dan Penanganan Penyakit kudis disebabkan oleh Sarcoptes scabei, Psoroptes communis var ovis, Choriopteso ovis. Penyebabnya dipindahkan lewat kontak dengan domba yang terinfeksi. Kuman penyakit kudis dapat menular ke manusia bila ada kontak dengan ternaknya. Pembentukan kudis pada minggu ke-12 setelah ternak terinfeksi. Pencegahan penyakit kudis dilakukan dengan sanitasi kandang dan lingkungannya, memandikan ternak secara rutin (semiggu sekali) dengan air bersih dan sabun karbol. Penyakit kudis dapat diobati dengan beberapa cara diantaranya: (1) diolesi salep Asuntol 2% dalam vaselin pada bagian yang terserang. (2) dioelesi Benzoas bensilikus 10% pada luka kudis. (3) merendam domba (deeping) dengan larutan Coumaphos 0,5 - 1%. (4) bulu dicukur, kulit yang terserang dikerok lalu diolesi dengan campuran creolin dan spritus dengan perbandingan 1:10. Penyakit cacat mulut cukup berbahaya bagi anak kambing sebelum sapih. Pada serangan yang serius, anak domba tidak dapat menyusu induknya karena adanya luka pada bibir dan lidah. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian pada anak domba. Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Actynomices necrophorus. Gejala penyakit ini, kambing dan domba mendadak demam tinggi, sulit bernapas, lidah terjulur, dan mulut banyak air liur yang berbau asam. Pengobatannya diolesi dengan yodium atau permanganate 10% diberi obat-obatan sulfa, misalnya: Sulfapyradine, Sulfamerozine, Trypiron, atau Pinicilin (Mulyono, 1999). Dinamika Populasi Populasi terbentuk dari kelompok individu dengan spesies yang sama atau kelompok yang berkembangbiak antar kandang. Spesies yang sama bisa saja
19
mempunyai lebih dari satu populasi setempat yang masing-masing telah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan setempatnya. Perbedaan yang kecilkecil dalam menyesuikan setempat antara populasi merupakan dasar untuk seleksi alam. Kelompok populasi memiliki ciri khas tertentu, ciri kelompok populasi mencakup berbagai corak seperti angka kelahiran atau laju berbiak, angka kematian atau laju kematian, susunan kelamin atau sistem reproduksi, struktur umur, sebaran, dan struktur sosial (Ewusie, 1990). Meningkatnya permintaan untuk produksi ternak di negara berkembang, sebuah program yang bertujuan meningkatkan produksi daging telah dimulai. Namun, pembentukan program-program pembangunan untuk mencapai efisien target spesifik membutuhkan pengetahuan tentang dinamika populasi dari target populasi. Aspek yang penting dari dinamika populasi adalah: seks rasio jenis kelamin, sebaran umur, nilai dari input dan output dari populasi dan faktor-faktor yang mengubah angka ini (Sinclair dan Grimsdell, 1982). Potensi perubahan dalam ukuran populasi umumnya diukur dengan tingkat reproduksi bersih dan panjang generasi betina (Turner dan Young, 1969; Winantea et al., 1989). Studi perubahan populasi domba dan kambing di selatan-barat Kenya oleh Wilson dan Maki (1989) menunjukkan bahwa setelah jangka waktu 8 tahun dari survey awal, ada perubahan signifikan dalam jumlah populasi dan struktur dalam hal gender, jenis fisik, tubuh dan berat badan rata-rata, dan usia. Aspek sosial ekonomi, perubahan tersebut, penggunaan bibit eksotis dan sikap terhadap kembar dianggap penting dengan membuat perubahan dalam populasi. Perubahan populasi dapat diestimasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
rm = Keterangan: rm
: tingkat penambahan ternak per tahun
R0
: jumlah induk pengganti yang dihasilkan induk selama hidupnya.
Lf
: rata-rata umur betina produktif dalam kelompok ternak Potensi jumlah ternak yang akan berkembang biak (N) dalam populasi setelah
waktu dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 20
Nt = Keterangan: Nt
: jumlah induk yang siap berproduksi pada waktu “t”
N0
: jumlah betina pada waktu awal
rm
: tingkat penambahan ternak per tahun
t
: waktu Potensi Ternak Kambing di Jawa Barat Pengembangan usahatani ternak ruminansia kecil yaitu ternak domba dan
kambing di provinsi Jawa Barat cukup strategis dan perlu lebih ditingkatkan karena usahatani ternak tersebut cukup menguntungkan dan efisien, sumber hijauan pakan ternak masih dapat tersedia di sekitar lingkungan peternak (di kebun/tegalan, ladang dan lahan pengembalaan), serta potensi pemasaran ternak masih cukup terbuka baik bersumber pada pasar lokal maupun ekspor (Agustian dan Nurmanaf, 2001). Perspektif pengembangan ke depan, pembangunan usaha ternak ruminansia kecil seyogyanya tidak hanya terbatas sebagai usaha peternakan saja (on farm), namun agar usaha tersebut lebih berorientasi pasar maka perlu lebih ditata kembali sehingga kegiatan ekonomi usaha berbasis ternak ruminansia kecil tersebut sebagai suatu sistem agribisnis. Pengembangan usahatani ternak domba dan kambing dalam suatu sistem agribisnis perlu memperhatikan: (a) memiliki kondisi agroekosistem yang
memungkinkan
untuk
pengembangan
komoditi
pertanian,
sehingga
memudahkan untuk memperoleh pakan hijauan dan limbah pertanian untuk ternak; (b) tersedianya prasarana transportasi yang memadai lahan untuk penyediaan pakan dan areal untuk mendirikan kandang serta pasar tempat membeli sarana produksi dan menjual hasil ternak; (c) tersedia lembaga penunjang seperti koperasi untuk kelancaran usaha; (d) perbaikkan dalam kegiatan manajemen teknis maupun pemasaran ternak; (e) dan lingkungan sosial mendukung untuk pengembangan ternak domba dan kambing (Sehabudin dan Agustian, 2001).
21
MATERI DAN METODE Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka dan Desa Paseh Kaler, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Penelitian dilakukan selama satu bulan yaitu dari bulan Juli-Agustus 2011. Materi Sampel penelitian ini melibatkan peternak yang memelihara kambing di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka dan Desa Paseh Kaler, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Responden terdiri dari anggota dua kelompok tani ternak yaitu Kelompok Peternak Simpay Tampomas dan Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera, dengan jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 36 orang, 17 orang dari Kelompok Peternak Simpay Tampomas dan 19 orang dari Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera. Responden yang dipilih secara porposif yaitu peternak yang memiliki kambing lebih dari 3 ekor. Lokasi penelitian ditentukan secara porposif yaitu di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh dengan alasan bahwa kedua tempat tersebut sudah terbentuk kelompok ternak dan telah memiliki recording tentang perkembangan ternak kambing perah di daerah tersebut. Metode Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survey ke lokasi penelitian, wawancara dengan peternak kambing tentang karakteristik reproduksi, jumlah kepemilikkan dan manajemen pemeliharaan ternak disertai pengamatan ke lokasi peternak. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari petani melalui wawancara dengan pengisian kuisioner. Data sekunder didapat dari UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sumedang dan recording dari ketua kelompok. Data primer merupakan data peternak yang terdiri dari umur peternak, pendidikan formal dan non formal, jumlah anggota keluarga, serta pendapatan beternak dan usaha lain/tahun. Data kambing yang diamati meliputi data populasi dan reproduksi yang terdiri atas jumlah ternak pertama, pertambahan ternak, jumlah jantan dan betina anak, jumlah jantan dan betina muda, jumlah jantan dan betina dewasa, jumlah induk laktasi bunting dan
22
tidak bunting, jumlah induk kering bunting dan tidak bunting, jumlah kambing yang dijual, umur pertama birahi, umur pertama kawin, umur pertama beranak, lama bunting, jumlah anak dalam satu tahun, kidding interval, jumlah anak perkelahiran, bobot anak lahir, umur sapih, dan seks rasio. Penentuan umur kambing berasal dari keterangan peternak. Disamping itu, observasi dilakukan ke lokasi peternak dan data lain yang meliputi manajemen pemeliharaan ternak juga dikumpulkan sebagai data pendukung. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan ternak kambing diidentifikasi dan disajikan secara deskriptif. Rancangan dan Analisis Data Hasil penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan data disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Berdasarkan data reproduksi ternak dilakukan estimasi terhadap perubahan populasi ternak yang terjadi selama enam tahun kedepan dengan menggunakan rumus yang diestimasi oleh Wilson dan Maki (1989), perubahan populasi dapat diestimasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut: rm = Keterangan: rm
: tingkat penambahan ternak per tahun
R0
: jumlah induk pengganti yang dihasilkan induk selama hidupnya.
Lf
: rata-rata umur betina produktif dalam kelompok ternak. Potensi jumlah ternak yang akan berkembang biak (N) dalam populasi setelah
waktu dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Nt = N0ermt Keterangan : Nt
: jumlah induk yang siap berproduksi pada waktu “t”
N0
: jumlah betina pada waktu awal
rm
: tingkat penambahan ternak per tahun
t
: waktu
Hasil estimasi dapat memberikan gambaran dalam waktu enam tahun berapa jumlah kambing yang dapat bertambah dan dipertahankan sebagai sumber bibit pada lokasi penelitian.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Provinsi Jawa Barat terletak pada garis lintang antara 50 50’- 70 50’ Lintang Selatan dan antara 1040 48’- 108 48’ Bujur Timur. Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten, di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, dan sebelah selatan dibatasi oleh Samudra Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki cakupan luas wilayah 44.176 km2 atau 44.176.710 Ha, 32,79% dari seluruh luas wilayah Indonesia (±2.027.087 km). Provinsi Jawa Barat terdiri atas 23 kota/kabupaten, Kabupaten Sumedang, Tasikmalaya dan Bogor merupakan tiga kabupaten yang telah dicanangkan untuk dijadikan sentra pengembangan kambing PE di Jawa Barat (Heriyadi, 2004). Berdasarkan kondisi geografis Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat dengan luas wilayah 152.220 Ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan tujuh kelurahan. Kabupaten Sumedang memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut:(1) sebelah Utara: Kabupaten Indramayu, (2) sebelah Selatan: Kabupaten Garut, (3) sebelah Barat: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang, dan (4) sebelah Timur : Kabupaten Majalengka. Berdasarkan kondisi topografis, Kabupaten Sumedang merupakan daerah berbukit dan gunung dengan ketinggian tempat antara 25–1.667 m di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali disebagian kecil wilayah utara berupa dataran rendah. Luas lahan menurut jenis penggunaan pada tahun 2010, luas lahan sawah sebesar 33.276 Ha dan luas darat sebesar 118.944 Ha. Keadaan topografis Kabupaten Sumedang beriklim tropis dengan temperatur ratarata antara 27-280C dengan kelembaban rata-rata 49,56% (BPS Kabupaten Sumedang, 2010). Potensi suhu tersebut dapat mendukung perkembangbiakkan ternak kambing. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang. Kedua lokasi ini memiliki kesamaan yaitu bekas tambang pasir yang dimanfaatkan sebagai lahan peternakan dan pertanian serta sudah memiliki kelompok ternak. Perbedaan pada kedua lokasi yaitu kelompok ternak di
25
Kecamatan Cimalaka sudah terbentuk kelompok ternak terlebih dahulu dibandingkan kelompok ternak di Kecamatan Paseh. Kecamatan Cimalaka Kecamatan Cimalaka merupakan daerah sentra ternak kambing Peranakan Etawah (PE) di Kabupaten Sumedang. Kecamatan Cimalaka sebelumnya merupakan daerah penambangan pasir. Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka adalah daerah penelitian dan sekaligus lokasi bekas galian pasir. Desa Cibereum Wetan terletak pada 107060’45’’BT di sebelah utara berbatasan dengan Gunung Tampomas, di sebelah selatan dengan Desa Ciuyah Kecamatan Ciasarua, di sebelah barat dengan Desa Cibereum Kulon, dan di sebelah timur Desa Legok Kecamatan Paseh. Desa Cibereum Wetan berada di kaki Gunung Tampomas dengan suhu rata-rata 23-310C. desa Cibereum Wetan memiliki luas lahan sebesar 394 Ha. Kegiatan penambangan pasir ini dilakukan selama bertahun-tahun dan tanpa aturan-aturan yang jelas yang berakibat buruk pada lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat pada lapisan tanah yang semakin hari semakin menipis sehingga daerah tersebut sangat rawan longsor dan menjadi lahan yang tidak produktif. Upaya untuk mengembalikan lahan rusak sangat sulit karena lahan tersebut dipenuhi dengan batuan tanpa lapisan top soil. Tahun 1983, seorang petani teladan mulai memanfaatkan lahan kritis dengan membeli lahan bekas galian pasir tipe C seluas 1.400 m2. Pelestarian kembali sebagian lokasi ini dilakukan pada tahun 1985 dengan cara menanam pohon yang mampu hidup di lahan tersebut. Gambar 2 menunjukkan kondisi lahan galian pasir di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka yang belum direklamasi saat penelitian dilakukan.
Gambar 2. Lokasi Lahan Tambang Pasir di Kecamatan Cimalaka
25
Lahan kritis yang ada tidak bisa langsung dimanfaatkan karena butuh waktu untuk mengembalikan kesuburan tanah yang sudah rusak. Tanah tersebut harus diolah sebelum dilakukan penanaman pohon. Pengolahan tanah dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kotoran kambing yang dijadikan sebagai pupuk. Setelah lahan cukup subur maka dilakukan upaya untuk menanam tanaman yang mampu hidup pada lahan tersebut. Tanaman yang mampu hidup di lahan tersebut adalah pohon leguminosa. Tanaman gamal (Gliricidia sepium) merupakan salah satu tanaman leguminosa yang mampu hidup. Tujuan dari penanaman gamal adalah untuk mereklamasi lahan bekas galian pasir. Namun pertumbuhan normal gamal pada lahan tersebut kurang lebih dua tahun setelah penanaman. Caliandra sp. merupakan tanaman yang juga mampu tumbuh di lahan bekas galian pasir. Keberadaan Caliandra sp. cukup banyak di kaki gunung Tampomas. Penerapan konsep integrasi tanaman ternak, tanaman gamal dan kaliandra digunakan sebagai sumber pakan hijauan ternak. Gambar 3 terlihat lahan bekas galian pasir yang sudah ditanami tanaman gamal.
Gambar 3. Lahan yang Sudah Direklamasi dengan Pohon Gamal Ternak yang dipelihara adalah ternak kambing jenis Jawarandu. Kambing Jawarandu adalah ternak penghasil daging. Pengembangbiakkan ternak berawal dari empat ekor yang dilakukan secara alami dengan menggunakan pengembangan secara bersama dengan sistem maro (bagi hasil). Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh petani setempat, kambing Jawarandu dinilai kurang efisien karena untuk produksi dagingnya membutuhkan waktu yang lama. Jenis kambing yang dipilih untuk dipelihara karena memiliki banyak manfaat adalah Peranakan Etawah (PE). Jenis ini merupakan kambing yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai penghasil susu dan
26
penghasil daging. Ternak kambing dipilih karena selain dapat membantu mereklamasi lahan, kambing juga memiliki nilai ekonomis sehingga dijadikan usaha keluarga. Beternak kambing PE bertujuan sebagai penghasil bibit bukan sebagai penghasil susu karena produksi susu saat ini masih sedikit. Gambar 4 menunjukkan jenis kambing yang dipelihara yaitu kambing Peranakan Etawah (PE).
Gambar 4. Kambing PE di Kecamatan Cimalaka Limbah dari peternakan kambing salah satunya adalah kotoran (feses). Kotoran (feses) ini dimanfaatkan petani sebagai pupuk. Pupuk tersebut digunakan untuk pemupukan tanaman terutama buah naga. Buah naga adalah salah satu buah yang sangat cocok dengan kondisi lahan yang ada. Seiring dengan berjalannya waktu, buah naga yang ditanam semakin banyak, sehingga bisa menjadi salah satu sumber pendapatan petani di Kecamatan Cimalaka selain pendapatan beternak. Luas kebun buah naga sudah mencapai lima hektar. Perkebunan buah naga ini merupakan hasil kerjasama antara petani dengan pengusaha, sehingga menjadikan lokasi ini sebagai contoh integrated farming. Pada Gambar 5 dapat dilihat tanaman buah naga yang sudah tumbuh di lokasi tersebut.
27
Gambar 5. Lahan Galian Pasir yang Ditanami Buah Naga di Kecamatan Cimalaka Keberhasilan dalam beternak kambing PE dan bertani buah naga berdampak positif terhadap penduduk sehingga warga Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka tertarik untuk beternak kambing. Dalam mengatur sistem pengelolaan ternak kambing yang dipelihara, dibentuklah kelompok ternak yang diberi nama Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas. Kelompok ini dibentuk pada tahun 1997 dengan ketua kelompok yaitu petani teladan yang bernama Uha Juhari. “Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas” dibawah bimbingan Dinas Peternakan setempat kemudian sering mengikuti kontes ternak sampai ke tingkat nasional dan dapat meraih juara satu. Prestasi tersebut menginspirasi masyarakat sekitar untuk beternak sehingga pada tahun 2008 dibentuk kelompok tani ternak yang kedua dengan lokasi yang serupa yaitu bekas galian pasir dan di kabupaten yang sama yaitu Kecamatan Paseh. Kecamatan Paseh Kecamatan Paseh merupakan daerah sentra kambing PE kedua di Kabupaten Sumedang setelah Kecamatan Cimalaka. Luas wilayah Kecamatan Paseh 3.437 Ha. Kecamatan Paseh berdekatan dengan wilayah Srirahayu, Mekarlaksana, Drawati, dan Sudi. Lokasi penelitian terletak di Desa Paseh Kaler, Kecamatan Paseh. Desa Paseh Kaler berjarak 1 km dari ibu kota kecamatan dan 60 km ke ibu kota provinsi. Masyarakat Desa Paseh Kaler memanfaatkan lahan pertaniannya dengan bertani.
28
Daerah ini juga merupakan salah satu daerah penambangan pasir. Lahan bekas tambang pasir di Kecamatan Paseh dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Lahan Bekas Tambang Pasir yang Belum direklamasi di Kecamatan Paseh Reklamasi lahan di Kecamatan Paseh juga diawali dengan penanaman pohon gamal, ada juga tanaman semak belukar yang tumbuh. Namun, di Kecamatan Paseh belum ada perkebunan buah naga. Kondisi lokasi tidak jauh berbeda dengan Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka, namun karena baru sebagian kecil lahan yang direklamasi maka lokasi ini lebih gersang dan lembab. Pada Gambar 7 terlihat lahan sudah ditanami pohon gamal.
Gambar 7. Lahan yang Sudah Direklamasi dengan Pohon Gamal
29
Salah satu upaya yang juga dilakukan oleh warga Kecamatan Paseh untuk memanfaatkan lahan kritis adalah mengembangbiakkan ternak. Tahun 2008 warga di Kecamatan Paseh membentuk sebuah kelompok ternak yang diberi nama Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera. Ternak yang dikembangbiakkan adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Perbedaan awal dari terbentuknya kelompok berdampak terhadap status kelompok tani ternak dimasing-masing kecamatan, yaitu Kelompok Peternak Simpay Tampomas di Kecamatan Cimalaka bersertifikat kelas madya sedangkan Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera yang berada di Kecamatan Paseh bersertifikat kelas lanjut. Menurut Deptan (2012), penilaian terhadap kelompoktani didasarkan atas lima kemampuan kelompoktani yaitu (a) perencanaan, (b) pengorganisasian, (c) pelaksanaan, (d) pengendalian dan pelaporan, serta (e) pengembangan kepemimpinan kelompoktani. Penilaian dilakukan dengan menggunakan instrument yang merupakan pengembangan dari aspek dan indikator Pakem Poktan sebagai berikut: kemampuan merencanakan kegiatan dengan nilai maksimal indikator 200, kemampuan mengorganisasikan kegiatan dengan nilai maksimal 100, kemampuan melaksanakan kegiatan dengan nilai maksimal 400, kemampuan melakukan pengendalian dan pelaporan dengan nilai maksimal150, kemampuan mengembangkan kepemimpinan kelompok 150, sedangkan klasifikasi kemampuan kelompoktani didasarkan hasil penilaian yaitu kelas pemula (0-250) sertifikatnya ditandatangani oleh Kepala Desa, kelas lanjut (251-500) sertifikatnya ditandatangani oleh Camat, kelas madya (500-700) sertifikatnya ditandatangani oleh Bupati/Walikota, dan kelas utama (750-1000) sertifikatnya ditandatangani oleh Bupati/Walikota dengan format yang sedikit berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, kelompoktani di Simpay Tampomas di Kecamatan Cimalaka lebih baik dibandingkan kelompoktani di Tampomas Sejahtera di Kecamatan Paseh. Populasi dan Kepemilikan Ternak Karakteristik Petani Data karakteristik petani yang diperoleh dari jumlah peternak yang diwawancarai di kedua kecamatan diperoleh informasi meliputi pendidikan dan tingkat pendapatan yang diperoleh di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh disajikan pada Tabel 6. 30
Tabel 6. Karakteristik Petani di Lahan Bekas Tambang Pasir Parameter
Kec. Cimalaka
Kec. Paseh
(orang)
(%)
(orang)
(%)
a) SR (SD)
9
56
18
95
b) SLTP
3
19
c) SMA
4
25
1
5
a) pelatihan
4
25
19
100
b) penyuluhan
9
56
c) kedua-duanya
3
19
a) 1jt - 15 jt (<10 ekor)
10
67
4
100
b) 16 - 30 jt (11 - 20 ekor)
2
13
c) >31 jt (30 > ekor)
3
20
a) 1 - 5 jt
5
56
6
35
b) 5 - 10 jt
3
33
1
6
c) 11 - 15 jt
1
11
10
59
Pendidikan formal:
Pendidikan non formal:
Pendapatan beternak/tahun:
Pendapatan usaha lain/tahun:
Petani di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal petani di kedua kecamatan rendah, tetapi pendidikan formal bukan satu-satunya kriteria untuk menggambarkan tingkat pengetahuan dan keterampilan petani, akan tetapi secara relatif faktor ini memiliki hubungan dengan kemampuan petani dalam menerima informasi atau inovasi baru. Penerimaan usahatani ternak di lokasi penelitian bersumber dari hasil penjualan ternak. Pendapatan beternak/tahun 1-15 juta, 16-30 juta, dan lebih dari 30 juta dengan masing-masing kepemilikkan ternak kurang dari 10 ekor, 11-20 ekor, dan lebih dari 30 ekor. Pendapatan beternak/tahun pada petani di Kecamatan Cimalaka lebih bervariasi dibandingkan dengan hasil pendapatan petani di Kecamatan Paseh. Hal ini disebabkan Kelompok Peternak Simpay
31
Tampomas, Kecamatan Cimalaka sudah lama terbentuk yaitu ±15 tahun sehingga lebih berpengalaman dalam beternak dibandingkan Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera, Kecamatan Paseh yang baru terbentuk ±4 tahun. Selain itu juga, petani di Kecamatan Cimalaka sudah mendapatkan pendidikan non formal yang lebih banyak, sehingga pengetahuan petani di Kecamatan Cimalaka lebih luas wawasannya dibandingkan petani di Kecamatan Paseh. Pendapatan petani dari usaha lain/tahun pada kedua kecamatan bervariasi. Namun petani di Kecamatan Cimalaka pendapatan usaha lain lebih rendah dibandingkan petani di Kecamatan Paseh. Hal ini dikarenakan mata pencaharian utama petani di Kecamatan Cimalaka adalah petani, sedangkan petani di Kecamatan Paseh memiliki mata pencaharian utama beragam yakni sebagai petani, pengrajin furniture dan kuli galian pasir, sedangkan usaha peternakan hanya dijadikan sebagai usaha sambilan dan hobi karena mereka belum terlalu paham bahwa usaha peternakan berpotensi untuk dikembangkan. Uraian pendapatan petani di kedua kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pendapatan Petani di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh Klasifikasi Mata Pencaharian Utama: Petani Peternak Pengrajin furniture Kuli galian pasir Sambilan: Peternak
Kecamatan Cimalaka Kecamatan Paseh Pendapatan Rata-Rata/Tahun 2.716.2500 15.643.333
7.244.444 14.335.000 17.033.333
26.512.500
6.425.000
Tabel 7 menunjukkan bahwa pendapatan tertinggi baik pada penghasilkan utama maupun sambilan petani di Kecamatan Cimalaka adalah beternak. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Kecamatan Cimalaka sudah menjadikan beternak sebagai usaha utama bukan sambilan lagi, sedangkan petani di Kecamatan Paseh masih menjadikan usaha beternak sebagai usaha sambilan karena pendapatan beternaknya lebih rendah dibandingkan usaha utamanya yaitu bertani, pengrajin furniture, dan kuli tambang pasir. Hal ini disebabkan wawasan pengetahuan tentang beternak yang masih rendah sehingga sebagian besar mereka masih beranggapan bahwa ternak hanya dijadikan sebagai simpanan atau tabungan yang bisa dimanfaatkan jika suatu saat dibutuhkan bisa langsung dijual. Tenaga kerja yang 32
digunakan berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar menggunakan tenaga kerja dari keluarga sendiri dan sebagian kecil tenaga kerja menggunakan dari luar keluarga (tetangga). Jumlah Ternak Ternak di Kecamatan Cimalaka didominasi oleh domba dan kambing. Populasi domba sebanyak 5.596 ekor sedangkan populasi kambing sebanyak 3.441 ekor. Populasi ternak di Kecamatan Paseh yang paling banyak adalah domba dengan jumlah populasi sebanyak 3.142 ekor dan sapi potong peringkat kedua dengan jumlah populasi sebanyak 1.382 ekor (UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sumedang, 2011). Data jumlah kambing di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh berdasarkan umur dan jenis kelamin serta jumlah ternak yang dijual dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Ternak Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh Bulan Juli 2011 Kec. Cimalaka jumlah jumlah persentase (ekor) (ekor) (%)
Kec. Paseh jumlah jumlah Persentase (ekor) (ekor) (%)
Parameter Anak Muda Dewasa Induk laktasi (bunting) Induk laktasi (tidak bunting) Induk kering (bunting) Induk kering (tidak bunting) Jumlah kambing dijual
44 37 22
43
53 32 155 14 82 31 28 85
12,83 15,45 10,79 9,33 6,41 4,08 23,91 9,04 8,16 12,54 24,78
21 14 8
24 12 89 33 56 7
12,5 8,33 4,76
14,29 7,14
19,64 33,33 4,17
Keterangan: (-) = tidak memiliki
Data populasi kambing didapat berdasarkan hasil penelitian di dua kecamatan yaitu Cimalaka dan Paseh. Ternak yang diperlihara pertama kali pada petani di Kecamatan Cimalaka sebanyak 29 ekor dari total anggota kelompok 17 orang, sedangkan jumlah ternak pertama yang dipelihara pada petani di Kecamatan Paseh sebanyak 56 ekor dari total anggota kelompok 19 orang. Menurut BPS Kabupaten Sumedang (2010), jumlah penduduk di Kecamatan Paseh sebanyak 35.848 jiwa dan Kecamatan Cimalaka sebanyak 56.465 jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
33
jumlah penduduk yang ada, hanya 0,05% penduduk di Kecamatan Paseh dan 0,03% penduduk di Kecamatan Cimalaka yang beternak kambing PE. Bila dipandang dari segi lainnya, yakni dari segi kepemilikkan ternak kambing dapat diketahui bahwa rataan kepemilikkan ternak kambing di Kecamatan Cimalaka sebanyak 40 ekor/peternak yang meliputi: 23 ekor ternak dewasa, 5 ekor ternak muda 12 ekor ternak anak, sedangkan kepemilikan ternak kambing di Kecamatan Paseh sebanyak 14 ekor/peternak yang meliputi: 6 ekor ternak dewasa, 4 ekor ternak muda 4 ekor ternak anak. Perbedaan jumlah ternak yang dipelihara cukup jauh berbeda antar kedua kecamatan tersebut. Hal tersebut disebabkan petani yang berada di Kecamatan Cimalaka awalnya dengan sistem maro (bagi hasil) antar peternak dan baru sedikit petani yang beternak serta belum ada bantuan dari pemerintah. Namun setelah terbentuk kelompok, pemerintah setempat memberi bantuan baik berupa kambing, konsentrat maupun pendidikan non formal berupa penyuluhan dan pelatihan. Melihat perkembangan serta potensi yang ada pada “Kelompok Peternak Simpay Tampomas”, pemerintah berinisiatif memberi sejumlah ternak untuk dikembangkan oleh petani di Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera. Pemerintah setempat tidak hanya memberi bantuan kambing tetapi pemerintah juga memfasilitasi petani dengan memberi pendidikan non formal dari Dinas Peternakan berupa penyuluhan yang diadakan setiap dua minggu sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kambing yang dijual di Kecamatan Cimalaka lebih banyak dibandingkan kambing di Kecamatan Paseh. Hal ini dikarenakan ternak di Kecamatan Paseh belum berproduksi banyak. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa kambing di Kecamatan Cimalaka yang dijual lebih banyak ternak betina dibandingkan jantan. Hal ini disebabkan banyak induk yang sudah afkir dan cempe yang lahir untuk dijadikan sebagai bibit. Karakteristik Reproduksi Kambing PE Data reproduksi pada Tabel 9 dapat dijelaskan bahwa ternak kambing di kedua kecamatan cukup prolifik ditandai dengan jumlah anak/kelahiran yang cukup baik. Siklus birahi dilakukan dengan menghitung jarak antara kawin dengan kawin berikutnya jika perkawinan yang sebelumnya tidak terjadi kebuntingan. Siklus birahi pada peternakan kambing PE 22,79 hari dan pada peternakan kambing Saanen 21,73 hari (Atabany, 2001). 34
Tabel 9. Karakteristik Reproduksi Kambing PE di Lahan Bekas Tambang Pasir Kabupaten Sumedang Parameter
Kec. Cimalaka
Kec. Paseh
Rata-Rata Umur pertama berahi (bulan) Umur pertama kawin (bulan)
10,06±1,65 10,56±1,55
12,89±3,86 13,26±3,93
Umur pertama beranak (bulan)
15.44±1,50
19.47±0,61
Lama bunting (bulan)
5,13±0,34
5,53±0,51
Kidding interval (bulan)
7,75±0,58
7,17±1,11
Jumlah anak perkelahiran/litter size (ekor)
2,13±0,5
1,75±0,62
Bobot anak lahir (kg) Umur disapih (bulan)
3,25 3,5±0,73
4,85±1,68
1:3
1:5
Seks ratio Keterangan: (-) tidak timbang
Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata umur kambing pertama birahi pada kedua kecamatan berbeda, umur birahi pertama pada kambing PE di Kecamatan Cimalaka lebih cepat dibandingkan di Kecamatan Paseh. Hal ini disebabkan petani di Kecamatan Paseh belum terlalu pahan tentang tanda-tanda birahi pada kambing. Kambing Peranakan Etawah (PE) betina mencapai pubertas (birahi pertama) pada umur 10-12 bulan dan pada berat badan sekitar 13,5-22,5 kg (rataan 18,5 kg) atau sekitar 55-60% dari berat badan dewasa. Umumnya birahi pertama diikuti oleh ovulasi (Sutama et al., 1995). Menurut Mulyono (1999), pubertas (birahi pertama) pada ternak kambing dan domba, terjadi pada umur 6-12 bulan. Dewasa kelamin kambing dicapai pada umur 4-6 bulan (Willamson dan Payne, 1993). Namun, untuk kambing PE baru menjadi pejantan yang baik jika usianya telah mencapai antara 10-18 bulan. Hal ini dikarenakan pada umur tersebut nafsu kawin dan pembentukan sel kelamin sudah cukup. Peternak di Kecamatan Paseh tidak langsung mengawinkan ternaknya tetapi menunggu ternaknya sampai dewasa tubuh baru dikawinkan tetapi terkadang peternak di Kecamatan Paseh membeli ternak yang sudah dewasa tubuh sehingga ketika birahi langsung dikawinkan. Sutama dan Budiarsana (1997), menyatakan bahwa penundaan umur perkawinan pertama perlu dilakukan untuk memberi kesempatan ternak untuk mencapai kondisi dan berat badan yang cukup untuk mempertahankan kebuntingan dan kinerja produksi dan reproduksi selanjutnya.
35
Sistem perkawinan ternak kambing di kedua kecamatan masih secara alamiah, ternak yang sedang birahi dikeluarkan dari kandang kemudian dikawinkan dengan pejantan unggul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seks rasio pada ternak di Kecamatan Cimalaka 1:3, sedangkan seks rasio pada ternak di Kecamatan Paseh 1:5. Seks rasio perkawinan kambing di kedua kecamatan ini terlihat kurang efisien karena menurut Atabany (2001) melaporkan perbandingan antara jantan dan betina dewasa (induk laktasi, induk kering, dara bunting, dan dara siap kawin) pada peternakan kambing PE adalah 1:14 dan pada peternakan kambing Saanen perbandingannya 1:3. Menurut Blakely dan Bade (1991), seekor jantan sehat dapat mengawini betina sebanyak 30 ekor. Devendra dan Burn (1994) berpendapat bahwa seekor kambing jantan dewasa dapat mengawini 25 ekor betina. Sistem perkawinan pada ternak di Kecamatan Cimalaka ditentukan oleh peternaknya sendiri dengan pejantan dan induk milik sendiri sedangkan perkawinan pada ternak di Kecamatan Paseh diatur oleh kelompok karena masing-masing peternak belum mempunyai pejantan sendiri oleh karena itu, ketua kelompok berinisiatif untuk meminjamkan pejantannya untuk dikawinkan ke betina-betina yang sedang birahi. Sistem pembagian pejantannya yaitu setiap lima betina dikawinkan dengan satu pejantan. Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata umur kambing pertama kali kawin di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh masing-masing 10,56±1,55 bulan dan 13,26±3,39 bulan. Hal ini disebabkan petani di Kecamatan Cimalaka umur tersebut sudah bisa untuk dikawinkan sehingga dikawinkan pada umur yang lebih muda dibandingkan ternak di Kecamatan Paseh. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sukendar (2004), bahwa umur pertama kali ternak kambing kawin 7,50±2,50 bulan, sedangkan Atabany (2001) memperoleh umur kawin pertama kambing di Peternakan Barokah tercapai ketika umur 403,32 hari atau 13,44 bulan untuk kambing betina. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga produktivitas kambing betina nantinya tetap tinggi, maka perkawinan sebaiknya dilakukan ketika kambing mendekati dewasa tubuh karena untuk menghindari kebuntingan pada masa pertumbuhan. Menurut Budi (2005), waktu mengawinkan ternak yang kurang tepat akan mengakibatkan ternak yang dikawinkan tidak bunting. Lama kebuntingan untuk kambing dan domba sekitar 148 hari atau antara 140159 hari (Mulyono, 1999). Menurut Devendra dan Burn (1994), lama bunting pada
36
ternak kambing ditemukan agak konstan pada 146 hari. Lama kebuntingan kambing berkisar dari 147 hingga 155 hari. Induk harus dipelihara pada kondisi yang baik selama bunting untuk perkembangan normal anak yang dikandungnya (Blakely dan Bade, 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama kebuntingan ternak kambing PE antara 150-180 hari (5-6 bulan), hasil ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Atabany (2001), bahwa rataan lama kebuntingan kambing PE di peternakan Barokah yaitu 148,87 hari dan laporan penelitian Sutama dan Budiarsana (1997) bahwa lama kebuntingan 144-156 hari (rataan 149 hari) dan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor, tergantung umur dan paritas induk. Kambing yang ada di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh rata-rata umur pertama kali kambing PE beranak berturut-turut 15,44±1,50 bulan dan 19,47±0,61 bulan. Hal ini dikarenakan kambing di Kecamatan Cimalaka dikawinkan pada umur yang lebih muda dibandingkan kambing di Kecamatan Paseh, sehingga waktu beranaknya lebih cepat. Hasil penelitian ini lebih cepat daripada yang dilaporkan Atabany (2001), umur beranak pertama pada kambing PE 643,24 hari (21,44 bulan). Umur beranak pertama dipengaruhi oleh dewasa tubuh dan keberhasilan perkawinan. Kambing PE dapat beranak pertama pada umur 16–18 bulan, dalam 2 tahun dapat beranak 3 kali dengan masa produktif 5 tahun (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). Selang beranak per induk di kedua kecamatan termasuk baik yaitu 7,75±0,58 dan 7,17±1,11bulan. Berdasarkan laporan penelitian Sutama et al. (1997), aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE terjadi relatif cepat (semasa ternak masih menyusui anaknya), sehingga interval beranak 7-8 bulan bisa terjadi. Menurut Mulyono (1999), untuk
meningkatkan keuntungan dalam
memperoleh bakalan sebaiknya dibuat pola produksi. Upaya yang harus dilakukan adalah mengatur interval (selang waktu) beranak. Keadaan organ reproduksi siap untuk bunting lagi setelah dua bulan beranak. Bakalan akan disapih pada umur tiga bulan, dengan demikian selang beranak dapat diperpendek sehingga induk dapat 3 kali beranak dalam 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa litter size kambing PE di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh masing-masing 2,13±0,5 dan 1,75±0,62. Hasil menunjukkan bahwa bibit kambing di Kecamatan Cimalaka lebih baik dibandingkan di Kecamatan Paseh karena litter size kambing di Kecamatan Cimalaka lebih tinggi.
37
Hasil ini masih lebih tinggi dari hasil yang diperoleh Devendra dan Burn (1994) sebesar 1,5 anak/kelahiran dan Budiarsana et al. (2003) diperoleh rataan litter size kambing PE pada tiga tempat berbeda yaitu Desa Luwisari (agroekisistem dataran tinggi), Desa Panulisan Timur (agroekosistem dataran rendah), dan Desa Cariu (agroekosistem
sedang)
masing-masing
sebesar
1,75±0,45,
1,29±0,46,
dan
1,82±0,728. Sukendar (2004) melaporkan litter size kambing PE yang didapat di Desa Hegarmanah menunjukkan rataan 1,83 anak per kelahiran, sedangkan Atabany (2001) melaporkan litter sitze kambing PE di Peternakan Barokah sebesar 1,77 anak/kelahiran. Rata-rata bobot lahir untuk ternak kambing PE di Kecamatan Cimalaka sebesar 3,25 kg, sedangkan ternak kambing PE di Kecamatan Paseh tidak dilakukan penimbangan. Hal ini disebabkan keterbatasan alat serta kurangnya pengetahuan tentang pentingnya mengetahui bobot lahir anak kambing pada kelompok ternak di Kecamatan Paseh. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Atabany et al., (2004) melaporkan bahwa rataan berat lahir anak kambing PE yang diamati 3,84 kg (kisaran 2,O-6,0 kg). Berat lahir anak jantan 3,97 kg dan anak betina 3,73 kg. Berat lahir anak tunggal 4,26 kg, kembar dua 4,08 kg, kembar tiga 3,17 kg, dan kembar empat 2,63 kg. Angka kelahiran anak jantan 51,96% dan anak betina 47,45%. Perbedaan antara data di dua lokasi dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan dan perkawinan serta ketersediaan pakan di lokasi terutama di Kecamatan Paseh. Umur sapih kambing PE di Kecamatan Cimalaka lebih cepat dibandingkan di Kecamatan Paseh. hal ini dikarenakan peternak di Kecamatan Kambing PE di Kecamatan Paseh disatukan dengan induknya selama 3-4 bulan setelah itu dipisah, kemudian induk dikawinkan kembali. Hal tersebut dilakukan juga di Kecamatan Cimalaka, akan tetapi ternak kambing PE di Kecamatan Cimalaka tidak semua anak disatukan dengan induk setelah lahir. Peternak mengklasifikasikan anak berdasarkan potensi ternak. Ternak yang berpotensi bagus diberi susu langsung dari induknya selama 3-4 bulan sedangkan ternak yang kurang berpotensi pemberian susunya melalui dot sejak lahir dengan takaran ¾-1 l/ekor. Anak yang lahir kembar tiga atau ganjil pemberian susunya dititipkan kepada induk yang lahir hanya satu ekor. Anak jantan dan betina dipisahkan sejak berumur enam bulan.
38
Tabel 10. Angka Kematian Kambing PE Bulan Juli 2011 Parameter Cempe mati (%) Induk mati (%)
Kecamatan Cimalaka 17,53 3,87
Kecamatan Paseh 77,78 5,62
Tingkat kematian anak (cempe) pada ternak di Kecamatan Cimalaka lebih rendah dibandingkan ternak di Kecamatan Paseh. Menurut Devendra dan Burn (1994), ada empat faktor yang mempengaruhi kematian cempe yaitu kedinginan, kekurangan pakan, penyakit, dan kesulitan ketika beranak (distokia). Faktor penyakitlah yang menjadi faktor utama kematian ternak di Kecamatan Paseh. Penyakit yang menyebabkan kematian adalah scabies (kudis). Penyakit scabies (kudis) disebabkan kelembaban yang tinggi dan sanitasi (kebersihan) kandang serta ternak yang dipeliharan. Kematian cempe di Kecamatan Cimalaka dikarenakan faktor kekurangan pakan, karena pada saat itu musim kemarau sehingga ketersediaan pakan terbatas didukung dengan cuaca yang panas tetapi kelembaban tinggi sehingga kualitas dan kuantitas pakan menurun. Manajemen pemeliharaan sekitar waktu beranak adalah sangat penting mengingat sebagian besar kematian anak terjadi segera setelah lahir. Kambing sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, baik perubahan pakan dan pemeliharaan lainnya betina bunting, induk dan anak yang belum disapih, anak betina muda dan anak jantan muda (Sutama et al ., 1997). Hasil ini masih rendah daripada hasil penelitian Adiati et al. (1999) menunjukkan bahwa anak kambing yang dipisah dari induknya sesaat setelah lahir mengalami tingkat kematian sebesar 28,57% dan 57,14%, sedangkan anak kambing yang disertakan dengan induknya sampai umur enam minggu tidak diperoleh adanya kematian anak sebelum disapih. Hasil ini menunjukkan secara jelas bahwa anak kambing sangat tergatung kepada susu induknya. Sukendar (2004), melaporkan tingkat kematian anak (cempe) kambing PE ialah 9,30% terhadap total anak yang dilahirkan atau 4,56% terhadap total populasi. Tingkat kematian anak di Kecamatan Paseh lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Atabany (2001) di Peternakan Barokah sebesar 11%. Persentase kematian dari lahir sampai umur 3 bulan adalah 55%, setelah itu turun dengan cepat dengan meningkatnya umur. Kematian yang paling besar terjadi selama 14 hari pertama setelah lahir. Kematian sampai umur enam bulan gangguan parasit lebih tinggi pada musim yang lebih dingin, dan pada kambing dewasa paling berat terjadi antara umur
39
enam bulan dan dua tahun. Kematian sebelum lahir (kematian janin dan keguguran) memberi proporsi kematian anak total yang beragam dan angka kematian setelah lahir biasanya mulai menurun dari kurang lebih seminggu setelah lahir. Embrio dini sangat rentan terhadap cekaman panas (Devendra dan Burns, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian induk di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh masing-masing 3,87% dan 5,62%. Angka kematian tahunan pada induk dewasa adalah 13-17%, menunjukkan bahwa angka kematian anak kambing paling tidak dua kali lipat dari kematian kambing dewasa. Tingkat kematian yang tinggi pada kambing dewasa, dapat terjadi karena wabah penyakit terutama pada kawanan yang lemah akibat makanan yang buruk dan menderita cekaman panas. (Devendra dan Burns, 1994). Penyakit dan Penanganan Penyakit yang sering menyerang ternak selama satu tahun terakhir di Kecamatan Cimalaka berdasarkan hasil penelitian adalah mencret dan flu, dengan persentase sebesar 26,67%. Sebagian besar peternak mengobati ternaknya dengan menggunakan daun nangka, daun bambu untuk mengobati penyakit mencret dan obat warung seperti diapet, sedangkan flu diobati dengan obat warung untuk flu seperti inza. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kecamatan Paseh sebagian besar peternak mengatakan bahwa penyakit yang sering terjadi selama satu tahun belakangan ini adalah Scabies (kudis). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balivet, Bogor menunjukkan bahwa ekstrak minyak sawit daun gamal 50% dapat menyembuhkan skabies hingga 100% dengan 2 kali pengobatan dengan jarak 1 minggu. Daun gamal yang digunakan pada pembuatan ekstrak ini adalah dipilih daun tua tetapi masih lunak dari pohon gamal berumur lebih dari 6 bulan. Semakin tinggi kadar kumarin dalam daun semakin baik efeknya sebagai obat skabies. Cara mudah untuk mengetahui daun dengan kadar kumarin tinggi adalah dengan merobek daun dan mencium baunya. Daun dengan kadar kumarin tinggi biasanya baunya lebih menyengat. Pengambilan daun untuk pembuatan ekstrak ini lebih baik dilakukan pada musim kemarau karena pada musim penghujan umumnya kadar kumarin dalam daun menjadi rendah. Adapun pembuatan ekstrak ini adalah dengan cara: 100 gram daun gamal dicincang halus kemudian direbus dalam 200 ml minyak kelapa sawit sampai mendidih selama 1 jam, selanjutnya suhu sedikit diturunkan (tidak dalam kondisi 40
mendidih) selama 1 jam (total perebusan selama 2 jam). Hasil ekstrak tersebut kemudian diangkat dan disaring dengan kain sambil diperas sampai minyaknya tersaring sempurna. Hasil saringan dimasukkan ke dalam botol gelap (berwarna) dan jangan terkena sinar matahari sampai siap digunakan. Ekstrak ini bisa disimpan pada suhu ruangan sampai 1 minggu, jika disimpan pada lemari es (40C) bisa bertahan sampai 6 bulan. Pemberian ekstrak ini pada kambing dilakukan dengan cara mengoleskan ekstrak dengan kuas atau sabuk kelapa pada seluruh permukaan kulit kambing yang terkena skabies. Apabila hanya sebagian kecil telinga yang terkena maka obat bisa dioleskan pada telinga saja tetapi apabila skabies sudah menyebar pada sebagian badan sebaiknya seluruh badan kambing dioles dengan obat karena untuk mencegah perkembangan tungau ke bagian tubuh yang lain. Jika seluruh badan kambing dioles kira-kira diperlukan 100-200 ml obat tergantung besar kecilnya kambing (Balitbang, 2011) Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan ternak di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh adalah intensif, yaitu ternak selalu dikandangkan dan pakan kambing langsung diberikan di kandang. Kambing hanya dikeluarkan pada saat kawin, mandi, dan pengobatan. Peternak dalam penyediaan kandang sangat dipengaruhi kondisi sosial ekonomi keluarga dan lingkungan setempat. Terdapat kandang yang beralasan tanah dan kandang berbentuk panggung namun sebagian besar kandang berbentuk panggung. Dari hasil pengamatan langsung dapat dikatakan bahwa kandang kambing di kedua kecamatan sudah memenuhi persyaratan kandang yang baik karena kandangnya berbentuk panggung sesuai pendapat Atabany (2001) dan Devendra dan Burn (1994), bahwa kandang kambing yang baik berbentuk panggung. Berdasarkan hasil penelitian, luas rata-rata area peternakan di Kecamatan Cimalaka sebesar 1380,69 m2, sedangkan Kecamatan Paseh sebesar 836,53 m2. Luas lahan yang dimiliki oleh peternak di Kecamatan Cimalaka berkisar antara 36-4.480 m2 dengan variasi yang cukup besar sama halnya dengan Kecamatan Paseh 70-4.690 m2/peternak. Ukuran kandang berdasarkan data ketua kelompok, bahwa di Kecamatan Cimalaka untuk induk laktasi 1,5 m2/ekor, induk kering 1,25 m2/ekor, pejantan 3 m2/ekor dan anak 1 m2/ekor. Namun kandang di Kecamatan Cimalaka dibuat koloni dengan ukuran 12 m2 untuk kapasitas 20 ekor, sedangkan ukuran kandang di 41
Kecamatan Paseh sebagai berikut: induk + anak 5 m2/kelompok (umumnya tiga ekor induk), induk beranak 4 m2/ekor, pejantan 3 m2/ekor, dan anak 1,25 m2/ekor. Hasil tersebut sudah baik karena berdasarkan hasil penelitian Atabany (2001), ukuran kandang kambing PE untuk kambing muda sebesar 0,35 m2/ekor, kambing desawa 0,75 m2/ekor, kambing pejantan dewasa 1,5 m2 per ekor, induk 1,5 m2/ekor. Lahan di Kecamatan Cimalaka adalah milik pribadi sementara di Kecamatan Paseh sebagian besar pinjam dari ketua kelompok dan sebagian kecil milik pribadi. Persentase kepemilikan lahan di Kecamatan Paseh sekitar 95% pinjam dari ketua kelompok dan 5% milik pribadi. Rata-rata ukuran panjang dan lebar kandang di Kecamatan paseh adalah 8 x 2 m, sedangkan di Kecamatan Cimalaka rata-rata ukuran panjang dan lebar kandang bervariasi antara 10 x 7 m dan 18 x 4 m. Keragaman ukuran kandang disebabkan pada satu peternakan terdiri dari beberapa kandang dan disetiap kandang berisi induk dan anak-anaknya, jantan, dan kandang melahirkan. Kandang yang banyak digunakan adalah kandang yang berbentuk panggung dengan tujuan mudah dibersihkan dan agar kotoran mudah jatuh ke bawah sehingga mudah untuk mengumpulkan kotoran. Kotoran kambing yang sudah terkumpul tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk atau biogas. Dinding dan lantai kandang terbuat dari bambu, lantai dibuat slat dengan jarak kira-kira 1,5 cm tujuannya agar ternak tidak terjepit ketika berjalan maupun berdiri terutama anak yang ukuran kakinya masih kecil. Kandangnya dilengkapi dengan pintu untuk masing-masing ruangan dan terletak di sebelah belakang dan dilengkapi dengan ventilasi udara yang cukup baik serta dilengkapi juga tempat pakan (palungan). Pemisahan ternak dikelompokkan menjadi jantan dewasa, betina bunting, induk dan anak yang belum disapih, anak betina muda dan anak jantan muda. Gambar 8 kandang di peternakan Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh.
42
Gambar 8. (a)Kandang di Kec. Cimalaka
(b) Kandang di Kec. Paseh
Jenis Pakan dan Pemberiannya Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang digunakan pada ternak di Kecamatan Cimalaka adalah kaliandra dan gamal, sedangkan ternak di Kecamatan Paseh diberikan kaliandra, gamal dan gamelina. Pakan diberikan diberikan sebanyak empat kali sehari yaitu tiga kali pemberian pakan hijauan pada pukul 12.00, 14.00, dan 17.00 WIB. Pakan konsentrat diberikan setelah pakan hijauan pada pukul 12.00 WIB habis dimakan. Konsentrat yang digunakan adalah konsentrat komersial yang merupakan salah satu bantuan dari pemerintah setempat dan ada juga peternak yang menambahkan potongan singkong ke dalam konsentrat komersial. Hijauan yang diberikan kepada ternak pada kedua kecamatan berbeda-beda jumlahnya. Peternak di Kecamatan Cimalaka rata-rata memberikan hijaun sebanyak 5 kg/ekor/hari, sedangkan peternak di Kecamatan Paseh rata-rata memberikan hijauan sebanyak 4-5 kg/ekor/hari. Jumlah peternak di Kecamatan Cimalaka sebanyak 17 orang lebih sedikit daripada peternak di Kecamatan Paseh 19 orang namun, ternak di Kecamatan Cimalaka lebih banyak sehingga pemberian pakan hijauannya lebih banyak. Pemberian pakan konsentrat sama di kedua kecamatan kedua memberikan konsentrat sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Pakan konsentrat hanya diberikan pada ternak yang sedang menyusui (laktasi). Pemberian pakan yang dilakukan sangat tidak efisien karena peternak tidak memberikan pakan sesuai dengan kebutuhan ternak. Peternak yang mengetahui bahwa kebutuhan pakan segar sebesar 10% dari bobotnya hanya sebagian kecil, sedangkan sebagian besar peternak tidak mengetahuinya bahkan peternak di Kecamatan Paseh mempunyai istilah pada pemberian pakan yaitu “be’sok” yang 43
artinya setiap kambing berbunyi peternak selalu menambah pakan dan pemberian itu terus-menerus dilakukan sampai kambing tidak memakannya. Konsentrat yang digunakan 2 kg/hari, Frekuensi pemberian pakan rata-rata 2-3 kali/hari dengan jumlah pakan yang tidak sama jumlahnya. Penyakit yang sering menyerang adalah kudis dan mencret. Peternak mengobati ternaknya dengan menggunakan oli bekas untuk penyakit kudis dan daun nangka, daun bambu untuk mengobati penyakit mencret dan obat warung seperti diapet Dinamika Populasi Kambing PE Populasi kambing dipengaruhi oleh angka kelahiran, angka kematian, sistem reproduksi, struktur umur, dan sebaran ternak. Potensi pengembangan kambing lokal di pedesaan perlu diketahui, mengestimasi pertarnbahan populasinya persatuan waktu, sehingga dapat diketahui nilai estimasi populasi karnbing di waktu yang akan datang (Sukendar et al., 2005). Pada Tabel 11 disajikan hasil analisis berupa proyeksi induk kambing PE selama enam tahun pengembangan. Tabel 11. Proyeksi Kambing PE Induk Selama Enam Tahun Pengembangan di Kecamatan Cimalaka dan Paseh Kecamatan
Betina
Betina
Pengganti
afkir
(tahun)
(ekor)
ekor)
308
7,76
79
29
41
2,03
8
0,33
No
Rm
Ro
Nt
Lf
(ekor)
(%)
(ekor/tahun)
(ekor)
Cimalaka
155
11,43
2,43
Paseh
168
-23,37
0,62
Keterangan:
N0: Jumlah betina pada waktu awal; rm: Tingkat penambahan ternak per tahun; Ro: Jumlah induk pengganti yang dihasilkan induk kambing selama hidupnya; Lf: Umur rata-rata betina produktif dalam kelompok ternak; Nt: Jumlah ternak betina yang siap berproduksi pada waktu t; t: Waktu (6 tahun).
Hasil analisis dinamika populasi ternak induk kambing PE menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan dan penurunan populasi selama enam tahun pengembangan. Peningkatan populasi ternak kambing PE terjadi di Kecamatan Cimalaka sebesar 11,43%, sedangkan populasi kambing PE di Kecamatan Paseh terjadi penurunan sebesar 23,37%. Peningkatan ternak di Kecamatan Cimalaka dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jumlah ternak betina produktif yang lebih banyak, litter size yang tinggi, dan manajemen perkawinan yang lebih baik. Penurunan populasi ternak di Kecamatan Paseh disebabkan tingkat kematian anak yang tinggi 44
yang disebabkan penyakit scabies yang menyerang ternak. penyakit scabies yang terjadi dikarenakan sanitasi kandang dan sekitarnya yang kurang baik serta kelembaban yang tinggi. Selama periode pengembangan enam tahun, perlu disiapkan betina pengganti di Kecamatan Cimalaka sebanyak 79 ekor, sedangkan di Kecamatan Paseh harus dipersiapkan betina pengganti lebih dari 8 ekor untuk mempertahankan populasi. Hasil estimasi ini memberikan gambaran bahwa berdasarkan kondisi saat ini dengan asumsi tidak terjadi perubahan yang signifikan. Selama enam tahun periode pengembangan ternak, jumlah ternak betina yang dihasikan di Kecamatan Cimalaka adalah 308 ekor sedangkan di Kecamatan Paseh adalah 41 ekor, jumlah ternak yang bisa dijual di Kecamatan Cimalaka adalah sebanyak 29 ekor, sedangkan di Kecamatan Paseh hampir tidak ada yang di jual (dikeluarkan). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kambing PE Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kambing PE di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh Antara Lain: Faktor pakan. Pakan merupakan faktor yang mempengaruhi performa produktivitas ternak. Pemberian dan kandungan nutrisi pakan dikedua kecamatan sama dan sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup ternak kambing. Faktor tatalaksana reproduksi. Daya hidup anak yang lahir sangat ditentukan oleh penanganan pada waktu dilahirkan dan pemberian susu tambahan bagi anak kambing yang kekurangan susu induknya. Kematian anak yang tinggi di Kecamatan Paseh diduga karena anak yang baru lahir tidak ditangani dengan baik dan tidak diberi susu tambahan. Faktor penyakit. Penyakit yang umum dijumpai adalah scabies (kudis) terutama di Kecamatan Paseh disebabkan sanitasi kandang dan pengobatan yang kurang sehingga menyebabkan kematian.
45
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Karakteristik reproduksi ternak kambing PE di Kecamatan Cimalaka lebih baik dibandingkan Kecamatan Paseh ditandai dengan jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak, umur anak disapih lebih cepat, dan angka kematian anak yang lebih rendah. Berdasarkan hasil perhitungan dinamika populasi, diperoleh nilai estimasi peningkatan ternak kambing PE di Kecamatan Cimalaka sebesar 11,43%/tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu enam tahun pengembangan, terjadi peningkatan jumlah betina produktif. Sementara di Kecamatan Paseh terjadi penurunan populasi ternak sebesar 23,37%. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan populasi ternak kambing di Kecamatan Paseh adalah penanganan anak yang baru lahir, sanitasi kandang, dan penanganan kesehatan yang kurang memadai. Saran Perbaikkan manajemen pemeliharaan, budidaya dan pendampingan intensif oleh Dinas Peternakan maupun SMD (Sarjana Membangun Desa) diperlukan untuk meningkatkan produksi dan reproduksi ternak kambing PE terutama kelompok ternak di Kecamatan Paseh.
46
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji syukur bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana. Penulis curahkan salam dan shalawat kepada junjungan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya sehingga kita senantiasa memperoleh perlindungan Allah SWT. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bimbingan dan pengarahan dari pembimbing skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Asnath. M. Fuah, MS sebagai pembimbing utama sekaligus dosen pembibing akademik dan Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto sebagai pembimbing anggota yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka penulisan skripsi serta senantiasa memberi motivasi kepada penulis. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Baihaqi, S.Pt, M.Sc. dan Bapak Ir. Kukuh Budi Satoto, MS. Selaku dosen penguji sidang serta Ibu Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si. atas saran dan masukannya penulis mengucapkan terima kasih. Terima kasih kepada Bapak M. Sriduresta, S.Pt, M.Sc. atas bantuannya yang telah diberikan selama ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kelompok Petermak Kambing Simpay Tampomas dan Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian. Ucapkan terima kasih penulis tunjukkan kepada Bapak Uha, Engkos, Tatang, Asep, Amat, Ade, Ence, dan peternak lainnya karena memberikan penulis banyak ilmu pengetahuan yang bisa didapat di lapangan. Penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat dan tersayang Ayahanda H. Arifin dan Ibunda Hj. Rohima yang telah memberikan dorongan moril dan material serta doa restu dan kepercayaannya kepada penulis dalam menyelesaikan studi selama ini. Penulis juga ucapakan terima kasih kepada yang tersayang Kakanda Abdul Kosim, Abdul Haris, Abdul Halim, dan Nina Hanina yang selalu memberikan motivasi dan doa yang tulus untuk penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman IPTP 45 terutama Mala, Auditia, Hatmoko, M.Yoga, Nanda, Dinis, Erni, Siska dan teman-teman lainnya. Teman-teman satu penelitian yaitu Hendro, Wawan, Dewi, Euis, dan Atik serta teman-teman asprak Hasil Ikutan Ternak (Hasut) yaitu Yoga S, Lutfi, Erti, 59
Munthe, Aldi, Artadi, dan Regina terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Teman-teman pochan yakni Kak Dewi, Retno, Kak Tia, Kak Ratna, Kak Ami, Bani, dan Uni terima kasih penulis ucapkan atas nasihat, motivasi, dan kebersamaannya selama ini serta terima kasih penulis ucakapkan kepada tim PKMM MAPASA dan PKMM Bank Rumput Syariah atas kebersamaannya selama ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Bogor, September 2012 Penulis
60 48
DAFTAR PUSTAKA Adiati. U., Hastono., I-K. Sutama., I-W. Mathius., D. Yulistiani., Hastono, & I. G. M. Budiarsana. 1999. Produktivitas kambing PE fase laktasi pada sistem pemeliharaan yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 18-19 Oktober 1999. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Hal 421-429. Adiati, U. 2008. Perkembangan seksual kambing kosta. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal: 381-384. Agustian, A & A. R. Nurmanaf. 2001. Efisiensi kontribusi usaha ternak ruminansia kecil terhadap pendapatan rumahtangga peternak di provinsi Jawa Barat. Med. Pet. 24:1-7. Asmoro, N. 2012. Peluang bisnis susu kambing. Tugas Akhir. Jurusan Manajemen Informatika. Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer. Amikom, Yogyakarta. Astuti, T. Y., S. Haryati, & Siswadi. 2002. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu dan efisiensi ekonomis agribisnis peternakan kambing perah. Anim. Pro. 1:27-31. Atabany, A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing peranakan etawah dan kambing saanen pada peternakan kambing perah barokah dan PT. Taurus dairy farm. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Atabany, A. 2002. Strategi pemberian pakan induk kambing perah sedang laktasi dari sudut neraca energi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Atabany, A., L. K. Abdulgani, A. Sudono, & K. Mudikdjo. 2004. Performa produksi, reproduksi, dan nilai ekonomis kambing Peranakan Etawah di peternakan barokah. Med. Pet. 24: 1-7. Badan Litbang Petanian. 2011. Daun gamal (Gliricidia sepium) obat skabies pada kambing. http:// Peternakan. Litbang.deptan.go.id. [5 Agustus 2012]. Badan Pusat Statistika. 2006. Permintaan Susu. Statistika Peternakan, Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2010. Sumedang dalam Angka. Pemerintah Kabupaten Sumedang, Sumedang. Badan Pusat Statistik. 2011. Populasi Ternak. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Blakely, J. & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi ke-2. Terjemahan: Bambang Srigandoro. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Budi, U. 2005. Pengaruh interval pemerahan terhadap aktivitas seksual setelah beranak pada kambing Peranakan Etawah. J. Agri. Pet. Vol 1 No. 2. Budiarsana, I. G. M., I-K. Sutama., M. Martawijaya, & T. Kostaman. 2003. Produktivitas kambing Peranakan Etawah (PE) pada agroekosistem yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, 29-30 September 2003. Puslitbang Peternakan. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal. 150-156.
49
Dhican, A. E. 2006. Analisis peluang usaha kambing perah. Stimik Amikom, Yogyakarta.
Dinas
Kesehatan Hewan. 2010. Asal usul etawa.http://dinakkeswan.jatengprov.go.id. [ 30 Juni 211].
kambing
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Wonosobo. 2011. Budidaya Kambing Peranakan Etawah (PE) sebagai Penghasil Daging dan Susu. Kabupaten Wonosobo. Departemen Pertanian. 2012. Penilaian kemampuan kelompok tani menggunakan "Pakem poktan”. http://cybex.deptan.go.id.[28 juli 2012]. Devendra, C. & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan: IDK Harya Putra. Penerbit ITB Bandung, Bandung. Djajanegara, A. & A. Misniwaty. 2003. Pengembangan usaha kambing dalam konteks sosial-budaya masyarakat. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Diwyanto, K., B. R. Prawiradiputra, & D. Lubis. 2001. Integrasi tanaman-ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB. Bandung. Feradis, M. P. 2010. Reproduksi Ternak. Penerbit Alfabeta, Bandung. Hatono, I. G. M., Budiarsana, R. S. G., Sianturi., U. Adianti & I-K. Sutama. 1997. Pengaruh umur terhadap kinerja seksual pada kambing jantan Peranakan Etawah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Heriyadi, D. 2004. Standardisasi mutu bibit kambing Peranakan Etawah. Kegiatan pengembangan perbibitan ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung. Mahmilia, F., F. A. Pamungkas, & S. Elieser. 2008. Lama bunting, bobot lahir dan daya hidup pra sapih kambing Boerka-1 (50B;50K) berdasarkan: jenis kelamin, tipe lahir dan paritas. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.Loka Penelitian Kambing Potong, Sumatera Utara. Hal: 386-390. Makka, D. 2004. Tantangan dan peluang pengembangan agribisnis kambing ditinjau dari aspek pewilayahan sentra produksi ternak. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Direktur Pengembangan Peternakan, Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan,Departemen Pertanian. Mastika, I. M, K. G. Suaryana, I. G. l. Oka, & I. B. Sutisna. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Terjemahan: I-M. Mastika, K. G. Suryana, I-G. L. Oka, & I. B. Sutrisna. Sebelah Maret University Press, Surakarta. Mathius, I-W., I. B. Gaga, & I-K. Sutama. 2002. Kebutuhan kambing pe jantan muda akan energi dan protein kasar: konsumsi, kecernaan, ketersediaan, dan
50
pemanfaatan nutrien. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Mulyadi, H. 1992. Penampilan fenotipik sifat-sifat produksi dan reproduksi kambing Peranakan Etawah. Buletin Peternakan Vol:16. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Mulyono, S. 1999. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penerbit Swadaya, Jakarta. Munier, F. F., D. Priyanto, & D. Bulo. 2006. The daily body live gain of etawah grade doe due to given of gliricidia (Gliricidia sepium) supplementation. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor. Munier, F. F. 2008. Bobot lahir kambing Peranakan Etawah (PE) yang diberikan kulit buah kakao (Theobroma cocoa L.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Peternakan, Sulawesi Tengah. hlm. 422-429. Novita, C. I., A. Sudono., L. K. Sutama. & T. Toharmat. 2006. Produktivitas kambing Peranakan Etawah yang diberi ransum berbasis jerami padi fermenentasi. Met. Pet. 29: 96-106. Prihatini, W. 2008. Analisis prospek dan strategi pengembanngan usaha ternak kambing Peranakan Etawah (PE) di pondok pesantren modern Sahid gunung Menyan Bogor. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Priyanto, D., B. Setiadi., M. Martawidjaja, & D. Yulistiani. 2001. The role of local goat in supporting farmers economy in villages. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor. Sehabudin, U. & A. Agustian. 2001. Karakteristik dan perspektif pengembangan ternak ruminansia kecil di provinsi Jawa Barat. Med. Pet. 24:119-127. Simon, P., Ginting.,F. Mahmilia., S. Elieser, Leo., Batubara, & R. Krisnan. 2003. Tinjauan hasil penelitian pengembangan pakan alternatif dan persilangan kambing potong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Sumatera Utara. Simon, P. & Ginting. 2005. Tantangan dan peluang pemanfaatan pakan lokal untuk pengembangan peternakan kambing di Indonesia. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Simon, P., Ginting, & A. Tarigan. 2006. Kualitas nutrisi rumput Stenotaphrum secundatun dan Brachiaria humidicula pada kambing. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Sumatera Utara. Sinclair, A. R. E. & Grimsdell, J. J. R. 1982. Population dynamies of large mammals. series of handbooks on technique in African wildlife ecology, produced by The African Wildlife Foundation. Handbook No. 5, 2nd ed. Sirait, J., K. Simanihuruk, & R. hutasoit. 2012. Potensi Indigofera sp. sebagai pakan kambing: produksi, nilai nutrisi, dan palatabilitas. Pastura Vol. 1 No. 2:5660.
51
Siregar, A. 1996. Usaha ternak kambing. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sitepu, R. A. 2008. Prospek pengembangan usaha ternak kambing di Kabupaten Karo. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. CV. Karya Cemerlang, Jakarta. Sukendar, A. 2004. Produktivitas dan dinamika populasi kambing Peranakan Etawah di Desa Hegarmanah Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukendar, A., M. Duldjaman, & A. Sukmawati. 2005. Potensi reproduksi dan distribusi dalam pengembangan kambing PE di Desa Hegarmanah Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Met. Pet. 28: 1-7. Sutama, I-K., I. G. M. Budiarsana, & Y. Saefudin. 1994. Kinerja reproduksi sekitar pubertas dan beranak pertama kambing Peranakan Etawah. Ilmu Peternakan 8:9-12. Sutama, I-K., I. G. M. Budiarsana, H. Setianto, & A. Priyanti. 1995. Productive and reproductive performances of young Peranakan Etawah does. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Sutama, I-K & I.G.M. Budiarsana.1997. Kambing Peranakan Etawah penghasil susu sebagai sumber pertumbuhan baru sub-sektor peternakan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional dan Veteriner. Bogor, 18-19 November, 1:158. Sutama, I-K., B. Setiadi, IGM., Budiarsana, & U. Adiati. 1997. Pengaruh umur terhadap kinerja seksual pada kambing jantan Peranakan Etawah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sutama, I-K, T. Kostaman, & I. G. M. Budiarsana. 2006. Pengaruh pemberian pakan komplit berbasis jerami padi terhadap pertumbuhan dan perkembangan pubertas kambing jantan peranakan etawah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor. Sutama, I-K. 2008. Pemanfaatan sumberdaya ternak lokal sebagai ternak perah mendukung peningkatan produksi susu nasional. Wartazoa Vol. 18 no.4. Turner, H. N. & Young, S. S. Y. 1969. Qualitative Genetics and Sheep Breeding, pp.229-249. Macmillan of Australia. UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan Perikanan. 2011. Wilayah Kecamatan Cimalaka. Wilson, R. T. & Maki, M. O. 1989. Goat and Sheep population changes on a Masai group ranch in Sourt-Western Kenya. Agric. Syst. 29: 325-327. Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropis. Tejamahan: S.G. N Djiwa Darmadja. An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics third edition. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
52
Winantea, A. Pattie, W. A, & Nuryadi. 1989. Reproduction and population dynamics of Madura cattle. (unpublished report).
53
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. Perhitungan Dinamika Populasi di Kecamatan Paseh T 1 2 3 4 5 6 Jumlah
umur kematian beranak anak 1 1.58 2.17 0.7778 2.75 0.7778 3.33 0.7778 3.92 0.7778 4.5 0.7778
kematian selain anak
pengeluaran ternak 0.0417
0.0562 0.0562 0.0562 0.0562 0.0562
daya hidup (s) 1.0000 0.9583 0.9044 0.8536 0.8056 0.7604 5.2824
kidding rate (KR) 1.7500 1.7500 1.7500 1.7500 1.7500
RO (b)
Lf
0.1392 0.1314 0.1240 0.1170 0.1104 0.6220
0.3020 0.3613 0.4129 0.4587 0.4970 2.0319
Keterangan: t = waktu Kematian anak = 77,78% = 0,7778 Kematian selain anak = 5,62% = 0,0562 Total = 77,78% +5,62% = 83,4% Pengeluaran ternak = 7 x 100% = 4,167% = 0,0417 168 Daya hidup (s) 1-0,0417 = 0,9583 (baris 2) 0,9583-(0,9583x0,0387) = 0,9044 (baris 3) 0,9044-(0,9044x0,0387) = 0,8536 (baris 4) 0,8536-(0,8536x0,0387) = 0,8056 (baris 5) 0,8056-(0,8056x0,0387) = 0,7604 (baris 6) KR = 1,75
100%-83,4% = 16,6
b= S x KR x 16,6% 2 b2 = (0,9583 x 1,75 x 0,166) / 2 = 0,1392 b3 = (0,9044 x 1,75 x 0,166) / 2 = 0,1314 b4 = (0,8536 x 1,75 x 0,166) / 2 = 0,1240 b5 = (0,8056 x 1,75 x 0,166) / 2 = 0,1170 b6 = (0,7603 x 1,75 x 0,166) / 2 = 0,1104 Lf = b x umur beranak 1 Lf2 = 0,1392 x 2,17 = 0,3020 Lf3 = 0,1314 x 2,75 = 0,3613 Lf4 = 0,1240 x 3,33 = 0,4129 Lf5 = 0,1170 x 3,92 = 0,4587 Lf6 = 0,1104 x 4,50 = 0,4970
55
rm ln Ro = ln 0,622 = -0,4748 = -0,2337 =-23,37% Lf 2,0319 2,0319 No = 168 ekor Nt6 = N0ermt = 168 x e-0,2337x6 = 41,3372 = 41 ekor 1 x 41 ekor = 7,76 = 8 ekor (harus ada di flock) 5,2824 Pengeluaran ternak 8 x 0,0417 = 0,336
56
Lampiran 2. Perhitungan Dinamika Populasi di Kecamatan Cimalaka T 1 2 3 4 5 6 Jumlah
umur beranak 1 1.25 1,92 2.58 3.25 3.92 4.58
kematian anak
kematian selain anak
0.1753 0.1753 0.1753 0.1753 0.1753
0.0387 0.0387 0.0387 0.0387 0.0387
pengeluaran ternak 0,3732
daya hidup (s) 1,0000 0,6268 0,6025 0,5792 0,5568 0,5353 3,9006
kidding rate (KR)
RO (b)
Lf
2,1300 2,1300 2,1300 2,1300 2,1300
0,5247 0,5043 0,4848 0,4661 0,4481 2,428
1,0074 1,3011 1,5756 1,8271 2,0523 7,7635
Keterangan: t = waktu Kematian anak = 17,53% = 0,1753 Kematian selain anak = 3,87% = 0,0387 Total = 17,53% +3,87% = 21,4% Pengeluaran ternak = 128 x 100% = 37,32% = 0,3732 343 Daya hidup (s) 1-0,3732 = 0,6268 (baris 2) 0,6268-(0,6268x0,0387) = 0,6025 (baris 3) 0,6025-(0,6025x0,0387) = 0,5792 (baris 4) 0,5792-(0,5792x0,0387) = 0,5568 (baris 5) 0,5568-(0,5353x0,0387) = 0,5353 (baris 6) KR = 2,13
100%-21,4% = 78,6%
b= S x KR x 78,6% 2 b2 = (0,6268 x 2,13 x 0,786) / 2 = 0,5247 b3 = (0,6025 x 2,13 x 0,786) / 2 = 0,5043 b4 = (0,5792 x 2,13 x 0,786) / 2 = 0,4848 b5 = (0,5568 x 2,13 x 0,786) / 2 = 0,4661 b6 = (0,5353 x 2,13 x 0,786) / 2 = 0,4481 Lf = b x umur beranak 1 Lf2 = 0,5247 x 1,92 = 1,0074 Lf3 = 0,5043 x 2,58 = 1,3011 Lf4 = 0,4848 x 3,25 = 1,5756 Lf5 = 0,4661 x 3,92= 1,8271 Lf6 = 0,4481 x 4,58 = 2,0523
57
rm ln Ro = ln 2,428 = 0,8871 = 0,1143 =11,43% Lf 7,7635 7,7635 No = 155 ekor Nt6 = N0ermt = 155 x e0,1143x6 = 155 x 1,9854 = 307,73 = 308 ekor 1 x 308 ekor = 78,96 = 79 ekor (harus ada di flock) 3,9006 Pengeluaran ternak 79 x 0,3732 = 29,48 = 29 ekor afkir
58
Lampiran 2. Kuiesioner Penelitian Nomor : Nama pewancara : Tanggal : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama
: ………….…………………………………
2. Umur
: .…………………………………………….
3. Alamat Tempat Tinggal: ……………………………………………. 4. Pendidikan Terakhir
:……………………………………………..
5. Mata Pencaharian (contreng yang sesuai) a. Petani/Peternak b. Petani Penggarap c. Buruh Tani d. Nelayan e. Pedagang f. Pegawai g. Lain-lain…………………………………………………………… 6. Jumlah Anggota Keluarga:………………………………………………………………. 7. Pendapatan dari Beternak Kambing Per Tahun: Rp ………………… 8. Pendapatan Usaha Lain Per Tahun
: Rp. ..……………….
II. DATA TERNAK 1. Jenis dan Jumlah Ternak a. Sapi
: ………………………………………………………
b. Kerbau
: ………………………………………………………
c. Kambing : ……………………………………………………… d. Lain-lain : ……………………………………………………… 2. Jumlah Kambing yang dipelihara a. Jantan umur 1-6 bulan
: ………..………………...……….ekor
b. Jantan umur 6-12 bulan
:…………………………………..ekor
c. Jantan umur > 12 bulan
: …………………………………..ekor
d. Betina umur 1-6 bulan
: …………………………………..ekor
59
e. Betina umur 6-12 bulan : …………………………………..ekor f. Betina umur > 12 bulan
: ………………………………….ekor
g. Jumlah ternak afkir
: ………………………………….ekor
3. Status Kepemilikan Kambing : ………………………………………….ekor
a. Milik sendiri
b. Gaduhan (bagi hasil): ……………………………………….ekor Persentase bagi hasil : ………….%peternak,… ………%pemilik 4. Penyakit yang Menyerang Kambing Satu Tahun Belakangan ……………………………………………………………………... Penyebabnya
: ……………………………………………...
Cara mengatasinya:……………………………………………....... ………………………………………….…... ………………………………………..…….. 5. Jumlah Tenaga Kerja yang ada di Peternakan a. Anggota keluarga
: .…………………………..orang
b. Buruh
: …………………………..oramg
6. Sumber Air yang Dipakai untuk Keperluan Ternak ……………………………………………………………………….. III. DATA TERNAK KAMBING DAN PRODUKTIVITASNYA 1. Mulai berternak kambing sejak tahun : ……………………………... 2. Bangsa kambing yang dipelihara
: ……….……………………..
3. Asal Bibit Ternak yang Diusahakan Selama Setahun Terakhir: ……………………………………………………………………….. 4. Jumlah Ternak Pertama kali Pemeliharaan: …………………………. 5. Pertambahan Ternak Satu Tahun Terakhir: …………………………. 6. Seks Rasio
: ………………………….
7. Umur Kambing Pertama Birahi
: ………………………….
8. Umur Kambing Pertama Kali Dikawinkan: ….……………………… 9. Umur Kambing Pertama Beranak
: ………………………….
10. Lama kebuntingan
: …………………………
11. Jumlah Anak yang Dilahirkan dalam Satu Tahun:…. .………………. 12. Calving Interval
: ……………………………….
60
13. Jumlah Anak Perkelahiran
: ……………………………….
14. Bobot Anak Lahir
: ……………………………….
15. Umur Kambing Disapih
: ……………………………….
16. Kejadian Distokia
: pernah/tidak
: 17. Cara Mengatasi ……………………………………………………………………. ……………………………………………………………………. ……………………………………………………………………. ……………………………………………………………………. …………………………………………………………………… 18. Kematian Pedet Penyebab 19. Cara Mengatasi
: …………………………………………… : …………………………………………… : …………………………………………… …………..……………………………….. .….……..………………………………… …………………………………………….
20. Kematian Induk Penyebab 21. Cara Mengatasi
: …………………………………………… : …………………………………………… : …………………………………………… …………..……………………………….. .….……..………………………………… …………………………………………….
22. Jumlah ternak yang mati
: ……………………………………..
23. Pencatatan Usaha dan Produksi yang Dilakukan: ………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………. 24. Kendala dalam Pemeliharaan : ………………………………………………………………………. ……………………………………………………………………..... ……………………………………………………………………….
61
………………………………………………………………………. IV. PAKAN TERNAK 1. Jenis Pakan Hijauan : ………………………………………………………………………… 2. Frekuensi Makan a. 1 kali per hari b. 2 kali per hari c. Tidak teratur 3. Sumber air
: ………………………………………………………
V. TATA LAKSANA 1. Apa tujuan Anda beternak? a. Tabungan b. Produksi anak c. Bibit d. Penggemukan e. Penghasilan pupuk dan tenaga kerja pertanian f. Warisan g. Lain-lain: …………………………………………………………. 2. Bagaimana mendapatkan bakalan atau bibit? a. Membeli dari pasar hewan b. Membeli dari peternak lain c. Meminta peternak atau petani lain untuk berinvestasi d. Lain-lain…………………………………………………………… 3. Tata letak kandang a. Tersendiri b. Gabungan dengan peternak lain 4. Ukuran kandang a. Panjang
: ………………………………………………………
b. Lebar
: ……………………………………………………….
5. Jumlah ternak dalam kandang : ………………………………………. 6. Aspek apa yang anda catat selama ini untuk melihat tingkat produktivitas?
62
a. Manajemen perkawinan (sifat reproduksi) b. Performans anak yang dilahirkan c. Sifat produksi d. Pertambahan bobot badan e. Tidak ada yang dicatat 7. Penyakit apa yang sering terjadi? A. Mencret B. Kembung C. Lain-lain…………………………………………………………… 8. Bagaimana cara mengobatinya : …………………………………….. ……………………………………… ……………………………………… ……………………………………… 9. Pengembalaan Ternak a. Tempat dilepaskan
: ……………………………………..
b. Jarak dari kandang
: ……………………………………..
10. Jarak mantri kesehatan/dokter hewan ke lokasi peternakan: ………………………............................................................................. 11. Adakah sumber informasi mengenai tata cara beternak kambing? Ya/Tidak Jika ya, dari mana: ……………………………………………………. 12. Bentuk bantuan yang pernah didapat dari pemerintah atau instalasi lain? VI. PEMASARAN PRODUKSI ATAU HASIL USAHA PETERNAKAN 1. Pemanfaatan hasil per produksi dalam setahun a
Dijual/dipasarkan : ……………………………………………….
c. Dikonsumsi sendiri: ……………………………………………… d. Dibibitkan/dibesarkan: …………………………………………… e. Lain-lain
: ……………………………………………….
2. Pemasaran ternak kambing/produk a. Kapan kambing dijual 1. Pada saat harga menguntungkan
63
2. Tergantung kebutuhan 3. Asal saja b. Kepada siapa kambing dijual/siapa pembelinya 1. Konsumen rumah tangga 2. Restoran/rumah makan/warung 3. Pedagang/pasar 4. Koperasi 5. Perusahaan 6. Lain-lain: ……………………………………………………… Alasan memilih konsumen tersebut: ………………………………………………………………… ………………………………………………………………… ………………………………………………………………… ………………………………………………………………… ………………………………………………………………… Apakah harganya rugi atau untung ………………………………………………………………… c. Bagaimana cara menentukan harga : ……………………………... d. Bagaimana cara pembayarannya 1. Secara kontan 2. Dicicil 3. Dibayar dimuka 4. Dibayar dikemudian 5. Tidak tentu 3. Dalam memasarkan produksi apakah mengikuti informasi pasar? a. Selalu mengikuti perkembangan pasar b. Kalau perlu saja mengikuti informasi pasar c. Tidak pernah mengikuti informasi pasar Alasannya
:
…………………………………………………………………… ……………………………………………………………………
64
………………………………………………………………..….. …………………………………………………………………… ……………………………………………………………………. 4. Jumlah kambing yang dijual: ………………………………………...
Responden
(……………………………………)
65
66